TANAMAN LADA DI LANGKAT ABAD XIX SAMPAI XX

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

O

L

E

H

Nama : BIMASYAH SIHITE

Nim : 130706046

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Innalhamdalillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah, rahmat, dan TaufiqNya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan seluruh proses penulisan skripsi ini. Tidak lupa pula penulis haturkan shalawat berangkaikan salam selalu tercurahkan kepada uswahtun hasanah yakni Nabi Besar Muhammad Sallalahu ‘Alaihi Wassalam, semoga mendapat syafaat beliau di yaumil akhir kelak. Aamiinn Ya Rabbal Alamiinn. Penulisan skripsi merupakan suatu syarat yang wajib dipenuhi untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Dalam hal ini, penulis mengkaji tentang budidaya dan pertanian tanaman lada yang diusahakan oleh rakyat di wilayah Langkat. Skripsi ini berjudul Tanaman Lada Di Langkat Abad XIX Sampai XX. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, maka dari itu penulis sangat mengapresiasi apabila ada kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi ini nantinya. Akhir kata, Insyaa Allah semoga skripsi ini dapat memberikan khazanah pengetahuan yang bermanfaat dalam rangka pemajuan bangsa .

Medan, Juni 2018 Penulis,

Bimasyah Sihite NIM 130706046

i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skripsi ini tidak akan terwujud dan selesai tanpa adanya bantuan, dorongan, pelayanan, serta semangat baik yang bersifat moril maupun materil yang diberikan oleh banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, MS., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara, yang juga kebetulan sebagai Dosen Penasihat

Akademik penulis selama berkuliah di Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas

Ilmu Budaya USU, serta kepada Wakil Dekan beserta Staf pegawai Fakultas

Ilmu Budaya, USU.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya USU. Terima kasih atas segala arahan, waktu luang dan

bantuan yang telah bapak berikan selama ini. Tidak lupa juga kepada Ibu Dra.

Nina Karina Purba, M.SP., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Sejarah yang

turut membantu demi kelancaran penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Ratna, MS., selaku Dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi ini

yang telah yang telah sabar dalam membimbing, memotivasi, memberikan

nasehat dan bantuan baik moril maupun materil kepada penulis, tidak lupa

pula memberikan masukan, saran, kritik, waktu luang, serta perhatian yang

begitu besar kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4. Seluruh staf pengajar Bapak/ Ibu dosen Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas

Ilmu Budaya USU yang telah memberikan ilmu dan pencerahan kepada

penulis, baik dari segi pengetahuan, pengalaman, serta wawasan selama

penulis menjadi mahasiswa baik di dalam maupun di luar jam pelajaran.

Tidak lupa juga kepada Staf Administrasi Program Studi Ilmu Sejarah FIB

USU, Bang Ampera yang telah banyak membantu penulis selama penulis

menjadi mahasiswa.

5. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Pusat Universitas

Indonesia, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas

Ilmu Budaya USU, Taman Baca Tengku Luckman Sinar yang telah

memberikan data dan pelayanan dengan baik selama penulis melakukan

penelitian.

6. Kepada kedua orang yang paling berjasa dalam hidup saya, yang sangat saya

cintai dan sayangi, serta sangat saya hormati yakni (Alm)Bapak Jamaruddin

Sihite Rahimahullah dan Ibu Zahara Tanjung. Skripsi dan gelar sarjana ini

saya persembahkan kepada ayah dan ibu saya, terkhusus kepada Almarhum

ayah saya yang tidak sempat melihat saya menjadi seorang sarjana. Segala

yang saya lakukan kepada ayah dan ibu saya tidak akan pernah terbalaskan

dengan setimpal. Terima kasih atas segala yang telah Bapak dan Ibu berikan

kepada saya, bimbingan serta do’a adalah yang paling utama. Alhamdulillah

Pak, Mak, akhirnya ambo ala Sarjana. Juga Kepada kedua abang saya, Limson

Marihot Sihite dan Solihin Sihite, serta seorang adik yang sangat saya sayangi

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang bernama Wiwin Kurnia Sihite., terima kasih telah memberikan nasehat

dan perhatian yang luar biasa kepada adik/abang kalian ini.

7. Keluarga Bapak Drs. H. Masyhuril Khamis, SH, MM., Ibu Cut Dora, yang

telah mengizinkan penulis untuk tinggal di rumahnya selama melakukan

penelitian di Jakarta. Terkhsusus juga kepada adinda Raja Fanny Fatahillah

yang selalu menemani penulis selama di Jakarta.

8. Seluruh Keluarga Besar Ilmu Sejarah stambuk 2013, kepada sahabat-sahabat

dekat, Edo Syahputra Pasaribu, Akhmad Supandi, Jhonson Sirait, SS., Rico

Putra Tambunan, Cut Putra Sunjaya, SS., Fajar Steven, Joshua, Doni

Herisandi, Fenrico Pasaribu, Ardiansyah Hasibuan Rahmadsyah Putra

Sipahutar, Sri Handayani, SS., Gilbert Simbolon, SS., Muhammad Rasyidin,

Junierdi Yusri Tarigan, Vickry Hidayatullah, Sri Handayani, SS., Juwita, SS.,

Isti Julianti, SS., Kartisyah Handayani, SS., Syarifah Aini Putri, SS., Khaifah

Nazla, SS., Sion Putra Harefa, SS., Viktor Imam B Nazarra, SS., Muhammad

Helmi Matondang, SS., Serta teman-teman semua yang tidak bisa penulis

sebutkan satu-persatu namanya, mohon maaf. Semua kenangan yang terjadi

terasa begitu indah dan semoga ukhuwah silaturahmi kita semua tetap terjaga.

9. Terkhusus Kepada Kakak/Abang/Adik. Kakak/Abang angkatan 2012 Ilmu

Sejarah, Kak Putri Nurmawati, SS., Bang Muhammad Aziz Rizky Lubis, SS.,

Bang Muhammad Ardiyansyah, SS., Bang Arief Ilhadi, Kakak/Abang

angkatan 2011, Kak Devi Itawan, SS., Kak S.Wani Maler, SS., Kak Alda

Tahir, SS., Bang Wahyu Putra Kelana, SS., Bang Kiki Maulana Afandi, SS.,

Bang Junaidi Nasution, SS., Bang Wishnu Wardhana, SS., Bang Surya, SS.,

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kakak/Abang 2009, Kak Lestari Dara Cinta Utami Ginting, SS., Bang

Mukhlis Alghafar, SS., Bang Roni, SS., Bang Rudi Pariyadi, SS.,Serta adik

Stambuk 2014 dan 2015, Dik Diah Simangunsong, Hannah Usmalina Lubis,

dan Muhammad Fahmi, yang telah mewarnai dinamika kehidupan kampus

penulis khususnya di Departemen Sejarah FIB USU.

10. Keluarga Besar Hijau Hitam FIB USU, Bang Eko Maulijar, A.Md, S.Sos,

Bang Junedi, SS., M.Si, Bang Anshar Harahap, SS. M.Si, Bang Zulfan

Nasution, SS, M.Si, Bang Daru Irawadi, SS., Bang Dedi Rahmat Sitinjak, SS,

M.Si, Bang Bambang Riyanto, SS, M.Si.

11. Keluarga Pemerintahan Mahasiswa USU, Presiden Wira Putra, Wapres

Hendra Boang Manalu, Sekjen Putra Saptian, S.Sos., Pakmen Arisyah Putra,

Pakmen Rivaldy Yustianto, ST., Pakmen Rozi Panjaitan.Dillah,WahyuWidya.

12. Sahabat-sahabat dari Asia-Pasific Future Leader Malaysia 2016, Keluarga

Pekan Nasional Cinta Sejarah 2016 Malang dan Ekspedisi Jalur Rempah 2017

Maluku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namanya.

Akhirnya untuk semua yang membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini penulis ucapkan terimakasih, semoga kebaikan dan bantuan yang telah kalian beri mendapat imbalan yang setimpal dari Allah Subhanahu wata’ala, Tuhan Yang Maha Esa, Aamiin ya rabbal alamiin. Medan, Juli 2018 Penulis

Bimasyah Sihite NIM 130706046

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i UCAPAN TERIMAKASIH...... ii DAFTAR ISI ...... vi DAFTAR TABEL...... x DAFTAR SKEMA ...... xi UKURAN BERAT DAN LUAS ...... xii DAFTAR ISTILAH ...... xiii ABSTRAK ...... xvi ABSTRACT ...... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 8 1.3 Tujuan dan Manfaat ...... 8 1.4 Tinjauan Pustaka ...... 9 1.5 Metode Penelitian...... 11 1.6 Sistematika Penulisan...... 16

BAB II LANGKAT AWAL ABAD XIX 2.1 Wilayah dan Pemerintahan ...... 19 2.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ...... 35

BAB III AWAL POLA BUDIDAYA TANAMAN LADA DI LANGKAT 3.1 Ketersediaan Lahan, Pola budidaya dan Tenaga Kerja ...... 49 3.2 Pasar dan Perdagangan ...... 58

BAB IV PERKEMBANGAN, PERLUASAN, DAN KEMUNDURAN TANAMAN LADA RAKYAT DI LANGKAT PADA ABAD XIX-XX 4.1 Persebaran, penanaman dan perluasan lahan tanaman lada di Langkat ...... 66 4.2 Produksi lada ...... 74 4.3 Transportasi hasil lada ...... 87 4.4 Peranan kesultanan dalam perkembangan tanaman lada di Langkat ...... 94 4.5 Menurunnya hasil produksi lada ...... 101

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB V KESIMPULAN ...... 111 DAFTAR PUSTAKA ...... 117 LAMPIRAN ...... 124

vii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.1 Pembagian Wilayah Langkat ...... 28

Tabel 2.2.1 Komposisi Etnik di Sumatera Timur di Tahun 1930 ...... 40

Tabel 2.2.2 Tingkat Kepadatan Penduduk Sumatera Timur Pada Tahun 1930.. 41

Tabel 2.2.3 Data statistik populasi penduduk di seluruh wilayah Afdeeling Langkat pada tahun 1915 ...... 42

Tabel 2.2.4 Data statistik populasi penduduk untuk wilayah onder-afdeeling Pangkalan Brandan dan Pangkalan Soesoe pada tahun 1920 ...... 43

Tabel 2.2.5 Data statistik populasi penduduk di seluruh wilayah Afdeeling Langkat dari tahun 1920 – 1926 ...... 44

Tabel 3.1.1 Jenis Tanah di Sumatera Timur pada tahun 1893-1930 ...... 52

Tabel 3.2.1 Hasil Komoditi berbagai daerah Sumatera Timur pada abad ke-XIX hingga XX ...... 60

Tabel 3.2.2 Nilai perdagangan daerah Pangkalan Soesoe dan Pangkalan Brandan ...... 65

Tabel 4.2.1 Statistik Jumlah Lada yang di ekspor ke Penang Dari Sumatera Timur ...... 78

Tabel 4.2.2 Ekspor Lada Sumatera Timur dari tahun 1886- 1939 (dalam ton) .. 79

Tabel 4.2.3 Ekspor lada Deli, Serdang, dan Langkat , Tahun 1922, dan 1863-1865 (dalam pikul) ...... 80

Tabel 4.5.1 Ekspor Lada hitam Langkat ...... 103

Tabel 4.5.2 Jumlah Onderneming Tembakau di wilayah Sumatera Timur 1864- 1904 ...... 107

Tabel 4.5.3 Harga operasi Pasar penjualan karet pada tahun 1928-1935 ...... 107 Tabel 4.5.4 Komoditi Ekspor wilayah Langkat hal ...... 109 Tabel 4.5.5 Daftar Perusahaan dan konsesi terhadap perkebunan di Langkat .. 110

x UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR SKEMA

Gambar 2.1 Peta kawasan wilayah Sumatera Timur tanpa tahun ...... 22

Gambar 2.1.1 Bagan Struktur Penguasa Kesultanan Langkat dari masa ke masa ...... 33

Gambar 2.1.2 Struktur Pemerintahan di wilayah Langkat ...... 34

Gambar 4.1 Skema sebuah bentuk lahan tanaman lada ...... 73

Gambar 4.4.1 Skema dalam adat lada ...... 101

xi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UKURAN BERAT DAN LUAS

1 ton = 1000 Kilogram (Kg.)

1 kilogram = 2,2046 Pon.

1 pikul = 61,761 Kg.

1 pikul = 100 Kati.

1 kati = 617,613 gram (gr.)

1 bahar = 150 – 200 Kg.

1 km² = 1.000.000 m².

1 ha = 1,4091 bau.

1 bau = 0,7 ha.

1 Gulden (f) = 100 Sen.

1 koyang = 3 pikul .

1 gantang = 4,549 Liter.

1 corge = 20 buah/lembar.

1 bal = 1 gulung/ 40 lembar.

1 kilometer = 1.000 meter (m.)

1 mil laut = 1.852 m.

1 ton = 1.000 kilogram (kg.)

1 rial Spanyol = 8 shilling.

1 shilling = 30 du Belanda.

xii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISTILAH

Afdeeling : Untuk menyebut sebuah wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari karesidenan atau provinsi yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen.

Afdeelingraad : Dewan Distrik.

Asisten-residen : Kepala wilayah suatu afdeeling.

Adat Lada : Sistem pembagian hasil kebun lada. Aneu’ seuneubo’ : Petani yang menanam dan mengurus tanaman lada pada suatu kebun.

Additionele verklaring: Perjanjian tambahan.

Controleur : Pejabat Pemerintah yang mengepalai wilayah onderafdeeling.

Demang : kepala distrik

Dagang : Orang luar ; Petani asli dari daerah pedalaman yang berpindah untuk bekerja di perkebunan lada orang setempat di pesisir timur laut Sumatera Keresidenan : Pembagian administratif dalam sebuah provinsi di wilayah Hindia Belanda.

Korte verklaring : Suatu kondisi dimana terjadi perjanjian dalam waktu yang singkat oleh pihak zelfbestuurend dengan pemerintah kolonial Belanda.

xiii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Lange verklaring : Suatu kondisi dimana terjadi perjanjian dalam waktu yang panjang oleh pihak zelfbestuurend dengan pemerintah kolonial Belanda. Lada Rakyat : Lada yang dihasilkan dari budidaya pertanian yang diusahakan oleh penduduk setempat. Dalam bahasa Belanda disebut de pepercultuur atau pepertuinen, sedangkan dalam bahasa Inggris lazim disebut Pepper Plantation.

Luhak : Wilayah dari sebuah kesultanan yang berada langsung di bawah kekuasaan wazir, datuk, atau kejuruan.

Mdpl : Meter dari permukaan laut.

Memorie van Overgave : Sering disingkat MvO, merupakan laporan serah terima jabatan dari seorang pejabat yang mengakhiri masa tugas.

Nipah : Sejenenis palem spesies Nipah fructicans Wurmbyang digunakan sebagai bahan untuk membuat atap dan dinding rumah tradisional yang sederhana, serta digunakan pada bagunan-bangunan perkebunan.

Onderneming : Perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda. Onderafdeeling : Wilayah pemerintahan dibawah afdeeling yang dikepalai oleh seorang controleur.

xiii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Peutua seuneubo’ : Kepala yang membawahi sebuah kebun lada.

Residen : Kepala wilayah suatu keresidenan.

Ringgit : Dollar Spanyol. Seuneubo’ : Sebuah komplek perkebunan lada yang terdiri atas 10 sampai dengan 20 kebun lada yang berada di bawah kendali seorang peutua seuneubo’. Staadsblad : Lembaran Negara milik Pemerintah Hindia-Belanda. Zelfbestuurende Landschappen: daerah swapraja.

xiii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tanaman Lada Di Langkat Abad XIX Sampai XX ini adalah sebuah kajian sejarah perkebunan yang berhubungan dengan kehidupan sosial- ekonomi masyarakat yang membudidayakan tanaman lada di wilayah Langkat. Metode penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan kajian penelitiannya adalah metode sejarah, yang terdiri dari heuristik, kritik, intepretasi, dan historiografi. Dalam tahap heuristik, penulis telah mengumpulkan data dari buku-buku, laporan, dan arsip-arsip masa kolonial. Selanjutnya pada saat setelah data terkumpul, kemudian diverifikasi melalui kritik intern dan ekstern, sehingga seluruh data dirangkai hingga membentuk suatu konstruksi masa lampau. Hingga pada tahap akhir dilakukan penulisan dalam bentuk skripsi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana awal tanaman lada di Langkat, pola budidaya tanaman lada, puncak dan kemunduran tanaman lada di Langkat pada abad ke XIX sampai abad XX. Kondisi geografis wilayah Langkat menjadi faktor penting awalnya usaha penanaman lada. Selain daripada itu, persebaran dan akses terhadap lahan bukanlah sebuah permasalahan, ditambah lagi dengan biaya produksi yang relatif kecil, sehingga modal yang dibutuhkan dalam usaha penanaman lada ini tidak terlalu besar. Dalam perkembangannya, meskipun usaha penanaman lada awalnya kurang begitu berkembang, namun terjadinya dinamika perdagangan internasioanl membuat pangsa pasar komoditi lada mendapat perhatian lebih. Menariknya adalah permintaan yang tinggi dari pasar internasional akan komoditi lada terutama dari kawasan semenanjung Malaya, membuat para pengusaha dan petani lada berlomba- lomba dalam menanam dan memproduksi tanaman tersebut. Hal tersebut kemudian membuat angka produksi lada mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Di samping itu, berkembangnya usaha penanaman lada di Langkat secara tidak langsung juga menyebabkan perubahan komposisi demografi penduduk hingga munculnya daerah-daerah baru yang memiliki karakteristik identitas yang khas. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadinya penurunan angka produksi lada di Langkat umumnya disebakan berbagai faktor, seperti: Permintaan yang turun disebabkan kondisi harga yang cukup tinggi. Hal ini juga tidak terlepas dari kondisi gagal panen oleh petani dimana tanaman lada rusak akibat serangan hama. Selain itu, kondisi tersebut makin diperparah dengan dibukanya daerah Sumatera Timur menjadi kawasan ekonomi onderneming secara besar-besaran.

Kata Kunci: Langkat, Lada, Petani, Produksi, ekspor-impor, onderneming.

xvi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRACT

The Thesis entitled "Pepper Plantations In Langkat in the century of XIX untill XX. This is a history of plantation studies related to the society economic life of people who cultivated pepper plants in the Langkat region. Research methods used in the implementation of research studies is a historical method, which consists of heuristics, criticism, interpretation, and historiography. In the heuristic stage, the author has collected data from colonial period books, reports, and archives. Furthermore, once the data is collected, it is verified through internal and external criticism, so that all data is assembled to form a past construction. Until the final stages of writing in the form of a thesis. The Researchs aims to describe how early pepper plants in Langkat, the pattern of pepper cultivation, peaks and decline of pepper plants in Langkat in the XIX century until the XX century. The geographical condition of the Langkat region became an important factor in the beginning of pepper cultivation. In addition, the distribution and access to land is not a problem, coupled with the relatively small production costs, so the capital required in this pepper planting business is not too large. In its development, although pepper cultivation efforts were initially less developed, the occurrence of international trade dynamics made the pepper commodity market share more attention. Interestingly, the high demand from the international market for pepper commodities, especially from the Malay peninsula, has made pepper entrepreneurs and farmers competing in planting and producing the crops. This then makes the pepper production rate has increased significantly. In addition, the development of pepper planting in Langkat indirectly also led to changes in demographic composition of the population until the emergence of new areas that have characteristic identity characteristic. In subsequent developments, the decline in pepper production in Langkat generally caused by various factors, such as: Falling demand due to high price conditions. This is also not separated from the condition of crop failure by farmers where pepper crops result damaged of pest attack. In addition, the condition is further compounded by the opening of East Sumatra region into a large onderneming economic region.

Keywords: Langkat, Pepper, Farmer, Production, Export-Import, Onderneming.

xvii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lada adalah salah satu komoditi perdagangan unggulan dari wilayah

Nusantara pada sekitar abad XVII, terutama dari pulau Sumatera. Permintaan akan lada di pasar Eropa dan Timur Tengah begitu tinggi membuat daerah-daerah penghasil lada dapat menaikkan harga jual dan memperkuat wilayah produksinya.

Pencarian rempah membuat para penjelajah Eropa mengarungi lautan pada abad XVI.

Lada adalah komoditi yang mahal dan paling dicari di pasar Eropa. Banyaknya makelar rempah membuat harga rempah terutama komoditi lada meningkat hingga

100 persen.

Lada merupakan jenis tanaman yang termasuk dalam suku Piperaceae yang terdapat dan berasal dari India, Semenanjung Malaya, dan Indocina. Lada terdiri dari dua jenis yaitu lada hitam dan lada putih. Lada hitam diperoleh dari proses pengeringan buah belum masak bersama-sama dengan kulitnya sehingga keriput dan berwarna hitam, sedangkan lada putih, buah yang sudah masak dan kulitnya dikupas lalu dikeringkan. Lada memiliki rasa pedas yang dapat menghangatkan tubuh, menambah cita rasa masakan dan mengawetkan makanan sehingga harga lada di pasar Eropa tinggi. Lada memiliki banyak fungsi, seperti bumbu masakan, pengawet, obat-obatan dan diambil minyaknya untuk wewangian serta dapat digunakan sebagai alat tukar layaknya uang. Pada saat sekarang ini umumnya lada banyak digunakan sebagai bumbu masakan.

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kajian mengenai tanaman dan aktivitas penanaman lada di Sumatera Timur, khususnya di wilayah Langkat sangat minim ditemukan, oleh sebab itu perlu untuk dilakukan penelitian mengenai kajian ini. Sementara itu, tulisan mengenai budidaya lada sudah ada yang mengkaji, tetapi hanya perkebunan lada yang ada di Aceh,

Bangka, Banten1, dan Palembang.2 Lada pula yang telah membuat Langkat menjadi salah satu tempat sumber penghasil Lada terbesar di kawasan wilayah Sumatera

Timur. Selain itu, Langkat juga sudah menjalin hubungan dengan daerah lainnya dalam konteks perdagangan lada. Lada yang berasal dari Langkat merupakan komoditi yang sangat terkenal di wilayah Sumatera Timur dan bahkan sudah diekspor ke berbagai negara sejak abad XIX. Lada yang dihasilkan dari wilayah Langkat adalah jenis lada hitam dan lada putih. Penanaman lada di Langkat sampai saat ini belum ada dikaji, padahal kualitas lada dari Sumatera Timur, khusunya di wilayah

Langkat terkenal sangat baik sampai akhirnya di ekspor ke kawasan Semenanjung

Malaya, Malaka dan Penang.3

Kegiatan membudidayakan lada di Sumatera Timur, awalnya dilakukan oleh orang Batak Karo dan orang-orang Aceh yang sudah migrasi dan bermukim cukup lama di wilayah tersebut.4 Di Bangka misalnya, Pembudidayaan lada dilakukan oleh orang Tionghoa yang memulai untuk menanam lada di dekat lahan pertambangan

1 Lihat Ery Soedewo, “Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten”, Jurnal pada Historisme edisi No. 23 Tahun XI Januari 2007, Medan: Balai Arkeologi Medan. 2 Masyuhuri, “Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di Palembang 1790-1825”, Tesis pada program Sarajana UI tahun 1983, Jakarta: Universitas Indonesia, 1983. 3 Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga AkhirKerajaan Aceh Abad Ke-19, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 10. 4 Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863- 1947, terj J. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA timah.5 Budidaya lada di Sumatera Timur oleh orang Batak Karo dan Aceh dilakukan setelah mereka membuka hutan dan menanam tanaman seperti : padi dan sayuran setelah itu barulah lada ditanam.

Sebelum mengenal sistem perkebunan dari Barat, masyarakat di negara- negara berkembang mengenal sistem kebun sebagai bagian dari sistem perekonomian pertanian tradisional. Dalam struktur ekonomi pertanian tradisional, usaha kebun sering merupakan usaha tambahan atau pelengkap dari kegiatan pertanian pokok, terutama pertanian pangan secara keseluruhan. Sistem kebun biasanya diwujudkan dalam bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, kurang berorientasi pada dasar, dan lebih berorientasi pada kebutuhan subsistem. Ciri pokok sistem kebun semacam itu sekaligus menjelaskan ciri umum dari usaha pertanian masyarakat agraris yang masih subsistem dan pra-kapilalistik atau pra-industrial.

Berbeda dengan sistem kebun, sistem perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian komersial atau kapitaslistik. Sistem perkebunan diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian skala besar dan kompleks, bersifat padat modal (capital intensive), penggunaan areal pertahanan luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja rinci, penggunaan tenaga upahan (wage labour), struktur hubungan kerja yang rapih, dan penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem

5 Mary F. Somers Heidhues, Timah Bangka dan Lada Mentok: Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII sampai dengan Abad XX, Jakarta: Yayasan Nabil, 2008, hlm. 103.

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA administrasi dan birokrasi, serta penanaman tanaman komersial (commercial crops) yang ditujukan untuk komoditin ekspor di pasaran dunia.

Kebun bertanaman campuran sudah berkembang di pulau Sumatera, sebaliknya berbeda dengan kebun campuran yang lebih ditujukan untuk tujuan subsisten, sejumlah daerah di luar Jawa pada masa sebelum abad XIX, telah mengembangkan kebun tananaman perdagangan (garden of commercial crops), seperti misalnya : kopi, lada, kapur barus, dan rempah-rempah.

Penanaman lada sebagai tanaman perdagangan dunia, seperti telah diketahui, sudah dikenal di beberapa wilayah di Nusantara seperti : Aceh, Sumatera Timur,

Palembang, Riau, Lampung, Pulau Bangka, Jambi, Banten, dan Borneo. Dalam berbagai literatur sejarah menyebutkan bahwa tanaman lada merupakan komoditi perdagangan yang sudah cukup tua. Ada yang menduga bahwa tanaman lada tersebar ke daerah Jawa dan Malaysia antara 100 sebelum Masehi dan 600 Masehi melalui orang-orang Hindu. Lada yang ditanam di kebun-kebun daerah Sumatra Timur dan

Jawa sangat laku dalam pasaran perdagangan laut yang terpusat di Malaka pada sekitar tahun 1500.

Ada petunjuk bahwa proses komersialisasi yang terjadi pada periode awal telah mendorong pertumbuhan kebun-kebun tanaman komersial di daerah Indonesia.

Pertumbuhan kebun produksi tanaman hutan komersial terjadi ketika perdagangan internasional berkembang di Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia, yang menempatkan orang-orang Indonesia, India, dan Tionghoa menjadi pemegang

4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA peranan di daerah kawasan Asia Tenggara. Aktivitas perdagangan internasional di

Asia bagian barat dan Eropa, pada abad XVI meningkat pesat sebagai akibat meningkatnya permintaan komoditi rempah-rempah dari kepulauan Nusantara dalam dunia perdagangan internasional. Peningkatan permintaan rempah-rempah di pasaran internasional di Eropa diantaranya yang ikut mendorong peningkatan pembukaan kebun rempah-rempah yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara.

Proses komersialisasi di daerah Indonesia sendiri diawali dari proses pertumbuhan hubungan simbiotik di berbagai daerah. Hubungan simbiotik yang diwujudkan dalam bentuk hubungan perdagangan, antara lain terjadi hubungan simbiotik antara daerah persawahan penghasil padi dan daerah ladang penghasil tanaman perdagangan, dan antara daerah kepulauan satu dengan daerah kepulauan yang lain. Seperti misalnya hubungan simbiotik dalam organisasi perdagangan maritim antara kawasan Sumatera dengan Semenanjung Malaya dan daerah lain awal abad XVII hingga abad XX dapat dilihat dari corak pertukaran komoditi perdagangan dari kedua belah pihak, diantaranya komoditi seperti : beras dan bahan pangan lainnya, lada, buah asam (tamarind) batu permata, emas, tenaga kerja (slave) ditukar dengan tekstil dari India, dan barang-barang dari Tionghoa yang berasal daripara pedagang di Selat Malaka.

Berkaitan dengan komoditi perdagangan yang sangat laku di pasar komersial jaringan global, komoditi lada menjadi salah satu produk yang paling dicari.

Penanaman lada telah dimulai kira-kira pada paruh abad XVIII di Langkat. Hal ini ditandai dari berpindahnya kegiatan bertani petani Aceh yang beberapa waktu

5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kemudian cara bercocok tanamnya ditiru oleh orang Batak di pedalaman Deli.

Semula mereka hanya menanam lada atas kemauan sendiri, tetapi melihat hasilnya yang banyak hingga diekspor sampai ke Penang menyebabkan Orang Kaya6 di

Sumatera Timur ingin memperluas lahannya dengan mendatangkan orang Karo yang ada di pegunungan untuk menanam lada dengan beberapa fasilitas yang diberikan.

Penanaman lada di Langkat merupakan perkebunan rakyat dan menjadi mata pencaharian mereka pada saat itu. Meningkatnya minat dalam pembudidayaan lada menyebabkan perluasan lahan perkebunan dan disaat yang bersamaankebutuhan akan lada dan tingginya harga lada tersebut membuat tanaman ini terus dibudidayakan.

Biasanya hasil komoditi lada Sumatera Timur diekspor melalui jalur pelabuhan seperti misalnya ditujukan ke Penang dilakukan melalui pelabuhan-pelabuhan yang ada di sekitar Sumatera Timur, salah satunya melalui labuhan Deli.7 Di Langkat sendiri, ekspor komoditi lada dilakukan ke wilayah Semenanjung Malaya, seperti :

Penang, Malaka, Kedah, bahkan Singapura lewat beberapa pelabuhan di wilayah itu seperti diantaranya yakni: Pelabuhan Tanjung Pura, Pelabuhan Pangkalan Brandan,

Pelabuhan Baboen, dan pelabuhan Tanjung Beringin.8

Perekonomian rakyat dalam konteks pertanian rakyat memang sangat menarik untuk dikaji, begitu juga dengan pertanian lada rakyat yang ada di Langkat. Pertanian lada rakyat di Langkat mengalami hasil yang tinggi menjadikan pelabuhan yang ada

6 Sebutan untuk pengusaha lada dan bukan bagian dari keluarga bangsawan. 7 Panangian Panggabean, “Lahirnya Kota Medan sebagai Pelabuhan Ekspor Hasil-Hasil Perkebunan 1863-1940”, Tesis pada Program Pascasarjana UGM, 1988, hlm. 38. 8 Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913. hlm. 60.

6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA di Sumatera Timur dikenal menjadi pelabuhan lada.9 Begitu berjayanya tanaman lada di Langkat sehingga mendapat julukan seperti itu. Oleh karena itu, kajian lebih lanjut mengenai masalah tersebut perlu diteliti lebih mendalam.

Pembukaan onderneming10 secara besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Sumatera Timur membutuhkan lahan yang luas, sehingga bisa jadi lahan yang digunakan untuk menanam tanaman lada akhirnya digunakan untuk memperluas lahan onderneming. Hal ini yang kemudian menyebabkan beralihnya tanaman rakyat di Sumatera Timur ke tanaman lainnya.

Tanaman yang dimaksud tidak lain adalah tembakau dan karet. Selain itu,turunnya harga lada di pasar Eropa dan mewabahnya penyakit kuning pada tanaman ladatersebut menjadi pemicu menurunnya produksi lada di Langkat. Kondisi tersebut kemudian diperparah dengan terjadinya banjir besar yang melanda wilayah Tanjung

Pura pada tahun 1915 sehingga menyebabkan gagal panen pertanian lada pada saat itu.11

Cakupan spasial yang digunakan dalam kajian ini adalah wilayah kerajaan

Langkat dan afdeeling Langkat yang pada awal abad ke XIXtelah berdiri sendiri

9 Ibid. 10 Istilah yang dimaksud adalah perkebunan dalam bahasa Belanda. Di Sumatera Timur, selain perkebunan tembakau juga terdapat perkebunan karet, teh dan kelapa sawit. Biasanya onderneming ini ada di setiap afdeeling. Bahkan, untuk 1 afdeeling bisa terdiri dari beberapa afdeeling. Pada tahun 1916, di Sumatera Timur sudah ada beberapa onderneming. Afdeeling Langkat misalnya terdapat 27 onderneming, Deli 35 onderneming, Serdang ada 14 onderneming, Padang en Bedagei terdapat 10 onderneming, di Batubara ada 1 onderneming, dan di Asahan ada 1 onderneming. (lihat D.G. StibbE., et.al., Encyclopaedie van Nederlansche Indie, Leiden: N.V. V/H E.J. Brill s’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919, hlm. 238.

11 William. H. M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust , Amsterdam: Oostksut van Sumatra-Instituutt, 1918, hlm. 34.

7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menjadi sebuah kerajaan feodal pada saat itu dan dalam kondisi yang lain berada dalam wilayah swapraja. Adapun batasan temporal dalam kajian ini adalah dari abad

XIX hingga abad XX. Abad XIX ini merupakanawal tahun dimulainya penanaman dan puncak perkembangan budidaya Lada. Batasan akhir penelitian ini adalah pada periode abad XX tepatnya pada tahun 1925 yang merupakan periode penurunan produksi komoditi lada di Langkat meskipun dalam kurun waktu 10 tahun kemudian produksi dan ekspor lada di wilayah Sumatera Timur masih tetap berlangsung dengan intensitas yang tidak terlalu tinggi.

1.1 Rumusan Masalah

Dalam melakukan suatu penelitian perlu untuk membatasi hal-hal yang akan dibahas sehingga memudahkan penulis untuk mendapatkan data-data yang relevan.

Dengan demikian untuk penjabaran permasalahan yang akan dikaji perlu rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana awal masuknya tanaman lada di Langkat awal abad XIX?

2. Bagaimana Pola budidaya tanaman lada di Langkat pada abad XIX?

3. Bagaimana perkembangan, perluasan, puncak dan kemunduran tanaman lada

di Langkat pada abad XIX sampai XX?

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting, bukan hanya bagi peneliti saja tetapi juga bagi masyarakat umum. Biasanya penelitian bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Penelitian ini bertujuan untuk:

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Menjelaskan bagaimana awal tanaman lada di Langkat pada awal abad XIX.

2. Menjelaskan bagaimana pola budidaya tanaman lada awal abad XIX.

3. Menjelaskan bagaiamana puncak dan kemunduran tanaman lada di Langkat

pada abad XIX sampai XX.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menambah referensi dan khasanah kajian historiografi sejarah

perkebunan lada khusunya di Langkat.

2. Memberi informasi bagi masyarakat umum, mengenai potensi Sumatera Utara

dalam sektor perkebunan yang dapat dikembangkan.

3. Memberikan gambaran mengenai keadaan perkebunan lada sebelum Belanda

membuka perkebunan tembakau di Langkat.

1.3 Tinjauan Pustaka

Kajian tentang perkebunan di Sumatera Timur sudah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Sumatera Timur lebih dikenal menjadi daerah perkebunan setelah Nienhuys datang pada tahun 1863 dengan membuka lahan perkebunan tembakau. Sementara itu, kajian mengenai perkebunan khususnya perkebunan lada di Langkat belum ada diteliti. Terdapat beberapa kajian yang menggambarkan keadaan perkebunan di Sumatera Timur, yaitu dalam bentukjurnal.

Jurnal tersebut ditulis oleh Ery Soedewo yang berjudul “Lada Si Emas Panas:

Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten” tahun 2007. Dalam jurnal

9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ini disinggung mengenai pertumbuhan dan perkembangan budi daya lada, termasuk pusat budidaya lada di pulau Sumatera. Selain dalam bentuk jurnal, untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan rakyat Sumatera Timur dalam bercocok tanam, termasuk kegiatan ekspor hasil perkebunan dapat dilihat dalam bentuk laporan. Laporan tersebut ditulis oleh John Anderson yang berjudul “ Mission to the

East Coast of Sumatra in 1823” dan Acheen and the Ports on the North and East

Coast of Sumatra 1840. Laporan ini sangat penting karena mencakup uraian tentang perjalanannya secara terperici dari hari ke hari tentang sejarah dan gambaran wilayah

Sumatera Timur. Laporan ini menyebutkan tentang perkembangan yang sangat cepat terhadap budi daya lada dan hasil lada dari Sumatera Timur, termasuk Langkat yang diekspor ke kawasan Semenanjung Malaya. Selain itu, dalam laporan tersebut disebutkan bahawa perdagangan lada dikendalikan oleh orang-orang kaya, serta bagaimana dinamika perdagangan lada antar lintas kawasan Sumatera Timur dengan

Semenanjung Malaya dan Aceh. Laporan ini juga merupakan data pertama yang sistematis mengenai geografi, ekonomi, etnologi dan politik dari berbagai negeri sepanjang pantai timur Sumatera.

Selain dalam bentuk jurnal dan laporan, dapat juga digunakan beberapa buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dalam buku yang ditulis oleh Karl J.

Pelzer yang berjudul “Toen Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan

Agraria 1863-1947”, buku ini terbit tahun 1985, yang membicarakan mengenai perubahan sistem bercocok tanam masyarakat Sumatera Timur, termasuk kegiatan

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bercocok tanam lada di Sumatera Timur.Karl J. Pelzer juga menjelaskan mengenai ekspor lada dari perkebunan Sumatera Timur.

Dalam buku yang berjudul “Asal Mula Konflik Aceh : Dari Perebutan Pantai

Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19”, yang terbit tahun 2005, yang ditulis oleh Anthony Reid. Dalam buku ini dijelaskan bahwa sebagian petani lada Aceh memindahkan kegiatannya ke Timur ke Langkat dan Tamiang, sehingga tak lama kemudian teknik budi daya mereka diikuti oleh orang Batak di pedalaman

Deli.

Dalam tesis yang berjudul. “Lahirnya Kota Medan sebagai Pelabuhan Ekspor

Hasil-Hasil Perkebunan 1863-1940”, Tesis pada Program Pascasarjana UGM, 1988, yang ditulis oleh Panangian Panggabean, menjelaskan bagaimana proses pengangkutan hasil komoditi lada menuju pelabuhan-pelabuhan yang ada di Sumatera

Timur.

Sementara itu, buku yang berjudul “Timah Bangka dan Lada Mentok: Peran

Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII sampai dengan Abad XX, yang terbit pada tahun 2008, yang ditulis oleh Mary F. Somers

Heidhues, membahas bagaimana perkebunan lada di Bangka yang dikelola oleh orang

Tionghoa. Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana mereka merawat tanaman, mendapatkan tenaga kerja, dan bagaimana pemasaran hasil perkebunan mereka.

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.4 Metode Penelitian

Penelitian yang saya lakukan ini adalah sebuah penelitian sejarah yang menekankan pada aspek manusia, temporal, dan spasial. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan metode sejarah. Yang dimaksud dengan metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau12.

Metode sejarah berisi tahapan yang harus dilalui untuk menghasilkan sebuah tulisan sejarah. Tahapan-tahapan tersebut adalah heuristik, kritik, intepretasi, dan historiografi. Tahap pertama adalah heuristik. Secara sederhana heuristik berarti proses pengumpulan sumber-sumber historis yang berkaitan dengan topik penelitian.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peneliti sudah melakukan studi arsip dan studi pustaka. Studi arsip diperlukan mengingat cakupan periode yang akan dikaji dalam penelitian adalah periode kolonial. Studi arsip sudah dilakukan oleh peneliti dengan mengunjungi Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia di Jalan Ampera Raya,

Cilandak, Jakarta Selatan. Studi yang dilakukan oleh peneliti pada Agustus 2017 ini adalah pengalaman perdana dan dalam rangka memperoleh sumber primer berupa data penelitian. Sebenarnya peneliti dalam melakukan studi arsip tidaklah sendirian, karena peneliti bersama dengan beberapa teman lainnya juga memiliki tujuan yang sama adalah dalam rangka mencari data arsip walaupun kajian penelitiannya berbeda.

Beberapa hari sebelum berangkat, peneliti bersama 3 orang teman lainnya melakukan diskusi ringan bersama kakak/abang senior yang sudah lebih dahulu mengunjungi, meneliti, dan mengakses arsip. Namun, diluar dugaan meskipun telah mendapat

12 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj.dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 39.

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA arahan dan petunjuk dari kakak/abang senior, nyatanya peneliti bersama teman lainnya sangat kewalahan dalam memahami prosedural dan teknik mengakses arsip seperti: pemesanan, peminjaman dan pembacaan microfilms, serta penggandaan arsip.

Disamping itu, kesulitan lainnya yang sedari awal diketahui dan dipahami oleh peneliti adalah data arsip yang menggunakan bahasa Belanda yang dimana pengetahuan bahasa Belanda peneliti sangat kurang, hal tersebut yang membuat peneliti harus berfikir ekstra dalam hal menterjemahkan arsip terlebih dahulu sebelum memahami isi kandungan informasi dalam arsip tersebut. Alhamdulillah, berkat bantuan dari beberapa pegawai pelayanan arsip yang melihat peneliti sangat kaku dan kewalahan, serta teman-teman sesama peneliti dari Universitas dan instansi lain, serta semangat dan motivasi dari abang/kakak senior, akhirnya peneliti pun paham dan tidak merasa kesulitan lagi dalam mengakses arsip, terkhusus arsip kolonial tentang tanaman lada di Langkat. Selain itu, peneliti juga sudah mencoba mengakses arsip yang berbahasa Inggris disebabkan peneliti awalnya merasa bahwa arsip tersebut juga cukup penting, namun kenyataannya adalah bahwa koleksi arsip berbahasa Inggris sangatlah minim ditambah lagi dengan objek daerah penelitiannya ternyata di luar wilayah dari objek daerah yang di teliti.

Di Arsip Nasional Republik Indonesia, peneliti cukup mendapat data yang berguna bagi penulisan, beberapa diantaranya yaitu : arsip dari koleksi Inventaris

Arsip Algemeene Secretarie Seri Grote Bundel Besluit 1891-1942 jilid 1, seperti : De goedkeuring van een gesloten overeenkomst tussen het inlandsch zelfbestuur van

Langkat en de heer L.A Scott Elliot tot het winnen van aardolien en andere

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA delfstoffen 1896-1897, Besluit Onivagens bij den Gouvernements Secretarie Oostkust

Sumatra, Consideratien en Advies Departement van Onderwijs, Eeredienst en

Nijverheid 1896. De aanstellingen van hoofden van bevolking van karang te sumatra’s oostskust, De voorbereiding van een nadere regeling der rechten en verplichtingen van de radja’s der enige landschappen in residientie Oostkust van

Sumatra tegenover het gouvernement van Nederlands Indie 1879-1892, De begrotingen voor 1912 der landschappen in de residentie oostkust van sumatera in

1912 dimana berisi informasi arsip yang berhubungan dengan Sumatera Timur, terutama Langkat yang menjadi objek daripada daerah penelitian yang sedang di teliti. Meskipun arsip yang dicari selalu terpisah-pisah, hal tersebut tidak membuat peneliti patah semangat, justru tersebut yang membuat peneliti merasa tertantang untuk lebih mencari dan menemukan arsip. Selain itu, juga ada koleksi arsip Memorie van Overgave (MvO) seperti : Memorie van Overgave (MvO) Assistent-Resident

Afdeeling Langkat, onderafdeeling controleur Pangkalan Brandan, onderafdeeling.

Ada juga koleksi arsip Staatsblad Van Nederlansch Indie: Binnenlandsch Bestuur

Civiele Gezaghebbers Vendukantoren Oostkust Van Sumatra 1910. Kemudian ada arsip Kolonial Verslag, 1886-1911: Mededeelingen van De Handelavereeningingte

Medan, Kolonial Verslag, 1916, Kolonial Verslag, 1913, Kolonial Verslag 1917 yang penulis kutip dari Tesis Edi Sumarno yang berjudul Pertanian Karet Rakyat di

Sumatera Timur, Yogyakarta:Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, tahun

1998.

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Arsip peta seperti : Koleksi Kartografi Indonesia Jilid I, ANRI, serta koleksi arsip lainnya. Walaupun awalnya peneliti sangat canggung dan kesulitan dalam mengakses arsip mengingat minimya pemahaman dari peneliti terkait studi tersebut.

Arsip yang didapat oleh peneliti adalah arsip yang berkaitan dengan tanaman lada di

Langkat pada masa kolonial, sehingga arsip yang sudah didapat cukup membantu peneliti.

Meskipun sudah mendapatkan beberapa data dari Pusat Arsip Nasional

Republik Indonesia, peneliti masih merasa kekurangan data, oleh sebab itu peneliti berniat untuk mengunjungi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia karena memang tempat ini sudah masuk dalam target tujuan peneliti. Akan tetapi, harapan peneliti bersama teman lainnya tidak terealisasi karena Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia menutup pelayanannya untuk sementara selama 2 bulan lebih.Hal tersebut disebabkan Pengelola Gedung Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sedang melakukan revitalisasi dan perluasan gedung. Kondisi tersebut sempat membuat peneliti agak sedikit frustasi dan kesal, pada akhirnya peneliti mengambil keputusan untuk berkunjung sekaligus melakukan pencarian data di Perpustakaan

Pusat Universitas Indonesia. Meskipun tidak menemukan arsip, namun

Alhamdulillah, peneliti akhirnya mampu mendapatkan tambahan data yang cukup menarik untuk pengembangan kajian penelitian milik penulis.

Setelah melakukan studi arsip, peneliti kemudian memutuskan untuk kembali ke Kota Medan untuk melanjutkan penelitian. Selain sumber primer, peneliti juga mengumpulkan sumber sekunder melalui studi pustaka. Di Medan, Peneliti hanya

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA fokus kepada beberapa tempat saja diantaranya yakni: Perpustakaan Pusat Universitas

Sumatera Utara dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera, serta

Taman Baca Tengku Lukman Sinar yang berlokasi di Jalan Abdullah Lubis, Medan.

Setelah mendapatkan sumber-sumber yang diinginkan, maka tahap yang selanjutnya adalah kritik sumber. Pada tahap ini, sumber-sumber relevan yang telah diperoleh diverifikasi kembali untuk mengetahui keabsahannya.13 Oleh karena itu perlu dilakukan kritik, baik ekstern maupun intern. Kritik bertujuan untuk mendapatkan data dan fakta yang benar-benar valid. Selain itu, di dalam kritik juga dilakukan komparasi antar data satu dengan yang lainnya untuk mengetahui apakah sudah terdapat perubahan atau perbedaan data di dalamnya, tampilan fisik dokumen, serta apakah orisinalitas data tersebut masih tetap terjaga. Apakah dokumen tersebut perlu digunakan atau tidak dalam penelitian.

Setelah dokumen yang berisi data telah selesai dikritik, maka tahapan selanjutnya adalah intepretasi. Intepretasi merupakan penafsiran-penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah dikritik terhadap data yang diverifikasi. Dalam tahap ini, peneliti akan melakukan analisa dan sintesa. Analisa berarti menguraikan. Dari proses analisa akan diperoleh fakta-fakta. Kemudian data-data yang telah diperoleh disintesakan sehingga mendapatkan kesimpulan lalu kemudian menceritakannya kembali dan akan dituangkan ke dalam sebuah bentuk tulisan.14

Tahap terakhir dari penelitian sejarah adalah historiografi. Historiografi merupakan proses penulisan fakta-fakta yang telah diperoleh secara kronologis dan

13 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995, hlm. 99. 14Ibid., hlm. 100.

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kritis-analitis sehingga penulisan tersebut bersifat ilmiah yang kemudian dituangkan dalam bentuk skripsi yang berpedoman pada outline yang telah dirancang sebelumnya.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini dibagi ke dalam Lima bab. Pada babpertama adalah pendahuluan yang berisi tentang uraian latar belakang masalah,rumusan permasalahan, tujuan, manfaat, dan metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Adapun pada bab kedua situasi dan kondisi wilayah Langkat yang sebenarnya juga tidak terlepas dari gambaran wilayah Sumatera Timur pada awal abad XIX hingga awal abad XX. Dalam rangka untuk melihat deskripsi dan narasi seputar kondisi sejarah Langkat, agaknya hal yang tepat ketika mengaitkannya dengan kondisi wilayah Sumatera Timur. Dalam pembahasan ini akan menceritakan seputar latar belakang kondisi wilayah dan struktur pemerintahan yang cukup dinamis di daerah tersebut, serta kondisi komposisi penduduk yang terdiri dari penduduk asli maupun pendatang dari luar daerah serta mata pencaharian yang menjadi urat nadi perekonomian masyarakat pada waktu itu.

Kemudian dalam bab ketiga, akan menjelaskan tentang bagaimana awal penanaman lada rakyat di wilayah Langkat yang sebenarnya juga tidak terlepas dari kondisi perkembangan ekonomi pertanian rakyat Sumatera Timur pada awal abad

XIX hingga awal abad XX. Dalam pembahasan ini akan menceritakan seputar latar

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA belakang kondisi ketersediaan lahan dan tenaga kerja, serta pasar dan perdagangan seputar komoditi pertanian rakyat Sumatera Timur termasuk lada rakyat di wilayah

Langkat.

Bab keempat berisi tentang ulasan dan penjelasan tentang tentang perkembangan tanaman lada rakyat di Langkat pada abad XIX sampai XX. Diawali dengan gambaran dan penjelasan seputar Persebaran, Penanaman dan Perluasan lahan tanaman lada di Langkat. Kemudian juga ada penjelasan tentang produksi lada, transportasi pengangkutan komoditi lada, peranan kesultanan dalam perkembangan tanaman lada di Langkat, dan menurunya hasil produksi lada.Terakhir, dalam bab lima merupakan kesimpulan dari seluruh kajian bab skripsi.

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

LANGKAT AWAL ABAD XIX

Dalam Bab ini akan digambarkan tentang bagaimana situasi dan kondisi wilayah Langkat yang sebenarnya juga tidak terlepas dari gambaran wilayah

Sumatera Timur pada awal abad XIX hingga awal abad XX. Dalam rangka untuk melihat deskripsi dan narasi seputar kondisi sejarah Langkat, agaknya hal yang tepat ketika mengaitkannya dengan kondisi wilayah Sumatera Timur. Dalam pembahasan ini akan menceritakan seputar latar belakang kondisi wilayah dan struktur pemerintahan yang cukup dinamis di daerah tersebut, serta kondisi komposisi penduduk yang terdiri dari penduduk asli maupun pendatang dari luar daerah serta mata pencaharian yang menjadi urat nadi perekonomian masyarakat pada waktu itu.

2.1 Wilayah dan Pemerintahan

Setelah masuknya kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda ke wilayah

Sumatera Timur, maka kekuasaan raja-raja di daerah ini ditempatkan dibawah kekuasan pemerintah kolonial Belanda. Hubungan sultan-sultan dengan perjanjian- perjanjian-perjanjian yang bersifat kontrak. Di dalam kontrak-kontrak itu ditetapkan bahagian-bahagian kekuasaan yang haru diserahkan kepada pemerintah kolonial

Belanda. Seperti pada daerah lainnya di Indonesia pada masa kolonial, Belanda mendasarkan diri pada apa yang lazim disebut dengan lange verklaring dan korte veklaring.15 Para raja dan Sultan kaum bangsawan pribumi mengakui bahwa terdapat

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan disamping itu mereka dikukuhkan dalam kedudukan sebagai penguasa pada setiap kedudukan wilayah.

Demikian juga berkaitan dengan perjanjian kerjasama antara Sultan Ismail dan Residen Riau untuk membantu menyelesaikan perselisihan antara Sultan dengan para saingannya. Sultan Ismail dengan Perjanjian Siak (Traktat Siak) yang ditandatangani pada tanggal 1 Februari tahun 1858 menegaskan bahwa Siak Sri

Indrapura bersama dengan semua taklukannya menjadi masuk kedalam wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda.16

Pada masa kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda, Sumatera Timur pada saat itu terdiri dari landschap Siak beserta daerah taklukannya. Sumatera Timur sendiri telah banyak mengalami perubahan status wilayah. Pada masa ketika Traktat

Siak ditandatangani, Sumatera Timur masuk kedalam afdeeling Riau. Lalu kemudian pada tahun 1873, Sumatera Timur menjadi karesidenan yang berpusat di Bengkalis.

Pada tahun 1887, pusat karesidenan Sumatera Timur dipindahkan ke Medan.

Kemudian pada tahun 1915, statusnya juga kemudian berubah menjadi provinsi, dan di tahun 1936 berubah lagi menjadi keresidenan dan bertahan sampai dengan tahun

15 Yang dimaksud dengan istilah lange verklaring disini ialah suatu kondisi dimana terjadi perjanjian dalam waktu yang panjang oleh pihak zelfbestuurend dengan pemerintah kolonial Belanda. Kesultanan Deli, Langkat, Serdang, Asahan, Kualuh, Leidong, Siak, dan palalawan tercatat terikat dalam perjanjian tersebut dengan Pemerintah kolonial Belanda, artinya pada kekuasaan kesultanan tersebut pemerintah kolonial Belanda memiliki kontrol dan pengaruh yang terbatas atas wilayah- wilayah tersebut sessuai dengan apa yang terikat dalam perjanjian tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan istilah korte verklaring adalah suatu kondisi dimana terjadi perjanjian dalam waktu yang pendek oleh pihak zelfbestuurend dengan pemerintah kolonial Belanda, dimana kesultanan-kesultanan itu berada langsung di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda sesuai dengan bunyi kotrak tersebut yang dimana dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa kesultanan-kesultanan tersebut mengakui kekuasaan dan melaksanakan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di daerah tersebut. 16 Karl. J. Pelzer, op, cit., hlm. 27.

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1942.17 Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa kemudian wilayah Sumatera Timur ini dibagi kedalam 4 afdeeling18 diantaranya yakni : Afdeeling Deli en Serdang,

Afdeeling Langkat, Afdeeling Simalungun en Karolanden, dan Afdeeling Asahan.

Pada saat itu juga diketahui bahwa sudah ada 35 Zelfbestuurend Landschap wilayah di Sumatera Timur yang telah melakukan perjanjian dengan pemerintah kolonial

Belanda.

Secara geografis luas wilayah Sumatera Timur adalah 31.715 kilometer persegi. Akan tetapi dari tahun 1870 sampai dengan 1942 luas wilayahnya menjadi

94.583 atau diperkirakan tidak lebih kurang dari 20 % luas secara keseluruhan wilayah pulau Sumatera.19 Sumatera Timur secara geografis sangat menguntungkan dalam perkembangan ekonomi. Daerah ini mencakup dari dataran pantai ke barat hingga sampai ke dataran berbukit-bukit memanjang dari Aceh Timur, Langkat, Deli,

Serdang, Asahan sampai daerah Labuhan Batu. Karena letaknya yang staretgis, daerah yang terletak antara Sungai tamiang di Utara dan Sungai Barumun di Selatan selama abad ke XVII sampai pertengahan abad XIX menjadi ajang persaingan antara kerajaan Siak Sri Indrapura dengan Aceh.

Sumatera Timur diapit oleh Selat Malaka dan pantai Timur Danau Toba yang mencakup dataran rendah, pegunungan serta dataran-dataran Tinggi Karo dan

Simalungun. Banyak sekali dijumpai sungai-sungai yang bermuara ke Selat Malaka.

17 Edi, Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat di Sumatera Timur”, Tesis S-2, Universitas Gadjah Mada, 1998, hlm. 30-33. 18Afdeeling merupakan istilah dalam bahasa Belanda yang digunakan untuk menyebut sebuah wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari karesidenan atau provinsi yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen. 19 Karl, J Pelzer, op. cit., hlm. 31.

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Disepanjang sungai-sungai itu terutama di muara sungai, tumbuh dengan lebat pohon-pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di dataran tinggi Karo dan

Simalungun itu membawa sisa-sisa debu halus, pasir serta tanah gembur. Endapan lunpur seluas hampir 30 kilometer bersama-sama rangkaian peristiwa gunung berapi seperti ini terus berlangsung dan membawa berkah bagi kesuburan tanah di Sumatera

Timur, khususnya di sekitar sungai Wampu dan sungai Ular yang kondisi ini telah memberikan keadaan yang sangat khas bagi tanah Sumatera Timur yang tidak dijumpai di daerah lain. Tanah-tanah di sepanjang pantai timur Sumatera ini menjadi lahan subur untuk pertanian.20

Gambar 2.1 Peta kawasan wilayah Sumatera Timur tanpa tahun.

Sumber : Kartografi Indonesia Jilid I, No. Inventaris KG. 1, No. 1312, ANRI.

20 Ibid, hlm. 32-37.

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sifat pemerintahan itu dijalankan oleh sultan sebagai bestuurder bersamaan dengan pembesar negeri itu sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku di negeri tersebut. Dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda, Sumatera Timur dibagi kedalam dua bentuk keresidenan, yaitu keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan

Tapanuli. Gubernur berkedudukan di Medan sejak tahun 1887 yang dimana kekuasaannya meliputi seluruh keresidenan yang terdapat di Sumatera. Daerah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda juga langsung dibagi dua yakni : Kekuasaan kolonial (Rechtsreeks Bestuurgebied) dan daerah swapraja (Zelfbestuurende-

Landschappen). Gubernur yang berkedudukan di Sumatera Timur berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia yaitu langsung di bawah

Directeur van het Binnenlands Bestuur (Direktur Urusan Pemerintahan Umum)

Di bawah Residen berkedudukan Asisten Residen yang menjabat sebagai kepala afdeeling. Kemudian setiap afdeeling itu juga dipecah lagi atas beberapa onder-afdeeling yang masing-masing dikepalai oleh controleur.21 Selanjutnya, tiap- tiap onder-afdeeling dibagi lagi atas beberapa distrik yang diperintah oleh kepala distrik (districtshoofd) atau lazim disebut juga demang22. Sedangkan untuk tingkat pemerintahan terendah sendiri ialah negeri yang diperintah oleh kepala negeri.

21 Dalam jabatan-jabatan Controleur ke atas dipegang oleh orang-orang dari Pemerintah Kolonial Belanda saja, mereka termasuk “Europese Bestuur Acbtensron” (pegawai pemerintah keturunan Eropa). 22 Jabatan-jabatan dari Demang sampai dengan kebawah itu dapat dipegang oleh golongan bumiputera yang lazim disebut Indlansch Bestuurs Acbtensron (pegawai pemerintahan asal bumi putra). Demang atau districtshoofd sebenarnya adalah slot perpanjangan tangan daripada seorang controleur untuk menyampaikan perintah kepada instansi pemerintahan di bawahnya atau negeri. Daerah yang dipegang oleh seorang Demang serupa saja dengan daerah yang dikuasasi oleh controleur, namun daerah yang dikuasai oleh controleur dapat juga terdiri dari beberapa distrik.

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di kawasan Sumatera Timur bertujuan untuk menjalankan politik kolonialnya. Dengan cara-cara tertentu diusahakan dalam rangka untuk mengurangi kekuasaan-kekuasaan elit adat lokal sehingga nantinya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dapat langsung berurusan dengan elit adat yakni kepala negeri. Kedudukan elit adat dalam hal ini yakni kepala negeri pada satu pihak mewarisi kekuasaan berdasarkan adat dan tradisi dan menurut susunan daripada kolonial, maka mereka menerima kekuasaan dari lembaga-lembaga yang telah disusun oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dalam melaksanakan kewajibannya, kepala-kepala negeri tadi dibebani tugas yang cukup berat, karena pemerintah kolonial Belanda menysusun tata aturan baru dalam berbagai aspek kehidupan, terutama mengenai soal tanah, pertanian, perkebunan, kehutanan, termasuk pertambangan yang menurut hukum adat dianggap sebagai milik masyarakat (Communal Beezit).

Wilayah Langkat pada kurun waktu awal abad ke-XIX merupakan wilayah kerajaan yang bersifat feodalistik tradisional yang disebut dengan Kesultanan

Langkat dan juga bagian dari daerah swapraja (Zelfbestuurende-Landschappen). Hal ini ditandai dengan adanya istilah sultan yang berkuasa sebagai pemimpin dalam posisi struktural kekuasaan disamping ada seorang asisten residen dan controleur dalam Kesultanan Langkat tersebut. Kesultanan Langkat merupakan salah satu dari beberapa Kesultanan Melayu yang terdapat di wilayah pesisir bagian timur pulau

Sumatera. Secara geografis, Kesultanan tersebut, saat ini terletak, di Kabupaten

Langkat, Sumatera Utara pada masa Kesultanan Langkat, disebut sebagai bagian

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA wilayah keresidenan Sumatera Timur.23 Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena wilayah Langkat termasuk kedalam ketiga puluh lima landschap yang mempunyai pemerintahan sendiri dan tunduk kepada pemerintahan Gouvernement sesuai dengan kontrak yang ditandatangani oleh para sultan-sultan yang bersangkutan dengan pemerintah kolonial Belanda. Dalam catatan disebutkan bahwa luas Wilayah Langkat adalah sekitar 6.431 dari total luas keseluruhan wilayah Sumatera Timur yakni sekitar 94.583 24 Kesultanan Langkat juga termasuk salah satu Kesultanan terkaya di Sumatera Timur, selain Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di Kesultanan Langkat terdapat penemuan sumber pengeboran minyak yang merupakan aset tambang potensial.25

Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Langkat, golongan bangsawan memegang peranan penting. Mereka menduduki posisi tertentu dalam pemerintahan

Kesultanan seperti penasihat sultan, sekretaris, bendahara, serta jabatan-jabatan struktrural yang strategis lainnya. Untuk menguasai daerah vasal di Kesultanan

Langkat, sultan memberikan wewenang kepada kerabat dekat atau golongan bangsawan yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan sultan.26

23 Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Situs Sejarah Dunia Kilang Minyak Pangkalan Berandan, Medan: Balitbang Provinsi Sumatera Utara, 2011, hlm.41. 24 D.G. Stibbe (et.al), Encyclopaedie van Nederlansche Indie (Leiden N.V. V/H E.J. Brill s’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919) dan J. De Ridder, De Invloed van de Westersche cultuures op de autoctone bevolking ter Oostkust van Sumatra, (Wageningen H. Veeman & Zonen, 1935) hlm. 35- 36.

25Anthony, Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, Terj. Tom Anwar Jakarta: Komunitas Bambu, 2012, hlm. 64-65.

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Jejak Kesultanan Langkat tak bisa lepas dari perang antara kerajaan Aceh dan kerajaan Aru II sekira abad ke XVI. Kala itu Aceh dan beberapa kerajaan di pantai timur Sumatra saling bersaing untuk memperebutkan hegemoni politik dan ekonomi atas Selat Malaka, jalur perdagangan paling ramai. Lantaran kalah perang, orang- orang dari kerajaan Aru II melarikan diri ke Rentang Hamparan Perak (sekarang Deli

Serdang, Sumatra Utara). Selanjutnya dia pindah ke Guri atau disebut juga Buluh

Cina,dan pada sekitar tahun 1568 dia mendirikan Kesultanan Langkat. Inilah yang menjadi titik awal dari berdirinya Kesultanan Langkat. Di sana mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang kemudian dinamai Langkat yang kata kemudian kata Langkat itu diambil dari sebuah nama pohon Langkat yang banyak tumbuh di tepi Sungai Langkat dan hilir Sungai Batang Serangan yang manakemudian Dewa

Syahdan menjadi Sultan pertamanya.

Pada masa kepemimpinan Sultan yang ketiga yaitu Sultan Kahar bin Panglima

Dewa Sakti, kesultanan melakukan banyak perubahan. Selain memindahkan pusat kerajaan dari Rentang Hamparan Perak ke Kota Dalam Secanggang, dia memperbaiki manajemen pemerintahan. Oleh karena itu, sejumlah kalangan menetapkannya sebagai pendiri kerajaan Langkat pada 17 Januari 1750. Wilayah kerajaan meluas ketika Badiulzaman atau Sutan Bendahara, anak Raja Kahar, naik tahta. Perdagangan juga meningkat pesat, terutama dengan Penang dan Malaka. Ekspor utama adalah lada dan rotan; impornya adalah garam, opium, dan kapas.Namun kejayaan itu tak

26Putri Ayu, Distira, “Kehidupan Bangsawan Melayu Kesultanan Langkat Sebelum dan Sesudah Revolusi Sosial”, dalam Skripsi S1 belum diterbitkan mengutip dari (Ratna, “Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XII”, dalam TesisS2 belum diterbitkan, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM, 1990), hlm. 76-77.

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berlangsung lama. Semasa kepemimpinan anaknya, Tuah Hitam, Langkat diserang kerajaan Siak Sri Inderapura dan Belanda, dimana kemudian Siak berhasil menguasai wilayah ini. Beberapa dekade kemudian, Aceh kembali melakukan penyerangan,

Tuanku Ibrahim sebagai penguasa Aceh, ingin melemahkan semua pesaing Aceh, mengirim ekspedisi ke pesisir timur pada 1854 untuk memaksakan kekuasaannya di

Langkat, Deli, dan Serdang.27 Disaat yang sama, dalam rangka untuk melepaskan diri dari cengkeraman Aceh, Langkat bekerjasama dengan Belanda, yang berhasrat menaklukkan Aceh. Langkat mendapat jaminan keamanan, akses lebih luas dalam perdagangan, dan berbagai keuntungan lainnya. Dalam perkembangannya disebutkan bahwaLangkat turut pula meraup keuntungan dari pembukaan perusahaan perkebunan swasta Belanda di wilayahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, sampai awal abad XIX, Kesultanan Langkat berada di bawah taklukkan Kerajaan Aceh. Pada tahun 1850 Kerajaan Aceh ingin kembali menguasai Kesultanan Langkat dengan cara melakukan pendekatan kepada Sultan Langkat, namun justru pada 1865, Langkat melakukan dan menandatangani perjanjian dengan pemerintah kolonial Belanda.

Oleh sebab itu, berdasarkan perkembangannya, pada tahun 1877 pemerintah kolonial

Belanda mengakui Sultan Langkat sebagai penguasa Kesultanan Langkat.28 Bahkan dalam sebuah laporan disebutkan bahwa administrasi pemerintah Hindia Belanda, sejak tahun 1875 untuk daerah ini ditempatkan seorang asisten residen sampai dengan tahun 1907 Tamiang kemudian berada dalam wilayah kekuasaan gubernur Sumatera

Timur.

27 M.C, Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2010, hlm. 289. 28 Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014, hlm. 447.

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada kurun akhir abad XIX, Kesultanan Langkat sudah mulai berkembang yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Musa. Sistem pemerintahan Kesultanan

Langkat pada saat itu masih bersifat tradisional, yakni Sultan dan Datuk diakui secara sah sebagai kepala pemerintahan dan kepala adat.29 Pada tahun 1840, Kesultanan

Langkat sudah masih terbagi ke dalam 2 Luhak yakni : Luhak Langkat Hilir dan

Luhak Langkat Hulu. Selanjutnya karena kedudukan Pangkalan Berandan sebagai daerah minyak semakin penting, Sultan menetapkan satu bagian wilayah Luhak yaitu

Luhak Teluk Haru. Daerahnya diambil dari Luhak Langkat Hilir, meliputi Besitang,

Pulau Kampai, Pangkalan Berandan, serta Lepan.

29 Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejal Sejarah dan Peradaban, : Stabat Medio, 2013, hlm. 50-54.

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 2.1.1 Pembagian Wilayah Langkat

No. Luhak Daerah Kedudukan Distrik 1. Luhak Langkat Hilir Tanjung Pura Stabat

Soengai Bingai

Pantai cermin Inei Padang Toelang Tjempa Terusan Secanggang 2. Luhak Langkat Hulu Binjai Kebun Lada Selesai Bahorok

Sei Bingei

Kwala

Salapian 3. Luhak Langkat Teluk Pangkalan Brandan Pulau Kampai Haru Besitang

Lepan

Babalan

Salahadji

Pulau Sembilan Sumber :D.G. Stibbe (et.al), .G. Stibbe (et.al), Encyclopaedie van Nederlansche Indie,(Leiden N.V. V/H E.J. Brill s’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919) dan J. De Ridder, De Invloed van de Westersche cultuures op de autoctone bevolking ter Oostkust van Sumatra, (Wageningen H. Veeman & Zonen, 1935) hlm. 531-532.

Daerah Langkat dibagi atas 3 Luhak, yakni : Luhak Langkat Hilir, Luhak

Langkat Hulu, dan Luhak Teluk Haru. Masing-masing luhak terpecah atas beberapa distrik seperti misalnya :di Luhak Langkat Hilir terdapat 8 distrik dimana Tanjung

Pura sebagai daerah kedudukan yang dipimpin oleh Pangeran Tengku Ahmad dengan

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA distrik diantaranya yakni : Stabat, Soengai Bingai, Pantai cermin, Inei, Padang

Toelang, Tjempa, Terusan, dan Secanggang. Di Luhak Langkat Hulu hanya ada 5 distrik yang dimana Binjai Kebun Lada sebagai tempat kedudukan yang dipimpin oleh Tengku Pangeran Adil dengan distrik yaitu : distrik Selesai, Bahorok, Sei

Bingei, Kwala dan Salapian. Demikian juga halnya dengan Luhak Teluk Haru yang berkedudukan di daerah Pangkalan Brandan yang daerah ini dipimpin oleh Pangeran

Tengku Dja’far, hanya terdiri atas 6 distrik, yaitu Pulau Kampai, Besitang, Lepan,

Bababalan, Salahadji, dan Pulau Sembilan. Secara keseluruhan jumlah distrik yang berada di wilayah Langkat sampai tahun 1905 sebanyak 19 distrik.30 Selain daripada

Luhak, disitrik-distrik yang terdapat di tiga Luhak ini juga di pimpin oleh kepala distrik. Disebutkan bahwa hanya distrik tertentu saja yang memiliki kepala distrik diantaranya yakni : Distrik Stabat dipimpin oleh Tengku Mohammad Chadili, Distrik

Tjempa dipimpin oleh Datok Sebidji, Distrik Pantai Cermin dipimpin oleh OK.

Mohammad, Distrik Hinai dipimpin oleh OK. Rachman, Distrik Padang Toealang dipimpin oleh OK. Badreon, Distrik Babalan dipimpin oleh Tengku Zainal Abidin

Distrik Soengai Bingai dipimpin oleh Tengku Abdurrahim, Distrik Bahorok dipimpin oleh Tengku Bahagi, Distrik Selesai dipimpin oleh Tengku Sentol, Distrik Lepan dipimpin oleh OK. Debot Masjim, Distrik Pulau Kampai dipimpin oleh Sri Indra

Perkasa, Distrik Pulau Sembilan dipimpin oleh Panglima Sri Datuk Handalan dan

Distrik Besitang dipimpin oleh Datoe Sri Indra.

30 Usman, Pelly, dkk, Sejarah Pertumbuhan Pemerintahan Kesultanan Langkat, Deli, dan Serdang, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional , 1986, hlm. 2-3.

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Adapun batas-batas daerah Langkat yakni di sebelah utara wilayah Langkat berbatasan dengan Tamiang, di sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka, dan di sebelah barat berbatasan dengan Aceh Tengah serta Alas, serta di bagian selatan berbatas dengan Kesultanan Deli. Lanskap wilayahnya sebagian besar terdiri atas dataran rendah yang dipenuhi tanah jenis aluvial 50 hingga 60 Mdpl.31 Di sepanjang pantai dan sungai-sungai membentang sebagian besar rawa-rawa, yang ditumbuhi pohon nipah dan risoh oleh sungai-sungai yang mengalir di luar tepiannya. Di sudut bagian barat wilayah Langkat terdapat areal kawasan pegunungan Wilhelmina, yang membentuk batas dengan Tanah Alas, sedangkan di bagian utara, terdapat gunung

Bandahara dengan ketinggian 3060 Mdpl, selanjutnya disusul oleh gunung Sinaboeng di selatan dengan ketinggian 2412 Mdpl.32

Di wilayah ini sungai Wampu menjadi sungai yang paling penting, disamping terdapat sungai lainnya. Sumber mata air ini berasal dari Lau Biang di kaki gunung

Deleng Piso-Piso (Tandoek Benoea) dengan ketinggian 1950 Mdpl tinggi yang posisinya tidak jauh dari sebelah utara Toba. Terdapat aliran air yang mengalir ke ngarai melalui dataran tinggi Karo pertama di utara melalui bagian barat., kemudian dari gunung Sinabung melalui jalur barat. untuk membentuk dan membuat jalan air melalui tepi Pegunungan Van Heutsz dan membentuk air terjun di ketinggian

150Mdpl. Diperkirakan aliran air tersebut memasuki wilayah Langkat. Yang pertama dari sungai kemudian mengalir melalui daerah yang terkenal dengan

31 Meter dari permukaan laut 32 D.G. Stibbe (et.al), Encyclopaedie van Nederlansche Indie,Leiden N.V. V/H E.J. Brill s’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919, hlm. 531.

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA anginnya khas, yaitu angin Bohorok. Di wilayah ini juga terdapat sungai-sungai kecil yang cukup penting seperti : Lau Mentjirim, yang mempekerjakan air dari Lau Binjai dan Bekioen, adalah yang paling penting. Di Staabat, sebuah cabang sungai yang cuku besar bergerak ke arah timur, mengalir ke laut yang mana daerah aliran sungai

Wampoe kemudian bergabung dengan aliran sungai Batang Serangan dan sungai

Langkat dan berhilir ke Selat Malaka. Secara signifikan, dapat dikatakan bahwa sungai Wampu yang cukup besar juga mengaliri daerah aliran sungai di Tandjoeng

Poera, Lepan, Besitang, Aroebai dan Air Masin serta perbatasan sungai Aceh. Selain itu di daerah Langkat juga terdapat areal persawahan yang menjadi pertanian rakyat serta memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Sehingga selain sebagai kawasan areal pertanian rakyat juga diusahakan produk jenis kayu.

Letak geografis Kesultanan Langkat ini sangat menguntungkan bila dikaitkan dengan Selat Malaka di kawasan Semenanjung Malaya yang selama ini diakui sebagai jalur yang strategis bagi lalu lintas perdagangan internasional sehingga secara tidak langsung pertumbuhan pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan tingginya intensitas kebutuhan komoditi ekspor-impor di wilayah tersebut. Posisi yang sangat strategis ini juga jelas mempengaruhi kedudukan Kesultanan Langkat menjadi amat penting. Daerah-daerah pesisir pantai atau pelabuhan yang terdapat di Langkat di jadikan tumpuan kegiatan ekspor-impor barang-barang dagangan yang kemudian dilanjutkan ke luar wilayah Sumatera Timur, seperti Semenanjung Malaya, Penang, dan Malaka. Lancarnya kegiatan ini ditunjang juga oleh banyaknya sungai-sungai yang menjadi jalur pengangkutan hasil-hasil produksi pertanian rakyat. Sungai-sungai

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersebut diantaranya yaitu ; Sungai Wampu, Sungai Langkat, Sungai Ular, Sungai

Babalan, Sungai Besitang, Sungai Salahadji, Sungai Sesirah Besar, Sungai

Sekoendoer, Sungai Toengkam, Sungai djaja, dan Sungai Tanjung Kramat, Sungai

Batang Serangan. Sungai-sungai ini menjadi urat nadi yang sangat berguna sebagai alat transportasi untuk membawa barang dagangan dari daerah pedalaman ke pelabuhan-pelabuhan seperti : Pelabuhan Pangkalan Brandan, Pelabuhan Baboen, dan

Pelabuhan Tanjung pura, serta Pelabuhan Tanjung Beringin.

Menjelang abad XX, kesultanan Langkat mengalami perpecahan. Setelah menaklukkan Besitang, Sultan Musa menyunting Maslurah, putri kerajaan Besitang.

Maslurah mengajukan syarat: kelak anaknya dari perkwinan dengan Sultan Musa menjadi pewaris tahta dan kemudian Sultan Musa mengiyakan. Karena perjanjian inilah Sultan Musa menyerahkan tahta kepada Tengku Abdul Aziz, anak bungsu dari perkawinannya dengan Maslurah. Perkawinan politis itu sendiri menyulut kemarahan anak-anak Sultan Musa. Tengku Hamzah sempat melakukan kudeta namun gagal.

Dia lalu memisahkan diri dan membangun istana sendiri di Kota Pati, yang terletak di Tanjung (persimpangan). Lantaran di dekat istananya terdapat sebuah gerbang, kawasan itu lalu dinamakan Tanjung Pura.Tengku Hamzah mewariskan tahta kepada anaknya, Pangeran Adil. Sementara Sultan Abdul Aziz menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Mahmud Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah.

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 2.1.1 Bagan Struktur Penguasa Kesultanan Langkat dari masa ke

masa. Sumber : Tengku, Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera

Timur. Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun Terbit. Dewa Syahdan (Sibayak Si Pinter Ukum) 1500 Masehi

Puteri Hijau Dewa Sakti (Sultan Husin) (Meninggal pada penyerangan Aceh di Deli Tua)

Marhom Guri (Syahperi Mulapaya, atau Mungkin juga Merah Miru)

Dewi Tahrul Raja Kahar Sutan Husin (Kota Dalam(Langkat) (Ke Bahorok) tahun 1750)

Badiulzaman

(Marhom Kacapuri)

Kejeruan Tuan Hitam Raja Wan Jabar Syahdan Indera Bongsu (Jentera Malai) (Selesai) (Pungai) (Kota Dalam)

(Ditaklukkan Siak

1814, Wafat 1823.

Puteri Sri Nobatshah (Raja Badaruddin Wan Desan Wan Sopan Raja Ahmad Deli Bendahara (1823) (Bingai) (Stabat) (kawin Kejeruan

dengan Biladjentera Sutan Masekh T.Zainal Malai) dibantu Tengku (Stabat) Abidin oleh T. Zainal Musa Serdang) Abidin, Tengku

Syahdan, Sultan Abdul Aziz

Punggai dan Abdul Jalil

lain-lain Rahmadsyah (1893) berperang dengan raja

Ahmad Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah 34 (1927).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 2.1.2 Struktur Pemerintahan di wilayah Langkat

Asisten Residen Sultan

Kontroleur

Kepala Luhak

Kepala Distrik

Sumber : Staatsblad van Nederlansch Indie, Binnenlansdch Bestuur Civiele Gezaghebbers Vendukantoren Oostkust van Sumatra. Besluit van den Gouvernal-General van Nederlansch Indie van 31 Januari 1910, No. 21, hlm. 2. Dalam struktur kekuasaan di Wilayah Langkat pada kurun waktu awal abad

XIX merupakan wilayah kerajaan yang bersifat feodalistik tradisional yang disebut dengan Kesultanan Langkat dan juga bagian dari daerah swapraja (Zelfbestuurende-

Landschappen). Hal ini ditandai dengan adanya istilah sultan yang berkuasa sebagai pemimpin dalam posisi struktural kekuasaan disamping ada seorang asisten residen dan controleur dalam Kesultanan Langkat tersebut. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena wilayah Langkat termasuk kedalam ketiga puluh lima landschap yang mempunyai pemerintahan sendiri dan tunduk kepada pemerintahan Gouvernement sesuai dengan kontrak yang ditandatangani oleh para sultan-sultan yang bersangkutan dengan pemerintah kolonial Belanda. Dalam struktur diatas juga kita bisa melihat bahwa controleur bertanggung jawab kepada asisten-residen. Selain itu terdapat kepala luhak dan kepala distrik yang bertanggung jawab kepada Sultan dimana mereka masing-masing menjadi pejabat struktural yang membawahi wilayah luhak dan distrik.

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.2 Penduduk dan Mata Pencaharian

Untuk mengetahui kondisi penduduk dan mata pencaharian masyarakat di wilayah Langkat adalah sebuah hal yang amat penting ketika merujuk kepada catatan

John Anderson33 dalam sebuah kunjungan misi ekspedisi yang perintahkan oleh

Pemerintah Inggris di Penang ke wilayah Pesisir Timur Sumatera atau yang lazim disebut Sumatera Timur.34 Daerah Langkat sendiri termasuk kedalam kawasan wilayah Sumatera Timur. Dalam catatan John Anderson, dibagian hilir sungai pada umumnya dihuni oleh kelompok etnik Melayu yang beragama Islam. Dalam konteks wilayah Langkat, dalam laporan tersebut disebutkan penduduk yang mendiami wilayah Langkat terdiri atas bermacam-macam kelompok enik. Kelompok etnik tersebut diantaranya adalah Melayu35 yang menjadi mayoritas, Karo, Toba,

33 John Anderson adalah seorang pegawai di Pemerintahan Perwakilan Inggris di Penang yang di utus ke wilayah Sumatera Timur untuk melakukan serangkaian survei dan penelitian tentang navigasi dan intensitas perdagangan antara wilayah Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya pada awal tahun 1800, terutama ekspor-impor komoditi lada, serta kondisi sosial dan politik di wilayah itu. Pada tanggal 18 Januari 1823 John Anderson diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut dan pada 9 Januari 1823, Anderson meninggalkan Penang dan pada akhirnya kembali pada 9 April 1923 tepat 3 bulan setelah keberangkatannya. Sebenarnya ekspedisi ini merupakan tugas yang diserahkan pemerintah Inggris di Penang kepada Ibbetson yang seorang pegawai yang juga anggota staff pemerintahan juga, namun lantaran sakit tugas itu pun diserahkan kepada John Anderson. Serangkaian hasil penelitian tersebut kemudian dirangkai dalam sebuah laporan perjalanan yang berjudul Mission to the East Coast of Sumatra in 1823 yang diterbitkan oleh Oxford University. 34Sumatera Timur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah wilayah Residentie van Sumatera’s Oostkust, yang sekarang menjadi bagian dari provinsi Sumatera Utara. Sumatera Timur, terletak antara Selat Malaka dan Pantai Timur Danau Toba, terdiri dari tiga bagian: daratan rendah, pegunungan dan dataran-dataran tinggi Karo dan Simalungun. Sumatera Timur membentang mulai dari titik batas di puncak Baisa bukit (dulu disebut Wilhelmina Gebergte) dan barisan bukit Simanuk-manuk. Berangsur- angsur menurun dari Barisan Bukit Simanuk-manuk menyentuh pantai timur Danau Toba, terus ke dataran rendah dan rawa-rawa sepanjang pantai Selat Malaka. Luas Sumatera Timur 94.583 kilometer terletak di antara dua barisan bukit yang merupakan bagian dari sistem Bukit Barisan yang membentang dari Banda Aceh di utara sampai Tanjung Cina (Selat Sunda) di selatan dengan panjang 1.650 km. Untuk penjelasan tentang geografis dan topografis Sumatera Timur, (lihat Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria (Jakarta: Sinar Harapan, 1985) hlm. 31-50.

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Simalungun, Aceh, Tionghoa, dan Arab. Catatan John Anderson, memperkirakan penduduk Melayu Langkat saat itu berjumlah 7.000 jiwa yang bermukim di sekitar sungai Langkat. Disebutkan pula dalam laporan tersebut bahwa distrik Besitang merupakan wilayah dengan jumlah 100 jiwa penduduk yang bermukim disekitar

Sungai Besitang dan mengakui Sultan Langkat sebagai tuannya. Disamping itu juga beberapa distrik besar yang terletak hulu di sungai dihuni, seperti Stabat dengan sekitar 1.000 jiwa, Selesei 1.400 jiwa dan Bahorok dengan 700 jiwa.36 Masyarakat

Melayu biasanya tinggal di rumah-rumah panggung yang terbuat dari papan, bambu, nibung, dan bahan-bahan sejenis yang cukup ringan. Atapnya terbuat dari daun nipah dan biasanya dibuat sebuah lobang agar asap dapat keluar serta cahaya dan udaranya dapat masuk kedalam rumah. Sebenarnya terlihat seperti hampir semua rumah akan dapat terlihat dari luar serta cahaya dan udaranya dapat masuk kedalam rumah. Selain itu terlihat juga hampir semua rumah akan rubuh kecuali rumah Sultan yang letaknya di ujung kampung yang tampak sangat bagus dan persis berada disampingnya bangunan masjid yang kokoh. Secara fisik orang-orang Melayu ini pada umumnya berkulit sawo matang dan memiliki ukuran fisik berbadan tinggi dan sedang. Pakaian masyarakat Melayu terdiri atas celana pendek yang lebar, dan baju-baju lebar dengan tidak lupa tampilan selendang melekat juga sebuah sarung. Biasanya celana dan baju

35 Sebenarnya yang dimaksud Masyarakat Melayu disini adalah kelompok etnik yang terbentuk dari berbagai kelompok suku bangsa, seperti Johor, Aceh, Minangkabau, Batak dan India. Disebutkan bahwa kelompok ini kemudian membentuk suatu budaya sendiri. Adapun ciri yang tampak sekali dala kelompok masyarakat ini adalah umumnya secara keseluruhan menganut agama Islam dan menggunakan adat Melayu. (Lihat : T.L. Husny, dalam Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur 1612-1950, Medan: B. P. Husny, 1975), hlm. 7. 36 William. H. M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust , Amsterdam: Oostksut van Sumatra-Instituutt, 1918, hlm. 34.

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ini berwarna putih dan biru yang terbuat dari katun dan sutra. Bagi kaum perempuan juga biasanya memakai sarung sampai ke dada dan tidak lupa juga kain selendang yang tetap melekat padanya. Selain daripada itu, umumnya mereka menetap di daerah-daerah pesisir pantai, di pusat kesultanan Langkat, serta daerah pedalaman.37

Secara umum masyarakat terbagi atas dua golongan yaitu golongan elite dan non elite. Golongan elite merupakan suatu kelompok minoritas yang biasanya memiliki kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan.38 Dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka golongan elite yang dimaksud adalah bangsawan Melayu Langkat, baik bangsawan penguasa atau Sultan maupun bukan penguasa atau Sultan. Status seseorang yang termasuk dalam golongan bangsawan Melayu dapat dikenali dari gelar bangsawan yang dipergunakan, antara lain tengku, raja, datuk, orangkaya (oka), dan wan. Komposisi penduduk masyarakat yang berada di wilayah Kesultanan

Langkat umumnya didominasi oleh Kelompok Etnik Melayu. Juga terdapat pula sebagian kecil kelompok Etnik Karo, dan Aceh yang disebabkan karena adanya perkawinan campuran antar kelompok etnik tersebut. Di wilayah Langkat utara bagian pedalaman juga ditemukan pemukiman masyarakat Batak.39 Uniknya, pengaruh masyarakat Melayu yang kuat di wilayah pemukiman Batak, seperti sub etnik Batak Karo juga turut mempengaruhi sebagian aspek budaya seperti : seni, tari, musik dan agama. Banyak orang-orang Karo kemudian mengidentifikasikan dirinya

37 John, Anderson, op. cit., hlm. 264-303. 38 T.B. Bottomore, Elite dan Masyarakat, Jakarta: Institut Akbar Tanjung, 2006, hlm. 1-2. 39 Dalam catatan Anderson bahwa yang dimaksud Kelompok etnik Batak disini adalah kelompok yang terdiri dari tiga sub etnik bangsa yakni : suku bangsa Batak-Karo, Batak Simalungun, dan Batak-Mandailing. Sub suku bangsa Batak-Karo dan Batak-Simalungun pada umumnya masih menganut paham animisme, sedangkan sub suku bangsa Batak Mandailing umumnya sudah beragama islam.

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sebagai orang Melayu setelah misalnya melakukan perkawinan campur dengan masyarakat Melayu. Secara tidak langsung orang-orang Batak yang kemudian beralih menganut agama Islam, lalu kemudian mengikuti adat dan kebiasaan masyarakat

Melayu. Selain itu mereka juga mengambil nama-nama Islam dan menganggap dirinya sebagai orang-orang Melayu. Namun, disamping itu masyarakat Batak ini pada akhirnya juga tidak pernah melupakan nama dan marga Bataknya.40 Meskipun masyarakat Batak sangat mendominasi wilayah pemukiman pedalaman, akan tetapi terdapat juga sebagian kecil orang-orang Aceh, Minangkabau, Jawa dan Tionghoa.

Khusus orang-orang Tionghoa dan Minangkabau umumnya mereka bermukim di pusat-pusat perdagangan, biasanya mereka bekerja sebagai pedagang, sedangkan orang-orang Aceh bermukim bersama dengan orang-orang Melayu dan sangat fokus terhadap lahan pertanian lada. Hal tersebut semakin menguatkan fakta atas eksistensi keberadaan adanya tanaman lada di wilayah Kesultanan Langkat juga tidak terlepas dari peran orang-orang Aceh yang memperkenalkan jenis tanaman ini kepada orang- orang Melayu Langkat sehingga mereka ikut menanam tanaman lada tersebut.

Langkat juga melakukan kegiatan ekspor komoditi yang didominasi antara lain: rotan, lilin, kacang-kacangan, gambir, emas (dari Bohorok), gading, tembakau dan beras.Garam, opium, liners (Eropa dan India), besi dan baja yangmerupakan peralatan komoditi impor yang digunakan untuk membuat alat-alat pertanian dalam rangka untuk mempermudah pembukaan lahan.

Laju perkembangan ekspansi pertanian onderneming yang begitu cepat di

Sumatera Timur dapat dikatakan sangat unik. Unik yang dimaksud disini adalah

40Karl. J. Pelzer, op, cit., hlm. 20.

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA karena mempunyai pengaruh mencolok terhadap pertumbuhan, penyebaran dan komposisi penduduk. Diperkirakan bahwa sebelum masuknya industri perkebunan jumlah penduduk Sumatera Timur hanya berjumlah kira-kira 150.000 orang.Dalam tahun 1890, sesudah masuknya buruh imigran terutama dari Tionghoa, jumlah penduduk meningkat menjadi kira-kira 285.000 orang. Tahun 1905, total jumlah penduduk 568.417 orang dan tahun 1913 berjumlah 773.106 orang. Berdasarkan data sensus tahun1920 (dengan catatan bahwa walaupun angka-angkanya tidak lengkap) jumlah penduduk diperkirakan sebesar 1.197.554 orang. Ketika pemerintah melakukan sensus pada tahun 1930, jumlah penduduk semakin meningkat yaitu menjadi 1.673.623 jiwa. Dari data sensus penduduk tahun 1930 juga terlihat komposisi etnik penduduk Sumatera Timur yang semakin beragam41, hal tersebut bisa kita lihat dari tabel dibawah ini.

41 D.G. Stibbe, et. al.,Encyclopaedie van Nederlansch-Indie, Leiden: N.V.H/EJ. Brills Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919, hlm. 290-291.

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 2.2.1 Komposisi Etnik di Sumatera Timur di Tahun 1930

No. Etnik Jiwa % Jumlah % 1. Melayu 334.870 19,9 2. Karo 145.429 8,6 3. Simalungun 95.144 5,6 4. Lain-lain 5.436 0,3 Sub Total Pribumi 580.879 35,5

5. Jawa 589.836 35,0 6. Batak Toba 74.224 4,4 7. Mandailing 59.638 3,5 Angkola 8. Minangkabau 50,677 3,0 9. Sunda 44.107 2,6 10. Banjar 31.266 1,9 11. Aceh 7.795 0,5 12. Lain-lain 24.646 1,5 Sub Total Kaum 882.189 52,3 Pendatang 13. Eropa 11.079 0,7 14. Tionghoa 192.079 11,4 15. India Lainnya 18.904 1,1 Sub Total Non 222.805 13,2 Indonesia Jumlah Total 1.685.873 100 Sumber : Anthony Reid, op.cit., hlm. 85.

Sementara itu kepadatan penduduk per kilometer persegi rata-rata 17,9 per kilometer. Akan tetapi di daerah pusat perkebunan seperti Deli Serdang, Langkat.

Simalungun dan Tanah Karo, tingkat kepadatan penduduk sangat tinggi.

Heterogenitas etnik ini menimbulkan persolan sosial dan hukum, yang menyangkut penguasaan atas tanah, yang secara tradisional telah dikuasai oleh etnik tertentu atau kelas sosial tertentu. Selain daripada itu juga pertambahan jumlah penduduk yang

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tergantung pada tersedianya bahan pangan dipasaran, semakin memperbesar jumlah kebutuhan pangan yang harus disediakan, hal tersebut bisa di lihat pada tabel 2.2.2

Tabel 2.2.2 Tingkat Kepadatan Penduduk Sumatera Timur Pada Tahun 1930

No. Afdeeling Jumlah Luas Wilayah Jumlah Penduduk Km2 Penduduk per Km2 1. Deli Serdang 518.632 4.840 107,2 2. Langkat 225.484 6.336,29 40,3 3. Simalungun en 372.013 1.500 57,4 Karolanden 4. Asahan 333.763 13.330 25 5. Bengkalis 192.927 64.493,95 3,1 Total 1.673.623 95.500,24 17,9 Sumber : D.G. Stibbe (et.al), Encyclopaedie van Nederlansche Indie (Leiden N.V. V/H E.J. Brill s’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919) dan J. De Ridder, De Invloed van de Westersche cultuures op de autoctone bevolking ter Oostkust van Sumatra, (Wageningen H. Veeman & Zonen, 1935) hlm. 37- 38.

Masuknya ekspansi onderneming perkebunan di Sumatera Timur juga berdampak pula pada peningkatan sekaligus perubahan jumlah komposisi penduduk

Sumatera Timur termasuk daerah Langkat. Dari tabel diatas bisa kita lihat, tingkat kepadatan penduduk pada tahun 1930 di Sumatera Timur dengan total 1.673.623 jiwa dengan total luas wilayah 95.500,24 dan total jumlah penduduk per km2 adalah 17,9.

Wilayah afdeeling Deli en Serdang dengan jumlah penduduk sebanyak 518.632 jiwa dengan luas lahan 4.840 km2 dengan jumlah penduduk per km2 adalah 107,2.Wilayah afdeeling Langkat dengan jumlah penduduk sebanyak 225.484 jiwa dengan luas lahan 6.336,29 km2 dengan jumlah penduduk per km2 adalah 40,3. Wilayah afdeeling

Simalungun en Karolanden dengan jumlah penduduk sebanyak 372.013 orang dengan luas lahan 1.500 km2 dengan jumlah penduduk per km2 adalah 57,4. Wilayah

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA afdeeling Asahan dengan jumlah penduduk sebanyak 333.763 jiwa dengan luas lahan

13.330 km2 dengan jumlah penduduk per km2 adalah 25. Wilayah afdeeling Bengkalis dengan jumlah penduduk sebanyak 192.927 jiwa dengan luas lahan 64.493,95 km2 dengan jumlah penduduk per km2 adalah 17,9.

Dalam konteks penduduk wilayah Langkat, bisa merujuk dari beberapa laporan perjalanan pejabat pemerintah Belanda di akhir abad ke XIX yang memuat berbagai informasi tentang komposisi dan jumlah penduduk Langkat secara umum.

Dalam sebuah laporan menunjukkan bahwa pada tahun 1915 komposisi penduduk

Langkat terdiri dari : 110.000 jiwa penduduk asli, selain itu terdapat 24.000 orang

Tionghoa, dan lebih dari 3.000 jiwa orang Timur asing, serta 870 jiwa orang Eropa, hal tersebut bisa kita lihat pada tabel 2.2.3

Tabel 2.2.3 Data statistik populasi penduduk di seluruh wilayah Afdeeling Langkat pada tahun 1915

A.V.O Eropa Pribumi Tionghoa (Timur Total Asing) 870 110.000 24.000 3.000 134.870 Sumber : D.G. Stibbe (et.al), Encyclopaedie van Nederlansch-Indie(Leiden N.V. V/H E.J. Brill s’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919). hlm 532.

Sensus Penduduk tahun 1920 melaporkan bahwa, tercatat di wilayah onderafdeeling Pangkalan Brandan dan Pangkalan Soesoe terdapat perkembangan pertumbuhan penduduk. Di wilayah onderafdeeling Pangkalan Brandan jumlah penduduk berkisar 5.616 jiwa, dengan rincian penduduk pribumi sekitar 3.206 jiwa, orang Tionghoa sekitar 2.453 jiwa, orang Eropa sebanyak 261 jiwa, orang-orang dari

Timur Asing sebanyak 138 jiwa dan terdapat juga orang-orang Jepang sebanyak 20

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA orang. Sedangkan di wilayah onderafdeeling Pangkalan Soesoe tercatat jumlah penduduk sebanyak 2.181 orang jiwa, dengan rincian penduduk pribumi 1.625 orang, orang Eropa sebanyak 53 jiwa, orang Tionghoa sebanyak 499 jiwa, orang Timur

Asing sebanyak 4 orang, dan tidak terdapat orang Jepang di wilayah tersebut.

Tabel 2.2.4 Data statistik populasi penduduk untuk wilayah onder-afdeeling Pangkalan Brandan dan Pangkalan Soesoe pada tahun 1920

A.V.O Wilayah Eropa Pribumi Tionghoa (Timur Jepang Total Asing) Pangkalan 261 3.206 2.453 138 20 5.616 Brandan Pangkalan 53 1.625 499 4 - 2.181 Soesoe Sumber: MvO (Memorie van Overgave)de onderafdeeling Pangkalan Brandan, controleur J. J. Mendelaar van 1925-1927. Dalam kurun waktu kurang dari 11 tahun tepatnya dari tahun 1915 sampai dengan tahun 1926 terjadi pertumbuhan penduduk yang lebih signifikan dan cenderung dinamis. Hal tersebut terlihat dalam laporan sensus penduduk dari tahun

1920 hingga tahun 1926 tercatat jumlah penduduk wilayah Afdeeling Langkat mengalami perubahan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 1920, tercatat jumlah penduduk afdeeling Langkat sebanyak 31.743 jiwa dengan rincian yakni, sebanyak

25.556 orang penduduk pribumi, orang Eropa sebanyak 405 jiwa, orang Tionghoa sebanyak 5.563 jiwa, orang timur Asing sebanyak 218 jiwa.Sedangkan di tahun 1924, terjadi penurunan pertumbuhan penduduk, tercatat jumlah penduduk afdeeling

Langkat sebanyak 20.453 jiwa dengan rincian yakni, sebanyak 16.206 orang penduduk pribumi, orang Eropa sebanyak 327 jiwa, orang Tionghoa sebanyak 3.771

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA jiwa, orang timur Asing sebanyak 150 jiwa. Kemudian di tahun 1926, terjadi peningkatan agak sedikit pertumbuhan penduduk, tercatat jumlah penduduk afdeeling

Langkat sebanyak 26.830 jiwa dengan rincian yakni, sebanyak 21.953 orang penduduk pribumi, orang Eropa sebanyak 383 jiwa, orang Tionghoa sebanyak 4.271 jiwa, orang timur Asing sebanyak 223 jiwa.

Tabel 2.2.5 Data statistik populasi penduduk di seluruh wilayah Afdeeling Langkat dari tahun 1920 - 1926

A.V.O. Tahun Eropa Pribumi Tionghoa (Timur Total Asing) 1920 405 25.556 5.563 218 31.743 1924 327 16.206 3.771 150 20.453 1926 383 21.953 4.271 223 26.830 Sumber: Sumber: MvO (Memorie van Overgave)de onderafdeeling Pangkalan Brandan, controleur J. J. Mendelaar van 1925-1927. Sebelum masa prakolonial, bahwa kondisi perekonomian Langkat biasa-biasa saja. Kondisi tanah dan iklim daerahnya yang cukup baik dan subur menjadikan penduduk daerah Langkat sebagian besar mengendalikan bidang pertanian sebagai mata pencaharian pokok. Mata pencaharian penduduk ini didominasi dari sektor pertanian dan perdagangan. Terdapat pula sebagian kecil penduduk mengandalkan mata pencaharian pokoknya sebagai nelayan. Bidang pertanian turut pula memegang peranan penting didalam kehidupan baik sebelum maupun sesudah kedatangan orang- orang asing ke wilayah Langkat.

Daerah Langkat yang secara umum memiliki kondisi lahan dan tanah yang subur sehingga sangat cocok untuk menjadi kawasan penanaman komoditi tanaman ekspor seperti lada, tembakau, karet, sawit dan lain sebagianya. Tanaman ekspor ini

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sebagian besar dikelolal oleh perkebunan besar milik asing, baik pengusaha pemerintah kolonial Belanda maupun pengusaha-pengusaha asing lainnya. Faktanya juga bahwa sebelum ekspansi pemerintah kolonial Belanda dan tumbuhnya perkebunan-perkebunan besar ternyata wilayah Sumatera Timur, termasuk sebagian wilayah Langkat merupakan hutan belantara yang memiliki keuntungan ekonomis yang kecil.42 Pada akhirnya dalam beberapa dekade kemudian terbukti bahwa wilayah tersebut berubah menjadi salah satu daerah penghasil ekspor perkebunan terpenting di

Hindia Belanda. Hal tersebut kemudian memberikan pengaruh yang cukup kuat dan erat dengan adanya eksistensi kekuasaan pemerintah kolonial atas pola masyarakat tradisional dalam pertumbuhan ekonomi pada saat itu.

Sebelum kedatangan pengusaha swasta perkebunan, masyarakat Melayu di

Langkat bergantung hidup dari hasil pertanian dan nelayan. Hasil produksi yang dihasilkan penduduk dijual langsung kepada pedagang melalui sungai-sungai kecil maupun besar, ada pula yang diangkut dengan hewan ternak, gerobak, dan sebagainya. Pengangkutan barang hasil produksi pertanian dilakukan secara tradisonal karena memang penggunaan alat transportasi yang memerlukan anggutan yang besar masih minim dilakukan.Selain itu, kehidupan kelompok bangsawan tidak terlalu mewah apalagi glamor. Kesultanan hanya mengandalkan penarikan pajak dan upeti. Selain itu mereka juga mengandalkan pendapatan dari sektor pengelolaan ekspor komoditi pertanian setempat serta kewenangan hak atas sewa lahan. Dalam konteks pajak misalnya, pihak kesultanan Langkat tersebut memiliki hak istimewa

42 Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth : An Economic History of East Sumatera, 1863-1942. Jakarta: LP3ES, 1977. hlm.1-2

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menyangkut upeti atau pengutipan pajak-pajak tertentu, misalnya pajak tapak lawang.

Pajak tapak lawang adalah pajak yang dikenakan pada seseorang yang membuka ladang. Setelah memperoleh hasil, maka ia wajib membayar pajak tapak lawang kepada sultan sebanyak 10 gantang.43 Dalam perkembangannya juga transisi dari pertanian rakyat ke ekonomi perkebunan nantinya juga akan mempengaruhi perubahan besar dalam proses pertumbuhan dan penyebaran komposisi penduduk.

Sistem ekonomi penduduk Melayu yang hanya bergantung pada hasil pertanian dan hasil laut agaknya cukup stagnan dalam beberapa dekade sampai dengan diperkenalkannya ekonomi perkebunan.Pengaruh yang dimaksud ini adalah ketika masuknya investasi asing ke wilayah Langkat yang memerlukan tenaga kerja dalam skala yang cukup besar.Investasi yang ditanamkan oleh pihak onderneming pada perkebunan-perkebunan besar sangat memerlukan jumlah buruh perkebunan.

Perkenalan bangsawan Melayu pada industri perkebunan yang dipelopori oleh

Nienhuys ikut membawa perubahan dalam kehidupan bangsawan. Kepentingan akan lahan yang dianggap sebagai milik bangsawan telah menyebabkan terjalinnya hubungan kerja sama yang saling menguntungkan antara para pengusaha perkebunan dengan Sultan Langkat. Atas konsesi tanah perkebunan tersebut, Sultan Langkat mendapat ganti rugi berupa honorarium yang menjadi pendapatan pribadi sultan.44

Ketika Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan hegemoninya terhadap wilayah

Sumatera Timur, perekonomian Langkat berkembang cukup pesat. Kekayaan

43 1 gantang = 4,549 liter. 44 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 88.

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Langkat bertambah dengan ditemukannya sumber minyak di Pangkalan Brandan, yang kemudian dieksplorasi perusahaan Belanda yaitu Bataafsche Petroleum-

Maatschappij. Penemuan dan eksploitasi stok minyak bumi tersebut sangat penting hal tersebut terjadi pada sekitar tahun 1880 dan secara kebetulan, Mr. Aelko Jans.

Zijlker, seorang administratur perusahaan tembakau, menemukan minyak bumi untuk pertama kalinya.45 Selanjutnya penelitian dan eksplorasi potensi minyak bumi ini dilanjutkan 10 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1890 oleh seorang insinyur tambang Belanda yang bernama R. Fennema atas perintah Pemerintah kolonial

Belanda. Tepatnya pada 1 Maret 1892 produksi minyak bumi sukses dilakukan.

Kemudian perusahaan tambang yakni Bataafsche Petroleum-Maatschappij, yang memiliki sekitar 131.300 konstruksi tambang, sementara dua perusahaan lainnya telah mengalokasikan sekitar 7.600 dan 32.500 konstruksi untuk dieksplorasi.Dalam beberapa tahun kemudian aktivitas eksplorasi minyak oleh Bataafsche Petroleum-

Maatschappij di Telaga Said pertengahan tahun 1917 menghasilkan ± 37 ton minyak mentah per hari, area perusahaan pertambangan. Pada tahun 1912 eksplorasi menghasilkan 165.000 ton minyak mentah, dan setahun kemudian tepatnya ditahun

45 Pada akhir Abad XIX,seorang pengusaha tembakau dari Groningen yang bernama Aelko Jans Zilker, berteduh di sebuah gudang di daerah Langkat. Saat itu ia ditemani oleh seorang mandor lokal yang membawa obor yang menyala terang. Zilker mengira api yang menyala terang itu berasal dari jenis kayu tertentu. Namun ternyata kayu itu dilumuri minyak yang diambil dari sebuah kolam air yang berada di daerah itu. Didorong rasa penasarannya, Zilker meneliti minyak itu, yang ternyata mengandung minyak bumi yang sedang banyak dicari di seluruh dunia.Ia kemudian berhasil mendapat konsesi tanah di Telaga Said, yang kemudian membuat Langkat menjadi daerah eksplorasi minyak besar pertama di Indonesia. Pangkalan Brandan menjadi pabrik pengolahan minyak pertama kali dengan pelabuhan Pangkalan Soesoe di pesisir Selat Arubai. Setelah itu sumber minyak lainnya juga ditemukan di wilayah lain -seperti di Aceh, Riau, Jambi, Palembang, dan Kalimantan Timur (lihat : Encyclopedia van nederland indie, Gabriels H& K. Jongman, Koninklijke Olie: De Eerste Honderd Jaar 1890-1990. Den haag: Shell Internateonale Petroleum Maatschappij, 1990).

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1913 eksplorasi hanya menunjukkan angka 112.000 ton minyak mentah. Minyak mentah tersebut dihasilkan dari kilang minyak yang berlokasi di daerah Pangkalan

Brandan dan Pangkalan Soesoe.Kesultanan Langkat mendapatkan keuntungan dari konsesi yang dikeluarkan pada 1883, yang membuatnya menjadi kesultanan terkaya di Sumatra timur. Dalam catatan disebutkan bahwa honorarium Sultan Langkat sebesar 472,094 gulden pada tahun 1931.46

Dari honorarium yang diperoleh, sultan mampu membangun tiga istana megah47 yang berada di Tanjung Pura dan Binjai. Selain itu, Sultan Langkat dan kerabat bangsawan Melayu lainnya mampu membeli barang-barang mewah dan berpesiar. Akan tetapi dari kekayaan tersebut, sultan juga berusaha untuk memakmurkan rakyatnya. Dari catatan sejarah, dengan uang pribadinya Sultan

Langkat membangun sarana umum seperti mesjid, makhtab atau sekolah rakyat, dan membagi-bagikan 1 kaleng minyak untuk kebutuhan sehari-hari.48 Ketika harga barang naik, sultan mengumumkan bahwa bagi siapa saja yang tidak mampu membeli beras, sultan akan memberikannya secara cuma-cuma kepada rakyat dengan syarat dipersilahkan untuk mengaji Al-Qur’an, membaca surat Al-Ikhlas atau membaca shalawat di Masjid Azizi Tanjung Pura.49

46 Ibid., hlm. 89. 47 Ketiga istana yang dimaksud adalah Istana Darul Aman dan Istana Darussalam di Tanjung Pura dan sau istana lagi di Binjai. 48 Tengku Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun Terbit, hlm. 244. 49 Datuk Oka Abdul Hamid A, Sejarah Langkat Mendai Tuah Berseri, Medan: Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara, 2011. hlm. 107.

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB III

AWAL POLA BUDIDAYA TANAMAN LADA DI LANGKAT

Bab ini akan mengambarkan tentang bagaimana awal penanaman lada rakyat di wilayah Langkat yang sebenarnya juga tidak terlepas dari kondisi perkembangan ekonomi pertanian rakyat Sumatera Timur pada awal abad XIX hingga awal abad

XX. Dalam pembahasan ini akan menceritakan seputar latar belakang kondisi ketersediaan lahan dan tenaga kerja, serta pasar dan perdagangan seputar komoditi pertanian rakyat Sumatera Timur termasuk lada rakyat di wilayah Langkat.

3.1 Ketersediaan Lahan dan Tenaga Kerja

Dalam setiap aktifitas pertanian, lahan menjadi modal yang paling utama yang diperlukan untuk menjalankan aktifitas tersebut. Lahan berfungsi sebagai wadah untuk menanam segala jenis tanaman, apapun itu tetapi harus dilihat juga struktur tanah tersebut agar dapat diketahui jenis tanaman apa yang cocok ditanami di tanah tersebut. Tingkat kesuburan tanah pada setiap daerah tentu berbeda dan berhubungan erat dengan proses pembentukan kulit bumi yang berlangsung dalam waktu yang panjang dan dalam kurun waktu pada masa-masa sebelumnya. Daerah lembah Bukit

Barisan sampai dengan garis pantai di Tepi Selat Malaka memang cukup luas dibandingkan dengan tanah serupa di pantai barat. Tanah yang luas tersedia belum berarti dengan sendirinya untuk dapat ditanam beberapa jenis tanaman yang menguntungkan dalam perdagangan internasional. Tanaman tertentu untuk dapat tumbuh dan memberikan hasil yang baik menuntut syarat tertentu pula dari mulai

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ketersediaan tanah, cuaca, dan iklim. Oleh karena itu, faktor tersebut juga amat mempengaruhi bagi pengembangan pertanian.50

Terdapat hubungan yang erat antara keadaan tanah di daerah pegunungan dengan pembentukan lapisan tanah di dataran rendah. Keadaan ini menjadi lebih jelas apabila dilihat kepada pembentukan lapisan tanah di dataran rendah berupa endapan yang berasal dari dataran tinggi. Berdasarkan hubungan ini maka tingkat kesuburan tanah di suatu daerah juga dipengaruhi oleh gunung berapi yang ada di sekitarnya.

Letusan gunung berapi yang memuntahkan lahar yang berasal dari dalam perut bumi ke daerah lereng gunung yang dimana curah hujan dan aliran sungai yang kemudian mengangkut hasil letusan gunung berapi itu ke dataran rendah sekitarnya.

Tanah yang dilapisi oleh bahan-bahan yang berasal dari gunung berapi yang menyebabkan lapisan tanah menjadi subur.51 Dilihat dari pengaruh gunung berapi terhadap kesuburan tanah, terdapat perbedaan yang sangat menyolok antara tanah di kawasan Sumatera Timur misalnya dengan tanah di Sumatera selatan, Aceh, bahkan pulau Jawa. Pada daerah tersebut terdapat cukup banyak gunung berapi yang menyuburkan tanah.52 Meskipun di daerah Langkat sama sekali tidak memiliki gunung berapi, namun pengaruh gunung berapi juga sampai ke daerah ini.53

50 E.C. Jul Mohr, De Natuurlijke, Grondslagen voor de Ontwjkkeling van Sumatra, Amsterdam: H.J. de Bussy, 1921, hlm. 4. 51 E.C. Juhl Mohr, op.cit., hlm. 8. 52 G. J. Missen, Viewpoint on Indonesia: A Geographical Study, Melbourne: Thomas Nelson, 1972, hlm. 27.

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kesuburan tanah juga dipengaruhi oleh iklim, karena proses pembentukan tanah juga dipengaruhi oleh iklim. Suhu dan temperatur tinggi turut mengakibatkan proses penghancuran batu-batuan menjadi lebih cepat, sementara daerah yang banyak memperoleh curah hujan menyebabkan lapisan tanah terus menerus mengalami proses pencucian dan menyebabkan tanah mengalami pengasaman. Dalam konidisi seperti itu tentu kesuburan tanah menjadi berkurang.54 Jenis-jenis tanah di kawasan

Sumatera Timur terbentuk dari proses aktivitas vulkanik gunung berapi yang bersamaan dengan proses terbawanya arus material vulkanis yang menyatu dengan aliran sungai sehingga membawa material tersebut ke daerah hilir. Aktivitas ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan dan pengaruh letusan gunung Toba, letusan gunung

Sinabung, dan gunung Sibayak. Aktivitas gunung-gunung tersebutlah yang kemudian menyebabkan terbentuknya tanah gembur dasitik, liparitik, dan andestik ataupun kombinasi gabungan antar jenis tanah tersebut sehingga menghasilkan jenis tanah yang memiliki tingkat kesuburuan yang tinggi, termasuk pada daerah-daerah yang terletak di kawasan sungai Wampu dan sekitarnya di Langkat.

53 Di seluruh wilayah Langkat sama sekali tidak memiliki gunung berapi, hanya saja Langkat yang terletak di kawasan wilayah Sumatera Timur juga mendapat pengaruh langsung dari letusan purba gunung Toba yang ada di Tapanuli. Selain itu daerah ini (Langkat) juga mendapat pengaruh langsung dari letusan berapi Sinabung dan Sibayak yang juga terdapat di kawasan dataran tinggi Karo, walaupun pengaruhnya tidak terlalu signifikan. 54 Karl J. Pelzer, Physical and Human Resources Pattern, dalam: Ruth Mc. Vey (ed), Indonesia. New Heaven: Yale University Press, 1963, hlm. 5.

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 3.1.1 Jenis Tanah di Sumatera Timur pada tahun 1893-1930

No. Jenis Tanah Lapisan Tanah 1. Tanah-tanah lama Debu dan tanah gembur liparitik Tanah gembur dasitik Liparitik-dasitik Liparitik-dasitik-andisetik Lahar dasitik 2. Tanah Baru Liparitik Dasitik-andesitik Sumber : Rein W. Van Bemmelen, The Geology of Indonesia (De Hague: Van Hove, 1949), hlm 691.

Wilayah Langkat merupakan daerah yang termasuk ke dalam iklim tropis tetapi yang paling penting bahwa curah hujan di daerah ini berkisar 2.000 mm sampai dengan 3.000 mm pertahun, termasuk kedalam wilayah dataran rendah dan di wilayah ini disebut juga dengan kategori iklim tropik, sehingga dalam konteks kualitas tanah, lapisan humus tanahnya tetap dapat dipertahankan.

Sejak awal abad XIX, ketika wilayah Langkat dibuka untuk kawasan penanaman lada, tanaman itu ditanam pada tanah dataran rendah yang dekat dengan sungai di daerah Langkat bagian Utara. Seperti disebutkan sebelumnya jelas bahwa tanaman itu ditanam pada tanah yang kandungan humus. Pada tanah yang kurang subur itu, tanaman lada masih berhasil dikembangkan dengan baik. Keadaan ini terjadi karena tanaman lada untuk dapat tumbuh memang tidak membutuhkan tanah yang terlalu subur. Pada tanah liat yang berpasir, tanaman ini dapat tumbuh dengan baik karena akar tumbuhan ini masih dengan mudah menembus tanah.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Faktor kurang suburnya tanah dapat diatasi dengan jalan pemeliharaan tanaman secara lebih intensif termasuk pemberian pupuk. Keberhasilan ini dapat ditunjukkan pada penanaman lada seperti yang tanahnya jauh lebih kurang subur dibandingkan yang di Langkat bahkan Aceh bagian Timur sebagai daerah penghasil lada pada saat itu. Sebagai perbandingan orang-orang Tionghoa yang menanam lada di pulau Bangka, mengurus tanaman itu dengan sangat intensif dan berhasil dalam penanaman lada di wilayah tersebut sekitar abad XX.55

Sebelum pengusaha-pengusaha Barat datang untuk membuka lahan perkebunan, lahan vulkanik yang subur telah dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah sekitarnya, yakni Etnik Karo dan Melayu untuk menanam padi, cabai, dan tembakau secara berselang-seling.56 Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani yang dilakukan secara berhuma, yaitu becocok tanam dengan cara berladang di hutan-hutan.

Dalam konteks pembukaan lahan untuk tanaman lada, petani-petani lada di

Sumatera Timur termasuk Langkat, telah melakukan pembukaan dan membakar hutan-hutan lama atau belukar-belukar baru selama musim kering untuk dijadikan perladangan padi selama musim hujan berikutnya. Kemudian ladang-ladang ini pada tahun kedua dan seterusnya digunakan untuk menanam umbi-umbian, sayur-sayuran, tebu dan pisang, sementara ladang baru selalu dibuka untuk menghasilkan padi.

Ketika melakukan penanaman lada, petani-petani di Langkat memadukannya dalam

55 E.C. Jul Mohr, op.cit., hlm. 224 56 Anthony Reid, Soematra Tempo Doeloe Dari Marco Polo sampai Tan Malaka, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010, hlm. 300.

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sistem pertanian tradisional. Biasanya, setelah panen padi, mereka akan memancangkan tongkat-tongkat kedalam tanah pada jarak-jarak yang diukur dengan cermat sebagai penyanggah batang-batang lada. Sementara batang-batang lada masih muda, penanaman padi dan diselang-selingi dengan tanaman yang lain seperti: sayur- mayur, jagung, dilakukan di tengah-tengah tanaman lada.57 Terdapat 2 jenis Lada yang ditanam di wilayah Langkat, yaitu lada hitam dan ada putih, dan dalam tingkat produksinya, wilayah Langkat lebih banyak menghasilkan lada hitam daripada lada putih.

Selain itu yang menarik adalah biasanya pada waktu curah hujan cukup tinggi, sebenarnya adalah masa yang tepat untuk mengerjakan tanah bagi penanaman padi.

Akan tetapi berhubung panen besar lada terjadi antara bulan Oktober sampai dengan

Maret58, yang justru membutuhkan banyak tenaga kerja, maka banyak orang yang tidak punya kesempatan untuk mengerjakan tanah dalam kegiatan penanaman padi.

Hal tersebut terjadi karena disebabkan masyarakat lebih memilih untuk menanam lada daripada padi yang mana hal tersebut disebabkan oleh faktor harga yang lebih menguntungkan jika mereka menanam lada. Bahkan, kebutuhan logistik bahan makanan dengan mudah dapat mereka beli dari hasil produksi lada.59

Masyarakat, dalam hal ini yaitu petani lada, bisa mendapatkan lahan lebih banyak selagi mereka mampu untuk mengerjakan lahan tersebut. Disebabkan sudah

57 Karl J. Pelzer, op. cit., hlm. 20-21. 58 William Marseden, The History of Sumatra, London: Oxford University Press, 1811,hlm.12 59Catatan dalam harga tahun 1876 menunjukkan bahwa di pulau Penang, harga beras $95 perkoyan, sementara harga lada adalah $240 untuk setiap koyan. Lavino, tanggal 29 Juni 1876 dan tanggal 13 Juli 1876. ARA: Min. Van Kol. Vb. 29 Desember 1876. hlm. 29.

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengerjakan lahan tersebut, masyarakat mendapatkan hak atas milik pribadi terhadap lahan tersebut, dan dapat diwariskan secara turun-temurun. Selain daripada masyarakat, kesultanan juga memiliki hak dan usaha atas penanaman lada, sehingga dominasi dari lahan juga dipegang oleh pihak kesultanan walaupun secara proses kegiatan budidaya tidak ikut ambil bagian. Dalam hukum adat Melayu, tanah pada dasarnya merupakan milik desa atau milik keturunan tertentu (keturunan kesultanan). mengenai tanah yang tidak dapat dialihkan kepada orang atau pihak lain, namun hukum adat memberlakukan atas penggarapan tanah dapat dilakukan dengan seizin pihak kesultanan maupun penghulu desa dengan ketentuan tanah tersebut tidak dapat dialihkan kepada orang lain.60 Lebih jauh lagi bahwa persoalan ini tentunya berkaitan dengan konsep tradisionalpihak kesultanan dalam hal ini juga menjamin kepemilikan lahan atas masyarakat atas dasar lahan tersebut memang milik mereka, sehingga tidak ada kekhawatiran dari masyarakat akan klaim terhadap lahan mereka, namun tetap saja masyarakat harus memberikan hasil keuntungan atas ekspor lada kepada pihak kesultanan.61

Pengelolaan atas pertanian lada orang setempat dikenal dengan cukup baik di pesisir timur Aceh62 dan di utara Langkat63 seperti wilayah Pangkalan Brandan,

Pangkalan Soesoe, Aerobai, Pulau Kampai, hingga wilayah perbatasan dengan

60John O’Malley, Indonesian in The Great Depression a Study of Yogyakarta and East Sumatra, PhD Thesis, Cornell University, 1977, hlm. 145. 61 Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, Puslit Arkenas, 2010, hlm. 113-114. 62 Com. Voor het Adatrecht, Rechtsverhoudingen bij de pepercultuur 1913, Adatrechtbundels, X, 1915, hlm. 53-69. 63 Com. Voor het Adatrecht, het maleische gebied, Rechtsverhoudingen bij de pepercultuur 1913, Adatrechtbundels, X, 1915a, hlm. 253-258.

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tamiang, tetapi tidak demikian halnya di daerah-daerah lebih ke selatan, seperti di

Deli dan Serdang. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolalahan lahan oleh masyarakat setempat sudah memiliki sistem yang cukup baik meskipun dirasa kontrol oleh pihak kesultanan masih dominan. Bahkan, tidak hanya itu petani-petani lada tidak hanya berasal dari etnik masyarakat Melayu Langkat saja, pun juga orang-orang Karo punya peranan besar dalam pertumbuhan pesat dari industri pertanian lada di Langkat.

Orang-orang Karo tersebut memilih turun gunung ke dataran-dataran rendah termasuk Langkat dan Deli sebagai tanggapan atas janji-janji mendapatkan bantuan yang dibuat oleh kepala-kepala suku di dataran-dataran rendah tersebut. Orang Kaya

Sunggal, umpamanya menyediakan beras dan garam bagi orang Karo yang datang dari dataran-dataran tinggi dan melengkapi mereka dengan alat-alat yang perlu, seperti cangkul besar, sekop , parang, dan keranjang. Apabila dalam tahun keempat pohon-pohon lada itu mulai berbuah, orang kaya64 itu membayar dengan harga rendah, yaitu tiga dollar Spanyol sepikul untuk dua pertiga dari panen dan lima peseta sepikul untuk selebihnya. Selain itu, dilaporkan bahwa banyak orang-orang Aceh yang berasal dari daerah di Aceh kemudian menjadi pekebun-pekebun lada terpenting di Langkat.65 Mereka datang disebabkan karena budidaya dan perkebunan tanaman lada berkembang dengan sangat pesat.

Dalam perkembangan selanjutnya, budidaya lada di daerah Langkat mengalami masa transisi dari pertanian lada ke perkebunan lada sehingga dalam

64 Istilah yang bisa terdiri dari 2 tafsiran yakni, sebutan untuk orang-orang elit bangsawan dan memiliki peranan dalam perkebunan lada dan orang-orang kaya pengusaha tanaman lada namun bukan dari golongan bangsawan. 65 William. H. M. Schadee, Geschedenis van Sumatra’s oostkust, 1919, hlm. 104.

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA industri penanaman lada sangat membutuhkan banyak tenaga kerja. Pada tahun 1823, di pedalaman yang berjarak sampai dua hari perjalanan jauhnya, dikatakan tidak kurang dari 20.000 orang etnik Karo yang dipekerjakan di perkebunan lada. Selain itu terdapat juga sebahagian orang Melayu dan orang Toba yang berasal dari pegunungan.Dalam laporan juga tidak dirinci secara pasti apakah mereka hanya menjadi petani di perkebunan lada, akan tetapi ia menambahkan bahwa pada musim panen lada, sungai di dekat Pelabuhan Baboen, Pelabuhan Pangkalan Brandan, dan juga Pelabuhan Tanjung Pura, serta Pelabuhan Tanjung Beringin hampir-hampir tidak dapat dilalui karena banyaknya orang yang berkumpul disana dengan hasil panen lada yang hendak mereka jual. Pada saat itu memang komoditi lada diangkut di sepanjang sungai dengan menggunakan rakit, perahu dan sampan bahkan sebelum sampai ke tepian sungai, komoditi lada tadi dipanggul di sepanjang jalan setapak.

Lebih lanjut bahwa banyak penduduk dari pedalaman meninggalkan keluarga mereka untuk kemudian turut serta menjadi petani lada. Pada umumnya, mereka kembali pulang ke rumah dalam kurun waktu sekali setahun setelah panen lada dengan membawa penghasilan dari bekerja sebagai petani lada. Petani-petani lada ini rela meninggalkan kampung mereka selama beberapa waktu untuk mendapatkan upah yang maksimal dari bekerja membuka dan memelihara kebun-kebun lada. Mereka ini lazim disebut sebagai dagang66.

66 Yang dimaksud dagang disini adalah orang yang meninggalkan rumah untuk pergi mencari penghasilan.

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pembukaan lahan-lahan baru penanaman lada dalam perkembangannya menyebabkan terjadinya aliran migrasi masyarakat yang cukup tinggi sehingga memunculkan tempat-tempat pemukiman kolektif yang disebut dengan dusun atau kuta dagang sehingga para petani lada dapat tinggal di dekat lahan-lahan perkebunan yang dikelola untuk kepentingan perdagangan. Pada umumnya, kuta dagang terdiri dari satu rumah besae saja yang hanya ditinggali oleh kaum lelaki.

3.2 Pasar dan Perdagangan

Meningkatnya dinamika perdagangan internasional pada abad XV ditandai dengan peningkatan permintaan pasar Eropa terhadap berbagai jenis hasil bumi khas kepulauan Nusantara seperti pala, cengkeh, lada, dan kayu manis. Komoditas yang secara lokal dan tradisional merupakan hasil hutan, menjadi primadona perdagangan lintas benua yang berkembang menjadi tanaman budidaya komersial.

Selepas monopoli perdagangan rempah-rempah oleh VOC selama kurang lebih 200 tahun, kawasan Nusantara yang sepenuhnya telah dikendalikan oleh administrasi Belanda memasuki era liberalisme perdagangan dengan masuknya modal swasta internasional dalam rangka pengembangan tanaman industri. Fenomena tersebut tidak terlepas dari desakan kebutuhan bahan baku industri negara Eropa dan

Amerika.67

67 Pengembangan tanaman penyedia bahan mentah industri seperti: kapas, karet, dan tembakau yang bukan merupakan tanaman asli Indonesia, dilakukan semenjak pertengahan abad ke- XIX. Kedudukan pemodal swasta dalam perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi semakin besar ketika beberapa komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan pertama kali di Jawa bagian barat hingga pulau Sumatera dan Kalimantan sejak akhir abad XIX dan awal abad XX.

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Ramainya Selat Malaka sebagai jalur ekonomi yang menghubungkan Asia-

Eropa membuat daerah-daerah di Sepanjang Pesisir Sumatera dan kawasan

Semenanjung Malaya menjadi incaran para pengusaha Eropa untuk mengembangkan komoditas yang tengah laku keras di pasaran dunia.68 Salah satu komoditi tersebut adalah lada yang merupakan tanaman yang sangat bernilai dan tumbuh subur di kawasan Aceh, pantai timur Sumatera, Bangka, Banten, dan Kalimantan, serta

Maluku.

Lada yang merupakan tanaman yang relatif baru di Sumatera Timur, namun sebaliknya di daerah Aceh, Sumatera Barat, Bangka, Lampung, dan Sumatera

Selatan, serta Banten lada merupakan komoditi ekspor yang sudah lama ditanam.

Pada awal abad XVIII di wilayah Sumatera Timur khususnya Deli, Langkat, dan

Serdang mengalami panen besar lada. Hal ini didukung oleh data statistik Penang bahwa pengiriman lada dari Sumatera Timur meningkat dari 3.000 pikul pada tahun

1814, menjadi 26.000 pikul pada tahun 1822.69 Meningkatnya hasil ekspor lada menunjukkan bahwa telah dilakukan perluasan penanaman lada yang sangat besar di daerah tersebut. Lada ditanam secara besar-besaran di wilayah Sumatera Timur khususnya Deli, Langkat, dan Serdang.

68 Penanaman tanaman komersial yang ditujukan untuk komoditi ekspor di pasaran dunia seperti: lada, tembakau, karet, teh, sawit, dan rami. Lihat Inventaris Arsip Commissorial, 19 November 1926, No. 31713, Arsip Nasional Republik Indonesia. (Baca juga Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Adtya Media, 1991), hlm. 4. 69 Karl J. Pelzer, op. cit., hlm. 20.

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 3.2.1 Hasil Komoditi berbagai daerah Sumatera Timur pada abad ke- XIX hingga XX

No. Daerah Hasil komoditi Keterangan 1. Langkat Lada, Rotan, Gambir, Diekspor ke Padi, Kayu Abar, Kayu Semenanjung Malaya, Lakar Eropa, Amerika, dan Chili 2. Sunggal - Ada sekitar kurang lebih 20.000 orang Karo bercocok tanam 3. Buluh Cina Lada, Gambir Diekspor ke Penang dan Malaka 4. Deli Lada, Padi, Tembakau, Diekspor ke luar Kelapa, Pinang, Kayu, Sumatera, khusus untuk dan Gambir komoditi padi hanya untuk persediaan dalam daerah 5. Percut Lada - 6. Sungai Tuan Lada - 7. Serdang Lada Diekspor ke Penang dan Malaka 8. Batubara Rotan - 9. Asahan Kayu, Padi, dan Lada Diekspor 10. Kualuh Rotan Diekspor 11. Bilah Rotan Diekspor 12. Ponci Rotan Diekspor 13. Siak Gambir, Sagu - Sumber : Mahadi Sedikit, Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanahdi Sumatera Timur Tahun 1800-1975, (Bandung-Penerbit Alumni, 1978) hlm. 24-26.

Sejak saat itu, Sumatera Timur menjadi daerah penting sebagai pasar bagi barang-barang ekspor Penang terutama lada. Pulau Penang yang terletak di

Semenanjung Malaya telah dikuasai Inggris sejak tahun 1786, selain berfungsi sebagai pintu masuk bagi pemasaran ekspor barang-barang industru Inggris, juga menampung barang-barang produksi ekspor dari pelabuhan-pelabuhan di Sumatera.

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sebuah laporan Belanda menyebutkan bahwa sebelum jatuhnya Deli ke tangan pemerintah Batavia, sebagian besar datuk memiliki perkebunan lada. Di

Langkat, tampaknya Sultan bahkan memegang monopoli atas hasil panen. Di lain pihak, diketahui bahwa pada tahun 1863, Sultan Langkat, yakni Sultan Musa mengelola kebun lada yang memberinya penghasilan 40.000 ringgit dan buruh-buruh taninya yang berasal dari pedalaman. Selain itu, Sultan Musa juga dilaporkan menarik bea impor dan ekspor lada, denda, bea atas hasil hutan, bea melewati wilayah yang dikenakan pada orang asing, dan benda-benda yang diberikan sebagai upeti. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa ada penghasilan dari perkebunan milik sultan sendiri, serta sebagian pajak atas hasil pertanian yang melewati wilayah yang tunduk pada kekuasaannya.70 Sultan Langkat memegang monopoli pembagian lahan untuk budidaya lada dan semua hasil panen dijual kepadanya dengan harga yang telah ditetapkannya sendiri.71

Ekspor lada juga dilakukan oleh pihak kesultanan dan juga pengusaha perkebunan lada di Langkat. Ekspor tersebut dilakukan ke pasar-pasar basis perdagangan komoditi lada seperti : Semenanjung Malaya, Malaka, Penang, Kedah,

Langkawi, dan Tumasik.72 Diantara pelabuhan yang menjadi tempat ekspor langsung lada yang berasal dari wilayah Langkat adalah Pelabuhan Tanjung Beringin dan

70 John Anderson, op. Cit., hlm. 303. 71 Com. Voor het adatrecht 1915a, hlm. 253. 72MvO (Memorie van Overgave), Vanhet bestuur over de onderafdelling Pangkalan Brandan, controleur M. Wyzenbeek serie 1 E film 21 van 21 April 1925.

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pelabuhan Baboen.73 Selain itu, ekspor lada juga dikirim dari Hulu ke Hilir menuju

Pelabuhan Pangkalan Brandan, dan juga Pelabuhan Tanjung Pura. Sedangkan untuk daerah daerah di Sumatera Timur lainnya pelabuhan-pelabuhan seperti : Labuhan

Deli, Labuhan Rantau Panjang di Serdang, Labuhan Bilik di Panai, dan Labuhan

Tanjung Balai di Asahan juga menjadi basis pengiriman ekspor lada ke wilayah luar.

Perkembangan perdagangan lada yang begitu pesat telah menyebabkan Langkat menjadi wilayah yang sangat aktif dalam melakukan ekspor lada ke wilayah

Semenanjung Malaya dan sekitarnya. Komoditi Lada yang berasal dari Langkat ini juga dalam perkembangan selanjutnya mulai bersaing dengan komoditi Lada yang berasal dari Aceh Timur74, bahkan Kesultanan Aceh merasa bahwa Langkat adalah saingan yang utama. Aceh merasa Langkat sudah merusak jaringan pasarnya di kawasan semenanjung Malaya, bahkan kesultanan Aceh mengancam Kedah untuk memutus hubungan dagang lada dengan Langkat.75

Di Wilayah Langkat terdapat pusat-pusat pasar yang menjadi urat nadi perekonomian sekaligus sentra perdagangan yang amat penting. Pusat Pasar tersebut

73 De goedkeuring van een gesloten overeenkomst tussen het inlandsch zelfbestuur van Langkat en de heer L.A Scott Elliot tot het winnen van aardolien en andere delfstoffen 1896-1897, Inventaris Arsip Algemene Secretarie Seri Grote Bundel Besluit 1891-1942 jilid 1. 74 Aceh Timur adalah daerah pertama yang disebut dalam perkembangan Islam dan kerajaan di Aceh. Sampai dengan awal abad XIX, di seluruh Aceh Timur hanya terdapat empat kenegerian, yaitu Peurlak, Langsa, Karang, dan Kejeruan Muda. Baik dari segi politik maupun ekonomi, Aceh Timur sampai awal abad XIX masih sangat kurang berarti peranannya. Keadaan ini baru berubah ketika penanaman lada mulai dilakukan oleh para pendatang dari Pasei, Pidie dan Aceh Besar. Sejak saat itu daerah ini menjadi salah satu pusat penanaman lada yang penting di Aceh. Ekspor ladanya sendiri dikirim ke kawasan Semenanjung Malaya dan Singapura. Memasuki awal abad XX Aceh Timur menjadi daerah yang paling akhir dan signifikan, serta dinamis dalam pererkembangan wilayahnya. Penduduknya yang terdiri dari orang-orang Aceh, Melayu yang berasal dari Siak, Tapanuli, Minangkabau, dan Jawa. Aceh Timur juga merupakan daerah yang sangat dekat dan langsung berbatasan dengan wilayah Langkat, (Lihat Muhammad Gade Ismail, Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kompeni Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur, 1840-1942, (Jakarta: Pustaka CSIS, 1991), hlm. 1-2. 75 loc.cit.,

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dapat ditemukan di wilayah Binjai Kebun Lada, Seleseai, Kwala, Stabat, Tandjoeng

Poera, Pangkalan Brandan dan Pangkalan Soesoe.76

Perekonomian masyarakat Langkat pada umumnya didasarkan pada pertanian padi di areal persawahan yang awalnya berasal dari pembukaan hutan, dan hasil penimbunan bekas rawa-rawa yang ditimbun sehingga kemudian diperuntukkan menjadi kawasan areal perladangan. Pada kenyataanya hasil produksi pertanian kurang mencukupi untuk kebutuhan penduduk itu sendiri, sehingga impor beras yang cukup besar harus dilakukan karena angka produksi yang kurang tinggi ditambah semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk. Pada tahun 1914, di pelabuhan

Pangkalan Brandan dan Tanjung Pura sebanyak 10.819.000 Kg beras masuk hasil impor dalam rangka memenuhi kuota pangan lokal sekaligus untuk mendorong penanaman padi, sehingga lanskap menjadi kurang bergantung pada pasokan makanannya. Di distrik yang banyak dihuni oleh orang-orang Batak dilaporkan sudah ada irigasi di sana-sini pada skala tebing dan pada tahun-tahun 1908, 1909 dan 1910, sejumlah f 10.000 setiap tahun dialokasikan untuk pekerjaan irigasi untuk pembangunan irigasi. Pada tahun 1911 misalnya, jumlah ini bahkan sebesar f 20.000 dan upaya dilakukan untuk membuat areal lahan yang lebih luas lagi di daerah Pulau

Padangyang memang sangat cocok dengan kultur penanaman padi. Karena kurangnya panduan ahli, pekerjaan baru bisa selesai 2 tahun kemudian tepatnya pada tahun

76MvO (Memorie van Overgave)de onderafdeeling Pangkalan Brandan, controleur J. J. Mendelaar van 1925-1927.

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1913. Seluruh panen dihasilkan dari lada hitam, yang dijual ke pedagang Cina di

Poeleu Koempai dan kemudian diangkut ke Penang.Sultan dulu memiliki monopoli dan kebijakan memungut bea pajak. Selain sebagai basis penghasil lada yang paling penting di Pesisir Timur Sumatera, Langkat juga memiliki hasil hutan berupa produk kayu mereka diperdagangkan untuk kepentinganpembangunan jalan oleh Deli

Spoorweg Maatschappi jdan bangunan pabrik onderneming yang materialnya juga berasal dari kayu-kayu tersebut. Peternakan dilakukan oleh beberapa orang Batak di wilayah Langkat ini, mereka juga melakukan usaha tangkapan ikan di pedalaman dan pesisir pantai dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya.

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 3.2.2 Nilai perdagangan daerah Pangkalan Soesoe dan Pangkalan Brandan

Tahun P.soesoe Pangk.brandan 1898 - 2081.25 dollars 1900 - 2763.03 dollars 1901 - 2203.59 dollars 1902 - 3479.895 dollars 1903 - - 1904 - - 1905 - - 1906 - f10127.15 1907 - f11942.74 1908 - f 12032.83 1909 - f 15730.80 1910 - f 13880.01 1911 - f 15405.62 1912 - f 11971.70 1913 - - 1914 - f 18425.06 1915 - f 18000.-- 1916 - f 19988.-- 1917 f 15967.40 f 22739.22 1918 f 12494.59 f 17441.15 1919 f 13444.40 f 24677.18 1920 f 14791.88 f 24419.11 1921 f 14801.85 f 31828.61 1922 f 18353.46 f 28101.66 1923 f 15755.83 f 36134.29 1924 f 33015.25 f 29130.-- 1925 f 27393.34 f 68253.10 1926 f 33890.34 f 78820.-- 1927 f 28 478.-- f 40007.-- Sumber: MvO (Memorie van Overgave)de onderafdeeling Pangkalan Brandan, controleur J. J. Mendelaar van 1925-1927. Dalam sebuah laporan yang tertera sesuai dengan tabel 3.1 seperti diatas disebutkan bahwa nilai perdagangan dari dua onderafdeeling yakni onderafdeeling

Pangkalan Soe-soe dan Pangkalan Brandan dari tahun 1898 sampai 1927 menunjukkan angka yang cukup besar dan dinamis.

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV

PERKEMBANGAN, PERLUASAN, DAN KEMUNDURAN TANAMAN LADA

RAKYAT DI LANGKAT PADA ABAD XIX-XX

Dalam Bab yang ke empat ini berisi tentang ulasan dan penjelasan tentang tentang perkembangan tanaman lada rakyat di Langkat pada abad XIX-XX. Di awali dengang gambaran dan penjelasan seputar Persebearan, Penanaman dan Perluasan

Lahan Tanaman Lada di Langkat. Kemudian juga ada penjelasan tentang produksi lada, Transportasi pengangkutan komoditi lada, Peranan Kesultanan dalam perkembangan tanaman lada di Langkat, dan Menurunya hasil produksi lada.

4.1 Persebearan, Penanaman dan Perluasan Lahan Tanaman Lada di Langkat

Tanaman lada yang merupakan jenis tanaman tropis sehingga hanya dapat ditanam serta dikembangkan di daerah tropis. Tanaman ini menghendaki temperature yang tinggi serta curah hujan yang cukup merata.77 Tanaman lada idealnya juga juga menghendaki daerah-daerah yang kaya akan zat hara. Beberapa faktor yang pada pertumbuhan dan pengembangan lada harus diketahui supaya berhasil dalam pengembangangannya. Berkaitan dengan hal tersebut, kondisi alam wilayah Langkat yang hampir seluruhnya adalah dataran rendah menyebabkan sebagian besar daerah- daerah di daerah tersebut membudidayakan tanaman lada. Ditambah lagi, sifat tanaman lada yang ditanam pada ketinggian di daerah dataran rendah semakin memperkuat keyakinan bahwa hampir semua wilayahLangkat dapat ditanami

77Riski, H.M, Rismunandar, Lada: Budidaya dan Tata Niaga, Jakarta: Penebar swadaya, 2003, hlm. 2.

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tanaman lada. Hal ini dapat dimengerti bahwa tanaman lada menghendaki tanah dan iklim yang sesuai, yakni musim penghujan yang panjang dan musim kemarau yang relative pendek, dan tidak terlalu kering. Mengenai tuntutan tanah yang dikehendaki ialah jenis tanah yang subur tetapi tidak mudah tergenang air, karena lada begitu peka terhadap genangan air di dalam tanah, maka akan sangat ideal sekali apabila dipilih tanah yang agak miring, yang mudah didranair dan dikeringkan dengan baik.78

Kondisi lahan ini sangat sesuai dengan apa yang ada di daerah Langkat. Daerah- daerah yang ditanami tanaman lada seperti: Tanjung Pura, Pangkalan Brandan,

Pangkalan Soe-soe, Stabat, Binjai, Besitang, Loeak Langkat Hoeloe, Loeak Langkat

Hilir, Loeak Teloek Haroe.79 Daerah-daerah tersebut merupakan wilayah-wilayah yangmenjadi basis pembudidayaan tanaman lada terutama untuk kawasan daerah langkat bagian utara, yang penanamannya tidak hanya dilakukan oleh masyarakatyang bersifat pertanian rakyat. Dalam sebuah laporan di wilayah Besitang,

Poelau Kompai dan Surang djaja serta Pulau Sembilan, petani lokal bersama-sama orang yang berasal dari Aceh melakukan kegiatan pertanian lada.

Wilayah Tanjung Pura, Pangkalan Brandan, Pangkalan Soe-soe, Stabat,

Besitang, Langkat hulu, dan Pulau kampai, serta Teloek Haroe hampir keseluruhannya ditanami tanaman lada. Untuk persebaran lahan tanaman lada sendiri juga terdapat di daerah-daerah seperti : Surang djaja, Pantai Boeaja, Sei Sedapan,

78Agraris Kanisius,Bercocok tanam lada, Yogykarta: Penerbit Kanisius, 1980, hlm. 34-35. 79De goedkeuring van een gesloten overeenkomst tussen het inlandsch zelfbestuur van Langkat en de heer L.A. Scott Elliot tot het winnen van aardolien en andere delfstoffen 1896-1897. Inventaris arsip Algemenee Secretarie Seri Grote Bundel Besluit 1891-1942 jilid I.

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Boekit Mas, Pematang Pandjang, Bebirah, Lepah, dan Boekit Soentang.80 Selain itu, lahan penananam lada juga diselang-selingi dengan tanaman padi di daerah tersebut.

Bahkan, di daerah Besitang juga ditemukan jenis tumpang sari, yakni tanaman padi ditanam disela-sela lahan tanaman lada. Ini menunjukkan bahwa di samping masyarakat membudidayakan tanaman lada di sisi lain mereka juga bercocok tanam dengan komoditi padi sebagai komoditi pangan pada saat itu.

Sebelum menanam batang lada, pengerjaan tanah diulangi beberapa kali, sementara untuk mencegah gulma, terutama alang-alang, dari penanaman, kadang- kadang mungkin menanam pisang di antara pohon-pohon pendukung. Segera setelah satu hasil untuk memperluas batang lada, pohon pisang itu dihancurkan.81

Penanaman juga merujuk dan tergantung pada kondisi tanah dan tanah, satu atau lebih pipa air besar parit untuk drainase digali di Langkat yang memiliki lebar 6 kaki (1,80 Mdpl) dan dalam. Biasanya pada setiap kebun terdapat 2000 rumpun yang ditanam. Pada parapet utama ini lebih kecil dari 2 kaki (0,60 Mdpl) lebar dan kedalaman berjalan, yang diletakkan di sekitar kebun. Di parit-parit ini bahkan parit yang lebih kecil dengan lebar 1 kaki dan kedalaman keluar, yang menguras air dari kebun itu sendiri. Sistem saluran ini harus tetap bersih dan diperdalam dalam waktu, jika tidak, lada di daerah berawa tidak akan berkembang dan disaat yang sama, stek ditanam yang berasal dari tanaman tua yang agak kuat.

80 MvO (Memorie van Overgave)de onderafdeeling Pangkalan Brandan, controleur J. J. Mendelaar van 1925-1927.

81 Buitenbezittingen,De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913. hlm. 58.

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Stek ini diplot di musim hujan selama sekitar 12 bulan setelah penanaman pohon pendukung yaitu cengkering. Stek kemudian ditutup dengan alang-alang untuk melindungi mereka dari panas yang berlebihan. Kecambah yang berbeda (toenas), yang tumbuh dari pemotongan, dihilangkan, kecuali empat atau lima yang paling kuat.

Pembagian tegel dibuat dalam ukuran proporsional agar berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang. Masing-masing dengan sisi 6 kaki (sama dalam ukuran biasanya), jarak yang ditetapkan antara rumpun dengan rumpun. Pada umumnya tiap-tiap kebun berisikan 500 sampai dengan 1000 rumpun. Uniknya dalam hal ketentuan, jumlah 1000 rumpun ini diwajibkan bagi setiap kepala keluarga, sedangkan untuk 500 rumpun ditetapkan bagi orang yang belum menikah atau masih lajang. Biasanya petani-petani lada dari golongan yang cukup mapan memiliki kebun yang berisi 2000-3000 rumpun. Di beberapa kondisi, untuk kebun-kebun yang terpisah sendiri sering ditinggalkan oleh pemiliknya karena takut pada binatang buas.

Akibatnya, sangat jarang orang lain yang berani untuk mengambil alih lahan yang kosong tadi.

Setelah tanah diukur dan digarisi, setiap tempat yang ditanami akan diberi tanda dengan memancangkan tongkat kecil. Langkah berikutnya kemudian adalah menanam pohon-pohon dengan baris berderet-deret dan berjarak sekitar 6 kaki satu sama lain sepanjang garis panjang dan garis lebar. Tidak lupa pula disaat yang bersamaan untuk menanam pohon cengkering82 yang menjadi pelindung dan

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA penyanggah tanaman lada pada saat stek tanaman lada mencapai ukuran 2 sampai 6 kaki cengkering. Terdapat dua jenis cengkering terklasifikasikan berdasarkan warna tunasnya yakni : Cengkering putih bertunas keputih-putihan dan cengkering merah bertunas kemerah-merahan. Cengkering putih yang berkulit kayu abu pucat, memiliki rasa manis dan sangat disukai oleh gajah. Sedangkan cengkering merah yang berkulit coklat rasanya pahit dan tidak dimakan oleh gajah. Meskipun ada sebagian asumsi bahwa apakah pohon cengkering ini bisa mengakibatkan kerugian besar bagi kualitas tanaman lada dengan cara merampas zat makanan dari tanah yang merupakan unsur hara bagi tanaman lada dan mengurangi kualitan tanah dan tanaman lada itu sendiri.

Maka dalam rangka untuk menghindarkan anggapan pohon cengkering sebagai parasit untuk tanaman lada digunakanlah potongan kayu mati sebagai pengganti untuk penyanggah bersamaan atau juga dipisah dengan pohon cengkering yang pada saat hujan, pengaruh cuaca lainnya, sinar matahari menjadi pelindung dan dalam kondisi ini, cengkering juga berfungsi juga sebagai alat penyalur untuk mengambil zat dari udara dan meneruskannya ke tanah untuk dapat bertahan hidup dan tumbuh.

Tunas cengkering mencapai ketinggian 10-15 kaki dan di tahun atau musim kedua pohon tersebut mesti dipotong dengan membiarkan dahannya tetap tumbuh secara lateral supaya tetap dapat melindungi tanaman lada dari sengatan terik panas matahari. Di beberapa wilayah penanaman lada di Langkat, penggunaan pohon

82 Cengkering yang merupakan nama latin dari tanaman Erythrina corallodendron adalah Pohon yang berduri besar dan berdaun kecil , menyerupai dedap (Erythrina ovalifolia). Pohon ini cukup kuat dan pada kondisi yang lebih dini ditanam agar cukup kuat menjadi pelindung dan pegangan tanaman lada. Pada saat cengkering sudah berakar, bibit lada biasanya segera akan ditanam. Selain itu, duri-duri tanaman cengkering ini juga menjadi pegangangan yang lebih kuat bagi batang lada, ditambah lagi tanaman ini cukup mudah tumbuh. Cengkering juga merupakan tanaman yang sangat disukai dan dimakan oleh hewan besar yaitu : Gajah. (Lihat jugaBuitenbezittingen,De pepercultuur, hlm. 58)

71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA cengkering sebagai penyanggah tanaman lada biasanya dengan ketinggian 6 sampai dengan 7 kaki (1,80-2,10 Mdpl).83

Terdapat juga peraturan penanaman yang harus diikuti oleh setiap penduduk termasuk petani lada dalam menanan jumlah rumpun (pohon) lada. Peraturan ini ditetapkan untuk menjaga agar arus produksi tidak terputus. Segera setelah kebun mereka memasuki masa panen, mereka kemudian akan memperisapkan lahan baru yang lain untuk kemudian ditanami bibit lada. Tujuannya adalah agar supaya pohon- pohon lada tadi dapat mulai berbuah ketika pohon lama sudah mulai menurun produksinya. Kendati pun cara ini jarang untuk dilakukan, sampai menunggu pohon yang lama menunjukkan kemunduran dan karena kebun-kebun lada yang masih sangat muda akan dapat mengalami beragam kerusakan yang tidak akan terjadi di kebun-kebun yang sudah cukup tua, dengan kondisi dimana pembukaan kebun baru belum sesuai dengan jadwal yang ideal. Akibatnya, dalam setahun produksi kebun di suatu daerah akan mengalami kondisi naik-turun. Banyak atau sedikitnya tergantung dari perbandingan tanaman yang berbuah terhadap jumlah seluruhnya. Sedikit banyaknya jumlah produksi pada suatu lahan tergantung dari pengetahuan hasil rata- rata dari jumlah tertentu pohon lada dan jumlah rata-rata dari pohon lada yang akan dihitung produksinya dengan menggunakan perhitungan yakni perincian biaya produksi pengeluaran. Keduanya akan dapat diketahui secara pasti apabila kita menguasai semua aspek mengenai produksi lada. Hasil secara keseluruhan tidak dapat ditentukan berdarkan pengetahuan tentang hasil dari satu kebun tertentu dalam tingkat produksi tertentu dan pada musim tertentu. Hanya pengetahuan tentang hasil

83 Buitenbezittingen,De pepercultuur, op, cit., hlm.58.

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kolektif rata-rata dari semua kebun dalam berbagai tingkat produksi. Pengetahuan ini diambil dari pengalaman bertahun-tahun yang dapat dipercaya untuk membuat kalkulasi perhitungan kemungkinan produksi tahunan. Jumlah rata-rata juga akan ditentukan pada produksi berdasarkan perhitungan per seribu batang dalam setiap produksi. Misalnya, jumlah batang lada muda dari tahun pertama, kedua, dan ketiga hendaknya jangan dimajukan setahun ketingkat produksi berikutnya secara menyeluruh. Harus turut pula diperhitungkan faktor-faktor yang akan dapat mempengaruhi jumlah naik dan turunnya produksi tadi.

Ada tanaman yang mati karena tidak dilakukan pengurusan secara baik dan teratur oleh pentani dan pemilik kebun lada. Ada juga ynag rusak karena disebabkan oleh banjir, akibat serangan hama, dan serangan hewan seperti gajah dan kerbau liar, serta diebabkan oleh pengaruh cuaca. Pada akhirnya, jumlah batang lada akan sangat jauh berkurang ketika saat mencapai tingkat umur berbuah. Satu hal lain yang perlu dipertimbangkan ialah keadaan produksi di setiap wilayah dengan segala kondisinya.

Harus juga ada jumlah patokan bagi tanaman yang berbuah dan jumlah proporsional tanaman muda pengganti untuk menjaga arus target produksi. Pada umumnya, kondisi ini bergantung pada lamanya waktu untuk mencapai tingkat berbuah dan berapa lama mereka terus berada dalam keadaan produktif. Jadi, apabila pada suatu saat jumlah pohon yang terbuat melebihi perbandingan yang sebenarnya, maka produksinya juga akan melebihi angka rata-rata sehngga dapat diprediksi adanya penurunan-penurunan yang akan terjadi. Bila angka-angka perbandingannya dapat dipastikan dan kondisi demografi dalam suatu daerah dapat diketahui jumlahnya,

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA maka juga akan mudah untuk mengetahui jumlah pohon berbuah yang sebenarnya di wilayah tersebut.

Kegiatan setelah penanaman terdiri dari mencabut gulma, memangkas ayah dan mengikat tanaman merambat dengan bantuan sejenis akar pohon (remidin).

Pekerjaan ini harus dilakukan secara rutin setidaknya sekali setiap tiga bulan. Dengan demikian, alang-alang yang maju kadang-kadang harus dikeluarkan dari tanah dengan menggali. Pemeliharaan pipa air juga harus dilakukan dengan hati-hati, sebagaimana telah disebutkan di atas.84

Pada tahun keempat setelah penanaman, cabang lada mulai berbuah, penanam kemudian tinggal di kebunnya. Dua tahun kemudian, kebun mencapai produksi penuh, hingga 12 hingga 16 tahun setelah penanaman produksi tidak lagi bermanfaat.

Gambar 4.1Skema sebuah bentuk lahan tanaman lada85 :

seuneubok

anah

lada lada lada lada

lada

Kebun Kebun Kebun Kebun

Kebun Kepala T Kepala a g n u i S

S e l a t m a l a k a

84 Buitenbezittingen,De pepercultuur, op, cit., hlm. 59. 85Lokasi kebun dan lahan dapat diperluas, apabila penduduk bermaksud untuk memperluas tanaman ladanya dan harus terlebih dahulu melapor kepada kepala tanah. Oleh karena itu, maka penduduk yang bermaksud membuka kebun-kebun lada baru, harus memperhatikan agar tidak membuka kebun ladanya kepada orang yang telah sebelumnya melapor kepada kepala tanah tadi. Lihat Adatrechtbundel X, sgravenhage: Martinus Nijhoff, hlm. 54. Baca juga : De Pepercultuur..., op.cit., hlm. 63.

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.2 Produksi Lada

Penanaman tanaman ekspor khususnya lada sudah sejak lama dilakukan di kawasan Sumatera Timur, terutama di wilayah Langkat. Penaklukan Aceh dan Johor di sekitar abad XVII terhadap kerajaan Haru sangat berkaitan dengan penanaman lada rakyat yang menjadi komoditas ekspor utama pada saat itu lewat panen raya yang luar biasa.86 Di awal abad XIX, ketika Anderson melaporkan perjalanan di wilayah

Langkat, penduduk setempat sudah melakukan kegiatan produksi Lada. Anderson menginformasikan banyak penduduk yang sedang membuka kebun-kebun lada dan dalam bulan tertentu menghasilkan produksi yang melimpah. Sampai dengan akhir abad XIX, produksi Lada rakyat nampaknya masih tetap stabil.87

Pada umumnya produktivitas lada yang dihasilkan oleh masyarakat tergantung pada kondisi dan kualitas tanaman lada yang sudah siap dipanen.

Meskipun jumlah tanaman yang ada di suatu daerah tersebut jumlahnya banyak, tetapi terasa percuma jika pohon-pohon yang disadap tersebut sedikit jumlahnya.

Kegiatan budidaya tanaman lada sangat aktif dilakukan di wilayah Sumatera

Tmur terutama di daerah Langkat. Aktifitas ini tidak hanya dilakukan di areal dataran rendah, namun juga di areal yang berbukit dan tanah berawa yang kemudian dapat dikeringkan sehingga dapat menjadi lokasi yang ideal bagi kebun lada. Faktor utama penentu keberhasilan panen lada adalah pemilihan tempat yang cocok. Biasanya tempat yang paling cocok adalah di tepi sungai atau anak sungai. Ketinggian permukaan tanah juga jangan terlalu rendah sehingga dapat digenangi air karena

86 T.Luckman Sinar, op. cit., hlm. 4. 87 Joh, Anderson, op. cit., hlm. 246, 260, dan 279.

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA humus biasanya terdapat di tempat seperti itu. Namun, sesungguhnya air pun kelak mempermudah pengangkutan hasilnya. Lereng-lereng curam harus dihindarkan, kecuali lereng landai karena tingkat kegemburan tanah akan bertambah akibat penanaman. Biasanya humus akan hanyut terbawa air bila hujan lebat. Tanah-tanah datar yang tidak ditumbuhi atau hanya ditutupi oleh rumput hijau akan terbukti tidak akan mampu memenuhi persyaratan. Tanpa bantuan pupuk kandang, kesuburan tanah habis akibat terik sinar matahari. Seperti diketahui bahwa daerah terbaik adalah tanah yang kaya akan humus yang bercampur dengan sedikit pasir. Sebaliknya justru ketika tanah yang kurang baik ditandai dengan keberadaan alang-alang menunjukkan tanah yang menipis.

Belum dapat teridentifikasi berapa banyak hasil panen dapat bertambah karena tindakan-tindakan perbaikan dalam pertanian. Akan tetapi, ada kekhawatiran bahwa kebiasaan-kebiasaan penduduk yang kurang totalitas serta kurangnya semangat dan keuntungan mereka dalam usaha melakukan penanaman lada yang akan mengakibatkan masyarakat tidak akan menghasilkan sesuai dengan ekspektasi hasil panen yang maksimal. Oleh sebab itu di banyak mayoritas petani lada ketika itu lebih bergantung pada kualitas alamiah tanah daripada cara kultivikasi. Dalam konteks uraian mengenai lahan juga dikemukakan bahwa petani mengganti ladangnya dan meninggalkan tanah yang dipersiapkan dengan susah payah setelah menanaminya selama satu atau sampai dua musim. Inilah cara yang paling lazim untuk menentukan lokasi kebun lada yang cukup ideal. Terlepas dari kultivasi padi dan tanaman lainnya, hutan juga menjadi tempat yang sering ditebangi dan tanahnya dibersihkan untuk penanaman lada.

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tercatat, di distrik Pulau Kampai dan Serangdjaja serta wilayah Langkat lainnya, para kepala distrik semuanya adalah peutoeha88 dari seuneubo89 yang berbeda-beda. Sehingga kepala kebun dapat juga disebut peutoeha seuneubó disamping bertugas sebagai kepala distrik.90

Modal kerja diperoleh berasal dari peutoeha Besar.Untuk sebagian besar ini disediakan dalam bentuk dan itu terdiri dari kebutuhan yang sangat diperlukan untuk perkebunan selama tahun-tahun di mana kebun belum menghasilkan. Baik alat dan bahan makanan, bahkan bahan untuk membangun rumah, termasuk dalam modal ini.

Biaya untuk pembangunan taman 2.000 tanaman merambat, ditambah lagi untuk pemeliharaan penanaman selama empat tahun pertama, diperkirakan sekitar f 600.-.

Catatan pertama tentang produksi lada di daerah Langkat yang meyakinkan berasal dari abad XVIII dalam sebuah laporan Inggris yang menyebutkan bahwa

Langkat, yang berbatasan dengan Aceh Tamiang, menghasilkan lada.91 Menurut informasi yang diperoleh seorang pegawai kolonial Belanda pada waktu yang sama, dua orang asal Siak bernama Said Amat dan Said Ali dikatakan diusir dan pindah ke

Langkat. Di sana, mereka menjadi kaya berkat perdagangan lada.

Informasi pertama langsung dari seorang Eropa tentang perkebunan lada ini berasal dari John Anderson yang mengunjungi daerah tersebut tahun 1823.

Diperkirakan bahwa pada saat itu keempat daerah di Pesisir Timur Laut (Langkat,

88 Yang dimaksud dengan istilah Peutoeha disini adalah seseorang yang bertugas sebagai kepala (lihat 88 Buitenbezittingen,De pepercultuur, op, cit., hlm.58) 89 Yang dimaksud dengan istilah seuneubo adalah berarti kebun yang merujuk pada kompleks perkebunan lada yang terdiri atas 10 sampai dengan 20 kebun lada, berada di bawah pimpinan seorang peutuoeha seuneubo (Baca juga Buitenbezittingen,De pepercultuur, op, cit., hlm.58). 90 Buitenbezittingen, De pepercultuur, op, cit., 1913. hlm. 58 91 Wurtzburg, A Brief account on the several countries surronding Prince of Wale’s Island with their production. Reed from Captain Leight in 1789, JMBRAS, XVI, Part I, 1938, hlm. 123-126.

77

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Buluh Cina, Deli, dan Serdang) mengekspor sekitar 3.500 ton lada per tahun ke

Melaka, Penang, dan Singapura.92

Terjadinya peningkatan itu barangkali sebagian dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa sekitar tahun 1855, timbul usaha baru penghasilan lada di Langkat yang di dorong oleh Datuk Johan Pahlawan yang datang ke daerah Salahadji

(perbatasan dengan Aceh). Pada saat itu penghasilan sudah sangat berkembang di

Langkat berkat sejumlah pengusaha, yakni Peutuha’s seneubo Lebei Usos (asal

Samalangan: Aceh), prada dam Katib Cigul asal Tamiang, serta Panglima Muda

Semin asal Pedir. Datu Johan Pahlawan memperoleh monopoli pembagian lahan di daerah itu untuk membuka perkebunan lada dan budi dayanya yang cepat dan berkembang pesat. Sejumlah orang Aceh yang berasal dari berbagai daerah di Aceh kemudian menjadi pekebun-pekebun lada terpenting di Langkat.93

Pengelolaan perkebunan-perkebunan lada orang setempat dikenal dengan dengan cukup baik di pesisir timur Aceh94 dan di utara Langkat95, termasuk juga di daerah-daerah lebih ke selatan, seperti di Deli dan Serdang.

Di tahun 1865, terdapat laporan seputar produksi dan ekspor lada rakyat di

Langkatmengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun panen raya

92 Langkat, 20.000 pikul (1 pikul = sekitar 61,761 Kilogram) menuju Penang dan Malaka (Lihat Anderson, 1826, hlm. 246, 260, 279, dan 304). 93 Schadee, 1919, jil.1, hlm. 104. 94 Com. Voor het adatrecht, Rechtsverhoudingen bij de pepercultuur (1913), Adatrechtbundels, X, 1915, hlm. 53-69. 95 Com. Voor het adatrecht, Het maleische gebied. Rechtsverhoudingen bij de pepercultuur(1913), Adatrechtbundels, X, 1915a, hlm. 253-258.

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA lada yang cukup tinggi.96 Dalam laporan tersebut tercatat di Langkat sendiri produksi dan ekspor lada sebesar 134. 986 pikul.

Di awal abad XX juga lada masih mendominasi sebagai komoditi ekspor yang sangat penting, meskipun areal penanamannya sudah dibatasi oleh areal perkembangan onderneming tembakau. Sampai dengan awal abad ke-XX, produksi lada sudah mulai berkurang di Langkat, yang terutama dilakukan oleh orang-orang

Aceh yang berdiam di wilayah Langkat Utara.97 Pada tahun 1912 dan 1916, produksi lada masih menunjukkan angka yang cukup tinggi, total produksi lada rakyat Langkat berjumlah 1.541 dan 869 ton, pada harga sekitar 20 sampai 40 gulden per pikul.

Tabel 4.2.1Statistik Jumlah Lada yang di ekspor ke Penang Dari Sumatera Timur Tahun Jumlah 1817-1818 1.861 1818-1819 5.514 1819-1820 8.205 1820-1821 15.667 1821-1822 21.790 1822-1823 30.277 1823-1824 34.881 Sumber : Anderson, Acheen and the ports on the north and east coast of Sumatra 1840, Lumpur: Oxford University Press, 1979, hlm. 238, (mengutip dari Edi, Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat di Sumatera Timur”, dalam Tesis S-2, Universitas Gadjah Mada, 1998), hlm. 64.

96 J. A. M. Van Cats Baron de Raet, “Vergelijgking van den vroegeren Toestand van Deli, Serdang, enLangkat”, dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde van Bataviasch Genootchap, deel XII, 1887, (mengutip dari Edi, Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat di Sumatera Timur”, dalam Tesis S-2, Universitas Gadjah Mada, 1998), hlm. 34-37. 97Kolonial Verslag, 1916, hlm. 194, Kolonial Verslag, 1913, hlm. 197: dan Kolonial Verslag, 1917, hlm. 223, (mengutip dari Edi, Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat di Sumatera Timur”, dalam Tesis S-2, Universitas Gadjah Mada, 1998).

79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 4.2.2Ekspor Lada Sumatera Timur dari tahun 1886- 1939 (dalam ton)

Tahun Jumlah 1886 741.132 1889 623.786 1890 1.554.524 1909 1.912 1910 2.020 1912 1.541 1913 1.213 1914 1.034 1915 1.487 1916 869 1922 562 1923 231 1924 139 1925 179 1926 91 1927 181 1928 94 1929 194 1930 99 1933 6 1934 52 1936 26 1939 9 Sumber: Kolonial Verslag, 1886-1911: Mededeelingen van De Handelavereeningingte Medan, 16 Februari 1931, ;“De Landbouwexportgewassen van Nederlansch Indie in 1939, (mengutip dari Edi, Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat di Sumatera Timur”, dalam Tesis S-2, Universitas Gadjah Mada, 1998), hlm. 65-66.

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 4.2.3Ekspor lada Deli, Serdang, dan Langkat , Tahun 1922, dan 1863-1865 (dalam pikul)

Daerah 1922 1863 1864 1865 Deli 31.000 17.600 38.860 19.200 Serdang 8.000 - - 34.972 Langkat 20.000 - - 134.986 Sumber : J. Anderson, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823 (Kuala Lumpur Oxford University Press, 1971). hlm. 246, 260, 273, dan 304: J. A. M. Van Cata Baron de Raet. “Vergelijking van den Vroegenren Toestand van Deli, Serdang, En Langkat, dalam Tijdschrif voor indische Taal, Land, en Volkenkunde van BataviaschGenootschap, deel XII, 1887, (mengutip dari Edi, Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat di Sumatera Timur”, dalam Tesis S-2, Universitas Gadjah Mada, 1998) hlm. 34-37.

Dalam konteks penanaman, lada merupakan tanaman bandel, mudah tumbuh dari stek beberapa batang yang berbuku dan melilitkan diri pada setiap benda yang berdiri dekat, dan berpegang dengan akar yang tumbuh dari setiap ruas buku dengan jarak setiap interval ruasnya kira-kira 6-10 inci. Mungkin tanaman ini mengambil sebagian dari makanannya melalui akar-akar tersebut. Pada saat dibiarkan di tanah, akar itu akan menjadi panjang dan kondisinya masih di dalam tanah. Jika demikian, tanaman lada tidak akan berbuah disebabkan junjungan dalam pohon sangat diperlukan untuk memungkinkan lada mengeluarkan tangkai buahnya. Batang lada dapat mencapai 20-25 kaki. Akan tetapi, tanaman lada dapat tumbuh subur bila dibatasi tingginya hanya 12-15 kaki. Bila lada mencapai 20 kaki, bagian bawah batang akan tak berdaun dan tak berbuah sampai dengan kira-kira 1 kaki di atas tanah. Batangnya segera berkayu dan dalam waktu singkat akan tumbuh menjadi besar. Daunnya hijau tua dengan permukaan yang mengkilap, berbentuk jantung, ujungnya runcing, rasanya tidak pedas, dan hampir tidak mengeluarkan baunya.

81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Cabangnya rendah, tak tumbuh melebihi dua kali dari batangnya, dan mudah patah pada sendinya. Bunganya kecil dan putih, sedangkan buahnya bundar menjadi merah menyala bila matang tidak mengalami kerusakan. Tangkai buah tumbuh subur dari cabang-cabang dalam gerombol kira-kira 20-50 butir tiap tandan yg memanjang. Tiap butir berpegang pada tangkai yang sama, yang mengakibatkan butir-butir tumbuh dan membuat tangkainya kaku.

Umumnya, tanaman lada dikembangbiakkan dengan cara stek. Tunas stek kira-kira 1-2 kaki panjangnya dan diambil dari tunas-tunas yang tumbuh dipermukaan tanah dari pangkal tanaman lama. Satu atau dua stek ditanam dalam jarak beberapa dari pohon cengkering. Sering kali ditanam bersama bila stek biak terlalu panjang atau 6 bulan kemudian setelah cengkering ditanam bila stek pendek. Ada orang yang lebih suka menunggu berbulan-bulan karena tanaman lada akan mengerumuni junjungan dan merobahkannya bila belum cukup kuat. Dalam tanah yang subur, tanaman lada akan naik setinggi 2 atau 3 kaki di tahun pertama, bahkan 4 sampai 5 kaki lagi di tahun kedua. Antara tahun kedua dan ketiga, tanaman mulai menunjukkan tangkai dan bunganya kalau yang keliatan dapat dikatakan bunga karena bakal yang ada tak lebih dari putik-putik calon gugusan buah.

Warna yang semula jerami muda menjadi gelap ketika butir-butirnya mulai terbentuk. Putik-putik kecil atau bunga-bunga ini mudah berguguran bila cuaca terlalu kering atau kalau digoyang angin yang keras (walaupun kebun-kebun terlindung dikelilingi rimba). Dalam cuaca hujan menyusul setelah buah pertama muncul, seluruh batang lada dilepas dari batang pohon cengkering dan diruntuhkan ke tanah dan selanjutnya ditampung dalam lubang yang telah disiapkan. Seluruh

82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tanaman dimasukkan ke dalam lubang dalam bentuk lingkaran atau gulungan. Yang tinggal kini hanyalah pucuk-pucuknya di pangkal pohon di atas tanah yang segera mencapai 8 - 10 kaki dalam musim berikutnya dan mulai berubah penuh. Konon, proses penurunan dan penanaman kembali harus dilakukan dengan perhitungan waktu yang tepat. Bila penanaman dilakukan dengan perhitungan waktu yang tepat. Bila penanaman dilakukan dengan perhitungan cepat, menurut pengalaman, tanaman tak akan berubah sampai tahun ketiga. Dengan kata lain, tanaman kembali seperti keadaan baru ditanam. Sebaliknya, buah selanjutnya akan merosot mutunya kalau batang ladanya tidak ditanam kembali.

Rangsangan untuk memperoleh untung yang cepat menyebabkan para petani sering tak melakukan penanaman yang kedua kali itu, yang pada akhirnya mengorbankan keuntungan yang lebih besar di masa depan. Pada pertumbuhan pertama tidak begitu diperhatikan berapa batang yang naik, tetapi pada pertumbuhan kedua hanya satu yang terkuat atau paling banyak dua yang boleh dibiarkan naik dan berpegang pada junjungan. Tunas-tunas yang lebih akan dimanfaatkan menuju junjungan lain melalui parit-parit kecil atau tanaman lada yang gagal diambil akarnya dan dipindahkan ketempat lain. Mungkin, inilah bentuk lain transplantasi. Orang- orang inggris juga berpendapat lebih baik bibit-bibit tanaman dipindahkan ke lahan lain selama tahap pertumbuhan.

Untuk meringankan beban petani, yang juga harus melakukan tugas yang tak dielakkan, yaitu menyediakan makanan bagi anak istrinya, mereka biasanya menanam padi di antara pohon-pohon cengkering yang baru ditanam. Hal ini tidaklah memperngaruhi kondisi kebun. Kalau padi telah mencapai tinggi inci, stek lada mulai

83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ditanam dan tunas-tunasnya dibiarkan tumbuh menjalar ditanah sampai padi dipanen.

Setelah itu, tunas-tunas mulai diarahkan ke pohon-pohon cengkering. Naungan batang-batang padi dinilai baik untuk pertumbuhan lada.

Seperti telah dinyatakan bahwa, tanaman lada mulai berubah dalam 3 tahun semenjak ditanaman. Akan tetapi, produksinya sengaja diperlambat selama satu atau dua musim. Dengan demikian, pohon lada meningkat selama 3 tahun berikutnya.

Pada tahun ke VII atau ke VIII, kebun lada dianggap telah mencapai puncak kemampuan produksi. Adapun ketidakmampuan tanah berproduksi berbeda-beda.

Ada lahan yang mampu bertahan selama 1-4 tahun kemudian menurun setahap demi setahap sampai hasilnya tak seimbang lagi dengan tenaga yang dikeluarkan untuk mengurusnya. Ada juga kebun yang masih dapat menghasilkan setelah 20 tahun bila tanahnya subur. Pada tanda-tanda kemunduran pertama, kebun itu harus diperbaharui.

Ini adalah istilah yang dipakai. Akan tetapi ucapan yang lebih jelas adalah kebun lainnya mesti dibuka, kebun yang harus berbuah sebelum yang lama berhenti menghasilkan.

Bila telah tumbuh penuh atau pertumbuhan dibatasi oleh tinggi cengkering, terkadang batang lada menjadi rimbun dan batang batangnya bergantungan. Bagian tanaman ini merugikan bagian yang dibawah sehingga cabang-cabang atas harus dipangkas atau dijarangkan. Cabang-cabang yang tumbuh merimbun pun harus dipetik. Tambahan lagi, kebun harus terus menerus disiangi dari jenis rumput dan tumbuh-tumbuhan lain yang merugikan. Selama bulan Juni sampai Agustus, rumput- rumput halus dibiarkan menutupi tanah sebab runput-rumput itu ikut mengurangi efek sinar matahari. Rumput-rumput itu juga dapat menyimpan embun yang banyak serta

84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA membasahi rumput dan tumbuh-tumbuhan lain pada bulan-bulan tersebut.

Sebaliknya, rumput kasar dan padat yang sering disebut lalang (ilalang) tidak bleh dibiarkan tumbuh.

Bila batang lada bertambah besar dan kuat, perhatian yang diberikan pada tanah makin berkurang, terlebih bila naungannya dapat menghambat pertumbuhan tanaman lain. Ketika memotongi cabang-cabang cengkering, pemotongan harus diperhatikan agar potongan-potongannya tidak menimpa tanman lada. Waktu panen lada ditandai setelah butir-butir menjadi merah, tandanya dianggapp untuk dipetik.

Adapun yang lainnya sudah cukup tua walau masih hijau. Menunggu sampai semua buah lada berganti warna dan memnbawa kerugian karena lada yang terlebih dahulu matang kan berguguran.

Setelah dipetik, lada dikumpulkan dalam keranjang-keranjang dan ditebarkan diatas tikar untuk kemudian dijemur. Lada itu dibiarkan terkena pengaruh cuaca karena dianggap tidak akan banyak merusak. Dalam kondisi ini, lada menjadi hitam dan keriput. Setelah kering, lada dengan tangan untuk menyisahkan biji dari tangkainya. Lada ditampi dalam nyiru dan dimasukkan dalam wadah besar yang termuat dalam kulit kayu. Sampai seluruh panen tertumpuk semua atau sampai tercapai jumlah yang cukup banyak untuk diangkut melalui air ke loji-loji atau kantor kompeni di muara sungai, lada disimpan dulu di lumbung-lumbung rumah. Lada yang telah dipetik pada umur yang paling cocok adalah paling sedikit keriputnya. Bila dipetik terlalu muda, ketika dipindahkan dan diangkat dari satu tempat ke tempat yang lain biasanya lada berubah menjadi abu. Untuk menentukan kadar kelunakannya, lada diuji dengan tangan.

85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sama halnya dengan musim berbuah sebagian besar buah-buahan di wilayah

Sumatera Timur, pohon lada pun tidak mempunyai pola waktu teratur. Hal ini barangkali disebakan oleh ketidakteraturan musim seperti di pantai barat India.

Umumnya dapat dinyatakan bahwa lada menghasilkan dua kali panen setahun. Satu kali panen besar atau pupul agung antara bulan Oktober dan Maret, sedangkan panen kedua yang disebut panen separuh (buah sello) terjadi antara April dan September.

Hasil pada panen kedua berjumlah lebih sedikit. Terkadang di beberapa daerah, petani hanya panen setahun sekali karena pertumbuhan lada yang tidak merata.

Walaupun masa pematangan bunga sampai menjadi buah rata-rata 4 bulan, tidak seluruh buah lada akan masak. Bahkan, sering ditemukan biji yang hijau dan buah yang matang pada batang yang sama. Pada waktu terjadi musim kemarau misalnya dapat menghentikan pertumbuhan batang dan melambatkan produksi, ditambah lagi daun-daun lada berguguran, yang menyebabkan kemungkinan gagal panen.

Kejadian ini disebabkan oleh akibat tidak diperhitungkannya waktu dan musim yang menyesuaikan dengan sifat alam di setiap wilayah. Terkadang petani lada melakukan penggundulan pohon-pohon dari daunnya. Dengan cara seperti ini diharapkan pohon akan cukup punya cairan untuk membentuk bunga dan buah.

Dengan kondisi ini, pohon biasanya juga akan mengeluarkan bunga lada yang cukup melimpah. Uniknya adalah ketika terjadi musim hujan, batang-batang lada tadi mampu melahirkan bunga dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan, kebun-kebun tua yang mungkin sudah tidak produktif lagi bisa saja kemudian dapat dimanfaatkan lagi untuk kebutuhan penanaman lada.

86

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tanaman lada dalam beberapa catatan disebutkan bahwa, tanaman ini tidak boleh terkena air laut. Hal ini pernah terjadi di bagian dari keseluruhan lada yang dikirim dari darat menuju kapal besar. Lada yang dibawa melewati lautan dengan menggunakan kapal pengangkut. Terdapat juga perahu-perahu berukuran kecil yang mendekati kapal yang bermuatan lada untuk melakukan transaksi penjualan lada untuk kemudian dibawa ke pelabuhan menuju daratan. Perahu-perahu kecil ini nyatanya dapat mengangkut 1-2 ton muatan lada.

Penduduk membedakan tiga jenis lada. Namanya bisa berbeda-beda disetiap tempat. Selama berabd-abad, lada putih dianggap jenis tanaman lain dan berkualitas lebih superior dibanding lada hitam biasa. Oleh karena itu, harga lada putih lebih mahal. Untuk membuat lada putih, dipetik buah-buah lada yang paling matang, yaitu yang sudah merah. Buah lada dimasukkan kedalam keranjang untuk kemudian direndam. Namun, ada juga yang dimasukkan kedalam lubang yang sengaja digali untuk itu. Lubang-lubang itu digali di dekat tebing-tebing sungai atau diredam dalam kolam yang airnya tergenang. Buah-buah lada pun membengkak dalam waktu seminggu atau sepuluh hari. Kulitnya lekang, lalu dijemur di panas matahari. Butir- butir lada diremas-remas dengan tangan untuk meisahkan buah dari kulit, kemudian ditampi. Lada putih jelas mempunyai keuntungan karena lada ini hanya diolah dari buah-buah yang paling baik dan sehat, yaitu lada yang diambil pada saat kematangannya paling cocok. Oleh karena direndam terlalu lama, rasa pedas lada putih jauh berkurang. Kulit luarnya yang terbuang dalam proses ini mempunyai rasa yang khusus, berbeda dari bijinya yang ada di dalam. Rasanya tidak sebegitu pedas, tetapi lebih aromatis. Setahun sekali selama bulan Februari hingga Mei, biji-biji lada

87

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA cukup matang untuk dipetik. Jika tandan menggantung terlalu tinggi untuk dicapai dengan tangan, tangga digunakan. Tandan yang diambil dikumpulkan dalam keranjang dan dikumpulkan di tempat bersih yang dibersihkan dengan hati-hati di rumah pekebun.

Tercatat bahwa biaya ongkosproduksi tanaman lada per setiap pikulmya adalah adalah ƒ 8.-.Dalam sebuah laporan juga disebutkan bahwa paket muatan yang berisa lada ini juga diangkut daripasar-pasar di Pulau Kampai. keranjang-keranjang dari kebun diangkut ke pasar itu dan kemudian dari sana diangkut oleh kapal uap

Inggris ke Penang. Kapal uap ini mempertahankan kecepatan reguler antara Penang,

Pulau Kampai dan Pangkalan Brandan.98

4.3 Transportasi hasil lada

Transportasi perdagangan dalam mengangkut hasil produksi lada yang terdapat di langkat menggunakan 2 bentuk jenis transportasi yakni, transportasi yang menggunakan jalur air sebagai lalu-lintas perdagangan dengan menggunakan jalur sungai sampai ke laut sebagai alat angkut untuk mencapai ke suatu tempat, dan transportasi yang memanfaatkan darat lewat jalur jalan raya sebagai lalu-lintas perdagangan dengan menggunakan hewan ternak, roda angkut pedati (gerobak) serta yang kedua adalah tranportasi darat yang dikendalikan dengan menggunakan teknologi pengangkut mesin. Pada umumnya,pengangkutan komoditi lada lebih banyak menggunakan jalur air dibandingkan menggunakan jalur darat, hal tersebut dikarenakan bahwa pasar tujuan akhir pengangkutan lada adalah ekspor ke luar daerah dengan menggunakan pelabuhan di pesisir pantai. Sedangkan penggunaan

98Buitenbezittingen,De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

88

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA transportasi darat lebih banyak di dominasi daerah tempat penghasil lada yang agak jauh dari jangkauan aliran hulu dan hilir sungai, seperti misalnya wilayah Besitang,

Binjai, dan Stabat.

Pengangkutan barang dan penumpang sebelum kedatangan pengusaha perkebunan dilaksanakan dengan menggunakan sarana yang telah dikenal masyarakat tradisional pada umumnya seperti : perahu-perahu dan sampan yang mengikuti jalur sungai dari hulu menuju ke hilir serta dari pegunungan menuju ke wilayah pedalaman dan sebaliknya. Sarana transportasi ini telah lama berlangsung di wilayah Sumatera

Timur termasuk daerah Langkat. Bagi masyarakat Melayu hampir di seluruh wilayah

Sumatera Timur pengangkutan barang dan penumpang banyak mempergunakan alat transportasi sungai sebagai jalur transportasi air maupun bantuan hewan dan alat gerobak sebagai transportasi darat. Walaupun sarana transportasi air berupa sungai ini berjalan agak sedikit lamban, akan tetapi bagi masyarakat Melayu di Langkat infrastruktrur transportasi ini telah ada karena kondisi geografisnya yang banyak dilalui sungai-sungai. Tersedianya sarana transportasi ini sangat berarti bagi masyarakat di daerah tersebut, sehingga dengan demikian jalur transportasi ini menjadi jalur prasarana yang menguntungkan terutama dalam membawa hasil-hasil pertanian rakyat yang akan di ekspor ke luar wilayah.

Dengan dibukanya sarana transportasi menjadikan masyarakat Melayu di

Langkat tentu sangat membantu dalam rangka proses mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam proses perolehan pendapatan yang lebih baik.Pada prinsipnya, transportasi air di Langkat sangat erat kaitannya langsung dengan sungai maupun laut. Baik sungai maupun laut memiliki peran yang sangat vital bagi proses

89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kehidupan dan peradaban di suatu wilayah, karena jalur ini nyatanya adalah sebuah tempat proses aktivitas pertanian dan bermukim manusia. Lewat jalur ini sungai menjadi penghubung dunia luar dalam konteks ekspor dan impor perdagangan.

Disamping itu, melalui jalur ini juga menjadi kawasan penghubung antara kawasan pedalaman dengan pesisir, juga hinterlanddengan foreland. Faktanya juga bahwa kawasan hinterland pada umumnya merupakan tempat penghasil lada.99 Sungai- sungai di Sumatera Timur semuanya berawal dari pegunungan Bukit Barisan yang kemudian bermuara ke hilir di Selat Malaka. Di bagian utara, yakni di Langkat, Deli, dan Serdang, serta Asahan, sungai-sungai umumnya pendek, dangkal, dan arusnya deras, karena jarak antara pegunungan dan pantai tidak terlalu panjang. Erosi dan banjir membawa berbagai material dari hulu dan mengendapkannya di daerah hilir secara terus menerus. Penebangan hutan yang meluas oleh pihak onderneming sejak akhir abad XIX sering pula mengakibatkan banjir dan penimbunan lumpur di sepanjang sungai, sehingga secara periodik harus dilakukan pengerukan daerah hilir aliran sungai, terutama pada sungai-sungai penting.100

Salah satu sungai di Sumatera Timur adalah sungai Deli, kendati tidak besar dan relatif dangkal, merupakan hulu dari pelabuhan terbesar di Sumatera Timur,

99 Lada merupakan komoditi yang paling dicari oleh pedagang di wilayah kawasan pantai Sumatera.Kawasan hinterland merupakan daerah penghasil lada, dan daerah ini juga merupakan daerah kekuasaan Aceh. Ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Aceh dengan VOC untuk memonopoli perdagangan lada, Aceh sebagai penguasa awal di daerah-daerah kota di wilayah ini melarang masyarakat untuk melakukan perdagangan dengan bangsa Eropa. Aceh juga membuat kebijakan bagi masyarakat untuk membumihanguskan sebahagian kebun lada agar lada tidak banyak dipasaran. Namun hal ini tidak diindahkan orang Cina. Orang Cina yang menetap di sana masih saja menanamlada di lahan-lahan pertanian disekitar tempat tinggal mereka dan menjualnya ke pihak Eropa karena harganya jauh lebih tinggi daripada dijual kepada orang Aceh. 100MvO(Memorie van Overgave),Asisten-Residen Deli en Serdang controleur S. Van der Plas, van 1913.

90

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Belawan. Sungai-sungai penting lainnya juga memiliki peran yang sangat penting diantaranya adalah Sungai Wampu dan Sungai Langkat di Langkat, Sungai Serdang,

Sungai Bedagai dan Sungai Padang di Deli dan Serdang, serta Sungai Asahan, Sungai

Bilah, dan Sungai Panai di Asahan. Sungai Wampu di Langkat adalah sungai terbesar dan terpanjang di Langkat. Sungai ini berawal dari Saribu Dolok yang terletak di dataran tinggi di wilayah Simalungun, melintasi bagian barat dataran tinggi Karo dan

Langkat Hulu mengalir ke muara di Selat Malaka. Sungai Langkat memiliki arti yang amat penting karena pada aliran ini terdapat pelabuhan Tanjung Pura, sekaligus sebagai pusat pemerintahan Belanda di Langkat. Sungai Serdang, Sungai Bedagai, dan Sungai Padang berawal dari Simalungun. Sungai-sungai ini memiliki arti yang sangat penting karema di muara ketiga sungai ini terdapat pelabuhan, masing-masing adalah Pantai Tjermin, Tanjung Beringin, dan Bandar Khalifah. Sungai Padang juga penting karena sekitar 40 km menuju arah ke hulu terdapat Kota Tebing Tinggi, pusat onder-afdeling Padang Bedagai. Sementara itu sungai Asahan berawal dari danau

Toba di Tapanuli mengalir melintasi Tanjung Balai, yaitu pusat Afdeling Asahan serta bermuara ke Telung Nibung yang merupakan pelabuhan terpenting di wilayah tersebut.Sungai Bilah dan Sungai Panai bermula dari Sungai Barumun yang bermula dari sungai Barumun yang berada di Padang Lawas, Tapanuli, yang melalui jalur yang berbeda di Labuhan Batu sama-sama bertemu di muara pada pelabuhan

Labuhan Bilik.Kedua sungai ini menjadi penting karena cukup dalam untuk dapat dilayari sampai ke daerah hulu.

Di Langkat, selain sungai wampu dan sungai Langkat terdapat sungai-sungai yang berperan penting menjadi jalur untuk mengangkut hasil-hasil produksi lada

91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA rakyat, diantara sungai tersebut yakni : Sungai Ular, Sungai Babalan, Sungai

Besitang, Sungai Salahadji, Sungai Sesirah Besar, Sungai Sekoendoer, Sungai

Toengkam, Sungai djaja, dan Sungai Tanjung Kramat, sungai Batang Jerangan.

Selain jalur transportasi air terdapat juga pembangunan jalan raya, juga dilakukan pembangunan jalur darat, khususnya di Sumatera Timur dipelopori oleh pihak onderneming, yang dimaksudkan untuk kepentingannya sendiri.101 Jalan-jalan ini membelah di tengah-tengah suatu lahan pertanian masyarakat untuk memudahkan penanaman dan pengangkutan hasil panen. Jika terdapat beberapa perkebunan dengan jarak yang berdekatan oleh pemilik yang sama, maka dibuat jalan penghubung di antaranya. Maskapai Deli misalnya di akhir akhir abad XIX telah membangun jalan antara Medan dan Sunggal sepanjang 10 km, dan dari Lubuk Pakam ke Bangun Purba sepanjang lebih kurang 20 km.102 Pembangunan jalan ini kemudian diteruskan oleh pemerintah. Sampai dengan kurun tahun 1918, sudah dibangun jalan utama sepanjang

500 km, yang menghubungkan kota-kota penting di Cultuurgebied. Jalur-jalur yang dibuka adalah rute Medan-Pangkalan Brandan dengan melewati Binjai dan Tanjung

Pura sepanjang 107 km, Medan ke Tebing Tinggi ke Tanjung Balai sepanjang 61 km.

Selain itu juga terdapat juga pembukaan jalan untuk penghubung Cultuurgebied dengan daerah luar lainnya dibangun, seperti dari Kabanjahe ke kota Cane di Aceh, sera dari Parapat ke Tapanuli.103

101 Karl, .J. Pelzer, op. cit., hlm. 87. 102 R. Broersma, Oostkust van Sumatra: De Ontwikkeling van het Gewest, deel II (The Hague, Charles Dixon Deventer, 1922, hlm. 263 103Ibid., hlm. 267.

92

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sampai dengan tahun 1901 pembangunan jalur kereta api yang dipelopori oleh Deli Spoorweg Maatschappij telah dibuka jalur sepanjang 103.382 km di sepanjang wilayah Sumatera Timur. Tercatat khsusus untuk wilayah Langkat tercatat sedikitnya ada rute yang dibuka diantaranya yaitu : dari jalur Binjai hingga ke daerah

Selesai sepanjang 10.576 km, jalur Binjai ke stabat sepanjang 24.036 km, Stabat ke

Tanjung Pura sepanjang 22.426 km, daerah Tanjung Pura hingga ke Pangkalan

Brandan 19.505 km. Dalam kurun waktu 20 tahun kemudian terjadi pengembangan jalur kereta ke daerah lain di wilayah Langkat. Di antara daerah tersebut yakni :

Pangkalan Brandan-Besitang 14.990 km. Dilaporkan juga bahwa di Langkat dibangun jalan besar yang menghubungkan antar-wilayah dimana lebih dari 22 km dari Bindjai , Tanjung Pura sepanjang 59 km, ke arah Pangkalan Brandan sepanjang

83 km, dan kemudian berlanjut ke utara melalui Besitang hingga perbatasan Tamiang dan Aceh.104

Jalur-jalur transportasi darat yang dibangun secara keseluruhan menghubungkan daerah satu dengan daerah yang lain di wilayah Langkat dalam konteks distribusi dan pengangkutan hasil-hasil produksi komoditi pertanian lada rakyat. Jalur darat ini yang kemudian menjadi alternatif yang sangat cocok untuk daerah-daerah yang tidak terhubung dengan jalur darat sekaligus menyebabkan munculnya pusat-pusat perdagangan di wilayah darat sendiri.

104 D.G. Stibbe (et.al), Encyclopaedie van Nederlansch-Indie (Leiden N.V. V/H E.J. Brill s’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919). hlm.531-532.

93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kondisi jalur transportasi ini berpengaruh terhadap jalur pedagangan. Di cultuurgebied pusat produksi semakin dekat dengan jalur transportasi darat. Hasil- hasil pertanian dari daerah hulu dibawa dengan rakit atau juga sampan yang berukuran sedang dan kecil yang kemudian berhenti di bandar-bandar kecil yang merupakan tempat persilangan antara sungai dengan jalur transportasi darat. Baik para petani dan pedagang di Langkat yang akan membawa hasil dapat mengambil jalur alternatif pada jalur ini, seperti halnya di daerah Tanjung Pura atau Pangkalan

Brandan untuk selanjutnya diekspor ke Semenanjung Malaya, Penang, dan Malaka melalui Pelabuhan Baboen, Pelabuhan Pangkalan Brandan, dan juga Pelabuhan

Tanjung Pura. Pada daerah-daerah tertentu yang memang tidak mendapat akses lansung transportasi darat, pengangkutan hasil pertanian lada rakyat dari pedesaan tetap menggunakan transportasi sungai yang mengakibatkan tingginya intensitas perdagangan yang amat tinggi di wilayah tersebut. Pelabuhan Pangkalan Brandan,

Pelabuhan baboen, dan Pelabuhan Tanjung pura menjadi pintu terakhir tempat pengangkutan hasil-hasil pertanian rakyat, termasuk lada rakyat sekaligus menjadikan wilayah Langkat sebagai basis ekspor komoditi Lada terbesar di kawasan Sumatera

Timur ke wilayah Semenanjung Malaya.

Secara umum dapat diketahui bahwa pertanian lada rakyat di Langkat dipegang dan dikendalikan oleh orang-orang Melayu dan para pendatang dari Aceh, termasuk juga proses pengangkutan hasil-hasil produksi komoditi lada dan sarana transportasinya, sehingga jelas arah jalur perdagangan nantinya yang akan dituju.

Biasanya produsen lada akan membawa komoditinya tersebut ke pasar-pasar dengan

94

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menggunakan sampan atau rakit melewati jalur sungai, bahkan juga ada yang menggunakan jalur darat dan kemudian dari pasar ini pedagang lainnya akan membeli yang kemudian akan membawa dan menjual lagi komoditi lada tersebut ke pelabuhan-pelabuhan yang lebih besar dengan menggunakan kapal yang berukuran cukup besar. Dari pelabuhan-pelabuhan besar ini kemudian komoditi lada tersebut diangkut dan di ekspor ke wilayah Semenanjung Malaya, Penang, Singapura, dan

Malaka. Dalam kondisi lain juga biasanya masyarakat membawa hasil produksi ladanya melalui jalur sungai tanpa harus langsung menuju pelabuhan terlebih dahulu.

Terkadang setelah sampai di pasar, sebagian masyarakat Langkat tadi menggunakan jalur darat untung langsung mengangkut hasil produksi ladanya ke Pelabuhan dengan menggunakan gerobak atau juga bantuan hewan ternak, bahkan ada juga yang menggunakan kereta api untuk skala produksi perkebunan lada yang cukup besar untuk selanjutnya kemudian komoditi lada tadi akan di ekspor ke luar wilayah

Langkat.

4.4 Peranan Kesultanan dalam perkembangan tanaman lada di Langkat

Penguasa di pesisir timur laut Sumatera merupakan pewaris-pewaris setia tradisi kesultanan di Nusantara yang sejak awal abad XV mengaitkan politik dan perdagangan. Pada awal abad XIX, mereka tampaknya terlibat langsung dalam kegiatan perdagangan, termasuk dalam pengangkutan barang-barang komoditi ekspor maupun impor di pelabuhan. Disamping itu, mereka juga menjadi pengusaha pertanian, khususnya juga dalam perkebuanan tanaman yang dibudidayakan untuk

95

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tujuan ekspor. Sebagian penghasilan mereka juga berasal dari beragam pajak dan bea yang ditarik dari aliran barang dagangan.

Di dataran rendah, pada umumnya seorang sultan menarik bea ekspor dan impor, serta denda yang dikenakan atas hasil hutan, bea melewati wilayah yang dikenakan pada orang asing, dan benda-benda yang diberikan sebagai upeti. Selain itu, juga terdapat penghasilan dari perkebunan milik sultan sendiri, serta sebagian pajak atas hasil pertanian yang melewati wilayah yang tunduk pada kekuasaannya.

Sultan Langkat memegang monopoli pembagian lahan untuk budidaya lada dan semua hasil panen dijual kepadanya dengan harga yang ditetapkannya sendiri.105

Sultan juga mempunyai sejumlah besar kapal yang digunakan untuk mengangkut berbagai produk dan menjadikannya sebagai menjadi pengusaha kapal.

Munculnya usaha penanaman lada sejak awal abad XIX adalah sebuah awal proses permulaan perkembangan sosial dan ekonomi di daerah Langkat. Sultan

Langkat dengan sejumlah pejabat kesultanan lainnya yang berada pada tampuk pemerintahan kesultanan berdiam pada pusat pemerintahan di Tanjung pura, Langkat.

Kedudukan mereka tidak mempunyai arti, apabila tidak berhasil menguasai daerah- daerah kesultanan Langkat. Oleh karena itu perkembangan kesultanan Langkat sejak terbentuk pada awal abad XVIII, sampai dengan masuknya Belanda di Langkat, ditandai oleh usaha pemerintah pusat menguasai daerah tersebut.

Penguasaan daerah-daerah atas daerah penghasil lada atas kendali pemerintah

Kesultanan Langkat dalam rangka berusaha untuk memonopoli kebun dan perdagangan lada yang tersebar di setiap wilayah-wilayah yang ditanami komoditi

105 Com. Voor het adatrecht, 1915a,loc. Cit., hlm.253.

96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA lada.106 Sejak terbentuknya Kesultanan Langkat dan bersamaan dengan itu wilayah ini juga bagian dari wilayah swapraja, dominasi akan monopoli perdagangan lada benar-benar di monopoli pada akhir abad XIX yaitu di bawah kepemimpinan Sultan

Musa. Kemampuan Sultan Musa dalam mengendalikan monopoli perdagangan lada juga merupakan bukti eksistensi dan pengaruh kesultanan yang sangat kuat. Produksi lada dari berbagai daerah di wilyah Langkat diatur dan di kontrol sedemikian rupa sampai dengan proses ekspor ke luar wilayah Langkat.

Kemunculan daerah-daerah penanaman lada yang baru pada permulaan abad

XX tidak dapat dipisahkan dari meningkatnya harga lada di pasaran internasional.

Harga lada yang amat tinggi pada kurun waktu awal abad XX tersebut merupakan pengaruh langsung yang menjadikan terbukanya pusat-pusat penanaman lada yang di saat yang sama kondisi harga lada adalah kondisi yang tertinggi pada waktu itu.

Pembukaan Singapura sebagai pelabuhan bebas di Semenajung Malaya pada sekitar tahun 1819 juga turut menjadi kawasan tempat ekspor baru daerah lada kesultanan Langkat, karena di saat yang sama Langkat juga telah melakukan ekspor dan perdagangan langsung lada ke Penang di kawasan semenanjung Malaya.107

Meskipun demikian, kebijakan Pemerintah Inggris di Semenanjung Malaya mengadakan perdagangan langsung dengan Langkat agaknya mendapat sedikit keberatan yang serius dari Kerajaan Aceh yang selama ini juga menjadi mitra dagang lada Inggris di kawasan Semenanjung Malaya, walaupun disaat yang sama Kesultan

Melayu dan Inggris di kawasan Semenanjung Malaya sendiri tidak terlalu

106 William Milburn, Oriental Commerce, London: 1825, hlm. 357. 107 D.K. Basset, British Trade and Policy in Indonesia and Malaysia in Late Eighteenth Century, Hull, 1971, hlm. 84.

97

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mempermasalahkan hal tersebut.108Pulau Penang yang dibuka pada tahun 1786 sejak abad XIX menikmati keuntungan besar dari kebijakan perdagangan tersebut, termasuk lada dari Langkat dan kawasan Sumatera Timur lainnya.

Perkembangan daerah-daerah baru dalam penanaman lada berarti menunjukkan suatu kondisi dimana terciptanya sumber pendapatan baru bagi pihak kesultanan. Sejak awal niatan ini sudah muncul dalam pihak sultan yang kemudian sejalan dengan aturan, kebijakan dan regulasi perdagangan komoditi lada rakyat di wilayah Langkat.

Baik Sultan maupun para kepala distrik di berbagai daerah di Langkat juga turut mengundang para mitra asing untuk membangun basis kantor perdagangan di daerah masing-masing. Sehubungan dengan hal itu, kantor-kantor dagang didirikan dan peraturan perdagangan juga ditetapkan. Sebelumnya tidak ada kepastian apakah mereka dapat berdagang. Keberhasilan hanya tergantung pada keberhasilan kapal- kapal yang merapat ke pesisir. Sayangnya, kekecewaan yang timbul bukan saja karena kegagalan mendapat cukup banyak lada sebagai muatan, tetapi juga kerumitan prosedur perdagangan yang dilegitimasi oleh penguasa termasuk dalam hal persediaan barang dan penjualan. Motif tingkah laku para penguasa lokal pun ditolerir oleh para pedagang asing yang tak mengerti bahasa dan adat-istiadat mereka.

Pada akhirnya, berbagai kesulitan dapat disingkirkan setelah kehadiran agen-agen kompeni memungkinkan mereka memperoleh pengaruh dalam masyarakat. Mereka

108 Gubernur Inggris di Semenanjung Malaya , Fullerton, ,menganggap tidak ada gunanya mengefektifkan perjanjian Raffles dengan Sultan Jauhar Alam Syah tahun 1819. Ia justru lebih menitikberatkan kebijakan pada hubungan perdagangan langsung dengan pusat daerah-daerah penghasil lada. Dengan cara itu keuntungan dalam bidang perdagangan akan lebih tinggi. Lihat: Nicholas Parling, British Policy in the Malay Peninsula and Archipelago, 1824-1871, JMBRAS, 1957, hlm. 131.

98

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dapat menginspeksi keadaan kebun-kebun lada yang merupakan komoditi perdagangan paling penting dan melimpah. Mereka juga dapat mengusahakan hasil- hasil yang cukup, menjamin pengumpulan produksi, dan membuat perkiraan jumlah yang dibutuhkan untuk kemudian diangkut dan diekspor.

Selain daripada itu, diadakan juga kontrak tertulis dengan Sultan setempat dan kepala distrik yang mendiami setiap wilayah. Perjanjian ini bertujuan mengikat para

Sultan dan kepala distrik terhadap janji serta kewajiban masing-masing dari tuntutan yang sah. Perjanjian ini juga merupakan usaha yang masuk akal dalam mencegah intervensi pihak luar dalam urusan dagang daerah-daerah sumber penghasil lada.

Perjanjian ini juga sekaligus membuat mereka bertanggung-jawab dan menyuruh rakyatnya menanam lada, bahkan menjamin monopoli penjualannya pada asing.

Sebagai imbalan, mereka diberi perlindungan terhadap musuh mereka, dibantu mempertahankan hak kedaulatan masing-masing, dan dibayar dengan sejumlah gaji atau uang cukai untuk hasil daerah mereka.

Dalam konteks harga, upah dan pendapatan, imbalan atau jerih payah para petani selama bertahun-tahun hanya dinilai sebanyak 10 dollar Spanyol atau 50 shiling per bahar (500 pon). Dalam rangka bertujuan untuk mempergiat usaha dan pertumbuhan investasi harga ini dinaikkan menjadi 15 dollar diperkirakan pada akhir abad XVIII. Harga ini belum termasuk biaya bea cukai yang berbeda-beda di setiap daerah. Umumnya bea cukai tersebut berjumlah 1,5-2 dollar per bahar. Bea cukai itu diserahkan kepada sultan pada acara pesta tahunan. Pada saat yang sama, diserahkan

99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA juga hadiah bagi para petani yang menonjol prestasinya.109 Harga yang rendah ini diajukan kepada para petani sehingga mereka hanya mendapat penghasilan rata-rata tak lebih dari 8 sampai 12 dollar per tahun.

Di Langkat, terdapat kontrak perjanjian yang terikat untuk pelaksanaan pekerjaan tertentu, yaitu: untuk mengubah 1000 petak menjadi satu kaki (0,30 Mdpl.) kedalaman $ 15 hingga $ 20, untuk penanaman 1000 stek sebesar $ 5, untuk membersihkan tanah sekali antara 1000 pohon sebesar $ 3, untuk memilih satu gunca sebesar $ 3 sampai $ 4, untuk menggali parit drainase aliran air dengan lebar 2 kaki sebesar $ 1, dan untuk parit dengan lebar 6 kaki sebesar $ 3.

Dengan mengikat perjanjian semacam itu, majikan selalu menyediakan makanan dan tempat tinggal kepada para petani. Penanam yang bekerja dengan modal pinjaman harus memasok lada pada pasar lokal ke penyedia modal.Penanam bebas untuk menjual ketika produk tidak dijual terlebih dahulu.Dengan ketentuan setiap 1 Dollar110 dihitung pada nilai tetap ƒ1.40 kepada pemilik perkebunan, yang telah menarik uang dari hasil panen, berkewajiban untuk memberikan lada kepada pemberi pinjaman dengan harga yang disepakati pada saat pinjaman, yang sering ditentukan sehingga pemberi pinjaman dijamin mendapatkan keuntungan yang layak.

Kebetulan produk yang dibawa ke pasar di Pulau Kampai dijual ke pedagang

Tionghoa yang disana sedang menunggu muatan lada. Biasanya setelah penjualan

109 Wiliam marseden,loc. cit., hlm. 128. 110 Dollar yang beredar di daerah-daerah pada saat itu adalah Dollartikar atau real Spanyol, yang telah diperkenalkan oleh Portugis sebagai alat pembayaran di Kepulauan. Perusahaan East India telah memberikan nilai delapan shillings (real of eights). Koin-koin adalah readies Belanda untuk 1742 dan kemudian tahun (satu shilling = 30 dolar). Dollar telah digunakan di Pantai Timur Sumatera dalam rangka reformasi mata uang sejak musim semi tahun 1908, dam diizinkan untuk dilakukan penukaran dengan uang Hindia Belanda tetapi untuk kepemilikan koin dilarang oleh pemerintah Hindia-Belanda.

100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA lada, akan ada pembagian hasil antara penanam dan penyedia modal sesuai dengan kesepakatan. Disebutkan pula, semua hasil lada berasal dari distrik Besitang, Pulau

Sembilan dan Pulau Kampai, Serangdjaja, Pangkalan Susu dikumpulkan oleh wakilnya atas nama Sultan Langkat dan selanjutnya merujuk kepada ketentuan dan kewenangan sultan sesuai dengan perjanjian yang sudah ditetapkan pada saat pembagian hasil.111 Pembagagian hasil itu lazim disebut dengan adat lada dan akan dibayarkan setelah selesai transaksi dalam jumlah yang besar.

Tabel 4.4.1.Pembagian hasi sistem adat lada Kesultanan Langkat

Keterangan Nilai Sultan 3 duit Peutoeha besar 2 duit Peutoeha kecil 1 duit Penyedia modal kerja 2 duit Petani 1 duit Sumber : Buitenbezittingen, De pepercultuur, op, cit., hlm. 60-61.

Adapun ketentuan besaran bagi hasil yang ditentukan berdasarkan aturan adat lada adalah masing-masing : 3 duit untuk Sultan, 2 duit peutoeha besar, 1 duit

Peutoeha kecil,2 duit bagi penyedia modal kerja, 1 duit untuk petani, total 9 duit per setiap gantang lada. Tercatat juga bahwa pada tahun 1911 di Poelau Kompai bervariasi harga lada f15 sampaif 24.- per pikul.

111 Buitenbezittingen, De pepercultuur, op, cit., hlm. 60-61.

101

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 4.4.1 Skema dalam adat lada

Sultan

Peutoeha besar

Peutoeha kecil Penyedia modal kerja

Petani

Sumber : Buitenbezittingen, De pepercultuur,op, cit., hlm. 60-61.

4.5. Kemunduran dan Menurunya Hasil Produksi Lada

Berkembangnya industri perkebunan tembakau lewat penanaman modal yang besar di kawasan Sumatera Timur yang ditandai dengan dibukanya onderneming perkebunan membuat pengaruh yang sangat signifikan di wilayah tersebut, termasuk di Langkat yang daerah ini telah cukup lama berkembang sebagai salah satu pusat penanaman lada di Sumatera Timur. Pembukaan perusahaan-perusahaan perkebunan yang sudah dimulai sejak abad XIX dalam perkembangannya menunjukkan peningkatan, keadaan sebaliknya terjadi pada tanaman lada. Di Langkat, pada akhir abad XIX hingga awal abad XX, komoditi lada mengalami dekadansi angka produksinya.112

Produksi walau bagaimanapun, akan lebih besar dalam dua tahun ke depan dibandingkan pada tahun lalu disebabkan peningkatan perawatan yang diberikan untuk pemeliharaan dan pembersihan kebun yang sudah kosong. Akan tetapi tetap

112 Berkurangnya produksi lada pada periode ini tidak saja terjadi di seluruh wilayah Langkat, tetapi hampir di sebagaian besar wilayah Sumatera Timur termasuk Deli, Asahan, Serdang, Hamparan Perak, Buluh Cina menunjukkan penurunan yang cukup besar.

102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA saja permasalahan kualitas tanah dan ancaman serangan hama yang membuat tingkat produktivitas lada bisa menurun baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Sebenarnya penurunan angka produksi lada yang terjadi di Langkat sudah muncul di tahun 1910 ketika munculnya ekspansi tanaman perkebuban tembakau dan karet. Apabila pada masa-masa sebelumnya, daerah Langkat ini merupakan daerah penghasil lada terpenting di kawasan Sumatera Timur. Sejak tahun 1925, sudah sangat minim dalam menghasilkan lada untuk diekspor.

Setidaknya terdapat cukup banyak faktor yang menyebabkan tanaman lada mengalami kemunduran dan penurunan produksi selain munculnya ekspansi tanaman seperti: tembakau, karet, kopi, kelapa, kopra, dan pinang baik itu yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda maupun usaha yang dikembangkan oleh masyarakat sendiri. Pertama ialah berkurangnya lahan penanaman lada yang kemudian dialihkan untuk pembukaan onderneming perkebunan tembakau. Kedua, turunnya permintaan dan ekspor lada di kawasan Semenanjung Malaya yang disebabkan pesatnya perkembangan ekspor tembakau, kemudian yang ketiga adalah harga komoditi lada yang mengalami anjlok diangka yang sangat murah. Dan yang keempat adalah munculnya penyakit tanaman lada yang disebabkan serangan hama terhadap pohon- pohon lada. Untuk hama penyakit yang menyerang tanaman lada, sebenarnya telah dirasakan petani lada sejak awal abad XX. Akibat dari serangan hama penyakit yang terus menerus terjadi, agaknya menyebabkan produksi lada di Langkat mengalami dekadansi. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan penurunan produksi lada menurun secara signifikan adalah terjadinya banjir bandang di pusat Tanjung Pura pada tahun 1915 yang menyebabkan gagalnya panen lada. Selain itu, perkembangan

103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA perkebunan tembakau, karet, bahkan kopi juga sedang mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi.

Menurunnya produksi perkebunan lada rakyat setempat diakibatkan oleh perkebunan tembakau milik pemerintah kolonial Belanda, khususnya dengan cara melarang pembukaan perkebunan baru dan penggantian kebun yang sudah berkurang produksinya. Dengan demikian, usaha perkebunan lada rakyat untuk ekspor di kesultanan merosot cepat pada peralihan abad XX, sehingga usaha petani lada dipojokkan sampai hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.113 Pada akhirnya, perkebunan lada kalah berhadapan dengan pihak onderneming dan selama beberapa waktu menyisih ke pinggiran. Salah satu onderneming terbesar dan cukup terkenal adalah Holland Langkat Tabak Maatschappij.N.V. Perusahaan ini hampir menguasai separuh areal lahan perkebunan di wilayah Langkat. Pada akhir tahun

1910, aktivitas perkebunan dan perdagangan lada di daerah Langkat semakin merosot. Setidaknya di bagian utara wilayah Langkat aktivitas produksi tersebut tetap berlanjut yang dimana banyaknya orang-orang Aceh yang bermukim di wilayah tersebut.114

Tabel 4.5.1 Ekspor Lada hitam Langkat

Tahun Total (dalam Kg) 1909 1.760.214 1910 2.249.674 1911 1.353.160 Sumber:Buitenbezittingen, De pepercultuur, op, cit., 1913. hlm. 62

113Karl J. Pelzer, Western impact on East Sumatra and North Tapanuli, the roles of the planter andthe missionary, JSEAH, 2, 1961, hlm. 68. 114 Tanpa nama, 1911, hlm. 328, ENI, 1919, jil. 3, hlm. 151, Broersma, 1919-1922, hlm. 8.

104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Di Langkat, pemuka-pemuka agama ikut turut pula berperan pada pengembangan perkebunan komoditi yang baru. Diantara yang cukup terkenal adalah

Syaikh Abdul Wahab yang merupakan kepala tarekat Naqsybandiyah yang tahun

1882 mendirikan kampung Babussalam di Langkat, tepatnya di tepi sungai Batang

Serangan, antara Tanjung Pura dan Pangkalan Brandan. Syaikh Abdul Wahab kemudian memperoleh bantuan dana dari sultan untuk membuka hutan. Beberapa tahun kemudian, kampung tersebut memiliki sejumlah perkebunan kelapa dan pohon buah-buahan. Pada tahun 1906, Syaikh Abdul Wahab berhasil membuka perkebunan dengan 400 batang pohon jeruk, diikuti dengan perkebunan karet dengan benih yang dibawa dari wilayah Perak oleh dua orang muridnya pada tahun 1911. Berkat inovasi tersebut, budidaya karet menyebar di daerah Babussalam sampai ke wilayah Stabat.

Disebutkan pula bahwa Syaikh Abdul Wahab juga mencoba budidaya lada sebelumnyan namun karena semakin merosotnya produksi lalu kemudian digantikan dengan pala, pinang dan kopi.

Perkembangan ekonomi yang pesat terjadi pada tahun 1863, ketika Jacob

Nienhuys mengunjungi Pantai Timur Sumatera untuk pertama kali. Ia melihat potensi wilayah yang dianggapnya cocok untuk tanaman tembakau dan segera mengadakan penelitian wilayah yang potensial untuk menghasilkan tembakau berkualitas tinggi.

Perkebunan tembakau sangat menguntungkan, mengingat mutu tembakau Deli sudah dikenal di mancanegara. Oleh sebab itu pembukaan lahan perkebunan tembakau dilakukan secara besar-besaran dan hasilnya diekspor ke mancanegara.

Keberhasilan budidaya Tembakau Deli yang dipelopori Nienhuys ini kemudian di tahun 1860 mengalami permintaan pasar yang sangat besar disamping

105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA harganya yang amat tinggi, membuat para investor tertarik untuk menanamkan sahamnya di Sumatera Timur. Sejak saat itu semakin besar pula permintaan atas lahan di wilayah Sumatera Timur, bahkan melewati tapal batas wilayah para Sultan yang ada di Sumatera Timur. Diawali dari wilayah kesultanan Deli sebagai daerah pertama dibukanya lahan, permintaan lahan kemudian meluas hingga ke kawasan

Langkat, Serdang, Asahan serta daerah lainnya. Segera setelah tanah konsesi didapat, hutan-hutan kemudian dibuka untuk ditanami Tembakau Deli. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak onderneming Tembakau Deli yang berada di bagian utara Langkat, dan bagian Selatan meliputi Serdang, Simalungun, Asahan, dan daerah

Sumatera Timur lainnya mengalami kegagalan disebabkan kualitas lahan yang kurang baik. Selain daripada itu, minimnya pengetahuan tentang budidaya penanaman tembakau awalnya merupakan menjadi permasalahan tersendiri pada saat itu.

Sehingga kemudian banyakondernemingdi antaranya ditutup karena mengalami kerugian. Dalam laporan disebutkan bahwa pada tahun 1890, terdapat penelitian yang membuktikan bahwa Tembakau Deli yang ditanam di kawasan antara Sungai Wampu yang ada di Langkat dan Sungai Ular yang terdapat Deli Serdang adalah tembakau dengan kualitas yang terbaik.

Keberhasilan usaha penanaman tembakau selain dipengaruhi oleh kesuburan tanah, juga dipengaruhi oleh keadaan iklim selama masa pertumbuhannya, seperti curah hujan, kelembaban, penyinaran dan suhu. Walaupun tembakau yang ditanam sama, namun jika iklimnya berbeda maka kualitas yang dihasilkan akan berbeda pula.

Tanaman tembakau dapat tumbuh pada dataran rendah maupun dataran tinggi tergantung pada varietasnya. Ketinggian tempat yang paling cocok untuk

106

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pertumbuhan tanaman tembakau adalah 0-900 mdpl.Tanaman tembakau dataran rendah, curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, sedangkan untuk tembakau dataran tinggi, curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun. Dan suhu 21-32,30 C. 115 Lokasi untuk tanaman tembakau sebaiknya dipilih di tempat terbuka, dan waktu tanam disesuaikan dengan jenisnya.

Tembakau Deli merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu.

Kadar nikotin yang terkandung di dalamnya relatif lebih rendah dari tembakau lain.

Tembakau Deli memiliki daun jenis elastisitas yang sangat baik, sehingga menghasilkan daya bakar dan warna abu yang putih sebagi ciri khas cerutu berkualitas tinggi. Oleh sebab itu, tembakau Deli menjadi komoditi yang sangat laku dipasaran Eropa. Hal tersebut kemudian yang membuat lahan yang sebelumnya ditanami lada kemudian dikonversi menjadi lahan untuk penanaman dan pembukaan perkebunan. Hal tersebut didukung dengan laporan bahwa di Langkat sudah ada 27 onderneming perkebunan tembakau yang menyebabkan semakin hilangnya lahan perkebunan lada sekaligus menjadi faktor penurunan produksi komoditi lada. Salah satu onderneming terbesar adalah Holland Langkat Tabak Maatschappij N.V. yang hampir menguasai lahan perkebunan tembakau di wilayah Langkat.

115 Listyanto, Budidaya Tanaman Nicotiana tabacum/Tembakau, Jakarta: Alam Lestari Maju Indonesia , 2010.

107

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 4.5.2Jumlah Onderneming Tembakau di wilayah Sumatera Timur 1864- 1904 Tahun Jumlah Tahun Jumlah 1864 1 1887 114 1873 13 1888 141 1874 23 1889 153 1876 40 1891 169 1881 67 1892 135 1883 74 1893 124 1884 76 1894 111 1885 88 1900 139 1886 104 1904 114 Sumber: Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli SumateraTimur pada Awal Abad XX, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, 1997, hlm. 71.

Selanjutnya adalah tanaman ekspor yakni karet yang menjadi primadona bagi pasar perdagangan internasional. Tanaman komoditi ini sangat menguntungkan pengusaha-pengusaha perkebunan. Karet merupakan tanaman yang harus dikelola dengan tenaga kerja dan modal besar.116 Penanaman karet merupakan alternatif untuk pengalihan baik lada maupun tembakau yang sudah selesai digunakan. Penanaman karet merupakan alternatif untuk pengalihan lahan tembakau yang sudah selesai digunakan. Namun sampai tahun 1900, di Sumatera Timur tidak ada perusahaan perkebunan komersial karet. Tahun 1902 Deli Maatschappij bersama denganHolland

Langkat Rubber Maatschappij N.V. baru memilki 5.000 pohon karet di daerah

Langkat, kemudian diperluas sehingga memiliki sekitar 21.000 jenis karet ficus dan havea.Sebelumnya perusahaan Swiss pada tahun 1899 mencoba menanam 10.000 pohon karet, namun sebelum panen hasil pertama telah dua kali berpindah tangan,

116 Clifford Geertz, Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 17.

108

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang akhirnya milik Sumatera Rubber Plantation Ltd. Periode tahun 1899 sampai tahun 1905 penanaman karet hanyalah proyek percobaan.

Tabel 4.5.3 Harga operasi Pasar penjualan karet pada tahun 1928-1935 Harga operasi Harga jual Tahun pasar (dalam (dalam kilogram) kilogram 1928 78 152 1929 78 146 1930 80 83 1931 56 40.5 1932 45 31 1933 40 32.5 Sumber : Reports of the Rubber Culture Company Amsterdam, qouted in, J. De Waard, De Oostkust van Sumatra in Tijdschrift voor Economische Geografie, Vol. 25, No. 8, 1934, hlm. 263.

Pada tahun-tahun pertama, perkembangan perkebunan karet belum memberi hasil yang berarti. Pada tahun 1906 baru dilakukan perluasan perkebunan karet. Hal ini karena tanah dan iklim di Sumatera Timur sangat cocok untuk ditanami karet, sehingga meningkatkan penanaman modal asing yang berminat pada tanaman baru ini. Pada masa itu merupakan suatu periode yang paling luar biasa dalam perkembangan sejarah perkebunan di Hindia Belanda, khususnya selama dua dekade pertama, permintaan terhadap karet hasil produksi perkebunan Sumatra Timur sangat meningkat di pasaran dunia. Luas karet telah meningkat dari 188.000 menjadi

255.500 hektar.117 Pada tahun 1920 pemerintah Hindia Belanda dan para pengusaha perkebunan benar-benar mulai menaruh perhatian kepada karet rakyat. Perhatian pemerintah secara resmi yaitu pada tahun 1930 dengan didirikan Badan Rencana

Pembatasan Karet International (International Rubber Restriction Scheme).

117 Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870- 1979, Yogyakarta: Pustaka Karsa 1995, hlm.142.

109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 4.5.4 Komoditi Ekspor wilayah Langkat

Komoditi 1922 1923 1924 1925 1926 Kuantitas Nilai Kuantitas Nilai Kuantitas Nilai Kuantitas Nila Kuant Nilai i itas Kayu 92.813 - 44.962 - - - 277.614 - 487.9 - Manis 20 Kopra 23.786 - 23.651 - 44236 - 70.872 - 87.44 - 6 Karet 144.095 - 537.871 - 704.046 - 718.595 - 766.8 - 57 Arang 2.229 - 2806.740 64.66 1.918.764 45.744 2.560.490 62.3 2.375. 76.42 23 752 8 Lada 484.847 - 230.097 - 138.137 - 177.116 - 87.96 - 1 Buah 86.995 7.738 108.501 24.121 167.556 27.534 146.821 28.8 132.1 33.17 Pinang 31 67 5 Rotan 124 - 16.322 2.670 1.533 264 3.115 466 5.588 1.132 Sumber:MvO (Memorie van Overgave)de onderafdeeling Pangkalan Brandan, controleur J. J. Mendelaar van 1925-1927. Dalam laporan pejabat controleur Pemerintah kolonial Belanda di

onderafdeeling Pangkalan Brandan pada tabel 4.5.3 diatas menunjukkan komoditi

perdagangan yang di perdagangkan pada awal abad XX. Sangat jelas sekali terjadi

penurunan produksi Lada yang disebabkan berkembangnya komoditi tanaman ekspor

lainnya seperti karet, tembakau dan pinang. Produksi lada di tahun 1922 sebanyak

484.847, kemudian di tahun selanjutnya masing-masing sebanyak 230.097 di tahun

1923, 138.137 di tahun 1924, lalu kemudian di tahun 1925 sebanyak 177.116 dan

terakhir di tahun 1926 sebesar 87.961.

110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 4.5.5 Daftar Perusahaan dan konsesi terhadap perkebunan di Langkat

Jlh. Kon Pada Jenis Tahun Pesaing Jlh. struk yang yang dibuka Nama Konsesi Admini Jumlah kuli si ditan ditana Perusahaan Perusahaan stur Asisten gratis ditan am m am

Boekit The K.A. 2 189 79 1326 4400 Karet 1909 santang sumatra richter propiotary rubber plantations ltd Rangaja Rubber h.j.hoef 3 413 - 1113 6487 Karet 1910 cultuur my smit amsterdam Birah J.SCHILDE N.H.K - - 95 180 320 Karet 1910 N l.a. Belle ESSEL dan ditutup S Kopi dan dibuka kembali pada 1921- 1923 Anteiseaja Hawaiian A.ch. 1 252 19 1090 5705 Karet 1913 sumatra van dan plantations Sumate Kopi Ltd. ra Rossum m Futura THE GLEN 1 113 30 899 21 ½ Karet 1916 B,Luthi Bervie rubber B.Luthi company ltd. Glen bervie & Futura est. Sumber: MvO (Memorie van Overgave)de onderafdeeling Pangkalan Brandan, controleur J. J. Mendelaar van 1925-1927.

111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB V

KESIMPULAN

Penelitian yang dihasilkan ini pada dasarnya merupakan kajian yang membicarakan tentang salah satu wilayah khusus di Kawasan Sumatera Timur yaitu

Masyarakat daerah Langkat. Tinjauan tersebut menunjukkan bahwa perkembangan sosial ekonomi di wilayah ini amat penting dan kemudian dipengaruhi oleh motif ekonomi pertanian rakyat. Dalam peranan ekonomi pertanian rakyat ini dalam konteks proses kehidupan masyarakat, perekonomian rakyat ini dimulai sejak awal pembentukan masyarakat.

Kemunculan perkembangan ekonomi sejak awal abad XIX dari penanaman lada rakyat adalah menjadi dasar utama bagi perkembangan masyarakat pada wilayah

Langkat. Usaha penanaman lada rakyat yang berhasil, yang awalnya diprakarsai oleh orang-orang pendatang dari Aceh Timur yang masuk melalui Tamiang menuju wilayah Langkat menyebabkan terjadinya perkembangan di bidang sosial maupun ekonomi.

Dinamika daerah penghasil lada rakyat ditandai dengan persaingan dan gesekan antar wilayah kompetitor penghasil lada dengan pangsa pasar tujuan ekspor lada tersebut. Gesekan ini didasarkan pada usaha untuk memonopoli usaha perdagangan lada. Selain itu tampilnya Inggris sebagai mitra dagang daerah penghasil lada juga membuat Inggris melancarkan dinamika konflik antar daerah penghasil lada. Meskipun agaknya persoalan internal juga terjadi pada daerah-daerah penghasil lada dalam konteks pembagian hasil dengan intensitas konflik yang tidak terlalu

112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tinggi, termasuk Langkat. Intensitas tersebut agaknya berbeda dengan yang terjadi di

Deli, Serdang, Asahan bahkan Aceh Timur sendiri.

Terdapat dua alasan utama meningkatnya harga lada rakyat pada awal abad

XIX. Pertama, ialah karena menurunnya produksi lada rakyat di Banten menjelang akhir abad XVIII, sebagai akibat dari monopoli perdagangan lada rakyat yang dilaksanakan penguasa Banten. Alasan kedua yaitu berkurangnya peranan pedagang- pedagang Belanda dalam perdagangan itu. Di Sumatera Timur termasuk di Langkat sendiri, secara umum Pemerintah Kolonial Belanda tidak terlalu ambil bagian dan pengaruh dalam usaha penanaman serta pengembangan tanaman lada, justru Inggris lah yang sangat aktif dan menjadi mitra dagang daerah-daerah Sumatera Timur di kawasan Semenanjung Malaya dalam konteks perdagangan lada.

Permintaan lada rakyat yang berlangsung secara terus menerus oleh pasar internasional dari sejak awal terjadinya hubungan perdagangan langsung antara Eropa dengan Asia menuntut selalu adanya daerah produksi. Kebutuhuan ini menyebabkan daerah produksi yang mengalami kemunduran segera digantikan oleh daerah produksi yang baru.Kemunduran daerah produksi lada rakyat di Banten digantikan oleh daerah-daerah Pantai Timur maupun Barat Sumatera. Sejak akhir abad XVIII, daerah- daerah baru itu berkembang sebagai daerah penghasil lada rakyat.

Permintaan lada rakyat yang besar oleh pasar dunia menyebabkan orang berusaha membuka kebun-kebun lada rakyat baru. Lahan untuk menanam lada rakyat pada daerah baru yang belum dipakai untuk tanaman lain cukup tesedia di Langkat.

Oleh karena itu daerah baru berkembang untuk penanaman lada rakyat sejak awal abad XIX.

113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pembukaan pulau Penang dan Singapura (dulunya bernama Tumasik) masing- masing pada tahun 1786 dan 1819 menjadikan kedua pelabuhan tersebut menjadi basis perdagangan. Selain itu, kedua pelabuhan di Semenanjung Malaya ini yang menjadi tempat untuk menampung eksport barang dan komoditi dari Pulau Sumatera sebelum dikirim ke Tiongkok dan Eropa. Sebaliknya juga, daerah-daerah di Sumatera

Timur, seperti misalnya Langkat juga melakukan impor peralatan dari pulau Penang dalam rangka menunjang prospek pengembangan perkebunan rakyat.

Kondisi geografi dan ekologi wilayah Langkat sendiri sangat memungkinkan untuk pengembangan tanaman lada rakyat pada masa itu juga menentukan bagi perkembangan Langkat pada tahap awal pengembangan tanaman lada rakyat. Kondisi

Langkat yang langsung berhadapan dengan kawasan Selat Malaka juga membawa pengaruh cukup penting bagi perkembangannya. Keadaan ini menyebabkan Langkat termasuk kedalam jaringan perdagangan internasional.

Harga lada rakyat yang aada pertengahan abad XVII berkisar f10 perpikul pada awal abad XIX naik menjadi f 21. Pada tahun-tahun 1820, harga lada rakyat mencapai tingkat tertinggi selama abad XIX dan XX. Selama periode itu di pulau penang harga lada rakyat berkisar antara 11 sampai 14 ringgit spanyol perpikul, berarti sekitar f 37.

Tingginya intensitas penanaman lada rakyat sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang sangat penting ketika itu menyebabkan pengaruh terhadap mobilitas sosial dalam masyarakat maupun hubungan antara para penguasa. Aktivitas ekonomi yang amat terpusat pada penanaman lada rakyat periode awal perkembangan masyarakat Langkat yang amat signifikan ini nyatanya membawa pengaruh langsung

114

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bagi kehidupan masyakarat. Pertama, terbentuknya pemukiman-pemukiman baru yang yang dihuni oleh para pendatang,penanam lada rakyat. Meskipun pada masa awal penanaman lada rakyat pemukiman baru itu belum lagi terbentuk secara permanen, akan tetapi dalam perkembangan secara bertahap kemudian terbentuklah kampung-kampung penduduk secara tetap. Para kepala dalam penanaman lada rakyat peutua seuneubojuga disaat bersamaan juga berperan sebagai kepala distrik di setiap wilayah di Langkat yang dalam dalam usaha penanaman lada rakyat ini mendapatkan hasil dan keuntungan yang cukup tinggi. Keberhasil mereka dalam mengumpulkan sejumlah besar kekayaan dari penanaman lada rakyat, memiliki daerah penanaman lada rakyat tidak lain disebabkan dengan adanya kebijakan sistem adat lada yang telah dibuat oleh Sultan. Kebijakan ini yang membuat Sultan dan peutua seuneubomenjadikaya.

Berkembangnya industri perkebunan tembakau lewat penanaman modal yang besar di kawasan Sumatera Timur yang ditandai dengan dibukanya ondernemingsalah satunya yaitu perusahaa perkebunan tembakau Holland Langkat Tabak Maatschappij

N.V. dimana memberikan pengaruh yang sangat signifikan di wilayah tersebut, termasuk di Langkat yang daerah ini telah cukup lama berkembang sebagai salah satu pusat penanaman lada di Sumatera Timur. Memasuki awal abad, tanaman kada mengalami kemunduran secara drastis, dan sejak saat itu secara berangsur-angsur hilang peranannya dalam basis perekonomian rakyat. Pembukaan perusahaan- perusahaan perkebunan yang sudah dimulai sejak abad XIX dalam perkembangannya menunjukkan peningkatan, keadaan sebaliknya terjadi pada tanaman lada. Di

115

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Langkat, pada akhir abad XIX hingga awal abad XX, komoditi lada mengalami dekadansi angka produksinya.

Produksi walau bagaimanapun, akan lebih besar dalam dua tahun ke depan dibandingkan pada tahun lalu disebabkan peningkatan perawatan yang diberikan untuk pemeliharaan dan pembersihan kebun yang sudah kosong. Akan tetapi tetap saja permasalahan kualitas tanah dan ancaman serangan hama yang membuat tingkat produktivitas lada bisa menurun baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Sebenarnya penurunan angka produksi lada yang terjadi di Langkat sudah muncul di tahun 1910 ketika munculnya ekspansi tanaman perkebuban tembakau dan karet. Apabila pada masa-masa sebelumnya, daerah Langkat ini merupakan daerah penghasil lada terpenting di kawasan Sumatera Timur. Sejak tahun 1925, sudah sangat minim dalam menghasilkan lada untuk diekspor.

Setidaknya terdapat cukup banyak faktor yang menyebabkan tanaman lada mengalami kemunduran dan penurunan produksi selain munculnya ekspansi tanaman seperti: tembakau, karet, kopi, kelapa, kopra, dan pinang baik itu yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda maupun usaha yang dikembangkan oleh masyarakat sendiri. Pertama ialah berkurangnya lahan penanaman lada yang kemudian dialihkan untuk pembukaan onderneming perkebunan tembakau. Kedua, turunnya permintaan pasar dunia terhadap komoditi lada rakyat. Hal tersebut jelas terlihat ketika berkurangnya permintaan lada di kawasan Semenanjung Malaya yang disebabkan pesatnya perkembangan ekspor tembakau, kemudian yang ketiga adalah harga komoditi lada yang mengalami anjlok diangka yang sangat murah disebabkan komoditi hasil perkebunan barat yang lebih banyak dibutuhkan seperti misalnya

116

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA :Tembakau, karet dan kelapa sawit. Penurunan permintaan pasar internasional menyebabkan penurunan harga lada rakyat turun secara drastis.

Dan yang keempat adalah munculnya penyakit tanaman lada yang disebabkan serangan hama terhadap pohon-pohon lada. Serangan hama penyakit yang sangat sulit diatasi ini kemudian menyebabkan pohon-pohon lada rakyat menjadi mati. Untuk hama penyakit yang menyerang tanaman lada, sebenarnya telah dirasakan petani lada sejak awal abad XX. Akibat dari serangan hama penyakit yang terus menerus terjadi, agaknya menyebabkan produksi lada di Langkat mengalami penurunan. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan penurunan produksi lada menurun secara signifikan adalah terjadinya banjir bandang di pusat Tanjung Pura pada tahun 1915 yang menyebabkan gagalnya panen lada.

117

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Arsip

De goedkeuring van een gesloten overeenkomst tussen het inlandsch zelfbestuur van Langkat en de heer L.A Scott Elliot tot het winnen van aardolien en andere delfstoffen 1896-1897, dalam Inventaris Arsip Algemene Secretarie Seri Grote Bundel Besluit 1891-1942 jilid 1.

Besluit Onivagens bij den Gouvernements Secretarie Oostkust Sumatra, Consideratien en Advies Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid 1896.

MvO (Memorie van Overgave)de onderafdeeling Pangkalan Brandan, J. J. Mendelaar.

MvO (Memorie van Overgave), Vanhet bestuur over de onder-afdelling Pangkalan Brandan, M. Wyzenbeek.

MvO (Memorie van Overgave), Asisten-Residen Deli en Serdang, S. Van der Plas.

Inventaris Arsip Commissorial, 19 November 1926, No. 31713, Arsip Nasional Republik Indonesia.

Kolonial Verslag, 1886-1911: Mededeelingen van De Handelavereeningingte Medan, Kolonial Verslag, 1916, Kolonial Verslag, 1913, Kolonial Verslag, 1917, dalamEdi, Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat di Sumatera Timur”, dalam Tesis S-2, Universitas Gadjah Mada, 1998

KIT (Koninklijk Instituut voor de Tropen) Sumatera Utara No 593/54, No. Inventaris F.1, Arsip Nasional Republik Indonesia.

Kartografi Indonesia Jilid I, No. Inventaris KG. 1, No. 1312, ANRI.

118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Staatsblad van Nederlansch Indie, Binnenlansdch Bestuur Civiele Gezaghebbers Vendukantoren Oostkust van Sumatra. Besluit van den Gouvernal-General van Nederlansch Indie van 31 Januari 1910, No. 21.

B. Buku, Laporan, Artikel, Jurnal, dan Karya Leksikografi

Anderson, John. Acheen and the ports on the north and east coast of Sumatra 1840. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979.

______.Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. New York: Oxford University, 1971.

Abdul Hamid A,Datuk Oka. Sejarah Langkat Mendai Tuah Berseri. Medan: Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara, 2011.

Breman, Jan. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli SumateraTimur pada Awal Abad ke-XX. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, 1997.

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. Situs Sejarah Dunia Kilang Minyak Pangkalan Berandan.Medan: Balitbang Provinsi Sumatera Utara, 2011.

Bottomore, B. Elite dan Masyarakat. Jakarta: Institut Akbar Tanjung, 2006.

Broersma, R. Oostkust van Sumatra: De Ontwikkeling van het Gewest, deel II The Hague: Charles Dixon Deventer, 1922.

Basset,D.K. British Trade and Policy in Indonesia and Malaysia in Late Eighteenth Century. Hull, 1971

Com. Voor het adatrecht. Rechtsverhoudingen bij de pepercultuur 1913, Adatrechtbundels, X. 1915.

119

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Com. Voor het adatrecht. Het maleische gebied. Rechtsverhoudingen bij de pepercultuur, 1913. Adatrechtbundels, X, 1915a.

Dahlan, Ahmad. Sejarah Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014.

De Ridder, J.De Invloed van de Westersche cultuures op de autoctone bevolking terOostkust van Sumatra. Wageningen: H. Veeman & Zonen, 1935.

De Waard, J. De Oostkust van Sumatra in Tijdschrift voor Economische Geografie, Vol. 25, No. 8, 1934.

Geertz, Clifford. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, (Terjemahan). Dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985.

Husny, T.L. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur 1612 - 1950, Medan: B. P. Husny, 1975.

H, M. Schadee, William. Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust , Amsterdam: Oostksut van Sumatra-Instituutt, 1918.

Ismail, Muhammad Gade. Seuneubok Lada, Uleebalang, dan Kompeni Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur, 1840-1942. Jakarta: Pustaka CSIS, 1991.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995.

120

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kian Wie, Thee. Plantation Agriculture and Export Growth : An Economic History of East Sumatera 1863-1942. Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1977.

Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Adtya Media, 1991.

Kanisius, Agraris. Bercocok tanam lada. Yogykarta: Penerbit Kanisius, 1980.

Luckman Sinar, Tengku. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun Terbit.

Laura Stoler, Ann. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Yogyakarta: Pustaka Karsa 1995.

Listyanto, Budidaya Tanaman Nicotiana tabacum/Tembakau, Jakarta: Alam Lestari Maju Indonesia , 2010.

Milburn, William. Oriental Commerce, London: 1825.

Mohr,E.C. Jul. De Natuurlijke Grondslagen voor de Ontwikkeling van Sumatra. Amsterdam: J.H. de Bussy, 1921.

Missen,G. J. Viewpoint on Indonesia:A Geographical Study. Melbourne: Thomas Nelson, 1972.

Marseden, William. The History of Sumatra. London: Oxford University Press, 1811.

Masyuhuri. Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di Palembang 1790- 1825 (Tesis), Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1983.

121

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pelzer, Karl J.Toean Kebon dan Petani: Politik Kolonial Dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863 - 1947, (Terjemahan). Dari J. Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1985.

______. Physical and Human Resources Pattern. dalam: Ruth Mc. Vey (ed), Indonesia. New Heaven: Yale University Press, 1963.

______. Western impact on East Sumatra and North Tapanuli, the roles of the planter andthe missionary, JSEAH, 2, 1961

Panggabean, Pananian. Lahirnya Kota Medan sebagai Pelabuhan Ekspor Hasil-Hasil Perkebunan 1863-1940, (Tesis), Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1988.

Pelly, Usman, dkk. Sejarah Pertumbuhan Pemerintahan Kesultanan Langkat, Deli, dan Serdang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1986.

O’Malley,John. Indonesian in The Great Depression a Study of Yogyakarta and East Sumatra, (Tesis), London: Cornell University, 1977.

Perret,Daniel. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, Puslit Arkenas, 2010.

Parling, Nicholas. British Policy in the Malay Peninsula and Archipelago 1824-1871. JMBRAS, 1957.

Ratna, “Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XII”, dalam TesisS2 belum diterbitkan, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM, 1990.

122

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

______. Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, (Terjemahan). Dari Tom Anwar, Jakarta: Komunitas Bambu, 2012.

______. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1985.

______. Soematra Tempo Doeloe Dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2010.

Rismunandar, Riski, H.M. Lada: Budidaya dan Tata Niaga. Jakarta: Penebar Swadaya, 2003.

Somers Heidhues, Mary F. Timah Bangka dan Lada Mentok: Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII sampai dengan Abad XX. Jakarta: Yayasan Nabil, 2008.

Sedikit, Mahadi. Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanahdi Sumatera Timur Tahun 1800-1975. Bandung: Penerbit Alumni, 1978.

Soedewo, Ery. Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten (Jurnal), Medan: Balai Arkeologi Medan, 2007.

Stibbe, D.G., et.al., Encyclopaedie van Nederlansche Indie. Leiden: N.V. V/H E.J. Brill s’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919.

123

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sumarno, Edi. Pertanian Karet Rakyat di Sumatera Timur, (Tesis), Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 1998.

Van Cats Baron de Raet, J. A. M..Vergelijgking van den vroegeren Toestand van Deli, Serdang, enLangkat, dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde van Bataviasch Genootchap, deel XII, 1887.

Wurtzburg.A Brief account on the several countries surronding Prince of Wale’s Island with their production. Reed from Captain Leight in 1789, JMBRAS, XVI, 1938.

W. Van Bemmelen, Rein. The Geology of Indonesia. De Hague: Van Hove, 1949.

Zuhdi, Sulaiman. Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejal Sejarah dan Peradaban. Stabat: Stabat Medio, 2013.

124

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN I Staatsblad van Nederlansch Indie, Binnenlansdch Bestuur Civiele Gezaghebbers Vendukantoren Oostkust van Sumatra. Besluit van den Gouvernal- General van Nederlansch Indie van 31 Januari 1910, No. 21.

Sumber: Koleksi Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia.

LAMPIRAN II Staatsblad van Nederlansch Indie, Binnenlansdch Bestuur Civiele Gezaghebbers Vendukantoren Oostkust van Sumatra. Besluit van den Gouvernal- General van Nederlansch Indie van 31 Januari 1910, No. 21.

125

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN III Staatsblad van Nederlansch Indie, Binnenlansdch Bestuur Civiele Gezaghebbers Vendukantoren Oostkust van Sumatra. Besluit van den Gouvernal- General van Nederlansch Indie van 31 Januari 1910, No. 21.

Sumber: Koleksi Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia.

126

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN IV ArsipDe goedkeuring van een gesloten overeenkomst tussen het inlandsch zelfbestuur van Langkat en de heer L.A Scott Elliot tot het winnen van aardolien en andere delfstoffen 1896-1897, dalam Inventaris Arsip Algemene Secretarie Seri Grote Bundel Besluit 1891-1942 jilid 1.

. Sumber:Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil 472 BT.1897-01-15/5.

127

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN V ArsipDe goedkeuring van een gesloten overeenkomst tussen het inlandsch zelfbestuur van Langkat en de heer L.A Scott Elliot tot het winnen van aardolien en andere delfstoffen 1896-1897, dalam Inventaris Arsip Algemene Secretarie Seri Grote Bundel Besluit 1891-1942 jilid 1.

Sumber:Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil 472 BT.1897-01-15/5.

128

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN VI Arsip Besluit Onivagens bij den Gouvernements Secretarie Oostkust Sumatra, Consideratien en Advies Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid 1896.

Sumber: Koleksi Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia.

129

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN VII Arsip Besluit Onivagens bij den Gouvernements Secretarie Oostkust Sumatra, Consideratien en Advies Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid 1896.

Sumber: Koleksi Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia.

130

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN VIII Arsip Besluit Onivagens bij den Gouvernements Secretarie Oostkust Sumatra, Consideratien en Advies Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid 1896.

Sumber: Koleksi Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia.

131

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN IX Arsip Besluit Onivagens bij den Gouvernements Secretarie Oostkust Sumatra, Consideratien en Advies Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid 1896.

Sumber: Koleksi Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia.

132

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN X Arsip Besluit Onivagens bij den Gouvernements Secretarie Oostkust Sumatra, Consideratien en Advies Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid 1896.

Sumber: Koleksi Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia.

133

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XI Arsip tulisan tangan langsung, De goedkeuring van een gesloten overeenkomst tussen het inlandsch zelfbestuur van Langkat en de heer L.A Scott Elliot tot het winnen van aardolien en andere delfstoffen 1896-1897, dalam Inventaris Arsip Algemene Secretarie Seri Grote Bundel Besluit 1891-1942 jilid 1.

Sumber:Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil 472 BT.1897-01-15/5.

134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XII Arsip tulisan tangan langsung, De goedkeuring van een gesloten overeenkomst tussen het inlandsch zelfbestuur van Langkat en de heer L.A Scott Elliot tot het winnen van aardolien en andere delfstoffen 1896-1897, dalam Inventaris Arsip Algemene Secretarie Seri Grote Bundel Besluit 1891-1942 jilid 1.

Sumber:Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil 472 BT.1897-01- 15/5.

135

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XII Membersihkan areal lahan untuk pembangunan kebun baru.

Sumber: Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

136

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XIII Lokasi areal kebun, sulur muda memimpin melawan batang sementara.

Sumber: Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

137

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XIV Tanaman lada muda memimpin terhadap pos pendukung terakhir.

Sumber: Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

138

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

LAMPIRAN XV Pengikatan sulur-sulur lada

Sumber: Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

139

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XVI

Pemeliharaan kebun oleh Petani lada

Sumber: Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

140

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XVII

Pemilahan

Sumber: Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

141

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XVIII

Tumpukan Lada yang baru dipetik dari kebun

Sumber: Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

142

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XIX

Pencucian, perendaman, dan persiapan lada putih di Langkat.

Sumber: Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XX

Pengeringan lada putih

Sumber: Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

144

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XXI

Penimbangan dan persipan pengiriman lada.

Sumber:Buitenbezittingen, De pepercultuur, Batavia: Landsdrukkerij, 1913.

145

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN XXII

Pembakaran gas alam di lokasi pengeboran minyak Pangkalan Brandan tahun 1915.

Sumber: Kleingrothe, C.J. /Leiden University Library.

LAMPIRAN XXIII

Pembukaan lahan baru untuk membangun gudang pengeringan dan rumah asisten

Sumber: KIT (Koninklijk Instituut voor de Tropen) Sumatera Utara No 593/54, No. Inventaris F.1, Arsip Nasional Republik Indonesia.

146

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA