ANALISIS MINAT PETANI MUDA BERWIRAUSAHA DALAM BIDANG PERTANIAN KOPI (Study Kasus di Desa Tanjung Barus, Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo)

TESIS

Oleh: EVI ESALY KABAN – 177024009

MAGISTER STUDY PEMBANGUNAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

Universitas Sumatera Utara ANALISIS MINAT PETANI MUDA BERWIRAUSAHA DALAM BIDANG PERTANIAN KOPI (Study Kasus di Desa Tanjung Barus, Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan dalam Program Studi – Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh: EVI ESALY KABAN – 177024009

MAGISTER STUDY PEMBANGUNAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada Tanggal : 8 Pebruary 2021

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Erika Revida, MS. Anggota : 1. Prof. Dr. Humaizi, MA. 2. Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si. 3. Dra. Ria Manurung, M.Si

Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN

“ANALISIS MINAT PETANI MUDA BERWIRAUSAHA DALAM BIDANG PERTANIAN KOPI (Study Kasus di Desa Tanjung Barus, Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo)”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Studi Pembangunan pada Program Studi – Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya peneliti sendiri. Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Pebruary 2021 Penulis,

Evi Esaly Kaban

Universitas Sumatera Utara ANALISIS MINAT PETANI MUDA BERWIRAUSAHA DALAM BIDANG PERTANIAN KOPI (Study Kasus di Desa Tanjung Barus, Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo)

Abstrak Keterlibatan kaum muda dalam pertanian semakin menurun dari tahun ke tahun. Pertanian dianggap tidak menjanjikan pendapatan yang cukup, kotor dan tidak berpendidikan. Rendahnya minat kaum muda dalam pertanian akan mempengaruhi keberlanjutan pertanian. Pola wirausaha dalam bidang pertanian atau wirausaha pertanian diyakini dapat meningkatkan pendapatan petani yang pada akhirnya menarik minat petani muda dalam bidang pertanian. Selain itu, wirausaha pertanian juga diyakini dapat memberikan cara pandang baru bahwa pertanian tidak berarti kuno, kotor dan tidak berpendidikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis minat petani muda dalam melakukan wirausaha pertanian kopi. Metode penelitian yaitu metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik Diskusi Kelompok Terfokus dan Wawancara Informan Kunci. Informan kunci dalam penelitian ini adalah petani muda dalam rentang usia 18-40 tahun yang memiliki kebun kopi sendiri, berasal dari keluarga petani dan melakukan pemrosesan kopi sendiri. Analisis data dilakukan dengan menggunakan tiga tahapan: kondensasi data, penyajian data dan melakukan verifikasi/menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa petani muda dengan rentang usia 19 – 40 tahun memiliki minat dalam wirausaha pertanian kopi. Minat tersebut didasari atas kesempatan untuk meningkatkan penghasilan melalui hasil olahan kopi. Selain pendapatan yang meningkat, prestise bahwa menjadi petani dan pengolah kopi memberikan cara pandang baru dan kebanggan untuk petani muda. Beberapa kendala yang dihadapi petani muda dalam berwirausaha adalah akses terhadap modal yang dirasa kurang karena kepemilikan lahan masih milik keluarga, kurangnya disiplin dan karakter sebagai wirausaha.

Kata Kunci : Petani Muda, Kopi, Wirausaha

Universitas Sumatera Utara ANALYSIS OF THE INTEREST OF YOUNG FARMERS IN COFFEE AGRICULTURE

(Case Study in Tanjung Barus Village, Barusjahe District, )

Abstract

The involvement of young people in agriculture is decreasing from year to year. Agriculture is considered not promising enough income, dirty and uneducated. The low interest of young people in agriculture will affect the sustainability of agriculture. The entrepreneurial pattern in agriculture or agricultural entrepreneurship is believed to be able to increase farmers' income which in turn attracts young farmers in agriculture. In addition, agricultural entrepreneurship is also believed to be able to provide a new perspective that agriculture does not mean ancient, dirty and uneducated. The purpose of this study was to analyze the interest of young farmers in doing entrepreneurship in coffee farming. The research method is a descriptive research method with a qualitative approach. The research data uses primary data and secondary data. Data collection was carried out using Focus Group Discussion techniques and Key Informant Interviews. Key informants in this study were young farmers in the age range 18-40 years who have their own coffee gardens, come from farming families and carry out their own coffee processing. Data analysis was carried out using three stages: data condensation, data presentation and verification / drawing conclusions. The results of this study indicate that young farmers aged 19-40 years have an interest in coffee farming entrepreneurship. This interest is based on the opportunity to increase income through processing coffee. In addition to increasing income, the prestige that being a coffee farmer and processor provides a new perspective and pride for young farmers. Some of the obstacles faced by young farmers in entrepreneurship are access to capital that they feel is lacking because land ownership still belongs to their families, lack of discipline and character as entrepreneurs.

Keywords: Young Farmers, Coffee, Entrepreneurship

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Tesis dengan judul “Analisis Minat Petani Muda Berwirausaha dalam Bidang

Pertanian Kopi (Study Kasus di Desa Tanjung Barus, Kecamatan Barusjahe,

Kabupaten Karo)” ini ditulis untuk memenuhi salah satu sayarat untuk mencapai

Sarjana Strata 2 (S2) pada Program Studi – Studi Pembangunan Universitas

Sumatera Utara. Tesis ini berhasil diselesaikan berkat bimbingan dan campur tangan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang yang mengirimkan berbagai pihak yang membantu Penulis menyelesaikan karya tulis ini. Untuk itu, Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. Erika Revida Saragih, MS dan Prof Dr.

Humaizi, MA, dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si. selaku Ketua Program Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Hamdani Harahap, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara yang juga selaku dosen Penguji yang memberikan banyak masukan dan umpan balik untuk penyempurnaan tulisan ini. 4. Ibu Dra. Ria Manurung, MSi. selaku dosen Penguji yang memberikan banyak masukan dan umpan balik untuk penyempurnaan tulisan ini

Universitas Sumatera Utara 5. Bapak/Ibu Dosen Pengajar selama penulis menempuh kuliah di Program Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 6. Bang Rasad dan Kak Dina selaku staff di Program Studi Pembangunan, yang sangat membantu dalam proses pengurusan administrasi perkuliahan. 7. Pemerintah Kabupaten Karo, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Badan Penyuluhan Pertanian, kelompok pemuda Tanjung Barus dan para narasumber yang sangat kooperatif dalam memberikan data, informasi untuk mendukung penelitian dan penulisan karya tulis ini. 8. Kedua Ibuku: Elisabeth Tarigan dan Bagengena br. Kaban dengan semua doa dan harapan yang memacu semangat Penulis 9. Teman-teman di MSP35, khususnya Ema Sinulingga, Jenny Yelina Rambe, dan Pebri Sakinah yang memberikan semangat dan menjadi teman bertukar pikiran selama proses penulisan dan selama perkuliahan. 10. Terakhir, tetapi bukan yang terkecil: Suamiku, Rubensi Ginting yang menjadi „devil’s advocate‟ dalam penulisan ini, yang memberikan pertanyaan- pertanyaan yang memaksa Penulis untuk berfikir dan menuliskan ulang sehingga semakin menyempurnakan penulisan ini. Tulisan ini secara khusus Penulis persembahkan untuk Samuel dan Kejora, supaya Tesis ini dapat menjadi bukti bahwa belajar tidak pernah usai.

Akhirnya terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat dan permintaan maaf yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan.

Medan, 3 Pebruary 2021 Penulis

Evi Esaly Kaban

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...... 6 DAFTAR TABEL...... 8 DAFTAR GAMBAR ...... 9 BAB I. PENDAHULUAN ...... 10

1.1. LATAR BELAKANG ...... 10 1.2. RUMUSAN MASALAH ...... 19 1.3. TUJUAN PENULISAN ...... 19 1.4. MANFAAT PENULISAN ...... 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 20

2.1. PEMBANGUNAN PERTANIAN YANG BERKELANJUTAN ...... 20 2.2. WIRAUSAHA ...... 22 2.3. WIRAUSAHA PERTANIAN KOPI ...... 24 2.4. TEORI MINAT ...... 27 2.5. KATEGORI PEMUDA ...... 29 2.6. PEMUDA DALAM WIRAUSAHA PERTANIAN KOPI ...... 31 2.7. PENELITIAN TERDAHULU ...... 33 2.8. KERANGKA BERFIKIR ...... 40 2.9. DEFINISI KONSEP ...... 42 BAB III. METODE PENELITIAN ...... 44

3.1. TIPE/BENTUK PENELITIAN ...... 44 3.2. LOKASI PENELITIAN ...... 45 3.3. INFORMAN PENELITIAN ...... 46 3.4. TEKNIK PENGUMPULAN DATA ...... 50 3.5. TEKNIK ANALISIS DATA ...... 51 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 53

4.1. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KARO ...... 53 4.2. GAMBARAN UMUM KECAMATAN BARUSJAHE ...... 55 4.2.1. Kecamatan Barusjahe Secara Geographis ...... 55 4.2.2. Kecamatan Barusjahe secara Demographis ...... 60 4.2.3. Kecamatan Barusjahe Secara Administratif ...... 63 4.3. GAMBARAN UMUM DESA TANJUNG BARUS ...... 65 4.4. GAMBARAN UMUM BUDIDAYA KOPI DI TANJUNGBARUS ...... 68 4.5. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ...... 74 4.5.1. Minat petani muda dalam wirausaha pertanian kopi ...... 74 4.5.2. Faktor-faktor yang menarik minat petani muda dalam wirausaha pertanian kopi ...... 86 4.5.2.1. Faktor penarik dari luar ...... 86

6

Universitas Sumatera Utara 4.5.2.2. Faktor pendorong dari dalam diri petani muda ...... 89 4.5.3. Kendala yang dihadapi petani muda untuk menjadi wirausaha pertanian ...... 94 4.5.3.1. Pemahaman yang minim tentang pasar ...... 95 4.5.3.2. Karakater wirausaha yang kurang kuat ...... 98 4.5.3.3. Rendahnya kemampuan mengakses modal ...... 102 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...... 104

5.1. KESIMPULAN ...... 104 5.2. SARAN ...... 105 DAFTAR PUSTAKA ...... 106

7

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu ...... 36 Tabel 4.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan Kabupaten Karo 2018 …. 54 Tabel 4.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Karo Menurut Kecamatan 2018 …………………………………… 55 Tabel 4.3. Desa dan Luas Desa Kecamatan Barusjahe 2018 ……………. 57 Tabel 4.4. Tinggi Wilayah Diatas Laut (DPL) Menurut Desa/Kelurahan 2018 …………………………………………………………. 57 Tabel 4.5. Luas Wilayah Menurut Jenis Penggunaan Tanah dan Desa (Ha) ………………………………………………………….. 59 Tabel 4.6 Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman dan Desa/Kelurahan 2018 …………………………………… 60 Tabel 4.7 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk menurut Desa/Kelurahan 2018 ………………………………. 61 Tabel 4.8 Banyak Penduduk Menurut Desa/Kelurahan 2018 ………….. 62 Tabel 4.9 Jumlah Penduduk Menurut Rincian Jenis Kelamin dan Kelompok Umur 2018 ………………………………………. 63 Tabel 4.10 Banyaknya Lingkungan, Dusun, Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT) Menurut Desa / Kelurahan 2018 …………….. 64 Tabel 4.11 Penduduk Desa Tanjung Barus Berdasarkan Pekerjaan ……... 66 Tabel 4.12 Banyaknya anggota kelompok tani dan luas lahan pertanian kopi di Kecamatan Barusjahe ………………………………... 67 Tabel 4.13 Harga Kopi Gabah di Kabupaten Karo Tahun 2019 – 2020 ….. 71 Tabel 4.14 Tabel bentuk kopi, lama pengerjaan dan penyusutan yang terjadi ………………………………………………………... 75

8

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Perbandingan luas lahan kopi dan jeruk tahun 2002- 2018 ……. 17 Gambar 2.1. Mata Rantai Suplai yang Disederhanakan …………………….. 26 Gambar 2.2. Peningkatan harga pelaku mata rantai nilai Kopi ……………... 35 Gambar 2.3. Kerangka berfikir ……………………………………………... 42 Gambar 3.1. Perbandingan luas lahan jeruk dan kopi di kecamatan Barusjahe 45 Gambar 4.1. Peta Kecamatan Barusjahe ……………………………………. 65 Gambar 4.2. Harga Kopi Sepanjang tahun 2019 di Enam Kabupaten di Sumatera Utara ……………………………………………….. 70 Gambar 4.3. Mata Rantai Suplai Kopi di Desa Barusjahe …………………... 77 Gambar 4.4. Proses pasca panen dari biji gelondong menjadi gabah basah … 79

9

Universitas Sumatera Utara BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Rendahnya angka partisipasi petani muda secara global, termasuk Indonesia sudah menjadi topik pembicaraan yang sering didengungkan. Beberapa pertemuan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga pendampingan masyarakat menyuarakan kekuatiran tentang angka partisipasi petani muda dalam pertanian yang semakin menurun. Sensus pertanian yang dilakukan oleh Biro Pusat

Statistik (2013) menunjukkan bahwa 60,8% petani berusia di atas 45 tahun dengan tingkat pendidikan sekolah dasar. Hal ini membuat penyerapan informasi dan teknologi baru untuk memperbaiki produktivitas pertanian menjadi tidak optimal.

Proses regenerasi petani berjalan sangat lambat, secara khusus pertanian pangan. Hasil-hasil penelitian memperlihatkan bagaimana kaum muda tidak lagi menjadikan pertanian sebagai alternatif pekerjaan dan lebih memilih terlibat dalam sektor industri. Pertanian menjadi pilihan pekerjaan terakhir kaum muda antara lain disebabkan rendahnya nilai ekonomi pertanian. Pendapatan dari hasil pertanian dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga, terutama karena skala perkebunan lebih kecil dibandingkan dengan perkebunan yang diolah oleh orang tua mereka.

Keterlibatan kaum muda dalam pertanian selain karena mereka tidak tertarik dengan pertanian, juga karena orang tua mereka tidak menganjurkan anaknya untuk menjadi petani. Hal tersebut membuat tingkat partisipasi pemuda dalam pertanian menjadi semakin menurun dari tahun ke tahun. Rendahnya angka petani dalam rentang usia produktif ini secara langsung mempengaruhi produktivitas yang akhirnya akan bermuara pada isu keberlanjutan pertanian.

10

Universitas Sumatera Utara Hal ini juga terefleksi dalam pertanian kopi. Salah satu indikasinya adalah perubahan lahan kopi menjadi lahan lain yang bukan pertanian. Dirjenbun (2018) memperlihatkan luas perkebunan kopi yang meningkat sejak tahun 1980 dan secara perlahan mengalami penurunan setelah mencapai luas tertinggi di tahun 2002

(1.318.020 ha), prediksi di tahun 2017 hanya ada sekitar 1.179.769 ha perkebunan kopi rakyat. Selama kurun waktu 15 tahun secara nasional Indonesia kehilangan

138.251 ha lahan kopi.

Wiyono (2105: 36) menjelaskan bahwa beberapa petani menganjurkan anak-anak mereka menjadi petani hanya bila menguntungkan dan dapat mencukupi kebutuhan mereka. Dalam penelitiannya, petani holtikultura lebih tertarik meneruskan pertanian mereka karena pertanian tersebut memberikan penghasilan lebih karena kesempatan menjual langsung. Hal senada juga disampaikan oleh

Sumartini (2017:38) yang mengatakan bahwa untuk memberdayakan petani muda, diperlukan faktor penggerak dan pelancar, antara lain membangun citra petani muda sebagai agen yang dinamis, membentuk pola kepemimpinan dan juga jiwa wirausaha pertanian.

Pendekatan pola wirausaha pertanian untuk mengajak lebih banyak petani muda terlibat terlihat dari banyaknya program-program pemerintah sejak kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Pola wirausaha dalam bidang pertanian atau wirausaha pertanian diyakini dapat meningkatkan pendapatan petani yang pada akhirnya menarik minat petani muda dalam bidang pertanian. Selain itu, wirausaha pertanian juga diyakini dapat memberikan cara pandang baru bahwa pertanian tidak berarti kuno, kotor dan tidak memiliki pendapatan yang mencukupi dibandingkan usaha di sektor lain di luar pertanian.

11

Universitas Sumatera Utara Pandangan pentingnya petani berwirausaha tercermin dari beberapa program pemerintah dalam meningkatkan minat dalam wirausaha pertanian.

Kementrian Pertanian yang bekerjasama dengan International Fund for

Agricultural Development (IFAD) menjalankan program Penumbuhan

Wirausahawan Muda Pertanian dan dilanjutkan dengan program Wirausaha

Pemuda dan Layanan Dukungan Tenaga Kerja (Youth Enterpreneurship and

Employment Support Services - YESS). Kedua program ini menyasar kaum muda di perdesaan khususnya sektor pertanian untuk meningkatkan kemampuan wirausaha petani. Program ini diharapkan mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan petani di perdesaan. Selain itu, diharapkan juga untuk dapat meningkatkan pandangan baru tentang pertanian yang modern dan memberikan nilai tambah lebih dibandingkan pertanian tradisional.

Senada dengan Kementrian Pertanian, Kementrian Perindustrian juga meluncurkan program untuk meningkatkan minat wirausaha. Salah satunya adalah program wirausaha yang berbasis digital dan program pengolahan tembakau dalam industri rokok. Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menggulirkan program Wirausaha Pemula yang diharapkan dapat memberikan hasil yang signifikan dalam peningkatan rasio wirausaha di Indonesia. Program-program wirausaha pertanian (off farm) yang dicetuskan oleh pemerintah maupun lembaga pendampingan masyarakat diharapkan dapat meningkatkan minat petani muda dalam budidaya pertanian (on farm)

Program YESS tersebut juga tidak terlepas dari sektor pertanian kopi.

Pemerintah memberikan pelatihan, pendampingan dan modal usaha untuk petani muda di sektor kopi. Petani muda dilatih sehingga dapat mengolah dan memasarkan

12

Universitas Sumatera Utara kopi sehingga mengurangi ketergantungan dengan tengkulak. Program ini diharapkan dapat memberikan alternatif lain untuk petani kopi selain menjual ke tengkulak, mereka juga dapat mengolah dan memasarkan langsung produknya.

Sektor pertanian kopi memiliki potensi yang cukup besar dalam menarik petani muda untuk mengembangkan wirausaha pertanian kopi. Indonesia adalah negara nomor empat penghasi kopi di dunia yang secara signifikan telah berkontribusi terhadap pendapatan negara. Pendapatan negara dari kopi tidak hanya dari hasil ekspor biji kopi (green bean), tetapi juga dari hasil olahan kopi, baik itu biji kopi yang sudah disangrai ataupun yang diolah dalam bentuk ekstrak atau essens.

Kementrian Perindustrian dan Perdagangan (Kemenperindag) mencatat, sumbangan pemasukan devisa dari ekspor produk kopi olahan mencapai 356,79 juta

Dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2015 atau meningkat 8 persen dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan untuk biji hijau di tahun 2015, Indonesia menghasikan 1,2 milliar Dolar Amerika Serikat. Tingginya produksi kopi Indonesia dan beragam permintaan atas produk kopi, menunjukkan peluang yang cukup banyak untuk petani meningkatkan nilai tambah pertanian kopinya. Petani tidak hanya sekedar memetik dan menjual, tetapi juga mengolah kopi ke hasil turunan yang lebih beragam.

Selain permintaan di tingkat global baik secara jumlah maupun jenis produk, ada hal yang yang membuat pertanian kopi menjadi penarik petani muda dalam wirausaha pertanian. Peningkatan di tingkat dunia juga diikuti juga dengan perubahan pola konsumsi kopi masyarakat Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Menurut International Coffee Organization (ICO, 2017),

13

Universitas Sumatera Utara konsumsi kopi Indonesia secara per kapita adalah 0.98kg di tahun 2015 dan meningkat ke angka 1,2kg per tahun di tahun 2017. Angka tersebut masih kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara produsen kopi lainnya ataupun bukan produsen kopi.

Meningkatnya konsumsi kopi per kapita artinya meningkat pula permintaan domestik untuk kopi sebagai tambahan dari permintaan dari luar negeri untuk ekspor (Nangoy dan Nicholson, 2018). Perkembangan konsumsi dalam negeri yang membuat pengusaha café membeli langsung dari petani dengan spesifikasi kopi tertentu. Hubungan langsung antara penjual kopi dan petani berarti juga memotong mata rantai perdagangan kopi, sehingga membuat harga kopi yang diterima petani menjadi lebih tinggi dibandingkan harga pasar, bahkan kadang lebih tinggi dari pasar internasional/ekspor.

Peran pemilik café maupun roaster lokal berkontribusi dalam menciptakan kesan modern bagi para peminum kopi. Bila sebelumnya kopi dianggap sebagai minuman pekerja kasar atau petani, warung kopi adalah tempat warga desa bersosialisasi, sepuluh tahun belakangan ini, karena munculnya usaha waralaba, kopi mulai memilik pangsa pasar yang lebih beragam. Kelompok masyarakat, khususnya generasi muda mulai melihat minum kopi sebagai gaya hidup sukses, mulai melihat dan membiasakan meminum hanya kopi dengan kualitas prima dan mendiskusikan asal dan proses pasca panen yang dilakukan. Mereka adalah generasi yang disebut sebagai third wave coffee atau generasi kopi gelombang ketiga.

Menurut Fisher (2017: 4) Kebangkitan Third Wave Coffee ditandai dengan mulai tertariknya para peminum kopi terhadap kopi itu sendiri. Baik itu asal muasal

14

Universitas Sumatera Utara bijinya, prosesnya sampai kepada penyajian sebelum kopi tersebut sampai ke tegukan. Gelombang Ketiga ini memberikan reaksi terhadap kopi yang rasanya buruk dan cara penyajian kopi yang dianggap tidak benar.

Peningkatan konsumsi dalam negeri, kepedulian akan mutu kopi membawa banyak pelatihan, seminar dan kompetisi dalam bisnis kopi mulai marak dan sebagian besar pesertanya adalah mereka yang dalam usia produktif. Pola perdagangan internasional yang mengedepankan keterlacakan (traceability) produk melibatkan banyak kaum muda dalam industry ini mulai dari perdagangan kopi, penerjemah, penguji citarasa kopi sampai wirausaha produk olahan kopi seperti café. Bisnis café yang marak membuat orang berkompetisi dan belajar lebih banyak tentang mata rantai perdagangan kopi termasuk uji citarasa dan proses penyeduhan kopi.

Hal di atas menunjukkan potensi pengembangan wirausaha pertanian kopi baik dari sisi proses di tingkat paska panen, sampai ke tingkat pemasaran berupa olahan kopi sampai ke kopi dalam cangkir dalam bentuk café. Wirausaha pertanian memungkinkan petani mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dengan penguasaan hulu, yaitu tingkat lahan pertanian dan hilir, yaitu pemrosesan kopi.

Pendekatan hulu sampai hilir selayaknya memberikan nilai tambah dalam pendapatan petani.

Pemerintah maupun pihak swasta memberikan banyak dukungan dalam wirausaha secara khusus untuk pertanian kopi. Selain program umum dalam wirausaha pertanian, beberapa program wirausaha pertanian kopi sudah digulirkan antara lain pelatihan barista untuk petani, pengenalan citarasa kopi untuk pemrosesan dan lainnya, yang pada akhirnya meningkatkan kapasitas petani untuk

15

Universitas Sumatera Utara berwirausaha. Namun demikian, minat petani muda dalam wirausaha perlu menjawab kesempatan dan program yang ada.

Secara umum, petani kopi memanen kopinya dan menjual baik dalam bentuk biji segar (gelondong) atau dalam bentuk biji basah. Perkembangan pola konsumsi kopi memungkinkan petani untuk mengolah kopinya meski dalam skala kecil dan menjual ke langsung ke pembeli tertentu. Proses ini memungkinkan petani memangkas rantai pasar menjadi lebih pendek. Penguasaan hulu ke hilir kopi akan memberikan nilai tambah kepada petani.

Proses pengolahan kopi yang kompleks dan membutuhkan banyak eksperimen, dianggap tepat untuk dilakukan pemuda karena kemudahan akses informasi dan teknologi. Di beberapa tempat petani muda kemudian mengembangkan proses pengolahan kopi sendiri dan menemukan celah pasar sehingga dapat menjual dengan harga lebih baik.

Mengolah kopi lebih dari sekedar menjual dalam bentuk gelondong dapat diterapkan juga di Kabupaten Karo. Pertanian kopi di Karo meningkat sejak awal tahun 2000 seiiring dengan menurunnya minat petani Karo dalam budidaya jeruk.

Tanaman jeruk yang menopang perekonomian masyarakat Karo tidak lagi dianggap menjanjikan karena serangan hama jeruk. Data Dinas Pertanian Kabupaten Karo menunjukkan luas tanaman jeruk yang menurun dari tahun 2005 dan meningkatnya luas lahan pertanian kopi. Perbandingan luas lahan kopi dan jeruk dapat dilihat dalam grafik di bawah ini.

16

Universitas Sumatera Utara

Perbandingan Luas Lahan Kopi dan Jeruk 2002 -

30 2018 (dalam ribu ha)

25 24 20

15

10 10 8 6 5 5 5 5 5 - 200 200 201 201 201 2 6 0 4 8 Jeru Kop k i Gambar 1.1. Perbandingan luas lahan kopi dan jeruk tahun 2002- 2018 (diolah dari data BPS)

Grafik di atas memperlihatkan angka luas lahan tanaman kopi menanjak naik sejak setelah tahun 2010. Angka produksi kopi juga ikut meningkat sejak 2014 karena luasan tanaman kopi meningkat di saat yang sama luasan tanaman jeruk menurun drastis. Pada tahun 2018, angka luasan lahan pertanian kopi lebih banyak daripada angka luasan lahan pertanian jeruk.

Pengalihan lahan jeruk menjadi lahan kopi merupakan upaya petani untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. Efisiensi usaha tani jeruk dan kopi sama- sama menguntungkan, namun kopi dianggap menjanjikan karena tidak membutuhkan penanganan serumit jeruk. Kopi juga dianggap tidak membutuhkan pestisida sebanyak jeruk (Ginting, 2018: 24 dan Harahap dan Humaizi, 2019: 2).

Konversi lahan jeruk menjadi lahan kopi dilakukan baik petani yang lebih muda, maupun petani tua (Ginting, 2018: 11). Pengakuan atau rekomendasi publik bahwa kopi lebih menguntungkan dibandingkan jeruk menjadi salah satu faktor yang mendorong petani jeruk beralih menjadi petani kopi. Padahal, angka R/C jeruk sebesar 4,43 lebih besar dibandingkan R/C kopi sebesar 2,52. Angka R/C kopi di

17

Universitas Sumatera Utara Karo lebih rendah dibandingkan R/C rata-rata secara nasional. Sensus Pertanian

2013 memperlihatkan bahwa lebih dari 50% petani kopi di luar Jawa nilai R/C komoditi kopinya lebih dari 3. Bahkan 31,87% petani kopi memiliki R/C lebih besar dari 5.

Hal ini menunjukkan bahwa tanaman kopi di Kabupaten Karo memiliki potensi besar untuk dikembangkan sehingga lebih menguntungkan. Keuntungan yang meningkat akan menurunkan minat petani untuk mengalihfungsikan lahan pertanian kopinya menjadi lahan pertanian lain atau bahkan lahan non pertanian.

Tanaman kopi memiliki potensi besar penambahan nilai dibandingkan jeruk, karena proses pasca panen yang kompleks dan permintaan pasar yang beragam.

Selain budidaya pertanian kopi yang baik, penanganan pasca panen yang baik juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Terutama saat pasar kopi lokal yang semakin baik dengan permintaan yang beragam, membuat peluang petani untuk meningkatkan keuntungannya akan semakin besar. Dalam kondisi saat inilah petani muda memiliki peranan penting.

Menurut Mukti (2017: 225) petani muda memiliki kemampuan dalam menciptakan innovasi, terutama karena mereka lebih mudah mengakses informasi.

Peningkatan minat petani muda dalam wirausaha pertanian kopi akan mendorong petani untuk tetap bertahan dengan profesi sebagai petani, karena wirausaha pertanian akan memberikan nilai tambah yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis bagaimana minat petani muda untuk menjadi wirausaha pertanian kopi sehingga memberikan nilai tambah dan dapat meningkatkan pendapatan untuk keluarga.

18

Universitas Sumatera Utara 1.2. Rumusan Masalah Penelitian ini akan menelaah beberapa hal yang didasarkan atas beberapa pertanyaan:

1. Bagaimana minat petani muda dalam menjalankan wirausaha dalam bidang

pertanian, khususnya kopi

2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi minat petani muda menjadi wirausaha

pertanian kopi

3. Kendala apa saja yang ditemui dalam menjalankan wirausaha pertanian kopi

1.3. Tujuan Penulisan Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis minat petani muda dalam menjalankan wirausaha dalam bidang

pertanian kopi

2. Menganalisis faktor-faktor yang menarik minat petani muda menjadi wirausaha

pertanian kopi

3. Menganalisis kendala yang dihadapi petani muda untuk menjadi wirausaha

pertanian

1.4. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan ini diharapkan dapat:

1. Memberikan masukan kepada pemerintah atau lembaga pengembangan

masyarakat tentang progam wirausaha pertanian kopi yang menarik untuk

petani muda

2. Memberikan masukan kepada peneliti lain tentang penelitian lanjutan untuk

petani muda dalam pertanian kopi.

19

Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan

Istilah keberlanjutan pertanian pertama kali dipopulerkan oleh Wes Jackson di tahun 1980. Wes Jackson mengatakan bahwa masalah pertanian lebih sering dikaitkan lebih banyak dalam cara bertani dibandingkan bagaimana pertanian memberikan ancaman terhadap lingkungan secara keseluruhan (2011: 3). Bahwa keberlanjutan pertanian tidak hanya dilihat sebagai proses menghasilkan produksi tambahan pertanian dengan mengintegrasikan system pertanian dan peternakan yang dapat bertahan dalam jangka panjang dengan memperhatikan skala atau produktivitas, menggunakan diversifikasi, tetapi juga bagaimana kontribusinya terhadap lingkungan (2011: 189).

Saptana dan Ashari (2007: 128) menyebutkan pemasalahan pembangunan di sektor pertanian seperti konversi lahan pertanian, penurunan kesuburan dan produktivitas lahan, penururnan nilai tukar penghasilan dan angka pengangguran di pedesaan disebabkan karena petani selalu dipacu hanya dalam pertumbuhan produksi. Petani juga hanya dianggap sebagai objek pembangunan, bukan subjek.

Padahal, pembangunan haruslah juga berorientasi pada unsur manusianya berarti pula mempersiapkan manusia untuk ikut aktif dalam proses pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Hal itu berarti pembangunan pertanian disiapkan oleh masyarakat, dari masyarakat dan untuk semua masyarakat. Dengan demikian, setiap anggota pola pertanian yang bercorak subsisten, tradisional dan agraris haruslah diarahkan pada struktur ekonomi yang bercorak perkotaan, modern dan industry. Dinamika yang terjadi dalam proses tersebut ditandai dengan perubahan struktur, sehingga pertanian berkelanjutan disebutkan memadukan tiga unsur:

20

Universitas Sumatera Utara pengamanan lingkungan, pertanian yang menguntungkan dan kesejahteraan masyarakat tani (Dwijatenaya dan Raden, 2016).

Sejalan dengan itu, Jules (2008) memberikan ringkasan tentang kunci keberlanjutan pertanian yaitu:

1. Menggabungkan proses biologi dan ekologi dalam pertanian dan praktek proses

pengolahan makanan. Sebagai contoh, proses ini teramasuk nutrisi, regenrasi

tanah dan penangkapan nitrogen

2. Mengurangi pengurangan input yang tidak dapat diperbaharui dan tidak

berkelanjutan terutama yang secara lingkungan dapat merusak

3. Menggunakan keahlian petani baik dalam pekerjaan yang produktif atas

lahannya, termasuk untuk mempromosikan swadaya dan swasembada atas

petani itu sendiri

4. Memecahkan masalah pertanian dan sumber daya melalui kerjasama dan

kolaborasi atas orang-orang dengan keterampilan yang berbeda. Permasalahan

yang ditangani termasuk management hama dan irrigasi

Velten (2015: 7839) mengatakan bahwa tujuan pertanian yang berkelanjutan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat saat ini dan masa depan tanpa membahayakan kemampuan generasi depan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Para penggerak pertanian berkelanjutan terus mengupayakan pengintegrasian atas tiga bidang tujuan: lingkungan, keuntungan ekonomi dan kesamaan sosial dan ekonomi. Semua pihak yang terlibat dalam sistem pertanian dan makanan: petani, pengolah, pedagang dan konsumen dapat memainkan peran untuk keberlanjutan.

21

Universitas Sumatera Utara Petani dapat menggunakan metode untuk mempromosikan kesuburan tanah, mengurangi penggunaan air dan mengurangi polusi dalam tingkatan lahan pertanian. Konsumen dan pedagang peduli dan mempromosikan kesejahteraan petani atau buruh tani dan bahwa mereka peduli lingkungan atau dengan memperkuat perekonomian lokal. Sedangkan peneliti dalam pertanian yang berkelanjutan dapat menggabungkan ilmu lintas sektor: biologi, ekonomi, teknik, kimia, pengembangan masyarakat dan yang lainnya. Namun demikian, pertanian berkelanjutan lebih dari sekedar gabungan praktek, tetapi juga ada proses negosiasi: pendorong dan penarik yang kadang kala saling berkompetisi. Jackson (2011) menyebutkan bahwa pertanian berkelanjutan adalah satu terminology politis, sehingga pendidikan politik tentang pertanian berkelanjutan diperlukan sama pentingnya dengan pengelolaan pertanian itu. Hal ini termasuk kekuatiran akan kehilangan lahan karena urbanisasi.

Ritonga (2015:311) menyebutkan bahwa pembangunan pertanian yang berkelanjutan meliputi tiga aspek penting, yaitu manusia, alam dan teknologi.

Sehingga, keterlibatan pemuda dalam pembangunan pertanian sangat penting, karena pemuda lebih mudah dalam menerima informasi, teknologi dan akses permodalan.

2.2. Wirausaha

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, wirausaha atau wiraswasta didefinisikan sebagai orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Seorang wirausaha tidak harus memiliki sumberdaya untuk menjalankan usahanya, sepanjang dia dapat

22

Universitas Sumatera Utara mengontrolnya untuk tujuan mengeksploitasi menjadi barang atau jasa di masa yang akan datang (Baringer and Ireland, 2016: 6). Menjadi wirausaha dapat dilakukan sendiri ataupun bersama-sama dengan yang lain. Yang membedakan, bila dilakukan bersama, berarti masing-masing orang akan memiliki pemahaman pengambilan resiko dalam berwirausaha (Alfianto, 2012: 34).

Hutabarat (2017: 24) mengatakan bahwa wirausaha selalu dimulai dari diri sendiri, tindakan dari diri sendiri dan keberanian atas tantangan dan beban yang ada. Sikap dan keberanian ini didasarkan karena ingin menciptakan sesuatu yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain (Suharyono, 2017: 6552). Hal ini senada dengan yang disampaikan Baringer and Ireland (2016: 18) bahwa seorang wirausaha ingin menciptakan nilai, mengesksekusi ide sampai mempraktekkan temuannya sehingga memberikan nilai pada pelanggannya.

Baringer and Ireland (2016: 16) menggambarkan bahwa seorang wirausahawan akan memiliki sifat dan karakteristik yang kreatif, inisiator, ulet/gigih, visioner, memiliki etos kerja yang baik, energetic, mampu meningkatkan sumberdaya, sadar akan kesempatan, bermotivasi atas keberhasilan, orang yang berjejaring dan memiliki rasa percaya diri. Meskipun banyak mitos yang mengatakan bahwa wirausaha itu dilahirkan, namun sesungguhnya wirausaha dapat terbentuk dari potensi yang ada, pengetahuan atas wirausaha dan lingkungan yang mendukung wirausaha (Apriliyanti, 2012: 323).

Untuk menjadi wirausaha sukses, seseorang haruslah memiliki semangat atau gairah wirausaha, keuletan meskipun gagal dan focus atas produk. Penelitian menunjukkan bahwa jiwa wirausaha dapat dibentuk, baik dengan pendidikan dan lingkungan. Lingkungan, khususnya keluarga memiliki pengaruh cukup besar atas

23

Universitas Sumatera Utara terbentuknya minat wirausaha (Apriliyanti, 2012: 322 dan Baringer and Ireland,

2016: 15).

2.3. Wirausaha Pertanian Kopi

Uneze (2013:411) mengatakan bahwa wirausaha pertanian

(agripreneurship) adalah suatu konsep spesifik untuk pertanian yang ditarik dari konsep wirausaha. Adalah sangat penting untuk negara berbasis pertanian untuk menciptakan kebutuhan akan kewirausahaan pertanian (Kumar, 2014: 2).

Wirausaha pertanian sangat diperlukan untuk meningkatkan keadaan sosial ekonomi dalam negara dengan populasi besar melalui penciptaan agribisnis baru, mata rantai suplai petanian dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Konsep wirausaha pertanian dapat dilihat sebagai bagian besar dari konsep agribisnis. Mengacu pada konsep awal agribisnis bahwa agribisnis dilihat sebagai suatu kesatuan sistem dari input pertanian, tata kelola, distribusi hasil maupun mesin pertanian. Nasruddin (2015) menyebutkan globalisasi perdagangan mengharuskan petani tidak hanya berfikir dalam meningkatkan produksi pertaniannya, tetapi juga bagaimana mampu mengembangkan industri pertanian.

Dijelaskan bahwa agribisnis dibangun atas tiga subsistem: hulu (penyediaan input pertanian seperti pupuk dan benih), on farm atau kelola kebun dan hilir yaitu pemasaran dan pasca panen.

Wirausaha pertanian dapat dikategorikan sebagai fenomena baru, terutama dalam pengembangan ekonomi (Mujuru 2014: 121). Wirausaha pertanian dimulai dari peningkatan produksi pertaniannya. Namun demikian, petani tidak hanya berfikir untuk meningkatkan produktivitasnya, tetapi juga mengindentifikasi kesempatan pasar untuk dapat memproses hasil usahanya dan dijual langsung

24

Universitas Sumatera Utara menggunakan metode produksi yang inovatif dan berkelanjutan (Carr, 2016: 9).

Untuk dapat meningkatkan produktivitas dan memahami pasar, petani harus berusaha keras dan meningkatkan keterampilan mereka sehingga mampu bertahan.

Wirausaha pertanian juga dapat meningkatkan nilai tawar petani dalam pasar. Sering kali petani tidak dapat bersaing dengan pertanian korporasi karena pemahaman yang sedikit tentang kualitas produk yang diinginkan pasar. Petani juga tidak mampu menyediakan produk secara berkesinambungan sehingga pasokan tidak stabil. Faktor-faktor ini membuat pedagang enggan menjalin hubungan dagang dengan petani karena petani tidak dapat memenuhi permintaan khususnya dalam jumlah besar (Patkar, 2012:8).

Bila dikaitkan dengan tulisan Danzer (2008) yang menjelaskan bahwa nilai rantai kopi sangat dasar, di mana biji kopi mengalir dari petani melalui berlapis pedagang pengumpul sampai ke tingkat eksportir untuk mencapai pasar internasional, maka wirausaha pertanian sangat tepat diterapkan dalam nilai rantai kopi ini seperti yang dijelaskan Addo (2018:2060-2061). Wirausaha pertanian tidak hanya meniru apa yang sudah ada di pasar, tetapi juga membuat yang baru atau kemasan yang lebih baik, kemampuan berkolaborasi dengan pihak lain dan penguasaan atas pola bercocok tanam yang baik pengelolaan dan kontrol atas usahanya.

Wirausaha pertanian kopi semakin berkembang dengan meningkatnya pola konsumsi kopi masyarakat Indonesia maupun global. Permintaan kopi tidak hanya meningkat dari sisi jumlah tetapi juga dari sisi varian. Nguyen dan Sankar (2018:

5) membuat mata rantai suplai kopi yang disederhanakan seperti gambar di bawah.

25

Universitas Sumatera Utara

Eksportir Petani Pen Kopi gumpul Lokal Pasar Lokal Instan

Kopi

bubuk

Gambar 2.1. Mata Rantai Suplai yang Disederhanakan

Dengan meningkatnya pola konsumsi kopi dan perilaku konsumen kopi yang berbeda, ada peluang untuk petani meningkatkan nilai tambah dengan mengolah kopinya. Sebagian besar petani Karo menjual kopinya dalam bentuk gelondong atau gabah basah (wet parchment). Beberapa penelitian tentang nilai tambah menunjukkan bahwa petani akan mendapatkan nilai tambah sampai 52%

(Simarmata, 2019: 55) saat mengolah gelondong menjadi biji hijau (green bean) dan sampai 69% atau paling sedikit 43% (Sari, 2019: 110) saat mengolah menjadi kopi bubuk.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wirausaha pertanian adalah bagian dari sistem agribisnis yang mengambil pendekatan dasar kewirausahaan.

Wirausaha pertanian memusatkan perhatian pada proses produksi yang berkualitas dengan melihat permintaan pasar dan merespon pada pasar untuk mendapatkan nilai tambah. Dengan petani menerapkan pendekatan wirausaha pertanian, 26

Universitas Sumatera Utara produktivitas pertanian (Darmadji, 2012: 45), nilai tawar dan pendapatan petani akan meningkat (Siahaan, 2019: 515).

2.4. Teori Minat

Minat berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, sebuah gairah dan keinginan.

Minat berkaitan dengan rasa lebih suka atas sesuatu tanpa ada yang menyuruh

(Slameto, 2018: 180) dan sebagai faktor kunci untuk membuat seseorang tetap melakukan sesuatu (O‟Keefe et al, 2017:50). Menurut Slameto (2018: 180) minat dapat mempengaruhi motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Di sisi lain,

O‟Keefe dan Garcia (2014:6) mengatakan minat tidak sama dengan motivasi, meski sering digunakan menggantikan satu dengan yang lain. Minat mengacu pada rasa lebih suka melakukan hal tertentu, sedangkan motivasi melibatkan proses yang lebih panjang dan besar yang memasukkan tujuan besar yang selanjutnya mempengaruhi perilaku.

Minat merupakan penggabungan apa yang ada dalam diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin besar kekuatan hubungan atas apa yang ada di dalam diri dengan sesuatu yang luar, semakin besar minat orang tersebut. Hubungan dari dalam diri dan sesuatu di luar, oleh Subramaniam (2009:11) disebut sebagai minat individu dan minat situasional. Minat individu terbentuk secara perlahan-lahan namun lebih bertahan lama dibandingkan minat situasional yang dipicu oleh keadaan sesaat khususnya oleh lingkungan yang kadang tidak ada sangkut pautnya dengan minat individu. Minat individu banyak dipengaruhi oleh pengetahuan dan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang.

27

Universitas Sumatera Utara Meskipun minat individu dan minat situasional dipengaruhi oleh hal yang berbeda, namun keduanya dapat mempengaruhi satu dengan yang lain. Seseorang yang memiliki minat wirausaha yang sangat kuat, dapat mempengaruhi seseorang yang memiliki minat sedikit atau tidak ada sama sekali. Sebaliknya, situasi yang sedang populer saat itu dapat mempengaruhi minat seseorang untuk mendalaminya.

Popularitas kejadian atau kegiatan dapat memicu minat seseorang untuk melakukan kegiatan yang sedang populer tersebut. Minat individu tidak dapat atau kecil kemungkinan untuk dipengaruhi, tetapi minat situasional sangat mungkin untuk diintervensi, bahkan minat situasional memberikan kontribusi lebih besar untuk berpartisipasi dalam kegiatan tertentu (Subramaniam, 2009: 13).

Pendapat ini sejalan dengan Apriliyanti (2012: 313) yang mengatakan minat dalam berwirausaha tidak hanya dipicu oleh lingkungan. Ada tiga hal yang dapat memicu minat seseorang dalam wirausaha: potensi kepribadiaan, pengetahuan dan juga lingkungan. Secara bersama-sama, tiga hal tersebut memberikan pengaruh yang besar menciptakan minat seseorang.

Potensi kepribadian dalam minat wirausaha dikategorikan antara lain sebagai kemampuan melihat potensi sumberdaya yang ada (Mukti, 2017: 222), kemampuan mengambil resiko (Apriliyanti, 2012: 313) dan innovasi dan selalu mengikuti perubahan teknologi (Siahaan, 2019: 515). Potensi kepribadian ini dapat semakin diperkuat oleh pengetahuan dan lingkungan sekitar, baik keluarga maupun masyarakat secara luas. Mukti (2017: 224) mengatakan, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah dia mengadopsi teknologi dan innovasi dalam bidang wirausahanya. Pendidikan formal, maupun pelatihan memberikan tambahan

28

Universitas Sumatera Utara pengetahuan yang pada akhirnya membuat pelaku wirausaha memperbaiki pola wirausahanya.

Di sisi lain, pengetahuan, nilai-nilai seseorang dan emosinya mempengaruhi minat dalam melakukan sesuatu Harackiewicz and Hulleman (2010: 43). Bila seseorang mempelajari satu hal, maka pengetahuannya akan meningkatkan keterampilannya sehingga dia mulai merasa makin berkompeten untuk melakukan sesuatu. Kompetensi yang dimiliki akan meningkatkan rasa percaya diri yang kemudian membuat individu tersebut menghabiskan lebih banyak waktu atas kegiatan yang semakin diminatinya karena pengetahuan dan keterampilan yang meningkat tersebut.

Minat menjadi bagian yang sangat penting untuk keberhasilan seseorang, sebab minat yang meningkat akan mempengaruhi komitmen dan pencapain atas kegiatan. Minat membuat seseorang menjadi lebih tekun dalam menjalani suatu kegiatan, memiliki lebih banyak ide dan juga menarik pembelajaran lebih baik dari kegiatan yang ada. Minat yang ditumbuhkan dari waktu ke waktu akan membantu seseorang untuk terus melakukan apa yang dia minati, meskipun menemukan kesulitan saat melakukannya. Minat membuat seseorang mencari jalan keluar dan dalam perjalanannya semakin meningkatkan minat orang tersebut (O‟Keefe et al,

2017: 56).

2.5. Kategori Pemuda

Ada banyak pengkategorian pemuda yang dibuat berdasarkan perkembangan dan latar belakang tujuan yang berbeda. Undang-Undang No. 40 tahun 2009 menyebutkan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam

29

Universitas Sumatera Utara belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan pemuda sebagai orang yang berusia 15-24 tahun secara umum atau sampai usia 32 tahun untuk UN-Habitat, meskipun PBB juga mengakui definisi lain yang berbeda untuk masing-masing negara atau konteks (UNDESA, 2013:2).

Menurut Giulianni (2017:4) ada banyak pengkategorian pemuda yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Pengkategorian pemuda tidak cukup dari sisi umur saja, tetapi tetap harus mempertimbangan dari sisi budaya, konteks setempat dan juga dari sisi psikologis. Secara umum pemuda dapat didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Masa di mana tanggung jawab dan keputusan akan perubahan hidup terjadi. Sehingga, definisi pemuda tidak cukup hanya dengan melakukan pengkategorian umur dari sisi demografi.

Benson and Elder (2011: 1646) menjelaskan pengkategorian umur tidak mempertimbangkan perkembangan usia, identitas dan sumberdaya, termasuk kemampuan untuk beraptasi dan mengatasi masalah yang dimiliki individu tersebut. Dukungan sosial, dukungan sumberdaya psikologis dianggap paling penting dalam pengkategorian pemuda, di mana pemuda disebutkan sampai batas usia 30an tahun atau di bawah 40 tahun. Hal ini senada seperti yang disampaikan

Lemme (1999:49-60) yang menyebutkan batas usia 20-40 tahun adalah masa muda.

Dalam tahapan ini seseorang dianggap dianggap sudah cukup mandiri, memiliki kapasitas untuk akses terhadap pasar, kemandirian keuangan dan juga status hukum.

30

Universitas Sumatera Utara 2.6. Pemuda dalam Wirausaha Pertanian Kopi

Menurut pengamatan White (2012), pertanian merupakan salah satu pekerjaan yang sangat dibutuhkan karena sektor ini mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Senada dengan itu, Vellema (2015:1) menyebutkan bahwa sektor pertanian dan sektor mata rantai nilai pertanian adalah salah satu sektor yang dapat mengurangi penganguran bagi pemuda. Kemampuan pemuda dalam mempelajari, mengadopsi teknologi dan innovasi dan energik akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan kemudian memperbaiki kualitas produk pertanian (ICO, 2016:2) dan produktivitas pertanian (Addo, 2018:2053).

Wiyono (2015:25) menunjukkan, tenaga kerja muda yang berusaha di sektor pertanian cenderung memilih sub sektor pertanian yang menghasilkan lebih banyak keuntungan. Pemuda juga mencari image pekerjaan yang memberikan kebanggaan karena pendapatan yang lebih tinggi. Sehingga, tingginya tingkat pendidikan pemuda di perdesaan tidak secara serta merta meningkatkan produktivitas pertanian. Hal ini dikarenakan pemuda meninggalkan desa dan pertanian untuk sesuatu yang menghasilkan uang yang lebih banyak. Ada tiga faktor utama yang perlu dipertimbangkan untuk menarik generasi muda ke pertanian, yaitu produktivitas dan keuntungan usaha pertanian, kesempatan kerja yang tersedia, serta kenyamanan dan kepuasan kerja. Di sisi lain, generasi muda sebagai pemasok tenaga kerja juga memerlukan perbaikan dan peningkatan pendidikan dan keterampilan agar sesuai dengan kebutuhan pertanian (Susilowati,

2016: 49).

Hal senada disampaikan Addo (2018: 2052-2054) yang menyebutkan bahwa pertanian perlu dimodernisasi sehingga menarik minat pemuda untuk terlibat

31

Universitas Sumatera Utara didalamnya. Pandangan pertanian adalah pekerjaan kuno yang melibatkan cangkul tidak menarik minat generasi muda dalam pertanian. Sehingga wirausaha pertanian menjadi salah satu jalan yang menarik minat pemuda dalam pertanian, di mana bagian kepribadian menjadi sangat penting untuk kesuksesan wirausaha.

Beberapa kebijakan yang diperlukan untuk menarik generasi muda bekerja di sektor pertanian, antara lain (a) mengubah persepsi generasi muda bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang menarik dan menjanjikan apabila dikelola dengan tekun dan sungguh-sungguh; (b) pengembangan agroindustri; (c) inovasi teknologi;

(d) insentif; (e) pengembangan pertanian modern; (f) pelatihan dan pemberdayaan petani muda; dan (g) memperkenalkan pertanian kepada generasi muda sejak dini.

Arisena (2016) mengatakan penting sekali untuk petani muda memiliki jiwa wirausaha, sehingga mereka dapat semakin mengembangkan usaha, membuat perencanaan pertanian, mengimplimentasikan dan mengevaluasi. Arisena mengelompokkan faktor pembentuk kewirausahaan dalam empat kelompok: motivasi, keberanian mengambil resiko, inovasi dan kompetensi managerial.

Faktor-faktor tersebut juga dilihat sebagai salah satu yang membuat petani muda yang menggeluti wirausaha pertanian lebih sukses. Petani yang mengandalkan pola tradisional tanpa melakukan inovasi dan pengembangan pasar akan tetap miskin dan terpinggirkan (Mukti, 2017: 229). Penting untuk petani mencari inovasi dan mengenal kebutuhan pasar.

Sumarti et al (2017:35) memperlihatkan bahwa petani yang tidak hanya menguasai hulu, tetapi juga hilir adalah tipe petani akumulasi yang tidak hanya dapat meningkatkan pendapatan karena diversifikasi tetapi juga berinvestasi untuk teknologi yang membantu proses pengolahan dengan produktivitas tinggi. Petani

32

Universitas Sumatera Utara golongan ini termasuk dalam petani yang memiliki jiwa kewirausahaan. Hal ini memperkuat rekomendasi Susilowati (2016) untuk melakukan strategi pemberdayaan petani muda kopi wirausaha dilakukan melalui kegiatan pengembangan karakter wirausaha, pemberdayaan ekonomi, dan penyadaran pengakuan petani muda kopi.

2.7. Penelitian Terdahulu

Peran pemuda dalam pertanian berkelanjutan sangat penting dan harus lebih diperhatikan. Peningkatan penduduk usia muda tidak diikuti dengan peningkatan lapangan kerja, sehingga angka pengangguran semakin meningkat. White dalam

Ningsih dan Syaf (2017) menyebutkan 70% pemuda secara global hidup dalam kemiskinan ekstrim, tinggal di daerah pedesaan. Keadaan ini semakin buruk karena ketertarikan pemuda terhadap pertanian semakin berkurang.

Tulisan Mukti (2018: 509) menjelaskan bahwa banyak mahasiswa lulusan

Pertanian tidak tertarik menjadi petani. Mereka tidak tertarik menjadi petani karena mereka mengetahui seluk beluk pertanian dan memahami usaha yang harus dilakukan untuk menjadi petani. Hal ini, tentu saja menjadi hal yang membuat pertanian semakin tertinggal karena sumberdaya manusia yang terpelajar dan trampil dalam pertanian justru memilih untuk bekerja di luar sektor pertanian.

Lebih jauh disampaikan oleh Yodfiatfinda (2018: 30) bahwa petani dalam kisaran usia 15 – 35 tahun semakin berkurang tidak hanya karena persepsi pertanian itu yang identifik dengan kotor, kuno dan tidak berpendidikan. Hal lain yang membuat petani muda tidak tertarik untuk terus bertani adalah karena nilai tukar petani yang sangat rendah. Untuk mendorong petani muda tetap bertahan dalam

33

Universitas Sumatera Utara pertanian, pemerintah perlu untuk terus memberikan dukungan dan menciptakan iklim usaha yang kondusif.

White (2012) memberikan beberapa contoh tentang indikasi lost generation

pada pertanian di perdesaan. Di Ethiopia, pemuda tidak ingin bertani karena

memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari orangtuanya, sehingga tidak mengangap

pertanian layak untuknya. Pemuda lebih memilih duduk dan berbicara dengan

teman-temannya atau menonton televisi daripada bertani. Di India juga terjadi hal

yang hampir sama, kebanyakan dari generasi mudanya tidak mau bertani dan lebih

memilih bekerja di sektor industri dengan harapan jaminan ekonomi karena

pendapatannya rutin tiap bulan. Di Indonesia, pemuda yang bertani merasa tidak

pantas untuk meningkatkan pertanian ke arah wirausaha pertanian karena

kemampuan teknis dalam pertanian masih rendah, sehingga mereka lebih tergiur

dengan gaji bulanan pada pekerjaan formal (White dalam Ningsih dan Syaf, 2017).

Wirausaha pertanian kopi dapat memberikan nilai tambah untuk petani.

Menurut Mordor Inteligence (2019: 16), sangat sedikit kesempatan petani untuk mendapatkan nilai tambah dari mata rantai kopi bila tidak memasukkan unsur wirausaha pertanian di dalamnya. Tanpa wirausaha pertanian, petani sangat tergantung pada produksi pertanian dan harga. Nilai tambah kopi paling tinggi diterima oleh usaha sangrai kopi yang dapat mencapai 60-90% dari nilai kopi.

Gambar di bawah menjelaskan lebih detil tentang peningkatan harga dari masing- masing pelaku mata rantai nilai kopi.

34

Universitas Sumatera Utara

Peningkatan Harga dalam Mata Rantai Nilai 160 Kopi % 140 %

120 %

100 %

80% Peningkatan harga (%) 60%

40% Petani Pedaga Exporti Importir Roaste Perkebuna ng r r lokal Level pelaku mata rantai nilai kopi

Gambar 2.2. Peningkatan harga pelaku mata rantai nilai Kopi (Mordor Inteligence, 2019)

Harahap dan Humaizi (2018: 2725) menjelaskan meskipun petani kopi di

Karo memiliki lahan yang luas, tetapi tidak semuanya ditanami kopi. Tanaman kopi adalah tanaman yang bersifat komplementer atas tanaman lain. Budidaya multicropping di Karo menjadikan kopi sebagai tanaman sampingan atau tanaman pagar. Kebiasaan petani di Karo menjual kopi dalam bentuk cherry dan gabah basah

(Harahap dan Humaizi, 2018: 2727)

Berikut ini adalah beberapa penelitian yang sudah dilakukan berkaitan dengan partisipasi pemuda dalam pertanian, wirausaha pertanian dan pertanian kopi.

35

Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu No Nama Judul Hasil

1 Ningsih F, Faktor-Faktor yang Pemuda menganggap pertanian Syaf S (2015) Menentukan pekerjaan yang tidak menjanjikan Keterlibatan secara ekonomi. Kebanyakan Pemuda Pedesaan pemuda yang bermatapencaharian pada Kegiatan sebagai petani memiliki penghasilan Pertanian yang rendah sedangkan Berkelanjutan pekerjaannya menyita banyak waktu dan tenaga. Sebelum bertani, mereka masih sering berkumpul sekedar untuk berbincang di warung

kopi. Tetapi setelah bertani, mereka sudah mulai jarang berkumpul

karena kelelahan setelah bertani, dan hasil yang diperoleh tidak seberapa. Teman-temannya yang bertani tetap kesulitan dalam masalah keuangan, sehingga tidak mengherankan jika pemuda meninggalkan pertanian. Tidak ada yang mau mengalami kesulitan keuangan seperti halnya yang dialami oleh teman-temannya yang bertani. 2 Susilowati, Fenomena Penuaan Tenaga kerja muda pedesaan Sri Hery Petani Dan cenderung tidak memilih pertanian (2016) Berkurangnya sebagai pekerjaan mereka. Mereka Tenaga Kerja Muda cenderung pergi ke kota untuk Serta Implikasinya mencari pekerjaan di sektor lain. Bagi Kebijakan Keputusan tenaga kerja muda Pembangunan tersebut terutama karena adanya Pertanian faktor pendorong, di antaranya lahan pertanian yang semakin sempit dan tidak ekonomis untuk diusahakan. Dari sisi pandang

ekonomi, keputusan tenaga kerja muda perdesaan untuk mencari

pekerjaan di luar sektor pertanian adalah rasional, mengingat sektor pertanian dipandang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup 3 Wehantouw, Faktor Beralihnya Ada dua faktor penyebab beralihnya Aprilia Deasi, Tenaga Kerja Anak tenaga kerja anak petani ke sektor et al. (2018) Petani Ke Sektor non pertanian, yaitu faktor penarik Non-Pertanian Di dan faktor pendorong. Faktor Desa Treman pendorong adalah alih fungsi lahan Kecamatan pertanian ke non pertanian,

Universitas Sumatera Utara

No Nama Judul Hasil

Kauditan misalnya untuk pembangunan Kabupaten infrastruktur dan kurangnya Minahasa Utara pemahaman dan kemauan untuk bekerja di sektor pertanian. Sedangkan faktor penarik adalah upah atau gaji sektor pertanian lebih

rendah daripada upah di sektor non pertanian dan yang kedua

pandangan anak petani terhadap pekerjaan pertanian yang tidak terlalu menjanjikan. 4 Pramita, Dea Nongkrong di Warung kopi bukanlah tempat untuk Ayu dan Warung Kopi orang tua atau orang desa lagi. Pinasti MSi, Sebagai Gaya Kebiasaan menghabiskan waktu Indah Sri Hidup Mahasiswa diskusi atau luang di warung kopi (2016) di Mato Kopi sudah menjadi kebiasaan di kota- Yogyakarta kota besar. Mahasiswa Yogyakarta memilih untuk menghabiskan waktu mereka di warung kopi dalam waktu 4-10 jam dengan melakukan banyak hal, mulai dari berdiskusi, mengerjakan tugas, bermain kartu bersama, rapat, membaca buku yang kesemuanya sudah menjadi melekat dalam gaya hidup. Mereka menemukan arti kebersamaan ketika mereka nongkrong di warung kopi. 5 Nugraha, Menguak Realitas Petani muda dan menemukan bahwa Yogaprasta Orang Muda Sektor salah satu alasan tidak terlibat dalam dan Herawati Pertanian di pertanian adalah orangtua yang , Rina. 2015. Perdesaan tidak menyerahkan lahan untuk dikelola sampai mereka menikah, atau sampai orangtua lelah atau wafat. Biasanya orang muda yang membantu orang tuanya dalam pertanian hanya mendapatkan upah seadanya, bahkan setelah mereka

menikah. Tidak jarang orang muda tersebut meminta uang tambahan bila dirasakan kurang. Petani muda juga tidak terlalu dilibatkan dalam proses produksi dan pasca panen. 6 Giulianni, Realities, Meningkatkan keterlibatan pemuda Alexandra Perceptions, dalam pertanian dianggap sangat (2017) Challenges and perlu dalam keberlanjutan pertanian. Aspirations of Namun penanganan pemuda masih Rural Youth in sangat tersegmentasi dan kadang

37

Universitas Sumatera Utara

No Nama Judul Hasil

Dryland tidak sesuai dengan konteks yang Agriculture in the ada. Ada banyak penelitian yang Midelt Province, sudah dilakukan tetapi penelitian Morocco untuk Afrika dan Asia sangat terbatas. Dalam tulisannya disebutkan, secara khusus di

Indonesia, bahwa tidak ada bukti

yang menunjukkan bahwa wirausaha dan pertanian yang

innovative menjadi minat petani muda. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan tentang wirausaha pertanian sangat kontekstual dan perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam. 7 Kumar, Agripreneurship Pertanian menjadi sektor kunci di Pravin, et al Development as a India, di mana 13,2 persen (2014) Tool to Upliftment Pendapatan Nasional Bruto berasal of Agriculture dari pertanian dan 13% dari total tersebut berasal dari pendapatan eksport. Wirausaha pertanian terbukti memainkan peran dalam meningkatkan pendapatan dan lapangan kerja di perdesaan dan perkotaan. Wirausaha pertanian membantu petani untuk terintegrasi di tingkat daerah, nasional bahkan pasar dunia. Wirausaha pertanian juga membantu petani untuk memiliki sumber pendapatan yang beragam dan dalam waktu bersamaan juga mengurangi biaya produksi. 8 Supeno, Intan A Future in Coffee: Penelitian yang dilakukan di Darmawati Growing a New beberapa negara termasuk (2015) Generation in Indonesia, khususnya di Flores Coffee menunjukkan memberikan Professional. kesempatan kepada pemuda dalam setiap aspek mata rantai nilai kopi dianggap sangat sukes menarik minat pemuda. Pemuda tertarik tidak hanya dalam pelatihan pengelolaan kopi, tetapi juga pemahaman dalam pasar global dan konsumerisasi kopi.

38

Universitas Sumatera Utara

No Nama Judul Hasil

9 Mukti, Gema Perilaku Sukses Para petani muda lulusan sarjana Wibawa, et Petani Muda pertanian mulai mengembangan al. 2017. Wirausaha Lulusan pola wirausaha pertanian. Penelitian Fakultas Pertanian ini melihat karakater dasar yang Universitas dimiliki oleh petani muda yang Pajajaran dianggap sebagai modal dasar untuk kesuksesan usaha. Meskipun peneliti melihat bahwa usaha petani muda informanya secara cash flow belum menguntungkan tetapi

potensi pengembangan usaha sangat besar karena karakter dasar yang dimiliki. 10 Rofi, Abdur. Final Evaluation Kegiatan pertanian tidak menarik di 2019 for the Youth in kalangan pemuda karena mereka Sustainable tidak memiliki otoritas dalam Agriculture and menentukan apa yang harus mereka Entepreneurship tanam atau bagaimana proses Project pengolahan kopi dilakukan karena keputusan masih dipegang oleh orangtua. Proses pengadaan kegiatan wirausaha pertanian yang

disiapkan lembaga tidak menarik minat pemuda karena proses

keuntungan yang dianggap lambat, sedangkan pemuda mengharapkan dana segar yang bisa cepat, seperti saat mereka bekerja sebagai tukang ojek atau pekerjaan buruh lainnya. Meskipun petani muda pada akhirnya mengakui bahwa pendapatan mereka secara signifikan meningkat karena proses pengolahan kopi yang dikelola secara berbeda sesuai permintaan

pasar, pemuda merasa pekerjaan tersebut memakan lebih banyak

waktu dibandingkan saat mereka bekerja sebagai buruh. 11 Sukayat, Perilaku Pemuda Penulis membandingkan dua Yayat dan Desa dalam kelompok petani muda di wilayah Dika Kegiatan Pertanian. Jawa Barat untuk melihat perbedaan Supyandi persepsi, motivasi dan peran petani (2017) muda dalam pertanian. Hasil penelitian menyimpulkan perbedaan persepsi dan motivasi tentang pertanian sangat mempengaruhi

39

Universitas Sumatera Utara

No Nama Judul Hasil

praktek pertanian yang dilakukan. Petani muda yang memiliki persepsi dan pemahaman bahwa pertanian dapat menguntungkan, mengupayakan lahan pertaniannya dengan berbagai macam komoditas dan memperhitungkan minat dan permintaan pasar. Hal ini kemudian mempengaruhi pendapatan dari dua kelompok tani yang ada.

Dari tampilan hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang petani dalam tabel di atas, Peneliti menyoroti beberapa hal yang kerap dihasilkan dari tulisan-tulisan di atas. Petani muda yang melihat bahwa pertanian dapat menguntungkan akan mempengaruhi cara pertanian mereka (Sukayat, 2017), meskipun beberapa petani muda belum menghasilkan keuntungan, namun potensi keuntungan tetap akan memacu kinerja mereka dalam usaha pertanian mereka (Mukti, 2017). Penelitian ini juga akan menyoroti sejauh mana keuntungan atau potensi keuntungan dalam wirausaha pertanian kopi memicu pola pertanian kopi pemuda menjadi lebih baik dari sebelumnya.

2.8. Kerangka Berfikir Kerangka berfikir untuk penelitian ini dimulai dengan melihat fenomena petani muda yang semakin menurun. Penurunan angka partisipasi petani muda akan berdampak pada keberlanjutan pertanian. Dampak rendahnya minat petani muda untuk terus bertani akan menurunkan angka produksi pertanian dan konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Beberapa literatur menunjukkan bahwa menurunnya petani muda disebabkan pendapatan sektor pertanian yang dianggap tidak terlalu menjanjikan dalam memenuhi kebutuhan hidup petani. Selain itu,

40

Universitas Sumatera Utara kesan pertanian yang tidak menarik, kotor dan terbelakang membuat petani muda memilih untuk bekerja di sektor lain selain pertanian.

Komoditi kopi dapat menjadi salah satu contoh bagaimana wirausaha pertanian dapat memberikan nilai tambah bagi para petani. Pertanian kopi tidak hanya dilakukan sekedar menanam dan memanen saja tetapi juga proses paska panen. Proses paska panen ini didukung oleh gaya hidup minum kopi dan permintaan kopi di level lokal maupun ekspor mempengaruhi rantai suplai kopi dari sisi petani.

Budaya minum kopi yang sekarang dianggap milik masyarakat menengah ke atas mempengaruhi pandangan terhadap profesi petani kopi. Selain itu, munculnya budaya minum kopi yang kemudian memunculkan generasi yang disebut Third Wave Coffee, tidak hanya membuat persepsi petani kopi lebih baik, tetapi juga memunculkan lebih banyak jenis permintaan atas produk kopi yang dihasilkan. Peningkatan permintaan ini pada akhirnya meningkatkan harga kopi di tingkat petani.

Tingginya permintaan dan generasi Third Wave Coffee meningkatkan minat petani muda untuk melakukan wirausaha pertanian kopi. Wirausaha pertanian kopi adalah proses pertanian kopi yang tidak yang tidak hanya melihat peningkatan produksi tetapi juga mengindentifikasi permintaan pasar untuk dapat memproses hasil usahanya dan dijual langsung menggunakan metode produksi yang inovatif dan berkelanjutan. Wirausaha pertanian kopi dapat dilakukan bila petani muda memiliki karakter wirausaha yang innovatif, berani mengambil resiko dan tidak tergantung pada orang lain.

41

Universitas Sumatera Utara Petani muda yang memiliki minat dalam wirausaha pertanian kopi akan dapat melihat permintaan pasar yang beragam untuk kopi. Hal ini akan membuat petani muda tidak hanya membudidayakan kopinya lalu menjual hasilnya sesaat setelah panen, tetapi juga akan melihat kesempatan dalam pasca panen kopi berdasarkan permintaan pasar. Penguasaan produksi dan pasca panen akan meningkatkan pendapatan petani dan juga kesan lebih berkelas. Pendapatan yang meningkat dan persepsi bahwa petani adalah pekerjaan yang berkelas, pada akhirnya akan membuat petani muda bertahan, menekuni budidaya pertanian (on farm) sama baiknya dengan paska panen (off farm).

Sehingga kerangka berfikir penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut

Minat wirausaha • Tidak ada regenerasi petani • Keuntungan yang pertanian kopi didapatkan dari pertanian • Program pertanian menjadi sulit diterapkan meningkat • Potensi kepribadia karena usia petani • Kesan bahwa pertanian wirausaha petani muda semakin tua dapat juga berarti modern • Pengetahuan atas • Alih fungsi lahan • Meningkatkan minat untuk budidaya dan pasca pertanian menjadi lahan melaksanakan pertanian panen non pertanian kopi • Pengaruh lingkungan/ Rendahnya komunitas wirausaha Penerapan Angka Partisipasi wirausaha Pemuda dalam • Gaya hidup minum kopi yang memberi kesan pertanian Pertanian modern

Gambar 2.3. Kerangka berfikir

2.9. Definisi Konsep Untuk memberikan pemahaman agar memudahkan penelitian ini, maka disusunlah definisi konseptual yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk

42

Universitas Sumatera Utara dapat menyederhanakan pemikiran dalam penelitian ini. Oleh sebab itu peneliti mengemukakan definisi sebagai berikut:

1. Petani muda: petani kopi muda dalam rentang usia 20 – 40 tahun. Pemilihan

rentang usia ini dengan pertimbangan yang disebutkan dalam buku Lemme

(1999: 49) bahwa rentang usia tersebut adalah masa dengan pola hidup baru,

peralihan masa remaja ke fase orangtua (middle adult) dan perncari nafkah dan

memiliki peningkatan kapasitas. Kemandirian dalam memutuskan minat dan

rencana masa depan tanpa mendapatkan pengaruh yang berarti dari rekan

seusianya. Rentang usia ini juga sesuai dengan penelitian sejenis yang

dilakukan Sumarti (2017) yang memberikan rentang petani muda sampai usia

40 tahun.

2. Wirausaha Pertanian: wirausaha yang dilakukan dengan basis komoditi

pertanian. Dalam penelitian ini, kegiatan wirausaha pertanian akan difokuskan

pada: proses pasca panen kopi dari biji gelondong/cherry sampai gabah, beras,

proses sangrai kopi biji atau bubuk baik yang dijual secara individual per petani,

maupun yang dilakukan secara kolektif.

3. Minat: Minat dalam penelitian ini didefinisikan sebagai motivasi atau dasar

yang ditemukan atau diyakini oleh petani muda yang membuat mereka

memutuskan untuk melakukan wirausaha pertanian kopi.

4. Potensi Kepribadian Wirausaha: pengukuran potensi kepribadian wirausaha

petani muda akan didasarkan pada keberanian mengambil resiko, inovasi dan

mengikuti perubahan teknologi

43

Universitas Sumatera Utara BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Tipe/Bentuk Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif.

Silalahi (2009:27) mengatakan penelitian deskriptif merupakan penelitian yang menyajikan satu gambaran yang terperinci tentang situasi khusus, setting sosial atau hubungan dengan maksud mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya tentang suatu fenomena yang terjadi. Pendekatan kualitatif deskriptif akan menjawab pertanyaan “bagaimana” untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian dalam hal ini minat secara menyeluruh dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pendekatan kualitatif deskriptif ini akan mendapatkan gambaran terperinci tentang situasi petani muda dalam wirausaha pertanian kopi, di mana kebiasaan minum kopi yang berubah dapat dianggap sebagai fenomena yang dapat mendasari minat petani muda dalam memulai usaha pertanian kopi mereka.

Penelitian ini akan menggunakan dua sumber data yaitu:

1. Data primer yang diperoleh melalui proses penggalian lebih dalam dengan

menggunakan wawancara mendalam dengan para informan kunci baik

menggunakan metode wawancara mendalam maupun dengan teknik diskusi

kelompok fokus

2. Data sekunder akan diperoleh dari hasil-hasil penelitian, dokumen pemerintah

maupun lembaga lain yang relevan.

44

Universitas Sumatera Utara 3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan July - September 2020 di desa Tanjung

Barus, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo. Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten penghasil kopi Arabika di Sumatera Utara. Berdasarkan data BPS

(2017) dalam kurun dua tahun terakhir (2015-2016) ada peningkatan yang cukup tinggi dalam pertanian kopi. Di tahun 2015, luas tanaman kopi Arabica seluas 7.595

Ha yang meningkat menjadi 7.741 Ha pada tahun 2016. Kecamatan Barusjahe memiliki peningkatan luasan tanaman kopi yang meningkat cukup tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain di Karo. Kecamatan Barusjahe juga salah satu penghasil kopi terbesar di Karo. Angka perubahan tanaman kopi untuk kecamatan

Barusjahe dapat dilihat dalam grafik di bawah ini.

Gambaran Lahan dan Produksi Kopi 3,50 Barusjahe 0 3,20 3,00 8 0

2,50 0

2,00 0 1,50 2 1,37 1,29 1 1,00 62 1 0 1 39 46 8 50 55 2 0 7 33 32 7 2 - 200 201 201 201 201 9 1 3 5 7 Luas lahan Produksi (ha) (ton) Gambar 3.1. Perbandingan luas lahan jeruk dan kopi di kecamatan Barusjahe

45

Universitas Sumatera Utara Desa Tanjungbarus dipilih sebagai lokasi penelitian karena:

1. Desa Tanjungbarus adalah salah satu desa dari empat desa di Kecamatan

Barusjahe dengan penghasil kopi terbesar.

2. Desa Tanjungbarus satu-satunya desa di Kecamatan Barusjahe yang tercatat

memiliki kelompok tani muda dengan kategori umur 29 sampai 39 tahun

3. Desa Tanjungbarus memiliki satu pemuda petani dan pengusaha kopi yang

sudah memiliki label sendiri di café di

4. Desa Tanjungbarus termasuk yang paling dekat dengan Berastagi yang

memudahkan para pemuda untuk mengakses informasi dan kebiasaan hidup di

kota.

3.3. Informan Penelitian

Menurut Alwasilah (2017:102) meskipun menggunakan pendekatan

kualitatif, penentuan sampel diperlukan, karena sampel bukan hanya menerapkan

jumlah manusianya saja, tetapi juga dalam latar belakang (setting), kejadian dan

proses. Karena penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif, pemilihan informan akan dilakukan secara purposive sampling atau criterion-based selection.

Populasi dalam penelitian ini adalah petani muda yang melakukan wirausaha

pertanian kopi di desa Tanjungbarus, kecamatan Barusjahe. Pemilihan informan

dilakukan dengan mengindentifikasi petani-petani muda dengan kriteria sebagai berikut:

1. Belum berulangtahun yang ke-40 tahun saat dilakukan wawancara

2. Memiliki kebun kopi sendiri

3. Berasal dari keluarga petani (orangtua petani)

46

Universitas Sumatera Utara 4. Melakukan pemrosesan kopi sendiri baik dari gelondong ke gabah basah, atau

dari gelondong ke gabah basah lalu gabah kering atau melakukan proses pasca

panen lainnya seperti natural, honey ataupun winey disamping pola semi atau

full-wash yang biasa dilakukan di kabupaten Karo.

Kelompok ini disebut sebagai informan kunci pertama. Dalam penelitian ini, informan kunci pertama adalah Agultaripa Meliala (31 tahun), Yanuar Barus

(22 tahun), Ari Ersada Bangun (22 tahun) dan Jack Sembiring (19 tahun). Keempat narasumber kunci tersebut dipilih karena mereka memiliki kesamaan ketertarikan dalam wirausaha kopi. Mereka juga pernah membentuk komunitas pemuda dan kopi yang menggabungkan pertanian kopi, proses pasca panen dan ekowisata.

Komunitas ini awalnya beranggotakan 30 orang petani pemuda berusia 19-25 tahun. Sayangnya komunitas tidak berjalan sesuai harapan. Namun demikian, keempat narasumber utama tersebut tetap konsisten dalam memperkuat diri mereka dalam budidaya dan paska panen kopi.

Profil informan kunci pertama:

1. Agultaripa Meliala, 31 tahun

Agultaripa Meliala adalah anak petani yang kemudian sempat kuliah di

Medan sampai tahun 2014. Di tahun 2015 dia kembali ke Tanjung Barus dan mengelola kebun jeruk dan beberapa tanaman kopi bersama dengan orangtuanya.

Beliau pertama kali mengenal cara penyeduhan kopi yang berbeda di Biji Hitam di tahun 2016 lewat Andreas Meliala.

Sejak saat itu, Agultaripa mulai mempelajari dan mencari tahu tentang proses paska panen kopi dan pemasaran. Dia juga mulai mengajak pemuda-pemuda yang ada di desa dan gerejanya untuk ikut terlibat dalam paska panen kopi.

47

Universitas Sumatera Utara Agultaripa mulai mendirikan komunitas antara lain Deleng Barus Sekitar yang mengajak pemuda-pemuda di desa untuk melihat potensi kopi yang ada dan menggabungkannya dengan beberapa wirausaha potensial lainnya, seperti agrowisata dan café di desa.

Sejak 2017, Agultaripa mulai konsisten melakukan paska panen sendiri dan menjual kopinya khususnya ke Biji Hitam di Berastagi dan Sapo Kahowa. Dia juga melakukan experiment paska panen kopi seperti natural, wine dan honey di samping wash dan semi wash. Selain ke Biji Hitam, dia juga mulai menyuplai ke café Omerta di Medan dan ke Cronbean, roaster di Tangerang Selatan. Proses paska panen yang dilakukan dipelajari dari rekan-rekan yang sudah memulai dan otodidak dan dia juga pernah mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh Badan Ekonomi

Kreatif (Bekraf) di Dolok Sanggul.

2. Yanuar Barus, 22 tahun

Yanuar Barus menyelesaikan pendidikan kejuruan di . Setelah menyelesaikan pendidikannya dia memilih untuk tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi, tetapi bertani bersama orangtuanya. Ayahnya kemudian menyerahkan kebun kopi sebanyak 200 pohon kopi untuk dikelola sendiri. Sejak itu, Yanuar Barus mengelola perkebunan kopinya. Perkebunan kopinya berada di perbatasan hutan

Deleng Barus. Saat bergabung dengan komunitas yang dibentuk Agultaripa, dia berencana untuk menggabungkan perkebunan kopinya dengan ekowisata.

3. Ari Ersada Bangun, 22 tahun

Ari Ersada saat ini sedang kuliah di fakultasi Ilmu Sosial di universitas di

Kabanjahe. Ari Ersada sudah memulai pertanian kopi bersama dengan orangtuanya sejak dia di sekolah lanjutan atas. Setelah dia kuliah, ayahnya menyerahkan

48

Universitas Sumatera Utara tanaman kopi sebanyak 400 pohon, khususnya tanaman kopi yang berada di lahan yang terjal. Saat ini, Ari Ersada mengurus tanamannya setelah selesai kegiatan kuliah. Ari Ersada bergabung dalam komunitas yang didirikan untuk belajar lebih jauh tentang paska panen kopi.

4. Jack Sembiring, 19 tahun

Jack Sembiring adalah salah satu anggota komunitas Deleng Barus Sekitar.

Meskipun dia anak petani kopi, tetapi dia tidak terlibat banyak dalam pertanian kopi dibandingkan ketiga rekan satu komunitasnya. Jack kuliah di Fakultas Ilmu

Teknologi di Kabanjahe dan bercita-cita untuk menjadi ahli teknologi. Dia tidak tertarik dalam pertanian kopi, tetapi dia tertarik untuk terlibat dalam pemasaran kopi, karena pemasaran tersebut membutuhkan ilmu komputer yang dia pelajari di kampus.

Informan kunci kedua adalah para penyangrai dan/atau kedai kopi (café) di wilayah Karo:

1. Andreas Meliala, salah satu pemilik Sapo Kahowa di Kabanjahe sebagai

informan kunci kedua. Andreas Meliala membeli kopi dari Tanjung Barus dan

beberapa kali membawa kopi Tanjung Barus dalam kontes kopi. Beliau juga

pernah berencana mendirikan koperasi kopi di Tanjung Barus. Andreas Meliala

adalah salah satu pengolah kopi pertama di Karo yang juga mengenalkan petani

muda dengan meminum kopi yang mereka tanam sendiri.

2. Andika, salah satu pemilik café Biji Hitam di Berastagi dipilih sebagai salah

satu informan kunci kedua karena café Biji Hitam sudah membeli dan

memberikan label sendiri untuk Kopi Tanjung Barus dan sudah berinteraksi

dengan Agultaripa sejak 2016.

49

Universitas Sumatera Utara 3. Elvran Surbakti, Ketua Koperasi Jumaraja di Berastagi. Elvran memulai

koperasi Jumaraja di tahun 2018. Meski tergolong koperasi baru, namun

koperasi yang dibangun konsisten dalam hal kualitas kopi dan sudah dikenal

Dinas Koperasi dan Dinas Lingkungan Hidup. Beberapa kali koperasi ini

mendapatkan bantuan dari pemerintah. Selain itu, koperasi terkenal membeli

kopi dengan harga mahal, tetapi dengan kualitas yang terjamin. Beberapa kali,

koperasi ini dikontak oleh petani dari desa lain untuk mereka bisa menjual

kopinya ke koperasi ini. Sayangnya, kualitas mereka masih belum mengikuti

standard yang diterapkan oleh Koperasi Jumaraja.

Informan tambahan adalah pemangku kepentingan lainnya. Dalam penelitian ini, informan tambahan adalah Dinas Pertanian, Perkebunan (Kabid

Kelembagaan – Eka Martinus), Dinas Ketenagakerjaan, Koperasi, Usaha Kecil dan

Menengah (Kabid UKM), Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian

Kecamatan Barusjahe , Jansen Sembiring dan Wika Siregar, jurnalis yang banyak meliput tentang pertanian di Karo dan Starbucks Farmer Training Support Center

(Surip Mawardi) di Karo.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara informan kunci

(Key Informan Interview, selanjutnya disingkat KII). Pemilihan infoman kunci dilakukan dengan teknik snow ball yang diawali dari café-café yang ada di

Kabanjahe dan Berastagi yang melakukan pembelian langsung ke petani. Dari café- café tersebut diidentifikasi petani-petani muda yang sesuai kriteria. Dari data tersebut, Peneliti melakukan wawancara mendalam. Informan kunci yang pertama diwawancarai kemudian akan memberikan rekomendasi informan kunci

50

Universitas Sumatera Utara selanjutnya. Hal ini dilakukan berulang-ulang sehingga tidak ada tambahan informan kunci lagi di Desa Tanjungbarus, Kecamatan Barusjahe. KII dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan yang disusun terstruktur.

Selain wawancara mendalam, pengumpulan data juga dilakukan dengan teknik observasi. Observasi dilakukan di lahan maupun proses pengolahan kopi dari informan kunci. Observasi ini tujuannya untuk memberikan gambaran lengkap tentang proses yang dilakukan oleh petani muda.

3.5. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan alur analisis data seperti yang disampaikan Miles et al (2014: 31) yaitu dengan melakukan tiga tahapan: kondensasi data, penyajian data dan melakukan verifikasi/menarik kesimpulan.

Karena metode pengumpulan data adalah metode kualitatif, data yang terkumpul dan analisis pun bersifat kualitatif. Data berupa kata-kata dimaksudkan tidak untuk menarik generalisasi, namun lebih menekankan pada makna, sehingga penelitian ini tergolong penelitian deskriptif.

Kondensasi data adalah proses perubahan data yang diambil dari proses wawancara, catatan atau materi empirik lainnya yang kemudian difokuskan, diringkas dan sarikan sehingga menghasilkan data yang lebih kuat. Proses kondensasi data itu terjadi selama proses pengumpulan data, di mana peneliti mengantisipasi data-data yang mengacu pada kerangka pemikiran tanpa harus menunggu proses penelitian selesai. Kondesasi data dilakukan dengan mengumpulkan semua hasil wawancara, mengelompokkan, melabel dan kemudian menyusun ulang dengan mengacu pada kerangka berfikir yang sudah dibuat.

51

Universitas Sumatera Utara Penyajian data dilakukan dengan menyarikan semua informasi yang dikumpulkan yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Informasi-informasi dari catatan-catatan disajikan dengan tersusun baik yang membawa pada analisis yang lengkap. Informasi-informasi yang sudah disarikan disajikan dalam beberapa bentuk, seperti kutipan, tabel deskriptif, teks naratif dan gambar.

Langkah terakhir yakni penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan sejak awal. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan mentriangulasi data hasil temuan di lapangan dengan teori-teori serta hasil penelitian terdahulu.

52

Universitas Sumatera Utara BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Karo

Kabupaten Karo adalah salah satu kabupaten yang ada di Sumatera Utara.

Sejak penjajahan belanda, Kabupaten Karo telah terkenal sebagai tempat peristirahatan, kemudian setelah Indonesia merdeka Kabupaten Karo dikembangkan menjadi daerah dengan tujuan wisata. Kabupaten Karo dijadikan sebagai daerah wisata karena Kabupaten Karo memilik banyak objek wisata yang menampilkan panorama yang sangat memukai seperti daerah pengunungan, air terjun, air panas dan kebudayaan unik. Selain panorama yang indah, Kabupaten

Karo juga dikenal sebagai daerah penghasil buah-buahan dan bunga-bungaan. Mata pencarian utama penduduk Kabupaten Karo yaitu usaha pertanian pangan, hasil hortikultura dan perkebunan rakyat. Luas wilayah hutan Kabupaten Karo mencapai

129.749 Ha atau 60,99 % dari luas Kabupaten Karo.

Secara geografis Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pengunungan

Bukit Barisan yang berada pada ketinggian 200 - 1.500 M diatas permukaan laut dan juga merupakan Daerah Hulu Sungai. Luas wilayah Kabupaten Karo yaitu

2.127,25 Km2 atau 212.725 Ha atau 2,97 % dari luas Provinsi Sumatera Utara.

Kabupaten Karo terletak diantara 2050‟-3019‟ Lintang Utara dan 97055‟-98o38‟

Bujur Timur. Batas wilayah Kabupaten Karo adalah:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten

Simalungun

53

Universitas Sumatera Utara 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Provinsi

Nangroe Aceh Darusalam).

Kabupaten Karo terdiri dari 17 (tujuh belas) kecamatan yang dapat dilihat pada tabel 4.1. beserta luas wilayahnya.

Tabel 4.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan Kabupaten Karo 2018

No Kecamatan Ibukota Luas (km2) Kecamatan

1. Mardingding Mardingding 267,11 2. Laubaleng Laubalen 252,60 3. Tigabinaga Tigabinanga 160,38 4. Juhar Juhar Perangin- 218,56 angin 5. Munte Munte 125,64 6. Kutabuluh Kutabuluh 195,70 7. Payung Payung 47,24 8. Tinganderket Tiganderket 86,76 9. Simpang Empat Ndokum Siroga 93,48 10. Naman Terang Naman 87,82 11. Merdeka Merdeka 44,17 12. Kabanjahe Kabanjahe 44,65 13. Berastagi Berastagi 30,50 14. Tigapanah Tigapanah 186,84 15. Dolat Rayat Dolat Rayat 32,25 16. Merek Garingging 125,51 17. Barusjahe Barusjahe 128,04 Karo Kabanjahe 2.127,25 Sumber : Kabupaten Karo Dalam Angka 2019

Jumlah penduduk Kabupaten Karo sesuai dengan hasil sensus tahun 2010 berjumlah 350.960 jiwa. Pada pertengahan tahun 2018 menurut proyeksi penduduk sebesar 403.207 dengan mendiami wilayah seluas 2.127,25 Km2. Kepadatan penduduk diperkirakan sebesar 180 jiwa/Km2. Laju pertumbuhan penduduk Karo sebesar 1,95 % pertahun. Untuk lebih jelas mengenai jumlah penduduk Kabupaten

Karo dapat dilihat pada tabel 4.2.

54

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Karo Menurut Kecamatan 2018

Laju Pertumbuhan No Kecamatan Penduduk (ribu) Penduduk Pertahun (%) 1. Mardingding 19,92 1,95 2. Laubaleng 20,76 2,01 3. Tigabinaga 22,84 1,74

4. Juhar 14,86 1,45 5. Munte 22,84 1,48 6. Kutabuluh 11,91 1,49 7. Payung 12,42 1,72 8. Tinganderket 14,73 1,40

9. Simpang Empat 21,42 1,50 10. Naman Terang 14,94 1,95 11. Merdeka 16,23 2,51 12. Kabanjahe 75,90 2,29 13. Berastagi 51,45 2,40

14. Tigapanah 34,80 2,17 15. Dolat Rayat 9,69 1,96 16. Merek 21,04 1,93 17. Barusjahe 24,64 1,37 Karo 409,68 1,95 Sumber : Kabupaten Karo Dalam Angka 2019

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Kecamatan Kabanjahe adalah kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar yaitu 75,90 ribu jiwa, kemudian jumlah penduduk Kecamatan Berastagi memiliki jumlah penduduk sebanyak 51,45 jiwa sebagai jumlah penduduk kedua terbesar setelah Kecamatan

Kabanjahe. Sedangkan untuk Kecamatan Dolat Rayat menjadi kecamatan dengan jumlah penduduk yang paling sedikit yaitu sekitar 9,69 jiwa.

4.2. Gambaran Umum Kecamatan Barusjahe

4.2.1. Kecamatan Barusjahe Secara Geographis Kecamatan Barusjahe terletak di bagian Timur Kabupaten Deli

Serdang/Kabupaten Simalungun. Kecamatan Barusjahe sendiri terletak pada 18024

55

Universitas Sumatera Utara – 02058‟ Bujur Timur dimana seluruh wilayahnya berada pada dataran dengan ketinggian elevasi berkisar antara 1.232-meter diatas permukaan laut. Sungai yang melintasi wilayah kecamatan Barusjahe adalah sungai Lau Biang. Iklim yang sering terjadi di Kecamatan Barusjahe adalah iklim hujan dan iklim kemarau. Letak

Kecamatan Barusjahe dikelilingi oleh gunung Barus maka tingkat curah hujan relatif tinggi. Kecamatan Barusjahe merupakan kecamatan terluas ke-7 di

Kabupaten Karo dengan luas 128,04 Km2. Kecamatan Barusjahe memiliki batas sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Merek/Kabupaten Simalungun,

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah,

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang/Kabupaten

Simalungun.

Kecamatan Barusjahe memiliki 19 (sembilan belas) desa. Desa yang ada di

Kecamatan Barusjahe dapat dilihat pada tabel 4.3 serta luas dan rasio terhadap luas kecamatan.

56

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.3. Desa dan Luas Desa Kecamatan Barusjahe 2018

Rasio Terhadap No Desa/Kelurahan Luas (Km2) Total Luas Kecamatan (%) 1. Rumamis 6,62 5,17 2. Semangat 6,10 4,76 3. Sinaman 6,13 4,79 4. Talimbaru 5,17 4,04 5. Pertumbuken 7,29 5,69 6. Bulan Julu 3,33 2,60 7. Bulan Jahe 5,95 4,65 8. Sukanalu 15,22 11,89 9. Sukajulu 8,74 6,83 10. Barusjahe 8,08 6,31 11. Serdang 7,38 5,76 12. Penampen 5,57 4,35 13. Sarimanis 6,71 5,24 14. Tangkidik 1,83 1,43 15. Paribun 4,66 3,64 16. Persadanta 5,93 4,63 17. Sikab 9,53 7,44 18. Tanjung Barus 6,77 5,29 19. Barusjulu 7,03 5,49 Barusjahe 128,04 100,0 Sumber : Kecamatan Barusjahe Dalam Angka 2019

Dapat dilihat dari tabel 4.3. bahwa desa yang paling luas adalah Desa

Sukanalu dengan luas 15,22 km2 dan desa yang paling sempit adalah Desa

Tangkidik dengan luas 1,83 km2. Kecamatan Barusjahe menjadi daerah yang sejuk dan memiliki curha hujan yang tinggi sebab berada di ketinggian 1.232-meter diatas permukaan laut. Untuk lebih jelas mengenai tinggi wilayah diatas permukaan laut menurut desa dapat dilihat pada tabel 4.4.

57

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.4. Tinggi Wilayah Diatas Laut (DPL) Menurut Desa/Kelurahan 2018

No Desa/Kelurahan Tinggi (m) 1. Rumamis 1 200 2. Semangat 1 200 3. Sinaman 1 200 4. Talimbaru 1 200 5. Pertumbuken 1 200 6. Bulan Julu 1 200 7. Bulan Jahe 1 200 8. Sukanalu 878 9. Sukajulu 1 205 10. Barusjahe 1 246 11. Serdang 1 200 12. Penampen 1 200 13. Sarimanis 1 260 14. Tangkidik 1,262 15. Paribun 1 261 16. Persadanta 1 260 17. Sikab 1 309 18. Tanjung Barus 1 395

19. Barusjulu 1 238 Sumber : Kecamatan Barusjahe Dalam Angka 2019

Dilihat dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa Kecamatan Barusjahe berada di ketinggian 1.200 diatas permukaan laut (dpl) kecuali desa sukanalu yang berada di ketinggian 878 dpl. Berada di ketinggian 1.200 dpl menjadikan Kecamatana

Barusjahe memiliki iklim sejuk dan dingin sehingga sangat bagus dalam melakukan budidaya tanaman yang hidup didataran tinggi seperti teh, kopi, sayur mayur, buah- buahan dan lain sebagainya.

Luas wilayah yang digunakan dalam melakukan cocok tanam di Kecamatan

Barusjahe dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini.

58

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.5 Luas Wilayah Menurut Jenis Penggunaan Tanah dan Desa (Ha)

Lahan Pertanian Lahan Lahan No Desa/Kelurahan Lahan Bukan Jumlah Bukan Sawah Pertanian

1. Rumamis 81 567 14 662 2. Semangat 38 556 17 611 3. Sinaman 16 581 16 613

4. Talimbaru 17 488 12 517 5. Pertumbuken 60 657 12 729 6. Bulan Julu 17 311 5 333 7. Bulan Jahe 56 533 6 595 8. Sukanalu 157 1 356 8 1 521

9. Sukajulu 0 839 35 874 10. Barusjahe 0 780 28 808 11. Serdang 103 601 35 739 12. Penampen 74 476 7 557 13. Sarimanis 98 568 5 671

14. Tangkidik 0 180 3 183 15. Paribun 16 439 11 466 16. Persadanta 0 582 10 592 17. Sikab 94 833 26 953 18. Tanjung Barus 0 655 22 677 19. Barusjulu 0 677 26 703

Barusjahe 827 11 679 298 12 804 Sumber : Kecamatan Barusjahe Dalam Angka 2019

Kecamatan Barusjahe dengan luas sekitar 12.804 Ha dimana penggunaan lahan bukan sawah lebih luas dari pada lahan sawah dan lahan bukan pertanian.

Luas lahan bukan sawah di Kecamatan Barusjahe sekitar 11.679 Ha dengan Desa

Sukanalu menjadi desa yang luas lahan pertaniannya dengan luas lahan sawah dan lawah bukan sawah yang terbesar sekitar 157 Ha dan 1.356 Ha sedangkan desa dengan lahan bukan pertanian yang terbesar adalah Desa Sukajulu dan Desa

Serdang. Desa yang tidak memiliki lahan sawah adalah Desa Sukajulu, Desa

Barusjahe, Desa Tangkidik, Desa Persadanta, Desa Tangjung Barus dan Desa

Barusjulu. Untuk desa dengan lahan bukan sawah dan lahan bukan pertanian terkecil adalah Desa Tengkidik yaitu 180 ha dan 3 ha.

59

Universitas Sumatera Utara Pada tabel 4.5 dapat kita lihat bahwa di Kecamatan Barusjahe lahan pertanian yang berupa lahan bukan sawah adalah lahan dengan luas 11.679 Ha.

Luas lahan yang digunakan untuk perkebunan rakyat menurut jenis tanaman yaitu

1.3771 Ha untuk kopi dan 2 Ha untuk kayu manis atau sekitar 0,18 dari luas wilayah pertanian bukan lahan sawah. Untuk lebih jelas dapat melihat tabel 4.6 berikut ini :

Tabel 4.6 Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman dan Desa/Kelurahan 2018

Luas Tanaman (Ha)

No Desa/Kelurahan Kayu Kelapa Aren Kopi Coklat Manis

1. Rumamis 0 0 121 0 0 2. Semangat 0 0 137 0 0 3. Sinaman 0 0 51 0 0 4. Talimbaru 0 0 95 0 0

5. Pertumbuken 0 0 15 0 0 6. Bulan Julu 0 0 25 0 0 7. Bulan Jahe 0 0 37 0 0 8. Sukanalu 0 0 170 0 2 9. Sukajulu 0 0 33 0 0

10. Barusjahe 0 0 56 0 0 11. Serdang 0 0 92 0 0 12. Penampen 0 0 52 0 0 13. Sarimanis 0 0 88 0 0 14. Tangkidik 0 0 67 0 0

15. Paribun 0 0 12 0 0 16. Persadanta 0 0 25 0 0 17. Sikab 0 0 86 0 0 18. Tanjung Barus 0 0 117 0 0 19. Barusjulu 0 0 92 0 0

Barus Jahe 0 0 1 371 0 2 Sumber : Kecamatan Barusjahe Dalam Angka 2019

4.2.2. Kecamatan Barusjahe secara Demographis Pada tahun 2018 jumlah penduduk Kecamatan Barusjahe berjumlah 24. 636 jiwa dengan luas wilayah 128,04 Km2 dengan kepadatan penduduk mencapai

189,36 jiwa/km2. Jumlah penduduk paling banyak berada di Desa Sukanalu dengan

60

Universitas Sumatera Utara jumlah 3.505 jiwa dengan kepadatan penduduk 230,28 per km2. Sedangkan untuk desa dengan jumlah penduduk yang paling sedikit berada di Desa Tangkidik berjumlah 231 jiwa dengan kepadatan penduduk 126,22 per km2. Untuk lebih jelasnya dapat melihat tabel 4.7 berikut ini :

Tabel 4.7 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Menurut Desa/Kelurahan 2018

Jumlah Kepadatan No Desa/Kelurahan Luas (Km2) Penduduk Penduduk (orang) Tiap Km2 1. Rumamis 6,62 1 221 184,44 2. Semangat 6,10 864 141,63 3. Sinaman 6,13 1 233 201,14 4. Talimbaru 5,17 1 076 208,12 5. Pertumbuken 7,29 997 136,76 6. Bulan Julu 3,33 660 198,19 7. Bulan Jahe 5,95 1 151 193,44 8. Sukanalu 15,22 3 505 230,28 9. Sukajulu 8,74 2 202 251,95 10. Barusjahe 8,08 2 294 283,91 11. Serdang 7,38 878 118,97 12. Penampen 5,57 692 124,23 13. Sarimanis 6,71 774 115,35 14. Tangkidik 1,83 231 126,22 15. Paribun 4,66 1 007 216,09 16. Persadanta 5,93 979 165,09 17. Sikab 9,53 1 447 151,83 18. Tanjung Barus 6,77 1 791 264,54 19. Barusjulu 7,03 1 634 232,43 Barusjahe 128,04 24 636 189,36 Sumber : Kecamatan Barusjahe Dalam Angka 2019

Untuk memperdalam informasi mengenai jumlah penduduk Kecamatan

Barusjahe, maka pada Tabel 4.8 adalah penjelasan mengenai jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin tiap desa.

61

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.8 Banyak Penduduk Menurut Desa/Kelurahan 2018

Penduduk (Orang) No Desa/Kelurahan Jumlah Laki-laki Perempuan 1. Rumamis 605 616 1 221 2. Semangat 429 435 864 3. Sinaman 603 603 1 233 4. Talimbaru 517 559 1 076 5. Pertumbuken 501 496 997 6. Bulan Julu 321 339 660 7. Bulan Jahe 560 591 1 151 8. Sukanalu 1 689 1 816 3 505 9. Sukajulu 1 055 1 147 2 202 10. Barusjahe 1 145 1 149 2 294 11. Serdang 428 450 878 12. Penampen 359 333 692 13. Sarimanis 368 406 774 14. Tangkidik 102 129 231 15. Paribun 501 506 1 007 16. Persadanta 487 492 979 17. Sikab 736 711 1 447 18. Tanjung Barus 908 883 1 791 19. Barusjulu 823 811 1 634 Barusjahe 12 137 12 499 24 636 Sumber : Kecamatan Barusjahe Dalam Angka 2019

Desa Sukanalu menjadi desa dengan jumlah penduduk penduduk yang paling besar dengan jumlah penduduk 3.505 orang dimana jumlah penduduk perempuan sekitar 1.816 orang dan laki-laki sekitar 1.689 orang. Desa dengan jumlah penduduk terkecil yaitu Desa Tengkidik dengan jumlah 231 orang dengan jumlah penduduk perempuan yaitu 129 orang dan laki-laki yaitu 102 orang. Dari tabel 4.7 diketahui bahwa jumlah penduduk perempuan di Kecamatan Barusjahe lebih banyak yaitu 12.499 orang dari pada jumlah penduduk laki-laki yaitu 12.137 orang. Untuk melihat kelompok umur penduduk Kecamatan Barusjahe dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini :

62

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.9 Jumlah Penduduk Menurut Rincian Jenis Kelamin dan Kelompok Umur 2018

Penduduk (orang) Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah 0 – 4 1 313 1 288 2 601 5 – 9 1 335 1 312 2 647 10 – 14 1 188 1 134 2 322 15 – 19 949 887 1 836 20 – 24 853 800 1 653 25 – 29 896 896 1 792 30 – 34 951 951 1 902 35 – 39 932 946 1 878 40 – 44 848 858 1 706 45 – 49 702 770 1 472 50 – 54 596 673 1 269 55 – 59 539 632 1 171 60 – 64 457 505 962 65 – 69 295 372 667 70 – 74 154 204 358 75 + 129 271 400 Jumlah 12 137 12 499 24 636 Sumber : Kecamatan Barusjahe Dalam Angka 2019

4.2.3. Kecamatan Barusjahe Secara Administratif Secara administratif Kecamatan Barusjahe dipimpin oleh seorang camat dengan ibukota berada di Desa Barusjahe. Camat berkedudukan sebagai koordinator penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di wilayah kerjanya dan langsung bertanggungjawab kepada Bupati melalui sekretaris daerah. Camat memiliki tugas pokok melaksanakan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan serta tugas umum pemerintahan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kacamatan Barusjahe terdiri dari 19 (sembilan belas) desa dengan jumlah dusun sebanyak 44 (empat puluh empat). Pada tabel 4.10 dapat dilihat dengan jelas jumlah dusun yang setiap desa yang ada di Kecamatan Barusjahe.

63

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.10 Banyaknya Lingkungan, Dusun, Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT) Menurut Desa / Kelurahan 2018

No Desa/Kelurahan Lingkungan Dusun RW RT 1. Rumamis 0 2 0 0 2. Semangat 0 2 0 0 3. Sinaman 0 2 0 0 4. Talimbaru 0 2 0 0 5. Pertumbuken 0 2 0 0 6. Bulan Julu 0 2 0 0 7. Bulan Jahe 0 2 0 0 8. Sukanalu 0 4 0 0 9. Sukajulu 0 2 0 0 10. Barusjahe 0 4 0 0 11. Serdang 0 3 0 0 12. Penampen 0 2 0 0 13. Sarimanis 0 3 0 0 14. Tangkidik 0 1 0 0 15. Paribun 0 2 0 0 16. Persadanta 0 2 0 0 17. Sikab 0 2 0 0 18. Tanjung Barus 0 1 0 0 19. Barusjulu 0 4 0 0 Barusjahe 0 44 0 0 Sumber : Kecamatan Barusjahe Dalam Angka 2019

Jumlah dusun di Kecamatan Barusjahe tidak begitu banyak hanya bekisar 1

(satu) sampai 4 (empat) per desa saja dengan dusun terbanyak berada di Desa

Sukanalu, Desa Barusjahe, dan Desa Barusjulu. Untuk Desa Tengkidik dan Desa

Tanjung Barus adalah desa yang hanya memiliki 1 (satu) dusun.

64

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.1. Peta Kecamatan Barusjahe

4.3. Gambaran Umum Desa Tanjung Barus

Berdasarkan data Desa Tanjung Barus ada 550KK dengan total populasi

1750 orang: 800 laki-laki dan 950 perempuan. Berdasarkan profesinya penduduk desa Tanjung Barus dapat dikelompok dalam tabel berikut:

65

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.11 Penduduk Desa Tanjung Barus Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan Jumlah Petani Kopi 430 Petani Lainnya 55 PNS 35 Pekerjaan lainnya 30 Total 550 Sumber: Profil Desa Tanjung Barus, 2019

Dari tabel di atas terlihat hanya 11.8% penduduk yang mata pencariannya bukan petani, sedangkan selebihnya adalah petani. Meskipun data di atas memperlihatkan bahwa ada 430KK yang tercatat bekerja sebagai petani kopi, tetapi mereka juga bertani hortikultura, palawijaya dan buah-buahan seperti jeruk. Saat ini tidak ada petani yang hanya bertani kopi saja. Sedangkan petani yang tercatat sebagai petani lainnya, adalah petani yang menanam tanaman pertanian, tetapi tidak memiliki kopi dalam lahan pertaniannya. Jumlah mereka hanya berkisar 10% dari total penduduk atau setara 11% dari total petani yang ada di Tanjung Barus.

Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian mengelompokkan khusus untuk petani kopi yang memiliki luas lahan kopi lebih dari 0,5ha. Dari pengelompokan lanjutan ini terdata sebanyak 47 kelompok petani kopi yang tersebar di desa-desa di Kecamatan Barusjahe. Rincian kelompok tani, anggota dan luas lahan pertanian dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

66

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.12. Banyaknya anggota kelompok tani dan luas lahan pertanian kopi di Kecamatan Barusjahe No Desa/Kelurahan Jumlah Usia Usia kurang dari Kelompok Tani lebih 40 tahun Kopi dari 40 tahun 1 Tanjung Barus 3 30 17 2 Talimbaru 11 160 29 3 Sukanalu 7 67 11 4 Barusjahe 7 63 9 5 Bulan Jahe 2 3 0 6 Bulan Julu 3 6 0 7 Persadanta 2 39 0 8 Partumbuken 3 4 1 9 Sukajulu 3 35 1 10 Sinaman 6 60 10 Total 47 467 78 Sumber: Profil Desa Tanjung Barus, 2019

Data di atas memperlihatkan ada total 467 petani kopi yang tergabung dalam kelompok tani, di mana 78 (15%) orang di antaranya berusia kurang dari 40 tahun.

Berdasarkan informasi dari Kasie Kelembagaan dari Dinas Pertanian Kabupaten

Karo, jumlah petani kopi yang ada di Kecamatan Barusjahe lebih banyak dari data petani yang terdaftar di kelompok tani. Hal ini dikarenakan tidak semua petani tergabung dalam kelompok tani. Hal ini ditegaskan oleh kepala BP3 yang menyebutkan lebih dari 50% petani tidak masuk dalam kelompok tani.

Khusus untuk desa Tanjungbarus, ada satu kelompok yang didaftarkan sebagai kelompok Taruna Jaya, di mana 14 dari 17 orang anggotanya berusia kurang dari 40 tahun. Kelompok ini awalnya terdaftar sebagai kelompok hortikultura yang dibentuk untuk lebih memudahkan BP3 melakukan pendampingan penyuluhan.

67

Universitas Sumatera Utara 4.4. Gambaran Umum Budidaya Kopi di Tanjungbarus

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Jansen Sembiring, Kepala Badan

Pelaksana Penyuluhan Pertanian Kecamatan Barusjahe dan Ibu Wika Siregar, seorang jurnalis yang banyak meliput tentang pertanian di Kabupaten Karo, disebutkan bahwa tanaman kopi awalnya adalah tanaman pagar. Masyarakat Karo sudah menanam kopi sejak lama, tetapi tidak pernah menjadi tanaman utama, karena dijadikan sebagai tanaman pembatas antar lahan yang satu dengan yang lain.

Tanaman utama biasanya adalah tanaman sayuran dan jeruk. Bapak Jansen

Sembiring mengatakan:

“Karena bukan sebagai tanaman utama, beberapa kali saya melihat tanaman kopi yang ditebang di saat harga tidak lagi dianggap menjanjikan. Patokan keberhasilan tanaman dilihat dari harga jual, tidak melihat dari hasil produksi.” (Jansen Sembiring, wawancara tanggal 9 September 2020)

Hal ini diperkuat oleh Ibu Wika Siregar:

“Menurut masyarakat Karo, dulunya, tanaman kopi sebagai tanaman untuk orang santai atau tanaman Tuhan, bila berbuah baik, kalau tidak berbuah juga tidak menjadi masalah.” (Wawancara tanggal 4 September)

Petani mulai banyak bertani kopi sejak erupsi gunung Sinabung, karena kopi dianggap tahan terhadap abu vulkanik. Erupsi gunung Sinabung di tahun 2010 memperlihatkan bahwa tanaman kopi tidak serentan tanaman jeruk ataupun sayuran. Pasca erupsi Sinabung, ada beberapa lembaga yang membantu pendampingan petani, khususnya kopi, antara lain FAO dan ILO. Pendampingan ini memberikan informasi tambahan tentang budidaya dan potensi kopi, sehingga lebih banyak petani yang mempertimbangkan untuk bertanam kopi.

Lini waktu tentang minat petani mulai mengembangkan tanaman kopi tidak lagi sebagai tanaman pagar juga tertuang dalam berita acara pengajuan Indikasi

68

Universitas Sumatera Utara Geografis Kopi Arabika Tanah Karo di tahun 2018. Dalam berita acara tersebut dijelaskan minat petani Karo atas tanaman kopi sudah dimulai sekitar 2010.

Pengajuan Indikasi Geografis juga menunjukkan bahwa masyarakat Karo secara keseluruhan melihat potensi tanaman kopi, sehingga berusaha memastikan keunikan budidaya dan pasca panen kopi Karo lewat pendaftaran Indikasi

Geografis.

Menurut Kepala BP3 Kecamatan Barusjahe, di tahun 2012, harga kopi dianggap cukup menjanjikan. Selain itu, promosi pertanian kopi pasca erupsi

Gunung Sinabung membuat banyak petani yang mulai menggantikan tanaman jeruk menjadi tanaman kopi. Hanya saja pergantian tanaman jeruk menjadi tanaman kopi tidak diikuti dengan pola budidaya yang baik, seperti misalnya pemangkasan, pembersihan lahan dan pemupukan, sehingga produktivitas kopi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun lebih banyak petani yang menanam kopi di lahan mereka, tidak hanya di pinggir sebagai tanaman pagar, namun perlakuan tanaman masih seperti tanaman pagar. Saat ini, produktivitas kopi di Kabupaten

Karo setara dengan 400-600kg green bean per ha lahan. Angka ini masih jauh di bawah angka nasional yang mencapai 800-900kg per ha lahan.

Harga kopi dari Kabupaten Karo relatif lebih tinggi dibandingkan kabupaten lain. Hal ini dapat dilihat dari data yang dikeluarkan Dinas Perkebunan Sumatera

Utara. Perbandingan harga kopi tahun 2019 dari kabupaten penghasil kopi di

Sumatera Utara dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

69

Universitas Sumatera Utara

50,00 0 45,00 0 40,00 0 35,00 0 30,00 0 25,00 0 20,00 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Harga Dalam Rp/Kg Kopi Gabah Kar Humbaha Samosi Tapu Simalungu Dair o s r t n i

Gambar 4.2. Harga Kopi Sepanjang tahun 2019 di Enam Kabupaten di Sumatera Utara

Gambar di atas memperlihatkan, sepanjang tahun 2019, hanya tiga bulan harga kopi Kabupaten Karo lebih rendah dibandingkan Kabupaten Tapanuli Utara dan Samosir. Harga lebih rendah tersebut terjadi di bulan April, Juni dan July.

Namun, secara keseluruhan harga kopi di Karo selalu melebihi harga kopi di

Kabupaten lain. Menurut Surip Mawardi, harga kopi Kabupaten Karo relatif lebih tinggi dibandingkan kabupaten lain selain karena kualitas, juga karena akses ke

Medan yang lebih mudah.

“Harga kopi Karo bisa lebih tinggi dari kabupaten lain bisa saja disebabkan karena kualitasnya. Namun, kita juga perlu memperhitungkan bahwa kadang pembeli atau eksportir berspekulasi atau melakukan subsidi silang. Harga kopi daerah lain yang lebih rendah bisa menutupi harga kopi Karo yang tinggi. Terutama saat pembeli/eksportir harus menutup kuota ekspor mereka. Karena Karo lebih dekat ke Medan, akan mudah untuk pembeli/eksportir membeli ke Karo dibandingkan kabupaten lain.” (Surip Mawardi, wawancara 4 July 2020)

70

Universitas Sumatera Utara Sejak April 2020 harga kopi di Karo turun menjadi Rp 15.000,00 – Rp

22.000,00 per kilogram. Harga ini berkurang sampai hampir 100% dibandingkan harga akhir tahun 2019, di mana harga gabah basah mencapai Rp 25.000,00 – Rp

30.000,00 per kilogram. Perubahan harga yang terjadi di tahun 2019 dan 2020 terpengaruh pada pandemik Covid-19 yang membuat permintaan kopi menurun.

Perubahan harga kopi gabah dari tahun 2019 dan 2020 dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.13 Harga Kopi Gabah di Kabupaten Karo Tahun 2019 - 2020

Tahun Harga Dalam Rp/Kg Kopi Gabah

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 2020 34.000 32.828 20.000 19.333 17.419 20.000 19.355 19.355 13.933 19.000 19.000 61.300 2019 34.871 34.857 33.290 36.300 33.839 34.000 28.000 28.000 30.000 30.000 32.000 34.000 Sumber: diolah dari data Dinas Perkebunanan Sumut, 2021

Penurunan harga kopi ini membuat petani mulai mengeluh dan beberapa mulai menebang tanaman kopi mereka dan menggantinya menjadi tanaman sayur mayur. Menurut Wika Siregar, mengganti tanaman saat harga dianggap tidak menguntungkan merupakan kebiasaan sebagian besar petani Karo. Penggantian tanaman tersebut karena sedikit sekali dari petani yang memasukkan biaya pembukaan lahan sebagai biaya ataupun investasi. Sebagian besar petani hanya mencatat biaya produksi sejak penanaman dan membandingkannya dengan biaya penjualan. Ketika petani hanya menghitung biaya operasional dan penjualan, maka mereka tidak merasa rugi saat harus menebang pohon, sebab petani tidak menghitung biaya investasi dan pembukaan lahan yang mereka keluarkan.

Petani juga tidak melihat komponen produktivitas saat memutuskan mengganti tanaman mereka karena harga yang rendah. Hal ini membuat petani memutuskan menanam jenis tanaman tertentu berdasarkan harga pasar saat itu,

71

Universitas Sumatera Utara tanpa memperhitungkan produktivitas yang dapat ditingkatkan sehingga pendapatan dapat meningkat juga. Hal ini disampaikan oleh Elvran Surbakti, ketua

Koperasi Jumaraja di Berastagi, seperti ini:

“Padahal kalau petani berhitung dengan sangat baik, dengan jumlah pupuk yang tepat, produksi kopi dapat ditingkatkan. Jadi, meskipun harga berfluktuasi, tetapi produksi meningkat, biaya masih dapat ditutupi. Biaya tersebut akan lebih murah dibandingkan menggantikan tanaman kopi dengan tanaman lain.” (Elvran Surbakti, wawancara tanggal 4 September 2020).

Informan kunci kedua dan tambahan menjelaskan bahwa menjadi petani bukanlah pilihan pertama. Hampir tidak ada orangtua yang mendukung saat anak- anaknya menjadi petani. Anak-anak di sekolahkan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, bukan untuk menjadi petani. Pekerjaan menjadi petani adalah pekerjaan yang melelahkan dan kotor.

“Kalau anak-anak sudah disekolahkan, maka harapan orangtua adalah supaya tidak menjadi petani.” (Wika Siregar, wawancara tanggal 4 September).

Pola pandang tersebut dikonfirmasi oleh Andreas Meliala. Saat dia memutuskan untuk menekuni wirausaha pertanian, Ibunya kuatir dan berharap usaha tersebut tidak diteruskan.

“Ibu saya kuatir kalau saya menekuni wirausaha pertanian. Akan lebih baik dan terpandang kalau saya tetap bekerja di bank.” (Andreas Meliala, wawancara tanggal 4 September 2020)

Hal yang sama terjadi di desa Tanjung Barus, di mana tidak banyak yang menjadikan pertanian menjadi pilihan pertama. Kebayakan pemuda di desa

Tanjung Barus memilih untuk bekerja di kantor atau perusahaan. Menurut Yanuar

Barus, di desanya hanya sedikit pemuda yang tertarik menjadi petani, termasuk petani kopi. Menjadi petani tidak memberikan keamanan dan kestabilan dalam

72

Universitas Sumatera Utara pendapatan. Kadang pendapatan tinggi, tetapi lebih sering pendapatan petani sangat sedikit. Bahkan, tidak jarang, petani tidak dapat menutupi biaya operasional pertaniannya, seperti biaya pupuk, tenaga kerja bahkan tenaga panen.

“Teman-temanku sampai heran dan bingung waktu aku memutuskan untuk menekuni pertanian. Menurut mereka cara pandangku itu aneh. Tapi aku tetap akan jadi petani, karena aku bisa menentukan sendiri jam kerjaku dan aku bisa menentukan usaha apa yang akan aku kerjakan.” (Yanuar Barus, wawancara tanggal 6 September 2020)

Ketiga narasumber utama memiliki pohon kopi sebanyak 200-400 pohon.

Pertanyaan tentang luasan lahan kopi sulit untuk dijawab, karena tanaman kopi juga ditanam bersama dengan tanaman lain, seperti holtikultura. Bila mengacu pada standard penanaman kopi arabika, satu hektar lahan kopi Arabika dapat ditanami

1600 – 2500 batang pohon. Surip Mawardi dari Starbuck Farmers Support Center di Berastagi menunjukkan dengan teknik tertentu dan varietas tertentu bahkan satu hektar kopi dapat ditanami sampai 4000 batang kopi. Populasi yang berbeda tentu saja menghasilkan produksi yang meningkat pula bila diikuti dengan perawatan yang dianjurkan.

Para petani muda melakukan perawatan kopi dengan cara berbeda dibandingkan dengan orangtua mereka. Berdasarkan pengakuan informan kunci utama, hal yang paling berbeda yang mereka lakukan dalam budidaya dibandingkan dengan yang dilakukan oleh orangtua mereka adalah dalam hal pemangkasan. Para petani muda mendapatkan informasi dari internet dan berdasarkan informasi tersebut mereka melakukan pemangkasan atas tanaman kopi mereka. Di sisi lain, pemahaman orangtua mereka, semakin banyak dahan pohon kopi, maka semakin banyak buahnya, sehingga memangkas dahan pohon berarti mengurangi produktivitas tanaman kopi. Perbedaan pemahaman kadang ini membuat

73

Universitas Sumatera Utara ketidakcocokan di antara orangtua dan anak. Namun, para petani muda yang sudah melihat kegunaan pemangkasan, akan tetap melakukan pemangkasan atas tanaman kopinya. Menurut mereka, setahun setelahnya, orangtuanya dapat menerima dan memahami, khususnya saat melihat produktivitas tanaman membaik.

Tidak semua informan kunci melakukan pemangkasan. Alasan mereka tidak melakukan pemangkasan yang pertama karena tidak diijinkan oleh orangtua.

Alasan lainnya adalah karena tidak terlalu paham bagaimana melakukan pemangkasan. Meskipun mereka paham manfaat pemangkasan kopi, namun bagaimana cara melakukan masih belum dapat dipahami secara jelas.

4.5. Pembahasan dan Hasil Penelitian

4.5.1. Minat petani muda dalam wirausaha pertanian kopi Minat wirausaha pertanian kopi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai minat untuk proses pengolahan kopi yang tidak hanya sekedar memanen dan menjual dalam bentuk gelondong (cherry). Wirausaha pertanian kopi melingkupi proses pasca panen sampai penjualan yang memberikan nilai tambah di tingkat petani. Untuk melihat minat wirausaha tersebut, maka perlu dipahami pola pasca panen dan penjualan kopi yang dilakukan secara umum di desa Tanjung Barus.

Gambar dalam tabel berikut memperlihatkan tahapan biji kopi sejak dipanen sampai dijual, berdasarkan nama lokal yang biasa dipakai di desa Tanjung Barus:

74

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.14. Tabel bentuk kopi, lama pengerjaan dan penyusutan yang terjadi

Gambar Nama Lama Penyusutan Harga per pengerjaan yang terjadi kg*) Biji Langsung 0 Rp 5.000,00 gelondong diperoleh setelah panen

Gabah Membutuhkan Menyusut Rp 19.000,00 basah waktu 2-3 hari menjadi 0,4 – angin sejak 0.5 kg dari biji pemanenan gelondong

Kopi Membutuhkan Menyusut Rp 40.000,00 – beras/ waktu 5-7 hari menjadi 0,16 – 60.000,00 green sejak 0,2 kg dari biji untuk metode bean pemanenan. gelondong pengolahan Beberapa umum di Karo petani bahkan (semi wash). membutuhkan Untuk proses waktu lebih lainnya lama bila harganya menggunakan bervariasi, metode yang natural berbeda dimulai dari Rp80.000,00; wine Rp120.000,00; dan honey Rp100.000,00 Biji Proses ini Untuk Harga tidak sangrai sebagian besar menghasilkan sefluktuatif sudah satu kg biji harga gabah. dilakukan sangrai, Kisaran harga café/roastery. dibutuhkan untuk semi- Meskipun ada 1,16 – 1,2 kg wash mulai beberapa petani kopi beras/ dari Rp muda yang juga green bean. 240.000,00 melakukan sampai Rp sangrai sendiri 400.000,00 per kg. Untuk metode lainnya harganya sangat tergantung

75

Universitas Sumatera Utara

Gambar Nama Lama Penyusutan Harga per pengerjaan yang terjadi kg*) waktu dan café/roaster yang menjual. Wine dijual di harga Rp600.000,00, natural Rp400.000,00, honey seharga Rp600.000,00. Di beberapa café atau roaster harga dapat menjadi lebih mahal, tergantung label/image yang diberikan untuk kopi atau proses tertentu. Sumber: data primer diolah dari diskusi dengan beberapa narasumber. Harga yang tertulis berdasarkan harga saat penelitian dilakukan (Agustus – September 2020)

Bentuk kopi gelondong dan gabah basah paling banyak dilakukan di tingkat petani. Beberapa petani, khususnya petani muda di Tanjung Barus, seperti yang dilakukan para narasumber, khususnya Agultaripa, melakukan pengolahan sampai ke kopi beras, bahkan sampai ke sangrai. Namun, tiga petani muda lainnya tidak melakukan proses lebih lanjut. Alasan tidak melakukan proses selanjutnya karena orangtua mereka tidak bersedia menunggu lebih lama untuk kemudian menjual dan menghasilkan uang.

“Aku melakukan proses pengolahan sampai ke kopi beras. Tetapi aku juga menyanggrai sendiri kopiku. Soalnya dengan menyanggrai sendiri, aku mencoba menerapkan pelatihan yang pernah aku dapatkan dan aku jadi tidak perlu lagi ke café untuk minum kopi enak.” (Agultaripa, wawancara tanggal 30 Agustus 2020)

76

Universitas Sumatera Utara Mata rantai suplai kopi di desa Tanjung Barus secara umum dapat dijelaskan dalam gambar berikut:

Cafe/ Roastery • Kopi dpanen dan langsung desa/ Kecamatan • Mengolah gabah basah dijual ke pedagang Pengumpuluntuk pengumpul (dalam tingkat menjadi green bean dan siap bentuk gelondong) • Mengolah kopi gelondong dijual/diantar ke Medan • Menyangrai kopi dan • Kopi dipanen lalu menjadi gabah untuk dijual menghidangkan diproses menjadi gabah ke pedagang pengumpul kepada pengunjung basah untuk dijual ke tingkat kabupaten • Menjual kopi dalam pengumpul • Mengeringkan gabah basah bentuk kemasan

Pengumpul Petani tingkat Kabupaten

Gambar 4.3. Mata Rantai Suplai Kopi di Desa Barusjahe

Dari gambar di atas terlihat bahwa ada tiga bentuk tahapan dalam mata rantai suplai kopi, yaitu petani, pedagang pengumpul tingkat kecamatan dan kabupaten dan café/roastery baik di lokal Kabupaten Karo maupun di luar kota, seperti Medan atau bahkan Jakarta. Masing-masing pelaku rantai suplai memiliki tahapan tersendiri. Petani lebih banyak menghasilkan bentuk gelondong atau gabah basah, pengumpul menghasilkan gabah basah/kering sedangkan pengumpul tingkat kabupaten sampai ke kopi beras.

Beberapa petani akan langsung menjual hasil olahan mereka dalam bentuk kopi gelondong ke pengumpul di tingkat desa. Pertimbangan menjual langsung dilakukan di saat hasil panen terlalu sedikit untuk diolah. Misalnya, bila petani dalam satu kali panen menghasilkan 10kg gelondong, maka mereka akan menjual langsung ke pengumpul. Karena biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk

77

Universitas Sumatera Utara mengolah 10kg kopi gelondong akan sama dengan 50 kg kopi gelondong.

Pertimbangan kedua, di saat harga gabah basah relatif murah, maka petani akan menjual dalam bentuk gelondong. Perhitungan petani adalah, bila harga jual gabah basah lebih kecil atau sama dengan Rp 25.000,00 maka akan lebih menguntungkan bila kopi dijual dalam bentuk gelondong.

Di desa Tanjung Barus sendiri, ada beberapa pedagang pengumpul yang tinggal di desa atau yang datang untuk membeli kopi pada hari pasar/pekan. Petani dapat menjual ke pedagang pengumpul di desa atau ke pengumpul tingkat kecamatan yang berjarak sekitar 4 km dari desa. Bila kopi yang dijual banyak, mereka akan menjual ke pengumpul di Berastagi/ Kabanjahe dalam bentuk gabah basah.

Bila petani memutuskan untuk mengolah kopi yang dipanen menjadi gabah basah, maka proses yang paling umum dilakukan petani di Karo adalah proses semi basah atau paling dikenal dengan semi-wash. Proses semi-wash adalah proses paska panen kopi yang menggunakan air. Tahapan semi-wash dijelaskan dalam gambar berikut:

78

Universitas Sumatera Utara

Memetik kopi dan merendam dalam air (merambang) untuk mengambil biji yang

Melakukan pengupasan biji kopi menggunakan mesin kupas (pulper)

Melakukan proses fermentasi selama 12-24 jam

Mencuci kopi yang sudah difermentasi di air yang mengalir

Menjemur selama beberapa jam di bawah sinar

Menjua l

Gambar 4.4. Proses pasca panen dari biji gelondong menjadi gabah basah

Proses paska panen di atas membutuhkan waktu 2-3 hari dari pemanenan, fermentasi sampai penjualan. Menurut Agultaripa, idealnya satu kilogram gelondong kopi akan menghasilkan 0,4 sampai 0,5 kg gabah basah. Sayangnya, kadang petani hanya mendapatkan kurang dari 0,4 kg gabah basah karena banyak biji yang kosong karena penyakit. Hal ini juga yang membuat petani enggan untuk melakukan proses paska panen. Padahal, melakukan proses paska panen akan memberikan keuntungan yang lebih banyak untuk petani.

Menurutnya, meskipun harga gabah basah kurang dari Rp 25.000,00 per kg, sepanjang harga gabah basah tiga kali lipat harga gelondong, maka petani masih

79

Universitas Sumatera Utara lebih untung menjual dalam bentuk gabah basah. Untuk menghasilkan satu kg gabah basah maka dibutuhkan rata-rata 2,2 kg gelondong. Artinya, bila petani menjual dua kilogram biji gelondongnya seharga total Rp 11.000,00 sebenarnya petani berpotensi mendapatkan hasil Rp 15.000,00. Hanya saja, kadang keinginan untuk segera mendapatkan uang langsung setelah panen menjadi godaan tersendiri untuk petani langsung menjual hasil panennya.

Dari empat informan kunci utama yang diwawancara tentang minat dalam wirausaha pertanian kopi, hanya tiga yang menunjukkan minat khusus dalam wirausaha pertanian kopi. Satu orang lainnya mengatakan bahwa dia tidak tertarik dalam wirausaha pertanian kopi maupun dalam pertanian kopi. Jack Sembiring memiliki lahan yang dikelola bersama dengan orangtuanya, dia juga terlibat dalam komunitas pemuda yang memiliki minat dalam pertanian dan pasca panen kopi, namun Jack Sembiring melihat potensi ekowisata dan Informasi Teknologi (IT) lebih menjanjikan dibandingkan wirausaha pertanian kopi.

Ketiga narasumber utama menunjukkan minat untuk wirausaha pertanian kopi, namun mereka terbentur dengan keleluasaan dalam memutuskan menjual atau mengolah kopi lebih lanjut. Agultaripa di sisi lain memiliki keleluasan lebih dibandingkan kedua rekannya karena orangtuanya sudah menyerahkan penuh pengelolaan lahan kepadanya. Kopi yang dipanen tidak hanya diolah menjadi green bean atau roasted bean, tetapi dia juga melakukan proses yang berbeda-beda, sehingga dia bisa menjual dengan harga berbeda juga. Proses yang dilakukan mulai dari panen sampai green bean membutuhkan waktu yang lebih lama, seminggu atau bahkan sampai berbulan-bulan. Agulataripa mengakui, meskipun waktunya lama, tetapi sebanding dengan harga yang diperoleh.

80

Universitas Sumatera Utara Selain proses semi-wash yang sudah dijelaskan di atas, Agultaripa juga melakukan eksperimen di beberapa proses paska panen lainnya. Proses paska panen yang sudah dilakukan adalah:

1. Proses honey atau madu, proses ini untuk menghasilkan kopi dengan

menonjolkan rasa manis seperti madu. Proses pengolahannya berbeda dan lebih

rumit dibandingkan dengan proses semi-wash. Dari sisi penyusutan kadar air,

proses ini tidak jauh berbeda dengan proses semi-wash. Namun, proses ini

membutuhkan waktu lebih panjang. Proses honey masih dibagi-bagi lagi

menjadi kuning (yellow honey), merah (red honey) dan hitam (black honey).

Kopi dengan proses honey membutuhkan minimal dua bulan sejak masa

pemetikan. Kopi dengan proses yellow honey adalah proses yang paling singkat

dibandingkan red honey dan black honey. Agultaripa pernah memproses black

honey sampai enam bulan. Harga untuk masing-masing proses juga berbeda-

beda. Yellow honey adalah kopi yang paling murah dibandingkan dengan red

honey dan black honey. Agultaripa menjual kopi dengan proses honey seharga

Rp 140.000,00.

2. Proses natural adalah proses dengan menjemur langsung kopi dengan kulitnya

setelah dipetik. Proses ini membutuhkan lebih sedikit air dibandingkan dengan

semi-wash. Proses natural dipercaya menghasilkan rasa yang lebih ringan dan

bersih karena rasa asam yang lebih rendah. Proses natural membutuhkan sinar

matahari yang cukup. Menurut Agultaripa, proses natural yang dia lakukan bisa

menghabiskan setidaknya satu bulan.

3. Proses wine adalah proses paska panen yang mirip dengan proses natural, tetapi

dengan perlakukan yang lebih lama. Agultaripa baru melakukan proses wine

81

Universitas Sumatera Utara satu kali. Proses ini memakan waktu lebih dari dua bulan dan lebih rumit

dibandingkan dengan proses yang lain. Menurutnya, bila berhasil proses wine

akan dihargai paling mahal dibandingkan dengan proses yang lain. Harga kopi

dengan proses wine dapat mencapai Rp 300.000,00 per kg. Agultaripa hanya

menjual kopi proses wine seharga Rp 170.000,00. Harga tersebut jauh di bawah

harga biasanya karena dia baru belajar, selain itu, dia belum menemukan calon

pembeli yang bersedia membeli dengan harga yang lebih mahal.

Sejak Agultaripa mengenal wirausaha pertanian kopi di tahun 2016, dia sangat bersemangat untuk mempraktekkannya, menyebarkan pengetahuan dan memotivasi pemuda lainnya untuk mengikuti jejaknya dalam melakukan wirausaha pertanian kopi. Proses motivasi dilakukan lewat pendekatan pribadi, maupun lewat kelompok-kelompok yang ada. Pemuda-pemuda di desa Tanjung Barus dan desa sekitarnya tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang proses paska panen kopi yang menghasilkan harga yang lebih baik. Namun, menurut Agultaripa, minat mereka dihentikan oleh proses yang panjang dan keputusan yang tidak dapat diambil sendiri karena para pemuda tersebut, meskipun sudah lulus kuliah masih tergantung pada orangtua.

Para informan kunci utama mengatakan bahwa minat mereka dalam wirausaha pertanian kopi meningkat saat melihat perilaku minum kopi yang berbeda dibandingkan pola minum kopi di masa-masa yang lalu. Agultaripa mengenal café pertama kali di tahun 2016. Saat itu, Andreas Meliala mengajaknya untuk mencoba minum kopi di café Biji Hitam di Berastagi. Menurutnya, sejak kunjungan pertama dan diskusi dengan Andreas Meliala membuatnya berfikir banyak tentang kebun kopi dan usahanya ke depan.

82

Universitas Sumatera Utara “Setelah pulang dari Biji Hitam, satu malam saya tidak bisa tidur. Saya berfikir terus, bagaimana mungkin harga kopi bisa semahal itu, kenapa kopi rasanya tidak seperti rasa yang saya kenal selama ini: pahit. Rasa yang saya rasakan sangat manis, beragam dan harganya juga mahal.” (Wawancara tanggal 30 Agustus 2020).

Pengalaman tersebut membuatnya menjadi belajar lebih banyak, mencari informasi lebih lanjut. Dia berdiskusi banyak dengan Andreas Meliala dan dengan sumber-sumber lain untuk belajar lebih lanjut proses paska panen. Setahun setelah kunjungan pertamanya ke Biji Hitam, Agultaripa memulai proses pasca panen pertamanya dan menjual green bean ke Biji Hitam dan Sapo Kahowa, milik

Andreas Meliala.

Keempat informan kunci utama dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu: kelompok pertama adalah mereka yang memiliki minat individu dan minat situasional yang sama tingginya dan kelompok kedua adalah mereka yang memiliki minat situasional yang besar tetapi memiliki minat invidu yang tidak terlalu besar.

Agultaripa memiliki minat situasional yang besar saat pertama kali berkunjung ke

Biji Hitam, yang kemudian diikuti oleh minat individu yang besar. Ketiga informan kunci lainnya banyak dipengaruhi oleh situasi perkopian yang ada di Karo dan bimbingan dari Agultaripa, namun minat individunya tidak terlalu tinggi.

Gambaran ketiga informan kunci tersebut merupakan gambaran petani muda di

Desa Tanjung Barus secara keseluruhan. Berdasarkan pendapat informan kunci, sebagian besar petani muda di Desa Tanjung Barus tidak berminat untuk memulai wirausaha pertanian kopi, seperti yang disampaikan oleh Yanuar Barus:

“Petani muda di sini sudah pernah kami ajak untuk bergabung dan memulai usaha paska panen kopi untuk dijual dan harganya lebih bagus, tetapi kami tidak mendapatkan tanggapan. Pertemuan awal banyak yang datang, setelah itu mereka mundur satu persatu.” (Yanuar Barus, wawancara tanggal 6 September)

83

Universitas Sumatera Utara Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Subramaniam (2009:11) dan

O‟Keefe et al (2017: 56) bahwa minat individu lebih bertahan lama meskipun muncul secara perlahan-lahan. Minat individu yang besar inilah yang membuat informan kunci utama mencari jalan keluar saat menemukan kendala dalam wirausahanya. Agultaripa menemukan banyak kendala dalam memulai wirausahanya, seperti tentangan dari orangtua, memulai budidaya dan paska panen kopi. Kesulitan-kesulitan tersebut tidak menghentikannya memulai wirausaha pertaniannya justru memacunya mengembangkan usahanya.

Sebaliknya, sebagian besar petani muda di desa Tanjung Barus tidak memiliki minat besar dalam melakukan wirausaha pertanian kopi. Para petani muda mengakui bahwa mereka melihat potensi yang besar bila mereka mengelola kopinya dengan lebih baik, maka mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Namun, mereka melihat juga kendala yang ada dan merasa bahwa kendala tersebut terlalu sulit untuk dihadapi untuk mereka dapat berhasil menjadi wirausahawan kopi.

“Kadang-kadang kalau saya bertanya kepada para petani muda, kenapa mereka tidak menekuni usaha paska panen mereka, supaya mereka mendapatkan uang yang lebih banyak, mereka akan menjawab waktunya terlalu lama. Bahkan, kadang secara bercanda mereka mengatakan untuk saya membayar terlebih dahulu baru mereka akan mengerjakan paska panen tersebut.” (Agulataripa, wawancara tanggal 30 Agustus 2020).

Minat petani muda dalam wirausaha pertanian kopi tidak secara serta merta mempengaruhi minat mereka dalam pertanian kopi. Petani muda cenderung melihat pertanian atau kegiatan di kebun kopi menjadi bagian terpisah dari wirausaha pertanian kopi. Menurut Andreas Meliala, para petani muda sedikit sekali yang

84

Universitas Sumatera Utara melihat keterkaitan sektor hulu (pertanian kopi) dengan sektor hilir (wirausaha pertanian kopi). Hal ini juga dinyatakan oleh Wika Siregar.

“Petani dengan rata-rata usia 17-30 tahun inginnya bermain di sektor hilir karena duitnya lebih cepat dan lebih keren. Padahal, apapun ceritanya, permasalahan utama ada di sektor hulu. Kalau tidak punya barangnya tidak akan bisa permintaan sektor hilir.” (Wika Siregar, wawancara tanggal 4 September)

Beberapa informan kunci memperlihatkan minat untuk memulai wirausaha pertanian kopi. Beberapa dari mereka sudah memiliki rencana bisnis dan bahkan melakukan eksperimen untuk pengolahan kopi. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari petani muda tersebut yang berbicara tentang rencana pengembangan produksinya.

Dalam diskusi, tidak ada yang memiliki rencana peningkatan produksi pertaniannya untuk memenuhi suplai permintaan kopi, bila mereka memulai wirausaha pertanian mereka. Lebih lanjut, para petani muda tidak memiliki rencana untuk melihat apakah produktivitas perkebunannya sudah optimal atau masih perlu ditingkatkan. Ini memperlihatkan bahwa meskipun petani muda memiliki minat dalam wirausaha pertanian kopi, tetapi tidak memiliki rasa keterikatan dengan usaha pertanian di kebun kopi mereka.

Cara pandang para petani muda dalam melihat wirausaha pertanian kopi merupakan bagian terpisah dari usaha pertanian kopi itu sendiri tercermin dari kebiasaan mengganti tanaman saat harga komoditas anjlok. Keempat narasumber membenarkan kebiasaan petani dalam mengganti tanaman bila dianggap tidak menguntungkan, khususnya saat harga turun. Ketika harga kopi dianggap cukup menjanjikan sejak tahun 2012, lebih banyak petani yang menanam kopi. Mereka membenarkan data statistik yang memperlihatkan petani yang mengganti tanaman

85

Universitas Sumatera Utara jeruk menjadi tanaman kopi. Menurut Jansen Sembiring, petani cenderung mengganti tanaman mereka bila harga dianggap tidak lagi menjanjikan, seperti yang disampaikannya:

“Menjadi tantangan buat kami adalah bagaimana meyakinkan petani untuk tekun dalam mengelola kebunnya, meskipun harga sedang tidak baik. Produktivitas kadang mulai dipandang saat harga meningkat, bukan menjadi kebiasaan. Beberapa kali, bahkan kami sebagai penyuluh ditantang untuk bisa meningkatkan harga produksi pertanian mereka, ini sesuatu yang tentu saja di luar kendali kami.” (Jansen Sembiring, wawancara tanggal 9 September 2020)

Di pertengahan tahun 2020, sebagian sudah mulai mengganti lagi tanaman kopinya karena harga kopi yang menurun. Lebih lanjut, mereka juga melihat ada petani yang mulai menebang tanaman kopi meskipun umurnya masih relatif muda, berkisar antara 5-8 tahun. Hal ini dilakukan karena biaya penjualan kopi tidak cukup menutupi biaya panen dan produksi selama ini. Petani kemudian mengganti tanaman kopi menjadi tanaman sayur mayur.

4.5.2. Faktor-faktor yang menarik minat petani muda dalam wirausaha pertanian kopi

Dari hasil wawancara dengan para informan, ada beberapa faktor yang dapat dikategorikan sebagai faktor yang menarik minat petani muda dalam wirausaha pertanian kopi. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi faktor dari luar yang kemudian mempengaruhi minat situasional; dan faktor dari dalam yang kemudian mempengaruhi minat individu. Kedua faktor tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

4.5.2.1. Faktor penarik dari luar

4.5.2.1.1. Kebiasaan minum kopi di café Secara umum, menurut informan kunci kedua dan informan tambahan, sebelum 2016, baik pengolahan kopi maupun café belum ada di Karo. Café pertama

86

Universitas Sumatera Utara yang menyediakan kopi kualitas baik dan mengajarkan cara minum kopi yang berbeda dengan kebiasaan sebelumnya muncul di tahun 2016, yaitu Café Biji

Hitam. Setelahnya mulai bermunculan café dan pengolahan kopi. Kemunculan café-café dan pengolahan kopi membuat petani semakin menyadari potensi kopi yang mereka tanam.

Menurut Wika Siregar, saat café-café dan pengolahan kopi bermunculan, para petani-petani muda mulai melihat potensi di hilir (café dan pengolahan). petani muda mulai memahami bahwa komoditas pertanian yang mereka hasilkan memiliki nilai yang tinggi. Sebelumnya petani hanya memanen kopi lalu menjualnya ke pedagang pengumpul, tanpa memahami kaitan mata rantai dengan warung kopi.

Kemunculan café membuat minat pemuda untuk memulai usaha dari sekedar pertanian mulai meningkat.

“Sekarang banyak pemuda termasuk petani yang minum kopi di café dan melihat potensi menjual kopi sesuai standard café. Di satu sisi, penjualan ke café meningkatkan pendapatan petani, namun, di sisi lain, berhembus rumor bahwa mereka tidak lagi membutuhkan pedagang pengumpul. Tentu saja cara pandang ini tidak tepat.” (Wika Siregar, wawancara tanggal 4 September).

Minat wirausaha pertanian dilihat sebagai sektor yang terpisah dari pertanian yang mereka biasa lakukan. Kebiasaan minum di café mengubah cara pandang dari sekedar minum kopi biasa, menjadi tingkatan yang lebih tinggi karena mengerti rasa dan cerita tentang kopi. Menurut Andreas Meliala, pemuda mulai berminat atas kebiasaan minum kopi di café dan pengolahan kopi setelah erupsi

Sinabung, di mana banyak lembaga swadaya masyarakat yang membantu memperkenalkan potensi kopi, sehingga petani-petani muda dan produktif langsung menyikapi perubahan potensi ini.

87

Universitas Sumatera Utara Lebih lanjut, Elvran Surbakti mengatakan:

“Kalau saya sendiri melihat, kemunculan café malah membuat banyak petani menjadi konsumtif. Mereka menikmati dan merasakan eforia minum kopi dengan cara baru. Tetapi mereka tidak sampai tertarik untuk membuat produk kopi dengan metode paska panen tertentu. Jadi, tidak selalu kemunculan café membuat petani terpacu untuk melakukan wirausaha pertanian kopi atau paska panen kopi.” (Elvran Surbakti, wawancara tanggal 4 September)

4.5.2.1.2. Tokoh petani muda yang sudah melakukan wirausaha pertanian

Para informan menjelaskan salah satu alasan mereka berminat dalam menjalankan wirausaha pertanian kopi adalah petani muda lainnya yang sudah lebih dahulu menjalankan wirausaha pertanian kopi. Menurut Wika Siregar, seperti halnya di tempat lain, di Karo juga para petani muda melihat bukti keberhasilan seseorang sebelum mulai mengikuti jejak dalam wirausaha pertanian kopi. Pasca erupsi Sinabung, ada beberapa pemuda yang kembali ke Karo dan mulai menularkan ilmu-ilmu pertanian kopi ke petani-petani kopi di Karo. Awalnya perubahan yang dilakukan para petani pemuda yang pernah merantau ke luar dari

Karo itu ditertawakan. Namun perubahan itu mulai dilihat dan mulai ditiru, misalnya melakukan pemangkasan.

Beberapa pemuda, baik petani maupun yang bukan berlatar belakang petani menjadi panutan dan tempat bertanya para petani muda untuk memulai wirausaha mereka. Atau, dalam beberapa hal, para pemuda yang sudah sukses tersebut mulai menularkan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk memulai wirausaha pertanian kopi mereka. Andreas Meliala, memulai usaha pengolahan kopinya di usia 35 tahun. Dia kemudian mulai mengajak para petani muda melakukan pengolahan kopi, salah satunya Agulataripa di Desa Tanjung Barus.

88

Universitas Sumatera Utara Para informan kunci utama di Desa Tanjung Barus, mengakui bahwa mereka mulai meniti usaha pengolahan kopi mereka karena diajak oleh Agultaripa.

Mereka melihat upaya yang dilakukan Agulataripa dalam pengolahan kopinya dan mulai menjual langsung ke café/roastery membuat mereka mulai berfikir bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang sama. Mereka melakukan beberapa kali diskusi dan pertemuan sehingga sebagian kecil dari mereka mulai mengikuti jejak

Agultaripa.

Motivasi Agulataripa mengajak para petani muda lainnya pertama karena dia berharap petani muda dapat melihat potensi yang diperoleh dengan mengolah kopi sesuai permintaan pasar. Alasan kedua adalah dengan lebih banyak petani muda terlibat dalam pengolahan kopi, maka dia dapat memastikan keberlanjutan pasokan kopi untuk para pembelinya. Agultaripa melihat bila semakin banyak petani muda yang ikut mengolah kopi, mereka bisa mencari pasar lebih besar dan lebih banyak lagi.

4.5.2.2. Faktor pendorong dari dalam diri petani muda

4.5.2.2.1. Potensi peningkatan pendapatan Informan kunci utama menyampaikan bahwa dengan melakukan pengolahan kopi, mereka mendapatkan nilai tambah dibandingkan menjual langsung dalam bentuk cherry. Margin keuntungan yang diperoleh tergantung dari metode apa yang digunakan. Para informan kunci utama secara jelas menyampaikan mengapa mereka tertarik menggeluti wirausaha pertanian kopi ini.

“Di tahun 2016, saya diajak oleh Andreas Meliala ke Biji Hitam dengan membawa kopi saya sendiri. Kopi hasil tani saya lalu saya minum di sana. Dan saya terkejut ada banyak rasa yang dapat saya temukan di kopi saya. Padahal setahu saya, kopi itu pahit, udah sampai di situ saja. Lalu Biji Hitam menjelaskan kepada saya bahwa proses dan ketinggian mempengaruhi rasa kopi. Saya jadi lebih sering berkunjung ke Biji Hitam meski tidak ditemani.

89

Universitas Sumatera Utara

Di meja kopi itu ada banyak jenis kopi yang disediakan. Menurut saya, harganya sangat mahal untuk saya sebagai petani. Secangkir kopi dihargai Rp 18.000,00 sampai Rp 20.000,00. Padahal sebagai petani, pendapatan saya tidak tetap, sehingga saya putuskan untuk membuat sendiri.” (Wawancara tanggal 30 Agustus 2020)

Informan kunci menyebutkan dia terus mencoba dan berusaha untuk melakukan pengolahan kopi seperti yang pernah dia rasakan di café. Setelah mencoba beberapa kali di tahun 2016, dia kemudian membuat dan menjual dalam bentuk green bean di tahun 2017. Proses pengolahan paska panen dilakukan berulang-ulang sambil terus berdiskusi dengan teman sehingga dia menghasilkan standard kopinya sendiri.

Informan kunci tidak dapat menjelaskan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari hasil pengolahan kopi yang dibuat. Hal ini disebabkan karena mereka tidak melakukan pencatatan dari biaya produksi dan penerimaan dari penjualan dari semua kegiatan wirausaha yang dilakukan. Kadang-kadang mereka melakukan pencatatan, tetapi tidak semua dicatat, sehingga mereka tidak dapat menjelaskan berapa tepatnya peningkatan pendapatan yang dihasilkan dari proses pengolahan kopi yang dihasilkan. Yanuar Barus, salah satu informan kunci menjelaskan gambaran peningkatan pendapatan yang dapat diperoleh dengan melakukan pengolahan paska panen.

“Misalnya harga gabah Rp 20.000,00 sampai Rp 25.000,00. Seandainya petani mau membuat proses yang lebih baik seperti yang kita lakukan sekarang, kita bisa menjual Rp 40.000,00 sampai Rp 50.000,00. Kalau bisa dilakukan maka pendapatan akan meningkat.” (Wawancara tanggal 6 September 2020)

Informan kunci utama tidak dapat menjelaskan peningkatan pendapatan yang mereka peroleh sewaktu menjadi petani dibandingkan menjadi pengolah paska panen kopi. Agultaripa menjelaskan bahwa usahanya dalam pengolahan

90

Universitas Sumatera Utara paska panen kopi lebih baik dibandingkan hanya menjual cherry atau gabah saja.

Bila proses paska panen dilakukan dengan baik, harganya pasti lebih tinggi, tanpa harus melakukan pengolahan yang rumit seperti natural, honey dan wine.

4.5.2.2.2. Kebanggaan sebagai pengolah kopi lebih tinggi dibandingkan menjadi petani Rasa bangga adalah salah satu faktor yang meningkatkan minat pemuda dalam wirausaha pertanian kopi. Petani muda merasa bangga dan bahagia sudah berhasil mengolah kopinya berdasarkan permintaan pasar dan bahkan melakukan lebih banyak uji coba untuk menciptakan cita rasa yang menjadi ciri khas pengolah kopi tertentu. Menurut Agultaripa, dia tidak dapat melupakan pengalaman pertama dia mencicipi kopi di Biji Hitam, seperti yang dikatakannya:

“Begini ya, sewaktu pertama kali saya mencoba meminum kopi hasil olahan saya sendiri, saya merasa bangga, ternyata kopi yang saya panen dapat menghasilkan rasa yang seperti ini. Yang kedua, saya juga semakin penasaran atas rasa apa lagi yang dapat dihasilkan. Dan efek kopi itu memberikan rasa ceria. Jadi, waktu aku mengajak petani lain untuk mengolah kopinya pun, aku memulai dengan mengajak dia mencicipi olahan kopi yang dia panen.” (Wawancara tanggal 2 September 2020)

Menurut Yanuar Barus bahwa menjadi petani saja tidak cukup membanggakan, karena penghasilannya yang kecil dan tidak menentu. Seorang petani harus memiliki tambahan usaha yang mendukung pertanian. Menjadi wirausaha pertanian akan memberikan rasa percaya diri yang lebih baik merasa lebih eksis, yang dapat dilakukan dengan sosial media. Selain menjadi pengolah kopi, beberapa petani muda memikirkan untuk menambahkan ekowisata di dalamnya.

Menurutnya, wirausaha pertanian akan memberikan keleluasaan dalam mengatur waktu. Dia tidak menyukai pekerjaan di kantor karena waktunya sangat

91

Universitas Sumatera Utara ketat, sehingga dia memilih menekuni pertanian, meskipun beberapa temannya menertawakan pilihannya. Menurut teman-temannya yang seusia dengannya, menjadi petani bukanlah sesuatu yang membanggakan. Meskipun menggabungkan pertanian dengan wirausaha terdengar menarik, tetapi menurut para petani muda, keberhasilan yang akan diperoleh membutuhkan usaha dan modal yang tidak sedikit, sehingga mereka tidak tertarik untuk menekuninya.

Kebanggaan ini yang menjadi pemicu minat Agulataripa memulai usaha pengolahan kopinya. Menurutnya, rasa bangga merasakan hasil kopi olahannya dinikmati orang lain setelah dijual di café, membuatnya menjadi bersemangat.

Menurutnya, dibandingkan dengan potensi peningkatan pendapatan, kebanggan dan prestise menjadi yang utama dalam menarik minatnya dalam melakukan wirausaha pertanian. Hal ini dapat dilihat dari lini waktu Agulatripa dalam memulai wirausaha pertaniannya. Setelah tiga tahun, Agulataripa masih kesulitan untuk dapat secara jelas menyebutkan peningkatan pendapatan dalam mengolah hasil pertanian menjadi green bean.

Meski tidak dapat secara jelas menunjukkan peningkatan pendapatan, informan kunci utama masih terus berupaya dalam melanjutkan usahanya. Dia juga dengan semangat terus bereksperimen dalam menghasilkan citarasa kopi yang menurutnya disukai para pembeli. Hal ini juga terlihat saat informan kunci menceritakan bagaimana orangtua dan orang-orang di sekitarnya mulai menaruh minat atas usahanya karena melihatnya mulai mengikuti pelatihan ataupun pertemuan-pertemuan skala kabupaten atau provinsi.

“Sejak saya kenal kopi di Biji Hitam tahun 2016, tahun 2017 saya sudah bisa mengolah kopi saya sendiri dan menjualnya ke Biji Hitam. Saya juga sudah mengikuti pelatihan yang dilakukan pemerintah waktu itu sampai ke Dolok Sanggul. Sejak saya mengikuti banyak pelatihan, orangtua saya jadi lebih

92

Universitas Sumatera Utara respek pada saya. Orangtua tidak lagi menolak kalau saya mengolah kopinya dengan cara yang berbeda.” (Wawancara tanggal 30 Agustus 2020).

Menurut informan kunci kedua, Andreas Meliala, kebanggaan dan motivasi dari para petani muda tidak dapat berdiri sendiri tanpa melihat prospek keuntungan dan peningkatan pendapatan. Andreas Meliala sudah mulai mendampingi 10 orang yang melakukan wirausaha pertanian kopi sejak 2017 yang terdiri dari petani muda di Kecamatan Tiga Panah, Barusjahe dan Simpang Empat. Banyak petani muda yang tidak berfikir dari perspektif bisnis dan keberlanjutan bisnisnya. Beliau menunjukkan ada beberapa petani muda di Karo, termasuk di Tanjung Barus yang usahanya masih jalan di tempat karena lebih mengutamakan prestise/kebanggan dibandingkan keuntungan.

“Saya beberapa kali membawa kopi dari Tanjung Barus untuk kompetisi. Kalau saya disuruh memilih kopi-kopi dari tempat lain dibandingkan Tanjung Barus, maka saya akan memilih kopi Tanjung Barus karena citarasanya unik. Tetapi saat petani muda hanya memikirkan keren dibandingkan uang, akhirnya mereka jalan di tempat. Padahal petani-petani lain baru akan berubah saat melihat petani yang sudah mengolah kopinya memiliki penghasilan yang lebih baik dari petani yang hanya menjual kopi dalam bentuk gelondong.” (Andreas Meliala, Wawancara tanggal 4 September).

Baik potensi peningkatan pendapatan dan prestise/kebanggaan dalam mengolah kopi menjadi faktor penarik minat petani muda dalam melakukan wirausaha pertanian kopi. Dari wawancara dengan para informan kunci, sebagian besar mementingkan potensi pendapatan dalam mengolah kopi dari produksi kopi mereka saat ini, bukan dari potensi produksi kopi bila mereka melakukan pertanian dengan baik. Para petani muda hanya melihat potensi peningkatan pendapatan, tetapi melupakan proses panjang usaha yang harus dilakukan. Itulah sebabnya sebagian besar dari mereka tidak menekuni wirausaha pertanian kopi lebih jauh dibandingkan Agultaripa. Hal ini disampaikan oleh Agulataripa:

93

Universitas Sumatera Utara “Kita pernah membentuk komunitas Deleng Barus Sekitar dengan memasukkan materi kopi. Memang banyak yang tertarik, tetapi terbentur dalam pelaksanaan. Karena proses pengolahan ini membutuhkan kesabaran dan waktu yang lama. Sehingga banyak yang tidak sabar. Yang berikutnya, mereka melihat peluang yang lain, misalnya harga jeruk atau tomat naik, maka mereka akan fokus ke sana. Tidak ada konsistensi. Sehingga tidak berhasil.” (Wawancara tanggal 4 September 2020)

Para informan kunci utama secara bersama mengatakan bahwa yang membuat mereka tertarik dalam wirausaha pertanian kopi adalah potensi pendapatan yang tinggi. Sayangnya pendapatan yang tinggi tidak dapat diterima dalam waktu singkat, karena untuk melakukan pengolahan kopi membutuhkan waktu yang tidak singkat. Berbeda dengan menjual langsung gelondong kopi.

Mereka mengatakan, petani muda seperti Agultaripa dapat terus melakukan pengolahan kopi bahkan sampai berbulan-bulan karena dia juga memiliki sumber pendapatan pertanian lainnya, seperti dari jeruk. Sedangkan petani muda yang lain hanya mengandalkan kopi sebagai sumber pendapatan mereka.

4.5.3. Kendala yang dihadapi petani muda untuk menjadi wirausaha pertanian Peneliti mencoba melihat dari dua sudut pandang untuk menganalisis kendala yang diharapi petani muda untuk menjadi wirausaha pertanian. Sudut pandang pertama adalah dari sisi petani muda di desa Tanjung Barus baik yang sudah menjadi wirausaha pertanian, ataupun yang sedang memulai wirausahanya.

Sudut pandang kedua adalah dari wirausaha yang secara langsung atau tidak langsung berbisnis dengan petani muda dari desa Tanjung Barus. Kelompok kedua ini adalah pedagang pengumpul, roaster maupun pemilik café.

94

Universitas Sumatera Utara 4.5.3.1. Pemahaman yang minim tentang pasar

Menurut roaster dan pedagang pengumpul, beberapa petani muda memperlihatkan ketertarikan dalam melakukan pengolahan kopi untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Mengolah kopi dari biji gelondong menjadi green bean memberikan nilai tambah bagi para petani. Potensi mendapatkan harga yang lebih tinggi memotivasi petani muda dalam meneruskan pola pengolahan kopoinya. Beberapa petani muda bahkan melakukan metode yang lebih rumit dan dengan waktu yang lebih lama.

Namun, menurut pendapat para roaster, pedagang pengumpul dan pengusaha café, para petani muda memiliki pemahaman yang minim tentang mata rantai suplai kopi, termasuk pasar. Pemahaman tentang mata rantai suplai diperlukan untuk petani muda mengetahui apakah wirausaha pertanian kopi mereka memiliki kelayakan untuk dilanjutkan bila mereka hanya memiliki 200 pohon kopi.

“Menjadi petani yang mengolah sendiri kopinya memang keren. Hanya saja para petani muda harusnya juga memikirkan apakah dengan kopi mereka yang hanya 200-400 batang dapat memenuhi permintaan dari pengumpul dan dari roaster?” (Wawancara dengan Andreas Meliala, tanggal 4 September 2020).

Lebih lanjut para informan kunci kedua dan tambahan mengatakan bahwa munculnya café dan gaya hidup minum kopi yang terkesan glamor menimbulkan minat yang cukup tinggi untuk para petani muda memulai wirausaha pertanian kopi.

Hanya saja, minat tersebut hanya sampai di tingkat hilir. Petani muda lebih fokus pada proses pengolahan sehingga mereka banyak berinteraksi dengan para roaster atau café, tetapi sedikit sekali dari mereka yang melihat pentingnya konsistensi dalam penyediaan kopi sesuai dengan kualitas yang diharapkan pembeli. Hal ini diperkuat oleh Andika yang mengatakan:

95

Universitas Sumatera Utara “Banyak petani yang tidak dapat secara konsisten memenuhi permintaan kami, baik dari sisi rasa maupun dari sisi jumlah. Padahal, kami juga harus memastikan kalau kopi yang kami sajikan diminati pembeli, kopi itu harus tetap tersedia dengan rasa yang sama. Sayangnya, kualitas dan rasa yang disediakan petani masih berbeda-beda dari waktu ke waktu, sehingga kami hanya memilih petani yang dapat memberikan jaminan rasa dan jumlah yang kami tentukan,” Andika (Wawancara tanggal 30 July).

Kendala berikutnya tentang pasar adalah kelompok petani muda di Tanjung

Barus belum memanfaatkan fasilitas yang ada untuk menjangkau pasar lebih luas.

Para informan kunci utama cukup aktif dalam media sosial dan memiliki banyak pengikut. Namun demikian, mereka mengakui belum memanfaatkan media sosial secara maksimal untuk mendapatkan pasar yang lebih banyak. Hal ini disebabkan karena mereka belum percaya diri dapat memenuhi semua permintaan pelanggan.

“Saya memang punya banyak teman di Facebook atau Instagram. Saya jarang memanfaatkan media sosial untuk promosi kopi saya secara terus menerus. Saya kuatir, saat saya memasarkan kopi saya, saya tidak dapat memenuhi permintaan mereka. Sehingga mereka kecewa.” (Agultaripa, wawancara tanggal 30 Agustus)

Menurut Andreas Meliala, sebagai pembeli yang juga memiliki café, dia tidak hanya mengharapkan kualitas yang baik, tetapi juga konsistensi dalam hal pasokan kopi. Petani muda mungkin dapat memenuhi kualitas kopi yang dikirimkan kepada roaster atau pengumpul atau pemilik café. Tetapi, bila tanaman kopi mereka terlalu sedikit, maka mustahil untuk mereka bisa memenuhi permintaan pembeli.

Membentuk komunitas atau kelompok sehingga dapat memenuhi jumlah tertentu merupakan salah satu jalan keluar bagi para petani. Namun, menurut para petani muda, mengumpulkan petani yang bersedia berkelompok untuk mengolah kopi bersama adalah sulit. Bahkan para informan utama, saat ditanya kenapa tidak membentuk kelompok atas 4-5 anggota, mereka tidak dapat menjelaskan alasannya,

96

Universitas Sumatera Utara padahal keempat informan utama tersebut berasal dari komunitas yang sama dan menyukai hal yang sama.

Diskusi lebih lanjut menyimpulkan bahwa para petani muda memiliki harapan yang berbeda untuk pengolahan kopi. Perbedaan harapan ini membuat perbedaan cara pandang dan cara kerja. Misalnya, ada petani muda yang berharap kelompok dapat memberikan uang terlebih dahulu saat mereka sedang mengolah kopi untuk menghasilkan green bean. Hal ini tentu tidak dapat dipenuhi karena kelompok tidak memiliki modal.

Para petani muda yang sudah memulai usaha pengolahan kopi mereka menyadari bahwa bila mereka membentu komunitas, mereka akan memiliki posisi tawar yang lebih baik untuk para pembeli. Sayangnya, beberapa petani muda memiliki pemahaman yang sangat minim tentang pasar kopi. Misalnya, petani muda berharap, mereka dapat menentukan harga kopi yang sudah mereka olah.

Padahal, harga ditentukan oleh pasar, beberapa pembeli dapat membandingkan harga kopi olahan dari kelompok lain yang lebih murah.

Beberapa pedagang pengumpul, seperti misalnya Andreas Meliala, salah satu pemilik café Sapo Kahowa yang juga salah satu pengelola pedagang pengumpul Kahowa pernah menyarankan untuk membuat koperasi. Koperasi akan membantu petani muda untuk memulai bisnis mereka secara bersama-sama dan dengan koperasi, mereka akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, baik untuk petani di desa Tanjung Barus, atau untuk pembeli. Mereka dapat membeli kopi gelondong dari petani dan mengolah dengan cara yang benar, sesuai dengan minat mereka, lalu menjual ke pedagang pengumpul, roaster ataupun café. Dengan

97

Universitas Sumatera Utara demikian, mereka dapat menjamin kualitas dan kuantitas kopi secara berkesinambungan.

Ide tersebut tidak ditindaklanjuti oleh para petani muda. Beberapa alasan kenapa saat itu mereka belum memahami pentingnya koperasi. Mereka juga tidak memahami peran dan fungsi mereka. Ada perbedaan ekspektasi antara roaster/pedagang pengumpul dengan kelompok pemuda. Pedagang pengumpul berharap pembentukan kelompok dapat meningkatkan pemahaman petani muda tentang pasar, kualitas kopi dan kerjasama. Sedangkan dari sisi petani muda, mereka berharap saat koperasi akan dibentuk mereka sudah mendapatkan kejelasan atas pekerjaan dan upah yang mereka dapatkan.

4.5.3.2. Karakater wirausaha yang kurang kuat

Berdasarkan literatur yang disebut di bagian sebelumnya, seorang wirausaha tidak selalu terlahir dengan karakter sebagai seorang wirausaha, tetapi dapat terbentuk dari potensi yang ada, pengethuan dan lingkungan yang mendukung. Karakter wirausaha tidak hanya kreatif, tetapi juga gigih, memiliki etos kerja yang baik, sadar akan kesempatan, bermotivasi atas keberhasilan dan mampu meningkatkan sumberdaya. Para petani muda di Desa Tanjung Barus memiliki minat yang besar untuk memulai wirausaha pertanian kopi mereka.

Terlebih lagi, petani kopi dapat semakin membanggakan saat mereka juga mengolah dan menjual hasil pertanian mereka dalam bentuk green bean.

Beberapa informan kunci menjelaskan paska erupsi Sinabung, yang juga bersamaan dengan perubahan cara minum kopi secara nasional, banyak petani muda yang mulai melirik paska panen kopi sebagai cara untuk mendapatkan pendapatan dan pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya. Selain potensi

98

Universitas Sumatera Utara peningkatan pendapatan, petani yang mengolah kopinya juga terkesan lebih baik dan membanggakan.

Sayangnya petani muda yang memulai wirausaha kopi mereka tidak melihat potensi untuk meningkatkan sumberdaya supaya mereka dapat mengolah lebih banyak kopi. Padahal bila petani muda melihat keterkaitan pertanian di kebun kopi dengan wirausaha pertanian yang mereka terapkan, maka mereka dapat memberikan suplai kopi yang lebih banyak dan konsisten kepada pembeli, seperti yang dikutip dari penjelasan Wika Siregar:

“Usia petani muda antara 17-30an rata-rata pengennya bermain di sektor hilir karena duitnya lebih cepat dan lebih keren. Apapun ceritanya, permasalahan utama ada di sektor hulu. Kalau tidak punya barangnya tidak akan bisa penuhi.” (Wawancara tanggal 4 September).

Hal ini dikonfirmasi saat wawancara dengan para petani muda di Desa

Tanjung Barus. Mereka mengatakan memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang budidaya kopi, termasuk apakah hasil kopi mereka sudah cukup optimal atau terlalu sedikit. Mereka tidak dapat menyebutkan keterkaitan produktivitas usaha perkebunan mereka dengan peluang peningkatan pendapatan yang dapat mereka peroleh. Para informan kunci yang ditemui, belum secara konsisten menerapkan praktek pertanian yang baik. Sebagai contoh, pemangkasan, tidak dilakukan secara konsisten karena merasa tidak percaya diri dalam melakukan hal tersebut. Hal ini mengakibatkan produktivitas kebun kopinya tidak setara atau lebih tinggi dari rata- rata produktivitas kopi secara nasional. Rata-rata hasil kebun kopi petani muda di

Tanjung Barus, berdasarkan pengakuan mereka adalah 400-600 kg green bean per tahun, sedangkan rata-rata nasional mencapai 800kg per tahun.

Ketua Koperasi Kopi Jumaraja, sebagai informan tambahan mengatakan, seandainya petani muda dengan serius menggarap kebun kopinya, maka harapan

99

Universitas Sumatera Utara mereka untuk menghasilkan pendapatan yang lebih baik akan menjadi kenyataan.

Lebih lanjut, Elvran Surbakti mencoba memberikan gambaran perhitungan kopi sebagai berikut:

“Sebagai contoh, bila petani muda mengelola 1 hektar lahan kopi dengan 1.600 pohon kopi dan dala setahun satu pohon menghasilkan 10kg cherry (gelondong), maka setara dengan 16ton cherry. Bila satu kilo cherry dihargai sepuluh ribu rupiah, berarti dalam setahun mereka menghasilkan 160juta rupiah. Itu kalau petani langsung menjual dalam bentuk cherry, kalau dalam bentuk green bean atau gabah basah, maka hasilnya akan lebih banyak lagi. Bahkan, kalaupun harga cherry seharga lima ribu di masa pandemic sekarang, petani masih bisa menghasilkan 80juta per tahun.” (Wawancara tanggal 4 September).

Menurut Elvran Surbakti, banyak petani muda yang termotivasi untuk menjadi pengolah kopi atau wirausaha pertanian kopi. Namun, motivasi mereka untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik tidak diikuti dengan disiplin dan karakter yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Seorang wirausahawan seharusnya memiliki catatan dan perhitungan untuk semua proses wirausaha pertanian kopi yang dilakukannya.

Catatan atas hasil panen, pengolahan dan penjualan perlu dimiliki oleh setiap wirausahawan. Catatan tersebut akan memperlihatkan apakah usaha mereka menguntungkan atau tidak. Bila tidak menguntungkan apa yang perlu diperbaiki, atau sebaliknya, bila menguntungkan apa yang perlu ditingkatkan. Catatan atas biaya juga akan membantu seorang wirausahawan pertanian kopi, karena data tersebut akan membantu mereka untuk mengetahui apakah harga mereka masih sesuai dengan harga pasar, atau terlalu tinggi. Sayangnya tidak semua petani muda yang melakukan pengolahan kopi memiliki catatan.

Hal ini disampaikan juga oleh para petani muda dari Tanjung Barus ketika ditanya tentang biaya dan catatan proses kopi mereka. Para petani muda

100

Universitas Sumatera Utara kebanyakan tidak melakukan pencatatan dengan disiplin. Sehingga mereka tidak dapat dengan jelas menyebutkan ongkos kerja, biaya dan keuntungan yang diperoleh dari hasil pengolahan kopi mereka.

“Saya jarang mencatat pengeluaran saya. Tapi sepertinya saya masih untung. Kadang-kadang saya memberi harga murah ke teman-teman saya saat saya menjual kopi hasil olahan saya.” (Agultaripa, Wawancara tanggal 4 September).

Minat untuk melakukan wirausaha pertanian kopi tidak selalu diikuti dengan karakter dan kebiasaan seorang wirausaha pertanian kopi. Minat yang dimiliki oleh petani muda ini adalah minat yang banyak dipengaruhi hal dari luar atau stimulus. Minat tersebut tidak diperkuat dari dalam, sehingga tidak banyak mengubah gaya wirausaha pertanian mereka untuk menjadi lebih baik. Selain itu, kurangnya mentoring dan komunitas sesama wirausaha pertanian membuat petani muda di Tanjung Barus tidak banyak mengalami kemajuan dalam menjalankan usahanya.

Baik informan kunci utama, kedua dan tambahan memberikan pernyataan yang sama bahwa petani muda tertarik dalam wirausaha pertanian kopi, tetapi tidak tertarik untuk mempelajari lebih jauh upaya apa yang dapat mereka lakukan untuk menghasilkan uang yang lebih banyak. Petani muda di Tanjung Barus, mengikuti pola-pola pengolahan kopi dan berharap bisa menghasilkan sukses yang cepat.

Sebaliknya, karena praktek wirausaha tidak diikuti dengan disiplin dalam budidaya untuk menghasilkan produk kopi yang baik dan melakukan pencatatan yang baik, kesuksesan belum diperoleh seperti yang mereka harapkan.

101

Universitas Sumatera Utara 4.5.3.3. Rendahnya kemampuan mengakses modal

Semua petani muda yang ditemui tidak memiliki lahan sendiri untuk mereka kelola. Mereka masih mengelola lahan milik orangtua mereka. Beberapa orangtua memberikan lahan tertentu untuk mereka kelola, seperti misalnya Agultaripa dan

Ari Ersada diberikan 200-400 pohon kopi untuk mereka kelola sendiri. Meskipun mereka memiliki keleluasaan mengelola perkebunan kopi tersebut, kepemilkan masih atas nama orangtua mereka.

“Saya diberikan lahan kopi di daerah yang sulit untuk dikelola oleh orangtua saya. Lahan itu dapat saya usahakan sesuai dengan pengetahuan saya. Namun keputusan masih banyak di tangan orangtua, termasuk penjualan. Lahan ini masih menjadi bagian lahan kopi lainnya milik orangtua saya.” (Ari Ersada Bangun, wawancara tanggal 9 September).

Sebagian petani muda lainnya tidak diberikan lahan khusus, tetapi ikut bekerja bersama dengan orangtuanya. Hal ini membuat mereka tidak memiliki keleluasaan untuk memutuskan apa yang menurut mereka baik. Beberapa orangtua dapat menerima pola pertanian yang berbeda yang dilakukan oleh petani muda.

Tetapi sebagian besar tidak bersedia menerima perubahan pola pertanian seperti yang dilakukan oleh petani muda.

Kendala ini membuat petani muda sulit untuk melakukan innovasi dari informasi-informasi yang mereka terima. Beberapa dari petani muda tertarik untuk mencoba apa yang mereka pelajari, sayangnya tidak semua diijinkan oleh orangtua mereka. Hal ini membuat kemandirian petani muda dalam memutusakan sangat rendah, karena keputusan akhir ada di tangan orangtua mereka.

Praktek paling sederhana adalah pola tanam pohon pelindung dan pemangkasan. Pohon pelindung dianggap sebagai pemborosan lahan, karena lahan yang digunakan untuk menanam pohon pelindung dapat digunakan untuk menanam

102

Universitas Sumatera Utara kopi atau tanaman tumpangsari lainnya, seperti sayur mayur. Pemangkasan juga dianggap pemborosan karena pemangkasan membuat lebih sedikit ranting untuk tempat kopi berbuah. Padahal, kedua hal tersebut adalah salah satu hal yang mendukung produktivitas tanaman kopi.

Selain rendahnya kemandirian, ketiadaan lahan ini membuat petani muda tidak memiliki keleluasaan dalam mengakses modal untuk pengembangan usahanya. Untuk mengakses modal baik dari badan permodalan maupun bank, dibutuhkan agunan. Hal itu tidak dapat diperoleh dengan mudah karena petani muda tidak memiliki agunan atas nama mereka sendiri. Atau, bila mereka ingin meminjam lahan orangtua mereka sebagai agunan, maka butuh waktu dan usaha untuk meyakinkan orangtua mereka. Hal ini disampaikan Agultaripa:

“Saya ingin mengembangkan usahanya menjadi pengolahan kopi dengan jumlah yang lebih besar dari yang saya olah sekarang. Saat ini saya hanya memiliki 400 pohon kopi yang saya olah sendiri lalu jual. Saya melihat potensi yang cukup besar, saya bisa mengolah lebih banyak dan menjual lebih banyak, karena ada banyak juga yang tertarik membeli kopi saya. Saya ingin membeli kopi cherry, misalnya dari sanak keluarga saya, atau dari tetangga saya. Tetapi tidak ada yang mau menjual ke saya kalau saya tidak membayar uangnya saat barang diantarkan. Padahal, saya tidak mempunyai uang lebih karena saya baru menerima bayaran saat kopi saya antarkan.” (Wawancara tanggal 4 September 2020)

Modal menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan wirausaha pertanian yang dimulai orang petani muda. Beberapa pemuda dari desa lain mendapatkan bantuan permodalan dari pemerintah daerah sehingga mereka dapat memiliki usaha pengolahan kopi seperti mesin roasting dan penggilingan kopi.

Namun, petani muda dari Desa Tanjung Barus belum pernah mendapatkan bantuan permodalan. Salah satu hal ini membuat wirausaha mereka tidak berjalan lebih lancar dari harapan mereka.

103

Universitas Sumatera Utara BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka Peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara umum minat petani muda meningkat untuk melakukan wirausaha

pertanian kopi. Petani muda yang sudah melakukan pengolahan kopi tidak serta

merta langsung tertarik untuk meningkatkan pola budidaya kopi mereka, karena

sebagian besar dari petani muda tidak melihat keterkaitan pola pertanian kopi

dengan pengolahan kopi yang mereka lakukan.

2. Faktor penarik dari dalam petani muda adalah budaya minum kopi yang

membuat café menjamur di Karo dan model petani muda yang sukses dengan

wirausaha pertanian kopi mereka. Faktor lain adalah kebanggaan yang lebih

tinggi menjadi pengolah kopi dibandingkan menjadi petani. Selain itu, potensi

mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dibanding hanya mengelola kebun

pertanian mereka menjadi faktor yang menarik minat petani muda.

3. Kendala yang dihadapi petani muda untuk menjadi wirausaha pertanian adalah:

(1) Pemahaman yang minim tentang pasar dan harga kopi, sehingga ketika

harga tidak sesuai, banyak dari mereka yang keluar dari kegiatan pengolahan

kopi; (2) Kurangnya karakter wirausaha, khususnya dalam hal kedisiplinan, etos

kerja dan peningkatan sumber daya; dan (3) Kemandirian yang belum terbentuk

karena keputusan untuk meningkatkan produksi pertanian kopi tidak dapat

dilaksanakan langsung oleh petani muda karena harus meminta ijin dari

orangtua/ keluarga lainnya.

104

Universitas Sumatera Utara 5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian, Peneliti memberikan saran sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan minat petani muda dalam melihat keterkaitan wirausaha

pertanian dan pertanian kopi, pemerintah dapat mengadakan kampanye bahwa

pertanian yang dikelola dengan baik dapat menguntungkan. Pemerintah juga

dapat mengadakan pameran ataupun temu usaha dengan melibatkan para

pemilik café/roaster ataupun ekportir, lembaga sertifikasi atau badan/lembaga

pelatihan yang ada di Karo.

2. Pemerintah atau lembaga pendampingan masyarakat dapat mengundang tokoh

petani muda yang berhasil menjadi duta wirausaha yang memberikan motivasi

untuk para petani muda untuk melakukan wirausaha pertanian kopi sebagai

bagian lanjutan dari pertanian kopi yang sudah ditekuni petani muda.

3. Pemerintah dan lembaga pendampingan masyarakat dapat mengadakan

pendampingan paska pelatihan dapat meningkatkan disiplin dan konsistensi

dalam wirausaha. Aplikasi pencatatan keuangan akan menarik minat petani

muda untuk mencatat biaya dan penerimaan hasil pertanian mereka. Selain itu,

pemerintah dapat membentuk kelompok petani muda dengan minat yang sama

dan menyediakan lahan untuk diolah dapat meningkatkan kemandirian dan

disiplin petani muda.

4. Untuk penelitian lebih lanjut, Peneliti menyarankan untuk menganalisis lebih

lanjut peningkatan pendapatan dengan konsistensi dan kesiplinan petani muda

dalam melakukan wirausaha pertanian mereka. Perlu diteli lebih lanjut apakah

peningkatan pendapatan menjadi faktor kunci untuk pemuda tetap bertahan

dalam wirausaha pertanian yang sudah mereka mulai.

105

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Addo, Lad Kpakpo. 2018. Factors Influencing Agriprenuership and Their Role in Agripreunership Performance Among Young Graudate Agripreneurs. International Journal of Environment, Agriculture and Biotechnology. 3(6): 2051-2066 Alfianto, Eko Agus. 2012. Kewirausahaan: Sebuah Kajian Pengabdian Pada Masyarakat. Jurnal Heritage. 1(2): 33-42 Apriliyanti, Eka. 2012. Pengaruh Kepribadian Wirausaha, Pengetahuan Kewirausahaan, dan Lingkungan Terhadap Minat Berwirausaha Siswa SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi. 2(3): 311-324 Arisena, Gede Mekse Korri. 2016. Konsep Kewirausahaan pada Petani Melalui Pendekatan Structural Equation Model (SEM). E-Journal Agribisnis dan Ekowisata, 5(1): Alwasilah, A. Chaedar. 2017. Pokoknya Kualitatif. Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Pustaka Jaya. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2013. Sensus Pertanian 2013. Biro Pusat Statistik. Jakarta . 2014. Analisis Rumah Tangga Usaha Perkebunan di Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta . 2017. Kabupaten Karo dalam Angka 2017. Biro Pusat Statistik. Karo Baringer, Bruce R and R. Duane Ireland. 2016. Entrepreneurship, Successfully Launching New Ventures. Pearson. Benson, Janel E and Glen Elder. 2011. Young Adult Identities and Their Pathways: A Developmental and a Life Course Model. Dev Psychol. 47 (6): 1646-1657 Carr, Steven. 2016. An exploration of Agripreneurship Scope, Actors and Prospects. Nestle Society Report 2015. Nestle Danzer, Erick M. 2008. From Farmers to Global Markets: The Politics of Commodity Supply Chains In Indonesia. University of Winconsin Darmadji. 2012. Analisis Kewirausahaan sebagai Variabel Baru Penentu Kinerja Usahatani dan Pengujiannya melalui Model SEM. Agrika Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. 6(1): 40-49 Dwijatenaya, Ida Bagus Made Agung dan Raden, Ince. 2016. Pembagunan Perdesaan dan Kemitraan Agribisnis. LPPM Unikarta Press. [Dirjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2018. Statistik Perkebunan Indonesia 2015 – 2017. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

106

Universitas Sumatera Utara Fisher, Edward. 2017. Quality and Inequality: Taste, Value, and Power in the Third Wave Coffee Market. Discussion Paper. Ginting, Albina et al. 2018. Analisis Efesiensi Dan Identifikasi Faktor Sosial, Ekonomi Dan Teknis Yang Mempengaruhi Konversi Usahatani Jeruk Ke Usahatani Kopi Di Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Jurnal AGRIFO. 3(1): 17-29 Ginting, Lovina et al. 2018. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Jeruk Menjadi Lahan Kopi Di Kabupaten Karo. Journal on Social Economic of Agriculture and Agribusiness. 9(7): 1-16 Giulianni, Alexandra. 2017. Realities, Perceptions, Challenges and Aspirations of Rural Youth in Dryland Agriculture in the Midelt Province, Morocco. Sustainability MDPI. 9(871): 1-23 Harahap, R. Hamdani dan Iskandar Muda Humaizi. 2018. Sustainable Management of Coffee Farm. International Journal of Civil Engineering and Technologi. 9(11): 2721-2731. . 2019. Socio-Cultural-Based Coffee Management in Karo Regency. The 8th International Symposium for Sustainable Humanosphere. IOP Publishing. [ICO] International Coffee Organization. 2016. Future coffee farmers - the challenge of generational change in rural areas in African countries. International Coffee Council. . 2017. Coffee Total Production by Country. [Serial Online]. http://www.ico.org/prices/po-production.pdf [3 May 2018] Jackson, Wes. 2011. Nature as Measure. A Selected Essay of Wes Jackson Counter Point, Barkeley. Jules, Pretty. 2008. Sustainable Agriculture and Food. EarthScan. UK [Kemenperin] Kementrian Perindustrian. 2017. Peluang Usaha IKM Kopi. Indonesia Kumar, Pravin, et al. 2014. Agripreneurship Development as a Tool to Upliftment of Agriculture. International Journal of Scientific and Research Publication, 4 (3): 1-4 Lemme, Barbara Hansen. 1999. Development in Adulthood. Genesis Library Miles, Matthew B, et al. 2014. Qualitative Data Analysis, A Method Source Book. Sage Publication. London. Mordor Inteligence. 2019. Global Coffee Value Chain Analysis. India. Mujuru, Joice. 2014. Entrepreneurial Agriculture for Human Development: A Case Study of Dotito Irrigation Scheme, Mt Darwin. International Journal of Humanities and Social Science, 4 (4): 121-131

107

Universitas Sumatera Utara Mukti, Gema Wibawa, et al. 2017. Perilaku Sukses Petani Muda Wirausaha Lulusan Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran. Jurnal Agribisnis Terpadu, 10 (2): 221-224 . 2018. Transformasi Petani Menjadi Enterpreneur. Jurnal Agribisnis dan Sosial Ekonomi UNPAD. 3 (2): 508-524 Nasruddin, Wasrob, et al. 2015. Tingkat Kewirausahaan Berbagai Pelaku Agribisnis di Wilayah Bogor. Jurnal Agribisnis Indonesia, 3 (1): 55-66 Nangoy, Fransiska dan Marcy Nicholson. 2018. Indonesia's growing thirst for coffee drains premium bean supplies. Reuters. [Serial Online]. https://www.reuters.com/article/us-indonesia-coffee/indonesias-growing- thirst-for-coffee-drains-premium-bean-supplies-idUSKBN1JI02R [4 November 2019] Ningsih F, Syaf S. 2015. Faktor-Faktor yang Menentukan Keterlibatan Pemuda Pedesaan pada Kegiatan Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Penyuluhan, 11 (1): 23-37 Nugraha, Yogaprasta dan Herawati , Rina. 2015. Menguak Realitas Orang Muda Sektor Pertanian di Perdesaan. Pusat Analisis Sosial Akatiga. O‟Keefe, P.A. and Linnenbrink-Garcia, L. 2014. The Role of Interest in Optimizing Performance and Self-Regulation. Journal of Experimental Social Psychology. 53(1): 70-78. O‟Keefe, Paul A. et al. 2017. The Multifaceted Role of Interest in Motivation and Engagement. The Science of Interest. 8(2) :49-67 Patkar, et al. 2012. Small-scale farmers’ Decision in Globalised Market: Change in India, Indonesia and China. Hivos Pramita, Dea Ayu dan Pinasti MSi, Indah Sri. 2016. Nongkrong di Warung Kopi Sebagai Gaya Hidup Mahasiswa di Mato Kopi Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Sosiologi Ritonga, Ajuan, et al. 2015. Analisis Peran Pemuda Terhadap Pembangunan Pertanian Lahan Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Labuhanbatu Utara. Jurnal Pertanian Tropik, 2 (3): 311-322 Rofi, Abdur. 2019. Final Evaluation of the Youth in Sustainable Agriculture and Entrepreneurship. Lutheran World Relief. Sari, Rizki Anjar. 2019. Analisis Usaha Pengolahan Kopi Robusta Di Kecamatan Gembong Kabupaten Pati. Mediagro. 15(2): 97-111 Siahaan, Lasma Melinda dan Elvin Desi Martauli. 2019. Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usahatani Kopi Arabika Di Kabupaten Karo. Seminar Nasional Hasil Riset dan Pengabdian. Surabaya Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT Refika Aditama. Slameto. 2018. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Bhineka Cipta.

108

Universitas Sumatera Utara SPBE Dinas Perkebunan. Harga Komoditas Perkebunan. 2021. http://disbun.sumutprov.go.id/dashboard/ [11 Maret 2021] Subramaniam, P.R. 2009. Motivational Effects of Interest on Student Engagement and Learning in Physical Education: A Review. Int J Phys Educ. 46 (2): 11-19 Sukayat, Yayat dan Dika Supyandi. 2017. Perilaku Pemuda Desa dalam Kegiatan Pertanian. Jurnal Ilmu Pertanian dan Peternakan, 5 (1): 49-55 Supeno, Intan Darmawati. 2015. A Future In Coffee: Growing a New Generation in Coffee Professional. Hivos Sumarti, Titi, et al. 2017. Strategi Pemberdayaan Petani Muda Kopi Wirausaha di Kabupaten Simalungun. Jurnal Penyuluhan, 13 (1): 31-39 Susilowati, Sri Hery. 2016. Fenomena Penuaan Petani Dan Berkurangnya Tenaga Kerja Muda Serta Implikasinya Bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, 34 (1): 35-55 [UNDESA] United Nations Department of Economic and Social Affairs. 2013. Definition of Youth. Fact Sheet. Uneze, Chijioke. 2013. Adopting Agripreneurship Education for Nigeria Quest Food Security. Greener Journal of Education Research, 3 (9): 411-415 Vellema, Sietze. 2015. The future of youth in agricultural value chains in Ethiopia and Kenya. Report. Wegenigen University. Amsterdam Velten, Sarah, et al. 2015. What is Sustainable Agriculture? A Systematic Review. Sustainability Journal. Germany, 7: 7833-7865 Wehantouw, Aprilia Deasi, et al. 2018 Faktor Beralihnya Tenaga Kerja Anak Petani Ke Sektor Non-Pertanian Di Desa Treman Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa Utara. Agri-SosioEkonomi Unstrat, 14 (2): 1-12 Wiyono, Suryo. 2015. Laporan Kajian Regenerasi Petani. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan. Yogyakarta White, Ben. 2012. Agriculture and the generation problem: rural youth, employment and the future of farming. FAC – ISSER Conference Young People, Farming and Food‟, Accra White B, 2015. Generational Dynamics in Agriculture: Reflections on Rural Youth and Farming Futures. Cah Agric 24 (10): 330-334 Yodfiatfinda. 2018. Meningkatkan Minat Generasi Muda di Sektor Pertanian untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan. Lembaga Ketahanan Pangan Nasional.

109

Universitas Sumatera Utara