PEMBERIAN BANTUAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH LBH TERHADAP MASYARAKAT KURANG MAMPU DI KOTA MEDAN

OLEH

M. ARIE WAHYUDI

177005061

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada Tanggal: 29 November 2019

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. ANGGOTA : 1. Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum. 2. Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum. 3. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum. 4. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.H.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara i

ABSTRAK PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH LBH MEDAN KEPADA MASYARAKAT KURANG MAMPU DI KOTA MEDAN M.Arie Wahyudi1 Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum2 Dr. Edi Yunara, SH, M.Hum3 Dr. Sutiarnoto, SH, M.Hum4

Undang-Undang Dasar 1945 menjamin persamaan di hadapan hukum, dimana pasal 27 ayat (1) disebutkan, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bantuan Hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. Peran dan fungsi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang demikian sangat penting artinya untuk dapat mewadahi pusaran semakin beragamnya permasalahan hukum yang timbul, maupun semakin meningkatnya kebutuhan hukum masyarakat serta tuntutan yang semakin luas untuk memperoleh keadilan melalui hukum terkhusus di Kota Medan. Bantuan hukum sangat berperan dalam penegakkan hukum melindungi hak hukum atas masyarakat tidak mampu tersebut. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika dan perkembangan bantuan hukum serta implementasinya di masyarakat dan untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang bantuan hukum khususnya mengenai implementasi pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat kurang mampu terkhusus di kota Medan. Metode penelitian yang dalam penelitian ini adalah Metode penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), dan Pendekatan Konseptual (Case Approach).

1 Mahasiswa Hukum Pidana, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2 Ketua Komisi Pembimbing, Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3 Pembimibing II, Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4 Pembimbing III, Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara ii

Pemerintah dan lembaga bantuan hukum yang ada haruslah berjalan bersama dalam melakukan terobosan untuk penerapan pemberian bantuan hukum baik berupa penyuluhan-penyuluhan hukum maupun pendampingan langsung kepada masyarakat kurang mampu yang bermasalah dengan hukum serta pemerintah harus menciptakan peraturan daerah terkait bantuan hukum tersebut, perhatian pemerintah terhadap pendanaan yang di berikan kepada LBH Medan di anggap perlu dalam penerapan pemberian bantuan hukum yang efektif.

Kata Kunci : Implementasi, Bantuan Hukum, Keadilan.

Universitas Sumatera Utara iii

ABSTRACT

GIVING LEGAL ASSISTANCE BY LEGAL AID MEDAN TO LESS ABLE PEOPLE IN MEDAN CITY

M.Arie Wahyudi1 Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum2 Dr. Edi Yunara, SH, M.Hum3 Dr. Sutiarnoto, SH, M.Hum4

The 1945 Constitution guarantees equality before the law, whereby Article 27 paragraph 1 states, "Every citizen shall have the same position in law and government without exception". Legal Aid is the right of the poor that can be obtained without paying (pro bono publico) as a translation of equality before the law. The role and function of the Medan Legal Aid Institute is very important to be able to accommodate the vortex of the increasingly diverse legal problems that arise, as well as the increasing legal needs of the community and increasingly broad demands for justice through law specifically in the city of Medan. Legal aid plays an important role in law enforcement protecting the legal rights of these disadvantaged people. Without certain facilities or facilities, it is impossible for law enforcement to proceed smoothly. Facilities or facilities include, among others, educated and skilled human resources, good organization, adequate equipment, adequate finance, and so on. This study aims to determine the dynamics and development of legal aid and its implementation in the community and to increase knowledge in the field of legal aid, especially regarding the implementation of legal aid provision, especially for the poor in Medan The research method in this study is the normative legal research method. The research approaches used in carrying out this research are the Statute Approach, and the Conceptual Approach (Case Approach). The government and existing legal aid institutions must go together in making a breakthrough in the application of providing legal assistance in the form of legal

1 Criminal Law Student, Master of Law Study Program, Faculty of Law, University of North . 2 Chairperson of the Supervising Commission, Lecturer of the Law Study Program in the Faculty of Law, University of . 3 Advisor II, Lecturer of the Law Study Program in the Faculty of Law, University of North Sumatra. 4 Supervisor III, Lecturer of the Law Study Program in the Faculty of Law, University of North Sumatra.

Universitas Sumatera Utara iv

counseling and direct assistance to disadvantaged people who have problems with the law and the government must create local regulations related to legal assistance, government attention to funding given to LBH Medan was deemed necessary in the application of providing legal assistance.

Keywords: Implementation, Legal Aid, Justice.

Universitas Sumatera Utara v

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan judul

“PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH LBH MEDAN TERHADAP

MASYARAKAT KURANG MAMPU DI KOTA MEDAN”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih terdapat kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga terdapat penelitian-penelitian lain yang lebih baik dan relevan dengan tesis ini pada masa yang akan datang. Penulis juga menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan karena dukungan dan bantuan berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Magister (S2) dan

Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., elaku Ketua Komisi Pembimbing;

5. Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing;

6. Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing;

Universitas Sumatera Utara vi

7. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum., selaku Penguji;

8. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.H., selaku Penguji;

9. Bapak/Ibu Dosen dan Pegawai Tata Usaha Program Studi Magister dan Doktor

Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan serta

bantuan administrasi;

10. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua

Orang tua Penulis Ayahanda Afrizal, S.H., M.H. dan Ibunda Endah Purwanti

yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan dan doa kepada penulis dalam

menyelesaikan tesis ini;

11. Terima kasih kepada Bapak Letnan Jendral TNI Agus Surya Bakti (Pakde) yang

telah memberikan kesempatan dan selalu mendukung dalam penyelesaian kuliah.

12. Terima kasih juga kepada adik kandung saya Fauzi Kurniawan dan Indra

Ramadhan yang selalu mendukung saya;

13. Terima kasih kepada saudara Ismail Lubis, S.H., M.H. direktur LBH Medan dan

saudara Irvansyah Putra, S.H., M.H. wakil direktur LBH Medan sebagai

narasumber penelitian, serta terima kasih kepada seluruh personil di LBH Medan.

14. Terima kasih kepada Dr. Redyanto Sidi, S.H., M.H. Direktur LBH Humaniora

sebagai narasumber penelitian.

15. Terima kasih juga kepada seluruh teman-teman mahasiswa Pasca Sarjana

Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dan teman-teman

terdekat saya yang selalu mendukung.

Universitas Sumatera Utara vii

Akhir kata penulis berharap semoga Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa akan membalas segala kebaikan dan jasa-jasa mereka yang telah diberikan kepada penulis.

Dengan segala kerendahan hati, penulis berharap tesis ini dapat menjadi satu referensi serta memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan. Penulis juga memohon maaf atas segala kekurangan dalam penulisan tesis ini yang masih jauh dari sempurna.

Medan, 29 November 2019

Penulis

M. Arie Wahyudi

Universitas Sumatera Utara viii

Daftar Isi

ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... iii KATA PENGHANTAR...... v DAFTAR ISI ...... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...... 1 B. Perumusan Masalah ...... 15 C. Tujuan Penelitian ...... 15 D. Manfaat Penelitian ...... 16 E. Keaslian Penelitian ...... 17 F. Kerangka Teori dan Konseptual...... 19 1. Kerangka Teori...... 19 2. Konseptual...... 26 G. Metode Penelitian...... 27 Penelitian Hukum Normatif a. Jenis Dan Sifat Penelitian...... 28 b. Pendekatan Penelitian ...... 29 c. Data Penelitian ...... 30 d. Teknik dan Alat Pengumpul Data ...... 31 e. Analisis Data ...... 32 f. Rencana Jadwal Penelitian ...... 33

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA OLEH LEMBAGA BANTUAN HUKUM KEPADA TERSANGKA DAN/ATAU TERDAKWA YANG MISKIN

A. Sejarah Bantuan Hukum ...... 34 B. Ruang Lingkup Bantuan Hukum Berdasarkan Undang- Undang Republik Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum ...... 42

Universitas Sumatera Utara ix

C. Ruang Kosong dan Refleksi Keberadaan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum ...... 54 D. Bantuan Hukum di dalam Perundang-undangan Indonesia ...... 62 1. Bantuan Hukum dalam KUHAP Bagi Tersangka dan/atau Terdakwa ...... 62 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum ...... 69 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ...... 70 4. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ...... 71 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ...... 72 E. Perlindungan dan Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin ... 72

BAB III PROSES PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA OLEH LEMBAGA BANTUAN HUKUM KEPADA TERSANGKA DAN/ATAU TERDAKWA MISKIN

A. Konsep Bantuan Hukum Struktural ...... 79 B. Hak dan Kedudukan Tersangka dan/atau Terdakwa ...... 82 C. Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum ...... 89 D. Tinjauan Sosial - Politik Atas Bantuan Hukum di Indonesia ...... 94 E. Perlindungan dan Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin ... 99 F. Prosedur Pemberian Bantuan Hukum Oleh LBH Medan .. 115

BAB IV HAMBATAN YANG DI HADAPI YLBHI LBH MEDAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT TIDAK MAMPU

Bentuk-bentuk Hambatan dalam pemberian Bantuan hukum secara cuma-cuma di Lembaga Bantuan H Medan ...... 121

Universitas Sumatera Utara x

1. Faktor Subtansi Hukum ( Legal Subtance) ...... 123 2. Faktor Struktural Hukum ( Legal Structure) ...... 124 3. Faktor Budaya Hukum atau Faktor Kebudayaan ...... 126 4. Faktor Masyarakat ...... 127

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 132 B. Saran ...... 135

DAFTAR PUSTAKA ...... 136

Universitas Sumatera Utara 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Para pendiri (founding fathers) Republik Indonesia telah bertekad untuk membentuk negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum (reechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Menurut pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945, negara harus melindungi segenap tumpah darah

Indonesia.1 Negara Indonesia adalah negara hukum yang seyogyanya memang harus memberikan jaminan terselenggaranya persamaan kedudukan dalam hukum.2

Pembangunan yang terus menerus di laksanakan untuk mewujudkan tujuan nasional seperti yang di maksudkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai dampak, disatu pihak terjadinya perubahan-perubahan di dalam kehidupan masyarakat, di lain pihak semakin mengedepankan peran hukum. Campur tangan hukum yang selalu meluas kedalam bidang bidang kehidupan masyarakat berakibat terjadinya keterkaitan yang erat antara hukum dengan masalah-masalah sosial.3

Sistem hukum Indonesia dan Undang-Undang 1945 menjamin adanya persamaan di hadapan hukum (equality before the law), demikian pula hak untuk di dampingi advokat di jamin sistem hukum Indonesia. Bantuan hukum yang di

1 Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum : Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta: PT Elex Media Kompetindo, halaman 45. 2 Andry Syafrizal Tanjung, 2018, Realisasi Bantuan Hukum (Telaah Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum), Rantau Parapat: CV. Putra Maharatu, halaman 9. 3Ibid, halaman 1.

Universitas Sumatera Utara 2

tunjukan kepada orang miskin memiliki hubungan erat dengan equality before the law dan acces to legal counsel yang menjamin keadilan bagi semua orang (justice for all). Oleh karena itu, bantuan hukum (legal aid) selain merupakan hak asasi manusia juga merupakan gerakan konstitusional.Undang-Undang Dasar 1945 menjamin persamaan di hadapan hukum, dimana pasal 27 ayat (1) disebutkan, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Adapun hak di dampingi advokat atau penasihat hukum di atur dalam Pasal 54 KUHP, guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.4

Masalah bantuan hukum menjadi relevan untuk di perbincangkan dalam konteks keindonesiaan, setidak-tidaknya di latar belakangi oleh empat hal. Pertama, konsep bantuan hukum sendiri sebenarnya bukanlah konsep yang sudah mati artinya hingga saat ini kita harus secara terus menerus mengkajinya, karena bagaimanapun juga pergeseran dan atau perkembangan yang menyangkut dimensi waktu, pendekatan, struktur, sosial, politik dan ekonomi serta kondisi-kondisi lokal tentu memberi pengaruh sendiri. Kedua, semakin beragamnya masalah yang timbul dalam masyarakat, yang di sertai dengan peningkatan kebutuhan masyarakat, tuntutan untuk memperoleh keadilan melalui jalur hukum, perluasan spectrum fungsi dan peran profesi hukum ataupun upaya-upaya dari pihak pemguasa untuk semakin

4 Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum : Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta: PT Elex Media Kompetindo, halaman 89-90.

Universitas Sumatera Utara 3

menampilkan citra jalannya pemerintahaan yang lebih konstitusional yang semua itu pada gilirannya nanti akan turut mewarnai corak dan watak bantuan hukum.

Ketiga,keterkaitan yang erat antara hukum dengan hak asasi manusia. Keempat, secara formal yuridis jati diri Negara Indonesia adalah Negara hukum.

Pembicaraan tentang bantuan hukum, hak asasi manusia dan negara hukum dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum menjadi penting artinya manakala kita teringat bahwa dalam negara hukum itu terlekat ciri-ciri yang mendasar, yaitu:

1. Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia yang mengandung

persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, kultural, dan pendidikan;

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak di pengaruhi oleh sesuatu

kekuasaan lain apapun.

3. Legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.

Suatu negara tentu tidak di katakan sebagai negara hukum apabila negara yang bersangkutan tidak memberikan penghargaan, jaminan perlindungan terhadap masalah hak asasi manusia, dan memberikan bantuan hukum terhadap seluruh rakyat

Indonesia khususnya rakyat kecil yang tidak mampu dan relatif buta hukum.5

Program bantuan hukum bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan relatif buta hukum khususnya. Dapat membantu pencapaian pemerataan keadilan karena kian di permudah upaya-upaya semisal terbinanya sistem peradilan yang lebih berakar dalam perasaan hukum rakyat.

5 Andry Syafrizal Tanjung, 2011, Realisasi Bantuan Hukum (Telaah Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum),Rantau Parapat: CV. Putra Maharatu, halaman 4-6.

Universitas Sumatera Utara 4

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) merupakan sebuah lembaga yang non- profit, lembaga bantuan hukum ini didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan bantuan hukum secara gratis (cuma-cuma) kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, namun tidak mampu, buta hukum dan tertindas, arti cuma-cuma yaitu tidak perlu membayar biaya (fee) untuk pengacara, tapi untuk biaya operasional seperti biaya perkara di pengadilan (apabila kasus sampai ke pengadilan) itu ditanggung oleh si klien, itupun kalau klien mampu. Tetapi biasanya LBH-LBH memiliki kekhususan masing-masing dalam memilih kasus yang akan ditanganinya sesuai dengan visi-misinya.6

Peranan/Fungsi Lembaga Bantuan Hukum dalam Melakukan Advokasi

Hukum di dalam buku peringatan 2 tahun berdirinya Lembaga Bantuan Hukum dijelaskan mengenai peranan dan fungsi LBH adalah sebagai berikut :

1. Public service. Sehubungan dengan kondisi sosial ekonomis karena sebagian

besar dari masyarakat kita tergolong tidak mampu atau kurang mampu untuk

menggunakan dan membayar jasa advokat, maka Lembaga Bantuan Hukum

memberikan jasa-jasanya dengan cuma-cuma

2. Social education. Sehubungan dengan kondisi sosial kultural, dimana lembaga

dengan suatu perencanaan yang matang dan sistematis serta metode kerja

yang praktis harus memberikan penerangan-penerangan dan petunjuk-

6https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4206/lembaga-bantuan-hukum di akses pada tanggal 5 April 2019 pada pukul 16-50 wib.

Universitas Sumatera Utara 5

petunjuk untuk mendidik masyarakat agar lebih sadar dan mengerti hak-hak

dan kewajiban-kewajibannya menurut hukum.

3. Perbaikan tertib hukum. Sehubungan dengan kondisi sosial politik, dimana

peranan lembaga tidak hanya terbatas pada perbaikan-perbaikan di bidang

peradilan pada umumnya pada profesi pembelaan khususnya, akan tetapi juga

dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan Ambudsman selaku partisipasi

masyarakat dalam bentuk kontrol dengan kritik-kritik dan saran-saran nya

untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan/mengoreksi tindakan-tindakan

penguasa yang merugikan masyarakat

4. Pembaharuan hukum. Dari pengalaman-pengalaman praktis dalam

melaksanakan fungsinya lembaga menemukan banyak sekali peraturan-

peraturan hukum yang sudah usang tidak memenuhi kebutuhan baru, bahkan

kadang-kadang bertentangan atau menghambat perkembangan keadaan.

Lembaga dapat mempelopori usul-usul perubahan undang-undang

5. Pembukaan lapangan (labour market). Berdasarkan kenyataan bahwa dewasa

ini tidak terdapat banyak pengangguran sarjana-sarjana hukum yang tidak atau

belum dimanfaatkan atau dikerahkan pada pekerjaan-pekerjaan yang relevan

dengan bidangnya dalam rangka pembangunan nasional. Lembaga Bantuan

Hukum jika saja dapat didirikan di seluruh Indonesia misalnya satu kantor

Lembaga Bantuan Hukum, di setiap ibu kota kabupaten, maka banyak sekali

tenaga sarjana-sarjana hukum dapat ditampung dan di manfaatkan

Universitas Sumatera Utara 6

6. Practical training. Fungsi terakhir yang tidak kurang pentingnya bahkan

diperlukan oleh lembaga dalam mendekatkan dirinya dan menjaga hubungan

baik dengan sentrum-sentrum ilmu pengetahuan adalah kerja sama antara

lembaga dan fakultas-fakultas hukum setempat. Kerja sama ini dapat

memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak. Bagi fakultas-fakultas

hukum lembaga dapat dijadikan tempat lahan praktek bagi para mahasiswa-

mahasiswa hukum dalam rangka mempersiapkan dirinya menjadi sarjana

hukum dimana para mahasiswa dapat menguji teori-teori yang dipelajari

dengan kenyataan-kenyataan dan kebutuhan-kebutuhan dalam praktek dan

dengan demikian sekaligus mendapatkan pengalaman.7

Pembangunan sebagai suatu proses perubahan sosial yang berencana akan lebih tampak lagi apabila di perhitungkan pula akibat-akibatnya yang harus di tanggulangi. Konsekuensinya, untuk itu hanya di butuhkan kesiapan sosial untuk mampu mengangkatnya, melainkan penampungan akibat-akibat negatif yang datang dari padanya. Suatu program bantuan hukum akan sinkron dan menunjang usaha- usaha pembangunan apabila iklim pembangunan itu sendiri memungkinkan bahkan mendorong tumbuh dan kembangnya masyarakat kita yang menyadari hak-hak dan

7https://www.duniapelajar.com/2010/06/02/peran-dan-tanggungjawab-lbh-lembaga-bantuan-hukum- dalam-melakukan-advokasi-hukum/ di akses pada tanggal 9 april 2019 pada pukul 08.44 wib.

Universitas Sumatera Utara 7

kewajiban-kewajibannya, dan dimana mereka mau dan berani pula untuk menggunakan hak-haknya itu melalui proses hukum.8

Salah satu ciri pokok dari bantuan hukum di negeri kita adalah kaitannya yang sangat kuat dengan idealisme, dalam arti ia menjadi bagian dari proses demokratisasi kehidupan bangsa. Dimasa lampau bantuan hukum sangat erat berkaitan dengan kiprah para pengacara kita dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika kemerdekaan telah tercapai dan jalannya pemerintahan oleh bangsa sendiri mulai menunjukkan merosotnya disiplin hukum, bantuan hukum masih berpegang pada idealisme itu, dan mengambil upaya korektif terhadap perilaku individual para aparat penegakkan hukum yang melakukan kesalahan atau menyimpang dari wawasan keadilan hukum dalam menangani perkara.9

Bantuan Hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 dimana di dalamnya di tegaskan bahwa fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara.

Terlebih lagi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk di bela advokat (accses to legal consul) adalah hak asasi manusia yang perlu di

8Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: CV. Mandar Maju, halaman 5 9Andry Syafrizal Tanjung, op. cit. halaman 49

Universitas Sumatera Utara 8

jamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.10

Hak bantuan hukum telah di terima secara universal di jamin dalam konvenan

Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (International Covenant and Political

Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus di hindarkan dari segala bentuk diskriminasi.11

Bantuan hukum disini di maksudkan adalah khusus bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah atau dalam bahasa populer adalah

“si miskin”. Ukuran kemiskinan saat ini masih tetap merupakan masalah yang sulit di pecahkan, bukan saja bagi negara-negara berkembang bahkan di negara- negara yang sudah maju pun tetap menjadi masalah.12

Pemenuhan hak atas atas bantuan hukum pada prinsipnya memiliki 2(dua) fungsi pokok yaitu:

1. Menyediakan perlindungan dan pemenuhan persamaan setiap orang di muka

umum, termasuk perwujudan yang adil;

2. Memajukan dan berkontribusi terhadap agenda kesejahteraan sosial

pemerintah dan program pembangunan negara, seperti peningkatan

kesejahteraan buruh, tenaga kerja, kewirausahaandan kepemilikan.

10 Frans Hendra Winarta, op. cit. halaman vii. 11 Enny Nurbaningsih, 2016, Bagian umum penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum, Jakarta : halaman 16. 12 Adnan buyung nasution, Bantuan hukum di indonesia halaman 1

Universitas Sumatera Utara 9

Visi pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, tidak lain memberikan dukungan kepada agenda kesejahteraan dan keadilan sosial yang di laksanakan negara dan pemerintah. Adapun yang menjadi tujuan skema dan sistem bantuan hukum ada 2 (dua) tujuan utamanya yaitu:

1. Meningkatkan dan memperluas akses keadilan bagi masyarakat miskin,

karenanya skema dan sistem bantuan hukum yang akan di susun tidak akan

menghambat atau bahkan membatasi inisiatif pemberian bantuan hukum

kepada orang miskin yang berjalan atau yang sudah ada;

2. Memastikan bantuan hukum di wujudkan dengan prinsip-prinsip utama yaitu:

dapat di akses masyarakat miskin, tersedianya dana, berkelanjutan dan

kredible.

Adapun yang menjadi tujuan bantuan hukum dilaksanakan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Menjamin dan memenuhi hak dan kepentingan para setiap penerima bantuan

hukum atau setiap orang yang secara ekonomi tidak mampu untuk

mendapatkan akses kepada pengadilan;

2. Mewujudkan hak konstitusi warga negara sesuai dengan prinsip persaman di

depan hukum dan perlakuan sama di depan hukum;

3. Menjamin dan memastikan penyelenggaraan dan pemberian bantuan hukum

di laksanakan secara luas dan merata di setiap wilayah atau daerah yang

menjadi tanah air Indonesia;

Universitas Sumatera Utara 10

4. Menjamin pelaksanaan pemberian bantuan hukum di Indonesia dilaksanakan

serta berjalan dalam kerangka kebijakan dan aturan yang terintegrasi;

5. Mewujudkan dan memastikan penyelenggaraan dan pemberian bantuan

hukum di laksanakan sesuai dengan asas pemberian bantuan hukum; dan

6. Mewujudkan akses kepada peradilan yang efektif, efisien, dan dapat di

pertanggung jawabkan.

Bantuan hukum dalam rangka akses terhadap keadilan tidak saja penyediaan bantuan hukum di muka pengadilan, melainkan juga di luar pengadilan. Bukan saja untuk para tersangka dan terdakwa, melainkan untuk korban dan kelompok masyarakat miskin yang mengajukan gugatan. Bantuan hukum juga meliputi pendidikan bagi para pencari keadilan dan buta hukum.13

Peran dan fungsi kelembagaan bantuan hukum yang demikian sangat penting artinya untuk dapat mewadahi pusaran semakin beragamnya permasalahan hukum yang timbul, maupun semakin meningkatnya kebutuhan hukum masyarakat serta tuntutan yang semakin luas untuk memperoleh keadilan melaui hukum. Sementara itu, secara kondisional pelayanan bantuan hukum masih menampakkan hal – hal berikut:

1. Pelayanan bantuan hukum oleh organisasi bantuan hukum masih terpusat

terutama pada warga kota dan belum menjangkau secara cukup luas warga

masyarakat di wilayah pinggiran kota maupun pedesaan.

13 Tanjung, Andry Syafrizal, Realisasi Bantuan Hukum (Telaah Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum), CV.Putra Maharatu, Rantau Parapat 2018, hal 69 - 71

Universitas Sumatera Utara 11

2. Seleksi atas dasar ketidakmampuan dan ketidaktahuan hak-hak serta prosedur

hukum dalam memilih klien yang di layani oleh organisasi-organisasi bantuan

hukum tampak tidak terlalu ketat, sehimgga karakteristik sosial ekonomi

pencari keadilan yang terlayani masih bervariasi dan tidak jarang berkisar

pada golongan relative mampu.

3. Mengingat harapan dan peran para pencari keadilan terhadap organisasi

bantuan hukum ini tidak dapat hanya terbatas pada diberikannya konsultasi

dan bantuan hukum bagi mereka, tetapi lebih jauh juga harapan untuk

menyelesaikan masalah hukum yang di hadapi sesuai rasa keadilan mereka.

Harapan ini tidak jarang sulit terpenuhi oleh karena kondisi-kondisi intern dan

ekstern organisasi bantuan hukum itu sendiri. Kasus-kasus yang menyangkut

kepentingan kolektif. Misalnya pembebasan tanah, sering kali menemui

hambatan kerena pihak pemberi bantuan hukum membentur kepentingan

dominan, baik kepentingan ekonomi maupun birokratis.

4. Dalam konteks rekayasa budaya untuk meningkatkan penguasaan sumber

daya hukum masyarakat, efektifitas organisasi bantuan hukum memang masih

layak di pertanyakan. Selama ini dalam pendidikan non-formal yang di

selengggrakan organisasi bantuan hukum masih menggunakan metode-

metode konvensional dengan materi yang terbatas. Penyuluhan hukum

misalnya, di jalankan terhadap kelompok-kelompok masyarakat secara masal,

lebih sebagai upaya komunikasi awal dengan symbol-symbol atau prosedur

Universitas Sumatera Utara 12

hukum cendrung satu arah dan tanpa di dahului oleh kajian mengenai

kebutuhan hukum kelompok sasaran.14

Pembelaan terhadap orang miskin mutlak di perlukan dalam suasana sistem hukum pidana yang belum mencapai titik keterpaduan (Integrated Criminal Justice

System). Sering kali tersangka yang miskin karena tidak tahu hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa di siksa, diperlakukan tidak adil, atau di hambat haknya untuk di dampingi advokat.15

Faktor-faktor yang mengenai penegakan hukum yang mempengaruhi upaya penegakan hukum berdasarkan teori efektifitas yang di susun oleh Soerjono Soekanto

Yaitu:

1. Faktor penegak hukum. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam

masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu,

sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan

mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu

membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka.

Kecuali dari itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-

unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan unsur-unsur pola

tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan sasaran

atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan

14Ibid, hal 65 15 Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum : Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta: PT Elex Media Kompetindo, hlm.97.

Universitas Sumatera Utara 13

lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-

kaidah hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik.16

2. Faktor Sarana dan Fasilitas. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka

tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana

atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,

keuangan yang cukup, dan seterusnya. Jika hal-hal itu tidak terpenuhi, maka

mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuan. Agar masalah tersebut

dapat dipahami dengan mudah, akan disajikan suatu contoh mengenai proses

peradilan.17

3. Faktor Masyarakat. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan

untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu dipandang

dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum

tersebut. Di dalam pendapat masyarakat mengenai hukum, yang sangat

mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas bahwa ini pasti ada

kaitanya dengan faktor-faktor terdahulu, yaitu undang-undang penegak

hukum, dan sarana dan fasilitas.18

4. Faktor Kebudayaan. Faktor kebudayaan merupakan bersatu padu dengan

faktor masyarakat, karena itu di dalam pembahasnya diketengahkan masalah

16 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm.34 17 Ibid.hlm.34 18 Ibid. Hlm. 45

Universitas Sumatera Utara 14

sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau

nonmaterial. Sebagaimana suatu sistem (atau subsistem dari sistem

kemasyarakataan), maka hukum mencakup struktur substansi dan kebudayaan

(Law M. Friedman, 1977).19

Kebutuhan akan keadilan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang senantiasa didambakan oleh setiap orang, baik kaya atau yang miskin. Akan tetapi kadangkala dapat terjadi dimana sikaya dengan kekayaannya dapat lebih mudah memperoleh keadilan itu, sehingga ia dapat menguasai mekanisme berjalannya hukum itu, bahkan celakanya dengan cara yang demikian itu akan menindas si miskin, yang ada pada gilirannya hanya akan menimbulkan kesan bahwa hukum itu hanya untuk si kaya dan tidak untuk simiskin.20

Untuk mewujudkan terselenggaranya gagasan negara hukum, maka negara berkewajiban untuk menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan keadilan. Dengan kata lain negara harus menjamin terselenggaranya bantuan hukum bagi masyarakat miskin atau tidak mampu. Sehingga tidak ada yang luput dari akses keadilan yang merupakan amanat konstitusi.21

Berdasarkan penjabaran dan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian terhadap pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat miskin yang

menjadi tersangka/terdakwa dan korban yang bermasalah dengan hukum saat ini,

19 Ibid. Hlm. 45 20 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: CV. Mandar Maju, hlm.62. 21Ibid, halaman 2.

Universitas Sumatera Utara 15

sehingga penulis memilih judul “Pemberian Bantuan Hukum Yang Dilakukan

Oleh LBH Medan Terhadap Masyarakat Kurang Mampu di Kota Medan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana aturan hukum pemberian bantuan hukum oleh LBH Medan terhadap

masyarakat kurang mampu di Kota Medan?

2. Bagaimana pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH Medan

terhadap masyarakat kurang mampu di Kota medan?

3. Bagaimana hambatan yang di hadapi LBH Medan dalam memberikan bantuan

hukum kepada masyarakat tidak mampu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat di dalam rumusan permasalahan, maka adapun tujuan penelitian ini dapat di uraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan LBH Medan dalam memberikan bantuan hukum

terhadap masyarakat kurang mampu dikota Medan.

2. Untuk mengetahui Pemberian Bantuan Hukum Yang Dilakukan LBH Medan

Terhadap Masyarakat Kurang Mampu di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui hambatan yang di hadapi LBH Medan dalam memberikan

bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu.

Universitas Sumatera Utara 16

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini memberikan sejumlah manfaat bagi semua pihak dan manfaat tersebut dikelompokkan ke dalam 2 (dua) bagian, yakni penelitian yang memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis dan masyarakat untuk mengetahui dinamika dan perkembangan pemberian bantuan hukum di masyarakat dan untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang bantuan hukum khususnya mengenai pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH Medan terhadap masyarakat kurang mampu dikota

Medan .

2. Secara Praktis

Penelitian ini secara praktis dapat digunakan sebagai bahan hukum aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Hakim dan Advokat) dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang menjadi korban dan tersangka/terdakwa sehingga masyarakat mendapatkan haknya dalam proses penyelesaian perkara.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan acuan dalam memberikan bantuan hukum dan dapat dijadikan alat penyebarluasan informasi

Universitas Sumatera Utara 17

kepada masyarakat. Sehingga penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk masyarakat dalam hal pemberian bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas

Sumatera Utara khususnya di lingkungan Magister Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah di lakukan, akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Pemberian Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Miskin Dalam Perkara

Pidana (Suatu Penelitian Di Kabupaten Pidie) oleh Fitria dan Rizanizarli

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Dengan mengangkat permasalahan

antara lain:

a. Bagaimanakah mekanisme dalam mengajukan bantuan hukum?

b. Apakah kendala yang dihadapi oleh organisasi bantuan hukum dalam

memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin?

c. Apakah upaya yang telah dilakukan oleh Organisasi Bantuan Hukum

dalam mengatasi hambatan pelaksanaan pemberian bantuan hukum

kepada masyarakat miskin?

2. Yustinus Dedi, SH. A. 2021131066. Implementasi pemberian bantuan hukum

kepada masyarakat miskin dalam rangka mencari keadilan berdasarkan

undang-undang nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum (studi di

kabupaten bengkayang), dengan mengangkat permasalahan antara lain:

Universitas Sumatera Utara 18

a. Tidak ada Lembaga Bantuan Hukum di Kabupaten Bengkayang yang

di akreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM ?

b. Tidak ada Advokat yang terdaftar di Peradi ?

c. Bagaimana kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang

mengatasi masalah tersebut ?

3. Suyogi Imam Fauzi dan Inge Puspita Ningtyas. Fakultas hukum Jendral

Soedirman. Optimalisasi Pemberian Bantuan Hukum Demi Terwujudnya

Access to Law and Justice Bagi Rakyat Miskin, dengan mengangkat

permasalahan antara lain:

a. Bagaimana persoalan dalam penerapan pemberian bantuan hukum

bagi rakyat miskin?

b. Bagaimana mengoptimalkan pemberian bantuan hukum bagi rakyat

miskin?

Universitas Sumatera Utara 19

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah landasan yang digunakan untuk menjawab permasalahan atau pertanyaan penelitian. Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, atau pengenaan teoritis.22

Teori menempati kedudukan yang penting, dimana teori memberikan sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan. Menurut Imre Lakatos, teori adalah hasil pemikiran yang tidak akan musnah dan hilang begitu saja ketika teori lainnya pada dasarnya merupakan keanekaragaman dalam sebuah penelitian, teori disini berisi:23

a. Memahkotai sistem;

b. Terdiri atas hukum-hukum ilmiah;

c. Pernyataan-pernyataan umum yang memuat hubungan teratur antara fakta

atau gejala;

d. Berfungsi untuk memberi eksplanasi, prediksi dan pemahaman terhadap

berbagai fakta atau gejala.

22 M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, hlm,80. 23https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/10/26/1105/, pada Senin, 2 maret 2019, pukul 20:00 WIB.

Universitas Sumatera Utara 20

Teori hukum merupakan disiplin hukum yang secara kritikal dalam perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari hukum secara tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam konsepsi teoritikalnya maupun dalam pengolahan praktikalnya dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih tentang bahan-bahan hukum tersaji. Teori hukum tidak hanya menjelaskan apa itu hukum sampai kepada hal-hal yang konkret, tetapi juga pada persoalan yang mendasar dari hukum itu.

Posner dalam Romli Atmasasmita mengemukakan ada dua kegunaan teori hukum yaitu teori pertama, teori hukum berhasil mengungkapkan “ruang gelap (dark corners)” dari suatu sistem hukum dan menunjukkan jalan arah perubahan konstruktif yang sangat bernilai tentang unsur-unsur dari konsep hukum. Kegunaan kedua, teori hukum telah membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan tentang sistem, yang berbeda maknanya dari sekedar mengetahui bagaimana menjalankannya dalam suatu sistem di mana praktisi hukum telah bisa melakukannya.24

Teori Hukum merupakan teori dalam bidang hukum yang berfungsi memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa hal-hal yang dijelaskan itu adalah ilmiah, atau paling tidak memberikan gambaran bahwa hal-hal yang dijelaskan itu telah memenuhi standart tertentu.25 Oleh karena itu untuk menggali makna lebih jauh dari aturan hukum tidak cukup dilakukan penelitian dalam ruang lingkup dogmatik

24 Romli Atmasasmita, 2012. Teori Hukum Integratif, Yogyakarta: Genta, hlm.12. 25 Juhaya Praja, 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Setia, hlm.53.

Universitas Sumatera Utara 21

hukum, melainkan lebih mendalam lagi menggunakan teori hukum. Penelitian dalam ruang lingkup dogmatik hukum, isu hukum mengenai ketentuan hukum yang di dalamnya mengandung pengertian hukum berkaitan dengan fakta hukum yang dihadapi, untuk penelitian pada tataran teori hukum, isu hukum harus mengandung konsep hukum.

Konsep hukum dapat dirumuskan sebagai suatu gagasan yang dapat direalisasikan dalam rangka berjalannya aktifitas hidup bermasyarakat secara tertib.

Kerangka teoritis dalam penelitian ilmiah memiliki 3 (tiga) fungsi atau kegunaan yakni:26

a. Menjelaskan teori hukum dilaksanakan dengan cara menafsirkan sesuatu arti

atau pengertian, sesuatu syarat atau unsur sahnya.

b. Menilai, teori hukum digunakan untuk menilai suatu peristiwa hukum.

c. Memprediksi, teori hukum digunakan untuk membuat perkiraan tentang

sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Pembahasan mengenai pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh LBH

Medan terhadap masyarakat kurang mampu dikota medan, penulis menggunakan beberapa teori hukum yang diantaranya sebagai berikut:

26 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm.72.

Universitas Sumatera Utara 22

a. Teori Negara Hukum

Guna membahas permasalahan berkaitan dengan Pemberian Bantuan Hukum

Yang Dilakukan Oleh LBH Medan Terhadap Masyarakat Kurang Mampu Dikota

Medan yang di pergunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah teori negara hukum. Umumnya teori negara hukum akan merujuk pada kesetaraan setiap manusia di muka hukum.

Konsep negara Rule Of The Law merupakan konsep negara yang di anggap paling ideal saat ini, meskipun konsep tersebut di jalankan dengan persepsi berbeda- beda. Terhadap istilah Rule Of The Law ini dalam bahasa Indonesia sering di juga di terjemahkan sebagai supremasi hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum.

Disamping itu istilah negara hukum atau rechstaat, juga merupakan istilah yang sering digunakan untuk itu. Pengakuan kepada suatu negara hukum sangat penting, karena kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas, perlu pembatasan- pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik tersebut, untuk menghindari timbulnya kewenangan-kewenangan dari penguasa. Dalam negara hukum tersebut, pembatasan terhadap kekuasaan negara dan politik haruslah dilakukan dengan jelas, yang tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Karena itu, di dalam negara hukum, hukum memainkan perannhya sangat penting dan berada di di atas kekuasaan negara dan politik. Kerena itu pula, muncul istilah “pemerintah di bawah hukum”. Maka terkenallah konsep yang di negara-negara yang berlaku

Common Law disebut pemerintahan berdasarkan hukum bukan berdasarkan kehendak manusia. Di negara-negara Eropa Kontinental dikenal konsep negara hukum.

Universitas Sumatera Utara 23

Negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang di atur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dari satu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik di perintah maupun yang memerintah harus tunduk pada hukum yang sama. Setiap orang yang sama di perlakukan sama dan setiap orang berbeda di perlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan, dan kewenangan pemerintah di batasi berdasarkan prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat, karenanya kepada rakyat di berikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara demokratis.

Berdasarkan pemikiran Dicey bahwa ada tiga arti dari Rule Of The Law, yaitu sebagai berikut:

1) Supremasi absolute ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau

prerogrartif penguasa.

2) Berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law), dimana

semua orang harus tunduk pada hukum dan tidak seorangpun berada di atas

hukum.

3) Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang

bersangkutan, dalam hal ini hukum yang berasal dari konstistusi harus

melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.

Konsep negara rule of the law mempunya esensi dasar yaitu, sebagai berikut:

1) Negara memiliki hukum yang adil.

Universitas Sumatera Utara 24

2) Berlakunya prinsip distribusi kekuasaan.

3) Semua orang termasuk penguasa harus tunduk kepada hukum.

4) Semua orang mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum.

5) Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 menyebutkan “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum yang di maksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak di pertanggungjawabkan.

Secara umum dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supremasi hukum (supremacy of the law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakkan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due procces of the law).27

b. Teori Sistem Hukum

Teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.

27 Andry Syafrizal Tanjung, 2018, Realisasi Bantuan Hukum (Telaah Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, Rantau Parapat: CV.Putra Maharatu, hlm.12-16.

Universitas Sumatera Utara 25

Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara.

Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi. Di Indonesia berbicara struktur hukum maka hal tersebut merujuk pada struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang- orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke

Universitas Sumatera Utara 26

dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum

(law enforcement) yang baik. Bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang undangannya belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksananya.

Unsur-unsur tersebut menurut Lawrence M. Friedman sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Soerjono

Soekanto, mengatakan ketiga komponen ini merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.28

2. Konsep

Sebelum membahas penelitian ini, maka harus terlebih dahulu memahami istilah-istilah yang muncul dalam penelitian ini. Perlu dibuat definisi konsep tersebut agar makna variabel yang diterapkan dalam topik ini tidak menimbulkan perbedaan penafsiran.

a. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan

Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.29

b. Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa pemberian konsultasi

hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,

28 Secsio Jimec Nainggolan, Analisis Yuridis Penentuan Kedudukan Saksi Pelaku Sebagai Justice Collaborators Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Pengadilan Negeri Pematang Siantar (Studi Putusan No: 231/Pid.Sus/2015/Pn, USU Law Journal, Vol.5.No.3, Oktober 2017, Halaman 2. 29 Undang-undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum

Universitas Sumatera Utara 27

membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum

klien.30

c. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau disingkat YLBHI tadinya

adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang didirikan atas gagasan dalam

kongres Persatuan Advokast Indonesia (Peradin) ke III tahun 1969. Gagasan

tersebut mendapat persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat Peradin melalui

Surat Keputusan Nomor 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang isi

penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum

yang mulai berlaku tanggal 28 Oktober 1970.

d. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat

oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.31

e. Masyarakat tidak mampu adalah masyarakat miskin, miskin menurut KBBI

(Kamus Besar Bahasa Indonesia) yaitu tidak berharta, serba kekurangan

(berpenghasilan sangat rendah).32

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu faktor permasalahan yang akan dibahas, dimana metode penelitian merupakan cara utama yang bertujuan untuk mencapai tingkat penelitian ilmiah. Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul, yaitu memberikan preskripsi mengenai apa

30 ibid 31 https://kbbi.web.id/masyarakat di akses pada tanggal 26 september 2019 pukul 16.39 wib. 32https://kbbi.web.id/miskin di akses pada tanggal 14 maret 2019 pada pukul 07.05 wib.

Universitas Sumatera Utara 28

yang seyogiyanya atas isu yang diajukan.33Oleh karena itu sebagai sebuah penelitian ilmiah, yang sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaedah-kaedah penelitian sebagai berikut:

Penelitian Hukum Normatif.

a. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif . Nama lain dari penelitian hukum normatif ini adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.

Disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.

Sedang disebut sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.34

Penelitian ini akan menjabarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kemudian dikaitkan dengan teori-teori ilmu hukum serta praktek pelaksanaannya mengenai bantuan hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum Kota medan terhadap masyarakat miskin dilihat dari Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011.

33 Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research), Jakarta: Sinar Grafika, halaman. 1. 34 Ali Murthado dan Mustafa Kamal Rokan, 2012, Metodologi Penelitian Hukum Suatu Pemikiran dan Penerapan,Medan: Wal Ashri Publishing, halaman. 28.

Universitas Sumatera Utara 29

b. Pendekatan Penelitian

Penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal hanya bahan hukum.35

Pendekatan ilmu hukum normatif ini digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi pengaturan perundang- undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori hukum.

Sistem pendekatannya yaitu tinjauannya dilakukan dengan berpegang pada metode dogmatik.36 Dogmatik hukum (legal dogmatics) ialah kegiatan ilmiah dalam rangka mempelajari isi sebuah tatanan hukum positif yang konkret.37

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Penelitian ini menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian tersebut. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti. Pendekatan ini juga tergantung pada fokus penelitian, yang mana pada penelitian ini menggunakan

35 Bahder Johan Nasution, 2008,Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, halaman 87. 36 Ibid., halaman. 91. 37 Titon Slamet Kurnia, et al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelituan Hukum di Indonesia Sebuah Reorientasi, Salatiga: Pustaka Pelajar, halaman 71.

Universitas Sumatera Utara 30

pendekatan perundang-undangan yang bersifat akademis untuk mencari dasar hukum dan kandungan filosofis suatu perundang-undangan.38

2). Pendekatan Konseptual (Case Approach)

Pendekatan konseptual merupakan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Di temukannya ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum, pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin- doktrin merupakan sandaran dalam membangun argumentasi hukum dalam pemecahan isu hukum yang di hadapi.39

c. Data Penelitian

Data, Bahan atau materi yang dipakai dalam tesis ini diperoleh melalui

bahan hukum yang dikelompokkan ke dalam :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer tersebut berupa: Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, Undang-undang Nomor 18 Tahun

2003 tentang Profesi Advokat, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013

Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana

38 Muktie Fajar, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman. 184. 39 Peter Mahmud Marzuki, 2017, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,halaman 135-136.

Universitas Sumatera Utara 31

Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 22

Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun

2003 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran

Bantuan Hukum, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.

1). Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, karya ilmiah, pendapat para ahli

hukum, buku-buku teks, surat kabar (Koran), pamphlet, lefleat, brosur, dan

berita internet, yang berkaitan dengan penelitian.

2). Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang dapat menjelaskan

baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus,

ensiklopedi, dan lain-lain.

d. Teknik dan Alat Pengumpul Data

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

dengan melakukan studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa

data yang berkaitan dengan objek penelitian dan peraturan perundang undangan,

menelaah pelaksanaannya dan kemudian mengambil kesimpulan. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu:

Universitas Sumatera Utara 32

a. Penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen, yaitu

dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku,

peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain, untuk memperoleh

data sekunder.

b. Penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk menghimpun data

primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada

narasumber, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman

wawancara. e. Analisis Data

Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapat sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan yang memberikan telaah yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang telah dikuasai.

Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu analisis terhadap data-data yang dinyatakan oleh LBH Medan sebagai responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata, dan menganalisa bahan-bahan hukum. Kemudian peneliti harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai data atau bahan hukum yang diharapkan atau diperlukan, dan data atau bahan hukum mana yang tidak relevan

Universitas Sumatera Utara 33

dan tidak ada hubungannya dengan materi penelitian, sehingga dalam analisis

dengan pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data, kualitas

data yang berhubungan dengan norma-norma, asas-asas, dan kaidah-kaidah yang

relevan dengan implementasi bantuan hukum terhadap masyarakat miskin oleh

LBH Medan.

H. Rencana Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian direncanakan dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dan

dapat di diskripsikan dalam tabel di bawah ini :

Deskripsi Bulan No Kegiatan Mar Apr Mei Juni Juli Ags. Sept. Okt. Nov.

Persiapan 1. Penelitian

2. Proposal

Penelitian

3. Seminar

Proposal

4. Pembahasan

5. Seminar Hasil

6. Sidang Tesis

Universitas Sumatera Utara 34

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA OLEH LEMBAGA BANTUAN HUKUM KEPADA TERSANGKA DAN/ATAU TERDAKWA YANG MISKIN

A. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia

Bantuan hukum sebenarnya sudah ada sejak zaman Romawi, pada setiap zaman arti dan tujuan pemberian bantuan hukum sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik dan falsafah hukum yang berlaku. Pada awalnya kegiatan bantuan hukum bertujuan untuk mendapatkan pengaruh dari masyarakat. Kemudian berubah menjadi kedermawanan untuk membantu kaum miskin. Sikap ini beriringan dengan tumbuhnya niali-nilai kemuliaan dan kesatriaan yang sangat diagungkan orang.40

Setelah meletusnya revolusi Perancis yang monumental itu, hukum mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau yuridik, dengan lebih menekankan hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan dimuka pengadilan. Abad ke 20 bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan member jasa dibidang hukum tanpa suatu imbalan.

Bantuan hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum tampaknya merupakan hal yang dapat kita katakana relatif baru di negara-negara

40 YLBHI, Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, YLBHI, Jakarta, 2014, halaman 462.

Universitas Sumatera Utara 35

berkembang, demikian juga di Indonesia. Bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional, b aru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum barat di

Indonesia.

Bantuan hukum sebagai kegiatan pelayanan secara Cuma-Cuma kepada masyarakat miskin dan buta hukum dalam dekade terakhir ini Nampak menunjukkan perkembangan yang amat pesat di Indonesia, apalagi sejak Pelita ke III pemerintah mencanangkan program bantuan hukum sebagai jalur untuk meratakan jalan menuju pemerataan keadilan dibidang hukum.

Dalam tulisannya, Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa bantuan hukum secara formal di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, hal ini bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya.

Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman Raja tanggal 16 Mei 1848

Nomor 1, Perundang-Undangan baru di negri Belanda tersebut juga diberlakukan di

Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda. Antara lain peraturan tentang

Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Pengadilan. Mengingat baru dalam peraturan hukum itulah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat”, maka dapatlah diperkirakan bahwa bantuan hukum dakam arti yang formal baru mulai di Indonesia pada tahun-tahun itu, dan hal itu pun baru terbatas bagi orang-orang eropa saja didalam peradilan. Sementara itu advokat pertama bangsa Indonesia adalah Mr. Besar

Universitas Sumatera Utara 36

Mertokoesoemo yang baru membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923.41

Lebih tegas lagi dalam hukum positif di Indonesia masalah Bantauan Hukum ini diatur dalam Pasal 250 Ayat (5) dan (6) HIR dengan cakupan yang terbatas, artinya pasal ini dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa belanda dari pada bangsa Indonesia yang pada waktu itu lebih popular disebut inlanders, disamping itu, daya laku pasal ini hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang dituduh dan diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup.42

Gambaran keadaan diatas terjadi karena di jaman kolonial Belanda seperti yang kita ketahui dikenal adanya dua sistem peradilan yang terpisah satu dengan yang lainnya. Pertama, satu hirarki peradilan untuk orang-orang eropa dan yang dipersamakan dan kedua, hirarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan (Districtgerecht Regentschaps Gerecht, dan Landraad).43

Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Untuk peradilan eropa berlaku Reglement op deRechtsvordering (RV) untuk acara perdatanya dan

Reglement op de Strafvordering (SV) untuk acara pidananya. Sedangkan bagi

Indonesia berlaku HIR baik untuk acara perdata maupaun acara pidananya. Salah satu

41 Adnan Buyung Nasution, halaman 23-25. 42 Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP, HIR dan Komentar, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 109. 43 Ibid

Universitas Sumatera Utara 37

implikasi penting dari dikotomi diatas kaitannya dengan bantuan hukum adalah bagi orang-orang eropa dikenal kewajiban legal representation by a lawyer baik bagi perkara perdata maupun perkara pidana. Tampaknya hal ini lebih didasarkan pada perimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang bersangkutan didalam kultur hukum mereka (dinegeri Belanda) dan karenanya cukup diatur dalam Undang-

Undang tentang ketentuan Bantuan Hukum sebagaimana dikenal dinegara-negara yang sudah maju. Tidak demikian halnya terjadi untuk orang-orang Indonesia, bahkan didalam HIR nya tidak dikenal legal representation by a lawyer seperti diatas. Didalam perkara pidana bagi orang-orang Indonesia, HIR juga tidak mengatur ketentuan terdakwa yang berhak dibela oleh seorang lawyer , jadi setiap orang boleh saja membela dirinya sendiri atau menunjuk keluarganya atau siapa saja untuk membantunya dimuka pengadilan.

Dari paparan historik diatas dapat mengetahui bahwa bagi orang-orang Indonesia tidak ada atau ditiadakan kebutuhan akan bantuan hukum, oleh karena itu tidak aneh pada waktu itu profesi Lawyer juga tidak berkembang dengan menggembirakan.

Namun demikian, pada perkembangan berikutnya sejalan dengan gemuruhnya arus pergerakan nasional kita, mulai bermunculan ahli-ahli hukum bangsa Indonesia yang berprofesi advokat turut meramaikan gerakan nasional Indonesia melalui pemberian bantuan hukum. Dengan motif turut membantu gerakan nasional, maka mereka turut membantu masyarakat Indonesia yang tidak mampu memakai jasa advokat-advokat

Belanda ketika menghadapi masalah hukum dimuka pengadilan. Pada dasarnya gerakan bantuan hukum pada waktu itu dapat kit abaca sebagai salah satu rangkaian

Universitas Sumatera Utara 38

dari pergerakan nasional untuk melepaskan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah Belanda, karenanya secara tidak langsung pemberian bantuan hukum ini dapat dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan nasional negara Indonesia. Tampaknya titik awal dari pada program bantuan hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum berangkat dari sini.

Pada masa penjajahan jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari kondisi diatas.

Sekalipun peraturan hukum tentang bantuan hukum yang berlaku pada masa Belanda masih tetap diberlakukan, akan tetapi situasi dan kondisi pada waktu itu tampaknya tidak memungkinkan untuk mengembangkan dan memajukan program bantuan hukum di Indonesia. Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun- tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa, demikian pula setelah pengakuan kedaulatan rakyat Indonesia pada tahun 1950, keadaan demikian relatif tidak berubah.44

Dalam periode berikutnya sekitar tahun 1950-1959 terjadi perubahan sistem peradilan di Indonesia dengan dihapuskannya secara pelan-pelan pluralism dibidang peradilan, hingga hanya ada satu sistem peradilan yang berlaku bagi setiap penduduk

Indonesia, yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung.

Demikian pula telah diberlakukannya satu hukum acara yaitu HIR. Namum,

44 . Bambang Sunggono Dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Bandung: CV. Mandar Maju. Halaman 14

Universitas Sumatera Utara 39

pemberlakuan yang demikian tetap berimplikasi pada tetap berlakunya sistem peradilan dan peraturan hukum acara warisan kolonial yang ternyata masih tetap sedikit menjamin ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum. Akan tetapi dalam periode ini yang berada dalam sistem politik demokrasi parlementer, posisi badan peradilan masih relatif tinggi integritasnya. Disamping itu sistem politik yang masih berlaku memungkinkan organ-organ yudikatif relatif lebih bebas dan tidak memihak, ditambah lagi kontrol parlemen yang begitu kuat, dan karenanya campur tangan eksekutif ataupun kekuatan-kekuatan lainnya dalam lembaga yudikatif dapat dicegah.45

Agak berbeda dengan periode sesudahnya yang diatandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno. Dapat kita katakana bahwa periode ini merupakan saat-saat yang rawan bagi proses penegakkan hukum dinegeri kita. Tampilnya sistem pemerintahan demokrasi terpimpin dalam pentas politik nasional antara lain tidak terlepas dari munculnya dominasi peran yang dimainkan oleh Presiden Soekarno.

Bantuan hukum mengalami kemrosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum.

Pada saat itu hukum tak lebih sebagai alat revolusi, sementara peradilan tidak lagi bebas karena terlalu banyak dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh tangan eksekutif. Yang mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana menurut ketentuan pasal 19 UU tersebut telah member wewenang kepada

45 Ibid

Universitas Sumatera Utara 40

Presiden untuk beberapa hal dapat turun atau campur tangan dalam masalah pengadilan. Dengan jatuhnya wibawa pengadilan maka tidak aneh kalau harapan dan kepercayaan orang terhadap bantuan hukum pun hilang. Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat munculnya orde baru.46

Aspek institusional (kelembagaan) tentang bantuan hukum, dapat mengetahui bahwa lembaga atau biro hukum, dalam bentuk konsultasi hukum pernah didirikan di sekolah tinggi hukum Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof Zeyle Maker seorang guru besar hukum dagang dan hukum acara perdata, yang melaukan kegiatannya berupa pemebrian nasehat hukum kepada rakyat yang tidak mampu disamping juga untuk memajukan klinik hukum.47

Pada tahun 1953 ide untuk mendirikan semacam biro konsultasi hukum kembali, dan pada tahun 1954 didirikan biro “Tjandra Naya” dipimpin Prof. Ting Swan Tiong, dengan ruang gerak agak terbatas yaitu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang-orang cina. Atas usul Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui oleh Prof. Sujono

Hadibroto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tanggal 2 Mei 1963 didirikan biro konsultasi hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan

Tiong ketuanya. Pada tahun 1968 biro ini berganti nama menjadi lembaga konsultasi hukum pada tahun 1974 menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH).

Pada tahun 1967 biro konsultasi juga didirikan oleh fakultas hukum Universitas

Pajajaran. Dewasa ini, bertebaran difakultas-fakultas hukum negeri maupun swasta

46 Ibid. halaman 30. 47 Todung Mulya Lubis, 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta : LP3ES, halaman 7-8.

Universitas Sumatera Utara 41

telah berkembang dan didirikan biro-biro atau lembaga-lembaga yang menangani bantuan hukum dengan cakupan yang lebih luas yaitu tidak hanya sekedar memberikan nasehat hukum belaka, akan tetapi juga mewakili dan memberi pembelaan hukum dimuka pengadilan.

Diluar kelembagaan bantuan hukum di fakultas-fakultas hukum, lembaga bantuan hukum yang melakukan aktivitasnya dengan lingkup yang lebih luas sejak didirikannya lembaga bantuan hukum di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1970 dibawah pimpinan Adnan Buyung Nasution.

Pada masa orde baru ini masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan pesat. Satu contoh dapat dikemukakan, pada tahun 1979 saja tidak kurang dari 57 lembaga bantuan hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum.48

Dewasa ini jelas bantuan hukum banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi bantuan hukum yang tumbuh dari berbagai organisasi profesi maupun organisasi kemasyarakatan. Dengan demikian para penikmat bantuan hukum dapat lebih leluasa dalam upayanya mencari keadilan dengan memanfaatkan organisasi-organisasi bantuan hukum.49

48 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Prisma, Jakarta, 1981, halaman 35. 49 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, op, cit., halaman 16-17.

Universitas Sumatera Utara 42

B. Ruang Lingkup Bantuan Hukum Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

Pengukuhan Indonesia sebagai negara hukum pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945, memberi pesan adanya keinginan kuat agar negara menjamin terselenggaranya persamaan kedudukan dalam hukum, antara lain ditandai dengan diaturnya hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama didepan hukum, serta jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan keadilan (justice for all dan access to justice). Hak- hak ini sesungguhnya merupakan hak-hak dasar setiap orang yang bersifat universal.

Konsep ini menjadi penting untuk dipahami, karena selama ini Negara selalu dihadapkan pada kenyataan adanya sekelompok masyarakat yang miskin atau tidak mampu sehingga tidak dapat terpenuhi haknya untuk mendapatkan keadilan yang semestinya terpenuhi berdasarkan konsep Negara hukum. Untuk mewujudkan gagasan Negara hukum tersebut, maka Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan keadilan. Dengan kata lain, Negara harus menjamin terselenggaranya bantuan hukum bagi orang miskin atau orang yang tidak mampu sehingga tidak ada yang luput dari akses keadilan sebagai amanat konstitusi.50

Pasca perubahan ketiga mulai bergulir wacana akan pentingnya Undang-Undang

Bantuan Hukum, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia bersama-sama dengan elemen sipil lainnya menggulirkan berbagai program dengan tajuk “ justice for the poor” dan “access to justice”. Gagasan ini disambut baik oleh berbagai pihak

50 https://pramudyarum.wordpress.com/2016/06/07/bantuan-hukum-bagi-masyarakat-miskin/ di akses pada tanggal 27 tahun 2019 pada pukul 15.00 wib.

Universitas Sumatera Utara 43

dan diperkuat dengan dibentuknya dalam nota kesepahaman antara bappenas dengan lembaga internasional.51

Wacana pentingnya keberadaan Undang-Undang Bantuan Hukum semakin menguat ketika dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang Advokat, dibahas juga masalah bantuan hukum. Selain itu momentum lahirnya Undang-

Undang Bantuan Hukum juga tidak lepas dari dua peristiwa penting. Pertama, diselenggarakannya pertemuan puncak mengenai bantuan hukum yang dibuka oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua, disusunnya strategi nasional Bappenas yang juga mencakup isu peningkatan access to justice. Dalam program Bappenas itulah disebutkan program pemerintah untuk membuat Rancangan Undang-Undang

Bantuan Hukum. Hal ini disambut positif oleh kelompok masyarakat sipil dengan disusunnya naskah akademik dan draft Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum versi masyarakat sipil. Dengan dimotori oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum

Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, sekelompok masyarakat sipil menyusun naskah akademik dan draft Rancangan Undang-Undang Bantuan

Hukum.52

Proses perumusan naskah akademik dan draft Rancangan Undang-Undang bantuan Hukum itu sendiri tidak terlepas dari hasil rapat kerja nasional Yayasan

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia pada tahun 2005. Rakernas Yayasan Lembaga

51 Frans Hendra Winarta, 1995, Advokat Indonesia, PT. Penebar Swadaya : Jakarta, hlm. 26. 52 Alvon Kurnia Palma

Universitas Sumatera Utara 44

Bantuan Hukum Indonesia memandatkan kepada badan pengurus Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia untuk menginisiasi pembentukan undang-undang tentang

Bantuan Hukum. Berdasarkan kesepakatan seluruh peserta rakernas pada saat itu,

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya mendapat tugas untuk melakukan penelitian dan inisiasi awal tentang pembentukan Rancangan

Undang-Undang Bantuan Hukum. Setelah dilakukan penelitian kemudian disusunlah naskah akademik dan batang tubuh Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum.

Dalam Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum yang diinisiasi oleh

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya terdapat

15 Bab yang meliputi (Ketentuan Umum, Asas dan Tujuan, Kewajiban Negara, Jenis

Layanan Bantuan Hukum, Pelaksanaan bantuan Hukum yang berisi tentang ketentuan

Syarat, Hak dan Kewajiban Pembela Publik, Penerima Bantuan Hukum, Organisasi

Bantuan Hukum, Tata Cara Permohonan Bantuan Hukum, Perhimpunan Bantuan

Hukum Nasional (yan berisi tentang tugas dan wewenang, tempat kedudukan, keanggotaan dan Susunan BPHN), Dewan Kehormatan Bantuan Hukum, Kongres,

Anggaran, Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana, Ketentuan Peralihan serta

Penutup). Pasca dirumuskannya Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia bersama Lembaga Bantuan

Hukum Jakarta melakukan proses Konsenyering Publik diberbagai wilayah guna mensosialisasikan pentingnya Undang-Undang Bantuan Hukum, mengingat banyaknya masyarakat miskin yang belum mampu mengakses keadilan melalui pemberian bantuan hukum sacara gratis dari negara yang merupakan tanggung jawab

Universitas Sumatera Utara 45

negara (state obligation). Meski Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia telah melakukan pendekatan dan kampanye yang massif terkait arti penting Undang-

Undang Bantuan Hukum ini negara masih enggan untuk mengadopsi usulan tersebut.

Pada akhirnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia melakukan rapat konsolidasi bersama dengan 15 Lembaga Bantuan Hukum kantor dibawahnya termasuk Lembaga Bantuan Hukum Medan untuk merumuskan tindak lanjut dari agenda advokasi Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa strategi, salah satunya disepakati untuk mendorong pembentukan peraturan terkait pemberian bantuan hukum di tingkat local, meskipun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai peraturan payungnya belum ada.

Pada tahun 2008, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia melakukan audensi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk melahirkan

Undang-Undang Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin, buta hukum dan marjinal yang sedang menjalani proses hukum sebagai perwujudan hak-hak konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pada kesempatan itu, Patra M.

Zen (Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) ditunjuk menjadi ketua tim pengurus Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum setelah bertemu dengan kepala Bappenas, Paskah Suzetta, serta Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia, Hammid Awaludin. Pasca digantinya Hamid Awaludin sebagai

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh Andi Mattalatta, keluarlah surat keputusan pengangkatan Patra M. Zen sebagai ketua tim pengurus Rancangan

Universitas Sumatera Utara 46

Undang-Undang Bantuan Hukum. Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum itu sendiri kemudian menjadi inisiasi Pemerintah. Dalam perjalanannya kemudian, draft

Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut juga diadopsi menjadi inisiasi

Dewan Perwakilan Rakyat. Pada 1 Desember 2009, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah secara resmi memasukkan Rancangan Undang-Undang Bantuan

Hukum kedalam Prolegnas 2009-2014 dan menjadi salah satu dari lima puluh lima

Rancangan Undang-Undang prioritas Prolegnas 2010 sebagai Rancangan Undang-

Undang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun Rancangan Undang-Undang

Bantuan Hukum diadopsi, namun didalam batang tubuh Rancangan Undang-Undang tersebut terdapat banyak perubahan.

Hal ini yang mendorong Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk memotori elemen sipil lainnya untuk membentuk koalisi advokasi Rancangan

Undang-Undang Bantuan Hukum (KUBAH) pada tahun 2009. Jaringan ini telah beberapa kali menyelenggarakan kegiatan mulai dari workshop, Focus Group

Discussion (FGD), dan lain-lain hingga menghasilkan sebuah kertas posisi dan draft

Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum versi masyarakat sipil. Draft yang duhasilkan ini merupakan draft tandingan atas Rancangan Undang-Undang versi

Pemerintah dan Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat. Jaringan KUBAH secara terus-menerus mengawal pembahasan Rancangan Undang-Undang Bantuan

Hukum mulai dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Dewan Perwakilan

Rakyat serta monitoring yang dilakukan sejak tahun 2009 hingga Rancangan

Undang-Undang tersebut disahkan pada tahun 2011.

Universitas Sumatera Utara 47

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia secara resmi ditunjuk oleh

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menjadi ketua Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum melalui Surat Keputusan Manteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor. PPE.34.PP.01.02 tahun 2009 tentang Pembentukan Panitia Penyusunan

Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Di sisi internal Pemerintah, melalui

Surat Presiden Republik Indonesia Nomor. R.51/Pres/06/2010 tertanggal 24 Juni

2010, Presiden telah menunjuk menteri-menteri terkait yakni Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Reformasi

Birokrasi, serta Menteri Keuangan untuk melakukan pembahasan Rancangan

Undang-Undang ini di Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara itu, melalui Rapat

Badan Musyawarah (Bamus) Dewan Perwakilan Rakyat menunjuk Badan Legislasi sebagai perwakilan legislative untuk membahas Rancangan Undang-Undang ini bersama pemerintah. Dimana sebelum surat resmi Nomor. 222/SK/YLBHI/VI/ 2010 sebenarnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum telah mendesak Presiden Republik

Indonesia memberikan mandate kepada para menterinya untuk membahas Rancangan

Undang-Undang Bantuan Hukum bersama Dewan Perwakilan Rakyat.

Pembahasan pertama Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum dilakukan

Pada tanggal 1 September 2010, dengan agenda pengesahan jadwal rapat, penyampaian pandangan Pemerintah dan tanggapan Badan Legislasi atas pandangan

Pemerintah. Pada perjalanannya, Badan Legislasi juga mengundang masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya melalui sarana Rapat Dengar Pendapat Umum

Universitas Sumatera Utara 48

(RDPU) yang diselenggarakan lebih dari sembilan kali. Berbagai pihak juga diundang untuk menyampaikan pendapat antara lain dari Kepolisian, Kejaksaan,

Mahkamah Agung, dan kelompok masyarakat sipil.

Pembahasan Panitia Kerja (Panja) awal antara Pemerintah dan Dewan

Perwakilan Rakyat tanggal 12 Oktober 2010 terdapat beberapa isu krusial dalam

Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Pertama, sehubungan dengan pihak pertama pemberi bantuan hukum; kedua, terkait pihak penerima bantuan hukum; ketiga, sehubungan dengan ruang lingkup seperti beda antara litigasi dan non litigasi; keempat, sehubungan dengan sumber pembiayaan penyelenggara bantuan hukum; kelima, masalah kelembagaan.

Berbagai substansi yang mengalami kebuntuan ini disepakati untuk diselesaikan melalui lobby antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah pada tanggal 25

November 2010. Dalam agenda lobby tersebut pemerintah menawarkan bentuk kelembagaan bantuan hukum nasional secara hukum dan koordinasi dibawah Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan pelaksana tetap Lembaga Bantuan Hukum,

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) dan pemberi bantuan hukum yang telah terakreditasi. Akibat alotnya perdebatan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan

Pemerintah terkait format kelembagaan bantuan hukum di Indonesia dalam

Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum, bahkan hingga akhirnya masa siding keempat tahun 2010-2011, Rancangan Undang-Undang tersebut belum juga dibahas kembali. Karenanya keberadaan payung hukum Undang-Undang Bantuan hukum ini menjadi tertunda. Sampai akhirnya keluarlah kesepakatan untuk penyelenggaraan

Universitas Sumatera Utara 49

bantuan hukum dibawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai pihak pelaksananya. Setelah terjadi kesepakatan itu, melalui siding paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang terselenggara pada tanggal 4 Oktober 2011, Rancangan Undang-Undang bantuan

Hukum pada akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang.

Kebijakan bantuan hukum ditingkat lokal ini berguna bagi perumusan Peraturan

Pemerintah tentang syarat dan tata cara pemberian dan penyaluran dana bantuan hukum, Peraturan Menteri tentang verifikasi dan akreditasi hingga Peraturan Menteri tentang standart bantuan hukum. Pembelajaran dari masing-masing daerah dalam melaksanakan dan melayani pemberian bantuan hukum dengan sistem pada klausul syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum, proses penyaluran dana pemberian bantuan hukum dan bukti-bukti penggunaan bantuan hukum, pelaksanaan anggaran, pertanggunggjawaban serta pengawasan menjadi modal yang sangat besar untuk kemudian dibahas dan diadopsi pada saat perumusan rancangan Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum.53

Didalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum dijelaskan bahwa pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan

Undang-Undang ini.54

53 Alvon Kurnia Palma, op.cit., halaman 2-8. 54 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum.

Universitas Sumatera Utara 50

Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum juga di atur pada Peraturan

Pemerintah No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan

Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Kemudian Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 tentang Peraturan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata

Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

Syarat-syarat untuk menjadi pemberi bantuan hukum dijelaskan dalam Pasal 8

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum yaitu “ berbadan hukum, terakreditasi berdasarkan undang-undang ini, memiliki kantor atau secretariat yang tetap, memiliki pengurus, dan memiliki program bantuan hukum.55

Didalam Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dejalaskan mengenai ruang lingkup bantuan hukum, yaitu:

1. Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi

masalah hukum;

2. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud didalam ayat (1) meliputi masalah

hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun non

litigasi;

55 Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum.

Universitas Sumatera Utara 51

3. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan

kuasa, mendampingi, mewakili, membela dan/atau melakukan tindakan

hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum.56

Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dijelaskan mengenai hak pemberi bantuan hukum, yaitu:

a. Melakukan rekrutmen terhadap advokat, Paralegal, dosen, dan mahasiswa

fakultas hukum;

b. Melakukan pelayanan bantuan hukum;

c. Menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program

kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum;

d. Menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan bantuan hukum

berdasarkan undang-undang ini;

e. Mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang

menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. Mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain

untuk kepentingan pembelaan perkara;

g. Mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan dan keselamatan

selama menjalankan pemberian bantuan hukum.57

56 Pasal 4 Ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum. 57 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum.

Universitas Sumatera Utara 52

Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2011 tentang Bantuan Hukum dejalaskan mengenai kewajiban pemberi bantuan hukum, yaitu:

a. Melaporkan kepada menteri tentang program bantuan hukum;

b. Melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk

pemberian bantuan hukum berdasarkan undang-undang ini;

c. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bantuan hukum bagi advokat,

paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaiman

dimaksud dalam pasal 9 huruf a;

d. Menjaga kerahasiaan data, informasi dan/atau keterangan yang diperoleh dari

penerima bantuan hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani,

kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;

e. Memberikan bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum berdasarkan

syarat dan tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini sampai

perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum.58

Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2011 tentang Bantuan Hukum dijelaskan mengenai hak penerima bantuan hukum, yaitu:

a. Mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau

perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama penerima

bantuan hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;

58 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum.

Universitas Sumatera Utara 53

b. Mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan standar bantuan hukum dan/atau

kode etik advokat;

c. Mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan

pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.59

Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2011 tentang Bantuan Hukum dejalaskan mengenai kewajiban penerima bantuan hukum, yaitu:

a. Menyampaikan bukti, informasi dan/atau keterangan perkara secara benar

kepada pemberi bantuan hukum;

b. Membantu kelancaran pemberian bantuan hukum.60

Berdasarkan Pasal 56 dan 57 undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman di jelaskan mengenai bantuan hukum, pasal 56 yaitu:

a. Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum;

b. Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak

mampu.61

Kemudian pasal 57:

a. Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari

keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum;

59 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum. 60 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum. 61 Pasal 56 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Universitas Sumatera Utara 54

b. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara

cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara;

c. Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.62

C. Ruang Kosong dan Refleksi Keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

Undang-undang bantuan hukum masih menyisakan beberapa persoalan yang mendasar. Permasalahan tersebut dapat kita petakan. Dimulai dari visi penyelenggaraan bantuan hukum di level undang-undang yang harus memberikan suatu pelayanan transparan, occountable, dan credible. Visi bantuan hukum masih berorientasi kepada orang miskin dan kelompok orang miskin. Sementara permasalahan ketidakadilan tidak saja dihadapi oleh orang miskin dan kelompok orang miskin, melainkan juga dihadapi oleh masyarakat marginal dan kelompok rentan. Pengertian penerima bantuan hukum dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang-

Undang Bantuan Hukum Masih sangat eksklusif. Padahal masih ada kelompok lain yang berhak mendapatkan bantuan hukum yang dibiayai oleh negara seperti anak- anak dan penyandang disabilitas. Sangat jelas undang-undang bantuan hukum masih sangat terbatas dalam pemberian bantuan hukum, tidak kepada semua , sehingga berpotensi menunda pelaksanaan keadilan. Artinya, hanya orang dan sekelompok orang dikategorikan miskin secara ekonomi yang berhak menerima bantuan hukum dari anggaran negara.

62 Pasal 57 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Universitas Sumatera Utara 55

Urgensi masuknya anak dan penyandang disabilitas kedalam penegertian penerima bantuan hukum dalam Undang-Undang Bantuan Hukum bukan semata- mata soal uang. Ada juga keinginan memastikan integrasi pelaksanaan Undang-

Undang Sistem Peradilan Anak, Undang-Undang pengesahan Konvensi Mengenai

Hak-Hak Disabilitas, dengan Undang-Undang Bantuan Hukum dan menjamin kualitas pelayanan bantuan hukum agar dapat diakses semua orang, dan dilakukan secara credible.

Banyak anak dan penyandang disabilitas yang bermasalah dengan hukum, tetapi bantuan hukum yang diberikan hanya sebatas memenuhi standart formalitas tanpa memperlihatkan kualitas bantuan hukum yang credible. Jelas, anak dan penyandang disabilitas merupakan kelompok yang termarjinalkan dalam pengaturan Undang-

Undang Bantuan Hukum.

Perumusan bantuan hukum tidak terharmonisasi secara baik dengan undang- undang lainnya yang memandatkan negara memberikan bantuan hukum kepada anak yang berhadapn dengan hukum. Misalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang

Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Selain hukum nasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan International

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang memandatkan pemberian bantuan hukum kepada anak dan penyandang disabilitas, ada United Nations Standart

Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice yang menyebut hak atas

Universitas Sumatera Utara 56

bantuan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Ada pula United Nations

Declaration on the Rights of Disabled Person yang mengakui pentingnya bantuan hukum berkualitas diberikan kepada orang-orang difable (Different Ability). Semua sumber hukum itu memberikan mandat pemberian bantuan hukum dan memberikan kewajiban kepada negara untuk membuat kerangka hukum perlindungan. Hak bantuan hukum ini dikategorikan sebagai Non Derogable Rights (tidak dapat dikurangi).

Hal ini jelas bertolak belakan dengan asas dalam pemeberian bantuan hukum accessible dan Credible yang tercantum dalam Undang-Undang Bantuan Hukum.

Berdasarkan konsep akses, setidaknya prespektif bantuan hukum harus mencakup kepada upaya pemenuhan akses keadilan sebagaimana dinayatakan dalam pasal 14

ICCPR, dan akses untuk pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan memberikan bantuan hukum kepada masyarakat untuk melakukan klaim atas hak- haknya.

Pemberian bantuan hukum dalam pelaksanaannya hanya berorientasi pada pelaksanaan pendampingan secara prosedural yang pada hakikatnya belum sesuai dengan standart-standart Hak Asasi Manusia dan kebutuhan pemeberian bantuan hukum bagi orang yang berhadapan dengan hukum. Penerima bantuan hukum tidak mendapatkan kualitas pelayanan bantuan hukum secara prima sejak dirinya berhadapan dengan hukum khususnya dalam perkara pidana mulai saat seseorang dituduh, ditangkap, ditahan sebelum disidangkan (Pretrial Detention) yang

Universitas Sumatera Utara 57

merupakan babak rentan terjadinya pelanggaran standart hukum acara pidana dan

HAM hingga ditetapkan sebagai narapidana.

Pengertian bantuan hukum sebagai jasa hukum dalam pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Bantuan Hukum menimbulkan permasalahan dalam penyaluran dan alokasi dana subsidi. Sebagai suatu jasa, ini hanya dipahami sebagai suatu jasa professional advokat dan bukan sebagai alokasi dana hibah pelaksanaan bantuan hukum oleh organisasi bantuan hukum untuk melakukan pendampingan bantuan hukum yang meliputi transport persidangan, administrasi persidangan, honorarium tenaga bantuan hukum, dan operasional kelembagaan organisasi bantuan hukum.

Pengertian ini mengakibatkan rumitnya penyaluran dan tidak prorposionalnya peruntukan subsidi dana kepada organisasi bantuan hukum berdasarkan kebutuhan pelaksanaan bantuan hukum dimasing-masing wilayah. Kerumitan dalam penyaluran subsidi dana berpola “no work no pay” lebih terkonsentrasi pada bagaimana pembuktian pelaksanaan jasa bantuan hukum dan kapan penyaluran dana subsidi oleh penyelenggara bantuan hukum kepada organisasi bantuan hukum. Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia membutuhkan waktu untuk memverifikasi kuat atau atau tidaknya bukti-bukti kuitansi dan formulir pelaksanaan bantuan hukum dari organisasi bantuan hukum untuk dibayar jasa yang telah diberikan. Meski dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun

2013 mengatur batasan waktu penyaluran dan pasca bukti-bukti pelaksanaan diberikan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia beserta jajaran

Universitas Sumatera Utara 58

dibawahnya. Akibat membutuhkan waktu birokratisasi pembayaran subsidi dana, maka organisasi bantuan hukum akan terlambat dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum. Meski pembayaran pergantian subsidi dana dilakukan secara bertahap, minimnya dana yang dialokasikan disetiap tahap pelaksanaan pemberian bantuan hukum, tetap akan menghambat pemberian layanan bantuan hukum. Sebab tidak semua organisasi bantuan hukum yang mampu untuk biaya terlebih dahulu layanan bantuan hukum sebelum dibayar oleh penyelenggara bantuan hukum.

Seharusnya tanggung jawab negara dalam bantuan hukum ini tidak terjebak dalam skema peraturan barang dan jasa yang diatur dalam Peraturan Presiden tentang barang dan jasa. Sebab, pengertian jasa bantuan hukum dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan Peraturan Presiden tentang Barang dan Jasa berakibat lebih menitik beratkan pada hasil pekerjaan yang disertai dengan bukti terlebih dahulu guna selanjutnya dicairkan subsidi dana kepada pelaksana pekerjaan.

Semua permasalahan diatas, tidak serta merta disebabkan oleh ketidaksesuaian penerapan norma dalam undang-undang, tetapi juga masih minimnya jumlah tenaga

(advokat dan paralegal) yang tersedia di organisasi bantuan hukum. Saat ini advokat yang bersedia untuk tetap konsisten untuk menjadi public devender bagi organisasi bantuan hukum masih sangat sedikit. Hal ini diperparah dengan belum tersedianya tenaga pendukung sebagai komplemen advokat, yakni paralegal. Apalagi, saat ini belum diketahui secara mendeteil dalam bank data yang dimiliki oleh penyedia

Universitas Sumatera Utara 59

bantuan hukum tentang jumlah advokat dan paralegal yang dapat menjalankan bantuan hukum.

Disamping permasalahan eksternal pelaksanaan Undang-Undang Bantuan

Hukum, ada kendala internal yang mesti dipersiapkan oleh negara. Karena sistem bantuan hukum di Indonesia baru terbentuk, maka perangkat infrastruktur dan suprastruktur mesti dibentuk dan dibenahi secara menyeluruh. Ini dimulai dari sistem pelaksanaan di Organisasi Bantuan Hukum dan pemerintah. Penyelenggaraan oleh pemerintah dimulai dari sistem penyelenggaraan yang meliputi penyediaan instrument penyelenggaraan yang berbentuk standart operating procedur hingga standart pelayanan minimal, pendokumentasian administrasi dan penyelenggaraan, peralatan yang terkomputerisasi hingga pengembangan kapasitas managerial kelembagaan mesti dilakukan.

Refleksi lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum sebagai tanggung jawab negara menjadi pertanyaan mendasar apakah keberadaan Undang-Undang Bantuan

Hukum akan menciptakan keadilan sejati atau malah meliberalisasikan gerakan bantuan hukum yang selama ini telah dilakukan oleh lembaga bantuan hukum yang dilakukan berdasarkan inisiasi masyarakat. Pertanyaan ini sangat penting dikemukakan jika dikaitkan dengan sejarah lahirnya bantuan hukum di Indonesia.

Kondisi ketidakadilan secara struktural yang berbeda dengan negara lain, terutama di

Asia Tenggara dan pelaksanaan bantuan hukum yang di inisiasi oleh rakyat

Indonesia. Sejatinya keberadaan Undang-Undang Bantuan Hukum akan mendorong

Universitas Sumatera Utara 60

kearah keadilan yang sejati. Keadilan yang tidak hanya memberikan akses rakyat untuk mendapatkan keadilan melalui pengadilan, tetapi juga memberikan penguasaan yang sama terhadap alat produksi kepada rakyat.

Undang-Undang Bantuan Hukum merupakan suatu capaian advokasi luar biasa yang harus diapresiasi para pemangku kepentingan. Apresiasi ini tidak hanya kepada masyarakat sipil tetapi juga bagi perumus undang-undang. Meski ini pencapaian yang sangat luar biasa, perjuangan masayarakat sipil tidak berhenti begitu undang-undang dan peraturan pelaksananya disahkan. Kita meski merefleksikan kembali tujuan awal yang ini dicapai.

Tujuan awal untuk meminta tanggung jawab negara dalam pembiayaan bantuan hukum sudah terbayar meski jumlahnya masih sedikit. Tapi pengertian bantuan hukum sebagai jasa pelayanan advokat, penerima bantuan hukum masih memakai pendekatan ekonomi dan kelembagaan penyelenggara oleh pemerintah berpotensi meliberalisasi gerakan bantuan hukum yang sudah sejak awal tahun 1970-an.

Liberalisasi ini berpotensi terjadi saat organisasi bantuan hukum melakukan bantuan hukum nonlitigasi dalam bentuk penyuluhan yang bukan diartikan sebagai pendidikan kritis dan aktivisme pendampingan hukum pada kasus-kasus yang tidak berdimensi structural. Sejatinya, bantuan hukum secara litigasi harus dilakukan secara beriringan dan dalam kondisi yang anomali harus dipahami bukan sebagai media tepat guna mencapai keadilan. Litigasi menjadi bagian dari pendidikan kritis.

Universitas Sumatera Utara 61

Pengadilan hanya sebagai media pembelajaran dan kampanye tentang ketidakadilan.

Pembelajaran ini bertujuan untuk memerdekakan pencari keadilan. Pendidikan kritis merupakan sokoguru dalam proses pemberian bantuan hukum yang berdimensi pemerdekaan kesadaran rakyat yang menciptakan keadilan structural, kunci sukses perubahan sosial selama ini terjadi adalah dengan melakukan pendidikan kritis kepada rakyat, bukan pendidikan formal dalam bentuk penyuluhan. Pendidikan kritis bertujuan untuk membongkar pemahaman orang yang bermasalah dengan hukum yang dilakukan secara dialogis bukan monologis. Ini sangat berbeda sekali dengan penyuluhan yang hanya sekedar memindahkan informasi kepada pendengar. Artinya, perosalan-persoalan mereka harus digali, dipecahkan, dianalisis dan diajukan alternatif-alternatifnya secara bersama-sama.

Apabila pendampingan litigasi dan nonlitigasi hanya sebagai business as usual, maka Undang-Undang Bantuan Hukum hanya memastikan akses kepada keadilan secara tradisional yang lebih berorientasi menghadapkan antara pencari keadilan dengan penguasa dan pemilik modal dan meliberalisasi gerakan bantuan hukum yang selama ini dilakukan.

Universitas Sumatera Utara 62

Bantuan hukum harus dimaknai secara meluas, dengan tidak hanya terbatas pada pemberian pelayanan dan pendampingan bagi masyarakat miskin dalam sistem hukum baik didalam maupun diluar pengadilan. Namun juga diharapkan kepada :63

1.Adanya pengetahuan dan pemahaman masyarakat miskin tentang kepentingan-

kepentingan bersama mereka;

2.Adanya pengertian bersama dikalangan masyarakat miskin tentang perlunya

kepentingan-kepentingan bersama mereka di lindungi oleh hukum;

3.Adanya pengetahuan dan Pemahaman masyarakat miskin tentang hak-hak

mereka telah diakui oleh hukum;

4. Adanya kecakapan dan kemandirian d ikalangan masyarakat miskin untuk

mewujudkan hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka didalam

masyarakat.64

D. Bantuan Hukum di dalam Perundang-undangan Indonesia.

1. Bantuan Hukum di Dalam KUHAP Bagi Tersangka dan/atau Terdakwa.

Guna kepentingan pembelaan diri tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum oleh seseorang atau beberapa orang penasehat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan dan dalam setiap waktu yang diperlukan. Ketentuan pasal 54

63 YLBHI, op, cit., halaman 484-490. 64 Zaidun Muchammad, Gerakan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia Studi Tentang Tipologi Gerakan Bantuan Hukum Struktural, YLBHI, Jakarta, 1996, halaman 12.

Universitas Sumatera Utara 63

Kuhap memberikan hak kepada tersangka atau terdakwa mendapat bantuan hukum sejak taraf pemeriksaan penyidikan dimulai.

Memperhatikan pasal 54 kuhap, pada dasarnya baru pada taraf pemeriksaan penyidikan baru memberikan hak untuk mendapat bantuan hukum. Oleh karena itu jika dikaji lebih dalam, ketentuan ini masih mengandung kelemahan. Apalagi jika ketentuan pasal 54 Kuhap dikaitkan dengan pasal 115 Kuhap, kelemahan itu dapat dilihat dari dua segi. Dari segi kualitas, bantuan penasehat hukum baru merupakan hak, akan tetapi belum ketingkat wajib. Ini berarti oleh karena mendapatkan bantuan hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan merupakan hak, mendapatkan bantuan hukum masih tergantung kepada kemauan tersangka dan atau terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum.

Tersangka atau terdakwa dapat mempergunakan hak tersebut, tetapi bisa juga tidak mempergunakannya. Konsekuensinya, tanpa didampingi penasehat hukum, tidak menghalangi jalannya pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa. Lain halnya jika kualitas mendapat bantuan hukum itu bersifat wajib. Sifat wajib mendapatkan bantuan hukum akan menempatkan setiap pemeriksaan tidak bisa dilaksanakan apabila tersangka atau terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum.

Wajib mendapatkan bantuan hukum pada setiap pemeriksaan merupakan tingkat bantuan hukum yang paling sempurna, sehingga persidangan dan putusan pengadilan yang diambil tanpa mendapat bantuan penasehat hukum dianggap batal. Pembuat undang-undang belum berani membuat ketentuan pemberian dan mendapatkan

Universitas Sumatera Utara 64

bantuan hukum bersifat wajib. Keberanian mereka baru sampai taraf bersifat pemberian hak. Yang paling tragis hak mendapatkan dan didampingi penasehat hukum ditingkat penyidikan, dianulir oleh ketentuan pasal 115 Kuhap. Karena keikutsertaan pendampingan seorang penasehat hukum dalam pemeriksaan penyidikan hanya bersifat pasif. Berarti keikutsertaan penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan dibatasi oleh kata dapat.

Didalam pasal 115 Kuhap menjelaskan tidak ada suatu kemestian bagi penyidik untuk memperbolehkan atau tidak hadirnya penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan. Tidak ada alasan dan daya tersangka atau penasihat hukum supaya pejabat penyidik mesti memperbolehkan penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan. Itu sebabnya jika ketentuan pasal 54 dikaitkan dengan pasal

115 Kuhap, ketentuan pasal 54 Kuhap menjadi hambar dan kabur kembali.

Kualitas pasal 54 Kuhap baru bersifat hak mendapatkan dan didampingi penasihat hukum, dan belum bersifat wajib mendapatkan bantuan hukum. Dengan demikian hak itu hanya dapat disejajarkan dengan sifat yang fakultatif. Disamping itu hak untuk mendapatkan bantuan hukum didalam pemeriksaan penyidikan adalah pasif. Berarti seandainya pun penasihat hukum di perkenankan oleh pejabat penyidik untuk mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan, maka kedudukan dan kehadirannnya mengikuti tak lebih sebagai penonton. Kedudukan dan kehadirannya hanya terbatas melihat atau menyaksikan dan mendengarkan jalannya pemeriksaan.

Bahkan kedudukan yang bersifat pasif dan fakultatif tersebut dalam pemeriksaan penyidikan yang bersangkut paut dengan kejahatan terhadap kemanan negara,

Universitas Sumatera Utara 65

dikurangi lagi, penasihat hukum dapat dan boleh mengikuti jalannya pemeriksaan, tapi tiada lebih hanya boleh melihat saja jalannya pemeriksaan penyidikan. Mereka tidak boleh mendengarkan isi dan jalannya pemeriksaan.

Didalam pasal 55 Kuhap bisa menimbulkan cacat dalam praktek penegakkan hukum, karena kebebasan dan hak memilih penasihat hukum pasti akan menimbulkan praktek diskriminatif. Tegasnya pasal 55 Kuhap hanya komoditi bagi orang kaya yang punya duit. Dengan kekayaan yang dimilikinya tersangka yang kaya raya dapat membiayai penasihat hukum yang diingininya. Tetapi hal ini tidak bisa dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang miskin. Sedang untuk membiayai penasihat yang paling murah pun ia tidak mampu, apalagi memilih penasihat hukum yang mahal.

Sekiranya kepada tersangka atau terdakwa yang miskin telah ditunjuk penasihat hukum yang akan memberikan bantuan hukum kepadanya oleh pejabat yang bersangkutan, apakah dia dapat menolaknya serta meminta kepada pejabat tersebut untuk menunjuk penasihat hukum lain yang diinginkannya diluar penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat tadi. Sulit bagi pejabat yang bersangkutan untuk mengabulkan permintaan yang seperti itu. Kalau begitu kebebasan dan hak untuk memilih penasihat hukum yang dikehendaki oleh tersangka atau terdakwa yang ditentukan pasal 55 Kuhap, lebih mirip member keuntungan kepada orang kaya.

Tetapi bagi orang yang tak punya, ketentuan itu hanya slogan yang terlampau jauh untuk dijangkaunya. Pasal 55 Kuhap hanya dekat bagi orang yang kaya, tetapi sangat jauh jaraknya bagi orang miskin dan yang tidak mampu.

Universitas Sumatera Utara 66

Dalam tindak pidana tertentu, hak mendapat bantuan hukum berubah sifatnya menjadi wajib. Sifat wajib mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan diatur dalam ketentuan pasal 56 Kuhap. Pertama, jika sangkaan atau dakwaan yang disangkakan atau didakwakan diancam dengan tindak pidana hukuman lima belas tahun atau lebih, dan hukuman mati. Dalam dua kategori ancaman hukuman ini, tidak dipersoalkan apakah mereka mampu atau tidak.

Jika mereka mampu boleh memilih dan membiayai sendiri penasihat hukum yang dikehendakinya. Jika tidak mampu menyediakan dan membaiayai sendiri pada saat itu timbul kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa.

Bahwa jika tersangka atau terdakwa sendiri yang menyediakan penasihat hukumnya, hapus kewajiban pejabat yang bersangkutan menunjuk penasihat hukum.

Apabila tersangka atau terdakwa tidak mampu atau tidak ada menunjuk penasihat hukum, dengan sendirinya terpikul kewajiban bagi pejabat untuk menyediakan penasihat hukum.

Kedua, kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan menunjuk penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu menyediakan sendiri penasihat hukumnya dan ancaman hukuman pidana yang bersangkutan atau didakwakan lima tahun atau lebih. Pada kewajiban yang pertama tidak digantungkan pada ketidakmampuan tersangka atau terdakwa mendapatkan penasehat hukum. Semata- mata kewajiban menunjuk penasehat hukum digantungkan kepada beratnya ancaman hukuman. Pokoknya jika tindak pidana yang diancamkan kepadanya hukuman mati

Universitas Sumatera Utara 67

atau hukuman penjara lima belas tahun atau lebih, tersangka atau terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum, baik atas usahanya sendiri ataupun penunjukan pejabat yang bersangkutan.

Pada sifat kewajiban yang kedua, kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa, digantungkan pada dua syarat. Syarat pertama digantungkan kepada ketidakmampuan tersangka atau terdakwa menyediakan penasehat hukum. Kalau tersangka atau terdakwa dianggap mampu, tidak ada kewajiban bagi pejabat untuk menunjuk penasehat hukum. Syarat kedua digantungkan kepada beratnya ancaman hukuman yang disangkakan atau didakwakan kepadanya lima tahun atau lebih, dan dia tidak mampu menyediakan penasehat hukum, pejabat bersangkutan wajib menunjuk penasehat hukum baginya.

Timbul masalah jika seorang tersangka dianggap mampu tapi tidak mau atau tidak mau disediakan penasehat hukum. Apakah dalam hal ini dibebani bagi pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasehat hukum baginya, jawabannya tidak.

Beban kewajiban penunjukan penasehat hukum itu oleh pasal 56 Kuhap.

Digantungkan pada syarat ketidakmampuan. Kalau tersangka atau terdakwa memang mampu, tetapi tidak mau mendapatkan dan menyiapkan bantuan penasehat hukum, oleh undang-undang dianggap resiko dia sendiri. Ketentuan ini ada unsure ketidakadilan. Ketentuan ini lebih mendekatkan bantuan penasehat hukum bagi mereka yang miskin. Sedangkan bagi mereka yang kaya dan mampu disuruh sendiri menyediakan penasehat hukum baginya. Cuma yang menjadi masalah adalah batas

Universitas Sumatera Utara 68

kemampuan dan ketidakmampuan ini kadang-kadang sifatnya nisbi. Namun barangkali, ukurannya dapat ditentukan berdasarkan surat keterangan dari lurah.

Ketiga, penasehat hukum yang ditunjuk pejabat member bantuan hukum adalah

Cuma-Cuma. Dengan ketentuan ini baik tersangka atau terdakwa maupun negara tidak dibebani untuk membayar jasa yang diberikan penasehat hukum yang ditunjuk.

Sampai dimana idealism cara pemberian bantuan hukum yang Cuma-Cuma, belum dapat digambarkan. Barangkali secara jujur, tidak berlebihan untuk mengungkapkan pengalaman dan kenyataan yang kita lihat. Apa yang terkandung dalam pemberian jasa bantuan hukum yang Cuma-Cuma, sering mengecewakan.

Pengadilan sering memintakan bantuan hukum kepada suatu lembaga bantuan hukum baik yang bergerak sebagai profesi maupun dari kalangan perguruan tinggi.

Yang mereka tampilkan pada umumnya hanya tenaga yang baru mulai praktek.

Seolah-olah penilaian bantuan hukum yang Cuma-Cuma ini bagi sebagian kalangan bantuan hukum, tiada lain tempat belajar dan kurang sungguh-sungguh. Lebih mirip hanya untuk memenuhi permintaan pejabat saja tanpa dibarengi motivasi kesadaran idealisme. Mungkin dalam pemberian pelayanan hukum oleh sebagian kalangan, terlampau diperhitungkan dengan imbalan jasa. Apa yang kita saksiakan pada umumnya pelayanan bantuan hukum yang diberikan kepada yang miskin jarang terjadi karena tidak komersial, dalam arti klien yang tidak punya duit. Tetapi coba kalau klien itu hartawan, semua persiapan diatur rapi oleh pemberi bantuan hukum.65

65 ibid halaman, 333-336.

Universitas Sumatera Utara 69

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 42 Tahun 2013 Syarat Dan Tata

Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah no 42 tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata

Cara Pemberian Bantuan Hukum, permberian bantuan hukum meliputi masalah hukum keperdataan, masalah hukum pidana, dan masalah hukum tata usaha negara, baik secara litigasi maupun non litigasi.66

Pemberian bantuan hukum di laksanakan oleh pemberi bantuan hukum, yang harus memenuhi syarat:67

a. Berbadan Hukum;

b. Terakreditasi;

c. Memiliki kantor dan kesekertariat yang tetap;

d. Memiliki pengurus; dan

e. Memiliki program bantuan hukum.

66 Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 Tentang Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum, Untuk Memperoleh Bantuan Hukum 67 Pasal 4 Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 Tentang Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum, Untuk Memperoleh Bantuan Hukum

Universitas Sumatera Utara 70

Pada pasal 3 Peraturan Pemerintah no 42 tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata

Cara Pemberian Bantuan Hukum, untuk memperoleh Bantuan Hukum, Pemohon bantuan hukum harus memenuhi syarat:

a. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling sedikit

identitas pemohon bantuan hukum dan uraian singkat mengenai pokok

persoalan yang dimohonkan bantuan hukum;

b. Menyerahkan dokumen berkenaan dengan pokok perkara;

c. Menyerahkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat

yang setingkat di tempat tinggal pemohon bantuan hukum.

Identitas Pemohon Bantuan Hukum sebagaimana di maksud dalam pasal

6ayat (2) huruf a di buktikan dengan kartu tanda penduduk dan/atau dokumen lain yang di keluarkan oleh instansi yang berwenang, dalam hal pemohon bantuan hukum tidak memiliki identitas, pemberi bantuan hukum membantu pemohon bantuan hukum dalam memperoleh surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain dari instansi yang berwenang sesuai domisili pemberi bantuan hukum.68

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman. kekuasaan kehakiman terdapat dalam Pasal 56 dan 57 Undang-undang kekuasaan kehakiman terdapat dalam. Pasal 56 ayat (1) menjelaskan bahwa hak dari

68 Pasal 6 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 Tentang Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum, Untuk Memperoleh Bantuan Hukum

Universitas Sumatera Utara 71

seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara untuk mendapatkan bantuan hukum dari Pemberi Bantuan Hukum, sesuai dengan sifat dan hakekat dari suatu negara hukum yang menempatkan supremasi hukum diatas segalanya yang berfungsi sebagai pelindung dan pengayom terhadap semua warga masyarakat disamping adanya jaminan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 56 ayat (2) menjelaskan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Pasal 57 ayat (1) menjelaskan bahwa pada setiap pengadilan negeri dibentuk

Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum sebagai landasannya UUBH jo. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang

Pengesahan International Contenant On Civil And Political Rights (Konvenan

Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik).69

4. Undang- Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2003 tentang Advokat

Pasal 2 Undang-Undang No 18 Tahun 2002 Tentang Advokat menjelaskan Jasa

Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu di jelaskan pada pasal 9 Undang-undang No 18

Tahun 2003.70

69 Iwan Wahyu Pujiarto. Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang- Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. USU Law Journal, Vol.3.No.2 (Agustus 2015) Hlm. 89. 70 Undang-undang No 18 tahun 2003 Tentang Advokat

Universitas Sumatera Utara 72

5. Undang-Undang Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan

Tata Usaha Negara.

Bantuan hukum dalam peradilan tata usaha negara termuat dalam UU No. 51

Tahun 2009 pada Pasal 57 yang menjelaskan hak untuk didampingi dan diwakili oleh kuasa. Kemudian mangacu pada UU No. 5 Tahun 1986 Pasal 60 menjelaskan bersengketa dengan cuma-cuma dengan syarat bukti tidak mampu. Selanjutnya Pasal

61 menjelaskan kewajiban pengadilan dalam menetapkan permohonan berperkara secara cuma-cuma.71

F. Pemikiran Spekulatif-Teoritik Tentang Bantuan Hukum dan Pembangunan

Pembangunan yang menempati kedudukan sentral seperti sekarang ini mempunyai tuntutan tersendiri bagi sistem hukum. Ia mengehendaki agar hukum dapat dijadikan sebagai sandaran kerangka untuk mendukung usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk membangun masyarakat, baik secara fisik maupun non fisik.

Para akademisi yang melakukan aktivitasnya dibidang hukum dan pembangunan tampaknya hingga saat ini masih belum membakukan pemikiran dalam upayanya untuk mencoba merumuskan dan mengkriteriakan teori-teori cermat dan kritis yang sekiranya dapat mendalilkan sampai seberapa jauh dan seberapa kapasitas dan keterbatasan sistem control lainnya yang ada dan tersedia dalam masyarakat, manakah yang lebih efektif, atau dalam konteks hukum dapat dipertanyakan sejauh

71 Iwan Wahyu Pujiarto, Op, cit. Hlm. 90

Universitas Sumatera Utara 73

mana kemampuan hukum untuk mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan sosial yang terjadi begitu cepat.

Permasalahan yang demikian penting artinya untuk dapat menjejak dan memahami lebih lanjut tentang hukum, namun demikian dalam mengarungi pemikiran seperti itu tidak mustahil akan sampai juga pada satu hal yang merupakan simpul-simpul mikrososiologik dan yang kemudian muncul sebagai sifat hakikat dari pada hukum sebagai suatu upaya manusia untuk menciptakan dan melanggengkan ketertiban dalam hidupnya, sehinggacita dan rasa kehidupan bersama dapat berjalan dengan baik dan lancer. Upaya itu antara lain akan meliputi tindakan-tindakan yang perlu dipikirkan untuk diambil, serta teknik atau cara yang dipilih untuk mengatur perilaku manusia. Hal yang demikian itu pada gilirannya akan menghantarkan untuk mengamati dan mencermati bagaimana relevansi sosial sistem hukum itu, yang apabila kita telusuri terdiri dari beberapa konsentrasi pandang, antara lain yaitu:72

1. Mencoba untuk memahami bagaimana hukum itu berakar pada susunan sosial

masyarakatnya, kulturnya, susunan ekonominya dan sebagainya;

2. Melihat bagaimana hukum itu terjadi dan atau membentuk bagaimana

berubahnya, yang kesemuanya didalam rangka melakukan fungsinya untuk

melayani masyarakat;

3. Melihat bagaimana hukum atau lembaga-lembaga hukum itu dijabarkan

kedalam tindakan atau perilaku manusia, dengan demikian akan tampak

bahwa hukum itu sesungguhnya bukan hanya sistem peraturan-peraturan

72 Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1990, hlm 3.

Universitas Sumatera Utara 74

semata, melainkan juga sistem perbuatan atau perilaku manusia-manusia

dalam arti baik para pejabat pelaksana hukum maupun para warga masyarakat

sendiri. Lebih dari itu, perhatian juga akan diarahkan kepada lembaga-

lembaga hukum sebagai suatu organisasi sosial yang biasa, dan tidak ada

bedanya dengan organisasi-organisasi sosial lainnya;

4. Mengamati pengaruh atau bekerjanya faktor-faktor dan atau kekuatan-

kekuatan diluar hukum terhadap hukum;

5. Peraturan-peraturan hukum itu tidak hanya ditinjau dari sudut kesahannya

menurut hukum , melainkan dari kemampuannya untuk menimbulkan efek-

efek yang dikehendaki.

Apabila dikaji, kepustakaan tentang studi-studi hukum dan pembangunan menampakkan suatu kecenderungan untuk memberikan tempat atau ruang kepada pandangan yang berkembang yang menyatakan bahwa sistem hukum itu dapat memainkan peran sebagai pendukung dan penunjang setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, dan juga kepada pandangan yang menyatakan bahwa tipe sistem hukum tertentu akan menjadi sangat diperlukan oleh suatu masyarakat tanpa dapat dielakan dan telah tumbuh menjadi suatu kompleksitas setelah mencapai sasaran tertentu yang ditargetkan dalam pembangunan.

Dari pandangan dias diatas, kita mengetahui bahwa ia ingin menarik suatu garis hubungan yang erat antara sistem hukum dan pembangunan. Disini tak pelak lagi sistem hukum dipandang sebagai suatu yang esensial bagi penciptaan, pembinaan dan control sosial pembangunan.

Universitas Sumatera Utara 75

Pensifatan yang esensial ini disebabkan karena dari sistem hukum dengan komponen atau perwujudannya berupa hukum dengan perangkat-perangkatnya akan mampu memberikan prediktabilitas yang tinggi kepada para pelaku pembangunan atau dengan perkataan lain mampu memberikan adanya kepastian hukum dalam setiap gerak pembangunan. Dari sini maka kita akan lihat bahwa keberanian dan keberdayaan hukum diperlukan bagi adanya dan berlangsungnya pembangunan dan dalam konteks yang demikian itu, hukum merupakan salah satu alat untuk menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan itu sendiri kedalam norma-norma untuk kemudian diterapkan.

Konsekuensinya, semakin hukum dapat dipakai dengan efektif untuk mengarahkan perilaku manusia, maka semakin berhasil pula pembangunan itu dijalanlkan. Dengan demikian, akan semakin jelas pula bahwa hukum merupakan instrument yang digunakan untuk merekayasa masyarakat dan untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia didalam masyarakt itu agar sejalan dengan kebijaksanaan.

Sistem hukum yang tengah berjalan itu dapat dianggap sebagai sesuatu yang bermuatan tiga komponen yaitu:73

1. Komponen struktural, yaitu bagian-bagian yang bergerak didalam suatu

mekanisme. Pengadilan misalnya, merupakan salah satu contoh yang sederhana

dan jelas. Struktur pengadilan dapat digambarkan berupa majelis hakim yang

melakukan siding ditempat tertentu, pada waktu tertentu, dengan jumlah anggota

tertentu dan dengan batasan-batasan yurisdiksi serta ketentuan prosedural yang

73 Lawrence Friedmen, On Legal Developmen, Rutgers Law Riview, Number 1, hlm. 27-30.

Universitas Sumatera Utara 76

telah ditentukan pula. Contoh lain misalnya konstitusi yang merupakan pula-pula ciri-ciri penting dari sebuah gambaran struktural pada hukum, karena konstitusi itu pola dari cirri-ciri dasar proses hukum, organisasi dan kerangka pemerintahan.

2. Komponen berupa substansi, yaitu hasil actual yang diterbitkan oleh sistem hukum. Sebagai contoh misalnya apa-apa yang secara nyata diucapkan dan diperbuat atau diputuskan oleh hakim. Kedalam pengertian substansi tentu saja termasuk ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukum yang meliputi juga kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis. Demikian pula, setiap keputusan merupakan produk substantib dari sistem hukum, setiap keputusan yang mengandung doktrin yang dibuat oleh pengadilan atau setiap ketentuan yang diterapkan oleh badan-badan pemerintahan. Kedua komponen ini yaitu struktur dan substansi sesungguhnya adalah apa yang oleh orang umumnya disebut sebagai sistem hukum, namun demikian ia masih memerlukan satu komponen lagi yaitu komponen sikap publik dan nilai-nilai.

3. Komponen sikap publik dan nilai-nilai, komponen ini akan menentukan apakah misalnya, pengadilan itu didayagunakan atau tidak, dan kalau iya kapankah. Dalam beberapa budaya misalnya, niat untuk berperkara dimuka pengadilan seyogyanya sebagai uapaya terakhir. Sedang didalam lingkungan kebudayaan yang lain hal yang demikian itu justru merupakan upaya dan kerja yang biasa dikerjakan dari hari ke hari.

Universitas Sumatera Utara 77

Dalam konstruksi pikir yang seperti ini, parsons, sebagai ilmuan yang menyoroti tertib hukum dalam kerangka teori-teori sistem sosial yang fungsional, bahwa fungsi utama suatu sistem hukum itu bersifat integratif, artinya untuk mengurangi unsur- unsur konflik yang potensial yang ada dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan demikian parsons hendak menguraikan bagaimana hukum berfungsi untuk mengatur, memelihara dan menjaga hubuingan sosial didalam sistem tersebut. Dalam pandangannya, hanya dengan taat menjalani suatu sistem aturan sajalah sistem-sistem interaksi sosial itu akan dapat berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik-konflik yang terbuka ataupun yang terselubung dalam keadaan kronis.

Agar suatu sistem atauran dan pranata khusus itu dapat menyelenggarakan integrasi yang demikian itu dengan cukup efektif. Maka menurut parsons terdapat empat masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu:

1. masalah legitimasi, yang akan menjadi landasan bagi pentaatan terhadap

peraturan-peraturan;

2. masalah interpretasi, yang akan menyangkut masalah penetapan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban subyek melalui proses penetapan peraturan-peraturan

tertentu;

3. masalah sanksi, yang menegaskan maksud-maksud apakah yang timbul

apabila ada pentaatan-pentaatan, dan sanksi apa pula yang akan terjadi apabila

ada pengingkaran-pengingkaran terhadap aturan-aturan, serta sekaligus

menegaskan siapakah yang akan menerapkan sanksi-sanksi itu; dan

Universitas Sumatera Utara 78

4. masalah yurisdiksi, yang menetapkan garis-garis kewenangan yang kuasa

menegakkan norma-norma hukum dan menyebutkan macam-macam

perbuatan, orang-orang, peranan-peranan dan golongan-golongan apa yang

hendak diatur oleh perangkat-perangkat norma hukum itu.74

74 Bambang Sunggono, op, cit., halaman 47-51.

Universitas Sumatera Utara 79

BAB III

PROSES PEMBERIAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA- CUMA OLEH LEMBAGA BANTUAN HUKUM KEPADA TERSANGKA DAN/ATAU TERDAKWA MISKIN

A. Konsep Bantuan Hukum Struktural

Dimensi rezim orde baru menurut menurut robinson banyak diabaikan oleh para pendahulunya, sebab dimensi tersebut bukan suatu komponen inheren dalam kontruksi teori kultural. Kritik atas analisa kultural inilah yang kemudian melahirkan bantuan hukum struktural (BHS).75

Bantuan hukum struktural melekat dengan pisau analisa kaum struktural terhadap kekuasaan yang banyak bertumpu pada relasi kekuasaan ekonomi pilitik. Kendati cikal bakal bantuan hukum struktural sudah muncul sejak lima tahun pertama lembaga bantuan hukum berdiri.76

Sepuluh tahun kemudian bantuan hukum structural menjadi pendekatan resmi yang dipakai lembaga bantuan hukum untuk melakukan karya-karya bantuan hukum.

Menurut Adnan Buyung Nasution “ bantuan hukum hakikatnya adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural tetapi juga aksi struktural yang diarahkan kepada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan napas yang nyaman bagi golongan mayoritas. Oleh karena itu bantuan hukum bukanlah masalah sederhana. Ia

75 Todung Mulya Lubis, op, cit., halaman 14. 76 Todung Mulya Lubis, Lagal Aid in Indonesia (Five Years of Lembaga Bantuan hukum), LBH Jakarta, Jakarta, 1975, halaman 3.

Universitas Sumatera Utara 80

merupakan rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu politik, ekonomi, dan sosial yang sarat dengan penindasan.77

Dalam prakteknya para pekerja lembaga bantuan hukum membumikan konsep tersebut dengan mengorganisir dan membangun basis-basis perjuangan warga baik dipedesaan maupun diperkotaan, misalnya dengan mengorganisir kaum buruh dan kaum miskin diperkotaan yang industrial, serta petani dan nelayan dipedesaan.

Bantuan hukum struktural sebagai sebuah cara pandang dapat berfungsi sebagai sebuah Working Ideology, namun konsep tersebut dapat juga dengan mudah terperosok dalam slogan kosong semata jika tidak mampu merumuskan program strategis. Boleh jadi para pekerja bantuan hukum struktural menangani kasus struktural. Namun mereka tidak sedang melakukan dan membangun gerakan bantuan hukum structural. Ini terjadi karena mereka melupakan komponen gerakan dalam bantuan hukum struktural. Komponen gerakan ini sangatlah ideologis dan juga praktis, karena partisipasi dan pendayagunaan sumber daya hukun dimasyarakat merupakan persyaratan mutlak dari penanganan kasus non litigasi maupun litigasi serta advokasi kebijakan.

Hal ini menuntut karya –karya bantuan hukum untuk lebih menggalakkan terjadinya mobilitas sosial dan mobilitas geografis dan secara berkala harus diadakan evaluasi kritis tentang apa yang sudah dicapai dan apa yang harus dicapai. Dalam

77 Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1981, halaman 5.

Universitas Sumatera Utara 81

konteks ini bantuan hukum struktural harus lebih banyak turun kebawah, karena pekerjaan penciptaan pusat-pusat kekuatan ini harus dimulai dibawah.78

Bantuan hukum berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2011 tentang Bantuan Hukum Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa bantuan hukum merupakan jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma- cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Sedangkan Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan

Hukum berdasarkan Undang-undang ini. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum menjadi payung hukum bagi lembaga bantuan hukum dalam pemberian bantuan hukum yang menunjang access to justice yang adil dan merata bagi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang- undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Pemberian bantuan hukum tidak sematamata diberikan kepada masyarakat miskin ketika mereka menghadapi perkara di muka persidangan. Bantuan hukum yang diberikan terhadap mencakup masalah hukum keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Jenis bantuan hukum yang diberikan pun ada 2 (dua) jenis, yaitu bantuan hukum di dalam persidangan atau yang lebih dikenal dengan litigasi dan bantuan hukum di luar persidangan atau yang lebih dikenal dengan istilah non litigasi

78 Todung Mulya Lubis, op, cit., halaman 161.

Universitas Sumatera Utara 82

Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun

2011 tentang Bantuan Hukum, ruang lingkup bantuan hukum yang diberikan kepada

Penerima Bantuan Hukum meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum

Penerima Bantuan Hukum.

B. Hak dan Kedudukan Tersangka dan/atau Terdakwa

Sebenarnya secara sepintas disana-sini, sudah sering dibacakan mengenai kedudukan tersangka dan terdakwa dalam Kuhap. Tersangka dan terdakwa mengambil tempat yang dibicarakan secara khusus dalam satu bab yakni bab VI yang terdiri dari pasal 50 sampai dengan pasal 68 Kuhap.

Untuk mengingat arti dari pada tersangka dan terdakwa, perlu diperhatikan kembali pengertian yang dirumuskan pada pasal 1 butir 14 dan 15 KUHAP yang menjelaskan:

1. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut diduga sebagai pelaku tindak

pidana.

2. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili

disidang pengadilan.

Dari penjelasan diatas, baik tersangka dan terdakwa adalah orang yang diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti dan keadaan yang nyata atau fakta, oleh karena itu orang tersebut:

Universitas Sumatera Utara 83

1. Harus diselidik, disidik, dan diperiksa oleh penyidik.

2. Harus dituntut dan diperiksa dimuka pengadilan, dan penyitaan benda sesuai

dengan yang ditentukan oleh undang-undang.

3. Jika perlu terhadap tersangka dan terdakwa dapat dilakukan tindakan upaya

paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan benda

sesuai dengan yang ditentuakan oleh undang-undang.

Akan tetapi, apakah seorang tersangka atau terdakwa dianggap apriori sebagai orang jahat, dan dapat diperlakukan sebagai objek pemerasan, penganiayaan dan pembalasan dendam. Apakah dalam kedudukan sebagai tersangka atau terdakwa, seseorang harus dicopoti dan ditanggali hak asasi dan harkat martabat kemanusiannya, seperti yang kita lihat pada masa-masa yang lalu dalam sistem hukum yang melakukan pendekatan inkuisitur yang melihat tersangka atau terdakwa tiada lebih dari pada objek pemeriksaan yang dapat diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum. Hak asasi dan harkat martabat mereka dilemparkan dan jadilah tersangka atau terdakwa tiada lain dari pada seonggok kotoran yang jijik dan sampah masyarakat yang dapat diperlakukan sewenang-wenang.

Bagaimana dengan Kuhap, apakah sistem pendekatan terhadap tersangka atau terdakwa masih bersifat inkuisitur, tidak lagi demikian halnya. Kuhap telah meletakkan landasan prinsip legalitas dan pendekatan pemeriksaan dalam semua tingkat dengan sistem akuisatur, menempatkan tersangka dan terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai manusia yang mempunyai hak dan harkat martabat dan harga diri. Sebagai perisai untuk membela dan mempertahankan hak asasi dan harka

Universitas Sumatera Utara 84

martabat kemanusiaan tersangka atau terdakwa, Kuhap meletakkan landasan sebagaimana yang diatur dalam bab VI. Isi dan ketentuan-ketentuan bab VI inilah yang hendak dibicarakan secara secara keseluruhan dalam uraian ini. Namun, sebelum sampai kepada penguraian dimaksud, perlu diketahui isi bab VI adalah penjabaran atau aturan pelaksana dari ketentuan prinsip-prinsip yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Adapun landasan prinsip Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok

Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut:

1. Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

2. Larangan campur tangan oleh siapapun dalam urusan peradilan diluar

kekuasaan peradilan.

3. Persamaan derajat dan kedudukan dimuka hukum, dalam arti peradilan

dilakukan menurut hukum tanpa membedakan orang.

4. Seseorang yang dihadapkan dimuka pengadilan, harus berdasar kepada

undang-undang yang ditentukan.

5. Tiada seorang jugapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena

alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan

bahwa seseorang yang dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan

yang telah dituduhkan atas dirinya.

6. Setiap penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus berdasar

atas perintah tertulis atas kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara-cara

yang diataur dalam undang-undang.

Universitas Sumatera Utara 85

7. Setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut atau dihadapkan dimuka

siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan

pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan putusan itu telah memperoleh

kekuatan hukum yang tetap.

8. Tersangka atau terdakwa yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa

alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai

orangnya atau kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan, berhak menuntut

ganti kerugian dan rehabilitasi.

Hal-hal diatas beberapa landasan prinsip yang diberikan hukum untuk melindungi hak dan martabat seorang tersangka atau terdakwa. Kemudian landasan prinsip-prinsip itulah yang dijabarkan pada bab VI Kuhap, sebagai pelaksanaan apa yang diatur pasal-pasal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan sebagai peraturan pelaksana, apa yang diatur dalam bab VI Kuhap lebih luas. Membicarakan hak dan kedudukan tersangka atau terdakwa yang diatur dalam bab VI Kuhap, dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Hak tersangka dan terdakwa segera mendapat pemeriksaan, penjabaran prinsip

peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dipertegas dalam Pasal 50 Kuhap,

yang memberi hak yang sah menurut hukum dan undang-undang kepada

tersangka/terdakwa:

a. berhak segera untuk diperiksa oleh penyidik.

b. berhak segera untuk diajukan kesidang pengadilan.

c. berhak segera diadili dan mendapat putusan pengadilan.

Universitas Sumatera Utara 86

2. Hak untuk melakukan pembelaan, untuk kepentingan mempersiapkan hal pembelaan tersangka atau terdakwa undang-undang menentukan beberapa pasal yaitu pasal 51 sampai dengan pasal 57 Kuhap, yang dapat dirinci:

a. berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dimengerti

olehnya tentang apa yang disangkakan padanya.

b. hak pemberitahuan yang demikian dilakukan pada waktu pemeriksaan

mulai dilakukan terhadap tersangka.

c. terdakwa juga berhak untuk diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa

yang dapat dimengerti tentang apa yang didakwakan kepadanya.

d. berhak memberi keterangan dengan bebas dalam segala tingkat

pemeriksaan.

e. berhak mendapat juru bahasa.

f. berhak mendapat bantuan hukum.

g. berhak secara bebas memilih penasehat hukum.

3. Hak tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan, hak-hak tersangka atau terdakwa yang telah dibicarakan adalah hak yang berlaku pada umumnya terhadap tersangka atau terdakwa baik yang berada dalam penahanan atau diluar penahanan. Disamping hak-hak tersangka atau terdakwa yang umum tersebut, undang-undang masih memberikan lagi hak melindungi tersangka atau terdakwa yang berada dalam penahanan , yaitu:

a. berhak menghubungi penasehat hukum.

Universitas Sumatera Utara 87

b. berhak menguhubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk

kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara

maupun tidak.

c. tersangka atau terdakwa berhak untuk diberitahukan penahanannya kepada

keluarganya atau kepada orang yang serumah dengannya.

d. selama tersangka berada dalam penahanan berhak menghubungi pihak

keluarga dan mendapat kunjungan dari pihak keluarga.

e. berhak secara langsung atau dengan perantara penasehat hukumnya

melakukan hubungan menghubungi dan menerima sanak keluarganya, baik

hal itu untuk kepentingan perkaranya, atau untuk kepentingan keluarga

maupun untuk kepentingan pekerjaannya.

f. berhak atas surat-menyurat.

g. berhak atas kebebasan rahasia surat.

h. tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan

rohaniawan.

4. Hak terdakwa dimuka persidangan pengadilan, disamping hak yang diberikan kepada tersangka dan atau terdakwa selama dalam tingkat proses penyidikan dan penuntutan, KUHAP juga memberi hak kepada terdakwa selama proses pemeriksaan persidangan pengadilan, yaitu:

a. berhak diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

b. berhak mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli.

Universitas Sumatera Utara 88

5. Hak terdakwa untuk memanfaatkan upaya hukum, seperti yang diketahui

undang-undang memberikan kemungkinan bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman

untuk menolak atau tidak menerima putusan yang dijatuhkan pengadilan.

Ketidakpuasan atas putusan, memberikan kesempatan bagi terdakwa:

a. berhak melakukan upaya hukum biasa, berupa permintaan pemeriksaan

tingkat banding kepada Pengadilan Tinggi atau permintaan pemeriksaan

kasasi kepada Mahkamah Agung.

b. berhak melakukan upaya hukum luar biasa, berupa permintaan pemeriksaan

“Peninjauan Kembali” terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap.

6. Hak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi, KUHAP memberikan hak kepada

tersangka dan atau terdakwa untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi,

apabila:79

a. penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan dilakukan tanpa

alasan hukum yang sah, atau;

b. apabila putusan pengadilan menyatakan terdakwa bebas karena tindak

pidana tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya

bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.

79 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika, Jakarta, 2000, halaman 330-332.

Universitas Sumatera Utara 89

C. Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum

Di dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum mengatur untuk mendapatkan bantuan hukum, pemohon harus memenuhi syarat-syarat:

1. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang kurangnya

identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang

dimohonkan bantuan hukum;

2. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan

3. Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa atau pejabat

yang setingkat ditempat tinggal pemohon bantuan hukum.80

Dalam hal pemohon bantuan hukum tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan. Dalam hal permohonan bantuan hukum diterima, pemberi bantuan hukum memberikan bantuan hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari penerima bantuan hukum. Dalam hal permohonan bantuan hukum di tolak, pemberi bantuan hukum mencantumkan alasan penolakan. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara

Pemberian dan Penyaluran Bantuan Hukum.81

Di dalam ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang

Syarat dan Tata Cara Pemberian dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum menegaskan

80 Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. 81 YLBHI, op, cit., halaman 481.

Universitas Sumatera Utara 90

pemohon bantuan hukum mengajukan permohonan bantuan hukum secara tertulis kepada pemberi bantuan hukum. Permohonan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat:

1. Identitas pemohon bantuan hukum; dan

2. Uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimintakan bantuan hukum.82

Identitas pemohon bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) huruf a dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau dokumen lain yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dalam hal pemohon bantuan hukum tidak memiliki identitas, pemberi bantuan hukum membantu pemohon bantuan hukum dalam memperoleh surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain dari instansi yang berwenang sesuai domisili pemberi bantuan hukum.

Dalam hal pemohon bantuan hukum tidak memiliki surat keterangan miskin, pemohon bantuan hukum dapat melampirkan kartu jaminan kesehatan masyarakat, bantuan langsung tunai, kartu beras miskin atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan miskin. Dalam hal pemohon bantuan hukum tidak memiliki persyaratan, pemberi bantuan hukum membantu pemohon bantuan hukum dalam memperoleh persyaratan tersebut.

Instansi yang berwenang sesuai dengan domisili asli pemberi bantuan hukum wajib mengeluarkan surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain untuk keperluan penerimaan bantuan hukum. Lurah, kepala desa atau pejabat yang setingkat

82 Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

Universitas Sumatera Utara 91

sesuai domisili pemberi bantuan hukum wajib mengeluarkan surat keterangan miskin atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan miskin sebagaimana dimaksud untuk keperluan penerimaan bantuan hukum.

Pemohon bantuan hukum yang tidak mampu menyusun permohonan secara tertulis dapat mengajukan permohonan secara lisan. Dalam hal permohonan bantuan hukum diajukan secara lisan, lalu pemberi bantuan hukum menuangkannya secara tertulis. Permohonan ditandatangani atau dicap jempol oleh pemohon bantuan hukum.

Pemberi bantuan hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan sebgaimana dimaksud dalam pasal 6 dalam waktu paling lama 1 hari kerja setelah menerima berkas permohonan bantuan hukum. Dalam hal permohonan bantuan hukum telah memenuhi persyaratan, pemberi bantuan hukum wajib menyampaikan kesediaan atau penolakan secara tertulis atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama tiga hari kerja terhitung sejak permohonan dinyatakan lengkap. Dalam hal pemberi bantuan hukum menyatakan kesedianannya, pemberi bantuan hukum memberikan bantuan hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari penerima bantuan hukum. Dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak, pemberi bantuan hukum wajib memberikan alasan penolakan secara tertulis dalam waktu paling lama tiga hari kerja terhitung sejak permohonan dinyatakan lengkap.

Pemberian bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum diberikan hingga masalah hukumnya selesai atau perkaranya telah

Universitas Sumatera Utara 92

mempunyai kekuatan hukum tetap, selama penerimaan bantuan hukum tersebut tidak mencabut surat kuasa khusus.

Pemberian bantuan hukum secara litigasi dilakukan oleh advokat yang berstatus sebagai pengurus pemberi bantuan hukum atau advokat yang direkrut oleh pemberi bantuan hukum. Dalam hal jumlah advokat yang terhimpun dalam wadah pemberi bantuan hukum tidak memadai dengan banyaknya jumlah penerima bantuan hukum, pemberi bantuan hukum dapat merekrut paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum. Dalam melakukan pemberian bantuan hukum, paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melampirkan bukti tertulis pendampingan dari adavokat. Mahasiswa fakultas hukum tersebut harus telah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan paralegal.

Pemberian bantuan hukum oleh advokat tidak menghapuskan kewajiban advokat tersebut untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberian bantuan hukum secara litigasi dilakukan dengan cara:

1. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat

penyidikan dan penuntutan;

2. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di

persidangan; atau

3. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap penerima bantuan hukum

dipengadilan tata usaha negara.

Universitas Sumatera Utara 93

Pemberian bantuan hukum secara nonlitigasi dapat dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup pemberi bantuan hukum yang telah lulus verifikasi dan akreditasi. Pemberian bantuan hukum secara nonlitigasi meliputi kegiatan:

1. penyuluhan hukum;

2. konsultasi hukum;

3. investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;

4. penelitian hukum;

5. mediasi;

6. negosiasi;

7. pemberdayaan masyarakat;

8. pendampingan diluar pengadilan; dan/atau

9. drafting dokumen hukum.

Besaran pendanaan yang dialokasikan oleh pemerintah untuk pemberian bantuan hukum sebesar Empat Puluh Milyar Delapan Ratus Juta yang per kasusnya sebesar

Lima Juta Rupiah. Jelas apabila dihitung dengan besaran operasional pendampingan secara riil, besaran ini masih sangat kecil. Oleh sebab itu berdasarkan pada pasal 19

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, masing-masing daerah dimungkinkan untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum melalui peraturan daerah.

Pemberi bantuan hukum dapat dikenai sanksi apabila menerima atau meminta bayaran dari penerima bantuan hukum dan/pihak lain yang terkait dengan perkara

Universitas Sumatera Utara 94

yang ditangani oleh pemberi bantuan hukum. Sanksi terhadap pelanggaran ini berupa pidana paling lama satu tahun atau denda paling banyak Lima Puluh Juta Rupiah.83

D. Tinjauan Sosial - Politik Atas Bantuan Hukum Di Indonesia

Tinjauan dari sudut sosial - poltik dapat dilakukan atas bantuan hukum di

Indonesia melalui berbagai pendekatan, masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Dari sudut kelembagaan misalnya dapat dilihat pola-pola hubungan yang berkembang antara lembaga-lembaga bantuan hukum sebagai organisasi non pemerintahan disatu pihak dan lembaga-lembaga pemerintahan dilain pihak.

Pendekatan ini pun dapat dirinci lebih jauh lagi dengan melihat pola hubungan prosedural antar lembaga, pola pembagian wewenang pengurusan perkara dibidang litigasi, pola perumusan kebijakan dasar dibidang pembuatan undang-undang dan seterusnya. Sedangkan salah satu pola tersebut dapat dirinci lebih jauh lagi, seperti peran lembaga bantuan hukum untuk melakukan koreksi atas pelayanan yang salah dipihak lembaga pemerintah kepada pihak yang dirugikan oleh pelaksanaan procedural yang tidak jujur dan demikian seterusnya.

Salah satu ciri pokok dari bantuan hukum dinegeri kita adalah kaitannya yang sangat kuat dengan idealism, dalam arti ia menjadi bagian dari proses demokratisasi kehidupan bangsa. Dimasa lampau bantuan hukum sangat erat berkaitan dengan kiprah para pengacara kita dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika kemerdekaan telah tercapai dan jalannnya pemerintahan oleh bangsa sendiri mulai menunjukkan merosotnya disiplin hukum, bantuan hukum masih berpegang pada idealisme itu, dan

83 YLBHI, op, cit., halaman 481-483.

Universitas Sumatera Utara 95

mengambil bentuk upaya korektif terhadap perilaku individual para aparat penegak hukum yang melakukan kesalahan atau menyimpang dari wawasan keadilan hukum dalam menangani perkara. Dan ketika semakin nyata bagi para pejuang demokrasi bahwa penyelewengan hukum oleh aparat penegak sendiri adalah hasil belaka dari proses rekayasa politik dan ekonomi yang justru dilakukan oleh pemerintah sendiri, dengan sendirinya bantuan hukum lalu mengambil watak upaya koreksi struktural seperti yang kita lihat dengan adanya LBH saat ini.

Jika dilihat dari perspektif ini, tidak mengherankan jika bantuan hukum tidak hanya menjadi monopoli kaum pengacara belaka, melainkan melibatkan semua pihak yang merasa prihatin dengan kelestarian kebebasan individu dihadapan penekanan semakin besar kepada kepentingan masyrakat. Situasi klasik berupa pergulatan berkepanjangan antara kebebasan individu melawan kepentingan masyarakat, adalah gambaran utama dari kiprah bantuan hukum di Indonesia. Munculnya sekian jumlah lembaga-lembaga bantuan hukum yang tidak memiliki wawasan perjuangan seperti itu pada tahun-tahun terakhir ini, ternyata tidak mengurangi hakekat kiprah bantuan hukum di Indonesia.

Watak yang sedemikian sarat dengan idealisme seperti itu dengan sendirinya lalu memberikan corak holistic kepada kiprah bantuan hukum, yaitu pandangan hidupnya yang menekankan pada keutuhan wawasan dan kebulatan visinya tentang pengaturan masyarakat. Pada pandangan yang holistik seperti itu, wawasan keadilan yang demikian tentu berkembang menjadi sesuatu yang berwatak quasi ideologis bahkan tidak ideologis sama sekali. Unsur-unsur wawasan keadilan seperti itu, seperti

Universitas Sumatera Utara 96

kesamaan derajat antara warga negara di hadapan undang-undang, lalu menempati posisi sacral dan menjadi sesuatu yang ideologis, dalam arti menjadi kebenaran yang tidak dapat dikurangi sekalipun.

Dengan sendirinya tidak dapat dihindari pertentangan kepentingan dan titik tolak pandangan antara sikap ini disatu pihak dan sikap sementara yang diambil aparat pemerintah dipihak lain dalam masalah-masalah fundamental, seperti penegakkan hak-hak asasi manusia dan netralitas lembaga peradilan. Apa yang diperbuat oleh lembaga-lembaga bantuan hukum yang berwatak idealistis lalu tampak seperti gangguan tidak berkeputusan bagi aparat pemerintah yang melakukan perekayasaan masayarakat. Sebaliknya rekayasa yang dilakukan aparat pemerintah itu seluruhnya diterima sebagai ancaman bagi kebebasan individu warga masyarakat.

Ruang dialog menjadi semakin sempit dari waktu kewaktu, itupun hanya menjadi tempat melakukan tawar-menawar yang bersifat taktis, seperti penyelesaian masalah-masalah procedural. Lembaga-lembaga bantuan hukum yang berwatak idealistis lalu berada dalam kedudukan menjadi lawan aparat pemerintah dibidang penegakkan hukum dan penerbitan keamanan.

Masing-masing pihak akhirnya terdorong keposisi-posisi yang saling berlawanan. Diujung yang satu, lembaga-lembaga bantuan hukum yang bersifat idealistis terdorong kepada posisi selalu mempertanyakan keabsahan struktur masyarakat yang ada, dan mengembangkan wawasan struktural dalam kiprah mereka.

Bantuan hukum adalah salah satu alat penataan, betapa sumirnya sekalipun, bagi tercapainya struktur bebas dominasi dalam kehidupan masyarakat bangsa dan

Universitas Sumatera Utara 97

masyarakat dunia dikemudian hari. Kegagalan dan keberhasilan yang diperoleh adalah batu bata-batu bata bagi pembentukan masyarakat seperti itu dimasa depan.

Diujung lain dari spectrum pandangan ini, aparat pemerintah mengembangkan wawasan kebebasan institusional yang akan menjamin terbentuknya masyarakat yang kuat dan mampu memperbaiki kualitas dan mengangkat tingkat kehidupan masyarakat secara keseluruhan, kebersamaan mana akhirnya dirumuskan dalam slogan demokrasi pancasila yang lebih menekankan kewajiban kepada individu dan hak bagi masyarakat. Kebebasan individu dijamin hingga batas tidak menggagalkan upaya meraih capaian dan tidak mengganggu keseimbangan individu masyarakat diatas.

Dalam pola hubungan serba seperti itu, sulit disediakan sebuah daerah penyangga yang memungkinkan pengembangan sebuah daerah tak bertuan guna membahas dan melakukan uji coba atas sejumlah gagasan dibidang bantuan hukum dan penegakkan hukum. Padahal justru watak pragmatis dari lahan uji coba, dalam batasan mana segala sesuatu dikaji dan diterima atau ditolak berdasarkan hasil telaah teknis, memungkinkan untuk dilakukannya proses tawar-menawar yang kreatif antara kedua belah pihak dapat dilakukan. Dalam proses tawar menawar seperti itu dapat dikembangkan pendekatan sintetis yang memungkinkan dijaganya berbagai kepentingan dan kecenderungan sambil tetap memlihara kesatuan yang diperlukan untuk membuat sesuatu yang berguna bagi kedua belah pihak.

Melihat kenyataan diatas, menjadi jelas bagi kita bahwa tantangan utama bagi kelangsungan bantuan hukum yang berwatak idealistik dinegeri Indonesia adalah

Universitas Sumatera Utara 98

bagaimana menciptakan daerah penyangga yang diolah untuk mencari cara-cara pelestarian idealisme bantuan hukum itu sendiri, sambil tetap memungkinkan berbagai bentuk rekayasa masyarakat secara tuntas. Sudah tentu ada tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.

Pihak lembaga-lambaga bantuan hukum yang berwatak idealistis haruslah mampu mendudukan kiprah mereka dalam kerangka yang tidak mengarah kepada pembentukan sistem kemasyarakatan alternatif bagi sistem yang bersendikan pancasila. Sedangkan sebaliknya pihak pemerintah haruslah memberikan jaminan kongkret akan lestarinya hak-hak dan kebebasan individu dimasa depan, batap jauhnya sekalipun rekayasa yang dilakukan.

Untuk memungkinkan terciptanya daerah penyangga itu, lembaga-lembaga bantuan hukum hendaknya mampu memproyeksikan kiprah yang menuju kepada demokratisasi sistem pemerintahan yang ada bukannya pencarian sistem yang lain.

Bagaimanapun menciptakan rasa percaya diri yang kuat dalam diri warga ABRI dan

Kopri akan bersedia bersaing secara terbuka dan sehat dengan kekuatan-kekuatan ssosial-politik lain tanpa terlebih dahulu membuat atauran permainan yang menguntungkan mereka saja, adalah satu contoh dari agenda kerja kiprah demokratisasi dalam sistem yang ada.

Bagaimana memasukkan kiprah bantuan hukum kedalam kerangka rekayasa yang dilakukan dengan tetap memiliki kreativitasnya sendiri tanpa mengganggu lajunya rekayasa itu sendiri, adalah tantangan berat bagi pemerintah. Salah satu caranya adalah dengan membatasi jangkauan rekayasa itu sendiri agar jangan sampai

Universitas Sumatera Utara 99

menjadi penghalang, hanya terbatas pada pengaturan saja, dalam kehidupan lembaga- lembaga kemasyarakatan yang berwatak independen. Kemampuan membedakan control dan regulasi diperlukan dari kedua belah pihak.

Kalau dapat dikembangkan daerah penyangga yang didalmnya dapat dikembangkan batasan-batasan gerak kedua belah pihak tetap berada dititik pengaturan dan tidak beranjak dititik penguasaan, rasanya tidaklah sulit untuk melestarikan bantuan hukum yang berwatak idealistik dalam kerangka rekayasa masyarakat yang dilakukan pemerintah.84

E. Perlindungan dan Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin

Suatu keharusan yang harus dipenuhi apabila sistem hukum ingin dapat memberikan kontribusinya kepada kepentingan integrasi, melalui cara penyelesaian sengketa-sengketa yaitu bahwa sengketa atau konflik yang terjadi harus dibawa dan diselesaikan melalui proses pengadilan. Dalam hal ini, rakyat harus terbangkitkan kesediaan dan kesadarannya untuk selalu berpaling kepada hukum apabila kepentingan-kepentingannya ingin terlindungi. Hal ini berarti bahwa rakyat benar- benar merasa bahwa hukum itu memang akan memberikan keadilan kepadanya. Janji untuk memberikan keadilan inilah yang akan menjadi output utama yang nantinya

84 Abdurrahman Wahid, Pokok-Pokok Prasaran dalam Lokakarya Bantuan Hukum YLBHI, Disampaikan di Jakarta pada 23 Oktober 1984.

Universitas Sumatera Utara 100

akan dipertikarkan dengan input berupa motivasi rakyat yang mengakui pengadilan sebagai struktur penyelesaian permasalahan atau sistem pelestari pola.85

Apabila dilihat praktek peradilan di Indonesia maka akan tampak bahwa hubungan pertukaran antara sistem hukum dan sistem pelestarian pola, dimana pengadilan merupakan struktur penyelesaian permasalahan atau sengketa, inilah yang justru sering terganggu. Dari satu sisi yaitu pengadilan sebagai suatu pelestarian pola, salah satu penyebab gangguan yang utama yaitu adanya dugaan bahwa sesungguhnya tak ada seorangpun yang membutuhkan apa yang dijanjikan oleh pengadilan itu.

Timbulnya rasa tidak menyukai terhadap pengadilan ini dapat pula diungkapkan secara lain, misalnya kebanyakan orang merasa bahwa konsepsi-konsepsi pengadilan mengenai apa-apa yang boleh diharapkan sebagai sesuatu yang bersifat hak, sering berbeda sama sekali dengan konsepsi-konsepsi yang meraka miliki. Hal yang demikian ini dapat kita benarkan, mengingat dalam kenyataannya banyak kelompok- kelompok sosial tertentu yang merasa lebih diuntungkan dan mendapat perlakuan yang relative lebih muda apabila dibandingkan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, misalnya proses pengadilan yang menyangkut orang-orang yang menjabat, kaya dan berduit dengan mereka yang dikatagorikan miskin dan tidak mampu.

Padahal keadilan seperti yang diorientasikan diatas mestinya merata, dan berlaku bagi semua golongan atau kelompok masyarakat.

85 Hary Bredemeier, Law as an Integrative Mechanisme, dalam Vilhelm, sociology of law, Penguin books, halaman 52-67.

Universitas Sumatera Utara 101

Pertaruhan terhadap berjalan mulusnya kepastian hukum seperti itu penting artinya, agar hukum itu sendiri lebih dapat diterima dan diakui sebagai mekanisme pengintegrasi. Dari sinilah tampaknya yang merupakan alasan mengapa kepastian hukum itu selalu diusahakan dalam proses peradilan. Namun demikian, berjalan mulusnya suatu kepastian hukum dalam proses peradilan harus pula seiring sejalan.

Kalau memang menginginkan rakyat merasa suka dan mau terhadap proses hukum, dengan adanya keputusan-keputusan pengadilan yang cukup fleksibel sehingga dapat menyesuaikan diri kepada keadaan-keadaan yang selalu berubah kepada kepentingan- kepentingan baru, ataupun kepada kewajiban-kewajiban maupun bahaya-bahaya yang mengiringi berlangsungnya proses perubahan sosial. Dengan demikian pengadilan- pengadilan dan atau hukum- hukum akan lebih responsive kepada kebutuhan- kebutuhan dan perkembangan-perkembangan baru.

Adapun kesan yang dapat diperoleh ketika pengamatan ditujukan kepada praktek peradilan kita, maka pemikiran diatas lebih mendukung terhadap fakta bahwa hukum itu bagi kebanyakan orang merupakan sesuatu yang sebisa mungkin untuk dihindari saja. Implementasi keadilan yang ingin diratakan dan dihasilkan oleh hukum memang masih belum menggembirakan. Dengan demikian, tampak bahwa hukum tidak banyak dipandang sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa atau konflik, kecuali hanya apabila cara-cara yang lain sudah tidak ada lagi. Dalam dunia hukum pidana bahwa dikenal dengan hukum pidana sebagai Ultimum Remedium. Alasan yang lebih mendalam dapat dikemukakan, mengapa orang-orang tidak suka lari kepada hukum

Universitas Sumatera Utara 102

untuk menyelesaikan sengketa-sengketa atau konflik-konfliknya barangkali juga disebabkan oleh kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka yang berperkara itu mengalami kelambatan bahkan kegagalan ditangan hukum.

Mungkin dapat disimpulkan, bahwa advisery system seperti yang tergambar diatas masih mungkin untuk berfungsi dengan baik sebagai penyalur input fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan untuk kebijaksanaan. Akan tetapi, sistem ini mungkin juga sulit untuk meyakinkan para pihak yang sedang berperkara, bahwa didalam siding pengadilan kepentingan-kepentingan meraka sesungguhnya sudah dipertimbangkan dengan jujur dan dengan panuh perhatian oleh para hakim.

Dalam kaitan ini apabila kita kaji sebenarnya tak terlepas dari hukum yang saling berkaitan yang menyebabkan mengapa keadilan yang ingin dicapai dan dihasilkan oleh hukum itu sulit dirasakan oleh rakyat.

Pertama, bahwa sistem hukum itu cenderung untuk mendasarkan diri kepada asumsi-asumsi bahwa didalam setiap sengketa atau konflik selalu ada pihak yang benar dan ada pihak yang salah. Advisery system disini dibangun berdasarkan asumsi yang demikian itu dan bahkan ikut mengukuhkannya. Dalam hal ini, pengadilan seolah hanya diberi kekuasaan untuk menetapkan siapa yang menang dan siapa yang kalah dan bukannya untuk menemukan dan merintis jalan keluar. Misalnya tentang bagaimana supaya pihak yang kalah dapat dibantu agar mereka bisa menerima kekaslahannya, atau dapat dibantua agar diwaktu yang mendatang dapat

Universitas Sumatera Utara 103

menghindarkan diri dari perilaku dan perbuatan yang menyebabkan ia terseret ke pengadilan.

Kedua, bahwa didalam setiap organisasi hukum selalu terkandung asumsi bahwa apabila hak-hak dan kewajiban-kewajiban telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang, maka individu-individu tinggal mempunyai satu cara penyesuaian saja yaitu menerimanya. Dengan perkataan lain, asumsi ini hendak menyatakan bahwa mengkaji kembali pengalaman dan keadanaanya, adalah satu-satunya langkah yang masih bisa diambil untuk mereaksi tercabutnya hak.

Hal itu pada dasarnya adalah suatu proses reorganisasi didalam sistem kepribadian seorang individu agar ia dapat dengan mudah menyesuaikan diri kembali dengan realitas yang baru. Dilain pihak, didalam sistem hukum itu tidak terdapat mekanisme yang dapat dipakai untuk membuat pengadilannya itulah yang harus mengkaji pengalaman dan kenyataan, meskipun misalnya dalam praktek peradilan di

Indonesia, para hakim terkenai pula kewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakatnya. Namun hal ini bukanlah dalam rangka proses reorganisasi dalam sistem kepribadian seperti dimaksud diatas.

Prosedur-prosedur hukum yang lama dan penuh lik-liku harus diperhitungkan juga sebagai kendala yang meniscayakan kemungkinan pihak-pihak yang bersengketa atau berperkara untuk memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi pada dirinya.

Universitas Sumatera Utara 104

Paling tidak mereka hanya akan mengetahui apa saja yang telah dilakukan oleh pengacara atau penasehat hukumnya yang secara informal tentu menanyakan yang berkait erat dengan dirinya dan perkaranya, seperti layaknya orang yang telah mencari therapy penyakit, akibatnya yang timbul mungkin sekali hanyalah perasaan frustasi, dan dapat saja tanpa suatu halangan apapun rasa frustasi ini terus saja melekat dalam sanubarinya, dan akhirnya menumbuhkan rasa bermusuhan atau ketidaksukaan terhadap pengadilan, dan celakanya bagi mereka yang berperkara dan mereka orang yang miskin atau tidak mampu, kenyataannya menunjukkan kecenderungan mereka untuk hanya bersikap menerima, tanpa suatu keberdayaan.

Di negara-negara berkembang masih agak sulit ditemui studi-studi khusus yang mendalam yang dapat dijadikan dasar untuk membuat analisis sistematik mengenai isi dan makna formal suatu hukum yang menyangkut permasalahan orang miskin, dan utamanya yang berkaitan dengan pemberian pelayanan hukum dalam proses peradilan. Padahal banyak pihak dari beberapa kalangan yang sama-sama berkeyakinan bahwa suatu sistem hukum yang tidak efektif akan merupakan penghambat yang teramat serius bagi laju perkembangan pembangunan. Metzger misalnya dalam studinya sampai pada suatu kesimpulan bahwa penyediaan jasa pelayanan hukum kepada orang-orang miskin dinegara-negara berkembang akan membantu juga tercapainya usaha-usaha:

1. Pembinaan sistem hukum nasional yang tunggal;

Universitas Sumatera Utara 105

2. Implementasi peraturan perundang-undangan kesejahteraan sosial yang telah

ada, dan yang dimaksud untuk lebih menguntungkan golongan yang tidak

mampu dengan cara yang lebih efektif;

3. Peningkatan pertanggungjawaban yang lebih besar kepada rakyat kepada

pemerintah dan oleh semua aparat administrasi;

4. Peningkatan partisipasi masyarakat didalam setiap proses pemerintahan;

5. diperkokohnya kedudukan profesi hukum.86

Dalam suatu masyarakat dengan struktur sosial yang mengandung konflik, suatu struktur sosial yang dengan kesenjangan-kesenjangan seperti sering diungkapkan lewat studi-studi sosiologi hukum, pelaksanaan hukum itu cenderung selektif, dan bahwa umumnya orang-orang yang berpunya saja yang dapat menikmati pelayanan hukum dengan baik, atau dengan perkataan lain, pengadilan tidak diperuntukan semua lapisan masyarakat.87

Sementara itu, apabila kita kaji masyarakat kita terdiri dari lapisan-lapisan sosial yang berbeda satu sama lain, sehingga dalam keadaan yang demikian pembagian yang merata dari kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan hidup bagi seluruh anggota masyarakat, tidaklah terlalu mudah dilakukan. Selalu saja akan kita jumpai adanya kelompok-kelompok yang berada dalam kedudukan yang lebih

86 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, op.cit., halaman 58-60. 87 Mulyana Kusumah, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Alumni, Bandung, 1982, halaman 124.

Universitas Sumatera Utara 106

diuntungkan, sedangkan sebaliknya terdapat pula lapisan-lapisan masyarakat yang mengalami kekurangan-kekurangan.88

Dalam kaitannya dengan keberadaan dan pelaksanaan program bantuan hukum, maka hal ini sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dengan sistem sosial yang ada, yang dalam praktenya juga turut mewarnai dalam menentukan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat, khusunya bagi mereka yang tergolong miskin atau tidak mampu. Apabila demikian halnya, hukum yang diharapkan dapat melakukan pengaturan secara adil kini ternyata harusmenghadapi tugas-tugas yang tidak ternilai beratnya, karena bagaimanapun juga kondisi sosial ekonomi anggota masyarakat akan sangat menetukan apakah fasilitas yang harus disediakan oleh hukum dapat dimanfaatkan atau tidak.89

Bantuan hukum bagi masyarakat masih belum bisa dinikmati secara merata, karena ternyata dalam masyarakat masih ditemui adanya kesenjangan, dimana terdapat golongan masyarakat yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara berlebihan, sedangkan dipihak lain terdapat golongan masyarakat lainnya yang sedikit dapat mengecap hasil-hasil pembangunan secara berlebihan, sedangkan dipihak lain, terdapat golongan masyarakat lainnya yang sedikit dapat mengecap hasil-hasil pembangunan. Sementara itu, disparitas pendapatan menimbulkan akibat

88 Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, halaman 88. 89 Ibid, halaman 89.

Universitas Sumatera Utara 107

semakin bertambah kayanya golongan-golongan tertentu dan semakin miskinnya golongan yang lain.

Kemiskinan yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang mempunyai dampak yang sangat besar sekali terhadap penegakkan hukum, terutama dalam kaitannya dengan usaha mempertahankan apa yang telah menjadi haknya. Hal ini tampaknya selaras dengan kenyataan bahwa kemiskinan itu sendiri telah membawa bencana bagi kemanusiaan. Tidak saja secara ekonomis, akan tetapi juga secara hukum dan politis. Sementara itu bagi mereka yang kaya. Biasanya lebih akrab dengan kekuasaan , dan pada saat bersamaan mereka dengan mudahnya menterjemahkan kekuasaan itu dengan keadilan. Mungkin sudah menjadi sejarah dalam kehidupan manusia, dimana kekuasaan selalu lebih dekat dengan kekayaan, dan ini dalam kenyataanya banyak menimbulkan ketidakadilan, dan sebaliknya hukum juga harus dekat dengan kemiskinan. Karena itu, seorang yang miskin dalam harta sekalipun, seharusnya tetap kaya dengan keadilan.90

Kebutuhan akan keadilan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang senantiasa didambakan oleh setiap orang, baik yang kaya maupun yang miskin. Akan tetapi kadang kala dapat terjadi dimana sikaya dengan keyakinannya dapat lebih mudah memperoleh keadilan itu sehingga ia dapat menguasai mekanisme berjalannya hukum itu, bahkan celakanya dengan cara demikian itu akan menindas simiskin, yang

90 Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1983, halaman 273

Universitas Sumatera Utara 108

pada gilirannya hanya akan menimbulkan kesan bahwa hukum itu hanya untuk sikaya dan tidak untuk simiskin.

Keadilan yang merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan manusia, dan karenanya adalah wajar apabila kemudian dilakukan usaha-usaha untuk melakukan pemerataan keadilan. Jika selama ini sikaya sudah cukup banyak merasakan keadilan dan simiskin sudah cukup terjauh dari pada mendapat keadilan, maka sudah pada saatnya keadaan yang demikian tidak terjadi lagi. Artinya keadilan itu sudah terimplementasi secara merata bagi semua lapisan masyarakat. Dalam kaitannya dengan program bantuan hukum, khususnya bagi simiskin dan tidak mampu, pada dasarnya merupakan salah satu jalan untuk meratakan jalan menuju pemerataan keadilan itu.

Berpijak kepada pemikiran yang demikian itu, maka dalam praktek konsep dan implementasi bantuan hukum di Indonesia, misalnya pernah terjadi pergeseran dari konsep bantuan hukum individual ke konsep bantuan hukum yang struktural yang ditumbuh kembangkan terutama oleh kalangan lembaga bantuan hukum Jakarta, seperti yang telah diuraikan tersebut diatas.

Dengan adanya pergeseran dan perkembangan yang demikian itu, maka diharapkan penyelenggaraan program bantuan hukum jangkauannya ke masyarakat dapat lebih luas. Tidak hanya untuk perkara-perkara pidana, akan tetapi juga untuk perkara-perkara perdata, bahkan perkara tat usaha negara. Khusus bagi kalangan

Universitas Sumatera Utara 109

miskin dan buta hukum yang paling sering menjadi korban kesewenang-wenangan si penguasa maupun sikaya, maka keberadaan bantuan hukum struktural ini juga melibatkan dimensi untuk menanggulangi masalah kemiskinan itu sendiri melalui jalur hukum, dan lebih luas lagi adalah untuk meletakkan kembali dan mengangkat harkat dan martabat manusia, utamanya bagi simiskin.

Berpijak pada fenomena yang demikian, maka bagi organisasi-organisasi bantuan hukum khususnya pengemban konsep bantuan hukum struktural, lebih menampakkan beberapa siri khas dalam kerangka operasionalnya. Pertama, dinamika organisasional mereka menunjukkan bahwa sebagai pranata hukum yang sekaligus pranata sosial, mereka telah menempatkan diri pada sebuah posisi yang jelas, yakni disatu pehak bereperan dalam kerangka bekerjanya sistem hukum nasional, dan pada sisi lain bekerja untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan serta hak-hak asasi manusia sebagai suatu kenyataan operatif hukum.

Kedua, penumbuh kembangan wawasan kehukuman yang tidak lagi hanya diseputar perspektif dan paradigm hukum, akan tetapi juga sebagai suatu wawasan yang holistik sosiolegal. Ketiga, pelekatan fungsi sosial kontrol yang sekaligus sebagai wahana untuk perwujudan keadilan.

Oleh karena itu, apabila dinilai dari sudut pandang yang rasional konstruktif dengan wawasan sosial yang lebih onjektif, dan dengan mengambil contoh pada

Universitas Sumatera Utara 110

lembaga bantuan hukum, maka sesungguhnya peran dan fungsi mereka paling tidak meliputi:

1. Memberikan bobot pada potensi hukum untuk tumbuh sebagai sarana rekayasa

sosial, juga sebagai sarana emansipasi sosial dalam rangka perlindungan hak-

hak asasi manusia, sehingga diharapkan terjadi keserasian antara nilai-nilai

teknokratik hukum yang seringkali mengedepankan dalam proses

pembangunan tidak dapat dilepaskan dari upaya pembangunan manusia

seutuhnya;

2. Mengembangkan peran hukum sebagai sesuatu institusi otonom, sehingga

kedaulatan hukum (dalam konteks cita-cita negara hukum Indonesia) dapat

terwujud dalam kenyataan. Realisasi gagasan kekuasaan kehakiman yang

merdeka sulit tercapai tanpa hidupnya pranata hukum yan fungsional.

Disamping itu karena sebagian gerak LBH adalah gerakan pengacara maka

LBH yang merupakan officier of the court yang merupakan suatu fungsi

integratif yaitu mempersatukan unsure-unsur persidangan;

3. Mengakomodasikan sengketa-sengketa hukum yang berdimensi struktural

melalui bentuk-bentuk penyelesaian yang melembaga, sehingga tidak berubah

menjadi konflik sosial yang tidak dikehendaki. Pelembagaan ini secara

langsung atau tidak langsung memberikan sumbangan bagi proses

penegakkan dan pembaharuan hukum;

Universitas Sumatera Utara 111

4. Dalam kaitannya dengan butir tiga diatas, LBH mengartikulasikan

kepentingan-kepentingan hukum masyarakat pencari keadilan melalui

kegiatan-kegiatan advokasi;

5. Melalui kegiatan pengembangan sumber daya hukum masyarakat, LBH

berupaya menciptakan perubahan kualitatif dalam kesadaran hukum

masyarakat. Aspek ini sangat penting karena penerapan dan penegakkan

hukum yang adil mustahil tercipta tanpa dukungan kondisi subjektif

masyarakat;

Peran dan fungsi kelembagaan bantuan hukum yang demikian sangat penting artinya untuk dapat mewadahi pusaran semakin beragamnya permasalahan hukum yang timbul, maupun semakin meningkatnya kebutuhan hukum masyarakat serta tuntutan yang semakin luas untuk memperoleh keadilan melalui hukum. Sementara itu, secara kondisional pelayanan bantuan hukum masih menampakkan hal-hal berikut ini:

1. Pelayanan bantuan hukum oleh organisasi bantuan hukum masih terpusat

terutama pada warga kota dan belum menjangkau secara cukup luas warga

masyarakat diwilayah pinggiran kota maupun pedesaan;

2. Seleksi atas dasar ketidakmampuan dan ketidaktahuan hak-hak serta prosedur

hukum dalam memilih klien yang dilayani oleh organisasi-organisasi bantuan

hukum tampak tidak terlalu ketat, sehingga karakterisitik sosial ekonomi

Universitas Sumatera Utara 112

pencari keadilan yang terlayani masih bervariasi dan tidak jarang berkisar

pada golongan relatif mampu;

3. Mengingat harapan para pencari keadilan terhadap organisasi bantuan hukum

ini tidak dapat hanya terbatas pada diberikannya konsultasi dan bantuan

hukum bagi mereka, tetapi lebih jauh juga harapan untuk menyelesaikan

masalah hukum yang dihadapi sesuai dengan rasa keadilan mereka. Harapan

ini tidak jarang sulit dipenuhi oleh karena kondisi-kondisi intern maupun

ukstern organisasi bantuan hukum itu sendiri. Kasus-kasus yang menyangkut

kepentingan kolektif misalnya pembebasan tanah, sering kali menemui

hambatan karena pihak pemberi bantuan hukum membentur kepentingan

dominan, baik kepentingan ekonomi maupun birokratis;

4. Dalam konteks rekayasa budaya untuk meningkatkan penguasaan sumber

daya hukum masyarakat, efektifitas organisasi bantuan hukum memang masih

layak dipertanyakan. Selama ini dalam pendidikan non formal yang

diselenggarakan oleh organisasi bantuan hukum masih menggunakan metode-

metode konvensional dengan materi yang terbatas. Penyuluhan hukum

misalnya, dijalankan terhadap kelompok-kelompok masyarakat secara masal,

lebih sabagai upaya komunikasi awal dengan symbol-simbol atau prosedur

hukum cenderung satu arah dan tanpa didahului oleh kajian mengenai

kebutuhan hukum kelompok sasaran.

Universitas Sumatera Utara 113

Apabila demikian halnya maka studi-studi mengenai kebutuhan hukum kelompok sasaran, yaitu mereka yang tergolong msikin dan buta hukum, hendaknya ditujukan untuk mengidentifikasi dan mendeteksi kebutuhan-kebutuhan yang senyatanya dirasakan ada. Dan pula untuk menentukan sifat mendesaknya atau keseriusan dari masing-masing kebutuhan hukum itu. Studi-studi yang demikian itu tentu penting artinya untuk pengembangan konsep sekaligus implementasi bantuan hukum, dan setidak-tidaknya dengan langkah demikian akan melacak:

1. Kategori-kategori permasalahan orang-orang miskin yang dapat dilihat dan

ditafsir sebagai permasalahan nukum;

2. Batas-batas sampai sejauh mana mereka yang tergolong miskin itu dapat

memperoleh bantuan para pembela atau penasehat hukum dan bagaimana pula

hasilnya;

3. Kategori-kategori permasalahan, yang dihadapi mereka simiskin tidak dilihat

sebagai permasalahan hukum, akan tetapi yang sebenarnya dapat dipecahkan

melalui pendayagunaan sistem hukum;

4. Pengetahuan dan persepsi mereka yang miskin mengenai hak-hak dan

prosedur hukum yang relevan dengan masalah-masalah spesifik yang tengah

mereka hadapi;

Universitas Sumatera Utara 114

5. Persepsi mereka yang miskin mengenai alternatif-alternatif lain keefektifan

usaha para penasehat dan pembela hukum untuk memperjuangkan

kepentingan-kepentingan spesifik kaum miskin;

6. Persepsi mereka yang miskin mengenai alternatif-alternatif lain diluar cara dan

acara hukum yang kiranya dapat juga ditempuh untuk memecahkan masalah-

masalah spesifik yang mereka hadapi;

Studi-studi terhadap hal-hal yang sudah disebutkan diatas tidak hanya akan bermanfaat untuk dapat melacak atau menjejak permasalahan kebutuhan hukum, akan tetapi juga akan berguna untuk mengungkapkan gambaran-gambaran dasar mengenai kemungkinan adanya berbagai keterkaitan permasalahan, seperti misalnya:

1. Pengetahuan kaum miskin mengenai upaya hukum yang dapat didayagunakan

dan mengenai tata cara yang selayaknya dipakai untuk memecahkan masalah

terhadap penggunaan upaya dan tata cara tersebut;

2. Persepsi kaum miskin mengenai keefektifan sistem hukum dengan keefektifan

sistem itu sendiri dalam kenyataannya;

3. Persepsi kaum miskin mengenai mudah tidaknya sistem hukum itu dimasuki

dan dihubungi untuk didayagunakan dalam upaya pemecahan masalah

hukum terhadap keefektifan sistem hukum;

Universitas Sumatera Utara 115

Gambaran-gambaran dasar yang nantinya dapat terungkap dan dapat dijabarkan dalam studi-studi tersebut pada gilirannya tidak menutup kemungkinan sebagai sumber pemikiran yang cukup berharga bagi para perencana pembangunan untuk lebih peduli terhadap keberadaan kaum miskin, yang berkelanjutan dengan upaya membantu masalah kemiskinan itu sendiri, melalui jalur pemerataan keadilan dan khususnya yang tercermin dan teroperasionalisasi melalui program bantuan hukum.91

F. Prosedur Pemberian Bantuan Hukum Oleh LBH Medan.

Berdasarkan Wawancara dengan Direktur LBH Medan yaitu Ismail Lubis

SH.,MH. Terkait pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma di LBH Medan bahwa LBH Medan dengan Organisasi Bantuan Hukum atau Organisasi Masyarakat yang memiliki program bantuan hukum yang telah terakreditasi adalah sama.

Pemberian bantuan hukum oleh LBH Medan mengacu kepada peraturan perundang- undangan yang berlaku. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 54 KUHAP, dapat diketahui bahwa bantuan hukum diberikan dan dilaksanakan pada setiap tingkat pemeriksaan. Pemberian bantuan hukum dalam pelaksanaannya, sangat terkait atau sangat terlihat peranannya dalam proses pemeriksaan di tingkat penyidikan dan tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.

Persyaratan penerima bantuan hukum untuk memperoleh bantuan hukum dari

LBH Medan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

91 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, halaman 57-67

Universitas Sumatera Utara 116

2011 Tentang Bantuan Hukum yang telah mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum.

LBH Medan dalam memberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan Bantuan Hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan Bantuan Hukum.92

Wakil Direktur LBH Medan Irvan Syahputra. SH.,MH mengatakan ada beberapa kasus yang tidak dapat di berikan bantuan hukum oleh LBH seperti

Korupsi, terorisme, asusila. Namun, apabila terjadi kriminalisasi terkait beberapa kasus tersebut sesuai dengan bukti dan fakta yang ada LBH Medan dapat meberikan bantuan hukum. Syarat mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan undang undang no 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum. Namun, Orang yang mampu dapat di berikan bantuan hukum dengan berbagai ketentuan yang di berlakukan oleh LBH

Medan. Ada tiga ketentuan utama klasifikasi mendapatkan bantuan hukum yaitu orang tidak mampu, buta hukum, dan yang termajinalkan. Orang yang mampu di haruskan memberikan sumbangan ke LBH Medan yang mana hasil dari sumbangan tersebut akan di jadikan subsidi silang untuk membantu penerima bantuan hukum yang tidak mampu sebagai penerima bantuan hukum di LBH Medan.93

92 Ismail Lubis,SH.,MH. Direktur LBH Medan, Wawancara, Medan, 25 Oktober 2019

93Irvan Sahputra, SH.,MH. Wakil Direktur LBH Medan, Wawancara, Medan, 25 Oktober 2019

Universitas Sumatera Utara 117

Tabel Perkara Pidana Tahun 2016 - 2019

No. TAHUN TERIMA TOLAK SEDANG SELESAI SAMPAI PROSES DENGAN PUTUSAN 1. 2016 73 40 31 2

2. 2017 63 56 7 0

3. 2018 59 29 27 3

4. 2019 52 36 16 11

Tabel Perkara Perdata Tahun 2016 – 2019

No. TAHUN TERIMA TOLAK SEDANG SELESAI SAMPAI PROSES DENGAN PUTUSAN 1. 2016 116 82 31 3

2. 2017 104 100 4 0

3. 2018 68 48 17 3

4. 2019 100 83 17 7

Data menyebutkan ada dari beberapa jumlah yang tidak di proses dari jumlah yang di terima adalah penyelesaian Non Litigasi

Universitas Sumatera Utara 118

Hasil wawancara dengan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora Dr.

Redyanto Sidi,SH.MH. LBH Humaniora yang di dirikan 23 Oktober tahun 2012 bertujuan untuk memberikan bantuan hukum terhadap masyarakat yang tidak mampu.

Setiap masyarakat sebagai calon penerima bantuan hukum harus memiliki dasar hukum yang cukup, kerena di dalam uu advokat tidak boleh seorang advokat menerima kalau tidak ada jasa hukumnya.

Kelayakan bagi calon penerima bantuan hukum di tentukan oleh standar operasional prosedur yang harus terukur secara yuridis, calon penerima bantuan hukum harus membuktikan dengan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan, desa atau setingkat sebagai ukuran bahwa penerima bantuan hukum layak menerima bantuan hukum. Seandainya mengalami kesulitan dalam memenuhi administrasi yang demikian, kita dapat membantu dalam mengurus administrasi tersebut. . Masyarakat mampu juga berhak mendapatkan bantuan hukum, tetapi khusus kepada yang termasuk kategori mampu sebaiknya lebih menghargai profesi advokat yang merupakan jasa profesional, sehingga lebih tepatnya orang yang mampu itu menggunakan jasa kantor hukum profit bukan lembaga bantuan hukum ini jelas di dalam undang-undang no 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum.

Sesuai dengan Standart Operasional yang ada di LBH Humaniora, maka kami akan memberikan format permohonan memohon bantuan hukum kepada calon penerima bantuan hukum, foto copy identitas pemohon, dokumen pendukung dan kronologis dalam bentuk tulisan, kemudian formulir bahwa calon penerima bantuan

Universitas Sumatera Utara 119

hukum tidak mampu membayar jasa advokat, ini sebagai syarat standarisasi bagi calon penerima bantuan hukum. Bantuan hukum yang di berikan berupa litigasi dan non litigasi. Dimana litigasi sampai tingkat penanganan mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan. Non litigasi seperti konsultasi, negoisasi, mediasi dan sebagainya.

Dana yang di berikan oleh pemerintah dalam pemberian bantuan hukum di nilai tidak cukup untuk proses pennyelesaian perkara yang terlalu lama. Walaupun begitu seharusnya Lembaga Bantuan Hukum harus dapat memanajemen keuangan agar mengurangi defisit anggaran dalam peroses bantuan hukum melayani masyarakat. kadang kala kami terbatas dengan kejujuran calon penerima bantuan hukum, ada beberapa calon penerima bantuan hukum tidak memberikan informasi dengan terbuka beserta bukti-bukti sehingga ketika kami melakukan advis hukum ternyata di lapangan berbeda, ini sangat mengecewakan tentu sangat merusak strategi serta membuat narasi hukum yang akan kami jalankan akan berubah, sehingga akan mengecewakan kami. Kemudian Prosedur, lama proses berperkara menjadi salah satu faktor terhambatnya pemberian bantuan hukum tersebut, karena tidak jarang penerima bantuan hukum menginginkan proses yang cepat, walau sudah di berikan pemahaman kepada mereka akan lama nya waktu. Adanya keterbatasan sumber daya manusia di LBH itu sendiri, tentunya dengan banyak kasus yang masuk kami harus membagi tim yang kadang kala tidak cukup umtuk di bagi kebebrapa tempat dnegan hari yang sama atau berbeda.

Universitas Sumatera Utara 120

Apapun kondisinya Lembaga Bantuan Hukum yang ada harus tetap profesional dalam menjalankan pemberian bantuan hukum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Tidak boleh menyerah dan mundur hanya karena minimnya bantuan pemerintah atau kurangnya sumber daya manusia dalam proses pemberian bantuan hukum tersebut.94

94 Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora Dr. Redyanto Sidi,SH.MH

Universitas Sumatera Utara 121

BAB IV

HAMBATAN YANG DI HADAPI YLBHI LBH MEDAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT TIDAK MAMPU

Bentuk-Bentuk Hambatan dalam memberikan Bantuan hukum secara cuma- cuma di Lembaga Bantuan Hukum Medan.

Aparat penegak hukum tentunya akan menemukan hambatan-hambatan atau kendala-kendala dalam upaya penegakan hukum begitu pula halnya dalam pelaksanaan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang yang kurang mampu.

Maka dalam hal ini dapat terjadi beberapa faktor-faktor penghambat.

Menurut Satjipto Rahardjo bahwa, sebagai suatu proses, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan variabel yang mempunyai korelasi dan interdependensi dengan faktor-faktor yang lain. Ada beberapa faktor terkait yang menentukan proses penegakan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman, yaitu komponen substansi, struktur dan kultural. Beberapa komponen tersebut termaksud ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. Faktor-faktor ini akan sangat menentukan proses penegakan hukum dan kegagalan pada salah satu komponen akan berimbas pada faktor lainnya.95

Bantuan hukum adalah hak bagi seorang terdakwa atau tersangka yang tidak mampu atau kurang mampu sudah diatur secara rinci dalam peraturan perundang

95 Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Jakarta:Genta blising, 2009), hlm 215

Universitas Sumatera Utara 122

undangan, hal ini bukan berarti bahwa terdakwa dapat dengan mudah memperoleh bantuan hukum dari advokat dalam penegakan ide bantuan hukum tersebut menjadi suatu kenyataan, akan tetapi terdapat juga beberapa faktor penghambat yang akan mempengaruhinya. Faktor subtansi, struktur, dan kultural akan sangat menentukan proses penegakan hukum atau proses pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam suatu perkara.

Pembahasan faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam suatu perkara sangat terkait dengan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman dan konsep faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum-hukum dari Soerjono Soekanto. Sistem hukum terdiri dari sub sistem-sub sistem hukum, yang meliputi subtansi hukum (legal subtance),struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture), sebagaimana yang telah diuraikan dalam landasan teoritis mengenai teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman. Ketiga sub sistem inilah yang sangat menentukan apakah suatu sistem dapat berjalan atau tidak dan ketiga sub sistem inilah yang juga menetukan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam suatu perkara, dapat berjalan dengan baik atau tidak. Menurut Soerjono

Soekanto, sebagaimana yang telah diuraikan di dalam landasan teoritis bahwa, masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.

Universitas Sumatera Utara 123

Faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam suatu perkara, jika di kaji dari teori sistem hukum dari

Lawrence M Friedman dan konsep faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dari Soerjono di bedakan menjadi 3 faktor yakni, faktor subtansi hukum (legal substance),struktur hukum( legal structure), dan budaya hukum (legal culture).96

1. Faktor Subtansi Hukum ( Legal Subtance)

Faktor subtansi hukum (legal subtance) dalam hal ini meliputi Peraturan

Perundang-Undangan, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 2011 Tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan

Bahwa, Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga

Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam

Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum, yang meliputi jenis dan hierarki Peraturan

Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Faktor subtansi hukum (legal subtance), sebagaimana yang telah diuraikan Lawrence M. Friedman dapat diketahui bahwa, subtansi hukum tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai

96 Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta halaman 11.

Universitas Sumatera Utara 124

bagaimana institusi-institusi itu harus berprilaku, yang dalam hal ini berupa Peraturan

Perundang-Undangan. Subtansi hukum ( legal subtance) telah menjadi salah satu faktor penghambat yang mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam suatu perkara. Kelemahan-kelemahan yang ada di dalam subtansi Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur mengenai bantuan hukum mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum sehingga dalam prakteknya

kurang dapat dilaksanakan dengan baik. Peraturan Perundang Undangan yang mengatur mengenai bantuan hukum masih mengandung kelemahan-kelemahan yang kurang mengakomodir HAM, orang yang kurang mampu atau kelompok orang miskin dan menjunjung tinggi asas equality before the law dalam penegakan hak atas bantuan hukum yang seharusnya diberikan secara seluas-luasnya (accessto legal counsel) dan tanpa pembatasan. Masih adanya tumpang tindih peraturan yang tentu menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam suatu perkara.

2. Faktor Struktural Hukum ( Legal Structure)

Faktor struktural hukum (legal structure) dalam pembahasan ini meliputi faktor penegak hukum dan sarana dan fasilitas. Faktor penegak hukum dalam pembahasan ini akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum, sebagaimana yang dinyatakan oleh Soerjono

Soekanto, “ yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan

Universitas Sumatera Utara 125

yang secara langsung berkecimpung dalam penegak hukum yang tidak hanya mencakup Law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance Soerjono Soekanto juga mengemukakan bahwa,” Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum”.97 pembahasan mengenai Struktur hukum

(Legal structure) akan dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri penegak hukum sendiri. Advokat sangat berperan dalam pelaksanaan bantuan hukum karena advokatlah yang secara langsung memberikan jasa hukum kepada orang atau kelompok orang miskin dalam bentuk bantuan hukum. Penegak hukum dari segi internal menunjukkan lemahnya kesadaran akan moril dan sosial advokat. Kondisi tersebut mutlak menjadi sebuah alasan untuk tidak memberikan bantuan hukum, karena ketika advokat memiliki kesadaran yang tinggi, maka advokat akan aktif mencari atau menawarkan jasa hukum, mengingat juga pemberi bantuan hukum sangat terbuka, baik di tingkat kepolisian, di Pengadilan Negeri melalui Pos Bantuan

Hukum dan juga di Lembaga Bantuan Hukum. Prakteknya, advokat yang belum pernah memberikan bantuan hukum dalam posisinya sebagai advokat baru yang baru diangkat juga menjadi kondisi yang logis yang masih bisa dijumpai dalam praktek pemberian bantuan hukum.

97 Ibid halaman 19

Universitas Sumatera Utara 126

2) Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor dari luar penegak hukum, selain dari luar penegak hukum juga meliputi faktor sarana atau fasilitis, Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, “ Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegak hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya.98

3. Faktor Budaya Hukum atau Faktor Kebudayaan

Menurut Lawrence M. Friedman, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, budaya hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial, yang mengacu pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum-adat kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berfikir yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dan dengan cara-cara tertentu. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa”

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi

Abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan pasangan nilai-

98 Ibid, hlm. 37

Universitas Sumatera Utara 127

nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus di serasikan.99 Definisi budaya hukum dalam kamus hukum adalah, Sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum bersama, bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai- nilai yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif. Berdasarkan pendapat- pendapat tersebut diketahui bahwa,budaya hukum dapat meliputi nilai-nilai mengenai hukum, nilai-nilai berupa konsep mengenai apa yang dianggap baik dan buruk, sikap- sikap yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan aparat penegak hukum, dan juga perilaku dari masyarakat itu sendiri yang terjadi secara berulang-ulang atau suatu elemen sikap dan nilai sosial,yang mengacu pada bagian- bagian yang ada pada kultur umum, adat kebiasaan, opiniopini, cara bertindak dan berfikir.

4. Faktor Masyarakat

Masyarakat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam suatu perkara, Menurut Soerjono Soekanto,”Penegakan hukum berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat, anggapan-anggapan atau pendapat-pendapat (opini) masyarakat juga bisa mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam suatu perkara. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa.”Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat kecenderungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan

99 Ibid, hlm. 59.

Universitas Sumatera Utara 128

bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah bahwa penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagaimana struktur maupun proses. dan juga menyatakankan bahwa, ”Masalah lain yang timbul sebagai akibat anggapan masyarakat adalah mengenai segi penerapan perundang-undangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu sempit. Selain itu, mungkin timbul kebiasaan untuk kurang menelaah perundang-undangan yang kadang kala tertingggal dengan perkembangan di dalam masyarakat. Disamping adanya kecenderungan yang kuat dari masyarakat dalam mengartikan hukum sebagai penegak hukum atau petugas hukum, maka ada golongan-golongan tertentu dalam masyarakat yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis. Sebagai salah satu akibat negatif dari pandangan atau anggapan bahwa hukum adalah hukum positif tertulis belaka, adanya kecenderungan yang kuat sekali bahwa satu-satunya tugas hukum adalah adanya kepastian hukum.

Dengan adanya kecenderugan untuk lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga timbul gagasan-gagasan yang kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur dengan hukum tertulis. Kecenderungan-kecenderungan yang legistis tersebut pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya perundang- undangan yang belum berlaku secara sosiologis. pihak pengadilan untuk menunjuk seorang advokat tidak mengalami suatu hambatan yang berarti, sebab advokat yang ditunjuk pihak pengadilan selama ini senantiasa siap, dan bersedia untuk mendampingi terdakwa / tersangka selama proses persidangan, apabila ada mungkin

Universitas Sumatera Utara 129

hanya advokat yang sudah ditunjuk oleh pengadilan tidak bersedia, akan tetapi pada umumnya para advokat yang telah ditunjuk oleh pengadilan senantiasa bersedia.

Perihal yang menjadi penghambat dari pelaksanaan pemberian bantuan hukum untuk masyarakat yang tidak mampu atau kurang mampu adalah dipengaruhi oleh minimnya dana bantuan hukum yang disediakan oleh Pemeritah melalui

Kementrian Hukum dan HAM. Dana yang diberikan kepada pihak Pengadilan tersebut masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan akan pendanaan kepada para advokat, agar bersedia untuk memberikan bantuan hukumnya secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu melalui Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM).

Kurangnya Kesadaran Hukum dalam Rakyat Miskin. Ketidaktahuan akan hukum akan mengakibatkan seseorang akan melanggar hukum atau seseorang tersebut akan dibodohi oleh oknum untuk mengambil keuntungan, dan yang lebih mencengangkan adalah oknum tersebut biasanya dari kalangan penegak hukum ataupun pemerintah.100 Mengutip dari pendapatnya John Rawls “semua sistem hukum akan gagal bila tidak disemangati oleh suatu sikap moral pribadi yang sejati (justice as farness) di masyarakat.”101

Pemberian bantuan hukum pada saat ini realitas yang ada yaitu pelaku utama bantuan hukum bagi masyarakat yang kurang mampu adalah Lembaga Bantuan

100 Muhadi Zainuddin, “Peran Sosialisasi UU Advokat dalam Pemberdayaan Kesadaran Hukum Masyarakat”. Jurnal Al-Mawarid No. 12 Tahun 2004, Fakultas Ilmu Agama UII : Yogyakarta, hlm. 93 101 Theo Huijbers, FIlsafat Hukum dalam Linstas Sejarah, Kanisius : Yogyakarta, 2013, hlm.193

Universitas Sumatera Utara 130

Hukum. Lembaga Bantuan Hukum Kampus, Organisasi-Organisasi Masyarakat,

Partai Politik dan Organisasi- Organisasi Non pemerintah lainnya. Sehingga ketika kita berbicara tentang perluasan akses equality before the law dan justice for all, kebijakan Pemerintah Melalui regulasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun

2013 tentang Persyratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (PP

Bantuan Hukum) jauh dari memadai karena disamping mempersempit ruang lingkup lapangan juga tidak optimal, jumlah advokat sangat tidak memadai dibanding jumlah penduduk (miskin) Indonesia dan kebanyakan advokat berdomisili dipusat kota besar.

Wakil Direktur LBH Medan yaitu Irvan Sahputra. SH.,MH. Mengatakan faktor-faktor yang menghambat dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma di LBH Medan yaitu:

1. Faktor anggaran, merupakan faktor utama yang menjadi penghambat LBH

Medan dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, karna dana

yang diberikan oleh Kementrian Hukum dan Ham untuk para pencari keadilan

yang tidak mampu hanya 5.000.000.00 (lima juta rupiah) dalam satu perkara,

sedangkan perkara yang masuk di LBH Medan tiap bulannya sekitar 15

perkara, bahkan dana itupun tidak cukup untuk menyelesaikan satu perkara,

karna perkara yang diterima oleh LBH Medan, tidak hanya di wilayah Medan

tetapi juga luar daerah medan.

Universitas Sumatera Utara 131

2. Kurangnya jumlah staf atau pengacara yang ada di LBH Medan tidak

sebanding dengan jumlah kasus yang diterima oleh LBH Medan.102

102 Irvan Sahputra, SH.,MH. Wakil Direktur LBH Medan, Wawancara, Medan, 15 Mei 2019

Universitas Sumatera Utara 132

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat memberi kesimpulan yaitu, sebagai berikut:

1. Aturan hukum pemberian bantuan hukum telah di atur didalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum,

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara

Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

Kemudian Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian

Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, undang-undang

Nomor 18 Tahun 2003 tentang Profesi Advokat, Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian

Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan.

Undang-Undang Bantuan Hukum adalah sebagai pusat aturan mengenai

bantuan hukum bagi orang atau kelompok kurang mampu. Dijelaskan

mengenai ruang lingkup bantuan hukum terkait Bantuan hukum diberikan

kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum. Bantuan

Universitas Sumatera Utara 133

hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara

baik litigasi maupun nonlitigasi.

2. Pemberian bantuan hukum dilaksanakan menurut cara yang telah di tentukan

peraturan perundang-undangan. Adapun berupa bentuk advokasi yang di

berikan baik dalam proses menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan

dimana setiap pihak yang bersengketa mendapatkan kesempatan untuk

mengajukan gugatan dan bantahan atau litigasi maupun penyelesaian masalah

hukum di luar pengadilan atau non litigasi.

Untuk memperoleh bantuan hukum, pemohon bantuan hukum harus

memenuhi syarat-syarat seperti mengajukan permohonan secara tertulis yang

berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai

pokok persoalan yang di mohonkan bantuan hukum, menyerahkan dokumen

yang berkenaan dengan perkara, melampirkan surat keterangan miskin dari

lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon

bantuan hukum, dalam hal pemohon tidak mampu menyusun secara tertulis,

permohonan dapat di ajukan secara lisan.

3. Dua faktor penghambat dalam pemberian bantuan hukum kepada masyarakat

kurang mampu yaitu:

a. Faktor internal.

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri penegak hukum

sendiri. Advokat sangat berperan dalam pelaksanaan bantuan hukum

karena advokatlah yang secara langsung memberikan jasa hukum kepada

Universitas Sumatera Utara 134

orang atau kelompok orang miskin dalam bentuk bantuan hukum. penegak

hukum dari segi internal menunjukkan lemahnya kesadaran akan moril

dan sosial advokat. Kondisi tersebut mutlak menjadi sebuah alasan untuk

tidak memberikan bantuan hukum, karena ketika advokat memiliki

kesadaran yang tinggi, maka advokat akan aktif mencari atau menawarkan

jasa hukum, mengigat juga pemberi bantuan hukum sangat terbuka, baik

di tingkat kepolisian, di Pengadilan Negeri melalui Pos Bantuan Hukum

dan juga di Lembaga Bantuan Hukum. Prakteknya, advokat yang belum

pernah memberikan bantuan hukum dalam posisinya sebagai advokat baru

yang baru diangkat juga menjadi kondisi yang logis yang masih bisa

dijumpai dalam praktek pemberian bantuan hukum, b. Faktor eksternal

Faktor Eksternal adalah faktor dari luar penegak hukum, selain dari luar

penegak hukum juga meliputi faktor sarana atau fasilitas, Tanpa adanya

sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegak hukum akan

berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain,

mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi

yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya.

Universitas Sumatera Utara 135

B. SARAN

1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah

sebagai pusat aturan mengenai bantuan hukum bagi orang atau kelompok

kurang mampu. Peraturan pelaksana dari Undang- Undang Bantuan Hukum

(sistem pelaksanaan) harus memberikan kemudahan syarat dalam proses

pelaksanaan bantuan hukum demi terwujudnya perlindungan dan keadilan

hukum bagi masyarakat miskin. Pemerintah daerah harus memiliki peraturan

daerah tentang bantuan hukum demi terciptanya keadilan dan kemanfaatan

terhadap si miskin yang membutuhkan bantuan hukum.

2. Pelayanan bantuan hukum oleh organisasi bantuan hukum jangan hanya

terpusat pada warga kota dan harus menjangkau secara cukup luas warga

masyarakat diwilayah pinggiran kota maupun pedesaan.

3. Perlunya kerja sama pemerintah dengan lembaga bantuan hukum yang ada

untuk menerapkan pemberian bantuan hukum baik berupa penyuluhan-

penyuluhan hukum maupun pendampingan langsung kepada masyarakat

kurang mampu yang bermasalah dengan hukum.

4. Sebaiknya pemerintah daerah harus memperhatikan para aktivis Lembaga

Bantuan Hukum dalam melaksanakan pemberian bantuan hukum untuk

bersama-sama mencari solusi terhadap faktor penghambat pemberian bantuan

hukum itu sendiri agar pemberian bantuan hukum kepada masyarakat tidak

mampu dapat di lakukan dengan efektif dan efisien.

Universitas Sumatera Utara 136

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta : Cendana Press.

Ali, H. Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Amiruddin & Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Atmasasmita, Romli. 2012. Teori Hukum Integratif, Yogyakarta: Genta.

Bredemeier, Hary. Law as an Integrative Mechanisme, dalam Vilhelm, sociology of law. Penguin books.

Ediwarman. 2015. Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan Tesis dan Disertasi). Medan: Sofmedia.

Ediwarman. 2016. Monograf Metodelogi Penelitian Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing.

Fajar, Muktie. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika.

Huijbers, Theo, 2013. FIlsafat Hukum dalam Linstas Sejarah, Kanisius : Yogyakarta: Kanisius.

Kurnia, Titon Slamet, et al. Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelituan Hukum di Indonesia Sebuah Reorientasi. Salatiga: Pustaka Pelajar.

Kusumah, Mulyana. 1982. Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung : Alumni.

Lubis, M. Solly. 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju.

Lubis, Todung Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta : LP3ES.

Universitas Sumatera Utara 137

Lubis, Todung Mulya. 1975. Lagal Aid in Indonesia (Five Years of Lembaga Bantuan hukum). Jakarta : LBH Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Marzuki, Peter Mahmud. 2017. Penelitian Hukum, Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Muchammad, Zaidun. 1996. Gerakan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia Studi Tentang Tipologi Gerakan Bantuan Hukum Struktura. Jakarta : YLBHI.

Murthado, Ali dan Mustafa Kamal Rokan. 2012. Metodologi Penelitian Hukum Suatu Pemikiran dan Penerapan, Medan: Wal Ashri Publishing.

Nasution, Adnan buyung, Bantuan hukum di indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Nurbaningsih, Enny. 2016, Bagian umum penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum, Jakarta.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda.1981. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: Prisma.

Praja, Juhaya. 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya. Bandung: Pustaka Setia

Rahardjo, Satjipto. 1983. Permasalahan Hukum di Indonesia. Bandung : Alumni.

Rahardjo, Satjipto. 1990. Hukum, Masyarakat dan Pembangunan. Bandung : Alumni. Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta : Genta blissing.

Soekanto, Soerjono. 2005 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sunggono, Bambang dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: CV. Mandar Maju.

Susanti, Dyah Ochtorina dan A’an Efendi. 2014. Penelitian Hukum (Legal Research. Jakarta: Sinar Grafika.

Universitas Sumatera Utara 138

Tanjung, Andry Syafrizal. 2018. Realisasi Bantuan Hukum (Telaah Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum). Rantau Parapat: CV Putra Maharatu.

Wahid, Abdurrahman. Pokok-Pokok Prasaran dalam Lokakarya Bantuan Hukum YLBHI. Disampaikan di Jakarta pada 23 Oktober 1984.

Winarta, Frans Hendra. 2000. Bantuan Hukum : Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan. Jakarta: PT Elex Media Kompetindo.

YLBHI. 2014. Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia : Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta : YLBHI.

B. Peraturan Perundang – undangan

Undang – undang Dasar 1945.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Bantuan Hukum

Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2003 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Bantuan Hukum.

Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Profesi Advokat

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan

Universitas Sumatera Utara 139

C. Jurnal

Jimec Nainggolan, Secsio Analisis Yuridis Penentuan Kedudukan Saksi Pelaku Sebagai Justice Collaborators Dalam Tindak Pidana Narkotika Di Pengadilan Negeri Pematang Siantar (Studi Putusan No: 231/Pid.Sus/2015/Pn, USU Law Journal, Vol.5.No.3, Oktober 2017

Pujiarto, Iwan Wahyu. Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang- Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. USU Law Journal, Vol.3.No.2 Agustus 2015

Zainuddin, Muhadi Peran Sosialisasi UU Advokat dalam Pemberdayaan Kesadaran Hukum Masyarakat. Jurnal Al-Mawarid No. 12 Tahun 2004, Fakultas Ilmu Agama UII : Yogyakarta.

D. Internet https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/10/26/1105/, pada Senin, 2 maret 2019, pukul 20.00 wib. https://www.duniapelajar.com/2010/06/02/peran-dan-tanggungjawab-lbh-lembaga- bantuan-hukum-dalam-melakukan-advokasi-hukum/ di akses pada tanggal 9 april 2019 pada pukul 08.44 wib. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4206/lembaga-bantuan-hukum di akses pada tanggal 5 April 2019 pada pukul 16.50 wib. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/implementasi di akses pada tanggal 7 maret 2019 pukul 09.52 wib. https://kbbi.web.id/miskin di akses pada tanggal 14 maret 2019 pada pukul 07.05 wib. https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-kemiskinan.html di akses pada tanggal 14 maret 2019 pukul 07.49 wib. https://www.maxmanroe.com/vid/manajemen/arti-implementasi.html di akses pada tanggal 7 maret 2019 pukul 09.55 wib. https://www.maxmanroe.com/vid/organisasi/pengertian-organisasi.html di akses pada tanggal 5 April 2019 pukul 14.15 wib.

Universitas Sumatera Utara 140

https://kbbi.web.id/akreditasi di akses pada tanggal 5 April 2019 pukul 14.20 wib. https://pramudyarum.wordpress.com/2016/06/07/bantuan-hukum-bagi-masyarakat-miskin/ di akses pada tanggal 27 tahun 2019 pada pukul 15.00 wib.

Universitas Sumatera Utara