Samalanga Di Bawah Pemerintahan Tun Seri Lanang 1613-1659

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Samalanga Di Bawah Pemerintahan Tun Seri Lanang 1613-1659 Jurnal Seuneubok Lada, Vol. 2, No.1, Januari - Juni 2015 SAMALANGA DI BAWAH PEMERINTAHAN TUN SERI LANANG 1613-1659 Hanafiah - Fadliansyah Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Samudra, Langsa email: [email protected] Abstraksi Kebesaran Kesultanan Islam Malaka hancur setelah Portugis menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan yang menyelamatkan diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah Portugis. Perkembangan tersebut membuat gundah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu ini dari cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan para pencari suaka dari Melaka yang menetap di Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan “Kerajaan Islam Aceh Darussalam” pada tahun 1512, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru. Penulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui siapakah Tun Seri Lanang yang dinobatkan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai Uleebalang pertama Samalanga, dan bagaimana keadaan Samalanga di bawah pemerintahan Tun Seri Lanang serta usaha apa saja yang dilakukan oleh Tun Seri Lanang dalam memerintah Kerajaan/Kenegrian Samalanga, karena pada masa pemerintahannya Samalanga menjadi sebagai pusat pengembangan Islam. Kata Kunci: Samalanga, Pemerintahan, Tun Sri Lanang. PENDAHULUAN didukung penuh oleh pembesar negeri Kebesaran Kesultanan Islam Aceh dan para pencari suaka dari Melaka Malaka hancur setelah Portugis yang menetap di Bandar Aceh. Sultan menaklukkannya tahun 1511. Banyak memproklamirkan “Kerajaan Islam Aceh pembesar kerajaan yang menyelamatkan Darussalam” pada tahun 1512, dengan visi diri ke kerajaan lainnya yang belum utamanya menyatukan negeri kecil seperti dijamah Portugis. Sebut saja Pahang, Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Aru. (A. Hasyimy, 1983:60) Daya, Pattani, Pasai dan Aceh. Portugis Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berusaha menaklukkan kerajaan Islam berprinsip. “Siapa kuat hidup, siapa lemah yang kecil ini dan tanpa perlawanan yang tenggelam”. Karenanya dalam pikiran berarti. Perkembangan tersebut membuat Sultan untuk membangun negeri yang baru gundah Sultan Ali Mughayat Syah (1514- diproklamirkannya perlu penguatan 1530). dibidang politik, luar negeri, militer yang Sultan berkeinginan untuk tangguh, ekonomi yang handal dan membebaskan negeri Islam di Sumatera pengaturan hukum/ketatanegaraan yang dan Semenanjung Tanah Melayu ini dari teratur. Dengan strategi inilah, menurut cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh 97 Jurnal Seuneubok Lada, Vol. 2, No.1, Januari - Juni 2015 Darussalam akan menjadi negara yang misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, akan diperhitungkan dalam percaturan Pahang, Johor dan Melaka, Perak, Deli. politik global, sesuai dengan masanya dan Sultan Iskandar Muda mampu mengusir Portugis dari negeri menghancurkan Batu Sawar, Johor, pada Islam di Nusantara yang telah tahun 1613. Seluruh penduduk Johor, didudukinya. (H.Muhammad Said, termasuk Sultan Alauddin Riayatshah III, 1981:102) adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan Dasar pembangunan kerajaan Islam pembesar- pembesar negeri Johor-Pahang Aceh Darussalam yang digagaskan Sultan seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh Kamaliah (Putroe Phang) dan penggantinya Sultan Alaidin Riayatsyah Bendaharanya (Perdana Mentri) Tun Al-Qahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Muhammad kemudian dipindahkan ke Mukammil dan Iskandar Muda. Aliansi Aceh. Sultan Iskandar Muda kemudian dengan negara-negara Islam dibentuk, baik menjadikan (Tun Muhammad) Tun Seri yang ada di nusantara maupun di dunia Lanang sebagai Uleebalang pertama ke Internasional. Misalnya Turki, India, Samalanga atas saran dari Putri Kamaliah. Persia, Maroko. Pada zaman inilah Aceh Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mampu menempatkan diri dalam mencegah terjadinya pemberontakan raja- kelompok “Lima Besar Islam” negara- raja yang mendapat dukungan rakyat. negara Islam di dunia. Hubungan diplomatik dengan negeri non-muslim pun RUMUSAN MASALAH: dibina sepanjang tidak mengganggu dan 1. Bagaimana keadaan Kerajaan bertentangan dengan asas-asas kerajaan Samalanga di bawah pemerintahan (A. Hasyimy, 1983 : 98). Tun Seri Lanang ? Perseteruan kerajaan Aceh dengan 2. Siapakah Tun Seri Lanang yang Portugis terus berlangsung sampai tahun dinobatkan oleh Sultan Iskandar Muda 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang sebagai Uleebalang pertama syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru, Samalanga ? Bintan, Kedah, Johor, Pahang dan 3. Apa saja yang dilakukan oleh Tun Seri Trenggano. Populasi penduduk Aceh Lanang dalam memerintah Kerajaan menurun drastis. Menurut suatu laporan Samalanga ? jumlah penduduk Aceh ketika itu adalah 130.000 orang, 80.000 di antaranya tinggal PEMBAHASAN di ibu kota Aceh berperanan sebagai pusat BIOGRAFI TUN SERI LANANG politik dan ekonomi (yakni sekitar 60%), Riwayat Keluarga Tun Seri Lanang dan lebih dari 26.000 (20%) di tiga daerah Kesultanan di Semenanjung Melayu mempunyai hubungan yaitu Pedir, Pasai dan Aru. (Pierre-Yves Manguin, 1999:236). Sultan Iskandar kekeluargaan yang erat dengan Aceh Muda mengambil kebijakan baru dengan melalui pernikahan lewat putera-puteri menggalakkan penduduk di daerah mereka. “Di awali dengan perkawinan takluknya untuk berimigrasi ke Aceh inti, Prameswara yang kemudian terkenal 98 Jurnal Seuneubok Lada, Vol. 2, No.1, Januari - Juni 2015 Sultan Iskandar Syah dengan Puteri Sultan Damia Seri Wandhi namanya” Zainal Abidin Malikuzzahir”. Dari (A.Samad Ahmad, 1979:80) perkawinan ini lahirlah keturunan Setelah baginda raja Nizamul Prameswara yang kemudian berkuasa di Muluk Akbar Syah meninggal dunia maka Malaka, Johor, Pahang dan Perak. Selain putera keduanya diangkat menjadi itu ada pula Mani Purindan, Putera Raja penerusnya sedangkan Mani Purindan alias Pahili India yang menikah dengan Puteri Syekh Amir Badaruddin Alias Syekh Pasai kemudian menikah lagi dengan Matraluddin sendiri mengembara ke Pasai Puteri Malaka yang melahirkan keturunan dan Malaka. Dalam pengembaraan ke Bendahara di Semenanjung Malaka. (H. Malaka, Mani Purindan dengan Anas M. Yunus, 2009: 53) rombongannya terdampar di daerah Jambu Tun Seri Lanang secara geneologi Air karena kapalnya rusak diserang bila dititik belakang adalah berasal dari gelombang air laut dan akhirnya menikah sebuah negeri yang bernama Pahili dengan Puteri dari Sultan Pasai ke-6 (Gujarat) di India, karena ia adalah (Sultan Muhammad Said Malikuzzahir). keturunan ke-6 Mani Purindan yang Sultan Muhammad Said Malikuzzahir merupakan putera Nizamul Muluk Akbar sendiri hanya berkuasa selama tiga tahun Syah yang memerintah di daerah Pahili di Samudra Pasai mulai tahun 1403 sampai sekitar tahun 1335 – 1388 M (764 – 798 tahun 1405 karena tewas dibunuh dan H). (A.Samad Ahmad, 1979:83). Nizamul kemudian digantikan oleh istrinya yang Muluk adalah gelar yang diberikan raja bernama Sultanah Bahiya. kepada penguasa lokal setingkat gubernur Setelah cukup lama berada di Pasai, atau menteri. Nizamul Muluk Akbar Syah Mani Purindan kembali ke negeri asalnya, mempunyai dua orang putera dan seorang 23 negeri Pahili. Selang beberapa waktu, ia puteri. Putera pertama bernama Amir pun pergi ke Malaka kembali dan di sana Badaruddin Khan Alias Mani Purindan, Mani Purindan diterima oleh Raja Malaka yang kedua Raja Akbar Muluk Syah dan dan dinikahkan dengan Puterinya yang yang terakhir perempuan namanya Dunia bernama Tun Ratna Sandari. Tun Ratna Seri Wandi. Hal ini disebutkan dalam Sandari adalah puteri dari Tun Perpati Sulalatus Salatin: Besar. Dari pernikahannya dengan puteri “Alkisah maka tersebutlah perkataan ada sebuah negeri di Malaka inilah lahir anak cucunya yang di benua Keling, Pahili namanya, kemudian hari menjadi penguasa dan Nizamul Muluk Akbar Syah nama bangsawan di Aceh, Johor, Pahang, Perak, rajanya, adapun raja itu Islam Terengganu dan Selangor. Demikianlah dalam agama Nabi Muhammad keterangan singkat tentang asal usul Mani SAW, maka baginda beranak tiga Purindan yang menjadi moyang Tun Seri orang, dua lelaki dan seorang perempuan, yang tua Mani Lanang. (A.Samad Ahmad, 1979:82) Purindan namanya, dan yang tengah Raja Akbar Muluk Syah Keturunan Mani Purindan di Aceh namanya, dan yang perempuan 99 Jurnal Seuneubok Lada, Vol. 2, No.1, Januari - Juni 2015 Seperti yang dijelaskan di atas, Tun Seri Lanang menyebutkan dalam perjalanannya yang kemudian dalam buku Sejarah Melayu bahwa Mani terdampar di Jambo Air wilayah Purindan datang ke Malaka disertai kesultanan Samudra Pasai, Mani Purindan pengawal sebanyak tujuh kapal pada awal menikah dengan Puteri dari Sultan Pasai abad ke-15 M. Kedatangan mereka ke-6. Dari pernikahan ini, Mani Purindan disambut hangat oleh Sultan Muhammad mempunyai anak yang bernama Raja Syah sultan Malaka ketiga (1424-1444 M). Derikan Akbar Qamaruddin (Pocut Simpul Di Malaka Mani Purindan menikah dengan Alam). Raja Derikan Akbar Qamaruddin puteri bangsawan Aceh yang bernama Tun (Pocut Simpul Alam) menikah dengan Ratna Sendari yang melahirkan seorang Sultanah Bahren Syah Ratu Purba yang puteri yang bernama Tun Ratna Wati dan juga sultanah Samudra Pasai ke 11 dan seorang putera bernama Tun Ali. Puteri mempunyai anak yang bernama Pocut Purindan setelah dewasa dinikahi oleh Raya Ali Akbar. Anak cucu Pocut Simpul Sultan Muhammad Syah dan melahirkan Alam inilah yang di kemudian hari keturunan yang kemudian melanjutkan mendirikan kerajaan dan sekaligus menjadi tahta kerajaan Malaka sedangkan melalui penguasa dan
Recommended publications
  • The Johor-VOC Alliance and the Twelve Years Truce: Factionalism, Intrigue and International Diplomacy 1606–13
    International Law and Justice Working Papers IILJ Working Paper 2009/8 History and Theory of International Law Series THE JOHOR-VOC ALLIANCE AND THE TWELVE YEARS’ TRUCE: FACTIONALISM, INTRIGUE AND INTERNATIONAL DIPLOMACY 1606–13 PETER BORSCHBERG National University of Singapore Faculty Director: Robert Howse Program in the History and Theory of International Law Co-Directors: Philip Alston and J.H.H. Weiler Directors: Benedict Kingsbury and Martti Koskenniemi Program Director: Angelina Fisher Institute for International Law and Justice Faculty Advisory Committee: New York University School of Law Philip Alston, Kevin Davis, David Golove, Robert Howse, 40 Washington Square South, VH 314 Benedict Kingsbury, Martti Koskenniemi, Mattias Kumm, New York, NY 10012 Linda Silberman, Richard Stewart, J.H.H. Weiler, Website: www.iilj.org Katrina Wyman All rights reserved. No part of this paper may be reproduced in any form without permission of the author. ISSN: 1552-6275 © PETER BORSCHBERG Working Papers are issued at the responsibility of their authors, and do not reflect views of NYU, the IILJ, or associated personnel. New York University School of Law New York, NY 10012 U.S.A. Cite as: IILJ Working Paper 2009/8 (History and Theory of International Law Series) Finalized 12/17/2009 (www.iilj.org) The Johor-VOC Alliance and the Twelve Years’ Truce: Factionalism, Intrigue and International Diplomacy 1606–13 * PETER BORSCHBERG Department of History, National University of Singapore Abstract: Using published and unpublished documents of Dutch, Portuguese and Malay provenance, the present study explores how news of the Twelve Years Truce in December 1609 negatively impacted politics and commerce at the court of the Kingdom of Johor.
    [Show full text]
  • Patterns of Physical Form of a Malay-Rooted Urbanism in Historical Melaka Form”
    DISEGNARECON volume 13/ n. 25 - December 2020 TRAVELING FROM THE ORIENT TO THE WEST AND RETURN. ISSN 1828-5961 Illyani Ibrahim Dr Illyani Ibrahim is an Assis- tant Professor in International Islamic University Malaysia. She is a registered corporate member of Institution of Ge- ospatial and Remote Sensing Society (IFGRSM) and an asso- ciate member in Malaysia In- stitute of Planners. Her recent research interest focuses on the application of Geograph- ical Information System (GIS) and remote sensing in environ- mental analysis and cultural conservation of heritage. Puteri Shireen Jahn Kassim An Associate Professor based at the Kulliyyah of Architec- ture and Environmental Design (KAED), International Islamic University Malaysia, and cur- rently based at the Applied Arts and Design programme. She is the main author of two recent books “The Resilience of Tradition” and “Modernity, Nation and Urban architectural Patterns of physical form of a Malay-rooted Urbanism in historical Melaka form”. She headed the archi- tecture and arts research clus- ter under the transdisciplinary grant (TRGS) by MOHE. This study discusses urbanism in pre-colonial Alias Abdullah Melaka city, focusing on pre-colonial Melaka city He is a Professor of Urban during the Malay Sultanate of Melaka. This study and Regional Planning at the aims to i) explore the urbanism of the pre-colo- International Islamic Universi- ty Malaysia (IIUM). He is also nial Melaka, and ii) study the matrix analysis of the Immediate Past President, pre-colonial Melaka. Data was gathered through Malaysian Institute of Planners secondary data content analysis drawn from pre- and a Registered Town Plan- vious works such as documented textual analyses ner with the Malaysian Board of Town Planners.
    [Show full text]
  • TRADITIONAL MALAYSIAN BUILT Rorms
    TRADITIONAL MALAYSIAN BUILT roRMS: A STUDY or THE ORIGINS, MAIN BUILDING TYPES, DEVELOPMBHT or BUILDING roRMS, DESIGN PRINCIPLES AND THE APPLICATION or TRADITIONAL CONCEPTS IN MODERN BUILDINGS Esmawee Haji Endut A thesis submitted to fulfil the requirements for the degree of Doctor of Philosophy at the Department of Architecture University of Sheffield November 1993 I TRADITIONAL MALAYSIAN BUILT FORMS: A STUDY OF THE ORIGINS, MAIN BUILDING TYPES, DEVELOPMENT OF BUILDING FORMS, DESIGN PRINCIPLES AND THE APPLICATION OF TRADITIONAL CONCEPTS IN MODERN BUILDINGS SUMMARY The architectural heritage of Malaysia consists of Malay, Chinese and colonial architecture. These three major components of traditional Malaysian architecturel have evolved in sequence and have overlapped from the beginning of the fifteenth century. These building traditions ceased with the emergence of a new architectural movement which was brought into the country in the twentieth century after the nation's independence. This new phase was the development of modern architecture and during this period, many buildings in Malaysian cities were built in the International Style, which was popular in many western countries. The continual process of adopting western styles and images has resulted in buildings which disregard the environmental and climatic factors of Malaysia and this has led to the problem of identity in the development of Malaysian architecture. It was in view of this problem that this research was initiated, coupled with an interest to investigate the underlying principles of traditional built 1 For the purpose of this study, 'traditional architecture' or 'traditional built forms' refer to the early building traditions in Malaysia before independence which includes the Chinese and colonial buildings.
    [Show full text]
  • Tun Sri Lanang Dan Ikatan Kultural Alam Melayu Tun Sri Lanang and Cultural Affinity of the Malay World
    TUN SRI LANANG DAN IKATAN KULTURAL ALAM MELAYU TUN SRI LANANG AND CULTURAL AFFINITY OF THE MALAY WORLD Taufik Abdullah Ketua Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) [email protected] Abstract The beginning of the 16th century can be seen as the time when the history of the two big powers in the Malay world–Majapahit and Malaka–had ended and the period of “stable instability” began. That was the time when the new emerging kingdoms were involved in the highly unstable relationship. Despite of the conflicts and uncertainties, the Malay literary tradition began during this period. Sejarah Melayu (Sulalat us Salihin) or Malay Annals is one of the most famous manuscripts in Malay literary tradition. It was written by Tun Sri Lanang, the Bendahara (“prime minister”) of Johor (a kingdom on Malay Peninsula), who later became the district-head of Samalanga, Aceh- Darussalam. The manuscript does not only describe the history of the Malay kingdoms–from the time of Palembang through the establishment of Malaka to the crisis of the Sultanate of Johor– but also discusses the ethics of power. This manuscript can be compared with Taj us Salatin, written in 1603. The basic foundation of power is justice. However, can the sense of justice be used to oppose the ruler, who has failed to perform the justice? Then, how are the dilemma between justice and rebellion be solved? Keywords: sirna ilang krta ning bhumi, Majapahit & Malaka, Sejarah Melayu, traditional historiography, political theory of Malay, justice and rebellion. Abstrak Awal abad ke-16 dapat dilihat sebagai zaman ketika sejarah dua kekuatan besar di dunia Melayu (Majapahit dan Malaka) berakhir, dan periode ketidakstabilan yang stabil dimulai.
    [Show full text]
  • In Malay Foundation Myths: a Study of Sri Nila Pahlawan
    J. Vis. Art & Des., Vol. 11, No. 2, 2019, 105-118 105 The Significance of ‘Nila’ In Malay Foundation Myths: A Study of Sri Nila Pahlawan Fythullah Hamzah1 & Ahmad Azaini Abdul Manaf2* 1 Institute of Creative Technology, Universiti Malaysia Sarawak, 94300 Kota Samarahan. Sarawak, Borneo. Malaysia 2 Faculty of Applied and Creative Arts, Universiti Malaysia Sarawak, 94300 Kota Samarahan. Sarawak, Borneo. Malaysia *E-mail: [email protected] Abstract. This article examines the true significance of nila (blue) in the Malay literature from an ocular point of view. The origins of Malay foundation myths as written in the Malay Annals by Tun Sri Lanang, which contain a detailed description of the ancestry of Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba, his miraculous appearance at Bukit Seguntang and introduces the renowned covenant with Demang Lebar Daun, the ruler of Palembang. This study outlines the appearance of nila in ancient texts (Sri Nila Pahlawan, Sang Nila Utama, Tuan Putri Nila Panjadi). A visual and textual approach was employed to investigate the importance of nila in ancient Malay myths and the determination of its usage in the narratives. Each description was examined and drawn in detail from the aspects of depictions, compared to other texts on the same point and degrees in the Malay world. The aim of this inquiry was to separate the history part from the mythical part and to determine the meaning of the nila designation that occurs in multiple accounts throughout the literature. As a conclusion, according to the usage of nila in the Malay Annals it can be seen as a name to represent the divine or supreme status of the ruling royal family.
    [Show full text]
  • Usaha-Usaha Menegakkan Semula Melaka 1. Melaka Dikuasai O
    BAB 7: JOHOR MENEGAKKAN SEMULA KEWIBAWAAN KESULTANAN MELAYU MELAKA (1) Usaha-usaha menegakkan semula Melaka 1. Melaka dikuasai oleh Portugis — Sultan Mahmud Shah, pembesar serta pengikutnya termasuk Orang Laut ke Pagoh. 2. Bina kubu pertahanan di Bentayan, Muar. 3. Baginda bersemayam sementara di Pahang. 4. Baginda ke Pulau Bentan. 5. Di Bentan – kumpul tentera dengan bantuan penduduk jajahan takluk. 6. Maharaja Lingga, raja Inderagiri, raja Siak dan Sultan Aru (Deli) menghadap Sultan Mahmud Shah di Bentan. 7. Wakil kerajaan Manjung dan Beruas, pemerintah Kampar, Klang, Rembau dan Sg Ujong menyatakan taat setia kpd baginda. 8. Tahun 1521, Portugis menyerang Bentan. 9. Serang-menyerang Melaka dan Bentan. 10. Sultan Mahmud Shah berundur di Kampar (jajahan takluk Melaka) 11. Mangkat di Kampar (2) Pengasasan kerajaan Johor a) Penerusan warisan Melaka b) Usaha Johor menguasai Melaka c) Kebangkitan Acheh 1. Putera Sultan Mahmud Shah (Raja Ali) jadi 1. Pemerintah Johor, pembesar dan rakyat tidak 1. Selepas Melaka dijajah Portugis, pedagang dari sultan gelaran Sul Alauddin Riayat Shah II. berputus asa menawan semula Melaka. Benggala, Sri Lanka, Pegu dan Turki beralih ke 2. Dikenali Raja Ujong Tanah & Bentan, 2. Usaha terbesar dijalankan pada tahun 1551. Acheh. 3. Ujong Tanah dikenali sebagai Johor 3. Angkatan perang Johor bergabung dengan 2. kerana dasar perdagangan Portugis yang ingin 4. Sultan Alauddin Riayat Shah II asaskan angkatan perang Perak, Pahang dan menghapuskan monopoli perdagangan di kerajaan di Tanah Besar Johor Japara(Jawa) untuk menyerang Melaka. kalangan pedagang asing. 5. Bendahara dan Seri Nara Diraja ditugaskan 4. Serangan gagal sebab : 3. Portugis kenakan peraturan dan sekatan bangunkan pentadbiran kerajaan Johor di i.
    [Show full text]
  • Tun Seri Lanang: Dari Istana Batu Sawar Ke Naggaroe Acheh Darussalam
    Jurnal Melayu Bil. 16(1) 2017 TUN SERI LANANG: DARI ISTANA BATU SAWAR KE NAGGAROE ACHEH DARUSSALAM JOHARI TALIB Unitar International University [email protected] MAHARAM MAMAT Universiti Kebangsaan Malaysia [email protected] MAZNAH IBRAHIM Universiti Kebangsaan Malaysia [email protected] ABSTRAK Tun Seri Lanang adalah seorang ahli politik dan pujangga ternama yang berasal dari istana Johor di Batu Sawar. Pada tahun 1613, Tun Seri Lanang telah di tawan oleh bala tentera Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam dari Acheh, kemudian dibawa ke Acheh bersama-sama Sultan Alauddin Riayat Shah III dan adindanya Raja Abdullah. Sumber sejarah di Tanah Melayu menganggap Tun Seri Lanang meninggal dunia di Acheh. Peranannya selepas ditawan dan dibawa ke Acheh tidak banyak diperkatakan. Sungguh pun begitu, sumber-sumber sejarah dari Acheh menunjukkan bahawa Tun Seri Lanang tidak dipenjarakan atau meninggal dunia di dalam penjara, sebaliknya beliau telah dilantik menjadi Raja Samarlanga. Beliau juga dilantik menjadi penasihat kepada paduka Sultan Mahkota Alam dan dua orang penggantinya. Beliau mungkin telah diselamatkan atas pengaruh Raja Puteri Kamaliah, iaitu puteri Pahang yang telah dikahwini Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang kemudiannya menjadi permaisuri Acheh. Artikel ini merupakan laporan penyelidikan mengenai kehidupan dan sumbangan Tun Seri Lanang semasa di Acheh. Pada masa ini Tun Seri Lanang menjadi tokoh kepada tiga buah negara iaitu Malaysia, Singapura dan Naggaroe Acheh Darussalam. Kata kunci: Tun Sri Lanang, Sejarah Acheh, Melaka, Melayu-Kling, Batu Sawar TUN SERI LANANG: FROM BATU SAWAR PALACE TO NAGGAROE ACHEH DARUSSALAM ABSTRACT Tun Seri Lanang was a notable politician and writer originated from the Palace of Johor in Batu Sawar.
    [Show full text]
  • Model Diplomasi Kuno Di Nusantara: Kasus Kesultanan Aceh Dan Johor Abad XVI – XVII Johan Wahyudi1
    Buletin Al-Turas Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, Januari 2017 Model Diplomasi Kuno di Nusantara: Kasus Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI – XVII Johan Wahyudi1 Abstract Nusantara is the land with various old tales. There is remaining some historical facts that is still urgent to discuss. One of past theme that is interesting is the relation of kingdoms and lands. Aceh Darussalam is one of the greatest kingdom in Sumatra and the strait of Malaka. Their existence had regarded as the guard, but for the other groups see it as threat. In some cases, that outlook can be changing, depending on the regional political context. The Kingdom of Johor becomes a one of political entity that is actively associated with Aceh. They need a strong colleague, in order to continue their development into estabilished kingdom. Their dark past, that is the fall of Malaka because Portuguese attack in 1511, is used for building a billateral cooperation with Aceh. Instead, the two kingdoms involved family relations. As we khow, marriage is the one of ancient diplomatic model in Middle Ages. During the wheel of time, the diplomatic boundery between Aceh and Johor is not always on the line. At the one day, Johor had known that Aceh had another goal behind his intentions. Aceh had planned that Johor is part of Aceh’s subordinate area. Therefore, Johor had decided Portuguese as his friend. This decision contraries to the vision of Aceh. Aceh had thougt that Portuguese is his rival. Aceh had showed his anger with several attacks to Johor.
    [Show full text]
  • Re-Visioning Melaka in Selected Literary Works
    International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 1, No. 1, May 2011 The Self and the Other: Re-visioning Melaka in Selected Literary Works Noraini Md Yusof, Ruzy Suliza Hashim, and Tajul Arifin Muhamad identity is dependent on the perspective the writer writes Abstract—This paper addresses from a New Historicist from. A reading of the contrasting perspectives reveals a viewpoint the changing constructs of the identity of Melaka as dichotomy that is ambiguous as well as disruptive. The line th evident in literary re-visionings of the 16 century dividing hero and villain, black and white or right and wrong Melaka-Portuguese encounters. The deconstructive nature of is blurred. In one text Melaka is a proud, cosmopolitan New Historicism allows us to disclose that the diverse discourses present Melaka in duality; in some texts Melaka is a great Sultanate with maritime power, while in another she is empire while in others, a fallen state. Our findings focus on two defeated, a nation conquered. This disparity: Melaka – the re-visioning texts to reveal the agenda behind the writers’ Malay empire and Melaka – the Portuguese colony intrigues constructions and the ways the state attempts to negotiate the a study on the machination of nationhood in literary writing. freedom, as well as constraints, of the time and space it dwells in. Both are constructs, the products of their writers who view By deconstructing each aspect of Melaka, we foreground the the state as the Other or as their own, namely the Self. This ideology that is operating in the construction of each.
    [Show full text]
  • Rewriting of the Malay Myth
    University of Wollongong Research Online University of Wollongong Thesis Collection 1954-2016 University of Wollongong Thesis Collections 2016 Image-i-nation and fictocriticism: rewriting of the Malay myth Nasirin Bin Abdillah University of Wollongong Follow this and additional works at: https://ro.uow.edu.au/theses University of Wollongong Copyright Warning You may print or download ONE copy of this document for the purpose of your own research or study. The University does not authorise you to copy, communicate or otherwise make available electronically to any other person any copyright material contained on this site. You are reminded of the following: This work is copyright. Apart from any use permitted under the Copyright Act 1968, no part of this work may be reproduced by any process, nor may any other exclusive right be exercised, without the permission of the author. Copyright owners are entitled to take legal action against persons who infringe their copyright. A reproduction of material that is protected by copyright may be a copyright infringement. A court may impose penalties and award damages in relation to offences and infringements relating to copyright material. Higher penalties may apply, and higher damages may be awarded, for offences and infringements involving the conversion of material into digital or electronic form. Unless otherwise indicated, the views expressed in this thesis are those of the author and do not necessarily represent the views of the University of Wollongong. Recommended Citation Bin Abdillah, Nasirin, Image-i-nation and fictocriticism: rewriting of the Malay myth, Doctor of Philosophy thesis, School of Arts, English and Media, University of Wollongong, 2016.
    [Show full text]
  • Pusat-Pusat Pemerintahan Kerajaan Melayu Johor Membina
    Jurnal Peradaban, Jil. 10, 38-61 (2017) PUSAT-PUSAT PEMERINTAHAN KESULTANAN MELAYU JOHOR MEMBINA PENEMPATAN AWAL ORANG MELAYU DI SEPANJANG SUNGAI JOHOR aNorliah Binti Abdullah bJaafar Bin Jambi aFakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya bAmbang Asuhan Jepun, PASUM, Universiti Malaya Abstrak Pembinaan penempatan awal orang Melayu di sepanjang Sungai Johor semasa pemerintahan kesultanan Melayu Johor telah menjadi suatu unsur penting dalam pensejarahan negeri Johor. Kajian oleh beberapa sarjana seperti Kamdi (2013), Buyong Adil (1971) dan Winstedt (1979) ada menyebut peranan Sungai Johor dalam proses pembinaan kesultanan Melayu Johor. Mereka juga menulis secara tidak langsung bahawa dalam proses pembinaan pusat-pusat pemerintahan tersebut diikuti juga pembinaan penempatan awal orang Melayu sepanjang Sungai Johor daripada Kota Kara sehingga Panchor dan Seluyut. Kajian ini dilakukan adalah untuk membincangkan secara khusus mengenai kawasan-kawasan sekitar Sungai Johor yang menjadi penempatan awal orang Melayu. Penulisan-penulisan tentang sejarah negeri Johor tidak ada yang memfokuskan secara khusus berkenaan dengan tajuk tulisan ini. Perbincangan dalam kajian ini membuktikan bahawa penempatan awal orang Melayu memang berlaku disebabkan perkembangan pusat-pusat pemerintahan kesultanan Melayu Johor di sepanjang Sungai Johor. Ini dapat disahkan lagi apabila terdapatnya kegiatan perdagangan antarabangsa secara ekstensif di pusat-pusat pemerintahan itu kerana terdapatnya sumber tenaga manusia yang banyak di sekitar pusat-pusat penempatan.
    [Show full text]
  • Johor Menegakkan Semula Kewibawaan Kesultanan Melayu Melaka
    JOHOR MENEGAKKAN SEMULA KEWIBAWAAN KESULTANAN MELAYU MELAKA PENGASASAN KEGEMILANGAN KEMEROSOTAN KERAJAAN JOHOR KERAJAAN JOHOR KERAJAAN JOHOR Penerusan warisan Johor sebagai pusat Perang Johor – Melaka perdagangan Jambi Kebangkitan Acheh Perkembangan Perebutan kuasa Persaingan antara persuratan Melayu Perebutan takhta Johor dengan Acheh Penglibatan Bugis dan Portugis di Johor Pengaruh Syarikat Hindia Timur Belanda (V.O.C) PERGERAKAN SULTAN MAHMUD •Sultan Mahmud mengatur serangan balas •Peperangan berlarutan •Sultan Mahmud sehingga tahun 1526 mangkat pada 1528 MELAKA 1521 – •Baginda PORTUGIS mengumpul •Penguasaan Portugis KAMPAR MENYERANG kekuatan ke atas Melaka (24 BENTAN ketenteraan Ogos 1511) dengan bantuan penduduk dari jajahan takluknya. BENTAN PAGOH •Membina •Baginda kubu bersemayam •Sultan Mahmud Shah pertahanan sementara bersama-sama BENTAYAN, dengan pengikutnya PAHANG termasuk Orang Laut. MUAR PENGASASAN KERAJAAN JOHOR • Putera Sultan mahmud = Raja Ali dilantik sebagai sultan baharu dengan gelaran Sultan Alauddin Riayat Shah II (1528-1564) • Baginda dikenali sebagai Raja Ujong Tanah dan Bentan • Pada akhir abad ke-16, Ujong Tanah dikenali dengan nama Johor sehingga sekarang. ASAL USUL NAMA JOHOR • Nama asal Johor = Ujong Tanah • Perkataan Johor = perkataan Arab, Jim, Ha, Ra yang disebut Jauhar = permata • Penduduk tempatan menyebutnya Johor. • Seri Nara Diraja = gelaran bagi jawatan Penghulu Bendahari. • Tugas Seri Nara Diraja = mengawal semua pendapatan negara, mentadbir istana dan mengawal hamba sultan. PENERUSAN WARISAN MELAKA • Sultan Alauddin Riayat Shah II dibantu oleh Bendahara dan Seri Nara Diraja. • Bendahara dan Seri Nara Diraja ditugaskan supaya membangunkan pusat pentadbiran Johor di Pekan Tua. • Sebuah kota pertahanan dibina = Kota Kara untuk menjaga keselamatan ibu negeri Johor. Cara Sultan Alauddin Riayat Shah II memperkukuh kuasa • Menguasai semua jajahan takluk Melaka dan menjadikannya sebagai jajahan takluk Johor.
    [Show full text]