BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Di
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di era informasi ini dihadapkan pada berbagai problem, baik bersifat makro maupun mikro. Pada level makro ada dua permasalahan paling mendasar yaitu orientasi filosofis dan arah kebijakan. Secara tersurat, tujuan pendidikan nasional sangat ideal karena menjangkau semua dimensi kemanusiaan (idealisme, keilmuan, etis, fisik, religiusitas, serta (life skill). Kenyataan di lapangan berbeda dengan yang seharusnya, karakter bangsa bergerak semakin jauh dari idealnya. Pragmatisme, krisis moral, diskriminasi, pelecehan, pencitraan, plagiat, bisnis atas alasan keilmuan telah mewarnai perjalanan pendidikan kita di Indonesia, baik secara lembaga maupun pada peserta didiknya. Ditambah Implementasi pendidikan kita mayoritas bersifat mekanik, sehingga output pendidikan hanya mampu menghasilkan budak-budak modern, (dicerdaskan lalu dipekerjakan, bahkan dibuat menganggur). Peserta didik dipaksa tunduk dan patuh pada sesuatu aturan yang linier sesuai temuan para pendahulu dan keinginan pemegang kebijakan, sehingga ruang ekspresi dan temuan baru pada siswa dan mahasiswa sebagai fitrahnya makhluk dinamis menjadi tumpul dan dirampas. Pada level mikro, bangsa ini dihadapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah, kualitas yang masih tertinggal dibanding negara-negara lain yang SDA-nya tidak sehebat Indonesia. Penyebab utamanya adalah lembaga pendidikan di Indonesia lebih banyak yang menyiapkan alumninya untuk menjadi pekerja pada perusahaan-perusahan 1 2 milik asing, cara memasarkan produk-produk teknologi asing kepada masyarakat, bekerja di instansi, dan lain sebagainya. Mereka juga dipaksa tunduk untuk kepentingan penguasa dalam melanggengkan kekuasaan dan melancarkan ambisi duniawi. Ketika pendidikan telah tunduk pada penguasa dan pengusaha, maka pasti terjadi kehancuran dan nalar tumpul bangsa yang menyebabkan ketercerabutan karakter bangsa. Pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan sekaligus juga transfer nilai (transfer of value). Untuk itu, penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam pendidikan merupakan pilar utama demi tegaknya pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, persoalan budaya dan karakter bangsa tersebut kini menjadi sorotan tajam masyarakat di berbagai aspek kehidupan, baik di keluarga, sekolah, masyarakat, media massa, 2 para pemuka masyarakat, para ahli, para pengamat pendidikan, berbicara tentang persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar dan lokakarya, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Pendidikan berbasis karakter bangsa yaitu prosesnya pengantarkan peserta didiknya menjadi penemu, pencipta, menjawab kebutuhan bangsa dengan mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengelola secara mandiri Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Demikian akan tercipta lapangan pekerjaan serta kreatifitas dan inovasi sebagai tuntutan percepatan persaingan bangsa di percaturan global abad 21 ini, serta tantangan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang sudah berlangsung beberapa waktu ini. 3 Pendidikan di Indonesia belakangan ini dituding sarat dengan muatan- muatan intelektualistik dan materialistik, yang mengesampingkan nilai-nilai moral budaya dan budi pekerti dalam membentuk karakter siswa dan mahasiswa, sehingga menghasilkan siswa dan mahasiswa yang pintar tetapi kurang bermoral. Percepatan globalisasi ini menyisahkan tanda tanya, apakah akan berakibat pada merosotnya nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada generasi muda yang menjadi aset bangsa di masa depan. Turunan dari problematika demikian membuat kita menyaksikan dinamika kebangsaan dan keumatan di Indonesia beberapa waktu belakangan ini mengalami berbagai sorotan negatif. Maraknya korupsi, reklamasi, penggusuran, menjamurnya industri asing yang mengeksploitasi kekayaan alam di berbagai wilayah di Indonesia. SDM Indonesia tidak memiliki kemampuan mengolah SDA 3 sendiri. Mayoritas hasil peserta didik dari lembaga pendidikan formal tidak disiapkan membangun bangsanya, tetapi disiapkan menjadi kaki tangan perusahaan asing, konglomerat, atau pada instansi. Pendidikan formal yang semakin materialistik tidak menyuguhkan cara membangun karakter bangsa sesuai kebutuhan masyarakat, kebutuhan bangsa dan negara sendiri. Lembaga pendidikan dituding hanya mampu melahirkan alumni-alumni yang tingkat intelektualitas yang memadai. Penilaian bertumpu pada kecerdasan akademik yang berbasis angka-angka sebagai ukuran, hasilnya adalah mementinkan nilai kongkrit atau IPK, yang berujung pada ijazah. Percepatan simbol-simbol sebagai strata tertinggi dalam dunia pendidikan menyebabkan 4 hilangnya esensi dari pendidikan itu sendiri. Pencitraan angka-angka pragmatis lebih dipropagandakan daripada membangun kualitas peserta didik. Lembaga pendidikan bergeser orientasi lebih menyiapkan seperangkat ijazah, tidak mengajarkan cara membangun kemandirian bangsa. Realitasnya, alumni yang dihasilkan banyak mengalami kegagapan menghadapi realitas lapangan. Banyak yang profesinya terpaksa membuka usaha kecil yang sesungghunya merebut lahan rakyat kecil, atau merampas hak rakyat dengan arogansi pendidikannya. Atau simbol angka sebagai ukuran kecerdasannya hanya mampu sampai pada level pembantu dalam membesarkan anak perusahan asing dan institusi yang mapan. Di sisi lain, sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, birokrasi dan roda pemerintahan rata-rata di isi oleh alumni aktivis organisasi mahasiswa. Mereka 4 banyak menempati posisi strategis yang meskipun tidak sesuai dengan jurusannya, sebab karakternya terbentuk dari organisasi. Kematangan keilmuan dari berbagai disiplin ilmu mengantarkan dirinya bisa berkarya dan mengabdi dalam bidang apapun. Proses dalam organisasi membuat waktunya terkuras memikirkan bangsa dan negara dari berbagai aspeknya. Baginya hal yang terpenting adalah menumbuhkan kualitas diri dan kepekaan terhadap persoalan umat dan bangsa yang tidak diajarkan di sekolah dan di kampus. Bagi HMI, kampus merupakan mitra dalam pengembangan dan penumbuhan insan-insan yang intelektual, kreatif. Tetapi di lapangan kampus cenderung resistensi terhadap organisasi ekstra termasuk HMI. Padatnya aktivitas kampus dan menyempitkan ruang mahasiswa dalam menimba ilmu dan mengasah 5 skill di organisasi ekstra, bahkan belum ada dorongan untuk terjadinya mitra. Di sini penulis ingin memaparkan pentingnya kerjasama dua lembaga pendidikan ini demi menumbuhkan mahasiswa dan sarjana yang berkualitas dan memiliki skill yang terbaik. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai organisai mahasiswa Islam yang lahir dua tahun setelah Indonesia merdeka yaitu tahun 1947. Artinya hampir seumuran republik Indonesia. Sejak itu HMI membuktikan kiprahnya mengawal bangsa Indonesia sampai hari ini. HMI telah menempatkan profesionalisme lembaga sebagai ujung tombak perkaderan. Dalam keanggotaan HMI tidak mengenal suku, ras dan keluarga, setiap mahasiswa Islam yang ingin menjadi bagian dalam keanggotaan HMI wajib mengikuti Latihan Kader I (LK I). Kurikulum perkaderan HMI disusun secara rapi, format perkaderan yang 5 revolusioner, mengantarkan kadernya meraih lompatan kuantum secara spiritual dan intelektual. Diajarkannya mengasah berbagai disiplin ilmu, membuat banyak kader HMI mampu mengembangkan kualitasnya pada bidang apa pun dia berkiprah, sebab terbiasa menjadi manusia pembelajar. Tiga aspek ditekankan dalam perkaderan HMI yaitu pertama, pembentukan integritas watak dan kepribadian. Kedua, pengembangan kualitas intelektualitas atau kemampuan ilmiah. Ketiga, pengembangan kemampuan profesional atau keterampilan harus terintegrasi secara utuh.1Tipe ideal dari hasil perkaderan HMI adalah “man of innovator” (duta-duta pembaruan). Penyuaraan “idea of progress” insan yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, 1Solichin, HMI Candradimuka Mahasiswa, (Cet. I; Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation, 2010), hlm. 57. 6 adil, jujur, tidak takabur, dan bertakwa kepada Allah SWT. Terbentuk manusia- manusia yang beriman, berilmu, dan mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).2 Dengan demikian akan lahir generasi-generasi baru yang kemudian hari menjadi kader umat dan kader bangsa. Memiliki kemampuan intelektual, kemampuan mengelola dan mengembangkan organisasi, lembaga, atau wadah pemberdayaan manusia. Dari proses itu lahirlah pemimpin yang mampu menterjemahkan dan mentransformasikan pemikiran konsepsional secara professional dalam gerak perubahan sosial. Sejak awal berdirinya, HMI telah memantapkan diri sebagai organisasi modern mahasiswa Islam di Indonesia. Kemoderenan dan profesionalisme selama ini yang membuat HMI tetap menjadi organisasi yang kompatibel dengan zaman. 6 Alumni HMI yang menjabat dan mengabdi serta mencipta dan berenovasi di berbagai bidang di negeri ini telah menunjukan kualitas yang disertai nasionalisme yang tinggi. Agussalim Sitompul (Sejarawan HMI) menyatakan, dua tugas yang diemban HMI sejak kelahirannya hingga sekarang, yaitu tugas negara dan agama. Memberi isyarat bahwa HMI merupkan bagian mutlak yang terus-menerus senafas kehidupan bangsa Indonesia. Isyarat tersebut terbaca dari rumusan tujuan HMI di awal berdirinya yaitu, “Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.” 2Ibid., hlm. 36. 7 Demikian menunjukkan HMI telah menempati posisi sebagai kader bangsa Indonesia dalam dimensi dulu, sekarang, dan yang akan datang. Konfigurasi politik, pendidikan, ekonomi, agama dan kebudayaan yang menjadi latar lakang berdirinya HMI, telah mengantar dan menempatkan