Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

i

POLITIK DAN REKAYASA BAHASA

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

ii POLITIK DAN REKAYASA BAHASA

Sukardi Weda

Penerbit

MediaQita Foundation Research and Community Development

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

iii Politik dan Rekayasa Bahasa

Penulis Sukardi Weda

Editor Rusdin Tompo

Desain Cover dan Tata Letak Nasrul

Penerbit Media Qita Foundation Kompleks Gerhana Alauddin Mas Blok E 36 Kec. Tamalate Sulawesi Selatan 90122 Tlp. 0411-8833379 Email: m [email protected] Web:http://www.mediaqitafoundation.org

ISBN: 978-602-72092-3-7

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

iv Komentar Para Kolega

Dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami karena membumi, para pembaca akan mendapatkan ragam manfaat dari buku ini. Kandungannya yang meliputi pendidikan, politik, sosial budaya, hingga bahasa dan media adalah isu – isu yang terus aktual diperbincangkan. Bagi saya, Dr. Sukardi Weda telah membuktikan dirinya sebagai seorang akademisi dan aktivis yang berkualitas

- Ilham Kadir, B.A., S.Sos.I., M.A. Penulis Produktif dan Peneliti LPPI Timur.

Buku ini hadir pada momentum yang tepat, kala politisi dan masyarakat butuh rujukan berpolitik. Buku ini berupaya membangun perspektif baru terkait bahasa politik, selain itu, akademisi UNM ini mengulas keculasan politisi yang berkutat pada diksi dan narasi penuh retorika tapi hanya sebatas janji. Kepiawaian politisi meracik kata nyatanya mampu mengubah opini masyarakat sehingga menitipkan amanah untuk mewakilinya di parlemen. Namun setelah duduk di kursi parlemen ternyata tak mampu menunaikan janjinya untuk membela rakyat. Kontras, saat menabur janji dalam rekayasa bahasa berdalil akan memperjuangkan nasib rakyat, konstituen. Namun mereka menghianati rakyat dengan melakukan korupsi. Rakyat menjadi korban rekayasa bahasa politik yang terbingkai dalam pencitraan politik tanpa pembuktian. Tetapi bahasa dalam politik penting publik memahami pesan – pesan politik para politisi, tetapi harus dibarengi integritas. Aspek inilah yang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

v hendak didedahkan buku ini sebagai bagian pendidikan politik kearah pengawal demokrasi yang masih dicicil.

- Dr. Firdaus Muhammad, M.A. Pengamat Politik & Dosen Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar

Politik oleh sebagian orang dianggap sebagai suatu strategi untuk mengalahkan lawan sekaligus usaha untuk mempertahankan kawan tetap jadi kawan. Namun faktanya lebih dominan kawan berubah jadi lawan. Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan bahasa yang tidak tepat, sehingga pengguna bahasa perlu memerhatikan tutur kata yang baik sebagai bentuk rekayasa bahasa itu sendiri. Politik dan rekayasa bahasa menjadi literatur penting terutama bagi para praktisi politik, dosen dan mahasiswa untuk menambah wawasan dari aspek sosial budaya, pendidikan, pemanfaatan media dan pengguna bahasa yang menjadi bagian dari buku ini. Inilah bentuk apresiasi atas usaha dan kerja keras dari Bapak Dr. H. Sukardi Weda, S.S., M.Hum,. M.Pd., M.Si., M.M., M.Sos.I. yang patut dihargai

- Dr. Rahmat Muhammad, S.Sos., M.Si. Sosiolog & Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

―Dr. Sukardi Weda adalah sosok yang tepat untuk menguraikan politik dan bahasa beserta ruang-ruang kontestasi antara kedua bidang disiplin ilmu ini. Saya mengenal penulis bukan hanya sebagai linguist yang ulet, kritis, dan kompeten di bidangnya, namun juga sebagai seorang multi-disipliner. Kumpulan karya beliau dalam buku ini sangat layak untuk dibaca dan menjadi refleksi pemikiran terhadap kondisi kekinian kita.‖

- Andi Muhammad Irawan, S.S., M.Hum. Kandidat PhD, Univ. of New England, Australia

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

vi PENGANTAR PENULIS

Buku yang ada dalam genggaman pembaca merupakan buah pemikiran penulis yang beberapa diantaranya sempat dimuat di sejumlah media massa. Tulisan tersebut sekaligus sebagai wujud respon atas kegelisahan penulis terhadap fenomena dalam beragam bidang di sekitar kita. Buku ini terdiri atas 5 (lima) bab, bab 1, 2, 3, dan 4 merupakan senarai artikel penulis yang telah dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan majalah, seperti Harian Fajar, Tribun Sulbar, Majalah Dunia Pendidikan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, dan lain – lain. Adapun bab 5 merupakan tebaran pikiran penulis dalam berbagai topik, yang juga merupakan disiplin keilmuan penulis, meliputi isu – isu yang berkaitan dengan pendidikan, sosiologi, bahasa, komunikasi, dan manajemen. Antologi tulisan ini adalah tulisan lepas penulis yang merupakan respon penulis terhadap peristiwa yang terjadi, dari tahun 2009 – 2013. Mungkin ada sejumlah tulisan yang tidak lagi relevan dengan situasi kekinian, tapi bila dibaca akan memberikan wawasan sekaligus sebagai pisau analisis terhadap masalah dan fenomena yang terjadi di sekitar kita. Isi buku ini sungguh beragam: mulai dari isu sosial, budaya, dan politik (Bab 1), Pendidikan (Bab 2), Media (Bab 3), Bahasa (Bab 4) hingga Bab 5 yang memuat tentang pusparagam tulisan penulis dan sekaligus sebagai buah perenungan penulis. Topik – topik tersebut muncul sesuai dengan ingar – bingar isu yang mencuat di masanya. Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang ingin menjadi penulis artikel populer pada kolom opini di surat kabar, juga menarik dibaca oleh mereka yang berprofesi sebagai akademisi, politisi, guru, mahasiswa, aktifis LSM, dan pengambil kebijakan (eksekutif). Buku ini tidak akan terbit tanpa campur tangan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Pimpinan dan Staf Redaksi Harian Fajar, khususnya Redaksi Kolom Opini. Ucapan terima kasih juga dihaturkan kepada

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

vii Pimpinan dan Staf Tribun Sulbar, Majalah Dunia Pendidikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, serta Tabloid Profesi UNM. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Rusdin Tompo, S.H., mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Sulawesi Selatan, periode 2011 – 2014 yang telah menjadi salah satu mitra diskusi penulis dan sekaligus bersedia memberikan pengantar dalam buku ini. Beliau memiliki ide – ide segar dan cemerlang sekaligus menjadi sumber inspirasi penulis dari keuletan dan kerja kerasnya yang selalu mengisi waktunya dengan duduk berjam – jam di depan laptop merangkai kata hingga menjadi tulisan sebagai respon atas kegelisahananya terhadap beragam masalah (media, penyiaran, anak, dan isu – isu aktual lainnya) yang acapkali muncul. Ribuan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para teman yang dengan kegiatannya yang sangat padat dapat meluangkan waktu untuk menulis kata pengantar dalam buku ini. Diantaranya, ada Firdaus Muhammad (Pengamat politik dan dosen komunikasi politik UIN, sekaligus sebagai dosen saya di UIN Alauddin Makassar), Rahmat Muhammad (Kolega saya sejak SMA hingga kini, dikenal sebagai salah seorang Sosiolog Universitas Hasanuddin yang kritis), Ilham Kadir (Peneliti Islam dan penulis produktif Harian Fajar dan Tribun), Andi Muhammad Irawan (Anak muda produktif dan enerjik yang telah menebarkan ratusan pemikiran cemerlangnya di sejumlah harian, ia juga memiliki kemampuan yang mumpuni dalam analisis wacana dan kajian – kajian semiotika, kini ia sedang dalam penyelesaian studi S3 di University of New England, Australia). Ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada mereka. Untuk istriku, Andi Rusbanna Amir, serta anak – anakku: Andi Ade Juang Tawakkal (almarhum), Andi Elsa Fadhilah Sakti, Andi Muh. Raynendra Arif, Andi Riola Pasenrigading, Andi Arung Mattugengkeng, Andi Ogi Pateddungi, dan Andi Elok Corawali, Andi Gina Choir, ribuan terima kasih, penulis sampaikan kepada mereka karena dengan doa, kesabaran, dan ketulusan hati mereka, penulis

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

viii dapat meraih sukses, termasuk dalam menyelesaikan penulisan buku ini. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT., semua pujian layak dihaturkan, mudah - mudahan buku ini dapat menjadi sumber inspirasi kepada masyarakat, terutama bagi mereka yang ingin menekuni kegiatan tulis menulis di media massa. Semoga bermanfaat, amiin…

Makassar, 7 November 2015 Sukardi Weda

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

ix Pengantar Editor

Catatan Kecil Tanpa Sekat Ilmu untuk Penghobi Sekolah

Menulis itu seperti menarik garis tanpa batas. Ia, seperti juga belajar, tak mengenal dimensi ruang dan waktu. Karenanya, sejak lama kita sudah mendengar nasihat penuh motivasi: tuntutlah ilmu hingga ke negeri China. Artinya, hingga di mana pun ilmu itu berada kejarlah, raihlah. Meski ia berada nun jauh di sana, yang untuk merengkuhnya badan ini harus kuyup oleh keringat dan linangan air mata. Meski ia berada di antara kelompok yang berbeda dengan kita. Bahkan, bila ilmu itu berada di sarang musuh sekalipun. Manusia itu sejak kecil sebenarnya belajar secara holistik. Ia belajar apa saja dari siapa saja. Tapi, tanpa disadari, orang tua—dan juga lingkungan—mengenalkan kata-kata ―jangan‖, ―larang‖, ―tidak boleh‖, dan ―gagal‖. Jadilah ia kemudian sebuah konsep diri yang membatasi kemampuan kreatifitas dan keberanian berekspresi si anak. Anak jadi peragu dan dihantui kebimbangan untuk bertindak dan mencoba. Serba canggung dan takut salah. Padahal, kata George Bernard Shaw, hidup dengan melakukan kesalahan akan lebih terhormat daripada selalu benar karena tidak melakukan apa-apa. Maka, sejatinya kita menumbuhkan sebuah proses pembelajaran sejak dini pada anak-anak kita. Dorothy Law Nolte (2003) lewat puisi klasiknya yang amat terkenal ―Children Learn What They Live‖ menyatakan, kalau anak- anak banyak diberikan dorongan dalam kehidupannya, mereka akan belajar percaya diri. Kepercayaan diri ini bisa menjadi kata kunci untuk meraih kesuksesan. Sebagaimana kata Robert Collier bahwa kesempatan Anda untuk sukses di setiap kondisi selalu dapat diukur oleh seberapa besar kepercayaan Anda pada diri sendiri. Sayangnya, kalimat sarat energi yang mendorong kita agar berupaya terus-menerus belajar hingga ke negeri orang, Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

x kerap terhalang oleh pola asuh yang membentuk mental blocks anak-anak kita. Dalam lilitan mental blocks, anak- anak lantas merumuskan dirinya sebagai ―seseorang yang memang dari sononya bodoh, goblok, tak pandai, tak berbakat, dan seabrek kata-kata merendahkan lainnya‖. Kata-kata yang meruntuhkan semangat. Kata-kata yang memenjarakan. Mental blocks adalah hambatan secara mental atau psikologis yang menyelubungi pikiran seseorang. Ia dapat muncul dari kekeliruan pengalaman hidup atau pergaulan, sisa traumatik masa lalu, sisa luka batin, sisa pengalaman yang tidak mengenakkan ketika kecil maupun karena ―kekeliruan‖ atau kekurangtepatan cara pandang atau anggapan terhadap sesuatu bahkan akibat cara belajar/ pendidikan yang tidak tepat. Kemunculannya (manifestasinya) bisa berbentuk kecanggungan bertindak, kesulitan berbicara (apalagi di depan umum), kesulitan mengaktualisasikan diri (walaupun sebenarnya memiliki berbagai kelebihan, misalnya kecerdasan/kemampuan lain), kadang juga muncul dalam bentuk sindrom ―inferior complex‖atau sindrom rendah diri (http://miracleone.wordpress.com). Berbeda dengan itu, menurut Dalai Lama, potensi seluruh manusia adalah sama. Perasaan kamu yang bilang ‗Aku tidak berharga‘ adalah salah. Kamu menipu dirimu sendiri. Kita semua memiliki kekuatan dalam batin kita, jadi apa yang kurang? Jika kamu punya tekad, kamu dapat mengubah apapun. Kamu adalah guru bagi dirimu sendiri. Mata batin spiritual pemimpin Tibet itu bukan tanpa alasan. Bukankah tugas pertama manusia adalah menjadi pembelajar (becoming a lerner, learning individual)? Tugas kedua, menjadi seorang pemimpin (becoming a leader), dan tugas ketiga, menjadi seorang guru (becoming a guru). Begitulah tri tugas, tanggung jawab, dan panggilan universal untuk semua orang (manusia) berdasarkan uraian Andrias Harefa (2000). Beruntunglah penulis buku ini. Atau lebih tepatnya, patut kita apresiasi penulis buku ini. Ia telah berada pada tugas ketiga sebagai seorang guru melalui aktifitasnya

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

xi sebagai dosen, sebagai pengajar. Ia begitu gigih meniti jenjang pendidikan, mengurai teori dari berbagai disiplin ilmu tanpa terpaku kaku untuk menjadi seorang spesialis. Menjadi makhluk pembelajar itu takdir pertama kita sebagai manusia, menurut kajian Andrias Harefa. Sementara, menjadi pembelajar yang generalis, sudah menjadi pilihan Sukardi Weda, penulis buku ini. Tak perlu kita berdebat soal julukan ini. Indikatornya jelas. Berbagai gelar yang memagari nama penulis buku ini, di depan dan belakang, tentu bukan sekadar untuk gagah-gagahan tapi menyiratkan kegigihan, ketekunan, dan kerja keras. Jika kita melihat ia menikmati keberhasilannya sekarang, harap mafhum saja. Ernest Newman menegaskan, orang-orang yang hebat di bidang apapun bukan baru bekerja karena mereka terinspirasi, namun mereka menjadi terinspirasi karena mereka lebih suka bekerja. Mereka tidak menyianyiakan waktu untuk menunggu inspirasi. Buku berjudul POLITIK DAN REKAYASA BAHASA ini bagai sebentuk pertanggungjawaban moral atas beraneka ilmu yang sudah ia langlang-buanakan. Judul buku yang dipilihnya menunjukkan bagaimana ia memahami seni mencapai tujuan dan membuat strategi guna meraih tujuan itu. Ia mampu berdiplomasi, berdialog dengan pilihan diksi yang bernas, yang juga merupakan sebuah seni berkomunikasi. Ia melek politik meski tidak berpolitik praktis. Tapi, ia paham memanfaatkan gaya politisi dalam setiap celah kehidupannya dan punya analisis politik yang relatif mumpuni. Soal bahasa, tak perlu lagi diragukan. Begitulah ia memadupadankan politik dan bahasa dalam sebuah ramuan yang disajikannya pada kita semua. Ramuan dengan aneka cita rasa. Ragam tema yang diangkat bukti bahwa ia fasih bicara akan hal yang menjadi minatnya. Dalam buku ini ia menulis dinamika dan masalah-masalah Sosial Budaya dan Politik (Bab I), meneropong dunia Pendidikan (Bab II), mengulas praktik-praktik Media (Bab III), mengelaborasi tema Bahasa (Bab IV) yang begitu andal dikuasainya serta mozaik ide dan gagasan pada bagian akhir yang diikat lewat Tebaran Pikiran dalam Beragam Topik (Bab V). Kalaupun

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

xii terkesan terjadi lompatan tema dan tidak ada benang merah dari satu bab ke bab berikutnya itu karena buku ini memang merupakan kumpulan tulisan penulis yang pernah dimuat di berbagai media massa. Sehingga, sejak awal tidak dipersiapkan menjadi satu tema yang sama untuk dijadikan sebuah buku. Yang pasti, bunga rampai tulisan dalam buku ini sudah menjadi penanda bahwa penulis punya panorama wawasan. Keilmuwannya berwarna lantaran ia tak membatasi diri hanya terkungkung berada pada menara gading ruang-ruang perkuliahan dari kampus-kampus yang sudah ditapakinya. Ia tak cuma mau berhenti menimba ilmu dari kaum cendekia yang maha terpelajar dan para maha guru. Karena hakikat ilmu ada pada aplikasinya, ada pada kemanfaatannya. Lantas ia aktif di sejumlah organisasi kepemudaan (OKP), organisasi kemasyarakatan, bahkan sebagai ketua komite sekolah. Ia juga mengabdikan waktu- waktu terbaiknya menjadi seorang komisioner pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Sulawesi Selatan. Singkatnya, penulis buku ini mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, sebagai caranya beribadah sosial sekaligus mengharapkan ridha Tuhan Yang Maha Esa. Sukardi Weda telah mengubah sesuatu yang mustahil menjadi keniscayaan dengan caranya menyikapi hidup. Albert Einstein mengatakan, ada dua cara menjalani kehidupan. Pertama, seolah seperti tidak ada yang ajaib. Kedua, seolah seperti semuanya adalah ajaib. Einstein ketika mengemukakan kalimat ini tentu bukan karena penemu teori relativitas tersebut tengah takjub oleh keahlian pesulap yang membuat sebuah atraksi tampak indah dan sederhana semudah membalikkan telapak tangan. Kalaupun sebuah kegiatan, aktivitas, atau pekerjaan, terlihat mudah tetap saja di situ ada usaha. Dan, seru Mahatma Gandhi, kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. ―Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki,‖ lanjut tokoh anti- kekerasan asal India tersebut. Lazimnya, para pekerja keras dan manusia pembelajar adalah orang-orang yang sangat menghargai waktu. Apalagi jika prinsip ―jadikan kerja sebagai hobi dan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

xiii ibadah‖ sudah tertanam pada dirinya. Khusus untuk penulis buku ini, jangankan bekerja, bersekolah pun sudah menjadi hobinya. Ia bekerja sambil sekolah dan bersekolah sambil bekerja dalam derap langkah yang simultan; satu ayunan. Secara sederhana, Sukardi Weda, sang penulis buku ini pada hakikatnya hendak mengingatkan kita agar maksimal memanfaatkan nilai dan hikmah waktu. James A. Michener menasihati,―Jangan tunda hingga esok, apa yang dapat Anda kerjakan hari ini. Karena kalau Anda menikmatinya hari ini, esok Anda dapat mengerjakannya lagi.‖

Tuhan berfirman, ―Demi Masa‖.

Makassar, 8 Desember 2013

Rusdin Tompo

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

xiv Isi Buku

Komentar Para Penulis/Kolumnis ………………………………………… i PengantarnPenulis………………………………………………………….……… ii Catatan Kecil Tanpa Sekat Ilmu dari Rusdin Tompo……….. iv

BAB 1. SOSIAL, POLITIK, DAN BAHASA …………………… 1 Pendidikan dan Pemilukada Gubernur Sulsel 2013 1 Tes Keperawanan CPNS, Pembunuhan Karakter Perempuan 5 Geng Motor dan Disfungsi Pengendalian Sosial Anak 10 Mengedepankan Esensi Perjuangan 14 Untung Ada Ustadz Maulana 17 Politisi Nomaden 20 JK, Inspirator dari Timur 23 Pekerja Anak, Diantara Kemiskinan Ekonomi dan Sosial 27 Bung Karno: Yang Dihujat, Yang Dikagumi 31 Menakar Peluang Capres – Cawapres 2014 36 Pengamalan Pancasila, Sebuah Pengalaman 40 Menggugat Peran Pemuda 44 Abraham Samad dan Spirit Baharuddin Lopa 51 Benarkah Politik Itu Kotor? 54 Konflik Internal Demokrat, Bencana atau Berkah? 57 Siapa Nakhoda (Phinisi) UNM Empat Tahun Kedepan? 61 ASN dan Godaan Pilkada Serentak ….

BAB 2. PENDIDIKAN …………………………………………………………… 67 Contek Massal, Wajah Buram Pendidikan Kita 67 Penerimaan Siswa Baru, Sarat Pungli 72 RSBI, Antara Pro dan Kontra 77 Isu Kritis Pendidikan di Indonesia 82 UN Versus SNMPTN 87 Pendidikan Gratis, Upaya Kepastian Akses Pendidikan Dasar di Sulawesi Selatan 90 Mengapa Ilmuwan Muda Enggan Kembali ke Indonesia? 94 Kiat – Kiat Membangun Minat Baca Masyarakat 97 Praksis Pendidikan di Tengah Kepanikan 107

BAB 3. MEDIA DAN PENYIARAN …………………………………… 114 Diet Sinetron di Bulan Ramadan 114 Dampak Buruk Televisi 119

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

xv TV, Antara Madu dan Racun 122 Geliat Radio di Era Kompetisi Lembaga Penyiaran 128 Selamatkan Anak – Anak dari Kekejaman Televisi 131

BAB 4. BAHASA …………………………………………………………………… 137 Politik dan Rekayasa Bahasa 137 Perdebatan Istilah Asing di Ranah Publik 142

BAB 5. TEBARAN PIKIRAN DALAM BERAGAM TOPIK 146 Jokowisme dan Jakarta Baru 146 Siaran Kampanye di Lembaga Penyiaran 149 Munafikisme Politik PKS 152 Polemik Moratorium Penerimaan CPNS 155 Tawuran, Penyakit Kronis Mahasiswa 159 Tidak Ada Komunis di UNM 162 Amuk Massa di Kota London 165 Geliat Bahasa Ibu di Era Modern 168 Gerakan Pramuka, Simpul Pemersatu Bangsa 172 Konflik dan Kompromi Politik Menjelang Pemilukada 176 Larangan Parkir, Terlalu Dini 179 Padang Arafah dan Pohon Soekarno 182 Perluang Capres 2014 186 Anjal dan Gepeng, Potret Buram Kota Metropolitan 189 Antara KPID dan KPUD 194 dan Makassar Kota Dunia 199 Gaji PNS Naik, Kinerja Stagnan 203 Ironi Mudik Lebaran 205 Kebhinekaan Kini Terkoyak 209 Makassar Kota Dunia, Perlu Pembenahan Infrastruktur dan Suprastruktur 214 Masalah di Tapal Batas 217 Ketidakpastian dalam Politik 222

SUMBER TULISAN.…………………………………………………………………… 226

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

xvi

BAB 1 SOSIAL, POLITIK, DAN BUDAYA

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

1

PENDIDIKAN DAN PEMILUKADA GUBERNUR SULSEL 2013

Pemilihan Umum tahun 1997 di Inggris memuluskan kiprah pemimpin Partai Buruh (Labour Party) Tony Blair menjadi Perdana Menteri Inggris. Keberhasilan Tony Blair menduduki posisi orang nomor wahid di Inggris tidak terlepas dari jualan kampanye yang digemakan seantero Inggris. Setiap kali ia berkampanye di depan publik Inggris, saat itu pula ia menggemakan ―Education, Education, Education.‖ Pendidikan menjadi prioritas utama kampanye Blair karena ketika itu terjadi ketimpangan dan ketidakadilan di dunia pendidikan di Inggris, yakni perempuan kurang terakses dengan pendidikan. Demikian halnya dengan masyarakat dari kelompok marginal juga mengalami kesulitan untuk memperoleh akses pendidikan yang berkualitas. Pasca terpilihnya Tony Blair, ia merumuskan enam kebijakan penting dalam dunia pendidikan, dan salah satunya dan menempati posisi pertama adalah pendidikan dijadikan sebagai jantung pemerintahannya. Ia juga berupaya memperbaiki standar mutu setiap jenjang pendidikan dan merancang kebijakan pendidikan yang bermanfaat untuk semua. Intinya adalah ―Education for All.‖ Untuk konteks Indonesia pasca reformasi, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2004 yang diikuti lima pasangan kontestan menempatkan SBY dan JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih masa jabatan 2004 – 2009. Terpilihnya pasangan tersebut tidak terlepas dari visi, misi, dan program kerjanya yang pro akan kepentingan rakyat kecil, yakni peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas. Kebijakan tersebut dilakukan dengan strategi: meningkatkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

2

layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah konflik, ataupun masyarakat difabel, serta peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik dan perbaikan mutu pendidikan. Pasca terpilihnya SBY – JK, kebijakan di bidang pendidikan tersebut dilaksanakan secara konsisten, terbukti dengan adanya kucuran anggaran untuk pendidikan pada kisaran 20% dari APBN, juga adanya Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan disusul dengan Program BOS Buku beberapa tahun kemudian. Peningkatan kesejahteraan guru dan dosen juga menjadi perhatian utama, yakni dengan ditelorkannya UU Nomor14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang membuahkan hasil pemberian tunjangan sertifikasi kepada guru dan dosen profesional. Untuk konteks Sulawesi Selatan, keterpilihan pasangan Sayang, Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Agus Arifin Nu‘Mang (AAN) pada pemilukada Gubernur Sulawesi Selatan 2007 tidak terlepas dari program pro rakyat (pro poor) yang diusungnya, yakni Program Pendidikan dan Kesehatan Gratis yang telah dinikmati oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Demikian halnya dengan program-program serupa di sejumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, seperti Program Sekolah Bersubsidi Penuh (Sekolah Gratis) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Makassar. Program Sekolah Bersubsidi Penuh ini juga mengantarkan Ilham Arif Sirajuddin menjadi pemenang dengan suara di atas 60% pada Pemilukada Walikota – Wakil Walikota Makassar 2008 lalu. Program Pendidikan Gratis hingga ke tingkat SMA di Kabupaten Sinjai yang dilakukan oleh Rudiyanto Asapa juga mengantarkan Rudi menjadi bupati untuk periode kedua di kabupaten Sinjai. Mengapa pendidikan (pendidikan gratis) perlu menjadi jualan kampanye para calon Gubernur dan Wakil Gubernur 2013 mendatang?. Secara nasional penduduk miskin dan hampir miskin di Indonesia masih berada pada kisaran 30%. Oleh karena itu program dan kebijakan pro rakyat miskin harus berlanjut terus, terutama program pendidikan gratis atau sekolah bersubsidi penuh, sehingga semua peserta didik

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

3

dari kelompok miskin dapat terakses dengan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu. Program pendidikan gratis melalui BOS dan BOS buku secara makro juga belum mampu menutupi semua kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah, sehingga kebijakan serupa secara mikro untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga perlu tetap dilakukan. Hal serupa juga dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta sejak Sutiyoso hingga Jokowi, dengan label ―Bantuan Operasional Sekolah (BOP) untuk dunia pendidikan.‖ Siapapun yang terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel Periode 2013 – 2018 hendaknya memberikan prioritas utama dan pertama kepada bidang pendidikan. Hal ini cukup beralasan karena pendidikan merupakan investasi masa depan individu, keluarga, komunitas, masyarakat, dan negara. Negara yang menjadikan pendidikan sebagai jantung pemerintahannya (the heart of government) menjadi negara yang maju dalam semua dimensi kehidupan, karena pendidikan tempat bermuara segala dimensi kehidupan, seperti kesejahteraan, infrastrukur, legitimasi hukum, moral, spiritual dan lain-lain. Sebagai ilustrasi yang dapat dijadikan motivasi adalah China, Singapura, Malaysia, dan India. Negara-negara tersebut beberapa dekade yang lalu menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Malaysia misalnya di era 80-an, mengirim generasi mudanya untuk belajar di luar negeri, termasuk ke Indonesia, demikian halnya dengan India, China dan Singapura, mereka mengirimkan generasi mudanya untuk belajar di sejumlah negara maju, dan hasilnya mereka nikmati sekarang, padahal di era 70-an – 80-an negara- negara tersebut sama kedudukannya dengan Indonesia sebagai negara pinggiran (sedang berkembang). Bahkan China dan Singapura telah mejadi negara industri/maju, Malaysia dan India juga telah menjadi negara semi periphery (berada diantara dua ekstrim maju/core dan miskin/periphery). Indonesia jauh tertinggal, karena pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru tidak menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama dalam pembangunan bangsa, ini terbukti

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

4

dengan anggaran pendidikan yang berada dikisaran 9% saja pada APBN. Dengan demikian, maka masyarakat Sulawesi Selatan yang didominasi oleh masyarakat yang berada pada stratifikasi menengah ke bawah masih mendambakan pemimpin (Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan 2013 – 2018) yang pro terhadap masyarakat marginal dengan tetap mengupayakan Program Pendidikan Gratis, sehingga masyarakat dari kelompok miskin dapat terakses dengan pendidikan dasar dan menengah sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera di bawah pemerintahan yang mengedepankan keadilan sosial (Social Justice) untuk warganya. Kepada para calon Gubernur – Wakil Gubernur Sulsel 2013 – 2018 beserta tim supaya berpolitik santun, jangan saling menjatuhkan, tapi berpolitiklah yang elegan jauh dari black campaign dan tetap menempatkan pendidikan sebagai isu tematik yang menjadi prioritas utama. (Harian Fajar 31 Oktober 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

5

TES KEPERAWANAN CPNS, PEMBUNUHAN KARAKTER PEREMPUAN

Menjelang penerimaan Calon Pengawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2010, publik dikejutkan dengan adanya pemberitaan di media massa yang mengusik eksistensi wanita. Isu hangat tersebut adalah adanya wacana tes keperawanan bagi calon siswa di sejumlah sekolah lanjutan di kota Lampung. Pro kontrapun bermunculan dari berbagai kalangan mulai dari pendidik, rohaniawan, aktivis perempuan, hingga anggota dewan. Isu ini diperparah dengan mencuatnya pemberitaan di media elektronik lokal di Makassar bahwa ada wacana dari pemerintah untuk memberlakukan tes bahasa Inggris dan tes keperawanan bagi CPNS mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah. Kemahiran membaca dan menulis bahasa Inggris serta tes keperawanan merupakan prasyarat yang diwacanakan untuk menjadi CPNS. Rencana pemberlakuan kedua syarat aneh tersebut menuai pro kontra di masyarakat. Tuntutan kecakapan berbahasa Inggris (menulis dan membaca) bagi CPNS merupakan syarat yang sejatinya dikaji kembali. Selaku praktisi pendidikan, yang juga pengajar bahasa Inggris di Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) memiliki keyakinan bahwa pemberlakuan prasyarat kemahiran berbahasa Inggris tersebut secara sosiologis adalah wujud diskriminasi dari kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya. Ini sungguh beralasan karena bahasa Inggris diajarkan sejak di bangku TK hingga perguruan tinggi, tapi hasilnya tidak dapat membekali siswa dan mahasiswa kemahiran berbahasa Inggris secara memadai, sehingga tes bahasa Inggris tidak dapat dilakukan secara merata untuk setiap CPNS. Bahasa Inggris memang diperlukan di era globalisasi dewasa ini, tetapi menjadikan kemahiran berbahasa Inggris sebagai syarat untuk menjadi CPNS adalah kebijakan keliru karena banyak generasi muda yang memiliki kecerdasan dan kompetensi di bidang mereka tetapi memiliki kelemahan dari Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

6

segi kebahasaan (bahasa Inggris). Wacana prasyarat kedua adalah tes keperawanan. Lagi-lagi tes keperawanan ini menuai banyak kritik, dan sejumlah anggota Dewan DPRD Kota Makassar dari sejumlah fraksi, seperti Partai Golkar, PDIP, PAN, dll., angkat bicara dengan sepakat tidak menyetujui rencana pemberlakuan tes keperawanan tersebut kepada calon PNS di Kota Makassar. Pemberlakuan tes keperawanan tersebut dinilai bertentangan dengan kodrat manusia dan menempatkan perempuan pada posisi termarginalkan dalam lembaga sosial dan ranah publik lainnya. Hal ini juga melanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Pembukaan UUD 1945 tentang Hak Azasi Manusia telah menegaskan hak-hak setiap warga, pasal 28C, ayat (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperolah manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, ayat (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Jelaslah bahwa dengan adanya tes keperawanan bagi calon siswa dan calon PNS mengindikasikan bahwa hak-hak dasar pagi wanita untuk memperoleh pendidikan yang layak dan pekerjaan yang dapat memberdayakan dirinya direbut oleh negara.

Penindasan dan Ketimpangan Gender Posisi wanita di kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang beruntung atau tak setara dengan posisi laki-laki (Ritzer, 2004). Ritzer kemudian berpendapat bahwa wanita ditindas, tak hanya dibedakan atau tak setara, tetapi secara aktif dikekang, disubordinasikan, dibentuk dan digunakan, dan disalahgunakan oleh lelaki. Isu tentang keadilan dan kesetaraan jender dalam empat dekade terakhir ini telah mengalami banyak perkembangan. Para penganut feminis dari berbagai aliran Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

7

dan aktivis perempuanpun telah bergembira melihat adanya pembangunan signigikan di bidang sosial yang telah memberikan ruang kepada kaum hawa pada jabatan sosial publik, tidak lagi pada ranah domestik semata yang identik dengan sumur, dapur, dan kasur. Sumur berarti, sebagai seorang perempuan harus melakukan rutinitas mencuci pakaian anak dan suaminya di pagi hari, setelah itu memasak dan menyiapkan makanan untuk anak dan suaminya di dapur, dan di malam hari memuaskan nafsu birahi sang suami. Seiring dengan berkembangnya civil society, yang ditandai munculnya organisasi warga yang sukarela dan mandiri (seperti LSM, Ormas, organisasi politik) serta pers yang bebas telah menguatkan eksistensi perempuan. Mereka diberi ruang untuk berpartisipasi di ranah publik sebagai wujud tuntutan moralitas yang telah lama diteriakkan dalam Revolusi Perancis: ―liberte, egalite, dan fraternite‖ (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), tetapi tampaknya hanya ―kebebasan‖ yang lebih banyak diperjuangkan, sedangkan ―persamaan‖ masih jauh tertinggal, demikian pendapat Sosiolog Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo dalam makalahnya berjudul: Membangun Masyarakat Adab. Penulis sependapat dengan Wirutomo bahwa keadilan di negeri ini masih jauh dari harapan, demikian halnya persamaan hak untuk memperoleh penghidupan dan pendidikan yang layak. Sebagai contoh kongkrit adalah tes keperawanan bagi calon siswa dan calon PNS. Kebijakan ini akan mengebiri hak-hak perempuan, sehingga perempuan akan dirugikan yang oleh Margaret M. Poloma (2003) dikatakan sebagai follencreatures (insan yang malang). Prasyarat tes keperawanan bagi perempuan di institusi sosial dan pemerintah tersebut mengindikasikan betapa lalainya pemerintah dalam menciptakan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, dan Ritzer (2004) mengistilahkan sebagai ketimpangan yang diciptakan secara sosial (socially constructed), yang menurutnya tidak ada dasarnya dalam alam.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

8

Gender, Pendidikan, dan Pekerjaan Isu tentang pemberlakuan syarat tes keperawanan bertentangan dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 11, ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Seiring dengan pembangunan global, termasuk ekspansi pendidikan yang melanda masyarakat dunia sejak awal abad yang lalu, maka angka partisipasi perempuan dalam segala jenjang dan jenis pendidikanpun meningkat dengan pesat, baik angka absolutnya maupun proporsi perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun demikian hingga kini kesenjangan kesempatan pendidikan antara laki-laki dan perempuan masih tetap menandai dunia pendidikan, dan pendidikan bagi semua (education for all) masih merupakan sesuatu yang mahal. Dan bagaimana dengan pekerjaan perempuan?. Banyak diskursus yang merendahkan martabat dan pekerjaan perempuan di ranah domestik, seperti penyediaan barang dan jasa bagi sesama anggota keluarga termasuk suami, merupakan pekerjaan produktif. Jenis pekerjaan ini menyita banyak waktu dan tenaga dan menguntungkan suami, keluarga dan masyarakat, namun tidak diberi imblan materi dan umumnya dianggap sebagai pekerjaan yang rendah (Sunarto, Kamanto, 2000). Berbagai studi terhadap angka partisipasi perempuan dalam angkatan kerja umumnya mengidentifikasikan berbagai bentuk kesenjangan kuantitatif maupun kualitatif dalam pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan apa sajakah yang ditemukan di lapangan? Moore dan Sinclair dalam Sunarto (2000) mengidentifikasi dua macam segregasi jenis kelamin dalam angkatan kerja: segregasi vertikal dan horizontal. Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi. Segregasi horizontal, di pihak lain, mengacu pada kenyataan bahwa pekerja perempuan sering terkonsentrasi di jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

9

pekerjaan yang dilakukan pekerja laki-laki. Kesenjangan pekerjaan ini terlihat bukan hanya di lembaga atau perusahaan swasta, tetapi juga dalam lembaga pemerintahan dan politik. Adanya segregasi horizontal pun member kesan seakan-akan dalam pasar kerja ada jenis pekerjaan tertentu yang relatif tertutup bagi kaum perempuan, seperti misalnya di bidang ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Wacana pembelakuan tes keperawanan bagi calon PNS mengindikasikan adanya upaya pembunuhan karakter perempuan di dunia kerja.

Tes Keperawanan, Pembunuhan Karakter Perempuan Salah satu masalah akut yang dihadapi kaum perempuan di negara berkembang ialah adanya diskriminasi terhadap perempuan (sex discrimination) di bidang pekerjaan. Kasus ekstrim adalah aturan yang melarang perempuan untuk bekerja di ranah publik. Pun ada masyarakat yang menerapkan berbagai macam diskriminasi di bidang pekerjaan seperti dalam hal rekrutmen, pelatihan, magang, jenjang karir, atau pemutusan hubungan kerja. Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerja perempuan ialah diskriminasi terhadap orang hamil (pregnancy discrimination). Diskriminasi terhadap orang hamil tersebut dapat berbentuk penolakan untuk mempekerjakannya, pemutusan hubungan kerja, keharusan cuti, dan sanksi lain (Sunarto, 2000). Demikian halnya, wacana tes keperawanan yang bergulir akhir-akhir ini dibuat oleh aparatur negara bagi calon siswa dan calon PNS akan memberikan masalah sosial baru di masyarakat sehingga terjadi disorder dan keresahan sosial dalam masyarakat (social unrest). Tidak sedikit kerugian yang akan diakibatkan oleh tes keperawanan tersebut bila betul-betul diterapkan oleh pemerintah, seperti kerugian psikologis, sosiologis, dan ekonomis. Secara sosiologis, si anak atau remaja akan menjaga jarak untuk berinteraksi dengan teman sebayanya akibat adanya stigma negatif (aib) tidak lagi perawan. Si anak secara psikologis juga cenderung murung, malu, menutup diri sehingga tidak dapat lagi mengembangkan potensi dirinya

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

10

secara maksimal untuk berpartisipasi di masyarakat. Secara ekonomis, si anak yang menyandang predikat tidak lagi perawan akan dipandang rendah di masyarakat sehingga tidak lagi dihargai sebagai perempuan suci dan layak untuk dihargai. Tidak kalah pentingnya adalah ia akan mendapatkan predikat wanita nakal, murahan, brengsek, sampah masyarakat, dan seabrek julukan merendahkan lainnya. Dengan gambaran di atas, ada baiknya aparatur negara yang merencanakan membuat kebijakan yang merugikan rakyat mengurunkan niatnya, karena pada prinsipnya manusia sama di hadapan hukum, dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan dijamin oleh undang-undang dan negara. Terlebih lagi manusia diciptakan sama dihadapan Allah, dan yang paling mulya disisi-Nya hanyalah bagi mereka yang paling takwa. Semoga tulisan ini menjadi kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, terutama kepada kelompok minoritas dan jenis kelamin yang termarginalkan (Sebagian dari Tulisan ini Pernah dimuat di Harian Fajar, Selasa, 5 Oktober 2010).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

11

GENG MOTOR DAN DISFUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL ANAK

Beberapa hari terakhir, media massa lokal dan nasional memberitakan aksi brutal yang dilakukan oleh kelompok geng motor. Di ibukota, Jakarta tercatat tidak kurang dari sepuluh kali aksi kebrutalan yang dilakukan oleh geng motor yang menyerang warga tak bersalah hingga menyebabkan jiwa orang lain melayang. Bukan hanya publik ibukota yang merasa resah akibat ulah geng motor yang terorganisir rapi sebagai organized crime (kejahatan yang terorganisir), tetapi juga warga Makassar akhir-akhir ini merasa was-was dan khawatir atas perilaku kejahatan yang dilakukan oleh geng motor di beberapa ruas jalan di Makassar. Kekhawatiran tersebut berawal ketika aksi barbar yang dilakukan geng motor di jalan Sungai Saddang Makassar merenggut nyawa seorang mahasiswa UNM yang juga anggota salah satu ormas kepemudaan di Makassar. Demikian halnya dengan penyerangan yang dilakukan oleh kelompok geng motor terhadap seorang anggota TNI, serda Sugianto di Makassar beberapa waktu lalu. Belum hilang di ingatan, rentetan kejadian serupa terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, yakni pada Sabtu, 14 April, pukul 23.30, aksi brutal geng motor kembali terjadi di Bali. Kali ini aksi brutal tersebut menimpah seorang anggota DPRD Bali, I Nengah Tamba. Mobil korban rusak parah. Hal serupa juga terjadi di Bone, tepatnya tanggal 16 April, pukul 23, sebuah mini bus hancur setelah dirusak oleh segerombolan geng motor ketika berpapasan dengan bus tersebut tanpa alasan yang jelas. Akibat brutalisme kawanan geng motor tersebut, membuat jalan-jalan, super market, mal, dan ruang publik lainnya menjadi menyeramkan dan setiap orang merasa

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

12

takut untuk keluar rumah dan berada di jalan raya menjelang pukul 23 di malam hari. Perilaku geng motor yang membuat keresahan sosial di masyarakat membuat petinggi Polri geram sekaligus bingung. Kebingungan mereka dipicu maraknya geng motor di malam hari yang melakukan balapan liar di jalan-jalan raya dan acapkali mengganggu pengendara lain. Seringkali ditertibkan di lokasi tertentu, muncul lagi arena balap motor liar di lokasi lain. Akibat aksi tak berprikemanusiaan tersebut, membuat Wakapolri berjanji untuk menindak tegas geng motor pembuat onar tanpa kecuali. Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Saud Usman Nasution juga mengharapkan kerjasama semua pihak untuk menekan brutalisme kelompok geng motor. Ia berharap peran serta orang tua untuk turut mengawasi dan mengontrol anaknya masing- masing.

Pengendalian Sosial Banyak pengamat yang menilai terjadinya brutalisme dan kekerasan yang terjadi selama ini, termasuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh geng motor karena pengendalian sosial (social control) di masyarakat kita tidak berfungsi dengan baik. Anak dan remaja sebagai salah satu makhluk sosial perlu memahami dan mentaati konvensi sosial atau aturan yang berlaku di dalam masyarakatnya sehingga tercipta kohesi sosial dan harmoni di masyarakat. Pengendalian sosial adalah beragam cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang membangkang (Berger dalam Sunarto, 2000). Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk menertibkan anggota yang melanggar aturan (norma) yang berlaku. Mulai dari tindakan kecil, seperti sanksi sosial hingga kekerasan fisik. Secara radikal, Berger mengemukakan bahwa semua orang hidup dalam situasi dalam mana kekerasan fisik dapat digunakan secara resmi dan secara sah manakala semua cara paksaan lain gagal, dan menurutnya cara terakhir dan tertua ialah paksaan fisik.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

13

Untuk dapat menjadikan anak peka terhadap pengendalian sosial, maka seyognyanya agen sosialisasi utama bagi anak difungsikan sejak dini, yakni keluarga, kelompok bermain (peer group), media massa, dan sekolah. Ajakan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Saud Usman Nasution kepada orang tua untuk memberantas geng motor benar adanya karena salah satu agen sosialisasi bagi anak dan remaja yang utama dan pertama adalah lingkungan keluarga. Ibu, bapak, saudara, dan keluarga inti lainnya memiliki peran penting untuk perkembangan psikologis dan kedewasaan anak. Pada tahap ini anak akan diarahkan pada pro sosial, dan bila penerapan pendidikan informal di lingkungan keluarga salah, maka akan membuat anak menjadi anti sosial dan eksklusif terhadap lingkungannya. Itulah sebabnya, pada tahap ini, olah pikir, olah tindak, dan olah perilaku anak harus ditumbuhkan. Setelah anak memasuki usia sekolah, maka ia akan berinteraksi dan bersosialisasi dengan pelajaran di sekolah. Maka disinilah pendidikan karakter perlu ditanamkan kepada diri anak. Bukan hanya aspek kognitif (rasionalitas), tetapi juga aspek afektif (apresiasi) dan psikomotorik (tindakan) perlu ditanamkan kepada diri anak sehingga dapat tumbuh menjadi manusia yang paripurna, yakni manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan serta memiliki moralitas dan etika (manusia Indonesia seutuhnya). Setelah anak beranjak menjadi remaja, maka ia seringkali berinteraksi dengan teman sebaya (teman bermain). Pada tahap ini pula, anak mulai mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajat (Sunarto, 2000). Melalui agen sosialisasi ini, anak mulai melakukan dan meniru apa yang dilakukan oleh kelompoknya (peer group). Perlakuan atau tindakan tersebut bisa jadi sesuatu yang baik dan boleh jadi suatu kekerasan (semisal ulah brutal geng motor akhir-akhir ini). Pada tahap ini, orang tua perlu memberikan bimbingan kepada anak mana yang boleh dilakukan dan mana yang merugikan masyarakat dan harus dihindari. Agen sosialisasi berikutnya adalah media massa. Publik tahu, fungsi media (penyiaran) adalah fungsi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

14

informasi, edukasi (pendidikan), dan hiburan. Publik berharap ketika anak duduk di depan layar kaca (TV), ia akan memperoleh pengetahuan dan informasi yang bermanfaat sehingga menjadi anak yang profesional religius. Namun apa yang disuguhkan oleh media (lembaga penyiaran) kita akhir-akhir ini banyak-banyak dibingkai oleh kekerasan, pornografi (erotisme), dan mistik (takhayul) yang membuat anak menjadi liar dan brutal. Mestinya media menjalankan fungsinya dengan baik, menyehatkan dan berimbang sehingga lahir generasi muda yang andal dan tidak beringas. Untuk menekan kekerasan di jalan raya yang membuat publik resah dan takut, perlu dilakukan sinergitas dan partisipasi antara aparat keamanan (kepolisian), pemerintah daerah, dinas sosial, orang tua, dan stakeholder di bidang pendidikan. Mereka harus duduk bersama dan mencari solusi alternatif untuk meminimalisasi bila perlu menghilangkan kelompok geng motor yang sering melakukan tindakan kekerasan berupa pengeroyokan dan pembunuhan sadis sehingga tercipta harmoni dan rasa aman di masyarakat. (Fajar, Jumat, 20 April 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

15

MENGEDEPANKAN ESENSI PERJUANGAN

Hampir semua media lokal cetak dan elektronik di Makassar memberitakan demo anarkis mahasiswa yang terjadi pada Rabu, 21 Maret 2012 di jalan Perintis Kemerdekaan, tepatnya depan pintu satu Unhas. Halaman pertama harian ini pada Kamis, 22 Maret 2012 mengangakat tajuk ―Mahasiswa Sudah Kelewatan.‖ Berita tentang demo anarkis yang terjadi tersebut mengusik warga kota, terutama para pengendara roda dua dan empat yang membuat jalan macet total. Kegelisahan masyarakat dipicu oleh adanya perlakuan mahasiswa yang mencerminkan perbuatan yang tidak terpuji dan jauh dari perilaku yang semestinya dilakukan oleh seorang mahasiswa sebagai generasi penerus perjuangan bangsa. Perbuatan anarkis yang menimbulkan kekacauan (disorder) tersebut bertentangan dengan roh pendidikan itu sendiri, yakni terwujudnya manusia yang memiliki budi pekerti luhur, berpengetahuan, bermoral, berwawasan global, dan berdaya saing tinggi. Kita sadar semestinya mahasiswa memiliki kesadaran yang tinggi karena memiliki ilmu lebih daripada adik-adiknya (siswa) di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Maka mereka menyandang gelar mahasiswa, lebih banyak mengetahui, yang baik dan buruk sehingga sadar untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma dan etika yang berlaku dalam masyarakat. Penjarahan BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 74.902.22 Tamalanrea, pembakaran truk pengangkut Coca Cola, pengrusakan mini market, penjarahan tabung elpiji 5kg merupakan perbuatan barbar yang semestinya tidak terjadi di masyarakat ini. Menyampaikan aspirasi dibolehkan oleh Undang- Undang, tetapi berbuat anarkis berupa penjarahan, pembakaran, pengrusakan fasilitas publik tidak dibenarkan Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

16

oleh Undang-undang dan norma apapun juga yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, pelakunya harus diberikan ganjaran yang setimpal sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Mengapa Demo Anarkis? Setidaknya ada dua pemicu utama terjadinya demo anarkis yang dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa akhir-akhir ini. Pertama adalah pendemo (mahasiswa dan masyarakat) tidak memahami esensi dari apa tujuan demo itu sendiri. Bila saja mereka memahami maksud dan tujuan diadakannya demonstrasi tersebut, maka esensi perjuangan mereka yang pro akan kepentingan dan kesejahteraan rakyat dapat dikawal dengan baik dan perbuatan melanggar hukum tidak akan terjadi. Tidak sedikit pendemo yang hanya sekedar ikut berkoar dan meramaikan jalannya demonstrasi tersebut. Kedua, tidak sedikit perguruan tinggi yang lebih mementingkan aspek kognisi (pengetahuan) mahasiswanya ketimbang aspek afektif dan psikomotorik mereka (olah tindak dan perilaku). Oleh karena itu, mestinya di tingkat satuan pendidikan (mulai dari sekolah dan hingga perguruan tinggi), aspek perilaku, etika, moral, kejujuran, integritas, komitmen, kedisiplinan yang merupakan roh dari pendidikan karakter harus ditumbuhkan sejak dini pada diri seorang anak, sehingga ia akan tumbuh berkembang menjadi seorang anak yang paripurna (insan kamil). Pertanyaan kemudian muncul, mengapa masyarakat kita sangat mudah tersulut amarah? Rupanya ada beragam pemicu, seperti adanya ketegangan sosial, himpitan ekonomi (kemiskinan) dan pengangguran. Tekanan Ekonomi, kecemburuan, ketersinggungan, kemiskinan, dan masalah- masalah sosial lainnya dapat menjadi pemicu masalah baru di masyarakat bila masalah tersebut tidak segera dicari solusi strategisnya. Pembakaran kendaraan roda empat, penjarahan, anarkisme mengingatkan kita kembali pada peristiwa memilukan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 lalu, dimana banyak warga tak berdosa yang mati sia-sia,

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

17

pemerkosaan terhadap kelompok etnik minoritas, penjarahan, pembakaran, pengrusakan harta benda, dan meninggalkan trilliunan kerugian material dan immaterial, sekaligus menjadi momok menakutkan pada sebagian warga, jangan-jangan muncul hal serupa. Sejak Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta, telah banyak konflik yang terjadi seiring dengan perkembangan dan pembangunan di Indonesia dan menyulut amarah dan kerusuhan horizontal. Konflik-konflik tersebut antara lain, konflik bernuansa separatisme, seperti Aceh, OPM, RMS, konflik bernuansa sara/etnis, seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, dan Tarakan, konflik bernuansa ideologis, seperti paham komunis dan radikalisme agama, konflik bernuansa politik, seperti isu kecurangan dalam pemilukada dan pemekaran wilayah, konflik bernuansa ekonomi, seperti di Kupang antara warga pendatang dengan penduduk asli, konflik bernuansa solidaritas liar, seperti suporter sepak bola, tawuran antar pemuda kampung, konflik bernuansa agama dan aliran kepercayaan, seperti kasus Ahmadiyah dan aliran sesat, konflik bernuansa kebijakan pemerintah, seperti BBM, BOS, LPG, konflik bernuansa sosial lainnya, seperti tawuran antar siswa dan mahasiswa (Aryanto Sutadi, 2009). Demo anarkis yang dilakukan mahasiswa yang terjadi di Makassar, memiliki akar masalah serupa, yakni kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada 1 April 2012 mendatang. Kekhawatiran sebagian orang, bila harga BBM naik, adalah mengalami resultante pada masalah berikutnya, seperti makin melambungnya harga bahan pokok, papan, dan barang tersier lainnya sehingga masyarakat dari kelompok miskin semakin tidak berdaya. Oleh karena itu perlu penanganan komprehensif, taktis, dan strategis dari semua pemangku kepentingan (pemerintah daerah, kepolisian, pihak perguruan tinggi, tokoh agama), dan hendaknya pemikir sosial budaya dilibatkan dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan di daerah. Itulah sebabnya pembangunan sosial dan budaya tidak bisa dipandang sepele dan sebelah mata. Karena beberapa kerusuhan dan demo anarkis terjadi di negeri ini

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

18

diakibatkan oleh minimnya pemahaman modal sosial (social capital) masyarakat. Pembangunan sosial budaya perlu diprioritaskan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sama pentingnya dengan pembangunan di bidang lain, seperti ekonomi, hukum, pertahanan keamanan, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Sejalan dengan itu, yang perlu dilakukan oleh para demonstran adalah mengedepankan esensi perjuangan dan melakukan demonstrasi secara santun. Yang perlu dipetik dari kerusuhan dan demo anarkis tersebut adalah masalah perlu secepatnya ditangani oleh pihak terkait, jangan membiarkan peristiwa itu menjadi resultan masalah berikutnya, seperti penjarahan, kekacauan, keresahan sosial (social unrest) yang membuat kota menyeramkan. (Fajar, Senin, 26 Maret 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

19

UNTUNG ADA USTADZ MAULANA

Tahun 2011 merupakan tahun kelabu bagi kiprah negarawan, politisi, dan penegak hukum asal Sulawesi Selatan di pentas nasional. Klaim ini cukup beralasan karena di tahun 2011 ini, tidak sedikit penyelenggara negara, baik dari eksekutif, legislatif, maupun yudikatif asal daerah ini yang tersandung masalah korupsi dan kecerobohan dalam melaksanakan tugas sebagai penyelenggara negara, di sejumlah kementerian, departemen, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Praduga yang dialamatkan kepada mereka tentu turut mempengaruhi eksistensi warga Sulawesi Selatan yang didominasi oleh empat kelompok etnik, yakni Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, yang dikenal sebagai suku bangsa yang menyandang seabrak gelar kesatria, seperti warani (berani), pelaut ulung dan tetap memegang teguh lempu (kejujuran/integritas), macca (cerdas), getteng (tegas/konsisten), dan berpedoman pada kearifan lokal ―Siri‘ na Pesse/Pacce.‖ Akhir-akhir ini, sepertinya warisan dan falsafah leluhur keempat kelompok etnik dari Sulawesi Selatan tersebut telah mengalami degradasi budaya (cultural degradation) akibat pola hidup hedonistik, konsumerisme, dan gaya hidup (life style) yang telah menjadi keharusan. Isu kurang sedap tersebut sedikit terobati dengan kehadiran Ustadz Maulana di awal tahun 2011 di Trans TV melalui mata acara ―Islam Itu Indah,‖ dengan kehadiran sejumlah selebriti kondang di acara tersebut. Demikian halnya, kehadiran Andi Tenri Natassa, sebagai Runner Up ke- 2 Puteri Indonesia pada ajang pemilihan puteri Indonesia 2011, dan mampu memperoleh predikat 3 juara sekaligus, yakni Puteri Pariwisata, Puteri Berbakat, dan Puteri Pemilihan Pemirsa turut berperan mengangkat pencitraan Sulawesi Selatan di mata publik nasional.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

20

Ustadz Maulana dengan gaya khasnya mampu menghipnotis pemirsanya di depan layar kaca (TV), mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa, bukan hanya bagi mereka dari Sulawesi Selatan, tetapi juga orang-orang di luar Sulawesi Selatan acapkali meminjam istilah yang digunakannya, seperti kata dan frase jama aaah, dan tunggu setelah yang lewat ini. Retorikanya digandrungi oleh pendengarnya, dan mampu membuat pendengarnya menangis dan tertawa terbahak-bahak. Dia dikenal luas dengan ideograf ceramahnya ―jama aaah‖ dan sikap kocaknya di depan pemirsa dan pendengarnya. Kehadiran ustadz Maulana setidaknya menjadi penyeimbang atas pencitraan buruk dari sejumlah tokoh asal Sulawesi Selatan di tingkat nasional. Ia memilikii intangible asset dan tercatat sebagai satu dari lima ustadz muda terpopuler. Ia juga memikat dengan ciri khas Bugis Makassarnya melalui cara ia menyampaikan isi dakwahnya dan gerakan-gerakan tubuhnya yang membuat pendengarnya tertawa terbahak. Dengan seabrek potensi yang dimiliki itulah, sehingga ia disematkan gelar ustadz gaul. Melalui layar kaca, ia mampu mendongrak rating mata acara ―Islam Itu Indah,‖ bahkan kini ia menjadi bintang iklan di salah satu penyedia telepon seluler dan fotonya dipajang di sejumlah sudut kota. Disamping ditempatkan sebagai penceramah terpopuler, kini ia layak disejajarkan dengan komedian kondang, Tukul Arwana pada acara ―Bukan Empat Mata,‖ karena ia memiliki talenta yang luar biasa, mampu membuat orang tertawa dan mampu membuat orang menangis seketika. Ustadz Maulana memang unik dan ―macca‖ (cendikia). Ia pintar nan kocak membuat orang tertawa, ia juga pintar membuat orang menangis. Ia mampu membuat orang instrospeksi diri atas kesalahan yang diperbuatnya, juga pintar membuat orang mengakui dan kesalahan yang telah diperbuatnya kepada sang Khalik. Ia memiliki wawasan dan dalil-dalil keagamaan yang mumpuni sekaligus memiliki wawasan keduniaan yang tidak lagi diragukan. Ia adalah satu dari enam juta orang yang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

21

dimiliki Sulawesi Selatan dan satu dari 240 juta penduduk Indonesia, yang mampu menghibur dan menjadikan pendengarnya sadar akan apa sesungguhnya makna kehidupan ini dan kemana setiap hamba akan hidup abadi setelah meninggalkan dunia fana ini. Saudaraku Ustadz Maulana, berkiprahlah di duniamu, yaitu dunia penyadaran hamba-hamba yang telah meninggalkan Tuhannya. Konsistenlah sebagai pendakwah yang memiliki ciri khas Bugis Makassar, demi pencitraan Sulawesi Selatan di kancah nasional dan tentu perbaikan akhlakul karimah segenap bangsa Indonesia. (Fajar, Jumat, 21 Oktober 2011)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

22

POLITISI NOMADEN

Pasca tumbangnya rezim otoriter, Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Bintang Lima, Soeharto, publik negeri ini dipertontonkan beragam aksi mencemaskan dan isu hangat sekaligus menyita perhatian publik, mulai dari isu kemiskinan, ketidakadilan, terorisme, disharmoni, diskriminasi kasus hukum, konflik horizontal, kasus korupsi yang semakin menggila, bencana alam yang datang silih berganti, hingga perilaku elit politik yang gandrung pindah partai, bagaikan pemain sinetron yang kadang menjadi starring (pemeran utama) di sinetron tertentu, dan menjadi tokoh antagonis di sinetron atau film lainnya. Yang membuat para elit politik berpetualang yang oleh Yasraf Amir Piliang (2003) dikatakan sebagai nomadisme politik (political nomadism) adalah pertama, perubahan sistem perpolitikan di Indonesia di Era Reformasi, dan kedua adalah budaya politisi yang tidak mengedepankan etika dan rasa malu. Nomadisme politik adalah perpindahan elit politik dari satu partai politik ke partai politik lainnya dengan maksud untuk memperoleh suasana lain dan menjanjikan. Warna lain tersebut berupa kesempatan untuk memperoleh kekuasaan atau upaya pemertahanan kekuasaan yang telah melekat ditangannya dan khawatir jika kekuasaan tersebut hilang dalam genggamannya. Ada beragam motif seorang politisi melakukan hijrah ke partai lainnya. Bisa berupa tidak lagi ada harmoni dan soliditas pada partai semula akibat konflik internal. Nomadisme politik bisa terjadi jika seseorang tidak lagi memiliki peluang untuk menjadi calon legislatif (caleg) di partai dimana ia berada karena sudah beberapa kali duduk sebagai anggota dewan, dan aturan partai tidak lagi memberinya peluang untuk kesekian kalinya. Boleh juga seseorang pindah partai karena melanggar aturan dan norma yang ditetapkan oleh partainya. Dan tidak sedikit

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

23

politisi pindah partai karena kalah dalam suksesi kepemimpinan partai. Apapun alasannya nomadisme politik merupakan budaya politisi yang tidak mencerminkan etika dan pendidikan politik yang baik. Dan boleh jadi perilaku politisi petualang hanya terjadi di negeri ini, dan di negara demokrasi lainnya, seperti Amerika, Australia, Kanada, mungkin 1000 : 1, artinya kalaupun ada elit politik yang hijrah ke partai lainnya, mungkin hanya satu orang dari 1000 politisi, dan itu jarang bahkan tidak pernah terjadi dalam dunia perpolitikan mereka. Piliang (2003) secara gamblang mengatakan bahwa nomadisme dan petualangan politik yang tanpa rasa malu dan etika ini, telah menciptakan wajah politik bangsa, yang lebih mengedepankan hasrat dan kehendak kuasa yang bersifat jangka pendek, tanpa pernah peduli dengan penciptaan ruang politik yang berkualitas, mencerdaskan, dan mencerahkan dalam jangka panjang. Piliang kemudian menambahkan bahwa nomadisme politik adalah politik memperebutkan ruang (kapling, kursi, wilayah), yaitu perebutan horizontal teritorial politik secara terus menerus. Sementara politik waktu adalah politik kemajuan, perkembangan atau transformasi secara vertikal, dari satu keadaan ke keadaan berikutnya secara historis, yang didalamnya berlaku akumulasi pengetahuan, kemajuan, keterampilan, dan modal politik. Tesis kedua Piliang tersebut rupanya jauh dari perpolitikan di negeri ini, dimana tidak sedikit politisi yang melakukan hijrah partai karena kekuasaan sesaat, dan hanya sedikit dari mereka yang konsisten memperjuangkan idealisme diri dan partai politiknya untuk berjuang hingga pensiun dari hiruk pikuk politik. Sebut saja dari yang sedikit itu, ada politisi senior Partai Golkar, Akbar Tanjung, dan untuk ukuran Sulawesi Selatan, ada Andi Potji dari PDI/PDIP, dan ada Amin Syam dari Partai Golkar. Ada dua hal mendasar yang menjadi pemicu seorang politisi untuk melakukan nomadisme politik, yaitu pertama adalah adanya dominasi dan kedua adalah untuk mencari kekuasaan politik melalui kesempatan yang ada.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

24

Kita tahu bahwa seseorang terjun ke dunia politik tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperoleh kekuasaan, bisa kekuasaan legislatif di parlemen (DPR/DPRD), bisa juga kekuasaan di ranah eksekutif (gubernur, walikota, bupati). Dan paling penting adalah siapa yang memperoleh apa, dan bagaimana cara memperolehnya. Kornblum dalam Kamanto Sunarto (2000) mengemukakan bahwa politik menentukan siapa memperoleh apa, bilamana, dan bagaimana, dan bahwa dasar politik ialah persaingan untuk memiliki kekuasaan. Meraih kekuasaan bukan pekerjaan mudah, tetapi perlu energi ekstra dan dengan trik dan intrik. Itulah sebabnya para politisi tidak hanya dituntut untuk cerdas tetapi ia juga harus cerdik. Ketika ia melihat pintu tertutup baginya untuk meraih kekuasaan itu, akibat dominasi pihak yang berkuasa, katakanlah aturan dan norma partai, maka ia banting stir, hijrah ke partai lain. Weber berpendapat bahwa pada kekhasan dominasi, pihak yang berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa berdasarkan aturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Hal ini dapat dilihat pada partai politik, dimana seorang elit ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota), tetapi atasan ia di partai politik tersebut juga mendambakan posisi yang sama maka tertutuplah peluang baginya. Kondisi semacam ini memicu terjadinya nomadisme politik. Hal menarik lainnya adalah, elit politik melakukan nomadisme politik karena mencari peluang (kesempatan) untuk berkuasa atau mempertahankan kekuasaan yang telah diraihnya. Banyak elit melakukan hijrah (nomadisme) politik secara tidak elegan, yakni melalui cara-cara yang betentangan dengan aturan partai, bahkan tidak sedikit dari mereka yang dipecat dari partainya karena dianggap mbalelo (tidak taat aturan partai). Pemandangan semacam ini, oleh sosiolog Richard Cloward dan Lloyd Ohlin melalui teori kesempatan (Opportunity Teory) dalam Kendall (2008) dikatakan sebagai illegitimate opportunity structures. Mereka mengatakan bahwa keadaan yang tidak legitimate (illegitimate) adalah

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

25

keadaan dimana seseorang dapat memperoleh kesempatan untuk memperoleh sesuatu (kekuasaan) yang tidak dapat diraihnya melalui cara-cara yang legitimate (sah). Politisi nomaden meraih kekuasaan melalui cara-cara yang tidak elegan, dan boleh jadi perilaku elit semacam ini dapat dianggap sebagai sesuatu yang melanggar konsensus sosial yang oleh Walter Reckless (1967) dikatakannya sebagai deviant behavior (perilaku menyimpang). Perilaku menyimpang ini kerapkali sebagai akibat kemiskinan, pengangguran, ketidakmampuan seseorang memperoleh pendidikan, termasuk juga konflik dalam ranah politik kekuasaan. (Fajar, Rabu, 18 Januari 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

26

JK, INSPIRATOR DARI TIMUR

DR. (HC) Jusuf Kalla atau lebih dikenal dengan JK merupakan sosok pekerja keras dan dikenal luas bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di mancanegara. Ia adalah salah seorang putera Indonesia yang memiliki talenta paripurna. Ia adalah pengusaha, politisi, aktifis, mantan Wakil Presiden, Duta Komodo, Ketua Umum PMI, sang juru damai, ia juga bapak rumah tangga dan kakek bagi cucu-cucunya. Jelasnya, JK adalah pemikir, pekerja, dan pencari solusi. Ia bukan hanya putera Bone, putera Sulawesi, putera Sulawesi Selatan, tetapi kita sepakat ia adalah putera terbaik negeri ini. JK merupakan salah satu putera Indonesia yang telah berperan penting dalam pembangunan infrastruktur dan suprastruktur bangsa. Ia dikenal luas dengan pemikiran cerdasnya dan tindakan cepatnya. Ketika ia memangku jabatan Wakil Presiden RI, tidak sedikit kebijakan pro rakyat kecil yang telah dilakukan, ia juga senantiasa duduk bersama dengan akar rumput untuk mencari solusi terhadap masalah yang tengah dihadapi. Dengan sejumlah langkah strategis dan taktisnya tersebut, maka mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafi‘i Maarif, memberinya gelar ―The Real Presiden.‖ Disamping itu, tokoh dan pemikir dunia dan lembaga perguruan tinggi juga telah memberikan seabrek penghargaan kepadanya berkat pengabdian tulus yang dilakukannya. Ia telah banyak menerima Dr. Honoris Causa (H.C.) dari universitas terpandang, seperti Universitas Brawijaya (2011), Universitas Pendidikan Indonesia (2011), Universitas Hasanuddin (2011), Universitas Soka, Jepang (2009) dan Universitas Malaya, Malaysia (2007). Ia juga menerima penghargaan dari Thailand ketika ia berkunjung ke Kamboja atas inisiatifnya mewujudkan harmoni di Thailand Selatan. Ia layak memperoleh penghargaan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

27

prestisius orang terpilih dunia, yaitu ―Nobel Prize‖ di bidang kemanusiaan dan perdamaian. Setiap tugas yang diembannya dapat diselesaikan dengan tepat dan cepat, seperti ketika ia menjadi inisiator perdamaian Aceh, konflik Ambon, dan Poso. Ketika ia duduk di meja perundingan, dan terdapat jalan buntu, maka ia dengan cepat menemukan jalan keluar dari masalah tersebut, seperti diceritakan ketika perundingan antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terdapat masalah serius, yakni petinggi GAM mengatakan bagaimana kalau kita (Indonesia dan GAM) perang seratus tahun, ia kemudian mengatakan kalau perang 100 tahun di Aceh, maka yang akan mengalami kerugian besar adalah masyarakat Aceh sendiri, rupanya pikiran cemerlangnya tersebut meluluhkan petinggi GAM, akhirnya terjadilah titik temu. Namun petinggi GAM merasa sangsi untuk menyerahkan senjata mereka kepada TNI, akhirnya JK mengatakan kalau begitu, senjata-senjata yang dimiliki oleh tentara GAM supaya dipotong-potong sendiri oleh GAM di depan masyarakat dan TNI, demikian ia katakan di sela-sela peluncuran buku bertajuk ―Mereka Bicara JK.‖ Dengan keberhasilannya mewujudkan harmoni di Aceh, orang memberinya gelar juru damai, dan tidak sedikit orang berpendapat bahwa keberhasilannya mendamaikan RI dan GAM merupakan sebuah penemuan (discovery). Juha Christensen, fasilitator perundingan Helsinki memberi julukan kepada JK sebagai sosok Asia yang potensial selesaikan konflik regional. Senada dengan pendapat Christensen tersebut, Farid Husain, staf khusus JK, bidang perdamaian mengatakan bahwa JK adalah bintang resolusi konflik Indonesia. Ia mengalahkan analisis pakar dan praktisi ilmu sosial budaya. Jauh sebelum ia berkiprah di pemerintahan, politik, sosial budaya, kemanusiaan, dan perdamaian bagi komunitas yang bertikai, ia telah lama malang melintang di dunia bisnis, sehingga pengetahuan dan wawasan ekonominya mengantarkan ia meraih gelar Doctor Honoris Causa dengan teori-teori pemikiran dan perakteknya di dunia bisnis, yaitu Kallanomics, yang terbukti manjur memperbaiki sejumlah

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

28

aspek kehidupan bangsa, baik ketika ia menjabat sebagai Wakil Presiden RI maupun setelah ia tejun ke ranah kemanusiaan sebagai komitmennya untuk membangun negeri. Ketika tidak lagi menjadi Wakil Presiden RI, ia kembali ke tanah kelahirannya untuk mengabdikan dirinya di bidang pendidikan, agama, kemanusiaan, dan mengurus mesjid, seperti janjinya ketika ia berkampanye untuk meraih RI 1, tetapi garis tangan menginginkan lain. Aksa Mahmud dalam buku Mereka Bicara JK (2009), mengatakan bahwa ―Orang seperti Jusuf Kalla itu tidak pernah berhenti otaknya berpikir. Tidak pernah kehabisan akal. Pak Jusuf memiliki seribu akal. Seribu pekerjaan juga sudah menunggu dia. Pengabdian kepada bangsa ini tetap akan dilakukan melalui pemikiran-pemikirannya. Benar adanya, tidak lama berselang datang tawaran untuk menjadi ketua umum PMI, dan ketika menjadi nakhoda PMI, telah banyak kebijakan dan program yang ditelorkannya, salah satunya adalah Program Donor Darah Masuk Kampus dan Mall dengan tujuan pasokan darah mencukupi dan bukan lagi sesuatu yang langkah. Ia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang komprehensif sehingga mengukuhkan dirinya sebagai pisau analisis yang cukup tajam. Ia adalah tokoh yang mampu mengawinkan antara olah pikir, olah prilaku, dan olah tindak. Tugas mulia terakhir yang diembannya adalah menjadi Duta Komodo, dengan tugas mempromosikan salah satu hewan purba tersisa ―komodo‖ untuk masuk dalam 7 keajaiban dunia (7 wonders), dan beberapa saat setelah dikukuhkan sebagai duta komodo, ia langsung tancap gas, ibarat pembalap motor GP, Falentino Rossi untuk memenangkan pertarungan dengan meminta masyarakat mengirimkan dukungan atas komodo melalui SMS ke 9818 secara gratis. JK adalah satu dari enam juta penduduk Sulawesi Selatan, dan satu dari 240 juta penduduk Indonesia yang memiliki komitmen untuk membangun dan mensejahaterahkan segenap rakyat Indonesia. Ia adalah

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

29

sosok yang mampu untuk mengubah dunia (Suryopranoto dalam Mereka Bicara JK, 2009). M. Syafi‘i Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam buku Mereka Bicara JK, 2009 mengatakan bahwa sebenarnya bangsa ini rugi tidak memberi kesempatan kepada JK untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Sebagai tokoh bangsa yang berasal dari kawasan Timur Indonesia, nuansa ke-Indonesiaan JK sangat kental. Ia memiliki visi ke depan untuk Indonesia agar lebih maju dan terhormat. Ia disegani dan dihormati oleh kawan dan lawan. Ia telah menginspirasi banyak orang, termasuk lawan-lawan politiknya ketika ia masih berkiprah di panggung sandiwara politik. Ia adalah seorang pemimpin yang menganggap masalah sebagai solusi (see problem as an answer). JK adalah orang yang get things done (National Press Club of Indonesia, 2009) (Fajar, Sabtu, 29 Oktober 2011)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

30

PEKERJA ANAK, DIANTARA KEMISKINAN EKONOMI DAN SOSIAL (Refleksi Hari Anak Indonesia 1 Juli 2011)

Sebagai negara berkembang, Indonesia masih mengalami beragam masalah dan penyakit sosial (social pathology) akut, seperti kemiskinan, pengangguran, anak jalanan (anjal), gelandangan dan pengemis (gepeng), kekerasan, tawuran, kenakalan remaja, kebodohan, pecandu narkoba, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), konflik komunal, minimnya kesadaran sosial-budaya (social and cultural poverty), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hidup di emperan toko/kolong jembatan (homeless) sampai pada pekerja anak. Fenomena tentang anak yang telah ikut serta dalam kegiatan ekonomi menjadi isu menarik sekaligus menjadi permasalahan serius yang perlu segera ditangani. Pekerja anak di Indonesia telah ada sejak tahun 1960-an (Koentjaraningrat, 1969), dan kemunculannya sebagai akibat dari berbagai faktor, dan faktor penyebab utamanya adalah kemiskinan absolut. Dewasa ini jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai kisaran yang cukup fantastis yakni sekitar 36% dari sekitar 210 juta jiwa penduduk Indonesia (Internatinal Labor Organization (ILO), ILO juga melaporkan bahwa jumlah pekerja anak pada tahun 2009 di Indonesia adalah sebesar 3,7 juta pekerja anak berumur 10 – 17 tahun atau 10% dari total jumlah penduduk Indonesia yang berumur 10-17 tahun yang berjumlah 35,7 juta jiwa (ILO, 2009). Pertumbuhan jumlah pekerja anak di Indonesia terhitung sangat mencengangkan. Menurut laporan dari ILO yang dikutip Sakernas, jumlah pekerja anak terus bertambah dari 2.87 juta jiwa pada tahun 2004 menjadi 3,7 juta jiwa pada tahun 2009. Pekerja anak di Indonesia juga merupakan salah satu potret kemiskinan di negeri yang memiliki kekayaan alam yang tiada duanya di dunia.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

31

Kemiskinan dan pekerja anak ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Penduduk yang berada dalam kemiskinan tidak memiliki kemampuan baik secara sosial maupun ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup diri dan keluarga mereka, terutama untuk menyekolahkan anak. Dengan demikian, maka yang terjadi adalah anak-anak dipaksa untuk membantu orang tua mereka untuk memperoleh penghasilan dan keuntungan di berbagai sektor lapangan kerja informal, seperti menjadi pemulung di lingkungan permukiman warga dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, buruh bangunan, bekerja di sektor pertanian, menjajakan dagangan dan menjadi peminta-minta di perempatan jalan (lampu merah).

ISU TEMATIK DAN ANALISIS Sulitnya mengatasi suatu masalah sosial yang melanda masyarakat acapkali merupakan resultan dari berbagai faktor. Dalam membicarakan masalah sosial dalam masyarakat, terutama masalah kemiskinan, tidak sedikit diantaranya sebagai akibat dari masalah sosial sebelumnya seperti kemiskinan absolut. Bagi orang tua dari kelompok miskin kerapkali tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka sehari-hari, bahkan menyekolahkan anakpun terasa sangat berat bagi mereka, sehingga anak di usia sangat dini dipaksa untuk bekerja di berbagai sektor informal yang berujung pada suramnya masa depan si anak. Bila si anak tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, tetapi disisi lain tidak memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia kerja, maka ia akan menjadi pengangguran dan menjadi beban masyarakat, dan selanjutnya berpotensi menjadi sumber keresahan sosial (social unrest) di masyarakat. Dengan demikian, penanganan pekerja anak sejak dini merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara pemerintah (Kementerian Sosial), pemerintah daerah (Dinas Kesejahteraan Sosial), orang tua, masyarakat sipil (civil society), Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM atau NGO, dan seluruh stakeholder pembangunan dan pendidikan lainnya.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

32

Namun kenyataan menunjukkan bahwa masalah pekerja anak merupakan resultan dari berbagai aspek, sehingga untuk menanggulanginya diperlukan komitmen dan tanggung jawab bersama dari seluruh stakeholder pembangunan bangsa. Dalam hubungannya dengan pekerja anak pada sektor informal di negeri ini, diyakini bahwa anak yang melakukan aktifitas untuk mendapatkan keuntungan material di usia dini di persimpangan jalan (lampu merah) dan di TPA sampah dipandang sebagai sektor terburuk yang sangat berbahaya bagi kondisi tumbuh kembang mereka. Oleh karena itu, pemerintah, terutama pemerintah daerah, masyarakat (LSM dan Civil Society), dan perusahaan melalui Program Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) perlu mengintervensi mereka dengan layanan program atau kebijakan yang dapat mencegah anak menjadi pekerja anak di masyarakat, terutama bagi mereka di jalanan dan bekerja sebagai pemulung, sehingga anak di usia sekolah tidak lagi melakukan pekerjaan yang semestinya dilakukan oleh orang dewasa. Dengan demikian, maka anak akan melaksanakan kewajibannya untuk memperoleh pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun dan pendidikan menengah/tinggi yang bermutu sebagai tanggung jawab pemerintah, dan juntrungannya akan menjadi sosok generasi muda yang cerdas dan akan tampil sebagai pemimpin bangsa yang tangguh dan berwibawa.

SARAN PENANGANANNYA: SEBUAH PROGRAM AKSI Pekerja anak merupakan isu menarik untuk didiskusikan, tetapi mencari pemecahannya merupakan sesuatu yang kompleks dan tidak mudah. Itulah sebabnya, pemerintah dan para praktisi, pemerhati, dan seluruh stakeholder yang terlibat dalam masalah ini dituntut untuk mampu mencarikan solusi alternatif atau penanganannya. Mengapa demikian, karena anak yang bekerja di usia dini/sekolah tanpa mengenyam pendidikan di sekolah akan melahirkan kebodohan dan kemiskinan akut di masyarakatnya. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia (SDM), yakni kemiskinan akan muncul

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

33

bila SDM suatu masyarakat/bangsa tidak berkualitas. Demikian halnya, pekerja anak akan menjadi penganggur dan beban masyarakat, bahkan berpotensi untuk menjadi preman, sumber kekerasan (chaos), dan sumber kekacauan (social disorder) di komunitasnya. Selanjutnya, jalan terbaik dan bijak untuk menangani pekerja anak di berbagai sektor, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor pekerjaan yang berbahaya sebagai salah satu penyakit sosial akut di negeri ini perlu segera diwujudkan oleh pemerintah, masyarakat, dan NGO secara sinergis melalui berbagai macam agenda aksi. Pada tataran makro, pemerintah perlu mewujudkan pengakuan terhadap hak asasi anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sehingga tak seorangpun yang dapat merampas hak-hak mereka. Pelihara dan biarkan mereka tumbuh, berkembang, dan memperoleh hak-hak dasar mereka, seperti bersekolah, dan hidup layak dalam kerangka harmoni dan kedamaian. Pemerintah juga hendaknya menerapkan pengakuan terhadap hak anak secara universal sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB, Deklarasi PBB Tahun 1948 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia Tahun 1944, Konstitusi ILO, Deklarasi PBB Tahun 1959 Tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB Tahun 1989 Tentang Hak-Hak Anak. Salah satu bentuk hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapatkan perlindungan dan pendidikan. Pemerintah juga harus mentaati konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, sebagai salah satu wujud perlindungan hak asasi anak. Pada tataran Mezo, pemerintah daerah, perlu mengeluarkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang larangan terhadap pekerja anak dan sanksi kepada orang tua/masyarakat yang membiarkan anak beraktifitas di sejumlah sektor informal sebagai pekerja anak. Peran Kementerian Sosial/Dinas Kesejahteraan Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan instansi terkait sangat penting, karena lembaga ini yang menyediakan dan melaksanakan pelatihan untuk membekali warga dari kelompok miskin sehingga memiliki pengetahuan dan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

34

keterampilan yang dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka, sehingga putera-puteri mereka tidak lagi menjadi pekerja anak, dan akhirnya dapat tumbuh sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah daerah juga perlu tetap memberikan akses pendidikan gratis kepada semua anak, terutama peserta didik dari kelompok miskin. Meningkatkan akses usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhadap dunia permodalan, dan mendukung kerjasama yang sinergi dan adil dengan usaha skala besar. Tidak kalah pentingnya, pemerintah juga perlu memperbaiki iklim usaha dan membuka lapangan kerja yang seluas- luasnya. Terakhir, pada tataran mikro, masyarakat/LSM dengan dukungan penuh dari pemerintah, pemerintah daerah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/buruh, akademisi, media massa, dan kelompok masyarakat sipil perlu tetap memaksimalkan peran dan fungsi rumah singgah untuk anak jalanan (anjal), memberikan pendidikan dan keterampilan vokasional kepada anak, mengoptimalkan terlaksananya pendidikan keterampilan dan kewirausahaan baik melalui SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) maupun melalui pendidikan nonformal dan informal supaya disinergikan dengan dunia industri melalui program pemagangan (link and match with industry). Dengan demikian maka tidak ada lagi ruang bagi anak untuk bekerja di usia dini. Semoga! (Fajar, 2 Juli 2011)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

35

BUNG KARNO: YANG DIHUJAT, YANG DIKAGUMI

Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, yang lebih dikenal dengan nama Bung Karno, dan seabrek julukan lain yang disematkan kepadanya. Ia bukan hanya pemilik puluhan lencana, bintang maha putra di dadanya, tetapi juga banyak julukan, antara lain pemimpin besar revolusi, sang proklamator, pencinta wanita dan seni, guru besar bangsa, pemimpin bangsa-bangsa tertindas Asia Afrika, Presiden Pertama RI, tokoh kharismatik, tokoh kontroversial, tokoh nasionalis sekuler, tokoh yang dicintai banyak wanita, sang pemimpi, nasionalis sejati, dan lain-lain. Ia adalah pemilik gelar Doktor Honoris Causa terbanyak di Indonesia, dengan 26 gelar Doktor Honoris Causa, 19 dari luar negeri dan 7 dari dalam negeri. Ia adalah pemimpin sepanjang masa, yang dihujat sekaligus dibenci oleh lawan politiknya, tetapi dirindukan, dikagumi oleh rakyatnya. Ia adalah proklamator kemerdekaan Indonesia, setelah negeri ini dijajah oleh Belanda selama 350 tahun dan oleh Jepang selama 3,6 tahun. Setelah 43 tahun meninggalnya, dan setelah beberapa kali pergantian rezim sesudahnya, masyarakat negeri ini tetap merindukan buah pemikiran cerdasnya, seperti, Pancasila, Trisakti, dan Marhaenisme. Pancasila sebagai dasar negara merupakan inti sari dari sifat dasar budaya bangsa Indonesia yang berakar dari Sabang hingga Merauke. Ia beserta dengan tokoh pergerakan lain di zamannya melahirkan lima sila Pancasila, yang menjadi dasar dan ideologi negara, sekaligus menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Soekarno sendiri pada masa selanjutnya mengukuhkan pandangan bahwa Pancasila adalah kepribadian dan jatidiri bangsa yang orisinil digali dari bumi Indonesia, pandangan tersebut diikuti oleh sejumlah tokoh, seperti Muhammad Yamin yang sangat getol mengkampanyekan pentingnya Pancasila sebagai dasar rohani atau weltanschauung bangsa (As‘Ad Said Ali, 2009). Ia beserta founding father di eranya meletakkan Pancasila Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

36

sebagai dasar negara. Soekarno pulalah yang menggaungkan kata-kata ketuhanan, kebersamaan, keadilan sosial, kesetiakawanan, dan gotong royong. Bahkan Soekarno berani menarik kesimpulan bahwa inti dari seluruh gagasan Pancasila adalah gotong royong, Soekarno menafsirkan gotong royong sebagai kerja sama antarkelas sosial atau golongan primordial dalam sebuah masyarakat (As‘Ad Said Ali, 2009). Sejalan dengan itu, Iwan Gardono Sujatmiko (2011) menegaskan bahwa menjelang kemerdekaan Soekarno melihat perlunnya gotong royong dan kesepakatan bersama agar masyarakat Indonesia tetap bersatu setelah berakhirnya Hindia Belanda. Soekarno perlu dasar negara baru dan ia melihat pentingnya kebinekaan struktur masyarakat dari aspek spasial, vertikal, dan horizontal. Sujatmiko kemudian menambahkan bahwa Soekarno mengatasi perbedaan spasial dengan sila Kebangsaan dan menyatakan bahwa penduduk di Indonesia adalah suatu kesatuan. Ia juga membahas aspek vertikal masyarakat dengan sila Demokrasi – Mufakat (semua buat semua) dan Kesejahteraan (tidak ada kemiskinan). Trisakti adalah satu konsep pemikiran radikal Bung Karno karena dengan pemikiran tersebut jiwa dan semangat kebangsaan nasionalis Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya adalah inti dari ajaran Bung Karno yang disebut Trisakti. Pada masa pemerintahannya, konsep pemikiran Trisakti ini dijadikan prinsip oleh Bung Karno untuk membangun bangsa dan negara Indonesia ketika itu. Di tengah desakan penyeragaman politik, ekonomi dan budaya, keteguhan sikap pemimpin dan rakyat Indonesia untuk kembali kepada ajaran Trisakti merupakan sebuah keharusan untuk menyejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 (Prof. Dr. Soenarko, 2007). Soenarko menambahkan bahwa berdaulat dalam politik adalah segala pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada mandat rakyat.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

37

Kedaulatan politik dibangun dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dan bukan diatur oleh pihak luar atau negara asing. Berdikari dalam bidang ekonomi adalah pengaturan perikehidupan ekonomi harus didasarkan pada tujuan akhir menjyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan berkepribadian di bidang budaya adalah wujud perilaku asah, asih, asuh, dan tepo sliro yang berarti sikap saling membantu, saling memperhatikan, melakukan dengan senang hati dan tidak semena-mena. Marhaenisme sebagai salah satu buah pemikiran Soekarno yang menggambarkan seorang petani papa di salah satu desa di Bandung Selatan, ketika itu Soekarno bertemu dengan petani penggarap bernama Marhaen, lalu terjalinlah percakapan singkat, menyangkut apa pekerjaan si petani tersebut, siapa pemilik cangkul yang dipegangnya, dan sawah milik siapa yang digarapnya. Singkat cerita, Soekarno kemudian berpendapat bahwa si Marhaen miskin dan tertindas tidaklah dapat dikategorikan sebagai proletar, karena masih memiliki alat produksi yaitu cangkul. Dalam benaknya, perlu ada kekuatan bersama, yakni kekuatan dari yang kaya dan miskin. Yang kaya menyiapkan tempat untuk bekerja dan yang miskin menggunakan tenaganya untuk memperoleh nafkah demi memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, sehingga terjalinlah simbiosis mutualisme (saling ketergantungan/saling melengkapi). Intinya adalah perlu saling membantu. Dari pemikiran Marhaenisme inilah kemudian memunculkan inti sari pemikiran Soekarno, yaitu: perlunya persatuan dan kesatuan seluruh elemen bangsa untuk membangun Indonesia dari berbagai keterpurukan dan kemiskinan ketika itu, prinsip berdikari dalam mengelola kekayaan sumber daya alam (SDA) yang berarti tidak tergantung pada kekuatan asing (terutama imperialism di bidang ekonomi, politik, dan budaya), dan pentingnya membangunn bangsa yang berkarakter guna menanamkan kepercayaan diri sebagai bangsa dan warga negara Indonesia yang bermartabat dan hidup dengan setara dan berdampingan dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Hal ini dibuktikan oleh Soekarno ketika diberikan kesempatan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

38

untuk menyampaikan pokok-pokok pemikirannya di depan dewan keamanan PBB. Ia tidak sungkan dan memiliki jiwa besar untuk menyampaikan isi hatinya sebagai pemimpin bangsa yang tertindas. Dunia tercengang mendengar pidato Soekarno yang beretorika tinggi dan prinsipnya menolak kehadiran para imperialis barat di negara sedang berkembang. Soekarno adalah pemimpin besar, yang mampu mensejajarkan bangsa dan rakyat Indonesia di eranya dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Ketika itu, Indonesia menjadi tempat berlangsungnya sejumlah peristiwa penting berskala internasional, seperti Konferensi Asia Afrikia pada tanggal 18 – 24 April 1955 di Bandung. Indonesia juga disegani dan menjadi sumber inspirasi oleh bangsa-bangsa terjajah lainnya di Asia dan Afrika. Soekarno adalah pemimpin bangsa yang memandang pemimpin bangsa negara lainnya, sejajar dengannya, ia berprinsip berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Ia tidak pernah mau dikecilkan oleh pemimpin bangsa lain, Presiden Amerika Serikat sekalipun, ia disegani oleh banyak tokoh dunia, Presiden Kuba, Fidel Castro, Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, dan sejumlah tokoh di Asia dan Afrika. Di masa Soekarno, ada sejumlah pembangunan yang hingga kini masih menjadi mercusuar ibu kota, seperti Stadion Gelora Bung Karno yang dulunya dikenal dengan Istora Senayan, Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Monumen Nasional yang lebih dikenal dengan Monas, Mesjid Istiqlal, dan lain-lain. Mengingat 1 Juni 2011 merupakan hari lahirnya Pancasila dan sekaligus tanggal 21 Juni 2011 sebagai hari meninggalnya Bung Karno yang juga tokoh sentral lahirnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara Republik Indonesia, maka sebagai generasi muda sepantasnyalah kita mengaktualisasikan nila-nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila, dan juga pemikiran Trisakti dan Marhaenisme Soekarno sehingga tercipta harmoni, kesejahteraan, dan bangsa yang berperadaban tinggi dan tidak lagi menjadi boneka bangsa lain. (Fajar, 29 Juni 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

39

MENAKAR PELUANG CAPRES – CAWAPRES RI 2014

Meskipun Pemilihan Presiden (Pilpres) akan dihelat pada tahun 2014 mendatang, sejumlah tokoh mulai disebut akan maju sebagai Capres 2014. Salah satu dari elit politik tersebut yang dengan terang – terangan menyatakan maju sebagai Capres 2014 adalah Aburizal Bakri (Ical) yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Selain Ical, ada sejumlah politisi senior yang masih memiliki nilai tawar dan disebut – sebut akan meramaikan Pilpres 2014. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, Wiranto, Ketum Partai Hanura, Hatta Rajasa, Ketum PAN, dan sejumlah tokoh senior, diantaranya mantan Wapres, Jusuf Kalla, dan sejumlah nama lainnya. Disamping para kandidat Capres RI tersebut, Surya Paloh yang juga pendiri Nasdem turut disebut, demikian halnya dengan Dahlan Iskan dan Mahfud MD acapkali muncul dalam setiap survei. Belakangan juga muncul Ibas dan Ani Yudoyono dari Partai Demokrat dan Puan Maharani dari PDIP. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengadakan survei pada 2 – 11 Juni 2012 dengan melibatkan 1200 responden di sejumlah kota besar di Indonesia dan hasilnya menunjukkan ada lima tokoh yang mendapatkan dukungan dari responden. Hasil survei LSI menunjukkan Megawati Soekarnoputri berada di posisi pertama dengan 18,3 persen dukungan responden, disusul Prabowo Subianto (18 persen). Posisi ketiga ditempati Aburizal Bakrie (17,5 persen), kemudian Hatta Rajasa (6,8 persen) dan Ani Yudhoyono di posisi paling buncit dengan dukungan 6,5 persen responden. Namun bila dikerucutkan capres di luar 3 partai besar yakni Golkar, PDIP dan Demokrat, maka Prabowo menempati posisi teratas dengan 23,9 persen. Wiranto (12,9 persen), Hatta Rajasa berada di posisi ketiga dengan 8,1 persen. Berturut-turut kemudian Surya Paloh (5 persen), Mahfud MD (4,5 persen), Dahlan Iskan (4,4 persen) dan Sri Mulyani yang hanya mendapat dukungan 2,1 persen. Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

40

Beda lembaga survei, beda pula hasilnya. Sjaifulmuljani merilis hasil surveinya pada 8 Juli 2012, bila pemilihan presiden diadakan sekarang, maka yang memiliki peluang adalah Prabowo Subianto dengan memperoleh 29,4 persen, disusul Megawati Soekarnoputeri, 26,7 suara, dan posisi ketiga ditempati Ical, 17,9 persen. Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) sebagai salah satu lembaga survei yang cukup populer di Indonesia juga mengadakan survei pada tanggal 14-24 Mei 2012, di 33 provinsi, 163 kabupaten/kota, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto meraup suara sebanyak 25,8 persen. Sedang JK berhasil memperoleh dukungan 14,9 persen responden. Dari sejumlah tokoh tersebut, memunculkan spekulasi pasangan Capres – Cawapres 2014, yakni pasangan Prabowo – JK, JK – Prabowo, Prabowo – Puan Maharani, Prabowo – Hatta Rajasa, Aburizal Bakri – Ibas, Aburizal Bakri – Puan Maharani, Megawati – JK, Aburizal Bakri – Puan Maharani, JK – Puan Maharani, dan lain-lain. Berdasar pada peta kekuatan para kandidat Capres – Cawapres, yang paling menentukan adalah aspek demografi mengingat hampir 85 persen penduduk Indonesia masih tergolong sebagai pemilih tradisional (pemilih ikut- ikutan). Dari sekitar 220 juta pemilik suara di Indonesia, sekitar 70 persen diantaranya berdomisili di Pulau Jawa dan sisanya sebesar 30 persen berada di luar Pulau Jawa. Melihat kondisi tersebut, maka muncul pendapat bahwa untuk kondisi kekinian Indonesia, Capres asal Pulau Jawa (orang Jawa) masih memiliki peluang lebih besar ketimbang Capres dari pulau lainnya di Indonesia. Berdasarkan pada hasil survei sejumlah lembaga survei yang menempatkan Prabowo, Megawati, Ical, dan JK dalam empat besar, maka menarik untuk dicermati. Memasangkan Prabowo dengan Megawati sesuatu yang tidak mungkin, Ical – Prabowo atau Prabowo- Ical juga tidak mungkin karena keduanya hanya bersedia untuk dicalonkan sebagai Capres, demikian halnya dengan JK – Prabowo, karena Prabowo hanya siap untuk menjadi Capres,

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

41

sementara JK belum memutuskan maju sebagai Capres atau Cawapres. Yang paling memungkinkan adalah Prabowo – JK, Prabowo – Puan Maharani, Prabowo – Hatta Rajasa, Megawati – JK, Megawati – Hatta Rajasa, Ical – Ibas Yudoyono, Ical – Hatta Rajasa, JK – Puan Maharani, JK – Ibas Yudoyono. Bisa juga politisi dengan orang – orang di luar parpol, sebagai misal pasangan Prabowo – Mahfud, Prabowo – Dahlan Iskan, Megawati – Mahfud, Megawati – Dahlan Iskan, Ical – Mahfud, atau Ical – Dahlan Iskan. Dari sejumlah spekulasi pasangan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut: Prabowo – JK mewakili pemilih Jawa dan luar Jawa, Prabowo – Puan Maharani (Jawa – Jawa) kurang berpeluang karena keduanya dari pulau Jawa dan Puan Maharani belum terlalu populer di kancah perpolitikan negeri ini. Prabowo – Hatta Rajasa mewakili Jawa dan luar Jawa (terutama Sumatera), Megawati – JK (Jawa – Luar Jawa), Megawati – Hatta Rajasa (Jawa – luar Jawa), Ical – Ibas (Luar Jawa – Jawa), Ical – Hatta Rajasa (Luar Jawa – Luar Jawa), JK – Puan Maharani (Luar Jawa – Jawa), JK – Ibas (Luar Jawa – Jawa), Prabowo – Mahfud (Jawa – Jawa/Madura), Prabowo – Dahlan Iskan (Jawa – Jawa), Megawati – Dahlan Iskan (Jawa – Jawa), Ical – Mahfud (Luar Jawa – Jawa/Madura), dan Ical – Dahlan Iskan (Luar Jawa – Jawa). Berdasarkan pada asepk demografi dan pemilih tradisional, dan antara Jawa dan Luar Jawa, maka pasangan Capres – Cawapres yang paling memungkinkan untuk memenangkan pertarungan adalah mereka yang berasal dari pulau Jawa dan luar pulau Jawa, dengan catatan Capresnya dari Jawa dan Cawapresnya dari luar pulau Jawa. Dari sekian kemungkinan pasangan Capres – Cawapres tersebut, kemudian diperkecil menjadi Prabowo – JK, Prabowo – Hatta Rajasa, Megawati – JK, Megawati – Hatta Rajasa. Dari keempat kemungkinan pasangan ini, yang paling memiliki peluang untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI pada pilpres 2014 adalah pasangan Prabowo Subianto – Jusuf Kalla (JK). Mengingat Prabowo adalah Capres dengan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

42

talenta luar biasa, mantan pimpinan militer, cerdas, tertarik mengembangkan ekonomi kerakyatan, berwibawa, track record negatif minim, dan mewakili mayoritas pemilih Jawa. Sedangkan JK adalah sosok pembaharu, cerdas, cepat mengambil keputusan, problem solver, progresif dan tanggap, dan mewakili mayoritas pemilih luar Jawa ((JK kuat di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan sebagian Sumatera). Keduanya dirindukan oleh publik negeri ini, Prabowo dari militer dan kini rakyat merindukan pemimpin yang mampu mewujudkan harmoni dan kestabilan politik. Sedangkan JK adalah pemikir dan pekerja, ia adalah pelaku ekonomi (pengusaha) yang diharapkan mampu memberi jalan keluar terhadap seabrek persoalan kebangsaan, seperti kemiskinan, pengangguran, dan masalah kemasyarakatan lainnya. Pandangan penulis ini didukung oleh survei yang dilakukan oleh SSS bahwa elektabilitas Prabowo Subianto jika dipaketkan dengan JK adalah 14,6 persen, Megawati - JK sebesar 13,4 persen, Prabowo – Mahfud sebesar 12,4 persen, Megawati – Sri Sultan sebesar 8,9 persen, JK – Dahlan Iskan sebesar 8,3, dan Megawati - Mahfud sebesar 8 persen. Banyak yang menginginkan JK maju sebagai Capres 2014, mengingat JK memiliki pengalaman dan talenta paripurna dan publik menginginkan sosok JK sebagai Satrio Piningit negeri ini. Hanya saja perlu diakui bahwa negeri ini masih memiliki sekitar 85 persen pemilih tradisional yang hanya ikut – ikutan dalam menyampaikan aspirasi politiknya pada setiap Pilpres dan Pileg bukan secara rasional tetapi irasional. Mereka memilih tanpa berdasar pada visi dan misi kandidat calon presiden. Oleh karena itu, saya menghimbau kepada orang dekat JK termasuk bapak JK sendiri yang sangat saya hormati supaya bersedia untuk membangun bangsa yang tengah terpuruk ini dengan mencalonkan diri sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto. Hanya dengan paket antara Prabowo – JK, bangsa ini akan mencapai pembangunan yang adil, makmur dan merata karena keduanya adalah tokoh yang pro ekonomi kerakyatan dan kontra akan disharmoni (Fajar, Selasa, 10 Juli 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

43

PENGAMALAN PANCASILA, SEBUAH PENGALAMAN (Refleksi Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2011)

Mengawali tulisan ini, saya ingin mengajukan satu pertanyaan. Jika ditanya, apa yang menjadi prioritas utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?. Jawaban yang muncul akan beragam, seperti kesejahteraan, kemakmuran, kualitas hidup yang tinggi, penegakan hukum, akses terhadap pendidikan yang murah dan bekualitas secara merata, kesehatan, dan keamanan dan harmoni (stabilitas). Saya memiliki keyakinan jika yang menjawab adalah orang yang memiliki nalar dan berperadaban tinggi, akan memberikan jawaban keamanan dan harmoni (stabilitas). Dengan terwujudnya keamanan di seluruh pelosok tanah air dan dengan terwujudnya harmoni di setiap komunitas niscaya memberi ruang kepada setiap orang untuk berusaha dan bekerja tanpa mengkhawatirkan keadaan diri dan keluarganya. Dengan demikian maka akan terwujud kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Di negeri ini telah beberapa kali pergantian rezim, rezim Orde Lama, Orde Baru, dan kini kita berada di Rezim Orde Reformasi. Biasanya rezim yang berjalan berupaya menjelekkan, mendiskreditkan bahkan berupaya mengubur prestasi yang diukir rezim sebelumnya. Seperti rezim Orde Baru terhadap Orde Lama, tapi tidak dengan rezim Orde Reformasi dengan rezim Orde Baru. Secara jujur diakui bahwa tidak sedikit masyarakat yang merindukan kedamaian seperti yang tercipta di zaman Orde Baru. Dimana terjalin toleransi dan harmoni diantara para pemeluk agama, kelompok etnik, pengguna bahasa yang berbeda, dan saling bahu membahu membangun bangsa ini tanpa perasaan curiga, dibawah bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan munculnya beragam persoalan kebangsaan akhir-akhir ini, seperti disharmoni antara pemeluk agama, radikalisme agama dan daerah, korupsi yang dilakukan oleh

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

44

para pejabat tinggi negara (pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menguatkan keyakinan bahwa negara ini sedang dalam masalah (penyakit) serius. Yang oleh ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD dikatakan negara sedang dalam bahaya, bukan bahaya dari luar, tetapi bahaya yang muncul dari dalam negeri sendiri. Masalah ini perlu segera dicarikan jalan keluar karena bila tidak akan menjadi resultante pada masalah berantai berikutnya, seperti kemiskinan absolut, kekacauan (social disorder), konflik, demoralisasi, kerawanan sosial, kebencian, amarah, hingga masalah disintegrasi. Satu hal yang ampuh mewujudkan harmoni dan toleransi antara individu dan kelompok dari latar belakang ras, agama, dan bahasa yang berbeda di era Orde Baru adalah implementasi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dalam kehidupan sehari-hari. Penguasa Orde Baru paham betul bahwa nilai-nilai dasar yang ada dalam Pancasila sebagai dasar negara harus mendarah daging dalam diri setiap individu dan menjadi prioritas pertama dan utama pemerintah. Dengan penanaman nilai tersebut menguatkan bahwa masyarakat yang memiliki nilai-nilai dasar seperti kejujuran, kerukunan, gotong royong (kerjasama), dan saling menghargai dapat mewujudkan bangsa yang beradab. Di masa kini, jangankan mengamalkan nilai-nilai luhur sebagaimana yang tertuang dalam lima sila, Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tidak sedikit penyelenggara negara dan generasi muda yang tidak menghafal kelima sila dalam Pancasila tersebut. Hal ini diperkuat oleh survei harian Kompas yang dirilis pada 1 Juni 2008 seperti dikutip oleh As‘Ad Said Ali (2009) yang memperlihatkan pengetahuan masyarakat tentang Pancasila merosot tajam; 48,4 persen berusia 17 – 29 tahun tidak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila secara benar dan lengkap; 47, 7 persen berusia 30 – 45 tahun salah menyebut sila-sila Pancasila, dan responden yang berusia 46

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

45

tahun ke atas lebih parah, yakni sebanyak 60,6 persen salah menyebutkan kelima sila Pancasila. Suatu masa tertentu, ada saat Pancasila melekat kuat di benak masyarakat, namun pada saat yang lain pemahaman mengenai Pancasila mulai mengendor, pendek kata selalu ada pasang surut (As‘Ad Said Ali, 2009). Hemat penulis, era sekarang inilah titik nadir pemahaman masyarakat tentang Pancasila termasuk nilai-nilai luhur yang dikandung oleh Pancasila itu. Hal ini diperkuat oleh Presiden SBY pada satu kesempatan melalui berbagai ideograf dalam pidatonya, ―Kita merasakan dalam delapan tahun terakhir ini, di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan, dan lain-lain. Karena bisa- bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis.‖ Sebagai warga negara, memang sangat ironis jika Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa tidak dipahami dan diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di era Orde Baru, ada mata ajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di setiap lembaga pendidikan, juga ada P4 bagi calon mahasiswa di perguruan tinggi. Dengan demikian, di era Orde Baru, stabilitas dapat berjalan dengan baik. Di era Reformasi, ada mata ajar PPKn di sekolah yang kemudian berganti nama menjadi PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), tapi tampaknya mata ajar ini tidak mampu menanamkan nilai-nilai integritas, seperti kejujuran dalam setiap diri peserta didik. Disusul lagi dengan pendidikan karakter (character building) yang diharapkan disisipkan dalam setiap mata ajar. Justru di era Reformasi ini, stakeholder pendidikan (kepala sekolah, guru, dan siswa) tidak lagi menempatkan nilai kejujuran pada tingkat paling tinggi. Lihat saja pada setiap pelaksanaan Ujian Nasional (UN), yang selalu diiringi kecurangan dan selalu melibatkan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

46

guru sebagai salah satu otak dan pelaku kecurangan tersebut. Inilah kemudian yang mengingatkan publik pada Sindrom Amat Rindu (SAR) Orde Baru, yang dibingkai oleh stabilitas dan persatuan dan kesatuan di bawah payung Pancasila sebagai dasar dan idelologi negara. Hal ini sejalan dengan pemikiran Azyumardi Azra yang menginginkan perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Pemikiran Azyumardi Azra tersebut perlu diapresiasi mengingat Pancasila adalah, norma-norma yang disepakati bersama sebagai dasar kehidupan sosial dan kenegaraan Indonesia merdeka, juga sebagai identitas kebangsaan dan keindonesiaan, atau ciri kultural masyarakat Indonesia, atas dasar mana negara Indonesia dibentuk. Nilai-nilai yang dikandung Pancasila dianggap sebagai perangkat nilai yang mampu menjadi perekat sosial sekaligus preferensi ideal yang seharusnya dipelihara dan diperjuangkan dalam bidang sosial, politik, dan budaya (As‘Ad Said Ali, 2009).

Antara P4 dan Pendidikan Karakter P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) telah tebukti menstabilkan bangsa dan negara ini dari berbagai tantangan lebih dari 30 tahun. Pendidikan karakter yang mulai digaungkan tiga tahun terakhir ini belum terbukti dapat menstabilkan keadaan. Mungkin masih perlu kajian mendalam, karena belum ampuh mewujudkan harmoni dan toleransi di tengah masyarakat. Masih seringnya muncul amarah orang dan sekelompok orang kepada pihak lain, terutama bagi mereka yang minoritas selalu berada pada ketidakberdayaan. Ironisnya kadangkala aparat hanya menjadi penonton dan tidak kuasa menstabilkan situasi. Beda di era Orde Baru, aparat memiliki kharisma dan masyarakat berpikir 1000 x 1000 kali untuk berbuat onar di tengah masyarakat. Melihat kegalauan dan kegelisahan sebagian masyarakat, maka ada baiknya penyelenggara negara ini duduk bersama untuk mengkaji kembali pentingnya penerapan P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

47

PANCASILA) mulai dari pendidikan TK hingga ke Perguruan Tinggi. Aturan atau kebijakan yang pernah diberlakukan pada rezim sebelumnya tidaklah semuanya jelek, sebagai contoh P4 itu tadi, demikian juga dengan KB (Keluarga Berencana) yang pernah mengangkat citra dan harkat bangsa Indonesia di mata dunia, dan kini digaungkan kembali. Semestinya nilai-nilai luhur Pancasila melalui P4 seyogyanya diterapkan kembali dalam segala sendi kehidupan bila negeri ini ingin maju dan beradab. Semoga!!! (Fajar, 1 Juni 2011).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

48

MENGGUGAT PERAN PEMUDA

― …Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri …‖ (QS 13: 11). Intisari dari ayat di atas perlu direnungkan dan dihayati, selanjutnya diimplementasikan dengan aksi nyata di masyarakat. Pesan ayat tersebut tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kita untuk menentukan hidup dan masa depan kita sendiri, maka alangkah naifnya jika kita tidak memanfaatkan kesempatan berharga yang Tuhan anugrahkan kepada kita untuk menentukan masa depan bangsa kita tercinta ini. Salah satu elemen bangsa yang getol memperjuangkan semangat perubahan adalah pemuda. Itulah sebabnya banyak kalimat aksiomatik dan heroik yang disematkan kepada pemuda. Pemuda sebagai agen pendobrak perubahan (agent of change), pelaku pengelolaan perubahan (agent of change management), agen perubahan yang potensial (potential change agent), pemuda adalah pemilik masa depan, pemuda adalah hati nurani bangsa, dan seabrek sebutan yang kerapkali ditujukan kepada para generasi muda sebagai generasi penerus (generus) perjuangan para founding fathers negeri ini. Seiring dengan itu Sejarahwan, Anhar Gonggong (2000) menilai bahwa tema pemuda selalu relevan dijadikan sebagai sebuah diskursus Indonesia kontemporer, dalam arti bahwa kehidupan ke depan pemiliknya adalah pemuda itu sendiri, bukan orang tua. Pemuda dalam konteks Indonesia, dan peradaban secara umum, merupakan elemen penting dalam menentukan sebuah peradaban yang ada (Berly Ardiansyah, 2000) Menginjak awal abad ke-20, pemuda Indonesia dari berbagai daerah menjadi motor penggerak dan pelopor gerakan kebangsaan, seperti berdirinya pergerakan Boedi Oetomo pada tahun 1908, Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, dan terbentuknya Komite Nasional Pemuda Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

49

Indonesia (KNPI) pada tanggal 23 Juli 1973 sebagai wadah berhimpun organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) serta potensi pemuda lainnya. Melalui gerakan dan organisasi kepemudaan tersebut, para pendiri bangsa ini mewariskan bangsa ini kepada para generasi muda, dan tugas pemuda adalah mengisi kemerdekaan itu dengan jalan membangun. Dengan demikian, maka pemuda dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Tidak sedikit kiprah pemuda yang telah ditorehkan dalam membangun berbagai tatanan kehidupan, mulai dari bidang ekonomi, politik, sosial budaya, hukum, pertahanan keamanan, dan lain-lain.

Nasionalisme Pemuda dan NKRI Indonesia terdiri dari ribuan pulau, dan didiami oleh beragam etnik, suku bangsa, agama dan adat istiadat yang dipayungi oleh “Bhineka Tunggal Ika,‖ sebagai slogan pemersatu keberagaman tadi. Tetapi dibalik dari yang beraneka ragam itu ada tekad – historis yang dibangun bersama untuk hidup bersama dan bersatu (Anhar Gonggong, 2000). Kiprah pemuda untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bermula ketika pertama kali dikumandangkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, lalu lahir Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), dan gerakan-gerakan kebangsaan serta kepemudaan lainnya yang beridiologi Pancasila dan bertujuan untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Keberadaan dan keutuhan Indonesia di masa depan, tidak dapat dipisahkan dari kiprah pemuda. Masa transisi antara Orde Baru dan Reformasi menyisakan banyak persoalan kebangsaan, mulai dari persoalan kemiskinan, krisis kepemimpinan, korupsi, konflik antar warga dan etnik, trafficking (perdagangan perempuan), busung lapar, kekerasan, hingga sampai pada isu makanan berformalin, dan masih banyak lagi persoalan kemasyarakatan lainnya yang tidak sempat dirinci satu persatu. Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

50

Pasca reformasi, rupanya persoalan-persoalan tadi masih menjadi momok menakutkan bagi generasi sekarang dan akan datang. Itulah sebabnya, kiprah pemuda sangat diperlukan sebagai juru selamat keterpurukan bangsa dan rakyat Indonesia dewasa ini. Untuk dapat keluar dari persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan tadi, maka diperlukan, kerukunan, persatuan dan kesatuan serta kerjasama segenap elemen bangsa, terutama pemuda. Presiden pertama RI, Ir. Sukarno pernah berkata bahwa: ―Yang menjadi soal ialah: bagaimana membina kerukunan, membina persatuan, membina bangsa di antara semuanya, dan dari semuanya. Untuk mencapai hal itu, maka disamping tiap-tiap suku memberikan sumbangannya yang positif, tiap-tiap suku juga harus menerima sumbangan positif dari suku-suku lain. Pendeknya, semua suku harus mengintegrasikan diri menjadi satu keluarga besar bangsa Indonesia.‖ Salah satu elemen bangsa yang paling potensial untuk mengimplementasikan pesan Sukarno tersebut adalah pemuda, karena pemuda merupakan hati nurani bangsa itu sendiri, dan ia selalu tampil untuk menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran dan menentang segala bentuk ketidakadilan pada zamannya.

Kiprah Pemuda Pasca Reformasi Harapan para pemuda untuk menggelorakan reformasi total adalah demi terselenggaranya pemerintahan yang demokratis, bersih dan akuntabel, serta terwujudnya kesejahteraan rakyat. Namun sangat ironis, karena rupanya dalam beberapa kali perubahan politik di negeri ini, pemuda menjadi pelopor, tapi tidak pernah mendapat porsi yang cukup dari negara (Fitra Arsil, 2000). Lalu mana kiprah pemuda sebagai pembaharu? Yang terjadi dalam kepemimpinan nasional di awal reformasi hingga sekarang ini hanya diisi oleh segelintir pemuda saja yang memiliki idealisme dan berpikir progresif. Reformasi hanya diwarisi oleh para kaum tua saja. Lagi-lagi ―status quo‖ mencengkram di setiap lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

51

Tuntutan reformasi telah terbayar mahal dengan melayangnya nyawa sejumlah mahasiswa dan rakyat tak berdosa. Namun, kurang memberikan dampak yang lebih baik. Persoalan-persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan masih menghiasi setiap pemberitaan media massa (cetak dan elektronik) tentang keterpurukan yang melanda Indonesia saat ini. Negeri ini sedang sakit kronis. Mungkin dengan alasan itulah sehingga banyak tokoh pemuda yang mendirikan organisasi dan partai politik di era pasca reformasi ini. Mungkin para tokoh pemuda tadi memahami dan ingin meniru para pendahulu mereka bahwa di awal pergerakan dan revolusi, negara ini diselamatkan oleh pemuda. Di awal pergerakan Indonesia, Sukarno dengan para pemuda lainnya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) karena mereka berkeinginan untuk mengantarkan bangsa dan negara Indonesia kepada harmoni dan kesejahteraan rakyat dan terbebas dari imperialisme yang sangat dibenci oleh mereka. Dengan tekad yang ada dalam sanubari para pemuda tersebut untuk tujuan pembaruan, maka menjelang pemilu 2009, banyak partai yang memberikan kesempatan kepada tokoh mudanya untuk bersaing demi menuju kepemimpinan nasional. Bahkan banyak pengamat dari berbagai bidang keilmuan yang menaruh kepercayaan kepada para pemuda untuk menjadi pemimpin nasional kedepan. Dengan dasar itulah maka tidak sedikit pemuda dewasa ini yang melirik jabatan-jabatan kenegaraan seperti presiden, senator, anggota dewan, dan lain-lain. Harapan mereka tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyetting perjalanan bangsa ini kedepan. Harapan kita semua, semoga saja para pemuda yang terjun ke panggung politik dapat mempertahankan idealisme mereka, dan tetap kritis untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Semoga saja para pemuda yang mencari penghidupan melalui partai politik tetap memperhatikan nasib dan kehidupan kelompok miskin yang setiap saat mengharapkan uluran tangan. Semoga saja para pemuda yang terlanjur terjun di belantara perpolitikan tidak hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

52

Semoga saja para pemuda yang telah menjadi elit politik tetap menempatkan politik sebagai ―the queen of social science‖ (ratunya ilmu sosial), bukan sebagai sesuatu yang kotor, bukan juga sebagai sesuatu yang penuh kelicikan dan kecerdikan. Dengan demikian, maka para pemuda yang masuk kedalam ranah politik wajib mengedepankan prinsip-prinsip luhur yang melekat dalam diri pemuda, yaitu untuk mengadakan pembaruan demi kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya generasi baru saatnya dibutuhkan untuk mengisi segala jabatan-jabatan strategis demi perubahan, yakni generasi baru yang dapat berperan lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan sekedar politisi Machiavellist durjana yang ‗berkacamata kuda bendi,‘ yang hanya memperjuangkan kepentingan perut diri dan kelompok kecilnya, demikian pesan sejarahwan senior Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas), almarhum Anwar Ibrahim dalam kata pengantarnya dalam buku berjudul ―Mempersiapkan Generasi Baru: Investasi Jangka Panjang Pembangunan Sulawesi Selatan,‖ yang ditulis oleh Armin Mustamin Toputiri, A. Nur Fitri Balasong, dan A. S. Kambie (2005) Sejalan dengan pemikiran di atas, Irman Gusman (2000) dalam buku ―Mencari Kembali Pemuda Indonesia‖ membeberkan empat pemikiran atau agenda pokok dalam rangka menggagas masa depan pemuda, yang sebetulnya pemikiran tentang apa yang harus dilakukan pemuda saat ini, dalam rangka menjaga konsistensi masa depan reformasi sebagai berikut: Pertama, pemuda saat ini harus selalu mengambil inisiatif dan tetap memelopori implementasi tekad pembaruan di segala bidang, khususnya para pemuda pejuang reformasi harus terlibat aktif menyuarakan aspirasi agar reformasi total tetap berada dalam jalan yang benar. Tekad pembaruan harus diwujudkan secara konsisten dan profesional, melalui tindakan yang berkontribusi nyata dalam perubahan kehidupan berbangsa. Sebagaimana pemuda

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

53

tempo dulu yang tidak berhenti pada pernyataan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 saja. Kedua, pemuda harus terus-menerus mengandalkan kemampuan, kreativitas, kemandirian, dan kerja keras secara profesional untuk memaksimalkan segenap potensi agar dapat berkontribusi secara nyata, langsung dan konstruktif dalam setiap proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang notabene adalah hajat hidup generasi muda. Ketiga, pemuda harus mengikis budaya feudal dan menggantikannya dengan budaya egaliter sebagai modal dasar bagi proses demokratisasi, yang terbuka terhadap kritik, cenderung pada perbaikan, dan tidak cenderung pada dominasi dan eksploitasi kekuasaan untuk kepentingan kelompok (sektarian). Dengan bekal mental seperti itu, diharapkan pemuda mampu mengatasi ―kelemahan‖ biologis yang sering dikeluhkan oleh orang tua, yaitu faktor usia. Keempat, perkembangan teknologi yang semakin canggih dan serba cepat, terutama teknologi informasi, harus makin membuat pemuda yakin dan optimis. Pemuda harus mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari kemajuan teknologi ini. Pemikiran cerdas di atas juga didukung oleh pendapat salah seorang tokoh pemuda Sulawesi Selatan, yaitu Saudara Muchlis Madani yang dikutip oleh Armin Toputiri, dkk (2005), yang mengemukakan bahwa untuk mengembangkan secara personal maupun secara kolegial generasi muda (Sulawesi Selatan) ke depan, maka program yang dijalankan setidaknya ada lima kemampuan dasar yang seharusnya menjadi prioritas bagi pemuda, antara lain: Social Competence (Kompetensi Sosial), meliputi: (i) kemampuan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi; dan (ii) mampu menjadi problem solver. Moral Competence (Kompetensi Moral), meliputi: (i) meningkatnya nilai-nilai kepribadian, religi, dan etika; (ii) meningkatnya rasa tanggungjawab terhadap tugas-tugas kemasyarakatan; dan (iii) dapat mengaplikasikan nilai-nilai dan keyakinan yang lebih berarti. Physical Competence (Kompetensi Fisik), meliputi: (i) kondisi fisik yang baik; dan (ii) mampu menjaga

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

54

kesehatan dan menghargai jasmani. Cognitive Competence (Kompetensi Kognitif), meliputi: (i) mengembangkan pengetahuan dan kreativitas yang baik, dan (ii) mempunyai komitmen untuk terus belajar dan mencapai cita-cita. Pemikiran-pemikiran di atas kembali dipertegas oleh tim editor (Yon Mahmudi, dkk., 2000) dalam buku berjudul ―Mencari Kembali Pemuda Indonesia,‖ yang mengatakan bahwa pemuda Indonesia, termasuk di dalamnya mahasiswa, merupakan sosok yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa. Sampai kapanpun pemuda akan selalu hadir untuk memberikan sumbangannya yang bermakna bagi bangsa Indonesia ini. Hidup Pemuda, Jayalah Pemuda, Jayalah Indonesia! (Tribun Sulbar, 1 April 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

55

ABRAHAM SAMAD DAN SPIRIT BAHARUDDIN LOPA

Banyak yang tercengang bercampur tidak percaya atas terpilihnya Dr. Abraham Samad, S.H., M.H. menjadi ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2011- 2015 melalui voting dan menang telat atas para pesaingnya. Ia mengantongi 43 suara dari 56 suara anggota Komisi III DPR RI, sedangkan komisioner lainnya hanya mampu meraup suara masing-masing Bambang Widjojanto 4 suara, Busyro Muqoddas 5 suara, Zurkarnain 3 Suara, dan 1 suara milik Adnan Pandu Praja. Terpilihnya Abraham Samad sebagai salah satu pimpinan KPK sempat diragukan oleh publik. Keraguan tersebut sangat beralasan mengingat panitia seleksi (Pansel) anggota KPK yang diketuai oleh Patrialis Akbar hanya menempatkan Abraham Samad diposisi kelima dan Pansel menstressing bahwa yang layak memimpin KPK adalah kandidat yang berada di empat urutan teratas. Ia juga pendatang baru di Jakarta dan kalah populer dari para kandidat pimpinan KPK lainnya. Terpilihnya Abraham Samad semakin menguatkan keyakinan publik bila masalah korupsi yang tergolong kelas kakap yang selama beberapa bulan dan tahun mengalami kemandekan akan terbongkar dan menyeret para pelakunya ke meja hijau, seperti kasus Bill Out Bank Century, kasus Hambalang, BLBI, Travel Check, Proyek Wisma Atlet, dan kasus-kasus mega proyek lainnya yang pelakunya hingga kini belum juga terungkap. Putera pasangan Andi Samad yang pensiunan tentara dan Hajjah Sitti Maryam tersebut turun gunung dengan satu tekad, yakni memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Ia menyampaikan pada setiap kesempatan bahwa bila ia memimpin KPK selama satu tahun dan tidak dapat menyelesaikan kasus-kasus besar, maka ia akan mengundurkan diri sebagai salah satu pimpinan KPK. Sesuatu Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

56

komitmen berani yang diacungi jempol oleh setiap orang termasuk anggota Komisi III DPR RI yang memberikan uji kelayakan dan kepatutan (Fit and Proper Test). Ia juga mengiring spirit tokoh sekaligus pahlawan hukum dan keadilan asal Sulawesi Barat, Baharuddin Lopa, yakni menerapkan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu. Maka ia pada saat wawancara dengan reporter Metro TV di kediamannya yang asri di Makassar, 3 Desember 2011, ia dengan tegas mengatakan bahwa keluarganya sekalipun akan ia gantung bila mereka melakukan korupsi. Ada sebagian orang yang merasa sangsi, terkejut, dan ragu atas terpilihnya Abraham Samad menjadi Ketua KPK. Ada juga yang menuding terpilihnya beliau sarat dengan muatan politis, yang berujung pada kompromi di KPK nantinya. Namun itu semua ditepis oleh dirinya dan salah satu anggota DPR RI asal Partai Golkar, Bambang Susatyo yang mengatakan bahwa terpilihnya Abraham Samad atas kesepakatan partai partai di DPR. Ini dapat dibuktikan oleh publik, oleh kita semua bahwa mayoritas anggota komisi III DPR RI memilihnya sebagai ketua KPK, bukan pilihan partai tertentu saja. Itulah sebabnya Bambang Susatyo meminta publik menaruh harapan dan kepercayaan kepada KPK yang dipimpin oleh Abraham Samad, seorang anak muda yang keras. Seorang anak muda idealis yang memiliki 3 kearifan lokal Bugis Makassar, yaitu: Warani (berani), Magetteng (konsisten), dan Macca (cendikia). Apapun pendapat orang terhadap terpilihnya beliau, yang jelas ia dengan cepat menjadi buah bibir masyarakat seantero negeri dan jauh sebelumnya penggiat masalah korupsi, hukum, dan advokasi bagi mereka yang berada dalam diskriminasi telah lama malang melintang dalam masalah korupsi dan hukum di Makassar. Siapa sebenarya Abraham, publik nasional tidak banyak yang tahu, beda dengan di Makassar, ia telah dikenal luas. Ia berprofesi sebagai aktivis hukum bagi mereka yang mencari keadilan, ia juga sebagai Koordinator Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi Selatan sejak 1999 hingga sekarang. Ia banyak mengungkap masalah korupsi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

57

yang dilakukan oleh pejabat publik (legislatif dan eksekutif) di Sulawesi Selatan. Awal mula Abraham tertarik untuk memberikan advokasi di bidang hukum bagi pencari keadilan dan terlibat aktif di bidang pemberantasan masalah korupsi, karena ia merasa risau akibat perilaku buruk orang-orang yang merampok uang rakyat yang semestinya untuk dinikamati oleh rakyat itu sendiri. Uang rakyat tersebut semestinya tidak dimiliki secara tidak sah oleh orang per orang yang hanya digunakan foya-foya dan memperkaya diri semata. Perilaku korup yang dilakukan oleh sebagian penyelenggara negara tersebut telah lama mengganggu pikiran dan jiwanya. Apalagi praktek korupsi di negeri ini telah lama ada, yakni sejak era Orde Lama, memuncak ketika Suharto berkuasa di bawah Rezim Orde Barunya selama 32 tahun, dan Pasca Reformasi justru korupsi semakin menggila, padahal salah satu poin penting yang diusung oleh tokoh reformasi (mahasiswa, pemuda, dan elelemen bangsa lainnya) adalah korupsi, selain kolusi dan nepotisme atau sering disingkat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Ia berangkat ke Jakarta untuk dipilih sebagai pimpinan KPK dengan satu tekad dan niat tulus yakni dengan membawa spirit Baharuddin Lopa. Almarhum Prof. Dr. Baharuddin Lopa, ketika menjabat sebagai Jaksa Agung RI di era pemerintahan Habibie, telah berbuat banyak atas penegakan hukum dan keadilan di negeri ini. Ia banyak menyeret koruptor kakap ke meja hijau dan memasukkan mereka ke jeruji besi, sesuatu yang tidak lazim di era Orde Baru karena hampir semua petinggi negara dan pengusaha kebal terhadap hukum. Baharuddin Lopa selanjutnya dijadikan anutan bukan hanya para tokoh peradilan dan hukum tetapi publik negeri ini selalu menyebut harum namanya dan sepak terjangnya di ranah hukum. Mampukah Abraham Samad melanjutkan cita-cita dan semangat Baharuddin Lopa? Akankah ia mewujudkan visi – misinya selaku ketua KPK untuk membongkar kasus- kasus mega korupsi dan menangkap para koruptor kakap di negeri ini, hanya Tuhan, dia, dan waktu yang menjawabnya. Kita tunggu janjinya. (Tribun Sulbar, Februari 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

58

BENARKAH POLITIK ITU KOTOR?

Banyak orang yang merasa was-was dan ragu, bila ia berbicara dengan politisi. Tidak sedikit yang merasa sinis jika duduk bersama dengan politisi. Ada yang berpandangan bahwa politik atau ranah politik penuh dengan intrik dan tipu daya. Dan tidak sedikit yang mengibaratkan politik sebagai ruang yang dipenuhi akal bulus dan perbuatan culas. Ada yang mengibaratkan politik seperti belut yang diolesi oli. Ada pula yang menyematkan istilah sianrebala (saling memakan) pada domain politik. Di masyarakat juga sering kita dengar, politik identik dengan tidak ada lawan dan kawan yang abadi (saudara kandung, paman, anak bisa jadi lawan). Intinya, politik itu kotor. Itulah beragam predikat yang seringkali dialamatkan kepada dunia politik dan kepada para politisi. Disisi lain, ada yang berpandangan bahwa menjadi anggota DPR/DPRD merupakan jabatan terhormat yang diimpikan banyak orang. Mereka berpendapat bahwa politik adalah perbuatan yang sarat dengan kebijaksanaan dan tata cara mengatur negara (bangsa). Bahkan dalam referensi ilmu politik, ilmu politik sering ditempatkan pada posisi terhormat dan identik dengan ratunya ilmu sosial (the queen of social science). Sehingga di bidang ilmu sosial, yang paling tinggi kedudukannya sekaligus menjadi payung ilmu sosial lainnya adalah ilmu politik dan bidang lainnya menjadi subordinat dari ilmu politik, seperti administrasi, hubungan internasional, dan lain-lain, seperti kata maha guru ilmu politik dari Unhas, sekaligus kolega saya, Prof. Dr. Kautsar Bailusy. Disamping beragam pendapat pro dan kontra yang disematkan kepada politik dan elit politik tersebut, ada juga yang secara radikal menghubungan politik dan agama, yakni bahwa berpolitik bagi orang yang beriman harus diwujudkan dengan cinta murni. Suryawasita (1994) mengatakan bahwa

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

59

kesucian orang beriman yang menuntut keterlibatan politik haruslah merupakan cinta murni. Menurutnya, cinta murni adalah tetap setia mengikuti tolok ukur segala kegiatan, yaitu menguntungkan orang miskin, lemah, tak berdaya dan tertindas. Memiliki pengetahuan agama yang mumpuni sekaligus sebagai aktivis organisasi keagamaan tidak menjamin seseorang terbebas dari perbuatan melawan hukum ketika ia telah terjun ke dunia politik dan kekuasaan. Seringkali politisi menjadi barbar ketika ia berada di tampuk kekuasaan, dengan tangan besi dan kekuasaan otoritariannya memusnahkan musuh-musuh yang mencoba menjatuhkan sang pemimpin dari singgasananya, lihatlah misalnya kerusuhan yang terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara yang hingga kini masih saja berlangsung, tidak sedikit nyawa melayang akibat kebrutalan sang penguasa. Demikian halnya, untuk konteks perpolitikan Indonesia kontemporer pasca runtuhnya Orde Baru, tidak sedikit politisi yang masuk bui karena melakukan tindakan melawan hukum, seperti korupsi dan kolusi (spt. kasus Wisma Atlet, Hambalang, Cek Pelawat, dan lain-lain). Juga seringkali perilaku elit politik dalam setiap ajang pemilukada, melawan norma dan aturan yang berlaku, seperti politik uang yang berujung pada kekerasan, pembakaran, pembunuhan, dan disharmoni. Politik sesungguhnya adalah panggilan nurani, Max Weber dalam (Suryawisata, 1994) mengatakan bahwa politik adalah panggilan, berarti bahwa yang menjadi soal bukan cuma ―saya mendapatkan sesuatu, yakni jabatan atau kursi, dari kerja politik‖ melainkan juga ―saya memberikan sesuatu, yakni pelayan atau dedikasi saya, kepada kerja politik.‖ Hendrik Berybe (1997) mengatakan bahwa politik adalah panggilan berarti bahwa politik menuntut pula tata krama yang pas. Berpolitik tidak sama artinya dengan ―boleh apa saja,‖ sehingga perlulah menolak klaim yang selama ini mengatkan bahwa ―politik itu kotor.‖ Dari sudut pandang agama, politik dianggap sesuatu yang tinggi kedudukannya

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

60

dan dalam politik, sifat jujur, amanah, adil, kerjasama yang baik, merupakan intisari dari perintah agama. Agama mempunyai seperangkat nilai-nilai etika (moral) yang senantiasa mewarnai totalitas sistem kehidupan sosial masyarakat, termasuk kehidupan berbangsa, bernegara, dan politik (Mahmudi, 2001). Mahmudi kemudian menambahkan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa agama dengan negara (politik) tidak mempunyai hubungan dan oleh karenanya harus dipisahkan satu dengan lainnya, sama sekali tidak relevan untuk konteks Indonesia, dimana tata nilai keagamaan memperoleh tempat yang maha agung dalam masyarakat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan tiga definisi tentang politik, yakni: pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan), segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, dan cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah), atau sering dikatakan sebagai kebijaksanaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa politik adalah sesuatu yang baik, dan seyogyanya para elite politik santun dalam berpolitik, dan bila mereka berada di puncak kekuasaan, sebaiknya menjalankan amanah rakyat yang juga merupakan amanah Tuhan tersebut sebaik-baiknya, tanpa dibarengi dengan praktik-praktik yang merugikan masa depan bangsa dan negara. Para elite politik, dimanapun mereka berada, dan darimanapun asal partai mereka, nilai, etika, dan kearifan merupakan sesuatu yang wajib diejawantahkan dalam praktik perpolitikan (kekuasaan). Meminjam pendapat Nurcholish Madjid yang dikutip oleh Sukidi (2000) bahwa secara epistemologis, pemerintahan (politik, negara, jabatan) itu diwujudkan untuk menciptakan ruang-waktu sebagai tempat bagi manusia dalam mengembangkan nilai ketakwaan kepada Tuhan. Maka masalahnya adalah masalah etika, ethical values. Cak Nur dimasa hidupnya, kerapkali mengingatkan kepada kita semua (politisi) kalau ada politisi Islam naik ke

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

61

atas (kekuasaan), dan tidak mencerminkan akhlak (etika, moralitas) Islam, maka itu dinamakan sebuah penghianatan. Semoga saja dakwah para ustadz (dai‘ atau dai‘yah) melalui ranah politik dapat menjalankan pesan-pesan kitab suci (Al- qur‘an dan Sunnah) untuk kemaslahatan bangsa dan negara yang tampaknya masih digerogoti berbagai penyakit kronis. (Tribun Sulbar, Maret 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

62

KONFLIK INTERNAL DEMOKRAT, BENCANA ATAU BERKAH?

Delapan bulan terakhir, Partai Demokrat (PD) mengalami pencitraan buruk di mata publik dan hasil survei LSI Januari – Februari 2012 tentang dukungan pemilih kepada parpol menempatkan PD diposisi ketiga dibawah partai Golkar dan PDIP. Citra buruk tersebut sebagai akibat isu kurang sedap yang menerpa sejumlah politisi asal PD dan konflik internal yang melanda PD sejak penetapan Angelina Sondakh sebagai tersangka oleh KPK. Kabar kurang mengenakkan tentag PD di media massa seputar pemberitaan kasus korupsi Wisma Atlet yang menyeret sejumlah nama pengurus teras Partai Demokrat, membuat sejumlah politisi asal partai ini menjadi gusar. Sebagai partai pemenang pemilu legislatif dan presiden 2009, dan pemilu 2004 juga sempat masuk diurutan ketiga, dan mengantarkan SBY – JK menjadi Presiden RI dan Wakil Presiden RI Periode 2004 – 2009. Semenjak itu, PD menjadi partai yang sangat diperhitungkan oleh partai politik besar lain, yang telah eksis sejak jaman Orde Baru. Namun kebesaran PD yang telah memasuki usia 10 tahun, menuai cobaan maha dahsyat, yakni isu korupsi yang menerpa sejumlah pengurus terasnya, mulai dari Ketum, Bendahara Umum, dan salah seorang wakil sekjennya. Adanya isu kurang sedap tersebut membuat faksi – faksi di tubuh partai pemerintah tersebut. Ada yang menginginkan ketua umum PD, Anas Urbaningrum dinonaktifkan atau mengundurkan diri dan konsentrasi pada proses hukum di KPK. Ada pula yang menginginkan supaya Anas tetap konsentrasi memimpin partai dan tatap menjaga soliditas dan konsolidasi dalam partai.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

63

Kelompok pertama, menginginkan ketum PD mengundurkan diri, bila tidak dan menjelang pemilu legislatif 2014 baru dijadikan tersangka oleh KPK, maka suara PD akan tergerus, dan PD boleh jadi tinggal kenangan di arena perpolitikan Indonesia. Lain halnya dengan kelompok pertama, kelompok kedua yang dimotori oleh Dewan Pembina PD yang juga Presiden RI, SBY pada konferensi pers di Cikeas, Minggu, 5 Februari 2012 mengatakan bahwa tidak ada penonaktifan untuk Anas Urbaningrum sebagai ketum PD dan SBY berharap supaya KPK bekerja profesional dan tidak pandang bulu dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.

Konflik di Tubuh PD Dalam dunia politik, bisnis, dan apapun namanya, konflik merupakan suatu keniscayaan. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana mengelola konflik itu sehingga ia menjadi konflik fungsional, yakni memberikan manfaat dan tentu sebagai pengalaman berharga bagi pengurus dan kader partai kedepan. Referensi kepemimpinan dan ilmu manajemen berpendapat bahwa konflik sangat menentukan maju mundurnya suatu organisasi, dan dalam setiap organisasi terjadinya konflik dari beragam sebab acapkali sulit dihindari dan sulit pula untuk dihapuskan sama sekali. Karena konflik menentukan pergerakan dan kinerja suatu organisasi, maka Doctoroff menyebut konflik sebagai ―the mother of change.‖ Semakin besar suatu organisasi (politik, perusahaan bisnis), semakin besar pula potensi konflik yang akan terjadi, dan bila konflik itu masih sederhana dapat dipandang sebagai sesuatu manajemen dan kepemimpinan. Namun bila konflik itu terlalu tinggi dan sulit diredam memungkinkan kinerja organisasi menjadi semakin rendah. Sedangkan tingkat kinerja yang tinggi dalam organisasi (politik) akan dicapai bila tingkat konflik dalam organisasi tersebut rendah. Berdasarkan pengalaman, konflik disfungsional merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan dan sangat dihindari oleh pemimpin organisasi karena dapat

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

64

memisahkan hubungan yang telah terbangun secara harmonis menjadi disharmoni dan saling tidak percaya. Rupanya, kasus Wisma Atlit yang menyeret sejumlah nama petinggi PD menjadi pemicu terjadinya konflik internal di PD. Citra PD di mata publik juga mengalami penurunan cukup tajam, sehingga kelompok progresif PD tidak ingin membiarkan keterpurukan partai pemenang pileg dan Pilpres 2009 tersebut, sehingga solusinya menurut mereka adalah penonaktifan ketum PD, Anas Urbaningrum, biarkan ia konsentrasi dalam proses hukumnya di KPK, dan Ketum PD yang baru berkonsolidasi untuk memenangkan kembali hati publik terhadap partai pemerintah tersebut. Namun Anas Urbaningrum tetap bersikukuh bahwa ia tidak bersalah dalam berbagai kasus korupsi yang dituduhkan kepadanya dan mempersilahkan KPK untuk mengusut tuntas orang- orang yang terlibat dalam berbagai kasus mega proyek tersebut.

Perlunya Satu Bahasa Satu kesalahan mendasar yang terjadi di PD adalah hampir setiap pengurus PD memiliki kebebasan untuk manjadi nara sumber di setiap talk show, diskusi, konferensi pers, wawancara, untuk memberikan pandangan terhadap kasus yang membelit sejumlah petinggi partai. Mestinya, ketika pengurus dan kader partai dirundung masalah, yang boleh bicara ke publik dan media adalah orang yang telah ditunjuk oleh partai sebagai juru bicara melalui mekanisme yang ditetapkan oleh partai sehingga tidak terjadi pro kontra terhadap satu masalah yang dihadapi oleh partai, yang seringkali membuat publik bingung.

Menunggu Keberanian KPK Untuk menjernikan situasi dan tensi politik di negeri ini akhir-akhir ini, komisioner KPK dituntut untuk kerja cepat dan profesional menyidik orang-orang yang terlibat dalam kasus Wisma Atlet, Hambalang, dan lain-lain yang melibatkan pengurus partai sehingga yang terlibat dihukum Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

65

sesuai dengan perbuatannya, dan pengurus partai yang lain akan melakukan konsolidasi partai menuju pemilu 2014 mendatang. Bila saja KPK tidak mampu menjadikan tersangka baru, dan di penghujung 2013 atau di awal 2014 menjelang pileg baru Anas Urbaningrum dijadikan tersangka, maka publik akan meninggalkan Partai Demokrat, itulah kekhawatiran yang menghantui sejumlah elit PD. Keberanian komisioner KPK sedang diuji, seandainya saja mereka memutuskan Anas Urbaningrum tidak bersalah karena tidak cukup bukti, maka publik boleh jadi kecewa dan geram dan seandainya saja KPK mampu menemukan bukti-bukti yang muncul di persidangan (Rosa dan Yulianis) tentang inisial Ketua Besar dan Bos Besar yang ditengarai Anas Urbaningrum dan Mirwan Amir dan menjadikan mereka tersangka dalam kasus Wisma Atlet, maka mereka akan dipecat sebagai Ketua Umum dan kader PD dan diadakan pemilihan ketua umum PD dan kepengurusan PD yang baru akan melakukan konsolidasi, dan pengalaman pahit ini dijadikan maha guru untuk kebesaran PD dalam percaturan perpolitikan Indonesia kontemporer di kemudian hari. (Tribun Sulbar, Februari 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

66

SIAPA NAKHODA (PINISI) UNM EMPAT TAHUN KEDEPAN?

Bila tidak ada aral melintang, suksesi Rektor UNM akan dihelat pada bulan Januari 2012 mendatang. Menjelang suksesi empat tahunan tersebut, di awal bulan November 2011, telah menghembus desas desus pemilihan rektor di kalangan civitas academika UNM, mulai dari mahasiswa, pegawai, dosen, hingga kepada para petinggi UNM. Sejumlah namapun santer diperbincangkan sekaligus dijagokan oleh civitas academika UNM untuk memimpin UNM 4 tahun kedepan. Nama-nama tersebut berasal dari top management UNM (Rektorat), pemimpin fakultas (Dekan/Mantan Dekan), bahkan dosen dari sejumlah fakultas di UNM berminat untuk meramaikan hajatan 4 tahunan tersebut. Dalam pemilihan rektor UNM tahun ini, diyakini oleh banyak pihak akan lebih ramai ketimbang pemilihan rektor empat tahun silam yang diikuti oleh 10 kandidat rektor. Setip suksesi pemilihan rektor berlangsung, tidak sedikit kandidat yang bertarung untuk mendapatkan suara terbanyak dari para anggota senat. Jauh hari sebelum pemilihan tersebut berlangsung, para kandidat kasat kusut mencari dukungan dan melobi anggota senat UNM, sang pemilik suara. Pengalaman menunjukkan (kasus di luar UNM) bahwa ada kandidat menjelang pemilihan mengajak para pemilik suara untuk sekedar makan bersama di salah satu restoran atau rumah makan, dan sekaligus menyampaikan visi-misinya, ada juga kandidat yang jauh-jauh hari telah membangun silaturahim kepada para anggota senat dan menjaga Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

67

silaturahim itu tetap utuh hingga pada hari H pemilihan, ada juga calon dengan integritas dan idealismenya yang tinggi tanpa melakukan serangkaian trik dan intrik untuk memenangkan pertarungan. Mereka hanya ―easy going‖ tanpa beban, dengan harapan menang – kalah tidak ada persoalan. Tapi perlu diingat bahwa untuk menjadi petarung handal dalam sebuah pertarungan seorang kandidat bukan hanya dituntut untuk cerdas saja, tetapi dia juga harus cerdik laiknya para calon anggota legislatif menjelang pemilihan umum (Presiden dan Legislatif). Cerdik dalam artian mengeluarkan semua potensi yang dimiliki yakni melakukan lobi-lobi, deal-deal (politik), bila saya terpilih engkau akan menjadi ini atau itu, dan lain sebagainya. Ingat niat tulus tidak cukup tanpa dibarengi dengan upaya menarik simpati para pemilik suara. Para kandidat berupahya meyakinkan kepada para anggota senat melalui visi, misi, dan beragam agenda aksi yang akan dilaksanakan bila nasib berpihak kepadanya atau kelak terpilih menjadi rektor UNM. Dalam pemilihan nantinya, disinyalir oleh banyak pihak akan ada sejumlah kandidat yang bertarung, dan muncul tanda tanya siapa yang akan menjadi pemenang, spekulasipun bermunculan. Dari sejumlah kandidat tersebut, ada yang hanya sekedar meramaikan pesta empat tahunan tersebut, alias hanya sekedar coba-coba, ada yang mencoba jual visi dan misi, ada yang hanya ingin melihat bagaimana elektabilitas mereka dan berapa suara yang diperoleh yang berujung pada koalisi menjelang putaran terakhir pemilihan, dan ada pula yang sungguh-sungguh sebagai kandidat rektor yang telah malakukan lobi intensif dan juga telah merancang seabrek program kerja yang siap diimplementasikan bila kelak garis tangan berpihak kepadanya. Yang jelas siapapun calon rektor UNM untuk empat tahun kedepan harus memiliki visi, misi, dan agenda aksi yang jelas untuk perbaikan infrastruktur dan suprastruktur UNM sehingga dapat mengangkat citra universitas ini, bukan hanya pada pencitraan di tingkat nasional yang lima belas tahun terakhir ini mengalami titik nadir, tetapi juga perlu pencitraan di mata dunia internasional melalui beragam aksi.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

68

Menghadapi suksesi rektor UNM, ada sejumlah isu tematik yang perlu mendapatkan perhatian dari para kandidat. Untuk menjadikan UNM sebagai universitas yang diperhitungkan dan tergolong ―World Class University‖ (universitas kelas dunia) 2025, maka ada sejumlah isu tematik yang perlu dibenahi. Isu tersebut adalah: i) Infrastruktur kampus dan fasilitas perkuliahan, ii), Peningkatan kualitas SDM dan alumni, iii) Tri darma Perguruan Tinggi (pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, iv) Sumber Daya Manusia (SDM), v) Networking dan kerjasama, dan vi) Kampus yang kondusif. Sejalan dengan isu tematik tersebut, UNM juga perlu menciptakan suasana pembelajaran berbasis learning, mewujudkan terciptanya alumni yang tangguh, memiliki karakter yang dapat diandalkan serta berwawasan kewirausahaan (interpreneurship). Salah satu tolok ukur diseganinya sebuah perguruan tinggi adalah memiliki infrastruktur yang modern dan tetap berlandaskan kearifan lokal. Dengan infrastruktur yang modern, sebuah universitas dapat memberikan daya tarik tersendiri kepada para calon mahasiswa, dan dengan infrastruktur yang baik dan modern pula UNM akan disegani. Untuk mewujudkan cita-cita UNM sebagai universitas terpandang di Indonesia, maka fasilitas perkuliahan juga perlu segera dibenahi. Fasilitas tersebut, seperti: AC, kursi, LCD/infokus, kebersihan, dan sarana prasarana perkuliahan lainnya. SDM UNM juga perlu melaksanakan tri darma perguruan tinggi dengan baik dan profesional serta dengan dedikasi dan loyalitas tinggi, yakni: pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Hasil penelitian di UNM hendaknya dipublikasikan, baik disajikan dalam pertemuan di forum-forum ilmiah nasional maupun internasional atau dalam bentuk artikel dalam jurnal ilmiah terakreditasi nasional atau internasional maupun dalam bentuk buku, hak cipta, dan lain-lain. Sekaitan dengan program riset di UNM pada tahun 2009 lalu, cukup menggembirakan karena dari lebih 478 tenaga pengajar yang dimiliki UNM, 212 judul yang dimenangkan melalui beragam skim penelitian dengan anggaran penelitian

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

69

sebesar Rp. 7.026.717.000. Ini menunjukkan bahwa UNM telah masuk kategori research university. SDM sebagai aset UNM perlu terus dikembangkan, dan sebagai aset harus dapat melaksanakan tri darma perguruan tinggi dengan baik dan profesional. SDM UNM seyogyanya memasuki komunitas ilmiah, dan berperan aktif melalui beragam seminar ilmiah, organisasi profesi, diskusi ilmiah, dan forum ilmiah lainnya dan dukungan universitas sangat diperlukan. Untuk menjadi universitas yang besar dan disegani di era yang sangat kompetitif ini, UNM juga perlu menjalin kerjasama dan memperluas jaringan (networking) dengan berbagai lembaga riset, universitas, lembaga non profit, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kerjasama tersebut dapat berupa pertukaran mahasiswa dan tenaga pengajar, kerjasama penelitian dan pengabdian pada masyarakat melalui collaborative research, dan skim penelitian lainnya, dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya. Isu tematik lainnya, yang perlu segera dibenahi oleh seluruh stakeholder/civitas academica UNM adalah lingkungan kampus yang kondusif. Hal ini cukup beralasan karena akhir-akhir ini tawuran di UNM acapkali menjadi headline berita di sejumlah media cetak dan elektronik nasional. Disamping hal-hal tersebut, UNM juga perlu senantiasa menciptakan pencitraan yang baik di mata publik melalui berbagai pengabdian dan pengembangan masyarakat, sehingga citra buruk UNM setidaknya dapat diimbangi. Beberapa tahun terakhir, UNM telah melakukan berbagai perubahan dan langkah signifikan untuk membangun reputasi di tengah publik dan masyarakat internasional, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pihak rektorat, fakultas, dan pascasarjana. Kegiatan- kegiatan tersebut, seperti International Conference on Language Education (ICOLE), Workshop on Reading, dengan menghadirkan sejumlah professor dari Amerika Serikat, jalinan kerjasama dengan sejumlah universitas di China, Australia, Amerika Serikat, Malaysia, dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya. Demikian halnya di tingkat lokal, UNM telah menjalin kerjasama dengan sejumlah pemerintah daerah

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

70

dalam peningkatan mutu pendidik di daerah. Civitas academica UNM juga telah menorehkan beragam prestasi di tingkat lokal dan nasional, baik di bidang teknologi, seni, olahraga, dan lain-lain. Best practices seperti ini perlu terus dilakukan secara sustainable oleh rektor terpilih nantinya. Disamping kegiatan tersebut, untuk mengangkat citra UNM sebagai universitas kelas dunia, petinggi UNM juga perlu memikirkan pemberian gelar doctor honoris causa kepada pemerhati dan orang-orang yang dianggap berjasa dalam dunia pendidikan, kemanusiaan, perdamaian, dan ilmu pengetahuan, baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk mewujudkan cita-cita UNM sebagai ―World Class University‖ tahun 2025 dan terpandang dalam tri darma perguruan tinggi, maka seluruh civitas akademika UNM perlu bersinergi dan menyatukan langkah untuk mewujudkan cita- cita luhur tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan memadukan manajemen perguruan tinggi modern dan nilai luhur budaya dan kearifan lokal. Bagi dosen senantiasa melaksanakan tri darma perguruan tinggi dan berpartisipasi aktif dalam forum ilmiah nasional dan internasional untuk mengangkat citra UNM, dan bagi pegawai hendaknya bekerja dengan dilandasi profesionalisme, loyalitas, dan dedikasi yang tinggi. Demikian halnya, para mahasiswa seyogyanya menjaga kedamaian dan harmoni di UNM, dan menghindari tawuran yang berdampak negatif atas pencitraan UNM. Mahasiswa juga hendaknya banyak berkarya melalui lembaga kemahasiswaan, dan melakukan kegiatan-kegiatan positif yang dapat memberi pencitraan pada UNM di masa kini dan mendatang, bukan justru merusak citra UNM melalui tawuran, konflik berkepanjangan, yang tidak jelas penyebabnya. Dengan demikian, maka akan tercipta peningkatan mutu secara berkelanjutan untuk peningkatan mutu SDM (dosen dan pegawai), mahasiswa, alumni, pelayanan, dan seluruh bidang yang terkait sebagai komitmen bersama menuju UNM sebagai ‗WORLD CLASS UNIVERSITY 2025.‖ Untuk mewujudkan angan-angan di atas, maka hendaknya yang menjadi rektor UNM sebagai pengemban tugas selama empat tahun kedepan adalah sosok yang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

71

mampu membawa pinisi UNM mengarungi samudra ilmu dan pengabdian nan luas, maka seyogyanya para anggota senat UNM menghibahkan suara mereka kepada kandidat yang tepat dan diyakini akan membawa kapal (pinisi) UNM untuk berlayar dengan tenang dan sampai ke tujuan dengan selamat. Nahkoda sejati (rektor) yang terpilih nantinya sudah mempersiapkan berbagai macam solusi untuk menantang angin dan badai di tengah samudera, sehingga (pinisi) UNM semakin disegani dan diandalkan dalam TRI DARMA PERGURUAN TINGGI. SEMOGA! (Tabloid Profesi UNM, November XXXV 2011)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

72

KLENIK DAN CALEG TIDAK PERCAYA DIRI

Seiring dengan semakin dekatnya hari H pencoblosan, 9 April 2014 untuk pemilihan umum legislatif (Pileg), praktik klenik atau perdukunan semakin gencar dilakukan oleh sebagian caleg tidak percaya diri dan minim kepahaman agamanya (imannya). Klenik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga, tahun 2002 adalah kegitan perdukunan (pengobatan dsb.) dengan cara-cara yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercaya oleh banyak orang. Klenik acapkali dilakukan seseorang dengan beragam tujuan. Ada yang menggunakan jasa dukun dengan tujuan popularitas, disenangi dan disegani banyak orang. Praktik perdukunan semacam ini seringkali diperaktekkan oleh para selebriti. Ada juga yang menggunakan jasa dukun dengan tujuan untuk merebut atau melanggengkan kekuasaan, praktik perdukunan seperti ini biasanya dilakukan oleh calon kepala daerah (bupati, walikota atau gubernur) dan calon legislatif (caleg). Praktik perdukunan juga kerapkali dilakukan oleh seorang akademisi, birokrat, atau pekerja kantoran terutama yang berada pada posisi middle dan top management untuk memperoleh kekuasaan atau jabatan prestisius di tempat mereka bekerja. Ironisnya adalah akademisi yang berlabel doktor (Dr.) bahkan Profesor (Guru Besar) dan pekerja kantoran dengan pakaian mentereng melakukan hal-hal yang diluar akal sehat, padahal sesungguhnya mereka adalah pemburu ilmu logik, Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

73

sedangkan klenik (dan sejenisnya) adalah dipahami sebagian orang sebagai sesuatu yang sulit diterima akal sehat alias perbuatan syetan. Isu seputar klenik mengemuka di publik, ketika pada tanggal 3 Maret 2014 lalu, seorang dukun menjadi korban ritual, ia terjatuh ke dalam jurang ketika hendak melakukan ritual di salah satu gua, tepatnya di Gua Langse, Gunung Kidul Yogyakarta. Dalam peristiwa memilukan tersebut, seseorang juga mengalami luka serius akibat terjatuh dan nyawanya terselamatkan karena tersangkut pada ranting sebuah pohon. Rencana ritual tersebut diikuti oleh beberapa caleg dari sebuah partai politik peserta pemilu legislatif (pileg) 2014. Praktik perdukunan bukan hanya muncul kali ini, tetapi seiring dengan pesta demokrasi, bahkan mulai dari tingkat pemilihan kepala desa hingga presiden juga seringkali terjadi. Hal ini juga mulai ada sejak bumi ini dihuni oleh manusia. Di masa Nicolo Macchiavelli, praktik klenik juga tumbuh subur di Florence (Italia), yang tujuannya adalah untuk meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Klenik yang oleh Nicolo Macciavelli disebut sebagai pengetahuan yang bersifat abstrak (abstract knowledge) atau keterampilan supernormal (supernormal skill), dan Prof. Kamanto Sunarto menyebutnya sebagai sebuah penyimpangan (deviant). Terjadinya praktik klenik di masyarakat, terutama bagi caleg yang tidak percaya diri disebabkan oleh berbagai hal. Salah satu alasan klasik adalah caleg tersebut minim akan pendidikan (tinggi) alias rata-rata dari mereka adalah berpendidikan rendah. Mereka juga tidak memiliki dasar dan praksis agama yang kuat. Dengan demikian, maka etika, moralitas spiritual tidak lagi dipegang teguh, dan mendapat tempat yang tinggi. Di tengah situasi chaos di bidang religius serta disintegrasi di bidang moralitas publik, maka bagi Macchiavelli persoalan kekuasaan yang diutamakan bukannya soal legitimasi moral, tetapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil itu menjadi stabil dan lestari (M. Sastrapratedja dan Frans M. Parera, 1999).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

74

Klenik yang oleh Elizabeth K. Nottingham (2002) disebut magi dianggap sebagai sarana lain yang penting yang dapat dipakai untuk meraih kekuasaan. Menurut Nottingham magi sebagai metode penyesuaian diri bisa dianggap sejalan dengan agama dan bahwa di dalam kehidupan institusional yang nyata magi dan agama sering berada bersama-sama sebagai suatu kesatuan. Ia kemudian menambahkan bahwa sarana yang digunakan oleh magi dan agama adalah sama-sama non empirik, tetapi keduanya berbeda sekali dalam tujuan yang ingin dicapai. Tujuan agama terarah kepada dunia lain yang ghaib (adikodrati), sedangkan yang hendak dicapai oleh para pelaku magi adalah dunia manusia sehari-hari, yakni ingin dihormati, dihargai, ingin kekuasaan, konsumerisme, hedonistik, dan lain-lain. Praktik klenik, dan sejenisnya seperti magi, santet, guna-guna, black magic, perdukunan, bagi manusia (Indonesia) modern dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan menyimpang, itulah sebabnya acapkali dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dikarenakan masyarakat modern pada umumnya berpikir dan bertindak secara logis rasional empiris, tidak lagi bertumpu pada hal-hal yang bersifat mistik (supranatural). Praktik perdukunan menjadikan masyarakat bergaya hidup menyimpang dan memperoleh jabatan atau karir yang juga menyimpang. Menurut Prof. Kamanto Sunarto (2000), gaya hidup menyimpang (deviant life style) tersebut berakibat pada lahirnya tokoh atau penyelenggara negara (anggota DPRD/DPR/DPD) yang memiliki karir menyimpang pula (deviant career). Nah, kalau yang menjadi legislator dan senator di Senayan dan parlemen di daerah, adalah pelaku perdukunan (klenik), maka negara ini kelak akan menjadi negeri antah berantah (Senin, 7 April 2014).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

75

POLITIK, UANG, DAN MONEY POLITICS

Politik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga, 2002 berarti (1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan), (2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, dan (3) cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah; kebijaksanaan. Nandang Mulyasantosa (1983) mengatakan bahwa politik adalah seni dan ilmu pemerintahan. Intisari dari kedua pendapat tersebut bertalian dengan kebijaksanaan dan seni memerintah oleh the ruling party atau orang – orang yang menduduki tampuk kekuasaan dalam pemerintahan negara. Meraih kekuasaan (power) dalam politik bukanlah pekerjaan mudah, ia melibatkan seabrek strategi, intrik, rekayasa bahasa, dan yang tidak kalah pentingnya adalah uang. Uang menurut deLespinasse merupakan salah satu kekuatan dalam politik, selain pena (media) dan pedang. Meraih tahta atau kekuasaan hampir dipastikan sulit untuk berada dalam genggaman seorang politisi manakala ia tidak memiliki uang yang memadai untuk membiayai sosialisasi dan kampanye. Uang bukanlah segalanya, tapi tanpa uang bagi politisi dan partai politik, kekuasaan akan sulit untuk diraih, kecuali bagi politisi yang telah memiliki modal sosial bagi masyarakat jauh sebelum ia berlaga di pesta demokrasi. Katakanlah ia memiliki popularitas dan elektabilitas di mata publik, karena telah banyak berkontribusi untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Politisi yang telah berbuat cukup berarti di mata pemilih jumlahnya tidak banyak, sementara politisi yang berbuat menjelang pileg, dipastikan berada pada kisaran 90 persen lebih. Ini artinya, politisi dadakan tersebut harus didukung kekuatan uang. Bila tidak, ia tidak akan bersosialisasi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

76

maksimal melalui beragam atribut kampanye, seperti poster, baliho, kartu nama caleg, dan berkontribusi pada beragam kegiatan untuk konstituen dan tim sukses. Menjadi calon anggota DPR, seorang caleg memerlukan milyaran rupiah, demikian halnya caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota harus merogoh kocek dalam – dalam. Belanja caleg menjelang pileg sangat fantastis, dan hal ini berpengaruh terhadap peredaran uang di suatu daerah. Dua bulan menjelang pileg, di Sulawesi Selatan saja peredaran uang mencapai 4,2 triliun, demikian diberitakan sejumlah media lokal. Dalam peredaran uang tersebut, money politics juga tentu berkontribusi signifikan. Politik uang tidaklah dibenarkan dalam meraih sukses dalam dunia politik. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa caleg yang melakukan politik uang tidaklah sedikit. Politik uang juga senantiasa dikemas dengan beragam cara dalam kampanye, sebagai misal seorang caleg memberikan sembako kepada konstituen, memberikan uang dengan dalih biaya transportasi dalam kampanye, memberikan barang berupa sarung. Yang lebih fatal adalah memberikan uang menjelang hari H pencoblosan, yang nominalnya variatif. Acapkali caleg A memberikan Rp. 50.000,-, sementara caleg B memberikan Rp. 100.000,-, demikian seterusnya. Memberikan uang kepada calon pemilih belum tentu dipilih. Oleh karena itu, seorang caleg mesti memiliki kompetensi yang memadai dan kepedulian yang telah dibangun sebelumnya untuk meraup suara. Ia tidak hanya dituntut untuk menggelontorkan sejumlah uang, tetapi juga ia harus turun dan memahami kebutuhan masyarakat di daerah pemilihannya. Sesungguhnya, politik adalah ratunya ilmu sosial, dan politik merupakan kebijaksanaan dalam berbagai hal, hanya saja pelaku politik yang acapkali berbuat yang tidak elegan. Terjadinya politik uang, karena politisi ingin meraih kekuasaan dengan cara yang tidak santun. Demikian halnya dengan pemilih, mengharapkan uang dari politisi (caleg) karena mereka belum memahami implementasi politik yang santun dan beradab. Ini menunjukkan bahwa negara dan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

77

partai politik gagal mengimplementasikan praktik politik yang elegan. Nandang Mulyasantosa menyebutkan sejumlah fungsi partai politik yang mesti diimplementasikan dalam kehidupan sosial politik di negeri ini. Fungsi – fungsi tersebut adalah (1) Pendidikan politik (political education), (2) Sosialisasi politik (Political socialization), (3) Pemilihan pemimpin partai politik (political selection), (4) Pemaduan pemikiran – pemikiran politik (political aggregation), (5) Memperjuangkan kepentingan – kepentingan rakyat (interest articulation), (6) Melakukan tata hubungan politik (political communication), (7) Mengeritik rezim (critism of regime), (8) Membina opini masyarakat (stimulating public opinion), (9) mengusulkan calon (proposing candidate), (10) memilih pejabat – pejabat yang akan diangkat (choosing appointive officers), (11) Bertanggungjawab atas pemerintahan (responsibility of government), (12) Menyelesaikan perselisihan (conflict management), dan (13) Mempersatukan pemerintahan (unifying the government). Terjadinya money politics dalam setiap event demokrasi (pemilu), akibat minimnya pengetahuan pelaku politik yang santun dan demokratis, baik itu elite politik maupun publik, si empunya suara. Mereka tidak memahami pendidikan politik yang baik, mereka juga tidak pernah memperoleh sosialisasi praktek politik yang baik. Dengan demikian, para pemilih bersifat pragmatis, mereka senantiasa menanti untuk diberi uang dari sang caleg. Dengan maraknya politik uang tersebut pada setiap kampanye pemilu (pileg, pilpres, dan pemilukada), mengindikasikan bahwa negeri ini masih menyandang predikat sebagai negara pinggiran (miskin). Oleh karena itu pemerintah, KPU, Bawaslu, LSM, organisasi sipil, serta ormas terkait lainnya perlu menumbuhkan kesadaran setiap individu untuk menyalurkan hak politiknya tanpa iming – iming uang (money politics) (Fajar, Senin, 31 Maret 2014).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

78

PILEG 2014, AJANG PERTARUNGAN ANTAR KERABAT

Menjelang pemilihan anggota legislatif (pileg) 2014, gendang para calon anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota mulai ditabuh, ada yang masih malu- malu alias sesekali muncul di ruang publik, ada juga yang mulai vulgar menyoliasisasikan dirinya dengan senyum sumringah dan tingkah yang beragam di sejumlah media dan mulai memunculkan dirinya di sejumlah baliho dan poster serta beragam media sosialisasi lainnya. Melalui media sosialisasi tersebut terekam di mata kepala, kalau sejumlah kandidat dari satu kerabat ramai- ramai memilih partai yang berbeda sebagai kendaraan politiknya untuk duduk di singgasana kekuasaan. Ada seorang bapak yang memilih partai A sebagai kendaraan politiknya, dan istri si bapak tersebut memilih partai B sebagai kendaraan politiknya, dan anak dari bapak tersebut memilih partai C, sementara anak lainnya memilih partai D. Yang membuat gelih publik penikmat poster para kandidat tersebut adalah bila pertarungan calon anggota legislatif tersebut berasal dari suami istri dengan kendaraan politik yang berbeda. Katakanlah sang suami memilih parpol A dan sang istri memilih parpol B. Acapkali juga di daerah pemilihan (Dapil) tersebut, yang menjadi ketua partai A adalah si bupati atau walikota daerah itu, sementara istri sang bupati tersebut memilih partai lain sebagai kendaraan politiknya untuk duduk di DPR/DPRD. Ada juga sang istri memilih parpol A, sang suami memilih parpol B, dan anak mereka memilih parpol C menuju kekuasaan. Hal ini menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpolitik dan tidak memperlihatkan loyalitas kepada partainya sehingga yang menjadi tontonan menarik dalam setiap kali pileg dihelat adalah pertarungan antar kerabat.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

79

Ada beragam alasan mengapa keadaan ini terjadi hanya di negeri ini. Demokrasi dan praktik perpolitikan di negeri ini telah kebablasan. Sang pencari kekuasaan tersebut kerapkali melakukan nomadisme politik dari partai A ke partai B karena ingin melanggengkan kekuasaannya karena ia tidak lagi mendapat ruang untuk berkarir di partai yang ia besarkan sebelumnya. Tidak sedikit para nomaden politik tersebut adalah mantan ketua atau petinggi partai yang ia tinggalkan. Seringkali juga nomadisme politik terjadi akibat seseorang kalah dalam pertarungan pemilihan pucuk pimpinan dalam partai tersebut. Perpindahan seseorang dari partai A ke partai lainnya karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan AD dan ART partai, sebut saja melakukan korupsi, menjadi penikmat narkoba, dan perbuatan immoral lainnya. Tidak sedikit pula yang minggat dari partai A karena manajemen dan kaderisasi di partai itu tidak berjalan secara profesional, tetapi manajemen partai itu berjalan secara prematur tanpa kedewasaan. Ada juga keluarga yang memilih partai yang berbeda dengan kerabat lainnya dengan tujuan untuk memperoleh suara mayoritas dalam pertarungan memperoleh kursih kekuasaan sebagai gubernur atau bupati/walikota. Lain halnya ketika seseorang pindah partai karena partai ia sebelumnya tidak lagi diberi ruang untuk ikut berlaga pada pileg dengan beragam alasan. Apapun alasannya, sepertinya nomadisme politik dan memilih partai yang berbeda sebagai kendaraan politik bagi sang suami dan sang istri adalah sesuatu yang tidak masuk di akal sehat. Bagaimana tidak, acapkali partai A yang menjadi partai sang suami, dan partai B yang menjadi partai sang ibu tidak memiliki visi yang sama. Ada yang nasionalis, ada yang religius, dan ada pula yang nasionalis religius. Alasan itulah yang menjadikan demokrasi di negeri ini dianggap oleh sebagian orang sebagai demokrasi yang kebablasan karena para elit dan pelaku politik dalam demokrasi tersebut tidak lagi mencerminkan etika yang elegan dan mendidik bagi publik pemilih, yang ada di benak mereka adalah bagaimana memperoleh kekuasaan itu dan bagaimana melanggengkan kekuasaan itu. Akrobatik di

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

80

ranah politik ini menjadi fenomena unik setiap pileg. Dengan demikian berbagai cara dan intrik dilakukan untuk meraih kekuasaan itu. Yang ironis ketika sang bapak kampanye lalu mengatakan pilih partai saya, sang ibu juga mengatakan ketika ia kampanye pilih partai saya, demikian halnya si anak dalam kampanyenya ia mengatakan pilih partai saya. Lalu yang menjadi bingung adalah si pemilih (konstituen) yang notabene konstituen si bapak, ibu, dan anak. Perilaku ini menunjukkan bahwa sebagian dari politisi kita belum dewasa dalam berpolitik. Yang menarik ketika suami istri menjadi anggota dewan dan keduanya berasal dari partai yang berbeda, boleh jadi perbedaan itu muncul bukan hanya ketika perbedaan yang ada di antara fraksi, tetapi juga perbedaan itu bisa terbawa ke ranah domestik (keluarga), sehingga dapat menimbulkan kerenggangan antara suami dan istri akibat prinsip dan roh perjuangan partai yang berbeda pula. Apa mau dikata, fenomena unik dan menggelikan ini telah terjadi di depan mata. Oleh karena itu perlu pembenahan regulasi, yakni Undang – Undang Partai Politik dan Undang – Undang Pemilu serta AD dan ART partai didesain sedemikian rupa sehingga tidak lagi terjadi kutu loncat partai politik atau satu keluarga dengan beragam partai politik. Parpol harus ketat menerima pengurus dan anggota sebuah partai dan menerapkan aturan atau norma yang ketat, yakni seorang pengurus partai anu bersedia untuk tidak mencalonkan istri atau suaminya melalui jalur partai lain. Bila hal ini tidak diatur secara ketat, fenomena politisi nomaden semakin menggila, dan wajar saja bila setiap perhelatan politik partisipasi publik rendah. (Sindo 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

81

PEREMPUAN DAN POLITIK

Pileg 2014 boleh dibilang milik perempuan. Mengapa demikian?, karena Pileg 2014 telah diwarnai dengan keterlibatan perempuan secara massif sebagai calon anggota legislatif (caleg), baik caleg untuk DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR RI maupun DPD. Pesta demokrasi kali ini sangat menggembirakan karena hak perempuan untuk dipilih sebagai anggota dewan telah diberi ruang. Partisipasi politik perempuan di ranah politik tidak lagi termarjinalkan, seperti halnya ketika Orde Lama dan Orde Baru, hak – hak politik perempuan dirampas oleh negara. Hampir semua produk undang – undang tidak pro pada kepentingan perempuan sehingga jabatan – jabatan publik dan politik nyaris tidak berpihak kepada perempuan selama lebih dari 3 dekade. Di era itu, perempuan disubordinasikan, termarginalkan, dan peran – peran mereka tidak dianggap penting dalam membangun kesejahteraan dan peradaban bangsa. Di era Orde Lama dan Orde Baru, perempuan selalu terpinggirkan yang oleh Ritzer (2004) diberi predikat kurang beruntung atau tak setara dengan posisi laki – laki. Ritzer selanjutnya menambahkan bahwa wanita ditindas, tak hanya dibedakan atau tak setara, tetapi secara aktif dikekang, disubordinasikan, dibentuk dan digunakan, dan disalahgunakan oleh lelaki. Bentuk – bentuk ketidakadilan jender yang dialami oleh perempuan selama 3 dasawarsa yang memiskinkan perempuan adalah marginalisasi di bidang ekonomi, yakni lemahnya kesempatan perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi, seperti tanah, kredit dan pasar, subordinasi, yakni perempuan dinomorduakan dalam pengambilan keputusan dan diharuskan tunduk pada laki-laki, beban kerja berlebih, stereotif (cap – cap negatif), dan kekerasan, yakni, perempuan sering mendapat berbagai macam bentuk kekerasan, baik berupa fisik maupun psikologis (Samsang, 2010). Veven Sp. Wardhana (2004) menuliskan tiga stereotif Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

82

perempuan (dalam sinema) Indonesia. Pertama, sosok perempuan sebagai sumber malapetaka; kedua, perempuan sebagai pelaku duka nestapa yang sama sekali tiada daya untuk melawannya; dan ketiga adalah perempuan perkasa yang sesungguhnya malah pseudo-perempuan atau bahkan pseudo-masyarakat. Apa yang digambarkan dalam media, terutama dalam tayangan di sejumlah TV swasta merupakan perwujudan realitas sosial sesungguhnya. Dengan beragam bentuk perlakuan tidak menguntungkan bagi perempuan tersebut menjadikan perempuan sebagai salah satu elemen bangsa yang paling besar kontribusinya bagi kemiskinan bangsa dan negeri ini. Itulah sebabnya para aktifis yang pro akan pemberdayaan perempuan sebagai SDM yang memiliki daya saing tinggi perlu diberdayakan. Salah satu cara untuk memberdayakan perempuan adalah mendorong keterlibatan mereka di ranah politik. Perempuan dalam Politik: Dulu, Kini, dan Esok Kala Orde Lama dan Orde Baru menjadi pemilik negeri ini, hak – hak politik perempuan tidak diberikan ruang, sehingga jabatan – jabatan publik dan politik hanya milik laki – laki. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif merupakan tempat yang sangat mahal bagi seorang perempuan. Di kedua era tersebut, perempuan selalu saja diidentikkan dengan sumur di pagi hari, dapur di siang hari, dan kasur di malam hari. Artinya, perempuan identik dengan kerja – kerja domestik rumah tangga, seperti mencuci pakaian anak dan suami di pagi hari, lalu memasak siang harinya untuk suami dan anak tercinta, dan memenuhi keinginan biologis sang suami di malam hari. Di dua era tersebut, orang tua menganggap bahwa jabatan di luar rumah adalah miliknya anak laki-laki, dan kerja domestik miliknya perempuan sehingga sering dijumpai keluarga yang anaknya hanya bersekolah hingga tingkat SMA atau bahkan hingga tingkat SMP saja. Lebih dari 3 dekade, keseharian aktivitas politik masih sering diidentikkan dengan domainnya laki-laki, sehingga belum banyak perempuan yang berkiprah di bidang politik (Ernanti Wahyuni dan Sofinas Z. Asaari (2004). Keduanya

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

83

kemudian melaporkan bahwa pada tahun 1999, satu tahun setelah Orde Baru tumbang, perempuan yang menduduki jabatan struktural eselon III hingga eselon I hanya sebanyak 15,2%, sementara laki – laki 84,8%. Sementara data tahun 2001 menunjukkan bahwa posisi perempuan di MPR sebanyak 63 orang (9,1%), DPR 45 orang (8,8%), Mahkamah Agung 7 orang (14,8%), bupati/walikota 5 orang (6,8%), duta besar 4 orang (0,5%). Ignatius Mulyono melaporkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif mengalami tren peningkatan, yakni pada Pemilu 1999 (9%), Pemilu 2004 (11,8%), dan Pemilu 2009 (18%). Persentase tersebut masih sangat jauh dari ideal, bila dibandingkan dengan rasio penduduk Indonesia yang berjenis kelamin laki – laki dan perempuan. Pada Sensus BPS 2010, penduduk laki-laki Indonesia sebanyak 119.630.913 jiwa dan perempuan sebanyak 118.010.413 jiwa. Seks Rasio adalah 101, berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Setelah reformasi bergulir, berkat perjuangan dan kerja keras aktifis (perempuan), kesempatan perempuan untuk menjadi anggota dewan terhormat diberi ruang, yakni dengan diberlakukannya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di DPR yang diakomodir melalui Undang – Undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu. Dengan demikian, partai politik peserta pemilu sejak pemilu 2004 hingga pileg 2014 memberikan ruang yang seluas – luasnya kepada perempuan untuk berkiprah di ranah politik sebagai anggota DPR/DPRD dan DPD. Kebijakan dalam sistem perpolitikan Indonesia ini memberi ruang kepada perempuan untuk bertarung dalam pileg, baik untuk menjadi anggota legislatif di DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR RI, maupun sebagai anggota DPD RI dan hal ini sangat menggembirakan. Dari pemilu ke pemilu, sejak reformasi bergulir, animo perempuan untuk menjadi caleg semakin meningkat dari pemilu ke pemilu, hal ini dapat dilihat di sejumlah media sosialisasi, baik di media cetak, elektronik, maupun di sejumlah poster, brosur, baliho, kalender, dan media sosialisasi lainnya, yang sulit ditemukan di era Orde Lama dan Orde Baru.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

84

Mengapa perempuan penting berkiprah di ranah politik, mengapa pula sejumlah tokoh dan aktifis perempuan mengampanyekan perlunya memilih (mencoblos) perempuan pada Pileg 2014? Hari esok perempuan hendaknya dibentuk oleh perempuan itu sendiri. Apa yang mereka inginkan dan kebijakan apa pula yang pro atas kepentingan dan masa depan mereka mesti dirancang sendiri oleh perempuan. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi perempuan untuk tidak menentukan masa depannya sendiri, bukan lagi sebagai subordinasi dari laki – laki. Dengan demikian, perempuan bersama – sama dengan laki – laki sudah waktunya mengambil peran sebagai decision maker dalam setiap keputusan publik di negeri ini, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Oleh karena itu, berikanlah ruang yang seluas – luasnya kepada perempuan untuk berkiprah di segala ranah kehidupan, tak terkecuali sebagai anggota legislatif. (Sindo, 25 Maret 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

85

PEREMPUAN, BISA TONJI

Senin, 27 Januari 2014 lalu, civitas academika Universitas Hasanuddin (Unhas), alumni, pengamat, hingga masyarakat biasa terhenyak mendengar hasil pemilihan rektor Unhas yang menempatkan Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. sebagai jawara. Jauh sebelum hajatan akbar lima tahunan tersebut dihelat, Dr. Wardihan Sinrang yang menjadi pesaing berat Prof. Dwia bahkan dipastikan akan menjadi nakhoda Unhas Periode 2014 – 2018, mengingat pada putaran pertama, Dr. Wardihan mengungguli pesaing lainnya, termasuk Prof. Dwia. Pada pemilihan rektor Unhas putaran pertama, yang digelar pada tanggal 17 Desember 2013 di Auditorium A.P. Pettarani Unhas. Pada pemilihan kandidat rektor putaran pertama tersebut, Dr. Wardihan berhasil menarik 95 simpati senator kampus merah, sementara Prof. Dwia meraih 80 suara, Prof. Irawan 48 suara, Prof. Dr. Ambo Ala, 46 suara, Prof. Dr. Saleh Pallu, meraup 10 suara, dan satu suara milik Prof. Dr. Hatta. Dr. Wardihan juga didukung oleh sejumlah dekan fakultas yang ada di Unhas, seperti Fakultas MIPA, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), Sastra (Ilmu Budaya), Teknik, Farmasi, Pertanian, Hukum, dan Fakultas Peternakan, Pada rapat senat Unhas yang dibuka oleh Rektor Unhas, Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi yang mengagendakan pemilihan rektor Unhas, sekaligus pengganti dirinya. Terdapat 291 suara dari anggota senat Unhas ditambah 155 suara menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Dalam pemilihan rektor Unhas tersebut, Prof. Dr. Dwia Aries Tina memperoleh 241 suara, Dr. Wardihan Sinrang memperoleh 128 suara, dan Prof. Dr. dr. Irawan Yusuf memperoleh 71 suara dan terdapat 2 suara tidak sah/batal. Dengan dukungan anggota senat yang cukup signifikan dan dukungan Kementerian Pendidikan Nasional dan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

86

Kebudayaan secara penuh, maka Prof. Dwia menjadi pemenang pertarungan. Dengan terpilihnya Prof. Dr. Dwia, ia menempatkan dirinya sebagai rektor perempuan pertama di universitas terbesar di luar pulau Jawa tersebut. Ia juga menambah deretan perempuan yang kini menjabat predikat sebagai rektor di sejumlah perguruan tinggi di Makassar. Sebut saja, Rektor Universitas Islam Makassar (UIM), Prof. Dr. Ir. Andi Majdah Agus Arifin Nu‘mang, M.Si., Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI), Prof. Dr. Hj. Masrurah Mokhtar, M.Hum., Rektor Universitas Sawerigading, Prof. Dr. Hj. A. Sitti Melantik Rompegading, S.H., M.H., Rektor Universitas Satria Makassar, Dr. Rosmawati Natzir Said, M.Hum., Rektor Universitas Pepabri, Dr. Ir. Hj. Apiaty Kamaluddin, M.Si., Rektor UVRI, Dr. Niniek Lantara, dan terakhir Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A.. Sebelum ketujuh rektor perempuan tersebut menduduki jabatan prestisius di universitas tempat mereka mengabdi, IAIN (kini UIN) Alauddin Makassar juga pernah membuat sejarah, dimana rektornya dijabat oleh seorang perempauan, yakni Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah pada periode 1985 – 1994 dan Universitas Satria Makassar juga pernah dipimpin oleh seorang perempuan, yakni Prof. Dr. Sutina Soewondo Terpilihnya Prof. Dwia memunculkan sejumlah spekulasi dan pertanyaan, mampukah ia mengawal dan mengantarkan Unhas menjadi World Class University dengan ciri khas budaya maritimnya, yakni masuk 700 besar universitas berkelas dunia dan top ten university di Indonesia, dan Asia Pasific sebagaimana ia janjikan dalam visi dan misinya yakni pengejawantahan Tri Dharma perguruan tinggi (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian) yang berbasis riset. Tentu publik, khususnya civitas academika Unhas menaruh harapan besar di pundaknya. Melihat pengalamannya selama dua periode menjabat sebagai Wakil Rektor Unhas, bidang Kerjasama, ia telah membuktikan dirinya sebagai birokrat kampus merah yang cukup berhasil. Hal ini juga dapat dilihat pada semakin banyaknya kerjasama dan program unggulan yang dijalin

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

87

Unhas dengan lembaga dan Universitas lainnya, baik dalam maupun luar negeri. Perannya di luar Unhas juga cukup memadai, yakni ia menduduki jabatan prestisius di sejumlah organisasi profesi, seperti: Ketua Nasional Ikatan Sosiologi Indonesia, 2013 – 2016. Ia juga menjabat sebagai Wakil Ketua Nasional Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu Ilmu Sosial, 2013 – 2016. Juga tercatat sebagai Ketua Forum Wakil Rektor Bidang Pengembangan dan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Se – Indonesia, sejak 2012 hinggi kini. Dengan pengalaman berorganisasi yang cukup mumpuni tersebut, semakin meneguhkan dirinya sebagai pemimpin yang memiliki potensi dan jaringan luas. Disamping itu, kemampuan bahasa Inggrisnya juga cukup baik, sehingga dapat menjalin kemitraan dan kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga bergengsi dari penjuru dunia, sehingga menempatkan Unhas sebagai universitas berkelas dunia, terdepan di Indonesia, dan menjadi rujukan di dunia internasional. Mengapa dewi keberuntungan ada di genggaman Prof. Dwia? Banyak spekulasi yang bermunculan, tapi yang jelas adalah ia memiliki kemampuan lobi, jaringan, strategi mengalahkan lawan, kemampuan negosiasi, kepemimpinan, dan tentu kemampuan akademik yang meneguhkan dirinya sebagai seorang guru besar, yang menjadi rujukan bagi mahasiswa dan masyarakat awam yang ingin melek informasi. Yang jelas, kita berharap Prof. Dwia mampu mengemban amanah yang diberikan kepadanya, dengan mengedepankan kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang partisipatif (participatory leadership dan participatory decision making) dengan tetap mengawal kebijakannya dengan kearifan lokal budaya Bugis Makassar: sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi. Kita juga berharap ia mampu menjalankan kepemimpinannya sebagai rektor dengan tetap menjalin komunikasi yang intensif dengan berbagai pihak di intern Unhas dan dengan lembaga lain di luar Unhas. Semoga ia juga mampu menjalankan kepemimpinannya, dengan landasan cinta dan kasih sayang bak seorang ibu kepada anak-anaknya, semoga ia juga

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

88

dapat memimpin dengan supel, demokratis, perhatian, adil, artistik, cermat, dan terpenting adalah arif dan bijaksana serta mampu mewujudkan Unhas menjadi Universitas Kelas Dunia (World Class University) berbasis riset dan maritime (Fajar, Senin 3 Februari 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

89

PERTARUNGAN CALEG DI DAPIL NERAKA

Beberapa hari terakhir menjelang pemilihan umum legislatif (Pileg) dihelat, istilah daerah pemilihan (Dapil) Neraka sering terngiang di telinga dan acapkali muncul pada pemberitaan media massa serta diskusi warung kopi. Istilah dapil neraka dialamatkan pada daerah pemilihan umum legislatif (Pileg) yang menjadi tempat berkumpulnya para anggota DPRD/DPR atau orang-orang yang memiliki kekuatan dan ketokohan pada dapil tersebut. Ketokohan seorang caleg dapat saja berasal dari kekuasaan yang dimiliki oleh caleg yang bersangkutan, sebagai misal ia adalah mantan kepala daerah di dapil tersebut atau ia adalah anak atau istri dari bupati atau walikota di daerah tersebut. Dapat pula kekuasaan caleg berasal dari ketokohan dia sebagai warisan dari leluhurnya sebagai penguasa di zaman lampau (arung wanua). Namun yang menarik disimak sekaligus dijadikan sebagai bahan diskusi adalah caleg yang tidak direken atau caleg yang tidak memiliki peluang untuk terpilih pada pileg 9 April 2014 nanti. Bisa jadi caleg yang tidak direken tersebut adalah caleg yang tidak memiliki garis keturunan ketokohan orang tua mereka sebagai warisan leluhur. Bisa juga mereka yang dikategorikan caleg tidak direken adalah caleg yang tidak memiliki popularitas dan elektabilitas di daerah pemilihan tersebut karena ia tidak dilahirkan dan tidak pula dibesarkan di dapil tersebut serta tidak memiliki hubungan emosional dengan masyarakat setempat. Caleg tersebut bisa jadi bukan tokoh masyarakat, juga mungkin seseorang yang tidak memiliki andil dalam pembangunan komunitas di dapil neraka tersebut. Ada kemungkinan mereka adalah pendatang baru yang tidak memiliki pengalaman di dunia politik yang penuh intrik dan tipu daya. Mereka seringkali tidak mampu

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

90

mengejawantahkan strategi politik yang mumpuni untuk meraih sukses dalam setiap pesta demokrasi. Celakanya adalah seringkali caleg yang tidak direken tersebut berusaha semaksimal mungkin untuk meraih kekuasaan dengan melakukan beragam cara, bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela mengorbankan harta benda yang dimiliki dengan harapan duduk manis di singgasana kekuasaan tanpa pertimbangan bahwa sesungguhnya politik adalah sesuatu yang tidak pasti (politics is uncertainty). Dalam dunia politik, ada dua kekuatan yang saling bersinergi, antara lain ―the power of money,‖ kekuatan uang dan ―the power of media, ‖ kekuatan media dalam hal ini pencitraan melalui beragam media. Tanpa uang dan pencitraan di media, caleg akan mengalami kesulitan untuk meraih simpati dari konstituen. Tanpa uang pula untuk melakukan suatu kegiatan niscaya akan sulit dilakukan, dan tanpa dukungan uang, mustahil pula caleg dan kegiatan yang dilakukannya akan bertengger di halaman-halaman koran dan pemberitaan di media televisi, sehingga caleg tersebut hanya menyandang predikat sebagai caleg tidak direken (diperhitungkan). Untuk alasan pencitraan dan peningkatan popularitas serta elektabilitas melalui beragam media dan aksesoris kampanye, seorang caleg DPR dapat merogoh kocek hingga 6 milyar rupiah, demikian terungkap dalam hasil penelitian disertasi doktor Pramono Anung, mantan Sekjen PDIP dan kini menjabat anggota DPR. Yang menarik kemudian adalah, apakah dengan sosialisasi di sejumlah media (cetak dan elektronik) sudah menjadi jaminan bagi caleg untuk duduk di DPRD atau DPR. Belum tentu, lalu apa yang menjadi jaminan untuk duduk di singgasana kekuasaan tersebut. Untuk melanggengkan kekuasaan sebagai anggota DPR (DPRD), maka banyak hal yang perlu dilakukan oleh para caleg, terutama caleg yang telah merasakan empuknya kursi parlemen. Hal tersebut antara lain: penuhi janji saat kampanye ketika telah duduk di parlemen, tetap menjaga komunikasi dan silaturahim dengan konstituen, jangan hanya datang ketika butuh suara, berbuat yang berarti untuk masyarakat, perjuangkan keinginan dan kesejahteraan rakyat. Seringkali seseorang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

91

mengganti nomor HP-nya ketika yang bersangkutan telah menjadi anggota dewan, ia menjadi pelupa atau sengaja melupakan konstituennya, yang nota bene merupakan jembatan untuk duduk di singgasana kekuasaan. Dengan perilaku yang menjauh dari konstituen tersebut, membuat pemilih merasa sinis, sehingga pemilik suara enggan untuk memberikan suaranya kepada caleg tersebut. Michel Rush dan Phillip Althoff (2000) mengutip hasil survei yang dilakukan terhadap politisi Inggris. Survei tersebut menyebutkan bahwa terdapat 70 persen responden mengatakan bahwa kebanyakan politisi akan menjanjikan sesuatu untuk mendapatkan suara, 66 persen responden berpendapat bahwa kebanyakan politisi lebih mementingkan partai sendiri daripada negara, 59 diantaranya yang mengatakan para politisi cuma berbicara melulu dan tanpa tindakan, 57 persen mengatakan bahwa kebanyakan politisi masuk ke dalamnya untuk mendapatkan sesuatu, dan 55 responden mengatakan bahwa sekali mereka menjadi anggota parlemen, mereka melupakan pemilih-pemilihnya. Anggota dewan yang melupakan konstituennya akan terasing dari konstituen tersebut sehingga akan sulit untuk mendapatkan dukungan pada pileg berikutnya sehingga ia akan menjadi caleg yang tidak lagi direken, terutama ketika ia berada pada daerah pemilihan yang dipenuhi oleh para tokoh yang memiliki kharisma dan kedekatan dengan masyarakat di dapil tersebut. Praksis perpolitikan dan etika elit politik di Inggris tersebut, memiliki banyak kemiripan dengan politisi negeri ini. Hanya sedikit diantara politisi negeri ini yang memiliki komitmen dan rela untuk turun ke masyarakat menyaring aspirasi kemudian memperjuangkan aspirasi tersebut demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial serta terciptanya pembangunan infrastruktur dan suprastruktur. Hanya para caleg yang mampu memperjuangkan kepentingan rakyat yang diberi ruang untuk dipilih dan merekalah yang akan menjadi pemenang pada dapil neraka. (Koran Sindo, Rabu 5 Maret 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

92

PILKADA LANGSUNG, BENTUK ASLI DEMOKRASI

Pasca reformasi, implementasi Pasal 1, ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945 yang berbunyi kedaulatan ada di tangan rakyat betul-betul terlaksana dengan baik mulai dari Pileg, Pilpres, dan Pemilukada di daerah secara langsung untuk memilih kepada daerah (Gubernur, Walikota, dan Bupati). Pilkada langsung merupakan salah satu bentuk pengejawantahan praksis demokrasi yang pro akan kepentingan rakyat karena rakyatlah yang menentukan masa depan mereka sendiri dengan memilih kepala daerah yang memiliki program untuk mensejahterakan rakyat. Lalu, mengapa harus demokrasi dan apapula demokrasi itu? Anthony Gidden (2002) mengatakan bahwa demokrasi berasal dari kata Yunani, demokratia, yang terdiri dari dua kata kunci, yaitu demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Dalam arti dasarnya, demokrasi adalah sistem politik dimana rakyatlah yang memerintah. Gidden kemudian menambahkan bahwa ada dua wujud demokrasi, yaitu participatory democracy (direct democracy) dan representative democracy. Participatory democracy tiada lain adalah pemilihan langsung dalam setiap event politik dimana publik terlibat aktif, sementara representative democracy adalah pemilihan tidak langsung alias pemilihan melalui wakil di lembaga perwakilan (DPR/DPRD). Dalam pilkada langsung, rakyat berpartisipasi secara massif dan demokrasi tipe ini merupakan bentuk aslinya demokrasi, the original type of democracy practiced in ancient Greece (Gidden, 2002). Mengapa itu dilakukan karena sesungguhnya pemegang kedaulatan adalah rakyat yang berarti rakyat pulalah sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan (Arbi Sanit, 1995). Bila saja pada tanggal 25 September 2014, mayoritas anggota DPR terhormat memilih opsi Pilkada tidak langsung, ini berarti praktik demokrasi di negeri ini mengalami kemunduran.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

93

Sekitar 2012 lalu, RUU Pilkada langsung sempat menjadi perbincangan hangat, namun seiring dengan sejumlah peristiwa politik yang akan dihelat, mulai dari pileg hingga pilpres, maka isu RUU Pilkada langsung bak ditelan bumi. Namun pasca pilpres, gonjang ganjing tentang RUU Pilkada langsung kembali mengemuka. Pro-kontrapun bermunculan di seluruh pelosok negeri, ada yang menerima tetapi lebih banyak yang menolak. Protes datang dari para pejabat publik yang nota bene terpilih menjadi kepala daerah melalui pilkada langsung, rakyat, aktifis LSM, akademisi, mahasiswa baik di pusat maupun di daerah. Mereka berang dan menggalang dukungan menolak Pilkada melalui lembaga perwakilan (DPRD), karena hemat mereka hak-hak demokratis rakyat sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan direbut oleh negara. Padahal sesungguhnya Pilkada langsung selama ini memberikan manfaat yang besar, terutama ekonomi kerakyatan menggeliat (pengusaha sablon) sehingga dapat meminimalisasi pengangguran. Ingat pengangguran adalah salah satu sumber keresahan dalam masyarakat dan berujung pada kemiskinan. Memang di sisi lain, tidak bisa dinafikan bahwa pilkada langsung juga memiliki catatan- catatan penting yang perlu diperbaiki kedepan. Presiden RI, SBY dalam salah satu wawancara di televisi swasta beberapa waktu lalu mengatakan bahwa praksis demokrasi yang paling baik adalah Pilkada langsung, karena rakyat dapat berpartisipasi dalam menentukan masa depan mereka, hanya saja menurut SBY, Pilkada secara langsung untuk memiliki kepala daerah perlu diperbaiki. Hal senada juga datang dari Wakil Presiden RI terpilih, Jusuf Kalla (JK), JK berpendapat bahwa pertahankanlah Pilkada langsung, karena inilah pesta rakyat dan rakyat harus berpartisipasi untuk menentukan pemimpinnya. Bila saja anggota DPR terhormat dari Partai Demokarat (PD) mau mendengar wejangan Ketua Umumnya, yang juga Presiden RI, SBY maka Pilkada di DPRD niscaya tidak akan terwujud. Mengingat suara di DPR kini didominasi oleh Partai Demokrat sebagai pemenang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

94

Pileg 2009 lalu dengan 148 orang. Bila saja PD mau bergabung dengan PDIP (94 suara), PKB (28 suara) dan Hanura (17 suara) maka total suara yang terkumpul adalah 287 untuk menolak pilkada oleh DPRD, sementara hanya 278 suara dari koalisi merah putih yang terdiri dari Gerindra (26 suara), PAN (46 suara), Golkar (106 suara), PKS (57 suara), dan PPP (38 suara) yang menginginkan pilkada oleh DPRD. Di penghujung masa baktinya, SBY diperhadapkan dengan sejumlah isu hangat, antara lain desas – desus kenaikan harga BBM dan yang paling menyita perhatian publik adalah isu tentang kembalinya pemilihan kepala daerah di DPRD. Isu ini juga menjadi pertanda sekaligus ujian bagi SBY, mampukah ia menyelesaikan pemerintahannya dengan berbuah manis dengan tetap memberi ruang untuk pilkada langsung. SBY dan partai yang dinakhodainya adalah penentu masa depan demokrasi negeri ini, oleh karenanya beliau sebagai pemimpin tertinggi PD seyogyanya menggunakan kekuatannya untuk mengomunikasikan isu paling hangat tersebut ke pemilik suara dari PD di DPR sehingga solid untuk mendukung Pilkada langsung. Publik negeri ini menantikan kesungguhan SBY untuk tetap mempertahankan kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat melalui pemilukada langsung. (Koran Sindo, Kamis, 18 September 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

95

SAFARI POLITIK JOKOWI

Tinggal hitungan jari, pasangan Presiden – Wakil Presiden RI terpilih Jokowi – JK akan dilantik sebagai Presiden – Wakil Presiden RI, masa bhakti 2014 – 2019. Seiring dengan rencana pelantikan Jokowi – JK pada 20 Oktober 2014, desas – desus menjegal dan menghalangi pelantikan Jokowi – JK sempat menguat ke publik. Petinggi partai dan petinggi lembaga negara, DPR dan MPR yang dominan dari Koalisi Merah Putih (KMP) kemudian membantah adanya niat menjegal tersebut. Hal ini terjawab melalui konferensi pers, Wakil Dewan Pembina Partai Gerindra, Hasim Joyohadikusumo, bahwa KMP, terutama petinggi Partai Gerindra tidak pernah berniat untuk menjegal pelantikan presiden – wakil presiden terpilih. Hal senada juga disampaikan oleh sejumlah petinggi partai, salah satu diantaranya adalah Abu Rizal Bakri (ARB), Ketua Umum Partai Golkar. ARB menyambut baik kedatangan Jokowi, dan ARB mengatakan bahwa ia sebagai salah satu pendukung KMP, akan menjadi penyeimbang kebijakan pemerintah dan tak pernah berniat untuk menjegal kebijakan pemerintah, selama kebijakan itu pro atas kepentingan rakyat banyak. Gonjang-ganjing tersebut semakin terbantahkan manakala, Jokowi melakukan safari politik ke sejumlah petinggi partai dan lembaga negara. Ketua DPR RI, Setya Novanto mengatakan bahwa DPR akan mendukung setiap langkah dan kebijakan pemerintah kedepan, selama kebijakan pemerintah itu pro akan kepentingan rakyat. Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa juga menilai positif langkah maju Jokowi melakukan kunjungan ke sejumlah tokoh. Hal ini merupakan langkah konstruktif untuk membangun bangsa dan negara kedepan. Disamping itu, Jokowi juga sowan ke ketua Mahkamah Syariah PPP, KH. Maemun Subaer dan berencana untuk bertemu dengan Ketua Dewan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

96

Pembina sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Kelihatannya, sepak terjang Jokowi melakukan safari politik ke sejumlah tokoh (tokoh politik dan lembaga tinggi negara) perlu diapresiasi dan merupakan pembelajaran dan pendidikan politik yang baik dan santun, sekaligus berpotensi untuk mendinginkan suhu politik yang sempat memanas. Perilaku politik yang dilakukan oleh Jokowi melalui SAFARI POLITIK menjadi topik dan rujukan baru perpolitikan di negeri ini. Ada yang berpendapat, bukanlah Jokowi kalau tidak membuat sesuatu yang baru. Ia membuat sejumlah perubahan ketika menjadi Walikota dua periode di Kota Solo, terutama pemerintahan dan pelayanan publik yang akuntabel dan transparan. Langkah unik Jokowi lagi-lagi mengemuka di publik, ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Mulai pelantikan dirinya di ruang terbuka, yang masih tergolong baru, perilaku blusukannya, acapkali masuk got, memanjat bangunan sekolah yang mengalami kerusakan parah, hingga mendatangi rakyat kecil yang membutuhkan sentuhan dan uluran tangan dari pemimpinnya. Perilaku tiada duanya, juga ia perlihatkan ke publik ketika ia menyampaikan visi – misinya dalam setiap kesempatan, terutama ketika ikut debat capres – cawapres yang dihelat oleh KPU. Ia menggagas adanya revolusi mental, karena ia gelisah melihat kondisi bangsa yang semakin terpuruk. Ia juga menelorkan gagasan tol laut, dengan maksud untuk membuat perekonomian menggeliat di seluruh Indonesia, mulai dari Merauke, Papua hingga Sabang. Kemudian ingin menekankan pendidikan karakter dalam kurikulum, yakni pada tingkat SD, pendidikan karakter (afektif dan psikomotorik) 80% dan pendidikan umum (kognitif) 20%, pada jenjang SMP, pendidikan karakter 40% dan Pendidikan Umum 60%, dan untuk jenjang sekolah menengah (SMA), 80% pendidikan umum dan 20% pendidikan karakter. Tidak sampai disitu, publik beberapa hari terakhir kembali terperangah karena perilaku unik Jokowi yang terbilang baru di peta perpolitikan di Indonesia kembali

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

97

terjadi, yakni bersilaturahim ke sejumlah tokoh dan negarawan negeri ini. Safari politik tersebut setidaknya dapat menurunkan tensi politik yang menjelang hingga pasca Pilpres memanas dan terjadi politik balas dendam. Itulah penilaian publik terhadap hiruk – pikuk politik di DPR dan kelihatannya memang penilaian publik tersebut ada benarnya, karena semua pimpinan DPR dan MPR termasuk juga kelengkapan DPR dan MPR dimenangkan dan diincar oleh KMP. Indonesia adalah negara dan bangsa yang berbudaya. Senang silaturahim dan perilaku etis dan estetis lainnya. Semoga dengan safari politik yang dilakukan oleh Jokowi menjadi penyejuk bagi lawan politik Jokowi dan elit politik di DPR sehingga kebijakan pemerintah nantinya mendapat restu mayoritas di dewan demi kesejahteraan rakyat. Semoga juga dengan Safari Politik Jokowi dapat menjadi rekonsiliasi bagi elit di DPR untuk mendukung kebijakan pemerintah yang pro akan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. (Fajar, Sabtu 18 Oktober 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

98

SELAMAT DATANG JOKOWI – JK, TERIMA KASIH SBY – BOEDIONO

Selama sepuluh tahun, SBY memimpin Indonesia, tidak sedikit kemajuan yang ia torehkan. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung untuk memilih bupati/walikota dan gubernur pertama kali dilakukan sejak Indonesia merdeka. Di pemerintahan SBY selama dua periode, demokrasi semakin meneguhkan dirinya sebagai roh pemerintahan dan bermasyarakat. SBY juga menekan terjadinya konflik komunal yang di awal reformasi menjadi masalah sosial akut di negeri ini. Kemiskinan dan pengangguran lambat laun juga mengalami penurunan yang berujung pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI) Indonesia. Di bidang pendidikan, akses rakyat terutama dari kelompok miskin meningkat tajam, sehingga tidak ada lagi anak yang tidak bersekolah dengan alasan apapun juga. Hal ini karena anggaran untuk pendidikan mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga melewati 20%. Beasiswa ke luar negeri bagi generasi juga dari tahun ke tahun meningkat tajam, melalui beragam beasiswa dari Pemerintah, ada beasiswa LPDP dari Kementerian Keuangan, beasiswa Presiden, beragam beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, baik dalam negeri melalui BPPS maupun luar negeri. SBY – Boediono tahu persis bahwa pendidikan adalah investasi masa depan bangsa. Di bidang penegakan Hukum dan HAM, juga telah berjalan sebagaimana yang publik harapkan. Tidak sedikit koruptor yang telah mendekam dalam penjara, bahkan ada yang dicabut hak politiknya, untuk dipilih dan memilih. Penegakan hukum di ERA SBY – Boediono tidak pandang bulu, petinggi Partai Demokrat dan Menteri KIB 2 yang juga dari Partai Demokrat juga dibui.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

99

Di bidang ekonomi, kemiskinan dan pengangguran mengalami penurunan dan daya beli rakyat semakin meningkat. Hal ini karena kesempatan berusaha dan berinvestasi yang terbuka lebar dengan jaminan keamanan dan harmoni. Di bidang kesehatan, Pemerintahan SBY – Boediono menelorkan program BPJS Kesehatan yang merupakan jaminan atau asuransi kesehatan yang paling adil dan tidak diskriminasi. Selama ini hanya ada Asuransi Kesehatan (ASKES) untuk PNS, Polri, dan TNI, dan Jamsostek untuk pekerja di perusahaan dan BUMN. Lalu ada Jamkesmas dan Jamkesda untuk masyarakat dari kelompok miskin. Hanya saja asuransi dan jaminan kesehatan tersebut acapkali tidak adil dan sangat diskriminatif. Oleh karena itu, dengan adanya BPJS, keadilan di bidang kesehatan dapat diwujudkan. Itulah secuil keberhasilan SBY – Boediono, dan tentu masih banyak lagi di luar pengamatan penulis. Selama sepuluh tahun memimpin Indonesia, banyak perubahan yang dilakukan. Itulah sebabnya, pasca pelantikan Jokowi – JK, SBY meninggalkan istana negara menuju kediamannya di Cikeas. Sepanjang perjalanan SBY dan ibu Ani Yudoyono disambut meriah oleh warga bak pahlaman yang baru pulang dari medan perang. Selamat Jalan SBY – Boediono, Terima Kasih atas pengabdianmu selama ini untuk membangun Indonesia tanpa pamrih. Selamat Datang Jokowi – JK. Engkau berdua adalah simbol kesederhanaan, simbol kejujuran, simbol harmoni, simbol keadilan. Pokoknya simbol bagi segala simbol yang melekat dalam diri seorang pembaharu. Jokowi dan JK adalah sosok yang sederhana, dari dulu hingga kini senantiasa memakai kemeja putih. Jokowi terkenal dengan kemeja putih lengan panjangnya yang tidak dimasukkan dalam celana. JK juga dikenal dengan kemeja putih lengan pendeknya yang juga tanpa dimasukkan dalam celana. Mereka berdua juga senantiasa menggunakan sepatu produk dalam negeri, yang harganya tidaklah mahal, tapi menggambarkan cinta produk dalam negeri.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

100

Kedua sosok ini, adalah simbol kesederhanaan. Kedua sosok ini tepat memimpin Indonesia dewasa ini karena rakyatnya telah dijangkiti oleh beragam penyakit sosial, mulai dari sifat hedonistik, konsumerisme, hingga tidak lagi pro sosial. Publik berharap, revolusi mental, tol laut, pembangunan bidang maritim, dan Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya dapat diwujudkan untuk mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang disegani. Trisakti adalah satu konsep pemikiran radikal Bung Karno karena dengan pemikiran tersebut jiwa dan semangat kebangsaan nasionalis Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya adalah inti dari ajaran Bung Karno yang disebut Trisakti. Pada masa pemerintahannya, konsep pemikiran Trisakti ini dijadikan prinsip oleh Bung Karno untuk membangun bangsa dan negara Indonesia ketika itu. Di tengah desakan penyeragaman politik, ekonomi dan budaya, keteguhan sikap pemimpin dan rakyat Indonesia untuk kembali kepada ajaran Trisakti merupakan sebuah keharusan untuk menyejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 (Soenarko dalam Weda, 2012). Soenarko dalam Weda kemudian menambahkan bahwa berdaulat dalam politik adalah segala pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada mandat rakyat. Kedaulatan politik dibangun dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dan bukan diatur oleh pihak luar atau negara asing. Berdikari dalam bidang ekonomi adalah pengaturan perikehidupan ekonomi harus didasarkan pada tujuan akhir menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan berkepribadian di bidang budaya adalah wujud perilaku asah, asih, asuh, dan tepo sliro yang berarti sikap saling membantu, saling memperhatikan, melakukan dengan senang hati dan tidak semena-mena. Presiden Presidium Koalisi Merah Putih (KMP), Abu Rizal Bakri (ARB) menyerukan ke publik bahwa bila Jokowi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

101

selaku Presiden RI konsekuen melaksanakan Trisakti, maka KMP mendukung penuh kebijakan Presiden Jokowi untuk membangun politik, ekonomi, dan budaya bangsa menuju Indonesia yang makmur, adil, dan sejahtera. (Koran Sindo, Rabu 22 Oktober 2014).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

102

POLITIK, TIDAK ADA KAWAN DAN LAWAN YANG ABADI

Beberapa hari terakhir menjelang Pilpres 9 Juli 2014 untuk memilih presiden – calon wakil presiden, sejumlah petinggi partai politik (parpol) terlibat konflik internal. Konflik tersebut dipertontonkan kepada publik tanpa rasa malu. Konflik di tubuh sejumlah parpol terjadi mulai dari isu pencapresan, arah koalisi, siapa yang harus didukung menjadi capres – cawapres, hingga bagi – bagi kursi menteri bila saja koalisi yang didukung memenangkan pertarungan. Para pencari kekuasaan juga sudah mulai bermain cantik mencari celah untuk berperan dalam penentuan koalisi menjelang pilpres. Pasca Pileg 9 April 2014 lalu yang mencatat tak satupun parpol yang memperoleh suara sah 25% atau anggota DPR 25%. Artinya, untuk mengusung capres – cawapres parpol harus berkoalisi dengan parpol lainnya. Dengan minim dan menurunnya perolehan suara sejumlah parpol, menyebabkan para sejumlah petinggi di sejumlah parpol saling tuding, saling menyalahkan. Partai pemenang pada sejumlah pemilu di era Orde Baru, yaitu Partai Golkar hanya puas di urutan kedua dengan suara sah sekitar 14 persen lebih. Konflikpun muncul di tubuh partai Golkar. Akbar Tanjung dan Zainal Bintang, yang juga ketua umum Kosgoro dan sejumlah kader Partai Beringin lainnya menuding pencapresan Ical (ARB) sebagai penyebab anjolknya suara Partai Golkar. Namun demikian, ARB tidak bergeming, ia terus berjiwa besar untuk maju sebagai Capres Partai Golkar sebagai amanat Rapimnas Golkar beberapa waktu lalu dan hingga kini petinggi Golkar masih kasak – kusuk mencari teman koalisi. Benih – benih konflik juga terlihat di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Benih – benih konflik tersebut Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

103

timbul akibat siapa yang akan diusung oleh PKB sebagai capres – cawapresnya. Salah satu tokoh yang dinilai publik paling berjasa untuk mendulang suara PKB pada Pileg 2014 adalah si Raja Dangdut, Rhoma Irama. Disamping Rhoma Irama, ada juga Mahfud MD, mantan Ketua MK, dan Ahmad Dhani, sang musikus nyentrik yang berkontribusi besar mendulang suara PKB. Dengan raihan suara mendekati 10%, PKB memiliki nilai jual tinggi di mata parpol lain yang akan berkoalisi dengannya, namun yang menjadi masalah adalah siapa diantara orang – orang berjasa tersebut yang layak diberi peluang untuk menjadi capres atau cawapres dari PKB. Lagi – lagi penunjukan satu dari beberapa tokoh PKB tersebut akan menuai konflik internal di tubuh PKB, dan tentu konflik tersebut akan menjadi konflik disfungsional bila saja tidak cepat diatasi dengan sangat hati – hati. Selain konflik di internal partai Golkar dan PKB, salah satu partai warisan Orde Baru, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya puas di posisi ketujuh dengan raihan suara sekitar 6% lebih. Dengan anjoknya posisi PPP menyebabkan konflik di internal PPP dan sangat menyita perhatian publik. Sejumlah pengurus DPP dan DPW menuding raihan suara PPP yang sangat minim sebagai akibat kehadiran Suryadarma Ali (SDA), sang Ketua Umum partai berlambang Ka‘bah pada kampanye Akbar Partai Gerindra di Gelora Bung Karno. Kehadiran SDA pada kampanye Partai Gerindra tersebut membuat sejumlah pengurus teras PPP marah dan melakukan serentetan rapat untuk menggulingkan SDA sebagai ketua umum PPP. Pasca rapat pengurus DPW PPP yang dihadiri 26 pengurus DPW, dan sejumlah pengurus pusat PPP yang berencana mengadakan pelengseran ketum PPP dan percepatan Muktamar PPP, SDA selaku ketum PPP justru melakukan pemecatan terhadap empat ketua DPW dan satu lagi waktum DPP PPP, yaitu Suharso Monoarfa. Berselang hanya 2 hari, SDA kembali memecat Sekretaris Jenderal PPP, Romahurmuziy yang juga Ketua Fraksi PPP DPR RI. Berselang beberapa hari kubuh Romahurmuziy tidak mau kalah dengan kebijakan yang diambil SDA, Romi dan sejumlah pengurus DPP PPP dan DPW PPP mengadakan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

104

Rapimnas di Kantor Pusat PPP di jalan Diponegoro Jakarta. Rapimnas tersebut tidak dihadiri SDA dan menurut SDA Rapimnas tersebut ilegal. Rapimnas kemudian menghasilkan sejumlah keputusan. Salah satu keputusan yang membuat marah kubuh SDA adalah penonaktifan sementara SDA sebagai ketum PPP dan forum Rapimnas menunjuk Suharso Monoarfa menjadi ketum PPP hingga Mukernas dipercepat PPP pada Mei 2014. Konflik yang terjadi di tubuh partai berlambang Ka‘bah tersebut setidaknya membuat pusing tujuh keliling Ketua Majelis Syari‘ah DPP PPP, KH. Maimoen Zubair. KH. Maimoen Zubair kemudian meminta dua kubuh yang berseteru (berkonflik) untuk islah, yakni kembali menyatu dan tidak lagi ada polemik diantara mereka. Konflik di tubuh partai, kemudian islah (baikan kembali) meneguhkan bahwa dalam politik tidak ada kawan dan juga tidak ada lawan yang abadi. Pertemanan antara SDA (Suryadharma Ali), selaku Ketua Umum PPP dan Romi (Romahurmuziy), selaku Sekretaris Jenderal PPP telah terjalin cukup lama bahkan kedua tokoh PPP tersebut menduduki jabatan penting sebagai penyelenggara negara. SDA sebagai Menteri Agama pada Kementerian Agama RI untuk Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 dan Romi adalah Ketua Fraksi PPP di DPR RI. Mereka kemudian berseteru akibat beda pandang tentang arah koalisi, SDA terang – terangan mendukung Prabowo Subianto sebagai capres dari Partai Gerindra tanpa dimusyawarahkan di partai, sementara nama Prabowo tidak tercatat diantara tujuh nama capres yang rencana diusung oleh PPP dalam Rapimnas yang digelar di Bandung beberapa waktu lalu. Praksis konflik di internal PPP mengindikasikan bahwa tidak ada kawan yang abadi dalam ranah politik. Perseteruan mereka yang telah membara kembali mereda melalui Mukernas PPP di Puncak Bogor, pada 23 April 2014 yang dihadiri oleh dua kubuh yang berkonflik. Mukernas tersebut melahirkan sejumlah poin penting diantara kubuh SDA dan Romi. Keputusan tersebut antara lain, menerima fatwa islah, melakukan penjajakan atau lobi politik dalam rangka membangun koalisi, melakukan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

105

rampinas selambat – lambatnya bulan Mei 2014, dan terakhir adalah mempercepat pelaksanaan Muktamar. Islah yang disemai kembali oleh SDA dan Romi yang nyata – nyata beberapa hari pasca Pileg 2014 telah membuncah menjadi konflik yang membara kembali menyatu, menunjukkan bahwa dalam politik tidak ada lawan yang abadi, semua bersifat sementara, dan dapat berubah dalam hitungan detik dan menit. Demikian halnya persaingan antara partai politik untuk meraih kekuasaan acapkali menjadi ajang perlawanan bagi elit partai. Elit parpol yang satu dengan elit parpol lainnya adalah lawan. Namun demikian, perlawanan antara elit yang berasal dari parpol A dan parpol B tidaklah abadi. Dalam pelaksanaan pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 telah dipertontonkan oleh elit parpol bahwa lawan tidaklah abadi dalam politik. Pada pemilu 1999, poros tengah yang dimotori oleh PAN, PKB, dan PBB mampu mengantarkan Abdulrahman Wahid (Gusdur) sebagai Presiden RI, dan Amin Rais sebagai Ketua MPR. Tradisi kawan menjadi lawan melalui wadah koalisi terjadi pada pilpres 2004 yang mengantarkan SBY – JK menjadi presiden dan wakil presiden RI, dan pada pilpres 2009, koalisi antara Partai Demokrat sebagai pemenang pileg dengan PKS, PPP, dan sejumlah partai lainnya mengantarkan SBY dan Budiono sebagai presiden dan wakil presiden RI, lagi – lagi pada pilpres yang akan dihelat pada 9 Juli 2014 mendatang lawan menjadi kawan lagi – lagi akan dirajut oleh sejumlah parpol sehingga menjadi pemenang pilpres dan dapat mengawal kebijakan pemerintahan di kabinet mendatang. Praktik kawan menjadi lawan dapat juga dilihat pada Pileg 2014 lalu, dimana sejumlah caleg dan timnya di internal partai melakukan penggelembungan suara sehingga mengalahkan caleng lainnya yang juga temannya sendiri. Kadang – kadang juga untuk mengalahkan teman sendiri dalam partai yang sama dilakukan dengan pengurangan suara, dan itu acapkali dilakukan oleh petugas TPS dan KPPS. Kemudian lawan menjadi kawan dalam politik seringkali juga terlihat pada pemilukada, baik untuk pemilukada bupati/walikota maupun gubernur. Seringkali

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

106

partai yang berseteru pada tingkat pusat, berteman di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. (Koran Sindo, Senin 28 April 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

107

PASCA PILEG 2014, PARPOL SALING INTIP

Pemilihan anggota legislatif (Pileg) 9 April 2014 baru saja dihelat, namun menyisakan segudang persoalan di sejumlah daerah. Mulai dari masalah penggelembungan suara, surat suara yang tertukar, politik uang (money politics), konflik sesama caleg di internal partai, pelanggaran yang dilakukan sejumlah KPPS dan anggotanya, pencoblosan ulang di sejumlah TPS, amarah sejumlah caleg tidak terpilih hingga menutup jalan, membongkar rumah penduduk, dan permintaan kembali uang atau properti yang diberikan caleg kepada pemilik suara. Euforia kemenangan milik bagi caleg yang berhasil meraup suara signifikan sehingga dapat menjadi anggota dewan terhormat, namun kesedihan, kemarahan, kejengkelan, kebingungan, hingga depresi dialami oleh para caleg yang tidak mendapatkan suara signifikan pada pesta demokrasi lalu. Bagaimana tidak stres, bila caleg tersebut telah mengeluarkan rupiah yang nilainya cukup fantastis untuk keperluan sosialisasi dan kampanye, serta membiayai tim sukses dan kegiatan-kegiatan konstituen. Untuk caleg DPRD kabupaten/kota saja, ada caleg yang menggelontorkan rupiah hingga mendekati satu milyar, apalagi caleg DPR RI tentu memerlukan dana sosialisasi yang tidak sedikit karena daerah pemilihannya juga sangat luas dan harus mendapatkan perhatian serius. Ada yang berpendapat, menjadi dan tidak menjadi anggota DPR/DPRD sama saja, karena, yang tidak berhasil melenggang ke parlemen, tentu stres berat bagi mereka yang telah mengeluarkan banyak uang dan tidak sedikit dari mereka membelanjakan uang kampanye dari hasil pinjaman kepada kerabat, sahabat dekat, bahkan menjual harta benda, seperti mobil, rumah, sawah, dan lain-lain. Yang terpilih juga demikian, lalu muncul pertanyaan, kenapa bisa?

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

108

Jawabannya adalah karena caleg yang meraih suara yang dapat mengantarkan ia menjadi anggota dewan terhormat, lagi – lagi memikirkan dapatkah ia mengembalikan uang yang jumlahnya hingga ratusan juta rupiah selama 5 tahun ia menjabat sebagai anggota dewan yang diimpikan oleh banyak orang. Kita sejenak melupakan praksis pileg 2014 dengan seabrek persoalan yang melingkupinya. Sekarang, kita mencurahkan fokus perhatian kita pada Pemilihan Presiden pada 9 Juli 2014 mendatang. Usai Pileg, dan menghadapi Pilpres 2014, para petinggi partai politik saling intip, saling balas kunjungan yang bertujuan tidak lain adalah untuk membentuk koalisi menghadapi pertarungan yang lebih dahsyat ketimbang Pileg 9 April 2014 lalu. Dahsyatnya Pilpres 2014 karena nasib bangsa 5 tahun kedepan ditentukan oleh kebijakan Presiden dan Wakil Presiden beserta Para Menteri di kabinet mendatang. Para petinggi parpol beberapa hari setelah Pileg langsung mengadakan pertemuan internal partai dan tidak membuang waktu untuk saling mengunjungi dalam rangka penjajakan koalisi. Hingga hari ini, sudah ada beberapa partai politik yang terang-terangan melakukan koalisi, diantaranya PDIP yang dipiloti oleh Megawati Sukarnoputeri dengan Partai Nasdem yang dinakhodai oleh salah satu raja media negeri ini, Surya Paloh. Kemudian ada partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), meskipun di internal partai berlambang Kakbah tersebut diliputi duka akibat konflik dan pemecatan sejumlah petinggi partai. Ada juga Partai Golkar yang kabarnya akan berkoalisi dengan Partai Hanura. Hingga hari ini para petinggi partai politik melakukan komunikasi intensif untuk mencari kawan yang kuat sehingga dapat mengalahkan lawan. Hasil Pileg 2014 menggambarkan bahwa koalisi adalah satu-satunya cara untuk mengusung Presiden dan Wakil Presiden RI pada Pilpres 2014 mendatang. Ini dikarenakan tidak satupun parpol yang memperoleh suara sah di atas 25% atau 20% kursi DPR sehingga harus berkoalisi. Dengan hasil hitung cepat (quick count) dari

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

109

sejumlah lembaga survei, PDIP menduduki peringkat teratas dengan kisaran suara 19%, runner up adalah Partai Golkar dengan suara di atas 14%, menyusul Partai Gerindra dengan suara di kisaran 12%, lalu ada partai Demokrat dan PKB di urutan keempat dan kelima dengan suara masing-masing pada kisaran 9%, disusul oleh sejumlah partai yang memperoleh suara di kisaran 7% dan 6%, seperti PAN, PPP, Nasdem, PKS, dan ada partai Hanura di urutan kesepuluh dengan perolehan suara sekitar 5%, dan di urutan paling bawah ada Partai Bulan Bintang (PBB) dengan suara menghampiri 2% dan PKPI dengan suara pada kisaran 1%. Dengan ilustrasi perolehan suara tersebut mengindikasikan tidak adanya single majority dan akan terjadi koalisi dan kemungkinan ada 3 pasangan calon presiden untuk diusung di Pilpres 2014 bila berdasar pada suara sah minimal 25% dari Pileg 2014. Jauh-jauh hari sebelum Pileg 2014, sejumlah tokoh dan petinggi partai telah menyatakan kesiapannya untuk mencalonkan diri menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2014 – 2019. Mereka adalah Aburizal Bakri (ARB) dari Partai Golkar, Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Wiranto dari Partai Hanura, bahkan mantan Menteri Pertahanan RI ini telah menggandeng Hari Tanoe Soedibyo menjadi calon pendampingnya, dan menjelang Pileg 9 April 2014 lalu, PDIP mengumumkan pencalonan Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres dari PDIP, publikpun terperangah dan sejumlah capres meradang, marah, dan terganggu. PKB juga mengusung sejumlah nama capres, diantaranya si raja dangdut, Rhoma Irama, Mahfud MD, dan Jusuf Kalla (JK). Disamping, capres – capres tersebut yang mengemuka di publik, Partai Demokrat juga menjaring capres melalui konvensi dengan melibatkan sejumlah tokoh penting negeri ini. Bila dihitung – hitung peta koalisi berdasarkan suara sah paling sedikit 25% pada pileg 2014, maka akan muncul 3 koalisi. Yakni koalisi PDIP dengan Partai Nasdem dan kemungkinan PKB akan bergabung, sehingga akan terbangung koalisi partai berhaluan nasionalis, dan nasionalis religius dengan dukungan 35% suara. Lalu di gerbong Gerindra akan bergabung PPP, PAN, dan kemungkinan PKS

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

110

dan PBB, yakni gabungan antara partai nasionalis, nasionalis religius dan Islam radikal dengan dukungan 33% suara. Di gerbong Partai Golkar, akan bergabung partai Hanura, PKPI dan kemungkinan Partai Demokrat, yang sama – sama berideologi nasionalis dengan dukungan sekitar 30% suara. Paket – paket di atas baru sebatas ilustrasi, karena hingga hari ini para petinggi partai masih menjalin komunikasi intensif. Lambannya parpol menentukan koalisi ditentukan oleh sejumlah faktor, dan salah satu faktor penting adalah siapa yang akan diusung menjadi cawapres dari ketiga calon presiden dari ketiga partai yang memperoleh suara terbanyak di Pilpres 9 April 2014 lalu. Hemat penulis cawapres paling potensial untuk mendampingi Jokowi adalah JK, mengingat JK adalah cawapres yang memiliki nilai jual tinggi untuk semua capres. Untuk posisi cawapres JK selalu menempati urutan teratas, bahkan JK di mata para Profesor (guru besar) berada di posisi puncak. JK juga berterima di Nasdem sebagai teman koalisi PDIP, dan JK kawan lama Surya Paloh, apalagi Surya Paloh tidak berambisi untuk menjadi cawapres meskipun suara Nasdem juga sangat menentukan. Demikian halnya dengan PKB, jauh-jauh hari PKB telah menjalin komunikasi dengan JK bahkan JK sempat diisukan menjadi capres PKB, dan JK berterima di kalangan Nahdliyin (NU) yang jumlahnya sekitar 30% dari penduduk Indonesia serta di kalangan pengusaha dan kelas atas dan kelas atas – atas. Pasangan Jokowi - JK juga menarik karena paket Jawa – luar Jawa. Sementara di gerbong Partai Gerindra, kemungkinan yang akan dijadikan sebagai cawapres Prabowo Subianto adalah Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa. Hatta Rajasa yang kader Muhammadiyah tentu mendapat dukungan penuh dari warga salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia ini yang diperkirakan jumlah warganya mendekati 10% dari penduduk Indonesia. Partai pendukung koalisi lainnya, seperti PPP, PKS, dan PBB, diyakini puas di jatah menteri saja, mengingat jauh hari Ketum PPP, Suryadharma Ali mengatakan bahwa PPP berkoalisi dengan Gerindra bukan untuk tujuan cawapres dan bagi-bagi menteri sebagaimana yang santer dibicarakan orang, tetapi demi untuk

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

111

kemaslahatan bangsa Indonesia. Diyakini juga PKS puas di posisi menteri bila gerbong Gerindra mampu mengantarkan Prabowo Subianto menjadi Presiden RI kedepan karena partai berhaluan Islam radikal ini memperoleh suara yang tidak terlalu signifikan. Paket Prabowo – Hatta Rajasa juga menarik karena memaketkan antara purnawirawan TNI (militer) dan politisi, Jawa – luar Jawa. Cawapres potensial lainnya untuk Prabowo Subianto adalah Ketua KPK, Abraham Samad, mengingat Abraham Samad dinilai oleh sejumlah kalangan berhasil memberantas korupsi di Indonesia dan layak menjadi cawapres. Indikasi ke paket Prabowo Subianto – Abraham Samad memang mengemuka beberapa hari setelah pencapresan Jokowi. Paket Prabowo – Abraham Samad, juga menarik karena representasi Jawa – luar Jawa, militer – sipil. Di gerbong Partai Golkar, bila saja ARB dicalonkan menjadi capres partai beringing, kemungkinan ia akan dipaketkan dengan pemenang konvensi Partai Demokrat, bisa jadi Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, atau ipar SBY, Pramono Edhi Wibowo yang menduduki posisi puncak di setiap survei konvensi Partai Demokrat. Paket capres – cawapres Golkar, yakni ARB – dan salah satu pemenang konvensi Partai Demokrat juga menarik karena siapapun dari ketiga peserta konvensi tersebut yang menjadi jawara dalam konvensi Partai Demokrat adalah ketiganya dari Jawa, sehingga paket ini adalah Jawa – luar Jawa. Siapapun yang menjadi capres – cawapres pada Pilpres 2014 ini, publik hanya berharap supaya Pilpres nantinya berjalan dengan aman, jujur, dan adil tanpa dicederai dengan politik uang yang massif. Semoga saja Pilpres nantinya dapat menghasilkan Presiden – Wakil Presiden Republik Indonesia, 2014 – 2019 dengan jajaran kabinetnya yang dapat mewujudkan harmoni, kesejahteraan rakyat, dan rasa aman di seluruh pelosok negeri dan mampu mengembalikan nama baik dan harkat bangsa Indonesia di mata dunia. (Koran Sindo, Selasa 22 April 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

112

JOKOWI, SATRIA PININGIT DARI SOLO

Hari Senin, tanggal 20 Oktober 2014 menjadi hari, tanggal, bulan dan tahun bersejarah bagi rakyat Indonesia. Tanggal tersebut merupakan hari pelantikan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI ke-7 adalah pelantikan Presiden yang paling meriah di Indonesia yang disambut oleh berjuta-juta jiwa dan disaksikan oleh berjuta – juta pasang mata di seluruh nusantara. Ada syukuran rakyat salam 3 jari di silang Monumen Nasional (Monas) Jakarta dengan pesta dan musik rakyat, yang diawali oleh doa bersama dari sejumlah tokoh lintas agama. Kemudian dimeriahkan dengan musik dari sejumlah artis papan atas ibu kota, ada Slank Band, Bimbo dan lain-lain selama semalam suntuk. Pelantikan Jokowi – JK juga dimeriahkan di sejumlah tempat, sepeti: teman – teman Jokowi semasa SMP di Solo melakukan upacara bersama menyambut gembira pelantikan Jokowi. Di Tegal, umat Konghucu menggelar doa bersama memohon Indonesia diberi keberkahan dibawa nakhoda Jokowi. Di Purwakarta, tukang becak melakukan gelar tumpengan memohon Jokowi dapat berlaku jujur, adil, dan bijaksana. Warga Jogyakarta juga melakukan hal yang sama yakni, mereka gelar pawai dan kirab budaya menyambut pelantikan Jokowi – JK. Pesta rakyat juga digelar di Surabaya oleh warga dengan menerbangkan 700 lampion ke udara. Tidak ketinggalan di kampung halaman JK, juga dilakukan penyambutan meriah di lapangan Karebosi, dengan agenda: pengajian, doa bersama, orasi dan harapan untuk presiden dan wakil presiden, dan berbagai hiburan. Relawan Jokowi – JK juga melakukan nonton bareng (nobar) di Wisma Kalla sekaligus syukuran dengan 45 nasi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

113

melambangkan tahun 1945 dimana kemerdekaan Indonesia diraih dari tangan penjajah. Di Bone, ratusan siswa – siswi melakukan nobar dan doa bersama untuk mendoakan Indonesia menjadi negara maju di dunia. Pesta syukuran rakyat atas kemenangan dan pelantikan Jokowi juga dihadiri oleh sejumlah warga dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari rakyat dari kelompok bawah – bawah (pekerja serabutan dan pedagang kecil) hingga kelompok atas – atas (pengusaha dan pejabat daerah). Dalam sejarah Indonesia merdeka, baru kali ini pelantikan presiden dinantikan oleh seluruh rakyat dan dirayakan dengan sangat meriah oleh rakyat. Boleh jadi rakyat tumpah ruah di ibu kota mulai dari Semanggi, ke bundaran HI hingga Istana Negara dan Silang Monas Jakarta dengan suguhan beratus ribu pilihan makanan di pinggir jalan yang disiapkan oleh relawan Jokowi karena Jokowi adalah simbol kelompok marginal. Demikian halnya dengan JK, ia adalah simbol kelompok atas – atas tetapi merakyat dan pro akan kepentingan rakyat banyak. Ia terkenal dermawan dan telah berinvestasi sosial yang tidak sedikit, bukan hanya untuk rakyat Indonesia, tetapi sang legenda dari timur, juga banyak berbuat untuk meredam konflik di dunia. Antusiasme rakyat untuk merayakan pelantikan Jokowi – JK karena kedua tokoh tersebut adalah simbol kesederhanaan, kejujuran, keadilan, dan merakyat. Kesederhanaan Jokowi dapat dilihat ketika ia menerima tamu dari negara sahabat, Singapura, Malaysia, Australia, dan lain-lain. Semua petinggi negara sahabat dan juga pejabat negara lainnya menggunakan jas dan dasi sehingga kelihatan perlente dan berwibawa, tetapi Jokowi tetap menggunakan kemeja putih sederhana, yang senantiasa ia pakai ketika ia blusukan ke kantong-kantong kemiskinan ketika ia masih menjabat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Mungkin karena kesederhanaan itulah sehingga Najib Razak, Perdana Menteri Malaysia mengabadikan dirinya dengan Jokowi melalui foto selfie bersama.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

114

Dengan kesederhanaan itulah, dan dari latar belakang sebagai orang papa, yang hanya sebagai kulih pasar di masa kecilnya membuat berjuta mata meneteskan air mata ketika menyaksikan pelantikannya di layar kaca. Mereka sungguh terharu, menyaksikan pemimpin negeri ini, Presiden ke-7 RI yang berasal dari kelas bawah – bawah hingga menjadi kelas atas – atas dengan perjuangan dan usaha keras tanpa pamrih. Pantaslah kalau ia menjadi bapak kaum miskin negeri ini dan 240 juta lebih penduduk negeri ini menaruh harapan padanya. Dengan ketulusan dan motivasi intrinsik dalam dirinya, dan usaha kerasnya untuk membangun Indonesia. Publik berharap, semoga Indonesia kedepan menjadi negara yang sejahter dan makmur, serta rakyatnya berdaulat. Dengan kesederhanan dan kejujuran yang ia miliki, semoga saja Jokowi-lah yang dinanti rakyat negeri ini sebagai ―Satria Piningit‖yang dapat mengembalikan kedaulatan Indonesia sebagai negara – bangsa yang disegani. (Cakrawala, Rabu 22 Oktober 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

115

JUSUF KALLA, THE LEGEND FROM THE EAST

Perhelatan akbar Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 di Indonesia diikuti 2 pasangan calon, yakni Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dengan nomor urut 1 dan pasangan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) dengan nomor urut 2. Jauh sebelum Pilpres 2014 dihelat pada 9 Juli 2014 lalu, banyak pengamat dan tidak sedikit masyarakat awam yang meyakini bila Jokowi – JK yang akan memenangkan pertarungan, megingat pasangan nomor urut dua telah memiliki investasi sosial yang cukup memadai. Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta telah memperlihatkan sepak terjangnya dengan merubah wajah Jakarta, ia juga dekat dengan warga Jakarta dengan kebiasaan blusukannya, hal ini telah lama ia lakukan ketika menjabat Walikota Solo selama dua periode. Intinya Jokowi dekat dengan rakyat, terutama rakyat kecil yang merindukan sosok pemimpin yang peduli dengan mereka. Lalu bagaimana dengan JK? JK sebagai sosok pembaharu telah banyak melakukan investasi sosial di masyarakat negeri ini, bahkan di dunia internasional sekalipun. Saat ini ia menjabat sebagai ketua umum Palang Merah Indonesia (PMI), sebuah lembaga yang peduli terhadap kemanusiaan dan telah banyak berbuat untuk daerah – daerah yang dilanda bencana. Ia juga sebagai ketua umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang senantiasa memberikan pemikiran cerdas untuk pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Jauh sebelum ia ke pentas nasional, mendampingi SBY sebagai Wakil Presiden, pada periode 2004 – 2009, JK telah banyak berbuat untuk pembangunan sosial kemasyarakatan, ia adalah sosok yang mampu meredam konflik Poso, Maluku, bahkan mampu mendamaikan Petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI). Di dunia internasional, kiprahnya JK juga cukup mencengankan, ia

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

116

acapkali menjadi juru damai bagi kelompok yang bertikai, seperti di Thailand selatan, juga bagi suku Rohingya yang tertindas di Myanmar. Kecintaannya terhadap negeri ini, juga ia perlihatkan ketika ia menjadi pelopor promosi Binatang Melata Komodo di Pulau Komodo, untuk menjadi Tujuh Keanehan Dunia (The Seven Wonder), dan akhirnya Komodo keluar sebagai salah satu world heritage yang perlu dilindungi, meskipun kiprah JK untuk mempromosikan Komodo sebagai makhluk langka yang perlu dilindungi dicemoh oleh banyak orang. Dengan usaha tersebut yang membuahkan hasil gemilang dan mampu mempromosikan Komodo ke seluruh penjuru dunia, maka masyarakat dan Pemerintah NTT menyematkan predikat kepada JK sebagai bapak Komodo. Dengan seabrek kegiatan sosial yang dilakukannya, menjadikan JK sebagai sosok yang dekat dan dicintai rakyat. Itulah sejumlah alasan mengapa pengamat dan masyarakat menilai JK sebagai calon wakil presiden yang paling potensial 2014, bahkan sempat terdengar kalau Megawati percaya diri jika mengusung JK mendampingi Jokowidodo. Dengan jabatan menteri yang disandangnya, yakni sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam Kabinet Persatuan Nasional di bawah Pemerintahan Abdulrahman Wahid (Gusdur). JK juga pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial Kabinet Gotong Royong pada Pemerintahan Megawati Sukarnoputeri. Ia kemudian menjabat sebagai Wakil Presiden pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1. Dengan seabrek kegiatan sosial yang menasional dan mendunia yang telah ia lakukan, dan dengan terpilihnya sebagai calon Wakil Presiden Periode 2014 – 2019 sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada tanggal 22 Juli 2014 membuat JK sebagai Legenda dari Timur (The Legend from the East). JK adalah legenda, hanya sedikit orang yang mampu melakukan sejumlah aktifitas seperti yang ia lakoni. Ia adalah pelanjut usaha ayahnya (Hadji Kalla) dalam berbagai usaha mulai dari usaha transportasi darat antar daerah, penyalur kendaraan, konstruksi, bisnis telekomunikasi, hingga

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

117

transporasi laut. Ia di awal karir profesionalnya menjabat sebagai Direktur Utama NV Hadji Kalla dan PT.Bumi Karsa, sejak 1969 – 2001. JK juga pernah menjabat sebagai ketua Kadin Sulawesi Selatan. Pernah menjabat anggota DPRD Sulawesi Selatan di awal karirnya, kemudian empat kali menjadi anggota MPR utusan daerah dari Golkar pada 1988 – 1999, serta anggota DPR RI pada 1998 – 2004. Ia juga pernah menjabat Dewan Penasehat Partai Golkar Pusat dan jabatan prestisius yang dijabatnya di Partai Golkar adalah ketika pada Munas 19 Desember 2004 yang dihelat di Bali, ia mampu mengalahkan sejumlah pesaingnya, ia kemudian terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar dengan meraih kurang lebih dua pertiga suara (Christian Pelras, 2006 dalam buku berjudul: Manusia Bugis). Dengan seabrek prestasi yang telah ia torehkan dan dengan jiwa sosialnya yang tinggi menjadikan ia sebagai sosok yang dirindukan oleh rakyat. Ia adalah satu dari sekian juga manusia Bugis, yang: Macca (cendikia), Warani (berani), Magetteng (tegas/konsisten). Christian Pelras bahkan mengatakan bahwa JK adalah sosok Bugis yang sekaligus to- acca, to-panrita dan to-sugi‘. Kecerdasannya terlihat dalam setiap kesempatan, mulai dari kelihaiannya menyelesaikan konflik, hingga cara ia menjawab pertanyaan dalam debat Pilpres 2014 lalu. Keberanian dan ketegasannya juga diperlukan untuk membangun negeri ini kearah yang lebih baik. Ia telah menduduki posisi sebagai orang nomor dua di Indonesia sebanyak dua kali. Dengan demikian, tidaklah berlebihan, dan saya meyakini masyarakat Bugis – Makassar setuju jika JK dijuluki sebagai LEGENDA DARI TIMUR (The Legend from the East). Mengapa JK pantas tercatat dalam sejarah sebagai legenda dari timur, karena boleh jadi dalam kurun waktu seratus tahun kedepan baru ada sosok dari timur yang mampu menyamai sepak terjangnya. Dengan terpilihnya sebagai Wakil Presiden RI selama dua kali dengan Presiden RI yang berbeda membuat ia sebagai pemegang rekor sebagai wakil presiden RI yang terpilih selama dua kali dalam pemilihan umum presiden (Pilpres) secara langsung. (Fajar, Selasa 5 Agustus 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

118

PILKADA DI DPRD, DEMOKRASI SEDANG SEKARAT

Beberapa hari terakhir, desas – desus tentang Rancangan Undang – Undang (RUU) Pilkada di DPRD, baik untuk pemilukada gubernur maupun untuk pemilukada bupati dan walikota menuai kontroversi di tengah publik. Tidak sedikit pejabat daerah yang dipilih melalui pemilukada langsung meradang dan amarah mereka memuncak. Salah satu dari pejabat daerah tersebut adalah wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok secara terang-terangan mengundurkan diri dari keanggotaan dan kepengurusan di Partai Gerindra. Mundurnya Ahok dipicu oleh sikap partainya yang mendukung pemilukada di daerah dikembalikan ke DPRD. Alasan Ahok beragam, antara lain: Gerindra sudah tidak lagi menjadi partai yang sesuai dengan penilaiannya saat awal bergabung dulu, lanjut dia, awalnya merupakan partai yang selalu berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan mementingkan persoalan politik (Fajar, 11 September 2014). Ahok juga memiliki alasan krusial lainnya, ia berkeyakinan bahwa bila saja gubernur dan bupati serta walikota dipilih oleh anggota dewan di DPRD, maka pemerintah daerah akan menjadi sapi perah dan menjadi bulan-bulanan anggota dewan. Publik tahu bahwa awal berdirinya partai Gerindra juga mengusung ekonomi kerakyatan yang pro akan kepentingan kelompok miskin. Lalu mengapa partai Gerindra mementingkan persoalan politik ketimbang konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat papa? Sesungguhnya masalah ini mencuat beberapa saat pasca pilpres, dimana koalisi merah putih tidak mampu menggolkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa untuk duduk di kursi Presiden – Wakil Presiden

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

119

RI 2014 – 2019. Parpol yang bergabung dalam koalisi merah putih-pun berambisi untuk menempatkan kader mereka sebagai pemimpin di daerah, mengingat partai-partai yang bergabung di koalisi merah putih memiliki pemilih yang cukup banyak dan tentu DPRD diisi oleh anggota dewan dari partai koalisi merah putih yang jumlahnya juga sangat menentukan. Lalu apa kekurangan dan juga kelebihan, bilamana pemilukada dikembalikan ke DPRD. Sebagai masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan politik di daerah, tentu tidak setuju bila saja pemilukada dikembalikan ke DPRD. Mengingat selama kurang lebih sepuluh tahun, publik berpartisipasi dalam pemilukada, sehingga pemimpin yang dihasilkan dalam setiap event pemilukada adalah pemimpin yang mampu mensejahterakan rakyat, dan tentu program mereka berpihak kepada rakyat terutama rakyat miskin. Sebagai contoh masyarakat marginal dapat mengakses pendidikan dasar hingga menengah tanpa beban biaya yang melangit. Disamping itu, hak – hak dasar publik juga dapat dipenuhi dengan adanya program-program pemberdayaan dari pemerintah serta terbukanya investasi dengan syarat birokratis yang tidak berbelit sehingga dapat mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, dan tentu dengan segudang alasan lainnya. Dengan alasan itulah, maka Koalisi Merah Putih mendapatkan perlawanan dari rakyat. Koran ini, 11 September 2014 melalui kolom bertajuk ―Rakyat Lawan Koalisi Merah Putih,‖ Tiga Bupati di Sulsel Ikut Menolak. Hemat mereka Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada mengebiri hak-hak politik masyarakat sehingga publik tidak dapat lagi berpartisipasi secara langsung dalam pemilukada. Publik paham, bahwa reformasi bergulir di awal 1997, dengan dua agenda penting, menghilangkan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang telah menggurita sejak Indonesia merdeka dan kedua adalah untuk membuka ruang kepada publik untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan politik tertinggi di negeri ini sebagai negara demokratis, yaitu publik berpartisi dalam pilpres, pileg, dan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

120

pemilukada untuk memilih tokoh – tokoh terbaik yang memiliki integritas, kejujuran, profesional religius, dan mau berbuat untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan hanya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, golongan, dan partai. Oleh karena itu, ketika pilkada dikembalikan ke DPRD, ini menunjukkan bahwa demokrasi di negeri ini kehilangan bentuk dan roh. Demokrasi sedang sekarat dan mati suri. Karena sesungguhnya demokrasi menurut Presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sehingga partisipasi publik harus diberi ruang seluas-luasnya. Reformasi bergulir dengan iringan kerugian materi dan jiwa yang sungguh dahsyat dan bahkan sejumlah masyarakat yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik, gugur akibat tima panas aparat yang hingga kini juga masih menjadi misteri tanpa ujung. Memang selama ini, praksis pemilukada, dan pileg setiap kali dihelat, menyisakan sejumlah persoalan klasik. Salah satu persoalan yang selalu saja mengemuka adalah ―money politik.‖ Disamping itu, ongkos pelaksanaan setiap event pemilukada tidaklah sedikit, sehingga banyak yang berkeinginan untuk mengembalikan pilkada di DPRD. Tetapi sesungguhnya, publik dan elit politik harus paham bahwa memang demokrasi itu mahal, tetapi kitapun harus meyakini bahwa hasil yang diperoleh dapat dijamin kualitasnya dengan beberapa catatan. Catatan – catatan tersebut adalah jangan terjadi politik uang, publik harus melek politik, para elit politik harus berpolitik secara elegan dan santun, publik juga tidak mudah dibeli dengan uang, semestinya juga para kandidat pemimpin di daerah menjual program kongkrit ke masyarakat bukan program abal – abal yang hanya membohongi publik pemilih. Politisi juga harus profesional dan religius untuk tidak memberi uang dengan tujuan untuk duduk di singgahsana kekuasaan. Oleh karena itu, penyelenggara Pemilu, KPU, Bawaslu, Pemerintah, Patai Politik, dan kelompok-kelompok masyarakat sipil pemerhati pemilu dan parlemen turut serta dalam sosialisasi dan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

121

pendidikan politik yang santun. Perlu juga diterbitkan Peraturan KPU (PKPU) oleh KPU tentang tidak dibolehkannya melakukan politik uang dalam setiap event politik. Bila saja ada caleg atau calon kepala daerah yang melakukan politik uang, maka ia harus didiskualifikasi dari pertarungan untuk menjadi calon anggota legislatif atau gubernur dan bupati/walikota di daerah. Memang menjadi ironi, ketika hanya kepentingan sesat, lalu mengorbankan kepentingan bangsa. Oleh karenanya janganlah mengebiri hak-hak publik untuk menentukan masa depannya sendiri melalui Pilkada di DPRD. Memang sesuatu yang mahal kualitasnya juga terjamin. (Harian Fajar, Senin 15 September 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

122

KAMPANYE DAN POLITIK SINDIR MENYINDIR

Dalam bukunya berjudul Thinking about Politics, deLespinasse mengajukan satu pertanyaan yang cukup menggelitik penulis, yaitu ―What Makes Politics Complex?. Bila di-Indonesiakan maknanya kurang lebih berbunyi ―Apa yang Membuat Politik Menjadi Kompleks?. Rupanya jawaban dari pertanyaan tersebut, tiada lain adalah bahasa. Bahasa seringkali dijadikan alat sindir- sindiran yang ampuh dalam dunia politik dengan tujuan menjatuhkan lawan. deLespinasse kemudian menambahkan bahwa publik harus memahami konteks bahasa yang digunakan oleh seorang elit politik, apakah dia calon anggota legislatif di DPR atau DPRD ataukah ia kandidat gubernur/wakil gubernur atau kandidat bupati/wakil bupati. Oleh karena itu, publik sebaiknya memiliki ketajaman konseptual (conceptual acuity) untuk memahami konsep atau substansi bahasa yang diungkapkan oleh elit politik atau pernyataan-pernyataan yang bernuansa politis. Demikian halnya publik sebagai penikmat keputusan politik harus tahu dan memahami janji-janji politik yang disampaikan oleh para calon anggota DPR/DPD dalam pileg, calon presiden dalam pilpres, atau kandidat gubernur/wakil gubernur dalam pemilukada, sehingga tidak salah pilih, karena bila salah pilih maka masyarakat akan menjadi sengsara selama 5 (lima) tahun. Rupanya, dalam kampanye, apakah itu kampanye pemilu legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres) atau pemilukada gubernur/bupati, banyak janji politik yang dirangkai dalam bahasa politik yang menggunakan idiograf yang dapat menghipnotis publik pemilih. Untaian kalimat atau frasa tersebut dapat dilihat pada baliho, spanduk, poster kandidat, iklan dalam radio dan televisi, dan beragam Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

123

rekayasa bahasa melalui berbagai media kampanye. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberi batasan definisi ideograf sebagai lambang atau simbol yang merupakan gambaran pikiran atau angan-angan. Sejalan dengan itu, Kweldju (2008) berpendapat bahwa ideograf adalah alat yang digunakan oleh seorang politisi untuk mendukung kebijakan atau stabilitas politik, sosial, dan kultural. Adapun contoh penggunaan ideograf, seperti HAM, demokrasi, dan kebebasan (freedom) yang digunakan oleh Presiden Amerika Serikat, George Bush dalam setiap kesempatan yang membuat rakyat Amerika Serikat terpukau. Demikian halnya dengan kata ―education, education, education,‖ yang digelorakan oleh John Mayor setiap kali ia berkampanye di depan rakyat Inggris, dan mengantarkan ia menjadi perdana menteri Inggris kedua kalinya. Demikian halnya dalam pilpres dan pileg, acapkali para kandidat menjual program yang mampu menarik simpati pemilih. Isu gratis adalah contoh ideograf yang memiliki kekuatan dan daya pukau yang luar biasa untuk memengaruhi pilihan politik pemilih. Beberapa saat lalu, ketika pemilukada kota Makassar, isu gratis bermunculan dari sejumlah kandidat, seperti pete-pete gratis, raskin gratis, pendidikan gratis. Demikian halnya dalam pemilukada Gubernur yang dihelat pada awal 2013 lalu, isu gratis juga diusung oleh ketiga kandidat Gubernur yang bertartung untuk mendapatkan simpati rakyat. Disamping penggunaan ideograf tersebut, para kandidat dan tim kandidat gubernur/wakil gubernur dan tim kampanye calon anggota DPR dan calon Presiden dalam kampanye juga kerapkali menyampaikan pesan kampanye melalui beragam cara dan statemen politik yang dituangkan dalam bahasa yang provokatif, sentimentil, dan saling menghujat dengan tujuan menjatuhkan lawan. Yang oleh A. Muis (2001) dikatakan sebagai kekerasan komunikasi politik, berupa pesan kampanye yang dibingkai dengan statemen berupa hujat – menghujat, saling tuding, saling fitnah, saling mengancam, saling membohongi, memperalat konstitusi untuk memojokkan lawan politik, dan berbagai macam trik komunikasi politik dengan tujuan merebut kekuasaan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

124

Dalam kampanye, kekerasan komunikasi politik acapkali menghiasi pemberitaan di media massa cetak dan elektronik, bahkan para kandidat saling menyindir untuk menarik perhatian konstituen. Komunikasi politik seperti itu dianggap tidak elegan dan tidak mendidik bagi masyarakat beradab (civilized society). Dengan demikian, kekerasan komunikasi politik mestinya tidak diberi ruang dalam masyarakat yang menginginkan tetap terjaganya harmoni dan kedamaian. Politik sindir-sindiran dilakukan oleh kandidat tiada lain adalah untuk mendulang suara. Itulah sebabnya menjelang pileg dan pilpres 2014, publik dituntut untuk menggunakan logika nalar politiknya yang jernih untuk memilih pemimpin (Anggota DPR/DPD dan Presiden) yang memiliki kepedulian terhadap rakyat (kesejahteraan rakyat), bukan memilih pemimpin yang hanya mengharapkan kekuasaan untuk duduk di singgahsana kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), melainkan memilih pemimpin yang pro akan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, terutama kelompok marginal/miskin (pro poor). Publik dituntut untuk tidak terpengaruh terhadap politik uang yang bergentayangan menjelang berlangsungnya suatu pesta demokrasi. Jangan menggadaikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat hanya dengan kaos oblong, hanya dengan seonggok recehan rupiah, dan dengan program politik yang berpotensi untuk tidak dapat diwujudkan alias gagal kepratal. Itulah sebabnya, kandidat dan timnya perlu mengedepankan etika dan pendidikan politik yang santun dan elegan, tanpa mencederai kandidat lain. Kesepakatan tentang terwujudnya Pileg dan Pilpres damai perlu diwujudkan. Jangan hanya menjadi kesepakatan simbolis para kandidat di tingkat elit, tapi rakyat yang sengsara di akar rumput. (Fajar, Jumat, 11 Januari 2013)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

125

MENGAPA SYL LAYAK BERGABUNG DI KABINET JOKOWI –JK?

Pasca pengumuman sengketa Pilpres antara kubu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, yang dimenangkan oleh KPU, meneguhkan kemenangan Jokowi – JK sebagai calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia terpilih, Periode 2014 – 2019. Pelantikan Jokowi – JK memang masih beberapa hari, namun demikian, Jokowi – JK dan timnya, terutama dari tim transisi serta pemikir kubu Jokowi – JK sedang mempersiapkan kabinet yang ramping dan tentu kabinet yang diisi oleh para profesional, politisi, negarawan, dan para pribadi yang jujur dan tidak korup serta dapat mendukung kebijakan pemerintahan Jokowi – JK untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan. Salah satu tokoh negeri ini yang memiliki kompetensi profesional religius untuk membangun peradaban bangsa ini adalah Gubernur Sulawesi Selatan, Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.Si., M.H. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh SYL, sangat beralasan jika masyarakat Sulawesi Selatan mengharapkan Presiden terpilih Jokowi - JK untuk memberikan kesempatan kepada Gubernur Sulawesi Selatan, SYL sebutan populer untuk Syahrul Yasin Limpo, sebagai salah satu menteri di kabinet Jokowi – JK mendatang, karena jejak rekam SYL selama ini juga sangat meyakinkan untuk posisi menteri, terutama Menteri Dalam Negeri, mengingat SYL adalah pemimpinnya para gubernur. Ia adalah Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), tempat para gubernur berhimpun. Ia adalah pemimpinnya para pemimpin (gubernur). Tidak berlebihan Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

126

kalau disematkan dipundaknya sebagai pemimpin paripurna yang multi talenta. SYL telah menorehkan banyak prestasi dari berbagai lembaga dan memiliki reputasi yang luar biasa dan salah satu prestasi yang sangat membanggakan rakyat Sulawesi Selatan adalah disandangnya Bintang Maha Putera Utama yang disematkan oleh Presiden SBY di Jakarta pada Jumat 12 Agustus 2011 yang merupakan penghargaan sipil tertinggi dari Presiden RI. Penerima Bintang Maha Putera masih terhitung langka. Ia juga peraih penghargaan sipil tertinggi negara, yaitu Samkaryanugraha Parasamya Purna Karya Nugraha dari Presiden RI, SBY dan saat SBY menyerahkan penghargaan tersebut, ia mengucapkan selamat kepada SYL seraya memberikan apresiasi yang tinggi karena SYL mampu menempatkan Sulsel sebagai provinsi terbaik di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut. Tidak sampai disitu koran nasional terkemuka, Gatra atas kerjasama dengan Departemen Dalam Negeri juga menganugerahkan kepada SYL predikat ―THE BEST‖ Gubernur di Indonesia. Disamping itu, SYL juga adalah politisi ulung, ia kini menakhodai Partai Golkar Sulawesi Selatan dan jauh sebelum ia terpilih menjadi Bupati Kabupaten Gowa selama dua periode, ia menjabat sebagai sekretaris Golkar Sulawesi Selatan. SYL adalah satu dari sejumlah tokoh yang lahir di Sulawesi Selatan yang memiliki kemampuan dan talenta yang luar biasa. Intinya ia cerdas dan memiliki kemampuan leadership yang mumpuni. Jalan mulus ke level nasional telah dirintis oleh SYL, melalui beragam prestasi yang ia raih, yakni sebagai pemegang Bintang Maha Putera, Ketua APPSI, dan beberapa tahun terakhir aktif road show dan menjadi pembicara kunci (keynote speaker) di sejumlah event penting bertaraf nasional dan internasional, seperti tampil sebagai nara sumber pada acara BPK Mendengar yang diselenggarakan oleh BPK RI. Di sejumlah daerah (provinsi), ia juga rela datang untuk berbagi pengetahuan memenej negeri ini. Ia memukau para pendengar kuliah umumnya dalam dialog kebangsaan di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada 8 November 2013, ia juga membuat peserta

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

127

kuliah umumnya berdecak kagum di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta , dan membuat para peserta kuliah umumnya terpesona dengan gaya bicara dan keterampilan orasinya yang berapi-api di hadapan civitas akademika Universitas Sriwijaya, Palembang pada 9 Januari 2014, bak Soekarno dari Timur. Ia bahkan pernah memberikan kuliah umum di hadapan civitas akademika Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan membuat mahasiswa, staf dan dosen UKM berdecak kagum menyimak pidatonya. Mengapa SYL menarik untuk posisi Menteri Dalam Negeri RI pada Kabinet Jokowi – JK?. Ada sejumlah alasan penting, yakni: ia adalah politisi ulung, cerdas, birokrat sejati dengan sejuta pengalaman kepemimpinan dan pemerintahan di tingkat nasional dan lokal. Ia telah menjadi pemimpin di tingkat desa hingga level provinsi, ia meraih lebih dari 130 penghargaan dari sejumlah lembaga mulai dari Presiden, kementerian, perguruan tinggi, ormas, hingga NGO luar negeri, mengantarkan Sulsel meraih WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK selama tiga tahun berturut-turut. Ia juga pro akan pembangunan di bidang sosial (pendidikan dan kesehatan), ekonomi, hukum, sosial budaya, pariwisata, dan mampu meminimalisasi pengangguran dan kemiskinan di Sulawesi Selatan serta dapat menekan angka kemiskinan di Sulsel. Ia bukan hanya membangun infrastruktur Sulawesi Selatan, tetapi juga suprastrukturnya, Intinya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Sulawesi Selatan meningkat di bawah kepemimpinannya. Kebijakannya di bidang pendidikan dan kesehatan pas dengan program Jokowi – JK, yaitu Kartu Pintar dan Kartu Sehat untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa diskriminasi. Selain itu, ia juga menjadi inisiator dan inspirator pembangunan Center Point of Indonesia (CPI) yang ia sebut sebagai titik sentral Indonesia. Di CPI akan dibangun miniatur Indonesia, dan salah satu bangunan yang akan menjadi sejarah monumental dan fenomental dalam kepemimpinan SYL adalah pembangunan Wisma Negara di Makassar, tepatnya di CPI. Ini adalah pemikiran brilian seorang SYL yang perlu diapresiasi oleh kita semua.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

128

Dengan best practices yang telah dilakukan tersebut dalam beragam dimensi kehidupan dan pembangunan dan dengan menempatkan Provinsi Sulawesi Selatan sebagai miniatur pembangunan Indonesia, niscaya pembangunan Indonesia diyakini juga akan berlangsung secara adil dan merata di bawah kepemimpinannya jika saja ia diberi ruang untuk menata dan membangun bangsa dan negara ini kedepan. (Koran Sindo, Senin 25 Agustus 2014)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

129

ASN DAN GODAAN PILKADA SERENTAK

Tinggal menghitung hari, Pilkada serentak di 269 daerah di Indonesia yang diikuti oleh 852 pasangan calon akan digelar pada 9 Desember 2015. Seiring dengan perhelatan akbar tersebut, telah terjadi seabrek pelanggaran Pilkada yang telah dilakukan, baik oleh penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maupun oleh kontestan pasangan calon (paslon), tim sukses, dan para aparat, termasuk di dalamnya Aparatur Sipil Negara (ASN), yang terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Beberapa hari terakhir, pelanggaran yang paling santer disoal oleh publik, terutama penyelenggara Pilkada Serentak adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu/Panwaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah keterlibatan ASN, baik itu PNS maupun PPPK. Di sejumlah kabupaten/kota, khususnya di Sulawesi Selatan, kerapkali ASN diperalat oleh paslon tertentu dengan tujuan mendulang suara. Paslon juga acapkali menggunakan jaringan birokrat untuk meraup suara sebanyak mungkin di kalangan ASN dan keluarganya. Biasanya para ASN diminta untuk mengampanyekan calon melalui beragam cara, baik dengan cara vulgar, seperti mengantar arak-arakan paslon mendaftar di KPU, turut mengampanyekan calon di setiap kesempatan, atau menggiring bawahan untuk memilih seorang kandidat andalannya, maupun dengan cara terselurung (main cantik) dengan beragam taktik dan intrik, tanpa diketahui oleh publik atau orang-orang yang berkepentingan dengan Pilkada. Sebagaimana dikabarkan oleh sejumlah media

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

130

cetak di Sulawesi Selatan, sejumlah aparat di kabupaten yang akan menggelar Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 mendatang ditengarai melakukan pelanggaran Pilkada, ada camat yang memboyong lurah, Kades (KepalaDesa), Kadus (KepalaDusun) ke Tanjung Bira (Fajar, 20 Oktober 2015), bahkan ada sekda dan kepala badan yang terindikasi melakukan politik praktis dengan menggalang dukungan PNS terhadap salah satu paslon yang menjadi kontestan Pilkada serentak. Dalam tajuk berita salah satu media cetak lokal tersebut diberitakan ―Diduga Berpolitik, 2 Pejabat Lutra Diperiksa.‖ Dugaan pelanggaran tersebut, membuat geram Komisioner AparaturSipil Negara (KASN) dan KASN melakukan kunjungan serta memintaklarifikasi kepada ASN yang diduga melakukan pelanggaran Pilkada, dan nantinya akan direkomendasikan kepada Bupati untuk diberikan sanksi sesuai aturan yang berlaku, bila kedua pejabat tersebut terbukti melakukan pelanggaran. Para ASN memberikan dukungan kepada salah satu paslon dengan tujuan bukan hanya mengantarkan si calon untuk meraih tahta kekuasaan sebagai bupati/walikota, tetapi juga sang aparat (ASN) mengharapkan Pilkada. Kue pilkada dapat berupa menjadi kepala dinas, kepala badan, dipromosi ke jenjang atau eselon yang lebih tinggi, atau minimal sebagai staf ahli bupati/walikota terpilih, tentu juga dengan berbagai fasilitas lainnya yang menguntungkan dirinya. Jauh sebelum tahapan Pilkada ditentukan, Menteri Pendayagunaan Aparatur & Reformasi Birokrasi (Menpan& RB), Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi telah me-warning para ASN untuk tidak terlibat aktif dalam Pilkada, bahkan sang Menteri mengatakan di salah satu kesempatan di Semarang, bahwa ASN akan disanksi menengah ke atas, tidak ada sanksi ringan, bila melanggar ketentuan perundang-undang ataurule of conduct yang ada. Sanksi-sanki yang menanti tersebut, dapat berupa mutasi, penurunan pangkat, menunda kenaikan pangkat, hingga pada pemecatan secara tidak hormat. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 3 huruf (a)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

131

berbunyi ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip ―nilai dasar‖ yang dijabarkan dalam Pasal 4, huruf (d), berbunyi ―menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak.‖Bahkan secara vulgar disebutkan pada Pasal 9, ayat (2) Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Hal ini diperkuat dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 79 ayat (1): Dalam kampanye, dilarang melibatkan: (a) hakim pada semua peradilan; (b) pejabat BUMN/BUMD; (c) pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negara; dan d. kepala desa. Publik berharap semoga para ASN tunduk pada kode etik ASN, sebagaimana diamanatkan oleh UU ASN Nomor 5 Tahun 2014, Pasal 3, huruf (b) kode etik dan kode perilaku, yang dijabarkan dalam Pasal 5, (1) Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN. (2) Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi pengaturan perilaku agar Pegawai ASN: a. melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggungjawab, dan berintegritas tinggi; b. melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin; c. melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan; d. melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. melaksanakan tugasnyas esuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan; f. menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara; g. menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggungjawab, efektif, danefisien; h. menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya; i. memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan; j.tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain; k.memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN; dan l.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

132

melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin Pegawai ASN. Publik juga berharap semoga saja para kontestan Pilkada dapat berkompetisi secara santun dan elegan tanpa politik uang, tanpa kampanye negatif dan kampanye hitam (black and negative campaign), yang hanya akan menjadi benih konflik di tengah publik. Juga tidak terpengaruh dengan strategi dan intrik busuk untuk menghalalkan segalacara demi meraih singgasana kekuasaan sebagai bupati/walikota. Ingat, kekuasaan yang diraih secara santun dan sesuai norma yang berlaku di masyarakat akan melanggengkan kekuasaan itu. Mari kita berkaca pada kekuasaan dan kemewahan sejumlah pemimpin bangsa yang juga dikudeta dari singgasana kekuasaannya karena kekuasaan yang diperolehnya dilakukan denganc ara-cara yang tidak bermoral, yakni menghalalkan segala cara. (Fajar, 17 November 2015).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

133

BAB 2 PENDIDIKAN

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

134

CONTEK MASSAL, WAJAH BURAM PENDIDIKAN KITA

Publik lagi-lagi tersentak, terkejut dengan adanya kesaksian seorang ibu bernama Siami dan pengaduan sejumlah wali murid dari SD 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta kepada wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal yang melaporkan kecurangan yang terjadi selama Ujian Nasional (UN) tingkat sekolah dasar berlangsung. Berita buruk tentang contek massal tersebut menghiasi sejumlah halaman muka media massa cetak dan elektronik nasional sejak Juni 2011 ini. Mereka melaporkan terjadinya contek massal yang dilakukan oleh anak didik di sekolah atas instruksi dari kepala sekolah dan guru. Kronologis contek massal yang terkuak di Surabaya, bermula ketika ibu seorang peserta UN bernama Siami melaporkan kecurangan tersebut kepada dinas pendidikan kota Surabaya, dan berujung pada pemberian sanksi oleh Pemkot Surabaya kepada Kepala Sekolah SDN Gadel 2, Sukatman dan 2 orang guru yakni Fatkhur Rachman dan Suprayitno diberhentikan melalui surat Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Surabaya per 6 Juni 2011. Sukatman mendapat sanksi dicopot dari jabatannya sebagai kepala sekolah dan golongan PNS diturunkan dari 4 A menjadi 3 D. Sementara kedua guru tersebut dilarang lagi mengajar dan diserahkan ke Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Pendidikan setempat. Kasus ini kemudian memicu amarah warga kepada ibu Siami, dan hingga kini ibu Siami tidak lagi berada dikediamannya. Kasus yang terjadi di SD 06 Petang Pesanggrahan, modus operandinya sama dengan di SD Gadel 2 Surabaya,

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

135

yakni menjelang UN murid yang berada di peringkat 1 hingga 10 diminta untuk memberikan contekan kepada teman- temannya. Para siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok, yakni anak-anak pintar tersebut bertanggung jawab memberikan jawaban kepada siswa lain yang rankingnya di bawah mereka. Para tokoh pendidik, tokoh politik, pemerhati perlindungan anak, `orang tua, dan masyarakat umumpun resah dan mengecam kejadian tersebut. Ketidakjujuran dalam UN bukan kali pertama terjadi di Indonesia, tetapi kebohongan dibalik UN telah ada seiring dengan pelaksanaan UN, dan bukan hanya terjadi di SD Petang 06 Pesanggrahan dan di SDN Gadel 2 Surabaya, tetapi hampir di seluruh tempat di Indonesia praktek kecurangan itu terjadi. Kecurangan tersebut dilakukan oleh seluruh stakheloder pendidikan di sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, dan pengawas di kelas. Sepertinya ada konsensus tidak tertulis antara pengawas UN, kerap terjadi pengawas dari sekolah A yang mengawas di sekolah B mengajari siswa di sekolah B yang semestinya mengawasi anak dari perilaku tidak jujur tersebut. Praktek ini akan menjadi background knowledge pada diri anak didik bahwa contek-mencontek itu bukanlah hal yang salah, tetapi sesuatu yang baik karena toh yang mengajari adalah guru mereka. Para tokoh nasionalpun gerah dan angkat bicara tentang buramnya wajah pendidikan di negeri ini. Demikian halnya dengan orang tua, mereka khawatir bila anak mereka diajari ketidakjujuran sejak dini, maka yang akan terjadi kemudian di dunia kerja dan di masyarakat adalah insan-insan yang tidak memiliki integritas. Meminjam istilah Sosiolog Universitas Indonesia (UI), dengan adanya contek massal tersebut akan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kejujuran dan kapasitas yang rendah. Mengapa contek-mencontek selalu saja terjadi setiap pelaksanaan UN? Jawabannya sederhana saja. Untuk dikatakan sekolah favorit dan seabrek predikat lainnya. Ujungnya adalah kapitalisme di bidang pendidikan. Bila sekolah berhasil meluluskan muridnya hingga 100 persen, maka sekolah tersebut berhak menyandang predikat sekolah

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

136

favorit dan bermutu dan segala upaya dilakukan oleh kepala sekolah dan guru untuk memenuhi target tersebut. Mereka tidak mempertimbangkan apakah jalan yang ditempunya keliru atau benar, legal atau ilegal. Dengan predikat sekolah favorit yang disandangnya, maka sekolah tersebut diserbu oleh calon siswa, dan dengan demikian maka sekolah panen dari uang pendaftaran calon siswa. Bila praktek nyontek yang bermula dari guru tidak segera dihilangkan hingga ke akar-akarnya, maka niscaya pendidikan di negeri ini hanya akan menghasilkan manusia- manusia yang tidak memiliki integritas dan kompetensi. Hal ini sejalan dengan pendapat seorang teman saya yang juga seorang ustadz, ia pernah mengatakan di satu kesempatan yang dihadiri oleh para cendikiawan yang bergelar professor dan doctor dan agamawan, yang bergelar kyai atau AGH bahwa lembaga pendidikan formal di negeri ini hanya mampu menciptakan koruptor, demikian halnya pendidikan pesantren hanya mampu menghasilkan teroris. Apa yang resahkan oleh teman saya tadi, benar adanya. Karena sejak Indonesia merdeka hingga detik ini, selalu saja terjadi korupsi di berbagai departemen dan lembaga negara. Juga kerapkali terjadi perbuatan yang menodai toleransi antar dan inter pemeluk agama. Ini menunjukkan bahwa pendidikan kita telah gagal menciptakan manusia yang bermutu sehat jasmani dan rohani sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945.

Agen Sosialisasi Anak Secara sosiologis, ada empat agen sosialisasi bagi anak. Antara lain, keluarga, lingkungan, sekolah, dan media. Keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak sebagai keluarga inti merupakan tempat dimana anak pertama kali memperoleh pendidikan moral dan etika. Setelah anak beranjak dewasa, ia kemudian melakukan hubungan dan komunikasi dengan lingkungan sekitar. Ia terlibat dalam kelompok bermain atau sebaya (peer group). Melalui kelompok sebaya ini, anak memperoleh wawasan tentang kecerdasan emosional dan sosial, yakni kecerdasan seorang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

137

anak untuk menanamkan empati, simpati, dan bekerjasama dengan teman sebayanya. Setelah keluarga dan lingkungan, agen sosialisasi berikutnya bagi anak adalah sekolah. Orang tua dan masyarakat berharap banyak pada sekolah untuk mencerdaskan anak didik dari sisi kognitif, psikomotorik dan afektif. Dengan demikian anak memiliki olah pikir, olah tindak, dan olah perilaku yang baik. Yang jelas, melalui pendidikan formal di sekolah, orang tua berharap anak dapat memiliki karakter yang baik. Agen sosialisasi berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah media (cetak dan elektronik). Dengan adanya praktek kecurangan atau contek massal pada setiap pelaksanaan UN, menyiratkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia telah gagal mengemban fungsinya. Demikian halnya dengan kualitas pendidikan semakin jauh dari harapan. Kelompok sebaya di lingkungan masyarakat juga kerap kali membuat masalah sosial di masyarakat. Oleh karenanya agen sosialisasi ini juga telah gagal mewujudkan insan-insan yang memiliki kecerdasan emosional dan sosial. Media TV khususnya diharapkan dapat menjalankan fungsi luhurnya yaitu fungsi informasi, edukasi, dan hiburan. Tapi kelihatannya media TV akhir-akhir ini tidak lagi pro pada kepentingan anak. Tidak sedikit siaran-siaran di lembaga penyiaran TV yang hanya mengumbar nafsu, menonjolkan kekerasan dan takhayul. Kalau lembaga pendidikan formal, lingkungan, dan media (TV) telah gagal mewujudkan manusia Indonesia yang bermutu sehat jasmani dan rohani, maka harapan satu- satunya adalah keluarga.

National Commitment, Sebuah Terobosan Baru Perbaiki sistem atau kembali ke sistem lama merupakan sebuah pilihan mendesak. Sebagai ilustrasi, ketika rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, jarang bahkan tidak pernah kita dengar seorang guru mengajari anak didiknya ketika ujian (UN) sedang berlangsung. Ketika itu, guru berpegang pada prinsip bahwa mengajari anak pada saat ujian merupakan perbuatan tercela dan memang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

138

tak pernah terpikir dalam benak seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Banyak kebijakan di bidang pendidikan yang telah dilakukan oleh Pemerintah seiring dengan bergeraknya roda reformasi, tapi tampaknya kebijakan tersebut baik secara makro maupun mikro tidak mampu mengubah aspek olah pikir, prilaku, dan tindak anak. Sebut saja diantaranya, KTSP (Kurikululum Tingkat Satuan Pendidikan), life skill (kecakapan hidup), pendidikan karakter, pendidikan gratis, BOS, UN, dan lain-lain. Sistem lama, ketika Orde Baru, anak didik tidak ditarget untuk mencapai kelulusan minimal, seperti 4,5 untuk setiap mata ajar. Berapapun yang diperoleh anak pada beberapa mata ajar tidak membuat guru, orang tua, dan anak didik resah, karena toh nilai anak didik akan diakumulasi dengan mata ajar lainnya, sehingga kecil kemungkinan bagi anak untuk tidak lulus. Sistem sekarang, bernuansa diskriminasi pada peserta didik. Dengan memberikan syarat minimal kelulusan yang sama kapada setiap anak menunjukkan bahwa praktek pendidikan tersebut diskriminiasi. Tidak sedikit anak yang memiliki kecerdasan eksakta atau matematis yang memadai, tetapi tidak lulus UN karena memiliki nilai bahasa Indonesia dan mata ajar sosial lainnya dibawah syarat minimal yang telah ditetapkan. Demikian halnya, banyak siswa yang memiliki kecerdasan di bidang sosial atau kebahasaan (linguistik), tetapi tidak lulus UN karena nilai matematika serta mata ajar eksakta lainnya di bawah standar minimal. Kebijakan inilah kemudian yang menjadi momok menakutkan bagi seluruh stakeholder pendidikan, mulai dari dinas pendidikan provinsi hingga tingkat satuan pendidikan terutama kepala sekolah dan guru, sehingga berbagai langka taktis dan strategis, namun tidak etis dilakukan sekedar untuk meluluskan setiap peserta didiknya. Dan tampaknya praktek kecurangan di bidang pendidikan ini, semakin hari semakin meresahkan orang tua, dan tidak bagi guru pelaku kecurangan itu. Demikian halnya, dari tahun ke tahun praktek UN semakin saja bermasalah. Oleh karena itu perlu kesadaran bersama antara pemerintah, stakeholder

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

139

pendidikan di sekolah, dan orang tua siswa untuk mewujudkan national commitment to create integrity, yaitu kesadaran bersama antara pemerintah dan rakyat untuk mewujudkan kejujuran dalam segala lini kehidupan yang bermula dari pendidikan dasar, dimana guru sebagi role model yang baik sangat dibutuhkan. (Fajar, Senin, 20 Juni 2011)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

140

PENERIMAAN SISWA BARU, SARAT PUNGLI

Menteri Pendidikan Nasional, Muh. Nuh dan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal menegaskan, tak boleh ada pungutan apapun dengan dalih apapun dalam penerimaan siswa baru SD dan SMP negeri (Kompas, 7 Juli 2011). Wakil Mendiknas lebih lanjut menambahkan bahwa Surat edaran dari Menteri Pendidikan Nasional yang menegaskan aturan itu sudah disosialisasikan ke berbagai daerah sehingga masyarakat dan pemerintah daerah diminta mengawasinya. Wakil Mendiknas juga menegaskan bahwa sekolah tidak boleh memungut dana dari orang tua siswa dengan dalih, misalnya, untuk pembangunan laboratorium dan perpustakaan atau renovasi sekolah. Menurut Fasli, setiap SD dan SMP sudah mendapatkan kucuran bantuan operasional sekolah (BOS) yang besarnya sekitar 70 persen dari kebutuhan sekolah. Kekurangannya 30 persen, diharapkan bisa dipenuhi oleh pemerintah kabupaten/kota serta provinsi . Sepertinya kebijakan Mendiknas tersebut bagaikan angin lalu tanpa bekas. Hal ini dikarenakan banyak praktek kecurangan dan kebohongan yang terjadi pada penerimaan siswa baru (PSB) yang kini tengah berlangsung. Seperti dilaporkan Harian Kompas, 7 Juli 2011 bahwa ada calon murid SD yang tidak lulus padahal dia berumur lebih tua ketimbang murid lain yang diterima karena ditengarai membayar uang letjen (lewat jendela) kepada panitia PSB yang nominalnya cukup fantastis, yakni Rp. 2.000.000 (Kasus di SD Negeri Depok 01, Depok). Persoalan penerimaan siswa baru juga terjadi di sekolah lain di Depok. Pungutan biaya, seperti di SD Negeri Depok Baru 05. Pihak sekolah secara Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

141

terbuka meminta ―sumbangan‖ kepada orang tua calon siswa dengan nilai Rp. 1 juta hingga 3 juta, walau kemudian pihak sekolah mengembalikan pembayaran tersebut setelah ditegur oleh Dinas Pendidikan Kota Depok. Lalu bagaimana dengan praktek PSB di Makassar? Rupanya hal serupa juga terjadi di daerah ini, dimana terdapat sejumlah sekolah yang selain pembayaran resmi yang telah ditentukan oleh panitia PSB, yang jumlahnya variatif, ada yang Rp. 250.000, 450.000, dan adapula yang Rp. 475.000 yang mencakup pembayaran seragam sekolah seperti, pakaian olah raga, pakaian batik, pakaian pramuka, lambang lokasi, topi, dasi, dan ikat pinggang. Yang menarik sekaligus mengundang tanda tanya dan amarah orang tua calon siswa adalah diluar jumlah tersebut, masih ada pungutan lain (sumbangan) yang kisarannya juga bervariasi seperti Rp. 20.000, Rp. 15.000, Rp. 10.000 dengan dalih untuk membeli paving blok. Hal ganjal lainnya adalah banyak calon siswa yang tidak mendapatkan sebagian dari seragam sekolah di atas (pakaian pramuka), dengan alasan telah habis dan hanya tersedia untuk 50 orang siswa, padahal yang diterima menghampiri hitungan lebih dari 300 orang. Hal menarik lainnya adalah siswa yang tidak lulus di sekolah tempat ia mendaftar dapat menggantikan orang lain yang enggan memilih sekolah tersebut, namun konsekuensinya adalah harus merogoh kocek mulai dari kisaran 1 juta hingga 2 juta. Praktek yang dilakukan di Makassar, Depok, dan tempat lain di Indonesia menyelisihi kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional, karena sudah ada BOS, BOS Buku. Ini juga bertentangan dengan kebijakan dari Gubernur Sulawesi Selatan dan Walikota Makassar, karena sudah ada program pendidikan gratis di Sulsel, dan telah ada program sekolah bersubsidi penuh atau sekolah gratis di Makassar.

Mestinya Sekolah Pro Poor Bila saja praktek PSB dari tahun ke tahun menyisakan segudang persoalan seperti di atas, maka akan berdampak pada sulitnya akses bagi calon siswa dari kelompok miskin.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

142

Padahal sesungguhnya pendidikan dasar 9 tahun adalah bersifat wajib dan pemerintah wajib pula membiayainya. Hal ini sesuai amanat Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,‖ dan Ayat (2) "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.‖ Amanat konstitusi ini diperkuat lagi dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, khususnya pada ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, dan ayat (3) wajib belajar merupakan tanggungjawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Makna filosofi yang terkandung dalam Amandemen UUD 1945 di atas, berimplikasi bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberikan pendidikan kepada segenap warganya, dan setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama sebagai pelaksana pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi di Indonesia telah mencanangkan kebijakan pembangunan di bidang pendidikan dalam kurun waktu 2004 – 2009 meliputi akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas melalui peningkatan wajib belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan pemberian akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat (Diknas dan Depag, 2005: 1). Upaya pemerintah untuk memperluas akses dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi masyarakat miskin ini merupakan upaya strategis terhadap amanat konstitusi (UUD 1945) yang memposisikan pemerintah sebagai penyedia dan pelaksana pendidikan dasar. Upaya pemerintah tersebut juga sebagai respon

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

143

terhadap Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (HAM) tahun 1948 yang intinya adalah bahwa pendidikan merupakan hak dasar setiap orang. Upaya tersebut sekaligus merupakan respon pemerintah terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 9 ayat 1 yang berbunyi ‖Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadian dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) yang antara lain menyebutkan: Pertama, "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu" (Pasal 5 Ayat (1)). Kedua, "setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar" (Pasal 6 Ayat (1)). Ketiga, "pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi" (Pasal 11 Ayat (1)). Keempat, "pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun" (Pasal 11 Ayat (2). Hal senada juga dinyatakan dalam Undang Undang Tentang Perlindungan Anak Pasal 48 yang berbunyi ―Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak,‖ Pasal 49 yang berbunyi ―Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan, dan Pasal 53, ayat (1) yang berbunyi ―Pemerintah bertanggungjawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma- cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.‖ Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk tidak menyelenggarakan pendidikan secara gratis dan berkualitas. Pemerintah juga wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan secara merata di seluruh pelosok

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

144

negeri sebagai tanggung jawab dan kewajiban pemerintah sehingga tidak lagi ditemukan adanya anak usia sekolah yang tidak terakses oleh pendidikan dengan alasan apapun juga. Untuk dapat memberikan aksesibilitas (access), keadilan (equality) dan pemerataan (equity) kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bagi kelompok miskin guna mendukung keberhasilan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun sebagai kebutuhan dasar (basic needs) setiap anak, dan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan, maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan pemerintah sejumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan memberikan akses dan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar 9 tahun dalam bentuk Program Pendidikan Gratis. Program Pendidikan Gratis ini mulai diimplementasikan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan sejumlah kabupaten/kota, termasuk Kota Makassar pada tahun pelajaran awal tahun 2008 lalu. Program Pendidikan Gratis tersebut diperuntukkan bagi sekolah guna membebaskan biaya pendidikan bagi seluruh siswa, agar mereka memperoleh kemudahan akses dan layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu (education for all). Bila saja kebijakan sekolah atau panitia PSB tidak mengindahkan kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional dan kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) untuk tidak melakukan pungutan saat PSB, maka yang menjadi korban adalah orang yang tidak berdaya/tertindas (kelompok miskin) karena mereka tidak memiliki daya untuk membayar uang pendaftaran yang dibebankan kepadanya. Kalau praktek ini tetap berjalan dan tidak ada yang mengeremnya, maka niscaya bangsa ini akan menjadi bangsa yang mati suri. Artinya bangsa ini berada pada titik nadir kemerosotannya karena terlalu banyak persoalan yang dihadapinya. Belum lagi gonjang ganjing korupsi dan mafia hukum Pemilu yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara, kemudian muncul perilaku tuna moral yang dilakukan oleh

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

145

institusi pendidikan yang nota bene tempat orang ditempah dari sisi olah pikir, olah tindak dan oleh perilaku. Oleh karena itu, satukan langkah bila ada yang berbuat curang dalam PSB ini, maka seyogyanya dilaporkan kepada yang berwenang, karena yang dirugikan adalah masyarakat atau siswa dari kelompok miskin. (Fajar, 11 Juli 2011)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

146

RSBI, ANTARA PRO DAN KONTRA

Pemerintah baru saja menyelesaikan seleksi siswa baru tingkat SMA melalui Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) pada Mei 2012. Seiring dengan penerimaan siswa baru pada RSBI, pro – kontrapun bermunculan perihal praktek yang diterapkan RSBI, mulai dari proses belajar mengajar di kelas hingga pada pembayaran yang menurut sebagian orang bertarif internasional. Ada yang berpendapat, implementasi RSBI di Indonesia telah sesuai dengan Undang – Undang dan Peraturan Pemerintah yang ada, ada pula sebagian orang yang merasa sangsi terhadap praktek RSBI yang menurut mereka bertentangan dengan Undang – Undang dan roh pendidikan untuk semua (Education for All). Disamping itu, konsep RSBI juga dianggap tidak jelas. Sebelum penulis memberikan alasan tentang pentingnya mempertahankan eksistensi RSBI, terlabih dahulu ingin memberikan pandangan pro dan kontra tentang RSBI. Kelompok yang kontra berpendapat bahwa konsep RSBI tidak jelas, salah satu dari mereka adalah Darmaningtyas. Ia berpendapat bahwa konsep Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang didahului RSBI sangat tidak jelas. Pendapat senada dari Abdul Chaer yang mengemukakan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar pada RSBI telah melanggar UUD 1945 lantaran penggunaan bahasa Indonesia telah diamanatkan dalam konstitusi negara (Republika, 25 April 2012). Demikian halnya pendapat Satria Dharma yang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

147

menuding praktek RSBI sejak awal memang salah orientasi (Fajar, 3 Mei 2012). Sejumlah pengamat dan penggiat pendidikan, menyangsikan praktek RSBI di Indonesia, tetapi tidak sedikit dari para akademisi dan pendidik yang menginginkan perlunya keberlanjutan implementasi RSBI di Indonesia sebagai salah satu kebijakan di bidang pendidikan yang mengedepankan terwujudnya jaminan mutu (quality assurance) di bidang pendidikan. Mereka yang pro tersebut adalah Johannes Gunawan sebagai saksi ahli termohon (pemerintah) dalam sidang lanjutan permohonan uji material terhadap Pasal 50 Ayat 3 UU Sisdiknas di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 24 April 2012. Johannes Gunawan menyatakan, pada Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang UU Sisdiknas, standar nasional pendidikan (SNP) yang bertaraf nasional maupun internasional haruslah ditingkatkan secara berencana dan berkala. Johannes kemudian menambahkan bahwa RSBI itu dilakukan untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan nasional, keadilan, dan kompetisi antarbangsa. Senada dengan pendapat Johannes Gunawan, pakar pendidikan yang juga Dekan Fakultas MIPA UNM, Hamzah Upu, dalam diskusi bertajuk ―Pemerintah Perlu Evaluasi RSBI,‖ yang diadakan oleh harian Fajar menyebut munculnya RSBI berdasar amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 Ayat (3). Undang-undang ini berbunyi,‖ Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Hamzah Upu menambahkan berdasar amanat ini, maka dibentuklah persyaratan SBI dimana penyelenggaranya harus memenuhi ketiga syarat itu seperti adanya sister‘s school, minimal 20 persen guru-gurunya lulusan magister atau doktor dan minimal dua mata pelajaran harus berbahasa Inggris. Disamping itu, masih menurut Hamzah UPU bahwa, untuk memenuhi persyaratan ini, maka ditempuh tiga metode yakni tenaga pengajar SBI minimal alumni luar negeri. Back topic artinya kemampuan teori mengenai mata pelajaran

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

148

dan keaktifan bahasa Inggris bagus serta metode yang terakhir, boleh berbahasa Indonesia tetapi diktat pelajaran harus berbahasa Inggris (Fajar, 3 Mei 2012). Argumentasi dengan berdasar pada UU Sisdiknas, baik oleh Johannes Gunawan yang berpegangteguh pada Pasal 35 ayat (1), maupun Hamzah Upu yang berdasar pada Pasal 50 ayat (3) meneguhkan keyakinan publik bahwa memang sekolah yang bertaraf internasional (RSBI/SBI) diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Penulis juga menyangga pendapat Abdul Chaer (Republika, 25 April 2012) yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia setidaknya memiliki dua peran, sebagai media pemersatu bangsa dan sebagai bahasa resmi kenegaraan (Pasal 36 UUD 1945), termasuk sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan. Penggunaan bahasa asing tertentu (seperti bahasa Inggris) diberikan peluang untuk digunakan dalam kegiatan tertentu, seperti diamanatkan oleh Undang – Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 29 UU Nomor 24 tahun 2009 ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, dan ayat (2) Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Demikian halnya pada Pasal 35 UU Nomor 24 tahun 2009 ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia dan ayat (2) Penulisan dan publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan atau bidang kajian khusus dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing. Oleh karena itu alasan yang diusulkan Abdul Chaer sebagai salah satu saksi ahli dalam uji material terhadap Pasal 50 Ayat 3 UU Sisdiknas adalah lemah. Dengan demikian, penggunaan bahasa Inggris minimal 50% pada SBI/RSBI sah adanya karena akan meningkatkan kemampuan kompetensi komunikatif bahasa asing (Inggris) siwa sehingga dapat berkompetisi di dunia internasional.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

149

Ingat, acapkali kita tidak berdaya ketika berhadapan dengan negara tetangga, Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina karena kendala bahasa. Tak jarang pula kita kalah dalam diplomasi karena minimnya kemampuan berbahasa. Juga publikasi ilmiah internasional akademisi (dosen, guru, dan mahasiswa) sangat minim terpublikasi di jurnal internasional juga karena kendala bahasa. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas dan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan menjadi azas legalitas praktek SBI/RSBI di Indonesia, dan dengan roh meningkatkan mutu pendidikan, maka tidak ada alasan untuk membubarkan SBI/RSBI dalam sistem pendidikan di Indonesia. Bukankah selama ini, siswa SBI/RSBI telah mengharumkan bangsa ini di banyak negara dengan menggondol piala dan medali pada setiap event atau olimpiade Fisika, Matematika, dan lain – lain. Yang perlu digugat adalah, hampir semua SBI/RSBI tidak memenuhi ketiga prasyarat dasar praktek RSBI yang mengacu pada PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yaitu karakteristik keluaran (mempunyai pengakuan internasional yang dibuktikan dengan hasil sertifikasi dan akreditasi, baik dari salah satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan), karakteristik program menerapkan SKS (sistim kredit semester) dan karakteristik pengelolaan (menjalin hubungan "Sister School" dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri). Boleh saja pemerintah membubarkan SBI/RSBI bila pemerintah telah mampu memenuhi 9 Standar Pendidikan (standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan pendidikan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan) secara merata, adil, dan mengutamakan akses kepada siswa dari kelompok miskin. Oleh karena itu, penyelenggara RSBI

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

150

seyogyanya mengupayakan pemenuhan ke-3 prasyarat yang ditentukan. (Cakrawala, 02 Agustus 2012)

ISU KRITIS PENDIDIKAN DI INDONESIA

Gema reformasi dikumandangkan oleh para mahasiswa dan pemuda di Indonesia tepatnya tahun 1998 yang sempat menelan korban jiwa dan tidak sedikit harta benda yang melayang akibat chaos yang terjadi di sejumlah daerah. Teriakan pembaruan tersebut dilakukan oleh mahasiswa, pemuda, dan elemen bangsa lainnya karena mereka menganggap bahwa penguasa tidak lagi konsisten memperjuangkan amanat rakyat.

Namun setelah 12 tahun teriakan reformasi menggelora, Indonesia kini masih memiliki sejumlah persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak mudah untuk diselesaikan, baik untuk tingkat regional maupun nasional. Salah satu persoalan yang hingga kini masih mendera bangsa Indonesia adalah isu seputar kebijakan pendidikan. Pendidikan di Indonesia tidak mampu menghasilkan alumni yang siap kerja, para lulusan tidak memiliki kualitas yang dapat diandalkan, para tamatan SMU/SMK dan Perguruan Tinggi tidak memiliki kecerdasaan dan kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship), dan para Perguruan Tinggi gagal merubah perilaku para mahasiswa. Lulusan SMU/SMK dan Perguruan Tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Di beberapa tempat, Ujian Nasional (UN) masih menyisakan banyak persoalan dari tahun ke tahun, akibat makin menurunnya tingkat kelulusan dan kualitas lulusan (siswa), dan terjadinya banyak penyimpangan oleh kepala sekolah, guru dan siwa dalam UN. Dengan demikian, para lulusan LPTK tersebut yang tidak siap menjadi warga negara

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

151

yang bertanggungjawab dan produktif, akhirnya hanya jadi beban masyarakat (Arcaro, 2006). Selanjutnya Arcaro mengatakan bahwa para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial, dan pada akhirnya mereka menjadi warga negara yang merasa terasing dari masyarakatnya. Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia merupakan akumulasi dari sejumlah faktor, antara lain: guru yang tidak berkualitas, fasilitas pendidikan yang kurang mendukung, perpustakaan dan laboratorium yang tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai, kepemimpinan kepala sekolah yang tidak efektif, dan rendahnya minat/motivasi siswa untuk belajar. Pendidikan yang rendah tersebut berimplikasi pada rendahnya kualitas Sumber Daya Manuasia (SDM) Indonesia. SDM yang rendah juga berbanding lurus dengan kemiskinan dan ketidakmakmuran penduduk, yang berujung pada kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Pendidikan yang tidak bermutu hanya menghasilkan manusia yang cerdas dari sisi olah pikir (kognitif), tapi tidak cerdas untuk sisi sosial, emosional, dan spiritualnya (alias perilakunya menyimpang), sehingga yang terjadi adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka hanya memikirkan dan memperkaya diri dan kelompoknya, dan meninggalkan kaum papa yang mengharapkan uluran tangan mereka. Pendidikan yang tidak berkualitas hanya menghasilkan manusia-manusia pintar yang hanya pintar membodohi sesamanya, dan cerdas merampok bangsa dan negaranya.

Isu Kritis Mutu Pendidikan di Indonesia Seperti disebutkan di atas bahwa dewasa ini muncul berbagai isu kritis perihal mutu (layanan) pendidikan di Indonesia. Isu-isu kritis tersebut berada pada tataran mikro, mezo dan makro. Secara Mikro, ada sejumlah isu/persoalan kritis yang muncul di sekolah dalam kaitannya dengan mutu (layanan) pendidikan. Isu-isu tersebut diataranya adalah kualitas, kompetensi dan komitmen guru (tenaga pengajar)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

152

yang masih rendah, terbatasnya alat bantu belajar (learning aids) di kelas dan laboratorium, minimnya buku pelajaran dan referensi di perpustakaan, dan rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Hal ini diperkuat oleh BPS, BAPPENAS, dan UNDP dalam Weda (2007) bahwa dewasa ini banyak sekolah yang tidak dilengkapi dengan peralatan, dan buku pelajaran yang memadai, bahkan di sekolah dasar tercatat sekitar setengah guru SD yang tergolong tidak berkualitas. Secara mezo, kemampuan kepala sekolah dalam mengelolah sekolah masih rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Sagala (2006: 176) bahwa kepala sekolah belum responsif terhadap tuntutan dinamika perubahan yang terjadi, banyak aktifitas sekolah berlangsung by the way bukan by design dengan ciri perencanaan yang memprihatikan. Ukuran keberhasilan sekolah tidak terlepas dari profesionalisme dan kepemimpinan (leadership) kepala sekolah untuk mengelolah sekolah. Ia juga diharapkan dapat menjalin kerjasama, komunikasi dan kordinasi yang baik dengan seluruh stakeholder sekolah, mulai dari stakeholder internal (guru, tenaga administrasi) hingga stakeholder pendidikan yang sifatnya eksternal seperti pemerintah (Dinas Pendidikan), para donor (penyandang dana), komite sekolah, siswa dan orang tua siswa. Dengan demikian, maka akan tercipta sistem manajemen struktural pendidikan dasar yang baik. Secara makro. Peran pemerintah melalui kebijakannya di bidang pendidikan sangat menentukan keberhasilan pencapaian mutu layanan pendidikan di sekolah. Jumlah dana/anggaran yang dialokasikan kepada pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih menuai berbagai persoalan. Demikian halnya program pendidikan gratis di sejumlah daerah (sebagai contoh program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan) dinilai oleh banyak kalangan tidak dapat menghasilkan pendidikan yang bermutu. Guru mengeluh, kualitas pendidikan terancam, demikian judul tulisan yang dimuat di salah satu halaman harian Fajar bertajuk Menggugat Pendidikan Gratis (Fajar, 13 Oktober 2008). Permasalahan tersebut adalah akibat minimnya dana BOS dan terbatasnya dana dari

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

153

program pendidikan gratis dari Pemerintah Propinsi dan Daerah, dan keterlambatan penyaluran dana tersebut. Masalah kritis ini berdampak pada kegiatan kesiswaan di sekolah, dan antusiasme guru untuk mengajar mengalami penurunan karena mereka juga tidak memperoleh tambahan penghasilan yang memadai. ‖Yang pasti, setelah program pendidikan gratis ini berjalan, sebulannya kami kehilangan pendapatan hingga Rp. 500 ribu,‖ keluh salah seorang guru (Fajar, 13 Oktober 2008). Dengan minimnya anggaran pendidikan tersebut, maka seyogyanya pemerintah terus berupaya untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20% sehingga mutu layanan pendidikan dapat terwujud, sebagaimana diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peran Pemerintah dan Civil Society Untuk mengatasi isu kritis perihal mutu (layanan) pendidikan, maka pihak-pihak terkait antara lain pemerintah, Civil Society, dan seluruh stakeholder di bidang pendidikan perlu bersinergi untuk mencari langkah-langkah strategis pencapaian mutu layanan pendidikan seperti diamanatkan oleh Pasal 31 Amandemen UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak Anak (KHA), dan Pasal 12 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sekaligus menjadi arah dan dasar kebijakan pendidikan nasional. Langkah-langkah yang perlu diambil pada skala mikro adalah peningkatan kualitas tenaga kependidikan, dan peningkatan sarana-prasarana pendukung pembelajaran di sekolah. Pada skala mezo, perlunya penerapan manajemen pendidikan di sekolah berdasarkan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) yakni dengan peran serta kepala sekolah, komite sekolah, dan masyarakat dalam bingkai otonomi pendidikan. Untuk tingkat makro, pemerintah selaku pembuat kebijakan di bidang pendidikan harus memposisikan pendidikan tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang yang lain seperti ekonomi, politik dan lain-lain. Hal ini cukup beralasan karena secara sosiologis, pendidikan merupakan salah satu pranata sosial dan merupakan pilar untuk

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

154

terciptanya masyarakat madani yang demokratis dan beradab. Dengan demikian, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, maka isu-isu tentang anggaran pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dinilai masih jauh dari harapan, segera ditingkatkan jumlahnya, sehingga sekolah dapat melaksanakan kegiatan- kegiatan kesiswaan (KBM) dengan baik.

Strategi Mengimplementasikan Peran: Sebuah Agenda Aksi Strategi yang dapat dilakukan oleh para stakeholder pendidikan, baik guru/dosen, praktisi pendidikan, komite sekolah, dewan pendidikan hingga masyarakat/dunia usaha melalui program tanggung jawab sosial (CSR) untuk berperan serta dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut: i) Menjadi tenaga advokasi dan pendamping dalam dunia pendidikan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, khususnya tentang mutu pendidikan yang dari hari kehari menampakkan hasil yang kurang menggembirakan, ii) Menjadi mitra pemerintah untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan-persoalan pendidikan, baik pada tingkat lokal, regional, maupun nasional, iii) Bersama-sama dengan stakeholder pendidikan lainnya (kepala sekolah, guru, orang tua murid/siswa, anggota komite sekolah, dan masyarakat lainnya) untuk memikirkan solusi alternatif terhadap isu-isu kritis dalam pendidikan, iv) Melakukan kajian-kajian atau telaah kritis, dan hasil kajian atau telaah tersebut disampaikan kepada pengambil kebijakan (pemerintah dan pemerintah daerah), v) Menyelenggarakan pendidikan non formal, pelatihan, workshop, roundatable discussion, seminar, dan kegiatan- kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan kompetensi baik kepada guru maupun siswa, vi) Bekerjasama dengan lembaga lain yang memiliki perhatian, kepedulian, dan minat yang sama untuk senantiasa memikirkan pendidikan yang bermutu, dan mencari jalan keluar terhadap persoalan- persoalan yang dihadapi bangsa dalam hal mutu pendidikan yang rendah, vii) Memberikan dukungan kepada pemerintah terhadap gerakan-gerakan peningkatan kualitas peserta Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

155

didik dan masyarakat, seperti Gerakan Membaca, sumbangan buku-buku bekas berkualitas, dan lain-lain, dan viii) Mengambil inisiatif dan memelopori segenap pembaruan dan implementasi kebijakan pendidikan kearah yang lebih baik. (Tribun Sulbar, Maret 2012) UN VERSUS SNMPTN

Menjelang pelaksanaan UN (Ujian Nasional) dan SNMPTN (Sistem Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tahun 2012 ini, wacana tentang penghapusan kedua penentu kelulusan tersebut menggaung di tengah publik. Tapi menteri Pendidikan dan Kebudayaan tetap bersikukuh untuk melaksanakan UN, dan pelaksanaan UN bahkan telah dijadwalkan pada April 2012 mendatang. Muncul juga wacana tentang penghapusan SNMPTN akhir-akhir ini dari berbagai kalangan, tapi tampaknya meniadakan SNMPTN sama halnya mengubur kualitas pendidikan tinggi, karena pelaksanaan SNMPTN selama ini sudah sangat baik, minor kecurangan. Tercatat ratusan ribu bahkan jutaan siswa dari SD, SMP, dan SMA/SMK/MA akan berlaga di UN tahun 2012. Praktek UN 2012 berbeda dengan pelaksanaan UN tahun- tahun sebelumnya. Praksis UN tahun 2012 ini sedikit mengalami perubahan, yakni UN bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa, kelulusan ditentukan satuan pendidikan. Namun, satuan pendidikan menentukan kelulusan berdasarkan, tuntas kegiatan belajar mengajar, akhlak yang baik, dan hasil UN, dan dengan cara demikian akan menekan tingkat stress peserta UN dan seluruh stakeholder sekolah. Selama ini praktek UN selalu saja mengalami kecurangan. Beragam kecurangan tersebut dilakukan oleh hampir seluruh stakeholder sekolah, antara lain: kepala sekolah, guru, pengawas (yang notabene dari sekolah lain), siswa, dan lain-lain. Dengan adanya upaya peningkatan mutu pendidikan di satu sisi dan di lain sisi, masih banyak

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

156

siswa yang tidak mampu mencapai nilai standar minimal yang dipersyaratkan. Maka pelaksanaan UN selama ini dicurangi oleh kalangan yang tidak bertanggungjawab. Namun demikian, pemerintah tetap melaksanakan UN, tapi dengan pengawasan yang ketat. Semoga saja pengawasan tersebut dapat memberikan hasil yang bermutu dan terhindar dari kecurangan yang selama ini justru merusak moral peserta didik.

UN dan SNMPTN Dengan praktek UN yang bermasalah selama ini, masih perlukah dipertahankan?. Hemat penulis, UN perlu dipertahankan. Tapi dengan catatan, jangan lagi ada kecurangan, bukankah akhir-akhir ini pendidikan karakter tengah digaungkan oleh pemerintah. UN dengan beragam kecurangan dan kebohongan justru menjauhkan peserta didik dari kejujuran. Praktek UN di Indonesia hendaknya dilakukan seperti halnya dengan pelaksanaan UN di Amerika Serikat, dimana UN bukan penentu kelulusan siswa, tetapi UN di negeri Paman Sam tersebut hanya menjadi indikator mutu pendidikan di setiap negara bagian. Ini sejalan dengan pemikiran kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Khairil Anwar Notodiputro bahwa UN sebagai salah satu indikator kelulusan harus tetap dilaksanakan. Menurutnya, UN masih merupakan salah satu sarana yang dipandang ideal untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan. Tanpa UN dinilai sulit melakukan pemetaan dan akan berdampak buruk, khususnya pada daerah-daerah yang pembangunan pendidikannya masih lemah. Oleh karena itu, UN tetap diperlukan tapi pelaksanaannya diperketat, dan bila perlu yang mengawas adalah pengawas dari pihak luar atau dari perguruan tinggi, sehingga tidak lagi terjadi kongkalikong diantara pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab, seperti antara pihak sekolah dengan pengawas dari sekolah lain, atau antara guru dengan muridnya. Idealnya UN dilakukan sebagai penentu

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

157

mutu antar daerah (provinsi) dan bukan sebagai satu- satunya penentu keberhasilan siswa. Lalu bagaimana dengan SNMPTN? Sebagaimana diberitakan oleh media lokal bahwa banyak pihak menginginkan penghapusan SNMPTN, dan wacana tersebut diamini oleh sebagian anggota DPRD Kota Makassar. Praktek SNMPTN selama ini jauh lebih berkualitas ketimbang pelaksanaan UN. Pengawas SNMPTN tidak ada kepentingan dengan para calon mahasiswa baru yang diawasinya, sehingga mereka menegakkan aturan yang berlaku dalam pelaksanaan SNMPTN tersebut. Berbeda dengan UN, dimana pengawas memiliki komitmen tidak tertulis dengan pihak sekolah dimana ia mengawas, untuk memberikan kemudahan-kemudahan dan tidak akan menindak siswa yang berbuat curang. Selama ini, tidak sedikit pengawas yang justru memberikan kunci jawaban kepada peserta UN atau ujian masuk SMP dan SMA. Hemat penulis, lebih baik UN yang ditiadakan, atau UN sebatas dijadikan indikator mutu pendidikan satu daerah dengan daerah lainnya, ketimbang SNMPTN yang dihapus. Menghapus SNMPTN yang pelaksanaanya sudah sangat baik, justru akan membuat kecurangan baru dalam sistem pendidikan di negeri ini. Bisa saja kecurangan itu datang dari guru disekolah dengan cara beragam, seperti halnya siswa diajari ketika UN berlangsung atau nilai rapor siswa dikatrol sehingga siswa dari sekolah tersebut banyak yang diterima di perguruan tinggi favorit (negeri). Lagi-lagi ini merupakan praktek kualitas semu. Dengan alasan itulah, maka SNMPTN perlu dipertahankan. Sementara UN bisa saja diganti dengan US (Ujian Sekolah) atau UAS (Ujian Akhir Sekolah) sebagai penentu kelulusan siswa dan tentu jauh dari beragam masalah dan juga meminimalisir stress seluruh stakeholder sekolah. Dapat saja SNMPTN ditiadakan, jika kejujuran telah menjadi roh setiap pemangku kepentingan di sekolah pada tingkat mikro dan pemangku kepentingan pendidikan di tingkat meso dan makro. Tidakkah kita ingat ketika hasil NEM (Nilai Evaluasi Murni) diterapkan oleh pemerintah di akhir 1980-an dan di awal tahun 1990-an sebagai satu- satunya penentu diterimanya siswa dari SD ke SMP atau dari

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

158

SMP ke jenjang SMA/MA, banyak daerah yang memiliki nilai tinggi, sementara daerah lainnya berada di bawah nilai rata- rata. Rupanya di sejumlah daerah, NEM siswa dikatrol dengan tujuan lagi-lagi ingin dikatakan di daerah tersebut pendidikannya berkualitas, ingin pemerintahnya dicap berhasil. (Tribun Timur, April 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

159

PENDIDIKAN GRATIS, UPAYA KEPASTIAN AKSES PENDIDIKAN DASAR DI SULAWESI SELATAN

Salah satu permasalahan di bidang pendidikan adalah terdapatnya sejumlah anak putus studi (drop out), siswa mengulang, dan penduduk yang tidak/belum pernah sekolah. Sensus terakhir BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2000 melaporkan bahwa 69 persen dari 203.456.005 penduduk belum menuntaskan pendidikan dasar 9 tahun (Weda, 2009). Depdiknas juga mencatat, sebanyak 1,5 juta anak di Indonesia belum mendapatkan pendidikan dasar. Selain itu, sebanyak 2,5 persen dari total 25 juta siswa SD – SMP yang telah bersekolah terpaksa putus sekolah karena terbentur masalah ekonomi (Weda, 2009). Penyebab utama angka putus sekolah tersebut tiada lain adalah faktor kemiskinan, seperti dilaporkan oleh SMERU bahwa lebih dari 70% pekerja anak dan anak-anak bukan pekerja yang putus sekolah menyebutkan bahwa variabel- variabel yang berkaitan dengan kemiskinan (misalnya ‖alasan biaya,‖ ‖alasan keuangan,‖ dan ‖untuk membantu orang tua‖) adalah alasan utama mereka meninggalkan bangku sekolah (SMERU, 2003: 16). Laporan ini diperkuat oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003 yang mengatakan bahwa alasan tidak/belum pernah/tidak bersekolah lagi adalah karena tidak ada biaya, responden juga mengatakan bahwa mereka bekerja dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan (BPS, 2003: 13). Dalam konteks itulah, maka pemerintah provinsi Sulawesi Selatan berkewajiban untuk menyediakan pendidikan gratis yang bermutu kepada setiap warga negara

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

160

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,‖ dan Ayat (2) "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dengan amanat konstitusi tersebut maka pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyelenggarakan Program Pendidikan Gratis kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Program Pendidikan Gratis telah memasuki tahun keempat sejak pemerintahan Syahrul Yasin Limpo, sebagai Gubernur Sulawesi Selatan dan Agus Arifin Nu‘mang, selaku Wakil Gubernur Sulawesi Selatan masa bakti 2008 – 2013, dan program pendidikan gratis tersebut telah dirasakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan, terutama bagi siswa dari kelompok miskin. Melalui program tersebut, setiap peserta dapat mengakses pendidikan dasar 9 tahun tanpa diskriminasi. Program pendidikan gratis tersebut, telah dinikmati oleh lebih dari 1.528.000 siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dan sederajat dengan anggaran yang disalurkan lebih dari Rp. 800 miliar (Fajar, 21 Oktober 2011). Melalui program pendidikan gratis tersebut, angka putus sekolah di Sulawesi Selatan juga mengalami penurunan dan akses pendidikan dasar secara merata telah terlaksana dengan baik. Diknas Provinsi Sulawesi Selatan melaporkan bahwa tahun 2008 lalu, angka putus sekolah mencapai 2,38 persen, tahun 2009 mencapai 2,10 persen dan tahun 2010 turun menjadi 1,85 persen. Demikian halnya, dengan angka melek huruf usia 15 tahun ke atas juga menggembirakan dari 87,22 persen (2009) menjadi 88,98 persen tahun 2010. Hadirnya program Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan telah memberikan beragam manfaat, seperti meningkatnya Indeks Pembangunan Indonesia (IPM/HDI), angka partisipasi murni (APM), menurunya angka putus sekolah (drop out), meningkatnya presentase kelulusan pada UN, dan meningkatnya mutu layanan pendidikan kepada siswa (Fajar, 21 Oktober 2011). Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis seperti berikut: a) Sebelum

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

161

ada program sekolah gratis , orang tua siswa terutama siswa dari kelompok miskin merasa kesulitan untuk menyekolahkan putera-puteri mereka, dan sebelum ada program sekolah gratis digulirkan oleh pemerintah Kota Makassar, terdapat sejumlah peserta didik yang mengalami putus sekolah. Disamping itu, sebelum ada sekolah gratis , siswa tidak mampu tidak dapat mengakses pendidikan dasar 9 tahun. Setelah program sekolah gratis diimplementasikan oleh pemerintah Kota Makassar, maka permasalahan seperti: sulitnya akses, terdapatnya siswa putus sekolah (DO), dan lain-lain dapat dihindari. Mutu layanan pendidikan juga mengalami peningkatan setelah ada program sekolah gratis. b) Profesionalisme dan kualitas para staf yang terlibat dalam pelaksanaan program sekolah gratis cukup baik, mereka dapat memahami dengan baik, petunjuk-petunjuk pelaksanaan program seperti tertuang dalam juklak/juknis. Sarana dan prasarana program yang tersedia cukup memadai. Struktur organisasi dan manajemen program sekolah gratis juga cukup baik yang terdiri dari kepala sekolah, guru, komite sekolah dan komite-komite kelas, dan mekanisme kerjanya berjalan dengan baik sesuai prinsip administrasi dan manajemen organisasi yang baik, yakni ada ketua, sekretaris, bendahara dan lain-lain. Semua staf pengelolah program sekolah gratis senantiasa mengadakan rapat dalam rangka implementasi program sebagaimana mestinya. Program sekolah gratis telah dilaksanakan sesuai dengan tahapan program yang telah direncanakan, yaitu dimulai dengan rapat antara kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan orang tua siswa, pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan, ketersediaan data, proses alokasi dan seleksi, mekanisme pengambilan dan penyaluran dana, kegunaan dana, monitoring dan evaluasi, administrasi, pengaduan masyarakat (UPM), dan bentuk pertanggungjawaban. Orang tua mampu dan orang tua tidak mampu mengetahui putera-puteri mereka mendapat subsidi dari program sekolah gratis dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui sosialisasi yang dilakukan oleh pihak sekolah. Demikian halnya dengan paras siswa, mengetahui bahwa mereka memperoleh subsidi program sekolah gratis dari

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

162

sekolah melalui sosialisasi intensif yang dilakukan oleh pihak sekolah. c) Manfaat yang diperoleh masyarakat melalui program sekolah gratis adalah (i) adanya pembebasan biaya operasional sekolah kepada siswa tidak mampu, (ii) keringanan kepada siswa yang lain, dan (iii) melalui program sekolah gratis , anak umur 7 hingga 15 tahun dapat memperoleh kemudahan akses pendidikan dasar 9 tahun. Disamping itu, orang tua siswa juga tidak merasa terbebani lagi dari pembayaran biaya operasional sekolah. d) Ketika program pendidikan gratis digulirkan oleh pemerintah Sulawesi Selatan, dampak yang dapat dirasakan oleh siswa adalah (i) prestasi, motivasi dan kepercayaan siswa meningkat, dan (ii) siswa dapat terhindar dari putus sekolah (drop out). Dengan demikian, dampak positif program sekolah gratis untuk memperoleh layanan pendidikan dasar yang bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun berhasil memenuhi targetnya. e) Faktor-faktor pendukung program dari sisi internalnya adalah tersedianya SDM pengelolah program pendidikan gratis yang cukup berkualitas dan profesional, berjalannya mekanisme organisasi sesuai prinsip-prinsip administrasi yang baik. Faktor pendukung dari luar program adalah terjalinnya kerjasama, komunikasi dan kordinasi yang baik dan harmonis antara pihak sekolah dengan komite sekolah. (Majalah Dunia Pendidikan No. 148, Februari 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

163

MENGAPA ILMUWAN MUDA ENGGAN KEMBALI KE INDONESIA?

Mungkin anda tidak pernah tahu kalau profesor termuda di Amerika Serikat (USA) adalah putera asal Indonesia. Ia adalah Profesor Dr. Nelson Tansu, kelahiran Medan dan menyelesaikan studi doktoralnya dalam umur yang relatif sangat belia dari University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat. Banyak orang di benua Eropah yang mengira ia adalah keluarga dari mantan Perdana Menteri Turki, Tansu Ciller, juga banyak orang di Jepang yang menyangka ia berkebangsaan Jepang karena namanya sama dengan nama-nama orang Jepang dan mereka sangat menginginkannya untuk kembali dan membangun industri di Jepang (Pitan Daslani, 2007). Prof. Tansu menyandang profesor penuh (full time professor) pada umur 25 tahun dari Universitas Lehigh, Pennsylvania, USA. Kini, ia sibuk mengajar dan meneliti di bidang Fisika dan ilmu komputer di laboratoriumnya yang berafiliasi dengan Pusat Teknologi Optik, elektro, dan teknik komputer di P.C Rossin College of Engineering and Applied Science di Lehigh University dan menjadi profesor tamu di sejumlah universitas bergengsi di dunia. Ia adalah ilmuwan muda terkemuka dan memasuki tahun 2007 lalu, ia telah menghasilkan lebih dari 80 penemuan ilmiah yang telah diterbitkan di sejumlah jurnal ilmiah internasional. Hingga tahun 2007, ia telah memperoleh lebih dari 11 penghargaan (awards) bergengsi yang bereputasi internasional atas temuannya dan sekarang mengajar di lebih dari 20 universitas dan lembaga riset di Amerika. Prof. Dr. Nelson Tansu melanglang buana dari Amerika ke Kanada, Eropah, Asia, untuk memberikan kuliah umum. Berkat keahlian dan Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

164

kecerdasannya yang termasuk langkah, sejumlah perusahaan dari Taiwan, Cina, Jepang, dan Turki mencoba untuk mengajaknya bergabung, tapi dengan sopan ia menolak tawaran itu. Ia telah berbuat banyak di bidang Fisika dan komputer, antara lain: semiconductor nanostructure optoelectronics device dan high power semiconductor lasers, quantum well and quantum dot lasers, quantum intersubb and lasers, InGaAsN quantum well and quantum dots, dan lain-lain, dan penemuan tersebut telah diterapkan dalam sistem komunikasi optik, sensor biokimia, dan sistem deteksi senjata. Mungkin juga anda tidak pernah tahu kalau perancang ratusan kapal laut di Jepang adalah Kaharuddin Djenod Daeng Manyambeang, pria kelahiran Makassar, 14 Maret 1971 yang menyelesaikan pendidikan menengah (SMP 6 dan SMA 2) di Makassar dan pernah mengenyam pendidikan tinggi di Unhas dan ITB serta mendapatkan gelar doktornya di Hiroshima University, Jepang di bidang arsitektur perkapalan (Naval Architecture) dan sempat meraih gelar sebagai mahasiswa terbaik Studi Perkapalan se-Jepang tahun 1997. Ia telah mendesain lebih dari 350 kapal laut milik Jepang sejak 2005 hingga 2011 atau rata-rata sebanyak 70 proyek per tahun dari mulai jenis Oil Tanker, Chemical Tanker, LPG Tanker, Pure Car Carrier, Container vessel, dan berbagai jenis kapal lainnya yang semuanya dibangun di Jepang. Dengan keberhasilannya itu, mengantarkan dia memperoleh penghargaan tertinggi BJ. Habibie Technology (BJHT) Award tahun 2011 (Fajar, 1 Oktober 2011). Demikian halnya dengan kehadiran Prof. Dr. Taufik, ilmuan asal Indonesia kelahiran Jakarta yang lama bekerja di Amerika Serikat. Ia memiliki seabrek penemuan terbarukan di bidang energi listrik, sebut saja DC House, aplikasi elektronika daya untuk penyediaan air bersih, Smart Grid, sistem distribusi listrik pada kereta api, dan lain-lain. Ia juga telah mengembangkan metode baru dengan mengambil energi dari angin tanpa memakai turbin. Dengan sejumlah penemuannya tersebut, maka ia akan menjadi keynote speaker pada salah satu pertemuan bergengsi para ilmuan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

165

energi terbarukan di Amerika Serikat pada Februari 2012 mendatang (Fajar, 29 Oktober 2011). Metode DC (direct current) house, temuan Prof. Taufik, setidaknya akan memberikan jalan keluar terhadap kekurangan pasokan energi listrik di Indonesia, yang setiap musim kemarau tiba, juga terjadi pemadaman bergilir di hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kira-kira Prof. Nelson Tantu bergaji berapa dan kapan pula ia akan kembali ke Indonesia negara yang dicintainya?, karena kini ia masih memegang paspor berwarna hijau bergambar garuda. Jangan tanyakan masalah gaji dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Amerika kepadanya, so pasti menggiurkan. Mungkin ia akan kembali ke Indonesia bila pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyiapkan segala fasilitas dan dana yang dibutuhkan untuk melakukan riset. Mengapa sejumlah ilmuwan muda ternama asal negeri ini lebih senang berkiprah di luar negeri sebagai peneliti ketimbang berkiprah di negeri sendiri yang telah membesarkannya? Jawaban dari pertanyaan klasik ini adalah pemerintah Indonesia tidak mampu memberikan fasilitas dan gaji yang memadai kepada mereka. Banyak diantara ilmuan tersebut, setelah menyelesaikan studi doktoral di luar negeri enggan kembali ke Indonesia karena minimnya fasilitas laboratorium yang akan digunakan untuk mengembangkan ilmunya. Sebagai perbandingan, seperti dilaporkan oleh Kompas, 24 Oktober 2011 bahwa Malaysia mampu membayar gaji total (take home pay) 5.000 dollar AS (sekitar Rp. 45 juta) per bulan bagi peneliti. Ada juga cerita seorang teman saya, yang dulunya adalah guru di salah satu SMP negeri di Makassar lalu mengundurkan diri sebagai guru dan hengkang ke Batam setelah ia meraih doktornya di Universitas Hasanuddin (Unhas). Di Batam ia mengajar di salah satu universitas swasta sekaligus menjadi rektor di universitas tersebut, dan sesekali teman saya tersebut pergi ke Johor, Malaysia untuk mengajar sebagai dosen tamu. Menurutnya satu kali ia mengajar di Malaysia, maka honor hasil mengajarnya tersebut dapat digunakan untuk menghidupi keluarganya

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

166

selama sebulan. Gaji berikut tunjangan seorang profesor di universitas di Indonesia hanya berkisar Rp. 13 - 15 juta, dan profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berkisar Rp. 5 juta. Ini jauh berbeda dengan penghasilan professor di Amerika, yakni sekitar Rp. 90 juta per bulan, di Jepang sekitar Rp. 600 - 900 juta per bulan, dan gaji ilmuwan terkemuka di Pakistan bisa mencapai tiga kali lipat dari gaji seorang menteri (Kompas, 24 Oktober 2011). Para peneliti dan akademisi di Indonesia juga kurang tertarik untuk mengadakan riset karena dana yang disiapkan oleh pemerintah sangat minim, yakni hanya berkisar 0,3 persen dari APBN dan dana tersebut diperebutkan oleh ratusan ribu bahkan jutaan pemohon dari berbagai lembaga penelitian, NGO, Balitbangda, universitas, departemen, dan sebagainya. (Majalah Dunia Pendidikan No. 147 Januari 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

167

KIAT-KIAT MEMBANGUN MINAT BACA MASYARAKAT

Problema pendidikan sepanjang hayat akan selalu menjadi dinamika kehidupan manusia (Ramly, 2005). Demikian halnya di Indonesia, kualitas pendidikan selalu menjadi isu menarik untuk didiskusikan dalam berbagai pertemuan ilmiah. Mutu pendidikan yang rendah tersebut berimplikasi pada rendahnya Human Development Index (HDI) dan rendahnya daya saing Sumber Daya Manausia (SDM) Indonesia dengan negara lain. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sejumlah lembaga dunia, seperti: UNDP yang melaporkan bahwa Indonesia jauh berada di bawah sejumlah negara di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Brunai Darussalam, dan Vietnam dalam kaitannya dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HDI pada tahun 2003, dan hanya berada pada peringkat 110 dari 177 negara yang disurvei (Weda, 2008). Disamping rendahnya HDI tersebut, daya saing SDM Indonesia di kawasan Asia hanya berada pada peringkat 45 diantara 48 negara, daya saing ekonomi pada peringkat 41, dan dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya berada pada peringkat 40 diantara 46 negara sebagaimana dilaporkan oleh The World Economist Report tahun 1996. Demikian halnya dengan kualitas pendidikan di Indonesia berada di urutan ke-12 di Asia, setingkat di bawah negara Vietnam pada peringkat 11, seperti dilaporkan oleh The Political and Economic Risk Consultancy/PERC (Ramly dalam Weda, 2008). Lebih memprihatinkan lagi kemamampuan baca-tulis anak SD di Indonesia melalui tes penilaian pendidikan Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

168

internasional (International Education Assessment Test) hanya berada pada urutan kedua terendah dengan nilai 36,0% di atas Venezuela yang berada pada posisi terendah (33,9%) dari 42 negara yang disurvei (Bucheri dalam Weda, 2008). Rendahnya mutu pendidikan dan daya saing SDM Indonesia, tidak terlepas dari rendahnya minat baca siswa, mahasiswa, dan masyarakat Indonesia secara umum. Karena kurang membaca menyebabkan orang sulit mengomunikasikan idenya, sulit berinovasi dan mencipta serta tidak mampu menguasai atau mentransfer ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) sehingga tidak mampu memproduksi barang dan jasa yang berkualitas misalnya: produksi pertanian dan peternakan, kita tertinggal jauh dari Thailand, dengan banyak membaca mereka terus- menerus melakukan uji coba dan rekayasa genetika untuk menemukan bibit unggul, seperti: Bangkok, Ayam Bangkok, dan lain-lain (Bando, 2005). Mengapa minat baca di Indonesia rendah? Ada sejumlah alasan tentang rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia, antara lain: i) sistem pembelajaran belum membuat anak-anak/siswa/mahasiswa harus membaca buku untuk tujuan mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan, ii) banyaknya jenis hiburan, permainan (game) dan tayangan-tayangan TV yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku, iii) banyaknya tempat hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat karaoke, night club, mall, supermarket, iv) budaya baca masyarakat kita memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Kita terbiasa mendengar dan belajar berbagai dongeng, kisah, adat- istiadat secara verbal dikemukakan oleh orang tua, tokoh masyarakat, penguasa pada zaman dulu, dan lain-lain, v) para ibu, senantiasa disibukkan berbagai kegiatan upacara- upacara keagamaan, arisan, dan membantu mencari nafkah tambahan untuk keluarga, sehingga tiap hari waktu luang sangat minim bahkan hampir tidak ada untuk membantu anak membaca buku, dan vi) sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman baca, masih merupakan barang aneh dan langka (Arixs, 2009).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

169

Membaca Dari tiga kompetensi dasar siswa yakni, membaca, menulis, dan menghitung (CALISTUNG) atau dalam bahasa Inggris, kita kenal dengan istilah Reading, wRiting, and aRithmetic (3R), membaca merupakan keterampilan utama dalam proses belajar mengajar, baik di kelas maupun di luar kelas. Seseorang akan dengan lancar menulis jika ia dapat membaca dengan baik, iapun akan menghitung dengan baik jika ia dapat membaca dan menulis. Blasius dalam Bando (2005) mengatakan bahwa ―If you don‘t read, you don‘t write‖ (kalau engkau tidak punya kebiasaan membaca, engkau tidak bisa menulis), dan Frank Lawrence Lucas pernah berujar ―One learns to write by reading good books, as one learns to talk by hearing good talkers‖ (seseorang belajar menulis dengan membaca buku-buku yang baik, seperti halnya dia belajar bicara dengan mendengarkan pembicaraan yang baik.

Baca

Tulis

Arithmatic

Membaca juga mempunyai manfaat penting dalam kaitannya dengan peningkatan mutu sumber daya manusia. Dengan gemar membaca, terutama tentang ilmu-ilmu pengetahuan baik alam maupun sosial, maka akan diperoleh berbagai informasi dan pengetahuan yang belum kita ketahui sebelumnya. Sehingga kita tidak tertinggal dari negara-neraga lain. Para peraih medali olimpiade sains international adalah siswa-siswa yang kesehariannya

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

170

berkutat dengan buku, buku apa saja, yang penting otak tidak pernah berhenti terlalu lama dari membaca (Hernowo, 2008).

Demikian halnya untuk dapat mengolah sumber daya alam (SDA) yang melimpah di negeri kita tercinta ini, maka ilmu, pengetahuan, dan teknologilah alatnya, dan untuk menguasai IPTEK tersebut, maka membacalah alatnya. Betapa pentingnya membaca, sehingga Kongzi selaku seorang sosiolog klasik China pada abad III, pernah memberi nasihat sebagai berikut: Jika anda merencanakan kehidupan 1 tahun kedepan semaikanlah benih. Jika anda merencanakan 10 tahun kedepan tanamlah pohon, tetapi jika anda merencanakan 100 tahun kedepan ajarilah orang membaca (Bando, 2005). Sejalan dengan itu, Arifin dalam Bando (2005) mengemukakan bahwa di negara-negara maju termasuk Singapura, seorang siswa atau mahasiswa dianggap normal jika mampu membaca 1.500 halaman setiap minggu (6 hari), untuk itu paling sedikit siswa atau mahasiswa harus menyisihkan waktunya sekitar 8 jam sehari untuk membaca di luar kelas dan praktikum. Menurutnya 75% pengetahuan seseorang diperolehnya melalui indra mata (membaca), 13% lewat pendengaran, dan 12% lainnya. Arifin juga menegaskan bahwa TV dan radio bisa menyebabkan pendangkalan ilmu pengetahuan, bangsa ini tidak akan bisa pintar hanya dengan menonton TV dan mendengarkan radio.

Langkah-Langkah Membaca Dalam membaca terutama membaca buku-buku teks ilmiah, ada sejumlah langkah yang harus diterapkan. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut (Smith, 2005): Pertama, sebelum membaca: ada tinjauan awal (preview) terhadap buku yang akan dibaca dengan tujuan menemukan kesan (ide umum) tentang materi yang dibaca, apa yang telah diketahui tentang topik-topik dalam buku tersebut, dan apa yang akan diperoleh selama membaca buku tersebut. Previewing merupakan metode untuk menilai materi, pengetahuan tentang materi, dan juga tujuan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

171

seseorang membaca. Preview dilakukan dengan membaca judul buku, kalimat awal dari setiap paragraf, dan kalimat terakhir dari teks yang dibaca, dan preview harus dilakukan secepat mungkin. Riset telah membuktikan bahwa sangat mudah untuk memahami bahan bacaan jika diawali dengan pemahaman tentang ide umum bacaan (buku) tersebut (Weda, 2008). Kedua, selama membaca: perlu mengantisipasi informasi yang diterima (anticipate upcoming information), memvisualisasikan dan mengintegrasikan antara pengetahuan lama dan baru, dan melakukan penyesuaian pemahaman dengan informasi yang baru diterima. Selama seseorang membaca sebuah buku, artikel, atau tulisan lainnya, seorang pembaca yang baik perlu menerapkan strategi membaca. Beth Davey dalam Smith (2005) melaporkan hasil penelitiannya terhadap pembaca yang baik, dan menyimpulkan bahwa pembaca yang baik sadar atau tidak, menggunakan sejumlah strategi berpikir sebagai berikut: i) melakukan prediksi terhadap pikiran, peristiwa, hasil dan kesimpulan terhadap apa yang ia baca, ii) membentuk gambar, yakni pembaca yang baik selalu menghubungkan kata atau ide yang dibacanya dengan gambaran mental berdasarkan pengalaman pembaca tersebut, iii) menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan informasi yang diperoleh dari teks (bacaan), iv) melakukan cek pemahaman terhadap materi yang dibaca. Kalau tidak memahami teks yang dibaca ada baiknya berhenti dulu, dan setelah materi tersebut dipahami barulah memulai kembali membaca teks tersebut. Ingat ―poor readers continue to read even when confused, but good readers seek to resolve the difficulty,‖ dan v) mencari solusi terhadap ketidaktahuan yang terjadi. Artinya membaca kembali kalimat atau kembali ke halaman terdahulu untuk mencari klarifikasi atau jawaban terhadap ketidaktahuan tersebut. Ketiga, setelah membaca: mengingat dan memberi reaksi (recall and react) terhadap apa yang telah dibaca. Recall merupakan review terhadap apa yang telah dibaca. Recall juga merupakan ―self-testing‖ yang dapat dilakukan secara diam, lisan atau tulisan. Ketika seseorang mengingat (me- recall), ia meluangkan waktu selama beberapa menit untuk

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

172

memahami apa yang telah ia pelajari (baca) sebelum menutup buku yang telah dibacanya.

Dikutip dari Smith (2005)

Disamping itu, membaca juga dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini (Hernowo, 2008): Pertama, membaca secara somatik yang berarti bahwa pada saat kita membaca, mencoba untuk tidak hanya duduk boleh dengan berdiri atau berjalan-jalan. Gerakkan tangan, kaki dan kepala, setelah itu baca kembali. Kedua, membaca secara auditori (bunyi), cobalah sesekali membaca dengan menyuarakan apa yang dibaca, lebih-lebih apabila ada istilah yang sulit dipahami. Karena dengan demikian, telinga kita akan membantu mencernanya. Ketiga, membaca secara visual (gambar). Ini berkaitan dengan kemampuan kita yang bernama imajinasi atau kekuatan membayangkan. Dengan menggambarkan atau membayangkan sebuah konsep, maka akan mempercepat pemahaman. Keempat, membaca secara intelektual (merenungkan). Ini juga berkaitan dengan kemampuan luar biasa yang dimiliki, perlu jeda atau berhenti sejenak setelah membaca, sehingga akan mudah menuangkan atau menceritakan kembali apa yang telah dibaca.

Keterampilan Membaca

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

173

Ada beragam alasan mengapa orang harus membaca. Tujuan seseorang untuk membaca tiada lain adalah untuk bersenang-senang (enjoyment/pleasure), seperti membaca hasil karya sastra (prosa: novel, novela, cerpen, dan puisi), dan buku-buku hobi (pertanian, desain, olahraga, dll.) atau untuk memperoleh informasi atau ilmu, pengetahuan, dan teknologi melalui buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar, internet, dan lain-lain. Apapun tujuannya, apakah untuk tujuan bersenang- senang atau untuk tujuan akademis, seseorang perlu memahami keterampilan membaca. Adapun keterampilan membaca telah luas dipahami adalah: i) Scanning for detail (membaca untuk tujuan memperoleh informasi secara cepat, seperti mencari nama dalam sebuah daftar, maka seseorang tidak perlu membaca semua nama yang ada dalam daftar tersebut, tetapi hendaknya membaca huruf yang sama dengan huruf awal namanya), ii) Skimming (cara yang digunakan untuk membaca sebuah artikel atau bab sebuah buku dengan cepat untuk memperoleh gambaran umum tentang apa yang dibahas dalam artikel atau bab dalam buku tersebut) , iii) Reading for main idea (membaca dengan tujuan memperoleh ide utama dari artikel atau buku yang dibaca), iv) Reading for information (membaca untuk memperoleh informasi), v) using context for vocabulary (menggunakan konteks untuk memahami makna kata yang sulit/unfamiliar words), dan lain-lain.

Perinsip Dasar dalam Pengajaran Membaca Chivers (2009) memberikan 10 prinsip dasar pengajaran membaca sebagai berikut: i) Students read as much as possible (siswa membaca sebanyak mungkin), ii) A variety of materials on a wide range of topics (beragam materi dengan topik yang beragam pula), iii) Students select what they want to read (siswa-siswa yang memilih materi apa yang ingin mereka baca), iv) The purposes of reading are usually related to pleasure, information and general understanding (tujuan membaca untuk tujuan kesenangan, Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

174

memperoleh informasi dan pemahaman umum terhadap apa yang dibaca), v) Reading is its own reward, vi) Reading materials are well within the linguistic ability of the students (materi bacaan sesuai dengan kemampuan bahasa siswa), vii) Reading is individual and silent (membaca dilakukan secara individu), viii) Reading speed is usually faster than slower, ix) Teachers act as counselors, dan x) Teacher is a role model of a reader for students

Kiat-Kiat Menumbuhkan Minat Baca Untuk meningkatkan minat baca, harus dimulai dari usia sangat dini karena minat ini tumbuh sebagai hasil kebiasaan membaca (learning habit). Para Psikolog, praktisi pendidikan, dan pemerhati masalah membaca telah banyak menuangkan ide kreatif mereka melalui berbagai seminar, dan artikel populer di sejumlah surat kabar, majalah, tabloid, dan internet. Namun isu ini masih tetap menarik untuk diperbincangkan, karena minat baca masyarakat kita masih sangat rendah. Hal ini sejalan dengan komentar Kepala Perwakilan Penerbit Ganeca Exact untuk Wilayah Indonesia Timur, Yulianus Layuk (2005) bahwa ―minat baca masyarakat kita belum tumbuh.‖ Untuk membangun minat baca (anak, siswa, mahasiswa, dan masyarakat), maka pemerintah dan pemerintah daerah telah melakukan langkah-langkah strategis. Langah-langkah tersebut seperti adanya kampanye gemar membaca (sebagai misal Makassar gemar membaca), adanya duta baca, pemberian BOS buku kepada para siswa, penyediaan bahan ajar di internet secara cuma-cuma, dan lain-lain. Sehubungan dengan kiat yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat baca anak, peserta didik, mahasiswa, dan masyarakat, maka ada sejumlah kiat yang perlu diperhatikan oleh para guru di sekolah, orang tua di rumah, dan masyarakat secara umum. Kiat-kiat tersebut adalah sebagai berikut (dari berbagai sumber):

Untuk Remaja/Mahasiswa/Masyarakat:

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

175

i) Memperkenalkan buku-buku (fiksi atau non fiksi), majalah, tabloid, surat kabar, dan lain-lain. ii) Display referensi/buku iii) Pameran buku iv) Bedah buku v) Majalah dinding (Mading) vi) Mengadakan lomba minat baca, misalnya lomba menulis resensi buku, ringkasan bab dalam buku, dan lain-lain vii) Mengadakan kuis setelah siswa membaca buku viii) Memberikan bimbingan membaca

Untuk Anak/Siswa SD dan SMP:

i) Bacalah buku untuk anak setiap hari (jadikan kebiasaan) ii) Usahakan buku mudah dilihat dan dijangkau oleh anak iii) Ajak anak ke toko buku dan perpustakaan iv) Bacakan dengan ekspresi v) Lakukan dengan kegiatan mendongeng vi) Perkenalkan anak pada bacaan-bacaan yang ada di sekitar kita vii) Beri kesempatan kepada anak untuk mengarang viii) Ajak anak bereksperimen ix) Memberikan bimbingan membaca x) Mulai dengan orang tua membaca xi) Hargai buku, berikan sebagai hadiah Disamping kiat-kiat di atas, perlu juga sentuhan psikologis kepada anak. Ajaklah anak tersebut untuk membaca, dan orang tua duduk disampingnya bila perlu anak tersebut berada dalam dekapan orang tua. Orang tua mengajari, memberi petunjuk, mengarahkan, bereksperimen, lakukan dengan gembira.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

176

Sejalan dengan itu, anak-anak juga perlu diberikan penghargaan (reward) atau penguatan (reinforcement), bila anak-anak tersebut menunjukkan tanda-tanda perbaikan atau peningkatan dalam proses membaca mereka. Dengan demikian, insya Allah budaya baca akan tumbuh di masyarakat kita.

Membangun Budaya Baca, Sebuah Agenda Aksi Buku adalah jendela dunia, demikian pepatah yang acapkali terngiang di telinga. Dengan kesadaran membaca yang dimiliki seseorang, maka dengan sendirinya dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasannya terhadap perkembangan di sekelilingnya. Oleh karena itu, pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lembaga terkait lainnya perlu menumbuhkan kesadaran atau budaya baca (peserta didik, mahasiswa, dan masyarakat). Budaya baca tersebut dapat dilakukan melalui beragam kegiatan, seperti kampanye gemar membaca, lomba baca (karya sastra: puisi), lomba resensi buku, penyediaan perpustakaan keliling, peningkatan jumlah buku, jurnal, majalah, surat kabar di perpustakaan (sekolah dan daerah), ketersediaan akses ke perpustakaan dengan mudah, pelayanan prima bagi pengunjung di perpustakaan, dan lain-lain. (Majalah Dunia Pendidikan No. 115 Mei 2009 dan No. 116 Juni 2009)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

177

PRAKSIS PENDIDIKAN DI TENGAH KEPANIKAN

Empat pilar pendidikan, antara lain ‖how to do, how to know, how to live tongether, dan how to be,‖ tampaknya semakin jauh dari harapan. Seperti terlihat dalam laporan UNDP (2005) tentang Indeks Pembangunan Manusia (HDI), yang memosisikan Indonesia pada peringkat 110 dari 177 negara, dan masih jauh berada di bawah sejumlah negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Brunai Darussalam, dan Vietnam. Disamping rendahnya HDI tersebut, daya saing SDM Indonesia di kawasan Asia hanya puas di urutan 45 diantara 48 negara, daya saing ekonomi pada peringkat 41, dan dari penguasaan IPTEK berada pada posisi 40 diantara 46 negara. Kualitas pendidikan di Indonesia juga kurang menggembirakan, yakni hanya berada di urutan ke-12 di Asia, setingkat di bawah Vietnam pada peringkat ke- 11. Di Indonesia juga terdapat persoalan sekaitan dengan angkatan kerja yakni 9,5 juta jiwa penganggur, 30,6 juta jiwa setengah penganggur (bekerja < 35 jam perminggu) (Depnakertrans, 2008). Rupanya pengangguran di Indonesia terutama dari alumni universitas dari tahun ke tahun memperlihatkan peningkatan yang cukup tajam, sebagai misal perkembangan angka pengangguran pendidikan universitas di Indonesia tahun 2006 sebesar 376,600 orang, tahun 2007 sebesar 409,900, tahun 2008 sebesar 626,200, dan tahun 2009 sebesar 626,600. Pengangguran tersebut juga menjadi beban masyarakat dan berujung pada kemiskinan absolut. Ini terjadi lantaran karut marutnya manajemen dan kebijakan pendidikan di Indonesia. Mulai dari ketidakmampuan guru mengelolah kelas di tingkat mikro hingga pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di tingkat makro yang menjadi momok menakutkan bagi peserta didik, dan kerapkali menghadirkan isu hangat di seputar Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

178

pelaksanaannya yang selama ini dibingkai dengan kecurangan. Kecurangan yang dilakukan mulai dari siswa, guru, pengawas di kelas, kepala sekolah, dan stakeholder pendidikan lainnya melalui berbagai macam cara dan praktek tidak terpuji tersebut telah ada seiring dengan keberadaan UN. Selain kedua masalah klasik tersebut, isu seputar rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, seperti: pendidikan dasar terlalu menekankan aspek pengetahuan (kognitif), sehingga secara relatif aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapatkan perhatian, padahal sampai usia 15 tahun merupakan usia emas untuk mengembangkan rasa (afeksi) dan aktifitas fisik (psikomotor) seorang anak. Guru dan dosen tidak dapat menumbuhkan kreatifitas siswa atau mahasiswa, para pengajar kadangkala dianggap kurang demokratis dan maunya menang sendiri di mata siswa/mahasiswa, sehingga siswa atau mahasiswa tidak memperoleh ide dari pengajar. Kurikulum dibuat oleh pemerintah tanpa pelibatan pendidik, beban pelajaran yang terlalu banyak: tidak seimbang dengan usia dan kapasitas anak didik dalam belajar, terbatasnya buku/fasilitas yang menunjang proses belajar – mengajar, jumlah guru untuk spesifikasi tertentu kurang memadai, guru mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu, terjadi kesenjangan dalam memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Masalah-masalah inilah yang membingkai kekinian pendidikan di Indonesia. Masalah ini akan menjadi resultante dan berdampak buruk terhadap kelangsungan pembangunan bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang senantiasa diimpikan oleh segenap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan sebagai salah satu isu sosial hendaknya mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat, sama pentingnya dengan pembangunan di bidang ekonomi, hukum, politik, pertahanan dan keamanan, karena menyangkut mutu manusia (SDM) Indonesia di masa depan. Dalam konteks itulah, maka ada beragam agenda aksi yang perlu dilakukan.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

179

Pertama, untuk meningkatkan kemampuan para guru di tingkat sekolah dasar hingga tingkat menengah (SMP dan SMA), maka para pendidik diharapkan untuk senantiasa membekali diri dengan wawasan, pengetahuan, kepekaan terhadap teknologi, dan memiliki metode mengajar yang dapat menumbuhkan olah pikir, prilaku, dan olah tindak peserta didik. Sudah semestinya dirancang porsi pembelajaran yang signifikan, yakni 30% teori dan 70% praktek, atau dengan kata lain perlu dikembangkan pendidikan yang berbasis kewirausahaan. Ingat selama ini banyak pengangguran terbuka yang berpotensi menjadi pemicu terjadinya kekacauan (disorder) dalam masyarakat dari pendidikan formal. Untuk mewujudkan pendidik yang profesional dan mampu mengemban tugas dengan baik perlu pendidikan lanjutan dan keterampilan, dan dalam hal ini pemerintah hendaknya memberikan beasiswa kepada para guru di tingkat sekolah dasar dan menengah untuk memperoleh beasiswa program S2 bahkan pada jenjang S3. Rupanya ada baiknya kita berkaca pada negara maju, seperti Amerika Serikat, dimana pada tingkat sekolah dasar para pengajarnya tidak sedikit yang bergelar doktor (Dr.). Mereka paham betul bahwa pendidikan dasar sebagai fondasi untuk pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi harus dimaksimalkan. Dengan demikian, maka ditempatkanlah orang-orang yang mengetahui ilmu pedagogik tentang bagaimana mendidik anak, bagaimana menumbuhkan pengetahuan, perilaku, dan tindakan anak didik, bagaimana menjadi problem solver bagi anak, dan lain-lain. Lain dengan di Indonesia, yang mengajar di SD, kebanyakan dari alumni bukan S1, yang nota bene tidak tahu tentang psikologi pendidikan, pedagogik, didaktik, dan metodik serta isu-isu kekinian tentang pengembangan anak didik. Justru di perguruan tinggi diwajibkan yang bergelar minimal magister, dan untuk program S2 dan S3, pengajar bergelar doktor dan profesor merupakan keharusan. Bersyukurlah bagi para pengajar di perguruan tinggi, karena pemerintah, pemerintah daerah, dan negara asing

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

180

memberikan beasiswa untuk studi pada jenjang lebih tinggi dengan beasiswa yang jumlahnya cukup fantastis. Tapi teman-teman pendidik dari SD dan sekolah lanjutan tidak diberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh beasiswa, lagi-lagi ini merupakan wujud diskriminasi di bidang pendidikan. Kedua, bagaimana mencerdaskan siswa/mahasiswa merupakan tugas mulia seorang pengajar. Dengan demikian semestinya guru menjadi mitra belajar siswa di sekolah dan dosen sebagai mitra belajar mahasiswa di perguruan tinggi. Pengajar bukan hanya sebagai sumber ilmu pengetahuan, tetapi juga ia sebagai motivator. Ia juga semestinya menjadi teman siswa/mahasiswa dan senantiasa menciptakan ruang diskusi kepada peserta didik yang menyenangkan dalam suasana santai dan demokratis. Namun wibawa sebagai seorang guru tetap akan terpelihara. Sudah saatnya pendidik meninggalkan praktek-praktek lama, seperti ia harus disegani, harus ditakuti, senantiasa menciptakan jarak dengan siswa/mahasiswa. Ingat, yang perlu ditakuti adalah anjing seorang guru/dosen, bukan guru/dosen yang perlu ditakuti. Dengan demikian, kapan dan dimanapun siswa/mahasiswa dan guru/dosen akan selalu membuka ruang untuk bertukar pikiran. Ketiga, sekaitan dengan kurikulum dan beban belajar peserta didik yang terlalu banyak. Sudah saatnya pemerintah merancang program pendidikan yang tidak terlalu membebani peserta didik. Yang terjadi sekarang ini adalah si anak yang memiliki kecerdasaan kebahasaan, dipaksa untuk mahir menghitung. Demikian halnya, anak yang memiliki kecerdasan ilmu kealaman, dipaksa untuk mengetahui bahasa (linguistik) dan sastra, dan dalam ujian nasional dipatok standar minimal kelulusan tanpa melihat latar belakang daerah, perbedaan kecerdasan, budaya, dan lain- lain. Dalam konteks itulah, pemerintah perlu mendesain pendidikan dasar dan menengah yang tidak terlalu membebani pikiran peserta didik. Keempat, buku dan referensi lainnya juga merupakan masalah serius di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Sebagai contoh mahasiswa fakultas sastra jurusan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

181

sastra Inggris di universitas belajar tentang puisi Inggris (English Poetry), tetapi referensi untuk mata kuliah tersebut tidak tersedia di perpustakaan. Demikian halnya, dengan program-program yang lain, miskin akan referensi terkini. Menyikapi hal ini, pihak universitas dan dinas pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah perlu mencari solusi alternatif untuk pengadaan buku-buku referensi yang diperlukan oleh siswa/mahasiswa. Kelima, perihal tidak sinkronnya antara kompetensi keilmuwan seorang guru/dosen dengan mata ajar yang diampuhnya. Di tingkat SD masih dikenal adanya guru kelas yang mengajar sejumlah mata pelajaran kepada peserta didik, ini juga bisa berdampak pada kesalahan dalam penyampaian materi ajar. Bukan hanya karena tidak memiliki kompetensi dan bakat terhadap satu mata ajar, tetapi juga beban yang terlalu banyak sehingga berujung pada ketidakprofesionalan seorang guru. Demikian yang terjadi di perguruan tinggi, kadang-kadang dosen diberikan mata kuliah yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Katakanlah misalnya alumni pendidikan bahasa Inggris, diberikan mata kuliah teori kesusasteraan (Theory of Literature), atau alumni sastra diberikan mata kuliah TEFL. Fenomena ini tidak asing di setiap jurusan di perguruan tinggi, dan hal ini berujung pada ketidakprofesionalan seorang dosen. Keenam, adanya kesenjangan atau inequity (ketidakadilan) untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Selama ini, dalam konteks praktek penerapan pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun selalu saja menuai banyak kritik, baik dari masyarakat awam hingga pada praktisi dan pengamat pendidikan. Kritikan tajam tersebut muncul seiring dengan terdapatnya jalur masuk sekolah lanjutan dan perguruan tinggi yang terkesan diskriminatif. Contoh ril misalnya untuk masuk di perguruan tinggi papan atas, diberlakukan jalur non subsidi di bawah payung Badan Layanan Umum (BLU), yang nota bene biayanya selangit dalam hitungan seratus juta, dua ratus juta, hingga ratusan juta dan hanya dapat dijangkau oleh si kaya, dan si miskin akan terpental jauh,

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

182

akibat tidak memiliki dana yang selangit, walaupun ia cerdas dan tak tertandingi di sekolahnya. Hal ini juga terjadi di sekolah lanjutan setiap penerimaan siswa baru. Ada istilah lewat pintu belakang, uang pendaftaran bagi yang tidak lulus dan menggantikan orang lain yang lebih memilih sekolah favorit dan ternama. Kadang-kadang kasus seperti ini, orang tua calon peserta didik dikenakan pembayaran yang cukup fantastis, ratusan ribu, hingga jutaan, dan tentu mencekik leher peserta didik dari kelompok miskin/marginal. Terakhir, kebijakan pelaksanaan UN yang selama ini menyisakan banyak persoalan akibat praktek curang dan kebohongan yang dilakukan oleh stakeholder pendidikan dan orang-orang tidak bertanggung jawab menjelang dan seusai pelaksanaan UN. Beberapa waktu lalu, pemerintah tetap berencana melaksanakan UN walaupun UN telah dianulir oleh Mahkamah Agung (MA), pemerintah tetap bersikukuh untuk melaksanakan UN dengan alasan untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia, walaupun tahun ini berbeda dengan praktek pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2010 ini, sedianya bukan hanya hasil UN yang dijadikan penentu kelulusan siswa, tetapi juga penilaian interen di sekolah dan tentunya juga berkaitan bukan hanya aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik, tapi rupanya janji pemerintah untuk menjadikan dua aspek terakhir untuk dinilai tidak menjadi kenyataan. Namun yang menarik adalah ketika siswa tidak lulus UN, diberikan ujian nasional ulangan dan bila tidak lulus diberikan lagi ujian paket C. Ini angin segar buat siswa, orang tua siswa, dan guru di sekolah karena dapat mengurangi kecemasan dan kepanikan siswa untuk tidak lulus, tetapi kebijakan seperti ini hemat saya adalah keliru. Kebijakan seperti ini tidak konsisten dan tidak tegas. Pelaksanaan UN juga bertentangan dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan sejatinya pengambil kebijakan di bidang pendidikan memahami akan hal ini. Idealnya, kelulusan ditentukan oleh sekolah, dan untuk memasuki jenjang sekolah lanjutan atau perguruan tinggi, maka diterapkan seleksi yang ketat, adil, dan tidak

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

183

diskriminatif. Dengan cara itulah, maka setiap anak akan menjadi yang terbaik, karena dengan kecerdasan dan kemampuan yang brilian, mereka akan bersaing untuk masuk ke sekolah lanjutan dan perguruan tinggi yang ternama. Masalah-masalah akut pendidikan di atas hendaknya dijadikan bahan renungan untuk menilai kembali sistem pendidikan di negeri ini, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi sehingga cita-cita luhur pendiri negeri ini dapat terwujud, dan Indonesia dapat disegani sebagai negara dan bangsa besar di dunia. Agenda aksi tersebut dapat dilakukan bila seluruh elemen bangsa, dengan semangat kebersamaan menumbuhkan kesadaran untuk melihat jauh kedepan, meyiapkan diri/SDM yang berkualitas dan kompetitif, serta berkemampuan solutif. Ingat, pendidikan adalah investasi masa depan, dan segala aktifitas kebangsaan (ekonomi, hukum, sosial-politik, pertanian, keteknikan, dan lain-lain) bermuara dari pendidikan. Selamatkan negara yang tengah dirundung berbagai persoalan ini dari pendidikan. (Majalah Dunia Pendidikan No. 127, Mei 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

184

BAB 3 MEDIA DAN PENYIARAN

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

185

DIET SINETRON DI BULAN RAMADHAN

Bulan suci ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan berkah. Disebutkan dalam hadist Rasulullah Muhammad SAW bahwa barang siapa yang berpuasa di bulan suci ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, akan diampuni dosa-dosanya. Di bulan yang penuh berkah ini, ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan, mulai dari berpuasa di siang hari, menunaikan shalat tarwih di malam hari, hingga itikaf dan mencari datangnya lailatul qadar pada 10 malam terakhir di bulan ramadhan dan diakhiri dengan zakat lalu shalat idul fitri di awal bulan syawal. Ditegaskan dalam hadist Rasulullah Muhammad SAW, barang siapa yang mendapatkan lailatul qadar di bulan suci ramadhan, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak 1000 bulan. Demikian halnya dengan yang melakukan itikaf akan mendapatkan pengampunan. Oleh karena itu, di bulan ramadhan ini, ada baiknya sebagai seorang islam yang kaffah, perlu mencanangkan 6 sukses ramadhan. Sukses puasanya, sukses shalat tarwihnya, sukses baca Al-Qur‘annya, sukses itikafnya, sukses lailatul qadarnya, dan sukses zakatnya. Dengan segudang keutamaan bulan penuh rahmat tersebut, maka semestinya publik tidak mencederainya dengan berbagai kegiatan yang tidak mendatangkan manfaat. Akhir – akhir ini, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi (IT), ada banyak kegiatan yang justru memberikan banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Salah satunya adalah sinema elektronik (sinetron) yang banyak ditayangkan oleh stasiun sistem jaringan (SSJ) atau TV swasta yang banyak menyita waktu, dan yang menjadi korban adalah ibu rumah tangga (perempuan), anak dan remaja.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

186

Banyak yang berpendapat sinetron yang ditayangkan oleh seluruh SSJ, tidak berkualitas dan banyak diantara sinetron tersebut yang justru tidak pro sosial, yakni hanya menghadirkan beragam sensasi (full sensation) dengan selling point berupa adegan kekerasan dan pornografi. Sinetron berkedok religi-pun justru tidak sedikit yang sarat dengan kekerasan, pornografi, dan mistik yang menggiring khalayak pada kemusyrikan, yang oleh Hidayat Nahwi Rasul dikatakan sebagai pengkerdilan karakter, dan berujung pada terciptanya generasi cacat moral (tuna moral). Sejumlah lembaga, seperti Yayasana SET, TIFA, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) telah melakukan riset perihal keberadaan sinetron di TV dan melaporkan bahwa program sinetron lemah dalam meningkatkan empati sosial, tidak memberikan model perilaku yang baik, banyak adegan kekerasan, dan tidak bebas pornografi. Penelitian yang dilakukan tahun 2008 dan 2009 tersebut melibatkan 220 responden di 11 kota di Indonesia, antara lain Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Denpasar, Batam, Pontianak, dan Palembang menyebutkan bahwa tema sinetron tidak relevan dengan kenyataan masyarakat, tidak ramah anak, tidak ramah lingkungan, bias jender, dan tidak berpihak pada kepentingan publik. Sinetron hanya mampu menghibur tanpa menghadirkan perilaku-perilaku yang mendidik. Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan mengambil masalah hubungan menonton sinetron tersanjung dengan tingkat agresifitas penonton, dengan obyek penelitian ibu rumah tangga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara menonton sinetron dengan sikap agresifitas ibu RT. Penonton dengan tingkat intensitas dan durasi menonton sinetron tersanjung yang tinggi mempunyai tingkat agresifitas yang tinggi pula. Perilaku (cara bertindak) dan cara bertutur para pemain sinetron seringkali mengilhami perilaku dan tindak tutur anak, remaja, dan orang dewasa untuk tidak pro sosial. Dengan dampak negatif itulah maka MUI mendukung langkah strategis KPI Pusat dan KPI Daerah untuk

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

187

melakukan teguran, pemberian sangsi, hingga pada penghentian mata acara acara sinetron yang mengandung banyak masalah, seperti pornografi, kekerasan, dan tidak pro pada kepentingan dan pencerahan publik. Dampak negatif itupulalah yang mengilhami pengurus teras NU beberapa saat yang lalu untuk memfatwakan bahwa menonton sinetron adalah haram. Alasan anti sosial itupulalah yang menginspirasi manajemen (pemohon) PT. Sakti Makassar Televisi berkomitmen untuk tidak menayangkan sinetron dalam program siarannya. Demikian terungkap dalam Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) PT. Sakti Makassar Televisi sebagai salah satu proses untuk memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) pada hari Sabtu, 30 Juli 2011 di Makassar Golden Hotel yang dihadiri oleh unsur tokoh masyarakat, tokoh pendidikan (akademisi), pemuda, masyarakat marginal minor, tuna netra, pemda Takalar, kepolisian, dan menghadirkan akademisi dan praktisi sebagai pembahas/penanggap dalam EDP tersebut, yang dihadiri oleh seluruh komisioner KPID Sulawesi Selatan.

Saatnya Diet Sinetron Sinetron sebagai salah satu mata acara yang menjadi primadona seluruh SSJ (TV swasta) dan diganrungi oleh ibu- ibu rumah tangga memberikan dampak positif dan negatif, tapi yang menjadi masalah klasik adalah dampak negatifnya lebih menonjol ketimbang dampak positifnya. Sinetron sebagai primadona sebagian lembaga penyiaran swasta, namun permasalahannya juga pelik bukan hanya jalan cerita yang terlalu berbelit-belit namun sekaligus menciptakan budaya kekerasan verbal dan non verbal. Kualitas isi ceritanya hanya seputar soal perebutan harta, pelecehan terhadap tatanan moral dan budaya termasuk perselingkuhan, hubungan di luar pernikahan sampai dengan penghinaan terhadap orang tua, guru-guru dan kaum marginal (Widianti, Ezki TR, 2011). Tayangan yang ada di TV, termasuk sinetron, ada yang masuk kategori aman, hati-hati, dan tidak aman. Acara yang aman adalah acara yang karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

188

dipahami, dan anak-anak boleh menonton tanpa didampingi oleh orang tua. Acara yang adalah isi acaranya mengandung unsure kekerasan, seks, dan mistik, namun tidak berlebihan. Tema dan jalan cerita mungkin kurang cocok untuk anak usia SD sehingga harus didampingi saat menonton. Acara yang tidak aman, yaitu isi acara yang banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistik secara berlebihan dan terbuka. Daya tarik utama ada pada adegan-adegan tersebut, sehingga sebaiknya anak-anak jangan menonton acara tersebut.

Dengan demikian, maka orang tua semestinya mendampingi anak ketika mereka menonton, atau menempatkan TV di ruangan yang mudah dikontrol sehingga dampak buruk media TV tidak merusak generasi muda bangsa ini dari tayangan-tayangan yang tidak pro sosial. Materi dan isi tayangan di televisi diibaratkan peluru atau jarum suntik yang ditembakkan ke sasaran, sehingga sasaran tidak dapat menghindar. Ini dimaksudkan bahwa peluru dan jarum suntik memiliki kekuatan yang luar biasa didalam upaya ―mempengaruhi‖ pemirsanya. Inilah yang kemjudian disebut teori jarum suntik, yang melandasi teorinya pada teori stimulus-response (Rasyid, Mochamad Riyanto, 2011). Dengan adanya peniruan yang dilakukan oleh penonton, apakah itu anak-anak, remaja, dan ibu rumah tangga, akan berdampak pada olah pikir (kognitif), olah prilaku, dan olah tindak. Tidak sedikit anak yang anti sosial terhadap teman bahkan kepada orang tuanya sekalipun, akibat melihat tontonan yang tidak mendidik di televisi, seperti tontonan film kartun, dan sinetron itu sendiri. Demikian halnya dengan ibu rumah tangga yang menghabiskan sebagian waktunya untuk duduk di depan televisi sehingga kurang menghiraukan keperluan dan keberadaan sang suami tercinta. Tidak sedikit ibu rumah tangga yang lupa menyajikan menu kesukaan suaminya akibat duduk berjam-jam di depan layar kaca, bernama televisi tersebut. Banyak juga diantara ibu-ibu yang tidak lagi sempat memoles dan mempercantik diri demi untuk menyenangkan sang suami tercinta.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

189

Demikian halnya, di bulan suci ramadhan, khalayak terutama anak, remaja, dan ibu rumah tangga membuang banyak waktu di depan televisi, padahal sesungguhnya bulan penuh rahmat tersebut hendaknya diisi dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat, seperti membaca A-Qur‘an, menunaikan shalat dhuha di pagi hari, dzikir (ingat kepada sang Khalik), dan memperbanyak ibadah-ibadah sunnah lainnya, bukankah kita tahu bahwa amalan di bulan suci ramadhan dilipatgandakan hingga tak terhingga oleh Allah. Membaca buku pelajaran bagi anak dan remaja, juga perlu ketimbang membuang waktu nonton televisi. Membaca dan menulis bagi guru, dosen, dan profesional lainnya, lebih bermanfaat daripada hanya duduk berjam-jam di depan televisi sekedar menunggu waktu berbuka puasa. Dengan demikian, anak, remaja, dan orang dewasa akan semakin matang dalam berpikir dan bertindak, dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itulah sebabnya kampanye ―diet sinetron” perlu dilakukan, dan semestinya pengelola industri lembaga penyiaran, khususnya televisi menghadirkan program ramah keluarga di bulan suci ramadhan ini. (Fajar, 2 Agustus 2011)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

190

DAMPAK BURUK TELEVISI

Menurut deLespinasse dalam bukunya yang berjudul ―Thinking about Politics: American Government in Associational Perspective,‖ ada tiga macam kekuatan (power), antara lain power of money (kekuatan uang), power of pen/media (kekuatan media), dan power of sword (kekuatan pedang). Kelihatannya, akhir-akhir ini kekuatan yang mendominasi ranah publik adalah kekuatan media, khususnya Televisi (TV). Dua dekade terakhir banyak pemimpin dunia yang terpaksa turun dari tampuk kekuasaannya akibat pemberitaan yang bertubi-tubi di media (TV, Radio, Surat Kabar, Internet, dan lain-lain). Sebagai salah satu media elektronik, TV mampu mengadakan penetrasi hingga 95% kepada khalayak. Mengawali abad ke-21, dunia, khususnya di Asia Tenggara termasuk Indonesia diterpa krisis maha dahsyat, yang bermula dari krisis moneter, krisis ekonomi, hingga pada krisis kepemimpinan dan moral. Akumulasi dari krisis tersebut diberitakan secara membabi buta oleh media, efek pemberitaan tersebut berujung pada lengsernya Jenderal Besar Berbintang Lima, Soeharto dari tampuk kekuasaannya yang telah dibangun selama 32 tahun. Ketika itu, media mampu memobilisasi semua elemen bangsa, mulai dari mahasiswa, kaum pekerja, petani, perempuan, professor, dan lain-lain turun ke jalan untuk menyatukan langkah menggugat rezim yang berkuasa, dan tampaknya penguasa tidak dapat meredam goncangan tersebut. Belum hilang di ingatan peristiwa kerusuhan, kekerasan, dan konflik mengawali era reformasi, publik kembali dikejutkan dengan rentetan peristiwa penggulingan kepala negara di sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika yang hingga kini masih tengah berlangsung. Sebagai contoh lengsernya presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali dan koleganya dari negeri seribu piramida, Hosni Mubarak presiden Mesir yang terguling. Mereka tidak kuasa Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

191

mengendalikan kerusuhan yang terjadi di negeri tersebut akibat tekanan dari demonstran dan efek pemberitaan media yang bertubi-tubi. Media (TV) bukan hanya mampu berperan untuk menggulingkan penguasa pada tataran makro, dan mezo melalui berbagai wujud character assassination (pembunuhan karakter) bagi penguasa dan elit politik, tetapi juga pada tataran mikro, dimana orang tua dibuat gelisah dengan adanya dampak buruk TV, seperti kekerasan yang berujung pada cacat hidup bahkan pada kematian (lihat dampak Smack Down seperti diberitakan oleh SCTV dan RCTI beberapa waktu lalu). Kasus lain, seorang anak luka bakar akibat meniru adegan dalam program The Master yang ditayangkan oleh salah satu stasiun sistem jaringan (TV swasta). Dampak buruk lainnya adalah pornografi yang berujung pada pemerkosaan anak dan remaja secara bersama-sama yang dilakukan oleh teman sebaya setelah si korban dipaksa untuk menenggak minuman keras, baik yang dilakukan oleh teman, tetangga, maupun orang tak dikenal, dan mistik (takhayul) yang juntrungannya membuat khalayak tidak lagi berpikir positif dan sportif. Sementara itu, anak yang menggunakan banyak waktunya untuk menonton TV cenderung bersikap agresif, individualistik, materialistik, tidak memiliki rasa kebangsaan, dan tidak peka terhadap lingkungan (Yazirwan Uyun, 2011). Mochamad Riyanto Rasyid (2011), salah seorang komisioner KPI Pusat menegaskan bahwa secara umum TV memiliki dampak, antara lain: i) dapat merusak mental sekaligus pola pikir anak-anak. Anak balita yang sering menonton literasi media cenderung memiliki keterlambatan perkembangan kognitif dan bahasa dalam 14 bulan, terutama jika mereka sedang menonton program televisi yang diajukan untuk orang dewasa dan remaja., ii) mengajarkan dan menanamkan budaya komersial atau konsumerisme dalam diri anak-anak, iii) TV dapat berdampak negatif pada kesehatan badan, iv) TV tak jarang dapat melalaikan waktu bekerja, beribadah dan melupakan kewajiban lainnya yang lebih penting, v) mengganggu jam belajar anak, dan televisi juga menghadirkan dunia yang merupakan rekayasa hasil bentukan media berdasarkan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

192

konstruksi media itu sendiri. Rasyid kemudian menambahkan dampak tayangan kekerasan meliputi: desensitisasi kekerasan, yakni penumpulan kepekaan terhadap kekerasan, dampak aggresor dari anak, dimana sifat jahat dari anak akan semakin meningkat, dampak korban dimana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain, dampak pemerhati, anak semakin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain, dan dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan. Paul Johnson seperti dikutip oleh Yazirwan Uyun (2011) mengingatkan ada 7 (tujuh) dosa besar media, antara lain: distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, mengganggu privacy, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni benak pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Untuk meminimalisir dampak buruk TV tersebut, ada sejumlah gerakan dan program yang dapat dilakukan, antara lain: Jaga mata, jaga telinga dan saatnya publik melakukan ―Diet TV.‖

Jaga Mata, Jaga Telinga Jaga mata, jaga telinga merupakan salah satu gerakan KPID Sulawesi Selatan sejak awal berdirinya, gerakan ini merupakan wujud literasi media kepada khalayak di Sulawesi Selatan. Inti gerakan ini adalah mengajak khalayak penonton TV dan pendengar radio untuk mengonsumsi siaran-siaran yang baik (sehat) saja. Mengguggah masyarakat untuk mengawasi siaran-siaran TV dan radio yang tidak sehat. Disamping itu, gerakan ini dimaksudkan sebagai pemberdayaan masyarakat menuju kritis media.

Diet TV Tahun 2011, KPI Pusat mencanangkan gerakan diet TV, laiknya diet makan bagi seseorang yang sedang mengidap penyakit tertentu. Demikian halnya diet TV dilakukan untuk mengurangi waktu seseorang, khususnya anak dan remaja untuk menonton TV. Diet TV merupakan salah satu tips yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam menonton TV Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

193

(Azimah Subagijo, 2011). Azimah selanjutnya menegaskan bahwa kenyataan pentingnya untuk menonton telelvisi sesuai dengan keperluan inilah diet televisi. Oleh karena itu, adapun bentuk mediasi yang bisa dilakukan oleh orang tua atau orang dewasa di sekitar anak antara lain: memberi batasan waktu pada anak untuk menonton TV, manfaatkan waktu untuk merencanakan kegiatan menonton literasi media bersama anak, usahakan literasi media hanya menjadi bagian kecil dari kegiatan anak, dan menontonlah bersama anak dan bahaslah setelahnya, sebab acara yang ditujukan untuk anak, belum tentu aman (Azimah Subagijo, 2011). Dengan demikian, waktu ideal untuk anak menonton TV adalah 2 jam/perhari atau 10 jam/pekan, dan anak dibawah 2 tahun hendaknya belum dibolehkan untuk menonton TV. (Fajar, 16 Juli 2012).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

194

TV, ANTARA MADU DAN RACUN

Sejatinya fungsi utama TV sebagai salah satu lembaga penyiaran adalah fungsi informasi, edukasi, dan hiburan. Ketika pemirsa duduk di depan TV ada banyak informasi dari seluruh belahan bumi yang dapat diindera. Media TV juga merupakan salah satu agen sosialisasi, selain keluarga dan sekolah. Melalui TV, kita berharap anak didik akan memperoleh pengetahuan dan wawasan untuk meningkatkan kedewasaan berpikir, bertindak dan berperilaku. Menonton TV juga dapat memberikan hiburan kepada khalayak melalui beragam hiburan yang mendidik dan mencerahkan. Kehadiran TV juga memberikan manfaat bagi perkembangan psikologis, sosiologis, kematangan berpikir, dan kecerdasan intelektual serta emosional anak. Harapan tersebut tampaknya jauh dari harapan. Dimana akhir-akhir ini TV tidak lagi konsisten menjalankan fungsi mulia tersebut. Tayangan-tayangan di TV cenderung menyuguhkan adegan vulgar yang mengundang birahi, mistik, dan kekerasan. Dengan jangkauan khalayak yang sangat luas, televisi telah menjadi sebuah hegemoni baru dan mampu mendikte pemirsanya, sekaligus TV cenderung menstandarisasi pesan dengan warna pornografi, mistik, kekerasan, dan hal-hal negatif yang berpengaruh pada proses pembentukan peradaban (Rasul, 2005). Rata-rata 80% program TV menayangkan kekerasan dan rata-rata 7,5 episod kekerasan per jamnya, bahkan siaran-siaran yang diperuntukkan bagi anak-anak memperlihatkan tingginya tingkat aspek kekerasan (Garbner dkk, 1967). Kordinator Bidang Monitoring dan Isi Siaran KPID Sulsel, Rahma Saiyed pada ekspose temuan hasil monitoring beberapa waktu lalu di Makassar melaporkan baik TV stasiun sistem jaringan (SSJ) maupun TV lokal belum mengindahkan Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

195

pedoman perilaku penyiaran (P3) dan standar program siaran (SPS). Lebih lanjut ia melaporkan bahwa Hasil monitoring KPID Sulsel dalam tiga bulan terakhir menunjukkan 10 TV SSJ masih menayangkan siaran yang tidak mendidik. Pada umumnya dugaan pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran TV adalah pelecehan terhadap kaum perempuan dan kekerasan terhadap anak. Laporan tersebut diperkuat oleh temuan KPI Pusat yang menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2010, terdapat 26.489 tanggapan yang dialamatkan ke KPI Pusat tentang aduan mata acara yang tidak mendidik. Tayangan- tayangan tidak mendidik tersebut dapat meracuni anak anak dan generasi muda, sehingga mereka tumbuh dengan prilaku agresif yang cenderung anti sosial. Banyak kalangan yang menilai betapa besar pengaruh TV untuk mengubah perilaku anak dan remaja yang sifatnya anti sosial. Misalnya contoh kasus yang disampaikan oleh Muhammadiyah Yunus (2005) yang mengingatkan kita bahwa betapa besar dampak yang ditimbulkan oleh tayangan televisi. Bermula pada petengahan tahun 2005 lalu kasus bunuh diri menjadi tren dan seolah dianggap sebagai jalan keluar dari masalah hidup yang dihadapi. Ia menambahkan bahwa tren tersebut merebak setelah televisi menayangkan kasus bunuh diri oleh seorang anak yang kecewa karena tidak mendapatkan perhatian yang sama dari orang tuanya. Demikian halnya kasus seorang ibu yang selalu resah setiap kali meninggalkan anak gadisnya bersama sang suami. Akhir-akhir ini juga sering terjadi pembunuhan sadis dengan cara mutilasi. Semua kasus memilukan tersebut sebagai akibat dari tayangan di TV yang coba untuk diperaktekkan oleh si pelaku. Sungguh suatu hal yang memprihatinkan yang semula TV diharapkan memberikan pencerahan (edukasi), tetapi justru berkontribusi untuk terjadinya disharmoni dan kerawanan sosial di masyarakat. Lalu mana sari madu TV itu?

Peran Ideal TV Peran yang ingin dibangun media elektronik (TV) adalah pencerahan, perehat sosial (harmoni), dan literasi informasi bagi publik. Itulah sebabnya sejumlah sosiolog

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

196

berpendapat bahwa fungsi TV adalah sebagai perekat sosial (Social cohesive) dan agen sosialisasi. Kedua fungsi tersebut juga termaktub dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Undang-Undang Penyiaran). Fungsi perekat sosial tersebut berupaya memberikan interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau individu dengan individu lainnya dalam masyarakat untuk tercapainya kesepakatan sosial (social consensus). Perlu juga diingat bahwa selain fungsi perekat sosial tersebut, pesan-pesan media (elektronik) dapat mengarahkan khalayak ke arah pro sosial dan anti sosial. Sekaitan dengan itu, maka tayangan dalam TV hendaknya dikemas dengan aturan yang ada, seperti Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Hal ini juga diperkuat oleh Undang-Undang Penyiaran, yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Pasal 5 (c) UU No. 32 Tahun 2002), dan menjaga kesatuan dan persatuan bangsa (Pasal 5 (d) UU No. 32 Tahun 2002). Dengan demikian, bila insan penyiaran dapat menerapkan regulasi tersebut, diyakini tayangan yang menyehatkan dan menyejukkan di TV dapat diwujudkan.

Agenda Aksi: GEMES, GESIT, dan FMPPS KPID Sulawesi Selatan melalui tugas dan wewenang yang diembannya berupaya untuk menghadirkan penyiaran yang sehat dan menyejukkan. Untuk mewujudkan tugas dan wewenang tersebut, maka KPID Sulsel mulai dari periode pertama hingga ketiga melahirkan sejumlah kegiatan dan gerakan. Kegiatan dan gerakan tersebut antara lain, Gerekan Menonton Sehat (GEMES), Gerakan Produksi Sehat (GESIT), Forum Masyarakat Peduli Penyiaran Sehat (FMPPS), dan KPID goes to campus. Gerakan Menonton Sehat (GEMES), Gerakan Produksi Sehat (GESIT), dan Forum Masyarakat Peduli Penyiaran Sehat (FMPPS) merupakan gerakan yang ditelorkan oleh KPID Sulsel yang sekaligus menjadikan KPID Sulsel sebagai

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

197

KPID yang diperhitungkan di Indonesia. Melalui GEMES, para pemirsa TV atau pendengar radio dapat menyeleksi siaran- siaran yang mencerdaskan dan dapat memberikan manfaat. Yakni siaran-siaran yang mengandung hiburan, edukasi, dan informasi di dalamnya yang dapat menumbuhkan kognitif, afektif, dan psikomotorik penonton dan pendengar. Demikian halnya, dengan GESIT, para produser diharapkan menghasilkan siaran-siaran yang mengandung proses pembelajaran. Sebagai salah satu KPID yang pro aktif terhadap perwujudan siaran yang menyejukkan dan menyehatkan, maka KPID Sulsel mengeluarkan Keputusan KPID Sulsel Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pembentukan FMPPS di Sulsel. Dasar hukum pembentukan forum ini adalah sesuai amanat Undang-undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran khususnya pasal 52 mengenai peran serta masyarakat. Peran masyarakat untuk mewujudkan penyiaran sehat dan menyejukkan sangat penting. Dalam Undang- Undang 32 tahun 2002, pasal 52 tentang Penyiaran disebutkan (1) setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional; (2) organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan Lembaga Penyiaran; dan (3) masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.

Fungsi dan Kewenangan FMPPS Amanat pasal 52 Undang-Undang 32 tahun 2002 tentang penyiaran tersebut ditindaklanjuti oleh KPID Sulsel melalui Peraturan KPID Sulsel tentang pembentukan FMPPS. Dengan berdirinya FMPPS ini, maka masyarakat di Sulawesi Selatan dapat berperan aktif untuk memantau isi siaran. Pembentukan FMPPS yang dikoordinir oleh bidang Kelembagaan KPID Sulsel ini merupakan perwujudan dari gagasan untuk menempatkan masyarakat dalam posisi Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

198

strategis dalam mewujudkan penyiaran sehat (Akil, 2010). Lebih lanjut Akil menegaskan bahwa selama ini keterlibatan masyarakat lebih bersifat pasif dan personal, maka melalui forum ini masyarakat melembagakan dirinya secara fungsional dan aktif mengembangkan penyiaran sehat melalui kelompok-kelompok yang peduli dengan penyiaran sehat. Diharapkan forum ini menjadi gerakan kultural yang bersifat edukatif dan partisipatif dimana masyarakat secara sadar membentengi dirinya dari pengaruh siaran-siaran yang tidak mendidik dan sekaligus menjadi forum pembelajaran untuk menyelesaikan masalah-masalah penyiaran di daerahnya, baik yang menyangkut legalitas penyiaran, kelembagaan, maupun monitoring isi siaran.

FMPPS di Sulawesi Selatan dibentuk dengan asas partisipasi, transparansi, kejujuran, kemandirian, kerjasama, kesetaraan, pemberdayaan, dan akuntabilitas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan pembentukan FMPPS, agar melalui forum ini: 1) Masyarakat mengetahui, memahami, dan peduli penyiaran sehat; 2) Masyarakat mengembangkan kegiatan literasi penyiaran; 3) Masyarakat turut serta melakukan pengawasan terhadap isi siaran; 4) Masyarakat menjadi mitra agar lembaga penyiaran mampu menjalankan fungsinya sesuai Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran; 5) Masyarakat menjadi mitra KPID Sulsel dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya sesuai amanat Undang-Undang Penyiaran. Adapun fungsi FMPPS lebih bersifat komprehensif, baik terhadap masyarakat, pemerintah, lembaga penyiaran, maupun KPID Sulsel. Secara khusus, fungsi FMPPS menurut peraturan KPID Sulsel adalah: 1) Mendukung Gerakan Menonton Sehat (Gemes)/Gerakan Produksi Sehat (Gesit); 2) Proaktif memantau penyiaran; 3) Melaporkan hasil temuan dan aduan serta apresiasi masyarakat tentang penyiaran kepada KPID Sulsel atau kepada Lembaga Penyiaran terkait; 4) Melaporkan kepada pihak berwajib atau instansi terkait berkaitan dengan penyiaran yang tidak sesuai dengan Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

199

Peraturan Perundang-undangan; 5) Melakukan literasi media kepada masyarakat sekitarnya. Sebagai organisasi yang berasal dari masyarakat dan untuk masyarakat itu sendiri, FMPPS ini bersifat independen, swadaya dan mandiri. Kedudukan FMPPS ditentukan sendiri oleh masing-masing kelompok sesuai dengan wilayah domisili mereka di Sulsel. Begitu pula visi, misi, dan nama forum yang dirumuskan sendiri sesuai tujuan pembentukan forum ini berdasarkan Peraturan KPID Sulsel. Meskipun FMPPS merupakan forum yang dibentuk atas inisiasi KPID Sulsel namun forum ini tidak memiliki hubungan struktural dengan KPID Sulsel. Untuk mendukung pelaksanaan program kerjanya, FMPPS dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait. Sedangkan sumber dana untuk membiayai sekretariat, peralatan, dan program kerja FMPPS berasal dari swadaya masyarakat, bantuan pemerintah dan bantuan pihak ketiga yang tidak mengikat. Sejak tahun 2008 FMPPS telah disosialisasi dan diinisiasi pembentukannya di seluruh bupaten Kota Se-Sulsel. Adapun tahapan-tahapan pembentukan FMPPS di Sulsel adalah sosialisasi, pembentukan kepengurusan yang diikuti oleh pembekalan dan pelantikan. Sekedar informasi untuk diketahui khalayak bahwa telah ada 2 (dua) FMPPS di Sulsel yang telah terbentuk antara lain FMPPS Kabupaten Pinrang dan FMPPS Kabupaten Sinjai. Adapun kabupaten lainnya di Sulsel masih sebatas sosialisasi dan pembentukan formatur/pemberian mandat. Tugas utama FMPPS pasca terbentuknya adalah memantau isi siaran lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta berjaringan, lembaga penyiaran berlangganan melalui kabel dan temuan melalui pemantauan dikordinasikan kepada KPID Sulsel. Disamping itu, forum ini juga diharapkan melakukan advokasi, edukasi dan literasi media kepada masyarakat. Dengan kesadaran semua pihak, baik publik sebagai penikmat tayangan TV maupun insan penyiaran tetap mengedepankan tri fungsi media TV, yakni fungsi informasi, edukasi, dan hiburan sehingga khalayak tidak lagi khawatir

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

200

akan kehadiran tayangan-tayangan di TV. ( Fajar, 24 Mei 2011).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

201

GELIAT RADIO DI ERA KOMPETISI LEMBAGA PENYIARAN

Beberapa waktu yang lalu, saya memasuki ruangan bendahara Pasca Sarjana UNM untuk mengambil honor mengajar saya sebagai salah seorang pengajar di PPS UNM. Disamping menunggu pencairan honor saya, saya asyik mendengarkan lagu dan berita melalui siaran radio di sudut ruangan. Saya kemudian bertanya kepada salah seorang staf di ruangan tersebut, mengapa radio yang dibunyikan bukan yang lain. Dia menjawab, radio memiliki keunggulan, yaitu tidak mengganggu rutinitas kantor. Siapa tidak kenal radio?. Hampir semua orang tahu dan pernah mendengarkan siaran radio. Radio adalah salah satu lembaga penyiaran tertua. Radio juga memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia, dimana beberapa saat setelah Proklamasi dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia, siaran tentang kemerdekaan Indonesia dipancarkan secara luas ke seluruh penjuru negeri dan dunia internasional. Saat itulah, untuk pertama kalinya kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di udara dan didengar oleh jutaan pendengar yang telah lama merindukan kebebasan dari penjajah. Radio sebagai salah satu media massa elektronik dengar menghadirkan banyak manfaat kepada para pendengarnya. Tidaklah mengherankan jiga kini penikmat radio masih berada di kisaran 40 persen pendengar. Sejak zaman penjajahan, radio telah memegang peranan penting sebagai media propaganda, dan kemerdekaan Indonesia pertama kali disiarkan keseluruh pelosok negeri melalui radio. Radio memiliki banyak keunggulan ketimbang media elektronik lainnya, seperti televisi. Radio adalah media massa elektronik yang paling ekonomis dan strategis dibanding dengan media lainnya seperti televisi. Radio juga merupakan salah satu media yang paling cepat dan simpel untuk menyampaikan informasi terkini kepada para Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

202

Pendengarnya. Mungkin inilah yang membuat pertumbuhan jumlah pendengar radio di Kota Makassar dan sekitarnya mengalami kenaikan sekitar 15 persen per tahun (Nielsen Media tahun 2004). Radio dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai media edukasi, hiburan, dan informasi dan sebagai agen sosialisasi bagi anak. Keunggulan lainnya adalah harga radio relatif murah ketimbang televisi, siaran radio juga mudah diperoleh dan hampir semua mobil pribadi memiliki radio. Keunggulan yang tidak dimiliki oleh media lain, tetapi ada pada radio adalah mendengarkan radio tidak mengganggu rutinitas sehari-hari di kantor dan di rumah karena dapat di dengar tanpa harus duduk berlama-lama di depannya seperti televisi. Peran radio di Indonesia pernah mendominasi perhatian khalayak, yakni ketika Sistem Siaran Jaringan (televisi swasta) belum tumbuh subur di Indonesia. Hingga kini, radio tidak dapat dilepaskan dengan aktifitas keseharian kita, dimana radio dapat menghibur, memberi informasi, dan bahkan mengedukasi setiap pendengarnya. Itulah sebabnya, tidak sedikit yang berpendapat bahwa radio memiliki peran penting dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Lembaga penyiaran tertua ini juga dipandang sebagai lembaga yang pro atas kepentingan publik (pendengar) karena siaran- siaran yang dipancarkan di udara memiliki kontribusi yang cukup besar untuk pengembangan karakter dan pendidikan generasi muda. Radio disatu sisi memiliki kekurangan, karena ia termasuk lembaga penyiaran yang hanya menyuguhkan siaran secara audio, tetapi kekurangan itulah membuat radio memiliki keunggulan tersendiri ketimbang lembaga penyiaran pandang dengar (Televisi). Keunggulan radio adalah siarannya dapat didengar ketika seseorang sedang mengemudi. Juga dapat didengar ketika seseorang sedang mengerjakan rutinitas kantor tanpa mengganggu aktifitas. Ia juga dapat menyuguhkan siaran- siaran yang menyejukkan dan memiliki siaran-siaran yang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

203

cenderung mendidik, tanpa tayangan pandang yang dapat menimbulkan hasrat birahi bagi pemirsanya. Ketika seseorang sedang menuju tempat kerja, dengan mengemudi sendiri mobil pribadinya, dan ia tinggal di Maros, Goa atau daerah penyangga lainnya dan bekerja di pusat kota Makassar, maka ia akan kehilangan waktu untuk memperoleh informasi, hiburan, dan edukasi. Tetapi ketika si pengendara tersebut menyetel radio di mobilnya dan memilih salah satu dari sekian banyak siaran radio yang tersedia, maka ia akan memperoleh informasi, hiburan dan edukasi, sehingga waktu tidak terbuang percuma. Demikian halnya si pengendara sepeda motor dapat menikmati siaran radio melalui HP-nya dengan bantuan headpone tanpa mengganggu perjalanan dan aktifitas kesehariannya. Radio minim siaran yang tidak mendidik ketimbang TV, ia cenderung menjalankan amanat Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang fungsi penyiaran, yakni fungsi informasi, edukasi, dan hiburan. Demikian halnya dengan P3/SPS KPI, para pengelolah radio cenderung mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh KPI. Dengan seabrek manfaat tersebut, maka seyogyanya radio dikampayekan kepada setiap orang, setiap komunitas, dan setiap masyarakat. (Tribun Sulbar, April 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

204

SELAMATKAN ANAK-ANAK DARI KEKEJAMAN TELEVISI

Dewasa ini hampir semua manusia di permukaan bumi ini membutuhkan media, baik cetak maupun elektronik. Televisi sebagai salah satu media elektronik telah menjadi kebutuhan utama setiap individu. Media (TV) secara sosiologis merupakan salah satu agen sosialisasi yang paling ampuh di tengah perkembangan teknologi digital saat ini. Media televisi telah mendominasi penyampaian informasi kepada anak, dan telah mengalahkan agen-agen sosialisasi lainnya, seperti orang tua dan sekolah. Dawyer dalam Zainuddin (2005) mengatakan bahwa televisi sebagai media audio visual mampu merebut 94% saluran masuknya pesan- pesan atau informasi dalam jiwa manusia yaitu melalui mata dan telinga. Dalam melihat program televisi yang secara khusus ditujukan kepada anak-anak, televisi tidak dapat dilepaskan dari masalah nilai sosial. Program televisi untuk anak-anak selain untuk memenuhi fungsi hiburan, juga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi. Dengan jangkauan khalayak yang luas, televisi telah menjadi sebuah hegemoni baru dan mampu mendikte pemirsanya (Hidayat NR, 2005). Sejalan dengan itu, hasil penelitian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada tahun 1996 menemukan bahwa televisi merupakan media yang paling banyak dipilih anak dan rata-rata anak usia sekolah menghabiskan waktu 35 jam seminggu atau 5 jam sehari di depan layar televisi (Ayahbunda dalam Zainuddin, 2005). Sebagai agen sosialisasi utama dan pertama di lingkungan keluarga, televisi dapat mengarahkan pemirsanya kearah perilaku prososial maupun antisosial. Sekaitan dengan itu, tayangan-tayangan dalam media penyiaran (khususnya televisi) hendaknya dikemas dengan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

205

siaran-siaran yang sehat dan bermutu. Dengan demikian, bila pelaku media dapat mengimplementasikan regulasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, maka diyakini siaran/tayangan yang sehat dapat terwujud sehingga masyarakat berada dalam keteraturan sosial dan terhindar dari konflik dan berbagai penyakit sosial lainnya. Itulah sebabnya, fungsi perekat sosial media (TV) mendapat tempat tersendiri karena mampu menciptakan harmonisasi dan toleransi. Demikian halnya dengan fungsi sosialisasi yang diembannya, dapat menciptakan kualitas dan peningkatan moral spiritual remaja dan generasi muda. Kesadaran akan arti penting media (TV, radio, dll) bagi sosialisasi pun telah mendorong para pendidik, pemerhati dan praktisi pendidikan untuk memanfaatkan media tersebut sebagai agen sosialisasi di bidang pendidikan. Di sejumlah negara maju, misalnya televisi digunakan untuk menayangkan siaran-siaran pendidikan yang bertujuan mempengaruhi pengetahuan, keterampilan dan sikap khalayaknya. Dalam masyarakat kita lembaga-lembaga penyiaran, seperti TV dan radio secara teratur menayangkan berbagai macam acara termasuk didalamnya adalah pendidikan. Sebagai agen sosialisasi, televisi tidak sedikit perannya dalam mengubah perilaku agresif generasi muda. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Bandura dalam Ricci Saadi Wijaya (2009) bahwa anak-anak mudah sekali melakukan modeling. Oleh karena itu, tayangan TV yang tidak sesuai bagi anak dapat membentuk dan meningkatkan perilaku agresif mereka. Sejalan dengan ini, Muhammadiyah Yunus (2007) mengatakan bahwa anak-anak itu adalah duplicator (peniru) yang ulung. Mengingat peran televisi yang luar biasa yang dapat menghipnotis khalayak, seorang penyair yang juga wartawan, Yusuf Susilo Hartono pernah berkata bahwa televisi itu tidak ubahnya―berhala‖ yang mampu mengalihkan kiblat ratusan juta ummat. Disatu sisi televisi memberikan manfaat kepada pemirsanya sebagai media edukasi, hiburan, dan informasi, dan di lain sisi televisi dapat

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

206

memberikan sejumlah dampak negatif. Awadi Munshir seperti dikutip oleh Muhammadiyah Yunus (2007) menguraikan sejumlah dampak negatif televisi sebagai berikut: i) menyia-nyiakan waktu, umur dan kehidupan, ii) melalaikan tugas dan kewajiban, iii) merenggangkan tali silaturahim, iv) mengganggu keharmonisan hubungan keluarga, v) menyebarkan keraguan dan menghilangkan kepercayaan di antara sesame umat manusia, vi) alat transformasi kejahatan dan kebejatan moral, vii) mengajarkan ihtilath (perbuatan mesum) kepada masyarakat, viii) mengajarkan sikap, pola dan gaya hidup tercela, ix) membiasakan umat Islam berghoddul bashor (pemandangan yang mendatangkan godaan untuk berbuat dosa dan maksiat), x) penyebab timbulnya berbagai masalah kejiwaan dan seksual, dan xi) membuat sibuk sehingga melalaikan urusan yang lebih penting. Perilaku immoral dan agresif yang timbul dalam diri remaja sebagai akibat tayangan yang tidak mendidik, seperti pornografi, kekerasan, mistik, dan lain-lain. Gadner, dkk. (1967) melaporkan hasil penelitiannya bahwa rata-rata 80% program TV menayangkan kekerasan perjamnya, bahkan siaran-siaran yang dipertontonkan bagi anak-anak memperlihatkan tingginya tingkat atau aspek kekerasan. Demikian halnya film-film kartun yang digandrungi anak- anak ternyata memiliki aspek kekerasan tertinggi disbanding program lainnya. Bahkan beragam tayangan sinetron di TV dianggap kurang menarik bila tidak disertai dengan aspek kekerasan, pornografi, dan mistik.

Pornografi Media massa cetak beberapa waktu lalu mewartakan bahwa Yayasan Kita dan Buah Hati melansir data sebanyak 67 persen dari 2.818 siswa SD kelas 4 – 6 mengaku pernah mengakses informasi pornografi. Lebih mengkhawatirkan lagi seperti dilaporkan oleh Komnas Anak bahwa 62,7% siswi SMP tak perawan lagi dan 97% pernah nonton film porno (Tribun Timur, 14 Juni 2010). Komnas Anak menilai tingginya pengakuan siswi SMP yang tidak perawan lagi diakibatkan besarnya rasa

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

207

keingintahuan remaja terhadap seks. Keingintahuan remaja tersebut sebagai akibat tayangan-tayangan TV yang mengundang birahi. Ada beragam akibat yang ditimbulkan oleh tayangan yang dikemas oleh pornografi, seperti rasa ingin mencoba-coba, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah terjadinya pemerkosaan disertai abuse, pemerkosaan anak di bawah umur, sodomi yang diakhiri dengan pembunuhan yang dilakukan baik oleh keluarga dekat si anak maupun orang lain yang ada di komunitasnya.

Kekerasan Ron Solby dari Universitas Harvard seperti dikutip oleh Bahrul Ulum Ilham (2005) ada empat macam dampak tayangan kekerasan media televisi terhadap anak, yaitu dampak aggressor, dimana sifat jahat dari anak akan semakin meningkat; dampak korban, dimana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; dampak pemerhati, dimana anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; dan dampak nafsu, dengan meningkatnya keinginan untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan. Melalui tayangan kekerasan di televisi, pada dasarnya anak ingin mempraktekkan apa yang dilihatnya di televisi, karena secara psikologis, si anak akan meniru perilaku para jagoan pujaannya dan selanjutnya memperaktekkan pada adik atau bahkan dengan anak dari tetangganya. Berita- berita bunuh diri, seperti gantung diri, terjun dari gedung bertingkat atau mall juga menjadi tren bunuh diri orang- orang yang diliputi dilema dalam hidupnya, dan dari hari ke hari fenomena bunuh diri dengan dua perilaku tersebut terus meningkat. Demikian halnya dengan membunuh dengan cara-cara sadis, seperti memotong-motong bagian tubuh korban (mutilasi).

Mistik Selain tayangan pornografi dan kekerasan, tayangan lainnya yang dapat merusak moral dan dapat memberi ruang untuk berkembangnya sikap syirik di tengah masyarakat adalah mistik. Ada banyak stasiun televisi yang Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

208

akhir-akhir ini yang tetap menyiarkan tayangan mistik. Menurut Tarigan dalam Bahrul Ulum Ilham (2005), tayangan mistik tersebut telah memberikan dampak bagi pemirsa seperti tampak dalam berita di media massa tentang orang yang menuntut ilmu hitam dengan menjalankan beberapa persyaratan sadistis, misalnya membunuh anak kecil, menghisap darah, memperkosa, dan sebagainya.

Agenda Aksi Ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif tayangan TV, antara lain: 1) Dampingi anak ketika sedang menonton dan diskusikan tayangan tersebut bersama, 2) Selalu lihat rating film tersebut. Di Indonesia biasanya tayangan TV dibagi menjadi SU (segala umur), BO (Bimbingan Orang tua), dan D (Dewasa). Untuk film-film Amerika, ratingnya dikeluarkan oleh Motion Picture Association of America (MPAA). Rating film-film Amerika dapat ditemukan di DVD untuk mengetahui apakah film-film tersebut layak dikonsumsi oleh anak-anak. Rating G (General Audience) untuk semua umur, PG (Parental Guidance Suggested) untuk semua umur tapi sebaiknya dengan bimbingan orang tua, PG-13 (Parents Strongly Cautioned) beberapa materi tidak sesuai untuk anak di bawah 13 tahu, R (Restricted) untuk mereka yang berusia 17 tahun ke atas, dan NC-17 (No One 17 and Under Admitted) untuk orang dewasa (dulu rating NC-17) menggunakan rating X atau semi porno). Yang menarik sebagian besar film yang ditayangkan di lembaga penyiaran di Indonesia tidak mencantumkan rating tersebut sehingga dapat menyesatkan anak, 3) Buat jadwal menonton TV anak dan daftar tayangan apa saya yang dapat ditonton, 4) Mendorong partisipasi aktif masyarakat sebagai sosial kontrol untuk melaporkan tayangan-tayangan yang tidak mendidik, 5) Pemerintah dan masyarakat hendaknya tetap mendukung langkah strategis KPI dan KPID untuk melaksanakan fungsi dan perannya, 6) Mendorong partisipasi aktif seluruh komponen bangsa untuk proaktif dan bersatu melakukan tekanan (pressure) kepada media televisi agar menyajikan acara-acara yang benar-benar memberi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

209

kontribusi positif bagi pencerdasan bangsa, 7) Mewujudkan prinsip keberagaman isi siaran (diversity of content) dengan menambah siaran yang pro akan kepentingan anak-anak dan budaya lokal, 8) Konsisten untuk mensosialisasikan program Gerakan Menonton Sehat (GEMES) dan Gerakan Produksi Sehat (GESIT) sebagai program unggulan KPID Sulawesi Selatan, 9) Mensosialisasikan program-program KPID melalui KPID Goes to School/Campus, dan lain-lain. (Tribun Sulbar, Maret 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

210

BAB 4 BAHASA

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

211

POLITIK DAN REKAYASA BAHASA

Bahasa dalam pengertian sempit adalah alat komunikasi atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kepada orang lain. Namun dalam pengertian lebih luas, bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai wilayah, yakni wilayah politik, sosial, budaya, hukum, pendidikan, dan lain-lain. Bahasa juga digunakan oleh seseorang dengan berbagai tujuan. Bahasa dalam ranah politik diarahkan untuk tercapainya tujuan politik yaitu memperoleh kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Bahasa-bahasa para politisi tersebut yang bertujuan untuk menarik perhatian para pemilih dapat dilihat pada berbagai media kampanye, seperti: baliho, spanduk, iklan, kartu nama caleg, dan kutipan hasil wawancara yang menghiasi media massa. Hal ini sejalan dengan pendapat Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa bahasa merupakan media untuk memperoleh kekuasaan. Bahasa juga sebagai bahan sangat mendasar dalam politik, seperti tergambar dalam pikiran deLespinasse bahwa bahasa merupakan bumbu dasar segala ranah yang berkaitan dengan politik untuk mencapai kekuasaan. Bahasa juga dipandang sebagai sarana utama politik dan melalui penggunakan bahasa terefleksi bagaimana kekuasaan digunakan. Ini yang seringkali disebut sebagai bahasa politik (Suprapto, 2002). Bahasa memiliki peran yang dominan dalam politik, karena retorika politik juga mengandalkan piranti kebahasaan, seperti aliterasi, pengulangan, paralelisme dan metafora. Retorika juga tak terlepas dari ungkapan- ungkapan yang ekspresif dan puitis untuk menjadi lebih menarik, selain menggunakan judul, memanfaatkan generalisasi, pola-pola kutipan, dan overleksikalisasi (Talbot, Atkinson & Atkinson dalam Kweldju, 2008).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

212

Bahasa mempunyai kekuatan untuk menjelaskan maksud dan keinginan orang yang menggunakannya. Seorang calon presiden dalam pidato kampanyenya menggunakan ideograf atau kata-kata yang sangat menarik dengan berbentuk ―janji-janji manis‖ dihadapan konstituennya. Dengan mengatakan bahwa kelak apabila dia menjadi seorang presiden akan menegakkan demokrasi, memberantas korupsi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ungkapan kata-kata atau ―janji-janji manis‖ seperti ini menandai adanya keinginan untuk mendapatkan dukungan politik dari para pemilih agar keinginan utama si pembicara untuk menjadi presiden dapat tercapai (Yaqin, 2007). Demikian halnya dengan para politisi di Indonesia menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden, telah mendesain berbagai macam atribut pemilu beserta program dan janji-janji manis yang akan dijual dalam pesta demokrasi 5 tahunan mendatang. Dengan demikian, maka bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam ranah politik kekuasaan, yang kadang-kadang diungkapkan oleh para elit politik tanpa mengindahkan kesantunan berbahasa. Ini yang sering kita sebut sebagai politik dan rekayasa bahasa, dan ideograf dengan maksud untuk mewujudkan target-target politik para calon anggota legislatif.

Politik Bahasa Bahasa Indonesia telah menjadi bagian dari kehidupan politik di Indonesia, khususnya di kalangan elit politik dan birokrasi pemerintahan. Dalam prakteknya, Bahasa Indonesia sebagaimana bahasa-bahasa yang lain di dunia tidak pernah lepas dari fungsi politis yang sangat tergantung pada kepentingan-kepentingan kelompok atau penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya melalui beberapa macam politisasi bahasa. Politisasi bahasa ini dapat berbentuk adanya pembakuan bahasa, penginstitusian bahasa dan penggunaan jargon-jargon politik (Yaqin, 2007).

Ideograf Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

213

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2002 memberi batasan definisi ideograf sebagai lambang atau simbol yang merupakan gambaran pikiran atau angan- angan. Sejalan dengan definisi tersebut, Kweldju (2008) mengatakan bahwa ideograf adalah alat yang digunakan oleh seorang politisi untuk mendukung kebijakan atau stabilitas politik, sosial, dan kultural. Ideograf memiliki kekuatan yang luar biasa, karena sangat lentur, dan merupakan penanda yang dapat ditempelkan pada berbagai makna menurut kondisi retorika yang berbeda-beda. Ideograf adalah alat untuk mempertahankan sesuatu dan mengubah sesuatu. Misalnya, HAM adalah ideograf yang paling banyak digunakan Presiden George Bush (P-GB) dalam retorika kepresidenannya. P-GB berargumentasi bahwa semua tindakannya dijalankan atas dasar HAM yang dikaitkan dengan mitos Amerika Serikat, yaitu demokrasi. Dengan ideograf HAM, kebebasan (freedom) dan melakukan perubahan (change), P-GB ingin mewujudkan kepentingannya. Bahkan P-GB berargumentasi bahwa tentara AS menyerang Iraq atas dasar membela kebebasan dan HAM bagi rakyat Iraq (Stuckey & Ritter dalam Kweldju, 2008). Demikian halnya di Indonesia, Presiden SBY menggunakan ideograf sepert: pengentasan kemiskinan, kesejahteraan rakyat, keterbelakangan, ketidakadilan, ekstrimitas, radikalitas, budaya kekerasan, kebebasan, HAM, dan demokrasi untuk menggugah pendengarnya. Ideograf juga sangat ampuh untuk meraih target- target politik para pencari kekuasaan. Hal ini telah terbukti di dunia kekuasaan, seperti halnya ketika dalam kampanye perdana menteri Inggris, Tony Blair. Ia mengangkat pendidikan (education, education, education) sebagai isu sentral kampanyenya pada tahun 1996, dan mengantarnya menjadi perdana menteri Inggris. Demikian halnya terpilihnya SBY dan JK pada pemilu 2004 tidak terlepas dari ideograf yang mengemas visi kampanye mereka, sebagaimana tertuang dalam buku berjudul Membangun Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera. Ideograf-ideograf dalam visi, misi,

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

214

dan program SBY dan JK, seperti pengentasan kemiskinan, lapangan pekerjaan, terciptanya rasa aman, terwujudnya anggaran pendidikan 20%, terwujudnya Indonesia yang adil dan demokratis, landasan pembangunan yang kokoh, pemenuhan hak dasar rakyat, dan lain-lain. Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan terpilih, ketika berkampanye di pilkada Gubernur lalu mengangkat isu pendidikan dan kesehatan gratis sebagai pengemas kampanye mereka yang cukup ampuh dan strategis. Ideograf ini sangat jitu untuk menarik perhatian baik pemilih cerdas maupun pemilih ikut-ikutan, sehingga tanpa tedeng aling-aling mereka memilih pasangan SAYANG. Alasannya adalah program pendidikan dan kesehatan gratis tersebut menyentuh masyarakat banyak, yakni kelompok miskin. Program pendidikan dan kesehatan gratis di bidang sosial tersebut juga dipandang sebagai aktualisasi dari amanat konstitusi yang telah lama dirindukan.

Rekayasa Bahasa Disamping politik dan ideograf tersebut, rekayasa bahasa juga seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika dua orang bertemu, rekayasa bahasa dapat saja terjadi. Demikian halnya dalam tayangan sinetron melalui media TV, kehidupan rumah tangga para tokoh sentral cerita tersebut seringkali dibingkai dengan rekayasa bahasa. Cerita dalam sinetron tersebut melukiskan realitas sosial masyarakat kita. Rekayasa bahasa sulit untuk dihindari karena sesungguhnya manusia adalah zoon politicon (mahluk politik). Dengan demikian bukan sesuatu yang aneh bila dalam kehidupan ini terjadi rekayasa bahasa (language engineering). Rekayasa bahasa ini sesungguhnya memiliki tujuan yang tulus. Setulus dengan tujuan kekuasaan para negarawan sejati, dan setulus pula cita-cita politik/ilmu politik sebagai ratunya ilmu sosial (politics is the queen of social science), yaitu terwujudnya kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, rasa aman, harmoni, dan demokrasi. Dengan demikian bila tujuan tersebut telah dicapai oleh para pemimpi kekuasaan (power

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

215

dreamer), seperti calon presiden/wakil presiden dan caleg DPR/DPD/DPRD, hendaknya mereka berupaya maksimal untuk mewujudkan target-target kekuasaan yang dijual ketika berkampanye melalui beragam media yang dikemas dalam rekayasa bahasa yang mampu menyihir para pemilih. Menjelang pemilu legislatif 9 April 2009 ini, pemirsa TV dan pembaca berita di berbagai media, serta para konstituen seringkali disuguhi beragam janji-janji politik yang dikemas dengan politik dan rekayasa bahasa, dan ideograf. Dan dengan pemilu legislatif yang sudah di ambang pintu, maka seyogyanya para calon pemilih sadar untuk memilih calon anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) yang memiliki jejak rekam yang baik, baik secara intelektual maupun sosial. Jangan pula terbuai oleh janji-janji manis para caleg yang dikemas dalam berbagai ideograf, rekayasa dan politik bahasa yang juntrungannya justru akan menyengsarakan rakyat. Pemilih cerdas, memilih pula caleg cerdas yang pro akan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok mereka semata. (Fajar, 11 April 2009)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

216

PERDEBATAN ISTILAH ASING DI RANAH PUBLIK

Satu tahun terakhir, wacana Makassar sebagai kota dunia berlandaskan kearifan lokal telah tersosialisasi dengan gencar di masyarakat Sulawesi Selatan, utamanya kota Makassar. Beragam langkah strategispun dilakukan oleh pemerintah kota Makassar, guna mewujudkan cita-cita tersebut. Upaya yang dilakukan antara lain menata permukiman penduduk urban, mengkampanyekan perlunya kebersihan dan keidahan kota, pembangunan gedung jangkung, wacana pembangunan moda transportasi massal (monorel), busway, sampai pada penggunaan bahasa asing pada kampanye kebersihan kota Makassar ―Makassar Green & Clean (MGC)‖, ―Sulsel Go Green,‖ dan Visit South Sulawesi 2012 yang juga dikampanyekan oleh Pemerintah Sulawesi Selatan jauh sebelumnya. Penggunaan bahasa atau istilah asing (Inggris) di sejumlah tempat, produk dagang, tagline program pemerintah daerah, tagline sejumlah pasangan calon kepala daerah menjelang pemilukada di daerah, hingga pada beragam produk kuliner, seperti Mr. Bean Loves Paling Enak di Makassr, ―brother soup,‖ (yang diambil dari kata Sop Saudara), sepertinya menghiasi kota Makassar. Sebagian orang berpendapat bahwa langkah tersebut perlu diapresiasi karena akan menguatkan eksistensi kota Makassar menjadi kota dunia. Namun di sisi lain, tidak sedikit warga kota, terutama para akademisi, dan pemuda yang menggugat langkah pemerintah daerah dan para pengusaha hotel dan restoran yang menggunakan istilah asing tersebut, bahkan ada yang mengatakan kebijakan atau langkah tersebut tidak profesional dan tidak proporsional. Mereka juga Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

217

berpandangan langkah penggunaan bahasa asing tersebut ditengarai bertentangan dengan amanat undang-undang. Hal ini mengemuka pada dialog kebangsaan yang diadakan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sulawesi Selatan pada tanggal 29 September 2011 di Makassar. Dialog tersebut menghadirkan sejumlah tokoh muda dan akademisi sebagai nara sumber, dan dihadiri oleh sejumlah siswa SMA di Makassar. Para pembicara dalam diskusi tersebut tidak diragukan lagi kapabilitasnya di bidang sosial dan kebijakan, termasuk penanaman nilai-nilai jati diri bangsa kepada setiap generasi muda. Para narasumber mengkritisi penggunaan istilah dengan penggunaan bahasa asing, seperti Sulsel Go Green dan Makassar Green & Clean. Mereka juga menuding Pemkot Makassar dan Pemrov Sulawesi Selatan tak maksimal melindungi bahasa Indonesia. Dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 29, ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, dan (2) Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa asing diperbolehkan untuk tujuan tertentu. Sebagai contoh adalah pada kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), dimana guru dalam proses pembelajaran dibolehkan menggunakan bahasa Inggris minimal 50 persen dan merupakan sesuatu yang wajib. Demikian halnya, dalam proses belajar mengajar pada jurusan bahasa Inggris di Perguruan Tinggi, materi juga disampaikan dalam bahasa Inggris. Hal ini diperkuat dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 38 ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum, dan (2) Penggunaan Bahasa

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

218

Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah dan/atau bahasa asing. Demikian halnya pada Pasal 35, ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia, dan (2) Penulisan dan publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan atau bidang kajian khusus dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Ayat (2) Pasal 29 berbunyi: Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Selanjutnya, Ayat (2) Pasal 38 berbunyi: Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah dan/atau bahasa asing. Kedua ayat tersebut meyakinkan kepada kita bahwa penggunaan istilah dalam bahasa daerah dan bahasa asing (Inggris) dibolehkan untuk tujuan sosial dan komersil di masyarakat. Tentu dengan mekanisme yang diatur dalam undang-undang tersebut. Oleh karena itu, semestinya euphoria masyarakat dan pemerintah kota Makassar untuk menjadikan Makassar sebagai kota yang bersih nan hijau (Makassar Green & Clean) serta keinginan masyarakat dan Pemerintah Sulawesi Selatan untuk menghijaukan Sulsel di bawah payung ―Sulsel Go Green,‖ didukung dengan sepenuh hati. Yang keliru dari tagline Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan adalah karena tidak mencantumkan bahasa Indonesia sebagai sesuatu yang wajib, dan diikuti oleh bahasa daerah dan bahasa asing (Inggris) sebagai sesuatu yang sunnah. Yang ideal adalah, Sulsel Hijau diikuti Sulsel Go Green, Sulsel Makudara‘ dan Makassar Hijau & Bersih diikuti Makassar Green & Clean, Makassar Hijau nennia Mapaccing. Ini juga dilakukan oleh sejumlah negara dan kota yang kerapkali dikunjungi oleh turis atau tamu asing. Sebagai contoh kota Mekkah Almukarramah dan Medinah Almunawwaroh di Arab Saudi, dimana pada hampir setiap

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

219

pemarka jalan dan pengumuman tertera beberapa bahasa asing, seperti bahasa Arab, Inggris, Indonesia, dan lain-lain. Hal serupa juga terjadi di Bali, dimana pada hampir setiap pengumuman penting dan pemarka jalan tertulis tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah (Bali), dan bahasa Inggris. Jika hal ini dilakukan oleh pemerintah daerah dan para pengusaha di Makassar, yakni petunjuk jalan dan nama-nama produk (makanan), hendaknya diberi label bahasa Indonesia, daerah, dan bahasa Inggris. Upaya tersebut sebagai salah satu langkah strategis untuk mempertahankan nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal), juga untuk menguatkan nilai-nilai kebangsaan, serta tetap pro atas globalisasi dan modernisasi yang telah menjadi keharusan. Oleh karena itu, pemuda, akademisi, praktisi, dan perencana dan pembuat kebijakan tidak perlu ragu (skeptis) terhadap pencantuman istilah asing dalam setiap kesempatan. Tidakkah kita tahu, Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia yang pertama senantiasa menggunakan istilah asing, Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, dalam setiap idiograf pidato dan tulisannya. Bahkan Bung Karno acapkali menulis surat pribadi kepada para istrinya dengan menggunakan bahasa asing (Inggris). Itu pulalah yang menguatkan eksistensi Sukarno sebagai pemimpin dunia ketika itu yang disegani dan juga ditakuti, dan mengantarkan Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka dan diperhitungkan di kancah internasional. (Fajar, 8 Oktober 2011)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

220

BAB 5

TEBARAN PIKIRAN DALAM BERAGAM TOPIK

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

221

JOKOWISME DAN JAKARTA BARU

Menjelang Pemilukada Gubernur DKI Jakarta 2012, semua lembaga survei menempatkan petahana (incumbent), Fauzi Bowo (Foke) – Nara sebagai calon pasangan gubernur – wakil gubernur DKI yang memiliki elektabilitas dan popularitas tertinggi dari lima pasangan calon yang ikut berlaga. Salah satu pasangan calon gubernur – wakil gubernur yang hanya berada di urutan tiga atau empat adalah Jokowi – Ahok versi lembaga survei sebelum pemilukada dilakukan. Sosok Jokowi asal Solo dan Ahok asal Babel kurang diperhitungkan oleh pengamat dan lembaga survei, mengingat kedua tokoh tersebut tidak populer bagi warga ibukota (Jakarta). Namun, sangat mencengankan dan diluar dugaan mayoritas pengamat, ternyata putaran pertama dan kedua Pemilukada DKI Jakarta diungguli oleh pasangan Jokowi – Ahok. Kemenangan Jokowi – Ahok membuat decak kagum sebagian orang, termasuk sejumlah politisi untuk meniru perilaku apa adanya dan cara berpakaian Jokowi – Ahok yang terkenal dengan kemeja kotak-kotaknya, dan berslogan pembangunan harus dimulai dari bawah (gross root), yaitu kampung kumuh. Ia juga cukup mencengankan dan membuat pemirsa TV tertawa gelih bercampur kagum ketika ia dan pasangannya, Ahok berada di depan para pendukung dan warga Jakarta, manakala ia mengikuti debat cagub – cawagub DKI Jakarta pada putaran kedua. Hemat penulis ketika itu, Foke – Nara kalah telat dari kesederhanaan dan komentar Jokowi – Ahok apa adanya. Pertanyaannya kemudian, akankah muncul di masyarakat ini Jokowisme?. Lalu apa itu ―isme?.‖ Isme dalam KBBI merupakan sufiks (akhiran) pembentuk nomina (kata

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

222

benda) sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi: terorisme, liberalisme, komunisme. Di era pemerintahan Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, muncul faham Soekarno yang disebut Marhaenisme yang diambil dari nama seorang petani papa penggarap. Isme bisa berasal dari gerakan atau nama seseorang, bisa jadi nama dari tokoh populer dari partai politik atau negarawan yang konsep pembangunannya telah membumi dan mengakar di masyarakatnya. Lalu, mungkinkah Jokowisme?. Faham (isme) Jokowi (Jokowisme) dapat saja menjadi kenyataan bila Jokowi sang Gubernur DKI Jakarta yang baru dapat mewujudkan janji-janjinya ketika ia berkampanye pada Pemilukada DKI beberapa saat lalu, terutama mengatasi 3 permasalahan klasik di ibukota, yaitu kemacetan, banjir, dan perkampungan kumuh yang membuat Jakarta menyeramkan dan kurang bersahabat bagi setiap orang yang mengunjunginya. Ditambah lagi kemiskinan, pengangguran, tawuran antar siswa, dan konflik komunal yang setiap saat akan terjadi. Di hari H usai pelantikannya, ia kemudian menyempatkan diri menyapa para warga Jakarta dan keesokan harinya setelah ia dilantik oleh Menteri Dalam Negeri RI, Gamawan Fauzi, sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi membuktikan janjinya, ia mendatangi beberapa tempat kumuh (rusun) untuk berdialog dengan warga Jakarta. Di hari ketiga menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi melakukan sidak ke sejumlah kantor kelurahan dan kecamatan di wilayah Jakarta, dan keesokan harinya ia mengumpulkan para lurah dan camat se-DKI Jakarta lalu memberikan penjelasan kepada para lurah dan camat, laiknya seorang profesor yang memberikan kuliah umum kepada para mahasiswanya. Hal tersebut ia lakukan untuk memberikan bekal kepada bawahannya sehingga mereka dapat memberikan pelayanan publik prima kepada warganya. Hal ini jarang bahkan tidak pernah dilakukan oleh seorang kepala daerah negeri ini, kecuali Jokowi. Biasanya yang memberikan pembekalan kepada para lurah, camat, dan bupati/walikota adalah para staf ahli, peneliti,

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

223

atau akademisi yang dibayar mahal oleh pemerintah. Tidak dengan Jokowi, setidaknya ketika ia turun sendiri ke warganya, menapaki lorong-lorong sempit, memahami dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh warganya, ia dapat meminimalisasi pengeluaran APBD, juga ketika ia menyampaikan materi di hadapan para bawahannya, juga dapat mengurangi pengeluaran APBD DKI Jakarta dan itu dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan pro poor lainnya. Bayangkan kalau semua dilakukan oleh orang lain, tentu biayanya tidak sedikit. Bila saja Jokowi dapat mewujudkan Jakarta bebas macet, melalui konsep moda massal mono rel (MRT), maka Jakarta akan menjadi kota yang menarik untuk dikunjungi para wisman. Bila saja ia mampu mewujudkan rumah deret di sepanjang bantaran sungai yang akan ia berikan secara cuma-cuma kepada warganya dan bila ia mampu menyulap perkampungan kumuh menjadi tempat yang nyaman dan indah, maka ia akan menjadi pemimpin (gubernur) Jakarta yang dikenang sepanjang masa. Bila saja ia dapat mengurangi titik – titik daerah banjir di Jakarta (mustahil menghilangkan banjir secara keseluruan di Jakarta), maka ia akan dijuluki sebagai pemimpin progresif yang pro pada kepentingan publik dan memiliki konsep tata kelolah pemerintahan yang baik (good governance). Demikian halnya dengan tersedianya pemenuhan kebutuhan dasar setiap warganya melalui program pengentasan kemiskinan, akses pendidikan dan kesehatan gratis yang bermutu, kedilan sosial (social justice), dan terwujudnya harmoni di Jakarta. Bila itu semua dapat diwujudkan, Jakarta akan menjadi kota dunia Baru, dengan kehidupan warganya yang baru pula dan Jokowi akan dikenang sepanjang masa sebagai pemimpin Indonesia baru, dan boleh jadi ia akan menjadi Presiden Indonesia baru. Literatur tentang Jokowi, textbook tentang kiprahnya di dunia pemerintahan, akan menghiasi toko buku dan perpustakaan serta pemikiran cemerlangnya akan menghiasi dunia akademik di kampus, di seminar dan pertemuan ilmiah lainnya.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

224

Jokowi, selamat buat anda, wargamu telah menanti kiprahmu untuk mewujudkan Jakarta Baru, yaitu Jakarta yang bebas dari penyakit sosial akut, seperti banjir, macet, kumuh, kemiskinan, pengangguran, dan tawuran. SIARAN KAMPANYE DI LEMBAGA PENYIARAN

Kehadiran UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran semakin meneguhkan lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio sebagai sebuah lembaga yang memiliki fungsi informasi, edukasi, dan hiburan, serta perekat sosial yang efektif. Secara substantif, UU Penyiaran 2002 membuka jalan bagi demokratisasi penyiaran yang akan menjadikan televisi dan radio di Indonesia sebagai sebuah public sphere (Armando, 2011). Sebagai ruang publik, lembaga penyiaran menawarkan beragam tayangan atau siaran yang menarik untuk ditonton dan didengar publik. Seiring dengan adanya beragam program menarik tersebut yang menarik perhatian publik, maka lembaga penyiaran memberikan ruang kepada publik untuk beriklan, baik itu iklan niaga, iklan layanan masyarakat (ILM), maupun iklan politik dan/atau siaran pemilukada. Aturan tentang siaran pemilukada tertuang dalam Program Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) KPI. Dalam P3, Pasal 50 ayat (1) berbunyi: Lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah, ayat (2) berbunyi: Lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Belakangan kampanye, debat calon, dan iklan politik menghiasi layar kaca, dan keberadaan lembaga penyiaran yang pintar mencari peluang sebagai industri padat modal semakin meneguhkan keberadaannya sebagai industi Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

225

raksasa yang dicari dan disenangi publik, termasuk kontestan pemilu/pemilukada. Bila di era 70-an hanya empat negara di dunia yang mengandalkan iklan politik di media televisi, yakni USA, Kanada, Australia, dan Jepang, maka di era 90-an sekitar 50 negara yang mengizinkan penggunaan ranah publik itu bagi iklan politik (Plasser dalam Danial, 2009). Sebagai negara yang tidak ingin ketinggalan dalam kehidupan dan praktik kampanye politik, Indonesia juga memberikan ruang kepada partai atau kontestan untuk menggunakan media televisi dan radio untuk menjual visi, misi, dan program yang dikemas dalam kampanye politik. Lembaga penyiaran, harus memberikan porsi secara adil dan berimbang, serta tayangan/siaran yang disampaikan tidak bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan berbohong. Hal ini diamanatkan oleh UU Penyiaran, Pasal 36, ayat (5) Isi siaran dilarang: a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan/atau bohong. Demikian halnya dengan keberadaan ruang kampanye bagi kontestan di lembaga penyiaran supaya dimanfaatkan sebaikmungkin tanpa menjatuhkan, menghasut, saling memfitnah, dan mendiskreditkan lawan. Bagi kontestan hendaknya melakukan praktik atau kampanye politik untuk meraih kekuasaan tanpa ada yang tercederai. Demikian halnya dengan lembaga penyiaran harus mengedepankan keadilan dan keberimbangan. Praksis ketidakberimbangan dan ketidakadilan lembaga penyiaran terjadi di era Orde Baru, dimana TVRI sebagai lembaga penyiaran milik pemerintah ketika itu menayangkan pemberitaan partai politik secara tidak adil. Jumlah pemberitaan Golkar lebih banyak disbanding parpol lain. Harian Media Indonesia, edisi 8 Juli 1997 (Danial, 2009) mencatat, selama tiga bulan sampai akhir 1995, Golkar mendapat liputan TVRI 98 kali, PP 10 kali dan PDI hanya 2 kali. Demikian halnya, pada Pemilu 1992, dari tujuh menit yang dialokasikan TVRI untuk pemberitaan kampanye,m Golkar mendapatkan porsi liputan paling banyak, yakni 4 menit 25 detik, PPP 41 detik, dan PDI hanya 56 detik.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

226

Reformasi bergulir karena ketidakadilan yang telah terjadi di negeri ini dan menghasilkan kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Kesejahteraan hanya milik sebagian orang, sebagian orang itu adalah yang dekat dengan kekuasaan, maka di Era Reformasi ini, ketidakadilan dan diskriminasi tidak lagi diberi ruang untuk tumbuh subur dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan negara. Itulah sebabnya, praktik ketidakadilan di lembaga penyiaran, terutama kepada partai politik dan kontestan Pemilu dan Pemilukada telah ditutup rapat-rapat. Sekaitan dengan itu, KPID Sulawesi Selatan KPUD Sulawesi Selatan, dan PANWAS Pemilukada Gubernur Sulsel 2013 melahirkan MOU tentang praktek siaran kampanye di lembaga penyiaran. Menindaklanjuti MOU tersebut, KPID Sulsel membentuk Desk Monitoring Pemilukada Gubernur – Wakil Gubernur Sulawesi Selatan 2013 dan yang menjadi koordinator adalah komisioner Bidang Monitoring dan Isi Siaran serta seluruh komisioner menjadi anggota pemantau isi siaran kampanye dibantu oleh petugas monitoring/pegawai. Untuk mewujudkan Pemilukada Gubernur – Wakil Gubernur Sulsel 2013 yang sehat, jujur, adil, dan bermartabat, maka seyogyanya setiap pasangan calon dan para tim pasangan calon mengejawantahkan pendidikan politik yang santun dan elegan, menjelang, saat, dan pasca pencoblosan sehingga tetap terpelihara harmoni dan kedamaian di Sulawesi Selalatan.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

227

MUNAFIKISME POLITIK PKS

Hasil sidang paripurna DPR pada 31 Maret 2012 membatalkan kenaikan harga BBM. Rakyatpun tertawa ria, sementara pemerintah sedih, murung bercampur geram. Salah satu penyebab geramnya pemerintah adalah sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak konsisten dengan kesepakatan yang dibangun di Setgab Koalisi pimpinan SBY. Lagi-lagi partai ini dicap sebagai pembangkang, dan banyak yang menginginkan supaya didepak saja dari koalisi. Sepertinya, PKS paham betul intrik politik adiluhung. Ia tahu kapan ia harus bersikap oportunis, kapan pula ia harus mengambil sikap untuk membangkang. Nilai plus minus sikap oportunisme dan pembangkangan PKS setidaknya menjadi referensi terbaru dalam khasanah teoritis dan perpolitikan praktis di negeri ini. PKS ketika diajak berkoalisi, atau mengajukan diri untuk berkoalisi pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid 2 dengan senang hati dan tertawa lebar. Mumpung ada kesempatan, sifat oportunisme inipulalah yang membuat publik menaruh curiga terhadap perilaku PKS, apa sebenarnya visi besar (great vision) partai ini, berpihak pada rakyat, atau mencari kekuasaan?. Dengan perilaku PKS yang mbalelo pada keputusan politiknya menolak kenaikan harga BBM, membuat sebagian orang mengacungkan jempol, tetapi sebagian yang lain menganggap PKS sebagai partai yang oportunis dan pembangkang. Apa yang dilakukan oleh elit PKS tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melanggengkan kekuasaannya pada perpolitikan di Indonesia kontemporer,

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

228

yang tidak lazim terjadi sebelumnya, baik di negeri ini maupun di negara demokrasi lainnya di dunia. Elit PKS bergabung ke KIB Jilid 2 semata untuk mempertahankan dominasi dan legitimasi sebagai salah satu partai besar dan diperhitungkan, terbukti elit mereka direkrut menjadi menteri sejak era Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Kader PKS juga telah menjabat ketua MPR RI, dan kini 3 orang elit PKS menjadi menteri di KIB Jilid 2. Nilai plus yang diperoleh PKS dengan bergabung di KIB Jilid 2 adalah setiap saat menteri dari PKS berkunjung ke daerah, saat itu pula semakin menguatkan eksistensi dan legitimasi partai ini sebagai salah satu partai besar. Apalagi menteri yang dijabat PKS adalah Kementerian yang sangat potensial untuk menggandeng pencitraan positif PKS, seperti Kemkominfo, Kemensos, dan Kementerian Pertanian. Demikian halnya dengan pembangkangan yang dilakukan oleh PKS perihal penolakan terhadap kenaikan harga BBM, juga menguntungkan PKS menjelang Pileg - Pilpres 2014 dan Pemilukada di Sejumlah Daerah pada 2012 ini, termasuk Pilgub di DKI Jakarta. Dengan sikap PKS yang pro akan kepentingan rakyat kecil, akan melanggengkan kekuasaan PKS baik di legislatif maupun di yudikatif. Sikap mendua, atau munafikisme politik yang dilakukan oleh PKS membuat publik bingung, terutama para konstituen PKS itu sendiri. Tapi bagi elit PKS, apapun yang dilakukannya itu merupakan taktik atau strategi untuk melanggengkan kekuasaan sebagai salah satu the ruling parties. Mereka paham betul pendapat Nicolo Macchiavelli, menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Dalam Islam juga diperbolehkan melakukan siasat/strategi (syiasyah) dalam keadaan perang untuk memenangkan pertarungan. Publikpun memiliki keyakinan, siasat yang dilakukan oleh elit PKS yang tidak biasa dilakukan oleh elit partai lain adalah untuk memenangkan pertarungan dalam setiap kompetisi dan berujung pada perwujudan kesejahteraan rakyat yang adil dan merata. Apa yang dilakukan oleh PKS memang benar adanya, karena PKS sebagai salah satu partai pemula pasca reformasi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

229

dan telah dilirik oleh masyarakat, mulai kelas bawah hingga kelas atas, termasuk Islam garis keras, dan penduduk urban modern. Andaikan PKS tidak oportunis, maka pencitraan elit partai dan PKS akan menurun di mata publik. Demikian halnya, dengan sikap pembangkangan yang dilakukannya juga menguatkan eksistensinya di mata publik, terutama masyarakat dari kelompok miskin, bahwa PKS adalah partainya wong cilik. Itulah politik yang serba tidak menentu, itulah kebijakan politik PKS setidaknya untuk beberapa tahun kedepan. Peter Marris (1996) dalam buku berjudul The Politics of Uncertainty mengatakan ―Ketidakpastian merupakan kondisi fundamental kehidupan manusia,‖ dan kita mencoba menguasainya dengan menemukan aturan pada setiap peristiwa yang terjadi. Setidaknya untuk kondisi sekarang, sikap PKS adalah menjadi ajang coba – coba untuk mencari format politik yang dapat melanggengkan dominasi dan legitimasi PKS. Idealnya memang sebuah partai konsisten pada ideologi, visi, sikap oposisi, atau pro pemerintah. Tapi tidak dengan PKS. Alasannya adalah Indonesia masih sedang mencari demokrasi yang ideal pasca reformasi. Demikian halnya, PKS sebagai salah satu partai pendatang baru pasca runtuhnya Orde Baru, juga masih mencari format, strategi dan kebijakan politik yang dapat melanggengkan kekuasaanya. Publik yakin suatu ketika PKS akan konsisten. Konsisten mengatakan ya, kalau itu untuk kepentingan rakyat. Konsisten mengatakan tidak kalau kebijakan itu merugikan kepentingan rakyat banyak. Demikian halnya konsistensi, bergabung di kabinet atau menjadi oposisi adalah pilihan bagi PKS.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

230

POLEMIK MORATORIUM PENERIMAAN CPNS

Beberapa bulan terakhir, publik resah akibat rentetan tontonan kejadian yang memilukan sekaligus membuat publik geram, seperti dikabarkan oleh sejumlah media massa. Belum hilang diingatan kasus bank century, muncul mafia pemilu dan juga kasus yang membelit sejumlah elit (politik dan eksekutif), serta kasus menyedihkan yaitu terpancungnya TKW asal Indonesia bernama Ruyati binti Saboti Saruna di Arab Saudi, yang mengilhami SBY untuk mengadakan moratorium terhadap pengiriman TKI/TKW ke luar negeri. Satu bulan terakhir, publik kembali terusik terutama honorer di sejumlah lembaga pemerintah, alumni sekolah menengah, dan luaran perguruan tinggi yang bergelar sarjana akibat wacana moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang akan diterapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah pada tahun 2012 mendatang. Isu tidak mengenakkan bagi pencari kerja (CPNS) tersebut, menghiasi halaman depan media cetak dan menjadi headline berita di stasiun sistem jaringan (TV Swasta), polemikpun bermunculan di tengah masyarakat dan sejumlah tokoh dan ilmuan sosialpun angkat bicara. Beberapa diantara mereka berpendapat sebelum moratorium diterapkan oleh pemerintah, seyogyanya diadakan pemerataan penempatan PNS di sejumlah lembaga atau dinas, karena ditengarai selama ini terjadi disfungsi peran dan tanggungjawab sejumlah PNS. Yang Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

231

terjadi selama ini adalah PNS bertumpuk di satu tempat dan tidak dapat bekerja secara efisien dan efektif, sementara di tempat lain, hanya segelintir orang saja yang memegang teguh tanggungjawab yang cukup berat. Sebagian lainnya berpendapat bahwa hendaknya moratorium penerimaan CPNS segera dilaksanakan oleh pemerintah karena selama ini tidak sedikit PNS di sejumlah departemen dan dinas yang tidak jelas tugas dan tanggungjawabnya sebagai abdi negara, sehingga yang terjadi adalah negara menggaji sejumlah orang yang kerjanya tidak jelas. Meminjam istilah kolega saya, yang juga ketua KPID Sulawesi Selatan, Rusdin Tompo, bahwa selama ini negara diibaratkan sebagai panti asuhan, artinya menggaji PNS, padahal sebagian dari mereka tidak memiliki tugas dan tanggungjawab yang jelas. Sebagai contoh di Minahasa, seperti dirilis oleh media massa, bahwa terdapat lebih dari 8 ribu PNS yang idealnya hanya sekitar 4 ribuan saja, menurut Bupati Minahasa, Stefanus Vreeke Runtu kepada sejumlah wartawan di Minahasa, mengakibatkan sebagian dari mereka tidak tahu akan mengerjakan apa ketika sampai di kantor dan nyaris menguras Dana Alokasi Umum (DAU) dari pusat. Alasan itulah maka, Pemda Minahasa tidak membuka formasi CPNS tahun 2011 ini. Alasan seperti inilah yang membuat pengambil kebijakan negeri ini untuk mengadakan penataan, perampingan atau pengurangan bahkan moratorium penerimaan CPNS yang sedianya akan dilaksanakan pada 2012 mendatang. Mengawali kebijakan pemerintah tersebut, tahun 2011 ini 60 instansi pemerintah tidak merekrut CPNS Baru, yakni 8 lembaga di tingkat pusat, 41 pemkab/pemkot, dan 1 pemprov (Fajar, 17 Juli 2011).

Moratorium Penerimaan CPNS: Picu Masalah Baru Keputusan pemerintah untuk menutup pengajuan jatah CPNS 2011, baik di level pusat maupun daerah berpotensi memicu masalah baru. Sebab, tidak diiringi dengan penataan regulasi dan penataan formasi kebutuhan antar instansi atau antar daerah, demikian dikatakan salah Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

232

seorang anggota komisi II DPR RI, Arif Wibowo di Jakarta, 17 Juli 2011 seperti dikutip oleh wartawan. Ia mengkhawatirkan wacana moratorium ini hanya akan melahirkan persoalan baru yang meresahkan kalangan birokrasi dan mengganggu pelayanan publik. Hal ini juga akan membuat pencari kerja (CPNS) resah sekaligus dapat menimbulkan masalah berantai di masyarakat. Selama ini pemerintah daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota masih sangat kekurangan PNS, terutama guru dan tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, dan lain-lain). Kekurangan tenaga PNS tersebut dapat dilihat di sejumlah dinas dan SKPD dimana tenaga honorer dan pegawai yang berstatus outsourcing jumlahnya masih sangat tinggi. Bila selama ini, ada banyak pilihan bagi generasi muda untuk mengadu nasib demi kesejahteraan diri dan keluarganya, seperti menjadi PNS, karyawan BUMN, dan bekerja di sejumlah perusahaan swasta dan pabrik. Maka ketika moratorium CPNS betul-betul dilaksanakan oleh pemerintah akan mempersempit kesempatan generasi muda untuk mengadu nasib, dan juntrungannya akan semakin memperparah keadaan bangsa ini. Akibat semakin banyaknya orang yang tidak memiliki mata pencaharian, sehingga boleh jadi minat untuk menjadi TKI dan TKW (ilegal) semakin meningkat karena terbatasnya pilihan untuk berkerja, dan justru merusak citra negeri ini sebagai negeri penghasil tenaga kerja pembantu. Kasus seperti yang terjadi di Minahasa, boleh jadi hanya satu contoh kasus dari sekian banyak daerah di Indonesia, yang memiliki PNS yang melebihi kebutuhan. Boleh jadi berlebihnya PNS di sejumlah daerah karena tidak mengikuti penataan yang baik dan hanya mendahulukan praktek kecurangan, yakni penerimaan CPNS tanpa pertimbangan need analysis (analisis kebutuhan) yang benar, tetapi selama ini berdasar pada kepentingan orang per orang (pejabat) untuk meluluskan kerabat dan anak teman sejawat mereka.

Mempertemukan Dua Kutub Ekstrim

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

233

Munculnya pro kontra seputar rencana pemerintah mengadakan moratorium penerimaan CPNS tahun 2012 mendatang perlu disikapi dengan hati-hati dan dengan kebijakan dan kebijaksanaan yang menyertainya. Hemat penulis, seyogyanya pemerintah mengambil jalan tengah, yakni jangan pernah mengadakan moratorium, tetapi pengurangan kuota CPNS karena bila kebijakan itu dipaksakan akan mematikan kreatifitas dan masa depan orang yang akan berkarir sebagai abdi negara (PNS). Tetapi pemerintah hendaknya tetap menjalankan penerimaan CPNS setiap tahunnya, tetapi mungkin yang dilakukan adalah pemetaan dan pengurangan kuota penerimaan CPNS tersebut. Hal ini cukup beralasan karena sejumlah daerah masih sangat membutuhkan PNS, terutama guru, dan tenaga kesehatan.

Kompetensi Profesional dan Profesional Religius Mungkin alasan mendasar yang mengganggu pikiran penyelenggara negara dan pemerintah daerah adalah alasan tidak sedikitnya PNS yang tidak memiliki kompetensi profesional sehingga tidak dapat berkontribusi secara maksimal di lingkungan kerja mereka. Mereka tidak menunjukkan kinerja dan loyalitas yang dapat diacungi jempol. Kenapa mereka melempem? Karena selama ini, PNS, apakah ia bekerja atau tidak, apakah ia punya inisiatif atau tidak, atau apakah ia memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi atau tidak, tetap saja memperoleh penghasilan (reward) yang sama, sehingga tidak memicu mereka untuk bekerja secara maksimal dan berdedikasi tinggi. Dengan alasan itulah, maka hendaknya kedepan tes penerimaan CPNS harus diserahkan kepada orang dari lembaga (perguruan tinggi) yang memiliki integritas, sehingga tidak terjadi nepotisme dan kolusi seperti yang telah lama berjalan di negeri ini yang hanya akan menghasilkan orang-orang (PNS) yang tidak memiliki kompetensi, profesionalisme, dan moralitas serta religiusitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Selama kurang lebih empat puluh tahun, bermula dari praktek penerimaan CPNS di era Orde Baru yang selalu saja membuahkan kritik karena tidak

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

234

berjalan sesuai dengan amanat konstitusi dan Hak Azasi Manusia (HAK). Ketika itu, hingga kini hak kaum miskin dan marginal selalu saja terpinggirkan dan menemui kesulitan untuk menjadi CPNS. Tidak sedikit lembaga pemerintah dan perguruans tinggi yang membuka penerimaan CPNS hanya sekedar formalitas, karena sesungguhnya yang diterima juga berasal dari orang dalam, intinya selama ini yang terjadi adalah praktek diskriminasi, kolusi, dan nepotisme. Yang diperlukan kedepan adalah penataan, analisis kebutuhan, kompetensi profesional dan profesional religius, bukan moratorium penerimaan CPNS.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

235

AMUK MASSA DI KOTA LONDON

Tahun 2011 dapat dikatakan tahun kelam oleh sejumlah negara di dunia, dimana di awal tahun 2011 terdapat banyak peristiwa yang membuat masyarakat dunia merasa was-was jangan-jangan peristiwa serupa juga terjadi di negara mereka. Belum hilang diingatan peristiwa demonstrasi di Aljazair dan Mesir yang berujung pada tergulingnya presiden tangan besi di kedua negara tersebut, disusul peristiwa rusuh di sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara dengan tuntutan yang sama, yaitu menggulingkan presiden yang telah puluhan tahun berkuasa. Beberapa hari terakhir, publik kembali dikejutkan dengan rentetan peristiwa amarah, rusuh, amuk massa, dan penjarahan yang terjadi di London Utara dan meluas di sejumlah perkotaan di Inggris, seperti Tottenham, Birmingham, Bristol, Liverpool, dan Nottingham di sebelah barat laut London yang mengakibatkan pembakaran kantor polisi dan sejumlah kendaraan pribadi dan telah menelan korban jiwa, 525 ditangkap, dan lebih dari 100 orang didakwa dan menyebabkan Sel Scotland Yard tidak dapat menampung para perusuh yang tertangkap oleh polisi Kerajaan Inggris. Peristiwa kerusuhan dan amuk massa yang disertai penjarahan yang terjadi di London, Inggris rupaya bukan kali pertama terjadi. Peristiwa serupa juga terjadi pada tahun 1958, 1981 (Rusuh Brixton dan Toxteth), 1985 (Rusuh

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

236

Broadwater Farm), 2001 (Rusuh Oldham dan Bradford), demikian diberitakan harian ini, 10 Agustus 2011. Pertanyaan kemudian muncul, mengapa negara yang telah maju dan berperadaban tinggi serta sempat mengukir sederetan sejarah fenomenal dunia di berbagai bidang keilmuan, seni, sastra, olahraga, dan politik tiba-tiba rusuh dan menimbulkan amarah warga di sejumlah kota di Inggris?. Inggris terkenal dengan klub sepak bolanya, seperti Manchester United (MU), dan lain-lain, terkenal dengan seniman dan sastrawannya, ada Bede, penyair di abad ke-5, ada Geoffry Chauser, penyair kenamaan Inggris di abad ke-11 yang juga memperkenalkan digunakannya bahasa Inggris dalam literatur sastra dan dokumen hukum dan kenegaraan, lalu ada William Shakespeare di abad ke-15 dengan seabrek karya monumentalnya di bidang sastra, dan dikenal luas bukan hanya oleh pecinta dan penikmat sastra, tetapi juga oleh siapa saja di dunia ini pernah mendengar nama dan membaca karyanya. Selain itu, Inggris juga mempunyai pasukan bala tentara yang terkenal kuat di eranya dan mampu menaklukkan bangsa-bangsa yang ada disekitarnya berkat kekuatannya yang dahsyat. Rupanya yang menjadi pemicu adalah kematian seorang pria berumur 26 tahun bernama Mark Duggan di tangan Kepolisian Metro London (Scotland Yard). Para pengamat sosial berpendapat bahwa kerusuhan di sejumlah kota di Inggris ini bukan sekadar soal kekesalan warga kepada aparat kepolisian yang tidak pro masyarakat dan tidak melindungi masyarakat, atau reaksi masyarakat atas kematian Mark Duggan yang memicu amarah ratusan orang, tetapi banyak pemicu lainnya, seperti adanya ketegangan sosial, himpitan ekonomi (kemiskinan) dan pengangguran. Tekanan Ekonomi, kecemburuan, ketersinggungan, kemiskinan, dan masalah-masalah sosial lainnya dapat menjadi pemicu masalah baru di masyarakat bila masalah tersebut tidak segera dicari solusi strategisnya. Pembakaran kendaraan bermotor, rumah, kantor polisi di sejumlah kota di London mengingatkan kembali peristiwa memilukan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 lalu, dimana banyak warga tak berdosa yang mati sia-

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

237

sia, pemerkosaan terhadap kelompok etnik minoritas, penjarahan, pembakaran, pengrusakan harta benda, dan meninggalkan trilliunan kerugian material dan immaterial, sekaligus menjadi momok menakutkan pada sebagian warga, jangan-jangan muncul hal serupa. Sejak Indonesia diproklamirkan oleh Sukarno dan Hatta, telah banyak konflik yang terjadi seiring dengan perkembangan dan pembangunan di Indonesia dan menyulut amarah dan kerusuhan horizontal. Konflik-konflik tersebut antara lain, konflik bernuansa separatisme, seperti Aceh, OPM, RMS, konflik bernuansa sara/etnis, seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, dan Tarakan, konflik bernuansa ideologis, seperti paham komunis dan radikalisme agama, konflik bernuansa politik, seperti isu kecurangan dalam pemilukada dan pemekaran wilayah, konflik bernuansa ekonomi, seperti di Kupang antara warga pendatang dengan penduduk asli, konflik bernuansa solidaritas liar, seperti suporter sepak bola, tawuran antar pemuda kampung, konflik bernuansa agama dan aliran kepercayaan, seperti kasus Ahmadiyah dan aliran sesat, konflik bernuansa kebijakan pemerintah, seperti BBM, BOS, LPG, konflik bernuansa sosial lainnya, seperti tawuran antar siswa dan mahasiswa (Aryanto Sutadi, 2009). Kerusuhan yang terjadi di banyak negara, memiliki akar masalah serupa. Demikian halnya di London dan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Oleh karena itu perlu penanganan yang sama pula sehingga peristiwa serupa tidak terjadi. Itulah sebabnya pembangunan sosial dan budaya tidak bisa dipandang sepele dan sebelah mata. Karena beberapa kerusuhan terjadi di negeri ini diakibatkan oleh kecemburuan dan kecurigaan. Katakanlah adanya kesenjangan antara masyarakat setempat dengan pendatang (seperti kasus kerusuhan Kupang, Sampit, dan lain-lain). Juga diakibatkan oleh disharmoni antara pemeluk agama yang berbeda, seperti kasus kerusuhan Ambon dan Poso. Pembangunan sosial budaya perlu diprioritaskan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sama pentingnya dengan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

238

pembangunan di bidang lain, seperti ekonomi, hukum, pertahanan keamanan, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Sejalan dengan itu, ada beragam strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan elemen terkait bangsa lainnya, antara lain upaya konsolidasi diantar kelompok yang berkonflik, memelihara agar harmoni tetap terjaga pasca konflik, memediasi keberlangsungan kerjasama dan saling memahami diantara para warga masyarakat dari kelompok etnik, bahasa, dan agama yang berbeda. Yang perlu dipetik dari kerusuhan yang terjadi di London, Inggris adalah masalah perlu secepatnya ditangani oleh pihak terkait, jangan membiarkan peristiwa itu menjadi resultan masalah berikutnya, seperti penjarahan, kekacauan (disorder), kota menjadi menyeramkan, dan lain-lain yang terjadi di beberapa kota di London.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

239

GELIAT BAHASA IBU DI ERA MODERN (Refleksi Hari Bahasa Ibu Sedunia, 21 Februari 2012)

Bahasa Latin pernah menduduki posisi puncak sebagai bahasa pemersatu di kawasan Eropah di sekitar abad pertengahan, terutama di Inggris dan digunakan luas dalam dunia akademik, hukum, dan khotbah di gereja – gereja. Bahasa Latin ketika itu memiliki prestise yang tinggi bagi penuturnya karena digunakan oleh kelas bangsawan (upper class), kegiatan gereja, dan pemerintahan. Sementara di tingkat kelas bawah – bawah (lower class), bahasa yang digunakan sehari – hari adalah bahasa Inggris tua (Old English atau Anglo Saxon). Setelah kurang lebih 10 abad, bahasa Latin tidak lagi menjadi bahasa pengantar dalam kehidupan sosial masyarakat Eropah (Inggris), dan posisinya digantikan oleh bahasa Inggris dan bahasa – bahasa lainnya di Eropah. Di daratan Inggris, sebelum abad pertama, masyarakat Inggris menggunakan bahasa Celt dan setelah abad pertama orang Inggris menggunakan bahasa Anglo Saxon, yang juga menjadi cikal bakal bahasa Inggris tua (Old English) dan bahasa Inggris modern. Bahasa Inggris tua merupakan perpaduan sejumlah bahasa Indo Eropah, antara lain bahasa Latin, Jerman, Perancis, Belanda, dan memasuki abad ke-16, bahasa Inggris juga mengadopsi sejumlah kosa kata dari benua lainnya, seperti bahasa Melayu di benua Asia. Kini bahasa Inggris menjadi bahasa pergaulan internasional dan digunakan secara luas dalam berbagai

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

240

pertemuan. Bahasa Inggris juga menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, dan memiliki kompetensi yang memadai dalam bahasa Inggris memiliki keuntungan tersendiri dalam hal peningkatan karir. Pertanyaan kemudian muncul, mengapa bahasa Inggeris berkembang begitu pesat, sementara bahasa Latin hilang bak ditelan bumi. Ada beberapa pemicu perkembangan bahasa Inggris, antara lain di abad ke-10 sastrawan Inggris Geofrey Chauser mulai memperkenalkan karya sastranya menggunakan bahasa Inggris (Old English) dan diikuti oleh William Shakespeare di abad ke-15. Dengan penggunaan bahasa Inggris pada karya sastra, hukum, ilmu pengetahuan, dan kegiatan keagamaan di gereja, menjadikan bahasa Inggris eksis hingga kini dan menjadi penyebab kepunahan bahasa Latin. Mungkinkah kepunahan bahasa Latin yang terjadi di daratan Eropah (Inggris) tersebut, juga terjadi bagi bahasa daerah yang ada di Sulawesi Selatan?. Di Sulawesi Selatan terdapat empat bahasa daerah yang dituturkan oleh sejumlah suku bangsa (kelompok etnik), bahasa – bahasa daerah tersebut adalah bahasa Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Ditambah lagi bahasa daerah yang digunakan oleh suku pendatang, seperti bahasa Jawa, Bali, Bima, dan lain- lain. Dari hari ke hari penutur keempat bahasa daerah tersebut mengalami penurunan. Ini sebagai akibat kurangnya minat generasi muda penutur bahasa ibu tersebut untuk menggunakannya dengan alasan tidak gaul, kampungan, dan ketinggalan zaman. Ditambah lagi keengganan orang tua untuk menggunakan bahasa ibu ketika mereka berada di rumah, dan bahasa daerah diajarkan di sekolah (SD dan SMP) sebatas mengetahui kosa kata dan tata bahasanya bukan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari – hari, karena toh yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas adalah bahasa Indonesia. Disamping hal tersebut, bahasa ibu tidak lagi digunakan seperti ketika masa – masa keemasan penggunaan bahasa (Bugis) dalam pencatatan sejarah, agama, adat istiadat, politik, perdagangan, dan lain-lain dalam kitab Lontara yang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

241

menjadi sumber falsafah dan kearifan orang Bugis Makassar. Keengganan generasi muda menggunakan bahasa ibu, ancaman kepunahan bahasa ibu tersebut menanti. Untuk menjaga kelestarian bahasa ibu tersebut, ada beragam upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, antara lain: pemerintah hendaknya memberikan ruang kepada siswa di sekolah untuk menggunakan bahasa ibu tersebut, orang tua di rumah sebagai agen sosialisasi yang utama bagi anak juga diharapkan menggunakan bahasa ibu di rumah, pemerintah bersama – sama dengan lembaga perguruan tinggi dan organisasi masyarakat madani lainnya diharapkan mengadakan even-even atau lomba penulisan dan penciptaan karya sastra, pidato dalam bahasa ibu, menulis essei, debat antar siswa menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah). Melestarikan bahasa ibu juga dapat dilakukan dengan menuliskan bahasa daerah pada petunjuk produk lokal, nama jalan, nama hotel, sekolah, pengumuman, brosur, dan bila perlu ilmuwan menggunakan bahasa ibu dalam menulis karyanya. Bila perlu segala informasi dikemas oleh bahasa ibu, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris sehingga memenuhi unsur internasional, nasional, dan lokalitas. Sebagai salah satu kearifan budaya lokal, semestinya politik bahasa daerah dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah daerah ditumbuhkan sehingga bahasa ibu (Bugis, Makassar, Mandar, Toraja) dapat dilestarikan sehingga kita tidak perlu lagi merasa gusar akan kepunahan bahasa ibu. Dengan demikian, bila seseorang mengaku orang Bugis atau Orang Makassar, atau ia lahir di salah satu daerah di Sulawesi Selatan maka seyogyanya ia dapat menuturkan bahasa ibu yang digunakan di daerah tersebut. Karena sesungguhnya, bahasa menunjukkan bangsa. Dan seharusnya generasi muda merasa malu jika mereka tidak dapat menuturkan bahasa ibu (daerahnya). Dengan demikian, maka perlu dilakukan upaya peningkatan sikap positif masyarakat, terutama generasi muda terhadap bahasa ibu. Untuk menanamkan sikap positif terhadap bahasa yang dimiliki oleh kelompok etnik penutur

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

242

bahasa ibu tersebut, maka perlu dilakukan pembinaan dan kampanye penggunaan bahasa ibu kepada masyarakat. Seiring dengan penggunaan bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang juga memberikan manfaat yang besar. Mampu menuturkan bahasa ibu (Bugis, Makassar, Mandar, Toraja) berarti mencintai dan melestarikan salah satu produk budaya lokal kita. Menguasai bahasa Indonesia berarti mencintai NKRI, karena pada prinsipnya BI adalah bahasa pemersatu diantara kelompok etnik yang berbeda-beda. Menguasai bahasa Inggris secara aktif berarti dunia ada digenggaman.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

243

GERAKAN PRAMUKA, SIMPUL PEMERSATU BANGSA (Refleksi HARLAH ke-50 Gerakan Pramuka, 14 Agustus 2011)

Pasang surut perkembangan masyarakat suatu bangsa ditentukan oleh banyak hal dan program yang dilaksanakan oleh pemerintahnya. Salah satu program yang banyak memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan manusia Indonesia seutuhnya adalah gerakan pramuka. Organisasi kepanduan ini memiliki banyak keunikan dan kelebihan untuk menumbuhkan kedewasan (maturity) kaum muda. Melalui gerakan pramuka anggotanya dapat memperoleh manfaat dalam kaitannya dengan kecakapan hidup (life skill), nilai (value), intelektualitas, dan spiritualitas. Hal ini sejalan dengan visi pramuka di Indonesia, yaitu: Gerakan Pramuka sebagai Wadah Pilihan Utama dan Solusi Handal Masalah Kaum Muda. Namun akhir-akhir ini nampaknya geliat gerakan kepramukaan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi tidak semarak seperti pada masa-masa Orde Baru dulu. Sudah jarang ditemukan adanya jambore daerah pramuka yang dipusatkan di salah satu kabupaten, juga telah jarang ditemukan pelatihan-pelatihan kepanduan di sekolah-sekolah seperti yang terjadi di era 1980-an hingga awal 1990-an.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

244

Padahal sesunggunhnya kepanduan (pramuka) ini dapat menjadi simpul pemersatu bangsa, yakni dapat mempersatukan anak (sekolah) sehingga tidak terjadi tawuran diantara mereka, dapat mempertemukan siswa atau anggota gerakan pramuka dari berbagai latar belakang suku, bangsa, ras, dan bahasa. Mereka bersama- sama berman, bernapak tilas, duduk di depan api unggun, menyanyi, dan lain-lain. Dengan demikian maka akan tercipta harmoni, persatuan dan kesatuan, kerjasama, toleransi sehingga terwujud stabilitas yang didambakan bersama. Melalui kegiatan kepramukaan, siswa atau anggota pramuka melakukan beragam kegiatan yang dapat meningkatkan olah pikir, olah perilaku, dan olah tindak anggotanya, sehingga terjalin hubungan emosional dan humanis diantara mereka. Karena sesuai misi pramuka, yakni, membina anggota yang berjiwa dan berwatak pramuka, berdasarkan iman dan taqwa (imtaq), serta selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (imteq). Disamping itu, gerakan pramuka, juga memiliki misi, membentuk kader bangsa patriot pembangunan yang memiliki jiwa bela negara, menggerakkan anggota dan organisasi gerakan pramuka agar peduli dan tanggap terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Boleh jadi terjadinya degradasi moral dan etika akhir- akhir ini sebagai salah satu akibat tidak pekanya siswa atau masyarakat terhadap nilai dan norma yang telah menjadi kesepakatan bersama (social consensus) di masyarakat. Rupanya gerakan yang dapat meningkatkan pemahaman terhadap nilai, keterampilan, etika, spiritual, adalah melalui gerakan kepanduan ―Pramuka.‖ Itulah sebabnya, melalui hari ulang tahun emas yang ke-50 Gerakan Pramuka, yang jatuh pada tanggal 14 Agustus 2011 ini, pemerintah hendaknya menggiatkan kembali gerakan kepramukaan di sekolah-sekolah, dan di masyarakat melalui beragam gudep dan kegiatan sehingga tercipta generasi muda yang pro sosial dan dapat menjadi insane yang memiliki intergritas, toleransi, patriotisme dan nasionalisme yang tinggi terhadap keutuhan Negara

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

245

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah Pancasila dan UUD 1945.

Sekilas Gerakan Pramuka Indonesia Sejarah kepanduan pramuka (Praja Muda Karana) yang memiliki arti Rakyat Muda yang Suka Berkarya. Gerakan Pramuka memiliki sejarah panjang di republik ini, gerakan pramuka yang eksis hingga hari ini merupakan wadah dari sekian banyak organisasi kepanduan sejak tahun 1923, seperti didirikannya Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) di Bandung, dan pada tahun yang sama di Jakarta didirikan Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO). Kedua organisasi cikal bakal kepanduan di Indonesia ini meleburkan diri menjadi satu, bernama Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO) di Bandung pada tahun 1926. Lalu kemudian disusul oleh berdirinya sejumlah gerakan kepanduan yang didirikan oleh masyarkat dan organisasi kemasyarakatan yang kemudian diikat menjadi satu pada tanggal 14 Agustus 1961 menjadi Gerakan Pramuka (Sumber Website Gerakan Pramuka). Pramuka merupakan sebutan bagi anggota Gerakan Pramuka, yang meliputi; Pramuka Siaga yang berumur antara 7 hingga 10 tahun dan biasanya bagi siswa kelas 2 hingga kelas 5 SD, Pramuka Penggalang yang berumur 11 hingga 15 tahun dan bagi siswa yang duduk di kelas 5 hingga kelas 6 SD, Pramuka Penegak yang berumur 16 – 20 tahun dan biasanya bagi siswa yang duduk di tingkat sekolah menengah, dan Pramuka Pandega, yakni anggota pramuka yang berada di perguruan tinggi yakni berumur 21 – 25 tahun dan belum menikah. Kelompok anggota yang lain yaitu Pembina Pramuka, Andalan Pramuka, Korps Pelatih Pramuka, Pamong Saka Pramuka, Staf Kwartir dan Majelis Pembimbing Pramuka (Dari berbagai sumber). Sedangkan yang dimaksud "Kepramukaan" adalah proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan di luar lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah, praktis yang dilakukan di alam terbuka dengan Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode Kepramukaan, yang sasaran

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

246

akhirnya pembentukan watak, akhlak dan budi pekerti luhur. Kepramukaan adalah sistem pendidikan kepanduan yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia. Gerakan pramuka sebagai penyelenggara kepanduan dan pendidikan luar sekolah di Indonesia merupakan bagian dari pendidikan nasional, bertujuan untuk membina kaum muda dalam mencapai sepenuhnya potensi-potensi spiritual, sosial, emosional, intelektual, dan fisiknya, agar mereka mampu: membentuk kepribadian dan akhlak mulia kaum muda, menanamkan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan bela negara bagi kaum muda, dan meningkatkan keterampilan kaum muda sehingga siap menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, patriot, dan pejuang yang tangguh, serta menjadi calon pemimpin bangsa yang handal di masa depan. Gerakan pramuka juga memiliki prinsip prinsip dasar seperti: iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, peduli terhadap bangsa dan tanah air, sesama hidup dan alam, peduli terhadap dirinya pribadi. Gerakan Pramuka berlambang silhouette Tunas Kelapa, yang sarat dengan makna. Pertama, buah kelapa/nyiur dalam keadaan tumbuh dinamakan ―CIKAL,‖ dan istilah ―cikal bakal‖ di Indonesia berarti: penduduk asli yang pertama yang menurunkan generasi baru. Jadi buah kelapa/nyiur yang tumbuh itu mengandung kiasan bahwa tiap Pramuka merupakan inti bagi kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Kedua, buah kelapa/nyiur dapat bertahan lama dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Jadi lambang itu mengkiaskan bahwa tiap Pramuka adalah seorang yang rokhaniah dan jasmaniah sehat, kuat, ulet, serta besar tekadnya dalam menghadapi segala tantangan dalam hidup dan dalam menempuh segala ujian dan kesukaran untuk mengabdi tanah air dan bangsa Indonesia. Ketiga, kelapa/nyiur dapat tumbuh dimana saja, yang membuktikan besarnya daya upaya dalam menyesuaikan dirinya dengan keadaan sekelilingnya. Jadi melambangkan, bahwa tiap Pramuka dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat dimana dia berada dan dalam keadaan bagaiaman juga. Keempat, kelapa/nyiur tumbuh menjulang lurus keatas dan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

247

merupakan salah satu pohan yang tertinggi di Indonesia. Jadi melambangkan, bahwa tiap Pramuka mempunyai cita- cita yang tinggi dan lurus, yakni yang mulia dan jujur, dan ia tetap tegak tidak mudah diombang-ambingkan oleh sesuatu. Kelima, akar lelapa/nyiur tumbuh kuat dan erat di dalam tanah. Jadi lambang itu mengkiaskan, tekad dan keyakinan tiap Pramuka yang berpegang pada dasar-dasar dan landasan-landasan yang baik, benar, kuat dan nyata ialah tekad dan keyakinan yang dipakai olehnya untuk memperkuat diri guna mencapai cita-citanya. Keenam, kelapa/nyiur adalah pohon yang serba guna, dari ujung atas hingga akarnya. Jadi lambang itu mengkiaskan, bahwa tiap Pramuka adalah manusia yang berguna, dan membaktikan diri dan kegunaanya kepada kepentingan Tanah air, Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kepada umat manusia (Sumber Website Gerakan Pramuka).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

248

KONFLIK DAN KOMPROMI POLITIK MENJELANG PEMILUKADA

Teori kepemimpinan dan manajemen berpendapat bahwa konflik sangat menentukan maju mundurnya kinerja suatu organisasi, dan dalam setiap organisasi apakah itu organisasi profit atau non change (induk perubahan). Semakin besar suatu organisasi, semakin besar pula potensi konflik yang akan terjadi dan bila konflik itu masih kecil, dapat dipandang sebagai suatu yang menjadi bumbu penikmat manajemen dan kepemimpinan, namun bila konflik terlalu tinggi dan sulit untuk diredam memungkinkan kinerja organisasi menjadi semakin rendah. Sedangkan tingkat kinerja yang tinggi dapat dicapai bila konflik dalam organisasi tersebut rendah pula kadarnya. Berdasarkan pengalaman, konflik merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan dan dapat memisahkan hubungan yang telah terbangun secara harmonis. Sekaitan dengan suksesi kepemimpinan di daerah kadangkala terjadinya konflik sulit dihindari. Konflik yang dimaksudkan penulis disini adalah timbulnya perbedaan pendapat antara para pengambil kebijakan tertinggi di partai, kisruh internal partai juga dipicu oleh adanya dualisme dukungan partai tertentu kepada bakal calon atau calon gubernur dan wakil gubernur, sebagai contoh Pemilukada di Sulawesi Selatan, dimana Partai Amanat

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

249

Nasional (PAN), ada isyarat dari DPP dan DPW PAN Sulsel mendukung SYL atau Syahrul Yasin Limpo, namun di sisi lain, sebanyak 21 PAC PAN Luwu memberikan dukungan kepada pasangan IA atau Ilham Arief Sirajuddin – Azis Kahar Muzakkar. Demikian halnya kisruh yang melanda PDK, yakni serangan Ketua PDK Bantaeng kepada Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah yang akan maju kembali pada pemilukada Bantaeng. Kisruh PDK tersebut bermula ketika ketua PDK Bantaeng mengeritisi sang bupati yang menurutnya tidak memberikan kontribusi pada PDK, padahal PDK adalah salah satu pengusung sang Bupati pada Pilkada lalu. Kritik ketua PDK Bantaeng tersebut bukannya diamini oleh petinggi partai di tingkat Sulsel, malah ia mendapatkan ancaman sanksi dari DPP PDK Sulsel. Hal senada juga melanda internal Partai Golkar, seperti diberitakan minggu ini, bahwa Nurdin Halid yang juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Wilayah Sulawesi DPP Golkar menyebut belum saatnya orang muda memimpin Bone menuari perlawanan, utamanya dari kader Gokar Bone sendiri. Hal ini cukup beralasan karena tidak sedikit kader muda potensial partai beringin di daerah yang akan bertarung memperebutkan kursi nomor satu di daerah. Kisruh internal partai juga acapkali terjadi karena ada sejumlah kader partai tersebut yang ingin mencalonkan diri pada posisi yang sama (bupati/walikota), hal ini juga sudah mewarnai pemandangan di Makassar, dimana ada sejumlah kader partai yang mulai melakukan pencitraan diri melalui media massa dan baliho. Terjadinya konflik internal partai sulit terhindarkan menjelang pemilukada. Hal ini dikarenakan ada sejumlah politisi/kader yang berasal dari partai yang sama untuk kemudian mencalonkan diri sebagai bupati/walikota/gubernur atau wakil dari masing-masing jabatan tersebut. Sebagai misal ada salah seorang yang telah mendapatkan restu dan rekomendasi dari partainya untuk maju pada posisi yang ditawarkan, namun di partai tersebut juga muncul kandidat lain yang mencalonkan diri untuk posisi yang sama, dan bila hal ini terjadi maka susah untuk menentukan siapa yang akan dipilih oleh konstituen. Nah, disini terjadi antagonism politik konflik internal partai yang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

250

akan menjadi malapetaka bagi partai (kekalahan total) dan para pelakunya manakala tidak dapat diselesaikan dengan baik. Sekaitan dengan konflik tersebut, sejumlah gaya komunikasi dapat dilakukan untuk menyelesaikannya yakni, gaya agresif, mundur, menyerah dan kompromi/integrasi. Gaya agresif pada umumnya merupakan ancaman, ultimatum, paksaan dan jarang menyelesaikan persoalan secara tuntas. Gaya mundur digunakan untuk menghindar dari konflik yang sedang berlangsung, sedangkan gaya menyerah tetap membiarkan seseorang terlibat dalam konflik. Gaya kompromi adalah cara yang paling logis dan rasional untuk menyelesaikan konflik internal partai. Sejalan dengan kompromi tersebut, Mary Follet berpendapat bahwa gaya yang paling optimum atau ideal dalam mengurangi ketegangan atau konfli adalah gaya integral. Dalam gaya ini masing-masing pihak merasa menaang karena keinginannya terpenuhi. Para elit politik atau politisi sebagai insan yang bercita-cita untuk membangun masyarakat dan bangsa ini yang tengah didera berbagai persoalan, perlu mengedepankan perilaku terpuji dan santun dalam berpolitik karena mereka adalah representasi masyarakat yang diharapkan dapat berbuat arif dan bijaksana. Itulah sebabnya mereka (para politisi) harus memiliki komitmen untuk mewujudkan kerja tim (team work) yang handal dalam membangun kekompakan, kerukunan, keharmonisan, dan soliditas dalam berpartai dengan tetap memperhatikan aturan main yang dianut oleh partai, karena sesungguhnya bila kader partai yang diusung pada pesta demokrasi tersebut mengalami kekalahan berarti kekalahan itu dirasakan oleh semua stakeholder partai. Perlu diingat, tulisan ini tidak bermaksud menghambat keinginan kandidat lainnya dalam berdemokrasi, juga tidak bermaksud untuk mengecilkan esensi dan cita-cita demokrasi itu sendiri, melainkan tulisan ini ingin memberikan solusi alternatif untuk keluar dari konflik internal partai yang tidak berkesudahan menjelang suksesi kepemimpinan di daerah. Dengan demikian, maka

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

251

permainan itu akan membuahkan kemenangan atau sense of glory kepada mereka yang mendapat dukungan atau aspirasi dan simpati dari masyarakat. Bukankah di negara demokrasi seperti Amerika Serikat, hanya mengusung satu kandidat presiden pada pemilihan umum presiden (Pilpres), kepada yang memiliki elektabilitas dan popularitas tertinggi dari partai tersebut.

LARANGAN PARKIR, TERLALU DINI

Larangan parkir di enam jalan protokol di Makassar yang mulai berlaku 1 Maret 2012 belum efektif. Belum efektifnya larangan parkir tersebut dikarenakan oleh sejumlah sebab. Penyebab tersebut adalah budaya keteraturan masyarakat kota Makassar masih jauh panggang dari api, petugas (satpol PP) tidak mengawal peraturan walikota tersebut, tidak adanya penegakan dan pemberian sanksi bagi pengendara yang melanggar, dan tidak kelah pentingnya adalah pemerintah kota tidak memberikan solusi alternatif jauh sebelum pemberlakuan pelarangan parkir di sejumlah jalan tersebut, seperti jalan A.P. Pettarani, Jl. Ratulangi, Jl. A. Yani, Jl. Urip Sumoharjo, Jl. Alauddin, dan Jl. Bawakaraeng. Di negara maju seperti negara – negara di Eropah, Amerika, Singapura, dan negara – negara dimana masyarakatnya telah beradab dan pemerintahnya juga telah peduli akan keteraturan. Pemerintah terlebih dahulu menyediakan fasilitas umum publik yang memadai, katakanlah misalnya, pemerintah membangun sarana jalan yang baik, rambu lalu lintas atau pemarka jalan yang baik dan berfungsi, petugas lalu lintas yang bertugas mengurangi kemacetan tanpa mengenal waktu, dan tidak kalah Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

252

pentingnya adalah membangun sarana perparkiran yang luas dan menyediakan moda transportasi massal (mono rel, MRT, terowongan, jembatan layang, dan lain-lain. Hemat penulis kebijakan pemerintah Kota Makassar memberlakukan pelarangan parkir di sejumlah jalan protokol tersebut terkesan terburu-buru, mengingat hampir semua gedung perkantoran di jalan-jalan tersebut tidak memiliki areal perparkiran yang memadai, kecuali misalnya gedung- gedung pencakar langit yang memang didesain untuk menanmpung seluruh kendaraan pengunjung dan karyawannya, maka lahan parkir merupakan sesuatu yang wajib, seperti Wisma Kalla, Menara Bosowa, Graha Pena, Gedung Phinisi UNM, dan sejumlah Hotel di jalan tersebut. Lalu bagaimana dengan ruko – ruko yang dijadikan perkantoran di sejumlah jalan, yang hanya menjadikan halaman depannya sebagai areal parkir dan hanya berkapasitas beberapa kendaraan saja, dan dimana mereka akan memarkir kendaraanya jika bahu jalan dilarang untuk dijadikan tempat parkir dengan alasan macet dan mengganggu pengendara lain. Saya sepakat dan kita semua setuju bila di semua jalan yang ada di Makassar dilarang untuk dijadikan tempat parkir, bila pemerintah kota telah menyediakan lahan atau areal parkir yang luas atau membangun gedung berlantai (bila perlu berlantai belasan) khusus untuk tempat parkir, seperti halnya di negara maju, dimana di setiap universitas atau kota, ada gedung bertingkat yang diperuntukkan sebagai tempat parkir, dan dari tempat parkir tersebut, para pegawai, mahasiswa, dan masyarakat umum naik kendaraan umum yang telah disiapkan oleh pemerintah atau pihak kampus menuju kantor atau fakultas mereka. Salah satu pusat perkantoran yang perlu memiliki gedung perparkiran (parking center building) yang mendesak adalah kantor Gubernur Sulawesi Selatan karena hampir setiap hari kendaraan roda empat parkir di bahu jalan pada hampir di setiap jalan di kantor Gubernur Sulsel, sehingga memberikan kesan kesemrawutan dan tidak enak dipandang mata. Oleh karena itu, hemat penulis ada dua hal mendasar yang perlu disiapkan oleh pemerintah kota Makassar sebelum

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

253

menerapkan peraturan walikota tentang pelarangan parkir di enam jalan protokol di kota Makassar, yakni siapkan beberapa tempat atau gedung parkir yang memadai dan wujudkan dulu pembangunan mono rel sehingga para pekerja kantoran yang kantornya tidak memiliki tempat parkir, dapat menaiki kendaraan pribadi ke tempat areal parkir yang disediakan oleh pemerintah kota dan kemudian karyawan tersebut naik mono rel atau kendaraan umum yang pelayanannya bermutu (seperti MRT di Singapura) menuju kantornya yang jaraknya mungkin tidak terlalu jauh. Ironis memang bila dilarang parkir di pinggir jalan, sementara di sepanjang jalan A.P. Pettarani dan jalan-jalan lainnya dihuni ruko-ruko yang tidak memiliki lahan parkir yang memadai, dan pemerintah kota juga belum mampu menghadirkan moda transportasi massal yang aman dan menyenangkan.

Areal dan Gedung Perparkiran Saya kira siapapun akan sepakat dan senang bila kota menjadi aman, teratur, dan bersih. Namun kebijakan atau peraturan tanpa diawali dengan solusi, akan berakhir dengan kegagalan. Sebagai misal menertibkan pedagang kaki lima tanpa ada tempat alternatif yang diberikan, sama halnya mematikan mereka. Menertibkan gepeng (gelandangan dan pengamen) di jalan dan lampu merah tanpa memberikan keterampilan sama halnya membunuh mereka, karena mereka yang turun ke jalan untuk mengadu nasib telah putus asa menghadapi beratnya kehidupan yang tidak berpihak kepada meraka yang berada pada kelompok miskin. Demikian halnya, memaksa orang untuk tidak parkir di bahu jalan, tanpa diawali dengan kebijakan pembuatan areal atau gedung perparkiran yang memadai, aman, dan menyenangkan, sama halnya pemerintah tidak pro akan kepentingan warga kota. Dengan demikian, maka seyogyanya pemerintah kota Makassar mengupayakan adanya areal perparkiran yang luas, sebagai misal di bawah lapangan karebosi, tanpa mengubah fungsi lapangan karebosi itu sendiri atau

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

254

membangun gedung berlantai, katakanlah berlantai 11 yang peruntukannya untuk tempat parkir, seperti yang ada di Jakarta dan Surabaya. Dari areal dan gedung perparkiran tersebut, pemerintah dapat memperoleh pajak perparkiran sehingga menambah pundi – pundi APBD.

Moda Transportasi Massal Setelah terwujud areal atau gedung perparkiran, maka selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah tersedianya moda transportasi massal yang menyenangkan, aman, dan terjangkau. Dengan demikian, para pengendara kendaraan roda empat dapat menaiki moda transportasi (mono rel, bus way, MRT) tersebut dari tempat dimana ia memarkir mobilnya ke tempat kerjanya, demikian sebaliknya dari tempat ia bekerja ke tempat dimana ia memarkir mobilnya. Bila areal parkir tersedia dan moda transportasi massar (mono rel) terwudul, akan mengurangi kemacetan di Makassar, sekaligus memperteguh keinginan Makassar menjadi kota dunia. Kota dunia dicirikan oleh banyaknya populasi tetapi tidak terjadi kemacetan, dan juga tidak ada sampah dimana-mana, karena masyarakatnya sadar akan keamanan, kebersihan, keindahan, dan keteraturan.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

255

PADANG ARAFAH DAN POHON SOEKARNO

Salah satu syarat sah haji adalah wukuf di Padang Arafah, Makkah Almukarromah. Tahun 2012 ini, para calon jamaah haji dari seluruh belahan bumi, termasuk calon jamaah haji dari Indonesia akan wukuf di Padang Arafah tepatnya tanggal 25 Oktober 2012 atau 9 Dzulhijjah 1433H. Ada banyak rangkaian ibadah yang dilakukan oleh calon jamaah haji ketika mereka wukuf di Padang Arafah, mulai dari shalat sunnah, dzikir, membaca kitab Suci Al-Qur‘an, mendengarkan ceramah dari para dai‘, dan ibadah-ibadah sunnah lainnya yang akan menjadi bekal ketika sang Khalik memanggilnya. Intinya adalah setiap insan yang berada di tempat ini tidak menyia-nyiakan waktunya untuk tidak mengingat kepada sang Khalik dan berfastabiqulkhaerat. Dahulu, ketika orang menunaikan ibadah haji sebagai kewajiban kelima umat Islam bagi yang mampu. Wukuf di Padang Arafah merupakan ibadah yang perlu persiapan yang cukup, mengingat tempat ini terkenal panas, gersang, tandus, kering, dan kurang bersahabat akibat terik matahari yang cukup menyengat dan menguras tenaga. Oleh sebab itu, setiap jamaah harus mempersiapkan segala sesuatunya sebelum berkunjung ke tempat tersebut.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

256

Lain dahulu, lain pula sekarang. Ketika orang tua kita dahulu menunaikan ibadah haji, segudang cerita tentang pengalaman mereka berada di Padang Arafah menjadi oleh- oleh buat kerabat dan handaitaulan ketika mereka telah tiba dengan selamat di kampung halaman. Tapi kini, keberadaan calon jamaah haji di Padang Arafah hampir tidak meninggalkan cerita memilukan. Mengingat kini Padang Arafah telah ditumbuhi oleh pepohonan yang rindang dan dapat memberikan keteduhan dan kesejukan kepada setiap tamu Allah SWT. Pohon – pohon rimbun tersebut bernama pohon mimba yang berasal dari Indonesia dan oleh penduduk lokal disebut sebagai ‗Pohon Soekarno.‖ Pohon Soekarno ini tidak hanya ditanam dan tumbuh di Padang Arafah, tetapi juga di sejumlah kota di Arab Saudi, seperti kota Mekkah Almukarromah, Medinah Almunawwaroh, Jeddah, dan lain- lain. Ide menanam pohon di Padang Arafah merupakan pertama kali dilontarkan oleh Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, ketika sang proklamator tersebut menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam yang ke-5. Saat itu, Soekarno merasakan betapa teriknya tanah arafah, maka ia meminta dan meyakinkan kepada Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk menghijaukan Padang Arafah sehingga para calon jamaah haji dapat dengan khusuk beribadah di tanah yang tandus dan kering kerontang tersebut. Ide brilian Soekarno tersebut, disambut baik oleh Kerajaan Arab Saudi, maka ribuan bibit bibit pohon mimba beserta pakar tanaman dari Indonesia diterbangkan ke Arab Saudi ketika itu. Kini pohon Soekarno telah memenuhi sebagian besar kawasan di Arafah dengan luas 5,5 x 3,5 kilometer persegi, dan pohon Soekarno yang tumbuh di Padang Arafah kini telah memiliki tinggi rata-rata 2 – 3 meter. Pertumbuhan pohon Soekarno tersebut terkesan memang sangat lambat, dan di tahun 1994, ketika penulis diberikan kesempatan oleh Allah SWT berada di Arafah tinggi pohon-pohon tersebut berkisar 1 – 2,5 meter dan dialiri air di setiap pohon akibat tanah kering dan tandus.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

257

Sebagai seorang pemimpin besar revolusi dan sebagai pemimpin bangsa-bangsa, Asia Afrika yang tertindas. Soekarno memang bergelimang dengan ide cemerlang. Ada juga yang berkisah, bahwa pagar pemisah yang ada antara bukit Safa dan Marwa merupakan ide cemerlangnya. Ia mengusulkan jamaah dari bukit Safa ke Marwah berjalan di sisi kanan dan jamaah dari bukit Marwah berjalan di sisi kiri, sementara di tengah ditempati orang yang naik kursih roda. Saran tersebut dimaksudkan supaya orang yang mengadakan Sai antara bukit Safa dan Marwa tidak saling mengganggu dan berdesakan, yang kerapkali berakibat fatal yakni meninggalnya calon jamaah haji akibat berhimpitan dengan jamaah lainnya, maka dibuatlah pagar pemisah tersebut, yakni dari arah Safa, calon jamaah berjalan sebelah kanan pagar, dan sekembali dari Marwah, calon jamaah berjalan di sebelah kiri. Di tanah air, Soekarno juga dikenal luas dengan idenya membangun Stadion Gelora Bung Karno, di Zaman Orde Baru dikenal dengan nama Stadion Istora Senayan, sebagai salah satu stadion terbesar di dunia di eranya. Soekarno juga membangun sejumlah bangunan fisik monumental, seperti mesjid Istiqlal yang tercatat sebagai mensjid terbesar di Asia Tenggara, Monumen Nasional (Monas), hotel Indonesia, Patung Selamat datang di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Patung Pancoran, jalan-jalan protokol ibukota dan gedung-gedung jangkung lainnya. Soekarno memiliki wawasan luas di berbagai bidang. Ia lihai dalam politik, ia disegani oleh lawan dan kawan politiknya, ia memiliki retorika luar biasa, memahami sejumlah bahasa internasional, ia visioner, ia mencintai sastra, lukisan, dan seni. Ia juga faham tentang ayat-ayat dan hadist-hadist nabiullah. Salah satu buktinya adalah, ia memikirkan untuk menanam pohon di Arafah sebagai salah satu jariahnya hingga akhir keberadaan bumi ini. Dalam hadist disebutkan bahwa menanam pohon merupakan salah satu dari tiga amalan yang dicintai oleh Allah SWT dan nabi Muhammad SAW karena menanam pohon mendatangkan banyak manfaat. Satunya adalah membuang duri/rintangan di jalan dan satunya lagi adalah shalat 2 rakaat (shalat dhuha) di pagi hari. Menanam pohon

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

258

memberikan banyak manfaat, seperti buahnya dapat dikonsumsi (keluarga dan orang lain), dahannya dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar, daunnya untuk pupuk organik, pohon juga menyimpan debit air sehingga terhindar dari bencaran banjir, juga dapat memberikan keteduhan dan mengurangi terjadinya ‗global warming‘ di permukaan bumi. Dengan beragam manfaat tersebut, menanam pohon merupakan perbuatan terpuji, karena akan memelihara kelangsungan hidup manusia, tumbuhan, hewan, dan lebih penting lagi adalah menanam pohon merupakan wujud amalan jariah seseorang ketika pohon tersebut berbuah dan buahnya dimakan atau dimanfaatkan oleh orang lain. Demikian halnya, pohon tersebut memberikan keteduhan, oksigen dan menjaga keseimbangan alam sehingga tidak terjadi banjir dan bencana alam lainnya, maka si penanam pohon tersebut mendapat jariah dari Allah SWT selamanya. Demikian halnya dengan pohon Soekarno yang tumbuh rindang di Padang Arafah dan sejumlah kota penting di Arab Saudi akan selalu mengirimkan pahala jariah kepada Soekarno sebagai pribadi dan sosok yang tidak hanya cinta pada dirinya, tetapi juga cinta pada orang lain dan lingkungannya.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

259

PELUANG CAPRES 2014

Perhelatan Pilpres 2014 masih cukup jauh, tapi desas desus tentang siapa kandidat presiden RI ke-7 sudah banyak bermunculan di media massa, dari beragam latar belakang, mulai dari politisi, akademisi, profesional, hingga pada penggiat LSM. Peta perpolitikan di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, ketimbang negara demokrasi lainnya yang telah matang dalam praktik perpemiluan dan perpolitikan. Praktik pemilu di Amerika berbeda dengan di Indonesia, kalau di Amerika Serikat, calon dari Partai Demokrat, Bil Clinton dapat menjadi Presiden Amerika, bahkan dua periode padahal ia hanya berasal dari negara bagian Arkansas yang tergolong paling terbelakang di Amerika. Demikian halnya dengan Presiden Barrack H. Obama dapat menjadi Presiden Amerika, padahal sebelumnya kerapkali terjadi character assassination (pembunuhan karakter) terhadap dirinya, karena ia berasal dari African American, berkulit hitam. Ada yang melaporkan bahwa dari 3 penduduk Amerika Serikat, 2 diantaranya berpendapat bahwa Obama beragama Islam. Isu Islam di Amerika bukanlah fenomena perbincangan kecil, tetapi bicara tentang Islam, boleh jadi dianggap sebagai kelompok minoritas yang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

260

sering berula, sehingga terbatas ruang yang diberikan kepadanya. Tetapi mengapa Barack Obama bisa menjadi Presiden Amerika yang ke-44?, dan mengapa JK pada pemilu presiden (Pilpres) Indonesia tahun 2009 silam kalah dari pasangan SBY dan Boediono, dan berada dibawah pasanggan Megawati – Prabowo?. Tidak bisa dipungkiri, partai pengusung SBY – Boediono adalah partai pemenang pemilihan legislatif (pileg) 2009, demikian halnya dengan partai pengusung Megawati – Prabowo adalah partai pemenang ke-3 pileg 2009. Lalu mengapa JK – Wiranto hanya puas diposisi kedua, padahal partai pengusung pasangan ini adalah pemenang ke-2 pileg 2009?. Antara Amerika dan Indonesia memiliki banyak kesamaan dalam praktek pemilihan umum sebagai negara demokrasi. Namun juga terdapat sedikit perbedaan yang justru menjadi pengganjal bagi partai pemenang pemilu, yang mengusung kandidat presiden. Perbedaan tersebut adalah rakyat Amerika adalah pemilih cerdas yang memilih presiden bukan berdasarkan ―money politics,‖ tetapi pemilih negeri ini masih lebih banyak yang tradisional, dalam artian pemilih ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan kompetensi dan program yang dijual oleh calon. Disamping itu, secara demografis, alasan klasik adalah pemilih di Jawa lebih banyak, daripada pemilih di luar Jawa, yang hanya sekitar 30 persen saja. Dengan demikian, maka pilpres 2014 kedepan dan seterusnya, masih berpeluang bagi calon presiden dari Jawa. Siapakah dia? Melihat hasil survey yang dilakukan oleh lembaga survey menunjukkan bahwa calon presiden yang berada di urutan atas berasal dari Jawa. Sjaifulmuljani merilis hasil surveinya pada 8 Juli 2012, bila pemilihan presiden diadakan sekarang, maka yang memiliki peluang adalah Prabowo Subianto dengan memperoleh 29,4 persen, disusul Megawati Soekarnoputeri, 26,7 suara, dan posisi ketiga ditempati Ical, 17,9 persen. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengadakan survei pada 2 – 11 Juni 2012 dengan melibatkan 1200 responden di

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

261

sejumlah kota besar di Indonesia dan hasilnya menunjukkan Megawati Soekarnoputri berada di posisi pertama dengan 18,3 persen dukungan responden, disusul Prabowo Subianto (18 persen) dan posisi ketiga ditempati Aburizal Bakrie (17,5 persen), Namun bila dikerucutkan capres di luar 3 partai besar yakni Golkar, PDIP dan Demokrat, maka Prabowo menempati posisi teratas dengan 23,9 persen. Wiranto (12,9 persen), Hatta Rajasa berada di posisi ketiga dengan 8,1 persen. Berturut-turut kemudian Surya Paloh (5 persen), Mahfud MD (4,5 persen), Dahlan Iskan (4,4 persen) dan Sri Mulyani yang hanya mendapat dukungan 2,1 persen. Dari sejumlah hasil lembaga survey yang ada selalu menempatkan Prabowo Subianto dalam tiga besar. Bagaimana dengan Jusuf Kalla (JK) mantan wakil Presiden RI era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1, sekaligus mantan calon presiden RI pada Pilpres 2009. JK sebagai tokoh inspirator bukan hanya dari Kawasan Timur Indonesia, tetapi ia adalah pembaharu Indonesia di era ini. Ia acapkali menjadi buah bibir mulai masyarakat akar rumput hingga kelas menengah atas dan kelas atas atas, bahkan tahun 2011 ia dinobatkan sebagai People of the Year 2011 oleh salah satu media nasional. Ia memiliki karakter berani, cepat, dan tanggap dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Ia telah berhasil menempatkan pulau komodo sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia, ia juga telah berhasil memimpin Palang Merah Indonesia (PMI) dengan program strategisnya, PMI goes to kampus/mall yang oleh sebagian orang dianggap sebagai lembaga yang kurang seksi. Tetapi, JK dengan ketulusannya membawa perubahan pada setiap lembaga yang dipimpinnya. Yang jelas JK mengakar di masyarakat. Lalu mengapa Prabowo Subianto dan JK? Prabowo mewakili pulau Jawa yang memiliki pundi-pundi suara sekitar 70 persen, dan JK sebagai representasi luar Jawa. Prabowo dan JK memiliki gizi yang cukup memadai. Sehingga benarlah adanya jika mantan politikus senior PKB, Effendie Choirie memberikan sinyal kepada Partai Golkar untuk memaketkan Prabowo Subianto sebagai calon presiden RI 2014 dan mantan ketua umum Partai Golkar, JK

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

262

sebagai calon wakil presiden RI 2014. Lebih lanjut Choirie menambahkan bahwa kedua figur ini sangat cocok dan kuat dalam mendulang suara pada Pilpres 2014, dan bila keduanya dikombinasikan maju pada Pilpres 2014, elektabilitasnya bisa dahsyat.

ANJAL DAN GEPENG, POTRET BURAM KOTA METROPOLITAN

Akhir-akhir ini, publik dibuat gelisah akibat kehadiran anak jalanan (anjal), gelandangan dan pengemis (gepeng), dan pengamen di sejumlah tempat di Makassar, terutama di lampu merah, rumah makan, dan perumahan penduduk. Bahkan di Anjungan Pantai Losari yang membuat warga resah, seperti diberitakan sejumlah media bertajuk Pengamen Losari Ancam Pengunjung dan Tertibkan Pengamen Losari. Inti dari keluhan warga tersebut adalah bahwa pengamen di Pantai Losari seringkali membuat pengunjung tidak nyaman, dan mereka kerap menggunakan kata-kata kasar bahkan mengancam para pengunjung. Olehnya itu, pihak terkait diharapkan menertibkan aksi mereka. Kehadiran mereka, baik di jalanan maupun di tempat- tempat vital lainnya membuat publik terusik, dengan beragam aksi yang dilakukannya, sebagai misal, bila anjal tersebut tidak diberikan uang receh, maka mobil jadi sasaran coretan. Hal inilah yang membuat pemerintah melalui polisi pamong praja mengadakan penertiban di sejumlah tempat/lampu merah beberapa waktu yang lalu, yang berujung pada perusakan sejumlah alat musik (gitar) yang

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

263

digunakan oleh pengamen dalam aksi mereka di persimpangan jalan. Berselang beberapa hari setelah penertiban itu, kini muncul kembali dengan aksi dan tujuan yang serupa. Kehadiran anjal dan gepeng membuat publik pilu bercampur resah karena dapat mengganggu pengendara dan berujung pada kemacetan. Dengan alasan itulah maka, pemerintah kota Makassar pada tahun 2007 mengeluarkan instruksi perihal penanggulangan anak jalanan, gelandangan, pengemis, penjual asongan di jalan dalam kota Makassar, dan di tahun yang sama, Dinas Sosial Kota Makassar menghimbau kepada masyarakat untuk tidak memberi uang kepada anak jalanan. Himbauan tersebut sangat beralasan karena dengan memberikan uang kepada anjal atau gepeng (gelandangan dan pengemis), akan mematikan kreatifitas mereka sebagai generasi muda. Di kemudian hari, mereka akan mewarisi predikat kemiskinan serta menjadi sumber keresahan dan penyakit sosial di masyarakat. Anjal dan gepeng merupakan potret masyarakat marginal yang jauh dari kesejahteraan sosial dan kehadirannya kerapkali meresahkan warga kota metropolitan seperti kota Makassar , namun cara-cara penanganan atau penertiban yang brutal dan tidak beradab tidaklah dibenarkan. Oleh karena itu hendaknya pemerintah bekerjasama dengan sejumlah elemen bangsa lainnya bersama-sama mencari program aksi untuk menekan sekaligus menghilangkan aktifitas anjal dan gepeng di jalanan. Kehadiran anjal dan gepeng di kota Makassar telah menjadi kelaziman, dan memasuki tahun keempat pelarangan Walikota dan himbauan Dinas Sosial Makassar tersebut, rupanya fenomena anjal dan gepeng kembali mengusik warga kota. Anjal dan gepeng merupakan fenomena masyarakat miskin yang menjadi kajian menarik bagi perencana pembangunan dan kesejahteraan sosial, namun mencari alternatif pemecahannya merupakan sesuatu yang rumit dan tidak semudah membalik telapak tangan. Hal ini dikarenakan munculnya anjal, gepeng, dan sejenisnya

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

264

sebagai akibat dari ketidakberdayaan orang tua mereka untuk dapat mengakses sumber daya, terutama pendidikan. Kehadiran mereka juga merupakan warisan dari kemiskinan orang tua atau masyarakat di sekelilingnya, dan sering disebut sebagai cultural poverty. Itulah sebabnya pemerintah, para praktisi, pemerhati, akademisi, dan seluruh stakeholder yang terlibat dalam penanganan masalah kemiskinan diharapkan duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Karena kemiskinan berkaitan erat dengan kualitas SDM. Kemiskinan muncul karena SDM tidak berkualitas, demikian pula sebaliknya, meningkatnya kualitas SDM yang dimiliki suatu bangsa mengandung upaya untuk mengurangi atau menghapus kemiskinan. Oleh Karena itu, pengembangan SDM dimaksudkan untuk menghapus pengangguran dan kemiskinan, termasuk di dalamnya adalah mengurangi aktifitas anjal dan gepeng di jalanan. Selanjutnya, kemiskinan sangat mudah ditemukan di masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa ada sejumlah dimensi yang dapat menampakkan wajah kemiskinan itu dengan sangat mudahnya. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut adalah kemiskinan ekonomi dan sosial budaya. Secara ekonomi, kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ini dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia pada kelompok itu dan membandingkannya dengan ukuran-ukuran baku (Effendi, 1995). Sumber daya yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup konsep ekonomi yang luas tidak hanya pengertian financial, tetapi perlu mempertimbangkan semua jenis kekayaan dan potensi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan pengertian sumber daya itu akan muncul berbagai macam kemiskinan. Namun, kemiskinan yang perlu mendapat perhatian adalah kemiskinan yang berkaitan dengan sumber daya penting yang menentukan kesejahteraan masa depan suatu bangsa. Sumber daya yang perlu mendapat perhatian adalah SDM dan SDA. Kemudian ukuran yang dipakai untuk menentukan kemiskinan adalah

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

265

pendapatan per kapita dari SDM yang tersedia. Artinya, distribusi kebutuhan nyata per kapita setiap sumber daya (Pendidikan, kesehatan, dan perumahan bagi tiap anggota masyarakat dibandingkan dengan kelompok lain). Secara sosial, kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktifitas seseorang meningkat. Dapat juga dikatakan bahwa kemiskinan sosial adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia seperti kurangnya fasilitas permukiman yang sehat, kurangnya fasilitas dan kualitas pendidikan, kurangnya komunikasi dengan dunia sekitar. Disamping itu, juga faktor-faktor penghambat yang muncul dalam diri individu itu sendiri seperti rendahnya tingkat pendidikan, cenderung menyerah pada nasib (tidak mau berusaha/bekerja), serta tidak mempunyai daya juang dan kemampuan untuk memikirkan masa depan (Wirutomo, 2004). Wirutomo kemudian menambahkan bahwa faktor- faktor tersebut selanjutnya diperparah dengan munculnya kriminalitas dan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan yang demikian muncul karena lingkungan atau budaya masyarakat yang telah memfosil dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, kemiskinan sosial tipe ini dapat dikatakan sebagai akibat kemiskinan yang membudaya atau cultural poverty. Kemiskinan telah banyak mengundang perhatian para pemerhati dan pakar ilmu sosial. Konsep-pun telah dikembangkan dalam upaya menyingkap tabir kemiskinan yang pada gilirannya akan dipakai sebagai pendekatan untuk menanggulangi atau memerangi kemiskinan tersebut. Sejarah mencatat telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka kemiskinan sejak bangsa ini merdeka, dan nampaknya hingga hari ini kemiskinan masih saja menjadi masalah serius negeri ini. Salah satu preseden buruk telah gagalnya pemerintah memenuhi hak mendasar warganya adalah adanya pekerja

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

266

migran (TKW dan TKI) yang setiap saat menjadi masalah tersendiri bangsa ini. Penduduk yang termasuk dalam kategori miskin tersebut dapat dipastikan sulit untuk memperoleh akses terhadap pendidikan, pangan, kesehatan, maupun papan (perumahan). Kemiskinan ini juga tercermin dari masih banyaknya penduduk Indonesia yang hidup di emperan toko/kolong jembatan (homeless), anjal dan gepeng, kekerasan, konflik komunal, dan lain-lain. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang dapat menanggulangi kemiskinan, baik secara ekonomi maupun sosial, antara lain: 1) memberikan akses yang seluas-luasnya tanpa diskriminasi kepada setiap anak, terutama dari kelompok miskin (anjal dan gepeng) untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, 2) memaksimalkan peran dan fungsi rumah singgah untuk anak, 3) memberikan pendidikan dan keterampilan vokasional kepada anjal dan gepeng, 4) memperbaiki kualitas, sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, 5) memperbaiki iklim usaha dan memudahkan masyarakat untuk memperoleh kredit usaha sehingga masyarakat mampu membuka peluang usaha, 6) memperbaiki akses penduduk miskin pada sumber daya ekonomi, 7) menerapkan kebijakan penciptaan lapangan kerja sehingga dapat mengurangi pengangguran, 8) meningkatkan peran pendidikan keterampilan dan kewirausahaan baik melalui SMK maupun lembaga pendidikan nonformal yang disinergikan dengan dunia industry melalui program pemagangan (link and match with industry), 9) meningkatkan akses usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) terhadap dunia permodalan, dan mendukung kerjasama yang sinergi dan adil dengan usaha skala besar, dan 10) melibatkan masyarakat secara partisipatif dan sistemik dalam upaya pengelolaan sumber daya alam, lingkungan dan lain-lain. Konsep di atas sejalan dengan teori pembangunan yang mengutamakan keterlibatan manusia dalam setiap pengambilan kebijakan pembangunan (people centered development), yakni: 1) perlunya mengutamakan pemberdayaan orang (people empowerment), 2) pentingnya

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

267

keikutsertaan orang-orang yang menjadi subjek perubahan dalam setiap proses keputusan (people participation), 3) mengorganisasikan kegiatan untuk dan oleh orang miskin itu sendiri (community organization); dan 4) perlunya ada seseorang yang berperan sebagai pemimpin dalam proses perubahan (leadership). Demikian halnya dengan munculnya beragam kegiatan di jalan, yang bukan hanya dilakukan oleh anjal dan gepeng, tetapi juga oleh mahasiswa dan pengamen yang melakukan aksi tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh anak jalanan, yakni meminta recehan kepada para pengguna jalan. Oleh karena itu, perlu terobosan untuk menekan penyakit sosial yang satu ini. Yang mendesak untuk dilakukan adalah pemerintah (Dinas Kesejahteraan Sosial) dan petinggi perguruan tinggi (PR 3) duduk bersama dalam rangka mencari agenda aksi untuk menekan sekaligus menanggulangi kegiatan mahasiswa meminta-minta di jalan. Bila perlu pemerintah menyiapkan dana untuk dikelolah mahasiswa sehingga keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut dapat membiayai kegiatan kemahasiswaan di kampus sehingga mahasiswa tidak lagi turun ke jalan untuk memohon belas kasihan dari masyarakat. Memelas di jalan bagi mahasiswa menunjukkan wajah buruk mahasiswa di tengah masyarakat, olehnya itu, seyogyanya dihindari.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

268

ANTARA KPID DAN KPUD

Di awal tahun 2012 ketika Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Sulawesi Selatan mengadakan verifikasi administrasi kepada 7 (tujuh) lembaga penyiaran di Sulawesi Selatan dalam rangka permohonan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP), satu diantaranya adalah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) TV lokal, satu LPS radio, tiga diantaranya adalah Lembaga Penyiaran Publik (LPP) lokal radio, dan dua diantaranya adalah Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) melalui kabel (TV Kabel). Ada hal yang menarik dalam verifikasi administrasi tersebut, yakni salah seorang dari pemohon Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) LPP radio tidak mengetahui apa itu KPI (KPID). Ironisnya lagi, sang pemohon dengan lugunya juga mengatakan bahwa ia tidak paham tentang apa itu Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang sering disingkat menjadi P3/SPS, ketika ia ditanya oleh salah seorang komisioner. Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

269

Padahal sesungguhnya, bila pemohon ingin mendirikan lembaga penyiaran (LPP, LPS, LPK, dan LPB), mereka diwajibkan menandatangani surat pernyataan tentang kesediaan untuk menjalankan amanat P3/SPS tersebut sebagai roh dari KPI/KPID. Memang tidak banyak yang tahu tentang lembaga ini (KPI/KPID), beda dengan KPU/KPUD. Boleh jadi, publik hanya sekitar 15 persen yang pernah dengar dan mengetahui KPID, dan dari 15 persen tersebut, mungkin sekitar 10 persen diantaranya yang hanya pernah dengan tapi tidak mengetahui tugas dan kewajiban lembaga negara ini. Disisi lain, kira-kira 85 persen publik yang tahu dan pernah dengar KPUD. Setiap pergantian kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota), KPUD selalu saja menjadi perhatian publik, mulai dari isapan jempol atas prestasi yang dilakukan hingga cibiran akibat praktek pemilukada yang bermasalah, dan tidak sedikit anggota KPUD yang dipecat (PAW) akibat segudang permasalahan dan kelalaian yang terjadi. Beda dengan KPID, lembaga negara independen yang satu ini, walaupun segudang kegiatan (prestasi) yang dilakukannya, namun tidak banyak publik yang mengetahuinya. Sering ketika diadakan road show ke kampus-kampus, dan ketika ada kunjungan (kegiatan) di daerah, tidak sedikit yang mempertanyakan apa sebenarnya itu KPID dan apa pula tugas-tugasnya.

Tugas dan Kewajiban KPI dan KPU KPI lahir dari amanat Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Lembaga Penyiaran. Ada dua roh Undang – Undang Nomor 32 tersebut, yakni Diversity of Ownership (keberagaman kepemilikan) dan Diversity of Content (keberagaman isi). Sebelum Undang-Undang 32 lahir, lembaga penyiaran, terutama lembaga penyiaran swasta (LPS) dan lembaga penyiaran berlangganan (LPB) dimiliki oleh pemodal besar, yang nota bene dari pusat kekuasaan (Jakarta). Selama itu pula, konten siaran hanya didominasi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

270

tayangan-tayangan dari ibu kota, minim siaran tentang budaya dan kearifan lokal. Dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 32 dan keberadaan KPI/KPID, lembaga penyiaran tidak lagi menjadi dominasi pemodal besar, tetapi pengusaha dari daerah juga dapat tumbuh berkembang di bidang penyiaran. Demikian halnya dengan konten siaran lokal juga telah masuh dalam ranah penyiaran yang selama ini kurang disentuh oleh pemilik media (lembaga penyiaran) karena dianggapnya kurang menguntungkan dari segi bisnis. KPI mempunyai tugas dan kewajiban, seperti tertuang pada Pasal 8, ayat 3 UU RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, antara lain: a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia; b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait; d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang; e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sang-gahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan f. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. KPU lahir dengan tugas dan kewajiban menjalankan amanat Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Tugas dan Wewenang KPU Pasal 8, ayat 1 dalam penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD meliputi: a. merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; b. menyusun dan menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN; c. menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilu setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah; d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan Pemilu; e. menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi; f. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan data Pemilu dan/atau

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

271

pemilihan gubernur, bupati, dan walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih; g. menetapkan peserta Pemilu; h. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Provinsi untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap KPU Provinsi untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara; i. membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat penghitungan suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu dan Bawaslu; j. menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya; k. menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota untuk setiap partai politik peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; l. mengumumkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah terpilih dan membuat berita acaranya; m. menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan; n. menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilu; o. mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Provinsi, anggota PPLN, anggota KPPSLN, Sekretaris Jenderal KPU, dan pegawai Sekretariat Jenderal KPU yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan/atau ketentuan peraturan perundang- undangan; p. melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat; q. menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye; r. melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan s. melaksanakan tugas dan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

272

wewenang lain sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

MOU Antara KPID dan KPUD Sulsel Sebagai lembaga independen, kedua komisi ini memiliki persamaan, yakni melakukan kegiatan yang pro pada kepentingan publik. KPID Sulsel telah memasuki tahun ketujuh (periode ke-3) dan KPUD Sulsel telah memasuki periode ke-2. Agar pelaksanaan pemilukada di Sulawesi Selatan berjalan tertib dan bertanggungjawab, maka KPID Sulsel dan KPUD Sulsel pada periode pertama menandatangani Keputusan Bersama Nomor: 27/SK/KPID/SS/V/2005 dan Nomor: 181/KPU-SS/V/2005 Tentang Pedoman Siaran Kampanye dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Lembaga Penyiaran Provinsi Sulawesi Selatan. Salah satu isi kerjasama tersebut yang tertuang dalam Pasal 7, 1) Lembaga Penyiaran harus bersikap adil dan proporsional dalam mempersiapkan dan/atau menyelenggarakan siaran kampanye pasangan calon, 2) Lembaga Penyiaran wajib membuka peluang akses yang sama kepada semua pasangan calon untuk berhubungan dengan lembaga penyiaran; 3) Lembaga Penyiaran dilarang bersikap partisan atau berpihak terhadap salah satu pasangan calon dalam menyelenggarakan siaran kampanye; 4) materi dan substansi peliputan berita harus sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Perilaku Siaran, Kode etik Wartawan Indonesis dan ketentuan perundang- undangan; dan 5) Narasumber penyiaran monolog, dialog dan debat dilarang menyerang privasi, silsilah/keturunan, suku, agama, ras, gender dan kelemahan fisik.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

273

COTO MAKASSAR DAN MAKASSAR KOTA DUNIA

Ada cerita menarik sekaligus unik menurut hemat penulis ketika penulis diberi kesempatan berkunjung ke Amerika Serikat pada 2005 – 2006 atas beasiswa dari Ford Foundation International Fellowship Program, melalui Program Social Justice and Leadership Training, tepatnya di Fayetteville, Arkansas, tanah kelahiran salah satu Presiden Amerika Serikat, Bil Clinton. Menjelang satu hari berakhirnya kegiatan di AS tersebut, diadakan perpisahan yang dihadiri oleh tidak kurang lima ratus orang tamu undangan termasuk peserta dari 20 negara. Yang menarik dalam acara perpisahan tersebut adalah setiap mahasiswa/peserta diharuskan membawa makanan tradisional asal daerah/negaranya. Menjelang acara, penulis sempat bingung tentang makanan khas apa yang menarik untuk suguhkan dalam acara tersebut. Setelah penulis merenung sejenak maka muncullah satu nama lauk pelengkap yang senantiasa dihidangkan di tanah air. Makanan tersebut tiada lain

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

274

adalah ―‖ yang terbuat dari jagung dicampur dengan telur, sedikit terigu, dan beragam bumbu. Di pagi hari pada hari H acara, penulis pergi ke Wallmart, salah satu super market untuk membeli beberapa potong jagung dan bahan serta bumbu pelengkap lainnya, kemudian bergegas pulang dan mencoba memasak bahan- bahan tersebut hingga menjadi perkedel walaupun bentuk dan warnanya kurang mengundang selera. Sore hari, tibalah saat acara perpisahan, dan setiap peserta membawa makanan tradisional asal negara mereka masing-masing. Ada yang membawa masakan dari udang lobster, kepiting, cumi, ikan, daging yang tentu mengundang hasrat untuk menyantapnya, ada pula makanan yang terbuat dari gandum dan beras, serta beragam kue-kue tradisional. Sesaat setelah tiba di acara perpisahan, setiap peserta diminta untuk menulis nama negara di tempat makanan tradisional yang telah dibuatnya. Saya juga sebagai satu-satunya peserta asal Indonesia menghidangkan makanan tradisional Indonesia, yaitu perkedel di salah satu meja yang telah disiapkan oleh panitia. Namun yang berbeda dengan peserta yang lain adalah saya tidak memberikan label nama makanan dan asal negara makanan/hidangan yang telah saya buat dengan alasan betul-betul tradisional dan jauh berbeda dengan makanan lainnya yang sungguh mengundang selera untuk mencicipinya. Terus terang saya malu dan ragu, apakah tamu undangan juga berkenang mencicipi makanan buatan saya. Setelah saya letakkan makanan tersebut, saya kemudian menjauh dan bergabung dengan teman-teman untuk menikmati acara malam itu. Beberapa saat kemudian, setelah dinner usai, saya menghampiri meja dimana perkedel tersebut saya letakkan. Saya melihat tempat perkedel yang saya buat, dan saya terperangah, seperti tidak percaya campur bersyukur, rupanya perkedel buatan saya juga diminati oleh tamu undangan malam itu, dan tak satupun perkedel buatan saya yang tersisa, sedangkan makanan- makanan lainnya, seperti lobster, kepiting dan lainnya tadi tetap bertengger di meja, sepertinya tidak disentuh. Ini

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

275

menunjukkan bahwa makanan tradisional asal Indonesia, dapat diperhitungkan di mancanegara. Indonesia sebagai negara yang kaya akan kelompok etnik juga kaya akan budaya dan tradisi, dan tentunya juga kaya akan makanan khas dan tradisional dengan cita rasa Indonesia. Salah satu makanan tradisional yang memiliki cita rasa tersendiri adalah Coto Makassar, itulah sebabnya makanan ini tidak hanya ditemukan di Makassar, Sulawesi Selatan, tetapi juga hampir di setiap daerah di Indonesia, bahkan mungkin di mancanegara. Prinsipnya, dimana ada orang Makassar, disitu ada Coto Makassar. Menarik juga untuk dipikirkan, bagaimana supaya Coto Makassar bisa go international, dapat ditemukan di seluruh belahan bumi, seperti halnya dengan adanya Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Mc Donald, Miami Fried Chicken, dll., di Makassar. Apalagi beberapa hari lalu, Munas BPP HIPMI dipusatkan di Makassar dan ketua umum terpilih HIPMI, Raja Sapta Oktohari memiliki visi untuk membangun bangsa dengan berangkat dari pembangunan daerah. Karena cita rasa dan keunikannya, Coto Makassar mengantar Indonesia meraih juara pertama pada Festival Kuliner ―Pesta Juadah 2011‖ yang diadakan oleh Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) Malaysia, dan menyisihkan 34 peserta lainnya dari berbagai negara di dunia. Coto Makassar dan Perkedel memang merupakan makanan tradisional asal Makassar dan makanan ini perlu dilestarikan dan juga perlu dihidangkan pada setiap jamuan tamu penting pemerintahan, kenegaraan, dan acara adat. Dengan prestasi yang diraih oleh peserta asal Indonesia pada ajang festival kuliner bertaraf interasional tersebut makin menguatkan bahwa kota Makassar memang pantas menyandang kota dunia, sebagai kota asal Coto Makassar. Seiring dengan tersedianya beragam makanan tradisional, seperti Coto Makassar, Pisang Epe, Pallubasa, Pallumara, Ulu Juku, Sop Saudara, dan beragam jenis kue tradisional, seperti Pisang ijo, apang, barongko, , katiri sala, kacipo, , onde-onde, pejja-pejja, curu‘curu‘ te‘ne, taripang, jompo-jompo, dan masih banyak lagi. Untuk mewujudkan Makassar sebagai kota dunia, maka

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

276

pemerintah Kota Makassar seyogyanya mengkampanyekan makanan kuliner tradisional tersebut di mancanegara sebagai salah satu muatan promosi kepariwisataan Sulawesi Selatan dan Makassar sebagai kota dunia yang pernah disandangnya pada abad ke-15 – 17 dan merupakan benteng pertahanan terpenting di Indonesia Timur. Kelihatannya, niat tulus pemerintah kota Makassar dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menjadikan Makassar sebagai kota dunia semakin menguatkan keyakinan publik. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, pemerintah kota Makassar, berencana membangun sejumlah fasilitas publik, seperti moda transportasi massal monorel, dan merupakan satu-satunya di Indonesia, program Makassar Green & Clean (MGM) dengan mengundang partisipasi warga kelurahan/kecamatan untuk berkompetisi memperebutkan hadiah tentang lingkungan bersih dan indah dari pemerintah kota, bandar udara internasional Hasanuddin yang cukup megah telah dibangun sebelumnya, Karebosi Link sebagai satu-satunya mall bawah tanah di Indonesia, Trans Studio sebagai tempat wisata indoor terbesar di Asia bahkan dunia dan lain-lain. Hal ini turut diperkuat oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Makassar dengan melaunching kue tradisional bertajuk ―Kue Tradisional Masuk Hotel,‖ pada 19 Oktober 2011 di hotel Clarion Makassar. Demikian halnya, program pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang menguatkan eksistensi Makassar sebagai kota dunia, dengan membangun pelebaran jalan, center point of Indonesia, rencana produksi mobil lokal bermerek mako produksi Sulawesi Selatan dengan tiga tipe, N-one, Rinra, dan Tetta, dan berencana membangun alat transportasi KRL (kereta api) lintas Sulawesi dan untuk tahap pertama dari Makassar ke Parepare. Untuk mewujudkan kota Makassar sebagai kota dunia yang ramah dan berlandaskan kearifan lokal, makanan kuliner dan infrastruktur tidak cukup. Oleh karena itu, diperlukan suprastruktur dari segenap warga kota Makassar dan Sulawesi Selatan. Supra struktur tersebut tiada lain adalah modal sosial yang dimiliki oleh empat suku

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

277

bangsa di daerah ini, Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, yaitu sipakatau, sipakalebbi, saling menghormati dan menghargai, yakni menghormati setiap tamu asing (domestik dan mancanegara) yang bertandang ke Makassar/Sulawesi Selatan. Setiap warga juga hendaknya memperlihatkan kejujuran, kesopanan, dan mengedepankan etika dan moral, seperti misal ketika tamu asing tersebut naik taksi, becak, ojek, dan semacamnya diberikan tarif yang berlaku sama halnya untuk penduduk lokal sehingga semakin menguatkan masyarakat Makassar/Sulawesi Selatan sebagai masyarakat yang berperadaban tinggi.

GAJI PNS NAIK, KINERJA STAGNAN

Hampir setiap media cetak lokal di Makassar mewartakan kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada bulan Januari 2012 yang akan dicairkan oleh Pemerintah pada Maret 2012. Informasi kenaikan Gaji PNS membuat hampir semua pegawai yang berstatus PNS merasa kegirangan. Betapa tidak, gaji yang selama ini diterima akan mendapatkan tambahan kenaikan rata-rata 10 persen dari gaji mereka. Kebijakan tersebut berdasar pada PP Nomor 15, 16, dan 17 Tahun 2012 tentang Perubahan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Polri. Dengan terbitnya PP tersebut, gaji pokok PNS akan bertambah, yakni dari gaji pokok terendah PNS sebelumnya dengan golongan I-a masa kerja nol tahun adalah Rp. 1.260.000, dan gaji pokok tertinggi golongan IV-e dengan masa kerja 32 tahun adalah Rp. 4.603.700.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

278

Dengan tambahan gaji tersebut, maka dosen yang memiliki jabatan fungsional Guru Besar (Profesor) dengan masa kerja 32 tahun dengan golongan IV-e akan mendapatkan tunjangan fungsional dan dua kali gaji pokok untuk tunjangan kehormatan profesor (Pasal 56 Undang Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen). Dengan demikian Profesor dengan jabatan dan masa kerja 32 tahun akan memperoleh gaji sebesar Rp. 13.811.100. Ini belum termasuk tunjangan fungsional, tunjangan istri/suami sebesar 10 persen dari gaji pokok, tunjangan pangan sebesar nilai beras per 10kg/orang, tunjangan jabatan struktural, dan lain-lain. Dengan demikian, maka Professor dengan golongan tertinggi akan membawa take home pay pada kisaran Rp. 20.000.000., luar biasa fantastis. Tujuan pemerintah menaikkan gaji pokok PNS tidak lain adalah untuk meningkatkan kinerja dan tentu pemerintah bermaksud meringankan beban hidup PNS yang selama ini tergolong kelas menengah ke bawah. Selama ini, pelayanan PNS kepada publik masih sangat rendah. PNS golongan menengah ke bawah masih tergolong kelas menengah – bawah yang tidak kuasa menghadapi penetrasi kapitalisme dalam berbagai wujudnya, seperti sulitnya akses di bidang pendidikan (perguruan tinggi), kesehatan, pangan dan papan yang cukup mahal, dan barang-barang tersier lainnya sulit untuk dimiliki. Dengan gaji yang cukup rendah selama ini, menjadikan PNS tidak kuasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama papan, kebutuhan akan keamanan dan aktualisasi diri. Dengan kenaikan gaji PNS tersebut, pemerintah berharap PNS dapat bekerja profesional religius dalama memberikan pelayanan prima kepada publik. Sepertinya upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan PNS tampaknya jauh dari harapan mengingat keluarnya kebijakan pemerintah perihal kenaikan Gaji Pokok PNS, para pengusaha juga mulai menaikkan harga produk dan jasa mereka, termasuk pengusaha rumah, mereka menaikkan harga rumah sebesar 25 persen. Demikian halnya dengan rencana pemerintah untuk memberlakukan aturan penggunaan BBM, yakni bagi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

279

kendaraan pribadi ronda empat ke atas diharuskan menggunakan pertamax yang harganya selangit. Demikian juga harga sembilan bahan pokok di pasaran juga sudah mengalami kenaikan cukup signifikan. Kenaikan gaji yang dibarengi dengan kenaikan harga bahan pokok dan bahan tersier lainnya akan berakibat pada stagnannya kinerja PNS. Hal ini juga telah terjadi beberapa kali sebelumnya, dengan adanya kenaikan gaji tidak turut mempengaruhi peningkatan kinerja PNS, bahkan penilaian masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh PNS semakin menurun. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya perbuatan kurang menyenangkan yang dilakukan oleh sebagian PNS, seperti pelayanan yang berbelit-belit, lamban, dan acapkali terjadi pungutan.

Pelayanan Prima Reformasi bergulir dipicu oleh banyak hal, salah satu diantaranya adalah perilaku korup dan inefisiensi pelayanan PNS (birokrat) kepada publik di bawah rezim orde baru yang korup. Pada dasarnya PNS sebagai abdi negara memiliki tugas dan tanggungjawab utama untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat. Untuk mencapai kepuasan tersebut, maka kualitas pelayanan prima harus mencerminkan antara lain: transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban (Sinambela, Lijan Poltak, dkk, 2007). Itulah sebabnya setiap PNS sebagai abdi negara harus menunjukkan kinerja yang berkualitas dan harus memberikan pelayanan prima kepada masyarakat tanpa memandang latar belakang agama, suku, dan ras. Dengan demikian untuk mewujudkan kinerja yang bermutu tersebut, maka setiap PNS diharapkan memiliki komitmen peningkatan mutu yang tinggi, yang mengacu pada Analisis Kerangka Kerja Logis (Logical Framework Analysis) meliputi: input, proses, output, dan outcome.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

280

IRONI MUDIK LEBARAN

Mudik atau kembali ke udik (desa) bagi sebagian warga marginal perkotaan merupakan fenomena menarik sekaligus unik bahkan mungkin dipandang sebagai sesuatu yang wajib menjelang hari-hari besar keagamaan, seperti hari raya Idul Fitri. Setiap tahun perilaku mudik masyarakat urban yang berada pada stratifikasi menengah bawah dan bawah-bawah menyisakan beragam persoalan. Tradisi mudik lebaran hanya ada di Indonesia, dan fenomena ini dilakukan oleh sekitar 10 persen atau 23 juta penduduk Indonesia setiap tahunnya. Perilaku untuk mudik bagi sebagian warga urban perkotaan, menimbulkan dua dampak, yakni dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya adalah bersilaturahim dan berbagi sedikit rejeki kepada sanak saudara dan handaitaulan di kampung halaman (udik). Ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkan setiap kali

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

281

mudik lebaran, antara lain uang yang telah dikumpulkan selama satu tahun habis dalam hitungan jari, padahal sesungguhnya uang yang telah dikumpulkan selama satu tahun bekerja bagi warga miskin kota, idealnya disimpan atau ditabung di bank untuk dibelikan rumah tinggal permanen. Disamping itu, setiap tahun usai lebaran, pemudik dari kota metropolitan, seperti Jakarta, Surabaya, dan sejumlah kota lainnya membawa keluarga, tetangga, teman ke kota dimana ia bekerja, baik sebagai pembantu rumah tangga, penjaga toko, buruh bangunan, hingga pekerja kantoran. Akhirnya kota menjadi semakin kumuh, dan semakin banyak warga kota yang tidak memiliki pekerjaan yang layak dan akhirnya menjadi pengangguran dan tidak sedikit yang menjadi gelandangan dan pengemis (Gepeng). Seiring dengan tradisi mudik lebaran, ada seabrek persoalan yang mengemuka setiap menjelang dan usai Idul Fitri, antara lain meningkatnya angka kecelakaan di jalan raya dan kemacetan terutama untuk jalan yang dilewati oleh para pemudik dengan beragam kendaraan yang digunakannya seperti kendaraan pribadi, sepeda motor, bus, kereta api, hingga ada yang menggunakan becak dan sepeda. Setiap mudik lebaran, jalanan menjadi macet dan pemerintah serta organisasi masyarakat menurunkan ribuan personil untuk mengamankan dan menertibkan jalan yang dilewati oleh pemudik dengan membangun posko-posko di pinggir jalan. Untuk tahun 2011 lalu, angka kecelakaan bagi pemudik meningkat tajam, yakni di atas 30 persen dari tahun 2010. Pihak kepolisian melaporkan bahwa angka kecelakaan mudik lebaran tahun 2011 secara nasional cukup fantastis, yakni berada pada angka 4.869 kecelakaan hingga H+4 dan menimbulkan 633 kematian (Kompas, 5 September 2011). Di Sulawesi Selatan saja, pada H+2, angka kecelakaan sebesar 184 kasus dan 57 meninggal dunia dan di kota Makassar terdapat 37 kasus dengan 8 orang meninggal dunia. Ada beragam penyebab kecelakaan mudik lebaran, atara lain: pengendara yang mengantuk, infrastruktur jalan yang tidak siap (jalan rusak), tidak tertib berlalu lintas, muatan yang melebihi kapasitas, dan lain-lain. Kecelakaan di

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

282

jalan raya selama mudik lebaran didominasi oleh pengendara roda dua. Hal ini disebabkan oleh jutaan pemudik yang menggunakan roda dua tersebut, dan mereka acapkali tidak mengindahkan tertib berlalu lintas, seperti tidak memakai helm, tidak menghiraukan marka jalan dan lampu lalu lintas, berkendara lebih dari dua orang, dan lain-lain. Angka kecelakaan yang menyebabkan kematian banyak disebabkan oleh pengendara yang tidak mengindahkan aturan berlalu lintas. Dengan demikian, pemerintah melalui Dinas Perhubungan, Kepolisian, pekerja sosial, dan pemerhati masalah transportasi perlu memikirkan langkah strategis untuk meminimalisir angka kecelakaan di jalan raya, terutama pada mudik lebaran setiap tahunnya yang selalu saja mengalami peningkatan yang cukup tajam. Untuk mengurangi kecelakaan di jalan raya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh pengguna jalan itu sendiri, sehingga ketertiban berlalu lintas dapat terwujud, yakni edukasi terhadap pengguna jalan, penegakan aturan berlalu lintas, dan penegakan rasa bersalah, malu dan takut bagi pengendara (pemudik).

Edukasi Pengendara Menjelang hari raya besar keagamaan (ramadhan, natal, tahun baru, dan lain-lain), pemerintah seyogyanya mengampanyekan perlunya pengendara mentaati aturan berlalu lintas. Kampanye yang oleh pakar transportasi Darmaningtyas dikatakan sebagai edukasi pengendara perlu dilakukan di setiap kesempatan, masyarakat, dan dinas atau kantor pemerintah dan swasta. Edukasi tersebut dilakukan atas inisiasi pemerintah melalui Dinas Perhubungan, Dinas Sosial, dan Kepolisian, sehingga masyarakat memiliki kepekaan dan kepedulian untuk menegakkan kedisiplinan berlalu lintas.

Penegakan Aturan Aturan dalam bermasyarakat dan bernegara, baik yang dibuat oleh pemerintah (kepolisian) maupun dari masyarakat dalam wujud konsesus sosial (social consensus) Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

283

perlu ditegakkan oleh setiap individu bila ingin harmoni tercipta di setiap komunitas, terutama di jalan raya. Oleh karenanya, aturan yang telah dibuat oleh pemerintah, hendaknya ditegakkan. Pihak kepolisian yang menemukan adanya pelanggaran bagi pengendara di jalan raya perlu menegakkan aturan yang ada, yakni dengan memberikan tilang (bukti pelanggaran) kepada setiap pengendara yang melanggar aturan berlalu lintas, sehingga ada efek jera.

Rasa Bersalah, Malu, dan Takut Untuk mengurangi angka kecelakaan di jalan raya, selain edukasi bagi pengendara dan penegakan hukum yang perlu ditegakkan oleh pemerintah, juga perlu penegakan rasa bersalah, malu, dan takut oleh pengendara itu sendiri. Paulus Wirutomo, Sosiolog Universitas Indonesia, yang juga maha guru penulis pernah mengatakan bahwa ada tiga hal yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan pelanggaran/penyimpangan (di jalan raya), atara lain: rasa bersalah, rasa malu, dan rasa takut. Pertama, ―rasa bersalah,‖ apakah pelaku menganggap perbuatannya menyimpang atau tidak tergantung dari tingkat internalisasi dari norma atau nilai tersebut dalam dirinya. Inilah yang disebut internal control. Internal control bisa dihasilkan oleh penanaman nilai dan norma yang efektif, tetapi juga bisa ditentukan oleh ―kepentingan‖ yang mendasar untuk kelangsungan hidupnya. Dalam hal melanggar peraturan lalu lintas, ―rasa bersalah‖ sudah amat tipis dalam masyarakat kita. Kekuatan pencegah berikutnya adalah ―rasa malu.‖ Ini adalah hasil dari kontrol yang diberikan oleh orang sekitar yang menyaksikan tindakan tersebut. Mereka disebut sebagai social control. Kekuatan social control (lingkungan masyarakat) tergantung dari definisi mereka terhadap perbuatan itu, bila mereka menganggap salah maka mereka akan memberikan sanksi, bila tidak mereka akan membiarkan tindakan itu. Saat ini kontrol sosial juga sudah mulai lemah di masyarakat kita. Orang tidak malu-malu lagi melakukan pelanggaran lalu lintas.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

284

Bila rasa malu sudah tidak mempan lagi, maka ada ―rem‖ terakhir yang dapat menghentikan pelanggaran yaitu ―rasa takut.‖ Rasa takut bisa muncul dari masyarakat sekelilingnya, misalnya hukuman yang tegas dari masyarakat atau aparat hukum, tetapi bisa juga dari alam, misalnya ―orang yang tidak hati-hati‖ bisa mengalami kecelakaan. Paulus Wirutomo menambahkan bahwa ―rem‖ yang paling tinggi nilai sosiologisnya untuk tidak berbuat ugal- ugalan di jalan raya adalah ―rasa bersalah,‖ yang kedua rasa malu, dan yang paling rendah kualitasnya adalah rasa takut (karena hewan juga hanya diatur oleh rasa takut, bukan rasa malu, apalagi rasa bersalah). Rasa bersalah membutuhkan penanaman nilai, rasa malu membutuhkan kontrol sosial atau dukungan masyarakat, dan rasa takut membutuhkan penegakan hukum yang tegas dan pengetahuan tentang bahaya-bahaya di jalan.

KEBHINEKAAN KINI TERKOYAK

Belum hilang di ingatan konflik dan peristiwa penusukan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Ciketing Bekasi pada pertengahan 2010 lalu, kini publik dikejutkan dengan isu seputar kekerasaan dan anarkisme di media massa elektronik dan cetak. Pemberitaan tersebut seputar penyerangan jamaah Ahmadiyah di beberapa tempat di Indonesia, seperti Cikeusik, Pandeglang Banten, dan Makassar, rusuh bernuansa SARA di Temanggung Jawa Tengah, isu penculikan di Makassar yang telah menelan banyak korban jiwa tak berdosa, dan terkini adalah isu bom buku yang telah menjadi teror sangat menakutkan. Kerusuhan dan kekerasan tersebut meninggalkan kerugian materil dan immateril yang nilainya cukup fantastis, bahkan penyerangan terhadap kompleks Jamaah Ahmadiyah di

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

285

Cikeusik menelan 3 korban jiwa dan sejumlah orang dikabarkan luka-luka. Demikian halnya, isu penculikan anak di Makassar, telah menelan korban jiwa. Serentetan kejadian tersebut telah mengoyak rasa persatuan dan persaudaraan bangsa ini yang berada di bawah bingkai kebhinekaan. Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara berdaulat lahir dari tangan-tangan dingin pemuda dari berbagai latar belakang agama, suku bangsa, kelompok etnik, dan bahasa yang berbeda. Keberagaman itu pula yang menjadikan Indonesia sebagai negara besar dan disegani selama kurang lebih lima dasawarsa. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dengan latar belakang kebudayaan yang beragam yang terikat dalam sebuah kesatuan berdasarkan Bhineka Tunggal Ika (Suriasumantri, 1987). Rupanya perbedaan pasca reformasi bukan lagi merupakan sesuatu yang penting. Padahal sesungguhnya perbedaan merupakan rahmatan lil alamin. Karena dengan perbedaan itu, maka ummat manusia akan selalu tolong menolong, bantu membantu menuju terwujudnya masyarakat madani, harmoni dan sejahtera sebagaimana yang diimpikan bersama. Nabi Muhammad SAW yang juga merupakan nabi terakhir yang diutus ke permukaan bumi ini, senantiasa menjadi tauladan kepada bukan hanya bagi yang beragama Islam, tetapi juga bagi kaum selain Islam sehingga di zaman rasulullah, Islam berdampingan dengan agama lainnya (Yahudi dan Nasrani). Ini menunjukkan bahwa rasulullah merupakan contoh penganut toleransi antar ummat beragama yang patut diteladani.

Tuli dan Mati Rasa Meminjam istilah, pembaca berita Metro TV, Zelda Savitri yang menyatakan bahwa pemimpin negeri ini seperti tuli dan mati rasa. Orang yang tuli tidak akan menghiraukan apapun yang ada disekitarnya, termasuk lantunan lagu Andaikan Aku Gayus Tambunan yang cukup menghipnotis anak-anak hingga orang dewasa di negeri ini. Demikian halnya, orang yang mati rasa, walaupun dicubit atau disengat lebah tidak akan merasa sakit sedikitpun.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

286

Ketidakmampuan aparat meredam konflik, kekerasan, dan tawuran antar warga yang terjadi akhir-akhir ini menjadi preseden buruk terhadap niat baik pemerintah untuk mewujudkan harmoni bagi rakyatnya. Hal ini juga menjadi bukti pembenaran pernyataan tuli dan mati rasa tersebut. Ini sungguh beralasan karena penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Pandeglang Banten yang menelan 3 korban jiwa dan kerusuhan di Temanggung, Jawa Tengah yang menimbulkan kerusakan parah terhadap fasilitas publik dan rumah ibadah, sepertinya hanya menjadi tontonan menarik dan aparat tidak dapat berbuat banyak. Dengan rentetan kejadian tersebut yang oleh sebagian pengamat dikatakan by design, maka para tokoh agama dan aktifis LSM mengadakan sejumlah konsolidasi, diskusi, dan mencari dukungan untuk terwujudnya harmoni dan terlindunginya hak-hak setiap warga, termasuk hak menyatakan pendapat dan hak menganut agama dan kepercayaannya. Sekaitan dengan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah, Menteri Agama, Suryadharma Ali menawarkan empat opsi penyelesaian permasalahan Ahmadiyah di Indonesia. Keempat opsi tersebut adalah, Pertama, Ahmadiyah bisa menjadi sekte atau agama tersendiri dengan konsekuensi tidak menggunakan atribut agama Islam, seperti masjid, Al-Qur`an, dan lain-lain. Kedua, Ahmadiyah bisa kembali menjadi umat Islam yang sesuai tuntunan Al-Qur`an. Alternatif ketiga Ahmadiyah bisa dibiarkan karena ada yang berpandangan hal itu merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Alternatif keempat Ahmadiyah dibubarkan. Menag kemudian sangat setuju dengan opsi kedua, yakni jamaah Ahmadiyah kembali menganut Islam yang sesuai dengan Al-Qur‘an dan Sunnah. Melihat keempat opsi tersebut, sepertinya jamaah Ahmadiyah sulit untuk memilih. Bagi yang Islam radikal, opsi keempat adalah pilihan tepat, Ahmadiyah harus dibubarkan. Hal ini juga sesuai dengan aturan yang berlaku di negeri ini, bahwa hanya ada 5 agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Bagi Islam liberal, mereka berpendapat biarkan saja

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

287

mereka tumbuh dan berkembang di negeri ini, karena sesungguhnya itu dijamin oleh HAM. Islam moderat juga tidak ketinggalan berpendapat bahwa mau Islam atau Ahmadiyah terserah sejauh tidak mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman warga. Bila keempat opsi tersebut dikaji mendalam, opsi pertama dan kedua sepertinya sulit untuk diterima oleh jamaah Ahmadiyah. Apapun alasannya, pemerintah hendaknya mengambil tindakan tegas, yakni melarang aktivitas Ahmadiyah seperti yang dilakukan di sejumlah negara dengan pertimbangan penistaan agama Islam atau membiarkannya dengan alasan HAM. Konsekuensi bila menerima opsi membiarkannya, ini berarti membiarkan kekerasan terjadi di Indonesia, karena diyakini bila Ahmadiyah masih tetap diberikan ruang, akan selalu memicu masalah sosial dengan reaksi berantai tanpa ujung yang setiap saat akan berkobar.

Kekerasan Perlu Penanganan Serius Tuduhan sejumlah tokoh dan pengamat terhadap pembiaran aparat pada sejumlah kekerasan dan konflik yang terjadi akhir-akhir ini memang sangat merisaukan. Bila kekerasan, konflik, perkelahian atau tawuran antar kelompok tidak tertangani dengan baik, akan berpotensi menjadikan sesuatu yang dianggap biasa di masyarakat, bahkan kemudian melukai sesama merupakan sesuatu yang terpuji. Dari keadaan inilah dapat timbul berbagai masalah di kemudian hari. Sistem kontrol yang salah, dapat menyebabkan masalah sosial yang akut, misalnya dalam perkelahian remaja antar kampung menyulut terjadinya tawuran antar kampung yang melibatkan orang dewasa, seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Masalah sosial bila tidak tertangani dengan baik, akan memicu masalah sosial lainnya sehingga masyarakat berada dalam suasana yang menyeramkan. Masalah sosial berantai merupakan resultante dari berbagai faktor dalam masyarakat, yang satu sama lain saling memperkuat dan menambah parahnya persoalan (Suriasumantri, 1987).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

288

Masalah kekerasan dan anarkisme erat hubungannya dengan moralitas dan keteraturan (order). Bila keteraturan tidak dapat diwujudkan maka yang terjadi adalah disharmoni (kekacauan). Jika pemerintah memandang kekerasan sebagai masalah sosial, maka mestinya pemerintah dan aparatnya mencari jalan pemecahan, bukan sebagai penonton terhadap kekerasan yang terjadi.

Agenda Aksi: Pembangunan Sosial Budaya Untuk meredam konflik antar warga di masyarakat dalam berbagai isu mulai dari penistaan agama hingga konflik SARA, maka seyogyanya pemerintah turut membangun aspek sosial budaya sama pentingnya dengan pembangunan ekonomi, hukum, politik, pertahanan keamanan, dan infrastruktur secara terintegrasi. Konflik dan kekerasan terjadi bila individu atau masyarakat tidak saling menghormati dan menghargai. Demikian halnya, disorganisasi masyarakat dapat terjadi bila masing-masing anggota masyarakat tidak saling mengenal, apalagi memecahkan persoalan lingkungan bersama. Jika rasa kebangsaan tidak ditanamkan sejak dini, dapat memicu terjadinya social unrest (kekacauan) di masyarakat. Disorganisasi sosial menyebabkan orang bersikap acuh tak acuh, merasa dirinya tidak berdaya terhadap ancaman pihak yang lebih kuat, dan dalam keadaan demikian akan terjadi alienation, yaitu pengasingan manusia dari manusia yang lain (Suriasumantri, 1987). Ajaran agama yang menyimpan dari ajaran pada umumnya akan menyebabkan alienation bagi penganutnya, dan warga sekitar memandang penganjut ajaran tersebut sebagai warga yang eksklusif (tertutup terhadap golongan lain). Sebagai contoh, ajaran dan warga Ahmadiyah. Alienation dan sikap eksklusif dapat memicu terjadinya kebencian sosial atau asocial orang lain dan juntrungannya adalah terjadinya kekerasan dan anarkisme tehadap golongan tertentu (biasanya yang dirugikan adalah kelompok minoritas). Secara sosiologis, pembangunan di setiap bidang kehidupan ditentukan oleh sejauhmana ketaatan setiap

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

289

individu yang ada didalamnya untuk menegakkan nilai-nilai dan norma berbangsa dalam bingkai BHINEKA TUNGGAL IKA.

MAKASSAR KOTA DUNIA, PERLU PEMBENAHAN INFRASTRUKTUR DAN SUPRASTRUKTUR

Tahun 2005, penulis mengikuti seminar bertajuk ―Commodification and Islamic Asia,‖ di National University of Singapore (NUS). Ada sejumlah pengalaman penulis ketika berada di Singapura, salah satu diantaranya kota tersebut sangat indah dan bersih, dan drainase dan sungai-sungai kecil yang membelah kota Singapura bagaikan sumber mata air di pegunungan yang belum pernah disentuh oleh tangan- tangan manusia. Disamping itu, keteraturan berkendara, pejalan kaki, budaya antri dan sebagainya sangat apik. Pengalaman itu semua membawa penulis untuk berpikir dan menghayal, kapan negeri ini, Indonesia akan maju seperti Singapura. Setelah merenung beberapa saat, penulis kemudian berkesimpulan dalam hati minimal 100 tahun baru Indonesia akan maju seperti Singapura. Padahal Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

290

sesungguhnya Indonesia, Singapura, Malaysia, China, India, dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara di tahun 70-an berada pada posisi yang sama yaitu sebagai negara sedang berkembang atau negara miskin (periphery). Indonesia jauh tertinggal dari Singapura, Malaysia, dan China karena di era 70-an hingga 80-an, negara-negara tersebut berinvestasi besar-besaran di bidang pendidikan dengan tujuan mencerdaskan generasi muda mereka yang nantinya akan membangun negerinya. Betul adanya, tidak menunggu lama Singapura dan China menjadi negara maju (industri), dan Malaysia menjadi negara semi maju (semi periphery), sedangkan Indonesia tidak, masih tetap miskin dan masih terjajah di berbagai bidang, seperti ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan, dan lain sebagainya. Dengan generasi muda yang cerdas tadi maka merekalah yang membangun infrastruktur dan suprastruktur bangsa mereka. Pembangunan kebutuhan dasar, seperti listrik masuk desa, jalan, fasilitas sosial, ruang publik, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain dibangun secara besar-besaran. Demikian halnya dengan pendidikan karakter bangsanya, juga dilaksanakan seiring dengan pembangunan infrastrukturnya. Dengan demikian, bila kota Makassar yang kita cintai ini akan menjadi kota dunia, saya kira itu bukan sesuatu yang mustahil dan tidak perlu kita menunggu 100 tahun. Tapi syaratnya memang tidak mudah, yakni seluruh warga kota dan pemerintah perlu bersinergi untuk mewujudkan infrastruktur dan suprastruktur yang baik. Bicara tentang infrstruktur, ada sejumlah hal yang harus dibangun oleh pemerintah kota Makassar, antara lain: jalan, moda transportasi massal (mono rail), fasilitas dan kamar hotel yang memadai, lampu penerangan (terutama jalan), ruang publik (ruang terbuka hijau), dan lain-lain. Seiring dengan sempitnya jalan dan semrawutnya kendaraan di jalan-jalan di Makassar berkontribusi untuk menimbulkan keraguan publik bila kota ini akan menjadi kota dunia. Juga menghangat akhir-akhir ini bahwa kota ini tidak memiliki ruang terbuka hijau yang berfungsi menghirup udara kotor, menyimpang debit air sehingga tidak terjadi

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

291

banjir, dan lebih penting lagi adalah tempat anak dan publik bermain, berolahraga, dan bersantai. Hal ini memang prasyarat mendasar karena kota dunia diharapkan memiliki ruang terbuka hijau minimal 30 persen dari lahan kota yang ada, sedangkan kota Makassar kini hanya memiliki 7,5 persen. Disamping itu, kebersihan kota juga perlu dibenahi secara massif, karena tidak sedikit sudut kota dan pusat kegiatan publik, seperti pasar, terminal, dan sejumlah ruang publik lainnya dipenuhi sampah yang berserakan. Sehubungan dengan kebersihan kota dari sampah yang ada dimana-mana dan acapkali menimbulkan bau tidak sedap dan juga sangat mengganggu keindahan kota, maka perlu dikampanyekan kebersihan di setiap lembaga pemerintah, sekolah, perusahaan swasta, perguruan tinggi, rumah sakit, puskesmas, rumah singgah, pabrik, mall, pasar, ruang publik, pantai Losari, kendaraan umum, dan lain-lain, sehingga tidak lagi ditemukan sampah di pinggir jalan, di jalan raya, di pantai Losari, dan tempat-tempat vital lainnya. Demikian halnya, aspek suprastruktur masyarakat kota Makassar perlu dibenahi, yakni dengan perlunya pendidikan karakter di sekolah sehingga masyarakat nantinya dapat memiliki etika dan moral, sehingga dalam diri setiap orang tertanam perilaku jujur, amanah, toleransi, saling menghormati, saling membantu, nasionalisme yang tinggi, memiliki sifat empati kepada sesama terutama tamu asing yang berkunjung ke kota Makassar. Disamping itu, pemerintah juga perlu mewujudkan harmoni dan keteraturan (order) karena bila kota menyeramkan (disorder), maka tamu asing berpikir seribu kali untuk berkunjung ke kota ini. Ada dua keteraturan yang mesti diterapkan bila ingin mewujudkan ketertiban kota, yaitu keteraturan hukum dan keteraturan sosiologis. Keteraturan hukum mesti diterapkan kepada setiap orang tanpa pandang bulu, sehingga norma dalam masyarakat urban dapat tercipta. Bila keteraturan hukum tidak dapat dijalankan dengan baik oleh pemerintah kota, maka akan tercipta keteraturan sosiologis di masyarakat yang menjadi kesepakatan (social consensus),

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

292

walaupun bertentangan dengan hukum atau norma itu sendiri karena ia tercipta akibat dinegosiasikan antar warga masyarakat (social order is a negotiated order). Kota Makassar menuju kota dunia perlu pembenahan dengan konsep yang jelas, terutama kaitannya dengan infrastruktur dan suprastrukturnya, dan partisipasi seluruh warganya sangat menentukan. Sosiolog Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo mengatakan bila sebuah kota ingin menjadi kota dunia, sudah waktunya kota tersebut berbenah diri dengan konsep yang jelas. Ia melanjutkan bahwa peradabanb kota harus menjadi pegangan, jangan biarkan kota ini hanya jadi ajang pertengkaran tiada henti antar tiga pihak yaitu: pemerintah (yang cenderung berorientasi kekuasaan), rakyat (yang hanya tahu hak tanpa diimbangi kewajiban), serta civil society (yang hanya mengeritik tanpa solusi yang jelas). Bila semua pelaku di atas terus menerus membenarkan dan memenangkan dirinya sendiri, maka yang dirugikan adalah kota Makassar (kita sendiri).

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

293

MASALAH DI TAPAL BATAS

Ibarat luka parah, belum sepenuhnya sembuh tiba- tiba luka baru pada tempat yang sama kembali luka. Inilah yang dialami oleh bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Sekitar tujuh tahun lalu, dua pulau yang diklaim Indonesia sebagai miliknya dicaplok oleh negara tetangga Malaysia, yaitu pulau Sipadan dan pulau Ligitan yang terletak di bagian utara pulau Kalimantan. Belum hilang diingatan, tiba-tiba Pulau Sebatik, Gunung Jagoi, dan Tanjung Datu diklaim oleh Malaysia dua tahun lalu sebagai wilayah teritorialnya, yang membuat kapal tempur dan pasukan marinir kedua negara berjaga-jaga di lepas pantai wilayah yang diklaim tersebut. Satu minggu terakhir, isu tentang pencaplokan Malaysia atas sebagian wilayah Indonesia kembali menghiasi halaman pertama sejumlah media cetak nasional dan menjadi breaking news sejumlah lembaga penyiaran TV, dimana Indonesia berpotensi kehilangan wilayah teritorialnya seluas 1.500 ha. Berita ini mengemuka atas laporan Wakil

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

294

Ketua Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR dari PDIP, Tubagus B. Hasanuddin usai kunjungannya ke wilayah perbatasan tersebut, yang melaporkan adanya pencaplokan wilayah Indonesia di Dusun Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kalimantan Barat yang dilakukan oleh Malaysia. Masyarakat akhirnya menjadi risau dan tentu geram dengan ulah negara tetangga tersebut, termasuk mantan Presiden RI, Megawati Sukarnoputri yang turut menggugat keseriusan pemerintah untuk meminta penjelasan kepada pemerintah Diraja Malaysia. T.B. Hasanuddin juga menambahkan bahwa patok perbatasan di kedua wilayah tersebut mengalami pergeseran hingga 3,3 kilometer, dan berdasarkan peta peninggalan Belanda, Van Doorn tahun 1906 dan Peta Samba Borneo, serta peta buatan Inggris yang menunjukkan bahwa kedua wilayah tersebut berada dalam wilayah teritorial Indonesia. Atas adanya isu kurang sedap tersebut, memaksa Jajaran Kementerian Kordinator Politik Hukum dan Keamanan menggelar rapat koordinasi guna membahas isu pencaplokan wilayah Indonesia yang dipimpin oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto, dan dihadiri oleh Menlu RI, Marty Natalegawa, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono. Hasil rapat tiga jajaran kementerian dan TNI tersebut melaporkan bahwa tak ada pencaplokan wilayah RI oleh Malaysia. Terlepas dari benar tidaknya desas desus pencaplokan tersebut, menjadi pertanda bagi pemerintah RI untuk lebih pro aktif mensejahterakan rakyat di wilayah perbatasan yang jauh di atas kesejahteraan warga Malaysia. Pemerintah juga hendaknya menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI, bukankah hal serupa juga pernah terjadi pada Pulau Sipadan dan Ligitan yang dicaplok oleh Malaysia. Potensi wilayah Indonesia di perbatasan untuk beralih ke wilayah negara lain cukup besar, mengingat panjang perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia, sekitar 2004km dan Indonesia dengan Timor Leste sekitar 268,8km. Demikian halnya ratusan kilometer perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini yang terbentang dari Selatan ke Utara.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

295

Mengapa sebagian wilayah Indonesia dengan mudah dicaplok oleh bangsa lain? Pertanyaan ini mengundang beragam jawaban, antara lain karena wilayah Indonesia demikian luasnya sehingga sulit dikontrol apalagi hanya diberikan patok dan tugu sebagai pemarka batas kedua negara, Indonesia dilanda oleh masalah bangsa akut, seperti kemiskinan absolut, kasus-kasus korupsi yang tak kunjung selesai, masalah hukum yang hingga kini juga belum menemukan titik temu, dan segudang masalah lain yang tentu memerlukan energi dan langkah penyelesaian. Demikian halnya dengan tidak meratanya pembangunan menjadi pemicu utama, terutama masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan belum memperoleh akses pendidikan, sosial, dan kesejahteraan yang memadai, intinya adalah pembangunan tidak merata, sehingga mereka mudah saja dipengaruhi untuk beralih status kewarganegaraan. Persoalan yang dialami oleh bangsa Indonesia tersebut dan dengan tidak adanya penyelesaian strategis dimanfaatkan oleh bangsa lain untuk mencaplok sebagian wilayah Indonesai melalui beragam pendekatan. Salah satu pendekatan jitu yang dilakukan oleh negara tetangga adalah dengan membangun fasilitas di wilayah perbatasan, dan sarana-prasarana tersebut mengundang decak kagum warga Indonesia di perbatasan yang selama ini berada di bawah garis kemiskinan dan akhirnya dengan mudahnya dapat mempertaruhkan nasionalismenya sebagai bangsa Indonesia, yang kemudian membiarkan wilayahnya dicaplok dengan tujuan untuk memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran, karena pemerintah bangsa ini tidak peka terhadap keinginan penduduk di perbatasan yang hidup di bawah garis kemiskinan untuk hidup layak. Akses ke pasar-pasar dan sarana sosial lainnya, seperti sekolah, puskesmas (rumah sakit), dan lain-lain di perbatasan jauh lebih sulit ketimbang pasar-pasar dan fasilitas sosial lainnya yang disediakan oleh pemerintah Malaysia kepada rakyatnya. Inilah kemudian yang menjadi pemicu sebagian warga yang mendiami wilayah Indonesia pasrah, tidak

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

296

melakukan perlawanan karena toh pemerintah RI tidak memberikan perhatian kepada mereka. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia kedepan untuk meminimalisir terjadinya masalah di tapal batas adalah pembangunan di daerah perbatasan harus menjadi prioritas utama. Pemerintah melalui Kementerian Daerah Tertinggal perlu menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk membangun fasilitas dasar, seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit. Indeks Pembangunan Indonesia (IPM) dan kesejahteraan rakyat Indonesia mestinya menjadi prioritas utama, terutama di perbatasan, karena selama ini kebanyakan mereka hidup di bawah garis kemiskinan, dan tidak sedikit diantara komunitas yang mendiami daerah perbatasan tergolong sebagai Komunitas Adat Tertinggal (KAT) dan kesulitan mengakses fasilitas sosial dan kebutuhan dasar, jauh dari perhatian pemerintah dan pemerintah daerah, apalagi kalau mereka dianggap tidak memberikan nilai plus pembangunan negara. Disamping itu, penempatan personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri yang memadai di perbatasan juga menjadi keharusan. Tak kalah pentingnya adalah pembangunan pagar atau tembok pemisah antara kedua negara bertetangga perlu segara diwujudkan. Sukarno, Presiden Pertama RI pernah berkata satu jengkalpun tanah, saya tidak rela bila direbut oleh bangsa lain

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

297

KETIDAKPASTIAN DALAM POLITIK

Pemilu legislatif 9 April 2009 baru saja usai, namun menyisakan beragam persoalan. Persoalan yang muncul baik sebagai akibat ketidakprofesionalan KPU, minimnya pengetahuan penyelenggara pemilu di tingkat TPS dan PPK, yang berujung pada rendahnya kualitas penyelenggaraan pemilu 2009. Dengan munculnya masalah-masalah tersebut, maka sejumlah petinggi partai yang merasa dirugikan berencana untuk menggugat KPU secara hukum. Selain persoalan akibat kelalaian KPU, masalah yang tidak kalah menariknya adalah perilaku para caleg, baik sebelum maupun pasca pesta demokrasi tersebut. Menjelang pemilu legislatif 2009, banyak caleg yang menggadaikan bahkan menjual rumah tempat tinggal dan harta benda mereka. Tidak sedikit pula dari mereka yang menempuh cara-cara mistik dan tidak santun, seperti ditayangkan oleh sejumlah media, ada dari mereka yang mencuri puluhan kendaraan bermotor, ada yang menggadaikan motor orang lain, ada yang menjual harta benda berupa kebun dan ternak, dan Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

298

ada pula yang menggadaikan rumah kontrakan, untuk tujuan kampanye supaya melenggang dengan mulus ke DPR atau DPRD. Banyak juga diantara para caleg yang tidak lagi memungsikan tri potensi kejiwaan yang dimilikinya, yaitu olah pikir, olah prilaku, dan olah tindak dengan baik. Banyak prilaku menyimpang yang dilakukan oleh para caleg menjelang pemilu, seperti nyekar di kuburan, datang ke tempat-tempat yang dikeramatkan dengan tujuan memohon restu kepada roh leluhur mereka. Sungguh suatu perbuatan diluar logika orang waras, karena kelak bila terpilih menjadi anggota legislatif, maka kebijakan atau undang-undang yang akan ditelorkan juga akan berbau mistik. Artinya kebijakan yang dihasilkan adalah perpaduan pikiran jernih dan pikiran yang dikemas dengan hal-hal yang tidak berdasar pada logika orang sehat. Memang pemilu legislatif kali ini menebar banyak harapan, karena baru kali ini pemilu memberikan kesempatan untuk menjadi anggota dewan kepada caleg yang mampu mendulang suara terbanyak. Dengan harapan itulah, sehingga para caleg berusaha maksimal untuk mewujudkan cita-cita mereka sebagai wakil rakyat yang diimpikan banyak orang. Karena menjadi wakil rakyat, banyak keuntungan yang akan diperolehnya, baik keuntungan materil maupun immaterial (sosial). Keuntungan materi sudah barang tentu akan memperoleh berbagai fasilitas, tunjangan, dan reward yang jumlahnya cukup fantastis. Demikian halnya secara sosial, status sosial mereka dengan sendirinya akan meningkat, mereka akan dihormati, akan diperlakukan lebih daripada rakyat kebanyakan, dan seabrek keuntungan lainnya. Namun siapa sangka ternyata politik lebih kejam daripada tsunami di Aceh dan petaka Situ Gintung beberapa saat lalu. Ini sungguh beralasan karena pasca pemilu legislatif, telah ada sejumlah korban pemilu, yakni para caleg yang telah menunjukkan adanya tanda-tanda agorafobia (menyendiri dari orang lain), agorafobia berpotensi meningkat menjadi stress, depresi, bahkan menjadi gila bila tidak tertangani sejak dini. Banyak juga fenomena menarik yang ditayangkan oleh media berkaitan dengan prilaku para

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

299

caleg pasca pemilu. Dengan mengantisipasi banyaknya caleg yang akan mengalami stress pasca pemilu legislatif, maka sejumlah rumah sakit di sejumlah tempat di Indonesia telah jauh-jauh hari mempersiapkan bangsal/tempat bagi para caleg yang mengalami sakit mental/jiwa.

Politik Memang Kejam Orang awam sering memberikan predikat yang beragam kepada politik, ada yang berpendapat politik itu kejam, lebih kejam daripada ibu tiri. Bahkan tidak sedikit dari mereka menganggap bahwa politik bagaikan belut yang diolesi oli. Meminjam istilah Guru Besar Unhas, Halide, beliau dengan tegas mengatakan bahwa politik identik dengan ―pettuperru,‖ ―sianrebale,‖ dan ―balibella.‖ Artinya tidak memiliki rasa kasihan, saling menyakiti, dan munafik (berkepala dua). Politik memang sungguh kejam terutama kepada orang/caleg yang tidak memahami eksistensi politik dan tidak memiliki kalkulasi-kalkulasi politik, hanya memikirkan enaknya semata. Ketidakpastian dalam politik, terutama dalam pemilu legislatif 2009 lalu dengan sistem suara terbanyak juga sulit untuk diprediksi. Demikian halnya, kemenangan caleg sulit untuk diramalkan, karena sesungguhnya ketidakpastian merupakan kondisi mendasar dalam kehidupan manusia (uncertainty is a fundamental condition of human life), demikian pendapat Peter Marris (1996) penulis buku ―The Politics of Uncertainty.‖ Oleh karena itu, menurut Peter Marris, kita harus mencoba menguasai ketidakpastian tersebut dengan aturan yang dapat memprediksi dan mengontrol ketidakpastian itu. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa manajemen ketidakpastian merupakan usaha sadar setiap individu, karena setiap individu memiliki cara dan pengalaman unik untuk mengatasi ketidakpastian yang akan terjadi pada dirinya. Menurut hemat penulis, inilah yang kita sebut dengan perhitungan-perhitungan dalam politik. Dengan demikian, pasca pemilu legislatif 2009 ini, para caleg harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk menghadapi kekalahan yang juntrungannya dapat

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

300

mengakibatkan agorafobia, dan bila tidak tertangani dengan baik akan berujung pada stress, depresi, bahkan penyakit jiwa (gila).

Solusi atas Fenomena Caleg Stres Agorafobia sebagai pangkal dari stres, depresi, dan penyakit jiwa bukanlah predikat yang diimpikan oleh para caleg menjelang pemilu 2009 lalu, melainkan melenggang dengan mulus ke DPR atau DPRD sehingga memperoleh predikat terhormat dan pundi-pundi keuangan yang melimpah. Hanya saja, menjadi anggota legislatif harus terbayar mahal, yakni harus memiliki finansial yang cukup. Inilah yang sering dikatakan oleh deLespinasse sebagai ―the power of the purse.‖ Menurut deLespinasse, ada tiga kekuatan sosial, antara lain: kekuatan uang (the power of the purse), kekuatan pena (the power of the pen/media), dan kekuatan pedang (the power of the sword). Kekuatan sosial merupakan kemampuan untuk memengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Demikian halnya dalam diri sang calon anggota legislatif harus memiliki minimal dua kekuatan tadi, yakni kekuatan uang dan media untuk dapat menguasai para calon pemilih. Untuk dapat menguasai media maka uang merupakan alat utamanya. Kekuatan media dapat dilakukan melalui overt persuasion (ajakan yang jelas) untuk melakukan sesuatu, katakanlah untuk memilih diri si caleg. Dapat pula dilakukan melalui covert manipulation (manipulasi tersembunyi), yakni dengan menggunakan bahasa-bahasa politik atau rekayasa bahasa dengan tujuan visi dan misi caleg dapat menyihir para konstituen. Siapa yang menyangka ternyata kekuatan uang dan media tidaklah serta merta dapat mengantarkan caleg menjadi anggota dewan terhormat. Harapan menjadi anggota dewan pupuslah sudah, maka solusi yang ditawarkan dalam menyikapi fenomena adanya caleg yang mengalami agorafobia, stress, depresi, dan seabrek predikat lainnya antara lain: pertama, menempatkan ajaran agama sebagai media komunikasi untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Khalik dalam wujud dzikir, shalat, shalawat,

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

301

dan lain-lain bagi yang beragama Islam, dan bagi yang beragama lain tentu dengan cara-cara peribadatan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka. Kedua, kecerdasan emosional dan sosial perlu diejawantahkan melalui beragam kegiatan sosial di masyarakat sehingga sedikit demi sedikit akan melupakan kerugian materi dan tenaga dalam pemilu lalu. Menyendiri dari orang lain (agorafobia) justru akan mendatangkan mudharat, jalinlah komunikasi kepada kerabat dan kolega secara intensif. Terimalah kegagalan sebagai pengalaman berharga dalam hidup ini, karena sesungguhnya pengalaman adalah guru terbaik. Yakin pulalah bahwa dibalik dari itu semua, ada hikmah yang terselubung. Ketiga, kecerdasan intelektual berdasarkan pada akal budi (rasio) dan pengalaman empirik perlu dikedepankan untuk berbuat sesuatu di tengah komunitas sehingga terhindar dari hal-hal yang merugikan diri, keluarga, dan masyarakat umum.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

302

AKANKAH GOLKAR SEPERTI DINOSAURUS?

Dinosaurus adalah salah satu binatang purba yang telah mendiami bumi beberapa ribu tahun yang lalu. Binatang ini terkenal dengan tubuhnya yang besar, panjang, dan tinggi. Lalu mengapa binatang ini musnah?. Sejumlah referensi mengatakan bahwa dinosaurus tidak bisa bertahan hidup (survive) karena mahkluk ini tidak mampu mengelolah hidupnya. Demikian halnya, suatu negara, organisasi, partai politik, organisasi kemasyarakatan, perusahaan bisa mati karena top management atau pemimpin puncak di organisasi itu tidak mampu mengelolah organisasi itu dengan baik. Sejak pendirian suatu organisasi, jajaran pimpinan dan anggota organisasi tersebut tentu berharap bahwa organisasinya bisa bertahan selama mungkin, kalau bisa sampai hari kiamat. Tidak hanya itu, jajaran pimpinan juga berharap bahwa organisasinya kelak juga berkinerja tinggi, Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

303

mengungguli organisasi-organisasi lain, yang ditandai dengan adanya keunggulan dan kemampuan khusus yang hanya dimiliki oleh organisasinya, dan sulit ditiru oleh organisasi lain (Basseng dan Weda, 2014). Namun kenyataan menunjukkan lain, tidak sedikit organisasi yang hanya bertahan dalam hitungan tahun. Seringkali disebutkan dalam catatan sejarah bahwa sebuah bangsa hancur karena bangsa itu tidak dikelolah dengan baik, sebagai misal Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasyiah, Dinasti Turki Usmaniyah, dan dinasti – dinastri Islam lainnya yang telah berkuasa hingga ratusan tahun lalu mati. Demikian halnya, tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar karena manajemen atau pemimpin perusahaan tersebut tidak mampu mengelolah perusahaan dengan baik sehingga berujung pada kematian. Keadaan serupa juga terjadi pada partai politik. Partai politik pada pemilu 1999 di Indonesia tercatat 48 partai politik yang ikut berlaga, bahkan tercatat 148 partai politik yang ikut mendaftar di KPU pada pemilu 1999, dan hanya 48 yang lolos sebagai peserta pemilu, 99 diantaranya tidak dapat mengikuti pemilu 1999, dan 7 partai politik yang tidak memenuhi persyaratan pendaftaran (administratif), bahkan jumlah partai politik di Indonesia pernah mencapai 225 di penghujung 2002 (Mahrus Irsyam dan Lili Romli dalam Weda, 2003). Dari sekian banyak partai politik yang pernah ada di Indonesia, hanya 15 partai politik, 3 diantaranya partai politik lokal di Aceh yang ikut berkompetisi di pemilu legislatif 9 April 2014 lalu. Pertanyaan kemudian muncul kemana parpol lainnya yang jumlahnya tidak sedikit? Lalu pertanyaan lain muncul, mengapa parpol tersebut hilang dalam peta perpolitikan negeri ini? Apa pula penyebab hilangnya parpol tersebut?. Itulah sejumlah pertanyaan yang sering muncul. Tentu ada banyak penyebab ketidakmampuan parpol tersebut untuk tetap survive. Salah satu penyebab utamanya adalah ketidakmampuan petinggi atau pemimpin parpol tersebut untuk mengelola pengetahuan yang dimilikinya sebagai asset organisasi.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

304

Fenomena keMATIan organisasi, bukanlah hal yang baru. Fenomena ini selalu terjadi sebagaimana kematian makhluk hidup lainnya. Mungkin setiap hari ada saja organisasi yang MATI. Ellen de Rooji dari Stratix Group di Amsterdam (Tjakraatamajaja dalam Basseng dan Weda, 2014) melakukan penelitian di sektor bisnis mengungkapkan bahwa rata-rata perusahaan di Eropa berumur hanya 12,5 tahun. Organisasi ini mati tentu karena tidak dapat lagi memperoleh dan mempertahankan profit yang pernah diraihnya. Dewasa ini hanya ada segelintir kecil perusahaan yang mampu bertahan hingga usia lebih dari 50 tahun. Misalnya, perusahaan Stora di Swedia yang berumur 400 tahun, Du Pont di Amerika berusia 195 tahun, dan Pilkington di Inggris berusia 171 tahun. Dalam konteks yang lebih besar, sebuah Negara atau kerajaan juga bisa MATI. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang pernah berjaya di zamannya juga akhirnya MATI. Bahkan, menurut sumber yang bisa dipercaya, Pemerintah Singapore sudah pernah mengira bahwa Indonesia akan pecah ke dalam 6 Negara pada masa krisis ekonomi di penghujung tahun 1990an. Mereka sudah melakukan rapat untuk mempersiapkan 6 Duta Besar yang akan ditempatkan di 6 Negara pecahan Indonesia itu (Basseng dan Weda, 2014). Basseng dan Weda kemudian menambahkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan keMATIan sebuah organisasi. Namun, jika ditelusuri secara mendalam maka akar permasalahannya terletak pada PENGETAHUAN yang dipergunakan oleh organisasi itu. Strategi yang dipergunakan dalam bekerja dan menghadapi tantangan tidak ditopang oleh PENGETAHUAN yang memadai. Oleh karena itu pengetahuan memiliki peran penting untuk mempertahankan kelangsungan suatu organisasi, termasuk partai politik. Salah satu faktor yang dapat mematikan suatu organisasi (partai politik) adalah konflik laten yang mendera parpol tersebut. Dengan demikian maka diperlukan orang – orang yang memiliki pengetahuan yang mumpuni sebagai conflict solver. Sebenarnya konflik bagi disiplin manajemen boleh – boleh saja ada dalam setiap organisasi, hanya saja bila konflik

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

305

terlalu tinggi akan mematikan kinerja organisasi itu, yang berujung pada kematian organisasi. Hal ini sering terjadi baik di organisasi pendidikan, perusahaan, dan partai politik, sebagai salah satu contoh kongkrit di partai politik adalah matinya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) besutan Suryadi pasca reformasi. Lalu bagaimana dengan Partai Golkar yang tengah dirundung konflik tak berkesudahan, akankah juga mati seperti musnahnya dinosaurus?. Bila saja kubuh yang berkonflik, baik kubuh Munas Bali yang dimotori oleh ARB maupun Munas Jakarta yang dinakhodai oleh Agung Laksono tidak menemui kata islah, yakin dan percaya Partai Golkar akan mengikuti pendahulunya yang mati, yaitu PDI, apalagi akhir – akhir ini elektabilitas Partai Golkar hanya berada pada 8% dan ini merupakan keterpurukan Partai Golkar sepanjang sejarah partai ini. Partai Golkar adalah partai besar dan berpengalaman, dan sudah puluhan tahun berkuasa dan turut mewarnai pemerintahan dengan pemikiran dan kontribusi cemerlangnya. Tentu saja publik tidak berkeinginan bila Partai Golkar mati, karena ia adalah aset bangsa ini. Oleh karena itu mestinya kedua kubuh yang berkonflik duduk bersama mencari jalan terbaik (win – win solution) demi eksistensi Golkar kedepan. Publik berharap kedua kubuh yang berseteru yang merupakan senior dan kader – kader terbaik partai Golkar mau duduk bersama untuk merancang Munas yang diikuti oleh kedua kubuh dan mencalonkan jagoannya sebagai pemimpin partai tanpa intimidasi kepada pemilik suara dari DPD I dan DPD II. Hal ini memang beralasan untuk dilakukan karena Menkumham tidak menyetujui salah satu hasil Munas (Bali dan Jakarta). Itu berarti konflik internal partai Golkar harus diselesaikan sendiri oleh senior partai Golkar dari kedua kubuh karena bila tidak dilakukan akan merugikan partai Golkar sendiri. Bila saja islah sulit diwujudkan maka Partai Golkar bisa jadi seperti PDI dan akhirnya mati seperti musnahnya Dinosaurus.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

306

KONFLIK INTERNAL PPP, BENCANA ATAU BERKAH

Saling sikut di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) beberapa bulan terakhir mengemuka ke publik. Benih – benih konflik tersebut bermula ketika Ketua Umum PPP, Suryadarma Ali (SDA) menghadiri kampanye akbar Partai Gerindra di Gelora Bung Karno saat kampanye Pileg. Sejumlah pengurus teras DPP dan DPW PPP geram dan menyebabkan saling pecat – memecat yang semestinya tidak terjadi. Perilaku elit PPP tersebut mempertontonkan ketidakdewasaan dalam berorganisasi, tidak lagi saling menghargai, yang ada adalah dendam dan saling menyalahkan. Konflik internal PPP semakin memuncak ketika kubuh SDA dan Romi, nama panggilan, Romahurmuziy, sekjen DPP PPP saling memecat, islah kemudian dilakukan yang dimediasi oleh ketua Majelis Syariah PPP, KH. Maemun Subaer. Namun, menjelang Pilpres 2014, kedua kubuh yang berseteru menyatu dalam Koalisi Merah Putih (KMP) untuk

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

307

mendukung Capres – Cawapres, Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Pasca pelantikan anggota DPR, bagi-bagi posisi di DPR dan MPR, dikuasai oleh KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) gigit jari karena tak satupun pimpinan DPR dan MPR diduduki oleh kader dari KIH. Yang ironis adalah, PPP sebagai salah satu pendukung KMP dari awal, tetapi tidak mampu mendudukkan kadernya dalam pimpinan DPR dan MPR, baik sebagai ketua maupun sebagai wakil ketua. Konflik kemudian mengemuka di tubuh internal PPP dan berujung pada diselenggarakannya Muktamar PPP di Surabaya yang digagas oleh kubuh Romi dan berhasil mendudukkan Romi, sang sekjen PPP menjadi Ketua Umum PPP secara aklamasi. Protespun bermunculan, terutama dari kubuh SDA cs yang menuduh bahwa Muktamar di Surabaya pekan lalu tersebut ilegal karena tidak sesuai dengan AD dan ART partai dan tidak mendapat restu dari Ketua Majelis Syariah PPP. Kubuh Romi-pun membalas dengan dalih bahwa Muktamar di Surabaya adalah legal dan sesuai dengan amanah AD dan ART partai, mengingat SDA telah melanggar ADR & ART partai. Mereka juga beralasan bahwa semestinya SDA dilengserkan karena akan memperburuk citra partai pasca ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus Haji. Kubuh SDA-pun berencana melakukan Muktamar tandingan pada 30 Oktober 2014 untuk memilih ketua umum baru. Disamping itu, beberapa media nasional mewartakan bahwa PPP juga berencana menggelar muktamar Islah pada November 2014 yang digagas oleh Majelis dan Mahkamah Syariah PPP mendatang yang digagas sebagai wadah islah antara kedua kubuh yang berkonflik. Konflik yang mendera PPP bukan kali ini saja terjadi, tetapi partai produk Orde Baru ini beberapa kali mengalami hal serupa, yakni di awal Reformasi PPP berkonflik dan lahirlah Partai Bintang Reformasi yang dipimpin oleh dai kondang, KH. Zainuddin M.Z., hanya saja partai baru ini redup lalu mati.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

308

Bila saja konflik di tubuh PPP tidak menemui kata kompromi yang digagas oleh Majelis Syariah PPP, publik meyakini PPP akan ditinggal oleh konstituennya. Hal ini juga terjadi menjelang reformasi, dimana konflik terjadi di sejumlah partai. Di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terjadi konflik antara Suryadi, Ketua Umum PDI yang disetujui oleh pemerintah dan Megawati Sukarnoputri, putrid sang Proklamator yang juga Presiden Pertama RI, Soekarno. Konflik tidak menemukan kata sepakat, lalu berdirilah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri. Sementara PDI Suryadi, lambat laun ditinggal oleh konstituen. Konstituen yang didominasi oleh wong cilik tersebut tidak sedikit yang hijrah ke PDI-P, lalu PDI mati. Konflik serupa juga terjadi di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yakni perseteruan antara Gusdur (Abdul Rahman Wahid) dengan Cak Imin (Muhaimin Iskandar) yang juga keponakannya. PKB besutan Cak Imin kemudian memenangkan pertarungan dan hingga kini masih menakhodai PKB dan berhasil menjadikan PKB sebagai salah satu partai papan atas pada Pilpres yang dihelat Juli 2014 lalu. Adapun partai yang dibentuk oleh pendukung Gusdur mati. Matinya partai – partai politik tersebut akibat pengurus atau pemimpin partai yang tidak mampu mengelolah pengetahuan (knowledge management) yang dimiliki oleh SDM partai tersebut. Disamping itu, pemimpin puncak partai juga tidak mampu mengelolah konflik yang terjadi sehingga menjadi konflik laten yang sulit untuk diredam dan berujung pada disorder di tubuh partai. Salah satu partai yang sedang dirundung konflik berkepanjangan tersebut adalah PPP. Lalu akankah PPP juga mati? Jawabnya iya, manakalah kedua kubuh partai yang berseteru antara Ketum CS dan Sekjen CS tidak ada yang mau mengalah. Potensi matinya PPP juga sebagai akibat dari adanya partai yang berideologi dan berazaskan Islam lainnya sebagai tempat berlabuh para pemilih suara dalam event pileg atau pilkada yang akan dihelat. Ada PKB, PKS, PBB, dan juga

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

309

partai nasionalis yang diisi oleh cendikiawan muslim sebagai pilihan politik. Mestinya kubuh SDA dan ROMI duduk bersama dengan para majelis syariah partai untuk mencari win-win solution, bukan tetap pada pendirian saling menyalahkan dengan berdasar pada hasil Rapimhnas yang multi tafsir, juga bukan menggelar muktamar (tandingan) untuk saling menyakiti, dan saling pecat – memecat. Ada baiknya, para pengurus PPP yang dikenal publik sebagai salah satu partai berbasis Islam mampu menerapkan kesucian politik, karena sesungguhnya para petinggi atau elit PPP adalah orang – orang yang melek agama (Islam), yakni mengharapkan rahmatan lil alamin. Semestinya, para elit PPP menjadikan Islam sebagai rujukan dan pondasi utama dalam berpolitik dan bermasyarakat sehingga tercipta politik yang elegan dan santun. Melalui ideologi agama (Islam) juga, dapat menempatkan politik sebagai ratunya ilmu sosial tanpa ada dendam, amarah, saling menyalahkan dan segudang predikat kotor dan negatif yang ada padanya (politik). Publik mahfum bahwa Islam mengamanahkan perlunya silaturahim dan menjalin ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah basyariah. Oleh karenanya, mestinya elit PPP tidak mempertontonkan konflik tersebut ke publik. Jalan Islah perlu segera diambil demi survive-nya PPP sebagai partai dua zaman, zaman Orde Baru dan zaman Reformasi (pasca reformasi). Semoga saja konflik yang terjadi di internal PPP menjadikan sumber pelajaran berharga bagi pengurus teras PPP kedepan sehingga PPP sebagai partai berhaluan Islam dapat memberikan kontribusi signifikan untuk pembangunan bangsa dan negara.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

310

SUMBER TULISAN

BAB 1. SOSIAL, POLITIK, DAN BUDAYA Pendidikan dan Pemilukada Sulawesi Selatan 2013 (Harian Fajar, 31 Oktober 2012) Tes Keperawanan CPNS, Pembunuhan Karakter Perempuan (Harian Fajar, 5 Oktober 2010) Geng Motor dan Disfungsi Pengendalian Sosial Anak (Harian Fajar, 20 April 2012) Mengedepankan Esensi Perjuangan (Harian Fajar, 26 Maret 2012) Untung Ada Ustadz Maulana (Harian Fajar, 21 Oktober 2011) Politisi Nomaden (Harian Fajar, 18 Januari 2012) JK, Inspirator dari Timur (Harian Fajar, 29 Oktober 2011) Pekerja Anak, Diantara Kemiskinan Ekonomi dan Sosial (Harian Fajar, 24 Mei 2011) Bung Karno: Yang Dihujat, Yang Dikagumi (Harian Fajar, 29 Juni 2012) Menakar Peluang Capres – Cawapres 2014 (Harian Fajar, 10 Juli 2012) Pengamalan Pancasila, Sebuah Pengalaman (Harian Fajar, 11 April 2009) Menggugat Peran Pemuda (Tribun Sulbar, 1 April 2012) Abraham Samad dan Spirit Baharuddin Lopa (Tribun Sulbar, Februari 2012)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

311

Benarkah Politik Itu Kotor? (Tribun Sulbar, Maret 2012) Konflik Internal Demokrat, Bencana atau Berkah? (Tribun Sulbar, Februari 2012) Siapa Nakhoda (Phinisi) UNM Empat Tahun Kedepan? (Tabloid Profesi UNM, November 2011) ASN dan Godaan Pilkada Serentak (Fajar, 17 November 2015)

BAB 2. PENDIDIKAN Contek Massal, Wajah Buram Pendidikan Kita (Harian Fajar, 20 Juni 2011) Penerimaan Siswa Baru, Sarat Pungli (Harian Fajar, 11 Juli 2011) RSBI, Antara Pro dan Kontra (Cakrawala, 2 Agustus 2012) Isu Kritis Pendidikan di Indonesia (Tribun Sulbar, Maret 2012) UN Versus SNMPTN (Tribun Sulbar, April 2012) Pendidikan Gratis, Upaya Kepastian Akses Pendidikan Dasar di Sulawesi Selatan (Majalah Dunia Pendidikan No. 148, Februari 2012) Mengapa Ilmuwan Muda Enggan Kembali ke Indonesia? (Majalah Dunia Pendidikan No. 147 Januari 2012) Kiat – Kiat Membangun Minat Baca Masyarakat (Majalah Dunia Pendidikan No. 155 Mei 2009 dan No. 116 Juni 2009) Praksis Pendidikan di Tengah Kepanikan (Majalah Dunia Pendidikan No. 127, Mei 2012)

BAB 3. MEDIA DAN PENYIARAN Diet Sinetron di Bulan Ramadan (Harian Fajar, 2 Agustus 2011) Dampak Buruk Televisi (Harian Fajar, 16 Juli 2012) TV, Antara Madu dan Racun (Harian Fajar, 24 Mei 2011) Geliat Radio di Era Kompetisi Lembaga Penyiaran (Tribun Sulbar, April 2012) Selamatkan Anak – Anak dari Kekejaman Televisi (Tribun Sulbar, Maret 2012)

BAB 4. BAHASA Politik dan Rekayasa Bahasa (Harian Fajar, 11 April 2009) Perdebatan Istilah Asing di Ranah Publik (Harian Fajar, 8 Oktober 2011)

BAB 5. TEBARAN PIKIRAN DALAM BERAGAM TOPIK (Tulisan Penulis atas Respon terhadap Sejumlah Isu Aktual yang Terjaadi di Masyarakat. Tulisan ini tidak Sempat Dimuat di Media Cetak, namun Dipandang Perlu untuk Dibaca)

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

312

BIODATA PENULIS

Dr. Sukardi Weda, S.S., M.Hum., M.Pd., M.Si., M.M., M.Sos.I. lahir di Parepare pada tanggal 5 Januari 1969. Pendidikan dasar diselesaikan pada SD Negeri 37 Parepare, pendidikan menengah di SMP Negeri IV dan SMA Negeri 1 Parepare. Kemudian melanjutkan pendidikan S1 pada tahun 1989 di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) dan berhasil menyandang gelar S.S. (Sarjana Sastra) pada tahun 1993 dalam jangka waktu 3 Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

313

tahun 10 bulan. Setelah menyelesaikan studinya, ia kemudian mengabdikan ilmunya di PT. Tiga Utama Tours & Travel di Jakarta dari tahun 1993 hingga 1995. Karena kecintaannya pada dunia akademik, maka pada tahun 1996, ia melanjutkan Program Magister dalam bidang English Language Studies (ELS) di PPS-Unhas, dan berhasil memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1998, dan tahun berikutnya (1999), ia melanjutkan pendidikan pada Program Doktor (Dr.) dalam bidang Linguistik konsentrasi English Language Studies (ELS) pada universitas yang sama, dan berhasil diselesaikannya pada tahun 2005. Disamping mengajar, ia juga pernah menjadi sekretaris Prof. Dr. Ir. Muh. Arief, Dipl.-Ing, Dekan Fakultas Teknik Unhas dari tahun 1998 hingga 2001 dan sekretaris Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc. (Dekan Fakultas Peternakan Unhas) pada tahun 2003, 2006 - sekarang, dan pada tahun 1999 ia tercatat sebagai salah seorang anggota tim FP2UW (Forum Pengembangan Produk Unggulan Wilayah) – Universitas Hasanuddin, serta terlibat aktif sebagai staf sekretariat RUKD (Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah) Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2003. Pada tahun 2001, ia cuti akademik pada Program S3-nya di PPS-Unhas, dan pada tahun itu juga tercatat sebagai mahasiswa Program Magister (S2) dalam bidang Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Makassar (UNM), dan berhasil memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada tahun 2003 dari PPS-UNM. Pada tahun 2004 tercatat sebagai mahasiswa pada Program S2 (Sosiologi) konsentrasi Manajemen Pembangunan Sosial di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, dan berhasil menyandang gelar Magister Sains (M.Si) dari UI pada bulan Juli 2006. Menyelesaikan Program Magister (M.M.) dalam bidang Manajemen, Konsentrasi Manajemen Strategik pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin pada tahun 2013. Memperoleh gelar Magister Sosial Islam (M.Sos.I.) dalam bidang Dakwah dan Komunikasi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar pada tahun 2914 dengan predikat pujian (cumlaude). Kini sedang menempuh pendidikan magister yang ke-6 dalam bidang Administrasi, konsentrasi Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

314

Manajemen Sumber Daya Aparatur (MSDA) pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) LAN Makassar. Selaku salah seorang masyarakat akademik, ia telah mengaplikasikan ilmunya di beberapa perguruan tinggi dan akademi selaku dosen luar biasa (LB) seperti: Universitas Hasanuddin (Unhas) yang diawalinya ketika masih mahasiswa, 1990 hingga 2009, Universitas Islam Makassar (UIM), UIN Alauddin Makassar, Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, PPS-Universitas Negeri Makassar, STIKES Mega Rezky, Politeknik Nurbadar, Politeknik Negeri Ujung Pandang, AIPI (Akademi Ilmu Pelayaran Indonesia), AMIK Makassar, IMIK Teksos, LP3N, dll. Untuk meningkatkan taraf profesionalisme, wawasan dan leadership-nya, ia senantiasa bergabung dalam berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi kepemudaan seperti KNPI, AMPI, PPM, Generasi Muda Trikora, MUI Sulsel, dan lain-lain. Pengalaman internasionalnya adalah beberapa kali mengikuti seminar/konferensi di Singapura dan Amerika Serikat. Sukardi Weda adalah dosen tetap pada jurusan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar (UNM) dan pada Program Pascasarjana UNM, dan kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Sastra Inggris (2012-2016). Penulis juga dipercaya oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai komisioner KPID Sulawesi Selatan, Periode 2011-2014 dan 2014-2017. Peraih beasiswa Ford Foundation International Fellowship Program pada tahun 2003-2006 ini, sempat menimbah ilmu di negeri Paman Sam, Amerika Serikat (USA) pada tahun 2005-2006 melalui Program Intensive English Course and Leadership and Social Justice Training di SILC, University of Arkansas, Fayetteville, Arkansas, USA. Ia juga pernah belajar English for Academic Purposes di Universitas Indonesia (UI) Jakarta pada tahun 2003 dan sempat mengikuti Domestic Non Degree Training (DNDT) di Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, 2009. Mengikuti workshop On Political Legitimacy in Islamic Asia, di National University of Singapore, Singapura 2004. Tahun 2004, mengikuti pelatihan kepemimpinan di Universitas Indonesia (UI). Beberapa kali mengikuti penataran dan lokakarya (penlok) penulisan dan pengeditan

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

315

jurnal di Universitas Negeri Malang (UM), mengikuti latihan kepemimpinan pemuda, pelatihan penulisan (jurnalistik), dan pada tahun 2010, mengikuti Journalistic Training selama 3 bulan di STIKOM Fajar (Kini Universitas Fajar/UNIFA) Makassar. Minat penelitian dan kajiannya adalah bidang linguistik (murni dan terapan), bahasa Inggris, sastra, pendidikan, sosial politik, budaya, manajemen, komunikasi, manajemen sumber daya aparatur, dan lain-lain. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan populer pada berbagai jurnal, prosiding, koran, tabloid, dan majalah, seperti: Harian Fajar, Tribun Sulbar, Sindo, Cakrawala, Pare Pos, Nuansa Persada Jakarta, Majalah Pendidikan Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, dan makalah pada sejumlah pelatihan, dan lain-lain. Berpartisipasi aktif dalam sejumlah seminar, konferensi, workshop, pelatihan, bimtek, dan lain-lain, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Sukardi Weda menikah dengan wanita pujaannya, Andi Rusbanna Amir pada tahun 1994 dan telah dikarunia 7 orang putera-putri antara lain: A. Ade Juang Tawakal (almarhum), Andi Elsa Fadhilah Sakti, Andi Muh. Raynendra Arief, Andi Riola Pasenrigading, Andi Arung Mattugengkeng, Andi Ogi Pateddungi, dan Andi Elok Corawali.

Politik dan Rekayasa Bahasa, Sukardi Weda, 2015

316