Bab I Pendahuluan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terkenal sebagai negara yang menyediakan beragam destinasi wisata yang luar biasa. Menteri Pariwisata Indonesia, Arief Yahya mengungkapkan bahwa sektor pariwisata nasional tumbuh sangat baik dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Branding ‘Wonderful Indonesia’ telah menempati peringkat ke-47 dunia. Tidak hanya sekedar destinasi wisata Indonesia yang dapat diunggulkan, Indonesia juga cukup terkenal dengan kulinernya yang nikmat dan beragam. Beragam kuliner khas dari tiap daerah di Indonesia telah mendatangkan banyak wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Esthy Reko Astuti, Deputi Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara (DP3N), Kementrian Pariwisata menyatakan bahwa dari beberapa data, wisatawan yang datang ke suatu daerah hampir 50% mengeluarkan dana untuk kuliner. Dari masa sebelum penjajahan masyarakat Indonesia hidup dengan pangan yang berkecukupan. Dengan kesuburan alam yang menghasilkan beraneka ragam rempah-rempah yang tersebar di penjuru Nusantara, seperti pala, cengkeh dan kenari di kepulauan Maluku serta lada di Aceh. Dipadu dengan eterampilan masyarakat Indonesia mengolah rempah-rempah tersebut kemudian menghasilkan kuliner berkualitas yang didominasi oleh rasa dan bumbu yang kuat. Hal ini menjadikan kuliner khas Nusantara salah satu elemen identitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan menjadikannya potensi pariwisata terbesar di Indonesia. Salah satu daerah yang identik dengan kuliner khas dan sedang menuju pengembangan wisata, khususnya sektor kuliner ialah kota Makassar. 1 Secara historis, kuliner Makassar dimulai dengan perdagangan maritim. Perdagangan orang Bugis-Makassar diperkenalkan dengan bumbu-bumbu baru seperti cabai dan tomat yang dibawa orang Portugis dan Spanyol awal abad ke-17. Menurut Penny Van Esterik dalam Food Culture in Southeast Asia (2008), saat itu cabai diperkenalkan ke Asia Tenggara dengan tujuan menggantikan rasa pedas merica yang ketika itu harganya sangat mahal. Ternyata, tanaman asal Amerika Tengah itu tumbuh subur di Asia Tenggara. Cabai pun dengan cepat menggantikan merica sebagai sumber rasa pedas. Pada akhirnya, cita rasa pedas cabai dan asam dari jeruk nipis menjadi dasar mayoritas makanan Bugis – Makassar yang umumnya dimasak dengan teknik sederhana yakni dibakar, dipanggang, digoreng, dan direbus bersama bumbu. Begitulah latar belakang sederhana tradisi kuliner Makassar yang terbentuk oleh pertemuan sawah dan laut yang diperantarai sungai, serta “bumbu” dari perdagangan maritim. Berada di wilayah pesisir menjadikan kota Makassar melimpah dengan hasil laut, terutama ikan. Pasar ikan yang menyediakan hasil laut segar tidak hanya di daerah pantai, namun bertebaran di seluruh penjuru kota. Begitupun dengan rumah makan yang menyediakan masakan ikan. Namun yang mendominasi dalam 10 Ikon Kuliner Makassar justru panganan yang berbahan dasar daging sapi, seperti coto, konro dan pallubasa. Padahal, sampai awal abad ke-20, daging adalah bahan makanan yang hanya disantap di pesta-pesta besar bangsawan. Bahkan hingga abad ke-15, sapi belum dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Peternakan sapi baru berkembang pada abad ke-20 dengan bibit yang berasal dari Bali (Reid, 2011). Hal ini diduga karena makanan olahan daging sapi (coto, konro dan pallubasa) memiliki cita rasa yang lebih kuat dan kaya akan bumbu rempah-rempah, sehingga cocok dengan lidah masyarakat Indonesia. (Kompas : Jelajah Kuliner Nusantara, 2013) Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Makassar, Rusmayani Majid juga menyatakan bahwa 10 kuliner ini dimaksudkan untuk 2 menyalaraskan filosofis, sejarah, budaya, kandungan gizi, dan standar resep, terhadap kuliner kota Makassar. Selain itu, Walikota Makassar juga telah mencanangkan proyek bangunan fisik yang saat ini sedang dikerjakan dari tahun 2016 dan ditargerkan selesai pada tahun 2017. Adapun proyek yang di maksud adalah pembangunan kawasan kuliner di titik strategis di Makassar. Pemkot telah menetapkan tahun 2017 sebagai tahun pariwisata, dengan kawasan kuliner yang menjadi obyek suguhan untuk wisatawan. Pakar kuliner, William Wongso (2014) menyatakan bahwa tak ada yang bernama makanan Indonesia, yang ada hanyalah masakan atau makanan daerah. Ini menunjukkan bahwa setiap makanan yang berasal dari wilayah Indonesia merupakan “makanan Indonesia.” Kuliner Makassar salah satunya, berpotensi untuk mengenalkan kualitas dan ciri khas “makanan Indonesia” yang merupakan salah satu dari kekayaan kuliner nusantara. Kisah sejarah yang melatar belakangi profil tiap makanan, proses memasak yang panjang, serta orang-orang di balik sepiring kenikmatan yang memberi sumbangan dengan penuh dedikasi inilah yang juga perlu diekspos dibanding tampilan ‘hasil jadi’ makanan yang dipotret secara artistik dan diunggah ke media sosial untuk ketenaran semata. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, penulis tertarik untuk membuat buku fotografi sebagai media promosi untuk 10 Ikon Kuliner Makassar. Buku sebagai identitas fisik memiliki kelebihan dimana ia dapat bertahan lebih lama sehingga dapat menjadi bahan koleksi, dibanding media online yang lebih gampang hilang dan dilupakan oleh masa. Buku juga bersifat lebih terpadu, pembaca dapat dengan langsung memperoleh informasi yang lengkap dan kredibel mengenai suatu topik karena penulis telah melakukan studi pustaka saat menyusun buku. Buku mengenai kuliner Makassar pun sampai saat ini hanya terbatas pada resep-resep masakan. Bahkan produksi dan distribusinya pun dapat dikatakan terbatas karena sulitnya mencari buku-buku tersebut. 3 Dalam perancangan buku ini, penulis akan menggunakan pendekatan visual storytelling berbasis fotografi. Visual storytelling terdiri dari dua kata, yaitu visual yang artinya dapat dilihat oleh alat indera mata manusia, sedangkan storytelling adalah kegiatan menyampaikan sebuah narasi, alur atau cerita. Dapat diambil kesimpulan bahwa visual storytelling adalah cerita yang diterjemahkan melalui gambar, dalam hal ini menggunakan foto. Dengan buku fotografi ini diharapkan dapat membuat masyarakat Indonesia bertambah wawasannya mengenai kuliner khas Makassar serta cerita-cerita yang bersangkutan, serta membuat mereka makin tertarik untuk berkunjung dan menjelajahi Kota Makassar. Selain itu, diharapkan buku fotografi ini dapat menjadi media promosi dari kuliner khas Makassar, serta menjadi aspek intro/pengenalan mengenai kuliner khas yang akan mengikat calon wisatawan. 1.2 Permasalahan 1.2.1 Identifikasi Masalah Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan beberapa identifikasi masalah yang akan dibahas, di antaranya: • Kurangnya wawasan masyarakat Indonesia mengenai kuliner khas Makassar. • Kurangnya wawasan masyarakat lokal Makassar mengenai nilai dan kultur dari makanan khas daerahnya sendiri. • Buku kuliner Makassar yang masih terbatas dalam hal konten dan distribusi. 1.2.2 Rumusan Masalah Bagaimana perancangan buku fotografi yang baik untuk promosi dan publikasi 10 Ikon Kuliner Makassar? 1.3 Ruang Lingkup - Apa? Perancangan Buku Fotografi 10 Ikon Kuliner Makassar. 4 - Dimana? Kota Makassar. - Kapan? (jadwal proses pengerjaan laporan tugas akhir) - Siapa? Target audience dengan segmen: a. Demografis Pria dan wanita dengan usia 20-40 tahun, SES B-A (kelas menengah-atas) b. Psikografis Orang yang hobi berwisata, senang mengeksplor hal baru, tertarik dengan kuliner nusantara, serta penggila makanan (foodie) c. Geografis Masyarakat Indonesia, namun tidak menutup kemungkinan dapat menarik turis mancanegara. - Mengapa? Untuk perihal publikasi lebih lanjut tentang kuliner khas Makassar, disertai dengan penambahan nilai agar tidak hanya berfungsi sebagai promosi wisata untuk para turis (baik lokal maupun mancanegara), namun juga bersifat edukatif dengan informasi tambahan di dalamya. - Bagaimana? Melakukan perancangan buku fotografi 10 Ikon Kuliner Makassar. 1.4 Tujuan Perancangan Berdasarkan permasalahan dan fenomena di atas, tujuan dari perancangan buku fotografi ini ialah: 1) Membantu Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Makassar untuk menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara 5 2) Memberikan informasi mengenai kuliner khas Makassar dengan pendekatan visual story telling agar dapat mengikat masyarakat Indonesia selaku calon wisatawan, serta bersifat edukatif dan meningkatkan wawasan mengenai kekayaan kultur kuliner khas Makassar baik untuk wisatawan maupun masyarakat lokal. 1.5 Cara Pengumpulan Data & Analisis Dalam melakukan pengumpulan data dan penelitian untuk mendesain media informasi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan cara sebagai berikut: 1) Studi Pustaka “Studi kepustakaan adalah kajian teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti. Selain itu, studi kepustakaan sangat penting dalam melakukan penelitian, hal ini dikarenakan penelitian tidak akan lepas dari literatur-literatur ilmiah.” Sugiyono (2012:291) Dalam hal ini penulis melakukan studi pustaka untuk mendapatkan informasi yang kredibel mengenai sejarah kuliner nusantara, sejarah Kota Makassar dan kulinernya, seperti buku Antropologi Kuliner Nusantara, Jejak Rasa Nusantara, serta buku pemberian dari Dinas Pariwisata Kota Makassar mengenai 10 ikon kuliner. Selain itu penulis juga menjadikan buku-buku fotografi kuliner sebagai referensi dalam hal teknis foto dan perancangan tata letak buku. 2) Observasi “Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.” Riduwan