Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap Kesinambungan Budaya

Ni Made Mitha Mahastuti NIP.1985070620140922001

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2018 Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena berkatNYAlah, tulisan ini dapat diselesaikan. Tulisan yang berjudul “Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap Kesinambungan Budaya Bali” ini disusun sebagai bagian dari tugas-tugas selaku dosen, yang harus mencari sesuatu agar dapat menunjang kegiatan, dan untuk menambah wawasan materi perkuliahan khususnya, dan bermanfaat sebagai pengetahuan yang menyangkut arsitektur pada umumnya. Untuk mengerjakan tulisan ini, materinya diperoleh dari literature, foto-foto, surat kabar, majalah, brosur dan sebagainya, maupun diskusi, wawancara dan lainnya. Tak kalah juga pentingnya adalah dorongan semangat, bimbingan, masukan-masukan pemikiran dan sebagainya, dari berbagai pihak yang semuanya memberi kontribusi positif bagi penulis. Ucapan terima kasih disampaikan untuk semua pihak yang telah berperan seperti tersebut di atas, terutama Ibu Prof. Dr. Ir. Anak Agung Ayu Oka Saraswati, MT ( Ketua Program Studi Arsitektur FT UNUD ) yang menugaskan membuat tulisan ini. Selain dari pada itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak lainya yang telah membantu memperkaya materi, baik melalui literatur, informasi maupun wawancara. Penulis sangat menyadari bahwa, tulisan ini masih banyak kekuragan, namun demikian harapan penulis, semoga materi sederhana ini dapat mencapai tujuannya yaitu memperkaya materi perkuliahan khususnya, dan pengetahuan arsitektur pada umumnya.

Denpasar, Januari, 2018 Penulis

Ni Made Mitha Mahastuti NIP.1985070620140922001 Abstrak Warisan budaya merupakan kekayaan budaya yang bernilai penting bagi pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Warisan budaya berupa cagar budaya dalam hal ini sebuah pura merupakan salah satu hasil karya arsitektur yang patut untuk dijaga dan dilestarikan. The World Cultural Heritage UNESCO pernah menetapkan tiga situs di Bali sebagai nominator Warisan Budaya Dunia (WBD) yakni DAS Pakerisan (Gianyar), persawahan Jatiluwih (Tabanan), dan di Mengwi, Badung. Hal itu menunjukkan komitmennya terhadap situs-situs penting yang menjadi cikal bakal lahirnya peradaban. Namun hal tersebut akan mustahil dilakukan apabila tidak didukung oleh partisipasi dari masyarakat serta pemerintah. Maksud UNESCO tersebut dapat dilihat sebagai tujuan yang baik, namun implementasinya juga harus dilihat, bagaimana kontekstualnya terhadap kesinambungan budaya Bali ke depannya.

Tulisan ini membahas tentang DAS Pakerisan yang memiliki luas wilayah 884,88 hektar dan terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Situs ini meliputi beberapa pura peninggalan para raja Bali Kuno yang terkait dengan kawasan subak di sebelah hilirnya. Empat pura yang dilindungi dalam DAS Pakerisan sebagai Warisan Budaya Dunia yang terletak di Kecamatan Tampaksiring adalah : 1. Pura , 2. Pura Mengening, 3. Pura Pegulingan, dan 4. Pura Gunung Kawi. Namun mengingat ada dua situs selain yang disebut di atas yaitu Pura Goa Gajah dan Pura Sasih (juga terletak dalam wilayah yang berdekatan) yang juga memiliki keterkaitan dengan empat pura lainnya, maka tulisan ini akan membahas pula tentang Pura Goa Gajah dan Pura Penataran Sasih.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, DAS Pakerisan merupakan salah satu bagian dari benda cagar budaya yang nilainya tidak dapat diukur dengan materi. Nilai-nilai lain yang jauh lebih penting yaitu arti dan makna yang sarat telah terkandung di dalamnya. UNESCO tentu tidak asal pilih dalam menentukan suatu kawasan dinominasikan sebagai warisan budaya dunia. Sebagai bagian dari Bali, tentunya segala potensi yang dimiliki dan terdapat pada DAS Pakerisan telah ikut memperkaya khasanah dan menjadi cikal bakal kebudayaan Bali sekarang. Situs-situs di DAS Pakerisan merupakan suatu peninggalan budaya dari abad ke-10, serta memberi ciri adanya perpaduan unsur budaya prasejarah dan Bali Kuno yang terus dilestarikan/dikembangkan hingga kini. Inilah yang menjadi benang merah antara situs DAS pakerisan dengan kebudayaan Bali kini.

Mengingat bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting, maka diperlukan komitmen dari semua pihak untuk turut melestarikan. Melestarikan berarti memelihara atau menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap begitu saja. Namun sesungguhnya tidak sesederhana itu. Pelestarian bertujuan untuk menjadikan sesuatu tetap ada seperti aslinya, tidak rusak, tidak musnah. Pelestarian khasanah budaya bangsa memang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Benda-benda peninggalan sejarah harus diamankan dari tangan-tangan jahil. Salah satu cara yang sederhana dan bisa dilakukan adalah tidak boleh mencorat-coret, karena akan merusak peninggalan sejarah tersebut. Pemerintah juga harus bisa menyediakan anggaran yang cukup bagi kegiatan perawatan daerah cagar budaya. Jangan sampai, benda-benda sejarah tersebut telantar karena kurangnya anggaran perawatan. Begitupun dalam merawatnya supaya juga diperhatikan pemakaian bahan dan materialnya agar jangan sampai merusak wajah asli dari situs-situs tersebut.

Kata Kunci: DAS Pakerisan, Warisan Budaya, Cagar Budaya, Pelestarian Daftar Isi Kata Pengantar ...... i Abstrak ...... ii Daftar Isi ...... iii BAB I Pendahuluan ...... 1 I. 1 Latar Belakang ...... 1 I. 2 Rumusan Masalah...... 3 I. 3 Tujuan Penulisan ...... 3 I. 4 Manfaat Penulisan ...... 3 I. 5 Metodelogi Penulisan ...... 3 BAB II Landasan Teori Perubahan Kebudayaan ...... 5 BAB III Tinjauan Umum ...... 7 III. 1 Peta Gianyar (DAS Pakerisan) ...... 7 III. 2 Gambaran Umum DAS Pakerisan ...... 8 BAB IV Pembahasan ...... 11 IV. 1 Beberapa Situs di DAS Pakerisan ...... 11 IV.1.1 Pura Goa Gajah...... 11 IV.1.2 Pura Penataran Sasih...... 13 IV.1.3 Pura Gunung Kawi ...... 15 IV.1.4 Pura Mangening...... 17 IV.1.5 Pura Tirta Empul...... 19 IV.1.6 Pura Pegulingan...... 20 IV. 2 Kontekstual WBD Pakerisan Terhadap Kesinambungan Budaya Bali ...... 23 BAB V Kesimpulan dan Saran ...... 26 V. 1 Kesimpulan ...... 26 V. 2 Saran...... 27 Daftar Pustaka...... BAB I PENDAHULUAN

Bab ini mengemukakan mengenai hal yang melatar-belakangi pengambilan judul penelitian, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan metodelogi yang digunakan dalam penulisan makalah ini. Sebagai salah satu daerah dengan kekayaan budaya dan tradisi leluhur yang adiluhung, Bali mempunyai banyak situs- situs yang menjadi cikal bakal daerah ini. Diperlukan suatu komitmen untuk menjaga taksu Bali tersebut agar tetap lestari. Tulisan ini mencoba membahas kontekstual Warisan Budaya Dunia Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan terhadap kesinambungan budaya Bali.

I.1 Latar Belakang

Derasnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah meningkatkan intensitas interaksi antar masyarakat dan antar budaya. Interaksi antar budaya menuntut adanya ketahanan budaya sehingga intensitas interaksi mampu memperkuat nilai-nilai luhur sekaligus memperkaya khasanah budaya bangsa. Kombinasi sinergis antara kokohnya jati diri bangsa dan luasnya khasanah budaya bangsa berkontribusi dalam memperkuat toleransi dan harmoni sehingga keragaman budaya yang merupakan kondisi obyektif bangsa akan menjadi kekuatan dinamis yang bersinergi.

Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol identitas keberadaban. Pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan beragamnya kualitas pemeliharaan kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi, museum dan taman budaya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga simbol identitas keberadaban dapat dialih-generasikan berkesinambungan. Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan 1 seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan dan mutlak untuk dilakukan.

Arsitektur sebagai bagian dari sebuah peradaban bukan hanya perwujudan sesuatu dalam bentuk fisik belaka. Namun di dalamnya terkandung pula nilai-nilai luhur yang menjiwai setiap bentuk yang ada padanya. Setiap karya arsitektur mempunyai spirit yang mencerminkan adanya idealisme dan kreativitas yang dimiliki sang arsitek. Setiap perubahan jaman melahirkan suatu karya arsitektur yang berkembang dari masa ke masa. Setiap masa memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain; masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Keterkaitannya sangatlah erat karena berkesinambungan membentuk mata rantai peradaban.

Warisan budaya merupakan kekayaan budaya (cultural capital) yang mempunyai nilai penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam rangka memupuk kepribadian masyarakat dan bangsa. Dapat juga diartikan sebagai harta pusaka budaya dari masa lampau yang digunakan untuk kehidupan masyarakat sekarang dan kemudian diwariskan untuk generasi mendatang secara berkesinambungan (Wardi, 2008). Warisan budaya berupa cagar budaya dalam hal ini sebuah pura merupakan salah satu hasil karya arsitektur yang patut untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

The World Cultural Heritage UNESCO pernah menetapkan tiga situs di Bali sebagai nominator Warisan Budaya Dunia (WBD) yakni DAS Pakerisan (Gianyar), persawahan Jatiluwih (Tabanan), dan Pura Taman Ayun di Mengwi, Badung. Itu menunjukkan komitmennya terhadap situs-situs penting yang menjadi cikal bakal lahirnya suatu peradaban. Namun hal tersebut akan mustahil untuk dilakukan apabila tidak didukung oleh partisipasi dari masyarakat serta pemerintah dalam perwujudannya. Maksud UNESCO tersebut dapat dilihat sebagai tujuan yang baik, namun implementasinya juga harus dilihat, bagaimana kontekstualnya terhadap kesinambungan budaya Bali ke depannya.

2 I.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu: Bagaimana kontekstual WBD DAS Tukad Pakerisan terhadap kesinambungan budaya Bali dan hal-hal lain yang terkait dengan itu?

I.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah mengetahui bagaimana kontekstual WBD DAS Pakerisan terhadap kesinambungan budaya Bali dan hal-hal lain yang terkait dengan itu.

I.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dalam hal ini bidang kebudayaan dan pemahaman mengenai situs-situs penting yang ada di Bali khususnya DAS Pakerisan. 1.4.2. Manfaat Praktis 1. Peneliti lain Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian-penelitian lain yang akan diadakan dalam konteks yang sama, baik yang bertujuan memperdalam maupun mengambil aspek lain dalam penelitian ini. 2. Masyarakat Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat memiliki penyamaan persepsi mengenai keadaan situs-situs penting yang terdapat di DAS Tukad Pakerisan. Sehingga tidak terdapat kerancuan informasi dalam masyarakat. 3. Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan mampu dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pengembangan kepariwisataan dan pelestarian budaya, sehingga kepariwisataan yang berwawasan budaya dapat berjalan dengan baik.

1.5 Metodelogi Penulisan Metodelogi penulisannya adalah analisis deskriptif, tujuannya untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai obyek penelitian. Pencarian data dengan pengumpulan literatur dan internet serta mengumpulkan foto atau gambar

3 yang terkait dengan daerah yang dijadikan obyek dalam penulisan makalah ini, yaitu DAS Pakerisan.

4 BAB II LANDASAN TEORI

Landasan teori akan mengemukakan mengenai acuan-acuan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah. Bagian ini menjabarkan teori perubahan kebudayaan.

Teori Perubahan Kebudayaan

Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan. Suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa perubahan merupakan suatu fenomena yang mewarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaannya. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi dalam fungsi waktu, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, meskipun dengan laju perubahan yang bervariasi (Redfield, Bee, Eisenstadt, Haferamp dan Smelser dalam Pitana, 1994). Selanjutnya, disebutkan bahwa perubahan yang terjadi merupakan campuran dari pengaruh silang “cross influences”, percampuran “hybridization”, perubahan “alteration”, dan keunikan “idiosyncrasies” (Antariksa dalam Salain, 2006).

Lingkup permasalahan budaya di negara merupakan satu permasalahan klasik yang senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan pertumbuhan sektor kehidupan lainnya (Sachari, 2005). Dalam kacamata masyarakat modern, unsur perubah tersebut adalah terjadinya; a. Proses akulturasi, yakni proses bagaimana suatu masyarakat menghadapi pengaruh kebudayaan baik dari luar maupun dari dalam dengan usaha mencari bentuk penyesuaian terhadap nilai dan sikap baru.

5 b. Proses seleksi dengan pembiasaan jenjang sosial yang ada, mulai dari usaha penolakan sampai penerimaan, bahkan hingga terbentuknya konflik sosial. c. Proses perubahan masyarakat dari heterogenitas yang inkoheren menuju heterogenitas yang lebih koheren. Kemudian perubahan struktural dari Gemeinschaft ke Gesselschaft (Tonies), atau perubahan dari masyarakat bersolidaritas mekanis ke masyarakat bersolidaritas organis yang kemudian dikenal sebagai Social Darwinism (perubahan struktural). d. Proses transformasi struktural yang dapat mengubah sistem sosial berdasarkan suatu revolusi berkonflik. e. Proses integrasi dan disintegrasi yang silih berganti sehingga mempengaruhi suatu sistem kemasyarakatan secara fundamental. f. Proses strukturasi hubungan sosial dalam masyarakat yang semakin kompleks sehingga membentuk suatu sistem. g. Proses perkembangan dan pertumbuhan, baik peningkatan kapasitas untuk mempertahankan keberadaannya, penyesuaian terhadap lingkungan, dan cara efektif untuk mencapai tujuannya.

Kebudayaan memang akan selalu berubah mengikuti perkembangan jaman, kaitannya dengan situs DAS Pakerisan dalam hal ini adalah agar semua komponen dan komunitas yang ada mampu memperhatikan, merawat, dan melestarikan kebudayaan yang adiluhung tersebut serta menyesuaikan perubahan dan memilih yang terbaik dalam penataan situs-situs budaya yang ada di sekitarnya, sehingga tidak mengurangi arti dan makna yang telah ditanamkan oleh leluhur di masa lampau.

6 BAB III TINJAUAN UMUM

III.1 Peta Gianyar (DAS Pakerisan)

Peta Gianyar (DAS Pakerisan) Sumber : www.baliaga.com www.villasemana.com

Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari delapan kabupaten yang ada di Provinsi Bali, membawahi tujuh kecamatan yaitu Blahbatuh, Gianyar, Payangan, Tegalalang, Sukawati, Tampaksiring, dan . Saat ini berada pada pemerintahan Bupati Anak Agung Gde Agung Bharata, SH. Adapun luas wilayah Kabupaten Gianyar adalah 368 km² (Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Gianyar, 2018). Gianyar dikenal luas di mancanegara sebagai pusat seni Provinsi Bali. Beragam karya seni: tari, ukir, lukis, patung, dan lain sebagainya bermunculan dengan subur di daerah ini. Bahkan banyak seniman mancanegara yang pada akhirnya menetap di Bali memilih Gianyar sebagai tempat bermukim hingga wafatnya. Misalnya Don Antonio Blanco, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan yang lainnya. Demikian pula situs penting peninggalan masa lalu yang banyak mengandung nilai sejarah tinggi juga jamak ditemukan di Gianyar, salah satunya adalah di DAS Pakerisan.

7 Sebagai salah satu bukti pentingnya wilayah DAS Pakerisan bagi Kabupaten Gianyar adalah dipakainya salah satu situs di wilayah DAS Pakerisan sebagai lambang kabupaten.

Lambang Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar Sesuai Dengan Peraturan Daerah Tentang Lambang Daerah Kabupaten Gianyar No.21/PD/dprd/1972 Tanggal 10 Agustus 1972. Sumber: Situs Resmi Pemerintah Kabupaten GianGianyaryar

Pada lambang tersebut terdapat Bulan Pejeng (Nekara) di dalam pelinggih Pura Penataran Sasih (warna merah), merupakan salah satu peninggalan sejarah (purbakala) dari nenek moyang Bangsa Indonesia yang tersohor di seluruh dunia, yang melambangkan kepahlawanan kebesaran/kemegahan, kekuatan, dan kemakmuran. Hal ini menjadi tanda bahwa Pura Penataran Sasih sebagai salah satu bagian dari wilayah DAS Pakerisan menjadi penanda yang utama bagi Kabupaten Gianyar itu sendiri. Oleh karena itulah, menjadi hal yang menarik untuk sedikit membahas tentang situs-situs penting yang ada pada daerah tersebut.

III.2 Gambaran Umum DAS Pakerisan Kabupaten Gianyar adalah salah satu kabupaten di Provinsi Bali dengan karakteristik wilayah berbentuk dataran. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, di mata dunia internasional, Kabupaten Gianyar memiliki predikat sebagai “daerah seni”. Dengan predikat tersebut, Kabupaten Gianyar merupakan daerah tujuan wisata utama bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, Kabupaten Gianyar memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kabupaten lainnya di Bali. Ciri khas dan keunikan yang menjadi daya tarik wisatawan tersebut adalah kekayaan alam dan budaya berupa keindahan 8 alam atau lansekap, tradisi, budaya, seni, dan keunikan lainnya. Salah satu warisan budaya yang dimanfaatkan sebagai obyek wisata adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Menurut catatan Stutterheim (1923-1930) dan Bernet Kempers, pada DAS Pakerisan paling banyak ditemukan peninggalan purbakala.

DAS Pakerisan memiliki luas wilayah 884,88 hektar yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Situs ini meliputi beberapa pura peninggalan para raja jaman Bali Kuno yang terkait dengan kawasan subak di sebelah hilirnya. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009–2029, Pasal 1, angka 63 menyatakan bahwa Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS,adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Empat pura yang dilindungi dalam DAS Pakerisan sebagai Warisan Budaya Dunia yang terletak di Kecamatan Tampaksiring adalah : 1. Pura Tirta Empul 2. Pura Mengening 3. Pura Pegulingan 4. Pura Gunung Kawi Namun mengingat ada dua situs selain yang disebut di atas yaitu Pura Goa Gajah dan Pura Penataran Sasih (juga terletak dalam wilayah yang berdekatan) yang juga memiliki keterkaitan dengan empat pura lainnya, maka tulisan ini akan membahas pula tentang Pura Goa Gajah dan Pura Penataran Sasih.

DAS Pakerisan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi. Kawasan yang memanjang dari utara hingga selatan di Kabupaten Gianyar ini mempunyai sumber daya alam yang potensial dipilih menjadi hunian dan komunitas. Deretan persawahan yang subur dengan aliran dari resapan Danau Batur dan Tirta Empul menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang memiliki sumber daya alam yang memberikan harapan bagi kehidupan. Adanya dukungan sumber daya alam ini membuat komunitas yang ada berusaha memenuhi kebutuhan spiritualnya 9 (keagamaan) dengan memanfaatkan lingkungan di sekitarnya tanpa menimbulkan kerusakan yang tidak diharapkan. Sebagai kawasan yang religius, di sepanjang DAS Pakerisan banyak terdapat peninggalan budaya yang saat ini sepenuhnya dilakukan pemeliharaan oleh komunitas di sekitarnya.

Hanya saja pemeliharaan dan pengelolaan yang dilakukan oleh komunitas tersebut terkadang dilakukan tidak sesuai dengan karakteristik dari peninggalan budaya yang ada. Seperti perubahan arsitektur yang mengikuti perkembangan saat ini. Pada DAS Pakerisan terdapat puluhan situs. Di antaranya, situs di Pura Pagulingan, Pura Tirta Empul, Pura Mengening, Candi Tebing Gunung Kawi, Candi Tebing Kerobokan, Pura Pengukur-Ukuran, Pura Gua Gajah, dan Candi Tebing Tegallinggah. Bahkan tiga situsnya, Candi Pegulingan, Tirta Empul, dan Goa Gajah menunjukkan suatu peninggalan budaya dari abad ke-10, serta memberi ciri adanya perpaduan unsur budaya prasejarah dan Bali Kuno, yang mempunyai urgensi tinggi sehingga mendapatkan perhatian dari UNESCO.

10 BAB IV PEMBAHASAN

IV.1 Beberapa Situs di DAS Pakerisan Berbicara menegenai DAS Pakerisan, maka tentu akan banyak hal yang bisa diangkat. Tukad Pakerisan merupakan salah satu sungai yang memiliki kearifan lokal yang sudah diakui dunia. Kawasan Tukad Pakerisan memiliki banyak situs bersejarah, seperti Pura Goa Gajah, Pura Penataran Sasih, Pura Mengening, kawasan Gunung Kawi, Pura Tirta Empul, dan Pura Pegulingan. Obyek wisata sepanjang DAS Pakerisan merupakan satu-satunya daerah kawasan cagar budaya di Kabupaten Gianyar yang paling padat populasi cagar budayanya. Sebagai suatu kawasan cagar budaya, kawasan DAS Pakerisan adalah kawasan cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan telah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO.

IV.1.1 Pura Goa Gajah Pura Goa Gajah terletak di sebelah barat Desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh. Pura ini dibangun di lembah Sungai Petanu. Goa Gajah baru ditemukan kembali pada tahun 1923. Walaupun Lwa Gajah dan Bedahulu, yang sekarang menjadi Goa Gajah dan Bedahulu, telah disebutkan di dalam kitab Nagarakertagama ditulis pada tahun 1365 M. Pada tahun 1954, ditemukan kembali kolam petirtaan di depan Goa yang kemudian disusul dengan pemugaran dan pemasangan kembali area-area pancuran yang

Pura Goa Gajah Sumber: http://erhanana.multiply.com/photos 11 semula terletak di depan Goa dalam keadaan tidak lengkap.

Kekunoan Pura Goa Gajah dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian utara terdiri atas sebuah Goa Alam yang dipahat berbentuk huruf "T". Goa ini dipahatkan pada batu padas keras yang menjorok keluar sejauh 5,75 meter dari dinding batu tersebut, berukuran tinggi 6,75 meter dan lebar 8,6 meter. Permukaan goa berhiaskan motif daun daunan, batu karang, raksaasa, kera, dan babi. Di tengah-tengah relief tersebut terdapat relief mulut goa dengan ukuran lebar 1 meter dan tinggi 2 meter. Di ambang mulut goa terdapat pahatan muka raksasa yang menyeramkan dengan mata bulat besar melirik ke arah kanan, rambut dan alis tampak kasar, hidung besar, bibir atas dengan sederetan gigi tepat berada di atas lubang goa. Pada dinding timur goa terdapat dua baris tulisan berbunyi 'Kumon' dan baris bawah 'Sahy(w)angsa' menilik bentuk hurufnya berasal dari abad ke-11. Setelah memasuki goa terdapat lowongan bercabang dua, satu ke timur dan satu ke barat sehingga denah menyerupai huruf 't'. Lorong yang membentang dari timur-barat itu berukuran panjang 13.5 meter, lebar 2.75 meter dan tinggi 2 meter. Pada dinding utara dari lorong yang melintang kearah barat terdapat 7 buah ceruk, salah satu dari 7 buah ceruk itu berhadapan dengan jalan masuk goa dan merupakan ceruk yang terbesar dengan ukuran tinggi 1,26 meter, kedalaman 1,35 meter, terletak 0.7 meter dari permukaan tanah. Di dalamnya terdapat fragmen arca raksasa dan fragmen arca siwa. Pada kedua ujung lorong yang melintang ke arah timur-barat juga terdapat ceruk. Ceruk di ujung timur terdapat trilingga dan ceruk di ujung barat terdapat arca Ganesha.

Di dalam Goa ini terdapat sebuah arca Ganesha, yang dianggap sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan, fragmen-fragmen arca dan sebuah trilangga yang dikelilingi oleh delapan buah lingga kecil-kecil. Pada bagian dinding Goa, terdapat ceruk-ceruk pertapaan, dan bagian muka Goa dihiasi dengan pahatan yang menggambarkan sebuah hutan belantara dengan isinya, juga dilengkapi dengan sebuah kepala kala memakai subang. Di sebelah barat Goa, di dalam sebuah bangunan terdapat sebuah arca jongkok, GanesHa dan arca Men Brayut yang di dalam mitologi Agama Buddha dikenal sebagai Hariti, penyelamat anak-anak. Di depan Goa, kecuali arca penjaga, terdapat juga fragmen-fragmen bangunan yang tidak diketahui asal usulnya, seperti fragmen-fragmen bangunan yang sekarang tidak dikumpulkan di halaman pura di sebelah barat kolam petirtaan. 12 Arca-arca pancuran yang sekarang telah berfungsi kembali di dalam kolam petirtaan yang dibagi menjadi tiga bagian, menurut gayanya diduga berasal dari abad 11 M. Sayang sekali arca pancuran yang terletak di kolam paling tengah, belum ditemukan hingga sekarang. Di sebelah kanan Goa, memang terdapat sebuah arca Pancuran Ganesha, tetapi ternyata tidak cocok dengan kolam yang paling tengah tadi. Bagian kedua dari Pura Goa Gajah ialah bagian sebelah tenggara. Di sini terdapat dua buah arca Buddha, yang sebuah tanpa kepala dan sebuah lagi masih cukup baik dengan gaya Jawa Tengah. Di sebelah utara arca ini, masih kelihatan melekat di tebing yaitu bagian kaki dari candi tebing yang bagian atasnya telah lama jatuh ke dalam sungai kecil. Di dalam sungai kecil ini terdapat relief stupa bercabang tiga, reruntuhan candi tebing dengan pahatan-pahatan yang indah. Di sebelah barat sungai kecil ini terdapat sebuah ceruk pertapaan. Berdasarkan temuan kepurbakalaan tersebut, dapat diketahui, bahwa Pura Goa Gajah berasal dari abad 9 dan 11 M yang dahulu kala berfungsi sebagai tempat pertapaan Bhiksu Buddha dan Pendeta Siwa.

IV.1.2 Pura Penataran Sasih Pura ini terletak di Desa Pejeng di tepi jalan raya menuju obyek wisata Tampaksiring. Tepatnya pura kahyangan jagat ini terletak di Banjar Intaran, Desa Pejeng, Tampaksiring, Gianyar. Beberapa referensi dan sumber yang ada menyebutkan bahwa Pura Penataran Sasih adalah pura tertua yang merupakan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno. Bahkan seorang arkeolog R. Goris dalam buku ''Keadaan Pura-pura di Bali'' juga menyebutkan bahwa pusat kerajaan pada zaman Bali Kuno terletak di Bedulu, Pejeng. Pura Penataran Sasih juga merupakan tempat pemujaan awal terjadinya kehidupan di dunia. Sedangkan jika berpijak dari hasil penelitian terhadap peninggalan benda-benda kuno di areal pura, maka diperkirakan Pura Penataran Sasih telah ada sebelum pengaruh Hindu masuk ke Bali. Diduga hal tersebut setara dengan jaman Dongson di negeri Cina, sekitar 300 tahun Sebelum Masehi. Sementara itu adanya Hindu masuk ke Bali diperkirakan sekitar abad ke-8.

Pura ini terkenal karena terdapat sebuah nekara yang amat besar, dengan tinggi 186,5 cm dan berdiameter 160 cm. Nekara perunggu yang terdapat di Pura Penataran Sasih mengandung nilai simbolis magis yang s tinggi. Pada nekara tersebut terdapat hiasan kodok muka sebagai sarana penghormatan pada leluhur sebagai pelindung. Dalam hal 13 ini simbolis magis tersebut berfungsi sebagai media untuk memohon hujan. Nekara perunggu yang berasal dari jaman prasejarah (jaman pra Hindu) terkenal dengan nama bulan pejeng yang berarti bulan yang jatuh ke bumi. Oleh karena itu pura ini dinamakan Pura Penataran Sasih, “Sasih” berarti bulan. Yang menarik di sini adalah hisan ”bulan pejeng” yang berbentuk kedok muka yang disusun sepasang dengan matanya yang besar membelalak, telinga yang panjang, dan anting-antingnya yang dibuat dari uang kepeng dengan hidung segitiga. Bulan Pejeng ini juga dianggap sebagai subang Kebo Iwa. Sejumlah arca penting juga terdapat dalam Pura Penataran Sasih.

Selain nekara perunggu, di Pura Penataran Sasih juga terdapat peninggalan berupa pecahan prasasti yang ditulis pada batu padas. Hanya tulisan yang memakai Bahasa Kawi dan Sansekerta itu tidak bisa dibaca karena termakan usia. Namun, dari hasil penelitian yang dilakukan, ada kemungkinan pecahan prasasti tersebut berasal dari abad ke-9 atau permulaan abad ke-10. Di Pura Penataran Sasih juga tersimpan pula beberapa peninggalan masa Hindu masuk ke Bali, seperti prasasti dari batu yang berlokasi di jeroan bagian selatan. Prasasti tersebut berkarakter huruf dari abad ke-10. Di bagian jaba pura, di sebelah tenggara ada fragmen atau bekas bangunan memuat prasasti beraksara kediri kwadrat (segi empat) yang menyebutkan Parad Sang Hyang Dharma yang artinya bangunan suci.

Pura Penataran Sasih sendiri terdiri atas lima palebaan, meliputi Pura Penataran Sasih sebagai pura induk; bagian utara terdapat Pura Taman Sari, Pura Ratu Pasek, dan Pura Bale Agung. Sedangkan untuk bagian selatan terdapat Pura Ibu. Untuk areal Pura Penataran Sasih terutama di jeroan terdapat beberapa pelinggih. Dari pintu masuk, pada sisi jaba tengah terdapat bangunan Padma Kurung sebagai tempat penyimpenan Sang Hyang Jaran. Deretan bagian timur terdapat bangunan pengaruman yang biasanya difungsikan sebagai tempat menstanakan simbol-simbol Ida Batara dari Pura Kahyangan Tiga di seluruh Pejeng. Pada bagian utara bale pengaruman terdapat pelinggih Ratu Sasih. Di samping itu, ada pula pesimpangan Ida Batara Gana dan gedong pesimpangan Ida Batara Brahma di deret selatan. Sementara itu, pada bagian utara terdapat gedong pesimpangan Batara Wisnu, dan di bagian barat terdapat gedong pesimpangan Batara Mahadewa. Untuk piodalan di Pura Penataran Sasih terbagi dalam dua bagian. Tiap 210 hari tepatnya Redite Umanis, wuku Langkir,

14 berlangsung upacara yang dinamakan upacara panyelah yang berlangsung selama tiga hari. Sedangkan untuk karya agung berlangsung pada purnama kesanga, nemu pasah.

Pura Penataran Sasih Sumber: http://www.voyagevirtuel.co.uk/bali/tegallalang_penataran-sasih_bali11.php

IV.1.3 Pura Gunung Kawi Pura ini berlokasi di Banjar Penaka, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura Gunung Kawi Tampaksiring pertama kali ditemukan pada awal tahun 1910. Komplek kekunoan Gunung Kawi yang sangat luas ini terbagi dua karena dipisahkan oleh Sungai Pura Gunung Kawi Pakerisan. Sejak ditemukan kembali pada tahun 1920, Sumber: http://www.gianyarkab.go.id peninggalan purbakala ini diperbaiki. Disini terdapat dua kelompok candi tebing yang terdiri dari lima buah candi yang terdapat di sebelah timur sungai. Diantara kelompok ini ada yang memuat prasasti yang memakai huruf tipe Kediri yang diduga berasal dari abad XI masehi. Pada kelompok yang kedua terdapat di sebelah barat sungai terdiri atas empat buah candi tebing dan ceruk-ceruk pertapaan atau wihara, demikian juga halnya dengan candi yang disebelah timur sungai. Di sudut tenggara terdapat juga ceruk-ceruk pertapaan. Di sebelah barat juga ada dan candi tebing yang sangat terkenal dengan nama Makam X, yang pada bagian pintunya juga memuat prasasti memakai huruf Kediri.

Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Marakata, putra Raja Udayana, yaitu Prasasti Songan Tambahan dinyatakan: Sang Hyang Katyagan Ing Pakerisan Mengaran Ring Ambarawati. Kemungkinan nama itu adalah nama Candi Pura Gunung Kawi saat itu. Sedangkan nama Gunung Kawi mungkin muncul belakangan. Pura Candi Gunung Kawi dibagi menjadi empat kelompok. Ada kelompok lima candi dipahatkan di tebing timur Sungai Pakerisan berjejer dari utara ke selatan. Kelima

15 candi ini menghadap ke barat. Pahatan candi yang paling utara ada tulisan yang berbunyi ''haji lumah ing jalu''. Kemungkinan candi yang paling utara untuk stana pemujaan roh suci Raja Udayana. Sedangkan yang lain-lainnya adalah stana anak- anak Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu serta permaisurinya. Di pintu masuk candi sebelah selatan dari Candi Udayana ada tulisan ''rwa anakira''. Artinya, dua anak beliau. Candi inilah yang ditujukan untuk stana putra Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu. Sementara di tebing barat Sungai Pakerisan terdapat empat kelompok candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan itu berjejer dari utara keselatan menghadap ke timur. Menurut Dr. R. Goris, keempat candi ini adalah sebagai padharman empat permaisuri raja. Di samping itu ada satu pahatan candi lagi terletak di tebing barat daya Sungai Pakerisan. Di candi itu ada tulisan dengan bunyi ''rakryan''. Kemungkinan candi ini sebagai padharman dari seorang patih kepercayaan raja. Karena itulah diletakkan di sebelah barat daya. Di sebelah selatan candi kelompok lima terdapat wihara berjejer sebagai sarana bertapa brata. Raja Udayana dengan permaisurinya berbeda sistem keagamaannya. Raja Udayana lebih menekankan pada ke-Buddha-an, sedangkan Gunapriya Dharma Patni lebih menekankan pada sistem kerohanian Siwa. Hal inilah yang menyebabkan agama Hindu di Bali disebut Agama Siwa Buddha.

Keberadaan Pura Candi Gunung Kawi ini yang menempatkan dua sistem keagamaan Hindu yaitu sistem Siwa dan sistem Buddha sebagai suatu hal yang sangat baik untuk direnungkan demi kemajuan Agama Hindu ke depan. Di samping itu Raja Udayana sangat menerima baik adanya unsur luar yang positif untuk menguatkan budaya Bali saat itu. Seandainya Raja Udayana saat itu menolak apa yang datang dari luar Bali tentunya umat Hindu di Bali tidak mengenal kesusastraan Hindu seperti sekarang ini. Misalnya ada berbagai jenis karya sastra Parwa dan Kekawin dalam bahasa Jawa Kuno dengan muatan cerita Ramayana dan Mahabharata. Karya sastra Jawa Kuno ini amat besar jasanya dalam memperkaya kebudayaan Hindu di Bali sehingga Bali memiliki kebudayaan yang sangat tinggi sampai sekarang. Semua unsur itu dipadukan dengan budaya Bali yang telah ada sebelumnya. Demikianlah bijaknya Raja Udayana pada jaman dahulu.

16 IV.1.4 Pura Mangening Pura Mangening terletak di Banjar Saraseda, Desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Candi ini adalah situs kuno, yaitu peninggalan pemerintahan Raja Marakata tahun 1022 Masehi. Untuk pertama kalinya, Pura Mangening ditemukan oleh WF Sutterheim pada1925 – 1927 tapi tidak disebutkan secara rinci, kemudian pada tahun 1960 Bernet Kempers menyatakan bahwa ada sebuah kuil dengan sisa-sisa bangunan di atas bukit kecil. Pada pura ini juga terdapat peninggalan kuno Lingga–Yoni, sehingga parahyangan ini identik dengant pemujaan Dewa Siwa. Pura Mangening letaknya berdekatan dengan pura lainnya di antaranya : di sebelah utara Pura Tirta Empul, sebelah timur Pura Puncak Tegal dan Pura Merta Sari, sebelah selatan Pura Gunung Kawi dan sebelah barat Pura Penataran Saresidi dan Pura Sakenan Tampaksiring.

Pura Mangening sendiri, terbagi dalam tri mandala. Di antaranya, nista mandala, madya mandala, dan utama mandala. Di areal nista mandala Pura Mangening ini sendiri terdapat sebuah Taman dengan Pancakatirtha. Taman ini sendiri merupakan tempat penyucian Ida Batara yang berstana di Pura Mangening. Selain itu di beberapa tempat juga terdapat beberapa pemijilan -tirtha yang biasa diambil oleh masyarakat untuk keperluan yadnya. Untuk pemijilan tirtha-tirtha yang ada di areal nista mandala ini, meliputi tirtha keben, tirtha Sudamala, tirtha Melela, tirtha Soka, tirtha Megelung, tirtha Tunggang dan tirtha Telaga Waja. Sedangkan untuk pemijilan tirtha di areal Taman Pancakatirtha meliputi tirtha Parisuda, tirtha Pengelukatan, tirtha Pengulapan, tirtha Keris dan tirtha Kamaning.

Konon nama Pura Mangening ini berasal dari kata ''maha-ening''. Di lain sisi, Menurut mantan Kepala Kantor Purbakala Bali MP. Sukarto K. Atmodjo, nama Pura Mangening berasal dari kata “Cening” yang berarti ” anak”. Dikatakan demikian sebab dalam salah satu prasasti yang ada hubungannya dengan Raja Udayana menyatakan bahwa “Lumahi Banyu Wka” yang artinya wafat di air; “Wka” Inilah yang diduga berasal dari “Oka” sehingga diidentikkan dengan “anak”. Pura Mangening merupakan salah satu tempat Raja Udayana dan keluarga kerajaan melakukan upaya kerohanian untuk membangun diri yang ''maha-ening''. Upacara piodalan di Pura Mangening ini jatuh pada hari Saniscara Pon Wuku Sinta. Nampaknya nama ''Mangening'' ini lebih logis diduga berasal dari kata ''maha ening'' 17 yang artinya amat suci. Pura Mangening ini pada awalnya berfungsi sebagai tempat pertapaan Raja Udayana dan keluarganya. Sedangkan candi-candi di Pura Gunung Kawi sebagai Padharman Raja Udayana dan keluarganya.

Di Pura Mangening itulah Raja mempraktikkan ajaran Yoga Sutra sampai memperoleh keadaan diri ''maha ening''. Dalam keadaan diri yang maha ening, Raja mendapatkan kemampuan diri untuk ber-wiweka dalam membangun kesejahteraan rakyatnya lahir batin. Pelinggih utama di Pura Mangening adalah Pelinggih Prasada atau sering juga disebut Meru Prasada sebagai tempat menstanakan Raja Udayana sebagai Dewa Pitara atau roh suci yang diyakini telah mencapai apa yang disebut Sidha Dewata. Sidha Dewata artinya sukses mencapai alam dewata. Atman yang telah mencapai Sidha Dewata itulah yang disebut Dewa Pitara. Prasada inilah sebagai pelinggih yang paling utama di Pura Mangening ini. Di depan Pelinggih Prasada ini terdapat Pelinggih Pesimpangan Pura Gunung Kawi dan Pesimpangan Pura Tirta Empul. Di depan Pelinggih Pesimpangan tersebut terdapat dua Pelinggih Pepelik. Dua Pelinggih Pepelik ini berfungsi sebagai tempat mempersembahkan sesaji. Sebelah utara dari Pelinggih Prasada terdapat Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung. Dua Pelinggih ini sebagai Pesimpangan ke Gunung Agung dan ke Gunung Batur. Ini juga sebagai lambang Purusa dan Predana sebagai media memohon keseimbangan hidup alam semesta beserta isinya termasuk semua makhluk hidup. Di sudut paling barat daya ada Pelinggih Pegat. Ini tempat memohon Tirtha Pengelukatan untuk memutuskan ikatan duniawi menuju perjalanan rohani.

Pura Mangening Sumber: http://www.gianyarkab.go.id

18 IV.1.5 Pura Tirta Empul

Pura ini terletak sebelah timur di bawah Istana Tampaksiring. Lebih tepatnya Pura Tirta Empul terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. Menurut cerita rakyat yang berkembang, Pura Tirta Empul merupakan sebuah bangunan suci kuno yang menyimpan legenda perseteruan seorang raja yang tamak dengan para dewa. Konon pada jaman dahulu bertahta seorang Raja Kerajaan Bali yang sangat sakti dan tak tertandingi bernama Mayadanawa dari keturunan Daitya atau raksasa. Raja Mayadanawa adalah anak dari seorang Dewi Danu Batur dan Raja Jayapangus. Kesaktiannya adalah mampu mengubah wujudnya menjadi segala bentuk yang diinginkan. Dengan kesaktian tersebut sang raja mampu menaklukkan daerah kekuasaan kerajaan-kerajaan lain seperti Bugis, Makasar, Sumbawa, Lombok, dan Blambangan di Banyuwangi.

Karena keberhasilannya menundukkan kerajaan lain, Raja Mayadanawa menjadi sombong. Kemudian ia melarang rakyatnya beribadah kepada dewa dan sebagai gantinya memerintahkan mereka untuk menyembah dirinya yang dirasa sangat sakti. Sejak saat itu rakyat mulai menderita hingga kemudian timbul bencana kekeringan dan wabah penyakit. Menyadari hal tersebut, seorang Mpu bernama Mpu Kul Putih melakukan semadi dan memohon bantuan dari para dewa. Tak lama kemudian datanglah Dewa Indra beserta pasukannya memasuki keraton Raja Mayadanawa. Pertempuran pun terjadi dan dimenangkan pasukan Dewa Indra. Tak mau mengakui kekalahannya, pada tengah malam Raja Mayadanawa membuat sebuah mata air beracun di sebuah desa di Tampaksiring, dekat tempat peristirahatan pasukan Dewa Indra. Mengetahui kelicikan Raja Mayadanawa tersebut Dewa Indra langsung membuat mata air suci lainnya beserta tempat peribadatan berupa pura yang kini dinamakan sebagai mata air Pura Tirta Empul.

Setelah itu, para pasukan Dewa Indra meminum mata air suci Pura Tirta Empul dan dengan sekejap sembuh. Pengejaran Raja Mayadanawa pun kembali dilanjutkan. Mengetahui dirinya terdesak, raja angkuh tersebut mengubah dirinya menjadi batu paras namun tetap diketahui oleh Dewa Indra. Kemudian dipanahlah batu paras tersebut dan Raja Mayadanawa menemui ajalnya. Kematian Raja Mayadanawa tersebut hingga saat ini oleh masyarakat Hindu Bali diperingati sebagai Hari Raya

19 Galungan yang bermakna kemenangan dharma atau kebaikan atas adharma atau keburukan.

Secara etimologi Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah. Sebuah prasasti batu yang masih tersimpan di Desa Manukaya menyebutkan Pura ini dibangun oleh Sang Ratu Sri Candra Bhayasingha Warmadewa. Prasasti ini memuat angka tahun 882 caka (960 masehi). Seperti umumnya pura di Bali, pura ini dibagi atas tiga bagian (halaman) yang merupakan Jaba Sisi (Halaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah), dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing-masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri di antaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun). Kekunoan yang terdapat disini ialah sebuah lingga-yoni dan arca lembu.

Pura Tirta Empul Sumber: http://www.gianyarkab.go.id

IV.1.6 Pura Pegulingan

Pura ini terletak di Desa Basangambu, sebelah timur Pura Tirta Empul dan tidak jauh dari jurusan Kintanami. Pura ini ditemukan kembali pada awal Januari 1983 pada saat Krama Desa Adat Basangambu bekerja menurunkan batu padas pada bangunan tepas guna agar dapat didirikan sebuah padmasana agung, pada saat itu ditemukan beberapa benda kekunoan seperti arca dan fragmen lainnya. Semakin ke dalam kemudian ditemukan pondasi bersegi delapan, maka oleh bendesa adat saat itu (Jro Mangku Wayan Periksa) pekerjaan dihentikan, lalu dilaporkan ke Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali di Bedulu Gianyar (BP3 Bali). Atas laporan itu maka petugas purbakala langsung mengadakan peninjauan ke Pura Pegulingan.

20 Mengingat sangat pentingnya temuan-temuan itu, dipandang perlu untuk diadakan penelitian lanjutan, untuk hal tersebut pihak kantor suaka mengadakan pertemuan dengan krama desa pengemong beserta semua prajuru, untuk minta persetujuan rencana kerja yang akan dilaksanakan di Pura Pegulingan. Setelah mendapat persetujuan krama pengemong, maka penelitian dan penggalian dilakukan oleh Kantor Suaka dari Juli sampai Desember 1983. Selama penggalian ditemukan antara lain pondasi bangunan segi delapan, arca Buddha, kotak batu padas berisi material tanah liat yang bertuliskan Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa Sansekerta yang menguraikan mantra Agama Buddha Mahayana mengenai ajaran Dharma.

Berdasarkan temuan tersebut dan dengan perbandingan bentuk huruf dengan Prasasti Airtiga maka dapat diduga bahwa candi pegulingan dibangun pada akhir abad ke IX atau awal abad ke X masehi. Prof. Dr. Soekmono (Arkeologi) mengemukakan dalam Harian Bali Post tanggal 15 September 1983 sebagai berikut: “Penemuan kepurbakalaan di Pura Pegulingan Tampaksiring berupa pondasi bersegi delapan dan beberapa area Boddhi Satwa memberi petunjuk peninggalan itu bersifat ‘Buddhistik - Siwaistik’ dan tidak mustahil menjadi penemuan monumental pertama di Indonesia. Selain peninggalan berupa arca Buddha dan Fragmen lainnya juga ditemukan panca datu serta arca yoni yang bersifat Siwaistik. Dengan demikian maka pada saat berdirinya candi/ stupa pegulingan sudah terjadi pencampuran/sinkritisme paham Siwa Buddha. Hal itu berarti pemujaan terhadap Siwa (Hindu) dan Buddha saat itu sudah berjalan dengan baik dan damai.”

Dari hasil penelitian oleh Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala Bali, dapat ditemukan seperti yang ditulis oleh: I Made Sutaba, I Made Sepur Separsa, I Ketut Darta, I Made Suanta, Gusti Made Rena dalam buku, “Pura Pegulingan Temuan Baru Persebaran Agama Buddha di Bali”, antara lain:

1. Arca Budha

Bersama dengan sisa – sisa bangunan ini terdapat fragmen – fragmen arca Buddha setelah fragmen itu disususn ternyata mungkin dulu ada lima buah arca Buddha. Seperti Arca Dhyani Buddha – Aksobhya dengan sikap Bhumisparca Mudra dan yang lain Arca Dhyani Buddha Amaghasio. Arca Buddha dari emas yang berdiri. Arca

21 Dhyani Budha Ratnasambhawa ini berdiri di atas lapik padmasana terbuat dari perunggu. Arca Buddha tersebut hampir sama dengan Gaya Arca Budhda Goa Gajah.

2. Prasasti

Temuan prasasti di Pura Pegulingan berupa materai tanah liat, lempengan emas bertulis telah dan dibaca oleh Almarhum Drs. M. Boechari, sebuah diantara materi tanah liat itu berisi Mantra Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa sansekerta yang merupakan mantra agama Buddha Mahayana mengenai tiga ajaran Dharma. Pada pusat (ditengah-tengah) pondasi yang bersegi delapan ditemukan relief, yang menggambarkan dua gajah saling membelakangi, berdiri di kiri kanan sebuah gapura di duga bersangkala memet, gajah atau hasti angka 8 gapura 9, gajah 8 atau tahun Caka 898 (976 M). Dalam bilik stupa ini didapatkan arca Buddha dari emas, lempengan emas, perak dan perunggu, serta pedagingan. Ini mungkin menggambarkan tahun pendirian Candi Pegulingan.

Dari uraian-uraian diatas dapat diasumsikan bahwa pada tahun 976 M, adalah tahun pendirian Candi Pegulingan dan tahun 1178 M adalah selesainya Parhyangan Pura Pegulingan pada masa pemerintahan Raja Masula – Masuli.

Pura Pegulingan Sumber: http://www.gianyarkab.go.id

22 IV.2 Kontekstual WBD DAS Pakerisan Terhadap Kesinambungan Budaya Bali UNESCO di dalam Draft Medium Term Plan 1990-1995, mendefinisikan warisan budaya sebagai berikut: … the entire corpus of material signs – either artistic or symbolic – handed on by the past to each culture and, therefore, to the whole of humankind. As a constituent part of the affirmantion and enrichment of cultural identities,as a legacy belonging to all human kind, the culture heritage gives each particular place its recognizable features and is the storehouse of human experience. The preservation and the presentation of the cultural heritage are therefore a corner-stone of any cultural policy. Hal di atas, dapat diartikan bahwa warisan budaya sebagai penanda budaya sebagai suatu keseluruhan, baik dalam bentuk karya seni maupun symbol-simbol, yang merupakan materi yang terkandung di dalam kebudayaan yang dialihkan oleh generasi manusia di masa lalu kepada generasi muda berikutnya, merupakan unsur utama yang memperkaya dan menunjukkan ikatan identitas suatu generasi dengan generasi sebelumnya, merupakan pusaka bagi seluruh umat manusia. Warisan budaya memberikan penanda identitas kepada setiap tempat dan ruang, dan merupakan gudang yang menyimpan informasi tentang pengalaman manusia.

Warisan budaya adalah warisan peninggalan masa lalu yang diwariskan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain, yang tetap dilestarikan, dilindungi, dihargai dan dijaga kepemilikannya (Ardika, 2007). Warisan budaya (cultural heritage) yaitu sebagai harta pusaka budaya baik berwujud atau tidak berwujud dan bersumber dari masa lampau yang digunakan untuk kehidupan masyarakat sekarang dan kemudian diwariskan kembali untuk generasi yang akan datang secara berkesinambungan atau berkelanjutan. Heritage yaitu sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa atau Negara selama bertahuntahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter bangsa tersebut. UNESCO memberikan definisi “heritage’ sebagai warisan (budaya) masa lalu, yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena memiliki nilai-nilai luhur. Menurut situs resmi UNESCO, warisan budaya adalah monumen, kelompok bangunan atau situs sejarah, estetika, arkeologi, ilmu pengetahuan, etnologis atau antropologi nilai.

23 Mengingat bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Benda cagar budaya adalah benda alam atau benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Sedangkan situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya).

Banyak pendapat yang menyatakan cagar budaya sama dengan warisan budaya, tetapi pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan yaitu berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh kesadaran jati diri bangsa, oleh karena itu pemerintah berkewajiban untuk melindungi benda cagar budaya sebagai warisan budaya bangsa Indonesia. Tidak semua benda peninggalan sejarah mempunyai makna sebagai benda cagar budaya. Sejauh peninggalan sejarah merupakan benda cagar budaya, maka demi pelestarian budaya bangsa, benda cagar budaya harus dilindungi dan dilestarikan; untuk keperluan ini, maka benda cagar budaya perlu dikuasai oleh negara bagi pengamanannya sebagai milik bangsa. Sebagian besar benda cagar budaya suatu bangsa adalah hasil ciptaan bangsa itu pada masa lalu yang dapat menjadi sumber kebanggaan bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu, pelestarian benda cagar budaya Indonesia merupakan ikhtiar untuk memupuk kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jati diri sebagai bangsa 24 yang berdasarkan Pancasila. Kesadaran jati diri suatu bangsa banyak dipengaruhi oleh pengetahuan masa lalu bangsa yang bersangkutan, sehingga keberadaan kebangsaan itu pada masa kini dan dalam proyeksinya ke masa depan bertahan pada ciri khasnya sebagai bangsa yang tetap berpijak pada landasan falsafah dan budayanya sendiri (Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya).

Beranjak dari hal dan pemikiran tersebut, dalam hal ini, DAS Pakerisan merupakan salah satu bagian dari benda cagar budaya yang nilainya tidak dapat diukur dengan materi. Nilai-nilai lain yang jauh lebih penting yaitu arti dan makna yang sarat telah terkandung di dalamnya. UNESCO tentu tidak asal pilih dalam menentukan suatu kawasan dinominasikan sebagai warisan budaya dunia. Sebagai bagian dari Bali, tentunya segala potensi yang dimiliki dan terdapat pada DAS Pakerisan secara langsung maupun tidak langsung telah ikut memperkaya khasanah dan juga turut serta menjadi cikal bakal kebudayaan Bali sekarang. Kesinambungan budaya Bali di masa depan terletak di tangan generasi penerus. Tidak hanya generasi di sekitar DAS Pakerisan saja, namun juga generasi Bali seutuhnya. Jadi tentu saja ada keterkaitan antara warisan budaya dunia di DAS Pakerisan terhadap kesinambungan budaya Bali.

Keterkaitan tersebut adalah, situs-situs di DAS Pakerisan merupakan suatu peninggalan budaya dari abad ke-10, serta memberi ciri adanya perpaduan unsur budaya prasejarah dan Bali Kuno yang terus dilestarikan/dikembangkan hingga kini. Inilah yang menjadi benang merah antara situs DAS pakerisan dengan kebudayaan Bali kini. Tentu saja juga tidak dapat dilepaskan dari peran Raja Udayana yang sangat berjasa dalam membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang. Inilah yang sepatutnya menjadi contoh dan teladan bagi generasi penerus dalam menjaga kesinambungan budaya Bali di masa kini dan masa yang akan datang demi melindungi kebudayaan Bali yang adiluhung tersebut dari pengaruh luar yang bersifat negatif.

25 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan Perlindungan warisan budaya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat dunia umumnya dan di Indonesia khususnya, keinginan untuk melindungi warisan budaya makin berkembang, instrument hukum internasional diikutsertakan sebagai suatu hal yang memiliki peranan penting dalam perlindungan kekayaan budaya dunia. Warisan budaya dunia adalah suatu tempat budaya dan alam serta benda yang berarti bagi umat manusia dan menjadi sebuah warisan bagi generasi berikutnya. Warisan budaya dunia adalah bentuk warisan turun-temurun yang dimiliki setiap negara dalam bentuk budaya yang berbeda-beda, memiliki ciri khas masing-masing dan hanya dimiliki oleh satu negara tersebut dan perlu untuk dijaga dan dipertahankan kelestariannya.

Pemerintah Provinsi Bali sebagai Pemerintah Daerah yang wilayahnya hidup dari sektor pariwisata khususnya pariwisata budaya, berdedikasi untuk melindungi warisan budaya di dalam Peraturan Daerah (PERDA). Definisi cagar budaya dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, Pasal 1 angka 36 menyatakan bahwa kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi dan sebagai tempat serta ruang di sekitar situs purbakala dan kawasan yang memiliki bentukan geologi alami yang khas. Perlindungan cagar budaya dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali juga terdapat dalam Pasal 20 angka 13 yang menyatakan bahwa kriteria penetapan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan mencakup: a. Tempat di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi b. Situs purbakala c. Kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk kepentingan sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 26 Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 juga dengan tegas melindungi dan melestarikan cagar budaya di dalam Paragraf 3 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Strategis dalam pasal 13 angka 6 menyatakan bahwa strategi pelestarian dan peningkatan nilai kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan warisan budaya mencakup: 1. Melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan keseimbangan ekosistemnya 2. Meningkatkan kepariwisataan daerah yang berkualitas 3. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi 4. Melestarikan warisan budaya 5. Melestarikan lingkungan hidup

Mengingat bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, maka dalam hal ini seutuhnya kembali diperlukan komitmen dan niat yang kuat dari semua pihak yang terkait untuk turut serta melestarikan dan menjaga benda cagar budaya tersebut. Kawasan DAS Pakerisan di Gianyar sendiri meliputi beberapa situs di sekitar Sungai Pakerisan dan Petanu yang layak disebut bagian dari cagar budaya, seperti Pura Tirta Empul, Pura Pegulingan, Pura Mangening, Pura Gunung Kawi, Candi Tebing Kerobokan, Candi Agung Pengukur-ukuran, Candi Tebing Tegallinggah, dan Pura Goa Gajah.

Dari sekian situs-situs tersebut hampir semuanya merupakan awal atau tonggak dari lahirnya kebudayaan Bali sekarang. Belum tentu kebudayaan Bali yang ada sekarang bisa seperti ini, jika situs-situs tersebut tidak pernah ada. Komitmen dan kebijaksanaan Raja Udayana sebagai pemimpin Bali pada waktu itu yang mampu menggabungkan kebudayan Bali asli dengan pengaruh Jawa Kuna juga turut serta membentuk lahirnya kebudayaan Hindu Bali yang dikenal serta berkembang sekarang yang berawal dari situs-situs DAS Pakerisan.

V.2 Saran Warisan budaya nasional atau warisan budaya bangsa adalah cermin tingginya peradaban bangsa. Salah satu ciri bangsa besar dan maju adalah bangsa yang mampu menghargai dan melestarikan warisan budaya nenek moyang mereka. Semakin 27 banyak warisan budaya masa lampau yang bisa digali dan dilestarikan, maka sudah semestinyalah peninggalan budaya tersebut semakin dihargai. Diharapkan kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam mengelola situs-situs DAS Pakerisan, dalam hal ini sangat dibutuhkan sinergi antara Pemerintah Pusat, Daerah, dan masyarakat setempat agar berperan serta secara aktif dalam setiap kegiatan yang diadakan disana dalam upaya menghargai peninggalan budaya. Situs-situs tersebut merupakan peninggalan leluhur yang sedikit banyak telah memberi warna dalam kebudayaan Hindu Bali yang dikenal sekarang ini. Sepatutnya sebagai generasi penerus yang memiliki kepekaan rasa dan apresiasi terhadap nilai-nilai luhur, semua pihak mampu dan bisa untuk menjaga dan melestarikan hal tersebut.

Melestarikan berarti memelihara atau menyimpan baik-baik sesuatu agar tidak lenyap begitu saja. Namun pelestarian, apa pun, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Pelestarian bertujuan untuk menjadikan sesuatu tetap ada seperti aslinya, tidak rusak, tidak musnah. Pelestarian khasanah budaya bangsa memang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Benda-benda peninggalan sejarah harus diamankan dari tangan-tangan jahil. Jangan sampai pernah terbersit niat untuk merusak situs-situs tersebut. salah satu cara yang sederhana dan bisa dilakukan adalah tidak boleh mencorat-coret, karena akan merusak peninggalan sejarah tersebut. Pemerintah juga harus bisa menyediakan anggaran yang cukup bagi kegiatan perawatan daerah cagar budaya. Jangan sampai, benda-benda sejarah tersebut telantar karena kurangnya anggaran perawatan. Begitupun dalam merawatnya supaya juga diperhatikan pemakaian bahan dan materialnya agar jangan sampai merusak wajah asli dari situs-situs tersebut. Kecuali bila memang keadaan mengharuskan untuk itu. Apabila hal tersebut dilakukan, niscaya situs-situs tersebut akan tetap ada sampai kapanpun, menjadi suatu kebanggaan dan kebudayaan yang harganya tak ternilai oleh apapun.

28 Daftar Pustaka

Ardana, I Gusti Gde. 1983. Penuntun ke Obyek-obyek Purbakala Sekitar Desa Pejeng, Bedulu, Gianyar. Penerbit PT. Mabhakti. Denpasar

Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Pustaka Larasan, Denpasar.

Pitana, I Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. BP. Denpasar.

Sachari, Agus. 2005. Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa Desain, Arsitektur, Seni Rupa dan Kriya. Erlangga. Jakarta.

Salain, Putu Rumawan. 2003. Buku Ajar Representasi Arsitektur Tradisional Bali. UPT. Penerbit Universitas Udayana. Denpasar.

Wardi, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Warisan Budaya Berwawasan Lingkungan: Studi Kasus Pengelolaan Living Monument di Bali. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi Ke XI. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Solo.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya

Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya