Penggunaan Budaya Populer Dalam Diplomasi Budaya Jepang Melalui World Cosplay Summit
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
PENGGUNAAN BUDAYA POPULER DALAM DIPLOMASI BUDAYA JEPANG MELALUI WORLD COSPLAY SUMMIT I Made Wisnu Seputera Wardana, Idin Fasisaka, Putu Ratih Kumala Dewi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Email: [email protected], [email protected], [email protected]. ABSTRACT Nowadays, every country in order to fulfill their national interest, they will not only focused on their military or economic power but also their cultural influence. The cultural aspect is viewed as one of power sources that have great influence. Japan is one of the countries that regularly do cultural diplomacy. Japan believes that cultural approachment could build a good relations between Japanand other countries. Recently,Japan’s cultural diplomacy tend to use it’s pop-culture such as manga, anime, fashion, cosplay or Japan’s popular music. One of Japan’s cultural diplomacy activities that using Japan’s popular culture is World Cosplay Summit (WCS). This research aimed to described Japan’s cultural diplomacy activity that using Japan’s popular culture to strengthened Japan’s positive image through WCS event that held in Nagoya in the year of 2003-2014 with refer to elements from soft power currencies concept. Keywords : Cultural Diplomacy, Soft Power Currencies, WCS, Japan 1. PENDAHULUAN dalam Nakamura, 2013: 4). Hal ini sekaligus Dewasa ini, dalam usaha mengejar menjadi penanda arah baru kebijakan luar kepentingan nasionalnya, negara-negara tidak negeri Jepang dari yang semula memfokuskan hanya menekankan pada kekuatan militer atau pada budaya tradisionalnya (Nakamura, 2013: ekonomi melainkan juga budaya. Joseph, S. 4). Nye, Jr. (2004) menyatakan bahwa sumber Urgensi untuk menggunakan budaya kekuatan sebuah negara pasca Perang Dingin populer ini muncul setelah adanya tulisan dari tidak hanya bergantung pada kekuatan militer Douglas McGray pada tahun 2002 yang saja melainkan pada sumber lain seperti berjudul “Japan’s Gross National Cool” budaya dan kebiasaan yang disebut soft (Hayden, 2012: 78). Dalam tulisannya, power. Diplomasi dengan menggunakan Douglas McGray (2002) menyatakan bahwa media budaya kemudian dilakukan dengan secara perlahan pengaruh budaya Jepang berbagai cara seperti melalui pameran khususnya budaya populernya cukup budaya, pertukaran pelajar, penyebaran berkembang secara global mulai dari fashion, berbagai produk budaya suatu negara melalui film animasi, hingga musik populer. Salah satu beragam media seperti televisi maupun contohnya tampak dari jutaan remaja di Hong internet, dan lain-lain. Kong, Seoul, and Bangkok ingin meniru gaya Jepang merupakan salah satu negara fashion yang terbaru di Tokyo (McGray, 2002). yang gencar melakukan diplomasi budaya. Urgensi lain untuk menggunakan budaya Diplomasi budaya yang dilakukan oleh Jepang populer dalam diplomasi budaya Jepang pada era globalisasi ini cenderung muncul pada era globalisasi. Pada era menggunakan budaya populer (pop-culture). globalisasi, negara-negara khususnya di Berbagai produk budaya populer Jepang kawasan Asia dapat melakukan beragam seperti manga, anime, fashion maupun musik diplomasi budaya. Hal ini tidak dapat populer Jepang mulai menjadi perhatian dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi yang Ministry of Foreign Affairs Japan (Kementerian sangat pesat yang dialami oleh negara-negara Luar Negeri Jepang) sejak adanya perubahan di kawasan Asia (Ogura, 2009: 50). Salah satu struktur di dalam Kementerian Luar Negeri caranya adalah dengan menyebarkan Jepang. Perubahan struktur ini tampak dengan berbagai produk budaya seperti K-Pop (The didirikannya Public Diplomacy Department Korean Wave, 2011: 11 dalam Jang & Paik, (PDD) di dalam Sekretariat Kementerian Luar 2012: 196) dan Bollywood (Pillania, 2008: Negeri Jepang pada bulan Agustus tahun 116) ke berbagai negara. Adapun hal ini 2004. (Japan Diplomatic Bluebook, 2005:207 membuat citra Jepang sebagai negara satu- satunya yang ekonominya maju, demokratis Kementerian Luar Negeri Jepang. Hal ini dan menghargai tradisi leluhurnya menjadi tampak dari sponsorship yang diberikan oleh tidak jelas jika dibandingkan dengan negara- Kementerian Luar Negeri Jepang pada tahun negara lain di kawasan Asia (Ogura, 2009: 2006-2008 dan kemudian menjadi panitia 50). Sehingga, berbagai aspek ultra-modern eksekutif sejak tahun 2009. Selain itu, yang dimilikinya seperti anime, manga dan Kementerian Luar Negeri Jepang juga cosplay mulai menjadi fokus perhatian Jepang memberikan Foreign Minister’s Prize dalam (Ogura, 2008: 4). ajang ini sejak tahun 2007 (Ministry of Foreign Berbagai produk budaya populer Jepang Affairs Japan, 2013). seperti manga, anime, dan game sangat Menurut peneliti, WCS menjadi hal yang populer di seluruh dunia yang tersebar melalui menarik untuk diteliti guna mengetahui usaha beragam media seperti televisi, internet dan Pemerintah Jepang yang melakukan diplomasi lain-lain. Melalui berbagai produk budaya budaya melalui penggunaan budaya populer populernya, Jepang secara tidak langsung demi memperkuat citra positif Jepang. Hal ini memperkenalkan nilai-nilai serta budaya berimplikasi terhadap eksistensinya di dunia tradisional Jepang seperti penggunaan bahasa internasional dengan melibatkan para pemuda Jepang, penggunaan kimono, tarian bon odori, dari berbagai negara untuk mengasah semangat bushido, dan lain-lain. Hal ini kreativitas mereka dalam event WCS. mendapatkan respon yang baik yang ditandai dengan dibentuknya komunitas-komunitas 2. KAJIAN PUSTAKA pecinta budaya Jepang dan event-event yang menampilkan kebudayaan Jepang di berbagai 2.1 Tinjauan Pustaka negara khususnya budaya populer Jepang. Penelitian pertama yang akan Event-event tersebut sering menampilkan digunakan sebagai referensi adalah penelitian costume role-play atau lebih sering dikenal yang dilakukan oleh Stella Edwina Mangowal dengan cosplay. Cosplay merupakan pada tahun 2010 dengan judul “Soft Power semacam kegiatan para penggemar anime Jepang: Studi Kasus JENESYS (Japan-East dan atau manga yang dilakukan oleh individu Asia Network of Exchange for Students and atau kelompok dengan membuat dan Youths)”. Penelitian ini dijadikan salah satu mengenakan kostum dan berdandan meniru referensi karena memiliki kesamaan dalam hal karakter tertentu dari anime dan atau manga membahas diplomasi budaya yang dilakukan (atau game komputer, literatur, idol group , film oleh Jepang. Meskipun memiliki persamaan populer, atau ikon) dengan tujuan untuk dalam hal membahas diplomasi budaya yang menampilkannya di depan publik dan dilakukan oleh Jepang dan penggunaan melakukan pemotretan (Ahn, 2008: 55 dalam konsep soft power currencies, penelitian yang Aisyah, 2012: 10).. Istilah cosplay pertama kali dilakukan oleh peneliti memiliki perbedaan dari dimunculkan oleh Nobuyuki Takahashi, segi konteks. presiden dari Studio Hard pada tahun 1983 (J- Konteks yang dimaksud disini yaitu lebih POPCON, 2015). Kemunculan cosplay tak fokusnya peneliti pada event WCS sebagai dapat dilepaskan dari menyebarnya anime dan upaya diplomasi budaya Jepang pada level manga ke seluruh dunia karena banyak orang global demi memperkuat citra positif Jepang di yang merasa bahwa tidak cukup hanya dunia internasional. Adapun penelitian dari dengan “menonton anime” ataupun “membaca Stella Edwina Mangowal (2010) lebih manga” saja melainkan juga mencoba untuk memfokuskan pada dampak dari program bertindak seperti karakter yang disukainya JENESYS sebagai upaya Jepang membangun (World Cosplay Summit, 2014a). citra positif di Indonesia dan mengkhususkan World Cosplay Summit (WCS) pada program tipe pertama. Program tipe merupakan salah satu event tersebut. WCS pertama pada JENESYS yaitu diundangnya pertama kali diselenggarakan pada tahun para pelajar dari negara-negara anggota East 2003 yang ditandai dengan diundangnya lima Asian Summit (Association of South East orang cosplayer dari tiga negara yaitu Jerman, Asian Nations (ASEAN), Australia, Tiongkok, Italia dan Prancis ke sebuah program yang India, Selandia Baru dan Korea Selatan) oleh ditayangkan di TV Aichi yang berjudul “Manga Pemerintah Jepang. Pada segi pembedahan is the Common Language of the World”. World konsep soft power currencies, peneliti juga Cosplay Championship atau kejuaraan dunia memiliki perbedaan dengan penelitian Stella cosplay yang diadakan sejak tahun 2005 pun Edwina Mangowal. Penelitian yang dilakukan kemudian menjadi bagian dari event WCS oleh Stella Edwina Mangowal lebih (Ministry of Foreign Affairs Japan, 2013). menitikberatkan pada pembangunan citra WCS juga merupakan bagian dari Pop- Jepang sebagai negara yang mencintai Culture Diplomacy yang dilakukan oleh lingkungan dan alamnya. Peneliti sendiri lebih menekankan pada penguatan citra positif budaya populer merupakan budaya yang Jepang sebagai negara yang menghargai dihasilkan untuk dikonsumsi secara massal. kebebasan berekspresi yang ditunjukkan oleh Konsep budaya populer memiliki cosplay. relevansi dengan penelitian ini karena cosplay Penelitian kedua atau terakhir yang akan merupakan salah satu praktek atau tindakan digunakan oleh peneliti sebagai referensi yang dapat digolongkan ke dalam budaya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yolana populer. Cosplay merupakan praktek dari Wulansuci pada tahun 2010 dengan judul budaya populer yang dinikmati dan disukai “Budaya Populer Manga dan Anime Sebagai oleh banyak orang. Hal ini dapat dilihat dari Soft Power Jepang”. Penelitian ini dijadikan banyaknya orang yang datang dan peneliti sebagai referensi karena memiliki berpartisipasi pada berbagai event-event kesamaan dalam hal membahas penggunaan kebudayaan Jepang