<<

JURNAL LONTAR VOLUME.8 NOMOR 2 EDISI JULI¬-DESEMBER 2020

The Commodification of Religion in Fashion (Norman Fairclough’s Critical Discourse Analysis on ‘Keepers of The Deen’ Clothing)

Komodifikasi Agama pada Produk Fashion(Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough pada Desain Kaus‘Keepers of the Deen’)

1 2 Yoga Walanda Caesareka , Catur Nugroho, S.Sos, M. Ikom. ¹,²Ilmu Komunikasi, Telkom University Email: ¹ [email protected], ² [email protected]

ABSTRACT This study uses the Norman Fairclough Critical Discourse Analysis approach, to describe discourse and ideology and religious practices that come into contact with popular culture. The object of this study focuses on the brand Keepers of the Deen products that delivers religious messages through adopting popular culture styles and designs. Basically, the activity of capitalism in popular culture is an inevitable matter; the two elements are joined together, supporting, overlapping, in everyday life. In addition, it is not surprising that this form of capitalism is increasingly developing in welcoming technological and communication advances, one of which is commodification, which then continues to respond and be responded to by various lifestyles of contemporary society. Consequently, it becomes a dilemma when spiritual activities and religious practices taking advantage of more popular approach through fashion. Keepers of the Deen becomes a proof that religious preaching is flexible and fluid accordingly as the time changes. This phenomenon needs to be critically analyzed, despite conveying religious values and messages, they are trapped in the commodification of signs and symbols that are sacred. In the end, the commodification of religion is a recent portrait of capitalism and is often found in contemporary life.

Keyword: Commodification, religion, Critical Discourse Analysis, Fashion, Keepers of the Deen.

ABSTRAK Penelitian ini menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis model Norman Fairclough, untuk menggambarkan wacana dan ideologi serta praktik-praktik agama yang bersentuhan dengan budaya populer. Objek terfokus pada desain produk-produk kausKeepers of the Deen, yang mana sangat bermuatan pesan-pesan dakwah, sekaligus mengadopsi gaya-gaya dan bentuk budaya populer. Pada dasarnya, aktivitas kapitalisme pada budaya - budaya populer, merupakan sebuah hal yang tidak bisa dihindarkan; kedua unsur tersebut saling menyatu, mendukung, tumpang-tindih, dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, tak heran juga jika bentuk kapitalisme tersebut semakin berkembang dalam menyambut kemajuan teknologi dan komunikasi, salah satunya yakni komodifikasi, yang kemudian terus merespon dan direspon oleh berbagai gaya hidup masyarakat kontemporer. Kondisi dilematis muncul ketika semua hal tersebut beriringan dengan aktivitas spiritual atau dalam praktik-praktik beragama, salah satunya adalah dakwah, terutama dengan menggunakan sebuah medium atau gaya yang lebih populer, seperti menggunakan kebutuhan sandang atau fashion. Termasuk Keepers of the Deen, pada akhirnya merupakan sebuah bukti bahwa karakteristik dakwah adalah fleksibel dan cair, serta dapat mengikuti kondisi sebuah zaman. Akan tetapi, kondisi tersebut perlu dicermati ulang secara kritis, terlebih jika sudah terjerat dalam “logika kapitalisme” yang merupakan keniscayaan dalam budaya populer serta praktik komodifikasi yang lebih mutakhir.

Kata Kunci: Komodifikasi, Agama, Analisis Wacana Kritis, Fashion, Keepers of the Deen.

JURNAL LONTAR VOLUME.8 NOMOR 2 EDISI JULI¬-DESEMBER 2020

PENDAHULUAN dakwah juga memiliki evolusi bentuk yang sangat panjang dari zaman Nabi Muhamad SAW, mulai dari Pada dasarnya, aktivitas kapitalisme pada menggunakan surat lisan, menggunakan tukang budaya budaya populer, merupakan sebuah hal yang cerita, menyisipkan pada ilmu pengetahuan, hingga tidak bisa dihindarkan; kedua unsur tersebut saling berkembang pada era yang lebih kontomporer dan menyatu, mendukung, tumpang-tindih, dalam populer yakni menggunakan media-media pada kehidupan sehari-hari. Selain itu, tak heran juga jika budaya populer seperti televisi, film, stiker, hingga bentuk kapitalisme tersebut semakin berkembang fashion. Penggunaan media baru tersebut merupakan dalam menyambut kemajuan teknologi dan strategi baru dan dimanfaatkan untuk terus komunikasi, salah satunya yakni aktivitas melakukan kegiatan dakwah (Dahlan, 2015). komodifikasi, yang kemudian terus merespon dan Sesuai dengan kalimat diatas, jika diris dengan direspon oleh berbagai gaya hidup masyarakat budaya populer, maka sifat fleksibel dan dinamis kontemporer. Pengertian komodifikasi menurut Sari merupakan keniscayaan yang hadir dalam setiap (2015) adalah proses transformasi sebuah objek bentuk aktivitas dakwah. Salah satunya melalui seperti barang dan jasa beserta nilai gunanya (use budaya fashion sebagai kebutuhan sandang, yang value) yang melekat, menjadi sebuah komoditas yang kini sering kita temukan pada bisnis online di mempunyai nilai jual dan nilai tukar di pasar. Instagram. Beberapa segmen produk yang dihasilkan Komodifikasi sebagai sebuah proses transformasi biasanya merupakan bagian dari budaya populer dari nilai guna ke nilai jual (Aprianti, 2013), dengan seperti kaus sablon, topi, hingga jaket, yang kata lain, komodifikasi adalah suatu bentuk menggunakan atmosfir dan pesan-pesan agama. Ini transformasi dari hal-hal yang seharusnya terbebas yang dilakukan oleh perusahaan Keepers of the Deen, dari unsur-unsur komersial menjadi suatu hal yang dimana produknya juga mengadopsi atmosfir agama dapat diperdagangkan. Jika ditelaah, adanya sebuah dan dakwah dalam fashion. kondisi dimana sebuah objek yang tidak memiliki Selain itu, Keepers of the Deen menjadi salah nilai ekonomi, memiliki sebuah nilai yang dapat satu contoh aplikasi dakwah dalam produk-produk diperjualbelikan, atau menjadi sebuah komoditas. fashion secara, spesifik kaus-kausnya merupakan Komodifikasi dilakukan dengan tujuan mendapatkan motif dan adopsi dari seni-seni populer dengan kesan keuntungan yang besar dari jumlah konsumsi, sesuai ataupun nuansa . Memberikan pendekatan yang dengan konsep dan ideologi kapitalisme. lebih populer dan berbeda dari Fenomena komodifikasi ini juga dapat cinderamata/merchandise Islami lainnya, terutama ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dengan gayanya yang menggunakan parodi dari dalam lingkup yang sakral, seperti agama. Misalnya, berbagai merek produk budaya populer dari luar dalam penelitian berjudul “Komodifikasi Agama dan negeri, membuat produknya menarik untuk ditelaah Kapitalisme: Studi atas Acara Religi dalam lebih lanjut. Keepers of the Deen memiliki 17.900 Tayangan Kata Ustadz Solmed” oleh Nurul Anam followers di akun Instagram-nya (2016), dijelaskan bahwa adanya sebuah “revolusi (@kotd.muslimhood). Hal unik lain dari brand besar-besaran terhadap sebuah kegiatan agama”. tersebut yaitu desain produk yang dikemas secara Ceramah-ceramah yang pada biasanya disampaikan menarik dengan kosnep parodi dengan motif populer, di masjid, kini dapat ditemukan dan dinikmati pada beberapa desain kaus juga yang mengangkat tayangan televisi dan mudah diakses. Jika dikaji semangat anak muda. secara lanjut, adanya sebuah motif bagaimana media Mengingat hal tersebut, konsekuensi adalah atau pemilik modal, menggunakan unsur agama berupa kebebasan berekspresi yang memunculkan untuk mendapatkan minat dari penonton atau praktik-praktik agama di ruang publik yang konsumen media televisi. Dalam fenomena tersebut menunjukan simbol-simbol agama. Juga ditandai juga, dapat dilihat bagaimana ceramah agama dengan meningkatnya jamaah keagamaan, ekspansi dibungkus dengan tujuan mendapatkan nilai simbol, pakaian, dan idiom agama di ruang publik keuntungan dari banyaknya audiens yang menonton (Saputra G. , 2016). Disamping itu, berkembangnya acara tersebut. Menurut penelitian Anam (2016) era globalisasi dan modernitas Barat yang ditandai tersebut, ceramah agama telah mengalami dengan maraknya pusat-pusat perbelanjaan, kafe- komodifikasi, sebab tujuan utama statisiun televisi kafe, mall, atau restoran; memunculkan sisi lain tersebut adalah tak lain dari mencari nilai keuntungan praktik kapitalisme yang lebih hebat dan melakukan ekonomi atau pun rating dengan tujuan aktivias penetrasi terhadap terhadap budaya populer. Dari pengiklanan. fenomena di atas, kita mengerti bahwa adanya Aktivitas dakwah, merupakan motif awal yang distorsi antara use value dan symbolic and sign value dilakukan dari kondisi tersebut. Pada dasarnya, (Pawanti, 2013). Elemen yang menggunakan atau dakwah merupakan kewajiban dalam ajaran Islam menjual fashion sebagai dakwah dan ibadah, bisa (Dahlan, 2015). Dakwah memiliki fungsi yang sangat menjadi sesuatu yang “salah kaprah.” banyak dan beragam, namun jika disimpulkan, Aktivitas bisnis, apapun bentuknya, kini sering dakwah berfungsi untuk menciptakan peluang bagi ditemukan mengangkat hal-hal yang berbau orang lain, sehingga terdorong untuk meyakini, keagamaan. Budaya populer yang semakin mutakhir mengerti, dan memahami hidup secara Islami. Proses dapat terus beriringan dengan agama dan aktivitas

Copyright © 2020, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | JURNAL LONTAR VOLUME.8 NOMOR 2 EDISI JULI¬-DESEMBER 2020

dakwah. Segala jenis produk tersebut, melahirkan sebuah budaya yang hadir sebagai pelengkap eksistensi, petarungan identitas, dan sebatas ruang representasi (Syah, 2013). Maka agama yang Tabel 1 dikemas oleh budaya tersebut, juga berpotensi menjadi sebagai produk komoditas. Pada gilirannya Objek Penelitian telah melahirkan bentuk sensibilitas dan semangat No Objek Produk Keterangan religius yang secara tidak disadari telah berubah (Teks) menjadi bagian dari industri dan konsumsi gaya 1 Baju dengan nama produk hidup. Sensibilitas keagamaan telah menjalani “Defend Al-Aqsa” yang komodifikasi di pentas konsumsi massa yang merupakan parodi dari produk dikontruksi dalam pola kehidupan masyarakat. fashionDEFENDPARIS.

Untuk lebih memahami kondisi tersebut, peneliti 2 Baju dengan nama produk menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis “Khalifah” yang merupakan model Norman Fairclough. Secara hemat, Analisis parodi dari logo band Ramones. Wacana Kritis melihat bahasa dan teks, menjadi sebuah struktur yang membentuk, sekaligus hasil yang dibentuk oleh struktur sosial (Udasmoro, 2018). 3 Baju dengan nama produk Bahasa dan teks tersebut merupakan sebuah objek, “#ISLAMFORLIFE”. atau dalam Keepers of the Deen adalah produk- produk kausnya, yang tentunya mempunyai pesan, ideologi, dan motif tertentu dalam sebuah kehidupan 4 Baju dengan nama produk masyarakat. Bahasa dan teks tersebut tidak hanya “Bandung vs Liberalism” yang dibentuk, namun juga membentuk dan memiliki merupakan parodi dari model potensi besar dalam menggambarkan segala fashionbaju Toronto vs konstruksi dan ketimpangan sosial. Melalui Everybody dan Detroit vs pendekatan ini, peneliti memiliki 2 tujuan utama Everbody. yaitu: 1) Menyimpulkan bagaimana praktik 5 Baju dengan nama produk komodifikasi aga pada produk-produk Keepers of “Sunnah Beard” yang The Deen, dan 2) Menganalisis karakter dakwah dan merupakan parodi dari karya bagaimana Keepers of The Deen membungkus hal Pop Art oleh seniman Shepard tersebut dalam aktivitas ekonomi dengan mengadopsi Fairey. budaya populer. 6 Baju dengan nama produk “Tawheed” yang merupakan parodi dari desain produk street METODE PENELITIAN fashion dan majalah Trashers Magazine. Penelitian ini merupakan kualitatif menggunakan Analisis Wacana Kritis Norman Sumber: Olahan Peneliti, 2020 Fairclough. Dalam teori analisis wacana kritis oleh Norman Fairclough, perlu menentukan unsur dimensi Mikrosturuktural, yakni sebuah teks yang diproduksi Selain itu, peneliti juga mengambil data oleh produsen wacana, yang nanti juga akan sekunder dari beberapa wawancara langsung dengan dianalisis dalam dimensi Mesostruktural, yakni tahap beberapa narasumber. Menurut Udasmoro Praktik Wacana dan Makrostruktural, yakni tahap (2018:XVII), proses untuk mendapatkan gambaran Sosiokultural. Maka dari itu, fokus objek penelitian mengenai wacana, bisa menggunakan metode bermula pada beberapa produk fashion yang dibuat wawancara pada informan (triangulasi), dengan oleh Keepers of the Deen. Produk-produk tersebut maksud mendapat referensi data tambahan dan merupakan hasil produksi utama dari perusahaan penjelasan dari berbagai pihak agar memperoleh Keepers of the Deen, yakni baju/kaus yang gambaran atau informasi yang komperhensif, bertemakan parodi dari beberapa logo brand misalnya terkait hubungan kekuasaan dibalik wacana terkenal, atau beberapa band dan grup musik. Satuan atau institusi lain yang terikat pada produsen wacana. dan bentuk objek penelitian akan ditampilkan secara Proses wawancara tersebut bukan untuk lengkap pada Tabel 1. Selain itu, peneliti juga memfinalisasi atau membakukan informasi, tapi mengacu pada sosial media Keepers of The Deen hanya sebatas menjelaskan hubungan antara satu yang digunakan dalam aktivitas penjualannya, seperti aspek dengan aspek lain (seperti profil perusahaan, Instagram dengan username @kotd.muslimhood dan keterangan produk, wacana, atau ideologi) dan perlu @kotd.stockroom, laman utama ada peninjauan kembali oleh peneliti.Data dari keeepersofthedeen.com, serta Twitter dengan wawancara tersebut bukan untuk memfiksasi makna username @KOTD_muslimmerch. dan interpretasi dari peneliti, tetapi untuk membantu dalam menghubungkan aspek-apek lain, seperti

Copyright © 2020, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | JURNAL LONTAR VOLUME.8 NOMOR 2 EDISI JULI¬-DESEMBER 2020

ideologi, budaya, sosial, politik, dan lain-lain. Maka menganalisis dalam cakupan yang lebih makro, yakni dari itu, keterangan dari informan dapat dijadikan melihat bagaimana situasi, kondisi, dan dinamika sebagai sarana dan sumber informasi tambahan, atau pada saat produsen teks mengeluarkan produk- untuk membantu dalam uji keabsahan data. Dalam produknya. Analisis tersebut juga meninjau pada sisi penelitian ini, narasumber yang dituju adalah Deri budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain, terutama Pribadi Aska, pemilik perusahaan Keepers of The yang berhubungan dengan aktivitas Keepers of the Deen dan Deni Ahmad Haedar, ketua PW GP Ansor, Deen. Setelah melalui tahap dimens-dimensi Jawa Barat. tersebut, peneliti membahasnya berdasarkan teori terkait.

1. Teks (Analisis Mikrostruktural) HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam Analisis Wacana Kritis model Norman Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough Fairclough, dimensi Mikrosturktural atau Teks berfokus pada sebuah objek yang diasumsikan merupakan tahapan utama, untuk mengamati wacana mempunyai sebuah wacana atau bermuatan ideologi. yang hadir dalam sebuah fenomena. Menurut Berangkat dari argumen tersebut, maka peneliti perlu Eriyanto (2011:289), sebuah teks bukan hanya menentukan objek yang akan dianalisis, yakni menunjukan bagaimana suatu objek digambarkan, produk-produk fashionKeepers of the Deen tetapi juga melihat bagaimana antarobjek (produsen teks) yang mengandung pesan-pesan didefiniskan. Tahap ini juga mencoba melihat dakwah agama dan mengadopsi gaya budaya bagaimana ideologi dan wacana hadir dalam setiap populer. Meninjau pada bab-bab sebelumnya, hubungan antarobjek (dalam teks). Pada tahap ini, peneliti sudah memilih beberapa kausKeepers of the objek dan hubungan antarobjek dalam teks, dianalisis Deen. Produk kaus tersebut diunggah dalam akun menggunakan pendekatan Anak Kalimat dan Instagram @kotd.muslimhood, selain itu juga Kombinasi Anak Kalimat, dengan melihat kosakata, terdapat pada website Keepers of the Deen semantik, dan sintaksis. Dalam perspektif Analisis (www.keepersofthedeen.com). Dalam Analisis Mikrostruktur Norman Fairclough, tahap ini disebut Wacana Kritis Norman Fairclough, kaus-kaus yang dengan istilah Representasi. Hasil analisis teks dapat dipilih tersebut merupakan sebuah teks yang akan dilihat pada tabel 2. dianalisis dalam dimensi Mikrostruktural. Setelah menganalisis pesan-pesan pada teks, peneliti menentukan wacana dan ideologi yang terkandung teks tersebut; tahap ini masuk dalam dimensi Praktik Wacana atau Mesostruktutral. Setelah itu, peneliti

Tabel 2 Hasil Analisis Teks

No Produk Anak Kalimat Kombinasi Anak Kalimat Kosakata Keterangan Kalimat Kosakata 1 Defend Al-Aqsa Defend Menerangkan arti “menjaga” DefendAl-Aqsa Mempunyai pesan atau mempertahankan. kampanye mengenai Al-Aqsa Masjid al-Aqsa adalah salah dukungan umat satu masjid yang sakral bagi Muslim pada konflik Islam. Islam menganggap yang terjadi antara Yerusalem, tempat masjid ini Palestina dan Israel. berada, sebagai suatu tempat Menurut Fatah suci karena disinilah Masjid al- (2017), peristiwa ini Aqsa berada dan menjadi kiblat menjadi kajian pertama kaum muslimin konflik yang tak sebelum Ka’bah. Masjidil Aqsa pernah kunjung juga merupakan titik selesai sampai detik keberangkatan ini; baik secara SAW menuju langit ke-7, isra historis, agama, dan mi’raj (Fatah, 2017) politik,mengingat perebutan Yerusalem antara Israel dan Palestina terus saja terjadi. 2 Khaifah Khalifah Khalifah disebut sebanyak 127 Khalifah Abu Bakar, Kosep Khalifah kali dalam Al-Quran, yang Ummar, Utsman, Ali diterangkan dalam berarti: menggantikan, beberapa ayat-ayat meninggalkan, pengganti, atau Al-Quran, antara lain: pewaris.(Zuhdi, 2014) Al-Baqarah:30, Al-

Copyright © 2020, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | JURNAL LONTAR VOLUME.8 NOMOR 2 EDISI JULI¬-DESEMBER 2020

Abu Bakar Nama Khalifah Abu Bakar Ash- A’raf:69, Al- Shidiq An’am:165. Ayat Ummar Nama Khalifah Ummar bin tersebut Khattab menggambarkan Utsman Nama Khalifah Utsman bin bahwa konsep Affan Khalifah mencakup Ali Nama Khalifah Ali bin Abi kepemimpinan pada Thalib diri sendiri dan juga berlaku dalam memimpin umat. (Zuhdi, 2014). Khalifah sering juga disebut Sahabat Nabi. 3 #ISLAMFORLIFE Islam Menerangkan agama Islam. Islam for Life Menerangkan bahwa (#ISLAMFORLIFE) Islam merupakan Life Menerangkan “Hidup” atau sebuah agama, “Jalan Hidup” sebuah jalan hidup. Dibuat dengan model tagar yang populer digunakan di jejaring sosial dan digital. Dalam produknya, juga dicantumkan Q.S. ʾĀli Imrān:19. Keepers Menerangkan “Penjaga” atau Keepers of the Deen Menerangkan “Pemelihara” “Penjaga Din” atau Deen Menerangkan “Din” yang “Pemelihara Din”. bermakna kekaisaran, Dalam menjalankan kedaulatan, atau pengabdian. ajaran Islam, harus Dilansir dari Din bermakna menjunjungtinggi ketaatan dan ketundukan dalam kerelaan dan menjalankan agama(Gardet, keikhlasan. 2012). Dalam konteks Islam, kata ini bermakna cara hidup yang harus diadopsi oleh umat Islam untuk mematuhi hukum ilahi, yang mencakup keyakinan, karakter, dan perbuatan. 4 Bandung Menerangkan daerah atau kota Bandung “versus” Sebuah kampanye Bandung, Jawa Barat. Liberalisme bahwa kota Bandung versus Menerangkan “lawan” atau melawan semangat “melawan”. dan ideologi Liberalism Menerangkan paham liberalisme; Bandung liberalisme. Secara dasar, melawan sebuah liberalisme merupakan ideologi ideologi yang hasil modernisasi barat dan menjunjung tinggi globalisasi, yang menolak kebebasan dan hak bahwa sebuah individu diatur hidup individu, sesuai oleh kekuatan diluar dirinya. dengan cita-cita ideal Menurut Bakar (2012: 138), liberalisme klasik. liberalisme klasik mempunyai cita-cita bahwa individu mempunyai kebebasan penuh dalam mengatur kebebasan dirinya serta menolak apapun yang menjadi penghalang bagi kebebasan tersebut. Liberalisme juga berfokus terhadap penghargaan dan menjunjung tinggi kebebasan dan hak individu; bahwa hal tersebut merupakan langkah untuk menciptakan kondisi masyarakat yang ideal. Teehankee dalam Bakar (2012: 138), menjelaskan bahwa

Copyright © 2020, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | JURNAL LONTAR VOLUME.8 NOMOR 2 EDISI JULI¬-DESEMBER 2020

terdapat enam prinsip dasar oleh penganut liberalisme, yakni: individualisme, rasionalisme, kebebasan, tanggungjawab, keadilan, dan toleransi. 5 Sunnah Sunnah Sunnah merupakan hal-hal yang dikerjakan Rasulullah Muhammad SAW dan dijelaskan dalam Hadist. Hadist itu sendiri merupakan sabda, perbuatan, dan ketetapan Muhammad SAW (Akbar, 2018). Gambar visual tersebut merupakan “Jenggot” atau rambut halus pada kedua pipi dan dagu. Berhubungan pada anjuran Sunnah untuk memelihara jenggot. Maka dari itu, gambar visual itu menerangkan bahwa memelihara jenggot merupakan Sunnah Rasulullah SAW. 6 Tawheed for Life Tawheed Menerangkan “Tauhid”, yang Tawheed for Life Menerangkan bahwa secara umum mempunyai Tauhid merupakan definisi meng-esakan Allah, keniscayaan atau tidak menerima segala sebuah hal yang persamaan pada zat Allah, baik menjadi keharusan sifat maupun perbuatan-Nya bagi umat Muslim. (Wahidin, 2014) Menurut Fauzan dalam Rismawati (Rismawati, 2016), Tauhid memiliki tiga bentuk, yakni: Ar- Rububyah, yaitu mengesakan dan mentauhidkan Allah dengan segala perbuatan-Nya. Al- Uluhiyah, yaitu menaati perintah, meninggalkan larangan, dan takut terhadap-Nya. Al- Asma’ Waash-shifat, yaitu mengesakan dan mengakui Allah dalam hal nama- nama dan sifat-sifat- Nya, serta meyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan segala makhluk dan juga kekurangan. Sumber: Olahan Penulis, 2020

2. Praktik Wacana (Analisis Mesostruktural) yang berhubungan dengan aktivitas produksi dan distribusi wacana(Cenderamata & Darmayanti, Setelah dimensi teks, tahap selanjutnya adalah 2019). Perlu juga mengamati pola-pola Keepers of dimensi Praktik Wacana atau Mesostruktural. the Deen dalam mengiklankan produk-produknya, Dimensi ini fokus mengamati terhadap wacana yang serta wacana yang terbentuk dari setiap produk- terbentuk dari dimensi teks. Proses tersebut yakni produk yang dihasilkannya (dalam dimensi melakukan interpertasi (penafsiran) terhadap Mikrostuktural). pemrosesan dan produksi setiap wacana, misalnya rutinitas dan pola pembentukan teks, proses a) Defend Al-Aqsa penggunaan dan penyebaran wacana, serta hal lain

Copyright © 2020, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year))

Mengacu pada dimensi Mikrostruktur, kaus pasca wafat, yakni: Abu Bakar Ash Shiddiq, ini memiliki wacana kampanye dukungan umat Ummar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Muslim kepada Palestina, dalam peristiwa Abi Thalib. 4 orang tersebut masuk pada periode konflik Israel dan Palestina. Sebelumnya perlu Khulafaur Rasyidin, yang secara periodik diketahui bahwa Masjidil Aqsa atau Baitul memimpin Islam pasca-Muhammad SAW. Maka Maqdis merupakan sebuah bangunan yang representasi pada kaus tersebut adalah wacana mempunyai sejarah cukup panjang bagi umat kecintaan umat Muslim terhadap Khalifah atau Islam, salahsatunya adalah merupakan titik awal keempat sahabat Nabi tersebut. pemberangkatan Nabi Muhammad SAW dalam Namun hadir potensi wacana lain yakni perjalanan Isra Miraj, menuju Sidratul Muntaha, terhadap semangat pembentukan negara atau langit ke-7. Dalam tahap Mikrostuktur, juga Khilafah. Sebagaimana sebuah sistem atau dibahas bahwa Masjidil Aqsa merupakan kiblat model pemerintahan yang berpusat pada satu pertama sebelum Ka’bah(Fatah, 2017). pemimpin, atau Khalifah itu sendiri. Khilafah Masjidil Aqsa memang tidak pernah merupakan kepemimpinan umum untuk umat terhindar dari perebutan kekuasaan di Islam di dunia, yang bertujuan menegakan Yerusalem. Dilansir dari berita Kumparan, pada syari’at Islam dan mengembangkan dakwah 23 Juli 2017 yang berjudul “9 Fakta Al-Aqsa agama islam ke seluruh dunia. Hal ini juga dan Konfliknya yang Perlu Kamu Tahu”, yang merupakan gagasan yang didasari pada berisi ketegangan konflik Israel dalam upaya “kerinduan” pada masa kegemilangan Islam di mengambil alih Masjidil Aqsa yang berada di zaman Khalifaur Rasyidin atau 4 sahabat Jerusalem. Dalam berita tersebut, menyebutkan Nabi(Fitriono & Suhono, 2017). Dalam hal ini, bahwa selama sepekan bentrokan antara Israel karakteristik dalam sistem Khilafah yang bersifat dan Palestina terus terjadi, karena tentara Israel homogenseperti menolak kolonialisme dan menutup akses ke Masjidil Aqsa, hal tersebut hegemoni budaya serta produk-produk barat, juga yang menjadi sorotan bagi dunia beberapa kali ditunjukan melalui kampanye- internasional. Dalam merespon ini, Keepers of kampanye lain yang dilakukan oleh Keepers of the Deen merilis kaus bertajuk Defend Al-Aqsa the Deen. Seperti misalnya kampanye untuk yang menjadi parodi dari brand melawan ideologi sekulerisme, pluralisme, dan DEFENDPARIS. Menurut Deri, pemilikKeepers liberalisme padakaus“Bandung versus of the Deen, kaus ini merupakan kampanye Liberalisme.” Kondisi ini menggambarkan dalam merespon isu invasi Israel terhadap bahwa Keepers of the Deen memiliki wacana Masjidil Aqsa, yang saat itu sempat teralihkan dan ideologi yang serupa dalam beberapa produk pada dunia internasional, terhadap berita fashion-nya. penembakan di Paris. Penembakan yang dimaksud adalah peristiwa yang terjadi pada 13 c) #ISLAMFORLIFE November 2013 di Saint-Denis, Paris dimana Mengacu pada dimensi teks, kaus tiga bom bunuh diri diledakan ketika #ISLAMFORLIFE menyampaikan pesan bahwa pertandingan sepak bola yang kemudian diikuti agama Islam merupakan sebuah way of life atau oleh beberapa penembakan dan bom bunuh diri sebuah pandangan bagi kehidupan individu di sejumlah kafe dan restoran sesuai dilansir oleh muslim. Pesan lain yaitu kewajiban umat The Wall Street Journal (Chow & Kostov, Muslim untuk menjaga ibadah dan keutuhan 2015). Maka kaus tersebut dibuat juga bertujuan agama Islam. Melihat pesan-pesan tersebut, untuk “mengingatkan” atau merespon adanya sebuah semangat atau kampanye untuk pengalihan isu terhadap tragedi konflik umat menegakan nilai-nilai agama Islam.Ditambah Muslim, pada peristiwa Israel dan Palestina dengan karakter hashtag atau tagar, yakni simbol # yang diletakan sebelum kalimat b) Khalifah (#ISLAMFORLIFE). Tagar dalam teori media Mengacu pada dimensi Mikrostuktur, sosial merupakan salah satu jenis penanda sosial bahwa kaus ini setidaknya memiliki 2 pesan atau social bookmarking(Nuswantara, 2019). representasi, yakni: pesan kecintaan terhadap Tagar pertama kali digunakan sebagai sebuah sahabat Muhammad SAW atau Khalifah, atau penanda dalam media sosial pada tahun 2003 wacana terhadap pembentukan negara, dengan kehadiran situs Delicious (del.icio.us) sebagaimana negara yang diatur oleh satu (Chang, 2010). Perkembangan penggunaan tagar pemimpin umat. Dalam poster kaus ini, Keepers ini kemudian menjadi semakin populer sejak of the Deenmencantumkan sebuah hadist yang tanggal 1 Juni 2009 saat Twitter secara resmi berhubungan dengan wacana tersebut. Khalifah menautkan semua kata yang didahului tanda yang diterangkan pada pada dimensi pagar (#) kedalam tautan lain yang juga Mikrostruktur, yakni berarti pengganti, menggunakan tagar yang . Sejak saat itu menggantikan, atau pewaris (Zuhdi, 2014). lah, tagar berfungsi sebagai suatu sign system Khalifah yang dimaksud yakni sahabat yang dalam perkembangan budaya siber. Fungsi tagar menggantikan atau penerus Muhammad SAW kemudian berkembang tidak sebatas untuk

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 6 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year))

perihal pemasaran produk, tapi mengkategorisasi tinggi dalam kebebasan berpikir. Liberalisme konten, memudahkan dalam pencarian sebuah klasik mempunyai cita-cita bahwa individu konten dalam topik tertentu, memperluas mempunyai kebebasan penuh dalam mengatur jangkauan; ternyata, tagar juga dapat berfungsi kebebasan dirinya serta menolak apapun yang untuk kampanye atau menggerakan massa. menjadi penghalang bagi kebebasan tersebut Beberapa fenomena tagar yang menjadi trending (Bakar, 2012). Hal itu merupakan hasil dari topic di media sosial, juga digunakan untuk corak pemikiran modernisme barat yang menggerakan massa terhadap isu dan situasi menolak segala apapun yang mengatur atau tertentu. Seperti #PrayForLombok pada Agustus menguasai setiap pemikiran individu yang 2018 silam, yang digunakan untuk menarik berasal dari luar dirinya. simpati dan empati publik terhadap bencana Penjelasan singkat diatas merupakan hal yang menimpa kota Lombok. yang “dilawan” melalui pesan dalam kaus Begitu pula dengan #ISLAMFORLIFE tersebut. Terutama kalimat “Bandung versus mempunyai pesan wacana untuk disampaikan ke Liberalisme” yang menitikberatkan pada publik mengenai gerakan-gerakan dan semangat penolakan kota Bandung terhadap ideologi atau ajaran Islam. Sebagaimana pesan yang gerakan liberalisme. Persitiwa ini juga direpresentasikan pada dimensi Analisis dipublikasikan dalam berita Info.Bdg Mikrostruktur dalam media sosial populer (infobdg.com) pada 13 Februari 2019 yang seperti Instagram dan Twitter, tagar ini sering berjudul “Masyarakat Jawa Barat Peduli Negeri digunakan oleh umat Islam untuk berbagi ayat- Gelar Aksi Damai Tolak ayat, pemikiran dan ajaran Islam. Dari Liberalisme”(Kusumah, 2019). Berita ini berisi penjelasan tersebut, adalah sebuah langkah yang sebuah gerakan Aksi Damai Tolak Liberalisme, tepat bagi Keepers of the Deendalam yang merespon maraknya praktik kebebasan ala menyampaikan pesan dan ideologinya, terutama liberalisme di kota Bandung, yang sangat dalam wacana dan ideologi keislaman. Aktivitas bertentangan dengan ajaran Agama Islam. tersebut pada akhirnya juga merupakan sebuah Gerakan tersebut menolak sebuah fenomena bagian dari kegiatan dakwah, yakni seperti Hari Valentine dan LGBT. menyampaikan komunikasi yang berisi pesan- Dalam berita itu juga, disodorkan pesan agama Islam. Selain itu Keepers of the wawancara bersama Mashun Sofyan, Deenmenggunakan tagar ini sebagai identifikasi Koordinator Aksi Damai Tolak Liberalisme diri dan juga branding bisnis. Hal ini juga tersebut, yang berisi pesan bawah liberalisme berpotensi untuk membawa pengikut tagar ini merupakan ideologi yang lahir dari paham untuk terekspos dengan produk Keepers of the sekularisme yang berarti tidak mau diatur. Ia Deen. juga mengatakan bahwa aturan pelarangan penganutan ideologi liberalisme, diatur dalam d) Bandung vs Liberalism Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun Mengacu pada dimensi Analisis 2005. Selain itu, aksi damai juga bertujuan Mikrostruktur, wacana sangat kuat dihadirkan mengajak warga Jawa Barat untuk melawan pada kata “versus liberalism”. Juga diperkuat ideologi liberalisme karena bertentangan dengan terhadap motif yang diterangkan oleh caption ajaran agama Islam. Mashun juga mengimbau pada akun Instagram Keepers of the Deen, yakni warga Jawa Barat untuk tetap mengikuti ajaran "sebagai bentuk perlawanan kami terhadap Nabi Muhammad SAW untuk terhindar dari paham SEPILIS” atau yang dimaksud ideologi seperti liberalisme dan sekularisme. Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme. Sekularisme merupakan paham yang e) Sunnah Beard memisahkan peran agama dan hubungan Sunnah Beard adalah salahsatu produk kehidupan vertikal, dimana agama hanya Keepers of the Deen yang menggunakan adopsi mengatur hubungan horizontal, antara manusia dari karya Pop Art “OBEY” oleh seniman asal dan Tuhan(Hidayat, 2012). Selain itu juga Amerika Serikat yang bernama Shepard Fairey. menjelaskan bahwa pemisahan antara negara dan Akun utama Instagram Keepers of the Deen urusan beragama: bahwa negara merupakan (@kotd.muslimhood) mempublikasikanposter lembaga yang mengatur tatanan duniawi dan kaus tersebut pada 6 Juni 2015, dengan tajuk tidak ada hubungannya dengan persoalan agama “Coming Soon” atau akan segera dan akhirat. Pluralisme menjelaskan mengenai direalisasikan/dibuat, dan disusul dengan poster pandangan yang mempunyai berbagai macam penjualan utama pada 9 Juni 2015. Kaus ini landasan berpikir, dengan kata lain merupakan dijual dengan harga Rp 95.000. ideologi dengan landasan pemikiran yang lebih Meskipun tidak dilakukan re-issue, desain dari satu. Plural yang berarti “jamak”, tentunya kaus ini diproduksi pada awal terbentuknya menjunjung tinggi perbedaan dalam karakteristik Keepers of the Deen pada 2015, memiliki kata dan aspek-aspek dalam kehidupan. Sedangkan kunci wacana dan simbol yang sangat kuat, Liberalisme, merupakan sikap yang menjunjung yakni objek gambar “jenggot” yang diterangkan

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 7 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year))

dengan kata Sunnah. Hal itu merupakan anjuran menunjukan pesan ajakan untuk ber-Tauhid, Sunnah untuk memelihara jenggot, diterangkan atau juga bisa dikatakan bahwa Tauhid dalam beberapa hadist yaitu: HR. Muslim No. merupakan kewajiban bagi umat Muslim. 384, HR. Muslim No. 383, dan HR. Bukhari No. Wacana yang hadir dalam pesan pada kaus 5442, yang menyimpulkan bahwa memelihara ini merupakan sikap mengesakan Allah. jenggot merupakan Sunnah Rasulullah SAW. Sebagaimana yang dimaksud dari fungsi Tauhid (Akbar, 2018) itu sendiri adalah sikap untuk beriman Secara kasat mata, mungkin kaus tersebut sepenuhnya kepada Allah dan meyakini sifat- hanya merupakan sebuah penjelasan hukum sifat-Nya, serta percaya bahwa Allah Maha Suci Sunnah terhadap memelihara jenggot. Namun dari kemiripan segala makhluk. jika ditelaah, adanya wacana pengelompokan Dilansir dalam buku Beyond the Inspiration atau kategorisasi terhadap “memelihara jenggot” karya Felix Y. Siauw, yang juga dibahas dalam itu sendiri. Ditinjau dari Akbar (2018: 143), jurnal berjudul “Pendidikan Tauhid Melalui dalam sejarah kenabian, saat beperang melawan Metode Berpikir Rasional Argumentatif” orang kafir, Rasulullah SAW menganjurkan (Rismawati, 2016), menjelaskan tentang perintah kepada kaum muslim untuk mencukur habis Allah kepada manusia untuk menggunakan akal kumis dan memelihara jenggot. Dengan alasan sehatnya. Maka pendidikan atau sikap Tauhid tertentu, yakni membedakan kaum muslim dan membentuk pola pikir terhadap keesaan Allah kaum musyrik. Juga menurut HR. Muslim No. dan menghilangkan keraguan kepada agama 384 yang menerangkan: “10 perkara fitrah Islam itu sendiri. manusia; mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, memasukan air kedalam 3. Sosiokultural (Analisis Makrostruktur) hidung atau beristinsyaq, memotong kuku…”. Akbar (2018: 147-148) juga menerangkan Merujuk dari sumber, praktik Sosiokultur bahwa memelihara jenggot memiliki 2 faedah (Makrostruktural) merupakan dimensi yang yaitu menyelisihi atau mencari perbedaan di berhubungan dengan konteks di yang ada pada luar antara orang musyrik dan kesesuaian terhadap teks (Mikrostruktur) (Eriyanto, 2011). Dimensi fitrah. Makrostruktural berdasar bahwa konteks sosial yang Kembali kepada wacana pengelompokan, ada di Mikrostruktural sangat memengaruhi kaus ini merepesentasi sebuah pesan terhadap pembentukan sebuah wacana. Sosiokultural memiliki kategorisasi umat Islam. Pesan bahwa dengan tahap turunan, yakni: tahap situasional, institusional, memelihara jenggot merupakan sebuah Sunnah dan sosial, yang saling mempengaruhi dalam dan membedakan kategori “umat Islam” itu pembentukan sebuah wacana. sendiri. Secara tidak langsung wacana ini Pada tahap Situasional, yakni berkaitan dengan mempunyai potensi membentuk sebuah sub atau cara kerja produksi, motif, dan konteks situasinya. kelompok baru dalam masyarakat, yang tentu Tahap Institusional, berkaitan dengan pengaruh merepesentasikan kelompoknya dengan simbol subyek-subyek tertentu dalam produksi, atau sebuah “memelihara jenggot” itu sendiri. Namun jika institusi, baik secara internal ataupun eksternal. ditelaah ulang pada praktik ekonomi, fenomena Tahap Sosial, berkaitan dengan situasi tertentu yang ini yang tentunya berdampak pada pembentukan lebih luas atau makro, seperti ekonomi, politik, dan pasar baru akibat kategorisasi terhadap budaya pada masyarakat (Cenderamata dan kelompok-kelompok pada masyarakat, bahwa Darmayanti, 2019). Meninjau dari kutipan tersebut, seseorang akan mengkonsumsi sebuah hal yang maka dimensi Mikrostruktur dalam Keepers of the merepresentasikan simbol dan ideologi yang Deen pun terbagi dalam tiga tahap yakni Situasional, dianut oleh dirinya sendiri. Jadi selain Institusional, dan Sosial. Peneliti akan menyampaikan pesan Sunnah, kaus ini memiliki menganalisisnya dengan menghubungkan unsur- wacana terhadap pembentukan “self- unsur yang ada dalam tahap Mikrostruktur dan representing” atau yang disebut Baudrillard Mesostruktur, sebagai berikut: dalam Pawanti (2013) sebagai “konsumsi tanda- tanda”. a) Situasional

Tahap ini menganalisis cara kerja atau motif

Keepers of the Deen dan menelaah alasan atau f) Tawheed dorongan terhadap praktik produksinya, juga Berangkat dari dimensi teks, kaus ini penyebab Keepers of the Deen menyebut memiliki pesan mengenai sikap Tauhid untuk produk-produknya adalah bermotif dakwah. umat Muslim. Adapun Tauhid itu sendiri, secara Pada tahap ini, peneliti mendapat data dari garis besar merupakan kewajiban mengesakan wawancara dengan narasumber, yaitu owner Allah, yakni mepercayai bahwa Allah Keepers of the Deen. merupakan benar keadaanya, menaati perintah Dijelaskan oleh Deri, pemilikKeepers of the Allah, dan menjauhi larangannya. Dalam kaus Deen diawali oleh budaya skate dan street tersebut juga tertera tulisan for life yang berarti culture yang dapat diterima lebih mudah oleh

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 8 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year))

khalangan muda yang berkeinginan untuk hijrah sesungguhnya sangat mempengaruhi bagaimana atau lebih dekat dengan agama. Keepers of the sebuah media memproduksi sebuah teks dan Deen mempunyai motif yang sangat kuat dalam wacana di dalamnya, yang berarti beberapa menjangkau pasar. Pasar yang dimaksud adalah fenomena mempunyai hubungan atau sebab- anak muda yang sering melakukan pengajian akibat Keepers of the Deen mengeluarkan sekaligus gemar melakukan kegiatan pada street produk atau membuat teks(Cenderamata & culture. Keepers of the Deen juga merespon Darmayanti, 2019). Dalam mengamati tahap fenomena hijrah yang sering muncul pada saat sosial, setidaknya harus melihat situasi yang itu: “nongkrong di jalan, jadi di masjid”. Deri lebih makro seperti kondisi politik, ekonomi, juga membenarkan bahwa Keepers of the Deen dan budaya dalam masyarakat. Dalam dimensi mempunyai motif dakwah. Namun, ia lebih ini juga, perlunya membahas mengenai memilih menyampaikan pesan yang soft melalui karakteristik agama Islam yang eksis di produk-produknya, yakni dengan melakukan Indonesia, terutama untuk melihat potensi- parodi dari brand street fashion tertentu dan potensi praktik keagamaan, salah satunya menyisipkan pesan agama Islam. dakwah. Dalam tahap ini, peneliti meninjau dari b) Institusional wawancara dengan Deni Ahmad Haedar, Ketua Tahap ini menganalisis keterkaitan dan PW GP Ansor Jawa Barat. Menurut beliau, hubungan objek penelitian pada subyek dan potret kegiatan Keepers of The Deen merupakan institusi tertentu, baik dari internal maupun perkawinan antara konsep kapitalisme dan eksternal. Dalam hal ini, peneliti akan transnasional. Menurut Mufid (2011: 216) dalam menganalisis hubungan atau keterkaitan Keepers kumpulan jurnal berjudul “Perkembangan of the Deenpada subyek tertentu diluar Paham Keagamaan Transnasional di perusahaannya dan mempunyai keterkaitan Indonesia” yang dikeluarkan oleh Kementerian terhadap kegiatannya dan mempengaruhi Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang produksi teks. Kehidupan Keagamaan Jakarta, ia menjelaskan Berangkat dari penjelasan unsur Situasional, bahwa gerakan dan paham keagamaan Deri menjelaskan bahwa Donny yang transnasional adalah sebagai kelompok merupakan mantan vokalis band hardcore Jeruji keagamaan yang memiliki jaringan pada dunia ikut andil dan berkontribusi dalam modal awal internasional. Kancah gerakan dan kelompok Keepers of the Deen. Secara langsung, Donny tersebut tidak hanya terbatas pada wilayah juga ikut serta dalam merealisasikan perusahaan nasional Indonesia atau lokal seperti halnya Keepers of The Deen, termasuk dalam organisasi Islam lokal, seperti NU dan pembentukan ide dan konsep. Sebelumnya, Deri Muhammadiyah, namun gerakan utama juga menjelaskan bahwa ia bertemu Donny organisasi tersebut dan aktifitasnya melampaui melalui Inong yang pada akhirnya berujung pada batas-batas atau sekat teritorial bangsa atau konsep Keepers of the Deen yang merespon negara Indonesia. Aktifitas kelompok tersebut fenomena “anak muda hijrah”, dengan juga sangat beragam, mulai dari menegakan mengusung pesan-pesan agama Islam dan syariat Islam, memperjuangan sistem khilafah, dakwah. atau bertujuan melakukan pemurnian islam, Keepers of the Deen memilik tahap kembali kepada dua sumber fundamental utama Institusional yakni keterkaitan dengan subyek- pemikiran agama Islam, yakni Al-Qur’an dan subyek tertentu dalam melakukan produksinya. Sunnah, meninggalkan pendapat-pendapat ulama Keterkaitan dengan Donny, yakni dalam mazhab, yang tidak berdasarkan pada dua pembentukan awal Keepers of the Deen berupa sumber fundamental tersebut, serta menjauhkan pembentukan “modal” usaha dan sumbangsih sifat bid’ah (hal-hal yang tidak dilakukan oleh terhadap konsep dan ide Keepers of The Deen. Nabi) dan syirik (Mufid, 2011: 226- Selain keterkaitan dengan Donny, Keepers of the 229).Kelompok transnasional juga memiliki Deen juga bekerja sama dengan beberapa tujuan untuk melawan hegemoni dan institusi lain, yakni Indonesia Tanpa JIL(ITJ) kolonialisme barat. Mereka menentang aturan- dan Punk Muslim. Kerja sama ini direalisasikan aturan, gaya hidup, ideologi barat yang dapat dengan membuat kampanye dan produk bertajuk berpotensi meruntuhkan ajaran agama “Versus Liberalisme”, yang merespon Islam.Dengan Islam yang dipegang sebagai penolakan berkembangnya ideologi sekularisme ideologi utama, kelompok transnasional menolak dan liberalisme di Indonesia. kuat ideologi dan konsep yang dianggapnya tidak sesuai dengan islam terutama dari negara- c) Sosial negara Barat seperti komunisme, sekularisme, Tahap ini mencoba menganalisis dalam pluralisme dan nasionalisme. aspek yang lebih luas, mencari hubungan dan Kelompok-kelompok transnasional tersebut keterkaitan dinamika sosial terhadap melakukan aktifitas dan menyebarkan pahamnya pembentukan sebuah wacana. Situasi sosial pada kehidupan di Indonesia. Jika ditinjau

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 9 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year)) karakter kelompok transnasional tersebut yang bahwa karakteristik Islam lokal tersebut, dapat melawan budaya barat, persis seperti pesan bertahan melanggengkan aktivitas dakwahnya, propaganda pada produk Keepers of The Deen. karena mereka memandang bahwa Islam Dalam teks atau produk “Bandung Versus merupakan sebuah bagian intrinsik dari budaya Liberalisme”, Keepers of The Deen secara “terus masyarakat Indonesia yang sangat beragam. terang” menjelaskan tenntang perlawanan Semuanya tidak dapat dipisahkan, masuk dalam kepada paham sepilis atau Sekularisme, posisi yang saling berhadap-hadapan, saling Pluralisme, dan Liberalisme, dalam caption berdialektika, dan menciptakan sebuah penjualannya di Instagram transformasi. Proses transformasi tersebut yang (@kotd_muslimhood). Selain itu, dengan pada akhirnya menciptakan sebuah toleransi dan wacana negara khilafah yang berangkat dari sifat fleksibel pada kehidupan bermasyarakat, kaus Khalifah, yang dibahas pada tahap khususnya di Indonesia. Mikrostruktur. Menurut Mufid juga, kelompok Selain wacana transnasional, adapun kondisi transnasional selalu memasukkan pesan untuk lain yang dapat dibahas dalam tahap sosial ini. melawan dan menolak sistem dan pemikiran Ditinjau dari data dalam penelitian oleh Keni Barat yang disimpulkan sebagai sumber Seoriaatmaja (2017) yang berjudul “Consumer permasalahan dunia, dan mengajak umat Islam Tribe dan Industri Gaya Hidup di Bandung, untuk bersatu dan membangun kembali syariat Indonesia”, Pemerintah Kota Bandung Islam dan sistem pemerintahan khilafah sebagai mengutarakan bahwa 56% kegiatan di kotanya, solusi alternatif. sangat berhubungan dengan desain, fashion, dan Secara pandangan, kelompok transnasional media digital. Pemerintah Pusat Indonesia juga tentu berbeda dengan pandangan Islam lokal termasuk pihak yang mendukung, karena seperti NU dan Muhammadiyah, yang lebih Bandung dijadikan role dalam misi bersifat lebih cair, fleksibel, dan mengedepankan pemerintahan dalam membangun sektor budaya dan tradisi Indonesia yang jauh lebih ekonomi kreatif. Hal itu berdasarkan pembuktian multi-kultural atau beragam, pluralis, dan bahwa industri yang dapat bertahan dalam bersifat nasionalisme. Menurut Syarif (2018:47) keadaan krisis ekonomi adalah industri yang dalam meninjau karakteristik Islam lokal, bahwa bergaya dan berbasis kreatif, atau juga dikenal agama tidak sebatas dipahami sebagai doktrin dengan sebutan industri kreatif. dan sebuah sistem moral yang terpisah dari Seoriaatmaja juga memfokuskan pada segi masyarakat dan manusia. Agama juga harus historis Bandung yang akhirnya membentuk dipahami sebagai sebuah sistem ajaran yang bisa karakteristik dan identitas fenomena gerakan menanamkan nilai sosial pada pengikutnya. anak muda di Bandung atau disebut youth Abdurrahman Wahid dalam Syarif juga culture, hingga beranjak pada unsur-unsur yang menjelaskan, dimana sebuah ajaran agama menyebabkan kota Bandung menjadi sesuatu hal sejatinya tidak hanya mengandung nilai-nilai yang fresh, heterogen, dan ladang subur untuk pada dirinya, namun juga mengandung ajaran menjadi kelahiran berbagai macam sub-kultur, dan pesan-pesan yang menanamkan nilai yang menjadi pendorong perilaku konsumsi dan keberagaman dan sosial pada pengikutnya, berujung pada potensi pendukung sehingga ajaran tersebut menghasilkan sistem berkembangnya industri kreatif di kota nilai sebuah budaya. Idealnya, agama juga Bandung.Dari segi historis, Bandung sangat erat kaitannya sebagai pusat populasi kosmopolit dan dapat memberikan warna terhadap sebuah sistem memiliki budaya toleransi yang sangat tinggi moral dan budaya pada masyarakat dan tentunya terhadap keberagaman. Pemusatan tersebut menjadi sebuah pedoman kehidupan. dimulai dari abad ke-16, yang saat itu Selanjutnya, nilai-nilai itu dijalani juga sebagai merupakan wilayah dari dari Kerajaan Pajajaran, nilai budaya dan dipraktikan dalam sebuah ditambah dengan dilaluinya kota Bandung kehidupan masyarakat. sebagai salah satu perhentian untuk Jalur Pos Adapun dengan menyebarnya paham Islam pada abad-19, pada masa penjajahan koloni di Indonesia, tidak bisa lepas dari corak budaya Belanda dalam pemerintahan Herman Willem yang telah dijalani. Semuanya saling Deandels. Bandung ditetapkan menjadi berkontribusi dan berdialektika, tanpa kabupaten pada tahun 1810, dan menjadi Kota melepaskan nilai-nilai budaya yang telah dianut pada tahun 1906, yang juga diatur oleh dalam sebuah masyarakat, selagi tidak terjadi pemerintahan Belanda. Hawa yang sangat sejuk nilai-nilai yang saling membentur atau merupakan daya tarik bagi kota Bandung, sejak kontradiksi, di antara keduanya. Agama juga pada masa kolonialisme tersebut. Bandung dapat menjadi sebuah hal yang cair dan tetap banyak menarik banyak populasi orang Eropa menjadi sebuah media dakwah dalam segala pada masa kolonial Belanda. Begitu pula dengan unsur-unsur pada kehidupan masyarakat warga pribumi yang tinggal di sekitarnya: kontemporer. Hal ini merupakan karakteristik Sumedang, Ciamis, Sukabumi, dan Garut. yang dicerminkan dari Islam lokal seperti NU Dilansir dari Seoriaatmaja (2017:153), dan Muhammadiyah. Syarif juga menjelaskan

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 10 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year)) kerukunan di Bandung sudah terlihat sejak saat Lalu dengan datangnya budaya asing itu: penduduk yang beragam dan sering tersebut, terus mempengaruhi kalangan muda diaadakan pementasan untuk penonton warga Indonesia dalam segala hal: musik, sastra, pribumi dan Eropa, yang diselenggarakan oleh di budaya dan seni ekspresi sosial lain yang dibawa pendopo walikota, oleh Bupati A.A. melalui cara gerilya ataupun individual secara Wiranatakusumah IV. terus terang, melalui segala akses yang dapat Untuk fenomena semangat anak muda atau dilakukan ke negara-negara maju. Seoriaatmaja youth cultre, secara historis juga dapat terlihat mencontohkan penetrasi budaya asing, street melalui peristiwa Bandung Lautan Api yang culture, yaitu olahraga Skateboard, yang terjadi pada tahun 1947. Pengadilan Soekarno diperkenalkan oleh Iwan Adjie pada kalangan yang berujung pada pledoi “Indonesia anak muda di tahun 1980-an. Dalam data yang Menggugat” yang terjadi pada tahun 1949. Lalu dipaparkan, Iwan Adjie adalah anak bungsu dari Konferensi Asia Afrika yang terjadi pada tahun Letnan Jendral Ibrahim Adjie, yang merupakan 1955, menghasilkan gerakan Non-Blok, beserta mantan Panglima Siliwangi yang menjadi duta arsip sejarah lain yang mengandung nilai besar di negara Inggris pada masa Orde Baru, perjuangan revolusi, reformasi, dan pemerintahan Presiden Soeharto. Budaya asing, kemerdekaan Indonesia. Semua peristiwa sangat yakni skateboard tersebut menjadi sebuah hal mengandung semangat dan keterlibatan yang fresh, menarik perhatian anak muda, kekuatan anak muda Indonesia. Seoriaatmaja karena menjadi alternatif bagi budaya lokal yang memberi kutipan yang berbunyi “Youth Itself mainstream, dan dilihat sebagai sebuah budaya Alone”; merupakan pernyataan dari Gustav yang cool atau keren. Dengan begitu, generasi Wyneken, yang merupakan aktivis pergerakan muda mengalami sebuah difusi atau anak muda di negara Jerman pada tahun 1900- pencampuran budaya yang dibawa melalui gaya 1945. Kutipan tersebut menyatakan sebuah hidup skateboard tersebut, serta mempengaruhi semangat dan gejolak dirinya sebagai anak beragam attitude, mulai dari gaya bahasa, selera muda, untuk melepaskan diri dari tekanan nilai- music, fashion, hingga pola pikir. Namun pada nilai konvensional yang bersumber dari orang saat itu, penetrasi budaya terjadi secara lambat tua, kaum borjuis, dan sekolah. Peryataan karena hanya orang dari kalangan atas yang tersebut juga merupakan spirit bagi gerakan dapat mengakses hal tersebut. Dari segi anak muda yang menjunjung tinggi nilai-nilai popularitas inilah yang menjadikan street culture kebebasan. tersebut dapat menyandang status cool dan anti- Sikap keingintahuan yang tinggi menjadi mainstream. Karena paradigma tersebut, yang karakter bagi generasi muda dan selalu tentu dapat mengkonstruksi atau bahkan menerima berbagai ilmu pengetahuan yang baru, merubah segala ideologi yang sudah dianut. dan tak lepas dari bagaimana globalisasi dan Menurut Potter dan Heath dalam Seoriaatmaja penetrasi budaya asing di dalamnya. Dalam (2017: 157), dimana cool dapat digambarkan kaitannya dengan kota Bandung, bagaimana seperti permainan zero sum, dimana kondisi karakter anak-anak mudah tersebut terkontruksi keren atau cool tersebut hanya “ada” atau oleh kondisi masyakarakat yang memiliki sifat “terasa” jika ada pembandingnya, yakni tidak toleransi yang tinggi untuk mengalami semacam cool, dan disetujui secara otonom. Maka dari itu, “difusi” atau kondisi penerimaan kebudayaan pengaruh yang sangat terlihat sampai sekarang global atau asing, melalui berbagai komunitas adalah bagaimana munculnya berbagai macam dan menjadi sub-kultur. Kemudian struktur sub-kultur di Kota Bandung. sosial yang menjadi objek penetrasi tersebut, Selain daripada itu, pada tahun 1998 yang banyak melahirkan patron atau role model, dan dimana Indonesia mengalami krisis dan sangat mempengaruhi pola pikir, selera, mengakibatkan komoditas impor menjadi sangat perilaku, dan tindakan pengikutnya. mahal, termasuk unsur-unsur yang dekat pada Seoriaatmaja menjelaskan bahwa dari fenomena sub-kultur tersebut, seperti CD, t-shirt, sepatu, tersebut, lambat laun akan membentuk sebuah jaket, dan lain-lain. Melalui fenomena krisi struktur sosial atau sub-kultur baru dalam tersebut, anak muda yang menjadi role model berbagai macam pengelompokan neo-tribal yang bagi sub-kulturnya, mulai memproduksi lintas etnis, agama, dan geografi, dengan komoditas-komiditas tersebut untuk ideologi berupa role model, identitas, atau gaya mempertahankan ideologi beserta simbol- hidup yang dianggap sangat mewakili dirinya. simbolnya, terutama untuk mewakili gaya hidup Hal ini juga dikarenakan etnisitas, ideologi, lokal sub-kultur yang mereka sukai. Munculnya geografi, atau agama yang paling umum di barang asing bercita-rasa lokal ini menjadi masyarakat di lingkungannya (Bandung), sebuah “ekonomi” baru karena sangat menarik dianggap tidak cukup untuk mewakili dirinya. perhatian konsumen terutama anak muda yang Karena efek globalisasi dan penetrasi budaya- dalam sub-kultur tertentu, hingga pada akhirnya budaya asing inilah yang menyebabkan banyak bermunculan perusahaan lokal karena terbangunnya gaya hidup anak muda yang khas. kondisi tersebut. Namun berbeda dengan

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 11 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year)) plagiasi, atau mungkin dengan karakter yang pendukung jalannya roda ekonomi. Konsumer dilakukan oleh Keepers of The Deen, yakni ini cenderung aktif dengan membeli produk dari menggunakan parodi dalam konteks dimana axis penakluk pasar, namun pasif dalam berbagai produk yang dihasilkan tersebut secara memproduksi atau menciptakan sebuah barang. tak langsung membawa unsur-unsur dari produk Biasanya, axis ini justru memberikan sebuah yang berasal dari Barat. Produk tersebut feedback atau menentukan konsep desain yang dimodifikasi menggunakan bahasa visual dan dihasilkan oleh pelaku produksi, bahkan axis ini gaya yang mewakili, sehingga para konsumen yang selalu menciptakan atau mengetahui gaya tetap menjadi bagian dari budaya asing yang hidup yang baru, lalu kemudian disesuaikan oleh diikutinnya tersebut, seperti attitude dalam sub- produsen barang. kulturnya. Dalam fenomena consumer tribe ini, dapat Namun ada hal yang lebih unik dalam dilihat bahwa antara axis tersebut sangat penelitiannya mengenai fenomena berperan dalam menjalankan roda ekonomi, konsumerisme, Seoriaatmaja juga menjelaskan sekaligus kebutuhan diri, gaya hidup, dan sub- mengenai fenomena yang dapat disebut kultur. Lalu dalam hubungan mutualisme Consumer Tribe, yakni sebuah masyarakat yang tersebut, maka sering ditemukan istilah kegiatan hidup dalam sebuah kurun waktu dan endorsement yang dilakukan oleh para buzzer lingkungan sosial tertentu, dimana masing- atau role modeltertentu. Buzzer merupakan masing mereka menjalin hubungan yang disebut individu yang bertugas dalam mengiklankan co-dependent atau saling bergantung satu sama produk tertentu agar konsumen semakin tertarik. lain dalam budaya komersial dan konsumsi. Biasanya, buzzer ini memiliki sebuah “eksistensi Dimana elemen ekonomi dan industri tidak dalam status sosial” atau figur tertentu di dalam hanya menciptakan produk kebendaan, namun sub-kultur, biasanya juga memiliki followers sebuah elemen kritis terhadap identitas pribadi yang banyak di akun media sosialnya. Buzzer masyarakat dan kondisi sosial-kultural. Dalam mempengaruhi konsumer untuk tetap melakukan consumer tribe, konsumerisme tidak dipandang konsumsi untuk aktualisasi diri atau sub- sebagai konotasi negatif atau “menghambur- kulturnya, karena individu tersebut memaki hamburkan uang”, tetapi masyarakat dapat produk yang memiliki nilai-nilai tertentu atau saling mendukung dan apreasiasi dalam hal mewakili sub-kulturnya. ekonomi, antara konsumen dan pelaku bisnis Dari fenomena consumer tribe tersebut, atau produsen. Hal ini dikarenakan pada dapat disimpulkan bahwa hubungan timbal balik kelompok sub-kultur tertentu, mereka memiliki yang positif adalah sebuah keniscayaan. Di “akar” atau gaya hidup yang sama. Mereka dalam timbal balik tersebut, ada bermacam berkolaborasi sehingga menyuburkan gaya hidup pertukaran apresiasi, ideologi, idealisme, hingga sebuah sub-kultur. Mereka mengkonsumsi nilai-nilai kolektif dalam sub-kultur tertentu dan sebuah produk untuk saling bereaksi dan tidak berhenti dalam tahap “transaksional” saja. bergelut dengan sebuah nilai di dalam produk Hubungan lintas entis, geografi, agama tersebut, tertentu. Pada konteks konsumsi, individu yang akhirnya mengkonstruksi sebuah peluang pasar memiliki paham dominan dan independen baru dan tersendiri, di dalamnya terdapat (bergantung dengan nilai yang telah berlaku individu-invidu yang saling membangun dan dalam sebuah kebudayaan) seringkali sangat terus memberikan nilai lebih dengan sesamanya tertarik dengan sebuah produk yang (Soeriaatmaja, 2017: 162). “merepresentasi”, “mewakilkan”, atau memiliki kontribusi pada perkembangan dan ekpresi 4. Pembahasan individu tersebut. Setelah menganalisis menggunakan rangkaian- Bernard Cova dalam Seoriaatmaja (2017: rangkaian pada Norman Fairclough, maka 159), membagi perilaku dalam consumer tribes selanjutnya adalah meneliti mengenai persoalan: menjadi dalam kategori lapisan atas, seorang sejauh mana produk-produk tersebut mengalami produsen atau wirausahawan, juga disebut kapitalisasi serta komodfikasi. Maka pada sebagai axis penakluk pasar. Beliau pembahasan ini, adalah mengaitkan semua unsur menyebutkan dalam kota Bandung, lapisan ini analisis wacana diatas pada persoalan ekonomi digandrungi oleh role model atau “panutan” politik dan komodifikasi. Perlunya menganalisis dengan mengambil nilai ekonomi dari kebutuhan dengan melihat persoalan yang lebih umum menuju sub-kulturnya untuk memenuhi gaya hidup. Hal ke persoalan yang lebih spesifik, yaitu komodifikasi yang biasanya dilakukan adalah menyediakan agama tersebut. Oleh karena itu, membahas segala produk yang mengandung sebuah tanda-tanda unsur-unsur yang terakit adalah sebuah keniscayaan: atau simbol yang mewakili sub-kultur tertentu, kapitalisme, industri budaya hingga budaya populer, dan biasanya menghasilkan selera yang bersifat dakwah, konsumerisme hingga meneliti sejauh mana kolektif. produk-produk Keepers of the Deen mengalami Lalu axis motivator yakni pada lapisan komodifikasi agama pada tiap-tiap praktiknya. bawah atau biasanya seorang konsumen,

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 12 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year)) a) Budaya Populer dan Masyarakat Konsumer merupakan sebuah komoditas yang dijual untuk mendapatkan keuntungan, sesuai dengan konsep Komodifikasi merupakan sebuah fenomena yang pada kapitalisme. Selain itu, kita dapat melihat berpotensi besar untuk muncul di dalam budaya bagaimana Keepers of the Deen menggunakan tema populer, mengingat pada tujuan utamanya adalah seputar agama Islam, dengan menggunakan adopsi proses komersialisasi sebuah komoditi. Dalam proses dari produk pada budaya populer dan sangat terlihat berkembangnya industrialisasi, kapitalisme terus jelas bagaimana Keepers of the Deen menyematkan melakukan produksi dan reproduksi benda-benda pesan-pesan dan ajaran agama Islam di dalam semua kebudayaan sebagai sebuah komoditas, yang produk dan aktivitas media sosialnya. Semua produk mempunyai pengaruh yang kuat dari industrialisasi tersebut secara massif terus mengalami reproduksi itu sendiri dan komodifikasi (Saputra E. , 2019). yang kemudian menjadi sebuah komoditas. Jika Dalam buku Teori Budaya Kontemporer yang ditulis melihat dari tahap Analisis Sosiokultur, kita juga oleh Piliang dan Jaelani (2018: 165-168), dapat mengaitkannya bagaimana Keepers of the Deen menyebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat, berada dalam sebuah kota yang mendapatkan budaya populer adalah budaya yang hadir dalam penghargaan sebagai kota Industri Kreatif, yang juga keseharian, kapan pun dan dimana pun.Sebuah telah dijelaskan sebelumnya bahwa industri keatif wacana sering muncul bahwa budaya populer sangat membantu laju pertumbuhan ekonomi kota merupakan lawan dari budaya elit atau “adiluhung” Bandung. Selain itu, meskipun menggunakan tema yang bersifat eksklusif dan tidak mengalami sebuah agama, Keepers of the Deen juga hidup dalam komersialisasi atau massifikasi. Namun sebaliknya, lingkungan sub-kultur yakni street culture, yang budaya populer identik dengan sebuah-sebuah kemudian digambarkan oleh Soeriaatmaja, dimana produk komersil yang dimasifikasi: film, fashion, masyarakat di dalamnya sangat bergantung dan gaya hidup, hingga seni. Komersialisasi merupakan mendukung, termasuk pertumbuhan ekonomi ciri khas utama dalam budaya populer. Piliang dan (Soeriaatmadja, 2017). Berdasarkan gambaran Jaelani juga menyebutkan bahwa budaya populer tersebut juga, kita melihat beberapa percampuran tidak bisa dipisahkan dari sebuah industrialisasi, unsur-unsur yang berbeda; budaya populer dan kapitalisme, dan konsumerisme. Maka dapat kita agama, yakni tema yang diangkat oleh Keepers of the sebut adalah sebuah produsen budaya populer: yang Deen. mana mencipatakan produk untuk memenuhi Meninjau dari tahap Sosikultural, seperti kebutuhan massa yang bersifat efektif dan efisien, dikenalkannya budaya skateboarding pada anak-anak dan hasilnya adalah sebuah selera yang masif dan muda, misalnya, tentunya membuat segala potensi merupakan selera masyarakat kebanyakan (mass datangnya bermacam bentuk budaya dan aktivitas taste). Budaya populer yakni budaya dijalani atau baru, hal tersebut juga termasuk pengaruh bagaimana diikuti oleh kebanyakan atau kelompok yang sangat maraknya industri-industri kreatif di kota Bandung luas (Piliang dan Jaelani, 2018: 166) dan ia pasca-reformasi. Juga dengan hadirnya bermacam menciptakan sebuah masyarakat yang mempunyai budaya luar dan mempengaruhi lingkungan Bandung cita rasa “kebanyakan”, dan karena itu budaya itu sendiri, yang kemudian mengalami semacam tersebut disebut dengan budaya rendah karena percampuran karakter dan identitas yang di bersifat masif. Juga menurut Ardia (2014), budaya representasikan dalam bentuk komoditi yang dapat populer akan terus melahirkan sebuah fenomena dijual, temasuk bagaimana street culture itu industrialisasi budaya yang diproduksi dengan kemudian hadir di kota Bandung dan semakin massal dan memiliki sifat komersial, serta dalam menjamur, serta Keepers of the Deenyang juga proses tersebut selalu terjadi proses komodifikasi. mengadopsi street culture. Dari segi populer inilah Budaya popouler melahirkan berbagai produk- yang menjadikan street culture tersebut dapat produk yang masif seperti film populer, majalah menyandang status cool dan anti-mainstream. populer, musik populer, dan sebagainya. Populer Karena paradigma tersebut, yang tentu dapat disini juga merujuk kepada sebuah “masyarakat mengkonstruksi atau bahkan merubah segala ideologi kebanyakan” yang terus mengkonsumsi produk- yang sudah dianut. Semua fenomena tersebut juga produk dalam budaya populer tersebut.Maka wajar melahirkan bermacam sub-kultur yang akan terus dalam kehidupan kontemporer, kita sering memakai identitas yang merepresentasikan menemukan hal muncul dan meledak atau booming, ideologinya, yang tertu dilakukan dengan motif lalu tiba-tiba surut dalam jangka waktu yang pendek. untuk melestarikan nilai-nilai yang dianutnya. Selain mendahulukan penampilan, budaya populer Identitas tersebut hadir melalui bermacam bentuk hal biasanya hanya menunjukan kesenangan, praktis, dan yang tentu dapat ditemukan pada budaya populer: kedangkalan eksplorasi (Piliang dan Jaelani, 2018: fashion, hobi, restoran, dan lain-lain yang dapat 172). dikategorikan sebagai gaya hidup. Maka, kebutuhan Melihat dari fenomena tersebut, maka dapat akan gaya hidup yang semakin hebat dan mutakhir dikaitkan dengan bagaimana Keepers of the Deen inilah pada akhirnya melahirkan sifat-sifat konsumtif melakukan aktivitasnya. Juga berangkat dari di dalam masyarakat pada budaya populer, atau juga pembahasan sebelumnya bahwa produk-produk pada dapat disebut sebagai masyarakat konsumer. Keepers of the Deen juga merupakan budaya populer. Secara jelas, produk-produk Keepers of the Deen

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 13 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year))

Meninjau persoalan masyarakat konsumer, ada dibanding use value dalam hal ini adalah pakaian perihal unik yang hadir dari struktur kapitalisme sebagai kebutuhan sandang. dalam budaya populer, dimana konsumsi menjadi inti dari praktik ekonominya. Hal tersebut digagas oleh filsuf Perancis, Jean Baudrillard. Menurutnya, b)Fashion dalam Dakwah Populer konsumsi merupakan peranan yang sangat penting Jika ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dalam kehidupan manusia, maka tentunya menjadi dari bahasa Arab, berupa isim mashdar yang berasal tinjauan utama dalam praktik ekonomi. Dimana ada dari il (kata kerja) “da’a-yad’u”, yang artinya sebuah endapan nilai yang lebih dari sebuah objek memanggil, mengajak, atau menyeru kemudian komoditi: selain use value dan exchange value, juga menjadi da’watan yang berarti seruan, panggilan dan terdapat symbolic andsign value. Itu merupakan ajakan (Haryanto, 2015: 271, dalam Sumadi, 2016). faktor utama pembentuk masyarakat konsumer pada Secara definisi, dakwah memiliki arti sebagai suatu budaya populer, yang dimana masyarakat tidak lagi kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, membeli suatu barang berdasarkan skala prioritas, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara kebutuhan dan kegunaan, tetapi condong pada sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi gengsi, prestise, dan gaya. Baudrillard berpendapat orang lain baik secara individual maupun secara bahwa yang dikonsumsi oleh masyarakat konsumer kelompok agar timbul dalam dirinya suatu bukanlah nilai guna melainkan citra atau pesan yang pengertian, kesadaran, sikap penghayatan, serta disampaikan dari suatu produk. Lebih lanjut pengamalan terhadap ajakan agama sebagai pesan Baudrillard menjelaskan bahwa sebagian individu yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya dikatakan mengkonsumsi sesuatu bukan karena unsur-unsur paksaan (Jumantoro, 2001:18 dalam kegunaan untuk pemenuhan kebutuhan pribadi, Sumadi, 2016) namun jauh ke motif untuk menunjukan sesuatu (use Dakwah bukan merupakan sebuah kata asing, value to symbolic and sign value) dan hasrat khususnya masyarakat Indonesia. Dalam keseharian pengakuan terhadap status sosial status atau identitas yang lebih sederhana, dakwah bisa dipahami dalam tertentu. Dimana konsumsi yang terjadi sekarang ini beberapa bentuk: pengajian, ceramah, diskusi, hingga menjadi konsumsi tanda. Fenomena ini kemudian pada obrolan santai yang sering ditemukan dalam membentuk cara mengekspresikan diri seseorang sebuah media populer seperti di televisi. Secara dalam bentuk gaya hidup. Gaya hidup pada akhirnya bahasa, dakwah berasal dari kata Arab yang secara merupakan pola untuk menginvestasikan beberapa sederhana berarti ajakan, seruan, atau panggilan. aspek dalam kehidupan keseharian manusia melalui Seiring berkembangnya zaman, dakwah banyak nilai-nilai sosial berupa tanda serta simbolik; karena mengalami segala bentuk perubahan, terutama dalam itu juga, gaya hidup merupakan cara bermain dengan medium yang digunakan. Menurut Yafie dalam simbol-simbol identitas (Pawanti, 2013). Gaya hidup Farihah (2013), medium dakwah pada zaman Nabi termasuk bagian dari budaya konsumeris, karena dan khalifah, yakni sangat terbatas melalui lisan dan pada gaya hidup, individu dapat dinilai, tulisan, juga menggunakan sebuah surat. Kemudian dikategorisasi, dan dilihat dari sesuatu yang seabad selanjutnya, berkembang melalui qashash dikonsumsi, baik konsumsi produk jasa atau produk (tukang cerita) dan memperkenalkan medium baru barang. Gaya hidup juga dihubungkan dengan status berupa sebuah karangan tulisan, dan inilah kelas sosial ekonomi. Gaya hidup mencitrakan merupakan medium yang bertahan hingga sekarang, keberadaan seseorang pada suatu status sosial seiring ditemukannya penceramah serta karya-karya tertentu atau identitas tertentu. tulis bernuansa Islam. Kemudian di zaman yang lebih Jika meninjau dari Keepers of the Deen yang modern akan teknologi, dakwah ditemukan dengan mengadopsi campuran tema street culture, budaya medium yang lebih beragam seperti media massa, populer, dan pesan-pesan agama Islam, dapat televisi, seni seperti puisi, novel, lukisan. Tak jarang memberikan sebuah gaya hidup atau identitas juga kita menemukan bentuk dakwah dengan tersendiri bagi konsumennya. Terlebih melalui medium audio-visual seperti pada media massa, penjelasan Deri, pemilikKeepers of the Deen, tentang televisi, seni hingga Youtube ataupun media sosial historis mengenai pembentukan Keepers of the Deen lainnya. adalah karena melihat sebuah pasar pada anak-anak Dalam hal ini, tujuan dakwah lebih efektif dan muda yang sedang menggandrungi street culture, efisien dalam segi ruang dan waktu. Sebab, pada serta aktivitasnya dalam melakukan pengajian dan zaman modern seperti ini, tidak mungkin dakwah hijrah. Di satu sisi, konsumen merasa terwakili serta hanya direalisasikan melalui pengajian atau ceramah mempertahankan nilai-nilai yang digemarinya, yakni yang bersifat langsung. Komunikasi yang lebih pada kegiatan street culture tersebut. Di sisi lain, modern sangat membantu untuk menciptakan juga dapat mewakili identitasnya sebagai muslim aktivitas dakwah yang lebih beragam dan dengan cara menggunakan fashion yang mengandung baru.Fenomena ini juga bisa disebut dengan dakwah pesan-pesan dan nilai agama. Dalam situasi yang populer, dimana aktivitas komunikasi dan lebih terpadu, fenomena dalam jumlah besar seperti penyebaran nilai-nilai serta ajaran agama, ini, yang dapat dipotret sebagai masyarakat menggunakan medium yang lebih mudah diakses dan konsumer, yang lebih mengutamakan sign value didapat dalam keseharian.

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 14 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year))

Fenomena dakwah popouler juga dilakukan Menurut Hasan, Triantoro, Bull dalam Saputra melalui kebutuhan sandang serta fashion, juga (2019: 521), bahwa segala jenis dakwah tersebut, tentunya ditemukan dalam aktivitas Keepers of the pada akhirnya merupakan upaya umat Islam dalam Deen, dengan melihat bagaimana motifnya yakni menentang hegemoni konsep modernitas budaya menampilkan pesan-pesan agama Islam dalam segala asing, dan merumuskan ulang nilai-nilai agama islam produk-produknya. Pesan-pesan Islam yang dengan konteks yang diinginkan. ditampilkan pun sangat beragam dan biasanya Dalam aktivitas dakwah, ruang publik juga mengangkat isu-isu Islam kontemporer beserta menjadi sebuah tempat yang cocok untuk urgensinya. Seperti Defend Al-Aqsa yang menampilkan simbol-simbol pesan dan identitas. menyampaikan pesan kampanye dukungan kepada Bagaimana pun juga, sesuai dengan konsep muslim Palestina dalam konflik bersama Israel. Baudrillard sebelumnya, simbol atau tanda tertentu Kemudian dalam desain Bandung Vs Liberalisme niscaya akan membentuk sebuah identitas yang yang menyampaikan pesan kampanye bahwa mengkategorikan invidu terhadap kelas masyarakat masyarakat muslim di Bandung menolak ajaran- tertentu. Juga dengan produk-produk Keepers of The ajaran bersifat Sepilis, atau Sekularisme, Pluralisme, Deen yang sangat mengadopsi pesan-pesan Islam, dan Liberalisme. Selain isu-isu kontemporer,Keepers akan membentuk sebuah nilai agama bagi of the Deen juga mempuyai desain yang konsumennya. Tidak sekadar sandang, produk kaus- menyematkan pesan-pesan agama yang bersumber kaus dakwah tersebut yakni mencerminkan nilai dari hadist; seperti Sunnah Beard yang mempunyai kesalehan dan keislaman (Saputra, 2019:524). makna pesan atau seruan kepada muslim untuk Menurut Saputra juga, hadirnya distro-distro atau memelihara janggut (karena merupakan sunnah penjual kaus dakwah memiliki tujuan lain di samping Nabi), kemudian dalam Tawheed yang mempunyai aktivitas bisnisnya, yakni membentuk umat Islam makna pesan kepada muslim untuk menjalankan atau konsumen menjadi saleh. Bahwa dengan Tauhid atau mengesakan Allah. Serta berbagai desain menggunakan kaus tersebut, merupakan sebuah di atas, yang selalu mengambil nilai utama pada repesentasi nilai agama dan praktik kesalehan. Selain pesan-pesan Islam. Tak jarang juga, Keepers of the itu, produsen kaus dakwah juga memberikan sensasi Deen menyematkan hadist-hadist atau ayat Quran pengalaman yang baru, unik, dan global dalam setiap tertentu, yang berhubungan dengan beberapa tema desain-desain produknya. pada kausnya. Hadist atau ayat tersebut biasanya Kita dapat melihat bagaimana kaus-kaus tersebut disematkan dalam desain poster yang kemudian merepresetasikan identitas Islam yang “gaul” dan merupakan gambar katalog penjualan pada media “saleh”, dan dapat diterima oleh kalangan umat sosial Keepers of the Deen. Selain pada kaus, Islam, terutama anak-anak muda. Dengan metode Keepers of the Deen juga sering menyuarakan seperti itu, bentuk dakwah populer lebih mudah kampanye tertentu yang bersifat perjuangan atau diterima oleh kalangan anak-anak muda karena tidak aktivitas umat Islam, seperti kampanye pada Umat mengesampingkan kesan trendi, modis, dan gaul, Muslim Uyghur di India, Kampanye Anak Muda serta sebagai langkah alternatif untuk Muslim, dan lain-lain. mempertahankan nilai-nilai Islam, disamping hegemoni budaya asing. Fenomena tersebut juga merupakan sebuah perpaduan antara budaya populer c) Wacana Kesalehan dan Pasar Agama dan nilai-nilai Islam, sebuah negosiasi, hubungan tarik menarik antara konsep Modernitas dan konsep Adapun pengaruh pesatnya perkembangan Islam (Hasan dalam Saputra, 2019:524). Pada teknologi, yang merupakan pendukung bagi budaya- akhirnya memodifikasi budaya asing dan budaya budaya asing tersebut untuk melakukan penetrasi populer yang terus menggerus zaman di kalangan terhadap nilai-nilai agama Islam, terutama dalam masyarakat, menjadi sebuah kontestasi untuk aktivitas masyarakat Indonesia. Budaya tersebut menampilkan simbol-simbol agama Islam, tentunya seringkali merupakan hal-hal yang sangat tabu bagi dengan tujuan dakwah yang lebih kontemporer dan masyarakat Indonesia. Didukung dengan banyaknya populer. Keepers of The Deen juga tentunya bermunculan fenomena budaya asing di wilayah menawarkan solusi terhadap anak-anak muda yang perkotaan, seperti: produk makanan, kosmetik, berhijrah, dengan menggunakan perpaduan konsep hiburan-hiburan malam, pusat perbelanjaan, café, kaus dakwah tersebut. Dengan demikian, ajaran- club, konser-konser musik, hingga fashion yang ajaran agama Islam dan kesalehan tidak lagi diterima mengadopsi tren budaya barat. Hal seperti ini sebagai sebuah hal yang kaku dan ketat, melainkan nampaknya merupakan sebuah tantangan bagi agama dapat melebur ke berbagai unsur-unsur, termasuk Islam, terutama dalam aktivitas menyebarkan pesan- pada kaus-kaus dakwah. Secara tidak langsung, pesan agama. Maka hadirnya berbagai jenis dakwah dengan cara membeli dan memakai kaus tersebut, baru yang lebih kontemporer atau populer, sehingga konsumen mendapatkan sebuah nilai kesalehan kegiatan tersebut dapat terus dilestarikan, disamping karena telah menyampaikan pesan-pesan agama perkembangan budaya asing tersebut. Perubahan dengan tujuan menghindarkan diri dari sikap dosa. bentuk dakwah tersebut juga bertujuan agar pesan- Bagaimanapun juga, fenomena ini merupakan pesan dan nilai agama, dapat terus eksis, dan usaha sebuah hal yang niscaya terhadap dinamika menyeimbangkan hegemoni-hegemoni budaya barat.

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 15 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year)) perkembangan modernitas pada budaya populer, tersebut dapat disebut sebagai nilai-nilai positif, disamping aktivitas dakwah yang tidak boleh mereda karena dinilai telah melakukan sebuah pelestarian dan pudar. Banyak munculnya distro-distro dengan terhadap identitasnya, baik pribadi maupun sub- tema pesan-pesan Islam, termasuk Keepers of The kulturnya. Deen, merupakan gambaran bahwa dakwah populer Fenomena consumer tribe bisa terjadi dalam memiliki sebuah peluang pasar pada konsumen. Tak aktivitas jual-beli oleh Keepers of the Deen. Anak- dapat dipungkiri, percampuran antara budaya populer anak muda hijrah dan street culture, merupakan unsur dan nilai-nilai Islam dalam dakwah, tentunya juga penunjang dari terciptanya kondisi consumer tribe. berujung pada pembentukan pasar tersendiri. Maka Seseorang yang menjalani ideologi street culture, pada akhirnya, kita melihat bahwa hal tersebut adalah seperti melakukan skateboarding, atau menyukai konsekuensi daripada masifnya kemunculan simbol- karya-karya seniman Pop Art, misalnya, merasa perlu simbol agama di ruang publik, dengan transformasi melestarikan dan menunjukan sebuah nilai-nilai dan medium yang sangat beragam. ideologi tersebut, di dalam dirinya. Terdapat sebuah Selain pembentukan wacana kesalehan, perlu “hasrat” dalam individu untuk selalu menampilkan juga melihat bagaimana Keepers of The Deen sebuah identitas di kepada publik. Dalam sisi anak- beraktivitas di pasar. Misalnya dengan melihat anak muda hijrah, juga mengacu pada wacana bahwa segala produknya merupakan produk yang kesalehan sebelumnya, hadirnya sebuah kegiatan paling update, dan ready stock. Keepers of The Deen representatif untuk mewakili dirinya: bahwa dengan juga seringkali melakukan re-issue atau pembuatan menggunakan kaus-kaus dakwah populer, seorang ulang terhadap produk-produknya. Disamping individu telah mencerminkan nilai-nilai dan melakukan restock, Keepers of The Deen pun selalu menyampaikan pesan, sebagaimana konsep dakwah mengiklankannya pada akun media sosialnya. Tak itu sendiri. Jika dikaji menurut perspektif Baudrillad jarang juga Keepers of The Deen melakukan endorse (Pawanti, 2013), misalnya, sign value dalam kegiatan dengan menampilkann tokoh hijrah tertentu seperti konsumsi, bertujuan untuk merepesentasikan sebuah Donny, mantan vokalis Jeruji, atau menampilkan tanda-tanda di dalam dirinya: bahwa dengan foto-foto dari konsumernya yang telah membeli menggunakan kausKeepers of the Deen, individu produknya. Selain itu, Keepers of The Deen juga dapat melestarikan nilai-nilai pada street culture, melakukan aktivitas eksternal seperti kegiatan bakti disamping itu juga melakukan aktivitas ibadah dan sosial ke pesantren tertentu di Jawa Barat atau dakwah, serta merepresentasikan dirinya dalam bantuan pembelian masker untuk bencana COVID- sebuah kondisi berhijrah. Dengan begitu, kondisi 19. yang akan terjadi adalah sebuah dukungan dan Meninjau dari demensi Sosiokultural, bahwa apresiasi penuh dalam kegiatan konsumsi, untuk terdapat kondisi lain yang terjadi, yakni fenomena melestarikan nilai-nilai sub-kultur, sebagaimana consumer tribes, dan bisa dikatakan sebuah dalam aktivitas street culture, juga terus melakukan fenomena unik dalam sebuah masyarakat konsumer dakwah dengan cara mengkonsumsi dan dan konsumerisme. Seoriaatmaja menjelaskan bahwa menggunakan produk-produk Keeepers of The Deen. consumer tribes merupakan kondisi dimana sebuah Sesuai dengan pendapat Soeriaatmaja, masyarakat yang saling bergantung satu sama lain masyarakat dan kelompok dalam consumers tribe, pada bidang ekonomi, dalam hal komersial dan selalu melakukan konsumsi untuk bereaksi terhadap konsumsi, dimana sebuah elemen ekonomi dalam kelompoknya, yakni dengan proses bergelut dengan masyarakat tidak hanya menciptakan sebuah produk, nilai dan ideologi yang terkandung dalam sebuah melainkan saling bersikap mendukung, tergantung, produk dan komoditas tertentu (Soeriaatmadja, dan kritis terhadap sebuah identitas masyarakat 2017). Dalam konteks konsumsi, individu dengan tertentu (Soeriaatmadja, 2017). Consumer tribes dengan ideologi tertentu dan eksis dalam sebuah sub- tidak selalu dianggap sebagai sebuah fenomena kultur, seringkali tertarik kepada benda, komoditas, negatif, karena masyarakat di dalamnya saling atau produk yang dapat berkontribusi dan mewakili melakukan aktivitas apresiasi terhadap sesamanya pada perkembangan aktualisasi dirinya dan ekspresi dan pelaku bisnis. Hal tersebut terjadi karena individu atau kelompok. Pada akhirnya, Keepers of masyarakat sub-kultur menganggap bahwa mereka the Deen tentunya mempunyai potensi target pasar mempunyai sebuah “akar” gaya hidup yang sama. terhadap kelompok-kelompok atau sub-kultur yang Mereka perlu mempunyai sebuah unsur yang dapat dijelaskan tersebut. “mewakili” atau “merepresentasikan” ideologi pada Adapun pembahasan lain berdasarkan tinjauan sub-kulturnya. Dalam usaha tersebut, mereka saling pendapat dari Deni, ketua PW GP Ansor Jawa Barat mendukung, terutama dalam melestarikan identitas mengenai hubungannya dengan motif percampuran dan nilai-nilai pada sub-kulturnya, termasuk dengan ideologi kapitalisme ideologi transnasional.Pendapat cara melakukan jual-beli dan konsumsi produk narasumber mengenai ideologi transnasionaltidak sebagaimana yang terjadi dalam fenomena consumer tertuju pada aktivitas ataupun kancah politik mereka tribes. Dengan begitu, mereka telah melakukan di Indonesia, namun kepada potensi Keepers of The sebuah kontribusi terhadap sub-kultur yang Deen memiliki target pasar terhadap simpatisan, dijalaninya. Di dalam fenomena consumer tribes ini anggota, atau orang-orang yang memiliki juga, hubungan timbal-balik diantara masyarakatnya pemahaman yang sama dengan organisasi tersebut.

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 16 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year))

Hal ini dapat dilihat mengenai kampanye-kampanye (pada kausKhalifah), adapun memiliki tujuan yang yang diangkat melalui desain pada Keepers of The sama dengan ideologi transnasional, terutama dalam Deen. Misalnya pada desain Bandung versus agenda politik mengenai penagakan sistem dan Liberalisme. Dalam dimensi Analisis Sosiokultur negara khilafah. telah dibahas mengenai kampanye Keepers of The Tinjauan pendapat Deni mengenai ideologi Deen untuk melawan ideologi liberalisme, misalnya transnasional, maka consumer tribe juga bisa terlihat pada praktik-praktik yang dapat terlihat di kota-kota pada fenomena tersebut. Misalnya pada seseorang besar, seperti Bandung, juga berdasarkan berita pada atau kelompok yang memiliki kegiatan atau InfoBDG (infobdg.com) pada 13 Februari 2019 yang berideologi transnasional, tentunya memiliki potensi berjudul “Masyarakat Jawa Barat Peduli Negeri untuk melakukan aktivitas konsumsi terhadap produk Gelar Aksi Damai Tolak Liberalisme”, yang berisi Keepers of The Deen. Deni menjelaskan: mengenai sebuah gerakan Aksi Damai Tolak Liberalisme, yang merespon maraknya praktik- “Menurut saya benar, karena ini adalah praktik kebebasan ala ideologi liberalisme di kota perkawinan antara kapitalisme dengan gerakan Bandung dan dinilai sangat bertentangan dengan transnasional. Makanya dikapital, termasuk soal ajaran agama Islam. politik. Karena orang itu nanti secara ekonomi (dan Secara umum, ideologi organisasi tersebut ideologi), akan merasa tersambung dengan produsen mempunyai kesamaan dengan wacana dan kampanye ini, secara politik akan merasa tersambung dengan Keepers of The Deen pada kausBandung versus kelompok yang sama menggunakan produk ini...... Liberalisme atau Khalifah. Kendati mengenai tujuan Selain kapitalisasi ekonomi, ya kapitalisasi politik Khilafah dan penegakan syariat Islam di politik, karena terhubung dengan ideologi dimana Indonesia, Mufid (2011:126) menjelaskan mengenai urusan agama itu akhirnya adalah urusan negara- transnasional adalah bagian dari gerakan Islam global negara yang itu salah, yang bener itu negara yang yang mengimpor ideologinya dari Timur Tengah ini begini (menjelaskan tentang Khilafah). Dianggap yang memiliki agenda politik. Dengan sedang kampanye melakukan rekrutmen calon warga mengedepankan Islam sebagai ideologi yang negara atau propaganda. Jadi selain alat jualan, sempurna, kelompok transnasional tidak segan-segan tapi juga alat propaganda, artinya jualan dapet, menolak ideologi dan konsep barat seperti pengikut juga dapat..... nasionalisme, liberalisme, komunisme, dan produk- produk lainnya, yang secara umum menentang Ya paling tidak mereka itu kalau belum bisa kolonialisme atau penjajahan dari budaya barat. Juga dikapitalisasi politik secara langsung. Paling tidak bertujuan melakukan pemurnian Islam, kembali mereka punya ceruk pasar yang bisa di jual apapun kepada dua sumber fundamental utama pemikiran ke mereka.Selama ujung-ujungnya ada khilafahnya agama Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah, (atau simbol yang merepresentasikan sebuah meninggalkan pendapat-pendapat ulama mazhab, ideologi), (ada unsur) syar’inya, pasti dibeli.” yang tidak berdasarkan pada dua sumber fundamental tersebut, serta menjauhkan sifat bid’ah Sebagaimana konsep consumer tribe itu sendiri, (hal-hal yang tidak dilakukan oleh Nabi) dan syirik yakni dimana sebuah masyarakat sub-kultur saling (Mufid, 2011: 226-229). mendukung untuk melestarikan nilai-nilai dan Melihat dari penjelasan tersebut, repesentasi ideologi mereka, salah satunya melakukan aktivitas pesan pada kausBandung versus Liberalisme, konsumsi terhadap sebuah komoditas yang mendapat sebuah kemiripan tujuan dengan konsep mempunyai dan merepresentasikan nilai-nilai yang yang diusung oleh ideologi transnasional tersebut, dianutnya, dalam perihal ini adalah produk Keepers yakni pembebasan terhadap hegemoni-hegemoni of The Deen. Dengan mengkonsumsi produk Keepers ideologi barat, termasuk liberalisme itu sendiri, of The Deen, Bandung versus Liberalisme, misalnya, kemudian pada akhirnya terus memperjuagkan nilai- tentunya terdapat sebuah aktualisasi individu dan nilai dan syariat Islam. Representasi pesan pada kaus menyesuaikan diri dengan pesan yang tersebut memiliki ideologi yang sama dengan direpresentasikan melalui kaus tersebut, dalam hal ini ideologi yang dianut oleh kelompok transnasional adalah seseorang atau kelompok yang mempunyai tersebut. Contoh lain misalnya pada desain ideologi yang serupa dengan pesan-pesan yang kausKhalifah. Dalam kaus tersebut, setidaknya ditampilkan dalam kausKeepers of The Deen. Juga memiliki dua representasi pesan yang berbeda, yakni perihal kerja sama dengan ITJ (Indonesia Tanpa berupa motif kecintaan pada Khalifah Rasyidin, Islam Liberal) di beberapa kota di Indonesia yakni keempat sahabat Nabi, atau wacana negara dan Punk Muslim di Surabaya, adapun motif serupa Khilafah yang mana dipimpin oleh seorang Khalifah. dalam mendukung nilai-nilai kelompok dengan cara Juga berdasar dari Analisis Mesostruktural pada kaus mengkonsumsi produk dengan tanda-tanda atau Khalifah, bahwa terpadat wacana yang berpotensi simbol yang mewakilkan kelompok tersebut, yang pada gagasan yang didasari “kerinduan” pada masa dimaksud di sini adalah tujuan dan pesan kampanye kegemilangan Islam di zaman Khalifaur Rasyidin pada kausKeepers of The Deen. Dalam fenomena ini, atau 4 sahabat Nabi (Fitriono & Suhono, 2017). Jika sangat terasa mengenai konsep consumer tribe itu ditinjau dari representasi kampanye sistem khilafah sendiri, dimana beberapa kelompok dengan ideologi

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 17 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year)) tertentu, terus melanggengkan ideologinya, saling dan proses kapitalisme yang bergantung pada bertukar nilai-nilai di kelompok mereka, tentunya hal dinamika pasar. Budaya populer yang bersifat ini juga ditinjau dari bagaimana tanda-tanda agama komersial dan mengutamakan tampilan serta hiburan, dapat ditujukan di ruang publik, atau melalui konsep dapat memberi dampak pada agama, bisa menjadi Baudrillarddalam aktivitas konsumsi, yakni sebuah gaya hidup dan sebaliknya. symbolic-signvalue, bahwa dengan tujuan tersebut Praktik keagamaan merupakan bagian yang tidak mereka dapat terus melestarikan ideologi-ideologi bisa dipisahkan dari budaya populer, yang yang dianut dalam individu maupun kelompok. menjadikan agama itu sendiri sebagai gaya hidup dan Sesuai dengan pendapat Soeriaatmaja (2017: komoditas. Agama semakin dekat dan berkembang 158), masyarakat dan kelompok dalam consumers bersama relasi-relasi pada unsur kapitalisme, tribe, selalu melakukan konsumsi untuk bereaksi konsumerisme, industrialisasi, serta budaya populer terhadap kelompoknya, yakni dengan proses bergelut (Jaelani & Piliang, 2018) dengan nilai dan ideologi yang terkandung dalam Budaya populer akan terus menghasilkan sebuah produk dan komoditas tertentu. Dalam komoditas-komoditas yang bersifat disenangi: musik, konteks konsumsi, individu dengan dengan ideologi fashion, film, seni, dan lain-lain, yang pada akhirnya tertentu dan eksis dalam sebuah sub-kultur, membentuk sebuah gaya hidup. Semua komoditas seringkali tertarik kepada benda, komoditas, atau tersebut diproduksi secara massal dan membentuk produk yang dapat berkontribusi dan mewakili pada sifat konsurisme pada masyarakat. Budaya populer perkembangan aktualisasi dirinya dan ekspresi kerap menghasilkan gaya hidup-gaya hidup yang individu atau kelompok. Pada akhirnya, Keepers of konsumtif dan tidak produktif, bersifat meniru, The Deen tentunya mempunyai potensi target pasar dangkal/permukaan, dan merayakan kesenangan. terhadap kelompok-kelompok atau sub-kultur yang Dari penjelasan tersebut, budaya populer akan dijelaskan tersebut. mempengaruhi cara pola pikir masyarakat dalam bentuk dasar seperti mementingkan sifat permukaan, d) Komodifikasi Agama sebagai Dilema Aktivitas perayaan citra atau tanda-tanda, dan penampakan Dakwah Populer luar. Kondisi tersebut akan “membekas” atau Komodifikasi sebagai aktivitas ekonomi politik “membentuk” pola hidup masyarakat: lebih dalam masyarakat, pada akhirnya merupakan sebuah mementingkan kulit luar daripada isi, citra ketimbang bentuk mutakhir dari praktik kapitalisme. Hal makna sesungguhnya, popularitas ketimbang nilai- tersebut beriringan pada perkembangan nilai intelektual. industrialisasi yang menghasilkan sebuah produk Di sisi lainnya, agama kemudian terus berjalan, budaya (baca: budaya massa), akibat masifikasi berkembang, dan menyatu pada budaya populer komoditas-komoditas pada budaya populer. tersebut, yang bersifat industralisasi dan kapitalisme, Konsekuensi yang terjadi adalah bentuk-bentuk lain hanya akan diisi, diproses, dan dijalankan sebagai dari sebuah aktivitas kapitalisme dan mencari pemenuhan hasrat konsumerisme masyarakat dan keuntungan, termasuk komodifikasi itu sendiri, yang kebutuhan pasar (Jaelani & Piliang, 2018). Pada secara umum didefinisikan sebagai aktivitas akhirnya, muncul sebuah kondisi dimana hasrat- penjualan yang mengubah nilai fungsi/guna, menjadi hasrat masyarakat konsumer tersebut, akan melebur nilai tukar. Komodifikasi sering digambarkan pada pada unsur-unsur spiritualitas, dan membentuk sesuatu yang bersifat tidak mempunyai nilai fenomena yang dilematis di dalam praktik-praktik ekonomi, nilai tukar, atau “tidak dapat dijual”, keagaaman. Gaya hidup pada budaya populer yang menjadi sebuah ladang keuntungan bagi aktivitas bersifat membangun citra diri, profan atau duniawi, ekonomi kapitalisme itu sendiri. Dalam fenomena dan mengkonsturksi status sosial, melebur pada yang lebih mutakhir, nilai-nilai sakral atau budaya- aktivitas praktik-praktik agama yang bersifat suci, budaya yang lekat pada masyarakat dapat dijadikan sakral, dan pendekatan diri terhadap Tuhan. Kondisi sebuah komoditas yang mempunyai nilai ekonomi ini yang disebut Piliang dan Jaelani menjadi hal yang yang menghasilkan nilai profit, termasuk unsur paradoks, sebagai akibat dari mutkhirnya budaya keagamaan. populer yang menghegemoni melalui produk-produk Piliang dan Jaelani berpendapat bahwa terdapat dan gaya hidup pada masyarakat konsumer yang sebuah hal yang menjadi dilema, problematika, dan masih melekatkan nilai-nilai keagamaan, yakni kontradiksi, di dalam sebuah masyarakat budaya menyatunya suci dan profan, spiritual dan material. populer. Segala unsur apapun dapat membaur di Semua hal tersebut juga yang pada akhirnya dalam kehidupan masyarakat, termasuk budaya membawa pada fenomena yang disebut sebagai populer itu sendiri dan agama, yang semakin tidak “komodifikasi agama”, akibat kondisi bisa dipisahkan karena adanya kondisi tarik-menarik terperangkapnya praktik-praktik agama pada budaya yang dapat menggiring kepada sebuah permasalahan. populer, yang bersifat mencari keuntungan dan Praktik dan aktivitas agama, pada akhirnya berbaur berlogika kapitalisme. Fakhruroji menjelaskan bahwa dengan kondisi masyarakat kontemporer dan komodifikasi agama adalah sebuah fenomena indutrialisasi pada budaya populer, yang cenderung transformasi nilai-nilai agama, sebagai nilai mengacu pada logika kapitalisme dan pasar. Pada ketuhanan dan pedoman hidup, menjadi sebuah nilai akhirnya, agama juga diletakkan dalam mekanisme tukar yang dapat dijual, dengan menggunakan proses

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 18 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year)) yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan berbentuk simbol dan tanda, dan keniscyaan terhadap manusia, atas agama. Komodifikasi agama bentuk dakwah populer itu sendiri, dengan tujuan menjadikan agama sebagai sesuatu yang dapat mencerminkan nilai yang disebut kesalehan dan dikonsumsi, namun dalam hal ini, bukan sebagai keislaman (Saputra G. , 2016). Kondisi tersebut yang objek-objek dan nilai agama itu sendiri, melainkan kemudian juga dijelaskan oleh Piliang dan Jaelani simbol-simbol dan tanda yang tampilkan (Fakhruroji, sebagai upaya mengemas agama dalam kemasan 2010). Maka dari itu juga, komodifikasi agama tanda-tanda dan gaya hidup, yang kemudian seringkali membentuk agama dalam kemasan citra, membawa kondisi yang disebut sebagai tanda-tanda, simbol, dan gaya hidup, yang pada “komodifikasi agama”, karena adanya kondisi akhirnya membentuk kondisi “komodifikasi tanda dimana agama terperangkan terhadap unsur-unsur atau simbol keagamaan” itu sendiri (Jaelani & pada budaya populer (Jaelani & Piliang, 2018). Piliang, 2018). Dalam kategorisasi Vincent Mosco, Produk Keepers of the Deen, merupakan contoh komodifikasi tersebut masuk ke dalam “komodifikasi nyata dari bagaimana pesan-pesan yang berupa konten”, yakni perubahan pesan yang tadinya hanya simbol-simbol agama Islam kemudian berupa data, acuan, atau pedoman, menjadi sebuah ditransformasikan menjadi produk-produk pemikiran atau ideologi yang berbentuk produk atau keseharian, yang dapat diperjualbelikan. Pada komoditas, kemudian dapat dipasarkan dan akhirnya, semua unsur-unsur yang terdapat pada dikonsumsi oleh khalayak (Baharun & Niswa, 2019). dimensi Analisis Mikrostruktur (Analisis Teks) dan Menurut Rubiyanto (2020), komodifikasi konten Analisis Mesostruktur (Praktik Wacana), tidak lebih berfokus pada transformasi isi pesan yang tidak dari aktivitas menampilkan tanda-tanda dan simbol- memiliki nilai jual, agar dapat dengan mudah simbol agama ke ruang publik. Semua hal tersebut diterima oleh konsumen. Pesan-pesan tersebut kerap merupakan gambaran aktivitas dalam dakwah itu kali dimodif atau dikonstruksi sedimikian rupa, agar sendiri, yang berusaha memberi pesan dan nilai-nilai kemudian dapat menghasilkan nilai ekonomi. agama ke orang lain. Namun yang menjadi dilema Komunikasi sebagai bagian penting dalam adalah ketika proses kapitalisasi itu mendominasi komodifikasi konten mengandung simbol dan upaya-upaya dakwahnya, maka hal niscaya adalah gambaran yang nilainya membantu pembentukan sebuah komodifikasi agama itu sendiri, dimana kesadaran konsumen yang pada akhirnya semangat agama dapat menyatu dan melebur ke memberikan nilai surplus bagi produsen. Terutama dalam sebuah industrialisasi hiburan atau budaya pada masa sekarang dengan media baru yang populer, dan menghilangkan esensi dakwah itu memberikan kesempatan lebih banyak dalam sendiri, karena terlampau kebutuhan kapitalisasi, komodifikasi konten dengan mengtransformasi jual-beli, dan sekadar menampilkan tanda-tanda berbagai hal data, teks, gambar, motion pictures sebagaimana konsep Baudrillard (Saudi, 2018). hingga suara. Juga dijelaskan bahwa aktivitas spiritual yang Apabila dikaitkan kembali pada objek Keepers terperangkap pada logika “populer” atau of the Deen, yakni produk-produk kaus yang “komoditas”, maka hanya akan merayakan tampilan difungsikan sebagai aktivitas dakwah populer, yang tanda-tanda dan citra, makna permukaan pada akhirnya bersentuhan dengan kondisi dan sebagaimana karakter budaya populer itu sendiri, aktivitas komodifikasi agama. Gejala transformasi ketimbang makna awalnya yakni sebagai tujuan nilai ini terlihat dalam segala aktivitas dan produk- ibadah, kesucian, dan spiritualitas. Jika fokusnya produk Keepers of the Deen. lebih mengacu pada gaya hidup dan penampilan luar, Produk-produk Keepers of the Deen, pada maka ruang-ruang keagamaan itu semakin akhirnya menggambarkan bahwa dakwah dapat menyempit, karena manusia lebih memusatkan melebur menjadi benda-benda yang dilakukan di perhatian terhadap tanda-tanda tersebut, daripada keseharian. Selain itu, aktivitas Keepers of the Deen “pesan-pesan dan nilai ketuhanan” yang sublim dan juga memperlihatkan bahwa dakwah dapat terdapat di dalamnya (Jaelani & Piliang, 2018). Ia bersinggungan dengan budaya-budaya barat dan juga menjelaskan bahwa kondisi tersebut merupakan budaya populer itu sendiri. Hal-hal yang ditampilkan akibat dari karakteristik masyarakat yang membaur Keepers of the Deen, mengenai semangat street dalam multikultur, terutama pada perkembangan culture, kampanye-kampanye kreatif dalam media masyarakat kontemporer yang lebih dicirkan sebagai sosial, hingga desain yang dipilih untuk menjadi budaya komoditas dan lahirnya masyarakat- produk, pada akhirnya merupakan sebuah strategi masyarakat konsumerisme. Maka kondisi yang hadir dakwah populer. Keepers of the Deen menampilkan adalah meledaknya sebuah simbol-simbol agama pesan-pesan agama pada produk-produknya, melalui pada ruang-ruang komoditi, konsumerisme, dan tanda-tanda dan simbol pada Islam agama yang industrialisasi pada budaya populer yang menjadi bersifat sublim, dengan tujuan menyampaikan pesan sebuah gaya hidup kontemporer, kemudian tersebut ke manusia lainnya, sesuai dengan konsep terperangkap dan menjadi logika “komodifikasi dakwah itu sendiri. simbol-simbol pesan agama” serta berpotensi Aktivitas tersebut juga yang menggambarkan menghilangkan esensi-esensi utama, yakni dakwah bahwa ruang-ruang publik merupakan sebuah tempat itu sendiri. yang cocok untuk menampilkan pesan agama yang

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 19 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year))

Hal tersebut yang pada akhirnya menjadi dilema Dalam kacamata Analisis Wacana Kritis terhadap aktivitas dakwah, karena terjerat terhadap terhadap fenomena Keepers of the Deen, pada logika kapitalisme yang membungkus simbol-simbol akhirnya peneliti dapat melihat bahwa sebuah fashion agama menjadi sebuah hal yang dapat mempunyai fungsi yang beragam. Selain kebutuhan diperjuabelikan dan mendapat sebuah keuntungan, primer yakni sandang, fashion memiliki fungsi dalam sebagaimana fenomena komodifikasi agama itu menyebarkan wacana, dakwah agama, hingga media sendiri. Kendati tujuan awal yakni menyampaikan kapitalisasi. Keepers of the Deen, juga pesan-pesan agama melalui simbol-simbol, justru menggambarkan bahwa dakwah sangat bersifat menjadi momentum yang tepat bagi aktivitas fleksibel dan dapat mengikuti zaman, kemudian juga kapitalisme, terlebih pada sebuah kondisi dapat berbaur dengan media-media keseharian. menyatunya nilai-nilai agama pada budaya populer, Pesan-pesan yang disampaikan dalam Analisis Teks, termasuk kondisi masyarakat Indonesia yang pada akhirnya merupakan sebuah upaya dalam multikultur dan dapat dengan mudah menerima menyampaikan pesan-pesan Islam. Adapun pembaruan-pembaruan sesuai yang dijelaskan oleh kampanye-kampanye yang diusung oleh Keepers of (Miharja, 2014), di atas, juga munculnya bentuk- the Deen melalui produknya, seperti solidaritas umat bentuk dakwah baru yang menjelma menjadi gaya muslim dalam medukung Palestina dalam konflik hidup keseharian, termasuk sebuah kebutuhan dengan Israel, mengimani dan menjalani Tauhid dan sandang atau fashion sebagaimana yang dilakukan sunnah-sunnah Nabi, menjadi pribadi yang saleh oleh Keepers of the Deen. dengan menjaga Din, hingga menghindari dan Semua hal tersebut tidak lepas dari potensi melawan aktivitas-aktivitas yang kontra dengan adanya fenomena consumer tribe, dimana sebuah agama seperti pada halnya pesan yang masyarakat atau dapat dikategorikan sebagai pasar, direpesentasikan pada kausBandung Versus kini saling bersikap apresiasi dan mendukung untuk Liberalisme. Sebagimana aktivitas dakwah melalui melestarikan ideologi mereka melalui aktivitas medium budaya populer, bentuk-bentuk fashion pada konsumsi, yang tak lebih dengan tujuan medium yang lebih populer oleh Keepers of The menampilkan tanda-tanda tersebut pada ruang publik, Deen, juga mencerminkan sebuah pola dakwah sebagaimana konsep Baudrillard, mengenai symbolic menuju kearah kreatif, bahwa tren tersebut didasari and sign value, dalam aktivitas konsumsi. Melalui akan kesadaran, keinginan untuk menyampaikan consumer tribe tersebut, dapat dilihat bahwa sebuah nilai agama, dengan membidik atau beberapa masyarakat yang mempunyai ideologi yang mentargetkan pada umat muslim, dalam kasus sama dalam sebuah sub-kultur. Maka konsekuensi Keepers of the Deen adalah anak-anak muda muslim yang digambarkan oleh consumer tribe, adalah atau remaja muslim yang juga menggandrungi street sebuah masyarakat yang terus melakukan konsumsi culture, sebagaimana yang dijelaskan oleh Deri. simbol-simbol dengan tujuan menyebarkan pesan- Selain itu, dengan gaya parodi, memodif desain- pesan dakwah. Bagi Keepers of the Deen, kondisi ini desain produk budaya populer dengan tujuan merupakan hal yang “legit”, karena pada akhirnya dakwah; perubahan bentuk dakwah tersebut juga memposisikan consumer tribe tersebut sebagai bertujuan agar pesan-pesan dan nilai agama, dapat peluang untuk melakukan aktivitas kapitalisasi. terus eksis, dan usaha menyeimbangkan hegemoni- Maka kembali pada pembahasan awal, kondisi- hegemoni budaya barat. Menurut Hasan, Triantoro, kondisi yang dijelaskan pada akhirnya merupakan Bull dalam Saputra (2019: 521), bahwa segala jenis gambaran dari praktik reproduksi kebudayaan dan dakwah tersebut merupakan upaya umat Islam dalam komodifikasi agama. Sebagaimana yang dijelaskan menentang hegemoni konsep modernitas budaya oleh Fakhruroji bahwa komodifikasi merupakan asing, dan merumuskan ulang nilai-nilai agama islam konsturksi kultural dan historis yang sangat dengan konteks yang diinginkan. Pada akhirnya, kompleks. Agama tersebut kemudian direproduksi Keepers of the Deen menawarkan sebuah bentuk dalam sebuah konteks kebudayaan tertentu dengan baru yang lebih cair, yang lebih baru dan mudah melihat sebuah kerangka dan potensi kultural yang diterima oleh masyarakat, dengan menggabungkan sedang terjadi atau dijalani, untuk mempertegas unsur-unsur budaya populer dengan nilai-nilai dan kembali simbol-simbol agama tersebut. pesan agama Islam. Juga menurut Saputra Komodifikasi tidak bertujuan untuk membentuk (2019:536), kaus-kaus tersebut berujung pada sebuah gerakan atau agama baru, yang kemudian cerminan nilai kesalehan dan nilai keimanan bagi menjadi lawan dari praktik dan keyakinan agama individu yang memakainya, kaus dakwah dapat sebelumnya. Namun, komodifikasi akan terus membawa individu dan masyarakat menjadi taat, mendudukan agama sebagai sebuah fungsi spiritual, saleh, sekaligus gaul, dan trendi. menjadi sebuah komoditas atau produk yang dapat Namun, di sisi lain, pengaruh unsur dan sifat- dikonsumsi oleh masyarakat tertentu (Fakhruroji, sifat kapitalisme dalam budaya populer, nampaknya 2010). merupakan sebuah hal yang tak luput dan tidak dapat dihindari. Meninjau dari komodifikasi konten yang KESIMPULAN digagas oleh Mosco, dalam situasi yang lebih lanjut, pada akhirnya terjadi sebuah pergeseran nilai-nilai sakral dan suci pada agama menjadi sebuah hal yang

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 20 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year)) dapat diperjualbelikan, dalam hal ini adalah Aprianti, R. (2015). Ekonomi Politik Media komodifikasi agama. Juga munculnya fenomena Komodifikasi Pekerja Dalam Industri Media seperti sifat Masyarakat Konsumeris yang gemar Hiburan Indonesia. Wardah, 14(1), 87–101. mencari identitas diri dengan mendistribusikan sign- Ardia, V. (2014). Drama Korea dan Budaya Popular. value, agaknya menjadi sebuah dilema tersendiri bagi LONTAR: Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(3), praktik-praktik keagamaan tersebut, terlebih aktivitas 12–18. https://e- distribusi simbol dan tanda melalui gaya hidup di jurnal.lppmunsera.org/index.php/LONTAR/ ruang publik. Selain itu, juga dapat meninjau dari article/view/337 fenomena consumer tribe, yang akan selalu menjadi Baharun, H., & Niswa, H. (2019). Syariah Branding; pendukung daripada aktivitas jual-beli tersebut, Komodifikasi Agama Dalam Bisnis termasuk di dalamnya adalah produksi dan Waralaba Di Era Revolusi Industri 4.0. reproduksi. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Proses-proses komodifikasi tersebut, tak Keagamaan, 13(1), 75–98. lekang dari pengaruh percampuran nilai-nilai agama https://doi.org/10.18326/infsl3.v13i1.75-98 dalam budaya populer. Ciri-ciri budaya populer Bakar, M. Y. A. (2012). Pengaruh Paham seperti dangkal atau tidak mengutamakan subtsansi, Liberalisme dan Neoliberalisme Terhadap lebih mengutamakan permukaan daripada Pendidikan Islam di Indonesia. Tsaqafah, kedalaman, lebih bersifat merayakan kesenangan, 8(1), 135. hingga menggunakan logika kapitalisme: merupakan https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v8i1.22 sisi lain titik dilema yang ditemukan pada fenomena Cenderamata, R. C. &, & Darmayanti, N. (2019). dakwah yang lebih populer sebagaimana aktivitas Analisis Wacana Kritis Fairclough Pada Keepers of the Deen. Dalam kondisi yang sangat Pemberitaan Selebriti Di Media Daring. kompleks, budaya populer yang bersifat industrial Jurnal Literasi, 3(April), 1–8. tersebut, dapat membawa praktik agama menuju https://www.researchgate.net/publication/33 sebuah kondisi komodifikasi dengan motif mencari 1830467_ANALISIS_WACANA_KRITIS_ keuntungan ekonomi(Jaelani & Piliang, 2018). FAIRCLOUGH_PADA_PEMBERITAAN_ Dalam kondisi tersebut juga, praktik-praktik SELEBRITI_DI_MEDIA_DARING_FAIR keagaman yang bersifat sakral, dapat melebur pada CLOUGH’S_CRITICAL_DISCOURSE_A sifat-sifat “buruk” yang terkandung dalam gaya NALYSIS_OF_CELEBRITY_NEWS_ON_ hidup di budaya populer, sehingga menyebabkan ONLINE_MEDIA sebuah kontradiksi yang akut. Piliang dan Jaelani Chang, H. C. (2010). A new perspective on Twitter juga menjelaskan bahwa kondisi tersebut merupakan hashtag use: Diffusion of innovation theory. pencampuran unsur sakral dengan hal yang bersifat Proceedings of the ASIST Annual Meeting, profan. Praktik keagamaan yang bersifat mensucikan 47. diri, menggapai kedalaman spiritual, menjadi https://doi.org/10.1002/meet.14504701295 melebur dalam budaya populer yang bersifat Chow, J., & Kostov, N. (2015, November 27). konsumtif, membangun citra diri, gaya hidup France Honors Victims of Paris Terrorist kesenangan, dan lain-lain. Pada akhirya, kegiatan Attacks - WSJ. Wall Street Journal. dakwah “populer”, seperti terjebak dalam logika https://www.wsj.com/articles/france-honors- kapitalisasi, dan memandang bahwa sebuah nilai- victims-of-paris-terrorist-attacks- nilai tersebut merupakan bagian dari kebutuhan 1448635450 manusia atau gaya hidup dan dapat diperjualbelikan, Dahlan, A. (2015). Pengertian Dakwah Dalam atau kondisi yang disebut sebagai komodifikasi Pandangan Islam, Budaya dan Al-Qur’an. agama. Eurekapendidikan.Com. http://www.eurekapendidikan.com/2015/11/ pengertian-dakwah-dalam-pandangan- DAFTAR PUSTAKA hukum.html Effendi, S. (2018). Pengaruh Pengungkapan Akbar, B. Z. (2018). Kontekstualisasi Hadis Tentang Corporate Social Responsibility dan Good Anjuran Memelihara Jenggot dan Larangan Corporate Governance terhadap Isbal Pada Zaman Kekinian. Al-Dzikra: Profitabilitas Perusahaan Indeks Sri Kehati Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits, [Universitas Islam Bandung]. In Jurnal 12(2), 137–164. https://doi.org/10.24042/al- STEI Ekonomi (Vol. 27, Issue 2). dzikra.v12i2.2069 https://doi.org/10.36406/jemi.v27i2.138 Anam, N. (2016). Komodifikasi Agama dan Eriyanto. (2011). Analisis Wacana: Pengantar Kapitalisme ( Studi atas Acara Religi dalam Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, Tayangan Kata Ustadz Solmed ). In jurnal 2011),. LKIS. Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Fakhruroji, M. (2014). Komodifikasi Agama Sebagai Kalijaga Yogyakarta. Universitas Islam Masalah Dakwah. Jurnal Ilmu Dakwah, Negeri Sunan Kalijaga. 5(16), 1. https://doi.org/10.15575/jid.v5i16.352

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 21 Jurnal Lontar volume(…) no.(…) (month-month,(year))

Farihah, I. (2013). Media dakwah pop. AT- jurnal.lppmunsera.org/index.php/LONTAR/ TABSYIR, Jurnal Komunikasi Penyiaran article/view/1546 Islam, 1(2), 25–45. Saputra, E. (2019). Kaos Dakwah: Wacana http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/ko Kesalehan, Pasar Islam, Dan Ideologi Islam. munikasi/article/view/432 Penamas, 32(1), 519–538. Fatah, A. (2017). Keberkahan Al-Aqsha Perspektif Saudi, Y. (2018). Media dan Komodifikasi Dakwah. Hermeneutika Schleiermacher. Jurnal Al-I’lam: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Penelitian, 14(1), 1. Islam, 2(1), 37. https://doi.org/10.28918/jupe.v14i1.807 https://doi.org/10.31764/jail.v2i1.537 Fitriono, E. N., & Suhono. (2017). Wacana Negara Soeriaatmadja, K. (2017). Consumer Tribe dan Islam: Kajian Kritis Kontruksi Pemikiran Industri Gaya Hidup di Bandung , Khilafah Ala Hizbut Tahrir. Ri’ayah: Indonesia. Jurnal Keamanan Nasional, 3, Journal of Social and Religious, Vol. 2(2), 149–166. 43–55. Studi, P., Prancis, S., Ilmu, F., Budaya, P., & Furqan. (2012). Peran Muhammadiyah Dalam Indonesia, U. (2013). MENURUT KONSEP Membendung Arus Pemikiran Sekulerisme, PEMIKIRAN JEAN BAUDRILLARD Pluralisme, Dan Liberalisme (Periode Mutia Hastiti Pawanti. Ilmu Pengetahuan Kepemimpinan 2000-2010). Tajdida, 10(1). Budaya, 1–9. http://eprints.ums.ac.id/20726/15/08_Naska Subagyo, P. A. (2018). Hamparan Wacana dari h_Publikasi.pdf praktik ideologi, Media, hingga kritik Hidayatullah, A. S. (2018). Eksistensi Islam Kultural psikolonial. Di Tengah Gempuran Gerakan Islam Sumadi, E. (2016). Dakwah dan Media Sosial: Transnasional. Jurnal Ilmu Agama: Menebar Kebaikan Tanpa Diskrimasi. Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, 4(1), Fenomena Agama, 19(1). 173–190. https://doi.org/10.19109/jia.v19i1.2380 http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/ko Kumparan. (2017). 9 Fakta soal Al-Aqsa dan munikasi/article/viewFile/2912/2083 Konfliknya yang Perlu Kamu Tahu. Syah, H. (2013). Dakwah Dalam Film Islam Di Kumparan. Indonesia (Antara Idealisme Dakwah Dan Kusumah, A. (2019). Masyarakat Jawa Barat Peduli Komodifikasi Agama). Jurnal Dakwah UIN Negeri Gelar Aksi Damai Tolak Sunan Kalijaga, 14(2), 263–282. Liberalisme. https://doi.org/10.14421/jd.2013.14206 https://www.infobdg.com/v2/masyarakat- Wahidin, A. (2017). Kurikulum Pendidikan Islam jawa-barat-peduli-negeri-gelar-aksi-damai- Berbasis Tauhid Asma Wa Sifat. Edukasi tolak-liberalisme/ Islami : Jurnal Pendidikan Islam, 3(06). Miharja, D. (2014). Persentuhan Agama Isam https://doi.org/10.30868/EI.V3I06.49 Dengan Kebudayaan Asli Indonesia. Zuhdi, M. harfin. (2014). Konsep kepemimpinan MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, dalam islam. EDUKASI: Jurnal Pendidikan 38(1). Islam, 19(01), 35–57. https://doi.org/10.30821/miqot.v38i1.97 Mufid, A. S. (2011). Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Nuswantara, N. G. (2019). VISUALISASI TAGAR DALAM MEDIA SOSIAL INSTAGRAM (Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough). DeKaVe, 12(2), 21–34. https://doi.org/10.24821/dkv.v12i2.3521 Piliang, Y. A., & Jaelani, J. (2019). Teori Budaya Kontemporer Penjelajahan Tanda & Makna (1st ed.). Rismawati, F. (2016). Pendidikan Tauhid melalui Metode Berpikir Rasional-Argumentatif ( Telaah Buku “ Beyond The Inspiration ” Karya Felix Siauw ). Jurnal Pendidikan Agama Islam, 13(2), 185–196. Rubiyanto. (2020). Komodifikasi Dangdut Empat Generasi di Televisi (Analisis Perluasan Pasar Media). LONTAR: Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(1). https://e-

Copyright © 2018, Lontar:Jurnal Ilmu Komunikasi | 22