Identifikasi Elemen Arsitektur Khas C.P. Wolff Schoemaker Dalam Arsitektur Masjid Raya Cipaganti

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Identifikasi Elemen Arsitektur Khas C.P. Wolff Schoemaker Dalam Arsitektur Masjid Raya Cipaganti Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1, A 145-52 https://doi.org/10.32315/sem.1.a145 Identifikasi Elemen Arsitektur Khas C.P. Wolff Schoemaker dalam Arsitektur Masjid Raya Cipaganti Raudina Rachmi1, Bambang Setia Budi2 1 Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. 2 Asisten Profesor, Kelompok Keahlian Sejarah Teori dan kritik Arsitektur, Program Studi Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Bandung. Korespondensi : [email protected] Abstrak Prof. Charles Prosper Schoemaker merupakan seorang arsitek berdarah Belanda yang banyak menorehkan karya di Indonesia khususnya Bandung selama masa kolonial. Banyak sekali bangunan- bangunan penting di Bandung yang merupakan hasil karya tangan dingin beliau. Salah satu yang masih kokoh berdiri dan juga dikonservasi yaitu Masjid Raya Cipaganti. Tempat ibadah dengan nuansa masjid Jawa kuno ini merupakan hasil dari akulturasi bentuk arsitektur lokal dan barat. Dengan tetap membubuhkan elemen-elemen arsitektur khas beliau, Schoemaker berhasil membuat sebuah masjid bernilai arsitektur Islam sekaligus berkearifan lokal. Beberapa elemen-elemen arsitektur tersebut juga ditemukan pada karya-karya Schoemaker lainnya seperti Grand Hotel Preanger, Gereja Bethel, dll. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi elemen arsitektur apa saja yang dibubuhkan oleh Schoemaker pada Masjid Raya Cipaganti, yang juga memiliki kemiripan dengan elemen-elemen arsitektur pada karyanya yang lain. Kata-kunci : arsitektur, bangunan, bersejarah, C.P. Wolff Schoemaker, Masjid Raya Cipaganti Pendahuluan Kurang lebih 3,5 abad lamanya Pemerintah Belanda menduduki Indonesia. Tentu saja 3,5 abad merupakan waktu yang sangat cukup bagi Belanda dalam menanamkan pengaruh-pengaruhnya. Bukan hanya pengaruh politik, sosial, ekonomi, namun juga budaya — termasuk arsitektur. Tidak sedikit bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang hingga saat ini masih berdiri kokoh di beberapa kota di Indonesia, Bandung salah satunya. Kokoh berdirinya bangunan-bangunan bersejarah di Kota Bandung juga turut mengangkat nama besar arsitek yang ada dibaliknya. Salah satunya yaitu Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker, atau yang lebih sering disebut dengan C.P. Wolff Schoemaker. Karya-karya Schoemaker merupakan sedikit dari sekian banyak peninggalan kolonial Belanda yang hingga saat ini masih dipelihara dan dikonservasi dengan baik. Sebut saja Villa Isola (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Gedung Merdeka, Majestic, Hotel Grand Preanger, Gereja Bethel Bandung, dan Masjid Raya Cipaganti. Salah satu karya Schoemaker yang menarik untuk dilihat adalah Masjid Raya Cipaganti. Artefak bangunan Masjid Raya Cipaganti ini masih bisa dilihat dan dikunjungi di Jalan Cipaganti no.85 Kota Bandung. Desainnya sangat merespon konteks Bandung sebagai kota yang beriklim tropis dengan menggunakan atap piramida bertumpuk khas masjid Jawa yang dipadukan arsutektur Eropa melalui penggunaan struktur kuda-kuda dan juga detail-detail ornamen khas Schoemaker. Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 145 ISBN 978-602-17090-5-4 E-ISBN 978-602-17090-4-7 Menelusuri Jejak C.P. Wolff Schoemaker dalam Arsitektur Masjid Cipaganti Gambar 1 Kondisi Masjid Cipaganti saat ini. Sumber: Dokumentasi pribadi Makalah ini membahas tentang kekhasan elemen arsitektur C.P. Wolff Schoemaker yang terdapat pada Masjid Raya Cipaganti dengan cara mencari kesamaan yang ada pada karya-karyanya yang lain seperti Villa Isola (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Gedung Merdeka, Bioskop Majestic, Hotel Grand Preanger, dan Gereja Bethel Bandung. Tujuannya untuk mengidentifikasi elemen arsitektur pada Masjid Raya Cipaganti yang juga terdapat pada karya C.P. Wolff Schoemaker lainnya. Objek dan Persoalan Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker merupakan salah seorang arsitek penting berdarah Belanda yang berkontribusi banyak dalam pembangunan Indonesia pada masa kolonial. Beliau memulai karir justru di dunia militer. Hingga kemudian beliau mendirikan sebuah biro arsitek bersama adik kandungnya Richard Leonard Arnold Schoemaker. Namun biro ini harus tutup saat C.P. Wolff Schoemaker resmi diangkat menjadi Profesor di Technische Hoogeschool Bandoeng atau yang lebih sekarang dikenal dengan ITB. Seorang art-historian Belanda bernama C.J. van Dullemen dalam bukunya berjudul Tropical Modernity: Life and Work of C.P. Wolff Schoemaker mengelompokkan karya-karya Schoemaker dalam tiga periodisasi waktu seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Periodisasi karya C.P. Wolff Shoemaker Periodisasi Karakteristik Contoh Bangunan Tahun 1918-1920 Menggunakan material beton yang sangat fungsional dan modern serta kental dengan gaya Eropa. Gambar 2 Kodam III Siliwangi (1918). Sumber: kebudayaan.kemendikbud.go.id A 146 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Raudina Rachmi Periodisasi Karakteristik Contoh Bangunan Tahun 1921-1924 Penambahan ornamen lokal. Schoemaker berfikir bahwa konstruksi gaya barat harus dilestarikan, sementara kearifan lokal hanya dijadikan dekorasi saja. Gambar 3 Gedung New Majestic (1924). Sumber: Dokumen pribadi 1925-1940 Dekorasi lokal hilang dan bentuk bangunannya didominasi elemen horizontal dan vertikal danlayered dome yang dipinjam dari stupa-stupa India Gambar 4 Villa Isola (1933). Sumber: hotel-r.net Gambar 5 Plakat pembangunan Masjid Raya Cipaganti. Sumber: Dokumentasi pribadi Gambar 6 Struktur atap Masjid Raya Cipaganti. Sumber: Dokumentasi pribadi Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 147 Menelusuri Jejak C.P. Wolff Schoemaker dalam Arsitektur Masjid Cipaganti Salah satu masterpiece C.P. Wolff Schoemaker yaitu Masjid Raya Cipaganti — merupakan sebuah masjid yang dibangunnya pada tahun 1933. Masjid ini terletak di daerah Cipaganti tepatnya Jalan Cipaganti no.85 Kota Bandung — sebuah daerah permukiman elit Belanda yang dulu dikenal dengan nama Nijlandweg. Schoemaker memadukan kearifan lokal arsitektur masjid Jawa dengan sentuhan- sentuhan gaya arsitektur Eropa. Namun berbeda dengan karya-karya Schoemaker lainnya yang berskala lebih monumental dan kental dengan gaya Eropa, Masjid Raya Cipaganti ini skalanya lebih kecil. Selain itu masjid ini mengadopsi tipologi masjid Jawa pada umumnya yang khas dengan atap tumpuk dan empat kolom utama. Namun tetap, strukturnya menggunakan teknologi Eropa yaitu kuda-kuda kayu segitiga. Tidak ketinggalan, ornamen-ornamen khas Schoemaker juga dibubuhkan dalam desain masjidnya ini. Pembahasan C.P. Wolff Schoemaker memiliki beberapa ciri yang khas yang terdapat pada bangunan-bangunan yang didesainnya. Walaupun Masjid Raya Cipaganti ini lebih kental dengan nuansa kejawen khas masjid Jawa pada umumnya, namun Schoemaker masih meninggalkan jejak-jejak berupa elemen- elemen arsitektur khas dirinya pada bangunan peribadatan ini. Salah satu kekhasan bentuk plafon overhang atau teritisan di bagian serambi samping masjid yang dibentuk oleh elemen-elemen garis. Plafon overhang ini terbilang unik karena justru memiliki kemiringan yang yang berlawanan dengan kemiringan atap. Elemen garis pada overhang ini miring ke dalam bangunan, sedangkan overhang pada umumnya miring ke arah luar bangunan karena fungsinya memang untuk menghalau air hujan masuk ke dalam bangunan. Elemen garis pada overhang ini juga terdapat pada karya Schoemaker lainnya yaitu Menara Gereje Bethel Bandung. Gambar 7 Elemen garis pada overhang serambi. Gambar 8 Elemen garis pada overhang menara Sumber: masjid-photograph.blogspot.co.id (disunting) Gereja Bethel Bandung. Sumber: scontent.cdninstagram.com (disunting) Bentuk atap pada Masjid Raya Cipaganti juga memiliki kemiripan dengan Gereja Bethel, yaitu bentuk pyramidal stacked roof atau yang biasa disebut dengan atap tumpuk. Atap tumpuk ini juga merupakan ciri khas dari masjid-masjid tradisional di Jawa. Dalam keyakinan Jawa jumlah tumpukan atap haruslah ganjil. Hal ini terlihat pada bentuk atap Masjid Raya Cipaganti yang bertumpuk tiga. Tumpukan paling atas merupakan sebuah ruang yang hingga saat ini dapat diakses menggunakan tangga. Schoemaker mendesain ruangan ini untuk pengeras suara. Karena itulah suara adzan dari masjid ini bisa terdengar hingga Cihampelas. A 148 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Raudina Rachmi Gambar 9 Atap Masjid Raja Cipaganti. Sumber: Dokumentasi pribadi Detail arsitektur lain yang kembali diulang oleh Schoemaker yaitu bentur arc sebagai entrance bangunan. Arc atau arkus juga digunakannya pada beberapa bangunan seperti Gereja Bethel dan Gedung Biofarma yang terletak di Pasteur. Bidang arkus pada Gedung Biofarma Pasteur dihiasi dengan ornamen dekoratif khas arsitektur Art Deco yang kebarat-baratan, namun pada Masjid Raya Cipaganti bidang arkusnya dihiasi oleh kaligrafi Arab bertuliskan La ghaliba ilallah yang berarti ‘Hanya Allah satu-satunya penakluk’. Gambar 3 Entrance Masjid Raya Cipaganti. Gambar 11 Entrance pada Gedung Biofarma Pasteur. Sumber: Dokumentasi pribadi Sumber: republika.co.id Desain Masjid Raya Cipaganti juga cenderung ornamental sangat khas Schoemaker dalam rentang Gambar 4 Kaligrafi La ghaliba ilallah pada entrance Masjid Raya Cipaganti. Sumber: Dokumentasi pribadi periodisasi karyanya pada tahun 1921-1924 — walaupun masjid ini dibangun pada tahun 1933. Menurut Schoemaker, unsur vernakular pada bangunan cukup diimplementasikan dalam wujud ornamen saja. Struktur dan konstruksi seharusnya menggunakan gaya Barat yang pada saat itu lebih maju. Hal ini berlawanan dengan beberapa arsitek besar lainnya yang justru mengembangkan arsitektur
Recommended publications
  • Open Access Proceedings Journal of Physics
    https://series.gci.or.id Global Conferences Series: Sciences and Technology (GCSST), Volume 2, 2019 The 1st International Conference on Education, Sciences and Technology DOI: https://doi.org/10.32698//tech1315159 Microclimate effect toward indoor and outdoor temperature of Villa Isola UPI Beta Paramita1, Titim Fatimah Zahro1 1Department of Architectural Education, Universitas Pendidikan Indonesia, Indonesia Abstract. Villa Isola is one of the heritage buildings with art deco relic of the Dutch East Indies, now became the rectorate of Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). The building was built in October 1932 – March 1933 and changes its function into office in 1954. The changes of the spatial structure from 4 floors into five floors to meet the needs of space, it also changed the interior with a segmented room. Measurement of the globe temperature (Tg); air temperature (Ta) and the surface temperature (Ts) were performed at a point indoor and outdoor with a 15 minutes interval. The phenomenon of heat temperature difference (∆Ts) at 0.50°C indoor, meanwhile the outdoor ∆Ts = 2.2°C. This paper then, will give a description of Villa Isola, its temperature alteration both indoor and outdoor. Keywords: microclimate, Isola Bumi Siliwangi, indoor and outdoor temperature 1. Introduction A microclimate is a local atmospheric local zone where the climate differs from the surrounding area. Microclimates can be influenced by urban building configuration and can differ considerably to the local meteorological data that is usually measured for that region. Urban microclimate consists of local variations of the wind, humidity, solar radiation, and temperature, as a result of many factors.
    [Show full text]
  • Building the Dutch East Indies
    In this trilogy Remco Vermeulen, Advisor Indonesia, searches for the shared past and shared future of the Netherlands and Indonesia. His personal journey of discovery leads from his own family history to today’s dynamic debate of cultural cooperation. Through this journey, his subjective and nostalgic image of Indonesia develops along with the complex and modern image in which many personal histories define the relationship between both countries. Part 1 – Building the Dutch East Indies My first image of Indonesia was shaped by the many stories my grandfather, or opi as we used to call him, told me as a little boy, and which he put in writing in the 1990s. His stories sketch an image of a carefree childhood in the Dutch East Indies. Sawahs at Singosari, 2015 (Collection Daphne Vermeulen) Early childhood In 1934 my opi’s brother builds a house in the village of Singosari, about 90 kilometres south of Surabaya, East Java. It is one of those typical Indo-European (or ‘Indo’) residences of the upper middle class, with all living quarters on the ground floor, shadowy verandas and high roofs with tiles and small openings for ventilation. My opi is about ten years old when he moves to Singosari with his parents, which is a small village amidst rice fields and tropical forests. After school he runs around with his dog and shoots pigeons with a small airgun. He has kite fights with the kampong children or helps his mother with baking Indo delicacies such as spekkoek, mocha cakes or koningskronen. In Surabaya, the big city, where he attends the Koningin Emma technical high school, he goes to the movies with his school friends who have Indo-Chinese, Dutch, Indo, Portuguese-Indo and Javanese backgrounds.
    [Show full text]
  • Indisch) Di Indonesia (Karya Arsitek CP Wolff Schoemaker
    Moh. Fachruddin Suharto Jurnal Sains dan Teknologi, Universitas Negeri Manado www.unima.ac.id/lppm/efrontiers Karakter Bangunan Kolonial Belanda (Indisch) di Indonesia (Karya Arsitek C. P. Wolff Schoemaker) Moh. Fachruddin Suharto Jurusan PTB Prodi Arsitektur Fakultas Teknik UNIMA [email protected] ABSTRAK Selama 350 tahun bangsa Belanda menguasai nusantara, banyak meninggalkan bukti sejarah, salah satunya adalah bangunan Kolonial Belanda (Indisch). Sebagai bangunan peninggalan yang tentunya telah berumur, bangunan Kolonial Belanda (Arsitektur Indisch) telah teruji bertahan lama secara teknis dan berhasil juga sebagai suatu karya arsitektur yang memiliki nilai teknologi dan historis. Peninggalan bangunan-bangunan kolonial tersebut membuktikan adanya sumber daya manusia (arsitek) yang dimiliki bangsa Belanda dan sangat menguasai konsep-konsep karya klasik Eropa tetapi juga menguasai konsep-konsep arsitektur tropis dan budaya tradisional Indonesia secara mendalam. Sejumlah arsitek Belanda yang menghasilkan karyanya di Indonesia antara lain: C.P Wolff Schoemaker, Henricus Maclaine Pont, Herman Thomas Karsten, C. Citroen, F.J Lauwrens Ghijsels dan W. Lemei serta biro-biro insinyur yang memiliki banyak arsitek Belanda. Bangunan-bangunan peninggalan kolonial tersebut yang hingga kini masih cukup banyak dipakai walaupun telah beralih fungsi terlihat kokoh dan anggun. Berdasarkan penglihatan tersebut, mencoba untuk mengamati dan memahami karakter bangunan karya-karya arsitektur dari salah seorang arsitek-arsitek Belanda tersebut yaitu Prof. C.P Wolff Schoemaker, yang memadukan gaya modern dan tradisional yang kemudian didiskripsikan ke dalam tulisan ini dengan pendekatan teori, metode dan aplikasinya. Kata kunci : Arsitektur Kolonial (Indisch), C.P Wolff Schoemaker , Karakter bangunan ASTRACT During the 350 years the Dutch controlled the archipelago, many leaving historical evidence, one of which was the Dutch Colonial (Indisch) building.
    [Show full text]
  • Weg Tot Het Oosten: Afscheidsbundel Voor Kees Groeneboer
    Deze uitgave is tot stand gekomen in samenwerking met de Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia te Depok en de Nederlandse Taalunie te Den Haag. Dit boek is aangeboden aan Dr. Kees Groeneboer die meer dan 35 jaar bij de vakgroep Nederlands FIBUI als docent en later als academisch advieseur heeft gewerkt. Weg tot het oosten: Afscheidsbundel voor Kees Groeneboer Program Studi Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Depok 2019 Christina T. Suprihatin, Munif Yusuf, en Jaap Grave (eds.) Weg tot het oosten: Afscheidsbundel voor Kees Groeneboer Program Studi Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019 Desain sampul: Amalia Putri Astari Desain layout: Munif Yusuf dan Mohammad Farhan Hibatullah ISBN:978-602-9054-58-3 No part of this publication may be reproduced or transmitted in any form of by any means, electronic or mechanical, including photocopy, recording or any information storage and retrieval system, without permission from the copywright owner. Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Kampus Universitas Indonesia Depok 16424 Voorwoord Denken aan het afscheid van Kees Groeneboer is niet gemakkelijk, want veel dingen kunnen niet in woorden gezegd worden. Kees Groeneboer is heel lang verbonden geweest aan de Vakgroep Nederlands, Universitas Indonesia. Zelfs toen we nog studenten waren, was hij er al. Hij is onze docent geweest en later onze collega geworden toen hij als academisch adviseur van de Nederlandse Taalunie functioneerde. We gingen geregeld naar hem toe: op zoek naar antwoorden, om iets te bediscusiëren, en zo af en toe adviezen te vragen. In al die tijd heeft hij vele dingen voor onze vakgroep gedaan.
    [Show full text]
  • Villa Mei Ling in Bandung: a Historical Building for the Dutch East Indies
    Villa Mei Ling in Bandung: a historical building for the Dutch East Indies Introduction On 22-7-1930 the paper “Het nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie“ published an article called “A millionaires boulevard! New palaces in Bandung” great plans. It states among others That Bandung will have a brand new suburb on the North, near the Dr. de Grootweg, the new connection road between the Dagoweg and the road to Lembang. That Mr. K.B. Han of Parapattan, Batavia, the well-known landlord of Bekasi, acquired a premises of 30.000 square meters there, after Mr. Hoogland – a connoisseur as few others of Bandung and surroundings - personally had shown him the attractions of this terrain in view of his intention to build a large estate . The view - one could say a panorama – surely is very magnificent. That engineer Voorhoeve from Bandung has visited the ss Baloeran to precisely study the decorations on the wall and the staircases of this beautiful ship, this on instruction of Mr. Han and with permission of the Lloyd. In the future palace the study of Mr. Voorhoeve will be used and every effort will be made to make the external architecture and the interior as modern and beautiful as possible. It will be a fairylike building! At the moment that this article was published the building of the villa which would later be called Villa Mei Ling was in full swing. According to this article Already thousands of koelies are engaged in the construction of a connection with the Dr.de Groot road and soon the construction of the new building will start.
    [Show full text]
  • Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt Modernism
    INAUGURAL SPEECHES AND OTHER STUDIES IN THE BUILT ENVIRONMENT SPEECHES AND OTHER STUDIES IN THE BUILT INAUGURAL Abidin Kusno [Guest Editor] ISSUE 5 Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt Modernism and national characteristics #5 | CHARLES PROSPER WOLFF SCHOEMAKER & VINCENT VAN ROMONDT CHARLES SCHOEMAKER & PROSPER WOLFF VINCENT VAN Inaugural Speeches and Other Studies in the Built Environment Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt TU Delft Open 2020 Abidin Kusno [Guest Editor] ISSUE 5 Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt Modernism and national characteristics TU Delft Open 2020 Inaugural Speeches and Other Studies in the Built Environment Inaugural Speeches and Other Studies in the Built Environment Series Editors: Herman van Bergeijk and Carola Hein [Chair History of Architecture and Urban Planning, TU Delft] ISSUE 5 C.P. Wolff Schoemaker and Vincent Van Romondt Modernism and national characteristics Guest Editor: Abidin Kusno Design: Sirene Ontwerpers Layout: Phoebus Panigyrakis The works of Dutch architects and educators whose careers were spent mostly in colonies far away from the Netherlands, received little attention in their home country. But in Indonesia, the former largest colony of the Dutch empire, they have always been part of the country’s architectural history. They continue to be recognized and referred to, even after a generation has passed. This small booklet contains the speeches of two of the most influential Dutch professors who mentored the majority of the first generation of Indonesian architects: C.P. Wolff Schoemaker (1882-1949) and Vincent van Romondt (1903-1974). Clearly Schoemaker and Van Romondt held different views about the challenges of architecture in the world as well as in Indonesia.
    [Show full text]
  • Tinjauan Furnitur Art Deco Pada Villa Isola
    Tinjauan Furnitur Art Deco pada Villa Isola Saryanto Riza Septriani Dewi Abstrak Villa Isola adalah bangunan art deco di bagian utara kota Bandung, ibu kota Propinsi Jawa Barat. Di bukit dengan pemandangan kota, Villa Isola dibangun pada tahun 1933 oleh seorang arsitek Belanda bernama Wollf Schoemaker untuk seorang hartawan bernama Dominique William Beretty, penemu dari Agen publikasi Aneta di Belanda. Tujuan utama pembangunan Villa Isola adalah sebagai rumah tinggal untuk Berretty. Tapi baru beberapa bulan ditinggali Villa Isola dialih fungsikan menjadi hotel setelah kematiannya. Dan sekarang Villa Isola difungsikan sebagai gedung rektorat Universitas Pendidikan Indonesia.Sebagai satu bentuk gaya yang baru art deco menerapkan kemurniaan dari ornamentasi, penggunaan furniture-furniture dengan corak atau motif lama, misalnya dari motif bentuk candi atau ornamentasi tumbuh-tumbuhan digabungkan dengan cita rasa moderen. Susunan dari keindahan furniture art deco ini tampak pada setiap lantai dari Villa Isola dahulu. Sayangnya sekarang ini nyaris tak ada furniture art deco yang masih terjaga, mungkin hanya sekitar 4% dari total furniture di dalam Villa Isola dahulu. Bahkan satu-satunya furniture peninggalan pada zaman itupun hanya sebuah kursi tua yang sudah mengalami beberapa kali perbaikan Hal inilah yang akhirnya membuat penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai furniture art deco pada Villa Isola. Abstract Villa Isola (now Bumi Siliwangi) is an art-deco building in the northern part of Bandung, the capital of West Java province of Indonesia. Overlooking the valley with the view of the city, Villa Isola was built in 1932 by the Dutch architect Wolff Schoemaker for the Dutch media tycoon Dominique William Berretty, the founder of the Aneta press-agency in the Dutch East Indies.
    [Show full text]
  • Going for a Walk Through Colonial Booming Bandung: a Daydream in Art-Deco-Style
    Going for a walk through colonial booming Bandung: a daydream in art-deco-style Wonderfull examples of Netherlands-Indian Architecture: 1. Dago Tea House / Dago Theehuis (1932), 2. Bumi Siliwangi / Villa Isola (1922), 3. Bank Indonesia / Javasche Bank (1918). Below: 4 and 5. Office of the governor of West-Java / (colonial) Department of Government Undertakings (1922), well known as Gedung Sateh because of the Javanese-style tiered roof. Pictures 1,3 and 5: photographs Dirk Teeuwen (DT), 2000. Pictures 2, 4: postcard-collection DT. ©2007 drs (msc) D. Teeuwen - Rendez-vous Batavia – The Netherlands 1 4 5 6 Detail from the map on page 32 in “Indonesia Travel Atlas”, Singapore 1998. Let’s jump on the train in Jakarta-Gambir and go for a walk through a part of fascinating Bandung! From Grand Hotel Preanger we walk along Jn Asia-Afrika / Groote Postweg to Hotel Savoy Homann, Gedung Merdeka / Sociëteit Concordia Oranjeclub), Jalan (Jn) Braga and railroad level crossing, Taman Merdeka, Taman Lalulintas / Insulindepark (Jalan Kalimatan area). ©2007 drs (msc) D. Teeuwen - Rendez-vous Batavia – The Netherlands 2 7. Stasiun Gambir east- side, opposite Gereja Immanuel / Willemskerk, Jakarta / Batavia 1937. 8. Stasiun Gambir west- side, Medan Merdeka / Koningsplein,, Jakarta 1987. 7. From: Gemeente Batavia, Batavia 1937, p. 34. 8. From: Beknopte gids voor Jakarta, Joan de Lijster- Streef, Jakarta 1987, detail from a photograph on p. 32. 8 Travelling from Jakarta to Bandung by train is in my (DT) opinion a good alternative. I did so occasionnally and I must say that the Executive Express from Stasiun Gambir, Medan Merdeka Jakarta, is quite comfortable.
    [Show full text]
  • Organizing Bandung Isola Performing Arts Festival (BIPAF) As a Market of Innovative Performing Arts in Indonesia
    Harmonia: Journal of Arts Research and Education 20 (1) (2020), 47-57 p-ISSN 2541-1683|e-ISSN 2541-2426 Available online at http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/harmonia DOI: http://dx.doi.org/10.15294/harmonia.v20i1.24380 Organizing Bandung Isola Performing Arts Festival (BIPAF) As A Market of Innovative Performing Arts in Indonesia Yudi Sukmayadi1, Juju Masunah2 1Department of Music Education, Universitas Pendidikan Indonesia 2Department of Dance Education, Universitas Pendidikan Indonesia Submitted: May 8, 2020. Revised: June 9, 2020. Accepted: July 4, 2020 Abstract The purpose of this article is to discuss a festival model which promotes innovative performing arts in Indonesia. This qualitative approach used a project-based research method. The proce- dure of this research began with diagnosing the problems, making plan to conduct the festival in Bandung, conducting the festival, and evaluation. Data were collected by participation observa- tion, interview, study of documentation, focused group discussion, and personal reflection. The findings of this research showed that Bandung Isola Performing Arts Festival (BIPAF) is a festival model as a form of market for innovative performing arts. The activities of BIPAF began with selecting/curating the performing artworks, holding art incubation, making promotion, show casing and pitching, as well as discussion and evaluation. BIPAF organizer designed a meeting within choreographers/producers and festival directors, curators and promotors of performing arts in Villa Isola outdoor stage in Universiatas Pendididkan Indonesia. This meeting was fol- lowed up by performing some pieces from BIPAF in the stage of SIPA and IMF Surakarta, and Korean Festival in South Korea.
    [Show full text]
  • Mitos Kala Dalam Arsitektur Wolff Schoemaker Pada Gedung Landmark Bandung
    Mitos Kala dalam Arsitektur Wolff Schoemaker pada Gedung Landmark Bandung Ganesha Wibisana Sekolah Tinggi Teknologi Bandung (STTB) Jl. Soekarno-Hatta No.378, Kb. Lega, Kec. Bojongloa Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat 40235 [email protected] ABSTRACT The interesting aspect of various architectural works of Wolff Schoemaker in Bandung city is the interaction between the sphere of Western and Eastern influence expressing full Indonesian ornamentation. This can be seen in the use of Kala’s head in the Landmark building. The figure is depicted with a face without a lower jaw placed on the building through a symmetrical shape, but with a dynamic ornament. The purpose of this research is to examine the meaning and influence of Kala’s head in Schoemaker’s architecture. This study is qualitative research using descriptive analysis methods. It explains the conception of the times in terms of form, characteristics and their translation in the myths of Javanese society. It was adopted in colonial buildings which made a cultural acculturation in architecture. The results of the analysis show that the Kala ornament in the building is influenced by the shape of the temples in the Central Java period. It has an identical shape to the Kala at the Gedong Songo temple and the Semar temple functioning as an antidote to negativity in the building. Keywords: Ornaments, Architecture, Kala, Wolff Shoemaker PENDAHULUAN kuat dalam perkembangan arsitektur A. Latar Belakang Kota Bandung. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari banyaknya karya yang dibuat Sebagai warisan budaya, seni arsitektur seperti, Gedung Merdeka, Hotel Preanger, merupakan peninggalan berharga dari Bioskop Majestic, Villa Isola, dan Gedung sejarah perkembangan kota, berdiri Landmark di Jalan Braga yang menjadi kokohnya bangunan bersejarah di Kota objek dalam penelitian ini.
    [Show full text]
  • Download PDF Van Tekst
    Indische Letteren. Jaargang 34 bron Indische Letteren. Jaargang 34. Werkgroep Indisch-Nederlandse Letterkunde, Alphen aan den Rijn 2019 Zie voor verantwoording: https://www.dbnl.org/tekst/_ind004201901_01/colofon.php Let op: werken die korter dan 140 jaar geleden verschenen zijn, kunnen auteursrechtelijk beschermd zijn. i.s.m. 1 [Nummer 1] Redactioneel Deze aflevering bevat de uitgewerkte versie van de Tweede Indische Letteren lezing, die op vrijdag 28 september 2018 in Leiden werd uitgesproken door prof. dr. Remco Raben, bijzonder hoogleraar koloniale en postkoloniale literatuur- en cultuurgeschiedenis aan de Universiteit van Amsterdam, onder de titel: Indische letteren in de branding. De dekolonisatie in de Nederlandse cultuur. Op 2 januari 2019 overleed de schrijfster Jill Stolk. Met Marion Bloem, Adriaan van Dis, Ernst Jansz, Frans Lopulalan en Alfred Birney maakte zij deel uit van de Tweede Generatie, de auteurs die na de oorlog geboren zijn, het leven in Indië zelf niet hebben meegemaakt, en kort na 1980 begonnen te publiceren. Ook zij werd geconfronteerd met een Indische erfenis, die mede door die oorlog bepaald was. Na Scherven van smaragd (1984) volgden Onder de blauwe sarong (1986), de gebundelde columns Kleurverschil (1988) en De zwijgende vader (1992). Haar interviews met vertegenwoordigers van de eerste generatie verschenen in 1996 onder de titel Indië was alles. Vooral in de beginjaren was zij nauw bij onze werkgroep betrokken, maar ook nadien onderhielden we met haar een hartelijk contact. Daaraan is nu een einde gekomen. We zullen haar missen. Wat onze werkgroep betreft: Lydia Manusama neemt afscheid als redactiesecretaris, omdat zij die taak niet langer kan combineren met haar andere verplichtingen.
    [Show full text]
  • Constructing an Indonesian Architecture Documentation (PDF
    icam 17 Session 2: New Lessons / Nadia Purwestri, Febriyanti Suryaningsih Nadia Purwestri & Febriyanti Suryaningsih Pusat Dokumentasi Arsitektur, Center for Indonesian Architecture Documentation, Jakarta Constructing an Indonesian Architecture Documentation Why The systematic documentation of cultural heritage in Indonesia has been developed after the establishment of Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1778) and De Oudheidkundige Dienst (1913) by the Netherlands Indies government. After Indonesian independent, the tasks of cultural heritage documentation take over by The Ministry of Culture (now become The Ministry of Education of Culture) with focus on the ancient and classical heritage, (uninhabited buildings). The needed of comprehensive documentation data especially regarding architectural heritage become significant issues since the government and private sectors pay attention to the preservation of heritage building in the urban site, so called living monument (inhabited buildings). The archives of original drawing plan many times do not fit with the existing condition, while the conservation plan demands a document such as built drawing plan to work on. The technology, methodology and system to provide such comprehensive document of heritage building and sites become important, to supports good conservation plan and afterwards will use for heritage building regular maintenance. Architecture of Indonesia The architecture heritage in Indonesia can be summarized from a course of Indonesian Architecture which represents every period in the Indonesian history, different forms and technique that reflects the cultural diversity in each region. The contribution of the diverse tradition also has an important role in characterized the Indonesian architecture. This following general chronology of Indonesian Architecture tried to describe all the influences that contribute to the formation of Indonesian architecture.
    [Show full text]