Mitos Kala dalam Arsitektur Wolff Schoemaker pada Gedung Landmark

Ganesha Wibisana Sekolah Tinggi Teknologi Bandung (STTB) Jl. Soekarno-Hatta No.378, Kb. Lega, Kec. Bojongloa Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat 40235 [email protected]

ABSTRACT

The interesting aspect of various architectural works of Wolff Schoemaker in Bandung city is the interaction between the sphere of Western and Eastern influence expressing full Indonesian ornamentation. This can be seen in the use of Kala’s head in the Landmark building. The figure is depicted with a face without a lower jaw placed on the building through a symmetrical shape, but with a dynamic ornament. The purpose of this research is to examine the meaning and influence of Kala’s head in Schoemaker’s architecture. This study is qualitative research using descriptive analysis methods. It explains the conception of the times in terms of form, characteristics and their translation in the myths of Javanese society. It was adopted in colonial buildings which made a cultural acculturation in architecture. The results of the analysis show that the Kala ornament in the building is influenced by the shape of the temples in the Central period. It has an identical shape to the Kala at the Gedong Songo temple and the Semar temple functioning as an antidote to negativity in the building.

Keywords: Ornaments, Architecture, Kala, Wolff Shoemaker

PENDAHULUAN kuat dalam perkembangan arsitektur A. Latar Belakang Kota Bandung. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari banyaknya karya yang dibuat Sebagai warisan budaya, seni arsitektur seperti, Gedung Merdeka, Hotel Preanger, merupakan peninggalan berharga dari Bioskop Majestic, Villa Isola, dan Gedung sejarah perkembangan kota, berdiri Landmark di Jalan Braga yang menjadi kokohnya bangunan bersejarah di Kota objek dalam penelitian ini. Ciri khas dari arsitektur yang dibuat adalah memadukan Bandung tidak terlepas dari nama besar penggayaan barat dan desain berorientasi arsitek yang ada dibaliknya. Wacana lokal dengan penerapan ornamen nusan- pemindahan Ibukota Hindia Belanda tara, untuk menciptakan hal yang baru dari Batavia ke Bandung membuat kota dalam arsitektur Hindia Belanda sehingga berbenah dengan mendatangkan para menghasilkan gaya yang disebut Indo- Arsitek untuk membangun dan menata Europeeschen Architeectuur Stjil. Kota Bandung (Haryoto Kunto, 1984). Pencarian Schoemaker dalam menemu- Berbagai macam gaya arsitektur masuk kan kebaruan gaya disertai riset mengenai bersamaan dengan para perancangnya, keadaan arsitektur lokal. Usaha untuk dari sekian banyak bangunan, karya Wolff memunculkan ide baru dilakukan dengan Schoemaker memiliki pengaruh yang

12 ~ Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya ~ Vol. 5 No. 1 Juni 2020 mendalami arsitektur candi di Jawa, mulai sebagai fasilitas publik dan dapat diakses dari ragam jenis ornamen dan segala oleh banyak orang, bentuk Kala memiliki unsur budaya di dalamnya. Kebudayaan, gaya sejenis dengan ornamen Kala pada teknologi, dan kekuasaan merupakan Candi-candi Hindu yang berada di struktur yang menjadi ciri utama dalam daerah Jawa Tengah. Dari sekian banyak ruang lingkup sosial kota kolonial, karena peninggalan tersebut, candi di bagian utara sistem sosial budaya dapat mempengaruhi Jawa Tengah memiliki bentuk yang paling wujud arsitekturnya. Terbentuk dari identik, pergeseran tata letak bangunan proses adaptasi antara dua bangsa candi yang menyebar ke berbagai daerah berbeda, karya arsitektur Schoemaker di pulau Jawa dapat menjadi penyebab mencakup penyelesaian masalah- terciptanya mitologi Kala dengan bentuk masalah yang berhubungan dengan dan corak yang bervariasi namun tetap perbedaan iklim, ketersediaan material, memiliki makna simbolik yang serupa. cara membangun, dan seni budaya yang B. Metode terkait dengan estetika. Jika diamati, hal Metode yang digunakan dalam tersebut terlihat pada Gedung Landmark. penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, Bangunan yang berfungsi sebagai toko yang secara umum dikelompokkan menjadi buku tersebut terletak dibuat dengan dua, yaitu metode pengumpulan data dan gaya yang mengalami peleburan dengan metode analisis data. Metode pengumpulan kebudayaan setempat, memasukan unsur data yang diterapkan dapat diklasifikasikan tradisi candi Hindu pada bentuk bangunan menjadi tiga yaitu, (a) metode observasi yang dikombinasikan dengan kepala Kala langsung ke lapangan untuk mengamati sebagai penerapan ragam hiasnya. Ornamen bentuk ornamen Kala yang terdapat pada tersebut menambah nilai keindahan Gedung Landmark, candi yang memiliki bangunan sebagai ungkapan estetik yang kemiripan bentuk, yaitu Candi Semar dan berhubungan dengan pandangan hidup Candi Gedong Songo di Jawa Tengah, manusia dan elemen penyusun bangunan, (b) Studi kepustakaan tentang segala dan terbentuk menjadi simbol yang dapat konsep yang melatarbelakangi keberadaan dipahami melalui kajian arsitektural. ornamen kala didalam candi serta Sebagai artefak, arsitektur merupakan penerapannya didalam Gedung Landmark, fenomena sensoris yang mengandung dan (c) wawancara terhadap narasumber makna implisit, yakni makna konseptual yang dipandang kompeten, memiliki dan makna fisik yang berhubungan dengan pengetahuan yang baik terkait bangunan fungsi sosial. Pemaknaan yang tidak lepas kolonial, candi dan ornamen yang menjadi dari wujudnya, akan selalu berhubungan objek kajian penelitian. dengan ide, gagasan, referensi, dan simbol Metode analisis data digunakan untuk (Laksmi, 2010). mengkaji korelasi antara bentuk ornamen Melalui proses akulturasi arsitektur secara formatif serta fungsi dan kedudukan Indo-Eropa ini, maka akan sangat performatifnya pada bangunan, yang menarik untuk dilakukan penelitian dipertajam melalui pemikiran semiologi tentang penerapan ornamen candi Roland Barthes mengenai sistem tanda. yang mempengaruhi bangunan. Hasil Bagaimana konsepsi Kala dapat muncul pengamatan menunjukan figur kala yang dan berfungsi penerapannya pada ornamen bersifat sakral ditempatkan Schoemaker bangunan kolonial, mencakup aspek-aspek pada bangunan profan yang berfungsi karakteristik visual, acuan perbentukan,

13 ~ Wibisana: Mitos Kala dalam Arsitektur Wolff Schoemaker pada Gedung Landmark Bandung ~ dan simbolisasinya. Teori semiotika yang digunakan dalam penelitian dibagi menjadi dua tingkatan tanda yaitu, denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama Gambar 1. Sistem Semiologi Roland Barthes untuk menghasilkan makna (Barthes, 2006: 303) sesungguhnya, sedangkan konotasi merupakan sebuah Berdasarkan Gambar 1. Sistem Semio- signifikasi yang didalamnya membangun logi Roland Barthes, pemaknaan terbagi mitos sebagai sistem pemaknaan tingkat menjadi dua tahap. Tanda (penanda dan kedua. petanda) pada tahap pertama dan menyatu Bentuk dan proporsi merupakan salah sehingga dapat membentuk penanda satu aspek dalam arsitektur yang dapat pada tahap kedua, kemudian pada tahap memunculkan interpretasi tertentu, karena berikutnya penanda dan petanda yang benda arsitektural merupakan wahana telah menyatu tersebut dapat membentuk tanda untuk menyampaikan maksud dan petanda baru yang merupakan perluasan fungsi, mengandung makna detonasi makna. Tahap denotasi menelaah tanda sebagai ruang bagi manusia yang juga dari sudut pandang bahasa secara harfiah, dapat mengandung arti lain (konotatif) yang kemudian masuk ke dalam konotasi sebagai sistem komunikasi untuk menyampaikan sebuah pesan. Hal tersebut sebagai tahap kedua, menggambarkan sejalan dengan teori Roland Barthes yang interaksi yang berlangsung ketika tanda mengembangkan semiotika menjadi dua bertemu dengan perasaan atau emosi tingkatan tanda, yaitu tingkat denotasi dan pengguna dan nilai-nilai kulturalnya pada konotasi. Denotasi dalam semiologi Barthes tingkat subjektif sehingga kehadirannya merupakan sistem signifikasi tingkat tidak disadari, yang kemudian terbentuk pertama, sementara konotasi merupakan mitos sebagai sistem pemaknaan tanda tingkat kedua, denotasi dalam hal ini pada tahap kedua. justru lebih diasosiasi dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan HASIL DAN PEMBAHASAN keharfiahan denotasi yang bersifat opresif, A. Wujud Kala Barthes mencoba menyingkirkan dan Ornamen tradisi yang terbentuk menolaknya, yang menurutnya hanya ada dalam arsitektur kolonial dipengaruhi konotasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa oleh munculnya gaya Indo-Europeeschen makna “harfiah” merupakan sesuatu Architeectuur Stjil di Hindia Belanda. yang bersifat alami yang dikenal dengan Lonjakan aktivitas pembangunan yang teori signifikasi. Teori tersebut merupakan pengembangan teori mengenai tanda yang terjadi di Bandung pada akhir abad ke- dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure 19, membuat ide untuk memunculkan yang mengalami perluasan makna dan arsitektur baru semakin beragam. Berbagai berlangsung dalam dua tahap, seperti aspek arsitektur lokal sedikit demi sedikit disajikan pada Gambar 1. Sistem Semiologi diserap oleh para pembangun Belanda Roland Barthes berikut: selama tiga abad pertama kehadirannya di

14 ~ Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya ~ Vol. 5 No. 1 Juni 2020 nusantara. Proses yang menurut Van der Arsitektur merupakan suatu wujud Wall merupakan orientalisasi pada gaya yang terbentuk dari pandangan hidup, arsitektur kolonial internasional (Dullemen, begitupun candi-candi di Jawa yang 2018: 18), langgam tersebut dicetuskan oleh mempengaruhi proses Schoemaker dalam arsitek Belanda Dr. Hendrik Petrus Berlage. menemukan gaya arsitekturnya. Candi Aliran yang memadukan gaya modern bukan hanya sebatas bangunan melainkan dengan bentuk arsitektur tradisi, tercipta wujud representasi kehidupan melalui atas kesadaran akan budaya berbagai simbol. Simbol di dalam agama di kalangan arsitek Belanda sehingga Hindu, berkaitan dengan berbagai bentuk, menciptakan suatu akulturasi budaya wujud, nama, dan mengandung arti untuk didalam arsitektur. mendekatkan umat kepada yang dipuja, Proses akulturasi atau culture contact manifestasinya, para dewata, roh-roh dapat terjadi jika suatu kelompok suci para leluhur yang telah disucikan manusia dengan suatu kebudayaan asing sesuai ajarannya (Titib, 2001: 67). Persepsi yang berbeda perlahan diterima dan manusia yang berkaitan dengan nilai-nilai diolah ke dalam kebudayaannya, tanpa simbolik merupakan aspek kosmologi yang menyebabkan hilangnya kepribadian langsung ditafsirkan dalam bentuk fisik, kebudayaan itu sendiri (Nadyadilaga, dalam konteks arsitektur hal tersebut dapat dalam Roesli, 2009). Proses yang dibagi dilihat dari pola struktur bangunannya. dalam tahap penyesuaian (assimilated) Setiap bagian pada Candi Hindu mewakili antara dua budaya menghadirkan suatu sebuah tanda, yang memiliki keterkaitan penyesuaian baru karena adanya faktor terhadap kesatuan hubungan antara kebutuhan, sehingga di dalamnya terjadi manusia, Sang pencipta dan alam semesta. penyesuaian (integrated) model akulturasi Tanda-tanda tersebut diterapkan sebagai antara budaya-budaya yang membentuk penghias yang memiliki fungsi, ornamen budaya baru. Schoemaker dalam karyanya, Kala salah satu jenis yang ada di dalamnya, menjadikan tradisi arsitektur pribumi bercorak muka kepala raksasa yang sebagai dasar dalam pengembangan gaya ditempatkan pada pintu candi-candi di bangunan kolonial. Menempatkan ornamen Jawa. fungsional pada Gedung Landmark sebagai Bangunan Candi Hindu pada dasar- media untuk menghadirkan estetika yang nya merupakan arsitektur hibrida yang terbentuk melalui pemahaman kultural, terbentuk dari pengaruh bangunan dapat dikatakan bahwa perancang harus India Selatan yang masuk ke Indo- mengetahui latar belakang dan makna nesia disertai bentuk ornamen yang dibalik ragam hiasnya. Ornamen Kala mengalami perubahan seiring dengan pada arsitektur candi menjadi bagian dari perkembangannya. Perbedaan antara candi “pembacaan” terhadap lingkup sosial India dengan candi di Indonesia terlihat budaya dan pengaruh sosio kultural pada relief, ornamen, dan gaya bangunan (sociocultural influences) yang menghasilkan yang telah mengalami penyesuaian. Di evoke (membangkitkan atau menimbulkan) wilayah India, Mahakala digambarkan untuk mendatangkan ide dan kebaruan dengan sebuah mahkota lima tengkorak dalam penciptaan karya seni arsitektur di yang merupakan transmutasi lima Bandung. kleshas (penderitaan negatif) ke dalam

15 ~ Wibisana: Mitos Kala dalam Arsitektur Wolff Schoemaker pada Gedung Landmark Bandung ~

Gambar 2. Bentuk Kala (Kirtimukha) di India (Sumber: Sumadi, 2011) lima kebijaksanaan. Mahakala biasanya berwarna hitam, semua warna diserap dan larut dalam hitam yang mewakili total ketiadaan warna. Karakter tersebut menandakan sifat Mahakala sebagai realitas hakiki atau absolut, prinsip ini dikenal dalam bahasa Sanskerta sebagai Nirguna (Sumadi, 2011). Bentuk Kala (Kirtimukha) di India ditampilkan pada Gambar 2 di atas: Kebudayaan India di tanah Jawa Gambar 3. telah berhasil dilebur dan diasimilasikan Kala tanpa rahang bawah di Candi Sambisari, Jawa Tengah. sehingga timbul kebudayaan baru yaitu (Sumber: Candi.perpusnas.go.id. 30 Juni 2020) Jawa-Hindu. Penyebaran bangunan candi yang terdapat di Jawa dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu bagian barat yang cenderung lebih sedikit dan terbatas pada daerah yang relatif kecil, menuju ke bagian Jawa Tengah yang kaya dengan candi- candi Siwa dan Budha yang memiliki keunggulan tertinggi, lalu ke bagian Jawa Timur yang didominasi oleh corak Budha, termasuk Madura dan Bali (Scheltema, 2018: 4). Masing-masing candi dari ketiga kelompok tersebut, memiliki perbedaan di wilayah Jawa Tengah dan Timur, yang terlihat melalui ornamen Kala yang Gambar 4. dimiliki. Kala di candi Jawa Tengah dan Kala dengan rahang bawa di Jawa Timur ditampilkan pada Gambar 3. Candi Kidal, Jawa Timur dan Gambar 4. berikut. (Sumber: Candi.perpusnas.go.id. 30 Juni 2020)

16 ~ Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya ~ Vol. 5 No. 1 Juni 2020

Berdasarkan Gambar 3. Candi di Jawa arsitekturnya di wilayah Jawa. Dilihat dari Tengah menggambarkan sosok Kala de- bentuknya, Candi Gedong Songo dan Candi ngan bentuk tanpa rahang bawah yang Semar di Jawa tengah memiliki jenis yang memiliki ekspresi lebih ramah dan menun- identik dengan kepala Kala pada Gedung jukan mimik wajah yang tersenyum, Landmark yang dirancang Schoemaker. sedangkan pada Gambar 4 Candi di Jawa Kala di Candi Semar dan Candi Gedong Timur cenderung memakai rahang bawah Songo ditampilkan pada Gambar 5 dan 6 sehingga figur kepala terlihat utuh dengan berikut: mimik wajah yang menakutkan. Berdasarkan Gambar 5 dan Gambar 6, Ditinjau dari aspek seni arsitektur, bentuk Kala yang terdapat di Candi Semar R. Soekarno (dalam Hermianto, 2018: 13) dan Candi Gedong songo terlihat memiliki membagi kembali candi-candi Hindu di bentuk yang identik. Keidentikan kedua Jawa Tengah ke dalam dua kelompok, yakni bentuk Kala di Jawa Tengah tersebut yang kelompok candi di bagian utara seperti, juga terdapat pada Gedung Landmark Candi Dieng dan Candi Gedong Songo, Bandung. Penerapan corak Kala pada serta kelompok Candi di bagian selatan pintu masuk Gedung Landmark tersebut seperti Candi Prambanan (Roro Jongrang). ditampilkan dalam gambar berikut: Scheltema dalam bukunya “Monumental Java” menyebutkan candi Jawa Tengah merupakan keunggulan tertinggi dalam

Gambar 5. Kala di Candi Semar (Sumber: harindabama.com, 30 Juni 2020)

Gambar 7. Identifikasi bentuk pada pintu masuk Gedung Landmark (Dokumentasi: Gansha Wibisana,2020)

Dokumentasi dan Analisa Penulis, 2020 Berdasarkan Gambar 7, kala Gambar 6. digambarkan dengan raut wajah yang Kala di Candi Gedong Songo cenderung tersenyum dengan dua buah (Sumber: Candi.perpusnas.go.id. 30 Juni 2020) mata yang melotot, visualisasi mulut

17 ~ Wibisana: Mitos Kala dalam Arsitektur Wolff Schoemaker pada Gedung Landmark Bandung ~ melebar dan melengkung selebar bidang Berbagai macam bentuk ornamen yang dihiasinya. Terdapat 12 buah gigi sesungguhnya memiliki beberapa fungsi, pada bagian rahang, dengan dua taring yaitu murni fungsi estetis dan fungsi meruncing di sisi paling kanan dan kiri, simbolis. Adapula ornamen yang berfungsi serta 10 buah yang berbentuk persegi. konstruktif, yang secara struktural berarti Mahkota atau rambut yang menghiasi ornamen dapat digunakan sebagai bagian atas kepala merupakan stilisasi penyangga, menopang, menghubungkan bentuk dedaunan dan bunga yang menyatu atau memperkokoh konstruksi. Namun dengan mata Kala, sehingga keduanya dalam hal ini, ornamen Kala erat kaitannya menyatu pada bagian kening dengan stilasi dengan fungsi estetis. Kaitan fungsi dan kuncup bunga. bentuk memiliki hubungan sangat kuat yang tidak dapat dilepaskan, seperti B. Bentuk dan Citra halnya ornamen sebagai wujud estetis Berdasarkan semiotika, arsitektur dan bangunan sebagai wujud fungsional dibaca sebagai “teks” yang disusun yang menjadi wadah dari bentuk ornamen sebagai tata bahasa, dilihat sebagai tanda tersebut. ruang dan kerjasama antara tanda-tanda Terkait fungsi dan bentuk terdapat tersebut melalui hubungan tanda dan guna dan citra di dalamnya, fungsi detotatumnya yang menyangkut arti yang berkaitan dengan guna, dan citra bentuk-bentuk arsitektur. Selain itu, yang berkaitan dengan bentuk. Guna dapat juga dilihat pengaruh arsitektur lebih menuding pada segi kemampuan, sedangkan citra menunjuk pada tingkat dari segi pragmatik terhadap pemakai kebudayaan (Mangunwijaya, 2013: bangunannya. Penempatan ornamen 31). Hubungan antara guna dan citra dalam rancangan Schoemaker yang tersebut yang kemudian mengalami menyatu dengan organisme gedung peleburan dalam satu kesatuan bangunan, melalui artikulasi vertikal dan horizontal di menciptakan suatu struktur “bahasa” kedua sisi pintu masuk merupakan suatu yang terkandung dalam arsitekturnya citra sebagai himpunan petanda. Ditinjau sebagai bentuk komunikasi. Saat manusia dari masa bangunan secara menyeluruh, berarsitektur artinya manusia tersebut ornamen terlihat menjadi penghias secara berbahasa dengan ruang dan gatra, “bahasa” yang mendukung proporsi dengan garis dan bidang. Berarsitektur gedung dan membentuk kedinamisan yang bagi manusia adalah berbahasa manusiawi menghadirkan sebuah kontras di dalam dengan citra unsur-unsurnya, baik dengan bentukan simetris. Ornamen pada bangunan bahan material maupun dengan bentuk berbentuk muka menyeringai dengan serta komposisinya (Mangunwijaya, 2013: mata melotot dalam penggambarannya, 7). Maka, agar “bahasa” tersebut dapat letak ornamen yang terlihat saat tersampaikan dengan baik, bangunan harus berada di depan gedung menunjukkan memiliki fungsi yang baik dan benar, dari ornamen kala merupakan penanda yang hal tersebut kemudian muncul keindahan mempostulasikan pemahaman masyarakat yang dihasilkan dengan sendirinya. Nilai yang ada di sekitar gedung, untuk melihat estetik akan terbentuk dari sebuah fungsi bentuk tersebut “ada” sebagai figur yang yang jujur dan benar, dengan demikian utuh dalam kesatuan bangunan. setiap elemen didalamnya memiliki arti

18 ~ Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya ~ Vol. 5 No. 1 Juni 2020

Gambar 8. Gambar 9. Candi Semar Gedung Landmark (Dokumentasi: www.sejarahlengkap.com (Dokumentasi: Ganesha Wibisana, 2020) 30 Juni 2020)

“jujur” yang berkaitan dengan fungsi penempatannya, hal serupa juga terlihat utama dari elemen yang terlihat dalam pada bangunan Candi Semar. Penempatan arsitektur tersebut. kala pada Gedung Landmark dan Candi Ditinjau dari citra bangunannya, kepala Semar ditampilkan pada Gambar 8 dan Kala yang dibuat artistik ditempatkan di Gambar 9 diatas: atas kedua pintu masuk sebagai petanda Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat yang mengapit deretan pintu utama pada perbedaan penempatan Kala pada Gedung bagian tengah sehingga terdapat dua Landamark yang berada di kanan dan kepala Kala pada bagian fasad bangunan, kiri gedung yang berjumlah dua buah penempatannya terlihat berfungsi sebagai kepala kala, sedangkan pada Candi Semar penghias eksplisit dalam gedung. Meskipun seperti yang ditampilkan dalam Gambar pada dasarnya diambil dari ornamen 9, ornamen tersebut berada di tengah yang bersifat implisit, namun “Daya” bangunan yang berjumlah satu buah dari sosok Kala seolah tak bisa lepas dan kepala kala. menjadi karakter utuh yang melebur dalam Dalam Gambar 10, Penempatan Kala dalam penerjemahan visualnya sesuai dengan apa yang dihadirkan langsung pada bangunan, yang menghadirkan makna secara denotatif. Bentuk kala dan penempatannya di kedua sisi bagian kiri dan kanan Gedung Landmark digunakan sebagai penghias pintu yang memiliki fungsi sebagai akses masuk pada bangunan, sementara pada Candi, bentuknya terlihat dalam satu bagian, yaitu di Gambar 10. atas pintu masuk. Kala sebagai Penempatan Kala pada bentuk simbolis digunakan tampak depan Gedung Landmark dalam menyajikan pengalaman (Dokumentasi: Sketsa Ganesha Wibisana, 2020) keindahan pada bangunan sesuai

19 ~ Wibisana: Mitos Kala dalam Arsitektur Wolff Schoemaker pada Gedung Landmark Bandung ~ dengan daya citranya, guna dan citra yang 2014 : 79). Namun, selama ini pandangan dihasilkan pada bangunan merupakan mengenai mitos di masyarakat Indonesia suatu hubungan antara penanda dan modern selalu dikaitkan dengan sebuah petanda terhadap realitas dengan makna asal-usul yang tidak bisa dibuktikan yang spontan secara eksplisit. kebenarannya, sehingga mitos dilihat hanya Penilaian terhadap wujud arsitektur sebagai sesuatu yang bersifat mistis, bukan bukan hanya pada keberhasilan bentuk sebagai tanda. Padahal dalam masyarakat bangunan tersebut berfungsi, namun lebih primordial, mitos berfungsi sebagai cara menekankan pada arti yang ditangkap saat untuk membaca sebuah tanda, mereka bangunan tersebut dilihat dan diamati. belajar dari alam yang selalu memberikan Bentuk dijadikan sebagai ungkapan bahasa tanda-tanda dalam kehidupan. Hal tersebut dalam berkomunikasi, terwujud dari karena masyarakat primordial Indonesia gabungan bagian-bagian bentuk. Seperti merupakan masyarakat Phoronesis, halnya pintu yang mengandung unsur- bersifat religius yang melahirkan mitos unsur lain, seperti skala serta proporsi kepercayaan menyangkut ke-ADA- yang terdapat dalam bentuk itu sendiri an manusia dan alam semesta. Asas dan dapat teramati oleh manusia sebagai rohanilah yang menghendaki bentuk- penggunanya. Dengan begitu, bentuk bentuk mitos yang menjadi dasar dan menjadi unsur yang utama dalam arsitektur pegangan dalam berkehidupan. Manusia sebagai media komunikasi. Indonesia Phoronesis memiliki sebuah prinsip yang menjadikan perilaku sebagai C. Citra ornamen dalam konstruksi mitos sebuah ilmu, ataupun sebaliknya ilmu Sebagai produk budaya, Arsitektur diambil dari praksis kehidupan. Perilaku terbentuk dari faktor-faktor kontekstual dalam kehidupannya dituangkan ke dalam yang melatarbelakanginya, keberadaan sebuah simbol yang merupakan bagian manusia sebagai makhluk yang dari transenden untuk menuju daya-daya berkebudayaan tidak dapat terlepas yang lain. dari simbol-simbol budaya. Jika melihat Simbol dalam budaya Indonesia pra- berbagai bentuk artefak Indonesia maka modern bukanlah sekadar mengacu pada akan banyak ditemukan makna yang konsep, tetapi sesuatu yang absolut, dan terkandung melalui perwujudan simbol, sesuatu yang tertinggi. Acuan simbol semua hal itu merupakan dukungan bagi bukan hanya konotasi gagasan (rasio), dan wicara mitos. Dalam kehidupan sosio- pengalaman manusia (rasa), akan tetapi budaya, pandangan manusia sebagai hadirnya daya-daya (power) atau energi pengguna tanda akan cenderung merubah adikodrati. Simbol adalah tanda kehadiran tanda menjadi mitos. Roland Barthes Absolut yang transenden (Sumardjo, 2014: menyebutkan bahwa mitos merupakan 43-45). Hal yang sama juga terjadi di zaman sistem komunikasi atau gaya wicara untuk Hindu, akan banyak ditemukan berbagai menyampaikan pesan dan bukan sebuah simbol-simbol yang ditempatkan dalam wicara yang sembarangan, mitos juga bagian kehidupan dan kebudayaannya dapat ada dalam bentuk-bentuk tulisan termasuk dari aspek arsitekturnya. Selain ataupun penggambaran. Mitos sebagai sebagai ruang fisik untuk mewadahi sebuah kebudayaan yang dibangun dan aktivitas yang memungkinkan pergerakan memiliki nilai kontekstualnya, dianggap manusia dari satu ruang ke ruang lainnya, sebagai hal yang “wajar” dalam komunitas arsitektur dapat dipandang sebagai filsafat atau komunal tertentu (Benny H. Hoed, yang diwujudkan ke dalam bentuk artefak

20 ~ Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya ~ Vol. 5 No. 1 Juni 2020 yang mengandung refleksi sejarah, konteks keyakinan tersebut akan mempengaruhi budaya, dan aspirasi ke depan (Zainuddin, pola pemikiran, perbuatan dan karyanya. 2004: 3). Keberadaan lingkungan buatan atau karya Dalam mengenal dan menanggapi arsitektur berlaku dalam hal karya, sebagai bentuk-bentuk simbolis, selain berdasarkan bagian dari kehidupan budaya, ekspresi pada pengalaman dan intelektual tiap budaya untuk menyampaikan pesan-pesan individu namun juga didasari oleh tertentu dan dapat menginterpretasikan latarbelakang kebudayaan masyarakat. budaya dari suatu periode atau suatu Kebudayaan yang dibagi ke dalam dua bangsa (Ronald, 2005: 3, dalam Laksmi, kelompok besar, yaitu kebudayaan 2010). Upaya Schoemaker dalam menemu- tradisionil dan kebudayaan modern. kan kebaruan dalam arsitektur Hindia Kebudayaan tradisionil ada sejak dahulu Belanda jelas dipengaruhi oleh dua latar dalam kehidupan masyarakat Indonesia belakang budaya yang menghasilkan baik itu saat zaman primordial maupun bangunan pengaruh budaya Barat, yang zaman Hindu, yang bersifat lebih mengikat dipadukan unsur ornamen lokal yang dan terbentuk dari suatu kesepakatan diambil dari Candi di Jawa Tengah. Selain bersama dalam masyarakat. Sedangkan Candi Semar dalam kompleks Candi Dieng kebudayaan modern juga merupakan yang terletak di dataran Dieng, pengaruh dasar yang mempengaruhi bentuk- penerapan unsur ornamen juga dapat bentuk simbolis sebagai sebuah tanda, terlihat dalam kosmologi dari arsitektur yang didasari oleh pengalaman, cara Candi gedong Songo yang terletak di lereng hidup dan ideologi modern. Kehidupan Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang manusia dalam lingkungan budaya pada Jawa Tengah. dasarnya dinyatakan berlandaskan empat Penjelasan kosmologi Hindu di Candi areal atau lingkup keyakinan, yaitu Gedong Songo ditampilkan pada Gambar kepercayaan, ikatan sosial, ekspresi pribadi 11 dan penerapan ornamen bagian pintu (kepribadian) dan permasalahan atau masuk Gedung Landmark ditampilkan makna. Keseluruhan areal atau lingkup pada Gambar 12 berikut:

Gambar 11. Kosmologi Hindu Pada Candi Gedong Songo Gambar 12. (Sumber: https://cagarbudaya.kemdikbud. Penerapan Ornamen go.id/) Bagian Pintu masuk Gedung Landmark a. Bhuloka (Alam Bawah / manusia) b. Bhuwahloka (Manusia dan Dewa) c. Swarloka (Alam Para Dewa)

21 ~ Wibisana: Mitos Kala dalam Arsitektur Wolff Schoemaker pada Gedung Landmark Bandung ~

Berdasarkan Gambar 11, figur Kala penjaga, siapa saja yang memasuki wilayah pada candi ditempatkan pada bagian yang ruang suci sebagai tempat bersemayamnya dinamakan Bhuwahloka, penamaan yang Dewa Siwa akan melewati Batara Kala di atas terdiri dari dua kata, yaitu bwah yang berarti pintu masuk, maka ia harus menyembah “langit” dan loka yaitu “ruang yang luas”. dan menunduk untuk mendapatkan Kesatuan makna bhuwahloka diartikan rahmat dari Dewa Siwa. “Barang siapa sebagai perantara dunia dan langit, hal yang masuk ke kuil-Ku (Siwa) yang tanpa tersebut karena letaknya berada pada menyembahmu (Kala), mereka tidak akan bagian tengah bangunan candi. Bagian mendapatkan rahmat-ku” (Sumadi, 2011). tersebut dipercaya sebagai pertemuan Alam mitologi yang digambarkan dalam kedua dunia, yakni dunia manusia kepercayaan Hindu, menjadi sebuah dan dunia para dewa, oleh karena itu wahana untuk menyampaikan sebuah penamaan dewa-dewa juga dimunculkan pesan dalam bentuk-bentuk cerita imajiner di dalamnya. Bagian yang menjadi puncak yang membentuk figur-figur sebagai pada candi disebut Swarloka, bagian metafor kebesaran atau sesuatu yang tersebut merupakan bagian tertinggi yang “Agung”, untuk dijadikan tuntunan hidup. merupakan representasi dari langit tempat Menghormati dan berserah diri merupakan bagi para dewa. Dalam masyarakat Hindu, mitos yang dilahirkan, sebuah wicara berbagai dewa sebagai wujud-wujud yang di dalamnya mengandung hakikat tertinggi merupakan kekuatan kehidupan. pemaknaan atas kehidupan dengan hanya Apa yang ”di atas” dan yang ”tinggi”, tetap berserah pada “Nya”, maka kenegatifan menghadirkan suatu transenden dalam dalam kehidupan akan menghilang, kesadaran religius manusia. serangkaian pesan pemaknaan tersebut Terciptanya sebuah mitos bukanlah pada akhirnya diwujudkan melalui wujud berasal dari kebudayaan manusia yang bendawi sebagai simbol penolak bala dan berdiri sendiri sebagai sebuah tanda, menjadikan ornamen Kala tersebut bersifat melainkan dibentuk dari rantai semiologis sakral. Hal tersebut karena pada dasarnya yang telah ada sebelumnya kemudian objek simbolis yang direpresentasikan pada bergerak pada arah tanda baru menjadi tampilan objek fisik dalam kehidupan ini sistem sekunder, atau yang disebut makna bersifat biasa-biasa saja (Profan), kemudian konotasi dalam semiologi Roland Barthes. dalam konteks tertentu objek simbolis ini Tanda yang terdiri dari penanda (signifier) ditrasformasikan menjadi yang sakral oleh dan petanda (signifeid) yang sudah eksis, manusia (Daniesl L. Pals, 2012: 242). kemudian bergerak pada tanda yang baru Ornamen Kala pada pintu masuk di dengan mengeksplorasi penanda pada Gedung Landmark seperti yang ditunjukan sistem kedua (Roland Barthes, 2006: 303). dalam Gambar 12 merupakan tempat bagi Kala sebagai penolak bala pada bangunan sebuah tanda secara simbolis. Ornamen kala dalam gedung digunakan sebagai merupakan bentuk ideologi Hindu yang tanda dari objek arsitektural yang memiliki dihadirkan dalam arsitektur Schoemaker. fungsi penghias, dari fungsi tersebut Bentuk kala merupakan bentuk yang telah memiliki satu ideologi tertentu yang dapat dikenal secara umum oleh masyarakat Jawa, dikonotasikan dengan sesuatu yang lain. yaitu sebagai penolak kenegatifan ruang. Roland Barthes menyebut bahwa suatu Sosok Kala pada candi berfungsi sebagai

22 ~ Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya ~ Vol. 5 No. 1 Juni 2020 bentuk merupakan mode pertandaan (a konotasi didalamnya. Mitologi dalam mode of Signification) dapat mengandung karya arsitektur menyajikan inkarnasi konsep atau gagasan (Barthes, 2006: 295). makna-makna yang mempunyai wadah Pertandaan tersebut yang di dalamnya dalam ideologi yang dapat diceritakan berhubungan erat dengan batas-batas sehingga cerita tersebut dapat dikatakan historis dan kondisi kegunaan yang sebagai mitos. Penempatan Kala di melahirkan mitos sebagai pewujud bentuk. Gedung Landmark yang dikonstruksi dari Schoemaker menampilkan sosok “Batara masyarakat Hindu tersebut melahirkan Kala” pada bangunan melalui ornamen sebuah mitos, bahwa penerapan ornamen sebagai unsur pengenal secara fungsional. nusantara dalam bangunan merupakan Menjadikan figur Kala dalam bangu- sebuah ideologi Schoemaker untuk nan sebagai “Mitos” yang dikonstruksi melahirkan identitas dalam arsitektur dari masyarakat Hindu di Jawa karena Hindia Belanda yang baru. Penempatan ditempatkan pada bangunan yang bersifat ornamen tersebut merupakan bagian dari profan. Keberlangsungan mitos dan konsep desain dengan unsur nusantara sifat sakral-profan nya ornamen sebagai yang diterapkan dalam karya arsitektur wujud bendawi pada gedung tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang diambil sebenarnya tergantung pada persepsi untuk memunculkan identitas. Bangunan manusia, dimana bentuk ornamen berada. merupakan hasil pemikiran terhadap Namun, meskipun mitos dianggap sebagai arsitektur lokal yang ditranslasikan kedalam filsafat dalam serangkaian usaha untuk bentuk eksplisit, didalamnya sekaligus memahami dunia melalui alam mitologis memiliki makna implisit. Maka, penandaan yang dihadirkan sebagai sarana penyampai ornamen dalam gedung merupakan pesan, sebenarnya mitos bukanlah sebuah “Materia” sebagai sesuatu yang terlihat metode yang irasional ketika dipandang dan terjangkau. Sementara didalamnya pada masa sekarang. Masyarakat primitif terkandung “Forma” yang merupakan jelas hidup dalam sistem ide-ide yang sebuah ide dan gagasan dari Schoemaker menurut mereka cukup rasional, tapi dalam pendalaman terhadap arsitektur jauh dari rasional dalam pandangan kita lokal dengan kosmologi didalamnya, (Daniel L. Pals, 2012: 67). Oleh karena sebagai prinsip yang tersembunyi dalam itu, sebenarnya figur Kala tetap sangat bentuk ornamen sebagai makna eksplisit. mempengaruhi dimensi sakral, karena penerapannya masih sesuai dengan nilai- SIMPULAN nilai di mana ornamen tersebut berasal. Latar belakang terbentuknya arsitektur Mitos dapat menjadi mitologi yang Indo-Eropa tidak lepas dari sebuah trans- memainkan peranan penting dalam formasi budaya yang terjadi di Hindia kesatuan-kesatuan budaya (Ari, 2013). Belanda pada saat itu. Wolff Schoemaker Mitos didalam karya arsitektur merupakan yang berorientasi Eropa mengingin- suatu wahana ideologi yang dimateriali- kan arsitektur berdasarkan gaya eropa sasai melalui wujud artefak arsitektur modern, tetapi tetap sangat cocok dengan yang beriringan dengan perkembangan lingkungan tropis dan mengekspresikan kebudayaan dimana arsitektur itu berada. penuh lokalitas budaya. Penyerapan unsur Dalam arsitektur, dapat ditemukan mitos- tradisi untuk menemukan ide-ide baru mitos yang dibangun dengan berbagai dalam pengembangan ilmu pengetahuan

23 ~ Wibisana: Mitos Kala dalam Arsitektur Wolff Schoemaker pada Gedung Landmark Bandung ~ arsitektur dilakukan Schoemaker dengan yang tercipta dari akulturasi budaya mendalami perkembangan arsitektur dalam perkembangan arsitektur Hindia di nusantara. Bentuk arsitektural lokal Belanda membawa pembaca ke sebuah merupakan simbol kosmologis perwujudan arah pemikiran bahwa sesuatu yang dari orientasi diri manusia. Manusia dalam kecil pun memiliki hakikat yang dapat memaknai suatu hal, tidak sampai pada diterapkan dalam kemajuan peradaban. tataran makna dalam tahap denotasi saja, Bagaimana para arsitek Belanda yang tak tetapi menggunakan kognisinya melalui hanya merespon iklim dan cuaca dalam beberapa pemaknaan dan penafsiran yang menciptakan karya arsitektur, namun juga menimbulkan makna konotasi. memasukan nilai-nilai yang berakar dari Schoemaker menempatkan ornamen nusantara. sebagai fungsi simbolis yang diambil dari konsepsi arsitektur tertinggi kebudayaan Ucapan Terimakasih masyarakat Hindu di Jawa. Arsitektur Penelitian ini tidak akan terlaksana menjadi cerminan pemikiran manusia tanpa dukungan dari berbagai pihak, mengenai alam semesta, manusia dapat oleh karena itu peneliti mengucapkan belajar dari alam yang selalu memberikan terima kasih kepada Sekolah Pascasarjana tanda untuk dijadikan pegangan dalam Institut Seni Budaya Indonesia. Dalam memaknai hidup, hal tersebut merupakan memperoleh data, penulis sangat berterima karakteristik mitos yang bertujuan untuk kasih kepada seluruh narasumber yang mentransformasikan makna ke dalam telah meluangkan waktunya serta seluruh Forma. Nilai, makna, dan simbol dari pihak yang telah mendukung artikel dari ornamen yang digunakan pada karya penelitian yang telah dibuat ini.

Daftar Pustaka Dullemen, Van C.J. 2018. Arsitektur tropis Sumardjo, Jakob. 2014. Estetika Paradoks. Modern: Karya dan Biografi C.P Wolff Bandung: Kelir Schoemaker. : Komunitas Kunto, Haryoto. 1985. Wajah Bandoeng Bambu Tempo Doeloe. Bandung: Granecia Hermianto. 2018. Sejarah dan Arsitektur candi Kusuma, Laksmi. 2010. Fungsi Makna di Indonesia. Sukoharjo: Diomedia dan Simbol (sebuah kajian teoritik). Scheltema, J.F. 2018. Monumental Java. Surabaya: Seminar jelajah arsitektur Yogyakarta: Alexander Books nusantara ITS Barthes, Roland. 2006. Membedah mitos-mitos Sachari, agus. 2000. Desain Dan Dunia budaya massa: Semiotika atau sosiologi Kesenirupaan Indonesia Dalam Wacana Tanda, Simbol, dan Representasi. Tranformasi Budaya. Bandung: ITB Yogyakarta: Jalasutra Sumadi, 2015. Various Decorative Of Kala as Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dimanika an Ornamental Art Works Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Dharma, Agus. “Semiotika Dalam Arsitektur”. Bambu Universitas Gunadharma. Jakarta. Mangunwijaya. 2013. Wastu Citra, Pengantar ke ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-sendi Filsafatnya, Beserta Contoh- contoh praktis. Jakarta: Gramedia

24