Pratik Islam Nusantara i

PRAKTIK ISLAM NUSANTARA DI BEBERAPA KELENTENG DI INDONESIA

(Studi Atas Pemujaan Terhadap Cheng Ho (Muslim Tionghoa) di Kelenteng Ancol, Sam Poo Kong, dan Ritual Islam di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban)

Oleh: M. Ikhsan Tanggok

ii Dalam Kelenteng-Kelenteng

USHUL PRESS FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Cetakan Pertama: Desember 2015 Diterbitkan Dalam versi Indonesia oleh: Ushul Press Fakultas Ushuluddin UIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta Jl. Ir.H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan 15412 Tel +62.21.7493677 Fax. +62.21.7493677 E-mail: [email protected]

Penulis: M. Ikhsan Tanggok ISBN: 978-602-8700-12-2 Editor: Nawiruddin Desain Sampul: Ikhsan Gambar Sampul: Kelenteng Sam Poo Kong

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

Pratik Islam Nusantara iii

KATA PENGANTAR

Penulisan buku dengan judul: “Praktik Islam Nusantara Di Beberapa Kelenteng Di Indonesia (Studi Atas Pemujaan Terhadap Cheng Ho (Muslim Tionghoa) di Kelenteng Ancol, Sam Poo Kong, dan Ritual Islam di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban) dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan dana dari Diktis (Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam) Kementerian Agama RI. Penulisan buku ini didasarkan atas penelitian di lapangan dan kepustakaan di kelenteng Ancol, Sam Poo Kong Semarang, Sam Po Kong Singkawang dan Kwan Sing Bio di Tuban Jawa Timur. Penelitian dan penulisan buku ini dilakukan pada tahun 2015 dan didanahi melalui anggaran Diktis Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2015. Islam Nusantara yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Islam yang dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan sukubangsa yang ada di Indonesia. Para penganut Islam mengaku diri mereka sebagai umat Islam dan juga disisi lain mereka meyakini berbagai kekuatan supernatural yang dapat membantu menyelesaikanberbagai persoalan dalam hidup mereka. Salah satu contohnya adalah praktik-praktik beberapa umat Islam dalam berbagai kelenteng milik orang Tionghoa non Islam di Indonesia.

iv Dalam Kelenteng-Kelenteng

Atas dasar itu, saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada: Kementerian Agama Republik Indonesia, khususnya kepada Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA (Direktur Diktis), Dr. Muhammad Zein, dan para stafnya yang menangani buku Islam Nusantara ini di Kementerian Agama RI. Atas jasa- jasa mereka, penulisan buku tentang Praktik Islam Nusantara Di Beberapa Kelenteng Di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik.

Jakarta, 25 Desember 2015

Penulis

Pratik Islam Nusantara v

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN __ 1 1.1. Masalah Penulisan __13 1.2. Sumber Data dan Fokus Penulisan__16

2. CHENG HO DAN NEGARA-NEGARA DI LUAR TIONGKOK __17 2.1. Mengenal Cheng Ho __18 2.2. Perjalanan Cheng Ho ke Nusantara __36 2.2.1. Perjalanan Pertama __43 2.2.2. Perjalanan Kedua __45 2.2.3. Perjalanan Ketiga __46 2.2.4. Perjalanan Keempat __50 2.2.5. Perjalanan Kelima __54 2.2.6. Perjalanan Keenam __58 2.2.7. Perjalanan Ketujuh __60

3. RITUAL UMAT ISLAM DALAM KELENTENG SAM POO KONG__63 3.1. Kunjungan Cheng Ho di Semarang __63 3.2. Pemujaan Terhadap Sam Poo Tay Kam __78 3.3. Pemujaan Juru Mudi Dampo Awang __96 3.4. Pemujaan Dewa Bumi __111 3.5. Pemujaan Kiyai Jangkar __115 3.6. Mitos Akar Kayu __118 3.7. Sembahyang Rebutan __120 3.8. Selamatan Gua Sam Poo Kong __133

vi Dalam Kelenteng-Kelenteng

4. RITUAL UMAT ISLAM DALAM KELENTENG ANCOL __151 4.1. Asal Usul Kelenteng Ancol __151 4.2. Makam Melayu Islam di Kelenteng Ancol__159

5. RITUAL UMAT ISLAM DI KELENTENG KWAN SING BIO __189 5.1. Kelenteng Kwan Sing Bio Sebagai Wadah Persatuan __189 5.2. Istri Presiden RI ke–4 Sahur Bersama di Kelenteng __210

6. PENUTUP __207

Bahan Bacaan __213 Riwayat Hidup__218

Pratik Islam Nusantara 1

1

PENDAHULUAN

Jika kita berkunjung ke kota Semarang, maka belumlah lengkap jika kita tidak berkunjung ke kelenteng Sam Poo Kong Semarang. Sama sama artinya dengan jika kita berkunjung ke Jakarta, maka belumlah dianggap lengkap jika kita belum berkunjung ke Monumen Nasional (Monas). Demikian juga, jika kita berkunjung ke tempat wisata Ancol, maka belum lengkap jika kita tidak berkunjung ke kelenteng bersejarah yaitu kelenteng Ancol. Jika kita berkunjung ke Kalimantan Barat, maka belumlah lengkap jika kita belum mengunjungi kelenteng Sam Po Kong di wilayah Pantai Samudera Indah, Dusun Tanjung Gundul, Desa Karimunting, Kecamatan Sei Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang. Demikian juga jika kita berkunjung ke Melaka , maka belumlah lengkap jika kita belum berkunjung ke Musium

2 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Cheng Ho di Bandar Melaka dan jika kita berkunjung ke Tuban, maka belumlah terasa lengkap jika kita belum berkunjung ke kelenteng Kwan Sing Bio Tuban. Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang merupakan salah satu objek wisata dari beberapa objek wisata di kota Semarang yang cukup terkenal. Banyak orang berkunjung ke Semarang menyempatkan diri untuk berkunjung ke Kelenteng Sam Poo Kong ini, karena kelenteng ini adalah salah satu objek wisata terkenal di kota Semarang. Para pengunjungnya tidak hanya dari kalangan orang Tionghoa, namun juga orang-orang non Tionghoa yang beragama Islam ikut meramaikan suasana di kelenteng ini. Salah satu kelenteng yang terkenal di Semarang adalah kelenteng Sam Poo Kong atau lebih dikenal dengan kelenteng Gedung Batu. Disebut kelenteng Gedung Batu karena kelenteng tersebut menyerupai gua batu dan dalam kompleks kelenteng itu juga terdapat gua batu yang diyakini tempat bersemedinya Cheng Ho. Kelenteng Gedung Batu atau dikenal dengan kelenteng Sam Po Kong di Semarang adalah sebuah peninggalan sejarah masa lalu yang usianya sudah ratusan tahun dan sudah mengalami beberapa kali perombakan atau perbaikan. Banyak orang menduga bahwa tempat ini merupakan tempat persinggahan dan pendaratan pertama Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok yang beragama Islam. Berdasarkan sejarah dia datang ke Semarang dengan membawa ribuan anak buah, ratusan kapal dan terdiri dari berbagai sukubangsa dan agama. Berdasarkan catatan sejarah, Cheng Ho pernah datang ke Nusantara tujuh kali. Setiap berkunjung ke Nusantara, dia dan anak buahnya selalu menyempatkan diri untuk mampir ke Semarang. Di sana dia dan anak buahnya menjalin hubungan persahabatan dengan penduduk setempat, membawa dan memasukkan barang rempah-rempah dan

Pratik Islam Nusantara 3

barang-barang makanan lainnya ke Semarang. Di masa lalu, Semarang adalah kota paporitnya Cheng Ho dan anak buahnya, ini terbukti bahwa kota ini tidak hanya sekali ia kunjungi, tapi beberapa kali. Selain kelenteng Sam Poo Kong, Semarang juga memiliki Kelenteng Tay Kak Sie yang terletak di Gang Lombok kota Semarang. Lokasi kelenteng ini di tengah-tengah kota Semarang dan mudah untuk dijangkau oleh para pengunjung. Di dalam kelenteng ini disimpan duplikat patung Cheng Ho dan kapal Cheng Ho. Kelenteng ini memiliki sejarah yang berhubungan dengan kelenteng Sam Poo Kong Semarang. Kelenteng ini juga dianggap kelenteng yang sudah cukup tua di kota semarang. Karena usianya sudah ratusan tahun, maka kelenteng ini juga menjadi tempat wisata bagi orang-orang yang berkunjung ke kota Semarang. Setiap tahunnya kelenteng ini ramai dikunjungi orang Islam dan non Islam, karena di tempat ini—pada saat diadakannya perayaan ulang tahun Cheng Ho, maka duplikat patung Cheng Ho yang ada di kelenteng ini di bawa (diarak) oleh banyak orang ke kelenteng Sam Poo Kong atau kelenteng Gedung Batu di Semarang. Duplikat patung Cheng Ho itu diinapkan satu malam di kelenteng Sam Poo Kong dan keesokan paginya dibawa kembali ke kelenteng Tai Kak Sie. Ritual semacam ini tidak hanya melibatkan orang-orang Tionghoa, tapi juga beberapa orang muslim yang ikut di dalamya. Ini artinya kedua agama yang berbeda saling bersatu dan saling membantu dalam mewujudkan uapacara untuk merayakan hari lahirnya Cheng Ho yang setiap tahun diadakan. Setelah menyoroti dua kelenteng di Semarang, kita alihkan perhatian kita untuk melihat kelenteng Ancol di Jakarta. Sama dengan dengan kelenteng Sam Poo Kong dan kelenteng Tai Kak Sie di Semarang, Kelenteng Ancol di

4 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Jakarta Utara juga banyak dikunjungi orang Islam dan non Islam, karena di dalamnya terdapat kuburan seorang muslim yang diduga adalah kuburan juru masaknya Cheng Ho. Ini artinya bahwa tidak hanya Cheng Ho yang menjadi pusat perhatian umat Islam dan non Islam, tapi juru masaknya juga menjadi pusat perhatian masyarakat. Ini menunjukkan bahwa orang Indonesia (Islam maupun non Islam) sangat menghormati Cheng Ho dan anak buahnya. Dalam kompleks kelenteng Ancol ini terdapat empat orang muslim yang dimakamkan di sini. Mereka itu adalah: Embah Said Arelly Dato Kembang dan ibu Enneng, Sam Po Soe Soe (juru masaknya Cheng Ho dan ibu Sittiwati). Dari empat orang Islam yang dikuburkan di kompleks kelenteng ini, tiga di antaranya berasal dari Indonesia dan satu dari Tiongkok. Sam Po Soe Soe berasal dari Tiongkok dan memiliki seorang istri yang bernama ibu Sitiwati. Ibu Sitiwati adalah anak dari Embah Said Arelly Dato Kembang dan ibu Enneng. Jadi, keempat orang muslim yang dimakamkan di kompleks kelenteng Ancol ini masih ada ikatan kekerabatan di antara mereka. Kelenteng Ancol ini sama dengan kelenteng Sam Poo kong di Semarang, yaitu juga menjadi pusat kunjungan umat Islam dan non Islam. Salah satu alasan beberapa umat Islam datang ke tempat ini karena ingin mengunjungi makam muslim di sana. Tujuan mereka datang ke sana ada yang hanya untuk berziarah dan ada juga yang berziarah dan sekaligus memohon pertolongan dari mereka (orang-orang yang dikuburkan di tempat itu) untuk mewujudkan keinginan-keinginan mereka. Di Kalimantan Barat, kita juga mengenal kelenteng Cheng Ho yang di bangun di sana. Sama dengan Semarang, kelenteng ini juga diberi nama kelenteng Sam Po Kong. Kelenteng Sam Po Kong ini terletak di objek wisata pantai

Pratik Islam Nusantara 5

Samudera Indah, Dusun Tanjung Gundul, Desa Karimunting, Kecamatan Sei Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Kelenteng ini juga banyak dikunjungi orang Islam dan non Islam, karena di dalamnya ada potongan kaki patung Cheng Ho yang terbuat dari batu yang menyimbolkan kedatangan Cheng Ho ke daerah itu di masa lalu. Berdasarkan cerita rakyat, pada abad ke-18 patung Cheng Ho itu dicuri orang-orang yang menginginkannya, maka pada saat mereka mengambil patung itu, maka tertinggallah dua buah telapak kaki patung tersebut. Sampai saat ini, kedua telapak kaki itu masih tersimpan dengan baik di kelenteng Sam po Kong di kabupaten Bengkayang. Semua kelenteng di Indonesia dan Malaysia yang memliki keterkaitan dengan kedatangan Cheng Ho di masa lalu, telah menjadi pusat perhatian umat Islam dan non Islam dari berbagai daerah dan negara. Sebagian umat Islam meyakini bahwa potongan patung kaki Cheng Ho yang terdapat di samping kelenteng tersebut adalah benar dahulunya adalah patung Cheng Ho yang dibuat untuk menyimbolkan kedatangan Cheng Ho di daerah itu. Di Malaysia, khususnya di pulau juga ada kelenteng Cheng Ho, yang di dalamnya ada dipamerkan bekas telapak kaki Cheng Ho. Berdasarkan keyakinan sebagian orang Tionghoa di Penang, bekas telapak kaki Cheng Ho yang ada di dalam kelenteng itu adalah benar bekas telapak kakinya. Kelenteng Cheng Ho di Penang Malaysia juga tidak sedikit dikunjungi oleh orang Islam dan non Islam, karena di dalamnya terdapat patung Cheng Ho yang di datangkan dari Tiongkok dan bekas telapak kaki Cheng Ho yang menandakan kedatangannya pada masa lalu. Apakah benar di dalam kelenteng Cheng Ho di pulau Penang di Malaysia adalah benar-benar bekas telapak kaki Cheng Ho atau bisa saja itu duplikat bekas telapak kaki Cheng Ho. Sampai saat ini belum

6 Dalam Kelenteng-Kelenteng

ada sebuah hasil penelitian yang membuktikan kebenaran telapak kaki yang diduga sebagai telapak kaki Cheng Ho. Di Tuban Jawa Timur, juga ada sebuah kelenteng bersejarah yang juga setiap tahun selalu dikunjungi oleh umat Islam. Kelenteng ini bernama Kwan Sing Bio. Kelenteng ini tidak mempunyai hubungan dengan kedatangan Cheng Ho pada abad ke-15 di Semarang dan beberapa daerah di Nusantara. Dalam kelenteng ini juga tidak ada disediakan patung Cheng Ho untuk sebagai daya tarik orang muslim berkunjung ke tempat ini. Meskipun tidak disediakan patung Cheng Ho dan juga tidak memiliki kuburan muslim di dalamnya, namun setiap bulan ramadhan banyak orang Islam yang tinggal di sekitarnya berkunjung di sini. Alasannya bahwa sepanjang bulan ramadhan para pengurus kelenteng ini selalu menyediakan makanan untuk sahur dan berbuka bersama. Oleh karena itu, kelenteng ini bukan saja sebagai tempat ibadah untuk umat tertentu, tapi juga sebagai simbol pemersatu antar berbagai agama. Kelenteng yang terletak di daerah Simongan itu dinamakan kelenteng Sam Poo Kong. Kelenteng Sam Po Kong yang menyediakan patung Cheng Ho di dalamnya terletak di daerah Simongan, di sebelah barat daya Kota Semarang. Di samping apa yang disebutkan di atas, di dalamnya terdapat tanda yang menunjukan bekas peninggalan sejarah yang berciri keislamanan dengan ditemukannya sebuah tulisan yang berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur'an." Tidak hanya itu, dalam kelenteng ini juga dapat dijumpai kuburan seorang muslim yang diduga sebagai kuburan juru mudi Cheng Ho. Tulisan dan kuburan muslim ini telah membuat banyak orang menghubungkannya dengan kedatangan Cheng Ho dengan penyebaran Islam di Nusantara di masa lalu. Atas dasar itu,

Pratik Islam Nusantara 7

banyak orang yang datang ke tempat ini untuk meminta pertolongan pada juru mudi Cheng atau kuburan juru mudi Cheng Ho. Mereka meyakini, bukan saja Cheng Ho yang memiliki kemampuan untuk menolong orang, tapi juga juru mudinya. Kelenteng Sam Poo Kong di semarang lebih dikenal sebagai kelenteng dengan sebutan Kelenteng Gedung Batu. Disebut Gedung Batu karena bentuknya menyerupai sebuah Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu, tepatnya batu besar tersebut berada di belakang kelenteng. Orang Indonesia keturunan Cina atau orang Tionghoa pada masa lalu menganggap bangunan itu sebagai sebuah kelenteng, karena bentuknya berasitektur Cina sehingga mirip dengan sebuah kelenteng. Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah, tempat ibadah dan tempat upacara- upacara untuk hari-hari besar orang Tionghoa. Untuk keperluan pemujaan terhadap Cheng Ho, di dalam gua batu itu diletakan sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien (Cheng Ho), dan patung-patung lainnya (Joe, 1931). Laksamana Cheng Ho adalah orang muslim, tapi karena jasa-jasa masa lalunya yang luar biasa, maka para pemuja yang datang ke tempat ini menganggapnya sebagai dewa. Mereka beranggapan, roh Cheng Ho dapat memberikan pertolongan pada siapa saja yang memohon kepadanya. Ini adalah keyakinan dan siapa saja bias berkeyakinan demikian. Kita tidak bias melarang orang berkeyakinan seperti itu dan itu merupakan haknya. Berdasarkan sejarah yang yang ditulis oleh beberapa ahli sejarah, bahwa pada masa itu Laksamana Zheng Ho sedang berlayar dari Tiongkok melewati laut Jawa, namun ada seorang awak kapalnya yang sakit, dan ia memerintahkan anak buahnya yang lain untuk membuang sauh atau

8 Dalam Kelenteng-Kelenteng

memberhentikan kapalnya untuk sementara waktu. Kemudian ia merapat ke pantai utara semarang dan membuat tempat peristirahatan sementara dan memfungsikan tempat itu sebagai tempat untuk bersembahyang. Sekarang tempat itu berubah fungsinya sebagai kelenteng dan digunakan masyarakat Tionghoa untuk melakukan pemujaan atau penghormatan kepadanya. Bangunan itu sekarang telah berada di tengah kota Semarang atau tidak begitu jauh dari kota Semarang. Karena pantai utara Jawa selalu mangalami pendangkalan diakibatkan adanya sedimentasi sehingga lambat-laun daratan akan semakin bertambah luas kearah utara dan memperluas permukaan bumi (Yuangzhi, 2000 dan Tanggok, 2006). Posisi kelenteng yang dahulunya berada di pinggir laut, akibat pendangkalan, maka letak kelenteng berada jauh dari laut. Sekarang lokasi kelenteng ini sangat sangat jauh dari laut dan daratannya sudah dipenuhi dengan bangunan-bangunan rumah dan ruko-ruku tempat berdagang. Berdasarkan cerita yang berkembang, setelah meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan perjalanannya ke Negara-negara lain, ada beberapa awak kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan kawin mawin dengan penduduk setempat. Dalam cerita itu tidak disebutkan dengan jelas siapa nama-nama awak kapal Cheng Ho yang menetap di Simongan. Mereka menggarap pertanian di daerah tersebut dan menjadikan tempat itu sebagai tempat mereka menggantungkan hidupnya. Berdasarkan sumber-sumber tertulis, pada saat Cheng Ho berada di darat, dia memberikan pelajaran bercocok-tanam pada masyarakat sekitarnya dan karena ia beragama Islam, maka ia juga mengajarkan penduduk setempat agama Islam (Tio, tanpa tahun). Agama Islam yang disebarkan tidak dengan mudah diterima masyarakat, karena keyakinan masyarakat pada masa itu masih kuat dengan agama

Pratik Islam Nusantara 9

tradisional mereka yang masih dekat dengan animisme dan dinamisme. Sebagaimana kita ketahui, sebelum masuknya agama Islam, masyarakat Nusantara menganut keyakinan animism dan dinamisme yang sangat kuat. Masyarakat nusantara sangat menghargai para tokoh- tokoh yang pernah berjasa kepada mereka, termasuk Cheng Ho yang mereka anggap pernah berjasa kepadanya. Oleh karena itu, pada bulan Oktober 1724 diadakan upacara besar-besaran sekaligus pembangunan kuil sebagai ungkapan terima kasih orang-orang kepada Sam Po Tay Djien atau Cheng Ho di daerah kelenteng Sam Po Kong sekarang ini. Dua puluh tahun sebelumnya diberitakan bahwa gua yang dipercaya sebagai tempat ibadanya Sam Po Kong atau Cheng Ho itu runtuh disambar petir. Tidak lama setelah itu, tempat tersebut dibangun kembali dan di dalamnya ditempatkan patung Sam Po atau Cheng Ho dengan empat patung lainnya (patung anak buahnya) yang didatangkan dari Tiongkok. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu sangat menghargai perjuangan Cheng Ho masa lampau di Semarang. Oleh karena itu, pada perayaan tahun 1724 di kelenteng tersebut telah ditambahkan bangunan emperan di depan gua (Khong Yuan Zhi, 2000). Bangunan ini menjadi cikal bakal bangunan tambahan kelenteng. Untuk mengenang kedatangan Cheng Ho di Semarang, maka rakyat semarang memperingati kedatangannya itu dengan agenda-agenda tertentu. Agenda-agenda tersebut dikenal dengan perayaan tahunan Cheng Ho. Perayaan tahunan untuk memperingati kedatangan Cheng Ho di Semarang, merupakan salah satu agenda utama di kota Semarang dan juga merupakan cara untuk menarik wisatawan datang ke Semarang. Dan perayaan ini menjadi pusat perhatian masyarakat Semarang setiap tahunnya. Perayaan itu berbentuk upacara agama yang

10 Dalam Kelenteng-Kelenteng

diadakan di kelenteng Tay Kak Sie, di Gang Lombok kota Semarang. Upacara selanjutnya adalah arak-arakan patung Sam Po Kong (Cheng Ho) yang di bawa dari kuil Tay Kak Sie ke kelenteng Sam Po Kong di Gedong Batu Semarang. Patung Cheng Ho tersebut kemudian diletakkan berdampingan dengan patung Sam Po Kong yang asli di Gedong Batu. Jadi, patung Sam Po Kong yang ada di kelenteng Tay Kak Sie di Semarang diyakini sebagian orang sebagai duplikat patung Sam Po Kong yang ada di Semarang. Kelenteng Tay Kak Sie benar-benar berolakasi di tengah-tengah kota Semarang. Di depan kelenteng Tay Kak Sie dapat kita jumpai duplikat kapal Cheng Ho yang terbuat dari kayu. Warna coklat dan sudah tampak kehitam-hitaman karena kehujanan dan kepanasan. Setiap orang yang datang ke tempat ini mempunyai keyakinan berbeda-beda tentang Cheng Ho tergantung dia memandang Cheng Ho itu seperti apa. Ada sebagian orang muslim maupun non muslim menganggap bahwa Cheng Ho diduga tidak hanya sekedar tokoh muslim dari daratan tiongkok yang melakukan perdagangan, melakukan hubungan diplomatik di wilayah-wilayah yang ia kunjungi dan menyebarkan agama Islam di Nusantara, tapi juga dianggap sebagai dewa yang dapat dimintai bantuannya. Atas dasar itu, banyak orang Islam maupun non Islam yang datang ke kelenteng-kelenteng yang masih ada kaitannya dengan Cheng Ho, terutama kelenteng Sam Poo Kong Semarang hanya untuk meminta pertolongan kepadanya. Bukan saja meminta pertolongan, tapi memberikan penghormatan kepadanya. Sebagian besar orang muslim percaya bahwa Cheng Ho adalah seorang muslim dari Tiongkok yang pernah datang beberapa kali ke Semarang pada abad ke 15, namun tidak semua orang muslim percaya bahwa Laksamana Cheng Ho itu berubah menjadi dewa setelah kematiannya. Ditak juga semua

Pratik Islam Nusantara 11

orang muslim percaya bahwa Cheng Ho yang diyakini oleh sebagian orang muslim lainnya sebagai dewa itu dapat menolong orang sesuai dengan keinginan mereka. Bagi mereka yang percaya bahwa Cheng Ho itu berubah jadi dewa dan dapat membantu manusia yang membutuhkan pertolongan, maka mereka pergi ke kelenteng Sam Poo Kong adalah untuk tujuan meminta pertolongan. Bagi mereka yang tidak percaya, maka kedatangan mereka ke kelenteng Sam Poo Kong adalah hanya untuk wisata. Oleh karena itu, kita dapat membagi orang muslim yang datang ke kelenteng Sam Poo Kong ke dalam dua bagian: (1) Orang muslim yang datang ke sana untuk meminta pertolongan kepada dewa Sam Poo Kong. Permintaannya bermacam-macam sesuai dengan keinginan dan permasalahaan yang mereka hadapi. (2) Orang muslim yang datang ke kelenteng Sam Poo Kong hanya untuk wisata atau untuk melihat lebih dekat kelenteng Sam Poo Kong. Oleh karena itu, pengurus kelenteng memfungsikan kelenteng ini bukan hanya sekedar untuk tempat orang melakukan ibadah, tapi juga sebagai tempat wisata. Karena fungsinya juga sebagai tempat wisata, maka pengurus kelenteng mewajibkan orang yang masuk ke komplek kelenteng ini harus menggunakan tiket, sebagaimana masuk tempat-tempat wisata lainnya. Ditempatkannya patung Cheng Ho di beberapa kelenteng di Indonesia, bukan saja menjadi pusat penyembahan oleh sebagian orang Islam dan non Islam, tapi juga sebagai perekat hubungan muslim dan non muslim yang terjadi di dalam kelenteng. Di dalam kelenteng mereka tidak hanya sekedar melakukan pemujaan terhadap dan memohon pertolongan pada Cheng Ho, tapi juga dapat saling berkumpul bersama, saling kenal mengenal satu dengan yang lainnya (Tanggok, 2006) dan juga mempererat tali persahabatan satu dengan yang lainnya.

12 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Kelenteng Sam Po Kong dan kelenteng Tay Kak Sie di Semarang merupakan simbol kedatangan Cheng Ho pada abad ke 15 di wilayah tersebut. Meskipun mempunyai sejarah yang berhubungan, namun jumlah kedatangan orang muslim ke dua kelenteng ini berbeda satu dengan yang lainnya. Kelenteng Sam Po Kong di Semarang menjadi pusat perhatian dan tempat orang memohon sesuatu pada Cheng Ho oleh sebagian orang Islam di Semarang dan yang datang di luar semarang, sedangkan kelenteng Tay Kak Sie menjadi pusat perhatian dan pemujaan oleh orang-orang Tionghoa non muslim. Kelenteng di luar Semarang, misalnya kelenteng Ancol di Jakarta, juga mempunyai kaitan dengan kedatangan Cheng Ho pada abad ke- 15 di Batavia. Kasus yang sama, banyak umat Islam yang datang ke kelenteng ini untuk memohon pertolongan pada juru masak Cheng Ho. Kelenteng Sam Po Kung di Singkawang, juga banyak dikunjungi oleh para pemuja dari kalangan non Islam dan kelenteng Tuban Jawa Timur juga banyak dikunjungi orang untuk tujuan sahur dan buka puasa bersama. Tidak ubahnya dengan Indonesia, Jika kita telusuri praktek- praktek umat Islam di dalam beberapa kelenteng tersebut, tentu juga menjadi kajian menarik bagi para antropolog untuk melihat praktek-praktek keberagamaan sebagian umat Islam dan non Islam di dalam beberapa kelenteng-kelenteng tersebut. Ini menjadi salah suatu alasan kenapa prktik-praktik sebagian umat Islam dalam beberapa kelenteng di Indonesia menjadi menarik untuk di teliti dan ditulis dalam suatu buku. Alasan lain kenapa Kelenteng Sam Po Kong, kelenteng Ancol, kelenteng Sam Po Kung di Singkawang dan kelenteng Tuban Jawa Timur menjadi pusat perhatian, karena pertama, Cheng Ho pada saat itu tidak hannya mengunjungi pulau Jawa, tapi juga pulau-pulau di luar pulau Jawa. Kedua, Kelenteng- kelenteng ini bukan hanya sekedar tempat ibadah bagi orang

Pratik Islam Nusantara 13

Tionghoa, tapi juga berfungsi sebagai tempat berjumpanya semua umat beragama yang datang ke kelenteng ini dengan tujuan bermacam-macam. Ketiga, patung Cheng Ho dan bekas- bekas patung Cheng Ho dan bagian-bagian dari patung Cheng Ho yang di letakkan dalam kelenteng-klenting ini untuk dipuja dan dimintai pertolongannya dan keempat adalah kelenteng yang tidak ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho di masa lalu namun banyak dikunjungi umat Islam dari sekitar kelenteng itu berada.

1.1. Masalah Penulisan Penulisan buku praktik Islam dalam beberapa kelenteng ini dibatasi pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di kelenteng Sam Poo Kong Semarang, kelenteng Ancol di Jakarta dan kelenteng Tuban Surabaya dan kelenteng Sam Po Kong di Kalimantan Barat. Kelenteng-kelenteng lain yang ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho di Nusantara juga menjadi data penunjang untuk melengkapi tulisan ini. Sejak pertama kali orang Tionghoa datang ke Indonesia, Kelenteng selalu menjadi tempat mereka untuk berkumpul, melakukan ibadah dan memohon sesuatu kepada Tuhan (Thian) dan dewa-dewa yang mereka yakini keberadaannya. Apakah mereka beragama Tao, Khonghucu dan Buddha, selalu menjadikan kelenteng sebagai tempat untuk beribadah. Tradisi semacam ini sudah menjadi pemandangan biasa untuk seluruh kelenteng di Indonesia dan di luar Indonesia, terutama di Tiongkok. Sesuatu pemandangan yang tidak biasa adalah apabila sebagian umat Islam berkunjung ke kelenteng, khususnya kelenteng-kelenteng yang terkait dengan kedatangan Cheng Ho (utusan kaisar Tionghoa dan seorang muslim Tionghoa yang datang pada abad ke-15 di Nusantara) dan tidak terkait dengan Cheng Ho, memuja dan memohon

14 Dalam Kelenteng-Kelenteng

sesuatu padanya agar semua keinginannya terkabulkan. Kebiasaan sebagian umat Islam di Indonesia semacam ini sudah berlangsung cukup lama dan terus berkembang sampai sekarang. Oleh karena itu, untuk kasus beberapa kelenteng di Indonesia, kelenteng bukan saja sebagai tempat ibadah orang Tionghoa pada dewa dan roh-roh, tapi juga menjadi bagian dari tempat ibadah sebagian umat Islam yang difokuskan untuk memuja dan meminta sesuatu pada Cheng Ho, tempat pembagian sembako dan tempat sahur, berbuka puasa bersama dan tempat dialog kerukunan beragama. Penulisan buku yang berhubungan dengan Islam Nusantara ini mengacu pada beberapa pertanyaan sebagai berikut: (1) Apakah benar ada orang Islam yang datang ke kelenteng Sam Poo Kong Semarang, kelenteng Ancol di Jakarta dan kelenteng-kelenteng lain yang ada kaitannya pada Cheng Ho dan kelenteng-kelenteng yang tidak ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho, seperti kelenteng Tuban untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan Islam. (2) Jika benar ada, apa saja yang mereka lakukan di sana. (3) Seperti apa upacara pemujaan terhadap Cheng Ho di setiap kelenteng Sam Po Kong dilakukan dan apa saja yang dilakukan oleh sebagian umat Islam jika mereka berkunjung ke kelenteng yang ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho. Apakah upacara pemujaan di kelenteng dapat dilakukan secara individu, kelompok atau dipimpin oleh seorang juru kunci kelenteng. (4) Peralatan atau perlengkapan upacara apa saja yang diperlukan atau yang harus disediakan dalam melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho di dalam beberapa kelenteng Sam Po Kong (5) Adakah persamaan dan perbedaan pemujaan terhadap Cheng Ho yang ada di kelenteng Sam Po Kong Semarang, Kelenteng Ancol di Jakarta dan Kelenteng Sam Po Kung di Singkawang Kalimantan Barat (6) Apa dampak atau

Pratik Islam Nusantara 15

manfaat yang dirasakan oleh para pelaku upacara setelah mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho atau memohon sesuatu kepada Cheng Ho (7) Apakah para pelaku upacara atau pemohon dari kalangan muslim ini tergolong sebagai penganut agama (khususnya Islam) yang taat atau mereka sebagai bagian dari kelompok Islam abangan (tidak taat dalam menjalankan ajaran agama Islam). Tujuan penulisan buku ini adalah: (1) untuk memahami alasan sebagian umat Islam yang mendatangi, menghormati, memuja dan memohon sesuatu pada Cheng Ho di dalam kelenteng Sam Po Kong di Semarang, kelenteng Ancol di Jakarta dan kelenteng Sam Po Kong di Singkawang Kalimantan Barat (2) Untuk mengetahui, seperti apa upacara pemujaan terhadap Cheng Ho di beberapa kelenteng dilakukan. (3) untuk mengetahui, peralatan atau perlengkapan upacara apa saja yang diperlukan atau yang harus disediakan dalam melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho di dalam beberapa kelenteng Sam Po Kong. (4) untuk mengetahui persamaan dan perbedaan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho yang ada di kelenteng Sam Po Kong Semarang, Kelenteng Ancol di Jakarta dan Kelenteng Sam Po Kong di Singkawang Kalimantan Barat. (5) untuk mengetahui dampak atau manfaat yang dirasakan oleh para pelaku upacara setelah mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho. (6) untuk mengetahui, apakah para pelaku upacara dalam kelenteng- kelenteng ini tergolong sebagai penganut agama (khususnya Islam) yang taat atau mereka sebagai bagian dari kelompok Islam abangan (tidak taat dalam menjalankan ajaran agama Islam), sebagaimana diceritakan oleh Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul: The Religion of Java (1960).

16 Dalam Kelenteng-Kelenteng

1.2. Sumber Data dan Fokus Penulisan Data untuk penulisan buku Islam Nusantara ini berasal dari dua sumber: (1) penelitian lapangan yang dilakukan di kelenteng Sam Poo Kong Semarang, kelenteng Ancol Jakarta dan beberapa kelenteng yang terkait dengan kedatangan Cheng Ho di Nusantara dan kelenteng Tuban di Jawa Timur. Data lapangan dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam dengan pengurus kelenteng, juru kunci kelenteng dan peserta upacara. Wawancara pada beberapa informan tidak hanya akan dilakukan di dalam beberapa kelenteng yang dipilih, tapi juga dilakukan di luar kelenteng, misalnya di rumah dan di kantor informan sesuai dengan kesepakatan antara saya dengan orang informan. Observasi dilakukan dengan mendatangi kelenteng-kelenteng tersebut dan mengamati secara lansung praktek-praktek upacara yang dilakukan orang-orang muslim dan non muslim di sana. Dalam proses pengamatan ini, saya tidak hanya sekedar mengamati proses ritual dari luar, tapi juga mengamati lebih dekat upacara tersebut, supaya dapat merasakan apa yang dirasakan oleh pelaku upacara di dalam kelenteng-kelenteng. Observasi ini tidak hanya dilakukan dalam sekali datang ke tempat-tempat atau sumber-sumber data, tapi beberapa kali sampai data yang diperlukan dapat terkumpul dengan sempurna. Selain observasi dan wawancara mendalam, data yang berbentuk dokumen juga dikumpulkan dari kantor-kantor pemeintah, perpustakaan daerah, perpustakaan nasional, dan perpustakaan perguruan tinggi. Selain itu, surat kabar, dan majalah juga dikumpulkan sebagai bahan pelengkap data. Setelah data terkumpul, baru diadakan penulisan laporan yang dibuat dalam bentuk buku dan sekaligus menganalisa data yang sudah didapatkan selama proses pengumpulannya di beberapa kelenteng.

Pratik Islam Nusantara 17

Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan data lapangan adalah kamera (untuk mengambil gambar-gambar untuk dimuat dalam buku), buku catatan harian yang digunakan untuk menulis dan tape recorder untuk merekam hasil wawancara dengan informan-informan yang telah dipilih dan computer untuk menuliskan data yang didapatkan. Jika perekaman wawancara memungkinkan dilakukan, misalnya mendapat izin dari informan, maka perekaman dalam wawancara baru bisa dilakukan. Jika tidak, hasil wawancara hanya dicatat dalam buku harian penelitian. Penulisan buku Islam Nusantara ini difokuskan pada prakteik-praktik sebagian umat Islam di kelenteng-kelenteng yang ada hubungannya dengan kedatangan Cheng Ho, benda- benda yang terkait dengan kapal-kapal Cheng Ho di beberapa kelenteng di Indonesia dan kelenteng yang tidak ada hubungan dengan Cheng Ho namun dikunjungi banyak orang Islam. Penulisan buku ini tidak banyak mengungkap sejarah kedatangan Cheng Ho di Nusantara (Indonesia), tapi lebih kepada mengungkap praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan para pemuja, maksud dan tujuan para pemuja untuk meminta pertolongan pada Cheng Ho, juru mudi Cheng Ho, dan tukang masak Cheng Ho, mempelajari ritual-ritual dan makna-makna dari praktik-praktik ritual yang mereka lakukan dan mengungkap tujuan mereka datang ke kelenteng-kelenteng yang tidak ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho.

18 Dalam Kelenteng-Kelenteng

2

CHENG HO DAN NEGARA- NEGARA DI LUAR TIONGKOK

2.1. Mengenal Cheng Ho Dalam karya-karya yang ditulis oleh sarjana- sarjana Barat dan Indonesia, kita sudah mengenal nama Cheng Ho atau Zheng He yang datang ke berbagai pulau di Nusantara sekitar abad ke-15. Meskipun demikian, kita masih sulit untuk mengetahui riwayat hidup Cheng Ho yang sesungguhnya, karena sedikit sekali catatan-catatan yang menceritakan Cheng Ho dari kecil sampai dengan dewasa yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari Tiongkok. Yang banyak kita jumpai adalah catatan-catatan tentang sejarah perjalanan Cheng Ho ke negara-negara di luar Tiongkok, itupun berdasarkan catatan perjalanan para pengikutnya, seperti Ma Huan, Fei Xin, dan sarjana-

Pratik Islam Nusantara 19

sarjana Timur maupun Barat yang mempunyai ketertarikan untuk mengkaji tentang Cheng Ho. Cheng Ho sendiri tidak pernah mencatat sejarah perjalanannya ke Nusantara dan Negara-negara lain. Semua yang kita dapat sampai saat ini adalah cerita orang lain tentang dia dengan mendasarka pendapatnya pada bukti-bukti sejarah. Keterbatasan mengenai sumber kepustakaan tentang Cheng Ho tidak membuat kita kesulitan dalam mempelajari Cheng Ho dan keluarganya, tapi kita masih dapat mengetahuinya walaupun hanya sedikit. Ada dua sumber yang dapat mengungkapkan tentang latar belakang keluarga Cheng Ho, yang pertama adalah Ming Shi (kitab sejarah resmi dinasti Ming) dan inskripsi yang terdapat pada makam ayahnya Cheng Ho yang masih terjaga dengan rapi sampai sekerang. Biasanya di batu nisan kuburan Tionghoa, dapat kita ketahui nama dan marga orang yang meninggal dunia. Dari batu nisan ini dapat juga dijadikan alat bukti untuk menelusuri orang yang sudah meninggal dunia berasal dari marga apa dan keturunan anak laki-lakinya siapa saja. Biasanya di batu nisan kuburan orang Tionghoa ditulis nama asli orang yang mati, nama anak-anaknya dan juga dia dari marga apa. Dari marganya tersebut kita dapat mengetahui bahawa yang mati berasal dari keturunan apa. Marga diwariskan seterusnya pada anak laki-laki dan bukan pada anak perempuan. Anak perempuan mengikuti marga suaminya dan anak-anaknya juga mengikuti marga ayahnya. Sedangkan Cucu dari keturunan laki-laki disebut cucu dalam dan cucu dari keturunan perempuan disebut cucu luar (Tanggok, 2006). Artinya cucu ini sudah mengikuti marga orang tua laki-lakinya dan bukan marga ibunya. Orang Tionghoa sama dengan orang Batak,

20 Dalam Kelenteng-Kelenteng

yaitu menganut garis keturunan patrilinial (berdasarkan garis keturunan ayah) dan berbeda dengan orang Minang, yaitu mendasarkan garis keturunan dari pihak wanita (matrilineal). Cheng Ho mempunyai nama besar, dan popular di masanya dan juga di masa sekarang. Tidak mungkin nama seseorang tercatat dalam sejarah dinasti Ming, jika seseorang tersebut bukanlah orang penting dan mempunya jasa yang cukup banyak terhadap negara. Demikian juga, tidak mungkinlah dia orang jahat, tentu saja dia adalah orang baik-baik yang mempunyai jasa terhadap masyarakat (Tanggok, 2006). Kaisar Tiongkok mempercayainya sebagai pemimpin untuk menjelajah dunia, menjalin hubungan antara Tiongkok dan negara-negara di Asia Tenggara. Ming Shi adalah kitab sejarah resmi dinasti Ming. Dalam buku itu dapat kita lihat bagaimana sejarah Cheng Ho dijelaskan secara singkat. Dalam buku itu dapat dijumpai 30 huruf Tionghoa yang menjelaskan tentang riwayat Cheng Ho. Meskipun hanya 30 huruf Tionghoa, tapi sudah cukup membuktikan bahwa Cheng Ho itu memang betul ada dalam sejarah. Kita dapat menemukan riwayat hidup Cheng Ho Dalam kitab Ming Shi, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: Dalam kitab Ming Shi dikatakan, bahwa Cheng Ho adalah berasal dari provinsi Yunan. Dia dapat dipanggil dengan nama San Bao Tai Jian. Pada mulanya ia bekerja di istana raja Yan, karena ia ikut terlibat dalam peperangan, kemudian ia terpilih menjadi Taijian (Kasim Agung atau kasim yang mulia). Ini adalah satu gelar yang amat mulia diperuntukkan padanya. Atas dasar pemberian gelar

Pratik Islam Nusantara 21

tersebut dia mendapat penghormatan dari banyak orang. Sebagaimana kita ketahui bahwa gelar kasim itu tidak dimiliki banyak orang di kalangan istana kerajaan di masa itu dan hanya orang tertentu saja yang mendapatkannya. Kaisar melihat bahwa dia adalah salah seorang yang pantas menerima gelar tersebut. Berdasarkan sejarah, Cheng Ho mempunyai banyak nama panggilan, kadangkala ia disebut Sam Poo Tay Jin, Sam Po Tao Lang, The Hoo, Cheng Ho, Zheng He dan ada juga yang menyebutnya dengan Sam Poo Kong. Umumnya masyarakat Tionghoa di Singkawang menyebutnya dengan nama Sam Po Kong, dan klentenya juga diberi nama kelenteng Sam Po Kong. Dikalangan masyarakat Tionghoa Indonesia Cheng Ho lebih dikenal dengan nama Sam Po Kong. Selain dari kitab Ming Shi, kita juga dapat mengetahui riwayat Cheng Ho dari inskripsi yang tertulis di makam orang tuanya yang terdapat di provinsi Yunnan. Inskripsi tersebut tidak lagi terdiri dari 30 kata, sebagaimana yang terdapat dalam Ming Shi, tapi sudah lebih banyak lagi, yaitu sekitar 14 baris. Inskripsi tersebut berbunyi sebagai berikut: Ha Zhi (Haji) adalah nama dari tuan Ma, dan sedangkan nama keluarganya adalah Ma. Ma berasal dari distrik Kunyang di propinsi Yunnan. Dia memiliki seorang kakek yang bernama Bay Yan, sedangkan neneknya berasal dari keluarga Ma juga. Sebagaimana disebutkan di atas, ayahnya bernama Ha Zhi, ibunya berasal dari keluarga Wen, … anak laki-lakinya ada 2 orang, yang tertua bernama Wen Ming dan kedua diberi nama Ho. Tuan Ma memiliki anak perempuan

22 Dalam Kelenteng-Kelenteng

sebanyak 4 orang. Seja muda, Ho sudah menunjukan bakat dan kemampuannya. Ia mengabdi pada Putra Langit (Kaisar Tionghoa) yang menghadiahkan nama keluarga Zheng atau Cheng padanya serta mengangkatnya sebagai Nei Guan Tai Jian, … Tuan Ma dilahirkan pada hari ke 9, bulan ke 12, tahun Jia Shen (12 Januari 1345) dan meninggal dunia pada hari ke 3, bulan 7, tahun Ren Su pada masa pemerintahan kaisar Hong Wo (12 Agustus 1382). Ia telah mencapai usia 69 tahun. Putra tertuanya yang bernama Wan Ming memakamkan ayahnya di desa Hodai yang terletak di distrik Baoshan (Tju Kie Hak Siep, 1954; Tanggok, 2006). Tentu saja pemakaman ayahnya ini dilakukan secara Islam, karena orang tua Cheng Ho adalah beragama Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa jumlah orang-orang Tionghoa pada masa itu yang Bergama Islam sudah cukup banyak dan bahkan masyarakatnya sudah banyak melakukan hubungan dengan masyarakat di Timur Tengah. Bukan saja Cheng Ho, Informasi tentang orang tuanya juga dapat kita jumpai dalam suatu tulisan yang ditulis di batu nisannya. Peryataan tersebut berbunyi sebagai berikut: Sebagaimana layaknya orang Islam secara umum, orang tua Cheng Ho juga telah melaksanakan ibadah haji di tanah suci Mekkah, dan tidak diketahui berapa kali dia melaksanakan ibadah haji tersebut. Nama leluhur atau marga dari orangtua Cheng Ho ialah Bhe, kakeknya bernama Banyan. Nama leluhur ibunya adalah Un. Orang tua Ho mempunyai dua orang putra dan satu putrid yang hidup saling rukun satu dengan yang lainnya. Anaknya yang pertama bernama Bun

Pratik Islam Nusantara 23

Bin, yang kedua bernama Ho dan yang ketiga adalah seorang putri. Semasa mudanya, Ho sangat cerdik, kini berhamba sebagai raja sebagai Lwee Kam, oleh baginda raja ia dianugrahi nama leluhur Bhe yang berbeda dengan nama leluhur dia sebelumnya (Tanggok 2006). Sumber tertulis mengenai Cheng Ho tampaknya berbeda-beda, namun sumber itu tetap mengarah pada bahwa Cheng Ho adalah berasal dari keluarga yang beragama Islam, dan juga berasal dari keluarga Islam.

Kelenteng Sam Poo Kong Semarang (Sumber:Google)

Sumber-sumber di atas, kita mendapatkan dua informasi yang berbeda mengenai keluarganya Cheng Ho. Di dalam Ming Shi disebutkan bahwa nama keluarga Ho adalah Ma, sedangkan dalam tulisan Moerthiko di atas nama keluarga Ho adalah

24 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Bhe.Perbedaan lain adalah tentang nama dari anak sulung atau tertuanya. Jika dalam Ming Shi dikatakan bahwa anak atau kakak tertua dari Ho bernama Wen Ming, sedangkan dalam tulisan Moerthiko nama anak tertua atau kakak tertua Ho bernama Bun Bin. Perbedaan ini diakibatkan ada kemungkinan Moerthiko mengambil dari sumber yang berbeda, sehingga menghasilkan informasi yang berbeda pula. Dalam Ming Shi disebutkan bahwa orang tuanya Ho mempunyai 4 orang anak perempuan, namun tidak disebutkan nama-nama dari anak perempuan tersebut. Dalam tulisan Moerthiko disebutkan bahwa orang tua Ho mempunyai seorang anak perempuan. Kesamaannya adalah yang berhubungan dengan nama kakeknya. Jika dalam Ming Shi disebutkan bahwa nama kakek Cheng Ho ialah Bay Yan, sedangkan dalam tulisan Moertiko nama kakeknya Ho ialah Banyan (sebutannya hampir sama), dan cuma saja tulisannya digabung (Tanggok, 2006; Moertika, tanpa tahun). Perbedaan itu tidak menimbulkan masalah dan bahkan dapat mendorong kita untuk mencari informasi yang lebih akurat dan benar tentang asal-usul Cheng Ho. Selain karya-karya disebutkan di atas, karyanya Ma Huan (1433) juga memberikan Informasi yang banyak tentang Cheng Ho. Mahuan adalah seorang penerjemah Cheng Ho yang banyak menguasai bahasa-bahasa Negara-negara lain.Dalam karyanya tersebut dikatakan bahwa nama asli dari Cheng Ho ialah Ma Ho. Anggota keluarganya hidup di daerah bagian K’un yang terletak di ujung Baratdaya danau Tien chih di Provinsi Yunan. Kakeknya bernama Bayan yang lahir di Mongol. Karena ia lahir di Mongol, maka ada kemungkinan dia

Pratik Islam Nusantara 25

adalah seorang anggota pasukan Mongol yang berpusat di Yunan. Bapaknyanya memiliki nama marga Ma dan dengan gelar “Haji,” ini mengindikasikan bahwa dia (orang tuanya Cheng Ho) adalah seorang muslim yang sudah melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekkah, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang muslim yang lainnya di masa itu. Kita tidak dapat mengetahui apakah kakeknya seorang muslim atau bukan, karena tidak ada sumber yang menjelaskan tentang sejarah kehidupannya. Jika dilihat dari anaknya yang telah melaksanakan ibadah haji, maka kakeknya juga dapat diduga sebagai seorang muslim yang taat. Ini hanya baru sekedar dugaan saja mengenai kakeknya Cheng Ho, sebab belum kita jumpai sumber yang jelas tentang kehidupan keagamaan kakeknya Cheng Ho. Diduga bahwa Cheng Ho lahir pada tahun 1371. Dia adalah laki-laki kedua dari Ma dan memiliki empat orang adik perempuan. Dalam tulisan Ma Huan tidak dijelaskan tentang nama kakak tertuanya. Kakak tertuanya ini apakah laki-laki atau perempuan. Tidak dijelaskan juga dalam tulisan itu tentang adik-adiknya dan siapa nama dari adik-adiknya. Dalam tulisan Ma Huan ini juga tidak dijelaskan siapa nama asli bapaknya, abang tertuanya dan empat orang adik wanitanya. Sebagai seorang laki-laki, dia memperlihatkan tanda-tanda kemampuan yang luar biasa dan sudah pasti dia dididik dan dibersarkan dalam keyakinan orang muslim, karena bapaknya adalah seorang muslim. Tidak hanya sekedar muslim, tapi juga telah melaksanakan rukun Islam yang ke lima. Di dalam

26 Dalam Kelenteng-Kelenteng

usianya yang ke-21 tahun dia mengabdikan dirinya pada pangeran Yen, yang bernama Chu Ti. Ia adalah anak laki-laki keempat dari kaisar Hung-wu, yang bertugas untuk memimpin suatu wilayah yang cukup besar di bagian Timur Laut dan pada tahun 1403 ia menjadi Kaisar Ch’eng-tsu. Sebagai seorang anak buah dari pangeran Yen, Cheng Ho melaksanakan tugas dengan baik dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, ia sangat disenangi oleh pangeran Yen (lihat juga dalam Tanggok 2006), karena sangat bertanggung jawab dalam menjalankan tugas dari kaisar. Berdasarkan pada beberapa sumber di atas, maka dapat kita katakana bahwa Ma Ho adalah seorang yang berpendidikan, yang mempelajari ilmu pengetahuan dan seni berperang, dan dia tidak mau ikut campur dalam penindasan dan pemberontakan di Yunan. Pada tahun 1404, dia diberi nama marga baru, yaitu Cheng, sebagai sebuah penghargaan atas jasa-jasanya terhadap kerajaan dan kerajaan juga mempromosikannya untuk menjadi seorang kasim agung, serta sebagai seorang pemimpin. Dengan nama marga baru tersebut, nama asli Ho berubah menjadi Cheng Ho atau Zheng He. Sebagaimana orang Tionghoa umumnya bahwa nama marga selalu digandengkan dengan nama aslinya. Sebagai contoh Nio Yu Lan, di mana nama aslinya adalah Yu Lan dan nama marganya adalah Nio (Tanggok 2006), Bong Siau Lian, artinya bahwa nama aslinya adalah Siai Lian dan nama marganya adalah Bong. Menurut Tanggok (2006) bahwa bagi orang Tionghoa, nama keluarga amatlah penting untuk dicantumkan dalam nama asli agar yang mempunyai nama dapat dikenal nama marganya. Bagi orang

Pratik Islam Nusantara 27

Tionghoa, menikah sesama marga tidak tidaklah boleh, karena masih dianggap satu saudara. Pada awalnya, Cheng Ho belum dikenal dikalangan kasim-kasim sebagai seorang yang cerdas dan enak dipandang, namun raja Ch’eng-tsu (Yong-lo) telah mengankat dia sebagai wakil atau duta darinya dan ia ditugaskan raja untuk memimpin enam armada laut besar yang berlayar ke Samudera Barat. Perjalanan itu terjadi antara tahun 1405 dan 1421. Perjalanan ini adalah perjalanan pertama Cheng Ho yang ditugaskan untuk memimpin kekuatan meliter yang cukup besar. Suatu kepercayaan yang luar biasa yang diberikan oleh kaisar kepadanya. Jika dia bukan orang yang jujur atau dapat dipercaya dan cerdas, tidak mungkin tugas yang begitu besar ini dilimpahkan kepadanya. Jika ia tidak dipercaya oleh raja, tidaklah mungkin ia ditugaskan untuk memimpin para armada untuk menyeberangi laut bebas. Pada abad ke-15, tepatnya pada tahun 1424, di Tiongkok telah terjadi pergantian kekuasaan. Karena pergantian kekuasaan itu, maka kebijakan pemerintahpun berubah sesuai dengan irama kepemimpinan pada masa itu. Oleh karena itu, raja Jen-tsung menugaskan Cheng Ho sebagai pejuang yang tugasnya sebagai pembela di wilayah Nanking. Namun pada tahun 1428 raja Hsü-te meminta dia menyelesaikan pembangunan tempat ibadah yang cukup besar di Nanking. Tidak dapat diketahui, apa nama tempat ibadah itu, apakah masih ada sampai sekarang atau sudah musnah. Selama tahun 1430 dia diperintahkan oleh raja untuk memimpin perjalanan yang ketujuh atau terakhir ke laut bagian Barat.

28 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Diduga pada perjalanannya yang ke tujuh dia juga mampir ke kepulauan Nusantara (Leo 2007 dan Kong Yuanzhi 2000), termasuk semarang dan beberapa pulau di Nusantara yang diduga pernah disinggahi kapal- kapal Cheng Ho. Setelah menyelesaikan tugasnya untuk berkunjung ke berbagai negara, atau menyelesaikan perjalanannya yang ke tujuh, tepatnya pada tahun 1433, Cheng Ho kembali menjalankan tugasnya yang dahulu ditinggalkannya, yaitu sebagai seorang pembela di di wilayah Nanking. Pada saat dia berusia 65 tahun dia meninggal dunia di Nankin, sebagai mana kuburan tradisionalnya masih dapat dilihat di sana (Kong Yuanzhi). Selama hidupnya, Cheng Ho membantu atau mengabdikan dirinya pada tiga kerajaan dan menjadi seorang duta besar amat penting di masa pemerintahan Yong-lo dan Hsüan-te. Dia sangat disegani banyak orang karena kemampuannya yang luar biasa dalam memimpin anak buahnya mengarungi laut luas ke berbegai Negara. Dia dianggap duta Tiongkok yang dapat mengeratkan hubungan antara satu Negara dengan Negara lain (Tanggok 2006). Dia juga dianggap memiliki jasa besar memperkenalkan kebudayaan Tiongkok ke Negara-negara lain. Cheng Ho memiliki kemampuan luar biasa, dia berhasil memimpin tujuh perjalanan laut yang cukup besar dan mengunjungi lebih dari tiga puluh negara. Ini sebuah keberhasilan yang luar biasa bagi seorang kasim agung yang memimpin ribuan orang dalam perjalanan laut dan bertanggung jawab dalam setiap misi perjalanannya. Dalam beberapa perjalanannya, dia meninggalkan catatan-catatan perjalanannya, termasuk

Pratik Islam Nusantara 29

catatan-catatan yang ditulis dalam tiga bahasa, yaitu dalam bahasa Tionghoa,Tamil dan Persia, yang dapat ditemukan di Galla di Ceylon (Tanggok 2006) dan menjadi saksi sejarah bagi perjalanan Cheng Ho. Andaikata tidak ada catatan-catatan itu, tentu saja sulit bagi generasi sekarang untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh Cheng Ho pada masa lalu. Dengan demikian, generasi sekarang akan sulit mengetahui sejarah masa lalu tentang hubungan Tiongkok dan Nusantara.

Pintu Gerbang Depan Kelenteng Sam Poo Kong Semarang (Sumber: Google)

Sebagian besar masyarakat Tiongkok mengenal Cheng Ho dengan gelar yang diberikan kaisar padanya, yaitu “San pao t’ai-chien, yaitu kasim agung San Po.” San pao t’ai-chien, terdiri dari dua kata, “San Po” dapat diartikan sebagai “tiga batu permata” yang

30 Dalam Kelenteng-Kelenteng

mencerminkan “triratna” dari ajaran Buddha. Berdasarkan sejarah, dia adalah seorang muslim yang juga mempelajari agama Buddha, namun dia tidak meyakini agama Buddha sebagai agama. Dia adalah seorang yang mempunyai watak dan penampilan yang luar biasa, badannya tinggi besar dan kuat, sehingga patung-patungnya yang dibuat menyerupainya digambarkan sebagai orang yang tinggi besar dan berbadan besar. Karena kemampuannya yang luar biasa dalam memimpin pasukannya, maka ia sangat dikenal banyak orang di lingkungan istana. Dia juga dikenal sebagai seorang diplomat yang memiliki kemampuan yang luar biasa, memiliki kemampuan dalam memimpin, tidak takut dalam mengambil sebuah keputusan yang dianggap benar dan menguntungkan, dan memiliki strategi yang luar biasa dalam memimpin anaknya. Strategi yang baik yang ia gunakan dalam memimpin membuat ia sukses dalam setiap misinya ke Negara-negara lain.Tidak hanya itu, setiap Negara yang ia kunjungi, selalu disambut dengan meriah oleh masyarakat setempat. Keberadaannya diwilayah yang ia kunjungi tidak pernah menimbulkan konflik dan bahkan dia dianggap sebagai simbol perekat hubungan antar sukubangsa. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar penduduk Thailand menganut agama Buddha. Masyarakat muslim adalah masyarakat minoritas di sana. Masyarakat Tionghoa perantau juga cukup besar jumlahnya di sana. Berdasarkan sejarah yang ditulis oleh para ahli sejarah, Cheng Ho dalam hidupnya juga pernah berkunjung ke Siam (Thailand). Sehingga tidak heran jika di sana juga memiliki sebuah kelenteng (temple)

Pratik Islam Nusantara 31

San Po. Di kelenteng itu, patung San Po atau Cheng Ho juga dihormati dan dipuja di sana oleh masyarakat yang memiliki kepercayaan tertentu tentang Cheng Ho. Di Formusa, nama Cheng Ho atau San Po digunakan untuk tanaman jahe atau sebutan untuk tanaman jahe. Di Malaka (Malaka), dia juga dikenal dengan sebutan Sam Po Kung dan memiliki sebuah museum di sana (Kong Yuanzhi 2000: 152-153). Musium ini milik dari Dr. Tan Ta Sen dan diberi nama “Cheng Ho Cultural Museum.” Musium ini mengkoleksi buku-buku yang berhubungan dengan Cheng Ho, baik yang ia tulis sendiri maupun yang ditulis oleh sarjana-sarjana barat, duplikat kapal-kapal Cheng Ho, kramik-kramik, peta pelayaran Cheng Ho, dan benda-benda lain yang berhubungan dengan Cheng Ho. Untuk mengetahui tentang sejarah Cheng Ho, kita dapat juga membaca buku-buku yang ditulis oleh Dr. Tan Ta Sen (pemilik Musium Cheng Ho di Malaka-Malaysia, tinggal di Singapura dan mendapat gelar Doktor dari Universitas Indonesia). Salah satu karyanya berjudul: Cheng Ho and Islam in Southeast Asia, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2009. Data untuk penulisan buku ini diambil dari tesis Ph.D nya di Universitas Indonesia. Di Melaka-Malaysia, Cheng Ho dikenal dengan adanya museum Cheng Ho di Pacinan Bandar (kota) Melaka. Generasi muda Melaka mungkin kurang mengenal Cheng Ho, namun karena adanya museum Cheng Ho di Pecinan Bandar (Kota Malaka), maka dapat memberikan informasi kepada mereka untuk mengenal sejarah Cheng Ho. Musium Cheng Ho ini terdapat di kota Melaka dan tepatnya di perkampungan orang Tionghoa atau Pecinan. Para turis lokal maupun macanegara yang datang ke Melaka dapat berkunjung di museum ini dan meninkmati koleksi-koleksi museum yang menunjukan bahwa Cheng Ho bukanlah

32 Dalam Kelenteng-Kelenteng

mitologi banyak orang, namun benar-benar pernah berada di Melaka pada abad ke-15. Di museum ini juga disediakan patung Cheng Ho dan altar tempat pemujaan untuk Cheng Ho. Bagi para pengunjung yang akan melakukan penghormatan pada Cheng Ho, dapat dilakukan di tempat itu (sebelah kanan dari pintu masuk museum). Di samping tempat pemujaan untuk Cheng Ho, ada kantin atau Cape untuk para pengunjung dan bukan pengunjung yang mau makan dan minum di tempat ini. Musium Cheng Ho ini menyediakan koleksi-koleksi yang berkaitan dengan kedatangan Cheng Ho di Melaka pada abad ke 15 M. Dalam museum Cheng Ho ini juga dipamerkan buku- buku yang berhubungan dengan sejarah Cheng Ho, baik ditulis oleh para penulis luar, dan juga di tulis oleh penulis Singapura, seperti Dr. Tan Ta Seng, yaitu pemilik museum Cheng Ho di Malaka ini.Pada saat saya bertemu dengan dia (di Musium) pada bulan Nopember 2015 lalu, dia mengatakan kepada saya bahwa museum Cheng Ho juga akan dibangun di Kota Tua Jakarta. Dia sudah menemukan mitra dan lokasi untuk pembangunan museum Cheng Ho ini. Saya melihat, setiap Negara mempunyai perbedaan dalam memberikan nama panggilan terhadap Cheng Ho.Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah penghalang bagi kita untuk memahami lebih dekat siapa itu Cheng Ho, namun lebih mendorong kita untuk lebih jauh mencari atau meneliti kembali mengenai Cheng Ho tersebut. Meskipun demikian, kita sudah mendapat gambaran siapa sebenarnya Cheng Ho dan bermacam nama panggilan yang diberikannya padanya. Dari tiga kutipan di atas menunjukan bahwa Cheng Ho adalah

Pratik Islam Nusantara 33

berasal dari keluarga muslim yang taat dalam menjalankan ajaran Islam. Sebagaimana yang terpahat di batu nisan ayahnya tersebut di atas, bahwa ayah dan kakeknya adalah pernah melaksanakan ibadah Haji dan diberi gelar haji. Ini adalah sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat untuk orang muslim yang telah melaksanakan rukun Islam ke lima di tanah suci Mekkah. Begitu juga dengan pahatan yang ada di batu nisan ayahnya ini juga menunjukan bahwa leluhurnya adalah seorang muslim sehingga dia dibesarkan dan dididik dalam keluarga muslim. Jika leluhurnya muslim tergolong dalam keluarga muslim yang taat menjalankan ajaran Islam, maka sudah dapat dipastikan bahwa Ho adalah juga seorang muslim yang taat melaksanakan ibadah, karena mengikuti jejak orang tua dan kakeknya. Apa yang terpahat di nisan ayahnya tersebut juga memperkuat pendapat banyak ahli sejarah yang mengatakan bahwa Ho adalah seorang muslim. Tidak hanya kakek dan ayahnya yang sudah menginjakkan kaki mereka ke tanah suci Mekkah, tapi Ho juga telah berkunjung ke sana dan sekaligus melaksanakan ibadah haji. Ini artinya bahwa Ho juga sama dengan ayah dan kakeknya yaitu menyandang gelar haji. Sebagaimana kita ketahui bahwa antara Tiongkok dan Mekkah tidaklah begitu jauh sehingga memungkinkan bagi orang-orang muslim di Tiongkok dengan mudah.Ketika saya berkunjung ke Tingkok Desember 2004 bersama almarhum Abdurrahman Wahid, saya sempat bertanya kepada salah seorang muslim Tionghoa di sana: “Apakah anda kenal dengan

34 Dalam Kelenteng-Kelenteng

beberapa Universitas Islam yang ada di Indonesia?” Dia menjawab: “Tidak, dan dia hanya mengenal beberapa Universitas Islam di Timur Tengah, seperti Al-Azhar.” Cheng Ho hidup di antara orang-orang yang berbeda agama, seperti orang yang beragama Tao, Khonghucu dan Buddha. Meskipun dia hidup di antara orang yang berbeda agama, namun dia dan orang-orang beragama lain di Tiongkok masih dalam satu sukubangsa. Cheng Ho dipandang sebagai orang yang tidak anti terhadap agama-agama di luar agama Islam dan dia membuka diri pada tokoh-tokoh agama lain seperti Tao, Khonghucu dan Buddha yang cukup berkembang di Tiongkok pada masa itu. Atas dasar itu, dalam hidupnya dia sempat belajar agama Buddha untuk menambah pengetahuan mereka tentang agama- agama di luar agama yang diyakininya dan bukan dijadikan sebuah keyakinan baru dalam dirinya (Kong Yuan Zhi, 2000). Agama Buddha yang ia pelajari hanyalah sekedar ilmu pengetahuan, seperti layaknya beberapa sarjana barat selama ini yang banyak belajar tentang kebudayaan orang Islam tapi dia bukan Islam, misalnya: Clifford Geertz (1960), Mark R Woodward (1988), dan banyak lagi sarjana-sarjana non Islam di Eropa yang ahli tentang Islam. Pengetahuan Cheng Ho tentang agama-agama orang lain ini cukup penting bagi dia, karena sebagai seorang yang sering ditugaskan untuk menjalin hubungan dagang dan persahabatan dengan negara- negara lain, maka dia akan menjumpai beragam sukubangsa dan keyakinan agama yang berbeda. Jika pengetahuannya tentang kebudayaan dan agama orang

Pratik Islam Nusantara 35

lain banyak, maka dapat memudahkan baginya untuk melakukan hubungan dengan orang-orang dari negara- negara yang dia kunjungi. Mempelajari agama orang lain adalah salah satu strategi bagi dia agar memudahkannya berhubungan dengan masyarakat yang bukan beragama Islam. Sebagaimana kita ketahuai, Cheng Ho tidak semata-mata mengunjungi negara- negara yang mayoritas penduduknya muslim, tapi juga mengunjungi negara-negara yang mayoritas penduduknya non muslim, seperti Tailand yang sebagian besar penduduknya menganut agama Buddha. Bagi Cheng Ho, agama Buddha tidaklah asing lagi baginya karena di Tiongkokpun banyak orang yang menganut agama Buddha (Tanggok 2010), terutama agama Buddha aliran (kereta besar). Sekarang ini agama Buddha adalah agama yang terbanyak dianut masyarakat Tiongkok. Agama ini menempati urutan pertama dari agama Tao dan Khonghucu. Agama-agama di Tiongkok adalah: Tao, Buddha, Khonghucu, Islam, dan Kristen. Agama Buddha di Tiongkok dibawa oleh orang Tionghoa yang telah belajar Buddhisme di India. Sepulangnya mereka dari India, mereka mengajarkan agama Buddha di Tiongkok. Cheng Ho belajar agama Buddha bukan bukan karena dipaksa oleh orang tuanya atau oleh kaisar yang berkuasa pada masa itu, karena murni untuk memahami ajaran Buddha untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Salah satu bukti Ho mempelajari agama selain Islam, khususnya Buddha dapat dilihat dalam kitab agama Buddha Mouw Lik Kie. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa (Moerthiko, tampa tahun): “Pada tahun Eng-lok pertama, tercatat bahwa Ho telah diterima sebagai murid Pousat (Buddha) dan diberi

36 Dalam Kelenteng-Kelenteng

nama perguruan Hok-sian, dan segala pekerjaan yang ditugaskan padanya telah diselesaikan dengan baik.” Oleh karena itu dia disenangi oleh pendeta agama Buddha. Pengetahuan Cheng Ho tentang agama di luar agama Islam, cukup banyak, hal ini mendorong dia untuk bersikap toleran terhadap agama orang lain. Dengan cara ini, akan terjadi toleransi beragama dan kehidupan harmoni akan terwujud. Pengetahuan tentang agama-agama selain agama yang dia yakini ini, dapat dijadikan alat untuk berhubungan dengan orang- orang yang beragama selain Islam. Sebelum agama Buddha dan Islam masuk ke Tionghoa, orang-orang Tionghoa sudah mengenal ajaran-ajaran agama tradisional mereka, yaitu Taoisme dan Konfusianisme. Saya yakin, pengetahuan Cheng Ho mengenai kedua ajaran ini juga banyak, sehingga dapat dia jadikan acuan dalam berbuat, bertindak dan dalam mengambil sebuah keputusan (Tanggok 2006).Pengetahuan Cheng Ho tentang agama Buddha sangatlah bermanfaat, sebab pada abad ke-15 wilayah nusantara masyarakatnya masih kuat dengan tradisi Hindu dan Buddha.

2.2. Perjalanan Cheng Ho ke Nusantara Banyak buku yang menceritakan perjalanan kapal-kapal Cheng Ho ke Nusantara, namun dari catatan kaki buku-buku tersebut tampaknya mengacu pada karya Ma Huan (1979). Dalam karyanya Ma Huan, Yin-yai Sheng-lan (Pemandangan Indah di Seberang Samudera) dikatakan bahwa perjalanan Cheng Ho ke nergara-negara di luar Tiongkok dapat dibagi dalam tujuh bagian: perjalanan pertama

Pratik Islam Nusantara 37

dilakukan pada tahun 1405 sampai dengan 1407, perjalanan kedua dilakukan pada tahun 1407 sampai dengan 1409, perjalanan yang ketiga dilakukan pada tahun 1409 sampai dengan 1411, peleyaran keempat dimualai dari tahun 1413 sampai dengan tahun 1415, perjalanan kelima dimualai dari tahun 1417 sampai dengan tahun 1419, perjalanan keenam dimulai dari tahun 1421 sampai dengan tahun 1422, dan perjalanan ke tujuh dimulai dari tahun 1431 sampai dengan 1433. Perjalanan Cheng Ho dan anak buahnya ini memakan waktu kurang lebih dua tahun untuk mengunjungi Nusantara dan beberapa Negara di luar Tiongkok (Kong Yuan Zhi 2000; Tanggok 2006).

Cheng Ho

Ma Huan, penulis buku tentang Yingyai Shenglan adalah difungsikan oleh Cheng Ho sebagai penerjemah dalam pelayarannya yang keempat, keenam dan ketujuh. Dalam menulis Yingyai Shenglan Ma bekerjasama dengan Guo

38 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Chongli. Dia ikut serta dalam pelayaran Cheng Ho sebanyak tiga kali. Dua orang laki-laki inilah yang selalu mencatat selama pelayaran Cheng Ho ke berbagai negara dan dituangkan dalam buku Yingyai Shenglan (Mills 1970). Jika tidak ada dua orang laki-laki ini yang ikut dalam beberapa pelayaran Cheng Ho, tentu saja kita mengalami kesulitan untuk mengetahui seperti apa pelayaran yang dilakukan oleh Cheng Ho dan beserta anak buahnya di berbagai Negara pada abad ke-15. Sumber lain yang agak berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam Yin-yai Sheng-lan di atas adalah bersumber dari catatan komite Sam Po tahun 1929 di Semarang (Moertiko, tt). Berdasarkan Komite Sam Po tersebut, bahwa angkatan perang Sam Po terdiri dari 62 kapal Wakang (kapal yang digunakan oleh oleh orang-orang Tionghoa dahulu ketika akan berpergian ke Negara lain) yang cukup besar yang membawa sekitar 27.800 anak buah. Anak buah yang dia bawa semuanya terdiri dari laki-laki dan kaum wanita menetap di negaranya. Komite tersebut juga mencatat bahwa perjalanan Cheng Ho (Sam Po Kong) keberbagai negara di luar Tiongkok terdiri dari tujuh kali perjalanan, dan dengan lama perjalanan berbeda-beda (Tanggok 2006). Ini membuktikan bahwa setiap perjalanan yang dia lakukan selalu memperoleh kesuksesan, sehingga dia berkali-kali datang ke nusantara. Kedatangan Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15 dengan menggunakan kapal-kapal besar, sehingga dapat membawa armada yang besar dan persediaan makananmencukupi selama perjalanan. Sebagian besar orang Jawa menyebut kapal-kapal ini dengan kapal Wangkang. Di beberapa daerah di

Pratik Islam Nusantara 39

Indonesia, seperti Pontianak, dan Medan, pada saat sembahyang bulan 7 Imlek atau dikenal dengan sembahyang pada roh-roh orang-orang yang mati yang tanpa mempunyai keturunan, seperti mati bujangan, mati dalam kecelakaaan, dan roh-roh leluhur yang tidak diurus oleh sanak keluarganya d dunia. Menurut keyakinan orang Tionghoa roh-roh mereka ini dalam keadaan lapar, dan pada bulan 7 Imlek mereka ini diberi kebebasan oleh Tuhan untuk untuk kembali ke dunia dan mengunjungi anggota keluarganya. Kedatangan mereka di dunia disambut dan dan dipersembahkan berbagai makanan, dengan tujuan agar mereka tidak mengganggu kehidupan manusia. Sembahyang pada bulan 7 ini juga dikenal dengan sebutan sembahyang rebutan, atau dalam masyarakat Hakka di Singkawang Kalimantan Barat dikenal dengan sebutan sembahyang Kachi, karena setelah makanan yang dipersembahkan pada roh-roh saat upacara sembahyang dilakukan diyakini telah dimakan oleh roh-roh tersebut (meskipun hanya sekedar sari- sarinya), dan sisanya dari makanan tersebut diperebutkan oleh manusia. Bagi keyakinan orang- orang Tionghoa peranankan, mendapat bagian dari makanan itu adalah suatu keberuntungan, dan pertanda akan memperoleh rejeki yang banyak di kemudian hari. Tidak ubahnya dengan keyakinan sebagiam muslim Jawa yang saat memperebutkan makanan pada saat upacara maulidan di keratin Jogya dan Solo. Untuk mengantar roh-roh itu pulang ke alam roh, orang-orang Tionghoa membuat sebuah kapal yang terbuat dari kertas, panjang kapal tersebut kira-kira 15 M, lebarnya 6 M, dan tingginga 3 M. Di dalam

40 Dalam Kelenteng-Kelenteng

duplikat kapal itu disediakan berbagai makanan, patung-patung yang terbuat dari kertas, TV yang terbuat dari kertas, duplikat tempat tidur dan alat -alat rumah tangga lainnya, yang semuanya terbuat dari kertas. Setelah kapal itu disembahyangkan dengan menggunakan batang-batang hio yang telah dibakar, baru kapal tersebut dibakar, yang artinya roh-roh tersebut telah dikirim ke alam roh untuk kembali ke tempat asalnya. Oleh orang-orang Tionghoa di Pontianak, Kalimantan Barat, kapal tersebut disebut dengan kapal Wangkang, yang mengacu pada nama kapal yang digunakan oleh Cheng Ho dan anak buahnya mengarungi lautan, dalam rangka kunjungannya ke Nusantara dan Negara-negara lainnya (Tanggok 2006). Duplikat kapal Cheng Ho ini juga terdapat di kelenteng Tai Kak Shi di Semarang. Kapal ini terbuat dari kayu dan bukan dari kertas. Perjalanan-perjalanan Cheng Ho ke Nusantara dapat dibagi dalam beberapa kali perjalanan, sebagai berikut: Perjalanan pertama Cheng Ho dan anak buahnya berangkat pada tahun 1405 dan pulang pada tahun 1407, atau berangkat dalam tahun Eng-lok ketiga bulan keenam dan kembali pada tahun Eng-lok kelima bulan kesembilan. Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan pertama ini selama tiga tahun. Perjalanan kedua, dia berangkat pada tahun 1408 dan kembali pada tahun 1411, atau berangkat pada tahun Eng-lok keenam bulan kesembilan, ke India dan Ceylon dan kembali pada tahun Eng-lok kesembilan bulan keenam. Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan kedua ini sebanyak tiga tahun. Perjalanan ketiga, berangkat

Pratik Islam Nusantara 41

pada tahun 1412 dan kembali pada tahun 1415, atau berangkat pada tahun Eng-lok kesepuluh bulan kesebelas, ke Sumatera, Malaka, dan pulau-pulau lain, kemudian kembali pada tahun Eng-lok ketiga bulan ketujuh. Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan ketiga ini selama satu tahun. Perjalanan keempat, berangkat pada tahun 1416, pulang pada tahun 1419, atau berangkat pada tahun Eng-lok keempatbelas di musim dingin dan kembali pada tahun Eng-lok ketujuhbelas. Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan ke empat ini selama tiga tahun. Dalam perjalanan keempat ini, tidak diketahui kemana rute perjalanannya dan pulau-pulau apa saja yang dia kunjungi. Perjalanan kelima, berangkat pada tahun 1421 dan pulang pada tahun 1422, atau berangkat pada tahun Eng-lok kesembilanbelas di musim semi dan kembali pada tahun Eng-lok keduapuluh. Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan yang kelima ini sebanyak satu tahun. Dalam perjalanan kelima ini juga tidak diketahui kemana rute perjalanannya dan pulau- pulau apa saja yang dia kunjungi. Perjalanan keenam, berangkat pada tahun 1424 atau berangkat dalam tahun Eng-lok keduapuluh dua bulan ketujuh. Dalam perjalanan keenam ini, tidak diketahu kapan kembalinya dan kemana saja rute perjalanannya. Perjalanan ketujuh, berangkat pada tahun 1430 dan kembali pada tahun 1433, atau berangkat pada tahun kelima bulan keenam, ke Burma serta tempat- tempat lain, sejumlah negara, dan kembali pada tahun Soan-tik kedelapan bulan tujuh (Moerthiko, tt). Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan ketujuh ini sebanyak tiga tahun. Perjalanan ke tujuh

42 Dalam Kelenteng-Kelenteng

ini kurang lebih dijalaninya selama 3 tahun. Tiga tahun mengarungi lautan mendapatkan pengalaman yang banyak baginya. Tentu saja suka duka di laut dan di Negara-negara lain yang ia kunjungi banyak ia dapati (Kong Yuan Shi dalam Taggok 2006).Salah satunya Cheng Ho dengan dibantu anak buahnya adalah mengusir para pembajak laut yang selama itu banyak mengganggu kehidupan masyarakat dan akhirnya perekonomian tidak dapat berjalan dengan lancar.

Duplikat Kapal Cheng Ho di depan kelenteng Tay Kak Shi Semarang (Sumber: Foto Pribadi)

Bukan keinginan Cheng Ho untuk melakukan perjalanan di luar Tiongkok, namun dia dan anak buahnya mendapat perintah dari kaisar untuk melakukan perjalanan ke luar Tiongkok untuk misi perdamaian. Dalam perjalanan ini, Cheng Ho lah yang dipilih kaisar untuk menjadi pimpinan dari semua perjalanan, tapi dia tidak bermaksud mengunjungi semua negara-negara yang jauh, karena keterbatasan perlengkapan dan resiko juga ia pikirkan dengan teliti.

Pratik Islam Nusantara 43

Berdasarkan sebuah catatan, pada setiap kesempatan perjalanan dia memimpin lebih dari 300 buah kapal, membawa lebih dari 10.000 tentara dan hampir 28.000 orang (laki-laki) selain tentara yang ikut membantu dalam perjalanan ini.Oleh karena itu, perlayaran Cheng Ho ini dianggap sebagai perjalanan yang paling besar dalam sejarah Tiongkok (Ma Huan 1997; Tanggok 2006). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dijelaskan satu-persatu perjalanan Cheng Ho bersama anak buahnya ke negara-negara di luar Tiongkok dan kendala-kendala atau tantangan- tantangan yang mereka hadapi selama dalam perjalanan ke negara-negara lain.

2.2.1. Perjalanan Pertama Perjalanan pertama Cheng Ho ke luar Tiongkok, merupakan perjalanan yang sama sekali belum memiliki pengalaman dalam mengarungi lautan. Keberhasilan dia dalam perjalanan pertama akan menentukan perjalanan-perjalanan berikutnya. Cheng Ho diperintahkan oleh kaisar untuk melakukan kunjungan ke Negara-negara lain dalam rangka menjalin hubungan antara Tiongkok dengan negara- negara lain. Pada tanggal 11 Juli 1405 Cheng Ho bersama dengan Wang Ching-hung (di Jawa dikenal dengan sebutan Wang Jing Hong) diperintahkan oleh kaisar untuk memimpin pelayaran pertamanya ke negara-negara lain. Kapal yang digunakan untuk perjalanan pertama ini terdiri dari 316 kapal, 62 kapal di antaranya membawa perlengkapan, bahan makanan, sejumlah petugas, prajurit-prajurit dari tentara yang cukup berani, orang-orang sipil, pengusaha, dan

44 Dalam Kelenteng-Kelenteng

27.870 awak kapal (Ma Huan 1997). Dalam FJE Tan disebutkan bahwa awak kapal yang menyertai Cheng Ho dalam perjalanan pertama ini adalah 27.800 orang dan bukan 27.870 orang sebagaimana di sebutkan dalam Ma Huan di atas. Dalam perjalan pertama ini, Cheng Ho mengunjungi Jawa, Semudera (Lho Seumawe atau Lhoseumawe), Lambiri (Aceh), Ceylon, dan ke Calicut, di mana yang berkuasa pada masa itu ialah raja Sha-mi-ti-hsi (Samutiri). Pada saat itu, Cheng Ho beserta anak buahnya juga pergi ke Champa, (Melaka), Aru (Deli) dan Quilon. Kita dapat menduga bahwa Cheng Ho dengan anak buahnya tinggal sekitar 4 bulan di Calicut, yaitu sekitar Desember 1407 sampai dengan April 1407. Dalam kunjunga itu dia juga menghadiahkan sutra yang dihiasi dengan emas kepada raja-raja atau kepala- kepala negara yang dia kunjungi. Setelah mengunjungi negara-negara dan daerah-daerah yang disebutkan di atas, dia dengan anak buahnya kembali ke negaranya dengan membawa upeti dari negara-negara yang dia kunjungi. Kemudian dia mempersiapkan perjalanan berikutnya dengan menunggu perintah dari kaisar. Hal-hal yang dianggap penting dan menakjubkan dalam perjalanan Cheng Ho pertama ini juga dicatat oleh Ma Huan, bahwa dalam perjalanan kembali dari San Fo-ch’i (Sriwijaya, Palembang), tentara-tentara Cheng Ho berhasil mengalahkan rombongan kapal perompak yang dipimpin oleh Ch’en Tsu-i. Dalam perperangan melawan perompak, Cheng Ho dan anak buahnya berhasil membunuh lebih dari 5000 anak perompak dan membakar 17 buah kapal perompak. Dalam perperangan itu dia dan anak buahnya berhasil

Pratik Islam Nusantara 45

menangkap Ch’en Tsu-I, yang kemudian diserahkan kepada raja di kota Nanking. Cheng Ho kembali ke Nanking pada tanggal 2 Oktober 1407, terlambat sekitar 3 bulan dari jadwal yang telah ditentukan sebelumnya. Keterlambatan ini diduga karena melawan atau memusnakan perompak-perompak laut yang dipimpin Ch’en Tsu-I dalam perjalanan pulang tersebut (Tanggok 2006). Perampok-perampok ini dipandang dapat merusak nama baik Tionghoa di dunia Internasional dan oleh karenanya mereka harus menjadi sasaran utama Cheng Ho untuk ditumpas.

2.2.2. Perjalanan Kedua Perjalanan pertama sudah Cheng Ho dan anak buahnya lakukan dengan baik dan dan lancar dan dia lanjutkan lagi dengan perjalanan kedua (1407-1409) ke berbagai negara. Perjalanan kedua ini dianggapnya kurang begitu penting, karena tidak ada prestiwa- prestiwa yang cukup menarik untuk dicatat atau diceritakan, seperti halnya dalam perjalanan pertama di mana dia dan anak buahnya dapat mengalahkan perompak yang sering bereaksi di laut. Dalam perjalanan kedua ini mereka tidak lagi menemukan perompak-perompak yang berkeliaran di lautan, mungkin karena merasa ketakutan atau pasukan mereka sudah tidak kuat lagi. Perjalanan ini untuk memenuhi undangan dari raja baru di Calicut, bernama Ma-na Pieh-chia-la-man (Mana Vikaraman); meskipun Cheng Ho menjadi pimpinan dalam perjalanan tersebut, namun dia tidak benar-benar berkonsentrasi menghadapi musuh-musuh di laut. Para perompak di laut dia anggap sebagai pekerjaan sambilan saja, sebab

46 Dalam Kelenteng-Kelenteng

kekuatan pasukan Cheng Ho sudah melebihi kekuatan para perompak laut. Perjalanan Cheng Ho yang kedua ini bukanlah atas perintah kaisar, namun ingin memenuhi undangan yang disampaikan oleh Ma-na Pieh-chia-la-man (Mana Vikaraman). Tanggal yang tertulis diundangan itu adalah 13 Oktober 1407, yang langsung ditujukan pada tiga orang penting dalam sejarah perjalanan Cheng Ho, yaitu Cheng Ho, Wang Ching-hung (Wang Jing Hong) dan Hou Hsien. Mereka bertiga ini memimpin 249 kapal dan tidak dapat diketahui berapa banyak pasukan yang mereka bawa dalam perjalanan itu. Tempat- tempat yang mereka kunjungi dalam perjalanan itu di antaranya adalah: Thailand, Jawa, Aru, Lambri, Coimbatore (Koyampadi), Kayal, Cohin, dan Calikut, juga A-po-pa-tan, dan barangkali dalam perjalanan tersebut Cheng Ho kembali mengunjungi Champa. Dalam perjalanan kedua ini, Cheng Ho dengan anak buahnya diperkirakan tinggal untuk sementara waktu (sekitar 4 bulan) di Calikut, yaitu dari bulan Desember 1408 sampai denga April 1409 (Moertiko dalam Tanggok 2006). Setelah itu ia dan anak buahnya melanjutkan lagi perjalanannya ke tempat lain dengan tujuan yang berbeda-beda.

2.2.3. Perjalanan ketiga Di atas saya sudah menjelaskan perjalanan Cheng Ho yang pertama dan kedua. Bagian ini saya menjelaskan perjalanan Cheng Ho yang ke tiga (1409- 1411). Setiap perjalanan ke Negara-negara ke luar Tiongkok, kaisar selalu menugaskan Cheng Ho untuk memimpin anak buahnya, dan ini didasarkan

Pratik Islam Nusantara 47

kepercayaan yang kuat kaisar pada Cheng Ho. Dari tanggal 16 Januari sampai dengan 14 Februari 1409, Cheng Ho, Wang Ching-hung dan Hou Hsien berlayar menuju laut bagian Barat. Dalam perjalanan ini, mereka membawa tidak kurang dari 30.000 anak buah dan menggunakan 48 buah kapal. Armada yang dia pimpin ini berlayar dari Liu Chia Chiang dan menuju Ch’ang Lo. Perjalanan ini memakan waktu selama sembilan bulan (dari 9 Oktober sampai dengan 6 Nopember 1409). Mereka berada di Ch’ang lo pada bulan kesebelas sampai dengan bulan keduabelas (dari 7 Nopember sampai dengan 6 Desember 1409). Mereka juga berlayar dari Wu Hu Men menuju Champa. Perjalanan ini memakan waktu selama 12 bulan (dari 5 Januari sampai dengan 3 Februari 1410). Waktu yang mereka habiskan dalam perjalanan ini tidak kurang dari 10 (sepuluh) hari dan 10 (sepuluh) malam tanpa ada istirahat di daerah-daerah yang mereka kunjungi. Sebagaimana diceritakan dalam sejarah perjalanan Cheng Ho,bahwa dalam perjalanan yang ketiga ini, mereka mengunjungi Champa, Jawa, Malaka, Semudera, Ceylon, Quilon, Cochin, dan Calikut. Mereka dikabarkan istirahat di Poulo (Pulau) Sembilan, dekat Tamiang di bagian sebelah Timur pulau Sumatera atau Semenanjung Malaka. Ketika mampir di Pulau Sembilan tersebut, dia mengutus anak buahnya untuk turun ke darat untuk mengambil kayu bakar. Di Ceylon, Cheng Ho menyusun sebuah catatan dalam tiga bahasa, bahasa Tionghoa, Tamil dan Persia. Penyusunan catatan ini terjadi pada tanggal 15 Februari 1409. Tanggal, bulan dan tahun tersebut dia tulis dalam bahasa Tionghoa.Setelah catatan

48 Dalam Kelenteng-Kelenteng

perjalanan itu selesai dilakukan, Cheng Ho menghadiahkannya kepada kelenteng Buddha di Ceylon, dan dia menyatakan terima kasihnya kepada umat Buddha di Ceylon yang sangat bersemangat dan berbahagia menyambut kedatangannya beserta rombongan di Ceylon. Meskipun kunjungan Cheng Ho dan anak buahnya ke Ceylon ini menyenangkan, namun masih ada prestiwa penting yang terjadi dan tidak mereka duga sebelumnya. Peristiwa tersebut adalah penangkapan raja Srilangka yang bernama Ya-lieh-k’u- nai-erh (Alagakkonara) dan peristiwa ini terjadi pada tahun 1411 dalam perjalanan pulang Cheng Ho dan anak buahnya dari Ceylon. Dalam perjalanan pulang itu, terjadi konflik antara anak buah Cheng Ho dengan raja Alagakkonara dan anak buahnya, sehingga menimbulkan peperangan di antara mereka. Perlawanan yang cukup hebat ini telah dimenangkan oleh Cheng Ho dan anak buahnya. Dalam perkelahian tersebut, raja, istrinya, anak-anaknya dan pendukung-pendukungnya ditangkap dan dibawa ke Tiongkok untuk diadili dan sekaligus mendapat hukuman (Moertiko, tt). Tidak dijelaskan lebih lanjut, apakah raja dan keluarganya mendapatkan hukuman seumur hidup atau hanya beberapa tahun saja. Tidak juga dijelaskan apakah setelah menyelesaikan hukuman raja dan anggota keluarganya diizinkan pulang ke kampong halamannya atau menetap di Tingkok. Dalam catatan sejarah kerajaan Ming atau Ming Shi, dan juga dalam catatan di Liu Jia Gang diceritakan dengan singkat tentang penangkapan raja

Pratik Islam Nusantara 49

Srilangka tersebut. Dalam catatan itu diceritakan bahwa ketika melihat emas dan sutra yang ada di kapal-kapal Cheng Ho, raja Alagakkonara mencoba memeras dan merampok barang-barang yang yang dibawa Cheng Ho. Pemerasan dan perampokan tersebut dilakukannya dengan cara mengirimkan pasukannya untuk menyerang pasukan Cheng Ho. Melihat serangan yang cukup membahayakan itu, Cheng Ho menyiapkan 2000 armada atau tentaranya untuk melawan serangan lawan. Berkat kemampuan tentara Cheng Ho yang luar biasa, maka serangan yang datangnya dari raja Srilangka dan pasukannya dapat dengan mudah dikalahkan. Akibat kekalahan tersebut, terpaksa raja, permaisuri, anak-anak, dan para pengikutnya ditawan. Semua tawanan itu dibawa ke Nanjing untuk diserahkan pada kaisar Yong Lo. Tidak diduga sebelumnya, bahwa kaisar adalah orang yang berbaik hati, tawanan yang dibawa kepadanya bukan ditahan, tapi dilepas kembali dan diizinkan pulang ke negaranya, di Srilangka (Moertiko, tt). Setelah pulang ke Srilangka, raja Alagakkonara tidak lagi menjadi seorang raja, tapi kaisar telah menunjuk seorang anggota atau anak buahnya yang lain untuk menggantikannya sebagai raja. Penangkapan raja Alagakkonara dan keluarganya, bukan saja karena alasan raja tersebut ingin merampok barang-barang bawaan Cheng Ho dan anak buahnya dan kalah dalam peperangan,tapi raja tersebut telah memperlakukan para utusan kaisar Ming ini secara kurang sopan dan tidak menghargai tamu yang diutus oleh kaisar Tiongkok. Dengan demikian, perjalanan Cheng ketiga ini, tidak semata-mata

50 Dalam Kelenteng-Kelenteng

menjalin hubungan baik dan melakukan perdagangan, tapi juga memberantas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin negara- negara yang mereka kunjungi. Bagi Cheng Ho, perbuatan baik haruslah dibalas dengan kebaikan (ini diperlihatkannya pada para pengikut Buddha di Srilangka) dan kejahatan haruslah dibalas dengan hukuman (ini diperlihatkannya dengan menawan raja Alagakkonara, keluarga dan para pengikut setianya), yang diakibatkan oleh perbuatannya yang kejam pada rakyatnya.

2.2.4. Perjalanan keempat Perjalanan laut memang cukup melelahkan, menghabiskan tenaga dan menguras pikiran. Inilah yang dirasakan Cheng Ho dengan anak buahnya, setelah ia kembali dari perjalanan ke berbagai negara, termasuk Srilangka, Nusantara (khususnya Jawa), Malaysia (khususnya Malaka) dan lain-lain Negara. Setelah melakukan perjalanan ke tiga, Cheng Ho besama armadanya tidak langsung melakukan perjalanan kembali ke negara-negara yang sudah mereka kunjungi atau negara-negara yang lain, tapi ia beristirahat sejenak selama dua tahun untuk menghilangkan kelelahannya. Dalam masa peristirahatan tersebut, dia dan anak buahnya kembali mengabdikan diri ke Kaisar Ming. Tentu saja, dalam masa peristirahatan dua tahun ini, Cheng Ho tidak begitu saja menyia-nyiakan waktunya, dia mempersiapkan perjalanan mereka yang berikutnya, sehingga dalam perjalanan yang keempat (1413-1415)

Pratik Islam Nusantara 51

mereka ingin lebih berhasil lagi dari perjalanan- perjalanan sebelumnya.

Pintu Gerbang Belakang Kelenteng Sam Poo Kong Semarang (Sumber: Google)

Setelah selesai melakukan peristirahatan yang panjang, pada tanggal 18 Desember 1412, Cheng Ho telah mendapat perintah dari kaisar untuk melakukan perjalanan keempat ke negara-negara diluar Tiongkok. Dalam perjalanan yang keempat ini, Cheng Ho mempersiapkan 63 buah kapal dan 28.560 armada (semuanya laki-laki) yang siap untuk mengarungi lautan. Perjalanan Cheng Ho ini dimulai dari Nanking (pada waktu musim gugur tahun 1413) dan kembali ke pantai Fukien pada bulan Januari 1414. Perjalanan ini berhasil mengunjungi Champa, , ,

52 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Jawa, San Ceylon, Kayal, kepulauan Maldive, Cochin, Calikut, dan Hormuz, sebagai tambahan negara Pi-la dan Sun-la (keduanya tidak dapat dibuktikan). Perjalanan yang keempat ini merupakan kesempatan pertama bagi Cheng Ho untuk berlayar lebih jauh ke India, namun ada sebagian kapal-kapalnya yang belayar menuju Bengal (Ma Huan 1977). Maksud dia membagi waktu perjalanan ini agar dalam waktu yang singkat, banyak Negara-negara yang bisa dikunjungi dan banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari perjalanan tersebut. Perjalanan yang keempat adalah pengalaman menarik bagi Cheng Ho, karena tidak pernah dialaminya dalam perjalanan-perjalanan dia sebelumnya. Dalam buku Ying-yai Sheng-lan dinyatakan bahwa pristiwa penting dalam kunjungan Cheng Ho yang keempat ini adalah penangkapan raja palsu dari negeri Samudera. Pada saat kunjungan pertamanya di kerajaan Samudera ini sedang mengalami musibah besar, karena rajanya terbunuh oleh raja negeri tetangganya, yang bernama Naguer atau Nakur. Karena pada waktu kematian ayahnya, putra mahkota kerajaan Samudera masih terlalu muda untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, maka permaisuri raja Samudera bersumpah bersedia menikah dengan siapa saja yang dapat membalaskan dendamnya dengan raja Nukar yang membunuh suaminya. Tidak diduga, seorang nelayan biasa dapat membalaskan dendam permaisuri. Permaisuri tidak mengingkari janjinya, dan dia bersedia menikah dengan seorang nelayan itu. Setelah menikah, seorang nelayan tersebut mengangkat dirinya sebagai raja

Pratik Islam Nusantara 53

Samudera yang baru untuk menggantikan raja yang lama. Pada tahun 1409, raja baru (seorang nelayan) ini pergi ke Tiongkok untuk menyerahkan upeti kepada kaisar Yong Lo. Kaisar sempat kaget karena dia sama sekali belum mengetahu siapa pengganti raja Samudera yang terbunuh pada waktu sebelumnya. Pada tahun 1412, raja baru ini kembali ke Tiongkok untuk melaksanakan tugasnya sebagai raja. Pada saat kembali, raja baru ini menyaksikan bahwa putra mahkota raja yang yang dahulunya masih kecil sudah menjadi dewasa. Putra mahkota ini menggalang kekuatan dengan mengumpulkan orang-orang yang masih setia dengan almarhum ayahnya. Penggalangan kekuatan ini berhasil dan putra mahkota mengadakan perebutan kekuasaan. Usaha yang dilakukan oleh putra mahkota berhasil dan raja baru yang berasal dari seorang nelayan (ayah tirinya) ini mati terbunuh. Akan tetapi anak dari raja nelayan yang bernama Suganla (Sekandar) menuntut haknya atas tahta raja yang didapat oleh Samudera. Pada tahun 1413, Sekandar yang dikenal sebagai anak dari raja palsu yang terbunuh tersebut menyerbu Samudera. Karena khawatir mengalami kekalahan, maka putra mahkota raja yang berhasil merebut tahta kerajaan dari raja baru tadi, mengirim utusan ke Tiongkok untuk meminta bantuan pada kaisar Yong Lo. Atas perintah kaisar, maka pada tahun 1415, Cheng Ho dan anak buahnya berhasil menangkap Sekandar dan membawanya kehadapan kaisar. Atas kesalahannya tersebut, Sekandar dijatuhi hukuman mati. Atas ucapan terima kasihnya, maka sejak itu raja Samudera secara

54 Dalam Kelenteng-Kelenteng

teratur mengirimkan upeti ke kaisar Yong Lo di Tiongkok (Ma Huan 1997). Tentu saja kaisar Yong Lo merasa senang karena mendapat upeti dari putra mahkota meskipun tanpa bekerja. Perjalanan Cheng Ho kali ini bukan saja berhasil dalam mengunjungi Negara-negara di luar Tiongkok, tapi juga berhasil menangkap anak dari palsu dan menyerahkannya ke kaisar di Tiongkok. Melihat keberhasilan ini, kaisarpun semakin bertambah keyakinannya pada Cheng Ho dalam memimpin pasukannya dan dalam memerangi kejahatan di laut dan di luar Tiongkok. Sebagai orang bawahan kaisar, tentu saja Cheng Ho tidak menyia-nyiakan kepercayaan kaisar kepadanya. Sejak itu, nama Cheng Ho semakin popular dikalangan Negara-negara yang pernah ia kunjungi. Tidak hanya itu, ketenaran Cheng Ho ini telah membuat kaisar Tiongkok juga terangkat kewibawaannya dan Tiongkok pada masa itu menjadi Negara yang memiliki kekuatan besar di Asia.Meskipun selalu berhasil dalam memberantas bajak laut dan membantu perperangan raja di luar Tiongkok, namun Cheng Ho dan kaisar sebagai atasannya tidak berminat untuk menguasai daerah- daerah di luar Tiongkok.

2.2.5. Perjalanan kelima Setelah melakukan perjalanan yang ke empat dan dapat menumpas kejahatan raja palsu, Cheng Ho kembali diperintahkan kaisar untuk melakukan perjalanan kelima (1417-1419) ke negara-negara di luar Tiongkok dengan misi yang berbeda dari perjalanan-perjalanan sebelumnya. Perintah kaisar

Pratik Islam Nusantara 55

tersebut diterimanya pada tanggal 28 Desember 1416 dan segera ia melaksanakan tugas itu dengan baik tapa merasa lelah. Perjalanan Cheng Ho yang ke lima ini bertujuan untuk mengantarkan para utusan dari negara- negara lain yang akan pulang ke negaranya masing- masing sambil membawa hadiah-hadiah dari kaisar Yong Lo untuk dihadiahkan pada raja-raja mereka yang ada di luar Tiongkok (Ma Huan 1997). Kedatangan untusan masing-masing kerajaan dari negara-negara yang pernah dikunjungi Cheng Ho dan para awak kapalnya ini, telah membuktikan bahwa hubungan baik yang dijalin Cheng Ho dengan para anak buahnya ini telah berhasil dengan baik. Tidak mungkin para utusan dari Negara lain ini akan mengadakan kunjungan balasan kalau tidak hubungan yang diciptakan oleh Cheng Ho dan anak buahnya ini tidak berhasil dengan baik.Salah satu keberhasilan mereka adalah membantu Negara-negara lain dalam memberantas kejahatan. Dalam satu kali perjalanan, Cheng tidak pernah mengunjungi hanya satu Negara, tapi lebih dari satu Negara. Negara-negara yang dikunjungi Cheng Ho dan anak buahnya dalam perjalanan yang ke lima ini tidak kurang dari 18 negara. Ini adalah sebuah perjalanan yang memakan waktu yang lama dan menguras tenaga yang begitu besar. Negara-negara yang mereka kunjungi adalah sebagai berikut: Champa, Pahang, Jawa, Palembang, Malakka, Semudera, Lambri, Ceylon, Kepulauan Maldive, Chochin, Calikut, Sha-li- wan-ni, Hormuz, La-sa (La’-sa, dekat Mukalla), Aden, Mogadishu, Brava, dan Malindi. Dalam perjalanan yang ke lima ini, tidak dapat diketahui dengan jelas,

56 Dalam Kelenteng-Kelenteng

berapa jumlah kapal dan anak buah atau awak kapal yang dikerahkan Cheng Ho dalam kunjungan ke negara-negara ini (Ma Huan 1997). Kunjungan ini juga tidak ubahnya dengan kunjungan-kunjungan mereka sebelumnya yaitu menjalin hubungan yang erat dengan negara-negara yang mereka kunjungi dan melakukan perdagangan. Negara-negara yang dikunjungi Cheng Ho, sebagaimana yang disebutkan dalam Yeng-yai Sheng- lan di atas, agak sedikit berbeda dengan data yang didapatkan dari Zhu Xie (Tanggok 2006), yang menyatakan bahwa negara-negara yang dikunjungi Cheng Ho dalam perjalanan yang kelima ini adalah: Champa, Pahang, Jenggala, Malaka, Lambri, Kepulauan Andaman, Srilangka, Liushan (kepulauan Maldive atau Maladewa), Cochin, Kalikut, Namburi, Ormuz, Adan (Aden), Lasa (Rasa di Pantai Timur Afrika), Mugudushu (Mogadishu di Pantai Afrika Timur), Bulawa (Brawa di pantai Afrika Timur), Zhubu (Jobo di Pantai Afrika Timur) dan Malin (Malinde, juga di Pantai Timur Afrika). Di Afrika juga memiliki populasi Islam yang sangat banyak hingga sekarang ini. Apabila dalam Ying-yai Sheng lan di atas dijelaskan bahwa perjalanan Cheng Ho dan anak buahnya yang ke lima ini juga kembali mengunjungi Jawa dan Palembang, maka dalam perjalanan Zhu Xie (dalam bukunya yang berjudul Zheng Ho) tidak kita jumpai penjelasan yang menerangkan bahwa perjalanan Cheng Ho yang ke lima ini mampir ke Jawa dan Palembang. Adanya perbedaan dari dua sumber yang disebutkan di atas, tidak membuat kita ragu atas

Pratik Islam Nusantara 57

keterangan yang diberikan, malahan membuat kita kaya dengan informasi yang didapati. Kedua keterangan yang berbeda tersebut, mungkin saja sumber yang mereka jadikan acuan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam Ying-yai Sheng lan juga disebutkan bahwa diperkirakan Cheng Ho dan anak buahnya kembali dari perjalanan ke pantai Tiongkok pada musim gugur dan tepatnya pada tahun 1417. Perjalanan ke lima ini merupakan perjalanan pertama sampai ke laut Aprika. Sedangkan perjalanannya yang sebelumnya belum sampai ke laut Aprika. Ini menunjukkan bahwa perlayaran Cheng Ho dan anak buahnya kali ini cukup jauh dari perjalanan-perjalanan sebelumnya. Disebutkan juga bahwa perjalanan Cheng Ho dan anak buahnya untuk kembali ke Tiongkok, tidak hanya membawa anak buahnya, tapi banyak juga utusan dari negara-negara yang mereka kunjungi itu ikut ke Tiongkok untuk mempersembahkan upeti ke kaisar di Tiongkok. Upeti-upeti atau hadiah-hadiah yang datang dari kerajaan yang mereka kunjungi tersebut di antaranya terdapat binatang-binatang berupa Jerapah, Oryx, unta, Zebra dan binatang-binatang lain yang cukup menyenangkan kaisar Tiongkok. Binatang- binatang dan upeti-upeti lainnya yang dibawa ke Tiongkok, diserahkan kepada kaisar Yong Lo (Ma Huan 1997). Apa yang diperlihatkan oleh kerajaan- kerajaan di luar Tiongkok kepada kaisar yang bertahta di Tiongkok, menunjukkan bahwa misi yang dilakukan oleh Cheng Ho dan anak buahnya untuk menjalin hubungan baik dengan negara-negara yang ada di luar

58 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Tiongkok dapat berhasil dengan baik (Tanggok 2006). Ini juga merupakan salah satu bentuk keberhasilan Cheng Ho dalam menjalin persahabatan dengan Negara-negara di luar Tiongkok.

2.2.6. Perjalanan keenam Bagian ini saya menjelaskan perjalanan Cheng Ho yang ke enam (1421) yang juga tidak jauh berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Setelah menyelesaikan perjalanan yang ke lima, kaisar di Tiongkok kembali lagi memerintahkan Cheng Ho untuk melakukan perjalanan ke negara-negara di luar Tiongkok. Perjalan di luar Tiongkok kali ini dikenal dengan perjalanan ke enam. Perjalanan ke enam ini terjadi pada tanggal 3 Maret 1421. Negara-negara yang mereka (Cheng Ho dan anak buahnya) kunjungi dalam perjalanan yang ke enam ini adalah: Malacca, Aru, Semudera, Lambiri, Coimbatore, Kayal, Ceylon, kepulauan Maldive, Cochin, Calicut, Hormuz, Dhufar (Dhafar, Djofar, Zafar atau di pantai Selatan Arab), La’sa, Aden, Mogadishu, dan Brava. Pada saat kembali dari perjalanan yang ke enam ini, Cheng Ho dan anak buahnya juga mampir ke Tailand. Dalam perjalanan yang keenam ini, Cheng Ho menggunakan 41 buah kapal, dan tidak dapat diketahui berapa jumlah awak kapal yang menyertai Cheng Ho dalam perjalanan itu. Tujuan dari perjalanan Cheng Ho yang ke enam ini adalah untuk mengantarkan kembali utusan-utusan dari Ormuz dan utusan dari 16 negara lainnya untuk kembali ke negara mereka masing-masing. Tujuan diantarkannya utusan-utusan ini pulang ke negerinya masing-masing adalah agar mereka selamat dalam

Pratik Islam Nusantara 59

perjalanan pulang dan tidak mendapat gangguan lagi di tengah perjalanan. Ini adalah salah satu penghormatan kaisar Tiongkok pada para tamunya. Perjalanan yang ke enam ini tidak ubahnya seperti perjalanan sebelumnya, di mana Cheng Ho dan anak buahnya kembali menyempatkan diri mengunjugi negara-negara yang pernah mereka kunjungi sebelumnya dan sekaligus melihat perkembangannya dari sebelumnya. Dengan demikian, hubungan Cheng Ho dan anak buahnya dengan orang-orang di masing- masing negara yang mereka kunjungi semakin bertambah akrab, karena saling bertemu dan bekerjasama dalam segala hal dan pernah berjumpa sebelumnya. Hal ini sesuai dengan misi mereka, yaitu menjalin persahabatan pada orang-orang di negara- negara yang mereka kunjungi dan membantu mereka yang mengalami kesulitan. Saling berkunjung antara satu dengan yang lainnya adalah salah satu cara untuk menciptakan hubungan baik antar berbagai sukubangsa yang ada di dunia ini dan saling mengenal kebudayaan satu dengan yang lainnya (Tanggok 2006).Tidak hanya mengenal dua atau tiga kebudayaan berbeda, tapi juga dapat saling bantu membantu juga salah satuny berada dalam kesulitan. Tidak seperti perjalan sebelumnya, kali ini waktu yang dihabiskan Cheng Ho dalam melakukan lawatan ke Negara-negara luar Tiongkok hanya satu tahun. Karena waktu yang begitu singkat ini, timbul dugaan banyak orang bahwa Cheng Ho tidak mengikuti semua perjalanan ini sampai ke laut Afrika Timur. Atas dasar itu, Duyvendak mengatakan bahwa tidak semua negara-negara yang disebutkan di atas telah

60 Dalam Kelenteng-Kelenteng

dikunjungi oleh Cheng Ho dalam waktu yang singkat, tapi dia hanya mengunjungi sebagian dari negara- negara tersebut, dan selebihnya hanya ditugaskan pada anak buahnya untuk meneruskan perjalanan. Sebagaimana dijelaskan Duyvendak bahwa pada tanggal 10 Nopember 1421 kasim Hong Bao diutus untuk mengantarkan utusan-utusan dari negeri lain kembali ke negara mereka masing-masing (Moertiko tt) agar dalam perjalanan tidak ada gangguan. Dalam perjalanan yang ke enam ini juga dikatakan sebagai perjalanan kedua untuk Ma Huan di bawah kendali Cheng Ho. Dalam perjalanan Cheng Ho yang ke enam ini, juga tidak dijelaskan kapan tanggal kembalinya dia dan anak buahnya ke Tiongkok. Pada kesempatan ini Cheng Ho dan anak buahnya juga tidak mampir ke pulau Jawa. Ada kemungkinan Negara- negara yang ia kunjungi dalam mengantarkan utusan- utusan jaraknya sangat jauh dari pulau Jawa, sehingga ia tidak sempat untuk mampir (Tanggok 2006). Ada juga kemungkinan bahwa arah angin yang teerjadi pada masa itu tidak mengarah ke pulau Jawa.Sebagai mana kita ketahui, bahwa kapal-kapal Cheng Ho belumlah menggunakan alat-alat mesin dan hanya mengandalkan layar untuk menggerakkan kapal- kapalnya.

2.2.7. Perjalanan ketujuh Perjalanan Cheng Ho yang ke enam tidaklah menghabiskan waktu yang lama, dia hanya menghabiskan waktu sekitar satu tahun. Setelah selesai melakukan perjalanan yang keenam, Cheng diperintahkan oleh kaisar Hsüan-te untuk melakukan

Pratik Islam Nusantara 61

perjalanan yang terakhir atau ketujuh (1430) ke negara-negara di luar Tiongkok. Perjalanan yang terakhir ini dikenal sebagai perjalanannya yang ketujuh. Perjalanan terakhir ini dilakukan pada tanggal 29 Juni 1430. Tujuan utama dari perjalanan Cheng Ho yang ke tujuh ini hanyalah ke satu Negara, yaitu ke Negara Ormuz. Adapun negara-negara dan daerah yang mereka kunjungi adalah Xinzhougang (sebuah pulau di Champa), Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Samudera, kepulauan Andaman, Srilangka, Cochin, Kalikut, Ormuz dan Tianfang (Mekah) (Ma Huan 1997). Dalam perjalanan yang ke tujuh ini, Cheng Ho dan anak buahnya tidak lagi mengunjungi Afrika, sebagaimana perjalanan yang sebelumnya. Tidak ada pristiwa-peristiwa penting dalam perjalanannya, namun mereka dapat melaksanakannya dengan baik tanpa ada hambatan-hambatan yang terjadi diperjalanan. Setelah melakukan perjalanan atau pelayaran selama 3 tahun, dan mengunjungi negara- negara dan daerah-daerah yang menjadi tujuannya, maka pada tahun 1433, Cheng Ho dan anak buahnya kembali ke Tiongkok dengan selamat tanpa ada hambatan apapun dalam perjalanan seperti dalam beberapa perjalanan dia sebelumnya yang banyak menghabiskan waktu dalam menumpas pembajak- pembajak laut dan juga menangkap raja palsu (Ma Huan 1997; Tanggok 2006). Ini menunjukan bahwa Cheng Ho berhasil dalam membersihkan para perompak yang selalu beroperasi di laut tanpa mengindahkan unsur kemanusiaan.

62 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Tidak semua perjalanan Cheng Ho dan anak buahnya di luar Tiongkok mengunjung kepulauan di nusantara, namun ada juga beberapa perjalanannya yang tidak mengunjungi nusantara. Jika pada perjalanan ke enam dia tidak mengunjungi nusantara, namun pada perjalanannya yang ke tujuh atau yang terakhir ini, terlihat bahwa Cheng Ho dan anak buahnya kembali mengunjungi beberapa pulau di Indonesia, seperti Palembang dan Jawa. Ini menunjukkan bahwa pulau Jawa dan Palembang mendapat perhatian khusus oleh Cheng Ho dan anak buahnya, ketimbang pulau-pulau lain. Hal ini mungkin saja disebabkan bahwa para penduduk di daerah- daerah yang mereka kunjungi ini tergolong orang yang ramah dan sangat bersahabat dengan tamu-tamu yang datang dar negara lain. Tidak mungkin Kaisar berkali - kali mengutus Cheng Ho ke negara-negara dan daerah- daerah yang sama, jika negara-negara dan daerah- daerah atau negara-negara yang ia kunjungi tersebut tidak aman untuk dikunjungi, dan rakyat yang dikunjungi juga menerimanya dengan senang hati (Tanggok 2006).Ini artinya bahwa Cheng Ho tidak mempunyai niat lain dalam setiap kunjungannya, kecuali hanya untuk menjalin persahabatan antara satu negara dengan negara lain.

Pratik Islam Nusantara 63

3

RITUAL UMAT ISLAM DALAM KELENTENG SAM POO KONG

3.1. Kunjungan Cheng Ho di Semarang Orang Tionghoa sudah cukup lama hidup di Indonesia dan bahkan sudah turun menurun dan mereka sudah tidak memiliki lagi keluarga dekat di Tiongkok. Kedatangan mereka dari tiongkok ke beberapa pulau di Indonesia diduga sudah terjadi sekitar 600 tahun yang lalu. Tidak dapat dipastikan kapan mereka pertama kali menginjakkan kakinya di beberapa pulau di Indonesia, sebab sedikit sekali bukti yang menunjukkan tentang tepatnya kedatangan itu.

64 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Menurut catatan sejarah, kedatangan mereka di beberapa pulau di Indonesia diduga karena adanya perperangan besar yang melanda negeri Tionghoa pada waktu itu yang tidak kunjung selesai, sehingga banyak rakyatnya merasa tidak tenang tinggal di negerinya sendiri. Untuk menyelamatkan diri dan mencari penghidupan baru yang lebih tenang, maka tidak sedikit dari mereka yang merantau ke luar Tiongkok. Mereka yang merantau ke luar Tiongkok ini sering disebut huakiao atau oversies Chinese atau Tionghoa perantauan (Tanggok 2010). Sekarang ini banyak juga orang Tionghoa dari Tiongkok yang merantau ke Indonesia, baik mereka mencari pekerjaan maupun berlibur di beberapa pulau di Indonesia.Tidak sedikit juga di antara mereka yang menjadi pendatang haram dan melakukan kegiatan ilegal di Indonesia. Pulau-pulau yang menjadi perhatian mereka adalah pulau Sumatera dan Jawa, sebab di pulau-pulau ini di samping cukup mudah dijangkau dengan kapal laut dan juga banyak menghasilkan rempah-rempah yang dapat diperjual belikan atau dibawa ke Tiongkok untuk dijual kembali. Menurut catatan sejarah Tiongkok masa lampau, bahwa orang Tionghoa pertama kali datang ke Nusantara adalah di pulau Batam (Sumatera atau perbatasan antara Sumatera dan Singapura) barulah mereka menyusuri pulau-pulau lain yang ada di Indonesia, seperti: Jepara, Lasem, Rembang, Demak, Tanjung, Bojaran, dan akhirnya mereka mampir ke Semarang. Setelah itu mereka melanjutkan lagi perjalanan ke pulau-pulau yang lain di nusantara maupun di negara lain, untuk tujuan membina hubungan baik atau persahabatan dan

Pratik Islam Nusantara 65

melakukan perdagangan dengan negara-negara tersebut (Tanggok 2010). Karena banyaknya sumber daya alam yang terdapat di bumi nusantara untuk diperjual belikan, maka ini menjadi salah satu ketertarikan mereka untuk merantau ke Nusantara dan juga memperbaiki perekonomian mereka. Tidak hanya pulau Sumatera yang dikunjungi oleh orang Tionghoa, namun pulau lain seperti pulau Jawa juga menjadi incaran orang Tionghoa pada masa lalu. Banyak orang Tionghoa yang dating ke pulau Jawa, namun yang sangat popular adalah Cheng Ho. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya orang-orang Indonesia peranakan Tionghoa di Indonesia, khususnya Semarang memiliki cerita mengenai kedatangan Cheng Ho dan anak buahnya dibeberapa pulau di Indonesia dan diduga karena adanya perperangan besar yang melanda negeri Tiongkok pada masa itu yang tidak kunjung selesai. Dengan alasan peperangan itu, banyak orang-orang Tionghoa meninggalkan negerinya untuk mencari penghidupan yang baru, negeri yang makmur dan penuh dengan kedamaian. Negeri yang makmur itu ternyata ada di kepulauan nusantara, khususnya di pulau Sumatera dan Jawa. Dalam catatan sejarah dinasti Ming ada dijelaskan bahwa Kaisar Zhu dinasti Ming Tiongkok pernah mengutus suatu armada yang cukup besar untuk mengadakan kunjungan muhibah ke laut Selatan. Kunjungan muhibah yang bersekala besar tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Sam Poo Kong) dan Wang Jing Hong (Ong King Hong) yang merupakan orang kepercayaan Cheng Ho (Kong Yuanzhi 200), dan sekaligus sebagai juru mudinya. Keberhasilan

66 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Cheng Ho dalam beberapa kali melakukan pelayaran ke luar Negara sangatlah ditopang oleh orang-orang yang menjadi kepercayaannya. Cerita tentang perjalanan Cheng Ho tidak hanya berasal dari satu sumber, tapi juga dari sumber-sumber yang lain. Sumber lain menyebutkan bahawa rombongan besar kapal-kapal dari daratan Tiongkok telah menyemberangi lautan menuju Indonesia dan mendarat di Banten, Jawa Barat, kemudian kapal-kapal tersebut berpencar antara satu dengan yang lain, sebagian menyusuri pantai utara pulau Jawa ke arah Timur dan menuju ke daerah Jakarta, Tanjoeng, Jepara, Rembang, sebagian terus ke Timur Lasem, Tuban dan seterusnya. Kapal-kapal yang berhenti di Demak masuk ke daerah Boejaran dan menetap di Bukit Simongan (Gedong Batu Semarang). Sulit diketahui secara pasti kapan orang-orang Tionghoa pertama kali menetap di sekitar Simongan, Semarang (Jongkie Tio, tt). Saya menduga bahwa sebulum kedatangan orang-orang Tionghoa di pulau Sumatera dan Jawa pada abad ke 14 dan 15 yang lalu, sudah ada orang-orang Tionghoa yang lebih awal menginjakkan kakinya ke pulau-pulau tersebut. Orang-orang Tionghoa yang lebih awal datang inilah yang mungkin jadi petunjuk bagi orang-orang Tionghoa yang datang belakangan atau saudara-saudara mereka yang datang duluan mengundang saudara-saudara mereka lainnya untuk merantau ke luar Tiongkok. Menurut catatan sejarah bahwa orang Tionghoa yang pertama kali datang ke Semarang adalah Cheng Ho atau Sam Poo Kong atau Sam Poo Tay Djien, yang punya peninggalan yang tidak bisa dilupakan ialah

Pratik Islam Nusantara 67

Gedung Batu atau Sam Poo Tong atau Sam Poo Kong. Menurut beberapa cerita bahwa Sam Poo Tay Djin, adalah Hoo, yang pada masa itu mendapat tugas penting dari Baginda Soan Tik dari dinasti Bing untuk mencari mustika di lautan bagian Barat (Jongkie Tio, tt). Mustika apa yang akan dicari oleh Baginda Soan Tik, dengan mengutus Sam Poo Tay Djien ke laut bagian Barat juga tidak jelas. Dapat diperkirakan bahwa perjalanan itu tidak lain adalah sama tujuannya dengan perjalanan sebeumnya, yaitu di antaranya menjalin hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa (Tanggok 2006) di luar Tiongkok. Tidak sedikit orang mengatakan bahwa kalau bercerita tentang Semarang, maka tidak akan lengkap jika kita tidak menceritakan tentang seorang tokoh sejarah yang cukup terkenal, yaitu seorang musafir (orang yang sedang berpergian), beragama Islam yang bernama Sam Poo Tao Lang, juga dikenal dengan nama Sam Poo Tay Jin, seorang pelaut dari Tiongkok, yang juga dikenal sebagai Cheng Ho, yaitu nama sebenarnya. Orang-orang Tionghoa di semarang khususnya dan Indonesia pada umumnya merasa terhormat, karena dikunjungi oleh kaisar-kaisar Tiongkok berulang kali dengan tujuan perdagangan dan menjalin hubungan persahabatan dengan negara- negara yang mereka kunjungi (Tanggok 2006). Usaha menjalin hubungan persahabatan ini datang dari kaisar agar Tiongkok memiliki suatu kekuatan karena bersahabat dengan banyak negara.Kekuatan itu dapat berupa kekuatan ekonomi, politik dan pertahanan keamanan.

68 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Pada saat Cheng Ho dan anak buahnya berkunjung ke Semarang, kota Semarang pada dasarnya belum ada dan hanya merupakan hutan belantara. Kota Semarang baru ada sejak tahun 1476 atau pada paroh pertama abad ke 15 (Kong Yuanzhi 2000). Pada saat Cheng Ho berkunjung ke Semarang, penduduknya belum banyak, apakan lagi pertokohan atau pusat-pusat perbelanjaan seperti yang terdapat sekarang ini dan tempat-tempat wisata yang indah. Namun Semarang sangat dikenal banyak orang karena salah satunya di sana ada kelenteng Sam Poo Kong yang terletak tidak begitu jauh dari kota Semarang dan diyakini sebagai peninggalan dari Cheng Ho atau dibuat oleh masyarakat pada jaman dahulu sebagai tempat untuk mengenang kedatangan Laksamana Cheng Ho. Tempat ini juga dikenal sebagai tempat persinggahan Cheng Ho dan anak buahnya pertama kali di pulau Jawa, dan dari kalangan sukubangsa Tionghoa dan non-Tionghoa tempat ini dianggap sebagai tempat yang sakral atau suci, yang dapat memberikan manfaat bagi banyak orang. Tempat ini juga digunakan orang untuk berdoa atau memohon sesuatu pada dewa Sam Poo Kong dan perlindungan dari segala bahaya (Tanggok 20060) yang dapat mengganggunya dan anggota keluarganya.Bagi orang Tionghoa dan non Tionghoa (muslim), segala bahaya dapat berupa gangguan dari roh-roh jahat. Orang-orang Indonesia peranakan Tionghoa di Indonesia, khususnya peranakan Tionghoa yang tinggal di sekitar Semarang, mempunyai cerita tersendiri mengenai kedatangan laksamana Cheng Ho dan anak buahnya di Semarang. Menurut mereka pada

Pratik Islam Nusantara 69

pertengahan abad ke 15, kaisar Zhu Di yang berkuasa pada masa Dinasti Ming Tiongkok mengutus suatu armada untuk mengadakan kunjungan ke Laut Selatan. Armada dengan kapal-kapal yang besar ini dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho atau juga dikenal dengan sebutan Sam Poo Kong. Dia dibantu oleh Wang Jing Hong atau Ong King Hong sebagai orang kepercayaan Cheng Ho. Siapa sebenarnya Ong King Hong ini, dan apa tugasnya dalam perjalanan itu, tidak dapat diketahui secara pasti, tapi orang-orang Semarang, terutama yang sering datang ke kelenteng Sam Poo Kong Semarang menganggap Ong king Hong adalah juru mudinya Cheng Ho atau orang kepercayaan Cheng Ho (Tanggok 2006), yang dapat mengantarkan Cheng Ho kemana dia akan pergi. Jika Cheng Ho adalah orang kepercayaan kaisar, maka Ong King Hong adalah orang kepercayaan Cheng Ho.

Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang (Sumber: Google)

70 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Pada saat tiba di Semarang, Wang Jing Hong dikatakan mendapat sakit keras, pada saat rombongan kapal Cheng Ho ini berlayar menyusuri pantai utara pulau Jawa. Dengan alasan itu, rombongan kapal tersebut mampir di Simongan (kemudian hari berubah namanya menjadi Mangkang), Semarang. Setelah berhasil mendarat, Cheng Ho beserta anak buahnya menemukan sebuah gua yang tidak jauh dari tempat mereka menambatkan kapal-kapalnya. Gua ini mereka jadikan suatu tempat untuk beristirahat sementara, sambil berusaha mencarikan obat untuk mengobati penyakit Wang Jing Hong, yaitu diyakini sebagai juru mudi Cheng Ho atau Sam Poo Kong. Agar mereka tidak kepanasan pada saat hari panas, kehujanan pada saat hari hujan dan tidak kedinginan pada malam hari, Cheng Ho bersama anak buahnya membuat sebuah rumah kecil di luar gua untuk digunakan sebagai tempat peristirahatan sementara, terutama untuk tempat peristirahatan Wang Jing Hong yang sedang sakit keras. Berkat usaha keras Cheng Ho dalam mengobati Wang Jing Hong, maka kesehatan orang kepercayaannya ini sedikit demi sedikit membaik. Karena kesehatan Wang Jing Hong semakin hari semakin membaik, maka sepuluh hari kemudian Cheng Ho melanjutkan perjalanannya ke Barat. Dalam perjalanannya ke Barat, Cheng Ho tidak mengikutsertakan Wang Jing Hong, karena dia menganggap Wang Jing Hong (Hong) belum begitu sehat betul dari penyakitnya. Untuk membantu segala keperluan Hong di Goa Simongan, Cheng Ho meninggalkan 10 orang anak buah kapalnya dan 1 buah

Pratik Islam Nusantara 71

kapal untuk keperluan transportasi dan juga dilengkapi dengan perbekalannya. Setelah belayar ke Barat, Cheng Ho tidak lagi kembali menemui Hong, dan Hong merasa betah atau kerasan tinggal di Semarang. Karena merasa betah tinggal di Semarang, Hong bersama 10 orang awak kapal lainnya menebang hutan dan membangun sebuah tempat tinggal untuk mereka (Khong Yuan Zhi 2000). Ini merupakan cikal bakal dari perkampungan yang ada di sekitar gedung batu pada waktu. Sebagai mana kita ketahui, wilayah itu adalah daerah yang penuh dengan hutan dan tidak ada satu bangunan yang ada pada waktu itu. Akibat ada di antara anak buahnya yang sakit, terpaksa Cheng Ho harus memutuskan meninggalkan sebuah kapal dan beberapa anak buahnya yang lain untuk mengurus yang sakit. kapal yang ditinggalkan oleh Cheng Ho dan 10 orang anak buahnya, tidak hanya dipergunakan sebagai alat transportasi jika Hong dan teman-temannya mau menyusul perjalanan Cheng Ho, tapi juga mereka gunakan untuk melakukan usaha perdagangan di sepanjang pantai pulau Jawa. Karena anak buah Cheng Ho umumnya adalah bujangan, termasuk 10 orang yang ditugaskan menunggu Hong di Semarang, maka mereka melakukan kawin mawin dengan penduduk setempat.Penduduk setempat merasa senang dengan kedatangan tamu dari luar negara. Mulai saat itu, daerah Simongan menjadi sebuah perkampungan dan lama kelamaan menjadi ramai dikunjungi oleh orang dan penduduknya semakin banyak. Daerah sekitar gua tersebut menjadi daerah yang subur, dan banyak orang yang melakukan cocok tanam. Hasil cocok tanamnya sebagian digunakan

72 Dalam Kelenteng-Kelenteng

untuk keperluan sehari-hari dan sebagian lagi ada yang diperdagangkan dan diperjualbelikan di antara mereka. Bukan saja Cheng Ho yang terkenal sebagai seorang muslim yang taat terhadapat ajaran agamanya, Wang Jing Hong, juga dikenal sebagai seorang muslim yang taat melaksanakan perintah Tuhan dan sehingga dia juga menjadi sangat disayangi Cheng Ho. Dia juga dikisahkan sebagai orang yang banyak berjuang menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Berkat usahanya, banyak penduduk setempat yang menganut agama Islam. Untuk mengenang jasa-jasa Cheng Ho, oleh Wang Jing Hong, didirikan sebuah patung Cheng Ho untuk disembah atau dipuja orang. Wang Jing Hong dikabarkan meninggal dunia pada usia 87 tahun dan jenazahnya dikuburkan secara agama Islam di dekat gua batu. Karena jasanya yang cukup besar terhadap masyarakat sekitarnya, maka Hong diberi julukan sebagai Juru Mudi Dampo Awang. Makam dari Juru Mudi Dampo Awang ini terdapat di lokasi kelenteng Sam Poo Kong di Semarang, tepatnya di samping gua batu, tempat diletakkannya patung Cheng Ho sekarang ini. Jika orang-orang datang ke kelenteng Sam Poo Kong untuk melakukan pemujaan terhadap patung Cheng Ho, maka belum dirasakan lengkap jika mereka belum melakukan pemujaan dan pemohonan sesuatu di makam Juru Mudi Dampo Awang ini. Makam ini diyakini oleh masyarakat yang datang ke sini sebagai makam yang sakral dan diyakini apa saja yang dimohonkan dapat dikabulkan. Sebagai layaknya tempat pemujaan lain di lingkungan kelenteng Sam Po Kong, di depan makam tersebut terdapat sebuah altar, dan di atas altar

Pratik Islam Nusantara 73

terdapat hiolo, tempat untuk menancapkan hio bagi orang yang selesai melakukan pemujaan. Di depan meja altar itu terdapat lukisan yang melukiskan kapal- kapal Cheng Ho yang sedang melakukan perjalanan di tengah lautan yang luas dengan membawa armada yang jumlahnya ribuan. Lukisan-lukisan ini sengaja dibuat untuk mengingatkan kembali kepada generasi muda tentang kisah perjalanan Cheng Ho dari Tiongkok ke berbagai negara di dunia. Berkaca pada sejarah kedatangan Cheng Ho ke berbagai pulau di nusantara, maka sejak saat itu, setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek orang berbondong- bondong datang untuk memuja dan memohon sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong di Gua Sam Poo Kong atau Gua Batu, dan sekaligus mereka berziarah ke makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Tidak hanya itu, mereka juga meminta sesuatu kepada Kyai Juru Mudi Dampo Awang dengan perantaraan seorang juru kunci kelenteng Sam Poo Kong. Sekarang ini, setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek, kebanyakan yang datang ke sini adalah orang-orang Indonesia peranakan Cina dari Semarang dan daerah-daerah lain yang meyakini dewa Sam Poo Kong dapat memberikan sesuatu kepada mereka. Sedangkan pada setiap malam Jumat Kliwon (tiap bulan), orang-orang yang datang ke sini umumnya adalah orang-orang non peranakan Tionghoa, khususnya orang-orang Jawa di sekitar Semarang, dan daerah-daerah lain, untuk memuja dan meminta sesuatu pada dewa Sam Poo Kong dan pada makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Mereka ini adalah orang-orang Islam dan umumnya mereka adalah pedagang, baik dari Semarang sendiri, maupun di luar

74 Dalam Kelenteng-Kelenteng

semarang (Tanggok 2006). Ada juga di antara mereka yang datang dari luar Negara, misalnya dari Tiongkok, Malaysia, Singapura dan lain-lain. Pembangunan kelenteng Sam Poo Kong mempunyai tujuan tersendiri, yaitu agar orang bisa mengingat kembali jasa-jasa Cheng Ho yang dalam sejarahnya sempat beberapa kali mengunjungi Semarang dan menghormatinya. Atas dasar mengingat dan menghormati itu, maka dibangunlah Kelenteng Sam Poo Kong. Kelenteng ini pada awalnya sangatlah sederhana, dan tidak seperti sekarang ini, di mana pembangunannya sudah sangat luar biasa. Dalam Gua tempat kelenteng itu hanya terdapat patung Cheng Ho. Pada tahun 1704 Gua tersebut diberitakan runtuh akibat angin serta hujan yang besar. Akibatnya sepasang pengantin ikut tertimbun pada saat memuja di situ. Tak lama kemudian gua tersebut dipugar kembali seperti bentuknya yang semula. Pemugaran gua itu dilakukan oleh orang-orang Tionghoa setempat pada tahun 1724. Berarti 20 tahun setelah gua itu runtuh baru dipugar kembali (Khong Yuan Zhi 2000). Di tempat itu tidak hanya ada gua batu, tapi juga ada bangunan untuk melindungi orang-orang dari hujan dan panas pada saat melakukan ritual. Bangunan inilah yang dikemudian hari dikenal sebagai kelenteng. Di dalam lingkungan kelenteng ada ada gua batu dan oleh karena itu kelenteng ini juga dikenal sebagai kelenteng gedung batu. Dalam waktu dua puluh tahun tentu saja sisa-sisa bangunan kelenteng yang lama sudah tidak ada lagi dan bahkan tempat tersebut sudah menjadi hutan kembali (Tanggok 2006). Meskipun puing-puing kelenteng yang lama sudah tidak ada lagi,

Pratik Islam Nusantara 75

namun masyarakat sekitarnya masih mengingat keberadaan kelenteng tersebut di masa lalu. Inilah salah satu alasan kenapa masyarakat setempat mendorong dibangunnya kembali kelenteng Sam Poo Kong. Ada juga sebagian orang yang meragukan bahwa Cheng Ho pernah mampir di Semarang. Untuk itu, untuk membuktikan apakah benar Cheng Ho pernah mampir di Semarang, maka di sini saya kutip pendapat M. O Parlindungan (Parlindungan 1964), dalam bukunya yang berjudul: Tuanku Rao, yang mengisahkan tentang mendaratnya kapal Cheng Ho di Semarang pada abad ke-15. Menurut Parlindungan, bahwa Cheng Ho pernah singgah ke Semarang pada tahun 1413. Menurutnya juga, Cheng Ho bersama dengan Ma Huan dan Fei Xin seringkali mengunjungi masjid untuk melakukan sembahyang. Ma Huan dan Fei Xin adalah orang kepercayaan Cheng Ho dan selalu ikut serta dalam berbagai perjalanan Cheng Ho. Masjid yang dimaksud di sini adalah masjid yang terletak di daerah Gedung Batu Semarang. Menurut cerita rakyat setempat, bahwa kelenteng Sam Poo Kong yang ada di daearah Gedung Batu Semarang sekarang ini dulunya adalah sebuah masjid yang selalu digunakan oleh Cheng Ho dan anak buahnya untuk melakukan sembahyang (Harian Merdeka, 25 Maret 1984 dan juga Singgih 1998: 141). Tanggok menduga bahwa pendapat Soewarno ini didasarkan pada agama yang dianut oleh Cheng Ho dan teman-temannya, yaitu Islam, sehingga bangunan yang ada di gedung batu itu dianggap Masjid. Orang Islam yang taat, selalu melakukan sembahyang di manapun

76 Dalam Kelenteng-Kelenteng

mereka berada dan untuk sembahyang berjamaah mereka membutuhkan tempat yang besar seperti masjid (Tanggok 2006).Masjid tidak hanya sekedar tempat sembahyang tapi juga tempat orang berkumpul dan bermusyawarah antara satu dengan yang lainnya. Andaikata pendapat Parlindungan itu benar, berarti Masjid yang digunakan oleh Cheng Ho dan anak buahnya itu untuk melakukan sembahyang adalah Masjid bikinan mereka sendiri. Jika benar mereka membikin sebuah Mesjid untuk tempat melakukan sembahyang, berarti Mesjid yang mereka bikin itu pastilah bercorak asitektur Tionghoa, yang mirip dengan bangunan mesjid dan kelenteng yang ada di Tionghoa, maupun bangunan kelenteng umumnya di Indonesia. Jika dugaan itu benar, maka pendapat Parlindungan itu dapat dibenarkan dan Gedung Batu yang menjadi tempat bangunan Kelenteng Sam Poo Kong yang ada di Semarang sekarang ini, diduga dulunya adalah sebuah Mesjid tempat Cheng Ho dan anak buahnya melakukan sembahyang dan kemudian hari fungsinya berbeda (Tanggok 2006). Meskipun demikian, umumnya umat Islam dewasa ini tidak pernah menuntut agar bangunan itu dikembalikan fungsinya sebagai masjid. Ini menunjukkan bahwa umat Islam memiliki rasa toleransi yang besar terhadap umat agama lain. Sebagian besar masyarakat Semarang menyebut Kelenteng Sam Poo Kong ini dengan nama kelenteng Gedung Batu, yang terletak di kaki bukit Simongan. Disebut kelenteng Gedung Batu karena lokasi kelenteng ini terdapat sebuah gua batu yang dianggap tempat Cheng Ho dan anak buahnya pada masa lalu

Pratik Islam Nusantara 77

beristirahat sebelum melanjutkan perjalanannya ke wilayah lain di nusantara. Sehubungan dengan hal tersebut, Tju Kie Hak Siep (1954), menceritakan dengan panjang lebar tentang berdirinya kelenteng gedung batu tersebut. Pada tahun 1406, sebagaimana diceritakan oleh Tju Kie Hak Siep, bahwa Cheng Ho dengan kapal-kapalnya mendarat di sebuah desa (Singgih 1986) yang tidak disebutkan nama desanya. Setelah mendarat, kemudian Cheng Ho dengan anak buahnya melanjutkan perjalanannya dengan menyusuri pantai pulau Jawa, dan akhirnya mereka tiba di daerah Simongan. Simongan adalah merupakan daerah pelabuhan yang merupakan tempat dari kapal- kapal perdagangan luar negeri untuk beristirahat sejenak. Cheng Ho bersama anak buahnya tidak beristirahat di kapal, tapi beristirahat di sebuah gua yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan Gedung Batu. Karena terjadi angin topan yang cukup besar, maka Gua Batu itu mengalami kerusakan parah dan menghilangkan bentuk aslinya. Untuk jasa-jasa Cheng Ho dan anak buahnya, maka pda tahun 1704 dibangunlah sebuah Gua Batu tiruan yang menyerupai Gua Batu yang dahulu. Gua Batu tiruan tersebut diletakkan ditengah- tengah kelenteng Gedung Batu Semarang. Supaya Gua Batu ini tidak kehilangan makna, dan ada tempat bagi para pengunjung untuk melakukan pemujaan, maka didatangkanlah patung Cheng Ho dari daratan Tiongkok dan 4 buah patung dari pengikut Cheng Ho untuk diletakkan di dalam Gua Batu tiruan tersebut. Kemudian oleh masyarakat Tionghoa di sekitar Semarang dilakukan sembahyang untuk mengucapkan

78 Dalam Kelenteng-Kelenteng

syukuran atas dibangunnya Gua Batu tiruan dan penempatan patung Cheng Ho dan pengikutnya di Gua tersebut. Upacara sembahyang ini dilakukan secara besar-besaran, dan terjadi pada tahun 1724 (Liem Thian Joe 1993; Singgih 1986). Hasil sumbangan orang-orang yang datang untuk melakukan sembahyang di Gedung Batu ini, oleh pengurus tempat ini digunakan untuk memelihara Goa Gedung Batu tersebut, dan sampai sekarang Gua tersebut menjadi tempat yang sakral, karena disakralkan oleh manusia. Demikianlah cerita lain dari Gua Batu yang ada di Semarang. Pada masa sekarang, Gua Gedung Batu tersebut berada dalam bangunan sebuah kelenteng, yang dikenal dengan kelenteng Sam Poo Kong atau kelenteng Gedung Batu Semarang.Gua itu dirawat dengan baik dan dianggap sakral oleh seabagian masyarakat Islam dan non Islam.

3.2. Pemujaan Terhadap Sam Poo Tay Kam Mungkin kita bertanya-tanya, siapakah Sam Poo Tay Kam itu? Menurut cerita, bahwa pada masa kerajaan Bing bertakhta di Tiongkok, Kaisar Bing Sing Cou yang terkenal itu menggunakan gelar Eng Lok Kun. Di kerajaan Bing terdapat banyak panglima, ada panglima pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, sesuai dengan jabatan yang dipegang oleh panglima tersebut dalam kerajaan. Bing Sing Cou, mempunyai seorang pengawal istana (lwee kam) yang bernama The Ho. Karena kesetiaannya terhadap raja, The Ho dianugerahi gelar kebangsawanan oleh raja. Gelar kebangsawanan itu ialah Sam Poo Kong Tay Kam. Sam Poo Kong artinya panglima ketiga, dan Tay Kam

Pratik Islam Nusantara 79

artinya pengawal istana. Jadi, Sam Poo Kong Tay Kam artinya pengawal ketiga di kerajaan yang bertugas mengawal istana. Sejak penganugerahan gelar itu, nama The Ho hampir tidak dipakai lagi dan orang menyebutnya dengan sebutan Sam Poo Tay Kam. Arti yang sebenarnya dari Sam Poo Tay Kam ialah “panglima ketiga pengawal istana” (Moerthiko 1980) Sam Poo Tay Kam sebenarnya adalah sebutan lain dari Cheng Ho, namun nama Cheng Ho tidak tidaklah kita jumpai di kelenteng Sam Poo Kong Semarang, yang ada adalah Sam Poo Tay Jin. Nama ini tertulis di papan nama di ruang tempat pemujaan Cheng Ho. Para pengurus kelenteng dan para tamu yang hadir untuk meminta sesuatu pada Zheng Ho, tidak terlalu akrab dengan nama Che Ho, tapi mereka lebih senang menyebutnya dengan sebutan Sam Poo Tay Jin dan bukan Sam Po Tay Kam. Siapakah Sam Poo Tay Jin itu? Sam Poo Tay Jin tidak lain adalah Cheng Ho, dan nama yang tertulis di pintu gerbang masuk kelenteng Sam Poo Kong ini tertulis “Kelenteng Sam Poo Kong” dan tidak menggunakan nama wihara seperti yang dipakai oleh kebanyakan kelenteng di Indonesia sejak Orde Baru dan tidak juga menggunakan nama kelenteng Cheng Ho untuk mengacu pada tokoh utama yang dipuja di dalamnya. Kelenteng ini tidak juga menggunakan nama wihara sebagai mana kelenteng- kelenteng lainnya di Indonesia (Tanggok 2005). Jika menggunakan nama wihara, berarti kelenteng tersebut berada di bawah naungan dan pengawasan Dirjen Agama Buddha, sebagai mana banyak kelenteng dewasa ini.

80 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Pemujaan pada Sam Poo Tay Kam (Cheng Ho)

Sebagaimana saya katakana sebelumnya, orang yang dateng ke kelenteng Sam Poo Kong mempunyai niat tertentu, dan umumnya mereka datang ke tempat ini untuk minta sesuatu kepada Sam Poo Tai Jin atau Cheng Ho dan kebanyakan diantara mereka berprofesi sebagai pedagang, seperti yang saya sebutkan sebelunya, baik laki maupun perempuan. Karena mereka menganggap Cheng Ho atau Sam Poo Tay Kam atau Sam Poo Tai Jin atau Sam Poo Kong dulunya adalah seorang pedagang yang berhasil dari Cina dan melakukan perdagangan di berbagai negara dan daerah. Oleh karena itu, pada saat ini dia dianggap sebagai dewa dagang oleh sebagian orang-orang datang ke kelenteng ini untuk memohon sesuatu kepadanya, terutama para pedagang yang datang ke sini dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya itu, dia juga dianggap sebagai dewa penyelamat bagi para pedagang, karena sebagian besar pedagang yang

Pratik Islam Nusantara 81

memohon kepadanya mendapatkan keberuntungan dan usahnya maju dengan pesat. Itulah sebabnya ban yak diantara orang yang datang ke sini adalah pedagang yang menginginkan agar usaha dagangannya berhasil. Karena dia adalah seorang muslim yang taat, maka tidak heran jika yang datang ke kelenteng ini tidak hanya orang-orang non muslim (Tanggok 2006), tapi juga beberapa orang muslim dari berbagai daerah di Indonesia dan bahkan ada yang datang dari Malaysia, Singapura dan Berunai. Pada umumnya orang yang datang ke kelenteng Sam Poo Kong Kong ini adalah para pedagang kecil dan ada juga sebagian dari mereka pedagang besar atau pengusaha. Baik itu dari kalangan muslim maupun dari kalangan non muslim dari berbagai daerah di Indonesia. Pada malam Jumat kliwon, sebagian besar mereka yang datang ke kelenteng Sam Poo Kong Kong ini adalah mereka yang beragama Islam. Beberapa orang yang saya tanyakan bahwa mereka adalah beragama Islam. Di samping itu juga dapat dilihat dari atribut yang dipakainya, seperti memakai jilbab yang menunjukkan bahwa mereka adalah seorang muslimah. Sedangkan pada tanggal 1 dan 15 Imlek, menurut informasi yang dapatkan dari para juru kunci kelenteng adalah kebanyakan mereka yang datang ke sini adalah yang beragama Khonghucu, Buddha dan ada juga sebagian kecil mereka yang beragama Katolik maupun Kristen. Ada sebagian orang mengatakan bahwa kelenteng Sam Poo Kong ini tidak hanya sekedar tempat ibadah, tempat meminta sesuatu pada dewa- dewa, tapi juga sebagai wadah mempersatukan sukubangsa, dan dari berbagai agama. Kelenteng ini

82 Dalam Kelenteng-Kelenteng

dapat dipandang sebagai simbol persatuan antar sukubangsa yang ada di Indonesia (Tanggok 2006), karena berbagai sukubangsa dapat dapat berkumpul di tempat ini untuk melakukan ritual. Karena tujuan orang-orang datang ke kelenteng ini bermacam-macam, maka permintaannya bermacam- macam juga. Ada di antara mereka memohon kepada dewa Sam Poo Kong agar usaha dagangnya menjadi maju dan berhasil, ada juga mereka yang datang ke sini untuk minta agar cepat mendapat jodoh, ada juga yang datang ke sini untuk minta obat, dan ada juga yang datang ke sini untuk diberi nomor (togel) yang tepat, sehingga apabila mereka memasang nomor tersebut dia menjadi menang dan menjadi kaya. Jika mereka dikasi nomor yang tepat oleh Sam Poo Kong, maka mereka akan datang kembali. Jika mereka tidak dikasi nomor yang tepat oleh Sam Poo Kong dan akhirnya mereka menjadi kalah dalam berjudi, maka mereka tidak akan datang lagi unuk meminta nomor. Ada juga seorang ibu yang datang ke sini memohon agar suaminya berhenti berjudi, dan mabuk-mabukan, dan ada juga yang datang ke sini agar perjalanan studi anaknya di perguruan tinggi lancar, tanpa ada satu hambatan apapun. Walaupu juru kunci atau biokong selalu mengatakan kepada pengunjung bahwa dewa Sam Poo Kong tidak dapat memberikan angka yang tepat, namun selalu ada pengunjung yang datang ke sini untuk minta nomor, dan tetu saja ini didasarkan pada keyakinan orang masing-masing. Anggapan mereka dewa Sam Poo Kong sama dengan dewa-dewa yang lain, yaitu dapat memberi nomor yang tepat dan dapat memberikan keberuntungan pada mereka. Ada

Pratik Islam Nusantara 83

juga orang yang hanya sekedar coba-coba meninta nomor kepada dewa Sam Poo Kong, dan apabila angka tersebut dia dapatkan (melalui mimpin atau dengan cara lain), maka dia beranggapan itu adalah berkat pertolongan Sam Poo Kong. Para pedagang mempunyai cerita yang lain jika datang ke tempat ini, mereka bukan minta nomor, tapi minta agar dagangannya laku keras atau laris. Jika dagangannya laris, maka dia akan memperoleh keuntungan yang banyak. Jika keuntungannya banyak, dia tidak akan lupa berterima kasih pada dewa Sam Poo Kong. Seorang ibu yang mengunakan jilbab datang ke kelenteng Sam Poo Kong pada malam Jumat Kliwon untuk minta pertolongan padanya. Dia mengatakan: “Saya sudah tiga kali datang ke kelenteng ini tepatnya pada malam jumat kliwon. Saya minta pada dewa agar usaha dagang saya lancar, dan alhamdulillah usaha dagang saya berjalan dengan lancar. Saya juga pernah meminta kepada dewa Sam Poo Kong agar anak saya yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Bogor berjalan tanpa ada halangan, dan alhamdulillah sekarang kuliah anak saya sudah selesai dan sekarang sudah bekerja di salah satu perusahaan terkenal di Jakarta. Meskipun anak saya sudah berhasil, saya tidak lupa untuk selalu mengunjungi kelenteng ini untuk memohon sesesuatu yang saya inginkan, sebab saya sangat berutang budi kepadanya.” Rahasia keberhasilan ibu ini tidak hanya dia simpan sendiri, tapi diajuga ceritakan kepada teman-temannya. Di antara temannya yang percaya terhadap cerita itu, maka dia mengikuti jejak ibu tersebut untuk memohon sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong.

84 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Bagi orang yang hadir ke sini dengan tujuan untuk sembahyang pada Sam Poo Kong, dia harus membeli hio di tempat penjualan hio. Kemudian hio tersebut dibawa ketempat pemujaan Sam Poo Kong. Bagi orang muslim yang datang ke sini, hio tersebut diserahkan kepada biokong (juru kunci), kemudian juru kunci menanyakan maksud orang yang datang, namanya, dari mana dia berasal dan apa saja maslah yang ia hadapi. Kemudian biokong membakar hio tersebut dan melakukan sembahyang kepada Thian (Tuhan). Sembahyang kepada Thian (Tuhan) sama artinya melaporkan kepada Tuhan untuk minta restu melakukan sembahyang di tempat ini. Selesai melakukan sembahyang kepada Tuhan seperti cara yang dilakukan oleh orang Tionghoa bersembahyang kepada Thian, barulah memohon sesuatu keada dewa Sam Poo Kong. Sembahyang kepada Tuhan atau Thian dengan cara menghadap keluar atau ke langit, menganggkat hio setinggi kepala sebanyak 3 kali dan menundukkan kepala sebanyak 3 atau 4 kali.8 Setelah selesai melakukan sembahyang pada Thian, hio tersebut ditancapkan ke hiolo (tempat menancapkan hio) sebanyak 2 atau 3 batang, kemudian sisa hio tersebut digunakan oleh juru kunci untuk memuja atau melaporkan pada Men Shen, dewa pintu (altar pemujaannya terletak dibagian tengah sebelum masuk ke dalam tempat pemujaan Sam Poo Kong), setelah itu, hio tersebut ditancapkan lagi ke hiolo milik dewa penjaga pintu, yang artinya meminta izin untuk melakukan sembahyang pada dewa Sam Poo Kong. Meminta izin kepada Thian tidak semestinya

Pratik Islam Nusantara 85

menunggu jawaban dari Thian apakah diizinkan atau tidak, namun ini hanya sekedar melapor kepada Thian. Apabila sembahyang kepada Thian sudah dianggap selesai, maka juru kunci masuk dalam sebuah ruangan tempat pemujaan Sam Poo Kong sambil membawa 3 atau 4 batang hio yang merupakan sisa dari pemujaan pada Thian dan dewa pintu. Di depan altar tempat pemujaan Sam Poo Kong, juru kunci kembali melakukan sembahyang atau pemujaan terhadap dewa Sam Poo Kong, dan memohon kepada dewa Sam Poo Kong agar apa yang menjadi keinginan orang yang datang ke sini dapat dikabulkan. Sementara orang yang minta sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong ini berada dibelakang juru kunci. Setelah melakukan pemujaan atau memohon kepada dewa Sam Poo Kong, juru kunci menancapkan hio di hiolo yang ada dihadapan patung Sam Poo Kong yang menandakan bahwa sembahyang atau memuja kepadanya selesai dilaksanakan (Tanggok 2006) dan kegiatan berikutnya dapat dilanjutkan. Sebelumnya juga sudah dijelaskan bahwa setelah selesai melakukan pemujaan atau meminta sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong, juru kunci mengambil tempat Ciam Si. Ciam Si adalah sebuah benda berbentuk bila-bila bambu menyerupai sumpit bertuliskan hurup Mandarin dan berisi ramalan. Batangan Ciam Si adalah terbuat dari bambu yang panjanga sekitar 20 cm, lebarnya 1cm, dan di batang bambu-bambu tersebut tertuliskan nomor 1-99. Jumlah Ciam Si ini sebanyak 99 batang dan berisi 99 ramalan. Ciam Si ini digunakan orang untuk melihat nasib atau keberuntungan yang mereka peroleh di masa akan

86 Dalam Kelenteng-Kelenteng

datang. Angka atau nomor yang tertulis dibambu Ciam Si tersebut memiliki terjemahan dalam bahasa Indonesia yang telah tersedia di ruang bagian depan tempat pemujaan Sam Poo Kong. Dari situ orang dapat mengetahui maksudnya. Tempat Ciam Si terbuat dari bambu atau bahan plastik dan besarnya seperti gelas minuman. Setelah tempat Ciam Si diambil, juru kunci kembali duduk di depan altar sembahyang dan mengoncang tempat Ciam Si sampai salah satu dari 99 batang Ciam Si keluar dari tempatnya. Hiolo adalah alat atau tempat menancapkan dupa yang sudah dinyalakan dengan api dan sudah digunakan untuk sembahyang. Sebagaimana informasi yang di dapatkan dari sumber google, bahwa Hiolo sebagai barang wajib yang disimpan atau diletakkan di atas altar. Hiolo terbuat dari kuningan berkwalitas super dengan harga terjangkau masyarakat. Salah satu spesifikasi hiolo berdiameter 11,5 Cm, Tinggi 9 Cm, Berat 600 Gr dan bahan terbuat dari kuningan murni. Harga hiolo jenis ini dijual seharga Rp. 140.000 di pasaran.

Gambar Hiolo: Tempat abu hio (Sumber: Google)

Pratik Islam Nusantara 87

Sebagaimana dikatakan oleh Yulianti dalam tulisannya yang berjudul: ”Meramal nasib ala Tionghoa melalui kocokan batang bambu” (Dalam: https://ariellucky.wordpress.com/2008/06/13) bahwa masyarakat Tionghoa dikenal handal dalam meramal, selain meramalan melalui Feng Shui, meraman secara tradisional kuno pun hingga kini masih membudaya dalam kehidupan mereka. Ramalan itu dapat disebut sebagai ramalan Ciam Si. Yulianti melanjutkan bahwa ramalan Ciam Si merupakan sejenis permainan meramal nasib yang didasarkan dari 100 kertas syair yang tersedia, yang setiap saat dilaksanakan jika berada di Kelenteng. Ramalan Ciam Si ini juga sebagai media untuk mengetahui peruntungan nasib dari seseorang, di mana biasanya orang yang bersangkutan harus terlebih dahulu mengikuti aturan tradisi yang ada dengan cara mengocok batang bambu kecil, menyerupai sumpit berukuran sekitar 10 cm yang diletakkan di dalam sebuah wadah gelas, dimana setiap batang bambu tersebut memiliki nomor yang sudah disesuaikan dengan jumlah kertas syair yang ada di kelenteng. Sebelum kertas syair dikocok, seseorang harus melakukan permohonan melalui persembayangan terlebih dululu. Dengan cara menyebutkan nama dan usia dalam hati kemudian mengajukan permohonan di hadapan patung dewa yang berada di atas altar sembahyang, baru melempar dua keping kayu berbentuk setengah lingkaran dengan masing- masing sisinya harus berlainan. Jika hasil lemparan dua keping kayu tadi sama-sama menunjukkan sisi yang sama, maka orang yang akan diramal belum memperoleh izin dari sang dewa. Namun bila sebaliknya, hasil lemparan dari dua keping kayu tadi menunjukkan sisi yang berbeda, maka orang itu boleh

88 Dalam Kelenteng-Kelenteng

melakukan ramalan Ciam Si, dengan mengocok batang bambu yang ada dalam wadah gelas. Menurut Yulianti, bila sebatang bambu yang telah dikocok, jatuh ke tanah maka angka yang tertera di batang kayu, disesuaikan dengan secarik kertas yang ada di kotak ramalan atau bisa juga dengan cara mencabut urutan kertas yang tertempel didinding, menurut urutan angka yang keluar setelah dilakukan pengocokan. Setiap kertas dalam ramalan Ciam Si ini, memiliki syair dan ramalan yang berbeda-beda, berupa peruntungan karir, jodoh, rezeki dan kehidupan rumah tangga. Menurut Yulianti bahwa sebagian masyarakat Tionghoa sangat percaya terhadap ramalan ini dan mereka juga mempercayai bahwa ramalan ini dapat menuntun mereka ke arah kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih baik, serta menghapus nasib jelek atau minimal menguranginya, juga terkadang dimanfaatkan untuk memulai atau mengembangkan bisnis dan meningkatkan karir serta menapak masa depan yang lebih baik pada saat peruntungan sedang baik, dan bersikap hati-hati saat peruntungan sedang menurun. Ramalan Cian Si ini bersifat tradisi, tidak di pungut biaya dan ramai dilaksanakan menjelang imlek, utamanya pada tanggal satu, delapan dan lima belas Februari. Sejumlah wisatawan baik dalam maupun luar negeri, juga terkadang menyempatkan waktu berkunjung ke Kelenteng hanya sekedar meramal nasibnya atau keberuntungannya dengan menggunakan Ciam Si. Apa yang dijelaskan Yulianti ini masih tetap ada dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di manapun mereka berada. Bagi masyarakat muslim yang percaya pada ramalan ini, biasanya dalam mempraktikannya, mereka dapat mewakilkannya dengan juru kunci

Pratik Islam Nusantara 89

kelenteng. Juru kuncilah yang menjadi mediator antara dia dengan dewa-dewa yang dipuja. Setelah salah satu batangan Ciam Si di letakkan di atas hiolo, juru kunci kemudian mengambil Po Pai. Po Pai adalah dua keeping kayu yang berbentuk setengah lingkaran yang terdapat di atas altar sembahyang. Sebelum 2 buah Po Pai itu dilambung, terlebih dahulu juru kunci meminta izin kepada dewa Sam Poo Kong dengan cara menyembayangkannya, setelah itu Po Pai dilambung dan dibiarkan jatuh ke lantai. Jika 2 buah Po Pai ini jatuh dalam keadaan 1 buah telungkup dan 1 buahnya lagi jatuh dalam keadaan telentang, berarti dewa Sam Poo Kong setuju, dan jika kedua Po Pai itu jatuh ke lantai dalam keadaan telentang kedua-duanya atau telungkup kedua- duanya, berarti dewa Sam Poo Kong tidak setuju, dan penggoncangan Ciam Si dan pelambungan Po Pai harus diulang kembali sampai semuanya sesuai dengan keinginan (Tanggok 2006). Jika apa yang mereka lakukan sesuai dengan keinginannya, maka hatinya akan merasa puas. Setelah semuanya dianggap selesai, juru kunci dan diikuti oleh orang yang minta sesuatu pada dewa Sam Poo Kong, sambil membawa sebatang Ciam Si yang didapat dari hasil penggoncangan menuju ke suatu tempat atau sebuah lemari yang terdapat di ruang bagian depan pemujaan pada dewa Sam Poo Kong, tepatnya berada di sebelah kiri pintu masuk ruangan tempat pemujaan dewa Sam Poo Kong. Ruang tersebut adalah tempat menyimpan lembaran kertas terjemahan Chiam Si ke dalam bahasa Indonesia. Jika dari hasil penggoncangan Chiam Si tadi kita mendapat batang

90 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Chiam Si yang bernomor 1, maka batang Chiam Si yang tertulis nomor satu tersebut ditukar dengan kertas terjemahan Chiam Si yang juga tertulis nomor 1, dan hal yang sama juga dilakukan untuk nomor-nomor yang lain. Setiap nomor mempunyai kertas terjemahannya masing-masing. Setiap orang ingin memperoleh Ciam Si yang bagus, yang sesuai dengan keinginannya.Jika mereka mendapatkan jawaban dari Ciam Si cukup bagus, maka tenanglah hati mereka. Banyak orang yang sudah mendapatkan lembaran copi terjemahan Ciam Si mengalami kesulitan memahami isi atau kata-kata yang tertulis dalam lembaran tersebut, hal ini bukan karena lembaran itu ditulis dalam bahasa Cina atau bahasa Indonesia (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) tapi karena kata-kata atau kalimatnya masih bersifat umum dan untuk mengetahui maksudnya harus dijelaskan oleh juru kunci kelenteng. Juru kunci kelentenglah yang difungsikan oleh seorang pemuja atau yang mempunyai keinginan tertentu untuk menterjemahkan maksudnya. Untuk menjelaskan maksud Ciam Si tersebut, paling tidak juru kunci kelenteng membutuhkan waktu lebih kurang lima belas menit atau setengah jam untuk menjelaskannya pada orang yang membutuhkan pennjelasan dan mengetahui maksud dari ramalan tersebut. Penjelasan kertas Chiam Si tidaklah dilakukan dalam bentuk formal, tapi dapat dilakukan sambil berdiri dan sambil berjalan serta bisa didengar oleh siapa saja yang ingin ikut mendengarkannya. Bisa juga orang lain yang tidak mempunyai hubungan dengan orang yang datang untuk maksud tertentu pada dewa

Pratik Islam Nusantara 91

Sam Poo Kong bertanya pada juru kunci kelenteng. Juru kunci kelenteng mempunyai sifat terbuka kepada siapa saja yang membutuhkan penjelasan kepadanya dan sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki dan juga tingkat pendidikannya. Setelah selesai mendapatkan penjelasan dari juru kunci kelenteng, seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai keinginan tertentu pada dewa Sam Poo Kong membawa pulang kertas Chiam Si tersebut dan disimpan di dompet bagi laki-laki dan di tempat- tempat tertentu bagi wanita atau bagi laki-laki dapat dilain tempat selain di dompet. Tapi umumnya laki- laki menyimpannya di dompet untuk sebagai “jimat” atau benda yang dapat menolak atau melindungi seseorang dari segala bahaya yanga akan menimpa mereka. Bisa saja kertas Chiam Si tersebut di simpan ditempat yang khusus di rumah untuk sebagai penjaga bagi keselamatan keluarga. Demikianlah beberapa penafsiran orang tentang kertas Chiam Si. “Menurut seorang pemuja bahwa kertas itu dapat disimpan di dalam dompet untuk dijadikan jimat dan dapat dibawa ke mana-mana, terutama dapat dibawa bekerja atau berdagang, supaya dagangannya cepat laku dan mendapatkan keuntungan yang banyak. Alhamdulilla, kata seorang ibu (seorang pedagang) bernama Aminah, dagangan kainnya laku banyak setelah memohon kepada dewa dagang Sam Poo Kong dan di mana saja dia berdagang, kertas Chiam Si selalu dia bawa. Oleh karena itu dia tidak lupa minimal seminggu sekali atau sebulan sekali setiap malam jumat kliwon datang ke kelenteng Sam Poo Kong untuk memohon sesuatu yang dia inginkan (Tanggok

92 Dalam Kelenteng-Kelenteng

2006)” atau hanya sekedar ucapan terima kasih kepada dewa Sam Poo Kong. Berdasarkan pengalaman dari beberapa pengunjung kelenteng yang beragama Islam, memohon sesuatu pada dewa Sam Poo Kong haruslah dilakukan dengan cara berulang-ulang dan agar keinginannya terkabulkan. Ada di antara pengunjung yang sekali bermohon langsung dikabulkan, ada yang berulang kali baru dikabulkan. Memohon sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong tidak semestinya datang ke kelenteng, namun bias melalui jarak jauh, jika kita tidak sempat untuk ke sana. Menurut seorang ibu, jika kita tidak sempat datang ke kelenteng Sam Poo Kong di Semarang, setiap malam Jumat Kliwon atau setiap bulan, karena alasan sibuk, atau karena alasan jauh, seseorang dapat melakukan pemujaan dan memohon sesuatu pada dewa Sam Poo Kong dari jarak jauh, misalnya dari rumah, yaitu dengan membuat altar sembahyang di kamar pribadi dan meletakkan perlengkapan sembahyang di sana. Perlengkapan sembahyang dapat dibeli pada saat berkunjung ke kelenteng Sam Poo Kong. Sekali membeli perlengkapan sembahyang di sana cukup untuk digunakan sebanyak 7 kali semabahyang, terutama sembahyang pada malam Jumat Kliwon di rumah. Namun dia juga mengatakan bahwa jika ada kesempatan untuk datang ke kelenteng setiap bulan, itu lebih bagus, karena memohon sesuatu dilakukan ditempatnya dan bukan dari jarak jauh dianggap lebih baik. Memohon dari jarak jauh tidak semestinya dari rumah, dari tempat usaha juga diyakini dari beberapa pemuja boleh dilakukan, seperti dari tempat usaha.

Pratik Islam Nusantara 93

Pada saat saya berkunjung ke kelenteng Sam Poo Kong, saya sempat mewawancarai seorang ibu yang sudah setengah baya, propesinya sebagai pedagang dan memiliki tempat usaha sendiri. Dia mengungkapkan pengalamannya kepada saya bahwa dia pernah melakukan sembahyang kepada dewa Sam Poo Kong dengan tidak datang ke kelenteng Sam Poo Kong tapi cukup dilakukan di rumah saja. Sembahyang itu dia lakukan di dalam kamar pribadinya dan tidak semua orang dapat mengetahuinya. Di dalam kamar dia menyediakan sebuah meja kecil yang difungsikan sebagai altar sembahyang. Di atas altar itu dilengkap dengan hiolo (tempat menancapkan hio), lilin merah 2 batang, sesajian beberapa piring makanan, beberapa gelas minuman, untuk dipersembahkan pada dewa Sam Poo Kong. Pada saat malam Jumat Kliwon tiba, dia memohon kepada dewa Sam Poo Kong agar agar dapat hadir ke rumahnya untuk mendengarkan permohonannya. Setelah dia yakin benar dewa Sam Poo Kong hadir di rumahnya, dia langsung memohon sesuatu agar keinginannya terkabulkan. Cara sembahyang dan memohon sesuatu dapat dilakukan seperti cara sembahyang dan memohon yang dilakukan di kelenteng.Praktik ritual yang dilakukan di rumah atau di tempat usaha adalah duplikat dari cara sembahyang yang dilakukan di kelenteng. Dia melakukan sembahyang pada dewa Sam Poo Kong di rumah, karena dia berkeyakinan bahwa dewa Sam Poo Kong baru akan mengabulakan permohonannya setelah 7 kali melakukan sembahyang atau pemujaan kepadanya. Alasan lain adalah bahwa untuk pergi ke kelenteng Sam Poo Kong di semarang

94 Dalam Kelenteng-Kelenteng

cukup jauh dari rumahnya dan harus menyediakan biaya yang cukup besar untuk tranfortasi dan akomodasi. Oleh sebab itu, cukup dia lakukan di rumahnya saja meskipun tanpa mengunjungi kelenteng Sam Poo Kong. Menurut ibu tersebut, pemujaan pada dewa Sam Poo Kong yang dilakukan di rumah, kalau bisa jangan sampai diketahui oleh tetangga dan masyarakat sekitarnya, nanti dapat dianggap memelihara tuyul dan tetangga akan menaruh curiga padanya. Perasaan curiga, malu terhadap tetangga juga ada pada ibu ini, sehingga dia pandai menyembunyikan apa yang dia lakukan. Meskipun tetangga tidak mengetahui apa yang dipraktikan ibu ini di rumah, namun anggota keluarga pasti dengan mudah dapat mengetahuinya. Dalam kasus ini, anggota keluarga juga harus menjaga kerahasiaannya, agar informasinya tidak menyebar ke mana-mana. Seorang ibu datang dari Ambarawa, dia datang ke tempat ini untuk meminta pada dewa Sam Poo Kong agar kasus yang menimpa dirinya dapat diselesaikan. Dia memiliki utang yang banyak pada pada orang lain, akibat rugi dalam berdagang. Orang yang mengutangkan selalu datang menagih hutangnya dan kadangkala dia menggunakan jasa preman untuk menakut-nakutinya.Dia minta pada dewa Sam Poo Kong agar orang yang mengutangkan dapat dilunakan hatinya dan tidak selalu datang menagih hutangnya. Jika berhasil, dia akan datang lagi ke kelenteng untuk menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada dewa Sam Poo Kong. Di samping meminta pertolongan pada Cheng ho, orang yang datang ke sini juga biasanya berniat

Pratik Islam Nusantara 95

untuk menyumbangkan sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong kalau keinginannya diwujudkan atau usahanya berhasil. Salah satu bentuk sumbangan yang diberikan oleh para penyumbang yang usahanya telah berhasil setelah memohon kepada dewa Sam Poo Kong adalah “lilin merah” yang apabila dinyalakan bisa mencapai 10 bulan tidak dimatikan. Lilin adalah simbol dari penerangan dan roh orang yang mati masih tetap hidup mengawasi manusia (Tanggok 2006). Lilin merah bukanlah sekedar alat penerangan, namun dibaliknya penuh dengan makna.Setiap orang dan sukubangsa, mempunyai penafsiran tersendiri terhadap lilin, sehingga lilin penuh dengan makna simbolik. Seorang tukang kebersihan kelenteng menceritakan bahwa pada tahun 2002 ada seorang ibu dari Jakarta yang pekerjaannya sebagai pedagang atau pengusaha, namanya Hajah Jubaidah (seorang muslimah). Setelah memohon sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong, usahanya berhasil, maka dia menyumbangkan beberapa pasang lilin (kira-kira tiga pasang atau enam batang) yang harga satu pasangnya (dua batang) sekitar 3,5 juta rupiah. Diperkirakan garis tengah lilin ini berukuran 30 cm dan panjangnya 200 cm, serta dilapisi plastik terang. Tukang sapu kelenteng ini mengungkapkan kegembiraannya karena pada saat menurunkan lilin-lin tersebut dari mobil dan disimpan di teras bagian depan kelenteng, dia di bayar 100 ribu rupian. “Maklumlah gaji tukang sapu seperti saya ini kecil, demikian ungkapnya dan ketika mendapat uang Rp. 100.000,- alangkah bahagia rasanya.” Demikian ungkap tukang sapu dengan rasa gembira telah mendapatkan upah dari

96 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Hajah Jubaidah (Tanggok 2006). Hajah Jubaidah adalah salah satu dari seorang pedagang muslim yang selalu mengunjungi kelenteng ini untuk memohon sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong. Sedangkan contoh muslim yang lain banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu-persatu namanya.

Dua orang pemuja di kelenteng Sam Poo Kong (Sumber: Google)

3.3. Pemujaan Juru Mudi Dampo Awang 3.3.1 Gambaran Umum Ruangan Pemujaan Dampo Awang Ruang pemujaan Dampo Awang adalah sebuah ruangan yang sengaja di buat dan digunakan untuk memuja Juru Mudi Dampo Awang. Sebagaimana ruangan-ruangan pemujaan untuk dewa-dewa yang lain, ruangan pemujaan Juru Mudi Dampo Awang juga mempunyai altar sembahyang dan di atasnya diletakkan semua perlengkapan sembahyang.

Pratik Islam Nusantara 97

Ruangan ini terletak di samping sebelah kanan tempat pemujaan Cheng Ho, ada tempat pemujaan Kyai Juru Mudi Dampo Awang, yang juga banyak dikunjungi orang, terutama orang-orang Islam pada malam Jumat Kliwon, terdapat sebuah ruangan khusus untuk melakukan pemujaan pada Juru Mudi Dampo Awang. Jika kita menghadap kearah kelenteng, maka ruangan tempat pemujaan Juru Mudi Dampo Awang ini berada di sebelah kanannya ruangan utama (tempat pemujaan Sam Poo Kong) atau berada di sebelah kiri dari kelenteng tempat pemujaan dewa bumi. Ruangan pemujaan Juru Mudi Dampo Awang ini termasuk kedua dari kelenteng dewa bumi. Ruangan ini sudah direnopasi dan kelihatannya sudah lebih baik dari ruangan sebelumnya.Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 2002 kelenteng Sam Poo Kong ini sempat di renopasi sehingga bangunan lama berubah menjadi baru dan kelihatannya lebih moderen. Ruangan tempat pemujaan Kyai Juru Mudi Dampo Awang ini berukuran kira-kira 6 x 6 metter. Sejak tahun 2002 yang lalu, tempat ini sudah diperbaharui sejalan dengan pembangunan kembali ruangan utama (tempat pemujaan Cheng Ho). Kelenteng ini terbuka karena tidak ada pintu maupun jendela, hanya ada tembok pembatas yang tingginya sekitar 1 metter dan tidak ubahnya seperti pagar rumah yang terbuat dari batu bata. Di dalam ruangan ini ada sebuah meja besar (altar) yang ukurannya kira-kira 2 x 2 metter. Meja ini digunakan untuk meletakkan perlengkapan sembahyang atau pemujaan, seperti hiolo (tempat hio) yang kelihatannya terbuat dari tembaga berwarna kuning, lilin, dan lain-lain. Meja ini dapat juga disebut sebagai altar tempat sembahyang atau

98 Dalam Kelenteng-Kelenteng

pemujaan. Di dalam hiolo ada beberapa batang hio yang sedang terbakar, yang menunjukkan bahwa ada orang yang telah melakukan sembahyang sehingga hio nya masih terlihat menyala. Dalam hiolo tersebut dipenuhi dengan abu bekas pembakaran hio. Oleh karena itu, diperlukan petugas kelenteng yang selalu memperhatikan hiolo tersebut, yaitu jika dia penuh dengan batangan hio yang sudah terbakar dan dipenuhi oleh abu hio, maka petugas dengan segera membersihkannya atau mengambil abu tersebut untuk dikurangi sehingga memudahkan para pemuja untuk menancapkan hio. Demikian juga jika batangan hio yang sudah terbakar sudah memenuhi tempat tersebut, maka petugas dengan segera mengambilnya untuk dibawa ke tempat sampah atau ke tempat khusus menampung batangan hio dengan abunya (Tanggok 2006). Kadangkala abu hio ini dibuang ke laut agar tidak dibuang sembarang tempat, karena abu ini dianggap abu suci bekas orang-orang melakukan sembahyang. Di belakang meja atau altar tersebut terdapat sebuah kuburan atau makam tua yang dikeramatkan oleh banyak orang, baik orang-orang yang mengaku sebagai muslim, maupun orang-orang Tionghoa non muslim. Makam ini diyakini sebagian orang sebagai makam Juru Mudi Dampo Awang yang mati dan dikuburkan di situ. Juru Mudi Dampo Awang adalah juru mudi kapalnya Cheng Ho ketika berkunjung berbagai negara pada abad ke-15. Ruangan tempat makam Juru Mudi Dampo Awang ini tidaklah terlalu luas, hanya kira-kira 2 x 6 metter. Ruangan inilah yang menjadi tempat makam tua tersebut berada dan

Pratik Islam Nusantara 99

dikeramatkan banyak orang. Makam tersebut cukup sederhana, tidak seperti makam-makam kebanyakan di masa modern ini (Tanggok 2006). Namun sekarang tempat keberadaan makam tersebut sudah diperbaiki sehingga kelihatannya lebih moderen. Ruangan ini dijaga oleh dua orang juru kunci dengan cara bergiliran sebanyak 2 orang. Orang pertama bekerja dari pukul 08;00 sampai dengan pukul 16:00, dan orang kedua bekerja dari pukul 16:00 sampai dengan pukul 22:00. Dia bertugas sebagai perentara antara pemohon (orang yang datang untuk memohon sesuatu kepada Dampo Awang) dengan roh Dampo Awang yang diyakini keberadaannya di makam tersebut. Juru kunci ini seorang laki-laki yang usianya sekitar 50 tahun, memakai baju lengan panjang berwarna hitam, peci hitam dan kain sarung, kadangkala juga dia menggunakan celana hitam. Di dalam ruangan ini tidak ada kursi dan para tamu yang datang cukup dengan duduk bersila atau bersimpuh di atas tikar di depan makam. Ada sebuah bangku yang hanya bisa menampung 3 orang. Jika tidak ada pengunjung, juru kunci selalu duduk di bangku ini. Orang-orang yang akan memohon sesuatu tidak dibolehkan masuk dengan menggunakan sandal atau sepatu, tapi dilepas terlebih dahulu baru masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangan ini hanya dapat diisi sekitar lima orang, lebih dari itu mereka akan mengalami kesulitan untuk duduk bersila karena ukuran ruangan terlalu kecil dekat makam. Orang yang tidak mempunyai keinginan untuk memohon sesuatu pada Dampo Awang dan hanya sekedar ingin melihat- lihat makam atau ingin melihat bagaimana cara juru

100 Dalam Kelenteng-Kelenteng

kunci memimpin upacara pada saat ada orang yang akan memohon sesuatu pada Dampo Awang, juga tidak dilarang untuk masuk asalkan minta izin kepada penjaga makam atau ikut serta dalam rombongan orang yang akan memohon sesuatu. Para pengunjung juga tidak dibolehkan untuk bicara keras di depan makam, karena makam itu dianggap suci dan kramat dan juga dapat mengganggu kekhusukan orang lain untuk berdoa di makam. Pada malam hari, makam ini tidak disinari lampu yang cukup terang, hanya diterangi bola lampu sekitar 15 wat, sehingga terlihat dari jauh dalam keadaan remang-remang. Apakan lagi sekarang ada peraturan Yayasan Sam Poo Kong bahwa kelenteng hanya buka dari pukul 8 pagi hingga pukul 9 malam, tidak sama seperti 10 tahun lalu di mana kelenteng buka selama 24 jam. Sehingga pada malam hari ruangan makam tersebut tampak hanya sekedar remang-remang yang agak menyeramkan bagi orang yang belum terbiasa masuk ke ruangan ini. Tapi bagi juru kunci yang sudah tiap hari bertugas di sini, ruanan ini sudah seperti rumah mereka sendiri dan tidak ada perasaan menakutkan atau menyeramkan. Bahkan mereka dapat tidur dengan nyenyak di sini di sini sampai keesokkan harinya. Meskipun makam ini berada di dalam lokasi kelenteng Sam Poo Kong, namun suasananya tidak menakutkan, mungkin karena banyak para pengunjung yang datang ke sini sehingga lokasi makam berubah menjadi lokasi rekreasi dan membuat nyaman bagi setiap pengunjung untuk melepaskan lelahnya di lokasi ini.

Pratik Islam Nusantara 101

Mengenai kisah makam Islam yang terdapat di samping Goa Sam Poo Kong di Semarang, diceritakan dalam karyanya Tju Kie Hak Siep (1954) Dalam karyanya itu Tju Kie Hak Siep menceritakan tentang temannya Cheng Ho yang oleh masyarakat Semarang dikenal sebagai Kyai Guru dan juga dikenal sebagai Juru Mudi Cheng Ho yang bernama Wang Jing Hong. Di Indonesia terkenal pula dengan dialek Fujiannya dengan sebutan Ong King Hong atau Ong Hing Tek. Berdasarkan sejarah, pada saat kapal-kapal Cheng Ho memasuki perairan pulau Jawa, dia jatuh sakit, maka Cheng Ho memutuskan untuk mampir di suatu tempat, yang sekarang dikenal dengan Semarang. Tempat pendaratan Cheng Ho yang juga diikuti oleh 4 orang pembantunya itu dikenal dengan daerah Mangkang. Karena kapal-kapal yang besar tidak bisa merapat, maka terpaksa Cheng Ho bersama 4 orang anak buahnya menggunakan perahu-perahu wangkang (perahu kecil) untuk membawa Wang Jing Hong merapat ke darat. Mereka terus berlayar menyusuru sungai, sehingga mereka menemukan daerah yang dikenal dengan Gedung Batu. Di daerah itu mereka menemukan sebuah gua batu besar. Letak gua batu itu kira-kira jaraknya 50 m dari gua batu yang ada di komplek kelenteng Gedung Batu atau kelenteng Sam Poo Kong sekarang ini. Untuk kepentingan peristirahatan, terutama peristirahatan untuk Wang Jing Hong yang dalam keadaan sakit, Cheng Ho memerintahkan kepada 4 orang anak buahnya membuka hutan untuk membangun sebuah tempat peristirahatan. Setelah selesai membangun tempat peristirahatan, lalu Wang Jing

102 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Hong ditempatkan di situ. Setelah 10 hari beristirahat di situ, penyakit Wang Jing Hong belum juga sembuh. Karena alasan waktu, maka Cheng Ho dan juru mudinya yang lain memutuskan untuk meneruskan perjalanan atau perjalanan ke daerah lain. Sementara Cheng Ho dan anak buahnya yang lain meneruskan perjalanan ke berbagai daerah, maka Wang Jing Hong untuk sementara ditinggalkan ditempat peristirahatan agar kesehatannya pulih kembali. Untuk mengurus Wang Jing Hong yang dalam keadaan sakit tersebut, Cheng Ho memerintahkan 10 orang anak buah kapalnya yang beragama Islam untuk merawat dan mengurus keperluannya sampai dia benar-benar sembuh dari sakitnya dan dapat lagi bersama-sama dengan Cheng Ho meneruskan perjalanan laut untuk mengunjungi daerah-daerah yang telah dan belum pernah dikunjungi. Untuk keperluan transportasi dan kebutuhan hidup sehari-hari, Cheng Ho juga meninggalkan sebuah perahu wangkang beserta dengan perbekalannya (Tju Kie Hak Siep 1954) untuk persediaan anak buahnya tinggal di darat. Setelah sembuh dari sakitnya, Hong bersama 10 orang pembantunya tidak segera meninggalkan Gua Batu untuk menyusul Cheng Ho dan teman-temannya yang lain, tapi mereka membina kehidupan baru di daerah itu dan sambil menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang mereka anut. Setelah 5 tahun menetap di daerah Gedung Batu, Hong beserta pembantunya memutuskan untuk berlayar dengan menggunakan perahu wangkang. Dalam perjalanan itu mereka menuju ke Timur sampai ke daerah Banyuwangi dan meneruskan perjalanannya lagi

Pratik Islam Nusantara 103

sehingga sampai ke pelabuhan Jakarta. Karena dia dianggap orang yang pandai atau menguasai ajaran agama Islam, maka banyak orang yang menuntut ilmu kepadanya, oleh murid-muridnya dia dipanggil Kyai Guru, karena dia adalah mengajar tentang Islam untuk kepentingan banyak orang (Tju Kie Hak Siep 1954). Setelah Kyai guru ini meninggal dunia, banyaklah orang datang kekuburannya untuk mendoakannya dan juga memohon sesuatu kepadanya. Meskipun sudah lama berpisah dengan Cheng Ho, namun Hong masih tetap mengingat jasa baik pemimpinnya itu. Untuk mengenang jasa-jasanya, terpaksa Hong meluangkan sedikit waktunya untuk membuat patung Cheng Ho dan 4 orang yang sangat dipecayai oleh Cheng Ho. Untuk membuat patung- patung tersebut, Hong memanfaatkan batu gunung yang ada disekitar tempat tinggalnya. Setelah selesai membuat patung-patung tersebut, Hong meletakkan patung-patung tersebut ke dalam gua batu bekas Cheng Ho dan teman-temannya, termasuk dia beristirahat dahulu. Diberitakan bahwa hampir setiap hari Hong dan murid-muridnya mengunjungi gua batu itu hanya sekedar untuk menghormati patung Cheng Ho dan para orang-orang kepercayaannya. Setelah 40 tahun Hong dan para pengikutnya menempati lokasi gua batu tersebu, Hong dipanggil Tuhan dalam usia 87 tahun. Dia dimakamkan sesuai dengan agama yang dia anut, yaitu Islam dan dia dimakamkan disebelah Utara Gedung Batu. Sejak itulah, makamnya disebut sebagai makam Juru Mudi Dampu Awang dan sampai saat ini makam tersebut dianggap sebagai makam keramat atau suci, sehingga banyak orang tertarik untu datang ke

104 Dalam Kelenteng-Kelenteng

tempat ini untuk memohon sesuatu kepadanya. Banyak orang yang datang ke sini, namun mereka tidak tahu dengan sejarahnya. Mereka hanya tahu bahwa makam itu dianggap sakral oleh banyak orang dan tempat orang-orang memohon sesuatu kepadanya. Ada juga pendapat yang meragukan kebenaran makam yang terdapat di kompleks kelenteng Sam Poo Kong itu adalah makam Wang Jing Hong, karena menurut mereka Wang Jing Hong pernah ditugaskan oleh kaisar Chu chi untuk memimpin ekpedesi ke Sumatera, dan pada saat itu dia mengalami nasib yang tidak baik, yaitu meninggal dilautan yang jauh dari laut Jawa. Oleh karena itu tidak mungkin dia dimakamkan di situ, karena meninggalnya ditengah lautan (Kong Yuan Zhi 2000). Walaupun ada pendapat yang meragukan tentang keberadaan makam Wang Jing Hong tersebut, namun banyak juga pendapat yang membenarkan keberadaan makam tersebut. Bagi masyarakat yang datang untuk memohon sesuatu pada makam tersebut, tidak perduli apakah makam yang ada di komplek kelenteng Sam Poo Kong tersebut adalah makam Dampo Awang yang sebenarnya atau bukan, yang jelas mereka datang ke sini untuk memohon sesuatu dan berharap agar permohonannya dapat dikabulkan oleh Wang Jing Hong. 3.3.2. Memuja Juru Mudi Dampo Awang Di samping bagunan utama kelenteng Sam Poo Kong, ada satu bagunan yang isinya adalah makam Wang Jing Hong. Dia adalah juru mudi Cheng Ho dan juga seorang muslim sebagaimana disebutkan sebelumnya. Nama lain dari Wang Jing Hong ini Dampo Awang. Dampo Awang di sebut sebut sebagai seorang Kasim sehingga ia tidak menikah sepanjang

Pratik Islam Nusantara 105

hidupnya. Makam Kiyai Jurumudi Dampo Awang ini terletak dalam ruangan tersendiri sehingga tidak menyatu dengan ruangan besar sebelahnya yang digunakan untuk pemujaan umum dan disediakan altar untuk tempat meletakan makanan dan alat-alat sembahyang. Menurut juru kuncinya, ruangan makam ini dibuat terpisah sendiri untuk memberikan kemudahan bagi orang untuk berziarah ke makam, terutama bagi umat Islam yang akan melakukan ziarah. Bangunan tempat pemujaan Dampo Awang ini terbagi dalam dua ruangan, ruangan dalam dan ruangan luar. Ruangan dalam untuk tempat makam dan ruangan luar untuk tempat pemujaan umum yang disediakan altar tempat sembahyang, seperti ruangan-ruangan kelenteng lainnya. Pemujaan terhadap Dampo Awang sama dengan pemujaan terhdap dewa-dewa lainnya. Ada dua cara yang dilakukan orang untuk memuja Dampo Awang. (1) orang dapat melakukan pemohonan atau minta sesuatu dengan menyalakan beberapa batang hio di depan altar sembahyang yang disediakan oleh pengurus kelenteng. Umumnya mereka yang melakukan pemujaan dengan menggunakan hio ini adalah orang-orang peranakan Cina yang non-Islam. Melalui pemujaan ini orang dapat meminta sesuatu kepada Dampo Awang (2) Orang dapat memohon sesuatu tanpa melalui pemujaan terlebih dahulu kepada Kyai Juru Mudi Dampo Awang di depan altar sembahyang sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Cina yang non-Islam, tapi dapat langsung menuju ruangan tempat pemakaman Dampo Awang yang ada di belakang altar sembahyang dengan melalui pintu masuk di samping kanan ruangan atau altar. Cara permohonan ini dapat dilakukan dengan menggunakan

106 Dalam Kelenteng-Kelenteng

bunga atau kembang yang dicampur dengan kemenyan. Umumnya yang memohon dengan menggunakan bunga dan menyan ini adalah mereka yang beragama Islam (Tanggok 2006), sedangkan dengan hio biasanya dilakukan oleh orang Tionghoa. Apabila pemujaan akan dilakukan dengan hio, para pemuja dapat membeli hio ditempat penjualan perlengkapan sembahyang yang disebut Hio Swa yang ada di komplek kelenteng Sam Poo Kong, tepatnya di depan pintu masuk kelenteng Sam Poo Kong. Tempat ini tidak hanya menjual perlengkapan sembahyang, tapi juga menyediakan penyewaan pakaian adat Tionghoa. Jika para pengunjung yang akan bergambar di kelenteng Sam Poo Kong dengan menggunakan pakaian adat Tionghoa, dia dapat menyewa di tempat ini. Sewa pakaian adat tersebut sekitar delapan puluh ribu rupiah. Tempat ini juga menjual makanan ringan, seperti minuman, dan kue-kue lainnya yang dapat dinikmati oleh para pengunjung sambil menikmati pemandangan di kelenteng Sam Poo Kong. Orang-orang yang akan melakukan pemujaan terhadap Kyai Juru Mudi Dampo Awang dengan menggunakan hio, dapat dia lakukan dengan terlebih dahulu membeli hio ditempat penjualan hio, kemudian hio tersebut dibawa ke altar tempat pemujaan Dampo Awang, di sana hio tersebut dinyalakan, setelah itu pemuja harus melakukan sembahyang terlebih dahulu kepada Tuhan dengan menghadap ke luar ruangan atau ke langit (maksudnya adalah sembahyang kepada Thian atau Tuhan), dan setelah itu baru melakukan pemujaan terhadap Dampo Awang. Akhir dari pemujaan ditandai dengan menancapkan batangan hio

Pratik Islam Nusantara 107

di hiolo (tempat menancapkan hio) yang terletak di meja atau altar tempat pemujaan Dampo Awang (Tanggok 2006). Jika sembahyang menggunakan jasa juru kunci kelenteng, maka hio ditancapkan sendiri oleh juru kunci. Biasanya umat Islam tidak melakukan sembahyang sendiri, namun mereka menggunakan jasa juru kunci. Bagi umat Islam, sembahyang atau memuja seperti yang dilakukan oleh orang Tionghoa, tidaklah terbiasa baginya. Oleh karena itu lebih baik diserahkan sepenuhnya oleh juri kunci yang membimbingnya. Bagi masyarakat non Jawa, semua hari Jumat adalah sama dan tidak mempunyai makna apa-apa. Bagi masyarakat Jawa, hari Jumat mempunyai makna tersendiri dan disakralkan. Dalam masyarakat Jawa juga mengenal istilah Jumat kliwon. Jumat kliwon merupakan hari yang penting bagi para pengunjung kelenteng Sam Poo Kong, karena pada malam Jumat inilah para pengunjung banyak yang datang ke kelenteng untuk memohon sesuatu. Mereka berkeyakinan jika memohon sesuatu pada malam Jumat kliwom, maka doanya mudah terkabulakan. Pada malam Jumat kliwon, merekapun berbondong-bondong datang ke kelenteng ini karena ingin agar doanya cepat terkabulkan. Permintaan mereka juga bermacam- macam sesuai dengan keinginannya masing-masing. Umumnya mereka yang datang pada malam Jumat kliwon adalah umat Islam. Mereka datang dari berbagai daerah di pulau Jawa dan untuk memohon sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong. Orang muslim datang ke sini, dengan tujuan untuk memohon sesuatu kepada Dampo Awang, mereka harus membeli bunga atau kembang dan

108 Dalam Kelenteng-Kelenteng

menyan terlebih dahulu, kemudian bunga dan menyan yang telah dibeli dibawa ke kuburan Dampo Awang dan diserahkan kepada Juru kunci. Tujuannya agar juru kunci dapat membantu menjadi perentara antara pemohon dengan Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Caranya adalah para pemohon dan juru kuci duduk dekat kuburan Juru Mudi, kemudian pemohon menyerahkan bungkusan yang berisi kembang kepada juru kunci dan juru kunci menanyakan keinginan tamunya. Setelah mengetahui keinginan tamunya, juru kunci membakar menyan dan kembang yang tempat pembakarannya sudah disediakan di depan kuburan tersebut. Setelah menyan yang dibakar itu mengeluarkan asap, juru kunci membaca doa-doa yang sering digunakan oleh orang Islam dan dicampur dengan bahasa Jawa yang bersumber dari kejawen. Kira-kira 5 menit berdoa dan menyampaikan keinginan pemohon kepada Kyai Juru Mudi, maka upacara memohon sesuatu kepada Kyai Juru Mudi Dampo Awang dianggap selesai. Kemudian, juru kunci mengambil sisa bunga yang belum dibakar dan dicampur dengan menyan yang telah dibakar, lalu dibungkus dengan kertas putih sebanyak 3 bungkus dan diserahkan pada pemohon untuk dibawa pulang (Tanggok 2006). Selesai menyampaikan keinginannya, pemohon bias saja langsung pulang, dan bias juga berbincang-bincang terlebih dahulu kepada juru kunci. Sebagai ucapan terima kasih kepada juru kunci atas jasa yang diberikannya, maka pemohon dapat memberi sedikit uang kepada juru kunci. Jumlah uang yang diberikan oleh pemohon kepada juru kunci tidaklah ditentukan besarannya oleh juru kunci, tapi

Pratik Islam Nusantara 109

berdasarkan keikhlasan dari pemohon. Berapapun uang yang kita berikan pada juru kunci pasti akan diterimanya dengan sangat senang hati. Sebagaimana tradisi dalam kehidupan sehari-hari, kita minta tolong pada seseorang dan kita harus bertanggung jawab membayar upahnya. Ungkapan ini juga berlaku bagi juru kunci dan para pemuja, cuma saja tidak diungkapkan. Juru kunci selalu menerima pemberian orang apa adanya tanpa ada tawar menawar terlebih dahulu. Juru kunci kuburan Juru Mudi Dampo Awang ini dikenal sebagai orang yang yang bergama Islam. Dalam melaksanakan tugas, dia menggunakan peci hitam, baju hitam dan celana hitam. Kadangkala juga mereka mengenakan kain sarung hitam, dan usianya diperkirakan di atas 50 tahunan. Juru kunci yang bertugas melayani pemohon terdiri dari 2 orang, dan mereka bertugas secara bergiliran. Pelayanan yang mereka berikan dari pukul 08:00 sampai 21:00. Juru kunci pertama bertugas dari pukul 08:00 sampai dengan pukul 16:00 dan juru kunci kedua bertugas dari pukul 16:00 sampai dengan pukul 21:00. Dari pukul 21:00 sampai pukul 07:00 kleneng ditutup untuk para pemohon atau pemuja yang akan melakukan ritual. Juru kunci tidak mendapatkan gaji dari yayasan kelenteng, dan hanya mendapatkan upah dari orang- orang yang menggunakan jasanya. Meskipun hanya mengandalkan upah dari pemohon, namun mereka tampak senang menjalani profesi sebagai juru kunci. Menurut juru kunci yang bukan beragama Islam, bahwa doa-doa yang dibaca oleh Juru kunci yang beragama Islam pada saat berdoa didepan kuburan

110 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Kyai Juru Mudi Dampo Awang bukanlah doa-doa Islam, tapi doa-doa kejawen. Dan menurut dia, mereka (Juru Kunci) bukanlah beragama Islam, tapi mereka adalah seorang penganut kejawen. Tapi pada saat saya menanyakan pada juru kunci bahwa agama nya apa, mereka menjawab bahwa agama mereka adalah Islam. Mereka membedakan antara pengertian shalat dengan sembahyang. Menurut mereka, shalat dilakukan di rumah atau di mesjid, sedangkan sembahyang dapat dilakukan di tempat pemujaan Juru Mudi Dampo Awang. Menurut informasi dari seorang ibu yang berkunjung di situ, bahwa menyan atau kemenyan yang disebutkan di atas dapat digunakan untuk jimat, caranya dimasukkan dalam dompet atau di simpan di rumah untuk sebagai pelindung anggota keluarga. Kembang dapat dicampur dengan air mandi, kemudian digunakan untuk mandi pada jam 12 malam. Fungsi kembang untuk kesehatan tubuh, menjaga tubuh dari segala penyakit, dan menolak segala bahaya yang dapat menganggu manusia. Fungsi-fungsi lain dari kembang adalah untuk menjaga tubuh dan wajah agar tetap cantik jika dilihat orang lain dan menjaga diri seseorang dari serangan mahluk halus atau gaib (Tanggok 2006). Setiap orang mempunyai keyakinan berbeda-beda terhadap menyan dan daun kembang yang digunakan untuk memohon pada Dampo Awang. Setiap orang juga mempunyai kebebasan untuk menafsirkan fungsi atau manfaat dari kembang dan menyan. Karena terbuka untuk ditafsirkan, maka menyan, kembang dan alat ritual lainnya dapat dianggap simbol dalam ritual.

Pratik Islam Nusantara 111

Kelenteng Utama Sam Poo Kong Semarang (Sumber: Google)

3.4. Pemujaan Dewa Bumi Dewa Bumi juga disebut Fu De Zheng Shen, umumnya disebut Tu Di Gong (Te Kong-Hokkian). Dewa Bumi merupakan salah satu dewa yang tertua usianya, dan dia juga disebut sebagai Hou Tu (E. Setiawan 1990: 109). Selain tempat pemujaan Sam Poo Kong atau Cheng Ho, Wang Jing Hong, terdapat juga di dalam komplek kelenteng Sam Poo Khong tempat pemujaan dewa tanah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Fu De Zheng Shen (Hok Tek Tjing Sin) atau dapat juga disebut dengan Tudi Gong (Tho Tee Kong) atau De Bai Gong atau Dewa Bumi. Orang-orang Jawa, khususnya orang Indonesia peranakan Tionghoa umumnya menyebutnya dengan dewa tanah. Di Tiongkok dewa ini dikenal dengan Tutikung atau di Malaisia dikenal dengan sebutan Tua Pekong, artinya orang yang dituakan (Tanggok 2006). Setiap kelenteng

112 Dalam Kelenteng-Kelenteng

di Indonesia selalu menyediakan satu ruangan dan altar di dalamnya untuk para pengunjung yang akan memuja dan memohon sesuatu pada Dewa Bumi. Sebagian besar orang Tionghoa meyakini bahwa dewa bumi dianggap sebagai dewa pemelihara lingkungan yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan masyarakat Hakka di Singkawang, setiap jengkal tanah di dunia ini ada yang memiliki atau menguasainya, jadi kalau kita akan mengunakan tanah tersebut untuk keperluan pembangunan atau rumah dan tempat pemakaman, maka kita harus meminta izin kepada yang menguasai tanah tersebut. Karena yang menguasai tanah tersebut adalah mahluk halus, maka kita harus meminta izin kepadanya agar kita menjadi selamat dalam hidup ini (Tanggok 2005). Tidak hanya sukubangsa Tionghoa, sukubangsa lain di Indonesia juga memiliki kepercayaan semacam ini, misalnya sukubangsa Dayak di Kalimantan. Orang Tionghoa juga menggambarkan dewa bumi ini sebagai seorang tua yang berjenggot putih, di tangan kanannya memegang uang emas dan ditangan kirinya memegang tongkat. Uang emas menyimbolkan sebagai murah rejeki, sedangkan tongkat menyimbolkan bahwa dia adalah orang yang sudah tua. Dalam kebudayaan Tionghoa, orang yang sudah tua harus dihormati, sama dengan kita menghormati orang tua kita sendiri. Tidak sedikit orang yang memuja Dewa Bumi, bukan karena tuanya, tapi lebih pada ingin mendapatkan rejeki yang banyak, usaha lancar dan sebagainya. Dewa Bumi dianggap wakil dari Thian (Tuhan) yang ada di bumi untuk mengawasi kehidupan

Pratik Islam Nusantara 113

manusia di bumi dan tempat manusia memohon sesuatu padanya. Dalam beberapa kelenteng di Indonesia, termasuk kelenteng Tai Kak Shi di Semarang, patung dewa tanah, selalu didampingi oleh seekor harimau. Berdasarkan kepercayaan orang Tionghoa, harimau putih adalah binatang peliharaan dewa bumi dan dia dianggap sebagai pengawal pribadinya. Di manapun dia (patungnya) ditempatkan pasti disandingkan dengan patung harimau putih. Haksu Masyari (rohaniawan agama Khonghucu) yang pernah menjelaskan: Ada seorang ibu yang mempunyai anak laki-laki yang berusia sekitar 6 tahun. Pada satu hari anak tersebut hilang. Hampir satu minggu dia mencari anaknya tapi tidak juga ketemu. Atas kehilangan anaknya tersebut dia sangat sedih sekali, bahkan dia sempat tidak makan dan minum memikirkan anaknya. Dalam keadaan sedih tersebut, tiba-tiba datang seekor harimau putih yang mengatakan bahwa dialah yang memakan anaknya. Atas kesalahannya itu, dia rela dibutuh atau dihukum seberat-beratnya. Katulusan dan kejujuran harimau putih tersebut membuat seorang ibu yang kehilangan anaknya membatalkan niatnya untuk membalas dendam. Karena ketulusan dan kejujuran harimau itu pula yang membuat ibu tersebut kembali menghormati harimau tersebut dan menjadi bersahabat dengan dia (Tanggok 2006). Bagi orang Tionghoa, siapapun yang dapat berbuat baik kepada manusia wajib kita hormati, termasuk jenis binatang sekalipun. Kesimpulan dari cerita di atas adalah kejujuran. Kejujuran adalah kunci segala-galanya. Dalam rumah

114 Dalam Kelenteng-Kelenteng

tangga, dalam perusahaan, dalam masyarakat dan dalam memimpin suatu Negara, dituntut adanya kejujuran. Dalam kebudayaan orang Tionghoa, seorang pegawai yang jujur dapat dapat dipercaya oleh pimpinan ketimbang seorang anak kandung yang tidak jujur. Ini artinya bahwa kejujuran itu dapat mengalahkan ikatan kekeluargaan dan juga persahabatan. Bangunan atau ruang dalam kelenteng Sam Poo Kong ini tidak hanya dikunjungi oleh orang-orang Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia, tapi juga orang-orang non Tionghoa. Tempat pemujaan dewa tanah ini ditandai dengan disediakannya 1 buah altar yang khusus untuk orang-orang memuja dewa tanah. Di atas altar diletakkan alat-alat sembahyang dan hiolo (tempat abu pembakaran hio). Tempat ini tidak hanya digunakan oleh orang untuk memuja dewa tanah, tapi juga digunakan untuk meminta sesuatu dengan dewa, baik lewat perentraan juru kunci kelenteng maupun dilakukan sendiri-sendiri. Setelah melakukan pemujaan, seseorang atau sekelompok orang dapat juga mengunakan ciamsi untuk meramal keberuntungan di masa akan datang. Ciamsi adalah salah satu jenis alat yang digunakan oleh para pemuja untuk meramal masa depan mereka. Meskipun alat ini tidak selalu tepat dalam memberikan ramalan, namun para pengunjung kelenteng masih tetap meyakininya. Sebagaimana alat- alat ramalan lainnya, ada yang percaya seratus persen dan ada juga yang tidak percaya sama sekali. Bagi mereka yang percaya pada ramalan ini, mereka masih tetap menggunakannya.

Pratik Islam Nusantara 115

Tempat Pemujaan Dewa Bumi

3.5. Pemujaan Kyai Jangkar Jika kita berkunjung ke kelenteng Sam Poo Kong di Semarang, kita juga akan berjumpa dengan suatu tempat atau rumah yang digunakan oleh para pengunjung untuk meminta sesuatu kepadanya. Tempat atau rumah ini terletak di dalam lokasi kelenteng Sam Poo Kong. Isi dari rumah itu adalah jangkar kapal yang usianya tidak dapat diketahui secara pasti berapa usianya. Jangkar kapal ini berukuran besar dan panjangya sekitar 2 metter dan panjang daun jangkarnya sekitar 0,5 metter. Jangkar kapal ini di simpan bagian kiri pojok bagian belakang bangunan. Luas bangunan yang digunakan untuk menempatkan jangkar kapal ini kira-kira berukuran 5 x 5 metter. Bangunan yang digunakan untuk menempatkan jangkar kapal ini hanya berbentuk rumah biasa, sederhana, tidak ada pintu, dan tidak ada jendela. Bagian depannya terbuka seperti bagian depan ruku,

116 Dalam Kelenteng-Kelenteng

sehingga para pengunjung dapat dengan bebas melihat isi bangunan dari luar bangunan. Untuk melihat jangkar yang ada di dalam bangunan, kita haru masuk ke dalam bangunan tersebut, sehingga dengan leluasa kita dapat melihat jangkar kapal secara dekat. Karena tidak ada jendela, maka kondisi di dalam bangunan itu agak sedikit gelap. Pada malam hari, lampu yang dipasang dalam bangunan ini juga tidak begitu terang, sehingga kondisi dalam ruangan ini tidak begitu terang. Kyai jangkar yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah seorang manusia dan bukan pula seorang yang memiliki pengetahuan keagmaan yang luas, tapi dia adalah jangkar kapal yang sebenarnya dan yang dimitologikan sebagai orang yang memiliki kekuatan tersendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Budiman yang dimaksud kyai jangkar yang menempati suatu ruangan di kelenteng Sam Poo Kong ini ada sebuah jangkar kapal ukuran besar yang dikeramatkan sebagai jangkar kapal Cheng Ho. Jangkar kapal yang memata dua atau berdaun dua ini, lebih mirip dengan jangkar kapal buatan orang Eropa di masa pemerintahan Belanda dahulu. Apakah jangkar kapal ini adalah jangkar kapal Cheng Ho yang sebenarnya? Tentu saja belum ada bahan-bahan tertulis yang menginformasikan tentang kebenaran itu. Belum ada juga penelitian yang mendalam tentang jangkar kapal itu dan oleh karena itu kita belum dapat mengetahui kebenarannya. Kebenaran itu hanya ada dalam keyakinan, namun sulit juga membuktikannya secara ilmiah, karena belum ada kebenaran ilmiah yang membuktikannya. Tidak penting bahwa jangkar kapal itu apakah jangkar kapal

Pratik Islam Nusantara 117

Cheng Ho atau bukan, namun sebagian besar orang Tionghoa di Semarang meyakini bahwa itu adalah bekas jangkar kapal Cheng Ho (Tanggok 2006). Meskipun demikian, para pemuja dan pengunjung meyakininya sebagai jangkar kapal Cheng Ho. Tentu saja dalam diri kita masih menyimpan sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana jangkar kapal itu sampai disimpan di salah satu ruangan atau tempat pemujaan di kelenteng Sam Poo Kong? Menurut Budiono, sebagaimana dikutif oleh Singgih (Singgih 1986:102), bahwa di Semarang ada sebuah kampung yang dikenal dengan kampung Sebandaran. Kampung yang dilalui kali Semarang ini disebut juga dengan kampung She Ong. Karena itu kali yang terdapat tidak jauh dari kelenteng Sam Poo Kong di Semarang tersebut juga dikenal dengan kali She Ong. Kampung Sebandaran ini dahulunya merupakan pelabuhan sungai yang penting bagi Semarang, yang selalu dilalui oleh kapal-kapal dari luar negeri, dan ada kemungkinan kapal-kapal Cheng Ho juga melintasi sungai ini dan jangkar kapalnya tertinggal di situ. Dahulunya kampumg ini adalah dekat dengan lautan sehingga memudahkan kapal-kapal besar merapat di daerah ini. Sekarang kampung ini sudah jauh dari lautan akibat dari daratan yang sudah melebar ke laut. Akibatnya luas permukaan bumi semakin tahun semakin bertambah. Bangunan perumahan sudah banyak kita temukan di mana-mana dan termasuk tempat ibadah umat beragama. Ruko- ruku tempat orang berdagang barang-barang keperluan sehari-hari juga sudah banyak dijumpai di mana-mana. Tidak hanya itu, setiap tahun penduduknya semakin

118 Dalam Kelenteng-Kelenteng

bertambah banyak. Penduduknya tidak hanya berasal dari daerah Semarang dan sekitarnya, tapi banyak juga yang berasal dari daerah lain.

Diyakini Jangkar Kapal Cheng Ho Sumber: Google

3.6. Mitos Akar Kayu Mitos akar kayu adalah cerita-cerita yang berkaitan dengan akar kayu yang tumbuh di depan bangunan Kyai Jangkar. Di depan bangunan atau di halaman bangunan tempat pemujaan Kyai Jangkar, ada sebuah pohon kayu besar, yang oleh juru kunci kelenteng menganggap usia pohon itu sama dengan usia pertama kali kedatangan Cheng Ho ke Semarang pada abad 15. Menurut cerita yang saya dapatkan dari salah seorang juru kunci yang menjaga tempat pemujaan Kyai Jangkar bahwa pohon itu tumbuh berasal dari rantai jangkar kapalnya Cheng Ho. Dugaan ini dianggap cukup kuat karena melihat akar dari pohon kayu tersebut mirip dengan rantai jangkar

Pratik Islam Nusantara 119

kapal saat ini. Akar kayu yang menyerupai rantai jangkar kapal itu tidak hanya membentang di tanah, tapi juga sudah melilit di dahan-dahan kayu dan sampai ke atap bangunan tempat pemujaan Kyai Juru Mudi Cheng Ho (Tanggok 2005; Tanggok 2006). Akar kayu ini menjadi salah satu pusat perhatian oleh para pengunjung kelenteng. Akar kayu ini tidak ada yang berani menganggunya, apalagi mau memotongnya, karena dia dianggap punya sejarah yang panjang, dan bahkan telah dikeramatkan orang karena bentuknya yang unik (menyerupai jangkar kapal). Jika orang datang ke sini banyak yang menyaksikan keunikan akar pohon kayu tersebut. Ada orang yang percaya terhadap cerita- cerita mengenai akar kayu tersebut dan ada yang hanya sekedar mendengarkan cerita itu dan tidak mempercayainya. Meskipun demikian banyak orang yang datang ke sini merasa rugi jika tidak melihat keunikan akar kayu yang menyerupai rantai jangkar kapal tersebut (Tanggok 2006). Akar kayu ini disakralkan, namun tidak dipuja, dan tidak dimintai bantuannya oleh para pengunjung kelenteng. Bagi para pengunjung kelenteng Sam Poo Kong di Semarang yang ingin mendapatkan cerita tentang akar kayu yang melilit di pohon dan menyerupai rantai kapal, mereka dapat meminta keterangan itu pada juru kunci kelenteng atau juru kunci yang menunggu tempat pemujaan Kyai Jangkar. Dari keterangan juru kunci, kita dapat mengetahui bagaimana sejarah dari akar kayu yang melilit di pohon yang ada di depan tempat pemujaan Kyai Jangkar. Dapat kita katakana bahwa akar kayu ini menjadi pusat perhatian para pengunjung

120 Dalam Kelenteng-Kelenteng

kelenteng Sam Poo Kong, khususnya para pengunjung tempat pemujaan Kyai Jangkar.

Tempat Pemujaan Kyai Jangkar dan Pohon Kayu Tua yang memiliki akar seperti rantai kapal (Sumber: indraprawiranegara.com)

3.7. Sembahyang Rebutan Sembahyang rebutan dalam bahasa Mandarin atau Tionghoa dikenal dengan sebutan Zhong Yuan Jie, yaitu sebuah pesta atau perayaan keagamaan lainnya yang juga terjadi di dalam masyarakat Tionghoa. Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek atau tahun yang berdasarkan pada peredaran bulan (atau sekitar bulan September). Sembahyang ini juga seringkali disebut sebagai pesta bulan ke 7 tahun Imlek. Di Serawak-Malaysia perayaan ini dikenal dengan sebutan Yu Lan Hui (Chinese All Souls’ Day) (Chang 1993:50) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan “sembahyang rebutan,” dikalangan masyarakat Hokkian di Jawa disebut sembahyang “Cio Ko, atau dalam agama Buddha dikenal dengan sebutan hari

Pratik Islam Nusantara 121

“ulambana,” (Marcus 2002:151) dan di Singkawang dikenal dengan sebutan “sembahyang kubur” atau dalam bahasa Hakka disebut sembahyang Kha Chi (Tanggok 2005). Kenapa di Indonesia disebut sembahyang rebutan? Karena setelah melakukan sembahyang atau pemujaan pada roh-roh yang tidak diurus anggota keluarga mereka di dunia, semua barang-barang berupa makanan yang dipersembahkan pada roh-roh direbutkan oleh para pemuja, sehingga setiap orang mendapatkan barang-barang atau makanan dari hasil rebutannya (Tanggok 2005). Barang-barang hasil rebutan ini di bawa pulang, dan merupakan simbol keberuntungan bagi orang tersebut di masa datang. Sembahyang rebutan ini berasal dari tradisi Taois dan Buddhis. Bagi para pengikut Taois sembahyang rebutan ini ada sebuah pesta untuk memberi makan roh-roh yang lapar (dalam bahasa Melayu Malaysia sering disebut sembahyang hantu), tapi para pengikut Buddhis menganggap sembahyang ini adalah untuk memperingati roh-roh yang tidak memiliki anggota keluarga di dunia. Pada masa lampau, para pengikut Taois melakukan perayaan Zhong Yuan Jie atau sembahyang rebutan ini selama satu bulan penuh. Mereka meyakini bahwa pada bulan ini pintu-pintu neraka dibuka lebar-leabar untuk memberikan kesempatan pada roh-roh yang belum terlahir kembali dan roh-roh yang bergentayangan untuk turun ke bumi dan membaurkan diri dengan manusia di dunia untuk menikmati makanan yang disediakan oleh manusia dan barang-barang kebutuhan lainnya. Roh-roh atau hantu-hantu yang lapar tersebut

122 Dalam Kelenteng-Kelenteng

disebabkan oleh beberapa hal: orang mati, tapi tidak mempunyai keturunan yang dapat mengurusnya (Marcus 2002:150), orang mati secara tidak wajar, orang yang mati janda atau duda (Yang 1970) dan orang mati yang usianya sudah ratusan tahun, sehingga keturunan dekat dengannya sudah tidak ada lagi, sehingga kuburannya tidak ada yang mengurus, sedangka generasi mereka sekarang sudah tidak kenal lagi dengannya. Mereka ini perlu dikasi makan pada saat terjadi upacara sembahyang rebutan (Tanggok 2005).Jika tidak, mereka diyakini dapat mengganggu kehidupan manusia di dunia. Tujuan dari sembahyang rebutan ini tidak hanya untuk memberi makan roh-roh lapar sebagaimana yang disebutkan di atas, tapi yang lebih penting adalah mendoakannya agar cepat mengalami proses kelahiran kembali, dengan demikian mereka (roh-roh) tersebut dapat memperbaiki diri menjadi lebih sempurna di alam akhirat. Sembahyang rebutan ini juga dilakukan oleh sebagian besar orang Hakka di Singkawang, di mana pada bulan 7 Imlek mereka yang tinggal di luar Singkawang maupun di Singkawang kembali lagi mengunjungi kuburan leluhurnya seperti pada saat perayaan Ceng Beng. Namun setelah melaksanakan sembahyang atau pemujaan leluhur di kuburan dan membakar kertas uang, mereka juga melakukan sembahyang pada roh-roh yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan mereka bersama-sama dengan anggota masyarakat lainnya. Menurut keyakinan mereka bahwa pada hari itu roh-roh yang tidak diurus18 oleh sanak keluarganya di dunia keluar dari

Pratik Islam Nusantara 123

neraka dan mencari makan di dunia. Karena tidak diurus, maka mereka tidak mendapatkan makanan dari keluarga dan oleh karena itu mereka lapar dan akhirnya diizinkan keluar dari neraka untuk mencari makan di dunia. Menurut keyakinan orang Hakka di Singkawang bahwa jika manusia yang hidup tidak menyediakan makanan pada roh-roh yang lapar tersebut, mereka dapat menganggu ketenangan hidup rumah tangga orang dan menjadi “hantu bergentayangan” di dunia dan mengganggu kehidupan manusia. Fung Long, seorang informan yang selalu memberikan informasi kepada saya mengatakan bahwa hantu-hantu yang bergentayangan itu identik dengan “hantu preman”. Di sini dia menyamakan hantu-hantu itu dengan pereman di dunia nyata. Jika pereman umumnya senang mengganggu orang lain jika perutnya sedang lapar atau kebutuhannya tak terpenuhi, maka “hantu yang lapar” juga tidak ubahnya seperti pereman yang juga dapat mengganggu orang. Agar tidak mengganggu orang hidup, maka dia (hantu-hantu lapar) ini harus diberi makan. Di kalangan orang Cina di Jawa, roh-roh yang tidak diurus oleh keluarganya ini masuk dalam kelompok King Ho Ping (Moerthiko 1980:183), yaitu roh-roh orang mati yang tidak mempunyai sanak famili lagi di dunia, dan tidak diurus olah keluarganya. Oleh sebab itu, setiap kelenteng di Jawa ada sebuah altar khusus untuk memuja King Ho Ping tersebut, supaya mereka tidak mengganggu kehidupan manusia. Di Jawa, upacara sembahyang pada awal bulan 7 Imlek ini dikenal dengan sebutan sembahyang Cio-Ko atau umumnya disebut sebagai “sembahyang rebutan,”

124 Dalam Kelenteng-Kelenteng

karena selesai sembahyang pada roh-roh tersebut, makanan sisa dimakan oleh roh-roh yang tidak diurus oleh keluarganya ini direbut oleh peserta upacara. Bagi mereka, mendapat sisa makanan dari hantu-hantu tersebut dianggap sebuah keberuntungan. Umumnya masyarakat Tionghoa di Jawa melaksanakan sembahyang Cio Ko pada tanggal 29 atau 30 bulan 6 (Lak-Gwee). Pelaksanaannya pada jam 18:00 atau 19:00. Tempat pelaksanaannya di tanah lapangan atau biasa juga dilakukan di di halaman depan kelenteng (Marcus 2002:147). Hal yang yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Malaysia (Tanggok 2005), dan juga di negara-negara lain yang ada masyarakat Tionghoanya. Pelaksanaannya bisa dilakukan di mana saja, dan tidak ada aturan khusus mengenai tempat upacara, tapi umumnya masyarakat Tionghoa melakukannya di luar rumah, kelenteng, tanah lapang, halaman kelenteng dan tempat-tempat yang lain. Di halaman pekong atau kelenteng atau di halaman terbuka diletakkan sebuah meja besar (ada juga di atas tanah dan dialas dengan tikar) dan di atasnya disediakan berbagai macam makanan dan alat-alat sembahyang. Di kelenteng Sam Poo Kong di Semarang, pelaksanaanya dilakukan di halaman depan kelenteng. Di halaman kelenteng dipasang tenda, diatur meja- meja, di atasnya disediakan berbagai makanan, barang- barang lainnya seperti patung singa, diletakkan di atas meja untuk disembahyangkan atau dipersembahkan pada roh-roh yang diyakini oleh mereka dalam kondisi lapar dan sangat membutuhkan makanan. Apa yang mereka lakukan ini adalah didasarkan atas keyakinan

Pratik Islam Nusantara 125

kuat terhadap roh-roh (Tanggok 2006) yang dianggap lapar dan membutuhkan makanan. Alat-alat sembahyang yang disediakan diantaranya: sepasang lilin kecil yang bewarna merah yang dinyalakan di atas meja, sebuah gelas berisi beras untuk menancapkan hio (hiolo), tiga piring manisan, buah-buahan, kue-kue, tiga cangkir teh, dan makanan lain yang mereka anggap layak untuk dipersembahakan pada roh-roh yang tidak diurus anggota keluarga mereka atau roh-roh lapar. Makanan yang disediakan pada roh-roh ini juga tidak dibatasi, selahkan bagi siapa saja yang mampu untuk menyediakan makanan yang lebih banyak lagi. Setelah perlengkapan upacara dipandang cukup, mereka (para pemuja) melakukan sembahyang dengan dipimpin oleh pemimpin upacara. Sembahyang atau pemujaan dilakukan dengan masing-masing peserta menyalakan beberapa batang hio, kemudian mereka mengangkat hio setinggi kepala yang menandakan bahwa mereka sedang melakukan sembahyang atau pemujaan. Pada saat sembahyang mereka memohon kepada Thian atau Tuhan agar dapat mengangkat roh- roh ini ketempat yang dianggap layak baginya dan mendoakan agar roh-roh ini cepat mengalami proses kelahiran kembali. Mereka juga mengundang para roh untuk menikmati makanan yang telah mereka hidangkan, kemudian setelah menikmati makanan, roh- roh diminta pulang ke tempat mereka semula dan jangan sampai bergentayangan lagi di duni, dan diharapkan tidak mengganggu kehidupan manusia. Praktik sembahyang rebutan ini tidak ubahnya seperti sembahyang yang mereka lakukan di kelenteng.

126 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Setelah sembahyang dianggap selesai, makanan yang dipersembahkan di meja persembahan korban atau altar dihamburkan ke tanah atau dibuang ke tanah, dan kemudian diperebutkan oleh masing-masing peserta upacara. Apa yang mereka dapat dari hasil rebutan tersebut, mereka bawa pulang (jika barang tersebut tahan lama) dan disimpan di rumah, tapi jika barang- barang yang di dapat berupa makanan yang tidak tahan lama di simpan, makanan tersebut mereka makan. Sebagaimana di sebutkan sebelumnya, barang-barang yang mereka dapat dari hasil rebutan itu adalah simbol dari keberuntungan, karena makanan yang dihidangkan untuk roh-roh dan alat-alat perlengkapan upacara yang lain dipandang sakral dan yang sakral memiliki nilai yang lebih tinggi dari yang biasa atau dianggap memiliki mana atau kekuatan yang lebih besar. Ini adalah salah satu keyakinan dari peserta upacara. Ada keyakinan dari mereka, semakin banyak barang yang mereka dapat dari hasil rebutan tersebut, maka diyakini semakin banyak keberuntungan yang akan mereka peroleh di dalam hidup ini di tahun-tahun yang akan datang, itulah makna terpenting dari “sembahyang rebutan” tersebut. Makna sosialnya dari pelaksanaan upacara ini, mereka dapat berkumpul dalam satu tempat untuk tujuan sama dari berbagai marga untuk merekatkan hubungan sosial diantara mereka, sebab pada hari-hari biasa jarang sekali mereka dapat berkumpul bersama-sama karena berbagai kesibukan bisnis. Di samping itu, upacara ini adalah juga mendidik generasi muda untuk saling memperhatikan roh-roh orang lain yang bukan leluhur

Pratik Islam Nusantara 127

mereka sendiri dan saling tolong menolong atau saling memberi antara yang hidup dengan yang mati.

Gambar Sembahyang Rebutan (Sumber: Google)

Salah seorang informan saya yang ada di kelenteng Sam Poo Kong di Semarang mengatakan bahwa pelaksanaan sembahyang rebutan di sini cukup ramai ditahun-tahun sebelumnya (sebelum tahun 2004) karena para peserta sembahyang cukup ramai dan yang merebutkan makanan itu juga cukup ramai. Dalam memperubutkan makanan itu banyak orang-orang yang luka atau tertimpa oleh orang lain. Dia merasa kasihan dengan orang-orang tua yang juga ikut dalam pelaksanaan upacara yang juga ikut memperebutkan makanan, sehingga mereka terdesak oleh orang-orang muda yang penuh semangat. Tahun 2004 dan sampai sekarang, pelaksanaan sembahyang rebutan di kelenteng Sam Poo Kong berubah, pelaksanaan hanya terbatas pada orang-orang tertentu, hanya dilakukan sekitas 40 sampai 50 orang.

128 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Namun tradisi merebutkan makanan setelah pelaksanaan upacara tetap saja dilakukan, tapi tidak lagi berdesak-desakan seperti pelaksanaan sembahyang rebutan di tahun-tahun sebelumnya. Di samping itu, panitia kelenteng Sam Poo kong pada hari yang sama, jam yang sama juga membagikan sembako kepada orang-orang miskin di sekitar kelenteng Sam Poo Kong. Suasana ini cukup menarik, karena ratusan orang-orang miskin mendatangi kelenteng hanya untuk mendapatkan pembagian beras dari panitia kelenteng. Banyak orang miskin di sekitar kelenteng merasa terbantu dengan pembagian beras ini dan mereka tidak memperdulikan dari mana sumber beras tersebut. Jika kita menyebut orang miskin, maka yang terpikir diotak kita adalah orang-orang Islam yang tergolong sebagai orang yang kurang mampu. Benarkah yang datang secara beramai-ramai ke kelenteng Sam Poo Kong untuk mendapatkan sembako adalah orang-orang Islam yang tinggal di semarang? Tentu saja jawabannya ya, karena berdasarkan pengamatan saya pada saat pembagian sembako dan juga pada saat wawancara adalah mereka mengaku dirinya sebagai orang Islam. Mereka tidak merasa tabu untuk mendatangi kelenteng hanya sekedar untuk mendapatkan sembako dari para penyumbang yang dititipkan di kelenteng. Tradisi yang dilestarikan oleh kelenteng setiap tahunnya ini bukan saja melestarikan kebudayaan orang Tionghoa dari tahun ke tahun, tapi juga dapat mempererat persatuan antara orang Islam dan non Islam atau mempererat hubungan antara sukubangsa Tionghoa dengan masyarakat non Tionghoa yang ada di kota Semarang.

Pratik Islam Nusantara 129

Orang-orang Tionghoa tidak mengkaitkan pemberian ini dengan ritual keagamaan dan murni didasarkan pada kasih sayang terhadap sesama manusia. Ajaran Buddha juga mengajarkan untuk mencintai sesama mahluk hidup dan ini selalu dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat Buddha. Satu paket sumbangan kira-kira 5 kilogram beras untuk 1 kupon yang dibagikan, dan bahkan pada saat sembahyang ini dilaksanakan (awal sampai pertengahan bulan ketujuh Imlek) tidak sedikit sumbangan beras yang datang dari orang Cina, baik yang datang dari orang-orang Tionghoa yang berasal dari Semarang, maupun yang datang dari orang-orang Tionghoa diluar Semarang. Menurut informasi yang saya dapat, beras tersebut sampai mencapai 2 sampai 3 ton untuk disumbangkan pada orang miskin yang ada di sekitar kelenteng. Dengan demikian, kegiatan ini dapat kita bagi dalam dua sisi, yaitu sisi ritual, di mana hanya terbatas pada lingkungan mereka (orang-orang Tionghoa yang menganut agama Khonghucu dan Buddha Tridharma) yang melaksanakannya dan sisi sosial, yaitu membagi beras untuk orang-orang yang tidak mampu. Sumbangan beras pada orang yang tidak mampu dalam rangka kegiatan sembahyang rebutan tersebut, tidak lain adalah salah satu bentuk dari makna sosial dan makna kebersamaannya. Setiap tahun sembahyang rebutan dilaksanakan di kelenteng Sam Poo Kong. Sebelum pelaksanaan sembahyang rebutan, diadakan karauke dan dihadiri oleh orang-orang Tionghoa yang ada di sekitar semarang. Mereka datang di tempat sembahyang yang

130 Dalam Kelenteng-Kelenteng

telah disediakan oleh panitia ini terlebih dahulu melakukan sembahyang pada Thian (Tuhan) dan roh- roh. Setelah itu, mereka duduk sambil mendengarkan karaoke dan juga sambil memakan bubur babi yang disediakan oleh panitia pelaksanaan sembahyang rebutan. Tampaknya panitia sengaja mendatangkan penyanyi lokal untuk menghibur para tamu dan menarik masa agar suasana menjadi ramai (Tanggok 2006).Dalam suasana sembahyang rebutan, panitia juga memberikan hiburan kepada masyarakat disekitarnya. Salah satu tujuannya adalah untuk menjalin persahabatan antara sesama. Keesokan harinya sekitar jam 10.00 pelaksanaan upacara sembahyang rebutan dilaksanakan. Upacara ini dipimpin oleh bikuni dari agama Buddha dan diikuti oleh orang-orang Tionghoa yang beragama Buddha. Upacara ini berlangsung sekitar 2 jam dan setelah upacara selesai dilaksanakan, makanan yang dipersembahkan untuk roh-roh yang lapar atau roh-roh yang tidak diurus anggota keluarga atau roh-roh yang tidak mempunyai keturunan yang ada di atas meja sembahyang, dibuang atau dihamburkan ke tanah, kemudian diperebutkan oleh peserta upacara. Makanan yang didapat oleh peserta upacara ada yang langsung dimakan dan ada juga yang dibawa pulang, tergantung dari keinginan para peserta upacara. Makanan yang sudah disembahyangkan itu sudah mendapat berkah dari dewa-dewa dan telah menjadi suci. Sebagian besar orang Tionghoa yang menganut agama Buddha di Semarang (juga orang Buddha Tridharma), menghubungkan sembahyang rebut itu dengan hari “ulambana” yaitu upacara

Pratik Islam Nusantara 131

sembahyang untuk memberikan doa kepada roh-roh yang bergentayangan agar mereka cepat lahir kembali. Atau kalau dalam kehidupan manusia, tidak ubahnya seperti remisi yang diberikan oleh presiden kepada tahanan yang ada di penjara. Mereka juga mengkaitkan sembahyang rebut tersebut dengan ajaran Buddha, yaitu menjadikan sembahyang atau upacara tersebut sebagai hari “kasih saying.” Di mana pada hari ini umat Buddha banyak memberikan sedekah pada orang yang kurang mampu. Dengan demikian, orang Tionghoa tidak hanya melakukan pemujaan pada roh-roh leluhur yang masih ada ikatan kekerabatan dengan mereka, tapi juga memuja leluhur atau roh-roh yang sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan. Apa yang mereka lakukan ini bukan di dasarkan atas xiau (berbakti atau setia) pada leluhur atau pemimpin mereka, tapi lebih didasarkan pada rasa takut atas gangguan dari roh-roh yang tidak diurus oleh keluarganya yang jika tidak diberi makan akan dapat mengganggu kehidupan manusia, dan rasa solidaritas yang tinggi antara mahluk hidup dan roh-roh. Solidaritas yang tinggi itu tidak hanya ditujukan pada lelur mereka saja, roh-roh orang lain, tapi juga sesama manusia. Hal ini tidak ubahnya seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Jawa dengan upacara bersih desa, yaitu mengadakan upacara, agar desa mereka terhindar dari gangguan mahluk halus yang setiap saat dapat menganggu kehidupannya. Dampak dari sembahyang rebutan ini tidak hanya dirasakan oleh orang-orang Tionghoa, tapi juga orang-orang Islam di sekitarnya yang mendapatkan jatah sembako.

132 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Sembahyang rebutan ini adalah juga sembahyang yang dinanti-nanti oleh masyarakat muslim di sekitar kelenteng, sebab apabila diadakannya sembahyang rebutan di kelenteng, masyarakat muslim yang tinggal di sekitar kelenteng juga mendapat kebagian rejeki. Biasanya masyarakat Tionghoa membagi-bagikan sembako pada saat selesai diselenggarakannya sembahyang rebutan. Sembako ini berasal dari sumbangan para dermawan dan para pengusaha. Sembako yang disumbangkan ini dikumpulkan di kelenteng dan pada saatnya tiba dibagikan pada orang-orang muslim yang kurang mampu dari segi ekonomi. Pada saatinilah kita dapat menyaksikan sebagian umat Islam berbondong- bondong datang ke kelenteng untuk mendapatkan sembako gratis dari orang Tionghoa non Islam.Mereka tidak mempersoalkan dari mana sumber sembako itu datang. Bagi mereka, sembako yang mereka dapatkan dapat mengurangi uang belanja sehari-hari mereka.

Bahan Bacaan

Bingling, Yuan 2000 Chinese Democracies: A Study of Kongsis of West Borneo (1776-1884).Netherlands: Research School of Asean, and Amerindian Studies Chang Pat Foh (1993) Chinese Festivals Customs in Sarawak. Sarawak-Malaysia: Lee Ming Press Co Clifford Geertz, Clifford

Pratik Islam Nusantara 133

1960 The Religion of Java. Fei Hsin 1996 Hsing-Ch’a Sheng-Lan: The Overall Survey of the Star Raft, Translated, J.V.G. Mills, Harrassowits Verlag. Wiesbaden. Liem, Thian Joe 1931 Riwayat Semarang (Dari Djamannja Sam Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan), Semarang, Boekhandel Ho Kim Yoe. Marcus, A.S., 2000 Hari-Hari Raya Orang Tionghoa, Jakarta, Marwin. Mauss, M. 1967 The Gift, New York, W.W. Norton and Company. Moerthiko tt Tanpa Tahun, Riwayat Kelenteng, Vihara, Lithang, Tempat Ibadah Tridharma Se- Jawa, Semarang.

Ma Huan 1433 Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean’s Shores, ed. Feng Ch’eng-chun, dicetak kembali di Thailan oleh White Lotus Co., Ltd. 1997. Mills, J.V.G. 1970 Ying-yai Sheng-lan: 'The Overall Survey of the Ocean's Shores' [1433]. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-01032-2. Moerthiko

134 Dalam Kelenteng-Kelenteng

tt Riwayat Kelenteng, Vihara, Lithang, Tempat Ibadat Tridharma Se-Jawa, Semarang, tt, Sekretariat Empeh Wong Kam Fu. Setiawan, E 1990 Dewa-Dewa Kelenteng, Semarang: Yayasan Kelenteng Sampookong Dedung Batu Semarang. Singgih, Gagarin, Prianti 1986 Zheng Ho Suatu Pergeseran Posisi Dari Tokoh Sejarah Cina Menjadi Tokoh Mitos (Skripsi), Fakultas sastra Universitas Indonesia. Suparlan, Parsudi 1976 The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society, Department of Anthropology University of Illinois at Urbana-Champaign. Suparlan, Parsudi 1991 The Javanese Dukun, Jakarta, Peka Publications. Setiono, Benny G. 2002 Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, Elkasa. Salmon, Claudin dan Lombard, D 1985 Kelenteng-Kelenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta, (terjemahan) Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka. Suryadinata, Leo 2007 Laksamana Cheng Ho dan Asia Tenggara, Editor, Jakarta: LP3ES. Tan, Ta Sen,

Pratik Islam Nusantara 135

2009 Cheng Ho and Islam in Southeast Asia, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. Tio, Jongkie tt Kota Semarang Dalam Kenangan, Diterbitkan oleh Lembaga Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Turner, Victor 1975 Ritual Process: Structure and Anti- Structure, Ithaca, New York: Cornell University Press. Tanggok, M. Ikhsan, 2005 Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di 2005 Indonesia, Jakarta, Pelita Kebajikan. Tanggok, M. Ikhsan, 2006 Cheng Ho Dianggap Dewa Dagang Dari Tionghoa, Jakarta, Pelita Kebajikan. Tanggok, M. Ikhsan 2000 Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

------2005 Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia (Knowing Khonghucu Religion in Indonesia). Jakarta: Pelita Kebajikan. ------2006 Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (Knowing Tao Religion in Indonesia). Jakarta: UIN Press. ------2006 Agama Buddha (). Jakarta: UIN Press. ------

136 Dalam Kelenteng-Kelenteng

2005 Pemujaan Leluhur Orang Hakka di Singkawang (Hakka ancestor Worship in Singkawang). Jakarta: Pukkat. ------2006 “The Role of Chinese Communities to the Spread of Islam in Indonesia,” Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat (Journal of Religion and Philosophy), Vol. VIII, No.3. ------2010 “Ancestor Worship in Chinese Society in Sarawak, Malaysia,” E-Journal, The Asian Scholar, Asian Scholarship Foundation Bangkok. ------2011 “Between Islam and Buddhism Communication in Indonesia,”Religion and Social Communication: Journal of the Asian Research Centre for Religion and Social Communication, Vol.9 No.2.

Turner, Victor 1980 The Forest of Symbols, Aspects of Ndebu Ritual, Ithaca dan London: Cornell University Press. ------, 1987 Ritual Process: Structure and Anti- Structure, Ithaca, New York: Cornell University Press. Tju Kie Hak Siep 1954 Riwayat Sam Poo Tay Djien.

Pratik Islam Nusantara 137

Van Voorst, Robert E. 2007 Anthropology of World Scriptures. US: Thomson Wadsworth. Yang, C.K 1970 Religion in Chinese Society. London: University of California Press. Yuanzhi, Kong 2000 Cheng Ho Muslim Tionghoa, Jakarta: Obor Zarkhoviche, Baha 2014 Laksamana Cheng Ho, Alaska Publisher Santosa, Iwan, 2005 “Pemakaman Melayu-Islam di Wihara Ancol,” Senin, 01 Agustus lihat dalam: http://www.kompas.co.id/kompas- cetak/0508/01/metro/1927795.htm Woodward, Mark R 1988 Normative Piety and Mysticism in The Sultanate of Yogyakarta.

RIWAYAT HIDUP

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MSi., lahir di Desa Sei Purun Besar, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, 29 Nopember 1966. Pendidikan SD diselesaikan di Sei Purun Besar (kabupaten Pontianak) tahun 1981,

138 Dalam Kelenteng-Kelenteng

SMP di Sei Pinyuh (kabupaten Pontianak) tahun 1984, dan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Pontianak tahun 1987. Setelah menyelesaikan Pendidikan Guru Agama, pindah ke Jakarta dan melanjutkan studi S1 di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IA1N Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1987 dan selesai pada 1992. Pada tahun 1999 menyelesaikan studi S-2 di Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tahun 2003 mendapatkan beasiswa DAAD (dari Pemerintah Germany) untuk studi kepustakaan dan penyelesaian penulisan disertasi doktor di Institut fur Ethnologie der Universitat Gottingen Germany. Pada tahun 2005, menyelesaikan Pendidikan Doktor (S3) dalam bidang antropologi di Universitas Indonesia. September 2006 sampai dengan Agustus 2007 mendapatkan beasiswa dari Asian Scholarship Foundation (ASF) yang berpusat di Bangkok untuk melakukan penelitian agama dan Kebudayaan orang China di Sarawak-Malaysia. Pernah menyampaikan makalah tentang agama dan kebudayaan Tionghoa dalam seminar di beberapa University di Germany, Belanda, Prancis, Bangkok dan Malaysia. Mulai tahun 1994, menjadi dosen tetap di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta dan mengajar mata kuliah agama Shinto, Tao, Khonghucu dan antropologi agama di Jurusan Perbandingan Agama dan Sosiologi Agama. Oktober 2005 sampai dengan sekarang, menjabat sebagai ketua (Direktur) Pusat Kajian Kawasan Asia Timur (Tionghoa, Jepang, dan Korea) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Mulai 1 Desember 2007 dikukuhkan sebagai Guru Besar (Professor) dalam bidang Antropologi Agama di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta. Mulai 7 Juni 2010 diangkat sebagai Pembantu Dekan I bidang Akademik di

Pratik Islam Nusantara 139

Fakultas Ushuluddin (Theology), Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta. Buku-buku yang sudah diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta adalah: Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu (2000); Menembus Birokrasi Indonesia (2004); Politik Lokal dan Pembelajaran Politik (2004); Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (2004). Buku-buku yang diterbitkan dipenerbit lain: Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan, 2005, Pemujaan Leluhur Orang Hakka di Singkawang, Jakarta: Pusat Kajian Kawasan Asia Timur (PUKKAT) UIN Jakarta, 2005. Cheng Ho dianggap Dewa Dagang Dari Cina, Jakarta, Pelita Kebajikan, 2006. Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, Jakarta, UIN Press, 2007. Pedoman Perkawinan Dalam Agama Tao Indonesia (Editor, 2008). Agama Buddha, Jakarta: UIN Press, 2009. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 2010. Menciptakan Perdamaian Dunia Melalui Buddhisme, Jakarta: Yayasan Yabumi 2014. Telah menulis sebanyak 12 artikel dalam jurnal ilmiah terakreditasi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) dan Internasional, dengan judul: (1) “Agama Khonghucu Di Kalangan Etnis Cina di Indonesia” (Khonghucu Religion in Chinese ethnic in Indonesia), Jakarta, Refleksi ( The Journal of Kajian Agama dan Filsafat), Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, Volume 1, No. 1, Novemver 1998. ISSN: 0215-6253, (2). “Gambaran Umum Tentang Sikap Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Terhadap Pendidikan Kewiraan” (The Attitude of Ushuluddin/theology Students Toward Civic Education), Jakarta, Narasi (Jurnal Penelitian

140 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Agama dan Sosial), Vol. 1. No.1. Juni 1999. ISSN: 1411-0482, (3). “Penggunaan Metode Etnografi Dalam Penelitian Agama” (The Using of Ethnograpy Metodology in Religious Research) Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Vol. IV, No. 3, 2002. ISSN: 0215-6253, (4). “The Cult of the Dead in Chinese-Hakka Family and Society in Singkawang West Kalimantan”, Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Vol. VI. No. 3. 2004. ISSN: 0215-6253, (5). “Agama Khonghucu Dalam Pandangan Pemerintah Indonesia” (The Khonghucu Religions of Indonesia Governmental View), Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XXI, No. 2, 2004. ISSN: 0854-5138, (6). “Laksamana Cheng Ho, Muslim Tionghoa dan Tokoh Mitologi” (Admiral of Cheng Ho, Moslem of Tionghoa and Mythology Figure). Al-Turas, Vol.11. No. 1, Januari 2005. ISSN: 0853-1692, (7). “Upacara Selamatan Gua Sam Po Kong di Semarang Dalam Persfektif Multikultural” (The Ritual Selamatan of Gua Sam Po Kong in Semarang in Multiculture View), Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VII, No. 1, 2005. ISSN: 0215-6253, (8). “Agama Khoghucu di Indonesia dan Berbagai Persoalan Yang Dihadapi Penganutnya” (Khonghucu Religion in Indonesia and Some Problem for their Follower), Harmoni, Volume IV, Number 15, July-September 2005. ISSN: 1412-663X, (9). “Konsep Keberagamaan Orang Tionghoa” (Religious Concept of Chinese), Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VII, No. 3, 2005. ISSN: 0215- 6253, dan (10). “The Role of Chinese Communities to the Spread of Islam in Indonesia”, Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 3, 2006. ISSN: 0215-6253. (11) “Between Islam and Buddhism Communication in Indonesia,” Journal Religion And Social communication (Bangkok), Vol. 9 No. 2 2011. (13) “Perayaan Tahun Baru

Pratik Islam Nusantara 141

Imlek Dalam Masyarakat Tionghoa di Indonesia,” Ushuluna (Jurnal Ilmu Ushuluddin), Vol 1, Nomor 1, April 2015. Telah menulis sebanyak 52 artikel baik di Koran dan majalah. “Chinese Ancestor Worship in Sarawak Malaysia,” Asian Scholar Journal, 2011. Negara-negara yang pernah dikunjungi adalah: Malaysia, Singapura, Jerman, Belanda, Prancis dan Tiongkok (Hongkong, Macao) dan Thailand, Vetnam, Cambodia dan Brunai Darussalam.