SURYA MAJAPAHIT (Sebuah Dramatari Kolosal)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni SURYA MAJAPAHIT (Sebuah Dramatari Kolosal) Wahyudiyanto Abstrak Tulisan berjudul Surya Majapahit sebuah dramatari kolosal merupakan deskripsi eksplanasi sebuah pertunjukan tari. Karya tari dalam bentuk kolosal mencerminkan karya pertunjukan besar, dipertunjukkan pada area panggung besar, jumlah penari yang besar, properti dalam ukuran besar, unt uk ditonton oleh penonton berjumlah besar. Dramatari kolosal ini menggunakan kisah perjuangan tokoh besar Gajah Mada yang bercita-cita dan berhasil menyatukan nusantara di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit dengan slogan Sumpah Palapa. Pendekatan karya dramatari kolosal ini adalah tradisi dikembangkan yang meliputi unsur: gerak dan musik bersumber dari budaya tari dan karawitan yang memiliki akar kuat di Jawa Timur, rias dan busana khas pertunjukan tari Jawa Timur, properti berorientasi pada sumber cerita Majapahit, panggung besar yang memiliki nilai filosofi hirarkhi sebuah tingkatan sosial masyarakat kebudayaan keraton. Diharapkan dengan pertunjukan dramatari kolosal ini tercermin nilai kesejarahan agung Majapahit yang dapat menginspirasi tentang kekuatan dan kesatuan bangsa untuk membangun masyarakat berbudaya ke depan. Kata Kunci. Surya Majapahit, Dramatari kolosal, Gajah Mada, Sumpah Palapa. Abstract The paper is a description of explanation of a dance performance. This colossal dance work is a great show, on a large stage, with a large number of dancers, a large-sized properties, as well as a large audience. This dance drama tells the story of the struggle of the great figures named Gajah Mada who aspire to unite the archipelago under the rule of the kingdom of Majapahit with Sumpah Palapa slogan. This drama dance using tradition approach developed with elements of movement and music based on dance and musical culture of East Java. Makeup and fashion show the typical of East Java dance performances with the propertyoriented to Majapahit story. Big stage has thehierarchical philosophy values of the social level of culture palace. In this colossal dance drama performance expected to reflect the great historical value of Majapahit which can provide information about the strength and unity of the nation to build a civilized society in the future. Keywords: Surya Majapahit, Colossal Dance Drama, Gajah Mada, Palapa Oath. 96 Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Pemikiran Dasar Manusia adalah makhluk kreatif, karya-karyanya merupakan penanda spe- sies unggul. Karya kreatif manusia paling mendasar adalah bahasa, dan seni merupa- kan bahasa non literer yang menggambarkan secara simbolik obyek-obyek interaksi sub- yektif manusia. Dalam perspektif akademis, kekaryaan seni manusia melahirkan berba- gai pandangan. Berbagai pandangan teruta- ma jika dihadapkan pada makna “idealitas” kekaryaan seni. Memaknai istilah “idealitas” kekaryaan seni berujung pada pemetakan atas berbagai motif karya seni. Seni untuk seni, seni untuk sosial, seni untuk propa- ganda, seni pasar, dan banyak lagi. Berbagai peta seni itu berakhir pada pembedaan wujud seni itu sendiri. Wujud adalah bentuk dan isi, maka sistem dan proses perwujudan seni di- tentukan oleh motif yang melandasinya. Seperti juga pada kesempatan ini, penulis adalah pengkarya seni tari. Motif yang melekat adalah dorongan dari berba- gai pihak yang saling bergelayut dan hadir dari berbagai momen penting yakni: Per- temuan kepala Taman Budaya se Indonesia, Penandaan dibukanya kembali Amphithe- ater Taman Candra Wilwatikta, dan pamer pamor Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya dalam tajuk yang memuara pada Grand Image kejayaan kerajaan Majapahit. Menyadari bahwa wacana dunia akademisi yang mengemban Tri Dharma perguruan tinggi lebih mengangkat entitas dalam skala idealitas dan mengabdi kepada ilmu dan keilmuan di atas kepentingan apa- pun. Idealisme ini potensial tafsir sehingga memerlukan penjelasan yang memadai. Keadaan ini didasari oleh kecenderungan bahwa di kalangan akademisi tidak selalu memiliki pandangan yang sama tentang ide- alitas sebagai paradikma berfikir dan bertin- dak. Ini sudah barang tentu disebabkan oleh tingkat pemahaman yang beragam. Tersebab itu kesempatan ini perlu disediakan ruang untuk berdiskusi mengenai keberagaman pandangan tersebut. Bahwa idealitas dalam berkarya, berkesenian, berkarya seni, adalah mutlak. Menurut hemat penulis, kemutlakan idea- lisme berkarya, berkesenian, dan berkarya seni terletak pada hakekat seni itu sendi- ri. Bahwa seni (utamanya seni pertunju- kan) adalah ekspresi, “bentuk hidup”, dan persembahan nilia-nilai . Tiga komponen yang menyebabkan seni ada dan akan tetap terus hidup, tumbuh, dan berkembang inilah kemutlakan yang harus dijaga. Ekspresi sebagai penciptaan kembali pengalaman hidup seniman adalah esensial yang selalu harus ada. Pengalaman dalam bentuk apapun, dari manapun, oleh siapapun, kemudian melalui proses seleksi, pengala- man itu selanjutnya terpilih dan terdefinisi dalam sebuah konsep garap karya seni, itu- lah kerangka estetik karya seni. Dalam ranah ilmu maka seleksitas pengalaman sebagai rujukan ekspresi menjadi bentuk adalah on- tologi seni. Sebagai tubuh/anatomi: penge- tahuan seni dan pengalaman yang ontologis, dipersyaratkan ada terlebih dahulu sebagai wahana penciptaan ke dalam bentuk. 97 Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Adapun “bentuk hidup” melekat pada proses pengungkapan sampai karya itu disajikan, sejajar dengan epistemologis yang menghendaki cara penciptaan kerangka es- tetik sampai nilai-nilai itu dapat terwujud- kan. Sedangkan nilai-nilai dalam seni adalah benih yang akan ditebarkan oleh seniman ke- pada khalayak (aksiologis) agar masyarakat penonton mendapatkan pengalaman baru yang dapat mencerahkan dan bermakna bagi kehidupannya. Ketiga komponen tersebut melekat pada garap karya tari, maka ideal- isme kekaryaan akan tetap terjaga meski- pun motif kekaryaan menginginkan bentuk dan citranya sendiri. Atas dasar pemikiran itu penulis bertekat untuk mewujudkan ke- inginan tersebut secara melembaga dalam kerangka ideal sebagai bentuk apresiasi atas amanah yang dipercayakan. Konsep Berkesenian. Agama, Filsafat, Ilmu, dan Seni se- bagai lembaga kebenaran memiliki tujuan yang sama yakni menemukan kebenaran. Agama menggunakan kepatuhan kepada keyakinan (wahyu) sebagai rujukan berting- kah laku dalam mencapai kebenaran. Filsafat menggunakan kekuatan pikir (logika) untuk menemukan hakekat entitas sampai ke akar- akarnya. Ilmu menggunakan data empiris untuk mengukur dan mendapatakan yang diyakini sebagai yang benar. Dan seni mena- jamkan intuisi untuk menggapai kebenaran. Kebenaran atau yang benar adalah abstraksi dari nilai ideal yang selalu menjadi dam- baan setiap manusia. Namun disadari bahwa kebenaran mutlak adalah milik Sang Maha Benar. Manusia sekedar berupaya mengu- sahakan berdasarkan kekuatan keyakinan, pikir dan rasa hatinya. Maka agama, filsafat, ilmu, dan seni adalah sekian alternatif yang bisa digunakan. Manusia menjadi sempurna jika mampu merengkuh kebenaran melalui keempat lembaga kebenaran. Seni dan tari sebagai lembaga kebe- naran yang intuitif, eksistensinya menggelo- ra melewati raga, gerak, bunyi, dan cahaya, yang berasa. Empat elemen ini sejalan den- gan esensi tari dan tingkah laku hidup ma- nusia. Manusia bisa mengenal “segala”nya jika potensi daya cerap keempat elemen ini sempurna dimiliki manusia. Maka sangat potensial pula tari dengan keempat elemen ini mengajari manusia tentang “segala” hal termasuk di dalamnya untuk mendekati ke- benaran. Raga adalah badan wadag manu- sia. Raga akan membangun citra wujud dan karakter fisiologis. Gerak adalah tanda hidup, dengan gerak, kehidupan apa saja bisa diwujudkan. Namun gerak bukan yang fisik saja tetapi di dalamnya mengalir informasi dan daya spiritual yang menghidupi gerak dan raga “wadag”nya. Bunyi dan atau suara adalah bahasa universal manusia. Tanpa bisa dimengerti sekalipun bunyi atau suara itu, manusia akan menemukan maknanya. Dan cahaya adalah penentu keberfungsian peng- lihatan manusia. Dengan cahaya, manusia bisa membedakan warna, rupa, dan segala wujud yang nampak olehnya sebagai jendala untuk melihat yang tak kasat mata. Empat elemen eksistensi tari mewu- jud dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu adalah satu dalam konteks aktualisasi tari. Ruang dan waktu membalut wujud tari 98 Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni dalam kebersamaan yang mengalir. Seperti halnya laku manusia, ruang dan waktu ada- lah wahana penemuan jati diri. Jati diri itu- lah kebenaran manusia. Tari dalam perspek- tif kebenaran intuisi diterjemahkan melalui raga, gerak, bunyi, suara, dan cahaya. Ele- men- elemen tari tersebut adalah transmiter nilai-nilai kebenaran yang mendidik manusia untuk menemukan kembali kebenaran yang dihayati melalui rasa hati sebagai penyemai dan pengukuh jati diri manusia. Konsep kekaryaan Bung Karno pernah menyampaikan: “bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah” atau “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Pesan moral ini pen- ting. Kemajuan bisa diukur karena indikator terukur ada di belakangnya. Dikatakan maju karena telah melampaui masa sebelumnya, dan yang terpenting dari sejarah adalah pela- jaran yang bisa diambil darinya. Sejarah adalah pembanding yang lalu dengan seka- rang dan yang akan datang. Sejarah adalah pelajaran, yang dapat dipetik dari masa lalu dapat meng-inspirasi masa selanjutnya, dan sejarah adalah kebanggaan jika peristiwanya gemilang. Sejarah memiliki peran penting da- lam kelanjutan sesuatu. Jika sejarah men- ceritakan peristiwa politik kenegaraan maka pentingnya sejarah politik kenegaraan ter- letak