TEKNIK PERMAINAN GONDANG BULU MANDAILING

OLEH BAPAK HARDIANSYAH NASUTION

SKRIPSI SARJANA

O

L

E

H

NAMA : RIAN PAULUS SITUMORANG

NIM : 110707015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

TEKNIK PERMAINAN GONDANG BULU MANDAILING OLEH BAPAK HARDIANSYAH NASUTION

Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh

NAMA : RIAN PAULUS SITUMORANG NIM : 110707015

Disetujui Oleh Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Fadlin, M.A. NIP 19651221 199103 1 001 NIP 19610220 198903 1 003

DITERIMA OLEH : Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2017

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PENGESAHAN

Pada Tanggal : 6 Februari 2017 Hari :

Fakultas Ilmu Budaya, USU, Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S. NIP. 196008051987031001

Panitia Ujian: Tanda Tangan 1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. ( )

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )

3. Drs. Fadlin, M.A. ( )

4. Arifninetrirosa, SST. M.A. ( )

5. Drs. Prikuten Tarigan, M.Si. ( )

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DISETUJUI OLEH DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI, KETUA

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 19651221 199103 1 001

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2017 Penulis,

Rian Paulus Situmorang NIM. 110707015

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ABSTRAKSI

Etnis Mandailing memiliki alat musik kesenian yang menjadi salah satu ciri khas kebudayaan Mandailing salah satunya adalah Gondang bulu. Dalam bahasa mandailing Gondang memiliki beberapa pengertian yaitu alat musik, gabungan dari sejumlah alat musik (ensamble), nama lagu atau repertoar, ritmik dan sebagai musik itu sendiri. Dalam tulisan ini Gondang yang dimaksud adalah Gondang dalam pengertian sebagai alat musik. Gondang bulu adalah salah satu instrument yang berbentuk seperti keteng- keteng (Instrumen etnis Karo) hanya saja ukurannya lebih besar dan memiliki 4 buah senar. Cara memainkannya pun berbeda. Pada masa sekarang Gondang bulu ini sudah tergolong langka begitu juga dengan orang yang bisa memainkannya, karena itu penulis tertarik untuk menambah informasi tentang Gondang bulu, teknik-teknik dan gaya permainan dari Gondang bulu dan penulis mengangkat ke dalam sebuah skripsi dengan judul : “ Teknik Permainan Gondang bulu Mandailing oleh Bapak Hardiansyah Nasution”.

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat, dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasihNya yang begitu besar telah melimpahi kehidupan penulis. Setiap detik dalam perjalanan hidup penulis disertai dan diberi sukacita penuh. Secara khusus dalam penyusunan skripsi ini, kekuatan dan penghiburan diberikanNya jauh melebihi permohonan penulis.

Skripsi ini berjudul “Teknik Permainan Gondang bulu Mandailing Oleh Bapak

Hardiansyah Nasution.” Skripsi ini diajukan dalam melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari banyak kekurangan dan tantangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Hal-hal tersebut berasal dari dalam dan luar diri penulis.

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kejenuhan dan kelelahan senantiasa mendekat ke dalam diri penulis. Namun, semangat baru selalu hadir melalui orang-orang di sekitar penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Budi

Agustono, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran di Dekanat Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat

Bapak Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi dan sebagai dosen Pembimbing I penulis yang telah membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk ilmu pengetahuan, pengalaman, kebaikan dan nasehat-nasehat yang telah Bapak berikan kepada saya selama berada di perkuliahan. Kiranya Tuhan selalu menyertai dan melimpahkan sukacita kepada

Bapak. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhomat Bapak Drs.

Fadlin, M.A. Sebagai Dosen Pembimbing II yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan kepada penulis sejak memulai perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih untuk perhatian, ilmu, dan kebaikan yang Bapak berikan. Kiranya Tuhan senantiasi melindungi dan melimpahkan berkat untuk Bapak.

Terima kasih juga kepada Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. selaku sekretaris

Departemen Etnomusikologi FIB USU, yang telah membantu lancarnya administrasi kuliah saya selama ini, serta ilmu yang diberikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat seluruh staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU yang telah banyak memberikan pemikiran dan wawasan baru kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. Kepada seluruh

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dosen di Etnomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak Drs.

Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Bebas

Sembiring, M.Si., Ibu Arifni Netrosa, SST,M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si., Bapak

Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si., dan Bapak Drs.

Torang Naiborhu, M.Hum. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian. Seluruh ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian menjadi pelajaran berharga untuk penulis.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih dan mempersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua yang sangat saya sayangi, bapak yang selalu mengajarkan tentang hidup dan mamak yang sudah melahirkanku dan memberikan cinta dan kasihnya yang begitu besar sampai aku tak mampu menampungnya. Maaf ia mak selalu buat mamak nunggu kalau aku pulang pagi.

Terima kasih untuk segala cinta kasih dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis. Kesabaran, kebijaksanaan, dan kerendahan hati telah diajarkan kepada penulis sejak kecil. Sehingga, saat ini merupakan buah karya dan kasa yang telah dilakukan penulis Terlebih-lebih dalam penyusunan skripsi ini, suka dan duka terlampaui atas doa-doa yang telah dipanjatkan setiap hari. Motivasi yang luar biasa dan dukungan selalu hadir saat penulis melakukan kelalaian dalam penyelesaian skrispsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada abangku satu-satunya yang selalu penulis banggakan yang sudah menjadi contoh dalam hidup. Dan terimakasih juga penulis ucapkan karena sudah membiayaiku. Terimakasih untuk doa, bantuan, dukungan, waktu dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Sehingga penulis

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mampu melalu rintangan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis sungguh bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugrahkan keluarga yang luar biasa untuk penulis.

Kepada semua informan yang telah memberikan dukungan dan bantuan untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini : Bapak Hardiansyah Nasution, Bapak

Ridwan Aman Nasution, Bang Ucok Dagar Lubis, dan informan-informan lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kesempatan dan pengalaman yang sungguh berharga telah penulis dapatkan atas kebaikan Bapak/Ibu sekalian. Penulis dapat mengenal budaya Mandailing lebih dekat atas pertolongan Bapak-bapak sekalian.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada sahabat terkasih dan yang sangat penulis sayangi Yeremia Yosephina Van Sagala atas dukungan, semangat, motivasi dan pengorbanan waktu bersama penulis dan sudah menjadi inspirasi bagi penulis.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh mahasiswa/i angkatan 2011 yang tergabung dalam CCB Uye kita luar biasa. Teman-teman seperjalanan penulis di Etnomusikologi yang dari awal sampai sekarang masih berjuang bersama penulis Roy Sinaga, Talenta Ericson Ginting, Zakharia Pande Gopaz

Aruan, Erick Sitorus, Khairurrahman Azis ayok we kita selesaikan kita yang terakhir ini. Dan teman-teman seangkatan yang tidak saya sebutkan terimakasih atas kebersamaan dan waktu luangnya yang dihabiskan bersama penulis. Kepada teman- teman satu band penulis Sari Kacang Merah Kuning Ijo Zulaikha Benaya Karo-Karo,

Khairurrahman Aziz, Ardy Widanto Manurung, Roy Sinaga, Yusuf Siregar, Pranata

Sitanggang, Sintong Brivo Pasaribu, Tom Butar-butar atas bantuannya dan waktunya untuk menemani dan menghibur penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

x

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada sahabat-sahabat tercinta

Anugraha Ramadan, Steven Sinaga, Anggi Badia Raja Sihite, Ardy Widanto

Manurung, Mario Sinaga, Agriva Maranatha Sinuhaji, Harry Bukit, Timbul silalahi, dan bang Ranto Okto Samuel Manik terima kasih sudah mendukung penulis dan membantu penulis dalam proses mengerjakan skripsi ini. Kalian sahabat-sahabat terindah yang Tuhan berikan buatku. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada guru-guru juga teman-teman seangkatan dan seperjuangan penulis di SMK Negeri 11

(SMM Medan) dulu kita bandal-bandal sering kena marah guru tapi tak terasa waktu berlalu kita sekarang uda dewasa dan punya jalan kita masing-masing dalam musik sampai ketemu lagi saudara-saudaraku di kesuksesan kita nanti. Kepada alumni yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan moril dan informasi yang penulis dapatkan selama proses belajar di Etnomusikologi.

Penulis menyadari, bahwa skripsi ini belum dikatakan sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran serta kritik yang bersifat membangun dari para pembaca, untuk lebih menyempurnakan skripsi ini nantinya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca. Terutama sekali bagi mereka yang menginginkan informasi tentang Gondang bulu Mandailing.

xi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Medan, Februari 2017

Rian Paulus Situmorang

DAFTAR ISI

Abstraksi ...... vi Kata Pengantar ...... vii

xii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Daftar isi ...... xii Daftar Gambar ...... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2 Pokok Permasalahan ...... 4 1.3 Tujuan dan Manfaat ...... 4 1.3.1 Tujuan ...... 4 1.3.2 Manfaat ...... 4 1.4 Konsep dan Teori ...... 5 1.4.1 Konsep ...... 5 1.4.2 Teori ...... 6 1.5 Lokasi Penelitian ...... 10 1.6 Metode dan Teknik Penelitian ...... 10 1.6.1.Studi Kepustakaan ...... 10 1.6.2 Kerja Lapangan ...... 11 1.6.3 Observasi ...... 11 1.6.4 Wawancara ...... 11 1.6.5 Kerja Laboratorium ...... 12

BAB II MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN DAN BIOGRAFI RINGKAS HARDIANSYAH NASUTION 2.1 Masyarakat Mandailing ...... 13 2.1.1 Asal Usul Orang Mandailing ...... 13 2.1.2 Sistem Religi Dan Agama ...... 16 2.1.3 Bahasa ...... 18 2.1.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing ...... 18 2.1.5 Kesenian ...... 21 2.1.6 Organisasi Masyarakat Mandailing Di Kota Medan ...... 26 2.1.7 Sistem Pencaharian Masyarakat Mandailing Di Kota Medan ...... 27 2.2 Pengertian Biografi ...... 27 2.3 Alasan dipilihnya Hardiansyah Nasution ...... 30 2.4 Biografi Hardiansyah Nasution ...... 31 2.4.1 Latar Belakang Keluarga ...... 31 2.4.2 Latar Belakang Pendidikan ...... 32 2.4.3 Latar Belakang Berumah Tangga ...... 32 2.4.4 Bapak Hardiansyah Nasution Sebagai Pembuat Alat Musik ...... 32 2.4.5 Bapak Hardiansyah Nasution Sebagai Pemusik Tradisional Mandailing ...... 33

BAB III KONSTRUKSI GONDANG BULU MANDAILING 3.1 Bahan Yang Digunakan ...... 34 3.2 Proses Pembuatan ...... 38 3.3 Klasifikasi Organologis Gondang bulu ...... 44

xiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV TEKNIK PERMAINAN GONDANG BULU 4.1 Teknik Penyetelan Senar ...... 46 4.1.1 Warna Bunyi Dan Fungsi Senar ...... 49 4.1.2 Posisi Bermain Dan Teknik Memukul Senar ...... 51 4.1.3 Teknik Maertopap ...... 52 4.2 Transkripsi ...... 53 4.2.1 Simbol-Simbol Dalam Notasi ...... 54 4.2.2 Tangga Nada Gondang Tor-Tor ...... 56 4.2.3 Nada Dasar ...... 56 4.2.4 Wilayah Nada ...... 57 4.2.5 Jumlah Nada ...... 57 4.3 Gondang Tor-Tor ...... 58

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ...... 60 5.2 Saran ...... 61

DAFTAR PUSTAKA ...... 64 DAFTAR INFORMAN ...... 65 LAMPIRAN ...... 66

xiv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Daftar Gambar

Gambar 3.1 ...... 35 Gambar 3.2 ...... 35 Gambar 3.3 ...... 36 Gambar 3.4 ...... 37 Gambar 3.5 ...... 38 Gambar 3.6 ...... 40 Gambar 3.7 ...... 42 Gambar 3.8 ...... 42 Gambar 3.9 ...... 43 Gambar 3.10 ...... 43 Gambar 4.1 ...... 46 Gambar 4.2 ...... 46 Gambar 4.3 ...... 47 Gambar 4.4 ...... 47 Gambar 4.5 ...... 47 Gambar 4.6 ...... 48 Gambar 4.7 ...... 48 Gambar 4.8 ...... 48 Gambar 4.9 ...... 48 Gambar 4.10 ...... 50 Gambar 4.11 ...... 50 Gambar 4.12 ...... 50 Gambar 4.13 ...... 50 Gambar 4.14 ...... 50 Gambar 4.15 ...... 51 Gambar 4.16 ...... 53 Gambar 4.17 ...... 53

xv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tuhan menciptakan dengan kekayaan akan suku dan kebudayaan.

Salah satunya adalah suku yang berada di Sumatera Utara yaitu suku Mandailing.

Etnik Mandailing adalah sekumpulan orang-orang yang berasal dari Mandailing secara turun-temurun dimana pun mereka bertempat tinggal.

Wilayah Mandailing dibagi atas dua sub-wilayah, yaitu Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Mandailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sihepeng disebelah Utara Penyabungan, sampai Maga di sebelah selatan, serta daerah Batang Natal sampai Muarasoma dan Muara

Parlampungan di sebelah barat. Sedangkan daerah Mandailing Julu didominasi oleh marga Lubis yang wilayahnya mulai dari Laru dan Tambangan di sebelah utara

Kotanopan sampai Pakantan dan Hutanagodang di sebelah selatan (Takari, dkk.2005).

Suku Mandailing kaya akan warisan budaya yang sudah turun-temurun dari nenek moyang mereka. Salah satu bentuk warisan kebudayaan itu adalah kesenian.

Bagi masyarakat Mandailing, musik berperan penting dalam aspek dan konteks dalam perjalanan kehidupan mereka. Sehingga setiap musik memiliki makna dan fungsi tertentu di samping hanya dipertunjukan maupun sebagai hiburan.

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Orang Mandailing menyebut sebagian musik tradisional mereka dengan ungkapan: "Uning-ungingan ni ompunta na parjolo sundut i." Artinya adalah seni musik dari para leluhur yang diwariskan secara turun-temurun.

Bagi masyarakat Mandailing musik merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kegiatan religi dan upacara-upacara adat, baik yang bersifat suka cita (siriaon) maupun duka cita (siluluton). Ansambel musik tradisional mereka dikenal dalam tiga klasifikasi: (1) gondang dua, (2) gondang lima, dan (4) gordang sambilan. Gondang adalah salah satu jenis musik yang terdapat di daerah Angkola yang dipakai dalam pelaksanaan upacara adat na godang (tingkatan upacara adat yang paling besar).

Gondang menurut tradisi hanya dapat ditampilkan dalam konteks upacara adat nagodang dalam suasana siriyaon (suka cita) saja, oleh karena itu pula disebut dengan gondang maradat. Selain pengiring dalam upacara adat dan ritual ada juga alat musik yang berfungsi sebagai hiburan.Dalam tulisan ini penulis berfokus pada alat musik yang berfungsi sebagai hiburan yaitu Gondang bulu. Alat musik

Gondang bulu Mandailing ini biasa dimainkan untuk mengiringi tarian seperti tor- tor Mandailing dan juga untuk para dukun saat melakukan kegiatan sihirnya.

Gondang bulu adalah alat musik yang tergolong dalam klasifikasi idiofon

(salah satu klasifikasi alat musik yang penggetar utama bunyinya adalah badan alat musik itu sendiri). Secara lebih spesifik, alat musik ini termasuk pula ke dalam kelompok idiokordofon (kordofon yang dipukul) karena alat musik ini memiliki senar yang dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik ini terbuat dari bambu yang

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dimainkan dengan cara dipukul dengan tangan juga dengan menggunakan stik yang terbuat dari bambu juga.

Dalam wawancara penulis pada tanggal 25 Februari 2016 dengan bapak

Ishak Jamal Lubis,beliau mengatakan bahwa pembuat dan pemain Gondang bulu di kota medan sangat sedikit, jadi generasi penerus harus ada agar Gondang bulu

Mandailing ini tidak hilang. Beliau menjelaskan bahwa bahan dasar untuk membuat

Gondang bulu Mandailing adalah bambu. Dalam bahasa Mandailing bambu disebut

Bulu, karena itu alat musik ini dinamakan dengan Gondang bulu yang artinya

Gondang bambu. Bambu yang digunakan untuk membuat Gondang bulu juga tidak bisa sembarangan, bambu yang digunakan untuk membuat alat musik ini harus bambu yang khusus yaitu bambu Soma dan bambu Poring. Beliau sangat berpengalaman dalam membuat dan memainkan alat musik tradisional Mandailing oleh karena itu penulis tertarik menjadikan beliau sebagai salah satu informan dalam menulis skripsi ini.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis teknik permainan Gondang bulu. Teknik permainan Gondang bulu adalah penggabungan dari teknik permainan beberapa alat musik Mandailing seperti momongan dan . Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, saya memilih judul untuk penelitian ini yaitu: “Teknik

Permainan Gondang bulu Mandailing Oleh Bapak Hardiansyah Nasution.”

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang tertera di atas, pokok permasalahan mengenai tulisan ini adalah:

1. Bagaimana teknik permainan Gondang bulu yang dimainkan oleh bapak

Hardiansyah Nasution? Pokok masalah ini akan dibantu deskripsi dari bapak

Hardiansyah Nasution.

2. Bagaimana beliau memperoleh teknik permainan itu, apakah ada guru yang

khusus, atau beliau belajar sendiri secara otodidak, dan seperti apa peranan

beliau dalam masyarakat sebagai pemusik tradisional.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan

Secara umun penelitian bertujuan untuk mengetahui atau mengungkapkan objek yang diteliti yang bertujuan untuk menemukan sebuah kesimpulan dari sebuah masalah. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui teknik permainan Gondang bulu yang dimainkan oleh bapak

Hardiansyah Nasution.

1.3.2 Manfaat

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk penulis pribadi maupun masyarakat luas pada saat membaca penulisan karya ilmiah ini. Adapun manfaat tersebut antara lain:

4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1. Sebagai perbendaharaan dan dokumentasi bagi para pemain alat musik

tradisonal Mandailing khususnya pemain Gondang bulu.

2. Sebagai bahan refrensi untuk penelitian selanjutnya dikemudian hari.

3. Sebagai bahan motivasi dan pembelajaran bagi pembaca terkhusus pemusik

tradisional mandailing agar dapat melestarikan Gondang bulu dan melahirkan

lebih banyak lagi pemain musik tradisional Mandailing.

4. Sebagai syarat akhir penyelesaian studi penulis di Departemen

Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dariperistiwa kongkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005 hal

588).

Dalam penulisan konsep ini, penulis akan menerangkan kata-kata kunci dalam judul tulisan yaitu: Teknik permainan Gondang bulu Mandailing oleh bapak

Hardiansyah Nasution. Hal ini dimaksudkan agar pembaca memahami maksud dari judul tulisan ini.

Teknik adalah cara membuat sesuatu atau melakukan sesuatu, sedangkan permainan adalah suatu pertunjukan dan tontonan (Kamus Bahasa Indonesia 2008).

Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa teknik permainan merupakan gambaran mengenai pola atau cara yang dipakai dalam suatu pertunjukan. Yang

5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dimaksud dengan teknik permainan dalam tulisan ini adalah teknik permainan

Gondang bulu, yaitu cara memproduksi nada dan ritem yang biasa dipakai oleh pemain Gondang bulu.

Gondang bulu adalah alat musik tradisional Mandailing yang terbuat dari bambu yang dimainkan dengan cara dipukul. Bambu yang digunakan disebut bulu

Soma dan bulu Poring.

1.4.2 Teori

Teori merupakan bagian terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat,1974:10). Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah di dalam ilmu pengetahuan. Teori sangat dibutuhkan dalam penelitian untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan informasi (data) dan membatasi masalah yang ingin diteliti. Sebagai landasan berpikir dalam melihat permasalahan. Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Adapun teori yang menjadi landasan penulis dalam melakukan tulisan ini adalah dengan menggunakan teori etnosains. Yang dimaksud dengan etnosains dalam tulisan ini adalah mengutip pendapat Ihromi (1980) yang menyatakan bahwa teori etnosains adalah teori yang mendasarkan kajian dengan pengungkapan yang dilakukan oleh informan atau masyarakat pendukungnya. Analisis etnosains ini

6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sebaiknya tidak begitu mengolaborasikan pendapat-pendapat sepihak dari peneliti, tanpa memperhatikan pengetahuan yang terdapat dibalik pemikiran masyarakat pendukung kebudayaan yang diteliti tersebut.

Menurut Ahimsa Putra (1985), etnosains dan/atau etnometodologi merupakan teori baru dalam dunia ilmu sosial, khususnya di Indonesia meskipun kedua pendekatan tersebut telah berkembang sejak dekade 1960-an. Perspektif etnosains ada di dalam antropologi, sedangkan etnometodologi berada dalam lingkup kajian sosiologi. Etnosains dan etnometodelogi mempunyai kesamaan dalam penggunaan prefiks etno, atau folk, yaitu pendekatan yang dilakukan peneliti dari kacamata orang-orang yang terlibat di dalamnya. Maka, sebenarnya etnosains dan etnometodologi bukanlah barang baru bagi antropologi karena sudah sejak lama metode verstehen dikenal.

Etnosains muncul dan berangkat dari tradisi-tradisi antropologi yang mempunyai tujuan akhir “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world” (Malinowsky). Kemudian diikuti oleh Murdock yang menyusun suatu sistem data dari ratusan kebudayaan untuk memudahkan usaha tersebut yang disebut Human Relation Area Files, yang mana menurut

Goodenough, di situ ada tiga masalah pokok, yaitu (1) ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli antropologi sendiri. Akibatnya terjadi kepincangan data dalam etnogafi mereka sehingga menyulitkan usaja-usaha untuk menemukan prinsip-prinsip kebudayaan lewat studi perbandingan; (2) seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat

7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diperbandingkan, mengingat para antropolog menggunakan metode yang berbeda- beda dalam menempatkan data tersebut; (3) diperlukan kriteria lagi yang rupanya antara antropologi terdapat perbedaan. Pada masa berikutnya pemikiran

Goodenough yang menekankan hakikat kebudayaan pada aspek-aspek pengetahuan kognitif manusia juga menjadi warna tersendiri dalam kajian antropologi kontemporer termasuk di dalamnya etnosains. Penekanan pengertian kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, menurut penulis akan memudahkan antropologi dalam melukiskan kebudayaan, yaitu dengan memakai model dalam fonologi dalam ilmu linguistik. Di dalam fonologi dikenal istilah fonemik (penulisan bunyi bahasa dengan memakai cara si pemakai bahasa) dan fonetik (penulisan bunyi bahasa dengan simbol universal yang telah disepakati oleh ahli bahasa). Analog dengan hal di atas kemudian dalam antropologi dikenal istilah emik dan etik yang akan memudahkan dalam pelukisan kebudayaan serta membuat kajian-kajian kebudayaan menjadi kompatible dengan studi komparasi. Dari hal-hal tersebutlah kemudian muncul studi-studi Etnosains. Etnosains sendiri oleh Sturtevant didefinisikan sebagai suatu “system of knowledge and cognition typical of given cultures.”

Sebagai tambahan teori, penulis memakai teori pendekatan klasifikasi alat- alat musik yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) yaitu tentang sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar bunyi utama.

Sistem pengklasifikasian ini dibagi menjadi empat bagian yaitu:

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1. Idiofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyi dihasilkan oleh

badan alat musik itu sendiri.

2. Aerofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyi dihasilkan oleh

udara,

3. Membranofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyinya

dihasilkan oleh kulit atau membran.

4. Kordofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyinya dihasilkan

oleh senar atau dawai.

Selain teori pengklasifikasian alat musik, penulis juga menggunakan teori yang dikemukakan oleh Alan.P.Merriam yaitu tentang fungsi dan guna (use and function). Fungsi dan guna musik ini dibagi menjadi sepuluh yaitu: (1) fungsi hiburan, (2) fungsi pengungkapan perasaan, (4) fungsi kesinambungan kebudayaan,

(4) fungsi estetika, (5) fungsi komunikasi, (6) fungsi respon fisik, (7) fungsi integrasi sosial, (8) fungsi dalam upacara, (9) fungsi norma sosial, dan (10) fungsi pendidikan.

Selain itu untuk menganalisi ritme, penulis juga menggunakan teori Jamalus

(1988 :7-8) ritme adalah urutan rangkaian gerak yang menjadi unsur dasar dalam musik dan tari. Ritme dalam musik terbentuk dari sekelompok bunyi dan tanda diam dengan bermacam-macam lama waktu atau panjang pendek lagu yang membentuk pola irama dan bergerak menurut ayunan birama.

9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.5 Lokasi Penelitian

Adapun tempat yang menjadi lokasi penelitian yang penulis pilih adalah tempat tinggal sekaligus bengkel narasumber yaitu Bapak Hardiansyah Nasution di

Saentis Pasar 1, kecamatan percut sei tuan, kabupaten deli serdang.

Selain melihat lokasi penelitian tempat pembuatan gondang bulu

Mandailing ini, penulis perlu juga melihat lokasi penelitian, di mana-mana saja gondang bulu buatan Bapak Hardiansyah Nasution ini.

1.6 Metode dan Teknik Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu semua hal yang menjadi objek penelitian digambarkan, diringkaskan, dan menarik segala aspek yang didapat dari hasil penelitiaan tersebut untuk dianalisis secara deskriptif.

1.6.1 Studi Kepustakaan

Sebelum mengadakan penelitian lapangan, terlebih dahulu dilakukan studi kepustakaan yaitu dengan membaca bahan yang relevan, baik itu tulisan- tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data relevan untuk mendukung penulisan skripsi ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Krik

Miller dalam Moleong (1990:4) yang mengatakan: penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara frudamental bergantung

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.

1.6.2 Kerja Lapangan

Penulis melakukan kerja lapangan dangan observasi langsung ke daerah penelitian yaitu rumah sekaligus bengkel bapak Hardiansyah Nasution dan mencari narasumber dari beberapa pemusik mandailing lainnya.

1.6.3 Observasi

Pengumpulan data dengan cara observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Metode observasi menggunakan kerja panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit (Burhan Bungin,2007:115).

Observasi atau pengamatan dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indra penglihatan yang juga berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

1.6.4 Wawancara

Untuk melakukan wawancara penulis terlebih dahulu menyusun daftar sejumlah beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada informan yang tentunya berkaitan dengan pokok permasalahan. Pada akhirnya wawancara bersifat informal

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan bebas dan tidak terikat kepada daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Pertanyaan akan berkembang sesuai dengan pokok pembicaraan yang tentunya masih fokus kepada hal yang menjadi inti permasalahan. Penulis langsung melakukan wawancara kepada Bapak Hardiansyah selaku informan kunci dan beberapa informan lainnya yang tentunya paling tidak mengetahui tentang

Gondang bulu tersebut.

1.6.5 Kerja Laboratorium

Semua data yang telah diperoleh akan dikaji, diolah, dan dianalisis dalam kerja laboratorium. Data yang didapat dari lapangan dan semua data hasil dari studi kepustakaan selanjutnya akan dibuat dalam bentuk tulisan ilmiah yang berupa skripsi yang disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka serta teknik penulisan secara ilmiah.

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB II MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN DAN BIOGRFI RINGKAS HARDIANSYAH NASUTION

2.1 Masyarakat Mandailing

2.1.1 Asal Usul Orang Mandailing

Masyarakat Mandailing yang mendiami Kota Medan tidak terlepas dengan asal muasal oleh leluhurnya yang bertempat tinggal di Wilayah Mandailing.

Masyarakat Mandailing diduga sudah ada pada ribuan tahun yang lalu. Menelusuri latar belakang masuknya penduduk didaerah Mandailing beberapa pendapat orang berbeda-beda, dan pendapat berbeda itulah bila tidak didukung dengan fakta-fakta tertulis, seperti prasasti-prasasti tentu tidak mudah untuk mempertanggung jawabkannya. Penulis mengambil beberapa pendapat mengenai asal usul

Masyarakat Mandailing sebagai bahan informasi mengenai asal usul nama daerah

Madailing dan masyarakatnya. Memungkinkan bahwa Wilayah Mandailing pada zaman Kerajaan Majapahit mempunyai masyarakat secara homogen, yaitu masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu Ketatanegaraan Kerajaan dalam Kebudayaannya. Terbukti dari ekspansi pasukan Kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1287 Caka (465 M). dimana salah satu syairnya disebut nama

Mandailing. Adapun syair tersebut yaitu, “Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang Palembang karitang I teba len dharmamacraya tumut/kandis kahwas manangkabwa ri siyak rekan Kampar

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mwang I pane/ kampe harw athawe mandailing I tumihang parilak mwang I babrat/” (Pane, 2014).

Sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi Kerajaan Majapahit ke

Malayu di Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebu, Darmasraya.

Minangkabau, Siak. Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, Mandailing.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nama Mandailing sudah terlukis pada syair ke 14 Negarakertagamanya Propanca yang seperti tersebut di atas.

(Mhd. Arbain Lubis Ha 11-24) Menurut ulasan dari seorang tokoh sejahrawan

Z.Pangaduan Lubis dalam bukunya “Kisah Asal Usul Mandailing”, (Tahun 1986 hal 4-6), mengatakan selanjutnya bahwa didalam tonggo-tonggo (doa) terdapat kata-kata : disitulah (ditanah Mandailing) bertamasya si boru deakparujar.

Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah Mandailing itu pula si boru deakparujar turun dari kayangan. Dapat diketahui bahwa Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam Kebudayaan Toba-Tua.

Dan menurut mitologi Si Boru Deakparujar adalah Puteri Debata Mulajadi

Nabolon yang dititahkannya turun dari Benua ke Benua Tengah membawa sekepal tanah untuk menempa bumi diatas lautan. Tonggo-Tonggo Si Boru Deakparujar merupakan Kesusasteraan Toba Tua yang klasik yang terdiri dari 10 pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah masnyarakat dan kerohanian dari dalihan na tolu.

Dada Meuraxa mengatakan didalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Sumatera” (974 hal 449) menyatakan bahwa Mandailing ada yang menduga berasal dari perkataan

Mande Hilang dalam bahsa Minangkabau perkataan tersebut berarti Ibu yang

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Hilang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada yang menyangka nama Mandailing berasal dari perkataan “Mundahilang” yang berarti “Munda yang Mengungsi”.

Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa Munda yang berada di India pada masa yang silam melakukan pengungsian kepada mereka terdesak oleh Bangsa Aria, menurut.Slamet Mulyana menjelaskan dalam bukunya “Asal Bangsa dan Bahasa

Indonesia” (1964 hal:140) mengatakan sebagai berikut : sebelum kedatangan

Bangsa Aria, Bangsa Munda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan yang terjadi sekitar 1500 SM.

Pada waktu perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera.

Dengan melalui pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut sebagai Mandailing yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi. Di dalam buku yang di kemukakan oleh pengarangnya Mangaraja Lelo Lubis bahwa menurut orang tua, nama Mandailing berasal dari “Mandala Holing”. Pada zaman dahulu kala Mandala Holing adalah kerajaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di

Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua, tempat dimana banyak ditemukan

Candi-candi purba. Oleh karena serangan kerajaan Majapahit, kemudian pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Piu Delhi dimana kemudian hari kota ini dikenal dengan nama Pidoli di daerah Mandailing (didekat kota panyabungan yang sekarang). Terbukti terdapat Candi-candi purba pada waktu silam di Pidoli tetapi

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA hancur oleh pasukan islam di bawah pimpinan tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu. Masyarakat Mandailing digolongkan kedalam kelompok proto Melayu

(Melayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan suku Toba, Simalungun, Karo,

Pakpak/Diri. Persamaan-persamaan itu bisa dilihat dari Bahasa dan Adat

Istiadatnya. Kelompok Proto ini berasal Tiongkok Selatan, yang berpindah ke wilayah Indonesia pada abad 7 atau ke 8 SM. Dan dari ciri-ciri khas dari tempramen dan bentuk fisik, bahwa nenek moyang Suku-Suku bangsa termasuk rumpun Proto Melayu. (Emilkam Tambunan, 1982 : 44). Apa yang telah diuraikan baik Dada Meuraxa, Emilkam Tambunan, Slamet Mulyana sudah tersusun didalam buku Z. Pangaduan Lubis yang berjudul “kisah Asal Usul Mandailing” (1986 hal 6-

10). Dengan penjabarannya yang luas dan yang berhubungan antara satu dengan yang lain dan berdasarkan metode-metode yang kiranya dapat dicatat bahwa asal usul nama Mandailing sudah terbuka lebar, untuk mengungkapkan dan membuktikan kembali nama Mandailing yang harum semenjak dari seribu tahun yang silam.

2.1.2 Sistem Religi dan Agama

Pada masa sekarang ini Masyarakat Mandailing umumnya masih menganut

Agama Islam, tetapi Nenek Moyang mereka sebelum masuknya Agama Islam masih memegang kepercayaan Animisme atau dikenal dengan Pele Begu (suatu pemujian terhadap Roh Nenek Moyang). Pengajaran religi tersebut mengakui adanya kekuatan-kekuatan gaib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mala petaka dan penyakit terhadap diri manusia (Parlaungan Ritonga 1977:10).

Didalam pelaksanaan Upacara Ritual (Animisme), dipimpin oleh orang yang ahli dan bukan orang sembarangan. Dan orang itu adalah orang yang mengetahui doa- doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya atau disebut disebut dengan Si

Baso. Nenek Moyang mempercayai perantaraan Si Baso dengan Roh Nenek

Moyang dapat turun ke bumi dengan menurunkan pemberian berkah atau sebaliknya.

Sekitar tahun 1820 sistem Animisme ini mulai terhapus sejak Agama Islam masuk ke Mandailing yang dibawa oleh Kaum Padri dari Minangkabau. Ajaran yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran Agama Islam yang keras.

Mereka tidak memberi belas kasihan kepada pemuka-pemuka adat dan Masyarakat

Mandaling. Siapa saja yang tidak mau masuk ke Agama Islam akan dijadikan budak atau dibunuh oleh Kaum Padri. Karena tindakan Kaum Padri yang kejam, lama kelamaan Masyarakat Mandailing menerima Agama Islam, dan akhirnya

Agama Islam menjadi berkembang di seluruh daerah Mandailing. Setelah

Masyarakat Mandailing memeluk Agama Islam, hal ini membuat pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena Agama Islam melarang kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja dalam upacara karena dianggap bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Sekitar tahun 1849 Agama Kristen mulai masuk ke daerah Mandailing yang dibawa oleh para Pendeta-Pendeta. Akan tetapi

Masyarakat Mandailing tidak banyak yang menganut Agama Kristen karena sudah

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA lebih dulu menganut Agama Islam dan kebanyakan yang menganut Agama Kristen adalah para pendatang dari luar yang menetap di Mandailing.

2.1.3 Bahasa

Bahasa Mandailing merupakan salah satu bahasa daerah Indonesia yang dipergunakan oleh suku Batak Mandailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat dipakai di daerah Mandailing maupun daerah perantauan yang digunakan sebagai media komunikasi diantara sesama Etnis Mandailing. Menurut H. Pandapotan

Nasution,SH (2005 hal 14-15). Dalam bukunya mengungkapkan dengan sesuai pemakainya Bahasa Mandailing terdiri dari 5 tingkatan, yaitu:

(a) Bahasa adat (bahasa pada waktu uacara adat)

(b) Bahasa andung (bahasa waktu bersedih)

(c) Bahasa parkapur (bahasa waktu bersedih)

(d) Bahasa na biaso (bahasa sehari-sehari)

(e) Bahasa bura (bahasa waktu marah atau kasar)

Pertuturan Bahasa Mandailing masih dipergunakan pada saat tertentu, misalnya dalam Upacara Peradatan, Arisan, Perkumpulan Keluarga, dan

Perkumpulan Keluarga lainnya.

2.1.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing

Sistem kekerabatan adat istiadat Mandailing masih memegang pada adat istiadat yang disebut dengan “Markoum Marsisolkot”, adat istiadat ini sudah

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA disempurnakan atas pihak-pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup berdampingan rukun dan damai. Karena arti dari “markoum” adalah berkaum atau keluarga dekat, meskipun ia dari orang yang jauh atau dari orang yang tidak pernah dikenal. Sedangkan “marsisolkot” artinya mendekatkan yang sudah dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu Nenek Moyang. Adat Istiadat markoum marsislkot di Mandailing sudah disepakati dipakai kepada masyarakat baik dalam

Upacara Siriaon (upacara suka cita) ataupun dalam Upacara Siluluton (upacara duka cita). Dimana dikatakan bahwa adat istiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa lembaga adat yaitu (1) patik, (2) ugari,

(4) uhum, dan hapantunon.

1. Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar, jika dilanggar akan

dihukum, sebagaimana patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman

agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang, atau

tidak menimbulkan pertentangan atau pergesekan kepada masyarakat.

2. Ugari adalah kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Adat kebiasaan yang

diadatkan dari suatu daerah tidak merusak adat.

3. Uhum adalah sanksi hukum terhadap pelanggaran atas peraturan seperti patik,

ugari, dan hapantunon. Uhum atau sanksi dari pelanggaran itu bertingkat-tingkat

mulai dari teguran, denda, diusir dari kampung, dan hukuman mati.

4. Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan untuk memperhalus

hubungan antara sesama manusia. Hapantunon memberikan kepada Masyarakat

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA maupun Keluarga yang mempelajari etika pergaulan ataupun etika dalam

bergaul sehari-hari atau dalam ikatan keluarga pertuturon.

Adat istiadat markoum marsisolkot disebut juga sebagai Dalihan Na Tolu.

Dalihan artinya batu tungku, dan Na Tolu artinya yang tiga yang berarti ketiga batu ini menjunjung satu adat. Yakni tiga unsur kelompok yang berbeda menjunjung satu wadah Adat Mandailing, yang terdiri dari Kahanggi, Anak Boru, dan Mora.

(A) Kahanggi adalah kelompok yang bersaudara kandung dan ditambah dengan

kelompok yang sesama atau satu marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama-

saibu (seayah-seibu), saompu (satu nenek), saparaman (satu bapak), sabana

(seketurunan), sapangupaan (kakek bersaudara kandung), dan sakahanggi

(orang-orang satu marga dalam satu kampung).

(B) Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis dari kelompok kita.

Atau kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak mora. Dan

biasanya pihak anak boru hormat kepada pihak moranya

(C) Mora adalah kelompok saudara-saudara dari istri-istri dari pihak kita atau

tempat pengambilan anak-anak gadis dalam perkawinan.

Dari hasil keputusan musyawarah dari ketiga kelompok inilah atau dari pihak

Kahanggi, Anak Boru, dan Mora terciptanya adat Mandailing yang dikatakan adat

Markoum Marsisolkot. Apabila salah satu kelompok diantaranya tidak diikut sertakan, maka upacara Adat Mandailing yang berdasarkan adat istiadat Markoum

Marsisolkot tidak tercipta, atau dengan kata lain dibatalkan sama sekali. Di

Mandailing menganut Marga yang diturunkan dari Marga ayah (patrilineal). Garis

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA keturunan patrilineal ini dalam Mandailing dikelompokkan menjadi marga (clan).

Adapun marga yang terdapat di Mandailing yaitu (a) Nasution, (b) Lubis, (c)

Pulungan, (d) Rangkuti, (e) Batu Bara, (f) Dulae, (g) Matondang, (h) Parinduri, (i)

Hasibuan. Marga Lubis dan Nasution merupakan marga yang paling banyak jumlah warganya di daerah Mandailing.

Setiap anggota yang mempunyai marga, akan meletakkan nama marganya di belakang marga sendiri. Karena hal ini merupakan suatu tradisi yang sudah menyatu dengan kehidupan Masyarakat Mandailing sejak dahulu. Marga adalah suatu yang memiliki nilai-nilai solidaritas didalam keluarga maupun masyarakat. Orang-orang yang semarga dianggap bersaudara atau satu keturunan yang disebut Markahanggi.

Sistim kekerabatan lain yang luas dari marga juga terdapat pada Masyarakat

Mandailing. Sistim kekerabatan ini didasari oleh adanya suatu ikatan darah dan ikatan perkawinan antara antara anggota kelompok marga yang ada pada masyarakat. Ikatan darah dan perkawinan inilah yang melahirkan sistim sosial yang dilandasi dengan hubungan kekerabatan yang dinamakan dalihan na tolu.

2.1.5 Kesenian

Kesenian sudah dikenal oleh masyarakat Mandailing sejak zaman dahulu, seni musik yang hidup pada masa itu kuat kaitannya dengan kepercayaan lama atau pele begu (menyembah roh nenek moyang). Setiap melakukan upacara ritual atau keagamaan pada masa itu musik digunakan sebagai perantaraan di dalam upacara.

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Di dalam kehidupan masyarakat Mandailing pada masa pra islam, musik merupan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan keagamaan dan upacara-upacara adat, baik itu upacara yang bersifat suka cita yang dinamakan siriaon, ataupun upacara yang bersifat duka cita yang dinamakan siluluton. Sistim kepercayaan animisme yang dikenal dengan pele begu tersebut menempatkan musik (yang dipergunakan untuk upacara religi) pada kedudukan yang tinggi. Seperti penjelasan yang dibuat oleh Koentjaraningrat bahwa: hal itu disebabkan karena suara, nyanyian dan musik, merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam upacara keagamaan sebagai hal yang biasa menambah suasana keramat atau sakral.

(Koentjaraningrat 1980:245). Dalam tradisi di Mandailing pada masa pra islam pemujaan itu selalu menggunakan seorang perantara yang dinamakan si baso.

Sedangkan bunyi-bunyian yang suci diperkirakan adalah ensambel gondang maupun gordang. Dan pemain musik yang ahli pada masa itu dinamakan datu peruning-uningan atau datu pargondang. Dikarenakan mereka belajar bermain musik bukan dari manusia, melainkan dari begu. Yang secara khusus pula begu memberikan irama-irama gondang kepada datu perunin-uningan. Dan setelah masuk dan berkembangnya Agama Islam di Mandailing, penggunaan musik yang ditujukan kepada roh nenek moyang tidak dibenarkan untuk ditampilkan, karena hal itu bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Misalnya tradisi mengandung

(meratap dihadapan jenazah) yang dilakukan dalam upacara adat siluluton (duka cita).

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Mengandung pada upacara adat siluluton adalah suatu yang tidak diperkenankan, karena tidak sesuai dengan kaidah ajaran agama islam. Dalam bentuk nyanyian biasanya dibawakan secara solo. Misalnya jenis nyanyian ungut- ungut. Nyanyian ini biasa dibawakan oleh anak muda (meskipun siapa saja boleh membawakannya) sebagai nyanyian pelipur lara yang melukiskan tentang rasa duka dalam hal percintaan, dan dinyanyikan tidak didepan umum atau secara tertutup hanya secara pribadi. Masyarakat Mandailing, terutama ibu-ibu rumah tangga ataupun anak-anak gadis bila hendak menidurkan anak bayi biasanya akan dibawakan nyanyian khusus yang dinamakan bue-bue sambil membuei sibayi, ibunya ataupun anak-anak gadis akan mendendangkan nyanyian-nyanyian agar buah hatinya tertidur. Tradisi bernyanyi seperti ini pada masa sekarang ini jarang dan bahkan hampir tidak pernah dipergunakan oleh masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan perkembangan zaman yang sudah berubah.

Secara khusus masyarakat Mandailing menggunakan istilah ende untuk menyebutkan segala jenis nyanyian atau seni vokal yang terdapat pada masyarakat tersebut. Walaupun pada tiap nyanyian yang dibawakan oleh masyarakat yang mempunyai fungsi berbeda-beda seperti contoh diatas.

Adapun jenis alat musik di masyarakat Mandailing yang sumber bunyinya berasal dari udara yang disebut dengan aerofon yaitu, sebagai berikut: a) Tulila, merupakan alat musik tiup yang digunakan oleh para anak-anak muda

untuk memikat anak gadis yang dilakukan pada malam hari. Sang pemuda

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mendatangi rumah si gadis untuk berdialog secara berbisik dari balik dinding

tentang rasa cinta antara keduanya. b) Unyup-unyup, merupakan alat musik tiup yang terbuat dari batang padi.

Digunakan oleh pemuda sebagai hiburan di sawah, dan tidak jarang pula

untuk menarik perhatian para gadis-gadis. c) Ole-ole atau Olang-olang, merupakan alat musik tiup yang terdapat lilitan

daun kelapa yang berbentuk corong yang berfungsi untuk memperbesar suara. d) , merupakan merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bambu dan

berfungsi sebagai hiburan. e) Sordam, alat musik tiup yang terbuat dari bambung yang fungsinya sama

dengan suling yang dilakukan di tempat bernaungan seperti dibwah-bawah

pohon. f) Sarune, merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bambu juga.

Jenis alat musik membranofon yang sumber bunyinya berasal dari kulit atau membran yaitu, sebagai berikut:

(a) Gondang dua. Ensambel ini juga dinamakan gondang boru. Alat musik ini

terdiri dari dua buah gondang. Keduanya memiliki ukuran dan bentuk yang

sama dan kegunaan gondang dua atau gondang boru digunakan pada dalam

upacara adat siriaon (suka cita) misalnya perkawinan yang berfungsi untuk

menjemput pengantin perempuan, dan upacara siluluton (duka cita) misalnya

upacara kematian.

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (b) Gordang tano, gordang tano ini terbuat dari tanah yang dikorek kemudian

ditutup dengan papan dan dibuat tiang penyangga yang berfungsi untuk

mengikat rotan. Rotan inilah yang dipukul untuk menghasilkan bunyi.

Gordang tano digunakan untuk memanggil hujan, tetapi pada saat sekarang

sudah sulit ditemui atau bisa dibilang sudah langka.

(c) Gordang sambilan, ensambel ini terdiri dari sembilan buah gordang yang

bentuknya panjang dan besar dengan ukuran yang berbeda-beda. Dan nama-

nama gordang ini tidak sama di wilayah Mandailing seperti di daerah

pakantan, huta pungkut, dan tamiang. Untuk sepasang gordang yang paling

besar di daerah pakantan disebut: jangat (1,2), hudong-kudong (4,4), panduai

(5,6), patolu (7,8), dan enek-enek (9), sedangkan di daerah Hutapungkut dan

Tamiang disebut jangat yang dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) jangat

siangkaan, (2) jangat silitonga, (4) jangat sianggian, (4,5) pangaloi, (6,7)

paniga, (8) hudong-kudong, (9) teke-teke. Gordang sambilan terbuat dari

pohon ingul tetapi pada masa sekarang tidak jarang memakai batang pohon

kelapa dikarenakan pohon ingul sulit ditemukan. Untuk membrannya yaitu

kulit lembu yang diikat dengan rotan yang besarnya yang besarnya sebesar

jari kelingking orang dewasa dan cara memainkannya dipukul dengan

menggunakan batang kayu. Gordang sambilan dimainkan dalam upacara

siriaon (suka cita) misalnya upacara pernikahan, menyambut tamu, memasuki

rumah baru, dan peresmian-peresmian.

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (d) Gordang lima, dipergunakan lima buah gordang yang memiliki ukuran dan

nama yang berbeda-beda. Ukuran yang terbesar bernama jangat. Kemudian

ukuran selanjutnya hudong-kudong, ukuran yang ketiga dinamakan padua,

yang keempat adalah patolu, dan yang terkecil adalah enek-enek. Gordang

lima digunakan pada zaman dahulu untuk memohon kepada roh nenek

moyang mereka. Alat musik Mandailing lainnya yang bersifat kordofon

adalah gondang bulu, dalam sub-klasifikasi bersifat idiokordofon yang

memiliki senar yang dipikul pada badannya. Pada zaman dahulu gondang

bulu oleh dukun dalam melakukan kegiatan-kegiatan gaibnya.

Jenis kesenian alat musik Mandailing yang sumber bunyinya berasal dari badan alat musik itu sendiri (idiofon) terdiri dari (a) tali sasayak, (b) ogung jantan

(lebih kecil dari ogung boru), (c) ogung betina atau ogung boru, (d) doal, (e) mongmongan yang terdiri tadi (1) pamulusi, (2) panduai, dan (4) panolongi.

2.1.6 Organisasi Masyarakat Mandailing Di Kota Medan

Masyarakat Mandailing yang berdomisili di kota Medan memiliki organisasi atau perkumpulan. Dalam penelitian ini organisasi masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat Mandailing di Kota Medan terdapat pada beberapa organisasi masyarakat yang didasarkan perkumpulan marga maupun asal daerah. Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini, karena organisasi masyarakat merupakan perkumpulan bagi masyarakat Mandailing yang berdomisili di Kota Medan, HIKMA (Himpunan Keluarga Besar Mandailing)

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA di Kota Medan memiliki beberapa perwakilan, yaitu: Dewan Pengurus Daerah

(DPD) Tingkat I Sumatera Utara dan Dewan Pengurus Cabang (DPC) terdapat di

Jln. Letda Sutjono-Medan. IKANAS (Ikatan Marga Nasution) organisasi masyarakat yang didasarkan pada marga Nasution, organisasi ini tidak saja beranggotakan marga Nasution melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusu yang diberikan pada organisasi. Organisasi lainnya pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan kepada garis keturunan yang didasarkan pada marga ataupun tempat asal.

2.1.7 Sistem Pencaharian Masyarakat Mandailing di Kota Medan

Umumnya mata pencaharian masyarakat Mandailing di daerah Mandailing adalah berkebun (Mandailing julu) dan bertani (Mandailing godang). Sementara masyarakat Mandailing yang sudah berdomisili di Kota Medan, sistem mata pencaharian yang mereka kerjakan adalah kebanyakan pegawai negeri ataupun swasta dan pejabat-pejabat lainnya. Selain itu, ada juga yang sebagai pedagang, pemain musik, supir angkot dan pekerjaan lainnya. Semua yang mereka kerjakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka.

2.2 Pengertian Biografi

Biografi berasal dari kata bios (bahasa Yunani) yang artinya hidup, dan graphien yang berarti tulis. Biografi secara bahasa bisa diartikan sebagai sebuah tulisan tentang kehidupan seseorang, secara sederhana dapat dikatakan sebagai

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sebuah kisah riwayat hidup seseorang. Biografi sering kali bercerita tentang seorang tokoh sejarah, namun tak jarang juga tentang orang yang masih hidup.

Biografis biasa ditulis secara kronologis. Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan tema-tema tertentu misalnya “masa-masa awal yang susah” atau “ambisi dan pencapaian”). Walau begitu, beberapa yang lain berfokus pada topik-topik atau pencapaian tertentu. Biografi juga menulis dan menganalisa serta menerangkan kejadian-kejadian dalam hidup seseorang.

Biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta-fakta dari kehidupan seseorang dan peran pentingnya sementara biografi yang panjang meliputi, informasi-informasi penting namun dikisahkan dengan lebih mendetail dan tentunya dituliskan dengan gaya bercerita yang baik.

Dengan membaca biografi, pembaca akan menemukan hubungan keterangan dari tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seseorang tersebut, juga mengenai cerita-cerita atau pengalaman-pengalaman selama hidupnya. Biografi biasanya bercerita tentang seorang tokoh yang terkenal maupun yang tidak terkenal, namun biasanya biografi orang tidak terkenal akan menjadikan orang tersebut dikenal secara luas, jika didalam biografinya terdapat sesuatu yang menarik untuk disimak oleh pembacanya, namun biasanya biografi hanya berfokus pada orang- orang yang terkenal saja. Banyak biografi yang ditulis secara kronologis atau memiliki suatu alur tertentu, misalnya memulai dengan menceritakan tentang masa

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA anak-anak sampai masa dewasa seseorang, namun ada juga beberapa biografi yang lebih berfokus pada suatu topik-topik pencapaian tertentu.

Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, kliping, dan koran. Sedangkan bahan-bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku- buku refrensi atau sejarah yang memaparkan peranan subyek biografi itu. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a) Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta-fakta tentang orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu.

Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau menarik untuk dibahas; (b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam suatu bidang tertentu juga bagi orang lain; (c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan untuk menggambarkan orang tersebut; (d)

Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang dapat menggambarkan sifat tersebut; (e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang tersebut; (f) Apakah beliau memiliki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah dalam hidupnya; (g) Apakah beliau mengatasi masalah hidupnya dengan mengambil resiko, atau karena keberuntungan; (h) Apakah dunia atau suatu hal yang terkait dengan beliau akan menjadi lebih baik atau lebih buruk jika orang tersebut hidup ataupun tidak hidup, bagaimana, dan mengapa demikian. Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari studi perpustakaan atau

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan supaya tulisan sipenulis dapat dipertanggung jawabkan, lengkap dan menarik.

2.3 Alasan Dipilihnya Hardiansyah Nasution

Dalam tulisan ini, penulis memilih Hardiansyah Nasution sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu membuat dan memainkan alat musik tradisional Mandailing, selain itu alasan penulis memilih beliau diantaranya adalah: a) Di masa sekarang ini pemain musik tradisonal Mandailing bisa dibilang sudah

tergolong langka khususnya pemain dari alat musik tradisional Mandailing

yaitu Gondang bulu. Mungkin generasi muda jarang atau hampir tidak ada

yang dapat memainkan alat musik tradisional namun, beliau salah seorang

yang bisa dibilang handal dalam hal memainkan alat musik tradisional

Mandailing khususnya Gondang bulu saat ini dalam usia beliau yang masih

tergolong muda. b) Pengalaman beliau dimulai pada saat dia masih kecil yang didapatnya dari

orang tuanya sendiri yang juga merupakan pemain musik Mandailing dari

dulu sampai sekarang.

Hal tersebut penulis dapatkan dari hasil percakapan/wawancara dengan bapak Hardiansyah Nasution di rumah beliau sendiri. Peranan dan pengalaman beliau yang banyak ini menjadi alasan ketertarikan penulis menemukan fakta-fakta mengenai kehidupan beliau, dalam hal ini penulis lebih berfokus pada kehidupan

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA beliau sebagai pemain alat musik dan lebih dikhususkan pada instrumen musik gondang bulu Mandailing.

2.4 Biografi Hardiansyah Nasution

Biografi Hardiansyah Nasution yang akan dideskripsikan dalam tulisan ini, mencakup aspek-aspek: latar belakang keluarga, pendidikan beliau, kehidupan sebagai pemusik. Semua uraian dibawah ini penulis dapatkan dari hasil wawancara langsung dengan Bapak Hardiansyah Nasution, juga dari beberapa keluarga dan juga kerabat beliau.

2.4.1 Latar Belakang Keluarga

Bapak Hardiansyah Nasution lahir di medan, 11 agustus 1991. Beliau adalah putera dari bapak Ridwan Aman Nasution dan ibu Rosmati Lubis. Beliau merupakan anak pertama (1) dari tiga (4) bersaudara. Beliau lahir dari keturunan seniman Mandailing. Ayah dari Bapak Hardiansyah ini merupakan seniman

Mandailing. Beliau mendapat pengalaman bermain dan membuat alat musik tradisional dari ayahnya sendiri. Beliau juga mengatakan di kampung mereka pekantan, masih ada alat-alat musik peninggalan kakek beliau seperti gordang sambilan,gondang bulu,sarune, dan lain-lain. Nenek dari nenek beliau ( ibu dari ibu bapak Ridwan Aman Nasution) merupakan seorang penyanyi di tradisi Mandailing sedangkan kakek dari nenek beliau (ayah dari ibu bapak Ridwan Aman Nasution) merupakan kepala kelompok dari marga Lubis. Kakek dari kakek beliau(ayah dari

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ayah bapak Ridwan Aman Nasution) juga merupakan kepala kelompok dari marga

Nasution.

2.4.2 Latar Belakang Pendidikan

Pendidikan terakhir bapak Hardiansyah Nasution hanya sampai tamat SMA.

Beliau mengatakan dia sempat kuliah di Universitas Negeri Medan (UNIMED) namun hanya sebentar karena dia merasa tidak tertarik dengan kuliahnya akhirnya dia memutuskan untuk berhenti kuliah dan mengikuti jejak ayahnya dalam membuat alat musik dan sekaligus pemain musik.

2.4.3 Latar Belakang Berumah Tangga

Bapak Hardiansyah menikah tahun 2016 dengan istrinya Fitri Lubis tepatnya tanggal 28 februari. Beliau belum mempunyai anak dari hasil pernikahannya.

Namun, sebentar lagi akan mempunyai anak. Saat ini istri beliau sedang mengandung.

2.4.4 Bapak Hardiansyah Nasution Sebagai Pembuat Alat Musik

Seperti yang sudah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya latar belakang keluarga menjadi faktor besar yang mempengaruhi beliau dalam membuat serta memainkan alat musik tradisional Mandailing. Kemampuan dalam membuat alat musik tradisional Mandailing ia peroleh dari ayahnya. Sejak masih anak-anak beliau sering melihat dan membantu ayahnya dalam membuat alat musik tradisional

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sehingga sekarang beliau terus mencoba sesuatu yang baru dan mengembangkan kemampuannya ini dan membuat dengan gaya yang berbeda dari ayahnya. Hingga sekarang beliau menjadi mahir membuat alat musik tradisional Mandailing.

2.4.5 Bapak Hardiansyah Nasution Sebagai Pemusik Tradisional Mandailing

Seperti yang telah diterangkan dalam sub bab sebelumnya, beliau mengikuti jejak ayahnya tidak hanya sebagai pembuat alat musik saja tetapi juga sebagai pemain musik tradisional Mandailing. Dalam karirnya sebagai pemusik sudah banyak tempat dan pengalaman yang dijalani beliau. Sejak umur 7 tahunbeliau sudah sering ikut dengan ayahnya dalam mengisi-mengisi acara dan juga bergabung dengan grup-grup musik. Beliau pernah rekaman di stasiun TVRI dan mengisi acara HUT TVRI Medan pada tahun 2014 lalu. Selain itu beliau juga pernah bergabung dengan group musik Paraka Na Malos, Pos Ni Roha, dan beliau juga bergabung dengan grup Batang Gadis bersama ayahnya. Sebagian besar karir bermusik beliau dia dapatkan dari bermain musik bersama ayahnya.

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III KONSTRUKSI GONDANG BULU MANDAILING

3.1 Bahan Yang Digunakan

Ada dua jenis bambu yang bisa dipakai dalam pembuatan badan gondang yang berfungsi sebagai senar dan resonator yaitu bambu soma dan bambu poring.

Kedua bambu Inipun memiliki perbedaan tergantung dari kelamaan merendamnya.

Perbedaan dari bambu ini yaitu kalau bambu soma membutuhkan masa rendam tiga hari sampai satu minggu sedangkan bambu poring membutuhkan masa rendam satu sampai tiga bulan. Dalam tulisan ini bapak Hardiansyah Nasution menggunakan bambu soma untuk membuat gondang bulu. Alasan beliau memilih bambu soma dikarenakan masa rendam yang tidak terlalu lama juga daya tahannya lebih kuat.

Kalau menggunakan bambu poring akan memakan waktu lama untuk merendamnya selain itu bambu poring akan lebih cepat berjamur, busuk, dan lebih gampang pecah jadi beliau lebih memilih menggunakan bambu soma.

Bentuk badan gondang bulu ini berbentuk tabung yang berdiameter 5cm atau bulat panjang seperti batang pohon kelapa yang dikorek bagian atas dan bawahnya. Ukuran panjangnya berbeda-beda tergantung selera si pemain (pemain gondang bulu) ada yang berukuran 1m, 1,20m bahkan ada yang 2m. Dalam tulisan ini agar tidak meluas penulis telah mengukur gondang bulu buatan bapak

Hardiansyah Nasution yang berukuran 1,20m.

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Selain bambu bahan yang digunakan untuk membuat gondang bulu ini

adalah rotan. Rotan dalam hal ini berfungsi sebagai pengikat senar. Rotan

berukuran panjang 1m dililitkan dibagian atas dan bawah senar kemudian dipaku

agar badan bambu tidak koyak.

Gambar 3.1 Pengikat Senar Gambar 3.2 Pengikat Senar

Bawah Atas

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Selain rotan bahan lain yang digunakan adalah kayu kecil berbentuk kotak yang berukuran 1 dan 2cm yang diletakkan dibawah senar sebagai penyangga sekaligus penyetel senar.

6 7

3 1 4 2 5

Gambar 3.3 Penyangga Senar

Berdasarkan gambar 3.3 di atas, terdapat beberapa bagian yang diwakili atau ditunjukkan oleh angka untuk menjelaskan tentang penyangga senar. Angka tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Penyangga bagian atas senar pertama.

2. Penyangga bagian bawah senar pertama.

3. Penyangga bagian atas senar kedua.

4. Penyangga bagian tengah senar kedua.

5. Penyangga bagian bawah senar kedua.

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 6. Penyangga bagian atas senar ketiga.

7. Penyangga bagian bawah senar ketiga.

Gambar 3.3 yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, menunjukkan bagian penyangga pada senar pertama, kedua dan ketiga. Dan pada bagian penyangga senar keempat dapat dilihat pada gambar 3.4 berikut ini.

8 9

Gambar 3.4 Penyangga Senar

Berdasarkan gambar 3.4 yang ditampilkan sebelumnya, terdapat beberapa bagian yang diwakili atau ditunjukkan oleh angka untuk menjelaskan tentang penyangga senar. Angka tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

8. Penyangga bagian atas senar keempat.

9. Penyangga bagian bawah senar keempat.

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kayu juga menjadi bahan dasar untuk membuat stik yang berfungsi sebagai pemukul senar. dari hasil wawancara penulis belum ada kayu khusus yang menjadi bahan pembuatan stik namun, beliau menggunakan batang kopi untuk membuat stik dari gondang bulu buatannya. Alasan beliau memilih batang kopi karena batang kopi lebih ringan dan padat sehingga tidak mudah patah.

Gambar 3.5 Stik Pemukul Gondang Bulu

3.2 Proses Pembuatan

Di masa sekarang ini sudah banyak alat-alat moderen yang dapat digunakn untuk membuat alat musik seperti (mesin bubut, sekrap, bor dan sebagainya), namun penulis dalam penulisan skripsi ini membatasi pendeskripsian pembuatan gondang bulu secara tradisional. Peralatan pembuatan gondang bulu yang dipakai secara tradisional ini adalah pisau, pahat, martil, dan paku. Dengan menggunakan alat-alat yang sederhana ini pembuatan gondang akan memakan waktu sedikit lebih lama jika dibandingkan dengan menggunakan alat-alat moderen. Hal ini disebabkan faktor kesulitan saat memotong dan mengikis badan bambu untuk membuat senar,

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA lubang resonator, dan tempat dudukan tangan untuk martopap. Apabila tidak hati- hati bambu akan pecah dan tidak bisa digunakan lagi. Menurut informan saya apabila ia mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan hati-hati untuk membuat senar, lubang resonator, dan tempat dudukan tangan untuk tempat untuk martopap ini akan memakan waktu satu sampai dua hari. Karena setelah bambu dipotong dan dikikis bambu harus dihaluskan kembali agar tidak ada serat-serat bambu yang tertinggal sehingga kita bisa memainkan gondang dengan nyaman.

Proses awal pembuatan senar adalah dengan mememotong bagian badan bambu sampai sepanjang 70cm kemudian diberi jarak 2,5cm untuk membuat senar kedua begitu juga dengan senar ketiga dan keempat (Jadi jarak dari setiap senar adalah 2,5cm). Ukuran tebal dari ke empat senar ini berbeda-beda adapun perbedaan itu: senar yang pertama dan kedua memiliki ketebalan 1cm dan senar yang ketiga dan empat memiliki ketebalan 2cm.

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4

4

1 2

Gambar 3.6 Senar Gondang bulu

Berdasarkan gambar 3.6 diatas, terdapat beberapa bagian yang diwakili atau ditunjukkan oleh angka untuk menjelaskan tentang senar gondang bulu. Angka tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Senar pertama.

2. Senar kedua.

4. Senar ketiga.

4 Senar keempat.

Hal ini dibuat berbeda karena keempat senar ini memiliki fungsi yang berbeda-beda. Setelah senar selesai dibuat selanjutnya senar dikikis sampai halus agar serat-serat bambu tidak tertinggal pada senar. alat yang digunakan untuk

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memotong dan mengikis senar yaitu pisau dan pisau kater. Setelah senar selesai dikerjakan, tahap berikutnya adalah pengikat senar. Cara membentuk rotan menjadi berbentuk seperti tali adalah dengan memotong tipis rotan sampai menjadi kecil- kecil kemudian dikikis sehingga rotan menjadi lembek dan lentur. Kemudian setelah rotan selesai dipotong dan dikikis rotan dilitkan pada bagian atas dan bawah senar kemudian dipaku agar senar menjadi tegang seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.1 dan 3.2. Alat yang digunakan untuk memotong, mengikis, dan mengikat rotan yaitu pisau kater, paku, dan martil.

Tahapan berikutnya adalah membuat penyangga senar. pertama-tama kayu dipotong sampai menjadi beberapa potongan setelah itu kayu di bentuk menjadi kotak kemudian di kikis sampai menjadi kecil atau lebih tepatnya seukuran 1cm seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.3 dan 3.4. Alat yang digunakan untuk memotong dan mengikis kayu adalah pisau dan pisau kater.

Setelah penyangga senar selesai dibuat tahapan selanjutnya adalah membuat lubang resonator dan tempat dudukan tangan untuk martopap. Dibagian kiri badan bambu atau lebih tepatnya diberi jarak 2,5cm dari senar badan bambu dilubangi selebar 1cm kemudian disebelah badan bambu yang sudah dilubangi dikikis tipis dan dihaluskan agar serat-serat bambu tidak tertinggal sehingga tangan tidak terluka pada saat bertopap. Alat yang digunakan untuk membuat lubang resonator dan tempat martopap masih sama yaitu pisau dan pisau kater.

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.5 cm

Gambar 3.7 Jarak antara senar dan lubang resonator

70cm

Gambar 3.8 Panjang Lubang Resonator

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Setelah senar, pengikat senar, penyangga senar, lubang resonator, tempat martopap selesai dikerjakan, tahapan selanjutnya adalah mengorek bagian atas dan bawah bambu. Bagian atas dan bawah bambu dikorek sedalam 2 sampai 4cm.

Kemudian setelah berlubang sisi lubang dikikis sampai menjadi halus. Alat yang digunakan untuk mengorek bagian atas dan bawah bambu yaitu pahat dan pisau kater.

Gambar 3.9 Lubang Bagian Atas Gambar 3.10 Lubang Bagian Bawah

Setelah bambu sudah menjadi gondang bulu tahap selanjutnya adalah membuat stik. Menurut hasil wawancara penulis dengan bapak Hardiansyah Nasution dan bapak Ridwan Aman Nasution panjang stik berbeda-beda tergantung selera si pemain (pemain gondang bulu) namun dalam tulisan ini penulis membatasi dengan mengukur stik buatan bapak Hardiansyah Nasution dan Bapak Ridwan Aman

Nasution yaitu berukuran satu jengkal atau kurang lebih 18cm sampai 20cm. Stik buatan kedua beliau ini terbuat dari batang kopi yang dikupas kulit luarnya kemudian dikikis sampai halus seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5. Alat yang digunakan untuk membuat stik ini yaitu pisau kater.

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penulis tidak melihat langsung proses pembuatan gondang bulu ini, namun penulis melakukan wawancara mendalam dengan bapak Hardiansyah Nasution dan dengan bapak Ridwan Aman Nasution selaku pembuat sekaligus pemain yang mahir dalam membuat dan memainkan alat musik tradisional Mandailing. Dan beliau-beliau ini menceritakan dan menjelaskan proses dari awal sampai tahapan terakhir pembuatan gondang bulu secara detail sehingga penulis menjadi mengerti dan dapat menuangkannya dalam tulisan ini.

3.3 Klasifikasi Organologis Gondang bulu

Dari uraian di atas, kita telah mengetahui seluk beluk gondang bulu yang berkaitan dengan bahan, proses pembuatan, dan bentuknya. Berdasarkan uraian di atas penulis akan menguji pengklasifikasian alat musik ini berdasarkan teori Curt

Sach dan Erich M. Von Hornbostel, yang biasa dilakukan oleh para peneliti untuk mengambil suatu kesimpulan tentang kedudukan sebuah alat musik dalam penulisan ilmiah.

Dalam teori yang berkaitan dengan studi alat musik terdapat empat penggolongan besar terhadap alat musik yaitu: Idiofon, Membranofon, Kordofon, dan Aerofon. Masing-masing penggolongan ini didasari dengan sifat yang berkaitan dengan bahan, bentuk, teknik memainkan, posisi memainkan, cara memainkan.

Agar tidak mengarah ke hal-hal yang tidak perlu dibicarakan, penulis hanya membatasi diskusi tentang klasifikasi alat musik idiofon, dimana gondang bulu dapat dimasukkan. Menurut definisi-definisi yang ada, idiofon adalah alat musik

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang bunyinya dihasilkan dari alat badan alat musik itu sendiri. Pengklasifikasian ini juga didasari oleh keadaan yang menjadi ciri dari alat musik tersebut, terutama bentuknya, yang menempatkan alat musik ini ke dalam klasifikasi yang lebih khusus.

Dalam klasifikasi ini bentuk gondang sangat penting untuk diperhatikan.

Curt Sach membaginya ke dalam dua bentuk yaitu: struck idiofon,dan plucked idiofon (Sach, 1940:459). Adapun pengertian dari kedua pengklasifikasian ini yaitu:

1.) Struck idiofon adalah idiofon yang dipukul secara langsung atau dengan

menggunakan alat bantu.

2.) Plucked idiofon adalah idiofon yang tidak dipukul secara langsung dan

tanpa menggunakan alat bantu.

Teori di atas, dilihat dari segi cara memainkannya. Sedangkan dari segi bentuk alat musik itu, Curt Sach membaginya ke dalam empat bagian yaitu: idiofon berbentuk berpencu, idiofon berbentuk tabung, idiofon berbentuk bilah, dan idiofon berbentuk khusus. Berdasarkan cara memainkan dan bentuknya maka gondang bulu dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi idiofon dengan ciri-ciri yang lebih khusus yaitu struck idiofon, dan berdasarkan bentuknya gondang bulu termasuk dalam idiofon berbentuk tabung.

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV TEKNIK PERMAINAN GONDANG BULU MANDAILING

4.1 Teknik Penyetelan Senar

Dalam gondang bulu terdapat empat buah senar yang warna bunyi dan fungsinya berbeda-beda. Teknik menyetel senar ini berbeda-beda tergantung selera si pemain (pemain gondang bulu) dalam tulisan ini penulis berfokus pada teknik penyetelan senar yang disajikan oleh bapak Hardiansyah Nasution yaitu pada senar pertama terdapat dua buah penyangga senar kemudian penyangga senar ini ditarik sampai ke ujung ruas kiri dan kanan senar sampai posisi penyangga senar tepat di ujung kiri dan kanan.

Gambar 4.1 Gambar 4.2 Posisi Penyangga senar Posisi Penyangga senar bagian kiri senar pertama bagian kanan senar pertama

Pada senar kedua terdapat tiga penyangga senar penyangga senar yang pertama diletakkan di tengah dan dua lainnya di letakkan ujung ruas kiri dan kanan senar sama seperti senar yang pertama tepat diujung kiri dan kanan senar. Dan

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA penyangga senar bagian kiri, tengah dan kanan dapat dilihat pada gambar 4.3, gambar 4.4, dan gambar 4.5 berikut ini.

Gambar 4.3 Gambar 4.5 Posisi Penyangga senar Posisi Penyangga senar bagian kanan Senar kedua bagian kiri senar kedua

Gambar 4.4 Posisi Penyangga senar bagian tengah senar kedua

Kemudian pada senar ketiga terdapat dua buah penyangga senar yang ditarik ke kiri dan ke kanan ruas senar namun berbeda dari senar pertama dan kedua penyangga senar tidak ditarik sampai tepat ke ujung senar tujuannya agar suara senar menjadi lebih bulat.

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.6 Gambar 4.7 Posisi Penyangga senar Posisi Penyangga senar bagian kiri Senar ketiga bagian kanan senar ketiga

Pada senar ke empat terdapat dua buah penyangga senar. posisi keduanya sama dengan penyangga senar pada senar pertama ditarik ke ujung ruas kiri dan kanan senar sampai tepat di ujung kiri dan kanan senar.

Gambar 4.8 Gambar 4.9 Posisi Penyangga senar Posisi Penyangga senar bagian kiri Senar keempat Bagian kanan senar Keempat

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.1.1 Warna Bunyi dan Fungsi Senar

Menurut bapak Hardiansyah Nasution bunyi yang bisa dihasilkan gondang bulu terdiri dari lima warna bunyi yang merupakan dasar dalam permainan gondang bulu. Kelima bunyi ini masing-masing mempunyai nama atau ekspresi bunyi.

Menurut Bapak Hardiansyah Nasution bunyi tersebut dapat diekspresikan ke dalam lima jenis bunyi yaitu: tek, dung, tak, bong, pung. Kelima nama bunyi ini ada karena fungsi dari masing-masing senar berbeda-beda, di mana senar yang pertama dan kedua berfungsi sebagai momongan sedangkan senar yang ketiga dan empat berfungsi sebagai gong betina dan gong jantan. Sesuai hasil wawancara saya dengan bapak Hardiansyah beliau mengatakan bahwa senar yang pertama dan kedua adalah tiga momongan yang berbeda yaitu momongan mangertek, momongan pamolusi, dan momongan doal. Senar yang pertama berfungsi sebagai doal sedangkan senar yang kedua berfungsi sebagai mangertek dan pamolusi.

Untuk menghasilkan bunyi tek dipukul pada senar yang kedua tepat dibagian kiri senar dekat dengan penyangga senar. untuk mengahasilkan bunyi dung dipukul tepat dibagian tengah senar yang pertama. Untuk menghasilkan bunyi tak dipukul dibagian kanan senar kedua namun tidak terlalu ke ujung. Untuk menghasilkan bunyi bung dipukul pada senar ketiga dibagian atas senar tidak terlalu ke tengah dan tidak terlalu ke atas. Untuk menghasilkan nada pung dipukul pada senar keempat di bagian bawah senar ini sama seperti menghasilkan bunyi bung pada senar ketiga tidak terlalu ke tengah dan tidak terlalu ke bawah. Dalam bermain gondang bulu urutan senar yang menjadi pola pukul juga harus diperhatikan.

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pola yang pertama yaitu pada senar kedua (momongan mangertek) selanjutnya pada senar pertama (momongan doal) selanjutnya pada senar kedua (momongan pamolusi) selanjutnya kembali lagi ke senar pertama (momongan mangertek) lalu di akhiri dengan memukul senar ketiga (gong betina). Pola yang kedua masih sama dengan pola yang pertama hanya saja di akhiri dengan memukul (gong jantan).

Untuk lebih memperjelas posisi pukulan dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 4.10 Posisi Pertama Gambar 4.11 Posisi Kedua

Gambar 4.12 Posisi Ketiga Gambar 4.13 Posisi Keempat

Gambar 4.14 Posisi Kelima

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.1.2 Posisi Bermain Dan Teknik Memukul Senar

Posisi bermain bisa bagaimana saja tergantung nyaman sipemain, namun posisi yang benar menurut bapak Hardiansyah Nasution yaitu dengan duduk bersilah di bawah kemudian kaki kiri dilipat dan kaki kanan diluruskan ke depan untuk menahan bagian bawah gondang agar gondang tidak bergerak saat dipukul dan gondang di tidurkan bersandar dengan paha kanan.

Gambar 4.15 Posisi Bermain

Sekalipun penulis menyadari bahwa mendeskripsikan suatu bunyi ke dalam tulisan adalah tidak mungkin, namun dengan mendeskripsikan teknik tangan dan posisi permukaan gondang yang dipukul paling tidak akan bisa memberikan gambaran kepada pembaca. Namun penulis menyadari pula bahwa sekalipun deskripsi teknik ini dipraktekkan oleh orang yang tidak tahu bermain gondang, belum tentu dapat mewakili warna bunyi yang dianggap benar dan diharapkan.

Kecuali bila ada alat pembantu lainnya seperti kaset rekaman yang bisa dijadikan orientasi bunyi atau belajar langsung dengan bimbingan seorang guru.

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dalam bermain gondang bulu pemain perlu memperhatikan cara memukul senar dan memegang stik saat akan bermain. Menurut bapak Hardiansyah sebelum memukul senar yang paling penting diperhatikan adalah cara memegang stik dan beliau mengatakan cara memegang stik yang benar yaitu dengan menjepit stik diantara jari jempol dan jari telunjuk pada tangan kanan kemudian pergelangan tangan diayun dengan lembut dan ujung stik tepat memukul dibagian senar yang akan dipukul. Kalau hal ini tidak diperhatikan pemain bisa salah memukul senar atau bisa mengenai senar yang lain saat dipukul. Misalnya sipemain mau memukul senar yang pertama tapi karena posisi memegang stik dan mengayunkan stik tidak benar bisa mengenai senar yang kedua sehingga suara yang dihasilkan tidak sesuai dengan pola bunyi gondang bulu.

4.1.3 Teknik Martopap

Martopap dalam bahasa Mandailing artinya menampar. Menampar yang dimaksud di sini adalah teknik bermain gondang bulu. Atau istilah lainnya disebut juga peningkah. Seperti yang sudah dibahas dalam sub bab sebelumnya bahwa tangan kanan adalah pemegang stik maka tangan kiri digunakan sebagai topap dalam bermain gondang bulu. Posisi tangan kiri diletakkan pada bagian kiri gondang tepatnya di sebelah lubang resonator. Posisi tangan saat bertopap yaitu pergelangan tangan kiri ditempelkan guna sebagai kuda-kuda saat bertopap kemudian badan gondang ditampar dengan menggunakan telapak tangan.

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.16 Posisi Kuda-Kuda Gambar 4.17 Posisi Memukul Bertopap

4.2 Transkripsi

Transkripsi adalah proses penotasian bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual. (Nettl, 1964: 98). Pentranskripsian bunyi musik merupakan suatu usaha untuk mendeskripsikan musik, yang mana hal ini merupakan bagian penting dalam disiplin Etnomusikologi.

Dalam mentranskripsikan pola ritem dan melodi gondang bulu ini, penulis menggunakan notasi barat. Adapun alasan penulis memilih sistem notasi barat karena sistem notasi barat sangat cocok untuk menunjukkan nilai ritmis dari setiap nada. Lebih daripada itu simbol-simbol yang terdapat dalam sistem notasi barat bersifat fleksibel, artinya untuk menyatakan sebuah nada yang sulit untuk ditranskripsikan dapat ditambahkan simbol-simbol lain yang sesuai dengan kebutuhan yang penulis inginkan.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Untuk melakukan transkripsi penulis memilih lagu gondang tor-tor yang penulis dapat dari penelitian dengan narasumber dengan cara merekam saat narasumber bermain gondang bulu.

4.2.1 Simbol-Simbol Dalam Notasi

Simbol-simbol yang digunakan dalam notasi transkripsi lagu gondang tor-tor merupakan simbol-simbol dalam notasi Barat. Berikut ini beberapa simbol yang digunakan dalam hasil transkripsi lagu gondang tor-tor.

1. : Merupakan birama 4/4 dalam kunci G.

2. : Merupakan dua not seperdelapan yang

digabungkan menjadi satu

3. : Merupakan empat not seperdelapan

yang digabungkan menjadi satu

4. : Merupakan Kunci G dalam garis

paranada

5. : Merupakan not seperempat dan dua not

seperdelapan yang diberi tanda slur

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

6. : Merupakan Satu not seperempat dan

satu not seperdelapan dengan tanda slur

7. : Merupakan satu not seperempat yang

bernilai 1 ketuk

8. : Merupakan satu not seperdelapan yang

bernilai setengah ketuk

9. : Merupakan satu not setengah yang

bernilai dua ketuk

10. : Merupakan tanda istirahat yang bernilai

empat ketuk

11. : Merupakan tanda istirahat yang bernilai

dua ketuk

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.2.2 Tangga Nada Gondang Tor-Tor

Dalam lagu yang penulis pilih yaitu gondang tor-tor penulis sudah menganalisa bahwa nada terendah dari lagu gondang tor-tor adalah nada A dan nada tertinggi adalah nada A pada oktaf berikutnya. Penulis menemukan empat buah nada mulai dari nada yang terendah sampai nada yang tertinggi dalam lagu gondang tor-tor ini yaitu:

A B D A

2M 4m 5P

4.2.3 Nada Dasar

Dalam menentukan nada dasar Gondang Tor-Tor ini penulis berpatokan pada lagu yang dimainkan oleh bapak Hardiansyah Nasution yang penulis peroleh dengan melihat dan merekam beliau saat memainkan lagu ini. Selanjutnya data tersebut ditranskripsikan dalam notasi barat. Hasil yang didapat dalam transkripsi

Gondang Tor-Tor adalah C.

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.2.4 Wilayah Nada

Wilayah nada adalah jarak antara nada tertinggi dan nada terendah dalam tangga nada. Wilayah nada pada Gondang Tor-Tor adalah sebagai berikut:

A A

6 laras

4.2.5 Jumlah Nada

Jumlah nada adalah banyaknya nada-nada yang dipakai secara keseluruhan dalam suatu musik baik instrumental atau vokal. Dalam lagu Gondang Tor-Tor penulis memperoleh 10 nada A, 10 nada B, 447 nada B, 60 nada A pada oktaf berikutnya. Selengkapnya lihat gambar di bawah ini:

A B D A

10 10 447 60

Nada yang paling sering muncul pada lagu Gondang Tor-Tor adalah nada D di susul dengan nada A oktaf sedangkan nada yang paling sedikit muncul adalah nada A rendah dan disusul dengan nada B.

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GONDANG BULU

GONDANG TOR – TOR

Transkripsi : Rian Situmorang,

Mario Yosua Sinaga S.Sn

Tangan Kanan

Tangan Kiri

Tangan Kanan

Tangan Kanan

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis jelaskan ada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini maka penulis akan mengambil beberapa kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan sebagai langkah terakhir penulis akan membuat saran sebagai penutup tulisan ini.

5.1 Kesimpulan

Sumatera Utara memiliki wilayah yang luas terbagi dari beberapa daerah yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan terdapat beberapa suku, ras, agama, dan golongan. Diantara semua itu ada beberapa suku yang bertautan dan saling melengkapi menjadi suatu etnik, adapun etnik tersebut terdiri dari Batak Toba,

Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak Dairi, Melayu, Pesisir Sibolga, Nias, inilah sub etnik yang ada di Sumatera Utara. Dalam tulisan ini membahas tentang salah satu etnik diatas yaitu Mandailing. Etnik Mandailing banyak memiliki terdiri dari seni vokal, tari-tarian, dan adat kebiasaan lainnya yang berbentuk budaya dan selain itu dalam etnik Mandailing terdapat alat-alat musik yang berperan dalam masyarakatnya salah satunya adalah gondang bulu yang terdapat di daerah

Pekantan Mandailing. Dari hasil deskripsi tentang gondang bulu ini maka penulis

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA melihat bagaimana peran dan fungsi gondang bulu dalam masyarakat Mandailing.

Pada dasarnya untuk kegiatan aktivitas budaya, instrumen gondang bulu memiliki fungsi yang minim untuk mendukungnya. Tapi alat musik gondang bulu ini memiliki peran tersendiri dalam penggunaannya hal ini dilihat dari cara memainkannya yang bisa dibilang cukup sulit. Dari hal ini dapat kita lihat bahwa sesungguhnya peran suatu kesenian berasal dari karya dan manusianya. Demikian juga dengan gondang bulu ini sudah tergolong langka dan hampir mengalami kepunahan.

Demikian bagaimana keberadaan alat musik gondang bulu ini dalam yang terdapat dalam kebudayaan Mandailing selalu terkait dengan penggunaanya secara fungsional dan kebutuhan masyarakat tersebut dengan memperhatikan manusia kesenian yang turut mendukung menguasai dan terciptannya alat musik gondang bulu tersebut.

5.2 Saran

Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam mengerjakan tulisan ini.

Maka itu penulis berharap peneliti selanjutnya dapat menyempurnakan tulisan ini, baik dari kurangnya sumber refrensi maupun yang lainnya.

Penelitian yang penulis lakukan juga masih dalam tahap kecil oleh karena itu penulis berharap bagi para peneliti selanjutnya dapat mengkaji bagian-bagian dari

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Mandailing yang masih banyak mulai dari ritual, tari-tarian, nyanyi-nayanyian, dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Walaupun masih dalam penelitian yang penulis lakukan masih terbilang minim namun kiranya dapat bermanfaat bagi masyarakat pendukung kebudayaan serta pihak departemen pemerintah yang bertugas mengembangkan, menjaga, dan melestarikan Budaya

Nusantara. Seperti yang kita ketahui di masa sekarang ini segala sesuatu bisa didapat dengan cara yang instan yang dapat merusak segala sesuatu yang berkaitan dengan hal tradisional. Untuk itu penulis berharap masyarakat Mandailing dapat menjaga kebudayaannya dan menjauhi hal yang berhubungan dengan keinstanan yang dapat merusak budaya bahkan menghilangkan kegiatan-kegiatan kebudayaan.

Hal ini khususkan pada alat musik tradisional Mandailing yaitu gondang bulu yang sudah hampir puna dan sulit untuk ditemukan karena minimnya perhatian terhadap alat musik tradisional ini. Gondang bulu merupakan salah satu kesenian tradisional asli masyarakat Mandailing. Apabila melihat dari cara memainkannya di mana satu alat musik dapat merangkup beberapa alat musik dan hanya dimainkan oleh satu orang membuat alat musik ini berbeda dari alat musik pukul lainnya. Eksistensi alat musik ini tergantung kepada manusianya terkhusus masyarakat Mandailing harus memahami kebudayaan ini akan digunakan untuk memenuhi kebudayaannya sendiri.

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sebelum sampai kepembuatan alat musik ini ada kalanya diperhatikan dulu dari segi teknik permainan gondang bulu mungkin dapat menjadi pendorong bagi masyarakat Mandailing untuk lebih menjaga budayanya dengan melihat teknik permainan gondang bulu yang dilakukan oleh informan penulis yaitu bapak

Hardiansyah Nasution. Dengan tulisan semoga dapat mendorong masyarakat

Mandailing untuk mempertahankan, mengembangkan, dan menjaga kebudayaan khususnya dalam hal kesenian agar tetap lestari dan awet di dalam masyarakatnya.

Kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan penulis yang selanjutnya agar alat musik gondang bulu ini dapat berkembang dalam industri, pemasarant, dan management yang jelas agar alat musik gondang bulu ini terus berkembang dan berkesinambungan khususnya untuk kegiatan ekonomi pengrajin, dan kesenian tradisional dapat naik sampai ke pasar industri musik dunia.

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Daftar Pustaka

Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach, 1961. Clasification of Musical Instrument. Translate From Original Jerman by Antoni Brims and Klons P. Wachsman 1961 Hood.

Ihromi, T.O., 1980 Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor

Jamalus. 1988. Musik Dan Praktek Perkembangan Buku Sekolah Pendidikan Guru. Jakarta: CV. Titik Terang.

Koentjaraningrat, 1985. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat (ed), 1997. Metode-metode penelitian masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Meriam, Alan P 1964. Antropology of Music.Blomington, Indiana, University Press.

Saragih, Tumpal H.F.M. 2014.Teknik Permainan Sarune Pakpak Oleh Bapak Kerta Sitakar: Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Siregar. Krisrendi Masdeo. 2014. Analisis Teknik Dan Gaya Permainan Gitar Klasik Pada Lagu Sipatokaan Dan Bubuy Bulan Aransemen Iwan Tanzil. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Takari, dkk. 2005 “ Seni dalam Budaya Masyarakat Sumatera Utara”

Pusat Pembinaan Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Penerbit Balai Pustaka

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Hardiansyah Nasution

Umur : 25 Tahun

Alamat : Saentis Pasar 1, Kecamatan Percut Sei Tuan,

Kabupaten Deli Serdang

Pekerjaan : Wiraswata

2. Nama : Ridwan Aman Nasution

Umur : 55 tahun

Alamat : Saentis Pasar 1, kecamatan Percut Sei Tuan,

Kabupaten Deli Serdang

Pekerjaan : Wiraswasta

3. Nama : Ishak Jamal Lubis (Ucok)

Umur : 48 Tahun

Alamat : Jalan Letda Sujono gang Akur nomor 2A

Pekerjaan : Wirasawasta

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Lampiran 1

Gambar Bapak Ridwan Aman Bersama Istri

(Dokumentasi Rian, 2016)

Lampiran 2

Gambar Bapak Hardiansyah Nasution Bersama Penulis

(Dokumentasi Rian, 2016)

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA