DESKRIPSI PERTUNJUKAN MUSIK TRADISI DAN TORTOR DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KELURAHAN KARANG BEROMBAK, KECAMATAN MEDAN BARAT, KOTA MEDAN DENGAN MEMPELAI ENDANG RETNO WIDIASTUTI DAN HIDAYAT NASARUDDIN HASIBUAN

SKRIPSI SARJANA

O L E H

M. REZA F. PANE NIM: 140707043

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2019

Universitas Sumatera Utara

ii

Universitas Sumatera Utara

iii

Universitas Sumatera Utara

iv

Universitas Sumatera Utara

PERNYATAAN

Dengan ini saya nyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2019

M. Reza F. Pane NIM: 140707043

v

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Skripsi sarjana ini berjudul “Deskripsi Pertunjukan Musik Tradisi dan Tortor dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing di Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan dengan Mempelai Endang Retno Widiastuti dan Hidayat Nasaruddin Hasibuan.” Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeksipsikan du fenomena pada upacara perkawinan tersebut, yakni yang pertama adalah upacara perkawinan dan yang kedua pertunjukan musik tradisi Mandailing yakni gordang sambilan dan gondang dua, serta tortornya. Untuk menjawab masalah pertama digunakan teori upacara. Selanjutnya untuk mendeskripsikan pertunjukan musik dan tortor, digunakan teori pertunjukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini berbasis pada kerja lapangan, berupa observasi, perekaman peristiwa upacara secara audiovisual, dan wawancara terutama kepada narasumber dan pelaku.Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut. (A) Dari sisi upacara perkawinan adat Mandailing, pengantin wanita yang beretnik Jawa terlebih dahulu diberi marga, seterusnya dilakukan tahapan-tahapan upacara: peminangan (manyapai boru, mangaaririt boru, padamos hata, patobang hata, manulak sere dan seterusnya) yang memiliki aturan-aturan adat tertentu; kemudian acara akad nikah, diteruskan ke prosesi menuju pelaminan, yang disertai dengan iringan gordang sambilan, gondang dua, dan tortor (terutama penyambutan pengantin laki-laki), sungkeman, tortor bersama kerabat, dan hadirin. (B) Pertunjukan musik tradisi dan tortor Mandailing, dilakukan pada saat mulai prosesi menuju ke pelamainan yang diiringi gordang sambilan, diteruskan ke depan pelaminan kedua mempelai manortor penyambutan pengantin laki-laki yang diiringi oleh gondang dua dan lagu onang-onang. Diteruskan saat duduk di pelaminan kerabat dan pengunjung manortor bersama. Struktur gordang sambilan, gondang dua, dan tortor berakar dari musik dan tari tradisional Mandailing.

Kata Kunci: pertunjukan, upacara, gordang sambilan, gondang dua, tortor.

vi

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Yang Maha

Kuasa atas segala rahmat-Nya yang memberikan kesempatan dan kesehatan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan kemudian dituliskan dalam skripsi sarajana ini. Skripsi ini berjudul Deskripsi Pertunjukan Musik Tradisi dan

Tortor dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing di Kelurahan Karang Berombak,

Kecamatan Medan Barat, Kota Medan dengan Mempelai Endang Retno Widiastuti dan

Hidayat Nasaruddin Hasibuan, yang merupakan sebuah syarat akhir dalam rangka menyelesaikan studi pada Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang terbaik. Besar kemungkinan terdapat berbagai kekurangan di sana- sini, yang disebabkan oleh keterbatasan penulis dan pengalaman penulis yang masih kurang. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak terutama dari dosen pembimbing dan penguji skripsi ini.

Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak sebagai berikut. (a) Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., sebagai rektor

Universitas Sumatera Utara; (b) Bapak Dr. Budi Agustono, Dekan Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara; (c) Ibu Arifninetrirosa, SST., M.A., selaku ketua

Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara dan

Pembimbing I skripsi sarjana ini, yang telah memberikan arahan dan nasehat selama penulis dalam perkuliahan, sangat banyak nasehat yang diberikan. Semoga Allah SWT selalu memberikan keperkahan kepada Ibu; (d) Drs. Bebas Sembiring, M.Si., selaku sekreetaris Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera

vii

Universitas Sumatera Utara Utara; (e) Bapak Drs. Fadlin, M.A., sebagai Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak memberikan arahan kepada penulis dan saran-saran yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan kepada Bapak.

Terima kasih juga diucapkan kepada bapak dan ibu dosen Program Studi

Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Prof. Drs. Mauly

Purba, Ph.D.; Drs. Irwansyah, M.A.; Dra. Frida Deliana, M.Si.; Dra. Heristina Dewi,

M.Pd.; Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si.; Drs. Perikuten Tarigan, M.Si.; Drs.

Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.; Drs. Torang Naiborhu, M.Hum.; Drs. Kumalo

Tarigan, M.A., Ph.D.; Dra. Rithaony, M.A.; serta dosen-dosen lainnya yang telah banyak meberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama bertahun-tahun mengikuti perkuliahan. Semoga doa dari bapak dan ibu dosen meyertai penulis dalam rangka mengaplikasikan ilmu di tengah-tengah masyarakat nantinya.

Secara khusus dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya buat kedua orang tua yang sangat terhormat dan sayangi.

Bapak Ir. Muslizar Pane dan ibunda Mariana Danywati Hutasuhut. Terima kasih juga untuk abangnda Muhammad Akbar Fadly Pane S.E. atas segala doa, kasih sayang, kerja keras, semangbat, dukungan moril dan material yang penulis terima selama ini, hingga menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Etnomusikkologi,

Universitas Sumatera Utara. Terima kasih semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan untuk Bapak, Ibu, dan Abang.

Untuk Bapak Syamsul Bahri Lubis, M. Yusuf Daulay, Lukman Daulay, Ridwan

Aman Nasution, selaku informan penulis, diucapkan terima kasih untuk segala informasi yang diberikan. Karena data-data tersebut akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi.

viii

Universitas Sumatera Utara Kepada teman-teman stambuk 2014 yang telah mendukung dan membantu dalam penulisan skripsi ini, terima kasih telah berbagi waktu di masa perkuliahan yang kita lalui, baik dalam suka maupun duka. Semoga kebersamaan kita dan ilmu yang telah kita dapatkan kelak berguna bagi nusa dan bangsa.

Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pendidikan dan kebudayaan di era globalisasi ini. Seterusnya menjadi bahan penelitian lanjutan yang relevan.

Medan, Agustus 2019 Penulis,

M. Reza F. Pane NIM 140707013

ix

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... v ABSTRAK ...... vi KATA PENGANTAR ...... vii DAFTAR ISI ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xii DAFTAR TABEL ...... xiii

BAB I: PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2 Pokok Permasalahan ...... 9 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 10 1.3.1 Tujuan ...... 10 1.4.1 Manfaat ...... 10 1.4 Konsep dan Teori yang Digunakan ...... 11 1.4.1 Konsep yang Digunakan ...... 11 1.4.2 Teori yang Digunakan...... 15 1.5 Metode Penelitian ...... 18 1.5.1 Wawancara ...... 19 1.5.2 Kerja Laboratorium ...... 20 1.5.3 Studi Kepustakaan ...... 20 1.5.4 Perekaman ...... 21 1.6 Lokasi Penelitian ...... 22

BAB II: ETNIK MANDAILING DALAM BUDAYA MASYARAKAT MEDAN YANG MULTIKULTURAL ...... 23 2.1 Geografi dan Demografi Kota Medan ...... 23 2.2 Sekilas Kelurahan Karang Berombak ...... 28 2.3 Strategi Budaya Masyarakat Mandailing di Kota Medan ...... 31 2.4 Integrasi Sosial EtnikMandailing dan Jawa di Kota Medan ...... 34 2.5 Asal-usul Orang Mandailing ...... 38 2.6 Agama ...... 44 2.7 Bahasa ...... 46 2.8 Sistem Kekerabatan ...... 47 2.9 Mata Pencaharian ...... 50 2.10 Seni Musik dan Tortor ...... 51 2.10.1 Ende ...... 51 2.10.2 Gordang Sambilan dan Gondang Dua ...... 53 2.10.3 Tortor ...... 54

BAB III: DESKRIPSI UPACARA ADAT PERKAWINAN MANDAILING DENGAN MEMPELAI ENDANG RETNOWIDIASTUTI DENGAN HIDAYAT NASARUDDIN HASSIBUAN ...... 58 3.1 Biografi Ringkas Kedua Pengantin ...... 58 3.2 Pokok-pokok Aturan Upacara Adar Perkawinan Mandailing ...... 61 3.2.1 Acara di Rumah Tboru na Ni Uli...... 61 3.2.2 Horja Pabuat Boru ...... 64 3.2.3 Horja Haroan Boru ...... 65 3.2 Deskripsi Jalannya Upacaea Adar Perkawinan ...... 73

BAB IV: PERTUNJUKAN TORTOR. GOEDANG SAMBILAN, DAN GONDANG DUA ...... 83 4.1 Pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ...... 83 x

Universitas Sumatera Utara 4.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ...... 83 4.3 Pendukung Pertunjukan ...... 84 4.3.1 Panortor ...... 84 4.3.2 Paerondang ...... 85 4.3.3 Penonton ...... 86 4.4 Perlengkapan Pertunjukan ...... 86 4.5 Alat Musik yang Digunakan ...... 86 4.6 Gerak Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ...... 94 4.6.1 Ragam dan Pola Gerak ...... 94 4.6.2 Pola Lantai ...... 100 4.7 Deskripsi Musik Iringan ...... 101 4.7.1 Model Notasi ...... 103 4.7.2 Melodi Onang-onang dan Strukturnya...... 104 4.7.3 Tangga Nada ...... 105 4.7.4 Nada Dasar ...... 106 4.7.5 Wilayah Nada ...... 107 4.7.6 Jumlah Nada ...... 107 4.7.7 Jumlah Interval ...... 108 4.7.8 Pola Kadensa ...... 109 4.7.9 Kontur ...... 110

BAB V: PENUTUP ...... 112 5.1 Kesimpulan ...... 112 5.2 Saran ...... 114

DAFTAR PUSTAKA ...... 116 DAFTAR INFORMAN ...... 117

xi

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Peta 2.1: Kota Medan ...... 29 Peta 2.2: Kecamatan Medan Barat ...... 30 Peta 2.3: Kelurahan Karang Berombak ...... 31 Gambar 3.1: Mempelai Wanita, Endang Retno Widiastuti ...... 59 Gambar 3.2: Mempelai Laki-laki, Hidayat Nasaruddin Hasibuan ...... 60 Gambar 3.3: Gambar Pengantin Laki-laki dan Wanita ...... 60 Gambar 3.4: Prosesi Penyambutan Pengantin Laki-laki ...... 77 Gambar 3.5: Para Pemain Gordang Sambilan ...... 77 Gambar 3.6: Pengantin Wanita Sungkem kepada Ibu Mertua ...... 78 Gambar 3.7: Pengantin Wanita Sungkem kepada Ayah Mertua dan Pengantin Laki-laki kepada Ibundanya ...... 78 Gambar 3.8: Pengantin Wanita Sungkem kepada Ibunya dan Pengantin Laki-laki kepada Mertua Laki-laki ...... 79 Gambar 3.9: Pemasin dan Mongmongan Kelompok Gunung Kulabu Pakantan ...... 79 Gambar 3.10: Pemasin Gondang Dua dari Kelompok Gunung Kulabu Pakantan ... 80 Gambar 3.11: Kedua Pengantin Manortor ...... 80 Gambar 3.12: Kedua Pengantin Manortor bersama Kerabat ...... 81 Gambar 3.13: Ridwan Aman Nasution, sebagai Pembawa Acara ...... 81 Gambar 3.14: Tamu Undangan Mengisi Daftar Hadir ...... 82 Gambar 3.15: Tamu Undangan Sedang Bersantap Makanan...... 82 Gambar 4.2: Gondang Dua ...... 89 Gambar 4.3: Gong ...... 90 Gambar 4.4: Mongmongan dan Doal ...... 92 Gambar 4.5: Tali Sasayak ...... 93 Gambar 4.6: Serunei ...... 94 Gambar 4.7: Gerak Somba Satu ...... 97 Gambar 4.8: Gerak Somba Dua ...... 98 Gambar 4.9: Gerak Somba Tiga ...... 99 Gambar 4.10: Formasi Seni Pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ...... 101

xii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Penduduk Medan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2000, 2009, dan 2015 ...... 25 Tabel 2.2: Perbandingan Etnik di Kota Medan Tahun 1930, 1980, dan 2000 ...... 25 Tabel 4.1: Simbol Notasi ...... 106 Tabel 4.2: Nada Dasar Pada Nyanyian Onang-onang...... 107 Tabel 4.3: Jumlah Nada Pada Nyanyian Onang-onang ...... 108 Tabel 4.4: Nama dan Jenis Interval ...... 108 Tabel 4.5: Interval Pada Nyanyian Onang-onang ...... 109

xiii

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam setiap kelompok manusia, apakah itu dalam bentuk keluarga, suku, bangsa, masyarakat, dikenal sebuah upacara yakni perkawinan. Lembaga perkawinan ini fungsi utamanya adalah untuk meneruskan generasi manusia, yang biasanya berlatar belakang kebudayaan. Setiap insan memerlukan pasangan hidupnya yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kodrat dirinya sebagai makhluk Tuhan.

Selain dari fungsi utama perkawinan untuk melanjutkan generasi manusia, fungsi-fungsi lainnya dari perkawinan adalah untuk menyalurkan hasrat seksual, membina keluarga inti (yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya), memenuhi kewajiban sebagai pimpinan, menjalin interaksi sosial terhadap kerabat baru karena hubungan perkawinan, memenuhi kodrat sebagai manusia, dan berbagai fungsi lainnya. Dengan demikian perkawinan adalah bagian yang tidak terpisahkan peradaban manusia dalam menjalani kehidupan.

Dalam proses menuju perkawinan, biasanya didahului dengan saling kenal antara calon pengantin laki-laki dan perempuan. Masa yang seperti ini adalah bagian dari saling menimbang untuk melangkah ke depan membentuk rumah tangga. Sesudah itu jika terjadi kesesuaian, maka tahap berikutnya adalah pengenalan kepada kedua orang tua masing-masing dan bisa saja melibatkan keluarga besarnya. Sesudah itu, masuklah proses peminangan, yang diikuti dengan pemberian mahar dan berbagai materi persiapan upacara perkawinan.

1

Universitas Sumatera Utara Kemudian masuk kepada upacara perkawinan itu sendiri, yang biasanya melibatkan agama yang dianut keduanya. Kemudian kedua suami istri ini masuk ke dalam tahap berumah tangga, yang tentunya dengan harapan menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera. Demikian pula yang terjadi di dalam budaya etnik1

Mandailing dengan wilayah budayanya di Sumatera Utara bahagian selatan serta daerah persebarannya, termasuk Kota Medan. Dalam upacara perkawinan ini, mereka menggunakan tari tradisional tortor dan musiknya yang terdiri dari dua ensambel, gordang sambilan dan gondang dua (boru).

Sumandyo (2005:14) mengutip Soerjodiningrat menyatakan bahwa: “Tari tidak hanya keselarasan gerak-gerak badan dengan iringan musik saja, tetapi seluruh ekspresi harus mengandung maksud-maksud isi tari yang dibawakan.”

Dengan demikian, tari tidak hanya berbicara tentang keselarasan antara gerak badan dengan musik saja, tetapi juga haruslah mengandung makna-makna yang ingin disampaikan.

Tari diadakan sesuai dengan kebudayaan setempat dengan cara dalam konteks yang berbeda-beda, yang diadakan untuk upacara-upacara yang berkaitan dengan adat dan kepercayaan, juga untuk hiburan atau rekreasi. Sistem sosial dan lingkungan alam mempengaruhi bentuk dan fungsi tari pada suatu komunitas suku dan budaya (Dewan Kesenian Jakarta, 1976:157).

1Istilah etnik atau etnis adalah unsur serapan dari bahasa Inggris, yang merupakan padanan kata suku dalam bahasa . Pengertian etnik dalam skripsi sarjana ini, mengacu kepada disiplin ilmu antropologi (Narroll, 1964), yakni sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

2

Universitas Sumatera Utara Dalam kebudayaan Mandailing tari tradisimya disebut dengan tortor yang berhubungan erat dengan berbagai upacara atau hiburan tertentu. Tortor mengandung prinsip semangat kebersamaan dan solidaritas untuk kepentingan bersama. Pada umumnya gerak tari pada masyarakat Mandailing dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman seseorang atau masyarakat agar dihayati secara estetika oleh penikmat atau penontonnya. Tortor pada budaya masyarakat

Mandailing berperan penting dalam aktivitas kehidupannya,berkaitan dengan kehidupan spiritual dan untuk hubungan sosial kemasyarakatan (wawancara dengan Bapak Syamsul Bachri Lubis, 26 Maret 2018).

Selain tortor, dalam upacara perkawinan adat Mandailing digunakan juga ensambel gordang sambilan dan gondang dua. Ensambel musik ini adalah seperangkat alat musik sakral yang terdiri dari sembilan buah gendang yang berukuran besar dengan panjang antara 1 meter sampai 1,8 meter. Ensambel ini dipercayai mempunyai kekuatan gaib untuk media komunikasi dengan roh-roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium yang disebut sibaso.

Alat-alat musik ensambelnya adalah: sarune, gordang yang jumlahnya sembilan

(2 jangat, 2 hudong kudong, 2 padua, 2patolu, 1 enek-enek), ogung (dada boru dan jantan), mongmongan (panolongi, panduai, dan pamolusi), gong, dan tali sasayak.

Dalam upacara perkawinan adat Mandailing di Medan, selain gordang sambilan, lazim juga digunakan ensambel gondang dua atau gondang boru.

Ensambel ini digunakan terutama ketika mengiringi nyanyian onang-onang yang dilakukan pada saat kedua pengantin manortor. Ensambel ini terdiri dari satu buah , dua buah gendang dua sisi berbentuk konis, yang dipukul dengan satu stik

3

Universitas Sumatera Utara dan telapak tangan, mongmongan (panolongi, panduai, dan pamolusi), gong, dan tali sasayak.

Tiga unsur seni tersebut, yakni tortor, ensambel gordang sambilan, dan ensambel gondang dua digunakan dalam rangka mengiringi adat perkawinan

Mandailing yang dilaksanakan di Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan

Medan Barat, Kota Medan, dengan fokus utama penelitian penulis dalam upacara adat perkawinan antara dua mempelai yakni Endang Retno Widiastuti dengan

Hidayat Nasaruddin Hasibuan.

Dalam konteks budaya di Sumatera Utara umumnya, dan Kota Medan khususnya, perkawinan ini sangatlah menarik. Pertama, pengantin wanita adalah beretnik Jawa, dan kemudian setelah musyawarah dan mufakat antarkeluarga, bersetuju untuk mengadakan pesta pernikahan dengan menggunakan adat perkawinan Mandailing. Kedua, dalam pelaksanaan adat perkawinan ini, sadar atau tidak terjadi sedikit akulturasi budaya Mandailing dengan Jawa. Menurut pengamatan penulis, hiasan pada pelaminan terdapat gunungan sebagai simbol kosmos (alam) dalam tradisi Jawa, terutama dalam pewayangan. Ketiga, setelah tortor menyambut pengantin laki-laki, yang dilakukan kedua mempelai di depan pelaminan, keduanya melakukan tradisi sungkeman (sembah) kepada kedua orang tua mempelai perempuan dan laki-laki. Keempat, pakaian yang digunakan kerabat, selain menggunakan pakaian adat Mandailing, juga baju biasa dengan warna merah (salah satu warna dalam adat Mandailing, yang berarti keberanian), juga sebahagiannya menggunakan dengan motif-motif khas Jawa. Kelima, pembawa acara selalu menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Mandailing dalam konteks berkomunikasi. Keenam, onang-onang tetap dinyanyikan dengan

4

Universitas Sumatera Utara menggunakan bahasa Mandailing, dan berbagai peristiwa menarik lainnya. Ini terjadi di tempat pengantin perempuan Kelurahan Karang Berombak Medan.

Kelurahan Karang Berombak adalah salah satu kelurahan yang terdapat di

Kecamatan Medan Barat, kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Secara kependudukan, sebagian besar penduduk di kelurahan ini adalah suku-suku pendatang sedangkan “suku asli” Melayu Deli hanya sekitar kurang lebih 10 % saja. Di antara suku-suku pendatang itu adalah etnis Mandailing dan Jawa, yang menyelenggarakan adat perkawinan Mandailing.

Dalam penelitian lapangan yang penulis lakukan, rangkaian upacara perkawinan tersebut adalah seperti paparan berikut ini.

1. Si pengantin laki-laki datang ke rumah pengantin perempuan bersama

rombongan keluarga besarnya dengan didampingi ayah dan ibunya.

2. Setiba di rumah pengantin perempuan, dilangsungkan akad nikah berdasarkan

ajaran agama Islam.

3. Selesai akad nikah, kedua pengantin diberikan nasihat oleh saudara ipar dari

pengantin perempuan.

4. Selanjutnya, kedua pengantin didoakan oleh seluruh keluarga besar

berdasarkan ajaran agama Islam yang dipimpin oleh perwakilan dari Kantor

Urusan Agama (KUA).

5. Lalu kedua pengantin memohon restu kepada kedua orang tua masing-masing

dengan dilanjutkan menyalami seluruh keluarga besar.

6. Setelah itu pengantin laki-laki bersama rombongan keluarga besarnya

kembali mendatangi rumah pengantin perempuan untuk menjalankan proses

adat perkawinan Mandailing.

5

Universitas Sumatera Utara 7. Pengantin laki-laki bersama rombongan keluarga besarnya disambut dengan

tortor yang disajikan oleh 9 (sembilan) panortor (penari) perempuan yang

statusnya belum menikah. Rombongan dalam prosesi ini diiringi oleh

ensambel gordang sambilan.

8. Tidak lama kemudian panortor-panortor tadi membelah formasi untuk

memberi jalan masuk si pengantin laki-laki bersama rombongan keluarga

besarnya.

9. Lalu nanguda si pengantin perempuan membawa si pengantin laki-laki

dengan cara mengaitkan sebuah kain ke pinggang si pengantin laki-laki

menuju pelaminan untuk didudukkan bersama si pengantin perempuan.

10. Lalu dalam waktu bersamaan terdengar sebuah lantunan selawat Nabi

Muhammad SAW yang dilantunkan oleh satu kelompok yang beranggotakan

7 (tujuh) laki-laki, yang terdiri dari 1 (satu) laki-laki berlantun sambil

memainkan gendang Melayu, 1 (satu) laki-laki berlantun sambil memainkan

Tamborin, 5 (lima) laki-laki hanya berlantun saja.

11. Setelah itu dilakukan prosesi tepung tawar yang dilakukan oleh keluarga dari

kedua pengantin kepada kedua pengantin yang telah duduk bersama di

pelaminan.

12. Setelah lantunan selawat Nabi Muhammad SAW dan prosesi tepung tawar

selesai, kedua pengantin didoakan kembali berdasarkan ajaran agama Islam.

13. Kemudian kedua pengantin manortor di depan pelaminan, diriringi oleh

ensambel gondang dua dan nyanyian onang-onang yang berisi riwayat hidup

kedua pengantin, dan doa serta harapan menjadi suami dan istri yang bahagia

selamanya.

6

Universitas Sumatera Utara 14. Setelah itu, acara adat dilanjutkan dengan sungkeman (sembah) kedua

pengantin kepada kedua orang tua mereka masing-masing.

15. Kemudian dilaksanakan upah-upah (tepung rawar) kepada kedua mempelai

oleh kaum kerabatnya.

Struktur gerak Tortor yang penulis dapatkan pada perkawinan tersebut memiliki berbagai macam ragam gerak dan penulis terapkan pada bab deskripsi strukturnya. Tortor ini diiringi dengan musik ensambel gondang boru, perangkat alat musik gondang boru atau gondang dua terdiri dari dua buah gendang yang terbuat dari kayu yang dilubangi dan masing-masing kedua sisinya ditutup dengan kulit kambing, dua buah gong yang disebut ogung jantan dan ogung dada boru

(gong jantan dan gong betina), gong yang ukurannya lebih besar adalah ogung boru-boru dan yang lebih kecil disebut ogung jantan, tiga buah gong kecil yang disebut mongmongan (panolongi, panduai, dan pamolusi), satu buah gong yang lebih besar dari mong-mongan dinamakan doal, sepasang simbal kecil disebut tali sasayak dan sebuah suling bambu. Iringan musik tersebut sangat berkesinambungan dengan gerak tari, tempo dari musik iringan tersebut mempengaruhi gerak dari tarian tersebut.

Ogung dimainkan dengan 1 (satu) orang dan alat musik lainnya juga dimainkan dengan perorangan. Musik iringan tersebut memilki ciri khas khusus dari tempo yang dimiliki. Ogung tersebut sebagai pembawa tempo dan suling sebagai pengiring melodi. Repertoar yang dimiliki hanya 1 (satu) jenis dan itu dilakukan secara berulang-ulang dengan melodi yang sudah tetap. Setelah selesai memainkan gondang boru, pemain musik yang mengiring panortor tadi langsung

7

Universitas Sumatera Utara mengambil alih dalam memainkan gordang sambilan untuk mengiringi pengantin atau keluarga laki-laki masuk ke rumah pihak perempuan.

Fenomena perkawinan adat Mandailing, dengan mempelai perempuan beretnik Jawa dan laki-laki beretnik Mandailing yang terjadi di Kota Medan, beserta musik dan tortor yang dipertunjukan, sangat menarik untuk dideskripsikan secara etnomusikologis. Untuk itu perlu diurai sekilas apa itu etnomusikologi sebagai ilmu yang penulis pelajari dalam empat tahun terakhir ini.

Istilah etnomusikologi berasal dari etnomusicology (Bahasa Inggris).

Etnomusikologi di bentuk dari tiga kata, yaitu: etnos, mausike, dan logos (bahasa

Yunani): Etnos berarti hidup bersama, yang kemudian berkembang menjadi bangsa atau etnis; Mausike artinya musik, sedangkan Logos artinya bahasa atau ilmu. Tiga kata tersebut digabungkan menjadi etnomusikologi (dalam bahasa

Indonesia) ilmu musik bangsa-bangsa.

Marcel Dubois, seorang etnomusikolog terkemuka bangsa Perancis, merangkum dengan ringkas sejumlah sasaran etnomusikologi dengan menyatakan bahwa etnomusikologi mempunyai persamaan yang dekat dengan etnologi, selain ciri-cirinya yang jelas, yaitu memiliki spesialisasi di bidang musikologis. Ilmu ini mempelajari musik-musik yang masih hidup; ia meneliti praktik-praktik musikal dalam wawasan yang paling luas; kriterianya yang pertama ialah dengan menempatkannya ke dalam fenomena tradisi lisan. Etnomusikologi mencoba meletakkan kembali kenyataan-kenyataan dari musik dari konteks sosio- kulturalnya, menempatkan musik-musik itu ke dalam pikiran, kegiatan-kegiatan dan struktur-struktur dari sebuah kelompok manusia dan memperjelas pengaruh timbal balik antara satu dengan yang lain; dan etnomusikologi membandingkan

8

Universitas Sumatera Utara fakta-fakta ini satu dengan yang lain melalui sejumlah kelompok dari individu- individu yang mempunyai kesamaan atau perbedaan tingkat kultural dan lingkungan teknisnya (Supanggah, 1995).

Berdasarkan latar belakang kebudayaan perkotaan yang berakar dari tradisi etnik Mandailiang seperti diurai di atas, maka penulis memilih judul untuk skripsi sarjana ini, sebagai berikut: “Deskripsi Pertunjukan Musik Tradisi dan

Tortor dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing di Kelurahan Karang

Berombak, Kecamatan Medan Barat Kota Medan dengan Mempelai Endang

Retno Widiastuti dan Hidayat Nasaruddin Hasibuan.”

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu:

1. Bagaimana proses upacara adat perkawinan Mandailing di Kelurahan

Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat Kota Medan dengan

Mempelai Endang Retno Widiastuti dan Hidayat Nasaruddin Hasibuan?

2. Bagaimana pertunjukan tortor, gordang sambilan, dan gondang dua pada

upacara adat perkawinan Mandailing di Kelurahan Karang Berombak,

Kecamatan Medan Barat Kota Medan dengan Mempelai Endang Retno

Widiastuti dan Hidayat Nasaruddin Hasibuan?

9

Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok masalah, maka tujuan penelitian dalam rangka penulisan skripsi sarjana etnomusikologi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan proses upacara adat perkawinan Mandailing di

Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat Kota Medan

dengan Mempelai Endang Retno Widiastuti dan Hidayat Nasaruddin

Hasibuan.

2. Untuk mendeskripsikan pertunjukan tortor, gordang sambilan, dan

gondang dua pada upacara adat perkawinan Mandailing di Kelurahan

Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat Kota Medan dengan

Mempelai Endang Retno Widiastuti dan Hidayat Nasaruddin Hasibuan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, untuk memenuhi salah satu syarat ujian sarjana di

Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara.

2. Menambah dokumentasi mengenai Mandailing di Program Studi

Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Memberikan gambaran proses perkawinan adat Mandailing dengan salah

satu mempelai yang berasal dari etnik di luar Mandailing.

10

Universitas Sumatera Utara 4. Menambah wawasan kepada semua pembaca tentang proses, tujuan, dan

kearifan yang terdapat dalam adat perkawinan Mandailing.

5. Sebagai proses pengaplikasian ataupun pengembangan ilmu yang

diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Studi

Etnomusikologi.

6. Sebagai referensi untuk peneliti lainnya yang mempunyai topik keterkaitan

dengan judul penelitian.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep merupakan penggabungan dan perbandingan bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisten (Koentjaraningrat 2009:85).

Dalam penelitian ini, perlu dijelaskan konsep-konsep yang berkaitan dengan judul penelitian ini, yakni: (1) deskripsi, (2) pertunjukan, (3) musik tradisi, (4) gordang sambilan, (5) gondang dua, (6) tortor, (7) upacara, dan (8) adat perkawinan

Mandailing.

(1) Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci. Seeger (1958:184), menyebutkan bahwa deskripsi adalah penyampaian objek dengan menerangkan terhadap pembaca secara tulisan maupun lisan dengan sedetail-detailnya. Deskripsi yang penulis maksud adalah deskripsi pertunjukan tortor, gordang sambilan, dan gondang dua pada ucapara adat perkawinan Mandailing.

11

Universitas Sumatera Utara (2) Pertunjukan atau seni pertunjukan (performing art) adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu.

Pertunjukan pada umumnya melibatkan empat unsur: (a) waktu, (b) ruang, (c) tubuh si seniman, dan (d) hubungan seniman dengan penonton. Meskipun seni pertunjukan bisa juga dikatakan termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan seni mainstream seperti teater, tari, musik dan sirkus, tetapi biasanya kegiatan-kegiatan seni tersebut pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pertunjukan seni. Seni pertunjukan adalah istilah yang biasanya mengacu pada seni konseptual atau avant garde yang tumbuh dari seni rupa dan kini mulai beralih ke arah seni kontemporer

(https://id.wikipedia.org/wiki/Seni_pertunjukan).

Seni pertunjukan gordang sambilan, gondang dua, dan tortor memiliki struktur. Konsep struktur dalam tulisan ini adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu, berhubungan satu dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Dalam hal ini, struktur yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang melengkapi tortor, gordang sambilan, dan gondang dua ini dalam pertunjukannya.

Dalam tortor, truktur dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu tari. Khususnya jika tari yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu tari yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yakni gerakan tarian itu dikatakan memamerkan pola. Tari merupakan kumpulan gerak tubuh yang terarah secara ritmis yang dapat diekspresikan kepada sebuah seni yang mengandalkan tubuh sebagai pelaku utama dalam mengarahkan

12

Universitas Sumatera Utara semua gerakan. Menurut Prayitno (1990:36), tari tradisional adalah semua tari yang telah mengalami perjalanan sejarah panjang dan selalu bertumpuk pada pola- pola tradisi yang telah ada.

(3) Musik tradisi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seni bunyi- bunyian yang didukung oleh alat-alat musik dan nyanyian vokal dalam konteks kebudayaan Mandailing yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang berakar dari kebiasaan-kebiasaan nenek moyang. Musik tradisi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah terdiri dari dua ensambel, yakni gordang sambilan dan gondang dua (boru).

(4) Gordang sambilan adalah ensambel musik yang terdiri dari sembilan buah gendang yang berukuran besar dengan panjang antara 1 meter sampai 1,8 meter. Ensambel ini dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh-roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium yang disebut sibaso.

Alat-alat musik ensambelnya adalah: sarune, gordang yang jumlahnya sembilan

(2 jangat, 2 hudong kudong, 2 padua, 2patolu, 1 enek-enek), ogung (dada boru dan jantan), mongmongan, gong, dan tali sasayak.

(5) Gondang dua atau gondang boru, merupakan ensambel musik tradisional Mandailing digunakan terutama ketika mengiringi nyanyian onang- onang yang dilakukan pada saat kedua pengantin manortor. Ensambel ini terdiri dari satu buah suling, dua buah gendang dua sisi berbentuk konis, yang dipukul dengan satu stik dan telapak tangan, mongmongan, gong, dan tali sasayak.

(6) Tortor, dapat dikonsepkan sebagai tari tradisional Mandailing, yang berhubungan erat dengan berbagai upacara atau hiburan tertentu. Tortor mengandung prinsip semangat kebersamaan dan solidaritas untuk kepentingan

13

Universitas Sumatera Utara bersama. Pada umumnya gerak tari pada masyarakat Mandailing dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman seseorang atau masyarakat agar dihayati secara estetika oleh penikmat atau penontonnya. Tortor pada budaya masyarakat

Mandailing berperan penting dalam aktivitas kehidupannya, yang berkaitan dengan kehidupan spiritual dan untuk hubungan sosial kemasyarakatan.

(7) Upacara adalah sistem aktivitas atau rangkaian atau tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1980:140). Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain: upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara penguburan dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara pada umumnya memiliki nilai sacral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Upacara adat adalah suatu upacara yang secara turun-temurun dilakukan oleh pendukungnya di suatu daerah. Dengan demikian setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri seperti upacara adat perkawinan, kelahiran dan kematian.

(8) Adat perkawinan Mandailing yang dimaksud dalam skripsi ini adalah perkawinan yang dilakukan melalui hukum adat masyarakat Mandailing, dengan segala peraturan dan kearifannhya. Perkawinan adalah suatu peralihan yang terpenting pada life cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga”

(Koentjaraningrat, 1982:90). Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, menurut pengertian masyarakat, perkawinan menyebabkan seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan seks dengan sembarang wanita

14

Universitas Sumatera Utara lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa tertentu dalam masyarakat, yaitu wanita yang sudah disahkan sebagai istrinya. Perkawinan menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebahagian dalam rumah tangga sebagai tujuan perkawinan tercermin dari kesejahteraan lahir bathin yang dirasakan oleh segenap anggota keluarga, baik suami, istri dan anak-anak mereka serta orang tua maupun mertua.

1.4.2 Teori

Dalam menulis, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang suatu teori-teori yang bersangkutan.

Teori menurut pendapat Marckward et al. (1990: 302), memiliki tujuh pengertian, yaitu: (1) sebuah rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada prinsip-prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah bentuk prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan; (3) abstrak pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktik; (4) penjelasan awal atau rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena; (5) spekulasi atau hipotesis, sebagai ide yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah

15

Universitas Sumatera Utara bentuk teorema, yang menghadirkan pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik, yang membedakannya dengan seni yang dilakukan atau seni yang dieksekusi

(Marckwardt et al. 1990: 302).

Yang dimaksud teori itu biasanya mengandung pengertian dalam tahapan yang abstrak. Teori mengarahkan ilmuwan untuk melakukan kerjanya dalam menganalisis permasalahan keilmuan yang ditemuinya. Kerlingar (Sugiono 2009:

79), mengemukakan: “Theory is a set of interrelated construct (concepts), denifitions, and propositions that present a systematic view of phenomena b specipying relations among variables, with purpose of explaining and predicting the phenomena.” Artinya secara harafiah teori adalah sebuah hubungan konsep, defenisi, proporsi yang menunjukan suatu urutan yang sistematis dengan fenomena yang menggambarkan hubungan variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena tersebut. Maka dari itu, penulis menggunakan teori sebagai landasan untuk membahas dan menjawab pokok permasalahan.

Dalam pelaksanaan terutama untuk mencapai tujuannya, penelitian ini menggunakan sejumlah perangkat teori, prinsip pendekatan dan prosedur pemecahan masalah yang relevan yaitu sebagai berikut. Struktur adalah cara berpikir tentang dunia yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur yaitu didalamnya akan menitikberatkan pada usaha untuk mengkaji fenomena seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya.

Disamping itu, strukturalisme memandang beberapa dokumen sebagai obyek fisik aktual atau tersusun secara konkrit sebagai “teks” fenomena teoretis yang

16

Universitas Sumatera Utara dihasilkan oleh definisi-definisi dan operasi-operasi teoritis (Budiman, 1999: 111-

112).

Untuk mendeskripsikan upacara adat perkawinan Mandailing ini digunakan teori upacara. Koentjaraningrat (1985:243) mengemukakan pengertian upacara suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat dari: (1) tempat upacara, (2) saat dan waktu upacara dilaksanakan, (3) benda-benda atau alat upacara, dan (4) orang yang melaksanakan dan pemimpin upacara.

Untuk mendeskripsikan pertunjukan tortor penyambutan pengantin Laki- laki adat perkawinan masyarakat Mandailing digunakan teori Milton Singer

(MSPI, 1996:164-165) yang menjelaskan bahwa pertunjukan selalu memiliki: (1) waktu pertunjukan yang terbatas, (2) awal dan akhir, (3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukkannya.

Untuk menganalisis struktur gerak tortor adat perkawinan Mandailing, digunakan teori morfologi struktural (Martin dan Pesovar, 1961). Martin membuat sejumlah persyaratan yang melahirkan hubungan antara morfologi dan struktural.

Secara awal, keduanya menyatakan bahwa konstruksi organik tari bisa terungkap hanya dengan memecahkannya ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil hal ini dianggap sebagai prasyarat untuk analisis struktural dalam mengenali dan membedakan bagian-bagian dan unit-unit dari sebuah susunan tari. Dalam struktur tari, elemen kinetik bersama unit-unit lain yang mirip membentuk suatu kategori

“bagian.” Di dalam tingkatan berikutnya didapatkan “motif-motif,” yang

17

Universitas Sumatera Utara merupakan unit organik tari terkecil, yaitu unit-unit terkecil yang bentuk pola ritmik dan kinetiknya tertutup serta strukturnya bisa diulang-ulang. Motif-motif yang ada dalam kesadaran penarinya, dapat diingat, dan diulangi di dalam tari.

Penulis akan mendeskripsikan bagaimana uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak, bentuk tari, hitungan tari, dan busana tari yang digunakan penarinya. Penulis juga akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang penulis buat sendiri untuk dapat mewakili pola gerak tortor penyambutan pengantin laki-laki adat perkawinan Mandailing.

Untuk mendeskripsikan melodi musik pengiring tortor, yakni melodi suling dan onang-onang, digunakan teori Malm (1997) yaitu, teori weighted scale. Malm menawarkan 8 (delapan) parameter untuk mendeskripsikan melodi, yaitu: (1) tangga nada (scale); (2) nada dasar (picth center); (3) wilayah nada (range); (4) jumlah nada (frequency of notes); (5) jumlah interval (prevalent interval); (6) pola kadensa (candence patterns); (7) formula melodik (melodic formulas); dan (8) kontur (countour).

1.5 Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu pengetahuan merupakan segala cara yang digunakan dalam ilmu tersebut, untuk mencapai suatu kesatuan (Koentjaraningrat

2009:35). Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis

2006:24). Penulis menyimpulkan, metode penelitian adalah cara yang dipakai untuk mendapatkan atau memperoleh informasi dan fakta yang ada didalam objek

18

Universitas Sumatera Utara penelitian. Penulis juga menggunakan metode kualitatif agar mendapatkan, mengumpulkan data dan menguraikannya dengan mewawancarai informan yang telah penulis tentukan.

1.5.1 Wawancara

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data- data yang dibutuhkan oleh penulis. Koentjaraningrat (1993: 138-139) menyatakan pada umumnya ada beberapa macam wawancara yang dikenal oleh para peneliti.

Beberapa macam wawancara dibagi ke dalam dua golongan besar: (1) wawancara berencana dan (2) wawancara tak berencana. Wawancara berencana selalu terdiri dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya.

Sebaliknya, wawancara tak berencana tak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata dan tata urut tetap harus dipatuhi oleh peneliti secara kuat. Jenis-jenis metode wawancara tak berencana secara lebih khusus ialah: (a) metode wawancara berstruktur

(structured interview) dan (b) metode wawancara tak berstruktur (unstructured interview). Wawancara tak berstruktur juga dapat dibedakan secara lebih khusus lagi ialah: (1) wawancara berfokus (focused interview) dan (2) wawancara bebas

(free interview).

Wawancara adalah teknik mengumpulkan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada si peneliti. (Mardalis 2006: 64). Dalam wawancara, penulis menetapkan 3 (tiga) narasumber, yaitu bapak Syamsul Bachri Lubis (penetua adat Mandailing), bapak

19

Universitas Sumatera Utara M. Yusuf Daulay (penetua adat Mandailing), dan bapak Lukman Daulay. Selain itu, penulis juga mewawancarai beberapa tokoh masyarakat lainnya yang berkaitan untuk mengembangkan penulisan skripsi ini.

1.5.2 Kerja Laboratoruim

Pelaksanaan kerja laboratorium penulis akan mengumpulkan data, mulai dari wawancara, dokumentasi dan perekaman yang diurai secara rinci, detail sehingga lakukan denga pendekatan emik dan etik.2 Data perekaman audio menjadi objek yang diteliti oleh penulis dengan cara ditranskripsikan apa yang didengar dan menuliskannya kedalam notasi balok.

Selanjutnya, data tersebut diklasifikasikan dan dibentuk sebagai data. Data tersebut diperbaiki dan diperbarui agar tidak rancu sesuai objek penelitian dalam menulis skripsi. Pengelolaan data ini dilakukan bertahap, karena data-data tersebut tidak dapat diperoleh sekaligus. Data-data tersebut juga merupakan data yang diperlukan untuk menjawab pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

1.5.3 Studi Kepustakaan

Sebelum melakukan penelitian lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan yaitu membaca buku-buku, skripsi, makalah yang berhubungan dengan apa yang diteliti atau objek permasalahan. Studi kepustakaan

2Kecocokan etik sebagai suatu tipologi ditentukan oleh kemampuannya untuk mendeskripsikan semua emik dari setiap kebudayaan dengan lebih memuaskan. Pendekatan emik bergantung pada kemampuan keefektifan deskripsi dari etik dan tingkatan dari sistematisasi atau susunan-susunannya. Ditinjau dari sudut lain,sebuah emik secara mendasar harus menunjukkan karakter-karakter etik. Makna secara lokal dipandang penting, dan demikian sebaliknya.

20

Universitas Sumatera Utara ini dilakukan untuk menjadi kerangka acuan di dalam penulisan juga untuk melengkapi data-data. Koentjaraningrat (2009:35) menyatakan bahwa studi pustaka bersifat penting karena membantu penulis untuk menemukan gejala- gejala dalam objek penelitian. Melalui studi pustaka, penulis sebagai peneliti diperkaya dengan informasi-informasi yang terdapat dalam berbagai sumber buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Dalam etnomusikologi, ada dua sistem kerja dalam penelitian, yaitu desk work (kerja laboratorium) dan field work (kerja lapangan). Studi kepustakaan tergolong ke dalam kerja laboratorium. Dimana sebelum melakukan penelitian, peneliti mengumpulkan data-data dan merangkum data-data yang didapatkan.

Kerja ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti saat terjun ke lapangan.

Selain itu, penulis disiapkan dan diarahkan untuk penelitian lapangan.

Penulis juga mengumpulkan data dengan teknologi internet, melalui penelusuran di situs www.google.com, web site Mandailing, blog-blog, dokumen dan lainnya. Semua data informasi yang penulis dapatkan melalui buku, internet, skripsi dan lainnya membantu penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.

1.5.4 Perekaman

Perekaman dalam penelitian sangat penting untuk mengumpulkan data.

Perekaman, dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 (dua) cara, yaitu; (a) perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman video dengan menggunakan kamera Handphone Iphone 5s. Perekaman ini sebagai bahan analisis tekstual dan musikal; (b) Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan kamera Handphone Iphone 5s. Pengambilan gambar dilakukan

21

Universitas Sumatera Utara setelah terlebih dahulu mendapat izin dari pihak pelaksana dan pihak yang bersangkutan.

1.6 Lokasi Penelitian

Ada dua hal yang dijadikan rujukan dalam menentukan lokasi penelitian ini. Yang pertama adalah, dilandasi oleh fenomena perkawinan adat Mandailing yang pengantin wanitanya berasal dari etnik Jawa, yakni Endang Retno Widiastuti dan pengantin pria adalah etnik Mandailing yakni Hidayat Nasaruddin Hasibuan.

Dalam hal ini pengantin wanita sebagai tuan rumah penyelenggara menyetujui untuk memilih adat perkawinan Mandailing. Kedua, lokasi penyelenggaraan pesta adalah di rumah kediaman mempelai wanita, bukan di gedung atau hotel sebagai fenomena yang umum terjadi di Kota Medan. Untuk itulah dipilih lokasi penelitian ini di rumah kediaman mempelai wanita yakni di Kelurahan Karang

Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan.

22

Universitas Sumatera Utara BAB II

ETNIK MANDAILING DALAM BUDAYA MASYARAKAT KOTA MEDAN YANG MULTIKULTURAL

Pada Bab II ini diurai secara umum keberadaan suku Mandailing dalam rangka kebudayaan masyarakat Medan yang heterogen atau multikultur. Kedua pengantin berasal dari dua etnik yang berbeda, dan kemudian secara musyawarah pihak kedua keluarga setuju untuk melaksanakan acara adat perkawinan

Mandailing dan Jawa. Dalam skripsi ini, fokus perhatian adalah pada pelaksanaan upacara adat perkawinan Mandailing. Sebagai latar belakang etnografis, maka pada Bab II ini diurai keberadaan masyarakat Mandailing dalam konteks budaya

Kota Medan yang heterogen secara budaya dan etnik.

2.1 Geografi dan Demografi Kota Medan

Kota Medan terletak di bagian utara Pulau Sumatera. Posisi koordinatnya adalah 3°35′LU dan 98°40′BT. Kota Medan ini menjadi pintu gerbang kegiatan ekonomi domestik dan mancanegara yang melalui Selat Melaka. Selain itu,

Medan juga berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan juga beberapa daerah kaya sumber daya alam, mempengaruhi kemampuan Medan dalam hal ekonomi sehingga memiliki hubungan kerjasama yang saling memperkuat dengan daerah sekitarnya.

Kota Medan memilki perbatasan kewilayahan seperti berikut ini. (a)

Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Melaka, (b) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur (Kabupaten Deli Serdang); (c) Sebelah

Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang), dan (d)

23

Universitas Sumatera Utara Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung

Morawa di Kabupaten Deli Serdang (sumber: www.wikipedia.or.id).

Luas Kota Medan adalah sekitar 26.510 hektar atau setara dengan 265,10 km². Dengan kata lain, Kota Medan memiliki wilayah 3,6% dari keseluruhan

Sumatera Utara. Kota Medan jika diperlihatkan secara topografinya cenderung miring ke utara. Kota ini berada pada 2,5 hingga 3,5 meter di atas permukaan laut.

Beberapa sungai yang mengaliri Kota Medan adalah Sungai Belawan,

Sungai Badera, Sungai Sikambing, Sungai Putih, Sungai Babura, Sungai Deli,

Sungai Sulang-Saling, Sungai Kera, dan Sungai Tuntungan. Pemerintah juga telah membuat kanal besar dengan nama Medan Kanal Timur agar dapat mencegah banjir di beberapa wilayah Kota Medan. Menara Air Tirtanadi adalah sebuah bangunan yang menjadi ikon Kota Medan.

Kota Medan dipimpin oleh seorang walikota yang disertai oleh wakil walikota. Secara administratif, Medan terdiri atas 151 kelurahan dan 21 kecamatan sebagai berikut: (1) Medan Tuntungan; (2) Medan Johor; (3) Medan

Amplas; (4) Medan Denai; (5) Medan Area; (6) Medan Kota; (7) Medan Maimun;

(8) Medan Polonia; (9) Medan Baru; (10) Medan Selayang; (11) Medan Sunggal;

(12) Medan Helvetia; (13) Medan Petisah; (14) Medan Barat; (15) Medan Timur;

(16) Medan Perjuangan; (17) Medan Tembung; (18) Medan Deli; (19) Medan

Labuhan; (20) Medan Marelan; dan (21) Medan Belawan.

24

Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1:

Tabel 2.2: Perbandingan Etnik di Kota Medan Tahun 1930, 1980, dan 2000

Etnis Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000

Jawa 24,89% 29,41% 33,03%

Batak 2,93% 14,11% 20,93%

Tionghoa 35,63% 12,80% 10,65%

Mandailing 6,12% 11,91% 9,36%

Minangkabau 7,29% 10,93% 8,6%

Melayu 7,06% 8,57% 6,59%

Karo 0,19% 3,99% 4,10%

Aceh -- 2,19% 2,78%

Sunda 1,58% 1,90% -- Lain-lain 14,31% 4,13% 3,95% Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut *Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku bangsa, total Simalungun (0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%

25

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan data kependudukan tahun 2015, penduduk Medan saat itu diperkirakan telah mencapai 2.912.236 jiwa, dengan wanita lebih besar dari pria.

Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar. Kota Medan terdiri dari 21

Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain itu, Kota Medan juga merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis dengan latar belakang yang berbeda.

Kondisi Kota Medan yang heterogen ini, mengakibatkan banyaknya timbul organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis (BPS Kota Medan 2015).

Secara budaya, tuan rumah Kota Medan adalah suku Melayu. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka Medan terus berkembang dihuni oleh berbagai suku, baik yang berasal dari Sumatera Utara sendiri, Indonesia, maupun dunia. Kini Medan menuju kota metropolitan dengan budaya multikultur, dan dihuni oleh suku-suku: Batak Toba, Mandailing, Pakpak, Simalungun, Karo,

Mandailing, Pesisir, Nias, dan tuan rumah Melayu. Juga etnik-etnik seperti: Aceh Raya, Tamiang, Simeulue, Alas, Gayo, Aneuk Jamee,

Minangkabau, Banjar, Jawa, Sunda, Makasar, Bugis, dan laiinya Selain itu terdapat pula etnik-etnik dunia seperti: Hokian, Kwong Fu, Hakka, Khek, juga

Tamil, Hindustan, Arab, dan lain-lain.

Bahasa yang selalu digunakan sebagai sarana komunikasi secara resmi maupun informal penduduk Medan sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Dalam kalangan etnik, digunakan juga Bahasa Batak Toba, Bahasa Mandailing, Bahasa

Minangkabau, Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Hokkian, Bahasa Tamil, dan lain-lainnya.

26

Universitas Sumatera Utara Islam adalah agama mayoritas yang dianut penduduk kota ini, yakni 67%.

Setelahnya, secara berurutan adalah agama Protestan, Katholik, Budha, dan

Hindu. Kota Medan, seperti halnya Indonesia secara umumnya, memberikan kebebasan kepada setiap masyarakat untuk dapat melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Sehingga, tidak sulit menemukan rumah-rumah ibadah di kota ini.

Kota Medan termasuk salah satu kota yang mengalami perkembangan dan modernisasi yang cukup pesat dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di

Sumatera. Sekalipun demikian, Kota Medan tetap menjadi istana wisata alam yang kemahsyurannya sudah terdengar hingga ke mancanegara.

Secara geografi Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara,

Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota

Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah- daerah sekitarnya.

“Deskripsi Pertunjukan Musik Tradisi dan Tortor dalam Upacara Adat

Perkawinan Mandailing di Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan

Barat Kota Medan dengan Mempelai Endang Retno Widiastuti dan Hidayat

Nasaruddin Hasibuan.”

27

Universitas Sumatera Utara 2.2 Sekilas Kelurahan Karang Berombak

Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat ini merupakan pusat atau objek penelitian penulis karena di daerah ini penulis melakukan penelitian dengan meliputi acara pesta perkawinan yang berakar dari adat istiadat

Mandailing yang tinggal dan menetap di Kota Medan, dengan mempelai dari dua etnik yang berbeda, yakni suku Mandailing dan Jawa.

Karang Berombak adalah kelurahan di kecamatan Medan Barat, Medan,

Sumatra Utara, Indonesia. Kelurahan ini merupakan daerah pemukiman yang cukup padat dan sering terjadi kemacetan di jalan utamanya. Jalan Karya adalah jalan utama yang membelah kelurahan Karang Berombak. Dalam sistem telekomunikasi dan pos Republik Indonesia, daerah ini masuk ke dalam kodepos

20117. Pada tahun 2017, jumlah penduduk di kelurahan ini adalah 28.846 jiwa.

Di kawasan ini terdapat hotel bintang 3 rata-rata seharga Rp 278.014, bintang 5 rata-rata seharga Rp 1.261.759. Luas keseluruhan kelurahan ini adalah 2.08 km².

Secara geografis Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat memiliki batas-batas geografis administratif sebagai berikut.

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Deli.

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Medan Polonia.

c. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Timur.

d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Helvetia, Medan

Petisah, dan Medan Baru.

28

Universitas Sumatera Utara

Peta 2.1: Kota Medan

Sumber: google.map

29

Universitas Sumatera Utara

Peta 2.2: Kecamatan Medan Barat Kota Medan

Sumber: google.map

30

Universitas Sumatera Utara

Peta 2.3: Kelurahan Karang Berombak

Sumber: google.map

2.3 Strategi Budaya Masyarakat Mandailing di Kota Medan

Sebagai salah satu suku yang migrasi dari daerah asalnya Mandailing ke

Kota Medan, dengan tuan rumahnya ernik Melayu, dan kemudian berkembang menjadi kota yang multikultur. Dalam penelitian ini, orang-orang Mandailing di

Kota Medan, memiliki berbagai strategi budaya, baik yang bersifat adaptasi

31

Universitas Sumatera Utara lingkungan maupun yang kuat mempertahankan kebudayaan asalnya, yakni dari

Mandailing.

Strategi budaya Mandailing dalam penelitian ini dibagi atas tiga sikap, yaitu, (1) sikap orang-orang Mandailing yang teguh dan kokoh memegang adat budaya Mandailing sesuai dengan adat Mandailing aslinya tanpa berusaha melakukan akulturasi dengan adat budaya lain yang berada di sekitarnya tempat ia tinggal, (2) sikap orang-orang Mandailing yang memegang adat budaya

Mandailing dan berproses menggabungkannya dengan budaya lain yang berada di seputar tempat tinggalnya, (3) sikap orang-orang Mandailing yang tidak lagi mengenal adat budaya Mandailing dan menjadikan budaya lain seperti budaya

Toba, Melayu, dan lainnya yang ada dalam lingkungan dimana ia tinggal sebagai kebudayaannya, jadi telah meninggalkan budaya Mandailing (lihat Mahyar

Sopyan Pane, 2013).

Indikator sikap orang-orang Mandailing di Kota Medan dapat dikaji melalui penggunaan bahasa, interaksi sosial, dan ekspresi budaya. Indikator bahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa Mandailing dalam interaksi sesama mereka pada kehidupan sehari-hari, setidaknya penggunaan bahasa daerah dapat memberi sedikit gambaran mengenai kehidupan orang-orang Mandailing pada daerah penelitian ini. Kemudian indikator interaksi sosial adalah hasil kajian melalui perilaku yang berasal dari cara pandang seperti apakah mereka menggunakan dan beradaptasi dengan lingkungannya yang heterogen di Kota Medan. Indikator ketiga adalah ekspresi budaya, yang berkait dengan gagasan-gagasan atau ide mengenai budaya secara umum. Hasilnya adalah sebagai berikut.

32

Universitas Sumatera Utara Di kawasan Medan Maimun dari observasi dan wawancaran penulis kepada informan, diperoleh hasil bahwa kehidupan masyarakat Mandailing di lokasi ini memiliki sikap yang sudah berpikir dan bertindak sesuai dengan lingkungan sekitar. Mereka menijelaskan bahwa bahwa mereka masih memegang budaya teguh budaya Mandailing dan berusaha untuk menerima budaya lain yang terdapat di sekitar tempat tinggal mereka. Menurut penulis, hal ini disebabkan kehidupan pada daerah tersebut memiliki populasi penduduk yang relatif padat dan intesitas pergaulan yang tinggi serta faktor tingginya tingkat heterogenitas penduduk di lokasi tersebut.

Di daerah Medan Barat, sikap masyarakat Mandailing pada daerah ini adalah masih memegang teguh adat budaya Mandailing dan tidak tertutup kemingkinan untuk menerima budaya dari luar budaya Mandailing. Sikap tersebut dilakukan sebagai salah satu usaha dalam strategi sosialisasi dengan masyarakat dengan budaya yang berbeda.

Di daerah Medan Denai, sikap masyarakat Mandailing yang menjadi bagian masyarakat daerah tersebut adalah memegang teguh dan kokoh adat budaya Mandailing dan berusaha untuk mempertahankan adat budaya mereka dalam lingkungan kehidupannya. Hal ini terlihat pada tindakan mereka yang selalu didasarkan pada aturan adat maupun kebiasaan yang mereka ketahui dari daerah asal mereka di Mandailing. Faktor sosialnya menurut penulis adalah pada daerah ini masyarakat Mandailing adalah mayoritas jumlahnya.

Dalam konteks penelitian ini, kedua pengantin adalah berada di kawasan

Medan Barat, dengan latar belakang etnik yang berbeda, satu Mandailing dan satunya lagi Jawa. Dalam konteks yang demikian, terjadi strategi adapyasi untuk

33

Universitas Sumatera Utara mempertahankan kebudayaan etnik asalnya dan sekaligus adaptasi dengan kondisi lingkungan yang heterogen.

2.4 Integrasi Sosial Etnik Mandailing dan Jawa di Kota Medan

Sejarah masuknya secara masif orang Jawa di Sumatera Utara adalah peristiwa pembukaan onderneming (perkebunan besar) oleh perusahaan perkebunan asing Eropa baik Hindia Belanda maupun asing lainnya. Perusahaan ini dilindungi oleh Pemenritah Hindia Belanda. Dengan pesatnya pembukaan lahan baru untuk perkebunan tembakau Deli, maka tahun 1890-1920 merupakan era masuknya gelombang kuli kontrak untuk bekerja di berbagai perkebunan tembakau swasta milik Belanda datang secara besar-besaran. Para kuli yang disebut kuli kontrak adalah kebanyakan dari Jawa.

Di Sumatera Utara, Belanda mempunyai kepentingan yang besar dalam sektor perekonomian. Para orang-orang liberal di Belanda menginginkan agar tanah jajahan dikelola oleh pihak swasta, dalam rangka mengeksploitasi sumber kekayaannya—dengan tetap memberikan perhatian kepada rakyat tanah jajahan.

Pada tahun 1870 usul para masyarakat liberal Belanda ini dikabulkan oleh pemerintahnya, yang dikenal dengan politik pintu terbuka. Akibatnya, para penanam modal swasta dari Eropa mulai mengarahkan usahanya ke Sumatera

Timur untuk membuka perkebunan. Pada kaitan ini Pemerintah mengeluarkan

Undang-undang Agraria tahun 1870.

Sebelum keluarnya politik pintu terbuka tersebut, tahun 1863 seorang tuan kebun (maskapiij) Belanda yang bernama Nienhuys, yang sebelumnya bekerja di perkebunan tembakau milik Belanda di Jawa Timur, mulai membuka daerah

34

Universitas Sumatera Utara hutan Sumatera Timur untuk perkebunan tembakau. Dia mulai mengerjakan hutan di daerah Martubung, setelah mendapat ijin sewa dari Sultan Deli. Kuli (koeli atau tenaga kerja) pada awalnya adalah para etnik daerah setempat, umumnya Karo dan Melayu. Namun cara kerja mereka tak sungguh-sungguh dan lebih banyak bekerja di kebunnya sendiri, tidak produktif, sehingga tak disenangi oleh

Nienhuys. Untuk mengatasi kurang produktifnya tenaga kerja ini, Nienhuys mendatangkan masyarakat Tionghoa dari Penang Malaya dan Singapura, juga etnik Jawa dari pulau Jawa. Mulanya didatangkan sepuluh orang haji dari Jawa, dan menurut Nienhuys masih kurang berhasil, karena umumnya mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdakwah agama Islam di daerah ini ketimbang bekerja. Oleh karena itu, maka didatangkanlah 120 orang China, dan ternyata sukses. Dalam tempo dua tahun saja, maka pada tahun 1865 dikirimlah

149 bal tembakau ke Rotterdam Belanda dengan harga 149 sent setiap setengah kilogram (Wee, 1977). Kemudian disusul pula dengan didatangkannya para kuli dari Jawa, dan juga berhasil.

Keberhasilan Nienhuys ini mendorong pihak swasta Eropa lainnya untuk menanamkan investasi di Sumatera Timur ini. Pada tahun 1870 saja terdapat sekitar 170 perkebunan. Pada tahun 1891 terjadi krisis harga tembakau, karena kelebihan produksi dan melimpah di pasar Eropa. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan diversifikasi perkebunan, di Serdang mulai ditanam kopi Brazilia. Pada tahun 1905 mulai diperkenalkan pula tanaman kelapa sawit dan karet di daerah

Langkat, Serdang, dan Asahan, sedangkan di daerah Labuhan Batu hampir seluruhnya ditanami karet.

35

Universitas Sumatera Utara Perusahaan yang paling terkenal mengambil tenaga kerja dari Jawa adalah

Deli Company. Para etnik Jawa yang mereka ambil, terutama adalah dari daerah

Bagelen di Jawa Tengah. Pada tahun 1875, untuk awal kalinya rombongan kuli kontrak dari daerah ini tiba di Sumatera Timur. Tenaga kerja dari daerah Begelen ini dimanfaatkan oleh pihak perusahaan Belanda untuk merekrut tenaga baru di

Jawa, baik di desanya atau desa-desa lainnya. Kota Jakarta, Semarang, dan

Surabaya, merupakan tempat terakhir bagi para calon kuli kontrak untuk diberangkatkan ke Sumatera Timur, dan muncullah biro-biro tenaga kerja di kota- kota tersebut. Pada prinsipnya, biro-biro ini merugikan tenaga kerja. Oleh karena itu, pada tahun 1917, DVP (Deli Planters Vereneeging), yang membawahi perusahaan tembakau dan AVROS (Algemeeine Verenigde Rubberplanters

Oostkust van Sumatra) yang membawahi perkebunan karet mendirikan biro sendiri, untuk melindungi hak calon tenaga kerja dari pihak biro-biro tersebut di atas. Biro mereka ini ada di Tanjung Priok, Jati Negara (Meestere Cornelis),

Bandung, Surabaya, Purwokerto, Yogyakarta, Magelang, Garut, Malang, Kediri,

Madiun, Solo, dan Cilacap (Broessma, 1922). Kemudian nasib tenaga kerja ini juga selalu dirugikan oleh pihak tuan kebun, sehingga pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Kuli (Koeli Ordonantie) pada tahun 1880, yang pada intinya menjamin hak-hak tenaga kerja. Namun demikian, pada praktiknya, majikan selalu menekan hak-hak mereka itu.

Menurut laporan Meyenfeld, seorang kontroleur Deli, tahun 1934 jumlah orang Melayu di Afdeeling (Kabupaten) Deli dan Serdang berdasarkan sensus tahun 1930 berjumlah 61.984 orang, sedangkan seluruh pribumi berjumlah

431.549 orang, di antaranya 231.044 orang Jawa (Meyenfeld, 1934 dalam Sinar,

36

Universitas Sumatera Utara 1994). Sejak itu etnik Jawa di Sumatera Utara terus berkembang secara pesat. Ciri khas yang membedakan orang Jawa di Sumatera Utara dengan yang di pulau Jawa adalah salah satu membentuk paguyuban Pujakesuma (akronim Putra Jawa

Kelahiran Sumatera).

Paguyuban Pujakesuma adalah paguyuban yang berdiri pada tanggal 10 Juli

1980. Sebelum berdirinya paguyuban ini, paguyuban ini adalah sebuah sanggar dan perkumpulan seni dan budaya Jawa yang berdanama IKJ (Ikatan Kesenian

Jawa) yang didirikan oleh Letkol Sukardi. Seiring perkembangan waktu maka pada tahun 1979 IKJ diubah namanya menjadi Paguyuban Pujakesuma (Putera

Jawa Kelahiran Sumatera). Paguyuban ini pada awalnya didirikan oleh Bapak

Danu. Ia merupakan tokoh kesenian Jawa pada masa itu, kemudian Paguyuban diresmikan pada tahun 1980. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan pada masa itu, paguyuban ini berdiri sebagai wadah berkumpulnya orang-orang yang berketurunan Jawa, keturunan Jawa meliputi seluruh Pulau Jawa baik apakah seorang tersebut berasa dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan juga DKI

Jakarta. Dalam musyawarah mereka, mereka menjelaskan bahwa yang terpenting adalah orang Jawa yang lahir di Sumatera atau berada di Sumatera maupun diluar pulau Jawa.

Seiring perkembangan zaman, maka terjadi integrasi sosial antaretnik di

Sumatera Utara, termasuk di Kota Medan. Integrasi ini didorong oleh berbagai macam identitas. Pada konteks orang Mndailing dan Jawa di Sumatera Utara, maka integrasi sosial terjadi karena persamaan agama, yakni agama Islam. Faktor ini juga yang mempermudah secara alamiah perkawinan antara suku Mandailing dengan Jawa, dan juga ddengan suku-suku satu agama lainnya.

37

Universitas Sumatera Utara Selain itu, faktor integrasi sosial biasanya dilatarbelakangi juga oleh faktor- faktor sosial, seperti kedudukan ekonomi yang relatif seimbang, tempat aktivitas dan bekerja yang sama, tempat tinggal yang juga berdekatan, faktor sekolah atau kuliah, dan lain-lainnya. Jadi integrasi sosial antara ortang Mandailing dengan

Jawa di Sumatera Utara dan Kota Medan terjadi sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi Sumatera Utara yang heterogen. Demikian pula yang terjadi pada mempelai Endang Retno Widiastuti dan Hidayat Nasuruddin Hasibuan, yang menjadi fokus penelitian ini.

2.5 Asal-usul Orang Mandailing

Masyarakat Mandailing berdomisili di kota Medan memiliki hubungan asal-usul para leluhurnya yang berada di dalam wilayah budaya Mandailing.

Orang-orang Mandailing ini, diperkirakan secara antropologis pada ribuan tahun yang lalu. Terdapat berbagai pendapat tentang asal usul orang Mandailing yang ada di wilayah budaya mereka yakni di Tapanuli bahagian selatan.

Memungkinkan bahwa wilayah Mandailing pada masa Kerajaan Majapahit memiliki suku bangsa yang homogen.

Biasanya etnik Mandailing dalam kajian antropologis digolongkan ke dalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak-Dairi. Adapun persamaan itu dapat dilihat pada bahasa dan adat istiadatnya. Kelompok Proto Melayu ini berasal dari Tiongkok Selatan, dan berpindah di wilayah Indonesia yang kemungkinan terjadi pada abad 7 atau ke 8 SM. Dari cici-ciri khas bentuk fisik

38

Universitas Sumatera Utara dan prilaku mereka, bahwa nenek moyang suku-suku bangsa ini termasuk rumpun

Proto Melayu (Arbain Lubis, 1990:3) .

Keberadaan suku Mandailing secara kesejarahan, sudah terekam sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam Sumpah Palapa oleh

Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit, pada syair ke-13 Kakawin

Negarakertagama hasil karya Prapanca. Mandailing dikenal sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365 M) ke beberapa wilayah di luar

Jawa. Mandailing pada waktu itu diperkirakan telah berkembang, dengan situasi yang terdiri dari masyarakat yang homogen, tumbuh, dan terhimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan dengan kebudayaannya yang dianggap tinggi.

Bukti sejarah itu dapat dilihat pada ekspansi pasukan Kerajaan Majapahit, yang direkam dalam catatan sejarah pada kakawin itu. Salah satu syairnya disebut nama Mandailing. Adapun syair tersebut yaitu: “Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang Palembang karitang I teba len dharmamacraya tumut/kandis kahwas manangkabwa ri siyak rekan Kampar mwang I pane/ kampe harw athawe mandailing I tumihang parilak mwang I babrat.”

Sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi Kerajaan Majapahit ke

Malayu di Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebu, Darmasraya.

Minangkabau, Siak. Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, dan

Mandailing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nama Mandailing sudah terlukis pada syair ke 13 Negarakertagamanya Propanca yang seperti tersebut di atas (Arbain Lubis, 1990:11-24).

39

Universitas Sumatera Utara Berabad-abad sebelum hadirnya penulis Prapanca di Majapahit, di

Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi (berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai dari

Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah pegunungan Sibualbuali di

Sipirok. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat bermarga Pane di Sipirok,

Angkola, dan Mandailing. Dalam buku sejarah Batak yang dituliskan pada kesusasteraan klasik Toba Tua (Tonggo-tonggo Siboru Deak Parujar), juga telah disebut nama Mandailing sebagai tempat asal nenek moyang suku Batak Toba.

Diperkirakan, tonggo-tonggo tersebut diciptakan setelah kelahiran si raja Batak

(generasi ke-6 Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pada tahun 1305 M.

Siraja Batak diduga tinggal di Mandailing yang kemudian pindah ke tanah Toba dan terus berkembang. Hal ini juga dipertegas oleh Z. Pangaduan Lubis dalam bukunya Kisah Asal-usul Marga di Mandailing (1985)

Sumber lainnya yakni Dada Meuraxa di dalam bukunya Sejarah

Kebudayaan Sumatera (974:349) menyatakan bahwa kata Mandailing ada yang menduga berasal dari perkataan Mande Hilang dalam bahsa Minangkabau. Yang artinya adalah Ibu yang Hilang. Lebih jauh Meuraxa mengatakan bahwa ada yang menyangka nama Mandailing berasal dari perkataan “Mundahilang” yang berarti

“Munda yang Mengungsi.” Artinya bangsa Munda yang berada di India pada masa yang silam melakukan migrasi atau pengungsian, karena terdesak oleh

Bangsa Aria. Slamet Mulyana dalam bukunya Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia

(1964:140) mengatakan sebagai berikut: “sebelum kedatangan Bangsa Aria,

40

Universitas Sumatera Utara Bangsa Munda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan yang terjadi sekitar 1500 SM.”

Ketika perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara karena terdesak bangsa Aria, sebagian dari mereka masuk ke Sumatera.

Kemudian melalui Pelabuhan Barus di pantai barat, mereka meneruskan perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan Mandailing, yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi.

Oeang-orang Mandailing juga memiliki riwayat asal-usul marga yang diduga berawal sejak abad ke-9 atau ke-10. Mayoritas marga yang ada di

Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Nenek moyang orang Mandailing yang bermarga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi Selatan. Angin

Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang

Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar

Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah.

Di lain sisi, marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan

Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak.

Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan kelima

Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang berasal dari daerah Angkola.

Pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan antara

Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Panyabungan Tonga. Nenek moyang marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal

41

Universitas Sumatera Utara dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut

Marpayung Aji dijuluki “orang Nan Ditakuti,” dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu

Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah satunya ke daerah

Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga Batubara,

Matondang dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan (Arbain

Lubis, 1990:59).

Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi, dan suku Lubu Siladang. Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia. Suku

Hulu Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya, mirip dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan Melayu. Begitu pula ciri fisiknya yang tegap, kekar, mata bulat berwarna coklat tua, dan sikap yang ramah, rajin, selalu merendahkan diri.

Sistem pemerintahan di Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh pengetua-pengetua adat, yaitu raja dan Namora Natoras sebagai pemegang kekuasaan dan adat. Raja di Mandailing terdiri atas beberapa jenis, yaitu Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah

Panusunan), Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan) , Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk), dan Suhu (di bawah Pamusuk dan Sioban Ripe, tetapi tidak

42

Universitas Sumatera Utara terdapat di semua Huta). Semua raja Panusunan yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di Mandailing Julu dan marga Nasution di

Mandailing Godang yang masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya. Namora

Natoras terdiri atas Namora (orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja yang merupakan kahanggi raja), Natoras (seseorang yang tertua dari satu parompuan), Suhu (orang yang semarga dengan Raja

Panusunan/Pamusuk tetapi bukan satu keturunan Raja) dan Bayo-bayo Nagodang

(mereka yang tidak semarga dengan raja, yang datang bersama-sama pada waktu tertentu ke huta tersebut).

Dalam konteks penelitian ini, pengantin pria adalah bermarga Hasibuan.

Seperti uraian di atas, bahwa Hasibuan juga merupakan keturunan Namora

Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Keturunan mereka ini ada yang bermigrasi ke Kota Medan. Salah satunya mempelai laki-laki adalah Hidayat Nasuruddin Hasibuan.

Di lain sisi, mempelai wanita adalah berasal dari etnik Jawa, yakni Endang

Retno Widiastuti. Berdasarkan sistem musyawarah untuk mencapai mufakat, maka acara perkawinan berdasarkan adat Mandailing. Dalam kebudayaan

Mandailing baik perempuan atau laki-laki calon pengantin jika berasal dari suku atau ras lain, maka “diwajibkan” untuk diberi marga terlebih dahulu, melalui upacara adat. Dalam hal ini Endang Retno Widiastuti diberi marga Lubis, sehingga nama Mandailinya secara lengkap adaalah Endang Retno Widiastuti boru Lubis.

43

Universitas Sumatera Utara 2.6 Agama

Sampai pada dekade kedua abad ke-21 sekarang ini, masyarakat

Mandailing pada umumnya menganut agama Islam. Sebahagian kecil ada pula yang menganut agama Kristen. Nenek moyang orang-orang Mandailing, sebelum masuknya agama Islam maupun Kristen menganut sistem religi animisme yang lebih dikenal dengan sebutan Pelebegu. Inti ritus dari sistem religi ini adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang. Ajaran Pelebegu mempercayai berbagai macam makhluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib (supernatural) yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan malapetaka atas diri manusia (Parlaungan Ritonga 1997:10).

Pelaksanaan upacara ritual (animisme) biasanya dipimpin oleh seorang yang ahli dalam ilmu gaib dan dianggap oleh masyarakat bukan orang sembarangan. Orang itu adalah orang yang mengetahui tentang doa-doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya, beliau disebut dengan Sibaso. Nenek moyang orang Mandailing zaman religi Pelebegu dahulu mempercayai Sibaso sebagai perantara (medium) komunikasi dengan roh-roh nenek moyang yang dapat turun ke bumi dengan memberi berkah atau sebaliknya.

Religi animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak agama Islam masuk ke Mandailing yang dibawa oleh Kaum Padri dari Minangkabau. Ajaran yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran agama Islam aliran

Wahabiah, yang dipandang “keras” dalam masalah bid’ah. Mereka tidak kompromi dengan masyarakat dan pemuka adat Mandailing. Siapa saja yang tidak mau masuk ke agama Islam akan menjadi budak kaum Padri. Lama-kelamaan masyarakat Mandailing menerima agama Islam, dan akhirnya agama Islam

44

Universitas Sumatera Utara menjadi berkembang di seluruh daerah Mandailing, dan kini menjadi agama mayoritas di Mandailing, bahkan banyak ulama di tingkat daerah, provinsi, nasional, bahkan internasional yang dilahirkan dari Mandailing ini.

Sesudah orang-orang Mandailing memeluk agama Islam, maka selanjutnya membawa pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena agama Islam melarang setiap kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja pada upacara ritual tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama

Islam.

Di Kota Medan, khususnya daerah penelitian, penduduk kelurahan Karang

Berombak memeluk berbagai agama, meliputi agama Islam, Kristen Protestan,

Kristen Khatolik, Buddha, dan Hindu. Adapun komposisi penduduk kelurahan

Karang Berombak dengan jumlah 28.846 jiwa, berdasarkan agama yang dipeluk yaitu 46% penduduk yang memeluk agama Islam. Jumlah ini diikuti oleh penduduk yang memeluk agama Protestan 32%. Sedangkan penduduk yang memeluk agama Khatolik adalah berjumlah 11,2%. Jumlah ini kemudian diikuti oleh penduduk yang memeluk agama Buddha berjumlah 9,8%. Sedangkan penduduk yang memeluk agama Hindu tergolong paling sedikit, yakni hanya berjumlah 1%. Berdasarkan data yang ada menunjukkan sifat pluralisme masyarakat Kelurahan Karang Berombak dalam pemelukan agama. Tidak ada kelompok penduduk yang tergolong mayoritas jika dilihat berdasarkan agama yang dipeluk.

45

Universitas Sumatera Utara 2.7 Bahasa

Dalam wilayah budayanya, masyarakat Mandailing menggunakan bahasa

Mandailing (Hata) dalam interaksi sehari-hari. Bahasa Mandailing mempunyai logat dan aksen (irama) yang lemah lembut dan dibawakan dengan suara halus.

Bahasa Mandailing pengucapannya lebih lembut dari bahasa Angkola, bahkan dari bahasa Batak Toba. Sesuai dengan pemakaiannya bahasa Mandailing terdiri dari : a. Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat), b. Bahasa andung (bahasa waktu bersedih), c. Bahasa parkapur (bahasa waktu di hutan), d. Bahasa na biaso

(bahasa sehari-hari), e. Bahasa bura (bahasa waktu marah/kasar)

Bahasa Mandailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipergunakan oleh suku Batak Mandailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat dipakai didaerah Mandailing maupun daerah perantauan yang digunakan sebagai media komunikasi diantara sesama etnis Mandailing. Menurut

Pandapotan Nasution (2005:14-15) mengungkapkan bahwa sesuai pemakainya bahasa Mandailing terdiri dari 5 tingkatan, yaitu sebagai bertikut: (a) Bahasa adat

(bahasa pada waktu upacara adat), (b) Bahasa andung (bahasa waktu bersedih),

(c) Bahasa parkapur (bahasa ketika di hutan), (d) Bahasa na biaso (bahasa sehari- hari), dan (e) Bahasa bura (bahasa waktu marah atau kasar).

Pertuturan bahasa Mandailing masih dipergunakan pada saat tertentu, misalnya dalam upacara peradatan, arisan, perkumpulan keluarga, atau perkumpulan marga, dan lainnya. Walau demikian, bahasa Mandailing tentu saja akan mengikuti perubahan dan kontinuitas kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan di sekitarnya, nusantara, dan dunia.

46

Universitas Sumatera Utara Masyarakat Mandailing yang terdapat di Kota Medan, termasuk di

Kelurahan Karang Berombak Medan Barat, menggunakan bahasa Mandailing terutama dalam lingkungan keluarga inti, yang bertenik Mandailing. Di luar rumah, antara mereka ada yang menggunakan bahasa Indonesia atau campuran bahasa Mandailing dan Indonesia. Dalam konteks adat juga digunakan bahasa mandailing, namun selalu disertai bahas Indonesia. Dalam interaksi antaretnik digunakan bahasa Indonesia.

2.8 Sistem Kekerabatan

Salah satu fungsi utama perkawinan adalah untuk menjaga struktur kekerabatan kedua mempelai. Demikian pula yang terjadi dalam perkawinan antara Endang Retno Widiastuti Lubis dengan Hidayat Nasaruddin Hasibuan, yang diteliti untuk penulisan skripsi ini.

Seperti sudah diulas sebelumnya Endang Retno Widiastuti adalah berasal dari etnik Jawa di Sumatera Utara. Mereka ini diberi identitas sebagai Pujakesuma

(yakni akronim dari Putra Jawa Kelahiran Sumatera Utara). Dalam konteks budaya Mandailing, tidak dikenal perkawinan antarsuku. Jika seseorang bukan etnik Mandailing dan dapat jodoh serta mau kawin dengan orang Mandailing, maka ia harus diberi marga terlebih dahulu. Demikian juga halnya Endang Retno

Widiastuti yang secara adat diberi marga Lubis.

Menurut pengamatan penulis, hal ini menarik untuk dilihat fenomenanya.

Bahwa masyarakat Mandailing di perkotaan sebenarnya terbuka juga melakukan perkawinan semacam ini. Dalam strategi adaptasi walau masih kuat mempertahankan adat dan budaya Mandailing, mereka juga melakukan adaptasi

47

Universitas Sumatera Utara di sana-sini termasuk kearifan memberikan marga kepada calon mempelai sebelum dilakukan adat perkawinan Mandailing.

Secara umum. sistem kekerabatan masyarakat Mandailing disebut dengan markoum marsisolkot. Ada -istiadat ini sudah disempurnakan atas pihak-pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup berdampingan rukun dan damai. Arti dan makna markaoum adalah berkaum atau keluarga dekat. Meskipun ia dari orang yang jauh atau orang yang tidak pernah dikenal. Di lain sisi, istilah marsisolkot artinya mendekatkan yang sudah dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu nenek moyang.

Adat-istiadat markoum masrsisolkot di Mandailing sudah disepakati untuk dipakai kepada masyarakatnya, baik dalam upacara siriaon (upacara suka cita) ataupun upacara siluluton (upacara duka cita). Dikatakan bahwa adat- stiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa lembaga adat yaitu: (1) patik, (2) ugari, (3) uhum, dan (4) hapantunon.

Selanjutnya istilah patik merupakan peraturan adat yang tidak bosa dilanggar, jika dilanggar akan dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang, atau tidak menimbulkan pertentangan atau gesekan sosial kepada masyarakat. Ugari adalah kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Jadi adat kebiasaan yang diadatkan dari suatu daerah tidak merusak adat.

Seterusnya uhum adalah sanksi hukum terhadap perlanggaran atas peraturan yang terdapat pada patik, ugari, dan hapantunon. Uhum atau sanksi pelanggaran itu bertingkat-tingkat mulai dari teguran, denda, pasung, diusir dari kampung, dan sampai kepada hukuman mati.

48

Universitas Sumatera Utara Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan memperhalus hubungan manusia atau dengan manusia yang lain. Hapantunon memberikan kepada masyarakat maupun keluarga yang mempelajari etika pergaulan ataupun etika dalam bergaul sehari-hari atau dalam ikatan keluarga di dalam pertuturon.

Adat-istiadat markaoum marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang juga sebagai dalihan na tolu. Istilah ini diturunkan dari kata dalihan artinya batu tungku, dan na tolu artinya yang tiga, maksudnya ketiga batu ini menjujung satu wadah atau satu adat. Yakni tiga unsur kelompok yang berbeda menjujung satu wadah adat Mandailing, yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora.

Kahanggi adalah kelompok yang terdiri dari pihak kita sendiri yang bersaudara kandung dan ditambah dengan kelompok yang sesama satu marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama-saibu (seayah dan seibu), saompu (satu nenek), saparaman (satu bapak), sabana (seketurunan), sapangupaan (kakek bersaudara kandung), dan sakahanggi (orang-orang satu marga dalam satu kampung).

Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis dari kelompok kita tadi. Atau kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak mora. Dan biasanya pihak keluarga anak boru hormat kepada pihak moranya. Di sisi lain, mora adalah kelompok saudara-saudara dari istri-istri dari pihak kita atau tempat pengambilan anak-anak gadis dalam perkawinan.

Dari hasil keputusan musyawarah dari ketiga kelompok inilah atau dari pihak kahanggi, anak boru, dan mora terciptanya adat Mandailing yang dikatakan adat markoum marsisolkot. Apabila salah satu kelompok diantaranya tidak diikut sertakan, maka upacara adat Mandailing yang berdasarkan adat-istiadat markoum marsisolkot tidak tercipta, atau dengan perkataan lain dibatalkan sama sekali.

49

Universitas Sumatera Utara Di Mandailing menganut marga yang diturunkan melalui dari marga ayah atau disebut dengan patrilineal. Orang-orang yang atau garis keturunan patrilineal ini di daerah Mandailing dikelompokan menjadi marga yang dimaksud sama dengan clan. Adapun marga yang terdapat di Mandailing yaitu (a) Nasution, (b)

Lubis, (c) Pulungan, (d) Rangkuti, (e) Batu Bara, (f) Dulae, (g) Matondang, (h)

Parinduri, dan (i) Hasibuan. Marga Lubis dan Nasution merupakan marga yang paling banyak jumlah warganya di daerah Mandailing.

Setiap anggota masyarakat yang mempunyai marga, akan meletakkan nama marganya di belakang marga sendiri. Karena hal ini merupakan suatu tradisi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Mandailing sejak dahulu.

Marga adalah suatu yang memiliki nilai-nilai solidaritas di dalam keluarga maupun di masyarakat. Orang-orang yang semarga dianggap bersaudara atau satu keturunan yang disebut markahanggi.

Sistim kekerabatan lain yang luas dari marga juga terdapat pada masyarakat Mandailing. Sistim kekerabatan ini didasari oleh adanya suatu ikatan darah dan ikatan perkawinan antara anggota kelompok marga yang ada pada masyarakat. Ikatan darah dan perkawinan inilah yang melahirkan sistim sosial yang dilandasi dengan hubungan kekerabatan yang dinamakan dalihan na tolu.

2.9 Mata Pencaharian

Penduduk di Kelurahan Karang Berombak memiliki mata pencaharian

(sumber ekonomi) yang cukup beragam, meliputi Pegawai Negeri Sipil (PNS),

Pegawai Swasta, Tentara Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia

(TNI-POLRI), Petani, Pedagang dan Pensiunan. Adapun komposisi penduduk

50

Universitas Sumatera Utara kelurahan Karang Berombak berdasarkan mata pencaharian (sumber ekonomi) yaitu, terdapat 403 jiwa penduduk yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil

(PNS), lalu terdapat 689 jiwa penduduk yang bekerja sebagai Pegawai Swasta, kemudian terdapat 272 jiwa penduduk yang bekerja sebagai Tentara Republik

Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia (TNI-POLRI), adapun juga terdapat

28 jiwa penduduk yang bekerja sebagai Petani dan terdapat 585 jiwa penduduk yang bekerja sebagai Pedagang, serta terdapat 329 jiwa penduduk sebagai

Pensiunan (Data dari Kelurahan Karang Berombak, 2019).

2.10 Seni Musik dan Tortor

Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980: 395-397). Kesenian pada masyarakat

Mandailing sangat banyak dan beragam.

2.10.1 Ende

Sebenarnya sejak lahir manusia di dalam masyarakat Tapanuli dan

Mandailing telah diperkenalkan seni suara walaupun seni itu belum mendapatkan tanggapan yang spontan dari bayi itu sendiri sebagaimana tanggapan seorang yang sudah berakal. Sadar atau tidak sadar, seni ini telah mulai diperkenalkan karena didorong rasa cinta kasih sayang, yang menggembirakan hati, yakni juga merupakan seni dalam mengasuh anak. Dalam bidang seni vokal yang dalam bahasa daerahnya disebut Ende atau Marende, kita dapat mengenal beberapa macam nama-nama ende, antara lain sebagai berikut.

51

Universitas Sumatera Utara a. Ende marbue/marorot, dalam mengasuh anak (marorot), selalu bernyanyi untuk menidurkan atau meredamkan tangisan si anak yang sedang diasuh. Sekurang-kurangnya menyenangkan hati si anak yang diasuh itu.

Pengasuh yang bernyanyi itu, disebut mangurdo-urdohon.

b. Ende onang-onang, ini diorbitkan seseorang dengan suara dan gaya yang bebas diluar perkampungan, dan dengan suara yang agak tinggi. Bila secara terpimpin dan teratur, dalam waktu-waktu tertentu boleh dikumandangkan dalam rumah atau dalam kampung. Seperti dalam upacara mahorja, marbodong. Yaitu pada pesta upacara adat. Orang yang melakukan onang-onang disebut dengan tukang onang-onang atau panggora (paronang-onang).

c. Ende campong, pada siang hari anak-anak sambil mengasuh adik-adik mereka, begitu juga pemuda atau orang-orang tua yang kebetulan tidak ke sawah atau kerja yang sedang beristirahat sering berkumpul di sopo godang yang membuat kerja sambilan seperti mengasuh anak, menganyam rambang ikan (jala) sembari mereka bersenda gurau, anak-anak bernyanyi sambil belajar.

d. Ende ungut-ungut, nyanyian ini boleh diorbitkan seseorang dimana saja, asal tidak di tempat peribadatan. Biasanya ini mengandung sesuatu kisah yang disusun dalam syair atau pantun. Mengorbitkannya dengan suara yang rendah (halus). Tidak seperti onang-onang dengan suara yang tinggi. Para penggemar lagu ini sering mempergunakan diwaktu-waktu senggang atau mangaso juga sebagai pelipur lara diwaktu susah. Karena yang dibaca dan disenandungkan adalah kisah yang kadang-kadang isinya adalah kisah seseorang yang hidupnya lebih sengsara atau lebih sedih, yang melebihi dari hidup yang dialami pembaca ungut-ungut.

52

Universitas Sumatera Utara

2.10.2 Gordang Sambilan dan Gondang Dua

Musik yang dibunyikan dalam upacara adat disebut gondang. Dalam konteks budaya Mandailing, semua musik tradisional meskipun dimainkan dengan perangkat alat musik berlain-lainan namanya disebut gondang. Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Mandailing memainkan musik (gondang) dengan mempergunakan dua macam perangkat alat musik tradisional. Masing- masing dikenal dengan nama Gondang Boru atau Gondang Dua dan Gordang

Sambilan.

Perangkat alat musik tradisional Mandailing yang disebut Gordang

Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang yang berukuran besar dan panjang.

Kesembilan gendang (gordang) tersebut memiliki ukuran besar dan ukuran panjang yang berbeda satu sama lain secara bertingkat. Badan dari kesembilan gendang tersebut terbuat dari kayu. Pada bagian sebelah atas ditutup dengan selapis kulit lembu yang mentah (bulunya tidak dikuliti) dan kering. Di bagian pinggir kulit ditusukkan beberapa kerat kayu yang ditajamkan kedua ujungnya, dan ujung kayu ini dibiarkan keluar untuk tempat tumpuan tali peregang yang terbuat dari bahan rotan. Biasanya rotan pengikatnya mempunyai ukuran sebesar jari kelingking dan masih dalam keadaan bulat, serta digandakan sekurang- kurangnya dua batang rotan. Lubang sebelah bawah ditutup dengan kayu yang dibentuk bulat dan diberi enam buah sampai delapan buah gerigi dari bahan yang sama dalam bentuk empat segi. Kayu penutup bagian bawah ini terutama geriginya digunakan untuk sangkutan rotan yang dipasangkan dari tusukan kayu pada kulit bagian atas. Seperti halnya Gondang Boru, Gordang Sambilan

53

Universitas Sumatera Utara dilengkapi dengan dua buah gong besar yang disebut ogung boru-boru dan ogung jantan, tiga buah gong kecil yang disebut mongmongan, sebuah gong yang lebih besar dari mongmongan yang disebut doal dan sepasang simbal kecil yang disebut tali sasayak.

Perangkat alat musik Gondang Boru atau Gondang Dua terdiri dari dua buah gendang yang terbuat dari kayu yang dilubangi dan masing-masing kedua sisinya ditutup dengan kulit kambing, dua buah gong yang disebut ogung jantan dan ogung boru-boru (gong jantan dan gong betina), gong yang ukurannya lebih besar adalah ogung boru-boru dan yang lebih kecil disebut ogung jantan, tiga buah gong kecil yang disebut mongmongan, satu buah gong yang lebih besar dari mongmongan dinamakan doal, sepasang simbal kecil disebut tali sasayak dan sebuah suling yang terbuat dari bambu.

2.10.3 Tortor

Masyarakat Mandailing mengenal seni tari dengan sebutan Tortor. Adapun beberapa jenis Tortor yang ada pada masyarakat Mandailing sesuai dengan ketentuan adat masyarakat Mandailing didasarkan kepada status atau kedudukan sosial dari orang-orang yang manortor yaitu: (1) Tortor Raja Panulusan Bulung;

(2) Tortor Raja-raja; (3) Tortor Suhut; (4) Tortor Kahanggi Suhut; (5) Tortor

Mora; (6) Tortor Anakboru; (7) Tortor Namorapule; dan (8) Tortor Naposo Nauli

Bulung. Adapun kegiatan manortor pada masyarakat Mandailing dilaksanakan dalam horja siriaon (upacara adat perkawinan) dan sorja siluluton, upacara adat kematian (http://gondang.blogspot.com/2012/03/seni-tari-mandailing.html di akses 8

Mei 2019).

54

Universitas Sumatera Utara Tortor di daerah Tapanuli Selatan digunakan dalam acara-acara tertentu misalnya pesta perkawinan, acara penyambutan tamu-tamu terhormat, memasuki rumah baru, atau kelahiran anak (aqiqah). Tortor adalah tarian yang gerakannya seirama dengan iringan musik yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, serunai, dan ogung. Tortor biasanya dihadirkan pada saat pesta besar yang biasa disebut dengan horja godang. Sebelum horja godang dilaksanakan, tempat dan lokasi pesta dibersihkan lebih dulu, supaya pelaksanaan horja godang tersebut jauh dari marabahaya.

Tortor digunakan pada upacara adat perkawinan masyarakat Tapanuli

Selatan, tetapi tidak semua perkawinan yang ada di daerah Tapanuli Selatan menggunakan Tortor. Tortor hanya digunakan pada perkawinan yang besar yang disebut dengan horja godang dan pada saat itulah margondang dilaksanakan.

Margondang adalah sebutan untuk pesta atau pelaksanaan horja godang. Horja godang dan margondang adalah perangkat adat Tapanuli Selatan yang tidak bisa dipisahkan.

Jika tidak ada horja godang maka margondang pun tidak akan dilaksanakan. Horja godang dilaksanakan selama satu hari satu malam, tiga hari tiga malam, atau tujuh hari tujuh malam. Saat ini, masyarakat lebih sering melaksanakannya selama satu hari satu malam atau tiga hari tiga malam. Setiap pelaksanaan upacara adat, ada manortor (menari), tetapi dalam manortor tidak terdapat panortor (penari) khusus, dengan demikian adat pada hakekatnya menghendaki agar semua orang berhak melakukan Tortor dalam upacara adat manortor. Dalam upacara adat perkawinan yang disebut horja haroan boru (pesta kedatangan pengantin yang dilaksanakan di tempat laki-laki) manortor boleh

55

Universitas Sumatera Utara ditarikan setelah selesai maralok-alok (penyampaian pidato adat dalam suatu upacara adat). Manortor dalam suatu adat perkawinan tidak boleh dilakukan berpasangan laki-laki dan perempuan, kecuali ketika Tortor naposo nauli bulung

(Tortor muda-mudi) dengan ketentuan muda-mudi yang manortor tidak boleh satu marga.

Tortor pada upacara adat perkawinan Mandailing diberi nama sesuai dengan status adat yang di gunakan pada saat upacara perkawinan tersebut. Oleh karena itu Tortor dalam upacara perkawinan dikategorikan sebagai berikut: (1)

Tortor Suhut Bolon, (2) Tortor Kahanggi, (3) Tortor Anak Bor, (4) Tortor Raja- raja Torbing Balok, (5) Tortor Panusunan Bulung, (6) Tortor Naposo Nauli

Bulung, dan (7) Tortor Namora Pule ( Pengantin).

Seluruh Tortor tersebut di atas ditarikan pada hari pertama, kedua dan ketiga. Setiap Tortor di atas selalu dimulai dari pihak laki-laki sampai selesai, kemudian dilanjutkan oleh pihak perempuan dan begitu seterusnya. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk menjelaskan Tortor sebagai sebuah bentuk tari pada upacara perkawinan masyarakat Mandailing.

Tortor adalah tarian yang gerakannya seirama dengan iringan musik

(gondang) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, gung dan lain-lain. Tortor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan adat orang Mandailing. Tortor juga dipakai pada pesta pernikahan, bagi suku mandailing Tortor merupakan tarian yang sangat dijaga sampai sekarang. Banyak orang yang mengenal Tortor karena Tortor selalu digunakan oleh beberapa sanggar tari untuk menjadi salah satu tarian yang dikembangkan dan dijaga.

56

Universitas Sumatera Utara Tortor juga sangat disukai oleh orang yang bukan suku Mandailing. Tortor sangat terkenal sehingga selalu dipakai pada acara-acara.

Pakaian yang digunakan pada tortor adalah pakaian ciri khas Mandailing dengan memakai ulos. Pakaian pada tortor sangat lah bagus karena mempunyai ciri khas tersendiri. Maka tortor harus kita junjung tinggi dan dilestarikan sampai kapan pun.

Dalam penelitian ini, upacara yang diteliti adalah perkawinan adat

Mandailing yang masuk ke dalam kegiatan sukacita (horja siriaon). Dalam pelaksanaan adat ini, digunakan kesenian musik dan tari. Musiknya terdiri dari ensambel gordang sambilan dan gondang dua, disertai ende onang-onang. Selain itu digunakan pula seni tari tradisi Mandailing yakni tortor, yang terdiri dari tortor penyambutan mempelai laki-laki, tortor nauli bulung, tortor raja panusunan bulung, dan lain-lainnya. Selain itu, dalam konteks hiburan digunakan pula ensambel keyboard, yang mabawakan lagu-lagu populer daerah Sumatera Utara, nasional, dan dunia. Situasi upacara itu dideskripsikan pada bab berikutnya.

57

Universitas Sumatera Utara BAB III

DESKRIPSI UPACARA ADAT PERKAWINAN MANDAILING DENGAN MEMPELAI ENDANG RETNO WIDIASTUTI DENGAN HIDAYAT NASARUDDIN HASIBUAN

Pada Bab III ini, penulis memusatkan perhatian pada deskripsi upacara adat perkawinan Mandailing di Kelurahan Karang Berobak, Medan Barat, Kota Medan, dengan mempelai Endang Retno Widiastuti dan Hidayat Nasaruddin Hasibuan. Dimulai dari latar belakang kedua mempelai, dilanjutkan ke deskripsi upacara adat, dan uraian secara rinci bedrdasarkan waktu dan ruang, dengan pendekatan teori upacara secara antropologis.

3.1 Biografi Ringkas Kedua Pengantin

Latar belakang kehidupan pengantin wanita dan pria dapat diurai sebagai berikut. Pengantin wanita bernama lengkap Endang Retno Widiastuti, A.Md. binti

Sugeng Parmono, S.E., M.Si. Beliau adalah anak dari Bapak Sugeng Parmono,

S.E., M.Si., yang juga semasa hidupnya bertugas mulai dari sebagai pegawai honorer pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara mulai dari tahun 1981.

Kemudian bekerja sambil kuliah strata satu, dan melanjut ke strata dua. Akhirnya menjadi dosen tetap Fakultas Sastra USU Medan.

Endang Retno Widiastuti adalah putri pertamanya yang lahir pada tahun

1988. Beliau sekolah di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah

Menengah Atas di Kota Medan. Kemudian melanjutkan studi diploma tiga

Pariwisata di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Kemudian setelah tamat, mendaftarkan diri menjadi pegawai di FIB dan diterima. Tugas beliau adalah pada urusan akademik di bahagian pendidikan FIB USU.

58

Universitas Sumatera Utara Gambar 3.1: Mempelai Wanita, Endang Retno Widiastuti

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

Selamnjutnya, sang mempelai laki-laki adalah bernama lengkap Hidayat

Nasaruddin Hasibuan, S.E. bin Ali Nafia Hasibuan. Beliau dilahirkan oleh ibundanya di Medan, pada tahun 1986. Kemudian bersekolah pada Sekolah Dasar,

Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah atas di Kota Medan.

Kemudian melanjutkan studi ke peringkat strata satu di Fakultas Ekonomi,

Universitas Sumatera Utara Medan. Kemudian setelah tamat, beliau mendaftarkan dikri masuk menjadi pegawai tetap pada Rumah Sakit, Universitas Sumatera

Utara Medan, dan diterima.

59

Universitas Sumatera Utara Gambar 3.2: Mempelai Laki-laki, Hidayat Nasaruddin Hasibuan

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

Gambar 3.3: Gambar Pengantin Laki-laki dan Wanita

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

60

Universitas Sumatera Utara 3.2 Pokok-pokok Aturan Upacara Adar Perkawinan Mandailing

Pada penelitian lapangan, proses upacara perkawinan yang dilakukan oleh kedua mempelai adalah mengikuti adat istiadat perkawinan Mandaialing pada umumnya. Upacara ini diselenggarakan dengan titik pusat pada rumah mempelai wanita (boru na ni oli), yang melibatkan baik itu kerabat mempelai wanita maupun kerabat mempelai laki-laki dalam konteks dalihan na tolu Mandailing.

Berikut ini adalah pokok-pokok aturan upacara adat perkawinan Mandailing yang penulis peroleh darai para narasumber.

3.2.1 Acara di Rumah Boru na Ni Oli

Dalam upacara adat perkawinan Mandailing, terdapat pembagian tata cara pelaksanaan perkawinan yang dimulai dari acara di rumah boru na ni oli

(pengantin wanita). Adapaun tata cara pelaksanaan adat perkawinan Mandailing ialah sebagai berikut.

a. Manyapai boru, bertemunya seorang laki-laki dan perempuan yang saling mengenal dan menyukai sebagai kodrat manusia untuk membona keluarga, diharapkan akan dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Untuk melanjutkan niat baik ini harus dilakukan mengikuti tata cara yang telah diadatkan. Di antara adat itu adalah manyapai boru (melamar atau meminang). Hubungan yang kelak menjadi suami dan istri ini, harus dipertahankan sebaik-baiknya. Dengan ikatan kekeluargaan ini bukan saja meninmbulkan hubungan antara pihak laki-laki dan perempuan, namun lebih luas lagi yaitu hubungan kekeluargaan yang menyeluruh secara budaya yakni mencakup dalihan na tolu (terdiri dcari kahanggi, anak boru, dan mora).

61

Universitas Sumatera Utara

b. Mangaririt boru, dalam acara ini pihak orang tua calon mempelai laki- laki menjelaskan terlebih dahulu bahwa anaknya (laki-laki) telah saling mengenal dengan anak perempuan mereka. Dalam masyarakat adat Mandailing, dapat terjadi kedua calon pengantin tidak saling mengenal, namun orang tua dari si calon saling mengenal ataupun sebaliknya. Apabila calon pengantin tidak saling mengenal disebut perkawinan yang dijodohkan. Mangaririt boru biasanya dilakukan oleh orang tua si laki-laki secara langsung, ada kalanya dengan membawa kahanggi dan anak boru. Biasanya orang tua si perempuan tidak langsung menjawab setuju keinginan pihak laki-laki. Pihak orang tua perempuan akan memberikan waktu untuk menanyakan kepada anak perempuan mereka apakah menerima pinangan dari pihak laki-laki.

c. Padamos hata, jika pada waktu mangaririt boru tidak ada hal-hal yang menghalangi untuk melanjutkan pembicaraan kepada tujuan semula, maka pembicaraan akan sampai pada tahap padamos hata. Pihak keluarga laki-laki akan datang kembali ke rumah keluarga perempuan untuk meminang. Dalam hal meminang ini akan dibicarakan sekaligus tentang: (a) hari yang tepat untuk datang meminang secara resmi (patobang hata), (b) persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi pada waktu pinangan nanti, yaitu: (i) pa saja yang perlu disiapkan;

(ii) berapa mas kawin dan dalam bentuk apa; (iii) berapa tuhor (uang jujur); dan

(iv) perlengkapan-perlengkapan lainnya.

62

Universitas Sumatera Utara d. Patobang hata. dalam acara ini pihak keluarga laki-laki menyampaikan hasratnya dengan kata-kata yang benar-benar menunjukkan kesungguhan dan keinginan, biasanya disampaikan dengan contoh perumpamaan sebagai berikut.

1. Mangido lopok ni tobu sisuanon, baen suanon di tano rura buana name,

anso adong tambus ni namboru na anso martumbur on lopus tu pudi ni ari.

(ditujukan kepada si gadis).

2. Mangido ondor na mangolu parsiraiasan. (ditujukan kepada keluarga si

gadis/mora).

3. Mangido titian batu na so ra buruk. (ditujukan untuk menjalin hubungan

secara terus-menerus).

e. Manulak sere (seserahan), dalam proses ini, pihak kelurga laki-laki membawa batang boban yang telah disepakati sebelumnya dirumah keluarga perempuan. Pada waktu manulak sere, di rumah keluarga perempuan sudah siap menunggu kedatangan rombongan anak boru yang akan manulak sere.

f. Mangalehen mangan pamunan, di dalam adat perkawinan Mandailing, anak perempuan yang akan melangkah ke jenjang perkawinan berarti akan meninggalkan keluarganya dan beralih kepada keluarga calon suami. Oleh sebab itu sebelum calon pengantin perempuan tersebut diberangkatkan, maka orang tuanya beserta sanak famili akan berkumpul untuk memberi makan anaknya yang disebut mangan pamunan (makan perpisahan).

g. Acara pernikahan, nikah secara Islam yang dilaksanakan menurut hukum fiqih adalah merupakan bagian yang sangat menentukan dari keseluruhan acara perkawinan adat. Nikah juga merupakan hal yang sangat penting baik bagi yang bersangkutan maupun Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi pada

63

Universitas Sumatera Utara waktu pinangan yang telah disepakati saat padamos hata suami isteri, maupun bagi masyarakat pada umumnya, ialah merupakan penentuan mulai saat manakah dapat dan harus dikatakan, bahwa ada sesuatu perkawinan selaku suatu kejadian hukum dengan segala akibat-akibat hukumnya. (Soekanto, dalam Sarjono

Soekanto, 1985: 105).

3.2.2 Horja Pabuat Boru

a. Pasahat mara, pada acara pasahat mara, bayo pangoli dan boru na ni oli ikut duduk di pantar bolak. Mereka berdua diberi nasehat. Semua barang bawaan sudah diletakkan ditengah pangkobaran. Yang diartikan sebagai pasahat mara (artinya menyerahkan keselamatan) boru na ni oli serta barang bawaannya kepada bayo pangoli dan keluarganya (merupakan tanggung jawab penuh). Pada acara pasahat mara ini keluarga boru na ni oli harus menjelaskan kepada keluarga bayo pangoli, bahwa boru ini tidak boleh disia-siakan. Bagi keluarganya anak ini merupakan anak mata (punya nilai tinggi).

b. Barang bawaan boru na ni oli, pada waktu pasahat mara barang bawaan boru na ni oli sebagaimana disebut di atas ditaruh di tengah pantar paradaton agar dapat disaksikan semua yang hadir. Barang bawaan tersebut terdiri dari: (i) tikar adat (amak lampisan/amak sampistuk), (ii) kain adat, (iii) barang boru (bulang),

(iv) bantal yang digulung/dibungkus dengan tikar lengkap dengan sarung bantalnya, (v) tempat tidur pengantin beserta perlengkapannya tilam, bantal dan alas tempat tidur, (vi) piring, mangkuk, dan perlengkapan dapur lainnya, (vii) pakaian boru na ni oli, (viii) beras, telur, beserta sonduk (sendok nasi yang terbuat dari tempurung kelapa), (ix) haronduk dan garigit (karung kecil yang dianyam

64

Universitas Sumatera Utara disebut haronduk dan garigit adalah terbuat dari bambo untuk penampungan air disungai), dan (x) silua (nasi serta lauk pauk ditambah dengan itak poul).

3.2.3 Horja Haroan Boru

a. Marpokat haroan boru, jika dari pihak boru na ni oli acaranya disebut pabuat boru, maka dirumah keluarga bayo pangoli disebut dengan haroan boru.

Pada saat yang telah direncanakan niat untuk patobang anak (mengawinkan anak laki-laki), maka sebelum acara hari yang ditetapkan untuk mengadakan horja godang (pesta adat) tersebut, pihak keluarga laki-laki (suhut) mengundang sanak family (keluarga dekat) untuk marpokat (mufakat). Biasanya didahului dengan marpokat sabagas kemudian marpokat saripe baru kemudian dilanjutkan marpokat sahuta. Dalam mufakat inilah diperinci siapa yang ikut rombongan mangalap boru, siapa yang menerima, siapa yang bertanggung jawab terhadap urusan konsumsi, kesenian, undangan dan lain-lain yang menyangkut pelaksanaan horja. Sesuai dengan prinsip dalian na tolu kalau ada horja, semua harus dilibatkan baik dari sudut dana maupun tenaga.

b. Mangalo-alo boru dan manjagit boru, setelah bayo pangoli dan boru na ni oli sampai di kampung bayo pangoli di Mandailing Godang, mereka disambut dengan suatu acara yang disebut mangalo-alo penganten yang datang biasanya jika datang dari jauh (naik kendaraan) tidak langsung diturunkan di depan rumah, tetapi harus diarak kira-kira 500 meter sebelum sampai ke rumah.

Mereka disambut dengan prosesi penyambutan secara adat yang terdiri dari gendang, pencak silat, payung kuning tombak, pedang serta barisan keluarga pengantin laki-laki sampai ke depan pintu. Namun hal ini sekarang tidaklah sama

65

Universitas Sumatera Utara persis pada zaman dahulu. Apabila acara manjagit boru, itu hanya disambut oleh keluarga pihak laki-laki (bayo pangoli). Di depan pintu rumah telah menunggu kedua orang tuanya, uda dan Inanguda nya menerima pengantin laki-laki dan perempuan. Ayah dan udanya manogu (memegang) bayo pangoli sedangkan ibu dan inangudanya manogu boru na ni oli dan membawanya untuk didudukkan di atas amak lampisan. Setelah semua rombongan penjemput dan pengantar duduk dimulailah acara penyerahan boru kepada keluarga bayo pangoli dan namora natoras.

c. Pataon raja-raja dan koum sisolkot, haroan boru (kedatangan pengantin) dengan acara horja yang dilaksanakan dirumah bayo pangoli biasanya tidak dilakukan pada hari yang sama. Biasanya diantarai 2 (dua) atau 3 (tiga) hari untuk merampungkan persiapan. Horja godang biasanya dilakukan pula satu hari manortor, satu hari mata ni horja. Pada saat ini dimana banyak kaum famili yang ikut terlibat dalam horja yang bekerja mencari nafkah, maka biasanya antara haroan boru dengan horja godang (mata ni horja) dilaksanakan selang 1 (satu) minggu (dari minggu ke minggu).

Jauh hari sebelum mata ni horja pihak suhut telah mengundang raja-raja adat dan seluruh famili (pataon tondi dohot badan) dengan cara manyurdu

(mempersembahkan) sirih (burangir) sebagai tanda bahwa undangan ini adalah undangan adat (secara kebesara adat) yang akan dilaksanakan pada horja ini.

Undangan ini disebut taon sabagas maksudnya untuk satu keluarga. Pataon raja- raja adat (undangan kepada raja-raja adat) dibawa oleh 2 (dua) orang anak muda dengan membawa sirih dan perelengkapannya. Kedua anak muda itu harus

66

Universitas Sumatera Utara memakai pakaian yang sopan, yaitu : memakai peci dan kain sisamping (kain yang dilipat dalam bentuk segitiga dan dililitkan dipinggang).

d. Panaek gondang, sebagaimana disebut di atas bahwa acara haroan boru sampai mata ni horja dapat berlangsung selama 3 (tiga) hari sebelum mata ni horja hari H nya (diadakan acara margondang). Di Mandailing, gondang

Tortor tetapi juga termasuk gordang sambilan. Jika gordang sambilan dipakai untuk memeriahkan pesta maka gondang Tortor khusus dipergunakan untuk acara menyambut boru dan manortor.

Dalam acara panaek gondang diadakan pula acara khusus. Menurut adat sebelum gendang ini ditabuh haruslah disantan terlebih dahulu. Demikian juga pemasangan paraget adat lainnya, seperti bendera-bendera, payung, tombak pedang, bulang, hampu abit godang, dan sebagainya, haruslah lebih dahulu dikumpul di pantar paradaton, dihadapan raja sebelum dipasang. Pada acara itu disediakan juga santan, itak pamorgo-morgoi dan dingin-dingin. Yang hadir pada acara panaek gondang adalah: (1) suhut dan kahanggi, (2) anak boru, laki-laki dan perempuan, (3) naposo bulung dan nauli bulung, (4) pemusik gondang, (5) namora natoras, dan (6) raja adat (cukup raja ni huta)

Sebagaimana setiap membuka hata (buka rapat), burangir disurdu lebih dahulu oleh anak boru kepada raja adat dan peserta acara. Kemudian suhut menyampaikan maksud dan permohonannya pada semua yang hadir agar dapat hendaknya berpartisipasi dalam pelaksanaan horja itu. Demikian juga raja adat sangat diharap agar member restu kepada horja tersebut.

Setelah diputuskan acara adat direstui, maka gendang mulai dibunyikan dan pago-pago dipancangkan. Pago-pago sebagai tanda ada pesta adat (horja

67

Universitas Sumatera Utara godang) dipasang di halaman rumah, merupakan simbol-simbol adat. Simbol- simbol tersebut termasuk seperti bendera-bendera adat, payung adat, tombak, pedang, rompayan.

Namun sekerang ini, hanya cukup dengan dipasangnya tabir dan langi- langit serta amak lampisan di pantar bolak paradaton. Satu hari atau dua hari sebelum acara horja godang (mata ni horja), pada malam harinya diadakan acara manortor. Secara berurutan yang manortor adalah suhut dan kahangginya yang di ayapi oleh anak borunya, kemudian dilanjutkan dengan Tortor muda-mudi sampai larut malam. Pada waktu dulu minat na poso dan nauli bulung untuk manortor masih sangat besar, acara manortor ada kalanya sampai pagi (subuh).

e. Mata ni horja, pagi harinya setelah tamu-tamu mulai berdatangan, ensambel gondang dua sudah dibunyikan. Untuk menyambut tamu dibunyikan gong. Raja-raja yang datang secara bergiliran diundang untuk manortor. Setelah selesai acara manortor raja-raja, seluruh tamu-tamu harajaon diundang ke pantar bolak paradaton untuk mangkobaradat (sidang adat). Perlu dijelaskan bahwa biasanya acara manortor sudah dimulai pukul 09.00 pagi. Pada acara manortor pagi hari, saat mata ni horja secara berturut-turut akan di partortor: (1) suhut. (2) kahanggi, (3) anak boru, (4) raja-raja Mandailing, (5) raja-raja desa na walu, (6) raja panusunan.

Dalam acara manortor, biasanya diatur 3 orang sekali manortor dan diayapi oleh anak borunya. Selesai acara manortor barulah raja-raja yang diundang dipersilahkan duduk di pantar paradaton. Setelah semua berkumpul, acara markobar dimulai dengan diawali menghidangkan sipulut lengkap dengan intinya dan minumannya. Makan pulut sebagai sifat ketan, bahwa apa yang

68

Universitas Sumatera Utara dibicarakan nantinya akan melekat dan meyatu di hati sanubari setiap yang hadir.

Setelah selesai makan pulut, maka disurdu burangir pertanda markobar sudah dapat dimulai setelah permisi kepada raja panusunan. Gong dibunyikan 9

(Sembilan) kali pertanda gelanggang adat telah dibuka seterusnya alok-alok mempersilahkan suhut mengawali pembicaraan dengan menyampaikan jamita

(pemberitahuan kepada semua peserta acara hal-hal yang telah terjadi sebelumnya) mulai manyapai boru sampai kepada mangalap boru dan haroan boru serta acara yang diadakan pada hari itu yaitu bermaksud melaksanakan horja godang.

f. Membawa pengantin ke tapian raya bangunan. setelah selesai acara markobar adat, sebelum pengantin diupa-upa dan beri gelar, diadakan acara marudur (arak-arakan) menuju tapian raya bangunan untuk melakukan acara marpangir (berlangir) kedua mempelai. Pengantin diarak ke tapian raya bangunan yang artinya membawa pengantin ke tepian pemandian. Mandi dan berlangir secara simbolis tujuannya untuk menghanyutkan habujingan (masa gadis) dan haposoan (masa lajang). Meskipun disebut tapian raya bangunan

(tepian pemandian), namun sesuai dengan kondisi dan situasi terutama di kota dimana tidak mungkin ditemukan sungai, maka acaranya hanya dijalankan. Jarak antara rumah dan tempat acara marpangir tersebut biasanya kira-kira berjarak 300 meter dari rumahnya, disesuaikan dengan kemampuan pengantin untuk berjalan.

Ditempat yang dituju telah disediakan 2 (dua) buah kursi untuk tempat duduk pengantin dan 1 (satu) buah meja untuk tempat pangir. Pangir disediakan untuk pelaksanaan upacara marudur ke tapian raya bangunan. Bahan yang diperlukan untuk mandi tersebut adalah pangir yang disediakan di dalam

69

Universitas Sumatera Utara cambung (mangkok nasi), yang terdiri dari: (a) jeruk purut yang sudah dipotong- potong; (b) air secukupnya.

Pangir ini akan dipercik-percikkan kepada pengantin yang artinya berlangir (keramas) secara simbolis. Untuk memercikkan air pangir ini dipergunakan daun-daunan yang diikat jadi satu yang terdiri dari: (a) silinjuang

(berwarna hijau), (b) hatunggal (berwarna merah), (c) sipilit (warna merah), (d) sitangkil (warna hijau).

Pangir tersebut dibawa ke tapian raya bangunan dengan dijujung seorang ibu (anak boru ni anak boru). Diletakkan diatas pahar yang sudah dialasi dengan abit tonun patani. Di atas tonun patani inilah diletakkan cambung yang sudah berisi pangir tadi dan alat pamispis (untuk memercikkan) ke kepala dan tangan pengantin. Sepulangnya dari tapian raya bangunan sebelum masuk ke rumah, ditangga diharuskan menginjak pelepah batang pisang dengan perlengkapan sebagai berikut: (1) Padang togu-anso togu parsitiopan (agar pegangan hidupnya kokoh), (2) Dingin-dingin (agar hati dan kehidupannya sejuk). (3) Ombang sila

(damai-damai). (4) Tabar-tabar (sejuk/borgo). (5) Pelepah batang pisang (busir ni pisang) sitabar 3 helai (dingin dalam bahasa Mandailing borgo), ditelungkupkan menutup bahan-bahan satu sampai empat di atas. Setelah pelepah batang pisang dan perlengkapannya diinjak dengan dimulai dengan kaki kanan dan diikuti kaki kiri baru boleh masuk rumah dengan menaiki anak tangga satu persatu.

g. Mangalehen gorar. Adalah memberi gelar adat, yakni memberi gelar untuk menandakan bahwa kedua penganten telah melepaskan masa mudanya dan menjalani adat matobang (masa berkeluarga rumah tangga). Nama inilah yang nantinya yang akan dipakai untuk memanggil yang bersangkutan, terutama pada

70

Universitas Sumatera Utara upacara-upacara adat. Pemberian nama (gelar) ini dilakukan setelah marudur ke tapian raya bangunan dan setelah kembali dan duduk di pantar bolak paradaton.

Penabalan nama (gelar adat) ini dilakukan oleh raja panusunan atas usul namora dan natoras dengan disaksikan oleh raja-raja adat lainnya, unsur dalian na tolu dan seluruh keluarga yang hadir. Sebagaimana disebutkan bahwa gelar yang diberikan adalah dari kakeknya dan tidak boleh mengambil gelar bapaknya, yang menurut adat harus bersifat barbar tu ginjang, arit tu toru. Setelah penabalan gelar, dilanjutkan dengan mangupa dan mangaelehen ajar poda (nasehat) untuk bekal hidup di dalam menjalani kehidupan yang baru.

h. Mangupa, merupakan acara puncak dari segala acara dari upacara perkawinan. Apabila mangupa sudah selesai dilaksanakan maka selesailah sudah seluruh rangkaian upacara perkawinan menurut adat. Jika masih ada acara-acara berikutnya, itu adalah merupakan pelengkap. Mangupa diartikan sebagai ungkapan kegembiraan, bahwa sesuatu yang diharapkan itu telah terwujud.

Tujuan mangupa ini adalah agar tondi yang diupa selalu dalam perlindungan.

Pelaksanaan mangupa setelah manggoar juga dimaksudkan agar nama yang diberikan tersebut diterima tondi dohot badan kedua pengantin. Tondi merupakan sesuatu yang abstrak dalam jiwa seseorang yang member kekuatan tuah dan marwah kepada seseorang.

i. Ajar poda. adalah acara memberi nasihat kepada kedua pasangan pengantin baru. Acara ini dilakukan setelah acara mangupa. Contoh pelaksanaannya sebagai berikut:

71

Universitas Sumatera Utara Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.. Santabi sapulu tu sude koum sisolkot di barisan ni dallian na tolu muloi tingon kahanggi, anak boru, satorusna tu barisan ni harajaon na juguk di pantar paradaton on.

Lebih dahulu saya mohon maaf, karena acara ini berlangsung di perantauan saya akan mempergunakan dua bahasa agar dapat sama- sama dimaklumi

Marsyukur ita tu Tuhanta na gumorga langit na tumompa tano na dung mangalehen kasampatan dohot hatorkisan di hita sude marlagut hita dison di bagasan ni siriaon.

Tibalah waktunya memberi kata nasehat atau ajar poda kepada ananda sekalian, karena kata-kata ini akan saya sampaikan, saya tujukan kepada kalian berdua. Ananda berdua ...

j. Mangoloi na loja. selesai horja godang, biasanya pada malam harinya seluruh sanak keluarga, terutama yang ikut serta secara langsung di dalam pelaksanaan horja godang ini diundang untuk acara makan bersama. Jika pada saat sekarang ini dapatlah dikatakan bahwa acara makan bersama ini sebagai pembubaran panitia sekaligus ucapan terimakasih atas seluruh jerih payah kaum keluarga di dalam pelaksanaan horja godang ini. Makan bersama yang disebut dengan istilah mangoloi na loja (meladeni yang lelah), yang berarti meladeni mereka sudah susah payah dengan segala tenaga dan pikiran mensukseskan horja godang tersebut. Oleh sebab itulah pada saat itu mereka tidak boleh ikut lagi ikut bekerja, tetapi hanya makan dengan layanan.

k. Marulak ari, artinya berkunjung ke rumah orang tua boru na ni oli untuk pertama kalinya setelah selesai horja (manulak ari artinya mengulang hari).

Marulak ari ini biasanya dilakukan satu minggu setelah acara pesta. Boleh lebih cepat tentu sangat melelahkan dan kalau terlalu lama kurang baik pula.

Berkunjung ke rumah orang tua boru na ni oli dimaksudkan agar selesai hutang

72

Universitas Sumatera Utara piutang (simbolis). Pada acara marulak ari ini, pengantin baru ini beserta keluarga yang datang (kahanggi dan anak boru) berikut kedua orang tuanya, membawa nasi bungkus beserta lauknya sebagai oleh-oleh dan kue wajid (indahan simanis) serta itak poulpoul.

Biasanya lauk yang dibawa yaitu ayam, ikan salai yang merupakan gulai kebesaran. Dan tujuan dari pada mebat ini adalah untuk mengobati rindu dari boru na ni oli setelah beberapa waktu meninggalkan orang tuanya dan perkenalan antara kedua keluarga agar lebih akrab serta memelihara silaturahmi.

3.3 Deskripsi Jalannya Upacara Adat Perkawinan

Upacara adat perkawinan ini dilaksanakan di rumah pengantin wanita

(boru na ni oli), Endang Retno Widiastuti Lubis, di Jalan Karya, Kelurahan

Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Rumah kediaman itu telah dipasang teratak, pentas petunjukan, pelaminan, kursi-kursi dan meja, dan semua perlengkapan untuk sebuah pesta perkawinan.

Waktu pesta adalah hari Sabru tanggal 17 November 2018. Dipilihnya hari ini, mempertimbangkan hari baik dan bulan baik, sesuai dengan sistem kalender

Hijriah, maupun penanggalan Masehi, serta Jawa. Mereka telah bermusyawarah sebelumnya dalam menentukan hari pesta pernikahan ini, dengan adat

Mandailing.

Penulis datang ke tempat pesta pada pukul 11.00 WIB. Beberapa menit setelah itu datanglah satu per satu tamu-tamu undangan. Mereka adalah para dosen, pegawai, dan beberapa sivitas akademika Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan dan para pegawai dan tenaga medis dari

73

Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara Medan. Selain itu panitia yang berpakaian dengan warna utama merah yang merupakan kerabat kedua mempelai telah bersiap sedia menyambut kedatangan para tetamu ini.

Cara tetamu datang adalah dengan terlebih dahulu mengisi dan menandatangani buku tamu, kemudian mendapatkan kartu untuk cenderamata dari pengantin, kemudian memasukkan uang sumbangan yang dimasukkan ke dalam amplop kepada pengantin ke kotak yang telah disediakan. Ada juga beberapa undangan yang membawa hadiah berupa kado untuk diberikan kepada kedua pengantin di hari yang berbahagia tersebut.

Kemudian para tetamu langsung diberikan piring dan sendok, untuk mengisinya dengan nasi, sayur, dan lauk-pauk yang telah disediakan di atas meja makan. Setelah mengambil lauk pauk mereka duduk di kursi dan menikmati makanan yang telah diambil masing-masing tamu. Disediakan juga meja-meja untuk para tetamu ini makan dan minum.

Pada pukul 11.45 datanglah rombongan pengantin pria, yang kemudian disambut oleh rombongan pengantin wanita. Keduanya memakai busana adat

Mandailing. Pengantin wanita menggunakan busana adat ini berwarna mera, sementara pengantin laki-laki menggunakan jas warna hitam dan celana hitam, disertai ulos yang diselempangkan di bahu kanannya, dan tentu saja topi khas pakaian adat Mandailing.

Pada saat prosesi penyambutan pengantin laki-laki ini dimainkanlah gordang sambilan oleh grup gordang Gunung Kulabu, yang para pemainnya berasal dari Pakantan Mandailing. Pemain gordang ada empat orang, ditambah

74

Universitas Sumatera Utara pemain gong satu orang, pemain mongmongan dua orang, sitalasayak satu orang, dan sarune satu orang.

Kemudian setelah sampai di depan pelaminan, kedua pengantin menghadap ke hadirin, dan melakukan tortor penyambutan pengantin laki-laki.

Dimulai dari posisi pengantin wanita di sebelah kanan dan pengantin laki-laki di sebelah kiri dengan pelaminan. Kemudian setelah beberapa menit posisi bertukar, pengantin laki-laki di belakang dan perempuan di depan. Setelah itu, laki-laki di sebelah kanan, dan prempuan di sebelah kiri.

Selama berlangsungnya tortor penyambutan pengantin laki-laki ini, maka para pemusik memainkan ensambel gondang dua (gondang boru), dan penyanyi menyanyikan onang-onang. Ensambel gondang dua ini terdiri dari dua pemain gondang, satu pemain suling, ditambah saru pemain gong, dua pemain mongmongan, dan satu pemain talisasayak.

Penyanyi onang-onang adalah Bapak Ridwan Aman Nasution, yang pada pesta perkawinan tersebut juga bertindak sebagai pengatur jalannya acara adat ini.

Termasuk beliau yang mengarahkan kedua pengantin dalam menyusun pola lantainya pada saat manortor. Menurut penjelasan beliau, teks onang-onang adalah berupa penjelasan singkat tentang kedua mempelai, dan juga doa kepada

Allah SWT agar menjadi pengantin yang sakinah, mawadah, warahmah—artinya dalam kedamaian dan bahagia di bawah lindungan Allah Tuhan Yang Maha

Kuasa.

Setelah selesai tortor penyambutan pengantin laki-laki dipersembahkan, maka kedua pengantin duduk di pelaminan. Pengantin pria di sebelah kanan dan pengantin wanita di sebelah kiri. Keduanya diapit oleh orang tua mereka, yang

75

Universitas Sumatera Utara juga telah disediakan tempat duduknya di sebelah kanan dan kiri tempat duduk penbgantin wanita. Orang tua pengantin laki-laki di sebelah kanan dan kedua orang tua pengantin wanita di sebelah kiri.

Setelah iru, beberapa saat kemudian kedua pengantin melakukan sungkem

(sembah) yang biasa dilakukan oleh pengantin etnik Jawa. Dimulai dari sungkeman kepada orang tua pengantin wanita dan kemudian diteruskan kepada kedua orang tua pengantin laki-laki. Dalam pengamatan penulis, suasana haru terjadi pada saat acara ini. Kedua pengantin begitu menghayati situasi doa dan harapan dari para orang tua mereka, sekaligus mendaapatkan kerabat baru karena hubungan perkawinan ini.

Setelah selesai acara sungkeman ini, maka baik pengantin dan juga para orang tua mereka duduk kembali ke kursinya masing-masing. Di sela-sela ini ada juga para tetamu yang minta bersalaman bahkan berfoto bersama pengantin dan para orang tuanya, dalam posisi berdiri di depan tempat duduknya. Kesempatan ini diberikan oleh pembawa acara yakni Ridwan Aman Nasution. Beliau menjelaskan kepada para tamu undangan yang mau bersalaman dan berfoto bersama dipersilahkan selama lebih kirang lima menit.

Setelah selesai acara sungkeman, maka acara berikutnya adalah kedua mempelai manortor bersama kerabat-kerabatnya. Sebahagian kerabat ada yang mengambil posisi di pentas dan sebahagian lain di lantai depan pelaminan.

Tampak ekspresi kebahagian meraka masing-masing dalam melakukan tortor ini.

Musik yang digunakan adalah gondang dua dan juga disertai gordang sambilan.

76

Universitas Sumatera Utara Gambar 3.4: Prosesi Penyambutan Pengantin Laki-laki

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

Gambar 3.5: Para Pemain Gordang Sambilan

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

77

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.6: Pengantin Wanita Sungkem kepada Ibu Mertua

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

Gambar 3.7: Pengantin Wanita Sungkem kepada Ayah Mertua dan Pengantin Laki-laki kepada Ibundanya

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

78

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.8: Pengantin Wanita Sungkem kepada Ibunya dan Pengantin Laki-laki kepada Mertua Laki-laki

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

Gambar 3.9: Pemasin Gong dan Mongmongan Kelompok Gunung Kulabu Pakantan

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

79

Universitas Sumatera Utara Gambar 3.10: Pemasin Gondang Dua dari Kelompok Gunung Kulabu Pakantan

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

Gambar 3.11: Kedua Pengantin Manortor

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

80

Universitas Sumatera Utara Gambar 3.12: Kedua Pengantin Manortor bersama Kerabat

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

Gambar 3.13: Ridwan Aman Nasution, sebagai Pembawa Acara

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

81

Universitas Sumatera Utara Gambar 3.14: Tamu Undangan Mengisi Daftar Hadir

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

Gambar 3.15: Tamu Undangan Sedang Bersantap Makanan

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

82

Universitas Sumatera Utara BAB IV

PERTUNJUKAN TORTOR, GORDANG SAMBILAN, DAN GONDANG DUA

4.1 Pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki

Pertunjukan adalah sesuatu yang bernilai seni yang ditunjukkan kepada orang atau masyarakat. Dalam seni pertunjukkan adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok tertentu. Pertunjukannya biasanya melibatkan beberapa unsur: waktu, ruang, tubuh si seniman dan hubungan seniman dengan penonton.

Seni pertunjukan merupakan sebuah tontonan yang memiliki nilai seni dimana tontonan tersebut disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton. Sal

Murgiyanto juga mengatakan bahwa kajian pertunjukan adalah sebuah disiplin baru yang mempertemukan ilmu-ilmu seni (musikologi, kajian tari, kajian teater) di satu titik dan antropologi di titik lain dalam satu kajian inter-disiplin

(etnomusikologi, etnologi tari dan performance studies). (Murgiyanto, 1995: 3)

Seni pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki memiliki waktu, ruang dan tubuh si seniman yang sudah ditata sebaik mungkin untuk menampilkan yang terbaik.

4.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ini disajikan sebagai hiburan para tamu undangan yang hadir di acara pagelaran seni budaya Mandailing.

Biasanya pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki diadakan di dalam maupun di luar lapangan tergantung keperluan acara. Dalam acara seremonial

83

Universitas Sumatera Utara pemerintahan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki diadakan dalam gedung dan waktu pertunjukkannya disesuaikan dengan kegiatan tersebut. Tempat yang disediakan cukup untuk bergerak lebih leluasa dalam menampilkan Tortor

Penyambutan Pengantin Laki-laki.

.

4.3 Pendukung Pertunjukan

Sebuah pertunjukan tentunya harus didukung oleh beberapa unsur agar dapat berjalan dengan baik dan lebih menarik keindahannya. Beberapa pendukung pertunjukan, yaitu adanya penari, pemusik, dan penonton. Ketiga hal tersebut sangat berhubungan satu sama lain dalam pelaksanaan suatu pertunjukan.

4.3.1 Panortor

Penari yang masyarakat Mandailing menyebutnya Panortor adalah pelaku tarian atau orang yang membawakan suatu tarian. Penari merupakan bagian yang paling penting dalam setiap pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki.

Hal ini dikarenakan penarilah yang akan menjadi pusat perhatian dari penonton.

Karena itu diperlukan penari yang memiliki kecakapan dan kemampuan menarikan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki tersebut di lapangan.

Dalam seni pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki biasanya komposisi penarinya lebih dari satu orang. Biasanya penarinya selalu yang belum menikah.

Pada pemilihan penari biasanya terletak pada kesanggupan dan kesiapannya untuk dan tampil sesuai waktu yang dijadwalkan. Dalam Tortor

Penyambutan Pengantin Laki-laki diperlukan penari yang bisa menampilkan

84

Universitas Sumatera Utara setiap gerakan dalam manortor dan hanya beberapa orang saja yang bisa menarikannya dengan baik dan benar.

4.3.2 Pargondang

Pemusik (Pargondang) adalah orang yang memainkan alat musik.

Pemusik juga berperan penting dalam pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin

Laki-laki ini, dimana tanpa pemusik tari tidak bisa ditarikan. Dalam pertunjukan

Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ini pemusik sangat diperlukan sebagai pengiring tarian. Setiap pertunjukan pemusik harus ada dan tempatnya selalu sudah disediakan.

Dalam mengiringi Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki diperlukan 6

(enam) orang pemusik. Terdiri dari 1 (satu) orang pemain gondang dua yang terbuat dari kayu yang dilubangi dan masing-masing kedua sisinya ditutup dengan kulit kambing, 1 (satu) orang pemain ogung jantan dan ogung boru-boru (gong jantan dan gong betina), 1 (satu) orang pemain mongmongan, 1 (satu) orang pemain doal, 1 (satu) orang pemain tali sasayak dan 1 (satu) orang pemain serunai.

Pada saat pertunjukan, pemusik akan saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam melakukan pergantian struktur, melalui tanda-tanda yang mereka sudah pahami bersama. Musik dalam Tortor ini sangat penting, sebab alur tariannya sangat terikat pada alur musiknya.

85

Universitas Sumatera Utara 4.3.3 Penonton

Penonton adalah orang yang menyaksikan pertunjukan. Dalam setiap pertunjukan, penonton adalah orang-orang yang hadir di tempat pertunjukan baik sebagai tamu undangan maupun peserta lainnya.

4.4 Perlengkapan Pertunjukan

Setiap pertunjukan selalu memiliki perlengkapan untuk mendukungnya suatu acara, perlengkapan pertunjukan yang penulis maksud terdiri dari: (1) kostum, (2) properti, dan (3) tata rias.

Kostum dapat merujuk kepada suatu pakaian secara umum, atau gaya tertentu pada orang dan kelas masyarakat. Kostum pada tarian tradisional berfungsi untuk memperjelas peranan suatu sajian tari, memperjelas ciri khas suatu daerah, dan menunjukkan dari mana asal tarian berasal. Kostum atau busana dalam tarian merupakan perlengkapan yang harus diperhatikan. Kostum haruslah menunjang tema suatu tarian. (Harymawan, 1993: 134)

Untuk mendukung pertunjukan di lapangan, persiapan kostum sangat diperlukan oleh penari dan pemusik. Kostum berfungsi sebagai penunjang penampilan dari pemusik dan penari. Kostum merupakan lambang sebuah tarian suatu daerah, dalam budaya Mandailing kostum menjadi patokan dalam melaksanakan sebuah tarian.

Dari hasil pengamatan di lapangan, kostum yang digunakan hanyalah kostum pesta perkawinan dikarenakan tidak adanya pembiayaan mengenai hal itu.

Penari dalam tarian ini yang sering di tampilkan adalah perempuan tapi tidak menutup kemungkinan bagi kaum lelaki.

86

Universitas Sumatera Utara Gambar 4.1: Busana Panortor Perempuan

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

Properti adalah sebuah benda atau alat yang dipergunakan untuk menunjang pertunjukan, atau sebagai pelengkap. Properti juga bisa menjadi sebuah simbol dari tarian yang dipertunjukkan. Setiap suku mempunyai properti sebagai penunjang tarian.

Dalam seni pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki biasanya tidak memiliki alat pendukung seperti properti, namun pemeran sebagai panortor hanya menggunakan kostum saja dan dituntut untuk berusaha menghayati setiap struktur gerakannya.

Tata rias adalah seni yang menggunakan bahan-bahan kosmetik untuk menunjukkan wajah peranan dengan memberikan dandanan atau perubahan pada pemain di atas pentas/panggung dengan suasana yang sesuai (Harymawan, 1993:

87

Universitas Sumatera Utara 134). Tata rias merupakan pelengkapan dalam tarian. Tata rias bukan hanya sedekar membuat penari menjadi cantik dan tampan, tetapi juga dapat membantu mewujudkan ekspresi penari sesuai dengan peran yang dibawakan, sehingga tema tari yang disajikan dapat dimengerti penonton dan dinikmati penonton.

Tata rias yang dikenakan penari Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki hanyalah riasan wajah seadanya yang penting menarik.

4.5 Alat Musik yang Digunakan

Tari tidak mungkin ditampilkan tanpa iringan musik. Dalam sebuah pertunjukan, hubungan musik dan tari sangat erat. Iringan musik terdiri dari dua bagian, yaitu iringan internal dan eksternal. Iringan internal yaitu yang berasal dari tubuh penari itu sendiri seperti tepukan tangan, hentakan kaki, dan sebagainya. Sementara iringan eksternal yaitu iringan yang tatanan bunyinya dapat dihasilkan oleh benda-benda atau alat-alat di luar tubuh manusia.

Irama musik dalam seni tari selain sebagai pengiring tari juga untuk mempertegas gerak, memberi gambaran suasana, dan merangsang munculnya gerak. Sehingga kita harus mengetahui nama-nama bagian alat musik dalam mengiringi tarian ini. Alat musik iringan yang digunakan dalam pertunjukan

Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ini yaitu Ensambel Gondang Boru, seperangkat alat musik tradisional Mandailing yang terdiri dari:

(1) Gondang dua yang terbuat dari kayu yang dilubangi dan masing-masing

kedua sisinya ditutup dengan kulit kambing.

(2) Sepasang gong jantan dan gong boru (gong jantan dan gong betina).

(3) Tiga buah gong kecil yang disebut mongmongan.

88

Universitas Sumatera Utara (4) Satu buah gong yang lebih besar dari mongmongan dinamakan doal.

(5) Sepasang simbal kecil disebut tali sasayak.

(6) Sebuah serunai bambu.

1. Gondang Dua. adalah ensambel musik yang juga dinamakan “gondang boru”, “gondang topap”, dan “tunggu-tunggu dua”. Alat musik ini terdiri dari dua buah gendang berbentuk "barrel". Keduanya memiliki ukuran dan bentuk yang sama, dan “gondang dua” atau “gondang boru” ini digunakan pada upacara adat

“siriaon” (suka cita) misalnya upacara adat perkawinan yang berfungsi untuk menjemput pengantin perempuan, dan juga pada upacara “silluluton” (duka cita) misalnya upacara adat kematian. Terminologi “gondang” dalam bahasa

Mandailing mengandung beberapa pengertian yaitu: alat musik, gabungan dari sejumlah alat musik (ensambel), nama lagu atau repertoar, irama atau ritmik, jenis musik tertentu, dan sebagai musik itu sendiri, yang sangat erat kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan Mandailing lainnya.

Gambar 4.2: Gondang Dua

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

89

Universitas Sumatera Utara 2. Sepasang gung jantan dan gung boru-boru, gung adalah alat musik yang dimasukan kedalam kategori idiophone. Gung mirip dengan dengan mongmongan tetapi bentuknya yang sangat besar dan terbuat dari logam ataupun kuningan walaupun sekarang sudah ada yang terbuat dari plat, didalam etnis mandailing terdapat dua gong yaitu gung jantan dan gung betina. Gung jantan berbentuk lebih kecil dibandingkan dengan ogung betina. Gung dipukul dengan kayu yang dilapisi dengan kain dan karet agar suara yang di timbulkan berdengung dan besar. Cara memainkannya yaitu gung digantungkan di atas tumpangan kayu yang diikatkan dengan tali kemudian di pukul.

Gambar 4.3: Gong

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

90

Universitas Sumatera Utara 3. Mongmongan dan Doal, adalah alat musik yang terbuat dari logam ataupun kuningan yang terdiri dari tiga buah yaitu yang paling besar nyaring suaranya adalah panolongi, seterusnya pamulusi dan terakhir nyaring suaranya paling kecil adalah ikong-ikong. Alat musik ini termasuk kedalam kategori struck idiophone. Bentuk alat musik ini seperti yang terdapat di Padang. Alat musik ini termasuk kedalam kategori struck idiophone. Mongmongan dimainkan dengan di pukul memakai kayu. Memainkan mongmongan membutuhkan dua orang pemain yaitu panolongi dan ikong-ikong dimainkan dengan satu orang dan pamulusi dimainkan dengan satu orang saja. Cara memainkan panolongi dan ikong-ikong yang dimainkan dengan satu orang yaitu ikong-ikong yang berbentuk kecil di pegang di atas tangan sedangkan panolongi di pegang talinya dan kearah bawah tangan. Sementara untuk pamulusi yang dimainkan dengan satu orang bebas untuk memegangnya karena hanya satu saja yang dipegang.

4. Doal adalah alat musik yang berkategori dengan struck idiophone. Doal pada alat musik Mandailing hampir sama dengan mongmongan yang membedakannya yaitu dengan bentuknya yang agak besar dan dimainkan dengan satu orang saja. Cara memainkannya yaitu dengan memegang tali yang sudah diikat pada alat musik doal kemudian di pukul tengahnya yang berbentuk cekung seperti mongmongan ataupun ogung.

91

Universitas Sumatera Utara Gambar 4.4: Mongmongan dan Doal

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

5. Tali sasayak, adalah alat musik yang dilagakan dengan badannya antaran satu dengan satunya lagi. Tali sasayak ini terdiri dari dua buah yang di tengahnya berbentuk cekung dan diikat dengan tali yang di sambungkan dengan yang satunya lagi. Tali sasayak terbuat dari plat ataupun besi yang dimainkan dengan satu orang. Cara memainkannya yaitu tangan kanan memegang yang satu serta tangan kiri memegang yang satunya lagi kemudian cara membunyikannya yaitu dengan melagakan badan tali sasayak tersebut dan talinya dililitkan di sela-sela jari agar ketika dilagakan tali sasayak tidak jatuh.

92

Universitas Sumatera Utara Gambar 4.5: Tali Sasayak

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

6. Serunai adalah alat musik yang dikelompokkan kedalam kategori aerophone yang dimainkan dengan cara dihembus. Didalam etnis mandailing terdapat alat musik serunai yang terbuat dari bambu kemudian ujung bambu terbuat dari ujung tanduk kerbau yang berdiameter 3 cm sementara batok kelapa yang berukuran kecil diletakkan 3 cm dari pangkal serunai. Batok kelapa yang diletakan di serunai berfungsi sebagai batas bibir dengan serunai. Dan serunai mempunyai 4 lobang nada dan dari pangkal kelapa sampai tanduk kerbau berjarak

8 cm.

93

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.6: Serunei

(Sumber: foto dokumentasi M. Reza F. Pane, 2018)

4.6 Gerak Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki

4.6.1 Ragam dan Pola Gerak

Ragam gerak merupakan motif gerakan-gerakan yang tersusun dalam kreatifitas gerak tari. Dalam Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ini terdapat beberapa ragam dan pola gerakan yang mempunyai istilah yang berbeda. Ragam tari mempunyai nama ragam yang sesuai dengan gerakan tari. Ada juga nama bagian dari ragam gerak tari diambil dari pola yang dimainkan. Pola yang dimaksudkan yaitu bagian dari ragam gerak yang menjadi bentuk pada setiap tahapannya.

94

Universitas Sumatera Utara Menurut Tengku Lukman Sinar (1986: 5) tari adalah segala gerak yang berirama atau segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya. Medium tari adalah gerak, dan alat yang digerakkan adalah tubuh, yakni gerak tubuh yang telah diberi bentuk ekspresi dan estetis.

Gerak tersebut dipergunakan sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi dan mediumnya adalah tubuh manusia. Ungkapan ekspresi melalui gerak tersebut merupakan suatu pernyataan imajinatif yang dituangkan dalam bentuk simbol- simbol. Karena simbol-simbol ini berupa gerak, maka di dalam konteks koreografi, gerak merupakan sesuatu yang sangat esensial. Sedangkan perwujudan simbol-simbol merupakan ketunggalan dari pola imajinasi manusia dengan kenyataan indrawi atau kasat mata. Gerak dapat berfungsi tidak saja karena koordinasi berbagai faktor, tetapi juga karena fungsi ritmis dari struktur tubuh. Atas dasar gerak-gerak alamiah yang tidak perlu dilatih, gerak tari berkembang menuju bentuk perwatakannya dan nilai ekspresifnya. Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaian dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990: 23). Dimana koreografi ini memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya (Lumbantoruan, 2016:116-117).

Dahulu pada masa kerajaan, gerak adalah sebuah doa/harapan pada gerak- gerak tertentu yang melambangkan sebuah permohonan, namun dalam perkembangannya Tortor ada juga gerak yang menirukan sesuatu.

95

Universitas Sumatera Utara Bentuk sesungguhnya dapat didefinisikan sebagai hasil pernyataan berbagai macam elemen yang didapatkan secara kolektif melalui vitalitas estetis. Dengan demikian hanya dalam pengertian inilah elemen-elemen tersebut dihayati keseluruhan menjadi lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya. Proses penyatuan dimana bentuk yang dicapai tersebut dinamakan komposisi. “Bentuk” merupakan sesuatu yang dapat dibedakan dari materi yang ditata (Smith, 1985: 6).

Hal ini berarti gerakan-gerakan yang terbentuk dalam Tortor Penyambutan

Pengantin Laki-laki adalah terstruktur dan terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan Mandailing setempat yang dilakukan secara simbolis. Tortor

Penyambutan Pengantin Laki-laki memiliki dasar gerak yang menjadi panduan pijakan dari pada koreografer atau senimannya. Masing-masing gerakan ini tidak ada yang memiliki arti, tapi ada pula yang berfungsi hanya sebagai penyambung gerakan untuk memperindah dari pada gerakan yang akan dilakukan.

Berikut adalah 4 gerak dasar yang terdapat dalam Tortor Penyambutan

Pengantin Laki-laki:

96

Universitas Sumatera Utara 1. Gerak Somba Satu

Gambar 4.7: Gerak Somba Satu

97

Universitas Sumatera Utara 2. Gerak Somba Dua

Gambar 4.8: Gerak Somba Dua

98

Universitas Sumatera Utara 3. Gerak Somba Tiga

Gambar 4.9: Gerak Somba Tiga

Setiap gerakan tangan menunjukkan arti dan makna setiap aktivitas Tortor, gerakan tangan menunjukkan ciri-ciri kehidupan orang Mandailing itu sendiri dan yang paling banyak menunjukkan bagaimana adat Dalihan Na Tolu dilakukan.

Hal itu dapat dilihat dari awal memulai manortor, bahwa kedua telapak tangan harus diletakkan di depan perut dengan cara tangan kanan menimpa tangan kiri

99

Universitas Sumatera Utara (tangan kanan di atas tangan kiri). Tangan kanan dan tangan kiri adalah lambang suami dan istri (tangan kanan adalah lambang suami dan tangan kiri adalah lambang istri). Artinya suami harus senantiasa melindungi istrinya. Dan dalam posisi manortor laki-laki harus selalu berada di sebelah kanan perempuan (hal ini berlaku juga dalam segala aktivitas kehidupan orang Batak Mandailing), misalnya dalam upacara adat perkawinan ataupun berdiri di hadapan khalayak ramai.

4.6.2 Pola Lantai

Pola lantai yang dimaksudkan disini adalah pola gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana bagian- bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya bentuk dan atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau menghasilkan suatu tari.

Pola lantai yang terdapat dalam Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki tidak terlalu banyak hanya sedikit menghadap ke kanan, dan sedikit menghadap ke kiri, mundur kebelakang variasi lainnya sesuai keinginan hati. Dalam tarian sudah mempunyai gerakan yang sudah ditentukan dengan musik. Untuk memperjelas bagian penjelasan di atas penulis membuat bagan sesuai dengan formasi seni pertunjukan Tortor penyambutan pengantin laki-laki.

100

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.10: Formasi Seni Pertunjukan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki

4.7 Deskripsi Musik Iringan

Menurut Charles Seeger ada dua yang membedakan dua notasi yaitu notasi perspektif dan notasi deskriptif dalam menganalisis musik iringan pada

Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki, yang di maksud dengan perspektif adalah notasi yang melukiskan secara garis besar nada dari suatu lagu, tanpa ada yang menunjukkan secara lengkap apa-apa saja yang ditampilkan dalam musik iringan pertunjukan dalam Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki. Sedangkan deskriptif adalah laporan yang di sertai notasi secara lengkap tentang bagaimana sebenarnya suatu musikal dalam suatu pertunjukan yang ditampilkan (Mario

Sinaga, 2016).

Salah satu yang termasuk dalam notasi deskriptif adalah penulisan not balok yang terdapat di dalamnya. Hal ini di dukung dalam keberadaannya yang efektif dalam melakukan pentranskripsian dan juga notasi Barat ini dapat

101

Universitas Sumatera Utara mewakilkan sejumlah nilai nada-nada yang terdapat dalam musik iringan Tortor

Penyambutan Pengantin Laki-laki ini dan selalu digunakan dalam penulisan sebuah musik.

Menurut Nettl (1964: 98), ada dua pendekatan yang berkenaan dengan pendeskripsian musik yaitu: (1) kita dapat mendeskripsikan dan menganalisis apa yang kita dengar; (2) kita dapat menuliskan berbagai cara keatas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat.

Dari kedua hal di atas untuk dapat memvisualisasikan musik iringan pada

Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki, penulis melakukan transkripsi untuk lebih mudah menganalisisnya terutama pada ritme, motif dan tempo. Sehingga dengan ini dapat membantu kita untuk mengkomunikasikan serta menyampaikan kepada pembaca tentang apa yang kita dengar.

Dalam pentranskripsian penulis menggunakan notasi Barat untuk mempermudah penulisan. Keberadaan musik pengiring dalam Tortor

Penyambutan Pengantin Laki-laki ini sangat penting untuk menghitung tempo gerakan penari serta pergantian ragam gerak. Analisis hanya dilakukan pada ritme yang dimainkan oleh musik pengiring saja dikarenakan ritme dari iringan alat musik yang dimainkan sangat bergantung pada hitungan gerakan tari.

102

Universitas Sumatera Utara 4.7.1 Model Notasi

Dalam transkripsi musik iringan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki, penulis menggunakan notasi Barat, hal ini dilakukan agar dapat dipahami secara universal. Ada beberapa simbol yang digunakan, yaitu:

Garis paranada yang memiliki lima buah garis paranada dan empat buah spasi dengan tanda kunci G.

Merupakan not ½ yang bernilai dua ketuk.

Merupakan not ¼ yang bernilai satu ketuk..

Merupakan not 1/8 yang bernilai setengah ketuk.

Merupakan dua buah not 1/8 yang digabung menjadi satu ketuk.

Simbol-simbol di atas merupakan simbol-simbol yang terdapat dalam lampiran partitur yang perlu diketahui agar pembaca memahami makna- maknanya. Selengkapnya hasil transkripsi onang-onang adalah sebagai berikut.

103

Universitas Sumatera Utara 4.7.2 Melodi Onang-onang dan Strukturnya

Onang-onang

104

Universitas Sumatera Utara Beberapa simbol notasi barat yang digunakan dalam pentranskripsian lagu

Onang-onang adalah sebagai berikut.

No Simbol Notasi Tanda istirahat Nilai Not 1. Satu ketukan dasar

2. Dua ketukan dasar (not setengah) 3. ½ (setengah) ketukan dasar (pulsa) 4. ¼ (seperempat) ketukan dasar

5. Empat ketukan peniuh

Tabel 4.1 Simbol Notasi

4.7.3 Tangga Nada

Tangga nada dalam musik barat dapat diartikan sebagai satu kumpulan not yang diatur sedemikian rupa dengan aturan yang telah ada (baku) sehingga memberikan karakter tertentu. (Nettl 1994: 99)

Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut beberapa klasifikasi, menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua nada), tritonic (tiga nada), tetratonic (empat), pentatonic (lima nada), hexatonic (enam nada), heptatonic (tujuh nada). Serta menurut interval antara nada-nada yang disusun dari nada terendah sampai nada tertinggi seperti mayor dan minor. Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja (Bruno Nettl terj.

Nathalian 2012: 142).

Berdasarkan pendapat tersebut, Tangga nada Onang-onang disebut tertratonic (terdiri dari empat nada). Nada- nada di atas jka digambarkan dalam notasi balok, maka hasilnya akan seperti ini:

105

Universitas Sumatera Utara

4.7.4 Nada Dasar

Bruno Nettl mengemukakan ada tujuh cara untuk menentukan nada dasar

(pitch center/tonalitas) yaitu :

1. Patokan umum adalah melihat nada mana yang paling sering dipakai dan nada

mana yang jarang dipakai dalam komposisi tersebut.

2. Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dapat dianggap sebagai nada

dasar, walaupun nada tersebut jarang dipakai.

3. Nada yang dipakai pada akhir (awal) komposisi atau pada akhir (awal) bagian-

bagian komposisi, dapat dianggap sebagai tonalitas dalam komposisi tersebut.

4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada atau posisi

persis ditengah-tengah dapat juga dianggap penting.

5. Interval-interval yang terdapat diantara nada-nada kadang dipakai sebagai

patokan.

6. Ada tekanan ritmis pada sebuah nada, juga dipakai sebagai tonalitas.

7. Harus diingat bahwa barang kali ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem

tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan diatas.

Mendeskripsikan sistem tonalitas seperti ini, cara terbaik tampaknya adalah

berdasarkan pengalaman, pengenalan yang akrab dengan gaya musik tersebut

akan dapat ditentukan tonalitas dari musik yang diteliti.

106

Universitas Sumatera Utara Metode 1 2 3 4 5 6 7 Nada dasar C C F C Es C C C C Tabel 4.2 Nada Dasar Pada Nyanyian Onang-onang

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kecenderungan nada dasar ada pada nada C maka penulis menjadikannya sebagai nada dasar lagu ini.

4.7.5 Wilayah Nada

Wilayah nada dalam sebuah komposisi musik adalah jarak antara nada terendah dengan nada tertinggi yang ada pada melodi tersebut. Dari hasil transkripsi nada terendah ialah D dan nada tertinggi ialah C. Maka melodi lagu

Onang-onang tersebut akan dimasukkan ke dalam garis paranada untuk dapat melihat dengan jelas susunan nada-nada yang ada pada lagu tersebut, dengan tujuan untuk mempermudah penulis dalam melihat nada terendah dan tertinggi dalam lagu tersebut. Wilayah nada lagu Onang-onang dapat kita lihat pada gambar di bawah ini.

4.7.8 Jumlah Nada

Jumlah nada dapat dilihat dari banyaknya pemakaian nada dalam sebuah koposisi musik yang telah ditranskripsikan kedalam bentuk notasi. Jumlah nada yang dipakai dalam lagu Onang-oanng sesuai dengan tangga nada yang telah dibuat sebelumnya.

107

Universitas Sumatera Utara

Berikut adalah jumlah nada yang digunakan dalam lagu Onang-onang adalah nada.

Nama Nada Jumlah Nada C 108 D 84

Es 67

F 18

Total 277

Tabel 4.3 Jumlah Nada Pada Nyanyian Onang-onang

4.7.7 Jumlah Interval

Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lainnya (Manoff

1991: 50). Jarak antara nada satu dengan nada lainnya yang terdiri dari interval naik maupun interval turun menurut jumlah larasnya yang dapat mempengaruhi jumlah interval tersebut. Jumlah interval merupakan banyaknya interval yang di pakai dalam suatu komposisi musik atau nyanyian.

Nama dan Jenis Interval Nada Interval Laras C-C Prime perfect 0 C-D Sekunda minor 1/5 C-E Terts mayor 2 C-F Kwart perfect 2 ½ C-G Kwint perfect 3 ½ C-A Sekta mayor 4 ½ C-B Septime mayor 5 ½ C-c' Oktaf perfect 6 Tabel 4.4 Nama dan Jenis Interval

108

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan penjabaran di atas, lagu Onang-onang memiliki interval prime, sekunda major, terts major, terts minor, kwart, kwart augmented, kwint perfect. Untuk lebih jelasnya dan masing masing jumlah intervalnya terdapat pada tabel di bawah ini.

Distribusi Interval

Nama Interval Posisi Interval Jumlah Interval 1P 143 2M 31 2m 15 2dim 1 2dim 2 3M 0 3m 14 2M 38 2m 22 3M 0 3m 6 4P - 0

4P 1

Total : 273

Tabel 4.5 Interval Pada Nyanyian Onang-onang

4.7.8 Pola Kadensa

Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi penutup pada akhir lagu atau di tengah kalimat, sehingga dapat dengan sempurna menutup lagu tersebut. Dalam nyanyian Onang-onang penulis memilih melodi akhir dan melodi tengah sebagai pola kadensa.

Pola A

109

Universitas Sumatera Utara

Pola B

4.7.9 Kontur

Kontur adalah sebuah alur melodi yang biasanya ditandai dengan menarik garis. Menurut Malm ada beberapa jenis kontur (Malm dalam Jonson 2000: 76).

Jenis-jenis tersebut antara lain:

1. Ascending, yaitu garis melodi yang sifatnya naik dari nada rendah ke nada yang lebih tinggi. seperti tampak pada gambar dibawah:

2. Descending, yaitu garis melodi yang sifatnya turun dari nada yang tinggi ke nada yang rendah. seperti tampak pada gambar dibawah:

110

Universitas Sumatera Utara 3. Pendulous, yaitu garis melodi yang sifatnya melengkung dari (a) nada yang

rendah ke nada yang tinggi, kemudian kembali ke nada yang rendah atau dari (b)

nada yang tinggi ke nada yang rendah, kemudian kembali ke nada yang tinggi.

(a)

4. Teracced, yaitu garis melodi yang sifatnya berjenjang seperti anak tangga dari

nada yang rendah ke nada yang lebih tinggi kemudian sejajar, seperti tampak pada

5. Statis, yaitu garis melodi yang sifatnya tetap atau apabila gerakan-gerakn

intervalnya terbatas. Seperti tampak pada gambar dibawah:

Namun secara umum, kontur (contour) yang terdapat dalam melodi

Onang-onang adalah kontur Pendulous, yaitu garis melodi yang sifatnya

melengkung dari (a) nada yang rendah ke nada yang tinggi, kemudian kembali ke

nada yang rendah atau dari (b) nada yang tinggi ke nada yang rendah, kemudian

kembali ke nada yang tinggi.

111

Universitas Sumatera Utara BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Setelah dideskripsikan tentang dua pokok masalah penelitian ini, yakni yang pertama adalah proses upacara adat perkawinan Mndailing, dan kedua adalah pertunjukan gordang sambilan, gondang dua, dan tortor (terutama tortor penyambutan pengantin laki-laki), dari bab satu, dua, tiga, dan empat, berikut ini disimpukan kedua pokok masalah tersebut.

(A) Proses perkawinan adat Mandailing ini melibatkan dua etnik, yakni

Jawa dan Mandailing. Dalam hal ini, prosesnya dimulai dari pemberian marga terlebih dahulu kepada pihak pengantin perempuan. Kemudian dalam prosesnya adat perkawinan ini sepenuhnya merujuk kepada tata aturan adat Mandailing, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan. Proses adat adalah dimulai dari peminangan, akad nikah, dan pasca perkawinan, yang berdasar pada konsep dan aktivitas seperti: manyapai boru, mangaririt boru, padamos hata, patobung hata, manulak sere, mengelehon mangan pamunan, akad nikah, pasahat mora.

Hantaran boru na ni oli, marpokat haroan boru, mangalo-alo boru, manjagit boru, pataon raja-raja dan koum sisolkot, panaek godang, mata ni horja, menghantar pengentin ke tapian raya bangunan, mangelehon gorar, mangupa ajarpoda, mangaloi na loja, dan manulak ari.

(B) Pertunjukan gordang sambilan dilakukan pada saat prosesi pengantin laki-laki disambut pengantin wanita, dan kemudian mengarah ke pelaminan. Di depan pelaminan, kedua mempelai manortor menyambut pengantin laki-laki

112

Universitas Sumatera Utara dengan strukturnya yang khas. Saat ini tortor diiringi oleh gondang dua.

Kemudian masuk adat Jawa sungkeman kedua mempelai kepada orang tua mempelai wanita dan pria. Seterusnya manortor bersama kaum kerabat. Setrusnya manortor bersama undangan, dan seterusnya. Disertai acara hibuan

Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ini sudah lama dikenal dan

Tortor ini termasuk dalam salah satu seni tradisional, Tortor ini dilaksanakan dalam pelaksanaan kegiatan Horja Siriaon (upacara adat perkawinan). Tortor dilaksanakan juga dalam rangka menjaga rasa kekeluargaan yang didasari oleh sistem kemasyarakatan Dalihan Na Tolu.

Hal menarik yang dapat penulis simpulkan dari Tortor Penyambutan

Pengantin Laki-laki ialah masing-masing gerakannya tidak ada yang memiliki arti, tapi ada pula yang berfungsi hanya sebagai penyambung gerakan untuk memperindah dari pada gerakan yang akan dilakukan. Dalam setiap penyajian

Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki yang diutamakan adalah seorang penari wajib mengekspresikan rasa bersyukur. Maka dari itu struktur dari gerak Tortor

Penyambutan Pengantin Laki-laki ini memilki pola lantai yang relatif bebas untuk memberi keleluasaan kepada penarinya.

Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki diiringi ensambel Gondang Boru dengan disertai nyanyian Onang-onang. Ensambel ini terdiri dari Gondang Dua 2

(dua) buah, Ogung 2 (dua) buah, mongmongan 3 (tiga) buah, Doal 1 (satu) buah,

Tali sasayak 2 (dua) buah, dan Serunai 1 (satu) buah.

Pada masa sekarang, Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki masih cukup sering ditampilkan pada acara-acara perkawinan masyarakat Mandailing, walaupun terkesan seperti sekedar menjadi sebuah formalitas. Tortor

113

Universitas Sumatera Utara Penyambutan Pengantin Laki-laki ini ditampilkan untuk tetap terjaga kelestariannya, agar generasi muda sekarang tidak lupa atau pun dapat mengetahui keberadaan Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ini dan mewariskannya.

5.2 Saran

Dari pembahasan dan beberapa kesimpulan yang telah diuraikan, ada saran yang perlu dikemukakan, mengingat semakin berkembangnya zaman penulis menyarankan kepada masyarakat khususnya pemuda/pemudi untuk tetap mencintai budaya dan tradisi yang ada serta memberikan perhatian baik terhadap seni musik, vokal, tari terkhusus Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki agar tetap ditampilkan pada acara-acara perkawinan masyarakat Mandailing.

Diperlukan juga peran seniman/musisi, pemerhati budaya, akademisi, pemerintah kota Medan, pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, pemerintah Kabupaten

Mandailing Natal hingga pemerintah Republik Indonesia melalui kementerian- kementerian yang terkait untuk mensosialisasikannya melalui pertunjukan kesenian tradisi yang diadakan secara rutin untuk membiasakan masyarakat mengenal budaya dan keseniannya.

Penelitian ini merupakan tahap awal dan masih banyak terdapat kekurangan serta perlu mendapatkan penyempurnaan. Penelitian ini hanyalah sebahagian kecil permasalahan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu penulis menyarankan dan mengharapakan kepada siapa saja yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini untuk lebih mendalam lagi, sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan Etnomusikologi dan sebagai dokumentasi data mengenai kebudayaan musikal yang berkaitan dengan masyarakat Mandailing.

114

Universitas Sumatera Utara Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki ini perlu dilestarikan dan dibina serta dikembangkan sehingga generasi berikutnya dapat mempertahankan keberadaannya di tengah masyarakat dan dapat menangkal pengaruh asing yang mungkin tidak sesuai dengan norma-norma ketimuran khususnya pada masyarakat

Mandailing. Penulisan tentang Tortor Penyambutan Pengantin Laki-laki merupakan salah satu upaya pelestarian terhadap kesenian etnik Mandailing dan masih diperlukan usaha yang lain sebagai penunjang kreativitas, sehingga pelestarian kesenian ini tetap terjaga dan tidak hilang.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap apresiasi budaya dan pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan bidang Etnomusikologi secara khusus.

115

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Abdul Latiff Abu. 2006. “Aplikasi Teori Semiotika dalam Seni Pertunjukan”. Etnomusikologi (Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Seni),(53), 45- 51. Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Feterman, David M. 1989. Ethnography Step by step. New York Amerika Serikat: Sage Publication. Hutagalung,Olivia. 2016. Deskripsi Struktur Tari Saputangan Diiringi Musik kapri dalam masyarakat Pesisir Sibolga .Medan :Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Harahap, Ulul Ma’Rifah. 2017. Komunikasi Keluarga Batak Mandailing Dalam Menpertahankan Tradisi Perkawinan Pariban ( Studi Pada Keluarga Batak Mandailing Di Kabupaten Mesuji). Lampung. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Lampung. Koentjaraningrat. 1980.Sejarah Teori Antropologi. Jakarta.Universitas Indonesia Koentjaraningrat. 1982.Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta.Dian Rakyat Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: RinekaCipta. Kussudiardja, Bagong.1978.Apresiasi Seni Tari. Yogyakarta: Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Lumbantoruan, Reny Yulyati.2016. “Pertunjukkan Galombang Dalam Konteks Upacara Baralek Pada Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan: Analisis Hubungan Struktur Tari Dengan Musik Iringan”.Medan : Magister Pengkajian Seni,Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia Mardalis. 2006. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: BumiAksara. Marpaung, jenni. 2014. Deskripsi Struktur Tatak Nantampuk Mas dan Musik Iringan Yang Dipertunjukan Oleh Sanggar Nina Nola di Desa Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat. Medan : Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Moleong , Lexi J., 1988. Metodologi Peneliatian Kualitatif. Bandung : Remaja Poskakarya. Murgianto Sal, (1983). Koreografi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta. Myron, Howard, Nadeldan Constance Gwen Nadel, (2001). The Dance Experience. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. New York: The Pree Press Netrirosa, Arifni. 2006. Etnomusikologi: “Ilmu Pengetahuan dan Seni”. Volume 1, No 3, Januari

116

Universitas Sumatera Utara Pane,Mahyar Sopyan, 2013. Analisis Fungsi Dan StrukturMusikal Gordang Sambilan dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing di Kota Medan. : Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Purba, Bestari Natalia, 2018. Analisis Musik Pengiring dan Struktur Gerak Tortor Usihan Bodat Haudanan Pada Sanggar Tortor Elak-Elak Simalungun Di Nagori Sirpang Dalig Raya Kabupaten Simalungun. Medan. Departemen Etnomusikologi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Sumatera Utara. Sach, Curt. 1937. World History Of The Dance. New York : The Norton Library. Seeger, Charles. 1997. Study in Etnomusicology .New York: University California Press. Sinaga, Mario. 2016. Analisa Musikal dan Tekstual Lagu Kapri Oleh Kelompok Seni Pimpinan Syariman Irawadi Hutajulu Di Sibolga. Medan : Departemen Etnomusikologi Fakultals Ilmu Budaya, Universtitas Sumatera Utara. Sinaga, Sannur D.F. 2012. Tortor Dalam Pesta Horja Pada Kehidupan Masyarakat Batak Toba : Suatu Kajian Struktur dan Makna. Medan : Derpartemen Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Sipayung Juniadi, (2013). Mengenal Tortor Dan Hagualon Simalungun. Jakarta : Sanggar Seni dan Budaya Simalungun BHATARA GURU Soedarsono. 1979. Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Jakarta: Direktorat Kesenian. Soedarsono. 1978. Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta: Diktat Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sumandyo, 2005. Kajian Tari Teks Dan Konteks. Yogyakarta. Pustaka Book Publisher. Sumaryo, 1975; Musik Tradisional Indonesia. Jakarta: Lembaga Pendidikan Tinggi Kesenian Jakarta. Siahaan, N.,1964; Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: CV Napitupulu & Sons

DAFTAR KUTIPAN DARI INTERNET www.ethnomusicology.org http://eprints.uny.ac.id/9810/3/BAB2%20-%2007205244187.pdf http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/gesture/article/viewFile/887/697 http//:www.unsurtari.com http//:www.budaya.com repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29774/4/Chapter%20II.pdf http://planetbatak.blogspot.com/suku-batak-mandailing http://gondang.blogspot.com/2012/03/seni-tari-mandailing.html http://sopopanisioan.blogspot.com/2012/05/suku-mandailing.html https://www.apakabarsidimpuan.com/bolang-ornamen-tradisional-mandailing http://gestture.blogspot.com/2012/04/Tortor -pada-upacara-adat- perkawinan.html

117

Universitas Sumatera Utara DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Syamsul Bachri Lubis Umur : 74 Tahun Pekerjaan : Paralok-alok, Tokoh Adat Mandailing Alamat : Jl. Karya Jaya, kota Medan

2. Nama : M. Yusuf Daulay Umur : 72 Tahun Pekerjaaan : Wiraswasta, Tokoh Adat Mandailing Alamat : Jl. Karya Bakti, kota Medan

3. Nama : Lukman Daulay Umur : 65 Tahun Pekerjaaan : Wiraswasta, Tokoh Adat Mandailing Alamat : Jl. Chandra, kota Medan

4. Nama : Ridwan Aman Nasution Umur : 59 Tahun Pekerjaaan : Paralok-alok, Pargondang Alamat : Jl. Pasar I Saentis, desa Tanjung Selamat, dusun 5, gang Nasution, kecamatan Percut Sei Tuan, kabupaten Deli Serdang

5. Nama : Ishak Jamal Lubis (Ucok Dagar) Umur : 43 Tahun Pekerjaaan : Pargondang Alamat : Kampung Mandailing, Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan

6. Nama : Panjang Harahap Umur : 60 tahun Pekerjaaan : Pimpinan Grup Musik dan Tari Mandailing Dos Ni Roha Alamat : Jalan Hasyim Tahir No. 22, Batangkuis Deliserdang

118

Universitas Sumatera Utara 7. Nama : Endang Retno Widiastuti (Lubis), A.Md. Umur : 33 tahun Pekerjaaan : Pegawai Akademik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan Alamat : Jalan Karya, Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan Dalam konteks penelitian ini, informan adalah pengantin perempuan.

8. Nama : Hidayat Nasaruddin Hasibuan, S.E. Umur : 32 tahun Pekerjaaan : Staf pegawai pada Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara Medan Alamat : Jalan Karya, Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan Dalam kontkes penelitian ini, informan adalah pengantin laki-laki

119

Universitas Sumatera Utara