Lokalitas Dalam Seni Global Ii Seminar Seni Nasional Tahun 2014

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Lokalitas Dalam Seni Global Ii Seminar Seni Nasional Tahun 2014 LOKALITAS DALAM SENI GLOBAL II SEMINAR SENI NASIONAL TAHUN 2014 Tim Penyusun Rizkita Ayu Mutiarani I Putu Gde Wahyu Paramartha INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR Program Pascasarjana Penciptaan dan Pengkajian Seni Tahun 2014 LOKALITAS DALAM SENI GLOBAL II SEMINAR SENI NASIONAL TAHUN 2014 Penyusun Rizkita Ayu Mutiarani I Putu Gde Wahyu Paramartha Penerbit Program Pascasarjana Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia Denpasar UPT Penerbitan. Jalan Nusa Indah Denpasar, Bali Telp. 0361-227316, Fax. 0361-236100 Denpasar 80235 Cetakan pertama: Juli 2014 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR Program Pascasarjana Penciptaan dan Pengkajian Seni xiv+ …halaman; ukuran 23 x 15.5 cm ISBN 978-602-70694-0-4 ii SAMBUTAN Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar ―Lokalitas Dalam Seni Global II‖ cukup menarik diangkat sebagai tema dalam seminar nasional yang diselenggarakan mahasiswa Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Denpasar angkatan 2013. Karenanya perlu diingat kembali kata ―lokalitas‖ sangat identik dengan tradisi, dalam hal ini, kesenian tradisional nusantara adalah pondasi yang mendasari segala bentuk dan perkembangan kesenian yang selama ini membawa nama Indonesia ke ranah Global. Dengan demikian kesenian lokal perlu dijaga dan dilestarikan keberadaanya agar tidak terseret oleh terpaan arus globalisasi yang akan mengkaburkan identitas budaya kita. Perkembangan kesenian di zaman ini penuh dengan pencarian, penggalian ide-ide yang mengedepankan kreativitas dalam proses penciptaan seni, sehingga melahirkan karya- karya spektakuler yang bermutu tinggi. Di dalam ranah seni pertunjukan, para Etnomusikolog di masa ini berjuang mengangkat citra local ke ranah global dengan segala bentuk perkembangannya. Hal ini sangat berkaitan dengan topik seminar, yaitu keindahan musik kita yang terbalut oleh nilai estetika tinggi mampu bersaing dalam dunia global. Dan kenyataannya musik kita sudah mulai mengglobal. Di ranah visual art atau seni rupa dan desain dewasa ini terhembus wacana mengenai Global Art yang kembali mengambil dan meminjam ikon atau unsur lokal yang kemudian di visualkan secara kreatif dengan ide-ide ―gila‖, sehingga disetiap karya- karya yang diciptakan bernuansa lokal dengan penggayaan baru yang mampu eksis di dalam ranah seni rupa dunia. Hal ini dalam konsep postmodern disebut dengan pendekatan pastiche yaitu mengangkat dan meminjam kembali bentuk- bentuk teks atau bahasa estetik tradisi yang kemudian dikontruksi kembali dengan bahasa seni yang baru, kemudian iii menempatkannya ke dalam konteks semangat masa kini yang sering disebut dengan seni kontemporer tanpa meninggalkan dan merusak kesenian lokal. Kiranya perlu saya sampaikan bahwa program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Denpasar sudah mampu melahirkan Magister, yang artinya bahwa program ini telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kendatipun masih banyak hal yang perlu dibenahi. Selaku pimpinan saya akan mendukung segala bentuk kegiatan akademis yang dilakukan program Pascasarjana dalam hal meningkatkan kualitas lulusan yang mampu menciptakan karya-karya terbaik dan menghasilkan ilmu-ilmu baru dalam bidang seni yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya dimasyarakat. Dengan diselenggarakannya kegiatan seminar nasional yang mengarah pada globalisasi adalah tugas kita untuk mensinergikan kelokalan dan global, sehingga terjadinya hibrialisasi untuk menciptakan sebuah atmosfer baru dalam berkesenian. Akhir kata, ada suatu permasalahan yang harus di pecahkan, yang menjadi jalan pencerah bagi peserta akademik kita, yang kemudian terangkum dalam satu simpulan. iv Hadirnya prosiding seminar nasional ―Lokalitas dalam Seni Global II‖ diharapkan mampu menambah kekayaan intelektual akademik melalui karya tulis ilmiah penciptaan dan pengkajian seni Institut Seni Indonesia Denpasar, melalui Program Pascasarjana Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni mampu memberikan sumbangsihnya kepada lembaga dalam merealisasikan Institut Seni Indonesia Denpasar sebagai pusat seni dan budaya v KATA PENGANTAR Puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua berkat dan rakhma-Nya kita semua senantiasa diberikan keselamatan dan kesehatan. Atas nama Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Denpasar, saya selaku Ketua Program Studi Program Pascasarjana ISI Denpasar mengucapkan terima kasih dan bersyukur atas terlaksananya Seminar Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni dan seminar mahasiswa Program Penciptaan dan Pengkajian Program Pascasarjana ISI Denpasar. Seminar ini juga diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis XI dan Wisuda XIII ISI Denpasar yang akan dilaksanakan pada hari Sabtu 26 Juli 2014. Seminar Program Pascasarjana ISI Denpasar dirancang sebagai suatu pertemuan akademik dan pertukaran ilmu pengetahuan secara berkelanjutan dan diselenggarakan setiap tahun dalam rangka membahas berbagai isu-isu seni yang sedang berkembang pada saat ini. Seminar ini merupakan kelanjutan dari seminar Program Pascasarjana ISI Denpasar yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Melalui seminar ini diharapkan dapat merespon perkembangan seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan kreativitas seni dalam percaturan global. Seminar ini mengacu pada salah satu penjabaran Visi dan Misi Program Pascasarjana ISI Denpasar yaitu melakukan kegiatan penciptaan dan pengkajian seni berbasis budaya lokal dan nusantara. Dilaksanakannya seminar ini diharapkan melahirkan insan-insan yang cerdas, terampil, dan kompetitif untuk menghadapi persaingan terbuka di era globalisasi saat ini. vi Adapun tujuan seminar, yang pertama untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat dan dapat dipercaya dalam rangka penciptaan dan pengkajian seni. Yang kedua, untuk menginventarisasi berbagai informasi yang terkait dengan penciptaan dan pengkajian seni. Dan yang ke tiga, menghimpun isu-isu strategis tentang penciptaan dan pengkajian seni untuk menambah wawasan yang lebih luas dalam bidang seni budaya lokal dan nusantara. Adapun seminar yang dijadwalkan selama dua hari, hari pertama dimulai dengan seminar Program Pascasarjana ISI Denpasar dengan tema ―Keunggulan Seni Budaya Lokal dan Nusantara Sebagai Sumber Penciptaan dan Pengkajian Seni‖. Sebagai pembicara yaitu Prof. Dr. H. Soetarno, DEA. (dari ISI Surakarta) dan Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA. (dari ITB). Dan dilanjutkan dengan seminar Mahasiswa Pascasarjana Penciptaan dan Pengkajian ISI Denpasar dengan tema ―Lokalitas Dalam Seni Global II‖, sebagai pembicara yaitu Dr. Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn.(dari ISI Denpasar) dan Savitri Putri Ramadina, S.Sn., M.Sn. (dari Universitas Widiatama Bandung). Hari kedua dilanjutkan dengan seminar panel khusus diadakan Mahasiswa Pascasarjana dengan materi yaitu lokalitas dalam seni global dari sudut pandang seni pertunjukan, seni media rekam, seni rupa dan desain. vii Akhir kata, saya tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya seminar ini. Harapan ke depan semoga Program Pascasarjana ISI Denpasar melalui seminar ini mampu melaksanakan visi, misi, serta cita-cita sebagai pusat seni dan budaya. viii DAFTAR ISI Sambutan Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar .............. iii Kata Pengantar .................................................................... vi DAFTAR ISI ......................................................................... ix 1. PEMBICARA ................................................................... 1 Prof. DR. Soetarno PERKEMBANGAN SENI DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL ......................................................... 2 Prof. DR. Setiawan Sabana (ITB) KOMPLEKSITAS PERKEMBANGAN DAN KREATIVITAS SENI INDONESIA MASA KINI ............................................. 12 Savitri Putri Ramadina, S.Sn., M.Sn.,Fakultas Desain KECENDERUNGAN GAYA VISUAL LOKAL DALAM ARTEFAK SENI RUPA BUDDHA PERCANDIAN BATUJAYA, KARAWANG, JAWA BARAT .... 24 Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn NAFAS LOKAL DALAM KARYA SENI BERNUANSA GLOBAL ........................................................ 34 2. SENI PERTUNJUKAN ..................................................... 51 Ekaliani ESTETIKA DALAM KOSTUM TARI BALI DWIPA JAYA ...... 52 Ni Made Pira Erawati. BENTUK DAN WARNA BUSANA TOKOH WALUNATENG DIRAH DALAM DRAMATARI CALONARANG SANGGAR SENI GASES BALI ............................................ 61 ix Sang Putu Hendra Bayuna ESTETIKA GERAK TARI HANOMAN DALAM DRAMATARI WAYANG WONG RAMAYANA DI DESA PENINJOAN KECAMATAN TEMBUKU KABUPATEN BANGLI .......................................................... 72 Kadek Agus Budiarta. POLA PIKIR DALAM METODE PENCIPTAAN KARYA TARI KEKINIAN....................................................... 89 Ida Ayu Indah Tejapratami KAJIAN ESTETIKA TARI LEGONG UNTUNG SURAPATI .... 102 Ida Ayu Ratih Wagiswari EKSPLORASI PENUANGAN CERITA RAKYAT LEGU GONDONG KE DALAM SEBUAH KARYA SENI ........ 111 I Wayan Sugama PERANAN KESATUAN ( UNITY ) VISUAL PADA TATA RIAS BONDRES DADONG REROD ................ 121 Ni Nyoman Putriyani BENTUK DAN WARNA BUSANA TARI BARIS CINA DI DESA PEKRAMAN RENON KECAMATAN DENPASAR SELATAN KOTA DENPASAR ... 134 Made Nova Antara EKSPLORASI RWA BHINEDA DALAM KARYA TARI KONTEMPORER HITA ...................... 143 A.A Sagung Mirah Handayani GERAK DAN GENDING SEBAGAI ELEMEN PEMBENTUK ESTETIKA PADA PERTUNJUKAN TARI JANGER DI BANJAR PEGOK, DESA SESETAN, x KOTA DENPASAR ............................................................... 155 I Kadek Agus Dwi Sudiartha KOMODIFIKASI DRAMATARI GAMBUH SANGGAR KERTHA JAYA, PEDUNGAN, DENPASAR ........ 177 Kadek Dewi Hariyanti. ESTETIKA
Recommended publications
  • Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised
    Delft University of Technology Book serie: Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised Hein, Carola; van Bergeijk, Herman Publication date 2018 Document Version Final published version Citation (APA) Hein, C., & van Bergeijk, H. (Eds.) (2018). Book serie: Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised. (Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised ). TU Delft Open. Important note To cite this publication, please use the final published version (if applicable). Please check the document version above. Copyright Other than for strictly personal use, it is not permitted to download, forward or distribute the text or part of it, without the consent of the author(s) and/or copyright holder(s), unless the work is under an open content license such as Creative Commons. Takedown policy Please contact us and provide details if you believe this document breaches copyrights. We will remove access to the work immediately and investigate your claim. This work is downloaded from Delft University of Technology. For technical reasons the number of authors shown on this cover page is limited to a maximum of 10. INAUGURAL SPEECHES IN THE BUILT ENVIRONMENT: GLOBAL ENVIRONMENT: AND CONTEXTUALISED SPEECHES IN THE BUILT INAUGURAL Evelien van Es [Guest Editor] ISSUE 3 Van den Broek & Bakema Vigorous protagonists of a functionalist architecture at the TH Delft #3 | VAN DEN BROEK & BAKEMA DEN BROEK VAN Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised Van den Broek & Bakema TU Delft Open 2018 Evelien van Es [Guest Editor] ISSUE 3 Van den Broek & Bakema. Vigorous protagonists of a functionalist architecture at the TH Delft TU Delft Open 2018 Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised Series Editors: Herman van Bergeijk and Carola Hein [Chair History of Architecture and Urban Planning, TU Delft] ISSUE 3 Van den Broek & Bakema.
    [Show full text]
  • Manifestasi Budaya Indis Dalam Arsitektur Dan Tata Kota Semarang Pada Tahun 1900 - 1950
    MANIFESTASI BUDAYA INDIS DALAM ARSITEKTUR DAN TATA KOTA SEMARANG PADA TAHUN 1900 - 1950 SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta Disusun Oleh : T R I P A R T O N O C 0 5 0 5 0 0 3 F A K U L T A S S A S T R A D A N S E N I R U P A UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET S U R A K A R T A 2 0 1 0 i HALAMAN PERSETUJUAN MANIFESTASI BUDAYA INDIS DALAM ARSITEKTUR DAN TATA KOTA SEMARANG PADA TAHUN 1900 - 1950 Disusun Oleh : T R I P A R T O N O C 0 5 0 5 0 0 3 Telah Disetujui oleh Pembimbing Tiwuk Kusuma H, S.S. M.Hum NIP. 197306132000032002 Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 19540223198601200 ii HALAMAN PENGESAHAN Disusun Oleh : T R I P A R T O N O C 0 5 0 5 0 0 3 Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal ..... ................ 2010 Jabatan Nama Tanda Tangan Drs. Warto, M. Pd Ketua NIP. 196109251986031001 (………………) Dra. Hj. Isnaini W. W, M. Pd Sekretaris NIP. 195905091985032001 (………………) Tiwuk Kusuma H, S.S. M.Hum Penguji I NIP. 197306132000032002 (………………) Drs. Soedarmono, SU Penguji II NIP. 194908131980031001 (………………) Dekan Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Drs. Sudarno, M.A NIP. 195303141985061001 iii PERNYATAAN Nama : TRI PARTONO Nim : C 0505003 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul “Manifestasi Budaya Indis dalam Arsitektur dan Tata Kota Semarang Pada Tahun 1900-1950” adalah betul-betul karya sendiri, bukan dari plagiat dan tidak dibuat oleh orang lain.
    [Show full text]
  • Marylouvandenberg P5 Rese ... Paper.Pdf
    RESEARCH PAPER ABOUT THE REVALUATION OF PASSIVE CLIMATE SYSTEMS A study on low-tech climate strategies in colonial buildings in Bandung Architectural Engineering Bandung studio 21 - MSc3 & 4 Mo Smit, Eric vd Ham Tutors: Mary Lou van den Berg 4214420 1 Revaluation of passive climate systems A study on low-tech climate strategies in colonial buildings in Bandung Mary Lou van den Berg 4214420 Faculty of Architecture & the Built Environment, Delft University of Technology Julianalaan 134, 2628BL Delft [email protected] date: 06/01/19 ABSTRACT This paper aims to demonstrate that instead of newly constructed, expensive and energy-inefficient buildings, it is possible to fuse cultural heritage and a high quality of comfort by using passive design strategies in historical architecture. Bandung takes an exemplary position in terms of Indonesian modernization and adaptation to the climate. However, these techniques seem to have been forgotten. Therefore lies the focus in this article on the passively designed architecture that was constructed during the colonization in the interwar period in Bandung. This research assesses arguments facing indoor thermal conditions and question alternatives for mechanical solutions. A comfort range has been set, aimed at the desired indoor climate in warm and humid regions. The results proved that passive design techniques can positively impact the thermal conditions, but that there are no passive solutions yet to reduce humidity. However, the allowance of fresh airflows through the building by means of natural ventilation has been proven effective, because it cools perspiration and thus increases acceptance of high humidity levels. Case studies provided evidence that passive design techniques used to be an integral part of modern architecture in hot and humid climates.
    [Show full text]
  • Building Modernity
    Building Modernity Indische Architecture and Colonial Autonomy, 1920-1940 Martijn Veenendaal 4026241 Supervisor: Prof. Dr. Gerrit Knaap Bachelor thesis 22 June 2015 13,309 words “When two people meet, each one is changed by the other so you’ve got two new people.”1 1 John Steinbeck, The Winter of Our Discontent (New York: The Viking Press, 1961). Page | 1 Index of Contents Introduction 3 Chapter I Architecture and Colonial Autonomy 6 The Ethical State 6 The Open State 8 Decentralization and Colonial Autonomy 9 Colonial Architecture: The Maturation of a Discipline 10 Autonomous Colonialists 15 Chapter II The Indische Style: the role of the “native” in modernity 19 Re-developing the “native” 19 The Debate: adherents and adversaries 21 Thomas Karsten: association and cultural synthesis 27 The Ideology of the Indische Style 31 Chapter III Material Culture and Cultural Colonial Citizenship 33 The Indies Fatherland 34 Colonial Difference and Cultural Citizenship 36 The Colonial Mimic Men 38 A Colonial Divide? 39 The End of Association 40 Conclusion 42 Bibliography 44 Illustrations Appendix I: figure 1-5 17 Appendix II: figure 6-9 32 Page | 2 Introduction There exist two camps there, the first one claiming that the mother country must transport ‘civilization’, including art, to the colony. There is too little remaining of the Javanese art to bestow it with lasting value; while the Javanese himself, whose cooperation would be necessary, no longer possesses artistry. Mais, à qui la faute? On the other side there is a camp that argues the complete
    [Show full text]
  • Charles Prosper Wolff Schoemaker En De Architectuur in Nederlands-Indië
    Charles Prosper Wolff Schoemaker en de Architectuur in Nederlands-Indië C.J. van Dullemen Aan het einde van de 19de eeuw kwam in Nederlands-Indië gen, bruggen, dammen en andere utiliteitswerken bouwen. een ware bouwhausse op gang die met enkele korte onderbre­ Nog sneller steeg de vraag naar nieuwe gebouwen voor de kingen tot aan de Japanse inval in 1942 zou voortduren. Om particuliere sector. Voor Nederlands-Indië waren maar weinig aan de toenemende vraag te voldoen vestigen zich in de eerste bouwvoorschriften vastgelegd zodat iedereen zelf aan het ont­ twee decennia van de 20e eeuw meer particuliere architecten in werpen en bouwen sloeg. Bovendien was tot 1920 geen goede Nederlands-Indië. Daartoe behoorden ondermeer Charles architectenopleiding voor handen, iedereen kon als architect 1 Prosper Wolff Schoemaker (afb. 1) die niet alleen een gevari­ optreden. In "Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch- eerd oeuvre uitvoerde maar ook een belangrijke rol speelde in Indië" (18 januari 1921) stond dan ook: "Indië kon in dien het Indische architectuurdebat en de opleiding tot civiel ingeni­ tijd geen enkelen bouwkundigen ingenieur aanwijzen. De eur aan de TH Bandung. Naast Wolff Schoemaker neemt Henri ingenieurs van den Waterstaat hielden zich bezig met brug­ Maclaine Pont een speciale plaats in. Beide architecten waren gen, duikers en stuwdammen. Zij die den titel van architect in Nederlands-Indië geboren en voor hun opleiding naar bij den dienst voerden, waren wat beter onderlegde opzich­ Nederland gezonden. De kolonie was hun vaderland en gedre­ ters; voor bouwwerken van enigen omvang zorgden de Genie, ven door hun lotsverbondenheid streefden zij met veel vuur die in het werk van Storm van 's-Gravenzande de vaststelde naar een eigen Nederlands-Indische architectuurstijl.
    [Show full text]
  • Designing Colonial Cities:The Making of Modern Town Planning in the Dutch
    The Newsletter | No.57 | Summer 2011 (Please note: this text is a slightly altered version of the article published in the printed edition) The Study | 7 Designing colonial cities: the making of modern town planning in the Dutch East Indies and Indonesia 1905-1950 Far-reaching socio-economic changes caused by burgeoning private enterprise, in combination with new insights and demands in terms of hygiene, infrastructure, architecture and town planning; emerging anti-sentiments among growing numbers of indigenous inhabitants; and the direct 1. confrontation of administrators with local issues: together these provided a prolifi c setting for the making of modern town planning in the Dutch East Indies in the fi rst half of the twentieth century. Pauline K.M. van Roosmalen Before 1905 After nearly three centuries of Dutch domination, the 2a. Dutch East Indies – the archipelago that is today called Indonesia – underwent two major changes around the turn of the twentieth century. The fi rst change was the introduction of the Agrarian Act (Agrarische Wet) in 1870. This act enabled private individuals to possess land on a long lease and, as a result, opened up business opportunities. The second change was the enactment of the Decentralisation Act (Decentralisatiewet) in 1903 and the Local Council Ordinance (Locale Radenordonnantie) in 1905. These two acts enabled the government to decentralise the archipelago’s administration to local administrative entities – soon referred to as municipalities. The introduction of the Agrarian Act fundamentally changed the outlook of the colony and its society. Prior to the enactment of the Agrarian Act it was predominantly male Dutch civil servants who set off to the Dutch East Indies.
    [Show full text]
  • Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt Modernism
    INAUGURAL SPEECHES AND OTHER STUDIES IN THE BUILT ENVIRONMENT SPEECHES AND OTHER STUDIES IN THE BUILT INAUGURAL Abidin Kusno [Guest Editor] ISSUE 5 Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt Modernism and national characteristics #5 | CHARLES PROSPER WOLFF SCHOEMAKER & VINCENT VAN ROMONDT CHARLES SCHOEMAKER & PROSPER WOLFF VINCENT VAN Inaugural Speeches and Other Studies in the Built Environment Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt TU Delft Open 2020 Abidin Kusno [Guest Editor] ISSUE 5 Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt Modernism and national characteristics TU Delft Open 2020 Inaugural Speeches and Other Studies in the Built Environment Inaugural Speeches and Other Studies in the Built Environment Series Editors: Herman van Bergeijk and Carola Hein [Chair History of Architecture and Urban Planning, TU Delft] ISSUE 5 C.P. Wolff Schoemaker and Vincent Van Romondt Modernism and national characteristics Guest Editor: Abidin Kusno Design: Sirene Ontwerpers Layout: Phoebus Panigyrakis The works of Dutch architects and educators whose careers were spent mostly in colonies far away from the Netherlands, received little attention in their home country. But in Indonesia, the former largest colony of the Dutch empire, they have always been part of the country’s architectural history. They continue to be recognized and referred to, even after a generation has passed. This small booklet contains the speeches of two of the most influential Dutch professors who mentored the majority of the first generation of Indonesian architects: C.P. Wolff Schoemaker (1882-1949) and Vincent van Romondt (1903-1974). Clearly Schoemaker and Van Romondt held different views about the challenges of architecture in the world as well as in Indonesia.
    [Show full text]
  • The Indis Style: the Transformation and Hybridization of Building Culture in Colonial Java Indonesia
    Paramita:Paramita: Historical Historical Studies Studies Journal, Journal, 28 (2),28(2), 2018: 2018 137 -151 ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825 DOI: http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v28i2.16203 THE INDIS STYLE: THE TRANSFORMATION AND HYBRIDIZATION OF BUILDING CULTURE IN COLONIAL JAVA INDONESIA Djoko Soekiman & Bambang Purwanto Department of History, Faculty of Humanities, Universitas Gadjah Mada ABSTRACT ABSTRAK This historical study is focused on Indis style Kajian sejarah ini difokuskan pada rumah dan houses and buildings in Java during colonial bangunan bergaya Indis di Jawa pada masa period. The study discusses the reception and kolonial. Tulisan ini mendiskusikan tentang adaptation of Dutch and other cultures togeth- resepsi dan adaptasi budaya Belanda dan bu- er with the local cultures in the transformation daya lainnya bersama-sama budaya tempatan and hybridization of Indonesian architectural dalam transformasi dan hibridisasi pada proses design production and reproduction. The produksi dan reproduksi desain arsitektur In- study concludes that Indis style is a proof for donesia. Kajian ini menyimpulkan bahwa ga- the western inability to avoid the social and ya Indis merupakan bukti dari ketidakmampu- cultural influence of the locals, representations an Barat untuk menghindar dari pengaruh of new hybrid identities who want to show sosial dan kebudayaan tempatan, representasi themselves as closer to the west and distance dari identitas hibrid baru yang ingin menun- from the indigenous, representation of new jukkan dirinya lebih dekat kepada Barat na- identity among those who found a new defi- mun berjarak dari penduduk asli, representas nite motherland since others consider them- dari identitas baru bagi mereka yang selves alien, symbol of modernity for those menemukan ibu pertiwi yang baru ketika ke- who were looking for a new social status and lompok lain menganggap mereka sebagai justify their existence, and a representation of orang asing, simbol modernitas bagi mereka the history of colonialism itself.
    [Show full text]
  • Bab Ii Kajian Pustaka
    BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Sejarah Kebudayaan Indis Hadirnya orang Belanda di Jawa ( Indonesia ) yang kemudian menjadi penguasa telah banyak mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat pribumi, termasuk segi kebudayaan beserta hasil-hasilnya. Percampuran gaya Eropa dan Indonesia yang meliputi tujuh unsur universal budaya menimbulkan budaya baru yang didukung sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia, khususnyakeluarga keturunan Eropa (Belanda) dan pribumi. Percampuran gaya hidup Belanda dengan gaya hidup pribumi khususnya Jawa ini disebut sebagai gayahidup Indis.1 Percampuran budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal yang meliputi seluruh aspek tujuh unsur universal budaya2, menimbulkan budaya baru yang didukung oleh sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia yang disebut dengan budaya Indis. Budaya Indis kemudian ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat di Hindia-Belanda. Selain gaya hidup Indis ikut mempengaruhi kehidupan keluarga pribumi melalui jalur-jalur formal, misalnya melalui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain sebagainya. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam 1Kata Indis mempunyai arti yang cukup luas, yaitu menurut Hindia-Belanda, “dalam abad ke-16 Indonesia dikuasai oleh bangsa Portugis, yang kemudian bangsa Portugis menamakan Indonesia dengan sebutan India Portugis. Kemudian bangsa Belanda datang ke Indonesia dan berhasil mengalahkan Portugis dan menamakan Indonesia dengan sebutan Hindia-Belanda. Kata Hindia selalu dipergunakan karena pada abad ke-16, dunia Barat mencari rempah-rempah. Dan rempah- rempah itu mereknya Hindia, padahal rempah-rempah itu asalnya dari Maluku dan Aceh (Sumatra). Dari latar belakang tersebut terbawa terus nama Hindia atau India sampai sekarang”. (Pramoedya Ananta Toer. Pidato Arti Penting Sejarah). 2Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1990, hlm 2.
    [Show full text]
  • Encyklopédia Kresťanského Umenia
    Marie Žúborová - Němcová: Encyklopédia kresťanského umenia Holanďan bludný - Bludný Holanďan holandská architektúra - http://nl.wikipedia.org/wiki/Categorie:Architectuur_in_Nederland http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Dutch_architecture holandská bieloba - bieloba holandská/bieloba kremžská holandská história - http://nl.wikipedia.org/wiki/Categorie:Geschiedenis_van_Nederland holandská história podľa obdobia - http://en.wikipedia.org/wiki/Category:History_of_the_Netherlands_by_period http://nl.wikipedia.org/wiki/Categorie:Geschiedenis_van_Nederland_naar_periode holandská renesancia - (1500-1584); http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Dutch_Renaissance holandská škola (maľby) - maliari v Holandsku od ranej renesancie do baroka; to zahŕňa rané obdobie holandského maliarstva (pozri holandskí maliari raní, flámski primitívi), ktoré spadá do obdobia 1400-1500, a holandskú renesanciu (1500-1584), čo boli umelci činní v severných nížinách, a neskôr do holandskej školy bol zaraďovaný aj holandský zlatý vek maľby (pozri holandskí maliari zlatého veku), čo bola maľba v zjednotených provinciách; mnoho maliarov, sochárov a architektov zo 17.st. je nazývaných „holandskí majstri“, zatiaľ čo skorší umelci sú všeobecne označovaní ako súčasť „holandskej“ tradície; Hieronymus Bosch a Geertgena tot Sint Jans sú dobre známe príklady holandských maliarov 15. a 16.st.; Rembrandt van Rijn, Frans Hals, Johannes Vermeer, Jacob van Ruisdael a Jan Steen zastupujú holandské umenie 17.st.; individuálne diela, ktorých umelca nemožno zistiť, sú označované alebo
    [Show full text]
  • Architecture and the Politics of Identity in Indonesia a Study of the Cultural History of Aceh
    Architecture and the Politics of Identity in Indonesia A Study of the Cultural History of Aceh Izziah Hasan B.Arch. (Institute of Technology, Surabaya, Indonesia) M.Sc. (Drexel University, Philadelphia, USA) A thesis submitted in fulfillment of the requirements of the degree of Doctor of Philosophy The University of Adelaide School of Architecture, Landscape Architecture and Urban Design Centre for Asian and Middle Eastern Architecture (CAMEA) © Izziah Hasan September 2009 ABSTRACT While the history of the region of Aceh is intertwined with the history of Indonesia, contemporary literature provides only scanty information on the cultural and architectural heritage of Aceh. This study explores the cultural history of Aceh to reveal, on the one hand, its distinctive richness and the role it has played in shaping the contemporary history of Indonesia, and on the other, the influence of the socio- political developments in post-independence Indonesia on the shaping of Aceh’s cultural, urban and architectural identity. The study focuses on the discourse of architectural identity in post-independence Indonesia in general and the region of Aceh in particular. It examines the ways in which architecture and urban spaces are conceived and represented by Indonesian scholars and politicians, and the ways in which they are politicalised and aesthethicised to represent a uniform Indonesian identity, including that of Aceh. The study argues that such uniform and rigid representation is problematic, for it tends to obliterate differences and to reduce the richness and diversity of the Indonesian culture to a simplified pattern of predictable characteristics. It further argues that cultural identity evolves over time and is difficult to fix within rigid frames and definitions.
    [Show full text]
  • Study on the History and Architecture
    DIMENSI − Journal of Architecture and Built Environment, Vol. 41, No. 1, July 2014, 37-42 DOI: 10.9744/dimensi.41.1.37-42 ISSN 0126-219X (print) / ISSN 2338-7858 (online) THE CONCEPT OF MODERN DUTCH COLONIAL ARCHITECTURE TO THE DEVELOPMENT OF JAVANESE ARCHITECTURE ARDIYANTO, Antonius1*; DJUNAEDI, Achmad1; IKAPUTRA, Suryabrata1; DJADMIKA, Adi1 1 Gadjah Mada University, Faculty of Engineering, Architecture Department Jalan Grafika No. 2 Campus UGM, Yogyakarta 55581, INDONESIA * Corresponding author: [email protected] ABSTRACT Modern architecture colonial present in the early 20th century, when several Dutch graduate architects had begun profession in the Dutch East Indies. The architects of had understood that the development of modern architecture in the East Indies must include the local environment and climate aspects of traditional architecture that has existed in the Dutch East Indies. In this case, two famous architects, the Thomas Karsten and Henri Maclaine Pont, became a pioneers in this movement. The concept of the modern architecture development base on the Java architecture has been carried out by Thomas Karsten with several his works such as office buildings, hospitals, markets, and schools. The potential of traditional Javanese architecture in terms of shape, material and solving the problems of the tropical climate conditions, aims to achieve comfort in the building the use of potencies has been used as a concept for the development of modern Dutch colonial architecture. Keywords: Javanese architecture; modern colonial architecture. INTRODUCTION At that time several professional architects began to express their idea to apply traditional architectural In Indonesia, the development of the mixture of elements in the design of modern buildings of traditional architecture into modern architecture colonial Dutch architecture.
    [Show full text]