Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur Dan Aula Barat ITB
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1,C 129-136 https://doi.org/10.32315/sem.1.c129 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Guino Verma Mahasiswa Prodi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknoologi Bandung Korespondensi : [email protected] Abstrak Kolonialisme di Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia. Lahirnya politik etis dapat dikatakan sebagai salah satu alasan adanya usaha arsitek- arsitek Belanda mencoba menggabungkan arsitektur Eropa dengan Nusantara. Seorang arsitek Belanda, Maclaine Pont merupakan salah-satu arsitek yang mencoba menggabungkan elemen arsitektur Nusantara dengan arsitektur Eropa. Artikel ini menganalisa lebih lanjut pemikiran Maclaine Pont mengenai akulturasi arsitektur Eropa dengan Nusantara. Analisa juga berlanjut pada perancangan Maclaine Pont dari kacamata desain interior dengan memfokuskan pada salah-satu karyanya, yaitu Aula Timur dan Aula Barat ITB. Saat pengerjaan Aula Timur dan Aula Barat ITB, keilmuan desain interior pada saat itu masih berkembang. Bagaimana pengaruh hal tersebut bagi Maclaine Pont dalam pengerjaan Aula Timur dan Aula Barat ITB pada saat itu? Disamping itu, artikel ini akan membandingkan interior bangunan ketika baru selesai dengan sekarang. Melalui analisa proses akulturasi ini diharapkan bisa menjadi inspirasi arsitek maupun desainer interior dalam mempertimbangkan proses perancangan karyanya. Kata-kunci : Akulturasi, Arsitektur Kolonial, Maclaine Pont, Desain Interior Pendahuluan Kedatangan Bangsa Belanda di Nusantara membawa pengaruh bagi perkembangan arsitektur nusantara. Arsitektur Kolonial Belanda di Nusantara abad 17 hingga 20 mengalami beberapa perkembangan. Arsitektur Kolonial Belanda bersumber dari negara asalnya, kemudian berkembang akibat penyesuaian iklim dan cuaca di Nusantara. Perkembangan arsitektur di Nusantara terus berkembang hingga memunculkan gaya arsitektur Indiche Empire yang dikenalkan pada era pemerintahan Deandels (1808-1811). Diantara sekian banyaknya arsitek Belanda yang bermunculan di Hindia Belanda, terdapat seorang arsitek bernama Henri Maclaine Pont yang berusaha memadukan warisan lokal Indonesia beserta kosmologinya dengan arsitektur Belanda. Hal ini berawal Pada tahun 1920, menurut Handinoto (2008: 17) karya pertamanya dianggap berhasil dalam menggabungkan arsitektur kolonial dengan arsitektur lokal setelah beberapa tahun dibangun. Karya tersebut adalah Aula Timur dan Aula Barat yang berada dalam kompleks Institut Teknologi Bandung (ITB). Hal yang melatarbelakangi ketertarikan Maclaine Pont terhadap kearifan lokal sehingga melahirkan sebuah proses adaptasi akulturasi sangat menarik untuk dianalisis. Struktur unik dan hibridasitas antara warisan lokal dan arsitektur kolonial Belanda/ Eropa pada interior bangunan Aula Timur dan Aula Barat ITB akan dijadikan objek bahasan pada artikel ini. Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 129 ISBN 978-602-17090-6-1 E-ISBN 978-602-17090-4-7 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menganalisis pendekatan Pont pada karyanya mengadaptasi elemen-elemen desain interior. Tujuan dari artikel ini adalah membuat pembaca dapat memahami lebih pemikiran Maclaine Pont mengakomodasi pemikiran akulturasi arsitektur lokal dengan arsitektur Belanda, serta meninjau desain interior salah satu karyanya yaitu Aula Timur dan Aula Barat ITB. Pembahasan a. Tentang Maclaine Pont Henry Maclaine Pont merupakan seorang arsitek yang lahir di Meester Cornelis pada tanggal 21 Juni 1885, sebagai anak ke-4 dari lima bersaudara. Maclaine Pont memiliki ibu seorang Maluku, sedangkan ayahnya merupakan blasteran Skotlandia dan Spanyol. Maclaine Pont mulai mempelajari arsitektur pada tahun 1903 di Techneese Hoogeschool Delft dan lulus pada usia 24 tahun. Setelah lulus Henry bekerja pada arsitektur Posthumumush Meyjes di Amsterdam, dimana ia membuat meliputi desain fasad rumah di Overtoom, Amsterdam. Dia juga terlibat dalam pembangunan asrama untuk yayasan Pangeran Alexander (Kota Greendlan). Setelah menjadi arsitek individu di Kota Semarang, Maclaine Pont membuat jurnal atas pemikiran dan ketertarikannya pada sejarah Majapahit dan Ratu Baka. Ia membuat karya-karya dengan dasar pemikiran dan pengalaman perjalanannya mengelilingi pulau Jawa dan Sumatera. Ia merasa begitu pentingnya untuk mengekspresikan nilai kultur lokal dalam perancangannya. Hal ini mulai terasa ketika ia mengerjakan perancangan Barakgebouw Techneese Hoogeschool Bandung yang membuat Maclaine Pont memperoleh reputasi yang baik hingga hari ini. Karya dari Maclaine Pont terhitung sejak tahun 1911-1938, dimana saat itu belum dikenal sama sekali keprofesian desain interior namun lebih dikenal dengan dekorator interior. Desain interior baru dijadikan menjadi sebuah profesi setelah Perang Dunia II berakhir, yaitu sekitar tahun 1950-an. Dengan demikian, diindikasikan bahwa elemen interior yang ada pada karya Maclaine Pont belum mengedepankan kajian interior, melainkan hanya sebagai dekorasi saja (Friska, 2016: 44). b. Pemikiran Maclaine Pont Latar belakang konsep arsitektur Pont sangat berbeda jika dibandingkan dengan Schoemaker dan Ghijsels. Maclaine Pont mencoba untuk menembus intisari arsitektural Jawa untuk dijadikan sebagai pedoman perancangannya. Menurut Peter (2009: 152) Schoemaker menuding Maclaine Pont dalam perancangan Aula Timur dan Aula Barat ITB tidak konsisten dengan lanskap sekitarnya, karena bangunan berciri Minangkabau bukan Jawa. Perencanaan pembangunan Aula Timur dan aula Barat ITB ini menurut Widya (2014) metode desain Henri Maclaine Pont dalam membuat rancangan gedung aula barat dan timur ITB dimulai dari usaha menelaah sistem konstruksi bangunan tradisional Jawa, merasionakan konstruksi serta material, mengubah sistem sosial budaya masyarakat menjadi sistem bangunan, hingga memahami budaya masyarakatnya asli. Maclaine Pont dalam karyanya mencoba untuk menanamkan nilai-nilai lokalitas dengan melogikakannya dengan sistem struktural modern. Menggabungkan arsitektur lokal dengan eropa juga sejalan dengan diterapkannya politik etis dimana adanya tuntutan kesetaraan sosial yang harus diberikan bagi bangsa pribumi. Tampaknya Maclaine Pont mencoba menerapkan hal tersebut melalui pendekatan arsitektur. Berdasarkan keterangan Muhatanto (2002: 121) Perbaikan bagi kehidupan sosial rakyat ini dapat ditemukan sebagaimana anggapan teks-teks arsitektur modern sezaman, dalam teks-teks Maclaine Pont juga dapat ditemui anggapan bahwa arsitektur mempunyai hubungan erat dengan jiwa masyarakatnya. Bahkan, arsitektur bisa berperan positif untuk perbaikan sosial masyarakat sebagaimana nampak pada teks Maclaine Pont yang berkaitan dengan Kongres II C 130 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Guino Verma Perumahan Rakyat di Semarang, 1925: “Dapatkah perjuangan untuk perbaikan permukiman itu membawa pada pembangunan masyarakat?”. Kehidupan yang saat itu dikelilingi oleh perang, tekanan kapitalisme, dan kerasnya hubungan penjajah dengan rakyat membuat mendorong orang-orang pada saat itu untuk merekonstruksi imajinasi kehidupan ideal di masa lalu. Muhatanto juga menjelaskan bahwa kehidupan ideal seperti ini yang menjadi pemikiran Maclaine Pont pada saat itu. Masa lalu yang dirujuknya adalah masyarakat Jawa semasa Majapahit, kerajaan Hindu-Budha di Jawa Timur yang yang dianggap sebagai zaman keemasan Jawa yang dicoba untuk diraih kembali di tanah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa pemikiran ini sejalan dengan ketertarikan Maclaine Pont terhadap Majapahit dan arsitektur percandian di Jawa. Sumbangannya yang terbesar dalam arkeologi Indonesia barangkali adalah pendeskripsiannya mengenai konsep tata kota ibukota Majapahit di Trowulan. c. Barakgebouw Technische Hoogeschool Bandung Aula Timur dan Aula Barat ITB adalah karya Maclaine Pont yang paling sering menjadi ikon dari Kota Bandung maupun ITB sendiri. Aula Timur dahulu dikenal dengan Barakgebouw B, sedangkan Aula Barat dikenal dengan Barakgebouw A. Bangunan ini menerima respon kontroversial dari Professor C.P. Wolff Schoemaker dengan mempermasalahkan bentuk atap kedua bangunan tersebut yang terlihat seperti atap dari bangunan tradisional Minangkabau (Rumah Gadang). Sebaliknya karya ini mengundang tanggapan positif pada harian Preahgerbode dari seorang berinisial “G”. Seorang penulis suku sejarah perkotaan, Haryoto Kunto, orang tersebut adalah Ir. J. Gerber, arsitek yang merancang Gedung Sate. Seorang arsitek Belanda, H.P Berlage yang sedang mengunjungi Pulau Jawa, dalam catatannya perjalanannya juga menyanjung karya Pont ini. Demikian pula ketika ia memberi ceramah di dalam pertemuan Koninklijke Ingenieur, menyambut gembira karya Pont sebagai pencetus dari gaya baru dalam pencarian langgam Indo-Europeesche yang didambakan Gambar 1. Perbandingan ruang Barakgebouw tahun 1921 dengan tahun 2017. Tidak ada perubahan elemen interior yang cukup signifikan setelah restorasi pada tahun 2013. (Sumber foto kiri: http://filologi-wb- 22943.kuliahkaryawan.my.id, Sumber Foto kanan: Dokumentasi penulis) selama politik etis. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 131 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Gambar 2. Perbandingan ruang Barakgebouw tahun 1921 dengan tahun 2017. Terlihat perbedaan orientasi ruangan dahulu