Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur Dan Aula Barat ITB

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur Dan Aula Barat ITB Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1,C 129-136 https://doi.org/10.32315/sem.1.c129 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Guino Verma Mahasiswa Prodi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknoologi Bandung Korespondensi : [email protected] Abstrak Kolonialisme di Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia. Lahirnya politik etis dapat dikatakan sebagai salah satu alasan adanya usaha arsitek- arsitek Belanda mencoba menggabungkan arsitektur Eropa dengan Nusantara. Seorang arsitek Belanda, Maclaine Pont merupakan salah-satu arsitek yang mencoba menggabungkan elemen arsitektur Nusantara dengan arsitektur Eropa. Artikel ini menganalisa lebih lanjut pemikiran Maclaine Pont mengenai akulturasi arsitektur Eropa dengan Nusantara. Analisa juga berlanjut pada perancangan Maclaine Pont dari kacamata desain interior dengan memfokuskan pada salah-satu karyanya, yaitu Aula Timur dan Aula Barat ITB. Saat pengerjaan Aula Timur dan Aula Barat ITB, keilmuan desain interior pada saat itu masih berkembang. Bagaimana pengaruh hal tersebut bagi Maclaine Pont dalam pengerjaan Aula Timur dan Aula Barat ITB pada saat itu? Disamping itu, artikel ini akan membandingkan interior bangunan ketika baru selesai dengan sekarang. Melalui analisa proses akulturasi ini diharapkan bisa menjadi inspirasi arsitek maupun desainer interior dalam mempertimbangkan proses perancangan karyanya. Kata-kunci : Akulturasi, Arsitektur Kolonial, Maclaine Pont, Desain Interior Pendahuluan Kedatangan Bangsa Belanda di Nusantara membawa pengaruh bagi perkembangan arsitektur nusantara. Arsitektur Kolonial Belanda di Nusantara abad 17 hingga 20 mengalami beberapa perkembangan. Arsitektur Kolonial Belanda bersumber dari negara asalnya, kemudian berkembang akibat penyesuaian iklim dan cuaca di Nusantara. Perkembangan arsitektur di Nusantara terus berkembang hingga memunculkan gaya arsitektur Indiche Empire yang dikenalkan pada era pemerintahan Deandels (1808-1811). Diantara sekian banyaknya arsitek Belanda yang bermunculan di Hindia Belanda, terdapat seorang arsitek bernama Henri Maclaine Pont yang berusaha memadukan warisan lokal Indonesia beserta kosmologinya dengan arsitektur Belanda. Hal ini berawal Pada tahun 1920, menurut Handinoto (2008: 17) karya pertamanya dianggap berhasil dalam menggabungkan arsitektur kolonial dengan arsitektur lokal setelah beberapa tahun dibangun. Karya tersebut adalah Aula Timur dan Aula Barat yang berada dalam kompleks Institut Teknologi Bandung (ITB). Hal yang melatarbelakangi ketertarikan Maclaine Pont terhadap kearifan lokal sehingga melahirkan sebuah proses adaptasi akulturasi sangat menarik untuk dianalisis. Struktur unik dan hibridasitas antara warisan lokal dan arsitektur kolonial Belanda/ Eropa pada interior bangunan Aula Timur dan Aula Barat ITB akan dijadikan objek bahasan pada artikel ini. Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 129 ISBN 978-602-17090-6-1 E-ISBN 978-602-17090-4-7 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menganalisis pendekatan Pont pada karyanya mengadaptasi elemen-elemen desain interior. Tujuan dari artikel ini adalah membuat pembaca dapat memahami lebih pemikiran Maclaine Pont mengakomodasi pemikiran akulturasi arsitektur lokal dengan arsitektur Belanda, serta meninjau desain interior salah satu karyanya yaitu Aula Timur dan Aula Barat ITB. Pembahasan a. Tentang Maclaine Pont Henry Maclaine Pont merupakan seorang arsitek yang lahir di Meester Cornelis pada tanggal 21 Juni 1885, sebagai anak ke-4 dari lima bersaudara. Maclaine Pont memiliki ibu seorang Maluku, sedangkan ayahnya merupakan blasteran Skotlandia dan Spanyol. Maclaine Pont mulai mempelajari arsitektur pada tahun 1903 di Techneese Hoogeschool Delft dan lulus pada usia 24 tahun. Setelah lulus Henry bekerja pada arsitektur Posthumumush Meyjes di Amsterdam, dimana ia membuat meliputi desain fasad rumah di Overtoom, Amsterdam. Dia juga terlibat dalam pembangunan asrama untuk yayasan Pangeran Alexander (Kota Greendlan). Setelah menjadi arsitek individu di Kota Semarang, Maclaine Pont membuat jurnal atas pemikiran dan ketertarikannya pada sejarah Majapahit dan Ratu Baka. Ia membuat karya-karya dengan dasar pemikiran dan pengalaman perjalanannya mengelilingi pulau Jawa dan Sumatera. Ia merasa begitu pentingnya untuk mengekspresikan nilai kultur lokal dalam perancangannya. Hal ini mulai terasa ketika ia mengerjakan perancangan Barakgebouw Techneese Hoogeschool Bandung yang membuat Maclaine Pont memperoleh reputasi yang baik hingga hari ini. Karya dari Maclaine Pont terhitung sejak tahun 1911-1938, dimana saat itu belum dikenal sama sekali keprofesian desain interior namun lebih dikenal dengan dekorator interior. Desain interior baru dijadikan menjadi sebuah profesi setelah Perang Dunia II berakhir, yaitu sekitar tahun 1950-an. Dengan demikian, diindikasikan bahwa elemen interior yang ada pada karya Maclaine Pont belum mengedepankan kajian interior, melainkan hanya sebagai dekorasi saja (Friska, 2016: 44). b. Pemikiran Maclaine Pont Latar belakang konsep arsitektur Pont sangat berbeda jika dibandingkan dengan Schoemaker dan Ghijsels. Maclaine Pont mencoba untuk menembus intisari arsitektural Jawa untuk dijadikan sebagai pedoman perancangannya. Menurut Peter (2009: 152) Schoemaker menuding Maclaine Pont dalam perancangan Aula Timur dan Aula Barat ITB tidak konsisten dengan lanskap sekitarnya, karena bangunan berciri Minangkabau bukan Jawa. Perencanaan pembangunan Aula Timur dan aula Barat ITB ini menurut Widya (2014) metode desain Henri Maclaine Pont dalam membuat rancangan gedung aula barat dan timur ITB dimulai dari usaha menelaah sistem konstruksi bangunan tradisional Jawa, merasionakan konstruksi serta material, mengubah sistem sosial budaya masyarakat menjadi sistem bangunan, hingga memahami budaya masyarakatnya asli. Maclaine Pont dalam karyanya mencoba untuk menanamkan nilai-nilai lokalitas dengan melogikakannya dengan sistem struktural modern. Menggabungkan arsitektur lokal dengan eropa juga sejalan dengan diterapkannya politik etis dimana adanya tuntutan kesetaraan sosial yang harus diberikan bagi bangsa pribumi. Tampaknya Maclaine Pont mencoba menerapkan hal tersebut melalui pendekatan arsitektur. Berdasarkan keterangan Muhatanto (2002: 121) Perbaikan bagi kehidupan sosial rakyat ini dapat ditemukan sebagaimana anggapan teks-teks arsitektur modern sezaman, dalam teks-teks Maclaine Pont juga dapat ditemui anggapan bahwa arsitektur mempunyai hubungan erat dengan jiwa masyarakatnya. Bahkan, arsitektur bisa berperan positif untuk perbaikan sosial masyarakat sebagaimana nampak pada teks Maclaine Pont yang berkaitan dengan Kongres II C 130 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Guino Verma Perumahan Rakyat di Semarang, 1925: “Dapatkah perjuangan untuk perbaikan permukiman itu membawa pada pembangunan masyarakat?”. Kehidupan yang saat itu dikelilingi oleh perang, tekanan kapitalisme, dan kerasnya hubungan penjajah dengan rakyat membuat mendorong orang-orang pada saat itu untuk merekonstruksi imajinasi kehidupan ideal di masa lalu. Muhatanto juga menjelaskan bahwa kehidupan ideal seperti ini yang menjadi pemikiran Maclaine Pont pada saat itu. Masa lalu yang dirujuknya adalah masyarakat Jawa semasa Majapahit, kerajaan Hindu-Budha di Jawa Timur yang yang dianggap sebagai zaman keemasan Jawa yang dicoba untuk diraih kembali di tanah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa pemikiran ini sejalan dengan ketertarikan Maclaine Pont terhadap Majapahit dan arsitektur percandian di Jawa. Sumbangannya yang terbesar dalam arkeologi Indonesia barangkali adalah pendeskripsiannya mengenai konsep tata kota ibukota Majapahit di Trowulan. c. Barakgebouw Technische Hoogeschool Bandung Aula Timur dan Aula Barat ITB adalah karya Maclaine Pont yang paling sering menjadi ikon dari Kota Bandung maupun ITB sendiri. Aula Timur dahulu dikenal dengan Barakgebouw B, sedangkan Aula Barat dikenal dengan Barakgebouw A. Bangunan ini menerima respon kontroversial dari Professor C.P. Wolff Schoemaker dengan mempermasalahkan bentuk atap kedua bangunan tersebut yang terlihat seperti atap dari bangunan tradisional Minangkabau (Rumah Gadang). Sebaliknya karya ini mengundang tanggapan positif pada harian Preahgerbode dari seorang berinisial “G”. Seorang penulis suku sejarah perkotaan, Haryoto Kunto, orang tersebut adalah Ir. J. Gerber, arsitek yang merancang Gedung Sate. Seorang arsitek Belanda, H.P Berlage yang sedang mengunjungi Pulau Jawa, dalam catatannya perjalanannya juga menyanjung karya Pont ini. Demikian pula ketika ia memberi ceramah di dalam pertemuan Koninklijke Ingenieur, menyambut gembira karya Pont sebagai pencetus dari gaya baru dalam pencarian langgam Indo-Europeesche yang didambakan Gambar 1. Perbandingan ruang Barakgebouw tahun 1921 dengan tahun 2017. Tidak ada perubahan elemen interior yang cukup signifikan setelah restorasi pada tahun 2013. (Sumber foto kiri: http://filologi-wb- 22943.kuliahkaryawan.my.id, Sumber Foto kanan: Dokumentasi penulis) selama politik etis. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 131 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Gambar 2. Perbandingan ruang Barakgebouw tahun 1921 dengan tahun 2017. Terlihat perbedaan orientasi ruangan dahulu
Recommended publications
  • Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised
    Delft University of Technology Book serie: Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised Hein, Carola; van Bergeijk, Herman Publication date 2018 Document Version Final published version Citation (APA) Hein, C., & van Bergeijk, H. (Eds.) (2018). Book serie: Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised. (Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised ). TU Delft Open. Important note To cite this publication, please use the final published version (if applicable). Please check the document version above. Copyright Other than for strictly personal use, it is not permitted to download, forward or distribute the text or part of it, without the consent of the author(s) and/or copyright holder(s), unless the work is under an open content license such as Creative Commons. Takedown policy Please contact us and provide details if you believe this document breaches copyrights. We will remove access to the work immediately and investigate your claim. This work is downloaded from Delft University of Technology. For technical reasons the number of authors shown on this cover page is limited to a maximum of 10. INAUGURAL SPEECHES IN THE BUILT ENVIRONMENT: GLOBAL ENVIRONMENT: AND CONTEXTUALISED SPEECHES IN THE BUILT INAUGURAL Evelien van Es [Guest Editor] ISSUE 3 Van den Broek & Bakema Vigorous protagonists of a functionalist architecture at the TH Delft #3 | VAN DEN BROEK & BAKEMA DEN BROEK VAN Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised Van den Broek & Bakema TU Delft Open 2018 Evelien van Es [Guest Editor] ISSUE 3 Van den Broek & Bakema. Vigorous protagonists of a functionalist architecture at the TH Delft TU Delft Open 2018 Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised Inaugural Speeches in the Built Environment: Global and Contextualised Series Editors: Herman van Bergeijk and Carola Hein [Chair History of Architecture and Urban Planning, TU Delft] ISSUE 3 Van den Broek & Bakema.
    [Show full text]
  • Manifestasi Budaya Indis Dalam Arsitektur Dan Tata Kota Semarang Pada Tahun 1900 - 1950
    MANIFESTASI BUDAYA INDIS DALAM ARSITEKTUR DAN TATA KOTA SEMARANG PADA TAHUN 1900 - 1950 SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta Disusun Oleh : T R I P A R T O N O C 0 5 0 5 0 0 3 F A K U L T A S S A S T R A D A N S E N I R U P A UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET S U R A K A R T A 2 0 1 0 i HALAMAN PERSETUJUAN MANIFESTASI BUDAYA INDIS DALAM ARSITEKTUR DAN TATA KOTA SEMARANG PADA TAHUN 1900 - 1950 Disusun Oleh : T R I P A R T O N O C 0 5 0 5 0 0 3 Telah Disetujui oleh Pembimbing Tiwuk Kusuma H, S.S. M.Hum NIP. 197306132000032002 Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 19540223198601200 ii HALAMAN PENGESAHAN Disusun Oleh : T R I P A R T O N O C 0 5 0 5 0 0 3 Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal ..... ................ 2010 Jabatan Nama Tanda Tangan Drs. Warto, M. Pd Ketua NIP. 196109251986031001 (………………) Dra. Hj. Isnaini W. W, M. Pd Sekretaris NIP. 195905091985032001 (………………) Tiwuk Kusuma H, S.S. M.Hum Penguji I NIP. 197306132000032002 (………………) Drs. Soedarmono, SU Penguji II NIP. 194908131980031001 (………………) Dekan Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Drs. Sudarno, M.A NIP. 195303141985061001 iii PERNYATAAN Nama : TRI PARTONO Nim : C 0505003 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul “Manifestasi Budaya Indis dalam Arsitektur dan Tata Kota Semarang Pada Tahun 1900-1950” adalah betul-betul karya sendiri, bukan dari plagiat dan tidak dibuat oleh orang lain.
    [Show full text]
  • Marylouvandenberg P5 Rese ... Paper.Pdf
    RESEARCH PAPER ABOUT THE REVALUATION OF PASSIVE CLIMATE SYSTEMS A study on low-tech climate strategies in colonial buildings in Bandung Architectural Engineering Bandung studio 21 - MSc3 & 4 Mo Smit, Eric vd Ham Tutors: Mary Lou van den Berg 4214420 1 Revaluation of passive climate systems A study on low-tech climate strategies in colonial buildings in Bandung Mary Lou van den Berg 4214420 Faculty of Architecture & the Built Environment, Delft University of Technology Julianalaan 134, 2628BL Delft [email protected] date: 06/01/19 ABSTRACT This paper aims to demonstrate that instead of newly constructed, expensive and energy-inefficient buildings, it is possible to fuse cultural heritage and a high quality of comfort by using passive design strategies in historical architecture. Bandung takes an exemplary position in terms of Indonesian modernization and adaptation to the climate. However, these techniques seem to have been forgotten. Therefore lies the focus in this article on the passively designed architecture that was constructed during the colonization in the interwar period in Bandung. This research assesses arguments facing indoor thermal conditions and question alternatives for mechanical solutions. A comfort range has been set, aimed at the desired indoor climate in warm and humid regions. The results proved that passive design techniques can positively impact the thermal conditions, but that there are no passive solutions yet to reduce humidity. However, the allowance of fresh airflows through the building by means of natural ventilation has been proven effective, because it cools perspiration and thus increases acceptance of high humidity levels. Case studies provided evidence that passive design techniques used to be an integral part of modern architecture in hot and humid climates.
    [Show full text]
  • Building Modernity
    Building Modernity Indische Architecture and Colonial Autonomy, 1920-1940 Martijn Veenendaal 4026241 Supervisor: Prof. Dr. Gerrit Knaap Bachelor thesis 22 June 2015 13,309 words “When two people meet, each one is changed by the other so you’ve got two new people.”1 1 John Steinbeck, The Winter of Our Discontent (New York: The Viking Press, 1961). Page | 1 Index of Contents Introduction 3 Chapter I Architecture and Colonial Autonomy 6 The Ethical State 6 The Open State 8 Decentralization and Colonial Autonomy 9 Colonial Architecture: The Maturation of a Discipline 10 Autonomous Colonialists 15 Chapter II The Indische Style: the role of the “native” in modernity 19 Re-developing the “native” 19 The Debate: adherents and adversaries 21 Thomas Karsten: association and cultural synthesis 27 The Ideology of the Indische Style 31 Chapter III Material Culture and Cultural Colonial Citizenship 33 The Indies Fatherland 34 Colonial Difference and Cultural Citizenship 36 The Colonial Mimic Men 38 A Colonial Divide? 39 The End of Association 40 Conclusion 42 Bibliography 44 Illustrations Appendix I: figure 1-5 17 Appendix II: figure 6-9 32 Page | 2 Introduction There exist two camps there, the first one claiming that the mother country must transport ‘civilization’, including art, to the colony. There is too little remaining of the Javanese art to bestow it with lasting value; while the Javanese himself, whose cooperation would be necessary, no longer possesses artistry. Mais, à qui la faute? On the other side there is a camp that argues the complete
    [Show full text]
  • Charles Prosper Wolff Schoemaker En De Architectuur in Nederlands-Indië
    Charles Prosper Wolff Schoemaker en de Architectuur in Nederlands-Indië C.J. van Dullemen Aan het einde van de 19de eeuw kwam in Nederlands-Indië gen, bruggen, dammen en andere utiliteitswerken bouwen. een ware bouwhausse op gang die met enkele korte onderbre­ Nog sneller steeg de vraag naar nieuwe gebouwen voor de kingen tot aan de Japanse inval in 1942 zou voortduren. Om particuliere sector. Voor Nederlands-Indië waren maar weinig aan de toenemende vraag te voldoen vestigen zich in de eerste bouwvoorschriften vastgelegd zodat iedereen zelf aan het ont­ twee decennia van de 20e eeuw meer particuliere architecten in werpen en bouwen sloeg. Bovendien was tot 1920 geen goede Nederlands-Indië. Daartoe behoorden ondermeer Charles architectenopleiding voor handen, iedereen kon als architect 1 Prosper Wolff Schoemaker (afb. 1) die niet alleen een gevari­ optreden. In "Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch- eerd oeuvre uitvoerde maar ook een belangrijke rol speelde in Indië" (18 januari 1921) stond dan ook: "Indië kon in dien het Indische architectuurdebat en de opleiding tot civiel ingeni­ tijd geen enkelen bouwkundigen ingenieur aanwijzen. De eur aan de TH Bandung. Naast Wolff Schoemaker neemt Henri ingenieurs van den Waterstaat hielden zich bezig met brug­ Maclaine Pont een speciale plaats in. Beide architecten waren gen, duikers en stuwdammen. Zij die den titel van architect in Nederlands-Indië geboren en voor hun opleiding naar bij den dienst voerden, waren wat beter onderlegde opzich­ Nederland gezonden. De kolonie was hun vaderland en gedre­ ters; voor bouwwerken van enigen omvang zorgden de Genie, ven door hun lotsverbondenheid streefden zij met veel vuur die in het werk van Storm van 's-Gravenzande de vaststelde naar een eigen Nederlands-Indische architectuurstijl.
    [Show full text]
  • Designing Colonial Cities:The Making of Modern Town Planning in the Dutch
    The Newsletter | No.57 | Summer 2011 (Please note: this text is a slightly altered version of the article published in the printed edition) The Study | 7 Designing colonial cities: the making of modern town planning in the Dutch East Indies and Indonesia 1905-1950 Far-reaching socio-economic changes caused by burgeoning private enterprise, in combination with new insights and demands in terms of hygiene, infrastructure, architecture and town planning; emerging anti-sentiments among growing numbers of indigenous inhabitants; and the direct 1. confrontation of administrators with local issues: together these provided a prolifi c setting for the making of modern town planning in the Dutch East Indies in the fi rst half of the twentieth century. Pauline K.M. van Roosmalen Before 1905 After nearly three centuries of Dutch domination, the 2a. Dutch East Indies – the archipelago that is today called Indonesia – underwent two major changes around the turn of the twentieth century. The fi rst change was the introduction of the Agrarian Act (Agrarische Wet) in 1870. This act enabled private individuals to possess land on a long lease and, as a result, opened up business opportunities. The second change was the enactment of the Decentralisation Act (Decentralisatiewet) in 1903 and the Local Council Ordinance (Locale Radenordonnantie) in 1905. These two acts enabled the government to decentralise the archipelago’s administration to local administrative entities – soon referred to as municipalities. The introduction of the Agrarian Act fundamentally changed the outlook of the colony and its society. Prior to the enactment of the Agrarian Act it was predominantly male Dutch civil servants who set off to the Dutch East Indies.
    [Show full text]
  • Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt Modernism
    INAUGURAL SPEECHES AND OTHER STUDIES IN THE BUILT ENVIRONMENT SPEECHES AND OTHER STUDIES IN THE BUILT INAUGURAL Abidin Kusno [Guest Editor] ISSUE 5 Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt Modernism and national characteristics #5 | CHARLES PROSPER WOLFF SCHOEMAKER & VINCENT VAN ROMONDT CHARLES SCHOEMAKER & PROSPER WOLFF VINCENT VAN Inaugural Speeches and Other Studies in the Built Environment Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt TU Delft Open 2020 Abidin Kusno [Guest Editor] ISSUE 5 Charles Prosper Wolff Schoemaker & Vincent Van Romondt Modernism and national characteristics TU Delft Open 2020 Inaugural Speeches and Other Studies in the Built Environment Inaugural Speeches and Other Studies in the Built Environment Series Editors: Herman van Bergeijk and Carola Hein [Chair History of Architecture and Urban Planning, TU Delft] ISSUE 5 C.P. Wolff Schoemaker and Vincent Van Romondt Modernism and national characteristics Guest Editor: Abidin Kusno Design: Sirene Ontwerpers Layout: Phoebus Panigyrakis The works of Dutch architects and educators whose careers were spent mostly in colonies far away from the Netherlands, received little attention in their home country. But in Indonesia, the former largest colony of the Dutch empire, they have always been part of the country’s architectural history. They continue to be recognized and referred to, even after a generation has passed. This small booklet contains the speeches of two of the most influential Dutch professors who mentored the majority of the first generation of Indonesian architects: C.P. Wolff Schoemaker (1882-1949) and Vincent van Romondt (1903-1974). Clearly Schoemaker and Van Romondt held different views about the challenges of architecture in the world as well as in Indonesia.
    [Show full text]
  • The Indis Style: the Transformation and Hybridization of Building Culture in Colonial Java Indonesia
    Paramita:Paramita: Historical Historical Studies Studies Journal, Journal, 28 (2),28(2), 2018: 2018 137 -151 ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825 DOI: http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v28i2.16203 THE INDIS STYLE: THE TRANSFORMATION AND HYBRIDIZATION OF BUILDING CULTURE IN COLONIAL JAVA INDONESIA Djoko Soekiman & Bambang Purwanto Department of History, Faculty of Humanities, Universitas Gadjah Mada ABSTRACT ABSTRAK This historical study is focused on Indis style Kajian sejarah ini difokuskan pada rumah dan houses and buildings in Java during colonial bangunan bergaya Indis di Jawa pada masa period. The study discusses the reception and kolonial. Tulisan ini mendiskusikan tentang adaptation of Dutch and other cultures togeth- resepsi dan adaptasi budaya Belanda dan bu- er with the local cultures in the transformation daya lainnya bersama-sama budaya tempatan and hybridization of Indonesian architectural dalam transformasi dan hibridisasi pada proses design production and reproduction. The produksi dan reproduksi desain arsitektur In- study concludes that Indis style is a proof for donesia. Kajian ini menyimpulkan bahwa ga- the western inability to avoid the social and ya Indis merupakan bukti dari ketidakmampu- cultural influence of the locals, representations an Barat untuk menghindar dari pengaruh of new hybrid identities who want to show sosial dan kebudayaan tempatan, representasi themselves as closer to the west and distance dari identitas hibrid baru yang ingin menun- from the indigenous, representation of new jukkan dirinya lebih dekat kepada Barat na- identity among those who found a new defi- mun berjarak dari penduduk asli, representas nite motherland since others consider them- dari identitas baru bagi mereka yang selves alien, symbol of modernity for those menemukan ibu pertiwi yang baru ketika ke- who were looking for a new social status and lompok lain menganggap mereka sebagai justify their existence, and a representation of orang asing, simbol modernitas bagi mereka the history of colonialism itself.
    [Show full text]
  • Bab Ii Kajian Pustaka
    BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Sejarah Kebudayaan Indis Hadirnya orang Belanda di Jawa ( Indonesia ) yang kemudian menjadi penguasa telah banyak mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat pribumi, termasuk segi kebudayaan beserta hasil-hasilnya. Percampuran gaya Eropa dan Indonesia yang meliputi tujuh unsur universal budaya menimbulkan budaya baru yang didukung sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia, khususnyakeluarga keturunan Eropa (Belanda) dan pribumi. Percampuran gaya hidup Belanda dengan gaya hidup pribumi khususnya Jawa ini disebut sebagai gayahidup Indis.1 Percampuran budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal yang meliputi seluruh aspek tujuh unsur universal budaya2, menimbulkan budaya baru yang didukung oleh sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia yang disebut dengan budaya Indis. Budaya Indis kemudian ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat di Hindia-Belanda. Selain gaya hidup Indis ikut mempengaruhi kehidupan keluarga pribumi melalui jalur-jalur formal, misalnya melalui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain sebagainya. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam 1Kata Indis mempunyai arti yang cukup luas, yaitu menurut Hindia-Belanda, “dalam abad ke-16 Indonesia dikuasai oleh bangsa Portugis, yang kemudian bangsa Portugis menamakan Indonesia dengan sebutan India Portugis. Kemudian bangsa Belanda datang ke Indonesia dan berhasil mengalahkan Portugis dan menamakan Indonesia dengan sebutan Hindia-Belanda. Kata Hindia selalu dipergunakan karena pada abad ke-16, dunia Barat mencari rempah-rempah. Dan rempah- rempah itu mereknya Hindia, padahal rempah-rempah itu asalnya dari Maluku dan Aceh (Sumatra). Dari latar belakang tersebut terbawa terus nama Hindia atau India sampai sekarang”. (Pramoedya Ananta Toer. Pidato Arti Penting Sejarah). 2Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1990, hlm 2.
    [Show full text]
  • Encyklopédia Kresťanského Umenia
    Marie Žúborová - Němcová: Encyklopédia kresťanského umenia Holanďan bludný - Bludný Holanďan holandská architektúra - http://nl.wikipedia.org/wiki/Categorie:Architectuur_in_Nederland http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Dutch_architecture holandská bieloba - bieloba holandská/bieloba kremžská holandská história - http://nl.wikipedia.org/wiki/Categorie:Geschiedenis_van_Nederland holandská história podľa obdobia - http://en.wikipedia.org/wiki/Category:History_of_the_Netherlands_by_period http://nl.wikipedia.org/wiki/Categorie:Geschiedenis_van_Nederland_naar_periode holandská renesancia - (1500-1584); http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Dutch_Renaissance holandská škola (maľby) - maliari v Holandsku od ranej renesancie do baroka; to zahŕňa rané obdobie holandského maliarstva (pozri holandskí maliari raní, flámski primitívi), ktoré spadá do obdobia 1400-1500, a holandskú renesanciu (1500-1584), čo boli umelci činní v severných nížinách, a neskôr do holandskej školy bol zaraďovaný aj holandský zlatý vek maľby (pozri holandskí maliari zlatého veku), čo bola maľba v zjednotených provinciách; mnoho maliarov, sochárov a architektov zo 17.st. je nazývaných „holandskí majstri“, zatiaľ čo skorší umelci sú všeobecne označovaní ako súčasť „holandskej“ tradície; Hieronymus Bosch a Geertgena tot Sint Jans sú dobre známe príklady holandských maliarov 15. a 16.st.; Rembrandt van Rijn, Frans Hals, Johannes Vermeer, Jacob van Ruisdael a Jan Steen zastupujú holandské umenie 17.st.; individuálne diela, ktorých umelca nemožno zistiť, sú označované alebo
    [Show full text]
  • Architecture and the Politics of Identity in Indonesia a Study of the Cultural History of Aceh
    Architecture and the Politics of Identity in Indonesia A Study of the Cultural History of Aceh Izziah Hasan B.Arch. (Institute of Technology, Surabaya, Indonesia) M.Sc. (Drexel University, Philadelphia, USA) A thesis submitted in fulfillment of the requirements of the degree of Doctor of Philosophy The University of Adelaide School of Architecture, Landscape Architecture and Urban Design Centre for Asian and Middle Eastern Architecture (CAMEA) © Izziah Hasan September 2009 ABSTRACT While the history of the region of Aceh is intertwined with the history of Indonesia, contemporary literature provides only scanty information on the cultural and architectural heritage of Aceh. This study explores the cultural history of Aceh to reveal, on the one hand, its distinctive richness and the role it has played in shaping the contemporary history of Indonesia, and on the other, the influence of the socio- political developments in post-independence Indonesia on the shaping of Aceh’s cultural, urban and architectural identity. The study focuses on the discourse of architectural identity in post-independence Indonesia in general and the region of Aceh in particular. It examines the ways in which architecture and urban spaces are conceived and represented by Indonesian scholars and politicians, and the ways in which they are politicalised and aesthethicised to represent a uniform Indonesian identity, including that of Aceh. The study argues that such uniform and rigid representation is problematic, for it tends to obliterate differences and to reduce the richness and diversity of the Indonesian culture to a simplified pattern of predictable characteristics. It further argues that cultural identity evolves over time and is difficult to fix within rigid frames and definitions.
    [Show full text]
  • Study on the History and Architecture
    DIMENSI − Journal of Architecture and Built Environment, Vol. 41, No. 1, July 2014, 37-42 DOI: 10.9744/dimensi.41.1.37-42 ISSN 0126-219X (print) / ISSN 2338-7858 (online) THE CONCEPT OF MODERN DUTCH COLONIAL ARCHITECTURE TO THE DEVELOPMENT OF JAVANESE ARCHITECTURE ARDIYANTO, Antonius1*; DJUNAEDI, Achmad1; IKAPUTRA, Suryabrata1; DJADMIKA, Adi1 1 Gadjah Mada University, Faculty of Engineering, Architecture Department Jalan Grafika No. 2 Campus UGM, Yogyakarta 55581, INDONESIA * Corresponding author: [email protected] ABSTRACT Modern architecture colonial present in the early 20th century, when several Dutch graduate architects had begun profession in the Dutch East Indies. The architects of had understood that the development of modern architecture in the East Indies must include the local environment and climate aspects of traditional architecture that has existed in the Dutch East Indies. In this case, two famous architects, the Thomas Karsten and Henri Maclaine Pont, became a pioneers in this movement. The concept of the modern architecture development base on the Java architecture has been carried out by Thomas Karsten with several his works such as office buildings, hospitals, markets, and schools. The potential of traditional Javanese architecture in terms of shape, material and solving the problems of the tropical climate conditions, aims to achieve comfort in the building the use of potencies has been used as a concept for the development of modern Dutch colonial architecture. Keywords: Javanese architecture; modern colonial architecture. INTRODUCTION At that time several professional architects began to express their idea to apply traditional architectural In Indonesia, the development of the mixture of elements in the design of modern buildings of traditional architecture into modern architecture colonial Dutch architecture.
    [Show full text]