Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No. 2, Agustus 2019

Melacak Materialisme Dialektis Dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia1

Gregorius Ragil Wibawanto2 Abstraksi

Artikel ini melacak ulang kemunculan materialisme dialektis Tan Malaka di tahun 1920an dan membahas posisinya dalam sejarah ilmu sosial . Studi pendahulu telah berkontribusi pada kajian-kajian mengenai sejarah komunisme di Indonesia secara general dan pemikirannya secara partikular. Artikel ini mencoba memberikan paparan mengenai materialisme dialektis Tan Malaka dan perjalannya melintasi konteks kebangkitan nasional, pendudukan jepang, orde lama, orde baru, dan merefleksikannya dalam konteks hari ini. Artikel ini menggunakan metode linguistic contextualism oleh Quentin Skinner dengan revisi Parekh dan Berki mengenai pentingnya mempertimbangkan ide-ide universal yang dapat melintas konteks. Dengan berbasis pada prosedur metodologis tersebut, artikel ini berargumen bahwa materialisme dialektis Tan Malaka memberikan kerangka filosofis dan saintifik yang relevan untuk digunakan dalam memindai sejarah produksi pengetahuan di Indonesia. Kata kunci: Tan Malaka, Materialisme Dialektis, linguistic contextualism, Komunisme, Produksi Pengetahuan.

Abstract This article traces the emergence of Tan Malaka’s dialectical materialism in 1920s and examines its relevance during his life and following his death in 1949. Previous studies on Tan Malaka have contributed to the literature on the history of in Indonesia in general and of communist thought in particular. This study attempts at doing so by tracing the origins of Tan Malaka’s thinking and following through four different historical backgrounds namely the national awakening period up to Japanese occupation (1920-1942), the revolution period until the fall of Soekarno (1942-1966), the New Order period (1965- 1998), and finally the post- authoritarian Indonesia up to the present (1998- 2019). In interpreting Tan Malaka’s writings on dialectical materialism, I make use of Skinner’s linguistic contextualism with Parekh and Berki’s revision on the importance of considering universal and timeless truth ideas. Basing on this methodological procedure, this thesis argues first that Tan Malaka’s dialectical materialism provides a ‘philosophical’ and ‘scientific’ to examine the history of knowledge production in Indonesia Keywords: Tan Malaka, Dialetical Materialism, linguistic contextualism, Communism, Knowledge Production

A. Latar Belakang Menurut Yamin, Naar de ‘Republiek Indonesia’ yang ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1925 di Tan Malaka dibicarakan dan digambarkan Singapore merupakan manifesto politik pertama di dengan berbagai wajah. Alfian dalam telaahnya Indonesia yang membentuk imaji bangsa (Yamin, tentang Tan Malaka menyebutnya sebagai ‘Pejuang 1946). , jurnalis asal Belanda yang Revolusioner yang Kesepian’ (Alfian, 1977:57). dekat dengan Sjahrir (Mrazek, 1994:215) Muhammad Yamin menempatkan Tan Malaka menganggap Tan Malaka sebagai Trotskyite radikal sebagai pendiri bangsa; sejajar dengan George yang serius dan tahan-banting (Poeze, 2008a:328). Washington dan Jose Rizal (Yamin, 1946:3).

1 Untuk kutipan atau sitasi artikel ini: Wibawanto, Gregorius Ragil. 2019. “Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia”, Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol.6 (2): 169-190 2 Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Kontak: [email protected]

169 Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

Sukarno yang sempat bersitegang dengan Tan (Crawford, 2018), di mana arus persilangan ide Malaka pada periode revolusi justru mengangkatnya menjadi semakin intens yang kemudian mendorong sebagai pahlawan nasional pada 23 Maret 1963 pergerakan nasional di beberapa negara Asia, yang melalui Keputusan Presiden No.53 Tahun 1963. dalam konteks Hindia Belanda disebut Takashi Siraishi sebagai age in motion atau periode zaman Gambaran Tan Malaka yang cenderung bergerak (Shiraishi, 1990:xv). Tan Malaka, dalam hal mesianistic dan heroic tersebut di atas bersanding ini, adalah salah satu pemikir yang lahir di konteks dengan potret-potret lain yang mengandung tekstur yang dinamis tersebut. pejoratif. Aidit – pada pidato hari jadi PKI ke-35 – menganggap Tan Malaka sebagai ‘pemimpin partai Meskipun usaha pendalaman gagasan Tan yang tidak bertindak tegas sebelum pemberontakan Malaka berkontribusi signifikan pada (1926-27) dimulai, tetapi malah menyalahkan pengembangan studi pemikiran di Indonesia, kajian- pemberontakan sesudah pemberontakan terjadi’ kajian tersebut cenderung fokus pada usaha untuk (Aidit, 1955:15). Abu Bakar Lubis – mahasiswa menautkan permenungan Tan Malaka pada konteks kedokteran yang mengagumi Sjahrir dan yang politik praktis dan geliat nasionalisme sejak konteks ditugasi ‘menjemput’ Tan Malaka – zaman bergerak sampai pada periode kemerdekaan. menganggapnya irrasional dan tidak realistis Sejauh ini, upaya untuk membaca Tan Malaka dalam (Poeze, 2008:316). konteks produksi pengetahuan sosial di Indonesia belum terekplorasi secara mendalam. Penggambaran yang kental dengan elemen biopic ditambah dengan sentimen anti-komunisme Dengan mengaplikasikan metode linguistic yang menyejarah, mengaburkan dimensi pemikiran contextualism yang diformulasikan oleh Quentin Tan Malaka. Kajian-kajian mendalam tentang Skinner (1969), artikel ini mencoba untuk membaca gagasan Tan Malaka dan permenungannya akan genealogi materialisme dialektis Tan Malaka dalam bentuk negara-bangsa yang ideal tidak mampu dinamika sejarah ilmu sosial Indonesia sebagai menandingi kuatnya narasi Tan sebagai seorang konsep penting yang mendasari struktur pemikiran komunis, pahlawan nasional, dan tokoh misterius. Tan Malaka. Artikel ini dilandasi oleh dua Faktanya, beberapa sejarawan telah mencoba untuk pertanyaan sentral. Pertama, bagaimana Tan Malaka menghasilkan studi pemikiran Tan dari berbagai mengadaptasi metode materialisme dialektis ke sudut pandang. Rudolf Mrazek, misalnya, dalam konteks Indonesia? Kedua, bagaimana melakukan penelusuran genealogi semesta gagasan relevansi materialisme dialektis Tan Malaka dalam Tan Malaka dengan mengunjungi kembali sejarah perkembangan ilmu sosial Indonesia? Dalam sensibilitas minang (Mrazek, 1972:7-9). Kajian melacak posisi materialisme dialektis Tan Malaka terbaru dari Oliver Crawford tentang pemikiran dalam sejarah produksi ilmu sosial Indonesia, politik Tan Malaka menawarkan cara pandang artikel ini mengeksplorasi sumber-sumber utama hybrid dalam memindai pemikir Asia yang hidup di karya Tan Malaka dan sumber sekunder sebagai periode pasca krisis ekonomi dunia tahun 20an penjelas konteks. Selain itu, artikel ini juga

170

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto mempertimbangkan studi-studi pendahulu yang dukungannya pada proyek peleburan gerakan Islam akan dielaborasi berikut ini. dengan Komunisme; serta aktivitas politik Tan Malaka dalam pengasingan (McVey, 1965: 119, 161-

162). B. Studi-Studi Pendahulu Sejalan dengan McVey dalam membahas Dalam pustaka-pustaka termutakhir, Tan karir politik Tan Malaka, Anderson memberikan Malaka diinterpretasikan dengan beberapa analisis manuver politik Tan pada konteks yang pendekatan. Dari beberapa studi tersebut, berbeda. Dalam buku klasiknya Java in a time of setidaknya terdapat dua fokus utama dalam Revolution, Anderson mendedikasikan satu bab mendekati Tan Malaka. Pertama, studi yang fokus khusus untuk mengelaborasi siasat Tan Malaka pada kaitan antara sejarah biografi Tan Malaka dan dalam membentuk kelompok oposisi pertama konteks revolusi Indonesia. Secara umum, kategori terhadap republik, Persatuan Perdjuangan (PP). ini memposisikan Tan Malaka sebagai tokoh marxis Dibentuk oleh Tan pada tahun 1946, kelompok ini yang terlibat dalam pergerakan di puncak periode menentang proses negosiasi antara Indonesia dan kebangkitan nasional (1920’an) sampai era awal Belanda (Anderson, 1972:269-295). Bagi PP, kemerdekaan. Kategori kedua fokus pada keputusan republik untuk berkompromi dengan investigasi pemikiran Tan Malaka tentang agama, Belanda demi pengakuan internasional dan sejarah, dan ide formasi negara-bangsa serta kedaulatan politik bukanlah strategi yang tepat. Tan karakteristik masyarakat Indonesia. Kedua kategori Malaka adalah tokoh sentral gerakan ini, seperti berkontribusi terhadap pemahaman akan Tan diungkapkan oleh Amir Sjarifudin bahwa Malaka secara partikular dan debat intelektual ‘Geestelijke vader (godfather) daripada PP adalah sejarah pemikiran secara general. Artikel ini persona Tan Malaka, tokoh dengan “magnetische mempertimbangkan kedua arus studi tersebut persoonlijkheid” (magnetic personality), cerdas, dalam analisis terhadap materialisme dialektis Tan tajam, dan terberkati dengan kemampuan persuasi Malaka. yang mumpuni (Poeze, 2008a:321). Menurut

Di antara kategori pertama adalah Ruth Anderson, ‘kampanye PP sampai pada klimaks yang McVey, yang menulis catatan kronologi sejarah sukses; kelompok-kelompok yang berbeda komunisme di Indonesia. Dalam bukunya, The Rise bergabung dengan PP dan mengakibatkan of Indonesian Communism, ia mengelaborasi peran pemerintahan baru terisolasi’ (Anderson, Tan Malaka dalam dinamika perkembangan 1972:295). komunisme selama periode kebangkitan nasional. Kahin dalam bukunya Nationalism and McVey menyajikan detail rekaman historis Revolution in Indonesia memiliki pendapat yang keterlibatan Tan Malaka di Partai Komunis berbeda soal PP. Baginya ‘Usaha-usaha oposisi yang Indonesia (PKI), termasuk kontribusi Tan Malaka dilancarkan oleh PP hanya sedikit mengubah relasi dalam mendirikan Sekolah SI (); dan pola distribusi kuasa’ (Kahin, 1952:192).

171

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

Perbedaan analisis Kahin dan Anderson berakar buah rantau untuk masyarakat Indonesia secara pada lingkup linimasa historis yang menjadi umum dan Minang secara khusus (Mrazek, perhatian. Anderson menyelidiki dinamika PP 1972:18). Lebih lanjut, Mrazek berpendapat bahwa terbatas pada momentum klimaks di tahun 1946, konsep dialektis dalam formulasi ide Tan Malaka sedangkan Kahin meneruskan analisanya hingga berakar pada ‘semesta’ Minang sebab ‘secara umum, tahun 1949. Dalam hal ini, keberhasilan peran filosofi tradisional Minang menganggap konflik oposisi Tan Malaka dalam memimpin PP masih sebagai bagian essensial untuk mencapai integrasi dapat diperdebatkan. Studi Harry Poeze, yang dalam masyarakat; Alam Minangkabau selalu mencakup seluk-beluk perjalanan sejarah Tan berelasi dengan perspesi dialektis atas harmoni dari Malaka hingga detil-detil keterlibatannya dalam kontradiksi’ (Mrazek, 1972:3). proses merebut kedaulatan, secara lebih lanjut Bersebrangan dengan Mrazek, Helen Jarvis dapat digunakan sebagai acuan dalam diskusi soal berpendapat bahwa Tan Malaka harus didekati signifikansi peran politik Tan Malaka (Poeze, ‘dalam kerangka marxisme’ dan ia juga menganggap 1988;2008). analisis Mrazek sangat orientalis dan menggurui Meskipun studi-studi tersebut di atas telah (Jarvis, 1991:lxvi). Menurut Jarvis, ide-ide Tan memberikan pemahaman mendasar terkait Malaka harus dipahami secara tekstual dan keterlibatan Tan Malaka dalam perkembangan kontekstual di mana dia belajar Marx dan Engels di komunisme dan perjuangan revolusi; pemikiran dan masa Perang Dunia I, tepat ketika Tan berada di gagasan Tan Malaka belum terbahas secara Harlem, Belanda (Jarvis, lxxxxii). Dalam volume komprehensif. Crawford, dalam telaahnya soal pertama memoarnya, Tan menulis bahwa dirinya pemikiran politik Tan Malaka beranggapan bahwa memahami revolusi dari , Karl Kautsky, ‘oleh karena kronik revolusi difokuskan secara Friedrich Engels, dan dari pamflet yang mengupas kronologis pada peristiwa-peristiwa besar, analisis Revolusi Bolshevik 1917 (Malaka, 2000:41). yang sibuk pada fakta historis tidak mampu Berkaca dari Mrazek dan Jarvis, Crawford – menangkap gelombang pemikiran Tan Malaka’ dalam disertasinya The Political Thought of Tan (Crawford, 2018:18). Akibatnya, kerja-kerja Malaka – berpendapat bahwa ‘sementara Tan penelitian tersebut di atas hanya menangkap potret Malaka memandang Marxisme sebagai produk dari Tan Malaka sebagai pemimpin politik, bukan prosedur analisa barat, dia juga mengelaborasinya sebagai intelektual. melalui tutur Malay dan Islam ketika Rudolf Mrazek, dalam hal ini, berusaha mengekspresikan argument marxisnya sendiri, untuk membongkar struktur pikir Tan Malaka dengan tujuan menjadikan formulasinya dapat sebagai seorang intelektual. Menurut Mrazek, karya- diterima masyarakat Indonesia’ (Crawford, karya Tan Malaka secara mendalam terpengaruh 2018:10). Berdasarkan proposisinya, Crawford oleh sensibilitas Minangkabau; utamanya adalah lebih lanjut menjelaskan bahwa karya-karya Tan konsep rantau. Madilog, bagi Mrazek, merupakan Malaka ‘merupakan sintesis bahasa politik yang

172

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto mengandung variasi artikulasi’ (Ibid). Menurut Meskipun kritik Suseno perlu Crawford, karakter sintesis pemikiran Tan Malaka dipertimbangkan, struktur kajiannya memiliki dua merupakan konsekuensi historis atas periode lubang analisis yang cukup besar. Pertama, tidak kebangkitan nasional di mana ‘ide-ide baru seperti Crawford, Mrazek, dan Jarvis yang secara tersikulasi secara acap di Hindia Belanda dan ekstentif ‘berkonsultasi’ dengan karya Tan Malaka terkonsolidasi secara otentik’ (Ibid: 212). yang lain serta menggunakan rekam-sejarah sebagai penjelas konteks, Suseno menginterpretasikan Secara mendasar, penulis sepakat dengan materialisme dialektis tanpa dukungan fakta analisa Crawford bahwa karakter pemikiran sintesis empiris yang solid sebagai konteks di mana Tan Tan Malaka merupakan produk periode Malaka mengembangkan ide-idenya. Akibatnya, dia kebangkitan nasional. Meskipun demikian, analisa mengambil lompatan terlalu jauh dalam ‘menyejarah’ yang taat pada konteks justru menggeneralisasi karakter materialisme dialektis membatasi refleksi atas pemikiran Tan Malaka. Tan Malaka. Pendek kata, kritik Suseno atas gagasan Kelanjutan relevansi gagasan Tan Malaka hari ini Tan Malaka hanya menjadi relevan dalam belum terselediki secara mendetil. Apakah perbincangan filosofis semata di mana elemen pemikiran sintesis Tan Malaka dapat dikatakan historis deskriptif kehilangan signifikansinya. relevan? Bagaimana ide-ide materialisme dialektisnya dapat melampaui zaman? Belajar dari analisis pendahulu soal Tan Malaka, artikel ini bermaksud mengisi celah Berkaitan dengan dua pertanyaan tersebut, pengetahuan yang masih terbuka dengan kritik Magnis Suseno atas pemikiran Tan Malaka – menyelidiki relevansi materialisme dialektis Tan utamanya pada konsep materialisme dialektis – Malaka dalam sejarah perkembangan ilmu sosial barangkali penting untuk dipertimbangkan. Indonesia. Dalam melakukannya, artikel ini Menurut Suseno, ‘Tan Malaka hanya mengulang- mengunjungi kembali muasal dari materialisme ulang konsepsi Engels tanpa menyajikan cara baru dialektis Tan Malaka dan mengikuti perjalanannya dalam mengupasnya’ (Suseno, 2003:208). Bagi hingga periode orde baru serta merefleksikannya di Suseno, hal itu merupakan masalah mendasar dalam konteks Indonesia hari ini. Konsekuensi landasan filosofis Tan Malaka sebab doktrin metodologis dari tujuan tersebut dijelaskan pada materialisme dialektis Engels sendiri mengandung bagian berikut ini. permasalahan yang cukup akut oleh karena pencampuradukkan konsep materialisme dan realisme (Suseno, 2003:206). Dengan demikian, C. Pendekatan Linguistic Contextualism: Sebuah secara provokatif, Suseno bertanya ‘apakah Madilog Metode memiliki relevansinya di Indonesia hari ini, atau Artikel ini menggunakan teks-teks utama bahkan pemikiran yang demikian terlanjur usang Tan Malaka sebagai sumber primer, yang antara sejak zamannya ketika Tan Malaka menuliskannya? lain: SI Semarang dan Onderwijs (1921), Parlemen (Suseno, 2003:218). atau Soviet (1922), Naar de ‘Republiek Indonesia’ 173

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

(1925), Semangat Moeda (1926), Aksi Massa (1926), Menurut Skinner, ‘pemahaman akan teks Madilog (1943), dan Dari Penjara ke Penjara (1947- memerlukan kejelian dalam menangkap meaning 1948). yang dimaksudkan oleh pemikir dengan mengandalkan perkakas linguistik seperti ujaran, Selain teks-teks Tan Malaka, artikel ini juga tutur, frasa, yang membentuk “rangkai-deskripsi” memanfaatkan sumber sekunder yang relevan dan atas struktur gagasan pemikir’ (Skinner, 1969:49- efektif sebagai penjelas konteks. Sumber-sumber 50). tersebut termasuk namun tidak terbatas pada studi yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Artikel ini akan menggunakan metode Pertanyaan yang kemudian muncul adalah tersebut dalam memahami materialisme dialektis bagaimana sumber-sumber tersebut dipahami dan Tan Malaka pada setting kemunculannya. Sebagai dimaknai. konsekuensinya, pemahaman akan teks-teks Tan Malaka akan mempertimbangkan ‘rangkai- Artikel ini menggunakan pendekatan deskripsi’ yang membangun habitus produksi linguistic contextualism Quentin Skinner. pengetahuan di era Kebangkitan Nasional. Metodenya merupakan kritik atas dua pendekatan Tantangan yang kemudian muncul dari metode ini besar yang populer digunakan untuk mendedah adalah proses kontekstualisasi gagasan Tan Malaka sejarah pemikiran. Pertama adalah tradisi di luar ‘rangkai-deskripsi’ ketika pemikirannya interpretasi great text yang percaya bahwa ‘teks itu ditaruh pada historical setting yang berbeda dari sendiri cukup sebagai objek pencarian dan konteks kemunculannya. Menurut metode linguistik pemahaman’ (Skinner, 1969:4). Menurut Skinner, Skinner, interpretasi lintas konteks tidak metode great text bermasalah karena memungkinkan untuk dilakukan karena ketiadaan mengasumsikan bahwa ide-ide bersifat ‘timeless’ ‘timeless truth’ dan ‘universal ideas’. Olehnya, ide sehingga tidak memerlukan penjelasan konteks harus dibaca dalam ‘rangkai-deskripsi’ yang yang komprehensif. Namun demikian persoalan atas partikular dan periodik. Prosedur ini kemudian keterbatasan metode great text tidak dapat membatasi lompatan reflektif yang perlu dilakukan diselesaikan dengan pendekatan contextualism untuk menganalisis pemikiran Tan Malaka di luar semata, sebab bagi Skinner penjelasan konteks yang struktur linimasa yang melatarinya. Terkait limitasi tidak proporsional akan menimbulkan distorsi ini, revisi Bikhu Parekh dan R.N Berki atas metode interpretasi oleh karena asumsi bahwa karya-karya Skinner menjadi penting untuk dipertimbangkan. pemikir hanya akan dibaca sebagai pantulan dari struktur sosial-politik masyarakatnya (Skinner, Parekh dan Berki berpendapat bahwa 1969:5). metode linguistik Skinner mengandung tiga problem utama. Pertama, asumsi Skinner bahwa Skinner menawarkan metode linguistik pemikir hanyalah persoalan fakta historis yang sebagai jalan untuk memahami intensi pemikir perlu dibaca secara berjarak dengan perkakas secara jernih tanpa terjebak pada tradisi great text bahasa. Kedua, oleh karena poin pertama, Skinner yang sempit dan contextualism yang berlebihan. 174

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto berpandangan bahwa tidak ada pemikir yang Kedua adalah rantau pertama di Belanda sepanjang melakukan permenungan melampaui partikularitas tahun 1913-1919 di mana ia bersinggungan dengan zamannya. Ketiga, ‘pemaksaan’ Skinner atas karya tradisi berpikir Eropa dan gejolak Revolusi pemikir besar untuk dibatasi pada garis-garis Bolshevik. Ketiga adalah masa-masa linguistik (Parekh & Berki, 1973:172-174). keterlibatannya dalam pergerakan komunis pada tahun 1921. Periode setelahnya, menurut penulis, Tiga poin tersebut yang kemudian menjadi adalah pengembangan, penajaman, sekaligus dasar Parekh dan Berki untuk menyusun empat poin penerapan proses berpikir Tan Malaka dalam sentral tawaran metodologis. Pertama, hubungan gelanggang politik nasional dan internasional. teks dan konteks adalah kontruksi intelektual yang dapat dibentuk dalam mengkaji sejarah pemikiran. Lahir di Desa Suliki, Sumatera Barat pada Kedua, analisis gagasan tidak melulu soal isolasi tahun 1897 dari keluarga Muslim taat yang kental konteks sejarah, meskipun tetap harus dengan sensibilitas Minang membuat Tan Malaka menghormati latar semangat zaman yang memiliki optimisme yang solid akan kekuatan- membentuknya. Ketiga, bias konteks dan individu mengubah dari Islam dan konsep rantau (Poeze, dapat diidentifikasi dengan peta mazhab, tradisi, 1988:12). Sekolah dasar di desanya dan surau dan periode; bukan dihindari demi mendapatkan adalah arena belajar sekaligus ruang eksperimen. Di ‘intensi-kejernihan’ yang problematis. Keempat, situlah dia pertama kali berhadap-hadapan dengan analisis pemikiran bukan sesuatu yang fix sintetisitas pendidikan Eropa dan sensibilitas melainkan terus tumbuh dan dikoreksi seiring minang. Segera setelah ia lulus sekolah dasar, Tan dengan jalannya sejarah (Parekh & Berki, 1973:183- masuk ‘Kweekschool’ atau sekolah guru di Fort de 184). Materialisme dialektis Tan Malaka, dalam hal Kock. Tidak butuh waktu lama bagi G.H Horensma, ini, akan dikupas dengan berbekal metode linguistik guru Kweekschool, untuk melihat potensi Tan Skinner dengan dukungan empat poin koreksi dari Malaka dan mengirimnya masuk sekolah guru di Parekh dan Berki. Belanda (Malaka, 2008:25).

Di Belanda, Tan mendapatkan kesempatan besar untuk belajar ide-ide baru melalui tiga D. Genealogi Materialisme Dialektis Tan Malaka lingkungan yang berbeda, yakni tempat tinggalnya, D. 1. Laku Kontradiktif sekolahnya, dan pergerakan nasionalis Indonesia di

Struktur pembentuk gagasan materialisme Belanda. Salah satu momentum signifikan dalam dialektis Tan Malaka mengandung tiga blok historis perjalanan intelektual Tan Malaka adalah ketika dia yang lekat dalam perjalanan hidup Tan Malaka. tinggal bersama dengan Herman, pensiunan muda Pertama adalah masa-masa remaja di Suliki, tentara Belgia yang menyuplai Tan dengan brosur Payakumbuh, Sumatera Barat di mana sensibilitas bernada sentimen anti imperialisme dan Van der Minang berperan sebagai penyedia ‘rangkai- Mey, yang selalu memberi Tan Malaka terbitan De deskripsi’ pemikirannya termasuk konsep rantau. Telegraaf, yang cenderung simpati dengan Inggris 175

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

(Malaka, 2008a:25). Selain itu, di Jacobijnestraat, Malaka masih jauh dari jernih (Poeze, 1988:83). tempat tinggalnya terdapat toko buku yang sering Struktur gagasannya perlahan semakin solid ketika Tan kunjungi, di mana dia pertama kali menjumpai dia kembali ke Sumatera dan menyaksikan basis Nietzche melalui Die Umwertung aller Werte dan material masyarakat kontradiktif di bawah kuasa buku-buku yang membahas Revolusi Prancis kolonial. (Poeze, 1988:70). Pada 8 November 1919 Tan Malaka pulang Dalam memoarnya Tan mengakui bahwa ke Hindia Belanda untuk mengambil tawaran ‘meskipun fase awal di Harlem menyediakan menjadi guru di sekolah lokal yang dikelola oleh kesempatan belajar yang mengagumkan, pandangan Senembah Maatschappij, perusahaan perkebunan terhadap ide-ide pembebasan terasa kabur dan milik investor Jerman yang berbasis di Deli, tidak solid’ (Malaka, 2000a:45). Pengendapan Sumatera Utara (Malaka, 2000a:99). Berbekal intelektualnya semakin menebal pasca Revolusi pengetahuan ‘Eropa’ dia menyaksikan kontradiksi Bolshevik 1917, melalui mana Tan tiba pada teks- yang tajam antara penjajah dan terjajah di area teks Marx, Karl Kautsky, Trotsky, dan Lenin (Malaka, perkebunan. Pengalaman ini memberikan gambaran 2000a:41). material yang gamblang bagi Tan. Dia memotret kondisi yang demikian sebagai ‘kontradiksi tajam Aktivitas politiknya dimulai ketika Tan antara kapital dan labor serta antara penjajah dan muncul dalam rapat Perhimpoenan Indonesia (PI) terjajah’ (Malaka, 2000a:69). Dalam memoarnya, dia dan berjumpa dengan Suwardi Suryaningrat dan memberikan petunjuk bagaimana basis material Gunawan Mangunkusumo. Selain itu, dia juga mulai yang hadir di depan matanya berpengaruh pada menulis artikel di terbitan lokal. Januari 1919, refleksinya atas ketidakadilan dan menggambarkan misalnya, Tan menulis tentang hak berdaulat orang realitas di hadapannya sebagai ‘orang Indonesia Minang untuk menentukan nasibnya sendiri (Poeze, kelas bawah yang memeras keringatnya sepanjang 1988:73). Delapan bulan setelahnya, September hari; yang hanya dibayar untuk mengisi perut; dan 1919 dia memberikan pidato pada kongres ketiga PI hidup seperti domba dalam kandang… inilah kelas di Amsterdam. Di mimbar kongres, Tan menegaskan bawah Indonesia yang disebut sebagai buruh rentan peran Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Insulinde (Malaka, 2000a:74). dalam mempersiapkan Indonesia menjadi bangsa yang terbebaskan (Poeze, 1988:80). Dalam Meskipun dia optimis bekerja sebagai guru uraiannya, dia menggunakan idiom-idiom marxis bagi anak-anak kuli dan menikmati pekerjaannya, seperti proletar, struktur ekonomi, dan kesamaan terdapat tiga isu sentral yang mengganggu hak yang perlu diwujudkan di Hindia Belanda. Pada benaknya dan mendorongnya untuk melanjutkan fase ini, Tan telah terlibat dalam pergerakan perjalanan revolusionernya ke Semarang. Pertama, kelompok kiri di Belanda dan diterima sebagai kondisi perkebunan yang terisolasi membuatnya bagian dari grup, meskipun beberapa anggota menjadi kurang produktif. Di salah satu suratnya berpendapat bahwa ide-ide revolusioner Tan kepada Horensma, Tan berkata bahwa ‘Hidup

176

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto menjadi monoton dan menunjukkan kemandekan pergerakan nasionalis tumbuh (Shiraishi, 1990:91). serta runtuhnya bangunan spiritual’ (Poeze, Jangkauan organisasi politik semakin meluas baik di 1988:116). Aktivitas sekolah yang padat ternyata wilayah perkotaan maupun pedesaan. Dalam mengambil banyak waktunya sehingga Tan tidak banyak kasus, organ partai memainkan peran memiliki kesempatan untuk menjadi produktif. sentral dalam ekspansi tubuh pergerakan oleh Meskipun demikian, dia sempat menulis tiga artikel karena sifatnya yang mampu memberikan tautan bersama Het Vrije Woord, terbitan berbahasa kolektif. Sarekat Islam – organisasi di mana nantinya Belanda yang berorientasi Bolshevik (Poeze, Tan Malaka terlibat aktif – misalnya, berhasil 1988:122). Menurut Poeze, tiga seri publikasi menggaet simpati publik melalui distribusi organ tersebut merupakan hasil korespondensi Tan partai dan kampanye strategis yang dengan dan tokoh-tokoh komunis di mengekspresikan solidaritas akar rumput Jawa (Poeze, 1988:125). Korespondensi ini (Shiraishi, 1990:48). Pada tahun 1913, publikasi SI kemudian menginspirasi Tan untuk pergi ke menjamur hampir di tiap-tiap cabang organisasi. Semarang. Terlebih lagi, pada waktu itu, Tan berada Selain Sarotomo sebagai organ utama di Solo, SI juga di tengah konflik alot dengan direksi perkebunan mengelola Oetoesan Hindia di Surabaya, Sinar karena perbedaan visi yang tajam (Malaka, Djawa di Semarang, Kaoem Muda di , dan 2000a:85). Tan akhirnya pergi meninggalkan Deli Pantjaran Warta di Batavia (Shiraishi, 1990:49). menuju Semarang pada February 1921 untuk Praktik ini tidak hanya unik pada SI. Insulinde Solo, bergabung dengan gelombang gerakan kiri. misalnya pun, memiliki Panggoegah, terbitan Manuvernya bersama PKI tidak bertahan lama berbahasa Jawa, yang diduga memegang peranan sebab pada 13 Februari 1922, pemerintah kolonial penting dalam mobilisasi petani pada tahun 1918- mengusirnya dari Hindia Belanda dengan tuduhan 1920 (Shiraishi, 1990:137-8). mengganggu keterbitan umum melalui sekolah SI Menurut Anderson, media vernakular yang menjamur di beberapa kota sentral di Jawa. semacam itu merepresentasikan episode sejarah Sejak hari itu, Tan memulai hidup berpindah; dari print-capitalism, yang memberikan gambaran ‘cara kota ke kota; penjara ke penjara, sampai tahun 1942 relasi baru yang menautkan solidaritas, kuasa, dan ketika dia kembali pulang. linamasa yang bermakna kolektif… yang memperlebar kemungkinan tumbuhnya kesadaran bersama untuk berpikir dan berelasi dalam D.2. Arena Produksi dan Liberasi Pengetahuan: Press dan Sekolah Rakyat kerangka kolektif melalui metode yang betul-betul Jawa di paruh pertama 1920an menyaksikan baru’ (Anderson, 1983:96). Lebih lanjut, print- puncak dari pergerakan nasionalis yang bermula capitalism membuka peluang munculnya sentiment pada tahun 1912 (Shiraishi, 1990:xv). Shiraishi persatuan. Meskipun demikian, dalam artikel ini menamai periode ini sebagai periode zaman penulis berpendapat bahwa print-capitalism tidak bergerak di mana ide-ide tersintetisasi dan hanya bekerja sebagai medium yang ‘menautkan

177

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto individu-individu’ namun juga sebagai lokasi efektif. Artikel tersebut ditulis oleh Soekin, anggota epistemik di mana pengetahuan tumbuh dalam SI, yang secara terang menyajikan kontradiksi kondisi yang diskriminatif dan opresif. Meminjam antara ‘logika mistika’ dengan rasionalitas. Soekin konsep Subaltern dari Ranajit Guha, Grosfugel percaya bahwa gerak lawan menentang memahami kondisi perlawanan melalui kolonialisme haruslah berbasis skema pikir rasional, pengetahuan dapat dimaknai sebagai ‘perspektif seperti yang ditulisnya: epistemik subaltern’ di mana ‘seperangkat “Bagi kebanyakan orang di Hindia Belanda, pengetahuan yang tumbuh dari bawah memiliki menggunakan pengetahuan baru masihlah kapasitas untuk menyediakan perspektif kritis menjadi kesulitan oleh karena mereka tidak terhadap pengetahuan hegemonik dalam sirkulasi menguasai cara berpikir baru [cetak miring relasi kuasa yang timpang’ (Grosfugel, 2011:214). di sumber original]. Semangat mereka Pada masa zaman bergerak di mana masihlah kuno dan percaya bahwa kekuatan pengetahuan hegemonik digenggam oleh supranatural masih menjadi elemen utama pemerintah kolonial; kaum intelegensia Indonesia penyusun cara berpikir mereka. Sisa-sisa mengartikulasikan kritiknya melalui publikasi periode religius masih bercokol di kepala organ partai, yang didistribusikan kepada orang Hindia Belanda… untuk kelompok-kelompok akar rumput, sebagai bagian mempromosikan pergerakan dan cara pikir dari fellow subaltern. Sebagai ilustrasi, pada tahun baru, kita harus mencoba sekeras mungkin 1913 Suwardi Suryaningrat ditangkap oleh untuk menjauhkan mereka dari cara pikir pemerintah kolonial karena artikel ‘Jika Aku yang salah dengan menawarkan propaganda Menjadi Belanda’ yang dipublikasikan oleh De kita melalui brosur” (Soekin, 1922 dalam Express, organ Indische Partij (IP) (Shiraishi, Subijanto, 2017:1358). 1990:119). Sebagai pemegang kebenaran, pemerintah kolonial menganggap kritik semacam ini dapat mengancam tatanan publik yang kemudian Media vernakular, dalam hal ini adalah arena kerap digunakan oleh pihak Belanda sebagai dasar produksi pengetahuan kritis yang membebaskan penangkapan para nasionalis (Salverda, 2004:74). baik dari kuasa kolonial maupun kecenderungan Sebaliknya, bagi Suwardi dan nasionalis yang lain, berpikir yang kurang strategis. Arena lain yang juga kritik pada kekuasaan merupakan jalan untuk memegang peranan penting sebagai lokasi memetakan rute pembebasan dengan menampilkan epistemik adalah pergerakan nasional sekolah realitas kolonial di Hindia Belanda. rakyat. Genealogi dari pergerakan ini adalah politik etis Van Deventer yang memperkenalkan sistem Pada 2 Januari 1922, Sinar Hindia, terbitan pendidikan barat ke Hindia Belanda. Program kolaboratif SI dan PKI bahkan mengutarakannya sekolah Belanda kemudian mencetak kelas secara lebih jernih bahwa brosur sebagai media menengah terdidik di Hindia Belanda (Karsono, vernakular mengandung daya ubah pola pikir yang 2013:209). Sebagian dari mereka bekerja di sektor- 178

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto sektor ekonomi, beberapa mendirikan terbitan sekolah rakyat menyediakan ruang pertarungan lokal, dan tokoh-tokoh seperti Suwardi mendirikan diskursus soal pembebasan bagi kelompok Sekolah Rakyat (Karsono, 2013:111). Was-was nasionalis untuk ‘menyadarkan’ Hindia Belanda terhadap perkembangan sekolah rakyat, Belanda akan kondisi kontradiktif. Meminjam perkataan melabeli model sekolah semacam ini sebagai Wilde Skinner, kedua institusi tersebut menyusun Onderwijs (sekolah liar) (Dhakidae, 2000:97). ‘rangkai-deskripsi’ artikulasi kolektif yang Meskipun demikian, di hadapan pemerintahan membentuk pemahaman akan kondisi material yang kolonial yang represif di sekitar tahun 1920-1930, nyata. Di samping itu, sekolah rakyat dan media sekolah liar justru memegang peranan penting vernakular juga mengkonstruksi tujuan bersama dalam penyebaran ide-ide nasionalisme, kedaulatan, untuk mencerahkan (enlightening) dan dan semangat pembebasan dalam imajinasi besar membebaskan (liberating) Indonesia dengan perjalanan menuju pembebasan dan dunia modern berbasis pengetahuan rasional seperti yang (Penders, 1968:209). diungkapkan oleh Soekin dalam artikel Sinar Hindia dan semangat pendidikan emansipatif seperti yang Tan Malaka tiba di Jawa dalam semangat dipraktikkan oleh Tan Malaka. Oleh karenanya, pergerakan yang bergeliat dengan gencarnya media vernakular dan sekolah rakyat berperan persebaran media vernakular dan sekolah rakyat penting dalam membentuk ‘rangkai-deskripsi’ sebagai bentuk pelembagaan produksi pengetahuan proyek pembebasan melalui produksi pengetahuan bagi yang-terjajah. Dia terlibat secara dekat dengan yang menyediakan seperangkat artikulasi linguistik kedua arena tersebut. Tan Malaka mulai membuka sebagai senjata untuk menentang pemegang Sekolah SI pada 21 Juni 1921. Pergerakan ini kebenaran, yakni pemerintah kolonial. Inilah yang tumbuh cukup cepat dan berbagai kelompok mulai menjadi penanda dan latar penting bagi akrab dengan model sekolah Tan Malaka (Poeze, perkembangan pemikiran Tan Malaka. Di periode 1988:174). Sebagai bagian dari propaganda, Tan selanjutnya, dia mengembangkannya ke arah juga menulis artikel tentang sekolah yang pendekatan ilmiah (saintifik) melalui metode dikelolanya, misalnya tulisan berseri bertajuk materialisme dialektis yang akan dielaborasi di Semarang dan Onderwijs yang dipublikasikan oleh bagian berikut ini. Soeara Rakjat berurutan pada Oktober dan November 1921 (Poeze, 1988:190). Di dalam terbitan tersebut, Tan menjelaskan bahwa karakter D.3 Soal Kontradiksi: Materialisme Dialektis sekolah yang ideal adalah arena belajar yang Sebagai Metode emansipatif dan mendorong orang untuk berpikir ke arah kemerdekaan berpikir (Malaka [1921], Analisis materialis Tan Malaka muncul kali pertama 1987:4). di dalam brosur Naar de Republiek Indonesia yang

Di hadapan kondisi absennya institusi ditulisnya di Canton pada 1924. Dia mengkritisi Budi pengetahuan yang solid, media vernakular dan Utomo dan National Indische Partij (NIP) karena

179

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto tidak memiliki kecakapan analisis struktural keretapun belum pernah’ (Malaka, 2015:39-40). masyarakat kolonial. Baginya, kesalahan dalam Inilah yang menjadi dasar baginya untuk menolak memahami kondisi sosio-ekonomi membuat konfrontasi-langsung PKI pada pemerintah kolonial program-program organisasi hanya terlihat di tahun 1926-1927. Dalam pandangannya, layaknya daftar belanja yang tidak bermakna politis. kekuatan proletar belumlah merata, olehnya Kritik ini juga disampaikan dalam dua buku yang pergerakan tidak akan sanggup mencapai dampak ditulisnya, yakni Aksi Massa (1926) dan Semangat yang meluas (Malaka, 2015:117). Baginya, tugas PKI Moeda (1926). Dalam ketiga buku tersebut, dia adalah menyiapkan basis perjuangan yang strategis berpendapat bahwa perjuangan pembebasan dengan mengorganisasi buruh secara efektif. bangsa dari kolonialisme harus menggunakan Meskipun dalam Naar De Republiek prinsip-prinsip analitik yang berbasis pada Indonesia (1924), Aksi Massa (1926), dan kontradiksi. Materialisme dialektis, baginya, adalah Semangart Muda (1926), Tan Malaka telah perkakas pikir yang cukup efektif digunakan untuk menyinggung materialisme dialektis, intensi yang membongkar kontradiksi utama realitas kolonial. terlihat dalam elaborasinya adalah pengaplikasian Tan memahami materialisme dialektis metode tersebut dalam kerangka praktik untuk sebagai ‘perjuangan kelas yang akan mengubah menyusun program partai. Dimensi saintifik esensi peradaban menuju masyarakat kapitalis, materialisme dialektis baru muncul dalam tulisan- yang pada kelanjutannya akan membawa bentuk- tulisan Tan Malaka setelah tahun 1942, paska bentuk kehidupan tinggi, yakni komunisme’ (Malaka kembalinya ke Indonesia. [1924] [1926], 1987:28). Dalam pandangan Tan Elaborasi materialisme dialektis secara Malaka, Partai Komunis Indonesia harus fokus pada sistematis dituangkannya dalam Madilog, karya perjuangan kelas yang terpusat pada pertentangan magnum opus yang ditulisnya selama bekerja antara kolonial dengan masyarakat terjajah, yang sebagai mandor buruh tambang di Banten. Tujuan ‘jika berhasil, liberasi Indonesia akan Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) dalam termaterialisasi’ (Malaka [1926], 1987:39, pengantarnya adalah untuk ‘menyediakan metode 2015:32). Tantangan utama atas perjuangan ini, berpikir bagi bangsa terjajah’ (Malaka, 1942:19). bagi Tan, adalah ‘distribusi’ perkembangan Menurut Tan Malaka, metode berpikir baru kapitalisme di Hindia Belanda yang tidak merata. diperlukan oleh karena ‘Bangsa Indonesia, dalam Kondisi ini menciptakan perbedaan basis material, masa-masa kitab, masih terbelenggu kegelapan dan yang membentuk ‘ketimpangan’ kesadaran, seperti diselimuti kepercayaan mistika, logika akan menjadi yang diungkapkannya bahwa ‘perbedaan taraf barang baru yang seharusnya diterima dan kemajuan industri memiliki efek pada kualitas diajarkan secara bersamaan dengan ide dialektika manusia yang berbeda pula… kesadaran petani di dan materialisme (Malaka, 1942:17). Dalam semesta Jawa yang dikelilingi pabrik gula berbeda dengan materialis Tan Malaka, ‘cara berpikir saintifik pemetik Sagu di Ternate yang mendengar peluit menjadi penting karena mengedepankan observasi

180

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto empiris dalam pembuktian hipotesis’ (Malaka, E. Tan Malaka, Kontradiksi, dan Ilmu Sosial Indonesia 1942:58). E.1 Periode Paska Kemerdekaan dan Orde Lama Tan Malaka melihat kontinuitas antara prosedur ilmiah dan cara pandang materialis sebagai jalan Arena politik pertama Tan Malaka untuk menuju perubahan alih-alih menggunakan mempraktikkan materialisme dialektis paska perspektif idealis dalam usaha pembebasan. Sebagai kepulangannya ke tanah air adalah masa-masa ilustrasi, Tan menggunakan Revolusi 1917 untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda di memperlihatkan strategi berpikirnya: ‘Lenin, tahun 1945-1948. Periode ini ditandai oleh tensi sebelum Oktober 1917, setelah mendalami politik antara grup diplomasi, yang menghendaki materialisme dialektis dan mempertimbangkan negosiasi dengan Belanda; dan grup perjuangan kontradiksi kelas mengajak pengikutnya untuk yang menolak kompromi dan bersikeras menentang kekuasaan dengan dasar berikut ini: mewujudkan merdeka 100%. Tan Malaka berada di kelompok kedua sebagai salah satu pemimpin (1) Secara ekonomi dan politik, atmosfer Russia kelompok oposisi Persatuan Perdjuangan (PP). Dia memenuhi prasyarat revolusi mengkritisi penandatanganan Perjanjian (2) Tubuh partai terorganisasi dengan baik, Linggadjati dan Renville yang menandai (3) Seluruh rakyat Russia telah menjadi bagian ‘kembalinya mahkota kerajaan Belanda bersamaan Partai Komunis dengan arus modal asing’ (Malaka, 2000:124). (4) Musuh di dalam dan di luar Russia terpecah Baginya, kemerdekaan Indonesia yang telah belah. Lenin menyusun dasar-dasar yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945 harus tepat dan layak, sebagai hasil, dipertahankan tanpa sedikitpun gesture kompromi eksperimennya sukses. atau negosiasi. Pandangannya berdasarkan pada Dengan ini, teorinya terbukti benar (Malaka, kontradiksi-utama antara Belanda-sekutu dengan 1942:115, 138). bangsa Indonesia yang perlu dijaga agar pembebasan secara utuh dapat terwujud. Metode materialisme dialektis kemudian menjadi latar sentral pemikiran Tan Malaka, Dalam terma yang lebih praxis, Tan Malaka terutama pada gaya gagasan sintetisnya yang membayangkan terciptanya front nasional yang mengedepankan aspek kontradiksi kelas alih-alih melampaui identitas politik di luar register kelas, sentimen adversarial, Tan memahami pertentangan sehingga dapat memusatkan sumber daya pada satu sebagai metode untuk mengurai fenomena gerakan politik besar. Persatuan Perdjuangan kompleks yang melibatkan silang sengketa relasi adalah kendaraan baginya untuk memutar roda kuasa. Baginya, proyek pembebasan perlu didasari front nasional tersebut. Dalam pidatonya pada oleh realitas material agar tidak terkecoh oleh kongres pertama PP di Purwokerto 1946, Tan perjuangan-perjuangan identitas yang semu. menegaskan bahwa ‘PP bukanlah perjuangan parlementer atau kursi pemerintahan, melainkan

181

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto perjuangan bangsa untuk mencapai Indonesia yang violence) penguasa, yang membawa PP pada akhir merdeka 100%’ (Malaka, 1946). Kepemimpinannya pergerakannya. Di lain sisi, metode materialisme di PP berhasil menggaet dukungan 132 organisasi dialektis Tan Malaka yang fokus pada kontradiksi- nasional dari berbagai kalangan baik partai politik, utama dibaca dari sudut pandang yang sangat front agama, dan sayap militer (Malaka, 2000:187). praktikal, bukan ditaruh sebagai strategi berpikir Meskipun demikian, PP tidak bertahan lama setelah dan cara melihat arah sejarah. Sebagai hasilnya, para pemimpinnya ditangkap oleh Aboe Bakar revelansi dari hubungan antagonistik tertutup oleh Loebis dengan perintah dari pemimpin besar friksi-friksi ideologi politik yang sibuk pada revolusi. Pada Maret 1946, Tan Malaka, Abikusno kemenangan kelompok diplomasi. Tjokrosujoso, dan Yamin dipenjarakan dengan Dalam perkembangannya, di tubuh PKI tuduhan ‘opposisi-ilegal’ (Anderson, 1972:326; sendiri, Tan Malaka dieksklusi secara pemikiran dan Poeze, 2008:313-316; lihat juga Malaka, 2000:120). personal. Aidit menganggap Tan Malaka sebagai Peristiwa Madiun 1948 menjadikan situasi – tokoh yang berkhianat pada keputusan partai di yang terlampau tegang di antara front yang plural – tahun 1926-1927. dalam kuliahnya tentang semakin berantakan. Tan Malaka, yang pada materialisme dialektis dan historis di Aliarcham akhirnya dibebaskan pada September 1948 dan Akademi pada 3 Juni 1964 hanya menyinggung membentuk Partai Murba sebagai kendaraan Madilog tanpa mengelaborasinya lebih lanjut (Njoto, politiknya, dibunuh oleh Letnan Soekotjo pada 19 1964:4). Njoto beranggapan bahwa ‘Banyak anggota Februari 1949 (Poeze, 2008:321). PKI yang memahami marxisme secara tidak menyeluruh, Tan Malaka adalah salah satunya yang Crawford (2018:39) dalam refleksi kritisnya mengkombinasikan materialisme dialektis dan terhadap Tan berkesimpulan bahwa ‘meskipun Tan historis dengan Agama’ (Njoto, 1964:4-5). Sentimen mengklaim bahwa marxisme memberikan sejarah sepertinya mengarahkan ‘wajah’ Tan Malaka pendekatan fleksibel terhadap politik, di mana sebagai tokoh problematis yang ‘mengganggu’ strategi dapat diterapkan pada kondisi tertentu tubuh kekuasaan. Pengakuan akan kontribusi Tan dengan ketetapan saintifik, metode marxis Tan Malaka pada jalannya sejarah republik baru Malaka terbukti membawanya pada kondisi terwujud ketika pada tahun 1963 Soekarno terdesak, di penjara, dan jauh dari kekuasaan.’ mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Menurut Crawford, hal ini dikarenakan pandangan Meskipun demikian, pemikirannya tetap belum Tan Malaka tidak berubah sejak tahun 1920an. terbahas, terlebih di arena ilmu sosial Indonesia. Dirinya hanya fokus pada kontradiksi Belanda dan Bangsa Indonesia tanpa menyadari perubahan Paska kemerdekaan, ilmu sosial Indonesia lanskap politik pada pergerakan nasionalis masih dalam proses membangun. White (2005:114) (Crawford, 2018:38-39). Berbeda dengan Crawford, berpendapat bahwa tradisi debat teoretis belum penulis berpendapat bahwa kekalahan Tan lebih terbangun secara solid. Di periode 1950’an, ilmuan dikarenakan oleh penggunaan ‘kekerasan’ (coersive sosial dari Indonesia tidak mencapai jumlah yang

182

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto signifikan. Di samping itu, secara sumber daya ilmu yang mempromosikan pandangan kontradiktif tidak sosial Indonesia masih bergantung pada kerangka mendapat tempat. Kondisi republik yang sedang teoretis barat. Kondisi inilah yang membentuk dalam proses integrasi untuk mengkonsolidasi tekstur ilmu sosial Indonesia pasca kemerdekaan. kepentingan plural membutuhkan legitimasi pengetahuan yang mendukung fantasi tersebut. Koentjaraningrat (1987:220) merekam Tjondronegoro (1994:59-78) berpendapat bahwa bahwa di lingkungan ilmu politik, George Mc.T Kahin ‘dalam payung wacana developmentalisme dari Cornell University memimpin Modern pendekatan marxis lebih berfungsi sebagai gerakan Indonesia Project yang fokus pada kegiatan politik alih-alih dipahami sebagai metode saintifik.’ pendokumentasian revolusi Indonesia, 1945-1949. Selain itu, projek tersebut juga memberikan studi Melihat konteks Indonesia paska anthropologis yang dipimpin oleh R. Textor dan D.E kemerdekaan, materialisme dialektis Tan Malaka Willmott tentang community development dan studi hanya beredar di masa-masa keterlibatannya dalam komunitas tionghoa di Semarang (Koentjaraningrat, revolusi mempertahankan kemerdekaan. Gabungan 1987:220). Di samping kajian secara kerangka antara ketegangan politik yang intens dan fantasi teoretis, ilmu sosial Indonesia paska kemerdekaan untuk mengintegrasikan Indonesia membuat bergantung pada donor internasional. Pada pemikiran Tan Malaka berada di tepian dan pertengahan tahun 1950an beberapa universitas di dianggap tidak dapat mendukung arah Jakarta, , dan menerima hibah pembangunan negara. Kecenderungan ini semakin buku soal pembangunan ekonomi pertanian dari tegas ketika Indonesia memasuki babak sejarah Council on Economic and Cultural Affairs (CECA), orde baru yang otoriter dan membunuh pemikiran sebuah organisasi filantropis yang dibentuk oleh gerakan kiri dengan melabelinya sebagai register John D. Rockefeller III di tahun 1953 (Rockefeller antagonis dari Pancasila. Archive Centre (RAC), 1955:286). Program yang demikian dikelola dalam kerangka diskursus menuju pembangunan ekonomi Indonesia. Menurut E.2. Periode Orde Baru

Koentjaraningrat (1987:220), selain donor Peristiwa 1965 menandai kemenangan internasional, peranan penting pengarustumaan developmentalisme dan bermulanya kekuasaan studi pembangunan salah satunya dimulai oleh rezim militer. Selama masa transisi, komunisme Benjamin Higgins yang memimpin proyek penelitian secara resmi dilarang melalui TAP MPRS No.27 bersama Centre of International Studies of 1966, yang menyebutkan bahwa ‘ajaran Massachusetts Institute of Technology (MIT). komunisme/marxisme-leninisme secara essensial

Di hadapan kerangka struktural fungsional bertentangan dengan Pancasila… setiap aktivitas di studi pembangunan yang lebih mengutamakan Indonesia yang bertendensi menyebarkan dan kerangka pemikiran ‘harmoni’ dan fungsi sistemik mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme- dari masyarakat, materialisme dialektis Tan Malaka Leninisme dalam berbagai bentuk dan

183

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto manifestasinya, termasuk penggunaan media-media dan berakhir pada 1994 (Visser dan Nordholt, untuk kepentingan sirkulasi atas ide yang 1995:6). Implikasi dari rencana ini adalah masuknya bersangkutan resmi dilarang.’ modal asing. Dalam konteks ini, ilmu sosial dikerangkai sebagai instrumen untuk melegetimasi Berangkat dari momentum tersebut, Rezim tujuan tersebut. Secara umum, ilmuan sosial Orde Baru menjalankan roda pemerintahan dengan dikerahkan secara menyeluruh untuk mendukung menggunakan pancasila sebagai ideology nasional agenda nasional. Sebagai contoh, pada salah satu untuk melegetimasi agenda pembangunan. Dalam kesempatan Suharto meminta Asosiasi Ekonom merawat implementasi ‘ideologi negara’ tersebut, Indonesia untuk menyusun cetak biru demokrasi Orde Baru menggunakan cara-cara represif ekonomi yang konsisten dengan arah implementasi sekaligus instrument diskursif melalui pendidikan. pancasila (Hadiz & Dhakidae, 2005:8). Di samping Pada praktiknya, metode represif dan ‘kekerasan’ itu, kebijakan pembangunan Orde Baru juga diinstitusionalisasikan dalam setiap lembaga- melibatkan pendekatan kekerasan dalam kerangka lembaga baik pemerintahan maupun sipil, termasuk kapitalisme seperti perebutan paksa tanah rakyat, lingkungan perguruan tinggi dan institusi lain di pengusiran besar-besaran pemukiman warga, dan mana pengetahuan diproduksi. Sebagai eksploitasi lahan untuk pertambangan (Hadiz, konsekuensinya, pendekatan marxisme dan 2015:106-135). Kritik intelektual terhadap pendekatan kiri lainnya kurang berkembang oleh kekerasan rezim dianggap sebagai ‘penghambat karena cap ideologi terlarang. pembangunan’ dan untuk itu perlu ditindak tegas Untuk memastikan ideologi komunis karena tidak sejalan dengan ideologi negara. tersapu dari diskursus publik dan Pancasila Ignas Kleden berpendapat bahwa ‘Sebagai diterima sebagai perspektif ideal untuk memandang upaya melayani kepentingan negara, ilmu sosial di dunia, Rezim Orde Baru menginisiasi ideological era Orde Baru hanya disikapi dalam kerangka engineering bernama Penataran P4 (Penataran instrumental alih-alih critical’ (Kleden, 1995:23). Pedoman dan Penghayatan Pancasila), yang Menurut Kleden, jenis praktik keilmuan yang berlangsung selama 1978-1998. Kursus tersebut demikian ditujukan semata-mata sebagai jalan mengandung tiga materi utama, yang untuk mendapatkan informasi yang sebanyak- menggarisbawahi keterkaitan antara pancasila dan banyaknya demi generalisasi yang ‘dominatif’ agenda pembangunan (developmentalism) (Morfit, (Kleden, 1995,1998). Dengan demikian, baginya, 1981:845). Kepentingan utama dari Orde Baru ilmu sosial mengalami politisasi oleh rezim Orde adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan Baru sesuai dengan kepentingannya. Olehnya, mendorong pembangunan negara yang ilmuan sosial di zaman Orde Baru cenderung dianggapnya ‘tidak-berkembang’ pada era melayani agenda nasional alih-alih mengkritisi pemerintahan Soekarno. praktiknya (Kleden, 1997:21). Rezim Orde Baru kemudian menyusun rencana pembangunan lima tahun sejak tahun 1969 184

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

Aditjondro memiliki pandangan yang Seolah-olah mengkritik kondisi otoriter, Alfian berbeda, baginya Kleden justru terjebak generalisasi bertanya dengan sinis ‘Apa yang Tan Malaka akan ala Orde Baru dalam memindai karakter ilmuan katakan hari ini? Apakah dia berkata bahwa revolusi sosial di Indonesia. Menurut Aditjondro, spektrum sedang berlangsung?’ (Alfian, 1977:65-67). ilmuan sosial Indonesia dapat dikategorikan dengan Daniel Dhakidae berpendapat bahwa Alfian mengunakan taksonomi Gramscian di mana organic membangkitkan kembali pemikir Indonesia yang dan traditional intellectuals membentuk lanskap dibunuh tiga kali, yakni oleh pemerintahan produksi pengetahuan (Aditjondro, 1995:37). Soekarno, oleh Aidit, dan terakhir oleh Orde Baru Baginya, Adnan Buyung Nasution, Arnold Clement, (Dhakidae, 2000:476). Di samping itu, Alfian juga dan Arif Budiman kala itu adalah organic intellectual membahas konsep central pemikiran Tan Malaka, yang melakukan aktivitas politik mengkritik rezim yakni materialisme dialektis yang diletakannya secara praxis maupun keilmuan. Di masa Orde baru, dalam konteks revolusi-yang-tertunda. Menurut Materialisme Dialektis Tan Malaka – dalam hal ini – Dhakidae (2000:477), ‘membawa Tan Malaka dalam dibahas oleh dan di dalam ranah yang digeluti oleh konteks represif merupakan pengingat bahwa cita- intelektual organik. cita revolusi menyeluruh harus dirawat baik di Bahasan materialisme dialektis Tan Malaka dalam gelanggang politik maupun pengetahuan.’ muncul kembali di tahun 1977 oleh Alfian yang Usaha untuk membawa pemikiran Tan artikelnya dipublikasikan oleh Prisma edisi khusus Malaka ke permukaan juga muncul di tahun 1987 di mana di dalamnya terdapat elaborasi pemikiran ketika Yayasan Massa mencetak ulang Parlemen Sjahrir, , Kahar Muzakar, Amir Sjarifudin atau Soviet. Di buku tersebut, W. Suwarto, salah satu dan tokoh nasional lainnya. Selain tetap terjebak pemimpin Partai Murba memberikan kata dalam wajah usang soal Tan Malaka yang pengantar yang cukup komprehensif dan ‘revolusioner’, Alfian juga membahas pemikiran Tan menyinggung perjalanan hidup serta intelektual Tan Malaka, termasuk materialisme dialektisnya. Malaka. Baginya, ‘dalam usaha menemukan jalan Alfian memahami materialisme dialektis alternatif untuk melanjutkan semangat Tan Malaka sebagai ‘cara berpikir yang realistis, pembebasan, karya-karya Tan Malaka layak pragmatis, dan fleksibel… untuk menyingkirkan dipertimbangkan sebagai perkakas untuk berpikir logika mistika menuju metode saintifik dalam ulang tentang situasi nasional dan internasional rangka meraih pembebasan’ (Alfian, 1977:62). Ada (Suwarto, 1987:11). Suwarto mengakhiri diskusinya poin yang sedikit luput dari pemahaman Alfian akan dengan menekankan bahwa ‘cara berpikir yang ‘materialisme’ di mana ia terjebak dalam jargon bertemu dengan prinsip, norma, dan nilai prosedur ‘pragmatisme’ yang sebenarnya berlainan dengan saintifik sangat dibutuhkan oleh pemimpin dan hubungan antara basis material dengan proyek pemikir Indonesia, yang memiliki kemampuan serta pembebasan. Meskipun demikian, terdapat satu komitmen untuk menerapkan cara berpikir berbasis poin menarik yang dielaborasinya di akhir tulisan. pengetahuan’ (Suwarto, 1987:11).

185

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

Dalam merefleksikan karya Tan Malaka, kritik Abu Jihan di Panji Masyarakat Suwarto cenderung menyoroti elemen pragmatis memperlihatkan pola bahwa di hadapan rezim dari pemikiran saintifiknya, sedangkan Alfian lebih represif, karya Tan Malaka tetap dibahas meskipun fokus pada ide revolusi yang berdasar pada metode harus melalui platform sidestream. Kedua adalah materialisme dialektis. Pembahasan Suwarto dan fakta bahwa materialisme dialektis Tan Malaka Alfian menunjukkan satu tahapan bahwa gagasan terus bergerak mengikuti arah sejarah baik untuk Tan Malaka kembali diperbaharui dan diapresiasi maupun dikritisi. Ketiga, ide Tan Malaka dikontekstualisasikan dalam kondisi sosial-politik secara umum, dan materialisme dialektisnya secara yang berbeda dari konteks kemunculannya. khusus dapat dikontekstualisasikan ke dalam situasi Meskipun demikian, di lain sisi, materialisme sosial-politik yang berbeda. Konsisten dengan dialektis Tan Malaka juga dikritisi di dalam sebuah pandangan Bikhu dan Berkhi (1973) bahwa gagasan artikel yang ditulis oleh Abu Jihan di Panji dapat melintas trans-kontekstual jika sampai pada Masyarakat bertahun 1984. Di terbitan tersebut, level abstrak. Hal ini terlihat dari ketiga ilustrasi materialisme dialektis Tan Malaka dikritisi oleh Alfian (1977), Abu Jihan (1984), dan Suwarto (1987) karena pengandaian Tan bahwa tiada kekuatan yang cenderung fokus pada tujuan-tujuan dan ide- pendorong lain di luar reaksi negatif dari dua atau ide umum emansipatif alih-alih lebih kekuatan yang membentuk sintesis. Bagi Abu menginterpretasikannya dalam kerangka Jihan, ‘Tan Malaka hanya melihat sejarah hanya partikular. sebagai relasi antara dua kekuatan utama… Ia mengabaikan hati nurani yang juga menggerakan manusia; inilah area khusus yang tidak dapat F. Kesimpulan: Refleksi atas Materialisme Dialektis Tan Malaka Hari Ini dijamah Tan, terutama di Madilog (Abu Jihan, Periode reformasi menandai babak baru 1984:n.p). Dalam kritiknya, Abu Jihan cenderung sejarah Indonesia, di mana ekpresi publik relatif fokus pada – apa yang dimaksud Tan – sebagai terakomodasi. Meskipun demikian, TAP MPRS No.27 dimensi ide, di mana basis material tidak dihitung 1966 masih berlaku dan justru ditetapkan sebagai penggerak utama jalannya sejarah; sesuatu mengandung relevansi yang kontekstual pada tahun yang bagi Tan justru berkekuatan lebih besar 2003 melalui TAP MPR NO.1/2003. Klausul tersebut dibandingkan ide-ide abstrak soal kemanusiaan. kemudian menjadi basis legal untuk terus merawat Ketiga pembahasan Tan Malaka di era orde sentiment anti-komunisme tanpa baru tersebut setidaknya mengandung tiga poin mempertimbangkan kandungan saintifik yang ada penting. Pertama, gagasan Tan Malaka dibahas dalam struktur pembentuk wacananya. Di ruang melalui platform yang relatif alternatif oleh karena publik, Tan Malaka lebih dikenal sebagai pahlawan pelarangan ajaran komunis. Karya Alfian diterbitkan nasional yang komunis dan musuh kelompok- oleh Prisma; kata pengantar oleh Suwarto kelompok religius. dipublikasikan tidak melalui penerbit besar; dan

186

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

Di lain sisi, arus utama ilmu sosial Indonesia Daftar Pustaka di era kontemporer justru menunjukkan kelanjutan Aditjondro, George J. 1995. “Implications of a Shift dari wacana pembangunan orde baru. Meskipun ada from “Pro-State” to “Pro- Society” Social beberapa perkembangan signifikan dalam produksi Scientists”, in Leontine Visser and Nico pengetahuan, kecenderungan praktik ilmu sosial Schulte Nordholt (eds), Social Science in masih terjebak melayani kepentingan negara (Hadiz Southeast Asia: From Particularism to & Dhakidae, 2005:22-23). Nugroho (2005:160-161) Universalism, CASA Comparative Asian dalam penelitiannya tentang perguruan tinggi di Studies, Amsterdam: VU University Press: Indonesia menemukan bahwa institusi pendidikan 35-42. tinggi dan lembaga penelitian dituntut untuk mendatangkan sumber daya dalam konteks Aidit, Dipa Nusantara. 1995. Djalan ke Demokrasi neoliberal, yang mengandaikan program-program Rakjat bagi Indonesia: Pidato sebagai ‘ramah pasar.’ Dalam kondisi yang demikian, laporan Central Comite Kepada Kongres materialisme dialektis Tan Malaka tidak akan Nasional ke-V PKI dalam Bulan Maret 1954, menarik di hadapan pasar-pengetahuan oleh karena Djakarta: Jajasan Pembaruan. sifatnya yang konfliktual, kontradiktif, dan Anderson, Benedict. 1972. Java In a Time of cenderung mengkritisi pembangunan yang Revolution: Occupation and Resistance, 1994- didukung oleh pemikiran neoliberal di mana pasar 1946, Ithaca and London: Cornell University menjadi roda utama yang menggerakan mesin Press. pertumbuhan. Di lain sisi, Indonesia sedang berada Alfian. 1977. “Tan Malaka: Pejuang Revolusioner pada kondisi antagonisme yang lebih berdasar pada Yang Kesepian”. Prisma, Vol. 8 (August): 57- politik identitas alih-alih kondisi senjang yang 76. berbasis formasi material. Dalam hal ini, materialisme dialektis Tan Malaka dapat menjadi Crawford, Oliver. 2018. The Political Thought of Tan pintu masuk untuk mengembalikan cara membaca Malaka. Cambridge: Cambridge University. realitas berdasarkan basis material; sehingga usaha- Grosfoguel, Ramon. 2011. “Decolonizing Post- usaha menuju pembebasan tidak terjebak pada Colonial Studies and Paradigms of Political- perjuangan identitas yang semu dan Economy.” Transmodernity: Decolonial mempromosikan hubungan adversarial alih-alih Thinking, and Global Coloniality. antagonisme politik. Hadiz, Vedi. 2015. “Capitalism, Primitive

Accumulation and the 1960’s Massacres: Revisiting the New Order and its Violent Genesis”. Inter-Asia Cultural Studies, Vol.16

(2): 306-135.

187

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

Hadiz, Vedi and Daniel Dhakidae. 2005. Malaka, Tan, 1987 (1922). Parlemen atau Soviet. “Introduction”, in Vedi Hadiz and Daniel Jakarta: Yayasan Massa. Dhakidae (Eds), Social Science and Power in Malaka, Tan. 1987 (1925). Naar de ‘Republiek Indonesia. Jakarta: Equinox and Pasir Indonesia’ (Menuju Republiek Indonesia). Panjang: Institute of Southeast Asia Studies: Jakarta: Yayasan Massa. 1-30. Malaka, Tan. 2015 (1926). Semangat Muda. Jarvis, Helen. 1991. “Introduction”, in Tan Malaka, Bandung: Sega Arsy. From Jail to Jail, Vol. 1. Ohio: Ohio Center for International Studies. Malaka, Tan. 2000 (1926). Aksi Massa. Jakarta: TePLOK Press. Jihan, Abu. 1984. ‘Tan Malaka dan Semut”. Panji Masyarakat. Malaka, Tan. 2014. Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Yogyakarta: Penerbit Kahin, George Mc.Turnan. 1952. Nationalism and Narasi. Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell, University Press. Morfit, Michael. 1981. “Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order Karsono, Sony. 2013. Indonesia’s New Order, 1966- Government”. Asian Survey, Vol. 21 (8): 838- 1998: Its Social and Intellectual Origins. Ph.D 851. Dissertation. Ohio: Ohio University Press. McVey, Ruth T. 1965. The Rise of Indonesian Kleden, Ignas. 1995. “Social Science in Indonesia: Communism. Ithaca: Cornel University Press. Action and Reflection in the Southeast Asian Perspective”, in Leontine Visser and Nico Mrazek, Rudolf. 1972. ‘Tan Malaka: A Political Schulte Nordholt (Eds), Social Science in Personality’s Structure of Experience”. Southeast Asia: From Particularism to Indonesia, Vol.14: 1-48.

Universalism. CASA Comparative Asian Mrazek, Rudolf. 1994. Sjahrir: Politics and Exile in Studies, Amsterdam: VU University Press: 9- Indonesia. Ithaca: Southeast Asia Program, 34. Cornell University.

Kleden, Ignas. 1998. Sikap Ilmiah dan Kritik Njoto. 1965. Strive for the Victory of the Indonesian Kebudayaan. Jakarta: LP3ES. Revolution with the Weapon of Dialectical

Koentjaraningrat. 1987. “Anthropology in and Historical Materialism: A Speech at the Indonesia”. Journal of Southeast Asian Aliarcham Academy of Social Science on June Studies, Vol.18 (2): 217-234. 3, 1964. Peking: Foreign Language Press.

Malaka, Tan. 1987 (1921). Semarang dan Onderwijs. Nugroho, Heru. 2005. ‘The Political Economy of Jakarta: Yayasan Massa. Higher Educations: the University as an Arena for the Struggle of Power”, in Vedi 188

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

Hadiz and Daniel Dhakidae (Eds), Social atmosphere from 1921 to 1922]. Sinar Hindia, Science and Power in Indonesia. Jakarta: n.pag. Equinox and Pasir Panjang: Institute of Subijanto, Riane. 2017. “Enlightenment and the Southeast Asia Studies: 143-166. Revolutionary Press in Colonial Indonesia”, Parekh, Bhikhu and R.N Berki. 1973. “The History of International Journal of Communication, Vol Political Ideas: A Critique of Q. Skinner”. 11(1): 1357-1377. Journal of History of Ideas, Vol.34, (6): 163- Suseno, Franz Magnis. 2003. Dalam Bayang-Bayang 184. Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Penders, Christian L.M. 1968. Colonial Education Sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia Policy and Practice in Indonesia, Ph.D Pustaka Utama. Dissertation, Canberra: Australian National Tjondronegoro. 1995. “Indonesia’s Social Science University. Agenda: A Personal View”, in Leontine Visser Poeze, Harry A. 1988. Tan Malaka: Pergulatan and Nico Schulte Nordholt (Eds), Social Menuju Republik I. Jakarta: Pustaka Utama Science in Southeast Asia: From Particularism Graffiti. to Universalism. CASA Comparative Asian Studies 17, Amsterdam: VU University Press: Poeze, Harry A. 2008. Tan Malaka. Gerakan Kiri, dan 59-78. Revolusi Indonesia Jilid 1-4 (trans. Hersri Setiawan). Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor. Visser, Leontine and Nico Schulte Nordholt. 1995. “Science, State, and Society: The Case of Salverda, Reinier. 2004. “Image and Counterimage Southeast Asia”, in Leontine Visser and Nico of the Colonial Past”, in Douwe Fokkema & Schulte Nordholt (Eds), Social Science in Frans Grijzenhout (Eds), Dutch Culture in a Southeast Asia: From Particularism to European Perspective: 1650-2000 Accounting Universalism. CASA Comparative Asian for the Past. New York: Palgrave Macmillan. Studies, Amsterdam: VU University Press: 1- Shiraishi, Takashi. 1990. An Age in Motion: Popular 8. Radicalism in Java 1912-1926. Ithaca: Cornell White, Ben. 2005. “Between Apologia and Critical University Press. Discourse: Agrarian Transition and Skinner, Quentin. 1969. “Meaning and Scholarly Engagement in Indonesia”, in Vedi Understanding in The History of Ideas” in Hadiz and Dhaniel Dhakidae (Eds), Social Quentin Skinner, History and Theory Vol.8 Science and Power in Indonesia. Jakarta: (1): 3-53. Equinox Publishing and Pasir Panjang:

Soekin.1922 (January 2). Pergantian Hawa dari Institute of Southeast Asia Studies: 107-142. Tahoen 1921 ke 1922 [The change of

189

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 6 No.2 2019 Melacak Materialisme Dialektis Tan Malaka dalam Sejarah Ilmu Sosial Indonesia Gregorius Ragil Wibawanto

Yamin, Muhammad. 1946. Tan Malaka: Bapak Republik Indonesia. Moerba Berdjoeang: Djawa Timur.

Sumber Lain:

TAP MPRS [Provisional People’s Deliberative Assembly Decree] NO.XXV/1996.

TAP MPR [People’s Deliberative Assembly Decree] No.I/2003.

190