KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM RITUAL AGAMA BUDDHA
(Studi Atas Budaya Tionghoa Dalam Tradisi Keagamaan Buddha di Vihara Maitreyawira)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh: Elva Nuzuliah NIM : 11140321000044
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M
ii
iii
iv
ABSTRAK
Di Tiongkok agama Buddha, Tao dan Konfusianisme saling berhubungan, hanya saja Tao dan Konfusianisme sulit dipisahkan karena kedua ajaran itu lahir di dalam wilayah yang sama, sementara Buddhisme mungkin bisa saja dipisahkan karena agama Buddha ini bukan lahir di Tiongkok melainkan berasal dari India. Ajaran Buddha masuk ke Tiongkok karena dibawa oleh para pedagang Cina yang pulang dari India. Meskipun Buddha tidak berasal dari Tiongkok namun ketiga ajaran tersebut saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Karena terjadi asimilasi ada beberapa kebudayaan Tionghoa yang dilakukan dalam agama Buddha, salah satunya di Vihara Maitreyawira. Kebudayaan tersebut tidak terlepas dari tradisi Tionghoa yang masih dilakukan secara turun temurun. Beberapa tradisi Tionghoa yang sangat berpengaruh bagi umat Buddha di Vihara Maitreyawira yaitu Bhakti puja, Dupa, memperingati hari raya Imlek, Cheng Beng. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini ialah metode penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi dan dokumentasi, sementara metode pendekatan yang digunakan ialah pendekatan antropologi untuk mencari kebudayaan apa saja yang masih digunakan di Vihara Maitreyawira dan pendekatan historis yang digunakan untuk mendeskripsikan sejarah agama Buddha di Vihara Maiteyawira.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil„alamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat, taufiq dan hidayah-Nya begitupun hingga skripsi ini berjudul “Kebudayaan Tionghoa Dalam Ritual Agama Buddha (Studi Atas
Budaya China Dalam Tradisi Agama Buddha di Vihara Maitreyawira),” dapat terselesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW semoga setiap dari kita kelak mendapat syafaat darinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna dan tidak akan dapat terselesaikan tanpa ada dukungan dari banyak pihak baik secara materil maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada yang terhormat:
1. Allah SWT, yang telah melancarkan segala urusan saya baik mulai dari awal
kuliah hingga mengerjakan skripsi tanpa kehendak dari yang kuasa skripsi ini
tidak akan mungkin bisa terselesaikan.
2. Prof. Dr. M Ikhsan Tanggok, M.A, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
memberikan arahan, serta kesabaran dan ketelitian dalam membimbing
Penulis. Beliau yang telah banyak meluangkan waktunya, tenaga, fikiran dan
memberikan arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Media Zainul Bahri, MA, selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama
sekaligus Dosen Penasehat Akademik, yang memberikan pelayanan kepada
mahasiswa/i dengan baik.
vi
vii
4. Ibunda Dra. Halimah SM, MA, selaku Sekertaris Jurusan Studi Agama-
agama, yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswa/i dengan baik.
5. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A atas
kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan kepada fakultas Ushuluddin
dan Filsafat
6. Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A, selaku
Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Prof. Dr. M Ikhsan Tanggok, M.A, Selaku Wadek I bidang Administrasi
Fakultas Uhsuluddin. Dr. Bustamin, M.A, selaku Wadek II bidang
Administrasi Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III bidang
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staff Akademik Fakultas
Ushuluddin khusus dengan bang Jamil yang telah membantu dalam informasi
tentang skripsi, para Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan para Staff
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Ayahanda Ir. M.W Budi Utomo, Ibunda tercinta Syaukah S.Ag, kakak Diah
Selviani dan adik A. Syaugi yang telah membuat saya semangat dalam
menjalankan skripsi.
10. Teman-teman terbaik saya yang selalu mensupport dan mendukung dari awal
mula perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi: Studi Agama-agama kelas
(A).
11. Sahabat-sahabat sebagai salah satu sumber keceriaan terampuh bagi penulis:
berdelapan.
viii
12. Nur Shabrina dan Mustika Diani Dewi sebagai teman terbaik yang selalu
memberikan waktunya untuk membantu saya dalam mengerjakan skripsi.
13. Uswatun Hasanah yang telah membantu saya dalam penelitan skripsi dan
memberikan dorongan motivasi saya dalam mengerjakan skripsi.
14. Sahabat-sahabat saya Akew, Riris, Ayu dan Anggi mereka yang selalu
mensuport dan selalu membantu dalam semangat saat mengerjakan skripsi.
15. Teman-teman KKN OKTET 155 yakni: Ulya, Ifa, Aidina, Sinaida, Pratiwi,
Tami, Hera, Wina, Dicki, Fariz, Ibnu, Ikhsan, Ridho, Ade, yang telah
berjuang bersama dalam kuliah kerja nyata UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
16. Teman-teman seperjuangan Studi Agama-agama kelas (B) yang telah
memberikan dukungan hingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, mendapatkan balasan dari Allah SWT. Dan penulis menyadari bahwa skrisp ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua Aamiin.
Jakarta, 25 Oktober 2018
Elva Nuzuliah
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ...... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNASAQOSYAH ...... iv
ABSTRAK ...... v
KATA PENGANTAR ...... vi
DAFTAR ISI ...... ix
BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1
B. Rumusan Masalah ...... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 6
D. Tinjauan Pustaka ...... 7
E. Metode Penelitian...... 9
F. Sistematika Penulisan ...... 14
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN TIONGHOA DI INDONESIA ...... 15 A. Pengertian Tionghoa ...... 15
B. Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Indonesia ...... 17
C. Steoritip Orang Tionghoa ...... 24
D. Ajaran yang Membentuk Golongan Keagamaan ...... 26
BAB III SEJARAH VIHARA MAITREYAWIRA ...... 29 A. Pengertian Vihara dan kegunaannya ...... 29
B. Pengertian Buddha Maitreya ...... 29
C. Letak dan Sejarah Singkat Berdirinya Vihara Maitreyawira Jakarta ...... 33
D. Kegiatan di Vihara Maitreyawira ...... 36
ix
x
E. Aliran dalam Agama Buddha di Vihara Maitreyawira ...... 38
BAB IV PENGARUH TIONGHOA DALAM AGAMA BUDDHA DI VIHARA MAITREYAWIRA ...... 41 A. Pelaksanaan Ritual di Vihara Maitreyawira ...... 41
B. Tradisi Tionghoa Dalam Agama Buddha di Vihara Maitreyawira ...... 46
C. Faktor Penyebab Masyarakat Tionghoa Pindah Agama Buddha ...... 53
D. Makna Simbol Vihara Maitreyawira dalam tradisi Tionghoa...... 55
E. Motivasi beribadah masyarakat di Vihara Maitreya ...... 58
BAB V PENUTUP ...... 62 A. Kesimpulan ...... 62
B. Saran ...... 64
DAFTAR PUSTAKA ...... 66
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 71
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia hidup bermasyarakat dalam berbagai macam budaya, suku,
bahasa, ras dan beraneka ragam adat istiadat. Dengan keanekaragaman suku
ini, Indonesia memiliki keunikan budaya, adat-istiadat, kepercayaan, cerita
sejarah, serta keindahan bentangan alam yang mampu membuat siapa pun
berdecak kagum. Menurut Koentaraningrat kebudayaan sebagai “keseluruhan
dari hasil budi dan karya.” Dengan kata lain kebudayaan adalah keseluruhan
dari apa yang pernah dihasilkan oleh manusia karena pemikiran dan karyanya.
Jadi kebudayaan merupakan produk dari budaya. Sedangkan perwujudan lain
dari kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, dan benda-benda yang bersifat nyata merupakan
kehidupan bermasyarakat untuk membantu manusia.1
Realitas kemajemukan bangsa Indonesia tercermin secara nyata dari
banyaknya etnis seperti etnis Jawa, Sunda, Betawi, Madura, Batak, Banjar,
Dayak, Buton, Bali, Sasak, Maluku, Minang dan lain sebagainya. Menurut
Imam Syafii dalam buku penelitian antropolog Amerika Serikat Hildred
Geertz berjumlah lebih dari 300 etnis. Masing-masing etnis mempunyai
bahasa daerah (Hildred Geertz dalam penelitiannya memperkirakan lebih dari
250 bahasa lokal di pakai di Indonesia), adat istiadat, tradisi, seni dan budaya
sendiri-sendiri dengan identitas khas yang berbeda satu sama lain. Dari segi
agama dan kepercayaan, bangsa Indonesia memperlihatkan juga sosok
1 Widiastuti, “Analisis Swot Keragaman Budaya Indonesia,” Jurnal Ilmiah WIDYA, Vol, 1, No. 1, h. 9.
1
2
kemajemukan yang sangat kaya dan variatif. Agama-agama besar seperti
Islam (dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia), Kristen (Katolik dan
Protestan), Hindu dan Buddha sudah lama eksis di Tanah Air ini dan
mempunyai komunitas penganut masing-masing. Realitas historis sosiologis
ini menunjukkan secara nyata bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang religius. Bahkan Indonesia terdapat Kementerian Agama (Kemenag)
yang salah satu tugas pokoknya adalah menumbuhkembangkan, membina dan
menjaga kerukunan antar umat beragama dan toleransi antarpenganut
kepercayaan.2
Praktik keagamaan dalam setiap upacara-upacara keagaman di
Indonesia disebut ritual keagamaan yang mana berarti serangkaian kegiatan
yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis pada agama atau suatu
kepercayaan. Secara garis besar definisi ritual keagamaan adalah sarana yang
menghubungkan manusia dengan yang keramat, inilah agama dalam praktek
(in action). Ritual bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial
kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk
merayakan peristiwa-peristiwa penting dan yang menyebabkan krisis, seperti
kematian.3 Alexander menekankan bahwa semua ritual, termasuk ritual
keagamaan, didasarkan kepada dunia keseharian manusia.4
Salah satu etnik minoritas di Indonesia namun dapat perhatian lebih
dari pemerintah dan memberikan sumbangsih dalam perekonomian Indonesia
adalah Tionghoa. Tionghoa di Indonesia juga mempunyai hak untuk
2 Ahmad Syafi‟i Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal Di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), Cet Ke-1, h. xiii. 3 William A. Haviland, Antropologi (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 207. 4 Yusron Razak, dkk., Antropologi Agama (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet Ke-1, h. 116.
3
mempercayai agama, walaupun masyarakat di Indonesia mayoritas beragama
Islam namun kebebasan untuk memilih agama sesuai kepercayaan masing-
masing tetap dibolehkan sesuai aturan pemerintah yang telah diresmikan.
Karena sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia menganut agama Tao,
Konghucu dan Buddha. Namun yang apabila ditanya agama apa yang mereka
anut mereka menjawab bahwa mereka masih mempercayai agama nenek
moyang, padahal tertera di dalam KTP mereka beragama Buddha. karena pada
saat itu Khonghucu belum diresmikan mereka menaruh agama Buddha di
dalam KTP. Namun ada juga beberapa tempat ibadah yang menjadi tradisi
etnis Tionghoa untuk berdoa seperti: klenteng-klenteng di Indonesia, sebagian
besar adalah kelenteng yang bercorak Tridharma, dimana ada patung Lao-tze,
Khonghucu dan Buddha menjadi syarat utama dari kelenteng-kelenteng
tersebut. Dalam kelenteng tersebut disediakan juga patung-patung dewa lain,
seperti Kwan Kong (dewa perang, dewa bumi, dan lain-lain) patung ini sering
juga dipuja, dimintai pertolongannya oleh sebagian besar pengunjung
klenteng.
Buddha berasal dari akar kata sanskerta Budh yang mempunyai arti
baik “bangun” ataupun “mengetahui”. Dengan kata lain, kata “Buddha” adalah
“Ia Yang Mengetahui” atau “Ia Yang Bangun”.5 Kata Buddha menunjukkan,
bukan hanya satu guru religius tunggal yang hidup di zaman tertentu, tetapi
satu tipe seorang teladan yang memberikan banyak contoh yang berlaku
sepanjang waktu. Hari Tri suci Waisak adalah peringatan akan Kelahiran,
Pencapaian Kesempurnaan, sekaligus Parinirwana (wafat) dari Buddha
5 M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009) Cet Ke-1, h. 1-2.
4
Sidharta Gautama.. Menurut sudut pandang doktrin Buddhis klasik, kata
Buddha memiliki arti yang lebih luas daripada gelar seorang figur historis.
Bukan hanya seorang guru agama tunggal yang pernah hidup di zaman
tertentu, tetapi satu tipe pribadi seorang teladan yang memberikan banyak
contoh teladan yang berlaku sepanjang waktu.6
Meskipun sebagian besar di antara orang Tionghoa secara resmi
menganut agama Buddha dan ada sebagian kecil menganut agama Katolik,
Kristen yang tertera di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun banyak
di antara mereka yang apabila ditanya agama yang dianut, mereka menyatakan
diri bahwa menganut agama Khonghucu dan Tao. Ada juga di antara mereka
dengan tegas menyatakan bahwa Khonghucu bukanlah agama melainkan
filsafat dan etika kehidupan keluarga. Secara resmi ada diantara mereka yang
menganut agama Buddha, tapi mereka juga menyatakan bahwa mereka masih
menerapkan agama nenek moyangnya seperti Taoisme dan Konfusianisme
dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, seperti melakukan
pemujaan leluhur dan melakukan pemujaan pada dewa-dewa dan roh-roh di
klenteng.7
Beberapa tokoh agama di Indonesia mengatakan bahwa antara
Konfusianisme dan Taoisme sulit untuk dipisahkan, sebab kedua ajaran itu
lahir di dalam wilayah yang sama, dan perbedaan waktu lahir kedua ajaran ini
tidak begitu lama. Kalau Buddhisme menurut mereka, mungkin masih dapat
dipisahkan dari Konfusianisme dan Taoisme, karena Buddhisme tidak lahir di
Tiongkok tapi di India. Ajarannya masuk ke Tiongkok karena dibawa oleh
6 Wahid Winoto, Buddha & PesanNya (Jakarta: Dian Dharma, 2006), h. 2-4. 7 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2006), Cet Ke-1, h. 26.
5
para pedagang Tiongkok yang pulang dari India. Meskipun demikian, dalam
praktik keagamaan orang Tionghoa ketiga ajaran ini saling melengkapi satu
dengan yang lainnya dan selalu digunakan dalam acara-acara tertentu atau
resmi.8
Masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha sembahyang di Vihara.
Vihara adalah tempat dimana keagamaan umat Buddha dilangsungkan.9
Banyak Vihara di Indonesia salah satunya Vihara Maitreya. karena sebagian
besar masyarakat di Vihara Maitreyawira adalah etnis Tionghoa, maka tradisi
yang digunakan dalam Vihara ini tidak terlepas dari kebudayaan Tionghoa
yang masih dilestarikan agar tidak hilang begitu saja. Maitreya berasal dari
bahasa sanskrit „Maitri‟ yang berarti cinta kasih. Maitreya memiliki sumpah
yaitu mengubah dunia yang lama ini menjadi dunia baru, menata dunia
menjadi surga. Tempat hidup kita selama ini dipenuhi kejahatan, pertikaian,
kebencian, ketidakadilan, dan seterusnya.10
Masyarakat yang berdoa dan sembahyang di Vihara Maitreya
mayoritas etnis Tionghoa. Keseharian mereka dalam beribadah tidak lepas
dari budaya Tionghoa, baik dalam ritual keagaamannya maupun hari raya
Tiongkok masih di lakukan di Vihara ini. Pernak pernik yang ada di dalam
Vihara Maitreya juga tidak lepas dari budaya Tionghoa.11 Karena Buddha
berasal dari India seharusnya budaya India masih diterapkan dan di
munculkan namun dalam hal ini berbeda dengan di Indonesia budaya yang
8 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2006), Cet Ke-1, h. 26-27. 9 Miskaningsih, “Makna Simbolis Ornamen Pada Bangunan Utama Vihara Avalokitesvara Di Kawasan Banten Lama”, skripsi (Yogyakarta: Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri, 2017), h. 18. 10 Yoyoh Masruroh, “Makna dan Tata Cara Bhakti Puja Dalam Ajaran Buddha Maitreya”, Skripsi (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 8. 11 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfuu. Jakarta, 19 Maret 2018.
6
menonjol dalam agama Buddha adalah budaya Tionghoa. Terkait penelitian
ini, penulis berusaha untuk meneliti mengenai budaya Tionghoa dalam ritual
agama Buddha yang kita tidak pernah mengetahui mereka masih memakai
kebudayaan Tionghoa dalam ritual tersebut atau tidak. Sehingga penulis ingin
mengupas dan meneliti lebih dalam lagi mengenai budaya Tionghoa dalam
ritual agama Buddha. Berdasarkan latar belakang di atas, maka judul skripsi
yang diangkat oleh peneliti yaitu “kebudayaan Tionghoa dalam ritual agama
Buddha di Vihara Maitreyawira”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apa saja pengaruh tradisi Tionghoa di Indonesia dalam agama Buddha di
Vihara Maitreyawira?
2. Bagaimana kontroversi penyebab masyarakat Tionghoa yang pindah
agama Buddha di Vihara Maitreyawira?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai rumusan masalah yang telah penulis buat maka tujuan
penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh tradisi Tionghoa apa saja yang ada dalam
agama Buddha di Vihara Maitreyawira.
2. Untuk mengetahui kontroversi penyebab masyarakat Tionghoa yang
pindah agama Buddha di Vihara Maitreyawira.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
7
1. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjanah
program Studi Agama-agama di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat menjadi rujukan penelitian-
penelitian serupa di kemudian hari.
3. Untuk menambah wawasan adanya unsur-unsur budaya Tionghoa di dalam
agama Buddha.
D. Tinjauan Pustaka
1. Setelah melakukan pembacaan yang intensif di berbagai sejumlah
perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, khususnya tentang kajian pustaka
yang fokus membahas tentang “Makna dan Tata Cara Bhakti Puja Dalam
Ajaran Buddha Maitreya” oleh Yoyoh Masruroh, Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat. Dalam skripsinya, Yoyoh Masruroh mengenai pemahaman
bhakti puja dan makna bagi umat Buddha di vihara Maitreyawira.
Kesimpulannya agar umat selalu mementingkan cinta kasih kepada semua
makhluk, oleh karena itu Buddha Maitreya rela berjuang siang dan malam
dalam melaksanakan bhakti puja. Persamaan skripsi dengan penulis sama-
sama meneliti di Vihara Maitreya hanya saja perbedaannya penulis lebih
fokus kepada unsur-unsur budaya Tionghoa yang beragama Buddha.12
2. Symphony Akelba Christian, yang berjudul Identitas Budaya Orang
Tionghoa Indonesia, mahasiswa Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia dalam Jurnal Cakrawala Mandarin, vol, 1, No. 1, 2017. Fokus
penelitian Symphony lebih ke identitas budaya sebagai etnik Tionghoa
12 Yoyoh Masruroh, “Makna dan Tata Cara Bhakti Puja Dalam Ajaran Buddha Maitreya”, Skripsi (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
8
Indonesia secara singkat, terbatas dan perbedaan identitas budaya.
Persamaan dengan peneliti membahas budaya etnik Tionghoa di Indonesia
namun penulis hanya membahas sejarah etnik Tionghoa di Indonesia.13
3. M. Ikhsan Tanggok dosen fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, menulis buku berjudul Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di
Singkawang. Dalam buku yang beliau tulis menjelaskan agama leluhur
orang Hakka di Singkawang. Mereka meyakini bahwa roh leluhur tetap
hidup di dunia setelah kematiannya. sebagian orang Hakka di Singkawang
menganut agama Buddha. Namun dalam kesehariannya mereka juga
masih mempraktikkan ajaran Khonghucu dan Tao. Kelenteng di sana juga
di fungsikan oleh umat Tao, Konghucu, dan Buddha untuk melakukan
ibadah secara bersama. Orang Hakka di singkawang sangat toleran
terhadap agama-agama di luar keyakinan mereka. Kesimpulannya bahwa
orang Tionghoa Hakka masih mempercayai kebudayaan leluhur mereka.
sebagian besar masyarakat Hakka menganut agama Buddha, dan mereka
masih memakai budaya Hakka dalam kesehariannya. Persamaannya
dengan peneliti sama-sama membahas budaya masyarakat Tionghoa yang
beragama Buddha dan masih memakai budaya mereka walaupun sebagian
besar dari mereka menganut agama Buddha.14
Dari beberapa penelitian tersebut, bahwa belum ada yang menuliskan
skripsi yang berjudul kebudayaan Tionghoa dalam ritual agama Buddha di
Vihara Maitreyawira hanya skripsi inilah yang penulis temukan selama
13 Symphony Akelba Christian, “Identitas Budaya Orang Tionghoa Indonesia,” Jurnal Cakrawala Mandarin, vol, 1, No. 1, 2017. 14 M Ikhsan Tanggok, Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang (Jakarta: Kompas 2017).
9
melakukan tinjauan pustaka, adapun tema yang menyerupai dengan judul
penulis tersebut lebih membahas ke bhakti puja di vihara yang sama. Namun
yang penulis buat tentunya akan berbeda dengan tema-tema di atas.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini metode yang digunakan ialah metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang
wajar dan mengumpulkan data yang bersifat kualitatif. Penelitian ini
mengambil data di Vihara Maitreyawira Jakarta Barat. Metode penelitian
ini berdasarkan filsafat fenomenologis yang menggunakan penghayatan.
Teknik pengumpulan data yang sering digunakan ialah observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Teknik angket tidak digunakan dalam
pengumpulan data.15
2. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan pendekatan ini penulis melakukan dengan dua
pendekatan yaitu pendekatan historis dan antropologis. Menurut Khaldun
menganalisis sejarah agar mengetahui kebenaran yang akan terjadi.
Analisis sejarah ini berkaitan dengan analisis subjektif dan objektif. Oleh
karena itu pendekatan historis ini digunakan untuk mendeskriptifkan
sejarah agama Buddha di Vihara Maiteyawira. Dengan mengetahui sejarah
di vihara tersebut, pola pemikiran, budaya, keadaan lingkungan sekitar
Vihara Maitreyawira. Sedangkan pendekatan antropologis lebih berkaitan
dengan kepercayaan, peribadatan, tindakan dan kebiasaan masyarakat
15 Husaini Usman, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: PT Bumi Aksara 2009), h. 78-79.
10
yang tetap dan sebelum mengenal jauh mengenai tulisan, oleh sebab itu
mengacu kepada apa yang dianggapnya itu suci dan supernatural. Dalam
hal ini antropologis berpandangan bahwa praktik-praktik sosial harus
diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang
berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Jadi
antopologis ini adalah suatu upaya dalam memahami unsur kebudayaan
orang Tionghoa yang beragama Buddha.16
3. Sumber Penelitian
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah data yang didapat dari sumber pertama seperti
hasil wawancara. Dalam data primer, pengumpulan data dilakukan
sendiri di lapangan.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah data primer yang diperoleh melalui hasil dari
pihak lain atau data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan
dengan pengumpulan data primer oleh pihak lain. Data tersebut
umumnya disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.17 Ada pula data
buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, dan lain-lain namun tidak terkait
langsung dengan peneliti ini.
Karena dirasa belum cukup, maka peneliti juga mempelajari buku-
buku yang membahas tentang budaya Tionghoa dalam ritual agama
16 Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Imam Khoiri (Yogyakarta: LKS Yogyakarta 2002), Cet 1, h. 34. 17 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta (Jakarta: UIN Jakarta 2006), Cet Ke-1, h. 45.
11
Buddha Maitreya sebagai sumber sekunder. Buku-buku yang digunkan
penulis yatu:
1) Azmi Adilah, Penggambaran Budaya Tionghoa Indonesia Di
Surabaya Dalam Majalah Internal Pasar Atom & Atom Mall,
Jurnal Commonline Departemen Komunikasi, Vol, 3, No. 3.
2) Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994, Cet 1.
3) M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2009, cet 1.
4) Wahid Winoto, Buddha & PesanNya. Jakarta: Dian Dharma, 2006.
5) Miskaningsih, “Makna Simbolis Ornamen Pada Bangunan Utama
Vihara Avalokitesvara Di Kawasan Banten Lama” Skripsi,
Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negri Yogyakarta, 2017.
6) Mukti Ali, Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, 2009.
7) Beatrice Lane Suzuki, Agama Buddha Mahayana. terj Hustiati
Karaniya, 2009 cet 1. c. Sumber Lapangan
Penelitian ini termasuk dalam katagori field research (penelitian
lapangan), dengan model pendekatan studi kasus sebagai analisis
permasalahan. Menurut Maxifield penelitian kasus adalah suatu
penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam
terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Ditinjau dari
wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subjek
12
yang sangat sempit. Tetapi ditinjau dari sifat penelitian, penelitian
kasus lebih mendalam. Penelitian ini juga berkenaan dengan suatu fase
yang spesifik dari keseluruhan personalitas.18 Di sini penulis lebih dulu
melengkapi prosedur permohonan izin riset kepada pengurus Vihara
Maitreyawira, dalam melakukan proses penelitian.
Adapun teknik yang penulis lakukan ketika melakukan pengumpulan
data sebagai berikut:
1) Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sistematis terhadap
masalah-amasalah yang di teliti. Observasi menjadi teknik
pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian,
direncanakan dan dicatat secara sistematis, serta dapat dikontrol
keandalan (reliabilitas) dan kesahihannya (validitasnya). Penulis
terjun langsung mengamati kebudayaan Tionghoa yang beragama
Buddha.
2) Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih
secara langsung. Pewawancara disebut interviewer, sedangkan
orang yang diwawancarai disebut interviewee. Jenis wawancara
terbagi menjadi dua yaitu terpimpin dan tidak terpimpin.
Wawancara terpimpin adalah tanya jawab yang terarah untuk
mengumpulkan data-data yang relevan. Sedangkan wawancara
tidak terpimpin adalah wawancara yang tidak terarah. Wawancara
18 Maxifield mengatakan sebagaimana dikutip oleh Najir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998).h.66.
13
ini tidak efesien waktu, biaya, dan tenaga. Wawancara juga
berguna untuk mendapatkan data dari tangan pertama (primer).19
3) Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang diperoleh
melalui dokumen-dokumen, rekaman, catatan, foto, video. Teknik
dokumen ini juga menghemat waktu, biaya, dan tenaga yang lebih
efesien.20
a) Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan melalui:
(1) Usaha yang bersifat kompilatif, yaitu mengumpulkan data
secara keseluruhan baik yang bersumber dari literature
maupun dari hasil penelitian lapangan.
(2) Usaha selektif komparatif, yaitu menyeleksi sumber yang
dikumpulkan, dipilih yang paling relevan dengan pokok
pembahasan dengan disbanding-bandingkan dengan data
yang lain untuk mencapai penyajian yang mengarah.
4) Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Akademik dan
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
19 Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara 2009), Cet Ke-2, h. 52-55. 20 Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial h. 69.
14
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan, skripsi tersebut dibagi
menjadi beberapa bab dan sub bab, yaitu:
Bab pertama: Pendahuluan. Bab ini membahas tentang alasan
pemilihan judul, dengan menunjukkan faktor yang mendorong pemilihan
judul skripsi. Kemudian diikuti dengan menuliskan rumusan masalah, tujuan
penelitian dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan. Secara garis besar bagian ini bertujuan sebagai
landasan teoritis metodologis dalam penelitian.
Bab kedua: masuknya etnis Tionghoa ke Indonesia. Penulis akan
menulis pengertian Tionghoa, sejarah masukmya etnik Tionghoa ke Indonesia.
Bab ketiga: agama Buddha dan berdirinya Vihara Maitreyawira. Oleh
karena itu penulis akan menulis pengertian Vihara, dan kegunaannya,
pengertian Buddha Maitreya, sejarah berdirinya Vihara Maitreyawira, dan
ajarannya.
Bab keempat: pengaruh tradisi Tionghoa apa saja yang ada di
Indonesia. sebelumnya harus dipahami terlebih dahulu apa saja pengaruh
tradisi Tionghoa yang ada di Indonesia. Dari sinilah akan diperoleh gambaran
tentang apa saja tradisi Tionghoa yang ada di Indonesia tepatnya di Vihara
Maitreyawira.
Bab kelima: Kesimpulan, saran dan kata penutup. Yaitu memuat
kesimpulan yang mencakup semua isi skripsi, saran dan diakhiri dengan kata
penutup.
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TIONGHOA DI INDONESIA
A. Pengertian Tionghoa
Istilah “orang Tionghoa” merupakan perdebatan hingga kini terus
berlanjut. Dalam konteks ini Tionghoa cukup kuat dalam kekuasaan
politiknya. kekuasaan Politiknya telah terjadi pada zaman penjajahan Belanda,
dan sebutan Cina berasal dari bahasa Belanda Chi‟na yang mengacu pada
Cina Kunciran. Istilah Cina sendiri mengandung arti yang merendahkan dan
dianggap oleh orang yang bersangkutan sebagai sebutan yang bersifat
menghina dan meremehkan.21
Menurut Mely G Tan, istilah “etnis Tionghoa” mengacu pada sebuah
kelompok orang dengan elemen budaya yang dikenal budaya Tionghoanya.
Kelompok tersebut secara sosial memisahkan diri dan dipandang kelompok
lain sebagai kelompok yang berbeda.22 (kelompok tersebut secara sosial,
mengidentifikasikan diri dengan diindentifikasikan oleh kelompok yang
lainnya sebagai kelompok yang berbeda.)
Di Indonesia seorang keturunan Tionghoa adalah seorang Tionghoa
apabila ia berfungsi sebagai anggota dan bergabung dengan masyarakat
Tionghoa. Satu-satunya tanda kebudayaan yang dapat dipercaya dari
pernyataan diri sebagai orang Tionghoa dan penyatuan diri ke dalam sistem
21 A. Dahana, “Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia,” Jurnal WACANA, Vol. 2, No. 1, April 2000. h. 54-72. 22 Mely G Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 5-10.
15
16
sosial Tionghoa adalah pemakaian setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk
dan keadaan nama keluarga Tionghoa.23
Tionghoa indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia yang asal usul
leluhur mereka berasal dari Tiongkok (China). Biasanya meraka menyebut
dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien). Tengnang (Tiochiu) atau
Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren atau
lazim disebut Huaren. Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan
bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan
yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok
Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han.
Suku Hokkien yang berada di Indonesia hidup dengan cara berdagang,
kepandaian masyarakat Kanton dalam berdagang tidak memutuskan
kepandaian mereka hanya berdagang saja tetapi mereka juga pandai
keterampilan di bidang pertukangan dan teknologi, sementara orang Hakka
mereka bekerja di pertambangan sehingga mereka banyak terdapat dan tinggal
di daerah pertambangan seperti Bangka Belitung, dan orang Tiochiu banyak
melakukan usaha di bidang perkebunan. Itulah suku-suku bangsa Tiongkok
yang berada di Indonesia.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam
lingkup nasional Indonesia. Kata Tionghoa merupakan dialeg Hokkien untuk
kata Zhonghua. Dalam bahasa mandarin terdapat istilah Zhonghua minzu yang
23 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), Cet Ke-1, h. 20.
17
berarti “bangsa Tionghoa” yaitu suatu bangsa yang berasal dari negeri
Zhongguo atau Tiongkok.24
B. Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Indonesia
Dalam sejarah Indonesia berkaitan erat dengan keberadaan kelompok
Tionghoa, baik pada masa kerajaan, penjajahan, orde lama, orde baru maupun
pada masa pasca orde baru. Etnis Tionghoa di Indonesia terkenal dari sisi
politik dan perdagangannya. Tidak hanya dari politik dan perdagangannya saja
tetapi kedatangan mereka juga mempunyai kepentingan lainnya seperti
menyebarluaskan agama Buddha dan pengetahuan-pengetahuan lain seperti
sastra dan lain sebagainya.25
Terdapat banyak bukti sejarah bahwa pedagang-pedagang Tionghoa
telah datang ke daerah-daerah Pesisir Laut China Selatan (orang China
menyebutnya Nanyang) sejak 300 tahun sebelum Masehi. Namun catatan-
catatan sejarah tertulis menunjukkan mereka telah datang ke Asia Tenggara
sebagai pedagang lama setelah itu. Sekitar abad ke-11, mereka datang ke
negara-negara di Asia Tenggara yang terletak di daratan Asia sebagai
pedagang.26
Orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dengan mudah dapat dianggap
sebagai orang Indonesia asli dan banyak orang Indonesia asli yang wajahnya
mirip dengan orang Tionghoa yang saat itu menjadi korban kekerasan anti
Tionghoa. Karena itulah akibat dari percampuran selama beberapa abad ini,
24 https://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia Diakses Pada Tanggal 17 Maret 2018, Pukul 15.00. 25 Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005), h. 23. 26 A. Dahana, “Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia,” Jurnal WACANA, h. 55-71.
18
penampilan fisik tidak dapat dijadikan pedoman yang dipercaya dalam menentukan apakah seorang itu Tionghoa atau bukan. Imigran yang ada di
Indonesia apabila dia kelahiran Tionghoa sudah dikenali karena warna kulitnya yang lebih kuning dan matanya sipit, membuat mereka berbeda dari orang Indonesia pada umumnya yang kulitnya berwarna sawo matang.27
Kelompok Tionghoa dalam sejarah Indonesia dikenal sejak masa
Sriwijaya mulai runtuh akibat serbuan Singasari. Pada Dinasti Han ini awal mulanya masyarakat Tionghoa datang ke Indonesia sejak tahun (206 SM –
220 M). Pada saat peperangan terjadi, Sriwijaya mengirim utusan beberapa kali ke Tiongkok sejak tahun 960 sampai dengan tahun 988. Ketika sampai di
Kanton, Sriwijaya mengirim utusan yang terakhir dan menetap di Kanton selama kurang lebih dua tahun lamanya karena pada saat itu Sriwijaya diserang oleh tentara dari Cho-p‟o. Utusan yang terakhir ini berlayar kembali sekitar tahun 992, tetapi hanya sampai di negeri Campa dan meminta pemerintahan Tiongkok berada dalam perlindungan Tiongkok. Menurut catatan sejarah pada masa ini sudah ada kelompok Tionghoa yang datang ke pulau Jawa. Kedatangan mereka juga membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara.28 Sejak dinasti
Han ini persahabatan antara Tionghoa dan Indonesia cukup berlangsung lama.
Pada tahun 414 sesudah masehi kedatangan sorang biksu yang bernama Fa
Hsien ke Jawa, dan bersahabat selama 1.500 tahun. Ketika itu hubungan persahabatan ekonomi keduanya cukup sangat kuat, namun hubungan
27 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, h. 25. 28 MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 46.
19
keduanya rusak dengan bersamaan datangnya kekuatan kolonial yang
menghancurkan persahabatan antara kedua negara tersebut.29
Pada Dinasti Tang juga terdapat kelompok Tionghoa di Kerajaan
Sriwijaya tepatnya pada tahun 618-907 M. Ketika itu tentara pemberontakan
pimpinan Huang Chao menduduki Guangzhou, dan bermukim di sekitar
Guangzhou untuk mengungsi ke Sriwijaya. Pengungsian tersebut bersama
muslim Tionghoa, saudagar Arab dan Persia yang berjumlah banyak.30
Ketika sampai di Palembang, Sriwijaya mulai runtuh dan
pemerintahan yang sedang kacau. Kekacauan Palembang ini tidak bisa
dibiarkan terlalu lama akhirnya ribuan kelompok Tionghoa berinisiatif untuk
melakukan pemerintahan sendiri. Pada saat laksamana Cheng Ho datang ke
Palembang dan mendirikan masyarakat Islam Tionghoa, dan kemudian
kelompok Tionghoa di Palembang menjadi di bawah kekuasaan Majapahit.
Kelompok Tionghoa di Palembang dipimpin oleh seorang Tionghoa keturunan
anak dari raja Majapahit yang bernama Swan Liong (Arya Damar).
Kelompok Tionghoa yang sedang melakukan perjalanan ke Singasari
sempat singgah di Pulau Jawa lebih tepatnya di Pulau Karimun Jawa dan
Tuban. Pada saat itu kerajaan di Singasari sedang terjadi peperangan dengan
Kediri dan akhirnya Singasari runtuh. Dengan kekalahannya Singasari tidak
hanya diam akhirnya Raden Wijaya putra dari Singasari memanfaatkan
kelompok Tiongkok ini, dan meminta pasukan yang terdiri dari 20.000
pasukan perang (1292 M). Akhirnya peperangan di menangkan oleh kelompok
Tiongkok dan kekalahan dari Kediri. Ketika kelompok Tiongkok berada di
29 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), Cet Ke-1, h. 138. 30 Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, h. 23-24.
20
kota Jawa lebih tepatnya berada di Singasari mereka berperang membantu
Singasari melawan Kediri. Pada akhirnya peperangan dimenenangkan oleh pasukan Tiongkok. Kemenangan yang didapatkan pasukan Tiongkok membuat mereka enggan untuk kembali ke Tiongkok dan memutuskan untuk mentap di Jawa. Kelompok Tiongkok yang memutuskan untuk menetap di
Jawa kemudian menikah dengan perempuan pribumi hingga mereka mempunyai keturunan yang merupakan campuran dari Tiongkok Jawa.31
Dalam perkembangannya kelompok Tionghoa yang berada di
Indonesia cukup mudah berbaur dengan masyarakat pribumi, karena masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam maka kelompok
Tionghoa yang menetap di Indonesia banyak mengubah namanya menjadi nama Islam atau Jawa.32
Pada saat Dinasti Ming yang dipegang Kaisar Yung Lo (berkuasa
(1403-1424 M) beliau menugaskan Panglima Cheng Ho (pada abad ke 15).
Panglima Cheng Ho adalah seorang muslim yang sangat taat ditugaskan untuk memimpin armada kapal yang terdiri dari 62 kapal besar membawa 27.800 awak kapal untuk melakukan pelayaran guna menjalin hubungan dengan berbagai kerajaan di Asia Tenggara dan Nusantara. Namun yang diutamakan itu menjalin hubungan dengan Nusantara karena pada saat itu Nusantara sedang berada dalam Kerajaan Majapahit (1405 M).
Dalam perjalanannya ke Timur dimana di sana adalah pusat Kerajaan
Majapahit, Laksamana Cheng Ho menyempatkan singgah di beberapa tempat yaitu Aceh, Tanjung Priok (yang saat itu masih bernama Bintang Mas), dan
31 MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 46. 32 MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 60.
21
Muara Jati (Cirebon). Menurut Benny G. Setiono, pada abad ke 14 di Jakarta dulu Sunda Kelapa telah ditemukan penduduk dengan bermata rata-rata sipit dan berkulit putih. Dan pada abad ke XVI terjadi migrasi besar-besaran ke daerah Jawa. Rata-rata alasan meninggalkan negeri mereka karena ekonomi dan perang yang terus terjadi.33
Saat melanjutkan perjalanan ke Timur salah satu pemimpin armada yang bernama Wang Jinghong sakit keras sehingga armada memutuskan untuk singgah di Semarang tepatnya di Pantai Simongan. Ketika Wang
Jinghong membaik beliau memutuskan untuk menetap di Semarang. Beliau membangun kelenteng Sam Po Kong (Kelenteng Gedung Batu) dan beliau membuat patung Laksamana Cheng Ho sebagai bentuk penghormatan beliau terhadap Laksamana Cheng Ho.
Sebelum Laksamana Cheng Ho menuju Majapahit beliau sempat singgah di beberapa kota yaitu di Tuban dan Gersik. Dalam setiap persinggahannya Laksamana Cheng Ho dan armadanya memberikan bimbingan cara bertani, berternak, pertukangan dan perikanan. Agar mereka bisa menjadi kota yang lebih baik. Karena Laksamana Cheng Ho seorang muslim yang taat, dalam perjalanan beliau saat sampai di Surabaya
Laksamana Cheng Ho didaulat untuk berkotbah dalam shalat Jum‟at.
Setelah menyelesaikan perjalanan dan kunjungannya, Laksamana
Cheng Ho menempatkan markasnya yang berada di Campa. Karena
Lakasamana Cheng Ho sempat diberikan amanat untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan hubungan dagang dan politik di Asia Tenggara.
33 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Elkasa, 2002), h. 31.
22
Dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan hubungan dagang dan politik tersebut Laksamana Cheng Ho di bantu oleh beberapa keturunan dari
Majapahit guna untuk melancarkan amanat yang diberikan kepada Laksamana
Cheng Ho.34
Setelah perang dunia II Tiongkok dan Indonesia sama-sama berhasil membebaskan diri mereka dari kolonialis. Sementara Tiongkok membebaskan dirinya dan menjadi Raksasa di Timur jauh, dan Indonesia juga berhasil membebaskan dirinya dari kolonialis Belanda. Tiongkok dan Indonesia dimasa lalu membuat mereka memutuskan untuk menentang imperialisme dan kolonialisme. Akhirnya kedua negara tersebut berupaya menyembuhkan luka yang pernah mereka alami di bawah kekuasaan kolonial, dan membangun negara masing-masing dalam suasana damai.
Oleh karena itulah kedua negara ini bersahabat dan menentang perang.
Kedua negara ini mendukung satu sama lain dalam perjuangan mereka yang membaskan wilayah mereka masing-masing. Kerjasama yang baik antara
Tiongkok dan Indonesia merupakan hal yang menguntungkan bagi perdamaian di Asia dan dunia. Hal ini juga harapan masyarakat bagi kedua negara. Hubungan Tiongkok dan Indonesia terus membaik sejak dibukanya hubungan diplomatik. Pemimpin kedua negara ini saling mengadakan kunjungan yang diikuti dengan delegasi ekonomi dan budaya. Hubungan kedua negara ini semakin meningkat sejak kunjungan perdana menteri Chen
Yi dan penandatanganan tiga dokumen penting, yaitu perjanjian persahabatan, perjanjian kerjasama Budaya, dan komunike bersama antara Tiongkok dan
34 MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 47-48.
23
Indonesia telah membuka jalan bagi perkembangan yang lebih baik hubungan persahabatan Tiongkok-Indonesia.
Namun dalam masalah Tionghoa tentang perantauan yang merupakan warisan sejarah, membuat Tionghoa dan Indonesia menjadi bersahabat. Ada beberapa kalangan yang tidak menyukai hubungan baik antara Tionghoa dan
Indonesia. Kalangan tersebut adalah kalangan imperialis dan musuh perdamaian. Mereka berusaha untuk menghancurkan hubungan baik kedua negara ini dengan cara memprovokasikannya.
Tingkok dan Indonesia yang menyepakati dan menandatangani secara damai tentang masalah Tionghoa yang saat ini sedang dilakasanakan dengan cara negosiasi dan bersahabat. Dalam masalah kedua negara ini merupakan bagian penting dari masalah Tionghoa, dipecahkan dengan jalan keluar yang benar dan masuk akal. Masyarakat Tionghoa yang hidup berdampingan dengan masyarakat Indonesia untuk waktu yang lama, membawa hal positif bagi Indonesia. Mereka cukup menyumbang dalam hal ekonomi untuk
Indonesia.
Hanya setelah memahami aspek positif tentang kalangan Tionghoa perantauan dan mengakuinya penyelesaian final dan menyeluruh atas masalah
Tionghoa perantauan berdasarkan hubungan persahabatan Tiongkok dan
Indonesia, barulah perundingan yang sungguh-sngguh dan bersahabat dapat dicapai. Demi kepentingan jangka panjang Tiongkok dan Indonesia, demi perdamaian Asia dan dunia dan solidaritas kekuatan antiimperialis dan
24
antikolonialis, rakyat Tiongkok dan Indonesia harus melanjutkan untuk tetap
bersahabat dari generasi.35
Orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dengan mudah dapat dianggap
sebagai orang Indonesia asli dan banyak orang Indonesia asli yang wajahnya
mirip dengan orang Tionghoa yang saat itu menjadi korban kekerasan anti
Tionghoa. Karena itulah akibat dari percampuran selama beberapa abad ini,
penampilan fisik tidak dapat dijadikan pedoman yang dipercaya dalam
menentukan apakah seorang itu Tionghoa atau bukan. Imigran yang ada di
Indonesia apabila dia kelahiran Tionghoa sudah dikenali karena warna
kulitnya yang lebih kuning dan matanya sipit, membuat mereka berbeda dari
orang Indonesia pada umumnya yang kulitnya berwarna sawo matang.36 Jika
pada tahun 1628 jumlah warga etnis Tionghoa di Batavia baru berjumlah 3000
jiwa, maka pada tahun 1739 telah meningkat menjadi 10.574 jiwa.37 Pada
tahun 1815 dari total jumlah penduduk di Jawa sebesar 4.615.270 jiwa,
terdapat 94.441 orang (2,04%) dari golongan Tionghoa.38
C. Stereotip Orang Tionghoa
Mayoritas masyarakat Indonesia menganggap orang Tionghoa itu
mempunyai berbagai sifat negatif dan menanggap orang Tionghoa itu sebagai
bangsa lain. Kehadiran kelompok Tionghoa di Indonesia sangat terasingkan
karena prasangka buruk pribumi terhadap orang Tionghoa. Ada pula gabungan
35 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), Cet Ke-1, h. 138-139. 36 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, h. 25. 37 Hembing Wijaya, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005), h. viii. 38 Lembaga Studi Realino, Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa (Yogyakarta, Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996), h. 11.
25
stereotip orang Tionghoa yang dapat dinilai dari tulisan yang pernah diterbitkan yaitu : a. Bahwa orang Tionghoa itu hidup dalam berkelompok, dan sebagian besar
mereka lebih suka menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka
tinggal di kawasan tersendiri yang jauh dari pergaulan sosial. b. Mereka orang Tionghoa selalu berpegang teguh kepada kebudayaan negeri
leluhur mereka. c. Kebaikan orang Tionghoa yang tampak memihak kepada Indonesia tidak
bersungguh-sungguh hati, mereka hanya berpura-pura melakukannya
hanya karena alasan-alasan oportunistis, ketimbang perasaan yang
sebenarnya untuk memihak kepada negara dan rakyat mereka. Oportunitis
semacam ini semacam ciri khas dari orang yang hanya mementingkan
uang, perdagangan dan bisnis. d. Mereka orang Tionghoa yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa
memiliki rasa pengabdian kepada cita-cita, setelah diberi kedudukan yang
menguntungkan oleh Belanda. Mereka malah melakukan penindasan
terhadap massa Indonesia dan menghalangi kebangkitan golongan
pengusaha nasional atau pribumi.
Gabungan semua citra ini merupakan dari sumber tertulis yang sebaliknya gabungan stereotip ini mewakili orang Tionghoa dalam pemikiran orang Indonesia dapat dibentuk merupakan hal lain. Di sini tidak pernah melakukan penelitian untuk mengetahui pandangan yang dianut oleh orang
Indonesia, atau gambaran orang Tionghoa sebagai suatu kelompok.
26
Oleh karena itu tidak diragukan bahwa banyak yang berpendapat,
paling tidak sebagian orang Tionghoa dikecualikan dari gambaran umum itu.
Walaupun citra itu muncul tulisan dan ucapan orang Indonesia tentang orang
Tionghoa, dan pernyataan pemertintah tentang “masalah Tionghoa” terutama
dalam percakapan dengan orang Tionghoa sendiri mengenai cara terbaik untuk
menetralkan mereka memberi kesan bahwa mereka itu bukannya tidak
penting. Karena itu rupanya diperlukan sekali untuk meneliti bagaimana citra
ini sampai terbentuk dan sampai dimana mereka itu mempunyai titik
kebenaran, sebelum mencoba membatasi bagian-bagian tertentu dari
masyarakat Indonesia yang dalam hal ini paling berakurat.39
D. Ajaran yang Membentuk Golongan Keagamaan
a. Ajaran Buddha
Seperti yang sudah diketahui bahwa agama Buddha dan Tionghoa
saling berhubungan. Walaupun ajaran Buddha tidak asli dari Tionghoa,
akan tetapi ajaran Buddha mempunyai pengaruh cukup berarti pada orang
Tionghoa. Agama Buddha juga diketahui sebagai guru dunia yang
memerangi umat manusia dan menunjukkan jalan yang melepaskan
mereka dari kesengsaraan.
Sebagian besar ajaran Buddha di tulis dalam Tripitaka (tiga keranjang)
dari tradisi theravada. Tiga keranjang adalah tiga bagian dari kitab yang
berbahasa Pali, Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abbidharma Pitaka.
Vinaya Pitaka berkaitan dengan aturan-aturan disiplin dan mencangkup
sejarah-sejarah tentang prinsip-prinsip moral umat Buddha. peraturan
39 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, h. 26.
27
tersebut untuk para bhikku dan bikkuni, dan kitab ini terdiri dari Sutra
Vibanga, Khadaka dan Pariwara. Sutra Pitaka merupakan bagian kedua
dari Tripitaka, membuat keterangan-keterangan tentang cara hidup
berguna bagi bhikku dan bikkuni yang lain. Kitab ini terdiri dari
Dighanikaya, Majjihimanikaya, Angutaranikaya, Samyuttanikaya dan
Khuddakanikaya. Abbidharma Pitaka merupakan kitab ketiga dari
Tripitaka, berisi uraian filsafat Buddha Dharma yang disusun secara
analitis dan mencangkup berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti ilmu
jiwa, logika, etika dan metafisika. mengandung sebuah sistem analisis
mengenai pemikiran Buddha.40 b. Ajaran Tao
Tradisi pada umumnya memang sulit diartikan. Oleh karena itu tradisi
mengembangkan tentang beragamnya kebudayaan di masyarakat, filsafat
dan praktek-praktek keagamaan yang berkembang dalam masyarakat.
Hubungan antara agama dan tradisi kefilsafatan, khususnya di dalam
penyelidikan usia lanjut atau yang berhubungan dengan umur panjang atau
abadi, yang menerapkan prinsip-prinsip wu wei (tanpa pamrih) sebagai
wujud dari pengenalan Tao (jalan) yang dianggap oleh penganut Tao
bahwa sumber dari segala sesuatu yang ada di alam ini. Dia merupakan
sumber tertinggi di alam ini.
Ajaran Tao menurut tradisi sosial dimulai sejak abad ke 6 SM, namun
kini buku tersebut telah menjadi buku bacaan untuk semua kalangan,
apalagi banyak tafsiran-tafsiran yang dibuat oleh tokoh-tokoh dimasa
40 M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha, h. 56.
28
modern ini. Taoisme ini pada mulanya dikembangkan oleh tokoh Lao Zi dengan kitabnya yang cukup terkenal adalah Tao te Ching (jalan dan kekuatan klasik).41
41 M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, h. 48.
BAB III
SEJARAH VIHARA MAITREYAWIRA
A. Pengertian Vihara dan kegunaannya
Vihara dalam sejarah Buddha terletak di atas tanah yang dinamakan
Isipatana Migadaya (taman rusa Isipatana), dekat kota Banarasi. Tempat ini
menjadi tempat sejarah yang sangat penting bagi umat Buddha. Vihara adalah
tempat ibadah agama buddha, kata vihara berasal dari bahasa pali (bahasa
india kuno) yang berarti tempat tinggal atau tempat puja bhakti. Vihara dapat
juga diartikan sebagai biara buddha atau tempat para biarawan buddha.42
Jadi, peran vihara adalah meningkatkan kehidupan beragama umat
Buddha Indonesia dalam arti seluas-luasnya berdasarkan kitab suci Tripitaka
pali yang berkepribadian Indonesia.
B. Pengertian Buddha Maitreya
Maitreya adalah salah satu dewa dari agama Buddha yang sangat
tekenal di Tiongkok.43 Mi Le Fo dalam bahasa sansekerta disebut Maitreya
yang artinya Maha Pengasih dan Penolong. Maitreya ini cukup dihormati oleh
kalangan Mahayana dan Theravada karena siapa saja yang minta
pertolongannya kepada Maitreya pasti akan dibantu asalkan pikiran dalam
samadhi harus dipusatkan dan memanggil namanya berulang kali. Dalam
bahasa Tionghoa, Maitreya terkenal sebagai Mile Pusa44
42 Subalaratano dan Samudera Utamo, Bhakti (puja) (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia), h. 16. 43 Wawancara Pribadi dengan Pandita Aji. Jakarta, 29 Mei 2018. 44 https://id.m.wikipedia.org Diakses Pada Tanggal 20 Oktober 2018, Pukul 20.27.
29
30
Bodhisatva Maitreya ini ditemukan oleh para arkeolog Barat di India.
Dengan penemuan-penemuan pratima Bodhisatva Maitreya ini ditemukan dari
berbagai sikap dan posisi yang sempurna sebagai hasil karya seni dari abad 2-
3 M. Penemuan ini berasal dari Gandhara (India barat laut). Gandhara adalah
seni rupa Buddhis dan percampuran seni rupa India dan Yunani.45
Hubungan antara Buddha Maitreya dan Buddha Mahayana mempunyai
hubungan yang cukup erat dengan India sejak abad 2 SM – 2M. Oleh karena
itu Mazhab Maitreya dalam agama Buddha disebut mazhab Sukhavati
Maitreya (Buddhis Kebaktian Maitreya Mi Lek Cin Thu Chong) mazhab yang
termasuk salah satu mazhab agama Buddha Mahayana.46
Dalam maitreya juga terdapat Puja bhakti, awalnya puja bhakti
dilakukan umat Buddha hanya untuk puja bhakti kepada sang Buddha kini
puja bhakti umat Buddha ditujukan kepada para Buddha bukan hanya Buddha
Sakyamuni dan kepada para Bodhisatva. Buddha Maitreya ada jauh sebelum
tradisi puja bhakti kepada Buddha Maitreya yaitu pada masa kehidupan
Buddha Sakyamuni, dan dengan seiring berjalannya waktu dan berdirinya
sekte-sekte atau aliran itu lahir. Tradisi puja bhakti kepada Buddha Maitreya
ini telah menyebar luas sebelum abad 2 M. Perkembangan tradisi puja bhakti
ini cukup luas mulai dari India Barat Laut, sekitar perbatasan India/ Pakistan
dan Iran, yang kemudian menyebar ke Nepal, Tibet, Mongolia dan Tiongkok.
Selain tradisi puja bhakti, legenda Mi Le Fo juga sudah banyak betumimbal
45 Maha Vihara Maitreya, Pancasutra Maitreya ( Sumatera Utara: DPP Mapanbumi, 2017), Cet ke 1, h. 35. 46 DPP Mapanbumi, “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddis Maitreya” (Surabaya: 1994), h. 8-9.
31
lahir (reinkarnasi). Tumimbal lahir beliau yang sangat terkenal yaitu sebagai seorang pangeran, putra raja Varanisa di Asia Tengah.47
Pangeran yang lahir disertai dengan 32 tanda-tanda suci yang menunjukkan bahwa ia kelak akan menjadi murid Buddha. Maitreya yang saat itu dalam tingkat Bodhisatva yang ke 9, ia sering dipuja sebagai seorang
Buddha oleh karena itu ia dianggap Buddha pada masa yang akan datang.
Patung Mi Le Fo yang di kelilingi 5 orang anak kecil mempunyai maksud tersendiri, ada yang memuja untuk memberikan keturunan kepada orang yang sangat mendambakannya dan ada juga yang memuja untuk meminta kekayaan dan kebahagiaan. Bentuk yang paling umum di Kelenteng-kelenteng adalah dalam posisi setengah berbaring, wajahnya tertawa, perutnya yang buncit terbuka dan kantong besar tergeletak disampingnya. Karena penampilannya yang selalu tertawa ini beliau dijuluki Buddha Tertawa.48
Pada akhir dinasti Tang dan permulaan zaman lima Dinasti (907-1060
M) Mi Le Fo di juluki Buddha tertawa. Karena waktu itu ada seorang bhiksu yang berilmu dan tiap orang memanggilnya sebagai Bu Dai (berarti kantong kain, karena ia selalu membawa kantong yang besar, kalau berpergian). Bu
Dai ini diketahui penduduk asli dari proponsi Zhe Jiang. Bu Dai juga terkenal seorang yang tidak mudah putus asa walaupun ia sering berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk meminta sedekah dan mengajarkan Dharma kepada siapa saja yang mau mendengarnya. Saat ia berpetualang juga sering kali terlihat bahwa ia mengumpulkan segala macam benda kedalam tas kantong yang selalu dibawanya. Nama Bu Dai ini tidak diketahui namun ia
47 DPP Mapanbumi, Buddha Maitreya (Medan: tpn, 2001), h. 41. 48 M Ikhsan Tanggok, Agama Buddha, h. 117.
32
mempunyai watak yang ramah, jenaka dan selalu ringan tangan, ia juga rajin
dalam menyebar luaskan agama Buddha.49
Tetapi ada sebagian orang yang mengartikan beda, bahwa beliau
mencari dan mengumpulkan makhluk-makhluk untuk mengantarkan mereka
ke tanah suci. Bhiksu ini dikenal dari orang-orang dekat dengannya sebagai
peramal nasib orang dan cuaca. Karena beliau dapat memperkirakan cuaca
dari tingkah laku dia sehari-hari. Beliau meninggal dengan keadaan duduk dan
semedi di lorong sebuah Kelenteng dengan meninggalkan serangkum syair.
Maitreya sesungguhnya dapat mengubah bentuk menjadi macam-macam,
selalu ia menjelma di hadapan makhluk hidup yang tidak dapat mengenalnya.
Oleh karena itulah dari syair ini orang yang beranggapan bahwa sesungguhnya
Bu Dai adalah penjelmaan dari Mi Le Fo dan patung Mi Le Fo pun
diwujudkan dengan mengambil bentuk tubuhnya. Maitreya juga telah
menjelma sebagai guru besar bagi ajaran Khonghucu, Buddha, dan Tao.
Maitreya juga terkenal sebagai orang yang terpelajar dan sangat
berpengetahuan. Dalam hidupnya Mi Le Fo banyak dicatat dalam buku
sejarah. Ulang tahun Buddha Maitreya dirayakan pada tanggal 1 bulan Imlek,
yang bertepatan pada tahun baru Cina.50
Sebelum adanya tradisi puja bhakti kepada Buddha Maitreya, bibit
Sradha (Keyakinan) akan pemujaan pada Buddha Maitreya sudah ada. Karena
pada masa hidupnya Sang Buddha Sakyamuni, tepatnya dengan setelah
khotbah pertama Sang Buddha tentang Buddha Maitreya dalam Sutra Tentang
Bodhisatva bergantung pada maitri karuna Sang Buddha. Pandangan kedua itu
49 Maha Vihara Maitreya, Pancasutra Maitreya, h. 31. 50 Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha (Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi, 2003), h. 102.
33
dianut oleh para pengikut mazhab Kebaktian Buddha Maitreya, demikian
bhiksu Sangharaksita dalam „ Survey of Buddhism‟.51
Pada acara Mahayana, seperti Nagarjuna, Asvaghosa dan Vasubandhu,
dalam lingkungan mazhab Kebaktian agama Buddha Maitreya memberikan
kehormatan kepada mereka sebagai Bodhisatva. Bodhisatva Nagarjuna
menunjukkan jalan yang mudah mencapai tingkat kebuddhaan yang berpokok
pada puja bhakti. Bodhisatva Asvaghosa telah menulis kitab
“Mahayansraddhotpada Satra” (Sastra Kebangkitan Keyakinan Mahayana)
yang menekankan kelahiran di Bumi Suci melalui jalan Keyakinan (Puja
Bhakti). Bodhisatva Vasubandhu menulis sastra tentang “Kelahiran di Alam
Bumi Suci” yang menguraikan ajaran alam Bumi Suci. Khotbah Sang Buddha
tentang Bodhisatva Maitreya dan ketiga sastra di atas merupakan landasan
perkembangan agama Buddha mazhab Kebaktian Maitreya, yang berkembang
dari India dan menyebar hingga ke Cina.52
C. Letak dan Sejarah Singkat Berdirinya Vihara Maitreyawira Jakarta
Di Indonesia agama Buddha Maitreya cukup berkembang, terbukti
dengan adanya beberapa Maha Vihara yang dibangun di berbagai kota seperti
Medan, Batam, Samarinda, Bali, Pekanbaru, Pontianak, Surabaya dan kota-
kota besar lainnya.53 Agama Buddha Maitreya di Indonesia ini mempunyai
sebutan-sebutan untuk menghormati Maha Sesepuh (disingkat M.S.) dan
Sesepuh (disingkat S.) mazhab agama Buddha Maitreya di Indonesia dirintis
51 Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, h. 51. 52 Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, h. 52. 53 Dikutip dari, Yoyoh Masruroh, “Makna dan Tata Cara Bhakti Puja Dalam Ajaran Buddha Maitreya” Skripsi (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 8.
34
oleh M.S Maitreyawira (186-1983) yang terlahir dengan nama Tan Ting Sin
(alias Tan Pik Ting) dengan mendirikan Cetiya Buddha Maitreya di Malang tahun 1950. Beliau lahir di Taiwan dan lulus dokter gigi dari Universitas
Tokyo serta datang ke Indonesia tahun 1926. Tahun 1936 beliau menikah dengan Ang Giok Lan.54
Maitreya merupakan aliran bukan agama yang bermula dari Republik
Rakyat Tiongkok awal abad ke-20. Maitreya di Tiongkok disebut juga I Kuan
Tao dan dikenal sebagai aliran Buddha Maitreya. I Kuan Tao berkembang di
Indonesia berasal dari Taiwan sekitar tahun 1950-an. Di Taiwan, I Kuan Tao berdiri sendiri sebagai sebuah agama baru dan tidak mendompleng agama
Buddha.55
Pada perang dunia ke II selesai, Tan Ting Sin pulang ke Taiwan dan mendapat ajaran suci agama Buddha Maireya (Buddhisme Maitreya). Atas perintah Ibu Guru Suci, tahun 1950 M.S. Maitreyawira kembali ke Indonesia.
Dalam perjalan yang ditempuh dengan berlayar ke Indonesia beliau berjumpa dengan seorang pemuda, Gautama Harjono (S. Gautama Harjono) yang tidur di dek yang sama. Pertemuan tersebut menjalinkan ikatan batin, walaupun pada akhirnya mereka harus berpisah sampai di pelabuhan dengan tujuan masing-masing dan melanjutkan perjalanannya.56
Perkenalan dengan Nyoo Thai Kwee (S. Sasanavira) dari Pasuruan dengan M.S. Maitreyawira membuahkan S. Sasanavira mengikuti Jalan
Ketuhanan agama Buddha Maitreya. Oei Yauw kee dari Semarang yang diperkenalkan S. Sasanavira dengan M. S. Maitreyawira sebagai utusan dari
54 https://id.m.wikipedia.org Diakses Pada Tanggal 21 Oktober 2018, Pukul 00.42. 55 Wawancara Pribadi dengan Pandita Aji. Jakarta, 29 Mei 2018. 56 Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, h. 55.
35
Ibu Suci mengikuti Jalan Ketuhanan Agama Buddha Maitreya. Dalam perjuangannya M.S. Maitreyawira mengembangkan ajaran Ke- Tuhanan
Agama Buddha Maitreya dimulai dari Cetya berukuran 3 x 4 meter. Selain memimpi puja bhakti M.S. Maitreyawira juga memasak untuk hidangan mereka yang dibina di Cetya. Perjuangan inilah yang tidak mengenal lelah membuahkan lahirnya cetya-cetya di Pasuruan dan Semarang. Kasih Buddha
Maitreya ini yang memancarkan dan menyinari hati nurani M.S. Maitreyawira yang memilih hidup sederhana dan bersahaja serta meninggalkan kehidupan duniawinya dengan memilik jalan brahman. Ketika waktu yang tidak disengaja M.S Maitreyawira dengan Gautama Harjono bertemu kembali dan juga membuahkan terpanggilnya pemuda itu membina diri dalam Ajaran Suci.
Setelah mendapatkan petunjuk suci yang agung, Gautama Harjono melaksanakan vegetarian. Gautama Harjono juga terpilih sebagai Maha
Sesepuh untuk meneruskan kepemimpinan M.S. Maitreyawira.57
Cetya di Surabaya Madura, masing-masing didirikan oleh S. Ho Kuan
Tjhiang dan S. Ong Sing Yan (Cahaya Maitreya). Kepada lima Sesepuh Nyoo,
Oei, Po, Ho, dan Ong, M.S. Maitreyawira menugaskan kepada mereka untuk menyebarluaskan Ajaran Suci Agama Buddha Maitreya ke seluruh Indonesia.
Pada tahun 1957 Yeo Cui Goan dari Medan memohon Jalan Ketuhanan
Agama Buddha Maitreya di vihara Adhi Maitreya, Palmerah, Jakarta dan dikenal sebagai S. Prajnamitra. Dengan ketabahan, kesabaran dan keuletan, bermula dari cetya di rumah S. Prajamitra dalam beberapa tahun dibangun vihara-vihara besar di Medan, di kota-kota propinsi Sumatra Utara, Sumatra
57 Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, h. 55.
36
Barat dan Riau. Perjuangan ke enam Sesepuh di bawah kepemimpinan Maha
Sesepuh Maitreyawira, Agama Buddha Maitreya di Indonesia berkembang
dengan pesat. Pada tanggal 7 Agustus 1975 berdirilah Majelis Pandita Buddha
Maitreya Indonesia dengan singkatan MAPANBUMI. M.S. Maitreyawira
wafat tanggal 15 bulan sebelah tahun Buddhis 2534 (bertepatan tanggal 18
Desember 1983) pada usia 87 tahun dikediamannya, Vihara Buddha Maitreya,
Jalan Martadinata 82, Malang dan dimakamkan di pekuburan Sentong Baru,
Lawang (Jawa Timur).58
Sedangkan vihara Maitreya yang di Jakarta diresmikan oleh Wakil
Ibunda Suci- Yang Maha Sesepuh Ong pada tanggal 26 Juni 1994. Vihara ini
terletak di Taman Duta Mas A-8 Jl. Tubagus Angke, Jakarta Barat di atas
tanah seluas 3.000 m2.
Jadi Pusdikalat Buddhis Maitreyawira saat itu didirikan sebagai pusat
dari semua Vihara Maitreya di Indonesia, bukan sebagai pengembangan dari
vihara lain.59
D. Kegiatan di Vihara Maitreyawira
Menurut Pandita Mingfu (wawancara, 02 April 2018), ada beberapa
kegiatan yang dilaksanakan di Vihara Maitreya ini yang meliputi program
diklat dharma, kegiatan budaya Maitreyawira dan program sosial
kemasyarakatan.
1. Program Diklat Dharma
a) Kebaktian Rutin setiap hari minggu
58 Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, h. 56. 59 Wawancara Pribadi dengan pandita Aji. Jakarta, 25 September 2018.
37
Kegiatan tersebut merupakan rutinitas umat Buddha setiap hari minggu
melaksanakan kebaktian. Kebaktian tersebut meliputi ceramah dharma
30 menit, kebaktian sekitar 15-20 menit, dan dharma 1 jam.
b) Kelas Dharma Umum
Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari jumat malam
c) Kelas Remaja/anak-anak
Ada kelas dharma ringan untuk remaja sedangkan yang anak-anak
kecil dididik dalam sekolah minggu Buddhis Maitreya.
d) Kelas Penataran Pandita Muda
Penataran khusus untuk menggembleng umat yang telah diangkat
menjadi pandita muda/madya agar menjalankan kewajibannya dengan
baik.
e) Pertemuan Buddha dan Siswa
Kelas ini semacam reuni antara sesama Buddha-siswa yang pernah
menjalani angkatan yang sama.
f) Kelas Paduan Suara
Kelas ini mempelajari secara mendalam tentang tembang-tembang
Suci Maitreya.
g) Kelas seni Budaya
Kegiatan ini dilakukan 1x dalam seminggu,
2. Program Sosial Kemasyarakatan
Kegiatan ini dilakukan oleh Vihara Maitreyawira sebagai wadah
Ketuhanan dan kegiatan Kemanusiaan. Kegiatan sosial yang dilakukan
oleh Vihara Maitreyawira yaitu penyuluhan budi pekerti dan moralitas
38
hidup ke sekolah-sekolah dan penjara, gerakan peduli lingkungan hidup,
penyuluhan vegeratian dan kesehatan, bantuan korban bencana alam,
donor darah, kunjungan ke panti jompo. Adanya kegiatan ini dilakukan
karena sebagai makhluk sosial yang perlu hidup bersosialisasi dengan
manusia lainnya maka dari itu kegiatan ini dilakukan untuk menyatukan
sosial kepada masyarakat luar.
3. Penataran Cahaya Buddha (event bulanan)
Kegiatan ini merupakan penataran bulanan di mana umat Maitreya di
Jakarta dan sekitarnya berkumpul untuk mengikuti bimbingan dan
berbaktipuja bersama.60
E. Aliran Mahayana dalam Agama Buddha di Vihara Maitreyawira
Seperti yang sudah diketahui bahwa aliran besar dalam agama Buddha
ada dua yaitu Hinayana dan Mahayana. Buddhisme Maitreya adalah bagian
dari Aliran Mahayana dimana mengutamakan penghormatan kepada banyak
Buddha, Bodhisatva, dan Dewa.61 Mahayana adalah agama Buddha yang
dianut di Asia Utara dan Timur, sehingga patut dipelajari dan dihargai.62
Antara Hinayana dan Mahayana sama-sama menjadi ajaran dalam
agama Buddha. Namun pembedaan yang terjadi antara Hinayana (perahu
kecil) dan Mahayana (perahu besar) terjadi sekitar awal dari masa modern,
yaitu terjadi di dalam kondisi masyarakat yang masih kurang pemahaman
terhadap ajaran Buddha.
60 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 02 April 2018. 61 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 19 Maret 2018. 62 Beatrice Lane Suzuki, Agama Buddha Mahayana, Terj Hustiati (Karaniya, 2009), Cet, Ke-1, h. xv.
39
Meskipun pada awalnya Buddha menyebarkan ajarannya dengan cara diam-diam hanya untuk murid-muridnya saja namun perlahan dia dan muridnya membuka diri dan menyatu dengan komunitas Buddha di India.
Mahayana berkembang di India dan hanya berkembang di beberapa pusat tertentu yang berbeda. Mahayana menekankan pada titik Bodhisatwa dan tidak menekankan pada pengikut-pengikutnya, baik laki-laki maupun perempuan, dalam sebuah jalan yang baru. Melainkan Mahayana membebaskan untuk siapa saja yang ingin mengikuti ajarannya.63
Agama Buddha yang masuk ke Cina adalah aliran Mahayana, dan menyebar hingga ke Jepang. Agama Buddha yang kita kenal sekarang adalah dampak dari pemikiran India periode keempat, dan muncul pada masa terjadinya konflik antara pemikiran konservatif dan pemikiran bebas. Agama
Buddha tidak termasuk kelompok pengikut Brahmana seperti agama Hindu tetapi agama Buddha menerima pemikiran terbaik yang ada di dalam
Brahmanisme.
Pada waktu Buddha wafat sebenarnya sudah ada kaum Mahayana yang mendengar dan cenderung memilih ke arah sana. Maka dari itu mereka mengintepretasikan ajaran Buddha sesuai pandangan mereka sendiri. Ajaran
Sakyamuni yang muncul di India lebih dari 25 abad yang lalu, dan dibagi menjadi empat bagian yaitu:
1. Pada awal periode agama Buddha mulai mengajar hingga 100 tahun
sesudah Buddha Parinirwana 530-380 S.M.
63 M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha, h. 21.
40
2. Agama Buddha Hinayana yang berkembang sejak 100 tahun sesudah
Buddha Parinirwana hingga 100 M.
3. Agama Buddha Hinayana dan Mahayana tumbuh bersama yang di satukan
oleh Nagarjuna pada tahun 106-300 M.
4. Dominansi Mahayana, 300-500 Masehi.64
64 Beatrice Lane Suzuki, Agama Buddha Mahayana, h. 5.
BAB IV
PENGARUH TRADISI TIONGHOA DALAM AGAMA BUDDHA DI
VIHARA MAITREYAWIRA
A. Pelaksanaan Ritual di Vihara Maitreyawira
Ritual adalah sarana yang menghubungkan antara manusia dengan
yang keramat. Bukan hanya ritual yang memperkuat ikatan sosial dan
kelompok, tetapi ritual suatu kebiasaan untuk merayakan peristiwa-peristiwa
penting dan menyebabkan krisis seperti kematian.65 Menurut bahasa, ritual
berarti upacara keagamaan yang mempunyai peraturan mengenai apa yang
harus dilakukan dalam perayaan sakramen, penguburan, dan upacara
keagamaan lainnya.66
Dalam ritual setiap agama memiliki cara ritual mereka masing-masing.
Sama hal nya dengan ritual menurut agama Buddha di Vihara Maitreyawira.
Dalam pandangan umat Maitreya bhakti puja adalah ritual beribadah yang
wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya umat
Buddha belum memahami manfaat yang diperoleh dari puja bhakti. Bagi
sebagian umat Buddha melakukan puja Bhakti hanya sebatas formalitas,
tradisi dan tuntutan. Ada juga sebagian dari mereka yang beralasan bahwa
mereka sangat sibuk dengan pekerjaannya. Akibatnya jumlah umat Buddha
yang hadir pada saat puja Bhakti di Vihara sangatlah sedikit jika dibandingkan
dengan jumlah umat Buddha yang ada.
65 William A. Haviland, Antropologi, Terj R.G Soekadijo (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1985), Cet Ke-2, h. 207. 66 M Dahlan Yacub Al-Barry, Kamus Sosiologi Antropologi (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 488.
41
42
Bhakti puja juga memiliki definisi sendiri, yaitu Puja dalam agama
Buddha dapat diartikan sebagai suatu penghormatan dalam bentuk ibadah,
sedangkan bhakti adalah wujud rasa hormat dan setia. Bhakti puja merupakan
suatu penghormatan sebagai wujud rasa hormat dan setia kepada Sang
Triratna. Ibadah bukan hanya berisi upacara maupun ritual, namun ibadah
dapat diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan yang dapat meningkatkan
keyakinan dan spritualitas dalam diri.67
Bhakti Puja adalah salah satu ritual Tridharma. Upacara Puja Bhakti
dalam Ajaran Tridharma “puja” arti sebenarnya hanya menghormati yang
dimengerti dengan perbuatan menyembahkan. Puja merupakan perwujudan
dari rasa bakti dan keyakinan. Ajaran Teologi Tridharma terjelma dalam
ajaran Kunghucu, Tao dan Budha, Tuhan Yang Maha Esa, penciptaan alam
semesta, penguasa tertinggi dan pengatur kehidupan manusia di alam semesta.
Karena itu ajaran ketiganya terwujud dalam konsep tentang terwujudnya alam
semesta. Ajaran Tridharma mempercayai ada tokoh legendaries Nu Wa (Dewi
Kiu Thian Hian De Ma), yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa
Tionghoa yang menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor.
Kemudian di masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam
semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada
munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam
semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian
yang terdiri dari alam Langit (Tian Jie), alam Bumi (Ming Jie) dan alam Baka
(You Jie). Dan dalam perkembangannya akhirnya lahir aliran yang disebut
67 Vihara Vidyaloka, Dhamma Dana Para Dhammaduta (Yogyakarta: In Sight Vidyasena Production, 2014), Cet Ke-1, h. 43-44.
43
sebagai Tri-Dharma (Sam Kau= hokkian, Shan Jiau = mandarin) yaitu
gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme.68
Senada dengan apa yang dikatakan Pandita Muda Aji bahwa pengaruh
Bhakti Puja di masyarakat etnis Tionghoa masih sangat ditradisikan oleh
mereka. Terutama bhakti puja di Vihara Maitreyawira, karena tradisi bhakti
puja ini berasal dari Tiongkok dan sudah terjadi asimilasi sehingga pada saat
ritual bhakti puja ini tersebar di Indonesia sudah terpengaruh dari tradisi
kebudayaan Tiongkok tersebut.69
Menurut bapak Aji selaku Pandita Muda di Vihara Maitreyawira
beliau berpendapat bahwa asal mula bhakti puja Maitreya adalah dengan
mengikuti jejak langkah dari Buddha Maitreya yang sejak berkalpa-kalpa
(jutaan tahun) kehidupan yang lalu telah melaksanakan bhakti puja dengan
insentif sehingga mencapai kesempurnaan. Semua ini dapat dilihat dalam
bacaan Sutra Purvapranidhana tentang percakapan Buddha Sakyamuni dengan
murid-Nya Ananda.70
Percakapan tersebut sang Buddha bersabda, “wahai Ananda yang
bijaksana, ketahuilah bahwa sesungguhnya Bodhisattva Maitreya telah
mencapai kesempurnaan tanpa perlu melaksanakan pengorbanan telinga,
kepala, tangan, kaki, badan, jiwa, kekayaan, kota, anak, istri, dan kerajaan
untuk didanakan melainkan hanya melaksanakan metode pembinaan yang
68 Alpizar dan Khotimah, “CIVIL RELIGION (Fenomena Ajaran Tridarma Riau)”, Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, Vol. 6, No. 1, Januari-Juni 2014, h. 8-46. 69 Wawancara Pribadi dengan Pandita Aji. Jakarta, 29 September 2018. 70 Wawancara Pribadi dengan Pandita Aji. Jakarta, 10 Mei 2018.
44
fleksible, praktis, dan membahagiakan hingga akhirnya mencapai
kesempurnaan tertinggi.”71
Dalam Sutra Bodhisatva Maitreya mencapai surga Tusita, sang
Buddha Sakyamuni bersabda, “setelah aku mencapai Parinirwana, bila ada
Bikhu, Bikhuni, Upasaka, Upasika, Dewa, naga bahkan kelompok rahulata,
bila mendengar nama agung Bodhisatva Maitreya terus bersikap anjali dan
memberi hormat dengan tulus, maka terbebaslah orang atau makhluk itu dari
dosa karma 500 kalpa. Dan kepada mereka yang melaksanakan bhakti puja
menghormati Buddha Maitreya, maka orang itu akan segera terbebas dari
ikatan dosa karma samsara puluhan milyar kalpa, sekalipun tak berhasil
mencapai surga Tusita, namun pasti akan dapat berjuang dengan Buddha
Maitreya pada masa yang akandatang, mendengarkan Maha Dharma tak
terhingga dan mencapai Kesempurnaan.”72
Sang Buddha tidak mengatakan harus menunggu turunnya Buddha
Maitreya ke dunia ini, namun tradisi bhaktipuja ini dianjurkan untuk
dilaksanakan, setelah sang Buddha mencapai Parinirwana. Jadi kita dapat
melakukan pemujaan kepada sang Buddha Maitreya walaupun beliau belum
terlahir.73
Pelaksanaan bhakti puja sehari 3 kali yaitu: pagi hari pukul 06.30,
siang hari pukul 12.00, dan sore hari pukul 18.30.74
71 Wawancara Pribadi dengan Pandita Muda Aji. Jakarta, 29 Mei 2018. 72 Maha Vihara Maitreya, Pancasutra Maitreya (Sumatera Utara: DPP Mapanbumi, 2017) Cet Ke-1, h. 26-28. 73 Wawancara pribadi dengan Pandita Muda Aji. Jakarta, 29 Mei 2018. 74 Nuhrison M. Nuh, Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016), Cet ke 1, h. 28.
45
Adapula doa dan sujud dalam bhakti puja yaitu: a) Ungkapan memuliakan Para Buddha, Bodhisatva, Dewa, dan orang-orang
yang telah berjasa bagi kita. b) Ungkapan rasa syukur atas segala berkah, lindungan, tuntunan, kekuatan. c) Ungkapan pertobatan atas segala kesalahan, membangun kepribadian dan
karma yang lebih baik. d) Sebagai kebersatuan doa demi terwujudnya dunia damai sentosa yang
bebas dari penderitaan, seperti yang diikrarkan oleh Buddha Maitreya.75
Bhakti puja ini berasal dari Mahayana, karena Maitreya berasal dari
Mahayana maka dari itu sembahyang yang digunakan Vihara Maitreyawira yaitu bhakti puja. Sebenarnya bhakti puja lebih ke tradisi Tionghoa namun karena sudah berasimilasi dengan Buddha oleh karena itu bhakti puja juga dipakai agama Buddha di Vihara Maitreyawira.
Sembahyang agama Buddha yang berasal dari India lebih kepada meditasinya, sedangkan Mahayana lebih kepada bhakti puja. Menurut
Mahayana masyarakat Tionghoa sangat menyukai bhakti puja karena bagi mereka Buddha itu bukan hanya satu (1) tetapi Buddha itu sudah ada, baik sebelum buddha ada dan setelah buddha ada. Karena sebelum Buddhisme masuk ke Tiongkok bhakti puja juga sudah ada dan dikuatkan dengan sabda- sabda sang Buddha. Dalam sembahyangnya Hinayana lebih kepada penyucian diri dan memakai objek pemujaanya hanya satu, yaitu Sang Buddha Sidharta
Gautama. Sedangkan Mahayana memuliakan banyak Buddha. Di Indonesia
Hinayana disebut juga Theravada. Pemujaan Hinayana sebenarnya lebih
75 Wawancara Pribadi dengan Pandita Muda Aji. Jakarta, 29 Mei 2018.
46
kepada meditasi, sedagkan Mahayana lebih kepada bhakti puja dan membaca
Parita (melafalkan kitab). Dalam sejarahnya Maitreya dibawah Mahayana oleh
karena itu Maitreya tidak ada meditasi dengan cara bersila dan yang ada hanya
bhakti puja sebagai menghormati Tuhan, Para Buddha, Para Bodhisatva, dan
Para Dewa.76
B. Tradisi Tionghoa Dalam Agama Buddha di Vihara Maitreyawira
Tradisi atau kebiasaan adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
suatu negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama. Hal yang paling
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi
ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya suatu tradisi dapat
punah (menghilang).77
Tradisi menurut bahasa adalah sesuatu kebiasaan yang berkembang di
masyarakat baik, yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan
dengan ritual adat atau agama. Dalam pengertian lain sesuatu yang telah
dilakukan dari sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan sesuatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau
agama yang sama. Biasanya tradisi ini berlaku secara turun temurun baik
melalui informasi lisan berupa cerita, atau informasi tulisan berupa kitab-kitab
kuno atau juga yang terdapat pada catatan prasasti-prasasti. Tradisi merupakan
sebuah persoalan dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana tradisi
tersebut terbentuk. Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang dikutip oleh
Muhaimin tentang istilah tradisi dimaknai sebagai pengetahuan, doktrin,
76 Wawancar Pribadi dengan Pandita Aji. Jakarta, 29 September 2018. 77 Diakses dari https://id.m.wikipedia.org Pada Tanggal 28 September 2018. Pukul 20.00.
47
kebiasaan, praktek dan lain-lain yang dipahami sebagai pengetahuan yang
telah diwariskan secara turun-temurun termasuk cara penyampaian doktrin
dan praktek tersebut.78
Dalam agama Buddha terdapat beberapa tradisi dari Tionghoa yang
sangat menonjol. Bapak Pandita Rusman memberikan informasi bahwa ada
beberapa hari penting yang dilaksankan di Vihara Maitreyawira yang masih
memakai budaya Tionghoa seperti: Hari Raya Kathina, Hari Raya Imlek,
Cheng Beng.79
1. Hari Raya Kathina
Kathina adalah upacara keagamaan yang ada di dalam agama
Buddha. Kathina ini juga dikenal sebagai hari dana yang biasanya
dilangsungkan pada bulan Oktober.80 Menurut Mingfu beliau mengatakan
bahwa Kathina adalah kain katun yang berbentuk jubah.81 Jubah ini
merupakan kisah dari para bikkhu yang membuat jubah dari kain bekas
yang diterima dari pemberian umat Buddha.82 Kathina dimulai pada satu
hari setelah purnama pada bulan Oktober sampai dengan purnama bulan
November. Karena itu salah satu hari dalam batas waktu satu bulan
tersebut dapat dipilih untuk penyelenggaraan upacara. Perayaan kathina
merupakan praktek kehidupan beragama Buddha, yang melaksanakan
kewajiban umat terhadap sangha. Umat yang mengadakan upacara kathina
78 Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Lokal: Potret Dari Cerebon, Terj Suganda (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 11-15. 79 Wawancara Pribadi dengan Rusman. Jakarta, 9 Juli 2018. 80 Save M Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayan Nusantara, 2000), Cet Ke-2, h. 457. 81 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 25 Maret 2018. 82 Wawancara pribadi dengan Tjoa Erica. Jakarta, 29 Mei 2018.
48
semata untuk mengabdi diri kepada masyarakat luas dan
mempersembahkan dana kepada mereka. 83
sebenarnya hari raya Kathina ini berasal dari Buddha tetapi karena
di dalam Buddhis ada ajaran Hinayana, Mahayana, dan Tantrayana maka
dari itu budaya tersebut sudah berasimilasi dengan ketiga aliran tersebut.
Pada saat penyebarannya budaya Buddha masuk pertama kali di India ke
Indonesia, dan ada juga yang budayanya masuk dari Tiongkok ke
Indonesia. Karena Mahayana termasuk dari Maitreya dan termasuk budaya
dari Tiongkok oleh karena itu hari raya Kathina kini sudah berasimilasi
dan ditradisikan juga oleh umat di Vihara Maitreyawira84
2. Hari Raya Imlek
Tahun baru Imlek merupakan perayaan penting untuk orang
Tionghoa. Hari raya Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama
dipenanggalan Tionghoa dan berakhir dengan cap gomeh di tanggal
kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal
sebagai (Chuxi) yang berarti “malam pergantian tahun”.85
Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan
Tahun Baru Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi
tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru,
serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Imlek secara
tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, penanggalan Tionghoa
di luar Tiongkok seringkali di nomori dan pemeritahan Huangdi. Imlek
83 K Wijaya Mukti, Berebut Kerja Berebut Surga (Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), Cet Ke-2, h. 16. 84 Wawancara Pribadi dengan Pandita Aji. Jakarta, 29 September 2018. 85 https://berita.bhagavant.com/2008/02/12/imlek-bukan-hari-raya-agama-buddha.html Diakses Pada Tanggal 17 Oktober 2018, Pukul 13.27.
49
bukanlah tradisi agama melainkan tradisi kebudayaan dari Tiongkok.
Imlek juga merupakan upacara yang merayakan musim semi di Tiongkok.
Tahun Baru Imlek adalah salah satu peringatan utama bagi umat Buddha
Maitreya, karena bertepatan dengan diperingatinya Hari Lahir Maitreya
(Mi Le Fo). Perayaan Hari Lahir Buddha Maitreya di Tahun Baru Imlek
ini menandakannya harapan baru, semangat baru, kebahagiaan, keceriaan,
serta jiwa yang lahir baru karena tahun yang lama telah ditutup dengan
pertobatan akhir tahun.86
3. Cheng Beng
Cheng Beng atau Ching Ming merupakan salah satu hari besar yang
dirayakan oleh masyarakat China diseluruh dunia. Ching Ming artinya
bersih dan terang, tidak ubahnya seperti ketika orang China melakukan
sembahyang pada Thian (Tuhan), Dewa-dewa dan leluhur saat menjelang
Sin-cia atau tahun baru Imlek.87 Tradisi Cheng Beng berasal dari tradisi
Tionghoa. Cheng Beng dipilih karena 15 hari setelah Chunhun, biasanya
dipercayai merupakan hari yang baik, cerah, terkadang, diiringi hujan
gerimis dan cocok untuk melaksanakan ziarah makam. Karena sebelum
zaman Dinasti Qin Shi-huang ziarah makam hanya monopoli dan hak para
bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang mempersatukan Tiongkok, dan
mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil kemudian meniru tradisi ziarah
makam ini setiap Cheng Beng.88 Cheng Beng adalah sembahyang kubur
untuk memuja leluhur yang sudah tiada. Persembahan ini menggunakan
86 Wawancara Pribadi dengan Pandita Aji. Jakarta, 25 September 2018. 87 M Ikhsan Tanggok, Agama dan Kebudayan Orang Hakka di Singkawang, h. 192. 88 http://asalusulbudayationghoa.blogspot.com/2010/04/ceng-beng.html Diakses Pada Tanggal 20 maret 2018, Pukul 14.15.
50
kertas kim yang dibakar ditempat yang sudah disediakan. Guna untuk
persembahkan kebutuhan untuk keperluan diakhirat kepada leluhur
mereka. Sedangkan hari raya Cheng Beng ini dilakukan di lantai 2 Vihara
Maitreyawira pada altar yang telah disiapkan oleh Vihara.89
Beberapa hari raya tersebut tidak terlepas dari kebudayaan Tionghoa
yang masih mereka percayai dalam agama Buddha, karena seharusnya agama
Buddha di India lebih di tonjolkan namun beda hal nya dengan agama Buddha
di Vihara Maitreyawira mereka masih memakai tradisi dari Tionghoa.
sebenarnya ada banyak tradisi Tionghoa, namun yang dipakai dalam agama
Buddha di Vihara Maitreyawira hanya 3 saja yang paling menonjol, termasuk
sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka yang sudah tiada.
Dari penjelasan diatas hanya ada empat (4) pengaruh tradisi
Tionghoa dalam agama Buddha di Vihara Maitreyawira yaitu: Bhakti puja,
Dupa, Hari Raya Imlek, Hari Raya Cheng Beng. Keempat Pengaruh tersebut
terjadi di Tiongkok yang dibawa oleh raja asoka ke Indonesia pada zaman
sriwijaya. Pada saat itu kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu
kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di Pulau Sumatera, dan banyak
memberi pengaruh di Nusantara.90 Kedatangan Tiongkok di Indonesia juga
memberi pengaruh pada keturunan pribumi. Karena pada saat itu kelompok
Tionghoa memutuskan untuk menetap di Pulau Jawa dan menikah dengan
orang Pribumi.91
89 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 2 April 2018. 90 Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia (Jogjakarta: DIVA Press, 2014), Cet Ke 1, h. 81. 91 MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 46
51
Pada permulaan abad kesembilan belas, jumlah penduduk
Tionghoa di Batavia lebih dari 100.000 0rang sedangkan penduduk pulau
Jawa diperkirakan lima juta orang. Mereka hidup menyebar ke seluruh pulau
Jawa, ke daerah pedalaman dan disepanjang pesisir utara. Mereka adalah bangsa yang paling rajin dan berguna di dunia belahan Timur. Karena pada umumnya mereka adalah orang-orang yang menyukai hidup damai dan menghindari keributan. Tujuan utama mereka hanya mencari uang dan dengan rajin memasuki semua bidang perdagangan. Tanpa adanya orang-orang
Tionghoa, sesungguhnya Pulau Jawa bukan merupakan koloni yang menguntungkan, karena ditangan orang Tionghoa-lah berada semua industri, penyulingan alkohol, dan pembuatan alat-alat rumah tangga. Tidak hanya bidang industri saja pengaruh Tionghoa di Jawa tetapi ada beberapa bangunan masjid yang bergaya pagoda dan atap bertingkat. Masjid ini dibangun oleh arsitek Tionghoa bernama Cek Ban Cut. Beliau membuat menara masjid tampak yang seperti pagoda (hiasan/ukiran)92
Etnis Tionghoa yang memberikan banyak pengaruh di Indonesia ini lah yang membuat hubungan keduanya menjadi bersahabat. Oleh karena itu di antara keduanya tidak mengusik satu sama lain. Mereka saling menghargai setiap perbedaan yang terjadi, termasuk perbedaan agama. Ada beberapa agama yang ada di Indonesia semua agama tersebut mempunyai tujuan yang sama. Namun agama yang terkenal dengan etnis Tionghoanya yaitu agama Khonghucu dan Buddha. Agama yang lebih awal berkembang yaitu Konghucu, dan tradisi bakti puja berawal dari Tiongkok (sekitar tahun
92 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Elkasa, 2002), h. 63-64.
52
600 sebelum masehi). Buddhisme berkembang di Tiongkok sekitar tahun 100-
200 Masehi, oleh Yang Arya Bodhidharma. Walaupun sebelum itu
Buddhisme sudah masuk dari India, Bodhidharma lah yang mengembangkan
Buddhisme secara massif (besar-besaran) di Tiongkok.93
Jadi dari keempat pengaruh yang saya jelaskan di atas sangat berpengaruh bagi umat Buddha di Vihara Maitreyawira. Karena sebagian masyarakat di Vihara Maitreyawira merupakan etnis Tionghoa jadi mereka masih sangat mentradisikan keempat tradisi tersebut. Hari besar yang benar- benar dari Tionghoa hanya Imlek dan Cheng Beng, karena Buddhism
Maitreya merupakan bagian dari Mahayana oleh karena itu kedua hari raya tersebut masih dilakukan di Vihara Maitreyawira. Sebenarnya hari besar
Kathina merupakan budaya dari buddha itu sendiri, tetapi karena sudah berasimilasi dengan budaya Tionghoa jadi hari raya Kathina juga masih dilakukan oleh Vihara Maitreyawira. Bhakti puja juga sangat berpengaruh bagi umat Buddha di Vihara Maitreya karena sebagian besar umat Buddha di
Vihara Maitreyawira merupakan Etnis Tionghoa oleh karena itu bhakti puja menjadi metode utama sembahyang yang dilakukan Vihara. Persembahan dupa saat sembahyang jug menjadi tradisi yang masih dilakukan di Vihara karena dengan cara membakar dupa interaksi umat dengan yang kuasa menjadi lebih mudah.94
93 Wawancara Pribadi Dengan Pandita Aji. Jakarta, 29 Desember 2018. 94 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfuu. Jakarta, 27 Maret 2018.
53
C. Kontroversi Penyebab Masyarakat Tionghoa Pindah Agama Buddha
Dalam setiap permasalahan yang terjadi pasti memiliki faktor
penyebab semua itu bisa terjadi. Terjadinya suatu faktor dari sebuah masalah
agar membuat seseorang menjadi tangguh, ketahanan mental, dan semangat
juang merupakan faktor yang menentukan.95 Dari faktor permasalahan bisa
terjadi pasti ada alasan yang membuat kenapa masalah tersebut ada. Di Vihara
Maitreyawira ada beberapa faktor penyebab masyarakat Tionghoa pindah
dalam agama Buddha:
a. Leen merasakan hal yang berbeda di agama Buddha. Menurut Leen saat
dia pindah agama Buddha di Vihara maitreyawira dia merasakan hal yang
berbeda dari agama sebelumnya. Leen mendapatkan hidayah dan merasa
kenyamanan saat dia memahami agama Buddha. Oleh karena itu Leen
pindah ke agama Buddha karena dia merasa agama Buddha lebih baik dan
membuat dia merasa berubah karena-nya. Leen juga berpendapat Karena
kehidupan jaman sekarang pergaulan yang luas dan modern membuat
masyarakat terpengaruh untuk mengikuti gaya hidup orang lain maka
adapula masyarakat Tionghoa yang pindah ke agama Buddha di Vihara
Maitreyawira karena gaya hidup (life style).96
b. Menurut bapak Rusman bahwa agama Buddha adalah agama yang
Universal karena ajarannya bisa diterima oleh siapapun.97
c. Adapula mereka yang sedang putus asa dan mereka mendapatkan petunjuk
atas masalahnya maka mereka memutuskan untuk pindah agama Buddha
di Vihara Maitreyawira.98
95 https://www.apaarti.com/faktor.html Diakses Pada Tanggal 3 Mei 2018 Pukul 21.00. 96 Wawancara Pribadi dengan Leen. Jakarta, 16 Juni 2018. 97 Wawancara Pribadi dengan Rusman. Jakarta, 09 Juli 2018.
54
d. Erik mengatakan bahwa ada umat yang merasa hutang budi kepada bos
nya, lalu ia pindah ke Agama Buddha di Vihara Maitreyawira tetapi itu
semua tulus dari dalam dirinya tanpa paksaan walaupun dia merasa
berhutang budi kepada bosnya.99 e. Menurut bapak Mingfu sebagian umat juga ada yang pindah ke agama
Buddha karena agama Khonghucu belum diresmikan pada tahun lalu.
Mereka pindah agar agama mereka diakui dalam KTP karena kebijakan
dari pemerintah. Namun setelah agama Khonghucu diresmikan sebagian
dari mereka ada yang pindah ke agama Khonghucu dan ada juga yang
menetap di agama Buddha. salah satunya adalah bapak Mingfu sendiri
pernah merasakan hal tersebut dan menetap di agama Buddha karena telah
menemukan ilham atau hidayah di agama Buddha itu sendiri.100
Maitreya berarti „cinta kasih‟, karena itu di dalam setiap kelahirannya
Buddha Maitreya senantiasa berperilaku kasih terhadap semua makhluk, termasuk hewan. Buddha Maitreya dipercaya sebagai tokoh yang sangat mengutamakan pola hidup vegetarian, sebagai wujud nyata cinta kasih sekaligus menjalin jodoh bajik terhadap semua insan. Hal ini menjadi teladan nyata bagi umat Maitreya, sehingga kini mayoritas umat Buddhisme Maitreya adalah vegetarian, atau setidaknya belajar bervegetarian.
Oleh karena itu Vihara Maitreyawira terkenal dengan vegan yaitu vegetarian yang tidak memakan makanan bernyawa. Pantangan dalam aliran
Maitreya untuk tidak memakan yang bernyawa sebenarnya ini bukan pantangan atau larangan melainkan doktrin dan filosofi mereka. Umatpun
98 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta 27 Maret 2018. 99 Wawancara Pribadi dengan Erik. Jakarta 02 September 2018. 100 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 27 Maret 2018.
55
akan diajarkan berbagai doktrin dan filosofi tersebut termasuk ajaran
Siddharta Gaotama, Falsafah Konfusius dan filosofi/akhlak kehidupan.
Sebenarnya para pengikut aliran Maitreya tidak dipaksa untuk menjadi
vegetarian, namun diajarkan untuk menghormati kehidupan makhluk.101
D. Makna Simbol Vihara Maitreyawira dalam tradisi Tionghoa
Simbol menurut bahasa yaitu “Symbol” yang berarti menggambarkan
sesuatu yang abstrak, tanda-tanda suatu obyek, lambang, dan lain-lain. Dalam
bahasa sansekerta kata simbol adalah “pratika” yang berarti mendekatkan.
Dalam bahasa Yunani “Symballein” yang berarti suatu benda yang dikaitkan
dengan suatu ide.102 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia simbol adalah
lambang seperti lukisan, ukiran, dsb. Lambang tersebut menyatakan sesuatu
hal atau mengandung maksud tertentu.103 Agama juga merupakan sistem
simbol yang berfungsi untuk menanamkan semangat dan motivasi yang kuat,
mendalam, bertahan lama pada manusia dengan menciptakan konsepsi.104
Agama Buddha telah eksis selama kurang lebih dua ribu enam ratus
tahun. Kemudian, setelah wafatnya sang Buddha sekitar 2500 tahun yang lalu,
Buddha dan ajaran-ajarannya direpresentasikan melalui seni yang berbentuk
simbol-simbol.105
Ada beberapa simbol dalam Vihara Maitreyawira yang ditunjukkan
oleh Pandita di Vihara Maitreyawira yaitu:
101 Wawancara Pribadi dengan Pandita Muda Aji. Jakarta, 25 September 2018. 102 Hartoko, Dick & B. Rahmanto, Kamus Istilah Sastra (Yogyakarta: Kanisisus, 1998), h. 133. 103 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet Ke-4, h. 557. 104 Roger M Keesing, Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer (Jakarta: Erlangga, 1981), h. 94. 105 Buletin Kamaludhis UGM, Eka-Citta Bersatu dalam Dhamma: Simbol dalam Buddhisme (Yogyakarta: Kamadhis UGM, 2008), h.6.
56
1. Symbol 米 yang bermakna Tuhan disebut dengan“MU”
2. Bahasa yang digunakan dalam berdoa memakai bahasa Mandarin
3. Patung Maitreya sebagai nabi yang ditunggu kedatangannya. Patung
tersebut disebut Biksu Kantong Kain. Menurut bapak Mingfu selaku
Pandita bahwa Patung Maitreya ini juga mempunyai fungsi masing-
masing, “apabila kita menyentuh mulutnya yang sedang tertawa maka kita
akan hidup bahagia”. “Apabila kita menyentuh perutnya yang buncit maka
kita akan hidup makmur”. “Apabila kita menyentuh dadanya agar bisa
diayomi olehnya”.
4. Patung Yin berarti mempunyai sifat buruk dan Yang mempunyai sifat
baik. Seperti yang diungkapkan dalam kitab klasik Taoisme (Tao Te
Ching) bahwa mereka saling melengkapi, namun hubungan keduanya
berjenjang. Yang selalu dianggap yang lebih besar dari pada Yin.106
5. Patung naga yang berbentuk seperti ular. Patung tersebut bernama
makhluk Khilin, yaitu patung yang melambangkan kesucian. Patung yang
mempunyai ciri khas kepala naga, badan kuda, ekor sapi, bersisik seperti
ular. Mitos dari sejarah Tionghoa bahwa dulu hewan-hewan tersebut
mewakili klen mirip dengan totemisme (simbol) seperti contoh “elang
abu” atau “beruang kutub” sering terjadi samanisme yaitu imam-imam
manusia sebelum agama-agama diturunkan. Mereka punya berbagai
macam cara untuk mentransferkan kesadaran kebijaksanaan kepada umat
106 M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao, h. 92.
57
manusia, salah satunya dengan simbol-simbol ini melambangkan
kebenaran, keberanian, kecemerlangandan rezeki.107
6. Dua macam meja di altar yaitu meja yang lebih tinggi melambangkan
langit dan meja yang lebih rendah melambangkan bumi.108
7. Dupa yang merupakan pernyataan sikap ketulusan, kesucian, kebesaran
Tuhan dan para Dewa yang dapat membimbing ke arah yang lebih baik
dan lebih mudah berkomunikasi langsung kepada Tuhan dan para Dewa
yang lain agar dapat menciptakan suasana hikmat dan sakral.109
8. Tempat pembakaran uang kertas jin lu. Menurut sejarah Tionghoa
pembakaran uang kertas ini sebagai syukuran untuk Dewa-Dewi, dan
sembahyang leluhur.110
9. 3 Cangkir yang terletak di altar yang mempunyai fungsi yang berbeda. Cangkir
pertama berisi air putih yang melambangkan suci. Adapun menurut teori dari
Tiongkok bahwa langit berasal dari hawa yang ringan kemudian naik ke atas dan
terbentuklah langit. Cangkir kedua berisi teh yang melambangkan bumi yang
keruh. Teori Tiongkok yang menyatakan bahwa bumi berasal dari hawa yang
berat, keruh dan membeku maka disebut bumi. Kedua cangkir dipersembahkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melambangkan sebagai penguasa langit dan
bumi (semesta). Cangkir ketiga berisi the, berposisi di tengah, dipersembahkan
untuk Buddha Maitreya.111
107 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 02 April 2018. 108 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 19. Maret 2018. 109 M Ikhsan Tanggok, Agama dan Kebudyaan Orang Hakka di Singkawang, h. 107. 110 M Ikhsan Tanggok, Agama dan Kebudayaan Orangg Hakka di Singkawang, h. 138. 111 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 19 Maret 2018.
58
10. Buah-buahan segar dan makanan. Buah segar ini dipersembahkan di altar
sebagai wujud syukur umat manusia kepada Sang Kuasa atas lindungan
dan segala berkahnya.112
11. Simbol bunga ini sebagai tanda kesabaran dan keindahannya sebagai
memberi kebahagiaan kepada semua orang.113
12. Jubah putih yang melambangkan bersih dan menunjukkan sebuah
ketulusan. Warna putih melambangkan kesucian, memadamkan semua
gejolak hati, kembali kepada ketenangan. Memakai jubah putih
menunjukkan kesamaan derajat setiap orang, tidak ada yang kaya dan
miskin. Bila tidak memakai jubah sebaiknya berpakaian yang rapih dan
sopan karena kita sedang menghadap Tuhan dan Para Buddha.114
Ada beberapa simbol yang merupakan tradisi dari Tionghoa. Walaupun
tidak semua simbol dari tradisi Tionghoa tetapi antara agama Buddha dan
Tradisi Tionghoa saling melengkapi. Karena dalam sejarah Tionghoa antara
Tao dan Buddha saling berdampingan sejak zaman dahulu.
E. Motivasi beribadah masyarakat di Vihara Maitreya
Motivasi berasal dari kata motif yaitu dorongan yang datang dari
dalam diri untuk mencapai tujuan tertentu. Kata motif berarti “dorongan” atau
“daya penggerak” yang ada di dalam diri seseorang. Menurut Weiner (1990)
motivasi didefinisikan sebagai kondisi internal yang membangkitkan kita
untuk bertindak,mendorong kita mencapai tujuan tertentu, dan membuat kita
112 Wawancara Pribadi dengan Pandita Aji. Jakarta, 05 Oktober2018. 113 M Ikhsan Tanggok, Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang, h. 107. 114 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 27 Maret 2018.
59
tetap tertarik dalam kegiatan tertentu. 115Jadi motivasi adalah sesuatu yang
membuat seseorang bertindak. Seperti yang sudah kita ketahui sebagai
manusia kita harus mempunyai tujuan hidup.
Umat merupakan orang-orang yang terkumpul dari berbagai daerah
yang memiliki karakter, keyakinan serta motivasi yang berbeda. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari cara mereka memohon saat berdoa. Melakukan
sembahyang dan berdoa di Vihara Maitreyawira merupakan kebudayaan dari
agama Buddha. kegiatan tersebut merupakan ritual atau cara untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, Dewa-Dewi, Bodhisatva dan lain
sebagainya. Beberapa pakar agama menyebutkan bahwa aktivitas ritual
merupakan proses di mana jiwa manusia dimasuki cahya Tuhan.116
Ada beberapa motivasi yang menjadi dorongan umat Buddha yang
beribadah di Vihara Maitreyawira. Berikut ini beberapa motivasi umat Buddha
yang menjadi responden dalam penelitian ini di antaranya:
1. Motivasi agama
Menurut salah satu responden bapak Erik menyatakan bahwa tujuan
mereka berdoa di Vihara Maitreyawira merupakan tradisi dari agama
Buddha. mereka sembahyang di Vihara Maitreyawira semata hanya untuk
memuja Tuhan, Dewa-Dewa, Bodhisatva dan lain sebagainya. Agar
kehidupan mereka diberi kelancaran oleh Tuhan117
2. Motivasi Universal
115 http://pengertianahli.id/2013/09/pengertian-motivasi-menurut-para-ahli-2.html# Diakses Pada Tanggal 04 Juni 2018, Pukul 11.54. 116 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002), h. 144. 117 Wawancara Pribadi dengan Erik. Jakarta, 02 September 2018.
60
Erica sebagai narasumbe juga berpendapat bahwa umat Buddha di Vihara
Maitreyawira juga ada yang meminta doa yang Universal seperti meminta
keluarga rukun, hormat, dan harmonis.118
Jessy sebagai narasumber menyatakan umat juga berharap bisa
mengembangkan dalam diri untuk semua makhluk termasuk untuk
keluarga dan dunia. Beliau juga berdoa agar negara kita bebas dari segala
masalah yang membuat masyarakat menjadi kesulitan dan di jauhkan dari
segala bencana.119
3. Motivasi Berkah
Bapak Mingfu selaku Pandita juga menyatakan bahwa setiap hidup pasti
menginginkan kebahagiaan, oleh karena itu mereka yang berdoa di Vihara
Maitreyawira sebagian besar meminta dirinya agar dibahagiakan di dunia
dan di akhiratnya.120
4. Motivasi Kelancaran dalam Hidupnya
Ada juga responden dari bapak Rusman beliau menyatakan Karena
sebagian besar masyarakat yang berdoa di Vihara Maitreyawira
merupakan etnis Tionghoa dan etnis Tionghoa dikenal dengan
kewirausahaannya maka mereka juga meminta kepada Tuhan-Nya agar
dilancarkan dan dimudahkan segala bisnisnya.121
Leen menyatakan bahwa mereka yang berdoa di Vihara Maitreyawira juga
meminta kesejahterahan hidup.122
118 Wawancara Pribadi dengan Tjoa Erica. Jakarta, 29 Mei 2018. 119 Wawancara Pribadi dengan Chujessie. Jakarta 04 April 2018. 120 Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta, 27 Maret 2018. 121 Wawancara Pribadi dengan Rusman. Jakarta, 09 Juli 2018. 122 Wawancara Pribadi dengan Leen. Jakarta, 16 Juni 2018.
61
Menurut Toni ada juga masyarakat yang berdoa untuk meminta
dipertemukan dengan pasangan hidupnya (jodoh).123
Motivasi dan tujuan serta prosesi lain pada umat maitreya pada hakekatnya adalah suatu sistem yang terbentuk secara alami yang dibangun berdasarkan keyakinan yang dimiliki oleh umat Buddha. dalam hal ini setiap permohonan yang di inginkan umat Maitreyawira akan terwujud karena setiap permohonan kepada Tuhan tidak pernah salah. Oleh karena itu motivasi bagi setiap umat sangat diperlukan agar umat menjadi lebih bersemangat dalam menjalankan kehidupan yang sedang dijalaninya.
123 Wawancara Pribadi dengan Toni. Jakarta, 16 Juni 2018.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah di kemukakan dalam skripsi ini
sebelumnya berdasarkan analisis dari berbagai fakta yang ada kaitannya
dengan kebudayaan Tionghoa dalam ritual agama Buddha di Vihara
Maitreyawira, maka dapat disimpulkan bahwa tradisi Tionghoa masih di
gunakan dalam Agama Buddha, walaupun ada tradisi Buddha yang masih
dilakukan. Namun masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha tetap
mentradisikan budaya tersebut agar tidak hilang. Beberapa masyarakat yang
sembahyang di vihara ini bahwasannya bukan hanya sepenuhnya berasal dari
agama Buddha namun ada juga umat yang berasal dari agama lain pindah ke
agama Buddha di Vihara Maitreyawira. asal usul alasan masyarakat Tionghoa
mengapa pindah agama Buddha di Vihara Maitreyawira. Ada berbagai alasan
bagi mereka yang pindah ke agama Buddha di Vihara Maitreya, salah satu
alasannya yaitu bahwa agama Khonghucu pada saat itu belum di resmikan
namun karena dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) harus memiliki agama jadi
umat menaruh agama Buddha hanya untuk diakui dalam negara. Walaupun
sebenarnya umat tidak beragama Buddha tetapi umat malah menaruh agama
Buddha sebagai agama di dalam KTP. Tetapi jika ditanya umat malah
menjawab beragama Khonghucu namun dengan seiring berjalannya waktu dan
datangnya ilham umatpun pindah ke agama Buddha karena menurut umat
agama yang bisa menolong umat saat itu adalah agama Buddha. Ada juga
umat yang pindah ke agama Buddha di Vihara Maitreyawira karena alasan
62
63
pasangan hidupnya. Bagi mereka pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan dilandaskan agama, jadi jika mereka menginginkan pernikahan namun berbeda agama salah satu diantara mereka harus ada yang mengalah untuk pindah agama diantara salah satu pasangan tersebut. Tidak hanya karena mendapat ilham atau pasangan hidup, bagi mereka yang mementingkan gaya hidup juga rela pindah agama karena alasan gaya hidup agama Buddha lebih elegant. Mereka melihat life style agama Buddha lebih bagus dari pada agama mereka sendiri oleh karena itu mereka menjadi pindah agama Buddha. dari beberapa asal usul diatas menjelaskan mengapa masyarakat Tionghoa pindah agama Buddha di Vihara Maitreyawira.
Tidak hanya asal usul mengapa masyarakat Tionghoa pindah agama agama Buddha, namun seperti yang sudah saya jelaskan diatas bahwa ada beberapa pengaruh tradisi Tionghoa yang masih dilestarikan oleh agama
Buddha yang terjadi asimilasi, yaitu: Bhakti Puja, Dupa, Imlek, Cheng Beng.
Pengaruh tradisi Tionghoa dalam agama Buddha terjadi di Tiongkok yang dibawa oleh raja asoka ke Indonesia pada zaman sriwijaya. Di Indonesia terdapat beberapa agama namun yang terkenal dengan etnis Tionghoa agama
Khonghucu dan Buddha. agama yang lebih awal berkembang yaitu Konghucu, dan tradisi bhakti puja berawal dari Tiongkok (sekitar tahun 600 sebelum masehi). Buddhisme berkembang di Tiongkok sekitar tahun 100-200 Masehi, oleh Yang Arya Bodhidharma. Walaupun sebelum itu Buddhisme sudah masuk dari India, Bodhidharma lah yang mengembangkan Buddhisme secara massif (besar-besaran) di Tiongkok. Selain itu Pengaruh tradisi Tionghoa dalam ritual agama Buddha adalah metode bhakti puja, termasuk di dalamnya
64
penggunaan dupa. Imlek dan Cheng Beng adalah perayaan orang Tionghoa,
yang menyerap ke dalam agama Buddha khususnya aliran/tradisi Mahayana.
Imlek dan Cheng Beng itu pengaruh perayaan dari tradisi Tiongkok.
Sedangkan perayaan khatina (menghormati biarawan) dan ulambana
(menghormati arwah) dari buddhis India. Pengaruh yang sangat besar dalam
agama Buddha di Vihara Maitreyawira yaitu Bhakti Puja, Pemakaian Dupa
Saat Sembahyang, Hari Raya Imek dan Hari Raya Cheng Beng. Keempat
tradisi tersebut sangat berpengaruh bagi umat di Vihara Maitreyawira
bahwasannya sebagian dari umat di vihara ini merupakan masyarakat
Tionghoa. Oleh karena itu tradisi tersebut masih digunakan di Vihara ini agar
tidak hilang begitu saja. Itulah mengapa pengaruh tradisi Tionghoa masih
dilestarikan dalam agama Buddha karena keduanya memang sudah saling
melengkapi pada sejarahnya.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dari uraian-uraian atau pembahasan dan
kesimpulan yang sudah dijelaskan dari hasil penelitian maka ada beberapa
saran dari penulis di antaranya sebagai berikut:
1. Bagi umat yang berdoa di Vihara hendaklah memelihara dan melestarikan
tradisi Tionghoa dengan baik. Hal ini agar tradisi dari Tionghoa tidak
menghilang begitu saja.
2. Mari tingkatkan keimanan dalam beribadah sehingga semakin dekat
dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan dan agama
masing-masing.
65
3. Kepada pengelola Vihara agar terus melakukan pembinaan terhadap
jamaah dan memberi pemahaman-pemahaman yang benar sesuai dengan
tuntunan dalam Kitab Suci, agar umat tidak salah dalam melaksanakan
ibadah serta hidupnya terarahkan.
DAFTAR PUSTAKA
AG, Muhaimin. Islam Dalam Bingkai Lokal: Potret Dari Cerebon, Terj Suganda (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2001). Al-Barry, M Dahlan Yacub. Kamus Sosiologi Antropologi (Jakarta: Gramedia, 1990). Christian, Symphony Akelba. “Identitas Budaya Orang Tionghoa Indonesia,”
Jurnal Cakrawala Mandarin, vol, 1, No. 1, 2017.
Coppel, Charles A. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994)
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayan Nusantara, 2000)
Dahana, A. “Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia,” WACANA, Vol.
2, No. 1, April 2000.
Farihah, Ipah. Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta (Jakarta:
UIN Jakarta 2006)
Hartoko, dan B. Rahmanto. Dick. Kamus Istilah Sastra (Yogyakarta: Kanisisus,
1998).
Haviland, William A. Antropologi, Terj R.G Soekadijo (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1985).
Hembing ,Wijaya. Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (Jakarta:
Pustaka Populer Obor, 2005).
Kebudayaan, dan Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1995).
Keesing, Roger M. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer (Jakarta:
Erlangga, 1981).
66
67
Khoiri,Imam. Aneka Pendekatan Studi Agama, terj (Yogyakarta: LKS Yogyakarta
2002).
Khotimah, dan Alpizar. “CIVIL RELIGION (Fenomena Ajaran Tridarma Riau)”,
Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, Vol. 6, No. 1, Januari-
Juni 2014,
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 2002).
Lembaga Studi Realino. Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa
(Yogyakarta, Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1996).
Maha Vihara Maitreya. Pancasutra Maitreya (Sumatera Utara: DPP Mapanbumi,
2017).
Mapanbumi, DPP. “Buku Kenangan Peresmian Pusdiklat Buddis Maitreya”
(Surabaya: 1994).
Mapanbumi,DPP. Buddha Maitreya (Medan: tpn, 2001).
Maxifield. Metode Penelitian, terj Najir (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998).
Miskaningsih. “Makna Simbolis Ornamen Pada Bangunan Utama Vihara
Avalokitesvara Di Kawasan Banten Lama” Skripsi (Fakultas Bahasa
Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, 2017).
Mukti, K Wijaya. Berebut Kerja Berebut Surga (Jakarta: Yayasan Dharma
Pembangunan, 2003).
Nuh, Nuhrison M. Keragaman Majelis di Kalangan Umat Buddha Indonesia
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016).
Penyusun, Tim. Kapita Selekta Agama Buddha (Jakarta: CV. Dewi Kayana
Abadi, 2003).
68
Samudera Utamo, dan Subalaratano, Bhakti (puja) (Jakarta: Sangha Theravada
Indonesia).
Setiono, Benny G Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Elkasa, 2002).
Sudirman, Adi. Sejarah Lengkap Indonesia (Jogjakarta: DIVA Press, 2014).
Suryadinata, Leo. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2005).
Suzuki, Beatrice Lane. Agama Buddha Mahayana, Terj Hustiati (Karaniya, 2009).
Syafi‟i Mufid, Ahmad. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal Di
Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012).
Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,
2008).
Tanggok, M Ikhsan. Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang
(Jakarta: Kompas 2017).
Tanggok, M. Ikhsan. Agama Buddha (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,
2009).
Tanggok, M. Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN, Jakarta, 2006).
UGM, Buletin Kamaludhis. Eka-Citta Bersatu dalam Dhamma: Simbol dalam
Buddhisme (Yogyakarta: Kamadhis UGM, 2008).
Usman, Husaini. Metode Penelitian Sosial (Jakarta: PT Bumi Aksara 2009).
Vidyaloka, Vihara. Dhamma Dana Para Dhammaduta (Yogyakarta: In Sight
Vidyasena Production, 2014)
Widiastuti, “Analisis Swot Keragaman Budaya Indonesia,” Jurnal Ilmiah
WIDYA, Vol, 1, No. 1.
69
Winoto, Wahid. Buddha & PesanNya (Jakarta: Dian Dharma, 2006).
Yoyoh Masruroh. “Makna dan Tata Cara Bhakti Puja Dalam Ajaran Buddha
Maitreya” Skripsi (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008).
Yuanzhi, Kong. Silang Budaya Tiongkok Indonesia (Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 2005).
Yusron Razak, dkk. Antropologi Agama (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet
Ke-1. http://asalusulbudayationghoa.blogspot.com/2010/04/ceng-beng.html Diakses
Pada Tanggal 20 maret 2018. http://buddhazine.com/kenapa-imlek-dirayakan-di-vihara-padahal-bukan-hari-
raya-agama-buddha/ Diakses pada tanggal 13 oktober 2018. http://pengertianahli.id/2013/09/pengertian-motivasi-menurut-para-ahli-2.html#
Diakses Pada Tanggal 04 Juni 2018. https://berita.bhagavant.com/2008/02/12/imlek-bukan-hari-raya-agama-
buddha.html Diakses Pada Tanggal 17 Oktober 2018. https://id.m.wikipedia.org Diakses Pada Tanggal 20 Oktober 2018. https://id.m.wikipedia.org Diakses Pada Tanggal 28 September 2018. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ikuanisme Diakses Pada Tanggal 21 Oktober
2018. https://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia Diakses Pada Tanggal 17 Maret
2018. https://www.apaarti.com/faktor.html Diakses Pada Tanggal 3 Mei 2018.
Wawancara Pribadi dengan Pandita Aji. Jakarta, 29 September 2018.
70
Wawancara Pribadi dengan Chujessie. Jakarta 04 April 2018.
Wawancara Pribadi dengan Erik. Jakarta, 02 September 2018.
Wawancara Pribadi dengan Leen. Jakarta, 16 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan Pandita Mingfu. Jakarta 27 Maret 2018.
Wawancara Pribadi dengan Rusman. Jakarta, 09 Juli 2018.
Wawancara pribadi dengan Tjoa Erica. Jakarta, 29 Mei 2018.
Wawancara Pribadi dengan Toni. Jakarta, 16 Juni 2018.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I
1. Surat Keluar
71
72
73
74
75
76
2. Surat Masuk
77
Lamppiran II
78
DIALOG WAWANCARA DENGAN PANDITA VIHARA
Selasa, 29 Mei 2018
Di Vihara Maitreyawira
Nama : Ajie Dhammaputra
Alamat : Taman Duta Mas Blok A18, Angke
Pekerjaan : Pandita Muda Vihara Maitreyawira
1. A: Apa yang bapak ketahui tentang Maitreya?
B: Maitreya itu salah satu Buddha dari agama Buddha yang sangat tekenal di
Tiongkok.
2. A: Bagaimana sejarah Buddha Maitreya berdiri?
B: Aliran Maitreya merupakan salah satu dari aliran dibawah Buddhisme
Mahayana, yang menekankan metode baktipuja terhadap banyak Buddha dan
Bodhisatva. Pemujaan terhadap Buddha Maitreya semakin populer di
kalangan masyarakat karena Buddha Maitreya adalah simbol kebahagiaan dan
harapan, di mana manusia masa sekarang hidup dalam penderitaan dan
tekanan batin. Di Taiwan terdapat beberapa aliran pemuja Maitreya, di
antaranya adalah I Kuan Tao dan Maha Tao Maitreya. Buddhisme Maitreya
yang berkembang di Indonesia umumnya berasal dari Maha Tao Maitreya
(dari Taiwan), dan puluhan tahun kemudian menyusul dari I Kuan Tao.
3. A: Kapan Buddha Maitreya masuk ke Indonesia pertama kali?
B: sekitar tahun 1950-an.
4. A: Bagaimana sejarah berdirinya Vihara Maitreya yang di Jakarta
79
B: vihara Maitreya yang di Jakarta diresmikan oleh Yang Arya Maha Sesepuh
Ong pada tanggal 26 Juni 1994. Vihara ini terletak di Taman Duta Mas A-8 Jl.
Tubagus Angke, Jakarta Barat di atas tanah seluas 3.000 m2.
Jadi pusdiklat Buddhis Maitreyawira didirikan sebagai pusat dari semua
Vihara Maitreya di Indonesia, bukan sebagai pengembangan dari vihara lain.
5. A: Apakah ada pro dan kontra dari masyarakat sejak vihara ini dibangun?
B: sejauh ini tidak ada, justru warga Taman Duta Mas terbantu dengan
adanya Vihara ini karena sebagian besar masyarakat di sini merupakan
mayoritas orang Tionghoa.
6. A: Kegiatan apa saja yang ada di vihara ini?
B: Program Diklat Dharma, Kelas Dharma Umum, Kelas Remaja/anak-anak,
Kelas Penataran Pandita Muda, Pertemuan Buddha dan Siswa, Kelas Paduan
Suara, Kelas seni Budaya, Penataran Cahaya Buddha (event bulanan),
Program Sosial Kemasyarakatan.
7. A: Kapan saja jadwal kegiatan tersebut?
B: setiap harinya selalu ada kegitan yang berbeda.
8. A: Apakah ada jadwal sembahyang di vihara ini?
B: ya ada, Pelaksanaan bhakti puja sehari 3 kali yaitu: pagi hari pukul 06.30,
siang hari pukul 12.00, dan sore hari pukul 18.30.
9. A: Ajaranya apa yang dipakai di vihara ini? Kenapa alasannya?
B: ajaran yang digunakan di Vihara Maitreyawira adalah ajaran cinta kasih,
karena Buddha Maitreya yang artinya Maha Pengasih dan Penolong, oleh
karena itu ajaran Maitreya diterapkan di Vihara ini.
10. A: Apa saja pengaruh budaya Tionghoa di Vihara Maitreyawira?
80
B: seperti yang sudah saya jelaskan tadi, karena di Vihara ini sebagian merupakan etnis Tionghoa oleh karema itu budaya Tionghoa di Vihara ini sangat berpengaruh. Dan ada pula beberapa pengaruh dari budaya Tionghoa yaitu: pertama, persembahan Dupa pada saat sembahyang, bahwasannya mereka umat Buddha disana masih memakai tradisi dari budaya Tionghoa tersebut dalam ritual sembahyang mereka karena mereka percaya persembahan Dupa saat sembahyang adalah cara umat berinteraksi dengan
Tuhannya kedua, dalam sembahyang umat Buddha di Vihara Maitreyawira yaitu memakai ritual bhakti puja yang berasal dari Tiongkok, bhakti puja ini sangat disukai oleh masyarakat Tionghoa karena bhakti puja ini mempunyai alliran Maitreya yang juga berasal dari Tiongkok. Jadi etnis Tionghoa sangat menyukai bhakti puja karena bhakti puja mempercayai banyak Buddha dan
Bodhisatva. Didalam bhakti puja pengaruh yang sangat kuat adalah mereka umat Buddha di Vihara Maitreyawira menggunakan bahasa Mandarin, karena bahasa Mandarin juga berasal dari Tiongkok. Ketiga, adanya beberapa Hari
Raya yang berasal dari Tionghoa masih dipakai umat Buddha di Vihara
Maitreyawira. Dari banyaknya hari raya budaya Tionghoa namun hanya beberapa saja yang sangat menonjol di Vihara ini, yaitu: hari raya Imlek dan
Cheng Beng.
81
82
DIALOG WAWANCARA DENGAN PANDITA VIHARA
Selasa, 27 Maret 2018
Di Vihara Maitreyawira
Nama : Mingfu
Alamat : Taman Duta Mas Blok A18, Angke
Pekerjaan : Pandita Vihara Maitreyawira
1. A: Apakah mayoritas jamaah yang berdoa di vihara ini merupakan etnis
Tionghoa?
B: iya, memang sebagian masyarakat komplek dan umat Vihara merupakan
orang Tionghoa.
2. A: Apakah ada umat yang beragama selain Buddha yang pindah agama ke
agama Buddha?
B: ya ada beberapa.
3. A: Apa alasan jamaah Tionghoa pindah agama Buddha di vihara ini?
B: banyak alasannya, dan salah satunya saya sendiri yang merupakan orang
Tionghoa pindah agama Buddha di Vihara ini, karena pada zaman dulu agama
Khonghucu belum di resmikan menjadi agama oleh karena itu saya
mencantumkan agama Buddha di dalam KTP. Keluarga saya beragama
Kristen dan tadinya saya beragama Kristen, namun teman-teman saya
kebanyakan beragama Buddha. Pada saat saya sebelum masuk Buddha saya
sedang merasa putus asa dan kehilangan arah tujuan hidup, lalu saya seperti
mendapat pencerahan dari Buddha sendiri. saya menoba memperdalam agama
Buddha itu sendiri dan menurut saya agama Buddha agama yang sepemikiran
dengan saya oleh karena itu saya memilih agama Buddha sebagai agama saya.
83
Setelah saya masuk agama Buddha hidup saya menjadi lebih baik dan lebih
terarahkan. Ada juga yang pindah karena pasangan hidup mereka, gaya hidup
mereka, dan masih banyak yang lainnya.
4. A: Mengapa banyak masyarakat Tionghoa yang dalam KTP beragama Buddha
namun jika ditanya mereka masih mempercayai agama leluhur mereka
Tiongkok?
B: ya seperti yang sudah saya jelaskan bahwa pada saat itu agama Khonghucu
belum di resmikan menjadi agama oleh karena itu saya mencantumkan agama
Buddha di dalam KTP.
5. A: Apakah ada ritual dalam agama Buddha di vihara ini yang masih
mempercayai tradisi Tionghoa? Apa saja ritualnya?
B: iya ada, ritual sembahyang tersebut bernama bhakti puja karena bhakti puja
berasal dan berkembang paling banyak di Tiongkok masyarakat di Vihara
Maitreyawira Jakarta masih memakai bhakti puja tersebut.
6. A: Apakah ada tradisi di Vihara Maitreyawira yang masih memakai Tradisi
Tionghoa? Mengapa di vihara ini masih memakai tradisi Tionghoa?
B: iya ada, karena tradisi tersebut merupakan warisan turun temurun yang
harus dilestarikan agar tradisi tersebut tidak hilang begitu saja.
7. A: Apakah ada unsur fisik jamaah yang beribadah di vihara ini, baik dari
unsur fisik dan gerakan yang masih mempercayai tradisi Tionghoa? Apa saja
unsur fisiknya?
B: iya ada, salah satu unsur fisik itu memakai Dupa saat berdoa atau
sembahyang, ada juga bahasa yang digunakan dalam smebahyang memakai
bahasa mandarin.
84
85
DIALOG WAWANCARA DENGAN PANDITA VIHARA
Senin, 9 Juli 2018
Di Vihara Maitreyawira
Nama : Rusman
Alamat : Taman Duta Mas Blok A18, Angke
Pekerjaan : Pandita Vihara Maitreyawira
1. A; Apakah ada simbol/ pernak-pernik didalam vihara yang memakai tradisi
Tionghoa?
B: iya ada, Patung naga yang berbentuk seperti ular menurut sejarah patung
ini berasal dari Tiongkok yang melambangkan keberanian, kebenaran, dan
kecermerlangan rezeki. Menggunakan Dupa yang berasal dari Tiongkok
namun kini banyak dipakai agama Buddha. Tempat pembakaran uang kertas
jin lu. Menurut sejarah Tionghoa pembakaran uang kertas ini sebagai
syukuran untuk Dewa-Dewi, dan sembahyang leluhur, dan masih ada yang
lainnya.
2. A: Mengapa vihara ini memakai simbol tersebut?
B: simbol-simbol tersebut hanya lambang atau bentuk yang dipecayai
masyarakat di Vihara sangat membantu Vihara tersebut agar menjadi lebih
baik lagi.
3. A: Apakah arsitektur dari vihara ini ada tradisi Tionghoa?
B: tidak, arsitektur disini sudah menggunakan bangunan yang modern,
sehingga tidak ada lagi bentuk bangunan yang merupakan tradisi dari
Tionghoa.
4. A: Apa motivasi jemaah yang beribadah di vihara ini?
86
B: banyak dari umat yang bersembahyang ingin hidup yang bahagia, terhindar
dari segala masalah tetapi ada juga yang berdoa agar usaha yang mereka
jalankan dilancarkan oleh Tuhan-nya, ada juga yang berdoa universal untuk
negara dan keluarganya, dan masih banyak doa-doa yang lainnya.
5. A: apakah ada agama lain selain Buddha yang pindah ke agama Buddha di
Vihara Maitreyawira?
B: ya ada, saya sendiri.
6. A: Apakah alasan mereka pindah ke agama Buddha?
B: kalau saya sendiri pindah ke agama Buddha karena menurut saya agama
Buddha lebih Universal, bisa diterima oleh siapa saja.
87
88
DIALOG WAWANCARA DENGAN PANDITA VIHARA
Rabu, 4 April 2018
Di Vihara Maitreyawira
Nama : Chujessie
Alamat : Jl. Jelambar Jakarta Barat
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
1. A: Apa yang anda ketahui tentang budaya apa saja yang saudara praktikan di
vihara ini yang memakai atau mempercayai tradisi Tionghoa?
B: Ada banyak. Hari raya Imlek, Cheng Beng, ritual bhakti puja,
menggunakan Dupa saat berdoa atau sembahyang. dari keempat hari raya
tersebut masih di terapkan di Vihara ini, karena sebagian besar umat di Vihara
ini merupakan etnis Tionghoa. Sebab itu tradisi tersebut masih di lestarikan
agar tidak hilang begitu saja.
2. A: Apakah saudara setuju bila tradisi Tionghoa masih dipraktikan di Vihara
ini?
B: saya setuju, seperti yang saya jelaskan agar tradisi tersebut tidak hilang
begitu saja walaupun pergantian zaman.
3. A: Motivasi apa yang membuat saudara berdoa di vihara ini?
B: berharap bisa mengembangkan dalam diri untuk semua makhluk termasuk
untuk keluarga dan dunia. Beliau juga berdoa agar negara kita bebas dari
segala masalah yang membuat masyarakat menjadi kesulitan dan di jauhkan
dari segala bencana.
4. A: Apakah dengan adanya vihara ini sangat membantu anda dalam berdoa
atau sembahyang?
89
B: Iya sangat membantu. Karena dengan adanya Vihara ini saya tidak perlu
mencari Vihara atau tempat saya berdoa yang terlalu jauh dari rumah saya.
5. A: Apakah saudara mengikuti kegiatan yang diadakan di vihara ini, baik
dalam kegiatan keseniannya ataupun kegiatan lainnya?
B: Saya hanya mengikuti kegiatan sosial dan event bulanan saja.
6. A: Apakah saudara selalu berdoa atau sembahyang di vihara ini?
B: Iya saya selalu berdoa di Vihara ini karena sesuai dengan ajaran Buddha
oleh karena ini saya selalu berdoa di sini.
90
91
DIALOG WAWANCARA DENGAN PANDITA VIHARA
Minggu, 2 September 2018
Di Vihara Maitreyawira
Nama : Erik
Alamat : Jakarta
Pekerjaan : Karyawan
1. A: Kebudayaan apa saja yang saudara praktikan di vihara ini yang memakai
atau mempercayai tradisi Tionghoa?
B: Imlek, Cheng Beng dan lain sebagainya. Sebenarmya di Tiongkok ada
banyak tradisi yang mereka percayai. Namun di Vihara ini tidak semua
memakai tradisi dari Tiongkok hanya beberapa saja yang digunakan di Vihara
ini. Tetapi tradisi Tiongkok di Vihara ini sangat kuat lantaran umat di Vihara
ini sebagian merupakan etnis Tionghoa jadi tradisi Tinghoa disini sangat
dilestarikan.
2. A: Apakah saudara setuju bila tradisi Tionghoa masih dipraktikan di Vihara
ini?
B: setuju. Agar tradisi tersebut tidak menghilang begitu saja dikarenakan
zaman yang semakin modern dan budaya barat yang semakin berkembang
oleh karena itu budaya Tionghoa harus tetap di tradisikan.
3. A: Motivasi apa yang membuat saudara berdoa di vihara ini?
B: berdoa di Vihara Maitreyawira merupakan tradisi dari agama Buddha.
mereka sembahyang di Vihara Maitreyawira semata hanya untuk memuja
Tuhan, Dewa-Dewa, Bodhisatva dan lain sebagainya. Agar kehidupan mereka
diberi kelancaran oleh Tuhan.
92
4. A: Apakah dengan adanya vihara ini sangat membantu anda dalam berdoa
atau sembahyang?
B: sangat membantu. Karena Vihara di Jakarta semakin banyak tetapi
memiliki aliran yang berbeda-beda. Sebab itulah saya terbantu dengan adanya
Vihara ini karena saya mempercayai ajaran dari Maitreya yang mempercayi
banyak Buddha dan Bodhisatva.
5. A: Apakah saudara mengikuti kegiatan yang diadakan di vihara ini, baik
dalam kegiatan keseniannya ataupun kegiatan lainnya?
B: saya hanya mengikuti program Diklat Dharma kebaktian rutin setiap hari
minggu karena saya juga sebagai karyawan oleh karena itu saya tidak banyak
mengikuti kegiatan di Vihara ini.
6. A: Apakah saudara selalu berdoa atau sembahyang di vihara ini? Apa
alasannya?
B: Tidak selalu tapi saya selalu menyempatkan waktu untuk berdoa di Vihara
ini karena waktu saya terlalu banyak dikantor. Setiap hari minggulah saya
selalu datang ke Vihara ini dan di setiap hari besar saya selalu ke Vihara ini
untuk berdoa dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
93
94
DIALOG WAWANCARA DENGAN PANDITA VIHARA
Sabtu, 16 Juni 2018
Di Vihara Maitreyawira
Nama : Leen
Alamat : Jl. Angke Jelambar Jakarta Barat
Pekerjaan : Karyawan
1. A: Agama apa yang saudara percayai?
B: saya beragama kristen
2. A: Apa alasan yang membuat saudara pindah agama Buddha?
B: karena saya melihat kehidupan di agama Buddha lebih baik dan akhirnya
saya memutuskan untuk pindah ke dalam agama Buddha. saya mendapatkan
hidayah di Agama Buddha saat saya merasa saya tenang berada di Vihara ini,
saya merasakan kenyamanan dan akhirnya saya memilih Vihara ini sebagai
tempat bersaksi saya agar diterimanya ikrar saya kepada Tuhan.
3. A: Bagaimana respon keluarga anda atau orang sekitar dengan pindahnya
agama anda ke Buddha. Apakah mereka merespon positif atau negatif?
B: keluarga saya menerimanya karena keluarga saya bukan keluarga yang
memaksakan untuk mengikuti agama mereka (memberikan kebebasan).
4. A: Mengapa saudara masih mempercayai tradisi Tionghoa?
B: karena tradisi Tionghoa merupakan tradisi yang harus tetap dilestarikan
untuk mengenang keluarga, sahabat, dan sesepuh yang sudah tiada. Beberapa
tradisi Tionghoa juga masih di tradisikan karena maitreya berasal dari
mahayana oleh karena itu tradisi Tionghoa masih diterapkan diVihara ini.
95
5. A: Mengapa masyarakat Tionghoa dalam KTP beragama Buddha namun jika
ditanya mereka masih mempercayai agama leluhur mereka Tiongkok?
B: karena pada saat itu agama Khonghucu belum diresmikan oleh pemerintah,
namun banyak dari masyarakat Tionghoa yang mencantumkan agama Buddha
di dalam KTP-nya. Karena ajaran dalam Khonghucu tidak jauh dari ajaran
Buddha hanya saja agama Buddha pada saat itu sudah di resmikan makanya
mereka yang ditanya beragama apa mereka menjawab agama Buddha tapi
mereka sesungguhnya beragama Khonghucu atau Tao.
96
97
DIALOG WAWANCARA DENGAN PANDITA VIHARA
Selasa, 29 Mei 2018
Di Vihara Maitreyawira
Nama : Tjoa Erica
Alamat : Jl. Jelambar Utama VII No.29A, Jak-Bar, 11460
Pekerjaan : Karyawan Swasta
1. A: Apakah Tradisi Tionghoa masih dilestarikan di Vihara ini?
B: iya masih, karena tradisi Tionghoa merupakan termasuk kedalam aliran
yang ada di Vihara ini. Oleh karena ini tradisi tersebut masih sangat
dilestarikan di Vihara ini agar tidak hilang begitu saja.
2. A: Mengapa saudara masih mempercayai tradisi Tionghoa?
B: karena tradisi Tionghoa merupakan tradisi leluhur yang sudah tiada oleh
karena itu tradisi Tionghoa masih banya yang mempercayai di kalangan etnis
Tionghoa.
3. A: Mengapa masyarakat Tionghoa dalam KTP beragama Buddha namun jika
ditanya mereka masih mempercayai agama leluhur mereka Tiongkok?
B: karena agama Tao di Indonesia tidak ada oleh karena itu mereka
mencantumkan agama Buddha di KTP hanya untuk memenuhi syarat dalam
KTP. Oleh karena itu mereka jika ditanya beragama apa mereka tetap
menjawab mereka masih mempercayai agama leluhur mereka.
4. A: Apakah saudara mengikuti kegiatan yang diadakan di vihara ini, baik
dalam kegiatan keseniannya ataupun kegiatan lainnya?
B: iya, saya mengikuti beberapa kegiatan yang ada di Vihara ini seperti: kelas
penataran pandita muda, dimana kelas ini kelas yang akan diangkat menjadi
98
pandita muda/madya agar menjalankan kewajibannya dengan baik. Saya juga
mengikuti kegiatan diklat dharma yang mana kegiatan ini merupakan
kebaktian rutin setiap hari minggu. Dan saya juga selalu mengikuti kegiatan
event yang diadakan di Vihara ini.
5. A: Apakah saudara selalu berdoa atau sembahyang di vihara ini?
B: iya saya selalu berdoa disini jika waktu saya senggang.
99
100
DIALOG WAWANCARA DENGAN PANDITA VIHARA
Sabtu, 16 Juni 2018
Di Vihara Maitreyawira
Nama : Toni
Alamat : Jakarta Barat
Pekerjaan : Karyawan
1. A: Apa alasan yang membuat saudara pindah agama Buddha?
B: karena dalam agama mengharuskan berpasangan dalam satu agama oleh
karena itu saya pindah agama karena saya ingin menikah. Namun lain dari hal
pernikahan saya pindah agama kuga keinginan saya sendiri bukan paksaan
dari siapapun. Saya meresa agama Buddha telah membuat saya sadar akan
banyak hal. Oleh karena itu saya memutuskan untuk berpindah agama
Buddha.
2. A: Bagaimana respon keluarga anda atau orang sekitar dengan pindahnya
agama anda ke Buddha. Apakah mereka merespon positif atau negatif?
B: mereka semua sangat mendukung karena teman-teman saya kebanyakan
juga beragama Buddha jadi tidak ada yang merugikan juga bagi mereka.
3. A: Mengapa saudara masih mempercayai tradisi Tionghoa?
B: karena tradisi Tionghoa sangat berpengaruh di Vihara Maitreyawira ini dan
ajarannya yang tidak jauh dari tradisi Tionghoa.
4. A: Mengapa masyarakat Tionghoa dalam KTP beragama Buddha namun jika
ditanya mereka masih mempercayai agama leluhur mereka Tiongkok?
B: sangat jelas pada saat itu masyarakat Tionghoa diambang kebebasan
memilih agama yang dipercayai lantaran agama Tao atau Khonghucu belum di
101
remikan namun mereka harus mempunyai agama dalam KTP oleh karena itu
mereka memilih agam Buddha yang ajarannya tidak jauh dari ajaran Tao atau
Khonghucu oleh karena itu apabila saat mereka ditanya agama apa mereka
malah menjawab masih mempercayai agama leluhur mereka yang berasal dari
Tiongkok.
5. A: Kebudayaan apa saja yang saudara praktikan di vihara ini yang memakai
atau mempercayai tradisi Tionghoa?
B: hanya ada beberapa tradisi di Vihara ini yang masih memakai budaya
Tionghoa. Tetapi budaya Tionghoa di Vihara ini sangat menonjol dan sangat
dilestarikan.
6. A: Apakah saudara setuju bila tradisi Tionghoa masih dipraktikan di Vihara
ini?
B: saya setuju agar tradisi tersebut tidak hilang begitu saja.
102
Lampiran III
Foto Dokumentasi
Foto hari raya Imlek
Foto bersama Tjoa Erica
103
Foto bersama bpk. Pandita Muda Ajie
Foto tampak depan Vihara
104
Foto Altar di Vihara Maitreyawira