T e s i s

PERFORMA KOMUNIKATIF PROGRAM RELIGI DI TV KOMERSIAL: ANALISIS PADA PROGRAM “WISATA HATI”

Diajukan oleh : Aries Budiono NIM : 21140510000013

Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah 1439 H/2018 M

i PERFORMA KOMUNIKATIF PROGRAM RELIGI DI TV KOMERSIAL: ANALISIS PADA PROGRAM “WISATA HATI” ANTV

Tesis

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Magister Sosial (M.Sos)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh:

Aries Budiono NIM : 21140510000013

Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1439 H/2018 M

ii

Abstrak

Manajemen produksi yang baik menjadi kata kunci terwujudnya output program televisi yang baik pula. Seluruh rangkaian proses produksi, baik mulai pra, produksi, dan post-produksi, haruslah dirancang dan dijalankan dengan mengikuti kaidah manajemen produksi yang berlaku, guna memastikan berjalannya proses yang efektif dan hasil yang memuaskan. Dalam banyak kasus, karena dikejar deadline, sebuah proses produksi dikerjakan tanpa mengikuti kaidah dan alur manajemen produksi yang baik. Akibatnya, detail rundown, content, standar teknis produksi, kurang mendapat perhatian atau bahkan diabaikan. Hal ini tentu saja akan berdampak pada materi program yang dihasilkan. Program religi di televisi komersial selama ini dipersepsikan sebagai program untuk public service dari perusahaan, dan bukan program yang bisa diharapkan mendatangkan revenue. Karenanya, di hampir semua stasiun televisi komersial, program ini ditempatkan pada jam tayang yang tidak populer. Performa program religi juga dipandang tidak bisa bersaing dengan program lainnya, semisal program-program hiburan. Benarkan persepsi tersebut? Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan: Bagaimanakah apresiasi televisi komersial, dalam hal ini ANTV, terhadap program religi di televisi? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan buruknya performa program religi di televisi komersial? Dan bagaimanakah performa komunikatif program “Wisata Hati” di ANTV? Kenapa program Wisata Hati menjadi obyek penelitian? Program ini diklasifikasikan menjadi 2 bagian: Pertama, program yang

viii diproduksi indoor. Kedua, program yang diproduksi outdoor. Kedua kategori ini memiliki tampilan dan karakter yang berbeda, serta performa yang berbeda pula. Penelitian ini akan melihat bagaimana performa program Wisata Hati dalam dua kategorisasi tersebut, dengan membandingkan perolehan tv-rating dan tv-share. Kenapa capaian prestasi kategori yang satu berbeda dengan yang lain? Bagaimana proses produksi keduanya dipersiapkan dan dijalankan?

Keywords: Manajemen produksi, performa komunikatif, rating & share, program religi, televisi komersial.

ix KATA PENGANTAR

Bismillaahi ar-Rahmaani ar-Rahiim, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Performa Komunikatif Program Religi Di TV Komersial: Analisis Pada Program Wisata Hati ANTV”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan Tesis ini, baik berupa dorongan moril maupun materiil. Karena penulis percaya tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini. Untuk itu, izinkan penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) Bapak Dr. Arief Subhan, MA, beserta para Pembantu Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua Prodi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Bapak Dr. Sihabuddin Noor, MA, dan Sekretaris Prodi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Bapak Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, beserta seluruh staffnya. 3. Bapak Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

x 4. Bapak Dr. Sunandar, M.Ag, yang dengan sepenuh hati telah mendorong penulis untuk melanjutkan kuliah dan mengambil konsentrasi pada Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam, FIDIKOM UIN Jakarta. 5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, diiringi ungkapan tulus semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. 6. Ungkapan terima kasih dan doa tulus sebagai wujud bakti penulis haturkan dengan rendah hati dan hormat kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda (alm) H.M. Supaat dan Ibunda (almh) Hj. Sutini, teriring doa semoga Allah SWT muliakan disisi-Nya. Juga untuk kakak dan adik-adik penulis yang dengan segala pengorbanannya tak akan pernah penulis lupakan jasa-jasa mereka. Terima kasih mbakyu dan adik-adik yang baik. 7. Isteri tercinta dan anak-anak yang penulis banggakan, yang telah mendukung penyelesaian Tesis ini. 8. Semua teman-teman seperjuangan di PayTren TV, yang sepenuhnya memberi support kepada penulis. Kalian sungguh luar biasa. 9. Teman-teman mahasiswa program Magister KPI - FIDIKOM UIN Jakarta, wa bil khusus angkatan pertama, yang selalu memberikan support dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan Tesis ini.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan memohon kepada-Nya agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat. Amiin..

xi Wabillaahi at-Taufiiq wa al-Hidayah,

Jakarta, 15 Januari 2018

xii DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ...... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ...... v

LEMBAR PENGESAHAN ...... vii

ABSTRAK ...... viii

KATA PENGANTAR ...... x

DAFTAR ISI ...... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1

B. Rumusan Masalah...... 12

1. Pembatasan Masalah ...... 12

2. Perumusan Masalah ...... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 13

1. Tujuan Penelitian ...... 13

2. Manfaat Penelitian Secara Teoritis ...... 14

D. Tinjauan Pustaka ...... 15

E. Metodologi Penelitian ...... 18

1. Paradigma Penelitian ...... 18

2. Metode Penelitian ...... 20

xiii 3. Objek Penelitian ...... 21

4. Jenis dan Sumber Data ...... 21

5. Teknik Analisis Data ...... 22

BAB II. KERANGKA TEORITIS ...... 23

A. Performa Komunikatif ...... 23

A.1. Faktor Etnografi ...... 26

A.2. Citra ...... 30

B. Karakter Televisi Komersial ...... 41

B.1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Televisi

Komersial ...... 49

B.2. Bentuk Badan Usaha Televisi Komersial ...... 52

B.3. Tidak Mendapatkan Anggaran Pemerintah ...... 57

B.4. Pesan Bersifat Komersial ...... 59

C. Manajemen Produksi Program Televisi ...... 61

C.1. Manajemen Produksi Menurut Herbert Zettl ...... 61

C.2. Manajemen Produksi Menurut Branston dan Stafford .. 71

BAB III. PROFIL ANTV DAN KEBIJAKAN PROGRAM

“WISATA HATI” ...... 76

A. ANTV Sebagai Stasiun Televisi Komersial ...... 76

xiv A.1. Visi dan Misi ...... 78

A.2. Program-program Unggulan ...... 80

B. Kebijakan Program Wisata Hati ...... 85

BAB IV. TEMUAN DAN ANALISA ...... 89

A. Profil Program Wisata Hati ...... 89

A.1. Nara Sumber ...... 90

A.2. Tema-tema Program ...... 94

A.3. Pemilihan Format Program ...... 97

B. Manajemen Produksi Program Wisata Hati ...... 100

B.1. Alur Produksi Indoor-Studio ...... 105

B.2. Alur Produksi Outdoor (Non-Studio) ...... 108

C. Survei Kepemirsaan dan Temuan Performa ...... 109

C.1. Data Rating & Share Nielsen Media Research ...... 113

C.2. Metode Survei Kepemirsaan Televisi ...... 117

C.3. Bagaimana Riset Rating & Share Dilakukan ...... 119

C.4. Rating Program Wisata Hati ...... 126

D. Pengaruh Pola Produksi Terhadap Performa Komunikatif Program

Wisata Hati ...... 132

D.1. Rundown Program ...... 132

D.2. Pengaruh Pola Produksi ...... 138

xv BAB V. PENUTUP ...... 141

A. Kesimpulan ...... 141

B. Saran ...... 143

DAFTAR PUSTAKA ...... 145

xvi 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Televisi sebagai media penyiaran audio-visual, saat ini masih menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat untuk mendapatkan akses hiburan dan informasi. Meski peran dan kedudukannya tidak sedominan seperti pada era tahun 1990an --karena saat ini sudah muncul banyak alternatif platform penyiaran media audio-visual lainnya-- namun keberadaan media televisi masih memberikan pengaruh yang sangat besar dalam segala aspek kehidupan mayoritas masyarakat. Pengaruh media televisi begitu kuat, utamanya terhadap kalangan anak-anak, remaja dan dewasa dari semua lapisan masyarakat. Karenanya, segala bentuk kajian yang terkait dengan eksistensi media penyiaran televisi, utamanya materi atau program-program yang diproduksi dan disiarkannya, selalu menjadi obyek studi yang menarik. Apa sesungguhnya media penyiaran televisi itu, bagaimana awal muncul dan perkembangannya, serta apa saja program-program yang diproduksi dan ditayangkannya? Siaran televisi mulai dikenal di pada tahun 1962, saat pemerintah menayangkan secara langsung upacara peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-17, pada 17 Agustus 1962. Siaran itu dilaksanakan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI), dan merupakan siaran percobaan. Lembaga penyiaran pemerintah itu baru melakukan siaran secara resmi pada 24 Agustus 1962, pukul 14.30. WIB, dengan menyiarkan secara langsung upacara pembukaan Asian Games ke-4 yang berlangsung di 2 stadion utama Gelora Bung Karno.1 Sejak saat itu, hingga 27 tahun kemudian, masyarakat Indonesia mendapatkan tontonan siaran televisi hanya dari 1 channel media, yaitu televisi milik pemerintah tersebut. Sejarah kemudian mencatat bahwa pada tahun 1989 barulah pemerintah memberikan izin kepada pihak swasta untuk menyelenggarakan lembaga penyiaran televisi. Masyarakat pun kemudian memiliki pilihan tontonan yang lebih beragam. Seiring perkembangan teknologi penyiaran, perkembangan industri televisi juga mencatat pertumbuhan yang positif. Setelah Undang-Undang Penyiaran disahkan pada tahun 2002, jumlah media televisi baru di Indonesia diperkirakan akan terus bermunculan. Hingga kini, terdapat ratusan lembaga penyiaran televisi, baik yang berada di bawah pengelolaan lembaga/instansi pemerintah maupun swasta, dalam berbagai format siarannya: puluhan televisi swasta nasional yang tayang dalam format terrestrial, puluhan televisi lokal, puluhan televisi satelit, puluhan televisi berbayar/berlangganan, serta ratusan televisi streaming. Dengan banyaknya media televisi dan regulasi yang mendukung, tak pelak industri penyiaran televisi pun tumbuh kompetitif. Menurut riset yang dilakukan lembaga pemeringkat pemirsa televisi, Nielsen, pada bulan Mei tahun 2014 lalu menyebutkan bahwa 95 % penduduk Indonesia secara keseluruhan (Jawa maupun luar Jawa) masih menjadikan televisi sebagai media utama yang paling banyak dikonsumsi. Tumbuhnya industri penyiaran televisi juga karena televisi

1 Morissan, M.A., Manajemen Media Penyiaran, Strategi Mengelola Radio & Televisi, Kencana, Jakarta, 2008, hal 9. 3 merupakan salah satu bagian dari media konvensional yang memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat di era digital saat ini. Luasnya jangkauan penyiaran televisi membuat televisi memiliki pengaruh yang juga cukup besar dalam masyarakat. Karena hal itu pula, televisi masih menjadi media terfavorit bagi para pemasang iklan di Indonesia. Menurut survei Nielsen Advertising Information Services, jumlah belanja iklan di televisi pada periode Januari hingga Juli 2017 mencapai Rp 82,1 Triliun. Capaian ini menunjukkan trend peningkatan jika dibandingkan periode yang sama pada tahun 2016.2 Dengan “kue iklan” sebesar itu, tak heran jika pelaku industri media televisi (industri hiburan) terus berlomba untuk melakukan inovasi dan improvisasi, baik konten, teknik maupun artistik. Dengan performa yang baik, yang diminati pemirsa atau masyarakat, dipastikan stasiun televisi tersebut akan memenangkan perebutan kue-iklan yang ada. Dalam konteks itu, saat ini “layar kaca” pemirsa disuguhi aneka program yang menarik dan gemerlap dengan sederet bintang, baik lokal maupun internasional. Dari data susunan acara yang ada di berbagai televisi komersial, program-program yang bergenre entertainment seperti comedy, drama, movie, talent show, variety show, music concert, dan sport, merupakan acara yang paling banyak ditonton pemirsa, karena jadwal penayangannya menempati jam tayang prime-time (antara pukul 19.00 - 21.00 WIB). Dan acara-acara itu, tentu membutuhkan anggaran (budget) yang tak sedikit. Di tengah konfigurasi program-program televisi yang demikian

2http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2017/BELANJA-IKLAN-TUMBUH-PE RLAHAN.html (diunduh pada tgl 12 Desember 2017) 4 itu, dimanakah posisi program religi? Program religi di media televisi merupakan program atau tayangan yang menyampaikan ajaran agama serta pesan-pesan keagamaan, dan disampaikan oleh narasumber yang dinilai mengerti ajaran agama. Program atau tayangan ini tentu dimaksudkan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, dimana masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius. Beragam tema dibahas dalam program religi ini. Demikian pula, konsep program dan format tayangannya pun dapat hadir dalam berbagai ragamnya. Dapatlah dikatakan bahwa semua stasiun televisi komersial nasional memiliki program religi, baik televisi yang berkarakter sebagai family entertainment channel maupun information/news-sport channel. Sebutlah misalnya TVONE dengan program “Damai Indonesiaku”, SCTV dengan program “Kata Ustadz Solmed”, RCTI dengan program “Bunga-Bunga Hati” dan “Cahaya Hati”, ANTV dengan program “Wisata Hati” dan “Cahaya Hati”, dengan program “Mamah dan Aa”, Trans TV dengan program “Islam itu Indah”, dan lain sebagainya. Program-program religi ini bersifat regular, dan beberapa diantaranya bahkan sudah bertahan lebih dari 4 tahun, seperti “Damai Indonesiaku”, “Mamah dan Aa”, serta “Cahaya Hati”. Meski program religi di televisi swasta nasional atau televisi komersial merupakan program regular, namun faktanya --kecuali program “Damai Indonesiaku”-- penempatan (placement) program-program ini menempati slot tayang pada jam-jam yang “tidak populer”. Program religi ditempatkan pada waktu tayang yang sepi penonton (fringe time). Sementara dari sisi pilihan format, pada umumnya format basic program religi adalah talkshow indoor, seperti Hikmah Pagi, Kata Ustadz Solmed, Assalamu’alaikum Ustadz, 5

Wisata Hati, dan Cahaya Hati. Lembaga penyiaran televisi terbagi berdasarkan sifat dan jenisnya. Ada yang bersifat bisnis atau komersial, namun ada juga yang bersifat non-komersial. Namun pada umumnya lembaga penyiaran swasta bersifat komersial, sebab lembaga penyiaran jenis ini masuk dalam kategori industri penyiaran atau hiburan. Umumnya, program-program yang menjadi andalan dari televisi komersial adalah program-program yang bersifat hiburan, baik dalam bentuk tayangan musik, film (drama), komedi, reality-show, dan variety-show. Setelah itu baru program-program bergenre news dan sport. Sesuai dengan sifatnya, televisi (lembaga penyiaran) swasta dapat dikategorikan menjadi bagian dari industri hiburan. Karenanya orientasi profit selalu menjadi pertimbangan utama dalam merancang program-program yang akan ditayangkannya. Karena itu, jika sebuah program memiliki performa yang baik dan mendatangkan profit/revenue iklan), maka pastilah program itu akan “dirawat” dan dikembangkan terus. Namun jika sebaliknya, atau sebuah program tidak mendatangkan revenue/iklan, maka program itu tidak akan dipertahankan. Dan sebuah program akan mendatangkan profit/revenue jika program itu memiliki performa (rating) yang baik. Dari sisi pengelolaan program acara, televisi saat ini berlomba-lomba untuk menarik perhatian pemirsanya demi mencapai perolehan iklan yang tinggi. Banyak stasiun televisi mengikuti niche programming dan strategi narrowcasting, yakni menjadwalkan program dengan jenis yang sama atau yang ditujukan untuk target spesifik dan segment pemirsa yang sama. Dalam hal ini, rating menentukan nilai jual program kepada para pengiklan. Semakin 6 tinggi rating sebuah acara, semakin besar pula minat para pengiklan untuk mensponsori acara meskipun dengan harga yang tinggi. Akibatnya, semua stasiun televisi berusaha membuat acara semenarik mungkin dan bisa menyedot sebanyak mungkin pengiklan. Mengapa media televisi sedemikian takluk pada rating? Tidak sama dengan media cetak atau media online (internet), televisi memiliki potensial viewer yang sangat besar. Di luar ketegori televisi berlangganan atau televisi kabel, nyaris tidak ada biaya (uang) yang dikeluarkan seseorang untuk menonton televisi, sehingga masyarakat cenderung memilih mengonsumsi media televisi, dibanding media lainnya. Dalam Media Scene tahun 2005-2006 misalnya, disebutkan jumlah total penduduk Indonesia adalah 219.898.300 jiwa, sedangkan jumah penduduk di daerah yang terjangkau siaran televisi mencapai 175.296.231 (Amir Effendi Siregar: 2007: 35-36). Angka ini tentu menjadi lahan yang sangat subur bagi produsen untuk mempromosikan produknya lewat televisi, berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Fakta di atas didukung pula oleh kekuatan televisi sebagai media penyampai iklan dengan berbagai kelebihan, terutama kemampuan menggabungkan citra verbal dan nonverbal dalam format audio visual yang mudah diakses dan sulit ditandingi media manapun. Tak heran bila belanja iklan di televisi jauh mengungguli media lainnya. Pengiklan sangat berkepentingan dengan kemampuan menjangkau jumlah pemirsa sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang disiarkan melalui acara TV, sehingga biaya promosi yang dikeluarkan itu (cost) berpotensi balik dengan jumlah keuntungan (benefit) yang jauh lebih tinggi. Hasrat beriklan ini mencapai puncaknya pada acara-acara yang 7 berkategori tayang prime time. Menurut Nielsen Media Research (NMR), prime time adalah waktu ketika semua orang sudah pulang ke rumah dan menonton televisi. Terletak antara pukul 19.00 – 21.00 malam. Prime time dipercaya akan menghasilkan rating yang lebih tinggi dibanding waktu lain. Pemahaman ini membuat acara yang tayang pada waktu tersebut menjadi lebih mahal harganya (Panjaitan & Iqbal, 2006: 42). Momen istimewa prime time digunakan televisi untuk menayangkan program acara (sebutlah sinetron) yang isinya kurang lebih sama. Akibatnya, publik yang ingin mencari alternatif tayangan lain seolah tidak diberi kesempatan. Hak publik untuk memperoleh keragaman materi produksi televisi (diversity of content) pada jam-jam tersebut tampaknya diabaikan begitu saja oleh pengelola stasiun televisi. Program Wisata Hati, yang ditayangkan di ANTV dalam rentang waktu antara bulan Oktober 2011 hingga Oktober 2013, merupakan salah satu program religi yang menarik untuk dicermati. Program ini ditayangkan setiap hari Senin hingga hari Jum’at, mulai pukul 05.00 sampai dengan pukul 05.30 WIB, dengan menampilkan narasumber tunggal Ustadz Yusuf Mansur,3 seorang da’i/muballigh dengan jaringan jamaah yang cukup banyak. Selain sebagai da’i, Ustadz Yusuf Mansur juga merupakan pendiri dan pengasuh Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an dan jaringannya, serta pendiri dan pengasuh Program Pembibitan Penghafal Al-Qur’an (PPPA),4 yakni sebuah lembaga dakwah berbasis pengelolaan zakat, infak, sedekah dan wakaf dari masyarakat. Selain itu, Ustadz Yusuf Mansur juga dikenal

3 Production Departement Antv, Production Book Program Wisata Hati, Jakarta, 2011. 4 http://www.pppa.or.id/modul.php?content=berita&idb=443c. Diakses pada 23 Februari 2015. 8 aktif memanfaatkan sosial-media untuk menyampaikan pesan dakwahnya. Karenanya, tidaklah mengherankan jika sosok dan kiprah Ustadz Yusuf Mansur selalu mendapat perhatian dan apresiasi masyarakat luas. Sebagai program religi, Wisata Hati merupakan salah satu program yang mendapat apresiasi dari pemirsa. Hal ini dapat dilihat dari perolehan rating dan share-nya. Sebagai contoh, pada pekan ke-3 yaitu tanggal 31 Oktober hingga 4 November 2011, perolehan rating/sharenya adalah 0,6/10,2, dan pada pekan ke-4, atau tanggal 7 November hingga 11 November 2011 perolehan rating/sharenya 0,5/10,7.5 Tingkat pengenalan pemirsa terhadap program ini juga dapat dilihat dari situs Youtube, dimana copy tayang program ini banyak diunggah di situs berbagi ini. Program ini dikemas dalam format monolog-indoor (studio) dan penyampaiannya menggunakan pola ta’lim (pengajaran).6 Tema-tema yang dibahas oleh nara sumber juga merupakan tema-tema yang populer di masyarakat, seperti mengatasi kesulitan hidup, keluar dari jerat hutang-piutang, mendapatkan jodoh, dan lain-lain, hingga tema tentang keajaiban sedekah. Tema-tema tersebut merupakan realitas sehari-hari yang terjadi dan dialami oleh masyarakat. Pada bulan Desember 2012, tampilan program ini mengalami perubahan, yakni dari konsep dengan format indoor-studio ke format outdoor. Hal ini membuat pemirsa program ini bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya melatarbelakangi perubahan ini? Pasalnya,

5 ANTV, Data Performance Program Wisata Hati, Research & Writer, Production Department, Jakarta, 2013. 6 Production Departement Antv, Production Book Program Wisata Hati, Jakarta, 2011. 9 perubahan format ini dirasa cukup mengganggu, sebab bukan hanya packaging-nya dan pola komunikasinya saja yang berubah, namun content pembahasan temanya juga berubah. Dan hal ini berdampak pada berubahnya performa komunikatif program tersebut. Dengan kata lain, perubahan ini telah menyebabkan program ini kurang memenuhi ekspektasi pemirsanya, yang sudah terbina selama kurang lebih 1 (satu) tahun. Secara keseluruhan, format program ini dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu tampilan indoor (studio) dan outdoor (non-studio). Dalam kasus program Wisata Hati, format indoor adalah materi program yang diproduksi di studio Antv dan studio Daqu TV. Sementara format outdoor adalah materi program yang diproduksi di luar studio Antv dan studio Daqu TV. Sementara pada sisi lain, program ini harus tetap tayang secara regular, yakni 5 kali dalam sepekan (Senin-Jum’at), dengan materi baru. Padahal jadwal taping indoor dari narasumber tidak bisa ditetapkan secara regular. Oleh karena itu, solusi yang ditempuh adalah dengan mengikuti jadwal taushiyah dari narasumber di berbagai tempat dengan berbagai kelompok jamaah, dan melakukan produksi (shooting) program saat event-event tersebut berlangsung. Dalam konteks ini, manajemen produksi tidak dapat dilakukan secara normal, karena tim produksi mengikuti acara yang diselenggarakan oleh pihak lain. Hal-hal yang terkait dengan tampilan program, seperti penataan panggung, set-backdrop, lighting, hingga rundown taushiyah oleh narasumber, sudah disetting dan ditentukan oleh pihak penyelenggara. Praktis tim produksi melakukan taping program dalam kondisi “apa adanya”. Tim produksi hanya merekam (recording) kegiatan taushiyah yang dilakukan narasumber, 10 tanpa ikut terlibat menentukan konsep acara yang dilakukan sebelumnya. Dan hasilnya bisa ditebak, yaitu materi program yang kualitasnya kurang maksimal. Dalam perspektif manajemen produksi, hal seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi. Sebab hal ini akan menurunkan kualitas program. Dalam dunia broadcasting, dikenal satu prinsip yang umum dianut oleh para pekerja media, utamanya insan televisi (broadcaster). Prinsip itu, menurut Manajer Produksi Antv, Oke Dany Ferdian, adalah “untuk mendapatkan hasil maksimal, lebih baik berdarah-darah dulu mempersiapkan pra-produksi, dari pada memaksimalkan post-produksi”.7 Sebab hasil akhir suatu produk/program akan menjadi tolok ukur keberhasilan program itu sendiri. Para pemirsa tidak mau tahu apa yang terjadi saat pra-produksi, yang mereka apresiasi adalah program yang ditayangkan. Menurut Andi Fachruddin, pada saat memproduksi program televisi, seluruh profesi yang terlibat, seperti produser, sutradara, script-writer, tehnical support, camera person, editor, dan lain-lain, harus mengikuti prosedur atau persyaratan yang biasa dilakukan agar menghasilkan program televisi yang berkualitas. Membuat program televisi akan melewati tahapan yang sangat rumit, panjang, dan melibatkan banyak orang. Tetapi hasil siarannya membuat pemirsa jadi mudah mengerti bahkan terhibur.8 Karenanya, performa sebuah program televisi sangat tergantung dari proses produksinya. Jika sebuah program diproduksi dengan mengikuti kaidah dan standard operational procedure, maka produk

7 Wawancara Oke Dany Ferdian, Senin, 2 Februari 2015. 8 Fachruddin, Andi, Dasar-dasar Produksi Televisi, Kencana-Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hal 2. 11 yang dihasilkan akan sesuai dengan ekspektasi para pembuatnya. Namun jika proses produksi dilakukan tanpa mengikuti kaidah umum sebuah proses produksi program televisi, maka produk yang dihasilkan tidak akan sesuai standar teknis dan estetis. Pada umumnya, kasus seperti ini, dimana sebuah program diproduksi tanpa mengikuti kaidah umum sebuah proses produksi program televisi, terjadi jika sebuah program mengalami kejar-tayang. Program Wisata Hati, yang telah menjadi program religi unggulan di Antv, adalah salah satu contoh program yang mengalami kejar-tayang. Tak pelak, manajemen produksi yang baik menjadi kata kunci terwujudnya hasil atau output yang maksimal. Seluruh rangkaian proses produksi, baik mulai dari pra, produksi, dan post-produksi, haruslah dirancang dan dijalankan dengan mengikuti kaidah manajemen profesional, guna memastikan berjalannya proses yang efektif dan terciptanya hasil yang memuaskan. Manajemen produksi menyangkut pengambilan keputusan yang berhubungan dengan proses produksi untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan. Dalam produksi program televisi, misalnya, pada beberapa tahapan produksi, banyak kasus, karena dikejar tenggat waktu (deadline) sebuah proses produksi dikerjakan tanpa mengikuti kaidah dan alur manajemen produksi yang baik. Akibatnya, detail rundown, isi (content), standar teknis produksi, kurang mendapat perhatian atau bahkan diabaikan. Konsistensi penerapan prosedur atau alur produksi standar, pada akhirnya, menjadi hal yang kurang mendapatkan prioritas. Hal ini tentu saja akan berdampak pada output (materi program) yang dihasilkan. Seorang produser harus memastikan bahwa semua tahapan sudah dilalui dengan benar. Menurut Branston & Stafford (2003), tahapan 12 proses produksi meliputi development or negotiating a brief (penyusunan konsep), pre-production, production, post-production, distribution, dan exhibition.9 Semua tahapan ini memiliki urgensi yang sama dalam menentukan kualitas sebuah karya, hingga karya tersebut diapresiasi oleh khalayak.

B. Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Ada beberapa faktor terkait yang turut memengaruhi performa program religi di televisi komersial. Selain karena --secara umum-- kebijakan manajemen stasiun televisi yang tidak pro-program dakwah, juga performa program (capaian rating-share) tidak sebagus program-program bercorak hiburan, faktor jam tayang, dan terbatasnya anggaran (alokasi budget) untuk produksi program-program religi. Dari banyaknya aspek yang terkait dengan masalah produksi suatu program televisi, penelitian ini ingin menelaah sebab-sebab menurunnya performa komunikatif program Wisata Hati, utamanya pada rentang waktu tayang antara Oktober 2012 hingga Oktober 2013. Pada periode ini terjadi inkonsistensi pola produksi pada program ini, yakni tidak diterapkannya manajemen produksi yang standar. Dalam hemat penulis, kasus ini menjadi objek kajian dan penelitian yang sangat menarik dan menantang. 2. Perumusan Masalah Masalah utama dalam tesis ini adalah adanya anggapan bahwa program-program religi di saluran atau channel televisi komersial

9 Branston, Gill and Stafford, Roy, The Media Student’s Book, Third Edition, London & New York: Routledge, 2003, hal 280. 13 dinilai belum menunjukkan performa yang baik. Program religi masih dipandang sebagai “program pelengkap” (complementary program), belum menjadi program yang diandalkan sebagai revenue getter. Indikasi belum baiknya performa program religi dapat dilihat dari perolehan rating dan share program-program religi di televisi komersial. Oleh karenanya, rumusan masalah yang hendak dibahas dan ditemukan jawabannya dalam penelitian ini dapat tergambar dari pertanyaan-pertanyaan (research question) berikut: 1. Bagaimanakah manajemen produksi program Wisata Hati diterapkan di stasiun televisi ANTV? 2. Bagaimana survei kepemirsaan dilakukan, dan apa kaitannya dengan performa program Wisata Hati di ANTV? 3. Bagaimanakah pengaruh pola produksi terhadap performa komunikatif program Wisata Hati?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui bagaimana manajemen produksi program Wisata Hati diterapkan di stasiun televisi ANTV, serta bagaimana tingkat apresiasi stasiun televisi terhadap program religi. b. Untuk mengetahui bagaimana survei kepemirsaan dilakukan, dan menemukan apa kaitannya dengan performa program Wisata Hati. c. Untuk mengetahui juga bagaimanakah pengaruh pola produksi terhadap performa komunikatif program Wisata Hati, serta mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan menyebabkan buruknya performa 14

program religi di televisi komersial. Selain ketiga tujuan di atas, penelitian ini juga diharapkan bisa turut membantu memperkaya khazanah studi produksi program televisi, sehingga nantinya diharapkan dapat dijadikan referensi dan rujukan studi bagi berbagai pihak atau pemangku kepentingan terhadap keberlangsungan dan berkembangnya program-program religi yang diproduksi dan ditayangkan di stasiun televisi.

2.1. Manfaat Penelitian Secara Teoritis Manfaat penelitian ini ingin melihat efektifitas manajemen atau organisasi produksi menurut Herbert Zettl, serta Branston dan Stafford (2003) bagi terwujudnya sebuah program yang baik dan disukai oleh penonton. Selain itu dengan penelitian ini diharapkan ada penegasan tentang pentingnya mengikuti satu teori produksi dan mematuhi standard operational procedure agar dihasilkan suatu produk yang baik. Diharapkan juga penelitian ini menjadi referensi atau masukan dan bahan pertimbangan. Selain itu, penelitian ini didedikasikan bagi pengembangan ilmu komunikasi dan menambah kajian ilmu komunikasi, khususnya ilmu kepenyiaran (broadcasting) untuk mengetahui bagaimana strategi kreatif yang diterapkan dalam penayangan sebuah program televisi. 2.2. Manfaat Penelitian Secara Praktis : 2.2.1. Akademik Secara akademis, dari penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang membuat sebuah program religi mendapat apresiasi positif dari pemirsa, dan hal-hal apa saja yang kurang disukai oleh pemirsa (khalayak). Dengan demikian nantinya hal ini dapat direkomendasikan dan menjadi bahan 15 pertimbangan bagi perumusan konsep tv-program, khususnya program religi, yang lebih baik. 2.2.2. Praktis Salah satu masalah yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah fakta sulitnya mendapatkan jadwal shooting narasumber di satu sisi, dan keharusan menyiapkan materi tayang di sisi lain. Dengan kata lain, tim produksi tetap harus melakukan proses produksi untuk mengisi slot tayang yang sudah dijadwalkan. Yang menarik dari kasus ini adalah bagaimana mencari strategi dan merumuskan langkah-langkah teknis untuk sebuah kompromi dari keterbatasan jadwal narasumber dan keharusan tim produksi menghasilkan sebuah program.

D. Tinjauan Pustaka Studi dan penelitian terhadap performa komunikatif, khususnya aspek performa ritual yang terkait dengan organisasi produksi (television production) dari program-program religi (dakwah) di televisi telah banyak dilakukan oleh para akademisi. Namun dari sekian banyak itu, sebagian besar memfokuskan penelitiannya pada metodologi dan analisis isi, serta makna yang terkandung dalam pesan dakwahnya. Hanya sebagian kecil saja yang meminati aspek manajemen produksi pada kajian yang dilakukannya. Padahal, dalam pandangan penulis, manajemen produksi sangat memengaruhi performa komunikatif dari program-program religi (dakwah) tersebut. Untuk mendukung penelitian ini, penulis telah menelaah beberapa studi dan penelitian terdahulu yang relevan dengan objek penelitian ini. 16

Pertama, tesis Machfud Syaefudin (2013) dengan judul “Pesan Dakwah dalam Talkshow Mario Teguh Golden Ways (MTGW) di Metro TV”. Tesis ini mencoba mengungkap pesan-pesan dakwah apa saja yang terkandung dalam program MTGW melalui kajian semiotika. Meski objek utamanya bukan pada performa program, namun beberapa aspek komunikasi cukup relevan dengan objek kajian penulis.

Dalam penelitiannya penulis menganalisis data-data yang ada, selanjutnya mendeskripsikan dengan kalimat dan disimpulkan berupa laporan data. Peneliti menggunakan tehnik analisis semiotika model Roland Barthes dengan menggunakan model dua tahap signifikansi, yaitu tahap denotatif dan tahap konotatif. Data yang digunakan berupa segment-session (jalannya acara) dalam 5 (lima) episode yang menggambarkan jalannya acara talkshow Mario Teguh Golden Ways (MTGW) di Metro Tv yang memiliki representatif pesan-pesan dakwah, baik dari tanda-tanda yang tampak (manifest content) dan yang tidak tampak atau tersembunyi (latent content). Data penelitian ini dihimpun melalui dokumen berupa rekaman video dalam format file video, yang diunduh dari situs www.youtube.com dan www. Salam super.com. Peneliti mengambil 5 episode sebagai sample-nya, yaitu: episode Becoming a Star, episode From with Love, episode Memperbaiki Rizki, dan episode Business From the Start. Penelitian ini menunjukkan bahwa program tayangan talkshow Mario Teguh Golden Ways (MTGW) mengandung pesan-pesan dakwah Islam. Faktanya secara deskriptif terdapat tanda/simbol (audio visual), baik dari tanda-tanda yang tampak (manifest content) dan yang tidak tampak atau tersembunyi (latent content) ditemukan pesan-pesan 17 dakwah yang penggunaan rujukan dasarnya dari ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadist. Pesan tersebut antara lain, tentang keimanan kepada Allah SWT (tauhid), pesan tentang motivasi dan etos kerja Islam, dan pesan tentang penciptaan suasana damai (perdamaian).10 Selain itu, beberapa riset program Wisata Hati Antv yang telah dilakukan juga menjadi referensi bagi penelitian ini. Diantaranya yang dilakukan oleh Hariza Aulia (2012) berjudul “Analisis Proses Produksi Program Wisata Hari di ANTV Periode Januari - Februari 2012”. Dalam kajian ini, Hariza mendiskripsikan proses produksi program Wisata Hati dalam format indoor-studio, mulai dari pra-produksi, produksi dan pasca-produksi. Kajian lain yang penulis temukan adalah studi yang menelaah harapan dan tingkat kepuasan penonton dari kalangan pelajar SMA di sekolah Islamic Village dalam menonton program Wisata Hati Antv. Penelitian ini dilakukan oleh Indra Ubaidillah pada tahun 2013. Apa yang membedakan kajian yang penulis lakukan dengan kajian-kajian sebelumnya adalah bahwa studi kali ini mengkomparasi atau membandingkan pola produksi program Wisata Hati, antara yang dilakukan dengan menggunakan format indoor-studio dibandingkan dengan pola produksi yang menggunakan format outdoor. Kedua pola ini sangat berpengaruh terhadap hasil (output) dan performa program. Kajian terhadap program televisi yang menggunakan perspektif manajemen produksi menjadi objek penelitian yang sangat menarik, terutama dalam program Wisata Hati yang menggunakan dua pola produksi. Penggunaan kedua pola produksi ini berakibat pada

10 http://eprints.walisongo.ac.id/1489/ (diunduh pada tanggal 10 Desember 2017) 18 perolehan hasil rating dan share yang berbeda dari program Wisata Hati. E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Penelitian untuk tesis ini dirancang menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna, yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang, dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini juga akan dilakukan melalui sejumlah tahapan dan melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data. Laporan akhir untuk penelitian ini memiliki struktur atau kerangka yang fleksibel. Siapa pun yang terlibat dalam bentuk penelitian ini harus menerapkan cara pandang penelitian yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2009).11 Guna memberikan gambaran atas penelitian ini, berikut ini akan kami paparkan pandangan atau gagasan filosofis yang mendasari penelitian ini. Penelitian ini didasari atas pandangan-dunia (paradigma) konstruktivisme sosial, yang biasanya dipandang sebagai suatu pendekatan dalam penelitian kualitatif. Gagasan konstruktivisme sosial berasal dari Mannheim dan buku-buku seperti The Social Construction of Reality-nya Berger dan Luekmann (1967)

11 Creswell, John W., Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Edisi ketiga, Pustaka Pelajar, , 2014, hal 5. 19 dan Naturalistic Inquiry-nya Lincoln dan Guba (1985).12 Menurut Creswell, konstrukivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia dimana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau benda-benda tertentu. Makna-makna inipun cukup banyak dan beragam, sehingga peneliti dituntut untuk lebih mencari kompleksitas pandangan-pandangan ketimbang mempersempit makna-makna menjadi sejumlah kategori dan gagasan. Peneliti berusaha mengandalkan sebanyak mungkin pandangan partisipan tentang situasi yang tengah diteliti. Untuk mengeksplorasi pandangan-pandangan ini, pertanyaan-pertanyaan pun perlu diajukan. Pertanyaan-pertanyaan ini nantinya bisa jadi sangat luas dan umum, sehingga partisipan dapat mengkonstruksi makna atas situasi tersebut, yang biasanya tidak asli atau tidak dipakai dalam interaksi dengan orang lain.13 Creswell juga menegaskan bahwa makna-makna subjektif ini sering kali dinegosiasi secara sosial dan historis. Makna-makna ini tidak sekedar dicetak untuk kemudian dibagikan kepada individu-individu, tetapi harus dibuat melalui interaksi dengan mereka. Karena itulah metode atau pola ini dinamakan konstruktivisme sosial. Selain itu, makna-makna ini juga perlu dikonstruksi berdasarkan norma-norma historis dan sosial yang berlaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Makna-makna tersebut juga harus ditekankan pada konteks tertentu, dimana individu-individu ini tinggal dan bekerja agar peneliti dapat

12 Creswell, John W., hal 11 13 Creswell, John W., hal 11 20 memahami latar belakang historis dan kultural mereka. Creswell menilai, para peneliti perlu menyadari bahwa latar belakang mereka dapat memengaruhi penafsiran mereka terhadap hasil penelitian. Untuk itulah, ketika melakukan penelitian, mereka harus memosisikan diri mereka sedemikian rupa seraya mengakui dengan rendah hati bahwa interpretasi mereka tidak pernah lepas dari pengalaman pribadi, kultural, dan historis mereka sendiri. Dalam konteks konstruktivisme, peneliti memiliki tujuan utama, yakni berusaha memaknai atau menafsirkan makna-makna yang dimiliki orang lain tentang dunia ini.14 2. Metode Penelitian Metode penelitian ini merujuk pada konsep penelitian kualitatif. Penelitian ini juga mengamati fakta atau kasus yang terjadi pada obyek. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan antar variabel, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.15 Peneliti melihat bahwa ada manfaat untuk mengenali tiga realitas (kasus) pada obyek. Peneliti menyebut sebuah penelitian dengan studi kasus intrinsik apabila penelitiannya dilakukan karena, yang pertama dan terutama kita ingin memahami kasus tersebut dengan lebih baik. Penelitian pada prinsipnya tidak dilakukan karena kasusnya mewakili kasus-kasus lain atau karena kasus tersebut menjelaskan ciri tertentu, namun justru karena dengan segenap kekhususan dan kelazimannya, kasus itu sendiri memang menarik minat. Peneliti, sekurang-kurangnya, untuk sementara mengesampingkan keingintahuan lainnya sehingga kisah orang-orang “yang menjalani kasusnya” bisa dipetik. Tujuannya bukanlah untuk

14 Creswell, John W., hal 12 15Jalaluddin Rakhmat. Metode Penelitian Komunikasi “dilengkapi contoh analisis statistik”. (: PT. Remaja Rosdakarya, 2002). 21 memahami konstruksi abstrak atau fenomena umum tertentu, semisal literasi atau penggunaan obat-obatan remaja atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang meskipun pada waktu-waktu lain sang peneliti mungkin melakukan hal tersebut. Studi kasus dilakukan karena minat intrinsik, misalnya pada anak, klinik, koferensi, atau kurikulum khusus ini.16 3. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah performa komunikatif program-program religi di stasiun televisi komersial, dengan menjadikan program Wisata Hati di ANTV sebagai studi kasusnya. Manajemen produksi, atau struktur organisasi produksi pada program ini, juga menjadi obyek penelitian, termasuk para crew produksi, atau mereka yang berada di balik (terlibat langsung) program Wisata Hati ini. 4. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini terbagi atas: data primer, yakni data yang didapat langsung dari lapangan (data dari AGB Nielsen Media Research). Data lain yang dikategorikan data primer juga adalah hasil wawancara dengan narasumber utama, yakni Oke Dany Ferdian dan Irwan Joko Suryono, masing-masing sebagai Manajer Produksi ANTV dan Produser program Wisata Hati. Data sekunder, yakni data-data yang diperoleh dari literatur atau pustaka yang berhubungan dengan penelitian ini, seperti buku-buku pengetahuan, dokumen-dokumen dan lain sebagainya. Selain itu, analisa dan hasil studi yang didapatkan dari beberapa sumber online, juga dijadikan data sekunder.

16 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. The Sage Handbook of Qualitative Research. 1 edisi ketiga. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). hal, 481 22

5. Teknik Analisis Data Setelah data-data diperoleh dan dikumpulkan, maka baik data primer dan data sekunder kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif dalam bentuk kajian studi, berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian Programming Antv, yaitu perolehan rating dan share yang dihasilkan oleh lembaga riset AGB Nielsen. Proses pengolahan data dimulai dengan membaca dan menelaah seluruh data yang tersedia dengan menggunakan instrumen rating-share by minute, atau analisis data per-menit. Telaah dan analisis (tracking) data per-menit ini tidak dilakukan untuk seluruh data yang ada, melainkan dipilih pada episode-episode tertentu yang dianggap mewakili jenis tema yang dibahas oleh nara sumber (obyek kajian). 23

BAB II KERANGKA TEORITIS

A. Performa Komunikatif Performa komunikatif merupakan salah satu konsep penting yang dibahas dalam teori budaya organisasi, yakni sebuah teori komunikasi yang mencakup semua simbol komunikasi, yaitu tindakan, rutinitas dan percakapan, dan makna yang dilekatkan orang terhadap simbol tersebut.17 Pembahasan tentang teori performa komunikatif sesungguhnya dapat dirujuk akarnya pada budaya organisasi (organizational culture). Yang dimaksud budaya dalam organisasi disini berbeda dengan budaya dalam pandangan dan pengalaman kita sehari-hari. Budaya dalam organisasi tidaklah diartikan sebagai ras, etnis, faham keagamaan, ataupun latar belakang individu lainnya. Menurut Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo (2008), budaya dalam organisasi diartikan sebagai cara hidup di dalam organisasi. Misalnya, iklim atau atmosfer emosional dan psikologis, yang mencakup semangat kerja karyawan, sikap dan tingkat produktivitas serta simbol-simbol. Budaya organisasi dibangun dalam kerangka pikiran umum anggota organisasi, yang merujuk dan diselaraskan dengan visi dan misi yang ingin dicapai bersama. Kerangka kerja ini berisi asumsi dasar dan nilai-nilai. Asumsi dasar dan nilai-nilai diajarkan kepada anggota baru sebagai cara untuk melihat, metode untuk berpikir,

17 West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Edisi 3, Jakarta: PT. Salemba Humanika. Hal 325 24

merasa, berperilaku, cara untuk mencapai tujuan bersama, serta mengharapkan orang lain untuk berperilaku dalam organisasi tersebut. Edgar Schein (1999) mengatakan bahwa budaya organisasi dikembangkan dari waktu ke waktu, dimana orang-orang atau anggota dalam organisasi itu akan belajar menghadapi sukses dengan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Hal ini menjadi bahasan dan latar belakang umum. Dengan demikian, budaya organisasi akan muncul dari apa yang telah dijalankan dan berhasil bagi organisasi. Budaya organisasi tidak muncul dengan sendirinya di setiap organisasi, tetapi ia dibentuk, dipelajari dan dikembangkan bersama. Dengan kata lain, budaya organisasi terbentuk melalui proses. Pada dasarnya, budaya organisasi atau perusahaan adalah sekumpulan nilai dan pola perilaku yang dipelajari, serta dimiliki bersama oleh semua anggota organisasi dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya organisasi sangat penting peranannya dalam mendukung terciptanya suatu organisasi atau perusahaan yang efektif. Secara lebih spesifik, budaya organisasi atau perusahaan dapat berperan dalam menciptakan jati diri, mengembangkan keikutsertaan pribadi dengan perusahaan, dan menyajikan pedoman perilaku kerja bagi anggota atau karyawannya. Dalam teori budaya organisasi, terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, seperti yang dikemukakan oleh Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo, yaitu:18 1. Anggota-anggota organisasi mencipakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang

18 West, Richard & Turner, Lynn H., ibid, hal 325 25

berakibat pada pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi. Asumsi ini berhubungan dengan pentingnya orang dalam kehidupan organisasi. Secara khusus, individu saling berbagi dalam menciptakan dan mempertahankan realitas. Individu-individu ini mencakup karyawan/staff, supervisor dan atasan. Inti asumsi ini adalah nilai yang dimiliki oleh organisasi, yang merupakan standar dan prinsip-prinsip dalam sebuah budaya yang memiliki nilai intrinsik. Nilai menunjukkan kepada anggota organisasi akan apa saja hal yang penting. Para anggota berbagi dalam proses menemukan nilai-nilai perusahaan. Menjadi anggota dari sebuah organisasi membutuhkan pertisipasi aktif dalam organisasi tersebut. 2. Penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam budaya organisasi. Realitas organisasi ditentukan oleh simbol-simbol. Perspektif ini menggarisbawahi penggunaan simbol dalam organisasi. Simbol merupakan representasi untuk makna. Simbol-simbol ini sangat penting bagi budaya perusahaan. Simbol-simbol mencakup komunikasi verbal dan non-verbal di dalam organisasi. Seringkali simbol-simbol ini mengkomunikasikan nilai-nilai organisasi. Simbol dapat berupa slogan yang memiliki makna. Sejauh mana simbol-simbol ini akan efektif, sangat bergantung tidak hanya pada media, tetapi bagaiman karyawan perusahaan mempraktikkannya. 3. Budaya memiliki variasinya sendiri dalam organisasi-organisasi yang berbeda, dan interpretasi berupa tindakan dalam budaya ini juga beragam. Dengan kata lain, setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda-beda dan setiap individu dalam organisasi tersebut menafsirkan budaya tersebut secara berbeda. Terkadang, perbedaan budaya dalam organisasi justru menjadi kekuatan dari organisasi sejenis lainnya. 26

Asumsi mengenai teori budaya organisasi ini sangat bervariasi. Persepsi mengenai tindakan dan aktivitas dalam budaya-budaya ini juga seberagam budaya itu sendiri.

A.1. Faktor Etnografi Faktor lain yang juga perlu dikemukakan untuk memahami dan memaknai sebuah performa adalah etnografi. Pada dasarnya, etnografi bukanlah ilmu eksperimental, melainkan sebuah metodologi yang menguak makna. Geertz (1973) berargumen, untuk memahami budaya, seseorang harus melihatnya dari sudut pandang anggota budaya tersebut. Dan satu-satunya cara adalah menjadi etnograf, yang secara natural melaksanakan pengamatan langsung, menjadi partisipan dalam budaya tersebut, dan melakukan wawancara untuk menguak makna budaya tersebut. Karena dalam memahami suatu budaya tingkat subyektivitasnya sangat kuat, maka menemukan makna merupakan hal paling penting bagi etnograf. Etnograf menggunakan jurnal lapangan atau field journal, sebuah catatan pribadi untuk mencatat perasaan mengenai komunikasinya dengan orang-orang dari budaya berbeda, sekaligus membuat deskripsi yang menjelaskan mengenai lapisan-lapisan rumit dari makna yang mendasari sebuah budaya. Dalam praktiknya, seorang etnograf tidak hanya mempelajari masyarakat tetapi juga belajar dari masyarakat tersebut. Geertz percaya bahwa tak ada analisis budaya yang lengkap karena semakin seorang masuk dalam budaya tersebut, makin kompleks pula budaya tersebut. Selain itu, terkadang makna yang muncul memiliki banyak tafsiran atau bersifat multi-tafsir. Oleh karena itu tidak mungkin untuk sepenuhnya pasti mengerti mengenai 27 sebuah budaya, norma, atau nilainya.19 Pada akhirnya, teori budaya organisasi berakar pada etnografi, dan budaya organisasi hanya dapat dilihat dan diamati dengan mengadopsi prinsip-prinsip etnografi. Performa itu sendiri merupakan metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi. Performa terkait dengan sikap dan tindakan dari individu-individu yang berada di dalam organisasi. Sikap dan tindakan ini yang memberi peran pada setiap anggota organisasi. Performa tentu tidak bisa didapatkan secara instan, tetapi melalui perjalanan karier atas pemahaman dan pengalaman yang didapatkan selama beraktifitas. Performa lahir atas kesadaran individu terhadap pengetahuan yang dimilikinya dengan diaplikasikannya. Tidak cukup setahun atau tiga tahun untuk melahirkan suatu performa terbaik dalam beraktifitas di suatu organisasi. sebuah performa organisasi sering kali memiliki unsur teatrikal, baik level supervisor maupun staff memilih untuk mengambil peranan atau bagian tertentu dalam organisasi mereka.20 Walaupun sistem kategori tidak selamanya eksklusif, publik akan mendapatkan gambaran sejauh mana organisasi bervariasi dalam hal bagaimana perilaku manusia dapat dipahami. Dalam konsep ini, Richard West dan Lynn H. Turner (2008) membedakan performa komunikatif menjadi lima kategori: 1) Performa Ritual, 2) Performa Hasrat, 3) Performa Sosial, 4) Performa Politis, dan 5) Performa Enkulturasi. Performa-performa ini dapat dilaksanakan oleh anggota mana pun dalam sebuah organisasi.

19 http://vitakent.blogspot.co.id/2012/02/teori-budaya-organisasi.html (Diakses pada 11 Nov 2017) 20 West, Richard & Turner, Lynn H., ibid, hal 325 28

Pertama, performa ritual (ritual performance), yakni semua performa komunikasi yang terjadi secara teratur dan berulang. Performa ini terdiri dari empat jenis: 1. Ritual personal (personal ritual): semua hal yang dilakukan secara rutin dan berulang, misalnya di tempat kerja. Sebagai contoh, banyak dari anggota organisasi akan mengecek pesan suara (voice note) dan e-mail yang dilakukan rutih setiap harinya. 2. Ritual tugas (task ritual): yaitu perilaku rutin yang dikaitkan dengan pekerjaan seseorang. Ritual tugas membantu menyelesaikan pekerjaan. Sebagai contoh, seorang karyawan yang bekerja sebagai kasir, setiap harinya harus menerima dan mencatat semua pembayaran. Atau misalnya, ritual tugas seorang karyawan di Departemen Kendaraan Bermotor, termasuk mengeluarkan ujian mata atau tertulis, mengambil foto dari calon pengemudi, melaksanakan ujian mengemudi, memverifikasi asuransi mobil dan menerima pembayaran. 3. Ritual sosial (social ritual): rutinitas verbal dan nonverbal yang biasanya mempertimbangkan interaksi dengan orang lain. Contoh: beberapa karyawan dalam suatu perusahaan yang setiap akhir pekan mengadakan pertemuan bersama. Ritual sosial juga dapat mencakup perilaku nonverbal di dalam organisasi, termasuk Jumat casual. Atau seorang siswa yang setiap hari sengaja datang lebih awal untuk bertemu dengan teman-temannya untuk bercerita bersama dan kemudian diteruskan kembali pada waktu istirahat. Ritual sosial juga dapat mencakup pemberian penghargaan karyawan terbaik di setiap bulannya. 4. Ritual organisasi (organizational ritual): yang termasuk kategori ini misalnya kegiatan perusahaan yang sering dilakukan, seperti rapat 29 divisi, rapat fakultas, bahkan piknik perusahaan. Kedua, performa hasrat (need performance). Kisah-kisah organisasi yang sering kali diceritakan secara antusias oleh para anggota organisasi dengan orang lain. Contohnya yaitu seorang karyawan yang selalu menceritakan tentang atasannya kepada semua temannya secara terus menerus, bahkan selama beberapa tahun. Ketiga, performa sosial (social performance), yakni semacam etika-relasional, sebuah perpanjangan sikap santun dan kesopanan untuk mendorong kerjasama di antara anggota organisasi. Contohnya adalah dengan hal kecil berupa senyuman atau hanya sekedar sapaan yang dilakukan seluruh anggota akan menjadikannya sebagai budaya dalam sebuah organisasi. Pepatah mengatakan “hal kecil memulai sesuatu yang besar” berhubungan langsung dengan performa ini, baik dengan senyum atau sapaan selamat pagi. Menciptakan suatu rasa kekeluargaan seringkali merupakan bagian dari budaya organisasi. Akan tetapi, seringkali sangat sulit untuk bersikap sopan, ketika suasana sedang tegang, sungguh merupakan hal yang sulit dan terkadang menjadi tidak tulus untuk tersenyum dan mengucapkan”selamat pagi” pada orang lain. Kebanyakan organisasi menginginkan untuk mempertahankan perilaku yang profesional, bahkan pada masa sulit. Dan, performa sosial membantu tercapainya hal itu.21 Keempat, performa politis (political performance). Performa politis dapat difahami sebagai perilaku organisasi yang mendemonstrasikan kekuasaan atau kontrol. Artinya, ketika budaya organisasi mengkomunikasikan performa politis, budaya ini sedang menjalankan kekusasaan atau kontrol.

21 West, Richard & Turner, Lynn H., ibid, hal 326 30

Kelima, performa enkulturasi. Performa ini merujuk pada bagaimana anggota mendapatkan pengetahuan dan keahlian untuk dapat menjadi anggota organisasi yang mampu berkontribusi. Performa ini dapat merupakan sesuatu yang bersifat hati-hati maupun bersifat berani. Performa enkulturasi juga bisa merupakan sesuatu yang perannya mendemonstrasikan kompetensi seorang anggota dalam sebuah organisasi.22 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teori budaya organisasi, yang dicetuskan oleh Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo, memiliki pengaruh penting dalam penelitian di bidang komunikasi organisasi. Daya tarik teori ini begitu luas dan jauh sehingga menyebabkan teori ini bersifat heuristik. Teori ini telah memengaruhi banyak ilmuan untuk mempertimbangkan mengenai budaya organisasi dan bagaimana mereka mengajarkan hal ini. Teori ini berguna karena informasinya dapat diterapkan pada hampir semua individu di dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Teori ini memiliki hubungan langsung dengan bagaimana karyawan bekerja, serta identifikasi mereka terhadap lingkungan kerja mereka.

A.2. Citra Performa komunikasi juga memunculkan apa yang disebut dengan citra. Citra merupakan salah satu aset terpenting dalam suatu perusahaan atau organisasi. Menurut Bill Canton dalam Sukatendel (1990) bahwa citra adalah kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan; kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi. Sukatendel menambahkan bahwa

22 West, Richard & Turner, Lynn H., ibid, Bab 7 31 citra itu dengan sengaja perlu diciptakan agar bernilai positif.23 Citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas. Frank Jefkins, dalam bukunya Public Relations Technique, menyimpulkan bahwa secara umum, citra diartikan sebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya. Dalam buku Essential of public Relation, Jefkins menyebut bahwa citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta-fakta atau kenyataan. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Psikologi Komunikasi, menyebutkan bahwa citra adalah penggambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas, citra adalah dunia menurut persepsi.24 Proses konstruksi citra melalui media, dilihat dari perspektif kerangka teori Berger dan Luckman (1990), berlangsung melalui suatu interaksi sosial. Proses dialektis yang menampilkan tiga bentuk realitas yakni subjective reality, symbolic reality, objective reality. Ketika seorang tokoh tampil sebagai fakta yang berada di luar diri publik, dan tampil seperti apa adanya itulah objective reality. Sementara itu, semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” termasuk di dalamnya isi media (media content), dikategorikan sebagai simbolic reality. Pada realitas simbolik inilah sebenarnya terletak kekuatan media. Karena secara nyata, konstruksi definisi tentang realitas yang dimiliki individu-individu (subjective reality) ini sangat dipengaruhi oleh

23 Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto. Dasar-Dasar Public Relation. (Bandung, Remaja Rosdakarya). 2012. cet. Ke-VIII. h. 112

24 Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto. Dasar-Dasar Public Relation. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012), hal. 114 32 ekspresi simbolik yang diberikan media. Realitas simbolik di televisi, majalah, koran, radio dan lain-lainnya inilah yang kemudian memengaruhi opini warga masyarakat.25 Dari beberapa pengertian diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa, citra adalah upaya untuk memengaruhi persepsi orang lain agar menimbulkan kesan positif maupun upaya untuk mencapai popularitas. Dalam politik, semakin dapat menampilkan citra yang baik, semakin besar peluangnya untuk berkuasa. Citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan. Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu obyek, dapat diketahui dari sikapnya terhadap obyek tersebut. Solomon, seperti dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat, menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengetahuan yang dimiliki. Tidak akan ada teori sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasar-dasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat memengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara pandang kita tentang lingkungan.26 Citra digambarkan melalui persepsi-kognisi-motivasi-sikap. Keempat komponen itu diartikan sebagai mental representation (citra) dari stimulus. Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan memengaruhi respons. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada individu dapat

25 Gun Gun. Komunikasi Politik,hal. 91 26 Soemirat dan Ardianto. Dasar-Dasar Public Relation, hal 114 33 diterima atau ditolak. Jika rangsang ditolak proses selanjutnya tidak akan berjalan, hal ini menunjukkan bahwa rangsang tersebut tidak efektif dalam memengaruhi individu karena tidak ada perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika rangsang itu diterima oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan terdapat perhatian dari organisme, dengan demikian proses selanjutnya dapat berjalan.27 Empat komponen persepsi-kognisi-motivasi-sikap diartikan sebagai citra individu terhadap rangsang. Ini disebut sebagai “picture in our head” oleh Walter Lipman. Jika stimulus mendapat perhatian, individu akan berusaha untuk mengerti tentang rangsang tersebut. Persepsi diartikan sebagai hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan yang dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain, individu akan memberikan makna terhadap rangsang berdasarkan pengalamannnya mengenai rangsang. Kemampuan mempersepsi itulah yang dapat melanjutkan proses pembentukan citra. Persepsi atau pandangan individu akan positif apabila informasi yang diberikan oleh rangsang dapat memenuhi kognisi individu. Kognisi, yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan ini akan timbul apabila individu telah mengerti rangsang tersebut, sehingga individu harus diberikan informasi-informasi yang cukup, yang dapat memengaruhi pembagian kognisinya. Motivasi dan sikap yang ada akan menggerakkan respons seperti yang diinginkan oleh pemberi rangsang. Motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan

27 Soemirat dan Ardianto. Dasar-Dasar Public Relation, hal 115 34 merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan dan diinginkan. Sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sikap ini juga dapat diperteguh atau diubah. Proses pembentukan citra pada akhirnya akan menghasilkan sikap, pendapat, tanggapan atau perilaku tertentu.28 Untuk mengetahui bagaimana citra suatu perusahaan atau lembaga di benak publiknya, dibutuhkan adanya suatu penelitian. Melalui penelitian, perusahaan dapat mengetahui secara pasti sikap publik terhadap lembaganya, mengetahui apa yang disukai dan apa yang tidak disukai oleh publiknya. Dengan melakukan penelitian citra, sebuah institusi atau lembaga dapat mengetahui secara pasti sikap publik terhadap organisasi maupun terhadap produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh institusi yang bersangkutan. Dari penelitian citra ini, juga dapat diketahui apa-apa yang disukai dan tidak disukai publik tentang lembaga, institusi atau badan usaha. Dengan demikian suatu lembaga atau badan usaha dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menentukan kebijaksanaan selanjutnya. Pada saat teknologi media massa mengalami kemajuan yang sangat pesat, utamanya media elektronik (televisi, internet) dan media cetak (surat kabar dan penerbitan majalah), maka apa yang disiarkan atau dipublikasikan oleh media seakan-akan sudah menjadi

28 Soemirat dan Ardianto. Dasar-Dasar Public Relation, hal 114 35 pembenaran di kalangan masyarakat. Artinya, apa yang dipikirkan media, maka itu juga yang menjadi pikiran masyarakat. Media dapat menggiring pikiran (mindset) masyarakat. Dalam kaitan ini, media menjadi ruang publik (public sphere) yang sangat terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari popularitas. Upaya ini biasa disebut membangun citra (image building). Kalangan selebriti, politisi, pejabat publik, usahawan, dan pengamat (akademisi) banyak menggunakan upaya ini. Bagi artis, pencitraan sangat penting karena mereka akan dijadikan idola oleh para penggemarnya. Begitu pun bagi seorang politisi dan pejabat publik, pencitraan sangatlah penting. Mereka ingin agar hasil-hasil karya yang dibuat selama menjabat bisa diekspos oleh media, agar masyarakat bisa mengetahui dan memberi dukungan.29 Jadi citra diri bagi seorang artis maupun pejabat publik adalah penting, karena pencitraan selain dimaksudkan untuk memberi pertanggungjawaban pada atasan juga sebagai sarana untuk memperoleh popularitas atau dukungan. a) Konstruksi Citra Represetentatif Citra melekat tertinggal di dalam pikiran manusia setelah kesan-kesan indrawi diproses tersimpan di dalam imaji. Imaji mampu menciptakan secara total realitas makhluk-makhluk dan objek-objek dan sekaligus mendistorsinya dari realitas sesungguhnya. Hal ini karena imajinasi atau pencitraan merupakan suatu proses penggambaran dengan mempergunakan daya atau kekuatan mental manusia. Gambaran imajinatif didasarkan pada objek yang ada atau mungkin tidak ada, dan tidak bersifat membabi buta. Samuel Taylor Coleridge memilah

29 Hafied Cangara. Perencanaan dan Strategi Komunikasi. (, Raja Grafindo Persada, 2013). h, 178-179 36

imajinasi ke dalam imajinasi primer dan imajinasi sekunder. Imajinasi primer merupakan sebuah kemampuan superior yang memungkinkan memahami realitas dengan mempertemukan sifat-sifat yang berlawanan, dan imajinasi sekunder yang melenyapkan bentuk-bentuk yang akrab untuk membentuk kembali dunia dalam sebuah mode yang diidamkan.30 Citra atau imaji menurut pandangan filsafat juga merupakan produk dari kemampuan manusia untuk menciptakan dunia nilai yang orisinal. Citra atau imaji dalam dunia kontemporer bahkan telah secara perlahan menggantikan media cetak sebagai medium primer bagi wacana. Manusia dengan imajinasinya, misalnya, mampu menggambarkan secara intuitif bahwa penggunaan perkakas yang makin canggih menyebabkan berkurangnya peran kekuatan manusia dalam konteks sosial. Citra merupakan gambaran atau konsep-konsep mental tentang suatu dunia yang dihasilkan oleh daya imajinasi manusia. Sebuah lukisan merupakan produk imajinasi pelukisnya, namun lukisan yang dilihat dan (mungkin) diraba tidak sama dengan imajinasi yang muncul ketika sang pelukis berimajinasi. Lukisan itu adalah apa yang dihasilkan oleh proses imajinasi yang sudah tertuang dalam kombinasi tertentu goresan cat minyak pada kanvas. Dunia wujud seperti lukisan cat minyak, bumi dan sejenisnya, hanyalah sebagian dari dunia yang ada. Dunia kategori ini dapat diredusir oleh ketiadaan wujud yang hadir dan dapat diindrai oleh manusia. Dunia lainnya, bahkan tidak

30 Solatun Dulah Sayuti. Komunikasi Pemasaran Politik. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2014). h. 254 37

memerlukan kerja pancaindra. Dunia kategori terakhir ini misalnya dapat berupa dunia konseptual ideasional. Dunia yang digunakan sebagai ekuivalen dari masyarakat ini sepenuhnya merupakan dunia ciptaan manusia sebagai makhluk sosiokultural. Manusia menciptakannya melalui sebuah proses konstruktif imajinatif sehingga citra yang dihasilkannya pun meskipun ada tidak dapat diraba dengan pengindraan sebagaimana lukisan atau dunia dalam arti bumi. Penciptaan dunia oleh makhluk sosiokultural ini, berimplikasi pada keniscayaan bahwa citra representatif yang dihasilkannya memuat dimensi-dimensi imajinatif, kognitif, filosofis, dan politis-ideologis sekaligus.31 b) Konstruksi Citra Imajinatif Imajinasi sebagai sebuah proses melekatkan konsep-konsep konstruktif yang tercipta dari hasil pengindraan maupun dari proses-proses intuitif, telah membangun dunia yang kemudian dianggap ada dan nyata adanya. Hal paling krusial dari tampilnya citra imajinatif yang dianggap dan dipandang sebagai yang nyata adanya adalah bahwa citra imajinatif oleh para filsuf modern telah dianggap sebagai suatu nilai dan kebenaran yang orisinal. Hal ini terutama didasarkan bagi manusia. Hal yang juga kemudian lebih krusial adalah ketika otonomisasi representasi kebenaran dari eksistensi yang ada dan mitos yang telah menjadi bagian dari politik media massa yang hegemonik. Asumsi dasar dugaan ini adalah bahwa media, disadari atau tidak, telah menjadikan dirinya bagian dari kekuatan hegemoni politik yang mencerminkan hubungan kekuasaan di antara kelas-kelas di

31 Solatun Dulah Sayuti. Komunikasi Pemasaran Politik. h. 256 38 dalam suatu lingkaran sosial. Hegemoni media massa dalam arti lebih luas, misalnya, dikemukakan oleh Antonio Gramsci, bahwa: Dominasi kekuasaan diperjuangkan, di samping lewat kekuatan senjata, juga lewat penerimaan publik (public consent), yaitu diterimanya ide kelas berkuasa oleh masyarakat luas yang diekspresikan melalui apa yang disebut sebagai mekanisme opini publik (public opinion), khususnya lewat media massa (koran, televisi, dan sebagainya) (Gramsci dalam Piliang, 2004b: 136)32

Media massa, untuk suatu tujuan hegemoni politik tertentu, bahkan tidak jarang berbohong atas data dan fakta yang sangat jelas secara tekstual dan visual. Kasus peledakan gedung Pentagon 11 September 2001 diberitakan hampir seluruh media massa cetak dan elektronik Amerika Serikat sebagai peristiwa ditabrakkannya pesawat Boeing 767 yang telah terlebih dahulu tersungkur menggerus rumput di halaman yang merupakan salah satu contohnya. Konstruksi imajinatif dalam konteks kebohongan publik sebagai pranata pembangun opini publik seperti ini, dapat digolongkan ke dalam kategori praktik konstruksi citra representatif yang bersifat imajineristik dan menghasilkan bukan saja citra representatif yang bersifat imajinantif, tetapi juga

32 Solatun Dulah Sayuti. Komunikasi Pemasaran Politik. h. 257 39

termasuk ke dalam kategori hiperimajinatif (melampaui batas-batas imaji yang sewajarnya). c) Konstruksi Citra Kognitif Para ahli sosiologi kebahasaan dan sosiolinguistik bersepakat pendapat bahwa kelompok manusia mengembangkan aturan-aturan linguistik pada level semantik dan pragmatik yang mendukung pembentukan dan pengorganisasian hubungan-hubungan sosial. Aturan-aturan tersebut mengemuka dan terorganisasikan di dalam kode-kode sosiolinguistik yang menjadi ciri dari pengujar bahasa tertentu. Ciri ini juga sekaligus menandakan bahwa manusia dan lingkungannya memperoleh makna dari keterpautannya dengan konstruksi-konstruksi simbolis. Konstruksi citra kognitif yang dimaksudkan untuk menunjuk gambaran mental yang dikonstruksi secara sosiokultural dan melibatkan proses-proses kognitif sebagai organ instrumental ini, apa pun latar lingkungan fisik, psikologis, politis, ideologis, seksual, dan rasialnya, sangat ditentukan oleh kondisi kognitif dan subjek. Subjek dalam keterpautannya dengan situasi intersubjektivitas sosiokultural dan environmental, hanya akan mampu mengkonstruksi, memaknai, memaknakan, atau sebaliknya menerima makna suatu konstruksi citra berdasarkan kondisi kognitif atau nalarnya. Persoalannya kemudian adalah bahwa, dalam pandangan kritik, memandang nalar dari sudut pandang instrumental semata masih belum akan mendatangkan manfaat bagi manusia dan kemanusiaannya. Peramalan dan perumusan manipulasi terhadap berbagai kompleksitas nalar hendaknya ditindaklanjuti dengan 40

pembebasan dan pencerahan terhadap dan untuk serta nama nalar itu sendiri yang diorientasikan pada pembentukan kesadaran agen-agen terhadap paksaan tersembunyi. Tahapan ini diperlukan agar agen yang adalah sang subjek dapat meletakkan posisi untuk meletakkan kebenaran dan menariknya dari kebohongan. Konstruksi citra dan realitas sosiokultural dengan demikian baru akan memperoleh penerimaannya jika telah mampu menyelamatkan lebih banyak proses evaluasi yang lengkap, yang menunjukkan bahwa konstruksi tersebut dapat diterima secara kognitif. d) Konstruksi Citra Ideologis-Politis Penolakan terhadap determinisme (terutama ekonomis), dan penekanan pentingnya kesadaran kelas proletariat sebagai subjek sejarah anjuran Lukas dan Korsch, yang didukung dan dihidupkan kembali oleh Antonio Gramsci, telah melahirkan keyakinan kemungkinan masyarakat mengarah diri pada fenomena superstruktur, yaitu pengetahuan ideologi. Ideologi menjadi sangat sentral posisi dan peranannya di dalam suatu diskursus, terlebih secara khusus dalam kaitan dengan konstruksi citra dan pemaknaan suatu realitas. Hal ini karena sekurang-kurangnya berkenaan dengan apa yang dikemukakan oleh Fairclough bahwa setiap praktik atau tindakan diskursif adalah bermuatan ideologi. Fairclough menggambarkan bahwa praktik diskursif secara ideologis selalu disertai dengan signifikansi-signifikansi yang memberikan sumbangan bagi pemeliharaan dan penstrukturan kembali relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan pada dasarnya dapat dipengaruhi oleh berbagai bentuk praktik diskursif, bahkan diskursus ilmiah dan teoretik. Hal 41

inilah yang membedakan ideologi dari sains atau teori. Meskipun demikian, bukan berarti setiap diskursus tidak dapat dianggap ideologis. Ideologi muncul di dalam masyarakat yang dicirikan oleh adanya relasi yang didasarkan pada kelas, gender, kelompok kultural, dan sebagainya.33

B. Karakter Televisi Komersial Televisi merupakan salah satu bagian dari media konvensional yang memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat di era digital saat ini. Luasnya jangkauan penyiaran televisi membuat televisi memiliki pengaruh yang juga cukup besar dalam masyarakat terutama di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh riset yang dilakukan Nielsen pada bulan Mei tahun 2014 lalu, yang menyebutkan bahwa 95 % penduduk Indonesia secara keseluruhan (Jawa maupun Luar Jawa) masih menjadikan televisi sebagai media utama yang paling banyak dikonsumsi, meskipun saat ini perkembangan teknologi digital telah memberikan alternatif pilihan pada masyarakat untuk mengakses konten siaran/tayangan bergambar. Tercatat juga bahwa jenis acara yang paling banyak ditonton merupakan jenis acara entertainment yang biasanya dibuat oleh televisi swasta seperti: comedy, drama, movie, sport, talent show dan variety show. Merujuk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 pasal 13, jasa penyiaran di Indonesia diselenggarakan oleh 4 jenis lembaga penyiaran, yaitu: 1) Lembaga Penyiaran Publik, 2) Lembaga Penyiaran Swasta, 3) Lembaga Penyiaran Komunitas, dan 4) Lembaga Penyiaran Berlangganan.

33 Solatun Dulah Sayuti. Komunikasi Pemasaran,hal. 260 42

Lembaga Penyiaran Publik Jenis lembaga penyiaran yang pertama adalah lembaga penyiaran publik. Sesuai dengan rumusan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2002, dijelaskan bahwa Lembaga Penyiaran Publik merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.34 Saat ini di dunia terdapat banyak stasiun televisi publik dengan latar belakang yang bervariasi, yang sebagian besar berasal dari perbedaan tradisi dan budaya politik masing-masing negara, seperti BBC (British Broadcasting Corporation) di Inggris, ABC (Australian Broadcasting Corporation) di Australia, NHK (Nippon Hoko Kyokai) di Jepang, dan lain-lain. Oleh karena perbedaan latar belakang tersebut, definisi tunggal/akurat tentang televisi publik menjadi sulit untuk didefinisikan. Namun, secara umum terdapat karakteristik dari sistem penyiaran publik menurut Ang (1991, 28) yakni ditandai dengan rasa tanggung jawab terhadap budaya dan akuntabilitas sosial, yang dengan tegas menentang pernyataan dari layanan komersial tentang “memberikan apa yang diinginkan penonton”. Menurut Losifidis (2007) ada beberapa kewajiban umum yang diberikan kepada televisi publik, yaitu :  Universalitas konten dan akses  Penyediaan program yang berkontribusi terhadap kerukunan sosial dan proses demokrasi  Menetapkan standar kualitas yang tinggi untuk hiburan, pendidikan dan informasi

34 UU No. 32/2002 Pasal 14 ayat 1 43

 Berkontribusi pada pluralisme politik dan keragaman budaya  Memperkaya kehidupan individu melalui sejarah, seni dan sains  Pelestarian dan promosi budaya nasional dan warisan  Independensi editorial dan akuntabilitas  Melayani kebutuhan masyarakat yang semakin beragam kebudayannya (kebijakan baru) Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa terdapat perbedaan secara fundamental antara layanan penyiaran publik dan penyiaran komersial dalam hal asumsi tentang budaya dan politik penyiaran. Perbedaan tersebut terkait erat dengan bagaimana setiap sistem mendefinisikan hubungan antara lembaga dengan penonton (Ang, 1991:27, Kitley, 2001:75). Di Indonesia, yang dimaksud dengan lembaga penyiaran publik adalah Televisi Republik Indonesia (TVRI), yakni media penyiaran televisi yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Secara hirarki kelembagaan, manajemen tertinggi pada lembaga penyiaran publik ini adalah Dewan Pengawas yang dipilih oleh Komisi I DPR RI. Dewan Pengawas ini kemudian menetapkan Dewan Direksi sebagai penanggung jawab dan pimpinan operasional sehari-hari dari stasiun televisi publik ini. Dewan Pengawas dan Dewan Direksi merupakan perwakilan stakeholder dari lembaga penyiaran publik, yakni rakyat, pemerintah, dan lembaga itu sendiri. Berdasarkan UU No.32 Tahun 2002 Pasal 15 Ayat 1, disebutkan bahwa lembaga penyiaran publik mendapatkan anggaran dari iuran penyiaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN atau APBD), sumbangan masyarakat, siaran iklan, dan usaha lain yang sah terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Lembaga penyiaran ini 44 juga didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam hal teknologi (transmisi digital, studio equipment, IT) dan dalam hal sumber daya manusia (training center, workshop), serta grant internasional untuk cooperation production, material acquisition, technology dan infrastructure. Untuk itu, lembaga penyiaran publik juga akan diperiksa setiap tahun anggaran oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mempertanggung-jawabkan penggunaan APBN dan seluruh unsur penerimaan dari bisnis (PNBP) ataupun bantuan pihak asing (grant).35

Lembaga Penyiaran Swasta Sementara pengertian dari jenis lembaga penyiaran yang kedua, yakni Lembaga Penyiaran Swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial, berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.36 Sesuai dengan sifatnya yang komersial, maka lembaga penyiaran swasta menargetkan setiap kegiatannya selalu berorientasi profit. Dengan kata lain, program-program yang diproduksinya atau acara yang ditayangkannya selalu diharapkan dapat menghasilkan keuntungan yang bersifat material. Hal ini dapat dimengerti oleh sebab lembaga penyiaran swasta atau televisi komersial harus mampu menghidupi dirinya sendiri dan menjamin kegiatan operasionalnya dapat berlangsung dengan baik dan berkelanjutan.

Lembaga Penyiaran Komunitas

35 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, e-book, Universitas Mercu Buana, Jakarta, hal 43 36 UU No. 32/2002 Pasal 16 ayat 1 45

Adapun jenis ketiga, yaitu Lembaga Penyiaran Komunitas memiliki pengertian sebagai lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, tidak komersial, memiliki daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.37 Televisi komunitas lahir menjadi tonggak baru dalam dunia penyiaran di Indonesia. Media komunitas ini hadir sebagai media alternatif yang mengusung keberagaman kepemilikan (divesity of ownership), yang juga mendorong adanya keberagaman isi (diversity of content) dalam program-program siaran karena melayani komunitasnya yang juga beragam. Karena keberagaman kepemilikan itulah, masyarakat bisa melakukan kontrol sendiri (self controling) terhadap isi siaran. Pengelola televisi komunitas tidak bisa sewenang-wenang menayangkan program isi siaran yang tidak sesuai dengan nilai, aturan, maupun budaya lokal (Budhi,2008). Melalui UU Penyiaran No 32 diharapkan terwujud desentralisasi penyiaran, dimana memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan watak, adat, budaya, dan tatanan nilai atau norma setempat. UU ini juga memberikan celah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang penyiaran. Televisi komunitas hadir untuk memberikan alternatif informasi dan hiburan bagi khayalak pemirsa di komunitasnya. Jika industri penyiaran melalui televisi swasta mendefinisikan khalayak pemirsa televisi hanya sebagai objek pasif yang menerima apa yang disampaikannya, di mana khalayak diposisikan tidak punya kuasa

37 UU No. 32/2002 Pasal 21 ayat 1 46 dalam relasi kapital media mainstream. Maka televisi komunitas kebalikannya, sebagai media non komersial, ia menempatkan warga komunitas (khalayak penonton) sebagai “produser” yang memiliki kuasa atas segala informasi dan hiburan yang dibutuhkan komunitas itu sendiri. Ada dua ragam progres berdirinya televisi komunitas di Indonesia. Kelompok pertama, adalah televisi yang telah memiliki perangkat siaran televisi komunitas yang berasal dari Departemen Pendidikan Nasional. Mereka mengudara untuk me-relay program siaran pendidikan (TV Education) yang disiarkan Pusat Teknologi dan Komunikasi Depdiknas maupun program siaran yang dikelola oleh siswa-siswi sekolah tersebut. Kondisi tersebut cukup dipahami karena proses pendirian media komunitas tersebut top down, di mana pemerintah melalui Depdiknas yang menginisiasi adanya televisi untuk pendidikan melalui sekolah-sekolah. Idealnya memang ada aturan tersendiri berupa lembaga penyiaran pendidikan, namun karena regulasi penyiaran yang ada di Indonesia adalah Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Berlangganan, dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Kelompok yang termasuk dalam kelompok pertama ini adalah, televisi komunitas yang berada di kampus atau perguruan tinggi. Awalnya sebagian besar adalah sebagai laboratorium praktek mahasiswa, khususnya jurusan komunikasi atau broadcasting. Kelompok kedua, adalah televisi komunitas yang tumbuh atas dasar inisiatif warga masyarakat itu sendiri. Setidaknya ada orang atau beberapa orang aktivis setempat yang menginisiasi berdirinya televisi komunitas. Contohnya adalah Grabag TV yang merupakan 47 televisi komunitas yang dipegang oleh Hartanto dari Insitut Kesenian Jakarta dan mendapatkan dukungan dari masyarakat desa Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Pada Mei 2008 diselenggarakan “Temu Nasional Televisi Komunitas” di Grabag TV, Magelang, yang pada saat itu juga dideklarasikan Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia.

Lembaga Penyiaran Berlangganan Sedangkan jenis terakhir atau yang keempat, ialah Lembaga Penyiaran Berlangganan, yang merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.38

Televisi (Swasta) Komersial Sesuai dengan kategori dan pengertian menurut UU No.32 Tahun 2002 tersebut, maka yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah Lembaga Penyiaran Swasta. Mengingat orientasi kegiatan dan program-programnya yang bersifat komersial, maka lembaga jenis ini sering disebut sebagai lembaga penyiaran komersial, dan bentuk medianya disebut televisi komersial. Dilihat secara etimologis, maka lembaga penyiaran komersial merupakan industri media yang memang didirikan untuk memenuhi kebutuhan atas keuntungan ekonomi (komersialisasi). Karena memiliki tujuan komersial, maka khalayak yang hendak dibidik untuk memperluas keuntungan usaha adalah khalayak yang umum, bukan bersifat spesifik seperti lembaga penyiaran komunitas.39

38 UU No. 32/2002 Pasal 25 ayat 1 39 http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70836-media-Hand Out 48

Televisi komersial mendasarkan kegiatannya pada diperolehnya keuntungan material (finansial), sehingga untuk menciptakan keuntungan tersebut, televisi komersial harus menyesuaikan program acaranya dengan keinginan khalayak atau yang menjadi selera pasar. Jika pasar menghendaki siaran yang berorientasi hiburan, pada saat itu pula logika industri media akan mengikuti apa yang sedang menjadi trend yang diminati pasar. Karena memakai dasar pertimbangan logika pasar, maka ukuran kesuksesan dari pencapaian suatu media televisi komersial adalah dengan mengukur dari rating yang telah didapat untuk masing-masing program siarannya, dan dari pemasukan iklannya (karena rating program yang tinggi akan menarik pemasang iklan). Tidak seperti dalam lembaga penyiaran publik yang berlaku pembatasan porsi iklan, maka pada penyiaran swasta-komersial, jumlah materi iklannya tidak dibatasi. Dalam praktiknya, lembaga penyiaran komersial acapkali melanggar ketentuan perundang-undangan. Salah satunya adalah ketentuan yang mengamanatkan bahwa siaran televisi swasta/komersial harus menerapkan pola berjaringan. Faktanya, ketentuan semacam ini dilanggar demi kepentingan komersialisasi. Umumnya, luas jangkauan area siaran dapat lebih dari satu provinsi, akan tetapi memiliki batasan tertentu. Misalnya, tidak boleh lebih dari “X” persen pemirsa nasional (misal 40%) dihitung dari jumlah rumah tangga yang dapat menerima siarannya. Tidak diperkenankan siaran TV komersial dengan jangkauan siaran nasional. Dasar pertimbangan “X” agar semua stasiun dapat mengembangkan sistem afiliasi berdasar formula kepemilikan dan operasi tertentu. Namun,

Lembaga Penyiaran Komersial.html (diunduh pada tgl 1 Maret 2016) 49 sekali lagi, dalam praktiknya, idealisasi semacam ini kerap dilanggar. Meski saat ini banyak stasiun televisi komersial sudah mulai menerapkan pola berjaringan, namun secara konten program-acara, jaringan televisi daerahnya masih menayangkan program-program yang ditentukan televisi swasta nasional.

B.1. Sejarah Singkat dan Perkembangan Televisi Komersial Menurut definisi yang tercantum dalam Undang-Undang, bahwa lembaga Penyiaran Swasta adalah “lembaga penyiaran yang bersifat komersial, berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi”.40 Saat ini, lembaga-lembaga penyiaran yang masuk dalam kategori ini sudah berkembang dengan cukup pesat. Mereka tumbuh menjadi industri media dan hiburan yang banyak dilirik oleh para investor. Salah satu persoalan yang kerap menjadi sorotan publik terkait Lembaga Penyiaran Swasta yang berkembang di Indonesia adalah ihwal kepemilikan saham usaha dan monopoli. Sebagaimana diketahui di dunia pertelevisian nasional, dalam era Orde Baru hingga akhir tahun 1980an, jagad pertelevisian dibatasi oleh dominasi Televisi Republik Indonesia (TVRI). Media penyiaran milik pemerintah ini menjadi satu-satunya sumber informasi yang absah dari pemerintah. Sejak didirikan tahun 1962, dominasi TVRI telah menghalangi sektor swasta untuk membangun bisnis media televisi komersial. Menurut Yayan S. Suryandaru, baru pada pertengahan 1980-an, pemerintah Orde Baru mulai menerapkan beberapa deregulasi ekonomi. Berbagai faktor, seperti menurunnya harga minyak di

40 UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 16 50 pasaran internasional, memaksa pemerintah agar lebih terbuka terhadap tuntutan-tuntutan kapitalisme global yang bersumber pada kaidah-kaidah neo-liberal. Pemerintah tak bisa menghindar dari arus besar yang menghendaki liberalisasi ekonomi di berbagai bidang. State regulation mau tak mau harus digantikan, atau setidak-tidaknya mulai dikombinasikan, dengan prinsip-prinsip market regulation. Termasuk dalam ketentuan yang mengatur soal kebijakan informasi publik dan lembaga yang menaunginya. Kondisi ini kemudian yang mendahului terbukanya kesempatan dalam membuka iklim penyiaran dari kalangan swasta. Peluang untuk mendirikan televisi swasta baru muncul ketika Soeharto membuka keran kapitalisasi industri media kepada anak-anaknya dan kerabat dekatnya sendiri. Bambang Trihatmodjo dengan RCTI, Siti Hardiyanti Rukmana dengan TPI, kemudian Salim Group (pengusaha yang dekat dengan Soeharto) yang mendirikan Indosiar, dan sebagainya.41 Masuknya pengusaha-pengusaha tersebut baru menguat menjelang akhir pemerintahan Orde Baru. Suntikan investasi dalam bisnis media televisi, jika dilihat kasus diatas, menyimpan kadar kolusi, nepotisme dan politisasi yang kental. Jika dilihat sejarah geliat media penyiaran televisi di Indonesia, hal ini dimulai pada tahun 1962, bertepatan dengan dilangsungkannya Asian Games di Jakarta. Sejak itu pula TVRI memulai eksistensi dan kegiatannya. TVRI diberi tugas untuk menyiarkan Pesta Olah Raga bangsa-bangsa se Asia (Asian Games). Moment itu dijadikan pula sebagai Hari Jadi TVRI. Selama tahun 1962-1963 TVRI mengadakan siaran rata-rata 1 jam sehari.

41http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70836-media-%20Hand%20Out %20Lembaga%20Penyiaran%20Komersial.html (diunduh pada 20 Nov 2017) 51

Hingga pada bulan Oktober 1963 terbitlah Surat Keputusan Presiden RI No. 215 Tahun 1963, tentang Pembentukan Yayasan Televisi Republik Indonesia, yang antara lain berisi penegasan bahwa tujuan TVRI adalah untuk menjadi alat hubungan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan mental/spiritual dan fisik bangsa dan negara Indonesia, serta pembentukan manusia sosialis Indonesia pada khususnya.42 Namun dalam perjalanannya, TVRI ternyata tidak lepas dari pengaruh dan tekanan politik rezim Orde Baru. Tayangan-tayangan yang disiarkannya sebagian besar mengandung unsur provokasi politik. Disamping itu, TVRI juga melakukan monopoli penyiaran dengan pembayaran iuran pajak TVRI. Monopoli penyiaran televisi oleh TVRI yang berlangsung semenjak tahun 1962 berakhir dengan diberikannya izin penyiaran televisi kepada RCTI, SCTV, ANTV, TPI dan INDOSIAR pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an. Dengan dimulainya era ini, penyelenggaran penyiaran televisi di Indonesia telah mengalami pertumbuhan positif. Ditunjang dengan stabilitas politik yang kondusif dan pertumbuhan ekonomi yang positif, tak pelak media televisi swasta mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dan, di awal tahun 2000, industri media televisi menjadi semakin berkembang dengan berdirinya stasiun-stasiun televisi baru seperti TransTV, LaTivi, TV7, MetroTV, dan Global TV. Tidak berhenti sampai disini, geliat pertumbuhan lembaga penyiaran juga berjalan seiring dengan perkembangan industri hiburan di tanah air. Media televisi komersial, yang sesungguhnya

42 https://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik_Indonesia (diunduh pada tgl 20 Nov 2017) 52 juga merupakan agen atau poros industri hiburan, pun mengalami dinamika pertumbuhan yang sama. Pada periode tahun 2010an, disaat sudah mulai berlaku regulasi bahwa media televisi harus melakukan konsep siaran berjaringan, sejumlah media televisi komersial bermunculan lagi. Tercatat ada 3 media televisi swasta yang bersiaran secara terrestrial yang berskala nasional. Ketiganya adalah NET, Kompas TV, dan RTV. Kehadiran ketiga stasiun televisi ini tentu menambah ketatnya kompetisi di jagad industri hiburan nasional. Dengan demikian, jika dijumlahkan, saat ini setidaknya terdapat 13 (tiga belas) lembaga penyiaran swasta nasional yang berlokasi di Jakarta, yang melakukan siaran berjaringan secara terrestrial. Disamping ke-13 lembaga penyiaran swasta nasional tersebut, juga terjadi perkembangan yang cukup pesat dari lembaga penyiaran lokal di berbagai daerah, dimana stasiun televisi lokal pun bertumbuh dan mencoba mengembangkan warna lokalitasnya. Namun, munculnya banyak stasiun televisi lokal di berbagai daerah, ternyata belum sebanding dengan tumbuh dan terpenuhinya aspek kualitas dari program atau tayangan televisi-televisi lokal. Para pengelola televisi lokal masih menghadapi kendala kapital, baik berupa sumber daya manusia maupun finansial, dalam upaya meningkatkan kualitas program-programnya. Kondisi ini sangat berbeda dengan yang terjadi pada televisi komersial berskala nasional. Pada umumnya, manajemen televisi komersial nasional didukung sejumlah modal yang sangat besar dan dijalankan oleh para profesional di bidangnya.

B.2. Bentuk Badan Usaha Televisi Komersial Format badan usaha lembaga media penyiaran swasta umumnya berbentuk PT (Perseroan Terbatas), dengan pengambil keputusan 53 tertinggi berada pada para investor atau komisaris dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Menurut Andi Fachruddin, struktur organisasi stasiun televisi sangat berkaitan dengan kepentingan stakeholder dalam merealisasikan rencana dan strategi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Bentuk organisasinya akan berbeda-beda menyesuaikan pada karakter kepemilikan perusahaan, kebijakan pemerintah, kompetitor dan skala kegiatannya. Konsekuensinya, stasiun televisi harus merancang struktur organisasi yang mampu mengoptimalkan kekuatan core bisnisnya. Sehingga dibutuhkan konsep manajemen moderen untuk mengendalikan organisasi stasiun televisi yang dinamis dan perkembangannya sangat cepat.43 Selanjutnya, menurut Andi, berdasarkan karakteristik operasional stasiun televisi, tipe organisasi yang tepat untuk stasiun televisi adalah line and staff organization. Tipe ini, yakni organisasi garis dan staff, merupakan kombinasi pendelegasian wewenang dan perintah terhadap satu garis kepemimpinan dengan perintah berdasarkan pemanfaatan tenaga ahli yang dibutuhkan. Struktur organisasi dari top manajemen berdasarkan kepemilikan (pemegang saham), fungsi pengawasan serta bentuk lembaga penyiarannya, akan berbeda antara satu jenis stasiun televisi dengan jenis stasiun televisi lainnya. Pada lembaga penyiaran swasta, atau televisi komersial, top manajemen adalah Dewan Komisaris yang ditentukan oleh rapat pemegang saham (RUPS), untuk selanjutnya menetapkan Dewan Direksi sebagai penanggung jawab operasional stasiun televisi komersial.

43 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, e-book, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2016, halaman 42 54

Pada stasiun televisi komersial struktur organisasinya akan berbeda berdasarkan azas siaran umum (general television) dan azas siaran format khusus (24 hour for news, sport, music, documentary, movie, home shopping, etc). Lembaga penyiaran swasta menjalankan operasional kegiatannya dari investasi pemilik modal dan mendapatkan penerimaan dari bisnis media pertelevisian yang core-nya adalah sponsorship dan advertising44. Sedangkan fungsi kontrol bisnis perusahaan atau audit eksternal perusahaan akan dilakukan oleh akuntan publik dan dipublikasikan kepada masyarakat di media massa berskala nasional. Azas pembagian kerja dari fungsi dasar organisasi stasiun televisi akan menjelaskan tugas dan tanggung jawab setiap direktorat dalam menggerakkan kewenangannya. Sedangkan dalam operasional kegiatannya dibutuhkan koordinasi yang sinergis antar-direktorat agar memberikan hasil pekerjaan yang sebaik-baiknya. Secara umum, menurut Andi Fachruddin, lembaga penyiaran swasta atau televisi komersial, memberlakukan suatu manajemen yang representatif atau kontekstual terhadap proses perkembangan industri televisi, yaitu mengarah pada organizational clarity yang pada pencapaian profitable growth. Kondisi tersebut membentuk the highest strategic priorities pada struktur stasiun televisi melalui lima direktorat; programming & production, sales & marketing, engineering & IT, corporate affair, dan finance & administration. Empat divisi; news & features division, human resource development division, training center division, serta internal

44 UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 19: Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta berasal dari iklan dan usaha lain yang sah terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. 55 audit division.45 Persaingan dalam industri televisi memengaruhi aktifitas organisasi yang kompetitif dalam merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, dan mengawasi pengelolaan program. Pada dasarnya organisasi selalu mengutamakan aspek ekonomis untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Mencermati iklim kompetisi yang ketat, stasiun televisi harus menerapkan konsep keunggulan bersaing yang berkelanjutan sebagai “first-hand source of information and entertainment” melalui program kerja programming & production directorate. Keunggulan dan kekuatan programming & production directorate merupakan bagian yang tak terpisahkan oleh sinerginya empat direktorat yang lainnya, serta support dari empat divisi penunjang dalam struktur organisasi stasiun televisi yang sistematis. Dalam bukunya yang lain “Dasar-dasar Produksi Televisi”, Andi Fachruddin mengungkapkan juga bahwa persoalan yang ada dalam penyelenggaraan penyiaran pada umumnya terdiri dari tiga hal, yaitu: bidang umum, bidang program dan pemasaran, serta bidang teknik. Sehingga paling sedikit organisasi institusi penyiaran yang sederhana terdiri dari, direktur teknik, direktur program dan pemasaran, serta direktur umum, yang dipimpin oleh satu direktur utama. Tiga beban tugas permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan penyiaran itu didelegasikan kepada masing-masing direktur, yang nantinya bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada direktur utama.46 Dalam teori manajemen, pendelegasian wewenang oleh satu

45 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, e-book, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2016, halaman 44 46 Andi Fachruddin, Dasar-Dasar Produksi Televisi, Kencana, Jakarta, 2012, hal 51 56

pimpinan kepada jajaran dibawahnya mempunyai jumlah terbatas yang dikenal dengan istilah span-of-control.47 Jumlah maksimum yang efektif adalah lima sampai enam. Dengan jumlah ini, seorang pimpinan akan efektif dan optimal dapat mengendalikan organisasi. Sesuai dengan kebutuhan organisasi di mana meningkatnya persoalan dan penyelenggaraan produksi dan penyiaran, maka masing-masing direktorat bisa dikembangkan lebih detail, seperti direktorat umum, administrasi, keuangan, personalia. Direktorat program, produksi, promosi, riset dan pemasaran. Permasalahan pemekaran organisasi ini sangat tergantung pada kebijakan manajemen penyelenggaraan penyiaran, yaitu apakah yang diinginkan adalah organisasi yang ramping atau gemuk. Stasiun televisi yang telah maju dan moderen dengan mempertimbangkan kebutuhan serta profesionalisme kerja, maka pengembangan direktorat merupakan hal yang mutlak dilakukan.48

Dewan Komisaris

Presdir / Dirut

Dir Teknik Dir Progrm Dir Pmsran Dir Keu Dir GA

On Air News Traffic Anggaran SDM/HRD

47 Hidajanto Djamal dan Andi Fachruddin, Dasar-dasar Penyiaran, Kencana, Jakarta, 2011, hal 95 48 Andi Fachruddin, Dasar-Dasar Produksi Televisi, Ibid, hal 52 57

IT Operational Marketing Akuntansi Pelatihan

Transmisi Production Acc Ex Perpajakan Asset/Inv

B.3. Tidak Mendapatkan Anggaran Pemerintah Berbeda dengan televisi publik yang mendapatkan alokasi anggaran dari pemerintah (APBN), kelangsungan operasional televisi komersial sangat tergantung dari kemampuannya mendapatkan revenue (penghasilan) dari kegiatan yang dilakukannya. Artinya, dia harus menghidupi dirinya sendiri, membiayai sendiri seluruh kegiatan operasionalnya. Televisi swasta-komersial tidak mempunyai alokasi anggaran dari pemerintah. Dalam konteks ini, televisi komersial akan mengaharapkan pemasukan (finansial) dari penjualan slot waktu tayang (airing time) yang dimilikinya, baik dalam bentuk iklan komersial maupun blocking airtime untuk penayangan program tertentu. Bertahannya suatu sistem televisi komersil secara langsung dihubungkan dengan adanya kemampuan untuk menarik perhatian dari pemirsa dalam jumlah besar. Tanpa penonton yang banyak, sponsor komersial tidak memiliki pertimbangan untuk membeli slot waktu yang melingkupi suatu program televisi. Dalam konteks ini, jelas bahwa pengelola televisi komersial sangat concern pada perluasan jangkauan siaran (coverage area). Sebab, makin luas jangkauan siarannya, semakin terbuka pula peluang para agen-agen iklan untuk memasang iklan (sponsorship) di medianya tersebut. Dilihat secara etimologis, maka lembaga penyiaran komersial merupakan industri media yang memang didirikan untuk memenuhi kebutuhan atas keuntungan ekonomi (komersialisasi). Karena 58 memiliki tujuan komersial, maka khalayak yang hendak dibidik untuk memperluas keuntungan usaha adalah khalayak yang umum, bukan bersifat spesifik seperti lembaga penyiaran komunitas. Landas-tumpu kegiatannya didasarkan keuntungan, sehingga untuk menciptakan keuntungan tersebut, lembaga media komersial harus menyesuaikan program acaranya dengan keinginan khalayak pasar komersial. Maka, menurut Yayan S. Suryandaru, jika pasar menghendaki siaran yang berorientasi hiburan, pada saat itu pula logika industri media akan mengikuti apa yang sedang menjadi trend yang diminati dalam pasar. Logika pasar semacam ini juga memiliki konsekuensi atas luas jangkauan siarannya. Dalam praktiknya, lembaga penyiaran komersial acapkali melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengamanatkan—misalnya dalam televisi—siaran yang berjaringan. Faktanya, ketentuan semacam ini dilanggar demi kepentingan komersialisasi. Umumnya, luas jangkauan area siaran dapat lebih dari satu propinsi, akan tetapi memiliki batasan tertentu. Misalnya, tidak boleh lebih dari “X” persen pemirsa nasional (misal 40%) dihitung dari jumlah rumah tangga yang dapat menerima siarannya. Tidak diperkenankan siaran TV komersial dengan jangkauan siaran nasional. Dasar pertimbangan “X” agar semua stasiun dapat mengembangkan sistem afiliasi berdasar formula kepemilikan dan operasi tertentu. Namun, sekali lagi, dalam praktiknya, idealisasi semacam ini kerap dilanggar.49 Karena memakai dasar pertimbangan logika pasar, maka ukuran kesuksesan dari pencapaian suatu lembaga media komersial adalah

49http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70836-media-%20Hand%20Out %20Lembaga%20Penyiaran%20Komersial.html (diunduh pada tgl 20 Nov 2017) 59 dengan mengukur dari rating yang telah didapat, untuk masing-masing program siarannya dan dari pemasukan iklannya (karena rating program yang tinggi akan menarik pemasang iklan). Tidak seperti dalam lembaga penyiaran publik yang berlaku pembatasan porsi iklan, maka pada penyiaran swasta-komersial, jumlah materi iklannya tidak dibatasi.

B.4. Pesan Bersifat Komersial Media televisi menjabarkan komunikasi massa sebagai proses dimana institusi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas. Pada televisi komersial pesannya pun bersifat komersial. Artinya, setiap tayangan yang disampaikan dimungkinkan mengandung pesan komersial, yang memengaruhi dan merefleksikan suatu kepentingan atau kondisi masyarakat. Oleh karenanya, program-program yang diproduksi dan ditayangkannya hendaklah dapat menarik minat sponsor untuk memasang iklan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, namun utamanya adalah fokus untuk mendapatkan tv-rating dan share yang baik. Jika tv-rating dan share baik, maka dengan sendirinya iklan akan datang. “Pendekatan komersial” lain adalah menjalin kerjasama produksi dan penjualan slot waktu tayang. Dari sisi program (programming), stasiun televisi memiliki berbagai acara yang bertujuan memberikan informasi kepada penonton, atau justru menghibur penonton. Secara garis besar, program televisi terbagi menjadi dua, yaitu program berita dan non-berita. Sesuai dengan namanya, program berita adalah acara yang berisi informasi yang menarik bagi masyarakat atau pemirsanya. Program berita dibagi lagi ke dalam dua jenis, yaitu hard-news 60

(berita berat) dan soft-news (berita ringan). Beberapa jenis atau bentuk program yang masuk kategori program berita adalah straight news, feature, infotainment, current affairs, dokumenter, talkshow. Sementara yang masuk kategori non-berita ialah sinetron, film, game show, music, dan reality show.50 Televisi komersial mengandalkan pendapatan atau penghasilannya dari penjualan slot waktu-tayangnya (air time). Dengan demikian, media massa yang digunakan dalam televisi komersial adalah media massa yang mengharapkan keuntungan demi kelangsungan televisi tersebut. Selain beberapa faktor diatas yang dapat dikategorikan ke dalam karakter televisi komersial, masih ada beberapa faktor lain, yaitu siaran televisi dikirim melalui gelombang udara atau frekwensi. Artinya bahwa televisi tidak memiliki sistem distribusi siaran yang rumit. Tidak seperti surat kabar yang dikirimkan dari pintu ke pintu, pesan televisi dikirim melalui gelombang udara. Komunikator televisi bersifat melembaga. Umumnya, yang menjadi komunikator dalam proses penyampaian pesan melalui televisi adalah lembaga. Sumber atau komunikator sebagian besar merepresentasikan institusi atau organisasi dimana ide atau gagasan dimulai. Dalam hal sumber dan penerima adalah berbeda, pengirim adalah milik institusi media atau seorang profesional dalam komunikasi media. Hal ini berbeda dengan komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi dimana yang menjadi komunikator adalah perorangan.51

50 https://pakarkomunikasi.com/jenis-program-televisi (diunduh pada tgl 16 Nov 2017) 51 https://pakarkomunikasi.com/karakteristik-media-televisi (diunduh pada tgl 2 Des 2017) 61

Pesan televisi bersifat umum. Maksudnya adalah bahwa pesan-pesan yang disampaikan melalui televisi bersifat umum, yang membutuhkan reproduksi agar dapat membuatnya mudah untuk dikomunikasikan melalui media televisi. Pesan diproses dan ditempatkan ke dalam berbagai bentuk program acara seperti talk show, wawancara, dan lain sebagainya.52

C. Manajemen Produksi Program Televisi C.1. Manajemen Produksi Menurut Herbert Zettl Manajemen produksi program televisi menjadi aspek yang sangat penting, sebab produksi program televisi bukanlah pekerjaan individual, melainkan pekerjaan tim. Apabila sebuah program televisi dapat dimengerti maknanya, ditangkap pesannya, menghibur, dan pemirsa puas menyaksikannya, maka apresiasi kesuksesan harus diberikan kepada tim produksi yang bekerja, dan bukan kepada seseorang di antaranya saja. Ada beberapa versi rumusan tahapan sebuah produksi program televisi. Yang pertama akan diuraikan tahapan produksi program televisi menurut Herbert Zettl, seperti yang dikutip oleh Andi Fachruddin. Susunannya sebagai berikut:53 1. Pre-production Planning: From Idea to Script a. Program Ideas. Seluruh jenis program televisi yang disajikan kepada pemirsa harus diawali dengan ide atau konsep. Walaupun sudah banyak studi yang membicarakan bagaimana mencari ide untuk suatu program, kenyataannya adalah selalu menjadi misteri. Karena setiap produser harus mencari sendiri ide dan konsep untuk

52 https://pakarkomunikasi.com/karakteristik-media-televisi (diunduh pada tgl 2 Des 2017) 53 Andi Fachruddin, Dasar-dasar Produksi Televisi, Ibid, hal 2-16 62 acara yang akan dia buat. Semakin kreatif ide yang ia angkat, maka akan semakin banyak audience (penonton) yang suka. Namun, secanggih apapun ide yang kita miliki, belum akan disebut ide jika belum kita tuangkan dalam bentuk tulisan. Jikalau sudah tertuang dalam sebuah tulisan dan menjadi konsep, barulah ia disebut ide dari sebuah program. Tahapan setelah adanya konsep, adalah bagaimana mengorganisir ide tersebut kepada tim produksi yang terlibat, antara lain: direktur teknik, penata cahaya, penata suara, designer, dan camera person. Dalam bukunya yang lain, “Manajemen Pertelevisian Moderen”, Andi menjelaskan bahwa ide yang baru, unik dan inovatif akan hadir dari kreator-kreator yang andal dengan memahami prinsip-prinsip kreativitas serta metode pengembangan ide sebagai proses tahapan kreativitas yang akan membentuk pola pikir kreatif manusia.54 Ide kreatif yang muncul dari pengelola program televisi yang selanjutnya menjadi dominan muncul sebagai isi program media televisi menurut Shoemaker dan Reese (2000) dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor yang berpengaruh, yaitu:55 1. Level Individu. Terkait latar belakang professional dan aspek-aspek personal dari pengelola program televisi yang berdasarkan jenis kelamin, usia, dan keyakinan professionalitasnya masing-masing dalam mempengaruhi pengelolaan sebuah ide program. 2. Level Rutinitas. Berkaitan dengan mekanisme dan proses penentuan konten program televisi. Setiap stasiun televisi memiliki standar yang berbeda dalam memengaruhi program televisi dan

54 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, ebook, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2016, halaman 178 55 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, Ibid, hal 178 63 mengemasnya dalam strategi programming televisi yang tepat. Rutinitas setiap hari ini dituangkan dalam standar operasional prosedur bagi pengelola program terkait dengan alur produksi sebuah program yang dirancang sejak pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi. 3. Level Organisasi. Rutinitas yang diterapkan dalam standar operasional prosedur ini diatur dan ditentukan dalam level organisasi. Level organisasi sangat berhubungan dengan struktur organisasi perusahaan, yang secara hipotetik memengaruhi program acara televisi yang dikemas. 4. Level Ekstramedia atau Institusi di Luar Media. Keputusan-keputusan yang dibuat dalam level organisasi, tentunya akan dipengaruhi oleh hal-hal yang berada di luar lingkungan organisasi media televisi itu sendiri atau ekstramedia. Keberadaan ekstramedia dapat memengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisasi stasiun televisi seperti pemerintah, pengiklan, penonton dan lain-lain. Dalam konteks pengaruh institusi di luar media atau ekstramedia ini, Shomaker & Reese, Philipe Perebinossoff dan kawan-kawan mengungkapkan bahwa faktor-faktor eksternal media televisi dapat berpengaruh terhadap strategi program yang diambil oleh sebuah stasiun televisi. Adapun beberapa ekstramedia yang dimaksud adalah: Pengiklan (media buyer, agency, lembaga, distributor, dll), Pressure Group, Critics and Studies, Government, dan Stasiun Televisi Kompetitor.56 5. Level Ideologi, adalah level yang paling luas dan abstrak yang terkait dengan kerangka berfikir seseorang dalam melihat sebuah realitas yang ada, yang akan diangkat menjadi konten program

56 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, Ibid, hal 180 64 televisi. Menurut Ashadi Siregar (2001) ideologi industri televisi adalah profit tinggi yang diperoleh melalui produk yang memiliki nilai jual tinggi.57 Dalam kaitan ini maka seluruh upaya kreatif hendaknya diarahkan untuk membaca motivasi massa, untuk kemudian mengemasnya dalam produk. Oleh karena itu Divisi Produksi harus melakukan strategi produksi yang jitu untuk menarik perhatian penonton dan memenuhi harapan sponsor serta sesuai dengan keinginan stakeholder. Andi Fachruddin merumuskan strategi produksi televisi yang bisa diterapkan, sebagai berikut:58 1. Dominasi artis, yakni strategi produser menempatkan host, pengisi acara, narasumber, dan bintang tamu (talent) yang populer atau telah dikenal luas sebagai public figure. 2. Dominasi format program, yaitu strategi produser merancang desain produksi program televisi dengan format yang unik, memiliki kekuatan trik-trik, serta set dekor gemerlap atau lokasi eksotik. 3. Hybridity program, adalah strategi produser dalam memproduksi program televisi dengan menggabungkan atau kombinasi beberapa genre menjadi format program yang baru. 4. Co-production, adalah strategi produser melakukan kolaborasi program antar-stasiun televisi dengan institusi atau lembaga yang secara bersama-sama membiayai produksi suatu program televisi. 5. Optimalisasi program murah, merupakan strategi produser mengoptimalkan program-program yang biaya produksinya relatif murah tetapi sangat populer. Contohnya adalah program “On The Spot”.

57 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, Ibid, hal 180 58 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, Ibid, hal 181-182 65

6. Mengimitasi program, adalah strategi produser melakukan amati-tiru-modifikasi program-program yang sedang nge-trend atau program yang mendapatkan rating/share tinggi. 7. Make up montage, yaitu strategi produser melakukan daur-ulang program televisi yang pernah tayang, dengan alur cerita/segmen/durasi yang diubah dan ditambahkan introduction atau presenter sebagai pengantarnya. 8. Diferensiasi produk, adalah strategi produser melakukan diferensiasi pada setiap produk untuk segmen pasar yang beragam. b. Production Models. Adalah suatu metode untuk melihat langsung keterkaitan antara ide yang sudah ada dan apa yang diharapkan bisa terjadi pada audience yang dituju. Seperti halnya dengan bentuk produksi yang lainnya, production models tidak dilihat langsung berlanjut pada proses produksi, tetapi langsung mengarah pada bentuk komunikasi yang efektif kepada audience yang dituju. c. Program Proposal. Setelah mendapatkan kejelasan ide, bagaimana proses menyampaikan pesan dapat dikemukakan. Maka langkah selanjutnya siap dituangkan dalam proposal. Proposal program televisi minimum harus memiliki beberapa informasi penting yang akan memudahkan pada saat melakukan presentasi dan pengertian bagi yang berkepentingan terhadap program tersebut, yaitu: (1) judul program; (2) objektif/tujuan; (3) target audience; (4) format program; (5) treatment/angle/synopsis; (6) metode produksi/sistem produksi; dan (7) perkiraan biaya. Jadi, program proposal adalah dokumen tertulis yang menjelaskan secara detail program acara yang akan diproduksi. Dalam program proposal harus memiliki beberapa komponen yang akan melengkapi setiap produksi 66 televisi, yaitu: c.1. Program title. Judul acara harus sesingkat mungkin dan mudah diingat (dalam bentuk frase dan hindari dalam bentuk kalimat). c.2. Program objective. Pada point ini harus dijelaskan secara singkat, akurat, dan efektif mengapa program acara Anda harus diproduksi, makna dan manfaat apakah yang akan didapat ketika pemirsa televisi menyaksikan program tersebut. c.3. Target audience. Tetapkan sasaran pemirsa Anda, apakah untuk orang dewasa, orang tua, anak kecil, atau remaja. Bahkan bisa dikatakan secara gamblang bahwa acara ini diproduksi untuk orang yang suka bepergian. c.4. Show format. Apakah Anda akan memproduksi acara baru, meneruskan acara berseri, acara tahunan yang sudah pasti, atau bahkan mendaur ulang acara yang sudah ada? Info ini penting sekali diutarakan karena berkaitan dengan budget. c.5. Show treatment. Narasi singkat tentang acara yang akan diproduksi disebut treatment. Di dalamnya termasuk paparan cerita dalam bentuk story board. Tidak hanya itu, treatment juga mencakup angle dari pengambilan gambar dan kebutuhan grafis acara tersebut. c.6. Production method. Pada production method harus dijelaskan apakah Anda akan menggunakan multi-camera atau single EFP camera. Apakah perlu camera Jimmy jip? Apakah Anda akan melakukan shooting di darat, under water, atau justru di ketinggian tertentu. c.7. Tentative budget. Tetapkan biaya produksi Anda mengacu pada data terakhir, dari sewa peralatan produksi dan honor crew produksi yang dibutuhkan. Hindari penggunaan peralatan canggih, 67 kecuali memang kualitas gambar yang akan dicapai. d. Preparing Budget. Jika Anda seorang independent producer, tidak cukup hanya biaya untuk naskah, pengisi acara, crew produksi, peralatan rental, dan pasca-produksi yang dibutuhkan. Independent producer juga harus memperkirakan hal-hal seperti pita (cassette) yang akan digunakan, peralatan tertentu, properti yang akan digunakan, makanan, honor crew, asuransi, dan sewa lokasi shooting. e. Presenting the Proposal. Jika proposal produksi program sudah dipersiapkan dengan baik, maka tahap berikutnya adalah mempresentasikan proposal tersebut. Bagi seorang independent producer, maka client harus puas dengan proposal yang disodorkan. Namun bagi produser yang bekerja di sebuah stasiun televisi, maka proposal tersebut bisa langsung diserahkan kepada Eksekutif Produser untuk disetujui. f. Writing the Script. Jika seorang produser tidak menulis langsung script atau naskah programnya, maka produser tersebut harus menunjuk/menugaskan seorang penulis naskah. Namun perlu diingat, penulis naskah harus bisa menerjemahkan ide yang ada di kepala sang produser. Setelah itu menjadi tugas seorang program director (pengarah acara) yang akan memvisualisasikan naskah tersebut dalam bentuk video dan audio. 2. Pre-production Planning: Coordination Koordinasi antar bagian terkait menjadi kata-kunci bagi berhasilnya target dan tujuan produksi. Karenanya, harus dipelajari dengan cermat berbagai elemen produksi, seperti crew, studio, lokasi shooting dan perlengkapan lainnya dengan budget yang ada, waktu yang tersedia dan proses pelaksanaan produksi. Apabila langkah di atas diyakini sudah benar, maka yang harus kita mulai adalah: 1) 68 mengumpulkan crew produksi; 2) menyiapkan peralatan shooting, kostum, dan properti yang dibutuhkan; 3) menetapkan jadwal produksi; 4) menyelesaikan masalah perizinan; serta 5) publikasi dan promosi. a. Schedules. Produser harus menetapkan orang-orang yang terlibat di dalam produksi untuk melakukan apa, kapan, dan dimana. Untuk itu, harus dibuat jadwal yang realistis, dan berpegang teguhlah pada jadwal yang telah disepakati. b. Permits and Clearances. Kegiatan produksi yang sifatnya outdoor (out-studio) biasanya melibatkan sarana umum yang tidak ada hubungannya dengan stasiun televisi, di mana tempat produser atau pengisi acara bekerja. Karena itu dibutuhkan administrasi perizinan jika penggunaan fasilitas umum dibutuhkan. c. Promotion. Sebagus apa pun program yang diproduksi akan menjadi sia-sia jika tidak ada orang lain yang tahu. Bekerjasama dan berkonsultasi dengan bagian promosi adalah solusi terbaik untuk masalah ini. Melakukan promosi merupakan langkah vital sehingga program yang berkualitas akan diketahui banyak orang. Promosi program televisi terdiri dari dua bagian besar, promosi on-air dan promosi off-air. 3. Line Producer: Host and Watchdog Setelah point-point di atas dipenuhi, maka seorang produser dapat menghubungi line producer agar dia bisa mengambil alih tugas produser. Line producer adalah penanggung jawab harian produksi yang dilakukannya. Seorang line producer-lah yang akan mengurusi berbagai keperluan yang berkaitan dengan produksi. Biarpun menyerahkan kepada director melakukan tugasnya tanpa intervensi, maka seorang produser harus tetap mengawasi jalannya produksi. 69

4. Post-production Activities Setelah fase produksi dilaksanakan dengan baik, maka selanjutnya adalah fase post-production, kecuali produser yang bertanggung jawab melakukan live broadcast production. Maka program diproduksi langsung dan disiarkan saat itu juga dengan tingkat konsentrasi serta kehati-hatian yang sangat tinggi. Jika produksi dilakukan secara live on tape (rekaman), maka produser harus berkoordinasi dengan bagian post-production editing. a) Post-production Editing. Pada fase ini master shooting akan diedit sehingga menjadi satu kesatuan acara yang sesuai dengan perencanaan naskah yang sudah dibuat sebelumnya. Hal-hal yang dilakukan pada fase ini adalah mixing audio, subtitling, color correction, dan lain sebagainya. Sebelum final editing, sangat penting bagi produser untuk melakukan review terakhir sebelum program tersebut ditayangkan. b) Evaluation and Feedback. Ini adalah tahap evaluasi serta menerima input atau masukan. Semua crew produksi yang terlibat dapat duduk bersama untuk melihat kembali apakah program yang telah diproduksi, telah sesuai target dan ekspektasi yang diusung pada awal perencanaan. Di fase ini bukan saatnya untuk melakukan excuse dan saling menyalahkan, tetapi lebih meminta sebanyak mungkin feedback agar bisa diperbaiki di kesempatan selanjutnya. c) Record Keeping. Yakni bagaimana mendokumentasikan seluruh hasil taping/recording, dan menjaganya dari kerusakan. Untuk melengkapi konsep tahapan produksi program televisi dari Herbert Zettl, terutama pada fase produksi (production), berikut akan disarikan tahapan atau fase produksi berdasarkan rumusan Gerald 70

Millerson, sebagai berikut:59 Tahapan Produksi a) Rehearsal. Merupakan bagian dari tahapan produksi, karena perspektif produksi non-berita yang membutuhkan persiapan sangat detail beberapa jam sebelum produksi. Namun jika format program adalah live, dan melibatkan jumlah crew yang besar, maka rehearsal harus dilakukan minimal 15 jam sebelum live production. Pada produksi televisi yang kompleks melibatkan sejumlah talent, crew, dan peralatan yang besar, harus melakukan pre-studio rehearsal. Pre-rehearsal dimulai dengan rapat (briefing) crew, serta reading para pengisi acara yang terlibat, dipimpin langsung oleh program director atau sutradara. Sehingga crew dan pengisi acara akan familiar dengan skrip yang diberikan, serta akan memahami karakter masing-masing sesuai dengan keinginan sutradara. Proses rehearsal dapat dilakukan beberapa kali sesuai dengan kebutuhan dan pertimbangan produser, sehingga keseluruhan acara dapat berjalan lancar. b) Studio Rehearsal. Studio rehearsal akan siap dilaksanakan jika seluruh persiapan studio sudah selesai. Pengecekan dimulai dari set-design, apakah unsur-unsur set sudah sesuai floor plan. Memastikan tata pencahayaan yang disiapkan oleh lighting director sudah bisa terpenuhi dengan baik, termasuk tata suara beserta penempatan peralatan pendukungnya harus sudah pada posisi yang benar. Proses studio rehearsal dapat dilakukan dengan berbagai cara, sangat tergantung dari jenis serta tingkat kesulitan acara yang akan diproduksi. Secara umum persiapan itu antara lain: dry run/walk through, camera blocking, pre-dress run through, dress rehearsal,

59 Andi Fachruddin, Ibid, hal 14-15 71 dan video taping. c) Recording. Ini adalah tahapan akhir dari fase produksi, dilakukan setelah memastikan semua unsur atau elemen yang terlibat sudah siap.

C.2. Manajemen Produksi Menurut Branston dan Stafford Manajemen produksi program televisi dalam versi lain juga dirumuskan oleh Branston dan Stafford, sebagaimana juga banyak dijadikan referensi oleh para akademisi dan praktisi media broadcasting. Menurut Branston dan Stafford (2003), untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sebuah produksi program televisi harus memperhatikan tahapan-tahapan berikut, mulai dari pra, produksi, hingga post-produksi. Dalam uraiannya, Branston dan Stafford menjelaskan bahwa tahapan proses produksi meliputi development or negotiating a brief, pre-production, production, post-production, distribution, dan exhibition. Semua tahapan ini memiliki urgensi yang sama dalam menentukan kualitas sebuah karya, hingga karya tersebut diapresiasi oleh khalayak. Berikut ini beberapa tahapan produksi seperti yang dirumuskan oleh Branston dan Stafford:60 1. Development or negotiating a brief. Tahapan ini merupakan tahap untuk mendiskusikan ide dan gagasan, baik menyangkut format, tema atau konten, pilihan talent (narasumber), wardrobe, make-up, tata artistik, rancangan stage atau backdrop, packaging grafis, hingga soal

60 Gill Branston and Roy Stafford, The Media Student’s Book-3rd ed (London: Routledge, 2003), hal. 288-299. 72 budgeting. Kesemuanya ini akan dirumuskan sehingga menjadi sebuah konsep program, yang biasanya disusun dalam sebuah “production book”. 2. Pre-production. Tahapan ini kemudian menjadi periode untuk menyiapkan atau merealisasikan apa yang sudah disepakati dan terumuskan dalam production book. Misalnya pembuatan backdrop, menyusun script dan rundown program, operasional rundown, negosiasi talent, merealisasikan kebutuhan equipment shooting, kebutuhan manpower atau crew, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini didasarkan pada hasil riset yang dilakukan sebelumnya. Riset dilakukan guna mendapatkan bahan dan referensi untuk mendukung pencapaian target dari suatu produksi. 3. Production. Ini adalah tahapan pelaksanaan shooting, yakni proses taping dari rencana-rencana atau desain program yang telah disusun sebelumnya. Karena kompleksitas dari proses produksi, ada beberapa bagian dari production-team yang dikelompokkan dalam unit kerja sebagai berikut : 3.1. Unit Produksi. Bagian ini bertanggung jawab atas kesiapan akomodasi, perizinan, dan faktor pendukung kelancaran produksi lainnya semisal keamanan. 3.2. Producer. Harus ada yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua proses produksi (taping) terselenggara dengan baik, mengorganisasikan sumber daya manusia yang terlibat, dan bertindak sebagai pengendali keuangan. Itulah yang disebut Produser. 3.3. Director or Editor. Fungsi dan peran ini lebih terkait bagaimana mengarahkan atau mensupervisi creative-content dari program. Selain itu, pengarah program (director) dan editor juga 73 turut berperan dalam pemilihan gambar dan menentukan tampilan gambar (framing). 3.4. Researcher. Dibutuhkan seseorang atau beberapa orang yang melakukan tugas-tugas riset dalam tim produksi. Periset ini bukan orang yang terpisah, namun menjadi bagian dari tim produksi. Informasi dari hasil riset ini sangat penting dalam menentukan tema, memilih talent, menentukan segmentasi pemirsa, bahkan penting juga untuk menentukan jam berapa program tersebut nantinya akan ditayangkan. 3.5. Creative Personnel. Ini adalah sebuah istilah atau job-disc yang longgar, dan mungkin semua anggota dalam tim dapat memerankan dirinya sebagai creative personnel. Namun setidaknya hendaknya ada bagian dari tim produksi yang khusus mengawal creative-program, yakni diantaranya menyusun rundown, flow adegan, membuat treatment, gimmick, dan menyampaikannya kepada para narasumber (brief talent). Penting bagi creative-personnel ini untuk membina hubungan kerja yang baik dengan bagian-bagian lainnya, guna memastikan ide creative-program dapat terdeliver dengan baik. 3.6. Technical Personnel. Bagian ini memiliki tanggung jawab dan peran yang tak kalah strategisnya. Dalam setiap kegiatan produksi, selalu saja ada “kompromi teknis” yang dapat ditolerir. Hal ini dikarenakan rancangan teknis tidak selalu bisa diimplementasikan 100% (seratus persen). Kebutuhan peralatan (equipment) dan bagaimana peralatan ini dapat dioperasikan dengan baik, menjadi tanggung jawab bagian ini. 3.7. Freelances. Dalam dunia broadcasting di Indonesia, term freelances ini pengertiannya barangkali dapat disamakan dengan 74

Bagian Umum. Namun area kerja dan tanggung jawabnya lebih banyak terkait ke urusan-urusan yang bersifat teknis-pendukung. 3.8. Administrative Personnel. Personal yang bertanggung jawab atas masalah-masalah administratif. Sepintas, jabatan ini memang tak terkait langsung dengan proses produksi. Namun urgensi kerja-kerja administratif akan sangat mempengaruhi kelancaran proses produksi (taping) itu sendiri. Penyiapan dokumen perizinan, dokumen perjanjian kerja dengan talent (narasumber), adalah sebagian contoh job-description yang diemban oleh Administrative Personnel. 3.9. Presenters. Secara umum dikatakan bahwa presenter adalah “wajah” nya media (channel televisi). Dalam skala kecil, yaitu program yang dibawakannya, presenter juga merupakan representasi dari program itu. Satu pengertian dengan presenter adalah “host” untuk program dengan format talkshow, game dan variety-show, dan “anchor” untuk news-program. Karena tayangan itu juga bersifat tontonan, maka seorang presenter, host dan anchor dituntut untuk tampil menarik, atraktif, smart dan sekaligus santun. 4. Post-production. Ini adalah satu tahapan dalam proses produksi untuk penyelarasan hasil shooting. Pada tahap ini, master-shooting akan mengalami editing gambar, mixing audio, penyesuaian warna (coloring), penambahan grafis, hingga pemberian efek audio-visual. Tahapan post-production yang dirumuskan Branston dan Stafford meliputi rewriting, editing, copy-editing, proofing, dan finishing. 5. Distribution. Salah satu target penting dari diproduksinya suatu program adalah agar program tersebut dapat diapresiasi atau ditonton oleh sebanyak-banyaknya pemirsa. Karena itu, maka tahap distribusi menjadi point yang sama pentingnya dengan tahapan-tahapan lain dalam proses produksi. Distribusi mengandung pengertian bagaimana 75 kita menentukan strategi penayangan program yang kita buat. Melalui media atau channel apa program tersebut kita tayangkan, jika kita tidak memiliki media penyiaran sendiri. Dalam hal ini, posisi kita adalah Production-House atau Independent Program-maker. 6. Exhibition. Tahapan ini hanya relevan untuk karya film, video atau fotografi. Tahapan ini juga penting untuk mempresentasikan kerja kita kepada khalayak (terbatas) dalam situasi dan kondisi terbaik mereka untuk mengapresiasi, dan berharap mendapatkan feedback dari mereka untuk kemungkinan dilakukan revisi atau perbaikan jika diperlukan, sebelum karya tersebut “dilempar” ke khalayak (umum). 76

BAB III PROFIL ANTV DAN KEBIJAKAN PROGRAM WISATA HATI

A. ANTV Sebagai Stasiun Televisi Komersial PT Cakrawala Andalas Televisi atau yang lebih dikenal dengan sebutan ANTV, hadir sebagai stasiun televisi swasta di Indonesia yang menyajikan beragam tayangan hiburan yang berkualitas, menarik, serta menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat Indonesia. Awalnya, ANTV adalah stasiun televisi lokal (dengan izin siaran lokal), yang melakukan siaran di wilayah Lampung dan sekitarnya. Tercatat, siaran ANTV pertama kali “mengudara” untuk wilayah kota Bandar Lampung dan sekitarnya, tepat pada tanggal 1 Januari 1993. Dengan izin siaran lokal, ANTV mengudara selama lima jam sehari.

Sebagaimana dikisahkan oleh Direktur News, Sports & Corporate Communications ANTV, H. Azkarmin Zaini, dalam buku “ANTV 19 Tahun Wow Kereeen..!!”, bahwa pada saat lahir, izin ANTV, sebagaimana stasiun televisi swasta lain yang ada waktu itu, baru sebatas televisi lokal. Izin ANTV adalah untuk daerah Lampung, yang dimiliki oleh Kelompok Usaha Bakrie. Sementara Agung Laksono dan group bisnisnya memiliki izin lokal untuk wilayah . Sewaktu Pemerintah mulai membuka peluang televisi swasta bersiaran secara nasional, kedua pihak tersebut bersatu mengajukan izin siaran nasional.61

Lalu kemudian tercatat ANTV mendapatkan Izin Siaran

61 Zaini, H. Azkarmin, ANTV Lahir dan Berawal Dari Kesederhanaan, 19 Tahun Wow Kereeen..!!, Jakarta, 2012, hal 11 77

Nasional dari Menteri Penerangan RI dengan No. 207/RTF/K/I/1993 tgl 30 Januari 1993. Dan, sepuluh hari setelah izin tersebut keluar, ANTV dapat melakukan siaran secara nasional. Tepat 1 Maret 1993, untuk pertama kalinya ANTV memproduksi program sendiri berupa liputan berita aktual jalannya Sidang Umum DPR/MPR. Saat itu ANTV berhasil melakukan siaran langsung meliput jalannya kegiatan penting kenegaraan. Momen istimewa itulah yang kemudian dijadikan sebagai hari lahirnya ANTV.

Dalam kesaksian H. Azkarmin Zaini, ANTV lahir tidak dengan segala yang serba “wah”. Tidak dengan peralatan serba lengkap dan canggih, tidak dengan karyawan yang jumlahnya ratusan mengisi organisasi dalam format lengkap, tidak pula dengan acara besar meriah yang didahului promosi besar-besaran. ANTV lahir dan berawal dari kesederhanaan. Peralatan sederhana dan minimal. ANTV lahir di tempat yang sederhana dengan acara peresmian yang sederhana pula, dengan karyawan yang sangat terbatas dan dana yang terbatas pula.62

Dari bangunan pemancar Bandar Lampung juga seluruh siaran ANTV pada masa kelahirannya itu dipancarkan. Tidak 12 jam, apalagi 24 jam seperti sekarang, melainkan mulai dari tiga sampai tiga setengah jam, pada malam hari. Dan tentu saja pada masa itu, ANTV hanya menyiarkan program-program dari kaset. Kaset-kaset konten program siaran setiap hari dikirim ke Lampung dari Jakarta, yang kemudian disiarkan pada malam harinya.

Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dan sangat

62 Zaini, H. Azkarmin, Ibid, hal 12 78 berliku, kini lebih dari 23 tahun ANTV menemani masyarakat pemirsanya dengan program-program terbaik.63 Program-program yang disajikan terdiri dari beragam genre, baik hiburan drama maupun non-drama, dan juga informasi, baik berita yang aktual maupun dokumenter.

A.1. Visi & Misi Adapun visi dan misi ANTV, seperti yang dipaparkan dalam web-officialnya, yakni menjadi saluran televisi keluarga terbaik untuk seluruh keluarga Indonesia. Misi yang akan dilakukan oleh ANTV untuk dapat mencapai visi tersebut adalah dengan memberikan tayangan program-program berkualitas terbaik bagi setiap anggota keluarga, untuk mendukung pengembangan karakter Bangsa Indonesia, dengan spirit kreatifitas dan inovasi, serta kekuatan kerjasama tim dan tata kelola perusahaan.64

Kebijakan Mutu

PT Cakrawala Andalas Televisi berkomitmen terhadap kebijakan mutu dengan melakukan peningkatan yang bekelanjutan dalam:

- Mengupayakan yang terbaik untuk memuaskan pelanggan.

- Memberdayakan kemampuan karyawan ke arah profesionalisme.

63 Sumber: https://www.antvklik.com/corp/about (diakses tgl 11 Desember 2017) 64 Sumber: https://www.antvklik.com/corp/about (diakses tgl 11 Desember 2017) 79

- Menerapkan ISO 9001 : 2008.

- Mengintegrasikan semua proses dalam unit agar tercapai efisiensi dan efektifitas yang optimal.

- Melakukan peninjauan dan perbaikan Standard Operating Procedure secara berkesinambungan agar ANTV dapat beroperasi lebih efisien.

Dewan Komisaris

ANINDYA NOVYAN BAKRIE, Presiden Komisaris. Menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Intermedia Capital Tbk. sejak tahun 2013. Beliau juga menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Bakrie Telecom Tbk. (2013-sekarang), Komisaris PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk. (2012-sekarang), Presiden Direktur PT Bakrie Global Ventura (2013-sekarang), Presiden Komisaris PT Visi Media Asia Tbk. (2011-sekarang), Presiden Komisaris PT Cakrawala Andalas Televisi (2009-sekarang) dan Komisaris Utama PT Lativi Mediakarya (2007-sekarang).65

Anindya Novyan Bakrie adalah alumni dari Northwestern University, Illinois, dengan gelar Bachelor of Science jurusan Industrial Engineering pada tahun 1996 dan memperoleh gelar Master of Business Administration dari Stanford Graduate School of Business, California, pada tahun 2001.

Selain Anindya Novyan Bakrie, duduk di jajaran komisaris

65 Sumber: https://www.antvklik.com/corp/about (diakses tgl 11 Desember 2017) 80 lainnya adalah Anindra Ardiansyah Bakrie (Komisaris), R. Bismarka Kurniawan (Komisaris), dan Indra C. Uno (Komisaris).

Dewan Direksi

ERICK THOHIR, Presiden Direktur. Menjabat sebagai Presiden Direktur Perseroan sejak tahun 2013. Menjabat pula sebagai Presiden Direktur PT Visi Media Asia Tbk. (2011-sekarang), Presiden Direktur PT Cakrawala Andalas Televisi (2013-sekarang), Komisaris PT Viva Media Baru (2012-sekarang), Komisaris PT Lativi Mediakarya (2012-sekarang), Komisaris PT Beyond Media (2011-sekarang), Komisaris PT Tbk. (2008-sekarang), Komisaris Utama PT Entertainment Live (2008-sekarang), dan Direktur PT Trinugraha Thohir Media Partners (2011-sekarang).

Erick Thohir meraih gelar Associate of Arts (Diploma) dari Glendale College, California, jurusan Communications pada tahun 1990, gelar Bachelor of Arts dari American College, California, untuk jurusan Advertising pada tahun 1991 dan gelar Master of Business Administration untuk jurusan Marketing dari National University, California, pada tahun 1993.

Selain Erick Thohir, duduk di jajaran direksi lainnya adalah Otis Hahijary (Wakil Presiden Direktur), dan H. Azkarmin Zaini (Direktur News, CA & Sports).66

A.2. Program-Program Unggulan Kesuksesan program-program ANTV dalam beberapa tahun

66 Sumber: https://www.antvklik.com/corp/about (diakses tgl 11 Desember 2017) 81 belakangan ini banyak ditopang oleh program series, terutama drama series India dan Turki. Program-program inilah yang dinilai memiliki faktor dominan dalam suksesnya performa program ANTV. Dalam setahun terakhir, posisi pertama di industri televisi nasional (free to air TV) sepertinya senantiasa menjadi “kursi panas”. Sejak ANTV berhasil menyalip RCTI, yang selama ini selalu menempati posisi pertama, pada akhir tahun lalu, kedua stasiun televisi tersebut selalu berebut mempertahankan posisi masing-masing. Tentu saja, posisi satu menjadi objektif utamanya. Stasiun televisi ANTV, setelah kembali merebut posisi pertama di kepermisaan televisi nasional pada penghujung Ramadhan hingga Juli 2017 ini, di pertengahan tahun kemarin mulai melancarkan strategi barunya. Pada pekan pertama Juli 2017, ANTV resmi merilis empat program andalan. Dua program adalah series India, yang notabene menjadi unggulan ANTV selama ini. Kedua program series India tersebut adalah “Nakusha” dan “Madhubala” yang tayang di pagi dan sore hari. Dua program lainnya adalah program lokal, yaitu series “Jodoh Wasiat Bapak” dan variety show “Pesbukers” live. Menurut Manager Acquisition & Distribution ANTV, Gunawan, dirilisnya empat program baru tersebut bertepatan dengan anak-anak yang kembali ke sekolah dan kembalinya ibu-ibu sebagai penonton utama ANTV dan pemegang kendali remotre TV di rumah. Keputusan ANTV untuk tetap menayangkan series India, karena program tersebut dinilai masih efektif untuk mempertahankan rating. Selain itu, cerita-cerita yang diangkat lewat series India juga dipandang cukup dekat dengan masyarakat Indonesia.67

67 http://mix.co.id/marcomm/brand-insight/marketing-strategy/strategi-antv-di-semest 82

Sementara untuk dua program lokal yang menjadi unggulan ANTV di semester kedua 2017 ini adalah “Jodoh Wasiat Bapak”, yang sebelumnya berjudul “Jodoh Pengantar Jenazah”. Diakui Gunawan, program series lokal tersebut selama ini memiliki rating yang cukup tinggi setiap kali tayang, yakni 4. Itu artinya, program “Jodoh Pengantar Jenazah” menjadi nomor satu di segmennya. Dengan strategi menggunakan judul baru, selain ada pengembangan cerita, jam tayang pun menjadi dua kali, pukul 19.00 dan 22.00, yang pada jam tayang keduanya memiliki share yang bagus. Program variety show live “Pesbukers” juga masih menjadi andalan ANTV. Program ini tak kalah menarik dari program drama series. Program “Persbukers” live, sejak Ramadhan 2017 lalu telah menawarkan konsep kolaborasi antara artis Indonesia dan India, yang notabene bermain di sejumlah series India. Menurut Gunawan, konsep kolaborasi tersebut terbukti efektif mendongkrak rating. Oleh karena itu strategi ini tetap dipertahankan, yakni dengan mendatangkan artis-artis India, untuk kemudian melibatkannya dalam program-program ANTV.68 Tak hanya dikolaborasikan dalam program-program yang tayang di ANTV, artis-artis India tersebut juga dilibatkan dalam on-ground activity lewat bungkus “Meet & Greet”, seperti pada kegiatan “Halal Bi Halal Bersama Media” yang digelar pada tanggal 10 Juli 2017. Pada acara ini ANTV mendatangkan pemeran utama wanita program “Nakusha” yang juga pemeran Nandini di program “Anandhi”, Mahii Vij. “Sama seperti artis-artis India lainnya yang didatangkan ke er-kedua-2017 (diunduh pada tanggal 2 Januari 2018) 68 http://mix.co.id/marcomm/brand-insight/marketing-strategy/strategi-antv-di-semest er-kedua-2017 (diunduh pada tanggal 2 Januari 2018) 83

Indonesia, Mahii Vij rencananya akan dilibatkan dalam sejumlah program ANTV.

Penghargaan yang Berhasil Diraih Baru menginjak satu tahun mengudara, ANTV sudah mendapat kepercayaan untuk menjadi House Broadcast untuk event Thomas dan Uber Cup tahun 1994 di Senayan, Jakarta. Ini merupakan sebuah prestasi bahwa ANTV dipercaya menjadi penyelenggara siaran, yang, hasil liputannya didistribusikan ke stasiun-stasiun TV internasional. Bahkan setiap tahunnya ANTV selalu berhasil meraih sejumlah penghargaan, baik tingkat nasional maupun internasional. Didukung dengan individu yang handal dan professional serta teknologi yang memadai, membuat ANTV selalu menjadi stasiun televisi yang membanggakan. Sejak berdirinya, ANTV telah mencatatkan prestasi-prestasinya. Terlebih, mulai tahun 2008 hingga saat ini, telah banyak juga ragam prestasi dan pengahargaan yang berhasil diraihnya. Diantaranya, selama tahun 2017 ini, beberapa prestasi dan penghargaan yang dicapainya adalah sebagai berikut, seperti dikutip dari web-official ANTV:69

 1. Top 10 Indonesia Best Companies in Creating Leaders From Within 2017  2. Utilasi SIPP Online Predikat Terbaik dari BPJS  3. ANTV sebagai Indonesia Most Creative Company dalam ajang Outstanding Corporate Innovator (OCI) Awards oleh Majalah SWA

69 Sumber: https://www.antvklik.com/corp/about (diakses tgl 11 Desember 2017) 84

 4. The Best in Marketing Campaign & The Best in Experiential Marketing oleh Majalah Marketing  5. Program Feature Terbaik dan Parade Terfavorit dalam ajang Anugerah Penyiaran KPID Jambi 2017  6. ANTV sebagai Indonesia Employer of Choice 2017  7. Panasonic Gobel Awards 2017 Kategori Program Komedi/Sitkom Terfavorit: Pesbukers  8. Anugerah KPI 2017

a. Kategori Iklan Layanan Masyarakat Produksi TV: Karena Kita Indonesia

b. Kategori Televisi Ramah Penyandang Disabilitas

 9. The Best Marketing Public Relations Program 2017 pada Indonesia PR of The Year oleh Majalah MIX & SWA

Sumber Daya Manusia

Sumber Daya Manusia (SDM) yang produktif merupakan aset yang utama dan vital bagi ANTV. Melalui SDM yang produktif, akan lahir ide-ide yang kreatif dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Oleh karena itu ANTV terus meningkatkan kemampuan tenaga professional, dengan memberikan kesempatan berupa program pelatihan kebutuhan karyawan, baik melalui In-House Training maupun Out-House Training, serta penghargaan bagi karyawan-karyawan yang berprestasi.70

Muhammad Ridwan, Produser ANTV, menambahkan, budaya

70 Sumber: https://www.antvklik.com/corp/about (diakses tgl 11 Desember 2017) 85 kerja yang dibangun dan dikembangkan di lingkungan ANTV didasari dengan itikad baik dan kerjasama yang tulus antar karyawan, serta diikuti dengan komitmen yang tinggi untuk menjadi yang terbaik. Dengan begitu diharapkan ANTV akan dapat tampil menjadi perusahaan media televisi yang diminati masyarakat.71

B. Kebijakan Program Wisata Hati Wisata Hati merupakan satu dari beberapa program religi yang pernah ditayangkan ANTV. Program ini tayang selama kurang lebih 2 (dua) tahun, dalam kurun waktu antara Oktober 2011 hingga akhir Oktober 2013. Beberapa program sejenis lainnya yang pernah diproduksi stasiun televisi ini, diantaranya ialah program Mutiara Subuh, Mutiara Ramadhan, Kuis Ramadhan Anak (KURMA), 3 Dai (3D), Sahur-Sahur, dan Cahaya Hati. Progam bernuansa religi ini melengkapi sederet program-program lainnya yang menghiasi layar kaca ANTV dalam berbagai jenisnya, seperti program hiburan, baik program musik, game-show, variety-show, kuis, komedi, serta program news dan sport. Stasiun televisi ANTV memproduksi dan memasukkan program religi dalam deretan program-program yang ditayangkannya, didasarkan pada realitas bahwa mayoritas masyarakat Indonesia, yang merupakan pemirsanya, adalah masyarakat religius. Penduduk Indonesia bukanlah penduduk yang atheis, yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa, seperti tercantum dalam sila pertama Pancasila. Dengan demikian, pengetahuan tentang keagamaan dan

71 Muhammad Ridwan, wawancara pada tanggal 27 Oktober 2017 86 tuntunan ibadah yang menjadi kewajiban bagi orang beragama (pemeluk agama) merupakan sesuatu yang sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Ini merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia. Selain itu, juga menjadi kewajiban setiap badan usaha di Indonesia untuk memberikan layanan sosial-kemasyarakatan (public services), dimana hal ini merupakan bentuk dari implementasi corporate social responsibility (CSR). Terlebih lagi bagi ANTV sebagai perusahaan penyiaran atau industri hiburan, yang memang bersentuhan langsung dengan masyarakat sebagai pemirsanya. Menurut Suharyono S., MM, seorang pemerhati masalah ketenagakerjaan dan ekonomi kerakyatan, CSR adalah kewajiban perusahaan yang harus ditunaikan dalam berperanserta membangun ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan. Inilah salah satu isi UU No. 40 Tahun 2007. Dengan demikian tidak perlu masyarakat mimintanya karena memang sudah menjadi haknya. Namun demikian, tetap saja masyarakat mengkritisi pelaksanaanya agar komitmen perusahaan ini benar-benar diwujudkan, bukan sekedar pencitraan.72

CSR dikenal juga dengan sebutan TJSL (Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan) itu sudah diatur sedemikian rupa dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), dan beberapa undang-undang lain seperti UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

72 https://haryberbicara.wordpress.com/2015/07/27/csr-itu-kewajiban-perusahaan/ (diunduh tanggal 3 Januari 2018) 87

Dalam UU No. 40 Tahun 2007 ditegaskan bahwa tangungjawab sosial dan lingkungan (TJSL) adalah komitmen perseroan untuk berperanserta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.

Oleh karena itulah, manajemen ANTV merasa memiliki urgensi dan signifikansi untuk memproduksi dan menayangkan program-program religi yang ditujukan bagi masyarakat pemirsanya. Menurut Oke Dany Ferdian, Manajer Produksi ANTV, program religi menjadi semacam layanan masyarakat sebagai bentuk kepedulian ANTV pada masyarakat pemirsanya.

Ferdian menjelaskan, “Program religi merupakan bentuk public service kami bagi masyarakat yang merupakan pemirsa kami. Kami harus bisa mengambil hati masyarakat. Memberikan layanan, dalam hal ini program tayangan, yang masyarakat butuhkan. Karena jika tidak, maka mereka akan meninggalkan kami. Tentu kami tidak ingin ditinggalkan penonton kami. Kami tidak hanya memproduksi dan menayangkan program religi Islam, namun juga ada program religi bagi pemeluk agama Kristen, Katolik, Buddha dan Hindu.”73 Dilihat dari prosentase pemeluk agama di Indonesia, maka program religi Islam memiliki porsi jumlah jam tayang lebih banyak dibandingkan dengan program-program religi non-Islam. Program religi Islam dijadwalkan tayang setiap hari Senin hingga Sabtu, sementara program religi non-Islam tayang setiap hari Ahad secara

73 Wawancara Oke Dany Ferdian, Senin, 2 Februari 2015. 88 bergantian: Kristen tayang setiap Ahad pekan pertama, Katolik tayang setiap Ahad pekan kedua, Buddha tayang setiap Ahad pekan ketiga, dan Hindu tayang setiap Ahad pekan keempat.74 Penjelasan Ferdian menegaskan bahwa program religi bukan merupakan program andalan untuk mendapatkan revenue, atau program untuk menarik sponsor. Program religi tidak dimasukkan dalam strategi sales dan marketing, kecuali di momen-momen bulan ramadhan.

74 Advisory program ANTV, Oktober 2011. 89

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA

A. Profil Program Wisata Hati Program Wisata Hati bukanlah program religi pertama di ANTV. Artinya, sebelum adanya program ini, ANTV sudah pernah menayangkan program bernuansa religi lain, seperti Mutiara Subuh. Program Mutiara Subuh dibawakan oleh beragam narasumber yang mengisi secara bergantian. Narasumber program ini terdiri dari ulama, cendekiawan muslim, serta tokoh masyarakat (muslim) lainnya, tergantung konteks permasalahan atau tema yang dibahas. Secara performa, dapat dikatakan rating program ini mengalami pasang-surut, tergantung siapa narasumber dan tema apa yang dibahas. Jika narasumber adalah tokoh yang dikenal publik, atau tema yang dibahas merupakan tema yang berkaitan dengan problem kehidupan masyarakat secara langsung, maka perolehan rating program ini akan terangkat. Namun jika sebaliknya, maka perolehan rating program ini juga akan turun. Lain halnya dengan Wisata Hati. Program ini hanya memiliki satu narasumber, yaitu Ust Yusuf Mansur. Karena itu, program Wisata Hati ini sesungguhnya dapat diidentikkan dengan Ust Yusuf Mansur. Wisata Hati adalah sebuah program televisi bernuansa keagamaan (Islam) yang diproduksi secara in-house dan ditayangkan oleh stasiun televisi ANTV selama periode antara bulan Oktober 2011 hingga Oktober 2013. Basic format program ini adalah talk-show monolog, dengan seorang narasumber yaitu Ust Yusuf 90

Mansur. Semula, program ini diproduksi secara in-house dengan konsep indoor di studio. Namun dalam kurun waktu 6 bulan terakhir periode panayangannya, format program ini menjadi berbeda. Wisata Hati tidak lagi diproduksi indoor di studio, melainkan di luar studio (out-door) dengan mengikuti kegiatan tabligh atau taushiyah Ust Yusuf Mansur. Apa maksud dan tujuan diproduksinya program ini? Menurut Irwan Joko, Produser program Wisata Hati, pembuatan program ini dimaksudkan untuk memberikan informasi dan edukasi keagamaan kepada pemirsa ANTV, utamanya umat muslim, agar mereka dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan keagamaannya. Selain itu, dengan program ini pemirsa muslim juga bisa mendapatkan bimbingan dan tata cara praktik peribadatan seperti yang disyariatkan dalam Islam. Ditambahkan oleh Irwan Joko, bahwa ini merupakan salah satu bentuk kepedulian dan tanggung jawab moral perusahaan (moral corporate responsibility) kepada masyarakat.75

A.1. Nara Sumber Pemilihan narasumber tunggal untuk program ini pada Ust. Yusuf Mansur, didasarkan pada pertimbangan akan rekam jejaknya (track record) yang positif dalam dunia dakwah. Selain dakwah verbal, beliau juga melakukan dakwah non-verbal (da’wa bi al-haal) dengan mendirikan Pesantren Daarul Qur’an, rumah-rumah tahfidz al-qur’an di berbagai wilayah di Indonesia bahkan di luar negeri, serta mendirikan lembaga amil zakat, infak, sedekah dan wakaf dengan nama PPPA Daarul Qur’an. Lembaga ini juga fokus pada program pembibitan para penghafal al-qur’an. Materi dakwah yang

75 Wawancara Irwan Joko, Selasa, 3 Februari 2015 91 disampaikannya juga menjadi pertimbangan team dalam penunjukan narasumber, sebab bersentuhan langsung dengan problematika riil yang dialami oleh masyarakat, disertai contoh-contoh kasus yang kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Selain faktor di atas, soal popularitas dan akseptabilitas narasumber di tengah-tengah masyarakat juga menjadi faktor penting dalam pemilihan. Ust Yusuf Mansur memiliki jamaah yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air. Kegiatan tablighnya tidak hanya di wilayah tertentu saja, tetapi menjangkau hampir seluruh daerah di tanah air, juga beberapa kota di luar negeri, seperti Hongkong, Taiwan, Malaysia, dan Singapura. Dalam berbagai akun social-media, misalnya di channel Youtube, tidak sulit kita menjumpai beragam cuplikan video ceramah/taushiyah beliau yang diunggah oleh berbagai lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan tingkat popularitas dan akseptabilitas yang cukup baik dari narasumber.76 Seperti disinggung sebelumnya bahwa program Wisata Hati identik dengan Ust Yusuf Mansur. Karena itu, untuk mendapatkan gambaran lebih utuh tentang program Wisata Hati, penting untuk dipaparkan “siapa” sebenarnya Ust Yusuf Mansur? Bagaimana rekam jejaknya sebagai pendakwah? Merujuk pada apa yang dijelaskan dalam ensiklopedia bebas online Wikipedia77, Yusuf Mansur adalah seorang tokoh pendakwah, penulis buku dan pengusaha dari Betawi, sekaligus pimpinan dari Pondok Pesantren Daarul Qur’an, Ketapang, Cipondoh, Tangerang, dan cabang-cabangnya, serta pimpinan pengajian Wisata Hati.

Terlahir di Jakarta pada tanggal 19 Desember 1976 dengan nama

76 Wawancara Irwan Joko, Selasa, 3 Februari 2015. 77 https://id.wikipedia.org/wiki/Yusuf_Mansur (diunduh pada tanggal 3 Januari 2018) 92

Jam’an Nurkhatib Mansur. Ia lahir dari keluarga Betawi berkecukupan pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrif’ah, dan sangat dimanja orang tuanya. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang cerdas, sehingga tampak kecerdasannya itu dari cara menangkap pelajaran di Madrasah Ibtidaiyah Chairiyah Mansuriyah Jembatan Lima, Tambora Jakarta Barat. Lembaga pendidikan ini didirikan oleh Uyutnya, K.H. Muhammad Mansur yang dikenal dengan panggilan “Guru Mansur”, yang belakangan dikelola oleh Uwanya, K.H. Ahmadi Muhammad. Yusuf Mansur memanggilnya “Ayah Mamat”.

Sejak usia 9 tahun atau saat duduk di kelas 4 MI (Madrasah Ibtidaiyah), ia sering tampil di atas mimbar untuk berpidato pada acara Ihtifal Madrasah yang diselenggarakan setiap tahun menjelang Ramadhan. Tamat MI, ia kemudian melanjutkan ke MTs (Madrasah Tsanawiyah) Chairiyah Mansuriyah, yaitu lembaga pendidikan yang dikelola oleh keluarganya, KH. Achmadi Muhammad. Dan Yusuf Mansur, adalah siswa paling muda usianya dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Karena di usia 14 tahun, ia lulus dari MTs. Chairiyah Mansuriyah, pada tahun 1988/1989 dan mendapat predikat sebagai siswa terbaik.

Dari MTs. Chairiyah Mansuriyah, kemudian ia melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Grogol, dan berhasil tamat sebagai lulusan terbaik. Lulusan MAN 1 Grogol, Jakarta Barat, tahun 1992 ini pernah kuliah di Fakultas Syari'ah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Hal ini tertuang dalam pengantar bukunya "Lukmanul Hakim Mencari Tuhan yang Hilang" yang diungkap oleh Prof. Dr. H. Amin Suma, MA., M.H. Namun kulahnya di IAIN terpaksa terhenti di tengah jalan karena ia lebih suka balapan motor, meski pada akhirnya beberapa tahun kemudian ia berhasil menamatkannya juga. 93

Yusuf Mansur tumbuh dalam bimbingan guru-gurunya di lingkungan Madrasah Mansuriyah, yang hingga saat ini masih mengajar, di antaranya Hasan Luthfy Attamimy, MA., H.M. Naksabandi, S.Ag., Drs. Pramonohadi, Subagyo, S.Pd., Drs. H.M. Basuni, Abdun Najih, S.Pd., Halimatus Sa'diah, S,Pd., Drs. Syamsudin, M.Pd., dan sebagiannya.

Pada tahun 1996, ia terjun di bisnis informatika. Sayang bisnisnya malah menyebabkan ia terlilit hutang dan membuatnya masuk rumah tahanan selama 2 bulan, dan hal serupa kembali terulang pada tahun 1998. Saat di penjara itulah, ia menemukan hikmah tentang sedekah. Selepas dari penjara, ia mencoba memulai usaha dari nol lagi dengan berjualan es di terminal Kali Deres, Jakarta Barat. Berkat kesabaran dan keikhlasan sedekah pula akhirnya bisnisnya mulai berkembang dari semula berjualan dengan termos, lalu gerobak sampai kemudian memiliki pegawai. Hidup Yusuf Mansur mulai berubah saat ia berkenalan dengan seorang polisi, yang memperkenalkannya dengan LSM. Selama bekerja di LSM itulah, ia membuat buku “Wisata Hati Mencari Tuhan Yang Hilang”, sebuah buku yang terinspirasi oleh pengalamannya sewaktu di penjara saat rindu dengan orang tua.

Tak dinyana, buku itu mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Yusuf Mansur kemudian sering diundang untuk bedah buku tersebut. Dari sini, undangan untuk berceramah mulai menghampirinya. Di banyak ceramahnya, ia selalu menekankan makna di balik sedekah, dengan memberi contoh-contoh kisah kehidupan nyata. Gaya bicaranya yang simpel dan apa adanya saat berdakwah membuat isi ceramahnya mudah dicerna dan digemari masyarakat. 94

Yusuf Mansur juga menggagas berdirinya Program Pembibitan Penghafal Al-Qur’an (PPPA) “Daarul Qur’an” yang mencetak penghafal Al-Qur’an melalui pendidikan gratis bagi para dhuafa yang ada di Pondok Pesantren Daarul Qur’an kampung Bulak Santri, Tangerang, Banten (yang sekarang telah pindah ke kampung Ketapang, Cipondoh, Tangerang). Dana dari program ini diambil dari sedekah jamaah Wisata Hati. Sebagai penulis, tercatat sudah puluhan buku berhasil ditulis dan diterbitkannya. Beberapa diantara buku-bukunya adalah Mencari Tuhan Yang Hilang, Kun Fayakuun, The Miracle of Giving, Membumikan Rahmat Allah, Ihya Us-Sunnah, Kado Ingat Mati, Semua Bisa Jadi Pengusaha, Rahasia Kekayaan dan Kesuksesan, dan lain-lain.

A.2. Tema-Tema Program Lalu, apa saja tema atau materi yang dibahas dalam program ini? Secara garis besar, concern narasumber terkait penayangan program ini adalah bagaimana agar masyarakat dapat meningkatkan iman-tauhid nya kepada Allah SWT, tidak menyekutukan Allah SWT dalam bentuk dan rupa apapun. Sebab dalam realitas kehidupan sehar-hari, masih banyak masyarakat muslim yang bersandar kepada selain Allah SWT. Padahal, segala bentuk pengharapan kepada selain Allah adalah perbuatan menyekutukan Allah (syirk). Karena itu, dalam berbagai kesempatan, narasumber sering mempromosikan semboyan atau slogan: “Allah Dulu, Allah Lagi, Allah Terus.”78 Untuk mendapatkan gambaran tentang tema-tema apa yang

78 Semboyan atau prinsip ini juga sudah dikupas dalam buku dengan judul yang sama. Selain itu, dalam program Wisata Hati juga dibahas tema ini menjadi beberapa seri/episode. 95 dibahas, berikut adalah daftar sebagian tema-tema yang pernah dibahas dalam program Wisata Hati. Tidak seluruh tema yang pernah dibahas dalam program Wisata Hati ini akan ditampilkan disini, namun daftar berikut adalah daftar tema yang dipilih secara random, untuk menunjukkan ragam rumusan tema, yakni:79

No T e m a Jmlh Eps Tgl Tayang 01 Quu Anfusakum 6 Eps 25-02-13, dst 02 Tuubuu Ilaihi Taubatan-Nasuuha 12 Eps 05-03-13, dst 03 Utamakan Allah 3 Eps 16-03-13, dst 04 Kun Fayakun - Cerita Dunia Medis 25-03-13 05 Ke Tanah Suci Bukan Mimpi 30-03-13 06 Penghalang Rezeki 3 Eps 31-03-13, dst 07 Sebab Terkabulnya Doa 2 Eps 06-04-13, dst 08 Anak Penyejuk Hati 2 Eps 09-04-13, dst 09 Cara Asyik Ngafal Qur’an 4 Eps 11-04-13, dst 10 Bersatu Meraih Masa Depan 2 Eps 15-04-13, dst 11 Belajar Terus 3 Eps 17-04-13, dst 12 Rindu Masjidil Haram & Masjid Nabawi 20-04-13 13 S e d e k a h 8 Eps 21-04-13, dst 14 Membangun Karakter Spiritual Yang Kuat 2 Eps 28-04-13, dst 15 Dahulukan Semua Urusan Dengan Allah 05-05-13 16 Memulai Bisnis “Kewajiban Kepada Allah” 06-05-13 17 Perbesar Rezeki Dengan Sedekah 3 Eps 07-05-13, dst 18 Wisuda Akbar Penghafal Al-Qur’an 4 Eps 10-05-13, dst 19 Doa Yang Mustajab 3 Eps 16-05-13, dst 20 Amalan-amalan Pengundang Rezeki 20-05-13 21 Keyakinan Kepada Allah 2 Eps 21-05-13, dst

79 Creative ANTV, List Tema Program Wisata Hati, Production Department, 2013 96

22 Cara Gampang Bayar Hutang 2 Eps 23-05-13, dst 23 Menciptakan Sekolah Tahfidz 25-05-13 24 Allah Sebagai Wali Bagi Orang Beriman 3 Eps 28-05-13, dst 25 Jadilah Penerus Ulama 03-06-13 26 Indonesia Bertadabbur Al-Qur’an 4 Eps 11-06-13, dst 27 Dibalik Sunnah Ada Kejayaan 3 Eps 18-06-13, dst 28 40 Hari Menjadi Kaya 25-06-13 29 Al-Qur’an Mengajarkan Quantum 4 Eps 26-06-13, dst 30 Motivasi 2 Eps 02-07-13, dst 31 Pembahasan QS Al-Waqiah dan Maryam 3 Eps 10-08-13, dst 32 Sholat Sunnah Permudah Hajat 18-08-13 33 Mengenal Kematian 20-08-13 34 Shalat Sebagai Pembuka Jalan 2 Eps 22-08-13, dst 35 Ekonomi Berjamaah 9 Eps 24-08-13, dst 36 Shalat, Doa & Sedekah 4 Eps 11-09-13, dst 37 Menanamkan Disiplin dan Kerjasama 4 Eps 18-09-13, dst 38 Yakin 29 Eps 06-10-13 / Eps 29 39 Matematika Halal Haram 9 Eps 07-10-13 40 Menuju Allah 6 Eps 16-10-13

Ust Yusuf Mansur dikenal publik sebagai dai penganjur dan pelaku sedekah. Hal ini karena dalam berbagai kesempatan ceramah, baik off-air maupun on-air, termasuk juga dalam berbagai buku yang ditulisnya, ia memang kerap mengupas tentang keutamaan atau keajaiban sedekah (the miracle of giving). Akan tetapi, menurutnya, muara dari wacana sedekah yang kerap kali ia dengungkan adalah 97 iman yang total kepada Allah SWT.80 Ditegaskannya, iman yang total kepada Allah SWT merupakan manifestasi dari kesaksian (syahadah ilahiah) kita. Robbunallaah, Tuhan kami Allah. Syarat mutlak untuk mendapatkan jaminan (dari Allah SWT) adalah tidak menggantungkan kepada apapun selain Allah. Termasuk juga tidak menggantungkan pada gaji, pekerjaan, atau orang lain. Menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tempat bergantung, satu-satunya Tuhan, adalah syarat mutlak untuk mendapatkan jaminan Allah SWT.81

A.3. Pemilihan Format Program Program Wisata Hati diproduksi dalam format talkshow monolog dengan mengambil lokasi di studio (indoor).82 Program ini masuk kategori acara televisi Non-Drama. Menurut Naratama, program non-drama adalah sebuah format acara televisi yang diproduksi melalui proses pengolahan imajinasi dari realitas kehidupan nyata tanpa harus diinterprestasi ulang dan tanpa menjadi dunia khayalan. Format tersebut bukan sebuah runtutan cerita fiksi dari setiap pelakunya. Dengan pengertian bahwa non-drama merupakan runtutan pertunjukan kreatif yang mengutamakan unsur hiburan yang dipenuhi dengan aksi, gaya dan musik.83 Dalam konteks program religi, maka non-drama merupakan

80 Dari sekian banyak buku yang ditulis oleh Yusuf Mansur, beberapa yang membahas soal (keutamaan) sedekah, adalah The Miracle of Giving, Kun Fayakuun, Matematika Kehidupan, Allah Maha Pemurah, Allah Maha Mensejahterakan, dan lain-lain. 81 Yusuf Mansur, Jaminan, Sekolah Bisnis Wisata Hati Nusantara, 2014, hal 14 82 Format acara televisi adalah sebuah perencanaan dasar dari suatu konsep acara televisi yang akan menjadi landasan kreatifitas dan desain produksi yang akan terbagi dalam berbagai kriteria utama yang disesuaikan dengan tujuan dan target pemirsa acara tersebut (Naratama, 2000, Menjadi Sutradara Televisi). 83 Naratama, Menjadi Sutradara Televisi, Jakarta, 2000 98 program yang mengutamakan unsur edukasi dan informasi yang bermuara atau berujung pada ajakan kebaikan dan mencegah kemunkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Salah satu bentuk program acara televisi non-drama adalah talkshow. Menurut Naratama, talkshow merupakan program acara televisi mengenai perbincangan, percakapan orang-perorangan atau beberapa orang tentang suatu masalah yang sedang hangat dibicarakan, misalnya: “Bukan Empat Mata” dan “Hitam Putih” di Trans 7, “Kick Andy” di Metro TV, “Indonesia Lawyer Club” di TVONE, dan lain-lain. Menurut Hendra WS, Istilah “talkshow” adalah aksen dari bahasa Inggris di Amerika. Di Inggris sendiri, istilah talkshow ini biasa disebut “Chat Show”. Pengertian talkshow adalah sebuah program televisi atau radio, dimana seseorang ataupun group berkumpul bersama untuk mendiskusikan berbagai hal atau dengan suasana santai tapi serius, yang dipandu oleh seorang moderator. Kadangkala, talkshow menghadirkan tamu berkelompok yang ingin mempelajari berbagai pengalaman hebat. Di lain hal juga, seorang tamu dihadirkan oleh moderator untuk berbagi pengalaman. Acara talkshow ini biasanya diikuti dengan menerima telpon dari para pendengar/penonton yang berada di rumah, mobil, ataupun ditempat lain.84 Beberapa program religi di televisi dikemas secara lebih populer dan menghibur, misalnya dengan menyertakan pemandu acara (host), melibatkan banyak jamaah yang turut berinteraksi dengan narasumber, serta menghadirkan pemusik yang diharapkan dapat memberikan nuansa hiburan dalam acara tersebut. Selain itu, dihadirkannya talent pemusik (mini home band) dalam acara

84 www.hendra.ws/pengertian-talkshow (diunduh pada tanggal 3 Januari 2018) 99 talkshow diharapkan dapat membuat rangkaian program tidak kaku, suasana menjadi lebih cair, sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat dicerna dengan lebih ringan. Namun Wisata Hati merupakan program yang berbeda. Program ini dirancang dengan hanya menghadirkan 1 (satu) orang narasumber, yakni Ust Yusuf Mansur. Dalam menyampaikan paparan atau pembahasannya, narasumber menggunakan alat bantu yaitu papan tulis atau flip chart berisi kertas plano. Dengan alat bantu inilah narasumber leluasa mengekspresikan dan mengkomunikasikan pembahasannya kepada pemirsa (audience) di rumah. Menurut Produser Wisata Hati, Irwan Joko, pemilihan format ini didasarkan pada 2 (dua) pertimbangan. Pertama, format ini dinilai lebih efektif dalam menyampaikan materi ceramah atau taushiyah, karena baik narasumber maupun audience akan fokus pada content. Karena talenta yang dimiliki oleh narasumber, maka format monolog ini akan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada narasumber untuk melakukan eksplorasi. Tidak perlu dibantu atau dipancing dengan pertanyaan oleh host, yang kadangkala malah membatasi eksplorasi narasumber. Sedangkan pertimbangan kedua, tipikal atau gaya penyampaian (komunikasi) dari narasumber, dimana Ust Yusuf Mansur dinilai memiliki retorika yang sangat baik. Menurut Irwan Joko, narasumber juga merupakan seorang Ustadz dan pendakwah yang multi talenta, utamanya karena menguasai beberapa model bacaan (naghom) Al-Qur’an, sehingga dapat membacakannya dengan sangat “merdu” dan “menyentuh”.85 Dengan kedua alasan inilah kemudian Tim Produksi merealisasikan pembuatan program ini dalam format

85 Wawancara Irwan Joko, Selasa, 3 Februari 2015. 100 talkshow monolog.

B. Manajemen Produksi Program Wisata Hati Dalam struktur organisasi di lingkungan ANTV, program Wisata Hati berada di bawah tanggung jawab, pengelolaan, dan kontrol Departemen Produksi (Production Department). Bagian ini memiliki tugas, kewenangan dan tanggung jawab untuk memproduksi beragam program televisi, baik program yang sifatnya siaran langsung (live) maupun program yang disiarkan secara tunda (taping). Namun untuk program-program bergenre news dan sport maka tugas, kewenangan dan tanggung jawabnya ada pada News & Sport Department. Selain kedua bagian ini, ada satu lagi bagian yang terkait dengan pengadaan program, yakni Bagian Akuisisi (Acquisition Department). Dalam lingkup dan naungan Departemen Produksi ini terdapat banyak tim, dimana masing-masing tim memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memproduksi program-program tertentu. Jika dipandang perlu, atas pertimbangan tertentu, komposisi setiap tim dan program apa yang menjadi tanggung jawabnya, dapat diubah (rolling) oleh Manajernya dengan persetujuan General Manager. Setiap tim dapat terdiri dari sejumlah orang yang berbeda, namun secara umum (yang diberlakukan di lingkungan ANTV), setidaknya setiap tim produksi dapat terdiri dari seorang Executive Producer (EP), Producer, Assistant Producer, Creative (Research & Writer), Production Assistance (PA), dan Program Director (PD). Selain mereka, turut membantu juga tim administrasi Departemen Produksi, yang terdiri dari staf administrasi, keuangan (finance), talent, serta Unit Produksi.86

86 Production Book Program Wisata Hati, Departemen Produksi ANTV, Jakarta, 101

Untuk komposisi tim produksi program Wisata Hati, seperti yang ditetapkan oleh Manajer Produksi dengan persetujuan General Manager Produksi, adalah sebagai berikut: Tim Produksi Program Wisata Hati

NAMA PEMEGANG JABATAN J A B A T A N Herty Paulina Purba General Manager Oke Dany Ferdian Manager Andi Fariadi Faisal Executive Producer Irwan Joko Suryono Producer Muhammad Ridwan Producer Jack Syarifuddin Producer Assistance Muhammad Ariandy Producer Assistance Gusti Auliani Anshari Creative Haikal Sanad Creative Putri Triandita Creative M. Taufik Production Assistance Nesty Noormawati Production Assistance

Setiap jabatan dalam tim memiliki tugas, wewenang dan tanggung jawab yang sudah dirumuskan dalam satuan job description, seperti yang dijelaskan oleh Manajer Produksi ANTV, Oke Dany Ferdian. Berikut akan diuraikan rumusan job description mulai dari level Executive Producer kebawah (below) dan penulis sarikan sebagai berikut:87

2013. 87 Wawancara dengan Oke Dany Ferdian, Production Manager ANTV, Jakarta, 2 102

Jabatan Executive Producer. Jabatan ini dibutuhkan untuk memberikan pandangan mengenai pengembangan program, koordinasi, kontribusi dan distribusi produksi secara sistematis dan efisien. Uraian tugas dan tanggung jawab seorang Produser Eksekutif: 1. Memberikan arahan dan pengawasan serta bertanggung jawab terhadap crew produksi ANTV. 2. Melakukan supervisi terhadap produksi program inhouse ANTV. 3. Menginisiasi, mengkoordinasikan dan supervisi seluruh proses kegiatan crew produksi, dari mulai sharing gagasan, budgeting dan eksekusi produksi program. 4. Mensinergikan dan berkoordinasi dengan marketing terkait dalam konteks marketing dan sales. 5. Melakukan komunikasi antar departemen atau bagian lain yang berkaitan dengan proses produksi. 6. Mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas jabatan sebagaimana diuraikan dalam job description kepada Manager ANTV. Program Director. Jabatan ini dibutuhkan untuk bertanggung jawab secara teknis atas pelaksanaan produksi program. Uraian tugas dan tanggung jawab dari jabatan ini, yakni: 1. Membantu produser merancang dan mendesain sebuah produksi program dari pra produksi, produksi sampai dengan pasca produksi. 2. Menjaga dan bertanggung jawab terhadap teknis eksekusi produksi program. 3. Melakukan supervisi terhadap Editor, Audio Person, Linghting Person dan Camera Person.

Februari 2015 103

4. Mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas jabatan sebagaimana diuraikan dalam job description kepada Manager ANTV. Adapun jabatan Producer dibutuhkan untuk membantu Executive Producer dalam proses produksi program-program inhouse dari pra produksi, produksi dan pasca produksi. Uraian tugas dan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut: 1. Melakukan brainstroming program acara. 2. Mempersiapkan program dari mulai pra produksi, produksi sampai dengan pasca produksi. 3. Mengimplementasikan dan mengkoordinasikan antara konsep acara dengan program director dan creative. 4. Melakukan supervisi hasil shooting dari program director dan editing. 5. Menyusun budget program bersama executive producer. 6. Mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas jabatan sebagaimana diuraikan dalam job description kepada Executive Producer. Sedangkan jabatan Creative dibutuhkan untuk membantu Produser dalam pelaksanaan proses produksi pada sisi creative program, dengan uraian tugas dan tanggung jawabnya sebagai berikut: 1. Melakukan riset program. 2. Mencari referensi creative program. 3. Membuat script dan run down program. 4. Melakukan komunikasi dengan talent, mengenai konsep program. 5. Mendampingi produser saat produksi program. 6. Mempersiapkan dan berkomunikasi dengan Make Up artist, 104 menyiapkan wardrobe. 7. Mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas jabatan sebagaimana diuraikan dalam job description kepada Producer. Jabatan Production Assistance (PA). Jabatan ini dibutuhkan untuk membantu Produser dalam mengawal kelancaran proses produksi. PA lebih bertanggung jawab kepada hal teknis, diantaranya: 1. Memastikan call time crew. 2. Dokumentasi materi hasil shooting dan menyampaikannya (deliver) kepada Editor. 3. Memastikan master editing (materi on-air) sampai kepada petugas master control (MCR). 4. Menyiapkan kebutuhan transportasi dan konsumsi crew, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kelancaran proses produksi. 5. Mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas jabatan sebagaimana diuraikan dalam job description kepada Produser. Dalam pelaksanaan produksi sebuah program yang sudah direncanakan, tim ini akan dibantu oleh sejumlah crew, yang terdiri dari Penata Kamera (Cameraman/Camera Person), Penata Suara (Audioman), Penata Cahaya (Lightingman), Penata Gambar (Videoman) Penata Property, dan Technical Director (TD). Kesemuanya ini ada dibawah lingkup tugas dan koordinasi bagian Production Support. Semua crew dalam tim yang bertugas memproduksi suatu acara akan bekerja berdasarkan prosedur standar (Standard Operational Procedure/SOP) yang sudah diberlakukan/dibakukan. Prosedur standar ini mencakup semua tahapan, baik dari pra-produksi, produksi, maupun post-produksi. 105

B.1. Alur Produksi Indoor-Studio Dalam realisasi rencana produksi program Wisata Hati, seluruh tahapannya berada dibawah supervisi Eksekutif Produser. Sedangkan Produser langsung memimpin proses pelaksanaanya, mengkoordinasikan dengan seluruh bagian terkait. Dari internal tim Produksi, penyiapan produksi program ini dilaksanakan secara regular atau periodik (mingguan) dalam suatu rapat pra-produksi (internal). Seluruh tim akan terlibat secara aktif. Biasanya rapat (diskusi) pra-produksi diawali dengan evaluasi terhadap proses dan program yang sudah berjalan, lalu dibuka sessi curah pendapat (brain storming). Semua bagian dari tim ini diberi kesempatan untuk menyampaikan ide, gagasan atau pandangannya. Ini adalah bagian dari upaya eksplorasi kreatifitas pada tataran konsep, yang nantinya akan diterjemahkan dan diwujudkan dalam kerja-kerja kreatif broadcasting. Tahapan ini menjadi sangat penting, karena tim bekerja di “dunia kreatif”. Rutinitas tugas sehari-hari tidak seharusnya membuat seluruh anggota tim kehilangan kepekaan atau sensitifitas dan daya kritis terhadap realitas di sekitarnya untuk diangkat dalam satu eksplorasi program televisi. Bahayanya dari tim yang terbelenggu dengan rutinitas sehari-hari adalah hilangnya daya kreatifitas. Padahal spirit para insan pertelevisian (broadcaster) adalah kreatifitas itu sendiri. Menurut Herbert Zettl (2003), seperti dikutip Andi Fachruddin, seluruh jenis program televisi yang disajikan kepada pemirsa harus diawali dengan ide atau konsep. Sepintas memang terlihat sepele, tetapi mengolah sebuah ide atau konsep menjadi suatu program yang menarik sungguh bukan pekerjaan mudah. Seorang produser televisi 106 tidak bisa hanya menunggu ide itu datang, namun harus mencari ide yang unik dan baru sesuai keinginan pemirsa televisi (target audience).88 Karena itu, forum creative meeting menjadi sangat penting, disamping coordination meeting antar-bagian. Creative meeting biasanya diramaikan dengan curah pendapat, menyampaikan semua gagasan yang ada dan terfikirkan, serta mengkomparasikan dengan program sejenis yang sudah diproduksi terlebih dahulu, baik program inhouse maupun program dari pihak lain. Setelah tahapan ini, maka akan dilanjutkan dengan tahap koordinasi dengan bagian-bagian terkait. Tahapan ini, selain untuk men-deliver tugas, juga dimaksudkan untuk menyamakan persepsi dan pemahaman atas gagasan produksi, baik dari sisi format, tema, serta kebutuhan crew dan peralatan (equipment). Setelah ide atau gagasan disepakati, maka selanjutnya Produser akan mengkoordinasikan dengan seluruh timnya untuk melakukan breakdown konsep kedalam tataran rencana kerja (action plan). Setiap bagian dalam tim produksi menyusun kerangka program dalam bagiannya masing-masing, yaitu: - Produser akan menyusun detail budget serta melakukan pendalaman tema. - Program Director akan membuat rumusan perkiraan program dalam konsep gambar, sehingga nantinya akan didapatkan kebutuhan shoot-list. - Asisten Produser akan membantu koordinasi terkait hal teknis,

88 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, ebook, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2016, halaman 178 107 semisal keperluan pembuatan grafis program, baik motion-graphic maupun still-graphic. - Creative, akan menyusun rundown, koordinasi dengan talent, make-up, hair-do, dan wardrobe. - Production Assistance (PA) bertugas menyusun timeline, menyiapkan kebutuhan kelengkapan material shooting, serta berkoordinasi teknis dengan bagian Production Support untuk lancarnya pelaksanaan shooting. Dengan terlaksananya tahapan ini, maka secara umum tahapan Pra-Produksi sudah berjalan sesuai dengan kaidah umum manajemen produksi yang berlaku. Selanjutnya adalah tahap pelaksanaan produksi atau shooting. Pada tahap ini, beberapa hal sudah terlebih dahulu dipastikan oleh internal bagian Produksi, semisal shooting date, call-time crew, call-time talent, dan waktu untuk on-camera. Keempat hal ini, yakni shooting date, call time crew, call time talent & on-camera, haruslah menjadi perhatian atau catatan penting dari semua pihak yang terlibat dalam proses produksi atau shooting. Produksi TV Program adalah kerja kolektif, kerja bersama dan bukan kerja perorangan. Karena itu, jika ada salah satu pihak yang tidak menghormati komitmen tentang waktu, niscaya jadwal dan proses produksi (shooting) juga akan terganggu. Dapat dikatakan bahwa produksi TV Program membutuhkan proses dan tahapan yang cukup rigid. Oleh karena itu, jika satu fungsi terganggu atau tidak berjalan, 108 maka pengaruhnya akan sangat terasa pada keseluruhan proses produksi. Setelah tahapan produksi atau proses shooting selesai, maka selanjutnya tahap pasca-produksi. Pada tahap ini akan lebih banyak peran video-editor bersama Production Assistance (PA). Video-editor akan melakukan pemilihan gambar, penyesuaian color, dan mixing audio. Sementara PA harus mendamping video-editor dan membeberkan catatan-catatan shooting yang ada. Kesemua proses akhir ini, hingga sebelum materi dinyatakan siap tayang, harus mendapat supervisi langsung dari Produser program tersebut. Gambaran yang didapat tentang alur produksi indoor-studio diatas, nampaknya sejalan dengan teori manajemen produksi seperti yang telah peneliti paparkan pada bab sebelumnya (Bab II).

B.2. Alur Produksi Outdoor (Non-Studio) Irwan Joko,89 Produser program religi ANTV menuturkan, pada paruh kedua program Wisata Hati berlangsung, maka pola produksinya mengalami perubahan. Program Wisata Hati tidak lagi diproduksi secara indoor-studio, melainkan diproduksi secara outdoor. Awalnya, tim produksi akan mengikuti jadwal nara sumber untuk dapat melakukan taping, yang dilaksanakan di kediaman nara sumber. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat sulitnya mencari waktu atau jadwal nara sumber, sementara kebutuhan materi baru untuk tayang tidak bisa dielakkan. Walhasil, tim produksi harus “memburu” nara sumber untuk dapat melakukan taping program Wisata Hati.

89 Wawancara Irwan Joko, Produser Program religi ANTV, Selasa, 3 Februari 2015 109

Oleh karena kesibukan nara sumber, maka jadwal taping program Wisata Hati akhirnya tidak bisa disusun secara regular. Jadwal taping pun menjadi (bersifat) insidentil atau dadakan. Kondisi ini menyebabkan tim produksi tidak bisa menyiapkan crew produksi secara maksimal dan memadai, setiap kali harus melakukan kegiatan produksi (taping program). Meski tahapan operasional produksi sudah dipahami secara baik oleh tim, namun tidak semua tahapan bisa dijalankan atau dilaksanakan dengan baik. Penentuan tema, misalnya, seringkali baru dicapai kesepakatan dengan nara sumber pada saat last-minute. Akibatnya adalah minimnya gimmick yang bisa dikembangkan pada materi program. Kasus lain adalah penggunaan alat (broadcast equipment) yang kurang bisa mensupport pencapaian kualitas dan format gambar, sebab yang dipakai bukan camera yang terkoneksi dalam video-system, melainkan single-camera (camera ENG).

C. Survei Kepemirsaan dan Temuan Performa Yang dimaksud dengan performa dalam penelitian ini adalah capaian prestasi program yang diukur dari jumlah pemirsa yang menonton suatu program atau acara, atau yang lazim disebut “rating”. Rating adalah sebuah acuan untuk menilai, apakah sebuah acara menarik untuk ditonton banyak orang atau tidak. Rating ini digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan apakah sebuah acara dianggap layak untuk terus diproduksi dan ditayangkan, atau harus dihentikan. Seberapa banyak penonton (audience) dari sebuah stasiun televisi, menjadi ukuran yang menentukan kesuksesan stasiun televisi tersebut. Hal ini dikarenakan hubungan penonton dengan televisi 110 sangat kuat, mengingat tidak ada televisi yang bisa bertahan tanpa penontonnya. Manajemen stasiun televisi yang dilaksanakan oleh pengelola program dengan menerapkan strategi programming berorientasi terhadap target pencapaian audience share dan informasi dari sales-marketing terkait permintaan klien. Kedua variabel tersebut saling terkait. Bagi Programming, rating/share-nya harus tinggi atau program disponsori dengan harga tinggi dan spot iklannya signifikan. Sedangkan divisi produksi program, memastikan program sesuai dengan idealisme konsep produksi televisi, yaitu dilandasi dengan standard operational procedure (SOP) produksi televisi dan jiwa seni para kreatornya.90 Menurut Perebinossof, Gross, dan Gross (2005) apabaila televisi mampu menyediakan kebutuhan informasi bagi penontonnya akan tercipta hubungan yang kuat antara televisi dan penonton tersebut. Namun jika televisi tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut maka penonton akan beralih ke channel televisi lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa evaluasi performa program televisi dan survei kepemirsaan merupakan hal yang sangat strategis dan faktor penting dalam pengembangan program-program acara sebuah stasiun televisi. Kebijakan yang diambil pengelola stasiun televisi tidak terlepas dari pola, bentuk, dan sejauh mana penerimaan masyarakat (penonton) terhadap program-program yang ditayangkan stasiun televisi tersebut. Menurut Andi Fachruddin, media sebagai industri yang menghasilkan produk informasi tidak hanya bersaing dengan sesama produsen, tetapi juga harus berkompetisi dalam pasar dengan khalayak, yaitu konsumennya sendiri. Sehingga dibutuhkan strategi-strategi yang diterapkan stasiun

90 Andi Fachruddin, Manajemen Pertelevisian Moderen, Ibid, hal 178 111 televisi dalam menjalankan misinya agar mampu bertahan dalam persaingan bisnis media yang semakin ketat.91 Lebih lanjut, Fachruddin menjelaskan, berkaitan dengan persaingan yang demikian ketat pada industri media tersebut, peringkat program atau rating sebagai bagian dari parameter untuk mengevaluasi program-programnya, bagi stasiun televisi komersial menjadi sangat penting. Perusahaan atau lembaga rating menyediakan jasa kepada media televisi dengan mengeluarkan laporan rutin mengenai program apa saja yang menjadi unggulan dan tidak diunggulkan lagi. Performa suatu program dilihat dari jumlah penontonnya, atau perolehan rating dan share program tersebut. Dengan demikian, dalam pengertian umum, rating adalah evaluasi atau penilaian atas sesuatu. Namun dalam konteks ini, rating merupakan data kepemirsaan televisi. Data merupakan hasil pengukuran secara kuantitatif. Jadi, rating bisa dikatakan sebagai rata-rata pemirsa pada suatu program tertentu yang dinyatakan sebagai persentase dari kelompok sampel atau potensi total. Pengertian yang lebih mudah, rating adalah jumlah orang yang menonton suatu program televisi. Sementara share adalah persentase pemirsa televisi yang menonton program tersebut.

Stasiun televisi membutuhkan rating sebagai mata uang yang berlaku umum, karena pemasang iklan sebagai pendapatan utama untuk kelangsungan hidupnya ingin mengetahui televisi dan program apa yang paling banyak ditonton orang. Standar siaran iklan juga telah ditetapkan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2002 sebanyak

91 Andi Fachruddin, Dasar-dasar Produksi Televisi, hal 186, Kencana, Prenada Media Group, Jakarta, Edisi Perdana, 2012. 112

20%, sehingga standar umumnya dalam 1 jam (60 menit) sama dengan terdapat 24 kali siaran iklan per (@ 1 spot). Output iklan produk/brand yang menjadi sasaran utama, bukan iklan PSA atau iklan layanan masyarakat.92 Dengan rating di televisi, pengiklan dapat lebih efisien mengatur biaya operasionalnya yang akan mencapai sasaran dikenal oleh konsumen sebanyak-banyaknya. Pengiklan yang terdiri dari lembaga/institusi negara dan khususnya swasta akan memasang iklannya pada stasiun televisi yang memiliki rating terbaik. Oleh sebab itu, rating menjadi parameter keberhasilan mempublikasikan sesuatu atau penjualan produk pengiklan.93 Rating didapat melalui riset terhadap penonton televisi yang sifatnya cair. Kalau jumlah pembaca surat kabar dapat diketahui dari berapa eksemplar koran yang terjual, sedangkan untuk mengetahui berapa penonton setiap program televisi jauh lebih rumit. Maksud dari sifat yang cair, penonton televisi dapat berpindah-pindah dengan menggunakan remote control. Karena sifatnya yang dinamis dibutuhkan penelitian terhadap karakteristik penonton televisi dengan berbagai macam metode agar mendekati akurat. Riset rating meneliti tindakan penonton televisi yang meliputi: 1. Menonton program televisi seberapa lama. 2. Mengganti channel ke program saluran televisi apa. 3. Berapa banyak penonton televisi menyaksikan suatu program. 4. Klasifikasi apakah penonton televisi dominan yang menyaksikan suatu program. 5. Berapa nilai iklan per-audiensi dapat diukur (CPRP).

92 Andi Fachruddin, Dasar-Dasar Produksi Televisi, Ibid, hal 186 93 Andi Fachruddin, Dasar-Dasar Produksi Televisi, Ibid, hal 187 113

C.1. Data Rating & Share AGB Nielsen Media Research Setidaknya ada dua lembaga riset kepemirsaan independen yang dikenal luas oleh publik, yakni AGB Nielsen Media Research dan Arbitron. Kedua lembaga ini memiliki operasional bisnisnya di beberapa negara. Namun untuk Indonesia, AGB Nielsen Media Research (Nielsen) menjadi satu-satunya parameter survei kepemirsaan hingga saat ini. Dengan kata lain, saat ini Nielsen menjadi partner dari semua industri media televisi di Indonesia dalam menyelenggarakan riset kepemirsaan. Nielsen melakukan perhitungan rating dan share sebuah program televisi, dan hasil dari perhitungan tersebut kemudian menjadi acuan kesuksesan program televisi. AGB Nielsen adalah perusahaan yang kini menyelenggarakan survei kepemirsaan TV atau TV Audience Measurement (TAM) di 10 kota di Indonesia, dan merupakan bagian dari penyelenggara survei global kepemirsaan TV di lebih dari 30 negara di seluruh dunia. AGB Nielsen merupakan kelompok perusahaan gabungan (joint venture) dari dua perusahaan riset TV terkemuka di dunia, yaitu AGB Group (beroperasi di sekitar 30 negara) dan Nielsen (beroperasi di sekitar 70 negara), yang berpusat di Eropa (Swiss dan Italia). Di Indonesia, AGB Nielsen merupakan penyelenggara survei kepemirsaan TV yang keempat (setelah SRI, ACNielsen, dan Nielsen Media Research).94 Nielsen Company merupakan salah satu lembaga survei kepemirsaan terbesar di dunia. Lembaga ini telah bekerja sama dengan lebih dari 100 negara di dunia, dan hasil ratingnya telah

94 http://www.agbnielsen.com/whereweare/dynPage.asp?lang=local&id=322&country =Indonesia, diakses pada 26 Agustus 2017. 114 digunakan oleh sekitar 30 negara di dunia, mulai dari Afrika Selatan, Korea Selatan, hingga Australia. The Nielsen Company mengambil alih 100% kepemilikan AGB Nielsen Media Research pada November 2008. Sebagai bagian dari penggabungan dengan The Nielsen Company, “AGB Nielsen Media Research Indonesia” berganti nama menjadi “Nielsen Audience Measurement Indonesia”. Nielsen Audience Measurement Indonesia telah menyediakan informasi dan pelayanan untuk TV, Koran, Majalah, Radio ke para pemilik media dan industri periklanan sejak 1976 dan pelayanan TAM sejak tahun 1991.

Pada prakteknya, dalam melaksanakan survei kepemirsaan TV, AGB Nielsen harus mengacu pada satu panduan yang disebut “Global Guidelines for Television Audience Measurement” (GGTAM). Panduan ini dibuat oleh Audience Research Method (ARM) Group dan disponsori oleh EBU (European Broadcasting Union), beserta lembaga-lembaga lain, di antaranya ARF (Advertising Research Foundation), ESOMAR (European Society for Opinion & Marketing Research) dan WFA (World Federations of Advertisers).95 Dokumen ini terakhir dipublikasikan pada tahun 1999 serta diperbarui setiap satu dekade sekali. Dengan mengacu pada GGTAM, AGBNielsen beroperasi pada standarisasi yang bukan saja terkini, tetapi juga menyesuaikan dengan kondisi pertelevisian di masing-masing negara dalam hal penerapan teknologi, baik perangkat keras (metering technology) maupun perangkat lunak (software production and analysis). Kondisi pertelevisian suatu negara yang

95 http://www.agbnielsen.com/whereweare/dynPage.asp?lang=local&id=322&country =Indonesia, diakses pada 26 Agustus 2017. 115 memengaruhi di antaranya menyangkut ada tidaknya siaran berbasis digital, model TV berlangganan (Pay TV), seperti Satelit dan Kabel, serta infrastruktur telekomunikasi untuk data transfer. Pihak AGB Nielsen mengklaim, bahwa dengan metodologi yang mengacu pada standar global, sistem yang mereka gunakan ini adalah hasil dari pengalaman selama bertahun-tahun. Selain itu, sistem ini juga berasal dari beragam aktifitas riset dan pengembangannya, serta kemampuan untuk berkembang sejalan dengan perubahan teknologi pertelevisian, teknologi riset dan kebutuhan pengguna atas sistem pengukuran kepemirsaan televisi. Karenanya AGB Nielsen Media Research menggunakan teknologi mutakhir dalam pengukuran kepemirsaan televisi yang memberikan data akurat dengan landasan teknologi canggih dalam setiap langkah pemrosesan data.96

Untuk memberikan gambaran lebih detail soal data teknis survey kepemirsaan TV, berikut kami sajikan tabel tentang TV Audience Measurement (TAM) sebagaimana yang kami kutip dari situs resmi AGB Nielsen.97

Populasi: 233 juta Populasi TV (dalam cakupan area survey): 52 juta

Populasi TV: 52.213.275 individu (Umur 5+ untuk 10 Kota)

Jumlah Panel: 2.123 (terrestrial) + 150 (TV berbayar) = 2.273 rumah tangga

96 Andi Fachruddin, Dasar-Dasar Produksi Televisi, Ibid, hal 189 97 http://www.agbnielsen.com/whereweare/dynPage.asp?lang=local&id=322&country =Indonesia, diakses pada tgl 26 Agustus 2017. 116

Data yang Terrestrial, TV Berbayar Dimonitor:

Metode 100% Online Pengumpulan Data:

Produk dan Layanan

Database: Viewing, Demographic, Programs, Breaks and Ad Spots

Paket Software: Arianna

Jenis Layanan: TAM

Metode Pengiriman Magnetic Media (CD), FTP Data:

Klien Utama

Stasiun TV: ANTV, Disney, Global TV, Indovision, Indosiar, Metro TV, Nusantara TV, , RCTI, SCTV, Space Toon, Sun TV, TPI, Trans

7, Trans TV, TVOne, VOA, KompasTV

Agensi Iklan dan Activate, Advantage, Artek, Asatsu, Avicom, Carat, Crossmedia, CS Media,DDB, Dentsu, Dwisapta, Fortune, Fremantle, Go Ad, Grey,

Media: Group M, ILS, Initiative, Inspire, Interact, JCK, Kaswall Dinamika, Matari, Maxus, Megapro, Merah Putih, OMD, Optima Media

Dinamika, Quantum (Pratama & FCB), Starcom,Tempo Pro, The Agency, WPP, Zenith Optimedia, MPG

Pengiklan: Nutrifood.

Lainnya: CBN, MD Entertainment, Sejati Pro, Sinemart. 117

Panel TAM di Indonesia saat ini mengukur 2.423 rumahtangga yang memiliki TV di 10 kota besar yaitu: Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek), dan sekitarnya (Gerbangkertasusila), Bandung, , , , Yogyakarta dan sekitarnya (DIY Yogya, Sleman dan Bantul), Palembang, dan . Panel utama ini hanya mengukur kepemirsaan TV terrestrial. Terpisah dari panel utama ini di Jakarta, terdapat 300 panel rumahtangga yang berlangganan TV Kabel. (Pay TV panel).

C.2. Metode Survei Kepemirsaan Televisi Dalam melaksanakan survei kepemirsaan, metode yang digunakan adalah people-meter (memantau performa kepemirsaan menit-per-menit) dengan pengumpulan data secara on-line (harian) dan off-line (mingguan). Adapun sample penonton yang diambil yaitu yang berusia lima tahun ke atas. Metodologi umum untuk mengumpulkan data pengukuran kepemirsaan televisi dimana sample rumah tangga dilengkapi dengan sistem pengukuran rangkap dua yang mencatat: 1. Status perangkat televisi (channel mana yang sedang ditonton). 2. Kehadiran penonton.98 Riset dengan people-meter saat ini terbatas pada pengukuran kepemirsaan di rumah dengan pengukur Base Unit yang terpasang pada setiap perangkat televisi di rumah. Penggunaan people-meter di dunia juga sangat mendominasi. Dengan keuntungan utama bagi komunikasi periklanan ialah metode ini menghasilkan pengukuran kepemirsaan yang sangat terperinci, menit-per-menit bahkan detik-per-detik, sepanjang 24 jam sehari dan 365 hari setahun dan

98 Andi Fachruddin, Ibid, hal 187 118 dianggap netral tanpa metodologi wawancara.99 Pengukuran kepemirsaan televisi yang dijalankan oleh AGB Nielsen Media Research Indonesia adalah bagian dari survei global AGB Nielsen di lebih dari 30 negara di seluruh dunia. Survei ini dirancang untuk pengiklan, agensi periklanan dan pelaku industri pertelevisian untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai karakteristik dan pilihan menonton dari pemirsa televisi di 10 kota besar di Indonesia. Dalam rangka menyediakan data kepemirsaan televisi yang independen, akurat dan dapat diandalkan bagi suatu negara atau pasar tertentu, dibutuhkan suatu metode khusus, yang mampu menjembatani kebutuhan industri media penyiaran, pemilik modal (brand), agensi iklan (planner) dan konsumen/khalayak (buyer). Sebuah sistem membutuhkan pengalaman bertahun-tahun yang relevan, riset dan pengembangan, sekaligus kemampuan untuk berkembang dengan perubahan teknologi televisi, teknologi riset dan kebutuhan pengguna atas sistem pengukuran kepemirsaan televisi. Sistem pengukuran kepemirsaan televisi yang dikembangkan oleh AGB Nielsen Media Research disebut Television Audience Measurement (TAM). Sistem TAM dapat diandalkan hanya jika sistem pengukurannya menghasilkan temuan yang hampir sama setelah dilaksanakan beberapa kali secara independen. Dikatakan independen jika leveransir yang beroperasi dari posisi yang netral dikenali oleh semua pemain pasar.100 Lembaga kepemirsaan televisi harus dibebaskan dari

99 AGB Nielsen Media Research, 2009, The Global Leader in TV Audience Measurement, (Jakarta: AGB Nielsen Media Research). 100 AGB Nielsen Media Research, 2009, The Global Leader in TV Audience Measurement, (Jakarta: AGB Nielsen Media Research). 119 kepentingan apapun. Jika ada kelompok kepentingan tertentu yang menjalin hubungan dengan pihak lembaga riset dipastikan akan menimbulkan prasangka atas data yang dihasilkannya. Setiap klien dari layanan AGB Nielsen memiliki hak untuk mengetahui bagaimana angka rating, share, index, cost per-program dan cost per-rating point diperoleh atau dihasilkan oleh perusahaan riset sesuai dengan peraturan dan prosedur yang dikenal oleh pasar. C.3. Bagaimana Riset Rating dan Share Dilakukan AGB Nielsen Media Research menggunakan teknologi mutakhir dalam pengukuran kepemirsaan televisi yang memberikan data akurat dengan landasan teknologi canggih dalam setiap langkah pemrosesan data. Menurut Andi Fachruddin, sistem yang digunakan Nielsen adalah hasil dari pengalaman selama menjalankan bisnis riset dan pengembangan, serta kemampuan, sejalan dengan perubahan teknologi pertelevisian, teknologi riset dan kebutuhan media televisi terhadap pengukuran kepemirsaan televisi.101 Menurut Andi, proses pelaksanaan riset kepemirsaan ini dimulai dengan melakukan pemetaan awal pada setiap wilayah yang akan dilakukan riset rating. Hal ini dimaksudkan sebagai perkiraan kuantitatif yang dianggap mewakili keseluruhan populasi. Pemetaan dilakukan dengan cara memberikan questioner untuk mengetahui segmentasi demografi (usia, gender, pendapatan, pendidikan, klasifikasi A sampai E) dari calon sample. Setelah diketahui bahwa calon sample bersih dari unsur media massa penyiaran dan cetak, artinya calon sample tidak terkait dengan lembaga media manapun (dengan cara mendatangi atau menelepon setiap rumah), maka calon sample akan didata serta diberikan questioner sebagai saringan untuk

101 Andi Fachruddin, Ibid, hal 189 120 mengetahui segmentasi demografi. Calon sample akan ditentukan dari data (yang berasal dari pemetaan awal) tadi, untuk dipilih dalam kuotanya berdasarkan persentase populasi. Sample terpilih sudah mewakili kriteria segmentasi demografi dan geografis. Hingga saat ini, AGB Nielsen media Research telah memiliki sample pada 10 kota besar di Indonesia dengan total 8.751 rumah tangga (household). AGB Nielsen Media Research Indonesia mengklasifikasikan SSE (Status Sosial Ekonomi) berdasarkan pengeluaran rutin bulanan, seperti listrik, air, bahan bakar, makanan dan kebutuhan harian, biaya sekolah, dan sebagainya. Tidak termasuk biaya yang dikeluarkan untuk cicilan mobil, rumah, kartu kredit, dan sebagainya.102

* Tabel Status Sosial Ekonomi (SSE) No. Kelas Range Pendapatan 1 A1 Rp. 3.000.001 - ke atas 2 A2 Rp. 2.000.001 - Rp. 3.000.000 3 B Rp. 1.500.001 - Rp. 2.000.000 4 C1 Rp. 1.000.001 - Rp. 1.500.000 5 C2 Rp. 700.001 - Rp. 1.000.000 6 D Rp. 500.001 - Rp. 700.000 7 E Rp. 500.001 - ke bawah

Dari pengelompokan (klasifikasi) berdasarkan status sosial ekonomi tersebut diatas, bagaimana gambaran penonton televisi di Indonesia? Dari survei yang dilakukan AGB Nielsen Media Research di 10 kota besar di Indonesia pada tahun 2008 yang dipublikasikan

102 Andi Fachruddin, Ibid, hal 190 121 pada media televisi, rata-rata 26% dari total populasi adalah kelas menengah atas (SSE AB). Adapun kelompok terbesar adalah SSE C dengan komposisi 51%. Profil penonton televisi laki-laki sebesar 47% dan perempuan 53%. Penonton perempuan dengan rentang usia antara 10-24 tahun adalah yang terbesar. Berdasarkan pengeluaran rumah tangga, persentase kelas bawah (SSE C) adalah yang terbesar, yakni 49%. Sebaliknya, persentase penonton kelas menengah atas (SSE AB) sebesar 22%.103 Data lain menunjukkan pembagian konsumen menurut AGB Nielsen dengan menggunakan pendekatan pengeluaran perbulan. * Tabel Social Economy Status104

No SES Pengeluaran / Bulan Proporsi (%) 1 A Rp. 3.000.000 atau lebih 13% 2 B Rp. 2.000.000 - Rp. 3.000.000 27% 3 C1 Rp. 1.500.000 - Rp. 2.000.000 28% 4 C2 Rp. 1.000.000 - Rp. 1.500.000 21% 5 D Rp. 700.000 - Rp. 1.000.000 8% 6 E Rp. 700.000 atau kurang 3%

Data-data yang dihasilkan dari proses kerja riset akan diolah oleh software yang di-install pada komputer yang dipisahkan. Komputer tersebut berupa Local Area Network (LAN) yang spesifikasinya

103 Andi Fachruddin, Ibid, hal 190 104 https://gadeblazz.com/2013/03/04/socio-economic-status-ses-indonesia/ (diakses tgl 21 Nov 2017). Data ini didasarkan pada pengeluaran sehari hari (bukan income), seperti makan, belanja sehari-hari, tidak termasuk yang di tabung, pembelian electronic, renovasi rumah. Angka pada SES ini adalah rerata 10 kota besar. Jadi standarnya adalah standar 10 kota, dan bukan standar Jakarta. 122 ditentukan oleh AGB Nielsen Media Research agar mampu mengoperasionalkan data yang diolah. Software yang dikembangkan AGB Nielsen juga mengalami banyak kemajuan untuk meningkatkan kualitasnya. Setelah software telescope, adwatch dan sekarang Arianna Viewing Behavior untuk analisis program, dan Arianna Post Evaluation untuk analisis iklan. Software tersebut akan mengolah data yang didapat dari sample yang memantau pergerakan penonton televisi ketika menyimak program ataupun iklan. Dalam rumusan yang dirancang dalam remote dan seatlebox/base unit milik AGB Nielsen di sample, akan mencatat penonton televisi sebagai penonton suatu program setelah 16 detik. Apabila sebelum 16 detik berpindah channel maka dikategorikan belum masuk hitungan. Remote yang diberikan AGB Nielsen akan tertulis data anggota rumah tangga sample. Berdasarkan remote yang dipilih sample itulah, terdata jumlah penonton program yang akan diakumulasikan menjadi rating dan share.105 Bagaimana sesungguhnya cara menghitung rating program? Fachruddin menambahkan, cara menghitung rating program adalah rata-rata jumlah penonton selama berlangsungnya program televisi yang dinyatakan dalam persentase dari total potensi atau kelompok sample. Point rating program didasarkan atas unit waktu terkecil, yaitu 1 (satu) menit.

Jumlah pemirsa program televisi Rating program = ------x 100% Total populasi

105 Andi Fachruddin, Ibid, hal 190-191 123

Adapun menghitung rating iklan, yaitu rata-rata jumlah penonton selama jeda iklan yang dinyatakan dalam persentase dari total potensi atau kelompok sample. Rating iklan juga didasarkan atas unit waktu terkecil, yakni 1 (satu) menit.

Jumlah pemirsa selama iklan Rating iklan = ------x 100% Total populasi

Share (kepemirsaan) adalah persentase yang menonton program tertentu dari penonton potensial pada periode waktu tertentu. Agar lebih lengkapnya mencari share, pembilang merupakan jumlah penonton suatu program televisi A pada waktu tertentu dibagi jumlah penonton program televisi lainnya selain televisi A pada waktu yang sama. Rating program S h a r e = ------x 100% Rating total

Populasi pemilik televisi = 10.000

TV A = 2.000 TV B = 1.000

TV C = 1.000

Penonton = 4.000

Tabel diatas dapat dibaca sebagai berikut: rating TV A = 20%, 124 rating TV B = 10%, dan rating TV C = 10% juga. Sedangkan channel share-nya yaitu TV A = 50%, share TV B = 25%, dan share TV C = 25% juga.106 Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, sample yang digunakan AGB Nielsen Media Research sangat minim. Namun seleksi ketat yang digunakan untuk memilih sample berusaha menepis dugaan negatif dalam perekrutannya. Kondisi penyebaran penduduk di Indonesia yang tidak merata sangat memengaruhi dalam proses riset rating. Populasi di kota-kota besar (pulau Jawa khususnya) yang padat, mendukung output rating yang tinggi (Jakarta sentris), karena sample Jakarta merupakan yang terbesar berdasarkan pemetaan awal dari populasi.107 Dengan sebaran populasi penduduk seperti digambarkan di atas, maka bentuk persaingan televisi di Indonesia yang tidak memperhitungkan kota besar sebagai sasaran pasar, sangat tidak realistis. Karena di sanalah pusat bisnis, populasi besar dan pusat perputaran uang beredar. Sehingga rating tidak akan mengambil sample di pedesaan atau bukan kota besar. Dari berbagai uraian di atas, dapat dikatakan bahwa performa suatu program dilihat dari jumlah penontonnya, atau perolehan rating dan share program tersebut. Secara umum, rating adalah evaluasi atau penilaian atas sesuatu. Namun dalam konteks ini, rating merupakan data kepemirsaan televisi. Data merupakan hasil pengukuran secara kuantitatif. Jadi, rating bisa dikatakan sebagai rata-rata pemirsa pada suatu program tertentu yang dinyatakan sebagai persentase dari kelompok sample atau potensi total. Pengertian yang lebih mudah,

106 Andi Fachruddin, Ibid, hal 192 107 Andi Fachruddin, Ibid, hal 193 125 rating adalah jumlah orang yang menonton suatu program televisi. Sementara share adalah persentase pemirsa televisi yang menonton program tersebut.

Pada pelaksanaannya, survei kepemirsaan TV bukanlah persoalan metodologi riset semata yang harus mengikuti standar internasional yang tertuang dalam GGTAM, tetapi juga menyangkut teknologi yang kerap berubah hampir setiap dua tahun. Selain kedua hal tersebut, ada pula proses ’production & delivery’ hasil riset yang harus memiliki standar analisis yang sama di setiap negara, karena tidak mungkin pengiklan suatu produk yang dipasarkan di berbagai negara mengevaluasi efektifitas iklan produknya di TV melalui berbagai macam tolok ukur (benchmark) sebagai standar analisisnya.

Selama ini program televisi di Indonesia hanya mengacu kepada jasa hasil lembaga rating program televisi. Parameter kepemirsaan program televisi di Indonesia hanya ada satu, yakni Nielsen Audience Measurement Indonesia. Karenanya, hasil rating dari Nielsen kemudian menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah program televisi yang dirujuk oleh media televisi, pengiklan, dan masyarakat Indonesia. Rating menjadi sebuah tolak ukur tersendiri bagi setiap pelaku industri pertelevisian untuk meningkatkan keuntungan dari perusahaan. Hasil rating yang tinggi pada sebuah program televisi, akan mengundang banyak minat iklan, yang berarti masuknya pendapatan bagi media televisi.

Meski sistem pemeringkat program televisi melalui survei rating dan share saat ini masih dinilai banyak kekurangan, namun pelaku industri media di Indonesia masih menjadikannya sebagai parameter 126 dalam menentukan dan mengukur peringkat program-program mereka.

C.4. Rating Program Wisata Hati

Materi program Wisata Hati hasil produksi dalam format indoor, ditayangkan dalam kurun waktu Oktober 2011 hingga November 2012. Sementara materi program Wisata Hati dalam format outdoor ditayangkan dalam kurun waktu antara bulan Desember 2012 hingga bulan Oktober 2013. Dari data perolehan tv-rating dan tv-share secara average, diketahui bahwa performa program yang diproduksi secara indoor lebih baik dari pada program yang diproduksi secara outdoor. Untuk mengetahui performa program atau berapa besaran perolehan rating dan share dari program Wisata Hati ini, pada tulisan ini akan dipaparkan perbandingan perolehannya berdasarkan kategori format programnya. Berikut tabel perolehan tv-rating dan tv-share program Wisata Hati secara average (per-pekan), yang datanya diambil secara random:

Performa Program Wisata Hati (Indoor-Studio)108

P e r i o d e Tanggal Tayang Perolehan

Rating/Share

Pekan ke-3 31 Oct - 4 Nov 2011 0,6 / 10,2

108 ANTV, Data Performance Program Wisata Hati, Research & Writer, Production Department, Jakarta, 2013. 127

Pekan ke-4 7 Nov - 11 Nov 2011 0,5 / 10,7

Pekan ke-17 6 Feb - 10 Feb 2012 0,4 / 11,3

Pekan ke-40 15 Juli - 20 Juli 2012 0,5 / 10,7

Pekan ke-47 2 Sept - 6 Sept 2012 0,4 / 13,2

Pekan ke-48 9 Sept - 13 Sept 2012 0,4 / 12,1

Pekan ke-50 23 Sept - 27 Sept 2012 0,5 / 12,3

Performa Program Wisata Hati (Outdoor)

P e r i o d e Tanggal Tayang Perolehan

Rating/Share

Pekan ke-60 2 Des - 8 Des 2012 0,4 / 8,4

Pekan ke-62 16 Des - 22 Des 2012 0,4 / 7,6

Pekan ke-66 13 Jan - 19 Jan 2013 0,3 / 8,4

Pekan ke-68 27 Jan - 2 Feb 2013 0,3 / 8,4

Pekan ke-70 10 Feb - 16 Feb 2013 0,3 / 7,5

Dari data diatas dapat dilihat bahwa program Wisata Hati kategori indoor-studio memiliki performa yang lebih baik dibandingkan program yang diproduksi dalam format outdoor. Raihan rating dan share dari format program indoor-studio lebih tinggi dari format outdoor. Secara rating, format indoor di pekan ketiga (3) mampu meraih rating 0,6. Sedangkan capaian share-nya, hampir semua mendapat dua-digit share. Artinya, minimal 10% 128

(sepuluh persen) pemirsa televisi pada jam tersebut menonton program Wisata Hati. Dalam industri broadcast, ukuran baik dan tidak baiknya performa suatu program dapat dilihat dari perolehan rating dan share-nya.109 Seluruh data rating dan share didapatkan dari lembaga survei kepemirsaan televisi, yakni Nielsen Media Research, yang menjadi partner dari lembaga penyiaran televisi untuk bekerjasama melakukan survei kepemirsaan. Pertanyaannya adalah, faktor apakah yang menyebabkan perolehan rating dan share program Wisata Hati itu tinggi (baik) atau rendah (buruk)? Pintu telaah pertama tentu saja dari konten program. Berikut akan coba dibahas konten dari materi, dari salah satu episode yakni yang tayang pada Pekan ke-17, antara tanggal 6 Februari hingga 10 Februari 2012, dengan perolehan rating/share rata-rata 0,4/11,3. Analisis rating/share by minute episode 6 Februari 2012, dengan tema tentang “shalawat”:

109 Rating adalah prosentase dari penonton suatu acara dibandingkan dengan total atau spesifik populasi pada waktu tertentu. Sementara share adalah persentase jumlah pemirsa atau target pemirsa pada ukuran satuan waktu tertentu, pada suatu channel tertentu terhadap total pemirsa di semua channel. http://allaboutduniatv.blogspot.com/2011/12/apa-itu-rating-dan-share.html#ixzz3PTckRdml 129

Jika dilihat dari naik turunnya grafik pemirsa, maka pada menit ke-7 atau sebelum break, merupakan pick rating untuk segmen 1, dimana nara sumber membacakan dan menjelaskan tentang QS Ali Imron ayat 31. Sedangkan pick rating secara keseluruhan terjadi pada akhir segmen 3, dengan perolehan rating/share 0,9/17,9 dengan konten pembahasan tentang arti shalawat dan cinta kepada Rasulullah Muhammad SAW. Satu pertanyaan yang kemudian bisa diajukan ialah, kenapa pembahasan tema tentang shalawat dan cinta Rasulullah SAW mendapatkan rating tertinggi (pick rating)? Salah satu jawaban yang bisa dikemukakan adalah bahwa membaca shalawat mendatangkan fadhilah serta keberkahan yang besar bagi yang membacanya. Hal ini 130 sebagaimana Allah SWT tegaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab (33) ayat 56: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."

Analisis rating/share by minute episode 8 Februari 2012:

Data kepemirsaan episode tanggal 8 Februari menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pemirsa secara signifikan mulai terjadi pada pukul 05:12 saat nara sumber membahas tentang shalat sunnah dan apa saja yang membuat kita harus bershalawat kepada Rasulullah 131

SAW. Namun pick tertinggi terjadi pada segmen 3, tepatnya pada menit ke-26 atau pukul 05:26 saat pembahasan mengenai perintah Rasul tidak ada yang tidak bermanfaat. Perolehan rating/share pada menit ini mencapai 0,7/15,8.

Analisis rating/share by minute episode 10 Februari 2012:

Episode ini masih membahas tentang “shalawat”. Dapat dibaca bahwa program dimulai dengan grafik pemirsa yang masih sedikit, lalu berangsur bertambah jumlah pemirsanya. Pada segment kedua menunjukkan grafis pemirsa yang cukup baik, dimana nara sumber membaca QS Al-Baqarah ayat 142-153. Perolehan rating/share di menit ini mencapai 0,4/11,8. Adapun pick rating terjadi di akhir 132 episode dengan perolehan mencapai 0,8/17,3. Pada bagian ini nara sumber berkisah tentang Maulid Nabi, tentang akhir dunia dengan diutusnya 4 malaikat (Jibril, Mikhail, Israfil, Izrail) untuk membangunkan semua makhluk. Pada bagian ini nara sumber juga bercerita tentang bagaimana Rasulullaah SAW ingin dicabut nyawanya. Kenapa rating dan share menjadi indikator dalam menilai keberhasilan program? Sebab rating menunjukkan jumlah pemirsa yang menonton suatu program, sementara share menunjukkan persentase pemirsa yang menonton (dari keseluruhan jumlah pemirsa televisi pada jam atau waktu yang bersamaan). Meski banyak perdebatan terkait keabsahan rating sebagai tolok ukur untuk menilai performa suatu program televisi, namun hingga kini seluruh industri penyiaran dan advertising agency (biro iklan) masih menjadikannya sebagai tolok ukur performa program televisi.

D. Pengaruh Pola Produksi Terhadap Performa Komunikatif Program Wisata Hati Seperti dipaparkan sebelumnya bahwa terdapat perbedaan capaian performa atau perolehan rating dan share antara program hasil produksi indoor-studio dengan program hasil produksi outdoor. Dalam konteks ini, pola produksi dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi performa program. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dianalisis penerapan pola produksi dan pengaruhnya terhadap performa komunikatif program Wisata Hati.

D.1. Rundown Program Analisa diawali dengan mengupas rundown program. Namun 133 agar ada kesepahaman, berikut dideskripsikan pengertian tentang rundown. Rundown merupakan catatan urutan jalannya sebuah acara (sajian program), yang memuat detail item acara atau kegiatan, serta siapa saja dan apa saja yang terlibat dalam acara atau sajian program tersebut. Rundown menjadi panduan wajib bagi setiap crew yang terlibat dalam seluruh rangkaian produksi. Format pembuatan rundown tidak mutlak, sangat tergantung dari karakteristik format acara televisi itu sendiri. Rundown format berita, misalnya, agak sedikit berbeda dengan rundown untuk acara dalam format non-drama semisal quiz, game show, music, variety show, magazine, dan lain-lain.110 Bentuk rundown bisa simple atau “rumit” tergantung konsep acaranya. Semakin banyak unsur (gimmick atau kebutuhan property) yang terlibat dalam sebuah kerja produksi, maka akan semakin “rumit” bentuk rundown tersebut. Sebetulnya agak kurang tepat jika dikatakan rumit, sebab rundown itu standar saja. Hanya mungkin dapat dikatakan, bahwa semakin detail penyusunan rundown maka akan semakin baik. Sebelum memulai taping atau live, catatan rundown akan dibahas bersama terlebih dahulu antara seluruh crew yang terlibat dalam kegiatan produksi. Pembahasan (break down) rundown akan dipimpin atau dipandu oleh Program Director (PD), dan didampingi oleh penanggung jawab creative program. Pada umumnya, rundown yang dipaparkan bersama para crew adalah rundown final yang sudah disetujui oleh Produser (internal produksi). Artinya, kemungkinan

110 https://dikiumbara.wordpress.com/2008/06/13/tentang-rundown/, diakses pada 7 Des 2017. 134 dalam pembahasan ini tidak ada perubahan rundown yang sifatnya menyeluruh atau mendasar. Jikalau ada perubahan, pada umumnya hanya penyesuaian teknis saja. Karena itu, pemaparan rundown lebih ditujukan untuk menyamakan pemahaman dan persepsi dari semua crew yang terlibat dalam produksi, sehingga diharapkan kegiatan taping atau live akan dapat berjalan lancar. Menurut Irwan Joko, program Wisata Hati (indoor) dimulai dengan narasumber membacakan ayat suci Al-Qur’an. Setelah itu, narasumber akan mereview sedikit materi atau pembahasan yang telah disampaikan pada episode sebelumnya. Kalau ada anjuran yang disampaikan kepada pemirsa tentang suatu amalan (riyadhoh), maka narasumber juga akan menyinggung atau mengingatkan tentang anjuran amalan tersebut. Setelah tahapan pembukaan tersebut, barulah masuk pada pembahasan tema. Pada beberapa episode, program ini membuka kesempatan kepada pemirsa untuk bertanya langsung kepada narasumber, yang bisa disampaikan melalui surat dan email. Dalam beberapa bulan di tahun pertama penayangan program ini, ada part (bagian) tentang pengamalan model penghafalan Al-Qur’an dengan metode ODOA atau “One Day One Ayat”. Pada bagian ini, narasumber mengajak kepada para pemirsa untuk bersama-sama menghafalkan Al-Qur’an ayat-demi-ayat, yang dipandu langsung oleh narasumber. Dalam satu hari cukup menghafal satu ayat saja. Pada hari berikutnya, akan dimulai dengan mengulang hasil hafalan kemarin, lalu dilanjutkan dengan menghafal satu ayat berikutnya. Demikian seterusnya akan mengikuti pola seperti itu, sehingga makin hari, jumlah ayat yang berhasil dihafalkan dapat terus bertambah. Pada bagian akhir pembahasan tema, narasumber akan 135 mengulang point penting yang telah dibahas, lalu mengajak pemirsa untuk melakukan amalan dzikir dan shalawat nabi, dan doa. Biasanya amalan ini ditujukan untuk memohon perkenan Allah SWT atas suatu tujuan, hajat bersama, atau program tertentu. Narasumber memberi istilah terhadap amaliyah-riyadhoh ini dengan menyebutnya sebagai “Doa Seratus Hari”. Setelah itu, rangkaian tiap episode akan ditutup dengan narasumber akan mengajak berdoa, dan mempersilahkan pemirsa untuk memanjatkan doanya masing-masing, lalu diaminkan oleh narasumber. Bagaimana gambaran susunan rundown program ini? “Body program” dari program Wisata Hati ini berdurasi 22 menit, dan terbagi ke dalam 3 segment. Segment 1 berdurasi 8 menit, segment 2 berdurasi 7 menit, dan segment 3 juga 7 menit. Selain body program, item lain yang harus ada di program ini adalah opening bumper, bumper in, bumper out, template atau subtitle, credit title dan Station ID, serta durasi commercial break. Dengan demikian, durasi keseluruhan program ini akan menjadi 30 menit. Berikut contoh rundown-indoor dan rundown-outdoor program Wisata Hati: - rundown-indoor ...... - rundown-outdoor ...... Dari kedua rundown tersebut tergambar urutan dan bagaimana program tersebut berlangsung. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada penggunaan property dan item dalam rundown. Jika pada rundown indoor digunakan property semisal flip-chart atau white board, yang menjadi media utama nara sumber dalam membahas tema dan menyampaikannya kepada pemirsa. Ini adalah bentuk “pengajaran” terpola dan berseri. Artinya, 1 tema tidak selesai 136 hanya dibahas dalam 1 episode saja, melainkan bersambung menjadi beberapa episode. Pola ini seolah membuat suatu ikatan dengan pemirsa agar para pemirsa juga mengikuti pembahasan pada episode-episode selanjutnya. Sedangkan pada rundown outdoor tidak ada property semisal flip-chart atau white board di atas stage. Ini menandakan bahwa narasumber menyampaikan pembahasan materinya dalam pola ceramah umum seperti seorang dai sedang berkhutbah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masalah ada dan tidaknya property flip chart atau white board ini adalah soal perbedaan “model komunikasi” dalam penyampaian materi. Selain faktor penggunaan property, yang mencerminkan “model komunikasi” narasumber dengan pemirsa, faktor pembeda lain adalah item pembahasan. Pada rundown-indoor, terdapat item “One Day One Ayat (ODOA)” dan amaliah “Doa 100 Hari”. Kedua item ini mendapatkan perhatian yang cukup baik dari pemirsa setianya. Hal ini dapat dilihat dalam breakdown analisis by minute pada rating & share program. Adapun pada rundown outdoor tidak terdapat kedua item ini. Beberapa hal tersebut kiranya dapat menjelaskan mengapa format indoor-studio memiliki performa yang lebih baik dibandingkan dengan format outdoor. Melengkapi analisa diatas, mengutip penjelasan produser program Wisata Hati, Irwan Joko, ada beberapa faktor yang dapat diuraikan dan diperbandingkan (antara format indoor-studio dan outdoor) untuk menjelaskan hal tersebut.111 Pertama, faktor teknis. Secara teknis, produksi indoor-studio

111 Wawancara Irwan Joko, Selasa, 3 Februari 2015. 137 lebih “rapi” dibandingkan outdoor. Semua hal yang terkait teknis, baik set-up backdrop (stage), tata pencahayaan (lighting), tata suara (audio), make up, busana/kostum (wardrobe), dapat dipersiapkan secara lebih terencana (well planned) sehingga membuahkan hasil (output) yang maksimal. Kondisi ini berbeda dengan apa yang terjadi pada pelaksanaan taping dalam format outdoor. Format outdoor untuk program Wisata Hati adalah pelaksanaan shooting dengan mengikuti jadwal taushiyah narasumber di berbagai tempat dan dengan berbagai tema, karena memenuhi undangan pihak ketiga. Karena kondisi inilah, dan oleh sebab tim produksi tidak dapat mempersiapkan kebutuhan teknis shooting dengan maksimal, maka output yang dihasilkan tidak lebih baik dari hasil taping indoor-studio. Dalam kasus shooting (produksi) outdoor, tim produksi tidak dapat melakukan set-up backdrop (stage). Hal ini tentu berpengaruh pada tampilan artistik dan estetika gambar. Selain itu, tim produksi juga tidak membawa kebutuhan lighting equipment yang memadai, serta set-up audio yang disesuaikan dengan kebutuhan audio floor. Akibat dari kondisi ini, maka dapat diprediksi bahwa kualitas gambar dan audio tidak sebaik jika shooting dilaksanakan dengan memenuhi unsur kebutuhan pencahayaan dan tata audio yang standar televisi (broadcast standard). Semua gambaran kondisi ini tentu mengakibatkan hasil yang didapatkan juga tidak maksimal. Kedua, faktor non-teknis (konten). Konten materi atau tema Wisata Hati yang merupakan hasil dari taping indoor-studio disusun berdasarkan misi dakwah narasumber. Hal ini dapat ditelusuri dan dibaca dari berbagai buku yang ditulis oleh narasumber. Selain itu, team produksi, dalam hal ini adalah bagian riset dan creative, juga 138 mempertimbangkan kecenderungan minat pemirsa, dalam menyusun usulan tema yang akan dibahas narasumber. Sementara tema atau materi yang dibahas narasumber saat taushiyah outdoor di berbagai tempat tersebut, bukan menjadi domain team produksi. Artinya, pemilihan tema yang dibahas sepenuhnya ditentukan oleh pihak ketiga (penyelenggara). Dan biasanya penentuan tema taushiyah juga terkait dengan konteks acaranya, momentum pada waktu itu, serta kepentingan penyelenggaranya.

D.2. Pengaruh Pola Produksi Berdasarkan gambaran beberapa faktor diatas, dapat dikatakan bahwa pola produksi program Wisata Hati dalam format indoor-studio dilaksanakan dengan mengikuti kaidah manajemen produksi program televisi yang secara umum berlaku, baik menurut rumusan Herbert Zettl, Gerald Millerson, atau menurut Branston dan Stafford. Seperti yang dijelaskan Irwan Joko, tahapan langkah yang dilakukan tim produksi Wisata Hati diawali dengan brand-storming atau curah pendapat guna merumuskan pilihan tema, gimmick, wardrobe, jadwal, dan hal teknis lainnya dalam masa 1 (satu) minggu produksi. Setelah tersusun seluruh rencana, kemudian rencana (plan) produksi tersebut dikoordinasikan dengan berbagai bagian (department) yang terkait sebelum masuk ke tahap produksi. Karena sudah berlangsung secara berulang, tahapan ini kemudian menjadi prosedur operasional yang standar, yang diberlakukan dan dipatuhi di lingkungan Departemen Produksi ANTV. Karena sudah terstruktur secara sistematis, maka hal ini juga terinternalisasi menjadi budaya kerja. 139

Dalam konteks teori performa komunikatif, hal ini disebut performa ritual, yakni semua performa komunikasi yang terjadi secara teratur dan berulang. Performa ritual ini terdiri dari 4 jenis, yaitu ritual personal, ritual tugas, ritual sosial dan ritual organisasi. Sementara untuk kategori performa sosial, seluruh anggota tim atau crew mampu menunjukkannya dengan terciptanya pola hubungan kerja yang baik, sehingga ada koordinasi antar-bagian, baik bagian Production, Production Support, dan Production Services. Sementara pola produksi program Wisata Hati dalam format outdoor, dapat disimpulkan, tidak mengikuti tahapan (manajemen) produksi menurut rumusan ketiga teori diatas. Hal ini dikarenakan team produksi tidak memiliki domain untuk ikut mengatur rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga (penyelenggara). Dengan kata lain, seluruh setting acara atau kegiatan sepenuhnya dipersiapkan oleh pihak ketiga (penyelenggara), dan tim produksi hanya bertugas melakukan taping atas kegiatan tersebut. Dan, hampir di semua kegiatan produksi (taping) dengan pihak ketiga ini (outdoor), hanya menggunakan (maksimal) 2 unit camera docking (non video-system). Untuk produksi dengan format outdoor, tahapan manajemen produksi tidak dilalui sebagaimana mestinya. Komunikasi yang dibangun antara tim produksi dengan pihak penyelenggara event (panitia) untuk kegiatan taushiyah narasumber, hanya sebatas jadwal atau waktu pelaksanaan kegiatan yang akan dilakukan untuk taping program. Diskusi pra-produksi yang seharusnya dilakukan untuk menyamakan persepsi dan pemahaman seluruh crew yang terlibat, tidak terjadi. Hal ini mengakibatkan pengembangan kreatif dari program yang akan diproduksi menjadi tidak maksimal. 140

Demikian juga terkait konten, serta durasi pembahasan yang tidak mengikuti format baku durasi dan segmentasi broadcast. Sebab dalam event-event yang diselenggarakan pihak ketiga, nara sumber menyampaikan ceramahnya dalam durasi dan format untuk kepentingan off-air, bukan sengaja dimaksudkan untuk kepentingan on-air program. Kondisi ini menyebabkan bahwa materi hasil taping outdoor harus dilakukan edit konten yang komprehensif sebelum materi tersebut siap dan bisa ditayangkan, menjadi materi dalam format durasi dan segmentasi broadcast. Apa yang kemudian terjadi dengan “kesiapan” crew produksi untuk kegiatan shooting outdoor? Tentu mereka menjadi sedikit “gagap” karena seringkali tidak cukup waktu untuk persiapan. Kondisi ini menyulitkan semua elemen yang terlibat untuk membangun pola komunikasi yang baik, yang pada akhirnya kultur organisasi yang baik pun sulit pula untuk ditumbuhkan Dalam perspektif teori performa komunikatif yang akarnya dapat dirujuk pada budaya organisasi (organizational culture), sebagaimana dirumuskan oleh Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo (2008), apa yang terjadi pada tim produksi untuk kegiatan taping outdoor tidak merepresentasikan berkembangnya iklim atau atmosfir emosional dan psikologis yang mencakup semangat kerja staff, sikap dan tingkat produktifitas serta simbol-simbol. 141

BAB V P E N U T U P

A. KESIMPULAN Merujuk pada berbagai data dan analisis yang telah dilakukan, penelitian ini mencatat masih adanya anggapan bahwa produksi dan penayangan program religi merupakan bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan sebagai lembaga penyiaran komersial yang harus dijalankan karena mayoritas pemirsanya adalah umat beragama (Islam). Hal ini seperti dikemukakan oleh Produser program religi ANTV, Irwan Joko, yang menyatakan bahwa program religi merupakan bentuk public services bagi para pemirsanya. Itu pula hal yang dapat menjelaskan mengapa program religi di ANTV, dalam hal ini program Wisata Hati, mendapatkan slot tayang pada pukul 05.00 hingga 05.30. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa manajemen ANTV tidak menempatkan atau mengkategorisasikan program religi (reguler) sebagai target dan strategi untuk menggaet iklan. Hal ini berbeda dengan kebijakan terhadap program religi di saat ada moment-moment khusus (special event), semisal saat bulan ramadhan. Di saat bulan ramadhan, program religi dan program “bernuansa” religi mendapatkan slot tayang yang cukup baik, bahkan berada di zona prime-time. Waktu prime-time siaran televisi selama bulan ramadhan adalah antara pukul 03.00 - 05.00 WIB. Sebab di jam inilah waktu terbanyak pemirsa menonton program televisi. Terkait dengan pertanyaan penelitian tesis ini, maka peneliti memberikan jawaban dan menyimpulkan beberapa hal: 1. Manajemen produksi program Wisata Hati dapat dikelompokkan 142

menjadi dua jenis. Pertama adalah manajemen produksi dalam format indoor-studio. Dalam format ini, manajemen produksinya telah berjalan dengan baik. Karena sudah berulang dalam lingkungan yang kondusif dan berlangsung cukup lama, maka performa ritualnya, performa hasrat, dan performa sosialnya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Sementara yang kedua adalah manajemen produksi dalam format outdoor. Untuk kegiatan produksi dengan format outdoor, manajemen produksi tidak dapat berjalan dengan baik. 2. Jika dilihat dari jumlah pemirsanya, program religi (Wisata Hati) di ANTV mendapatkan rating tertinggi 0,6/10,2 yang dicapai pada Pekan ke-3, yakni periode antara tanggal 31 Oktober hingga 4 November 2011. Angka ini masih menunjukkan perolehan rating dibawah 1. Ini berarti jumlah pemirsanya relatif sedikit, jika dibandingkan dengan program-program lainnya, semisal program series atau musik. Faktor dominan yang menyebabkan buruknya performa program religi adalah kategorisasinya sebagai program layanan sosial-kemasyarakatan (public services). Hal ini berimplikasi pada penempatan jam tayang yang sepi penonton, serta dukungan budgeting yang minim. 3. Terdapat korelasi yang kuat antara penerapan manajemen produksi program televisi yang standar dengan performa program. Dengan kata lain, ada pengaruh pola produksi terhadap performa komunikatif program religi. Kasus program Wisata Hati menunjukkan, bahwa kepatuhan menerapkan manajemen produksi yang standar akan menghasilkan tayangan program yang baik. Hal ini berimplikasi pada perolehan rating dan share program yang baik pula. Sementara tidak diterapkannya manajemen produksi 143

program televisi dan diabaikannya tahapan produksi telah menyebabkan pencapaian perolehan rating dan share program yang tidak baik. Performa komunikatif program Wisata Hati di ANTV dibangun dengan dipatuhinya dan diterapkannya manajemen produksi program televisi yang baik.

B. SARAN Berkaitan dengan kesimpulan yang sudah dirumuskan, penelitian ini ingin merekomendasikan beberapa saran, sebagai berikut: 1. Bagi para share-holder, sudah saatnya dilakukan perubahan paradigma terhadap program religi di televisi, dimana program ini juga harus dipandang sebagai program reguler biasa yang berpotensi menarik banyak pemirsa dan dapat mendatangkan iklan/sponsor bagi channel televisi yang bersangkutan. Tantangan bagi tim kreatif khususnya, dan tim produksi pada umumnya, untuk mengemas program bergenre religi ini menjadi menarik dan dapat bersaing dengan program-program lainnya. Jika program religi sudah tampil menarik maka problem penempatan jam tayang akan dapat diatasi dengan sendirinya. Dalam konteks ini akan berlaku hukum pasar. 2. Bagi seluruh crew yang terlibat dalam produksi program televisi, apapun jenis dan karakter programnya, dalam eksekusi produksi hendaknya tetap mengikui kaidah manajemen produksi yang berlaku. Terapkan seluruh prinsip dan tahapan manajemen produksi yang umum berlaku, baik yang dirumuskan oleh Herbert Zettl, Branston & Stafford, maupun rumusan dari ilmuwan lainnya. Disini berlaku pepatah, “perencanaan yang baik adalah separuh dari kesuksesan.” Tanpa perencanaan yang baik tidak akan membuahkan hasil yang baik. 144

Performa sebuah program televisi sangat tergantung dari proses produksinya. Jika sebuah program diproduksi dengan mengikuti kaidah manajemen produksi dan standard operational procedure, maka produk yang dihasilkan akan sesuai dengan ekspektasi para pembuatnya. Namun jika proses produksi dilakukan tanpa mengikuti kaidah umum sebuah proses produksi program televisi, maka produk yang dihasilkan tidak akan sesuai standar teknis dan estetis. Tak pelak, manajemen produksi yang baik menjadi kata kunci terwujudnya hasil atau output yang maksimal. Seluruh rangkaian proses produksi, baik mulai dari pra, produksi, dan post-produksi, haruslah dirancang dan dijalankan dengan mengikuti kaidah manajemen profesional, guna memastikan berjalannya proses yang efektif dan terciptanya hasil yang memuaskan. Manajemen produksi menyangkut pengambilan keputusan yang berhubungan dengan proses produksi untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan. Dalam produksi program televisi, misalnya, pada beberapa tahapan produksi, banyak kasus, karena dikejar tenggat waktu (deadline) sebuah proses produksi dikerjakan tanpa mengikuti kaidah dan alur manajemen produksi yang baik. Akibatnya, detail rundown, isi (content), standar teknis produksi, kurang mendapat perhatian atau bahkan diabaikan. Konsistensi penerapan prosedur atau alur produksi standar, pada akhirnya, menjadi hal yang kurang mendapatkan prioritas. Hal ini tentu saja akan berdampak pada output (materi program) yang dihasilkan. 145

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Ronald, H., Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. Aziz, Abdul S.R. “Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus, dalam Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, cet. II Baran, Stanley J. 2012. Pengantar Komunikasi Massa - Melek Media dan Budaya, Jakarta: Penerbit Erlangga. Branston, Gill and Stafford, Roy. 2003. The Media Student’s Book, Third Edition, London dan New York: Routledge. Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Cangara, Hafied, Perencanaan dan Strategi Komunikasi. Depok: Raja Grafindo Persada, 2013. Creswell, John W., 2010, Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Edisi Ketiga, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Day, Mila. 2004. Buku Pinter Televisi. Jakarta: Trilogos Library. Denzin K. Norman and Yvonna S. Lincoln, The Sage Handbook of Qualitative Research 1 edisi ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011. Djamal, Hidajanto & Fachrudin, Andi. 2011. Dasar-dasar Penyiaran. Jakarta: Kencana-Prenada Media Group. Effendy, Onong Uchjana. 2005. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung; Remaja Rosdakarya. 146

Fachruddin, Andi. 2012. Dasar-dasar Produksi Televisi. Jakarta: Kencana-Prenada Media Group. Fachruddin, Andi, Manajemen Pertelevisian Moderen, Yogyakarta, Penerbit Andi, Cetakan pertama, 2016. Ibrahim, Idi Subandi. 2011. Kritik Budaya Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Iskandar Muda, Dedy. 2005. Jurnalistik Televisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Kaid, Lynda Lee, 2015, Handbook Penelitian Komunikasi Politik, Bandung, Nusa Media. Mabruri KN, Anton. 2013. Manajemen Produksi Program Acara TV - Format Acara NonDrama. Jakarta: PT. Grasindo. McCombs, M. dan Shaw. The Agenda setting Fungsi Massa Media. Public Opinion Quarterly: 1972. Morissan. 2008. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio & Televisi. Jakarta: Kencana-Prenada Media Group. Millerson, Gerald & Jim Owens. 2009. Television Production. London: Focal Press. Nasrullah, Rulli. 2014. Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Naratama. 2004. Menjadi Sutradara Televisi. Jakarta: Grasindo. Nurhadi, Zikri Fachrul, Dr., M.Si., 2015, Teori-Teori Komunikasi, , Ghalia Indonesia. Pace, R. Wayne dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Rinerja Perusahaan, Bandung: Rosdakarya. 2010. Perebinossoff, Philipe, Brian Gross and Lynn S. Gross, Programming for TV, Radio, and The Internet: Strategy, Development, and Evaluation, London, Focal Press, 2005. 147

Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi; Dilengkapi Contoh Analisis Statistik, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002. Ruslan, Rosady. Manajemen Public Relations & Media Komunikasi (Konsepsi dan Aplikasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014. Sadiman, Arif S, Raharjo, R, Anung Haryono, Media Pendidikan, CV. Rajawali, Jakarta, 1986. Sadiman, Arif S., Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. Siregar, Ashadi, Menyingkap Media Penyiaran: Membaca Televisi Melihat Radio, Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogyakarta, 2001. Set, Sony, dan Sidharta, Sita. 2006. Menjadi Penulis Skenario Profesional, Jakarta, PT. Grasindo. Set, Sony. 2008. Menjadi Perancang Progam Televisi Profesional. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Sutaryo, Drs., M.Si., 2005, Sosiologi Komunikasi; Perspektif Teoritik, Yogyakarta, CV. Arti Bumi Intaran. Tim Kreatif Antv. 2011. Production Book Program Wisata Hati. Production Department Antv. Thomas, R. Murray. 2003. Blending Qualitative & Quantitative Research Methods in Theses and Dissertations. California: Corwin Press, Inc. Tebba, Sudirman. 2005. Jurnalistik Baru. Jakarta: Kalam Indonesia. Wardhana, Veven Sp. 2001. Televisi dan Prasangka Budaya Massa. Jakarta: Media Lintas Inti Nusantara untuk Institut Studi Arus Informasi. 148

West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Edisi 3, Jakarta: PT. Salemba Humanika. Wibowo, Prof., Dr., S.E., M.Phil., Perilaku Dalam Organisasi, Edisi Kedua, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada.