Lakon Bangsawan Sumatra Utara, Tinjauan Sintaktika

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Lakon Bangsawan Sumatra Utara, Tinjauan Sintaktika LAKON BANGSAWAN SUMATRA UTARA, TINJAUAN SINTAKTIKA NORTH SUMATRA BANGSAWAN LAKON, SYNTAKTIKA REVIEW Suyadi Balai Bahasa Sumatra Utara Jalan Kolam (Ujung) Nomor 7 Medan Estate [email protected] Naskah diterima tanggal 22 Juni 2019 Naskah direvisi terakhir tanggal 6 Desember 2019 Abstract The performance of drama bangsawan not only carries social, economic, and political missions. The role of drama bangsawan is increasingly important and strategic in organizing the life of the nation, state, and society. In addition to playing a role to explore the cultural and artistic values that we have, royal drama can also play a role in encouraging the realization of complete human development, which also means not only teaching material/physical, but also very useful to order the mental and spiritual of every human being. This paper presents the syntactic aspects of the drama bangsawan in North Sumatra. The syntactic aspect which is part of Charles Morris's semiotic theory explores the nature and pattern of stories of aristocratic plays. This review succeeded in discovering the existence of the aristocratic theater in North Sumatra and its shape patterns. This folk theater originally took place among the aristocrats in the Serdang Sultanate and eventually became the property of most people. The aristocratic form or concept of the show was maintained even though it was no longer played at the Palace, as the palaces in the former North Sumatra Residency after the Social Revolution collapsed. This theater should be inherited as a non-fine cultural form belonging to North Sumatra. Keywords: drama bangsawan, syntactic aspects, history, channeling patterns Abstrak Pergelaran drama bangsawan bukan saja membawa misi sosial, ekonomi, dan politik. Peranan drama bangsawan semakin penting dan strategis dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Di samping berperan untuk menggali nilai-nilai seni budaya yang kita miliki, drama bangsawan juga dapat berperan mendorong terwujudnya pembangunan manusia seutuhnya, yang berarti juga tidak hanya mengajar materi/fisik, akan tetapi juga sangat bermanfaat untuk menempah mental spiritual setiap insan. Tulisan ini mengemukakan aspek sintaktika dalam drama bangsawan di Sumatra Utara. Aspek sintaktika yang merupakan bagian dari teori semiotika Charles Morris ini mengetengahkan hakikat dan pola cerita lakon bangsawan. Tinjauan ini berhasil menemukan keberadaan teater bangsawan di Sumatra Utara beserta pola bentuknya. Teater rakyat ini semula terjadi di kalangan bangsawan di Kesultanan Serdang dan akhirnya menjadi milik rakyat kebanyakan. Bentuk atau konsep kebangsawanan pertunjukan dipertahankan walau tidak lagi dimainkan di Istana, seiring runtuhnya istana-istana di bekas Keresidenan Sumatra Utara pasca-Revolusi Sosial. Teater ini patut diwarisi sebagai bentuk budaya nonbenda milik Sumatra Utara. Kata kunci: drama bangsawan, aspek sintaktika, sejarah, pola pengaluran MEDAN MAKNA Vol. XVII No. 2 Hlm. 180 - 194 Desember 2019 ISSN 1829-9237 PENDAHULUAN Patah Tumbuh Hilang Berganti, Tak Melayu Pergelaran seni teater merupakan satu Hilang di Bumi”. ajang bagi para seniman penggiat teater, untuk Petuah yang disampaikan Laksamana lebih termotivasi dalam berkarya serta Hang Tuah tersebut mengandung makna mengekspresikan kemampuan seni panggung teramat dalam, yang memiliki nilai-nilai luhur secara profesional. Pergelaran teater akan sebagai jati dirinya, yang dapat mengangkat dapat menggali berbagai nilai seni dan harkat dan martabat serta marwah nusa dan budaya, terutama dalam bidang seni pentas bangsa. Oleh karena itu, kita semua tradisional, yang pada akhirnya tentu akan berkewajiban untuk terus memperkaya memperkaya khasanah seni budaya khasanah budaya Nusantara, melalui berbagai Nusantara, sehingga budaya Nusantara akan kegiatan. Dengan demikian, budaya menjadi tuan di rumahnya sendiri. berkesenian tersebut tidak lekang dan tidak Selain itu, pergelaran seni teater hilang ditelan zaman. merupakan satu ajang bagi para seniman Untuk itu, melalui pergelaran teater penggiat teater, untuk lebih termotivasi dalam diharapkan dapat menjadi salah satu upaya berkarya serta mengekspresikan kemampuan dan langkah penting dan strategis, di dalam seni panggung secara profesional. Juga, upaya melestarikan budaya Nusantara. dimaksudkan agar para pelaku seni teater Kemudian generasi sekarang dan mendatang, dapat memiliki ruang yang bebas, sehingga dapat pula diharapkan sebagai estafet dan para penggiat seni teater dapat memberikan pewaris bagi kelangsungan dan kelestarian kritik, saran yang konstruktif, serta solusi bagi budaya Nusantara. Di era globalisasi ini, pelaksana pembangunan, yang tengah ketika budaya asing dalam bentuk dilaksanakan maupun yang akan berkesenian, yang sangat banyak corak dan dilaksanakan. Para pengambil kebijakan jenis keseniannya itu, sebut saja yang datang pembangunan pun diharapkan dapat dari luar (Eropa, Italy, Amerika, Jepang dan menerima masukan dari kritik dan saran yang Cina), tentu akan menjadi tantangan besar dan diberikan setiap pergelaran teater. mengancam mengintervensi budaya Dengan demikian akan terjadi Nusantara (berkesenian kita), sehingga keseimbangan dan keselarasan antara nilai- budaya Nusantara tersebut akan tenggelam nilai berkesenian serta keharmonisan dalam oleh budaya asing. kehidupan umat manusia. Berkaitan itu, para Apabila para pelaku seni dan budaya seniman, khususnya seni teater, diharapkan Nusantara tersebut senantiasa memiliki agar dapat selalu meningkatkan apresiasi dan kreativitas, dan mendorong apresiasi kreativitas seninya, terutama yang masyarakat, maka kondisi sebagaimana bersendikan nilai-nilai seni budaya Nusantara. tersebut di atas, tidak akan dapat terwujud dan Seni budaya Nusantara ini sebenarnya sangat terjadi. Di sinilah letak peranan para seniman, kaya terdapat di negeri ini sebagaimana budayawan, serta sastrawan Nusantara terlihat dari kesenian rakyat tradisional di tersebut. Para seniman dan budayawan kampung-kampung. diharapkan terus bekerja dan berkreativitas, Memperluas dan mendorong agar sehingga kesenian, termasuk seni teater, dapat masyarakat dapat mengembangkan Seni berkembang dan bernilai jual, sehingga benar- Budaya/Kesenian, termasuk seni teater dan benar dapat diminati oleh masyarakat, baik cerita rakyat, dengan memberikan inspirasi domestik maupun mancanegara. dan kegairahan kepada masyarakat untuk Namun tidak dapat pula kita mungkiri, membangun dunia berkesenian, adalah sesuai nilai-nilai dasar budaya Nusantara tersebut, filosofis yang disampaikan leluhur bangsa mengandung pula unsur keterbukaan. Budaya Melayu pada 500 tahun silam, yakni Nusantara sangat terbuka terhadap budaya apa Laksamana Hang Tuah, yang saja di muka bumi ini. Keterbukaan budaya mengungkapkan suatu petuah “Tuah Sakti Nusantara tersebut tercermin dalam fakta Hamba Negeri, Esa Hilang Dua Terbilang, sejarah, misalnya semasa Portugis berdagang MEDAN MAKNA Vol. XVII No. 2 Hlm. 180 - 194 Desember 2019 ISSN 1829-9237 ke Malaka di Zaman Kesultanan Malaka dapat pendekatan di bidang seni teater di Indonesia. diterima dengan baik. Tidak bisa dimungkiri bahwa semiotika Untuk itu, kita perlu mencermati nilai- dengan puluhan aliran yang ada memang nilai yang baik dan positif dapat diterima, bukan pendekatan yang baru. Akan tetapi ia yakni yang sesuai dengan budaya kita. Tentu belum lama dikenal oleh mereka yang tidak sampai menghilangkan ciri khas dan jati berkecimpung dalam bidang seni. diri berkesenian kita. Seperti menghidupkan Sebaliknya, peminat bahasa dan sastra seni Teater Bangsawan, drama klasik, drama semiotika telah mengenal sejak tahun 70-an. tradisional, atau Teater modern yang Minat terhadap semiotika nyaris tak pernah terkandung di dalamnya harus mencerminkan berhenti begitu Teeuw memerkenalkan budaya Nusantara. pemikiran semiotika bahasa dan sastra dari Berkaitan itu pula, penulis tertarik Rolland Barthes, Maria Kristeva, Ferdinan de melakukan kajian aspek sintaktika dalam Saussure, Terence Hawkes, Charles Sanders lakon bangsawan di Provinsi Sumatra Utara. Pierce dan lain-lain pada akhir 1970-an dan Bagaimanakah aspek sintaktika drama awal 1980-an. bangsawan di Sumatra Utara ini? Akhir-akhir ini buku-buku semiotika Penelitian ini memberi manfaat dalam dari Rolland Barthes banyak diterjemahkan ke pembinaan dan pelindungan kebudayaan dalam Bahasa Indonesia. Persoalannya, Indonesia dengan asumsi Teater Bangsawan semiotika yang kebanyakan dikenal menggunakan bahasa Indonesia dialek masyarakat adalah semiotika sastra. Padahal Melayu sehingga perlu dilindungi dan ranah yang dimasuki semiotika telah dilestarikan. Teater Bangsawan demikian luas dan tidak sesederhana definisi mencerminkan kebudayaan asli Indonesia di semiotika itu sendiri, yakni sebagai ilmu Sumatra Utara sehingga perlu dibina dan tentang tanda, sistem tanda, dan proses dilindungi supaya tidak punah. Teater penandaan. bangsawan ini adalah ikon Sumatra Utara, Definisi yang sederhana itu menjadi sebagaimana Makyong ikon Riau/Kepulauan kompleks ketika muncul tuntutan untuk Riau, Dulmuluk ikon Palembang, dan mendefinisikan apa yang disebut tanda. sebagainya. Sebagai suatu ikon, tentu saja Kesulitan membangun kesepakatan mengenai bentuk teater ini mewarisi adat dan budaya definisi tanda bisa mempersulit kesepakatan Melayu yang ada di Sumatra Utara. Melalui akan definisi semiotika. Ruang lingkup teater bangsawan ini kita bisa melihat semiotika demikian luas, ia tak dapat begitu perkembangan sosiologis masyarakat Melayu saja dipandang sebagai satu disiplin ilmu, dan Sumatra Utara. Generasi
Recommended publications
  • Masyarakat Kesenian Di Indonesia
    MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin Torang Naiborhu Arifni Netriroza Heristina Dewi Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara 2008 1 Cetakan pertama, Juni 2008 MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak buku ini Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara ISSN1412-8586 Dicetak di Medan, Indonesia 2 KATA PENGANTAR Terlebih dahulu kami tim penulis buku Masyarakat Kesenian di Indonesia, mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2008. Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami canangkan, sekitar tahun 2005 yang lalu. Namun karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni begitu ekstensif dan luasnya bahan yang mesti dicapai, juga materi yang dikaji di bidang kesenian meliputi seni-seni: musik, tari, teater baik yang tradisional. Sementara latar belakang keilmuan kami pun, baik di strata satu dan dua, umumnya adalah terkonsentasi di bidang etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan yang juga dengan minat utama musik etnik. Hanya seorang saja yang berlatar belakang akademik antropologi tari. Selain itu, tim kami ini ada dua orang yang berlatar belakang pendidikan strata dua antropologi dan sosiologi. Oleh karenanya latar belakang keilmuan ini, sangat mewarnai apa yang kami tulis dalam buku ini. Adapun materi dalam buku ini memuat tentang konsep apa itu masyarakat, kesenian, dan Indonesia—serta terminologi-terminologi yang berkaitan dengannya seperti: kebudayaan, pranata sosial, dan kelompok sosial.
    [Show full text]
  • The Concept of Self and the Other
    Tel Aviv University The Yolanda and David Katz Faculty of the Arts Department of Theatre Studies The Realm of the Other: Jesters, Gods, and Aliens in Shadowplay Thesis Submitted for the Degree of “Doctor of Philosophy” by Chu Fa Ching Ebert Submitted to the Senate of Tel Aviv University April 2004 This thesis was supervised by Prof. Jacob Raz TABLE OF CONTENTS TABLE OF ILLUSTRATIONS................................................................................................vi INTRODUCTION...................................................................................................................... 1 ACKNOWLEDGEMENTS ....................................................................................................... 7 I. THE CONCEPT OF SELF AND THE OTHER.................................................................... 10 Introduction ............................................................................................................................ 11 The Multiple Self .................................................................................................................... 12 Reversal Theory...................................................................................................................... 13 Contextual Theory ................................................................................................................. 14 Self in Cross‐Cultural Perspective ‐ The Concept of Jen................................................... 17 Self ..........................................................................................................................................
    [Show full text]
  • Strategi Kolaborasi Dalam Seni Pertunjukan Tradisional Di Kabupaten Subang
    1 STRATEGI KOLABORASI DALAM SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL DI KABUPATEN SUBANG COLLABORATION STRATEGIES IN TRADITIONAL PERFORMING ARTS IN SUBANG Oleh Irvan Setiawan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung Email: [email protected] Naskah Diterima: 28 Februari 2013 Naskah Disetujui: 2 April 2013 E Abstrak Kesenian tradisional memegang peranan dalam pencirian dan menjadi kekhasan suatu daerah. Bagi wilayah administratif yang menjadi cikal bakal suatu kesenian daerah tentu saja tidak sulit untuk menyebut istilah kesenian khas dan menjadi milik daerah tersebut. Lain halnya dengan wilayah administratif yang tidak memiliki kesenian daerah sehingga akan berusaha menciptakan sebuah kesenian untuk dijadikan sebagai kesenian khas bagi daerahnya. Beruntunglah bagi Kabupaten Subang yang menjadi cikal bakal beberapa kesenian yang terlahir dan besar di daerahnya. Tidak hanya sampai disitu, Pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional tampak serius dilakukan. Hal tersebut terlihat dari papan nama berbagai kesenian (tradisional) di beberapa ruas jalan dalam wilayah Kabupaten Subang. Seiring berjalannya waktu tampak jelas terlihat adanya perubahan dalam pernak pernik atau tahapan pertunjukan pada beberapa seni pertunjukan tradisional. Kondisi tersebut pada akhirnya mengundang keingintahuan mengenai strategi kolaborasi apa yang membuat seni pertunjukan tradisional masih tetap diminati masyarakat Subang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang didukung dengan data lintas waktu baik dari sumber sekunder maupun dari pernyataan informan mengenai seni pertunjukan tradisional di Kabupaten Subang. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kolaborasi yang dilakukan meliputi kolaborasi lintas waktu dan lintas ruang yang masih dibatasi oleh seperangkat aturan agar kolaborasi tidak melenceng dari identitas ketradisionalannya. Kata kunci: Strategi kolaborasi, pertunjukan tradisional Abstract Traditional arts play a role in the characterization of a region.
    [Show full text]
  • The Islamic Traditions of Cirebon
    the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims A. G. Muhaimin Department of Anthropology Division of Society and Environment Research School of Pacific and Asian Studies July 1995 Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia Email: [email protected] Web: http://epress.anu.edu.au National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry Muhaimin, Abdul Ghoffir. The Islamic traditions of Cirebon : ibadat and adat among Javanese muslims. Bibliography. ISBN 1 920942 30 0 (pbk.) ISBN 1 920942 31 9 (online) 1. Islam - Indonesia - Cirebon - Rituals. 2. Muslims - Indonesia - Cirebon. 3. Rites and ceremonies - Indonesia - Cirebon. I. Title. 297.5095982 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher. Cover design by Teresa Prowse Printed by University Printing Services, ANU This edition © 2006 ANU E Press the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims Islam in Southeast Asia Series Theses at The Australian National University are assessed by external examiners and students are expected to take into account the advice of their examiners before they submit to the University Library the final versions of their theses. For this series, this final version of the thesis has been used as the basis for publication, taking into account other changes that the author may have decided to undertake. In some cases, a few minor editorial revisions have made to the work. The acknowledgements in each of these publications provide information on the supervisors of the thesis and those who contributed to its development.
    [Show full text]
  • ADS-Vol.52 2017
    Arts and Design Studies www.iiste.org ISSN 2224-6061 (Paper) ISSN 2225-059X (Online) Vol.52, 2017 FOLK DANCE IN A FOLK RITUAL :::Case Study on Tari Topeng (Mask Dance) and Tari Ronggeng (Ronggeng Dance) in Ngunjung and Ngarot Ritual Lina Marliana Hidayat Dance Department, Faculty of Performing Arts, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jalan Buahbatu No 212 Bandung, Jawa Barat, Indonesia Abstract A folk dance as a folk performing art always has position and function in a folk ritual, generally in West Java, especially in Indramayu and Cirebon Regency. A folk dance for the case study here is Tari Topeng and Tari Ronggeng in the ritual of Ngunjung and Ngarot. The study uses qualitative method. The analysis applies Edi Sedyawati views on typology of performing arts. Tari Topeng and Tari Ronggeng can be seen from aesthetic elements, social function, and dramatization. To be seen from social function, the Dalang of Topeng and Ronggeng is believed as Shaman. It is also found that Tari Topeng and Ronggeng are not categorized as dramatization dance. Keywords : folk dance, folk ritual, typology of performing arts. 1. Folk Ritual in Cirebon and Indramayu West Java Performing arts in various cultural regions in Indonesia always relate to the cultural tradition of its people. Indonesia owns various ethnics and sub-ethnics having respective distinctiveness. They spread out in every regions from Sabang to Merauke. Likewise, West Java occupied by Sundanese ethnic also has characteristic as the influence of its nature. The living traditions are folk rituals containing folk performing arts which become the manifestation of gratitude toward God for having given fertile nature.
    [Show full text]
  • Materi+DRAMA+JAWA 0.Pdf
    BAB I SELUK BELUK DRAMA A. Antara Drama, Sandiwara, dan Teater Banyak orang berasumsi, drama itu sekedar tontonan. Memang tidak keliru anggapan ini. Hampir semua drama dipentaskan memang untuk ditonton. Apalagi kalau dirunut dari aspek etimologi, akar tunjang dari istilah "drama" dari bahasa Greek (Yu- nani kuna) drau yang berarti melakukan (action) atau berbuat sesuatu (Muhsin, 1995). Berbuat berarti memang layak dilihat. Wiyanto (2002:1) sedikit berbeda, katanya drama dari bahasa Yunani dram, artinya bergerak. Kiranya, gerak dan aksi adalah mirip. Kalau begitu, tindakan dan gerak yang menjadi ciri drama. Tiap drama mesti ada gerak dan aksi, yang menuntun lakon. Aristoteles (Brahim, 1968:52) menyatakan bahwa drama adalah “a representation of an action”. Action, adalah tindakan yang kelak menjadi akting. Drama pasti ada akting. Dalam drama itu terjadi “a play”, artinya permainan atau lakon. Jadi ciri drama harus ada akting dan lakon. Permainan penuh dengan sandi dan simbol, ayng menyimpan kisah dari awal hingga akhir. Daya simpan kisah ini yang menjadi daya tarik drama. Drama yang terlalu mudah ditebak, justru kurang menarik. Dalam bahasa Jawa, drama sering disebut sandiwara. Kata sandi artinya rahasia, wara (h) menjadi warah berarti ajaran. Sandiwara berarti drama yang memuat ajaran tersamar tentang hidup. Sandiwara dan drama sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Keduanya memuat kisah, yang bercirikan dialog. Baik drama maupun sandiwara sama- sama menjadi guru kehidupan ini. Drama itu suguhan seni yang hidup, penuh fantasi. Drama menjadi tafsir kehidupan, yang kadang-kadang melebihi dunia aslinya. Siapapun sesungguhnya dapat bergulat dengan drama. Muhsin (1995) juga banyak mengetengahkan berbagai kelebihan drama. Biarpun bagi seseorang kadang-kadang enggan tampil dan malu-malu menjadi pemain, drama tetap genre sastra yang menarik.
    [Show full text]
  • Garap Tepak Kendang Jaipongan-Asep.Pdf
    GARAP TEPAK KENDANG JAIPONGAN DALAM KARAWITAN SUNDA Penulis: Asep Saepudin Perancang sampul: Teguh Prastowo Perancang isi: Haqqi & Korie Ilustrasi cover Suwanda koleksi penulis, 2007. Hal cipta dilindungi undang-undang © 2013, Asep Saepudin Diterbitkan oleh: BP ISI Yogyakarta Jln. Parangtritis KM. 6,5 Yogyakarta 55001 Tlp./Fax. (0274) 379133, 371233 E-mail: [email protected] Katalog dalam Terbitan (KDT) Saepudin, Asep. Garap Tepak Kendang Jaipongan dalam Karawitan Sunda; Yogyakarta; BP ISI Yogyakarta; 2013; Cetakan Ke-1; 155 x 230 mm; xxi + 262 hal ISBN 978-979-8242-58-8 Prakata Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, bahwasannya penulisan buku berjudul Garap Tepak Kendang Jaipongan dalam Karawitan Sunda ini akhirnya dapat diselesaikan. Atas izin dan ridho-Nya penulis diberikan kekuatan serta kesehatan untuk menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini mengungkap riwayat hidup Suwanda terutama kaitannya dengan proses penciptaan tepak kendang Jaipongan. Suwanda memiliki andil besar dalam seni pertunjukan Indonesia khususnya di Jawa Barat yakni dengan menciptakan tepak kendang Jaipongan pada tahun 1980-an. Kehadiran karya Suwanda ‘tepak Jaipongan’ sudah cukup lama, namun belum ada yang mengungkap secara rinci tentang kesenimanan serta proses garapnya dalam menciptakan tepak kendang Jaipongan. Informasi tentang Suwanda belum banyak diketahui oleh masyarakat dan dikaji lebih dalam sebagai bahan penelitian atau bahan bacaan umum. Sampai dengan saat ini belum banyak diketahui bagaimana peranan Suwanda dalam Jaipongan, bagaimana caranya beragam tepak kendang Jaipongan diciptakan, dari mana sumber tepak kendang Jaipongan berasal, apa konsep garap yang digunakan untuk membuatnya, untuk apa diciptakan, serta fakor apa yang mendorong keberhasilan penciptaannya. Berbagai persoalan tersebut dikupas dalam buku ini karena sangat penting untuk diketahui publik mengingat kehadiran tepak kendang Jaipongan sudah tiga puluh tahun lebih mengisi kehidupan karawitan Sunda.
    [Show full text]
  • Indonesian Journal of Social Sciences Volume 4, Nomer 1, Cultural
    Indonesian Journal of Social Sciences Volume 4, nomer 1, Cultural System of Cirebonese People: Tradition of Maulidan in the Kanoman Kraton Sistem Budaya Masyarakat Cirebon: Tradisi Maulidan dalam Kraton Kanoman Deny Hamdani1 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Abstract This paper examines the construction of Maulidan ritual in the commemoration of Prophet Muhammad’s birth at the Kanoman’s palace (kraton) Cirebon. Although the central element of the maulid is the veneration of Prophet, the tradition of Maulidan in Kanoman reinforced the religious authority of Sultan in mobilizing a massive traditional gathering by converging Islamic propagation with the art performance. It argues that the slametan (ritual meal with Arabic prayers), pelal alit (preliminary celebration), ‘panjang jimat’ (allegorical festival), asyrakalan (recitation of the book of maulid) and the gamelan sekaten can be understood as ‘indexical symbols’ modifying ‘trans-cultural Muslim ritual’ into local entity and empowering the traditional machinery of sexual division of ritual labour. The study focuses on the trend of Muslim monarch in the elaboration of maulid performance to demonstrate their piety and power in order to gain their legitimacy. Its finding suggests that religion tends to be shaped by society rather than society is shaped by religion. I emphasize that the maulidan tradition is ‘capable of creating meaningful connections between the imperial cult and every segment of ‘Cirebon people’ other than those Islamic modernists and Islamists who against it in principle. Based on the literature, media reports and interview materials, I argue that the meaning of rites may extend far beyond its stated purpose of venerating the Prophet since the folk religion has strategically generated the “old power” and religious authority.
    [Show full text]
  • Rasinah: Maestro Tari Topeng Indramayu
    Rasinah : Maestro Tari Topeng… (Lasmiyati)) 475 RASINAH: MAESTRO TARI TOPENG INDRAMAYU RASINAH: MAESTRO OF TOPENG DANCE OF INDRAMAYU Lasmiyati Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung, Jl. Cinambo 136 Ujungberung Bandung e-mail: [email protected] Naskah Diterima: 21 Juni 2013 Naskah Direvisi: 22 Juli 2013 Naskah Disetujui: 1 Agustus 2013 Abstrak Rasinah adalah maestro yang peduli pada kesenian tradisional Topeng Indramayu. Ia lahir dari keluarga seniman, ayahnya seorang dalang wayang kulit dan ibunya seniman ronggeng. Ia penari topeng yang handal. Kiprahnya di dunia topeng dikenal ke mancanegara. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui siapakah Rasinah dan bagaimana kiprahnya sebagai penari topeng di Indramayu. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa Rasinah lahir di Pamayahan Lohbener Indramayu tanggal 5 Januari 1929. Ia dalang topeng turunan dari neneknya. Ayahnya merupakan dalang wayang kulit dan dalang topeng, ibunya seniman ronggeng. Ia belajar menari topeng sejak usia tiga tahun. Tahun 1960-an Rasinah mengalami masa kejayaan, namun tahun 1970-an, ia mengalami masa surut seiring penggemar tari topeng beralih ke jenis kesenian organ tunggal dan tarling. Tahun 1994 ia bertemu Endo Suanda, kiprahnya sebagai penari topeng kembali bangkit. Ia dipromosikan tampil di beberapa negara. Sabtu 15 Maret 2008 Rasinah mewariskan Topengnya kepada cucunya, Aerli Rasinah. Tanggal 7 Agustus 2010 Rasinah meninggal dunia. Ia mendapat penghargaan sebagai penari dan pelestari Topeng Indramayu, di antaranya Lifetime Achievement dalam Festival Topeng Nusantara 2010. Kata kunci: Rasinah, maestro topeng, Indramayu. Abstract Rasinah was a maestro who has great concern about Indramayu traditional arts of Tari Topeng or the Mask Dance.
    [Show full text]
  • Inventing the Performing Arts: Modernity and Tradition in Colonial Indonesia Matthew Isaac Cohen Honolulu: University of Hawai‘I Press, 2016
    254 Book Reviews Ileto, Reynaldo C. 2014. Nation and Empire in the Intellectual Biographies of Southeast Asian Scholars. Asian Studies 59(4): 9–17. Patajo-Legasto, Priscelina, ed. 2008. Philippine Studies: Have We Gone Beyond St. Louis? Diliman: University of the Philippines Press. Rafael, Vicente, ed. 1995. Discrepant Histories: Translocal Essays on Filipino Cultures. Manila: Anvil Publications. Tiongson, Jr., Antonio T.; Gutierrez, Edgardo V.; and Gutierrez, Ricardo V., eds. 2006. Positively No Filipinos Allowed: Building Communities and Discourse. Philadelphia: Temple University Press. Tolentino, Rolando B., ed. 2011. Vaginal Economy: Cinema and Sexuality in the Post-Marcos Post- Brocka Philippines. positions: east asia cultures critique 19(2) (fall): 229–256. Inventing the Performing Arts: Modernity and Tradition in Colonial Indonesia MATTHEW ISAAC COHEN Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2016. In Inventing the Performing Arts: Modernity and Tradition in Colonial Indonesia, Matthew Isaac Cohen focuses on how “modernity” and “tradition” are woven together in shaping the practice of performing arts in Indonesia. Using E. J. Hobsbawm’s term “invented tradition,” this book uses a similar approach to Hobsbawm’s by questioning the difference between tradition and modernity and showing how both are interwoven and unavoidably connected rather than opposites. This book discusses the century-old process of invention of performing arts in Indonesia, in chronological order from the nineteenth to the twentieth century, depicting the many agencies and dynamics involved in the process. Starting with an advertisement of a family circus from Batavia, as well as postcards and images from museum collections of the nineteenth century, the author beautifully demonstrates the many agencies involved in the process of invention, including those from Europe, China, and Java, to show the complexity of the invention of performing arts in Indonesia.
    [Show full text]
  • 179 Analisis Struktur Naskah Ludruk Lakon Mliwis Hitam
    ANALISIS STRUKTUR NASKAH LUDRUK LAKON MLIWIS HITAM Tafsir Hudha Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Email: [email protected] ABSTRACT This research is entitled Analisis Struktur Naskah Ludruk Lakon Mliwis Hitam. This research focused on documenting folk theater in form ofwriting manuscript and the structural analysis. The script will no longer be developed into a wos, but into a modern structure one. The existence of Mliwis Hitam script is become an affirmation of folk art embodying solicitation of theater spirit in Nusantara. It is worthwhile that it can emerge new idiom to enrich kinds of theater in Indonesia. Structural analysis of Mliwis Hitam script is also done to ease director and actors to understand the story. This analysis can also be a reference in transformation process from textual script into a dramatic scene on stage. Keywords: script, structure, ludruk, and folk theater. I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara yang keraton yang dirancang dan dilatih sedemikian berkultur majemuk tidak bisa lepas dari rupa supaya dapat mencapai mutu tertentu. hasil-hasil kulturnya yang kaya. Hasil-hasil Sifatnya yang merakyat inilah yang membuat kultur tersebut salah satunya adalah kesenian teater rakyat begitu digemari karena menyatu tradisional dalam bentuk seni pertunjukan. dengan tata cara kehidupan mereka (Achmad, Berbagai macam seni pertunjukan ini tentunya 2006: 8). tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat di Meskipun tidak terlalu ketat seperti mana seni pertunjukan itu muncul, berada, dan teater istana yang mempunyai syarat-syarat tumbuh di tengah-tengah masyarakat (Sumardjo, khusus dalam pertunjukannya, bukan berarti 1992: 3-4). Maka dari itu, seni pertunjukan akan teater rakyat tidak mempunyai konvensi atau selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan ciri khusus yang menandai ia sebagai suatu hasil pemikiran masyarakat pada masa itu.
    [Show full text]
  • Appendix: Roster of Emergent Theatre Forms
    APPENDIX: ROSTEr OF EMErGENT THEaTrE FOrMS 550–500 BCE—Greek tragedy (Athens) (Hartnoll 607) 500–450 BCE—Greek “Old” Comedy (Athens) (Hartnoll 607) 350–300 BCE—Greek “New” Comedy (Athens) (Hartnoll 551) 250–200 BCE—Comedy and tragedy (Rome) (Banham, Cambridge 936) 250–200 BCE—Mime (Rome) (Duckworth 13) 200–100 BCE—Sanskrit Theatre (India) (Richmond et al. 1990: 27) 150–100 BCE—“Horn butting game” (China) (Dolby, “Early” 11) 50–1 BCE—Pantomime (Rome) (Beacham 142) 500–600 CE—Bukagu/gagaku (Japan) (Leiter 1.67) 600–650—Gigaku (Japan) (Leiter 1.227) 700–750—Canjunxi (Adjutant Play) (China) (Dolby, History 7) 700–750—Tayao niang (Stepping and Swinging Women) (China) (Dolby, “Early” 13) 800–900—Robam kbach boran (lakhon kbach boran) (Cambodia) (Ghulam-Sarwar118) * * * 900–1000—Liturgical theatre (Europe) (Hartnoll 674) 900–1000—Wayang kulit purwa (Indonesia) (Ghulam-Sarwar 276) 900–1000—Gambuh (Indonesia) (Ghulam-Sarwar 79) 900–950—Kuttiyatam (India) (Leiter 1.358) 900–950—Wayang beber (Indonesia) (Ghulam-Sarwar 276) © The Author(s) 2020 305 S. Tillis, The Challenge of World Theatre History, https://doi.org/10.1007/978-3-030-48343-2 306 APPENDIX: ROSTER OF EMERGENT THEATRE FORMS 950–1000—Song (dynasty) zaju (China) (Dolby, History 15) 950–1000—Religious literary drama (Europe) (Banham, Cambridge 501) * * * 1000–1100—Dengaku (Japan) (Leiter 1.154) 1000–1100—Khayāl all-zill (Egypt) (Moreh 47) 1000–1050—Cheo (Vietnam) (Brandon 73) 1050–1100—Wayang topeng (Indonesia) (Ghulam-Sarwar 311) 1050–1100—Sangaku/Sarugaku (Japan) (Ortolani 62–63) * * *
    [Show full text]