KRITIK TERHADAP TEOLOGI WAHABIYYAH DI DALAM PEMIKIRAN SAID AQIL SIRADJ

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh: Nama: Fatmawatun NIM: 11140331000055

PROGRAM STUDI & FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2019 M LEMBAR PERSETUttAN PEL711BIMBING

KRITIK TERⅡ ADAP TEOLOGI WAHABIYYAⅡ DIINDONESIA DALAM PEPIIKIRAN SAID AQIL SIRADJ

Skripsi

Dittuktt ke Fakulttt Ushuluddinunmk Memenuhi Persyttatan Gelar SttanaAgaFna(S.Ag)

F‐ ″げ Oleh:

Fatmawatun NINI:11140331000055

ah Bimbingan

rcazy H

PROGRAMA STUDI AQIDAⅡ DAN FILSAFAT ISLAIVI FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITASISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441/2019M PENGESAHAN PANITIA UJIAN

SkHpsi bettudul (`KRITIK TERHADAP TEOLOGI WAHABIYYAH DI NDONESIA DALAM PEMIKIRAN SAID AQIL SIRADJマ telⅢ dittukan dalam dalam iding munaqasy〔 通,Fakultas Ushuluddin Univcrsitas lslam Negeri(UIN)SyarifHidayatullah akarta.Skripsi ini telah diterima sebagai slah sttu Syarat untuk mcmperoleh gelar Sttana

ゝgarlla(S.Ag)pada PrOgram Studi Aqidah dan Filsafat lslam. ‐

Ciputat,12 Novelnbcr 2019

Sidang Munaqasyah

I(etua Sekretaris

F 一 眈 1968031994032002 NIP:196806181999032001

Penguji enguji I,

1993031002

Pembimbing, LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Fatmawatun

Tempat, Tanggal Lahir Sumenep, l8 Oktober 1995

NIM I I 14033 l0000ss Program Studi/ Univ. Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Judul Skripsi Kritik Terhadap Teologi Wahabiyyah Di Indonesia Dalam Pemikiran Said Aqil Siradj

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

l. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I (Sl) di Universitas lslam Negeri (U$D Syarif Hidayatullah Jakarra.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syari f Hi dayatul lah Jakarta"

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa kary4 ini bukan hasil karya asli saya

' atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 04 Mei 2019

31000055 ABSTRAK

Fatmawatun, NIM: 11140331000055, Judul Skripsi “Kritik Terhadap Teologi Wahabiyyah Di Indonesia dalam Pemikiran Said Aqil Siradj”.

Dalam skripsi ini penulis membahas tentang Kritik Terhadap Teologi Wahabiyyah Di Indonesia Dalam Pemikiran Said Aqil Siradj. Kajian terhadap skripsi ini cukup penting dilakukan, karena eksistensi Wahabi saat ini menyebar dan pemahamannya mulai mempengaruhi kultur damai dan saling menghormati perbedaan, yaitu munculnya pernyataan bid’ah dan takfiri dari kaum Wahabi terhadap ritual-ritual ibadah yang biasa berjalan dan menjadi kebiasaan terutama pada masyarakat NU. Karena NU sendiri dalam paham ritual ibadahnya sangat kental dengan tradisi lokal keindonesiaan atau nusantara, sehingga menjadi ciri khas yang tidak bisa dipisahkan, karena Islam di Indonesia sendiri penyebarannya lewat jalur kultural dengan cara mendekati budaya yang ada di Indonesia, sehingga Islam cepat diterima dan Islam menjadi agama mayoritas di negeri ini.

Kajian ini merupakan studi terhadap kritik Said Aqil Siradj yang notabene dari NU, bagaimana Said Aqil memberikan pemahaman bahwa berdirinya NU memang untuk mengkonter paham Wahabi yang mulai meresahkan masyarakat dengan cara dakwahnya yang mudah membid’ahkan dan mengkafirkan saudaranya se-muslim yang tidak sejalan dengan paham ritual keagamaannya. Dalam hal ini Said Aqil menolak keras paham Wahabi yang dianggapnya sebagai embrio atau benih penyebaran radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Dari hasil penelitian ini, penulis menemukan bahwa kritik Said Aqil terhadap teologi Wahabi sangat berdasar, karena banyak didapatkan kelompok yang terindikasi penyebar kebencian, membid’ahkan dan mengkafirkan di tengah masyarakat muslim Indonesia yang awal dengan cara sembunyi-sembunyi, tapi sekarang dengan terang-terangan kelompok Wahabi mengembangkan dan melebarkan dakwahnya dengan mengajarkan pada sekelompok masyarakat, bahwa banyak ajaran ritual keagamaan di Indonesia yang keluar dari ajaran Sunnah atau yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga, kritik Said Aqil terhadap teologi Wahabi menjadi penting diangkat dan dikaji secara mendalam untuk menghidari munculnya kelompok yang mudah membid’ahkan dan mengkafirkan sesama muslim.

Kata kunci: Wahabi, Takfir, Tabdi’, Tawasul

i

KATA PENGANTAR.

Segala Puji serta rasa syukur yang sangat mendalam penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Menguasai segala sesuatu, di bumi maupun di langit. Yang Maha Memudahkan segala urusan hamba-Nya. Karena atas kuasa-Nya lah penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muḥ ammad

SAW. yang telah memberikan tauladan bagi umat manusia dengan perilaku qur’ānī-nya. Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat memberikan syafaat kepada umatnya.

Penulisan Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang penulis ajukan adalah “Kritik Terhadap Teologi Wahabiyyah di Indonesia Dalam

Pemikiran Said Aqil Siradj.

Penulisan skripsi ini tentu melibatkan berbagai pihak yang turut membantu dari awal proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu, penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada:

Dr. Arrazy Hasyim.MA sebagai Dosen Pembimbing Skripsi terbaik bagi penulis. Terima kasih telah meluangkan banyak waktunya untuk membimbing, menasehati, sekaligus memberikan gagasan-gagasannya kepada penulis. Sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.

ii

Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA. selaku Rektor

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarann.

Lebih khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Dra. Tien

Rohmatin, MA. selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dan Dra.Banun

Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas nasehat dan bimbingannya, akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan judul skripsi ini.

Seluruh Dosen dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan begitu banyak pengetahuan sekaligus bimbingannya selama empat tahun ini, khususnya kepada Hanafi S.Ag, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para pimpinan dan segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin, segenap Staf Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut membantu penulis dalam menemukan buku-buku referensi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Keluarga penulis, khususnya kedua orang tua penulis yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang, perjuangan, dan pengorbanan yang begitu luar biasa. Teruntuk Ayahanda tercinta, H. Maksum yang telah menanamkan semangat berjuang, yang selalu mendampingi penulis sampai akhir penulisan skripsi ini. Teruntuk Ibunda tercinta,Hj.Siti Salama, yang selalu memberikan doa terbaiknya di setiap langkah penulis. Semoga Allah SWT. senantiasa memberikan umur panjang, kesehatan, serta kepada adik tersayang

iii

,Mulhatul Hasanah dan Siti Ruqayyah. Terima kasih untuk doa, semangat, dan dukungannya kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

Teman-teman terbaik penulis di Aqidah dan Filsafat Islam Angkatan 2014-

B, khususnya kepada Hidayanti Fadillah Tunnisa, Ita Nurul Faizah, Khairiyah, aya. Terimakasih karena telah menjadi yang selalu ada bagi penulis selama kurang lebih empat tahun ini. Teman-teman lainnya yang selalu membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu Ulfiyatul khairoh, Eva dan Laila .Dan kepada seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang banyak membantu, mempermudah dan memperlancar hingga skripsi ini akhirnya selesai.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT. selalu membimbing

langkah kita menuju jalan yang benar dan diridhai-Nya. Āmīn yā Rabb al-

‘ālamīn.

Jakarta, 20 Oktober 2019 Penulis

Fatmawatun NIM. 11140331000063

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... v PEDOMAN TRANSLITERASI ...... vii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7 D. Tinjauan Pustaka ...... 7 E. Metode Penelitian...... 10 F. Sistematika Penulisan ...... 11

BAB II WAHABIYYAH DALAM LINTAS SEJARAH ...... 14 A. Sejarah Munculnya Wahabi ...... 15 B. Tokoh-tokoh Yang Mendukung Wahabi ...... 25 C. Perkembangan Wahabi di Indonesia ...... 27

BAB III BIOGRAFI SAID AQIL SIRADJ ...... 35 A. Silsilah Said Aqil Siradj ...... 35 B. Pendidikan dan Guru-guru ...... 39 1. Nusantara ...... 39

v

2. Timur Tengah ...... 40 C. Kiprah kang said dan kontribusi PBNU ...... 43 D. Karya Said Aqil Siradj ...... 47

BAB IV KRITIK SAID AQIL SIRADJ TERHADAP TEOLOGI WAHABIYYAH DI INDONESIA ...... 49 A. Ushûl al-Tsalâtsah ...... 49 1. Ulûhîyah ...... 50 2. Rubûbîyah ...... 50 3. al-Asmâ’ wa al-Shifât...... 52 B. Tawasul ...... 58 C. Konsep Takfîr dan Tabdî’ ...... 62

BAB V PENUTUP ...... 73 A. Kesimpulan ...... 73 B. Kritik dan Saran ...... 74

DAFTAR PUSTAKA ...... 75

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris th ṭ ط a a ا zh ẓ ظ b b ب ‘ ‘ ع t t ت gh gh غ ts th ث f f ف j j ج q q ق ḥ ḥ ح k k ك kh kh خ l l ل d d د m m م dz dh ذ n n ن r r ر w w و z z ز h h ه s s س ء sy sh ش y y ي sh ṣ ص h h ة dl ḍ ض

Vokal Pendek

Arab Latin a أ i إ u ا

vii

Vokal Panjang

Arab Indonesia ā آ ī إِىْ Ū اوْ

Diftong

Arab Indonesia Au أو Ai أي

(ال) -Kata Sandang al

Arab Indonesia -al ال -wa al وال

viii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam secara historis termasuk agama semitik yang dibawa Nabi

Muhammad SAW, sebagai penutup para nabi. Agama semitik yang lain dan muncul sebelum Islam adalah agama Yahudi yang dibawa Nabi Musa dan agama

Nashrani yang dipelopori oleh Nabi Isa. Tiga agama semitik ini sama-sama mengimani keesaan Tuhan (al-tawḥ îd). Namun, ketiganya memiliki syariat dan spirit yang berbeda.

Islam, sebagai agama semitik terakhir, dikenal luas bukan hanya di tanah

Arab saja melainkan di penjuru dunia termasuk di Indonesia sendiri. Tersebarnya

Islam di tengah-tengah masyarakat bahkan diterima secara legowo tanpa unsur paksaan tindak terlepas dari visi yang diembanya. Islam membawa misi raḥ mah li al-ālamīn (rahmat bagi semesta alam). Di samping itu, Islam datang untuk menegakkan keadilan dan membela kaum yang tertindas sehingga hak-hak yang dirampas dapat diraih kembali.

Mulai diturunkannya Islam sampai perkembangannya di era kontemporer, banyak bermunculan dalam tubuh Islam beberapa kelompok yang mengatasnamakan Islam. Secara historis, tercatat sejak terjadi tahkim (arbitrase) Alî bin Abi Ṭ âlib dan „Abû Sufyân, pengikut Alî terpecah menjadi tiga:

Pertama, Syiah, kelompok yang mengikuti Alî sebagai pemimpin. Kedua,

1 2

Khawârij, kelompok yang memisahkan diri dari Alî. Adapun yang ketiga, Sunni, kelompok yang berada di posisi tengah.1

Tiga kelompok yang muncul pada beberapa abad yang lalu, perkembangannya sampai sekarang masih tetap terasa. Kelompok Khawârij yang dikenal sebagai kelompok ekstrem mengkafirkan pengikut Alî bin Abi Ṭ âlib , karena mereka memutuskan hukum di luar keputusan Allah. Di era modern, ajaran Khawârij dicangkok oleh kelompok-kelompok keras, seperti kelompok

Wahabi2 yang dicetuskan oleh Muḥ ammad bin „Abd al-Wahhâb, yang lahir pada tahun 1115 H/1703 M. Pendiri kelompok ekstrem ini banyak mempelajari pemikiran-pemikiran Ibn Taymîyah (w. 728 H/1328 M). Karena, ketertarikannya pada pemikiran Ibn Taymîyah , maka ia sering kali diklaim mencerminkan kemunculan yang tertunda dari Ibn Taymîyah .3

Sebagai perkembangan dari kelompok Khawârij, kelompok Wahabi memiliki doktrin yang hampir sama. Di antara doktrin-doktrin Wahabi adalah

Pertama, doktrin tasyrīk atau menilai sebuah amaliyah tertentu sebagai bagian dari syirik atau menyekutukan Allah. Doktrin tasyrīk ini misalkan memuat larangan agar umat tidak meminta pertolongan atau tawassul kepada para wali

1 Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka , 2011), h. 12-13. 2 Pada dasarnya, tidak ada perbedaan antara Salafī dan Wahābī. Keduanya merupakan dua istilah yang digunakan untuk bentuk yang sama. Bahkan, mereka memiliki keyakinan yang sama. Di dalam Jazirah Arab mereka dikenal dengan istilah Kaum Wahābī Ḥanbalī, sedangkan di luar mereka disebut dengan istilah Salafī. Kenapa sebutan Ḥanbalī disematkan kepada Wahabi? Kaum Wahabi menganut mazhab Hanbali, yakni pengikut Imam Ahmad bin Hanbal yang berpaham tajsīm dan nawāshib, sekalipun ada sebagian di antara mereka yang berbeda dalam sejumlah hukum Islam. Selengkapnya, baca Sayyid Hasan al-Saqqaf, Mini Eksiklopedi Wahabi, terj. Ahmad Anis, (t.t.p.: Kasyafa, 2013), h. 4-5. 3 Ahmad Shidqi, Respon (NU) terhadap Wabisme dan Implikasinya bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam, Jurnal, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, Juni 2013, h. 112-113 3

dan orang saleh. Apabila seorang muslim melakukan hal tersebut, maka ia termasuk sebagai musyrik atau kafir sehingga darahnya halal dan wajib diperangi.

Kedua, doktrin bid’ah. Bid‟ah menurut Wahabi, adalah praktik-praktik keagamaan yang tidak didasarkan atau tidak ada dasarnya dalam Al-Qur‟an dan sunnah serta otoritas sahabat Nabi SAW. Kaum Wahabi tidak mengakui adanya bid‟ah yang baik (bid’ah ḥ asanah), melainkan seluruh bid‟ah itu adalah negatif.

Maka, dengan demikian, melakukan tindakan taqlîd (mengikuti secara konsisten salah satu dari empat madzhab fikih, yaitu Syafi‟ie, Malik, Imam Hanafi, dan

Hanbali) dipandang sebagai bid‟ah, sebab hasil ijtihad dari empat madzhab ini banyak yang tidak tercakup secara tekstualis dalam dua rujukan Islam, yaitu Al-

Qur‟an dan hadis. Di samping itu, beberapa praktrek keagamaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dipandang bid‟ah, seperti memperingati hari kelahiran Nabi Muḥ ammad SAW. atau yang biasa dikenal dengan Maulid

Nabi. Demikian pula, memperingati kematian seseorang seperti haul atau tahlilan dalam rangka kematian seseorang juga dianggap bid‟ah.

Beberapa doktrin Wahabi tersebut banyak mendapatkan pertentangan yang begitu keras dari masyarakat di Nusantara. Mayoritas masyarakat Nusantara menganut doktrin Sunni yang terbentang kuat di tubuh Nahdhatul Ulama (NU), sebuah organisasi yang dibangun oleh Ḥadrah al-Syakh Hâsyim „Asy‟ari.

Sedangkan, motif didirikannya NU adalah untuk mempertahankan paham „Ahl al-

Sunnah wa al-Jamā‟ah. Lebih khususnya, NU membentengi umat Islam agar tetap teguh pada ajaran Islam „Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah, sehingga tidak tergiur dengan ajaran-ajaran baru yang gemar membid‟ahkan dan mengkafirkan 4

saudaranya sendiri, sehingga dengan keberadaan NU ditanamkan konsep tawassuṭ (pertengahan), tawâzun (proporsional), ta’âdul (adil), dan tasâmuḥ

(moderat).4 Konsep-konsep NU ini secara tidak langsung mencegah paham- paham radikal yang mulai berkecambah di negara pluralistik Indonesia.

Kehadiran kelompok Wahabi di Indonesia benar-benar meresahkan kelompok Sunnī atau „Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah, bahkan mencederai ajaran- ajaran Sunnī, seperti menganut fikih empat madzhab, mengikuti tasawuf al-

Ghazâlî, dan menganut teologi sekte „Asy‟ariyyah dan Maturidiyyah. Muhammad

Fiqih Maskumambang (1857-1937 M) membongkar kesesatan pemikiran Wahabi yang merebak di Indonesia. Misalkan, kesesatan dalam menafsirkan kata fî sabîl-

Allah dalam QS. at-Taubah [9]: 60.5 Kata fî sabîl-Allah, menurut Jamāl al-Dīn al-

Dimasyqī, tidak dapat dipahami sebagai pejuang yang maju ke medan perang.

Pandangan Jamāl al-Dīn ini secara tidak langsung mengeklaim para ulama salaf yang berpendapat bahwa kata fî sabîl-Allah hanya boleh ditafsirkan dengan makna pejuang perang adalah pendapat yang rapuh tidak ditopang dengan dalil nash Al-

Qur‟an dan hadis. Sehingga dengan demikian pula, Jamāl al-Dīn menganggap bahwa para ulama Khalaf (mereka yang hidup setelah periode ulama salaf) mengikuti jejak para ulama salaf hanya berlandaskan pada sikap fanatisme buta tanpa disertai dalil-dalil. Asumsi Jamāl al-Dīn kurang tepat dan tidak sesuai

4 Amin Farih, “Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, Jurnal, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24, No. 2, November 2016, h. 258-259 5 “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mukallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Baca, QS. at-Taubah [9]: 60. 5

dengan Sunnī. Sementara, pemahaman kata fî sabîl-Allah, menurut Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‟ah, adalah suatu jalan (kebaikan) yang dapat membawa pelakunya sampai kepada Allah swt. Dengan pemahaman seperti ini, kata fî sabîl-Allah mencakup semua amal ibadah.6

Tindakan ekstrim kelompok Wahabi demikian ditanggapi oleh pendiri NU,

Ḥadrah al-Syakh Hāsyim „Asy‟arī dalam pernyataannya:

“Wahai ulama-ulama! Kalau kamu lihat orang berbuat suatu amalan berdasar qaul (pendapat) imam-imam yang boleh ditaklid (diikuti), meskipun qaul itu marjuh (tidak kuat alasannya), jika kamu tidak setuju, jangan kamu cerca mereka, tetapi berilah petunjuk dengan halus! Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah mereka dimusuhi. Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota.”7

Seruan Hāsyim „Asy‟ārī ini bukan hanya ajakan untuk bersatu, melainkan pula penegasan untuk saling menghormati dan menghargai pendapat masing- masing, serta menghindari efek negatif seperti kalimat metafor yang digunakan beliau, yaitu “membangun istana dengan menghancurkan sebuah kota”. Artinya, tindakan Wahabi yang membabi buta secara tidak langsung dianggap merobohkan persatuan dan persaudaraan masyarakat Indonesia yang berpegang pada semboyan

Bineka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda tetapi tetapi satu. Di samping itu, tindakan ekstrem tersebut berseberangan dengan misi Islam yang menebar rahmat bagi semesta alam, tidak ada paksaan di dalamnya, bahkan menolak kemafsadatan di muka bumi.

6 Muhammad Fiqih Maskumambang, Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir at-Tilmisani, terj. Abdul Aziz Masyhuri, (Depok: Sahifa, 2015), h. 25-26 7 Mohammad Guntur Romli, Islam Kita, : Lima Nilai Dasar Islam Nusantara, (Ciputat: Ciputat School, 2016), h. 56 6

Usaha yang dilakukan kelompok Sunnī, khususnya NU, patut diapresiasi. Di mana prinsip moderat yang diajarkan Hāsyim „Asy‟ārī tetapi dipegang kuat sampai sekarang, tepatnya periode Said Aqil Siradj. Menurut Said Aqil, Wahabi berbeda bukanlah teroris yang gemar mengebom, tetapi ia adalah sekelompok yang mengantarkan seseorang menjadi teroris, karena ajarannya yang ekstrem, gemar mengkafirkan, membid‟ahkan, dan mensyirikan kelompok lain.8 Di samping itu, Wahabi secara historis bukanlah Khawârij yang muncul pada tahun ke-37 Hijriyah di awal perkembangan Islam, sementara Wahabi baru hadir pada abad ke-18 Masehi. Kendati pun demikian, kedua sekte ini memiliki banyak kesamaan: sama-sama ekstrem dam mengkafirkan.9

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik menulis skripsi ini dengan judul Kritik terhadap Teologi Wahhabiyah di Indonesia dalam

Pemikiran Said Aqil Siradj.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka pertanyaan akedemik yang muncul adalah: “Bagaimana pandangan Said Aqil Siradj tentang teologi Wahabi di Indonesia dalam karyanya, Islam Kalap, Islam Karib?”, yang terbagi ke dalam dua sub pembahasan, yaitu:

1. Bagaimana kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi di

Indonesia?

8 Untuk lebih lengkapnya, simak channel YouTobe Shofiyah Channel tentang Islam Nusantara Wahabi dan Syiah yang disampaikan oleh Said Aqil Siradj, dipublikasikan pada tanggal 12 Januari 2018. 9 Said Aqil Siradj dalam buku Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), h. 15 7

2. Apakah tawaran pemikiran Said Aqil dalam karyanya masih dapat

dianggap relevan dalam konteks Wahabi di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini mengacu terhadap rumusan masalah skripsi ini.

Berdasarkan rumusah masalah di atas, peneliti menulis skripsi ini dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pandangan Said Aqil Siradj tentang teologi Wahabi di

Indonesia

2. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan pemikiran Said Aqil Siradj.

Sedangkan, manfaat penelitian dan penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Memotret perkembangan teologi Wahabi di Indonesia, baik menyangkut

ritual-ritual ibadah maupun menyangkut tindakan ekstrem;

2. Menelaah kritik Said Aqil Siradj terhadap doktrin Wahabi yang

berkembang di Indonesia.

3. Menghasilkan kesimpulan yang komprehensif dan tepat terkait respons

Said Aqil Siradj menyangkut perkembangan teologi Wahabi di Indonesia

4. Memberikan ruang atau sumbangsih pengetahuan kepada peneliti

berikutnya.

D. Tinjauan Pustaka

Setelah menguraikan rumusan masalah kemudian diikuti tujuan dan kegunaan penilitian, penulis menyertakan telaah pustaka. Bagian ini berfungsi 8

untuk melacak penelitian-penilitian sebelumnya, sehingga terhindar dari plagiat

(pencangkokan karya).

Ada beberapa penilitan yang penulis baca. Pertama, jurnal bertema “Respon

Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Wahabisme dan Implikasinya bagi Deradikalisasi

Pendidikan Islam” yang ditulis Ahmad Shidqi. Tulisan ini menggambarkan maraknya aksi radikalisme Islam di Indonesia yang dipelopori gerakan

Wahabisme. Kelompok ini kerap mengkafirkan, membid‟ahkan dan mensyirikkan tindakan kelompok Islam yang lain. NU sebaga salah satu kelompok umat Islam yang setia mengamalkan beberapa ritus keagamaan seperti tahlil, ziarah kubur, maulid, kerap dijadikan sasaran dakwah kaum Wahabi ini. Maka, NU, baik dari struktural maupun dari kultural, berkonsolidasi untuk meretas gerakan

Wahabisme.10 Pada tulisan ini Shidqi jelas meneliti doktrin Wahābi yang berkembang di Indonesia yang kemudian direspons negatif oleh Nadlatul Ulama, sebagai salah satu organisasi terbesar di Nusantara yang mencita-citakan prinsip moderasi Islam. Akan tetapi, penelitian ini tidak menspesikkan kepada pemikiran tokoh, khususnya pemikiran Said Aqil Siradj sebagai ketua umum PBNU

(Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).

Kedua, jurnal bertema “Global Sufism dan Pengaruhnya di Indonesia” yang ditulis oleh Ubaidillah. Tulisan ini mendiskripsikan upaya gerakan Salafī-Wahabi dalam menyebarkan ideologinya di penjuru dunia (global salafism) serta pengaruhnya di Nusantara. Upaya penyebaran ideologi Salafī ke seluruh penjuru dunia ini antara lain berupa pemberian beasiswa kepada mahasiswa di negara

10 Ahmad Shidqi, Respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Wahabisme dan Implikasinya bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam, h. 109. 9

Arab Saudi dengan dana petrodollar yang mereka miliki, lalu alumninya didaulat untuk menjadi agen penyebaran ideologi mereka di negara asal para mahasiswa tersebut. Selain itu, penerjemahan-penerjemahan buku berbahasa Arab yang mengandung ideologi ajaran Salafī juga digalakkan. Bahkan, saat ini gerakan

Salafī mulai merambah pada ranah ekonomi, seperti penjualan madu dan habbah al-Sawdā’, serta pengobatan bekam di berbagai klinik terapi di berbagai negara, termasuk di Indonesia.11 Tulisan ini mengkaji gerakan Salafī (sebutan lain dari

Wahabi) dalam menyebarkan doktrinnya. Kendati pun demikian, objek penelitian tulisan ini bersifat global, tidak fokus di negara Indonesia. Bahkan, objek yang dikaji bukan tokoh yang mengkritik gerakan ekstrem ini. Objek kajian global semacam ini belum menyentuh persoalan yang terjadi di negara Indonesia.

Ketiga, skripsi bertema “Analisis Wacana Citra Wahabi dalam Majalah

Aula Edisi Februari 2016” yang ditulis oleh Arina Rahmatika. Penelitian ini menghasilkan, bahwa majalah Aula memaparkan tema-tema yang mencitrakan perilaku Wahabi yang berbahaya, Wahabi yang meresahkan masyarakat dengan mengacak kitab, Wahabi Indonesia yang salah paham dalam melihat Wahabi di

Saudi, Wahabi sebagai penyebar virus radikal dan Wahabi yang salah menunjuk ulama panutan.12 Pada tulisan ketiga ini, penelitian yang dihidangkan mulai fokus dibandingkan penelitian pertama dan kedua. Tulisan ini menghidangkan pemikiran penulis Nusantara dalam merespons doktrin Wahabi yang

11 Ubaidillah, Global Salafism dan Pengaruhnya di Indonesia, Jurnal, Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, h. 35. 12 Arina Rahmatika, “Analisa Wacana Citra Wahabi dalam Majalah Aula Edisi Februari 2016”, Skripsi, UIN Yogyakarta, 2017, h. 214 10

menyesatkan. Namun, belum dikaji pemikiran Said Aqil Siradj sebagai tokoh moderat dalam merespons teologi Wahabi yang merebak di Indonesia.

Dari beberapa penelitian di atas, penulis belum mendapatkan hasil penelitian yang fokus mengkaji pemikiran tokoh moderat Said Aqil Siradj dalam merespons teologi Wahabi di Indonesia. Maka, dengan demikian, penelitian ini termasuk langkah awal dan belum dikaji oleh peneliti sebelumnya.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pengkajian/penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam penelitian library research (studi kepustakaan), karena obyek penelitian ini adalah literatur, yaitu mengusahakan sintesis atas buku Islam Kalap, Islam Karib karya Said Aqil

Siradj. Penelitian ini bersifat analisis-deskriptif-kritis yaitu dengan mengumpulkan data yang telah ada.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua bagian: data primer dan data sekunder. Sumber data primernya berupa pemikiran Said Aqil Siradj, baik yang dibukukan maupun tidak, seperti buku Islam Kalap, Islam Karib.

Sedangkan, sumber data sekundernya, yaitu semua buku yang dianggap berkenaan dengan penelitian ini, baik itu secara langsung atau tidak, terutama yang menyangkut tentang kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi.

3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Kemudian data yang diperoleh akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut: 11

a. Pengolahan data dengan cara editing, yaitu data-data yang telah dihimpun

diperiksa kembali secara cermat dari segi kelengkapan, keterbatasan,

kejelasan makna, dan pengertian, kesesuaian satu sama lain, relevansi, dan

keseragaman data.

b. Pengorganisasian data, yaitu pengaturan dan penyusunan data sedemikian

rupa, sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk dideskripsikan.

c. Pengalisaan data yang telah terorganisir dengan merumuskan beberapa

pokok persoalan mengenai kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi

di Indonesia. Kemudian, hasil analisis ini diharapkan mampu menjawab

beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini.

4. Teknik Analisis Data

Setelah semuanya selesai, kemudian penulis menyajikan penelitian ini dalam bentuk laporan atas hasil yang telah diperoleh dari penelitian tersebut.

Tentunya, dengan cara diskriptif-analisis, yaitu penulis berupaya memaparkan secara jelas tentang hasil dari penelitian terhadap buku Islam Kalap, Islam Karib karya Said Aqil Siradj.

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar memuat tiga bagian utama, yaitu memuat pendahuluan, isi, dan penutup. Berdasarkan uraian dan tujuan penelitian ini, maka sistematika pembahasan penelitian ini disusun sebagai berikut:

Bab I memuat latar belakang masalah untuk menjelaskan secara akademik mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Pada bagian pendahuluan ini juga diuraikan beberapa alasan mengapa penulis memilih tema kritik Said Aqil 12

Siradj terhadap teologi Wahabi di Indonesia, apa yang menari dan unik dari tema tersebut. Selanjutnya dirumuskan beberapa rumusan masalah atau problem akademik yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini sehingga jelaslah masalah yang akan dijawab. Sedangkan tujuan dan signifikansinya dimaksudkan untuk menjelaskan pentingnya penelitian ini dan kontribusinya bagi perkembangan keilmuan. Kajian pustakan disertakan untuk menghindari plagiasi atau pencangkokan karya dari penelitian sebelumnya. Sedangkan metode dan langkah- langkahnya dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana proses dan prosedur serta langkah-langkah yang akan dilakukan penulis dalam penelitian ini, sehingga sampai kepada tujuan menjawab problem-problem akademik yang menjadi kegelisahan penulis.

Bab II merupakan uraian tentang sejarah polemik Wahabi, mulai kemunculan pertama hingga kemunculan ketiga. Selain itu, bagian ini menguraikan tokoh-tokoh polemik Wahabi dan kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang perkembangan Wahabi di Indonesia.

Bab III membahas tentang biografi Said Aqil Siradj sebagai objek penelitian dalam skripsi ini. Beberapa bagian yang penting untuk dibahas adalah silsilah, pendidikan, guru-guru, dan karya-karyanya.

Masuk pada bagian bab IV adalah menjelaskan ushul al-tsalatsah (tiga prinsip) Wahabi, meliputi uluhiyyah, rububiyyah, dan asma’. Dilanjutkan kemudian dengan pembahasan tawassul dan diakhiri dengan analisa takfir

(pengkafiran) dan tab’di’ (pembid‟ahan). 13

Baru masuk bab V adalah penutup berisi kesimpulan yang merupakan jawaban rumusan masalah sebelumnya dan diakhiri saran-saran kontruktif bagi penelitian lebih lanjut dan lebih sistematis.

BAB II

WAHABI DALAM LINTASAN SEJARAH

Wahabi lebih tepatnya Wahabisme atau Salafi adalah sebuah aliran reformasi keagamaan dalam Islam. Aliran ini dirintis oleh seorang teolog muslim abad ke-18 yang bernama Muhammad bin ‘Abd al-Wahhâb yang berasal dari

Najd, Arab Saudi. Aliran ini digambarkan sebagai sebuah aliran Islam yang ultrakonservatif, keras, atau puritan.1

Pendukung aliran ini percaya bahwa gerakan mereka adalah gerakan reformasi Islam untuk kembali kepada ajaran monoteisme murni yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis, bersih dari segala ketidakmurnian seperti praktik-praktik yang dianggap bid’ah, syirik dan khurafat. Sementara penentang ajaran ini menyebut Wahabi sebagai gerakan sektarian yang menyimpang, sekte keji, dan sebuah distorsi ajaran Islam.2

Saat ini Wahabisme merupakan aliran Islam yang dominan di Arab Saudi dan Qatar. Ia dapat berkembang di dunia Islam melalui pendanaan masjid, sekolah dan program sosial.3 Dakwah utama Wahabisme adalah Tauhid yaitu Keesaan dan

Kesatuan Allah. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhâb dipengaruhi oleh tulisan- tulisan Ibn Taymîyah dan mempertanyakan interpretasi Islam dengan mengandalkan al-Qur’an dan hadis. Ia mengincar kemerosotan moral yang

1 Zaenal Abidin, Wahabisme, Transnasionalisme dan Gerakan-Gerakan Radikal Islam di Indonesia, Jurnal Tasâmuh, Vol. 12 No. 2, Juni 2015, h. 130 2 Ahmad Shidqi, Respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Wahabisme dan Implikasinya bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II No. 1, Juni 2013, h. 112- 113 3 Abu Muhammad waskito,Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara (Jakarta: pustaka alkautsar2012), h. 133

13 14

dirasakan, kelemahan politik di Semenanjung Arab, mengutuk penyembahan berhala, pengkultusan orang-orang suci, pemujaan kuburan orang yang saleh, dan melarang menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah.4

A. Sejarah Kemunculan Wahabi

Berdirinya Kerajaan dan paham Wahabi. Dr. Abdullâh

Mohammad Sindi, di dalam sebuah artikelnya yang berjudul Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud menyajikan tinjauan ulang tentang sejarah

Wahabisme serta pemerintah Inggris di dalam perkembangan dan hubungannya dengan peran keluarga kerajaan Saudi. Wahabi merupakan salah satu sekte Islam yang paling kaku dan paling reaksioner saat ini. Dan kita tahu bahwa Wahabi adalah ajaran resmi Kerajaaan Saudi Arabia, tambahnya.5

Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sejak kelahiran keduanya. Wahabisme telah menciptakan kerajaan

Saudi, dan sebaliknya keluarga Saudi membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi ke seluruh penjuru dunia. Wahabisme memberi legitimasi bagi

Istana Saudi, dan Istana Saudi memberi perlindungan serta mempromosikan

Wahabisme ke seluruh penjuru dunia. Keduanya tak terpisahkan karena saling mendukung satu dengan yang lain.6

4 Sayyid Hasan Al-Saqqaf , Mini Ensiklopedi Wahabi,Penerjemah Ahmad Anis (Beirut: Dar Al Imam Ar Rawwas, 2013), h. 6 5 Asep Saifuddin Chalim, Aswaja; Pedoman untuk Pelajar, Guru, dan Warga NU, (Jakarta: Emir 2017), h. 100 6Edwar Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terj. Enna Hadi dan Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan 1984), h. 52 15

Wahabisme memperlakukan perempuan sebagai warga kelas tiga, membatasi hak-hak mereka seperti: menyetir mobil, bahkan pada dekade lalu membatasi pendidikan mereka. Bahkan, Wahabisme melarang perayaan Maulid

Nabi Muhammad SAW, melarang kebebasan berpolitik dan secara konstan mewajibkan rakyat untuk patuh secara mutlak kepada pemimpin-pemimpin mereka, melarang mendirikan bioskop sama sekali, menerapkan hukum Islam hanya atas rakyat jelata, dan membebaskan hukum atas kaum bangsawan, kecuali karena alasan politis, dan mengizinkan perbudakan sampai tahun 60-an.7

Mereka juga menyebarkan mata-mata atau agen rahasia yang selama 24 jam memonitor demi mencegah munculnya gerakan anti-kerajaan. Wahabisme juga sangat tidak toleran terhadap paham Islam lainnya, seperti terhadap Syi’ah dan

Sufisme (Tasawuf). Wahabisme juga menumbuhkan rasialisme Arab pada pengikut mereka. Tentu saja rasialisme bertentangan dengan konsep Ummah

Wahidah di dalam Islam. Wahabisme juga memproklamirkan bahwa hanya ajaran mereka yang paling benar dari semua ajaran-ajaran Islam yang ada dan siapapun yang menentang Wahabisme dianggap telah melakukan bid’ah dan kafir.

B. Lahirnya Ajaran Wahabi

Wahabisme atau ajaran Wahabi muncul pada pertengahan abad 18 di

Dir’iyyah sebuah dusun terpencil di Jazirah Arab, Najd. Kata Wahabi sendiri diambil dari nama pendirinya, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb (1703-1792).8 Ia

7 Zainal Abidin Syihab, Wahabi dan Reformasi Islam Internasional, (Jakarta: Pustaka Dian, 1986), h. 25 8 Khaled Abu El Fadl, Sejarah Wahabi dan Salafi, terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), cet I, h.7 16

lahir di Najd, Uyayna. Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb adalah seorang mubaligh yang fanatik dan telah menikahi lebih dari 20 wanita (tidak lebih dari 4 pada waktu bersamaan) dan mempunyai 18 orang anak. Sebelum menjadi seorang mubaligh, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb secara ekstensif mengadakan perjalanan untuk keperluan bisnis, pelesiran, dan memperdalam agama ke Hijaz,

Mesir, Siria, Irak, Iran, dan India.9

Walaupun Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb dianggap sebagai Bapak

Wahabisme, namun aktualnya Kerajaan Inggris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme dan merekayasa Muhammad Ibn ‘Abd al-

Wahhâb sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme untuk tujuan menghancurkan

Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki.

Seluk-beluk dan rincian tentang konspirasi Inggris dengan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb ini dapat ditemukan dalam memori Mr. Hempher, Confessions of a

British Spy.10 Selagi di Basra, Iraq, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb muda jatuh dalam pengaruh dan kendali seorang mata-mata Inggris yang dipanggil dengan nama Hempher yang sedang menyamar (undercover). Salah seorang mata-mata yang dikirim London untuk negeri-negeri Muslim (di Timur Tengah) dengan tujuan menggoyang kekhalifahan Utsmaniyyah dan menciptakan konflik di antara sesama kaum Muslim. Hempher pura-pura menjadi seorang Muslim, dan memakai nama Muhammad, dan dengan cara yang licik, ia melakukan pendekatan

9 Muhammad bin Sa’ad Asyy-suwa’ir, Wahabi dan Imprealisme, penerjemah Abu muawiyah Hammad (Jakarta:Gria ilmu, 2010), cet.I, h.89 10 Nur Kholik Ridwan, Doktrin Wahabi dan Benih-benih Citra Islam, (Yogyakarta: Tanah Air 2009), h. 3 17

dan persahabatan dengan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb dalam waktu yang relatif lama.11

Hempher, yang memberikan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb uang dan hadiah-hadiah lainnya serta mencuci-otak Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb dengan meyakinkannya bahwa orang-orang Islam mesti dibunuh karena mereka telah melakukan penyimpangan berbahaya kaum Muslim yang telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar. Baginya mereka telah melakukan perbuatan- perbuatan bid’ah dan syirik.12 Hempher juga merekayasa sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan bahwa dia bertemu Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb. Ia mengatakan kepada Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb bahwa dia akan jadi orang besar serta meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari berbagai bid’ah dan takhayul. Setelah mendengar mimpi Hempher, Muhammad

Ibn ‘Abd al-Wahhâb menjadi lebih percaya diri dan terobsesi untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi

Islam.13

C. Kerajaan Saudi-Wahabi Pertama: 1744-1818

Setelah kembali ke Najd dari perjalanannya, Muhammad Ibn ‘Abd al-

Wahhâb mulai berdakwah dengan gagasan-gagasannya di Uyayna. Bagaimana

11 Ahmad Syafi’i Mufid, Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI 2011), h. 6 12 Khaled Abu El Fadl, Sejarah wahabi dan Salafi, terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), cet I, h. 31

13 Edwar Mortimer, Islam dan Kekuasaan, h. 52

18

pun, dakwahnya yang keras dan kaku membuatnya diusir dari tempat kelahirannya. Lalu ia berdakwah di sekitar Dir’iyyah, dimana sahabat karibnya

Hempher dan beberapa mata-mata Inggris berada dalam penyamaran ikut bergabung dengannya.14

‘Abd al-Wahhâb juga tanpa ampun membunuh seorang pezina penduduk setempat di hadapan orang banyak dengan cara kasar seperti menghajar kepala pezina dengan batu besar. Padahal, hukum Islam tidak mengajarkan hal seperti itu

(ayat al-Qur’an). Para ulama Islam (Ahlus Sunnah) tidak membenarkan tindakan

Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb yang sangat berlebihan seperti itu.

Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Muhammad Ibn ‘Abd al-

Wahhâb yang keras, kaku termasuk ayah dan saudaranya Sulaiman Muhammad

Ibn ‘Abd al-Wahhâb. Keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami ajaran Islam. Dengan uang, mata-mata Inggris telah berhasil membujuk

Muhammad Saud untuk mendukung Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb.15

Pada 1744, al-Saud menggabungkan kekuatannya dengan Muhammad Ibn

‘Abd al-Wahhâb untuk membangun sebuah aliansi politik, agama dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga Saud dan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb lahirlah wahhabisme sebagai agama dan gerakan politik telah lahir.

Atas penggabungan ini setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa mereka menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap kepala

14 Kekerasan Wahabi salah satunya diwujudkan dalam persoalan jihad. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: , 2009), h. 67 15 Ahmad bin Zaini Dahlan, Mutiara Bercahaya dalam Menolak paham Wahabi, penerjemah Aan najib Mustofa (Pasuruan: Garoeda Buana indah pasuruan, 1995), cet III, h.106 19

keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap penafsiran agama (religious interpretation).16

Hasil aliansi Saudi-Wahabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang yang terdiri dari orang-orang Arab Badui yang terbentuk dari bantuan para mata- mata Inggris.17 Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh

Jazirah Arab sampai ke Damaskus (Suriah), serta menjadi penyebab munculnya fitnah terburuk dalam Sejarah Islam (pembantaian atas orang-orang sipil dalam jumlah yang besar). Dengan cara ini, angkatan perang mampu menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang pertama.18

Sebagai contoh, untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai syirik dan bid’ah yang dilakukan oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801. Tindakannya yang menghancurkan dan menodai kesucian makam Imam Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw) di Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000 orang di

Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai harta rampasan. Pada 1810, Wahabi membunuh penduduk yang tidak berdosa di sepanjang Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak kafilah

16 Muhammad bin Sa’ad Asyy-suwa’ir, Wahabi dan Imprealisme, h. 97 17 Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Mainstream Keberagamaan Masyarakat Sasak, Jurnal, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember) 2012, h. 377 18 Sayyid Hasan Al-Saqqaf , Mini Ensiklopedi Wahabi,Penerjemah Ahmad Anis (Beirut: Dar Al Imam Ar Rawwas, 2013), h. 9

20

peziarah dan sebagian besar di kota Hijaz, termasuk 2 kota suci Makkah dan

Madinah.19

Di Makkah, mereka membubarkan para peziarah dan di Madinah mereka menyerang, menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual serta membagi-bagikan peninggalan bersejarah dan permata-permata yang mahal.

Para teroris Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang menimbulkan kemarahan kaum Muslim di seluruh dunia termasuk kekhalifahan

Utsmaniyyah di Istanbul. Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab dan penjaga masjid-masjid suci Islam, Khalifah Mahmud

II memerintahkan sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan Saudi-Wahhabi.20

Pada 1818, angkatan perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra penguasa Mesir) menghancurkan Saudi-Wahhabi dan meratakan kota Dir’iyyah.

Imam kaum Wahhabi saat itu, Abdullah al-Saud dan dua pengikutnya dikirim ke

Istanbul untuk dihukum pancung dan dirantai dihadapan orang banyak. Sisa klan

Saudi-Wahhabi ditangkap di Mesir.

D. Kerajaan Saudi-Wahabi ke-II: 1843-1891

Walaupun Wahabisme berhasil dihancurkan pada 1818, namun dengan bantuan Kolonial Inggris mereka dapat bangkit kembali. Setelah pelaksanaan hukuman mati atas Imam Abdullah al-Saud di Turki, sisa-sisa Saudi-Wahhabi

19 Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Mainstream Keberagamaan Masyarakat Sasak, h. 382 20 Khaled Abou El-Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustafa, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta 2006), h. 61

21

memandang saudara-saudara Arab dan Muslim mereka sebagai musuh yang sesungguhnya dan sebaliknya mereka menjadikan Inggris dan Barat sebagai sahabat sejati mereka. Maka ketika Inggris menjajah Bahrain pada 1820 dan mulai mencari jalan untuk memperluas area jajahannya, Dinasti Saudi-Wahhabi menjadikan kesempatan ini untuk memperoleh perlindungan dan bantuan

Inggris.21

Pada 1843, Imam Wahhabi yaitu Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil melarikan diri dari penjara di Cairo dan kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian mulai melakukan kontak dengan Pemerintah Inggris. Pada 1848, dia memohon kepada Residen Politik Inggeris di Bushire agar mendukung perwakilannya di

Trucial Oman. Pada 1851, Faisal kembali memohon bantuan dan dukungan

Pemerintah Inggris. Pada 1865, Pemerintah Inggris mengirim Kolonel Lewis

Pelly ke Riyadh untuk mendirikan sebuah kantor perwakilan Pemerintahan

Kolonial Inggris dengan perjanjian bersama Dinasti Saudi-Wahhabi untuk mengesahkan Kolonel Lewis Pelly.

Imam Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi Wahhabi antara perang politik dengan perang agama adalah tidak akan ada kompromi membunuh semua orang. Pada 1866, Dinasti Saudi-Wahhabi menandatangani sebuah perjanjian dengan pemerintah Kolonial Inggris kekuatan yang dibenci oleh semua kaum Muslim karena kekejaman kolonialnya di dunia Muslim. Perjanjian

21 Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi Arab Saudi: Kontestasi Kerajaan Saudi Dan Wahabi, Jurnal Islamic World and Politics, Vol.2. No.1 January-Juni, h. 228-229 22

ini serupa dengan banyak perjanjian tidak adil yang selalu dikenakan kolonial

Inggris di Teluk Arab (sekarang dikenal dengan Teluk Persia).22

Sebagai pertukaran atas bantuan pemerintah kolonial Inggris yang berupa uang dan senjata pihak Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk bekerja sama dengan pemerintah kolonial Inggris. Isi perjanjiannya ialah pemberian otoritas atau wewenang kepada pemerintah kolonial Inggris atas area yang dimilikinya.

Perjanjian yang dilakukan Dinasti Saudi-Wahhabi dengan musuh paling getir bangsa Arab dan Islam yaitu Inggris, pihak Dinasti Saudi-Wahhabi telah membangkitkan kemarahan yang hebat dari bangsa Arab dan Muslim lainnya baik negara-negara yang berada di dalam maupun yang diluar wilayah Jazirah Arab.23

Dari semua penguasa Muslim yang paling merasa disakiti atas pengkhianatan Dinasti Saudi-Wahhabi ini adalah seorang patriotik bernama al-

Rasyid dari klan al-Hail di Arabia tengah. Dengan dukungan orang-orang Turki, al-Rasyid menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan Saudi-Wahhabi.

Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur untuk melarikan diri diantaranya adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya yang masih remaja, Abd al-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan diri ke

Kuwait untuk mencari perlindungan dan bantuan Inggris.

22 Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi Arab Saudi Kontestasi Kerajaan Saudi Dan Wahabi, h. 230 23 Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi, h. 232

23

E. Kerajaan Saudi-Wahhabi ke III (Saudi Arabia): Sejak 1902

Ketika di Kuwait Imam Abdul Rahman dan putranya, Abd al-Aziz menghabiskan waktu mereka menyembah-nyembah tuan Inggris mereka dan memohon-mohon akan uang, persenjataan serta bantuan untuk keperluan merebut kembali Riyadh. Namun pada akhir penghujung 1800-an, usia dan penyakit nya telah memaksa Abdul Rahman untuk mendelegasikan Dinasti Saudi Wahhabi kepada putranya yang kemudian menjadi Imam Wahhabi yang baru.24

Pada abad 20 melalui strategi licin kolonial Inggris di Jazirah Arab dengan cepat menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-

Rasyid secara menyeluruh, kolonial Inggris langsung memberi sokongan kepada

Imam baru Wahhabi Abd al-Aziz. Dibentengi dengan dukungan kolonial Inggris, uang dan senjata. Imam Wahhabi yang baru, akhirnya dapat merebut Riyadh dan ia menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang kota. Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar hidup- hidup 1.200 orang. 25

Abd al-Aziz yang dikenal di Barat sebagai Ibn Saud, ia sangat dicintai oleh majikan Inggrisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah Kolonial Inggris di wilayah Teluk Arab yang menemui atau menghubunginya, dan dengan murah-hati mereka mendukungnya dengan uang, senjata dan para penasihat. Sir Percy Cox,

Captain Prideaux, Captain Shakespeare, Gertrude Bell, dan Harry Saint John

Philby (yang dipanggil Abdullah) adalah di antara banyak pejabat dan penasihat

24 Idahram, Sejarah Berdarah Sehte Salafi Wahabi, h. 120 25 Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi Arab Saudi : Kontestasi Kerajaan Saudi Dan Wahabi, h. 234

24

kolonial Inggris yang secara rutin mengelilingi Abdul Aziz demi membantunya memberikan apa pun yang dibutuhkannya.

Dengan senjata, uang dan para penasihat dari Inggris berangsur-angsur Abd al-Aziz menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji

Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat ini disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketika mendirikan Kerajaan Saudi Abd al-Aziz beserta para pengikut melakukan pembantaian yang mengerikan, khususnya di daratan suci Hijaz.

Pada May 1919 di Turbah, pada tengah malam mereka menyerang angkatan perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang. Pada tahun1924 tepatnya bulan

Agustus tentara Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz, Taif.

Mereka mengancam, mencuri uang, persenjataan, memenggal kepala anak-anak kecil dan orang-orang yang sudah tua. Banyak wanita Taif yang segara meloncat ke dasar sumur air demi menghindari pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan tentara-tentara Saudi-Wahhabi.26

Tentara primitif Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan orang- orang yang sedang melakukan shalat di masjid. Hampir seluruh rumah-rumah di

Taif diratakan dengan tanah tanpa pandang bulu. Mereka membantai beberapa laki-laki yang ditemui di jalan-jalan juga. Lebih dari 400 orang tak berdosa ikut dibantai dengan cara mengerikan di Taif.

26 Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi Arab Saudi : Kontestasi Kerajaan Saudi Dan Wahabi, h. 235 25

F. Tokoh-tokoh Yang Mendukung Wahabi

Sekte Wahabi yang telah berkembang di belahan dunia tentunya diajarkan oleh beberapa tokoh.

1. Muhammad bin Abd al-Wahhâb

Muhammad bin Abd Wahhâb lahir pada tahun 1111H. Dan wafat pada tahun 1217. Jadi usia hidupnya sekitar 92 tahun. Jabatan penting di Kerajaan

Arab Saudi: Pendiri dan pelopor gerakan Wahabi/Salafi dan Mufti Kerajaan Arab

Saudi.27 Karya-karyanya mencakup Rasâ’il al-‘Aqīdah, Kitâb al-Kabâ’ir,

Mukhtashar al-‘Insâb wa al-Syarh al-Kabīr, Mabhats al-‘Ijtihâd wa al-Khilâf,

Kitâb al-Thahârah, Syurūth al-Shalâh wa ‘Arkânihâ wa wâjibâtihâ, Kitâb ‘Âdâb al-Masyy ‘ila al-Salâh, ‘Ahkâm Tamannī al-Maut, dan beberapa kitab yang lain.28

2. Abd al-‘Azīz bin Abdullâh bin Baz

Abd al-‘Azīz bin Abdullâh bin Baz (1330 H-1420 H / 1910 M-1999 M).

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi: Qadhi (Hakim) di daerah al-Kharaj semenjak tahun 1357-1371 H, Tahun 1390 H-1395 H Rektor Universitas Islam

Madinah tahun 1414 H Mufti Umum Kerajaan. Kitab atau buku karya tulis bin

Baz: Al-Imâm Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb: Da’watuhu wa Sīratuhu, Bayan

Ma’na Kalimah Lâ Ilah Illâ-Llâh, Al-Aqīdah al-Shahīhah wamâ Yudhadduhâ, Al-

Da’wah ila-Llâh, dan beberapa karya yang lain.29

3. Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin

27 Muhammad Faqih bin Abdul Djabbar maskumambang, menolak wahabi, (Depok: Sahifa, 2015), h. 4 28 Mukhamad Syamsul Huda, Pengaruh Pemikiran Teologi Muammad bin Abd al- Wahhab terhadap Pemerintahan Dinasti Saudi Arabia Ketiga, Tesis, UIN Sunan Kalijaga, 2014, h. 27-28 29 ‘Abd al-Azīz bin ‘Abdullâh bin Baz, Fatwa-Fatwa Terkini, terj. Musthafa Aini, (Jakarta: Darul Haq 2003), h. 14. 26

Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin (1347 H-1421 H). Al-Utsaimin adalah pakar fiqih-nya kalangan Wahabi Salafi. Banyak persoalan hukum baru yang difatwakan olehnya. Seperti haramnya mengucapkan selamat natal, dan lain-lain.

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi: Imam masjid jami’ al Kabir Unaizaih,

Mengajar di perpustakaan nasional Unaizah, Dosen fakultas syariah dan fakultas ushuluddin cabang Universitas Islam Imam Muhammad bin saud di Qasim.30

Kitab atau buku karya tulis Al-Utsaimin: Usūl fī al-Tafsīr, Syarh

Muqaddimah al-Tafsīr, Tafsīr al-Qur’ân al-Karīm, Majmū’ al-Fatâwâ, Al-Qaul al-Mufīd fī al-Syarh Kitâb al-Tauhīd, Al-Ibdâ’, fī Kamâl al-Syar’i wa Khathr al-

Ibtidâ’, Risâlah al-Hijâb, Syarhr, dan beberapa karya yang lain.

4. Muhammad Nashir al-Dīn al-Albânī

Muhammad Nashir al-Dīn al-Albânī (1333 H-1420 H/1914 M-1999 M).

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi: Tahun 1381-1383 H: Dosen Hadits

Universitas Islam Madinah. Kitab atau buku karya tulis Al-Albani, antara lain,

Silsilah al-Ahâdīts al-Shahīhah, Silsilah al-Ahâdīts al-Dha’īfah, Shahīh al-

Targhīb wa al-Tarhīb, Dha’īf al-Targhīb wa al-Tarhīb, Shahīh wa Dha’īf al-Adab al-Mufrad, Dha’īf Sunan al-Tirmidzī, dan beberapa kitab yang lain. 31

5. Shâlih bin Fauzân bin Abdullâh Al-Fauzân

Shâlih bin Fauzân bin Abdullâh Al-Fauzân (1345 H). Jabatan penting di

Kerajaan Arab Saudi: Dosen Institut Pendidikan Riyad, Dosen Fakultas Syari’ah,

Fakultas Ushulud Dien, Mahkamah Syariah, Anggota Lajnah Daimah lil Buhuts

30 Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, Fatâwâ Nūr alâ al-Darb, h. 1

31 Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan, Genealogi dan Ajaran Salafi, (Ciputat: Yayasan Waqaf Darsun, 2107), h. 181 27

wal Ifta’ (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa), Anggota Haiah Kibaril Ulama’ dan Komite Fiqh Rabithah Alam Islamiy di Mekkah, Anggota Komite Pengawas

Du’at Haji, Ketua Lajnah Daimah lil buhuts wal ifta’, Imam, Khatib dan Pengajar di Masjid Pangeran Mut’ib bin Abdil Aziz di Al Malzar.32

Kitab atau buku karya tulis Al-Fauzân: Muntaqâ min Fatâwâ al-Fauzân,

Syarh Lum’ah al-I’tiqâd al-Hadī ilâ Sabīl al-Rasyâd, Al-Mulkhish fī Syarh Kitâb al-Tauhīd, Al-Ta’līq al-Mukhtashar alâ al-Qashīdah al-Nūniyyah, dan beberapa karya yang lain.

G. Perkembangan Wahabi di Indonesia

Berawal dari abad 18 di Arab Saudi penguasa lokal Dir’iyah, Muhammad al-Saūd (1745-1965) dan Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1987) ialah seorang pembaharu puritan yang bersemangat mendirikan negara Islam. Akan tetapi tidak bershasil sehingga kedua tokoh tersebut membentuk aliansi yang menguntungkan kedua belah pihak. Aliansi ini mendorong Ibn Saud untuk menguasai semenanjung Arab dan menggalang wahabisme sebagai gerakan reformasi besar dalam sejarah muslim modern. Kedua tokoh ini berhasil merebut kota Makkah dan Madinah pada tahun 1925 yang tidak lepas dari dukungan

Inggris. Gerakan ini menyapu bersih Arabia tengah dengan merebut Mekkah dan

Madinah serta mempersatukan kabilah-kabilah kedalam apa yang diyakini oleh

32 Muhammad Thâhir al-Qadr, Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam LPPI 2014), h. 376

28

para pengikutnya sebagai pembentukan kembali masa-masa Islam pada abad ke-7 dibawah pimpinan Nabi Muhammad Saw.33

Ibn Sa’ud memandang gerakan wahabi adalah senjata politik potensial yang ampuh dan strategis. Karena bagi siapapun yang tidak terbiasa memperlakukan teks-teks ajaran agama secara rasional, dewasa dan penuh perasaan klaim dan tuduhan teologis akan sulit ditolak.34 Ketidakberdayaan dihadapan klaim dan tuduhan teologis inilah yang menjajikan kekuasaan politik. Hal ini terlihat dari perjanjian kedua tokoh tersebut. Bahwa Abd al-Wahab dan keturunan laki-lakinya akan mengendalikan otoritas keagamaan, sedangkan Ibn Sa’ud dan keturunan laki-lakinya akan memegang kekuasaan politik yang nantinya mereka akan menikahi keturunan wanita yang lain agar aliansi ini bisa terus dilestarikan.

Dalam perkembangannya, Abd al-Wahab mengatakan untuk membuat suatu perubahan tidak hanya dengan perkataan saja akan tetapi harus dibarengi dengan perbuatan. Maka dilakukanlah jihad dengan perbuatan bertujuan untuk merealisasikan ajarannya. Aksi kekerasan pertama wahabi ketika itu menghancurkan makam Zaid Ibn al-Khaththâb, sahabat Nabi dan saudara Umar

Ibn Khaththab. Didukung oleh Utsmân Ibn Mu’ammar dan menyiapkan 600 orang pasukan serta pengikut wahabi pada waktu itu demi melancarkan rencana tersebut.

Aksi kekerasan wahabi ini tidak lepas dari ideologi yang ingin menciptarakan negara Islam yang bebas dari TBC.

33 Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Mainstream Keberagamaan Masyarakat Sasak, h. 375 34 Abu Muhammad waskito, Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara”Mencari Titik kesepakatan Antara as’ariyah dan Wahhabiyah, (Jakarta: Pstaka Alkautsar 2012), h. 83 29

Dalam penaklukan Jazirah Arab 1920 lebih dari 400 ribu umat Islam dibunuh diekskusi secara publik atau di amputasi, perlakuan ini tidak lepas dari tindak kekerasan baik dari doktrinal, kultural, maupun sosial. Dengan tindakan kekerasan, sultan Utsmani merasa wajib menghentikan gerakan wahabi dan berusaha menguburnya walapun idasari dengan kepentingan politik, juga pertimbangan agama. Ketika Muhammad Ali Pasya berhasil menangkap para tokoh wahabi mereka diajak berdialog untuk mencari kebenaran tetapi ajakan ini ditolak dan menganggap pahamnya yang paling benar.35

Kemudian pada tahun 1979 Ayatullâh Khomeini melakukan kritik dan penolakan terhadap kerajaan Saudi karena kebiasaan buruk keluarga istana Sa’ud yang tidak sesuai dengan norma ajaran Islam. Ketika itu Ayatullâh melontarkan gagasan penting yakni pembebasan Mekah dan Madinah dari cengkraman wahabi dan menetapkannya dibawah pengelolaan dan pengawasan internasional. Sebagai pemimpin Iran, Khomeini mungkin punya agenda politik tersendiri, tetapi gagasannya sangat penting dan berharga. Pendudukan bersenjata atas masjid al-

Haram oleh Juhayman al-Utaybi dan para pengikutnya pada 1 Muharram 1400 tepatnya 20 november 1979 serta kritik keras dan gagasan Ayatullah Khomeini telah membuat penguasa wahabi-saudi sadar bahwa borok-borok mereka terugkap secara telanjang ke dunia Internasional yang mengakibatkan menurunkan citra mereka sebagai Khadim alHaramain.

Maka sejak 30 tahun yang lalu penguasa wahabi-Saudi telah membelanjakan uang yang mungkin lebih dari USD 90 milyar yang disalurkan

35 Ubaidillah, Global Salafism dan Pengaruhnya di Indonesia, Jurnal ThaqafiyyaT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, h. 39 30

melalui Rabithat al-Alam al-Islami, International Islamic Relief Organization

(IIRO) dan yayasan lain keseluruh dunia untuk membela diri dan memperbaiki citra melaluai wahabisasi global. Di Indonesia IIRO menyalurkan dananya diantaranya melalui DDII, LIPIA, MMI, Kompak, dan lain-lain.36

Sebelum serangan ke World Trade Center (WTC) pemerintah Saudi memang membiayai al-Qaeda. Namun setelah serangan 11 september 2001, terutama setelah al-Qaeda menyerang kerajaan Saudi, pemerintah Saudi berhenti mebiayai gerakan teror tersebut tetapi menggantinya dengan pembiayaan penyebaran ideologi keseluruh dunia (wahabisasi global).37 Pergerakan kaum wahabi yang dimulai oleh Ibn Taymîyah dan di sokong oleh Ibn Qayyim al-

Djauziah (1292-1350), kemudian disebarluaskan oleh Muhammad ibn Abdul

Wahab (1703-1787) di intensipkan oleh Djamaludin al Afgani (1838-1897) dan muridnya Rasyid Ridha (1856-1935), yang menitik beratkan pada reform ajaran agama murni serta mengharmoniskan dalam kehidupan kemasyarakatan dan politik. Di Indian dipopulerkan oleh Sayyid Ahmad Khan, sedangkan di Indonesia dikenal dengan Kaum Padri walaupun akhirnya gerakan ini kandas dan ditumpaskan oleh penjajah meski sudah di hanguskan oleh penjajah namun ide besarnya terus berkembang, mendaging, menjalar ke darah rakyat, menjelma dalam kancah pendidikan dan dakwah Thawalib di Sumatra Barat, al-Irsyad di

Suamatra dan Jawa.38

36 Kishwar Rizvi, Regiliour Icon and National Symbol: The Tomb of Ayatollah Khoimeini in Iran, (Leden: Brill, 2003), h. 209 37 Sayyid Hasan Al-Saqqaf , Mini Ensiklopedi Wahabi,Penerjemah Ahmad Anis (Beirut: Dar Al Imam Ar Rawwas, 2013), h. 11 38 Hanan Qisthina Sindi, Analisis Perilaku Kejahatan Terorisme Osama Bin Laden, Jurnal Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 4, Tahun 2016, h. 94. 31

Di Indonesia, interaksi antara pemikiran Wahabi dengan masyarakat

Indonesia mulai terlihat pada abad 18.39 Ide dakwah Ibn Abdul Wahhab dianggap menginspirasi ulama asal sumatera Barat yang dikenal dengan kaum Paderi yang dipimpin oleh . Namun, fakta sejarah ini menurut Martin

Van Bruinessen kurang kuat dalam mendukung argumen pengaruh Wahabi dalam gerakan Paderi. Bahkan banyak fakta lain yang justru tidak menunjukkan argumen tersebut. Pemikiran Wahabi di Indonesia juga dianggap telah mempengaruhi pemikiran Syaikh Ahmad Syurkati pendiri Madrasah al-Irsyad di awal-awal abad 20.40

Pengaruh pemikiran Wahabi secara masif masuk ke Indonesia melalui peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh

Muhammad Natsir. Melalui dukungan dana dari Arab Saudi, lembaga ini banyak mengirimkan mahasiswa ke Timur Tengah untuk belajar Islam. Melalui dukungan dari Arab Saudi pula, DDII mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan

Arab (LIPIA) tahun 1981 yang kurikulumnya mengikut Universitas al-Imam

Muhammad bin Suud al-Islamiyyah di Riyadh. 41

Dari LIPIA inilah lahir kader-kader dakwah wahabi di Indonesia serta menjadi sarana diseminasi pemikiran Wahabi melalui kitab-kitab yang dicetak

39 , edt.Ilusi Negara Islam: EkspansiGerakan Islam Transnasional di Indonesia.(Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 78 40 ”Perkembangan Dakwah Salafiyah Di Indonesia”, Abdurrahman bin Abdul Karim At- Tamimi, 21 February 2015, dilihat 12 juli 2019, https://almanhaj.or.id/1128-perkembangan- dakwah-salafiyah-di-indonesia.html. Lihat pula Ahmad Syafi’iMufid, edt.Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia.(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, 2011), h. 227-230. 41 Abu Muhammad Waskito, Wajah Salafi Ekstrim di Dunia Interne, (Bandung: AD DIFA press, 2009), h. 59 32

serta dibagikan gratis oleh lembaga ini.42 Melalui LIPIA pula banyak mahasiswa yang setiap tahun dikirim ke Arab Saudi untuk belajar Islam. Beberapa alumni

LIPIA yang saat ini telah menjadi tokoh penting di kalangan wahabi di Indonesia, seperti: Yazid Jawwas di Minhaj as-Sunnah Bogor; Farid Okbah, direktur al-

Irsyad; Ainul Harits, Yayasan Nida''ul Islam Surabaya; Abubakar M. Altway,

Yayasan al-Sofwah, Jakarta; Ja'far PLN Arab Saudi dan Wahabi di Indonesia.

Umar Thalib, pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah; dan Yusuf Utsman Ba’isa direktur Pesantren al-Irsyad, Tengaran.43

Pendirian Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang didanai oleh Arab Saudi merupakan salah satu kesuksesan diplomasi Wahabi-

Islam Saudi melalui jalur pendidikan di Indonesia. 44Para Alumni LIPIA ini, setelah lulus akan kembali dan menyebarkan pemikiran-pemikiran Wahabi di lingkungan masyarakatnya. Pada tahun 2009, jumlah alumni LIPIA telah berjumlah sekitar 8.604 orang dan menyebar di berbagai wilayah di Indonesia dengan profesi yang berbeda-beda, bahkan banyak diantaranya yang menjadi pejabat. 45

Pendirian LIPIA tahun 1980an, menurut Amanda Kovacs, tidak hanya bermotifkan kepentingan dakwah Islam ke Indonesia, namun menjadi sarana Arab

Saudi untuk membendung eskpansi pemikiran Syiah pasca revolusi Iran 1979.

42 Idahram, Sejarah Berdarah Sehte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesanten 2011), h. 43 43 Abdurrahman Wahid, edt.Ilusi Negara Islam: EkspansiGerakan Islam Transnasional di Indonesia, 78. 44 Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan , hal .171 45 Hanan Qisthina Sindi, Analisis Perilaku Kejahatan Terorisme Osama Bin Laden, Jurnal Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 4, Tahun 2016, h. 96

33

Keberadaan Iran dianggap membahayakan legitimasi Saudi sebagai sebuah negara

Islam yang menjadi patron Islam seluruh dunia. Apalagi Iran sering menyerang hubungan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat yang dianggap sebagai pengkhianat terhadap agama Islam sendiri. Institusi LIPIA dibentuk dan didanai oleh Arab Saudi sebagai containment policy, kebijakan pembendungan terhadap efek domino revolusi Iran di Asia Tenggara. Kebijakan pendirian LIPIA ini menurut Kovac sama dengan usaha Arab Saudi mendirikan universitas

Islam Madinah tahun 1961 sebagai usaha untuk membendung kebijakan Jamal

Abdul Nasser yang menjadikan Universitas al-Azhar sebagai representasi dakwah

Islam ke seluruh dunia serta sebagai pusat penyebaran visi sosialisme Arab ala

Abdul Nasser. Selain menjadikan LIPIA sebaga sarana pencetak kader-kader dakwah Wahabi, Saudi juga rutin memberikan beasiswa setiap tahun kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk belajar di Arab Saudi seperti Universitas

Islam Madinah dan Universitas Imam Muhammad ibn Sa’ud di Riyadh.46

Setelah menjadi alumni, mereka pulang dan ikut menyebarkan aliran paham Wahabi di daerah masing-masing baik melalui ceramah di masjid-masjid, membentuk pesantren, mendirikan radio, membuat majalah, tabloid, bahkan membangun siaran TV. Di Indonesia, siaran TV dan Radio Rodja merupakan salah satu saluran televisi yang terkenal dan memiliki jangkauan seluruh

Indonesia. Konten-konten dari ceramah para Ustad wahabi ini berisi ajakan untuk terikat pada ajaran salafussholeh versi pemahaman Wahabi dan meninggalkan praktek-praktek bidah yang sesat seperti perayaan Maulid Nabi, Perayaan Isra`

46 Asep Saifuddin Chalim, Aswaja; Pedoman untuk Pelajar, h. 100 34

Mi`raj, Qunut Shubuh, Tahlilan 3, 7, 14, sampai 40 hari, mengaji di depan jenazah, mengaji di kuburan, membaca Yasin malam jumat, dan seterusnya.

Semua praktek di atas dipandang sesat karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi

Muhammad SAW.47

Salah satu ormas berskala nasional yang mendakwahkan ajaran wahabi di

Indonesia adalah . Lembaga ini didirikan tahun 2002 di

Makassar Sulawesi Selatan sebagai sebuah ormas resmi di Indonesia. Salah satu pendirinya, Ustad Zaitun Rasmin, Lc adalah lulusan universitas Islam Madinah.

Wahdah Islamiah hingga saat ini sangat aktif dalam mendakwahkan Islam Wahabi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur dan juga telah memiliki cabang di hampir seluruh wilayah Indonesia. Ormas ini memiliki sekolah-sekolah dan pesantren. Lembaga pendidikan yang paling penting sebagai wadah kaderisasi dakwah wahabiyyah adalah STIBA, Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab yang diasuh oleh para alumni Universitas Islam Madinah. Zaitun Rasmin sebagai ketua umum DPP Wahdah Islamiyah saat ini telah menjadi salah satu tokoh Islam yang diakui di Indonesia. Beliau menduduki jabatan di Majelis Ulama Indonesia dan sebagai wakil ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda

Indonesia).48

Demikianlah pengaruh besar dari politik luar negeri Arab Saudi di bidang pendidikan bagi penyebaran ajaran Wahabi di Indonesia. Ajaran yang awalnya berada di Arab Saudi ini akhirnya menyebar ke Indonesia melalui pelajar-pelajar yang telah diberikan beasiswa oleh pemerintah Arab Saudi untuk belajar di

47 Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, h. 45 48 Ubaidillah, Global Salafism dan Pengaruhnya di Indonesia, h. 42-43 35

universitas-universitas di Arab Saudi. Para alumni tersebut mendirikan berbagai lembaga dakwah dan pendidikan untuk mereproduksi kader bagi dakwah Wahabi di Indonesia. Bisa dibilang, Indonesia merupakan salah satu tempat tumbuh subur dan berkembangnya aliran Wahabi. Pemerintah Indonesia pun tidak mempersoalkan keberadaan aliran pemikiran ini, bahkan pemerintah memberikan kebebasan kepada pemerintah Arab Saudi untuk menjalin kerjasama pendidikan dengan berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia, baik negeri maupun swasta.49

49 Said Aqil Siradj, Islam Kalap dan Islam Karib, (Jakarta: Daulat Press 2014), h. 86 BAB III

BIOGRAFI SAID ‘AQIL SIRADJ

Pada bab ini peneliti akan memaparkan bagaimana kehidupan Said Aqil

Siradj di masa kecil sampai saat ini. Peneliti juga akan memaparkan karya-karya beserta silsilah Said Aqil Siradj sehingga kita akan dapat mengenalnya lebih jauh lagi. Selain itu, peneliti juga akan memaparkan bagaimana kehidupan dari Kang

Said.

A. Silsilah Said Aqil Siradj

KH. Said Aqil Siroj dilahirkan pada tanggal 3 juli 1953 didesa kempek kecamatan palimanan, 18 km arah barat kota cirebaon jawa baerat.1 Lulus S1 dari

Universitas King Abd al-Aziz arab Saudi, Fakultas Syariah, tahun 1982. Lulus S2 dari Universitas Ummul al-Qura Makkah, Fakultas Ushuluddin, tahun 1987, dan

S3 diperoleh dari Universitas Ummul al-Qura Makkah, Fakultas Ushuluddin, tahun 1994 dengan predikat Cumlaude. Panggilan akrabnya ialah Kang Said, ayahnya bernama KH. Aqil Siradj sedangkan ibunya bernama Nyai H. Afifah binti Harun. Ia adalah putra kedua dari lima bersaudara yaitu Abuya KH.

Ja’far Shadiq Aqil Siradj (Alm), KH. Said Aqil Siradj, KH. Muh. Musthofa Aqil

Siradj, KH. Ahsin Syifa Aqil Siradj (Alm) dan KH. Ni’amillah Aqil Sirad2.

Kelima saudaranya berdomisili di , kecuali kang Said karena tuntutan

1 Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wallamaah Sebuah Kritik Historis,(Jakarta: Pustaka Cendekiamuda, 2008), h. 101 2 Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h. 33

35

36

profesi dan karir mengharuskan pindah ke daerah Jalan Sadar Raya No. 3-A Rt 08

Rw 04 Ciganjur Jakarta Selatan 12630.

Said Aqil Siradj nasabnya tersambung dengan Syekh Syarif Hidayatullah

(Sunan Gunung jati) berasal dari jalur ayahandanya (Kyai Aqiel) yang merujuk pada pesantren Gedongan,dari jalur ibunya dari Pesantren Kempek. Akan tetapi, pendapat yang kuat dan dapat diverifikasi secara jelas berasal dari jalur ayahandanya, yakni Kyai Aqil bin Kyai Siradj bin Kyai Said. Selain itu, Said Aqil

Siradj juga tersambung dengan jalur silsilah keluarga Syekh Ahmad Mutamakkin

Kajen. Hal ini, pernah terdengar ketika bersilaturahmi dengan kyai Sahal

Mahfudh. Kang Said masih memiliki hubungan famili yang akrab dengan Kyai

Sahal Mahfudh.3

Keluarga Said Aqil Juga memeiliki hubungan silsilah dengan Syekh Syarif

Hidayatullah. Hubungan darah yang tersambung dari kakeknya, Kyai harun membuktikan bahwa pesantre-pesantren di Cirebon memiliki hubungan kekeluargaan yang yang kental. Silsilah ini, bukan dimaksudkan sebagai penghormatan diri, atau pencitraan semata. Akan tetapi untuk menjaga silaturahmi antar keluaraga, pesantren dan menjaga amanah perjuangan Islam yang sudah diwariskan oleh Walisongo, terutama Syekh Syarif Hidayatullah.

Runtutan silsilah ini, bermula dari kang said bin Ny. Afifah binti Kyai

Harun bin Ny. Madrawi binti Pangeran Hasanudin bin Sultan Anom Moh.

Kaharuddin I bin Sultan Anom Abu Sholeh Imamuddin bin Sultan Anom

Khaeruddin bin Sultan Anom Alimuddin bin Sultan Anom Raja Mandura Raja

3 Ahmad Mustofa Haroen : Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 37 37

Kadiruddin bin Sultan Anom Muhammad Badruddin bin Panembahan Girilaya bin Pangeran Dipati Anom Cirebon bin Panembahan Ratu bin Pangeran Dipati

Carbon bin Pangeran Pasarean bin Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung

Jati).

Selanjutnya, dari Syekh Syarif Hidayatullah, nasabnya tersambung secara runtut dengan Fatimah Az-Zahra binti Rasulallah SAW. Dengan demikian, silsilah keluarga dan genealogi pengaetahuan pesantren, yang menjadi akar keilmuan Kang Said dapat ditelusuri secara jelas ini menjadi ciri khas pesantren yang mewarisi keilmuan islam secara runtut, bukan secara serampangan mengamalkan keilmuan Islam4.

Sejak kecil ia tinggal di lingkungan pesantren Tarbiyatul Mubtadien atau

Kempek, Paliman, Cirebon. Pada dasarnya sejarah Pesantren Kempek tidak bisa dilepaskan dari pejuangan kakeknya yaitu KH. Harun. KH. Harun ialah seorang ulama yang terkemuka dan mewarisi tradisi intelektual dari Kiyai-Kiyai Cirebon.

Pada tahun 1935, beliau wafat dan perjuangannya untuk mengurus pesantren itu dilanjutkan oleh bapaknya yaitu KH. Aqil Siradj. Karna kecerdasannya pula ia mulai mengembangkan sistem pendidikan madrasah dengan merintis Majlis

Tarbiyatul Mubtadien tahun 1960-an, sampai saat ini pondok pesantren tersebut masih eksis di Cirebon dan semua putra KH.5 Aqil Siradj menjadi pengasuh

4 Ahmad Mustofa Haroen : Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h. 36 5 Said Aqil Siroj, Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara,(Jakarta: LTN NU 2014) h. 273 38

pesantren dengan mempertahankan metode kesalafiannya yang berfokus pada (klasik) khususnya Nahwu Shorof juga konsentrasi Al-Qur'an6.

Kang Said menikah dengan Hj. Nurhayati Abdul Qadir dan dikaruniai empat orang anak yaitu : Muhammad Said Aqil, Aqil Said Aqil, Nisrin Said Aqil dan Rihab Said Aqil. Dalam kehidupannya, kang Said selalu mandiri walaupun terlahir dari keluarga yang mapan dan serba berkecukupan. Baginya, pendidikan ialah penting dan harus diperioritaskan. Hidup dalam keluarga yang bersahaja dan memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan terutama pendidikan agama7.

Said Aqil Siradj mempunyai hobi berwisata beserta keluarganya terutama disaat terhenti sejenak dari aktifitasnya yang super sibuk dan sangat padat karena jabatan beliau sekarang sebagai ketua PBNU yang setiap hari mengharuskan Kang

Said beraktivitas di kantor PBNU Jalan kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat 10430.

Pengalaman organisasi kang Said berawal sebagai aktivis IPNU anak cabang

Palimanan Cirebon, PMII Yogyakarta ketua KMNU (Keluarga Mahasiswa

Nahdlatul Ulama) Makkah, tahun 1983-1987). Wakil katib ‘Am PBNU tahun

1994-1998, Katib ‘Am PBNU tahun 1998-1999, dan Rois Syuriah PBNU tahun

1999-2004. Ketua PBNU periode 2004-2010. Ketua Umum PBNU 2010 hingga sekarang.8

Kang Said juga nampak dipercaya sebagai wakil ketua Tim Gabungan

Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan medio Mei 1998 sekaligus ketua Tim

Investigasi pembantaian Kasus Dukun Santet Banyuwangi, hingga akhirnya

6 Mohammad Dawam Sukardi, NU sejak Lahir (Dari Pesantren Untuk Bangsa; Kado Buat Kyai Said), (Jakarta: SAS Center, 2010). h. 25 7 Mohammad Dawam Sukardi, NU sejak Lahir, h. 67 8 Said Aqil Siroj, Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, h. 274 39

diangkat sebagai salah seorang anggota Komnas HAM. Pada tahun yang sama beliau juga diangkat juga menjadi Wakil Ketua Konseptor Tim Lima Perumus

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART) PKB dan menjadi anggota MPR RI Fraksi Utusan Golongan dari NU. Karir ayah empat anak ini benar-benar dan terhitung super sukses jika dilihat dari masa domisili di tanah air selepas studi yang baru menginjak tahun ke-59.

B. Pendidikan dan Guru-guru

a) Nusantara

Pendidikan kang Said bermulai dari mengaji di pesantren ayahnya dengan metode tradisional khas pesantren salafiyyah, disini ia menemukan kecintaan akan ilmu pengetahuan yang menuntun langkahnya untuk menemukan sumber-sumber pengetahuan dalam Islam yang luas10. Selain itu, ia juga tetap belajar formal di

Sekolah Rakyat sampai tahun 1965 dan melanjutkan studi ke pondok pesantren

Hidayatul Mubtadin Lirboyo Kediri. Disana, ia mulai belajar dari Madrasah

Tsanawiyyah (MTs) hingga menyelesaikan tingkat menengah atas (SLTA) dibawah asuhan KH. Mahrus Ali pada tahun 1965-1970. Di tanah Lirboyo Kang

Said merasakan mondok sebenarnya, ia belajar banyak kitab dari nahwu, sharaf, balaghah hingga fiqh. Kang Said juga mengaji kepada kiyai Muzzajad yang menjadi ustadz di Pesantren Lirboyo. Ia sangat dikenal sebagai yang tekun dalam mencari sumber-sumber keilmuan sebagai pondasi pengetahuan pesantern.

Di Pesantren ini, kang Said merasakan kenikmatan pengetahuan yang kelak

9 KH. Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur 1999). h. 90 10 Ahmad Mustofa Haroen : Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h. 34 40

menjadi modal untuk mengabdikan diri di Nahdlatul Ulama dan bangsa

Indonesia11.

Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Pesantren al-Munawwir

Krapyak Yogyakarta dibawah bimbingan KH. Ali Ma’sum. Di pesantren inilah kang Said mendapatkan gemblengan KH. Ali Ma’sum, kiyai ialah sosok ulama tegas nan beribawa. Beliaupun pernah menjadi Rais’Am PBNU pada tahun 1980- an. Kang Said merasa mendapatkan didikan yang berharga dibawah naungan kiyai, bahkan ia mengembangkan bakatnya dalam bidang seni. Ia juga menjadi salah satu prioner berdirinya jama’ah shalawat di Krapyak. Kemampuan vocal yang baik menjadikan Kang Said cepat dikenal sebagai vokalis shalawat12

Ketika nyantri di Pesantren Krapyak, kang Said bertemu dengan tetangga sedesanya di Cirebon yaitu Nurhayati. Kedekatannya dengan gadis itu membawa keduanya kepelaminan pada tanggal 13 Juli 1977. Setelah mnikah, kang Said melanjutkan studinya ke Mekkah Saudi Arab hingga tahun 1994.13

b) Timur Tengah

Setelah mondok di Pesantren Lirboyo dan Krapyak, Kang Said melanjutkan studinya ke Ummul Qura University, Mekkah, Arab Saudia. Alasannya memilih universitas tersebut karena sistem pendidikan yang bagus untuk pengembangan keilmuan Islam dan setara dengan Universitas al-Azhar, Mesir. Pada tahun 1980, kang Said berhasil lulus strata 1 jurusan Ushuluddin dan kemudian melanjutkan

S-2 jurusan Perbandingan Agama. Lalu meneruskan belajarnya ke jenjang

11 Ahmad Mustofa Haroen : Meneneguhkan Islam Nusantra. h. 49 12 Said Aqil Siroj, Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, (Jakarta: LTN NU 2014), h.. 272 13 Ahmad Mustofa Haroen: Meneguhkan Islam Nusantra, h. 50-54 41

doktoral dengan hasil yang meal dengan hasil yang memuaskan (camlaude). Dan pada saat ini menjadi professor juga direktur pasca sarjana Unisma Malang14.

Selama di Makkah, kang Said didampingi oleh istrinya dan semenjak disana ia juga mendapatkan beasiswa. Beasiswa tersebut hanya mencukupi untuk membiayai kebutuhan kang Said dengan istrinya dan oleh karna itu ia bekerja sampingan untuk mendapatkan tambahan dana. Atas kerja kerasnya ia mampu menyelesaikan tesisnya dengan mengupas isi kitab perjanjian Lama dan surat- surat Sri Paus Paulus. Pada tahun 1994 kang Said juga berhasil menyelesaikan studi S-3 yang disertasinya dengan judul “Shillatullahi bil-kalam fit- tashawwuf al-falsafi” (Relasi Allah dan Alam Perspektif Tasawuf dan Filosofis). Kang Said berhasil mempertahankan disertasinya dengan nilai camlaude. 15

Almarhum Nurcholis Madjid mengisahkan bahwa Said Aqil ialah putra kiai yang cerdas. Dia pernah membuat disertasi mengkritik Imam Ghazali yang sebenarnya bertentangan dengan hatinya tetapi karena kondisi Saudi Arabia yang begitu ketat paham Wahabiyyah, terpaksa ia melakukan hal itu. Ketika di

Mekkah, kang Said juga bersahabat dengan Gus Dur. Gus Dur lebih suka tinggal dikediaman rumahnya. Kang Said juga sering diajak Gus Dur untuk berkunjung ke kediaman ulama terkemuka salah satunya ialah Sayyid Muhammad Alawi al-

Maliki.

Ketika kang Said masih belajar di kampus Ummul Qura, ia sangat tekun memperdalam ilmu-ilmu kontemporer yang menjadi dinamika keilmuan Islam. sekaligus untuk menguatkan dasar keilmuan dan tirats yang telah dikuatkan

14 Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta : Pustaka Ciganjur 1999). h. iv 15 Ahmad Mustofa Haroen: Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 55 42

pondasinya ketika belajar di Pesantren Lirboyo dan Krapyak. Kang Said juga dikenal sebagai pakar sejarah Islam dan tasawuf16.

Sekembalinya ia dari Makkah, Kang Said mulai mengawali di NU bahkan ia dipercaya sebagai wakil Katib ‘Am PBNU dari keputusan Muktamar Cipasung.

Semasa awal sebagai pengurus PBNU, kang Said membuat gebrakan dengan menggulirkan wacana perluya umat Islam Indonesia melakukan rekontruksi pemahaman ahlussunnah wal-jamaah. Setelah menjabat sebagai ketua umum

PBNU sejak 2010, ia telah masuk dalam jajaran tokoh elit muslim dunia. Tahun

2010, menduduki peringkat ke19, 2011, peringkat ke-17 dan tahun 2012 peringkat ke-19. Pengaruhnya ini dinilai tak lepas dari besarnya Nahdlatul Ulama dengan pengikut lebih dari 70 juta dan terus melakukan perluasan jaringan. NU memiliki jaringan dari pusat sampai ke tingkat ranting atau desa serta melakukan perluasan cabang di luar negeri dimana banyak anak NU yang belajar di berbagai universitas atau bekerja di berbagai institusi17.

NU memang dinilai masyarakat memiliki kontribusi yang besar pada bidang pendidikan, kesehatan dan pengurangan kemiskinan. NU juga turut serta dalam gerakan anti korupsi, reformasi sosial yang berakar pada nilai-nilai Islam dan memiliki perhatian besar dalam menjaga harmoni sosial. Kiai Said juga mendirikan Said Aqil Center (SAS), sebuah pusat studi di Mesir yang berfokus pada pengembangan wacana keislaman, khususnya di dunia Arab.

16 Ahmad Mustofa Haroen: Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h. 56-59 17 Ahmad Mustofa Haroen: Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 62 43

C. Kiprah Kang Said dan Kontribusi PBNU

Pengalaman mengaji dengan ayahnya di Pesantren Kempek menjadi akar keilmuan kang Said. Begitupun ketika Kang Said dibimbing oleh Kiai Mahrus

Ali, ia merasakan manisnya mengaji di Lirboyo. Kesuksesan kang Said tak terlepas dari peran ayah dan guru-gurunya. Kang Said sebagai santri yang telah mengalami berbagai tradisi tentu saja pengalamannya sangat berharga ditambah dengan intensitas belajarnya di Mekkah, sebagai pusat peradaban dan pengetahuan umat Islam.

Terlepas dari prosesnya yang panjang, kang Said juga mendapat sentuhan

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bakal intelektual kang Said rupanya telah diendus Gus Dur yang sering mempromosikan kang Said pada awal kiprah sebagai aktifis di negeri ini. Pada awal berada di Indonesia, ketika sudah menyelesaikan pendidikan doktoral di Ummul Qura University, kang Said ditawari Gus Dur untuk menjadi bagian dari pengurus PBNU18.

Pada masa awal khidmatnya sebagai pengurus PBNU, kang Said membuat gebrakan dengan menggulirkan wacana yang kontroversial. Kang Said mengungkapkan bahwa umat Islam Indonesia perlu melakukan rekontruksi pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah. Bagi Kang Said, gagasan ini sangat penting karena umat Islam seolah terkotak-kotak dalam sekat pemahaman yang berbeda. Gagasannya menghasilkan pro-kontra dalam NU dan ranah kultural warga nahdliyyin19. Lebih unik lagi, kritik Ahlussunnah yang dilakukan Said

Aqil dengan pendekatan sejarah Islam ternyata membawa trend tersendiri di

18 Ahmad Mustofa Haroen: Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h. 81 19 Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra,. h. 84 44

kalangan santri. Pada tahun 1990-an kang Said juga berhasil memaksa komunitas pesantren untuk belajar sejarah Islam. Padahal selama berabad-abad, pesantren di

Indonesia didominasi oleh kajian fiqh dan grammer Arab20.

a. Menjadi Ketua Umum PBNU : Menggairahkan Nalar Kritis

Kang Said dikenal sebagai intelektual NU yang kritiknya selalu menuai reaksi keras dari komunitas kiyai pesantren dan akhirnya ia pernah diadili puluhan kiyai dalam forum halaqah (Lokakarya). Pada suatu ketika kang Said juga pernah menerima undangan dari A. Kurdo Irianto Pr. (Romo Paroki Algon) dan pertama kalinya berkhotbah di depan altar Gereja Katolik Aloysius Gonzaga (Algon)

Surabaya. Ia menjadi sorotan publik kembali, setelah berkhotbah di Gereja tersebut. Seperti pada kasus sebelumnya, tidak sedikit para kyai yang memberi stempel kafir padanya. Polemik itu pun akhirnya justru semakin meyakinkan kedalaman dan keluasan ilmu Kang Said. Tidak hanya warga NU atau umat Islam saja yang merasa perlu mengaji padanya, tapi orang-orang non muslim pun sangat membutuhkan petuah-petuahnya untuk menjadi pemeluk agama yang baik dan benar21.

Kang Said dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Sikap dan pandangannya yang moderat, toleran dan akomodatif membuat Said Aqil dikenal oleh hampir semua kalangan dan kelompok. Aktifitasnya pun semakin padat seiring dengan kepercayaan segenap elemen masyarakat kepadanya. Beberapa kelompok masyarakat yang membutuhkan pikirannya, di antaranya: Anggota KOMNAS

HAM Penasehat Angkatan Muda Kristen Republik Indonesia, Pendiri Gerakan

20 Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka Ciganjur 1999). h. 5 21 Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan, h. iii 45

Keadilan dan Persatuan Bangsa (GKPB), Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa

12 Mei, Pendiri Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Dewan Penasehat ICRP,

Anggota MPR RI F-UG (dari NU), Panitia Pembangunan Gereja Jagakarsa

Jakarta Selatan. Dibawah komando Kang Said NU berhasil menggerakan kembali iklim akademik di tubuh organisasi. PBNU merevitalisasi dan membangun kembali universitas-universitas di beberapa kota. Diantaranya mendirikan

Pascasarjana Islam Nusantara, di STAI Nahdlatul Ulama, Jakarta22.

b. Keliling Indonesia, Menyuburkan Gairah Berpikir

Kualitas keilmuan Kang Said dalam khazanah pemikiran Islam menjadikan dirinya sebagai rujukan dalam perkembangan isu kegaamaan di negri ini. Ia sering mengunjungi kota-kota di Indonesia untuk ceramah, diskusi bahkan membuat seminar. Semangat turun ke kota-kota negeri ini didasari oleh obsesi kuatnya untuk membawa masyarakat Islam ke altar kesadaran intelektual23.

Selain ceramah Kang Said juga mengajarkan poengalamannya kepada mahasiswanya. Kang Said juga mengajar di Program Pascasarjana di beberapa perguruan tinggi salah satunya ialah UIN Syarif Hidayatullah. Karya-Karya

Ilmiah kang Said sering menjadi bahan inspirasi bagi anak muda NU dalam menorehkan gagasan-gagasannya. Beberapa buah pikirannya juga sering dijadikan rujukan mereka, tak terkecuali metodologi berpikirnya.

Strateginya yang akrab dengan media sehingga ia dapat mengoptimalkan untuk mengenalkan dan menyosialisasikan pemikirannya. Meski demikian

22 Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h. 67 23 Said Aqil Siradj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat Mutamaddin, (Jakarta : LTNU 2014), cet. 1. h. 22 46

tetaplah semakin lengkap penjabaran gagasannya jika diungkapkan dengan tulisan yang utuh. Bagaimanapun juga, buku adalah sarana ekspresi yang sangat efektif dan menjanjikan kepuasan tersendiri, tegas Kang Said24.

c. Menjadi Majelis Wali Amanah UI

Kiprah Kang Said tidak hanya bergerak dalam bentuk ormas dalam mengomando Nadhlatul Ulama. Majelis Wali Amanah UI merupakan sebuah organ strategis yang mengemban amanah publik dalam memandu atau mendorong kinerja pimpinan UI. Secara skruktural MWA terdiri dari dosen, tenaga kependidikan, masyarakat dan mahasiswa. Tugasnya ialah melakukan pengawasan terhadap kondisi keuangan UI, memberikan masukan kepada rektor atas pengelolaan UI serta pelaksaan peraturan perundang-undangan.

Kang Said terpilih menjadi bagian MAW UI dari unsur perwakilan masyarakat. Ia mengemban tugas sebagai penasehat, masukan dan gagasan- gagasan baru dalam pengembangan UI agar lebih baik dalam perkembangan kedepannya. Dalam hal ini kang Said akan memeberikan pikiran-pikirannya yang strategis untuk pengembangan kampus. Selain itu ia menambahkan tugas akademisi memajukan perkembangan ilmu pengetahuan dan mendorong perubahan sosial belom bisa dituntaskan oleh perguruan tinggi yang ada. Kang

Said juga berharap MWA mampu mendorong lahirnya kaum profesional yang mampu menjadi pemimpin25.

D. Karya-Karya

24 Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 90 25 Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 69 47

a. Rasail al-Rusul fi al-Ahdi al-Jadid wa Atsaruha fi alMasihiyah (Pengaruh

Surat-Surat para rasul dalam Bibel terhadap Perkembangan Agama

Kristen), Tesis dengan nilai memuaskan, (1987)

b. Allah wa Shillatuhu bi al-Kaun fi al-Tasawwuf al-Falsafi (Hubungan

Antara Allah dan Alam Perspektif Tasawwuf Falsafi), Disertasi dengan

nilai Cum Laude di promotori Prof. Dr. Mahmud Khofaji (1994)26

c. Ahlussunah wal Jama’ah, Lintas Sejarah (1997)

d. Islam Kebangsaan, Fiqih Demokratik kaum Santri (1999)

e. Kyai Menggugat, Mengadili Pemikiran Kang Said (1999)

f. Ma’rifatullah, Pandangan Agama-Agama, Tradisi dan Filsafat (2003)

g. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi

bukan Aspirasi (2006)

Semua karya Ilmiah yang dibukukan oleh kang Said merefleksikan pola pikir tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), I’tidal (jalan tengah), dan tasamuh (toleran) dalam Islam. Islam selama ini dilekatkan dengan segenap aksi kekerasan dan anarkisme. Sesuatu yang memperihatinkan bagi kita apabila ada sekelompok umat islam mengangkat simbol-simbol Islam untuk membenarkan aksi kekerasan dan pengerusakan terahadap sarana publik dan tempat ibadah.

Rasulullah Saw sendiri ketika melepas tentara islam yang akan berangkat untuk berperang sudah memperingatkan para sahabat agar memerhatikan etika27.

26 Said Aqil Siroj, Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, h. 273

27 Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, (Jakarta : Mizan 2006) h. 16 BAB IV

KRITIK SAID AQȊL SIRADJ TERHADAP TEOLOGI WAHABIYYAH

DI INDONESIA

Pada bagian sebelumnya, telah diuraikan secara garis besar mengenai silsilah Said Aqil Siradj, mulai dari pendidikannya hingga karya-karyanya. Bagian ini kemudian menganalisi kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabiyyah di

Indonesia yang dari masa ke masa.

Ada tiga dasar tauhid Wahabiyyah yang akan dianalisis dari kritik Said Aqil dalam karyanya, Islam Kalap, Islam Karib. Pada dasarnya tiga pilar tawhîd ini tidak pernah diterangkan oleh Rasulullah atau para sahabat Nabi. Tidak ada secara rinci yang menjelaskan baik teks al-Qur‟an maupun hadist Nabi yang membahas dan membagi tawhîd menjadi tiga yaitu Ulûhîyyah, Rubûbîyah dan Asmâ‟ wa al- shifât. Rukun tawhîd ini hanya tambahan dari kaum Wahabi.1

A. Ushûl al-Tsalȃtsah

Trilogi tawhîd ini merupakan hasil inovasi Ibn Taymîyah dalam membangun dan mensistematikan prinsip dasar dalam teologi Wahhabi. Terutama ulûhiyyah dan rubûbiyah belum ditemukan dalam karya-karya „Abd Allâh Ibn

Ahmad Hambal, Ibn Khuzaimah, „Uthmân Ibn Saîd Al-Dârimî, Ibn Abû Ya‟la Ibn al-Sâghûnî, Ibn al-Jauzî, dan lainnya. Namun konsep trilogi ini telah diterima oleh

1 Ahmad Mousalli, Wahabism, Sallafism and Islam, Who is The Enemy?, (Beirut: Conflict Forum 2009), h. 6

49

50

semua kalangan yang meyebut dirinya Wahhabi setelah Ibnu Taymiyah. 2

Trilogi tawhîd telah menjadi pebeda abadi antara wahabi dan aliran sunni lainnya. Oleh karena memahami doktrin ini adalah aspek terpenting untuk mengerti realita wahhabi saat ini. 3

1. Ulûhîyah dan Rubûbiyah

Menurut Ibn Taymîyah tawhîd ulûhiyah merupakan bentuk pengesaan terhadap Allah SWT dalam bentuk ibadah. Dengan seorang hamba tidak akan melakukan penyembahan kepada selain Allah membersihkan segala sekutu dari-

Nya. Dialah Dzat yang berhak untuk disembah, diagungkan dan dibesarkan nama-

Nya4.setelah itu ada ajaran tentang peran allah sebagai penggerak dan pengatur alam semesta, keyakinan terhadap aspek ini menumbuhkan terhadap keimanan qâda’ dan qadar ibn taimyah menyebut ajaran ini dengan istilah tawhîd rubûbiyah.5

Dalam dua tawhîd yang pertama ini, Ibn Taimiyyah membedakan antara kalimat al-Rabb dan al-Ilâh yang sebenarnya mempunyai kesamaan arti, yaitu

Tuhan. Kedua kalimat yang bersinonim ini mempunyai arti yang sangat beda al-

Rabb bermakna Dialah Dzat yang menciptakan hamba-Nya dan memberikan semua ciptaan-Nya serta mengatur dan menunjukkannya pada jalan-Nya yang lurus (al-Shirâth al-Mustaqîm).6 Sedangkan kalimat al-Ilâh bermakna Dialah Dzat yang berhak untuk dituhankan dan disembah dengan rasa cinta, pasrah,

2 Arrazy Hasyim, Teologi Islam Puritan Genealogi dan Ajaran Salafi, ( Ciputat: Yayasan Wakaf Darus-Sunnah, 2017), h. 214 3 Arrazy Hasyim, Teologi Islam Puritan, h. 215 4 Shalih bin Fauzan, Kitab Tawhîd, (Jakarta: Daruul Haq 2006), h. 14 5 Arrazy Hasyim, Teologi Islam , h. 216 6 Risyanto, “Pemikiran Tawhîd Ibnu Taimiyah Perspektif Hermeneutika Filosofis” Skripsi S2 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016) h. 80 51

penghormatan dan pengagungan, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi golongan Salafi-

Wahabi percaya kepada Allah sebagai satu-satunya yang patut disembah saja itu tidak cukup.7

Menurut Ibnu Taymiyyah Rubûbiyah adalah bentuk pengesaan kepada

Allah SWT. dalam tiga hal yang meliputi penciptaan (al-Khalq), kepemilikan (al-

Mulk), dan pengaturan (al-Tadbîr).8 Dalam hal ini hanya Allah yang menciptakan alam semesta dan semua perlengkapannya serta hanya Dia lah yang memiliki semua isi alam ini. Tidak ada ciptaan sekecil apapun kecuali Dialah yang memilikinya. Lebih dari itu, Allah juga yang mengatur semua keharmonisan, keserasian, dan keselarasan alam semesta ini9.

Pandangan Ibnu Taimiyyah ini lalu diikuti oleh Muhammad bin Abdul

Wahhab, perintis ajaran wahhabi.10 Dalam pembagian tersebut, Ibnu Taimiyyah membatasi makna Rabb atau Rububiyyah terhadap sifat Tuhan sebagai pencipta, pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya. Sedangkan makna Illah atau ulûhiyyah dibatasi pada sifat Tuhan sebagai yang berhak disembah. Tentu saja, ini tidak sesuai dengan dalil al-Qur‟an dan as-Sunnah.11

Ibn taymiyah menjelaskan bahwa tawhîd uluhiyah merupakan tawhîd tertinggi dalam aqidah Islam. Ini disebabkan tawhîd ini merupakan inti dari semua risalah kenabian. Semua teori dan keyakinan terhadap Allah tidak bermanfaat

7 Yunun Yusuf, Alam Pikir islam pemikiran kalam: dari Khawarij ke Buya Hingga Hassan hanafi, (Jakarta: Kharisma putra Utama 2014), h. 24 8 Risyanto, “Pemikiran Tawhîd Ibnu Taimiyah, h. 126 9 Ibn Taimiyah, Kemurnian Aqidah, terj. Halimuddin (Jakarta: Bumi Aksara 1996), h. 23 10 Syaikh Abdurrahman bin Hammad al-Umr, Hakikat Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, (Bekasi: PT Daruul Falah 2010), h. 29 11 Syehk Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren 2011), h. 323

52

tanpa meyakini tawhîd uluhiyah. Oleh karena itu, ibn taymiyah menilai ajaran tawhîd dari kebanyakan filosof, teolog dan sufi seperti al- Suhrawardi al-Maqtul, al-Ghazali, Fakh al-Din al-Razi, dan al-Amidi belum termasuk kepada tawhîd uluhiyah. Ini disebabkan mereka menyempuradukkan antara falsafah dan kalam.

Terutama ahli kalam, Ibn taymiyah menilai bahwa mereka mempunyai masalah dalam banyak aspek. Terkadang teori mereka menumbuhkan kontradiksi dan keraguan. Terkadang mengikuti hawa nafsu di sisi lain. Semua itu disebabkan mereka bertawhîd hanya berdasarkan rasio semata.12

Tawhîd rubûbiyah menurut ibn taymiyah tidak cukup untuk mengesakan

Allah, karena konsep ini belum mampu melepaskan seseorang dari pada penyimpangan tawhîd, yaitu syirik. Namun ia mengakui bahwa ini adalah tawhîd yang wajib diyakini pada tataran dasar. 13

2. Al-Asmâ’ wa al-Sifât

Para ulama sepakat, baik salaf maupun khalaf tentang dua tawhîd yang pertama, walaupun mereka berbeda pada istilah yang dipakainya. Berbeda sekali dengan jenis tawhîd yang ketiga, yang telah dirumuskan oleh Ibnu Taimiyah tentang nama-nama Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Ibnu Taimiyah menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT.14 Nama-nama dan sifat-sifat Allah telah ditetapkan-Nya dalam al-Qur‟an sebagaimana Dia menamai dan mensifati diri-

Nya sendiri dengan tanpa penta‟wilan., penyamaan dengan ciptaan-Nya, dan tanpa harus dihitung dengan bilangan yang sangat terbatas, delapan, sepuluh, dua puluh, atau bahkan menafikannya. Hal tersebut sangat bertentangan dengan

12 Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan ,h. 216 13 Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan ,h. 223 14 Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan h . 220 53

apa yang telah ditetapkan Allah SWT, dengan menafikan atau membatasi nama atau sifat-Nya tersebut berarti mengurangi kebesaran dan kesempurnaanya.

Allah mempunyai sifat yang sangat mulia, semua makhluk Allah di dunia tidak mungkin menyamai sifat-Nya.15 Sebagai bentuk keimanan seseorang kepada sifat Allah, dalam prespektif Ibn Taimiyyah dia harus menjauhi diri dalam bentuk tahrîf (perubahan), ta’tîl (penegasian sifat) dan takyîf (cara dan keadaan) dan tamthîl(Penyerupaan). 16.

Dalam banyak pertemuan bahkan dalam kajian keislaman, Said Aqil selalu memberikan pemahaman bahwa NU didirikan untuk menyikapi ajaran Wahhabi.

Menurutnya, kelompok semacam ini tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam

Ahlussunnah wal Jama‟ah (Aswaja) yang bersumber pada ajaran dan teladan Nabi

Muhammad SAW. Bagi NU, Wahabi itu hanya sampai pada peringkat ahlussunnah (pengikut sunnah) saja, tetapi tidak wal jamaah (pengikut sahabat dan ulama penerusnya).17

Tentu, Kiai Said Aqil Siradj menilai tidak wal Jamaah karena Wahabi dan kelompok eksklusif sejenis mudah memvonis kafir sejumlah kelompok tak sepaham, termasuk para ulama besar, seperti Imam al-Ghazali, Abu Hasan Al-

Asy‟ari, Abdul Qadir al-Jailani, hingga beberapa ulama Al-Azhar.18 Tidak hanya memfvonis kafir, bid‟ah dan syirik tetepi kalangan wahabi juga menanamkan benih kekerasan bisa berangkat dari basis pesantren, bahkan ketua PBNU ini

15 Abdurrahman bin Hassan, Ringkasan Minhajus Sunnah Ibn Taimiyyah, terj. Fuad, (Solo: Pustaka Aryyan 2002), h. 67 16 Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan h . 221 17 Ahmad Musthofa Haroen, Meneguhkan Islam Nusantara, h. 128 18 Said Aqil Siradj, “NU Didirikan untuk Menyikapi Ajaran Wahabi” dinukil dari https://youtube.com, diakses tanggal 12 Agustus 2019. 54

menyebutkan jumlah pesantrean sampai tidak kurang dari 20 pesantren di

Indonesia yang ditengarai sebagai penyebar paham radikalisme. Said Aqil menandaskan untuk mewaspadai berkembangnya teologi wahabi ini.19

Sejak maraknya dakwah Wahhabiyah di Indonesia, banyak sekali buku agama yang menyebutkan bahwa tawhîd dibagi menjadi tiga, yakni: Tawhîd

Rubûbiyah, Tawhîd Uluhiyah dan Tawhîd Asma‟ wa-al-Shifat. Sebelum itu, istilah ini tergolong asing di telinga kaum muslimin, meskipun konsep tawhîd sudah mereka pahami dengan sangat baik dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah

(Asy‟ariyah-Maturidiyah).

Sebagai sebuah klasifikasi ilmiah, sebenarnya tak masalah bila tawhîd dilihat dari dua aspek berbeda, yakni aspek penciptaan dan aspek peribadahan.

Aspek penciptaan ini kemudian melahirkan konsep “Tawhîd Rubûbiyah” yang menjelaskan bahwa Sang Pencipta alam semesta ini hanyalah satu saja, yakni

Allah subhanahu wata„ala. Dari aspek peribadahan kemudian muncul aspek

“Tawhîd Uluhiyah” yang menjelaskan bahwa masyarakat harus menyembah Allah semata tanpa dibarengi dengan sesembahan lainnya.20 Sampai di sini sebenarnya klasifikasi ini biasa saja dan tak ada yang baru sehingga para ulama sebelum Ibn

Taymiyah juga banyak menyinggungnya. Misalnya saja Imam at-Thabari dalam tafsirnya berkata:

كبوت العشة تقش بىحذاوية اهلل غيش أوهب كبوت تششك به في عببدته

19 Sutrisno, konstruksi kelompok-kelompok Radilak; studi pada wilayah hukum jawa tengah, jurnal perguruan tinggi ilmu kepolisisan,Volum 12 nomor 3 (Desember) 2018, h. 19 20 Abdul Wahab Ahmad, “Tawhîd Rubûbiyah dan Uluhiyah adalah Satu Kesatuan” dinukil dari https://islam.nu.or.id, diakses pada tanggal 19 Agusutus 2019. 55

“Orang Arab (jahiliyah) mengakui keesaan Allah tetapi mereka menyekutukan-

Nya dalam hal ibadah.” (Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsîr at-Thabari, I: 128)

Klasifikasi istilah “rubûbiyah” dan “uluhiyah” itu didasarkan pada perbedaan arti kata “rabb” dan “ilah” yang menjadi kata dasar dari keduanya. Sebagaimana diterangkan oleh al-Maqrizi, seorang sejarawan bermazhab Syafi‟i yang hidup di abad kesembilan Hijriah, kata “rabb” berasal dari kata rabba-yarubbu yang berarti yang mencipta, merawat, dan yang bertanggung jawab atas penciptaan, rezeki, kesehatan dan perbaikan. Sedangkan kata “ilah” berarti menjadikan sebagai yang disembah (ma’lûh) sehingga menjadi satu-satunya yang dicintai, ditakuti, diharapkan dan sebagainya (al-Maqrizi, Tajrîd at-Tauhîd, 5).

Meskipun secara bahasa diketahui bahwa makna leksikal antara “rabb” dan “ilah” mempunyai perbedaan, namun dalam tataran penggunaannya tak demikian.

Keduanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sebab dalam logika paling sederhana dapat diketahui bahwa sosok yang mencipta dan merawat alam semesta

(aspek rubûbiyah) adalah satu-satunya sosok yang layak disembah

(aspek rubûbiyah) dan demikian pula mustahil seorang manusia berakal akan melakukan penyembahan (aspek uluhiyah) pada sosok yang sama sekali tak terlibat dalam penciptaan dan perawatan alam semesta (aspek rubûbiyah). Itulah sebabnya para penyembah berhala tidak menyembah segala objek yang mereka lihat atau mereka buat, namun hanya objek tertentu saja yang mereka yakini punya andil dalam sisi rubûbiyah. 56

Musyrikin jahiliyah tahu betul bahwa mereka mendapat manfaat yang banyak dari pohon kurma, satu-satunya pohon yang dapat hidup subur menghasilkan makanan pokok di padang pasir, tetapi tak ada satu pun yang menyembahnya sebab mereka tak meyakini pohon kurma punya sisi ketuhanan.

Sebaliknya, mereka tahu betul kalau patung-patung buatan mereka tak bergerak dan tak bisa melakukan apa pun secara fisik tetapi mereka meyakininya sebagai sosok yang mempunyai aspek rubûbiyah, karena itulah mereka menyembahnya. Andai mereka begitu bodohnya (jahil) menyembah sesuatu yang mereka yakini tak punya kuasa rubûbiyah sama sekali, maka pasti mereka akan lebih menuhankan pohon kurma atau unta daripada berhala buatan tangan mereka sendiri yang secara kasat mata tak bisa apa-apa itu.

Karena makna “rabb” dan “ilah” ini tak terpisahkan dalam praktiknya, maka kedua kata ini biasa diterjemah sama sebagai “Tuhan” dalam bahasa apa pun dan tak dibedakan lagi penggunaanya secara umum. Bahkan dalam Al-Qur‟an pun, penggunaan keduanya juga tak dibedakan. Allah berfirman:

وَلَب يَأْمُشَكُمْ أَن تَّتَخِزُوا۟ ٱلْمَلَٰٓئِكَةَوَٱلىَبِيِهَ أَسْبَببًب ۗ أَيَأْمُشُكُم بِٲلْكُفْشِبَعْذَ إِرْ أَوّتُم مُسْلِمُىنَ

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai rabb-rabb (Tuhan-Tuhan). Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (QS. Ali Imran: 70)

Dalam ayat di atas secara tegas Allah mengisyaratkan bahwa orang-orang musyrik menjadikan para malaikat dan pada nabi sebagai “rabb” di samping 57

Allah. Ini bukti bahwa kata “rabb” juga bermakna sesembahan seperti kata “ilah”.

Penggunaan bentuk plural dari kata “rabb” menjadi “arbâb” dalam ayat itu menjadi bukti lain bahwa asumsi sebagian orang bahwa kaum musyrik bertawhîd dalam level rubûbiyah adalah isapan jempol belaka sebab nyata-nyata mereka mengenal adanya “arbâb” atau Tuhan-Tuhan yang memiliki kuasa rubûbiyah.

Meskipun memang “rabb” dalam keyakinan kaum musyrik bertingkat; ada yang utama (supreme God) dan ada yang biasa (lesser God).21

Dalam ayat lain, Allah lebih tegas lagi berfirman:

تَٲللَهِ إِن كُىَب لَفِى ضَلَٰلٍۢ مُبِيهٍ إِرْ وُسَىِيكُم بِشَةِ ٱلْعَٰلَمِيهَ

"Demi Allah, sungguh kami dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kami mempersamakan kalian (para berhala) dengan Tuhan (Rabb) semesta alam".

(QS. As-Syu‟ara‟: 97-98)

Ayat itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa para berhala yang disembah itu oleh para kaum musyrik jahiliyah disejajarkan dengan “Rabb al-

‘âlamîn” atau Tuhan semesta alam, yang tak lain adalah Allah. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pembedaan istilah “tawhîd rubûbiyah” dan “tawhîd uluhiyah” hanyalah benar dalam tinjauan kebahasaan saja atau sebagai klasifikasi

21 Idrus Ramli, Mazhab As’ari Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi,(Surabaya: Khalista 2009), h. 65

58

yang murni teoritis. Sedangkan dalam praktiknya keduanya sama sekali tak bisa dibedakan.

Dengan demikian, klaim bahwa orang musyrik jahiliyah sebenarnya bertawhîd di level rubûbiyah tetapi musyrik hanya di level uluhiyah adalah klaim yang tidak tepat. Bahkan pembagian seperti ini menjadi sama sekali tak relevan ketika kita sadar bahwa yang dilawan oleh para Nabi bukan hanya kaum musyrik tetapi juga kaum ateis yang sama sekali tak percaya keberadaan Allah.

B. Tawassul

Tawassul berasal dari fi‟il madhi. Wassala, menurut arti etimologi (bahasa- lughoh) mempunyai arti taqarraba ilaihi bisababin, artinya upaya mendekatkan diri kepadanya dengan sesuatu. Menurut Mahmud Yunus tassala mempunyai arti berbuat kebaikan yang mendekatkan dia kepada Allah.22 Dengan demikian tawassul berarti mengambil wasilah atau perantara.

Tawassul dengan mengimani Muhammad SAW dan mengikuti ajarannya merupakan kewajiban setiap orang. Tak ada jalan untuk sampai kepada rahmat dan keselamatanNya kecuaki melalui tawassul dengan mengimani Rasul SAW dan mengikuti ajarannya.beliau itu pemilik tempat terpuji yang diimpikan semua orang. Beliau pemberi syafaat terbesar dan tertinggi kedudukannya di sisi Allah

SWT.23 Firmannya:

“Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan tertinggi di sisi

Allah.” (QS.33;69) 7

22 Mahmud Yunus, Kamus Yunus (Jakarta: PT Hidakarya Agung 1990), h. 499 23 Ibn Taymiyah, Tawassul dan wasilah dalam masyarakat muslim Indonesia,(Bandung: Remaja rosdakarya 2006), h. 2 59

Tawassul ialah salah satu jalan dari berbagai jalan tadzorru‟ kepada Allah.

Sedang wasilah ialah setiap sesuatu yang dijadikan Allah sebagai sebab untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya serta berjihadlah dijalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. al-Maidah: 35)

Tawassul termasuk bagian (furuiyyah) dari ajaran Islam. Nahdlatul Ulama

(NU) mengajarkan tawassul kepada pengikutnya untuk mendekatkan diri kepada

Allah SWT. Namun, tawassul ini sering ditolak oleh kelompok Wahabi, karena— seperti yang disebutkan Said Aqil Siradj—mereka melihat bahwa tawassul dengan ziarah kubur para wali termasuk perbuatan syirik. Sesungguhnya mereka bersikukuh syirik itu adalah perbuatan yang terlarang alias haram.24

Klaim Syirik yang dituduhkan oleh kelompok Wahabi termasuk salah satu dari cerminan Islam garis keras. Karena, Islam yang sesungguhnya adalah sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak menuduh orang lain, sekalipun mereka sesat, dengan tuduhan kasar atau menyesatkan. Islam yang didakwahkan oleh beliau dibingkan dengan keteduhan dan kesejukan, sehingga ajaran-ajaran Islam selalu berkesan di hati umat beliau.

24 Said Aqil Siradj, Islam Kalap, Islam Karib, (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 18 60

Islam yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya tentu tidak seperti islam yang dipahami kelompok garis keras, termasuk kelompok Wahabi. Islam ala Nabi

Muhammad SAW dapat dilihat dari Islam yang diajarkan oleh Wali Songo di

Indonesia. Said Aqil Siradj menyebutkan dalam bukunya Islam Kalap Islam

Karib, bahwa Wali Songo merupakan bagian dari para wali yang menyebarkan

Islam di Indonesia dengan wajah yang meneduhkan dan sikap yang santun. Para wali ini mengajarkan Islam dengan menggunakan nilai-nilai budi pekerti atau akhlak yang berbasis pada nilai-nilai tasawuf. Sehingga dengannya, ajaran Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.25

Islam yang dengan pendekatan nilai-nilai tasawuf ini merupakan Islam yang diserap dari pendekatan batiniah. Tentunya, Islam semacam ini berbeda dengan

Islam yang dipahami oleh Wahabi yang melihat Islam terbatas pada lahiriyah semata. Kelompok Wahabi dengan pendekatan lahiriyah ini cenderung berpihak pada kelompok teroris yang melihat Islam terbatas pada terks secara lahir, tidak melihat maksud di balik teks tersebut. Islam secara lahiriyah cenderung tidak membumi, sehingga nilai-nilai budaya yang berkembang tidak diperhatikan dan lebih sering diabaikan. Cara pandang seperti ini tidak cocok dipraktekkan di

Indonesia yang menganut paham plural. Sebab, di dalamnya terbentang beragam agama, beragam budaya, dan beragam ras. Islam di Indonesia membutuhkan

Islam yang “kontekstual” dan menghargai tradisi. Salah satu tradisi yang membumi di negara ini adalah praktek tawassul yang biasanya dilakukan oleh

25 Siradj, Islam Kalap, Islam…, h. 149 61

masyarakat. Karena, mayoritas masyarakat mempercayai bahwa tawassul adalah salah satu cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Kritik yang di sampaikan Said Aqil tersebut merupakan salah satu cara menjaga persatuan masyarakat Indoensia tanpa saling menyudut satu sama lain.

Ahmad Mustafa Haroen menegaskan, bahwa Said Aqil berusaha menjaga tradisi kultural NU tidak terkikis dengan cara melawan ideologi Wahhabi. Diperlukan berjuang sekuat tenaga untuk meng-counter pendapat mereka. Jangan minder dan merasa kalah. Kalau hanya dihujat Maulid Nabi tidak ada dalilnya atau ziarah kubur tidak ada dalilnya, sudah banyak buku yang ditulis untuk membantahnya.26

Said Aqil—sebagai disebutkan oleh Haroen—juga menambahkan beberapa pernyataan sebagai kritik terhadap kelompok Wahabi, bahwa maulid Nabi itu memuji-muji Nabi Muhammad. Semua sahabat juga memuji Nabi Muhammad, setinggi langit bahkan Nabi Muhammad diam saja tidak melarang tawassul, semua sahabat juga tawassul dengan Rasulullah. Tawassul dengan manusia.

Bukan Allahumma langsung. Tawassul dengan manusia, bukan Allahumma lansung. Tapi saya minta tolong Rasulullah sampai begitu! Litarhamna, rahmatilah kami. Labit bin Rabiah mengatakan, kami datang kepadamu wahai manusia yang paling mulia di atas bumi, agar engkau merahmati kami. Coba, minta rahmat kepada Rasulullah, kalau itu dilarang, kalau itu salah, Rasulullah pasti dilarang. 27

26 Ahmad Musthofa Haroen, Meneguhkan Islam Nusantara, ( Jakarta: Khaira Jalisin Kitabun, 2015), h. 130 27 Ahmad Musthofa Haroen, Meneguhkan Islam Nusantara, h. 131. Baca Pula, Siradj, Islam Kalap, Islam…, h. 18-19 62

C. Konsep Takfȋr dan Tabdȋ’

Doktrin takfir ada dalam semua agama dan aliran aliran keadamaan, tanpa

terkecuali Islam. Meskipun berkaitan, takfir dalam konteks ini sangat berbeda

dengan riddah (kemurtadan). Ini lebih cendrung kepada persoalan teologis,

sedangkan riddah termasuk pada persoalan fiqh.28

Istilah takfir seakar dengan kata kufr. Kata takfir secara etimologis berarti

murtad, keluar dari agamanya, atau mengundurkan diri dari kelompoknya.

Sedangkan, tafsir secara terminologis adalah menolak kebenaran dari Allah yang

disampaikan Rasul-Nya.29 A‟id Ibn al-Dawsari, pengikut Ibn Taymiyah

mengemukakan pemahaman umum tentang takfir. Pertama, takfir merupakan hal

biasa yang ada dalam semua agama, aliran, mazhab dan pemikir. Kedua, takfir

temasuk hukum sar‟i yang tidak dapat dipungkiri ketetapannya. Pengingkaran

terhadap takfir hanya terjadi jika term ini dipahami terlalu luas, berlebihan

melampaui batas, atau mengarah kepada pengkafiran sesame muslim. Kaidah

takfir telah baku di semua aliran teologi Wahabi dalam pandangan A‟id Ibn Said

al-Dawasari adalah yang paling moderat dan teliti. Keempat, sikap tidak

mengkafirkan belum tentu mufakhkharah (membanggakan) dan ijabaiyah

(positif). Ini disebabkan sikap tersebut dapat berimplikasi kepada pendusta

terhadap realita dan menegasikan fakta suatu pemikiran yang bertentangan

dengan dengan prinsip keimanan. kelima, sikap suatu golongan terhadap yang

28 Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan h . 262 29 Asep Saifuddin Chalim, Aswaja Pedoman untuk pelajar,Guru, dan Warga NU, (Jakarta: Erlangga 2017), hal 73 63

berbeda dengannya juga berlainan, maka Wahabi adalah aliran yang paling tepat

sekaligus pengasih terhadap mereka yang bermuamalah.30

Kafir-mengkafirkan seringkali menghantui hidup masyarakat di penjuru dunia, termasuk di dalam negara Islam. Biasanya kafir-mengkafirkan dilakukan oleh kelompok ekstrem, seperti kelompok Wahabi. Mereka gemar mengkafirkan orang dianggap syirik, karena melakukan praktek keagamaan yang menyesatkan, seperti ziarah kubur, tawassul, dan Maulid Nabi. Kafir-mengkafirkan kemudian mendorong mereka berbuat kekerasan di luar akal sehat, seperti pengrusakan kuburan, padahal kuburan itu adalah peristirahatan terakhir yang semestinya diperlakukan dengan bijaksana.

Melihat kenyataan tersebut, Said Aqil Siradj menyebutkan tindakan Wahabi yang membabi buta dan tidak menggunakan akal sehat adalah perbuatan yang

“konyol”. Tindakan ini tentunya tidak manusiawi dan berupaya merangsek kenyamanan beragama. Pemahaman keagamaan yang gemar mengkafirkan dan bertindak ekstrem selalu berhadapan dengan literalisme kaku yang bertumpu pada symbol-simbol formal keagamaan.31 Wahabi melihat Islam hanya terbatas pada symbol semata, tidak melihat substasi yang ada di dalamnya. Padahal, symbol itu hanyalah “kulit” yang seringkali belum menggambarkan isi di dalamnya.

Kafir-mengkafirkan sering dibarengi dengan klaim tab’di’, pembid‟ahan.

Bid‟ah menurut kaum Wahabi adalah praktik-praktik keagamaan yang tidak didasarkan atau tidak ada dasarnya dalam al-Qur‟an dan Sunnah serta otoritas sahabat Nabi. Sehingga konsep bi‟dah versi Wahabi ini biasanya dipasangkan

30 Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan h . 263 31 Siradj, Islam Kalap, Islam…, h. 17/20 64

sebagai lawan negatif dari sunnah. Dengan demikian, menegakkan sunnah melibatkan tindakan meninggalkan bid‟ah. Kaum Wahabi tidak mengakui adanya bid‟ah yang baik (bid‟ah hasanah), melainkan seluruh bid‟ah itu adalah negatif dan didefinisikan secara kronologis: bid‟ah adalah seluruh praktik atau konsep keagamaan yang baru ada setelah abad ketiga Hijriyah.32 Dengan demikian, periode perkembangan konsep atau praktik keagamaan baru yang bisa diterima tidak hanya meliputi dua generasi pertama kaum Muslim, yakni generasi sahabat dan tâbi„în, tetapi juga periode para imam empat mazhab fikih Sunni. Namun, melakukan tindakan taqlîd (mengikuti secara konsisten salah satu dari empat mazhab fikih tersebut) dipandang sebagai bid‟ah selama hal itu melibatkan pemberian otoritas kepada segala sesuatu selain al-Qur‟an dan Sunnah.33

Selain itu, bid‟ah juga dipandang telah mencengkram kaum Muslim dalam berbagai praktik lainnya yang lebih berbahaya. Di antara praktik-prakti keagamaan yang dikategorikan sebagai bid‟ah oleh Wahabi adalah memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw atau yang biasa dikenal dengan‚ Maulid

Nabi. Selain itu, praktik-praktik memperingati kematian sesorang seperti haul atau tahlilan dalam rangka kematian seseorang itu juga termasuk bid‟ah menurut perspektif Wahabi. Konsepsi bid‟ah yang dijadikan sebagai retorika dalam setiap dakwah Wahabi seperti disebutkan di atas itu merupakan konsep yang dihasilkan oleh pemikiran Ibn Al-Wahab.

32 Muhammad Said Ramadan Al- Buthi, salafi sebuah Fase Sejarah Bukan Mazhab,penerjemah Futuhal Arifin(Jakarta: Gemma Insani,2005 ) Cet, I, h. 179 33 Hamid Algar, Wahabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi 2011), h. 50 65

Said Aqil mengkritik sikap pembid‟ahan Wahabi terhadap orang yang melakukan praktek keagamaan yang belum pernah dilakukan oleh Nabi, bahwa pembid‟ahan ini berlawanan dengan Islam yang dipahami oleh Ahlussunnah wal

Jama‟ah atau yang disebut dengan Aswaja. Islam Aswaja selalu mengacu kepada kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Karenanya, Aswaja menghargai tradisi, pluralitas budaya dan martabat manusia sebagai makhluk budaya.34 Berbeda hal,

Wahabi melihat budaya bukanlah bagian dari Islam, sehingga mengawinkan budaya dengan nilai-nilai Islam adalah mengada-ada alias bid‟ah.

Dalam kitabnya, Fadlul Islam Ibn Abd Wal-ahab menulis sebuah sub bab dengan judul‚ Ma ja’a anna al-bid’atu asyaddu min al-kabair (apa saja yang termasuk dalam bid‟ah itu adalah dosa besar).35 Jadi orang yang melakukan tahlil, merayakan maulid, ziarah kubur, serta bertawassul pada para wali itu telah diangap telah melakukan dosa besar. Bahkan salah satu tokoh Wahabi kontemporer, Abdul Aziz bin Baz, menulis dalam kitabnya Syarhu atstsalastatil ushul bahwa barang siapa yang bertaqarrub kepada selain Allah, baik kepada wali,

Nabi dan pohon, maka ia telah musyrik dan kafir.36

Sedangkan menurut beberapa mutakallimun seperti Imam al-Asy‟ari takfiri dalam bukunya Imam al-Asy‟ariy, mengatakan bahwa Islam jauh lebih luas daripada Iman. Tetapi, tidaklah dapat dikatakan bahwa setiap muslim itu mukmin.

Selain itu, Iman meliputi juga perkataan dan perbuatan yang bertambah dan berkurang. Ia juga mengatakan bahwa hati manusia itu bisa berbolak-balik di

34 Siradj, Islam Kalap, Islam…, h. 124 35 Nur Kholik Ridwan, Doktrin Wahabi Jilid , (Yogyakarta: Penerbit Tanah Air 2009), h. 69 36 Nur Kholik Ridwan, h. 70 66

antara dua jari (kekuasaan) Allah, sebagaimana bolak-baliknya langit dan bumi dalam genggaman-Nya. Begitu pulalah yang diriwayatkan dari Rasul Saw.

Pernyataannya ini sama seperti pendapat-pendapat Imam Ahl as-Sunnah lainnya.

Pembagian Tafkiri menurutnya Al-Imam al-Asy‟ariy tidak menyebutkan secara jelas di dalam buku karyanya. Namun jika ditelaah lebih jauh dapat dipahami bahwa seorang Muslim yang berbuat dosa besar dikatakan alFasiq yang dalam istilah Ibn Taimiyah Mu’min Naqish al-Iman. Jika demikian adanya berarti jenis kefasikan dapat dikategorikan ke dalam alkufr al-asgar. Sementara pendapatnya tentang kekafiran adalah jenis Alkufr al-akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agamanya.37.

Kriteria takfir yang tampak dari pembahasan Al-Imam al-Asy‟ariy bahwa seseorang dapat dikafirkan jika seseorang melakukan sesuatu yang haram dengan mengingkari keharamannya. Kriteria selanjutnya adalah tidak ada Syahadah dan mengingkari apa yang dibawa oleh Rasul Saw. mengucapkannya dengan lidah dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang iman. Dengan demikian, untuk menjadi mukmin, cukup dengan pengakuan dalam hati dua kalimah syahadah serta membenarkan apa yang dibawa oleh Rasul.38

Jika takfir dilakukan kepada orang yang terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang, tentunya ada konsekuensi dari pengkafiran tersebut. Menurut Al-

Imam al-Asy‟ariy orang yang benar-benar telah dianggap kafir maka tidak dishalatkan jenazahnya, berbeda dengan yang meninggal dari Ahl al-Qiblah tetap

37 Azhar, Analisis Komparatif Konsep Takfir Antara Salaf Dan khalaf , dalam Jurnal Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan, Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017, h. 129 38 , Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1978), h. 28 67

disalatkan baik yang patuh maupun yang melanggar. Karena ini merupakan konsekuensi tidak adanya pencabutan haknya sebagai orang Islam. Sementara konsekuensi lain yaitu ancaman neraka baginya walaupun menurutnya di akhirat ia tidak dikekalkan di dalamnya sebagaimana yang ditulisnya di dalam kitab

Maqalat al-Islamiyyin.39

Menurut NU Islam Nusantara sebagai perwujudan Islam yang telah ada dan tetap ada sampai hari ini digambarkan sebagai Islam Ahlu al-sunnah wa al- jama‟ah yang memiliki sifat moderat, toleran, dan akomodatif terhadap budaya.

40Ideologi Ahlu al-sunnah wa al-jama‟ah atau yang biasa disebut dengan Aswaja digambarkan sebagai ideologi yang bersifat tawasuth, tawazun, tasamuh dan i’tidal. Manifestasi keberagamaan yang berpijak pada ideologi tersebut memunculkan corak beragama yang lebih fleksibel dan inklusif, sehingga dapat berbaur dengan berbagai perbedaan corak beragama baik dalam Islam maupun diluar Islam, dan akomodatif terhadap budaya termasuk didalamnya dalam menerima tradisi lokal dan paham kebangsaan seperti halnya Pancasila.

Merujuk secara ontologis, identitas Aswaja sebenarnya lebih cocok dikategorikan sebagai manhaj berpikir daripada sebagai mazhab. Hal ini karena aswaja sebagai pemahaman berislam mencakup didalamnya berbagai mazhab, baik mazhab kalam, fqih, ataupun tasawuf. Sehingga tidak cocok dikatakan sebagai mazhab Terkait dengan Aswaja ini, Said Aqil Siroj mengartikan istilah tersebut secara historis sebagai orang-orang yang memiliki metode berfikir

39 Abu Hasan al-Asyariy, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin , Cet. 1 (As- Sa‟adah: Mesir, 1945), vol. II, hlm. 148 40 Fathoni Ahmad, Sekali Lagi tentang KH Said Aqil Siroj, https://www.nu.or.id, diakses pada tanggal 22 Agusutus 2019.

68

keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar- dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran.

Terbentuknya corak tersebut terutama dipengaruhi oleh kondisi sosial- politik yang melingkupi awal mula kemunculannya. Menurut Said Aqil Siroj secara historis munculnya paham Aswaja lebih dipengaruhi faktor politis daripada teologis. Ia menggambarkan kemunculan Aswaja mula-mula diawali oleh kondisi perpecahan umat Islam yang tengah berkecamuk pada masa pemerintahan Daulah

Bani Umayyah. Kemelut tersebut merupakan imbas dari berbagai peristiwa perpecahan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, terutama semenjak peristiwa terbunuhnya khalifah ke-3 yakni Usman bin „Affan yang kemudian memunculkan kericuhan dan perang saudara yang di istilahkan dengan al-fitnah al-kubra.

Adanya penegakan corak Islam yang khas Indonesia bukanlah hal netral begitu saja, tindakan dalam pewacanaan tersebut secara lebih jauh merupakan implikasi sekaligus konsekuensi dari adanya faktor-faktor yang bersifat politis.

Hal ini secara lebih konkrit salah satunya di sebabkan karena adanya corak berislam di Indonesia yang kurang ramah, dan toleran terhadap Islam yang berhaluan moderat seperti yang diwakili oleh ormas NU dan .41

Diantara kedua ormas tersebut, tentunya ormas NU yang lebih terdesak dengan adanya berbagai gerakan tersebut, mengingat fakta bahwa dalam tradisi beragama yang dijalankan ormas NU sendiri yang lebih kentara dalam relasinya dengan praktik bermazhab dan tradisi lokal

41 Said Aqil Siradj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, (Jakarta: LTN NU, 2014), h. 212 69

Sebagaimana yang marak diwacanakan selama ini, gerakan trans-nasional merupakan gerakan yang mengusung pada penerapan Islam secara legal-formal.

Kecenderungan yang bersifat legal formal tersebut menjadikan gerakan ini lebih mengedepankan penerapan aspek normatifitas Islam atas berbagai manifestasi tradisi dan budaya. Gerakan ini marak terutama pasca bergulirnya era reformasi di

Indonesia pada tahun 1998. Ada berbagai jenis dari gerakan Islam ini, namun diantara gerakan tersebut yang cukup dominan ialah gerakan Salafi Wahabi,

Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir Indonesia

Di antara ketiga kelompok tersebut, kelompok Wahabi merupakan yang paling kuat terutama dalam hal pendanaannya. Meski begitu dari ketiganya negara dan aplikasi syari‟ah sebagai hukum positif atau sekaligus mendirikan sistem pemerintahan Khilafah seperti halnya yang dicita-citakan oleh HTI. Dari beberapa kelompok tersebut yang paling masif pergerakanya di Indonesia ialah kelompok Salafi-Wahabi dan Hizbut Tahrir Indoensia. Kedua kelompok tersebut dapat dipetakan dalam tipologinya masing-masing, misalnya kelompok Wahabi yang lebih cenderung menyuarakan pemurnian atau puritanisme Islam dengan slogan kembali pada al-Qur‟an dan as-Sunnah.42 Dengan slogan tersebut kelompok ini mengklaim kelompok-kelompok diluar dirinya terutama para penganut Islam Tradisional dan tarekat sebagai ahlul bid‟ah dan sering pula di cap syirik dan kafir.

42 Memahami Salafi, Wahabi, dan HTI, dinukil dari https://pinterpolitik.com, diakses pada tanggaL 22 agustus 2019 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bardasarkan penjelasan yang penulis paparkan di atas maka pembahasan tentang pandangan Said Aqil tentang teologi Wahabi di Indonesia adalah sebagai berikut:

Pertama, Said Aqil Siradj mengkritik bahwa Wahabi memang kerap kali tampak menonjol karena aktifitasnya yang mencela praktik-praktik keagamaan yang dipandangnya syirik dan bid’ah, seperti tahlil, shalawatan, maulid nabi, dsb.

Hal ini menjadi ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Wahabi memang bukanlah kelompok teroris tetapi mereka menyediakan landasan teologis bagi munculnya aksi-aksi terorisme. Aksi-aksi kekerasan yang kini terjadi tidak bisa terlepas dari pengaruh dan kontribusi ajaran dan doktrin

Wahabi.

Kedua, kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi di Indonesia dapat dikatakan relevan, karena pemikirannya merespons secara langsung teologi

Wahabi yang kerapkali masuk dan berkembang di Indonesia. Maka dari itu, gagasan Said Aqil sedikit banyak memberikan kontribusi terhadap keutuhan

NKRI yang seharusnya tetap dijaga dan diperjuangkan mulai dari dahulu hingga sekarang. Di samping itu, gagasan Said Aqil dapat mencegah pemikiran

73

74

radikalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan sistem negara

Indonesia yang wasathiyyah, moderat.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian, penulis hanya ingin memberikan gambaran kepada para pembaca yang mungkin masih mempertanyakan bagaimana Said Aqil Siradj ketua PBNU menanggapi maraknya wahabis di

Indonesia. Penulis juga menyadari bahwa dalam memahami pemikiran Said Aqil

Siradj mengenai tanggapannya tentang Wahabi di Indonesia masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis.

Sehingga diperlukan kajian-kajian yang lebih mendalam mengenai tema tersebut.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Penelitian mengenai kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi di

Indonesia bukan sesuatu baru dalam khazanah pengetahuan di Indonesia. Oleh karena itu, masih banyak ruang kosong untuk diteliti bagi peneliti berikutnya.

Salah satu ruang kosong yang masih tersedia adalah kritik Said Aqil Siradj terhadap pemikiran radikalisme secara umum, seperti terorisme dan Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullâh bin Baz, „Abd al-Aziz bin. Fatwa-Fatwa Terkini, terj. Musthafa Aini. Jakarta: Darul Haq 2003

Abdurrahman bin Hammad al-Umr, Syaikh. Hakikat Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Bekasi: PT Daruul Falah 2010

Abidin Syihab, Zainal. Wahabi dan Reformasi Islam Internasional. Jakarta: Pustaka Dian, 1986

Abidin, Zaenal. Wahabisme, Transnasionalisme dan Gerakan-Gerakan Radikal Islam di Indonesia, Jurnal Tasâmuh, Vol. 12 No. 2, Juni 2015

Abou El-Fadhl, Khaled. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustafa,. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta 2006

Algar, Hamid. Wahabisme: Sebuah Tinjauan Kritis. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi 2011

Aqil Siradj, Said. “NU Didirikan untuk Menyikapi Ajaran Wahabi” dinukil dari https://youtube.com, diakses tanggal 12 Agustus 2019

Aqil Siradj, Said. Ahlussunnah Wallamaah Sebuah Kritik Historis. Jakarta: Pustaka Cendekiamuda, 2008

Aqil Siradj, Said. Dalam buku Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011

Aqil Siradj, Said. Islam Kalap dan Islam Karib. Jakarta: Daulat Press 2014

Aqil Siradj, Said. Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri. Jakarta: Pustaka Ciganjur 1999

Aqil Siradj, Said. Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara. Jakarta: LTN NU, 2014

Dawam Sukardi, Mohammad. NU sejak Lahir (Dari Pesantren Untuk Bangsa; Kado Buat Kyai Said). Jakarta: SAS Center, 2010

Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Mainstream Keberagamaan Masyarakat Sasak, Jurnal, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember) 2012

Faqih bin Abdul Djabbar Maskumambang, Muhammad. Menolak Wahabi. Depok: Sahifa, 2015

Farih, Amin. “Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, Jurnal, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24, No. 2, November 2016

Fiqih Maskumambang, Muhammad. Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir at-Tilmisani, terj. Abdul Aziz Masyhuri. Depok: Sahifa, 2015

Guntur Romli, Mohammad. Islam Kita, Islam Nusantara: Lima Nilai Dasar Islam Nusantara. Ciputat: Ciputat School, 2016

Hasan Al-Saqqaf, Sayyid. Mini Ensiklopedi Wahabi, Penerjemah Ahmad Anis. Beirut: Dar Al Imam Ar Rawwas, 2013

Hassan, Abdurrahman bin. Ringkasan Minhajus Sunnah Ibn Taimiyyah, terj. Fuad. Solo: Pustaka Arayyan 2002

Hasyim, Arrazy. Teologi Muslim Puritan, Genealogi dan Ajaran Salafi. Ciputat: Yayasan Waqaf Darsun, 2107

Hibatul Wafi, Mahmud. Diskursus Reformasi Arab Saudi: Kontestasi Kerajaan Saudi Dan Wahabi, Jurnal Islamic World and Politics, Vol.2. No.1 January-Juni

Idahram, Syaikh. Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011

Idahram, Syekh. Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren 2011

Kholik Ridwan, Nur. Doktrin Wahabi dan Benih-benih Citra Islam. Yogyakarta: Tanah Air 2009

Mortimer, Edwar. Islam dan Kekuasaan, terj. Enna Hadi dan Rahmani Astuti. Bandung: Mizan 1984

Mousalli, Ahmad. Wahabism, Sallafism and Islam, Who is The Enemy?. Beirut: Conflict Forum 2009

Muhammad Waskito, Abu. Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara”Mencari Titik kesepakatan Antara as’ariyah dan Wahhabiyah. Jakarta: Pstaka Alkautsar 2012

Muhammad Waskito, Abu. Wajah Salafi Ekstrim di Dunia Internet. Bandung: AD DIFA press, 2009

Mustofa Haroen, Ahmad. : Meneneguhkan Islam Nusantra. Jakartta: Khalista 2015

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press, 1978

Qisthina Sindi, Hanan. Analisis Perilaku Kejahatan Terorisme Osama Bin Laden, Jurnal Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 4, Tahun 2016

Rahmatika, Arina. “Analisa Wacana Citra Wahabi dalam Majalah Aula Edisi Februari 2016”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017

Ramli, Idrus.Mazhab As’ari Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi. Surabaya: Khalista 2009

Risyanto, “Pemikiran Tawhîd Ibnu Taimiyah Perspektif Hermeneutika Filosofis” Skripsi S2 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016

Sa‟ad Asy-suwa‟ir, Muhammad bin. Wahabi dan Imprealisme, penerjemah Abu muawiyah Hammad. Jakarta:Gria ilmu, 2010

Said Ramadan Al- Buthi, Muhammad. Salafi sebuah Fase Sejarah Bukan Mazhab, penerjemah Futuhal Arifin. Jakarta: Gemma Insani,2005

Saifuddin Chalim, Asep. Aswaja Pedoman untuk pelajar,Guru, dan Warga NU. Jakarta: Erlangga 2017

Shidqi, Ahmad. Respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Wabisme dan Implikasinya bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam, Jurnal, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, Juni 2013

Sutrisno, Konstruksi Kelompok-kelompok Radikal; studi pada wilayah hukum Jawa Tengah, jurnal perguruan tinggi ilmu kepolisisan,Volume 12 nomor 3 (Desember) 2018

Syafi‟i Ma‟arif, Ahmad. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009

Syafi‟i Mufid, Ahmad. Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia,. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI 2011

Syamsul Huda, Mukhamad. Pengaruh Pemikiran Teologi Muammad bin Abd al- Wahhab terhadap Pemerintahan Dinasti Saudi Arabia Ketiga, Tesis, UIN Sunan Kalijaga, 2014

Taymiyah, Ibn. Tawassul dan wasilah dalam masyarakat muslim Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya 2006

Thâhir al-Qadr, Muhammad. Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam LPPI 2014

Ubaidillah, Global Salafism dan Pengaruhnya di Indonesia, Jurnal ThaqafiyyaT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

Wahab Ahmad, Abdul. “Tawhîd Rubûbiyah dan Uluhiyah adalah Satu Kesatuan” dinukil dari https://islam.nu.or.id, diakses pada tanggal 19 Agusutus 2019

Wahid, Abdurrahman. edt. Ilusi Negara Islam: EkspansiGerakan Islam Transnasional di Indonesia.Jakarta: The Wahid Institute, 2009

Yusuf, Yunun. Alam Pikir islam pemikiran kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hassan hanafi. Jakarta: Kharisma putra Utama 2014

Zaini Dahlan, Ahmad bin. Mutiara Bercahaya dalam Menolak paham Wahabi, penerjemah Aan najib Mustofa. Pasuruan: Garoeda Buana indah pasuruan, 1995