Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perfiilman Dewan Perwakiilan Rakyat Republik Indonesia

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perfiilman Dewan Perwakiilan Rakyat Republik Indonesia NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERFIILMAN DEWAN PERWAKIILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA BASI PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKI\NG Fihn merupakan penemuan teknologi terbesar sepanjang masa, yangr keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari dua ranah yano meiingkupinya secara bersamaan yakn: budaya dan komersial. Sebagai salah satu media rnassa yang berbentuk audio visual, film merupakan media yang sifatnya sangat kompleks. Film menjadi sebuah karya seni/estetika sekaligus sebagai alat informasi yang dapat rnanjadi alat penghibur, a/at propaganda bahkan terkadanq digunakan sebagai alat politik. Oleh I<arena itu kehadiran film sebagai salah satu media rnassa - bisa dilihat dari beberapa perspektif seperti ekonomi, politik, dan budaya. Dilihat dari pcrspektit ekonomi, media massa memberi kontribusi yang signifikan secara mantap. Hal itu dapat diperhatikan dari pertumbuhan, keberagaman, dan kekuatan industri media dalarn pasar. Sementara dari perspektif politik, media massa secara bertahap menunjukkan dirinya sebaqai elemen penting dalam proses demokratisasi politik dengan menyediakan wahana perdebatan politik serta distribusi informasi mengenai aktivitas politik. Selain itu media massa juga menjadi saluran untuk pelatihan kekuasaan yang menjadikan politikus dan agen pemerintah bisa menqktairn bahwa media merupakan kebenaran sebenarnya. Sedangkan dilihat dari perspektit budaya, media massa menjadi sumber utama untuk rnenyaiikan gambaran tentang realitas sosial dan identitas bersama serta menyajikan lingkungan budaya bersama. Film sebagai produk ksbudayaan diposisikan sebagai faktor yang marnpu menggali serta rnencerrninkan kekayaan dan keberagaman budaya (multiculturalism) sedernikian rupa dalam tampilannya. Posisi film yang demikan kemudian akan menjadi medium budaya yang efektif bagi bangsa dalam rnemaknat wawasan kebangsaan (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (character building). Potensi film yang semacam ini sehungguhnya akan dapat mengoptimalkan film sebagai sesuatu yang memiliki nilai penting dan strategis untuk membangun dan memperkuat karakter bangsa. Film sebagai sarana politik dapat diposisikan untuk menunjang pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini sebetulnya sudah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda hingga awal kemerdekaan. Pada saat itu film diatur dengan Film Ordonnantie 1940, yang dapat dibayangkan balhwa orientasi film waktu itu tentu sala tidak akan bertentangan dengan kepentingan politlk kolonial, Kondlsl ini berlangsung hingga pertengahan tahun 1949 saat sejarah perfilman di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sosok H. Usmar Ismail, tepatnya pada tanggal 30 Maret 1950, yang melakukan syuting pertamanya untuk film pertamanya yang berjudul "Darah dan Doa." Secara sosiologis film ini selain bermakna tampilan hiburan, juga. berperan sebagai sarana penyebarluasan pengetahuan dan memacu semangat perjuangan. Maka melalui tangannya lahir beberapa judul film yang menanamkan tekad dan sikap patriotik di samping perlawanan atas penguasaan film-film asing di Indonesia. Untuk itu Pemerintah mulai membuat kebijakan dengan dasar pemikiran perlu adanya periindungan bagi film Indonesia terhadap film impor. Sebagai penghormatan atas [asa-jasanya, H.Usmar Ismail diakui sebagai Bapak Pertilman Indonesia dan pemerintah kemudian menetapkan tanggal 30 Maret sebagai H1ari Film Nasional. Film sebagai sarana pendidikan dan penerangan diposisikan sebagai media untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Pada tahun 1960 perfilman diatur melalui ketetapan MPRS NO.II/MPRS/1960 Lampiran A angka 1: Bidang Mental Agama/Kerohanian/Penelitian sub 16 yang menyatakan 'Film bukan semata-rnata barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan peneranqan" dan pada sub 20 B "Seqala alat komunikasi (mass communication) seperti pers, radio, film dan lain sebagainya harus dapat digerakan sebagai one coordinated unit'. 2 Ketetapan MPRS No. 1/ in; menjadi pandas; awal perjuangan untuk menempatkan film nasional secara lebih proporsional dan sekaligus memberi proteksi untuk pengembangannya. Empat tahun kemudian, substansi dari Ketetapan tersebut dituangkan dalam Penetapan Presiden NO.1 Tahun 1964 tentang, Pembinaan Perfilman, yang selanjutnya menjadi Undang-Undang NO.1/Pnps/64. Namun demikian upaya ini ternyata belum berhasil mengadakan perubahan atas nasib film Indonesia. Dua keputusan politik ini ternyata belum dapat sepenuhnya menghapus pengaruh kekuasaan kolonia.! sebagaimana diatur dalam Film Ordonnantie 1940 yang tidak berpihak pada perfilman nasional. Harapan dan keinginan memosisikan film Indonesia dalam rumpun kebudayaan telah lama diperjuangkan masyarakat perfilman Indonesia. Hal ini jelas tertuang dalam "Pola Dasar Pengembangan dan Pembinaan Perfilman Nasional" tahun 1980 yang mengakui bahwa penggunaannya, adalah pertama film sebagai hiburan, kemudian film menjadi produk daya cipta manusia yang berhubungan dengan Iingkungan dan tata nilai hidup. Dengan demikian film merupakan produk kebudayaan yang dapat dijadikan pedoman bagi para pendukungnya dalam tindakan sehari-hari. Dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia, jelas bahwa film Indonesia hendaknya memiliki idiom tersendiri yang lahir dari suatu kenyataan kehidupan dan perjuangan masyarakat baik berupa jmpian, harapan, kegetiran, dan/atau keberhasilan. Dari kenyataan di atas jelas bahwa masyarakat perfilman Indonesia sangat mengharapkan adanya dukungan untuk memosisikan film tidak hanya sebatas hiburan. Sebuah film tercipta melalui sebuah proses keahlian dalam mewujudkan cita rasa seni yang didukung dengan kemampuan penguasaan teknologi. Pada bagian lain film Indonesia juga memiliki peranan penting dalam memperluas lapangan kerja dan pemerataan kesempatan berusaha. Film Indonesia jelas memiliki nilai ekonomis sehingga ke depan harus juga dikembangkan ke arah industri sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat dan sekaligus upaya pengembangan perfilman Indonesia sendiri. 3 Pemikiran untuk mengganti peraturan perfilman dengan peraturan yang lebih demokratis mulai muncul pada pertemuan Musyawarah Masyarakat Perfilman Indonesia (MMPI) dii Ujung Pandang bertepatan dengan penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1978. Pada pertemuan ini berhasil diwujudkan draft Rancangan Undang-Undang Perfilman yang dlslapkan oleh Profesor A. Moeis dan selanjutnya dibahas serta disepakati pada pertemuan MMPI di Palembang tahun 1979. Sepanjang dasawarsa 1980-an perjuangan insan perfilman Indonesia untuk memiliki UU Perfilman terus bergema pada setiap diskusi,seminar, dan berbagai pertemuan perlfilman. Penantian dan perjuangan panjang Masyarakat Perfilman Indonesia tidak sia-sla, meski baru pada tahun 1992 peraturan perfilman terwujud yang ditandai dengan disahkannya UU NO.8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Perkembangan sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologi selama sepuluh tahun terakhir membawa perubahan besar pada dunia perfilman nasional. Bahkan dalam empat tahun terakhir ini perfilman Indonesia mulai menunjukkan kecenderungan bangkit kembali di tengah situasi usaha perfilman yang telah berubah. Pengaruh teknologi terhadap perfilman sangat besar. Hal ini tidak menqherankan, karena film sebagai karya budaya sarat bersentuhan denqan teknoloqi, Kernajuan teknologi dan dinamika rnasyarakat menjadi dua hal yang menarik karena sifat kohesifnya yang kuat. Kemajuan teknologi memungkinkan para pembuat film untuk memroduksi film secara digital dengan mutu yang baik. Penggunaan alat-alat digital dalam memroduksi film memungkinkan para pembuat film untuk menekan biaya produksl, sehingga biaya produksi relatif lebih terjangkau dan memungkinkan ditampungnya kreativitas para sineas baru. Pada sisi lain, rnakin menguat pula kedaulatan penonton untuk memilih cara menonton dlikaitkan dengan perkembangan teknologi yang cepat. Penonton tidak lagi hanya dapat menonton film di bioskop melainkan juga di rumah balk melalui televisi atau VCD/DVD player. Kemudahan menonton seperti disebutkan di atas didukung 011311 semakin rnerebaknya penjualan film bajakan yang narqanya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan rnembeli tlket bioskop. Berdasarkan data carl Gabungan 4 Pengusaha Bloskop Indonesia, jumlah bioskop yang tayang pada tahun 1978 ada 1.229 bioskop dan saat ini jurnlah tersebut menurun drastis menjadi 146 bioskop, 90 bioskop diantaranya adalah bioskop jaringan. Perubahan yang terjadi dalam dunia perfilman nasional seperti dlqarnbarkan di atas tentu saja dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam perfilman, adanya alternatif atau pilihan untuk menonton baik jenis maupun tempat, dan sensor film. Meningkatnya ketertarikan dan keterlibatan masyarakat dalam perfilman terlihat pada maraknya kompetisi-kompetisi film independen, berkembangnya komunitas film, dan meningkatnya ketertarikan generasi muda dalam memroduksi film. Perkembangan film nasional dan kreativitas para pembuat film akan mendorong peningkatan produktifitas film. Dengan produksi film yang meningkat, seharusnya fungsi penyensoran film diperkuat. Namun, akhir­ akhir ini terdapat perdebatan tentang perlu atau tidaknya sensor film dalam era globalisasi saat ini. Sebagain masyarakat menyatakan sensor film diperlukan karena masyarakat perlu diselamatkan dari pengaruh negatif film; sedangkan sebagian masyarakat lain, terutama para sineas muda menegaskan sensor film tidak diperlukan karena tidak memberikan apresiasi pada karya seni dan budaya serta mengingkari hak masyarakat dalam menyebarkan dan menerima informasi dari film sebagai media komunikasi.
Recommended publications
  • Kajian Naratif Atas Tema Nasionalisme Dalam Film-Film Usmar Ismail Era 1950-An
    KAJIAN NARATIF ATAS TEMA NASIONALISME DALAM FILM-FILM USMAR ISMAIL ERA 1950-AN TESIS PENGKAJIAN SENI untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat magister dalam bidang Seni, Minat Utama Videografi Sazkia Noor Anggraini 1320789412 PROGRAM PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA 2017 UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa tesis yang saya tulis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi manapun. Tesis ini merupakan hasil pengkajian/penelitian yang didukung berbagai referensi dan sepengetahuan saya belum pernah ditulis dan dipublikasikan kecuali yang secara tertulis diacu dan disebutkan dalam kepustakaan. Saya bertanggungjawab atas keaslian tesis ini dan saya bersedia menerima sanksi apabila di kemudian hari ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini. Yogyakarta, 10 Agustus 2017 Yang membuat pernyataan, Sazkia Noor Anggraini NIM. 1320789412 iii UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA KAJIAN NARATIF ATAS TEMA NASIONALISME DALAM FILM-FILM USMAR ISMAIL ERA 1950-AN Pertanggungjawaban Tertulis Program Penciptaan dan Pengkajian Seni Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2017 Oleh Sazkia Noor Anggraini ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari klaim bahwa film-film sebelum Darah dan Doa (1950) tidak didasari oleh sebuah kesadaran nasional dan oleh karenanya tidak bisa disebut sebagai film Indonesia. Klaim ini perlu dipertanyakan karena punya tendensi akan pengertian sempit etno nasionalis yang keluar dari elite budaya Indonesia. Penelitian ini mencoba membangun argumen secara kritis dengan memeriksa kembali proyeksi tema nasionalisme dalam naratif film-film Usmar Ismail pada era 1950-an. Gagasan nasionalisme kebangsaan oleh Benedict Anderson digunakan sebagai konsep kerja utama dalam membedah naratif pada film Darah dan Doa, Lewat Djam Malam (1954), dan Tamu Agung (1955).
    [Show full text]
  • Film Sebagai Gejala Komunikasi Massa
    BUKU AJAR FILM SEBAGAI GEJALA KOMUNIKASI MASSA Dr REDI PANUJU, M.Si PRAKATA Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat Rahmat dan Hidayahnya akhirnya Buku Ajar ini dapat diterbitkan secara nasional oleh penerbit ber-ISBN. Bermula dari hibah penelitian yang peneliti terima dari Kementerian Ristekdikti melalui format Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) tahun 2018-2019 dengan judul PERJALANAN SINEMA INDONESIA, dihasilkan banyak data yang menunjukkan bahwa film bukan hanya sebagai karya seni yang keberadaannya sebagai tontonan dan hiburan, namun ternyata film sarat dengan gejala persoalan persoalan struktural. Dalam film, selain aspek sinematografi yang bersifat teknis, yang amat menarik adalah dari aspek pesan yang disampaikan. Film adalah gejala komunikasi massa. Posisinya sebagai media komunikasi massa yang memiliki tujuan penting, yakni menyampaikan sesuatu. Itulah yang disebut pesan (message). Pesan disampaikan melalui rangkaian scine yang membentuk cerita (story), bisa juga melalui dialog dialog antar tokoh dalam film, latar belakang dari cerita (setting) dan bahkan melalui karakter tokoh tokoh yang ada. Melalui pesan itulah penonton mendapat pesan tentang segala sesuatu. Menurut beberapa teori komunikasi massa, justru pada tataran pesan itu efek terhadap penonton bekerja. Karena itu, dalam sejarah sinema Indonesia sering Negara masuk (mengatur) sampai ke pesan film. Misalnya, pada periode Penjajahan Jepang, film dipakai sebagai alat propaganda. Pada masa itu, film dibuat dengan tujuan untuk mempengaruhi penduduk Indonesia mendukung imperialisme Nipon dengan semboyan Persaudaraan Asia. Demikian juga pada masa pasca Proklamasi yang dikenal sebagai sebagai masa Orde Lama (1945-1966), regim Orde Baru menganggap bahwa revolusi Indonesia tidak pernah selesai, karena itu semua hal termasuk kesenian harus diposisikan sebagai alat revolusi.
    [Show full text]
  • Identity, Minority, and the Idea of a Nation: a Closer Look at Frieda (1951) by Dr
    Vol. 1 Journal of Korean and Asian Arts SPRING 2020 Identity, Minority, and the Idea of a Nation: a Closer Look at Frieda (1951) by Dr. Huyung Umi Lestari / Universitas Multimedia Nusantara 【Abstract】 The discourse on film nasional (national film) in Indonesia always started by bringing up Darah dan Doa (1950, Blood and Prayer) as the foundation of the Indonesian film industry. The prominent film historian, Misbach Yusa Biran, stated that Darah dan Doa was produced with national consciousness value. The legacy of Darah dan Doa was not only neglecting the role of filmmakers from pre-Independence in Indonesia but also the role of other filmmakers during the 1950s, including Dr. Huyung. Previously, Dr. Huyung (Hinatsu Eitaro /Hŏ Yŏng) came from Korea and became a supporter of Imperial Japan during World War II. After Indonesia gained her independence, Huyung joined Berita Film Indonesia and became a film teacher at the Cine Drama Institute and Kino Drama Atelier. It was there that they then went on to make Frieda (1951), Bunga Rumah Makan (1951, The Flower of the Restaurant), Kenangan Masa (1951, Memories of the Past), and Gadis Olahraga (1951, the Sportswoman). This article discusses 'unity in diversity', a concept in filmmaking that was started by Huyung in 1949. When discussing Darah and Doa as the first film nasional, people forget that the film is driven from the military perspective. Meanwhile, Huyung tried to represent an ethnic minority in Frieda and showing that the ordinary people and the intellectuals also shaped the nation. Based on his experience in the Japanese army and Berita Film Indonesia, Huyung understood that film was very useful in achieving the goals of the state apparatus, due to the cinema's ability to spread nationalism.
    [Show full text]
  • SENSOR FILM DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Dalam Perspektif Sejarah (1945 – 2009)
    365 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro) SENSOR FILM DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH (1945 – 2009) Oleh Heru Erwantoro Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung Email: [email protected] Naskah diterima: 28 Februari 2011 Naskah disetujui: 29 April 2011 Abstrak Banyak persoalan di dunia perfilman Indonesia, antara lain masalah penyensoran, khususnya periode 1945 – 2009. Penelitian masalah tersebut dengan menggunakan metode sejarah menunjukkan, bahwa penyensoran film yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia didasarkan atas kepentingan politik dan kekuasaan pemerintah. Dalam praktik penyensoran, film masih dilihat sebagai sesuatu yang dapat mengganggu dan merugikan masyarakat dan negara. Film belum dilihat sebagai karya seni budaya, akibatnya, dunia perfilman nasional tidak pernah mengalami kemajuan. Hal itu berarti penyensoran film yang dilakukan pada periode tersebut, pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan masa kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda, sensor merupakan manifestasi kehendak pemerintah untuk menjaga kredibilitas pemerintah dan masyarakat Eropa di mata masyarakat pribumi. Begitu juga sensor pada periode 1945 – 2009, sensor pun lagi-lagi menjadi ajang perwujudan politik pemerintah, tanpa mau memahami film dari persfektif para sineas. Kondisi itu masih ditambah lagi dengan mudahnya pelarangan-pelarangan penayangan film yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Bagi para sineas, sensor fim hanya menjadi mimpi buruk yang menakutkan. Kata kunci: perfilman, sensor film. Abstract There are many issues in Indonesia’s movie industry. One of them is censorship, especially in the period of 1945-2009. This researh, supported by method in history, shows that censorship done by the government was based on political and governmental interests. The government thought that films could harm the society and the state as well.
    [Show full text]
  • Abiyoga, Budiyati 140, 185 Aceh 55, 108-9, 159, 199 Achnas, Nan 53
    Index Abiyoga, Budiyati 140, 185 Badan Sensor Film (BSF) 30, 139- Aceh 55, 108-9, 159, 199 40, 168, 188 Achnas, Nan 53 Bang bang you’re dead 177 Acup, Nya Abbas 87 Bangkok International Film Ada apa dengan Cinta 172, 179 Festival 15 Adjidarma, Seno Gumira 68, 185, Banyuwangi 27, 58 190 Batam 58, 70 Africa 15 Batu 18, 56 Aku ingin menciummu sekali saja 171 Baudrillard, Jean 128, 202 Ali, Muhamad 160, 183 Baywatch 172 Aliansi Anti Komunis (AAK) 200 Berau 58 Aliansi Masyarakat Aniti Porno- Berbagi suami (Love for share) 177 Aksi (AMAP) 164, 172 Berlinale 16 Allah Maha Besar 173 Beth 20, 59-78 Amidhan 187-8 Bilbina, Arzeti 150 Amini, Aisyah 142 Biran, Misbach Yusa 93 Anak Baru Gedhe 161 Bisiri, Ahmad Mustofa 167-8 Anderson, Benedict 7, 11, 21, 65, 135 Bonex 26, 29 Angkatan Bersenjata Republik Brazil 15, 75-6, 105 Indonesia (ABRI) 93 Buchory, Jeffry al- 174 Angriawan, Ferry 140 Bukan sekadar kenangan (BSK) 124 Anteve 142, 150-1 Bulan tertusuk ilalang 46 Arisan 172 Burma 105 Asshiddiqie, Jimly 185 Buruan cium gue! 157, 161-7, 172- Astaghfirullah 174 84, 194-8 Australia 45, 113, 120, 200 Azab Ilahi 174 Cairo 120 Azis, Abuh 193 celebrity kyai 132, 157-84, 198 Cemeng 2005 46 Badan Pertimbangan Perfilman Cianjur 159 Nasional (BP2N) 176, 178, 185 Cilacap 58 © Katinka van Heeren, 2012 | DOI 10.1163/9789004253476_013 This is an open access title distributed under the terms of the Creative Commons Attribution-Noncommercial-NonDerivative 3.0 Unported (CC-BY-NC-ND 3.0) License. Katinka van Heeren - 9789004253476 Downloaded from Brill.com09/27/2021 06:34:56PM
    [Show full text]
  • MASA-MASA SURAM DUNIA PERFILMAN INDONESIA (Studi Periode 1957-1968 Dan 1992-2000)
    MASA-MASA SURAM DUNIA PERFILMAN INDONESIA (Studi Periode 1957-1968 dan 1992-2000) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta Minat Utama: Riset dan Pengembangan Teori Komunikasi Oleh: EKA NADA SHOFA ALKHAJAR S220907002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 MASA-MASA SURAM PERFILMAN INDONESIA (Analisis Sosio-Historis Industri Film Periode 1957-1968 dan 1992-2000) TESIS Disusun Oleh: EKA NADA SHOFA ALKHAJAR S220907002 Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji: Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua : DR. Widodo Muktiyo, SE, MCom …………….. …………... NIP. 196402271988031002 Sekretaris : Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D ……………... …………... NIP. 197102171998021001 Anggota Penguji: 1. Prof. Drs. Pawito, Ph.D ……………… …………… NIP. 195408051985031002 2. Drs. Subagyo, SU ……………… …………… NIP. 195209171980031001 Mengetahui, Ketua Program Studi : DR. Widodo Muktiyo, SE, MCom ……………………… Ilmu Komunikasi NIP. 196402271988031002 Direktur Program : Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D ……………………… Pascasarjana NIP. 195708201985031004 MASA-MASA SURAM PERFILMAN INDONESIA (Analisis Sosio-Historis Industri Film Periode 1957-1968 dan 1992-2000) TESIS Disusun Oleh: EKA NADA SHOFA ALKHAJAR S220907002 Telah disetujui oleh Tim Pembimbing: Dewan Pembimbing: Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing I : Prof. Drs. Pawito, Ph.D ……………… …………… NIP. 195408051985031002 Pembimbing II: Drs. Subagyo, SU ……………… …………… NIP. 195209171980031001 Mengetahui, Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Komunikasi DR. Widodo Muktiyo, SE, MCom NIP. 196402271988031002 KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ”Masa-Masa Suram Dunia Perfilman Indonesia” ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Studi Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sungguh kesempurnaan hanyalah milik-Nya.
    [Show full text]
  • Post Truth" Festival Film Dokumenter Curratorial Notes | Published on Ffd.Or.Id | Estimated Readers : 3500
    Post Truth" Festival Film Dokumenter Curratorial Notes | Published on ffd.or.id | Estimated readers : 3500 Long before the masses turned toward the convenience of likes and share, only a few held the power to information and its distribution to public. A small example, during the World War II, radio was a very important tool to spread the news of the ongoing battle of the Allies against Axis. Such importance it held, the news of the Nagasaki bombing received by the movement in our country was a momentum needed for the proclamation of freedom. A proof that media had been, and probably will always be, a driving power behind people’s movement. Not to include the writings of intellectuals who spread their progressive ideas through media. A social critic once argued that democracy gave birth to propaganda-based media, owned by giant corporates. Which means media is not necessarily innocent. Mainstream media such as television, radio, and newspaper are agents of dominant ideology, yet audiences are no longer passive. Audiences push, negotiate, even blatantly refuse the domination of mainstream media through small narrations, campaigns, and their own independent media. Media is never neutral: framing, stereotyping, how the West illustrate the East in its bias perspective. The change of landscape of the media was predicted by Marshall McLuhan in his popular jargon “medium is the message”. It’s no longer just about the contents, but also medium, how technology change the way people consume media. McLuhan’s prediction brought shift to the media from belonging to a powerful few, to a public’s property.
    [Show full text]
  • Bab 2 Sekilas Perkembangan Perfilman Di Indonesia 2.1
    BAB 2 SEKILAS PERKEMBANGAN PERFILMAN DI INDONESIA 2.1 Awal Perkenalan Awalnya masyarakat Hindia Belanda pada tahun 1900 mengenal film yang sekarang kita kenal dengan sebutan gambar idoep. Istilah gambar idoep mulai dikenal saat surat kabar Bintang Betawi memuat iklan tentang pertunjukan itu. Iklan dari De Nederlandsche Bioscope Maatschappij di surat kabar Bintang Betawi menyatakan: “...bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi lihat tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep dari banyak hal..”22 Selanjutnya pada tanggal 4 Desember surat kabar itu kembali mengeluarkan iklan yang berbunyi: “...besok hari rabo 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA di dalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (MANEGE) moelain poekoel TOEDJOE malem..”23 22 Bintang Betawi. Jum’at, 30 November 1900. Universitas Indonesia Kebijakan pemeerintah..., Wisnu Agung Prayogo, FIB UI, 2009 Film yang dipertontonkan saat itu merupakan film dokumenter yang menceritakan tentang perkembangan terakhir pembangunan di Belanda dan Afrika Selatan. Film ini juga menampilkan profil keluarga kerajaan Belanda. Tahun 1910 sendiri tercatat sebagai tahun kegiatan pembuatan film yang lebih bersifat pendokumentasian tentang Hindia Belanda agar ada pengenalan yang lebih “akrab“ antara negeri induk (Belanda) dengan daerah jajahan.24 Industri pembuatan film di wilayah Hindia Belanda sendiri baru dimulai sejak tahun 1926 ketika sebuah film berjudul Loetoeng Kasaroeng dibuat oleh L.Hoeveldorp dari NV Java Film Company pimpinan G. Krugers dan F. Carli.25 Java Film Company kemudian
    [Show full text]
  • The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo's
    Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema Umi Lestari Southeast of Now: Directions in Contemporary and Modern Art in Asia, Volume 4, Number 2, October 2020, pp. 313-345 (Article) Published by NUS Press Pte Ltd DOI: https://doi.org/10.1353/sen.2020.0014 For additional information about this article https://muse.jhu.edu/article/770704 [ Access provided at 25 Sep 2021 00:27 GMT with no institutional affiliation ] This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema UMI LESTARI Abstract Basuki Resobowo (1916–99) is known primarily as a painter, activist and head of Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, Institute for People’s Culture). He was affil- iated with left-wing politics during Sukarno’s Old Order (1945–65) and first entered the film industry in the 1940s when he played the role of Basuki in Jo An Djan’s film Kedok Ketawa (1940). During the Japanese Occupation (1942–45), Resobowo was part of Keimin Bunka Shidoso (Culture Centre). Literature on Resobowo’s artistic practice has mostly referred to his background in painting. However, in the 1950s, he joined Perusahaan Film Negara Indonesia (Perfini) as an art director and scriptwriter, making seven films, includingDarah dan Doa (Blood and Prayer) in 1950, which is regarded as the firstfilm nasional (national film). This article, while devoting some space to Resobowo’s overall career, chiefly endeavours to revisit the early Perfini films and examine the influence of Reso- bowo’s ideas about art and theatre on cinematographic mise-en-scene.
    [Show full text]
  • ABSTRAK Skripsi Ini Membahas Bagaimana Perkembangan Film-Film Perjuangan Di Masa Pemerintahan Soekarno Dari Tahun 1950-1965
    IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA xvii ABSTRAK Skripsi ini membahas bagaimana perkembangan film-film perjuangan di masa pemerintahan Soekarno dari tahun 1950-1965. Dengan tujuan untuk memberikan pehamanan bagaimana kondisi dan perkembangan industri film di Indonesia pada tahun 1950-1965.Penelitian menggunakan metode penelitian sejarah, diawali dengan heuristik, verifikasi sumber, interpretasi, dan diakhiri dengan historiografi. Penelitian ini menunjukan bahwa disamping film drama komersil yang masih menggunakan cara lama, film-fillm perjuangan pada masa ini mengangkat realita yang terjadi di masyarakat dan ciri nasionalisme yang kuat tanpa menghadirkan legitimasi. Berakhirnya revolusi kemerdekaan Indonesia semakin melahirkan spirit untuk mempertahankan kedaulatan bangsa. Hal ini dilakukan insan perfilman untuk berkarya dan berkontribusi dalam menanamkan karakter kebangsaan. Beberapa film yang muncul adalah Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Jogja (1951), Lewat Djam Malam (1954), Pedjuang (1960), dan Pagar Kawat Berduri (1961). Contoh film-film diatas digunakan untuk melihat aspek keseharian pada masa revolusi dan dampak revolusi bagi rakyat Indonesia Kata Kunci: Film, Usmar Ismail, Perfini, Revolusi Indonesia. ABSTRACT This thesis discusses This thesis discusses how the development of revolutions film during the reign of Soekarno from 1950-1965. With goals to answers the main problems how the condition and development of the film industry in Indonesia in 1950-1965. This thesis uses historical method, which starts from heuristic, source verification, interpretation, ended with historiography. This study shows that in addition to commercially success of drama films, revolutions film at this time shows the reality that occurs in society and the characteristics of a strong nationalism without presenting any legitimacy of the government. The end of Indonesian revolution reinforced the nation to maintain and uphold its sovereignty within the Republic of Indonesia.
    [Show full text]
  • East-West Film Journal, Volume 4, No. 2
    EAST-WEST FILM JOURNAL VOLUME 4· NUMBER 2 The Artist's Desire: Reflections on the Films of Mizoguchi Kenji I LINDA C. EHRLICH Satyajit Ray's Secret Guide to Exquisite Murders: Creativity, Social Criticism, and the Partitioning of the Self 14 ASHIS NANDY Ideology of the Body in Red Sorghum: National Allegory, National Roots, and Third Cinema YINGJIN ZHANG Vietnam and Melodramatic Representation 54 ANDREW MARTIN Melodrama, Temporality, Recognition: American and Russian Silent Cinema MARY ANN DOANE The Romance of Maoriland: Ethnography and Tourism in New Zealand Films MARTIN BLYTHE Man and Revolutionary Crisis in Indonesian Films III SALIM SAID Book Reviews 13° JUNE 1990 The East-West Center is a public, nonprofit educational institution with an international board of governors. Some 2, 000 research fellows, grad­ uate students, and professionals in business and government each year work with the Center's international staff in cooperative study, training, and research. They examine major issues related to population, resources and development, the environment, culture, and communication in Asia, the Pacific, and the United States. The Center was established in 1960 by the United States Congress, which provides principal funding. Support also comes from more than twenty Asian and Pacific governments, as well as private agencies and corporations. The Artist's Desire: Reflections on the Films of Mizoguchi Kenji LINDA C. EHRLICH A PIECE of calligraphy that used to hang on Japanese director Mizo­ guchi Kenji's wall read: "For each new look, it is necessary to cleanse one's eyes."l Like the artists depicted in his films, Mizoguchi was aware that he was the kind of director who had to start anew each time he tried to create an important film.
    [Show full text]
  • Per? Con? Contro? L'industria Vista Dal Cinema
    n°48 dicembre 2019 € 5,50 anno VII 48 numero La fabbrica non può guardare solo all'indice dei profitti. dicembre 2019 Deve distribuire ricchezza, cultura, servizi, democrazia. Io penso la fabbrica per l'uomo, non l'uomo per la fabbrica. (Adriano Olivetti) L'impresa eccezionale, PER? CON? CONTRO? dammi retta, L’INDUSTRIA VISTA è essere normale. DAL CINEMA ITALIANO (Lucio Dalla) Per? Con? Contro? L'industria vista dal cinema italiano Per? Con? Contro? L'industria ISSN 2281-5597 90006 INCHIESTE FOCUS ANNIVERSARI MOSTRE Casse e cassiere Il cinema A 50 anni da Wes Anderson, Bud Spencer, nei cinema in Indonesia Metti, una sera a cena Carlo Rambaldi, Makinarium www.8-mezzo.it Poste Italiane SpA - Spedizione in abbonamento postale -70% - Aut. GIPA/C/RM/04/2013 9 772281 559003 sul prossimo numero in uscita a marzo 2020 Scenari Inchieste Focus Compleanni Il cinema Il cinema italiano Il cinema I 90 anni e l'immaginario italiano e la pubblicità in Bulgaria di Giuliano Montaldo editoriale QUELLI CHE TENGONO VIVA LA PASSIONE di GIANNI CANOVA Basta girarla un po’, l’Italia, per ca- ston Sturges meglio di certi critici) pire che è meglio, molto meglio, di che dedicano il loro tempo libero, come ce la raccontano. in modo volontaristico, a tenere Di come la raccontano i grandi in piedi sale che rischierebbero di media, troppo spesso a caccia di chiudere, ho trovato ragazzi che scandali o pruderie. aprono cinema e cineclub e cine- Di come la deformano gli haters mini, e che a poco a poco creano del web, sempre bisognosi di ber- il loro pubblico, e lo fidelizzano, sagli facili su cui scaricare rancori e tengono viva la passione.
    [Show full text]