Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perfiilman Dewan Perwakiilan Rakyat Republik Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERFIILMAN DEWAN PERWAKIILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA BASI PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKI\NG Fihn merupakan penemuan teknologi terbesar sepanjang masa, yangr keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari dua ranah yano meiingkupinya secara bersamaan yakn: budaya dan komersial. Sebagai salah satu media rnassa yang berbentuk audio visual, film merupakan media yang sifatnya sangat kompleks. Film menjadi sebuah karya seni/estetika sekaligus sebagai alat informasi yang dapat rnanjadi alat penghibur, a/at propaganda bahkan terkadanq digunakan sebagai alat politik. Oleh I<arena itu kehadiran film sebagai salah satu media rnassa - bisa dilihat dari beberapa perspektif seperti ekonomi, politik, dan budaya. Dilihat dari pcrspektit ekonomi, media massa memberi kontribusi yang signifikan secara mantap. Hal itu dapat diperhatikan dari pertumbuhan, keberagaman, dan kekuatan industri media dalarn pasar. Sementara dari perspektif politik, media massa secara bertahap menunjukkan dirinya sebaqai elemen penting dalam proses demokratisasi politik dengan menyediakan wahana perdebatan politik serta distribusi informasi mengenai aktivitas politik. Selain itu media massa juga menjadi saluran untuk pelatihan kekuasaan yang menjadikan politikus dan agen pemerintah bisa menqktairn bahwa media merupakan kebenaran sebenarnya. Sedangkan dilihat dari perspektit budaya, media massa menjadi sumber utama untuk rnenyaiikan gambaran tentang realitas sosial dan identitas bersama serta menyajikan lingkungan budaya bersama. Film sebagai produk ksbudayaan diposisikan sebagai faktor yang marnpu menggali serta rnencerrninkan kekayaan dan keberagaman budaya (multiculturalism) sedernikian rupa dalam tampilannya. Posisi film yang demikan kemudian akan menjadi medium budaya yang efektif bagi bangsa dalam rnemaknat wawasan kebangsaan (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (character building). Potensi film yang semacam ini sehungguhnya akan dapat mengoptimalkan film sebagai sesuatu yang memiliki nilai penting dan strategis untuk membangun dan memperkuat karakter bangsa. Film sebagai sarana politik dapat diposisikan untuk menunjang pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini sebetulnya sudah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda hingga awal kemerdekaan. Pada saat itu film diatur dengan Film Ordonnantie 1940, yang dapat dibayangkan balhwa orientasi film waktu itu tentu sala tidak akan bertentangan dengan kepentingan politlk kolonial, Kondlsl ini berlangsung hingga pertengahan tahun 1949 saat sejarah perfilman di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sosok H. Usmar Ismail, tepatnya pada tanggal 30 Maret 1950, yang melakukan syuting pertamanya untuk film pertamanya yang berjudul "Darah dan Doa." Secara sosiologis film ini selain bermakna tampilan hiburan, juga. berperan sebagai sarana penyebarluasan pengetahuan dan memacu semangat perjuangan. Maka melalui tangannya lahir beberapa judul film yang menanamkan tekad dan sikap patriotik di samping perlawanan atas penguasaan film-film asing di Indonesia. Untuk itu Pemerintah mulai membuat kebijakan dengan dasar pemikiran perlu adanya periindungan bagi film Indonesia terhadap film impor. Sebagai penghormatan atas [asa-jasanya, H.Usmar Ismail diakui sebagai Bapak Pertilman Indonesia dan pemerintah kemudian menetapkan tanggal 30 Maret sebagai H1ari Film Nasional. Film sebagai sarana pendidikan dan penerangan diposisikan sebagai media untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Pada tahun 1960 perfilman diatur melalui ketetapan MPRS NO.II/MPRS/1960 Lampiran A angka 1: Bidang Mental Agama/Kerohanian/Penelitian sub 16 yang menyatakan 'Film bukan semata-rnata barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan peneranqan" dan pada sub 20 B "Seqala alat komunikasi (mass communication) seperti pers, radio, film dan lain sebagainya harus dapat digerakan sebagai one coordinated unit'. 2 Ketetapan MPRS No. 1/ in; menjadi pandas; awal perjuangan untuk menempatkan film nasional secara lebih proporsional dan sekaligus memberi proteksi untuk pengembangannya. Empat tahun kemudian, substansi dari Ketetapan tersebut dituangkan dalam Penetapan Presiden NO.1 Tahun 1964 tentang, Pembinaan Perfilman, yang selanjutnya menjadi Undang-Undang NO.1/Pnps/64. Namun demikian upaya ini ternyata belum berhasil mengadakan perubahan atas nasib film Indonesia. Dua keputusan politik ini ternyata belum dapat sepenuhnya menghapus pengaruh kekuasaan kolonia.! sebagaimana diatur dalam Film Ordonnantie 1940 yang tidak berpihak pada perfilman nasional. Harapan dan keinginan memosisikan film Indonesia dalam rumpun kebudayaan telah lama diperjuangkan masyarakat perfilman Indonesia. Hal ini jelas tertuang dalam "Pola Dasar Pengembangan dan Pembinaan Perfilman Nasional" tahun 1980 yang mengakui bahwa penggunaannya, adalah pertama film sebagai hiburan, kemudian film menjadi produk daya cipta manusia yang berhubungan dengan Iingkungan dan tata nilai hidup. Dengan demikian film merupakan produk kebudayaan yang dapat dijadikan pedoman bagi para pendukungnya dalam tindakan sehari-hari. Dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia, jelas bahwa film Indonesia hendaknya memiliki idiom tersendiri yang lahir dari suatu kenyataan kehidupan dan perjuangan masyarakat baik berupa jmpian, harapan, kegetiran, dan/atau keberhasilan. Dari kenyataan di atas jelas bahwa masyarakat perfilman Indonesia sangat mengharapkan adanya dukungan untuk memosisikan film tidak hanya sebatas hiburan. Sebuah film tercipta melalui sebuah proses keahlian dalam mewujudkan cita rasa seni yang didukung dengan kemampuan penguasaan teknologi. Pada bagian lain film Indonesia juga memiliki peranan penting dalam memperluas lapangan kerja dan pemerataan kesempatan berusaha. Film Indonesia jelas memiliki nilai ekonomis sehingga ke depan harus juga dikembangkan ke arah industri sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat dan sekaligus upaya pengembangan perfilman Indonesia sendiri. 3 Pemikiran untuk mengganti peraturan perfilman dengan peraturan yang lebih demokratis mulai muncul pada pertemuan Musyawarah Masyarakat Perfilman Indonesia (MMPI) dii Ujung Pandang bertepatan dengan penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1978. Pada pertemuan ini berhasil diwujudkan draft Rancangan Undang-Undang Perfilman yang dlslapkan oleh Profesor A. Moeis dan selanjutnya dibahas serta disepakati pada pertemuan MMPI di Palembang tahun 1979. Sepanjang dasawarsa 1980-an perjuangan insan perfilman Indonesia untuk memiliki UU Perfilman terus bergema pada setiap diskusi,seminar, dan berbagai pertemuan perlfilman. Penantian dan perjuangan panjang Masyarakat Perfilman Indonesia tidak sia-sla, meski baru pada tahun 1992 peraturan perfilman terwujud yang ditandai dengan disahkannya UU NO.8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Perkembangan sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologi selama sepuluh tahun terakhir membawa perubahan besar pada dunia perfilman nasional. Bahkan dalam empat tahun terakhir ini perfilman Indonesia mulai menunjukkan kecenderungan bangkit kembali di tengah situasi usaha perfilman yang telah berubah. Pengaruh teknologi terhadap perfilman sangat besar. Hal ini tidak menqherankan, karena film sebagai karya budaya sarat bersentuhan denqan teknoloqi, Kernajuan teknologi dan dinamika rnasyarakat menjadi dua hal yang menarik karena sifat kohesifnya yang kuat. Kemajuan teknologi memungkinkan para pembuat film untuk memroduksi film secara digital dengan mutu yang baik. Penggunaan alat-alat digital dalam memroduksi film memungkinkan para pembuat film untuk menekan biaya produksl, sehingga biaya produksi relatif lebih terjangkau dan memungkinkan ditampungnya kreativitas para sineas baru. Pada sisi lain, rnakin menguat pula kedaulatan penonton untuk memilih cara menonton dlikaitkan dengan perkembangan teknologi yang cepat. Penonton tidak lagi hanya dapat menonton film di bioskop melainkan juga di rumah balk melalui televisi atau VCD/DVD player. Kemudahan menonton seperti disebutkan di atas didukung 011311 semakin rnerebaknya penjualan film bajakan yang narqanya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan rnembeli tlket bioskop. Berdasarkan data carl Gabungan 4 Pengusaha Bloskop Indonesia, jumlah bioskop yang tayang pada tahun 1978 ada 1.229 bioskop dan saat ini jurnlah tersebut menurun drastis menjadi 146 bioskop, 90 bioskop diantaranya adalah bioskop jaringan. Perubahan yang terjadi dalam dunia perfilman nasional seperti dlqarnbarkan di atas tentu saja dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam perfilman, adanya alternatif atau pilihan untuk menonton baik jenis maupun tempat, dan sensor film. Meningkatnya ketertarikan dan keterlibatan masyarakat dalam perfilman terlihat pada maraknya kompetisi-kompetisi film independen, berkembangnya komunitas film, dan meningkatnya ketertarikan generasi muda dalam memroduksi film. Perkembangan film nasional dan kreativitas para pembuat film akan mendorong peningkatan produktifitas film. Dengan produksi film yang meningkat, seharusnya fungsi penyensoran film diperkuat. Namun, akhir akhir ini terdapat perdebatan tentang perlu atau tidaknya sensor film dalam era globalisasi saat ini. Sebagain masyarakat menyatakan sensor film diperlukan karena masyarakat perlu diselamatkan dari pengaruh negatif film; sedangkan sebagian masyarakat lain, terutama para sineas muda menegaskan sensor film tidak diperlukan karena tidak memberikan apresiasi pada karya seni dan budaya serta mengingkari hak masyarakat dalam menyebarkan dan menerima informasi dari film sebagai media komunikasi.