NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

PERFIILMAN

DEWAN PERWAKIILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA BASI PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKI\NG

Fihn merupakan penemuan teknologi terbesar sepanjang masa, yangr keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari dua ranah yano meiingkupinya secara bersamaan yakn: budaya dan komersial. Sebagai salah satu media rnassa yang berbentuk audio visual, film merupakan media yang sifatnya sangat kompleks. Film menjadi sebuah karya seni/estetika sekaligus sebagai alat informasi yang dapat rnanjadi alat penghibur, a/at propaganda bahkan terkadanq digunakan sebagai alat politik. Oleh I

Dilihat dari pcrspektit ekonomi, media massa memberi kontribusi yang signifikan secara mantap. Hal itu dapat diperhatikan dari pertumbuhan, keberagaman, dan kekuatan industri media dalarn pasar. Sementara dari perspektif politik, media massa secara bertahap menunjukkan dirinya sebaqai elemen penting dalam proses demokratisasi politik dengan menyediakan wahana perdebatan politik serta distribusi informasi mengenai aktivitas politik. Selain itu media massa juga menjadi saluran untuk pelatihan kekuasaan yang menjadikan politikus dan agen pemerintah bisa menqktairn bahwa media merupakan kebenaran sebenarnya. Sedangkan dilihat dari perspektit budaya, media massa menjadi sumber utama untuk rnenyaiikan gambaran tentang realitas sosial dan identitas bersama serta menyajikan lingkungan budaya bersama.

Film sebagai produk ksbudayaan diposisikan sebagai faktor yang marnpu menggali serta rnencerrninkan kekayaan dan keberagaman budaya (multiculturalism) sedernikian rupa dalam tampilannya. Posisi film yang demikan kemudian akan menjadi medium budaya yang efektif bagi bangsa dalam rnemaknat wawasan kebangsaan (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (character building). Potensi film yang semacam ini sehungguhnya akan dapat mengoptimalkan film sebagai sesuatu yang memiliki nilai penting dan strategis untuk membangun dan memperkuat karakter bangsa.

Film sebagai sarana politik dapat diposisikan untuk menunjang pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini sebetulnya sudah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda hingga awal kemerdekaan. Pada saat itu film diatur dengan Film Ordonnantie 1940, yang dapat dibayangkan balhwa orientasi film waktu itu tentu sala tidak akan bertentangan dengan kepentingan politlk kolonial, Kondlsl ini berlangsung hingga pertengahan tahun 1949 saat sejarah perfilman di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sosok H. , tepatnya pada tanggal 30 Maret 1950, yang melakukan syuting pertamanya untuk film pertamanya yang berjudul "Darah dan Doa." Secara sosiologis film ini selain bermakna tampilan hiburan, juga. berperan sebagai sarana penyebarluasan pengetahuan dan memacu semangat perjuangan. Maka melalui tangannya lahir beberapa judul film yang menanamkan tekad dan sikap patriotik di samping perlawanan atas penguasaan film-film asing di Indonesia. Untuk itu Pemerintah mulai membuat kebijakan dengan dasar pemikiran perlu adanya periindungan bagi film Indonesia terhadap film impor. Sebagai penghormatan atas [asa-jasanya, H.Usmar Ismail diakui sebagai Bapak Pertilman Indonesia dan pemerintah kemudian menetapkan tanggal 30 Maret sebagai H1ari Film Nasional.

Film sebagai sarana pendidikan dan penerangan diposisikan sebagai media untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Pada tahun 1960 perfilman diatur melalui ketetapan MPRS NO.II/MPRS/1960 Lampiran A angka 1: Bidang Mental Agama/Kerohanian/Penelitian sub 16 yang menyatakan 'Film bukan semata-rnata barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan peneranqan" dan pada sub 20 B "Seqala alat komunikasi (mass communication) seperti pers, radio, film dan lain sebagainya harus dapat digerakan sebagai one coordinated unit'.

2 Ketetapan MPRS No. 1/ in; menjadi pandas; awal perjuangan untuk menempatkan film nasional secara lebih proporsional dan sekaligus memberi proteksi untuk pengembangannya. Empat tahun kemudian, substansi dari Ketetapan tersebut dituangkan dalam Penetapan Presiden NO.1 Tahun 1964 tentang, Pembinaan Perfilman, yang selanjutnya menjadi Undang-Undang NO.1/Pnps/64. Namun demikian upaya ini ternyata belum berhasil mengadakan perubahan atas nasib film Indonesia. Dua keputusan politik ini ternyata belum dapat sepenuhnya menghapus pengaruh kekuasaan kolonia.! sebagaimana diatur dalam Film Ordonnantie 1940 yang tidak berpihak pada perfilman nasional.

Harapan dan keinginan memosisikan film Indonesia dalam rumpun kebudayaan telah lama diperjuangkan masyarakat perfilman Indonesia. Hal ini jelas tertuang dalam "Pola Dasar Pengembangan dan Pembinaan Perfilman Nasional" tahun 1980 yang mengakui bahwa penggunaannya, adalah pertama film sebagai hiburan, kemudian film menjadi produk daya cipta manusia yang berhubungan dengan Iingkungan dan tata nilai hidup. Dengan demikian film merupakan produk kebudayaan yang dapat dijadikan pedoman bagi para pendukungnya dalam tindakan sehari-hari. Dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia, jelas bahwa film Indonesia hendaknya memiliki idiom tersendiri yang lahir dari suatu kenyataan kehidupan dan perjuangan masyarakat baik berupa jmpian, harapan, kegetiran, dan/atau keberhasilan.

Dari kenyataan di atas jelas bahwa masyarakat perfilman Indonesia sangat mengharapkan adanya dukungan untuk memosisikan film tidak hanya sebatas hiburan. Sebuah film tercipta melalui sebuah proses keahlian dalam mewujudkan cita rasa seni yang didukung dengan kemampuan penguasaan teknologi. Pada bagian lain film Indonesia juga memiliki peranan penting dalam memperluas lapangan kerja dan pemerataan kesempatan berusaha. Film Indonesia jelas memiliki nilai ekonomis sehingga ke depan harus juga dikembangkan ke arah industri sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat dan sekaligus upaya pengembangan perfilman Indonesia sendiri.

3 Pemikiran untuk mengganti peraturan perfilman dengan peraturan yang lebih demokratis mulai muncul pada pertemuan Musyawarah Masyarakat Perfilman Indonesia (MMPI) dii Ujung Pandang bertepatan dengan penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1978. Pada pertemuan ini berhasil diwujudkan draft Rancangan Undang-Undang Perfilman yang dlslapkan oleh Profesor A. Moeis dan selanjutnya dibahas serta disepakati pada pertemuan MMPI di Palembang tahun 1979. Sepanjang dasawarsa 1980-an perjuangan insan perfilman Indonesia untuk memiliki UU Perfilman terus bergema pada setiap diskusi,seminar, dan berbagai pertemuan perlfilman. Penantian dan perjuangan panjang Masyarakat Perfilman Indonesia tidak sia-sla, meski baru pada tahun 1992 peraturan perfilman terwujud yang ditandai dengan disahkannya UU NO.8 Tahun 1992 tentang Perfilman.

Perkembangan sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologi selama sepuluh tahun terakhir membawa perubahan besar pada dunia perfilman nasional. Bahkan dalam empat tahun terakhir ini perfilman Indonesia mulai menunjukkan kecenderungan bangkit kembali di tengah situasi usaha perfilman yang telah berubah. Pengaruh teknologi terhadap perfilman sangat besar. Hal ini tidak menqherankan, karena film sebagai karya budaya sarat bersentuhan denqan teknoloqi, Kernajuan teknologi dan dinamika rnasyarakat menjadi dua hal yang menarik karena sifat kohesifnya yang kuat. Kemajuan teknologi memungkinkan para pembuat film untuk memroduksi film secara digital dengan mutu yang baik. Penggunaan alat-alat digital dalam memroduksi film memungkinkan para pembuat film untuk menekan biaya produksl, sehingga biaya produksi relatif lebih terjangkau dan memungkinkan ditampungnya kreativitas para sineas baru.

Pada sisi lain, rnakin menguat pula kedaulatan penonton untuk memilih cara menonton dlikaitkan dengan perkembangan teknologi yang cepat. Penonton tidak lagi hanya dapat menonton film di bioskop melainkan juga di rumah balk melalui televisi atau VCD/DVD player. Kemudahan menonton seperti disebutkan di atas didukung 011311 semakin rnerebaknya penjualan film bajakan yang narqanya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan rnembeli tlket bioskop. Berdasarkan data carl Gabungan

4 Pengusaha Bloskop Indonesia, jumlah bioskop yang tayang pada tahun 1978 ada 1.229 bioskop dan saat ini jurnlah tersebut menurun drastis menjadi 146 bioskop, 90 bioskop diantaranya adalah bioskop jaringan.

Perubahan yang terjadi dalam dunia perfilman nasional seperti dlqarnbarkan di atas tentu saja dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam perfilman, adanya alternatif atau pilihan untuk menonton baik jenis maupun tempat, dan sensor film. Meningkatnya ketertarikan dan keterlibatan masyarakat dalam perfilman terlihat pada maraknya kompetisi-kompetisi film independen, berkembangnya komunitas film, dan meningkatnya ketertarikan generasi muda dalam memroduksi film.

Perkembangan film nasional dan kreativitas para pembuat film akan mendorong peningkatan produktifitas film. Dengan produksi film yang meningkat, seharusnya fungsi penyensoran film diperkuat. Namun, akhir­ akhir ini terdapat perdebatan tentang perlu atau tidaknya sensor film dalam era globalisasi saat ini. Sebagain masyarakat menyatakan sensor film diperlukan karena masyarakat perlu diselamatkan dari pengaruh negatif film; sedangkan sebagian masyarakat lain, terutama para sineas muda menegaskan sensor film tidak diperlukan karena tidak memberikan apresiasi pada karya seni dan budaya serta mengingkari hak masyarakat dalam menyebarkan dan menerima informasi dari film sebagai media komunikasi. Masalah sensor film lni pada akhirnya berujung pada adanya pengajuan judicial review yang dilakukan oleh beberapa anggota MFI melalui Mahkamah Konstitusi untuk meninjau pasal-pasal terkait sensor film dalam UU no 8 Tahun 1992 mengenai perfilman,

Fakta-fakta di atas, mengambarkan bahwa secara praktis terjadi perkembangan dalam dunia perfilman di Indonesia. Perkembangan itu sendiri secara sosiologis merupakan kebutuhan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum, ketertiban hukurn, dan perlindungan hukurn dalam penyelenggaraan pertilman.

5 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan fakta yang telah disebutkan di atas, dapat diidentifikasi permasalahan penyelenggaraan perfilman nasional yang perlu segera kita benahi diantaranya:

1) Kekuatan budaya, jati diri dan karakter bangsa Film pada dasarnya dapat digunakan sebagai a/at untuk membangun dan memantapkan kekuatan budaya, jati diri dan karakter bangsa. Pada ranah ini penggunaan film dapat dipandang sebagai bagian dari usaha yang /ebih besar, sesuai amanah konstitusi negara Indonesia, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan scsial. Undang-Undang Nornor 8 Tahun 1992 tentang Perfi/man belum menunjukkan secara jelas penggunaan film sebagai pembangun kekuatan bangsa dan pemerkuat jati diri serta karakter bangsa. Pengaturan tentang film cenderung mengarah pada penggunaan film dalam kapasitasnya sebagai industri semata.

2) /ntegrasi fungsi film Fungsi film, sebagaimana halnya media rnassa yang lain, setidaknya menjalankan fungsi informasi, persuasi, pendidikan, pengawasan Iingkungan dan hiburan. Funqsl-tunqsi ini melekat saat film menjadi media yang menghubungkan kepentingan Pernerintah, pelaku perfilman dan masyarakat. lsi film tentunya dapat secara jelas menunjukkan berjalannya funqsi-funqsi ini. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfi/man lebih cenderung menunjukkan film dalam kaitannya dengan funqsi ekonomi. Pengaturan yang ada dl dalarn Undang-Undang ini belum menunjukan integrasi fungsi film secara menyeluruh, yang tidak hanya cenderung ke arah fungsi ekonomi, tetapi juga harus menunjukkan fungsinya dalam fungsi lntorrnasl, persuasl, pendidikan, pengawasan Iingkungan dan hiburan selain fungsi utamanya yang lain dalam memosisikan film sebagai produk budaya.

6 3) Perkembangan Teknologi Digital Teknologi memiliki pengaruh penting dalam produksi film, baik di Indonesia maupun negara-negara lain. Bahkan, bisa dikatakan teknologi sesungguhnya menjadi tulang punggung bagi perkembangan perfilman dunia. Dalam konteks Indonesia, pengaruh ini mencakup, antara lain kualitas teknis film yang diproduksi, ruang penjelajahan artistik bagi para sineas dan kepuasan penonton film. Secara garis besar teknologi dalam perfilman itu mencakup keseluruhan proses produks film seperti pra-produksi, produksi dan pasca produksi. Pada tahap pra-produksi, teknologi yang dipakai berkaitan dengan sistem produksi yang hendak dibangun. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman belum sepenuhnya mengakomodir teknologi digital. Sisi pandang pengaturannya masih terbatas pada film berupa pita seluloid dan pita video. Pengaturan tentang pertunjukan film di bioskop masih membatasi diri pada film dalam bentuk seluloid, sementara kemajuan teknologi digital telah semakin berkembang dan memungkinkan untuk dipertunjukkan ke layar berukuran lebar.

4) Tuntutan Penyederhaan Perizinan Perfilman Regulasi perizinan perfilman selama ini dinili masih sangat panjang sehingga perlu deregulasi perizinan, yaitu prosedur birokrasi dalam produksi film, mekanisrne peredaran yang lebih menguntungkan film Indonesia, skema permodalan/pendanaan dan keringanan beban pajak untuk film Indonesia Bila mengacu pada UU NO.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman maka jelas bahwa peran birokrasii sebenarnya sudah longgar walau pun pada tingkat peraturan pelaksanaannya masih banyak bentuk-bentuk perizinan yang akhir-akhir ini sudah ditiadakan.

5) Persaingan Usaha tidak sehat Perfi/man Adanya kesulitan yang dialami bioskop terutama di daerah untuk mendapatkan pasokan film dari para produser dan atau importir yang mengakibatkan banyak Ibioskop tidak mampu mempertahankan usahanya.

7 Umumnya bioskop non jaringan, kini memiliki gedung dan sarana yang kurang balk dian perlengkapan teknilk yang telah tua dengan kualitas yang telah menurun. Selain itu, film yang diputar adalah film yang telah berbulan-bulan selesai diputar di bioskop jaringari dengan kualitas copy yang telah tidak memadai dan momentum bisnis telah hilang. Oari jumlah 33 provinsi yang ada di Indonesia, sampai dengan akhir tahun 2008 bioskop sama sekali tidak dapat dijumpai di 11 (sebelas) provinsi. Pada 8 (delapan) provinsi hanya terdapat jurnlah bioskop masing-masing tidak lebih dari 5 (lima) buah layar. Kecuali OKI Jakarta, dapat dibayangkan pada provinsi yang diselbutkan di atas tentu banyak sekali kota besar yang tidak memiliki bioskop.

6) Belum optimalnya penggunaan kemampuan/sumber daya dalam negeri. Sampai dengan akhir tahun 2008 penggunaan kemampuan/sumber daya yang telah tersedta di dalarn negeri belum dilakukan secara optimal. Jasa teknik film (khususnya penggandaan copy-film-jadi untuk film impor masih dilakukan di luar negeri padahal tasi'ltas di dalam negeri telah memiliki kemampuan untuk menggandakannya. Oalam pembuatan film iklan, rnaslh banyak terjadi penggunaan tenaga asing.

7) Tuntutan peningkatan keterlibatan masyarakat dalam produksi film. Kelompok masyarakat, terutama generasi muda, semakin menuntut agar dapat dilibatkan dalam produksi film yang selama ini terkendala oleh besarnya modal produksl yang dibutuhkan. Film digital yang membutuhkan modal produksi yang jauh lebih kecil (dibandingkan dengan film seluloid) bila dimungkinkan oleh peraturan untuk dipertunjukkan di bioskop akan memungkinkan keterliibatan tersebut terwujud. Oalam produksi film iklan, rnasyarakat profesional perfilman menuntut agar mendapatkan posisi dalam produksi yang selama ini banyak diisi oleh tenaga asing. Seperti yang terjadi pada dunia musik, di perfilman juqa kini telah berkembang komunitas film independen. Karya-karya film mereka belum mendapat perhatian yang selayaknya.

8 8) Revitalisasi kelembagaan perfi/man. Terdapat tuntutan untuk merevitalisasi seluruh lembaga perfilman mencakup lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga pertimbangan, lembaga sensor, lembaga produksi, organisasi profesi, lembaga arslp, lembaga apresiasi dan lain-lain. Adanya kebutuhan agar LSF (Lembaga Sensor Film) memiliki kriterta dan mekanisme sensor yang jelas dan dipahami semua pihak dalam melaksanakan tugas pokok dan funqsinya. Masih sering dijumpai beredarnya film-film yang menimbuJkan dampak negatif kepada masyarakat dan mengundang protes masyarakat yang belum terjangkau dengan kemampuan LSF yang adasaat sekarang ini.

9) Kejelasan Kriteria Sensor Film Putusan Mk 29/PUU-V/2007 Rabu 30 April 2008 tentang Pengujian UU No,8 Tahun 1992 tentang Film, mengenai Lembaga Sensor Film, pada pokoknya menguatkan keberadaan lembaga sensor, namun perlu pengaturan lebih jelas mengenai kriteria sensor atas sebuah film.

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN

Naskah ini dimaksudkan untuk rnernbertkan analisis dan kajian akademik terhadap perfilman secara filosofis, sosioloqis, dan yuridis dikaitkan dengan perkembangan dalam perfilman. Berdasarkan analisis dan kajian tersebut akan dapat diketahui apakah peraturan perundang-undangan yang ada mampu memenuhi kebutuhan hukum dalarn perfilman atau kemungkinan perlu dilakukan perubahan atau penggantian atas undang­ undang yang telah mengaturnya. Mengenai perfilman telah diatur dengan UU. Nomor 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman. Dari sisi waktu, UU ini telah berusia 14 tahun. Apabila usia ini dikaitkan dengan usia manusia, itu dapat dikatagorikan dalam kelompok remaja. Jelas, hukum tidak mungkin digolongkan dalam pertumbuhan alamiah, tetapi hendaknya dihubungkan dengan kebutuhan. Oleh karena itu, selama kurun waktu tersebut akan dilakukan penelusuran terhadap berbagai perkembangan Iingkungan strategis baik internal maupun eksternal yang meliputi situasi dan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik mengenai perfilman di Indonesia.

9 Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia dan pembangunan masyarakat Indonesia dengan tujuan mencerdaskan dan mensejahterakan rakyat. Denqan demikian, tujuan strategis pembangunan perfilman harus mengacu pada tujuan yang sama. Perfilman sebagai produk kreatit, harus didorong kearah peningkatan harkat, martabat, kemandirian manusia Indonesia sebagai personal atau sebagai unit keluarga dalam sistem sosial terkecil memiliki peranan atau keterkaitan . dengan sistem yang lebih besar yaitu sebagai bangsa Indonesia dalam peranannya lebih lanjut antar banqsa-banqsa di dunia internasional.

Berdasarkan uraian tersebut perfilman perlu diselenggarakan dengan tujuan : • mencerdaskan kehidupan bangsa; • membina persatuan bangsa dan kesatuan: • meningkatkan harkat dan martabat manusia; • rnembangun, mengembangkan dan melestarikan nilai budaya bangsa; • memperkenalkan budaya, jatidiri dan karakter bangsa Indonesia kepada dunia internasional; • membangun watak dan kepribadian bangsa, • memperluas lapangan kerja untuk kesejahteraan masyarakat.

1.4. METODE PENYUSUNAN

Penyusunan naskah Akedemik Rancangan Undang-Undang Tentang Perfilman ini menggunakan pendekatan yuridis-normatiif dan yuridis­ sosloloqis, denqan menggunakan metode ana/isis kualitatif. Tahapan penyusunan dilakukan melalui tahapan:

a. Studi Pustaka Kegiatan studi pustaka dimaksudkan sebagai salah satu pendekatan dalam pengumpulan bahan atau materi informasi yang berkaitan dengan permasalahan perfilman. Materi studi berupa buku-buku seperti peraturan-perundangan, hasil penelitian, makalah seminar, dan

10 sebagainya. Sebagai obyek studi antara lain adalah lembaga atau instansi yang kompeten. b. Stvdi Lapangan Kunjungan lapang menggunakan panduan pertanyaan dan kuesioner yang outputnya diarahkan untuk memperoleh materi informasi (termasuk data) yang terkait dengan aspek perfilman. Obyek studi meliputi lembaga yang terkait dengan perfilman dan masyarakat umum. Materi informasi terutama dilfokuskan pada data dan informasi yang menyangkut peraturan dan kewenangan yang diterbitkan oleh pemegang otoritas perfilman. Dalam konteks peraturan, informasi yang digali termasuk penerapannya sehingga menggambarkan kondisi obyektif yang terjadi saat ini di lapangan.

C. Konsultasi Publik Konsultasi publik dilakukan dengan menyelenggarakan lokakarya yang melibatkan para stakeholders dengan latar belakang beragam. Selain melakukan review terhadap bahan-bahan tertulis, juga dilakukan pengumpulan bahan informasi melalui kompilasi pendapat dan pemikiran dart ahli yang memiliki kompetensi dalam bidanq perfilman dan secara luas khususnya yang menyangkut peraturan perundangan. Pengumpulan pendapat ini dilakukan melalui clskusi dalam Forum Group Diskusi. Topik utama meliputi penilaian pakar tentang perkembangan perfilman berkaitan dengan usaha perumusan RUU tentang Perfilman serta materi yang semestinya dimuat sebagai pengganti UU NO.8 tahun 1992.

11 BAB II LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

LANDASAN FILOSOFIS

Sejarah dan peninggalan leluhur bangsa menunjukkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berkebudayaan. Keluhuran kebudayaan bangsa Indonesia sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat dari Sabang sampai N1erauke sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, termasuk sebagai kebudayaan bangsa. Kebudayaan in; harus menuju ke arah kemajuan adab budaya dan persatuan, dengan tiidak menolak bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Kebudayaan yang dikembangkan harus menuju kearah kemajuan peradaban Indonesia, dapat mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, berkemungkinan diperkaya oleh kebudayaan asing yang dapat mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia, serta dapat mempertinggi derajat, harkat dan martabat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28 ini menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang. Sewajarnyalah bila makna kebebasan menyampaikan pikiran dan tulisan ini diterjemahkan dalam konsep "freedom of expression" yang tidak saja tidak membatasi bentuk ekspresi pada publikasi umum, tetapi juga dalam proses penyampaian pesan melalui media film, radio dan televisi.

12 Oengan demikian berdasar pada UUO 1945, secara jelas negara mempunyai kewajiban memajukan kebudayaan nasional dan memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Film sebagai bagian dari kebudayaan nasional perlu dikembangkan dengan memberikan landasan kebebasan berekspresi secara bertanggungjawab, berkarya dan berusaha yang memberikan jaminan dan sustainabilitas nilai-nilai budaya Indonesia. Pengembangan film sebagai karya budaya menjadi bagian tanggung jawab pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat perfilman, yang secara bersama-sama mengembangkan industri perfilman yang berdasar dan mencerminkan pelestarian nilai-nilai Pancasila, upaya penegakan Undang­ Undang Oasar 1945 dan peneguhan kebudayaan Indonesia yang bersifat multikultur.

LANDASAN SOSIOLOGIS

2.2.1. Sejarah Perfilman Kegiatan perfilman sudah dimulai sejak jaman pemerintahan Belanda di Indonesia. Pada masa sebelum Indonesia merdeka, pembinaan perfilman kurang begitu jelas dan belum melembaga karena kurangnya para sineas melakukan terobosan-terobosan di bidangnya. Kegiatan mereka lebih banyak didorong oleh semangat patriotisme para sineas nasional untuk menggelorakan anti kolonialisme dengan sarana perfilman.

Pada jaman penjajahan Jepang, film lebih banyak digunakan sebagai media untuk menyampaikan gagasan-gagasan propaganda kepada masyarakat. Oi lain sisi, karyawan film Indonesia yang tergabung dalam Serita Film Indonesia bekerja secara sembunyi-sembunyi di bawah ancaman dan pengawasan ketat tentara Jepang. Pada masa awal Indonesia meroleka, perfilman diarahkan untuk dapat berfungsi sebagai alat perjuangan bangsa mengisi kemerdekaan.

Keberadaan film sebagai media komunikasi massa pandang dengar memiliki manfaat ganda. Oi satu sisi, fiilm dapat menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi lain dapat pula berperan sebagai penyebarluasan

13 nilai-nilai budaya baru. Sebagai sarana rekreasi dan edukasi, keberadaan film mampu mengisi ruanq hiburan dan ruang pembelajaran bagi sebagian besar masyaralkat di Indonesia. Namun untuk peran sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru, perlu .kecermatan tersendiri dalam memilah muatan budaya yang terkemas dalam pesan film.

Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa informasi dari media film justru dapat bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa dan sarat dengan nilai-nilai budaya asing. Akan tetapi perlu pula dipahami bahwa secara prinsip, masuknva budaya baru melalui film memang tidak dapat terhindari. Permasalahannya sekaranq tinggal bagaimana upaya untuk menetralisir budaya baru tersebut aqar tidak menciptakan goncangan budaya, dan sebaliknya justru dapat memperkaya nsat-nuai budaya nasional yang ada serta bagaimana cara menjawab kebutuhan­ kebutuhan objektif masyarakat.

Sebagai produk sosial budaya, film Indonesia menghadapi dua persoalan mendasar. Kedua hal ini adalah kurang berhasilnya film Indonesia mengemban misi sebagai karya kreatif, irnajinatif, inspiratif dan edukatif dan belum nampaknya kemampuan film Indonesia untuk menjadi event of culture dan agent of culture bagi khalayak masyarakat. Sejauh ini dapat dikatakan bahwa masih sedikit film Indonesia yang mampu menjawab kedua persoalan di atas.

Dalam pemahaman film sebaqai ekspresi sosial budaya, persoalan yang dihadapi sekarang bukan lagi masalah budaya lama dan budaya baru, tetapi pemahaman yang cenderung untuk menjawab kebutuhan objektif masyarakat. Seharusnya "culture is fJssentially a response to human need" yang berarti bahwa esensi kebudayaan adalah pada fungsinya mengantisipasi dan merespons perkernbanqan yang terjadi, kemudian secara aktif mencari pola-pola yang dapat dipakai sebagai acuan wawasan untuk menjawab tantangan yang dilahirkan oleh perkembangan dan perubahan masyarakat.

14 Film sebagai karya sinematik mestinya mengandung muatan kreativitas bernuansa imajinatif, ekspresif dan menawarkan inspirasi yang dapat menggugah apresiasi secara positif.

Sementara ini film Indonesia pada umumnya lebih cenderung marjinal, mengacu pada selera pasar dan be/um mampu menghadirkan nilai-nilai kontemplatif bagi penikmatnya. Sesungguhnya film Indonesia sebagai asset budaya memiliki tanggung jawab berat dalarn memasyarakatkan nilai-nilai budaya banqsa. Film yang balk harus mampu menjadi event of culture dan agent of culture. Peristiwa budaya mengisyaratkan adanya lintasan mahakarya, sedangkan kantong budaya mengisyaratkan adanya kualitas dan kuantitas film Indonesia yang merata, Sejauh ini masih dirasakan sedikit film Indonesia yang berhasil menjawab kedua persoalan diatas.

Pada umumnya, banyak pihak akan menerima tentang POSISI film sebagai media komunikasi yang juga merupakan produk seni dan budaya. Artinya, adanya keinginan menempatkan film sebagai karya seni dengan sendirinya membutuhkan terselenggaranya kebebasan kreatif. Film sebagai karya seni lahir dari proses kreatif yang tentunya menuntut kebebasan dalam berkarya. Antara kreativitas dan kebebasan ini tentunya saling berkait. Kebebasan adalah syarat dan kondisional bagi bekerjanya kreativitas. Pelaku perfilman Indonesia dalam hal ini sadar betul dan tidak mengharap kebebasan dalam arti mutlak. Kebebasan yang didambakan adalah kebebasan dalam berproduksi dan bukan kebebasan mutlak menjelajah ranah publik. Rambu-rambu etika, moral dan rasa susila masyarakat disadari merupakan koridor yang secara wajar membatasi dan harus ditaati.

2.2.2. Tinjauan Ekonomis Dalam situasi untuk menjamin kepastian dan perlindungan berkarya dalam industri perfilman nasional, persoalan akibat globalisasi tetap menjadi tantangan untuk mencari formula yang tepat dalam penyelenggaraan perfilman. Kondisi resesi global yang terjadi di beberapa belahan dunia akan terasa dan berimplikasi terhadap sendi­ sendi ekonomi Indonesia; misalnya resesi selama kurun waktu 1996

15 hingga tahun 2000. Akibatnya, perfilman Indonesia tidak berdaya dan nyaris terhenti produksinya. Pada masa itu, Indonesia hanya mampu menghasilkan sedikit film, sedangkan film-film impor yang semula berfungsi pelengkap justru cenderung dominan dan mengisi ruang bioskop menengah ke bawah yang biasanya menjadi "Iahan" bagi film Indonesia. Oitambah dengan konsekuensi lanjut dari atmosfir pasar bebas yang ditawarkan oleh World Trade Organitation (WTO) dan kesepakatan APEC yang mensyaratkan standar produksi internasional, keunggulan kompetitif dan kemampuan inovatif, Indonesia kemudian seperti menjadi keranjang sampah industri pertilman luar negeri. Fenomena globalisasi memang tidak dapat dipungkiri, telah disepakati dalam Putaran Uruguay padla pertemuan "General Agreement Trade and Tariff (GATT), dan harus diantisipasi oleh industri perfilman Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa era global mendorong adanya keterbukaan dan kebebasan dalam proses masuknya barang atau [asa (film) yang dihasilkan oleh beberapa negara di dunia dengan resiko berdampak pada eksistensi industri pertllman dalam negeri.

Oitinjau dari sisi ekonomi politik khususnya menyangkut perlindungan bagi sosial budaya dan industri perfilman di Indonesia, kondisi yang dihasilkan dari fenomena di atas memang sangat mengkhawatirkan. Di satu sisi kesepakatan qlobal ini harus lapang dada diterima, namun di sisi lain harus diakui perfilrnan Indonesia belum siap menghasilkan produk kompetitif. Kalaulah ada pelaku perfilman di Indonesia menghasilkan tilm komparatif, kendala lain berupa beban pajak impor bahan baku film sebagai barang mewah menjadi beban biaya produksi. Tingginya biaya produksi ini pada gilirannya mempengaruhi tingginya nilai jual film Indonesia dari harga jual film asing.

Oi sisi lain, Iingkup pemasaran dan peredaran film Indonesia masih belum merata dan menjadi kian terbatas karena berhentinya usaha perbioskopan di daerah akibat sulitnya memperoleh suplai film Indonesia. Akibatnya produk film Indonesia tidak memperoleh kesempatan untuk diapresiasi oleh masyarakat penonton. Pada situasi seperti inilah terjadi masa-masa suram industri perfilman Indonesia.

16 Hampir sebagian besar pelkerja kreatif di bidang perfilman kehilangan pekerjaan atau beralih karya di bidang film televisi,

Menghadapi kenyataan ini semestinya perfilman Indonesiia membuka diri dan memanfaatkan kesempatan yang ada agar dapat berkompetisi dan sesuai dengan kompetensi industri perfilman internasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengajak dunia industri lain, perbankan dan pihak swasta asing melakukan kerjasama produksi, permodalan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang perfilman. Ketertutupan investasi dan kerjasama sebagaimana yang diisyaratkan dalam Undang-Undang Perfilman selama ini kiranya tidak menguntungkan posisi Indonesia. dalam menyusul ketertinggalannya selama ini di bidang perfilman.

Pada bagian lain, mekanisme peredaran film di Indonesia dirasakan masih belum berpihak pada kepentingan film nasional, Bila beberapa waktu silam peredaran film Indonesia diatur oleh suatu perusahaan yang dibentuk khusus menangani peredaran dan dlstribusi ke seluruh Indonesia, maka kini pengaturannya ditangani langsung oleh pemilik film Indonesia atau importir film dengan pemilik bioskop sebagai pelaku pasar dan pengatur pasar. Kondisi ini memerlukan aturan main yang lebih transparan dan adi: karena sangat memungkinkan terjadinya monopoli atau terjadinya persekongkolan di antara pesaing, praktek­ praktek yang membatasi persaingan, kolus' antarpe/aku pasar dengan pengatur pasar, maka mekanisme peredaran akan tidak adil dan tidak sehat.

Dari sisi perpajakan, penyamaan nilai pajak tontonan antara film Indonesia dan film impor Juga dipandang membebani upaya pengembangan film nasional. Terhadap persoalan ini mungkin perlu dilakukan pertimbangan khusus denqan tujuan memberi keringanan pajak untuk industri film Indonesia dengan dilandasi kesadaran bahwa film memiliki fungsi strategis sebagai suatu tontonan yang tak lepas dari muatan budaya bangsa.

17 Dari uraian di atas perftlman Indonesia perlu dikembangkan dengan berlandaskan pada wawasan triple track strategy, yang meliputi pro growth, pro job, dan pro poor. Dinamika ekonomi yangl terkait dengan industri perfilman di atas menunjukkan perlunya pengaturan yang mampu mendorong perkembangan perfilman Indonesia secara ekonomis yang lebih responsif dan komprehensif.

2.2.3. Tinjauan Usaha Perfilman Situasi produksi film Indonesia layar lebar selama satu dekade terakhir sangat mengkhawatirkan. Apabita mengacu pada jumlah produksi maka perkembangan perfilman Indonesia mengalami suatu kondisi pasang surut dimana pada suatu saat menggembirakan, kemudian berganti kepada situasi yang sangat memprihatinkan. Masa kejayaan film Indonesia pada tahun 1970 hingga 1980 adalah potret nyata suatu masa ketika film Indonesia mendapatkan tempat di hati masyarakat penonton film.

Pada masa tersebut rata-rata produksi film Indonesia sekitar 90 judul per tahun. Masa inilah yang melahirkan banyak sineas berkualitas bahkan mengharumkan bangsa Indonesia, seperti Teguh Karya, Sjumandjaja, Wim Umboh. Artis-artis Indonesia seperti Siamet Rahardjo, Lenny Marlina, Yenny Rachman, merupakan "sukses" Indonesia yang tidak saja filmnya bertebaran di bioskop-bioskop Indonesia, tetapi pada masa tersebut film Indonesia beredar di luar negeri. Demikian halnya keberadaan bioskop yang tersebar di seluruh kota-kota dii Indonesia baik di ibukota provinsi maupun di kota-kota kabupaten, film Iindonesia dapat dikatakan sebagai pemasok utama gedung-gedung bioskop.

Jumlah produksi film tertinggi yang pernah mencapai 112 judul pada tahun 1991. Pada tahun berikut kondisl ini mengalami penurunan cukup signifikan yakni 62 judul pada tahun 1992 dan 41 judul pada tahun 1993. Penurunan produksi terus terjadi terutama disebabkan adanya krisis moneter hingga mencapai titik terendah pada tahun 2001 yang hanya mampu menghasilkan 6 judul, Pada tahun 2002 jumlah produksi sedikit bertambah yakni 10 [udul, dan dli tahun 2003 hanya meningkat tiga judul menjadi 13 judul. Jumlah produksi yang dihasilkan pada tahun 2004

18 sedikit mengalami kenaikan walaupun masih jauh dari apa yang diharapkan, karena pada tahun ini produksi film Indonesia mampu mencapai angka 21 [udul, Pada tahun 2005 jumlah film Indonesia meningkat menjadi 32 judul.

Data Produksi Film Indonesia dan Impor Film

1990 120 112 170 1991 78 151 160 1992 411 150 160 ...... "., ,,,.,, " ..

1993...... 28 145 160. ,,"' , . 1994 34 160 160

1 26 ....,, 160 , 160.

1996 23 ...... ",,,,,, 151.. 160

...... , 1997. 4 154 160 1998 11 161 160 1999 "'10 21 0 mm. •• .. kuota 2000 6 210 •••••" " """"""",,_,,••_.""",,,,,,,,,~ •••"""n""""""""""""""~"""",,,, "'"" """"m"••"" 6 213

2002...... " , 10, . 180 2003 13 180 2004 21 180

Sumber: Peta Perfi/man Indonesia, UGM,2004

Sementara produksi film lndonesia menurun, kuota film impor yang sebelumnya ditetapkan 160 judul per tahun dihapus dengan alasan tuntutan pasar yang tidak mungkin lagi adanya pembatasan dalam era pasar bebas. Akibatnya terjadi peningkatan film impor di tahun 1999 dan 2000 yang mencapai angka 210 judul, kemudian menlnqkat pada tahun 2001 menjadi 213 judul. Untuk tahun-tahun berikutnya impor film tidak melebihi 180 judul,

Menggaris bawahi jumlah produksi film Indonesia di atas yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pertuniukkan film di layar bioskop maka menjadi kewajiban semua pihak untuk menumbuhkembangkan kembali produksi film Indonesia. Sedikitnya ada empat persoalan pokok untuk meningkatkan produksi film Indonesia yang dapat dilakukan melalui regulasi yaitu:

19 • prosedur birokrasi dalam produksi film • mekanisme peredaran yang lebih rnenguntungkan film Indonesia • skema perrnodalan/pendanaan • keringanan beban pajak untuk film Indonesia

Mengacu pada UU NO.8 Tahun 1992 tentang Perfilman, jelas bahwa peran birokrasi sebenarnya sudah longgar, bahkan pada tingkat peraturan pelaksanaan banyak bentuk perizinan yang akhir-akhir ini sudah ditiadakan. Pada bagiian lain, kehadiran film impor yang jumlahnya cukup besar ikut memperlemah produksi film Indonesia. Kondisi ini diperparah lagi dengan pengenaan berbagai pajak terhadap film Indonesia sedangkan film irnpor hanya dikenakan bea impor. Harga Tanda Masuk (HTM) antara film Indonesia dengan film impor pun nyaris tidak ada pembedaan, karena berlaku besaran nilai pajak tontonan yang sama untuk masing-masing film. Kondisi produksi film Indonesia semakin parah manakala importir yang dulu relatif terbatas kini semakin bertambah dan berlomba mengisi kebutuhan film untuk bioskop dan televisi yang talk mampu diisi oleh film Iindonesia.

Krisis moneter yang terjadi hampir disemua sendi elkonomi nasional juga menimbulkan dampak bagi usaha perfilman Indonesia. Oalam kondisi tersebut masih ada generasi baru yang berusaha untuk mempertahankan keberadaan film Indonesia dengan caranya sendiri. Hasil perjuangan qenerasi baru ini sedikitnya dapat mengembalikan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia.

Harus diakui bahwa kurang berkembangnya kualitas produksi film Indonesia tidak terlepas dari berbagai faktor lain seperti profesionalitas sumber daya manusia (SOM) dan penguasaan teknologi daJam usaha perfilman. Kompetensi SOM di bidang usaha perfilman masih belum memadai untuk disejajarkan dengan karya film yang dilakukan usaha perfilman di luar negeri. Secara kualitas hanya sebagian kecil karyawan film yang dapat membuktikan hasil kerja yang maksimal. Umumnya tenaga kerja yang ada belum mencapai optimalisasi dan profesiolisme dalam berkarya. Oari hasil pengamatan yang dilakukan dijumpai variasi kelemahan atau kekurangan dalam diri tenaga perfilman Indonesia.

20 Sutradara misalnya, sebagian Ibesar sutradara yang ada belum dapat menguasai latar belakang budaya nasional yang pluralistis dan kompleks, sehingga film yanq dihasi/kan terasa janggal dan kurang realistis dalam penggarapannya. Demikian pula dengan penulis skenario, memiliki kelemahan dalam penuangan ide dan gagasan serta tanpa didukung dengan riset lapangan dan kepustakaan. Hal yang sama dijumpai pada tenaga penata gambar, penata artistik, penata suara, penata musik dan penata kamera yang mesti terus dipacu untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan keterampilan penguasaan teknologi.

Sentuk kelemahan lain yang menjadi permasalahan usaha perfilman Indonesia adalah belum tersedianya dana usaha yang memungkinkan kesinambungan produksi. Kondisi ini semakin tidak menguntungkan manakala ketentuan peraturan menutup kemungkinan masuknya investasi asinq dan sulitnya mendapatkan dukungan dana dari usaha perbankan.

2.2.4. Tinjauan Masa Depan Mengingat perfilman Indonesia mengalami keterpurukan dalam rentang waktu yang cukup lama, eksistensi dan fungsi pemerintah sebagai pemegang kebijakan di bidang perfilman nasional sangatlah diperlukan. Peran pemerintah sebagai fasilitator diperlukan terutama dalam hal pengembangan sumber daya manusia, teknologi, apresiasi, dan peran serta masyarakat. Di lain pihak peran pembentuk undang-undang sebagai regulator diharapkan mampu mengarahkan dan mendorong perfilman secara responsive.

Produksi film Indonesia merupakan kelbutuhan nasional yang perlu ditangani jika menginginkan kebangkitan dunia perfilman Indonesia. Dengan upaya peningkatan produksi yang memadai, industri perfilman Indonesia dapat hidup, bertahan, dan berkembang. Tentunya, produksi film ini berkaitan erat dengan persoalan sumberdaya manusia, peredaran, pertunjukan, [asa teknik, sensor, apresiasi, dan peranserta masyarakat. Penanganan perfilaman tidak dapat dilakukan secara parsial melainkan harus terencana, menyeluruh, dan terpadu. Konsepsi

21 yang harus dijadikan acuan dasar dalam hal ini adalah dengan menempatkan film Indonesia sebagaikarya budaya bangsa di samping sebagai media komunikasi massa yanq berperan menyebarluaskan infarmasi, hiburan, dan pendidikan.

Sejarah menunjukkan adanya aksentuasi yang berbeda dalam penanganan produksi film. Pemecahan permasalahan dalarn perfilman ini membutuhkan regulasi yang berkaitan dengan masalah keberadaan film irnpor, reformulasi kebijakan perpajakanfilm di pusat dan daerah, pengedaran, pertunjukan yang dinamis melalui pengaturan waktu perilisan film atau "window time". Hal ini perlu dipertegas dengan regulasi yang mengatur persaingan usaha yang sehat antara film nasional dan film irnpor, termasuk persaingan yang sehat antara bioskop, film keliling, stasiun televisi nasional dan televisi luar negeri, home video dan media pertunjukan film lain. Lebih dari itu diperlukan pula penanganan yang serius dalam pemberantasan rekaman video bajakan (VCD, DVD) atau bentuk lain yang mempunyai potensi besar mengganggu industri perfilman dan hak cipta atas karya film.

Selain hal di atas, sensor film perlu mendapat pertimbangan khusus mengingat alam reformasi saat ini menjanjikan hak kebebasan memperoleh informasi, berkarya dan berkreasi. Solusi bijak dapat dilakukan dengan cara melakukan klasifikasi film sesuai dengan ketentuan batas usia penonton berikut sanksi bagi pelanggarannya. Ketentuan terhadap ini mungkin baru dapat dilakukan bagli penonton film di bioskop, sedangkan untuk persebaran melaluitelevisi, film keliling, home video dan bentuk lainnya tentu dapat dilakukan dengan penegakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Kebijakan menghapus pta-sensor sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya patut dipertahankan, sernentara itu penqembanqan swa-sensar (self censorship) sudah saatnya dilaksanakan.

Banyaknya unsur yang terllbat dalam kegiatan perfilman dan eratnya keterkaitan antara satu dan yang lain, wajar apablla kegiatan masyarakat perfilman harus berlandaskan pada kode etik. Hal ini penting karena terkaitnya aspek usaha dan aspek keahlian bersifat saling

22 melengkapi dan tidak sepenuhnya dapat dijangkau oleh ketentuan yang bersifat formal. Selain itu seiring dengan globalisasi dan terbentuknya World Trade Organization (WTO) yang telah meratifikasi General Agreement on Trade and Tariff (GATT), upaya mengikuti sektor usaha lainnya di Indonesia, dan dalam rangka pemenuhan modal, maka di masa depan modal asing dapat diizinkan dengan pembatasan tertentu.

Ada pun dukungan yang diharapkan dari Pemerintah di masa depan dalam mengembangkan perfilman nasional adalah melalui (1) pengembangan pendidikan formal dan non-formal di bidang perfillman (2) pemberian beasiswa belajar ke luar negeri bagi karyawan film (3) memasukkan rnata pelajaran apresisi film dan sejarah film dalam kurikulum sekolah (4) menumbuhkembangkan kine klub, Iiga film dan komunitas film (5) mendukung penyelenggaran festival dan pekan film.

Semua gambaran di atas menuntut adanya penyempurnaan regulasi perfilman guna mewujudkan iklim yang sehat bagi perfilman nasional Indonesia sehingga penyelenqqaran perfilman dapat di!llakukan secara menyeluruh dan terpadusejak tahap produksi sampai tahap pertunjukan dalam suatu mata rantai yang berkesinambungan. Dengan demikian dapat dicapai hasil yang optimal sejalan dengan dasar, arah, dan tujuan penyelenggaraan perfilman. Termasuk di dalamnya adalah upaya menciptakan iklim yang dapat memacu pertumbuhan produksi film Indonesia serta bimbingan dan perlindungan agar penyelenggaraan usaha perfilman dapat berlangsung secara harmonis, saling mengisi, dan mencegah tindakan yang menjurus pada persaingan yang tidak sehat atau pemusatan usaha pada satu tanqan atau satu kelompok.

LANDASAN YURIDIS

Dari perspektif sejarah, pengaturan perfilman telah dimulai sejak masa colonial. Pengaturan perfilman dari sudut politik hukum terus dilakukan. Setelah kemerdekaan Pemerintah membentuk kementerian yang bertugas membina perfilman nasional secara keseluruhan. Pada tahun 1960 perfilman mulai diatur, melalui ketetapan MPRS NO.II/MPRS/1960 Lampiran A angka 1: Bidang Mental Agama/Kerohanian/Penelitian sub 16 yang menyatakan "Fllm bukan

23 semata-mata barang dagangan, melainkan a/at pendidikan dan penerangad' dan pada sub 20 B "Sega/a a/at komunikasi (mass communication) seperti pets, radio, film dan lain sebagainya haws dapat digerakan· sebagai one coordinated unit', yang secara bergelombang dan terpimpin dan terencana dan terus menerus menanamkan kesadaran sosialisme Indonesia dan Pancasila.

Peraturan ini kemudiian disempurnakan melalui Penetapan Presiden No.1 tahun 1964 tentang Pembinaan Perlfilman yang mengkoordinasikan segala kegiatan di bidang perfilman, termasuk pengimporan, pengekspbran, pembuatan dan pengedaran film dan pengawasannya dalam satu tangan Menteri Koordinator Kompartemen Perhubungan dengan Rakyat/Menteri Penerangan, yang langsung di bawah pimpinan Presiden/Pemimpin Besar Hevolusi; menetapkan syarat-syarat idiil yang tegas yang harus dijadikan pegangan pokok pembinaan dan pengembangan perfilman; melakukan tindakan-tindakan preventif dan represif untuk melengkapi dan menegakkan tindakan-tindakan pembinaan perfilman seperti dalarn hal perizinan dan sanksi hukuman bagi yang melanggar.

Sejak tahun 1964, pemerintah rnulai melakukan pengaturan yang lebih mengarah pada sektor-sektor perfilman yaltu sektor produksi, impor, ekspor, peredaran dan termasuk sensor film. Pada tahun 1965, Menteri Penerangan membentuk Direktorat Perfilman dengan tujuan membimbing, membina, serta mengembangkan perfilman nasional baik di bidang idiil maupun di bidang materil, serta membantu Menteri Penerangan dalam melaksanakan kebijakan umum pemerintah di bidang pengimporan, pengeksporan, pembuatan, peredaran dan pengawasan film; serta menyelenggarakan, menyempurnakan dan memperluas produksl film dokumenter dan film-film cerita. Tahun 1975 tugas pokok dan fungsi Direktorat Perfilman diperluas dengan memberikan bimbingan terhadap produksi, peredaran, pertunjukan, merencanakan pembuatan film-film cerita, dokumenter, penyelenggaraan humas dan mengupayakan peningkatan pengetahuan dan kemarnpuan kalangan perfilman. Sejak rekaman video dimasukkan ke dalam rumpun citra bergerak (moving images), maka pada tahun 1983 ditetapkanlah kebijaksanaan pembinaan rekaman video yang dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh Menteri Penerangan.

24 . Pada tahun 1992, pengaturan periilman ditetapkan dalam bentuk Undang­ undang yaitu Undang-undang No.8 Tahun 1992 tentang Periilman. Undang­ undang ini dapat dikatakan sudah lebih lengkap pengaturannya karena telah mencakup semua sektor periilman yaitu, produksi, [asa teknik, ekspor, impor, peredaran, penyensoran, pertunjukkan film, serta peran masyarakat dan lembaga periilman.

Keberadaan UU NO.8· Tahun 1992 ini pada awalnya diharapkan dapat menciptakan iklim dan mendukung perkembangan periilman di Indonesia. Setidaknya, ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam peraturan tersebut diyakini dapat menjadi pedoman bagi pelaku periilman, pemerintah dan masyarakat dalam membangun iklim kondusif upaya pengembangan kualitas dan kuantitas karya yang dihasilkan industri periilman. Namun dalam kenyataan pelaksanaannya, peraturan-peraturan yang ada itu belum dapat memberi konstribusi secara maksimal. Peraturan periilman dipandang belum mampu mengantisipasi tuntutan perkembangan i1mu pengetahuan serta teknologi, dan bahkan belum mampu rnembaca perkembangan sosial politik yang terjadi. Harapan untuk memperkokoh kebudayaan Indonesia melalui media film seakan menjadi sebuah rencana yang tak mampu diwujudkan. Pasal demi pasal yang ada di samping tidak lentur terhadap waktu, juga dianggap memasung kreatifitas.

Dampak yang dirasakan di antaranya adalah tercemarnya identitas budaya Indonesia, dekadensi moral dan tepuruknya produksi akibat ketidakmampuan menjawab tantangan reformasi dan globalisasi. Selama lebih dari satu dasawarsa, industri periilman Indonesia praktis berada dalam situasi yang memprihatinkan. Seluruh elemen periilman sulit menemukan ruang gerak aktifitas produksi, distribusi dan apresiasi. Kalaulah masih nampak adanya geliat aktifitas, kondisi yang ada belum mampu menciptakan iklim film khas Indonesia yang sehat dan dinamis. Adanya perkembangan teknologi, arus globalisasi dan tuntutan masyarakat yang rnakin meningkat mengakibatkan Iingkup pengaturan periilman sebagaimana diatur dalam Undang-undang NO.8 Tahun 1992 tidak laqi mampu mengakomodari kebutuhan hukum periilman di antanya belum dimungkinkannya modal asing untuk sektor produksi, terbukanya peluang monopoli dalam penga.daan film impor, peredaran film Indonesia yang termarginalisasi oleh film impor, dan kurangnya perhatian

25 pemerintah untuk mendorong lembaga pendidikan formal dan non formal untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di bidang perfi/man.

Kekurangan atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 mulai dirasakan sejak munculnya reformasi. Perundang-undangan di bidang perfilaman dituntut agar dapat memberikan dasar yang kuat penyelenggaraan perfilman di Indonesia. Upaya meninjau ulang Undang-Undang NO.8 Tahun 1992 telah beberapa kali dilakukan. Menjelang berakhirnya Orde Baru, desakan perubahan di/akukan pelaku perfilman kepada Pemerintah, namun desakan ini kurang mendapat perhatian dari Pemerintah. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie, keinginan untuk meninjau ulang peraturan perfi/man kembali dilakukan. Namun saat itu Pemerintah tidak melihat perbedaan krusial antarmedia sehingga berniat menyatukan peraturan perfilman, pers dan penyiaran menjadi satu paket UU Komunikasi Massa. Dalam perkembangannya kemudian, dengan menyadari adanya perbedaan karakterisitik masing-masing media maka masing-masing undang-undang tersebut diperhatikan kembali, sehingga kemudian disyahkanlah UU Pers sebagai revisi atas UU Pokok Pers dan Undang-Undang Penyiaran. Semangat untuk memperjuangkan revisi UU Perfilman cenderung pudar karena instansi yang menangani perfilman Indonesia secara definitif tidak jelas setelah Presiden Abdurrahman Wahid melakukan Iikuidasi Departemen Penerangan. Pada masa Presiden Megawati, keinginan merevisi Undang­ Undang Perfi/man belum memberi hasil, meskipun telah dihasilkan kebijakan strategis dengan menetapkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebagai instansi yang menangani perfilman.

Secara faktual, penyempurnaan UU tentang Perfi/man yang masih perlu diperjuangkan. Seiring berjalannya waktu, pemerintah perlu berjuang untuk merevisi UU NO.8 Tahun 1992. Konsepsi perjuangan tetap seperti dulu yaitu untuk memperoleh landasan pokok yang menjadi pegangan dalam mewujudkan cita-cita perfilman Indonesia sesuai dengan asas Pancasi/a dan UUD1945. Format perubahan yang dilakukan mengacu pada landasan flosofis, yuridis dan sosiologis yang memosisikan kepentingan industri film sebagai landasan kebebasan berkreasi, jaminan berusaha dan pencerahan sosial budaya. Sedangkan landasan operasional lebih diarahkan untuk memberi perlindungan perfi/man nasional agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi, teknologi .. dan sosial budaya masyarakat.

26 Perubahan Undang-Undang Perfilman ini diharapkan mampu meletakkan dasar dan pilar untuk membangun industri perfilman, dapat menjadi landasan pokok di bidang usaha perfilman yang bersifat msnyeluruh dan terpadu sejak dari tahap produksi sampai dengan tahap pertunjukkan, terrnasuk di dalamnya, mengembangkan sumber daya perfilman sebagai modal dasar gerak laju industri perfilman. Hingga saat ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman masih membayangi keberadaan industri perfilrnan Indonesia sementara pelaku perfilman dapat disebut bersikap "pasrah" dalam artian menunggu uluran tangan untuk melepas belenggu penghambat aktifitas mereka.

Berdasarkan uraian yang tersa] dalam landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis di atas menunjukkan urgensi dilakukannya penggantian atas Undang-Undang Perfilman di Indonesia guna dapat menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional, meneguhkan, dan melestarikan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan kebudayaan multikultur Indonesia, mampu menjawab secara maksimal persoalan perfilman Indonesia sebagai suatu produk kreatif kebudayaan dengan tantangan industri dan ekonomi yang bersifat dinamis di masa depan. Perfilman Indonesia saat ini memerlukan penyempurnaan dalam berbagai hal, termasuk di dalamnya perbaikan infrastruktur, dukungan teknologi, manajemen sumber daya manusia dan dukungan pemerintah dalam satu kesatuan.

27 BAS III HAKIKAT DAN ARAH PENGEMIBANGAN PERFILMAN

3.1. HAKIKAT FILM

Sejak tahun 1930an, Paul Rotha (dalam Nowell Smith 1997:xix) menyatakan bahwa film merupakan penemuan teknologi terbesar sepanjang massa dimana keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari dua ranah yang melingkupinya secara bersarnaan: budaya dan komersial. Dalam abad keduapuluh satu ini, film yang juga merupakan salah satu bentuk budaya kontemporer telah menjadi industri bernilai ribuan dolar Amerika.

Sebagai salah media massa yang berbentuk audio visual, film merupakan media yang sifatnya sangat kompleks. Film menjadi sobuah karya seni estetika sekaligus sebagai alat informasi yang terkadang blsa menjadi alat penghibur, alat propaganda bahkan a/at politik. Karenanya kehadiran film ~ sebagai salah satu media massa - bisa dilihat dari perspektif ekonomi, politik dan budaya sebagaimana yang dikatakan oleh Dennis McQuaii (2000:4). Dilihat dari perspektif ekonomi, media massa secara mantap memberikan kontribusl yang signifikan sebagaimana yang bisa dilihat dari pertumbuhan industri media, keberagaman industri media dan kekuatan industri media dalam pasar. Sementara dilihat dari perspektif politik, media massa secara bertahap menunjukkan dirinya sebagai elemen penting dalam proses demokratisasi politik dengan rnenyediakan wahana perdebatan politik serta distribusi informasi mengenai aktivitas politik. Selainitu media massa juga menjadi saluran untuk melatih kekuasaan yang menjadikan politikus dan agen pemerintah bisa rnenqklairn bahwa media merupakan kebenaran sebenarnya. Sedangkan dilihat dari perspektif budaya, media massa menjadi sumber utama untuk menyajikan gambaran tentang realitas sosial dan ldentitas bersama serta menyajikan lingkungan budaya bersarna,

Gagasan menarik berkaitan dengan media sebagai sebuah industri budaya, bisa disimak dari pemikiran Theodore Ardono dan Max

28 Hokheimer yang menggugat media yang tidak berfungsi kritis dalam kehidupan sehari-hari tapi malah memainkan peran yang sangat signifikan untuk menghancurkan semua nilai seni. Bahkan media juga telah membantu mentransformasikan harapan-harapan pencerahan menjadi prospek barbarianisme (dalam Tester, 1994:38). Istilan lndustrl budaya sendiri sebenarnya mulai dimunculkan oleh Adorno dan Hokheimer dalam buku mereka berjudul Dialectic: of Enlighment yang diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1947 dengan asurnsi utama yang bahwa industri budaya mempunyai dimensi oposan dan kritis (yang mungkin sa]a disebut dengan dimensi transendental) dari seni seringkali dihancurleburkan. Industri budaya media ini mengambil sesuatu seperti buku, lukisan dan musik kemudian merubahnya menjadi film, poster atau rekaman, hanya untuk kepentingan uang atau menghibur audiens dengan melupakan persoalan sehari-harinya dengan menjadikannya bagian integral kehidupan sehari-hari. Dalarn konteks ini, media dan nilai budaya dianggap acapkali tidak berada dalam posisi yang seimbang.

Secara spesifik, Adorno dan Horkeirner pada tahun 1972 seperti dikutip Tester (1994) menyamakan film dengan radio melalui pernyataannya:

"Movies and radio no longer pretend to be art. The truth that they are just business is made into an ideology in order to justify the rubbish they deliberately produce .. They call themselves industries; and when their directors' incomes are published, any doubt about the social utility of the finished products is removed"

Yang menarik dari pandangan Adorno dan Hokheimer adalah pandangan mereka terhadap industri budaya yang dianggap sebagai sebuah bentuk tunggal dan bukan bentuk jamak. Menurut mereka, semua cabang media cenderung bekerja menurut sistern yang seragam dan monolitik. Tidak ada perbedaan signifikan antara apa yang dilakukan film terhadap sastra dengan apa yang dilakukan fotografi terhadap lukisan. Ba.hkan film, radio dan majalah menjadikan sistem yang seragam sebagai sebuah kesatuan dari beragam tempat. Lebih lanjut dikatakan mereka bahwa semua budaya massa terlihat identik dalam sistem yang bersifat monopoli sehingga konsekuensi dari bekerjanya industri budaya yang monolitik dan monopolistik adalah terciptanya standarisasi dan produksi massa.

29 Mereka menegaskan bahwakehidupan nyata tak bisa lagi dibedakan dari film. Bahkan suara dari film dianggap tidak lagi menyisakan tempat bagi audiens untuk berimajinasi dan berefteksi. Film menahan dan membatasi kernampuan imajinasi yang bisa distimulasi oleh seni. Da/am konteks ini, Adorno dan Hokheimer melihat bahwa apapun yang disentuh oleh film akan berhenti menjadi seni. Meskipun begitu, diakui oleh mereka bahwa sebagai industri budaya film mempunyai kemampuan untuk memproduksi suara yang beragam serta berbagai ekspresi yang sulit dibayangkan. Film juga berharga dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari karena film menahan spekulasi apapun tentang nilai mereka sebagai seni atau budaya.

Film diakui oleh Adorno dan Hokheimer sebagai media yang secara ekstrim menghibur, walaupun mereka bersikeras kalaupun film menghibur itu hanyalah karena audiens atau penonton film sebenarnya telah mengalami proses dehumanisasi dimana mereka bisa tertipu oleh sampah. Kemampuan menahan kekuatan imajinasi dan spontanitas konsumen media massa seharusnya tidak dilacak pada berbagai mekanisme psikologis mereka, melainkan harus dikaitkan dengan karakter obyektif produk itu sendiri.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, industri budaya bisa didefinisikan sebagai sebagai industri yang "dalam semua cabanqnya, produk yang disesuaikan bagi konsumsi massa dan sangat menentukan sifat konsumsi tersebut serta diciptakan menu rut sebuah perencanaan". Dengan kata lain, industri budaya menjadikan budaya sebagaimana ia saat ini dari atas dan sesuai dengan definisi yang diciptakannya tentang apa yang dibutuhkan audiens (yang didefinisikan ulang sebagai massa konsumen). Konsekuensi negatif yang timbul adalah adanya keseriusan seni yang bernilai tinggi (high art) bisa hancur gara-gara spekulasi tentang efektivitasnya, keseriusan seni yang lebih rendah menjadi binasa bersamaan dengan tekanan yangada karena kontrol sosial tidak bersifat total. Padahal seni bernilai tinggi seni yang mempunyai nilai yang mengatasi realitas sehari-hari serta bisa memberi inspirasi bagi imajinasi kontemplatif dan spekulatif dari berbagai dunia dan beragam konsepsi tentang hidup yang berbahagia. Nilai sejati budaya tinggii terletak pada

30 keterpisahannya dari kehidupan sehari-hari. Sedangkan, seni yang lebih rendah merupakan konsekuensi seni tinggi yang harus mengatasi masalah realitas material.

Berbeda dart Tester - dengan sebagian besar 'meminjam' pemikiran Adorno dan Hokheimer' - yang melihat media rnassa sebagai industri kultural dari segi budaya dan moralitas, McQuail (2002:278) melihat industri kultural ini dart perspektif ekonomi dirnana industri kultural dianggap sebagai bisnis dan industri yang berhubungan dengan produksi, pertunjukkan dan distribusi dalam bidanq seni, pendidikan dan i1mu pengetahuan. Dalam konteks ini, seniman dan pekerja budaya juga dapat melakukan klaim terhadap budaya artistlk yang menjadi representasi dalarn output media.

Sementara itu, Peter Golding dan Graham Murdoch menegaskan bahwa setiap orang dari politikus hingga ilmuwan memiliki pendapat yang sama bahwa sistem komunikasi dengan media yang ada selama ini menjadi bagian dari industri budaya (Curran dan Gurevitch, 1992:15). Pernyataan ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran bahwa orqanisasl media dalam beberapa hal memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dengan industri lainnya. Di satu sisi, media rnassa mempunyai fitur yang bervariasi yang meliputi beragam tahapan produksi dan secara langsung terintegrasi dengan struktur industri secara umum. Oi sinl lain, produk yang dihasilkan media massa rnemainkan peranan yang penting dalam mengorganisir citra dan wacana yang ada dalam masyarakat.

3.2. PENGERTIAN DAN KONSEPSI FILM

"Film" menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia adalah benda tipis seperti selaput yang dibuat dari seluloid tempat gambar potret negatif, yang akan dibuat atau dimainkan dalam bioskop, dipilemkan, digambarkan jadi pilem, dijadikan cerita bioskop. Definisi film berdasarkan kamus ini mengandung dua hal yaitu film sebagai tempat gambar potret negatif dan film yang dimainkan di dalam bioskop.

31 Pengertian film di atas dirasakan belum mengantisipasi perkembangan ilmu dan teknologi, karena dewasa ini film bukan hanya sekedar selaput tipis yang dibuat dari seluloid, tetapi dapat pula berasal dari penemuan teknologi lainnya dengan berbentuk, jenis dan ukuran yang berbeda serta diproses secara kimiawi, elektronik atau pun proses lain. Film juga tldak hanya sekedar dapat dipertunjukkan di bioskop, melainkan juga dapat ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik dan elektronik.

Atas dasar perkembangan inilah maka definisi "film" perlu disusun ulang sebagai koreksi dari pengertian film yang terkandung dalam UU NO.8 Tahun 1992, menjadi sebuah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/ atau bahan-bahan hasil penemuan teknologi lainnya (digitalisasi), dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi, mekanik, elektronik dan atau teknik pertunjukkan mutakhir lainnya (misalnya: e-cinema).

Dua pengertian tersebut sangat sederhana jika dibandingkan dengan pengertian film menurut rumusan UNESCO dan para ahll budaya visual. UNESCO menyebutkan film dimasukan dalam rumpun citra bergerak (moving image) yang berarti segala rnacam bentuk perekaman pada bahan baku seluloid, pita, piringan dan sebagainya, dengan atau tanpa suara yang apabila diproyeksikan memberi kesan "gambar hidup".

Definisi selengkapnya yang telah dirumuskan oleh UNESCO adalah sebagai berikut : IIMoving lmeqes" shall be taken to mean any series of images recorded on support (irrespective of the method of recording or of the nature of the support, such as film, tape or disc used in their initial or subsequent fixation) with or without accompanying sound, which when projected impart art impression of motion and witch are intende for communication or distribusion to the public or are made for documentation purposes; they shall be taken to include inter alia items in the following categories; 1) cinematographic productions (such as feature films, short films, popular science films, newsreels, and documentaries,animated and education films); 2) television production made by or for broadcasting organizations;

32 3) videographic productions (contained in videograms) other 4) than those referred to under (i) and (ii) above.

Menunjuk pada pengertian UNESCO di atas film, dalam pengertiannya yang paling mendasar, adalah gambar bergerak (moving image). Agar sebuah gambar bisa bergerak maka ia mensyaratkan dua hal: hubungan dengan gambar yang lain dan hubungan dengan sesuatu atau ruang di luar layar; terutama manusia (penonton) dan suara.

Gambar akan terlihat bergerak apabila dirangkai dengan gambar lain di dalam rentang waktu tertentu (durasi), Sementara dari sudut pandang penonton, sebenarnya, tidak pernah ada gambar yang diam sebab tidak ada penonton yang berada dalam kondisi statis. Sebagai penonton, kita melihat gambar dari 'sebelah sini' atau 'sebelah sana', mencondongkan tubuh ke depan mengamati detail gambar, atau mundur untuk melihat keseluruhan. Dalam pengertian ini, maka film pertama di dunia adalah gambar purba di dinding gua di Lascaux yang berkerlip karen a cahaya api seturut leluhur kita bergerak melintasi gambar-gambar tersebut. Gambar menjadi bergerak karena penontonnya yang bergerak, baik secara fisik atau imajinatif dalam rentang waktu yang subjektif (CUbiti dalam Fauzani 2008).

Selain itu unsur yang membuat gambar bergerak adalah; suara. Berbeda dengan gambar, suara mensyaratkan waktu dan waktu menuntut gerak. Gambar bergerak adalah suara yang menguasai cahaya (baca: gambar) (ibid). Oleh karena itu film seringkali disebut sebagai media 'audio-visual': di mana 'suara' (audio) mendahului 'gambar' (visual). Gambar terasa bergerak karena ia mengikuti gerak suara.

Film, karena ia gambar-bergerak, selalu menciptakan konteks yang bersifat kontinyu seputar gambar-gambar ketika ia bergerak. Konteks tersebut memancing munculnya pemahaman mendasar disekitar bingkai atau layar yang menampikan gam bar tersebut. Sehingga apa yang kita Iihat menjadi lebih luas dari bingkai atau layar tersebut,

Beberapa istilah lain yang terkait dengan film dapat digambarkan sebagai berikut:

33 "Perfilman" Kata "perfilman" berasal dari kata dasar "film", Jika dikaitkan dengan jenis­ jenis kegiatan di bidang pertilrnan maka yang dimaksud dengan "perfilman"adalah rangkaian kegiatan usaha film yang ada, Dengan demikian definisi perfilman dapat dirumuskan sebagai seluruh kegiatan yang berhubungan dengan aspek pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukkan, dan apresiasi film.

"Pembuatan Film" "Pembuatan Film' terdiri dari dua kata yakni kata pembuatan yang berati cara (hal/membuat); pembikinan dan kata film. Dalam konteks ini pengertian pembuatan film mencakup pembuatan film dengan dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/ atau bahan­ bahan hasil penemuan teknologi digital lainnya. Secara spesifik pengertian pembuatan film disini diartikan sebagai suatu pekerjaan proses pembikinan film untuk menghasilkan film cerita maupun film non-cents untuk dipertunjulkkan di gedung bioskop dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi, mekanik, elektronik dan atau teknik pertunjukkan mutakhir lainnya, termasuk e-cinems.

"Peredaran Film II Kata "peredaran" berasal dari kata "edar" Yang berarti perputaran, gerak keliling. Arti lain adalah edar adalah gerakan (perjalanan dan sebagainya) berkeliling; keadaan beredar; tempat sesuatu yang beredar; peralihan dari keadaan (tempat) yang satu kepada keadaan (tempat) yang lain; perputaran. Kata ini mendapat imbuhan penq-an yang berarti perbuatan. Dikaitkan dengan film, maka "peredaran film" adalah kegiatan penyebarluasan film seluloid, rekaman video atau teknologi digital lainnya kepada konsumen.

"Pertunjukan film" Pertunjukkan film adalah pemutaran film selulold, rekaman video atau bahan digital lainnya yang dilakukan melalui proyektor mekanik dalam

34 sebuah gedung bioskop atau tempat lain yang dipergunakan sebagai pemutaran film.

"Jasa Teknik" Jasa teknik film adalah penyediaan [asa tenaga protest, dan/atau peralatan yang diperlukan dalam proses pembuatan film serta usaha pembuatan rekaman video.

"Ekspor Film" Menurut kamus bahasa Indonesia, "ekspor" berarti pengiriman (barang) ke luar negeri. Dikaitkan dengan film rnaka yang dimaksud dengan "ekspor film"adalah kegiatan untuk mengirim, menjual, memperdagangkan, mengedarkan, mendistribusikan film dalam bentuk apapun baik cerita maupun non cerita dari Indonesia ke luar negeri.

"Impor Film" Menurut kamus bahasa Indonesia "impor" berarti memasukkan barang dari luar negeri. Dengan dernikian "Impor Film' adalah kegiatan untuk memasukkan, mendatangkan film dalam bentuk apa pun dari luar negeri ke wilayah negara Indonesia.

"Pengklasifikasian Film" Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia kata "Klasifikasi" adalah pengolongan; pengelompokkan berdasarkan hal-hal tertentu; misalnya berdasarkan usia; jenjang kepandaian; tingkat sosialnya, dan lain-lain. Dikaitkan dengan film maka 'penqklasifikasian film" penelitian dan penggolongan terhadap film untuk menetapkan penggolongan usia penonton yang akan dipertunjukkan di bioskop.

"Aotesies!" Kata "apresiasi" mengandung makna penilaian dan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu karya seni. Dalam kaitan film, maka istilah "apresiasi film" adalah pemberian penilaian yang baik dan penghargaan dari masyarakat terhadap suatu karya film. Bentuk apresiasi dapat dilakukan secara ekonomis (membeli tiket pemutaran, membeli

35 VCD/DVD) atau memberikan pendapat yang positif di media massa (dalam bentuk resensi dan kritik fillm).

3.3. KOMPONEN PERFILMAN

Rumah Produksi Film biasanya diproduksi oleh rumah produksi. Rumah produksi dapat berbentuk PT, CV, Yayasan atau kelompok amatir. Proses produksi film meliputi pra produksi, produksi dan paska produksi.

(1) Tahap Pra-produksi merupakan segala perencanaan yang dibangun mengenai sistem produksi yang hendak dijalankan dalam tahap produksi. Perencanaan tersebut berupa materi produksi, seperti naskah, sarana dan prasarana yang digunakan. Pada tahap pra­ produksi ini terdapat prosedur baku yang tercantum dalam UU Perfilman Nomor 8 Tahun 1992: Sebelum produksi dimulai pembuat film harus melakukan pendaftaran. Tujuannya agar pemerintah maupun organisasi pembuatan film dapat mengetahui data perkembangan produksi film Uumlah maupun tema), penggunaan artis dan Ikaryawan serta perusahaan jasa teknik yang digunakan. Kegiatan pendaftaran film tidak dipungut biaya dan dapat dikirim melalui pas. Pendaftaran pembuatan film harus dilengkapi: (a) judul dan sinopsis cerita film yang dibuat (b) daftar karyawan inti dan artis-artis pemeran utama (c) nama perusahaan jasa teknik film yang digunakan. Pendaftaran atas pembuatan film dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Menteri denqan menggunakan Formulir Model D. Tata cara pembuatan ini berlaku sama baik untuk pembuatan film seluloid maupun rekaman video. Jika seluruh persyaratan terpenuhi, maka selambat-Iambatnyalima hari kerja Menteri hams mengeluarkan Tanda Pendaftaran Pembuatan Film Seluloid (TPP-PS) dan Tanda Pendaftaran Pembuatan Rekaman Video (TPP-VR) yang ditandatangani oleh

36 Oirektur Pembinaan Film dan Rekaman Video atas nama Menteri dengan menggunakan Formulir DO (Kurnia, 2004:12-13). (2) Tahap Produksi merupakan segala proses perekaman suara dan gambar dalam upaya penciptaan sebuah karya seni. (3) Tahap Pasca-produksi merupakan segala proses penyuntingan, mixing, printing, dan penggandaan film. Tahap ini merupakan tahap akhir dalam sebuah proses pembuatan film. Pada tahap ini film dikemas sebagai hasll akhir yang siap untuk didistribusikan.

Bioskop Bioskop merupakan ujung mata rantai pemasaran perfilman arena menjadi sarana yang mempertemukan film sebagai komoditas budaya sekaligus industri dengan penonton yang sekaligus menjadi konsumen. Berdasarkan sifat-sifat penyelenggaraan acaranya yang juga terkait dengan jenis film yang diputarnya, bioskop dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

(1) Bioskop Mainstream Bioskop mainstream merupakan ruang pemutaran yang memutar film­ film dengan batasan teknis film (seperti jenis film dan durasi). Oi Indonesia film yang dapat diputar di bioskop mainstream adalah film dalam bentuk seluloid berdurasi 1,5-2 jam. Biasanya bioskop semacam ini terletak di pusat perbelanjaan dan di kota besar (2) Bioskop Alternatif Bioskop semacam ini diselenggarakan oleh beragam kelompok (sebagian besar non komersial) untuk penonton yang spesifik. Institusi yang menyelenggarakan bioskop lni adalah sekolah atau universitas, kine klub, perkumpulan pembuat film, lembaga kebudayaan, lembaga kajian film dst.

Televisi Televisi pertama di Indonesia mengudara pada tahun 1962 sejalan dengan penyelenggaran Asian Games. Siaran televlsi ini kemudian kontinyu mengudara pada tahun 1966 karena mendapatkan subsidi tetap dari pemerintah.

37 Sepanjang kehadirannya televisi menayangkan film nasional dan film asing. Film nasional yang ditayangkan berbentuk sinetron (sinema elektronik) dan film seluloid yang ditransfer dalam film digital. Sinetron dapat berbentuk cerita bersambung (serial) maupun sinetron lepas (film televlsi). Ada dua metode pertunjukkan film/ sinetron di televisi. Pertama, rumah produksi membeli jam tayang tertentu di televisi kemudian mengisinya dengan sinetron produksi mereka. Dalam kasus ini seluruh pendapatan iklan masuk ke rumah produksi. Metode kedua, stasiun televisi membell sinetron dan menempatkan pada slot yang disepakati antara rumah produksi dan stasiun televlsi.

Terkadang stasiun televisi juga menayangkan film nasional yang telah diputar di bioskop mainstream. Dalam kasus ini stasiun televisi memberikan royalti pada rurnah produksi. Besaran royalti ditentukan oleh berhasil atau tidak sebuah film saat diiputar di bioskop mainstream. Di banyak kasus, rumah produksi yang tidak mendapat keuntungan saat memutar filmnya di bioskop mainstream dengan cepat menjual film mereka pada televisi untuk mendapatkan tambahan pendapatan.

Distributor Film Distributor film bertanggungjawab dalam menghadirkan film pada penontonnya. Saat ini distribusi film dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu pemutaran film (bioskop) dian peredaran VCD/DVD di toko kaset dan video dan televisi.

Selain melalui bioskop dan festival, banyak produsen film komersial dan non komersial, profesional dan amatir mengedarkan film mereka dalam bentuk VCD dan DVD. Dalam kerangka produksi profesional dan komersial biasanya produksi keping VCD dan DVD dilakukan oleh perusahaan percetakan tersendiri yang berbeda dengan Rumah Produksi. Sedangkan untuk produksi non komersial dan amatir pembuat film memproduksi sendiri keping film mereka.

Saluran distribusi yang biasa digunakan adalah toko kaset, toko buku, toko (persewaan) video dan internet (pembelian on line). Saat ini harga sebuah VCD film panjang (durasi 1-2 jam) berkisar antara Rp 20.000,00 -

38 Rp 25.000,00, dalam bentuk DVD antara Rp 40.000,00 - Rp 50.000,00, sedangkan untuk film VCD/DVD non komersial dan amatir dibandrol Rp 10.000,00. Pendistribusian seperti ini digunakan untuk menjangkau penonton yang berada jauh dari bioskop. Pemutaran film di bioskop yang hanya dalam kurun waktu pendek juga menjadi alasan bentuk distribusi semacam ini, meskipun harus diakui bahwa saluran distribusi semacam ini rentan pembajakan.

Festival Film Festival film merupakan bentuk pemutaran yang berlangsung pada satu atau beberapa tempat dalam kurun waktu tertentu. Dalam festival film biasanya terdapat pemutaran banyak film, seminar, diskusi dan acara pendukung.

Menurut Kurnia dkk (2004: 143-144), festival film bisa diklasifikasikan dengan berdasar pada:

Sifat: Berdasarkan sifatnya, festival film bisa dibagi menjadi dua, yaitu bersifat "kompetitif" (dilombakan) dan yang bersifat "nonkompetitif" (tidak dilombakan). Festival kompetisi biasanya memiliki berbagai kategori yang diperlombakan dengan penghargaan berupa nama tertentu. Pemilihan dilakukan secara bertahap dimulai dari penyeleksian awal, pemilihan nominasi, dan pengumuman pemenang yang biasanya dilenggarakan dalam sebuah 'pesta' tersendiri. Festival seperti ini biasanya diselenggarakan rutin setahun sekali.lV1isalnya yang pernah diadakan setiap tahun adalah Festival Film Indonesia. Festival film non kompetitif tidak memberikan penghargaan khusus untuk film-film yang diputar karena semua film yang diputar detempatkan sejajar dan tidak saling berkornpetisi memperebutka kategori tertentu. Contohnya adalah Jakarta Internasional Festival (JiFFest).

Negara asal film Dilihat dari asal negaranya, festival film terbagi menjadi tiga, yaitu internasional, regional, dan nasional. Festival film internasional biasanya memutar berbagai film dari berbagai negara yang tidak dibatasi wi/ayah

39 geografis tertentu. Misalnya, Jakarta Internasional Festival (JiFFest). Festival film regional biasanya memutar film dari kawasan regional tertentu seperti Festival Film Eropa ataupun Festival Film Asia Pasifik. Sedangkan festival film nasional adalah festival yang memutar film dari satu negara khusus. Misalnya Festival Film Indonesia (FFI), Festival Film Australia, ataupun Festival Film Perancis.

Tempat penyelenggaraan Dilihat dari tempat penyelenggaraannya, festival film bisa dibagi menjadi dua, yaitu: • Festival film di dalarn negeri. Contohnya: Festival Film Indonesia (FFI), Jakarta Internasional Festival (JiFFest), • Festival film di luar negri. Contohnya: Festival Film Asia Pasifik.

Jenis film Berdasarkan jenis film yang diputar, festival film bisa dibagi menjadi: • Festival film yang memutar film cerita layar lebar atau komersia/; seperti FFI dan Festival Film Asia Pasifik. • Festival film yang memutar film [enis film pendek (biasanya berdurasi sekitar 30 menit) seperti Festival Film Pendek Indonesia­ Australia dan Festival Film Konfiden.

Penyelenggara Dilihat dari penyelenggaranya, 'festival film di Indonesia bisa diselenggarakan oleh pemerintah (FFI), lembaga independen (JiFFest­ Yayasan Masyarakat Mandiri), komunitas film (Festival Film Independen­ Konfiden), lembaga kebudayan (Festival Film Perancis-L1P & CCF), media khususnya stasiun televisi (Festival Film Independen Indonesia-SCTV).

Masyarakat Film Selain rumah produksi sebagai pembuat film dan distributor, komponen lain yang penting dalam perfilman adalah masyarakat film. Masyarakat film mencakup penonton film, wartawan film, kritikus film, dan institusi pendidikan film.

40 a. Penonton Film Meski tidak membentuk lembaga khusus, penonton fiilm merupakan komponen masyarakat film yang penting. Mereka terlibat dalam proses menonton dan apresiasi film secara luas. Penonton ini terkumpul di bioskop, festival dan penonton individual melalui peredaran VeD dan DVD dan televisi. Selama apresiasi penonton lebih banyak dihitung secara kualitatif. Apresiasi sebuah film yang diputar di bioskop ditentukan oleh berapa jumlah penonton dan berapa lama penonton bertahan tayang di bioskop. Biasanya bioskop mainstream menetapkan jika dalam 3 hari jumlah penonton tidak memenuhi tarqet maka film tersebut tidak akan ditayangkan di hari keempat. Apresiasi film melalui festival biasanya tidak didasarkan pada jumlah penonton namun melalui pilihan kurator, Peredaran \lCD dan DVD ditentukan berdasarkan jumlah kepinq yang beredar. Ada keyakinan di kalangan produser semakin lariis film mereka di bioskop maka semakin banyak juga VCD/DVD bajakan yang beredar. Apresiasi penonton televisi didasarkan oleh rating. Penentuan rating disusun berdasarkan penelitian badan survei penonton televisi. Di Indonesia semua televisi mengacu pada data AC Nielsen yang dikeluarkan tiap minggu. Badan survei ini mendapatkan data mereka dari alat telemeter yang dipasang pada televisi para responden. Mereka memilih 100 pesawat televisidari 12 kota besar Indonesia. Rating tersebut menghitung prosentase penonton yang menonton tayangan tertentu. b. Wartawan Film Untuk memperlancar proses promosi dan apresiasi film, biasanya rumah produksi melibatkan wartawan film untuk menulis atau menampilkan resensi film di media. bentuk resensi dapat berupa pemberitaan, wawancara dan kritik film. Kehadiran media hiburan yang sangat banyak jumlahnya belakangan meningkatkan jumlah wartawan atau media yang memberikan perhatian besar pada film. Selain tergabung di media hiburan,

41 wartawan film juga bekerja di media umum seperti divisi pemberitaan televisi, harian umum, majalah berita, majalah gaya hidup dll. Resensi yang positif ini sangat besar perannya untuk menarik penonton ke tempat pemutaran (bioskop) karena sebelum menonton biasanya penonton mencari intorrnast tentang film tertentu.

d. Institusi Pendidikan Masyarakat film lain yang rnemeqanq peranan penting adalah institusi pendidikan film. Hingga saat ini di Indonesia hanya satu perguruan tinggi yang memiliki takultas khusus film yaitu Fakultas Film dan TV Institut Kesenian Jakarta (IKJ). FFTV IKJ menyediakan tujuh

42 konsentrasi minat bidang perfilman dalam level 03, 04 maupun S1, yaitu: (1) Produksi Film, (2) Penulisan Skenario Film, (3) Asistensi Penyutradaraan Film, Penyutradaraan Film (S-1/0-4) (4) Sinematografi, (5) Tata Artistik Film, (6) Tata Suara Film, dan (7) Editing Film. Oi banyak perguruan tinggi, ilmu tentang film merupakan bagian dari ilmu komunikasi. Ilmu komunikasi menyampaikan teori dan praktek produksi film dalam rnata kuliah sinematografi dan filmologi. Universitas yang memiliki jurusan IImu Komunikasi misalnya UGM, UI, UNAIR, UNPAD. Selain melalui pendidikan formal, pendidikan film juga diberikan oleh lembaga kursus / ketrampillan. Lembaga semacam ini memberikan paket pendidikan produksi film sebagai misal paket menguasai kamera, alat editing, tata lampu dst. Harus diakui dibandingkan dengan Korea, Jepang dan Singapura jumlah lembaga pendidikan film yang berkualitas di Indonesia sangat sedikit jumlahnya padahal insititusi ini berperan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berujung pada perbaikan kualitas perfilman tanah air.

Pemerintah Selain komponen-komponen di atas, terdapat pula komponen lain yang tak kalah pentingnya yaitu pemerintah yang terdiri dari berbagai unsur yakni: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dan Lembaga Sensor Film (LSF). Jika pada era Orde Baru, pemerintah cenderunq berperan sebagai regulator sekaligus pengontrol perfilman nasional, maka pada paska Orde Baru pemerintah diharapkan lebih berperan lebih sebagai fasilitator berbagai komponen perfilman nasional.

3.4. POLITIK DAN ARAH PENGEMBANGAN IPERFILMAN

Penyelenggaraan perfilman di Indonesia selama ini dipengaruhi berbagai faktor. Seperti halnya bidang lain, perfilman saling berkaitan dengan aspek lainnya. Selain landasan folosofis, sosiologis, dan yuridis perfilman pasti berhubungan dengan bidang ekonomi, budaya, dan politik. Dari perspektif

43 politik, perfilman dapat dikaitkan dengan kebijakan, untuk itu kadang­ kadang film dapat menjadi suatu sarana komunikasi dan informasi dan dari sudut industry, film sebagai suatu entitas bisnis, Oari sisi kebudayaan film sebagai suatu produk kebudayaan yang bersumber dari kreatif yang terus berkembang. Pemikiran tentang upaya pengembangan industri perfilman nasional Indonesia kedepan harus dilandasi oleh pembelajaran terhadap pengalaman sejarah penyelenggaraan perfilman nasional dan hal-hal yang yang harus dlperhatikan dallam mengisi pertumbuhan industri perfilman di masa yang akan datang.

Pengembangan perfi/man nasional Indonesia kedepan diarahkan dalam upaya penyelenggaraan good film governance, sebagai prasayarat solutif pertumbuhan industri perfilman secara sehat dari proses produksi hingga ke proses distribusi dan apresiasinya.

3.4.1. Film Dan Politik Negara

Film sebagai Sarana Politik Film mulai dikenal orang Indonesia ketika orang Belanda datang dan memutar film-film produksi dunia 'Barat' dan utamanya tentang kisah percintaan. Orang-orang Belanda ini pun kemudian banyak membuat film tentang penduduk asli Indonesia (Mother Dao), di samping terdapat kenyataan bahwa Belanda menyadari bahwa film dapat dijadikan sebagai alat propaganda (Sen, 1994). Film propaganda pertama yang dibuat di Indonesia diproduksi oleh ANIF (Alegemeen Nederlandsch - Indich Film) dengan judul Tanah Sebrang, 1936. Selain bangsa Belanda, importir Cina dan India pun kemudian mulai mendatangkan film dari negara asal mereka. Oi antara para importir ini ada yang kemudian menjadi produser film. Indonesia pada masa awal perfilman nasional (Melati van Java, 1928).

Bahwa fi/m dapat dijadikan alat propaganda juga disadari oleh Jepang yang kemudian berkuasa dan menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun. Pada tataran ini, kandungan fungsi hiburan

44 dalam suatu film beranqsur-anqsur berkurang dan kemudian cenderung difungsikan sebagai alat propaganda. Salah satu langkah yang diambil Jepang adalah menjalankan bioskop keliling ke beberapa kota di Indonesia, dengan mendatangkan enam orang ahli bioskop keliling dart negeri Jepang. Bioskop keliling tersebut dipimpin oleh seorang Jepang atau pribumi dengan menggelar pertunjukkan layar tancap qrans ke kampung-kampung dan tentunya film-film yang diputar adalah film-film propaganda Jepang. Tercatat pada bulan Desember 1943, bioskop keliling propaganda Jepang menyebar darl lima kota, yaitu dari Jakarta menyebar ke Bogor dan Banten; dari ke Priangan, Cirebon, dan Banyumas; dari Yogyakarta menyebar ke Solo, Madiun, dan Kedu; dari Surabaya menyebar ke Bojonegoro dan Madiun; dan dari Malang menyebar ke Kediri dan Basuki. Dengan kata lain, Jepang sangat menyadari pentingnya peranan film sebagai alat politik dalam proses pendudukannya di Indonesia.

. Selain itu, Jepang juga mengontrol pengoperasionalan bioskop­ bioskop yang juga dipergunakan sebagai sarana propaganda dengan menunjuk staf pengelolanya dari Eiga Haikyusha (pengedar film). Seluruh bioskop yang digunakan Jepang untuk alat propaganda tersebut berjumlah 35 bioskop (23 di Jawa Barat, 3 di Jawa Tengah, dan 9 di Jawa Timur) dari 117 bioskop di tahun 1943. Melalui film propaganda tersebut, Jepang ingin menunjukan pada masyarakat Indonesia bahwa secara politis Jepang adalah pemimpin Asia.

Keberhasilan Jepang menjadikan film sebagai media propaganda mengilhami penguasa Orde Lama di Indonesia bahwa film dapat difungsikan secara politis. Tindakan pertama yang berkaitan dengan itu adalah dengan merekam proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945 (Sen, 1994). Tindakan selanjutnya adalah dengan rnemroduksi film bertema perjuangan dan nasionalisme. Dalam catatan sejarah perfilman Indonesia, Usmar Ismail memproduksi film Darah dan Doa yang berkisah tentang perjuangan seorang

45 tentara dalam Divisi Siliwangi dan Enam Jam di Jogja yang berkisah tentang kepahlawanan.

Oi sisi lain, pihak yang berkuasa saat itu juga melakukan tindakan politis yang dianggap perlu, yaitu dengan menyensor bagian film yang dianggap tidak menguntungkan militer. Pada awal 1950-an, sebagai contoh, nyaris tak ada film yang lolos dari gunting sensor penguasa dengan alasan seperti menyinggung kelemahan militer (Oarah dan Doa, serta Enam Jam d1i Jogja), mengganggu hubungan Indonesia-Belanda (Antara Bumi dan Langit), penggambaran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terbelakang (Embun, Black Magic of Bali).

Dl masa Orde Baru, film pun kembali tak lepas dari peran politisnya sebagai media propaganda. Meskipun tema film mulai beragam, proses pengawasan pemerintah yang ketat kerap menghasilkan film dengan kecenderungan yang demikian. Bentuk-bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru adalah akses produksi film terkonsentrasi di tangan para penguasa negara, menggunakan lembaga sensor yang melakukan kontrol produksi mulai naskah hingga hasil akhir, membentuk organisasi dan konsorsium berisi produser film, distributor, pengimpor film, dan juga pemilik bioskop, serta pemberlakuan hirarki karir. Berbagai bentuk peraturan ini merupakan upaya pemerintah untuk mengendalikan industri perfilman sebagai alat politik di Indonesia.

Beberapa film layar lebar dibuat berdasarkan 'pesanan' politik pemerintah Orde Baru seperti Pengkhianatan G30S/PKI, Mereka Kembali, Bandung Lautan Api, dan Janur Kuning. Seluruh film itu berkisah tentang keberhasilan Soeharto atau Divisi Siliwangi menyelesaikan masalah. Nyaris serupa dengan tujuan politis Jepang dalam mengendalikan perfilman, Soehartoberupaya menciptakan sejarahnya sendiri sebagai "Bapak" dan "Pahlawan Bangsa".

46 Pemerintah melalui Perusahaan Film Negara (PFN) juga memproduksi film untuk penyiaran di televisi (TVRI) yang pada dasarnya berisi 'propaganda' mendukung pemerintah dan militer atau penanaman nilai tentang bagusnya pemerintah dan militer. Selama dekade 1980-1990an ana.k-anak disuguhi serial boneka berjudul Si Unyil yang menunjukan pada anak-anak ba.hwa pemerintah, diwakili Kepala Desa dapat menyelesaikan beragam masalah (Kiitley, 2000). PFN juga memproduksi serial Keluarga Rahmat yang berkisah tentang kehidupan bertetangga kelas menengah di sebuah komplek perumahan dengan Pak Rahmat, seoranq pensiunan militer, menjadi penyelesai masalah.lnti dari Film sebagai sarana politik, secara sempit menjadikan film sebagai alat untuk menyalurkan kehendak penguasa. Dalann pengertian luas seharusnya kebijakan itu seharusnya dipahami secara komprehensif bukan sernata-mata menyalurkan kehendak penguasa, melainkan lebih berorientasi pada keputusan penguasa yang berkaitan dengan kepentingan nasional/bangsa. Dari perspektif politik, perfilman pada rnasa yang akan datang tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat.

Film Sebagai suatu Entitas Bisnis Setelah peristiwa G30S tahun1965" yang diikuti dengan sikap anti Cina (komunis), film Amerika cendlerung mendominasi peredaran film di Indonesia. Dalam waktu singkatAMPAI (American Motion Picture) menguasai impor dan dlstribusl film di bioskop-bioskop Indonesia. Pemerintah membagi importir film menjadi empat kelompok besar pada tahun 197:2, yaitu Mandarin Consortium (diketuai Suptan Film milik Sudwikatmono), Asian Consortium (diketuai Adhi Vasa Film milik Purwoto Sukendar), Euro-America I (diketuai Archipelago Film millk 1N~dodo Soekarno) dan Euro­ America II (d1iketuai Jati Film Jaya milik Herman Samadikun). Dalam hal ini, semua perusahaan film yang berhasil menjadi ketua konsorsium dikenal dekat dengan Presiden Suharto.

Dari sinilah titik tolak penempatan film nasional dimunculkan sebagai suatu entitas bisnis. Perusahaan importir film serta merta

47 menjadi kerajaan-kerajaan bisnis industri perfilman. Menteri Penerangan pada waktu itu, Ali Murtopo, kemudian mengeluarkan kebijakan yang berisi tiap tiga film yang diimpor, importir harus membiayai produksi satu film nasional. Hasilnya [umlah film nasional melonjak dari 52 judul pada tahun 1977 menjadi 122 judul pada tahun1982 (Sen, 1994).

Pada tahun 1986, Subentra mulai membangun cinema complex (cineplex) di Indonesia. Bioskop pertama didirikan di Jakarta yang terdiri dari beberapa layar bioskop sekaligus. Subentra yang juga pemilik Suptan Film kemudian mendirikan banyak cineplex di beberapa kota besar di Indonesia yang tergabung dalam jaringan supermarket Golden Trully. Pengalilhan investasi dari sektor minyak yang jatuh dan akses mereka terhadap film lrnpor, membuat kelompok Subentra mudah menguasai jalur eksibisi film di Indonesia. Pada tahun 1989, Subentra telah menguasai 10% atau sekitar 2.500 layar bioskop yang ada di Indonesia. Jumlah kepemilikan mereka terus bertambah sehingga kekuasaan mereka menentukan film yang dapat diputar di bioskop di Indonesia juga tak tertandingi. Konsekuensinya, produser film tanah air harus menyesuaikan selera dengan keinginan pemilik bioskop agar filmnya dapat diputar di jaringan Subentra. Film Indonesia sendiri kemudian seperti mengalami mati suri di bioskop tanah air, meskipun pada awal 2000 hadir kembali dengan kondisi perbioskopan yang tak jauh berbeda.

Peran negara yang semakin ternan dalam hal pengendalian impor, produksi dan distribusi film menyebabkan pembuat film nasional harus berkompromi dengan pemillk bioskop jaringan Subentra. Oi samping alasan produksi film yang tidak murah, banyak produser film nasional yang mernllih jalan pragmatis dengan memroduksi film yang 'pasti' laku di pasar yaitu horor dan kisah cinta. Alhasil kemudian, muncul beragam film yang patut diragukan kualitasnya karena salah satunya bersifat merendahkan akal budi manusia.

48 3.4.2. Produk MlIltikulturlisme Dan Industri Kreatif

Film sebagai Produk MlIltikulturaliisme Secara sederhana multikulturalisme kerap mengingatkan bahwa kita hidup dli da/am sebuah masyarakat atau negara yang terjalin dari berbagai kelompok atau suku bangsa dengan ragam budaya, bahasa, tingkat ekonomi, kecenderungan politik, dan warna kulit. Namun multikulturalisme jarang secara serta merta mengingatkan kita bahwa hubungan antarkelompok masyarakat dan hubungan dengan negara tidak simetris; selalu ada dominasi dan sub­ ordinasi. Multikulturalisme pun kerap dipahami sebaqai alat untuk melakukan pembedaan agar dapat menjadi landasan penyeragaman dan bukan sebagai acuan melakukan pemberdayaan (Marks, 2000). Dalam prakteknya, hal yang sekiranya penting dilakukan adalah memahami multikulturalisme tidak hanya sebatas pada memahami dan bersolidaritas atas perbedaan dan keragaman kebudayaan, akan tetapi membuat perbedaan dan keragaman dapat terjalin dan berlangsung secara sehat, memperkaya pengalaman hiclup dalam perbedaan, dominasi dan sub-ordinasi, dan memaksimalkan struktur kekuasaan (ekonomi-politik) dalam menentukan, membentuk, dan memanfaatkan perbedaan dan keragaman di masyarakat.

Jika menilik sejarah produksi, distribusi dan eksiblsl film di bagian depan, agaknya bangsa Indonesia kurang memiliki pengalaman untuk memroduksi film multikultur. Sutradara, produser dan distributor pun bahkan tidak peka adanya perbedaan sosial, ekonomi dan budaya yang berujung pada ketimpangan akses dan kesejahteraan. Perbedaan budaya memang dapat dimaknai sebagai perbedaan yang eksotis (dalarn film Serial Anak Seribu Pulau, Ada Apa Dengan Cinta dan Denias, sebagai contoh). Namun tentunya tak cukup hanya perbedaan eksotis inilah yang harus dimunculkan dalam produk film muiltikultur. Mungkin hanya film Si Amat karya Syumanjaya, Ketika Naga Bonar Jadi 2 dan Kiamat Sudah Dekat karya Deddy Mizwar yang berhasil menunjukan multikulturalisme dengan tajam.

49 Kemampuan penonton memahami film sebagai bentuk pembelajaran multikulturalisme (menyangkut soal perbedaan sosial, ekonomi budaya dan telaah kritisnya) pada dasarnya dapat memperkaya cara pandang atas kemajemukan I

Film sebagai Produk Industri Kreatif Korea, India, Jepang, Hongkong, dan tentu saja Amerika sudah membuktikan sebagai negara-negara yang mampu menjadikan film sebagai produk industri kreatif. Dalam pengertian sederhana saja, industri film mernilikl kontribusi dalam membulka lapangan pekerjaan. Film Korea mendominasi pasar domestik dengan tiket terjual 82.7% pada tahun 2006 meningkat dari tahun 2004 yang berkisar 81.8%. Di negara ini terdapat 1.847 layar bioskop dan orang Korea menonton sekitar 2:,4 film. Tercatat, pendapatan sebuah film box office di Korea mencapai satu [uta 'Won. Sedangkan di Hongkong sekitar 7,3% penduduknya bekerja di sektor film dengan jumlah ekspor produk audio visualnya bernilai 316 juta HK$. Artinya, Hongkong mengalami surplus sebesar tiga juta HK$ di sektor tersebut denga.n nilai tambah dari sektor film sebesar 1,648 juta HK$ dan menyumbang Gross Domestic Product (GOP) 0,13%.

Menurut Marie Elka Pangestu (Bisnis Indonesia, Oktober 2007), industri kreatif perfilman Indonesia menyumbangkan 4,75% dari PDB tahun 2006 di Indonesia dan angka ini sudah berada di atas sektor Iistrik, gas dan air bersih. Laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia pada tahun 2006 mencapai 7,3% per tahun dan angka ini pun lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang

50 5,6%. Sementara itu, pertumbuhan sektor ekonomi Ikreatif global diperkirakan 5% per tahun dan berkembang dari 2,2 triliun US$ pada Januari 2000 menjadi 6,1 Triliun US$ pada tahun 2020 (Yusuf Waluyo Jati, Bisnis Indonesia 16 Juli 2007).

Perkembangan film sebagai produlk industri kreatif akan semakin terbuka dengan mengingat bahwa perkembangan teknologi sangat mempengaruhi industri ini. Prospek ekonomi dari teknologi perfilman yang berkembang lewat proses digitalisasi dan teknik pertunjukkan mutakhir di masa depan tentunya juga akan ikut berkembang.

3.4.3. Arah Pengembangan Perfilman

Good Film Governance Film sebagai sarana politik atau film yang semata-mata menghasilkan keuntungan finansiial ternyata tidak membawa keuntungan bagi masyarakat. Sebagai film politik, film hanya menguntunglkan pihak yang berkuasa dan tidak mencerdaskan bangsa. Sebagai produk bisnis, film berorientasi pada hiburan semata dan berkonsekuensi rnerendahkan akal budi, seperti nampak dalam film horor, seks dan kekerasan. Berdasar pada pemikiran ini, telah saatnya bagi industri perfilrnan Indonesia bergerak menjadi suatu industri yang lebih baik. Hal ini bukan berarti film tak dapat dijadikan media politis dalam artian positif seperti menyatukan bangsa, membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. Pada saat yang sama film juga harus mampu menjalankan peran bisnisnya untuk menjamin kelangsungan produksi.

Pemerintah, pemodal, dan masyarakat film harus bergerak bersama menciptakan iklim film yang kompetitif dan kondusif bagi kemajuan kebudayaan (seni dan pendidikan) bangsa. Agar dapat berperan secara maksimal, perkembangan film Indonesia membutuhkan good film governance yang dalam hal ini pemerintah Indonesia perlu belajar dari negara tetangga Korea dalam

51 mengelola industri pertllrnan, Selain berhasil secara bisnis, film Korea juga mampu menampilkan politik kebudayaan Korea yang positif di mata dunia. Kemampuan menyelenggarakan good film governance membuat film Korea berhasll menjadi produk industri .kreatif sekaligus produk kebudayaan yang mendukung kemajuan bangsa Korea di mata internasional.

Sejak tahun 1980-an generasi muda film Korea, dikenal dengan generasi '386', memulai restruktunisasi perfilman Korea. Hal itu dijalankan dengan memperbaiki sistem sensor yang awalnya terlalu ketat, tidak jelas dan korup. Selanjutnya para produser film menarik konglomerat Korea (Chaebol) merambah dunia film sehingga industri film mendapatkan suntikan dana segar. Sistem produksi (pembuatan, distribusi, pernutaran, dan peredaran DVD) yang semula terpisah kemudian bergerak dalam satu atap. Di lain pihak, pemerintah Korea melalui badan film mereka yaitu KOFIC (Korea Film Council) di bawah Departemen Budaya dan Pariwisata memfasilitasi perkembangan perfilman Korea dengan mendorong pertumbuhan dan pengembangan film Korea melalui pendanaan, penelitian, penentuan kebijakan, pendidikan dan pelatihan profesional. Badan ini juga bertanggungjawab membentuk pasar film Korea dalam skala global dan membentuk pemahaman antarbudaya melalui pertukaran film (www.koreanfilm.or.kr). Beberapa hal yang dilakukan pemerintah Korea adalah mendirikan Korean Film Research Center yang bertugas menyediakan informasi penting seperti statistik, analisis dan publilkasi industri perfilman (produser dan distributor) dan masyarakat film, Korean Academy of Film Arts sebagai lembaga pelatihandan pendidikan pekerja film tingkat dunia, mendirikan KOFIC Studios di Namyangju sebagai penyedia fasilitas dan pelayanan produksi film negara dan seni, melakukan revisi terhadap undang-undang film pada tahun 1980 yang mendorong kelahiran serta kemakmuran pembuatan film independen dan mencanangkan Rencana Pengembangan Budaya sepuluh-tahunan serta Tahun Drama dan Film pada tahun 1991 untuk mempromosikan film dan serial televisi lokal sebagai sebuah

52 upaya menyejajarkannya dengan film-film Hollywood (Chaiworporn,2007).

Indonesia sebenarnya memiliki modal awal yang eukup baik. Menilik dari kasus Korea, Indonesia telah memiliki BP2N dan LSF yang jika dikelola dengan balk mampu berfungsi seperti KOFIC di Korea. Selain itu, muneul kelompok masyarakat film (produser, distributor, kritikus film, kelompok pembuat amatir) yang bila berkoordinasi dengan baik dapat meninqkatkan daya saing industri perfilman tanah air di samping telah adanya institusi pendidikan film yang memadai mampu menjembatani kebutuhan komersial dan kebudayaan.

Globalisasi Perfilman Dalam kaitannya dengan tujuan pembangunan nasional bermuaranya tentu pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat,dan pengakuan atas jati diri bangsa dan meningkatnya kemampuan daya saing bangsa di dunia internasional. Perfilman indonesia harus mampu bersaing dan dapat diterima seeara internasional, oleh karenanya prinsip-prinsip pengembangan perfilman Indonesia perlu dipertegas dan mengaeu pada kesepakatan-kesepakatan yang telah diterima secara iinternasional. Tujuan dari hal ini adalah memberi arah dalam proses produksi, distribusi dan apresiasi film nasional, sebagai landasan industri perfilman dalam mengikuti kepentingan nasional, serta sebagai aeuan agar industri perfilman Indonesia dapat diterima dan mampu bersaing dalam tata pergaulan internasional.

Prinsip-prinslp perfilman internasional yang perlu diperhatikan dalam pengembangan industn perfilman nasional adalah human rights, gender, keselamatan dan kearnanan kerja anak, freedom, equality, peace dan security.

Human rights, gender dan perlindungan anak Merupakan suatu hal yang paling mendasar jika perkembangan industri perfilman nasional dilandasi oleh kemampuannya

53 menghormati dan menjaga hak-hak asasi manusia, sehingga industri perfilman nasional tidak dicemari oleh masalah diskriminasi dalam hal agama, jenis kelamin, disabilities dan warna kulit. Paralel dengan itu, kesetaraan gender dan keamanan serta keselamatan dalam penggunaan tenaga kerja anak-anak merupakan suatu hal yang harus mendapat pertimbangan lebih mendalarn.

Kebebasan Perkembangan film nasional pun harus dibangun atas dasar prinsip kebebasan bagi insan perfilman nasional untuk berkreasi dan mengembangkan diri. Pengekangan terhadap kebelbasan pada dasarnya menumpulkan kecerdasan otak dan kecerdasan hati untuk berkarya. Kebebasan yang demikian dengan sendirinya menuntut tanggung jawab darii insan perfilman pula untuk menjaga kebebasan yang dia miliki, menjaga kebebasan pihak lain, serta menjaga kehormatan dari kebebasan itu sendiri.

Kebebasan diartikan sebagai kemerdekaan untuk setiap individu, kelompok dan satuan sosial lainnya dalam menggunakan film sebagai alat berekspresi, Iberkarya dan berusaha. Kemerdekaan ini bukanlah kebebasan mutlak karena kemerdekaan tiap kelompok dibatasi oleh kemerdekaan kelompok lain. Landasan kebebasan dalam perfilman di Indonesia mencakup: • Kebebasan berekspresi setiap kelompok yang dituangkan sebagai lsi dan bentuk film. • Kebebasan berkarya yang harus dapat mendorong terciptanya perfilman nasional yang berkualitas. • Kebebasan untuk menjadikan film sebagai produk industri kreatif yang secara setara memberi keuntungan finansial dan prestasi sosial,

Kesetaraan Kesetaraan menunjuk pada kesempatan yang seadil-adilnya untuk setiap pihak yang terlibat dalam perfilman Indonesia yaitu pemerintah (negara), industri fiilm dan masyarakat. Kesetaraan tidak diartikan sebagai perlakuan yang sama tetapi perlakuan yang adil

54 untuk tiap pihak. Sebagai misall, fungsi negara sebagai fasilitator memberi kesempatan dan fasilitas yang lebih banyak untuk plhak yang lebih membutuhkan sehingga memiliki posisi yang setara dengan pihak yang Ilain. Dalam hal ini, kesetaraan yang perlu dicapai meliputi: kesetaraan budaya Kebijakan perfilman harus diarahkan untuk menunjukan keberagaman budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perfilman )/ang bersifat multikultur perlu dikembangkan untuk memberi kesempatan seluas-Iuasnya bagi seluruh kelompok budaya. ekonomi Kebijakan perfilman harus diarahkan untuk memberi peluang usaha yang adil untuk semua pihak. Undang-Undang ini diharapkan mampu membatasi praktik pemusatan usaha yang selama ini terjadi di Indonesia. Kesetaraan ekonomi ini akan mengundang investor dan iklim industri yang kondusif sehingga secara keseluruhan diharapkan dapat memperluas pasar film nasional. sosial-poJitik Kesetaraan pada seluruh kelompok yang ingin berpartisipasi dalam perfilman nasional. Perfilman nasional diarahkan pada praktik anti diskriminasi dan memiliki keberpihakan pada masyarakat luas. Sehmqqa seluruh kelompok sosial memiliki kesetaraan berusaha, berekspresi dan menyampaikan gagasan kelompoknya.

Perdamaian dan keamanan Perkembangan perfilman nasional perlu pula diarahkan untuk dapat menjadi kekuatan yang mampu menjaga dan menciptakan perdamaian. Kekreatifan insan perfilman dapat digugah dan diarahkan pada prinsip ini, dengan menjauhi produksi film yang justru cenderung dapat memicu munculnya konflik di dalam masyarakat. Paralel dengan hal ini, perdamaian yang diciptakan tentunya dapat pula menunjang terpeliharanya keamanan.

55 Security diartikan sebagai terjaminnya perlindungan bagi seluruh budaya yang tumbuh di Indonesia, pihak yang bekerja di bidang perfilman dan terlebih lagi nation state-Indonesia. a. perlindungan budaya Undang-undang perfilman yang baru harus dapat memberi perlindungan bagi seluruh budaya, sehingga tidak ada lagi kelompok yang dapat menindas kelompok lain karena didasarkan oleh nllai budaya tunggal. b. perlindungan terhadap nation-state "Indonesia" Undang-undang perfilman yang baru harus dapat menjamin terjaganya kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. perlindungan terhadap pemangku kepentingan (negara, pasar, masyarakat) Undang-undang perfilman yang baru harus dapat melindungi segenap pemangiku kepentingan sehingga mereka mampu mengembangkan perfilman nasional. Dengan kata lain, perfilman nasional tidalk sekadar menjadi alat politik pemerintah atau berorientasi bisnis semata, namun menjadi produk industri kreatit, produk budaya dan produk seni pendidikan.

Dengan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip global di atas, perkembangan perfilman di Indonesia diyakini dapat berlangsung. Pertarna, dengan menjalankan prinsip-prinsip ini insan-insan perfilman dapat memaksimalkan kapasitas diri dan perannya untuk terjun dalam industri perfilman nasional. Kedua, pelaksanaan prinsip-prinsip ini pun dapat membantu memudahkan pihak-pihak lain dalam mengembangkan diri dan dunia mereka masing-masing.

56 BABIV MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERFILMAN

Berdasarkan beberapa isu dan pokok permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, bab ini akan menyajikan substansi pokok RUU tentang Perfilman sebagai pengganti atas Undang-Undang No 8 tahun 1992.

Ide dasar yang harus direalisasikan dalam RUU ini adalah sebuah kondisi penyelenggaraan perfilman Indonesia yang dilandasi oleh good film governance. Kondisi yang diciptakan dengan cara menata kembali hubungan antara negara, industri perfilman dan masyarakat secara keseluruhan menuju industri perfilman yang bertanggungjawab (akuntabilitas), bervisi ke depan, transparan dalam operasionalisasinya, serta menjunjung supremasi hukum dalam interaksi antaraktor di dalamnya. Semangat penataan kembali (re­ regulasi) diharapkan merupakan jiwa Undanq-Undanq Perfilman yang baru.

Film sebagai produk kebudayaan Indonesia diharapkan mampu menggali serta mencerminkan kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia (multiculturalism) sedemikian rupa dalam tampilannya. Jika hal ini bisa diwujudkan maka film akan menjadi medium budaya yang efektif bagi bangsa Indonesia dalam memaknai wawasan kebangsaan Indonesia (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa Indonesia (character building). Potensi film yang semacam ini harus disadari oleh seluruh pemangku kepentingan sehingga film mampu dioptimalkan sebagai sesuatu yang sangat penting dan strategis untuk membangun karakter bangsa.

Dengan mempertimbangkan berbagai potensi positif di atas, penyelenggaraan perfilman Indonesia ke depannya harus mengarah pada bentuk industri kreatif yang bersandar pada kreatifitas, keahlian dan bakat yang memiliki potensi meraih keuntungan dan penciptaan lapangan pekerjaan melalui pengembangan dan penggalian kemampuan intelektual secara tepat. Pada konteks inilah film merupakan sebualh entitas bisnis dan sosial budaya yang layak dipikirkan secara optimal dan profesional sehingga lebih berdaya dan berhasil guna.

57 Perkembangan industri film ke depart, perlu c1iarahkan untuk mencapai tiga pilar strategi yaitu: meningkatkan pertumbuhan baik kualitas maupun kuantitas (pro growth), meningkatkan penyerapan tenaga kerja (pro job), dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (pro poor).

Untuk mewujudkan perfilman sebagai industri kreatif yang sehat da strategis, maka seluruh produksi, distribusi dan konsumsi film harus diarahkan untuk meningkatkan keahlian, kreatifitas dan kecerdasan para pembuat dan konsumennya. Pada intinya, dalam industri yang semacam ini, pengembangan sumber daya manusia dan inovasi mutlak diperlukan terus menerus untuk menjamin kesinambungan produksi. Oari berkembangnya industri kreatif ini pemerintah dapat menerima pemasukan di bidang perpajakan dan devisa yang bisa berkontribusi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun fungsi ini diharapkan tidak mendominasi fungsi lain, sehingga penonton juga mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan tontonan yang berkualitas. Rancangan Undang-Undang tentang Perfilman harus mampu mengoptimalkan fungsi informasi sedemikian rupa sehingga film sebagai sebuah media informasi lebih berdaya guna dan berhasil guna bagi masyarakat secara luas.

Di bawah ini akan digambarkan mengenai pokok-pokok substansi Rancangan Undang-Undang tentang Perfilman, sebagai berikut:

4.1. ASAS DAN TUJUAN PERFILMAN

Penyelenggaraan perfilman hendaknya dilaksanakan berdasarkan atas asas-asas sebagai berikut"

58 • "kemanusiaan" adalah bahwa setiap kegiatan dalam lingkup perfilman harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak­ hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. • "Bhinneka Tunggal Ika'' adalah perfilman diselenggarakan dengan memperhatikan dan menghormati keanekaragaman sosial budaya yang hidup diseluruh wilayah negara Indonesia. • "efisiensi keadilan" adalah bahwa penyelenggaraan perfilman harus mencerminkan keadilan secara proporsional dan efisien bagi setiap warga negara tanpa kecuali. • "ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap kegiatan perfilman harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. • "keserasian, keselarasan, dan keseimbangan" adalah perfilman harus mencerminkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, lingkungan, dan kepentingan bangsa dan negara. • "kemandirian" adalah bahwa penyelenggaraan perfilman dilakukan dengan menggunakan seoptimal mungkin seluruh kemampuan dan sumberdaya bangsa. • "kemitraan" adalah perfilman diselenggarakan secara bersama-sama antar seluruh komponen perfilman maupun pemerintah dan masyarakat. • "transparansi dan akuntabilitas" adalah pnnsip pengelolaan kegiatan perfilman dan pengelolaan keuangan perfilman yang akurat, jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. • "partisipatif" adalah perfilman diselenggarakan dengan memberikan kesempatan secara luas keterllibatan masyarakat. • "kebersamaan" adalah bahwa. penyelenggaraan perfilman harus mencerminkan kebersamaan dalam wujud musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap penqarnbilan keputusan

Sedangkan tujuan dari penyelenggaraan perfilman adalah sebagai berikut: • mencerdaskan kehidupan bangsa; • membina persatuan bangsa dan kesatuan; • meningkatkan harkat dan martabat manusia;

59 • membangun, mengembangkan dan melestarikan nilai budaya bangsa; • memperkenalkan budaya, jatidiri dan karakter bangsa Indonesia kepada dunia internasional; • membangun watak dan kepribadian bangsa, • memperluas lapangan kerja untuk kesejahteraan masyarakat.

4.2. FUNGSI PERFILMAN

4.2.1. Fungsi Pelestarian dan Pengembangan Nllal Budaya. Fungsi pelestarian dan pengembangan nilai budaya dalam film dilakukan dalam upaya : 1) Melestarikan puncak-puncak kebuclayaan yang terdapat di daerah sebagai dasar kebudayaan bangsa. 2) Memajukan usaha pengembangan dari unsur-unsur tradisional sesuai dengan keadaan jaman. 3) Melakukan inovasi yang menguntungkan dan tidak bertentangan dengan jalur pembangunan budaya tanpa meninggalkan unsur tradisional. 4) Tidak menolak unsur-unsur asing yang dapat memperkaya dan melengkapi kebudayaan nasional secara positif. Untuk masuk ke area sebagaimana dluraikan diatas, dalam pembuatan film Indonesia, semua insan perfilman harus dibekali dengan wawasan budaya. Dengan demikian diharapkan, hasilnya akan mencerminkan kebudayaan Indonesia, bukan merupakan tiruan dari kebudayaan asing.

4.2.2. Fungsi pendidikan Sebagaimana diketahui film adalah suatu jenis teknologi komunikasi yang dapat digunakan untuk mendukung proses belajar-mengajar, dan dalam menyebarluaskan nilai-nilai edukatif dan kebudayaan baik dalam maupun luar sekolah bagi rnasyarakat yang c1ijadikan sasaran. Sekalipun film tersebut tidak menghubungkan anak didik langsung dengan objeknya, film dengan gambar hidupnya menjacli perantara yang c1apat di sistemasikan untuk tujuan-tujuan khusus yang memudahkannya mengerti suatu permasalahan.

60 Film dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan dan dengan pengelolaan secara efektif dan efisien dapat membantu tujuan pendidikan dan pengembangan generasi muda. Dalam pembuatan film harus tercipta mekanisme hubungan timbal batik antara dunia pendidikan dan masyarakat perfilman agar jelas film-film apa yang sebaiknya dibuat.

4.2.3. Fungsi Informasi Berbeda dengan media masa lain film lebih dapat menyajikan informasi yang matang dalam konteks yang relatif lebih utuh dan lengkap. Pesan­ pesan film tidak bersifat topikal dan terputus-putus tetapi dapat ditunjang oleh pengembangan masalah yang tuntas. Dari segi ini, informasi yang dibawakannya dapat diserap oleh khalayak secara lebih mendalam. Media ini menggunakan distorsi dalam proses konstruksinya baik ditingkat fotografi atau pemaduan gambar yang dapat memanfaatkan informasi, membesarkan ruang atau melompati batas waktu. Film dapat menimbulkan keterlibatan seolah-olah sangat intim dengan memberikan gambar atau bagian badan yang sangat dekat atau membawa penontonnya ikut ke kamar tidur atau ke kamar mandi.

Film juga berfungsi sebagai sumber informasi. Film memberikan khalayaknya bahan untuk dibicarakan dan dibahas, termasuk informasi yang tidak mempunyai relevansi yang langsung terhadap dirinya. Dalam hal ini film memperlengkap dan memperbandingkan dengan informasi yang diterima dari tempat lain, termasuk dari kegiatan komunikasi pembangunan. Dengan demikian, film bukan saja dapat menunjanq informasi lain tersebut tetapi juga dapat menghambatnya, tergantung pada krediibilitas film bagi khalayak yang bersangkutan.

Dalam penyelenggaraan perfilman suatu kode etik produksii film akan lebih lengkap dan sempurna jika memperhatikan aspek-aspek informasi tersebut diatas. Masalah etika inforrnasi, film tidak dipandang sernata­ semata dari isi dan tema cerita film, tetapi menyangkut juga totalitas film sebagai media. Pelaksanaanya dapat dipengaruhi oleh berbagai pihak,

61 termasuk pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam struktur pembuatan film.

4.2.4. Fungsi Hiburan Sebagai sarana hiburan film berperan sebagai media kultural edukatif yang mampu merangsang penonton untuk mengembangkan pemikiran dan logika dalam menentukan sikap clan tindakan atas dasar berbagai pilihan dan pengalaman sebagaimana diperagakan dalam alur cerita. Sebagai alat hiburan film itu hendaknya tidak menjadi alat propaganda ideologi yang betentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tidak menampilkan kebiasaan hidup yang berlebihan dan melemahkan mental dan moral manusia Indonesia. Sebagai hiburan film tidak merangsang tindak kekerasan, tidak merangsang tingkah laku seksual yang menyimpang dan tidak merangsang timbulnya ketegangan-ketegangan sosial.

Atas dasar uraian tersebut, maka dalam pembuatan film Indonesia hendaknya tidak memberikan kemungkinan pemeranan adegan-adegan yang tidak pantas terutama pada perkembangan usia rawan bagi pertumbuhan fisik anak-anak/remaja. Dalam pembuatan film Indonesia harus dilakukan oleh tenaga terampil kreatif yang dlakui, sehingga sanggup memberikan bentuk sinematik artistik yang berkualitas baik pada hasll karyanya. Dislnllah diperlukan adanya kode etik produksi film Indonesia.

4.2.5. Fungsi pendorong karya kreatif Dalam proses penyelenggaraan dan pembuatan suatu film, kekreatifan dan kebaruan menjadi kunci pentlnq penerimaan masyarakat atas produk film. Kecenderungan sekarang yang menunjul\kan pengulangan tema dalam masifikasi produk sangat perlu dibenahi dan dihilangkan. Oi sinilah perlunya insan-insan perfilman mengasah diri, mengembangkan ketrampilan dan karyanya sehingga produk-produk merelka dapat dinilai sebagai suatu karya kreatif.

62 4.2.6. Fungsi ekonomi Penyelenggaraan perfilman tidak terlepas dan sangat berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Sebuah film melibatkan banyak pihak dimulai saat pembuatan sampai dengan pertunjukannya. Pada saat produksi, melibatkan unsur-unsur ; Sutradara, penulis skenario, produser, karyawan film, pemain dan lain-lain. Pada saat film diproses menjadi film melibatkan tenaga jasa teknik, dan [asa laboratorium. Pada saat film diedarkan melibatkan sarana dan tenaga untuk mendistribusikan film tersebut dan sarana bioskop atau stasiun televisi sebagai media pertunjukannya.

Keseluruhan kegiatan tersebut merupakan lapangan kerja dan mata pencaharian bagi masyarakat yang tentunya akan memberikan penghasilan bagi kehidupannya. Dari sisi usaha perfilman memberikan keuntungan bagi pengusaha sekaligus menjamin kesinambungan produksi dan bagi pemerintah dapat meberikan pemasukan dibidang perpajakan dan devisa dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat .

4.4. PEMBANGUNAN PERFILMAN Penyelenggaraan perfilman harus dilakukan sebagai bagian dari upaya pembangunan nasional yang dilakukan. Dengan berdasar pada hal ini, pembangunan perfilman menjadi dasar yang harus diperkuat kuat untuk penyelenggaraan perfilman yang diarahkan sebagai penunjang pembangunan nasional. Konsekuensi dari adanya kesadaran untuk melakukan pembangunan perfilman ini adalah perlunya seluruh pemangku kepentinqan terlibat aktif dan menjalankan perannya secara maksimal. Keterlibatan dan peran aktif ini setidaknya harus ditunjukkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pelaku usaha perfilman dan masyarakat. Tentu saja keterlibatan dan peran aktif mereka inl dapat dinampakkan pada tahap perencanaan, penyelenggaraan dan dalam pengawasan pembangunan perfilman yang dilakukan,

4.4. PERENCANAAN PERFILMAN Untuk kepentingan pembangunan perfilman diperlukan suatu perencanaan pembangunan perfilman yang baik, yang dapat dilakukan oleh Pemerintah

63 Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan pemangku-pemangku kepentingan perfilman lainnya. Perencanaan pembangunan perfilman ini sangat perlu mengacu pada suatu coordinated strategic unit di bidang periilman yang dapat disebut dengan Rencana Induk Pengembangan Periilman Nasional (RIPPN). Terkait dengan pembangunan naslonal, maka Rencana Induk Pengembangan Periilman Nasional (RIPPN) ini pun harus berjalan paralel dengan Rencana Pembangunan ,Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Akan lebih balk lagi apabila Rencana Induk Pengembangan Periilman Nasional (RIPPN) ini pun juga mengacu pada strategi kebuaeveen yang jelas dan yang harus dimiliki Indonesia.

4.5. PENYELENGGARAAN PERFILMAN Dua hal utama dalam penyelenggaraan perfilman adalah adanya kegiatan dan usaha perfilman yang dilakukan secara terkoordinasi dengan landasan good film governance yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat perfilman. Dalam hal ini, Pemerintah Pusat dan Pemeritah Daerah wajib mendukung usaha dan kegiatan perfilman, apallagi bila dikaitkan denqan usaha pengembangan, pemantapan dan pelestarian budaya bangsa yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti pemberian keringanan pajak dan bea masuk, pemberian dukungan untuk sarana dan prasarana pengembangan perfilman, bantuan dan insentif dalam pembuatan film, pemberian penghargaan terhadap film-film nasional yang berprestasi di ajang kompetisi film nasional dan internasional, serta dalam hal mendorong mengalirnya penanam modal di bidang perfilman. Secara khusus, perlu pula dipikirkan dukungan yang kuat dari Pemerintah Pusat dalam menjalankan serta rnendukunq pembiayaan kearsipan film.

Di lain pihak, masyarakat periilman harus mampu secara kreatif memanfaatkan kemudahan dan dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan usaha dan kegiatan perfilman. Satu hal lagi yang sangat penting, kesetaraan dan keadilan perlu diiadikan landasan kuat dalam menjalankan kegiatan dan usaha perfilman yang dilakukan oleh masyaralkat perfilman. Pemberian perlakuan

64 yang adil, sebaqai misal, harus dilakukan oleh masyarakat film baik terhadap sesama mitra maupun konsumen film.

4.5.1. USAHA PERFILMAN Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perfilman, pokok-pokok aturan yang berkaitan dengan usaha pefilman mencakup hal-hal sebagai berikut:

4.5.1.1 Aspek produksi Kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong usaha perfilman, khususnya di bidang produksi antara lain: - Mengurangi atau menghapus pajak barang mewah yang diberlakukan terhadap bahan baku (materi) film - Mendorong para sineas Indonesia untuk memanfaatkan jasa tenaga kerja dalam negeri - Mendorong para sineas Indonesia untuk memaksimalkan penggunaan jasa teknik dalam negeri

4.5.1.2. Pembuatan film

Upaya mewujudkan iklim yang sehat bagi perfilman Indonesia akan dilakukan dalam berbagai usaha dan upaya pengembangan berbagai kegiatan perfilman dilakukan secara menyeluruh dan terpadu sejak tahap produksi sampai dengan tahap pertunjukan dalam suatu mata rantai yang berkesinambungan dengan memperhatikan berbagai kepentingan, melalui berbagai pendaftaran/perizinan yang dikeluarkan oleh Menteri yang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengembangan perfilman, sehingga tercapai hasil yang optimal sejalan dengan dasar, arah, dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

Termasuk dalam usaha pengembangan perfilman ini adalah upaya menciptakan iklim yang dapat memacu pertumbuhan produksi film Indonesia serta bimbingan dan perlindungan agar penyelenggaraan usaha perfilman dapat berlangsung secara harmonis, saling mengisi, dan mencegah adanya tindakan yang menjurus pada

65 persainqan yang tidak sehat atau pun pemusatan pada satu tarigan atau satu kelompok.

Pada hakikatnya, usaha perfilman dilakukan oleh badan hukum, yaitu perseroan terbatas atau koperasi atau bentuk lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk usaha-usaha perfilman berskala kecil seperti usaha pertunjukan film/Video keliling dan usaha penjualan dan/atau penyewaan rekaman dalam bentuk bahan pita video atau piringan video, disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena banyaknya unsur yang terlibat dalam kegiatan perfilman dan eratnya keterkaitan antara satu dengan yang lain, wajarlah apabila kegiatan masyarakat perfilman itu berlandaskan kode etik yang harus ditaati bersama. Hal ini penting karena terkaitnya aspek usaha dan aspek keahlian saling melengkapi dan tidak sepenuhnya dapat dijangkau oleh ketentuan yang bersifat formal. Yang dimaksud dengan Masyarakat Perfilman adalah himpunan sekelompok warga negara Indonesia berdasarkan kesamaan profesi dan/atau kegiatan di bidang perfilman.

Sementara itu yang dimaksud dengan Kode Etik adalah norma dan asas yang disepakati serta diterirna oleh masyarakat perfilman secara tertulis sebagai landasan dan ukuran tingkah laku yang harus dipatuhi oleh insan perfilman dalam menjalankan profesinya masing-masing. Kepada insan perfilman diwajibkan untuk dapat menggunakan kemampuan nasional seoptimal mungkin. Yang dimaksud dengan kemampuan nasional adalah sumber daya, baik rnanusia, potensi, maupun fasilitas yang tersedia di Indonesia.

Sumber daya manusia, antara lain, terdiri dari produser, karyawan film, dan artis film. Potensi dan fasilitas, antara lain, dapat berupa kekayaan dan keindahan alam, jasa teknik, dan hasil budaya bangsa. Hal ini penting diatur agar perusahaan perfilman dapat

66 menghargai, merasa ikut rnernjllkl, serta ikut memelihara dan mencintai Ikemampuan nasional yang tersedia.

Seiring dengan globalisasi dan terbentuknya World Trade Organization (WTO)· yang juqa telah meratifikasi General Aqreernent on Trade and Tariff (GATT) serta mengikuti sektor usaha lainnya di Indonesia, dan dalam rangka pemenuhan modal, maka modal asing dapat diizinkan untukmelakukan kegiatan di bidang usaha perfilman dengan pembatasan tertentu.

Kepada insan perfilman yang mengembangkan profesi di bidang kreativitas diberikan kebebasan berkarya yang bertanggung jawab dengan memperhatikan sepenuhnya nilai-nilai universal yang terdapat dalam setiap agama.

4.5.1.3. Jasa Teknik Film

Teknologi memiliki pengaruh penting dalam produksi film, baik di Indonesia maupun neqara-neqara lain. Bahkan, bisa dikatakan teknologi sesungguhnya menjadi tulang punggung bagi perkembangan perfilman dunia. Dalam konteks Indonesia, pengaruh ini mencakup antara lain: kualitas teknis film yang diproduksi, ruang penjelajahan artistik bagi para sineas dan kepuasan penonton film. Secara garis besar teknologi dalam perfilman itu rnencakup keseluruhan proses produks film: pra­ produksi, produksi dan pasca produksi. Pada tahap pra-produksi, teknologi yang dipakai berkaitan dengan sistem produksi yang hendak dibangun.

Sementara itu, dalam tahap produksi, teknologi yang digunakan mencakup teknologi perekaman gambar dan perekaman suara. Dan yang terakhir, teknologi dalam pasca produksi meliputi teknologi penyuntinqan, mixing, printing dan penggandaan film. Dalam peraturan perundang-undangan yang akan datang bidang usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi perfilman disebut dengan "usaha jasa teknik film", yang meliputi :

67 a. studio pengambilan gambar; b. sarana pembuatan film; c. laboratorium pengolahan film; d. sarana penyuntingan gambar; e. sarana pengisian suara film; f. sarana pemberian teks film; g. sarana pencetakan/penggandaan film; dan h. sarana lainnya yang mendukung pembuatan film.

Teknologi pembuatan film sendiri mengalami perkembangan yang pesat dengan ditemukannya teknologi digital, yaitu pernakaian video digital untuk syuting yang kemudian hasilnya dipindah ke pita seluloid. Ini merupakan cara yang murah dan mudah dalam kegiatan produksi di tengah keterbatasan dana. Penggunaan video digital untuk melakukan syuting lantas menjadi alternatif yang murah dalam produksi film Indonesia. Apalagi bagi para sineas pemula yang tak cukup mampu menggaet dan dalam jumlah besar, video digital menjadi sebuah pilihan yang paling tepat. Akan tetapi, mengingat bahwa masih sangat terbatas tersedianya peralatan kine transfer (yang mampu mentransfer video ke film) yang dimiliki oleh perusahaan laboratorium di Indonesia, maka proses ini banyak dilakukan oleh beberapa produser film di luar negeri.

Oalam tahap pasca produksi sejumlah film Indonesia masih melakukannya di luar negeri. Yangmenjadi pertimbangan utamanya adalah teknologi yang digunakan dalam laboratorium di Indonesia belum seluruhnya memenuhi standar yang diinginkan oleh para pembuat film. Secara lebih rinci persoalan yang berkaitan dengan jasa teknik film di Indonesia antara lain sebagai berikut : Peralatan untuk dapat meningkatkan kuaftas processing film. Peralatan untuk dapat meningkatkan kualitas audio film. Masih kurangnya SOM yang terampil untulk pemeliharaan berbagai alat dan sarana di laboratorium. Investasi yang sangat mahal untuk penqadaan alat dan bahan-bahan kimiawi.

68 Singkatnya, persoalan jasa teknik film tidak hanya berkaitan dengan penyediaan peralatan yang sesuai dengan perkembangan yang tengah berlangsung, tetapi juga terkait dengan kesiapan sekaligus kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan komitmen para pembuat film Indonesia untuk memanfaatkan secara optimal sumber daya yang dimiliki di dalam negeri yang didukung oleh regulasi yang kondusif.

4.5.1.4. Ekspor dan Impor film

a. Ekspor Film Pemasaran film Indonesia masih sebatas pemenuhan kebutuhan nasional. Perluasan pasar Internasional belum terencana dan terprogram dengan baik, padahal bila dilihat dari potensi yang dimiliki jelas bahwa pasar luar negeri ini terbuka lebar mengingat adanya kesamaan budaya dan bahasa minimal film-film Indonesia dapat beredar di kawasan ASEAN seperti di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan beberapa negara dari rumpun Melayu lainnya. Meski tidak pernah diperoleh data pasti tentang ekspor film Indonesia, namun berdasarkan catatan sejarah dan pengamatan terdapat beberapa judul film Indonesia yang berhasil menembus pasar Asia hingga Amerika dan Eropa.

Selama ini cara yang di lakukan adalah lansunq oleh produser dan pejualannya juga lansung dilakukan dari laboratorium luar negerii kepada pembeli. Masalah harga, besaran perolehan produser termasuk format penjalan semua menjadi rahasia masing-masing produser.

Pembukaan pasar luar negeri secara sistimatis dan berencana belum pernah dilakukan. Ada beberpa kali Pekan-Pekan Film Indonesia dilakukan di be berapa negara, tetapi Pekan-Pekan Film ini terbatas pada sekedar peameran dan pengenalan tanpa diikuti oleh tindakan-tindakan konkrit dalam goal penjualan. Di samping itu pekan-pekan film ini tidak dipersiapkan dengan baik

69 dan disertai denqan informasi serta brosur, baik mengenai perfilman Indonesia secara umum, maupun mengenai film-film Indonesia yang diputar,

Dengan demikian usaha dalam format festival maupun pekan film belum menghasilkan seperti yang diharapkan, karena penyertaan dalam pekan-pekan film praktis baru dimulai pada dua tahun belakangan ini yang masih memerlukan keseriusan bagi pemerintah dan sektor industri.

Sementara itu tingkat keiikutsertaan Indonesia pada festival film luar negeri masih minim sehingga secara tidak lansung tingkat pengenalan calon pembeli film di luar negeri masih sangat rendah padahal jalur festival film internasional sangat potensial mendukung pemasaran film di luar negeri.

Upaya lain adalah produksi bersama (patungan) sebagai salah satu cara untuk memecahkan perluasan pasar tidak pernah berhasil mencapai sasaran. Usaha ini telah berkai-kali dilakukan, misalnya dengan produser film ltalla, Hongkong, Belanda, dan sebaginya. Dalam kerja sama ini menu rut komentar pihak Indonesia selallu berada di pihak yang dirugikan. Disamping itu film-film yang dibuat lebih disesuaikan dengan pasaran counter-part asing, sehingga pemasaran dalam negeri tidak menolong untuk mengembalikan modal. Yang lebih merugikan lagi, film-film hasil patungan itu dl luar negeri biasanya dipasarkan tidak sebagai produk Indonesia, sementara peranan karyawan-karyawan film Indonesia di kecilkan kalau tidak ditiadakan, Hal ini berarti bahwa film-film hasil prouduksi patungan sama sekali tidak memberikan sumlbangan positif untuk menumbuhkan citra yang menguntungkan bagi perfilman Indonesia di luar negeri dan dengan demikian tidak mencetuskan perhatian terhadap produksi film Indonesia sendiri.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ekspor film hanya dapat dilakukan melalui tempat kedudukan

70 Lembaga Sensor Film (LSF) yaitu di Jakarta, ibukota negara. Film yang akan diekspor harus dinyatakan lulus sensor oleh LSF. Ketentuan harus lulus sensor tersebut dimaksudkan agar setiap film yang beredar dli luar negeri tidak memberikan dampak negatif bagi Indonesia baik dari segi politik maupun sosial budaya,

Usaha ekspor film itu sendiri dapat dilakukan olleh perusahaan ekspor film dan perusahaan pembuatan film Indonesia (untuk produksinya sendiri) yang telah memiliki Izin Usaha Perfilman (IUP). Diperbolehkannya perusahaan pernbuatan film di Indonesia secara langsung mengekspor filmnya merupakan salah satu bentuk kemudahan untuk lebih mendorong perkembangan produksi film Indonesia.

Tidaklah mudah untuk mengetahui secara persis jumlah film Indonesia yang diekspor karena banyak film Indonesia yang beredar di luar neqeri tanpa memberitahukan atau karena produser langsung mengirimkannya dari laboratorium dimana film tersebut setelah diproses akhir.

Dalam peraturan perundang-undangan yang akan datang, pengedaran film Indonesia di luar negeri harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga film Indonesia lebih mudah memasuki dan menjangkau wilayah pemasaran Iluar negeri yang lebih luas. Kebijakan selama ini mengatur bahwa perusahaan film dapat mengekspor film masih dapat dipertahankan. Apalagi adanya perbuahan paradigma bahwa film bioskop di klasifikasikan yang secara prinsip memberikan kebenasan kepada setiap produser untuk menjual filmnya ke luar negeri.

Disamping itu, dalam usulan Undang-Undang juga memberikan kemudahan, pelaksanaan ekspor tidak harus dillakukan melalui ibukota negara tetapi juga rnelalui Ibu kota provinsi. Hal ini terkait dengan hak-hak otonomi berdasarkan Undang-undang

71 Otonomi Daerah yang memunqkinkan daerah dapat membentuk lembaga yang bertugas rnenyensor film di daerah.

Untuk mendukung keberhasitan ekspor film Indonesia perlu dirancang secara sistematis dan berencana. Hal ini memang sepenuhnya tidak dapat dilakukan oleh pemerlntah sendiri tanpa partisipasi insan perfilman. Dalam hubunqan ini pemerintah harus meneruskan dan meningkatkan fasilitas promosi serta lebih banyak memfasHitasi keikutsertaan Indonesia pada penyelenggaraan festival film internasional. b. Impor Film Menghadapi persaingan dengan film lrnpor, mm Indonesia dihadapkan kepada kenyataan sebagai berikut : 1) Kualitas film impor sebagai film lebih baik dan teknik pembuatannya maju; 2) Film impor berkat sejarahnya yang panjang telah berhasil membentuk selera penonton; 3) Dilihat dari sudut suply film yang diperlukan oleh bioskop, film impor lebfh memberikan jamlnan karena jumlahnya yanb banyak dan variasinya yang macam-macam, sehingga mengajak bioskop untuk Iberjuang menghadapi film impor adalah mustahil sama sekali; 4) lnvestasi untuk impor film jauh lebih rendah dari pada investasi untuk produksi, sehingga modal merupakan masalah yang lebih berat bagi produser film nasional dari pada bagi kaurn importir; 5) Dalam menghadapi sensor, pengawasan terhadap produksi film nasional jauh lebih keras daripada terhadap film impor, dalam hal ini terdapat ukuran penilaian ganda.

Praktis hampir keseluruhan film-film yang di impor kita tidak lagi sepenuhnya berharap film irnpor tersebut mempunyai fungsi yang kita harapkan yaitu menjadi jendela mengenal budaya bangsa lain sebagai bahan perbandingan bagi produser dan pekerja film Indonesia .. Dengan kata lain film irnpor saat ini murni sebagai

72 barang dagangan biasa dengan rumus "permintaan" dan "pengadaan" sehingga apa yang kita lihat pada film impor di satu saat dibanjiri film keras, di saat lain film fiksi atau film seks dan lain­ lain.

Film impor mempunyai kedudukan yang kuat karena didukung oleh kualitas dan teknik pembuatan yang lebih baik dan investasi untuk pengadaannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksi film Indonesia ditambah ilagi dengan promosi yang gencar. Demikian dominannya film impor mengisi program pertunjukan film di Indonesia menyebabkan bioskop lebih menggantungkan diri pada film impor.

Selain film impor komersial, pemasukan film untuk keperluan negara asing di Indonesia adalah dimungkinkan dengan melalui prosedur yang berbeda yakni dengan cara prosedur pemasukan barang-barang secara diplomatik. Film tersebut tetap melalui prosedur penyensoran tetapi tidak dilakukan pemotongan. Hal inl disebabkan karena pemasukan film itu sendiri dimaksudkan hanya untuk keperluan pertunjukan khusus untuk penonton terbatas.

Pada kenyataannya pemasukan film untuk keperluan perwakilan negara asing ada yang disalahgunakan antara lain penontonnya tidak selektif lagi, memungut harga tanda masuk dengan alasan untuk menutup biaya operasional dan sebagainya. Padahal hampir sebagian besar film tersebut banyak terdapat adegan-adegan yang apabila filmnya dimasukkan secara komersial yang harus dipotong oleh LSF karena mengandung unsur Pornoqrafi, Untuk itu amat disayangkan apabila tiim-fllm tersebut ditonton oleh khalayak/audience yang tidak tepat.

Salah satu masalah yang hingga kini belum terselesaikan adalah masalah pembubuhan teks dan pengisian suara (dubbing) sebaqairnana ketentuan yang ada. Namun setiap film impor yang lulus sensor sebelum dipertunjukan atau ditayangkan wajib dibubuhi teks bahasa Indonesia kecuali film yang bersangkutan

73 dianggap bermanfaat bagi pendidikan di Indonesia dapat menqqunakan dialog bahasa Indonesia (dubbing).

Dalam kenyataannya, penggunaan dialog bahasa Indonesia banyak disalahgunakan oleh staslun-staslun televisi yang menayangkan film impor antara lain yang berasal dari negara-negara seperti Amerika Selatan, Filipina dan Thailand tanpa mempertimbangkan apakah film tersebut bermanfaat bagi pendidikan di Indonesia. Hal ini tentunya merugikan penonton disamping dapat menghambat perkembangan produksi film Indonesia karena sulit membedakannya dengan produksi asing.

Oi era globalisasi sekarang ini kita tidak mungkin lagi membatasi impor film karena bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas. Penting adalah perlunya ada kebijakan agar film impor tersebut tidak menghambat film Indonesia dalam peredarannya, artinya kita sendiri yang harus melindungi film kita sendiri.

Kebijakan yang mengharuskan film impor harus melalui tempat kedudukan lembaga sensor di Jakarta perlu disesuaikan dengan konsep otonomi daerah yang memungkinkan dapat dibentuknya lembaga sensor daerah sehingga pemasukan film impor dapat langsung melalui ibukota provinsi yang bersangkutan.

Aturan mengenai tata cara pemasukan film perwakilan asinq dapat dipertahankan namun perlu pengawasan atas penyalahgunaan pertunjukkannya kepada masyarakat agar sesuai dengan tujuan pemasukan film itu sendiri.

4.5.1.5. Aspek distribusi Kebijakan mengenai dlstribusl film yang diatur dalam RUU ini antara lain: Mendorong bioskop di seluruh Indonesia untuk memutar film nasional

74 Menerapkan aturan tata edar film (sistem distribusi film) yang sehat untuk menghindari praktek integrasi vertikal dimana importir dan distributor film sekaligus menjadi pemilik bioskop Memberlakukan window time atau aturan tayang antara pertunjukkan di bioskop, di televisi, dan penjualan DVDNCD Mendorong bioskop daerah (terutama bioskop non jaringan) untuk rnemperluas ruang publik dalarn mengkonsumsi film nasional

4.5.1.6. Pengedaran film

Tujuan pengedaran seibagai mata rantai dalam usaha perfilman adalah "menyebarkan hasil produksi film dengan memindahkannya menjadi jasa" yang dapat dinikmati orang banyak. Salah satu tingkat kesempurnaan yang hendak dikejar ialah "pemerataan" kesempatan bagi seluruh rakyat untuk menikmati hasil produksi film. Ditinjau dari sudut lnt, rnaka usaha penyebaran ini mempunyai arti sosial kultural. Tapi sifat film yang khas, membuat keberhasilan dalam soal "pernerataan" maksimal ini sekaligus mempunyai arti ekonomis.

Menyadari fungsi peredaran sebagai mata rantai industri perfilman, di penghujung tahun 1975, pemerintah melakukan penataan peredaran dengan mengeluarkan surat keputusan yang dikenal dengan Surat Keputusan 3 Menteri yang diharapkan dapat meletakkan dasar infrastruktur peredaran film Indonesia dengan mendirikan PT PERFIN sebagai Ilembaga tunggal yang mengatur peredaran film Indonesia. Adanya kebijakan ini pada mulanya diharapkan akan dapat menata rimba peredaran film yang banyak dihuni oleh para perantara (booker) dan pemborong (broker) serta produser film yang mengedarkan filmnya sendiri.

Seiring dengan perjalanan waktu ternyata PT PERFIN tidak mampu menghadapi politik dagang para booker dan broker yang telah mampu mempengaruhi kebijakan produser untuk membuat film dengan tujuan dagang semata. Kenyataan lain keberadaan PT

75 PERFIN ini tidak mampu memprioritaskan pertunjukan film Indonesia di gedung biioskop disebabkan adanya kekuatan yang berpengaruh untuk memenangkan film impor. Sehinqqa dalam prakteknya ada perbedaan perlakuan peredaran film Indonesia dengan film impor. Seiring dengan berjalannya waktu yang ditandai semakin berkurangnya produksi film Indonesia, maka pada tahun 1992 PT PERFIN tidak melalkukan lagi kegiatannya.

Hingga saat ini peredlaran film menjadi tanggung jawab dua kornponen film yaitu pemilik bioskop untuk memberikan jasa pertunjukkan film dan produser (pemilik film) untuk menjamin pengadaan film. Hanya saja pada era kemajuan teknologi ini, baik pemilik film maupun pemilik bloskop harus berhadapan dengan pembajakan film yang dikemas dalam format video compact disc (VCD) maupun digital compact disc (DVD) yang memungkinkan penonton menikmati film dengan c:ara mudah dan santai di rumah. Selain itu ancaman pertunjukkan "film di bioskop juga muncul dari persaingan siaran televisi asing yang dapat ditangkap melalui antena parabola dengan televisi layar lebar yang menghadirkan suasana (home theatre) di rumah, yang tentunya dinikmati secara gratis.

Maraknya peredaran film bajakan dan ketidakjelasan penegakan hukum juga punya andil besar terhadap usaha pertunjukkan film di bioskop yang bukti dan faktanya jelas mengakibatkan ratusan bahkan ribuan bioskop bangkrut. Tahun 1990 merupakan puncak perbioskopan di Indonesia yang pada waktu itu tercatat sebanyak 2.600 gedung dengan 2.853 layar. Jumlah ini kemudian semakin turun dari tahun ke tahun hingga menjadi 264 gedung dengan 676 layar pada tahun 2002.

Berdasarkan Undanq-undanq No. 8 Tahun 1992 dan peraturan pelaksanaan lainnya, peredaran film dilakukan oleh perusahaan peredaran film dan perusahaan pembuatan film (untuk film produksinya sendiri) yang telah memiliki Izin Usaha Perfilman. Ditetapkan bahwa film yang diedarkan tidak boleh menimbulkan

76 dampak neqatit yang terkait denqan nilai-nilai keaqarnaan dan nilai­ nilai sosial budaya masyarakat dan sebelum dipertunjukkan dan/atau ditayangkan harus dinyatakan lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film.

Mekanisme pengedaran film impor dan film Indonesia pada dasarnya sama dalam arti perusahaan pengedar atau perusahaan pembuatan film Indonesia seeara langsung dapat mengedarkannya ke bioskop atau ke toko video atau ke stasiun televisi. Mekanisme ini tetap tidak menguntungkan peredaran film Indonesia karena "rurnus" yang memiliki film yang laku dan eadangan film yang cukup banyaklah yang mempunyai kedudukan yang kuat dalam pengedaran film-yang dalam hal ini dimiliki oleh importir film. Hal lain yang menyebabkan film impor mendominasi pasar adalah: • Kualitas film impor rata-rata leblh baik • Peredaran film Indonesia kurangdidukung promosi • Tingginya harga tanda masuk pada bioskop-bioskop kelas atas (Cineplex Studio 21) • Alternatif pertunjukan film Indonesia terbatas karena banyaknya bioskop kelas menengah ke bawah yang tutup yang sebenarnya merupakan lahan film Indonesia.

Untuk meneegah semakin melemahnya peredaran film Indonesia maka dianggap perlu diambil langkah-Iangkah dalam bentuk aturan­ aturan yang pada intinya adalah pemberian perlakuan khusus atasperedaran film Indonesia. Perlakuan khusus tersebut dapat saja berupa pemberian subsidi peredaran film, koordinasi peredaran film impor dan film Indonesia dengan prinsip film impor tidak boleh rneruqikan peredaran film Indonesia, pengembalian pajak sebagian pajak tontonan untuk kepentingan pengembangan perfilman Indonesia, meneegah usaha-usaha monopoli terselubung dan memfasilitasi tumbuhnya bioskop-bioskop menengah ke bawah yang selama ini merupakan tulang punggung keberhasilan peredaran film Indonesia misalnya dengan penyediaan gedung pertunjukan khususfilm Indonesia pada pusat-pusat aktivitas kebudayaan (Taman Sudaya) di seluruh Indonesia. 4.5.1.7. Pertunjukan film

Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pertunjukan film dilakukan dalam qedunq atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film sementara dapat dilakukan oleh perusahaan dan/atau perorangan melalui perangkat elektronik yang telah memiliki usaha perfilman.

Film yang dipertunjukan atau ditayangkan harus sudah lulus sensor dari LSF yang juga menetapkan batas usia penonton atau pemirsa. Pada dasarnya berlaku kriteria yang sarna dalam menyensor film untuk pertunjukan di bioskop dan di televisi. Dikatakan demikian karena dalarn prakteknya penyensoran atas film yang diperuntukkan di bioskop agak lebih diperlonggar dengan pertimbangan penonton bioskop dapat lebih terkontrol. Ketentuan penggolongan usia penonton untuk pertunjukan adalah sarna yaitu untuk semua urnur, remaja dan dewasa.

Akhir-akhir ini berbagai kelompok masyarakat mempertanyakan peran LSF dalam menetapkan batas usia penonton. Intinya adalah apakah masih perlu setiap film wajib disensor dengan kemungkinan dilakukan pemotongan untuk menentukan kelompok usia penonton atau cukup dllakukan penilaian (tanpa memotong) untuk menentukan klasifikasi usia penonton. Pemotongan atas sebuah film dianggap memasung kreativitas pembuat film bahkan dituduh melanggar hak asasi manusia. Alasan penyensoran film untuk melindungi kepentingan masyarakat terhadap informasi yang salah dan rnenyesatkan justru dianggap membodohi masyarakar karena membatasi daya kritis masyarakat dan tidak memberikan kesempatan untuk self-censorship. Menjadi pertanyaan apakah sistem klasifikasi ini blsa diterapkan di Indonesia mengingat kondisi Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan ras.

Ada kalanya sebuah film dalam peredarannya ditolak oleh kelompok masyarakat tertentu atau bahkan oleh seluruh masyarakat karena dianggap menimbulkan gangguan keamanan,

78 ------_...-

ketertiban, ketentraman, atau keselarasan kehidupan masyarakat. Menurut aturan yang berlaku film tersebut dapat ditarik dari peredarannya oleh Kepala Daerah setempat setelah mendapat pertimbangan dari badan perfilman daerah (dalam hal kasusnya terbatas di wilayah tertentu) atau dari Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) untuk yang berskala nasional yang penarikannya dilakukan oleh Menteri.

Menanggapi keinginan sebagian anggota masyarakat terutama para sineas film agar film yang akan dipertunjukkan dan/atau ditayangkan cukup diklasifikasikan perlu diakomodasi dan dipertimbangkan secara seksama. Desakan agar dberlakukan klasifikasi pada dasarnya bukan merupakan hal baru, karena cara tersebut sudah di peraktekkan pada negara-negara penganut sistem demokratis baik di Asia, Eropa, Amerika bahkan di Afrika. Tetapi timbul pertanyaan, bagaimana dengan konsepsi dasar yang menjadi pedoman penyensoran film.

Sebagaimana diketahui konsepsi dasar yang menjadi pedoman penyensoran film adalah mencegah agar film dan reklame film tidak mendorong khalayak untuk bersimpati terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela dan hal-hal yang bersifat amoral, mencegah khalayak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan dengan ketertiban umum atau perbuatan yang melawan hukum, serta mencegah jangan sampai masyarakat bersimpati terhadap sikap anti Tuhan serta melakukan penghiinaan terhadap salah satu agama yang dapat merusak kerukunan hidup antar umat beragama.

Beberapa negara memang telah menerapkan sistem klasifikasi ini, misalnya Amerika Serikat , Australia, Jepang, Korea Selatan, Sinqapura, Philipina dan lain-lain, meskipun di Asia beberapa negar masih menggunakan sistem penyensoran seperti Malaysia, Brunei Darusalarn dan Vietnam. Oleh karena itu untuk Indonesia, berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar masyarakat

79 masih dalam proses self-censorship dapat diambil jalan tengah yaitu, film untuk tayangan televisi (karena sifatnya yang terbuka) sistem penyensoran yang ada sekarang tetap dipertahankan, sedangkan film untuk pertunjukan di bioskop cukup diklasifikasi (tanpa pemotongan) untuk ditentukan batas usia penonton kecuali film itu nyata-nyata bertentangan dengan ideologi, moral, perbuatan melawan hukum dan ketertiban umum, harus ditolak.

Untuk mengantisipasi keresahan rnasyarakat dalam hal lambatnya keputusan pencabutan sebuah film yang bermasalah, peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini perlu dikaji ulang mekanismenya agar Kepata Daerah atau Menteri dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.

4.5.1.8. Penjualan dan Penyewaan film

Berdasarkan peraturan perundanq-undanqan yang berlaku saat ini, penjualan dan penyewaan film dalam bentuk pita video, VCD, DVD hanya dapat dilakukan di toke video. Hal ini dimaksudkan agar fungsi kontrol lebih mudah mengingat film-film tersebut rentan terhadap pelanggaran hak cipta.

Saat ini jual beli film-film dimaksud di atas lebih banyak berada di luar toko video - di sembarang tempat ternmasuk emperan toko bahkan di pinggir jalan. Film-film tersebut ada yang merupakan hasil bajakan, ada yang belum disensor dan ada pula yang pada saat yang bersamaan sedang dipertunjukkan di bioskop. Walaupun sangat terbatas, pemerintah telah melakukan upaya-upaya pemberantasan film ilegal ini tetapi belum mendapatlkan hasil yang maksimal.

Kebijakan yang mengharuskan penjualan dan penyewaan film dalam bentuk pita video, VCD dan DVD hendaknya tetap dipertahankan dan pemerintah bersama instansi terkait lainnya harus meningkatkan upaya penegakan hukurn secara konkrit dan

80 berksinambungan untuk mencegah meluasnya pelanggaran atas hak cipta karya film.

4.5.2. KEGIATAN PERFILMAN Dalam Rancangan Undang-Undang ini kegiatan perfilman perlu mendapatkan perhatian yang memadai demi tercapainya tujuan pembangunan perfilman. Kegiatan perfilman yang dirnaksud mencakup di antaranya kegiatan apresiasi film dan pengarsipan film.

4.5.2.1. Apresiasi Film Pokok-pokok pikiran yang harus diperhatikan dalam kegiatan apresiasi film adalah tumbuh dan berkembangnya apresiasi masyarakat terhadap film yang dapat dicapai melalui sejumlah aktivitas seperti penyelenggaraan festival film, seminar atau diskusi film, serta kiritik dan resensi film yang sepenuhnya atau sebaqian darinya perlu difasilitasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terkait dengan hal ini, perlu ditegaskan lagi bahwa sudah waktunya bagi Pemerintah Pusat untuk secara khusus memberi perhatian kepada prestasi nasiona.1 dan internasional yang dicapai oleh film dan insan-insan perfilman Indonesia.

4.5.2.2. Pengarsipan Film Hal lain yang perlu menjadi pokok perhatian dalam kegiatan perfilman adalah pengarsipan film dan reklame film yang wajib diberlakukan kepada setiap badan usaha perfilman setelah memasuki periode tertentu. Periode ideal dalam hal ini adalah satu tahun setelah berakhirnya masa pertunjukan film. Dalam hal ini, Pemerintah Pusat perlu untuk secara khusus memerhatikan pengarsipan film ini. " Sebagai suatu hal yang penting, pengarsipan merupakan hal yang perlu diatur da.lam RUU ini. Berikut adalah berapa pokok aturan mengenai pengarsipan film:

81 a) Memasukkan persoaian pentingnya arsip dan dokumentasi film dalam menjaga film (sebagai kekayaan intelektual dan budaya bangsa Indonesia) dalam berbaqai kebijakan pemerintah b) Mewajibkan setiap produser film untuk menyerahkan satu copy skenarlo dan film kepada Sinematek untuk memudahkan pengarsipan film nasional c) Memberikan subsidi kepada sinematek Indonesia untuk melakukan perawatan terhadap film nasional d) Membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat luas pada umumnya dan penetlti film Indonesia (baik dari dalam maupun luar negeri) yang ingin menqqunakan arsip dan dokumentasi film nasional e) Membuka kemungkinan upaya pengarsipan film dilakukan oleh lembaga lain selain Sinematek

4.6. PENGAWASAN PERFILMAN Pengawasan perfilman sangat perlu dilakukan dalam proses pembangunan perfilman di Indonesia. Pihak yang perlu terlibat dalam pengawasan perfilman ini tentunya adalah semua pemangku kepentingan perfilman, terutama Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat luas, termasuk lembaga-Iembaga yang ditugasi untuk melakukan pengawasan secara bertanggung jawab. Sesuai dengan Iingkup dan kewenangan masing-masing, pengawasan perfilman perlu dilakukan terhadap pembuatan film, jasa teknik film, ekspor dan impor film, pengedaran film, pertunjukan film serta penjualan dan penyewaan film sehingga kesetaraan dan keadilan perlakuan terhadap segala pemangku kepentingan film dapat tercapai.

4.7. SENSOR Keberadaan sensor film di Indonesia memiliki arti khusus dalam lembaran sejarah perfilman Indonesia. Sejak dari jaman Hindia Beianda hingga jaman kebebasan informasi dalam alam reformasi, sensor film tetap masih ada dan dipertahankan oleh pemerintah. Saat ini kegiatan sensor film merupakan war/san orde baru lewat UU No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, dengan dasar pertimbangan untuk melindungi masyarakat dari

82 kemungkinan dampak negatif pertunjukan film dan reklame film. penyensoran film dapat mengakibatkan sebuah karya film diluluskan sepenuhnya, dipotong bagian gambar tertentu, ditiadakan suara tertentu atau ditolak seluruhnya untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan atau ditayangkan. Semua kegiatan penyensoran tersebut sesuai dengan peraturan perfilman yang ada dilak:ukan oleh Lembaga Sensor Film.

Perdebatan perlu atau tidaknya sensor "film dalam era globalisasi saat ini memunculkan dua kubu. Kubu pertama menyatakan sensor film diperlukan karena masyarakat perlu diselamatkan dari pengaruh negatif film; sedangkan kubu kedua menegaskan sensor film tidak diperlukan karena tidak memberikan apresiasi pada karya seni dan budaya serta mengingkari hak masyarakat dalam menyebarkan dan menerima informasi dari film sebagai media komunikasi.

Terlepas pro dan kontra akan keberadaan sensor film, argumentasi perlunya sensor untuk melindungi masyarakat dari muatan nilai-nilai pengaruh negatif yang terbawa oleh film seringkali dipandang memposisikan masyarakat sebagai obyek yang lemah dengan mengabaikan tingkat apresiasi yang dimilikinya.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini oleh banyak pihak dianggap telah membuat sebagian rnasyarakat telah mampu melakukan swa sensor (self censorship). Banjir informasi melalui tv kabel, internet dan film bajakan dari luar negeri membuat pemerintah sebenarnya telah kehilangan kendali untuk menentukan tontonan yang 'baik' dan 'tak baik'. Maka ketika pemerintah berlaku keras pada tllm nasional, banyak pembuat film bereaksi keras menentanq sensor. Dalam hal ini, kelompok yang paling penting untuk mendapatkan perlindungan tontonan adalah remaja dan anak-anak. Keterbatasan pengetahuan, rasionalitas dan nilai­ nilai membuat mereka perlu mendapatkan perlakuan khusus dibandingkan orang dewasa (Porter, 2002).

Berkenaan dengan tumbuhnya wacana dan kesadaran melakukan self censorship, maka muncul gagasan untuk menerapkan konsep klasifikasi film (film clasification) dalam konteks sensor film Dalam konteks klasifikasi

83 film, maka sebelurn mendaftarkan filmnya, pembuat film menentukan klasifikasi film mereka. Dalam hal ini pemerintah dapat berperan menjadi tasllitator dengan cara menerapkan "film clasification" atau klasifikasi batas usia bagi yang diperkenankan menyaksikan suatu pertunjukkan film. Jika pemerintah (melalui Lembaga Klasifikasi) menganggap masih ada yang kurang sesuai, maka pemotongan film dilakukan oleh pembuat film sendiri agar tetap mampu mempertahankan estetika dan keutuhan film.

Selama ini LSF banyak mendapat kritik karena pemilihan penyensor, mekanisme sensor dan transparansi dana. Oleh karena apapun sistemnya sebaiknya pemilihan penyensor, mekanisme proses sensor dan dana diumumkan pada publik dengan terbuka, Sehingga proses ini tidak memungkinkan terjadi kolusi dan korupsi.

Situasi perkembangan telmologi informasi yang demikian kompleks sebenarnya tak sernata-mata dapat dihadapi dengan sistem sistem sensor atau klasifikasi. Apapun sistem yang digunakan, pemerintah perlu proaktif melakukan tiga hal yaitu: penegakan hukurn, transparansi dan pendidikan media.

Bioskop atau stasiun televisi yang melanggar harus mendapat sanksi, mulai dari peneguran, denda sampai pencabutan ijin. Tanpa itu, tak mungkin ada sistem perlindungan yanq berdaya. Ini adalah prasyarat pertama yang berada di luar sekadar pilihan antara sensor atau klasifikasi.

Hal berikutnya adalah memperbaiki tinQlkat pemahaman terhadap media dengan melakukan pendidikan media. Pendidikan ini dapat dilakukan secara formal melalui kurikulurn sekolah atau informal melalui pelatohan masal dan terstruktur. Pendidikan ini diharapkan mampu membuat penonton memiliki ketrampilan mengkonsumsi media dengan kritis.

Sensor film bisa jadi rnasih tetap diperlukan bagi pertunjukkan film yang bersifat massal balk di layar bioskop maupun film-film yang dipertunjukan melalui stasiun televisi. Hal ini dengan pertimbangan masih terdapatnya sebagian masyarakat dengan segala keterbatasannya dikhawatirkan akan menyerap begitu saja nilai- nilai negatif yang bertentangan dengan norma-

84 norma budaya dan nilai-nilai kemasyarakatan. Namun demikian untuk meningkatkan kualitas sensor dan apresiasi terhadap kreatifitas pembuat film, maka dipandang perlu untuk dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut: a) Merevitalisasi fungsi, peran dan kualitas kinerja Lembaga Sensor Film khususnya dalam hal sistem dan kriteria penyensoran, serta kuantitas dan kapasitas SOM dalam lembaga sensor film, sehingga LSF dapat ditingkatkan kinerjanya untuk menjadi lembaga penilai dan penyensor film yang lebih berwibawa dan mencerminkan profesionalitas yang handal b) Mendorong ditumbuhkannya self censorship di kalangan perfilman Indonesia

Untuk mendorong langkah pemberdayaan Lembaga Sensor Film maka diperlukan sebuah sistem pendukung yang mampu mencerminkan LSF yang transparan, penegak hukum demikepentingan masyarakat luas, dan sekaligus mendorong pendidikan fim untuk masyarakat luas (film literacy). Untuk tujuan ini maka diperlukan perubahan keanggotaan yang signifikan untuk mengantisipasi dinamika masyarakat yang sangat cepat. Kedepannya diharapkan anggota LSF terdiri dari berasal dari pemerintah, kalangan industri, akademisi, wakil masyarakat film, dan wakil masyarakat luas.

4.8. KELEMBAGAAN Pembangunan peJiilman sangat memerlukan adanya sejumlah lembaga yang kuat yang mampu secara sehat, transparan dan bertanggung jawab mendukung penyelenggaraan kegiatan dan usaha perfilman. Terdapat sejumlah alternatif atau skenario dalam usaha mendukung terselenggarannya kegiatan dan usaha peJiilman ini seperti membentuk:

1. Komisi Film Indonesia Komisi ini dibentuk dan bertanggung jawab dalam hal pembangunan peJiilman dan harus mampu memberikan solusl terhadap masalah seperti pendanaan, kegiatan promosi, pengarsipan serta apresiasi film.

85 2. Lembaga-Iembaga Lembaga-Iembaga ini dibentuk secara khusus dan masing-masing bertanggung jawab terhadap masalah seperti pendanaan, kegiatan promosi, pengarsipan serta apresiasi fillm.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dari tugas, kewajiban dan tanggung jawab lembaga-Iembaga ini di antaranya dapat dilihat dari pertimbangan berikut ini:

4.8.3. Pengaturan Perfilman Institusi pemerintah merupakan representasi kepentinqan neqara yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pengaturan mengenai perfilman tanah air. Lembaga ini berhak melakukan pengaturan pada bidanq perfilman melalui berbagai bentuk kebijakan dan diharapkan mampu mendorong pengembangan perfilman dengan melibatkan berbaqai hal yang terkait dengan masyarakat film, ataupun masyarakat secara luas. Lembaga struktural yang saat ini ada yaitu direktorat film dapat menjadi representasi kepentingan pemerintah dalam bidang perfilman.

Untuk menunjang efektivitas regulator sebagai representasi kepentingan negara, perlu dipikirkan mengenai konvergensi kelembagaan di bidang ini. Misalnya saja mengenai konvergensi kelembagaan antara Budpar dan Kominfo. Mengingat film merupakan obyek yang menyentuh dua kementrian ini. Perlu keseriusan untuk membentuk format konvergensi kelembagaan ini, sehingga nantinya secara keselluruhan akan terkesan positif mengenai koordinasi antar lembaga negara terkait dengan masalah film ini.

Di samping koordinasi antar sektor, otoritas pengawasan terhadap industri perfilman perlu diarahkan untuk: a) Pengembangan dan penyelenggaraan industri perfilman untuk kesejahteraan rakyat b) Menciptakan keadilan distribusi/tata edar film yang antimonopoli, oligopoli dan monopsoni

86 c) Pengembangan perfilman nasional yang berpijak pada good film governance dan sustainable development d) Pengembangan sistem infrastruktur perfilman nasional yang berorientasi pada teknologi masa depan yang bersifat terbuka, dan akuntabel bagi seluruh komponen stakeholders perfilman.

4.8.2. Pendanaan Upaya mewujudkan iklim yang sehat bagi perfilman Indonesia akan dilakukan dalam berbagai usaha dan upaya pengembangan berbagai kegiatan perfilman dilakukan secara menyeluruh dan terpadu sejak tahap produksi sampai dengan tahap pertunjukan dalam suatu mata rantai yang berkesinambungan dengan memperhatikan berbagai kepentingan, melalui berbagai pendaftaran/perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dengan tujuan pengembangan perfilman, sehingga tercapai hasil yang optimal sejalan dengan dasar, arah, dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam kaitan pendanaan: a. Bidang Produksi • Membentuk Indonesian Film Finance mengelola dana perfilman yang diperolleh dari berbagai sumber seperti pajak film impor dan pajak tontonan secara transparan. • Memberikan subsidi/bantuan pada sutradara-sutradara pemula dalam memproduksi film pertamanya dengan pola kompetisi (contoh: Canada). • Memberikan subsidi/bantuan untuk penggandaan copy film kepada produser film nasional dengan pola kompetisi sesuai standard yang berlaku, • Mengurangi atau menghapus pajak barang mewah yang diberlakukan terhadap bahan baku (materi) film. • Memberikan insentif bagi .para sineas Indonesia yang memanfaatkan [asa tenaga keria dalam negeri. • Memberikan insentif pada para sineas Indonesia yang memaksimalkan penggunaan jasa teknik dalam negeri.

87 b. Bidang Pemasaran dan Oistribusi • Memberikan subsidi/bantuan pada produser pemula untuk memasarkan film pertamanya. • Memperluas [arinqan distribusi Asia dan Internasional dengan mengundang distributor asing. • Memberikan insentif, pengurangan pajak dan pungutan peredaran film.

C. Bidang Pertunjukan

o Saat ini terjadi pemusatan usaha dalam industri bioskop khususnya yang berada di kota besar maka pemerintah perlu melakukan upaya stimulasi baik berupa kebijakan insentif, kemudahan perijinan dan jaminan hukum yang memadai untulk merangsang dunia usaha melirik pembangunan bioskop di berbagai pelosok tanah air. • Memberi insentif pada produser film yang bersedia menjual hak tayangnya di bioskop kecil melalui mekanisme tertentu. • Mendorong terbentuknya bioskop alternatif dengan rnenqernbanqkan program khusus untuk memperkaya apresiasi film dan distribusi film alternatif. d. Bidang Festival • Membantu pembiayaan festival internasional .yang diselenggarakan di Indonesia untuk mendorong terbentuk jaringan internasional antar pelaku perfilman Indonesia dengan luar negeri. • Membiayai para pembuat film yang berhasil menembus festival internasional yang penting di Iingkup Asia dan Internasional (Pusan Film Festival, Cannes Film Festival) agar mampu melakukan kegiatan promosi.

o Membiayai stand Indonesia di festival film internasional yang dilengkapi dengan buku katalog yang selalu mutakhir, buku­ buku mengenai perkembangan sinema Indonesia, data penonton yang dapat dipercaya, serta pemutaran film-film Indonesia.

88 Seluruh aktivitas pendanaan pada kegiatan perfilman di atas dilakukan atas asas kesetaraan, bertanggungjawab, akuntabilitas dan transparansi. Seluruh proses pendanaan dilakukan denqan melibatkan media massa, pemerintah, masyarakat film dan kalangan industri. Rancangan Undanq­ Undang yang disusun sangat perlu mernberl perhatian pada masalah kelembagaan ini dengan alternatif pertama sebagai pilihan utama yang tepat untuk pembangunan perfilman Indonesia.

4.9 HAK DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH SERTA PERAN SERTA MASYARAKAT

4.9.1. Hak dan Tanggung Jawab Pemerintah Termasuk dalam pengembangan perfilman adalah upaya menciptakan iklim yang dapat memacu pertumbuhan produksi film Indonesia dan perlindungan agar penyelenggaraan perfilman berlangsung secara harmonis, saling mengisi dan mencegah adanya tindakan yang menjurus pada persaingan yang tidak sehat atau pemusatan kepada satu tangan atau satu kelompok .

Tanggungjawab pemerintah tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah yang pelaksanaanya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Oaerah. Oi daerah, pengembangan penyelenggaraan perfilman dilakukan oleh dinas rnaslnq-rnaslnq (Dinas Kebudayaan/ Pariwisata dan Perfilman).

Pemberian fasilitas oleh pemerintah dilaksanakan dengan memberikan kemudahan bagi penyelenggara perfilman misalnya; pemberian keringanan bea masuk atas bahan baku dan jenis-jenis peralatan yang diperlukan untuk pembuatan, penggandaan dan pertujukan film dan keringanan pajak tontonan yang diberikan khusus untuk film Indonesia.

Untuk pengembangan Perfilman pemerintah mendorong penyelenggaraan perfilman dengan memberikan insentif, pinjaman lunak, penyederhanaan perizinan. Demi tertib hukum,

89 penyelenggaraan perfilman diper!lukan pengaturan yang adil dan mampu melindungi pertumbuhan dan perkembangan perfilman Indonesia dalam arti yang seluas-Iuasnya.

4.9.2. Peran Serta Masyarakat Keterlibatan rnasyarakat dan peningkatan apresiasi terhadap Perfilman Indonesia telah menjadi perhatian lebih 25 tahun silam. Hal ini ditandai dengan termuatnya butir-butir pemikiran perlunya pembinaan organisasi dan apresiasi film dalam buku Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional di tahun 1980 yang menyebutkan "untuk pernbjnaan penonton dipandang perlu melibatkan peranserta masyarakat serta peningkatan apresiasi dan daya kritis penonton".

Selanjutnya amanat ini tersurat dalam ketentuan peraturan perfilman yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dan kesempatan yang seluas-Iuasnya untuk berperan serta dalam berkreasi, berkarya di bidang perfilman; Peran serta warga negara dan atau kelompok masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan dan pengembangan mutu perfilman, kemampuan prafesi insan perfilman, epres.asr masyarakat dan penangkalan berbagai pengaruh negatif di bidang perfilman.

Harapan dan keinginan yang tertuang dalam ketentuan di atas sepintas dinilai sangat mudah untuk dilaksanakan, namun dalam kenyataan yang ada selama ini upaya meningkatkan apresiasi film dirasakan sangat sulit. Harus diakui bahwa sampai saat ini belum pernah dilakukan pembinaan penonton yang baik dan terencana. Pendidikan apesiasi fim belum dapat dilaksanakan di bangku pendidikan dasar dan menengah. Padahal pembinaan apresiasi film ini sangat penting rnenqinqat pertunjukkan film dewasa ini menjadi menu utama yang nnenyita sebagian besar waktu sepanjang hari. Sementara itu peranserta masyarakat untuk meningkatkan kemampuan protest insan film pun masih jauh dari harapan. Hal ini

90 terbukti denqan banyak informasi gosip dari pada kritik film di media massa lain.

Pembinaan apresiasi film selama ini baru sebatas terbentuknya kelompok-kelompok pencinta film dalam satu kumpulan yang dikenal dengan nama kine klub. Keberadaan organisasi inl juga masih sangat terbatas yakni olsekitar lingkungan perguruan tinggi. Berbagai kendala pengembangan kine klub yang ada umumnya terbentur pada tidak tersedianya fasilitas pertunjukan film yang memadai di setiap kampus, sulitnya memperoleh copy film yang memadai, serta kurangnya kesadaran mahasiswa akan pentingnya kine klub.

Wacana memasukkan apresiasi film melalui pelajaran sekolah juga mengalami berbagai kendala. Daiam suatu pertemuan khusus membicarakan "Apresiasi Film M1asuk Dalam Kurikulum Sekolah" yang diselenggarakan pada tanggal 7 Agustus 2001 mencuat berbagai pendapat yang mengibaratkan film sebagai tamu sehingga permasalahannya adalah apakah sekolah dapat menerima tamu tersebut atau tidak. Permasalahan utama yang menjadi kendala adalah sulitnya memasukkan pelajaran apresiasi film di tengah penuh sesaknya kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan yang ada.

Pada bagian lain, penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) posisi yang penting sebagai tolok ukur untuk menilai pertumbuhan dan perkembangan film Indonesia terhenti selama 12 tahun dikarenakan ketiadaan film peserta. Akibatnya selama itu pula kegiatan pemberian penghargaan atas kreatifitas insan film tersebut .tidak dilakukan. Beruntung pada tahun 2004 kegiatan tersebut kembali dapat terselenggara, sehingga pada rnasa-masa mendatang event apresiasi terbesar tersebut dapat terselenggara.

Apresiasi masyarakat terhadap film sangat penting artinya, bukan saja untuk kepentingan kegiatan usaha pembuatan film dalam rangka memahami selera penonton, tetapi juga merupakan

91 rangkaian dalam mencerdaskan dan menambah pengetahuan masyarakat secara luas melalui film. Tingkat apresiasi masyarakat terhadap film tidak terlepas dari perkembangan kualitas film yang memungkinkan masyarakat dapat selektif memilih film yang baik dan bermanfaat. Upaya ini tentu harus menjadi perhatian bersama dalam pengembangan perfilman Indonesia di rnasa-rnasa mendatang. Dengan kata lain, pentingnya peranserta masyarakat tidak dapat dipunqkiri, namun upaya mewujudkannya ke dalam program-program menghadapi berbagai kendala atau tantangan.

Kendala-kendala yang dihadapi menyangkut hal-hal antara lain terbatasnya penyelenggaraan apresiasi film di sekolah-sekolah sebagai wahana untuk meningkatkan wawasan pelajar dalam menilai dan mengkritisi film Indonesia; tidak terdokumentasikannya program-program ekstra kurikuler sekolah berkaitan dengan film; belum adanya perpustakaaan film yang memadai di berbagai kine klub di Indonesia.

Meningkatnya citra film indonesia menjadi suatu pemikiran semua pihak. Konsep kemitraan terhadap masyarakat sangat penting sekali dalam menumbuhkembangkan kecintaan terhadap film Indonesia. Upaya yang dapat ditempuh dalam meningkatkan peranserta masyarakat terhadap film Indonesia dapat ditempuh dengan cara : 1) Menciptakan kemitraan dan kebersamaan masyaralkat; 2) Memperkuat potensi masyarakat untuk memberdayakan berbagai karya film Indonesia; 3) Melindungi karya film sebagai karya budaya yang harus dijaga; 4) Menciptakan iklim yang kondusif untuk mengembangkan potensi perfilman nasional.

Upaya menanamkan kebiasaan menonton film-film berkualitas kepada anak didik patut dilakukan sedini mungkin; hal ini selain dimaksudkan untuk menghargai film sebagai karya budaya bangsa juga yang terpenting menanamkan wawasan pengetahuan untuk memfilter diri dari dampak negatif pertunjukkan film. Untuk itu peran

92 orang tua, guru, dan masyarakat secara luas sangat penting sekali dalam membiasakan diri dalarn proses internalisasi anak untuk menonton film berkualitas,

Oi bawah ini adalah tanggung jawab pemerintah dan peran serta masyarakat yang harus ditegaskan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perfilman:

1. Tanggung jawab pemerintah: a. Mengambil peran sebagai fasilitator aktif dalam menciptakan relasi dinamis antar aktor yang terllibat. b. Merealisasikan sistem perfilman yang adil di semua lini c. Mendorong kemudahan dalam penyelenggaraan fasilitas perfilman d. Menqupayakan sepenuhnya pengembangan profesionalitas asosiasi perfilman sehingga nantilnya diharapkan masing-masing elemen perfilman mampu menerapkan mekanisme self regulation untuk memaknai keprofesionalannya.

2. Tanggung Jawab Masyarakat Film Masyarakat Film sebagai masyarakat yang terlibat secara aktif dalam perfilman Indonesia bertanggung jawab untuk: a. Terlibat secara aktif dalam meningkatkan mutu perfilman Indonesia b. Meningkatkan kemampuan profesionalitas insan perfi/man c. Menghargai dan menempatkan kepentinqan yang. lebih luas (bangsa dan negara) lebih daripada kepentingan yang Ilebih sempit d. Apresiasi masyarakat dan penangkalan berbagai pengaruh negatif di bidang perfilman

3. Peran Serta Masyarakat Masyarakat dapat berperan serta dalam memajukan perfilman dengan: a. Terlibat aktif dalam upaya peningkatan kemampuan apresiasi masyarakat sehingga mampu dengan sendirinya menangkal berbagai pengaruh negatif di bidang perfilman

93 b. Mendorong pengembangan perfilman Indonesia dengan meningkatkan kemampuan selektifitas masyarakat dalam memilih film yang baik dan bermanfaat

4.10 ASPEK SUMBER DAYA PERFILMAN

4.10.1. Aspek SDM Sumber daya manusia (SOM) penting untuk diatur kerena terkait dengan kualitas dan perkembangan perfilman di Indonesia. SOM dibidang perfilman meliputi sutradara, penulis scenario, juru kamera, editor, penata artistic, penata suara, penata busana, penata rias, pemain, dan pimpinan produksi.

Usaha perfilman dan modal dalam bentuk materi harus didukung tenaga rnanusla yang memenuhi persyaratan profesionalisme, ketrampilan dan kreatifitas. Sebagian besar tenaga karyawan dan pemain yang ada sekarang adalah hasil dari masa perkembangan 20 tahun terakhir. Tenaga manusia ini dibagi dalam dua kelompok :

a. Orang yang masuk dunia perfilman karena tertarik oleh uang atau popularitas. Golongan ini adalah qolonqan terbesar dimana kita tidak bisa mengharapkan idealisrne, tidak juga usaha yang keras untuk meningkatkan prestasi, mereka hanya berbuat dan melakukan apa saja yang menghasilkan uang. b. Orang-orang yang masuk dunia film, karena ingin berkarya dalam dunia film dan mereka merasa bahwa dunia perfilman yang paling cocok untuk mengisi hasrat hidup mereka.

Pada kongres ~

94 sebagai kreator. Gambaran tersebut lebih menggembirakan pula dengan terus berdatangannya seniman-seniman berkualitas dari bidang seni lain ke dalam dunia film.

Di samping itu Akademi 8inematografi LPKJ mulai menghasilkan tenaga-tenaga muda. Namun sangat disayangkan bahwa tenaga- tenaga muda yang dididik menurut ukuran­ ukuran ketrampilan sinematografik yang obyektif, ternyata harus menglhadapi kenyataan getir yang memaksa mereka untuk menanggalkan idealisme yang mereka bawa dan selanjutnya terpaksa menyesuaikan diri dengan unsur pemilik modal yang memiliki kecenderungan yang tidak rnenquntunokan.

Oi bawah ini akan dipetakan secara detil problem dan substansi revisi RUU terkait dengan 80M Perfiiman: a. Produser Dalam sebuah produksi film, kecenderungan seorang produser sangat menentukan sekali kualitas film yang akan dihasilkan. Kenyataannya kebanyakan produser film di Indonesia sebetulnya bukanlah produser, tetapi pemilik modal. Inilah yang rnenjadi sebab mengapa profesionalisme sulit ditemui pada pengusaha-pengusaha film Indonesia. Pemilik modal dalam industri perfilman ini umumnya bukan saja tidak mengerti seluk-beluk dunia film, tapi bahkan cenderung menganggapnya hanya sebagai entitas bisnis saja dan tidak menempatkannya sebagai sebuah produk sosial yang sarat nilai. b. Sutradara Tokoh pimpinan artistik yang paling menentukan dalam pembuatan sebuah film adalah sutradara. Kendati ada pendapat dalam dunia perfilman bahwa skenario yang balk akan memberikan jaminan sebanyak 70% untuk memperoleh film yang baiik, akan tetapi sutradara masih dapat menyelamatkan skenario yang buruk atau menghancurkan

95 sebuah skenario yang baik. Pembaharuan yang berlangsung dalam sejarah perfilman adalah pembaharuan yang dilakukan oleh para sutradara. Sutradaralah yang pertama­ tama menemukan bahasa khusus film, sutradara juga yang menempatkan penggunaan suara pada tempat yang semesti dan penggunaan fotografi yang fungsional.

Secara singkat, jika kita pelajari sejarah perfilman suatu bangsa, seperti fiilm Amerika, Perancis dan sebagainya, jelas bahwa sutradaralah yang menjadi ujunq tombak perkembangan dan pembaharuan, sehingga dapat dikatakan proses kemajuan film suatu bangsa tergantung dari berhasil tidaknya bangsa itu menghasilkan sutradara yang baik, dan cukup tidaknya kesempatan berkarya diberikan kepada sutradara yang kreatif.

Bagi seorang sutradara, ketrampilan teknis saja tidaklah mencukupi, bahkan banyak sutradara yang kurang menguasai persoalan teknik, tapi justru berhasil merombak kerangkeng yang dipaksakan oleh teknik pembuatan pada produksi film dalam suatu masa. Belajar dari sistem Hollywood yang menjadi barometer film dunia, pernah terjadi bahwa akibat kecenderungan untuk menghasilkan kualitas yang baku, [ustru menekan para sutradara yang kreatif, suatu usaha yang akhirnya membuahkan kehancuran bagi Hollywood sendiri. Sekali-sekali memang masih ada sutradara yang berhasil menentang potentat-potentat studio Hollywood dan menghasilkan film yang dalam sejarah per­ filman dicatat selbagai prestasi besar. Sebaliknya belajar dari perkembangan film Eropa, sutradara lebih dihargai kreatifitasnya tanpa dikerangkeng dengan sebuah standard baku. Bagaimana dengan Indonesia? Sebuah design yang komprehensif perlu dipikirkan sehingga sistem yang berimplikasi pada menurunnya kualitas sutradara bisa diminimalkan.

96 Akhir-akhir ini tanggung jawab sutradara atas keberhasilan sebuah film begitu ditekankan, sehingga ada seorang penulis buku tentang film yang bicara tentang sutradara sebagai super-star. Sejajar dengan perkembangan pengakuan terhadap sutradara, muncullah teori yang disebuit author­ theory yang secara keseluruhan barangkali tidak begitu mencerminkan sebuah kebenaran, tapi pada hakekatnya menjelaskan bagi kita bagaimana pentingnya kedudukan sutradara. Oengan makin tingginya kedudukan tersebut, dengan sendirinya persyaratan yang harus diajukan pada seorang sutradara harus pula menjadi lebih tinggi.

Tidaklah mengherankan, jika jabatan sutradara ini adalah jabatan yang paling dikejar dalam dunia film. Oi Indonesia, jumlah produksi yang banyak dihasilkan dalam tahun 1977 telah menghasilkan sejumlah sutradara yang sebelumnya masih asisten sutradara berhasil menjadi sutradara hanya karena dipromosikan oleh produser film. Kenyataan ini hanya bisa terjadi karena di kalangan pengusaha film tidak ada pengertian yang balk tentang pentingnya fungsi sutradara. Sebagian besar para pengusaha film berpendapat, bahwa yang terpenting dalam sebuah film adalah bintangnya, sehingga dalam membuat disain anggaran produksi mereka menyediakan jumlah yang cukup besar untuk membayar bintang yang menurut mereka populer sekali dan mempekerjakan siapa pun sutradara selama bersedia dibayar murah.

Praktek tersebut sering menimbulkan konflik antara produser dengan organisasi karyawan (KFT) yang ingin menegakkan standar-standar profesional demi kemajuan perfilman secara menyeluruh. Para pengusaha film yang hanya memikirkan kepentingan pribadi yaitu dengan menyewa tenaga-tenaga murah yang secara profesional tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan KFT. Alat penyaringan yang dimiliki oleh KFT, yaitu hak untuk memberikan rekomendasi, bukan

97 merupakan persoalan penting karena dianggap menghalangi keinginan produser.

Jumlah sutradara film yang baik dan mamou menjalankan tugasnya secara kreatif dan berkualitas sangat sedikit. Walaupun sedikit para sutradara yang berkualitas baik lebih sedikit mendapat kesempatan berkarya dibandingkan dengan sutradara-sutradara yang secara kualitas kurang balk, sebagai akibat dari kecenderungan yang dipraktekkan oleh para pemilik modal yang menanamkan modalnya dalam sebuah produksi film.

Masalah lain yang perlu mendapat perhatian adalah pengaturan tenaga asing dalam dunia film. Secara resmi, sebetulnya tidak ada tenaga asing dalam perfilman Indonesia. Tapi dalam kenyataanya banyak sutradara­ sutradara aslnq yang dimasukkan secara tidak sah, dan tidak memiliki izin kerja dari departemen Tenaga Kerja dan Transmiqrasl, yang mana mereka masuk ke Indonesia dengan visa turis.

Sutradara-sutradara nu.yanq kebanyakan berasal dari Hongkong dan Taiwan diajukan sebagai "penasihat" atau "supervisor" yang tidak boleh bekerja di lapangan, karena memang ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Tapi dalam kenyataannya, merekalah sanq sutradara yang sesungguhnya. sedangkan seorang sutradara Indonesia yang disewa dan namanya tercantum dalam Surat Izin Produksi hanya bertugas sebagai "tameng" atau "sutradara dibawah pohon". Dalam hal ini pengusaha yang mempergunakan sutradara asing tersebut berusaha mencari sutradara yang bersedia menjual namanya, yaitu umumnya sutradara yang memang bersedia melakukan apa saja untuk memperoleh uang. Jika ada usaha untuk menghalangi niat pengusaha ini, maka ditimbulkan isyu "penghambatan produksi", karena biasanya hal semacam ini tidak akan

98 mendapat rekomendasi dari organisasi profesi yang berwenang.

Lebih menyulitkan lagi bahwa seringkali pimpinan organisasi maupun pejabat berwenang tidak menyadari benar pokok permasalahannya sehingga membiarkan praktek semacam ini berlangsung semata-mata dari sudut kemanusiaan.

Pengaturan ke depan, diharapkan ada sebuah solusi yang konstruksif mengenai problem ini setidaknya ada prosedur yang jelas dalam pemanfaatan tenaga asing sehingga tidak terjadi praktek-praktek yang tidak sehat dalam dunia pertilman. Disamping itu terus mendorong agar para produser ataupun para sineas Indonesia secara keseluruhan untuk memanfaatkan jasa tenaga kerja dalam negeri. c. Penulis Cerita Salah satu unsur yang lernah dalam film Indonesia ialah unsur cerita. Kebanyakan cerita yang difilmkan adalah hasil "pertukangan" yaitu cerita yang dibuat berdasarkan suatu resep yang dianggap mujarab untuk kepentingan komersial yang memungkinkan masuknya adegan-adegan komersial seperti kekerasan, adegan seks dan sebagainya.

Dalam pemilihan cerita, para pengusaha film Indonesia boleh dikatakan hanya berorientasi pada apa yang laku pada satu saat, baik film impor maupun film buatan dalam negeri. Muaranya adalah dunia produksi film kita, terjangkit virus "kelatahan" yang akhirnya menimbulkan kejenuhan pada penonton.

Jumlah penulis cerita film Indonesia yang baik sangat sedikit sekali. Penulisan cerita kebanyakan diserahkan pada orang­ orang yang bersedia menuangkan dalam sebuah rentetan "kejadian buatan" seperti yang dikehendaki produser dengan persyaratan bayaran yang rendah. Kesadaran bahwa

99 memiliki sebuah cerita yang bagus berarti memiliki kemungkinan keberhasilan sebuah produksi film seperti yang kita temui di luar negeri, nyatanya belum dimiliki olen pengusaha-pengusaha film kita. Tema-tema. film Indonesia sangat terbatas sekali, sehingga muara akhirnya adalah miskinnya variasi film Indonesia. d. Artis Artis film sebetulnya secara hukum kedudukannya setara dengan karyawan film, yaitu orang-orang yang memberikan jasa artistik-kreatif dalam pembuatan film, namun kedudukan para artis ini berbeda sekali dari karyawan, malahan boleh dikatakan bahwa kepentingan artistik karyawan seringkali bertentangan dengan kepentingan artis. Kedudukan para artis umumnya jauh lebih goyah dan jauh lebih tidak terjamin dibandingkan dengan kedudukan karyawan film. Kedudukan yang sangat goyah dan tidak terjamin ini menumbuhkan sikap oportunisme pada sebagian artis, sehingga banyak artis yang sebetulnya karena panik dan cemas akan masa depannya, jadi cenderung untuk menerima peranan apa saja dan bermain dalam beberapa film sekaligus yang mengakibatkan hasil permainan yang klise. Dalam jangka panjang, kecenderungan ini ternyata merugikan artis itu sendiri.

Adapun sistim bintang sebagai daya tarik utama yang dianut oleh sebagian besar produser telah membuat jumlah tenaga artls yang dilibatkan dalam produksi film Indonesia hanya terbatas pada suatu kelompok kecil. Sebagian besar anggota PARFI tidak pernah mendapat kesempatan untuk menunjukkan kesanggupan mereka, biiarpun mereka misalnya dapat membuktikan bahwa mereka adalah pemain­ pemain yang balk asalkan kesempatan berlkarya ada. Dan dimana pada satu saat tema-tema cerita yang difilmkan adalah yang itu-ltu sa]a, misalnya tema remaja, maka artis­ artis yang agak berumur dan memiliki kualitas profesional

100 yang tinggi yang sebetulnya merupakan kekayaan tak ternilai dalam perfilman nasional tidak lagi mendapat kesempatan.

Beberapa kecenderungan mengenai alasan-alasan mengapa artis dipekerjakan dalam film pada saat ini, karena: • sudan terkenal dan dianggap populer, • dikenallewat permainannya dalam beberapa film, .. dikenal lewat media massa, • mempunyai hubungan pribadi dengan pembuat film.

Kedudukan para artis dalam usaha mencari kesempatan berkarya ini sangat lemalh sekali. Sebaliknya, jlka seorang artis ternyata berkedudukan kuat pada suatu saat (karena la termasuk artis yang diperkirakan produser dapat menarik penonton), maka ia segera kehilangan disiplin kerja dan menimbulkan kesulitan yang tidak saja merusak skedul dan suasana kerja, tapi tidak jarang mengganggu keutuhan film yang sedang dibuat.

Biarpun penataran-penataran untuk artis sudah sering dilakukan, tapi hasilnya tidak kelihatan oleh karena artis-artis yang sudah ditatar ini tidak mendapat kesennpatan berkarya secara teratur. Sementara itu artis-artis yang sedang laris menganggap penataran sama sekali tidak penting, karena mereka merasa bahwa tanpa penataran pun mereka bisa berhasil. Sebagai akibatnya, pembinaan kualitas dan disiplin profesional di kalangan artis pada saat ini masih sangat terbengkalai.

4.10.2. Penyiapan 80M Perfilman melalui jalur pendidikan perfilman Dari perspektif pendidikan berbagai permasalahan sumberdaya manusia dibidang perflrnan di atas dapat dilihat sebagai akibat : 1) Lemahnya kualltas pekerja film karena kurang memadainya latar belakang pendidikan yang dimiliki sebelum memasuki dumia kerja.

101 2) Belum memadainya sarana dan prasarana pendidikan di bidang Perfilman sehingga tidak menjamin kualitas pendidikan perfilman yang diselenggarakan. 3) Belum adanya konsorsium yang mengurus perguruan tinggi di bidang film untuk memacu perkembangan bidang kajian film. Persoalan ini terutama terkait standarisasi kurikulum dan akreditasi pendidikan perfilman. 4) Belum maksimalnya keterbukaan hubungan antara dunia industri Perfillman dengan sekolah perfilman dalam menggagas dan merealisasikan link and match agar pendidikan dan perkembangan industri dapat saling memberi kontribusi. 5) Apresiasi film Ibelum diperkenalkan sejak pendidikan dasar dan menengah, agar penqetahuan tentang kualitas film dan proses produksi film dapat dikenali masyarakat sedini mungkin. 6) Kurikulum film sampai saat ini belum dibakukan di sekolah­ sekolah. 7) Langkanya pekerja film kelas menengah, seperti penulis skenario yang kreatif, sutradara (Pembuat film) dan produser. 8) Kualitas dan kualifikasi pekerja praktisi film sangat terbatas.

Hal ini bisa diakibatkan karena eksistensi dan standar mutu akademik pendidikan perfilman yang masih jauh dari standar minimum dan peran pemerintah dalam peningkatan kualitas SOM perfilman masih kurang.

Walaupun sudah banyak pekerja film yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup balk masih cukup banyak juga para Pekerja film sutradara saat ini latarbelakang pendidikannya adalah SMA sehingga bisa diasumsikan bahwa mereka memasuki dunia perfilman tanpa memiliki bekal pendidikan film secara formal, karena pada umumnya mereka belajar secara otodidak.

102 Selain persoalan latar belakang pendidikan yang mempengaruhi kualitas SOM perfilman, persoalan kualifikasi pekerja film sesuai standarisasi profesi film pun hingga kini belum ada. Hingga saat ini dunia perfilman seolah terbuka untuk siapa saja tanpa ada ketentuan yang mensyaratkan kompetensi perfilman tertentu yang harus dimiliki pekerja di setiap profesi yang ada dalam dunia perfilman. Padahal persoalan ini penting untuk menjamin kualitas hasil kerja yang berbasis kualitas SOM.

4.10.3. Peran Pemerintah terkalt dengan peningkatan SDM Mengingat film Indonesia mengalami keterpurukan dalam rentang waktu yang cukup lama maka eksistensi dan peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan sangat diperlukan. Oi sisi lain peran pemerintah sebagai fasilitator tetap diperlukan terutama dalam hal penqernbanqan Sumber Oaya Manusia (SOM), penguasaan teknologi, pengembangan apresiasi dan peran serta masyarakat. Adapun dukunqan yang diharapkan adalah: 1) Pengembangan pendidikan formal dan non formal di bidang perfilman; 2) Pemberian beasiswa belajar ke luar negeri bagi karyawan film; 3) Memasukan mata pelajaran apresiasi film dan sejarah film dalam kurikulum sekolah; 4) Menumbuhkembangkan Kine klub, liga film dan komunitas film; 5) Mendukung penyelenggaraan festival film di dalam dan luar negeri.

Selain dukungan hal tersebut di atas pemerintah perlu mendukung peningkatan kemampuan yang merupakan usaha terus-menerus. Oalam hal ini peningkatan kemampuan dan pengetahuan harus disertai peningkatan kesadaran ideal, yang dilakukan dengan jalan :

103 a) Mengadakan kursus-kursus profesional yang menambah pengetahuan teori dan meluaskan cakrawala pengetahuan; b) Membentuk bengkel kerja untuk memperdalam teori dan keterampilan; c) Menyelenggarakan seminar-seminar dan diskusi-diskusi; d) Menqusahakan kesempatan untuk menghadiri Festival, Seminar, on the job traning atau sekolah film di luar negeri; e) Pelaksanaan kaderisasi dilakukan melalui "Pendldlkan Akademls" (Akademi Sinematografi) dan program pendidikan lainnya yang diadakan menurut keperluan; f) Menyediakan buku-buku mengenai film dalam bahasa Indonesia; g) Mengusahakan supaya Sinematek film dalam waktu singkat membuat koleksi minimum dari film-film yang diperlukan bagi pendidikan dan perluasan cakrawala pemikiran para pekerja film kreatif.

104 BABV KETERKAITAN RUU PERFILMAN DENGAN UU LAIN

Materi yang disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perfilman memiliki keterkaitan erat dengan Undang-Undang lain, antara lain:

5.1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

Pasal5 (1) Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang masuk dalam kelompok industri kecil, terrnasuk industri yang menggunakan ketrampilantradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia.

Pasal7 Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, untuk: (1) mewujudkan perkembangan industri yang lebih balk, secara sehat dan berhasil guna; (2) mengembangkan persalnqan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur: (3) mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

Pasal8 Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan bidang usaha industri secara seimbang, terpadu, dan terarah untuk memperkokoh struktur industri nasional pada setiap tahap perkembangan industri.

105 Pasal9 Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan : a. b. Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaan­ perusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli y'ang merugikan masyarakat;

Pasal 12 Untuk mendorong pengembangan cabang-cabang industri dan jenis-jenis industri tertentu di dalam negeri, Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan/atau perlindungan yang diperlukan.

Pasal18 Pemerintah mendorong pengembangan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri.

5.2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal42 (1) Setiap pemberi kerja yang rnernpekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. (3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. (4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. (5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

106 (6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.

Pasal43 (1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, (2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya me muat keterangan : a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputu san Menteri.

5.3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Monopoli menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Menurut Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1999, Praktek monopoli adalah pernusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehinqqa menimbulkan persaingan usaha

107 tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sedangkan pengertian dari pemusatan kekuatan ekonomi itu sendiri adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.

Di dalam Pasal 17 UU Nornor 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, balk sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Oi dalam Pasal 17 ayat (2) UU Nornor 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa: "Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a) barang dan atau [asa yang bersangkutan belum ada substansinya; atau b) mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau [asa yang sama; atau c) satu pelaku usaha atau satu kelompol< pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Namun di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 khususnya Pasal 51 terdapat pengecualian bagi praktek monopoli yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah merupakan monopoli yang dibolehkan. Hal inl diatur dalam Pasal 51 UU NO.5 Tahun 1999 yang berbunyi:

108 "Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak sette cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah".

Perfilman sebagai bagian dari bisnis budaya yang merupakan kegiatan usaha ekonomi juga tidak terlepas dari larangan praktek monopoli dan usaha tidak sehat. Oleh karenanya dalam perubahan UU Filman harus dijamin tldak adanya praktek monopoli dan usaha tidak sehat dari seluruh kegiatan usaha perfilman.

5.4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbull secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Pasal 58 Pencipta atau ahli waris suatu Ciptaan dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasall 24.

5.5. Undang-Undang Nemer 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

109 kemanusiaan, serta mendapat perliindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal13 (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wall, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perHndungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wall atau penqasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 15 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata: c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; b. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan c. pelibatan dalam peperangan.

Pasal20 Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindunqan anak.

Pasal66 (1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanqqunq jawab pemerintah dan masyarakat. (2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :

110 a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi seeara ekonomi dan/atau seksual; b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan e. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak seeara ekonomi dan/atau seksual. (3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

5.6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pasal36 (1) lsi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agamadan budaya Indonesia. (2) lsi siaran darl [asa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat selkurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata aeara yang berasal dari dalam negeri. (3) lsi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, denqan menyiarkan mata aeara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib meneantumkan dan/atau rnenyebutkan klasifikasi khalayak sesual dengan isl siaran. (4) lsi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. (5) lsi siaran dilarang : a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau e. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antarqolonqan.

111 d. lsi siaran dilaranq rnernperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Pasal47 lsi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lu/us sensor dari lembaga yang berwenang.

5.7. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Pasal4 (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornoqraf yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. (2) .....

Pasal6 Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal8 Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pqrnografi.

112 Pasal!9 Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal10 Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal11 Setiap orang dilarang rnelibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.

Pasal12 Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau mernaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal13 (1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang rnernuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. (2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (11' harus dilakukan di ternpat dan dengan cara khusus.

Pasal32 Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling Ibanyak Rp2.000.000.000,OO (dua miliar rupiah).

113. Pasal3,2 Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yanq menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagainnana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,OO (lima miliar rupiah).

BABVI PENUTLJP

6.1. KESIMPULAN

Sebagai negara hukum yang merdeka dan berdaulat, Indonesia menghormati hak asasi rnanusla, menjamin dan melindlungi kreativitas seni dan budaya. Film merupakan hasil karya cipta manusia yang perlu mendapat jaminan perlindungan dari negara. Film telah dikenal di Indonesia sejak masa colonial dan pengaturan atas film telah dilakukan sejak masa pemerintahan kolonial itu sendiri. Sejak kemerdekaan Indonesia pengaturan atas perfilman telah dikeluarkan. Pembentuk UU mengeluarkan UU No. 8 tahun 1B92 tentang Perfilman. Namun perkembangan masyarakat khususnya perkembangan teknologi mempengaruhi kondisi UU tersebut. Selain itu faktor lain juga ikut berpengaruh terhadap kelemahan hukurn yang mengakibatkan tidak memungkinkannya UU No. 8 tahun 1992 memenuhi perkembangan di bidang perfilman. Untuk itu UU tersebut perlu dilakukan penggantian sebagai bentuk penyesuaian terhadap kebutuhan dan tuntutan dalam dunia hukum perfilman.

Beberapa konsepsi dasar yang perlu menjadi pertinnbangan untuk penyelenggaran perfilman Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Penyelenggaraan perfilman Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, kemandirian, pmfesionalitas, akuntabilitas, dan kebebasan berkreasi; 2. Fungsi film diarahkan sebagai pengembang dan pelestarian budaya bangsa, hiburan, informasi, pendidikan dan ekonomi;

114 3. Usaha perfilman terbuka untuk penanaman modal asing dan melarang adanya monopoli usaha; 4. Pembuatan film didasarkan kebebasan berkarya dengan memperhatikan kode etik profesi perfilman; 5. Peredaran film indonesia memperoleh kesempatan yang lebih luas dari film impor. 6. Film impor yang dipertunjukkan atau ditayangkan harus bermutu baik dengan memperhatikan nilai-nilai budaya dan norma kemasyarakatan; 7. Sensor film dilakukan terhadap filrn-tilrn yang akan ditayangkan di stasiun televisi, sedangkan untuk film yang akan dipertunjukkan di bioskop berlaku ketentuan klasifikasi film dan batas usia penonton yang harus ditaati oleh pengusaha bioskop; 8. Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-Iuasnya untuk berperan serta dalam berbagai kegiatan untuk mendorong pertumbuhan produksi film. Peranserta masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk apresiasi film, festival film, arsip film, dan pengembangan sdm perfilman; 9. Berbagai bentuk perizinan perlu disedierhanakan; 10. Adanya jaminan sosial dan perlindungan hukum bagi karyawan, artis film, termasuk setiap karya film yang dihasilkan; 11. Pemerintah berkewajiban memberikan berbagai fasilitasi untuk mendorong pengembangan perfilnnan, termasuk mengupayakan keringan pajak, bea masuk dan bentuk retribusi lain.

Kebijakan perfilman di atas diharapkan mampu menumbuhkan dan meningkatkan produksi film serta apresiasi publik atas film sekaligus dapat mensejahterakan insan perfilman khususnya dan masyarakat pada umumnya. Disamping itu diharapkan dapat melindungi dan menjamin hak masyarakat umum yang merupakan hak publik atas akses lntorrnasl melalui media. Kebijakan ini dlperklrakan akan menjadi terapi yang menciptakan semangat baru bagi pelaku perfilman rnenyusul ketertinggalan selama ini.

115 _. ------

6.2. SISTEMATIKA MATERI MUATAN YANG AKAN DIATUR DALAM RUU TENTANG PERFILMAN

Bab I KETENTUAN UMUM Ketentuan Umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan, hal-hal lain yang bersitat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan. Bab II ASAS, FUNGSI, DAN TUJUAN Asas ini memuat asas pembentukan dan asas materi. Fungsi memuat penyelenggaraan pengaturan perfilman Tujuan memuat hal-hal yang ingin dicapai dalam perfilman Bab III PEMBANGUNAN PERFILMAN Perencanaan perfi/man Penyelenggaraan perfilman Pengawasan perfi/man BAB IV PERENCANAAN PERFILMAN Rencana Induk Pengembangan Perfilman Nasional BAB V PENYELENGGARAAN PERFILMAN Usaha lPerfilman Jenis Usaha Pembuatan Film Ekspor Film Impor Film Pengedaran Film Pertunjukan Film Penjualan dan Penyewaan Film Kegiatan Perfilman Apresiasi Film Pengarsipan Film BAB VI PENGAWASAN PERFILMAN BAS VII LEMBAGA SENSOR FILM BAB VIII KELEMBAGAAN PERFILMAN BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT BAB X SUMBER DAYA PERFILMAN

116 - -~ - -~------

BAB XI SANKS~ ADMINISTRATIF BAB XII PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN PENGADILAN BAB XIII KETENTUAN PIDANA BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN BAB XV KETENTUAN PENUTUP

117