365 Sensor Film di dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro)

SENSOR FILM DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH (1945 – 2009)

Oleh Heru Erwantoro

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung Email: [email protected]

Naskah diterima: 28 Februari 2011 Naskah disetujui: 29 April 2011

Abstrak Banyak persoalan di dunia perfilman Indonesia, antara lain masalah penyensoran, khususnya periode 1945 – 2009. Penelitian masalah tersebut dengan menggunakan metode sejarah menunjukkan, bahwa penyensoran film yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia didasarkan atas kepentingan politik dan kekuasaan pemerintah. Dalam praktik penyensoran, ›lm masih dilihat sebagai sesuatu yang dapat mengganggu dan merugikan masyarakat dan negara. Film belum dilihat sebagai karya seni budaya, akibatnya, dunia per›lman nasional tidak pernah mengalami kemajuan. Hal itu berarti penyensoran ›lm yang dilakukan pada periode tersebut, pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan masa kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda, sensor merupakan manifestasi kehendak pemerintah untuk menjaga kredibilitas pemerintah dan masyarakat Eropa di mata masyarakat pribumi. Begitu juga sensor pada periode 1945 – 2009, sensor pun lagi-lagi menjadi ajang perwujudan politik pemerintah, tanpa mau memahami ›lm dari persfektif para sineas. Kondisi itu masih ditambah lagi dengan mudahnya pelarangan-pelarangan penayangan ›lm yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Bagi para sineas, sensor ›m hanya menjadi mimpi buruk yang menakutkan. Kata kunci: per›lman, sensor ›lm.

Abstract There are many issues in Indonesia’s movie industry. One of them is censorship, especially in the period of 1945-2009. This researh, supported by method in history, shows that censorship done by the government was based on political and governmental interests. The government thought that ›lms could harm the society and the state as well. They do not think ›lms as products of art and culture, ending up

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 366 in the stagnancy in Indonesia’s movie industry. This situation more or less is similar to what happened in the time of Dutch colonialism. During that time censorship was manifestation of government policy in showing the credibility of European government and society before native Indonesians. During 1945-2009 censorship was also manifestation of government‘s political policy without understanding ›lms from the ›lmmaker‘s point of view. Not to mention the movement to easily ban ›lms by various group in the society. Censorship is a nightmare for ›lmmakers. Keywords: movie industry, censorship.

A. PENDAHULUAN Pada masa Hindia Belanda Dunia per›lman di Indonesia pada masuknya ›lm telah membuat Pemerintah awal abad XXI ini masih diwarnai oleh Hindia Belanda melakukan penyensoran berbagai persoalan yang merupakan melalui “Ordonansi Biooscoope 1916”. warisan abad sebelumnya. Salah satu Penyensoran terhadap film dilakukan persoalan itu adalah masalah sensor ›lm. karena pemerintah Hindia Belanda Masalah sensor ›lm di Indonesia begitu merasa khawatir atas pengaruh ›lm seks kompleks. Sebuah ›lm yang telah lolos dan kekerasan yang dapat mengurangi sensor dari proses lembaga sensor yang kewibawaan bangsa Barat di mata rakyat resmi, belum tentu bisa ditayangkan di pribumi. Sejak saat itulah sampai masa bioskop-bioskop secara “mulus”. Bisa kini sensor terus diberlakukan terhadap saja ›lm itu ditentang oleh kelompok- ›lm yang akan ditayangkan. kelompok masyarakat tertentu (kelompok Berdasarkan uraian di atas, itu bisa dari kalangan yang mewakili permasalahan pokok yang diteliti adalah golongan agama, budaya, pendidik dan sebagai berikut: sebagainya) bahkan dari institusi seperti 1. Apa alasan/pertimbangan pemerintah daerah dan tentara. pemerintahan Indonesia Ternyata yang digugat bukan melakukan penyensoran terhadap hanya persoalan filmnya, tetapi juga ›lm ? menyangkut lembaga sensornya. “Ketika 2. Bagaimana penyensoran ›lm itu ruang kebebasan imajinatif seseorang dilakukan? harus dikompromikan dan dicampuri 3. Apa dampak dari penyensoran itu, pemerintah melalui sensor film, itu baik terhadap dunia ›lm maupun berarti negara telah turut memengaruhi bagi masyarakat umum? imajinasi masyarakatnya. Dengan melihat Dengan demikian, penelitian perkembangan situasi masyarakat, maka ini dimaksudkan untuk memahami kinilah saatnya untuk membubarkan dan menemukan akar permasalahan Lembaga Sensor Film (LSF) bentukan mengenai penyensoran ›lm di Indonesia. Departemen Penerangan (Deppen) dan Fokus penelitian ditekankan pada mengembalikan sensor tersebut kepada pencarian jawab atas permasalahan masyarakat (“Bubarkan Lembaga yang telah dirumuskan. Dengan kata Sensor Film” dalam Kompas, Jumat 26 lain dimaksudkan untuk mengungkap November 1999).

2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 367 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro) pola-pola penyensoran ›lm di Indonesia membangun fondasi yang kokoh agar selama kurun waktu 1945 sampai 2009. dunia per›lman Indonesia nantinya dapat Sebagaimana penelitian sejarah berkembang sebagaimana mestinya. umumnya, penelitian ini menggunakan Dasar yang kokoh itu terdiri atas dua metode sejarah. Metode ini terbagi ke hal yaitu kebijakan pemerintah di bidang dalam 4 tahap, yaitu: (1) Heuristik, perfilman dan pembentukan lembaga menghimpun bukti sejarah; (2) Kritik, sensor. menguji dan menilai bukti-bukti sejarah; Untuk maksud itulah, Pusat (3) Interpretasi, memahami makna yang Peredaran Pilm Indonesia (PPPI) sebenarnya atas bukti-bukti sejarah yang mengadakan pertemuan dengan telah dinilai itu; dan (4) Historiogra›, Pemerintah Republik Indonesia menyajikan pemikiran-pemikiran baru (RI) pada tanggal 9 Januari 1946 berdasarkan bukti-bukti sejarah yang di Yogyakarta. Pertemuan yang telah dinilai itu ke dalam bentuk tertulis diselenggarakan di Gedung PPPI itu (Abdurahman, 2007: 54). dihadiri oleh: Wakil Menteri Penerangan, Mr. Ali Sastroamidjojo, pimpinan PPPI Yogyakarta, Soebroto, dan 20 utusan PPPI dari , Surabaya, Malang, B. HASIL DAN BAHASAN Semarang, Yogyakarta, dan Tasikmalaya 1. Masa Perang Kemerdekaan (Hastuti, 1992: 47). '0834L0838( Dalam pertemuan itu, sikap Proklamasi kemerdekaan yang pemerintah atas per›lman terlihat dari dideklarasikan secara tertulis oleh keterangan sebagai berikut: Soekarno-Hatta mendapat sambutan dari seluruh komponen bangsa. Dengan Mr. Ali Sastroamidjojo, adanya kemerdekaan itu, muncullah sebagai wakil pemerintah, de›nisi tentang bangsa Indonesia yang menerangkan bahwa film pada perkembangannya berpengaruh haruslah merupakan alat pada dunia perfilman. Artinya, pendidikan yang sehat bagi kemerdekaan tidak hanya disikapi dengan rakyat, guna memperluas upaya kelompok pribumi menguasai paham-paham masyarakat. perusahaan-perusahaan ›lm tetapi lebih S e l a i n i t u , A l i jauh diisi oleh tekad untuk membangun Sastroamidjojo menganjurkan dunia per›lman itu sendiri berdasarkan PPPI melakukan reorganisasi, kehendak bebas sebagai bangsa yang sifat kapitalis dari suatu merdeka. perusahaan juga dianjurkan Oleh sebab itu, meskipun bangsa dihilangkan diganti dengan Indonesia masih disibukkan dengan sistem kedaulatan rakyat. suasana perang kemerdekaan, insan Pendeknya, pemerintah RI perfilman Indonesia berusaha untuk ingin menjadikan film bukan membangun dunia perfilman. Dalam sebagai sarana ekonomi semata, rangka membangun dunia perfilman, melainkan juga sebagai salah para insan perfilman berusaha untuk satu komponen perjuangan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 368

secara ekonomis maupun moral 1-L`r`Rtquhu`k'084/L0848( (Hastuti, 1992: 47). Pada masa survival ini yang Delapan bulan kemudian, tepatnya bertanggung jawab dalam hal penyensoran pada tanggal 10 September 1946, ›lm adalah Panitia Pengawas Film (PPF). pertemuan antara PPPI dengan pemerintah Dalam menjalankan tugasnya, PPF sejak berlangsung kembali. Pertemuan itu tanggal 4 April 1950 mengeluarkan diadakan untuk membentuk komisi Dasar-dasar Pedoman Sensor Film. pemeriksaan film. Dalam pertemuan Dalam aturan itu, kriteria sensor film itu, terbentuk Komisi Pemeriksaan Film meliputi unsur-unsur sebagai berikut: (KPF) dengan anggota 9 orang, yaitu Ali (a) tidak melanggar kesusilaan, (b) tidak Sastroamidjojo, Ki Hadjar Dewantoro, mengganggu ketentraman umum, (c) Mr. Soebagio, R.M. Soetarto, Usmar cukup pantas dan atau tidak memberi Ismail, Soemardjo, , pengaruh buruk kepada masyarakat. Djajeng Asmara, dan Roeseno. Pada PPF mempunyai 30 orang anggota. pertemuan itu, ditegaskan lagi oleh Ketua Mereka direkrut dari berbagai kalangan Komisi Film bahwa ›lm adalah satu alat dengan tujuan dapat mewakili semua politik dan harus dipelihara dengan baik golongan dalam masyarakat Indonesia. agar jangan sampai bertentangan dengan Dalam mekanisme kerjanya, untuk paham rakyat. Untuk itulah, ›lm harus menyensor sebuah film dibentuklah bersifat mendidik. Panitia Kecil yang terdiri atas tiga orang. Dari kedua pertemuan itu jelaslah Personil panitia kecil itu dipilih oleh bahwa pemerintah RI dan para insan Pengurus Harian PPF. Pemilihan anggota perfilman telah memberikan arahan Panitia Kecil, didasarkan atas dasar ›lm yang jelas mengenai peran perfilman yang akan disensor. Sebagai contoh, dalam kehidupan berbangsa, yaitu untuk ›lm yang berkaitan dengan militer sebagai salah satu komponen perjuangan maka wakil dari militerlah yang dipilih secara ekonomis dan moral. Secara untuk duduk dalam Panitia Kecil PPF. ekonomis, ›lm harus dapat memberikan Begitu juga, bila ›lm yang akan disensor penghidupan yang layak bagi kalangan berkaitan dengan kepolisian, maka yang perfilman dan tentu saja memberikan akan dipilih menjadi anggota Panitia masukan juga bagi negara. Akan tetapi, Kecil PPF berasal dari kepolisian. film bukanlah semata-mata berfungsi Jika di dalam penyensoran itu, ekonomi, ada hal yang tidak kalah pemilik ›lm yang disensor mengajukan pentingnya, yaitu film sebagai alat keberatan terhadap pemotongan- politik dan pendidikan. Melalui film pemotongan yang dilakukan, maka ia diharapkan dapat memperluas paham- dapat mengajukan klaim kepada PPF. paham masyarakat. Untuk mengatasi masalah klaim itu, Akan tetapi waktu itu Komisi Film maka PPF membentuk Panitia Besar belum dapat berbuat banyak, karena yang anggotanya terdiri atas sebagian suasana revolusi perang kemerdekaan. besar anggota PPF bahkan dapat juga Pada masa ini, film yang berhasil semua anggota PPF. Jika pemilik film diproduksi hanya dua ›lm. masih juga merasa tidak puas, maka ia

2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 369 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro) dapat mengajukan masalahnya kepada pergolakan yang terjadi di dalam dan di Jaksa Agung. luar dirinya secara mendalam. Dalam perkembangannya ternyata Namun, apakah masyarakat Dasar-dasar Pedoman Sensor Film itu Indonesia sudah siap dan dapat menerima mengalami perubahan. Menteri PP dan terobosan baru dalam ›lm, apalagi melihat K menganggap dasar-dasar sensor ›lm wajahnya dengan nyata? Mengenai hal itu masih terlalu lemah. Oleh sebab itu, itu menulis: Menteri PP dan K melakukan upaya- upaya untuk memperkeras sensor film Film yang pertama dengan membentuk Panitia Pengerasan ini dibikin tanpa perhitungan Keputusan tertanggal 3 November 1952 komersial apa pun, dan semata- yang isinya berupa instruksi kepada PPF mata didorong oleh idealism. Akibatnya, reaksi masyarakat agar menambahkan lagi lima pasal kriteria bermacam-macam, bahkan baru ke dalam pedoman pemeriksaan pihak tentara di beberapa ›lm yang telah ada. daerah malahan melarang Marilah kita melihat kasus pemutaran film tersebut. Ini penyensoran ›lm pada masa ini, tentu saja adalah suatu pengalaman baru tidak semua kasus akan dibahas di sini. dalam pembuatan film yang Pemaparan kasus dimaksudkan untuk actual di Indonesia karena dia akan mempunyai efek sekadar memberi gambaran bagaimana yang tidak begitu baik dalam suasana sensor pada masa itu. perkembangan ›lm Indonesia Film pertama Usmar Ismail selanjutnya (Siahaan, 1983: “” didasarkan atas karya 58). Sitor Situmorang yang bercerita tentang suatu bagian revolusi rakyat Indonesia Dari pihak Perfini dan beberapa dalam menentang kembalinya penjajahan kalangan yang berurusan dengan film Belanda, yaitu kisah perjalanan dan itu, didapat informasi bahwa keberatan- pengalaman Divisi Siliwangi dari Jawa keberatan baik yang berasal dari Timur kembali ke kantong-kantong di lembaga sensor maupun masyarakat Jawa Barat sewaktu terjadi Agresi Militer ialah adanya ketidaksetujuan mengenai Belanda II, atau lebih dikenal dengan nama penonjolan peran Divisi Siliwangi dalam “The Long March”. Film ini merupakan ›lm tersebut dan penggambaran DI/TII ›lm yang pertama mengangkat masalah sebagai penghianat sulit diterima banyak aktual dan mempunyai arti yang penting pihak pada masa itu. sebagai dokumen sejarah yang merekam Begitu juga dengan film kedua pemberontakan Madiun, Long March Usmar Ismail “Enam Jam di Yogya”. Divisi Siliwangi, pemberontakan Darul Film yang mengambil lokasi di Yogya Islam, dan penyerahan kedaulatan. Film dan dibuat pada tahun 1951 menceritakan ini tidak saja merupakan film sejarah Belanda dalam ›lm, ini pun mengalami yang pertama tetapi besar artinya bagi kesulitan. Setelah mengalami sensor di per›lman Indonesia sebab untuk pertama sana sini, akhirnya lolos juga. Dengan kalinya menggambarkan manusia nada kesal Usmar Ismail berkomentar: Indonesia dalam lingkungan pergolakan- Efek film ini (Darah dan Doa) terasa sekali dalam ›lm

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 370

perfini kedua “Enam Jam Di bahan-bahannja dengan betul- Yogya” yang pembuatannya, betul. Masih banjak scene jang hingga kebebasan untuk berlebih dan masih banjak scene mencipta pun terbatas. Langkah jang dapat diambil oleh Usmar yang sudah dimulai dengan Ismail untuk memperkuat Darah dan Doa ternyata tak ›lmnja (Siasat, 22 Djuli 1951, mungkin diteruskan disebabkan h.10). sikap pihak masyarakat yang seolah-olah tak ingin melihat Setelah “Dosa tak Berampun” kenyataan baik atau jelek yang Usmar Ismail segera melepas filmnya berlaku dalam lingkungannya yang keempat berjudul “Embun” dengan digambarkan dengan nyata- memperkenalkan seorang sutradara muda nyata dan rupanya sangat peka D. Djajakusumah. Pada film keempat terhadap segala kritik, meski ini, kembali Usmar Ismail menyajikan konstruktif sekali pun (Siahaan, permasalahan yang merupakan suatu 1983: 59). kenyataan yang hidup di masyarakat Berdasarkan kedua pengalaman pada masa itu, yaitu masalah para mantan itu, Usmar Ismail pada tahun itu juga pejuang, sebagai mana yang dijelaskan mengeluarkan film ketiganya “Dosa oleh Usmar Ismail berikut ini: Tak Berampun“. Dalam ›lm itu, Usmar T e m a k e m b a l i k e Ismail mencoba untuk memenuhi “selera masyarakat menjadi aktual. penonton” dan berusaha “menghindar Lalu Persari membikin “Hidup dari gunting sensor”. Usmar Ismail Baru” sedangkan Perfini dengan berat hati melepas idealismenya, sambil memperkenalkan namun anehnya ›lm itu justru mendapat seorang sutradara muda D. tanggapan yang positif. Salah satu Djajakusumah membuat “Embun”. Sedangkan pada komentar datang dari Ali Akbar yang “Hidup Baru” figure bekas menyatakan: pejuang dibawa ke dalam Dalam film ini telah suatu drama percintaan, pada diusahakan melaksanakan —Embun“ ›gur itu digambarkan prinsip-prinsip ›lm yang sehat, pergolakan jiwa dalam salah satu hal jang djarang hubungan meninggalkan medan ditemui dalam usaha film pertempuran dan memasuki Indonesia jang lain. Realisme masyarakat yang damai. Di Italia jang lyris telah memberi samping itu “Embun” dihargai bekas jang baik disini. Ja, inilah sebagai lukisan masyarakat sebetulnja jang menjebabkan desa yang realistis karena film ini bisa disebut film gambaran adat-istiadat dan Indonesia jang terbaik – kepercayaan yang masih hidup untuk sementara, karena film (Erwantoro, 1994: 35). ini hanja mengemukakan Film Usmar Ismail itu kembali kemungkinan-kemungkinan mendapat kecaman, salah satunya datang jang baru untuk Indonesia, tapi dari Rd. Lingga Wisjnu yang menulis: kemungkinan-kemungkinan B e k a s p e d j u a n g ini tidak diselesaikan sampai d i g a m b a r k a n d i d a l a m kedasarnja. Usmar Ismail “Embun”, kemudian akan belum lagi mengeksploitir

2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 371 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro)

tunduk menjerah, disebabkan Amerika Serikat. Perfini meluncurkan pengaruh daripada seorang ›lm —Terimalah Laguku“ yang merupakan wanita. Gambaran mudah ›lm kompromi kedua yang skenarionya sematjam ini mungkin untuk ditulis oleh Asrul Sani, dengan sutradara disesuaikan dengan keadaan di D. Djajakusumah, dan Rosihan Anwar desa akan mendapat sambutan jang hangat. Tetapi sebaliknja sebagai produser (Said, 1976: 87). dengan keadaan masjarakat Sepulang dari Amerika di kota. Mungkinkah bekas- Serikat, Usmar Ismail membuat film bekas pedjuang jang kini masih “Kafedo” (1953), sebuah film yang lontang-lantung serta tidak lagi-lagi kompromi yang seolah-olah diketahui arah tudjuannja akan memperlihatkan bahwa Usmar Ismail pula mendapat sokongan morel telah lelah dengan cita-citanya semula. dari seorang wanita? Djadi bergunakah film Namun, hal itu segera terbantah dengan “Embun” ini dipertontonkan munculnya ›lm berikutnya yang berjudul kepada masyarakat kota “Krisis”. Film ini bercerita tentang dimana pengaruh-pengaruh kesulitan dalam memperoleh perumahan imperialism sudah mendarah di Jakarta pada masa itu, dan mendapat daging tadi? Mungkinkah tanggapan yang luar biasa bahkan boleh para pedjuang ini mendapat dikata bahwa inilah ›lm Indonesia yang siraman dari seorang gadis, pertama yang dapat menerobos bioskop jang telah patah hatinja, setelah mentjari pekerdjaan disana- kelas atas dan dapat bertahan selama lebih sini, tetapi kemudian menemui dari sebulan. Mengenai film “Krisis”, kemalangan (Sunday Courier, Sitor Situmorang menulis: 25 Nopember 1951, h.16). Satire, sindir jang tadjam Demikian pula dengan sensor, tidak djadi kita lihat, tapi kita bahkan pemotongan terhadap film berterima kasih karena dapat “Embun” mempunyai dampak tertawa selama tjerita berputar dihadapan kita, diruangan yang langsung terhadap sendi-sendi bioskop jang lapang, sehingga perusahaan Per›ni. Per›ni yang didirikan sebentar dapat melupakan dengan modal kecil sudah sejak pertama kesesakan rumah, jang memproduksi ›lm selalu dililit masalah didjadikan bahan tjerita dan keuangan. Bahkan ›lm-›lmnya seperti bahan humor dalam ›lm itu. “Darah dan Doa”, “Enam Jam Di Yogya”, Usmar Ismail melukiskan dan “Dosa Tak Berampun” diselesaikan berbagai watak manusia, dengan uang ijon (Stars News, Th. VIII. dan bagaimana tingkah laku No.2. 1951.h.10). Untuk mengatasi dan perbuatan manusia jang masalah itu, Per›ni membuat ›lm yang ragam wataknja, kalau terlibat semata-mata bersifat hiburan agar tidak dalam situasi sulit jang pahit, “kesulitan rumah” bahkan mengalami kerugian seperti yang dialami sebenarnja lebih sulit lagi, dalam ›lm —Embun“. “kesulitan kamar”. Keputusan itu pun diambil tanpa Dalam mengutarakan semua persetujuan Usmar Ismail, sebab ia pengalaman-pengalaman pada saat itu sedang menjalani studi di pelakon-pelakonnja, Usmar

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 372

Ismail berpaling dari tendens menerima kenyataan bahwa dia social dan menjorotkan harus membuat ›lm seperti itu. perhatiannja pada segi kedjiwaan dan memperhatikan Tapi meskipun uang masuk, type-type jang terdapat dalam Per›ni toh tidak lagi membikin masyarakat dan jang sifatnja film-film seperti yang dicita- makin ketara, djustru kalau citakan Usmar semula. kesulitan timbul (Aneka, Th. V. Sesekali memang tampil No. 15.h. 17. 20 Djuli 1954). juga Usmar sebagai sutradara dan hasilnya adalah ›lm seperti Setelah sukses dengan film “Pedjuang”. Dengan Pedjuang “Krisis” Usmar Ismail membuat film itu Usmar sebenarnya hanya yang berjudul “Lagi-lagi Krisis” (1954) ingin mengingatkan masyarakat yang tidak sukses di pasaran, tetapi bahwa ia masih Usmar yang lama yang tidak semata-mata Usmar Ismail segera menutup tahun mencari duit (Said, 1976: 90). 1954 dengan ›lm —Lewat Jam Malam“ yang ternyata memperoleh sukses baik secara komersil maupun secara artistik. 3. Masa Demokrasi Terpimpin Memasuki tahun 1955, dunia '0848L0856( perfilman mengalami kelesuan dengan Pada masa demokrasi terpimpin, membanjirnya ›lm-›lm impor sehingga posisi ›lm bukan lagi sekadar alat hiburan sejumlah film Indonesia sulit beredar. semata, tetapi menjadi alat kepentingan Keadaan itu memaksa Usmar Ismail agar politik. Rekayasa dan kepentingan tidak berkosentrasi pada cita-citanya politik dalam dunia per›lman semakin saja, tetapi juga harus memikirkan kuat ketika Partai Komunis Indonesia kelangsungan hidup perusahaannya yang (PKI) semakin menancapkan politiknya. mempekerjakan banyak orang. Dalam Bahwa kepentingan politik berdampak keterpaksaan seperti itu, Usmar Ismail terhadap ›lm, terlihat jelas ketika Warta membuat film yang diberi judul “Tiga Bhakti, surat kabar pro-PKI pada tanggal Dara”. Film itu ternyata mendapat sukses 24 Agustus 1964 menulis bahwa aksi yang luar biasa di tengah-tengah sulitnya boikot ›lm Amerika terjadi karena sikap bagi ›lm-›lm Indonesia untuk tampil di USA yang menempatkan armada ke-7 bioskop. nya di sekitar perairan Indonesia dan Namun demikian, keadaan itu tidak selain itu juga USA sengaja membantu membuat Usmar Ismail bahagia sebab ia Malaysia dalam konfrontasinya dengan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah Indonesia. jauh berkompromi dan meninggalkan Sikap yang memasukkan strategi cita-citanya. Kegalauan Usmar Ismail dan kepentingan politik dalam dunia mengenai kenyataan itu dijelaskan oleh ›lm berakibat menumpulkan kreativitas D. Djajakusumah dengan menulis: yang ada, apalagi lembaga sensor ›lm yang ada masih ragu-ragu menetapkan Usmar sangat malu dengan keputusannya karena sangat bergantung ›lm itu. Niatnya menjual —” ketika masih dalam tahap dari kepentingan partai politik yang pembikinan memperlihatkan berkuasa dan menempatkan orang- betapa beratnya bagi dia orangnya di lembaga ini.

2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 373 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro)

Dengan demikian, sangat terasa djelas sudah berada dipihak sekali dunia perfilman sangat tersudut sana untuk menghianati oleh rekayasa politik. Sangat terlihat perdjuangan bangsanja. Oleh upaya memajukan film bukan lagi karena itu sedjalan dengan garis perdjuangan bangsa bertumpu pada kepentingan nasional, Indonesia, kita harus berani tetapi bertumpu pada kepentingan partai memerangi musuh-musuh dan ideologi partai. Pengakomodasian revolusi seperti Takdir jang kini strategi politik dalam dunia perfilman berdiri bertentangan dengan terlihat semakin kuat ketika dibentuk perdjuangan kita. Alternatif lain Dewan Sensor pada bulan Mei 1965. tidak ada, selain menghapus Dewan ini tugasnya melakukan namanja dari credit title dan penyensoran terhadap film-film yang merobah sama sekali djudulnja memuat propaganda imperialism, (Warta Bhakti, 1 Maret 1966). neokolonialisme, feodalisme, superioritas Menanggapi serangan itu, Usmar kulit putih maupun film yang sengaja Ismail akhirnya menghapus nama Sutan memuat rasialisme (Sinar Harapan, 30 Takdir Alisjahbana dari tim tersebut. Hal Mei 1965). itu dilakukan guna menghindari agar Memang pada tahun 1965 posisi filmnya tidak dilarang untuk beredar PKI semakin kuat, karena itu pula (Salim Said, 1976: 104). Keputusan itu, kegiatan PKI di bidang per›lman makin ternyata menjadi sasaran empuk bagi menjadi-jadi. Ny. Utami Surjadarma PKI untuk menyerang kembali dengan (salah seorang tokoh yang pro PKI) mengatakan: yang mengepalai Badan Sensor Film, menggunakan posisinya untuk Inilah baru kedjadian jang menghantam ›lm-›lm yang dihasilkan sangat menarik buat kita, bahwa suatu hasil sastra hendak oleh musuh-musuh politiknya. direngutkan dari karjawan Film “Impian Bukit Harapan” karya pengarangnja. Atau dengan Wahyu Sihombing, sebuah film yang kata lain, “lawan tinggal lawan, menceritakan kehidupan buruh di pabrik uang soal lain” Dan dengan teh, dilarang oleh Badan Sensor Film berbuat demikian Usmar dengan alasan menghina kaum buruh. sudah merasa beramal kepada Sedangkan film “Tauhid” karya Asrul revolusi (Duta Masjarakat, 5 Sani nyaris dilarang kalau saja Presiden April 1964). tidak campur tangan (Salim Film “Anak Perawan Di Sarang Said, 1976: 111). Begitu juga dengan Penyamun” dihantam dan diboikot film Usmar Ismail “Anak Perawan Di sampai tidak bisa beredar hanya karena Sarang Penyamun” mendapat serangan ›lm itu merupakan karangan Sutan Takdir dari PKI berupa: Alisyahbana yang dituduh penghianat Djustru pada saat kita dan pemberontak. Film Perfini lain sedang berkonfrontasi yaitu “Anak-anak Revolusi”, meskipun terhadap projek noekolonialis semata-mata menceritakan kisah revolusi “Malaysia” seperti sekarang `45, telah dicap sebagai film revolusi ini, kita tidak bisa mentolerir cengeng. Pendeknya tidak ada orang lain orang-orang seperti Takdir jang

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 374 yang benar kecuali orang-orang Lekra BSF menjadi 20 orang. Mereka terdiri dan antek-anteknya. atas unsur-unsur pemerintah dan Menanggapi situasi perfilman nonpemerintah. Dari unsur pemerintah masa itu, Usmar Ismail dalam pidato berasal dari Departemen Penerangan, menyambut HUT Perfini ke-14 tahun Departemen Dalam Negeri, Departemen 1964 menyatakan: Pertahanan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Luar Negeri, Usaha tidak lagi ditujukan serta Kejaksaan Agung. Adapun dari untuk berlomba-lomba membuat film terbaik, tetapi unsur nonpemerintah adalah perwakilan ditujukan untuk meruntuhkan dari Persatuan Wartawan Indonesia yang sudah ada, sementara belum (PWI) dan Kelompok Generasi `45 (Sen, ada yang baru yang lebih baik 1994: 68). Dari perubahan komposisi yang dapat menggantikannya. keanggotaan terlihat bahwa pada masa Dan fitnahan yang terbesar itu, komposisi keanggotaan dan pedoman ialah untuk menggelapkan cara kerja BSF merupakan masalah sejarah perfilman nasional yang telah ditulis dengan darah genting dalam wacana sensor film di dan keringat selama 14 tahun Indonesia. Komposisi anggota BSF yang terakhir ini oleh orang-orang sebagian besar dari aparat keamanan dan ›lm yang secara ulet bertekun wakil pemerintah menjadikan lembaga ini melabrak rintangan-rintangan lebih banyak menggunakan “pendekatan untuk membangunkan landasan keamanan dalam menilai produksi suatu yang kukuh guna perkembangan film (Veronika dan Haryanto, 2007: selanjutnya (Siahaan, 1983: 111). 96). Sejak tahun 1970-an, BSF berada di bawah Direktur Jenderal (Dirjen) 3-L`r`NqcdA`qt'0856L0887( Radio, Televisi, dan Film (RTF). Adapun Orde Baru membentuk Badan mengenai kriteria dalam penyensoran, Sensor Film (BSF) yang beranggotakan pemerintah dan BSF mendasarkan pada 33 orang. Mereka terdiri atas 24 orang kriteria umum “melawan bahaya terhadap mewakili pemerintah dan 9 orang moralitas dan bahaya pada masyarakat mewakili partai politik. Kementrian yang terkait dengan pemutaran film”. Informasi serta Kementrian Pendidikan Pada perkembangan selanjutnya tepatnya dan Kebudayaan mendominasi pada tahun 1977, Menteri Penerangan keanggotaan dengan masing-masing 10 mengeluarkan Surat Keputusan tentang orang anggota. Pada perkembangannya, Pedoman Sensor. Kemudian pada tahun jumlah keanggotaan BSF itu mengalami 1980, Pedoman Sensor itu diperbaiki dan pengurangan, yaitu dengan dikuranginya keluarlah Kode Etik Sensor Film. Pada unsur yang mewakili pemerintah, ketika tahun 1981, pemerintah mengundang Boediardjo menjabat sebagai menteri sejumlah organisasi per›lman, seperti; penerangan. Hal itu pun terus berlangsung, Persatuan Perusahaan Film Indonesia pada tahun 1971, seiring dengan susutnya (PPFI), Persatuan Artis Film Indonesia peran partai politik, keanggotaan BSF (Parfi), Persatuan Karyawan Film dan dari unsur partai politik pun dihapuskan. Televisi (KFT), dan Gabungan Studio Pada tahun 1973-1974 jumlah anggota Film Indonesia (Gas›) guna memperbaiki

2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 375 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro)

Pedoman Sensor menjadi Kode Etik Untuk melaksanakan ketiga fungsi Produksi Film Nasional. Pemerintah tersebut, LSF bertugas: menyatakan bahwa sensor diberlakukan 1. Melakukan penyensoran terutama terhadap aspek seks dan terhadap film dan reklame film kekerasan, tetapi pada kenyataannya yang akan diedarkan, diekspor, BSF dengan peraturan dan keputusannya, dipertunjukkan dan atau banyak sekali menyentuh hal-hal yang ditayangkan kepada umum. berhubungan dengan masalah keamanan 2. Meneliti tema, gambar, adegan, nasional (Sen, 1994: 6). suara dan teks terjemahan suatu ›lm Perkembangan yang lebih jauh dan reklame yang akan diedarkan, lagi terjadi pada tahun 1992. Mulai diekspor, dipertunjukkan dan atau pada tahun itu sensor diatur dalam ditayangkan. Undang-Undang Per›lman No.8 tahun 3. Menilai layak tidaknya tema, 1992 tepatnya pada Bab V, pasal 33 gambar, adegan, suara dan dan 34 serta diejawantahkan dalam teks terjemahan suatu film dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1994 reklame ›lm yang akan diedarkan, tentang Lembaga Sensor Film (LSF). diekspor, dipertunjukkan dan atau Berdasarkan penjelasan Bab V tersebut, ditayangkan (Peraturan Pemerintah sensor bertujuan melindungi masyarakat No.7 Tahun 1994 tentang Lembaga dari kemungkinan dampak negatif Sensor Film). pertunjukan dan atau penayangan Dalam menjalankan fungsi dan film serta reklame film yang ternyata tugasnya, LSF bekerja berdasarkan tidak sesuai dengan arah dan tujuan pedoman penyensoran yang meliputi penyelenggaraan perfilman. Menurut aspek keagamaan, ideologi dan politik, peraturan pemerintah ini LSF memiliki sosial-budaya, dan ketertiban umum. fungsi: Tugas-tugas LSF dilaporkan kepada 1. Melindungi masyarakat dari Menteri Penerangan setiap enam bulan kemungkinan dampak negatif sekali. yang timbul dalam peredaran, Bila dikaji lebih jauh dapatlah pertunjukan, dan atau penayangan dikatakan bahwa pedoman sensor ›lm dan reklame ›lm yang tidak mengatur aspek-aspek kunci dalam sesuai dengan dasar, arah, dan sensor, yaitu aspek keagamaan, ideologi tujuan per›lman Indonesia. dan politik, sosial-budaya, dan ketertiban 2. Memelihara tata nilai dan tata umum. Kriteria keagamaan berfokus pada budaya bangsa dalam bidang isu-isu anti agama, anti ketuhanan, dan per›lman di Indonesia. perpecahan antarumat beragama. Kriteria 3. Memantau apresiasi masyarakat ideologi dan politik secara jelas melarang terhadap film dan reklame film ›lm-›lm yang mengangkat ideologi yang yang diedarkan, dipertunjukkan, berlawanan dengan ideologi pemerintah dan atau ditayangkan dan dan melemahkan ketahanan nasional. menganalisis hasil pemantauan Kemudian kriteria sosial-budaya dan tersebut untuk dijadikan bahan ketertiban umum berupa unsur-unsur pertimbangan. yang dapat dikategorikan sebagai

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 376 subversif dan membahayakan kestabilan Rakyat (DPR) pada awal tahun 2006 ketahanan sosial. yang lalu. Dari uraian di atas jelas sekali Jargon-jargon pembangunan terlihat bahwa LSF mencerminkan nasional, kepentingan nasional, dan kekuasaan terlembaga untuk budaya bangsa menjadi wacana untuk mempertahankan tatanan nasional. —membangun identi›kasi sebagai bangsa“. Dalam banyak perdebatan tentang Menurut Hewison (1933) identifikasi sensor, LSF selalu beralasan bahwa kebangsaan adalah suatu totalitas, keberadaan mereka strategis untuk seperangkat makna yang dibakukan, menjaga integritas bangsa. Hal yang narasi tunggal yang tidak memungkinkan demikian itu sesuai dengan amanat pembacaan subversif. Dalam konteks dalam Undang-Undang Per›lman No.8 dengan LSF, narasi tunggal itu adalah tahun 1992 yang mengatakan bahwa narasi Orde Baru yang dibangun di ”tujuan penyelenggaraan perfilman atas kecurigaan dan ketakutan pada Indonesia dimaksudkan untuk kekacauan. Regulasi perfilman seperti menunjang terwujudnya pembangunan sensor mencerminkan pelembagaan nasional. Sebab, film sebagai produk “kekacauan dan ketidakberaturan”, dan seni dan budaya mempunyai peran yang menjadikannya lebih regular, terkontrol, penting dalam pengembangan budaya dan normal (Veronica dan Haryanto, bangsa. Oleh sebab itu, perlu terus 2007: 113 - 114). dipelihara, dibina, dan dikembangkan Semasa pemerintahan Orde Baru, sehingga mampu menjadi salah satu kasus-kasus yang menimpa film-film sarana penunjang pembangunan nasional Indonesia biasanya berhubungan langsung (Veronika dan Haryanto, 2007: 114). dengan lembaga sensor dan lembaga lain Ideologi yang demikian itu yang terkait dengan pemerintah. Menurut diterapkan oleh Orde Baru dengan sangat Eriyanto, tercatat tidak kurang dari 40 ketat. Bagi LSF, film sebagai media ›lm Indonesia yang mengalami masalah komunikasi masa memiliki dampak dengan pihak sensor antara tahun 1970 negatif yang bisa membahayakan moral sampai tahun 2005. Permasalahan sensor masyarakat. Film juga memiliki potensi yang dihadapi ›lm-›lm tersebut adalah: memecah-belah persatuan bangsa dan 15 film (37,5%) tersangkut masalah negara. Oleh karena itu, aspek moral dan pornografi; 3 film (7,5%) menyangkut aspek politik paling diperhatikan oleh masalah kekerasan; 6 film (15%) LSF. tersangkut masalah menghina lembaga Urusan moral merupakan tertentu (kepolisian, negara, dsb), 2 ›lm persoalan sensitif kedua bagi LSF, (5%) tersangkut masalah mengangkat dan juga bagi komponen-komponen simbol-simbol negara (seperti presiden); masyarakat tertentu. Bukan hal yang 4 ›lm (10%) tersangkut masalah tidak mengherankan bahwa Majelis Ulama mendidik (menggambarkan bunuh diri Indonesia (MUI) berkepentingan juga sebagai jalan keluar, menyebarkan dengan proposal RUU antipornografi kemewahan, gaya hidup, dsb); 8 film dan antipornoaksi yang diajukan oleh (20%) tersangkut masalah kritik sosial beberapa organisasi sipil keagamaan dan (misalnya mempertajam kesenjangan beberapa partai di Dewan Perwakilan sosial); dan 2 film (5%) tersangkut

2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 377 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro) masalah ancaman gangguan keamanan tetapi oleh Bap›da Yogyakarta ditolak di daerah (Eriyanto, 2005: 63 – 95). karena terlalu banyak mempertontonkan Lebih lanjut, Eriyanto adegan dan dialog erotika. Pada tahun mengungkapkan bentuk-bentuk tindakan 1975, film “Max Havelaar (Saijah sensor yang diberlakukan kepada ›lm- dan Adinda)” karena dianggap dapat film tersebut, yaitu: 1 film (2,5%) memancing permusuhan agama ›lm ini mendapat teguran keras; 3 ›lm (7,5%) tertahan selama sepuluh tahun di BSF dilarang beredar dalam skala nasional; 11 dan baru pada tahun 1985 ›lm ini bisa ›lm (27,5%) dilarang beredar di daerah beredar. tertentu; 7 ›lm (17,5%) terkena sanksi Pada tahun 1976, film “ Gadis untuk mengubah isi atau bagian tertentu Panggilan” meskipun lolos dari BSF dari ›lm; 1 ›lm (2,5%) cerita tidak boleh tetapi dipermasalahkan oleh sejumlah diproduksi; dan 17 ›lm (42,5%) dipotong Bap›da. Tahun 1977, ›lm —Cinta Biru“ pada bagian tertentu oleh BSF. judul asalnya “Bandot Tua” sempat Bila ditinjau lebih lanjut terdapat tertahan beberapa tahun di BSF. Sensor sejumlah kasus yang menonjol dari terhadap ›lm ini nyaris memotong semua ›lm-›lm tersebut yang secara gamblang isi ›lm. Pada tahun 1977 juga, ›lm —Yang menggambarkan apa yang hendak Muda Yang Bercinta” meskipun lolos ditegakkan oleh BSF di dalam pedoman dari BSF tetapi menurut Kodam Jaya etiknya, yaitu penegakan pedoman ›lm ini mengandung unsur propaganda, moralitas dan ideologi. Marilah kita lihat agitasi, dan menghasut masyarakat rincian kasus yang menimpa film-film bahkan Kopkamtib mensinyalir ›lm ini tersebut. mempromosikan ajaran komunisme oleh Pada tahun 1970, film “Hidup, karena itu film ini dilarang beredar di Cinta, dan Airmata” dinilai oleh Deppen wilayah Kodam Jaya. Baru pada tahun terlalu banyak mengandung adegan 1985, ›lm ini boleh beredar. Ada satu porno. Tahun 1972, film “Romusha” ›lm lagi yang mendapat masalah dengan meskipun sudah lolos dari BSF tetapi sensor pada tahun 1977, yaitu film dilarang beredar oleh Deppen yang “Wasdri”. Film ini tidak jadi diproduksi merasa khawatir pemerintah Jepang akan sebab skenarionya ditolak oleh Deppen marah, padahal Kedutaan Jepang sendiri yang menilai ›lm ini mempertentangkan tidak pernah secara resmi menyampaikan kesenjangan sosial. protes. Pada tahun 1973, film “Bumi Pada tahun 1978 terdapat tiga ›lm Makin Panas” meskipun telah lolos dari yang bermasalah dengan sensor, yaitu: BSF, Bap›da (Badan Pertimbangan Film pertama, ›lm —Perawan Desa“. Film yang Daerah) Cianjur melarang ›lm ini beredar diangkat dari kisah nyata pemerkosaan di daerahnya. Pada tahun 1973 juga, ›lm Sum Kuning di Yogyakarta yang “Si Mamad” oleh BSF diharuskan diganti menghebohkan itu, baru bisa lolos sensor judulnya. Mula-mula menjadi “Matinya setelah beberapa bagian dari film ini Seorang Pegawai Negeri” kemudian diubah. Namun, Bap›da Yogyakarta tetap menjadi “Ilalang”, dan terakhir menjadi melarang ›lm ini beredar di Yogyakarta “Renungkanlah si Mamad”. Kemudian dengan alasan dapat berpengaruh buruk tahun 1974, film “Pengakuan Seorang kepada pelajar. Kedua, ›lm —Petualang- Perempuan” meskipun lolos dari BSF petualang”. Film ini sempat tertahan

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 378 selama 6 tahun di BSF karena dianggap ›lm ini adalah judulnya. Judul semula, dapat menimbulkan gambaran yang “Nyoman dan Presiden”, oleh Deppen keliru tentang pejabat pemerintah. Film judulnya harus diubah dengan alasan karikatural tentang korupsi ini baru bisa “Presiden” adalah lembaga terhormat lolos dari BSF setelah judulnya yang yang tidak bisa digunakan sembarangan. semula “Koruptor-koruptor” diganti dan Film ini sendiri berkisah tentang banyak adegan digunting sensor. Ketiga, keinginan seorang anak asal Bali untuk ›lm —Bung Kecil“. Film yang bercerita bertemu dengan presiden (Eriyanto, tentang anak muda idealis yang ingin 2005: 83 – 95). pembaharuan, melawan feodalisme, Dari berbagai kasus sensor yang dan membela kaum buruh ini sempat terjadi selama pemerintahan Orde Baru, tertahan selama 5 tahun di BSF. Setelah Krishna Sen berpendapat bahwa unsur- mengalami pengguntingan baru boleh unsur penting dari ideologi sensor di beredar pada tahun 1983. BSF menilai Indonesia meliputi: (1) ancaman atas ›lm ini mempertentangkan kelas sosial. persatuan agama di Indonesia, (2) Pada tahun 1986, ›lm —Petualangan merugikan bagi pembangunan kesadaran Cinta Nyi Blorong“ ›lm yang bercerita nasional, (3) mengeksploitasi perasaan tentang seseorang yang ingin cepat dari etnisitas, agama atau kepercayaan, kaya dan bersedia menjadi budak Nyi atau yang mengundang keresahan sosial Blorong dinilai oleh Bap›da Lampung (Sen, 1994: 69). Hal yang demikian terlalu banyak mempertontonkan adegan itu sejalan dengan apa yang dikatakan sadisme dan pornografi. Film ini baru oleh Jenderal Sutopo Juwono (mantan dapat beredar setelah disensor. Pada kepala Bakin) bahwa salah satu contoh tahun 1988, film “Pembalasan Ratu konflik yang tidak boleh ditampilkan Laut Selatan” meskipun sudah lolos dalam film nasional adalah konflik sensor, tetapi karena adegan erotisnya “antara kelompok masyarakat ekonomi mengundang protes masyarakat, film atas dan bawah”. Di luar itu sensor ini ditarik kembali oleh BSF. Kemudian juga diberlakukan terhadap film yang BSF menggunting bagian-bagian yang berpotensi meletupkan —konfiik dengan diprotes sebelum ›lm ini boleh beredar kebijakan pemerintah” atau “politik kembali. Kemudian pada tahun 1989 dalam maupun luar negeri”. Hal yang terdapat 3 ›lm yang bermasalah dengan demikin itu masih ditambah lagi dengan sensor. Pertama, film “Cas Cis Cus: pedoman sensor yang pernah dikeluarkan Sonata di Tengah Kota”. Masalah yang oleh Deppen yaitu larangan menyatakan dipersoalkan di sini adalah judulnya. atau menggambarkan sejumlah ideologi Deppen menilai judulnya tidak mengikuti yang dilarang secara eksplisit, seperti: ejaan bahasa Indonesia yang baik dan kolonialisme, imperialism, fasisme, dan benar. Kedua, film “Kanan Kiri Ok”. komunisme (Sen, 1994: 69). Semula film ini berjudul “Kiri Kanan Ok”, agar lolos sensor diubah menjadi 4-L`r`Qdenql`rh'0887L1//8( “Kanan Kiri OK”, barangkali ini karena Setelah Orde Baru tumbang, kata “kiri” dianggap tabu pada masa bangsa Indonesia memasuki masa yang itu. Ketiga, ›lm —Nyoman Cinta Merah disebut masa reformasi. Pada masa ini Putih”. Yang menjadi persoalan dalam terjadi perubahan politik secara cepat

2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 379 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro) dan mendasar. Pada masa ini kedudukan informasi untuk mengembangkan pemerintah tidak sekuat seperti pada pribadi dan lingkungan sosialnya, serta masa Orde Baru. Undang Undang Dasar berhak mencari, memperoleh, memiliki, 1945 mengalami amandemen, peta menyimpan, mengolah, menyampaikan kekuatan berubah. Eksekutif tidak sekuat informasi dengan menggunakan segala dulu lagi. jenis saluran yang tersedia. Di dunia perfilman, pada masa Keberadaan LSF semakin Orde Baru berkuasa, kekuatan kontrol genting ketika pada masa pemerintahan terutama terpusat di tingkat negara Abdurrahman Wahid, Departemen dengan aparatnya yang represif. Namun Penerangan yang menaungi LSF demikian, setelah rezim Orde Baru runtuh, dibubarkan. Akibatnya, seluruh bermunculan kekuatan-kekuatan baru mekanisme kerja dan koordinasi LSF yang mengambilalih kuasa yang pernah menjadi tumpang tindih. Dengan dimonopoli oleh lembaga-lembaga yang dibubarkannya Deppen, ada juga pihak- represif, termasuk oleh Lembaga Sensor pihak yang menuntut LSF dibubarkan. Film (LSF). LSF kemudian ditarik ke Departemen Konsep kewargaan, hak asasi Pendidikan Nasional dan selanjutnya manusia, kemerdekaan berekspresi, atau berada di bawah koordinasi Departemen partisipasi telah mengubah makna kontrol. Kebudayaan dan Pariwisata dengan Pada tataran regulasi, diperkenalkannya adanya Peraturan Menteri Kebudayaan nilai baru telah mengakibatkan dan Pariwisata No. PM.31/UM.001/ berbagai kontradiksi. Sensor, misalnya, MKP/05. dengan sendirinya bertentangan Dengan demikian, dapatlah dengan sejumlah peraturan di bidang dikatakan bahwa ketika Orde Baru, demokrasi dan hak asasi manusia. negara adalah pusat peraturan tetapi pada Contohnya, UU No.39 Tahun 1999 masa reformasi kekuatan-kekuatan sipil tentang Hak Asasi Manusia menjamin telah mengambilalih “klaim kebenaran” setiap warga negara memiliki kebebasan yang dulu dimiliki oleh Orde Baru. berekspresi, termasuk dalam membuat Pada masa reformasi ini LSF memang film, tanpa batasan sensor. Demikian mengalami sejumlah persoalan. Menurut juga, Tap MPR No. XVI Tahun 1999 Tatiek Maliyati W.S (mantan Ketua LSF), menyebutkan bahwa hak warga negara LSF melihat ada perubahan norma yang untuk berkomunikasi dan memperoleh terjadi di masyarakat, dan dalam situasi informasi dijamin dan dilindungi. Pada transisi seperti sekarang rupanya masih sisi yang lain, keberadaan LSF dapat ada pertarungan atau kontestasi antara dikatakan bertentangan dengan Pasal 28 nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru yang UUD 1945 yang telah diamandemen. masih harus dimaknai. Senada dengan Pasal 28 E ayat 2 menyatakan bahwa Tatiek, Rusdi Mochtar (peneliti LIPI) setiap orang berhak atas kebebasan mengungkapkan bahwa inilah kondisi meyakini kepercayaan, menyatakan masyarakat transisi di mana hukum pikiran dan sikap, sesuai dengan hati dan kontrol sosial serasa menjadi lebih nuraninya. Begitu juga Pasal 28 F longgar (Veronica dan Haryanto, 2007: menyatakan bahwa setiap orang berhak 123). untuk berkomunikasi dan memperoleh

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 380

Bagaimana situasi sensor film oleh kejahatan. “Dan dapat berpotensi pada masa reformasi dapat dilihat dari membangkitkan dendam atau luka lama beberapa kasus sebagai berikut. Film akibat peristiwa berdarah Mei 1998”. “Kuldesak” produksi tahun 1997 lolos Begitu juga dengan film “Long sensor setelah adegan homoseksualnya Road to Heaven” produksi tahun 2007, dipotong. Film “The Army Forced disensor oleh LSF dengan pemotongan Them to Be Violent” produksi 1998 pada adegan sosok polisi, salat berjamaah dirillis tahun 2002, ditolak dengan revisi membaca surat Al-Qa›run. Bap›da Bali judul menjadi “Student Movement in juga menolak peredaran ›lm ini. Lantas Indonesia”. Penolakan LSF (02/LSF/ ›lm —3 Hari untuk Selamanya“ produksi VII/2002) terkait dengan adegan polisi tahun 2007 mengalami pemotongan menendang kepala demonstran, dan adegan melinting rokok ganja, bergantian tentara memukuli demonstran. Bagi LSF, mengisap dari botol minuman bekas, film ini terkesan memojokkan aparat ujaran “tidak sekeras ekstasi”, sambil keamanan; film “Buruan Cium Gue” menenggak narkotika, serta adegan produksi tahun 2004 lolos sensor tetapi ciuman dan senggama (8 adegan). ditarik dari peredaran oleh MVP karena Terakhir, ›lm —Maaf, Saya Menghamili tekanan dari Ustadz K.H. Abdullah Istri Anda!” produksi tahun 2007 Gymnastiar dan Din Syamsuddin dari dilarang/diprotes beredar di Makasar Majelis Ulama Indonesia; ›lm —Gie“ lolos (salah satu pemrotes adalah Warga Peduli sensor setelah adegan ciuman dipotong Moral Sulsel dan SENAKKI/Sekretariat dengan alasan tidak sesuai dengan Nasional Kine Klub Indonesia), juga kepribadian Soe Hok Gie. Adapun lagu diprotes di Jakarta berkenaan dengan Genjer-genjer boleh diperdengarkan. representasi etnis Batak (Veronica dan Kemudian film “9 Naga” Haryanto, 2007: 130 ). produksi tahun 2005, poster filmnya Dari berbagai kasus sensor yang yang bergambar Fauzi Baadila dengan dilakukan oleh LSF menunjukkan bahwa teks, “Manusia terbaik Indonesia adalah penyensoran untuk film-film bertema seorang penjahat” dilarang beredar. politik masih tajam sedangkan untuk Selanjutnya film “Berbagi Suami” masalah moralitas terkesan mendua. produksi tahun 2006, mengalami Hal yang demikian itu mungkin pemotongan pada adegan senggama disebabkan oleh berbagai perubahan berdiri, lesbian, bercumbu, ciuman, situasi, baik di bidang politik, ekonomi, dengan total pemotongan 212 detik. maupun budaya. Sebagai contoh, adegan Lantas film “Lentera Merah” produksi homoseksual dalam ›lm Arisan (2005) tahun 2006 mengalami pelarangan agar boleh ditampilkan di layar, tetapi adegan lagu Genjer-genjer tidak diperdengarkan. lesbian tidak dapat ditampilkan dalam Kemudian, film “Pocong I” produksi ›lm Berbagi Suami (2006). tahun 2006 dianggap tidak sesuai dengan norma kesopanan umum (adegan pemerkosaan), menonjolkan kekerasan, C. PENUTUP serta menyajikan adegan kekejaman Di dalam sejarah perfilman dan kejahatan lebih dari 50% sehingga nasional, kisruh yang terjadi antara mengesankan kebaikan dapat dikalahkan dunia per›lman dengan masyarakat serta

2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 381 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro) penguasa disebabkan oleh tiga masalah. peraturan di bidang per›lman yang relatif Pertama, seni untuk seni. Dengan prinsip lebih maju. Film sudah dilihat sebagai ini para pencipta ›lm hanya mengukur karya budaya yang dapat berkontribusi di pada dirinya sendiri sehingga lahirlah dalam pembangunan dan pengembangan film-film yang isinya merupakan budaya bangsa. Namun demikian, dalam manifestasi pikiran, perasaan, terkadang praktiknya, sensor ›lm merupakan alat nafsu mereka pribadi tanpa mau untuk mengokohan pedoman moralitas memperdulikan nilai-nilai dan norma dan ideologi. Adapun pada masa di masyarakat. Kedua, seni untuk uang. Reformasi (1998 – 2009), kondisi sensor Motif ekonomi ini hanya memikirkan ›lm juga tidak jauh berbeda, sensor ›lm keuntungan semata, untuk meraih untung lebih tajam untuk ›lm-›lm yang bertema yang besar maka diproduksilah film- politik, tetapi ambigu pada persoalan film yang sensasional, berbau seksual, moral. Dampak dari sensor yang lemah penuh kekerasan, dan kekejaman. terhadap masalah moral maka komponen- Ketiga, kontrol politik (sensor). Pada komponen masyarakatlah yang tampil sisi ini berbagai motif politik berusaha menyuarakan pelarangan atas ›lm-›lm dicangkokkan ke dalam ›lm. yang dianggap amoral. Lolos sensor dari Praktik sensor ›lm yang dilakukan LSF bukan jaminan bagi sebuah film oleh pemerintah selama periode 1945 untuk tayang di bioskop dengan lancar. sampai 2009 jelas menunjukkan Uraian di atas, menunjukkan bahwa pemerintah hanya melihat film apa yang menjadi ”penyakit” di dunia dari perspektifnya sendiri. Tentu saja perfilman nasional. Solusinya, jangan dengan berganti-gantinya pemerintah, jadikan film hanya untuk kepentingan ideologi pun berganti. Pada masa seni, komersialisasi, dan dibelenggu Perang Kemerdekaan (1945 -1949), ›lm oleh politik. Sebaiknya, buatlah “›lm- digariskan sebagai alat perjuangan moral film yang mencerminkan mental dan ekonomis. Karena situasi yang belum bangsa”, yaitu film sebagai produk memungkinkan, sensor ›lm belum bisa seni-budaya yang mempunyai tujuan dilaksanakan. Pada masa Survival (1950 – untuk memajukan kebudayaan bangsa 1959), kriteria sensor telah disusun, tetapi Indonesia dengan jalan membentuk jati pada prakteknya sensor film menjadi diri yang berurat dan berakar pada budaya motif politik yang bersembunyi di balik dan tradisi bangsa. Dengan landasan ini, kriteria ›lm “yang cukup pantas dan atau tentu akan lahir film-film yang tidak tidak memberi pengaruh buruk kepada menyinggung bahkan mendiskreditkan masyarakat”. Selanjutnya, pada masa masyarakat atau lembaga tertentu. Film- Demokrasi Terpimpin (1959 – 1967), film yang tercipta memberikan rasa terutama dengan dikuasainya Dewan bangga bagi semua kalangan, karena Sensor oleh kalangan PKI, sensor ›lm semuanya dapat mengidentifikasikan difokuskan untuk menghadang ›lm-›lm dirinya pada ›lm-›lm itu. Dalam sejarah yang dianggap tidak seideologi dengan perfilman Indonesia, Film-film yang PKI. Kemudian pada masa Orde Baru memiliki kriteria tersebut adalah film (1967 – 1998), masa pemerintahan yang ”Krisis”, ”Petualangan Serina”, ”Laskar panjang membuat pemerintah Orde Baru Pelangi”, ”Ayat-ayat Cinta”, dan ”Naga mampu menghasilkan perundangan dan Bonar“ oleh karena itu ›lm-›lm tersebut

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 382 mendapat sambutan positif dari semua Erwantoro, Heru. 1994. kalangan. Sejarah Perfilman Indonesia Dari ›lm-›lm semacam itulah hal- Masa Kemerdekaan 1945 – 1994. hal yang diharapkan dapat terpenuhi. Bandung: Departemen Pendidikan Pertama, kreatifitas dan kebebasan dan Kebudayaan, Direktorat berekspresi para sineas dapat tersalurkan. Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian Kedua, semua kalangan dapat dan Nilai Tradisional Bandung. mengidenti›kasikan dirinya pada ›lm- ›lm itu, merasa senang, bangga, puas, dan Hastuti, Rita. 1992. mendapat semangat untuk menghadapi Berjuang di Garis Belakang dalam kehidupan. Ketiga, keuntungan ekonomi Layar Perak: 90 Tahun Bioskop Di dapat diperoleh sehingga industri film Indonesia; Editor Haris Jauhari. dapat terus berlangsung. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Sebuah karya seni yang adiluhung Utama. tidak akan pernah melukai siapa pun, apa Said, Salim. 1976. pun etnis dan agamanya. Sebuah film Perfilman di Indonesia: Sebuah sebagai karya seni akan memancarkan Tinjauan Historis-sosiologis. keindahan dan kebenaran. Jakarta: Skripsi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia.

Sen, Krisna. 1994. Indonesian Cinema: Framing The . London: Zed Books. Siahaan, JE. (Kolektor). 1983. Usmar Ismail Mengupas Film. DAFTAR PUSTAKA Jakarta: Sinar Harapan. Veronica, Kusuma dan Ignatius Haryanto. 2007. A. Buku Sensor Film di Indonesia dalam Abdurahman, Dudung. 2007. Ketika Sensor Tak Mati-mati Metodologi Penelitian Sejarah. (penyunting Ignatius Haryanto). Jogyakarta: Ar-Ruzz Media. Jakarta: Yayasan Kalam. Eriyanto.2005. ”Sensor dan Kebebasan B. Undang-undang dan Peraturan Berekspresi dalam Dunia Per›lman Indonesia”, dalam Irawan Saptono Undang-Undang Republik Indonesia No. et al. Tidak Bebas Berekspresi: 8 Tahun 1992 Tentang Per›lman. Kisah tentang Represi dan Kooptasi Kebebasan Berekspresi. Jakarta: Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 Institut Studi Arus Informasi. tentang LSF.

2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 383 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro)

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.31/UM.001/ MKP/ Tentang LSF.

C. Surat Kabar dan Majalah

Aneka, 10 Djuli 1954 dan 20 Djuli 1954. Duta Masjarakat, 5 April 1964 Siasat, 22 Djuli 1951 dan 11 Djuni 1953. Sinar Harapan, 30 Mei 1965. Star News, No. 2 Th. 1951, No. 5. Th. 1954, dan No. 14. Th. 1955. Sunday Courier, 25 November 1951. Warta Bhakti, 24 Agustus 1964 dan 1 Maret 1966.

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011