Jurnal Representasi Pandangan Terhadap

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Jurnal Representasi Pandangan Terhadap JURNAL REPRESENTASI PANDANGAN TERHADAP PERNIKAHAN DAN PEREMPUAN DALAM FILM (Studi Analisis Wacana Representasi Pandangan terhadap Pernikahan dan Perempuan dalam Film Tiga Dara (2016) Karya Usmar Ismail dan Ini Kisah Tiga Dara (2016) Karya Nia Dinata) Oleh: CITRA AGUSTA PUTRI ANASTASIA D0214026 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2019 REPRESENTASI PANDANGAN TERHADAP PERNIKAHAN DAN PEREMPUAN DALAM FILM (Studi Analisis Wacana Representasi Pandangan terhadap Pernikahan dan Perempuan dalam Film Tiga Dara (1956) Karya Usmar Ismail dan Ini Kisah Tiga Dara (2016) Karya Nia Dinata) Citra Agusta Putri Anastasia Pawito Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract The Indonesian film category is increasingly varied along with technological advances and the rise of popular culture from foreign countries. This creates the trend of recycled films in Indonesia. Recycled films are seen as a surefire step in attracting audience interest and bringing nostalgia to old films. The modern culture which presented in recycled films also influences the society's perspective on certain cultural elements, such as marriage and women. This study focuses on the outlook toward marriage and women that had occurred in Indonesia during the 60 years gap, namely 1956 and 2016, through the messages conveyed by the director in both films. The purpose of this study is to find out how representation of outlook toward marriage and women in Tiga Dara (1956) and Ini Kisah Tiga Dara (2016). This research is included to qualitative research. The research uses the discourse analysis method of Teun A. Van Dijk on text dimensions that examines the structure of the text, so that it can be known why the text was produced. Meanwhile, the technique of data collection is done by watching the entire film scene of Tiga Dara (1956) and Ini Kisah Tiga Dara (2016). This research uses Representation Theory as an analysis tool. The results of this research shows the similarities and the differences in both films. The similarities are that marriage arranged by parents and compulsion toward women to get married. Meanwhile, there are differences in representation regarding the myth of stepping over, the importance of parental permission in marriage, the tradition of marrying cousins, negativistic toward the traditions of marriage, the role of women, the femininity of women, social skill, and women’s right to choose partner. The differences in representation of both films shows the shift in cultural values in society about marriage and women, which affected by the director's culture and ideology of both films. Keywords: Discourse analysis, representation, film, marriage, women. 1 Pendahuluan Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang memiliki karakteristik tersendiri dalam memenuhi kebutuhan khalayak dalam hal hiburan. Film dipandang sebagai alat komunikasi yang ampuh dalam menyampaikan pesan karena audiovisual yang ia miliki. Karakteristik yang dimilikinya tersebut dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih mudah kepada khalayak mengenai nilai- nilai dan pesan yang ingin disampaikan. Rona perfilman Indonesia pun juga semakin bervariasi seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin maraknya budaya populer dari negara asing. Hal tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kategori film. Kategori film yang sedang tren di perfilman Indonesia saat ini adalah film daur ulang. Dari sekian banyak film daur ulang yang merajai perfilman Indonesia, terdapat salah satu film daur ulang yang bergenre unik dan berbeda dari film-film daur ulang yang lain. Film tersebut ialah Ini Kisah Tiga Dara yang rilis pada tahun 2016 dan disutradarai oleh Nia Dinata. Ini Kisah Tiga Dara merupakan film drama musikal yang terinspirasi dan mendaur ulang film legendaris tahun 1956, yaitu Tiga Dara, karya Usmar Ismail, yang juga merupakan film drama musikal. Dilansir dari tirto.id (diakses pada 20 Juni 2018), film Tiga Dara sempat menjadi film terlaris produksi Perfini yang menghasilkan 10 juta rupiah dan keuntungan bersih hingga 3 juta rupiah, jumlah yang terhitung tinggi kala itu. Saat beredar di bioskop, Tiga Dara sukses diputar selama delapan minggu berturut- turut dan bersaing dengan film-film Hollywood dalam menembus bioskop AMPAI (American Motion Pictures Assciation of Indonesia). Selain itu, film Tiga Dara juga meraih Tata Musik Terbaik di Festival Film Indonesia 1960 dan hadir di Festival Film Venesia 1959, menurut cinemapoetica.com (diakses pada 21 Juni 2018). Film Tiga Dara (1956) kaya akan bahasan gender sebagai isu yang juga banyak mewarnai perfilman Indonesia. Kajian gender dan pernikahan yang disuguhkan dalam kedua film tersebut berlatar pada nilai-nilai pernikahan bagi budaya Jawa dan mempresentasikan perempuan Jawa di era 1950-an. 2 Seperti yang telah diketahui, menurut Hildred Geertz (dalam Smith- Hefner, 2005: 443), pernikahan orang Jawa menjadi momen penting atau momen sakral dalam siklus kehidupan individu yang menandai peralihan menuju kedewasaan melalui penciptaan unit keluarga inti. Selain itu, berdasarkan budaya Jawa (Tuapattinaya, 2014: 35), perempuan hanya berada pada ranah macak (berhias), masak, manak (melahirkan) yang berkutat di ranah domestik semata. Namun, di era sekarang, industrialisasi dan modernisasi menyebabkan peningkatan partisipasi perempuan dalam lahan pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Proporsi perempuan dalam pekerjaan naik sebesar 2,6 persen (dari 33,2 per persen pada tahun 1971 menjadi 35,8 persen pada tahun 1990) dalam dua puluh tahun terakhir pembangunan nasional di Indonesia (Hill dalam Ida, 2001: 28). Dengan melihat fenomena modernisasi yang kemudian mempengaruhi perubahan pada perempuan dan pandangan mengenai pernikahan, serta didukung oleh kesuksesan film Tiga Dara yang ikonis pada zamannya tersebut, Nia Dinata menghadirkan kembali cerita mengenai tiga perempuan dalam film Ini Kisah Tiga Dara (2016). Film tersebut diproduksi 60 tahun usai film Tiga Dara (1956) dengan nuansa yang lebih modern dan milenial. Dalam film Ini Kisah Tiga Dara, dikisahkan tiga orang kakak beradik bernama Gendis, Ella, dan Bebe yang hidup bersama Oma. Di usianya yang ke- 32, Gendis mendapat tuntutan oleh Oma untuk segera menikah. Berbagai cara dilakukan Oma agar Gendis dapat segera berpacaran dan menikah, seperti mengenalkan Gendis kepada teman-teman ayah Gendis, hingga pendekatan pribadi kepada Yudha, salah satu pengusaha yang sedang menginap di hotel keluarga mereka di Maumere. Namun, adik Gendis bernama Ella justru menyukai Yudha dan berusaha mendapatkannya, hingga terjadilah konflik dalam keluarga tersebut. Sama halnya Ini Kisah Tiga Dara, film Tiga Dara sebagai pendahulu juga mengisahkan tentang tiga saudari yang bernama Nunung, Nana, dan Neni. Dengan nuansa retro era 1950-an, film ini tentunya memiliki konflik dasar yang sama dengan film daur ulangnya, yaitu mengenai pernikahan dan perempuan. Nenek 3 mereka bertiga meminta Nunung untuk segera menikah di usianya yang ke-29. Hadirlah seorang lelaki yang bernama Toto di dalam hidup Nunung, yang jatuh hati kepada Nunung. Sayangnya, Nana, adik Nunung, juga menaruh hati kepada Toto. Muncullah konflik dalam keluarga mereka. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksud untuk melihat perbandingan representasi pandangan terhadap pernikahan dan perempuan antara film Tiga Dara dan Ini Kisah Tiga Dara. Hal ini disebabkan karena film Ini Kisah Tiga Dara merupakan salah satu film daur ulang di Indonesia yang terinspirasi dari film legendaris Tiga Dara dan memiliki jeda waktu 60 tahun produksi. Dengan jeda waktu selama itu, terdapat perbedaan budaya yang terjadi ketika produksi film dan turut mempengaruhi konstruksi realitas yang ditampilkan mengenai pernikahan dan perempuan. Dalam penelitian ini, level komunikasi yang dianalisis adalah level komunikasi massa. Aspek komunikasi yang diteliti adalah pesan dan komunikator. Penelitian ini bermaksud untuk meneliti bagaimana sutradara film Tiga Dara dan Ini Kisah Tiga Dara merepresentasikan pandangan terhadap pernikahan dan perempuan pada film mereka masing-masing. Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana pandangan terhadap pernikahan dan perempuan direpresentasikan dalam film Tiga Dara (1956)? 2. Bagaimana pandangan terhadap pernikahan dan perempuan direpresentasikan dalam Ini Kisah Tiga Dara (2016)? 3. Bagaimana perbandingan representasi pandangan terhadap pernikahan dan perempuan dalam film Tiga Dara (1956) dan Ini Kisah Tiga Dara (2016)? Telaah Pustaka 1. Film Film sebagai salah satu media massa dapat didefinisikan secara teknis maupun praktiknya. Secara teknis, film adalah gulungan materi 4 yang ditayangkan melalui proyektor dan menghasilkan gambar bergerak di layar (Wood, 2012:5-6). Wood juga menuliskan pengertian film menurut Oxford English Dictionary sebagai berikut: “film is a cinematographic representation of a story, drama, episode, event, etc; a cinema performance; pl. the cinema, the pictures, the movies. film-making considered as an art-form.” Dengan kata lain, film merupakan representasi sinematografi dari cerita, drama, kisah, peristiwa, dan lain-lain dalam bentuk gambar bergerak dengan kecepatan 24 frame per detik atau bahkan 18 frame per detik. Film memiliki panjang durasi tertentu yang menceritakan secara rinci mengenai karakter-karakter imajiner dari cerita yang diangkat dan ditayangkan sebagai konsumsi khalayak. 2. Sejarah
Recommended publications
  • Kajian Naratif Atas Tema Nasionalisme Dalam Film-Film Usmar Ismail Era 1950-An
    KAJIAN NARATIF ATAS TEMA NASIONALISME DALAM FILM-FILM USMAR ISMAIL ERA 1950-AN TESIS PENGKAJIAN SENI untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat magister dalam bidang Seni, Minat Utama Videografi Sazkia Noor Anggraini 1320789412 PROGRAM PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA 2017 UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa tesis yang saya tulis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi manapun. Tesis ini merupakan hasil pengkajian/penelitian yang didukung berbagai referensi dan sepengetahuan saya belum pernah ditulis dan dipublikasikan kecuali yang secara tertulis diacu dan disebutkan dalam kepustakaan. Saya bertanggungjawab atas keaslian tesis ini dan saya bersedia menerima sanksi apabila di kemudian hari ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini. Yogyakarta, 10 Agustus 2017 Yang membuat pernyataan, Sazkia Noor Anggraini NIM. 1320789412 iii UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA KAJIAN NARATIF ATAS TEMA NASIONALISME DALAM FILM-FILM USMAR ISMAIL ERA 1950-AN Pertanggungjawaban Tertulis Program Penciptaan dan Pengkajian Seni Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2017 Oleh Sazkia Noor Anggraini ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari klaim bahwa film-film sebelum Darah dan Doa (1950) tidak didasari oleh sebuah kesadaran nasional dan oleh karenanya tidak bisa disebut sebagai film Indonesia. Klaim ini perlu dipertanyakan karena punya tendensi akan pengertian sempit etno nasionalis yang keluar dari elite budaya Indonesia. Penelitian ini mencoba membangun argumen secara kritis dengan memeriksa kembali proyeksi tema nasionalisme dalam naratif film-film Usmar Ismail pada era 1950-an. Gagasan nasionalisme kebangsaan oleh Benedict Anderson digunakan sebagai konsep kerja utama dalam membedah naratif pada film Darah dan Doa, Lewat Djam Malam (1954), dan Tamu Agung (1955).
    [Show full text]
  • Identity, Minority, and the Idea of a Nation: a Closer Look at Frieda (1951) by Dr
    Vol. 1 Journal of Korean and Asian Arts SPRING 2020 Identity, Minority, and the Idea of a Nation: a Closer Look at Frieda (1951) by Dr. Huyung Umi Lestari / Universitas Multimedia Nusantara 【Abstract】 The discourse on film nasional (national film) in Indonesia always started by bringing up Darah dan Doa (1950, Blood and Prayer) as the foundation of the Indonesian film industry. The prominent film historian, Misbach Yusa Biran, stated that Darah dan Doa was produced with national consciousness value. The legacy of Darah dan Doa was not only neglecting the role of filmmakers from pre-Independence in Indonesia but also the role of other filmmakers during the 1950s, including Dr. Huyung. Previously, Dr. Huyung (Hinatsu Eitaro /Hŏ Yŏng) came from Korea and became a supporter of Imperial Japan during World War II. After Indonesia gained her independence, Huyung joined Berita Film Indonesia and became a film teacher at the Cine Drama Institute and Kino Drama Atelier. It was there that they then went on to make Frieda (1951), Bunga Rumah Makan (1951, The Flower of the Restaurant), Kenangan Masa (1951, Memories of the Past), and Gadis Olahraga (1951, the Sportswoman). This article discusses 'unity in diversity', a concept in filmmaking that was started by Huyung in 1949. When discussing Darah and Doa as the first film nasional, people forget that the film is driven from the military perspective. Meanwhile, Huyung tried to represent an ethnic minority in Frieda and showing that the ordinary people and the intellectuals also shaped the nation. Based on his experience in the Japanese army and Berita Film Indonesia, Huyung understood that film was very useful in achieving the goals of the state apparatus, due to the cinema's ability to spread nationalism.
    [Show full text]
  • World Cinema Foundation, Sinematek Indonesia
    65th FESTIVAL DE CANNES (16 - 27 MAY 2012) OFFICIAL SELECTION – CANNES CLASSICS Lewat Djam Malam (After the Curfew) (1954) Kalpana (1948) Contact Info: 110 W. 57th Street, 5th Floor New York, NY 10019, USA www.worldcinemafoundation.org - [email protected] LEWAT DJAM MALAM (After the Curfew) Written by Usmar ISMAIL, Asrul SANI Director of Photography Max TERA Set Deisgner Abdul CHALID Original Music G.R.W. SINSU Sound B. SALTZMANN Editing SUMARDJONO Production PERSARI, PERFINI Starring A.N. ALCAFF(Iskandar), Netty HERAWATY (Norma), R.D. ISMAIL (Gunawan) Running Time 101’ Year of Production 1954 Country of Production INDONESIA Language INDONESIAN From NATIONAL MUSEUM OF SINGAPORE, WORLD CINEMA FOUNDATION, SINEMATEK INDONESIA Restored in 2012 by the National Museum of Singapore and the World Cinema Foundation, with support from the Konfiden Foundation and Kineforum of the Jakarta Arts Council. The restoration work was conducted by Cineteca di Bologna/L'Immagine Ritrovata Laboratory from original film elements preserved at the Sinematek Indonesia. Special thanks to the Usmar Ismail family. ABOUT THE FILM Lewat Djam Malam (After the Curfew) is a passionate work looking directly at a crucial moment of conflict in Indonesian history: the aftermath of the four-year Republican revolution which brought an end to Dutch rule. This is a visually and dramatically potent film about anger and disillusionment, about the dream of a new society cheapened and misshapen by government repression on the one hand and bourgeois complacency on the other. The film’s director, Usmar Ismail, is generally considered to be the father of Indonesian cinema, and his entire body of work was directly engaged with ongoing evolution of Indonesian society.
    [Show full text]
  • Post Truth" Festival Film Dokumenter Curratorial Notes | Published on Ffd.Or.Id | Estimated Readers : 3500
    Post Truth" Festival Film Dokumenter Curratorial Notes | Published on ffd.or.id | Estimated readers : 3500 Long before the masses turned toward the convenience of likes and share, only a few held the power to information and its distribution to public. A small example, during the World War II, radio was a very important tool to spread the news of the ongoing battle of the Allies against Axis. Such importance it held, the news of the Nagasaki bombing received by the movement in our country was a momentum needed for the proclamation of freedom. A proof that media had been, and probably will always be, a driving power behind people’s movement. Not to include the writings of intellectuals who spread their progressive ideas through media. A social critic once argued that democracy gave birth to propaganda-based media, owned by giant corporates. Which means media is not necessarily innocent. Mainstream media such as television, radio, and newspaper are agents of dominant ideology, yet audiences are no longer passive. Audiences push, negotiate, even blatantly refuse the domination of mainstream media through small narrations, campaigns, and their own independent media. Media is never neutral: framing, stereotyping, how the West illustrate the East in its bias perspective. The change of landscape of the media was predicted by Marshall McLuhan in his popular jargon “medium is the message”. It’s no longer just about the contents, but also medium, how technology change the way people consume media. McLuhan’s prediction brought shift to the media from belonging to a powerful few, to a public’s property.
    [Show full text]
  • JURNAL LAKON TIGA DARA.Pdf
    LAKON TIGA DARA KARYA USMAR ISMAIL Sebuah film drama romantik yang bercerita tentang perjodohan dan konflik cinta segitiga antar saudara. Program Studi Seni Teater Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukkan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2015 Oleh LITA PARAMITHA ABSTRAK Salah satu kebutuhan manusia yang tergolong dalam kebutuhan integratif adalah menikmati keindahan, mengapresiasi dan mengungkapkan perasaan keindahan. Kebutuhan ini muncul disebabkan adanya sifat dasar manusia sebagai makhluk hidup yang bermoral, berselera, berakal, dan berperasaan. Dalam memenuhi kebutuhan estetik ini, kesenian menjadi bagian integral tak terpisahkan dengan kebudayaan. Film sebagai kesenian yang lebih mudah diterima dan populer di masyarakat memiliki peranan langsung dalam membentuk selera dan pola pikir manusia. Film Tiga Dara adalah salah satu film populer di Indonesia yang menggambarkan tentang pandangan perempuan terhadap dunia modern dialihwahanakan ke dalam bentuk pertunjukan teater. Dalam wilayah penyutradaraan, mode alihwahana film menjadi pertunjukan teater adalah; dengan menonton, menganalisis, mimesis, mencipta, dan menyajikan secara langsung pada penonton. Sutradara dengan wilayah kerja penemu, penafsir serta pengalihwahana utama film, secara kreatif mendesain konsep pementasan, mencipta kondisi 1 UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta kerja kolektif, membantu pemeran mewujudkan peran, membantu tata artistik pekerja teater lainnya dalam usaha-usaha menuju kerja kreatif. Tiga Dara hadir dari alihwahana film oleh sutradara ke bentuk pertunjukan teater. Kata kunci: kesenian, budaya, film, alihwahana, sutradara ABSTRACT One of the human needs which is includes to the integrative needs is to enjoy the beauty, appreciate and express the feeling of beauty. This need rises due to human nature as a living being that has moral, tasteful, intelligent, and feeling. In filling the needs of this aesthetic, art becomes an integral part and can‟t be separated with the culture.
    [Show full text]
  • The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo's
    Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema Umi Lestari Southeast of Now: Directions in Contemporary and Modern Art in Asia, Volume 4, Number 2, October 2020, pp. 313-345 (Article) Published by NUS Press Pte Ltd DOI: https://doi.org/10.1353/sen.2020.0014 For additional information about this article https://muse.jhu.edu/article/770704 [ Access provided at 25 Sep 2021 00:27 GMT with no institutional affiliation ] This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema UMI LESTARI Abstract Basuki Resobowo (1916–99) is known primarily as a painter, activist and head of Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, Institute for People’s Culture). He was affil- iated with left-wing politics during Sukarno’s Old Order (1945–65) and first entered the film industry in the 1940s when he played the role of Basuki in Jo An Djan’s film Kedok Ketawa (1940). During the Japanese Occupation (1942–45), Resobowo was part of Keimin Bunka Shidoso (Culture Centre). Literature on Resobowo’s artistic practice has mostly referred to his background in painting. However, in the 1950s, he joined Perusahaan Film Negara Indonesia (Perfini) as an art director and scriptwriter, making seven films, includingDarah dan Doa (Blood and Prayer) in 1950, which is regarded as the firstfilm nasional (national film). This article, while devoting some space to Resobowo’s overall career, chiefly endeavours to revisit the early Perfini films and examine the influence of Reso- bowo’s ideas about art and theatre on cinematographic mise-en-scene.
    [Show full text]
  • ABSTRAK Skripsi Ini Membahas Bagaimana Perkembangan Film-Film Perjuangan Di Masa Pemerintahan Soekarno Dari Tahun 1950-1965
    IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA xvii ABSTRAK Skripsi ini membahas bagaimana perkembangan film-film perjuangan di masa pemerintahan Soekarno dari tahun 1950-1965. Dengan tujuan untuk memberikan pehamanan bagaimana kondisi dan perkembangan industri film di Indonesia pada tahun 1950-1965.Penelitian menggunakan metode penelitian sejarah, diawali dengan heuristik, verifikasi sumber, interpretasi, dan diakhiri dengan historiografi. Penelitian ini menunjukan bahwa disamping film drama komersil yang masih menggunakan cara lama, film-fillm perjuangan pada masa ini mengangkat realita yang terjadi di masyarakat dan ciri nasionalisme yang kuat tanpa menghadirkan legitimasi. Berakhirnya revolusi kemerdekaan Indonesia semakin melahirkan spirit untuk mempertahankan kedaulatan bangsa. Hal ini dilakukan insan perfilman untuk berkarya dan berkontribusi dalam menanamkan karakter kebangsaan. Beberapa film yang muncul adalah Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Jogja (1951), Lewat Djam Malam (1954), Pedjuang (1960), dan Pagar Kawat Berduri (1961). Contoh film-film diatas digunakan untuk melihat aspek keseharian pada masa revolusi dan dampak revolusi bagi rakyat Indonesia Kata Kunci: Film, Usmar Ismail, Perfini, Revolusi Indonesia. ABSTRACT This thesis discusses This thesis discusses how the development of revolutions film during the reign of Soekarno from 1950-1965. With goals to answers the main problems how the condition and development of the film industry in Indonesia in 1950-1965. This thesis uses historical method, which starts from heuristic, source verification, interpretation, ended with historiography. This study shows that in addition to commercially success of drama films, revolutions film at this time shows the reality that occurs in society and the characteristics of a strong nationalism without presenting any legitimacy of the government. The end of Indonesian revolution reinforced the nation to maintain and uphold its sovereignty within the Republic of Indonesia.
    [Show full text]
  • Pendekatan Integrasi Dengan Basis Biaya Elementer
    IN THE BOYS’ CLUB: A HISTORICAL PERSPECTIVE ON THE ROLES OF WOMEN IN THE INDONESIAN CINEMA 1926-MAY 1998 Grace Swestin Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra Surabaya Email: [email protected] ABSTRAK Artikel ini mendeskripsikan peran perempuan dalam perfilman Indonesia sejak berdirinya pada tahun 1926 hingga masa sebelum lahirnya perfilman Indonesia generasi baru. Melalui sebuah tinjauan historis, peran perempuan dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah peran mereka di balik layar film, baik sebagai sutradara dan produser maupun dalam lembaga-lembaga yang terkait dengan industry dan regulasi perfilman. Kedua, artikel ini memaparkan bagaimana perempuan direpresentasikan di dalam cerita dan plot film-film yang diproduksi sebelum masa reformasi. Peneliti menemukan bahwa peran perempuan dalam perfilman Indonesia di masa ini, secara keseluruhan masih berada di bawah bayang-bayang dominasi tokoh-tokoh laki-laki. Hal tersebut terutama disebabkan karena sedikitnya jumlah perempuan yang memegang posisi pengambilan keputusan baik secara artistik maupun industrial. Kata kunci: Indonesian cinema, women and cinema, jistorical review. INTRODUCTION Women have occupied an ambivalent and often controversial position in Indonesia since the inception of the cinema in the country. One of the most telling aspects surrounding the rise of the New Indonesian Cinema post-New Order Indonesia is the role of women in the cinema. As studies have suggested (e.g. Trimarsanto, 2002; Swestin, 2009), there have been more women film directors in the past ten years compared to the previous seven decades in the history of the Indonesian Cinema. In the previous generations of the Indonesian cinema, very few women were in positions of control in the administrative and artistic spheres of the film industry.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com10/07/2021 10:11:36PM Via Free Access | Hairus Salim HS Tivated; in Many Respects They Could Be Said to Have Strengthened
    4 Indonesian Muslims and cultural networks Hairus Salim HS Situated in the midst of the turmoil of an Afro-Asian political move- ment that began in 1940, reached its high point in the Asia Africa Conference of Bandung in 1955, then descended to failure at the ‘Second Bandung’ in Algiers in 1965, Indonesia – along with Egypt and India – according to David Kimche (1973), occupied a position of non-alignment, that is, neutrality in a political and ideological sense with respect to the Cold War between the com- munist and capitalist blocs. What is especially true for Indonesia, writes Kimche, is that this neutrality was intensified by an attitude of ‘militant anti-colonialism’. In fact, non-aligned countries formed a minority of the African-Asian nations, but African-Asian politics was exactly what the anti-colonial and anti-imperialist group was calling for. The resulting tendency, as formulated by Soekarno and shaped by a combination of factors (anti-Western indoctrination absorbed from Japan during World War II; four years of a war of indepen- dence against Western nations; Allied support for the Nether- lands), led to an intensely anti-Western attitude in Indonesia and a simultaneous drift toward the Communist Bloc. It was this position that characterized Indonesia’s orientation to the outside world and spread to various areas of life during the era of the Soekarno gov- ernment until its fall. Any kind of relationship with Communist Bloc countries was interpreted in an extremely positive sense, because this mirrored a nationalist, anti-colonial and anti-imperialist attitude. And the state supported such relations in many areas.
    [Show full text]
  • 78 BAB II DESKRIPSI FILM A. Film Tiga Dara Tiga Dara Adalah
    perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II DESKRIPSI FILM A. Film Tiga Dara Tiga Dara adalah sebuah film bergenre komedi musikal yang dirilis tahun 1957. Film ini dibintangi oleh Chitra Dewi, Mieke Widjaja, dan Indriati Iskak. Tiga Dara merupakan film karya Usmar Ismail yang diproduksi untuk Perusahaan Film Nasional (Perfini). Film ini dianggap sebagai film klasik perfilman Indonesia yang tak lekang oleh waktu, karena tema yang diangkat masih relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini(Wikipedia, diakses pada 3 Agustus 2018). Setelah dirilis pada bulan Agustus 1957, film ini memperoleh ketenaran yang tinggi dan masuk di beberapa bioskop kelas satu. Tiga Dara menjadi film Perfini paling menguntungkan dengan penjualan tiket sebesar 10 juta rupiah, atau keuntungan sebesar tiga juta rupiah(tirto.id, diakses pada 3 Agustus 2018). Namun, Usmar Ismail merasa tidak sejalan dengan hal tersebut, karena Tiga Dara nyatanya ditujukan untuk kepentingan komersial. Tiga Dara tampil di Festival Film Venesia 1959 dan meraih Tata Musik Terbaik di Festival Film Indonesia 1960(Wikipedia, diakses pada 3 Agustus 2018). Pada tahun 2015, negatif-negatif selulosa asetat untuk film Tiga Dara mengalami rusak berat karena robek, jamur, atau ada bagian yang hilang. Untuk memperbaikinya demi generasi mendatang, SA Films memutuskan bahwa film commit to user Tiga Dara direstorasi oleh Laboratorium L’immagine Ritrovata di Bologna. 78 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Restorasi tersebut meliputi penyusunan kembali adegan yang hilang dari salinan film yang ada dan penghilangan debu dan jamur. Restorasi dimulai pada awal 2015 dan selesai pada 8 Oktober 2015. Restorasi film Tiga Dara kemudian dialihkan ke resolusi 4K dan ditayangkan kembali di bioskop Indonesia pada 11 Agustus 2016(Wikipedia, diakses pada 3 Agustus 2018).
    [Show full text]
  • On Site Indonesian Film Industry BEKRAF TOC
    On site Indonesian Film Industry www.bekraf.go.id BEKRAF TOC 2 3 FOREWORD 04 INDONESIA’S CREATIVE ECONOMY 08 A HISTORICAL PERSPECTIVE ON INDONESIAN CINEMA 12 KOMUNITAS FILM 16 THE INDONESIAN FILM INDUSTRY: UNLOCKED POTENTIALS 18 INDONESIAN CINEMA CULTURE 18 AUDIENCES 23 PRODUCTION 24 INDONESIA AS A SHOOTING LOCATION 27 INTRODUCING THE FILM COMMISSIONS 28 CONTACT 33 PANORAMA Tracing Celluloids Courtesy: Ali Qital Foreword BEKRAF 4 5 Indonesia is a nation of emerging skills and In accordance with the agency’s key objec- talents. Year by year, the numbers show tive to introduce a selection of the nation’s undisputed advancement in the creative best pictures to the global market, BEKRAF economy sector. Due to its potential to presents On Site of Indonesian Film Industry, establish Indonesia’s place in the world which serves to promote Indonesian cinema economy, the creative economy must be at the international level. regarded as a valuable alternative. Strategic steps are currently being taken to ensure The book explores the unlocked potentials that our creative assets are able to evolve to of the Indonesian film industry from a cul- the greatest extent possible. tural, audience, and production standpoint. Indonesian film culture thrives thanks to Envisioning Indonesia as one of the world’s communities of film fans and commercial as creative pillars, President Joko Widodo well as non-commercial screenings. From initiated the Indonesian Agency for Creative the perspective of audience and production, Economy (BEKRAF) in 2015. At top of their it is certain that the masses’ strong apprecia- agenda is to establish Indonesia’s as an up- tion for film is genuine.
    [Show full text]
  • Perfilman Indonesia Di Masa Pendudukan Jepang Dan Revolusi
    Perfilman Indonesia di Masa Pendudukan Jepang dan Revolusi ERA 1942 - 1967 Pada masa ini gerakan politik nasionalisme perfilman mulai sarat dengan nuansa politik. Pers dan kalangan terpelajar menuntut film berkualitas untuk perjuangan. Para seniman atau artis dituntut punya tanggungjawab melalui karyanya kepada rakyat. Para wartawan dan sineaspun mulai menggagas, perlunya organisasi dengan anggota Wartawan Indonesia, Tionghoa dan Belanda. Kalangan film menanggapi respon politik tersebut dengan melahirkan organisasi bernama SARI (Sjarikat Artist Indonesia) pada 28 Juli 1940 di Prinsen Park (Lokasari Jakarta, di masa kini) yang dihadiri 58 aktivis film. Pencetusnya adalah Saerun dan Moehammad Sin, wartawan pengasuh ruang film Majalah Pembangoenan. Ketika Belanda menyerah pada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, politik perfilman Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan Militer Jepang menjadikan film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya. Hal pertama yang dilakukan mereka adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik Te Teng Chun serta Tan’s Film milik Wong Bersaudara. Wong Bersaudara pun beralih profesi menjadi penjual kecap dan limun. Sementara Te Teng Chun memimpin sandiwara Djantoeng Hati. Sementara para artisnya kembali ke media tonil atau sandiwara. Naskah dan tampilan harus disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga membentuk organisasi pengedar film bernama Eiga Haikyusha, organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki Kyokai dan Pusat Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso.
    [Show full text]