JURNAL

REPRESENTASI PANDANGAN TERHADAP PERNIKAHAN DAN PEREMPUAN DALAM FILM (Studi Analisis Wacana Representasi Pandangan terhadap Pernikahan dan Perempuan dalam Film (2016) Karya Usmar Ismail dan Ini Kisah Tiga Dara (2016) Karya Nia Dinata)

Oleh: CITRA AGUSTA PUTRI ANASTASIA D0214026

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2019 REPRESENTASI PANDANGAN TERHADAP PERNIKAHAN DAN PEREMPUAN DALAM FILM (Studi Analisis Wacana Representasi Pandangan terhadap Pernikahan dan Perempuan dalam Film Tiga Dara (1956) Karya Usmar Ismail dan Ini Kisah Tiga Dara (2016) Karya Nia Dinata)

Citra Agusta Putri Anastasia Pawito

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract The Indonesian film category is increasingly varied along with technological advances and the rise of popular culture from foreign countries. This creates the trend of recycled films in . Recycled films are seen as a surefire step in attracting audience interest and bringing nostalgia to old films. The modern culture which presented in recycled films also influences the society's perspective on certain cultural elements, such as marriage and women. This study focuses on the outlook toward marriage and women that had occurred in Indonesia during the 60 years gap, namely 1956 and 2016, through the messages conveyed by the director in both films. The purpose of this study is to find out how representation of outlook toward marriage and women in Tiga Dara (1956) and Ini Kisah Tiga Dara (2016). This research is included to qualitative research. The research uses the discourse analysis method of Teun A. Van Dijk on text dimensions that examines the structure of the text, so that it can be known why the text was produced. Meanwhile, the technique of data collection is done by watching the entire film scene of Tiga Dara (1956) and Ini Kisah Tiga Dara (2016). This research uses Representation Theory as an analysis tool. The results of this research shows the similarities and the differences in both films. The similarities are that marriage arranged by parents and compulsion toward women to get married. Meanwhile, there are differences in representation regarding the myth of stepping over, the importance of parental permission in marriage, the tradition of marrying cousins, negativistic toward the traditions of marriage, the role of women, the femininity of women, social skill, and women’s right to choose partner. The differences in representation of both films shows the shift in cultural values in society about marriage and women, which affected by the director's culture and ideology of both films. Keywords: Discourse analysis, representation, film, marriage, women.

1

Pendahuluan Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang memiliki karakteristik tersendiri dalam memenuhi kebutuhan khalayak dalam hal hiburan. Film dipandang sebagai alat komunikasi yang ampuh dalam menyampaikan pesan karena audiovisual yang ia miliki. Karakteristik yang dimilikinya tersebut dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih mudah kepada khalayak mengenai nilai- nilai dan pesan yang ingin disampaikan. Rona perfilman Indonesia pun juga semakin bervariasi seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin maraknya budaya populer dari negara asing. Hal tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kategori film. Kategori film yang sedang tren di perfilman Indonesia saat ini adalah film daur ulang. Dari sekian banyak film daur ulang yang merajai perfilman Indonesia, terdapat salah satu film daur ulang yang bergenre unik dan berbeda dari film-film daur ulang yang lain. Film tersebut ialah Ini Kisah Tiga Dara yang rilis pada tahun 2016 dan disutradarai oleh Nia Dinata. Ini Kisah Tiga Dara merupakan film drama musikal yang terinspirasi dan mendaur ulang film legendaris tahun 1956, yaitu Tiga Dara, karya Usmar Ismail, yang juga merupakan film drama musikal. Dilansir dari tirto.id (diakses pada 20 Juni 2018), film Tiga Dara sempat menjadi film terlaris produksi yang menghasilkan 10 juta rupiah dan keuntungan bersih hingga 3 juta rupiah, jumlah yang terhitung tinggi kala itu. Saat beredar di bioskop, Tiga Dara sukses diputar selama delapan minggu berturut- turut dan bersaing dengan film-film Hollywood dalam menembus bioskop AMPAI (American Motion Pictures Assciation of Indonesia). Selain itu, film Tiga Dara juga meraih Tata Musik Terbaik di Festival Film Indonesia 1960 dan hadir di Festival Film Venesia 1959, menurut cinemapoetica.com (diakses pada 21 Juni 2018). Film Tiga Dara (1956) kaya akan bahasan gender sebagai isu yang juga banyak mewarnai perfilman Indonesia. Kajian gender dan pernikahan yang disuguhkan dalam kedua film tersebut berlatar pada nilai-nilai pernikahan bagi budaya Jawa dan mempresentasikan perempuan Jawa di era 1950-an.

2

Seperti yang telah diketahui, menurut Hildred Geertz (dalam Smith- Hefner, 2005: 443), pernikahan orang Jawa menjadi momen penting atau momen sakral dalam siklus kehidupan individu yang menandai peralihan menuju kedewasaan melalui penciptaan unit keluarga inti. Selain itu, berdasarkan budaya Jawa (Tuapattinaya, 2014: 35), perempuan hanya berada pada ranah macak (berhias), masak, manak (melahirkan) yang berkutat di ranah domestik semata. Namun, di era sekarang, industrialisasi dan modernisasi menyebabkan peningkatan partisipasi perempuan dalam lahan pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Proporsi perempuan dalam pekerjaan naik sebesar 2,6 persen (dari 33,2 per persen pada tahun 1971 menjadi 35,8 persen pada tahun 1990) dalam dua puluh tahun terakhir pembangunan nasional di Indonesia (Hill dalam Ida, 2001: 28). Dengan melihat fenomena modernisasi yang kemudian mempengaruhi perubahan pada perempuan dan pandangan mengenai pernikahan, serta didukung oleh kesuksesan film Tiga Dara yang ikonis pada zamannya tersebut, Nia Dinata menghadirkan kembali cerita mengenai tiga perempuan dalam film Ini Kisah Tiga Dara (2016). Film tersebut diproduksi 60 tahun usai film Tiga Dara (1956) dengan nuansa yang lebih modern dan milenial. Dalam film Ini Kisah Tiga Dara, dikisahkan tiga orang kakak beradik bernama Gendis, Ella, dan Bebe yang hidup bersama Oma. Di usianya yang ke- 32, Gendis mendapat tuntutan oleh Oma untuk segera menikah. Berbagai cara dilakukan Oma agar Gendis dapat segera berpacaran dan menikah, seperti mengenalkan Gendis kepada teman-teman ayah Gendis, hingga pendekatan pribadi kepada Yudha, salah satu pengusaha yang sedang menginap di hotel keluarga mereka di Maumere. Namun, adik Gendis bernama Ella justru menyukai Yudha dan berusaha mendapatkannya, hingga terjadilah konflik dalam keluarga tersebut. Sama halnya Ini Kisah Tiga Dara, film Tiga Dara sebagai pendahulu juga mengisahkan tentang tiga saudari yang bernama Nunung, Nana, dan Neni. Dengan nuansa retro era 1950-an, film ini tentunya memiliki konflik dasar yang sama dengan film daur ulangnya, yaitu mengenai pernikahan dan perempuan. Nenek

3 mereka bertiga meminta Nunung untuk segera menikah di usianya yang ke-29. Hadirlah seorang lelaki yang bernama Toto di dalam hidup Nunung, yang jatuh hati kepada Nunung. Sayangnya, Nana, adik Nunung, juga menaruh hati kepada Toto. Muncullah konflik dalam keluarga mereka. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksud untuk melihat perbandingan representasi pandangan terhadap pernikahan dan perempuan antara film Tiga Dara dan Ini Kisah Tiga Dara. Hal ini disebabkan karena film Ini Kisah Tiga Dara merupakan salah satu film daur ulang di Indonesia yang terinspirasi dari film legendaris Tiga Dara dan memiliki jeda waktu 60 tahun produksi. Dengan jeda waktu selama itu, terdapat perbedaan budaya yang terjadi ketika produksi film dan turut mempengaruhi konstruksi realitas yang ditampilkan mengenai pernikahan dan perempuan. Dalam penelitian ini, level komunikasi yang dianalisis adalah level komunikasi massa. Aspek komunikasi yang diteliti adalah pesan dan komunikator. Penelitian ini bermaksud untuk meneliti bagaimana sutradara film Tiga Dara dan Ini Kisah Tiga Dara merepresentasikan pandangan terhadap pernikahan dan perempuan pada film mereka masing-masing.

Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana pandangan terhadap pernikahan dan perempuan direpresentasikan dalam film Tiga Dara (1956)? 2. Bagaimana pandangan terhadap pernikahan dan perempuan direpresentasikan dalam Ini Kisah Tiga Dara (2016)? 3. Bagaimana perbandingan representasi pandangan terhadap pernikahan dan perempuan dalam film Tiga Dara (1956) dan Ini Kisah Tiga Dara (2016)?

Telaah Pustaka 1. Film Film sebagai salah satu media massa dapat didefinisikan secara teknis maupun praktiknya. Secara teknis, film adalah gulungan materi

4

yang ditayangkan melalui proyektor dan menghasilkan gambar bergerak di layar (Wood, 2012:5-6). Wood juga menuliskan pengertian film menurut Oxford English Dictionary sebagai berikut: “film is a cinematographic representation of a story, drama, episode, event, etc; a cinema performance; pl. the cinema, the pictures, the movies. film-making considered as an art-form.” Dengan kata lain, film merupakan representasi sinematografi dari cerita, drama, kisah, peristiwa, dan lain-lain dalam bentuk gambar bergerak dengan kecepatan 24 frame per detik atau bahkan 18 frame per detik. Film memiliki panjang durasi tertentu yang menceritakan secara rinci mengenai karakter-karakter imajiner dari cerita yang diangkat dan ditayangkan sebagai konsumsi khalayak. 2. Sejarah Film Indonesia Sejarah awal perfilman Indonesia ditandai dengan hadirnya pertunjukkan seni termasuk film di Indonesia, seiring penguasaan VOC atas wilayah Hindia Belanda pada tahun 1900-1930 (Nugroho dan Herlina S, 2016). Krisis ekonomi yang terjadi ketika VOC menguasai wilayah Hindia Belanda membuat seorang Tionghoa bernama Gan Kam mempertunjukkan seni keraton, seperti wayang orang, ke masyarakat, yang kemudian melahirkan adanya pertunjukan film. Pergolakan perfilman Indonesia terus bergulir menuju era 1950- 1970 seiring dengan dinamika politik. Pada awal 1950-an, semakin banyak bioskop yang didirikan. Hal itu dilandaskan pada dua hal, yaitu munculnya berbagai film di Indonesia (generasi Usmar Ismail, Asrul Sani, dan Djamaludin Malik) dan lahirnya persatuan pengedar film. Melalui generasi ini, lahirlah persepsi baru mengenai film, bahwa film bukan hanya sebagai media massa, tetapi juga kesenian. Di era ini, jumlah film impor yang masuk pun besar dan beberapa bioskop kembali aktif (Jauhari, 1992: 52- 53). Nugroho dan Herlina S (2015: 129) mengungkapkan bahwa perfilman Indonesia era 1970-1985 mengalami paradoks pada masanya. Di satu sisi, produksi film mencapai masa kejayaannya seiring dengan

5

tumbuhnya budaya populer, seperti televisi, novel, komik, majalah, radio, dan surat kabar. Oleh karena itu, kebanyakan film pada era ini bersumber pada budaya populer tersebut, Di sisi lain, semua film yang diproduksi di era ini mengalami globalisme karena dikontrol oleh pemerintah, dari skenario hingga sistemnya. Sementara itu, tahun 1990-an dibanjiri dengan masuknya video tape dan film-film bajakan yang mengancam kelangsungan hidup bioskop. Muncul pula teknologi video kaset dan laser disc, sehingga banyak keluarga yang memilih untuk menonton film di rumah dengan harga yang lebih murah dan menghemat waktu serta tenaga. Perkembangan teknologi komunikasi di era ini pun mencapai puncaknya ketika muncul televisi- televisi swasta di Indonesia. Berbagai televisi swasta tersebut juga menampilkan film cerita asing, sehingga mengancam kehidupan film di bioskop. Hingga pada periode reformasi pasca 1998, perkembangan pesat terjadi pada perfilman Indonesia. Effendy (2008: 1) mengemukakan, produksi film Indonesia mengalami peningkatan sejak era 2000-an. Dalam Katalog Film Indonesia 1926-2007 yang disusun JB. Kristanto, tercatat 74 film telah beredar di bioskop dari tahun 2000-2004. Artinya, dalam lima tahun itu, hampir 15 film diproduksi setiap tahunnya. Produksi film pun semakin meningkat, dengan beredarnya lebih dari 70 film Indonesia pada tahun 2007. Bahkan, pada tahun 2008, jumlah film yang diproduksi diperkirakan sekitar 100 judul. 3. Film Sebagai Wacana Seperti bahasa, film juga dapat dipahami sebagai wacana. Menurut (Janney, 2012: 88), film sebagai wacana dipandang sebagai proses narasi yang melibatkan pembuat film (komunikator) dan penonton (komunikan), media ekspresi (alat sinematik teknis), pengaturan komunikasi konvensional, asumsi, dan penyaluran makna pesan tersembunyi antara komunikator ke komunikan. Wacana dalam film disisipkan melalui komunikasi verbal maupun nonverbal. Komunikasi verbal merupakan

6

proses interaktif antarpemeran yang melibatkan kata-kata atau bahasa. Dengan kata lain, wacana film konteks verbal dapat ditemukan melalui dialog antarpemeran. Sedangkan, wacana dalam konteks nonverbal dapat mencakup segala jenis pesan nonverbal, seperti musik, suara, gambar, gerak tubuh, ekspresi wajah, intonasi, dan lain-lain. Prince mengungkapkan (1993: 17) bahwa di dalam film, terdapat monolog atau dialog sebagai bahasa yang mengkomunikasikan pesan film. Percakapan antar pemeran film tersebut mengandung ideologi atau imajinasi pembuat film selaku komunikator kepada penonton. Para pemeran film mengucapkan monolog atau dialog yang mengandung wacana secara alamiah dan tidak kaku, seolah-olah apa yang diucapkan ialah realitas yang terjadi di dunia nyata. Dengan kata lain, penyampaian ideologi komunikator diinterpretasikan dalam tampilan realitas sosial atau budaya secara implisit maupun eksplisit. Tampilan realitas yang disajikan dalam film tersebut memiliki efek ideologis yang nantinya membentuk pemahaman penonton kepada maksud yang ingin disampaikan pembuat film, meskipun mereka tahu film itu hanya menampilkan kenyataan imajiner. 4. Film Daur Ulang Film daur ulang dikenal dengan dua istilah, yaitu remake dan reboot. Keduanya memiliki kesamaan, yaitu mengulangi beberapa unit naratif sampai pada tahap tertentu dan mengartikulasikan kembali budaya yang diusung film sebelumnya (film original) melalui pembaruan dan modernitas. Selain itu, keduanya adalah versi baru dari film-film sebelumnya. Namun, reboot lebih sering digunakan untuk film waralaba (film franchise; yang memiliki sekuel, prekuel, dan lain-lain), sementara remake lebih sering digunakan untuk film yang berdiri sendiri. Namun, bukan berarti remake dan reboot tidak memiliki perbedaan. Remake memiliki keterikatan narasi yang kuat dengan versi original, sedangkan reboot mencoba menempa keseluruhan isi versi original dengan alur cerita dan karakter yang baru. Dengan kata lain,

7

remake adalah reinterpretasi dari film asli, sedangkan reboot “memulai kembali” seluruh cerita film asli dan berusaha menolak gagasan pendahulunya. Lussier (Russell dalam Proctor, 2012: 1) menganggap fenomena film daur ulang seperti remake dan reboot merupakan suatu bentuk upaya studio film dalam mengangkat kembali suatu karakter atau cerita tertentu yang familiar bagi penonton dan mulai dilupakan. Studio film dan seluruh elemennya selaku pembuat film (komunikator) menganggap bahwa film daur ulang “lebih mudah untuk dijual” karena telah memiliki riwayat atau pengakuan oleh penonton sebelumnya. Dengan kata lain, mereka berusaha untuk menghidupkan kembali sebuah merek. 5. Teori Representasi Richard Dyer (dalam Names, 1996: 299) pernah menuliskan konsep representasi dalam sebuah artikel di televisi populer. Yang pertama, mengacu pada konsep representasi sebagai konstruksi, menghadirkan kembali realitas dunia kepada khalayak dalam bentuk gambar terekam. Khalayak selaku komunikan perlu menganalisis gambar- gambar dalam film untuk melihat bagaimana pembuat film menggambarkan realitas dunia mengenai suatu topik tertentu—apa dan bagaimana mereka mendefinisikan dan menentukan bagaimana khalayak memahami dunia. Aspek kedua mengacu pada cara di mana representasi dapat mengatur agenda mengenai apa yang dianggap ‘normal’ dan ‘alami’ dalam masyarakat dan apa yang dianggap di luar batas. Aspek ketiga berfokus pada siapa yang bertanggung jawab atas representasi yang muncul di layar, dan apakah orang yang bertanggung jawab untuk memproduksinya benar- benar mewakili orang-orang yang menjadi representasi mereka. Aspek keempat berkaitan dengan untuk siapa gambar-gambar tersebut diproduksi, yang tentunya tertuju pada audiens. Audiens penting untuk diperhatikan dalam menganalisis representasi kelompok sosial karena mengabaikan konteks sosial, ekonomi, dan historis di mana

8

representasi tersebut dihasilkan. Kita perlu bertanya tentang apa arti sebuah film atau representasi tertentu bagi audiens (penonton) film tersebut. 6. Gender Seks dan gender memiliki etimologi dan makna yang berbeda secara khusus. Dalam pengertian yang paling mendasar, seks ditentukan secara biologis, sedangkan gender ditentukan secara kultural. Jika menelaah terlebih dahulu istilah seks, seks atau jenis kelamin berasal dari kata Latin, “sexus”, yang berarti “salah satu dari dua pembagian alami yang masing-masing dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan”. Menurut oxforddictionaries.com (diakses pada 13 Desember 2018), seks didefinisikan sebagai “sekumpulan perbedaan struktur dan fungsi organ reproduksi yang membedakan laki-laki dan perempuan dengan perbedaan fisiologis sebagai akibatnya.” Dengan kata lain, seks adalah konsep biologis yang ditentukan atas dasar perbedaan karakteristik struktural, fungsional, dan perilaku makhluk hidup yang ditentukan secara genetik, baik secara anatomi maupun fisiologis. Seks lebih menekankan pada kondisi biologis tubuh laki-laki dan perempuan. Jika seks adalah kategorisasi biologis yang berdasarkan pada potensi reproduksi, gender merupakan konstruksi sosial dari sifat biologis seks tersebut. Dilansir dari medicalnewstoday.com (diakses pada 20 Desember 2018), The World Health Organization (WHO) mendefinisikan gender sebagai karakteristik laki-laki dan perempuan yang dibangun secara sosial, seperti norma, peran, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sementara itu, Women’s Studies Encyclopedia (Mulia, dalam Marzuki, 2007: 68) mendefinisikan gender sebagai konstruksi budaya masyarakat yang menjadi pembedaan laki-laki dan perempuan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik peran, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya dalam masyarakat.

9

Metodologi Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif, yang menurut Saebani (2008:122) adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah, teknik pengumpulan data menggunakan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil yang dicapai oleh metode ini lebih menekankan pada makna daripada generalisasi. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis wacana Teun A. van Dijk. Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah film Tiga Dara (1956) dan Ini Kisah Tiga Dara (2016) yang berfokus pada dialog, lirik lagu, dan visual. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi, dan studi kepustakaan. Data primer memuat dialog, lirik lagu, dan visual yang berkaitan dengan tema penelitian dan dianalisis secara intertekstual. Sumber data primer didukung oleh data sekunder berupa studi kepustakaan, jurnal, artikel pemberitaan kedua film dari berbagai media, dan data dari situs internet terkait pandangan terhadap pernikahan dan perempuan di era kedua film diproduksi. Uji keabsahan data dalam penelitian ini berupa ketekunan pengamatan, kecukupan referensi, dan triangulasi sumber dan triangulasi teori. Triangulasi sumber ialah menguji kredibilitas data dengan melakukan pemeriksaan dari berbagai sumber lain, seperti jurnal, dokumen, artikel atau berita mengenai pernikahan dan perempuan. Sementara itu, triangulasi teori berkaitan dengan menguji kredibilitas hasil penelitian untuk menghindari subjektivitas peneliti (Djamal, 2015:128-135).

Sajian dan Analisis Data Hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis wacana model Van Dijk. Analisis berfokus pada dimensi teks yang terdiri dari analisis makrostruktur, analisis superstruktur, dan analisis mikrostruktur. 1. Film Tiga Dara (1956) a. Analisis Makrostruktur Elemen makrostruktur mengangkat gagasan, ide, atau garis besar dari isi pesan yang ingin diungkapkan oleh komunikator.

10

Elemen ini berkaitan dengan topik umum yang direpresentasikan dalam film Tiga Dara (1956). Dengan memperhatikan dialog, lirik lagu, dan visual film, maka dapat disimpulkan bahwa topik utama dari film Tiga Dara adalah representasi pandangan terhadap perempuan dan pernikahan. Dalam penelitian ini, terdapat dua subtopik yang dapat menggambarkan topik utama yang koheren dan utuh, yakni pandangan terhadap pernikahan dan pandangan terhadap perempuan. Pandangan terhadap pernikahan dalam film ini antara lain bahwa pernikahan harus mendapatkan izin dari orang tua, menikah dengan sepupu dapat mempererat kekeluargaan, melangkahi kakak menikah dapat mendatangkan kesialan, dan pernikahan diatur oleh orang tua. Sementara itu, perempuan direpresentasikan melalui pandangan bahwa perempuan harus menikah di usia muda, perempuan hanya mengerjakan urusan domestik, perempuan harus menarik secara fisik, dan perempuan harus pandai bergaul. b. Analisis Superstruktur Dalam analisis superstruktur, sebuah film memiliki bagian pengenalan, kemunculan konflik, klimaks, antiklimaks, dan penyelesaian skematis yang membentuk satu kesatuan cerita yang utuh dan memiliki makna. Elemen superstruktur atau skematik dapat menunjukkan mana bagian dalam sebuah film yang menonjolkan pesan tersembunyi yang ingin disampaikan, dan mana informasi yang ingin disembunyikan. Bagian pengenalan dimulai dari perayaan ulang tahun Nunung yang ke-29. Usia Nunung yang dianggap sudah dewasa tersebut memunculkan keresahan Nenek. Nenek pun meminta kepada Sukandar untuk mencarikan jodoh untuk anaknya tersebut. Bagian kemunculan konflik tiba dengan kehadiran Toto di hidup

11

Nunung yang membuat keduanya saling jatuh hati. Namun, Nana, adik Nunung, justru menyukai dan mendekati Toto. Bagian klimaks muncul ketika Nana mengumumkan bahwa dia dan Toto akan segera menikah. Nenek jelas-jelas menentang hal itu, karena Nana dipandang telah melangkahi kakaknya untuk menikah, dan dapat berakibat buruk bagi Nunung. Bagian antiklimaks ditandai dengan ide Neni dan Sukandar untuk menyatukan kembali Toto dan Nunung. Bagian penyelesaian yang menjadi penutup dalam film ini adalah bersatunya Toto dan Nunung serta berhasilnya rencana Neni dan Sukandar untuk menjodohkan mereka. c. Analisis Mikrostruktur Analisis mikrostruktur berkaitan dengan makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, proposisi, hingga ekspresi dari suatu teks. Analisis mikrostruktur dilakukan dengan mengkaji subtopik-subtopik yang mendukung adanya gagasan umum atau topik utama. Elemen mikrostruktur yang ditemukan dalam film ini adalah praanggapan, leksikon, dan metafora. 2. Film Ini Kisah Tiga Dara (2016) a. Analisis Makrostruktur Elemen makrostruktur mengangkat gagasan, ide, atau garis besar dari isi pesan yang ingin diungkapkan oleh komunikator. Elemen ini berkaitan dengan topik umum yang direpresentasikan dalam film Ini Kisah Tiga Dara (2016). Sama halnya dengan film Tiga Dara (1956), dari film Ini Kisah Tiga Dara adalah representasi pandangan terhadap perempuan dan pernikahan. Dalam penelitian ini, terdapat dua subtopik yang dapat menggambarkan topik utama yang koheren dan utuh, yakni pandangan terhadap pernikahan dan pandangan terhadap perempuan.

12

Pandangan terhadap pernikahan dalam film ini terkait dengan negativisme terhadap tradisi pernikahan, larangan melangkahi kakak menikah sudah tidak lagi dipermasalahkan, menikah tidak harus izin orang tua, dan pernikahan diatur oleh orang tua. Sementara itu, perempuan direpresentasikan dapat bekerja di ranah publik, perempuan berhak melajang, perempuan berhak memilih pasangan sendiri, dan perempuan harus berperilaku feminin. b. Analisis Superstruktur Elemen superstruktur Ini Kisah Tiga Dara (2016) juga terdiri dari bagian pengenalan, kemunculan konflik, klimaks, antiklimaks, dan penyelesaian yang skematis dan membentuk kesatuan wacana film secara utuh. Elemen superstruktur dalam film ini dapat memudahkan dalam menganalisis gagasan yang ingin dituangkan oleh sutradara Ini Kisah Tiga Dara mengenai pandangan terhadap pernikahan dan perempuan di era modern, tepatnya di tahun 2016. Bagian pengenalan bermula dari perayaan ulang tahun Gendis ke-32. Usia Gendis yang dianggap telah dewasa tersebut memunculkan pertanyaan Oma mengenai kapan Gendis menikah. Bagian kemunculan konflik dimulai ketika sosok bernama Yudha datang dan jatuh hati kepada Gendis, begitu pula Gendis. Namun, Ella justru tertarik kepada Yudha. Bagian klimaks dimulai dengan pengumuman Krisna, ayah Gendis, Ella, dan Bebe, yang memberitahukan bahwa Yudha membeli saham hotel kepada Krisna. Selain itu, Krisna juga mengungkapkan bahwa Yudha telah meminta restu kepada Krisna untuk meminang Gendis. Gendis pun marah kepada Yudha dan berkata bahwa ia berhak memilih pasangan hidupnya sendiri tanpa perlu dijodohkan oleh orang tua.

13

Bagian antiklimaks ditandai dengan luluhnya hati Gendis kepada Yudha. Bagian penyelesaian merupakan penutup dalam film ini, di mana Krisna sebagai orang tua dari tiga dara justru menikah tanpa sepengetahuan Oma selaku orang tuanya. Selain itu, Gendis dan Yudha pun bersatu karena adanya ikatan cinta di antara mereka. c. Analisis Mikrostruktur Analisis mikrostruktur berkaitan dengan makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, proposisi, hingga ekspresi dari suatu teks. Analisis mikrostruktur dilakukan dengan mengkaji subtopik-subtopik yang mendukung adanya gagasan umum atau topik utama. Elemen mikrostruktur yang ditemukan dalam film ini adalah maksud, praanggapan, leksikon, grafis, dan ekspresi. 3. Perbandingan Representasi Pandangan terhadap Pernikahan dan Perempuan dalam Film Tiga Dara (1956) dan Ini Kisah Tiga Dara (2016) a. Pandangan terhadap Pernikahan 1) Mitos melangkahi kakak menikah. Dalam film Tiga Dara, mendahului kakak perempuan menikah masih dianggap tabu dan dilarang di era 1950-an. Sementara itu, dalam film Ini Kisah Tiga Dara, mendahului kakak perempuan menikah bukan lagi menjadi masalah besar di era milenial dan kini dianggap tidak memiliki dampak buruk seperti yang selama ini telah menjadi momok masyarakat. 2) Pentingnya izin orang tua dalam pernikahan. Dalam film Tiga Dara, seorang anak yang ingin menikah tetapi tidak terlebih dahulu mendiskusikannya kepada orangtua dapat menimbulkan bencana di kehidupannya kelak. Sementara itu, film Ini Kisah Tiga Dara menunjukkan bahwa pernikahan

14

orang dewasa tanpa restu atau izin orang tua bukanlah sebuah syarat penting dan permasalahan krusial di masa sekarang. 3) Tradisi menikah dengan sepupu. Dalam film Tiga Dara, Usmar Ismail ingin menegaskan bahwa menjodohkan anak dengan sepupunya, atau anak dari saudara orangtua, merupakan hal yang pastinya baik dan dapat merapatkan hubungan kekeluargaan. Sementara itu, dalam film Ini Kisah Tiga Dara, tidak terdapat indikasi mengenai wacana tradisi pernikahan antara sepupu. 4) Pernikahan diatur oleh orang tua. Film Tiga Dara menunjukkan bahwa orang tua memiliki kendali dalam penentuan jodoh anak-anaknya, terutama anak perempuan. Sementara itu, dalam film Ini Kisah Tiga Dara, usaha perjodohan oleh orang tua kepada anak juga masih terjadi. 5) Negativisme terhadap pernikahan. Dalam film Ini Kisah Tiga Dara, pernikahan dipandang memiliki berbagai tahapan yang secara teknis maupun materiel merepotkan dan membutuhkan banyak pengorbanan karena adanya tradisi yang mengikat. Sementara itu, dalam film Tiga Dara, tidak ada dialog yang menunjukkan bahwa pernikahan merupakan suatu hal yang negatif atau sikap para tokoh yang sentimen mengenai pernikahan. b. Pandangan terhadap Perempuan 1) Tuntutan bagi perempuan untuk menikah. Dalam film Tiga Dara, wacana tuntutan bagi perempuan untuk menikah mengacu pada pandangan bahwa perempuan harus menikah di usia muda. Sementara itu, film Ini Kisah Tiga Dara menyampaikan pandangan bahwa perempuan tidak harus menikah dan berhak untuk melajang. 2) Peran perempuan. Dalam film Tiga Dara, Usmar Ismail merepresentasikan pandangannya bahwa perempuan hanya

15

berkutat di ranah domestik. Sementara itu, Nia Dinata dalam film Ini Kisah Tiga Dara menyampaikan pesan bahwa perempuan tidak hanya berkutat di ranah domestik semata, tetapi juga mampu menunjukkan eksistensi dirinya di ranah publik. 3) Femininitas perempuan. Dalam film Tiga Dara, feminitas perempuan direpresentasikan melalui tuntutan tubuh yang langsing, berwajah cantik, dan berpenampilan menarik. Sementara itu, femininitas dalam film Ini Kisah Tiga Dara direpresentasikan melalui perilaku perempuan yang harus feminin di tempat umum. 4) Kepandaian dalam bergaul. Melalui film Tiga Dara, Usmar Ismail merepresentasikan pandangan bahwa perempuan harus pandai bergaul dan ramah kepada orang lain untuk menjadi pribadi yang menarik dan diterima di lingkup sosial. Sementara itu, dalam film Ini Kisah Tiga Dara, Nia Dinata tidak menuangkan pandangan mengenai perempuan yang harus pandai bergaul agar diterima di lingkungan sosial. 5) Kebebasan perempuan dalam memilih pasangan. Pada film Tiga Dara, sutradara tidak menjelaskan secara tersurat mengenai kebebasan perempuan dalam memilih pasangan di era 1950-an. Namun, pandangan mengenai kebebasan perempuan dalam memilih pasangan bisa didapatkan melalui usaha perjodohan yang dilakukan oleh Nenek dan Sukandar kepada Nunung dan Toto. Sementara itu, pada film Ini Kisah Tiga Dara, Perempuan lebih bebas dan berhak untuk menentukan pasangan hidupnya sendiri. Kesimpulan Berdasarkan analisis wacana yang telah dilakukan terhadap film Tiga Dara (1956) dan Ini Kisah Tiga Dara (2016), diperoleh kesimpulan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan di antara kedua film mengenai representasi

16 pandangan terhadap pernikahan dan perempuan. Pada representasi pandangan terhadap pernikahan, terdapat satu persamaan di antara kedua film, yakni pemilihan pasangan hidup anak perempuan yang diatur oleh orang tua. Sementara itu, terdapat satu persamaan pula pada kedua film mengenai representasi pandangan terhadap perempuan, yaitu adanya tuntutan bagi wanita untuk segera menikah dan menemukan pasangan. Di sisi lain, terdapat perbedaan pandangan mengenai pernikahan dan perempuan pada kedua film. Perbedaan tersebut mencerminkan adanya pergeseran nilai budaya yang ada di masyarakat mengenai pernikahan dan perempuan. Perbedaan itu kemudian dikelompokkan ke kategorisasi sebagai berikut. 1. Perbedaan pandangan terhadap pernikahan a. Mitos melangkahi kakak menikah. Dalam film Tiga Dara, mitos ini masih dipercaya kuat oleh masyarakat dan tabu untuk dilakukan karena dipandang dapat mengakibatkan nasib buruk kepada kakak yang didahului menikah oleh adiknya. Sementara itu, dalam film Ini Kisah Tiga Dara, kepercayaan terhadap mitos tersebut telah memudar dan masyarakat tidak lagi mempermasalahkan tentang siapa anggota keluarga yang akan menikah terlebih dahulu. b. Pentingnya izin orang tua dalam pernikahan. Dalam film Tiga Dara, izin orang tua dalam pernikahan anaknya merupakan hal mutlak dan kunci sukses pernikahan seorang anak. Di sisi lain, film Ini Kisah Tiga Dara izin orang tua dalam pernikahan anaknya bukan menjadi sebuah syarat penting dan permasalahan yang krusial jika anak tersebut telah berusia dewasa dan dipandang sudah mampu menentukan keputusan terbaik untuk hidupnya. c. Tradisi menikah dengan sepupu. Tradisi menikah dengan sepupu dipandang dapat menjaga hubungan keluarga dan memperkuat kekerabatan dalam film Tiga Dara. Sementara itu, film Ini Kisah Tiga Dara tidak mengangkat wacana mengenai tradisi ini. d. Negativisme terhadap tradisi pernikahan. Dalam film Ini Kisah Tiga Dara, tradisi perayaan pernikahan dipandang merugikan

17

orang lain. Sementara itu, dalam film Tiga Dara, tidak terdapat dialog yang mengindikasikan adanya pandangan negatif terhadap tradisi pernikahan yang mengikat. 2. Perbedaan pandangan terhadap perempuan a. Peran perempuan. Dalam film Tiga Dara, peran perempuan direpresentasikan hanya berada dalam ranah domestik. Sementara itu, dalam film Ini Kisah Tiga Dara merepresentasikan perempuan yang modern dan progresif, sehingga dapat menunjukkan eksistensinya di ranah publik. b. Femininitas perempuan. Dalam film Tiga Dara, femininitas perempuan yang ditonjolkan lebih cenderung kepada penampilan fisik perempuan. Di sisi lain, film Ini Kisah Tiga Dara bukan menekankan femininitas perempuan pada tampilan fisik, tetapi pada bagaimana perempuan berperilaku seperti “perempuan yang seharusnya”. c. Kepandaian dalam bergaul. Dalam film Tiga Dara, perempuan dipandang harus pandai bergaul dan ramah kepada orang lain. Sementara itu, dalam film Ini Kisah Tiga Dara, tidak terdapat dialog yang mengindikasikan adanya pandangan atau tuntutan terhadap perempuan untuk menyesuaikan sikapnya dengan pandai bergaul dan ramah terhadap orang lain. d. Kebebasan perempuan dalam memilih pasangan. Pada film Tiga Dara, perempuan tidak memiliki otoritas untuk memilih pasangan hidupnya sendiri karena adanya campur tangan yang ketat dari orang tua. Sebaliknya, film Ini Kisah Tiga Dara menyuarakan hak perempuan untuk menentukan pasangan hidupnya sendiri. Hasil penelitian ini mengonfirmasi teori representasi Richard Dyer. Teori tersebut menyatakan bahwa representasi dipengaruhi oleh budaya masing-masing sutradara kedua film di mana mereka berada dan ideologi kedua sutradara film itu sendiri.

18

Daftar Pustaka Djamal, M. (2015). Paradigma Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Effendy, Heru. (2008). Industri Perfilman Indonesia: Sebuah Kajian. : Penebit Erlangga. Ida, Rachmah. (2001). "The Construction of Gender Identity in Indonesia: between Cultural Norms, Economic Implications and State Formation". Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, XIV(1), 21-34. 27-28. DOI: 10.21061/jcte.v22i2.430. Janney, Richard. (2012). Pragmatics and Cinematic Discourse. Lodz Papers in Pragmatics, 8(1), 85-113. DOI: 10.1515/lpp-2012-0006. Jauhari, Haris (ed.). (1992). Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Juniarto, Damar. (2016). Ada Apa dengan Tiga Dara?.Diakses pada 21 Juni 2018, dari https://cinemapoetica.com/ada-apa-dengan-tiga-dara/ Marzuki. (2007). Kajian Awal tentang Teori-Teori Gender. Jurnal Civics, 4(2), 67-77. DOI: 10.21831/civics.v4i2.6032. Names, Jill. (1996). An Introduction to Film Studies. London: Routledge. Newman, Tim. (2018). Sex and gender: What is the difference?.Diakses pada 20 Desember 2018, dari https://www.medicalnewstoday.com/articles/232363.php. Nugroho, Garin & S., Dyna Herlina. (2013). Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Jakarta: Kompas. Prince, Stephen. (1993). The Discourse of Pictures: Iconicity and Film Studies. Film Quarterly, 47(1), 16-28. DOI: 10.2307/1213106. Proctor, William. (2012). Regeneration & Rebirth: Anatomy of the Franchise Reboot. Scope: An Online Journal of Film and Television Studies,22, 1-19. Diakses dari https://www.nottingham.ac.uk/scope/documents/2012/february- 2012/proctor.pdf. Ramadhani, Yulaika. Usmar Ismail dan Film Tiga Dara, Karyanya yang Sangat Ia Benci. Diakses pada 20 Juni 2018, dari https://tirto.id/usmar-ismail-dan- film-tiga-dara-karyanya-yang-sangat-ia-benci-cGrv. Saebani, Beni Ahmad. (2008). Metode Penelitian. Bandung: Pustaka Setia. Sex. (2018). English Oxford Living Dictionaries. Diakses dari https://en.oxforddictionaries.com/definition/sex Smith-Hefner, Nancy J. Smith. (2005). The New Muslim Romance: Changing Patterns of Courtship and Marriage among Educated Javanes Youth. Journal of Southeast Asian Students, Vol. 36(3), 441-459. DOI: 10.17265/2328-2169/2014.01.003. Tuapattinaya, Yolanda Imelda Fransisca. (2014). Pengambilan Keputusan untuk Menikah Beda Etnis: Studi Fenomenoogis pada Perempuan Jawa. Jurnal Psikologi Undip, 13(1), 34-41. Doi: 10.21061/jcte.v22i2.430. Wood, Michael. (2012). Film: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.

19