ETIKA POLITIK DAN KEKUASAAN (Studi atas Pemilihan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, )

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: Muhammad Mardhiyulloh

11141120000045

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1440 H/2019 M

ABSTRAK

ETIKA POLITIK DAN KEKUASAAN

(Studi atas Pemilihan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang) Pemilihan Ketua DPD RI merupakan bagian dari pemilihan pimpinan DPD RI, tercakup di dalamnya pemilihan wakil ketua I dan wakil ketua II. Terdapat sesuatu yang berbeda pada pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 dengan pemilihan-pemilihan periode sebelumnya, yaitu kebiasaan memilih ketua DPD RI dari kalangan independen atau non partisan, sedangkan kali ini memilih ketua DPD RI Oesman Sapta Odang dengan status rangkap jabatan sebagai wakil ketua MPR RI periode 2014-2019 dan juga ketua umum partai Hanura. Selain itu, pemilihan tersebut juga sebagai wujud perubahan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2014 yang mengatur masa jabatan pimpinan selama lima tahun menjadi No. 1 Tahun 2016 dan No. 1 Tahun 2017 dengan aturan dua tahun enam bulan. Secara otomatis periode pimpinan DPD RI 2014-2019 berubah menjadi periode 2014-2017 dan terpaksa berakhir pada April 2017. Namun demikian, Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya No. 38P/HUM/2016 dan 20P/HUM/2017 membatalkan perubahan Tata Tertib DPD RI tersebut dan mengembalikannya pada Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2014. Akan tetapi, pemilihan tersebut tetap berlangsung dengan diwaranai kericuhan yang berdampak terhadap buruknya citra moral DPD RI. Skripsi ini mengkaji dinamika politik sebenarnya yang terjadi pada pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-2019, juga membedah fenomena tersebut dan status rangkap jabatan Oesman Sapta Odang dari sudut pandang etika politik, juga membongkar sumber-sumber kekuasaan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD RI terpilih. Penulis menggunakan dua teori utama yaitu teori etika politik untuk menjelaskan ada atau tidaknya pelanggaran etika yang terjadi, dan teori kekuasaan untuk menerangkan perilaku anggota DPD RI dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan pimpinan DPD RI serta menganalisa sumber kekuasaan yang dimiliki Oesman Sapta Odang. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa pemilihan tersebut sesuai dengan prosedur yang mengikat, juga tidak ada undang-undang atau peraturan Tata Tertib DPD RI yang melarang status rangkap jabatan Oesman Sapta Odang sebagai wakil ketua MPR RI dan ketua umum partai Hanura.

Kata kunci: Etika Politik, DPD RI, Oesman Sapta Odang.

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah

SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam dicurakan kepada Nabi Muhammad

SAW, rasul yang telah membawa umatnya semua dari kegelapan pada masa yang terang benderang hingga saat ini.

Skripsi yang berjudul etika politik kekuasaan (Studi atas Pemilihan Ketua

DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang)” disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjanan Sosial (S.Sos) pada

Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari betul dalam penyusunan skripsi ini belumlah sempurna, dan masih banyak kekurangan. Tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis menyadari betul penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan baik.

Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staf dan jajarannya. 2. Prof. Dr. Zulkifli, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan jajarannya. 3. Dr. Iding Rasyidin, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan dorongannya selama ini.

vi

4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan dorongannya selama ini. 5. Dr. Idris Thaha, M.Si, selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini, Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan dorongannya selama penelitian ini. 6. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Ilmu Politik yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama kuliah. 7. H. Ahmad Nawardi, S.Ag, Gede Pasek Suardika, S.H., M.M dan Asip Irama, S.H yang telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini. 8. Orang tua tercinta Dedi Abdul Aziz, Almh. Nurhayati dan Dewi Rahmawati, serta keempat adik (Siti Kurniati Ningsih, Achmad Munajat, Nur Fajriyah Ramadhani dan Misbahul Munir) yang selalu memberikan doa, dukungan dan kasih sayangnya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 9. Kakek tersayang, Alm. K.H. M. Komaruddin, Nalih dan nenek tercinta Almh. N.E. Komala Ningsih, Suanah, serta paman dan bibi tersabar Ubaidillah dan Nurdiana, serta keluarga besar Alm. K.H. M. Komaruddin yang tidak dapat disebutkan seluruhnya. Terima kasih atas do’a dan ketulusannya memotivasi penulis dan sudah menjadi tempat berbagi cerita selama ini. 10. Teman Seperjuangan Ilmu Politik B 2014, M. Aprijal, Hisyam, Guntur, Alvin Esa Priatna, Hammardhan, M. Faried, Reno, Barri, Najem, Aufarmario, Rizky Ikhwani, Fahmil, Rizky Sinulingga, Milla, Anita, Wova, Nafi, Harumbi, dan lainnya, Terimakasih atas kenangan terindah semasa kuliah. 11. Kawan seperjuangan selama bimbingan, Mahlizar, Yasser, Rudi Saputra, Annisa, Milla, dan Yayas. 12. Sahabat terbaik, M. Fariz Ardian, Rizky Fr. Rachman Reilli, Imam Irfan Hakim, Ainun Najib, Reza Syahputra, Nurhilyah Ailah dan Intan Afrida Rafni.

vii

13. Sahabat Sependakian, Rachman Reilli, Guntur, Satria, Halim, Oman, Dimas, Titah, Iko, Syifa, dan lainnya. 14. Keluarga besar kelompok KKN Cognition 80, Siska Andrianika, Ai Aisha Safitri, Fachri, Arul, Yasmin, Hamdy, Husein, Lubby, Malla, Hyda, Tyas, Ela, Wulan, Diana, Aji. 15. Teman-teman volunteer Asian Games 2018, Randi, Rayhan, Maulana, Bimo, Dhani, Gheffiro, Reza, Arul, Karin, Nadya, Firdha, Tyas, Jasmine, Sabil, Ratna, dan Iqbal. 16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-satu, terima kasih atas semangat dan dukungan yang diberikan baik berupa doa, moril maupun materiil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tanpa adanya mereka, penulis tidak yakin penelitian ini dapat selesai dengan baik. Penulis berterima kasih dengan sepenuh hati, semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka. Namun demikian, penulis bertanggungjawab penuh atas segala kekurangan dalam penelitian ini, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Ciputat, 12 Januari 2019

Muhammad Mardhiyulloh

viii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...... iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...... iv ABSTRAKSI ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR TABEL ...... xi DAFTAR SINGKATAN ...... xii BAB I ...... 1 PENDAHULUAN ...... 1

A. Pernyataan Masalah ...... 1 B. Pertanyaan Masalah ...... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8 C. 1. Tujuan Penelitian ...... 8 C. 2. Manfaat Penelitian ...... 8 D. Tinjauan Pustaka ...... 8 E. Metodologi Penelitian ...... 12 E. 1. Pendekatan Penelitian Kualitatif ...... 12 E. 2. Sumber dan Jenis Data ...... 13 E. 3. Teknik Pengumpulan Data ...... 14 E. 4. Teknik Analisa Data ...... 15 F. Sistematika Penulisan ...... 16

BAB II ...... 18 KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL ...... 18

A. Teori Etika Politik ...... 18 A. 1. Definisi Etika Politik ...... 18 A. 2. Dimensi Etika Politik ...... 25 A. 3. Urgensi Etika Politik dalam Lembaga Politik ...... 27 B. Kekuasaan dalam Politik ...... 29 B. 1. Definisi Kekuasaan ...... 29

ix

B. 2. Konsep Meraih Kekuasaan ...... 32 B. 3. Hakikat dan Sumber Kekuasaan ...... 34 C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan ...... 36

BAB III ...... 39 GAMBARAN UMUM DPD RI DAN OESMAN SAPTA ODANG ...... 39

A. DPD RI dalam Semangat Demokrasi ...... 39 A. 1. Sejarah Pembentukan DPD RI ...... 39 A. 2. DPD RI dalam Bingkai Masa Depan Indonesia ...... 42 A. 3. DPD RI: Keterbatasan Fungsi, Tugas, dan Wewenang ...... 43 A. 4. Kinerja DPD RI ...... 45 B. Pimpinan sebagai Simbol Utama DPD RI ...... 50 B. 1. Pimpinan DPD RI: Artikulasi dan Fungsi ...... 50 B. 2. Aspek Historis dan Politik: Pemilihan Pimpinan DPD RI ...... 52 B. 3. Profil Pimpinan DPD RI Periode 2014-2017 dan 2017-2019 ..... 55 C. Tapak Langkah Politik Oesman Sapta Odang ...... 58 C. 1. Oesman Sapta Odang: Dari Pengusaha menjadi Politisi ...... 58 C. 2. Politik dalam Perjalanan Hidup Oesman Sapta Odang ...... 62 C. 2. 1. Wakil Ketua MPR RI ...... 63 C. 2. 2. Ketua Umum Partai Hanura ...... 65 C. 2. 3. Ketua DPD RI ...... 66 C. 3. Kontroversi dan Kasus-kasus ...... 68

BAB IV ...... 70 ETIKA POLITIK DAN DINAMIKA PEMILIHAN KETUA DPD RI PERIODE 2017-2019, OESMAN SAPTA ODANG ...... 70

A. Dinamika Pemilihan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang ...... 70 B. Analisis Etika Politik terhadap Pemilihan Ketua DPD RI periode 2017- 2019, Oesman Sapta Odang ...... 80 B. 1. Etika Pemilihan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang ...... 80

x

B. 2. Sudut Pandang Dimensi Etika Politik ...... 84 B. 2. 1. Dimensi Tujuan ...... 86 B. 2. 2. Dimensi Sarana ...... 88 B. 2. 3. Dimensi Aksi Politik ...... 89 C. Sumber Kekuasaan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang ...... 91 C. 1. Sumber Wibawa ...... 92 C. 2. Sumber Kharisma ...... 94 C. 3. Sumber Wewenang ...... 96

BAB V ...... 99 PENUTUP ...... 99

A. Kesimpulan ...... 99 B. Saran ...... 101

DAFTAR PUSTAKA ...... 103

xi

DAFTAR TABEL

Tabel III. A.4.1. Rekaptulasi Hasil Kerja DPD RI Periode I 2004-2009 … 46

Tabel III. A.4.2. Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode 2209-2014… . 47

Tabel III. A.4.3. Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode 2014-2019

Sampai Dengan Sidang Paripurna Ke-8, Kamis, 9 Maret

2017 …………………………………………………….. 47

Tabel III. B.2.1. Pemilihan Pimpinan DPD RI Periode 2014-2017……… 54

Tabel III. B.3.1. Komposisi Pimpinan DPD RI Periode 2014-2017……… 56

Tabel III. B.3.2. Komposisi Pimpinan DPD RI Periode 2017-2019 …….. 57

xii

DAFTAR SINGKATAN

Alkel : Alat Kelengkapan APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APHTN-HAN: Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara - Hukum Administrasi Negara Basarnas : Badan Search And Rescure Nasional BKPRMI : Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia BPK : Badan Pemeriksa Keuangan BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BUMN : Badan Usaha Milik Negara Dapil : Daerah Pemilihan DI : Darul Islam DPC : Dewan Pimpinan Cabang DPD RI : Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia DPP : Dewan Pimpinan Pusat DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah GAM : Gerakan Aceh Merdeka GAPENSI : Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia Gerindra : Gerakan Indonesia Raya GKR : Gusti Kanjeng Ratu : Golongan Karya Hanura : Hati Nurani Rakyat HIPMI : Himpunan Pengusaha Muda Indonesia HKTI : Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jokowi :

xiii

KADIN : Kamar Dagang dan Industri Indonesia KADINDA : Kamar Dagang dan Industri Daerah KIH : Koalisi Indonesia Hebat KKI : Konsil Kedokteran Indonesia KMP : Koalisi Merah Putih KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi Letjen : Letnan Jendral MA : Mahkamah Agung MD3 : MPR, DPR, DPD dam DPRD MENKO : Menteri Koordinator MK : Mahkamah Konstitusi MPR RI : Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nasdem : Nasional Demokrat NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia NRI : Negara Kesatuan Indonesia NTB : Nusa Tenggara Barat OPM : Organisasi Papua Merdek Ormas : Organisasi Masyarakat OSO : Oesman Sapta odang PAN : Partai Amanat Nasional PEMDA : Pemerintah Daerah Perda : Peraturan Daerah PERMESTA : Perjuangan Rakyat Semesta PILKADA : Pemilihan Kepala Daerah PKB : Partai Kebangkitan Bangsa PKS : Partai Keadilan Sejahtera

xiv

PNS : Pegawai Negeri Sipil POLHUKAM : Politik Hukum dan Keamanan POLRI : Polisi Republik Indonesia PPD : Partai Persatuan Daerah PPP : Partai Pembangunan Indonsia PRRI : Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia RAPBN : Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Ranperda : Rancangan Peraturan Daerah RIS : Republik Indonesia Serikat RUU : Revisi Undang-Undang TII : Tentara Islam Indonesia TNI : Tentara Nasional Indonesia UIN : Universitas Islam Negeri USA : United State of America UU : Undang-Undang UUD : Undang-Undang Dasar UUDS : Undang-Undang Dasar Sementara

xv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini mengkaji tentang kepekaan seorang politisi terhadap etika ketika dihadapkan dengan kekuasaaan. Fokus utama kajiannya terkait dengan fenomena kericuhan yang terjadi pada proses pemilihan ketua Dewan Perwakilan

Daerah Republik Indonesia (DPD RI)1 periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang.

Hal tersebut mengindikasikan adanya ketidaksadaran moral di dalam diri anggota

DPD RI. Oleh karena itu, etika hadir untuk menjadi kompas tindakan tersebut agar searah dengan nilai-nilai kebaikan.

DPD RI sebagai wakil dari daerah di Indonesia sudah seharusnya menjaga marwah dan kehormatannya di muka publik dengan menjunjung tinggi etika di setiap tindakannya. Etika menjadi hal utama yang perlu diperhatikan oleh mereka yang ingin mencapai suatu kekuasaan atau ketika berkuasa. Selama ini, tidak sedikit dari mereka yang ketika dihadapkan oleh kekuasaan, mereka seakan-akan lupa dengan etika dan moralitas.

Dalam beberapa tahun ke belakang, terhitung sejak awal periode 2014-

2019, DPD RI seringkali mendapatkan sorotan dari publik yang terdiri dari masyarakat, pengamat politik dan kalangan intelektual atas capaian kinerja DPD

RI selama ini. Mereka beranggapan, DPD RI lebih sering memunculkan polemik ke depan publik dibandingkan dengan kinerjanya dalam memperjuangkan aspirasi

1 Lembaga legislatif Indonesia yang terbentuk dari hasil amandemen UUD 1945, atas alasan kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan hubungan pusat dan daerah.

1

daerah kepada pusat. DPD RI dipandang sebagai lembaga legislatif yang keberadaannya dipertanyakan sampai saat ini.

Realitas politik yang menjelaskan kurangnya kepercayaan publik atas penurunan kualitas moral anggota DPD RI dapat dilihat dari rekam jejak perkembangan lembaga ini. Penulis mencatat tensi politik di dalam internal DPD

RI meningkat dimulai sejak setahun sebelum puncak terjadinya keributan pada proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, tensi politik tinggi dilengkapi dengan ketidakmampuan dalam mengontrol diri menjadi pemicu terjadinya kericuhan. Hal yang demikian itu disebabkan oleh ide perubahan Tata Tertib

DPD RI terkait masa jabatan pimpinan DPD RI yang semula lima tahun menjadi dua tahun enam bulan. Ironisnya ketua DPD RI periode 2014-2019 ikut menambahkan catatan buruk etika DPD RI dengan ditetapkan sebagai terpidana kasus korupsi kuota gula impor.

Citra moral buruk yang ditujukan kepada DPD RI seolah-olah tidak bisa dihindarkan lagi. Pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 yang diciptakan dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik sekaligus mengurangi pandangan buruk terhadap DPD RI justru dinodai dengan kericuhan yang terjadi selama proses pemilihan. Sebagian anggota DPD RI dengan tanpa rasa malu melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh pejabat publik, seperti halnya melontarkan kata-kata kasar sampai kepada bentrokan fisik. Pemicu terjadinya hal tersebut adalah perbedaan tafsiran hukum keputusan Mahkamah Agung (MA)

2

terkait masa jabatan pimpinan DPD RI yang sah. Hukum menjadi salah satu hal utama bagi sumber kekuasaan karena erat kaitannya dengan sebuah wewenang.2

Secara aspek historis, masa jabatan ketua dan wakil ketua DPD RI berlangsung selama lima tahun, mengikuti siklus pemilihan umum. Pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-2019 sebagai bentuk pengaplikasian dari pada aturan masa jabatan pimpinan yang baru yakni selama dua tahun enam bulan. Hal tersebut didasari dengan perubahan Tata Tertib DPD RI terkait masa jabatan pimpinan, yang kemudian dibatalkan berdasarkan pada putusan Mahkamah

Agung Nomor 38P/HUM/2016 dan 20P/HUM/2017 yang pada akhirnya berujung pada polemik yang mencederai kualitas moral anggota DPD RI.3

Pemicu terjadinya polemik lain adalah status rangkap jabatan Oesman

Sapta Odang selaku ketua DPD RI terpilih periode 2017-2019 yang juga masih aktif menjabat sebagai wakil ketua MPR RI periode 2014-2019 ditambah dengan jabatan sebagai ketua partai Politik Hati Nurani Rakyat (Hanura) menggantikan

Wiranto pada 22 Desember 2016.4 Hal tersebut merupakan fenomena langka dan baru pertama terjadi di tubuh DPD RI, tercatat sejak periode 2004-2009, 2009-

2014, dan 2014-2019.

Pada periode 2004-2009, bersama Irman Gusman dan Laode Ida terpilih sebagai ketua, wakil ketua I dan wakil ketua II DPD RI

2 Abu Bakar Ebyhara, Pengantar Ilmu Politik, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2016) hal. 19- 180. 3 DPD RI, “Putusan MA Akhirnya Menghentikan Rencana” http://www.dpd.go.id, 31 Maret 2017. 4 Nabilla Tashandra, “Oesman Sapta Odang Terpilih Menjadi Ketua DPD”, http://nasional.kompas.com, 04 April 2017.

3

dengan masing-masing mewakili keterwilayahan di Indonesia, selanjutnya pada periode 2009-2014, kursi kepemimpinan berganti dengan Irman Gusman sebagai ketua, Laode Ida sebagai wakil ketua I dan Gusti Kanjeng sebagai wakil ketua II DPD RI. Lima tahun berselang tepatnya pada periode 2014-2019

Irman Gusman terpilih kembali menjadi ketua DPD RI bersama dengan Gusti

Kanjeng Ratu Hemas sebagai wakil ketua DPD RI I dan Farouk Muhammad sebagai wakil ketua DPD RI II.

Ketiga periode tersebut, menghasilkan tiga nama ketua DPD RI yakni

Ginandjar Kartasasmita (satu priode), Irman Gusman (dua periode) dan

Muhammad Saleh sebagai pengganti Irman Gusman yang terjerat kasus korupsi gula impor. Masing-masing dari ketua itu tidak ada yang merangkap jabatan lain, baik di dalam lembaga negara ataupun partai politik. Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI pertama yang berstatus rangkap jabatan sebagai wakil ketua MPR RI dan ketua partai politik Hanura.

Berkat perjuangan Oesman Sapta Odang pada awal pembentukan DPD RI, menjadikan dirinya disegani oleh anggota DPD RI lain, sehingga mampu menghantarkan dirinya mengisi kursi ketua DPD RI meskipun ketika pemilihan dirinya masih bestatus aktif sebagai wakil ketua MPR RI. Namun demikian, hal tersebut berdampak pada asumsi negatif publik terhadap DPD RI. Publik, melalui masyarakat umum, intelektual dan pengamat politik, mereka mempertanyakan akan legalitas pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode

4

2017-2019, dan mereka juga mempersoalkan etika politik yang mengikat status rangkap jabatan tersebut.5

Etika politik itu sendiri merupakan wujud kepekaan nalar politik suatu bangsa yang bernegara. Etika sebagai sumber dari logika-logika yang berkembang pada ranah publik tentang bersih atau kotor, baik atau buruk suatu tindakan politik demi terbangunnya kohesi sosial.6 Bagi lembaga DPD RI, etika tersebut terumuskan ke dalam kode etik, sebagaimana termaktub secara rinci di dalam Tata

Tertib DPD RI. Kode etik itu merefleksikan nilai-nilai moral yang berfungsi menuntun tindakan baik anggota DPD RI dengan tujuan demi menciptakan lembaga negara yang bermartabat, moralis, kredibel dan melindungi anggotanya dari nafsu kekuasaan yang dapat menyalahgunakan wewenang dan kewajiban untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan daerah.7

Bahkan dampak apabila kepentingan daerah sudah tidak dapat diakomodir oleh DPD RI, hal tersebut dapat menghidupkan kembali pengalaman traumatis yang pernah terjadi beberapa tahun silam, seperti pemberontakan Pemerintahan

Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, Perjuangan Rakyat

Semesta (PERMESTA) di Sulawesi, dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia

(DI/TII) di Aceh dan Jawa Barat pada era Orde Lama, kemudian disusul dengan adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Gerakan Papua Merdeka yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada era Orde Baru, yang

5 A15, “Polemik Rangkap Jabatan Pejabat Publik” https://pinterpolitik.com, 26 Mei 2017. 6 A. Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009) hal. 21. 7 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Arsitektur Histori, Peran dan Fungsi DPD RI terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) hal. 165-166.

5

pada akhirnya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI).8

Karena itu, demi mencegah terjadinya pemberontakan di daerah tersebut,

DPD RI patut mengedepankan etika dalam setiap tindakannya karena etika itu berkaitan dengan integritas lembaga itu sendiri. Sedikitnya, terdapat tiga pakta integritas yang harus diperhatikan oleh calon pimpinan DPD RI9. Pertama, mewujudkan penyelenggaraan lembaga negara yang berwibawa, baik, dan bersih dengan menaati peraturan Tata Tertib dan kode etik. Kedua, tidak melakukan politik uang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk penyuapan atau gratifikasi dan janji-janji yang dilakukan sendiri atau melalui orang lain. Ketiga, bersedia diberhentikan sementara oleh Badan Kehormatan sesuai ketentuan mekanisme yang berlaku apabila ternyata ditemukan terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud pada hal pertama dan kedua.

Konflik yang terjadi pada proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-

2019 ini cukup mengancam integritas lembaga yang beranggotakan empat orang dari setiap provinsi di Indonesia. Fenomena itu menjadi bukti relevansi yang kuat antara etika politik dan kekuasaan. Politisi yang sudah keracunan dengan kekuasaan, maka ia cenderung bertindak kotor dan mengabaikan etika. Mereka akan saling bertarung, saling membunuh satu sama lain sampai tercapai kepentingan yang dituju, bahkan menghalalkan segala cara seperti layaknya

8 A.M. Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan NKRI,(Jakarta: The Fatwa Center, 2016) hal. 17-18. 9 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI, pasal 50 ayat (8).

6

serigala yang saling memangsa. Thomas Hobbes menyebutnya dengan homoest hominilupus. 10

Untuk itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menganalisa dinamika sebenarnya pada proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019,

Oesman Sapta Odang, demi mencari kepastian ada atau tidaknya pelanggaran etika politik yang terjadi. Untuk menganalisa hal itu, penulis menggunakan teori etika politik dan kekuasaan untuk menunjukkan relevansi antara keduanya dengan memfokuskan kajian pada kode etik DPD RI dan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh Oesman Sapta Odang.

B. Pertanyaan Masalah

Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan masalah agar penelitian ini berjalan dengan terukur dan sistematis.

1. Bagaimana dinamika pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019,

Oesman Sapta Odang?

2. Bagaimana pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta

Odang dilihat dari sudut pandang etika politik?

3. Apa saja sumber kekuasaan yang dimiliki Oesman Sapta Odang sebagai

ketua DPD RI periode 2017-2019?

10 Eko Handoyo, dkk, Etika Politik, (Semarang: Widya Karya Press, 2016) hal. 23.

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

C. 1. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan yang diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Untuk menggali pengetahuan perihal etika politik DPD RI secara lebih

komperhensif ketika dihadapkan dengan kekuasaan.

b. Untuk mengungkap sumber kekuasaan yang dimiliki Oesman Sapta Odang

sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019.

C. 2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini, dapat menjadi bahan

pengembangan studi ilmu politik tentang keparlemenan Indonesia

terkhusus pada lembaga politik DPD RI.

b. Menambah wawasan bagi pembaca pada umumnya dan penulis secara

pribadi tentang moralitas lembaga DPD RI secara lebih eksplisit.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini berfokus pada nilai etis pemilihan ketua DPD RI periode

2017-2019, Oesman Sapta Odang dengan mengupas dari dinamika politik pemilihan, dimensi etika politik serta sumber-sumber kekuasaan yang dimilikinya.

Terdapat beberapa literatur kepustakaan terdahulu yang menjadi acuan peneliti untuk melakukan penelitian yaitu di antaranya:

8

Pertama, penelitian Wibi Andrino.11 Pada penelitian ini disinggung mengenai beberapa hal yang bersangkutan dengan peran Badan Kehormatan DPD

RI dalam menegakkan pelanggaran yang terjadi di dalam tubuh DPD RI, dan dipaparkan pula hambatan-hambatan yang dialami dalam peroses penegakan aturan kode etik DPD RI, baik itu hambatan eksternal yaitu berupa peraturan perundang-undang maupun hambatan internal. Dalam penelitian ini juga disajikan solusi untuk menyelesaikan hambatan-hambatan tersebut dengan tujuan mengefektivitaskan peran Badan Kehormatan DPD RI atas pelanggaran kode etik yang dibuat oleh anggota DPD RI. Fokus utama kajian ini terletak pada kedudukan Badan Kehormatan DPD RI di dalam Lembaga DPD RI dengan mengupas aturan-aturan hukum yang menjadi landasan formil Badan

Kehoramatan DPD RI dalam menciptakan DPD RI yang elitis namun etis.

Kedua, penelitian Abdul Rauf Alauddin Said.12 Penelitian ini memfokuskan bahasan tentang eksistensi DPD RI dalam melaksanakan fungsi ketatanegaraan Indonesia yang dilihat dari pasal 22D Ayat (3) UUD NKRI 1945,

UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), dan

Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, yang semuanya secara khusus mengatur tata cara menjalankan fungsi-fungsi DPD RI. Dan ditambah dengan beberapa faktor yang mendasari ketimpangan wewenang antara DPD RI dan DPR RI di dalam keparlemenan Indonesia.

11 Wibi Andrino, “Kedudukan dan Implementasi Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Penegakan Kode Etik”, (Tesis S2 Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2017) hal. 71-74. 12 Abdul Rauf Alauddin Said, “Kajian Normatif Terhadap Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, (Tesis S2 Universitas Gajah Mada, 2017) hal. 122-123.

9

Ketiga, penelitian Fikri Abdullah.13 Penelitian ini membahas bahwa sampai saat ini DPD RI belum memiliki kedudukan hukum yang amat kuat sehingga berimbas pada tumpulnya peranan DPD RI dalam mengawal legislasi.

Oleh sebab itu, DPD RI mengirimkan beberapa permohonan kepada Mahkamah

Konstitusi mengenai kewenangan dalam proses legislasi, yang kemudian lahirlah putusan Putusan MK 93/PUU/-X/2013. Putusan tersebut sedikitnya mengubah dan memperbaharui sistem ketatanegaraan, dan terlihat mengganti sistem bikameral keparlemenan menjadi sistem triparti, bukan lagi hanya DPR RI dan

DPD RI dalam program legislasi nasional akan tetapi juga Presiden.

Keempat, penelitian Sri Andriyani.14 Penelitian ini membahas secara eksplisit tentang kewenangan legislasi DPD RI pasca berlakunya UU MD3 No. 1

Tahun 2014. DPD RI sudah dapat dikatakan setara dengan DPR dan Presiden dalam hal pengajuan RUU mengenai beberapa sektor di antaranya, otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pengembangan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. Di dalam penelitian tersebut juga dikemukakan bahwa putusan tersebut dianggap inkostitusional karena DPD

RI sendiri tidak diikutsertakan dalam pembahasan serta materiilnya yang bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

13 Fikri Abdullah, “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Legislasi Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah Analisis Putusan MK 93/PUU/-X/203”, (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) hal. 101-102. 14 Sri Andriyani, “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD”, (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015) hal. 63-64.

10

Kelima, penelitian Gusti Ramli.15 Penelitian ini membahas tentang efektifitas peran DPD RI yang dilihat dari hasil keputusan yang telah dicapai sejak awal terbentuk sampai dengan 2009. Kebijakan yang dikeluarkan DPD RI kerap kali buntu dan tidak bermuara pada keputusan yang mengikat sehingga berimplikasi pada kurang tercapainya tujuan DPD RI itu sendiri yaitu memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat pusat. Hal tersebut bersumber pada keterbatasan wewenang yang dimiliki DPD RI yang tertuang dalam UUD

1945. Selain itu, fungsi anggaran dan pengawasan DPD RI juga tidak luput dari keterbatasan sehingga DPD RI sebagai lembaga legislatif tidak mampu berperan untuk mengontrol tindakan lembaga eksekutif dengan kewenangan yang serba terbatas.

Penelitian terdahulu yang mengkaji tentang DPD RI cukup terbilang signifikan. Ada yang memfokuskan pada kedudukan DPD RI di dalam keparlemenan Indonesia dengan mengupas aturan-aturan hukum yang menjadi landasan formil DPD RI dalam memperkuat checks and balances. Terdapat pula yang memfokuskan pada aspek wewenang DPD RI dan juga realitas politik DPD

RI. Akan tetapi dari sekian banyak penelitian yang ada, menurut penulis bidang hukum menjadi bidang yang banyak diteliti dibandingkan bidang politik, dan yang khusus menggali tentang etika politik DPD RI masih cukup sulit dijumpai.

Karenanya, penulis tertarik memfokuskan penelitan pada aspek etika politik DPD

RI dihubungkan dengan kekuasaan.

15 Gusti Ramli, “Efektifitas Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam Demokrasi Indonesia” (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2009) hal. 104.

11

E. Metodologi Penelitian

Penulisan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu yang menggunakan latar alamiyah (natural), dengan tujuan menafsirkan fenomena yang terjadi yang bersangkutan dengan masalah penelitian.16 Pada umumnya, metode ini memiliki tempat khusus dalam penelitian ilmu sosial tanpa sedikit pun mengesampingkan metode kuantitatif. Metode kualitatif ini nantinya penulis fungsikan untuk menggali dan menganalisa data-data yang berkaitan dengan masalah penelitian, dengan alasan dapat mengetahui secara komprehensif mengapa Oesman Sapta Odang terpilih sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019.

Selain itu, penilaian etika politik terhadap pemilihan tersebut.

E. 1. Pendekatan Penelitian Kualitatif

Pendekatan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, yakni dengan menjelaskan kasus yang menjadi topik pembahasan dalam penelitian dan dengan tujuan untuk mendapatkan deskripsi tentang variabel-variabel dalam pokok masalah melalui interprestasi yang berdasarkan konsep dan teori.17

Penelitian deskriptif kualitatif berfungsi untuk menerangkan fenomena- fenomena sosial secara natural, sebagaimana adanya, tidak ada manipulasi, tidak ada paksaan dan bersifat terbuka. Deskripsi data yang ditulis secara rinci dan padat akan menentukan kualitas penelitian itu sendiri. Untuk itu, penulis

16 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007) hal. 5. 17 H. Abdurrahman dan Soejono, Metode Penelitian; Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) hal. 21.

12

melakukan penjaringan data secara lebih kritis pada proses pemilihan ketua DPD

RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang. Data dan fakta tersebut didapat dengan cara melakukan pengamatan terhadap fenomena terjadi, wawancara terhadap responden yang relevan serta dokumentasi.

E. 2. Sumber dan Jenis Data

Peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data sekunder dan primer dalam penelitian ini, dengan tujuan agar mempermudah dalam menganalisis data.

E. 2.1. Data Primer

Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari dengan menggunakan alat ukur tertentu.18 Dalam penelitian ini, penulis mengambil data primer di lapangan melalui proses wawancara mendalam terhadap anggota DPD RI yang ikut serta pada pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang.

Wawancara itu sendiri merupakan bentuk komunikasi timbal balik antara dua orang, di dalamnya terlibat seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang yang dituju, dengan cara melontarkan pertanyaan-pertanyaan secara terstruktur berdasarkan tujuan tertentu.

E. 2.1. Data Sekunder

Adapun data sekunder didefinisikan sebagai data yang diperoleh dari pihak lain secara tidak langsung dari subyek penelitian. Data tersebut diambil melalui

18 Syaifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hal. 91.

13

penelusuran di berbagai tempat,19 yang di dalamnya memuat dokumen tertulis yang berkaitan dengan fokus penelitian seperti halnya jurnal, buku, artikel, serta pemberitaan dari media cetak maupun elektronik yang berkaitan penuh dengan pokok masalah yang akan dibahas.20

E.3. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan obyek terpenting dalam suatu penelitian, karena dengan adanya data penelitian maka dapat ditemukan hasil dari penelitian tersebut. Dalam penelitian ini, data diperoleh dari berbagai sumber yang kemudian dikumpulkan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yakni: wawancara, observasi dan dokumentasi.

E.3.1. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada responden berdasarkan pada paduan wawancara yang disusun secara terstruktur dan detail. Langkah awal yang dilakukan oleh penulis pada teknik ini adalah dengan menentukan informan yang dianggap cukup representatif. Langkah selanjutnya mengklasifikasikan pertanyaan ke dalam dua bagian yaitu khusus dan umum. Menyusun pertanyaan tersebut berurutan dari yang pokok sampai kepada pertanyaan yang bersifat pelengkap. Dan langkah

19 Tempat-tempat yang menjadi sumber literature selama proses pengumpulan data dilakukan yaitu di antaranya: Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan DPR RI dan DPD RI, dan komplek MPR/DPR/DPD/DPRD RI. 20 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) hal. 180.

14

terakhir adalah melontarkan pertanyaan atau melakukan komunikasi dengan responden yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.

Penulis menggunakan teknik purposive sampling dalam melakukan wawancara kepada narasumber terkait demi menemukan data yang sesuai dengan keperluan peneliti. Oleh karena itu, penulis melakukan wawancara dengan Ahmad

Nawardi selaku anggota DPD RI daerah pemilihan Jawa Timur, Gede Pasek

Suardika selaku anggota DPD RI daerah pemilihan Bali sekaligus sebagai wakil ketua umum partai Hanura, dan Asip Irama, yang merupakan salah satu anggota partai Hanura.

E. 3.2. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subyek penelitian melalui buku, jurnal, majalah, surat kabar, internet, dan lain-lain yang di dalamnya memuat data yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian. Penulis membaca dan menelaah literatur sesuai dengan penelitian mengenai DPD RI dan Oesman Sapta Odang, kemudian mengenai dinamika politik pada pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 dan aturan etika yang mengikat di dalamnya, serta menelaah bahan dokumen lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

E.4. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dan dokumentasi. Susunan analisis penelitian ini bersandar pada pedoman umum dengan harapan mendapat hasil

15

yang optimal dan juga dapat disejajarkan sebagai sebuah karya ilmiah yang telah diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis data pada saat pengumpulan data berlangsung dan juga seusai pengumpulan data.

Apabila data yang diperoleh belum cukup memuaskan setelah dianalisi, maka penulis melanjutkan mencari data dan dianalisis kembali sampai data dianggap kredibel dan sesuai dengan kebutuhan.

F. Sistematika Penulisan

Dalam mempermudah memahami isi penelitian, maka penulis memecah skripsi ini menjadi lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-sub bab. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut:

Pada Bab I, penulis fokus menjelaskan alasan penentuan masalah dan dasar-dasar pelaksanaan penelitian. Proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-

2019 diwarnai dengan kericuhan antar anggota DPD RI yang disebabkan oleh pro kontra dasar hukum pemilihan dan status rangkap jabatan ketua DPD RI terpilih,

Oesman Sapta Odang sebagai wakil ketua MPR RI dan ketua partai politik

Hanura. Peristiwa tersebut memicu reaksi negatif publik dan menjadi titik temu antara etika politik dan kekuasaan.

Pada Bab II, penulis menjelaskan secara mandalam teori etika, politik dan etika politik, hal tersebut digunakan untuk membahas mengenai tindakan ketatanegaran anggota DPD RI atau Oesman Sapta Odang berbasis pada nilai- nilai kebaikan dan norma sosial. Bab ini juga menjelaskan tentang teori kekuasaan

16

dengan beberapa konsep untuk meraihnya bersama dengan sumber-sumber kekuasaan, wibawa, kharisma dan wewenang.

Pada Bab III, penulis mengawalinya dengan pembahasan tentang sejarah singkat pembentukkan DPD RI, peraturan-peraturan terkait dengan fungsi, tugas/ wewenang, kinerja dan kode etik. Juga memaparkan pengertian pimpinan dan rekam jejak proses pemilihan pimpinan DPD RI sejak periode 2004-2009 sampai

2014-2019, mencakup aturan dan mekanisme pemilihannya. Bab III, penulis juga menggambarkankan secara umum biografi dan perjalanan politik Oesman Sapta

Odang, termasuk kontroversi-kontroversi yang ia perbuat.

Pada Bab IV, penulis memaparkan hasil penelitian yang diperoleh dari proses pengumpulan data wawancara dan dokumentasi dengan menjelaskan dinamika yang terjadi pada proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019,

Oesman Sapta Odang. Memaparkan secara mendalam keterkaitannya terhadap etika politik berdasarkan pada teori dan kode etik DPD RI. Juga menjelaskan faktor-faktor keterpilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI dengan bersandar pada sumber kekuasaan.

Pada Bab V, penulis memberikan kesimpulan atas pembahasan skripsi mulai dari Bab I sampai Bab IV, bahwa pemilihan ketua DPD RI periode 2017-

2019 adalah legal dan etis, karena sesuai dengan aturan hukum dan kode etik DPD

RI yang mengikat. Juga tidak ada larangan terhadap status rangkap jabatan ketua

DPD RI sebagai wakil ketua MPR RI atau ketua partai politik. Oesman Sapta

Odang memenuhi syarat berkuasa sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019.

17

BAB II

KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL

Fenomena kericuhan yang terjadi pada pemilihan ketua DPD RI peiode

2017-2019 memunculkan reaksi negatif publik terhadap moralitas wakil-wakilnya di parlemen, yang berimbas pada degradasi kepercayaan secara masif. Untuk menganalisa kejadian tersebut, pada Bab II penulis membentuk kerangka dan konsep penelitian dengan menggunakan dua teori utama yaitu teori etika politik dan kekuasaan sebagai pisau analisis. Keduanya kemudian dipertajam dengan teori dimensi etika politik Paul Ricour yaitu tujuan, sarana dan aksi politik untuk mengetahui kualitas etika aktor politik yang bersangkutan, dan juga menggunakan teori sumber-sumber kekuasaan untuk mengkaji syarat bertindak Oesman Sapta

Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019.

A. Teori Etika Politik

A. 1. Definisi Etika Politik

A. 1.1. Etika

Pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019 merupakan dalam rangka menormalisasikan citra positif publik terhadap etika atau moral lembaga DPD RI, yang sebelumnya tercoreng oleh kasus penangkapan ketua DPD RI periode 2014-2017, Irman Gusman sebagai pelaku korupsi kuota gula impor. Pemilihan ini sekaligus sebagai wujud keseriusan DPD RI dalam meningkatkan peran memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Perilaku korupsi yang tidak terpuji itu mengharuskan DPD RI untuk lebih berbenah diri dan meletakkan etika di setiap tindakan anggotanya. Hal tersebut guna

18

menciptakan lembaga negara yang bermartabat, terhormat dan terhindar dari perilaku buruk yang menyimpang.

Secara etimologis, kata etika itu berasal dari bahasa Yunani kuno yakni ethos. Dalam bentuk tunggal diartikan sebagai tempat tinggal yang biasa, rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaaan, sikap dan cara berpikir. Secara jamak, kata ethos berubah menjadi ta etha yang artinya adalah adat kebiasaan. Aristoteles kemudian menjadikan arti tersebut sebagai landasan filsafat moral. Kata etika selalu dihubungkan dengan kata moral. Kata moral itu sendiri secara etimologis memiliki arti yang sama dengan etika yakni kebiasaan, adat. Namun yang membedakan dari keduanya adalah asal bahasa yang digunakan. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno sedangkan moral berasal dari bahasa Latin, mos dalam bentuk tunggal dan mores dalam bentuk jamak.1

Sedangkan secara terminologis, kata etika dapat diartikan menjadi tiga arti dasar yakni: Pertama, etika dalam artian nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur perilakunya terhadap sekitarnya. Misalnya, etika agama Budha, etika Protestan, dan etika suku

Indian. Hal tersebut sama dimaknai dengan nilai atau norma dalam beragama/ bersuku. Kedua, etika diartiakan sebagai kumpulan asas atau nilai moral atau yang disebut juga dengan kode etik, seperti kode etik rumah sakit, kode etik perguruan tinggi, ataupun kode etik lembaga politik negara. Ketiga, etika berarti ilmu yang tentang baik atau buruk. Sebagai ilmu, etika mencari keterangan (benar) sedalam-

1 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1993) hal. 4.

19

dalamnya. Ia mencari ukuran mana yang susila itu, artinya tindakan manusia manakah yang baik. Hal ini ada yang menyebutnya dengan filsafat kesusilaan. 2

Dalam uraian K. Bertens sebelumnya, makna etika berisikan tentang alasan-alasan mengenai moralitas, sedangkan moral itu sendiri merupakan ajaran- ajaran suatu nilai, keduanya memiliki arti yang sedikit berbeda. Etika lebih mengarah pada hal-hal yang berbau aturan tentang baik atau buruknya perilaku seseorang atau kelompok terhadap realitas kehidupan yang ada. Atau dapat dikatakan juga etika adalah cara untuk mengetahui begaimana seseorang seharusnya bertindak. Etika sebagai cabang ilmu filsafat yang kritis dan sistematis merefleksikan masalah-masalah moral, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang menentukan baik-buruknya perilaku manusia, atau prinsip-prinsip yang mendasari benar-salahnya tindakan manusia sebagai manusia.3

Nilai buruk suatu hal dapat diukur dari seberapa baiknya hal tersebut.

Sama seperti memahami kata indah dan jelek atau sehat dan sakit. Sesuatu akan dikatakan jelek apabila ia tidak mencerminkan nilai keindahan di dalamnya. Maka jika sesuatu tindakan baik maka etislah tindakan itu dan apabila tindakan itu buruk maka tidak etislah itu.4 Para filusuf seperti Aristoteles, Spencer, Hume dan

Thomas Aquinas turut memberikan pandangannya tentang arti kata baik. Bagi

Aristoteles baik itu adalah apa yang mengembangkan manusia. Spencer

2 Ibid., hal. 6. 3 Sudarminta, Nilai-nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992) hal. 12. 4 Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah laku, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) hal. 37-38.

20

memandang baik sebagai apa yang searah dengan evolusi. Menurut Hume, baik adalah apa yang diinginkan dan menurut Thomas Aquinas yang baik adalah apa yang ada dalam hukum kodrat.

Terlepas dari pada itu semua,tokoh lain yang bersebrangan pandangan dari pada sekian tokoh tersebut adalah Goorge Edward Moore. Ia berpandangan bahwa apa yang telah diutarakan oleh filusuf tersebut tentang arti kata baik adalah kekeliruan, baginya kata baik tidak dapat didefiniskan karena baik tidak terdiri atas bagian-bagian yang membentuk kata baik. Bagian-bagian yang membentuk tersebut misalnya definisi kuda. Kuda adalah hewan besar, mamiliki empat kaki, kepala terangkat, memiliki buntut, dapat berlari cepat, dan lain sebagainya.

Bagian-bagian yang disebutkan tadi sama dengan kuda akan tetapi apabila dikombinasikan maka akan menghasilkan kuda.5

Etika hadir untuk mencari ukuran baik, buruk atau jahat. Namun bagi

Moore etika bukan lah hal yang selalu berkaitan dengan baik ataupun buruk.

Pengertian itu hanya akan menjebak pada pengertian keadaan fisik, pisikis dan metafisik yang dipengaruhi oleh penalaran seseorang terhadap agama atau adat tertentu. Menurutnya etika merupakan suatu hal yang sifatnya primer (simple) dan bukan terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang membentuk dirinya dan oleh karenanya etika tidak dapat dianalisa.6

5 Franz Magnis-Suseno, Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-26, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000) hal. 21. 6 Ibid., hal. 20.

21

A. 1.2. Politik

DPD RI sebagai lembaga politik negara, terkandung di dalamnya konsep- konsep politik yang berkaitan satu sama lain, seperti kekuasaan, kepentingan, kebijakan dan lain sebagainya. Dalam kasus pemilihan ketua DPD RI periode

2017-2019, lembaga tersebut memperlihatkan bagaimana kekuasaan diperebutkan dalam pentas politik melalui praktik-praktik yang beberapa kali menimbulkan konflik kepentingan dan juga kekerasan.

Term Politik itu sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno yakni politicos atau dalam bahasa Latin yaitu politicus yang artinya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat. Satu pendapat bahwa politicos/politicus berakar kata polis yang sering digunakan dalam mengistilahkan negara kota.7 Politik berarti suatu tindakan yang dilakukan oleh masyarakat kota dalam suatu sistem politik yang disebut dengan negara. Politik dengan negara sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya membicarakan politik sama halnya membicarakan negara.

Politik adalah segala usaha masyarakat untuk mengatur negara menyangkut sistem partai, sistem pembagian kekuasaan, sistem pembagian daerah dan sebagainya.8 Politik itu segala hal mengenai kekuasaan, dan bagaimana memupuk dan mempertahankan kekuasan itu. Pelaku dalam politik itu disebut politikus, politikus haruslah cerdik dan bijaksana dalam berperilaku dan

7 Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007) hal. 4. 8 AI. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990) hal. 77.

22

menjalankan tujuan-tujuanya. Kebohongan terkadang menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara menyembunyikan kesalahan, dan ini sebagai bukti kecerdikan yang tak dapat dibantah.

Di samping definisi-definisi politik yang dipaparkan sebelumnya yang bersifat normatif dan pragmatis karena ditinjau dari satu unsur politik tertentu,

Miriam Budiardjo menarik kesimpulan bahwa politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan hidup yang sesuai dan dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, dengan tujuan membawa kehidupan masyarakat ke arah yang lebih harmonis dan berkeadilan. Sedikitnya terdapat lima konsep- konsep pokok yang dapat digunakan untuk menganalisa istilah politik itu sendiri.

Konsep-konsep pokok tersebut adalah konsep kenegaraan (state), kekuasaan

(power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid) dan yang terakhir, pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).9

A. 1.3. Etika Politik

Etika politik adalah pola tingkah laku ketatanegaraan seseorang atau penguasa dalam hidup bernegara. Dilihat dari wilayah etika terapan, etika politik tergolong ke dalam etika terapan yang menyangkut pada masalah-masalah profesi atau yang disebut juga sebagai professional manusia. Ia membahas dari segi pekerjaan misalnya profesi sebagai politisi seperti anggota MPR RI, DPR RI,

DPD RI dan lain sebagainnya. Contoh lain dari pada etika terapan profesi itu sendiri seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika guru. kesemua etika tersebut

9 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2014) hal. 14-17.

23

mendapat banyak sekali perhatian dari publik kerena perkembangannya yang cukup signifikan.10

Etika dan politik merupakan dua bidang yang berbeda satu sama lain.

Menurut Machiavelli yang dikutip oleh Franz Magnis-Suseno11 bahwa etika atau norma-norma moral sering kali tidak berlakukan pada tempatnya dalam urusan politik. Melainkan keberhasilan dan pencapaian yang menjadi perhitungannya.

Machiavelli hanya mengenal kaidah etika politik, bahwa yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja. Dan apa yang melayani tujuan itu maka harus dibenarkan. Tidak ada manfaatnya mempersoalkan legitimasi moral kekuasaan. Yang menentukan ialah teknik merebut dan mempertahankannya tidak terpenting itu brutal, licik atau tidak beretika.12 Hal tersebut inilah yang mungkin tergambarkan pada pemilihan ketua DPD RI 2017.

Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, maka setiap anggota DPD RI terikat dengan etika politik atau etika profesi. Kericuhan yang terjadi pada pemilihan ketua dan wakil ketua DPD RI periode 2017-2019 yang diakibatkan oleh ketidaksepahaman dasar hukum, menjadi hal yang harus dipertanggungjawabkan secara moral oleh setiap anggota DPD RI, tidak terkecuali Oesman Sapta Odang dengan status rangkap jabatannya.

Moralitas dalam politik dipengaruhi oleh sistem politik dan kultur politik yang berkembang. Sistem politik yang selalu memberikan ruang bagi terjadinya perilaku korup, kolusi, nepotisme akan mempengaruhi perilaku seorang politisi.

10 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Grajafindo Persada, 2006) hal. 676. 11 Franz Magnis-Suseno, Kuasa & Moral, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000) hal. 8. 12 Magnis-Suseno, Kuasa & Moral, hal. 8.

24

Baik politisi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan sampai kepada pejabat-pejabat tingkat desa. Perlunya etika dalam kehidupan berpolitik untuk memberikan kontrol sosial yang lebih ketat dalam proses pembentukan karakter seorang pemimpin yang moralis. Budaya menyingkirkan etika dalam politik adalah budaya yang dapat menimbulkan kekuasaan yang despotik yang sarat akan kekerasan. Tidak ada pilihan lain untuk melawan budaya tersebut kecuali dengan nilai-nilai moral yang menanamkan rasa saling menghormati antar sesama manusia.13

A. 2. Dimensi Etika Politik

Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa etika politik merupakan masalah perilaku politikus yang berhubungan dengan ketatanegaraan. Pada hakikatnya, etika politik juga mencakup hal-hal yang berhubungan dengan praktik institusi politik, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, dan ekonomi. Proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 termasuk ke dalam dua hal tersebut, yang melibatkan perilaku Oesman Sapta Odang, anggota DPD RI dan praktik lembaga negara DPD RI, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.14

Sebelum melihat dimensi etika politik lebih jauh, perlu dipahami bahwa etika politik dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu aspek individual yang membahas masalah kualitas moral manusia sebagai individu, terhadap dirinya sendiri, terhadap tuhan dan juga terhadap sosial. Dan etika sosial yang membahas masalah norma-norma moral antar sesama manusia dalam tatanan sosial, hukum,

13 Pahmi Sy. Politik Pencitraan, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010) hal. 184. 14 Franz Magnis-Soseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1987) hal. 13.

25

dan juga institusi karena pada kenyataanya setiap manusia merupakan makhluk sosial.15

Setelah mengetahui aspek etika politik maka hal penting selanjutnya yang perlu diketahui adalah dimensi-dimensi etika politik. Terdapat tiga dimensi dalam etika politik, ketiganya adalah pertama, tujuan politik; kedua sarana yang memungkinkan pencapaian tujuan, dan yang ketiga; aksi politik sebagai penentu kualitas moral pelaku.16 Sejauh ini ketiga dimensi tersebut memiliki kekhasan tersendiri dalam menunjukan etika politik manusia terhadap manusia dan juga manusia terhadap sosial secara efektif.

Dimensi yang pertama, tujuan politik, berakar pada konsep kesejahteraan dan kedamaian hidup masyarakat yang didasari oleh kebebasan dan keadilan sosial. Refleksifitasnya adalah melalui upaya penerapan kebijakan umum dalam manajemen publik. Ketegasan dalam tujuan politik yang terangkum dalam kebijakan publik akan menunjukkan kualitas etika pelaku. Dimensinya terletak pada keterampilannya dalam membuat kebijakan umum yang terukur dan akuntabilitasnya. Dalam konteks pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, dimensi tersebut dapat dilihat dari tujuan majunya Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019 ditambah dengan kebijakan yang ia dikeluarkan semenjak terpilih sebagai ketua DPD RI.

Dimensi etika politik yang kedua, sarana yang memungkinkan tercapainya tujuan politik. Di dalam dimensi ini terumuskan sistem dan prinsip-prinsip dasar

15 Franz Magnis-Soseno, Etika Politik, hal. 13. 16 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2014) hal. 33.

26

praktik penyelenggaraan bagi institusi sosial. Dimensi sarana ini mengandung dua pola normatif yang disertai sanksi. Pertama, tatanan politik seperti hukum dan institusi yang dituntut mengedepankan prinsip solidaritas dan ditata secara politik menurut prinsip keadilan agar tujuan politik yang dibawa tercapai sesuai dengan koridor etis. Poin moral pada ini terletak pada peran etika dalam menguji dan mengkritisi legitimasi keputusan-keputusan, institusi-institusi dan praktik-praktik politik. Apabila dihubungkan dengan kasus penelitian, dimensi etika politik tersebut tergambar dalam kode etik lembaga DPD RI yang menjadi kritik atas praktik-praktik kekuasaan politik.

Tahapan selanjutnya yang menjadi dimensi etika politik ketiga ialah aksi politik. Pada dimensi ini etika identik dengan tindakan rasional yang bermakna.

Politikus memegang peran sentral sebagai sosok yang menentukan rasionalitas politik yang diantaranya adalah tindakan dan kualitas moral pelaku. Tindakan dapat dikatakan rasional apabila pelaku memahami inti permasalahan yang ada, pemahaman itulah yang nantinya menentukan kualitas moral pelaku. Dalam konteks pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, seluruh anggota DPD RI menjadi subjek kualitas moral itu sendiri.17

A. 3. Urgensi Etika Politik dalam Lembaga Politik

DPD RI merupakan bagian dari lembaga negara yang berkedudukan sebagai perwakilan daerah di Indonesia. Para politisi yang berprofesi sebagai anggota ataupun ketua DPD RI pastinya terikat dengan kode etik profesi, dalam

17 Ibid., hal. 35-37.

27

hal tersebut ialah kode etik DPD RI. Bukan hanya DPD RI saja yang terikat dengan kode etik, melainkan lembaga negara lainnya juga memiliki kode etik masing-masing yang mengatur tingkah laku dalam menjalankan profesinya.

Seperti halnya kode etik DPR, kode etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kode etik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kode etik lembaga lainnya.18

Kode etik merupakan wujud dari etika itu sendiri yang di dalamnya terdapat aturan atau norma-norma dalam menjalankan profesi tertentu demi menjaga martabat dan kehormatan dari pandangan buruk publik. Keberadaannya dianggap penting untuk mengatur etika melalui ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Dalam lembaga politik, kode etik tersebut berarti menyangkut tentang etika seseorang atau kelompok dalam berlembaga politik. Di dalam Lembaga DPD RI, Badan kehormatan adalah badan yang dibentuk untuk menegakkan kode etik tersebut dan merupakan alat kelengkapan DPD RI yang sifatnya tetap.

Kebutuhan akan adanya kompas yang mengarahkan lembaga politik negeri ke arah yang lebih bermoral sudah tidak dapat dibantahkan lagi, dan kompas tersebut berupa kode etik. Meskipun pada dasarnya sudah diatur di dalam undang- undang tentang Tata Tertib suatu lembaga, kode etik tetaplah diperlukan di setiap internal lembaga politik. Fungsinya untuk mencegah terjadinya kesalahan praktik politik dan mencegah terjadinya konflik internal. Kedua fungsi ini menuntun lembaga politik ke arah yang lebih bermoral dan lebih professional.

18 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hal. 683.

28

Di tingkat atas, elit-elit politik semakin sensitif dan mudah terbawa emosi akibat orientasi kekuasaan yang begitu dominan dibandingkan tanggungjawab dalam ranah publik. Etika dan logika politik elit seolah telah mati terbawa arus kekuasaan, oleh karenanya, para elit yang bertengger di lembaga-lembaga politik perlu diawasi perilaku politiknya agar lebih bertanggungjawab pada tugasnya serta terhindar dari penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi pada runtuhnya martabat dan kehormatannya sendiri. Untuk itu maka badan kehormatan selaku penegak kode etik perlu bersifat proaktif dan sensitif terhadap tindakan yang diduga menyimpang dari kode etik. Dengan ditegakkannya kode etik, maka kepercayaan publik pun akan meningkat dan memberikan citra positif terhadap lembaga politik.

B. Kekuasaan dalam Politik

B. 1. Definisi Kekuasaan

Lembaga DPD RI merupakan wujud dari pada konsep Trias Politika yang membagi kekuasaan dalam negara menjadi tiga bagian, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebagai lembaga legislatif. DPD RI memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan dan keseimbangan dengan cara membuat peraturan dan juga undang-undang. Peran tersebut dilaksanakan bersama-sama oleh DPR RI di dalam parlemen di bawah naungan MPR RI.19

Kekuasaan itu sendiri merupakan suatu istilah yang bersumber pada kata kuasa. Kata kuasa memiliki arti sebagai kemampuan atau kesanggupan;

19 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014) hal. 281.

29

kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (mewakili, memerintah, mengurus dan sebagainya); orang yang diberi wewenang untuk mengurus, mampu, sanggup, kuat; berpengaruh (yang ada pada diri seseorang karena jabatanya). Dari definisi singkat tersebut istilah kekuasaan dapat disimpulkan menjadi empat arti, yakni: kemampuan, kewenangan, pengaruh dan otoritas.20

Sementara secara realitas kekuasaan adalah suatu fenomena misterius yang tidak dapat diukur, ditimbang, ataupun dilihat melaui pancaindera.21

Selain dari pada itu, ilmuwan lain pun memiliki pandangan sendiri mengenai arti kekuasaan. Miriam Budiardjo memandang kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dan tujuan pelaku kekuasaan.22 Hal serupa diungkapkan Muh. Kusnardi dari Mac Iver23, ia merumuskan kekuasaan sebagai the capacity to control the behavior of others either directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means atau dalam bahasa

Indonesia adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.

Filusuf Italia yang pemikirannya sangat identik dengan kekuasaan,

Machiavelli, mendefinisikan kekuasaan ke arah yang lebih kontroversial yaitu kekuasaan sebagai lawan dari moralitas, dipisahkannya kekuasaan dari moralitas

20 Teguh Arafah, Terma Kekuasaan Dalam Al Qur’an, (Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2016) hal. 69. 21 Koespartono, Kekuasaan, (Jakarta: Erlangga, 1987) hal. 1. 22 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977) hal. 35. 23 Muh. Kusnardi, Ilmu Negara, (Jakarta: Media Pratama, 2000) hal. 116.

30

karena demi mencapai tujuan etis yakni menstabilkan negara. Menghalalkan segala cara hanya diperuntukan demi kesejahteraan negara.24 Seseorang dalam berhadapan dengan kekuasaan terkadang perlu melakukan tindakan yang tidak terpuji, khianat, kikir, bengis, dengan alasan kebaikan untuk kekuasaanya. Oleh karnanya, dalam mencapai tujuan yang baik, cara apapun dapat digunakan termasuk cara keji yang berbenturan dengan moral.

Sedangkan menurut pakar sosiolog modern, Soryono Sukanto mengutip dari pernyataan Max Weber, ia mengartikan kekuasaan sebagai kesempatan dari seseorang atau kelompok untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkan terhadap tindakan- tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu. Dari sekian banyak bentuk dan definisi kekuasaan yang dipaparkan oleh para tokoh tersbut, di sisi lain ada yang menjadikan kekuasaan sebagai konsep untuk mengatur dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik, dan hal tersebut dinamakan dengan kekuasaan politik.25

Kekuasaan politik adalah bagian dari kekuasaan sosial yang fokusnya pada pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang administratif (eksekutif), legislatif, dan yudikatif.

Dalam tulisannya, Miriam Budiardjo memecah kekuasaan politik menjadi dua macam yakni: Pertama, kekuasaan politik yang terwujud dalam negara (kekuasaan negara) seperti lembaga-lembaga pemerintahan Majelis Permusyawaratan Rakyat

24 Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, ( Jakarta: Gramedia, 1987) hal. 39. 25 Arafah, Terma Kekuasaan Dalam Al Qur’an, hal. 72-73.

31

(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), presiden dan lain-lain. Kedua, kekuasaan politik yang ditujukan kepada negara seperti partai politik, organisasi masyarakat berdasarkan agama, ekonomi yang kesemuanya itu dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan di suatu negara.26

Jika melihat definisi kekuasaan tersebut, maka pemilihan ketua DPD RI merupakan bagian dari kontestasi politik yang memperbutkan kekuasaan tertinggi

DPD RI.

B. 2. Konsep Meraih Kekuasaan

Dalam ilmu politik, kekuasaan bagaikan akar dalam pohon. Kekuasaan merupakan pondasi awal dalam menjalankan sistem politik itu sendiri. Di era modern dikenal beberapa pemikir barat yang memberikan sumbangan pemikiran terhadap kekuasaan seperti Hobbes, Machiavelli dan Karl Max. Hobbes dan

Machiavelli lebih memfokuskan pada aspek jasmani. Menurut Hobbes kekuatan fisiklah yang menentukan seseorang dapat meraih kekuasaan. Siapa yang lebih kuat dalam pertarungan maka ialah yang menang dan menjadi penguasa.

Cara kebinatangan ini sesuai dengan konsep homo homini lupus atau manusia sebagai serigala terhadap manusia lainnya. Mereka akan saling bertikai melawan satu sama lain (bellum omnium contra omnes). Pertarungan sesama manusia dalam berebut kekuasasan ini diperhebat oleh tiga faktor: Pertama, sifat alamiah manusia untuk meraih kebahagiaan tertinggi, Kedua. Kesetaraan manusia, dan Ketiga, agama. Menurut Hobbes, pertarungan sesama manusia adalah suatu

26 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2004) hal. 38.

32

hal yang wajar, karena pada hakikatnya setiap manusia memiliki sifat kebinatangan yang terpendam diri dan seketika dapat timbul diakibatkan kekuasaan.27

Sama seperti Hobbes, Machiavelli menjadikan fisik sebagai tumpuan kekuasaan. Seorang penguasa haruslah memiliki fisik yang kuat dan memiliki pengetahuan tentang yang dikuasai. Ia dapat mempergunakan segala alat yang memberikan keuntungan pada dirinya, bila perlu alat yang digunakan bertentangan dengan moral kemanusiaan. Sebagaimana sebelumnya, Machiavelli mengasumsikan bahwa kekuasaan dapat diperoleh dengan menghalakan segala cara atas tujuan kebaikan bersama. Dan pada akhirnya asumsi ini yang menjadi kritikan para pemikir barat lainnya.28

Tindakan menghalalkan segala cara yang dipercayai oleh Machiavelli sebagai jurus jitu memperoleh, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan sangat bersebrangan sekali dengan semangat penegakan moralitas. Terdapat beberapa alasan mendasar yang dapat membuat tindakan menghalalkan segala cara itu dapat diterima dari sudut pandang moralitas atau etika politik. Pertama, tujuan yang baik. Kedua, tindakan tersebut berakibat pada kebaikan bukan pada kejelekan, walaupun terdapat sedikit kejelakan akan tetapi kejelekan tersebut dapat ditolerir. Ketiga, alasan yang proporsional dalam menentukan sebab akibatnya. Keempat, keseimbangan antara dua akibat yang ada. Jikalau akibat baik lebih besar maka tidak melawan moralitas dan sebaliknya, apabila akibat

27 Muh. Kusnardi, Ilmu Negara, hal. 64-65. 28 Ibid., hal. 65.

33

yang dihasilkannya adalah kejelekan maka hal tersebut melawan moralitas dan melanggar etika.29

Peristiwa pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 dapat dikategorikan sebagai implementasi konsep Thomas Hobbes tersebut. Dengan membuat aturan hukum baru sebagai landasan mengganti pimpinan DPD RI yang lama dengan yang baru. Selain itu, dari segi ekonomi pun menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi Oesman Sapta Odang mudah meraih kekuasaan.

Karl Marx adalah seorang filsuf yang melihat kekuasaan politik dari segi ekonomi tersebut. Menurutnya golongan masyarakat dengan kelas ekonomi kuat akan mudah meraih kekuasaan dibandingkan dengan kelas ekonomi bawah, karena mereka mempunyai alat produksi. Oleh sebab itu, ia hadir untuk menentang hal tersebut melalui konsep kesamarataan kekuasaan (penghapusan kelas dalam masyarakat).30 Akan tetapi menurut Magnis31, pemikiran Marx sangatlah utopis dan tidak logis. Marx tidak memiliki wawasaan lebih akan negara sebagai kekuatan primer. Sebab, ia menjadikan kekuasaan politik hanya menjadi kekuasaan ekonomis saja.

B. 3. Hakikat dan Sumber Kekuasaan

Ketika zaman romawi kuno sumber kekuasaan itu selalu identik dengan perwujudan para dewa atau roh nenek moyang yang kental dengan kesaktian dan keluhurannya, berbeda pada masa kini yang menjadi sumber utama kekuasaan dan

29 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, hal. 119-120. 30 Kusnardi, Ilmu Negara, hal. 66. 31 Franz Magnis-Soseno, Etika Politik, hal. 272.

34

wewenang kepemimpinan tersebut terletak pada warga masyarakat itu sendiri.

Sejauh mana masyarakat memberikan kepercayaan sepenuhnya terhadap pemimpin yang menurutnya layak mengatur kehidupan pribadi maupun kelompok.

Kepercayaan tersebut berbentuk dukungan yang bersifat absah melalui prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan oleh undang-undang, karena hukum merupakan landasan wewenang kekuasaan dan juga sebagai salah satu komponen terpenting dalam kekuasaan. Seseorang yang hendak berkuasa sejatinya selalu mengedepankan komponen-komponen dalam kekuasaan atau istilah lainnya ialah syarat-syarat untuk menjadi penguasa. Komponen tersebut terdiri dari pertama, wibawa; Kedua wewenang; Ketiga, Kharisma. Komponen- komponen tersebut sama pentingnya dan saling menyelaraskan satu sama lain.32

Ketiga kompenen tersbut nanti akan menjadi parameter penulis untuk mengkaji faktor keterpilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-

2019.

Kewibawaan seseorang tergantung pada tingkat popularitas yang dimilikinya. Dan popularitas itu sendiri merupakan kapasitas, keahlian, dan keterampilan seseorang dalam memecahkan beragam masalah yang berkaitan dengan apa yang akan ia kuasai pada umumnya. Dan juga karena ia memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan-keyakinan yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakatnya. Komponen yang tidak kalah pentingnya

32 Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hal. 138.

35

juga adalah Kharisma. Komponen kharisma ini pada dasarnya berupa garis keturunan para raja (penguasa terdahulu) yang oleh sebagian orang masih menyakini akan adanya sifat-sifat spiritual yang terdapat dalam diri seseorang.

Meskipun pada saat ini, realitasnya komponen kharisma tersebut semakin pudar dimakan oleh arus modernisasi. Lepas dari pada itu semua, seorang penguasa juga tidak boleh mengabaikan kemampuan lainnya. Dalam hal ini kemampuan tersebut berupa kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik, dan untuk mengorganisasi orang banyak dengan mengadakan sanksi.33

Jika ingin merebut kekuasaan di dalam suatu negara, maka langkah yang mutlak diperhatikan ialah menentukan berat penderitaan yang anggap perlu dibebankan pada rakyat. Dan apabila kekuasaan telah digapai, maka cara mempertahankannya dengan adalah dengan memusnahkannya sama sekali dengan membumihanguskan negara dan memberantas seluruh keluarga penguasa yang lama. Tujuannya agar tidak ada lagi benih-benih pemberontakan. Cara kedua adalah dengan melakukan kolonisasi besar-besaran dengan menempatkan pasukan di wilayah koloni serta menjalin hubungan yang baik dengan negara-negara tetangga.34

C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan

Etika dan politik memang merupakan suatu bidang yang berbeda.

Keduanya memiliki wilayah masing-masing dalam keilmuwan. Akan tetapi etika

33 Ibid., hal. 139-140. 34 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004) hal. 133.

36

digunakan sebagai pembatasan perilaku para penguasa untuk bertindak secara baik dengan tujuan memberikan pendidikan politik yang sehat antara penguasa dan yang dikuasai (rakyat), dengan penguasa yang menjadi teladan dalam mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.

Etika mengandung nilai-nilai positif di dalamnya yang akan membawa setiap pengikutnya pada rasa hormat yang tinggi. Dalam masyarakat modern sekarang ini, rasa malu tersebut perlahan memudar akibat demitologisasi agama, atau orang manyingkap apa yang tak dapat disingkap. Pudarnya rasa malu beriringan dengan pudarnya rasa bersalah atau kesadaran akan kesalahan. Hal yang semacam ini terjadi dalam banyak bidang kehidupan dan termasuk ke dalam bidang politik.35

Hubungan antara etika dan kekuasaan cukup beragam, tergantung pada kosep kekuasaan yang kita lihat. Hubungan tersebut dapat berupa konflik dan juga dialog. Perspektif Hobbes menggolongkan hubungan tersebut ke dalam dialog.

Perspektif ini menuntut setiap tindak kekuasaan dengan pengawasan moral. Yang pada akhirnya akan menarik dukungan suara atau persetujuan dari sekian banyak anggota masyarakat, maka dengan kata lain inilah yang dinamakan dengan legitimasi etis. Sedangkan Machiavelli menafsirkan hubungan etika dengan kekuasaan tersebut dengan konflik. Tokoh yang satu ini tidak terlalu mempersoalkan moralitas pada kekuasaan politik. karena menurutnya, kekuasaan

/ politik tidak semestinya ditempuh dengan cara-cara beretika. Pandangannya ini

35 Eddy Kristiyanto, Etika Politik dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit kanisius, 2001) hal. 211.

37

merupakan sebuah pembelaan terhadap emansipasi politik, yang artinya kekuasaan sudah selayaknya dipisahkan dari bayang-bayang moral dan juga teologi. Oleh karena itu, kekuasaan yang diperoleh dengan melegalkan segala cara menimbulkan konflik antar manusia, seperti kekerasan, terorisme, radikalisme dan lain sebagainya.36

36 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, hal. 265-267.

38

BAB III

GAMBARAN UMUM DPD RI DAN OESMAN SAPTA ODANG

Setelah menjelaskan tentang teori etika politik dan kekuasaan pada bab sebelumnya. Pada Bab III, penulis menjelaskan secara mendalam gambaran umum DPD RI dan Oesman Sapta Odang. Bahasan ini diawali dengan penjelasan sejarah pembentukan DPD RI sejak awal masa Reformasi hingga periode 2017-

2019, yang dilengkapi dengan visi misi dan fungsi, tugas dan wewenang. Bab ini juga membahas kode etik DPD RI yang menjadi standar aturan moral DPD RI.

Juga membahas secara singkat tapak langkah Oesman Sapta Odang sejak menjadi pengusaha hingga menjadi politisi.

A. DPD RI dalam Semangat Demokrasi Indonesia

A. 1. Sejarah Pembentukan DPD RI

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) merupakan lembaga negara yang baru lahir di awal masa Reformasi melalui persetujuan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ketiga yang bertepatan pada 9 November

2001. Sesuai dengan namanya, DPD RI didesain untuk mewakilkan kepentingan- kepentingan daerah bukan kepentingan-kepentingan rakyat, karena hal itu telah diwakili secara konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

DPD RI itu sendiri dibentuk dalam rangka mengubah sistem keparlemenan

Indonesia menjadi dua kamar (bicameralism), dengan alasan demi membangun mekanisme check and balances yang efektif dan demi memberikan wadah terhadap kepentingan daerah yang tidak cukup terwakili oleh satu lembaga

39

parlemen (DPR RI).1 Berkaca dengan keterangan itu, maka secara garis besar pembentukan DPD RI dapat dikatakan sesuai dengan kebutuhan keparlemenan

Indonesia. Karena sejalur dengan konsentrasi pembangunan negara yang bukan hanya bertumpu pada kepentingan rakyat melainkan juga pada kepentingan daerah.

Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia lembaga yang mewakili daerah seperti DPD RI pun pernah bersinar pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS).

Ia memiliki kedudukan yang sejajar dengan DPR RI, dan keanggotaannya mempresentasikan wakil dari tiap-tiap negara bagian. Akan tetapi, lembaga ini hilang seiring dengan berlakunya UUDS 1950 sampai dibentuknya MPRS setelah

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.2

Di awal era Reformasi, cita-cita membentuk badan legislasi teritori kembali tumbuh sebagai respon positif terhadap sistem politik Indonesia yang terlalu sentralistik di eral sebelumnya. Melalui semangat persatuan dan kesatuan, lembaga yang mewakili daerah itu resmi terbentuk pada 2001 dengan tugas dan wewenang yang masih terbatas. Dalam kaitannya dengan fungsi legislatif, DPD

RI hanya memberikan pertimbangan terhadap DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang sesungguhnya. Atas dibentuknya DPD RI, maka lembaga parlemen di Indonesia saat ini terdiri dari tiga bagian: Pertama, Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR). Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketiga, Dewan

1 A.M. Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan NKRI, (Jakarta: The Fatwa Center, 2016) hal.. 3. 2 BPKK DPD RI, Deskripsi Perjuangan DPD RI: Menuju Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Sekjen DPD RI, 2016) hal. 7.

40

Perwakilan Daerah (DPD). MPR sebagai induk keparlemenan Indonesia, dengan

DPR sebagai lembaga yang merepresentasikan kepentingan rakyat dan DPD RI sebagai lembaga yang merepresentasikan kepentingan daerah.

Rangkaian ide-ide yang memprakarsai terbentuknya DPD RI ini tidak dapat dilepaskan pada apa yang telah digambarkan sebelumnya di Amerika

Serikat, yang terdiri dari Senate (senat) sebagai perwakilan dari negara bagian dan

House of Representatives sebagai perwakilan dari seluruh rakyat (DPR). Di

Inggris disebut juga dengan House of Lord (Dewan para bangsawan yang memiliki setiap wilayah kerajaan, karena Inggris merupakan negara yang sampai saat ini masih melestarikan elemen-elemen kerajaan dalam negara. Di Malaysia

Lembaga Senat dikenal dengan istilah Dewan Negara sedangkan di Belanda dikenal dengan sebutan Este Kamer, dan masih banyak lagi istilah senat di negara lain.3

Ide pembentukan DPD RI berangkat dari keinginan untuk meningkatkan keikutsertaan daerah pada jalannya politik dan pengelolaan negara. kepentingan daerah yang sebelumnya sedikit mendapat perhatian dari pemerintah pusat, kini dapat disalurkan melalui lembaga yang berfungsi khusus merepresentasikan kepentingan daerah. Keberadaan DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dilepaskan dari pelembagaan fungsi representasi. Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi tersebut, sekurang-kurangnya terdapat tiga sistem perwakilan yang diterapkan oleh berbagai macam negara yang menganut

3 A.M. Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan NKRI, hal. 3.

41

sistem politik demokrasi yaitu; Pertama, sistem perwakilan politik (political representative), Kedua, sistem perwakilan teritorial (territorial representative),

Ketiga, sistem perwakilan fungsional (fungsional representative). Dari ketiga sistem tersebut maka penulis berpandangan bahwa apa yang diterapkan pada DPD

RI merupakan wujud dari sistem perwakilan teritorial (territorial representative).4

A. 2. DPD RI dalam Bingkai Masa Depan Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) didirikan bukan tanpa sebab, DPD RI didirikan dengan alasan dan tujuan tertentu yang berdampak baik bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). DPD RI juga memiliki visi dan misi yang tajam, yang membatu mewujudkan tujuan dan cita-cita

Indonesia di masa depan. Visi DPD RI tersebut adalah menjadikan Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai lembaga perwakilan yang mampu secara optimal dan akuntabel memperjuangkan aspirasi daerah untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.5

Sedangkan misi DPD RI adalah pertama, memperkuat DPD RI melalui amandemen UUD 1945. Kedua, mengoptimalkan pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran sesuai kewenangan yang ditetapkan oleh UUD

1945 dan undang-undang. Ketiga, memperkuat kapasitas pelaksanaan fungsi representasi yang mencakup penampungan dan penindaklanjutan aspirasi daerah

4 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, 2006) hal. 39-44. 5 BPKK DPD RI, Deskripsi Perjuangan DPD RI: Menuju Amandemen UUD 1945, hal. 13.

42

dan pengaduan masyarakat serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang kelembagaan DPD RI dalam rangka akuntabilitas publik. Keempat, meningkatkan hubungan dan kerja sama dengan lambaga-lembaga negara/ pemerintah di dalam negeri dan lembaga perwakilan negara-negara sahabat termasuk masyarakat parlemen internasional. Kelima dan yang terakhir, meningkatkan kinerja dan kapasitas kelembagaan baik yang menyangkut tampilan perorangan para anggota

DPD RI maupun pelaksanaan fungsi kesektariatan jendral termasuk tunjangan fungsional/ keahlian.6

A. 3. DPD RI: Keterbatasan Fungsi, Tugas, dan Wewenang

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki fungsi dan wewenang yang sangat berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun keduanya sama-sama bagian dari lembaga legislatif Indonesia. Jika DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan seperti yang tertulis pada pasal 20A ayat (1)

UUD 1945. Maka terhadap ketiga fungsi yang dimaksud, DPD RI hanya memilikinya secara terbatas.

Seperti yang diatur pada pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) dan pasal 23F

Ayat (1) UUD 1945, DPD RI hanya dapat menyusun dan mengajukan Rancangan

Undang-Undang (RUU) tertentu kepada DPR yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan pusat dan daerah. Setelah mengajukan RUU kepada

6 Ibid., hal. 17.

43

DPR RI, kemudian DPD RI dapat ikut membahas RUU tersebut. DPD RI juga dapat memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama dan RAPBN. DPD RI dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR. Dan terakhir, DPD RI dapat memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan Anggota BPK.7

Dengan apa yang diatur pada pasal 22D dan 23F UUD 1945, terlihat jelas bahwa DPD RI hanya dibekali tugas dan wewenang yang terbilang sempit jika dibandingkan dengan DPR yang tugas dan wewenangnya sudah sampai pada tahap memutuskan undang-undang. Perbedaan inilah yang dijadikan DPD RI terus berjuang menyetarakan tugas dan wewenangnya dengan DPR, karena perbedaan tersebut akan berimbas pada eksistensi DPD RI itu sendiri di mata publik.

Melihat formulasi tersebut maka dapat dikatakan bahwa kehadiran DPD

RI sangat bertolak belakang dengan latar belakang pemikiran pembentukan DPD

RI dan pada awal perubahan UUD 1945. Pembentukan DPD RI juga dapat dinilai hanya sebagai pemenuhan hasrat sementara demokrasi. Meskipun demikian, keterbatasan tugas dan wewenang ini tidak bisa dijadikan alasan oleh anggota

DPD RI untuk menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah kepentingan daerah. Konsistensi anggota DPD RI dalam mengadvokasi kebijakan pro- daerah adalah sebuah keharusan yang bersifat mutlak dan tidak dapat terhalang oleh keterbatasan apapun termasuk wewenang.

7 Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan NKRI, hal. 28.

44

A. 4. Kinerja DPD RI

Kehadiran DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah memberikan banyak warna kebijakan nasional yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan mendorong terbentuknya sebuah konvensi baru dalam kehidupan bernegara yang meneguhkan adanya dua lembaga dalam system perwakilan Indonesia yaitu dengan diselenggarakannya sidang bersama antara

DPR RI dan DPD RI setiap tanggal 16 Agustus dengan agenda mendengarkan

Pidato Presiden RI dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia.

Dengan segala keterbatasan wewenang yang ada, DPD RI tetap berupaya mengoptimalkan perannya dalam rangka mengagregasikan dan merealisasikan kepentingan daerah di level kebijakan tingkat nasional. Hal ini sebagai wujud pertanggung jawaban konstitusional secara moral, dan politis DPD RI kepada bangsa dan negara, khususnya daerah dan masyarakat.

Berdasarkan pada fungsi, tugas dan wewenang, kinerja DPD RI dapat terlihat pada pembahasan berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan

DPR dan Pemerintah, seperti RUU Pemda, RUU Pilkada, RUU Desa, RUU

Kelautan, dan lainnya. Bahkan RUU Kelautan menjadi salah satu yang bersejarah karena perjuangan fungsi legislasi DPD RI telah diakui dengan disahkannya RUU

Kelautan oleh DPR sebagai produk legislasi dari DPD RI. Pengakuan tersebut terlihat pada konsideran mengingat UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang kelautan yang memasukkan pasal 22D ayat (1) UUD 1945, yang merupakan salah satu kewenangan DPD RI dalam mengajukan RUU tertentu kepada DPR.

45

Berkenaan dengan tugas pengajuan usul RUU sejak DPD RI resmi terbentuk sampai saat ini, selama tiga periode berjalan yaitu periode I Tahun

2004-2009, Periode II Tahun 2009-2014, Periode III Tahun 2014-2019 DPD RI telah menghasilkan 77 Rancangan Undang-Undang. Ke-77 Rancangan Undang-

Undang tersebut telah DPD RI sampaikan kepada DPR RI namun hingga kini belum jelas tindak lanjunya. Hanya RUU Kelautan yang akhirnya berhasil menjadi undang-undang atas inisiatif DPD RI.

Selain dari pada itu, berikut ini adalah rekapitulasi hasil kinerja DPD RI terhitung sejak Periode 2004-2009, 2009-2014 sampai kepada pertengahan periode 2014-2019 tepatnya pada Sidang Paripurna DPD RI ke-8:

Tabel III. A.4.1

Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode I 2004-20098

Periode I No Keputusan DPD RI

2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total 1 Usul RUU berasal dari DPD RI - 2 2 6 9 19 Pandangan dan Pendapat DPD 2 - 3 23 33 21 12 92 RI 3 Pertimbangan DPD RI - 2 1 2 2 7 4 Hasil Pengawasan DPD RI - 11 12 10 6 10 49 Pertimbangan DPD RI terkait 5 - 6 6 6 6 5 29 Anggaran 6 Usul DPD RI untuk Prolegnas ------7 Rekomendasi DPD RI ------Total - 24 44 57 33 38 196

8 Dewan Perwakilan Daerah, Profil Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun Sidang 2016-2017, (Jakarta: DPD RI, 2017) hal. 33-34.

46

Tabel III. A.4.2

Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode II 2009-20149

Periode II No Keputusan DPD RI

2009 2010 2011 2012 2013 2014 Total 1 Usul RUU berasal dari DPD RI - 3 7 9 10 9 38 Pandangan dan Pendapat DPD 2 - 26 17 42 25 35 145 RI 3 Pertimbangan DPD RI - 1 3 2 1 2 9 4 Hasil Pengawasan DPD RI - 15 14 23 23 14 89 Pertimbangan DPD RI terkait 5 1 4 7 6 6 5 29 Anggaran 6 Usul DPD RI untuk Prolegnas - 1 1 1 1 - 4 7 Rekomendasi DPD RI - - - 2 2 1 5 Total 1 50 49 85 68 66 319

Tabel III. A.4.3

Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode III 2014-2019 Sampai

Sidang Paripurna Ke-8, Kamis, 9 Maret 201710

Periode III No Keputusan DPD RI

2014 2015 2016 2017 2018 2019 Total 1 Usul RUU berasal dari DPD RI - 10 10 - - - 20 Pandangan dan Pendapat DPD 2 - 2 11 - - - 13 RI 3 Pertimbangan DPD RI - - 3 1 - 4 4 Hasil Pengawasan DPD RI 6 28 20 2 - - 56 Pertimbangan DPD RI terkait 5 1 6 5 - - - 12 Anggaran 6 Usul DPD RI untuk Prolegnas - 2 1 - - - 3 7 Rekomendasi DPD RI - - 2 2 - - 4 Total 7 48 52 5 - - 112

9 Ibid., hal. 33-34. 10 Ibid., hal. 33-34.

47

Usul Rancangan Undang-Undang atas inisiatif DPD RI dibahas secara triparti atau tiga pihak yaitu bersama dengan DPR RI dan juga Pemerintah sebelum pada akhirnya ditetapkan menjadi undang-undang. Adapun beberapa usul

RUU yang telah dihasilkan oleh DPD RI di antaranya: RUU tentang Pemilihan

Umum Kepala Daerah, RUU tentang Pemerintah Daerah, RUU tentang Desa,

RUU tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Wilayah Kepulauan, RUU tentang

Daerah Istimewa Yogyakarta, RUU tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali,

RUU tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 17

Tahun 2014, dan masih banyak lagi yang lainnya.11

A. 5. Kode Etik Sebagai Acuan Perilaku Moral DPD RI

Sebagai wujud semangat bernegara yang mengedepankan norma etika, penulis berpendapat bahwa kode etik sangatlah dibutuhkan keberadaannya dan sudah sepatutnya ditempatkan pada tiap-tiap lembaga negara. Tujuannya adalah demi menciptakan lembaga negara yang bermartabat, moralis dan kredibel serta melindungi setiap para anggotanya (politisi) dari nafsu kekuasaan yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan. Jika kode etik ditegakkan oleh setiap lembaga negara dengan harapan tidak ada satupun pelanggaran etika yang terjadi, maka harapan pada umumnya, etika publik tumbuh beriringan sebagaimana mestinya.

11 Ibid., hal. 33-34.

48

Tidak hanya lembaga eksekutif yang tindakannya patut diawasi oleh publik, lembaga legislatif seperti MPR, DPD, DPR, dan DPRD patut diwaspadai setiap tindakan dan perilakunya. Dari setiap lembaga tersebut, masing-masing memliki kode etik yang mengharuskan anggotanya memenuhi setiap ketentuan yang ada. Materi kode etik biasanya berisikan tentang nilai-nilai moral, tugas dan tanggungjawab terhadap negara. Kode etik membantu menjaga kehormatan lembaga negara serta menuntun pada nilai-nilai etika yang benar. Oleh karenanya, dibentuklah Badan Kehormatan selaku pemegang hak penegakan kode etik.

Di dalam lembaga DPD RI, Kode etik disusun oleh anggota DPD RI yang dibentuk melalui peraturan DPD RI. Kode etik itu sendiri berbentuk larangan dan sanksi. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 213 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI bahwa Anggota DPD RI dilarang merangkap jabatan.12 Kedua, Anggota DPD RI dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan tugas dan wewenang DPD RI serta hak sebagai anggota. Ketiga, setiap anggota DPD RI dilarang melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme serta dilarang menerima gartifikasi. Keempat. Anggota DPD RI yang menerima gratifikasi wajib hukumnya melaporkan kepada KPK sesuai peraturan perundang-undangan. Honor

12 Berdasarkan Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata tertib DPD RI pasal 213 ayat (1), merangkap jabatan yang dimaksud adalah merangkap jabatan sebagai pejabat nagara lain, merangkap sebagai Hakim pada badan peradilan, atau merangkap jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegarai pada badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Lainnya yang sumber anggarannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

49

atas pemkiran dan tenaganya pada diskusi/ seminar tidak termasuk ke dalam bentuk gratifikasi yang dimaksud.

Setiap anggota DPD RI yang memenuhi larangan tersebut, maka dianggap telah melanggar kode etik dan akan dikenakan sanksi oleh Badan Kehormatan

DPD RI selaku penegak kode etik DPD RI. Sanksi tersbut berupa teguran lisan, teguran tertulis atau bahkan diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.

Apabila benar terbukti melanggar ketentuan kode etik maka anggota DPD RI dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota berdasarkan putusan hukum pengadilan. Putusan hukum tersebut bersifat tetap dan tidak dapat ditolerir.

B. Pimpinan sebagai Simbol Utama DPD RI

B. 1. Pimpinan DPD RI: Artikulasi dan Fungsi

Pimpinan DPD RI merupakan salah satu dari alat kelengkapan DPD RI yang bersifat kolektif kolegial, terdiri atas satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih langsung oleh anggota DPD RI dalam sidang paripurna DPD

RI.13 Berdasarkan pada perubahan UU No. 17 Tahun 2014 tentang Undang-

Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD pasal 260 ayat (1) komposisi pimpinan

DPD RI bertambah menjadi empat orang, terdiri dari satu orang ketua dan tiga orang wakil ketua. Pimpinan DPD RI dipilih berdasarkan suara terbanyak dengan menjunjung tinggi prinsip mencerminkan keterwakilan wilayah, mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan memperhatikan keterwakilan perempuan. ketua

13 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Arsitektur Histori, Peran dan Fungsi DPD RI Terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) hal. 49.

50

dan wakil ketua DPD RI ditentukan berdasarkan pada jumlah suara, dengan ketentuan mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara yang sah. Suara terbanyak terpilih sebagai ketua dan suara terbanyak berikutnya terpilih sebagai wakil ketua I, II, III berurutan dengan masing-masing jumlah suara.

Pimpinan berperan sebagai juru bicara parlemen dan koordinator bagi seluruh anggota parlemen yang berkedudukan sejajar. Setiap keputusan di parlemen diambil secara bersama-sama dengan pimpinan sebagai pengatur rapat dan berperan pula sebagai wakil dari seluruh anggota parlemen ketika lembaga itu berhubungan dengan lembaga lainnya. Secara umum, fungsi pokok pimpinan

DPD RI adalah mewakili DPD RI secara simbolis dalam berhubungan dengan lembaga eksekutif, lembaga-lembaga negara lain, dan lembaga-lembaga internasional.

Selain itu, pimpinan DPD RI berfungsi memimpin jalannya administratif kelembagaan secara umum, termasuk memimpin sidang paripurna, menetapkan sanksi atau rehabilitasi dalam hal adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPD RI.14 Untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut, maka tugas- tugas pimpinan DPD RI dapat dibagi kedalam tiga kategori yaitu pertama, tugas dilingkungan internal pimpinan. Kedua, tugas di lingkungan internal DPD RI dan ketiga, tugas di lingkungan eksternal DPD RI.

14 Dewan Perwakilan Daerah, Sewindu Senat DPD RI, (Jakarta: DPD RI, 2012) hal. 7.

51

B. 2. Aspek Historis dan Politik: Pemilihan Pimpinan DPD RI

Sejak resmi dibentuk pada 1 Oktober 2004, DPD RI telah mengalami empat kali periode pergantian pimpinan yaitu periode 2004-2009, 2009-2014,

2014-2019 dan 2017-2019. Di masing-masing periode ini memiliki ketentuan dan peraturan pemilihan pimpinan yang berbeda-beda. Pada periode 2004-2009, pimpinan DPD RI dijabat oleh Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita sebagai ketua, Dr.

Laode Ida dan H. Irman Gusman S.E, MBA sebagai wakil ketua. Pemilihan ketua harus melalui tiga putaran karena tidak meraih 50% suara dari 128 anggota DPD

RI yang hadir. Pada akhirnya, Ginandjar Kartasasmita terpilih sebagai ketua dengan memperoleh suara sebanyak 72 suara dari pesaingnya Irman Gusman yang memperoleh suara 54 suara. Irman Gusman yang gagal dalam perebutan posisi ketua, kemudian terpilih menjadi wakil ketua karena memperoleh suara terbanyak mewakili wilayah Indonesia Barat. Sedangkan jabatan wakil ketua untuk wilayah

Indonesia bagian Timur dimenangkan oleh Laode Ida dengan perolehan suara sebanyak 73 suara.

Selanjutnya pada periode 2009-2014, pemilihan ketua dan wakil ketua

DPD RI dilakukan secara bersamaan dalam satu paket dengan menitikberatkan pada prinsip tiga wilayah Indonesia yaitu Barat, Tengah dan Timur. Hal demikian itu berdasarkan pada peraturan Tata Tertib DPD RI yang baru. Irman Gusman berhasil memperoleh suara terbanyak dari wilayah barat dengan jumlah 88 suara mengungguli Sultan Bachtiar Najamudin yang hanya memperoleh 25 suara.

Sedangkan untuk wilayah Indonesia Tengah di menangkan oleh Gusti Kanjeng

Ratu Hemas dengan meraih suara sebanyak 68 suara mengungguli A. M. Fatwa

52

yang hanya meraih 46 suara. Untuk wilayah Indonesia Timur Laode Ida kembali meraih suara terbanyak dengan jumlah 57 suara mengungguli Farouk Muhammad yang meraih 39 suara. Peraih suara dari masing-masing wilayah tersebut kemudian merebutkan suara terbanyak untuk mengisi jabatan ketua DPD RI. Dan jabatan ketua DPD RI dimenangkan oleh Irman Gusman dengan 81 suara, Laode

Ida 46 suara dan 3 suara abstain. Gusti Kanjeng Ratu Hemas tidak mendapat suara karena mengundurkan diri untuk pemilihan ketua DPD RI. Dengan hasil tersebut maka Irman Gusman resmi tepilih sebagai ketua DPD RI periode 2009-2014 ditemani Laode Ida sebagai wakil ketua I dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas wakil ketua II.15

Pada pemilihan pimpinan DPD RI 2014-2017 masih menggunakan metode voting dan prinsip yang sama dengan periode sebelumnya. Untuk wilayah

Indonesia Barat, Irman Gusman kembali meraih suara tertinggi dengan raihan 90 suara mengungguli Intswati Ayus dengan 22 suara. Untuk wilayah Indonesia

Tengah, Gusti Kanjeng Ratu Hemas meraih 64 suara, unggul 4 suara dari Oesman

Sapta Odang yang meraih 60 suara, setelah diputaran pertama keduanya sama- sama meraih 61 suara. Untuk wilayah Indonesia Timur dimenangkan oleh Farouk

Muhammad yang maraih 49 suara, disusul oleh Nono Sampono 47 suara, Bahar

Ngitung 19 suara dan Gede Pasek Suardika 6 suara. Sedangkan untuk pemilihan ketua DPD RI harus berlangsung selama dua putaran karena diputaran pertama tidak ada suara yang mencapai lebih dari 50%, Irman Gusman 54 suara, Farouk

Muhammad 38 suara, dan GKR Hemas 34 suara. Sesuai dengan peraturan Tata

15 Dewan Perwakilan Daerah, Sewindu Senat DPD RI, (Jakarta: DPD RI, 2012) hal. 14- 18.

53

Tertib pemilihan ketua DPD RI maka suara terendah saat putaran pertama yakni

GKR Hemas otomatis dinyatakan kalah. Putaran kedua hanya menyisakan dua kandidat. Dari 122 suara yang masuk, suara terbanyak diraih oleh Irman Gusman atas Farouk Muhammad dengan raihan 66 suara berbanding 53 suara dan 3 suara abstain.16

Tabel III. B.2.1

Pemilihan Pimpinan DPD RI Periode 2014-201717

Pemilihan Tahap Pemilihan Tahap Pertama No. Kedua Keterangan Wilayah Nama Suara Nama Suara Irman Gusman 90 1 Barat Irman Gusman 66 Ketua DPD RI Intswati Ayus 22 Gusti Kanjeng 64 Ratu Hemas Gusti Kanjeng Wakil ketua 2 Tengah 0 Oesman Sapta Ratu Hemas DPD RI II 60 Odang Farouk 49 Muhammad Nono Sampono 47 Farouk Wakil ketua 3 Timur 53 Bahar Ngitung 19 Muhammad DPD RI I Gede Pasek 6 Suardika

Berdasarkan pada perubahan Tata Tertib DPD RI yang menetapkan masa jabatan pimpinan menjadi dua tahun enam bulan maka jabatan pimpinan

Muhammad Saleh, Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad resmi berakhir pada 3 April 2017. Terdapat enam calon yang maju sebagai pimpinan

16 Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Irman Gusman Terpilih Kembali Jadi Ketua DPD RI”, http://setkab.go.id, 19 November 2018. 17 Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Irman Gusman Terpilih Kembali Jadi Ketua DPD RI”, http://setkab.go.id, 19 November 2018.

54

periode 2017-2019. Tiga calon dari wilayah Indonesia Barat yakni Abdul Aziz,

Darmayanti Lubis, Andi Surya. Satu calon dari wilayah Indonesia Tengah yakni

Oesman Sapta Odang, dan dua orang dari wilayah Indonesia Timur yakni Nono

Sampono dan Bahar Ngitung. Sebelum pemilihan berlangsung beberapa calon mengundurkan diri dari bursa pencalonan pimpinan dan hanya menyisakan

Darmayanti Lubis dari wilayah Indonesia Barat, Oesman Sapta Odang dari wilayah Indonesia Tengah dan Nono Sampono dari wilayah Indonesia Timur.

Oesman Sapta Odang terpilih menjadi ketua DPD RI secara aklamasi mengalahkan pesaing-pesaingnya yang lebih menyerahkan jabatan ketua DPD RI kepada dirinya karena alasan tertentu.

B. 3. Profil Pimpinan DPD RI Periode 2014 – 2017 dan 2017-2019

Berdasarkan pada peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata

Tertib DPD RI pasal 48 ayat (1) dan pasal 49, pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang dari wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota

DPD secara langsung dalam sidang paripurna. Pimpinan yang dipilih tentunya juga berdasarkan pada prinsip mencerminkan keterwakilan wilayah, mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan memperhatikan keterwakilan perempuan.18 Namun seiring berkembangnya peran DPD RI, komposisi pimpinan

DPD RI mengalami penambahan jumlah yakni empat orang pimpinan dengan kompisisi satu orang orang ketua, dan tiga orang wakil ketua. Penambahan jumlah

18 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib pasal 48 ayat (1) dan pasal 49 ayat (1).

55

tersebut berdasarkan pada amanah perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun

2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 260 ayat (1).

Tabel III. B.3.1

Komposisi Pimpinan DPD RI Periode 2014-201719

Daerah No. Jabatan Nama Keterangan Pemilihan 1. Ketua H. Irman Gusman, S.E, Sumatera Barat Menjabat sebagai DPD RI MBA (Mewakili ketua DPD RI Wilayah untuk yang kedua Indonesia kalinya secara Tengah) berurutan setelah sebelumnya menjabat pada periode 2009-2014. Kemudian menjadi terpidana kasus korupsi gula impor dan diberhentikan dari DPD RI. 2. ketua H. Muhammad Saleh, S.E Bengkulu Menjabat sebagai DPD RI (Mewakili ketua DPD RI Wilayah menggantikan H. Indonesia Barat) Irman Gusman, S.E. MBA yang menjadi terpidana kasus korupsi gula impor. 3. Wakil Gusti Kanjeng Ratu Hemas Yogyakarta Wakil ketua DPD ketua (Mewakili RI yang lahir di DPD RI Wilayah Jakarta, 10 Oktober 1 Indonesia 1952. Untuk kali Tengah) kedua menjadi wakil ketua DPD RI setelah sebelumnya periode 2009-2014 juga menjabat sebagai wakil ketua DPD RI.

19 DPD RI, “Pimpinan DPD RI Periode 2014-2019”, http://www.dpd.go.id, 29 Oktober 2018.

56

4. Wakil Prof. DR. Farouk Nusa Tenggara Selain sebagai ketua Muhammad Barat (Mewakili anggota DPD RI, ia DPD RI Wilayah juga merupakan 2 Indonesia Timur) Guru Besar bidang kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana yang lahir di Bima, NTB 17 Oktober 1949. Terpilih sebagai anggota DPD RI dengan total raihan suara sebanyak 152.306 di Dapil NTB.

Tabel III. B.3.2

Komposisi Pimpinan DPD RI Periode 2017-201920

Daerah No. Jabatan Nama Keterangan Pemilihan 1. Ketua Dr. H. Oesman Sapta Kalimantan Menjabat sebagai DPD RI Odang Barat (Mewakili ketua Wilayah menggantikan Indonesia Muhammad Saleh Tengah) yang menggantikan sementara Irman Gusman. 2. Wakil Letjen TNI (Marinir) Purn. Maluku Wakil ketua DPD ketua Dr. Nono Sampono, M.Si (Mewakili RI yang merupakan DPD RI Wilayah salah satu tokoh 1 Indonesia militer Indonesia Timur) dan juga mantan Kepala Basarnas Indonesia.

20 DPD RI, “Pimpinan DPD RI Periode 2017-2019”, http://www.dpd.go.id, 29 Oktober 2018.

57

3. Wakil Prof. Dr. Ir. Hj. Sumatera Utara Wakil ketua DPD ketua Darmayanti Lubis (Mewakili RI yang lahir di DPD RI Wilayah Binjai, 6 Mei 1951, 2 Indonesia Barat) total 622.168 suara telah ia raih dari Dapil Sumatera Utara.

4. Wakil Drs. H. Akhmad Jawa Tengah Politisi Senior yang ketua Muqowam (Tambahan satu lahir di Salatiga, 1 DPD RI pimpinan DPD Desember 1960 3 RI berdasarkan berhasil menjadi pada amananah anggota DPD RI UU No. 2 Tahun dengan total suara 2018 tentang 948.673 suara di MPR, DPR, Dapil Jawa DPD, dan Tengah. DPRD)

C. Tapak Langkah Politik Oesman Sapta Odang

C. 1. Oesman Sapta Odang: Dari Pengusaha Menjadi Politisi

Oesman Sapta Odang (OSO) adalah seorang tokoh politik nasional yang belakangan ini santer diperbincangkan di kancah perpolitikan Indonesia, berkat keberhasilannya dalam mengedepandakan aspirasi daerah. Sebelum terjun ke dunia politik, ia banyak menghabiskan waktunya dengan menjadi seorang pengusaha. Oesman Sapta Odang dapat dikatakan sebagai seorang pengusaha handal dan sukses, tercatat mulai dari bisnis pertambangan, air mineral, perikanan, perkebunan, properti sampai yang paling tenar adalah bisnis transportasi dalam bentuk penyewaan jet pribadi telah ia geluti. Kemudian dari ke sekian bisnis tersebut didirikanlah Oesman Sapta Odang Group (OSO Group)

58

yang di dalamnya terdiri dari perusahaan-perusahan yang bergerak di bawah naungan Oesman Sapta Odang.21

Akan tetapi dari sekian bisnisnya yang sukses tersebut terdapat kisah pilu ketika ia berusia 8 tahun harus menerima kenyataan bahwa ayahnya meninggal dunia. Dan pada usia 12 tahun ia memberanikan diri berdagang rokok asongan kesetiap para buruh di pelabuhan dekat tempat ia dibesarkan. Di usianya yang menginjak 14 tahun, ia memutuskan untuk berhenti berdagang asongan dan beralih menjadi kuli angkut barang. Dari kuli angkut barang kemudian ia berdagang hasil-hasil pertanian seperti jahe, kol, sawi, bawang, kentang, cabai, sampai kelapa untuk ia dagangkan ke luar pulau. Pengalaman berharga yang ia temukan di masa kecil menghantarkan dirinya pada kesuksesan yang luar biasa saat ini. Dan pada juni 2016 lalu, ia tercatat ke dalam 150 orang terkaya di

Indonesia versi majalah Globe Asia dengan jumlah kekayaan US$ 350 juta. 22 Ini adalah bukti nyata semangat pantang menyerah dan optimisme yang ia kukuhkan dalam diri demi membaca arah masa depan yang lebih baik.

Tepat pada Jumat, 18 Agustus 1950, Oesman Sapta Odang lahir di salah satu desa di Kalimantan Barat yang bernama Sukadana. Ia dilahirkan dari pasangan Odang dan Asnah Hamid. Keduanya memiliki latar belakang daerah yang berbeda. Ayah Oesman Sapta Odang merupakan pria asal Palopo, Sulawasi

Selatan. Sedangkan ibunya, Asnah Hamid merupakan wanita asli Sulit Air, Solok,

21 Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), “Profil Ketua Umum Hanura”, http://partaihanura.or.id,29 April 2018. 22 Robin Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI, Oesman Sapta Odang, (Jakarta: PT. Asasira, 2017) hal. 23.

59

Sumatera Barat. Perpaduan antara Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat inilah yang kemudian menghasilkan Oesman Sapta Odang yang berkarakter tegas, pekerja keras, pantang menyerah layaknya orang Sulawesi Selatan. Serta berjiwa rantau dan berwirausaha layaknya orang Sumatera Barat.

Semasa muda, Oesman Sapta Odang gemar mengikuti berbagai organisasi, mulai dari organisasi masyarakat, organisasi profesi sampai kepada organisasi olahraga. Begaram prestasi telah ia gapai seperti juara pertama Balap Mobil

Nasional kelas 1300 cc di Jakarta pada 1974, Juara ketiga Balap Mobil

Internasional kelas 1600 cc di Thailand pada 1983. Runner up pada Kejuaraan

Balap Mobil Internasional 1300 cc di Penang, Malaysia pada 1984. Juara pertama pada Kejuaraan Balap Mobil Internasional 1300cc di Batutiga, Malaysia pada

1984. Dinobatkan sebagai Doctor of Honoris Causa dari Senior University

International, Wyoming-Canada, USA atas dasar komitmen dan dedikasinya di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat di daerah pada 1999. Diangkat sebagai keluarga besar Suku Dayak Kayan pada 2002 dengan nama Sangiang yang artinya naga sakti di bawah air. dan yang masih baru-baru ini adalah gelar bangsawan

Bugis Makasar yang disematkan pada 2017. Serta masih banyak lagi prestasi dan penghargaan lainnya.

Berkat usaha dan kegigihannya dalam menjalani setiap lika-liku hidup,

Oesman Sapta Odang akhirnya dipertemukan dengan sosok wanita cantik kelahiran Makassar. Sosok tersebut ialah Serviati, wanita yang sekarang ini menjadi istri setianya. Oesman Sapta Odang dan Serviati dipersatukan dalam janji pernikahan pada 8 September 1972. Dari pernikahannya ini lahir empat orang

60

anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Anak sulungnya bernama Raja

Sapta Sermando. Anak kedua, Raja Sapta Aji. Ketiga, Raja Sapta Oktohari,

Keempat, Raja Sapta Ervian dan Anak bungsunya dan satu-satunya berjenis kelamin perempuan ialah Putri Selaras Oesman. Uti Buncis (sapaan Putri Selaras

Oesman) menjadi salah satu anak Oesman Sapta Odang yang beruntung, memiliki ayah yang berkarib dengan para tokoh-tokoh negara.23 pasalnya pada Jum’at, 8

September 2017 Uti Buncis melangsungkan pernikahan dengan pembalap gokar dan mobil senior, Danindro Arioninditio. Presiden Joko Widodo dan Wakil

Presiden Jusuf Kalla turut serta menyaksikan acara sacral tersebut.

Di mata sang istri, Serviati, Oesman Sapta Odang merupakan sosok suami yang istimewa karena sayang pada keluarga dan sangat menghromati orang tua.

Tingkat kesayangannya terhadap orang tua kadang melebihi rasa sayangnya terhadap istri dan anak-anaknya. istrinya juga memaparkan bahwa Oesman Sapta

Odang bukan seorang ayah yang mendidik anak-anaknya dengan lemah lembut akan tetapi dengan cara ketegasan dan kedisiplinan. Tujuannya adalah demi menanamkan sifat mandiri pada setiap diri anak-anaknya. Hal yang demikian itu dibuktikan dengan tidak dipermudahkan anak-anaknya terlibat dalam perusahan yang dimiliki, sebelum teruji kemampuan dan profesionalismesnya.

Setelah malang melintang di dunia bisnis dan merasa cukup, Oesman

Sapta Odang memustuskan untuk melepas kepemimpinan usahanya (OSO Group) kepada Tanri Abeng dan Jendral TNI George Toisutta dan anaknya sendiri, Raja

Sapta Oktohari. Tujuannya adalah agar dapat memfokuskan pengabdian sebagai

23 Ibid., hal. 126.

61

pejuang dan pemimpin politik. Oesman Sapta Odang juga aktif dalam berbagai organisasi, pada periode 1977-1980 dan 1980-1983 ia menjadi ketua Himpunan

Pengusahan Muda Indonesia (HIPMI) Wilayah Kalimantan Barat, ketua Kamar

Dagang dan Industri Daerah (KADINDA) Provinsi Kalimantan Barat, 1983-1987,

1987-1992 dan 1998-2004, ketua Asosiasi Perdagangan Jeruk Wilayah

Kalimantan Barat, 1988, Anggota Dewan Penasehat Gabungan Pelaksana

Konstruksi Seluruh Indonesia (GAPENSI) Nasional 1989; ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), bidang kerjasama perdagangan dan industri

Indonesia-Cina (Sebelum dan sesudah normalisasi hubungan antara Indonesia-

Cina), 1990-1994; ketua umum Asosiasi Koperasi Kelapa Indonesia, 2002- sekarang; dan ketua umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesi (HKTI) 2010-

2017.24

C. 2. Politik dalam Perjalanan Hidup Oesman Sapta Odang

Bermodalkan segudang pengalaman di dunia bisnis, Oesman Sapta Odang memantapkan diri terjun ke dunia politik. Langkah politiknya dimulai dari menjadi Anggota MPR Fraksi Utusan Daerah dari Kalimantan Barat periode

1999-2004, ketika itu, ia menjadi ketua Forum Utusan Daerah MPR RI, masih pada periode yang sama, ia juga menjadi ketua fraksi utusan daerah persiapan

MPR RI dan menjadi ketua fraksi utusan daerah MPR RI pada periode 2001-

2002, karir perpolitikkannya terus melonjak drastis sampai pada akhirnya ia menjabat sebagai wakil ketua MPR RI periode 2002-2004.

24 Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI, Oesman Sapta Odang, hal. 8.

62

Berangkat dari daerah, Oesman Sapta Odang menilai perlu adanya partai yang berorientasi pada kepentingan daerah. Oleh karenanya, ia mendirikan Partai

Persatuan Daerah (PPD) pada 18 November 2002 setelah sebelumnya berdiskusi dengan beberapa tokoh politik yang bernaung dalam Forum Utusan Daerah MPR

RI. PPD didirikan bukan atas dasar tidak percayanya terhadap sistem bikameral tanah air, melainkan sebagai wadah pengembangan dan penggalian potensi daerah itu sendiri. Pada 2011 PPD bubar akibat minimnya suara dan seringkali tidak lolos verifikasi pemilu, membuat para anggotanya berpencaran ke partai politik lain.25

C. 2.1. Wakil Ketua MPR RI

Jabatan sebagai wakil ketua MPR RI dapat dikatakan sebagai karir politik yang tak terlupakan bagi Oesman Sapta Odang. Karena jabatan ini merupakan awal pintu keberhasilan dirinya di kancah perpolitikan nasional. Oesman Sapta

Odang pernah menjabat sebagai wakil ketua MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah pada periode 2002-2004 bersama dengan Matori Abdul Djalil dari Fraksi PKB,

Husni Thamrin dari Fraksi PPP, Jusuf Emir Faisal dari Fraksi PBB, Hari Sabarno dari Fraksi TNI/Polri, Nasri Adlani dari Fraksi Utusan Golongan. Kemudian tergabung di dalamnya M. sebagai ketua MPR RI dari Fraksi PAN.

Penetapannya sebagai wakil ketua MPR RI dan pimpinan MPR RI lainnya periode 1999-2004 berjalan sangat demokratis dan tidak ada satupun fraksi yang walk out untuk menentang keputusan yang telah ditetapkan.26

25 Agustinus Handoko, “Bubarkan PPD, OSO Dirikan Partai Persatuan Nasional”. https://nasional.kompas.com, 23 Januari 2012. 26 Sekretariat Jendral MPR RI, “MPR Lima Tahun ke Depan, Mengawal Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika,” Majelis, no. 10, Oktober 2014, hal. 14.

63

Setelah tiga belas tahun berselang, Oesman Sapta Odang kembali hadir di bangku pimpinan MPR RI periode 2014-2019. Kali ini ia mewakili Fraksi DPD

RI yang sebelumnya adalah Fraksi Utusan Daerah. Sebutan nama fraksi yang berubah, karena pada 2001 telah resmi didirikan DPD RI melalui perubahan ketiga UUD 1945 sebagai lembaga yang anggotanya terdiri dari empat orang utusan di setiap daerah di Indonesia. Untuk periode 2014-2019 pemilihan pimpinan MPR RI melaui sistem pemungutan suara (voting), dengan ketentuan jumlah suara yang banyak maka itulah pimpinan yang terpilih. Terdapat dua paket pimpinan kala itu, paket A diusung dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari PDI Perjuangan, partai Nasdem, PKB, PPP, Hanura dan kelompok

DPD RI. Sedangkan paket B diusung oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Di dalamnya tergabung partai Gerindra, partai Golkar, PAN, PKS, partai Demokrat dan kelompok DPD RI.

Menariknya dari kedua paket tersebut mengusung nama utusan kelompok

DPD RI yang sama yaitu Oesman Sapta Odang. Yang membedakan hanyalah

Oesman Sapta Odang di dalam paket A sebagai calon ketua MPR RI sedangkan di paket B sebagai calon wakil ketua MPR RI. Pada akhirnya yang terpilih dan memenangkan perolehan suara ialah paket B (Koalisi Merah Putih) dengan jumlah 347 suara, sementara paket A (Koalisi Indonesia Hebat) maraup sebanyak

330 suara. Selisih 17 suara antara keduanya. Dan satu suara lainnya tidak sah dari

678 suara anggota MPR yang ikut dalam pemungutan. Dengan hasil tersebut maka Oesman Sapta Odang gagal menjadi ketua MPR RI periode 2014-2019 akan tetapi menjadi wakil ketua MPR RI bersama dengan Mahyudin dari Fraksi

64

Golkar, Evert Ernest Mangindaan dari Fraksi Demokrat, H. M. Hidayat Nur

Wahid dari Fraksi PKS. Tergabung di dalamnya dari Fraksi PAN sebagai ketua MPR RI. Hal ini mengartikan bahwa gaya kepemimpinan politik

Oesman Sapta Odang cukup soft dan mampu menempatkan dirinya dengan baik di tengah panasnya suhu persaingan politik antara KIH dan KMP ketika itu.27

C. 2. 2. Ketua Umum Partai Hanura

Perjalanan Oesman Sapta Odang menjadi ketua umum partai Hanura dapat dikatakan imbas dari kebijakan Presiden Jokowi – Wakil Presiden Jusuf Kalla, apabila ketua umum partai politik terpilih menjadi menteri dalam kabinet kerja, maka harus mengundurkan diri dari kursi ketua umum partai. yang ketika itu menjabat sebagai ketua umum partai Hanura kemudian terpilih menjadi Menko

Polhukam menggantikan Luhut Binsar Panjaitan yang digeser menjadi Menko

Kemaritiman. Partai Hanura pada Rabu, 22 Desember 2016, memilih Oesman

Sapta Odang secara aklamasi sebagai ketua umum Hanura atas rekomendasi

Wiranto.

Terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai Ketum (Ketua Umum) Hanura merupakan pilihan yang tepat dari sisi kualifikasi, khususnya aspek keorganisasian. Selama menjabat sebagai ketua partai politik Hanura, Oesman

Sapta Odang dinilai cukup positif dalam membawa partai Hanura bersaing dengan partai politik lainnya di pentas politik nasional. Ketua Bidang Organisasi DPP

Hanura, Benny Rhamdani berpendapat bahwa selama kepemimpinan Oesman

27 Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI, Oesman Sapta Odang, hal. 160.

65

Sapta Odang, Partai Hanura mengalami kemajuan yang signifikan, terutama dalam hal membangun kelembagaan partai. Sebelum Oesman Sapta Odang memimpin Partai Hanura, DPC Hanura hanya sanggup mencapai 68% di tingkat

Kota/Kabupaten kemudian semenjak Oesman Sapta Odang menjadi ketua umum,

Partai Hanura sanggup mencapai 89%. Dan di tingkat ranting, Partai Hanura yang sebelumnya hanya menjangkau 6% di bawah kepemimpinannya kini mencapai

36%.28

C. 2. 3. Ketua DPD RI

Perjalanan karir Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI dimulai pada 4 April 2017 dengan segala gonjang-ganjing politik di dalamnya. Pelantikan

Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI berdasarkan pada Tata Tertib DPD

RI No. 3 Tahun 2017 yang menetapkan masa jabatan pimpinan DPD RI selama dua tahun enam bulan tahun. Wakil daerah asal Kalimantan Barat ini terpilih menjadi ketua DPD RI periode 2017-2019 menggantikan Mohammad Saleh yang sebelumnya dipilih untuk menggantikan Irman Gusman yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap kuota gula impor oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK).

Sosok Oesman Sapta Odang dianggap layak menjadi ketua DPD RI oleh beberapa kalangan anggota DPD RI lainnya. Jabatannya sebagai ketua partai

Hanura menjadi nilai utama ia terpilih menjadi ketua DPD RI dengan harapan mampu menyetarakan fungsi dan wewenang DPD dengan DPR dan

28 Faisal Abdalla, “Partai Hanura Tegaskan Kepemimpinan OSO Baik”, http://news.metrotvnews.com, 15 Januari 2018.

66

mempermudah sinergitas antara masing-masing lembaga parlemen. Oesman Sapta

Odang sendiri tidak menduga dirinya adalah sosok yang diidolakan oleh beberapa anggota DPD RI menjadi pemimpin DPD RI selama dua tahun enam bulan tahun, terhitung sejak 2017-2019. Kedua calon pimpinan DPD RI lainnya, Nono

Sampono dan Darmayanti Lubis bersepakat untuk menyerahkan sepenuhnya posisi ketua DPD RI kepada Oesman Sapta Odang dan secara legowo menjadi wakil ketua DPD RI periode 2017-2019.29

Apabila dilihat dari segi semangat kedaerahan dan pengalamannya,

Oesman Sapta Odang memang dinilai cukup layak mengisi bangku pimpinan

DPD RI. Namun sayangnya nilai tersebut berkurang akibat status rangkap jabatan sebagai wakil ketua MPR dan ketua partai Hanura yang masih ia emban. Hal yang demikian itu menimbulkan reaksi negatif dari berbagai pengamat politik dan hukum. Beberapa dari mereka mencurigai pelantikan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019 tidak melalui tahapan prosedural yang jelas dan telah melabrak aturan hukum yang ada.

Pada sidang pertamanya sebagai ketua DPD RI, Oesman Sapta Odang menuai banyak interupsi di awal persidangan oleh beberapa anggota DPD RI yang merasa penetapan dirinya sebagai ketua DPD RI adalah tidak sah.30 Akan tetapi hal yang demikian itu tidak berlangsung lama, dengan sikap tegas Oesman Sapta

Odang mengambil alih persidangan dan mengakhirinya dengan lancar. Di

29 Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI, Oesman Sapta Odang, hal. 66. 30 Markus Junianto Sihaloho, “Sidang Pertama OSO Sebagai Ketua DPD Sempat Ricuh” http://www.beritasatu.com, 11 April 2017.

67

samping segala pro kontra yang terjadi di awal kepemimpinannya, Oesman Sapta

Odang membuktikan bahwa pemilihan dirinya adalah suatu hal yang tepat. terbukti selama menjabat sebagai ketua DPD RI, keharmonisan DPD RI dalam berlegislasi berjalan dengan baik selama di bawah naungan kepemimpinan

Oesman Sapta Odang, tidak ada kegaduhan yang begitu berarti antar internal DPD

RI maupun dengan lembaga negara lain.

C. 3. Kontroversi dan Kasus-kasus

Sebagian politisi hampir tidak bisa terlepas dari yang dinamakan kontroversi, mulai dari yang bersifatnya relatif sampai juga yang bersifat normatif. Anggapan ini dapat dirasakan pada kasus pemilihan Oesman Sapta

Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019. Penetapan dirinya sebagai ketua

DPD RI terbilang penuh kontroversi, karena alasan legalitas hukum yang masih menuai perdebatan di antara kalangan internal anggota DPD RI. Produk hukum yang dimaksud tersebut adalah tentang aturan masa jabatan pimpinan DPD RI.

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara

(APHTN-HAN) Indonesia, Mahfud MD, berpandangan bahwa pemilihan pimpinan DPD RI 2017 adalah ilegal. Karena berlawananan dengan putusan

Mahkamah Agung (MA) No. 38P/HUM/2017 dan No. 20P/HUM/2017. Selain itu, mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menyoroti perihal dominasi

68

anggota politik yang merangkap sebagai anggota DPD RI. Tercatat lebih dari 50% anggota DPD RI yang berasal dari partai politik.31

Selain itu, yang tidak kalah menuai kontroversi adalah status rangkap jabatan Oesman Sapta Odang sebagai pejabat negara aktif (ketua DPD RI periode

2017-2019 dan wakil ketua MPR RI periode 2014-2019) dan juga posisinya sebagai ketua partai politik Hanura. Walaupun demikian, Oesman Sapta Odang menganggap hal tersebut merupakan suratan takdir dari yang maha kuasa dan lebih memilih untuk menyikapi dengan biasa.32

Pada 2018, Oesman Sapta Odang kembali terlibat dalam kontroversi. Hal ini berkaitan dengan putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang pengurus partai politik untuk maju sebagai anggota DPD RI pada pemilihan umum 2019. Oesman Sapta Odang yang statusnya sebagai pengurus partai politik

(ketua partai Hanura) mengutarakan kekecewaannya dengan melontarkan kalimat negatif terhadap MK saat sedang dalam acara talk show Kompas TV. Oesman

Sapta Odang mengatakan MK itu goblok, atas ucapan itu hakim MK melakukan somasi terhadap dirinya dengan dalih telah merendahkan kehormatan, harkat, martabat dan kewibawaan MK.33

31 Pranamya Dewati, “Mahfud MD Pemilihan Oesman Sapta Jadi Ketua DPD Ilegal”, https://kumparan.com, 07 April 2017. 32 Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI, Oesman Sapta Odang, hal. 70-71. 33 Elza Astari Retaduari, “Kontroversi OSO Goblokin MK”, https://news.detik.com, 01 Agustus 2018.

69

BAB IV

DINAMIKA DAN ETIKA POLITIK

PEMILIHAN KETUA DPD RI PERIODE 2017-2019,

OESMAN SAPTA ODANG

Etika didefinisikan sebagai ilmu yang mengatur tentang baik atau buruk suatu tindakan. Sedangkan, etika politik diartikan sebagai pola tingkah laku ketatanegaraan seseorang atau penguasa dalam hidup bernegara. DPD RI merupakan bagian dari kekuasaan negara yang berwujud lembaga legislatif.

Kekuasaan dalam negara seringkali diperebutkan dengan cara mengsampingkan moral dan norma. Seiring dengan maraknya peristiwa tersebut, etika politik sangat dibutuhkan kehadirannya untuk mengontrol tindakan sosial demi menciptakan karakter penguasa yang moralis. Bab kali ini, penulis membahas bagaimana kemudian etika politik berfungsi terhadap proses pemilihan ketua DPD RI periode

2017-2019, Oesman Sapta Odang. Dengan tahapan menjelaskan dinamika pemilihan secara lebih dalam bersama dengan sumber-sumber kekuasaan yang menjadi syarat Oesman Sapta Odang bertindak sebagai ketua DPD RI.

A. Dinamika Pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD RI

Periode 2017-2019

Pemilihan ketua DPD RI merupakan bagian dari pada pemilihan pimpinan

DPD RI, keduanya terangkum menjadi satu dalam peristiwa yang terjadi secara bersamaan. Pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-2019 yang menentapkan

70

Oesman Sapta Odang sebagai ketua ditemani oleh Nono Sampono dan

Darmayanti Lubis sebagai wakil ketua DPD RI I dan II merupakan fenomena politik yang menarik untuk diteliti. Lembaga yang anggotanya berasal dari wakil daerah di Indonesia ini memperlihatkan betapa kerasnya kehidupan berpolitik, hal tersebut tercermin dari konflik yang terjadi sepanjang jalannya proses pemilihan, yang membuat DPD RI terbelah menjadi dua kubu. Terdiri dari kelompok yang menginginkan adanya pergantian pimpinan baru dan kelompok yang memilih untuk mempertahankan pimpinan yang lama (tidak ingin adanya pergantian pimpinan).

Pada hakekatnya, perpecahan di antara dua kubu yang mengganggu kekompakan internal DPD RI ini telah berlangsung sejak lama, yaitu sejak periode ke dua DPD RI, begitupula keinginan perubahan masa jabatan pimpinan

DPD RI. Pakar hukum tata negara, Refly Harun1 berpendapat bahwa pemicu terciptannya ide tersebut antara lain rasa ketidakpuasan terhadap kinerja kepemimpinan Irman Gusman selama menjabat sebagai ketua DPD RI pada periode 2009-2014, 2014-2017 dan wakil ketua DPD RI periode 2004-2009 dan juga rasa ketidaksenangan terhadap masa kekuasaan pimpinan yang terlalu lama.

H. Ahmad Nawardi, salah seorang anggota DPD RI daerah pemilihan

Jawa Timur memberikan pendapatnya terkait masa kekuasaan pimpinan DPD RI tersebut.

“Kekuasaan seseorang itu membuat kita itu kalau sudah lama berkuasa itu lupa. Politik itu kan gitu, harus ada batasan. Di sini kalau lima tahun bagi kita, pikiran

1 Refly Harun “Legalitas Pimpinan DPD”, https://nasional.kompas.com, 28 April 2017.

71

kita dulu, jadi ketua itu lima tahun itu teralu lama kalau di lembaga ini, seharusnya cukup dua tahun setengah. Berbeda dengan memimpin sebagai Presiden, Gubernur, Bupati misalnya yang punya kekuasaan yang sangat luas memimpin rakyat langsung sebagai eksekutif. Dia membahas anggaran, membuat program, menciptakan pembangunan dan lain sebagainya. Kalau DPD kan tidak, hanya memimpin lembaga kecil, menurut saya lembaga negara yang anggotanya tidak terlalu banyak, hanya beberapa alat kelengkapan dan mempunyai kewenangan yang tidak teralu kuat.”2 Akan tetapi ide perubahan masa jabatan pimpinan masih dapat dikonsolidasikan dan dikoordinasikan oleh anggota DPD RI, dan masa jabatan pimpinan tetap selama lima tahun. Memasuki periode ke tiga DPD RI, ide perubahan tersebut terwujud melalui mekanisme voting yang dilaksanakan dalam sidang paripurna luar biasa DPD RI pada 15 Januari 2016. Dari 63 suara yang ada, di antaranya 17 suara mendukung masa jabatan pimpinan selama lima tahun, 44 suara mendukung selama dua tahun enam bulan dan 2 suara abstain. Hasil tersebut menjadi dasar DPD RI menetapkan Tata Tertib No. 1 Tahun 2016 dan No. 1

Tahun 2017.3

Konflik yang terjadi pada pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-

2019 disebabkan oleh perbedaan pandangan legalitas hukum terkait masa jabatan pimpinan DPD RI. Aturan yang dimaksud tersebut adalah putusan MA No.

38P/HUM/2016 yang membatalkan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2016,4 dan

No. 20P/HUM/2017 yang membatalkan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2016

No. 1 Tahun 2017 yang memberlakukan surut masa jabatan pimpinan DPD RI

2 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB. 3 Yuniati Setiyaningsih, “Analisis Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia” https://media.neliti.com, hal. 17. 4 Keputusan Mahkamah Agung No. 38P/HUM/2016 tentang Uji Materil terhadap Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib.

72

2014-2019 menjadi dua tahun enam bulan atau berakhir pada April 2017.5

Keputusan MA itu bertujuan untuk menjelaskan bahwa Tata Tertib DPD RI yang dimaksud bertentangan dengan pasal 260 ayat 1 Undang-Undang tentang MPR,

DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) dan Undang-Undang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (UU P3).6

Pemilihan Ketua DPD RI periode 2017-2019 merupakan bagian dari agenda sidang paripurna DPD RI ke-9 yang dilaksanakan pada 3-4 April 2017, hal tersebut bersamaan dengan pemilihan wakil ketua DPD RI yang menjadi satu kesatuan ke dalam pemilihan pimpinan DPD RI. Proses sampai dilantiknya

Oesman Sapta Odang oleh MA sebagai ketua DPD RI tidak terbilang mudah, butuh waktu lama untuk bermusyawarah menyatukan pandangan dan pendapat untuk sampai pada tahapan tersebut.

Pada saat setelah Gusti Kanjeng Ratu Hemas, ketua sidang mengetok palu membuka sidang paripurna ke-9, persidangan sudah diwarnai dengan cuitan interupsi dari beberapa anggota DPD RI, sebagian besar dari mereka merasa janggal dengan agenda sidang yang direncanakan oleh ketua sidang. Berdasarkan pada undangan sidang yang mereka terima pada 20 Maret 2017, tertulis bahwa agenda sidang paripurna DPD RI 3 April 2017 adalah pemilihan pimpinan DPD

RI periode April 2017-September 2019. Namun Gusti Kanjeng Ratu Hemas selaku ketua sidang dan salah seorang yang pro terhadap masa jabatan pimpinan

5 Keputusan Mahkamah Agung No. 20P/HUM/2017 tentang Uji Materil terhadap Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib. 6 Yanzah Bagas Nugraha dan Dwi Andayani Budisetyowati. “Analisis Penyelesaian Sengketa Internal Lembaga Negara Studi Kasus Pelantikan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia,“ Jurnal Hukum Universitas Tarumanegara Vol. 1. No. 1, 2018, hal. 14.

73

selama lima tahun bersikukuh untuk melaksanakan sidang dengan agenda utama penyampaian ikhtisar MA terkait Tata Tertib DPD RI. Perubahan agenda tersebut buah dari rapat panitia musyawarah yang tidak selesai pada 2 April 2017 atau sehari sebelum dilaksanakannya sidang paripurna.7

Kondisi persidangan semakin tidak terakomodir atas langkah yang diambil oleh pimpinan sidang, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, yang menyebabkan sebagian anggota DPD RI semakin lantang menyuarakan protes terhadap keputusan pimpinan yang sepihak. Mereka menduga tersimpan agenda tersembunyi di balik ini semua, yang sudah Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan kawan-kawan rencanakan secara matang agar pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-2019 batal.

Kelompok anggota DPD RI yang ingin adanya pembaharuan pimpinan

DPD RI menganggap undangan sidang dengan agenda pemilihan pimpinan DPD

RI yang tertulis di dalam keputusan panitia musyawarah DPD RI No. 5/Panmus

DPD/III/2016-20178 masih berstatus aktif dan tidak pernah dicabut sampai tiba undangan dengan agenda baru. Mereka menolak keras perubahan agenda sidang secara mendadak (satu hari sebelum sidang paripurna dilaksanakan). Karena tindakan tersebut tidak sesuai dengan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2017 pasal

7 Risalah Sidang Paripurna DPD RI Ke-9 Masa Sidang III Tahun Sidang 2016-2107, hal. 4-7. 8 Keputusan panitia musyawarah DPD RI N0. 5/Panmus DPD/III/2016-2017 merupakan keputusan yang ditandatangani langsung oleh pimpinan DPD RI Muhammad Saleh, Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad pada 9 Maret 2017.

74

249,9 yang tidak memungkinkan panitia musyawarah melakukan perubahan agenda sidang di bawah dua hari.

Selain itu, kelompok pembaharu menilai putusan MA No. 38P/HUM/2016 dan No. 20P/HUM/2017 tidak mengikat karena datang terlambat pada 30 Maret

2017, saat DPD RI telah mengagendakan sidang pada 9 Maret 2017. H. Ahmad

Nawardi dalam wawancaranya dengan penulis turut memberikan keterangan yang sama terkait hal tersebut.

“Putusan MA itu turun ketika kita sudah mengagendakan pemilihan pimpinan ketua DPD. Sudah mengagendakan, sehari sebelum pemilihan itu baru turun putusan itu diputus. Di situlah terjadi perdebatan karena di tatib juga agenda paripurna itu tidak bisa diubah kalau hanya sehari. Panmus (panitia musyawarah) boleh mengubah minimal dua kai dua puluh empat jam, atau dua hari sebelumnya, tidak boleh mendadak.”10 Pimpinan DPD RI periode 2014-2017 secara tertulis telah menyatakan siap mengakhiri masa jabatannya pada 3 April 2017, Namun mereka berubah haluan dengan cara mengajukan judicial review ke MA secara diam-diam tanpa sepengetahuan anggota DPD RI dengan tujuan menggagalkan pemilihan pimpinan

DPD RI 2017-2019. Inkonsistensi pimpinan DPD RI ini yang menyebabkan

9 Berdasarkan Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib DPD RI pasal 249 bagian tata cara mengubah acara sidang atau rapat menjelaskan bahwa ayat (1) Alat kelengkapan DPD dapat mengajukan usul perubahan kepada pimpinan DPD mengenai acara yang telah ditetapkan oleh panitia musyawarah, baik mengenai perubahan waktu maupun mengenai masalah baru, yang akan diagendakan untuk segera dibicarakan dalam rapat panitia musyawarah. (2) Usul perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1), diajukan secara tertulis dengan menyebutkan waktu dan masalah yang diusulkan paling lama tiga hari sebelum acara rapat yang bersangkutan dilaksanakan. (3) Pimpinan DPD mengajukan usul perubahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada panitia musyawarah untuk segera dibicarakan. (4) Panitia musyawarah membicarakan dan mengambil keputusan tentang usul perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3). (5) Keputusan panitia musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengubah acara sidang atau rapat dan memberitahukan perubahan acara sidang atau rapat tersebut kepada seluruh anggota paling lambat dalam dua hari. (6) Apabila panitia musyawarah tidak dapat mengadakan sidang, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (7). 10 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB.

75

kemarahan sebagian besar anggota DPD RI lain. Gede Pasek Suardika ikut memberikan keterangan terkait hal tersebut.

“Mereka (pimpinan DPD RI periode 2017-2019) yang sudah memegang jabatan tidak mau melepaskan jabatan dengan baik, meskipun itu sudah disahkan oleh mereka sendiri, yang memimpin yang mengesahkan yang ikut mengetok palunya. Tetapi kemudian setelah ini berjalan sambil menunggu tahapan dua tahun enam bulan, mereka sudah membuat sebuah surat bahwa mereka akan menjabat pas dengan masa jabatan yang itu, ada suratnya, SK No. 44 kalau tidak salah. Kemudian diam-diam dilakukan judicial review ke MA tanpa sepengatahuan semua. Jadi di situ terjadi kubu yang kalah dalam voting sebagian ini menggugat, kemudian yang menjawab ini pimpinan yang dalam satu kubu. Ini kan tidak muncul di publik, siasat tidak sehat ini tidak muncul di publik. Kemudian MA pun membuat keputusan pun aneh, dalam waktu yang singkat dia langsung mengeluarkan putusan itu, dan kemudian diperbaiki lagi putusan itu. Putsuan yang sudah diberikan, yang sudah sah kemudian diperbaiki lagi karena di dalamnya ada salah isi. Dan itu tidak pernah diketahui dan tidak pernah dibawa ke peripurna, jadi inilah yang menyebabkan semakin marah anggota yang lain.”11 Inkonsistensi pimpinan DPD RI ini yang menyebabkan kemarahan sebagian besar anggota DPD RI lain. Akan tetapi Gusti Kanjeng Ratu Hemas tetap pada pendirian membacakan putusan MA dan membatalkan Tata Tertib DPD RI

No. 1 Tahun 2016 dan No. 1 2017 yang kemudian menutup dengan sekali ketokan palu. Spontan sebagian banyak anggota DPD RI melakukan interupsi, mengecam dan menolak tindakan Gusti Kanjeng Ratu Hemas karena keputusan tersebut bersifat sepihak bukan berbasis pada kedaulatan forum.

Tindakan tersebut berbuntut pada mosi tidak percaya anggota DPD RI terhadap kepemimpinan Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Tercatat terdapat lima puluh empat anggota DPD RI menandatangi mosi tidak percaya. Di bawah kendali

Benny Rhamdani (anggota DPD RI daerah pemilihan Sulawesi Utara), mereka

11 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.

76

mendesak Farouk Muhammad untuk mengambil alih jalannya persidangan dan segera mencabut keputusan Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang kontroversial.

Farouk Muhammad resmi memimpin persidangan dan mencabut putusan sepihak Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Lobi-lobi politik tetap berlangsung alot antara kedua belah pihak. Namun berdasarkan pada keputusan DPD RI No.

44/DPD RI/III/2016-2017 mengharuskan Farouk Muhammad untuk mundur dari kursi kepemimpinan karena waktu telah lewat dari 3 April 2017. A.M. Fatwa dan

Riri Damayanti John Latif selaku anggota DPD RI tertua dan termuda melanjutkan amanah Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2017 pasal 48 ayat (2) dengan menjadi pimpinan sementara.

Persidangan sudah semakin cair, sebagian anggota DPD RI sudah dapat mengontrol emosinya meskipun masih terdapat sedikit perdebatan. Mereka sepakat bahwa agenda pertama adalah pemilihan pimpinan DPD RI 2017-2019 dan kedua pembacaan keputusan MA terkait Tata Tertib DPD RI dan bukan untuk dikaji. Serangkaian peristiwa yang menimbulkan perpecahan di dalam internal

DPD RI, perlahan sudah menemui titik terang dan memasuki pada fase penentuan pimpinan DPD RI yang baru.

Sesuai dengan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2017 pasal 50 dan pasal

49 menggariskan bahwa mekanisme pemilihan pimpinan DPD RI dilakukan dengan mengedepankan prinsip musyawarah mufakat, keterwakilan wilayah

Timur, Tengah, Barat dan memperhatikan keterwakilan perempuan.12 Selain itu,

12 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib pasal 50 dan 49.

77

pemilihan juga harus melalui dua forum yaitu forum wilayah dan forum nasional, serta melewati tiga tahapan yaitu, pertama wilayah masing-masing menguslkan maksimal tiga nama. Kedua setiap anggota memilih satu nama dari masing- masing wilayah untuk menghasilkan tiga nama tertinggi. Ketiga tiga nama terpilih pada tahap kedua, dibawa ke forum nasional untuk menentukan ketua dan wakil ketua.

Berdasarkan aturan tersebut, tahapan pertama berhasil terjaring enam bakal calon terdiri dari tiga orang wilayah Barat yaitu Darmayanti Lubis (Sumatra

Utara), Andi Surya (Lampung), Abdul Aziz (Sumatera Selatan), satu orang wilayah Tengah yakni Oesman Sapta Odang (Kalimantan Barat) dan dua orang wilayah Timur yaitu Bahar Ngitung (Sulawesi Selatan) dan Nono Sampono

(Maluku). Tahapan kedua, nama-nama bakal calon pimpinan semakin mengerucut dan menyisakan tiga nama. Darmayanti Lubis mewakli wilayah Barat, Oesman

Sapta Odang tetap pada posisinya menjadi calon tunggal dari wilayah Tengah dan

Nono mewakili wilayah Timur.13

Pada pemilihan tahap ketiga, Oesman Sapta Odang yang belum hadir di persidangan diminta untuk datang dan segera melakukan musyawarah mufakat bersama dengan Darmayanti Lubis dan Nono Sampono untuk memutuskan ketua

DPD RI dan wakil ketua DPD RI I dan II. Mereka bertiga sepakat untuk menjadikan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD RI, Nono Sampono menjadi wakil ketua DPD RI I dan Darmayanti Lubis menjadi wakil ketua DPD

13 Risalah Sidang Paripurna DPD RI Ke-9 Masa Sidang III Tahun Sidang 2016-2107, hal. 92.

78

RI II. Menariknya tidak ada dari mereka yang menyinggung masalah kode etik atau status rangkap jabatan Oesman Sapta Odang. Berselang tiga jam setelah pemilihan pimpinan DPD yang berakhir pada Selasa, 4 April 2017, pukul 16.05

WIB, ketiga pimpinan terpilih mengucapkan sumpah sebagai ketua dan wakil ketua dituntun oleh wakil ketua MA, Suwardi.

Di penghujung sidang, Oesman Sapta Odang memberikan sambutan pertama sebagai ketua DPD RI terpilih periode 2017-2019 di hadapan anggota

DPD RI, mengucapkan rasa syukur yang sebanyak-banyaknya atas rahmat Allah

SWT, dan mengetok palu sebanyak tiga kali pertanda sidang paripurna resmi ditutup, tepat pada Selasa, 4 April 2017 pukul 19.58 WIB.14 Secara prosedural seluruh tahapan sudah terselesaikan, namun kekecewaan masih belum hilang dari kelompok yang mendukung masa jabatan pimpinan selama lima tahun, khususnya seperti yang diutarakan oleh wakil ketua DPD RI periode 2014-2017, Gusti

Kanjeng Ratu Hemas.

“Yang melakukan pemilihan ini tidak patuh pada hukum, tentang apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung karena harusnya dia menggunakan Tatib Nomor 1 Tahun 2014, sehingga mereka melakukan dengan mengatakan bahwa Tatib Nomor 1 Tahun 2017 itu masih berlaku. Jadi berarti tidak mematuhi apa yang diputuskan oleh Mahkamah Agung”15 Sebagian dari kelompok yang kontra adanya pembaharuan pimpinan DPD

RI mempertanyakan sikap MA melantik pimpinan DPD RI periode 2017-2019 dan meduga bahwa MA yang diketuai oleh Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H, M.H

14 Risalah Sidang Paripurna DPD RI Ke-9 Masa Sidang III Tahun Sidang 2016-2107, hal. 112-113. 15 Frisca Clarissa, “Wawancara Kompas Petang dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wakil Ketua DPD RI periode 2014 - 2017 tentang Kontroversi Pimpinan Baru DPD RI ”, https://www.youtube.com, 05 April 2017.

79

sudah ikut bermain politik, karena dalam hal ini bertindak tidak independen menegakkan hukum. peristiwa semacam ini tentunya tidak diharapkan terjadi karena akan mencederai marwah lembaga hukum itu sendiri. Lebih lanjut, Gusti

Kanjeng Ratu Hemas mengharapkan Mahkamah Agung bersikap adil dan tidak berat sebelah terkait putusan masa jabatan pimpinan DPD RI.

“Jadi yaitu yang saya pertanyakan adalah kenapa justru Mahkamah Agung melantik DPD yang tadi malam dilakukan, sehingga saya mempertanyakan kepada Mahkamah Agung bahwa kami sendiri sebetulnya dengan keputusan Mahkamah Agung, kami patuh pada hukum. Saya tentunya mengharapkan, saya minta supaya Mahkamah Agung melakukan yang terbaik untuk apa yang sudah diputuskan. Saya seharusnya tetap mengharap dan meminta Mahkamah Agung sesuai dengan apa yang diputuskan itu sebetulnya tidak bisa melantik pimpinan DPD yang tidak sah”.16

B. Analisis Etika Politik terhadap Pemilihan Ketua DPD RI periode 2017-

2019, Oesman Sapta Odang

B. 1. Etika Pemilihan Ketua DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta

Odang

Dalam beberapa bulan pasca pelantikan pimpinan DPD RI periode 2017-

2019, muncul penilaian publik tentang pelanggaran etika yang dilakukan oleh

Oesman Sapta Odang atas status rangkap jabatanya sebagai ketua DPD RI, wakil ketua MPR RI dan ketua umum partai Hanura. Tidak sedikit dari mereka beranggapan hal tersebut sebagai langkah mundur suatu lembaga perwakilan daerah. Mereka juga memandang DPD RI tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam merespon kepentingan-kepentingan

16 Frisca Clarissa, “Wawancara Kompas Petang dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wakil Ketua DPD RI periode 2014 - 2017 tentang Kontroversi Pimpinan Baru DPD RI”, https://www.youtube.com, 05 April 2017.

80

daerah di Indonesia, dan bahkan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan partai politik dibandingkan kepentingan publik dan daerah.

Memilih Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI dan dengan statusnya yang masih aktif sebagai wakil ketua MPR RI dapat memicu terjadinya konflik kepentingan yang berujung pada tindakan korupsi. Selain itu, dualisme jabatan pemerintah juga membawa potensi duplikasi anggaran. Jabatan sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019 pun dipandang bertentangan oleh hukum karena tidak sesuai dengan putusan MA No. 38P/HUM/2016 dan No. 20P/HUM/2017.17

Melaui fenomena tersebut, etika hadir dengan tujuan agar tatanan perpolitikan di suatu negara dapat berjalan dengan baik, bermartabat dan sesuai dengan aturan moral yang mengikat atau yang disebut juga dengan kode etik.

Ahmad Nawardi, sebagai anggota DPD RI yang secara langsung ikut melaksanakan pemilihan tersebut, menilai Oesman Sapta Odang tidak melanggar etika politik apapun, ia maju terpilih sesuai dengan jalur hukum dan peraturan

Tata Tertib DPD RI.

“Itu kan tidak diatur di dalam undang-undang atau tatib, jadi tidak ada larangan dia sebagai wakil ketua MPR dan ketua DPD, kemarin itu pak Oesman Sapta Odang sempat menyatakan pengunduran diri dari MPR beberapa bulan yang lalu, tetapi pada waktu itu anggota DPD tidak menyetujui kepengunduran diri itu. Jadi tetap dia harus melakukan mekanisme lewat paripurna, menyatakan pengunduran diri itu akan tetapi tidak disetujui pengunduran diri itu oleh anggota. Karena anggota tidak ingin terjadi gejolak politik di internal lagi, ada perebutan pimpinan MPR sehingga terjadi gejolak dinamika di internal lagi”.18

17 A15, “Polemik Rangkap Jabatan Pejabat Publik” https://pinterpolitik.com, 26 Mei 2017. 18 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB.

81

Anggapan mengenai Oesman Sapta Odang yang telah melanggar etika politik selain telah ditegaskan oleh Ahmad Nawardi, diperjelas juga oleh Gede

Pasek Suardika. Ia menjelaskan bahwa Oesman Sapta Odang tidak melanggar etika apapun, karena tidak diatur di dalam Tata Tertib DPD RI tentang hal tersebut. Akan tetapi Oesman Sapta Odang sempat menyatakan keinginannya untuk mundur dari jabatan wakil ketua MPR RI pada sidang paripurna DPD RI namun anggota DPD RI menolak permintaan kemundurannya dengan alasan demi efektifitas waktu kerja DPD RI.

“Tidak diatur di kode etik, di tatibnya tidak diatur, karena itu kan paripurna, beliau sudah menyampaikan kemudurannya supaya tidak merangkap jabatan. Akhirnya vote udah terus saja, biarkan saja, tanggung sudah akhir musim seperti ini, toh juga yang mengganti mau ngapain di situ. Waktu sudah mau kampanye, kita jadi berpikir tidak perlu ada pergantian.19 Di dalam kode etik DPD RI itu sendiri tidak ada aturan yang melarang seorang anggota DPD RI menjabat sebagai anggota atau pengurus partai politik, hanya saja dalam peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib pasal 286 ayat (1) tertulis bahwa anggota DPD RI dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainya. Jabatan yang dimaksud di antaranya adalah hakim pada badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota TNI / POLRI, pegawai

BUMN atau BUMD serta badan negara lain yang anggarannya bersumber dari

APBN / APBD.20

Berdasarkan aturan tersebut tertulis secara jelas larangan beberapa jabatan yang dilarang bagi anggota DPD RI untuk merangkap. Tidak terdapat catatan

19 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB. 20 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib pasal 286 ayat (1).

82

khusus bagi yang merangkap jabatan sebagai anggota atau pimpinan MPR RI.

Kesekjenan DPD RI juga menjamin tidak ada duplikasi anggran bagi Oesman

Sapta Odang di DPD RI ataupun di MPR RI. Sekjen DPD RI, Sudarsono

Hardjosoekarto menjelaskan terkait hal tersebut.

“Kami kesekjenan DPD dan kesekjenan MPR sudah duduk bersama untuk memetakan mana yang jadi bagian pengeluaran DPD dan mana pengeluaran MPR. Jadi tidak ada duplikasi. Jadi dalam konteks pengelolaan dan penggunaan Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN), ketua DPD yang sekaligus ketua MPR, tidak perlu dikhawatirkan.”21 Selain itu pula, tidak ada larangan bagi anggota atau pengurus partai politik menjadi anggota DPD RI. Hal tersebut berbasis putusan MK No. 10/PUU-

VI/2008 yang memperbolehkan anggota partai politik mengikuti pemilihan anggota DPD RI pada pemilihan umum 2009. A.M. Fatwa selaku pimpinan sidang paripurna pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI 2017-

2019 mendukung penuh diperbolehkannya anggota partai politik terlibat dalam lembaga DPD RI.22

Berbasis pada kode etik DPD RI dan putusan MK No. 10/PUU-VI/2008, maka status ketua umum partai politik yang dijabat ketua DPD RI periode 2017-

2019 terpilih, Oesman Sapta Odang bukan merupakan pelanggaran etika.

Dikatakan demikian, karena sudah sesuai dengan standar aturan hukum yang mengikat, dan keterpilihannya dengan harapan mampu menguatkan peran DPD RI secara lebih maksimal.

21 A15, “Polemik Rangkap Jabatan Pejabat Publik” https://pinterpolitik.com, 26 Mei 2017. 22 Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan NKRI, hal. 13.

83

B. 2. Sudut Pandang Dimensi Etika Politik

Dalam ilmu politik teori-teori yang tercipta akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman sehingga membentuk suatu asumsi dalam proses- proses ilmu politik. Hal yang demikian ini memberi sinyal positif bagi para akademisi atau ilmuwan politik dalam menganalisa fenomena-fenomena politik yang seringkali terjadi di ruang publik.

Ruang publik itu sendiri adalah ruang kebebasan politik yang mencakup semua bentuk institusi politik dan lingkup yang memfasilitasi aktivitas warga negara untuk secara bebas mengkomunikasikan diri dengan orang lain. Seperti apa yang terjadi satu tahun belakangan ini pada institusi politik di Indonesia yakni

DPD RI. Banyak pengamat politik di Indonesia yang menganalisis perilaku politik para politisi yang bernaung di bawah lembaga wakil daerah ini. Seperti yang sedang ramai dianalisa oleh para pengamat politik belakang ini adalah dinamika pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-2019 dan juga status rangkap jabatan

Oesman Sapta Odang atas keterpilihannya sebagai ketua DPD RI periode 2017-

2019. Penulis juga ikut menganalisis fenomena tersebut dengan meletakan teori etika politik dan kekuasaan sebagai dasar penelitian.

Anggapan beberapa pihak mengenai adanya pelanggaran etika yang telah dilakukan oleh Oesman Sapta Odang atas status rangkap jabatannya sebagai ketua

DPD RI, wakil ketua MPR RI dan ketua partai Hanura merupakan fenomena baru dalam tubuh DPD RI. Sebab ketua DPD RI sebelumnya tidak ada yang merangkap jabatan sebagai pimpinan MPR RI ataupun sebagai ketua partai

84

politik. Pada kasus Oesman Sapta Odang ini apabila ditinjau dari teori etika dan kekuasaan maka memiliki jawaban tersendiri. Seperti pada kebanyakan peneliti sebelumnya, kali ini penulis juga menggunakan tiga konsep dimensi etika politik yakni tujuan, sarana dan aksi politik untuk menganalisis etika politik dari Oesman

Sapta Odang. Penulis juga menggunakan teori kekuasaan terdiri cara meraih kekuasaan serta sumber-sumber kekuasaan, yang antara lain meliputi wibawa, wewenang, dan kharisma.

Teori-teori tersebut merupakan alat pengukur penulis guna memperkuat argumen tentang penelitian ini sehingga menjadi jawaban atas pertanyaan masalah penelitian. Pengertian teori yang dipaparkan sebelumnya akan sangat erat relevansinya dengan penelitian ini, bagaimana sebuah etika itu dipegang dan dilaksanakan oleh seseorang dalam kasus ini adalah Oesman Sapta Odang sesuai dengan keyakinannya sendiri sebagai sebuah batas dalam mengontrol baik atau buruknya suatu tindakan. Berperannya sebagai politisi maka Oesman Sapta Odang akan dikaji tindakan baik atau buruknya selaku politisi berdasarkan pada kode etik profesi. Akan dikatakan beretika apabila suatu tindakan dinilai baik dan berdampak positif serta bermanfaat bagi khalayak orang. Maka sebaliknya jika tindakan tersebut buruk dan merugikan banyak orang, maka hal yang dilakukan tersebut tidak termasuk ke dalam definisi etis.

Berbicara mengenai etika politik, sejatinya dihadapkan pula dengan etika individual dan etika sosial. Etika politik tidak hanya mengkaji masalah perilaku politikus saja, ia juga berkesinambungan dengan dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, dan ekonomi. Maka dalam

85

perjalanan penelitian ini penulis tidak hanya memfokuskan pada diri Oesman

Sapta Odang secara khusus tapi mellihat juga bagaimana peran institusi (DPD RI) dalam merefleksikan etika politik itu sendiri. Individu dan institusi keduanya merupakan dua dimensi etika yang saling mendukung, individu sebagai stabilitas tindakan dari dalam diri pelaku sedangkan institusi sebagai stabilitas tindakan dari luar diri pelaku.

Secara keseluruhan etika politik mempunyai tiga dimensi dasar, yaitu tujuan, sarana dan aksi politik.23 Ketiga dimensi ini menjadi alat pengukur pendukung penulis untuk mengkritisi dan mengkaji etika politik pada kasus pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang.

B. 2. 1. Dimensi Tujuan

Tujuan adalah dimensi yang paling utama dalam etika politik. Dalam hal ini dimensi moralnya terletak pada kemampuan menentukan arah yang jelas melalui kebijakan umum dan akuntabilitas dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dalam hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan.

Pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019 salah satu tujuannya adalah untuk penguatan peran DPD RI itu sendiri. Sosok Oesman

Sapta Odang dinilai layak menjadi ketua DPD RI dengan segala latar belakang yang ia miliki. Pemilihan dirinya sebagai jalan untuk memperkuat DPD RI.

Tujuan tersebut pada akhirnya tercapai ketika dirinya menjadi ketua DPD RI.

23 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Kompas, 2014) hal. 33.

86

Pemilihan Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI merupakan solusi tepat dalam upaya mewujudkan tujuan dasar DPD RI, yakni mensejajarkan wewenang dengan DPR RI demi memperjuangkan aspirasi daerah secara utuh.

Salah seorang anggota DPD RI daerah pemilihan Bali, Gede Pasek Suardika menjelaskan apa saja perubahan yang terjadi dalam tubuh DPD RI semasa kepemimpinan Oesman Sapta Odang.

“Ketika pergantian pimpinan itu terjadi, mulailah penguatan itu terjadi. Presiden diundang hadir ini kita kuat, mereka mulai menghitung posisi DPD, kemudian kita di DPR rapat triparti menjadi lebih bagus, kita juga kemudian pertemuan di luar kota tiga lembaga ini terjadi, mulai diposisikan berubah dengan ada kepemimpinan yang baru sampai terakhir revisi UU MD3 pun mulai juga diperkuat posisi DPD, sehingga DPD hari ini diberikan kewenangan tambahan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi Ranperda dan Perda”.24 Sesuai dengan keterangan yang disampaikan oleh Gede Pasek Suardika,

DPD RI kini memiliki tambahan wewenang melalui perubahan UU No. 17 Tahun

2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana yang tertulis pada pasal

248 ayat (1) huruf J, bahwa DPD RI mempunyai wewenang dan tugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas ruu perda dan perda. Selain dari pada itu, DPD RI kini juga mengalami penambahan komposisi pimpinan DPD RI yang sebelumnya diisi oleh satu orang ketua dan dua orang wakil ketua kini menjadi satu orang ketua dan tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD RI dalam Sidang Paripurna DPD RI sebagaimana yang termaktub dalam pasal 260 ayat (1). Tambahan wakil ketua DPD RI tersebut diisi oleh Drs. H. Akhmad

24 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.

87

Muqowam, salah seorang anggota DPD RI dari daerah pemilihan Jawa Tengah yang resmi dilantik pada 26 Juli 2018.25

B. 2. 2. Dimensi Sarana

Setelah dilihat dari dimensi tujuan, selanjutnya etika politik akan diuji berdasarkan sarana. Dimensi sarana yang dimaksud dalam teori ini adalah sarana- sarana yang memungkinkan tercapainya tujuan tersebut. Letak moralitas pada dimensi ini tertuju pada peran etika dalam mengkritisi legitimasi keputusan- keputusan, institusi-institusi dan praktik-praktik politik. Dengan catatan harus mengandung dua pola normatif yakni tatanan politik seperti hukum dan institusi harus mengikuti prinsip solidaritas dan subsidiaritas, penerimaan pluralitas, dan struktur sosial ditata berdasarkan prinsip keadilan; kedua kekyatan-kekuatan politik ditata berdasarkan prinsip timbal balik.

Apabila mengacu pada kasus pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019,

Oesman Sapta Odang, dimensi ini mengkritisi bagaimana institusi dan hukum terlibat pada pengambilan keputusan untuk membantu tercapainya tujuan Oesman

Sapta Odang menjadi ketua DPD RI. Penulis dalam hal ini menemukan fakta bahwa institusi yang terkait yakni DPD RI telah merefleksikan segala bentuk tindakan yang mengandung asas moralitas ke dalam bentuk kode etik DPD RI.

Kode etik ini merupakan aturan Tata Tertib yang menuntun perilaku DPD RI kepada prinsip keadilan dan prinsip timbal balik.

25 DPD RI, “UU MD3 Tambah Kewenangan DPD RI”, http://www.dpd.go.id, 29 Oktober 2018.

88

Di dalam kode etik DPD RI yang termuat pada peraturan DPD RI pasal

213 ayat (1)26 tidak ada larangan anggota DPD RI merangkap jabatan menjadi anggota atau pengurus partai politik serta tidak ada larangan seorang pimpinan

DPD RI merangkap jabatan menjadi pimpinan MPR RI. Sedangkan secara yuridis atau hukum, Oesman Sapta Odang sah terpilih menjadi ketua DPD RI periode

2017-2019. Hal ini didasari oleh Tata tertib DPD RI No. 3 Tahun 2017 yang mengatur masa pimpinan DPD RI menjadi dua tahun enam bulan, dan dengan dipandu langsung pengambilan sumpah jabatan oleh wakil ketua MA Suwardi sehingga melegalkan Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI periode 2017-

2019 beserta Nono Sampono dan Darmayanti Lubis menemaninya menjadi wakil ketua DPD RI. Jika demikian, maka praktik-praktik institusi dan hukum sudah termasuk ke dalam standar penilaian etis.

B. 2. 3. Dimensi Aksi Politik

Dimensi yang ketiga ini lebih menitikberatkan pada pelaku itu sendiri, pelaku tersebut dalam penelitian ini ialah Oesman Sapta Odang. Dimensi moralnya terletak pada penguasaan manajemen konflik yang dilakukan oleh pelaku yang didasari oleh bela rasa dan keberpihakan kepada yang lemah atau korban. Oesman Sapta Odang hadir ditengah-tengah rasa kebimbangan DPD RI dalam menemukan pemimpin yang mampu membawa DPD RI ke arah yang lebih

26 Berdasarkan Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata tertib DPD RI pasal 213 ayat (1), merangkap jabatan yang dimaksud adalah merangkap jabatan sebagai pejabat nagara lain, merangkap sebagai Hakim pada badan peradilan, atau merangkap jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegarai pada badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Lainnya yang sumber anggarannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

89

baik, setelah pemimpin sebelumnya dianggap belum mampu membawa perubahan yang signifikan bagi DPD RI. DPD RI juga beberapa kali mengalami disintegrasi karena sering terjadinya konflik internal.

Oleh sebab itu, memilih Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI menjadi solusi terbaik bagi DPD RI. Ia maju sebagai ketua DPD RI karena bertekad ingin memperjuangkan aspirasi daerah yang selama ini masih belum bisa dilakukan oleh anggota DPD RI secara optimal karena keterbatasan wewenang dan lemahnya pimpinan sebelumnya dalam melakukan bargaining dengan lembaga yang lain. Melalui pemilihan ini maka cita-cita dan harapan anggota

DPD RI kembali terbuka lebar. Semangat membela dan menyuarakan aspirasi daerah kembali menggelora, tidak ada lagi rasa kekecewaan terhadap pimpinan yang dinilai hanya bertindak individualis karena mementingkan golongannya saja bukan DPD RI secara keseluruhan. Gede Pasek Suardika, anggota DPD RI dan juga wakil ketua DPP partai Hanura menyuarakan pandangannya terkait hal tersebut.

“Pak Nono itu kan tentara, bekas paspamres juga jadi punya pengalaman lapangan dan lain-lain. Pak Oesman Sapta pengusaha, tapi ia juga politisi dan dia salah satu perintis pembentukan DPD dulu sejarahnya. Ibu Darmayanti seorang pendidik, guru besar, professor doktor, jadi kita menganggap ini kombinasi yang bagus untuk memberikan alternatif baru dibandingkan yang sebelumnya yang tipikalnya lebih menurut banyak teman-teman menikmati kepemimpnan tetapi tidak memperjuangkan untuk memperkuat DPD, ketika pergantian pimpinan terjadi mulai lah penguatan itu terjadi.”27

27 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.

90

C. Sumber Kekuasaan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta

Odang

Pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 ini memiliki warna-warni politik tersendiri. Nama-nama yang sudah tercium bau kepemimpinannya ketika sidang paripurna seperti Nono Sampono dan Darmayanti Lubis harus mengakui keunggulan Oesman Sapta Odang yang terpilih sebagai ketua DPD RI periode

2017-2019. Nono Sampono yang mewakili wilayah timur harus rela menjadi wakil ketua DPD RI I dan Darmayanti Lubis yang mewakili wilayah barat harus menempati posisi sebagai wakil ketua DPD RI II. Hal uniknya adalah Oesman

Sapta Odang yang ketika sidang paripurna tidak hadir, akhirnya dengan secara hormat diminta untuk hadir untuk menerima secara langsung keterpilihannya. Dan tepat pada pukul 00.45 WIB Oesman Sapta Odang tiba dan pada pukul 02.00

Oesman Sapta Odang ditetapkan sebagai ketua DPD RI terpilih secara aklamasi.28

Dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata ada beberapa sumber kekuasaan yang menjadi dasar Oesman Sapta Odang bertindak sebagai ketua DPD

RI periode 2017-2019 dan juga menjadi faktor keterpilihannya, tiga sumber tersebut yakni wibawa, kharisma dan wewenang. Jika ingin secara kuat dan legal menjadi penguasa, maka dituntun untuk memiliki sumber kekuasaan tersebut.

Ketua DPD RI terpilih Oesman Sapta Odang selaku obyek utama dalam penelitian ini akan dikaji berdasarkan pada tiga sumber tersebut untuk mengetahui faktor- faktor yang membuat dirinya legal menduduki kursi ketua DPD RI.

28 Nabilla Tashandra, “Oesman Sapta Odang Terpilih Menjadi Ketua DPD”, https://nasional.kompas.com, 04 April 2017.

91

C. 1. Sumber Wibawa

Kewibawaan seseorang itu tergantung pada tingkat popularitas diri. Di dalam pemilihan ketua lembaga yang merepresentasikan kepentingan daerah, popularitas figur memainkan peran penting dalam menjadikan dirinya layak dipilih untuk memegang tongkat kekuasaan DPD RI. Popularitas merupakan key of success karena tercakup di dalamnya kapasitas, keahlian dan keterampilan diri seseorang dalam mengatasi berbagai macam masalah sesuai dengan apa yang ia kuasai pada umumnya.29

Popularitas Oesman Sapta Odang sudah tidak dapat diragukan lagi di kalangan DPD RI, ia seolah sudah menjelma menjadi icon bagi DPD RI.

Kapasitasnya sebagai wakil daerah yang memperjuangkan aspirasi-aspirasi daerah bisa dibilang sudah sangat mumpuni. Sebab di antara sekian banyak anggota DPD

RI periode 2014-2019, Oesman Sapta Odang termasuk orang yang paling senior karena merupakan salah satu pencetus dibentuknya DPD RI yang sebelumnya dikenal dengan istilah utusan daerah.

Selain itu yang membuat dirinya terpilih menjadi ketua DPD RI mengalahkan pesaing-pesaingnya adalah karena Oesman Sapta Odang mempunyai track record yang hampir tidak dimiliki oleh sebagian besar anggota

DPD RI lain yaitu ia pernah menjadi anggota MPR RI fraksi utusan daerah periode 1999-2004 bersamaan dengan jabatan ketua forum utusan daerah MPR

RI. Pada periode yang sama ia juga menjabat sebagai ketua fraksi utusan daerah

29 Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hal. 139-140.

92

persiapan MPR RI, yang kemudian jabatan tersebut mengantarkannya menjabat kembali menjadi ketua fraksi utusan daerah MPR RI pada tahun 2001-2002 sampai pada akhirnya ia dipilih untuk menjadi wakil ketua MPR RI dari fraksi utusan daerah pada periode 2002-2004 dan wakil ketua MPR RI dari DPD RI periode 2014-2019. serta perjuangan-perjuangan lainnya yang Oesman Sapta

Odang lakukan demi memperjuangkan kepentingan daerah di Indonesia.

Di sini terlihat betapa kayanya pengalaman kedaerahan yang Oesman

Sapta Odang miliki, ditambah lagi jabatan-jabatan lain di luar jabatan politik yang pernah ia emban seperti ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)

Kalimantan Barat 1977-1980, ketua Kamar Dagang Industri Daerah (KADINDA)

Kalimantan Barat 1983-1987, 1987-1992, 1998-2004, ketua Asosiasi Perdagangan

Jeruk Kalimantan Barat 1988, ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN), ketua

Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) 2010- 2017. Semua itu membuktikan bahwa dirinya cukup berwibawa sehingga dinilai mumpuni untuk menahkodai DPD RI.

Selain itu, Oesman Sapta Odang juga aktif berkontribusi dalam pembangun Masjid Agung Oesman Al-Khair di Sukadana, Kayong Utara, Masjid

Raya Mujahidin di Pontianak dan pernah juga menjadi ketua umum DPP Gebu

Minang 2016-2021. Hal ini disampaikan oleh wakil ketua DPP partai Hanura yang sekaligus sebagai anggota DPD RI daerah pemilihan Provinsi Bali, Gede

Pasek Suardika.

“Beliau ini banyak sekali jabatannya, dulu HKTI beliau pegang, KADIN juga pernah, kemudian KKI, Gebu Minang, banyak sekali dari urusan keagamaan

93

sampai urusan sosial dan olah raga. Ada lagi dewan pembina remaja masjid itu beliau juga, BKPRMI beliau juga jadi pembina, beliau aja bangun masjid itu sudah enam belas bangun masjid. Bikin masjid terapung yang di Sukadana, masjid raya pokonya macam-macam. Kemarin di NTB juga sempat bantu bangun masjid. Orang yang tahu beliau itu akhirnya mengajak beliau memegang berbagai jabatan. Sekarang tinggal hanya aktifitas politik, aktifitas sosial budaya, aktifitas keagamaan. Itu di rumahnya juga selalu mengundang anak yatim, penuh sampai luar, istigotsah beliau bikin, macam-macam pokonya”. 30 C. 2. Sumber Kharisma

Untuk dapat menjadi seorang penguasa dibutuhkan pula unsur yang satu ini yakni kharisma. pada hakikatnya kharisma merupakan garis keturunan para raja terdahulu atau penguasa sebelumnya. Selain itu, karisma juga merupakan kombinasi dari pesona dan daya tarik pribadi yang dicapai atas kontribusi yang luar biasa sehingga mencapai suatu perubahan. Soekarno adalah salah satu contoh tokoh negeri yang dipredikat sebagai pemimpin yang kharismatik atas pencapaiannya dan perjuangannya membela dan memerdekakan Indonesia.31

Sebagaimana yang didefinisikan itu, Secara silsilah Oesman Sapta Odang bukan berasal dari keturunan keluarga yang bermartabat seperti halnya penguasa pada umumnya. Orang tuanya hanya seorang rakyat biasa, Ibunya Asnah Hamid adalah seorang penjahit pakaian. Akan tetapi, menurut penilaian penulis sifat kharismatik yang ada di dalam diri Oesman Sapta Odang itu justru terpancar dari kontribusi dan perjuangannya dalam membuat suatu perubahan bagi negeri. Salah satu bukti perjuangannya adalah dengan terbentuk DPD RI sebagai lembaga keparlemanan Indonesia.

30 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB. 31 Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hal. 139-140.

94

Gede Pasek Suardika memiliki penilaian yang sama bahwa sosok Oesman

Sapta Odang adalah sosok yang berkharisma karena berani dalam bersikap dan memiliki keterpengaruhan yang tinggi. Di usianya yang sudah tidak lagi muda dan kehidupannya yang lebih dari kata cukup ia masih mau meluangkan waktu dan tenaganya untuk berjuang mewujudkan aspirasi daerah serta menjauhkan DPD RI dari jurang ketimpangan wewenang dengan DPR RI.

“Pengalamannya beliau melebihi jika dibanding dengan yang lain, beliau pernah menjadi pimpinan MPR, kemudian beliau adalah perintis adanya DPD. Sehingga kita harapkan dengan beliau memimpin kalau dikembalikan spirit DPD itu seperti apa. Sehingga kita yang masih baru-baru yang masih muda-muda itu ingin dipimpin dengan itu dan juga punya kepemimpinan yang kuat, berani, berani nabrak siapapun kalau memang DPD diperlakukan dengan tidak semestinya. Kita perlu kepemimpinan yang strong untuk melawan sebuah kondisi di mana kita berusaha dikebiri, pemerintah juga merasa rese kalau ada DPD dalam membahas undang-undang, karena semakin banyak orang semakin susah nanti membahas undang-undang. DPR juga tidak mau disalip. Kalau DPD pemimpinnya melempem akan susah, maka dari itu kita pilih pemimpin yang kira-kira berani yang kuat yang punya jaringan luas, yang punya keterpengaruhan, akhirnya kita pilih beliau”.32 Semangat dan tekad yang kuat ia kemas ke dalam konsep etos kerja 5-s yaitu strategy, structure, skill, system, dan speed. Terbukti mengantarkan dirinya pada pringkat 103 dari 150 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia tahun 2016. Bahkan baru-baru ini anaknya, Raja Sapta Oktohari terpilih sebagai ketua Asian Para Games 2018 yang diselenggarakan di Indonesia.

Tidak cukup sampai di situ, Oesman Sapta Odang juga aktif berkontribusi dalam kegiatan amal dan sosial. Kebaikan-kebaikan itu dirasakan juga oleh sebagian besar anggota partai Hanura seperti yang dituturkan langsung oleh Asip

Irama, anggota partai Hanura.

32 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.

95

“Dia baik, dia banyak merangkul, terbukti banyak anggota DPD yang gabung, Dia tegas sekali bahkan ia berhasil memimpin HKTI. Pak Oesman itu tokoh yang luar biasa yang diyakini mampu oleh beberapa anggota DPD untuk memimpin DPD, terbukti Presiden biasanya jarang hadir di acara ulang tahun DPD, tetapi kemarin hadir. Ini kan hal yang luar biasa, beliau sangat dekat dengan Presiden jadi pak Oesman layak untuk memimpin DPD”.33 C. 3. Sumber Wewenang

Setelah ditinjau dari sumber wibawa dan kharisma hal-hal yang menjadi faktor terpilihnya Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI, maka selanjutnya adalah sumber wewenang. Definisi wewenang itu sendiri adalah kekuasaan yang formal, dengan adanya wewenang maka seseorang berhak bertindak memerintah sesuai pada peraturan-peraturan yang menjadi landasan untuk bertindak.34

Presiden mendapatkan wewenang dari rakyat melalui jalur pemilihan umum sedangkan pimpinan DPD RI yakni ketua dan wakil ketua mendapatkan wewenang dari para anggota DPD RI yang memilih berdasarkan pada prinsip keterwakilan wilayah, mendahulukan musyawarah mufakat dan memperhatikan wilayah perempuan.

Dalam pemilihan pimpinan DPD RI 2017,Oesman Sapta Odang menjadi sosok yang diidam-idamkan oleh sebagian besar anggota DPD RI sebagai ketua dikarenakan mempunyai track record yang baik dalam membangun daerah dan juga memiliki popularitas yang tinggi di masyarakat daerah dan juga di kalangan elite politik dibandingkan dengan Nono Sampono dan Darmayanti Lubis yang hanya menjadi Wakil DPD RI. Melalui Tata Tertib DPD RI Nomor 3 Tahun 2017,

Oesman Sapta Odang resmi terpilih secara aklamasi menjadi ketua DPD RI dan

33 Wawancara Pribadi dengan Anggota Partai Hanura Asip Irama pada Selasa, 11 September 2018, pukul 14.00 WIB. 34 Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hal. 139-140.

96

berwewenang memimpin DPD RI ke arah yang lebih baik. Dalam sidang paripurna, lebih dari 50% suara anggota DPD RI bulat memilih Oesman Sapta

Odang menjadi ketua DPD RI. Termasuk juga Nono Sampono dan Darmayanti

Lubis yang lebih menyerahkan amanah kepemimpinan kepada Oesman Sapta

Odang dan rela menjadi wakil ketua DPD RI. Ketiganya dilantik berdasarkan pada Keputsan DPD RI No. 45/DPDRI/III//2016-2017 tentang pimpinan DPD RI periode April 2017-2019. Keputusan ini sekaligus mencabut keputusan sebelumnya tentang pimpinan DPD RI No. 02/DPD/I/2014-2015 dan No.

09/DPD/I/2016-2019.35

Peneliti melihat bahwa sumber wewenang ini tidak datang secara tiba-tiba, butuh dialog, tarik ulur pendapat bahkan sampai terciptanya percikan konflik di dalam internal DPD RI. Akan tetapi konflik, berbeda pendapat itu sudah menjadi romantika dalam politik bukan suatu hal yang aneh jika itu terjadi. Apabila ditarik ke belakang, asal mula munculnya ide perubahan masa jabatan pimpinan DPD RI dari lima tahun mejadi dua tahun enam bulan yang kemudian dijadikan Tata

Tertib DPD RI No. 3 Tahun 2017 adalah karena adanya rasa kekecewaan yang mendalam yang dialami oleh sebagian besar anggota DPD RI terhadap kepemimpinan sebelumnya, sebab dianggap tidak memiliki kekuatan dalam melakukan bargaining dengan lembaga lain. Inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong terpilihnya Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI beserta Nono

Sampono dan Darmayanti Lubis menjadi wakil ketua DPD RI.

35 Yanzah Bagas Nugraha dan Dwi Andayani Budisetyowati. “Analisis Penyelesaian Sengketa Internal Lembaga Negara Studi Kasus Pelantikan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia,“ Jurnal Hukum Universitas Tarumanegara Vol. 1. No. 1, 2018, hal. 14.

97

Hal yang demikian ini seperti apa yang dikatakan oleh Anggota DPD RI

Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad Nawardi, S. Ag,

“Masa kepemimpinan Bapak Oesman Sapta Odang beserta Bapak Nono Sampono dan Ibu Darmayanti Lubis banyak hal yang positif, di antaranya adalah mepunyai power. Pak Oesman Sapta Odang mempunyai power terhadap teman- teman di DPR misalnya bargaining, misalnya awal-awal pembahasan rancangan undang-undang pemilu misalnya, DPD itu ingin diikembalikan dipilih oleh DPRD mewakili DPD kembali pada zaman dahulu. Mewakili masyarakat, mewakili ormas lalu dipilih oleh DPRD provinsi, sudah ada wacana dan masuk ke dalam draf pada waktu itu tetapi atas kepiawaian Bapak Oesman Sapta Odang ini, power yang dimiliki beliau bisa berbicara berkomunikasi dengan teman- teman, ketua-ketua parpol. Kalau seperti itu kita akan kembali ke masa lalu, DPD RI akan menjadi utusan golongan dan utusan daerah dan tidak ada pemilihan dalam pemilu dan itu sama dengan ini lembaga negara akhirnya di bawah DPRD provinsi. Di situlah kita perjuangkan Bapak Oesman Sapta Odang ada di garis terdepan agar mencoret draf itu. Itulah salah satu kekuatan beliau, saya tidak yakin kalau pimpinan lama bisa melakukan itu”. 36 Meskipun pemilihan tersebut menuai polemik, nyatanya keinginan anggota DPD RI agar Oesman Sapta Odang terpilih menjadi ketua DPD RI adalah rasa rindu akan sosok pemimpin yang mampu membangkitkan semangat DPD RI seperti halnya ketika ia merintis DPD RI. Oesman Sapta Odang hadir sebagai pemimpin yang memiliki nyali dan keberanian dalam membela DPD RI, sehingga menjadi alasan anggota DPD RI meletakan harapan dan kepercayaan sepenuhnya kepada Oesman Sapta Odang untuk memegang kendali DPD RI.

36 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB.

98

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian bab-bab sebelumnya mengenai pemilihan ketua

DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang. Maka pada bab akhir ini penulis menemukan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan.

Pertama, dinamika pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 merupakan bagian dari dinamika pemilihan pimpinan DPD RI. Pemilihan ini sah secara konstitusional, hal itu berdasarkan pada peraturan Tata Tertib DPD RI No. 3

Tahun 2017 yang mengatur masa jabatan pimpinan selama dua tahun enam bulan.

Putusan Mahkamah Agung nomor 38P/HUM/2016 dan 20P/HUM/2017 tentang pembatalan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2016 dan No. 1 Tahun 2017 dianggap tidak mengikat oleh DPD RI karena putusan tersebut memiliki kesalahan penulisan yang cukup fatal serta putusan tersebut dianggap tidak berlaku karena datang di saat DPD RI telah mengagendakan pemilihan pimpinan

DPD RI periode 2017-2019 pada sidang paripurna ke-9.

Kedua, berbasis pada dimensi etika poltik yaitu tujuan, sarana dan aksi politik. Pemilihan tersebut sudah memenuhi standar etis, yakni bertujuan baik demi penguatan peran DPD RI yang selama ini dirasa masih lemah di bawah kepemimpinan sebelumnya. Terbukti pasca Oesman Sapta Odang memimpin

DPD RI, lembaga ini mendapatkan tambahan wewenang yaitu DPD RI dapat melakukan pemantauan dan evaluasi atas RUU peraturan daerah dan peraturan

99

daerah, melalui perubahan UU No. 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD dan

DPRD. Komposisi pimpinan DPD RI juga mengalami penambahan yang semula hanya satu ketua dan dua wakil ketua kini menjadi satu ketua dan tiga wakil ketua.

Selain tujuan pemilihan tersebut, etika politik diukur dari sarana dan aksi politik, hal lain yang membuat pemilihan ketua DPD RI ini tergolong etis adalah sesuai dengan mekanisme yang telah diatur di Tata Tertib DPD RI, juga tidak ada pelanggaran kode etik DPD RI yang tercipta. Kode etik DPD RI merupakan refleksi nyata dari etika politik itu sendiri.

Rangkap jabatan sebagai ketua MPR RI dan ketua partai politik Hanura bukan merupakan pelanggaran kode etik, karena tidak diatur di dalam peraturan

DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib. Rangkap jabatan yang dilarang dalam kode etik DPD RI di antarnya adalah sebagai hakim pada badan peradilan, pegawai negeri sipil (PNS), TNI / POLRI, pegawai BUMN / BUMD atau badan lainnya yang sumber anggaran berasal dari negara. Berdasarkan putusan MK No.

10/PUU-VI/2008, DPD RI juga diperbolehkan diisi oleh anggota atau pengurus partai politik. Tidak ada larangan tertulis terkait rangkap jabatan sebagai pimpinan di keduanya.

Ketiga, Oesman Sapta Odang dinyatakan layak menjadi ketua DPD RI karena memiliki sumber kekuasaan yang kuat, yang mendorong dirinya terpilih menjadi ketua DPD RI periode 2017-2019. Sumber tersebut adalah wibawa, kharisma, dan wewenang. Oesman Sapta Odang termasuk ke dalam sosok yang berwibawa bagi sebagian besar anggota DPD RI, hal tersebut dikarenakan popularitas dan track record ia miliki di dalam perpolitikan Indonesia. Hal

100

tersebut dapat dilihat dari jabatan yang pernah ia emban dahulu hingga saat ini seperti ketua fraksi utusan daerah MPR RI 2001-2002, wakil ketua MPR RI 2002-

2004, wakil ketua MPR RI 2014-2019 dan ketua partai Hanura.

Selain berwibawa, Oesman Sapta Odang juga memiliki kharisma hal tersebut dikarenakan perjuangannya dalam merintis terbentuknya DPD RI. Ia merupakan salah satu sosok yang ikut serta dalam perjuangan pembentukan DPD

RI yang sampai saat ini menjadi bagian dari DPD RI. Selanjutnya sumber wewenang yang dimiliki oleh Oesman Sapta Odang berasal dari anggota DPD RI yang memilihnya secara aklamasi pada sidang paripurna 3 April 2017. Atas dasar itu, mayoritas anggota DPD RI memilih Oesman Sapta Odang menjadi ketua lembaga teritori karena dianggap memiliki keterpengaruhan dan relasi yang luas terhadap lembaga lain untuk menjadikan peran DPD RI lebih kuat.

B. Saran

Penulis pribadi sangat menyayangkan atas apa yang terjadi di dalam internal DPD RI pada pemilihan pimpinan periode 2017-2019. Kericuhan yang terjadi seolah-olah memberikan konotasi negatif DPD RI kepada publik. Lembaga

DPD RI terlihat seperti belum dewasa dalam memainkan peran demokrasi di

Indonesia. Meskipun perdebatan dan perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah dalam demokrasi akan tetapi sudah sewajarnya para wakil daerah ini untuk lebih menjaga harkat dan martabatnya di depan publik.

Selain itu, penulis berpendapat perlu adanya keterangan tegas di dalam peraturan Tata Tertib DPD RI ataupun MPR RI tentang rangkap jabatan pimpinan lembaga legislatif guna mengurangi kesalahpahaman publik yang terbawa opini

101

media massa. Selanjutnya, jika terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai ketua

DPD RI adalah semata-mata sebagai jalan penguatan peran DPD RI itu sendiri, penulis menyarankan agar kepentingan daerah tetap menjadi prioritas utama DPD

RI dalam bekerja, jangan sampai terdistorsi dengan kepentingan partai politik.

Selanjutnya pada penelitian ini terlihat jelas kesenjangan hubungan antar lembaga negara yaitu DPD RI dengan Mahkamah Agung maupun Mahkamah

Konstitusi. Penulis menyarankan agar lembaga-lembaga ini mampu memperbaiki hubungan kinerja masing-masing supaya tidak ada lagi putusan-putusan

Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi yang terkesan tumpang tindih dengan peraturan DPD RI.

102

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Abdullah, M. Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Grajafindo Persada, 2006.

Abdurrahman, H dan Soejono. Metode Penelitian; Suatu Pemikiran dan Penerapan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.

Agustino, Leo. Perihal Ilmu Politik, Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Arafah, Teguh. Terma Kekuasaan Dalam Al Qur’an. Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2016.

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, 2006.

Azwar, Syafiuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1993.

BPKK DPD RI. Deskripsi Perjuangan DPD RI: Menuju Amandemen UUD 1945. Jakarta: Sekjen DPD RI, 2016.

Budiardjo, Miriam. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2014.

Dewan Perwakilan Daerah. Sewindu Senat DPD RI. Jakarta: DPD RI, 2012.

. Profil Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun Sidang 2016- 2017. Jakarta: DPD RI, 2017.

Ebyhara, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2016.

103

Fatwa, A.M. DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan NKRI. Jakarta: The Fatwa Center, 2016.

Hadiwardoyo, AI. Purwa. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.

Handoyo, Eko, dkk. Etika Politik. Semarang: Widya Karya Press, 2016.

Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas, 2014.

Ihsan, A. Bakir. Etika dan Logika Berpolitik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.

Koespartono. Kekuasaan. Jakarta: Erlangga, 1987.

Kristiyanto, Eddy. Etika Politik dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Penerbit kanisius, 2001.

Kusnardi, Muh. Ilmu Negara. Jakarta: Media Pratama, 2000.

Machiavelli, Niccolo. Sang Penguasa. Jakarta: Gramedia, 1987.

Magnis-Soseno, Franz. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 1987.

. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

. Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-26. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.

. Kuasa & Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

104

Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah laku. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Simanullang, Robin. Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI, Oesman Sapta Odang. Jakarta: PT. Asasira, 2017.

Sudarminta, Nilai-nilai Etis dan Kekuasaan Utopis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Sy, Pahmi. Politik Pencitraan. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.

Yusuf, M. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Arsitektur Histori, Peran dan Fungsi DPD RI Terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Tesis

Andrino, Wibi. “Kedudukan dan Implementasi Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Penegakan Kode Etik”, (Tesis S2 Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2017)

Said, Abdul Rauf Alauddin. “Kajian Normatif Terhadap Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, (Tesis S2 Universitas Gajah Mada, 2017)

Skripsi

Abdullah, Fikri. “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Legislasi Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah Analisis Putusan MK 93/PUU/-X/203”, (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)

105

Andriyani, Sri. “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD”, (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015)

Ramli, Gusti “Efektifitas Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam Demokrasi Indonesia” (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2009)

Jurnal

Nugraha, Yanzah Bagas dan Dwi Andayani Budisetyowati. “Analisis Penyelesaian Sengketa Internal Lembaga Negara Studi Kasus Pelantikan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia”. Jurnal Hukum Universitas Tarumanegara Vol. 1. No. 1, 2018.

Majalah

Sekretariat Jendral MPR RI, “MPR Lima Tahun ke Depan, Mengawal Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika”. Majelis, no. 10. Oktober 2014. Berita

A15. “Polemik Rangkap Jabatan Pejabat Publik”. https://pinterpolitik.com, 26 Mei 2017.

Abdalla, Faisal. “Partai Hanura Tegaskan Kepemimpinan OSO Baik”. http://news.metrotvnews.com, 15 Januari 2018.

Clarissa, Frisca. “Wawancara Kompas Petang dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wakil Ketua DPD RI periode 2014 - 2017 tentang Kontroversi Pimpinan Baru DPD RI ”. https://www.youtube.com, 05 April 2017.

Dewati, Pranamya. “Mahfud MD Pemilihan Oesman Sapta Jadi Ketua DPD Ilegal”. https://kumparan.com, 07 April 2017.

106

DPD RI, “Putusan MA Akhirnya Menghentikan Rencana” http://www.dpd.go.id, 31 Maret 2017.

DPD RI. “UU MD3 Tambah Kewenangan DPD RI”, http://www.dpd.go.id, 29 Oktober 2018.

DPD RI. “Pimpinan DPD RI Periode 2014-2019”. http://www.dpd.go.id, 29 Oktober 2018.

Hakim. Rakhmat Nur. “Ini Putusan MA Soal Tata Tertib Terkait Kursi Pimpinan DPD”. https://nasional.kompas.com, 06 April 2017.

Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. “Irman Gusman Terpilih Kembali Jadi Ketua DPD RI”. http://setkab.go.id, 19 November 2018.

Handoko, Agustinus. “Bubarkan PPD, OSO Dirikan Partai Persatuan Nasional”. https://nasional.kompas.com, 23 Januari 2012.

Harun, Refly. “Legalitas Pimpinan DPD”. https://nasional.kompas.com, 28 April 2017.

Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA). “Profil Ketua Umum Hanura”. http://partaihanura.or.id, 29 April 2018.

Retaduari, Elza Astari. “Kontroversi OSO Goblokin MK”. https://news.detik.com, 01 Agustus 2018.

Sihaloho, Markus Junianto. “Sidang Pertama OSO Sebagai Ketua DPD Sempat Ricuh”. http://www.beritasatu.com, 11 April 2017.

Tashandra, Nabilla. “Oesman Sapta Odang Terpilih Menjadi Ketua DPD”. http://nasional.kompas.com, 04 April 2017.

107

Dokumen Resmi

Keputusan Mahkamah Agung No. 38P/HUM/2016 tentang Uji Materil terhadap Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib

Keputusan Mahkamah Agung No. 20P/HUM/2017 tentang Uji Materil terhadap Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib

Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib

Risalah Sidang Paripurna DPD RI Ke-9, Masa Sidang III Tahun Sidang 2016- 2017.

Wawancara

Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB.

Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.

Wawancara Pribadi dengan Anggota Partai Hanura Asip Irama pada Selasa, 11 September 2018, pukul 14.00 WIB.

108