LAKON TARLING SANDIWARA ISTRI DURHAKA: ANALISIS KONFLIK ANTAR TOKOH DAN KRITIK SOSIAL Galuh Wulandari Sasongko, I Made Suparta
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 LAKON TARLING SANDIWARA ISTRI DURHAKA: ANALISIS KONFLIK ANTAR TOKOH DAN KRITIK SOSIAL Galuh Wulandari Sasongko, I Made Suparta Sastra Daerah Untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] ABSTRAK Jurnal ini menyajikan deskripsi tentang tarling sandiwara yang populer di wilayah Indramayu dan Cirebon. Lakon tarling sandiwara yang dipilih berjudul Istri Durhaka. Metode kajian yang digunakan adalah deskriptif analisis penokohan tokoh dari video hasil transkripsi. Telaah kritik sosial juga disajikan untuk mengetahui permasalahan sosial yang ada pada saat ini melalui dialog yang disajikan. Kata kunci: tarling, drama, teater, kritik sosial, penokohan THEATRICAL TARLING STORY ISTRI DURHAKA: ANALYZE OF CHARACTERS CONFLICT AND SOCIAL CRITICISM This journal presents a description about “tarling sandiwara” or theatrical tarling that famous in Indramayu and Cirebon. Tarling theatrical story that selected as the main data of the study called Istri Durhaka. The method that used in this study is descriptive analysis and to figure characterization from the video transcript. Study of social criticism is also presented to determine the social problem that exist today through dialogues. Keyword: Tarling, drama, theatre, social criticism, characteristic Lakon tarling sandiwara istri durhaka..., Galuh Wulandari Sasongko, FIB UI, 2014 2 1. Pengantar Teater merupakan bagian yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Suku bangsa di Indonesia yang beragam memiliki banyak jenis teater daerah, seperti teater saman, dulmunuk, mendu, maknyong, dan randai dari Sumatera. Di pulau Jawa terdapat lenong, tarling, sintren, kethoprak, longser, uyeg, rudat, masres, janger, ludruk, wayang uwong, dan teater boneka (wayang kulit dan wayang golek). Di Bali terdapat drama gong dan kecak. Di Lombok terdapat amak abir, dan di Sulawesi terdapat teater sinrilik serta mamanda (Soedarsono, 1992:134). Teater daerah di Indonesia memiliki tiga hal mencolok yang dapat dikenali dengan mudah, yaitu pada suasana tontonan, aspek pendukung tontonan, dan acara pengungkapan pelaku- pelakunya (Bandem, Murgianto, 1996: 134). Teater daerah dibagi ke dalam dua jenis, yaitu teater tradisional dan teater rakyat. Teater tradisional berfungsi sebagai pelengkap upacara daur hidup manusia, seperti pemanggil roh leluhur, dan syukuran masa panen, sedangkan teater rakyat hanya berpusat pada fungsinya sebagai hiburan. Ciri khas yang kerap muncul pada teater rakyat adalah adanya sifat yang spontan, interaksi antara pemain dengan penonton, adanya saweran, dan acaranya dilakukan di tempat terbuka, serta gratis (Riantiarno, 2011:28). Penelitian ini membahas tentang salah satu kesenian rakyat, yaitu tarling yang tumbuh subur di sepanjang jalur pantai utara Indramayu dan Cirebon. Tarling merupakan kependekan dari kata ‘gitar’ dan ‘suling’. Namun menurut Sunarto, nama tarling juga memiliki falsafah “yen wis mlatar, kudu eling”, jika berbuat negatif harus segera sadar dan bertobat (Saptono, 2013:23). Kesenian ini pertama kali muncul pada tahun 1930-an, bermula ketika seorang Komisaris Belanda datang untuk memperbaiki gitarnya yang rusak pada Mang Sakim, seorang pengrajin gamelan di Desa Kepandean, Kabupaten Indramayu. Ide kreatif Sugra mampu mengubah gitar yang awalnya hanya dimainkan oleh bangsa Eropa dan priyayi menjadi alat musik yang merakyat sebagai pengiring dendangan tembang Dermayonan hingga saat ini. Sugra pula yang merupakan pemain pertama yang suaranya direkam dalam piringan hitam oleh seorang pengusaha di Indramayu bernama Babah Pranti (Saptono, 2013:8). Lakon tarling sandiwara istri durhaka..., Galuh Wulandari Sasongko, FIB UI, 2014 3 Tarling kemudian diberi tambahan drama yang berkisah tentang potret sosial masyarakat Indramayu yang lekat dengan kehidupan warga pesisir yang miskin, marjinal, dan kurang berpendidikan (Saptono, 2013:11-12). Sugra mencari pembaruan dalam pertunjukan tarling pada tahun 1938-1940 dengan menambahkan unsur drama di dalamnya. Kemudian terciptalah lakon Saida- Saeni, Pegat Balen dan Lair Batin yang sangat hits. Eksistensi tarling memuncak hingga tahun 1960-an hingga Sugra tenggelam oleh besarnya nama-nama seniman lain, seperti Jayana (salah satu murid Sugra), Abdul Adjib, Sunarto Marta Atmaja, serta dua penyanyi perempuan, Dadang Darniyah dan Dariyah. Unsur-unsur pokok yang menjadi benda wajib dalam pertunjukan tarling tak bisa lepas dari komposisi gamelan Dermayon-Cerbonan, yaitu tetalu1, bendrong2, barlen3, kiser4, langggam Cerbon Pegot dan Dermayonan (Saptono, 2013:11). Unsur pembentuk lainnya yaitu drama. Semuanya menyatu dalam pementasan yang mengusung nilai-nilai kedaerahan, yakni dalam laras, suasana lagu, tema drama, maupun bahasa pengantarnya, yaitu bahasa Jawa dengan dialek Dermayon-Cerbonan5 (Sulistijo, dkk, 2001:XIII- IX). Pertunjukan tarling biasanya digelar sehari-semalam dalam tiga bagian. Yang pertama yaitu sesi siang pada pukul 11.00-16.00, yaitu tarling klasik dan guyonan. Sesi kedua yaitu pada malam pukul 20.00-24.00, menampilkan pergelaran musik tarling yang serius, humor, dan sekaligus seronok. Kemudian sesi terakhir pada pukul 24.00-02.30 menampilkan drama yang menguras 1 Tetalu adalah instrumen tarling yang terdiri dari tujuh alat musik, yaitu dua gitar, satu suling, sepasang gendang, seperangkat gong, tutukan, dan kecrek. Tetalu ini berfungsi sebagai pembuka dan penarik perhatian penonton. 2 Bendrong merupakan jenis lagu yang bertempo cepat dan rancak yang digunakan sebagai pengiring jejogedan. 3 Barlen adalah singkatan dari “bubar kelalen”. Dalam istilah gamelan Indramayu, bagian ini digunakan sebagai iringan tetaluan 4 Kiser adalah pengaturan tempo musik, salah satu jenis kiser adalah kiser kreasi Abdul Adjib dan Kang Ato, yaitu kiser gancang yang dinamis dan ngepop. 5 Ada empat konteks kebahasaan yang perlu dicermati dari bahasa Jawa dialek Dermayu- Cerbon, yaitu 1) ucapan/tuturan (pelafalan yang tegas dan ngapak, contoh: endhog tetap dibaca endhog, bukan endhok), 2) secara penulisan terkesan berpengaruh dengan Sunda (contoh: sekolah: sekola), 3) penggunaan unggah-ungguh bahasa sama dengan dialek Surakarta- Yogyakarta, 4) memiliki ungkapan yang terpengaruh dengan bahasa asing/bahasa daerah lain (contoh: esuk-esuk pisan mah wis tangi), 5) memiliki kosakata serapan dari bahasa asing (contoh: ‘reyang’ dari bahasa Kawi ‘reh’ ing ‘Hyang’ yang berarti ‘aku’). Lakon tarling sandiwara istri durhaka..., Galuh Wulandari Sasongko, FIB UI, 2014 4 perasaan dan air mata. Sesi ketiga ini diiringi dengan tarling klasik, dengan instrumen gong, gendang, dan tutuk (Saptono, 2013:12). Pada sesi ketiga, yaitu sesi drama umumnya berkisah tentang drama-drama kasih tak sampai, kawin- cerai, tragedi, perebutan harta, permainan guna-guna. Selama jeda tiap sesi pertunjukan, biasanya diisi dengan dangdut organ tunggal yang juga telah diundang oleh si empunya hajat. Keseluruhan kisah diangkat dari latar sosial dan budaya masyarakat agraris pesisiran Indramayu yang unik dan berbeda. 2. Tinjauan Teoritis Penelitian ini menggunakan analisis mengenai alur dan latar dari bidang kesusasteraan oleh Panuti Sudjiman dan analisis penokohan dari kajian dramatik oleh Burhan Nurgiyantoro. Menurut Sudjiman (1988:16), tokoh merupakan orang pelaku cerita atau individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa pada cerita. Pada umumnya tokoh berwajah manusia, namun juga dapat berupa hewan, maupun benda yang dilisankan. Istilah tokoh lebih menekankan pada orang atau pelaku cerita (Nurgiyantoro, 1995:165). Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas terhadap seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiyantoro, 1995: 165). Selain teori tentang tokoh dan penokohan, penelitian ini juga bermaksud mengungkap kritik sosial yang terkandung dalam cerita yang diangkat oleh kesenian tarling ini. Hal ini mengacu pada pernyataan Nurgiyantoro (1995:330-331) bahwa karya sastra dalam hal ini bisa sekaligus mengangkat masalah atau konflik yang ada di dalam masyarakat. Banyak karya sastra yang menampilkan pesan- pesan kritik sosial. Selain itu, kritik sosial yang disampaikan pengarang dalam karya sastra mempengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan. 3. Metode Penelitian Pengolahan data dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Pendekatan ini bertujuan untuk menghasilkan analisis deskriptif. Data yang terkumpul dikategorikan terlebih dahulu sesuai dengan tema. Setelah itu, masing-masing Lakon tarling sandiwara istri durhaka..., Galuh Wulandari Sasongko, FIB UI, 2014 5 data dibandingkan pula dengan literatur maupun sumber-sumber lain yang menunjang sehingga data akhir yang didapat adalah data yang akurat. Selanjutnya, permasalahan diidentifikasikan dan dijawab dengan mengolah dan menganalisis data sehingga kemudian disimpulkan dalam bentuk laporan penelitian. Dialog dalam hasil transkripsi diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia untuk memudahkan pembaca ketika membaca penelitian ini. Dalam hal ini, acuan terjemahan mengacu pada Darusuprapta yang membagi analisis penerjemahan menjadi tiga garis besar, yaitu terjemahan harafiah yang menerjemahkan kata per kata, terjemahan isi atau makna yaitu mengungkapkan kata-kata dalam bahasa yang sepadan, serta terjemahan bebas yaitu mengganti keseluruhan teks dengan bahasa sasaran secara bebas (1984:9). Dalam hal ini, pemilihan terjemahan mengacu pada terjemahan bebas yang lebih mudah dipahami oleh pembaca sesuai dengan konteks kalimat. 4. Analisis Tokoh Penokohan, Konflik Antartokoh, dan Kritik