LAKON TARLING SANDIWARA ISTRI DURHAKA: ANALISIS KONFLIK ANTAR TOKOH DAN KRITIK SOSIAL Galuh Wulandari Sasongko, I Made Suparta

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

LAKON TARLING SANDIWARA ISTRI DURHAKA: ANALISIS KONFLIK ANTAR TOKOH DAN KRITIK SOSIAL Galuh Wulandari Sasongko, I Made Suparta 1 LAKON TARLING SANDIWARA ISTRI DURHAKA: ANALISIS KONFLIK ANTAR TOKOH DAN KRITIK SOSIAL Galuh Wulandari Sasongko, I Made Suparta Sastra Daerah Untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] ABSTRAK Jurnal ini menyajikan deskripsi tentang tarling sandiwara yang populer di wilayah Indramayu dan Cirebon. Lakon tarling sandiwara yang dipilih berjudul Istri Durhaka. Metode kajian yang digunakan adalah deskriptif analisis penokohan tokoh dari video hasil transkripsi. Telaah kritik sosial juga disajikan untuk mengetahui permasalahan sosial yang ada pada saat ini melalui dialog yang disajikan. Kata kunci: tarling, drama, teater, kritik sosial, penokohan THEATRICAL TARLING STORY ISTRI DURHAKA: ANALYZE OF CHARACTERS CONFLICT AND SOCIAL CRITICISM This journal presents a description about “tarling sandiwara” or theatrical tarling that famous in Indramayu and Cirebon. Tarling theatrical story that selected as the main data of the study called Istri Durhaka. The method that used in this study is descriptive analysis and to figure characterization from the video transcript. Study of social criticism is also presented to determine the social problem that exist today through dialogues. Keyword: Tarling, drama, theatre, social criticism, characteristic Lakon tarling sandiwara istri durhaka..., Galuh Wulandari Sasongko, FIB UI, 2014 2 1. Pengantar Teater merupakan bagian yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Suku bangsa di Indonesia yang beragam memiliki banyak jenis teater daerah, seperti teater saman, dulmunuk, mendu, maknyong, dan randai dari Sumatera. Di pulau Jawa terdapat lenong, tarling, sintren, kethoprak, longser, uyeg, rudat, masres, janger, ludruk, wayang uwong, dan teater boneka (wayang kulit dan wayang golek). Di Bali terdapat drama gong dan kecak. Di Lombok terdapat amak abir, dan di Sulawesi terdapat teater sinrilik serta mamanda (Soedarsono, 1992:134). Teater daerah di Indonesia memiliki tiga hal mencolok yang dapat dikenali dengan mudah, yaitu pada suasana tontonan, aspek pendukung tontonan, dan acara pengungkapan pelaku- pelakunya (Bandem, Murgianto, 1996: 134). Teater daerah dibagi ke dalam dua jenis, yaitu teater tradisional dan teater rakyat. Teater tradisional berfungsi sebagai pelengkap upacara daur hidup manusia, seperti pemanggil roh leluhur, dan syukuran masa panen, sedangkan teater rakyat hanya berpusat pada fungsinya sebagai hiburan. Ciri khas yang kerap muncul pada teater rakyat adalah adanya sifat yang spontan, interaksi antara pemain dengan penonton, adanya saweran, dan acaranya dilakukan di tempat terbuka, serta gratis (Riantiarno, 2011:28). Penelitian ini membahas tentang salah satu kesenian rakyat, yaitu tarling yang tumbuh subur di sepanjang jalur pantai utara Indramayu dan Cirebon. Tarling merupakan kependekan dari kata ‘gitar’ dan ‘suling’. Namun menurut Sunarto, nama tarling juga memiliki falsafah “yen wis mlatar, kudu eling”, jika berbuat negatif harus segera sadar dan bertobat (Saptono, 2013:23). Kesenian ini pertama kali muncul pada tahun 1930-an, bermula ketika seorang Komisaris Belanda datang untuk memperbaiki gitarnya yang rusak pada Mang Sakim, seorang pengrajin gamelan di Desa Kepandean, Kabupaten Indramayu. Ide kreatif Sugra mampu mengubah gitar yang awalnya hanya dimainkan oleh bangsa Eropa dan priyayi menjadi alat musik yang merakyat sebagai pengiring dendangan tembang Dermayonan hingga saat ini. Sugra pula yang merupakan pemain pertama yang suaranya direkam dalam piringan hitam oleh seorang pengusaha di Indramayu bernama Babah Pranti (Saptono, 2013:8). Lakon tarling sandiwara istri durhaka..., Galuh Wulandari Sasongko, FIB UI, 2014 3 Tarling kemudian diberi tambahan drama yang berkisah tentang potret sosial masyarakat Indramayu yang lekat dengan kehidupan warga pesisir yang miskin, marjinal, dan kurang berpendidikan (Saptono, 2013:11-12). Sugra mencari pembaruan dalam pertunjukan tarling pada tahun 1938-1940 dengan menambahkan unsur drama di dalamnya. Kemudian terciptalah lakon Saida- Saeni, Pegat Balen dan Lair Batin yang sangat hits. Eksistensi tarling memuncak hingga tahun 1960-an hingga Sugra tenggelam oleh besarnya nama-nama seniman lain, seperti Jayana (salah satu murid Sugra), Abdul Adjib, Sunarto Marta Atmaja, serta dua penyanyi perempuan, Dadang Darniyah dan Dariyah. Unsur-unsur pokok yang menjadi benda wajib dalam pertunjukan tarling tak bisa lepas dari komposisi gamelan Dermayon-Cerbonan, yaitu tetalu1, bendrong2, barlen3, kiser4, langggam Cerbon Pegot dan Dermayonan (Saptono, 2013:11). Unsur pembentuk lainnya yaitu drama. Semuanya menyatu dalam pementasan yang mengusung nilai-nilai kedaerahan, yakni dalam laras, suasana lagu, tema drama, maupun bahasa pengantarnya, yaitu bahasa Jawa dengan dialek Dermayon-Cerbonan5 (Sulistijo, dkk, 2001:XIII- IX). Pertunjukan tarling biasanya digelar sehari-semalam dalam tiga bagian. Yang pertama yaitu sesi siang pada pukul 11.00-16.00, yaitu tarling klasik dan guyonan. Sesi kedua yaitu pada malam pukul 20.00-24.00, menampilkan pergelaran musik tarling yang serius, humor, dan sekaligus seronok. Kemudian sesi terakhir pada pukul 24.00-02.30 menampilkan drama yang menguras 1 Tetalu adalah instrumen tarling yang terdiri dari tujuh alat musik, yaitu dua gitar, satu suling, sepasang gendang, seperangkat gong, tutukan, dan kecrek. Tetalu ini berfungsi sebagai pembuka dan penarik perhatian penonton. 2 Bendrong merupakan jenis lagu yang bertempo cepat dan rancak yang digunakan sebagai pengiring jejogedan. 3 Barlen adalah singkatan dari “bubar kelalen”. Dalam istilah gamelan Indramayu, bagian ini digunakan sebagai iringan tetaluan 4 Kiser adalah pengaturan tempo musik, salah satu jenis kiser adalah kiser kreasi Abdul Adjib dan Kang Ato, yaitu kiser gancang yang dinamis dan ngepop. 5 Ada empat konteks kebahasaan yang perlu dicermati dari bahasa Jawa dialek Dermayu- Cerbon, yaitu 1) ucapan/tuturan (pelafalan yang tegas dan ngapak, contoh: endhog tetap dibaca endhog, bukan endhok), 2) secara penulisan terkesan berpengaruh dengan Sunda (contoh: sekolah: sekola), 3) penggunaan unggah-ungguh bahasa sama dengan dialek Surakarta- Yogyakarta, 4) memiliki ungkapan yang terpengaruh dengan bahasa asing/bahasa daerah lain (contoh: esuk-esuk pisan mah wis tangi), 5) memiliki kosakata serapan dari bahasa asing (contoh: ‘reyang’ dari bahasa Kawi ‘reh’ ing ‘Hyang’ yang berarti ‘aku’). Lakon tarling sandiwara istri durhaka..., Galuh Wulandari Sasongko, FIB UI, 2014 4 perasaan dan air mata. Sesi ketiga ini diiringi dengan tarling klasik, dengan instrumen gong, gendang, dan tutuk (Saptono, 2013:12). Pada sesi ketiga, yaitu sesi drama umumnya berkisah tentang drama-drama kasih tak sampai, kawin- cerai, tragedi, perebutan harta, permainan guna-guna. Selama jeda tiap sesi pertunjukan, biasanya diisi dengan dangdut organ tunggal yang juga telah diundang oleh si empunya hajat. Keseluruhan kisah diangkat dari latar sosial dan budaya masyarakat agraris pesisiran Indramayu yang unik dan berbeda. 2. Tinjauan Teoritis Penelitian ini menggunakan analisis mengenai alur dan latar dari bidang kesusasteraan oleh Panuti Sudjiman dan analisis penokohan dari kajian dramatik oleh Burhan Nurgiyantoro. Menurut Sudjiman (1988:16), tokoh merupakan orang pelaku cerita atau individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa pada cerita. Pada umumnya tokoh berwajah manusia, namun juga dapat berupa hewan, maupun benda yang dilisankan. Istilah tokoh lebih menekankan pada orang atau pelaku cerita (Nurgiyantoro, 1995:165). Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas terhadap seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiyantoro, 1995: 165). Selain teori tentang tokoh dan penokohan, penelitian ini juga bermaksud mengungkap kritik sosial yang terkandung dalam cerita yang diangkat oleh kesenian tarling ini. Hal ini mengacu pada pernyataan Nurgiyantoro (1995:330-331) bahwa karya sastra dalam hal ini bisa sekaligus mengangkat masalah atau konflik yang ada di dalam masyarakat. Banyak karya sastra yang menampilkan pesan- pesan kritik sosial. Selain itu, kritik sosial yang disampaikan pengarang dalam karya sastra mempengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan. 3. Metode Penelitian Pengolahan data dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Pendekatan ini bertujuan untuk menghasilkan analisis deskriptif. Data yang terkumpul dikategorikan terlebih dahulu sesuai dengan tema. Setelah itu, masing-masing Lakon tarling sandiwara istri durhaka..., Galuh Wulandari Sasongko, FIB UI, 2014 5 data dibandingkan pula dengan literatur maupun sumber-sumber lain yang menunjang sehingga data akhir yang didapat adalah data yang akurat. Selanjutnya, permasalahan diidentifikasikan dan dijawab dengan mengolah dan menganalisis data sehingga kemudian disimpulkan dalam bentuk laporan penelitian. Dialog dalam hasil transkripsi diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia untuk memudahkan pembaca ketika membaca penelitian ini. Dalam hal ini, acuan terjemahan mengacu pada Darusuprapta yang membagi analisis penerjemahan menjadi tiga garis besar, yaitu terjemahan harafiah yang menerjemahkan kata per kata, terjemahan isi atau makna yaitu mengungkapkan kata-kata dalam bahasa yang sepadan, serta terjemahan bebas yaitu mengganti keseluruhan teks dengan bahasa sasaran secara bebas (1984:9). Dalam hal ini, pemilihan terjemahan mengacu pada terjemahan bebas yang lebih mudah dipahami oleh pembaca sesuai dengan konteks kalimat. 4. Analisis Tokoh Penokohan, Konflik Antartokoh, dan Kritik
Recommended publications
  • Masyarakat Kesenian Di Indonesia
    MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin Torang Naiborhu Arifni Netriroza Heristina Dewi Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara 2008 1 Cetakan pertama, Juni 2008 MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak buku ini Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara ISSN1412-8586 Dicetak di Medan, Indonesia 2 KATA PENGANTAR Terlebih dahulu kami tim penulis buku Masyarakat Kesenian di Indonesia, mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2008. Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami canangkan, sekitar tahun 2005 yang lalu. Namun karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni begitu ekstensif dan luasnya bahan yang mesti dicapai, juga materi yang dikaji di bidang kesenian meliputi seni-seni: musik, tari, teater baik yang tradisional. Sementara latar belakang keilmuan kami pun, baik di strata satu dan dua, umumnya adalah terkonsentasi di bidang etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan yang juga dengan minat utama musik etnik. Hanya seorang saja yang berlatar belakang akademik antropologi tari. Selain itu, tim kami ini ada dua orang yang berlatar belakang pendidikan strata dua antropologi dan sosiologi. Oleh karenanya latar belakang keilmuan ini, sangat mewarnai apa yang kami tulis dalam buku ini. Adapun materi dalam buku ini memuat tentang konsep apa itu masyarakat, kesenian, dan Indonesia—serta terminologi-terminologi yang berkaitan dengannya seperti: kebudayaan, pranata sosial, dan kelompok sosial.
    [Show full text]
  • Glossary.Herbst.Bali.1928.Kebyar
    Bali 1928 – Volume I – Gamelan Gong Kebyar Music from Belaluan, Pangkung, Busungbiu by Edward Herbst Glossary of Balinese Musical Terms Glossary angklung Four–tone gamelan most often associated with cremation rituals but also used for a wide range of ceremonies and to accompany dance. angsel Instrumental and dance phrasing break; climax, cadence. arja Dance opera dating from the turn of the 20th century and growing out of a combination of gambuh dance–drama and pupuh (sekar alit; tembang macapat) songs; accompanied by gamelan gaguntangan with suling ‘bamboo flute’, bamboo guntang in place of gong or kempur, and small kendang ‘drums’. babarongan Gamelan associated with barong dance–drama and Calonarang; close relative of palégongan. bapang Gong cycle or meter with 8 or 16 beats per gong (or kempur) phrased (G).P.t.P.G baris Martial dance performed by groups of men in ritual contexts; developed into a narrative dance–drama (baris melampahan) in the early 20th century and a solo tari lepas performed by boys or young men during the same period. barungan gdé Literally ‘large set of instruments’, but in fact referring to the expanded number of gangsa keys and réyong replacing trompong in gamelan gong kuna and kebyar. batél Cycle or meter with two ketukan beats (the most basic pulse) for each kempur or gong; the shortest of all phrase units. bilah Bronze, iron or bamboo key of a gamelan instrument. byar Root of ‘kebyar’; onomatopoetic term meaning krébék, both ‘thunderclap’ and ‘flash of lightning’ in Balinese, or kilat (Indonesian for ‘lightning’); also a sonority created by full gamelan sounding on the same scale tone (with secondary tones from the réyong); See p.
    [Show full text]
  • Strategi Kolaborasi Dalam Seni Pertunjukan Tradisional Di Kabupaten Subang
    1 STRATEGI KOLABORASI DALAM SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL DI KABUPATEN SUBANG COLLABORATION STRATEGIES IN TRADITIONAL PERFORMING ARTS IN SUBANG Oleh Irvan Setiawan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung Email: [email protected] Naskah Diterima: 28 Februari 2013 Naskah Disetujui: 2 April 2013 E Abstrak Kesenian tradisional memegang peranan dalam pencirian dan menjadi kekhasan suatu daerah. Bagi wilayah administratif yang menjadi cikal bakal suatu kesenian daerah tentu saja tidak sulit untuk menyebut istilah kesenian khas dan menjadi milik daerah tersebut. Lain halnya dengan wilayah administratif yang tidak memiliki kesenian daerah sehingga akan berusaha menciptakan sebuah kesenian untuk dijadikan sebagai kesenian khas bagi daerahnya. Beruntunglah bagi Kabupaten Subang yang menjadi cikal bakal beberapa kesenian yang terlahir dan besar di daerahnya. Tidak hanya sampai disitu, Pelestarian dan pengembangan kesenian tradisional tampak serius dilakukan. Hal tersebut terlihat dari papan nama berbagai kesenian (tradisional) di beberapa ruas jalan dalam wilayah Kabupaten Subang. Seiring berjalannya waktu tampak jelas terlihat adanya perubahan dalam pernak pernik atau tahapan pertunjukan pada beberapa seni pertunjukan tradisional. Kondisi tersebut pada akhirnya mengundang keingintahuan mengenai strategi kolaborasi apa yang membuat seni pertunjukan tradisional masih tetap diminati masyarakat Subang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang didukung dengan data lintas waktu baik dari sumber sekunder maupun dari pernyataan informan mengenai seni pertunjukan tradisional di Kabupaten Subang. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kolaborasi yang dilakukan meliputi kolaborasi lintas waktu dan lintas ruang yang masih dibatasi oleh seperangkat aturan agar kolaborasi tidak melenceng dari identitas ketradisionalannya. Kata kunci: Strategi kolaborasi, pertunjukan tradisional Abstract Traditional arts play a role in the characterization of a region.
    [Show full text]
  • The Islamic Traditions of Cirebon
    the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims A. G. Muhaimin Department of Anthropology Division of Society and Environment Research School of Pacific and Asian Studies July 1995 Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia Email: [email protected] Web: http://epress.anu.edu.au National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry Muhaimin, Abdul Ghoffir. The Islamic traditions of Cirebon : ibadat and adat among Javanese muslims. Bibliography. ISBN 1 920942 30 0 (pbk.) ISBN 1 920942 31 9 (online) 1. Islam - Indonesia - Cirebon - Rituals. 2. Muslims - Indonesia - Cirebon. 3. Rites and ceremonies - Indonesia - Cirebon. I. Title. 297.5095982 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher. Cover design by Teresa Prowse Printed by University Printing Services, ANU This edition © 2006 ANU E Press the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims Islam in Southeast Asia Series Theses at The Australian National University are assessed by external examiners and students are expected to take into account the advice of their examiners before they submit to the University Library the final versions of their theses. For this series, this final version of the thesis has been used as the basis for publication, taking into account other changes that the author may have decided to undertake. In some cases, a few minor editorial revisions have made to the work. The acknowledgements in each of these publications provide information on the supervisors of the thesis and those who contributed to its development.
    [Show full text]
  • ADS-Vol.52 2017
    Arts and Design Studies www.iiste.org ISSN 2224-6061 (Paper) ISSN 2225-059X (Online) Vol.52, 2017 FOLK DANCE IN A FOLK RITUAL :::Case Study on Tari Topeng (Mask Dance) and Tari Ronggeng (Ronggeng Dance) in Ngunjung and Ngarot Ritual Lina Marliana Hidayat Dance Department, Faculty of Performing Arts, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jalan Buahbatu No 212 Bandung, Jawa Barat, Indonesia Abstract A folk dance as a folk performing art always has position and function in a folk ritual, generally in West Java, especially in Indramayu and Cirebon Regency. A folk dance for the case study here is Tari Topeng and Tari Ronggeng in the ritual of Ngunjung and Ngarot. The study uses qualitative method. The analysis applies Edi Sedyawati views on typology of performing arts. Tari Topeng and Tari Ronggeng can be seen from aesthetic elements, social function, and dramatization. To be seen from social function, the Dalang of Topeng and Ronggeng is believed as Shaman. It is also found that Tari Topeng and Ronggeng are not categorized as dramatization dance. Keywords : folk dance, folk ritual, typology of performing arts. 1. Folk Ritual in Cirebon and Indramayu West Java Performing arts in various cultural regions in Indonesia always relate to the cultural tradition of its people. Indonesia owns various ethnics and sub-ethnics having respective distinctiveness. They spread out in every regions from Sabang to Merauke. Likewise, West Java occupied by Sundanese ethnic also has characteristic as the influence of its nature. The living traditions are folk rituals containing folk performing arts which become the manifestation of gratitude toward God for having given fertile nature.
    [Show full text]
  • Uluwatu Temple & Kecak Dance 2.Pages
    Bali Transit Activity “Uluwatu Temple & Kecak Dance” Half Day Tour The Uluwatu Temple is one of Bali's most spectacular temples. It is built on a cliff top at the edge of a plateau about 75 meters / 250 feet above the waves of the Indian Ocean. Uluwatu lies at the southern tip of Bali. Dedicated to the spirits of the sea, the famous Uluwatu temple is an architectural wonder in black coral rock, beautifully designed with spectacular views. It is a popular place to enjoy the sunset. The Uluwatu Temple is important to the Balinese as it is one of Bali's directional temples, guarding Bali from evil spirits from the South- West, in which dwell major deities, in Uluwatu's case; “Bhatara Rudra” – the God of the elements and of cosmic force majeure. At this temple you will have the chance to watch one of Bali’s most famous dances, the Kecak Dance. The Kecak dance is unusual because it has no musical accompaniment like many other Indonesian dances do; the rhythm of the dance is produced by the chanting 'monkey' chorus. A troupe of over 150 bare-chested men serve as the chorus, making a wondrous cacophony of synchronized "chak-achak-achak" clicking sounds while swaying their bodies and waving their hands. From that chanting noise of "Cak- cak-cak", then it gave the dance its name Kecak. 1 of 2 Bali Transit Activity The dance is played in five acts and lasts roughly 45 minutes. It is taken from the Hindu epic Ramayana, which tells the story of Prince Rama and his rescue of Princess Sita, who has been kidnapped by the evil King of Lanka, Rahwana and somehow with the help of the white monkey army, Rama rescues his wife and defeats the evil Rahwana.
    [Show full text]
  • Kiprah Mpok Nori Dalam Mengembangkan Kesenian Betawi (1968-1995)
    Kiprah Mpok Nori dalam Mengembangkan Kesenian Betawi (1968-1995) Imas Yosita, Siswantari Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universtas Indonesia Kampus UI Depok Jawa Barat 16424 Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas kiprah Mpok Nori dalam mengembangkan kesenian Betawi tahun 1968—1995. Penelitian yang dilakukan merupakan kajian sejarah dengan mengambil peran sentral pada aktivitas Mpok Nori terhadap usahanya untuk mengembangkan kesenian Betawi yang dilakukannya melalui tari topeng Betawi, teater lenong, sanggar, layar kaca dan layar perak. Ia berhasil membawa kesenian Betawi bertahan di tengah modernisasi Jakarta yang berkembang cepat dengan seni budaya lain yang berasal dari berbagai daerah. Sanggar yang didirikannya telah menghasilkan anak didik yang berprestasi dalam mengembangkan kesenian Betawi. Penelitian ini membuktikan bahwa Mpok Nori berhasil membawa kesenian Betawi bertahan di tengah modernisasi Jakarta yang berkembang cepat. Kata kunci: Betawi, kesenian, Mpok Nori Abstract This thesis discusses about Mpok Nori’s role in developing Betawinese art in 1968—1995. The research done is a historical study which takes a central role on Mpok Nori’s activities in trying to develop Betawinese art through Betawi mask dance, lenong theater, atelier, television and cinema. She has succeeded in bringing Betawineses art to survive in the middle modernization which grows fast together with the other cultural arts from various districts in Indonesia. The atelier which was built has produced successful students in evolving Betawinese art. This research proved that Mpok Nori has succeeded to bring Betawinese art keep in the fast-developed Jakarta modernization. Keywords: art, Betawi, Mpok Nori Pendahuluan tempat berinteraksinya dari berbagai aspek budaya masyarakat.
    [Show full text]
  • M. Cohen on the Origin of the Komedie Stamboelpopular Culture, Colonial Society, and the Parsi Theatre Movement
    M. Cohen On the origin of the Komedie StamboelPopular culture, colonial society, and the Parsi theatre movement In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 157 (2001), no: 2, Leiden, 313-357 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/10/2021 12:19:15AM via free access MATTHEW ISAAC COHEN On the Origin of the Komedie Stamboel Popular Culture, Colonial Society, and the Parsi Theatre Movement Introduction . The Komedie Stamboel, also known as the Malay Opera, occupies a prom- inent place in Indonesia's cultural history.1 lts emergence in 1891 has been characterized as a 'landmark' in the development of modern popular theatre (Teeuw 1979:207). The theatre later contributed greatly to the birth of Indo- nesian contemporary theatre and film2 and played a formative role in mod- ern political discourse and representation (see Anderson 1996:36-7). The Komedie Stamboel has been celebrated as one of the most significant 'artistic achievements' of the Eurasian population of colonial Java (see Van der Veur 1968a), but also damned for its deleterious influence on Java's classical and 1 This article was written while a postdoctoral research fellow at the International Institute for Asian Studies (DAS). It was presented in part as lectures at KAS and the Fifth International Humanities Symposium, Gadjah Mada University, in 1998.1 would like to thank all the particip- ants in the research seminar, 'Popular theatres of Indonesia', Department of Southeast Asian and Oceanic Languages and Cultures, Leiden University, where I developed some of the ideas pre- sented here, as well as Kathryn Hansen, Rakesh Solomon, Catherine Diamond, Surapone Virulrak, Hanne de Bruin, and two anonymous BKI reviewers for their comments.
    [Show full text]
  • DALAM MELESTARIKAN KESENIAN LENONG BETAWI Asriyani Sa
    PAGELARAN SEBAGAI SALAH SATU BAURAN HUMAS LKB (LEMBAGA KEBUDAYAAN BETAWI) DALAM MELESTARIKAN KESENIAN LENONG BETAWI Asriyani Sagiyanto Staf Pengajar Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika Jl. Kayu Jati 5, No.2, Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur Email: [email protected] Abstract Along with the times and the modernization of the capital Jakarta, influence on the existence of Betawi art and culture. The influence evident from the many people who are less supportive Betawi culture itself, among others, they prefer to watch the show and art of modern culture such as films or bands compared with the traditional arts such as lenong, gambang kromong , masks and others. Lenong a Betawi arts, theater or one of the Betawi people taking the stories of heroism and criminal as its theme. With Thus LKB which is an institution engaged in the preservation and Betawi arts development, should pay more attention to the art of Betawi culture lenong particular art, by holding performances. It aims to introduce and promote the cultural arts Betawi people in Jakarta and at the same time to develop and preserve Betawi arts, especially the arts lenong high value, which is now in the midst of modern art and culture. The purpose of this study was to find out that the show is a mix of public relations or media LKB, LKB to preserve the arts lenong Betawi . In addition , this study also aims to determine the mix of other Public relations conducted by the LKB preserve Betawi arts culture, particularly lenong Betawi arts. The method used in this study is a research method descriptive qualitative approach.
    [Show full text]
  • Materi+DRAMA+JAWA 0.Pdf
    BAB I SELUK BELUK DRAMA A. Antara Drama, Sandiwara, dan Teater Banyak orang berasumsi, drama itu sekedar tontonan. Memang tidak keliru anggapan ini. Hampir semua drama dipentaskan memang untuk ditonton. Apalagi kalau dirunut dari aspek etimologi, akar tunjang dari istilah "drama" dari bahasa Greek (Yu- nani kuna) drau yang berarti melakukan (action) atau berbuat sesuatu (Muhsin, 1995). Berbuat berarti memang layak dilihat. Wiyanto (2002:1) sedikit berbeda, katanya drama dari bahasa Yunani dram, artinya bergerak. Kiranya, gerak dan aksi adalah mirip. Kalau begitu, tindakan dan gerak yang menjadi ciri drama. Tiap drama mesti ada gerak dan aksi, yang menuntun lakon. Aristoteles (Brahim, 1968:52) menyatakan bahwa drama adalah “a representation of an action”. Action, adalah tindakan yang kelak menjadi akting. Drama pasti ada akting. Dalam drama itu terjadi “a play”, artinya permainan atau lakon. Jadi ciri drama harus ada akting dan lakon. Permainan penuh dengan sandi dan simbol, ayng menyimpan kisah dari awal hingga akhir. Daya simpan kisah ini yang menjadi daya tarik drama. Drama yang terlalu mudah ditebak, justru kurang menarik. Dalam bahasa Jawa, drama sering disebut sandiwara. Kata sandi artinya rahasia, wara (h) menjadi warah berarti ajaran. Sandiwara berarti drama yang memuat ajaran tersamar tentang hidup. Sandiwara dan drama sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Keduanya memuat kisah, yang bercirikan dialog. Baik drama maupun sandiwara sama- sama menjadi guru kehidupan ini. Drama itu suguhan seni yang hidup, penuh fantasi. Drama menjadi tafsir kehidupan, yang kadang-kadang melebihi dunia aslinya. Siapapun sesungguhnya dapat bergulat dengan drama. Muhsin (1995) juga banyak mengetengahkan berbagai kelebihan drama. Biarpun bagi seseorang kadang-kadang enggan tampil dan malu-malu menjadi pemain, drama tetap genre sastra yang menarik.
    [Show full text]
  • Analisis Partisipasi Kebudayaan
    ANALISIS PARTISIPASI KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN JAKARTA, 2016 ANALISIS PARTISIPASI KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN i KATALOG DALAM TERBITAN Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Analisis Partisipasi Kebudayaan/Disusun oleh: Bidang Pendayagunaan dan Pelayanan. – Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud, 2016 xi, 101 hal, bbl, ilus, 23 cm ISSN 0216-8294 Pengarah: Bastari Siti Sofiah Dwi Winanta Hadi Penulis Indardjo Penyunting: Darmawati Desain Cover Abdul Hakim ii KATA PENGANTAR Buku “Analisis Partisipasi Kebudayaan” ini merupakan hasil pendayagunaan data budaya hasil survai BPS. Partisipasi budaya merupakan derajat tertentu tentang keterlibatan warga masyarakat dalam melakukan serangkaian aktivitas budaya. Data yang digunakan dalam menyusun Analisis Partisipasi Kebudayaan ini bersumber dari Susenas 2015. Variabel-variabel yang dianalisis khususnya yang menyangkut aktivitas budaya seperti memasang bendera merah putih, berbusana daerah, produksi budaya, menghadiri dan menyelenggarakan upacara adat dari responden rumah tangga. Selain itu, dianalisis pula aktivitas budaya di dalam rumah dan luar rumah dari responden angota rumah tangga. Sifat dari analisis ini adalah diskriptif dengan responden rumah tangga dan anggota rumah tangga yang masing-masing mengacu pada analisis nasional, antar wilayah (desa kota), dan antar provinsi. Pusat Data dan Statistik Pendidikan
    [Show full text]
  • Bali 1928: Gamelan Gong Kebyar Music from Belaluan, Pangkung
    Bali 1928: Gamelan Gong Kebyar Music from Belaluan, Pangkung, Busungbiu 2 Introduction 6 A Sketch of the Time Period of these Recordings 11 Emergence of Kebyar 29 The Balinese Gamelan Recordings from Bali, 1928: a track–by–track discussion: 33 Gamelan Gong Kebyar of Belaluan, Denpasar 46 Gamelan Gong Kebyar of Pangkung, Tabanan 50 Gamelan Gong Kebyar of Busungbiu, Northwest Bali 57 List of Silent Archival Films 58 Acknowledgments 61 References Cited and Further Readings * Glossary on Separate PDF File1 1 The spellings in this article follow modernized Balinese orthography of dictionaries such as Kamus Bali Indonesia, by I Nengah Medera et.al. (1990). Although this system was proposed as early as 1972 it has been applied irregularly in writings on the arts, but we have chosen to adhere to it so as to reflect a closer relationship to actual Balinese aksara ‘letters of the alphabet, language’. For instance, many words with prefixes frequently spelled pe or peng are spelled here with the prefixes pa and pang. 1 Introduction These historic recordings were made in 1928 as part of a collection of the first and only commercially–released recordings of music made in Bali prior to World War II. This diverse sampling of new and older Balinese styles appeared on 78 rpm discs in 1929 with subsequent releases for international distribution. The records were sold worldwide (or not sold, as it happened) and quickly went out of print. It was a crucial time in the island’s musical history as Bali was in the midst of an artistic revolution with kebyar as the new dominant style of music.
    [Show full text]