Estetisasi Amir Hamzah Terhadap Gerakan Kebangsaan

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Estetisasi Amir Hamzah Terhadap Gerakan Kebangsaan Halaman 32 Estetisasi Amir Hamzah ❏ Ikhwanuddin Nasution terhadap Gerakan Kebangsaan ESTETISASI AMIR HAMZAH TERHADAP GERAKAN KEBANGSAAN Ikhwanuddin Nasution Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Abstract Amir Hamzah’s estheticism to nationality movement began from the mind conflicts that felt from external world. He contemplated inward and then realized it in masterpiece forms, such as poem and prose. From the form, the masterpieces of Amir Hamzah were still tied with compatibility esthetics, but from the contents they showed the existence of stress esthetics. Key words: compatibility, stress, and anxiety 1. PENDAHULUAN disentuh oleh pengaruh-pengaruh asing. Malahan, Amir Hamzah yang dikenal sebagai Raja Penyair hampir semua puisinya ditulis jauh dari alam Pujangga Baru dilahirkan di Langkat, 28 Pebruari Melayu, yakni di Jawa, ketika ia tinggal dan 1911, seorang bangsawan yang hidup di belajar di sana dan sebagai seorang Indonesia lingkungan kesultanan. Amir Hamzah juga seorang muda, bukan sebagai orang Melayu. Kala itu, ia terpelajar, mula-mula ia sekolah di HIS Tanjung memainkan peranan aktif dalam kumpulan Pura, kemudian pindah ke Medan masuk Mulo, Pujangga Baru. Pada dasarnya, ia lebih banyak ketika kelas dua pindah ke Jakarta dan setelah memperoleh pendidikan Barat, walaupun ia pernah tamat dari Mulo, ia masuk AMS bagian sastra mendapat didikan pada aliran Timur di AMS. Timur di Surakarta sampai tamat, baru kemudian Bahkan kumpulan puisinya Buah Rindu masuk Sekolah Tinggi Hukum sampai mencapai dipersembahkannya “Ke bawah Paduka Indonesia- sarjana muda, ia tidak melanjutkannya. Amir Raya”. Hamzah kembali ke Tanjung Pura karena Bahasa yang lama dan bentuk-bentuk panggilan keluarga untuk bekerja di kesultanan puisi lama medapat jiwa baru dalam tangan Amir Langkat dan menikah. Pada saat terjadi pergolakan Hamzah. Ia tidak menghindarikan bentuk syair revolusi di Sumatera Utara (saat itu Sumatera tetapi di tanggannya bentuk itu mendapat isi yang Timur), 1946, Amir Hamzah bersama beberapa sesungguhnya. Kata-kata dalam puisi-puisinya keluarganya diculik dan dibunuh. bukan saja berirama, tetapi juga mempunyai Amir Hamzah sangat berperan dalam makna yang dalam (Hooykaas 1951:45). perkembangan sastra Indonesia, ia termasuk Simorangkir-Simanjuntak (1961:87) mengatakan bagian dari Angkatan Pujangag Baru (Angkatan bahwa penyair besar ini menempatkan kata-kata ’33). Teeuw (1980:123) mengatakan bahwa faktor Malayu lama dalam bentuk, bunyi, dan irama yang bahasa amat penting untuk menjelaskan peranan amat bagus, sehingga untaian kata-katanya itu utama yang dimainkan oleh orang-orang Sumatera masuk meresap ke dalam kalbu, tetapi sebagai –terutama orang Minangkabau– dalam barang yang murni-mulia, puisi-puisinya tidak perkembangan sastra Indonesia sebelum perang, dapat diukur dengan ukuran sehari-hari. Oleh bahasa mereka paling dekat dengan bahasa Melayu karena itulah Jassin (1955:19) mengatakan bahwa dalam bentuknya yang akan berkembang menjadi tidak banyak orang yang dapat merasakan bahasa Indonesia. Namun, di antara orang kedalaman puisi-puisi Amir Hamzah. Sebab selain Sumatera itu, Amir Hamzahlah orang Melayu bahasanya yang sulit, yang menambah kelamnya sejati. Amir Hamzah dipupuk dan diasuh dalam puisi-puisinya itu, juga karena perbandingan- suasana kesusastraan dan kebudayaan Melayu. perbandingan yang tidak biasa. Tentu saja, bahasa yang dikenalnya sejak kecil itu merupakan suatu inspirasi bagi Amir Hamzah. 2. KEBIMBANGAN ESTETIKA Akan tetapi, Amir Hamzah bukanlah Estetika dalam perkembangan sastra di Indonesia orang Melayu yang murni dalam arti kata bahwa telah mengalami pergeseran-pergeseran kehidupan dan kebudayaannya tidak pernah paradigma, mulai dari estetika keselarasan, estetika LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 Universitas Sumatera Utara Halaman 33 Estetisasi Amir Hamzah ❏ Ikhwanuddin Nasution terhadap Gerakan Kebangsaan pertentangan (ketegangan menurut istilah Teeuw), dibanding karya yang bersimpati dan mencoba sampai pada estetika posmodernisme dan estetika memberi harga pada kehangatan tradisi. Salah feminisme pada sastra kontemporer saat ini. Asuhan jelas kalah populer dibanding Sitti Menurut Saryono (2006) dan Teeuw (1988) Nurbaya atau Layar Terkembang lebih diterima Estetika keselarasan terdapat pada sastra lama publik ketimbang Belenggu. Indonesia seperti sastra Jawa dan Melayu. Pencitraan modernitas dan perlawanan Saryono (2006:37) mengatakan bahwa terhadap tradisi itu dalam beberapa karya sastra dalam estetika keselarasan terkandung pengertian hanya terlihat sebagai ide, bukan pengalaman dari yang estetis harus selaras dan serasi dengan sastrawannya. Hal itu menimbulkan karya-karya “segala hal” yang terepresentasikan dalam karya sastra yang lebih mementingkan pesan daripada sastra dan yang terepresentasikan itu harus estetika pengungkapannya. Karya sastra yang diselaraskan dengan etik, filosofi, dan religius demikian biasanya disebut sastra bertendens, (selaras secara vertikal) pada satu pihak dan pada misalnya terlihat pada karya-karya Sutan Takdir pihak lain diselaraskan dengan segala aktivitas Alisyahbana. Akan tetapi, sastra bukanlah muatan eksistensial manusia (selaras secara horizontal) ide belaka, ada unsur-unsur lain yang harus yang terepresentasikan ke dalam karya sastra. diperhatikan, terutama adanya gugusan estetika Teeuw (1988:356) mengatakan bahwa estetika saat tempat ide diolah dan diungkapkan. itu tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan Gairah pemberontakan dan kualitas pada fungsi agama; lewat seni (sastra) manusia estetika dalam pengungkapkannya muncul dalam diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan paduan yang kukuh pada karya-karya Chairil dan dia akan menghilangkan dia (atau kehilangan Anwar. Di satu sisi karya-karyanya unggul secara diri) dalam keagungan pesona itu, seperti terlihat estetika dan di sisi lain bersesuaian pula dengan dalam sastra Melayu lama atau manusia seniman cakrawala harapan masyarakat Indonesia yang lewat seni mencoba menjangkau persatuan dengan tengah mengalami pemberontakan. Puisi-puisi Dewa yang akhirnya membawa kehampaan multak Chairil Anwar merupakan semangat keakuan yang dan kehilangan dari rantai eksistensi manusia, “meradang menerjang.” seperti terlihat pada sastra Jawa Kuno. Pada puisi-puisi Chairil inilah estetika Pada sastra modern Indonesia didominasi pertentangan menjadi kekuatan yang telah oleh estetika pertentangan (ketegangan menurut meninggalkan tradisi estetika keselarasan, bahkan istilah Teeuw). Estetika ini berkeyakinan bahwa estetika keselarasan menjadi terpingkirkan. ketegangan dan kebaruan merupakan sifat dasar Kekuatan estetika puisi-puisi Chairil Anwar itu atau ciri pokok estetika sehingga “kebagusan” atau menjadi ikutan para penyair berikutnya, meskipun bobot sastra diukur dari kemampuannya ada usaha para penyair untuk kembali mengusung menampilkan dan menimbulkan ketegangan dan estetika tradisi (keselarasan) dan kebaruan. Estetika pertentangan ini ada pada masa menggabungkannya dengan diskursus modernitas, modernisasi dan mencapai kemapanan dan seperti terlihat pada Rendra, Goenawan Mohamad, kedominannya pada dasawarsa kedua abad ke-20 Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M., (Saryono 2006: 3–5). yang melahirkan estetika “puisi-puisi suasana” Namun, menurut Sarjono (2001:127–129) (menurut istilah Dami N. Toda 1984). Namun sastra modern Indonesia lahir dari patahan yang tidak terlihat pertentangan keras dengan estetika keras dengan masa silam dan dengan hamparan pertentangan yang dibawakan oleh Chairil Anwar. masyarakat awam bangsa Indonesia. Pada awal Pemberontakan terhadap estetika puisi-puisi kelahiran sastra modern Indonesia tidaklah Chairil Anwar dilakukan dengan keras oleh melahirkan bentuk sastrawi yang kukuh. Karya- Sutardji Calzoum Bachri. Pergulatannya dengan karya yang lahir dari simpati yang memadai pada estetika perpuisian Barat tidak menghalanginya tradisi yang justru melahirkan karya yang memiliki mengambil langkah ekstrim kembali ke puitika kualitas sastrawi yang kukuh. Puisi-puisi Sutan mantra dari kampung halamannya di Riau. Takdir Alisyahbana tidaklah sekukuh kualitas Berbeda dengan pandangan Lombard puisi-puisi Amir Hamzah. Sementara novel Sitti (2005:189–191) tentang pergulatan estetika dalam Nurbaya karya Marah Rusli secara sastrawi tidak sastra modern Indonesia. Lombard mengatakan sekukuh novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis. bahwa ada kebimbangan untuk menempatkan Di sisi lain, Layar Terkembang Sutan Takdir estetika Barat (modern) dalam hampir semua Alisyahbana pun tidak semantap kualitas sastrawi kegiatan seni di Indonesia, termasuk sastra. Di novel Belenggu karya Armjin Pane. Sekalipun awal pertumbuhan sastra modern Indonesia, yakni demikian, karya yang secara isi mengusung periode 1920-an dan 1930-an, para sastrawan, patahan dan tantangan keras terhadap tradisi yang pada umumnya berasal dari Sumatera; ternyata lebih populer dan memasyarakat berusaha memutuskan hubungan dengan bentuk- LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 Universitas Sumatera Utara Halaman 34 Estetisasi Amir Hamzah ❏ Ikhwanuddin Nasution terhadap Gerakan Kebangsaan bentuk lama sastra Melayu, seperti pantun, syair, Apa yang diungkapkan Lombard hanya dan hikayat dan menerima bentuk-bentuk sastra pada periode awal dan peralihan kekuasaan, tetapi dari Barat, seperti soneta, roman, dan drama pada periode-periode selanjutnya estetika (umumnya lima babak). Tahun 1942, dengan pertentangan justru semakin kuat dipengaruhi oleh kedatangan Jepang, menandai suatu keterputusan estetika
Recommended publications
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • APPENDIX Trans1ation of Poems Quoted in the Text *
    APPENDIX 257 APPENDIX Trans1ation of Poems Quoted in the Text * LANGUAGE, NATION (p. 10) When it is small and of tender years, The child sleeps in its mother's lap, Its mother sings songs and lullabies to it, Praising it as is right and proper, Rocking it in love night and day, In its cradle suspended over the land of its ancestors. Born into a nation with its own language, Surrounded by its family and relations, It will grow up in wisdom in the Malay land, In sorrow and in joy and in grief; Its feeling of solidarity is consolidated By its language, so beautiful and melodious. We lament and wail, and also rejoice, In times of good fortune, catastrophe and danger, We breathe so that we can go on living To continue to use the language which is an extension of our spirit Wherever Sumatra is, there is my nation, Wherever Pertja * is, there is my language. My beloved Andalas,* land of my birth From my childhood and youth Until the grave envelopes me, I shall never forget my language Remember, 0 youth, Sumatra is in distress Without a language, the nation disappears. (Muhammad Yamin) * Pertja and Andalas, other names for Sumatra. DIVINE CELESTIAL (? DAWN) (p. II) See the east, a riot of colour, The dawn is glowing, the day breaks The sun strews its clear rays, Imagination smiles, with all its five senses. * For some translations in this appendix grateful use has been made of earlier translations by Professor A. H. Johns and Professor Burton Raffel; see Johns (1964a, 1964b, 1%6), Raffel (1%4, 1%6-7) and Chairil Anwar (1963).
    [Show full text]
  • SEAM Holdings List – August 2011 Indonesia
    Indonesia Indonesia CALL # = MF-10289 SEAM reel 305 item 8. TITLE = 3 novela dari Bali. IMPRINT = [Djakarta, Endang, 1952?]. SERIES = Roman populer, no. 4. SERIES = Great Collections Microfilming Project. Phase I, John M. Echols Collection. NOTE = -- Patung ditepi pantai, oleh Si Uma. -- Menjiapkan purba baru, oleh Eswana. -- Antara long shot dan close-up, oleh Rd. Lingga Wisjnu. OCLC # = 23786531. CALL # = MF-10289 SEAM reel 269 item 6. TITLE = 80 oefeningen betreffende spraakkunst en taaleigen van het Soendaasch. IMPRINT = [n.p., 19--?]. SERIES = Great Collections Microfilming Project. Phase I, John M. Echols Collection. OCLC # = 24977476. CALL # = MF-10289 SEAM reel 090 item 06. TITLE = De Aanvullende plantersregeling : Koninklijk besluit van 17 Januari 1938 (Ned.Stbl. no.940; Ind. Stbl. no.98) : verzameling van ontwerpen, gewisselde stukken, gevoerde beraadslagingen enz. / bijeengebracht en gerangschikt door F.T. Marijn en P.Th.J. van Tetering. IMPRINT = [Batavia : Kantoor van Arbeid, voorwoord 1939]. SERIES = Publicatie van het Kantoor van Arbeid ; no. 13. SERIES = Great Collections Microfilming Project. Phase I, John M. Echols Collection. NOTE = Includes index. OCLC # = 21235188. CALL # = MF-10289 SEAM reel 055 item 03. TITLE = Aardrijkskundig overzigt van het eiland Celebes. IMPRINT = Batavia, Lange, 1858. SERIES = Great Collections Microfilming Project. Phase I, John M. Echols Collection. OCLC # = 20532673. CALL # = MF-10289 SEAM reel 302 item 3. AUTHOR = Abduh, M. TITLE = Pengalaman dua mata-mata, oleh M. Abduh. IMPRINT = Semarang, Abode, 1952. SERIES = Great Collections Microfilming Project. Phase I, John M. Echols Collection. OCLC # = 23786930. CALL # = MF-10289 SEAM reel 209 item 12. AUTHOR = Abdullah. TITLE = Tjontoh-tjontoh surat-menjurat resmi / dikumpulkan oleh Abdullah dan A.L.N.
    [Show full text]
  • West Meets East in Malaysia and Singapore. Participants' Papers
    DOCUMENT RESUME ED 442 698 SO 031 674 TITLE West Meets East in Malaysia and Singapore. Participants' Papers. Fulbright-Hays Summer Seminars Abroad Program1999 (Malaysia and Singapore). INSTITUTION Malaysian-American Commission on Educational Exchange, Kuala Lumpur. SPONS AGENCY Center for International Education (ED), Washington, DC. PUB DATE 1999-00-00 NOTE 347p. PUB TYPE Collected Works - General (020) Guides Classroom - Teacher (052) EDRS PRICE MF01/PC14 Plus Postage. DESCRIPTORS Area Studies; Art Education; Asian Studies; *Cultural Awareness; Developing Nations; Elementary Secondary Education; Foreign Countries; Global Education; Higher Education; *Political Issues; Social Studies; Study Abroad; Undergraduate Study IDENTIFIERS Fulbright Hays Seminars Abroad Program; *Malaysia; *Singapore ABSTRACT These projects were completed by participants in the Fulbright-Hays summer seminar in Malaysia and Singapore in 1999.The participants represented various regions of the U.S. anddifferent grade levels and subject areas. The seminar offered a comprehensiveoverview of how the people of Malaysia and Singapore live, work, and strivetowards their vision of a more secure east-west relationship withoutsacrificing their history or culture. In addition, seminars were presentedabout Malaysia's geography and history, the political structure, culturalplurality, religions, economy, educational system, aspirations and goalsfor the future, and contemporary issues facing the society. The 15 projects' are: (1) "Rice Cultivation of Malaysia" (Klaus J. Bayr); (2) "Mahathir of Malaysia" (Larry G. Beall); (3) "The Politics of Development of Malaysia: A Five Week Course Segment for an Undergraduate Course on Politics inDeveloping Areas" (George P. Brown); (4) "Patterns of Urban Geography: A Comparison of Cities in Southeast Asia and the United States" (Robert J. Czerniak); (5) "The Domestic and Foreign Effects of the Politics of Modernization inMalaysia" (Henry D.
    [Show full text]
  • Indah Lagi Mengasyikkan: Gaya Bahasa Pertautan Usman Awang Dalam Puisinya
    International Journal of the Malay World and Civilisation 8(3), 2020: 33 - 42 (https://doi.org/10.17576-2020-0802-04) Indah Lagi Mengasyikkan: Gaya Bahasa Pertautan Usman Awang dalam Puisinya Beautiful and Absorbing: Language Style of Opposition in the Poetry of Usman Awang MUHARAM AWANG & SHAIFUL BAHRI MD. RADZI ABSTRAK Kajian ini membicarakan kepenyairan Usman Awang, Sasterawan Negara yang ketiga. Pembicaraan ini berkisar terhadap keindahan gaya bahasa pertautan dalam puisi yang disampai dengan begitu berkesan sekali sehingga berjaya menjadikannya sebagai seorang tokoh penyair besar dalam dunia kepenyairan tanah air. Data kajian ini melibatkan cabutan sajak-sajak ciptaan Usman Awang yang antara lain termasuk Gelombang (1960); Duri dan Api (1967); Kaki Langit (1971); Salam Benua (1987) dan Puisi-Puisi Pilihan Sasterawan Negara Usman Awang (1987). Bagi menganalisis keindahan puisi Usman Awang maka Model Gaya Bahasa Hendry Guntur Tarigan khususnya gaya Bahasa pertautan diaplikasikan bagi mengenal pasti gaya bahasa ini digunakannya dalam puisi. Keindahan puisi ini terbukti kerana kebijaksanaannya dalam menjalin penggunaan gaya bahasa pertautan seperti metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme, epitet, antonomasia, paralelisme, dan asidenton dalam ciptaan puisi sehingga menjadikannya sebegitu indah sehingga menyentuh kalbu. Kekuatan ini membolehkan Usman Awang menyampaikan tema kemanusiaan secara berkesan ketika merakamkan peristiwa sejarah penting tanah air serta yang menyentuh isu-isu antarabangsa dan sejagat. Kata kunci: Usman Awang; puisi; gaya bahasa; gaya bahasa pertautan; indah ABSTRACT This study discusses the aestheticism in the poetry of Usman Awang, Malaysia’s 3rd National Laureate. The discussion revolves on the usage of the language style of opposition which turned him into one of the great poets of the nation who focused on humanitarian themes.
    [Show full text]
  • Lintasan Pemikiran Estetika Puisi Indonesia Modern (The Period of Orientation Minded Indonesian's Modern Poetry Aesthetic)
    LINTASAN PEMIKIRAN ESTETIKA PUISI INDONESIA MODERN (THE PERIOD OF ORIENTATION MINDED INDONESIAN’S MODERN POETRY AESTHETIC) Heri Suwignyo Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang, e-mail [email protected] Abstract The Period of orientation minded Indonesian’s modern poetry aesthetic. The orientation minded Indonesian’s modern poetry aesthetic leads to aesthetic theory of harmony, deviation, and emancipatory. The conception of poetry by Sanusi Pane, Rustam Effendi’s poems appearance, and the sonnets by M. Yamin which have soul about nationalism, have relation to harmony of pantun and syair’s asthetic. Mind of deviation aesthetic marked by Chairil’s free poetry that emphasized the depth of the meaning rather than linguistic devices. Emancipatory aesthetic found by credo Sutardji that liberating words from the hegemony of meaning. Remy Silado offering the mbeling poem’s aesthetic as an integral part of the aesthetics of Indonesian’s contemporary poetry. Those minded is very useful for the construction of the historiography Indonesian’s modern poetry aesthetic which is until right now still through emptyness. Keywords: indonesian poetry aesthetics, aesthetic harmony, aesthetic deviation, aesthetic emancipatory Abstrak Lintasan Pemikiran Estetika Puisi Indonesia Modern. Orientasi pemikiran estetika puisi Indonesia modern mengarah pada teori estetika harmoni, deviasi, dan emansipatori. Konsepsi sajak oleh Sanusi Pane, penampilan sajak-sajak Rustam Effendi, dan soneta- soneta yang berjiwa kebangsaan M. Yamin secara harmoni masih terikat pada estetika pantun dan syair. Pemikiran estetika deviasi ditandai oleh kemunculan puisi-puisi bebas Chairil yang menekankan pada kedalaman makna daripada sarana kebahasaan. Pemikiran estetika emansipatori ditemukan pada kredo Sutardji yang membebaskan kata dari penjajahan makna.
    [Show full text]
  • Heirs to World Culture DEF1.Indd 1 22-11-11 09:04 HEIRS to WORLD CULTURE
    Being Indonesian 1950-1965 Heirs to world culture Heirs to world culture Heirs to world culture Being Indonesian 1950-1965 This volume brings together new scholarship by Indonesian and non-Indonesian scholars on Indonesia’s cultural history from 1950-1965. During the new nation’s first decade and a half, Indonesia’s links with the world and its sense of nationhood were vigorously negotiated on the cultural front. Indonesia used cultural networks of the time, including those of the Cold War, to announce itself on the world stage. International links, post-colonial aspirations and nationalistic fervour interacted to produce a thriving cultural and intellectual life at home. Essays discuss the exchange of artists, intellectuals, writing and ideas between Indonesia and various countries; the development of cultural networks; and ways these networks interacted with and influenced cultural expression and discourse in Indonesia. Liem and Maya H.T. Edited by Jennifer Lindsay With contributions by Keith Foulcher, Liesbeth Dolk, Hairus Salim HS, Tony Day, Budiawan, Maya H.T. Liem, Jennifer Lindsay, Els Bogaerts, Melani Budianta, Choirotun Chisaan, I Nyoman Darma Putra, Barbara Hatley, Marije Plomp, Irawati Durban Ardjo, Rhoma Dwi Aria Yuliantri and Michael Bodden. From the reviews: ‘This book will become a founding publication of research on the cultural and social history of Soekarno’s Old Order. It will stimulate new research [...] and begins to fill in the gaps that have existed for the past half a century’, Laurie Sears. ‘[...] reveals the highly charged debates and conflicts over artistic practice in the newly independent Indonesian state during the Soekarno era in their infinite complexities’, Frances Gouda.
    [Show full text]
  • Book Reviews - Tim Behrend, Nancy K
    Book Reviews - Tim Behrend, Nancy K. Florida, Javanese literature in Surakarta manuscripts; Volume 2; Manuscripts of the Mangkunagaran palace. Ithaca, New York: Cornell University Southeast Asia Program, 2000, 575 pp. - Harold Brookfield, Judith M. Heimann, The most offending soul alive; Tom Harrisson and his remarkable life. Honolulu: University of Hawaii Press, 1998, 468 pp. - Harold Brookfield, Victor T. King, Rural development and social science research; Case studies from Borneo. Phillips, Maine: Borneo Research Council, 1999, xiii + 359 pp. [Borneo Research Council Proceedings Series 6.] - J.G. de Casparis, Roy E. Jordaan, The Sailendras in Central Javanese history; A survey of research from 1950 to 1999. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, 1999, iv + 108 pp. - H.J.M. Claessen, Francoise Douaire-Marsaudon, Les premiers fruits; Parenté, identité sexuelle et pouvoirs en Polynésie occidentale (Tonga, Wallis et Futuna). Paris: Éditions de la Maison des Sciences de lHomme, 1998, x + 338 pp. - Matthew Isaac Cohen, Andrew Beatty, Varieties of Javanese religion; An anthropological account. Cambridge: Cambridge University Press, 1999, xv + 272 pp. [Cambridge Studies in Social and Cultural Anthropology 111.] - Matthew Isaac Cohen, Sylvia Tiwon, Breaking the spell; Colonialism and literary renaissance in Indonesia. Leiden: Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, University of Leiden, 1999, vi + 235 pp. [Semaian 18.] - Freek Colombijn, Victor T. King, Anthropology and development in South-East Asia; Theory and practice. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1999, xx + 308 pp. - Bernhard Dahm, Cive J. Christie, A modern history of South-East Asia; Decolonization, nationalism and seperatism. London: Tauris, 1996, x + 286 pp. - J. van Goor, Leonard Blussé, Pilgrims to the past; Private conversations with historians of European expansion.
    [Show full text]
  • 6 Sibling Tension and Negotiation Malay(Sian) Writer-Political Activists
    6 Sibling tension and negotiation Malay(sian) writer-political activists’ links and orientation to Indonesia Budiawan We might see the cultural traffic between Indonesia and abroad in 1950-1965 as an imbalanced flow of influences, in which Indonesia was in the position of being influenced rather than the reverse. While Indonesian cultural workers presented their works abroad, searched for inspiration from and extended their references to various sites of ‘world’ cultures, as other contributors to this vol- ume discuss, subsequently they processed imported ideas into ‘local’ expressions, to fit the aspiration for so-called national iden- tity.1 This was common in recently decolonized nations, since the ‘nation building project’ was at the initial stage. The case of Indonesia–Malaya cultural traffic, particularly in literature, however, tends to show the opposite direction. Rather than being the importer, Indonesia was the exporter of literary works and ideas to Malaya without, to a great extent, necessarily being aware of it, for it was the latter that took initiatives to search for inspiration from the former. In short, Indonesia became the ‘Mecca’ for the writers of Malaya,2 especially the Malay writers, both in the given period and even earlier.3 1 Yet, as the idea of ‘national identity’ was (and is) contested, the creative processes of adapt- ing to ‘local’ expressions tended to run in hot and even endless debates. Keith Foulcher’s chapter in this volume is the study of such a cultural debate in post-independence Indonesia. 2 Until the breakdown of the Malaysian Federation in 1965, after which Malaysia and Singa- pore were separated, the term ‘Malaya’ referred to the whole British colonies of the peninsula including the island of Singapore.
    [Show full text]
  • Download Download
    HUMANIORA DAN ERA DISRUPSI E-PROSIDING SEMINAR NASIONAL PEKAN CHAIRIL ANWAR Kerja Sama FIB Universitas Jember, HISKI Jember, dan ATL Jember Editor: Heru S.P. Saputra, Novi Anoegrajekti, Titik Maslikatin, Zahratul Umniyyah, L. Dyah Purwita Wardani SWW Vol. 1, No. 1, Oktober 2020 ISBN: 978-623-7973-08-9 Halaman 179—193 URL: https://jurnal.unej.ac.id/index.php/prosiding/issue/view/1031 Penerbit: Jember University Press MENJELAJAH GENEALOGI PUISI INDONESIA DARI MASA BALAI PUSTAKA SAMPAI ERA DIGITAL Sunarti Mustamar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember [email protected] Abstrak Perkembangan puisi Indonesia dilihat dari angkatan Balai Pustaka hingga sekarang di era digital dapat dikatakan mengalami kemajuan yang signifikan. Perkembangan tersebut dilihat dari sisi bentuk, isi dan temanya, teknik penciptaan serta penyajian tema-tema yang dimunculkan di setiap periode hampir selalu mengalami perbedaan. Berdasarkan perubahan tersebut, dalam memahami puisi perlu memperhatikan faktor genetik puisi, agar memperoleh makna yang maksimal. Faktor genetik puisi itu meliputi penyair dan kenyataan sejarah yang melatar belakangi proses penulisan puisi tersebut. Puisi yang sulit atau gelap dapat lebih mudah dipahami jika pembaca mampu memahami faktor genetiknya. Melalui penelitian ini penulis menelusuri genetik puisi Indonesia sejak periode Balai Pustaka sampai sekarang di era digital. Dengan tujuan dapat membantu pembaca / penikmat puisi dalam memahami makna puisinya Metode yang digunakan adalah meotode etnografi. Hasil yang diharapkan dapat memaparkan genealogi puisi Indonesia mulai periode Balai Pustaka Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 50-an, Angkatan 66 dan 90an sampai sekarang di era digital. Kata kunci: era digital, genealogi, puisi indonesia, balai pustaka PENDAHULUAN Puisi merupakan salah satu bentuk sastra yang memiliki karakteristik tersendiri artinya berbeda dengan prosa.
    [Show full text]
  • Heirs to World Culture DEF1.Indd
    6 Sibling tension and negotiation Malay(sian) writer-political activists’ links and orientation to Indonesia Budiawan We might see the cultural traffic between Indonesia and abroad in 1950-1965 as an imbalanced flow of influences, in which Indonesia was in the position of being influenced rather than the reverse. While Indonesian cultural workers presented their works abroad, searched for inspiration from and extended their references to various sites of ‘world’ cultures, as other contributors to this vol- ume discuss, subsequently they processed imported ideas into ‘local’ expressions, to fit the aspiration for so-called national iden- tity.1 This was common in recently decolonized nations, since the ‘nation building project’ was at the initial stage. The case of Indonesia–Malaya cultural traffic, particularly in literature, however, tends to show the opposite direction. Rather than being the importer, Indonesia was the exporter of literary works and ideas to Malaya without, to a great extent, necessarily being aware of it, for it was the latter that took initiatives to search for inspiration from the former. In short, Indonesia became the ‘Mecca’ for the writers of Malaya,2 especially the Malay writers, both in the given period and even earlier.3 1 Yet, as the idea of ‘national identity’ was (and is) contested, the creative processes of adapt- ing to ‘local’ expressions tended to run in hot and even endless debates. Keith Foulcher’s chapter in this volume is the study of such a cultural debate in post-independence Indonesia. 2 Until the breakdown of the Malaysian Federation in 1965, after which Malaysia and Singa- pore were separated, the term ‘Malaya’ referred to the whole British colonies of the peninsula including the island of Singapore.
    [Show full text]
  • VU Research Portal
    VU Research Portal Southeast Asian Studies Reorientation [Review of: C.J. McVey Reynolds (1998) Southeast Asian Studies Reorientations] Sutherland, H.A. published in Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 2000 document version Publisher's PDF, also known as Version of record Link to publication in VU Research Portal citation for published version (APA) Sutherland, H. A. (2000). Southeast Asian Studies Reorientation [Review of: C.J. McVey Reynolds (1998) Southeast Asian Studies Reorientations]. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, 156, 861-862. General rights Copyright and moral rights for the publications made accessible in the public portal are retained by the authors and/or other copyright owners and it is a condition of accessing publications that users recognise and abide by the legal requirements associated with these rights. • Users may download and print one copy of any publication from the public portal for the purpose of private study or research. • You may not further distribute the material or use it for any profit-making activity or commercial gain • You may freely distribute the URL identifying the publication in the public portal ? Take down policy If you believe that this document breaches copyright please contact us providing details, and we will remove access to the work immediately and investigate your claim. E-mail address: [email protected] Download date: 06. Oct. 2021 Book Reviews - Tim Behrend, Nancy K. Florida, Javanese literature in Surakarta manuscripts; Volume 2; Manuscripts of the Mangkunagaran palace. Ithaca, New York: Cornell University Southeast Asia Program, 2000, 575 pp. - Harold Brookfield, Judith M. Heimann, The most offending soul alive; Tom Harrisson and his remarkable life.
    [Show full text]