Estetisasi Amir Hamzah Terhadap Gerakan Kebangsaan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Halaman 32 Estetisasi Amir Hamzah ❏ Ikhwanuddin Nasution terhadap Gerakan Kebangsaan ESTETISASI AMIR HAMZAH TERHADAP GERAKAN KEBANGSAAN Ikhwanuddin Nasution Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Abstract Amir Hamzah’s estheticism to nationality movement began from the mind conflicts that felt from external world. He contemplated inward and then realized it in masterpiece forms, such as poem and prose. From the form, the masterpieces of Amir Hamzah were still tied with compatibility esthetics, but from the contents they showed the existence of stress esthetics. Key words: compatibility, stress, and anxiety 1. PENDAHULUAN disentuh oleh pengaruh-pengaruh asing. Malahan, Amir Hamzah yang dikenal sebagai Raja Penyair hampir semua puisinya ditulis jauh dari alam Pujangga Baru dilahirkan di Langkat, 28 Pebruari Melayu, yakni di Jawa, ketika ia tinggal dan 1911, seorang bangsawan yang hidup di belajar di sana dan sebagai seorang Indonesia lingkungan kesultanan. Amir Hamzah juga seorang muda, bukan sebagai orang Melayu. Kala itu, ia terpelajar, mula-mula ia sekolah di HIS Tanjung memainkan peranan aktif dalam kumpulan Pura, kemudian pindah ke Medan masuk Mulo, Pujangga Baru. Pada dasarnya, ia lebih banyak ketika kelas dua pindah ke Jakarta dan setelah memperoleh pendidikan Barat, walaupun ia pernah tamat dari Mulo, ia masuk AMS bagian sastra mendapat didikan pada aliran Timur di AMS. Timur di Surakarta sampai tamat, baru kemudian Bahkan kumpulan puisinya Buah Rindu masuk Sekolah Tinggi Hukum sampai mencapai dipersembahkannya “Ke bawah Paduka Indonesia- sarjana muda, ia tidak melanjutkannya. Amir Raya”. Hamzah kembali ke Tanjung Pura karena Bahasa yang lama dan bentuk-bentuk panggilan keluarga untuk bekerja di kesultanan puisi lama medapat jiwa baru dalam tangan Amir Langkat dan menikah. Pada saat terjadi pergolakan Hamzah. Ia tidak menghindarikan bentuk syair revolusi di Sumatera Utara (saat itu Sumatera tetapi di tanggannya bentuk itu mendapat isi yang Timur), 1946, Amir Hamzah bersama beberapa sesungguhnya. Kata-kata dalam puisi-puisinya keluarganya diculik dan dibunuh. bukan saja berirama, tetapi juga mempunyai Amir Hamzah sangat berperan dalam makna yang dalam (Hooykaas 1951:45). perkembangan sastra Indonesia, ia termasuk Simorangkir-Simanjuntak (1961:87) mengatakan bagian dari Angkatan Pujangag Baru (Angkatan bahwa penyair besar ini menempatkan kata-kata ’33). Teeuw (1980:123) mengatakan bahwa faktor Malayu lama dalam bentuk, bunyi, dan irama yang bahasa amat penting untuk menjelaskan peranan amat bagus, sehingga untaian kata-katanya itu utama yang dimainkan oleh orang-orang Sumatera masuk meresap ke dalam kalbu, tetapi sebagai –terutama orang Minangkabau– dalam barang yang murni-mulia, puisi-puisinya tidak perkembangan sastra Indonesia sebelum perang, dapat diukur dengan ukuran sehari-hari. Oleh bahasa mereka paling dekat dengan bahasa Melayu karena itulah Jassin (1955:19) mengatakan bahwa dalam bentuknya yang akan berkembang menjadi tidak banyak orang yang dapat merasakan bahasa Indonesia. Namun, di antara orang kedalaman puisi-puisi Amir Hamzah. Sebab selain Sumatera itu, Amir Hamzahlah orang Melayu bahasanya yang sulit, yang menambah kelamnya sejati. Amir Hamzah dipupuk dan diasuh dalam puisi-puisinya itu, juga karena perbandingan- suasana kesusastraan dan kebudayaan Melayu. perbandingan yang tidak biasa. Tentu saja, bahasa yang dikenalnya sejak kecil itu merupakan suatu inspirasi bagi Amir Hamzah. 2. KEBIMBANGAN ESTETIKA Akan tetapi, Amir Hamzah bukanlah Estetika dalam perkembangan sastra di Indonesia orang Melayu yang murni dalam arti kata bahwa telah mengalami pergeseran-pergeseran kehidupan dan kebudayaannya tidak pernah paradigma, mulai dari estetika keselarasan, estetika LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 Universitas Sumatera Utara Halaman 33 Estetisasi Amir Hamzah ❏ Ikhwanuddin Nasution terhadap Gerakan Kebangsaan pertentangan (ketegangan menurut istilah Teeuw), dibanding karya yang bersimpati dan mencoba sampai pada estetika posmodernisme dan estetika memberi harga pada kehangatan tradisi. Salah feminisme pada sastra kontemporer saat ini. Asuhan jelas kalah populer dibanding Sitti Menurut Saryono (2006) dan Teeuw (1988) Nurbaya atau Layar Terkembang lebih diterima Estetika keselarasan terdapat pada sastra lama publik ketimbang Belenggu. Indonesia seperti sastra Jawa dan Melayu. Pencitraan modernitas dan perlawanan Saryono (2006:37) mengatakan bahwa terhadap tradisi itu dalam beberapa karya sastra dalam estetika keselarasan terkandung pengertian hanya terlihat sebagai ide, bukan pengalaman dari yang estetis harus selaras dan serasi dengan sastrawannya. Hal itu menimbulkan karya-karya “segala hal” yang terepresentasikan dalam karya sastra yang lebih mementingkan pesan daripada sastra dan yang terepresentasikan itu harus estetika pengungkapannya. Karya sastra yang diselaraskan dengan etik, filosofi, dan religius demikian biasanya disebut sastra bertendens, (selaras secara vertikal) pada satu pihak dan pada misalnya terlihat pada karya-karya Sutan Takdir pihak lain diselaraskan dengan segala aktivitas Alisyahbana. Akan tetapi, sastra bukanlah muatan eksistensial manusia (selaras secara horizontal) ide belaka, ada unsur-unsur lain yang harus yang terepresentasikan ke dalam karya sastra. diperhatikan, terutama adanya gugusan estetika Teeuw (1988:356) mengatakan bahwa estetika saat tempat ide diolah dan diungkapkan. itu tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan Gairah pemberontakan dan kualitas pada fungsi agama; lewat seni (sastra) manusia estetika dalam pengungkapkannya muncul dalam diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan paduan yang kukuh pada karya-karya Chairil dan dia akan menghilangkan dia (atau kehilangan Anwar. Di satu sisi karya-karyanya unggul secara diri) dalam keagungan pesona itu, seperti terlihat estetika dan di sisi lain bersesuaian pula dengan dalam sastra Melayu lama atau manusia seniman cakrawala harapan masyarakat Indonesia yang lewat seni mencoba menjangkau persatuan dengan tengah mengalami pemberontakan. Puisi-puisi Dewa yang akhirnya membawa kehampaan multak Chairil Anwar merupakan semangat keakuan yang dan kehilangan dari rantai eksistensi manusia, “meradang menerjang.” seperti terlihat pada sastra Jawa Kuno. Pada puisi-puisi Chairil inilah estetika Pada sastra modern Indonesia didominasi pertentangan menjadi kekuatan yang telah oleh estetika pertentangan (ketegangan menurut meninggalkan tradisi estetika keselarasan, bahkan istilah Teeuw). Estetika ini berkeyakinan bahwa estetika keselarasan menjadi terpingkirkan. ketegangan dan kebaruan merupakan sifat dasar Kekuatan estetika puisi-puisi Chairil Anwar itu atau ciri pokok estetika sehingga “kebagusan” atau menjadi ikutan para penyair berikutnya, meskipun bobot sastra diukur dari kemampuannya ada usaha para penyair untuk kembali mengusung menampilkan dan menimbulkan ketegangan dan estetika tradisi (keselarasan) dan kebaruan. Estetika pertentangan ini ada pada masa menggabungkannya dengan diskursus modernitas, modernisasi dan mencapai kemapanan dan seperti terlihat pada Rendra, Goenawan Mohamad, kedominannya pada dasawarsa kedua abad ke-20 Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M., (Saryono 2006: 3–5). yang melahirkan estetika “puisi-puisi suasana” Namun, menurut Sarjono (2001:127–129) (menurut istilah Dami N. Toda 1984). Namun sastra modern Indonesia lahir dari patahan yang tidak terlihat pertentangan keras dengan estetika keras dengan masa silam dan dengan hamparan pertentangan yang dibawakan oleh Chairil Anwar. masyarakat awam bangsa Indonesia. Pada awal Pemberontakan terhadap estetika puisi-puisi kelahiran sastra modern Indonesia tidaklah Chairil Anwar dilakukan dengan keras oleh melahirkan bentuk sastrawi yang kukuh. Karya- Sutardji Calzoum Bachri. Pergulatannya dengan karya yang lahir dari simpati yang memadai pada estetika perpuisian Barat tidak menghalanginya tradisi yang justru melahirkan karya yang memiliki mengambil langkah ekstrim kembali ke puitika kualitas sastrawi yang kukuh. Puisi-puisi Sutan mantra dari kampung halamannya di Riau. Takdir Alisyahbana tidaklah sekukuh kualitas Berbeda dengan pandangan Lombard puisi-puisi Amir Hamzah. Sementara novel Sitti (2005:189–191) tentang pergulatan estetika dalam Nurbaya karya Marah Rusli secara sastrawi tidak sastra modern Indonesia. Lombard mengatakan sekukuh novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis. bahwa ada kebimbangan untuk menempatkan Di sisi lain, Layar Terkembang Sutan Takdir estetika Barat (modern) dalam hampir semua Alisyahbana pun tidak semantap kualitas sastrawi kegiatan seni di Indonesia, termasuk sastra. Di novel Belenggu karya Armjin Pane. Sekalipun awal pertumbuhan sastra modern Indonesia, yakni demikian, karya yang secara isi mengusung periode 1920-an dan 1930-an, para sastrawan, patahan dan tantangan keras terhadap tradisi yang pada umumnya berasal dari Sumatera; ternyata lebih populer dan memasyarakat berusaha memutuskan hubungan dengan bentuk- LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 Universitas Sumatera Utara Halaman 34 Estetisasi Amir Hamzah ❏ Ikhwanuddin Nasution terhadap Gerakan Kebangsaan bentuk lama sastra Melayu, seperti pantun, syair, Apa yang diungkapkan Lombard hanya dan hikayat dan menerima bentuk-bentuk sastra pada periode awal dan peralihan kekuasaan, tetapi dari Barat, seperti soneta, roman, dan drama pada periode-periode selanjutnya estetika (umumnya lima babak). Tahun 1942, dengan pertentangan justru semakin kuat dipengaruhi oleh kedatangan Jepang, menandai suatu keterputusan estetika