ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik

Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2017 (c) ilmuiman.net. All rights reserved.

Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novel- cerpen percintaan atau romance, dan cerita non fiksi.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca. Karya kita semua. Peringatan: Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab pembaca. Terima kasih & salam.

*** Kira-kira Sejarah Priangan

Konteks Priangan

Parahyangan atau Priangan atau Bahasa Belanda "Preanger" adalah wilayah bergunung-gunung di Jawa Barat selatan-timur, berbudaya Sunda, yang secara tradisional meliputi: Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Bandung, Cianjur, dan Bogor.

Setelah sebelumnya ditulis tentang Jawa Bagian barat keseluruhan, tetapi secara garis besar, rasanya lebih kumplit pake telor kalau Priangannya dibahas lagi khusus.

Kira-kira, bermakna tempat para rahyang atau hyang, roh leluhur atau para dewa menghuni tempat-tempat yang luhur-tinggi. Jaman Kerajaan Sunda kuno, wilayah jajaran pengunungan di tengah Jawa Barat dianggap kawasan suci tempat hyang bersemayam, dan kata legenda, tanah itu tercipta ketika para dewa tersenyum, mencurahkan berkah dan restunya. Bukan saat mejen, atau saat habis kalah pilkada.

Di masa kisruh, saat Pakuan-Pajajaran diacak-acak Banten (1579-1580), wilayah priangan tradisional itu terus memecah menjadi dua kerajaan (yang relatif merdeka, independen): Sumedang Larang dan Galuh. Dan saat itu ada pecahan lagi di utara, yaitu antara daerah Cirebon dan Jayakarta (daerah Karawang, Subang, Purwakarta), kalau tidak salah disebut Rajagaluh (dan setelah direbut Cirebon, disebutnya: Rangkas Sumedang, yang batas wilayahnya belum tentu persis sama). Di masa karesidenan Hindia Belanda, daerah itu berubah jadi Karesidenan Karawang. Daerah ini dianeksasi oleh VOC dari Cirebon secara akal-akalan dengan bantuan Mataram Juni 1677 (alias ujungnya terjajah Belanda sekitar 265 tahun, 1677-1942).

Di masa Hindia Belanda, Karesidenan Priangan terus mengecil, tinggal Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis masa kini. Yaitu ini dianggap wilayah asli gabungan Sumedang Larang dengan Galuh. Sementara Bogor, dan Sukabumi, jadi karesidenan sendiri, yaitu Karesidenan Buitenzorg. Yang oleh Belanda, sepertinya ini dianggap wilayah eks Pakuan-Pajajaran di era terakhir, setelah kerajaan itu menciut digerus oleh Banten.

Dalam konteks yang lebih besar kurang lebih munculnya priangan tergambar dalam skema berikut ini (area berbayang di tengah). Ini mungkin sedikit mengulang, sorry....

Babak1 : Berawal dari abad ke-1 atau ke-2, muncul kerajaan tua, yang boleh dibilang ini sesepuhnya kerajaan di nusantara, yaitu Salakanagara.

Babak 2 : Saat kerajaan ini maju, lalu mengkonsolidasikan praktis seluruh jawa-barat dan sebagian jawa-tengah, membentuk kerajaan besar, dan sampai sekarang termasuk kerajaan jawa-barat terbesar sepanjang masa, yaitu Tarumanagara atau Taruma. Kurang lebih Taruma ini the best senusantara di abad ke-4 sampai ke-7.

Babak 3 : Sekitar abad ke-7 dan ke-8, yang ngetop se-nusantara itu Sriwijaya. Nah, konon (debatable masih), pendiri Sriwijaya itu salah satu istrinya adalah putri kedua dari kerajaan Tarumanagara. Putri pertamanya sendiri, lantas menikah dengan Pangeran Kerajaan Sunda (yang merupakan bawahan Taruma aslinya), dan lantas mengambil alih kekuasaan, dan bersama sang suami lantas memindahkan ibu kota ke Sunda, atau Sunda-Kelapa masa kini. Di titik ini, Galuh (turunan trah asli Taruma) merasa canggung untuk menghamba pada raja Sunda cuma menantu trah Taruma, lalu melepaskan diri.

Babak 4 : Kerajaan Jawa Medang, mulai membesar, merupakan bagian dari trah Syailendra juga, yang saat itu berjaya senusantara. Sunda menjadi bawahan Sriwijaya juga, mirip Medang, dan awalnya, Galuh yang masih bersaudara dengan Sunda akur- akur saja dengan Medang, maupun dengan Sunda. Sampai kemudian, di abad ke-8, raja Galuh dikudeta oleh bangsawan setempat. Kudeta ini, lantas dilawan oleh pasukan gabungan Medang-Sunda, sampai terkalahkan. Habis kalah, Galuh dipegang oleh Medang sebentar, kemudian diserahkan ke Sunda, dan terbentuklah kembali kerajaan gabungan Sunda-Galuh.

Babak 5 : Beberapa lama, Sunda-Galuh itu terus teraliansi dengan kerajaan Jawa (Medang, yang kemudian dari Jawa Tengah hijrah ke Jawa Timur di Jaman Mpu Sendok), serta kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya dan Medang ini satu trah, yaitu trah Syailendra, dan juga, boleh dibilang raja-raja Sunda-Galuh itu juga bersaudara dengan mereka. Tapi apa mau dikata, kemudian, Sriwijaya dan Medang ini pecah kongsi. Permusuhan Sriwijaya-Medang mulai menajam jaman Raja Dharmawangsa berjaya di Jawa Timur, yaitu di awal abad ke-11. Bagi Sunda-Galuh, posisinya jadi sulit. Dua- duanya saudara. Jadi akhirnya cenderung netral saja, dan menutup diri dari carut marutnya perselisihan barat-timur di nusantara, terus sampai kerajaan Jawa-nya bertransformasi menjadi Majapahit. Pusat kerajaan Jawa pun, demi menghindari serbuan marinir sebagaimana serbuan ke ibukota Sriwijaya, terus dipindahkan ke Galuh. Tapi, posisi ibukota di Galuh ini berakhir kurang lebih sampai selepas peristiwa bubat, saat raja-raja Sunda-Galuh dibantai oleh Gajah Mada di abad ke-14. Habis pembantaian bubat itu, ibukota Sunda-Galuh kemudian dipindahkan ke Pakuan- Pajajaran, yaitu berada di antara dua sungai besar Ciliwung dan Cisadane. Galuhnya, kemudian terlepas dari tangan mereka dan dianeksasi Majapahit kurang lebihnya.

Babak 6 : Ini sebagaimana diceritakan di atas. Pakuan Pajajaran yang bertahun-tahun eksis sebagai kerajaan pedalaman yang tidak pernah terganggu oleh siapapun, terus mempertahankan budaya lama kombinasi antara kepercayaan leluhur dengan agama India Hindu-Budha.. integritasnya di abad ke-16 mulai goyah, dan terus terpecah yang kurang lebih pecahannya adalah: wilayah inti Pakuan-Pajajaran itu sendiri di barat- selatan. Lalu di utara, berturut ada daerah Banten, Kelapa (atau Sunda-Kelapa), Rajagaluh, Cirebon. Lalu di selatan-timur, ada Sumedang-Larang (dan Galuh, tapi Galuhnya lebih terafiliasi ke Jawa daripada ke Pakuan-Pajajaran). Berturut-turut, Cirebon jadi islam, lalu melepaskan diri. Diikuti Banten kemudian. Dan Sumedang Larang (tapi Sumedang Larang tidak begitu saja melepaskan diri). Sunda-Kelapa terus digempur gabungan Cirebon-Banten, jadi islam juga. Lalu Rajagaluh pun direbut Cirebon, dan jadi islam juga. Terakhir wilayah induknya Pakuan-Pajajaran direbut Banten, dan jadi islam juga. Yang masih ingin mempertahankan tradisi lama, lantas hijrah ke Sumedang-Larang, yang walaupun islam tapi pro Pakuan-Pajajaran, saudara tuanya. Serangan Banten ke Sumedang Larang dibendung di Cianjur. Demikian pula, serangan Cirebon ke Sumedang Larang tidak berhasil menghancurkannya. Terakhir, yang susah dilawan adalah Mataram, yang di abad ke-16 itu sudah menguasai Galuh. Yah, daripada konyol melawan kingkong, akhirnya, Sumedang Larang memutuskan ikut jejak Galuh, bergabung dengan Mataram saja.

Sebelum bergabung ke Mataram, dua kerajaan merdeka itu tadi (Galuh dan Sumedang Larang), yang lebih kuat adalah Sumedang Larang. Pusatnya di Kutamaya (barat downtown Sumedang masa kini). Raja paling top-nya diyakini Prabu Geusan Ulun (yang bertahta sekitar 28 tahun, 1580-1608). Sementara Galuh, yang sudah sejak lama kecondongannya tengah-tengah, antara Jawa dan Sunda, pusatnya somewhere di wilayah Tasik-Ciamis-Banjar masa kini.

Kenapa Sumedang Larang lebih kuatan daripada Galuh?

Ini tadi sudah terjawab.... Selain karena kemungkinan Galuh yang lebih tua itu sejak jaman Majapahit sudah jauh tereduksi kekuatannya oleh orang-orang Jawa, ada kemungkinan juga karena Sumedang Larang ini 'diperkaya' oleh para pelarian Pakuan- Pajajaran di sisi baratnya. Bahkan, bisa juga disebut: Sumedang Larang itu, jelmaan Pakuan-Pajajaran versi islam (yang merdeka); yaitu menurut para pelarian; sedangkan menurut orang Banten, ya area Bogor-Sukabumi-Cianjur itulah Pakuan-Pajajaran versi islam (yang merupakan bawahan Banten).

Sepeninggal Geusan Ulun, Sumedang Larang diwarisi anak tiri sang raja: Raden Aria Suriadiwangsa (berkuasa sekitar 16 tahun, 1608-1624). Tapi tahun 1620 itu, independensinya goyah, terjepit oleh tiga kekuatan besar: Banten, Cirebon, Mataram. Sang Aria lalu memilih menyerahkan diri jadi bawahan Mataram. Kebetulan, ibundanya: Ratu Harisbaya adalah saudara Sutawijaya pembesar Mataram.

***

Priangan Era Mataram

Sejak itu, Sumedang Larang dan segenap wilayah priangan yang menghamba ke Mataram (termasuk Galuh), dijadikan satu wilayah bawahan yang dikontrol oleh Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata (alias Rangga Gempol I, yang berkuasa sekitar 4 tahun, 1620-1624, sebagai Wedana Bupati alias bos-nya para Bupati priangan). Rangga Gempol konon dipilih sendiri oleh Sultan Agung van Mataram. Pada masa ini, perbatasan sisi baratnya bisa jadi Cianjur (dan sebagian Bogor-Sukabumi).

Kemudian, Rangga Gempol itu ditugaskan raja Mataram menaklukkan Sampang Madura. Wilayah Priangan-Mataram, sementara dia ekspedisi, disuruh pegang oleh Pangeran Rangga Gede yang lebih junior. Saat itu, terus priangan diserang oleh Banten yang melihat kesempatan karena melihat jagoan-jagoan tempur Priangan banyak yang dibawa ekspedisi ke Sampang.

Sebagian wilayah jatuh (lagi) ke Banten, yaitu mestinya sisi baratnya. Dan ini bikin malu dan marah raja Mataram, sehingga Rangga Gede lalu diciduk, ditahan di Mataram. Walaupun, sebetulnya, pertahanan Priangan tidak payah-payah amat. Salah seorang perwira andalannya berhasil menahan gerak laju Banten, dan membentuk kota perbatasan Banten-Sumedang Larang yang sekarang disebut sebagai Cianjur. Untuk pegang priangan, Mataram lalu menunjuk Dipati Ukur, dengan syarat: Dipati Ukur mesti menyanggupi merebut Batavia dari tangan VOC Belanda. "Siap, Gan! Jangankan ngerebut Batavia. Nyamber jemuran juga gue udah sering..." Lha, mungkin bukan begitu Dipati Ukur menyampaikankan kesanggupannya. Tapi kira-kira, itulah situasinya. Karena Dipati Ukur menyanggupi akan mati-matian merebut Batavia, sultan Mataram pun memilih dia dengan gembira dan mestinya, juga menjanjikan akan memberi bala bantuan digdaya untuk misi itu.

Disebutkan dalam catatan sejarah: wilayah yang dipegang Dipati Ukur selaku Wedana Bupati Priangan ini meliputi Sumedang, Sukapura (Tasik), Bandung, Limbangan (Garut), serta sebagian Cianjur, Karawang, Pamanukan, dan Ciasem. Sisi utaranya: itu wilayah Cirebon (bawahan Mataram juga). Sisi baratnya: itu wilayah Banten (independen dari Mataram). Sisi barat laut: itu wilayah VOC Belanda di Batavia (dan sekitarnya, tapi tidak seluas DKI sekarang). Atau bisa juga, di antara negeri-negeri ini, de facto ada wilayah-wilayah kosong tak bertuan, entah itu hutan lebat, jurang-gunung, atau apa. Sisi Timur: wilayah Mataram induk. Sisi selatan: samudra Hindia.

Untuk menjalankan misi menggempur VOC, Dipati Ukur lalu janji-janjian dengan bala Mataram untuk menyerbu Batavia sekitar 1628. Ini sekitar 10 tahun setelah Batavia dikolonisasi penuh oleh VOC. Tapi, ditunggu lama, bala Mataram tidak muncul juga di tempat rendevu, sehingga, akhirnya Dipati Ukur dan pasukan berangkat sendiri menempur VOC. Kalau menurut cerita ketoprak wayang orang, atau hikayat rakyat, Dipati Ukur ini sakti mandra guna, modal keris, panah, pedang, tombak, dan seterusnya, tapi.. realitanya, mestinya dia juga membawa banyak senapan dan meriam, dan bom semacam dinamit. Mohon maklum, sejak jaman Singasari,.. kerajaan-kerajaan nusantara sudah biasa perang pakai mesiu yang asal muasalnya dari China. Dan sejak jaman Portugis menaklukkan Malaka 1511-1512, mereka juga mengenal meriam- meriam yang lebih handal dan portabel, serta senapan-senapan untuk personal.

Dari sisi kuantitas tentara, Dipati Ukur mestinya lebih besar dari VOC. Andai tidak, dia itu gila nekat menyerang Batavia. Di sisi lain, walau kalah jumlah tentara, posisi VOC di Batavia lebih solid karena punya benteng-benteng kokoh dan meriam yang lebih tersistem penempatannya. Teknik-teknik perangnya juga lebih modern. Jdar, perang pun kemudian terjadi, dan Batavia ternyata memang tidak mudah direbut.

Konyolnya, saat sedang bertempur, tiba-tiba dari kampung halaman ada kurir maranin Dipati Ukur.... "Gan, punten Gan, aya wartos ti lembur.. Ada berita dari kampung..."

Bukan. Bukannya kurir itu kirim peuyeum atau borondong jagung dari Majalaya. Iseng bener kalau sampai pasukan sedang habis-habisan bertempur dikirimi peuyem. Kurir itu mengabarkan, bahwa bala Mataram muncul di ibukotanya, dan bukannya cepet ikut bantu menumpas VOC, bala Mataram malah indehoi meleceh-lecehkan cewek-cewek dan ibu-ibu Priangan, dan bikin onar. Mungkin, bala Mataram itu merasa derajatnya lebih tinggi, sebagai kerajaan induk, lalu bertingkah seenaknya di tanah bawahan. Tapi, kelakuan seperti itu tentu amat mengganggu moril pertempuran pasukan Dipati Ukur. Ya sudah, Dipati Ukur pun pulang, batal bin gagal merebut Batavia, malah pasukan tempurnya berbalik menumpas (nyaris habis) re-inforcement Mataram yang nggak kuku melihat mojang-mojang dan ibu-ibu Priangan yang gareulis cantik jelita.

"Nah kite mati-matian, sampai mati beneran gempur kumpeni,.. menjalankan tugas dari Mataram. Bukannya bala Mataram membantu menggempur Kumpeni, malah cewek- cewek kita mereka pake unyil-unyilan! Minta dibejek abis ini orang-orang Mataram...."

Bala Mataram yang datang, mestinya bukanlah kekuatan cemen. Jadi, selagi Dipati Ukur dan pasukan induknya belum pulang, sepak terjangnya di ibukota Priangan tak tertahankan oleh siapapun. Namun,... begitu Dipati Ukur dan pasukan induk pulang, kekuatannya kalah. Merasa terhina luar biasa, tentu pasukan Dipati Ukur lebih punya determinasi untuk bertempur habis-habisan. Sementara, bala Mataram awalnya tentu tidak siap dan tidak menyangka pasukan Dipati Ukur akan berani nekat melawan unit pasukan dari kerajaan induknya sendiri.

"Yah, udahlah. Kalo cewek-cewek kalian udah kita pake main, kalian kan bisa aja cari cewek-cewek lain buat diajak a-i-u,... Kita ini bukan orang sembarangan loh. Kita ini utusan sultan Mataram, kerajaan paling digdaya se-tanah Jawa! Abis salah kalian juga sih,.. kan lagi itu kita suruh kalian nunggu kedatangan kami, kenapa belum-belum udah berangkat tempur duluan?" Lah! Gubrak!

Pasukan dari kerajaan induk, seenaknya terhadap kerajaan bawahan, itu bisa kita kira- kira amat lazim di nusantara. Entah itu di era islam, dan apalagi di era sebelum islam. Bagaimanapun, kita sama-sama tahu, di era sultan-sultan itu (bahkan sampai jaman sekarang), mayoritas penduduk dan tentara mataram adalah muslim! Dan bukannya mukmin. Kalau mukmin-nya, bisa dipastikan: minoritas! Tak heran, maka pengawuran pun merata-rata.

Di titik ini, sebagai suatu self-critic kepada bangsa kita sendiri,.. kita mesti menyadari. Sebagai bangsa, orang-orang muslim nusantara pada era itu, kualitasnya banyak yang malu-maluin. Utamanya, para komandannya. Akibat mentalitas payah seperti itu,.. maka kesempatan emas pun hilang. Secara strategis, pengawuran bala Mataram yang dikirim ke Priangan itu membawa kerugian ratusan tahun bagi negeri induk Mataram!

Andai bala Mataram punya determinasi, punya disiplin. Mendengar pasukan Dipati Ukur mati-matian melawan VOC, mestinya mereka segera ikut membanjiri Batavia dong! Besar kemungkinan, andai para komandan Mataram cepat ikutan mengguyur Batavia, maka VOC pun tewas! Karena apa? Lha lawan pasukan Dipati Ukur aja imbang. Kalau terus Dipati Ukur dapat re-inforcement besar-besaran, tentu VOC bisa longsor kekuatannya. Mohon maklum, saat itu, orang-orang Belanda belumlah menjadi Hindia Belanda yang establised dan kaya raya. Orang-orang Belanda, dan VOC-nya, mereka baru sekitar 10 tahunan saja mengkolonisasi secuil Batavia. Dan dibanding sumber daya Mataram, sumber daya mereka itu, masih amat pas-pasan biarpun lebih moderen. Kebayang nggak sih? Pasukan yang punya rudal moderen, kalau jumlah rudalnya pas- pasan, digempur massa infanteri bersenjata ringan tapi jumlahnya nggak abis-abis kayak di Vietnam.. ujungnya buyar juga, kan? Nggak mungkin bisa nahan.

Ups, tapi itu pengandaian sia-sia. Faktanya, Mataram terlalu jumawa! Dan ini berulang dari waktu ke waktu. Kediri dulu banget juga terlalu jumawa saat menghadapi Ken Arok. Kertanegara van Singosari juga saat menghadapi pemberontakan Jayakatwang. Jayakatwang juga meremehkan saat Majapahit baru mulai babat hutan Tarik. Majapahit sendiri juga meremehkan Demak saat baru munculnya. Begitu seterusnya... Lagi dan lagi. Nah, saat mengkonsolidasi Jawa, Mataram tak tertandingi. Nyerang kemana saja, mereka selalu menang. Mereka lalu menganggap remeh semua yang tersisa, yaitu yang sizeable: Banten dan VOC di Batavia.

Penyakit terlalu jumawa ini, di dunia militer dikenal sebagai 'victory disease', memang menghinggapi kebanyakan (atau semua) jagoan yang kemudian nyungsep. Di Quraan diingatkan, antara lain saat menceritakan kisah David vs Goliath, alias Nabi Daud melawan Jalut.

"..Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia pengikutku. Kemudian mereka meminumnya, kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya. Orang- orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar". [QS2:249 Al Baqoroh]

Dan Allah pun menguji bala Mataram dengan mojang-mojang Priangan bening yang mandi-mandi di sungai. Siapa yang nggak kuku, terus memuaskan dahaga melampaui batas setelah menemuinya.. ya udah, wassalam. Mereka pikir, mentang-mentang Mataram terbesar se-Jawa, terus tidak ada yang bisa mengalahkannya?

Mereka salah menghitung. Pasukan Dipati Ukur yang gagah berani dan mampu menggempur Batavia, ternyata lebih kompeten dan punya determinasi, dibanding pasukan Mataram yang dikirim ke situ, yang keenakan main unyil-unyilan saja, kendor disiplinnya. Begitu pasukan Dipati Ukur ngamuk, bala Mataram kocar-kacir. Oleh Dipati Ukur, demi meredam kemungkinan retaliasi dari ibukota Mataram, maka bala Mataram itu dibantai abis. Niatnya, tidak akan dia sisakan barang satu orang pun. Cuma, membantai abis ini gampang diomongin daripada dipraktekin, bukan? Kenyataannya, satu-dua orang Mataram, ada yang berhasil lolos. Lalu mereka meneruskan beritanya ke Sultan Agung Mataram. Geger ngalengko dirojo....

Sultan Agung murka. Jelas murka. Tidak mungkin tentaranya dibantai terus dia jogetan gembira ria, bukan? Dipati Ukur dianggap pemberontak. "Sudah tugas merebut Batavia gagal, bala Mataram yang datang ke Priangan ditumpas pulak. Lu mau nantangin gue!" Mataram pun lalu melupakan Batavia dulu, dan dia tumpaslah Dipatu Ukur. Bagi sejarah nusantara, ini sebenarnya tragis. Tapi apa mau dikata, yang begini toh berulang dan berulang sampai sekarang. Saat situasi carut-marut, segenap kekuatan asing mengincar Indonesia.. Bukannya merapatkan barisan, ada.. ribuan bahkan jutaan massa rakyat, dan ormas-ormas, yang menganggap bahwa musuh terbesar Indonesia itu, segala biang kerok dari segala permasalahan.. adalah Ahok! Apa kabar?!!

Mataram idem ditto. Sudah jelas di Batavia VOC makin menggila, yang dia anggap biang kerok dari segala permasalahan: Dipati Ukur! Yang nota bene adalah saudaranya sendiri! Nggak pake ditanya apa-apa dulu atau diajak dialog pulak. Tiada maaf bagimu. Langsung diadili atas kasus penistaan yang setengah mengada-ada.

Yang dikirim untuk penumpasan Tumenggung Narapaksa dari negeri induk Mataram, tapi kerajaan Cirebon juga diminta mengerahkan kekuatan untuk mendukungnya.

Demi gengsi kerajaannya, menunjukkan bahwa Cirebon lebih digdaya dari Priangan, dan juga mungkin perlu menunjukkan kesetiaan pada Mataram,.. bala Cirebon langsung membantu sepenuhnya. Jaman Sumedang Larang jaya, mereka juga pernah nantangin Cirebon perang. Jadi, dendam lama juga sepertinya masih ada.

Situasi bagi Dipati Ukur dan segenap laskar Priangan menjadi genting. Awalnya, tentu mereka membantai demi membela kebenaran.. Tapi, apa mau dikata, yang dibantai anak kingkong. Dan sekarang,.. emaknya marah! Nah, lho....

Untuk memperkuat dirinya, menyadari bahwa pada skala penuh pasukan Priangan tidak akan bisa menandingi Mataram, dan juga benteng alam Priangan.. sepertinya juga tidak akan mampu membendung Mataram yang pasukannya sudah kelas wahid.. Dipati Ukur lalu coba menggalang kerajaan-kerajaan bawahan Cirebon-Mataram, khususnya yang seetnis, berbahasa Sunda,.. untuk ikut berontak.

Beberapa kerajaan kecil.. menyambut ajakannya (Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong). Sisanya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju, yang secara militan ikut bergerak bersama Mataram adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Surakerta. Perang saudara pun lalu berkecamuk. VOC tepuk tangan.

Pasukan Dipati Ukur dan sekutunya jauh lebih lemah dari Mataram, secara jumlah tentara, persenjataan, logistik, dan nyaris di segala aspek,... tapi alam Jawa Barat itu terlindung banyak benteng alam, sehingga ujungnya kekuatan Dipati Ukur baru bisa diredam Mataram 1632 alias empat tahun kemudian.

Berdasar cerita priangan tradisional, dikisahkan bahwa perang itu ujungnya duel 40 hari, 40 malam, antara pasukan inti Dipati Ukur, dengan pasukan dari putra bupati Kawasen Galuh, yaitu Bagus Sutaputra. Dipati Ukur pun akhirnya terkalahkan. Setelah takluk, Dipati Ukur lalu dibawa ke Cirebon, lalu ke Mataram. Dihukum pancunglah kemudian Dipati Ukur di alun-alun Mataram. Walau begitu, orang-orang priangan masa kini tetap saja lebih banyak yang dendam kesumat itu pada Gajah Mada! Hehehe.. yaitu akibat termakan ajaran sejarah dari orang-orang Belanda.

Apa yang terjadi setelah Dipati Ukur dihukum mati? Ya, ya.. among other things, tentu saja bala Mataram menjarah lagi ke tanah Priangan, yaitu termasuk cari-cari mojang bening, untuk diajak unyil-unyilan! Lha,.. ini back to square one! Dipati Ukur, membantai bala Mataram niatnya untuk mencegah agar cewek-cewek priangan tidak diunyil-unyil sesuka hati oleh orang Mataram, tapi ujungnya.. itulah yang terjadi!

Pelajaran bagi semua, pikir dahulu segala sesuatunya mateng-mateng, jangan keburu napsu. Sabar, sabar... Karena kelewat napsu, ujungnya kontra produktif juga. Memaafkan itu bukan hal mudah, tapi sesiapa, suatu kaum atau suatu bangsa, yang memiliki 'fitur' itu, kehidupannya akan tertolong. Dan jadikanlah sabar dan sholat itu menjadi penolongmu... Bukan begitu?

Dan orang-orang Mataram, setelah Dipati Ukur dihukum, sorak sorai seakan mereka telah merajai dunia ini.. tanpa sadar bahwa buang waktunya mereka perang dengan saudara sendiri itu telah memberi kesempatan emas amat strategis bagi VOC, untuk lebih menancapkan eksistensinya lebih dalam di Batavia!

Jadi, in short, kalau kita renungkan kejadian ini, VOC itu berjaya di Batavia dan terus berjaya di situ berabad lamanya, bukanlah disebabkan karena mereka super atau hebat; melainkan disebabkan karena kesalahan dan blunder Mataram sendiri, yang mestinya bisa mengusir mereka dalam sekali pukul saja yang all-out, selagi VOC itu masih lemah, yaitu seperti di Jepang atau di Taiwan sana yang sukses mengusir VOC. Atau seperti saat Sultan Baabulah dari Maluku mengusir Portugis.

Cuma berhubung Mataram matanya siwer, mereka malah fokus menumpas Dipagi Ukur, dan untuk beberapa lama, melupakan VOC. Kalau dipikir,.. saat Dipati Ukur dipilih jadi tokoh Mataram untuk menggempur VOC, apa sih dasarnya? Tentu dasarnya karena Dipati Ukur itu dipandang terpercaya dan kompeten bukan? Nah,.. lantas,.. saat dia membantai bala Mataram, kenapa para pembesar Mataram tidak menyelidik dulu? Kenapa tidak menanyakan dulu apa pasalnya? Kenapa tidak memaafkan? Kenapa Mataram ingin menang sendiri? Kenapa tidak berlaku lebih bijak? Salah satu alasannya.. lagi-lagi, karene tentunya, Mataram itu adalah kerajaan.. yang mayoritasnya adalah orang-orang muslim! Too bad. Andai mayoritasnya adalah orang-orang mukmin,.. ceritanya akan lain.

Habis penumpasan, wilayah Priangan kembali dipegang Rangga Gede (kemungkinan kesalahannya diampuni or something). Tapi, selepas itu, wilayahnya dikecilkan, cuma separuh barat, yang separuh timur itu dikembalikan jadi wilayah Galuh (Priangan Timur) yang merupakan kerajaan bawahan terpisah. Konsolidasi ke dalam ini, ujungnya bikin Mataram kehilangan momentum dalam mengimbangi VOC, yang ujungnya, sampai selamanya, mereka tidak bisa mendapatkan kembali momentum strategis untuk bisa mendongkel orang-orang Belanda. Itupun, kalau menurut buku-buku kuno, semacam Babad Tanah Jawa versi tertentu, Sultan Agung Mataram masih sempat jumawa, "Udahlah, biarin saja VOC mondok di Batavia... Sebenernya, kalau saya mau, bisa sih saya beneran usir mereka. Tapi sudahlah. Nggak usah saya serang pun, saya yakin.. suatu ketika, yang akan berkuasa di Batavia itu pasti orang-orang Jawa!"

Sudah kecil, wilayah Priangan terus dibagi lagi jadi empat sub-wilayah alias kabupaten, yaitu: Sumedang (dipegang Rangga Gempol II, sekaligus Wedana Bupati Priangan), Sukapura (alias Tasiklah masa kini, dipegang Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta alias Tumenggung Wiradadaha), Bandung (dipegang Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, alias Tumenggung Wira Angunangun), Parakan Muncang (alias Tanjung-Sari dan sebagian Garut, dipegang oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, alias Tumenggung Tanubaya). Galuh alias Priangan Timur juga dibagi-bagi empat (Utama, Bojonglopang aka Kertabumi, Imbanagara, dan Kawasen), begitu menurut wikipedia.

Sepeninggal Sultan Agung 1645, pada masa Amangkurat I (aka Sunan Tegalwangi, berkuasa 32 tahun, 1645-1677), wilayah mancanegara kilen atau bawahan-bawahan Mataram di sisi barat, dibagi-bagi ulang menjadi lebih kecil-kecil, terdiri dari 12 ajeg atau kabupaten. Sekaligus, jabatan Wedana Bupati yang merupakan koordinator para bupati (semacam gubernur) dihapuskan. Wilayah Priangan masa ini (atau lebih tepatnya Jajahan Barat dari Kerajaan Mataram) adalah: (1) Sumedang, (2) Parakan Muncang (Tanjungsari), (3) Bandung, (4) Sukapura (Tasik), (5) Karawang, (6) Imbanagara (Ciamis), (7) Kawasen (Ciamis), (8) Wirabaja (Galuh), (9) Sekacé (Sindangkasih), (10) Banyumas, (11) Ayah (Dayeuhluhur, Cilacap), (12) jeung Banjar (Panjer, Kebumen). Di utaranya itu, ada Cirebon, yang sebutannya bukan merupakan ajeg atau kabupaten, melainkan satu manca negara utuh yang dipimpin oleh seorang sultan (bawahan Mataram, setengah bawahan, setengah sekutu). Sultan di Cirebon itu, juga membawahi kerajaan-kerajaan bawahan.. yang rutin mengirim upeti ke keratonnya, yang juga dipimpin oleh bupati-bupati, yang lokasinya berada di sekeliling atau dekat Cirebon.

Seperti juga jaman sebelumnya, era Majapahit atau sekitar itu, yang kecil, itu bisa menghamba pada dua kerajaan sekaligus. Contoh saja: kerajaan Galuh. Bisa jadi, Galuh ini selain rutin kirim upeti ke Majapahit, dia juga rutin kirim upeti ke Pakuan- Pajajaran. Di masa Mataram ini, bisa jadi, Cirebon itu selain rutin kirim upeti ke Mataram, juga masih pay some respects ke Banten, saudara tua (yang dulunya, saudara muda!). Lalu Karawang, selain kirim upeti ke Mataram, juga kirim ke Cirebon (atau bisa sekalian, dia juga kirim ke VOC di Batavia).

Balik sedikit ke soal 'victory disease' atau penyakit kelewat jumawa itu.. Bagaimana penyakit psikologis yang fatal seperti itu bisa dihindari? Kalau menurut ajaran agama Islam.. maka kita mesti bertasbih dan bertasbih. Subhanallah. Menanamkan pada diri kita, bahwa yang Maha Suci itu Allah saja, dan kita sebagai manusia biasa tentu tidak luput dari kesalahan. Dan dengan kesadaran itu, terus banyak-banyak istigfar, mohon ampunan Allah atas segala dosa dan kesalahan. Dan memuji-muji Tuhan. Alhamdulillah. Agar senantiasa nyadar, bahwa diri kita tidak patut jumawa, tidak patut dipuji, dan tidak tinggi derajatnya,.. melainkan, segala pujian itu mestinya untuk Allah.

Di Quran, disebutkan obatnya victory disease: [QS 110:1-3 An-Nashr] "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat."

Kenyataannya, Mataram yang hebat itu, dengan sedikit twist saja, bisa dibikin blunder oleh Allah. Coba andaikan.. Allah mentakdirkan, bahwa bala Mataram datang menemui Dipati Ukur tidak sisipan jalan, tidak terlambat datang. Tentu mereka akan berangkat ke Batavia bersama, sesuai rencana. Dengan kekuatan yang digdaya, besar kemungkinan VOC kalah, lalu Dipati Ukur menang. Ujungnya, tentu para komandan Mataram yang sudah membantu Dipati Ukur akan dianugerahi hadiah-hadiah juga, bukan? Termasuk di antara hadiah itu, istri-istri cantik mojang priangan yang bening, yang dipasrahkan oleh Dipati Ukur dan orang-orang Priangan, dengan penuh suka cita. Dan lalu mereka pulang ke Mataram dengan kepala tegak (dan bukannya terbantai tak bernyawa). Ups, tapi andaikan ini terjadi, Indonesia situasinya tidak seperti sekarang. Karena.. setelah selesai dengan VOC, tentu Mataram akan amat napsu untuk membulatkan Jawa sekalian dengan menghantam habis kerajaan Banten! Di Sumatra tidak terlalu bercokol, di Jawa orang Eropa juga tidak terlalu bercokol,.. ujungnya, sejarah Jawa bisa jadi seperti Thailand itu. Dan demikian pula, sejarah Sumatra bisa amat terpisah dari Jawa!

***

Jaman Kolonial Eropa

Sejak VOC kukuh di Batavia, dan selepas pemberontakan Dipati Ukur, Mataram coba makin 'menjawanisasi' Jawa Barat. Pasukan Mataram banyak yang terus dihijrahkan ke pantura dan yang cukup menonjol di barat Cirebon, sampai ke Karawang. Mereka membuka lahan-lahan sawah di sana, memperistri orang-orang setempat, dan menyiapkan diri, sewaktu-waktu mesti mendukung Mataram dengan suplai pangan atau suplai logistik lain, yaitu tiap kali ide untuk menyerang VOC Batavia muncul lagi (tapi tidak pernah sukses). Pembukaan sawah padi besar-besaran itu konon merupakan fitur baru di Jawa Barat, karena masa itu umumnya orang Sunda lebih berkebun daripada bersawah. Dan ujungnya, sampai bertahun-tahun setelah jaman kemerdekaan, Karawang itu dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat.

Berikutnya, saat Mataram melemah, VOC coba mengambil mancanegara atau bawahan Mataram satu demi satu. Mataramnya benar-benar takluk dan terus jadi bawahan VOC Belanda 1757. Tapi, mancanegaranya, sudah rontok banyak sejak "perjanjian" setengah paksa antara Mataram dan VOC Oktober 1677. Yang diambil duluan adalah Rangkas Sumedang itu (Karawang dsk, sisi baratnya kerajaan induk Cirebon), dan priangan eks Sumedang Larang. Awalnya sekali di Jawa bagian Barat,... VOC Belanda itu pertama dapat ijin trading post di Jayakarta itu 1611. Mereka bikin rumah-rumah kayu awalnya. Setelah kaya raya banyak duit dari dagang, terus trading postnya diupgrade dan diupgrade terus sampai jadi benteng kokoh, dengan meriam bejejer. Lalu, pemimpin Jayakarta yang memberi ijin, beserta istananya, beserta sekelilingnya, disapu abis, dibakar, oleh , Gubernur Jenderal VOC 1618-1619 (7 tahun kemudian). JP Coen ini orang dengan determinasi gila, dan semboyannya top juga: “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons”. "Putus asa haram, mengampuni musuh-musuhmu haram,.. for God is with us, karena Tuhan bersama kita..."

Lalu, 1677, alias 59 tahun setelah merebut Batavia, VOC di Jawa Barat dapat Priangan asli eks Sumedang Larang, plus Karawang (ex Rajagaluh atau Rangkas Sumedang). Disusul Oktober 1705, VOC mengambil oper Priangan Timur dan 1755 Cirebon.

Tahun 1706, VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon menjadi Bupati Kumpeni (kira- kira semacam gubernur Jawa Barat masa kini), yang tugasnya mengawasi dan memimpin bupati-bupati di Priangan dan seluruh wilayah eks Cirebon. Di masa VOC, area ini mulai menjadi salah satu sumber hasil bumi utama.

Setelah VOC bangkrut di 1800, masuk masa Napoleon dengan Gubernur Jenderal H. W. Daendels. Ada pembangunan jalan membelah gunung yang cukup fenomenal pada masanya, yaitu proyek Grote Postweg (Jalan Raya Pos), melewati jalur menantang Batavia-Bandoeng, Bandoeng-Tjirebon.

Tanam paksa juga mulai digiatkan, andalannya kopi. Utamanya di Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakan Muncang (1808-1809). Awalnya ini disebut Preangerstelsel (Sistem Priangan). Khusus di Priangan. Lama-lama jadi cultuurstelsel atau cultivation system alias tanam paksa kalau plesetannya masa kini, yang meluas ke wilayah lain di luar Priangan. By the way, tentang tanam paksa, konon itu bukanlah ide brilian orang Belanda. Melainkan,.. orang Belanda itu sekedar meneruskan (secara lebih intensif dan ekstensif) dari apa yang sudah dimantapkan di Jawa Barat sejak masa Prabu Siliwangi!

Jadi, tanam paksa itu penemunya orang Pakuan Pajajaran era Siliwangi, yaitu untuk memperkuat negara, dari kemungkinan ancaman dari luar yang digdaya, pertamanya tentu Majapahit. Lalu, kesultanan-kesultanan islam yang dibekingi oleh Cina-India-Arab. Pajak berupa uang cuma bisa dipetik dari orang-orang kaya. Sementara jumlah orang kaya sedikit, lalu orang-orang miskin pun dipajakilah oleh Siliwangi. Diwajibkan untuk membayar, bukan dengan uang atau harta benda, melainkan dengan modal dengkul alias peras keringatnya. Ide ini, terus dikembangkan Belanda jadi tanam paksa itu.

Kita balik lagi saja ke riwayat Priangan.

Limbangan (Garut), Sukapura (Tasik), dan Galuh (Ciamis) sempat digabung dengan Cirebon (Cheribonsche Preangerlanden), namun kemudian, Limbangan dan Sukapura digabungkan ke Priangan asli, balik lagi seperti era Sumedang Larang. Ibukotanya di Tjiandjoer. Awalnya, Cianjur punya nama Belanda: Preanger Regentschappen, alias Preanger Regencies kalau basa Inggris, alias Ibukota-Propinsi Priangan kalau konteks sekarang. Gaya bener. Terus kena letusan Gunung Gede, dan ibukota Priangan dipindah ke Bandoeng 1864. Galuh (Priangan Timur) sudah masuk juga ke Priangan, sehingga anggota Karesidenan Priangan ini ada 6 kabupaten: Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan (Garut), Sukapura (Tasik), dan Galuh (Ciamis).

Karawang (dan sekitarnya) jaman Hindia Belanda jadi Karesidenan sendiri. Demikian pula Cirebon.

By the way, sebelum Belanda, orang Eropa yang duluan ke Jawa bagian Barat adalah Portugis. Setelah menaklukkan Malaka 1511, Portugis lalu dimusuhi oleh para pihak yang merasa teracak-acak oleh kehadirannya, yaitu kerajaan-kerajaan islam nusantara. Kerajaan-kerajaan islam ini, dibeking abis oleh India-Cina-Arab, dan utamanya, dampak besar yang amat kuat dirasakan manfaatnya dari ketiganya datangnya dari Cina.

Di sisi lain, Portugis itu juga terus mencari sekutu. Dapatnya adalah negeri-negeri yang terdesak oleh kekuatan kerajaan islam, yaitu negeri-negeri tua yang masih Hindu- Buddha. Di Jawa, ketemulah Portugis dengan Majapahit dan Pakuan-Pajajaran. Di Jawa Tengah relatif telat, sehingga Portugis tidak sempat dapat pijakan. Sementara, di Jawa bagian Barat, Portugis sempat mengukuhkan aliansi dengan Pakuan-Pajajaran dan dapat pijakan di pelabuhan maritim Sunda Kelapa (dan awalnya Banten juga).

Di Banten, tak lama kemudian penguasa setempat beralih jadi muslim, lalu melepaskan diri dari Pakuan-Pajajaran dan ini bikin Portugis jadi canggung berada di situ, sehingga bergeser tinggal di Sunda Kelapa saja.

Beberapa lama di Sunda Kelapa, dan meriam-meriamnya, serta kapal-kapalnya jadi pelindung di situ, bekerjasama dengan kekuatan Pakuan-Pajajaran, sepertinya mereka juga agak meremehkan potensi ancaman dari Demak dan kawan-kawannya. Portugis mondok di Sunda Kelapa tidak sepenuh hati, sebagaimana di Banten sebelumnya. Perbentengannya relatif ala kadarnya, dan mereka lebih mengandalkan Goa (India) dan Malaka untuk menjadi pangkalan angkatan laut.

Walhasil, 1527, gabungan Demak-Cirebon-Banten (dibantu kekuatan dan intelijen Cina- Melayu) berhasil merebut Sunda Kelapa, dan mengubahnya menjadi Jayakarta (yang namanya masih bau-bau Hindu-Budha juga, karena pakai bahasa Sansekerta). Pijakan Portugis di Jawa pun lalu hilang blas. Tak pernah kembali lagi, selamanya. Walau begitu, pengaruh budaya Portugis di nusantara dan Jawa khususnya tidaklah sepenuhnya sirna. Sampai sekarang banyak kosa kata nusantara asalnya dari Portugis. Demikian pula ada kesenian tertentu, musik keroncong di antaranya, itu juga kental dengan pengaruh Portugis. Agama katolik juga penyebar pertamanya orang-orang Portugis, sambung menyambung dengan kawan-kawan mereka orang lokal. Selama periode 1527-1618, atau hampir 91 tahun, Jayakarta itu menjadi pelabuhan internasional seperti juga Banten. Perdagangan internasional di Jayakarta-Banten ini menjadikan kerajaan Banten negeri yang bertumbuh pesat. Merdeka, terlepas dari kerajaan Jawa yang relatif lebih kisruh selama periode itu. Meluas ke Lampung, Babel, Sumatra Selatan sebagian kecil, bahkan ke Kalimantan Barat. Sampai kemudian, Banten kecolongan, saat Jayakarta dianeksasi oleh VOC yang semula merupakan mitra dagang paling kompeten di situ. Jayakarta pun menjadi Batavia.

Selama VOC konsolidasi, Banten dengan sisa satu pelabuhan tetap berjaya beberapa lama. Yaitu, setidaknya 1618-1680-an atau sekitar 62 tahun, alias dua generasilah. Teknologi angkatan laut mereka kalah, tapi di darat, tentara mereka lebih banyak dari VOC untuk beberapa lama. Sampai kemudian, intrik Belanda berhasil mengadu domba elit Banten, sehingga terjadi perang Saudara, dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten lantas dilibas Belanda, dan setelah itu, Banten pun tunduk di bawah hegemoni Belanda. Kejadiannya, tidak berapa lama dari saat mereka berhasil menekuk seluruh Jawa Barat yang lain 1677 (kecuali Priangan Timur dan Cirebon). Disusul kemudian, setelah Banten, Priangan Timur dan Cirebon dirangsek sekalian oleh VOC 1705. Maka, per 1705, VOC pun bulat menguasai seluruh Jawa Barat. Tapi lagi-lagi.. beberapa lama mereka berkuasa, mereka terus jumawa juga. Korup, dan seterusnya. VOC lalu ancur- ancuran, sampai kemudian bubar di sekitar tahun 1800-an.

Belandanya, sekalian bubar juga. Dirangsek Napoleon dari Perancis. Maka.. Jawa Barat pun terus melihat masa penjajahan Perancis yang utamanya direpresentasikan oleh berkuasanya Gubernur Jenderal Daendels selama beberapa tahun. Sebentar masanya, tapi berhubung sedang perang besar, banyak perubahan radikal juga terjadi. Yang paling diingat orang sampai sekarang: Jalan Raya Daendels itu.

Nggak lama Daendels dipanggil pulang, Jawa Bagian barat lalu diserbu Inggris, dan segenap wilayah pun lalu direbut, direpresentasikan oleh berkuasanya Gubernur Jenderal Raffles beberapa tahun. Jaman Raffles ini juga walau sebentar, tapi perubahannya banyak. Hal-hal ilmiah, sistem administrasi kenegaraan yang lebih ala Inggris, diperkenalkan pada masa ini. Pola Karesidenan, diperkenalkan di masa ini. Termasuk menyupir mesti di sebelah kiri, itu mulainya di masa Raffles.

Lalu, setelah eropa sepenuhnya damai, Inggris menjelma menjadi adidaya solid. Dia lantas mengembalikan jajahan-jajahan nusantara eks Belanda, kepada Belanda. Bengkulu dia tukar dengan Singapura, kayak begitulah. Jadilah, Priangan kembali dijajah Belanda 1816 sampai 1942, atau sekitar 126 tahun.

***

Jaman Moderen...

Kurang lebih setelah Banten benar-benar teraneksasi, 'pemberontakan' di Priangan yang muncul adalah perlawanan-perlawanan intelektual. Bung Karno muncul, dan seterusnya. Dalam geopolitik sendiri, Belanda sudah jauh melemah. Malah, di eropa muncul kekuatan baru yang terus menantang kemapanan, yaitu kekuatan axis, yang ujungnya mengerucut pada perang dunia pertama, dimana Jerman, Austro-Hungaria, Turki, dan sekutu-sekutunya yang kecilan, berperang melawan raksasa-raksasa dunia yang utamanya dipimpin oleh Inggris-Perancis di front timur, dan Rusia di front barat. Belakangan, Amerika Serikat kekuatan baru ikut terlibat. Jepang yang merupakan sekutu Inggris kala itu juga ikut terlibat.

Dalam perang itu, Belanda yang dekat dengan Jerman mengambil posisi netral. Dan selama perang, terus berdagang dengan kedua pihak, baik sekutu, maupun axis. Kenetralan ini, di satu sisi menguntungkan. Selain ada keuntungan dagang, juga terhindar dari bantai membantai. Di sisi lain, bikin Belanda dalam kemiliteran tertinggal kematangannya dari kekuatan dunia yang lain. Dan dalam tataran global, perang itu mengubah konstelasi, serta membawa banyak pelajaran strategis.

Selepas perang, Belanda melihat dunia berubah dalam banyak aspek. Di nusantara, Belanda lantas menuntaskan kolonisasi dengan merebut Aceh, yang bertahun-tahun dia biarkan saja karena merupakan sekutu Turki-Ottoman. Habis perang, Ottoman kalah, dan kekaisarannya bubar, sehingga saat Aceh diserbu, di luar negeri tidak ada yang ribut. Di Priangan, selepas perang ini juga Belanda memutuskan untuk memindahkan ibukota negeri Hindia Belanda, dari semula di Batavia, ke Bandoeng.

Jadi, tahun 1920-an itu, Bandoeng mengalami kemajuan amat pesat. Dibangun habis- habisan, tapi apesnya.. segenap pembangunan belum tuntas, tahun 1929 dan awal 30- an, dunia lantas dilanda depresi global. Hindia Belanda sebagai eksportir komoditas- komoditas, bisnisnya anjlok dalam sekali, sehingga pembangunan-pembangunan melambat lagi. Toh ibukota tetap di Bandoeng.

Apa sih pertimbangannya kenapa ibukota negara dipindah ke Bandoeng?

Kira-kira, pertimbangannya adalah pertahanan keamanan. Pengalaman perang dunia, kota seperti Paris itu bisa bertahan karena letaknya tidak muntup-muntup di pinggir pantai. Berlin idem ditto. Dan dari kota itu, dia punya jalur perhubungan ke banyak arah, dengan berbagai moda. Kota-kota pantai, hanya bisa dipertahankan bila ada kekuatan angkatan laut digdaya seperti Inggris. Bagi Belanda, membangun angkatan laut itu kelewat mahal, dan telanjur jauh tertinggal oleh kekuatan dunia yang lain.

Berbareng dengan depresi, kemudian ketegangan global tak terkendali. Jepang mulai mengamuk menyerbu Cina tahun 30-an, membuat upset Amerika dan negeri-negeri kolonial Eropa (utamanya Belanda, Jerman, Perancis, Inggris). Fasisme lalu merebak. Jerman mulai bikin gara-gara lagi, diikuti Italia yang mulai menggila di Afrika Utara. Mereka membentuk poros axis baru: Jerman-Italia, yang belakangan Jepang diikutkan. Mexico (dan beberapa negeri Amerika Latin, Spanyol, Portugal) sempat coba untuk diikutkan juga, tapi tidak mau. Jder, September 1939, Jerman lalu mengobarkan perang eropa menyerbu Polandia. Inggris-Perancis dan segenap sekutu lalu mendeklarasikan perang melawan Jerman. Belakangan, lalu terbuka juga front timur, dan Rusia pun ikut sekutu.

Belanda, coba mengulangi taktik lama jaman perang dunia pertama, mengambil posisi netral. Tapi, posisi dia tidaklah aman seperti Swedia, Swiss, Irlandia, Portugal, atau Spanyol. Mei 1940, Belanda diserbu Jerman dan takluk cepat sekali.

Hindia Belanda lantas jadi goyah. Dalam kasus Perancis, begitu negeri induknya takluk, maka jajahan Perancis Indocina lantas ikut induknya, beraliansi dengan Jerman, tapi Hindia Belanda, lebih memilih mengikuti ratunya yang lari ke Inggris. Hindia Belanda ikut sekutu. Tahun 1941, kondisi genting. Jepang lantas mengamuk di akhir tahun.

Di luar dugaan Belanda, ternyata Amerika dan Inggris tidak bisa membendung. Satu demi satu wilayah Inggris-Amerika-Perancis jatuh ke tangan Jepang, dan ujungnya, Hindia Belanda pun jatuh. Sempat ada pertempuran laut, pertempuran darat, pertempuran udara, tapi.. kekuatan Belanda dan sekutu di nusantara, tidaklah bisa membendung Jepang.

Maret 1942, Jawa Barat diduduki Jepang, sampai Indonesia merdeka 1945.

Setelah Agustus 1945 Jepang dibom atom dan menyerah kalah, eks Hindia Belanda itu diambil oper sekutu yang dipimpin Inggris bulan septembernya. Tapi Indonesia keburu proklamasi 17 Agustus. Belanda tidak terima. Terjadilah kisruh kemerdekaan 1946- 1949. Pada akhirnya, berkat tekanan dari Amerika, Inggris, dan Australia.. Belanda pun tidak berdaya untuk mengobarkan perang berkepanjangan. Beneran jadilah Indonesia yang damai dan berdaulat penuh sejak 1950, sampai sekarang. Priangan, jadi satu kesatuan dengan Indonesia itu.

Masa Indonesianya, kalau dihitung sejak 1945, sampai sekarang sudah 72 tahunan.

Untuk melengkapi kisah Priangan ini, berikut ini cobalah kita ulas sedikit tentang beberapa kota andalan Belanda di masa lalu....

***

Sekilas Buitenzorg (alias Bogor)

Karawang dalam kesejarahan tidak terlalu sentral, sudah kita bahas di sana-sini. Batavia area juga sudah sedikit di atas. Insya Allah nanti kalau ada waktu kita ulas terpisah sendiri. Priangan secara umum juga sudah cukup panjang. Banten dan Cirebon dibahas terpisah. Bogor ini sekarang saatnya kita ulas.

Jaman Belanda, Bogor bernama Buitenzorg yang berarti "tanpa kecemasan" atau "aman tenteram". Harfiahnya Bogor itu buah Enau menurut wikipedia. Sejak jaman Raffles di awal abad ke-19, Bogor jadi pusat penelitian pertanian-biologi, buntutnya sekarang ada Kebun Raya Bogor (dirintis Raffless awal abad ke-19), dan IPB (Institut Pertanian Bogor) yang berdiri sejak awal abad ke-20.

Sebelum jadi kota Belanda, Buitenzorg itu milik kerajaan Banten. Sebelumnya lagi, dia itu ibukota Pakuan-Pajajaran. Dari sisi makna, kira-kira Pakuan itu artinya ibukota, Pajajaran itu maknanya berada di antara dua sungai yang berjajar yaitu Cisadane dan Ciliwung. Setelah diserbu Banten (di abad ke-16), ikhwal ibukota kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran itu sempat lenyap. Lalu di abad ke-17 (1687), ibukota hilang itu ditemukan kembali oleh peneliti Belanda yang mempelajari prasasti Batutulis dan beberapa situs lain. Dan disimpulkan, ibukota itu terletak di Bogor itu.

Mengingat hawanya jauh lebih sejuk dari pada Batavia, atau Karawang, dan letaknya tidak terlalu jauh, maka tahun 1745, Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem baron van Imhoff mulailah membangun istana Bogor di bekas ibukota Pakuan Pajajaran itu, dan terus bertumbuhlah kota Belanda baru di sekelilingnya. Direncanakan jadi tempat sejuk tempat peristirahatan bos-bos kolonial.

Setahun kemudian, 1746, van Imhoff menggabungkan sembilan distrik (Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga, dan Kampung Baru) membentuk "Regentschap Kampung Baru Buitenzorg". Terus mulai jadilah istana Gubernur Jenderal di Buitenzorg itu. Berikutnya, nama Buitenzorg dipakai untuk merujuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.

Jaman Napoleon, kekuasaan Belanda (jajahan Napoleon) dipegang Gubjen Deandels, dan dia membangun jalan raya Batavia ke Bogor itu, terus ke Bandung, terus ke Jawa di sekitar awal abad ke-19.

Napoleon kalah, jajahan diambil oper Inggris sebentar, dipegang Gubjen Raffles, dan dia membangun Bogor lebih lanjut. Merintis kebun raya itu di dekat istana (Botanical Garden, namanya nama Inggris, karena Raffles memang orang Inggris, bukan Belanda, apalagi orang Pamengpeuk, bukan banget. Punten pisan). Dia juga mengintensifkan penelitian-penelitian yang kelak lembaga penelitiannya menjelma menjadi IPB.

Awal abad ke-20, 1903, Bogor jadi karesidenan Buitenzorg pola baru atau Gemeente Buitenzorg. Jadi: ada karesidenan (semacam propinsi kecil), dan ada wilayah kota madyanya. Jaman terus berkembang, makin establish daerah Bogor itu setelah terbentuk Propinsi Jawa Barat era Belanda 1925 (provincie West ).

Di jaman Jepang, Bogor ini juga banyak difungsikan seperti di jaman Belanda. Pelatihan perwira PETA antara lain dilaksanakannya di Bogor ini. Cuma nama Buitenzorg dilarang untuk dipakai lagi. Dan mulailah jadi Bogor itu. Jaman kemerdekaan, Bogor ini juga sempat jadi singgahan favorit Presiden Sukarno. Jaman itu AC belum merata-rata juga, jadi tempat sejuk seperti Bogor (dan Cipanas), bisalah jadi tempat peristirahatan yang top.

Di masa orde baru, Bogor dan Cipanas tidak terlalu intensif dipakai presiden. Tapi toh jalan tol pertama di Indonesia, itu menghubungkan dengan Bogor. Lantas dipanjangin ke Ciawi, jadi Jagorawi. Dalam konteks megapolitan Jakarta-Raya, Bogor ini menjadi penyangga ibukota (bersama kota lain sekeliling). Jabotabek.

Di jaman reformasi, wilayah Bogor dimekarkan menjadi tiga, yaitu Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kota Depok. Dan pada masa kini, antara ketiga wilayah itu dengan Jakarta, tidak ada lagi daerah kosong 'luar kota'. Sepanjang jalan, ujung ke ujung sudah jadi kota semuanya. Begitulah sekilas tentang Bogor alias dulunya Buitenzorg.

***

Sekilas Mesteer Cornelis (alias Jatinegara)

Satu tempat lain menarik di Jawa Barat yang cukup jadi titik kunci di masa kolonial eropa adalah Jatinegara. Letaknya di antara Bogor dan Batavia, bukan?

Mulai berkembang selepas Jayakarta dibumi hangus JP Coen. Sebagai simbol perlawanan Banten, terhadap VOC, sejumlah bangsawan Banten berhimpun di tempat itu, mereka namai: Jatina Nagara. Terus, semakin orang-orang Belanda kuat, muncullah seorang guru agama Kristen asal Banda, Maluku, membeli tanah di daerah sepanjang aliran Ciliwung, yang terus jadi kepala kampung, head of the small town. Namanya Cornelis Senen, yang terus bergelar Meester.

Setelah jalan raya pos jadi, wilayah milik Cornelis itu menjadi ramai dan berkembang pesat. Ada pemukiman, pasar, segala rupa dan orang lokal menyingkat namanya jadi Mester saja, yang lengkapnya: Wilayah Meester Cornelis alias Kampung Melayu alias Jatina Nagara alias Jatinegara.

Meester Cornelis menjelang abad ke-19 jadi kota satelit Batavia yang top. Sekaligus jadi ibukota wilayah gabungan Bekasi, Cikarang, Matraman, Kebayoran. Terus jaman perang Napoleon, 14-26 Agustus 1811, wilayah ini diserbu tentara Inggris. Di situ terjadi pertempuran besar, mungkin merupakan pertempuran Napoleon terbesar dan paling masyur di kawasan Asia Tenggara.

Perangnya beneran ala Napoleon dengan pasukan gerak cepat skala besar, yang terkonsentrasi, dan dibeking dengan arteleri berat.

Bagaimana perang itu terjadi? Ini singkatnya saja... Awalnya, Inggris membawa rombongan pendarat skala besar mengarah ke Jawa, lalu melakukan pendaratan marinir di Cilincing dan bergerak senyap ke jantung Batavia menyusur kali yang sekarang ada di antara jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Pendadakan ini sukses merebut jantung Batavia kota, dan segera Inggris memusatkan kekuatannya di sawah besar. Dari benteng Sawah Besar ini, terus terjadi duel meriam dengan kekuatan Perancis-Belanda tersisa yang bertahan di Mester Cornelis. Jlegar- jlegur beberapa hari. Kebayang, kalau hal ini terjadi di masa sekarang, pasukan besar bergerak dari Sawah Besar ke Berlan.. geger besar-besaran.

Sampai kemudian, tiga titik pertahanan Perancis-Belanda bobol, dan moril pasukan Belanda runtuh, banyak orang Belanda yang terus membelot ke Inggris, melepaskan kesetiaannya pada Perancis.

Unit-unit Perancis, termasuk Jenderal-nya, satu demi satu terkalahkan. Jenderal utamanya lantas lari dengan sisa pasukan ke Buitenzorg. Diuber Inggris, terus bergerak menjauh, sampai akhirnya, terkalahkan di Salatiga, dan selesailah ekspedisi Inggris merebut Jawa. Dari masa ini, saking banyaknya korban, terus muncul daerah-daerah 'angker'. Dari Inggris saja yang menang, nyaris seribu tewas (plus tentara Inggris etnis India, lebih banyak lagi). Ksatrian Berlan yang ada di ujung Matraman amat terkait dengan sejarah ini. Juga Rawa Bangke, dimana banyak korban bergelimpangan, bisa jadi juga muncul namanya di masa ini (walau ada yang bilang, itu jaman Mataram perang dengan VOC!) Salah satu perwira Inggris, makamnya ada yang cukup ikonik, terletak di lokasi yang sekarang jadi Kantor Pos Besar. Tapi, pada masa Indonesia merdeka, makam dan nisannya ini terus dipindahkan, dan sekarang ada di halaman gereja Anglikan di dekat tugu tani.

Dipegang Inggris beberapa tahun, Jawa terus dikembalikan jadi koloni Belanda....

Setelah balik lagi dipegang Belanda, Mester ini 1875 terus dihubungkan dengan Jakarta Kota dengan jalur kereta. Ditambah lagi, 1881, perusahaan trem Nederlands Indische Tramweg Maatschappij aka Bataviasche Stoomtram Maatschappij mengoperasikan trem uap yang menghubungkan Kampung Melayu (Meester Cornelis) dengan Kota Intan (Batavia) melewati rute Matraman, Kramat, Senen, Harmoni, dan Glodok. April 1925 muncul kereta listrik, dari Mester ke Tanjung Priok dan Manggarai. Menjelang perang dunia, per tahun baru 1936, Mester ini dimasukkan ke bagian wilayah Batavia.

Di jaman perang, beberapa titik di Batavia jadi sasaran favorit serangan udara Jepang, yaitu yang utama Pelabuhan Laut Tanjung Priok, Pangkalan Udara Kemayoran, dan Pangkalan Udara Cililitan (yang kelak menjadi Halim PK).

Nama Jatinegara muncul (lagi) 1942, karena Tentara Kekaisaran Jepang yang menduduki Hindia Belanda merasa nama Meester terlalu berbau Belanda dan dilarang. Perannya juga jadi dikecilkan, dan tidak lagi menjadi ibukota kawasan selatan Batavia, tapi sekedar seperti kota kecamatan saja. Di Jaman DKI dipecah menjadi lima kotamadya, Jatinegara ini termasuk menjadi titik awal dari kotamadya Jakarta Timur, dan termasuk (awalnya) kantor walikota Jakarta Timur, letaknya adalah di dekat Kampung Melayu itu.

***

Sekilas Tjiandjoer (alias Cianjur)

Kabupaten Cianjur atau dulunya Tjiandjoer sekarang jadi sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, Bogor, Purwakarta, Bandung, Bandung Barat, Garut, dan Samudra Hindia. Sebagian wilayahnya pegunungan, kecuali pantai selatan yang berupa dataran rendah sempit.

Tanahnya subur, cocok untuk tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan; ditunjang adanya beberapa sungai besar-kecil, dan yang terpanjang di Cianjur itu sungai Cibuni yang muaranya di selatan.

Kira-kira kota ini didirikan di masa akhir Pakuan-Pajajaran, ada seorang bangsawan: Raden Djajasasana, putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga, keturunan Sunan Talaga. Talaga ini letaknya kira-kira di Kawali, Majalengka. Kemungkinan besar, pendirian itu adalah atas blessing Kerajaan Sumedang Larang yang mulai berperan lebih besar saat Pakuan-Pajajaran menyurut digerus Banten.

Daerah bukaan baru yang pertama, konon bernama Cikundul. Dan perintis kota baru itu sekitar 100 orang saja. Namun, di situ, mereka berhasil menahan serangan Banten dari arah barat, sehingga kemudian leadernya diberi gelar panglima (Wira Tanu), atau selengkapnya jadi Raden Aria Wira Tanu. Establish-lah Aria Tanu ini jadi bupati pertama Cianjur. Negerinya lantas disebut sebagai Nagari Sagara Herang yang teraliansi erat dengan Sumedang-Larang/Priangan yang amat bercorak islam sejak itu.

Belakangan, tahun 1680-an, barulah populer nama Tsitsanjoer atau Tjiandjoer. Yang mana, sejak 1677, daerah ini (beserta seluruh daerah Priangan) sudah menjadi bawahan VOC (yang semulanya adalah bawahan Mataram, dan sebelum itu, Sumedang Larang). Oleh VOC Belanda, Tjiandjoer yang relatif paling dekat posisinya ke Batavia dibanding kota-kota Priangan lain lantas dijadikan ibukota Priangan.

Jadi, "Halo-halo Bandung, Ibukota Priangan.." Itu terjadinya pasti tidak di jaman kuno banget abad ke-17. Saat abad ke-17, ibukota Priangan atau Preanger itu, adalah Tjiandjoer, yang awalnya, dikasih nama keren: Preanger Regentschappen, alias Preanger Regencies kalau basa Inggris, alias Ibukota-Propinsi Priangan kalau konteks sekarang. Kenapa Cianjur yang dipilih? Itu tentu ada ceritanya. Kemungkinan besar, dikaitkan dengan kedekatannya dengan pusat kekuasaan Belanda, kemudian juga kedekatannya dengan pusat-pusat perkebunan besar. Walau begitu, kemudian ada bencana meletusnya Gunung Gede Pangrango, dan Cianjur kena imbasnya. Dan terus, ibukota Priangan dipindah ke Bandoeng.

Seberapa dahsyat sih letusan Gunung Gede Pangrango itu?

Catatan geografis menyebutkan, letusan dahsyat terjadi abad ke-18 dan abad ke-19. Pertama, letupan besar 1747-1748. Letusan ini menyebabkan munculnya dua sungai lava dari Kawah Lanang. Dari gerakan ini, kemungkinan lantas timbul beberapa sumber air panas yang masih ada saat ini.

Lalu, ada beberapa kali letusan kecil (1761 dan 1780) lalu sang gunung tidur seratus tahunan (nyaris). Bangun lagi 1832, muncul letusan kecil, tapi tanpa diduga.. kemudian 12 November 1840 terjadi letusan kejutan amat hebat. Kejadiannya jam 3 dini hari menggoncang semua desa di kawasan. Goncangan itu disertai semburan api setinggi 50 meter di atas kawah. Kepulan asap dan semburan gas nyaris mencapai Kebun Raya Cibodas. Masyarakat Cipanas panik dan langsung berbondong mengungsi. Dua hari berikutnya, 14 November,.. batu-batu raksasa berdiameter rata-rata 1 meteran berterbangan ke udara. Satu batu gede mendarat di Cibeureum dengan amat kuat, menyebabkan terbentuknya kawah sedalam 4 meter.

Susulan lagi: 1 Desember 1840, letusan disertai hujan abu yang semurannya mencapai 200 meter di atas puncak Gede Pangrango. Lalu letusan lebih mengerikan terjadi 11 Desember 1840. Letusan bertubi-tubi, mengeluarkan hujan abu yang menutupi sinar matahari dan badai petir bersahutan disebabkan energi listrik statis yang bermunculan di abu yang disemburkan. Aktivitas baru berhenti Maret 1841.

Seorang peneliti kemudian datang, Hasskarl, dan dia melaporkan kerusakan hebat. Seluruh tumbuhan di hutan terbakar dan hancur. Fauna yang ikut kesapu oleh letusan tentu banyak juga. Habis itu, Gede tidur lagi, cuma letusan-letusan kecilan sporadis yang terjadi kurang lebih 24 kali selepas kejadian itu dalam kurun 150 tahun. Yang ada di catatan Belanda di antaranya: 1852, terjadi letusan menghancurkan penginapan Kandang Badak akibat diterjang batu besar. Lalu, 1886, terjadi letusan yang mengakibatkan hujan abu 50 cm, disemburkan sampai sejauh 500 meter dari kawah, menyapu semua vegetasi dalam radius itu. Di tahun 40-50-an ada lagi letusan kecil- kecil. Yang terakhir letusan tercatat adalah 1957, habis itu pules. Sampai sekarang, 2017 artinya sudah 60 tahun pules tidurnya. Walau begitu, itu bukanlah hal yang sepenuhnya melegakan. Bisa jadi, semakin lama gunung tidak aktif,.. kelak sekalinya aktif lagi.. letusannya bisa merupakan akumulasi dari energi besar yang terpendam sekian lama. Bahaya! Kayak orang kebelet eek. Kalo kebelet eek dikit ditahan, dikit lagi ditahan lagi.. sekalinya nanti dikeluarin, keluarnya bisa dahsyat! Atau keburu mrongkol sekalian, mengeras, mejen! Iyek! Jijay bener ini pengandaiannya.

Nah, karena situasi Gede Pangrango seperti itu, maka tidak mengherankanlah kalau Belanda memutuskan ibukota Priangan dipindah ke Bandung. Toh di balik kegiatan vulkanik itu, tanah Cianjur jadi dapat berkahnya. Tanahnya jadi subur. Beras khas Cianjur terkenal sekarang senusantara, Pandan Wangi. Selain beras, banyak lagi hasil pertanian datang dari sana. Di Jaman Belanda, yang khas lagi dari Cianjur adalah Roti manis. Munculnya tahun 1920-an, sekarang nggak tahu bagaimana nasibnya, silakan di googling sendiri. Dulu berkat roti ini, ada satu tempat di jalan raya kota Cianjur yang jadi tempat favorit untuk nongkrongnya bule-bule Belanda.

Beberapa tahun lalu, ada yang menulis di situs internet, menyebutkan kalau di masa sekarang, roti itu masih ada. Roti tawar dan roti manis, dan belakangan Rotika (atau roti kering khas Cianjur). Namanya TKC, pemendekan dari nama lama "Tan Keng Cu". Proses produksinya juga masih sama dengan dulunya, pakai ruang bakar konvensional dari bangunan batu bata, sehingga rotinya beraroma khas, berbeda dari roti yang dibakar di oven. Dan roti ini terus menginspirasi pabrik-pabrik roti lainnya khususnya di Bogor, Sukabumi dan Bandung.

Bawaan dari jaman Mataram, pengaruh islam di Cianjur amat mengakar. Dan tambahan lagi, Belanda juga terus bergeser ke Bandoeng. Yang beragama kristiani dan Hindu-Buddha cuma beberapa persen saja. Berhubung sempat jadi ibukota Priangan segala, tak mengherankan jalur transportasi cukup tersedia ke segala arah. Ada yang ke Bandung, ke Jakarta lewat Jonggol, ke Bogor lewat Puncak, dan ke Sukabumi tanpa lewat Puncak juga ada. Jalur kereta api juga ada. Sempat agak terbengkalai, tapi baru- baru ini sepertinya direvitalisasi lagi, dan memungkinkan perjalanan dari Bandung ke Jakarta (lewat Bogor, Sukabumi, Cianjur).

Ke depannya sepertinya potensial menjadi daerah wisata. Selain pusat kotanya sudah biasa jadi pusat oleh-oleh kayak begitu, di Cianjur selatan ada pantai juga: Pantai Jayanti, dan juga ada air terjun Curug Citambur. Buat para pendaki gunung, Gede Pangrango itu juga merupakan tantangan. Di sekitarnya ada Taman Bunga Nusantara, Kebun Raya Cibodas, Situs Megalitikum Gunung Kasur, Situs Megalitikum Gunung Padang, Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Air terjun Kabupaten Cianjur.

Kalau rencana pemekaran Cipanas jadi, terpisah dari Kabupaten induk Cianjur, ke depan wilayah ini berpotensi terbelah menjadi dua kawasan.

***

Sekilas Poentjak Pass atau Poentjak Weg

Pembangunan jalan tembus Puncak Pass, itu juga salah satu pencapaian unik di jaman kolonial yang sampai sekarang terus jadi modal bagi Indonesia.

Medan berat Jalan Raya pos masa itu terutama adalah di Jawa Barat, yaitu khususnya di Gunung Megamendung (Puncak), Gunung Masigit, Cadas Pangeran, dan rawa-rawa di sekitar Karang Sembung, Cirebon. Jalur Megamendung itu menghubungkan Cisarua dengan Cipanas. Sekarang jadi Jalan Raya Puncak. Gunung Megamendung titik tertingginya 1880 meter di atas muka laut terletak di antara Cisarua-Cimacan (tidak sama dengan yang dikenal orang sebagai Megamendung masa kini).

Begitu monumentalnya 'penaklukan Megamendung' itu, sampai maestro pelukis Raden Saleh melukiskan Daendels di belakang jalan itu. Latar belakangnya jalan pos, pegunungan, dan tangannya menunjuk ke peta bertuliskan "richting van den weg ober Megamendoeng" (arah jalan di atas Megamendoeng). Di rumah Bung Hatta (yang sekarang jadi museum di Bukittinggi) juga digambarkan foto Bung Hatta dengan istrinya (saat baru menikah) di Megamendung.

Para pekerja manual, banyak yang jadi korban saat pembangunan jalan pos, dan di tempat yang keras seperti Megamendung itu, korban paling banyak. Biaya juga membengkak. Jalan meliuk-liuk lagi, ada di lintas Gunung Masigit (antara Cianjur- Bandung). Yang memimpin pembangunan: Kolonel (Zeni) Von Lutzow yang didampingi dua insinyur kepala. Begitu jalan jadi, bukan berarti melintasi jalan itu jadi enteng.

Dalam salah satu catatan perjalanan 1853, disebutkan, dari Bogor jalan 27 menit naik kereta kuda, lalu tiba di pos pertama sejarak kurang lebih 10 kilo. Di situ, mesti ganti kuda. Dan untuk mencapai puncak Megamendung.. perlu 4 jam lagi. Setiba di Cisarua, jalan masih amat terjal sehingga beberapa kerbau harus diperbantukan untuk membantu kuda menarik kereta. Dari puncak, jalan menurun terus sampai ke Cipanas. Nggak tahu itu berapa jam lagi, tidak ditulis. Tapi itu sudah mending.

Sebelum ada jalan itu, perjalanan dari Batavia ke Cipanas, itu adalah perjalanan gila, dan membutuhkan waktu paling cepat: 8 hari! Oh, boy.. jadi bapak-ibu-saudara semua, kalau kena macet cuma barang 8 jam aja di jalur Puncak, yah.. cincailah. Hehehe...

Di pihak lain, jalur lebih mendatar, menyusur tepi gunung juga sudah ada lebih dulu, yaitu klasik: Batavia-Buitenzorg-Tjibadak-Soekabumi-Tjiandjoer-Bandoeng. Walah.. pake ejaan lama, tulisannya belibet bener. Capek ngetiknya. Jalur ini sudah dibangun 1813 di masa Raffles. Lebih datar, tapi muter lebih jauh. Dan karena adanya jalan alternatif yang lebih waras itu, ada orang bilang, Daendels itu gila bikin jalan by-pass memotong gunung. Tapi, ya sudahlah. Biarkan saja kontroversi itu beredar, yang jelas, sekarang jalannya telanjur sudah jadi, dioptimalkan saja....

***

Sekilas Sukabumi

Secara tradisional, sebelum orang-orang kolonial eropa datang, daerah Jawa Barat bagian selatan adalah daerah sulit, tempat hutan lebat flora-fauna bisa damai tak terganggu manusia. Jadi, munculnya Sukabumi, kota yang besar di selatan, dan kemudian punya akses bagus menghadap ke laut kidul, itu cukup unik, dan baru ada kurang lebih saat Belanda sudah established.

Pencetus awalnya, adalah intensifikasi perkebunan kopi. Saat kopi Hindia Belanda berjaya di masa Gubjen Hendrick Zwaardecroon (1718-1725), bupati Tjiandjoer ditantangin oleh Belanda, yaitu Wira Tanu III. "Dikau sanggup enggak membuka ladang kopi baru besar-besaran di selatan? Kalau sanggup, gue kasih perluasan wilayah (ke area Sukabumi masa kini)..."

"Siap, Gan!" Langsung saja sang bupati menyanggupi. Lagi pula, itu bukanlah request, namun merupakan perintah, bukan? Kalau dia nggak sanggup, banyak kok pembesar lain yang pasti bisa menyanggupi. Wong ujungnya nanti yang babat alas juga rakyat banyak, kan? Bukan pembesar....

Maka itulah asal muasalnya Sukabumi... Seiring waktu, kawasan sekitar perkebunan kopi di Goenoeng Goeroeh jadi pemukiman. Yang menonjol: Tjikole. Tahun 1776, Cikole ini dijadikan kepatihan (bawahan Cianjur). Inilah cikal bakalnya Sukabumi. Lokasinya strategis, sebagai penghubung Batavia-Buitenzorg dengan Tjiandjoer yang waktu itu ibukota Karesidenan Priangan.

Nama Sukabumi kapan mulai dipakai? Paling tidak sejak 1815 kira-kira. Diusulkan oleh orang-orang Belanda yang penuh semangat kepada orang-orang Inggris (orangnya Raffles yang waktu itu berkuasa, atau ada juga yang bilang minta ijinnya sudah sejak jaman Daendels yang merupakan representasi Perancis-Napoleon). Yang paling bersemangat Andries De Wilde namanya (seorang dokter bedah aslinya dan tuan tanah di Jasinga, Bogor). Maknanya, menurut dugaan banyak pihak, itu dari bahasa Sunda. Mohon maklum, kalau itu, orang Belanda yang bisa basa Sunda juga banyak. Mengandung aspirasi,.. agar orang-orang suka menetap dan berumah di situ. Ada juga yang bilang terinspirasi basa Sansekerta. Wallahualam mana yang benar.

Lama-lama, jalur lewat Sukabumi itu jadi jalur utama terpenting untuk menghubungkan Bandoeng dengan Batavia, biarpun Puncak Pass sudah tembus. Sampai kemudian, dibangun jalur kereta yang memungkinkan hasil bumi teh, kopi, kina, diangkut bablas sampai ke Tanjung Priok.

Makin lama, banyak juga orang Belanda atau indo yang menjadikan Sukabumi itu menjadi home-town atau kampung halamannya. Dan mengikuti orang-orang Belanda, seperti biasa, komunitas Tionghoa terus mengikuti. Bahkan, di Sukabumi itu terbit koran Tionghoa pertama di Indonesia yang bernama "Li Po" 1901 yang berbahasa Melayu- Tionghoa. Semakin orang eropanya banyak, lantas April 1914 Sukabumi itu ditetapkan sebagai kota madya atau kotapraja atau gementee. Tanggalnya dipilih 1 April, disesuaikan dengan tanggal kemenangan kelompok Geuzzen (leluhur Belanda) saat merebut kota Brielle dari tangan Spanyol. Walikota atau burgemeester-nya sendiri baru aktif mengelola kota Mei 1926. Setelah itu, banyaklah pembangunan-pembangunan. Antara lain: pembangunan Soekaboemi Treinstation (Stasiun), Moskee te Soekaboemi (Masjid Agung), Pinkstergemeente (Gereja Pantekosta), Rooms-katholieke kerk (Gereja Katolik Santo Yoseph), Bethelkerk (Gereja Bethel), Bataksche kerk (HKBP Pasundan), Waterkrachtwerk Oebroeg (PLTA Ubrug), Onderstation Lemboersitoe (Gardu induk Lembursitu), dan Politieschool (Sekolah Pembentukan Perwira Polri). Makmur sejati, Sukabumi itu berkat limpahan hasil bumi komoditas ekspor.

Menjelang jaman Jepang, Sukabumi dijadikan tempat pengasingan beberapa tokoh pergerakan, seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Perundingan diplomatik dengan Jepang Oktober 1940 juga pernah bertempat di Sukabumi ini sebelum Jepang mengamuk.

Bule dan anak-anak indo dari Sukabumi, yang orang tuanya polisi kebanyakan, banyak juga yang militan, dan terus mendaftarkan diri menjadi KNIL atau marinir Belanda. Banyak di antaranya yang terus tidak bisa melihat Sukabumi lagi untuk selamanya. Dan walaupun selamat dari peperangan, setelah kemerdekaan Indonesia, Sukabumi bukanlah lagi kampung halaman orang-orang Belanda dan indo-Belanda.

Saat Jepang sudah berkuasa, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir pernah diundang lagi ke situ untuk merundingkan masa depan Indonesia dengan perwakilan Jepang, tapi ujungnya, mereka malah dikenai status tahanan kota! Kena maning, kena maning...

Sukabumi juga jadi satu-satunya tempat interniran tawanan perang asal Amerika Serikat dan Australia di Indonesia sepanjang perang dunia kedua. Jadi, untuk para tawanan itu, dan keluarganya, mungkin Sukabumi ini punya makna yang dalem juga. Banyak kenangan pahit mereka di sana. Di jaman perang kemerdekaan, jalur Bogor- Cianjur lewat Sukabumi ini termasuk jalur maut, karena di jalur itu, para gerilyawan mudah melakukan ambush atau sergapan, sementara bagi orang Belanda, seringkali jalur ini menjadi satu-satunya jalur yang secara cepat bisa dipakai untuk mensupplai Bandung dan Priangan umumnya.... Pertempuran paling terkenal: di Bojong Kokosan.

***

Sekilas Purwakarta-Karawang-Subang

Purwakarta-Karawang-Subang, itu semula satu wilayah, yaitu Rajagaluh sebelum direbut Cirebon, dan lalu jadi Rangkas Sumedang setelah di tangan Cirebon. Yaitu areanya di sisi timur Sungai Citarum terus ke timur sampai ke batas Kerajaan Cirebon (Sungai Cipunegara?). Lebih lanjut, daerah itu dijadikan basis Mataram, saat Matram bersiap menyerbu Batavia, dan oleh orang-orang Sunda yang membantu Mataram membangun basis, namanya terus bergeser jadi Karawang (mungkin plesetan dari Karawaan.. merujuk pada areanya yang berawa-rawa. Oleh bangsawan-bangsawan yang ditunjuk Mataram untuk membangun wilayah itu, lantas dipilih ibukotanya di sekitar Purwakarta masa kini.

Gambarannya kira-kira begini (menurut wikipedia)... Abad ke-17 or so, saat Sultan Mataram masih napsu ingin merangsek Batavia, selepas urusan Dipati Ukur yang sudah dikisahkan di atas, dikirimlah Panembahan Galuh RAA Wirasuta bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III untuk menduduki Rangkas Sumedang (sebelah timur Citarum itu tadi), mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi, dan Kuta Tandingan. Dan mulailah dikenal nama Karawang (kemungkinan terinspirasi dari rawa-rawa itu).

Setelah pendudukan selesai, Adipati kembali ke Galuh, terus wafat. Perannya digantikan anaknya: Adipati Kertabumi IV jadi Dalem Karawang 1656, yang notabene itu bupati untuk daerah Karawang-Purwakarta-Subang masa kini. Kertabumi IV ini dikenal juga sebagai Raden Adipati Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di suatu tempat yang disebut Udug-udug. Penerusnya lagi, anak Panembahan Singaperbangsa, adalah Raden Anom Wirasuta bergelar RAA Panatayuda I (1679- 1721). Sang penerus ini memindahkan ibukota dari Udug-udug ke Karawang masa kini, dan wilayahnya antara Cihoe (Cibarusah) dan Cipunegara. Tapi mesti diingat, pada periode ini, jaman sudah berganti. Sejak 1677, wilayah ini sudah jadi wilayah bawahan VOC Belanda. Lepas dari semula Cirebon (dan Cirebonnya, bawahan Mataram).

Sekitar jaman geger Napoleon, 1811-1816, status kerajaan kecil di Karawang ini dilikuidasi dan dikecilkan sekali oleh Raffles yang merepresentasikan Inggris si pemenang perang. Karawang jadi wilayah administrasi saja, seperti Batavia.

Saat perdamaian tuntas, Jawa dikembalikan pada Belanda, oleh Belanda Karawang ditata ulang 1820. Batasnya balik lagi Citarum/Cibeet sampai Cipunegara untuk barat timurnya. Di utaranya Laut Jawa, dan di selatannya Onder Distrik Gandasoli, bagian dari Kabupaten Bandoeng (masa kini Plered). Dipilih sebagai ibukota kabupaten: Wanayasa. Lalu, 1830, ibukota dipindahkan ke Sindangkasih. Dimulailah pembangunan fisik yang cukup intensif. Dibikinlah gedung kabupaten-karesidenan, pendopo, mesjid agung, tangsi tentara di Ceplak, Sawah Lega, Situ Kamojing, rawa-rawa diuruk untuk pembuatan Situ Buleud, dan seterusnya. Beberapa tahun pembangunan jalan terus, berlanjut saat ganti bupati. Praktis, pada titik ini: kota Purwakarta masa kini itulah ibukota (karesidenan) Karawang.

Bangunan-bangunan Belanda makin banyak di Purwakarta setelah Purwakarta mapan sebagai ibukota Karesidenan Karawang 1854. Ada stasiun kereta, Gedong Kembar, dan seterusnya. Banyak bule-bule juga memilih Purwakarta menjadi kota pensiunan karena dipandang tidak sepanas Batavia, tapi masih cukup dekat ke Batavia. Bersamaan dengan establishnya Belanda, komunitas Tionghoa juga banyak membuka usaha di sana, seperti juga mereka banyak membuka usaha di Cianjur, Bogor, Bandung, Batavia, Sukabumi, dan kota-kota Belanda lainnya. Jaman Jepang, orang- orang Jepang juga beberapa buka usaha di downtown Purwakarta.

Setelah kemerdekaan, jaman kisruh tahun 1949, oleh wali negeri Pasundan, Karawang terus dipecah menjadi Karawang dan Karawang Timur (Purwakarta-Subang masa kini). Oleh pemerintah Indonesia tahun 1968, lantas diubah lagi jadi Purwakartanya memisah jadi kabupaten sendiri, eks kawedaan Purwakarta, ditambah diambilkan sedikit wilayah dari Karawang dan Cianjur (yaitu yang terpencil, dan lebih mudah dikontrol dari Purwakarta). Ini kemudian jadi Kabupaten Purwakarta, dan sisa Karawang Timur lain menjadi Kabupaten Subang.

***

Kota-kota Lain Priangan dan Jawa-Bagian-Barat

Iterasi berikutnya, semoga lebih banyak lagi bisa diulas tulisan tentang Jawa Barat dan Priangan khususnya. Yang sudah banyak dikenal orang: Jakarta dan Bandoeng, tapi mestinya menarik juga kita ulas Tasikmalaya, Ciamis, Cimahi, dan yang lainnya.

(ilmuiman.net / Selesai)