Deny, Slamet, Agus, Ninny, Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit

Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit1

Deny Yudo Wahyudi, Slamet Sujud P.J, staf pengajar Jurusan Sejarah FIS UM Agus Aris Munandar, Ninny Soesanti staf pengajar Departemen Arkeologi FIB UI

Abstrak: Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di nusantara pada masa pengaruh Hindu- Buddha. Dalam sejarah Majapahit diketahui terdapat cukup banyak tinggalan bangunan suci keagamaan. Namun belum diketahui secara pasti dimana letak pusat pendidikan keagamaan tersebut. Informasi ini dapat digali melalui kajian arkeologi sejarah dengan memadukan sumber data yang melimpah baik artefak maupun tekstual. Sehingga nampak bahwa ada beberapa bangunan suci yang menunjukkan ciri-ciri sebagai pusat pendidikan keagamaan berdasarkan temuan arte- faktual dan dukungan sumber data tekstual berupa prasasti dan naskah.

Kata kunci: pusat, pendidikan, keagamaan, Majapahit, artefaktual, tekstual

Abstract: Majapahit kingdom is one of great influence kingdom in the archipelago during the Hindu Buddha era. In the history of Majapahit known that there are quite many remains of religious sacred building. But it is not known certain where the centre of religious education. This information can be extracted through the history of archaeological research by combining resources abundant data whether artefacts or textual. So it seems that there are some sacred buildings showing characteristics as a center of religious education based on the findings artefacts and textual data such as the form of inscriptions and manuscripts.

Keywords: center, education, religious, Majapahit, artefact, textual

Kajian tentang kehidupan keagamaan pada masa Jawa tian ini secara orisinal mengisi kekosongan ruang un- Kuna cukup banyak, namun kebanyakan bersifat tuk mengungkap secara lebih komprehensif tentang parsial atau fokus pada satu bangunan suci keagama- keletakan, jenis dan bentuk serta fungsi dari keseluru- an atau candi saja. Kegiatan penelitian yang berupaya han pusat keagamaan masa Majapahit yang dapat di- untuk mencari pola atau menganalisis dalam renta- lacak. Kontribusi yang diharapkan dapat disumbang- ngan masa belum memadai. Penelitian ini dapat diarah- kan bagi perkembangan sejarah klasik ada- kan untuk tujuan yang penting dalam membangun lah informasi yang lengkap disertai pemetaan baik in- upaya rekonstruksi sejarah masa Indonesia klasik atau formasi mengenai keberadaan pusat keagamaan masa dalam pengaruh Hindu-Buddha. Kajian arkeologi se- Majapahit maupun keletakannya, selain itu fungsi jarah adalah alternatif untuk mengungkap dan menga- pusat-pusat keagamaan tersebut dalam kehidupan nalisis fenomena sejarah kebudayaan Indonesia yang sosial budaya masa Majapahit. Hal ini dapat menjadi sangat kaya. Hal ini sejalan pula dengan perkemba- refleksi kehidupan toleransi masa sekarang dan me- ngan metodologi sejarah yang mengedepankan pen- nunjukkan pada generasi Indonesia sekarang bahwa dekatan multidimesional dan interdisipliner dalam bangsa ini telah menjadi pusat-pusat keagamaan yang kajiannya. Model penelitian ini banyak dilakukan oleh disegani dan berkualitas. para arkeolog ataupun ahli sejarah klasik sebagai con- Secara metodologis ilmu pengetahuan, pendeka- toh apa yang dilakukan oleh Andrea Arci ketika meng- tan arkeologi sejarah adalah alternatif pendekatan ungkap model relief binatang masa Jawa Kuno dihu- yang dapat lebih efektif mengungkap fenomena-feno- bungkan dengan konsep yang berlaku masa itu. Ia mena masa lampau dengan menggabungkan metode menggalinya dari sumber data tekstual yang diper- arkeologi yang berbasis artefaktual dengan metode bandingkan dengan keberadaan relief sehingga hasil sejarah yang berbasis sumber data tekstual. Penelitian rekonstruksi itu menjadi kaya (Acri, 2010). ini perlu mengungkapkan mengenai letak, jenis dan Penelitian-penelitian sporadis tentang kehidupan bentuk pusat keagamaan untuk mengetahui sejauh keagamaan masa Majapahit beberapa telah dilakukan mana hubungan informasi yang diberikan sumber oleh para ahli sejarah kuno Indonesia, namun peneli- data tekstual dengan kenampakan fisik yang ditunjuk- kan oleh sumber data artefaktual. Sedangkan pengu- ngkapan fungsi dimaksudkan sebagai upaya rekon- 1 Tulisan ini bersumber dari hasil penelitian Hibah Pekerti didanai struksi sejarah sosial-budaya masa Majapahit yang 2013-2014 yang berjudul Pusat Pendidikan Keagamaan Masa diakui sebagai kemajuan peradaban masa Indonesia Majapahit: Kajian Arkeologi Sejarah Berbasis Artefak, Prasasti klasik. dan Naskah

107 107 JURNAL STUDI SOSIAL, Th. 6, No. 2, Nopember 2014, 107-119

Kehidupan Keagamaan masa Majapahit sebagai agama para pedagang yang notabene para Sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha merupa- pendatang kan salah satu perjalanan sejarah yang cukup panjang, Bangunan-bangunan suci ketiga aliran tadi ter- karena berkisar sekitar 1000 tahun. Masa ini dimulai nyata masih dibeda-bedakan lagi berdasarkan sifat, dari kerajaan Kutai sekitar abad 4 M hingga masa keja- fungsi dan bentuknya. Hal ini secara panjang lebar yaan Majapahit runtuh sekitar abad 1500 M. Kejayaan diuraikan dalam Kakawin Nagarakretagama yang di- masa ini nampak pada beberapa kerajaan yang dapat gubah oleh Mpu Prapanca (Wahyudi, 2005; Hadimul- melebarkan sayapnya hingga ke mancanegara, hal ini yo, 2009). Dalam uraian kakawin tersebut nampak nampak pada masa Sriwijaya, Mataram Hindu, Sing- adanya Candi-candi lepas atau swatantra milik para hasari dan Majapahit. Kehidupan sosial mereka sudah kaum agamawan ataupun candi-candi kerajaan yang sangat terstruktur hingga terbentuk pola-pola dalam menjadi pendharmaan anggota keluarga wangsa Rajasa. berbagai sistem kehidupan, baik yang bersifat religius, Salah satu yang menarik adalah disebutkannya ekonomis, maupun sosial (Rahardjo, 2010). mandala kadewaguruan yang dikenal dengan nama Salah satu yang menonjol adalah kehidupan aga- caturbhasmamandala, yang terdiri dari Mula-Sagara, ma pada masa tersebut, hal ini ditandai dengan ting- Kukub, Sukayajna dan Kasturi, Selain itu juga terdapat galan artefaktual dan tekstual yang mendukung dan tempat bagi para petapa yang dikenal dengan nama memberikan informasi mengenai kehidupan keaga- Katyagan Caturasrama yang terdiri dari Pacira, Bulwan, maan. Dari sekian banyak tinggalan atau warisan bu- Luwanwa dan Kupang (Wahyudi, 2005). daya bendawi masa klasik, hampir sebagian besar adalah candi atau kuil pemujaan. Candi sebagai kuil Komunitas Agamawan masa Majapahit pemujaan seringkali didukung dengan temuan pemu- Komunitas keagamaan juga nampak dalam bebe- kiman di sekitarnya. Pemukiman di sekitar candi seri- rapa potret sumber tertulis yang memberitakannya. ngkali diduga bagian candi dalam kedudukannya Temuan-temuan mandala kadewaguruan merupakan sebagai pusat peribadatan. Berarti kuil merupakan bentuk lain dari aktivitas pendidikan dan keagamaan, mandala yang didukung pusat pembelajaran keaga- hal ini juga gambaran bahwa kuil-kuil keagamaan juga maan. Pada pusat-pusat inilah dihasilkan naskah-nas- didukung oleh komunitas agamawan (Noorduyn, kah yang begitu kaya ketika masa Majapahit (Susanti, 1982). Hal ini justru memberikan ruang kepada kita 2006). untuk berdiskusi tentang berkembangnya mandala- Perkembangan keagamaan masa Majapahit dapat mandala kadewaguruan tersebut masa Majapahit. dikatakan sangat tinggi intensitasnya, hal ini dapat Beberapa sumber tertulis memberikan informasi yang diperhatikan dalam berbagai bentuk karya-karya yang kaya tentang keberadaan pusat-pusat pendidikan dihasilkan dengan simbolisasi agama. Hal ini nampak keagamaan dan beberapa naskah justru berisi informa- pada karya sastra, arsitektur, seni arca, relief dan altar- si tentang ajaran-ajaran keagamaan yang dikembang- altar pemujaan nenek moyang. Keberadaan hasil-hasil kan di berbagai mandala kedewaguruan (Hardiati, 2010). karya ini terekam baik secara artefaktual berupa situs Beberapa catatan dalam Nagarakretagama me- ataupun runtuhannya, benda-benda artefak maupun nunjukkan bahwa beberapa tempat tersebut, baik kuil- diberitakan dalam berbagai sumber data tekstual. Sa- kuil percandian maupun mandala kadewaguruan rana fisik ini menampakkan kekayaan Majapahit da- telah ada sejak lama. Keberadaan tempat-tempat pusat lam kehidupan keagamaannya (Wahyudi, 2012). pendidikan ini ternyata masih dikenali hingga masa akhir Majapahit bahkan sampai pengaruh Islam Bangunan-Bangunan Suci Keagamaan masa Maja- Demak semakin menguat. Salah satu yang menjadi pahit informasi berharga adalah catatan perjalanan spiri- Perkembangan keagamaan tersebut juga nampak tual seorang pangeran sunda yang mengitari pulau dari aliran yang berkembang pada masa Majapahit. Jawa dan . Dia mengunjungi beberapa pusat pen- Hal ini nampak pada nama-nama pejabat keagamaan didikan yang menjadi tempat berkumpulnya para mu- yang membawahi komunitas dengan tempat periba- rid dan peziarah (Noorduyn, 1982). datannya. Aliran utama yang nampak adalah kelom- Catatan menarik diberikan oleh beberapa kidung pok Hindu sekte Saiwa Sidhanta dan Wisnu, ini yang yang menggambarkan beberapa tempat mandala mayoritas, diketahui pula adanya aliran atau sekte- kadewaguruan terasebut. Informasi yang diberikan sekte lain dalam agama Hindu namun hanya minori- selain menunjukkan keletakannya juga menunjukkan tas. Kemudian kelompok Buddhis atau Sogata dan ya- kegiatan pendidikan yang dikembangkan. Salah satu- ng ketiga adalah aliran para rsi (Santiko, 1989). Namun nya adalah Kidung Margasmara, sebuah kidung deng- perlu juga dipikirkan kemungkinan perkembangan an setting Singhasari akhir namun diduga digubah ma- agama islam, mengingat telah ada komunitas di pesisir sa Majapahit. Kidung ini menggambarkan kegiatan utara, jauh sebelum Majapahit muncul, seperti bukti seorang ajar (guru spiritual) yang mengajarkan kitab penemuan nisan makam Fatimah binti Maimun di keagamaan kepada muridnya (Wahyudi, 2005, Rob- Leran. Hal ini juga diperkuat dengan penemuan ma- son, 1979) kam Troloyo pada masa akhir Majapahit yang lokasi- nya justru di tengah ibukota. Namun mungkin Islam Informasi-informasi yang diberikan oleh naskah belum menjadi agama resmi kerajaan atau dipandang tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita

108 Deny, Slamet, Agus, Ninny, Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit mengenai keberadaan sebuah mandala kadewaguruan. Majapahit dan Indonesia kuno. Selain itu juga gambaran mengenai kegiatan keaga- Pusat Pendidikan Keagamaan di Candi Panataran maan yang dilakukan dalam pusat pendidikan keaga- masa Majapahit maan tersebut. Informasi yang kaya dari pernaskahan Tipe pengajaran pada agama Budhha berbeda de- ini semakin lengkap dengan berita-berita yang diberi- ngan agama Hindu. Seorang bhiku dapat mengajarkan kan oleh prasasti. Sebagian besar prasasti Majapahit agama Buddha pada penguasa setempat setelah berisi tentang penetapan sima yang biasanya di dalam- mendirikan sanggha dan membentuk komunitas para nya terdapat bangunan suci yang dikelola oleh seke- bhiksunya. Kemudian para bhiksu ini mengundang para lompok agamawan. Berita ini dapat membantu meni- pendeta lokal untuk mempelajari agama Buddha ke dentifikasi nama-nama bangunan suci dan keletakan- India. Dalam agama Hindu justru kebalikannya. Or- nya dengan menggunakan pendekatan toponimi (ke- ang menjadi Hindu karena faktor kelahiran bukan miripan nama) sebuah tempat, sehingga akan semakin karena memeluk agama Hindu, hal ini justru menarik lengkap jika dicocokan dengan daftar nama bangunan dalam kasus nusantara (Indonesia). Berbeda dengan suci yang disebutkan Nagarakretagama (Wahyudi, para bhiku Buddha, para brahmana Hindu wajib me- 2005, Hardiati, 2010). nyebarkan ajaran Hindu. Gambaran ini dapat menunjukkan bahwa cara Di Indonesia aliran dalam agama Hindu yang kerja arkeologi sejarah adalah saling mencocokan paling besar adalah Saiwa-Siddhanta dan aliran bersifat informasi yang disampaikan oleh artefak (candi, man- eksoteris. Seseorang yang dicalonkan sebagai brahmana dala, arca) dengan informasi prasasti yang terkait guru harus mempelajari kitab-kitab agama selama nama dan toponimi letak serta diperkaya dengan gam- bertahun-tahun dan itu dilakukan dalam sebuah man- baran aktifitas yang diinformasikan oleh pernaskahan. dala kadewaguruan atau suatu kompleks pusat pendidi- Jadi arkeologi sejarah adalah gabungan cara kerja ar- kan. Berdasarkan berbagai pemberitaan maka diketa- keologi yang berbasis artefaktual dengan cara kerja hui bahwa Candi Panataran adalah salah satu mandala sejarah yang berbasis tekstual (South, 1977). kadewaguruan yang sangat penting pada masa Majapa- Langkah inilah yang akan dikembangkan dalam hit. Temuan-temuan mengenai relief yang bernafaskan penelitian ini karena selama ini kajian keagamaan ha- agama Hindu-Buddha dapat mengarah pada indikasi nya bersifat bagian-per bagian, diharapkan dengan bahwa tempat ini digunakan sebagai kuil pemujaan pemikiran di atas maka kita akan mendapatkan infor- sekaligus pusat keagamaan. Relef-relief tersebut dapat masi yang lebih komprehensif sebagaimana tujuan kita perhatikan sebagai sebuah pesan yang sejalan de- jangka panjang penelitian ini untuk merekonstruksi ngan laku seorang guru, brahmana ataupun rsi. Hal ini kehidupan sosial-budaya khususnya agama masa dapat dilihat dan dijelaskan sebagaimana uraian berikut:

Relief Tempat Tema Sifat Keterangan Ajaran mengenai Sang Satyawan Pendapa Teras Kawiratin Hindu-Saiwa upaya melepaskan hawa nafsu Ajaran mengenai Bubuksah- cara-cara mencapai Pendapa Teras Kalepasan Saiwa-Buddha Gagang aking kalepasan dengan laku Pendapa Teras Ajaran mengenai cara-cara mencapai Sri Tanjung Batur Teras hal Kalepasan Hindu-Saiwa kalepasan dengan III kesetiaan Pendapa Teras Candi Naga Tantri Ajaran mengenai Arca hala-hayu Hindu-Saiwa Kamandaka moral Dwarapala Candi Induk Adegan mengenai Cerita Panji Pendapa Teras Bhakti? Hindu-Saiwa percintaan Adegan mengenai keutamaan Ramayana Candi Induk Dharma-adharma Hindu mengalahkan kejahatan Adegan mengenai Krsnayana Candi Induk rajalaksmi Hindu peranan sakti sebagai energi kerajaan

Tabel 1. Tema Relief di Candi Panataran

109 JURNAL STUDI SOSIAL, Th. 6, No. 2, Nopember 2014, 107-119

Candi Panataran telah disinggung keberadaan- dua kelompok yaitu kawinaya dan kabajradaran. Bangu- nya dalam prasasti Palah yang berangka tahun 1197 nan suci yang diawasi oleh mantri her haji terdiri dari M. Prasasti Palah dikeluarkan pada masa Kadiri, mes- Sumpud, Rupid, Pilan, Pucangan, Jagaddita, Pawitra, kipun berbeda 121 tahun namun sumber informasi dan Butun. Pada tempat ini ditemukan arca pemujaan dari prasasti ini ternyata berhubungan dalam hal fung- atau perwujudan lingga (linggapranala) dan dipimpin si dari bangunan dan nama yang digunakan dalam oleh seorang mahaguru. Bangunan-bangunan suci ini candi ini. Prasasti ini secara singkat memuat tentang sudah ada sejak masa lampau. raja Srngga yang disaksikan oleh beberapa pejabat Status-status tempat suci tersebut terbagi ke dalam kerajaan diantaranya Danghyang Palaka yang telah dua pengawasan, yaitu ddharma haji dan ddharma lpas menurunkan perintah kepada seluruh pejabat rakryan (Pigeaud, 1960-I; Santiko, 1986:151). Ddharma haji ada- ri pakiran-kiran terutama Rakryan Kanuruhan Empu lah tempat suci yang menjadi pengelolaan negara dan Iswara Mapanji Jagwata. Titah raja tersebut adalah diperuntukkan bagi raja dan anggota keluarga kera- penetapan status sima bagi tanah dan agar diteruskan jaan, semuanya berjumlah 27 bangunan suci. Sedang- kepada Sang Hyang Catur Lurah karena telah berjasa kan ddharma lpas merupakan bangunan suci yang menjalankan perintah raja untuk melakukan puja dibangun di atas tanah wakaf (Budhana) yang diperun- terus-menerus setiap hari di tempat keberadaan Padu- tukkan bagi rsi-saiwa-sogata yang berfungsi untuk ka Bhatara di Palah, yang dilanjutkan dengan melakukan pemujaaan dewa (naiwedya) dan untuk mata pencaha- upacara pratistha pada prasasti batu. Raja juga bergem- rian (pakajiwita) mereka (Santiko, 1999:11). Ddharma lpas bira atas usaha pejabat ini karena telah menjaga per- terdiri tiga kelompok tadi, yaitu bangunan-bangunan buatan besar yang ditujukan untuk penyempurnaan suci yang diawasi oleh dharmadyaksa ring kasaiwan, dhar- Paduka Bhatara di Palah. madyaksa ring kasogatan, dan mantri her haji. Selain itu, Pemberitaan tentang keberadaan Candi Panata- ada terdapat ddharma lpas yang berstatus swatantra dan ran juga disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama tidak terdapat arca pemujaan. Bangunan-bangunan pupuh 17 bait 5, yang menceritakan kunjungan raja tersebut adalah: Hayam Wuruk setiap akhir musim penghujan untuk 1. Bangunan yang beraliran Siwa, yaitu terdiri melakukan puja kepada Hyang Acalapati (Pigeaud, dari: Bangwan, Tungkal, Siddayatra, Jaya, Siddhaha- 1960-I:21). Candi ini disebut lagi dalam pupuh 61 bait jeng, Lwah Kali, Twas, Wasista, Palah, Padar, dan 2 yang mengisahkan perjalanan kembali Raja Hayam Siringan. 2. Bangunan yang beraliran Buddha, yaitu Wuruk ke Palah pada tahun 1361 M, serta pupuh 78 terdiri dari: Wanjang, Bajrapura, Wanora, Makeduk, bait ke 2 yang menguraikan tentang status Palah dalam Han-ten, Guha, Jiwa, Jumput, Shobha, Pamutaran, dan sistem pengelompokan bangunan-bangunan sakral Baru. 3. Bangunan yang beraliran Karsian, yaitu masa Majapahit. terdiri dari: Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagiri, Cen- Selanjutnya naskah lain yang menyebutkan Candi ting, Wekas, Wandira, Wandayan, Gatawang, Kulam- Panataran adalah Kakawin Parthayajnya yang berupa payan, dan Talah. 4. Bangunan suci yang termasuk ke kisah pendahuluan dari cerita Arjunawiwaha. Peng- dalam tanah suci kerajaan, terdiri dari: Dharmarsi, gambaran candi Panataran tidak secara langsung tapi Sawungan, Belah, Juru, Sidda, Srangan, Waduri, Age- berupa ilustrasi samar tentang penggambaran sebuah lan, Gandha-Kerep, Harasala, dan Nampu. pertapaan yang indah dengan halaman yang luas dan Masa Majapahit juga mengenal daerah yang terdapat bangunan meru yang berjumlah banyak ber- berstatus sima dan menjadi tempat bagi berdirinya atap sebelas. Pada dindingnya terukir indah adegan sebuah bangunan suci. Termasuk ke dalam bangunan Ramayana dan pada bagian yang lain digambarkan sima jenis ini adalah Sima Nadi, Abhaya, Tiyang, Paku- adegan Krsnayana. Gambaran tentang komplek bangu- wukan, Simakiyal, Suci, Kawiri, Barat, dan Kacapa- nann beratap meru dengan penggambaran relief ter- ngan (Pigeaud, 1960-III:90). Daerah bagi pemujaan sebut mengingatkan pada Candi Panataran yang ada Wisnu juga terdapat secara khusus yaitu Kalating, di Blitar (Adiwimarta, 1993:18-19). Batwan, Kamangsyan, Batu, Tanggulyan, Dakulut, Ga- Kakawin Nagarakretagama pupuh 73-78 (Pigeaud, luh, dan Makalaran (Pigeaud, 1960-III:91). Daerah lain 1960-I:57-60) menjelaskan tentang kelompok bangu- yang terdapat pada masa Majapahit adalah daerah nan suci pada masa Majapahit. Bangunan suci tersebut yang beranggotakan komunitas bagi pemujaan terha- dibedakan menjadi tiga sesuai dengan status penga- dap para leluhur. daerah ini terdiri atas: Parung, wasnya, yaitu dharmadyaksa ring kasaiwan mengawasi Lunggih, Passajyan, Kelut, Andelmas, Paradah, Gene- bangunan-bangunan suci bernafaskan agama Siwa, ng, dan Pangawan (Pigeaud, 1960-III:91). dharmadyaksa ring kasogatan mengawasi bangunan- Sebuah daerah khusus bagi komunitas suci bangunan suci bernafaskan agama Buddha dan ba- pemeluk agama juga dikenal pada masa Majapahit, ngunan-bangunan suci yang berbentuk karsian (ba- daerah seperti ini disebut sebagai mandala. Terdapat ngunan suci dari para rsi). empat mandala utama (caturbhasmamandala) yang terdi- Bangunann suci yang diawasi oleh dharmadyaksa ri dari Mula-Sagara, Kukub, Sukayajnya, dan Kasturi. ring kasaiwan yang terdapat arca siwa (pratista siwa) Tempat-tempat tersebut diperuntukkan bagi para rsi. terbagi dalam empat bangunan yaitu kutibalai, parya- Selain itu terdapat pula tempat untuk para pertapa ngan, prasada haji, dan spatikeyang. Bangunan suci yang (Katyagan) yang terdiri dari Pacira, Bulwan, Luwanwa, diawasi oleh dharmadyaksa ring kasogatan dibagi dalam dan Kupang. Keempatnya dikenal dengan nama Kat-

110 Deny, Slamet, Agus, Ninny, Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit yagan Caturasrama. Nagarakretagama juga menginfor- dentifikasikan Candi Panataran sebagai pusat keaga- masikan adanya desa yang didiami oleh para tabib maan karena tetap didatangi oleh para pemeluk Hin- yaitu dikenal dengan nama Janggan. du hingga masa akhir Majapahit. Berdasarkan gambaran tersebut maka dapat Selanjutnya berdasarkan unsur-unsur yang dapat diduga kuat bahwa Candi Panataran termasuk dalam dikenali sebagai ciri-khas sebuah mandala kadewagu- kelompok pusat pendidikan keagamaan pada masa ruan maka dapat kita indikasikan bahwa Candi pana- Majapahit. Hal ini diperkuat dengan berita yang di- taran adalah salah satu pusat keagamaan masa Maja- muat dalam Naskah Bhujangga Manik yang mengi- pahit sebagamana berikut:

Penanda Uraian Artefak Pendukung Kompleks utama dalam 3 halaman dengan luas berkisar 1 ha, kemungkinan besar kompleks ini Situs utama menampakkan lebih luas pada masa lampau karena banyak level halaman, beberapa Halaman Luas ditemukan kepurbakalan baik struktur maupun bangunan besar dan temuan- artefak lepas di sekitarnya temuan lepas Hal ini mengindikasikan sebagai kompleks pendidikan (ajar) yang luas Masih ditemukan pecahan gerabah dan gerabah di halaman candi, beberapa disimpan di museum Temuan Gerabah & dan disebutkan dalam laporan pemugaran Temuan pecahan gerabah & Keramik Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas keramik manusia dalam jangka waktu yang panjang (komunitas) Ditemukannya bangunan pendapa sebagai indikasi sebagai panggung, bangunan teras sebagai bale-bale, candi sebagai pusat keagamaan, patirthan sebagai bangunan penyucian Temuan bangunan, relief Temuan Bervariasi Temuan relief bernafaskan keagamaan dalam dan arca bernafaskan dalam konteks agama berbagai aliran agama keagamaan Temuan arca dewa sebagai aspek pemujaan Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas manusia dalam jangka waktu yang panjang (komunitas) Candi Panataran terletak di lereng Gunung Keletakannya terpisah dari Kampud (Kelud) kekerapan temuan di Jauh dari keramaian Hal ini mengindikasikan kesesuaian prasyarat selatannya (Blitar) dan sebuah mandala kadewaguruan Barat Daya (Tulungagung) Candi ini diberitakan dalam prasasti dan pernaskahan sehingga dikenal sebagai Rabut Prasasti Palah, kakawin Diberitakan dalam (kompleks suci) Palah Nagarakretagama, kakawin Naskah Hal ini mengindikasikan fungsinya sebagai Parthayajnya, Naskah mandala kadewaguruan dibuktikan oleh data Bhujangga manik tekstual Tabel 2. Unsur mandala kadewaguruan di Candi Panataran

Pusat Pendidikan Keagamaan di Situs Gua Pasir masa percaturan politik, yaitu menentukan arah perkem- Majapahit bangan bangsa dan negara, dalam skala apapun pe- Gua Pasir dapat kita identifikasikan sebagai salah ngertian ini dipahami. Di pusat ini, fungsi dari berba- satu pusat kegiatan pendidikan, keagamaan dan gai kemudahan serta tuntutan keunggulan yang terus susastra masa Majapahit yang terlepas dari wilayah menerus, biasanya terhimpun pula keutamaan-keu- pusat atau dapat kita kenali sebagai pinggiran. Hal tamaan dalam berbagai sektor kehidupan bangsa ini mungkin sekali sebagai tempat aktifitas para rsi (Sedyawati 2001,25). Kemajuan kesusasteraan misal- yang biasanya trlepas dari struktur birokrasi pusat. nya, dapat dilihat sebagai fungsi dari peningkatan Pengertian pusat dan pinggiran di dalam proses kekuatan politik di pusat yang bersangkutan. Namun sejarah lebih dikaitkan dengan kepentingan kekuasa- politik hendaknya tidak menjadi satu-satunya faktor an politik. Artinya, pusat adalah tempat berhimpunan penentu berbagai pemikiran yang mendasari anca- kekuatan-kekuatan yang menentukan jalannya ngan untuk memisahkan identifikasi pusat; ekonomi,

111 JURNAL STUDI SOSIAL, Th. 6, No. 2, Nopember 2014, 107-119 agama, ataupun budaya yang mempunyai andil. adalah tempat untuk mengasingkan diri dan bertapa. Dengan demikian dalam sebuah satuan kemasya- Perbedaannya adalah apabila patapan adalah tempat rakatan bisa terdapat pusat-pusat yang berbeda untuk perorangan mengasingkan diri dan bertapa untuk ja- masing-masing sektor kehidupan tersebut. Pusat rak waktu tertentu sehingga memperoleh yang di- kegiatan sastra tidak hanya harus dilihat di pusat- inginkannya sedangkan mandala adalah sebuah kom- pusat kekuasaan politik, melainkan juga dapat dilihat pleks perumahan pertapa yang sifatnya permanen. di pusat-pusat jenis lain (Sedyawati 2001,26). Para pertapa itu disebut tapaswi (tapa) dan tapi (Soepo- Kesusasteraan Jawa berkembang di dua pusat ke- mo 1977,66-67; Santiko 1986,3). budayaan, yaitu lingkungan keraton (dalam perannya Keadaan lingkungan suatu mandala dapat ditafsir- sebagai pusat kekuatan politik) dan lingkungan luar kan dari uraian kakawin Nagarakrtagama, Arjunawijaya keraton. Sumber tertulis yang berasal dari masa lalu dan Sutasoma. Mandala, terletak di tengah hutan yang memberi gambaran yang jelas mengenai hal ini. Karya rindang dan asri, pondok-pondok teratur berjajar. Di sastra masa Jawa Kuno lebih dimungkinkan berkem- tiap rumah terdapat serambi tempat orang duduk- bang di lingkungan keraton karena belajar menggu- duduk, tiang-tiang dihias relief cerita yang indah, di bah sajak-sajak dianggap sebagai suatu bagian mutlak serambi-serambi juga biasanya menjadi tempat pem- dalam pendidikan seorang bangsawan. Mereka tidak bacaan kakawin. Banyak bangunan di bagian depannya hanya harus menikmati keindahan puisi serta pandai ditulisi nama panggilan penghuninya, juga terdapat membawakannya, melainkan juga harus dapat menu- tulisan pañcâksara (lima huruf membentuk na-ma-si- lis puisi sendiri, mengekspresikan perasaannya tanpa wa-ya). Di halaman pañcâksara itu tumbuh bunga-bu- kesukaran dan secara spontan dalam sebuah kakawin ngaan, antara lain nagakusuma yang tumbuh di tepian (Zoetmulder, 1983:180). kolam, juga terdapat pohon kelapa gading yang ren- Namun adapula para kawi (pengarang) profe- dah buahnya lebat berwarna kuning (Nagarakrtagama sional yang karya-karyanya sampai pada kita saat ini, 32;4-5; Arismunandar 2001,102). mereka itu tinggal di keraton, tetapi bukan anggota Berdasarkan data dari berbagai karya sastra, Soe- keluarga raja atau bangsawan. Mereka termasuk pomo menafsirkan bahwa mandala merupakan per- kalangan pejabat, petugas dan hamba yang mengelili- kampungan bagi kaum agamawan. Mandala, berpusat ngi sang raja dan banyak di antara mereka juga meme- pada tapowana tempat tinggal mahârsi yang mungkin gang suatu jabatan religius. Dalam kalangan inilah terletak di bagian puncak bukit atau lereng tertinggi bahasa Sanskerta dipelajari dan sastra dalam arti yang di suatu wilayah. Di sekitar tapowana , disebut pajaran paling luas dikembangkan; pengutamaan diberikan adalah tempat untuk memberi pelajaran-pelajaran pada teks-teks religius yang dipakai dalam pelaksa- keagamaan, dan pada lereng agak ke bawah terdapat naan upacara-upacara atau merupakan bahan untuk rumah-rumah ubwan, kili, tapi yang dinamakan pa- memperdalam dan mengajarkan agama (Zoetmulder ngubwanan (Arjunawijaya 23; Arismunandar 2001,102). 1983:182). Pendeta perempuan dan laki-laki yang masih dalam Dari sumber tertulis masa Jawa Kuno baik tahap belajar (œisya) menurut Nagarakrtagama, namanya prasasti maupun naskah dapat diketahui bahwa ada endang dan kaki. Mereka tinggal dalam pedukuhan ka- pula para pujangga yang hidup jauh dari keramaian, um agamawan tersebut yang dikenal dengan sebutan di tempat-tempat sunyi atau di lereng-lereng gunung. mandala atau kadewagurwan. Mereka ini telah meninggalkan kehidupan duniawi Selain berfungsi sebagai pusat pendidikan aga- untuk membaktikan diri pada hal-hal rohani ma, mandala juga merupakan tempat penulisan karya (Wiryamartana 1990,25). sastra. Kitab Tantu Panggelaran sebagai contoh karya Pada masa Majapahit (abad ke-14-15 Masehi) per- sastra yang dihasilkan di lingkungan luar keraton, kampungan kaum agamawan disebut mandala, yang menyebutkan bahwa karya tersebut telah selesai ditu- seluruhnya berjumlah 12 macam termasuk di dalam- lis dikarang kabhujanggan (daerah kepujanggaan) nya caturbhasma mandala, yaitu: mula-sagara, kukub, (Arismunandar 2001,106). sukayajna, kasini (Pigeaud 1962,57-128). Keempat jenis Dari penelitian yang pernah dilakukan dengan mandala ini dianggap trpenting di antara mandala- mengambil contoh kakawin Arjunawiwaha dan Bharata- mandala lainnya. Mandala yang dimaksudkan ini yuddha sebagai karya sastra dari lingkungan keraton adalah sebuah wanasrama (Nagarakrtagama XXXII,2a) dan Tantu Panggelaran, Korawasrama dan Serat Manik- yaitu tempat sakral milik para rsi. Menurut naskah maya sebagai karya sastra dari lingkungan luar keraton, Rajapatigundala, sebuah naskah undang-undang yang di dapat suatu perbedaan awal dari karya sastra ter- dikarang oleh raja Bhatati (nama lain Krtanagara) dan sebut. Perbedaan yang jelas adalah pada alur cerita. disusun kembali pada jaman Majapahit, mandala itu Karya sastra keraton berjenis kakawin sehingga alurnya dipimpin oleh seorang siddapandita yang disebut lebih terkendali, sedangkan karya luar keraton lebih dewaguru; karena itu mandala dikenal pula sebagai lazim berbentuk prosa sehingga mempunyai kebeba- kadewaguruan (Pigeaud 1962,87-89; Santiko 1986,3). san lebih terbuka karena tidak terikat alur, tetapi ter- kendali oleh topik. Dari segi isi, diperoleh gambaran, Soepomo pernah membicarakan jenis-jenis wa- karya sastra keraton lebih mengembangkan pemikiran nasrama, termasuk mandala, dan menurut pendapatnya mengenai aspek keagamaan yang mengarah kepada patapan dan mandala tidak berbeda, karena keduanya penjelasan mengenai hakekat tertinggi, nilai-nilai

112 Deny, Slamet, Agus, Ninny, Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit estetika dan nilai etika sedang karya sastra luar kera- anggap sebagai suatu bagian mutlak dalam pendi- ton lebih terkait dengan masyarakat pertanian dan ter- dikan seorang bangsawan. Mereka tidak hanya menik- jadinya alam semesta, serta mitos-mitos tempat-tem- mati keindahan puisi serta pandai menulis puisi sen- pat suci dan juga ajaran budi pekerti (Tim peneliti diri, mengekspresikan perasaannya tanpa kesukaran 1998,151-152). Walaupun adapula kegiatan penyadu- dan secara spontan dalam sebuah kakawin (Zoetmul- ran naskah-naskah sastra dari lingkungan keraton. der 1983;180). Tantu Panggelaran sebagai hasil karya sastra dari Di sisi lain, naskah sastra memberi keterangan lingkungan luar keraton yang digubah pada akhir ma- mengenai suatu lingkungan jauh di luar keraton, jauh sa Majapahit (abad ke-16 Masehi) menyebutkan nama dari keramaian, di tempat-tempat sunyi dan lereng- gunung-gunung sebagai lokasi mandala-mandala peng- lereng gunung terdapat komunitas yang menghasil- hasil karya sastra. Karena naskah ini digubah di Jawa kan karya sastra. Pujangga-pujangga ini telah mening- Timur, maka nama daerah-daerah yang disebutkan galkan kehidupan duniawi untuk membaktikan diri rata-rata berada di Jawa Timur, yaitu gunung Maha- pada hal-hal rohani (Wiryamartana 1990,25). Lingku- meru, gunung Katon, gunung Wilis, gunung Kampud, ngan ini secara umum disebut skriptoria, pusat-pusat gunung Kawi, gunung Arjuna, gunung Kemukus dan pembelajaran (study center) atau padepokan. gunung Kailasa (Tim Peneliti 1998,125). Sedangkan Menurut Kakawin Nagarakrtagama pupuh LXXVIII: mandala-mandala yang disebutkan adalah mandala di 2-7, terdapat dua kelompok besar bangunan suci dan Hahah, Geresik, dan Sunyagiri yang terletak di lereng- tempat suci yaitu bangunan atau tempat suci yang lerang gunung Mahameru, mandala Labdawara dan diawasi langsung oleh pemerintah dan kelompok ba- rabut Gnting di gunung Kawi, mandala Manguh di lere- ngunan di luar pengawasan pemerintah (swatantra ng sebelah utara gunung Wilis, mandala Panasagiri di sthiti), ini termasuk mandala, katyagan, jangan dan seba- gunung Nangka, mandala di gunung Manuñjang, dan gainya. Bangunan dan tempat suci yang diawasi oleh mandala di Dindug (Arismunandar 2001,107). pemerintah adalah dharma haji atau dalm, dan dharma Serat Manikmaya sebagai contoh lain, yang ditulis lpas. Dharma haji adalah bangunan dan tempat suci pada tahun 1794 (masa Kartasura) yang isinya mem- untuk keperluan raja dan keluarganya, seluruhnya punyai kemiripan dan kutipan dari Tantu Panggelaran, terdapat 27 dharma haji masing-masing diawasi oleh namun ditulis dalam bahasa Jawa Baru. Karya ini seorang sthapaka dan seorang wiku haji dan seluruh digubah di suatu lokasi diluar lingkungan keraton di dharma haji diawasi oleh seorang dharmadhyaksa (Pige- Jawa Tengah, menyebut ada 18 gunung yang berada aud, 1960;57-58; Santiko, 2006). Dharma lpas adalah di Jawa Tengah, sangat mungkin pada gunung-gunu- bangunan atau tempat suci yang didirikan di atas tanah ng tersebut terletak mandala-mandala tempat penghasil wakaf (bhudana) yang diperuntukan para rsi-siva- karya sastra, yaitu : jamur dipa, gunung Tampora, gu- sogata, yang berfungsi untuk pemujaan dewa (naiwed- nung Halahulu, gunung Cirebah, gunung Pragota, gu- ya) dan untuk matapencaharian (pakajiwita) mereka nung Kendheng, gunung Sumbing, gunung Merapi, (Santiko 2006). gunung Merbabu, Lawu, Kadiri, Munya, Barcah, So- Menurut Soepomo, berdasarkan data dari Kaka- harmi, Mardi Wulangan, dan gunung Kelud, Semeru win Arjunawijaya pupuh XXVIII:1-2 , di samping (Tim Peneliti 1998,125). bangunan dan tempat suci yang dikelola langsung Tinggalan sumber tertulis di Jawa masa lalu beru- oleh pemerintah, terdapat bangunan dan tempat suci pa prasasti dan naskah mengindikasikan berasal dan di luar pengelolaan pemerintahan pusat. Kakawin berkembang dari dua lingkungan sosial yang berbeda, Nagarakrtagama tidak menyebut secara eksplisit, tetapi lingkungan keraton dan lingkungan luar keraton. Me- disebut dengan kata milwang yang berarti ‘tambahan nurut Edi Sedyawati, sejak masa Hindu-Buddha awal, lagi’ (pupuh LXXVII;26). Menurut Pigeaud, tempat perkembangan kemasyarakatan di Jawa mempunyai suci yang disebut setelah kata ‘milwang’ berada di luar implikasi ketatanegaraan (dalam pengertian selonggar- kekuasaan pengawasan pemerintah. Dua kalimat sima longgarnya) yaitu terjadinya perbedaan perkem- tan pratistha dan swatantrasthiti dianggapnya sebagai bangan pusat dan pinggiran, dalam pengertian bahwa penjelasan bagi seluruh jenis tempat suci berjumlah pusat jelas-jelas lebih cepat dan terstruktur mengambil 12, di antaranya adalah mandala (Santiko 2006). citra ke Hindu-an atau ke Buddha-an dan ‘membim- Komunitas manusia dalam pengambilan keputu- bing pinggiran’ dalam proses akulturasi itu (Sedyawati, san untuk menempatkan dirinya dalam satu ruang ed.2001;26). Pada tahap berikutnya terjadi pula per- bisa didasarkan atas pertimbangan teknologis, sosial kembangan kekuatan dari ‘pusat-pusat kecil ‘ di ping- dan ideologis, atau dengan kata lain pertimbangan giran. Adanya pusat-pusat keagamaan di luar keraton, budaya. Di dalam kajian arkeologi, hanya dapat di- di daerah pedesaan sudah dikenal pada waktu itu amati benda-benda mati yang sampai pada kita seka- yang mewujud sebagai institusi pusat keagamaan di rang. Melalui benda-benda arkeologi yang tersebar luar keraton, di daerah pedesaan. dalam bangunan dan halamannya dan atau benda- Lingkungan keraton sebagai pusat kekuatan po- benda arkeologi yang tersebar dalam situs, serta ben- litik mempunyai kepentingan mengayomi serta me- da-benda arkeologi dan atau situs-situs yang tersebar ngembangkan karya sastra karena selain berfungsi dalam satu wilayah atau kawasan, para ahli mendes- sebagai sarana legitimasi kekuasaan, karya sastra di- kripsikan dan menganalisis bentuk persebarannya

113 JURNAL STUDI SOSIAL, Th. 6, No. 2, Nopember 2014, 107-119 serta hubungannya untuk kemudian menafsirkan dan 3. Pendorong penulisan prasasti; pada prasasti berusaha menjelaskan mengapa persebarannya sima atau jayapattra dan lainnya yang dikeluarkan demikian(Mundardjito 1995,24) oleh pusat kerajaan agar maklumat raja disebar Dengan demikian, keterpisahan kewenangan an- luaskan dan ditaati oleh rakyat hingga akhir zaman, tara pusat (lingkungan keraton) dan pinggiran (ling- selain itu juga dapat menjadi pegangan si penerima kungan luar keraton) dapat diamati dengan menyi- prasasti supaya tidak diganggu gugat hak nya di mak perbedaan produknya yaitu tinggalan yang sam- kemudian hari. Apabila prasasti yang mula-mula telah pai pada kita, yaitu: rusak, maka ada kemungkinan disalin ulang dibahan lebih awet. Prasasti yang dikeluarkan oleh lingkungan 1. dimana prasasti dan naskah tersebut dibuat luar keraton ditulis oleh kaum cerdik cendikia, kaum 2. bagaimana sifatnya agamawan yang tinggal di skriptoria-skriptoria di- 3. faktor-faktor pendorong penciptaan maksudkan menjadi pengajaran moral pada masya- 4. bagaimanakah dinamika antara pusat dalam kai- rakat umum. Namun adapula prasasti yang dipahat- tan dengan perkembangan karya sastra (Sedyawa- kan di batu yang berisi ungkapan perasaan cinta ti, 2001;27) seorang calon pujangga. Tidak sedikit prasasti-prasasti batu masa Maja- 4. Dinamika antara pusat dan skriptoria dapat pahit ditengarai dihasilkan oleh komunitas lingku- di-tengarai pada bentuk aksara dan pemakaian (pe- ngan luar keraton/pinggiran. Walaupun perbedaan milihan) kata-kata Jawa Kuna. Aksara Jawa Kuna yang produk penghasil karya sastra antara pusat dan ping- dituliskan oleh citralekha kerajaan, tertata rapi dan giran sangat jelas diutarakan di dalam karya sastra, memperlihatkan ciri yang jelas pada setiap pemerin- namun beberapa kriteria perbedaan tersebut di atas tahan seorang raja sedangkan aksara-aksara dari sangat dimungkinkan diterapkan pada hasil prasasti- prasasti luar keraton sangat bervariasi dengan corak prasasti yang secara umum dikeluarkan pada masa khusus yang sangat mirip dengan aksara pada naskah- Majapahit. naskah lontar dari skriptoria Merapi-Merbabu atau aksara Buda atau aksara Gunung (Pigeaud) yang ber- Mengacu pada 4 kriteria perbedaan produk (pra- kembang pada abad ke-16-18. Perbedaan juga terlihat sasti), maka kenyataan yang dijumpai adalah : pada pilihan bahasa yang dipergunakan, kata-kata 1. prasasti-prasasti yang berasal dari pusat yang dipilih oleh citralekha kerajaan adalah kata-kata kerajaan dibuat di pusat kerajaan atau dipahat di baku yang biasa dipergunakan untuk menuliskan daerah yang dijadikan sima oleh citralekha raja, pada maklu-mat sedangkan kata-kata yang dipilih oleh umumnya prasasti-prasasti tersebut ditemukan di citraLekha di skriptoria umumnya lebih sederhana daerah-daerah yang diduga merupakan pusat kera- (Susan-ti 2001,205; 2008,5). jaan atau di daerah yang mendapat anugerah sima. Walaupun prasasti-prasasti Jawa Kuna yang di- Walaupun seringkali prasasti-prasasti tersebut sudah hasilkan oleh skriptoria (mandala) tidak berjumlah ditemukan tidak pada tempat semula. Sedangkan banyak, namun persebarannya dapat memberikan prasasti-prasasti yang berasal dari lingkungan luar informasi mengenai lokasi dan kronologi dari skrip- keraton (skriptoria) seringkali ditemukan di lokasi toria-skriptoria tersebut. Identifikasi lokasi dapat di- skriptoria. Perbedaan fisik antara prasasti-prasasti peroleh dari perbandingan antara tempat ditemukan- yang dihasilkan oleh kedua lokasi tersebut, adalah nya prasasti-prasasti tersebut dan nama-nama tempat bahwa prasasti yang berasal dari lingkungan keraton yang disebutkan dalam naskah sastra, dalam hal ini umumnya dipahat pada batu berukuran lebih besar naskah Nagarakrtagama dan catatan seorang pujangga yang diben-tuk tertentu (misalnya stele, blok dan lain- Sunda, Bujangga Manik, yang mengunjungi pusat- lain) serta dihaluskan permukaannya. Sedangkan pusat studi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedang- prasasti-prasasti batu dari pinggiran pada umumnya kan perkembangan bentuk aksara dari prasasti-pra- ber-bentuk batu alam, bisa dihaluskan permukaannya sasti tersebut sekaligus memberi keterangan relatif atau tidak. mengenai kronologi skriptoria. Perkembangan bentuk 2. adapun sifat-sifat dari prasasti-prasasti terse- aksara dapat dilakukan dengan meneliti aksara deng- but, prasasti Jawa Kuna yang dikeluarkan oleh raja, an mempergunakan metode dinamis yaitu mengkaji pada umumnya merupakan maklumat penetapan aksara berdasarkan bentuk, duktus, sudut tulisan, uku- suatu daerah menjadi sima (perdikan), atau bisa juga ran dan ketebalan aksara (van der Mollen 1985) prasasti-prasasti tersebut berisi keputusan pengadilan Prasasti-prasasti yang dihasilkan oleh skriptoria, atau tanda pelunasan hutang. Sifat prasasti tersebut yang sampai pada kita saat ini adalah : prasasti Gerba, mengikat dan perlu diketahui rakyat. Sedangkan prasasti Widodaren, prasasti Damalung/Palmaran prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh skriptoria, 1371 Œaka, prasasti-prasasti Pasrujambe, yang meru- pada umumnya berisi tentang petuah-petuah, ajaran pakan prasasti-prasasti singkat berjumlah 19 buah, moral atau bisa juga hanya merupakan penunjuk prasasti Tempuran 1388 Œaka dan prasasti-prasasti nama tempat suci (Susanti 2008,2) Tujuannya adalah di kompleks candi (1363 Œaka). Temuan-temu- untuk memberi nasehat bagi siapapun yang membaca. an prasasti lain yang berasal dari skriptoria masih mu- ngkin dijumpai lagi mengingat prasasti-prasasti yang ada sekarang tersebar di daerah Jawa Tengah dan Jawa

114 Deny, Slamet, Agus, Ninny, Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit

Timur bahkan Jawa Barat. Pasir adalah salah satu mandala pada masa Majapahit Jadi mungkin dapat kita indikasikan bahwa Gua berdasarkan uraian unsur pembentuk mandala kade- waguruan berikut:

Penanda Uraian Artefak Pendukung Kompleks utama dalam 3 halaman dengan luas berkisar 2000 m2, kemungkinan besar kompleks ini lebih luas pada masa lampau Situs utama menampakkan karena banyak ditemukan kepurbakalan baik level halaman, beberapa gua Halaman Luas struktur maupun artefak lepas di sekitarnya, pertapaan dan temuan- utamanya daerah utara hingga sungai temuan lepas Hal ini mengindikasikan sebagai kompleks pendidikan (ajar) yang luas Masih ditemukan pecahan gerabah dan gerabah di halaman gua, baik yang terlihat di permukaan maupun dalam kotak gali Temuan Gerabah & Temuan pecahan gerabah & ekskavasi Keramik keramik Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas manusia dalam jangka waktu yang panjang (komunitas) Ditemukannya struktur bangunan dan gua pertapaan Temuan relief bernafaskan keagamaan Temuan bangunan, relief Temuan Bervariasi Temuan arca dewa sebagai aspek pemujaan dan arca bernafaskan dalam konteks agama Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas keagamaan manusia dalam jangka waktu yang panjang (komunitas) Gua Pasir terletak di lereng Pegunungan Keletakannya dalam pola Wajak Kidul Jauh dari keramaian temuan gua-gua pertapaan Hal ini mengindikasikan kesesuaian prasyarat di selatan Tulungagung sebuah mandala kadewaguruan Candi ini diberitakan dalam naskah namun tidak dikenal namanya sekarang Diberitakan dalam Kakawin Nagarakretagama, Hal ini mengindikasikan fungsinya sebagai Naskah kakawin Kowarasrama mandala kadewaguruan dibuktikan oleh data tekstual Tabel 3. Unsur mandala kadewaguruan di Gua Pasir Pusat Pendidikan Keagamaan di Candi Sanggrahan pupuh 76: 1d disebutkan prasada haji itu adalah Sada- masa Majapahit ng, Panggumulan, Kuti Sanggraha, dan Jayasika. Demi- Dalam kakawin Nagarakrtagama pupuh 76: 1 dise- kianlah nama bangunan Kuti Sanggraha disebutkan butkan nama-nama bangunan suci yang merupakan dalam Nagarakrtagama dan termasuk darmma lpas yang darmma lpas, yaitu candi yang dibangun oleh masya- berbentuk prasada haji. rakat dan disungsung (dikelola dan diramaikan) oleh Di wilayah Tulungagung selatan terdapat bangu- masyarakat pula. Darmma lpas pada zaman Nagarakrta- nan candi yang sekarang tidak utuh lagi, bagian gama digubah (abad ke-14 dalam masa Majapahit) atapnya telah hilang sama sekali, yang tersisa hanya- bentuknya bermacam-macam. Menurut pupuh 76: 1a- lah bagian kaki candi dan tubuh candinya. Di tengah 1b disebutkan nama-nama darmma lpas yang bersifat tubuh candi sekarang ini terdapat lubang besar me- Hindu-Saiva, yaitu Kuti balay di Kanci dan Kapulung- nganga, menurut juru kunci hal itu diakibatkan peng- an, di Roma, di Wwatan, Iswaragrha, Tanjung, di Kuti galian para pencuri harta karun, mereka mengira bah- Lamba dan di daerah Taruna. Pupuh 76:1c menye- wa di bagian tengah candi itu terpendam barang-ba- butkan parhyangan (tempat memuja leluhur), yaitu rang berharga. Setelah digali tentu saja dugaan mereka Kuti Jati, Candi Lima, Nilakusuma dan yang terutama meleset dan lubang itu tetap terbuka hingga sekarang. adalah Harinandana. Sedangkan pupuh 76: 1d menye- Berdasarkan pengamatan terhadap lubang di tengah butkan prasada haji, yaitu bangunan suci untuk para candi, ternyata dapat diketahui bahwa candi itu raja (daerah) yang bentuknya seperti menara. Sangat mempunyai struktur isian dari bata, kemudian ditu- mungkin disebut prasada karena bentuk atapnya yang tup dengan susunan balok-balok batu sebagai batu menjulang tinggi ke atas seperti menara. Bahan atap luar (outer stones) yang membentuk wujud arsitektur bangunannya dapat saja terbuat dari batu/bata atau candi. Candi itu dinamakan candi Sanggrahan atau bahan yang mudah lapuk lainnya. Dalam uraian penduduk setempat menyebutnya dengan candi Pru-

115 JURNAL STUDI SOSIAL, Th. 6, No. 2, Nopember 2014, 107-119 tung atau candi Cungkup, terletak di Desa Sanggrahan, tingkatan-tingkatan atapnya berangsur-angsur me- Kecamatan Bayalango, Tulungagung. ngecil ke atas dan puncaknya diakhiri dengan bentuk Candi Sanggrahan yang masih ada sekarang ini kubus, sebagaimana halnya dengan bangunan candi- mungkin saja sama dengan Kuti Sanggraha sebagai- candi gaya Singhasari. Dugaan itu didasarkan pada mana yang disebutkan dalam Nagarakrtagama pupuh banyaknya pecahan batu dan bata yang ditupuk- 76: 1d. Untuk sampai kepada kesimpulan tersebut di- tumpuk di sisi selatan dan timur bangunan candi. Pen- perlukan argumen yang didasarkan pada data arte- duduk setempat-mungkin berdasarkan pengetahuan faktual dan juga sumber-sumber tertulis, dengan de- nenek moyangnya dahulu-menamakan bangunan ku- mikian diharapkan pemahaman tentang bangunan na itu dengan Candi Prutung, artinya candi yang tidak Candi Sanggrahan dapat lebih diperluas lagi. lengkap karena hilang salah satu bagiannya, yaitu ba- Kakawin Nagarakrtagama pupuh 76: 1d menye- gian atapnya. butkan Kuti Sanggraha dengan diawali istilah kuti. Dalam Kata haji yang menyambung sesudah kata prasad- bahasa Jawa Kuna kata kuti berarti “bangunan suci agama ha, perlu diperhatikan pula. Kata haji dalam bahasa Budha”, atau “biara Buddha” (Zoetmulder 1982, I: 939). Dalam Jawa Kuna berarti “raja, pangeran, bangsawan” (Zoet- hal ini ada kesesuaian antara berita Nagarakrtagama mulder 1982, I: 573). Sebagaimana telah dikemukakan dengan Candi Sanggrahan yang bernafaskan agama Bud- di bagian terdahulu bahwa prasadha haji dalam Naga- dha. Namun Pigeaud (1962: 230) menyatakan: “Kuti Sang- rakrtagama agaknya harus diartikan “bangunan suci graha (In the district of Kadiri some ruins called Candi untuk memuliakan para raja daerah yang atapnya Sanggrahan are found. But then they seem to be Buddhis- menjulang seperti menara”. Apabila benar demikian, tic)”. maka Candi Sanggrahan pun dapat dihubungkan de- Agaknya keraguan Pigeaud untuk menghubung- ngan salah seorang penguasa daerah yang dikenal dalam kan Kuti Sanggraha dengan Candi Sanggrahan karena zaman Majapahit di puncak kejayaannya, ketika Naga- menganggap Kuti Sanggraha termasuk dalam kelom- rakrtagama digubah. pok darmma lpas untuk agama Hindu-Saiva (pratista Dalam pupuh 82:1 Nagarakrtagama kurang lebih Siva) sebagaimana yang disebutkan dalam Nagarakrta- disebutkan bahwa Sri Narendra (Rajasanagara) telah gama pupuh 76: 1a. Padahal dalam pupuh 76: 1d ke- membangun kesejahteraan tanah Jawa, dan ia men- lompok darmma lpas yang disebutkan sudah lain lagi, dirikan berbagai bangunan suci. Dua “pengawal” Ra- yaitu prasada haji yang tidak disebutkan lagi latar jasanagara membuat kompleks bangunan suci, begi- agamanya. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa tupun dua penguasa daerah yang merupakan saudara Kuti Sanggraha yang disebut dalam Nagarakrtagama iparnya juga meniru perbuatan Sri Narapati untuk tidak lain dari candi Sanggrahan sekarang ini. mendirikan kompleks keagamaan. Menurut Pigeaud Kata prasada dalam bahasa Jawa Kuna mempu- dua “pengawal” Rajasanagara itu adalah Bhre Singha- nyai arti yang banyak tergantung konteks dalam sari yang merupakan ayahanda Hayam Wuruk dan kalimatnya. Apabila berada dalam uraian kalimat Bhre Wengker yang merupakan paman dan mertua tentang bangunan-bangunan suci, maka prasada Hayam Wuruk, sedangkan dua raja daerah saudara berarti “candi menara” (Zoetmulder 1982, II: 1402). ipar Hayam Wuruk tidak lain ialah Bhre Paguhan dan Apa yang dimaksudkan dengan candi menara mung- Bhre Matahun (Pigeaud 1962, IV: 263). Penyebutan kin harus dijelaskan terlebih dahulu. Di Bali sampai para raja daerah yang samar-samar itu menjadi jelas sekarang masih berdiri pura di daerah Kapal, sebelah diuraikan dalam pupuh 82: 2, sebagai berikut: barat Denpasar, penduduk menyebutnya Pura Sada “sri nathe singhasaryyanaruka ri sagada darmma Kapal, peninggalan kerajaan Mengwi (abad ke-18— parimita, 19). Pura Sada Kapal berasal dari kata Prasadha Kapal, sri nathen wenker ing Surabhana pasuruhan/ lawan dahulu dipergunakan untuk memuja para leluhur tan i pajan, para raja Mengwi yang telah diperdewa, bentuk asli- buddadistana tekan rawa ri kapulunan/mwan nya semula dipercaya berasal dari masa Majapahit locanapura, (Bernet Kempers 1991: 107). Bentuk bangunan utama- sri nathe watsarikan tigawani magawe tusten para nya mirip dengan candi-candi Majapahit, terutama jana” yang bergaya bangunan suci Singhasari. Bentuk atap- nya menjulang tinggi sama dengan bentuk atap candi Terjemahannya kurang lebih: Kidal, Jawi, dan candi Angka Tahun Panataran. Berda- “Penguasa Singhasari yang tersohor membuat sarkan arsitektur atap yang menjulang tinggi itulah darmma yang tak terperikan di Sagada, kemudian bangunan-bangunan suci demikian dina- Penguasa Wengker yang termashur [membuat dar- makan prasadha. mma] di Surabhana, Pasuruhan, dan tak ketinggalan Sesuai berita Nagarakrtagama Kuti Sanggraha ter- di Pajang. masuk jenis prasadha, apabila Kuti Sanggraha adalah Peneguh Buddha yang berasal dari [daerah] Rawa Candi Sanggrahan, maka dapat diduga bahwa bangu- [membuatnya] di Kapulungan serta [di] Locanapura, nan Candi Sanggrahan dahulu mempunyai atap yang Penguasa daerah Watsari [membuat darmma] di Ti- menjulang tinggi seperti menara. Bahan atap tidak diketahui secara pasti, tetapi sangat mungkin atap ya- gawangi, semua itu membuat rakyat umum menjadi ng menjulang tinggi itu dibangun dari batu atau bata, bersukacita.

116 Deny, Slamet, Agus, Ninny, Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit

Apabila Bhre Singhasari dan Bhre Wengker sudah Di wilayah Tulungagung selatan sekarang ini disebut dengan jelas, maka Bhre Paguhan dan Bhre dijumpai beberapa kepurbakalaan yang bernafaskan Matahun disebutkan secara tersamar. Menurut Pige- agama Buddha. Selain Candi Sanggrahan, ada pula aud kata watsari berasal dari bahasa sansekarta watsara Candi Bhayalango yang menyimpan arca Prajna- yang artinya tahun, jadi Watsari sinonim dengan Ma- paramita telah terpenggal kepalanya, goa Pasir yang tahun. Sedangkan kata buddhadistana agak sukar dije- oleh beberapa sarjana dihubungkan sebagai tempat laskan hubungannya dengan Bhre Paguhan. Kata Bud- pertapaan Rajapatni, nenek Rajasanagara sebagai dha jelas berarti tokoh Buddha, kecuali apabila dibaca pemeluk agama Buddha yang taat, dan arca Tathagata menjadi Sri Nathe Sthana. Sthana berasal dari bahasa dari wilayah Kalidawir (Tulungagung selatan pula) sansekrta yang artinya tempat berdiri, adisthana adalah yang sekarang disimpan di Balai Penyelamatan Benda tempat berdiri yang kokoh, sangat mungkin kata itu Purbakala Kabupaten Tulungagung. Menurut laporan dapat dihubungankan dengan kata Jawa Kuna pageh penduduk setempat masih terdapat beberapa arca yang artinya “kuat, tak dapat beralih tempat”. Pageh Tathagata lainnya di dalam sungai di Kalidawir, arca- kemudian dapat dihubungkan dengan Bhre Paguhan arca itu tergerus aliran sungai ketika banjir sehingga (Pigeaud 1962, IV: 263). sukar dicari kembali. Oleh karena itu kemungkinan Mengenai daerah Rawa, Pigeaud menyatakan besar daerah Rawa yang menjadi wilayah kekuasaan sebagai berikut: “Rawa, the word, meaning swamp, could Bhre Paguhan sang peneguh Buddha memang benar be taken just as well for a common appellative noun as for adalah wilayah Tulungagung selatan. the name of a locality. The official name of the Prince of Pa- Candi Sanggrahan atau Kuti Sanggraha sangat guhan’s domain is not mentioned” (Pigeaud 1962, IV: 264). mungkin juga merupakan pendharmaan bagi Bhre Agaknya Pigeaud lupa bahwa daerah Rawa me- Paguhan, sebagaimana yang dihubungkan mang ada di wilayah Jawa Timur, yaitu nama lama dengan Bhre Wengker dan Candi Tigawangi bagi Bhre dari daerah Tulungagung sekarang ini. Penguasa (bu- Watsari (Matahun). Akan halnya mengapa Candi pati) Rawa masih dikenal dalam zaman kerajaan Ma- Sanggrahan didirikan di atas pelataran yang ditinggi- taram Islam yang berpusatkan di Jawa Tengah. Bahkan kan juga dapat dipahami dengan baik. Candi itu diba- nama Rawa tetap bertahan setelah ditekennya perjan- ngun di daerah dataran rendah dekat rawa-rawa, apa- jian Giyanti tahun 1755 (Moertono 1985: peta hlm.199). bila musim hujan air rawa akan naik dan menggenangi Penggantian nama daerah Rawa menjadi Tulungagu- wilayah tersebut, termasuk area di sekitar Candi Sang- ng baru terjadi diakhir abad ke-19, ketika itu peme- grahan. Pelataran tinggi dibuat agar bangunan candi- rintah Belanda berhasilkan mengeringkan air rawa- nya tidak terkena banjir, dan juga ritus pemujaan yang rawa yang selalu menggenangi wilayah Tulungagung, terjadi di candi tersebut tetap berlangsung baik, wa- terutama di daerah selatan. Dengan demikian nama laupun daerah sekitarnya kebanjiran. Satu hal lagi Rawa berangsur dilupakan digantikan dengan sebu- yang juga patut dipertimbangkan bahwa dengan tan Tulungagung untuk wilayah yang sama. didirikannya candi di atas pelataran tinggi, maka apa- bila musim hujan datang dan banjir menggenangi Sehubungan dengan hal itu agaknya kata budda daerah sekitar candi, maka candi di atas pelataran ter- dalam buddadistana tidak perlu dibaca menjadi Sri Na- sebut bagaikan Gunung Mahameru yang berdiri di the Sthana, dapat saja kata itu diartikan menjadi “pe- tengah Jambhudvipa yang dikelilingi lautan. Atau neguh utama sang Buddha”. Kata stana selain berarti dalam konsep Buddhisme candi itu merupakan rep- “tempat berdiri” arti yang lainnya adalah “kuat, me- lika Mahameru-titik pusat alam semesta-yang dikeli- musatkan, menegakkan, meneguhkan” yang sinomim lingi lautan, sementara di puncaknya tempat bersema- dengan pageh, lalu menjadi pagehan yang mengacu yamnya para dewa. pada Paguhan. Demikianlah wilayah kekuasaan Bhre Paguhan yang dinyatakan oleh Nagarakrtagama adalah Selanjutnya dapat kita indikasikan bahwa Candi Rawa, daerah itu tidak lain dari wilayah Tulungagung Sanggrahan adalah salah satu mandala pada masa selatan yang dahulu memang merupakan dataran ren- Majapahit berdasarkan uraian unsur pembentuk man- dah dengan rawa-rawa yang luas. dala kadewaguruan berikut: Penanda Uraian Artefak Pendukung Kompleks utama dalam 3 halaman dengan Situs utama menampakkan luas berkisar 3000 m2, Temuan pecahan relief level halaman, beberapa sekitar 100 m dari candi mengindikasikan Halaman Luas bangunan dari runtuhan sebagai kompleks yang luas yang terlihat dan temuan- Hal ini mengindikasikan sebagai kompleks temuan lepas pendidikan (ajar) yang luas Masih ditemukan pecahan gerabah dan keramik di halaman candi juga jobong dari Temuan Gerabah & terakota Temuan pecahan gerabah & Keramik Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas keramik manusia dalam jangka waktu yang panjang (komunitas)

117 JURNAL STUDI SOSIAL, Th. 6, No. 2, Nopember 2014, 107-119 (komunitas) Ditemukannya bangunan yang kemungkinan perwara berbentuk stupa candi sebagai pusat keagamaan, Temuan relief bernafaskan keagamaan dalam Temuan bangunan, relief Temuan Bervariasi aliran agama Buddhis dan arca bernafaskan dalam konteks agama Temuan arca Thatagata sebagai aspek keagamaan pemujaan Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas manusia dalam jangka waktu yang panjang (komunitas) Candi Sanggr ahan terletak di wilayah berawa Keletakannya berbatasan di tepi lereng Gunung Wajak Kidul Jauh dari keramaian dengan Gunung Wajak Hal ini mengindikasikan kesesuaian prasyarat Kidul Tulungagung sebuah mandala kadewaguruan Candi ini diberitakan dalam prasasti dan pernaskahan sehingga dikenal sebagai Kuti Diberitakan dalam Sanggraha Kakawin Nagarakretagama, Naskah Hal ini mengindikasikan fungsinya sebagai mandala kadewaguruan dibuktikan oleh data tekstual Tabel 4. Unsur mandala kadewaguruan di Candi Sanggrahan

KESIMPULAN arca semakin meyakinkan sebagai pusat keagamaan. Kehidupan keagamaan masa Majapahit terekam Temuan struktur bata pada halaman diduga kuat seba- dengan detail baik dalam data-data tekstual berupa gai pondasi pemukiman dan pagar keliling kompleks prasasti, naskah maupun kronik asing juga dapat ini hal ini didukung dengan temuan pecahan gerabah diindetifikasi melalui temuan-temuan artefak mau- yang menandakan aktivitas manusia di masa lampau. pun struktur bangunan yang menampakkan kehidu- Sedangkan temuan gua-gua pertapaan mengindi- pan agama tersebut. Berdarkan hal tersebut maka kita kasikan tempat ini sebagai kompleks pertapaan dalam sampai pada pemikiran bahwa keanekaragaman te- konsep wanasrama muan keagamaan tadi berujung pada bagaimana Candi Sanggrahan dianggap sebagai mandala agama tersebut dipelajari dan dimana dipelajarinya. kadewaguruan karena memiliki 3 halaman luas bahkan Rekaman-rekaman data tersebut dapat kita guna- mungkin terhubung dengan beberapa bangunan lain kan sebagai bahan rekonstruksi pusat-pusat pendidi- di sekitarnya. Temuan struktur bata yang diduga seba- kan keagamaan masa Majapahit. Berdasarkan indikasi gai stupa dan juga arca Buddha mengindikasikan yang diketahui dari berbagai naskah maka unsur- kompleks ini adalah pusat keagamaan Buddhis. unsur pengenal sebuah pusat pendidikan keagamaan Temuan gerabah dan juga artefak pendukung menje- (mandala kadewaguruan) adalah: (1) tempatnya luas, laskan tentang adanya komunitas agamawan yang sebagai indikasi memuat kompleks bangunan; (2) melakukan kegiatan keagamaan di sana. Keberadaan- ditemukan gerabah-keramik, sebagai indikasi adanya nya semakin nyata dengan pemberitaan Kakawin Nag- komunitas; (3) ditemukan berbagai artefak keagamaan, rakretagama sebagai salah satu prasadha haji yang sebagai indikasi adanya kegiatan keagamaan; (4) jauh bernama Kuti Sanggraha. dari keramaian, sebagai indikasi syarat wanasrama; dan DAFTAR RUJUKAN (5) diberitakan dalam naskah sebagai indikasi penga- kuan publik. Acri, A. 2010. On birds, ascetics, and kings in Central Candi Panataran dianggap sebagai mandala kade- Java: Ramayana kakawin, 24.95-126 and 25. waguruan karena diberitakan dalam berbagai naskah Dalam Bijdragen tot de Taal-, land- en sebagai rabut Palah yang merupakan pusat keagama- Volkenkunde (Journal of the Humanities and an. Hal ini diperkuat dengan temuan-temuan struktur Southeast Asia and Oceania). Deel 166.4. bangunan yang ditiru oleh pura-pra di Bali. Temuan Leiden: KITLV. relief yang beragam, arca-arca dewa serta pecahan ge- Adiwimarta, S.S. 1993. Unsur-Unsur Ajaran Dalam rabah menandakan suatu komunitas dengan aktivitas Kakawin Parthayajnya. Disertasi. Depok: keagamaannya pada masa lampau. Keberadaannya se- Fakultas Sastra - Universitas Indonesia. bagai mandala kadewaguruan didukung oleh areanya yang luas dan mungkin terkoneksi dengan temuan di Bernet Kempers, A.J., 1959, Ancient Indonesian Art. sekitarnya. Amsterdam: C.P.J.van Der Peet. Gua Pasir dianggap sebagai mandala kadewagu- Hardiati, E.S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II: ruan karena memilki halaman cukup luas dan nyata Zaman Kuno. Edisi Pemuktahiran. Jakarta: sebagai sebuah pertapaan. Adanya relief dan temuan Balai Pustaka.

118 Deny, Slamet, Agus, Ninny, Pusat Pendidikan Keagamaan Masa Majapahit

Krom, N.J., 1923, Inleiding tot de Hindoe-Javaansche sia. Diselenggarakan atas kerjasama antara FS Kunst. Derde Deel. ‘s-Gravenhage: Martinus USU dengan Parisada Hindu Dharma Sumut. Nijhoff. Medan: 27-28 Maret. Munandar, A.A. 2003. Aksamala: Bunga Rampai Karya Sedyawati, E. 2001. Masalah Pusat dan Pinggiran Penelitian: Untaian Persembahan untuk Ibunda dalam Sastra Jawa. Dalam Sedyawati, E.(eds) Prof.Dr.Edi Sedyawati. Bogor: Akademia. Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Munandar, A.A. 2001. “Pusat-pusat Keagamaan Masa Pusat Bahasa dan Balai Pustaka. Jawa Kuno”. Dalam Sastra Jawa: Suatu Sidomulyo, H. 2009. Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Tinjauan Umum. Sedyawati, Edi, dkk. (peny.). Penerbit Widyasastra. Jakarta: Pusat Bahasa dan P.N. balai Pustaka. South, S. 1977. Method and Theory in Historical Archae- Noorduyn, J. 1982. Bujangga Manik’s Journeys ology. New York: Academic Press. Through Java: Topographical Data from an Stutterheim, W.F. 1925. Rama-Legenden und Rama-Re- Old Sundanese Source. BKI 138: 413-442. liefs in Indonesien. 2 Volumes. Munchen: Pigeaud, T.G.TH. 1960—1962. Java in The 14th Century: Muller. A Study in Cultural History. The Nagara- Suleiman, S. 1981. Batur Pendopo . Jakarta: Kertagama By Rakawi Prapanca of Majapahit. Proyek Penelitian Purbakala 1365 A.D. The Hague: Martinus Nijhoff. Supomo, S. 1977. Arjunawijaya. The Hague: Martinus Rahardjo, S. 2010. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Nijhoff dan KITLV. Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Susanti, N. 2008. Skriptoria masa Majapahit Akhir: Komunitas Bambu. Identifikasi Berdasarkan Persebaran Prasasti. Robson, S.O. 1979. “Notes on The Early Kidung Lit- Makalah dipresentasikan pada Pertemuan erature” dalam B.K.I. 135(1), hal. 300-321. Ilmiah Arkeologi, Surakarta. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff. Susanti, N., & Kriswanto, A. 2006. Damalung: Skriptoria Santiko, H. 1986. Mandala (Kadewaguruan) pada pada masa Hindu-Buddha sampai dengan masa Masyarakat Majapahit. Makalah Majapahit. Makalah dipresentasikan pada dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Simposium Internasional masyarakat Arkeologi IV, Cipanas. Pernaskahan Nusantara (Manassa), Bandung. Santiko, H. 1994. “Early Research on Sivaitic Hindu- Van der Molen, W. 1985. Sejarah dan Perkembangan ism During The Majapahit Era” Dalam The Aksara Jawa. Dalam Aksara dan Ramalan Nasib Legacy of Majapahit. Miksic, J dan Endang S.H. dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Proyek Soekatno (Eds.). Singapore: National Mu- Penelitian dan Pengajian Kebudayaan seum of Singapore. Nusantara, Direktorat Jendral Kebudayaan, Santiko, H. 1995. Seni Bangunan Sakral Masa Hindu- Departeman Pendidikan dan Kebudayaan RI. Buddha di Indonesia (Abad VII-XV M): Analisis Wahyudi, D.Y. 2005. Rekonstruksi Keagamaan Candi Arsitektur dan Makna Simbolik. Pidato Guru Panataran masa Majapahit. Tesis tidak Besar. Depok: Fakultas Sastra-Universitas In- diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.‘ donesia Wahyudi, D.Y. 2012. Majapahit dalam Jalinan Sejarah Santiko, H. 2002. Hubungan Ajaran Tutur dengan Nusantara (Indonesia). Makalah disampaikan Fungsi Tempat-tempat Suci Hindu Masa dalam Seminar Nasional Teladan Peradaban Singasari dan Majapahit. Makalah Majapahit di Universitas Negeri Malang, 10 dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah November 2012. Arkeologi IX, Kediri. Wiryamartana, I.K. 1990. Arjunawiwaha: Transformasi Santiko, H. 2006. Agama pada Masa Majapahit. Dalam Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan Majapahit . Jakarta: Indonesian Heri- di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta tage Society, copyright Direktorat Wacana University Press. Peninggalan Purbakala. Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary Santiko, H. 2010. “Agama Hindu pada jaman Singasari Part I & II. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff dan Majapahit”. Makalah diajukan dalam Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Seminar Nasional Kebudayaan Hindu di Indone- Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan

119