Nilai Patriotisme Dalam Geguritan Wira Carita Puputan Margarana
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 NILAI PATRIOTISME DALAM GEGURITAN WIRA CARITA PUPUTAN MARGARANA PERSPEKTIF PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA I Wayan Cika dan I Made Soreyana Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana Jalan Nias 13 Denpasar. Kode Post:80114 Telp/Fax: (0361) 2224121, E-mail : [email protected] (Kode Makalah: P-PNL-163) ABSTRAK Salah satu karya sastra geguritan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (GWCPM). GWCPM sangat menarik untuk dikaji karena GWCPM berada antara fakta dan fiksi, artinya GWCPM ditulis dalam bentuk karya sastra geguritan dan isinya menceritakan fakta sejarah yang benar-benar terjadi, yaitu peristiwa perang antara pasukan I Gusti Ngurah Rai (Pasukan Ciung Wanara) melawan Belanda pada tanggal 20 November 1946. Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif yang dianalisis dengan menggunakan teori semiotika sebagai landasan, dibantu dengan teori objektif, dan ditunjang dengan metode hermeutika. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka untuk mendapatkan naskah dan teks GWCPM. Hasil analisis menunjukkan bahwa GWCPM dibentuk oleh 9 pupuh dengan 15 pergantian. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali, Jawa Kuna, Sansekerta, dan bahasa Belanda. Tema yang diangkat adalah tentang patriotisme, yaitu kegigihan para pejuang untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Para pejuang tidak gentar mengorbankan jiwa dan raganya, demi kepentingan nusa dan bangsa. Selain itu, ditemukan juga nilai kejujuran, kesetiakawanan, nilai religius, nilai persatuan, dan nilai sejarah. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan pedoman dalam membangun karakter bangsa. Amanat yang dapat dipetik adalah agar generasi muda dapat mengetahui, memahami dan meneladani nilai-nilai luhur yang tercermin dalam GWCPM dan bisa menghargai para pejuang yang telah gugur sebagai kusuma bangsa. Kata kunci: nilai patriotisme, geguritan, karakter bangsa. ABSTRACT One of the literary works on geguritan as the research object in the current study is Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (GWCPM). GWCPM is very interesting to study because GWCPM lies between the fact and the fiction meaning it is written in the form of literary work of geguritan and it contains the story of historical facts that really happen in this case the war between I Gusti Ngurah Rai's troop called Ciung Wanara Troop and the Dutch Colonial Troop on the 20th of November 1946. The current study is the qualitative one using semiotic theory as the frame of analysis and supported by the objective theory and hermeneutic theory. The data collection was made by the library research in order to obtain the manuscripts and the text of GWCPM. The findings reveal that GWCPM is formulated into nine rhythmic styles or Pupuhs. The language used is Balinese, Old Javanese, Sanskrit and Dutch. The theme proposed in this geguritan is heroism in struggling and keeping the national independence. The heroes never retreat sacrifice their soul and bodies for the sake of nation. In addition it is also found the values of honesty, solidarity, religion, unity and history. The values could be used as principles in character building of nation. The message adopted is that the young generation know, understand and realize the great values in this geguritan and could appreciate the strugglers of independence who passed away as heroes of nation. Keywords: heroic value, gaguritan, character building. 1. PENDAHULUAN Geguritan yang dipilih dalam penelitian ini adalah Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (selanjutnya disingkat GWCPM). Alasannya adalah (1) GWCPM berada antara fiksi dan fakta. (2) GWCPM benar-benar sebuah geguritan yang mengandung fakta sejarah, yaitu peristiwa perang antara pasukan I Gusti Ngurah Rai melawan Belanda pada tahun 1946. Peristiwa itu terjadi di 2 Margarana Tabanan yang dikenal dengan “Puputan Margarana”. (3) GWCPM banyak mengandung nilai patriotisme yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pembangunan karakter bangsa. Dalam penelitian ini digunakan teori semiotik sebagai landas pijak. Teori tersebut digunakan untuk mengungap makna nilai-nilai patriotisme yang terkandung di dalam GWCPM. Namun, sebelumnya digunakan teori objektif (struktural) untuk mengungkap struktur formal GWCPM. Penerapan teori itu dibantu dengan metode studi pustaka, metode sejarah dan metode hermeneutik. Tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui struktur GWCPM, baik mengenai struktur formal maupun struktur naratifnya. Selain itu, juga bertujuan untuk menggali nilai- nilai yang membangun geguritan tersebut dan untuk mengungkapkan maknanya bagi pembangunan karakter bangsa. 2. Hasil dan Pembahasan 2.1 Struktur formal GWCPM Pengarang menggunakan 9 jenis pupuh untuk membangun GWCPM. Kesembilan jenis pupuh itu adalah pupuh Durma, Sinom, Pangkur, Semarandana, Ginada, Pucung, Maskumambang, Ginanti, dan Dandang Gula. Pupuh Durma digunakan dua kali yaitu pada pupuh I dan IV; Sinom digunakan tiga kali, yaitu pada pupuh II, V, dan X; Pupuh Pangkur digunakan dua kali, yaitu pada pupuh III dan XIII; Pupuh Semarandana digunakan dua kali, yaitu pada pupuh VI dn XIV; pupuh Ginada digunakan tiga kali, yaitu pada pupuh VII, XI, dan XIII; pupuh Pucung digunakan satu kali, yaitu pada pupuh VIII; pupuh Maskumambang digunakan satu kali, yaitu pada pupuh IX; pupuh Ginanti digunakan satu kali, yaitu pada pupuh XV; dan pupuh Dandang Gula digunakan satu kali, yaitu pada pupuh XVI. Kesembilan jenis pupuh itu memiliki struktur (formula) yang berbeda satu sama lainnya, tergantung jenis pupuh, karena tiap-tiap pupuh itu mempunyai persyaratan masing-masing yang disebut padalingsa. Bahasa yag digunakan untuk menggubah GWCPM adalah bahasa Bali ditambah dengan unsur- unsur kosa kata serapan dari bahasa Belanda, seperti NICA (manggalaning NICA, III. 8). NICA adalah istilah lain untuk menyebut Belanda. Termiulen (Termiulen ngaturang surat, III.8). Kata Termiulen adalah nama seorang utusan dari pihak Belanda yang ditugasi untuk mengantarkan surat kepada Pak Rai. Dan, kata Welanda (welandane katah lampus, XIII. 13) untuk menggantikan istilah Belanda, dan apabila terletak di bagian akhir larik atau baris maka kata Welanda itu diganti dengan kata Welandi (III. 1). Hal itu dimaksudkan untuk menyesuaikan bunyi akhir pada larik yang bersangkutan. Gaya bahasa yang digunakan dalam GWCPM, bertujuan untuk menghadirkan atau membangkitkan rasa keindahan (estetik), baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai sistem model pertama, dalam ruang lingkup linguistik maupun sebagai sistem model kedua dalam lingkup kreativitas sastra. Kualitas keindahan (estetik) itu menjadi pokok permasalahan pada tataran bahasa tingkat kedua (sastra), sebab dalam sastralah, diungkapkan secara rinci ciri-ciri bahasa yang disebut estetis (Wellek & Warren dalam Ratna, 2009: 67). Dalam GWCPM ditemukan sejumlah gaya bahasa yang dapat membangkitkan rasa estetis. Gaya bahasa itu adalah sebagai berikut. (1) Gaya bahasa personifikasi adalah suatu corak khusus dari metafora yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, dan berbicara seperti layaknya manusia. Misalnya suara burung seolah-olah memberi isyarat akan kedatangan bahaya, dan seolah-olah memberitahu kepada anggota pasukan agar segera bangun karena musuh akan datang dan siap untuk bertempur (… swaraning paksi, kadi majarang pakewuh, miwah sarat ngawangsitang, ring Pasukan mangda digelis mawungu, dening wenten satruprapta, misadhya angadu jurit (XI. 1). (2) Gaya bahasa persamaan atau simile adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit. Maksudnya, dengan perbandingan yang bersifat eksplisit, ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu denga kata-kata: seperti, bagaikan, laksana, sebagai, dan lain-lain. Jumlah tentara Belanda yang jumlahnya ratusan itu diibaratkan sebagai laron yang berkeliaran (berseliweran). Pasukan Ciung Wanara yang gagah berani diibaratkan sebagai api yang berkobar-kobar. Setiap tentara Belanda yang berani mendekati benteng pertahanan pasti dibinasakan (XIII.1). 3 2.2 Struktur Naratif GWCPM Struktur naratif GWCPM terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian pembuka (manggala/ eksordium), bagian corpus (inti), dan bagian epilog (penutup). Bagian pembuka (manggala) dalam GWCPM disampaikan pengarang dengan cukup panjang yaitu melalui pupuh I dan sebagian pupuh II. Pada pupuh I pengarang melukiskan tentang rasa hormatnya kepada para pujangga zaman dulu yang berhasil membuahkan karya-karya agung tentang kepahlawanan. Kewajiban (swadarma) para ksatria yang gagah perkasa melakukan korban suci di medan perang karena setia membela Negara (pupuh I bait 1). Keberanian para pejuang kemerdekaan amat luar biasa. Jiwa dan raganya diumpamakan sebagai daksina (Ikang jiwa lawan sarira daksina( I.2) atau tempat bersemayam para dewa), semboyan tidak kenal menyerah diumpamakan sebagai genta (gentan ika waksutindih,I.2), tetesan darah musuh yang gugur di medan perang yang ditorehkan sebagai sebuah titik di tengag-tengah dahinya diumpamakan sebagai bhasma (paka Bhasma ika, aswanitaning sastru brasta, I.2). Kerelaan hati berkorban dan tidak kenal mundur dalam peperangan diumpamakan sebagai dupa dan api suci (dhupa lawan dhipa suci, nirmalang manah, tan surud ring rana bumi (I. 2) Selanjutnya, pada bait terakhir (5) pupuh I, pengarang melukiskan angka tahun ditulisnya GWCPM, dengan menggunakan tahun candrasangkala yang meliputi hari, tanggal, bulan, tahun, dan tempat. Untuk angka tahun, pengarang menggunakan tahun candrasangkala.