KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 27 No. 2, November 2018 (66-79)

DUA TIPE ORNAMENTASI CANDI PERWARA DI KOMPLEKS CANDI

Two Types Ornamentations of Perwara Temple In Sewu Temple Complex

Ashar Murdihastomo, S.S Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jl. Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510 [email protected]

Naskah diterima : 6 Agustus 2018 Naskah diperiksa : 10 September 2018 Naskah disetujui : 1 November 2018

Abstract. Sewu Temple, located in Prambanan, is one of the Buddhist temples that is quite unique for its perwara temples that displayed two types of ornamentations. Up to now, not many researches were written about this subject. Consequently, this paper tried to analyse these two different ornamentations in details through observation and literature study. The result of this study shows that the concept of religion at the time influenced the construction of the temples as well as the ornamentations.

Keywords: Buddha, Sewu Temple, Perwara temple, Ornamentation.

Abstrak. Candi Sewu terletak di daerah Prambanan merupakan salah satu kompleks percandian agama Buddha yang masih menyimpan banyak keunikan. Salah satunya adalah dua corak ornamentasi yang terdapat pada candi perwaranya. Keberadaan kedua ornamentasi ini belum pernah dibahas detail oleh peneliti manapun. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis berusaha untuk mengkaji dua corak ornamentasi itu dengan tujuan mencoba memberikan gambaran terkait dua corak ornamen tersebut serta mencoba untuk mengetahui latar belakang perbedaan tersebut. Penelitian dilakukan melalui pengamatan langsung dan dilakukan analisis dengan bantuan data dari studi pustaka. Berdasarkan pada hasil analisis diketahui bahwa kedua corak ornamentasi pada candi perwara tersebut terkait dengan konsep keagamaan.

Kata kunci: Buddha, Candi Sewu, Candi perwara, Ornamentasi.

1. Pendahuluan (Soekmono 1974). Keberadaan bangunan ini Candi merupakan tinggalan arsitektural tidak terlepas dari gambaran Gunung Meru hasil pengaruh kebudayaan India di yang merupakan gunung suci dalam mitologi yang masih dapat dijumpai hingga saat India. Gunung Meru merupakan pusat jagat ini. Keberadaannya memberikan petunjuk raya yang dikelilingi oleh tujuh benua dan terkait wilayah yang diduga merupakan tujuh lautan. Sebagai pusat jagat raya, Gunung daerah munculnya kerajaan-kerajaan kuno Meru merupakan tempat tinggal para dewa, di Indonesia. Bangunan candi juga mampu sedangkan manusia bertempat di Jambudwipa menunjukkan perkembangan seni arsitektur yang terletak di sebelah selatan Gunung Meru bangunan kuno secara kronologis. Selain itu, (Geldern 1972). Disebutkan pula bahwa di keberadaan bangunan ini juga memberikan Gunung Meru ini terdapat taman-taman yang informasi terkait aspek religi yang dianut oleh sangat indah dan di dalamnya selalu terdengar masyarakat pada masanya. iringan musik, nyanyian, dan tari-tarian yang Candi merupakan bangunan yang dibawakan oleh makhluk kahyangan (Danielou didirikan untuk kepentingan pemujaan 1964). Pada bangunan candi, gambaran dari

66 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 27 No. 2, November 2018 (66-79) kondisi tersebut dipahatkan dalam bentuk agama Buddha yang berkembang pada masa ornamen relief. tersebut. Klokke (1993), dalam desertasinya Ornamen relief dapat dibedakan menjadi yang terkait dengan seni Asia Tenggara, dua, yaitu relief cerita dan relief noncerita mengungkapkan bahwa ornamen relief cerita atau dikenal dengan ornamen dekoratif (Istari hewan merupakan salah satu bentuk pengajaran 2015). Relief cerita adalah ornamen yang moral. Hikmawati (2011) menyatakan bahwa dipahatkan di bangunan candi, biasanya pada variasi bentuk tangan kala yang ada di atas pagar atau dinding langkan, yang saling terkait ambang pintu memiliki makna penghalau dari satu sama lain dan memiliki cerita. Biasanya, aura negatif. Dalam artikelnya, Arifin (2015), relief ini bercerita tentang tokoh besar yang menggunakan pendekatan antropologi, agama, kepahlawanan, kegamaan, maupun mengatakan bahwa ornamen di bangunan candi pendidikan moral. Relief noncerita adalah terkait dengan penyampaian doa kepada para ornamen dekoratif yang dipahatkan di setiap dewa. Dari uraian tersebut dapat kita ketahui sisi bangunan berfungsi, bukan hanya aspek bahwa keberadaan ornamen di bangunan candi keindahan, namun ada pula yang mengandung dapat menjadi salah satu topik menarik dalam arti simbolis. Relief ini dapat berupa pola penelitian arkeologi, sejarah seni, maupun geometris atau pola nongeometris (flora dan bidang lainnya serta memiliki kajian tema fauna). Namun, ada pula relief noncerita yang beragam. yang terkait dengan aspek keagamaan, seperti Salah satu bangunan candi yang cukup purnakalasa, pohon kalpa, dan relief tokoh menarik untuk dikaji dan menjadi fokus artikel dewa maupun makhluk kahyangan. Ornamen ini adalah Kompleks Candi Sewu. Kajian tersebut memiliki tujuan untuk memberikan yang pernah dilakukan terhadap Kompleks suasana keramat atau suci pada bangunan ini terdiri atas kajian arsitektur, periodisasi, tersebut (Santiko 1987). hingga unsur keagamaan yang digunakan. Keberadaan ornamen ini juga mampu Anom (1997) dalam disertasinya menyebutkan menjadi petunjuk terkait latar belakang bahwa terdapat dua hal yang menonjol pada keagamaan suatu bangunan candi. Bangunan pendirian candi, yaitu keterpaduan aspek teknis candi yang berlatar belakang agama Hindu dan keagamaan serta adanya persamaan antara memiliki beberapa ornamen yang berbeda bagian-bagian candi dengan bagian-bagian dengan bangunan candi agama Buddha. Hal badan manusia. Kusumajaya (1998) dalam ini disebabkan konsepsi yang berkembang di skripsinya menyebutkan bahwa Kompleks kedua agama tersebut. Meskipun secara umum Candi Sewu didirikan dalam tiga periode, konsep bangunan candi merupakan representasi yaitu pembangunan Kirttistambha, pendirian Gunung Meru yang sama-sama dianut oleh bangunan untuk Bodhisatwa Manjusri, dan kedua agama, ornamen yang dipahatkan terakhir perubahan ideologi mandala candi. memiliki makna yang berbeda. Kondisi inilah Purnomo (1998) menyebutkan bahwa Candi yang menjadi dasar bagi kalangan akademisi, dan Candi Sewu memiliki persamaan khususnya ahli arkeologi, untuk membedakan sekaligus perbedaan. Persamaannya adalah candi agama Hindu dengan candi agama adanya perluasan terkait dengan penyesuaian Buddha. terhadap tantrayana, sedangkan perbedaannya Aspek ornamen bangunan candi ini juga terkait dengan tokoh utama yang dipuja. menjadi salah satu topik kajian yang dilakukan Terakhir, Candi Sewu dikaji oleh Wibowo oleh para peneliti. Disertasi Magetsari (1982) (1996) terkait dengan pembangunan kompleks menyebutkan bahwa relief cerita yang ada candi yang didasarkan pada diagram di Candi terkait dengan aliran vastupurusa mandala.

67 Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara Di Kompleks Candi Sewu, Ashar Murdihastomo, S.S

Berdasarkan pada beberapa kajian Candi penelitian yang dilakukan Wibowo (1996) Sewu di atas, diketahui bahwa belum ada yang menyatakan bahwa Kompleks Candi satu pun peneliti yang mengkaji ornamentasi Sewu dibangun berdasarkan pada diagram grid di candi perwara Kompleks Candi Sewu. 64. Hal ini diketahui dari jumlah candi perwara Oleh karena itu, penulis mencoba untuk di setiap deretnya. menulis dengan topik tersebut. Artikel ini juga Aspek keagamaan juga terlihat dari merupakan hasil pengembangan dari skripsi keberadaan relief ornamentasi yang ada di sarjana penulis yang berjudul Latar Belakang bangunan candi. Seperti diketahui bersama, Penggambaran dan Peletakan Relief Tokoh candi pada dasarnya adalah tiruan dari Gunung Pengiring Pada Candi Perwara Kompleks Meru sebagai tempat tinggal para dewa. Candi Sewu yang selesai ditulis tahun 2011. Bentuk bangunan yang tinggi menandakan Pada artikel ini permasalahan yang coba bentuk Gunung Meru yang tinggi, selain diangkat lebih luas karena terkait dengan itu, keberadaan ornamen pahat di candi ornamentasi yang membagi candi perwara juga menggambarkan suasana kahyangan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok (Rahardian, dkk 2018). Pendapat serupa pertama pada deret I dan IV, sedangkan juga dinyatakan oleh Munandar (2018). kelompok kedua pada deret II dan III. Oleh Menurutnya, beberapa relief noncerita yang karena itu, pertanyaan yang diajukan antara ada di bangunan candi menunjukkan suasana lain adalah: kahyangan, seperti pohon kalpataru yang 1. Bagaimana bentuk ornamentasi candi merupakan pohon kahyangan, banyaknya perwara di Kompleks Candi Sewu? bunga yang bermekaran, adanya dewa-dewi 2. Apa yang menyebabkan adanya dua corak yang menari dan bermain musik, serta adanya ornamentasi tersebut? gambaran tiang semu yang diibaratkan sebagai Dengan menjawab permasalahan di atas, tiang bangunan yang ada di kahyangan. Dari akan diperoleh informasi terkait gambaran gambaran tersebut, tidak dapat dimungkiri umum dua corak ornamentasi yang terdapat jika ragam hias yang ada di bangunan candi pada candi perwara di Kompleks Candi Sewu terkait dengan konsepsi keagamaan atau ajaran serta faktor yang mempengaruhi adanya keagamaan. perbedaan corak tersebut. 3. Metode 2. Kerangka Pikir Penelitian ini dilakukan dengan Secara umum, bangunan candi selalu mengamati secara langsung di lapangan dan dipengaruhi oleh aspek keagamaan yang kemudian mendokumentasikan beberapa hal melatarbelakanginya. Pendirian bangunan yang menjadi fokus penelitian. Pengamatan candi selalu didasarkan pada diagram dilakukan pada candi perwara Kompleks vastupurusa mandala, yaitu diagram kosmis Candi Sewu yang telah selesai dipugar. yang terdiri atas beberapa grid. Keseluruhan Pemilihan objek pengamatan dilakukan dengan grid tersebut memiliki jumlah yang berbeda- teknik sampel pada candi yang sudah selesai beda, yaitu grid sembilan (pīṭha), grid 25 dipugar. Teknik sampel yang digunakan dalam (upapīṭha), grid 64 (maṇḍūka atau chandita), penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu grid 81 (paramaśāyikin), dan grid 256 sampel yang diambil memiliki maksud atau (triyuta) (Kramrisch 1946). Dari keseluruhan tujuan tertentu. Jenis sampel yang digunakan tersebut, diagram dengan grid 64 dan 81 sering adalah judgment sampling, yaitu sampel yang digunakan sebagai dasar dalam pendirian dipilih berdasarkan penilaian peneliti (Mustafa bangunan candi. Hal ini terbukti dalam 2000). Melalui teknik ini, penulis memilih

68 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 27 No. 2, November 2018 (66-79) delapan candi perwara sebagai sampel, yaitu Kompleks Candi Sewu ini memiliki 249 buah candi perwara nomor 8, 12 (mewakili deret I), candi yang terdiri atas sebuah candi induk, 72, 75 (mewakili deret II), 87, 134 (mewakili delapan candi apit dan 240 candi perwara deret III), 167, dan 229 (mewakili deret IV). yang terbagi menjadi empat deret, yaitu deret Hasil pengamatan tersebut kemudian I, deret II, deret III, dan deret IV1. Pada deret dijabarkan dalam bentuk deksripsi I terdapat 28 bangunan candi perwara, deret tertulis. Selanjutnya, data yang diperoleh II terdapat 44 bangunan candi perwara, deret tersebut dianalisis dengan menggunakan III terdapat 80 bangunan candi perwara, dan metode deskriptif-analitis. Metode ini deret IV terdapat 88 bangunan candi perwara. merupakan prosedur penelitian dengan cara Candi apit berada di antara deret II dan deret menggambarkan objek penelitian kemudian III dengan jumlah dua buah candi di setiap dilakukan langkah-langkah analitis dalam sisinya (Anom 1992). Denah Kompleks Candi menganalisis objek tersebut dengan dibantu Sewu dapat dilihat pada gambar berikut ini. informasi yang diperoleh dari kajian pustaka, Kompleks Candi Sewu juga memiliki baik buku, artikel, maupun tulisan ilmiah yang tinggalan berupa arca Dhyani Buddha. Temuan diperoleh baik dari perpustakaan maupun dari arca ini pernah dibahas dalam tulisan Kusen internet (Iskandar 2009). Analisis tersebut (1993). Kusen menemukan bahwa terdapat diharapkan dapat membantu menjawab 50 arca yang terdiri atas 46 arca Dhyani pertanyaan yang diajukan. Buddha dan 4 arca Bodhisatwa. Kedua figur arca dewa tersebut dapat dibedakan 4. Pembahasan dari asana dan pakaian yang dikenakan. 4.1 Deskripsi Singkat Kompleks Candi Arca Dhyani Buddha digambarkan dengan Sewu asana vajrasana (Jawa: sila tumpang) dan Kompleks Candi Sewu termasuk pakaian yang sangat sederhana, berupa jubah salah satu percandian yang cukup terlihat yang disebut triçiwara. Arca Bodhisatwa kelengkapannya, dalam arti keberadan candi induk, perwara, dan unsur-unsur pelengkap lainnya masih dapat dijumpai. Dengan kelengkapan yang cukup besar, tidak mengherankan jika Candi Sewu menjadi salah satu objek penelitian yang penting. Candi Sewu sendiri merupakan bangunan suci yang diduga dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno, tepatnya pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Keberadaan Candi Sewu tidak dapat dilepaskan dari dua prasasti yang ditemukan di sekitarnya. Prasasti pertama adalah prasasti Kelurak dan prasasti yang ditemukan di sisi kanan tangga masul Candi perwara nomor 202 (Dumarcay 2007). Kompleks Candi Sewu terdiri atas Gambar 1. Denah kompleks Candi Sewu (Sumber: candi induk, candi apit, candi perwara, dan Anom 1993) arca dwarapala. Pembangunannya bersifat 1 Penyebutan deret dimulai dari bagian dalam atau paling konsentris dengan candi induk berada di dekat dengan candi induk, sehingga deret I merupakan bagian tengahnya. Berdasarkan denahnya, deret yang paling dekat dengan candi induk dan deret IV merupakan yang paling jauh.

69 Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara Di Kompleks Candi Sewu, Ashar Murdihastomo, S.S dapat diketahui dari sikap duduknya yang kemuncak bangunan candi agama Buddha. disebut paryangkasana (bersila). Pakaian Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data yang dikenakan Boddhisattwa lebih raya bahwa candi perwara deret I dan IV memiliki dibandingkan dengan pakaian Dhyani Buddha. stupa yang memiliki empat hiasan kecil yang melingkari bagian sisi pangkal anda stupa yang 4.2 Hasil Pengamatan berbentuk keben. Bentuknya mirip dengan Setelah dilakukan pengamatan terhadap buah dari pohon keben. Sementara itu, candi delapan candi perwara, diketahui bahwa perwara deret II dan III memiliki kemuncak secara umum terdapat empat bagian yang yang berhiaskan stupa kecil di bagian pangkal mengindikasikan dua corak ornamentasi, yaitu sisi anda. Jumlah stupa kecil tersebut sebanyak ornamen pada kemuncak candi, bentuk atap 16 buah. Kedua ornamentasi tersebut dapat penampil candi, ornamen di atas relief utama di dilihat pada gambar 2 dan 3. badan candi, dan relief pengiring relief utama. b. Bagian atap penampil Berikut ini ditampilkan hasil pengataman Penampil merupakan struktur tambahan terhadap dua corak ornamentasi pada candi perwara di Kompleks Candi Sewu: a. Bagian kemuncak Bagian kemuncak yang dimaksud adalah bagian atas dari bangunan candi, dalam hal ini adalah stupa yang menjadi salah satu ciri khas

Gambar 4. Hiasan kepala Kala dan dua tokoh laki-laki pada atap penampil jenis lereng bangku (Sumber:http://www.asalreview.com/ postingan-jalan-jalan-candi-sewu/)

Gambar 2. Sketsa dan foto kemuncak Candi Perwara pada bangunan candi yang berfungsi sebagai deret I dan IV (Sumber: Sketsa oleh ruang antara bagian luar dengan bilik candi. Dumarçay, 2007; foto oleh Penulis, 2010) Bagian ini biasanya menjorok keluar. Pada candi perwara Kompleks Candi Sewu atap penampil terdiri atas dua bentuk. Oleh Kempers (1959), keduanya memiliki sebutan masing-masing. Atap penampil pada candi perwara deret I dan IV disebut dengan lereng bangku karena bentuknya yang mirip dengan sandaran tangan (armchair/armrest) pada kursi. Pada atap ini terdapat pahatan kepala kala yang diapit oleh dua tokoh laki-laki2 di bagian bawah atap atau tepatnya di bagian atas pintu masuk. Candi perwara deret II dan III memiliki Gambar 3. Sketsa dan foto kemuncak Candi Perwara atap penampil yang disebut dengan “kumis deret II dan III (Sumber: Sketsa oleh Dumarçay, 2007; foto oleh Penulis, 2010) 2 Diperkirakan merupakan makhluk kahyangan

70 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 27 No. 2, November 2018 (66-79)

Gambar 5. Sketsa dan foto atap penampil candi perwara deret I dan IV (Sumber: Sketsa oleh Dumarçay, 2007; foto oleh Penulis, 2010)

Gambar 6. Sketsa dan foto atap penampil candi perwara deret II dan III (Sumber: Sketsa oleh Dumarçay, 2007; foto oleh Penulis, 2010) militer” karena memiliki bentuk seperti kumis sirascakra (lingkaran kedewaan) di bagian seorang komandan militer. Pada atap ini juga belakang kepala. Ciri ikonografisnya antara lain dijumpai pahatan kepala kala yang diapit oleh memegang tangkai padma di tangan kiri serta dua tokoh laki-laki. Perbedaannya terletak memegang benda semacam chattra (payung) pada tempat dan penggambarannya. Kepala dalam kondisi tertutup di tangan kanan. kala pada atap ini dibentuk secara tiga dimensi Sementara itu, relief dekoratif dipahatkan di dan diletakkan pada bagian tengah dan dari samping kanan-kiri serta di bagian atas relief mulutnya seolah-olah keluar kumpulan bunga. tokoh. c. Ornamen di atas relief tokoh utama Relief di bagian atas relief tokoh Penulis melakukan penyebutan relief merupakan fokus utama dari artikel ini. Hal utama di candi perwara ini berdasarkan pada ini disebabkan adanya perbedaan antara candi ukuran dan posisinya. Ukuran relief ini cukup perwara deret I dan IV dengan candi perwara besar dan berada di dinding candi. Relief deret II dan III. Jika candi perwara deret I ini dipahatkan di tiga sisi dinding candi. dan IV memiliki relief berbentuk kepala kala, Relief utama ini terdiri atas dua macam, candi perwara deret II dan III memiliki relief yaitu relief tokoh dan relief dekoratif. Tokoh berbentuk makara. yang dipahatkan pada relief ini diperkirakan d. Relief pengiring merupakan tokoh dewa karena adanya Relief pengiring merupakan sebutan yang

71 Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara Di Kompleks Candi Sewu, Ashar Murdihastomo, S.S

Gambar 7. Hiasan kepala kala dan dua tokoh laki-laki pada atap penampil jenis kumis militer (Sumber: https://www.tembi.net/2016/11/24/sebagian-dari-candi- sewu-telah-selesai-dipugar/) diusulkan penulis mengingat relief memiliki memakai padasaras (gelang kaki). Ciri ukuran yang kecil dan selalu dipahatkan berada khas relief ini ada pada benda yang dibawa/ di samping kanan-kiri relief tokoh utama sehingga seolah-olah tokoh ini merupakan pengiring keberadaan tokoh utama. Berdasarkan pengamatan, terdapat dua jenis relief pengiring, yaitu relief pengiring perempuan pada candi perwara deret I dan IV serta relief pengiring laki-laki pada candi perwara deret II dan III. Secara ikonografis3, kedua relief ini digambarkan dengan abharana (pakaian) yang menunjukkan golongan bangsawan. Relief Gambar 8. Sketsa dan foto hiasan kepala kala di candi perempuan digambarkan berdiri dengan posisi perwara deret I dan IV (Sumber: Sketsa oleh samabhanga (berdiri lurus), mengenakan Dumarçay, 2007; Foto oleh Penulis, 2010) mahkota berbentuk jatamakuta (rambut yang digelung dan dibentuk seperti mahkota), memakai jamang (hiasan antara dahi dan mahkota), mengenakan kundala (anting), mengenakan hara (kalung), memakai keyura (hiasan lengan atau kelat bahu), memakai kankana (gelang tangan), mengenakan channavira (hiasan badan atau dada yang berbentuk menyilang), mengenakan pakaian bawah yang terdapat urudama (sampur/ hiasan kain menjuntai di bagian depan) dan udarabhanda (hiasan pinggang), serta Gambar 9. Sketsa dan foto hiasan makara di candi perwara deret II dan III (Sumber: Sketsa oleh 3 Deskripsi secara ikonografis dilakukan secara umum den- gan menampilkan foto dari salah satu sampel Dumarçay, 2007; Foto oleh Penulis, 2010)

72 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 27 No. 2, November 2018 (66-79)

Gambar 10. Sketsa dan foto tokoh pengiring perempuan di candi perwara deret I dan IV (kanan); tokoh pengiring laki-laki di candi perwara deret II dan III (kiri) (Sumber: Sketsa dan foto oleh Penulis, 2010) dipegang. Relief perempuan ini memegang (tongkat dengan surai) di tangan kanan. tangkai padma di tangan kiri dan memegang Secara ringkas, dua tipe ornamentasi di camara (tongkat dengan surai) di tangan candi perwara Kompleks Candi Sewu dapat kanan. Relief laki-laki digambarkan berdiri dilihat pada tabel di bawah ini. dengan posisi samabhanga (berdiri lurus), mengenakan mahkota berbentuk jatamakuta 4.3 Perbedaan Corak Arsitektur (rambut yang digelung dan dibentuk menjadi Keberadaan dua corak arsitektur di mahkota), memakai jamang (hiasan antara dahi bangunan candi ini cukup menarik untuk dikaji dan mahkota), mengenakan kundala (anting), mengingat belum pernah ada tulisan yang mengenakan hara (kalung), memakai keyura membahas secara detail topik tersebut. Hal ini (hiasan lenngan atau kelat bahu), memakai karena posisi candi perwara tertutup dengan kankana (gelang tangan), mengenakan upavita kajian candi induk yang menjadi primadona (hiasan badan atau dada yang dikenakan seperti selempang), mengenakan pakaian bawah yang para peneliti. Sepengetahuan penulis, terdapat urudama (sampur), katibhanda (hiasan penelitian dengan topik candi perwara baru di samping pinggul) dan udarabhanda (hiasan sedikit dilakukan. Contohnya adalah penelitian pinggang), serta memakai padasaras (gelang yang dilakukan oleh Haan (2009) yang berjudul kaki). Relief laki-laki ini memegang tangkai Candi A dan Candi B, yang terkait objek yang padma di tangan kiri dan memegang camara seharusnya ditempatkan pada tiga buah candi

Tabel 1. Tabel perbandingan ornamentasi pada candi perwara kompleks Candi Sewu Candi Hiasan Atap Hiasan di atas Tokoh Pengiring perwara Kemuncak Penampil Tokoh Utama

Deret I Keben Lereng Bangku Kala Perempuan

Deret II Stupa Kumis Militer Makara Laki-laki

Deret III Stupa Kumis Militer Makara Laki-laki

Deret IV Keben Lereng Bangku Kala Perempuan

73 Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara Di Kompleks Candi Sewu, Ashar Murdihastomo, S.S

Gambar 11. Ornamen keben sebagai kemuncak pagar langkan tingkat I (kiri); Ornamen stupa sebagai kemuncak pagar langkan tingkat II, III, IV, dan V Candi Borobudur (kanan) (Sumber: Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, 2010) perwara di depan candi induk dan skrispi sedangan pagar langkan II hingga V memiliki sarjana Wibowo (1996) tentang tata letak candi kemuncak berupa stupa (Roesmanto 2010). perwara Buddha yang ternyata mengikuti Sama halnya di bagian atap Candi Pawon, denah diagram vastupurusa mandala. Terkait kemuncak berbentuk keben memiliki posisi dengan dua corak ornamentasi, penulis melihat lebih rendah dari kemuncak stupa merupakan ada keterkaitan satu sama lain, yaitu: ornamen yang ada di bagian atas. a. Hiasan kemuncak b. Bentuk atap penampil Hiasan kemuncak yang ada di candi Bentuk atap penampil lereng bangku dan perwara terdiri atas ornamen keben dan stupa. kumis militer merupakan bentuk yang umum Dalam ornamen bangunan candi diketahui digunakan pada candi-candi. Berdasarkan bahwa kedua ornamen ini berada dalam satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dari dua candi agama Buddha lainnya, seperti Candi Borobudur dan Candi Pawon. Pada Candi Borobudur ornamen keben merupakan kemuncak dari pagar langkan tingkat I,

Gambar 13. Atap penampil tipe lereng bangku di Candi Plaosan Kidul (Sumber: https:// id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:Candi_ Plaosan_Kidul.jpg)

Gambar 12. Ornamen keben dan stupa pada kemuncak Gambar 14. Atap kumis militer pada Candi Pawon kemuncak Candi Pawon (Sumber: https:// (Sumber:https://lijiun.wordpress. eksplorewisata.com/2017/11/candi-pawon- com/2013/08/29/candi-pawon-candi- si-candi-mungil-nan-eksotis.html) mendut/)

74 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 27 No. 2, November 2018 (66-79) pengamatan penulis, diketahui bahwa selain terjadi mengingat bangunan candi adalah di Candi Sewu, kedua tipe atap tersebut juga tempat suci yang dalam pembangunannya dijumpai di candi-candi agama Buddha, seperti selalu dihubungkan dengan konsep keagamaan. atap lereng bangku dapat dijumpai di Candi Konsep keagamaan yang ada di Candi Plaosan Kidul, sedangkan atap kumis militer Sewu dapat diketahui dari latar belakang dapat dijumpai di Candi Pawon. keagamaannya. Berdasarkan ciri-cirinya, c. Ornamen di atas relief tokoh utama. dipastikan bahwa Candi Sewu berlatar Ornamen dengan bentuk kala dan makara belakang agama Buddha. Kemudian, merupakan ornamen yang penting karena selalu melalui kajian beberapa peneliti, diketahui dipahatkan di bangunan candi. Kala dan makara bahwa agama Buddha yang berkembang di sebenarnya lebih terkait dengan agama Hindu. Candi Sewu merupakan aliran Mahayana. Kala, sering juga disebut dengan kirtimukha Karakteristik Buddha Mahayana ini antara lain atau pancavaktra, digambarkan sebagai wajah adalah dikenalnya Bodhisatwa dan pencapaian singa yang sedang membuka mulutnya. Hal ini tingkat kebudhaan yang bersifat universal atau dianggap sebagai representasi dari fenomena dilakukan secara bersama-sama (Akira 1990). suara magis (Vajracharya 2014). Sementara Dalam aliran Mahayana terdapat konsep itu, makara merupakan binatang mitologis terkait adanya dua unsur yang saling bertolak yang merupakan wahana bagi Dewa Varuna belakang, dikenal dengan nondualisme. (Wilkins 1913). Kedua ornamen tersebut Contohnya adalah siang dan malam serta baik kemudian diadopsi oleh bangunan suci dan buruk. Meskipun konsep ini mengenal agama Buddha (Vajracharya 2014). Menurut dua unsur yang saling bertolak belakang, pada Beer (2003), aspek penting keduanya adalah dasarnya konsep ini menitikberatkan pada kala dan makara yang merupakan penjaga, pemahaman terhadap kesadaran bahwa tidak baik pintu (candi) maupun singgasana yang ada dua unsur yang saling bertolak belakang, berfungsi sebagai penghalau aura negatif yang yang ada hanyalah satu realitas. Keberadaan akan masuk ke dalam bangunan candi. satu aspek selalu diikuti dengan aspek lainnya d. Tokoh pengiring perempuan dan laki-laki. atau saling melengkapi sehingga dianggap Alasan berkembangnya agama Buddha, sebagai satu realitas (Renard 2017). salah satunya, adalah adanya ketidakadilan Melalui konsep nondualisme ini dapat kita dalam sistem kasta di India pada masa itu. lihat adanya keterikatan dua unsur yang saling Siddharta kemudian menciptakan tatanan melengkapi, yaitu keben dengan stupa, bentuk sosial yang setara satu sama lain tanpa melihat atap kumis militer dengan lereng bangku, kala status orang tersebut. Selain itu, Siddharta dengan makara, dan perempuan dengan laki- juga menciptakan lingkungan sosial yang laki. Hiasan keben dan stupa dapat dijumpai sejajar antara perempuan dan laki-laki karena pada candi agama Buddha, seperti Borobudur menurutnya siapa pun dapat mencapai tingkat dan Pawon. Pada kedua candi tersebut, hiasan kebuddhaan (Buddhahood) (Kurihara 2010). keben diletakkan pada bagian atap yang Dari keterangan tersebut diperoleh berada pada tingkatan yang paling bawah, pengertian bahwa kedua ornamen terkait sedangkan hiasan stupa berada pada tingkatan satu sama lain. Dalam hal ini penulis belum yang lebih atas. Alasan penempatan keben dan menemukan informasi atau data detail terkait stupa ini belum dapat diketahui secara pasti. alasan dibalik kondisi tersebut. Namun, penulis Dugaan penulis, letak ini terkait dengan proses menduga keberadaan dua corak ornamentasi perjalanan manusia dari dunia fana menuju ini terkait dengan konsepsi keagamaan yang kondisi pencerahan atau alam kedewataan. berkembang pada masa itu. Kondisi ini umum Keberadaan penampil pada bangunan

75 Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara Di Kompleks Candi Sewu, Ashar Murdihastomo, S.S candi merupakan suatu gambaran terhadap prakrti. Michell (1977) menyatakan bahwa salah satu lapis dunia dalam ajaran Hindu penggambaran relief laki-laki dan perempuan maupun Buddha (Munandar 2018). dalam satu panel mengindikasikan bahwa Berdasarkan pembagian secara horizontal, relief tersebut merupakan salah satu cara untuk ruang penampil candi berada pada dunia antara, menolak aura negatif yang akan mengganggu yaitu tempat manusia telah meninggalkan bangunan suci. Sementara itu, Bowker aspek keduniawiannya dan siap bertemu (1997 dalam Peng 2013) menyatakan aspek dengan dewanya. Pada candi perwara di perempuan mewakili unsur pasif sedangkan Kompleks Candi Sewu terdapat perbedaan aspek laki-laki mewakili unsur aktif. bentuk atap. Perbedaan bentuk atap ini juga Keberadaan dua unsur yang saling memberikan dampak adanya perbedaan pola melengkapi tersebut juga merupakan salah hias. Pada atap dengan lereng bangku pola satu rangkaian proses pencerahan yang dikenal hias yang digambarkan hanya kala yang diapit dengan prajnā dan upāya. Prajnā memiliki oleh dua makhluk kahyangan, sedangkan pada arti kebijaksanaan dan pengetahuan mendalam atap kumis militer terdapat hiasan kala yang serta merupakan simbol bagi sifat feminin menggigit kumpulan bunga yang diapit oleh atau perempuan serta dapat disamakan artinya dua makhluk kahyangan. Menurut penulis, dengan vama yang berarti kiri dan keindahan. perbedaan bentuk atap ini menunjukkan suatu Upāya berarti cara atau jalan dalam mencari fase, yaitu fase penghalauan aura jahat oleh kala pencerahan juga merupakan gambaran akan (atap lereng bangku) dan fase penyambutan sifat maskulin atau laki-laki serta dapat manusia (atap kumis militer) yang akan masuk disamakan dengan kanan (O’Brien 1988). bertemu dengan dewa. Gosh (1992) menjelaskan bahwa Keberadaan kala dan makara tidak saja perpaduan antara prajnā dan upāya sangat dijumpai di pintu masuk candi. Pada candi ditekankan dalam tradisi Buddha Tantra, perwara Kompleks Candi Sewu, kedua ornamen terutama dalam pengertian esoteris. Dalam hal tersebut juga dijumpai di dinding candi dan ini prajnā merupakan prinsip yang bersifat pasif digambarkan secara mandiri. Hal menarik yang sering dikaitkan dengan dharmakaya, dari keduanya adalah adanya hiasan bunga sementara sambhogakāya dan nirmānakāya padma yang seolah dibawa oleh kedua tokoh dikaitkan dengan upāya. Lebih lanjut, Gosh mitologis tersebut. Bunga padma dianggap juga menyebutkan bahwa filosofi ini dikenal di sebagai simbol dari kelahiran dan penciptaan. empat sistem filosofi Buddhisme di Nepal, yaitu Simbol ini kemudian menjadi simbol yang Svābhāvika, Aisvarika, Karnika, dan Yatnika. selalu dikaitkan dengan alam kedewataan Pada subsistem Svābhāvika, yaitu Prajnika, (Ward 1952). Oleh karena itu, sangat mungkin menyebutkan bahwa trinitas dalam agama jika ornamen kala dan makara yang ada pada Buddha, yaitu dharma, Buddha, dan sangha dinding candi perwara Kompleks Candi Sewu dapat diasosiasikan dengan prajnā, upāya dan ini diindikasikan sebagai simbol kehidupan di dunia. Ketiganya memberikan gambarannya alam kedewataan atau khayangan. masing-masing, yaitu dharma merupakan Sementara itu, dalam konsep nondualisme, asal mula kekuatan atau daya (generative aspek perempuan selalu dikaitkan dengan power), Buddha merupakan kemampuan untuk aspek laki-laki. Keberadaan keduanya memiliki mengeluarkan kekuatan atau daya (productive pemaknaan yang beragam. Kramrisch (1946) power), dan penyatuan keduanya melahirkan menyebutkan bahwa keberadaan tokoh sangha. perempuan dan laki-laki dianggap sebagai Pernyataan Gosh tersebut sangatlah salah satu bentuk bersatunya purusa dengan menarik. Seperti kita ketahui, keberadaan

76 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 27 No. 2, November 2018 (66-79) dharma, Buddha, dan sangha juga disebutkan belakang bukanlah dua hal yang berbeda, tetapi dalam prasasti Kelurak (782 Masehi). Prasasti merupakan satu kesatuan. Hal seperti ini pada tersebut menyebutkan bahwa ada tempat suci candi perwara Kompleks Candi Sewu dijumpai yang dibangun sebagai tempat pemujaan pada ornamentasinya, yaitu keben dengan bagi Bodhisatwa Manjusri yang merupakan stupa, atap lereng bangku dengan kumis perwujudan Triratna (dharma, Buddha, militer, kala dengan makara, dan perempuan sangha) sekaligus (Sedyawati dkk. 2013). Hal dengan laki-laki. Selanjutnya, konsep tersebut ini menunjukkan bahwa konsepsi nondualisme digunakan untuk mencapai pencerahan dalam dan konsep prajnā-upāya berusaha diwujudkan konsepsi prajnā-upāya, yang salah satunya dalam bentuk bangunan. termanifestasi pada Bodhisatwa Manjusri.

5. Penutup 5.2 Saran 5.1 Kesimpulan Penelitian ini masih dalam tahap kajian Berdasarkan pada pengamatan di lapangan awal yang tentunya masih perlu dilakukan dijumpai bahwa candi perwara di Kompleks penelitian lanjutan. Penelitian lanjutan sangat Candi Sewu dapat dibedakan menjadi dua disarankan untuk dilakukan mengingat tipe. Keberadaan dua tipe ini diketahui dari perlu dipastikannya keterkaitan dua corak perbedaan ornamentasi yang membentuk dua ornamentasi candi perwara tersebut dengan kelompok, yaitu candi perwara deret I dan konsep keagamaan yang berkembang pada IV dengan candi perwara deret II dan III. masa itu. Hal ini dikarenakan sampai saat ini Perbedaan dua tipe candi perwara ini diketahui penulis belum menemukan dan/atau membaca dari empat ornamen, yaitu: informasi terkait adanya bangunan candi yang a. Candi perwara deret I dan IV menerapkan konsepsi keagamaan dalam wujud Hiasan kemuncak memiliki empat buah arsitektural pada bangunan lain. Harapannya ornamen keben yang melingkari pangkal anda, adalah diperolehnya data tambahan terkait atap ruang penampil berbentuk lereng bangku pendirian bangunan di Kompleks Candi Sewu. (atap menjorok ke depan), hiasan yang ada di bagian atas relief tokoh utama berbentuk Daftar Pustaka kepala kala, dan relief pengiringnya berjenis Akira, Hirakawa. 1990. A History of Indian Buddhism: From Sakyamuni to Early perempuan. Mahayana. Hawaii: University of b. Candi perwara deret II dan III Hawaii Press. Hiasan kemuncak memiliki 16 buah Anom, I.G.N. 1992. “Candi Sewu: Sejarah dan ornamen stupa kecil yang melingkari pangkal Pemugarannya.” Klaten. anda, atap ruang penampil berbentuk kumis ------. 1993. “Candi Sewu: Pemugaran militer (atap menjorok ke samping), hiasan Candi Perwara Deret I No. 20, Candi yang ada di bagian atas relief tokoh utma Apit No. 1, Candi Apit No. 8, Arca berbentuk Makara, dan relief pengiringnya Dwarapala.” Klaten. berjenis laki-laki ------. 1997. “Keterpaduan Teknis dan Aspek Sementara itu, penyebab adanya perbedaan Keagamaan dalam Pendirian Candi Periode Jawa Tengah.” Universitas dua corak ornamentasi tersebut belum Gadjah Mada. dapat diketahui secara pasti, namun penulis Arifin, Ferdi. 2015. “Representasi Simbol memperkirakan terkait dengan konsepsi agama Candi Hindu dalam Kehidupan Manusia: Buddha yang berupa konsep nondualisme. Kajian Linguistik Antropologis.” Jurnal Konsep nondualisme ini menjelaskan bahwa Penelitian Humaniora 16 (2): 12–20. keberadaan dua unsur yang saling bertolak Beer, Robert. 2003. Tibetan Buddhism

77 Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara Di Kompleks Candi Sewu, Ashar Murdihastomo, S.S

Symbols. Chicago and London: Serindia. Munandar, Agus Aris. 2018. Antarala Arkeologi Hindu-Buddha. Jakarta: Danielou, Alain. 1964. Hindu Polytheism. Wedatama Widyasastra. London: Routledge and Kegan Pault, Ltd. Murdihastomo, Ashar. 2011. “Latar Belakang Penggambaran dan Peletakan Relief Dumarcay, Jacque. 2007. Candi Sewu dan Tokoh Pengiring pada Candi Perwara Arsitektur Bangunan Agama Budha Kompleks Candi Sewu.” Universitas di Jawa Tengah. Jakarta: Kepustakaan Gadjah Mada. Populer Gramedia. Mustafa, Hasan. 2000. Teknik Sampling. Geldern, R.V Heine. 1972. Konsepsi tentang Jakarta: Erlangga. Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: CV Rajawali. O’Brien, Kathleen Patricia. 1988. “Candi Jago Shrine and Mandala: Symbolism of Its Gosh, Bhajagovinda. 1992. “Concept of Prajna Narratives.” Review of Indonesian and and Upaya.” Bulletin of Tibetology 28: Malaysia Affairs XX: 1–61. 41–49. P.H., Rahardian; Saliya, Yuswadi; Astrina, Haan, B. de. 2009. “Candi A dan Candi B.” In Indri; Mariana, Dewi; Martinus, Memuji Prambanan, edited by Roy. E Andreas; Andika, Galih; W, Nathanael. Jordaan, 211–17. Jakarta: Yayasan Obor 2018. Eksistensi Candi sebagai Karya Indonesia. Agung Arsitektur Indonesia Di Asia Hikmawati, Andiyani. 2011. “Variasi dan Tenggara. Yogyakarta: PT Kanisius. Makna Penggambaran Tangan Hiasan Peng, Jia. 2013. “An Exploration of Tibetan Kala Pada Candi-Candi di Jawa Abad IX- Tantric Buddhism and Its Art: A XV Masehi.” Universitas Gadjah Mada. Potential Resource for Contemporary Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Spiritual and Art Practice.” University Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press. College London. Istari, T.M. Rita. 2015. Ragam Hias Candi- Purnomo, Sumarto Aji. 1998. “Candi Kalasan Candi di Jawa: Motif dan Maknanya. dan Candi Sewu: Studi Berdasarkan Yogyakarta: Kepel Press. Perbandingan Arsitekturnya.” Kempers, A.J. Bernet. 1959. Ancient Universitas Gadjah Mada. Indonesian Art. Massachusetts: Harvard Renard, Philip. 2017. “Non-Dualism: Eastern University Press. Enlightenment in the World of Western Klokke, Maria. J. 1993. The Tantri Relief on Enlightenment.” 2017. https://www. Ancient Javanese Candi. Leiden: KITLV. stillnessspeaks.com/wp-content/ uploads/2017/06-Chp1-pdf.pdf. Kramrisch, Stella. 1946. The Hindu Temple. Calcutta: University of Calcutta. Roesmanto, Totok. 2010. Kearsitekturan Candi Borobudur. Magelang: Balai Konservasi Kurihara, Toshie. 2010. “The Concept of Peninggalan Borobudur. Equality in the Lotus Sutra.” Journal of Orientall Studies, 38–54. Santiko, Hariani. 1987. “Hubungan Seni dan Religi Khususna dalam Agama Hindu Kusen. 1993. “Purna Pugar Candi Sewu.” di India Dan Jawa.” In Diskusi Ilmiah Klaten. Arkeologi II. Jakarta. Kusumajaya, I Made. 1998. “Periodisasi dan Sedyawati, Edi; Santiko Hariani; Djafar, Hasan; Pentahapan Pembangunan Candi Induk Ratnaesih, Maulana; Ramelan, Wiwin Sewu Berdasarkan Data Teknis dan Djuwita Sudjana; Ashari, Chaidir. 2013. Arkeologis.” Universitas Gadjah Mada. Candi Indonesia: Seri Jawa. Edited by Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan. Magetsari, Nurhadi. 1982. “Pemujaan Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Tathagata di Jawa Pada Abad Ke IX.” Budaya dan Permuseuman, Direktorat Universitas Indonesia. Jenderal Kebudayaan, Kementerian Michell, George. 1977. The Hindu Temple: An Pendidikan dan Kebudayaan. Introduction to Its Meaning and Forms. Soekmono. 1974. “Candi: Fungsi dan Chicago: The University of Chicago Pengertiannya.” Universitas Indonesia. Press.

78 KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 27 No. 2, November 2018 (66-79)

Vajracharya, Gautama V. 2014. “Kirtimukha, The Serpentine Motif, and Garuda: The Story of a Lion That Turned into a Big Bird.” Artibus Asiae LXXIV, No.: 311. Ward, Wiliam E. 1952. “The Lotus Symbol: Its Meaning in Buddhist Art and Phylosophy.” The Journal of Aesthetics and Art Criticism 11 (Oriental Art and Aesthetics): 135–46. Wibowo, Cahyo. 1996. “Latar Belakang Tata Letak Candi Perwara Budha di Daerah Prambanan.” Universitas Gadjah Mada. Wilkins, Wiliam Joseph. 1913. Hindu Mythology, Vedic and Puranic. Calcutta: Thacker, Spink & Co.

79