Hariani Santiko, Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna 1

DUA DINASTI DI KERAJAAN MATARĀM KUNA: Tinjauan Prasasti

Hariani Santiko Departemen Arkeologi FIB UI

Abstract. Who was the ruler at center of in 8th-10th centuries at Ancient Mataram Kingdom is still a debatable problem. There are two opinion groups. The one opinion states that there are two dynasties ( and Syailendra dynasty), and the other opinion declares only one dynasty based on assumption Rakai Panagkaran, The son of King Sanjaya, changed his religion to Buddha Mahayana. Based on retranslation inscription of Kalasan, there were two kings on this inscription, namely Śri Mahārāja Dyah Pañcapanam Panamkarana and King Śailendravamsatilaka that was remain as “raja bawahan” (“lower king”) of Śri Mahārāja Dyah Pañcapanam Panamkarana who still had Siwa religion. Rakai Panangkaran was remain as King of Sanjaya Dynasty (Sanjayavamśa) and Śailendravamsatilaka was becoming a king in his “Growing Kingdom”.

Key Words: Śańkara, anŗtagurubhayas, Dhātŗ, inscription of Kalasan, Śailendravamsatilaka.

Penelitian arkeologi mengenai kerajaan Buddha, misalnya candi Kalasan, Sari, Matarām Hindu (Matarām Kuna) sangatlah Plaosan dan lain-lain. menarik, tidak saja mengenai tinggalan Penelitian mengenai tokoh-tokoh arkeologi berupa sarana ritual yang secara yang terkait dengan bangunan-bangunan suci umum disebut candi sangat berlimpah, tetapi tersebut telah banyak dilakukan dengan juga tentang tokoh-tokoh sejarah yang memakai data sumber tertulis khususnya bertanggung jawab akan kehadiran sarana prasasti, di antaranya Prasasti Tuk Mas, ritual keagamaan tersebut. Candi-candi dari Prasasti Canggal (654 Saka/732 Masehi), wilayah Jawa Tengah ini mempunyai gaya Prasasti Kalasan (700 Saka/778 Masehi), arsitektural yang sangat unik, yang memper- Prasasti Kelurak (704 Saka/782 Masehi) dan lihatkan kemahiran si seniman (śilpin) dalam sebagainya, serta berita-berita Cina. usahanya menuangkan pengalaman dengan Tuhannya ke dalam karya seni yang indah Kerajaan Matarām Kuna dan megah, sehingga orang-orang Belanda Nama kerajaan tertua yang disebut yang datang ke Jawa pada abad 18, sangat dalam sumber prasasti di wilayah Jawa mengagumi karya seni keagamaan tersebut. Tengah adalah kerajaan Matarām1) yang lebih Karya seni keagamaan itu mereka sebut dikenal sebagai kerajaan Matarām Kuna kesenian Klasik, karena mengingatkan untuk membedakan dengan kerajaan mereka pada kesenian Romawi dan Yunani Mataram Islam, dengan rajanya bernama yang dikenal sebagai “Classical Period”. Sanjaya. Prasasti tersebut adalah prasasti Di samping itu, candi-candi tersebut Canggal (654 Saka/732 Masehi), yang masih dikelompokkan berdasarkan gaya ditemukan di halaman percandian di atas arsitektural dan latar belakang keagamaan- gunung Wukir di Kecamatan Salam, nya. Kelompok candi-candi tipe utara, Magelang. Prasasti Canggal memakai huruf bersifat agama Siwa, misalnya candi Dieng, Pallawa, berbahasa Sansekerta, dan mem- Gedongsanga, Prambanan, dan candi-candi bicarakan raja Sanjaya yang beragama Siwa, tipe selatan yang berlatar belakang agama yang mendirikan sebuah linga di bukit Sthīranga. Selain Prasasti Canggal, nama 2 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh, Nomor 2, Desember 2013

Sanjaya disebut di Prasasti Mantyasih yang Matarām Kuna, karena Rakai Panangkaran dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah lengkapnya Rakai Panangkaran Dyah Balitung tahun 907 Masehi. Dalam Prasasti Śankhara Śri Sangramadhananjaya adalah Mantyasih terdapat daftar nama raja-raja anak Sanjaya yang berganti agama dari yang memerintah di Medang (rahyangta agama Siwa ke agama Buddha Mahayana. rumuhun ri mdang ri poh pitu). Dalam daftar Pendapat Boechari ini berdasarkan pem- tersebut, Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya bacaannya pada sebuah prasasti yang dipahat disebut pertama, yang kemudian diikuti oleh di atas batu dan dijadikan koleksi Bapak sederetan nama raja yang bergelar Śri Adam Malik. Prasasti berbahasa Sansekerta Mahārāja (Soemadio II, 1993:100 dst). ini bagian atas rusak sehingga tidak ada nama Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya prasasti atau pun angka tahunnya. Boechari dianggap sebagai pendiri dinasti Sanjaya memberi nama prasasti Śankhara, sesuai (Sanjayavamśa) yang berkuasa di kerajaan dengan nama anak raja pada prasasti tersebut, Matarām. Namun penelitian yang me- dan usia prasasti diperkirakan antara Prasasti rekonstruksi jalannya sejarah Matarām kuna, Canggal dan Prasasti Hampran (750 Masehi) telah menghasilkan nama Śailendravamśa di (Soemadio II, 1993:102-103). Prasasti samping Sanjayawamśa. Śailendrawamśa Śankhara pernah ditranskripsi dan di- ditemui dalam beberapa prasasti, antara lain terjemahkan oleh Boechari, tetapi belum dalam Prasasti Kalasan (700 Saka/778 diterbitkan.2) Masehi), Prasasti Kalurak (704 Saka/782 Secara garis besar Prasasti Śankhara Masehi), Prasasti Abhayagiriwihara dari membicarakan ayah Śankhara yang sangat bukit Ratu Baka (714 Saka/792 Masehi), patuh kepada gurunya, memberi “emas yang Prasasti Kayumwungan (824 Masehi), dan enam” kepada Śankhara dengan sebuah janji sebagainya. (?) yang harus dipenuhi. Kemudian ayah Berita prasasti sangatlah penting Śankhara jatuh sakit selama 8 hari kemudian untuk penelitian arkeologi, namun banyak- meninggal. Melihat keadaan itu, Śankhara nya jumlah prasasti tidak menjamin dapat menjadi takut pada “guru yang tidak benar” mengungkapkan data yang kita harapkan lalu meninggalkan agama Siwa dan memeluk untuk diketahui. Misalnya perihal kerajaan agama Buddha Mahayana. Matarām Kuna masih banyak masalah yang Menurut Boechari, ayah Śankhara belum terungkap: adalah raja Sanjaya, sedangkan Śankhara 1. Siapakan pendiri Sanjayavamśa dan sendiri adalah Rakai Panangkaran, ia me- siapakah pendiri Śailendrawamśa? mindahkan pusat kerajaannya ke timur. 2. Ada berapa wangsa-kah di wilayah Letak ibu kotanya yang baru, kemungkinan Jawa Tengah periode Matarām di sekitar Sragen, di sebelah timur Bengawan Kuna? Solo atau di daerah Purwodadi/Grobogan. 3. Benarkan raja kedua dalam daftar Setelah itu ia membangun beberapa candi Prasasti Mantyasih yaitu Śri Buddha, yaitu candi Kalasan, , Plaosan Mahārāja Panangkaran berganti Lor, dan sebagainya. Dari uraiannya tersebut agama, yang semula beragama Siwa Boechari telah mengidentifikasikan Panang- beralih memeluk agama Buddha karan dengan “Śailendrawanśatilaka” yang Mahayana? disebut dalam beberapa prasasti, bahkan Dalam makalah ini tidak akan menurut Boechari, apabila Panangkaran dibicarakan lagi pendapat-pendapat tersebut, identik dengan Śailendravamśatilaka, maka kecuali pendapat Boechari, yang me- seperti yang tertera dalam Prasasti Nalanda, ngemukakan hanya ada satu dinasti di ia berputera Samaragravira dan - Hariani Santiko, Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna 3 dewa, raja Sriwijaya, adalah cucunya Perlu dikemukakan disini, pada baris (Soemadio II, 1993:109-110). selanjutnya (pada bait 3) terdapat kata Pendapat bahwa Rakai Panangkaran “anŗtagurubhayas”6) yang diartikan “takut berpindah agama, menurut Boechari tertera pada guru yang tidak benar” (Soemadio II, dalam Prasasti Śankhara, khususnya bait 3 1993:109), kemungkinan terkait dengan janji yang diawali dengan kalimat: Śankhara yang disebut pada awal-awal So ‘yam tyaktānyabhaktir jagadaśi- prasasti. Tidak jelas isi janjinya, kemung- vaharāc chamkarāc chamkarākhyah… kinan Śankhara berjanji kepada guru mem- Terjemahannya sebagai berikut: “Ia, yang buatkan bangunan suci untuk Dhātŗ dengan bernama Śankhara, setelah meninggalkan “emas yang enam” itu sebagai biayanya, kebaktian kepada (dewa) yang lain, dari dengan harapan agar ayahnya sembuh? Śankhara yang melenyapkan ketidak- Tetapi ketika ayahnya meninggal, Śankhara tenteraman di dunia”3). menyalahkan gurunya, yang disebut Pada dasarnya penulis setuju dengan anŗtaguru-. Namun kemudian, karena takut terjemahan tersebut di atas, hanya ada sedikit pada gurunya, ia dengan kemauannya sendiri perbedaan, sebagai berikut: (svātmabuddhes) memenuhi janjinya dengan “Ia yang bernama Śankhara, yang membuat prāsāda tersebut. kebaktiannya ke yang lain telah Untuk memperkuat pendapat bahwa ditinggalkan, daripada Śankhara, Panangkaran bukan raja dari dinasti Siwa yang menguasai dunia….”4) Śailendra dan tidak beragama Buddha, akan Dari terjemahan tersebut, penulis meragukan penulis sampaikan terjemahan Prasasti bahwa Śankhara berpindah agama, apalagi ke Kalasan, prasasti berbahasa Sansekerta, agama Buddha Mahayana. Pendapat ini memakai huruf Pra-Nagari dari tahun 700 diperkuat oleh syair pada bait 4, dikatakan Saka/778 Masehi, sebagai berikut:7) setelah ia mendirikan prasāda untuk Dhātŗ, Namo bhagavatyai āryātārāyai ia membicarakan moksa yang merupakan 1. yā tārayatyamitaduhkhabhavādbhi kebahagiaan tertinggi. Moksa diperoleh oleh magnam lokam vilokya vidhivattrividhair para vratin (pertapa) yang suci melalui upayaih Sā 8) vah surendranaralokavi pengetahuan (jñāna), yang diperoleh dari bhūtisāram tārā diśatvabhimatam puteri Dhātŗ (Saraswati ?). (śreyo moksān na jagadekatārā param adhikam kathyate jñānavidbhir, 2. āvarjya 9) mahārājam dyāh pañcapanam moksās so’pi vratibhir anaghair labhyate panamkaranām Śailendra rājagurubhis jñānahetoh , tac ca jñānam vratibhir amalam tārābhavanam hi kāritam śrīmat labhyate yat prasādād, dhatuh putrī janaya 3. gurvājñayā kŗtajñais 10) tārādevī kŗtāpi tu(s)tarām vanditā (n)ah kavitvam). tad bhavanam vinayamahāyānavidām Konsep moksa tidak dipakai dalam bhavanam cāpyāryabhiksūnām agama Buddha. Demikian pula pada bait 4. pangkuratavānatīripanāmabhir penutup selain Bhiksu dan Sanggha, disebut ādeśaśastribhīrājñah Tārābhavanam tokoh/ kelompok lain, yaitu puteri Dhātŗ, kāritam idam api cāpy āryabhiksūnam vratin, kulapati, raja (nrpatir) pelindung para 5. rājye pravarddhamāne 11) rājñāh Dasyu, sehingga dengan menyebut Buddha śailendravamśatilakasya dan Bhiksu tidak menjamin raja beragama śailendrarajagurubhis tārābhavanam Buddha. Bagian ini sebagai penutup prasasti kŗtam kŗtibhih yang mendoakan semua yang disebut 6. śakanŗpakālātītair varsaśataih saptabhir bernasib baik. mahārājah akarod gurupūjārtham 12) tārābhavanam panamkaranah 4 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh, Nomor 2, Desember 2013

7. grāmah kālasanāmā dattah samghāyā 5. Sebuah bangunan suci Tārā telah sāksinah kŗtvā pankuratavānatiripa didirikan oleh guru-guru raja Śailendra di desādhyaksān mahāpurusān kerajaan Permata Wangsa Śailendra yang 8. bhuradaksineyam 13) atulā dattā sedang tumbuh samghāyā rājasimhena 6. Mahārāja Panangkarana mendirikan śailendrarajabhūpair bangunan suci Tārā untuk menghormati anuparipālyārsantatyā guru pada tahun yang telah berjalan 700 9. sang pangkurādibhih sang tahun. tāvānakādibhih sang tīripādibhih 7. Desa bernama Kalasa telah diberikan pattibhiśca sādubhih , api ca, untuk Samgha setelah memanggil para 10. sarvān evāgāminah pārthivendrān bhūyo saksi orang-orang terkemuka penguasa bhūyo yācate rājasimhah, sāmānyoyam desa yaitu Pangkura, Tavana, Tiripa. dharmmasetur narānām kāle kāle 8. Sedekah “bhura” yang tak ada pālanīyo bhavadbhih bandingannya diberikan untuk Sangha 11. anena punyena vīhārajena pratītya jāta 14) oleh “raja yang bagaikan singa” arthavibhāgavijñāh bhavantu sarve (rājasimha-) oleh raja-raja dari wangsa tribhavopapannā janājinānām Śailendra dan para penguasa selanjutnya anuś푎sanajñāh berganti-ganti. 12. kariyānapanamkaranah śrimān 9. Oleh para Pangkura dan pengikutnya, abhiyācate bhāvinŗpān, bhūyo bhūyo sang Tavana dan pengikutnyam sang vidhivad vīhāraparipālan ārtham iti. Tiripa dan pengikutnya, oleh para prajurit, dan para pemuka agama, kemudian Terjemahan: selanjutnya, 10. “Raja bagaikan singa” (rājasimhah) Hormat untuk Bhagavatī Ārya Tārā minta berulang-ulang kepada raja-raja 1. Setelah melihat mahluk2 di dunia yang yang akan datang supaya Pengikat tenggelam dalam kesengsaraan, ia Dharma agar dilindungi oleh mereka menyeberangkan (dengan) Tiga Pe- yang ada selama-lamanya. ngetahuan yang benar, Ia Tarā yang 11. Baiklah, dengan menghibahkan vihara, menjadi satu-satunya bintang pedoman segala pengetahuan suci, Hukum Sebab arah di dunia dan (tempat) dewa-dewa. Akibat, dan kelahiran di tiga dunia 2. Sebuah bangunan suci untuk Tārā yang (sesuai) ajaran Buddha, dapat difahami. indah benar2 telah disuruh buat oleh guru- 12. Kariyana Panangkarana minta berulang guru raja Śailendra, setelah memperoleh -ulang kepada yang mulia raja-raja yang persetujuan Mahārāja dyāh Pancapana akan datang senantiasa melindungi Panamkarana vihara yang penting ini sesuai peraturan. 3. Dengan perintah guru, sebuah bangunan suci untuk Tārā telah didirikan, dan Berdasarkan terjemahan prasasti demikian pula sebuah bangunan untuk tersebut, dalam Prasasti Kalasan terdapat para bhiksu yang mulia ahli dalam ajaran dua orang raja, yaitu Śri Mahārāja Mahāyana, telah didirikan oleh para ahli Dyāh Pancapana Panamkarana dan raja 4. Bangunan suci Tārā dan demikian juga itu Śailendravamsatilaka (permata wangsa (bangunan) milik para bhiksu yang mulia Śailendra). Bahwa ada dua orang raja pada telah disuruh dirikan oleh para pejabat Prasasti Kalasan, telah dikemukakan raja, yang disebut Pangkura, Tavana, oleh Van Naerssen (1947) dan J.G.de Tiripa. Casparis (1950). Menurut mereka, Rakai Hariani Santiko, Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna 5

Panangkaran adalah raja bawahan raja Selanjutnya Raja Śailendravamśa- Śailendravamsatilaka, yang disuruh mem- tilaka disebut dalam beberapa prasasti, yaitu bangun Tārābhavanam untuk raja Śailendra Prasasti Kelurak (782 Masehi), Prasasti (Sumadio II, 1984:89-90). Namun sebalik- Abhayagirivihara di bukit Ratu Baka (792 nya, menurut pendapat penulis, justru Masehi), Prasasti Kayumwungan (824 Śailendravansatilaka-lah raja bawahan Masehi), Prasasti Ligor B (775 Masehi), dan Panangkaran, dengan alasan sebagai berikut: Prasasti Nalanda (abad 9). Dalam Prasasti 1. Rakai Panangkaran bergelar “Śri Kelurak, Śailendravamsatilaka yang bergelar Mahārāja”, sedangkan Śailendravam- Śri Wirawairimathana (pembunuh musuh śatilaka bergelar “rāja” saja yang gagah berani), ia mendirikan sebuah 2. Tārābhavanam didirikan “di kerajaan bangunan suci untuk Mañjusri atau Śailendravamśatilaka yang sedang Mañjugosha, diresmikan oleh gurunya tumbuh/ berkembang” (5. rājye pravard pendeta Kumaragosha yang datang dari dhamane rājñah śailendravamśatila- Gaudidvipa. Bangunan suci yang disebut kasya ….). dalam Prasasti Kelurak adalah candi Sewu, 3. Untuk mendirikan bangunan suci itu pun walaupun bukan bentuknya yang sekarang, raja Śailendra mengutus guru-gurunya karena candi Sewu dibangun tiga kali minta perkenan Śri Mahārāja dyāh (Kusen, 1991-1992:57; Santiko, 2010). Pancapana Panamkarana. Kalau Rupanya raja Śailendravamśatilaka Panangkaran raja bawahannya, mengapa tahun 782 keadaannya sudah lebih baik ia harus minta ijin pada Panangkaran daripada saat mendirikan Tārābhavanam di terlebih dulu? “grāma-kālasanāma--” tahun 778 Masehi. 4. Usaha guru-guru itu disetujui Pada Prasasti Nalanda dari raja oleh Panangkaran untuk tujuan Devapaladeva dari abad 9, kita jumpai nama “gurupūjārtham” yang berarti “ber- Śailendravamśatilaka yang bergelar Śri tujuan menghormat Guru”. Dengan Viravairimathana. Ia raja Jawa, berputera demikian persetujuan Panangkaran Samaratunga yang kawin dengan Tārā, anak untuk mendirikan Tārābhavanam adalah raja Dharmasetu dari Somawamśa. Dari “untuk menghormat guru” (guru- pernikahan ini lahirlah raja Balaputradewa, pūjārtham) yang menghadap Panang- raja Sriwijaya, yang beragama Buddha, dan karan untuk minta perkenan mendirikan telah mendirikan sebuah vihara di Nalanda Tarabhavanam, dan bukan karena (Sumadio II, 1993:112). Panangkaran beragama Buddha Maha- Dengan adanya pendapat 2 dinasti di yana yang berkepentingan dengan Jawa tengah, maka Samaratungga bukan pemujaan di Tārābhavanam tersebut. anak Panangkaran, melainkan anak raja Bahwa seorang raja bawahan maupun Śailendravamśatilaka yang memerintah di rakyat tidak harus mempunyai agama Jawa. Bagaimana kelanjutan hubungan kedua yang sama dengan rajanya, dibuktikan dinasti raja tersebut, hingga kini berbagai oleh banyaknya sisa-sisa candi Saiwa di penelitian masih mengikuti pendapat De sekitar candi . 15) Casparis tentang terjadinya hubungan Dari prasasti Kalasan ini kita ketahui pernikahan antara (Sanjaya- raja Śailendravamśatilaka, mungkin baru vamśa) dengan Pramodhawarddhani, puteri datang atau baru mendirikan kerajaannya, Samarotungga (De Casparis 1956). dan menjadi raja bawahan Śri Mahārāja Panangkaran, seorang raja Sanjayavamśa., anak raja Sanjaya. 6 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh, Nomor 2, Desember 2013

Penutup terlebih dahulu ke Śri Mahārāja Panam- Berdasarkan terjemahan Prasasti karana, melalui guru-gurunya. Kalasan (700 Saka/778 Masehi), di wilayah Rakai Panangkaran tidak beralih Jawa Tengah abad 8-10 terdapat 2 dinasti, agama, ia menyetujui pendirian Tārā- yaitu dinasti Sanjaya (Sanjayavamśa) dan bhavanam untuk “menghormati” para guru dinasti Śailendra (Śailendravamśa). Raja (gurupūjārtham). Mungkin hal ini pulalah Śailendravamśa ketika itu berkedudukan alasan yang dipakai oleh raja Śailendra untuk sebagai raja bawahan Śri Mahārāja Dyāh mengirim guru-gurunya minta perkenan Pancapana Panangkarana. Oleh karenanya Maharaja Panangkaran untuk mendirikan untuk mendirikan Tārābhavanam di kerajaan- Tarabhavanam. nya sendiri pun yang dikatakan sedang berkembang / tumbuh (…rājye pravarddhamane…), ia harus minta ijin

Catatan: 1) Nama Holing kita kenal dari berita Cina dari dinasti Tang (618-906 Masehi), yang menyebut Jawa dengan Holing sampai tahun 818 Masehi, kemudian berubah menjadi She- p’o. Selain berita Cina tidak (belum?) ditemukan prasasti yang menyebut/ membicarakan Holing. 2) Transkrip dan terjemahan sementara dari Prof.Boechari, penulis dapat dari Dr Ninie Susanti. 3) Penulis tidak yakin benar apakah terjemahan ini adalah terjemahan Boechari. 4) Kata “hara” dari akar hr, berarti “mengambil, mengangkat, membawa, menguasai”, tetapi dalam kitab-kitab Purāna, Siwa sebagai “Hara” juga berarti “melenyapkan kesusahan” 5) Dhātŗ adalah nama lain dewa Brahmā, tetapi puteri Brahmā, tidak pernah disinggung baik dalam Purāna, maupun mitos, kalau isteri Brahma, yaitu Saraswati sering disinggung, mungkin Dhatr disini yang dimaksud adalah Saraswati, apalagi ia memberi wejangan para Vratin dalam usaha mencapai moksa. 6) Pada transkrip yang penulis dapat, kata ini berbunyi “amŗtagurubhayas” bukan “anŗtagurubhayas”. 7) Transkripsi prasasti Kalasan penulis memakai trankripsi Himansu Bhusan Sarkar (l971) yang dibandingkan dengan transkripsi Lokesh Chandra (1974). 8) Korelasi “sah….yah” diterjemahkan dengan “ia….yang”, ia …itu” 9) Kata āvarjya, dari akar vrj+ā, dalam bentuk absolutif. 10) Kata “krtajnais-“ mempunyai arti yang sama dengan “karmajnais-“ dalam prasasti Dinoyo yang berarti “para ahli” (Sarkar, 1971: 39, catatan no.37). 11) Kata “pravarddhamane” dari akar vŗdh yang berarti tumbuh, dibentuk dalam partisipium aktif dengan akhiran kasus lokatif karena menjelaskan “rājye”, yang berarti “ di kerajaan yang sedang tumbuh/berkembang”. 12) “ gurupūjārtham” berarti “ bertujuan menghormat guru “ 13) Bhuradaksina, kata “bhura” ada beberapa arti, banyak, luas, bersinar 14) Kata pratītyajata-, menurut Lokesh Chandra (1994:73) pengertiannya disamakan dengan pengertian pratītyasamutpada- 15) Pada tahun 1973 dan 1975, penulis melakukan survei di sekitar candi Borobudur dalam radius 10 km (tahun 1973) dan dalam radius 5 km (tahun 1975) dengan memakai laporan N.J.Krom dan Verbeek (1914-1924) sebagai acuan. Ternyata sekitar 50 (thn 1975 ada 30, dan selebihnya tahun 1973) terdapat sisa candi Saiwa dari batu bata ada di sekitar candi Borobudur, termasuk candi Bowongan (radius 3 km). Hariani Santiko, Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna 7

DAFTAR RUJUKAN Chandra, L. 1994. The Sailendra of Java, Journal of the Asiatic Society of Boechari. Transkripsi Sementara Prasasti Bombay, volume 67-68 (New Batu Koleksi Bapak Adam Malik. Series). Belum terbit. Poesponegoro, M.D., dan Notosusanto, N. Casparis, J.G.de, 1950. Inscriptie Uit de 1993. Sejarah Nasional II. Sailendra-tijd (Prasasti Indonesia I). Jakarta: Balai Pustaka. Bandung: Sumur. Santiko, H. 2010. “Sifat Keagamaan Candi Casparis, J.G.de. 1956. Selected Inscription Sewu dan Candi Prambanan”, dalam from the 7th to the AD. Menjaga Warisan Umat Manusia, Bandung: Masa Baru. Pameran Candi Prambanan dan Kusen. 1991-1992. “Alih Aksara dan Candi Sewu. Terjemahan Prasasti Manjusrigrha”, Sarkar, H.B. 1971. Corpus of the Inscription dalam Candi Sewu Sejarah dan of Java (up to 928 AD), vol I, Pemugarannya, (Anom, eds). hal 93- Calcutta: Firma K.LMukhopadhyaya. 94. Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Van Naerssen. 1947. “The Sailendras Peninggalan Sejarah dan Purbakala Interregnum, dalam India Antiqua,” hal. Jawa Tengah. 249.