SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF

Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan di di Era Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun oleh: Mohammad Naufal Eprillian Salsabil NIM: 11151120000063

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2019

SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF

Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan di Indonesia di Era Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: Mohammad Naufal Eprillian Salsabil 11151120000063

Pembimbing,

Dr. Ali Munhanif, M.A NIP : 196512121992031004

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul :

SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan di Indonesia di Era Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini sudah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya kemudian

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 September 2019

Mohammad Naufal Eprillian Salsabil

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SRIPSI

Dengan ini, pembimbing skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Mohammad Naufal Eprillian Salsabil

NIM : 11151120000063

Program Studi : Ilmu Politik

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF- LEGISLATIF STUDI PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN DI ERA REFORMASI DAN TURKI PASCA REFERENDUM 2017 dan telah diujikan dalam sidang skripsi

Jakarta, 14 Oktober 2019

Mengetahui Mengetahui

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Iding Rasyidin, M.Si Dr. Ali Munhanif, M.A

NIP. 197010132005011003 NIP. 196512121992031004

iii

LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI

SKRIPSI SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan di Indonesia di Era Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017

Oleh Mohammad Naufal Eprillian Salsabil 11151120000063

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Oktober 2019 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.

Ketua, Sekretaris,

Dr. Iding Rasyidin, M.Si Suryani, M.Si NIP. 197010132005011003 NIP. 197704242007102003

Penguji I Penguji II

Dr. Sirojuddin Aly, M.A. Dr. Shobahussurur, M.Ag NIP: 195406052001121001 NIP. 196411301998031001

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 14 Oktober 2019.

Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta

Dr. Iding Rasyidin, M.Si NIP. 197010132005011003

iv

ABSTRAK

MOHAMMAD NAUFAL EPRILLIAN SALSABIL

SISTEM PRESIDENSIAL DAN DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF- LEGISLATIF Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017

Skripsi ini membahas mengenai perbandingan politik: sistem presidensial antara Indonesia dengan Turki. Indonesia dan Turki memiliki sejarah yang panjang mengenai bentuk pemerintahan. Indonesia yang pada masa lalu berada di bawah pemerintahan kolonial beberapa negara Eropa mulai dari Portugal, Belanda, Inggris dan yang terakhir adalah Jepang. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia menerapkan pemerintahan sistem presidensial hingga pada 17 Agustus 1950 Indonesia merubah sistem pemerintahan menjadi parlementer dan kembali lagi menjadi sistem presidensial setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga saat ini. Turki juga memiliki sejarah panjang mengenai bentuk pemerintahan mulai dari berdiri pada 1923 yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer lalu berganti menjadi sistem parlementer pada 2017. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses sistem presidensial di Indonesia pada era Reformasi dan Turki pasca Referendum Konstitusi 2017.

Penelitian ini menggunakan teori sistem presidensial, perbandingan politik, kekuasaan dan hubungan eksekutif dengan legislatif, dan partai politik dalam sistem presidensial. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif untuk dapat meneliti lebih dalam dan lebih terarah mengenai perbandingan sistem presidensial di Indonesia dan Turki.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa praktik sistem presidensial di Indonesia dan Turki berbeda. Praktik sistem presidensial di Indonesia masih dipengaruhi oleh kekuatan partai politik dalam dua kasus. Sedangkan di Turki, praktik sistem presidensial dipengaruhi oleh kekuatan eksekutif dan kesolidan partai koalisi.

Kata Kunci: Indonesia, Turki, Sistem Presidensial, Perbandingan.

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Sistem Presidensial Dan Dinamika Hubungan Eksekutif-

Legislatif Studi Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi dan Turki Pasca Referendum 2017”. Selama penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai kesulitan dan hambatan, namun berkat dukungan dan doa dari mereka yang terlibat dalam penulisan skripsi ini. Alhamdulillah skripsi ini dapat diselesaikan. Dan karenanya, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa orang yang telah berjasa dalam penyusunan skripsi ini, yakni:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A selaku Rektor

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Ali Munhanif, M.A selaku Dekan dan Dosen Pembimbing

Skripsi saya yang telah membimbing, mengarahkan dan meluangkan

waktunya selama proses penyusunan skripsi.

3. Bapak Dr. Ahmad Bakir Ihsan, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang

Akademik dan dosen seminar proposal skripsi Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Agus Nugraha, M.A selaku dosen Pembimbing Akademik yang

telah membantu dan mengarahkan saya dalam pengerjaan skripsi.

vi

5. Bapak dan Ibu seluruh dosen Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial

dan Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua saya Bapak Dede Apih Hurni dan Ibu Yunita Permata

Ikawati dan adik-adik saya Siti Nadhifah Eprillia Salsabila dan

Mohammad Haudialwan Zakiya.

7. Kedua nenek saya Mbah Ika Mudrikah dan Nien Tjitjih Sukaesih yang

sudah mendukung pembuatan skripsi.

8. Bapak Rudy Alfonso yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk

diwawancara sebagai narasumber.

9. Seluruh teman-teman kelas Polbe yang sudah belajar bersama selama

empat tahun.

10. Bapak Acang, Bapak Nursiwan, Bapak Ridwan, Bapak Wakit, Ibu Farida

dan Ibu Sariyati.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang terlibat membantu dalam proses pengerjaan skripsi. Tanpa bantuan mereka yang terlibat, tentu tidak akan mudah mengerjakan skripsi ini.

Jakarta, 2019

Mohammad Naufal Eprillian Salsabil Nim : 11151120000063

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...... i

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...... iv

ABSTRAK ...... v

KATA PENGANTAR ...... vi

DAFTAR ISI ...... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah...... 1

B. Pertanyaan Penelitian ...... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 10

1. Tujuan Penelitian ...... 10

2. Manfaat Penelitian...... 11

D. Tinjauan Pustaka ...... 11

E. Metode Penelitian ...... 16

1. Pendekatan Penelitian ...... 16

2. Teknik Pengumpulan Data ...... 17

3. Teknik Analisis Data ...... 17

F. Sistematika Penulisan ...... 18

viii

BAB II KERANGKA TEORETIS

A. Teori Sistem Presidensial ...... 20

B. Perbandingan Politik dan Pemerintahan...... 26

C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif ...... 30

D. Partai Politik Dalam Presidensialisme ...... 33

BAB III PERJALANAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

DAN TURKI

A. Sistem Presidensial di Indonesia ...... 39

1. Era Orde Lama ...... 39

2. Era Orde Baru ...... 50

3. Era Reformasi ...... 53

B. Sistem Presidensial di Turki ...... 59

1. Era Mustafa Kemal Ataturk ...... 59

2. Era Multi Partai ...... 61

BAB IV ANALISA PERBANDINGAN SISTEM PRESIDENSIA-

LISME DI INDONESIA DAN TURKI

A. Sistem Presidensial di Indonesia ...... 71

1. Kekuasaan Presiden Indonesia ...... 71

2. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia...... 73

3. Penunjukkan Para Menteri di Era Kabinet Kerja

2014-2019 ...... 75

ix

4. Hubungan Presiden dengan DPR RI ...... 78

B. Sistem Presidensial di Turki ...... 85

1. Kekuasaan Presiden Turki ...... 85

2. Kekuasaan Parlemen Turki ...... 86

3. Pemilihan Menteri oleh Presiden...... 88

4. Hubungan Presiden dengan Majelis Agung Nasional

Turki ...... 89

C. Perbandingan: Persamaan dan Perbedaan Pelaksanaan

Sistem Presidensial di Indonesia dengan Turki ...... 95

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...... 98

B. Saran ...... 101

DAFTAR PUSTAKA ...... 102

LAMPIRAN

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Dalam ilmu politik, konsep mendasar tentang negara didefinisikan sebagai suatu organisasi yang bekerja di dalam sebuah wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi resmi dan dipatuhi oleh rakyatnya.1 Negara merupakan salah satu lembaga utama yang mengatur dan mengelola sistem perpolitikan sebuah bangsa.

Dalam pengertian ini, negara menjadi alat dari masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan antar-manusia dalam masyarakat dan juga mengatur tanda-tanda kekuasaan dalam masyarakat. Negara juga memiliki fungsi menetapkan aturan-aturan dan batasan di mana kewenangan atau kekuasaan dapat diterapkan di dalam dunia nyata baik oleh perseorangan, kelompok, golongan, ataupun oleh penguasa negara itu sendiri.2 Harold Laski, seperti yang dikutip dalam buku Miriam Budiardjo, menyatakan bahwa negara adalah

Suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk dapat memenuhi terkabulnya keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun asosiasi-asosisasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.3

1Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 17. 2Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 47-48. 3Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 48.

1

Dalam usahanya mengatur kewenangan dan kekuasaan dalam suatu negara inilah sebuah konsep yang disebut pemerintah muncul.4 Kata pemerintah dan pemerintahan terdapat perbedaan makna, pemerintah lebih terkait tentang pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat, sedangkan pemerintahan lebih terkait dengan segala aktivitas yang dilakukan oleh orang- orang yang berkuasa di negara tersebut untuk mencapai tujuan dari negara tersebut. Dalam pengertian ini, secara sempit fungsi dari adanya suatu pemerintah berarti terkait dengan aktor di lembaga eksekutif yakni kepala pemerintahan beserta jajaran para menteri di dalam kabinet, tetapi secara umum berarti seluruh aparat atau jajaran di dalam pemerintahan baik eksekutif, legislatif, yudikatif melaksanakan tugasnya di bidangnya masing-masing.5 Dengan berpedoman pada pengertian yang luas itulah sistem pemerintahan pada sebuah negara mempunyai arti penting, yakni suatu tatanan utuh yang terdiri dari beberapa komponen pemerintahan yang saling berkaitan dan saling memengaruhi dalam tugas dan fungsi untuk memerintah.6

Salah satu sistem pemerintahan yang dikenal dalam politik modern adalah sistem pemerintahan presidensial. Negara Indonesia dan Turki, dengan sejarah perjalanan dan dinamika yang berbeda-beda, menerapkan sistem pemerintahan

4Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 214. Kata pemerintah secara etimologi berasal dari Bahasa Yunani “kubernan” yang berarti nahkoda kapal. Maksud dari kata nahkoda kapal disini adalah melihat ke depan yang mana dalam menentukan kebijakan yang diambil untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, selalu merencanakan tahap- tahap kebijakan untuk menghadapi masa depan negara, serta mempunyai tujuan yang telah direncanakan. 5Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 216. 6Teuku Saiful Bahri Johan, Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara dalam Tataran Reformasi Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish), h. 249.

2

presidensial. Skripsi ini hendak mengkaji dan menganalisis dinamika dari penerapan sistem presidensial di Indonesia dan Turki.

Peneliti melakukan perbandingan antara Indonesia dan Turki karena kedua negara ini adalah dua negara yang pernah menerapkan dua sistem pemerintahan yang berbeda yakni sistem parlementer dan sistem presidensial. Indonesia menerapkan sistem presidensial pertama kali pada 18 Agustus 1945 sampai 17

Agustus 1950. Setelah itu, Indonesia menerapkan sistem parlementer sejak 1950 hingga Dekrit Presiden 1959. Sistem parlementer gagal dalam membentuk konstitusi baru sehingga Indonesia kembali ke UUD 1945 dan kembali menerapkan sistem presidensial dan bertahan hingga saat ini.7 Begitu juga di

Turki yang mana pertama kali menerapkan sistem parlementer sejak berdiri pada

29 Oktober 1923 hingga referendum konstitusi 2017. Sejak 2017, sistem presidensial diterapkan di Turki. Sistem presidensial lebih efektif karena proses pembuatan kebijakan yang tidak bertele-tele di parlemen yang selama ini dianggap memperhambat kinerja pemerintah.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus

1945, sistem presidensial segera dianut dan dicantumkan dalam UUD 1945. Salah satu alasannya adalah kesadaran para tokoh pergerakan yang tergabung dalam

BPUPKI mengadopsi sistem pemerintahan yang sudah berjalan lama pada Hindia-

Belanda. Tidak lama setelah itu, Kabinet Presidensial terbentuk. Pada 18 Agustus

PPKI menggelar sidang pertama pada 18 Agustus 1945 yang mana isinya adalah mengesahkan UUD 1945, memilih dan mengangkat Soekarno sebagai Presiden

7 Paizon Hakiki, “Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1949- 1959”, Jurnal Online Mahasiswa Vol 1, No.1, 2014.

3

dan sebagai Wakil Presiden, dan untuk sementara tugas pemerintah dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum MPR dan DPR terbentuk.

Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi bahwa

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.8 Namun pada tanggal 14 November 1945, perdana menteri menjalankan fungsinya sebagai kepala pemerintahan dan presiden hanya sebagai kepala negara. Kabinet Sjahrir I menjadi kabinet pertama dan menjadi perdana menteri. Lalu dilanjutkan dengan Amir Sjarifuddin dan Mohammad Hatta. Setelah Konferensi

Meja Bundar pada 27 Desember 1949, Indonesia berubah menjadi Republik

Indonesia Serikat (RIS) dan UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950. Dalam rentang 1950-1959 Indonesia menjadi era Demokrasi Liberal yang mana perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen, banyaknya partai politik. Di era ini terdapat 7 kali pergantian kepala pemerintahan. Di era ini juga banyak terjadi pemberontakan di daerah seperti PRRI, , DI/TII. Pada 5 Juli 1959

Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisikan bahwa, sistem kenegaraan dan pemerintahan RI kembali ke UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.

Setelah 1959 Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin di mana

Presiden Soekarno memperkuat wewenang eksekutif. Peran partai politik dalam membentuk koalisi antara partai pro pemerintah dan oposisi menemui kegagalan.

Era Demokrasi Parlementer ini cenderung tidak demokratis karena dua partai politik yakni Partai Masyumi dan PSI dibubarkan oleh pemerintah karena

8 Pasal 1 ayat 1 UUD 1945.

4

dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI.9 Pada era ini Partai Komunis

Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sama-sama berusaha mendekati Presiden Soekarno supaya dapat berpengaruh di pemerintahan.

Presiden Soekarno dalam era Demokrasi Terpimpin mengangkat dirinya sendiri menjadi presiden seumur hidup dan ini mengakibatkan tidak adanya check and balances antara eksekutif dengan legislatif.10

Sistem presidensialisme semakin dipraktikkan secara lebih kuat pada masa

Orde Baru. Presiden Soeharto, yang menerima mandat memerintah pada 1966, tidak lama setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966, memperkuat sistem presidensial yang hampir mirip dengan era Demokrasi Terpimpin era Soekarno.

Hubungan antara eksekutif dengan legislatif begitu kuat yang mana legislatif diisi oleh mayoritas dari partai pendukung pemerintah yakni Golongan Karya (Golkar) dan fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Jika pada era

Presiden Soekarno terdapat konflik-konflik baik dari luar maupun dalam negeri, di era Presiden Soeharto cenderung stabil bahkan nyaris tidak ada krisis politik karena adanya peran tentara dalam menjaga stabilitas dan keamanan, dalam bentuk Dwi Fungsi ABRI.11 Di era Orde Baru ini, presiden dipilih oleh MPR.

Memasuki era Reformasi pada 1998 yang diawali dengan pengunduran diri Presiden Soeharto dan B.J Habibie naik menjadi presiden memunculkan harapan agar tidak terjadi lagi otoriterianisme. Reformasi politik pada era Presiden

Habibie menjadwalkan pemilu yang demokratis di tahun 1999. Pemilu tahun 1999

9Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta: AIPI, 2018), 2018, h. 56. 10Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 85. 11Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 157.

5

diikuti oleh 48 partai politik berkembang dari era Orde Baru yang hanya ada 3 partai politik. Lahirnya undang-undang partai politik, pemilu, dan kedudukan

MPR, DPR, DPD yang disahkan pada tahun 1999.12 Pada era Presiden

Abdurrahman Wahid reformasi dalam politik mengalami berbagai perubahan salah satunya adalah mengurangi peran perwira TNI di dalam perpolitikan. Era

Presiden Abdurrahman Wahid menginisiasi perdamaian konflik antara Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan Organisasi Papua Merdeka

(OPM). Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mendapat status otonomi khusus dan berhak menjalankan syariat Islam di wilayah tersebut.13 Hubungan antara eksekutif dengan legislatif di era ini memburuk salah satu alasannya adalah

Presiden sering mengganti anggota menteri Kabinet Persatuan Nasional tanpa alasan yang jelas, membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan,

Pencabutan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pelarangan PKI dan pelarangan penyebaran ajaran komunisme.14 Pada tahun 2001, Presiden

Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh legislatif yakni MPR.15

Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, check and balances lembaga eksekutif dan legislatif mengalami peningkatan dan peran DPR kembali menguat.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati kerap terganjal oleh DPR yang menggunakan hak interpelasi beberapa contoh kebijakan diantaranya adalah kasus lepasnya dua pulau yakni Sipadan dan Ligitan, kunjungan presiden ke

Timor Leste sebagai negara merdeka. Di era Susilo Bambang Yudhoyono pada

12Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 134. 13Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta: AIPI, 2018), h. 262. 14Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 315. 15Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 318.

6

periode 2004-2014 cenderung lebih demokratis karena pemilihan umum pada tahun 2004 merupakan pemilu secara langsung dipilih oleh rakyat baik eksekutif maupun legislatif. Era Presiden SBY juga cenderung mampu meminimalisir konflik-konflik komunal yang sebelumnya konflik-konflik tersebut merebak ke masyarakat. Selain itu MPR dan DPR bekerja tanpa adanya konflik dengan eksekutif.

Perjalanan panjang Indonesia dalam menerapkan sistem presidensialime sedikit banyak berbeda dari Republik Turki. Seperti halnya Indonesia, Turki memiliki sejarah yang panjang dalam sistem pemerintahan. Namun demikian, pilihan untuk menganut sistem presidensial diambil setelah terjadinya berbagai krisis yang muncul dalam pemerintahan parlementer. Pada mulanya, Turki merupakan wilayah ibu kota dari Kesultanan Turki Usmani yang menganut sistem pemerintahan khilafah, di mana Sultan Turki Usmani menjadi pemimpin tertinggi.

Berdiri pada 1299, kekhilafahan Turki mencapai puncak kejayaan setelah Sultan

Muhammad Al Fatih merebut kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453.

Setelah itu Turki Usmani mampu menguasai beberapa wilayah di sebagian Eropa,

Afrika, semenanjung Arab. Turki Usmani mengalami kemunduran pada awal abad ke-20 karena permasalahan internal dan eksternal dan pada akhirnya pada tanggal

3 Maret 1924, kekhilafahan Turki Usmani benar-benar hilang dan digantikan oleh

Republik Turki yang dideklarasikan oleh Mustafa Kemal Ataturk pada tanggal 29

Oktober 1923.

Republik Turki mengadopsi sistem pemerintahan yang ada di negara

Barat. Kepala negara dipimpin oleh seorang presiden dan kepala pemerintah

7

dipimpin oleh perdana menteri. Dibawah Mustafa Kemal Ataturk, Turki menerapkan nilai-nilai yang berorientasi Barat dalam semua aspek kehidupan termasuk politik.16 Turki mengadopsi sistem demokrasi, sekuler, republik konstitusional. Republik Turki setelah wafatnya Mustafa Kemal Ataturk pada tahun 10 November 1938 dan memasuki era multi partai 1946, Republik Turki mengalami banyak pergolakan di dalam pemerintahan terutama karena intervensi dari pihak militer.

Pihak militer beralasan bahwa pemerintahan sipil terlalu lemah dan gagal dalam mengatasi permasalahan-permasalahan instabilitas seperti politik, sosial, ekonomi.17 Selanjutnya pihak militer melancarkan aksi kudeta di tahun 1960,

1971, 1980, 1997, dan yang terbaru adalah percobaan kudeta yang gagal pada tanggal 15 Juli 2016. Kudeta 1980 merupakan kudeta yang memiliki dampak yang signifikan dimana hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Turki dikontrol ketat oleh militer dibawah pimpinan Jenderal Kenan Evren. Semua partai-partai politik dibubarkan, parlemen dibubarkan, aset-aset masyarakat disita. Tidak hanya itu, lebih dari 650.000 orang ditangkap, 230.000 orang diadili, para akademisi seperti guru, hakim, dosen dipensiunkan oleh pihak militer.18

Karena banyaknya intervensi dari pihak militer, pada awal abad ke-21 ketika Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan berkuasa semenjak memenangkan pemilu di tahun 2002 muncul banyak opini untuk melakukan perubahan pada sistem pemerintahan Turki. Di tahun 2005,

16Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, “Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer”, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 111. 17Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki”, (Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018), h. 2. 18Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, (Jakarta: PT. Gramedia, 2018), h. 170.

8

Menteri Kehakiman Cemil Cicek mengusulkan untuk melakukan perubahan dan ide ini didukung oleh Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.

Pada 2016 setelah percobaan kudeta yang gagal oleh sekelompok militer,

Recep Tayyip Erdogan dan Partai AKP semakin yakin untuk mengadakan referendum untuk dapat mengubah sistem pemerintahan yang presidensial dari sebelumnya yang berbentuk parlementer. Pada awal tahun 2017, rencana untuk mengadakan referendum disetujui oleh mayoritas parlemen. Berikut ini adalah poin-poin utama di dalam referendum konstitusional 2017 :

1. Memberikan kekuasaan lebih luas kepada presiden

2. Presiden dapat berkuasa hingga dua periode

3. Presiden menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan

4. Presiden dan tiga perlima anggota parlemen bisa menentukan pemilu untuk

digelar dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.19

Referendum konstitusional akhirnya digelar pada tanggal 16 April 2017.

Hasil referendum yang diiniasikan oleh Recep Tayyip Erdogan secara mayoritas masyarakat Turki yang mana berarti menghendaki perubahan bentuk pemerintahan dari parlementer menjadi presidensial. Sejak itu, Turki resmi menjadi negara dengan sistem pemerintahan presidensial.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yakni membandingkan sistem presidensial di Indonesia dan Turki karena kedua negara memiliki sejarah panjang untuk dapat menjadi negara dengan sistem pemerintahan presidensial.

19"Teks lengkap dari proposal amandemen konstitusi 18-poin", https://en.wikipedia.org/wiki/2017_Turkish_constitutional_referendum. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2018

9

B. Pertanyaan Penelitian

Setelah penjelasan dari rumusan masalah diatas, untuk lebih memfokuskan penelitian ini, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana praktik sistem presidensial Indonesia di era Presiden Joko

Widodo?

2. Bagaimana praktik sistem presidensial Turki di era Presiden Recep Tayyip

Erdogan?

3. Adakah persamaan dan perbedaan yang muncul dalam praktik sistem

presidensial di kedua negara tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan sistem presidensial di

Indonesia dengan Turki

b. Untuk mengetahui model sistem presidensial di Indonesia di era

Reformasi.

c. Untuk mengetahui model sistem presidensial di Turki pasca

referendum konstitusi 2017.

d. Untuk mengetahui perbandingan antara sistem presidensial di

Indonesia dan Turki.

10

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

1) Bagi prodi ilmu politik, penelitian ini dapat mengembangkan

ilmu politik khususnya mengenai perbandingan sistem

pemerintahan antara Indonesia dengan Turki.

2) Menjadi kajian baru khsusnya dalam penelitian sistem

pemerintahan antara Indonesia dengan Turki yang saat ini

berubah menjadi sistem presidensial.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi peneliti, penelitian ini mempunyai manfaat yakni menjadi

pengalaman yang luar biasa dalam melakukan tugas akhir yang

memerlukan proses yang panjang.

2) Bagi mahasiswa atau non mahasiswa, ini akan menjadi sesuatu

yang baru sebagai informasi mengenai perbandingan sistem

pemerintahan antara Indonesia dengan Turki.

D. Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan tinjauan pustaka untuk memastikan urgensi dan signifikansi dari penelitian yang penulis lakukan. Berikut ini adalah tinjauan pustaka yang saya dapatkan untuk perbandingan sistem pemerintahan.

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syukron Jazuly, Program

Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Sistem

11

Presidensial (Komparasi Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945 dan Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran)” membahas mengenai perbandingan sistem pemerintahan di Indonesia dengan Republik Islam Iran.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yakni dengan studi pustaka dari buku, jurnal, situs internet, dan dokumen. Disini fokusnya adalah sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945 atau lebih tepatnya di era Reformasi dan Iran setelah revolusi di tahun 1979. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa peneliti menemukan persamaan antara Indonesia dengan Iran contohnya adalah kekuasaan eksekutif sama-sama berada pada presiden dan wakil presiden dan dipilih oleh rakyat secara langsung, legislatif juga dipilih rakyat secara langsung. Perbedaan antara Indonesia dengan Iran adalah kekuasaan

Mahkamah Agung Iran berada di bawah legislatif, sedangkan di Indonesia

Mahkamah Agung termasuk di dalam yudikatif. Sedangkan penelitian yang penulis buat adalah perbandingan sistem presidensial antara Indonesia dengan

Turki.20

Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Marthin Simangunsong yang berjudul “Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia dengan Amerika Serikat

(Suatu Kajian Perbandingan)” membahas mengenai perbandingan sistem presidensial di Indonesia dengan Amerika Serikat. Metode penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif yakni dengan metode kepustakaan dan studi dokumen.

Disini juga dibahas mengenai analisis perbandingan antara sistem presidensial di

Indonesia dengan Amerika Serikat. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa terdapat

20Ahmad Syukron Jazuly,“Sistem Presidensial (Komparasi Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 dan Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran)” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Sunan Kalijaga, 2008).

12

persamaan sistem presidensial antara Indonesia dengan Amerika Serikat salah satu contohnya adalah kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh presiden, para menteri bertanggung jawab kepada presiden. Perbedaan sistem presidensial antara Indonesia dengan Amerika Serikat adalah kalau di Amerika Serikat para menteri sebelum diangkat harus mendapat saran dari anggota senat, sedangkan di

Indonesia tidak perlu saran dari DPR. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah membandingkan sistem presidensial antara Indonesia dengan

Turki.21

Ketiga, buku yang berjudul “Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi” membahas mengenai bentuk sistem presidensial Indonesia sejak 17

Agustus 1945 hingga kini. Buku ini mengulas tradisi-tradisi presidensialisme mulai dari era Presiden Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid,

Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Sistem presidensial era Presiden Soekarno lahir dari pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dan KNIP berperan penting dalam beberapa hal seperti mengawasi kinerja presiden, memilih anggota DPR, memberi usulan kepada presiden mengenai kebijakan yang dibuat.

Memasuki era Demokrasi Parlementer yang terbentuk berdasarkan Konferensi

Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia berubah dari sistem presidensial menjadi parlementer dan UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950.

Dalam rentang 1950-1959, Indonesia mengalami ketidakstabilan politik karena mosi tidak percaya kepada perdana menteri. Demokrasi Terpimpin dalam rentang

1959-1966 posisi eksekutif sangatlah kuat dibanding legislatif. Era Presiden

21Marthin Simangunsong, “Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia dengan Amerika Serikat (Suatu Kajian Perbandingan)” (Medan: Universitas HKBP Nommensen, 2007).

13

Soeharto tidak jauh beda dengan era Demokrasi Terpimpin karena posisi eksekutif sangat dominan dibanding legislatif. Era Reformasi diawali oleh B.J. Habibie,

Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan

Joko Widodo, sistem presidensial Indonesia mulai menunjukkan hubungan antar lembaga yang seimbang dengan prinsip check and balances, pemilu yang demokratis.22

Keempat, jurnal yang ditulis oleh Samkamaria Magister Ilmu Administrasi

Publik Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas

Padjajaran yang berjudul “Perbandingan Administrasi Publik

(Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dengan Inggris)” membahas mengenai perbedaan hal yang mendasar antara sistem pemerintahan di Indonesia dengan Inggris. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif berupa studi kepustakaan dari buku-buku. Hasil dari jurnal ini adalah bahwa terdapat perbedaan sistem pemerintahan antara Indonesia dengan Inggris contohnya adalah jika di Inggris tidak ada konstitusi tertulis, sedangkan Indonesia memiliki UUD 1945, kepala negara Inggris adalah raja atau ratu dan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Indonesia kepala pemerintahan dan negara dipegang oleh presiden dan wakil presiden. Adapun, penelitian yang dilakukan adalah membandingkan sistem presidensial antara Indonesia dengan

Turki.23

22Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta: AIPI), 2018. 23Samkamaria, “Perbandingan Administrasi Publik (Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dengan Inggris)”, Jurnal Perbandingan Publik Vol 4, No 1, Januari-Mei 2016.

14

Kelima, jurnal yang ditulis oleh Moros Adidi Yogia yang berjudul

“Indonesia dan Jepang dalam Perspektif Perbandingan Politik” membahas bagaimana perbandingan sistem politik dari aspek supra struktur hingga infra struktur politik pemerintahan antara Indonesia dengan Jepang. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif studi kepustakaan yakni dengan mengambil sumber dari buku-buku. Hasil yang ditulis di jurnal ini adalah bahwa birokrasi yang ada di Jepang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia karena birokrasi di

Jepang mengandalkan profesionalisme dan penguasaan teknis yang baik, sedangkan di Indonesia birokrasi cenderung mudah goyah dan diintervensi oleh kalangan-kalangan tertentu. 24

Keenam, disertasi yang berjudul “Studi Perbandingan: Pemenang Pemilu

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adalet ve Kalkinma

Partisi (AKP) di Turki 2002-2007” yang ditulis oleh Sitaresmi S. Soekanto,

Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia membahas perbandingan dua partai yang memiliki ideologi yang sama dalam kontestasi pemilu di

Indonesia dan Turki. Penelitian ini mencari faktor-faktor keberhasilan PKS dan

AKP dalam setiap pemilu yang diikuti. Penelitian ini menggunakan teori komparasi partai politik dengan metode kualitatif. Penelitian ini menggunakan beberapa teori lain seperti teori organisasi, teori basis massa, teororganisasi, dan teori kepemimpinan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa suara PKS dalam pemilu hanya sedikit mengalami kenaikan dalam rentang 1999-2009 karena ketidakcocokan di dalam ideologi PKS untuk dapat berubah dari organisasi

24Moris Adidi Yogia, “Indonesia dan Jepang dalam Perspektif Perbandingan Politik”. Jurnal Perbandingan Politik, Vol 2, No 1, 2009, (Pekanbaru: Universitas Islam Riau).

15

dakwah kampus menjadi sebuah partai politik dan selain itu faktor sosial, budaya di Indonesia yang kurang mendukung. Partai AKP dalam setiap kontestasi pemilu selalu menjadi pemenang karena tipe kepemimpinan yang kharismatik, sistem rekrutmen yang bagus dan faktor lainnya seperti sosial, budaya yang mendukung.25

Berdasarkan dari beberapa tinjauan pustaka yang diperoleh, ada perbedaan antara tinjauan pustaka dengan penelitian yang penulis lakukan baik dari aspek objek penelitian yang meliputi wilayah perbandingan maupun spesifikasi dari objeknya. Misalnya disertasi Sitaresmi S. Soekanto yang membahas perbandingan antar dua partai politik antara Indonesia (PKS) dengan Turki (AKP). Sementara perbedaan dengan penelitian lainnya terkait perbedaan wilayah atau negara pembanding.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak menggunakan model matematika atau menghitung, statistik, dan komputer dan menggunakan makna yang bersifat deskriptif.26

25Sitaresmi S. Soekanto, “Studi Perbandingan: Pemenang Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) di Turki 2002- 2007” (Depok: Universitas Indonesia, 2012). 26Lawrence Neuman, Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: PT Indeks), 2013, h 225.

16

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Data Primer adalah data yang diperoleh oleh peneliti secara langsung

tanpa perantara. Teknik wawancara adalah salah satu hal yang terdapat di

dalam proses pengumpulan data dengan cara yakni si penulis bertemu

langsung dengan narasumber.27 Peneliti membaca buku amandemen UUD

1945 yang isinya terdapat perubahan pasal mengenai batas-batas

kekuasaan eksekutif, kewenangan legislatif sistem presidensial Indonesia

di era Reformasi. Isi dari referendum konstitusi 2017 yang sebagian besar

mengenai sistem presidensial Turki juga menjadi sumber bacaan utama

dalam penelitian ini.

b. Data sekunder adalah data yang didapat secara tidak langsung atau dari

yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.28 Studi pustaka melalui

beberapa sumber seperti buku, berita di internet, jurnal, dan dokumen

pustaka yang lainnya. Teknik pengambilan data dari studi pustaka

menjadi mayoritas dari isi penelitian dan juga ada sedikit sumber yang

diambil dari luar studi kepustakaan. Pelaksanaan penelitian dilakukan di

wilayah Propinsi DKI Jakarta.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif.

Deskriptif adalah sebuah teknik analisis yang mendeskripsikan situasi objek

27Ulfah Mawaddatul Qudus, Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi Perbandingan Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di Irak dan Turki), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018) h.15. 28Denayu Swami Vevekananda, Perilaku Politik dan Kekuasaan Politik (Studi Perpindahan Partai Politik Basuki Tjahaja Purnama dalam Perpolitikan di Indonesia), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

17

penelitian dalam bentuk rangkaian kalimat atau kata-kata dan tanpa adanya hitungan angka.29 Dengan menggunakan teknik analisis deskriptif ini penulis berharap dapat melihat persamaan dan perbedaan sistem presidensial antara

Indonesia dengan Turki berdasarkan teori perbandingan dan teori sistem presidensial.

F. Sistematika Penulisan

Pemaparan hasil penelitian yang baik terbaca dari adanya keterkaitan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Topik penelitian dibagi ke dalam beberapa bab dan berikut ini adalah sistematika penulisan dari penelitian yang ditulis :

Bab I, pemaparan mulai dari latar belakang, pertanyaan penelitian, manfaat dan tujuan, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan mengenai perbandingan sistem presidensial antara Indonesia dengan Turki.

Bab II, peneliti menulis tentang kerangka teori yang digunakan dalam melakukan penelitian. Teori yang digunakan adalah teori perbandingan politik yakni membandingkan sistem presidensial Indonesia dengan Turki dan teori sistem presidensial antara Indonesia dengan Turki.

Bab III, peneliti memaparkan perkembangan sistem presidensial yang ada di Indonesia dan di Turki dalam perspektif historis. Pertama, membahas mengenai perkembangan sistem presidensial di Indonesia kemudian membahas perkembangan sistem presidensial di Turki.

29Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 6.

18

Bab IV, peneliti melakukan analisis mengenai perbandingan yakni persamaan dan perbedaan sistem pemerintahan antara Indonesia di era Reformasi dengan Turki pasca referendum 2017.

Bab V, peneliti menulis tentang kesimpulan berdasarkan hasil temuan dan pemaparan data di bab-bab sebelumnya dan memberikan saran.

19

BAB II

KERANGKA TEORETIS

Dalam bab ini, penulis hendak menjelaskan kerangka teoritis yang digunakan untuk memberi perspektif terhadap fenomena praktik system presidensial di Turki dan Indonesia. Sejumlah teori telah digunakan para ilmuwan politik untuk mencermati masalah sistem pemerintahan. Dalam konteks ini, penulis mengambil tiga kerangka teoritis yang lazim digunakan dalam ilmu politik, khususnya dalam penelitian tentang tantang sistem pemerintahan presidensial: teori sistem presidensial, perbandingan pemerintahan, kekuasaan dan hubungan antara eksekutif dengan legislatif, dan partai politik dalam sistem presidensialisme.

A. Teori Sistem Presidensial

Skripsi ini memfokuskan diri pada studi tentang sistem pemerintahan, yaitu hubungan antar dua lembaga tinggi negara eksekutif dan legislatif.30 Sistem pemerintahan merupakan sebuah susunan lembaga- lembaga negara yang tertata secara sistematis dan semua lembaga saling terkait antar satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan pengertian ini, sistem pemerintahan mencakup sebuah kajian bagaimana semua lembaga negara berfungsi dan bekerja dengan memperhatikan tingkat

30Ahmad Yani, “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori dan Praktek Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 15 No. 12 Juli 2018, h. 59.

20

kewenangan dan pertanggungjawaban antar lembaga negara antara satu dengan lainnya.31

Dalam sejarah pemerintahan di dunia, dikenal dua bentuk sistem pemerintahan, yakni sistem monarki atau kerajaan dan sistem republik.

Sistem republik yang biasanya dilekatkan pada sistem pemerintahan yang muncul pada zaman modern, diterapkan melalui mekanisme yang bermacam-macam. Pertama sistem pemerintahan parlementer, yang ditandai dengan kenyataan di mana sebuah negara pemerintahannya dipimpin oleh seorang perdana menteri. Biasanya negara dengan sistem parlementer ini fungsi kepala negara seperti raja, presiden hanya berstatus patro untuk kepentngan seremonial saja. Kedua, adalah negara-negara dengan sistem presidensial, di mana kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang penuh oleh seorang presiden.

Beberapa pendapat para ahli mengenai istilah sistem presidensial di antaranya adalah Alan R. Ball menyebut sistem presidensial sebagai

“presidential type of government” atau pemerintahan dengan tipe presidensial. Lalu C.F. Strong menyebut sistem presidensial sebagai “the non parliamentary” atau “fixed executive” atau jabatan pasti non parlementer. Menurut R. Kranenburg menyebut sistem presidensial sebagai

“separation of power” atau pemerintahan dengan pembagian kekuasaan.32

31Muliadi Anangkota, “Klasifikasi Sistem Pemerintahan Perspektif Pemerintahan Modern Kekinian”, Cosmogov:Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.3 No.2. h. 150. 32Dede Mariana, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina, Perbandingan Pemerintahan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 19.

21

Sistem presidensial adalah sebuah sistem pemerintahan yang mana eksekutif yang biasanya dijabat oleh presiden menjadi pusat kekuasaan suatu negara. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang menjalankan undang-undang, sedangkan lembaga legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang.33 Badan eksekutif di dalam sistem presidensial tidak bergantung pada lembaga legislatif atau parlemen. Terdapat beberapa ciri dari sistem pemerintahan presidensial diantaranya adalah presiden menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, lembaga eksekutif tidak bertanggung jawab kepada lembaga legislatif, kabinet dan para menteri dibuat dan ditunjuk langsung oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden dan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam posisi yang setara dan sama-sama kuat.

Karakteristik sistem presidensial yang utama adalah bahwa basis legitimasi presiden berasal dari rakyat. Proses pemilihan langsung terhadap eksekutif yakni presiden dan wakil presiden dengan masa jabatan yang tetap menjadi bukti kalau pemerintahan sistem presidensial bertanggung jawab kepada rakyat. Menurut Giovanni Sartori, sistem presidensial mempunyai tiga ciri-ciri. Pertama, presiden atau kepala pemerintahan dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum untuk masa satu periode.

Kedua, parlemen atau legislatif tidak dapat memakzulkan presiden. Ketiga,

33Syofyan Hadi, “Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Presidensil”. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 9, No. 18, Februari 2013, h. 78.

22

presiden memimpin langsung pemerintahan yang dibentuk oleh presiden itu sendiri.34

Terdapat perbedaan antara pemerintahan sistem presidensial dengan sistem parlementer terletak pada hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Jika dalam sistem presidensial ekesekutif atau presiden bebas membentuk kabinet tanpa ada campur tangan dengan legislatif, sedangkan dalam sistem parlementer anggota kabinet dipilih berdasarkan suara terbanyak oleh anggota parlemen. Jika dalam sistem presidensial kepala pemerintahan tidak bertanggung jawab kepada legislatif, sedangkan sistem parlementer kepala pemerintahan atau biasanya dipimpin oleh perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden dalam sistem presidensial tidak dapat membubarkan legislatif atau parlemen, sedangkan sistem parlementer perdana menteri dapat membubarkan parlemen.

Penyelenggaraan pemilu dalam sistem presidensial presiden tidak bisa secara tiba-tiba mengumumkan untuk mengadakan pemilu, sedangkan sistem parlementer perdana menteri dapat mengumumkan untuk mengadakan pemilu untuk kebutuhan pemerintahannya. 35

Tidak ada sistem pemerintahan yang sempurna. Hal itu termasuk sistem presidensial yang terdapat kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya. Kelebihan dari sistem presidensial salah satunya adalah pemerintahan yang dijalankan oleh eksekutif cukup stabil dan sesuai dengan

34Yusuf Wibisono, “Anomali Praktik Sistem Pemerintahan Presidensial dan Multipartai di Awal Pemerintahan Jokowi Tahun 2014”. Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 40, No. 55, Maret 2017. 35Sunarso, Perbandingan Sistem Pemerintahan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h. 2-3.

23

batas waktu yang telah ditetapkan oleh undang-undang, dan dalam sistem presidensial tidak ada fokus kekuasaan karena lembaga tinggi negara memiliki kewenangan masing-masing dan saling mengontrol satu sama lain.36 Sedangkan, kelemahan dari sistem presidensial salah satunya adalah kebijakan yang dibuat oleh eksekutif bersifat “bargaining position” atau posisi tawar menawar antara pihak legislatif dan eksekutif dan pada akhirnya terjadi kebijakan yang merugikan orang banyak dan hanya menguntungkan kepentingan tertentu.37

Konsep yang diterapkan dalam sistem presidensial adalah konsep

Trias Politika. Trias Politika dicetuskan oleh Montesquieu yang sebelumnya mengembangkan teori pembagian kekuasaan ala John Locke yang mana kekuasaan terbagi menjadi tiga yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Sistem presidensial dalam konsep Trias Politika adalah bahwa masing- masing pilar dalam tiga lembaga tadi diharuskan untuk membina hubungan antara eksekutif (presiden) dengan legislatif (parlemen). Keharusan itu berlaku juga dalam hal saling melakukan pengawasan dan berkeseimbangan

(check and balances).38 Kebanyakan negara yang menerapkan prinsip ini pasti tercantum dalam konstitusi negara yang bersangkutan.

Ciri-ciri lain dari sistem presidensial adalah pemilihan dalam sistem pemerintahan presidensial baik itu calon presiden atau calon anggota

36Pultoni, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensil: Studi Perbandingan dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional Veteran), h. 17. 37Muliadi Anangkota, “Klasifikasi Sistem Pemerintahan Perspektif Pemerintahan Modern Kekinian”, Cosmogov:Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 3 No. 2. h. 148. 38Sulardi, “Rekonstruksi Sistem Pemerintahan Presidensil Berdasar Undang-Undang Dasar 1945 Menuju Sistem Pemerintahan Presidensil Murni”, Jurnal Konstitusi, Vol. 9 No. 3. h. 519.

24

legislatif dipilih secara demokratis yakni dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Selain itu, secara personal antara presiden dengan anggota parlemen tidak ada tumpang tindih. Legislatif adalah yang menyusun undang-undang dan eksekutif adalah pelaksana undang-undang yang telah disusun oleh legislatif.

Ada beberapa aspek pola dalam sistem presidensial diantaranya adalah pola rekrutmen dan pola pengawasan dan pertanggungjawaban.

Berikut penjelasan dari masing-masing keduanya :

1. Pola Rekrutmen di dalam sistem presidensial terdapat beberapa poin

penting diantaranya adalah :

a. Tidak ada tumpang tindih secara personal antara lembaga eksekutif

dengan legislatif.

b. Anggota parlemen atau legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat

melalui pemilihan umum.

c. Eksekutif dan legislatif dipilih langsung oleh rakyat melalui

pemilihan umum.

2. Pola pengawasan dan pertanggungjawaban: pola ini juga salah satu

bagian penting dalam pemerintahan sistem presidensial. Berikut ini

adalah beberapa bentuk pola dalam pengawasan dan

pertanggungjawaban :

a. Prinsip check and balances antara lembaga eksekutif dengan

legislatif.

25

b. Lembaga legislatif membuat undang-undang dan kemudian undang-

undang dijalankan oleh eksekutif.

c. Eksekutif dapat menggunakan hak veto terhadap legislatif jika

eksekutif tidak setuju dengan undang-undang tersebut.39

B. Perbandingan Politik dan Pemerintahan

Karena skripsi ini berupaya melakukan kajian perbandingan praktik pemerintahan di Indonesia dan Turki, maka teori perbandingan atau komparatif politik merupakan kerangka teoritis kedua yang penulis gunakan. Membandingkan merupakan sifat dan kebiasaan asli manusia dari zaman dahulu hingga sekarang. Melakukan perbandingan pasti ada kesamaan dan perbedaan antara diri kita dengan yang lain. 40 Pengertian umum dari metode perbandingan adalah melakukan perbandingan secara sistematis satu negara dengan negara yang lain yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum dari perbedaan dan persamaan yang berhubungan dengan fenomena yang sedang diteliti. 41

Metode perbandingan terus dikembangkan oleh sarjana ilmu politik untuk menemukan parameter yang melekat dalam kehidupan sosial manusia baik dalam bidang bahasa, agama, budaya, ekonomi, sosial, maupun

39Cora Elly Novianti, “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi, Vol.10, No.2, Juni 2013. 40Todd Landman, Issue and Methods in Comparative Politics: An Introduction, (New York: Routledge), 2008, h. 4. 41Ulfah Mawaddatul Qudus, Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi Perbandingan Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di Irak dan Turki), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 18.

26

politik.42 Perbandingan politik adalah bagian dari metode perbandingan sosial yang membahas mengenai berbagai negara di belahan dunia supaya dapat menemukan persamaan dan perbedaan sistem politik antara satu negara dengan negara yang lainnya.43 Metode perbandingan politik sangat berkaitan dengan sistem politik dan sistem pemerintahan antar dua negara dan juga fokus terhadap sejarah politik negara yang menjadi model perbandingan.

Secara sosiologis, terdapat tiga dimensi masyarakat dalam perlu diamati untuk melihat dinamika hubungan antara penguasa dan rakyaknya: yakni dimensi politik, dimensi pemerintahan, dan dimensi kebijakan. Proses politik yang didalamnya dilaksanakan oleh aktor politik adalah individu atau kelompok yang terorganisir dalam partai politik, gerakan sosial dan kelompok kepentingan dan saling berinteraksi untuk dapat memecahkan permasalahan penting seperti permasalahan sosial, politik. Dimensi pemerintahan adalah kerangka yang tersedia dari peraturan formal dan informal yang juga disebut dengan lembaga yang bertugas untuk mengarahkan perilaku para aktor politik. Dalam suatu pemerintahan, terdapat juga yang biasa disebut dengan kebijakan. Kebijakan adalah sebuah keputusan politik yang dibuat untuk kepentingan orang banyak atau masyarakat dan kemudian diimplementasikan dalam bentuk undang-undang

42Todd Landman, Issue and Methods in Comparative Politics: An Introduction, (New York: Routledge), 2008, h. 4. 43Ulfah Mawaddatul Qudus, Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi Perbandingan Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di Irak dan Turki), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018) h.18.

27

dan diterapkan di dalam masyarakat.44 Dengan demikian, yang dimaksud dalam perbandingan di sini adalah membandingkan satu negara dengan negara lainnya, dalam kasus-kasus dan unit kajian yang telah ditentukan.

Pemerintah dalam bahasa Inggris disebut “government”, dalam bahasa Perancis disebut “gouvernement” dan dalam bahasa Latin disebut

“gubernacalum”. Pemerintahan dapat diartikan sebagai kegiatan penyelenggaraan negara dan mampu memberikan pelayanan dan perlindungan bagi seluruh masyarakat, melakukan pengaturan, memanfaatkan segala sumber daya yang ada, menjalin hubungan baik di dalam negeri dan luar negeri. Pemerintahan adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana dapat menjalankan wewenang kekuasaan dan dapat mengatur sebuah sistem yang berada di dalam sebuah institusi dan menjalankannya dengan baik dan berjalan dengan semestinya. 45

Dilihat dari segi konsep, pemerintahan sejak dahulu sudah menjadi konsep manusia yang sudah ada sejak manusia itu sendiri ada di dunia ini.

Seiring berjalannya waktu, pemerintah berubah menjadi sebuah organisasi yang memiliki dasar dan kekuatan hukum. Dilihat dari struktur negara, pemerintah adalah kepala dari masyarakat yang mempunyai wewenang dalam menjalankan kegiatan bernegara. Struktur dan pembagian kekuasaan dalam pemerintah sudah tercantum dalam aturan atau konstitusi pada saat

44Skolastika L.K, “Pendekatan Perbandingan Politik Sebagai Teori dan Metode”, Tugas Teori Perbandingan Politik. 45Dede Mariana, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina, Perbandingan Pemerintahan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 10.

28

negara baru terbentuk supaya tidak ada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Pemerintah didirikan supaya seluruh lapisan masyarakat dapat menjalani kehidupannya dengan wajar. Menurut David Apter pemerintah adalah sebagai sebuah kumpulan khusus dari para individu yang telah berkomitmen untuk bertanggung jawab ketika sedang menjabat dalam pemerintah. Bersikap tanggung jawab dalam membuat keputusan di dalam pemerintah adalah salah satu kegiatan penting dalam pemerintah.46 Pada hakekatnya, pemerintah tidak bekerja untuk kepentingan diri sendiri tetapi bekerja untuk masyarakat dan menciptakan suasana yang mana seluruh lapisan masyarakat dapat mengembangkan potensi sumber daya yang dimiliki dan demi masa depan negara yang lebih baik.

Perbandingan pemerintahan adalah menyejajarkan unsur-unsur dalam pemerintahan dan mengidentifikasi perbedaan dan persamaan antara kedua negara. Perbandingan pemerintahan pada awalnya lebih mengacu kepada negara-negara Eropa dan fokusnya adalah pada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, partai politik, dan kelompok-kelompok penekan

(pressure group). Seiring berjalannya waktu, para peneliti dari jurusan ilmu politik mulai mengembangkan studi perbandingan pemerintahan diluar

Eropa seperti Amerika, Afrika, Asia.

Terdapat dua bentuk pemerintahan perwakilan utama yakni presidensial dan parlementer. Baik sistem presidensial maupun parlementer

46Dede Mariana, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina, Perbandingan Pemerintahan, h. 12.

29

semuanya dilandasi dengan nilai-nilai atau prinsip yang terbentuk dalam kerangka kerja yakni konstitusi. Konstitusi adalah landasan dasar dalam sistem pemerintahan di setiap negara. Hukum dasar atau konstitusi menggambarkan konsep kerja organisasi dan filosofis dan membagi fungsi masing-masing lembaga. Konstitusi adalah hal yang mutlak di setiap negara untuk dijadikan sebagai patokan hukum dan juga konstitusi adalah sebagai terwujudnya legitimasi. Salah satu ciri yang paling penting dalam konstitusi adalah tentang pembagian kekuasaan di negara tersebut. 47

C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif

Proses interaksi antara eksekutif dengan legislatif mempunyai beberapa tahapan yang akan memberikan dampak bagi mekanisme terhadap keterlanjutan lembaga negara lainnya. Hubungan antara eksekutif dengan legislatif akan berpengaruh dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Terdapat tiga bentuk hubungan antara eksekutif dengan legislatif.

Pertama, bentuk komunikasi saling tukar menukar informasi. Kedua, bentuk kerjasama atas beberapa program dan permasalahan. Ketiga, memberikan penjelasan atau klarifikasi terkait dengan permasalahan yang dibahas antara eksekutif dengan legislatif.48

Jika hubungan antara eksekutif dengan legislatif berjalan dengan seimbang, maka pemimpin eksekutif atau presiden akan menjadi pusat

47Dede Mariana, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina, Perbandingan Pemerintahan, h. 100. 48Dwi Arum Setiyawati, “Pola Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif dalam Proses Pembuatan Peraturan Daerah (Studi pada Perda Pajak Hiburan Tahun 2011 Kabupaten Lampung Selatan)” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2012).

30

perhatian. Kekuasaan eksekutif atau presiden menjadi penentu akan hubungan antara eksekutif dengan legislatif , baik hubungannya baik seperti bekerja sama untuk kepentingan orang banyak atau buruk dan menjadi rivalitas antara eksekutif dengan legislatif.

Pengaruh eksekutif terhadap legislatif menurut Mainwaring dan

Shugart terdapat dua jenis kuasa kepresidenan yakni secara konstitusional dan secara partisan. Kuasa konstitusional pada presiden yakni presiden bisa menggunakan wewenangnya seperti hak veto, dekrit. Kuasa partisan pada presiden yakni presiden mendapat bantuan dukungan dari partai koalisi di legislatif. Kuasa partisan terdapat dua fragmentasi yakni sistem kepartaian dan sikap solidaritas. Kuasa partisan juga menjadi penentu hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Jika jumlah partai politik semakin banyak, kemungkinan satu partai politik dapat meraih mayoritas kursi di parlemen kecil. Sikap solidaritas juga berpengaruh terhadap hubungan antara eksekutif dengan legislatif karena semakin solidnya partai politik, maka semakin solid juga anggota partai politik untuk satu suara. 49

Jika eksekutif mempunyai kekuatan untuk memengaruhi legislatif, maka legislatif juga dapat melakukan hal yang serupa. Model legislatif menurut Cox dan Morgenstern dalam sistem presidensial adalah faktor

49Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, (Bandung: Mizan, 2014), h. 46.

31

penting yang menjadi penentu hubungan antara eksekutif dengan legislatif.

Model legislatif terbagi dalam tiga macam yakni: 50

1. Originatif: melantik dan memberhentikan eksekutif.

2. Proaktif: membuat dan meloloskan usulan yang berasal dari legislatif itu

sendiri.

3. Reaktif: menggunakan hak veto terhadap usulan yang diajukan oleh

eksekutif.

Ciri-ciri di atas tersebut kebanyakan digunakan dalam negara-negara yang mengadopsi sistem pemerintahan parlementer di negara-negara Eropa.

Menurut Figuerido dan Limongi, hal yang utama dalam hubungan eksekutif dengan legislatif adalah kekuasaan legislatif presiden dan pengorganisasian lembaga legislatif. Maksud kekuasaan legislatif presiden adalah bahwa presiden dapat mendesak legislatif untuk dapat bekerja sama dan tidak berkonflik meskipun eksekutif hanya minoritas di legislatif.

Institusi juga berpengaruh dalam proses hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Thelen dan Steinmo mendefinisikan institusi sebagai aturan yang formal, prosedur kepatuhan, dan prosedur operasi standar yang menstrukturkan hubungan antar individu di berbagai unit pemerintahan dan bidang ekonomi pun juga termasuk dalam institusi. Kekuasaan konstitusional presiden dalam sistem presidensial akan selalu sejajar dengan kekuasaan legislatif dan begitu juga dalam proses terlahirnya sebuah undang-undang dalam sistem presidensial. Hubungan antara eksekutif

50Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, h.50.

32

dengan legislatif bersifat check and balances dan hasil dari proses dimasing-masing institusi lalu kemudian dikirim ke masing-masing pihak terkait.

Institusi dalam proses kerjanya menurut Hall ada dua tahap, pertama organisasi pengambil kebijakan berusaha untuk mempengaruhi kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok orang dalam menentukan hasil kebijakan yang telah dibuat. Kedua, posisi kelompok dalam upaya mempengaruhi para tokoh yang mempunyai kepentingan. Dalam pemerintahan, posisi seperti ini mirip dengan pembahasan undang-undang antara presiden dengan parlemen.

D. Partai Politik Dalam Sistem Presidensial

Sebagai institusi yang menjadi alat untuk menjamin partisipasi masyarakat, partai politik merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan berdemokrasi. Karenanya, partai politik berperan menjadi fasilitas atau sarana bagi masyarakat untuk dapat ikut dan berpartisipasi dalam perpolitikan negara. Menurut Carl Friedrich, partai adalah sebuah kelompok yang dibuat oleh manusia secara terorganisir dengan stabil dan mencapai tujuan untuk mengambil dan mempertahankan kekuasaan dan pemerintahannya. Menurut Soltau partai politik adalah sebuah organisasi yang membentuk sebagai kesatuan politik dan menggunakan kekuasaannya untuk membuat kebijakan yang bersifat umum yang dibuat oleh para penguasa negara tersebut.51 Lalu menurut Sigmund Neumann berpendapat bahwa partai politik adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para

51Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 148.

33

aktivis politik yang memiliki tujuan untuk merebut pemerintahan serta merebut hati masyarakat dengan bersaing dengan kelompok yang mempunyai perbedaan pandangan.52

Secara historis, organisasi berbentuk partai politik muncul sejak era demokrasi di mana kedaulatan rakyat benar-benar mulai menggantikan monarki absolut. Dalam kaitan ini, partai politik berfungsi sebagai mekanisme kelembagaan untuk meraih kekuasaan dan bagaimana rakyat mempertahankan kekuasaan tersebut. Berlandaskan ideologi dan kepentingan politik tertentu, partai politik berusaha sekuat mungkin melaksanakan visi misi dengan cara membenuk pemerintahan. Dalam paham demokrasi, cara agar dapat meraih dan mempertahankan kekuasaan tadi, sebuah partai harus mengikuti mekanisme yang terdapat dalam aturan main demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu).

Keberadaan partai politik dalam suatu negara demokratis menandai berjalannya sebuah sitem demokrasi, karena dalam kerangka itulah sebuah prinsip kebebasan dan kemerdekaan berorganisasi berjalan sesuai dengan aturan main demokratis. Melalui organisasi kepartaian kita bisa meyakini bahwa rakyat memiliki kedaulatan untuk terlibat dalam penyelenggaraan kekuasaan.53 Partai politik jika sudah berhasil mendapatkan kekuasaan, maka partai politik dapat menggunakan posisinya sebagai pembuat keputusan. Sedangkan, partai politik yang tidak mampu meraih

52Abd. Rahman Bawazi, “Dinamika Partai Politik dalam Sistem Presidensil di Indonesia”. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia”. Vol. 6, No. 2, Mei 2017, h. 140. 53Yusuf Wibisono, “Anomali Praktik Sistem Pemerintahan Presidensial dan Multipartai di Awal Pemerintahan Jokowi Tahun 2014”. Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 40, No. 55, Maret 2017.

34

kemenangan, maka partai politik tersebut menjadi oposisi atau pengontrol terhadap partai politik yang mayoritas di legislatif atau parlemen.

Keberadaan partai politik di dalam sistem politik, tentunya partai politik akan terikat dengan aturan sistem kepartaian di negara yang bersangkutan.

Menurut Maurice Devanger, di dalam sistem pemerintahan demokratis terdapat tiga jenis sistem kepartaian. Pertama, sistem partai tunggal lahir karena kekhawatiran dengan keanekaragaman dan konflik horizontal yang akan menyebabkan negara tersebut tidak stabil. Sistem tunggal ini mengharamkan adanya oposisi, dan partai tunggal berkuasa menjadi pemimpin untuk kepentingan masyarakat secara menyeluruh.

Kedua, sistem dua partai berarti terdapat partai penguasa atau partai pemenang pemilu dan partai oposisi yang kalah pada pemilu. Sistem kepartaian ini sewaktu-waktu bisa berubah bisa jadi partai penguasa menjadi oposisi dan juga sebaliknya partai oposisi jadi penguasa dari hasil pemilu. Lalu yang terakhir adalah sistem kepartaian multi partai yang mana berarti jumlah partai politik yang berpartisipasi lebih dari dua. Sistem multi partai banyak digunakan di negara yang terdapat keanekaragaman baik itu suku, agama, ras. Sistem multi partai dalam pemilu biasanya tidak ada yang meraih mayoritas suara sehingga harus berkoalisi supaya bisa memenuhi jumlah kursi minimum.54

Pada sistem presidensial, partai politik memiliki peran yang cukup penting. Pemimpin eksekutif atau presiden di dalam sistem presidensial

54Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 415- 420.

35

memang tidak bertanggung jawab kepada legislatif atau parlemen, tapi tentu saja presiden membutuhkan parlemen untuk dapat menjalankan program- program yang telah disusun oleh presiden. Program-program kerja presiden bisa terhambat jika koalisi dalam pemerintahannya tidak dapat mayoritas di parlemen. Presiden membutuhkan dukungan dari legislatif terutama di dalam negara yang multipartai.

Di sinilah kalkulasi rasional dari partai-partai dalam sistem presidensial muncul. Karena kepastian untuk memenangkan pemilu itu begitu kecil, membentuk koalisi dalam pemerintahan adalah jalan terbaik bagi partai untuk dapat memuluskan langkah-langkah setiap kebijakan presiden. Pembentukan koalisi diawali dengan mengikuti pemilihan umum baik pemilihan presiden maupun legislatif. Sebelum mengikuti pemilihan umum, semua partai politik menentukan sikapnya masing-masing untuk ikut dan bergabung dengan partai politik lainnya dan membentuk sebuah koalisi.

Setelah pemilihan umum baik eksekutif maupun legislatif selesai digelar dan hasil pemilihan umum tersebut akan menentukan posisi para partai politik tersebut bisa jadi menjadi koalisi pemerintah atau koalisi oposisi.55

Membangun koalisi dalam sistem presidensial multi partai tentunya bukan hal yang mudah. Setiap partai politik yang ada di pemerintahan mempunyai tujuan, komitmen, idealisme tersembunyi didalamnya demi mencapai kepentingan partai politik itu sendiri. Selain itu, menurut Scott

Mainwaring perpecahan di dalam koalisi kerap terjadi di dalam sistem

55Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, (Bandung: Mizan, 2014), h. 69.

36

presidensial karena para pemimpin partai politik dalam koalisi harus tetap berhubungan baik dengan presiden karena jika sampai ada kesalahan dalam pemerintahan, maka identitas partai tersebut akan menjadi tercoreng karena kesalahan yang dibuat.56

Koalisi partai politik dalam sistem presidensial bisa menjadi ganjalan bagi presiden terutama dalam koalisi pemerintahan. Anggota kabinet dibentuk dan ditunjuk oleh presiden melalui hak prerogatifnya. Hak prerogatif menurut Bagir Manan adalah hak yang dimiliki oleh seorang presiden yang berasal dari konstitusi.57 Namun, pada kenyataannya hak prerogatif tidak dapat terlaksana sepenuhnya dari presiden itu sendiri, peran partai politik yang berkoalisi yang mengintervensi presiden dalam pemilihan para menteri membuat kabinet pemerintahan diisi oleh orang- orang yang memiliki kepentingan baik itu partai maupun pribadi. 58

Semua jenis sistem pemerintahan yang ada di dunia ini tidak sepenuhnya berjalan mulus atau sempurna begitu juga dengan sistem presidensial. Suatu pemerintahan dalam sistem presidensial agar dapat berjalan dengan stabil yakni harus mampu menguasai parlemen yakni dengan meraih mayoritas kursi. Selain itu, parlemen adalah perwakilan dari partai politik dan hal yang pasti terjadi di dalam parlemen adalah manuver dan intervensi di dalam aktivitas parlemen. Aktivitas partai politik yang

56Firman Hanan, “Relasi Eksekutif-Legislatif dalam Presidensialisme Multipartai di Indonesia”, Jurnal Wacana Politik, Vol. 2, No. 2, Oktober 2017, h. 100. 57Hendra Wahyu Prabandani, “Batas Konstitusional Kekuasaan Konstitusional Presiden”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12, No. 03, Oktober 2015, h. 270. 58M. Yasin al-Arif, “Anomali Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen UUD 1945”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Vol. 22, No.2, April 2015, h. 243.

37

terjadi di parlemen tentu akan berpengaruh terhadap relasi antara presiden dengan parlemen. Hubungan yang harmonis antara presiden dengan parlemen adalah hal yang penting supaya pemerintahan tetap stabil dan tidak ada aksi saling ingin berkuasa melebihi kewenangannya masing- masing.59

59Fazrin Basalamah, “Pengaruh Partai Politik dalam Sistem Pemerintahan (Presidensial) Menurut Pasal 6A UUD 1945”. JurnalLex Administratum, Vol. 6, No. 2, April-Juni 2018, h. 79- 80.

38

BAB III

PERJALANAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

DAN TURKI

Dalam bab ini hendak dijelaskan sejarah panjang dinamika perjalanan sistem pemerintahan yang berada di Indonesia dan Turki. Bab ini akan fokus pada dinamika bagaimana sistem sistem presidensial terbentuk dan berkembang di Indonesia dan Turki, sesuai dengan tantangan-tantangan politik dan dinamika kepartaian di kedua negara itu. Dalam konteks ini, baik

Turki dan Indonesia sama-sama pernah mempunyai pengalaman politik di mana sistem sistem presidensial diganti dangan sistem parlementer. Hal ini tidak berjalan panjang, tetapi menunjukkan bukti bahwa kuatnya politik kepartaian di suatua negara bisa jadi menjadi ancaman pada sistem presidensial. Dalam arti demikian, sistem politik dan pemerintahan di Turki dan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam membentuk sistem pemerintahan yang ideal yang diterapkan di kedua negara dewasa ini.

A. Sistem Presidensial di Indonesia

1. Era Orde Lama

Perdebatan mengenai sistem pemerintahan yang tepat bagi Indonesia sudah muncul sebelum kemerdekaan. Perdebatan ini dimulai di dalam lembaga Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) yang berdiri pada 29 April 1945. Badan ini diketuai oleh Ir.

Radjiman Widyodiningrat. Lembaga ini banyak membicarakan berbagai

39

permasalahan mengenai Indonesia setelah merdeka seperti dasar negara, bentuk negara dll. Pada awalnya, adalah Dr. yang mengusulkan bahwa Indonesia tidak mengadopsi sistem demokrasi ala Barat karena demokrasi di mayoritas negara Barat cenderung melahirkan sikap individualisme. Pada 14 Juli 1945, dalam rapat BPUPKI ditetapkan bahwa sistem presidensial dan sistem parlementer sama-sama memiliki kelemahan dan tidak cocok diterapkan di Indonesia.60

Pada 18 Agustus 1945, satu hari setelah proklamasi kemerdekaan,

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar sidang pertama pasca kemerdekaan dan melahirkan beberapa hal yang krusial salah satunya adalah Undang-Undang Dasar 1945 resmi disahkan. Pembentukan UUD 1945 diwarnai dengan banyak perdebatan di antara banyak kalangan. Seperti Ir.

Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, dan Dr. Soepomo. Hal-hal yang diperdebatkan di dalam perancangan UUD 1945 di antaranya adalah mengenai dasar negara yang berdasarkan teori individu, teori kelas.

Perdebatan mengenai pembukaan di dalam UUD 1945 di mana kelompok nasionalis dan kelompok Islam berdebat mengenai tujuh kata yang dianggap hanya untuk kepentingan umat muslim pada sila pertama Pancasila.61

Pada hari yang sama, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia secara aklamasi dan

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk untuk membantu tugas

60Sofian Effendi, “Mencari Sistem Pemerintahan Negara”, makalah Pidato Dies UGM, 23 November 2006, hlm. 6. 61Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta: AIPI), 2018, hlm. 31.

40

presiden dan wakil presiden atau eksekutif sebelum Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terbentuk. Pada sidang kedua PPKI yang digelar pada tanggal 19 Agustus 1945 melahirkan beberapa keputusan penting diantaranya terbentuknya 12 kementerian dan 4 Menteri

Negara, pembentukan 8 provinsi yang setiap provinsi dipimpin oleh gubernur. Di hari yang sama, lahir kabinet yang bernama Kabinet

Presidensial karena Indonesia setelah merdeka mulai menerapkan sistem presidensial di mana presiden menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Kabinet Presidensial yang dibentuk pada 19 Agustus 1945 hanya bertahan sampai pada tanggal 14 November 1945. Ini terjadi karena Soetan

Sjahrir diangkat menjadi perdana menteri dan otomatis pada saat itu sistem pemerintahan berubah dari presidensial menjadi parlementer. Pengangkatan

Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri didasari dengan dikeluarkannya

Maklumat Pemerintah pada hari yang sama. Sejak 14 November 1945 hingga

20 Desember 1949 telah terjadi beberapa kali pergantian kabinet mulai dari

Sjahrir I, II, III, Kabinet Amir Sjarifuddin I, II, Kabinet Hatta I, II, dan sampai lahirnya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipimpin oleh Moh

Hatta.62

Pada periode 1945-1949, kondisi Indonesia masih belum sepenuhnya bebas dari pengaruh asing terutama Belanda yang tidak mengakui kedaulatan

Republik Indonesia terus mengintervensi Indonesia. Belanda yang

62Rosdalina Bukido, “Kajian Terhadap Sistem Pemerintahan dan Prakteknya Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol 10, No.1, 2012, 8-9.

41

menggunakan cara kekerasan dengan melalui perang mendapat kecaman internasional terutama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Belanda pada akhirnya bersedia mengikuti beberapa perjanjian untuk menentukan nasib mereka di Indonesia. Perjanjian Linggarjati menjadi perundingan pertama antara Indonesia dengan Belanda. Republik Indonesia Serikat (RIS) lahir pada saat pemerintah Indonesia dan Belanda berunding di dalam

Perjanjian Linggarjati di pada 11-13 November 1946 yang pada saat itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Soetan Sjahrir, sedangkan delegasi dari pihak Belanda dipimpin oleh H. J. Van Mook dan perjanjian ini ditandatangani pada 25 Maret 1947. Republik Indonesia Serikat (RIS) lahir setelah mendapat kedaulatan dari Belanda dalam Konferensi Meja Bundar

(KMB) di Den Haag pada 27 Desember 1949.63

Indonesia mulai memasuki era Demokrasi Parlementer pasca bubarnya

Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 17 Agustus 1950 dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Era Demokrasi Parlementer berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1950 (UUDS 1950).64 Jika pada masa sistem Presidensial presiden adalah pemegang kepala negara dan kepala pemerintahan, tetapi di era Demokrasi Parlementer presiden hanya sebatas seremonial atau hanya sebagai kepala negara, sedangkan perdana menteri menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan atau sebagai eksekutif dan bertanggung jawab kepada DPR atau legislatif.

63George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Surakarta: UNS Press), 1995, hlm. 570. 64Paizon Hakiki, “Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1949- 1959”, Jurnal Online Mahasiswa Vol 1, No.1, 2014.

42

Mohammad Natsir didaulat menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama oleh Presiden Soekarno setelah pemerintahan RIS bubar pada tanggal 6 September 1950. yang merupakan ketua Partai

Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menguasai kursi parlemen dengan 49 kursi. Koalisi Kabinet Natsir meliputi Persatuan Indonesia Raya

(PIR), Partai Indonesia Raya (Parindra), Partai Sosialis Indonesia (PSI),

Partai Katolik, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Kristen.

Koalisi Kabinet Natsir juga mendapatkan dukungan dari anggota parlemen non-partai sebanyak 24 orang. Selain itu, Kabinet Natsir juga mendapat dukungan dari kalangan militer yang mempunyai hubungan baik dengan

Partai Masyumi.

Koalisi partai oposisi dipimpin oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan perolehan kursi sebanyak 41 kursi parlemen yang didukung oleh

Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai beraliran pendukung Stalin dengan perolehan kursi 29 kursi. Parlemen juga diisi oleh partai politik yang tidak memihak ke pihak manapun atau netral seperti Partai Buruh, dan

Barisan Tani Indonesia.65

Program-program dalam pemerintahan Mohammad Natsir untuk mencapai Indonesia yang lebih baik diantarannya adalah mempersiapkan menyelenggarakan pemilu untuk Dewan Konstituante, konsolidasi di dalam pemerintahan, menyempurnakan organisasi angkatan perang, mengembangkan dan memperkuat sistem ekonomi kerakyatan,

65George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Surakarta: UNS Press), 1995, hlm. 593.

43

menyelesaikan dan memperjuangkan Irian Barat untuk dapat bergabung ke

Indonesia.

Kabinet Natsir hanya mampu bertahan kurang dari setahun karena pada tanggal 22 Januari 1951 mayoritas anggota parlemen menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Natsir dan pada 20 Maret 1951,

Mohammad Natsir memberikan mandatnya kepada presiden. Pemerintahan dilanjutkan oleh dan membentuk kabinet yang bernama Kabinet Soekiman. Soekiman merupakan tokoh sayap dari Partai

Masyumi yang pada masa Kabinet Natsir mengkritik Mohammad Natsir karena pemerintahan Mohammad Natsir yang berupaya untuk mengeluarkan

PNI dari kabinet.66

Kabinet Soekiman memiliki kesamaan dengan Kabinet Natsir dalam program kerja pemerintah, yakni memperjuangkan Irian Barat berintegrasi ke

Indonesia. Jika di masa Kabinet Natsir, Perdana Menteri memiliki hubungan yang baik dengan militer, lain halnya dengan pemerintahan Soekiman yang tidak dapat menjaga hubungan baik dengan militer. Ini dilihat dari tindakan yang diambil oleh pemerintahan Soekiman dalam menghadapi pemberontakan yang terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.

Kabinet Soekiman pada akhirnya harus berhenti pada 3 April 1952.

Wilopo naik menjadi perdana menteri sekaligus menjadi perdana menteri pertama yang berasal dari Partai Nasional Indonesia (PNI), setelah dua perdana menteri sebelumnya berasal dari Partai Masyumi. Sama seperti

66Robert E. Lucius, “A House Divided: The Decline and Fall of Masyumi (1950-1956)”, (Tesis Naval Postgraduate School, US Navy, 2003).

44

pemerintahan sebelumnya, program-program kerja yang dianggap penting adalah mengenai Irian Barat dan kestabilan politik nasional. Sama dengan pemerintahan sebelumnya, hubungan pemerintah dengan militer terutama

Angkatan Darat tidak begitu harmonis.

Konflik pemerintah dengan Angkatan Darat dikenal dengan peristiwa

17 Oktober 1952. Konflik ini muncul karena Dewan Perwakilan Rakyat

Sementara (DPRS) terus menunda pelaksanaan pemilu. Selain itu, tindakan pemerintah yang berupaya mengintervensi militer mendapat kecaman dari parlemen. Permasalahan tanah perkebunan milik asing di Tanjung Morawa juga menjadi permasalahan di dalam pemerintahan . Pihak oposisi dan pihak anti kabinet lainnya menggelar mosi tidak percaya kepada Kabinet

Wilopo dan pada 2 Juni 1953, Wilopo menyerahkan mandatnya kepada

Presiden Soekarno.67

Ali Sastroamidjojo naik menjadi perdana menteri yang berasal dari

PNI. Kabinet diisi oleh orang-orang yang ahli pada bidangnya atau disebut juga dengan istilah zaken kabinet. Program kerja yang disusun dalam pemerintahan Kabinet Ali adalah menyelenggarakan pemilu segera, mengakhiri konflik politik, pembebasan Irian Barat. Pemerintahan Ali

Sastroamidjojo menghadapi permasalahan dari daerah yakni ketika Aceh yang pada saat itu dikuasai oleh Daud Beureueh menuntut status Aceh untuk ditingkatkan menjadi provinsi sendiri terpisah dari Sumatera Utara.

67Paizon Hakiki, “Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1949- 1959”, Jurnal Online Mahasiswa Vol 1, No.1, 2014.

45

Permasalahan dengan militer terutama dengan Angkatan Darat masih terus berlanjut dari pemerintahan sebelumnya. Tentara Nasional Indonesia terpecah sejah peristiwa 17 Oktober 1952 antara kelompok yang pro dengan demonstrasi dengan kelompok yang kontra dengan demonstrasi tersebut.

Mayor Jenderal T.B Simatupang yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala

Staf Angkatan Perang (KSAP) dipecat karena mendukung gerakan demonstrasi tersebut. Penunjukan Iwa Kusumasumantri sebagai menteri pertahanan membuat hubungan antara pemerintah dengan Angkatan Darat semakin memburuk terutama ketika Iwa Kusumasumantri mengangkat

Kolonel Zulkifli Lubis sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tanpa konsultasi dengan pimpinan KSAD sebelumnya Kolonel Bambang Sugeng. 68

Akhirnya Kabinet Ali Sastroamidjojo tidak dapat bertahan lama dan

Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya ke Presiden pada 24 Juli

1955. Ada satu kesuksesan yang dicapai dalam pemerintahan Ali

Sastroamidjojo yakni mampu menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada 18-25 April di Bandung. Jabatan perdana menteri kemudian dipegang oleh pada tanggal 12 Agustus 1955 yang merupakan tokoh dari kalangan PNI. Tak lama setelah dilantik menjadi perdana menteri atau tepatnya pada tanggal 29 September 1955, pemilu untuk pertama kalinya sejak merdeka digelar. Pemilu pertama memilih anggota DPR dan pemilu kedua untuk memilih anggota konstituante pada 15 Desember 1955. Hasil pemilu 1955 sangat krusial dan mengubah komposisi jumlah anggota partai

68Herbert Feith, The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia, (Jakarta: Equinox, 2007), hlm. 396.

46

politik di parlemen dan berpengaruh terhadap pemerintahan Burhanuddin

Harahap yang pada akhirnya mengembalikan mandatnya ke Presiden

Soekarno pada 3 Maret 1956.69

Ali Sastroamidjojo kembali naik menjadi perdana menteri untuk yang kedua kalinya pada 20 Maret 1956. Kabinet Ali Sastroamidjojo II untuk pertama kalinya berkoalisi antara PNI, Masyumi, dan Nahdhlatul Ulama

(NU). Tetapi koalisi di dalam pemerintahan Ali Sastroamidjojo II tidak bertahan lama karena Masyumi menuntut Ali Sastroamidjojo untuk menyerahkan mandatnya karena daerah bergejolak. Akhirnya Masyumi memutuskan untuk menarik seluruh menterinya dari kabinet Ali

Sastroamidjojo dan ini berpengaruh besar terhadap posisi Ali Sastroamidjojo sebagai perdana menteri dan krisis pemerintahan ini berakhir ketika Ali

Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 14

Maret 1957.

Instabilitas yang terus terjadi di dalam pemerintahan membuat

Presiden Soekarno memutuskan untuk membentuk kabinet sendiri pada 9

April 1957 yakni Kabinet Karya dan Ir. Djuanda Kartawidjaja ditunjuk memimpin kabinet. Program kerja yang disusun di dalam Kabinet Karya ini disebut dengan Pancakarya atau 5 program kerja yakni : (1) Membentuk dewan nasional; (2) Normalisasi keadaan negara; (3) Melancarkan pembatalan isi KMB; (4) Memperjuangkan integrasi Irian Barat; (5)

Mempercepat pembangunan nasional.

69Singgih Bambang Permadi, “Proses Pemilihan Umum 1955 di Indonesia” (Skripsi S1 Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014).

47

Pelaksanaan Pancakarya dalam pemerintahan Ir. Djuanda sulit dilaksanakan karena masih terjadi pergolakan di daerah seperti yang terjadi di Sumatera Barat lahir gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik

Indonesia (PRRI) dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Husein, lalu gerakan Perdjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual. Gerakan-gerakan separatis di daerah muncul karena pemerintah pusat tidak mampu melaksanakan pembangunan di daerah dan cenderung terpusat. Bahkan Presiden Soekarno juga menjadi sasaran percobaan pembunuhan di Cikini, Jakarta pada 30

November 1957.

Pemerintahan Djuanda menorehkan sebuah prestasi internasional yakni mengubah batas perairan Indonesia yang mana di era pemerintahan

Hindia Belanda hanya dihitung 3 mil dari garis pantai dan semua laut-laut antar pulau resmi milik Indonesia dan bukan lagi perairan bebas. 70 Pada akhirnya, kegagalan pemerintah untuk menciptakan undang-undang dalam sistem parlementer dalam rentang tahun 1950-1959 berhenti setelah Presiden

Soekarno memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Isi dari Dekrit Presiden tersebut adalah : a. Pembubaran Konstituante. b. Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan UUDS 1950 tidak berlaku

lagi.

70“Deklarasi Djuanda I isi, hasil, sejarah, dan pengaruhnya terhadap Indonesia”, https://setkab.go.id/deklarasi-djuanda-dan-visi-mochtar-kusumaatmadja/. Diakses pada tanggal 13 Maret 2019.

48

c. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan

Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) akan segera dibentuk.71

Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden, Presiden Soekarno mulai menjalankan pemerintahan yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Era

Demokrasi Terpimpin menjadi akhir dari sistem Demokrasi Liberal yang cenderung tidak stabil karena sering bergantinya kepala pemerintahan dan hubungan dengan legislatif yang terus memburuk dan tidak cocok diterapkan di Indonesia. UUD 1945 mulai kembali digunakan sebagai rujukan dasar pemerintahan mulai Juni 1959. Komponen pemerintahan era Demokrasi terdiri badan eksekutif yakni presiden, wakil presiden dan para menteri yang ditunjuk dan diberhentikan oleh presiden. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPRS sehingga presiden dan wakil presiden disebut mandataris MPRS atau bertanggung jawab kepada MPR.

Pada era Demokrasi Terpimpin, peran eksekutif sangatlah dominan dan peran lembaga legislatif dan yudikatif seperti Mahkamah Agung berstatus menteri, tidak ada wakil presiden dan era ini nyaris prinsip check and balances tidak berfungsi. Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno pada pelaksanaannya banyak terjadi penyelewengan dari Undang-Undang

Dasar 1945. Beberapa contoh penyelewengan di era Demokrasi Terpimpin diantaranya adalah pada tahun 1960 Presiden sebagai eksekutif membubarkan

Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilu, pimpinan DPR diangkat menjadi menteri, sekaligus menjadi pembantu presiden, presiden diangkat menjadi

71“Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959”, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/muspres/dekrit- presiden-5-juli-1959/. Diakses pada tanggal 13 Maret 2019.

49

presiden seumur hidup berdasarakan TAP MPRS No. III/1963, dan presiden diberi wewenang untuk dapat mencampuri lembaga yudikatif.72

Era Demokrasi Terpimpin ini pada akhirnya mengalami kemunduran seiring dengan kondisi negara yang tidak stabil dan berbagai macam peristiwa seperti Gerakan 30 September 1965, Tri Tuntutan Rakyat (Tritura),

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) menjadi akhir dari kepemimpinan

Presiden Soekarno.

Jika dilihat dari pelaksanaan sistem pemerintahan pada era Soekarno sejak Indonesia merdeka pada 1945 hingga era Demokrasi Terpimpin pada tahun 1966, sistem pemerintahan tidak dapat berjalan dengan semestinya karena gejolak dan ketidakstabilan politik yang terus terjadi dan juga sifat

Presiden Soekarno yang cenderung tidak demokratis membuat keadaan negara dan pemerintah semakin tidak menentu.

2. Era Orde Baru

Era Orde Baru (Orba) adalah era Presiden Soeharto menjadi Presiden

Republik Indonesia. Soeharto dilantik pada 27 Maret 1968 berdasarkan TAP

MPRS No. XXXXIV Tahun 1968 setelah sebelumnya hanya menjadi Pejabat

Presiden dari 12 Maret 1967 – 27 Maret 1968. Era Orde Baru perlahan mulai melakukan perubahan-perubahan yang sebelumnya pernah terjadi di era

Presiden Soekarno. Mulai dari kebijakan lembaga eksekutif seperti menteri yang sebelumnya dapat rangkap jabatan menjadi anggota legislatif atau anggota DPR kini dilarang, jumlah menteri dalam satu kabinet dibatasi hanya

72Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 130.

50

menjadi 24 orang ditambah 3 pejabat setingkat menteri dan para menteri diisi oleh orang-orang profesional sesuai bidangnya.

Bidang legislatif juga mengalami perubahan pada periode 1966-1971 seperti jumlah anggota legislatif atau DPR dari sebelumnya 283 berkurang menjadi 242 kursi. Anggota parlemen dari PKI, ataupun anggota parlemen yang dicurigai berafiliasi dengan PKI dipecat. 242 anggota parlemen terdiri dari 102 anggota berasal dari partai politik, 140 berasal dari Golongan Karya

(Golkar) yang didalamnya terdapat anggota ABRI.

Pada tanggal 3 Juli 1971 pemerintah berhasil menyelenggarakan pemilu untuk pertama kalinya di era Presiden Soeharto setelah pemilu terakhir dilaksanakan pada tahun 1955. Ada beberapa perubahan dalam legislatif salah satunya adalah jumlah anggota DPR-RI bertambah menjadi

460 yang diantaranya 100 anggota diangkat dan 360 anggota dipilih melalui pemilu. Setelah itu, partai-partai politik yang mengikuti pemilu 1971 dileburkan dan hanya menjadi 3 partai politik. Golongan Karya (Golkar),

Partai Demokrasi Indonesia yang terdiri dari gabungan beberapa partai politik seperti PNI, Partai Murba, IPKI, Parkindo, Partai Katolik. Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) terdiri dari gabungan Partai Nahdlatul Ulama

(NU), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah,

Parmusi.73 Partai-partai politik di era Orde Baru diwajibkan untuk berideologi atau berasas tunggal yakni Pancasila.

73Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 338.

51

Hubungan antara eksekutif dan legislatif pada masa Orde Baru bisa dikatakan tidak seimbang karena kekuasaan Presiden Soeharto sangat mendominasi dalam setiap pengambilan kebijakan. Anggota legislatif

MPR/DPR sebagian besar ditunjuk langsung oleh eksekutif atau disini

Presiden Soeharto dan setiap undang-undang yang dirancang harus mendapat persetujuan dari presiden. Keanggotaan MPR yang terdiri dari 500 anggota

DPR hasil pemilu dan 20% militer, dan sisanya adalah utusan golongan dan daerah yang semuanya dipilih oleh Presiden. Presiden bertanggung jawab kepada MPR dan ini disebut dengan mandataris MPR.74

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga terlibat di dalam lembaga legislatif. Anggota ABRI terlibat di dalam politik karena dianggap mampu menjaga stabilitas politik nasional. ABRI di era Orde Baru berperan yang disebut dengan Dwifungsi. Para perwira ABRI ditempatkan di berbagai jabatan sipil seperti gubernur, bupati, walikota, duta besar. Jumlah anggota ABRI pada tahun 1967 berjumlah 43 kursi, di tahun 1969 naik menjadi 75 kursi, dan di tahun 1985 naik menjadi 100 kursi dari 500 anggota

DPR.75 Eksekutif atau presiden juga memiliki kewenangan untuk dapat menentukan keanggotaan MPR berdasarkan pasal 1 ayat 4 huruf c UU No. 16

Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun 1985. Posisi eksekutif dan legislatif sejajar sama-sama sebagai lembaga tinggi negara berdasarkan TAP MPR No.

III/MPR/1978. Pemilu legislatif dalam era Orde Baru selalu digelar setiap

74Josef M. Monteiro, “Perpaduan Presidensial dan Parlementer dalam Sistem Pemerintahan RI”. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol 5, No. 3, 2016, h. 213. 75Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta: AIPI), 2018, h. 168.

52

lima tahun sekali dan dalam rentang 1977-1997 selalu dimenangkan oleh

Golongan Karya (Golkar).76

Tujuan era Orde Baru adalah menjaga stabilitas dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, sosial. Orde Baru yang pada awalnya adalah anti tesis dengan era pemerintahan sebelumnya tetapi pelaksanaan sistem presidensial era Orde Baru bisa dikatakan mirip dengan pelaksanaan sistem presidensial era Demokrasi Terpimpin 1959-1966. Salah satu kemiripan antara era Orde baru dengan era Demokrasi Terpimpin adalah eksekutif mendominasi pemerintahan dan lembaga legislatif tidak dapat berbuat banyak. Perbedaan era Presiden Soeharto dengan era Presiden Soekarno terletak pada kestabilan kondisi negara. Jika di era Soekarno perpolitikan, keamanan, perekenomian tidak stabil, sedangkan era Presiden Soeharto semua aspek cenderung stabil tetapi pemerintahan yang cenderung otoriter dan tidak demokratis. Era Orde Baru berakhir pada 21 Mei 1998 ketika

Presiden Soeharto memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden Republik

Indonesia setelah terjadi krisis moneter 1997-1998 dan kerusuhan besar yang terjadi di Jakarta.

3. Era Reformasi

Pengunduran Presiden Soeharto menjadi awal era reformasi dalam berbagai dimensi politik nasional. Presiden B.J. Habibie naik yang menggantikan Soeharto berdasarkan Pasal 8 ayat 1 UUD 1945. Presiden

Habibie melakukan beberapa perubahan atau reformasi yang menuju

76Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 169.

53

demokratis. Beberapa UU produk era Orde Baru diganti dengan UU yang lebih demokratis seperti UU No. 2 tahun 1999 tentang partai politik, UU No.

3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, UU No. 4 tahun 1999 tentang kedudukan MPR/DPR. TAP MPR yang dikeluarkan dan berkaitan dengan kehidupan politik nasional pada masa pemerintahan B.J. Habibie diantaranya adalah sebagai berikut:77 a. Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih

dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. b. Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden

dan wakil presiden Republik Indonesia. c. Tap MPR No. III/V/MPR/1998 tentang Pemilihan umum.

Hubungan antara eksekutif dan legislatif pada masa pemerintahan B.J.

Habibie mulai membaik dan prinsip check and balances mulai berjalan di era

Presiden Habibie. Hubungan baik antara eksekutif dan legislatif memunculkan beberapa undang-undang demokratis seperti Undang-Undang

Partai Politik, Undang-Undang Pemilihan Umum, Undang-Undang susunan kedudukan MPR/DPR. Fungsi legislasi dan fungsi pengawasan badan legislatif dapat berjalan sesuai dengan undang-undang. Pemilihan umum legislatif secara demokratis digelar pada 7 Juni 1999 dengan diikuti oleh 48 partai politik dimana sebelumnya hanya terdapat 3 partai politik di era Orde

Baru.

77Junior Hendri Wijaya, Iman Amanda Permatasari, “Capaian Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan Megawati di Indonesia”. Jurnal Cakrawala, Vol. 12, No. 2, 2 Desember 2018, h. 203.

54

Tetapi, hubungan baik antara eksekutif dan legislatif tidak berlangsung lama karena Presiden Habibie dianggap tidak mampu melanjutkan agenda-agenda reformasi seperti salah satunya adalah pengusutan kasus pelanggaran HAM. Pemeberian opsi referendum kepada

Provinsi Timor Timur juga menjadi konflik antara eksekutif dengan legislatif. Laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie akhirnya ditolak MPR pada rapat paripurna pada Oktober 1999 dan B.J. Habibie memutuskan untuk mengundurkan diri dari pencalonan presiden.78

Pemilu 1999 adalah pemilu yang pertama kali digelar di era

Reformasi. Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik dan hasil pemilu 1999 dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan meraih sebanyak 153 kursi legislatif disusul oleh Partai Golkar yang meraih

120 kursi legislatif, PPP dengan 58 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 51 kursi, dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 34 kursi. PDIP pimpinan Megawati tidak dapat meraih kursi mayoritas dan partai-partai

Islam seperti PAN, PBB, PK, PKB membentuk poros yang disebut dengan

Poros Tengah yang dibentuk oleh Amien Rais dan menunjuk K.H

Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden.79

Presiden Abdurrahman Wahid membentuk kabinet yang bernama

Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini berisikan koalisi-koalisi dari beberapa partai politik yang mendukung Abdurrahman Wahid seperti PKB,

78Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta: AIPI), 2018, h. 309. 79Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 259.

55

PDIP, Golkar, PPP, PAN, PK, PBB. Hubungan antara Presiden dengan para menterinya mulai memburuk ketika Hamzah Haz mengundurkan diri sebagai

Menko Taskin. Wiranto juga dipaksa mundur oleh Gus Dur karena dianggap menghalangi proses reformasi di tubuh militer. Jusuf Kalla, Susilo Bambang

Yudhoyono dipecat karena tidak sejalan dengan Gus Dur.

Hubungan antara Gus Dur dengan legislatif pada awalnya berjalan tanpa hambatan karena koalisinya menguasai parlemen tetapi hubungan antara Gus Dur dengan DPR mulai memburuk ketika presiden Gus Dur mengambil keputusan tanpa adanya komunikasi dengan legislatif salah satunya seperti kasus pergantian Kapolri Jenderal Polisi Suryo Bimantoro dengan Wakapolri Komisaris Jenderal Chairuddin Ismail tanpa adanya persetujuan dari DPR.

Hubungan buruk antara Gus Dur dengan para menteri, legislatif membuat situasi politik nasional memanas dan bahkan DPR mengusulkan ke

MPR untuk memakzulkan Presiden Gus Dur karena Gus Dur mengancam akan membubarkan MPR/DPR melalui dekrit. Akhirnya, Gus Dur diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden melalui Sidang Istimewa

MPR (SI MPR) dan kemudian dituangkan dalam Tap MPR No. II/MPR/2001.

Setelah Gus Dur diberhentikan, Megawati Soekarnoputri naik menjadi presiden dan menunjuk Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Presiden

Megawati membentuk kabinet yang bernama Kabinet Gotong Royong yang para menterinya diisi oleh koalisi PDIP, Golkar, PAN, PKB, dan PPP.

Megawati Soekarnoputri menjadi presiden perempuan pertama dalam sejarah

56

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Era Presiden Megawati berhasil mendirikan lembaga anti korupsi yang bernama Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan mempersiapkan pemilu yang demokratis yang mana untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat di tahun 2004.80

Kondisi keamanan nasional tidak stabil setelah Soeharto turun. Ini dibuktikan dengan banyaknya rangkaian serangan bom dan konflik seperti

Konflik Ambon, Konflik Poso yang melanda Indonesia dan menjadi sorotan internasional terutama Peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang mana jumlah korban meninggal mencapai 202 orang dan mayoritas yang menjadi korban adalah warga negara Australia.81 Hal ini membuat Presiden Megawati mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Hubungan antara Presiden Megawati dengan DPR mulai membaik dibandingkan era sebelumnya. Meskipun demikian, ada beberapa kebijakan presiden yang menjadi perdebatan antara presiden dengan DPR seperti permasalahan penjualan salah satu aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT. Indosat. Permasalahan lepasnya dua pulau yakni Pulau Sipadan dan

Ligitan membuat DPR menggunakan hak interpelasi untuk menggugat pemerintah. Pemerintahan Megawati berusaha membangun komunikasi yang

80Junior Hendri Wijaya, Iman Amanda Permatasari, “Capaian Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan Megawati di Indonesia”. Jurnal Cakrawala, Vol. 12, No. 2, 2 Desember 2018, h. 205. 81https://www.liputan6.com/global/read/3665175/12-10-2002-jejak-kelam-tragedi-bom- bali-i, diakses pada tanggal 14 Mei 2019.

57

baik antara eksekutif dengan legislatif dengan sering mengadakan rapat bergantian antara Istana Negara dengan Gedung DPR.

Pemilu 2004 menjadi ajang bagi Megawati untuk kembali mencalonkan diri menjadi presiden dan kali ini dia berpasangan dengan K.H.

Hasyim Muzadi. Pilpres 2004 pada akhirnya dimenangkan oleh pasangan

Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla setelah pemilu dilakukan dua putaran. Pada pemilu 2009, SBY kembali memenangkan pemilu dan pada kali ini dia didampingi oleh . Pemerintahan SBY-JK membentuk kabinet yang bernama Kabinet Indonesia Bersatu. Kabinet ini diisi oleh partai-partai koalisi seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera

(PKS), PAN, PKB. Periode kedua SBY diisi oleh koalisi yang sama pada periode sebelumnya.

Pemerintahan SBY di bidang politik mampu menyelesaikan konflik

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berada di Aceh yang di era sebelumnya penyelesaian konflik dilakukan secara milliter dan di era ini penyelesaian melalui mediasi yang digelar di Finlandia pada tahun 2005. Kebijakan desentralisasi semakin dimantapkan yang mana sebelumnya semua urusan berada di pemerintah pusat kecuali 5 yakni, pertahanan, hubungan luar negeri, keamanan, agama, dan keuangan.

Hubungan antara presiden dengan DPR pada pemerintahan SBY berjalan stabil meskipun ada beberapa kali gesekan diantaranya adalah DPR beberapa kali menggunakan hak angket dan hak interpelasi atas kebijakan- kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seperti persoalan harga Bahan Bakar

58

Minyak (BBM), impor beras. Presiden SBY sering melakukan lobi-lobi politik ke DPR supaya kebijakan yang dibuatnya tidak mendapat ganjalan dari DPR dan bahkan hampir seluruh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh presiden selalu mendapat dukungan dari DPR. Pemerintahan Presiden SBY bisa dikatakan lebih seimbang antara eksekutif dengan legislatif dan prinsip check and balances berjalan dengan semestinya.

B. Sistem Presidensial di Turki

1. Era Mustafa Kemal Ataturk

Setelah Perang Dunia I berakhir pada 1919, kondisi perpolitikan di dalam Turki Utsmani tidak stabil dan dengan kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok Mustafa Kemal Pasa dengan mendirikan Turkiye Buyuk Millet

Meclisi (TBMM) atau Majelis Agung Nasional Turki di Ankara pada 23

April 1920. Mustafa Kemal Pasa mengusulkan bahwa sistem kekhilafahan harus dipisahkan dari politik. Namun, konsep ini ditolak dan mengakibatkan konflik internal Turki Utsmani semakin parah hingga pada akhirnya Dewan

Perwakilan Nasional menunjuk Mustafa Kemal Pasa sebagai ketua dewan dan diharapkan mampu meredakan situasi politik yang memanas.

Setelah dilantik menjadi ketua parlemen, Mustafa Kemal Pasa mengumumkan gagasannya yakni membubarkan kekhilafahan dan diganti dengan republik dan gagasan ini mendapat penolakan dari pihak Sultan

Abdulmajid II. Mustafa Kemal berpendapat bahwa yang menentang sistem republik akan dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Perjanjian

59

Laussane yang ditandatangani pada 24 Juli 1923 membuat Turki diakui sebagai negara berdaulat oleh internasional.82

Republik Turki berdiri pada 29 Oktober 1923 oleh Mustafa Kemal

Pasa atau Kemal Ataturk sekaligus menjadi presiden Republik Turki pertama.

Kekhilafahan Turki Utsmani resmi dihapus pada 3 Maret 1924 dan Dinasti

Utsmaniyah termasuk khalifah terakhir Sultan Abdulmajid II diusir dari

Turki. Sistem pemerintahan Republik Turki adalah sistem parlementer.

Sistem parlementer ini mengadopsi dari negara-negara Eropa. Perpolitikan pada masa Mustafa Kemal Ataturk didominasi oleh satu partai politik yakni

Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi). Partai ini menjadi mesin politik Mustafa Kemal Ataturk dalam menjalankan pemerintahnnya. Peran partai oposisi di era ini nyaris tidak ada, meskipun ada partai oposisi yakni

Partai Republik Merdeka (PRM) tetapi hanya meraih 30 kursi parlemen.

Pada era ini, tugas presiden hanya sebatas seremonial,sedangkan perdana menteri menjalankan pemerintahan Hubungan antara eksekutif dengan legislatif pada era Mustafa Kemal Ataturk bisa dikatakan tidak seimbang karena semua berdasarkan mengikuti keinginan Mustafa Kemal

Ataturk. Beberapa contohnya adalah pada tahun 1931 kongres menetapkan bahwa Turki adalah negara dengan satu partai, yakni Partai Rakyat Republik, pemberian gelar “Ataturk” atau Bapak Turki oleh parlemen pada tahun

1934.83 Parlemen Turki menjadi pusat kekuasaan untuk Mustafa Kemal

82Solikhun, “Negara Turki pada Masa Kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk Tahun (1923-1950)”. Jurnal Ilmiah, 2013, (Depok: Universitas Indonesia). 83Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki ”, (Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018), h. 31.

60

Ataturk dalam melaksanakan reformasi-reformasi yang dijalankannya dan ini tercantum dalam Konstitusi 1924. Enam prinsip Kemal Ataturk atau yang kemudian menjadi prinsip-prinsip negara Republik Turki dan diresmikan di dalam konstitusi yakni republikanisme (cumhuriyetcilik), populisme

(halkcilik), sekularisme (laiklik), revolusionisme (devrimcilik), dan nasionalisme (milliyetcilik).84

2. Era Multi Partai

Setelah Mustafa Kemal Ataturk wafat pada 10 November 1938, pemerintahan Turki dilanjutkan oleh Ismet Inonu yang naik menjadi presiden. Ismet Inonu memulai beberapa langkah perubahan yang lebih demokratis khususnya dalam politik salah satunya adalah membolehkan berdirinya partai politik dan mulai berlaku era multi partai pada tahun 1945.

Partai Demokrat (Demokrat Parti) adalah partai oposisi yang baru dan langsung membuat kejutan yakni mampu mengalahkan Partai Rakyat

Republik (CHP) pada pemilu 1950 dengan meraih 408 kursi parlemen dan

Partai Rakyat Republik hanya meraih 69 kursi parlemen. Hasil pemilu 1950 merupakan era pemerintahan Turki dengan partai yang baru setelah Partai

Rakyat Republik (CHP) berkuasa sejak merdeka pada 1923. Partai Demokrat

(DP) dipimpin oleh bekas anggota Partai Rakyat Republik yakni Adnan

Menderes dan Celal Bayar. Celal Bayar menjadi Presiden Turki sementara

Adnan Menderes menjadi Perdana Menteri Turki.

84Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki ”, h. 42.

61

Pemerintahan Turki dibawah Adnan Menderes mengalami perubahan di berbagai bidang seperti ekonomi, politik. Ekonomi Turki di bawah pemerintahan Adnan Menderes tumbuh rata-rata sekitar 9%. Adnan Menderes lebih moderat karena haluan politiknya yang dekat dengan Barat dan negara- negara mayoritas beragama Islam. Hubungan pemerintahan Adnan Menderes dengan umat Islam di Turki sangat erat dan ini dibuktikan dengan beberapa kebijakan yang dibuatnya seperti mengubah kembali Adzan dari Berbahasa

Turki ke Bahasa Arab, membuka kembali sekolah agama, masjid-masjid yang ditutup di era Partai Rakyat Republik (CHP) kembali dibuka.85

Pemerintahan Adnan Menderes berubah menjadi lebih otoriter karena kebijakan-kebijakan seperti pembatasan, pengekangan pers, anti dengan kritik. Hubungan antara pemerintah dengan partai oposisi memburuk karena suara-suara kritis dari pihak oposisi dibungkam. Setelah 10 tahun memimpin

Turki, Adnan Menderes akhirnya dikudeta oleh militer pada 27 Mei 1960 karena pihak militer tidak puas dengan pemerintahan Adnan Menderes yang secara ekonomi dan politik tidak stabil. Tidak hanya itu, hubungan erat antara Adnan Menderes dengan Islam juga faktor ketidaksukaan militer terhadapnya.86

Cemal Gursel naik menjadi Presiden Turki setelah mengkudeta pemerintahan Adnan Menderes dan mengadakan referendum untuk melakukan perubahan pada konstitusi Turki pada tahun 1961. Hasilnya

85Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, (Jakarta: PT. Gramedia, 2018), h. 148. 86Atika Gumilar, “Kepentingan Turki Terhadap Pengungsi Suriah Studi Kasus Tahun 2011-2015” “(Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016).

62

mayoritas rakyat Turki menyetujui perubahan konstitusi. Konstitusi 1961 berisi mengenai pemerintahan yang lebih demokratis Poin terpenting dari konstitusi 1961 adalah terbentuknya parlemen dua kamar atau bicameral yang terdiri dari Majelis Nasional yang terdiri dari 450 orang dan Senat yang dipilih secara langsung dan terdiri dari 150 orang.

Militer masih mengintervensi perpolitikan Turki dari tahun 1960-

1965. Pemilu digelar pada 1961 dan hasilnya Partai Rakyat Republik (CHP) pimpinan Ismet Inonu kembali meraih mayoritas kursi parlemen dan Suat

Hayri Urguplu terpilih menjadi perdana menteri. Pemilu kembali digelar pada tahun 1965 dan pada kali Partai Keadilan (Adalet Parti) yang dipimpin oleh

Suleyman Demirel berhasil meraih mayoritas kursi parlemen dengan meraih

240 kursi.87

Pemerintahan Suleyman Demirel menghadapi banyak persoalan seperti krisis ekonomi, krisis politik. Aksi demonstrasi besar-besaran oleh lapisan masyarakat akibat krisis ekonomi berkepanjangan kian tak terbendung. Menanggapi aksi demonstrasi yang semakin besar, Perdana

Menteri Suleyman Demirel meminta pihak militer untuk turun tangan menghadapi aksi demonstrasi tersebut. Pihak militer tidak terlalu suka dengan pemerintahan Suleyman Demirel. Pada akhirnya pihak militer mengambil tindakan untuk mengatasi situasi negara yang kacau yakni melakukan kudeta terhadap pemerintahan Suleyman Demirel pada 12 Maret

1971. Setelah melancarkan kudeta, pihak militer membuat aturan yang lebih

87Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, (Jakarta: PT. Gramedia, 2018), h. 161.

63

represif yakni melarang kegiatan-kegiatan yang bersifat demokratis seperti melarang seminar, rapat, melarang mendirikan organisasi-organisasi.

Ketidakstabilan pemerintahan Turki akibat intervensi pihak militer kembali berlanjut pada tahun 1980. Jenderal Kenan Evren memimpin aksi kudeta ini dengan alasan untuk menciptakan stabilitas dalam bidang ekonomi, menstabilkan situasi di masyarakat yang sudah terpolarisasi, menegakkan demokrasi kepada pemerintahan sipil yang berlandaskan

Kemalisme. Kudeta 1980, pihak militer melakukan beberapa tindakan yang lebih represif yakni membubarkan parlemen, membubarkan partai-partai poliik termasuk Partai Rakyat Republik (CHP) ikut dibubarkan, menangkap ratusan ribu warga, pemberedelan seluruh pers.

Dalam periode ini, kondisi keamanan Turki masih tidak stabil karena kemunculan suatu kelompok yang bernama Partiya Karkeran Kurdistan

(Partai Pekerja Kurdistan /PKK) yang mana tujuan dari kelompok ini adalah untuk dapat memperjuangkan hak-hak dan menuntut kemerdekaan suku

Kurdi di Kurdistan. Kelompok ini pada awalnya melakukan teror terhadap pemerintahan Turki dan pada akhirnya kelompok ini dilabeli oleh pemerintah

Turki sebagai kelompok teroris karena terus melancarkan aksi-aksi teror terhadap masyarakat dan pemerintahan Turki.88

Militer Turki berkuasa sejak 1980 sampai tahun 1983, dan di tahun

1983 pihak militer memutuskan untuk mengadakan kembali pemilu. Pemilu

1983 dimenangi oleh Turgut Ozal dari Partai Ibu Pertiwi (Anavatan

88Ulfah Mawaddatul Qudus, Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi Perbandingan Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di Irak dan Turki), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 43.

64

Partisi/ANAP) yang mampu meraih 211 kursi parlemen. Turgut Ozal yang berasal dari kalangan insinyur listrik membuat beberapa kebijakan yang berbeda dari pemerintahan sebelumnya yang disusun bersama kabinetnya yakni kebijakan swastanisasi. Kebijakan swastinasasi yang dibuat Turgut

Ozal disetujui oleh parlemen. Pemerintahan Turgut Ozal untuk memajukan sektor swasta berhasil. Pada pemilu berikutnya, Partai Ibu Pertiwi (ANAP) mengalami penurunan suara tetapi partainya masih menguasai parlemen.89

Tahun 1990-an, kebangkitan kelompok-kelompok Islam semakin bergeliat dan ini dibuktikan ketika sebuah partai politik yang diisi oleh kalangan konservatif yakni Partai Kesejahteraan (Refah Partisi) mampu memenangi pemilu pada tahun 1995 dengan meraih 158 kursi parlemen.

Kemenangan partai ini tidak meraih mayoritas kursi parlemen sehingga harus berkoalisi supaya dapat membentuk pemerintahan. Partai ini berkoalisi dengan Partai Ibu Pertiwi (ANAP) dan Partai Jalan Kebenaran (Dogru Yol

Partisi). Necmettin Erbakan selaku ketua Partai Kesejahteraan terpilih menjadi perdana menteri.

Perubahan sikap politik ditunjukkan oleh Erbakan yakni berusaha meningkatkan hubungan Turki dengan negara-negara Arab dan berjuang memasukkan nilai-nilai Islam di dalam perpolitikan Turki.90 Kebijakan- kebijakan pemerintahan Erbakan yang dinilai terlalu menonjolkan identitas agama di dalam politik membuat pihak militer merasa prinsip sekularisme terancam dan tidak mendukung pemerintahan Erbakan. Akhirnya, pada 28

89Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, h. 170. 90Arya Sandhiyudha, “Ijtihad Islamisme Turki ala Erbakan”, Jurnal Politik, Vol. 2, No. 1, Agustus 2016.

65

Februari 1997 pihak militer memaksa Necemettin Erbakan untuk mengundurkan diri sebagai perdana menteri dan baru pada 18 Juni 1997

Necmettin Erbakan melepas jabatannya. Tidak hanya itu, Partai

Kesejahteraan (Refah Partisi) juga dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi

Turki pada tahun 1998 dan Necmettin Erbakan dihukum dilarang berpolitik selama lima tahun kedepan.91

Memasuki abad ke-21, perpolitikan Turki mengalami perubahan dan pada pemilu 2002, secara mengejutkan Partai Keadilan dan Pembangunan

(Adalet ve Kalkinma Partisi/AKP) yang baru berdiri pada 14 Agusutus 2001 mampu meraih suara mayoritas parlemen dengan meraih 363 kursi dari total

550 kursi mengalahkan Partai Rakyat Republik (CHP) yang hanya meraih

178 kursi.92 Recep Tayyip Erdogan sebagai ketua partai terpilih menjadi perdana menteri. Tetapi, karena dia masih menjalani hukuman berpolitik,

Recep Tayyip Erdogan dibatalkan menjadi perdana menteri dan Presiden

Turki Ahmet Necdet Sezer menunjuk Abdullah Gul untuk menggantikannya.93 Pada tahun 2003, Recep Tayyip Erdogan baru resmi menjadi perdana menteri setelah memenangi pemilu sela di Siirt.

Langkah pertama yang dilakukan pemerintahan Recep Tayyip Erdogan adalah memperbaiki ekonomi Turki yang sedang mengalami krisis sejak tahun 2001. Ekonomi Turki dalam rentang 2003-2007 berada pada kisaran 6-

91Trias Kuncahyono, Turki: Revolusi Tak Pernah Berhenti, (Jakarta: PT. Gramedia, 2018), h. 176. 92Ahmad Junaidi, “Kebijakan Politik Recep Tayyip Erdogan dan Islamisme Turki Kontemporer”, Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia Vol. 6, No.1, November 2016. 93“Presiden Turki mengangkat Abdullah Gul Sebagai Perdana Menteri Turki”, https://www.voaindonesia.com/a/a-32-a-2002-11-16-7-1-85290567/49525.html. Diakses pada tanggal 8 April 2019.

66

7%, inflasi berhasil dikendalikan hingga mencapai angka 3,7%. Dalam kebijakan luar negeri, pemerintahan Recep Tayyip Erdogan tetap menjalin erat dengan negara-negara Barat dan memperkuat hubungan dengan negara- negara mayoritas muslim. Kebijakan ini berbeda dengan pemerintahan

Necmettin Erbakan yang terang-terangan anti dengan negara Barat.94

Hubungan antara pemerintah dengan parlemen pada era Recep Tayyip

Erdogan cukup bagus meskipun ada kebijakan yang ditolak parlemen salah satu kebijakan yang ditolak oleh parlemen adalah RUU Zina. Pada tahun

2004, parlemen menolak RUU zina yang diajukan oleh partai AKP karena partai-partai oposisi menolak undang-undang tersebut karena undang-undang tersebut berpotensi melanggar hak asasi manusia.95 Kebanyakan kebijakan- kebijakan yang dibuat pemerintahan Recep Tayyip Erdogan disetujui oleh parlemen karena Partai AKP dalam setiap kali mengikuti pemilu selalu meraih kursi mayoritas di parlemen dan tentu ini memudahkan pemerintah dalam setiap mengambil kebijakan. Pada tahun 2005, Menteri Kehakiman

Cemil Cicek membuat usulan untuk mengganti sistem pemerintahan Turki dari sistem parlementer ke sistem presidensial dan usulan ini didukung oleh

Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan.

Pada tahun 2007, Turki menggelar referendum konstitusi yang dinisiasi oleh Recep Tayyip Erdogan. Poin-poin utama dalam referendum konstitusi ini adalah jabatan presiden yang selama ini hanya sekedar

94Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki ”, (Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018), h. 90. 95“Turki Batalkan RUU Zina, https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2004/09/15/2651/turki-batalkan-ruu- zina.html. Diakses pada tanggal 9 April 2019.

67

seremonial diubah menjadi presiden dapat dipilih langsung oleh rakyat, masa jabatan presiden dikurangi dari 7 tahun menjadi 5 tahun, presiden dapat mencalonkan kembali setelah menjabat di periode pertama. Dan hasilnya mayoritas masyarakat Turki mendukung perubahan konstitusi yang dinisiasi oleh Recep Tayyip Erdogan dan Partai AKP. Setelah referendum konstitusi

2007, wacana untuk mengganti sistem pemerintahan mulai menjadi pembicaraan di kalangan para politisi Turki.

Pada tahun 2010, Recep Tayyip Erdogan kembali menginisiasi untuk menggelar referendum konstitusi setelah yang pertama di tahun 2007.

Referendum kali ini membahas lebih banyak persoalan dibandingkan referendum konstitusi di tahun 2007. Poin-poin yang diangkat dalam perubahan konstitusi tahun 2010 ini adalah permasalahan ekonomi dan hak sosial, kebebasan individu, reformasi yudisial, dan perlindungan bagi anggota militer yang terlibat pada kudeta 1980. Hasilnya mayoritas masyarakat Turki mendukung perubahan konstitusi dengan perolahan persentase 58,88% berbanding yang menolak 42,12% yang dinisiasi oleh Recep Tayyip Erdogan dan Partai AKP.96

Usulan mengenai pergantian sistem pemerintahan melalui referendum terus bergulir hingga Recep Tayyip Erdogan naik menjadi Presiden Turki pada tahun 2014 dan di tahun 2016 Recep Tayyip Erdogan ingin secepatnya realisasi perubahan sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial karena dengan sistem presidensial struktur pemerintahan dapat lebih

96Alfan Alfian, Militer dan Politik di Turki, (Jakarta: 2018), hal. 78.

68

ramping.97 Percobaan kudeta pada 15 Juli 2016 membuat pemerintah semakin gencar untuk melakukan perubahan sistem pemerintahan.

Selain itu, pergantian sistem pemerintahan dari sistem parlementer ke presidensial diharapkan menjadi lebih efektif karena proses pembuatan kebijakan yang tidak bertele-tele di parlemen yang selama ini dianggap memperhambat kinerja pemerintah. Selain isu pergantian sistem pemerintahan, isu yang tak kalah penting di Turki adalah mengenai isu keamanan nasional yang menjadi sorotan. Ancaman terorisme yang kerap melanda Turki juga menjadi isu yang terus menjadi perbincangan baik di kalangan masyarakat maupun para pejabat pemerintahan.

Pada bulan Januari 2017, Partai AKP dan Partai Pergerakan Nasionalis

(Milliyetci Hareket Partisi) berkoalisi untuk dapat menggelar referendum.

Parlemen Turki mengadakan pemungutan suara untuk dapat mengamandemen beberapa pasal yang akan diimplementasikan dalam referendum. Hasilnya

338 anggota parlemen menyetujui perubahan beberapa pasal yang akan diimpelementasikan dalam referendum sedangkan 142 anggota menolak. 98

Setelah diresmikan oleh parlemen, referendum dapat digelar pada musim semi pada tanggal 16 April 2017. Beberapa perubahan pasal-pasal mengenai perubahan sistem pemerintahan yang digunakan dalam referendum

97“Erdogan Ingin Turki Berubah Menjadi Sistem Presidensial", diakses pada tanggal 10 April 2019. https://www.suara.com/news/2016/01/02/025645/erdogan-ingin-turki-berubah- gunakan-sistem-presidensial 98“Perubahan Konstitusi Turki”, https://www.trt.net.tr/melayu/turki/2017/01/16/perubahan-konstitusi-turki-651779, diakses pada tanggal 10 April 2019.

69

konstitusi 2017:99 eksekutif yakni presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu setiap lima tahun sekali, kekuasaan eksekutif yakni presiden lebih luas dan jabatan perdana menteri yang sebelumnya menjadi kepala pemerintahan dihapus, presiden menjadi kepala negara sekaligus pemerintahan dan para menteri akan dipilih langsung oleh presiden.

Referendum akhirnya digelar pada tanggal 16 April 2017. Hasil referendum menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Turki setuju dengan pergantian sistem pemerintahan yang baru. Pada tahun 2018, Presiden Recep

Tayyip Erdogan memutuskan untuk menggelar pemilu lebih cepat dengan alasan ingin menyempurnakan pelaksanaan sistem presidensial yang telah resmi berjalan sejak 2017. Pemilu yang diikuti oleh 5 calon dimenangkan oleh Koalisi Rakyat (Cumhur Ittifaki) antara Partai AKP dan MHP Recep

Tayyip Erdogan mengalahkan rival utamanya yakni Muharrem Ince dari

Koalisi Bangsa (Millet Ittifaki) antara Partai CHP, Partai Bagus (IYI Parti),

Partai Kebahagiaan (Saadet Partisi).100

99“Referendum Akan Tentukan Kekuasaan Erdogan di Turki”, https://www.bbc.com/indonesia/dunia-39612428, diakses pada tanggal 11 April 2019. 100“Erdogan memenangi pilpres Turki”, https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44596943, diakses pada tanggal 11 April 2019.

70

BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN SISTEM PRESIDENSIAL

DI INDONESIA DAN TURKI

Pada bab ini, penulis menjabarkan tantangan dan dinamika bagaimana proses sistem presidensial yang berada di Indonesia di era Reformasi setelah

1998 khususnya pada era Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Bab ini henda memfokuskan analisisnya pada hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif, khususnya dalam hal penunjukkan anggota kabinet oleh Presiden

Jokowi dan bagaimana proses revisi undang-undang terorisme. Begitu juga proses sistem presidensial di Turki pada era pemerintahan Presiden Recep

Tayyip Erdogan mulai dari kekuasaan eksekutif dan legislatif, kasus penunjukkan menteri oleh presiden dan proses revisi undang-undang terorisme.

A. Sistem Presidensial di Indonesia

1. Kekuasaan Presiden Indonesia

Selain menganut sistem republik demokratis, Indonesia juga merupakan berbentuk kesatuan.101 Dengan berpedoman pada Pancasila sebagai ideologi dasar negara,102 Indonesia menerapkan sistem pemerintahan presidensial yang mana seorang presiden sebagai pimpinan eksekutif yang bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden

Republik Indonesia adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan diatur

101Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat 1. 102Sucipto Suntoro, Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap, (Solo: Beringin 55, 2004), h. 6.

71

dalam Undang-Undang Dasar 1945. UUD 1945 menjadi konstitusi pemerintahan Republik Indonesia yang berlaku sejak 18 Agustus 1945 dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Undang-

Undang Dasar 1945 mengalami amandemen sebanyak empat kali sejak dimulainya era Reformasi pada tahun 1998. Amandemen pertama UUD 1945 mengenai kekuasaan eksekutif atau presiden dilakukan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 14-21 Oktober 1999. Presiden

Republik Indonesia dalam tugasnya sehari-hari dibantu oleh wakil presiden dan para menteri. Masa jabatan Presiden Republik Indonesia adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali melalui pemilihan umum (pemilu) untuk satu kali masa jabatan atau presiden dapat berkuasa hingga 2 periode.

Dalam UUD 1945, kekuasaan presiden disebutkan sebagai pimpinan tertingi lembaga ekskutif. Begitu juga, UUD 1945 membagi jenis kekuasaan presiden menjadi dua, yakni presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Perubahan penting terjadi sejak era reformasi pada

1998. Hal ini terlihat dalam amandeman UUD 1945 yang menyatakan bahwa,

Presiden sebagai kepala negara adalah secara filosofis bahwa presiden memegang seluruh kekuasaan negara. Pasal-pasal yang mengatur presiden sebagai kepala negara di antaranya adalah pasal 10 yang mengatur tentang bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,

Angkatan Laut, dan Udara. Pasal 13 ayat 1 mengenai presiden mengangkat duta dan konsul.

72

Berdasarkan hal tersebut di atas, posisi Presiden sebagai kepala pemerintahan berarti presiden mempunyai kekuasaan untuk menjalankan undang-undang. Presiden juga mempunyai kewajiban merealisasikan tujuan negara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.103 Presiden sebagai kepala pemerintahan juga diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 di antaranya adalah Pasal 4 mengenai Presiden Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, Pasal 5 mengenai presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, Pasal 17 mengenai presiden mengangkat dan memberhentikan menteri.104

2. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) adalah lembaga negara yang berfungsi sebagai pembuat undang-undang atau lembaga legislatif. Definisi ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 20 ayat 1.105 DPR RI adalah sebuah lembaga negara yang memiliki fungsi sebagai penyalur pendapat dan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan setiap hari.106 Cikal bakal lahirnya DPR RI sudah ada sejak era pemerintahan kolonial Belanda yang

103Sudirman, “Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Telaah Terhadap Kedudukan dan Hubungan Presiden dengan Lembaga Negara yang Lain dalam Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945)”, (Malang; Universitas Brawijaya, 2004). 104Undang-Undang Dasar 1945. 105Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 Ayat 1. 106Dandhy Adiguna, “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 Tentang Pelaksanaan Hak Menyatakan Pendapat” (Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Lampung, 2011).

73

pada saat itu bernama Volksraad pada tahun 1916. Setelah Republik

Indonesia merdeka pada tahun 17 Agustus 1945, lembaga legislatif dibentuk pada awalnya bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berdiri pada tanggal 29 Agustus 1945 dan setelah itu berganti nama menjadi Dewan

Perwakilan Rakyat hingga saat ini.107

DPR RI menjalankan tugasnya berlandaskan Undang-Undang Dasar

1945 dan beberapa pasal yang mengatur tentang DPR RI adalah dari pasal 19 sampai pasal 22. Kewenangan DPR RI sejak 1998 mengalami perubahan seiring dengan diamandemennya UUD 1945. DPR RI memiliki fungsi yang diatur dalam Pasal 20A ayat 1 di antaranya adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi DPR RI yang berkaitan dengan pembentukan, pembahasan, penyempurnaan rancangan undang-undang bersama dengan eksekutif atau presiden. Fungsi anggaran dengan demikiran sebuah fungsi yang dimiliki DPR RI untuk membentuk rancangan undang-undang mengenai persetujuan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan oleh presiden.

Sedangkan fungsi pengawasan berarti bahwa DPR RI mengawasi setiap kebijakan yang dibuat oleh presiden.108

DPR RI adalah DPR RI diisi oleh anggota-anggota DPR RI yang tergabung dalam partai politik. Anggota DPR RI menurut UUD 1945 Pasal

19 ayat 1 dipilih melalui pemilu legislatif dengan masa jabatan 5 tahun dan

107http://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr “Sejarah DPR RI”, diakses pada tanggal 4 Juli 2019. 108http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang “Tugas dan Wewenang DPR RI”, diakses pada tanggal 3 Juli 2019.

74

sesudah itu dapat ikut kembali mencalonkan diri pada masa bakti berikutnya.

Jumlah anggota DPR RI adalah 560 orang dari 77 daerah pemilihan (dapil). 109

Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk dapat menentukan perolehan kursi di DPR RI adalah 4% berdasarkan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017.

3. Penunjukkan Para Menteri di Era Kabinet Kerja 2014-2019

Pemilu 2014 diikuti oleh dua pasangan kandidat yakni Prabowo

Subianto- dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terdapat dua koalisi yakni Koalisi Merah Putih (KMP) pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Koalisi Merah Putih (KMP) pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa diisi oleh beberapa partai seperti Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai

Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Golongan

Karya (Golkar) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Koalisi Indonesia Hebat

(KIH) pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diisi oleh beberapa partai seperti

Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional Demokrat

(Nasdem).110

Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil meraih kemenangan pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 setelah mengalahkan pasangan Prabowo

109http://www.dpr.go.id/tentang/tugas-wewenang “Tugas dan Wewenang DPR RI”, diakses pada tanggal 3 Juli 2019. 110Gia Noor Syah Putra, “Sikap Politik Koalisi Merah Putih Terhadap Kebijakan Politik Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).

75

Subianto-Hatta Rajasa dengan meraih 53,15% suara.111 Putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) yang menolak semua gugatan yang diajukan oleh pasangan

Prabowo Subianto-Hatta Rajasa semakin mempertegas kemenangan Joko

Widodo.112 Pasca pilpres 2014 berakhir, isu mengenai kursi jabatan menteri ramai menjadi pembicaraan di kalangan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). partai partai pendukung seperti PDI-P, PKB, Nasdem menyodorkan nama- nama calon menteri dari partainya masing-masing.113 Beberapa waktu sebelum pelantikan presiden, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memutuskan untuk keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan bergabung bersama koalisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.114

Setelah Presiden Joko Widodo resmi dilantik oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2014, Presiden Joko

Widodo mulai sibuk memilih calon para menteri yang akan bergabung dengan pemerintahannya. Akhirnya pada 26 Oktober 2014, Presiden Joko

Widodo mengumumkan nama kabinetnya yakni Kabinet Kerja dan sekaligus mengumumkan nama-nama yang menjadi menteri Kabinet Kerja. Kabinet

Kerja diisi oleh 15 orang dari partai koalisi, dan 19 orang diisi oleh non

111Hasil Resmi Pilres 2014, https://nasional.kompas.com/read/2014/07/22/20574751/Ini.Hasil.Resmi.Rekapitulasi.Suara.Pilpre s.2014?page=all, diakses pada tanggal 8 Agustus 2019. 112MK tolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta, https://nasional.tempo.co/read/601368/mk- tolak-seluruh-gugatan-prabowo, diakses pada tanggal 1 Agustus 2019. 113Nama-nama calon menteri mulai beredar, https://nasional.tempo.co/read/595361/calon- menteri-kabinet-jokowi-jk-mulai-beredar/full&view=ok, diakses pada tanggal 9 Agustus 2019. 114PPP resmi bergabung dengan koalisi pemerintah, https://nasional.okezone.com/read/2014/10/18/337/1054000/ppp-resmi-gabung-koalisi-jokowi-jk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2019.

76

partai atau kalangan profesional.115 Joko Widodo dalam memilih menteri ternyata tidak dapat sepenuhnya menggunakan hak prerogatifnya karena Joko

Widodo bukan sebagai ketua partai dan mempertimbangkan kepentingan dukungan kebijakannya di parlemen. Porsi menteri untuk partai politik sebenarnya cukup banyak sehingga capaian dari beberapa kementerian tidak memuaskan atau jauh dari target.116

Setelah kabinet resmi dibentuk, terjadi perubahan sikap di dalam

Partai Golkar. Partai Golkar yang berada di koalisi Prabowo Subianto-Hatta

Rajasa mengalami dualisme kepemimpinan yakni Musyawarah Nasional

(Munas) Bali versi Aburizal Bakrie dan Munas Nasional (Munas) Ancol versi

Agung Laksono. Pada akhirnya kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sepakat untuk bergabung ke koalisi pemerintah.117 Terkait dengan sikap

Partai Golkar yang memutuskan bergabung ke pemerintah, sikap Partai

Golkar adalah selalu berada di dalam pemerintah dan belum pernah menjadi oposisi. Faktor yang membuat Partai Golkar untuk bergabung ke koalisi Joko

Widodo adalah konflik dualisme antara kubu Aburizal Bakrie dengan Agung

Laksono. Setelah pengurus baru Golkar, secara tidak langsung Joko Widodo mampu mendekati dan merangkul Golkar. Bahkan, Partai Golkar adalah partai politik pertama dalam koalisi pemerintah yang secara resmi

115Komposisi Kabinet Kerja, https://nasional.kompas.com/read/2014/10/26/18101431/Ini.15.Menteri.Jokowi.yang.Berasal.dari. Partai.Politik, diakses pada tanggal 9 Agustus 2019. 116Wawancara Pribadi dengan Rudy Alfonso, Ketua DPP bidang Hukum dan HAM Partai Golkar, pada 15 Agustus 2019. 117Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sepakat untuk bergabung ke pemerintah, https://nasional.kompas.com/read/2015/11/01/20452241/Agung.Laksono.Saya.dan.Pak.Ical.Sepak at.Dukung.Pemerintah.Jokowi, diakses pada tanggal 12 Agustus 2019.

77

mendukung Presiden Joko Widodo untuk maju kembali pada periode selanjutnya.118

4. Hubungan Presiden dengan DPR RI

Indonesia sejak merdeka pada 1945 telah mengalami beberapa kali mengalami perubahan kepemimpinan dari era Orde Lama, Orde Baru, dan sekarang era Reformasi. Setiap era kepemimpinan presiden Indonesia tentunya selalu melahirkan undang-undang. Proses lahirnya sebuah undang- undang di Indonesia adalah berasal dari kekuasaan eksekutif atau presiden dan dibahas di badan legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Era

Reformasi sejak 1998, hubungan antara Presiden RI dengan DPR RI mengalami perubahan seiring dengan diamandemennya UUD 1945. Beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengatur hubungan antara eksekutif dengan legislatif di antaranya adalah Pasal 5 ayat 1 yang mengatur tentang Presiden

RI dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR RI, Pasal 20 ayat 2 mengatur rancangan undang-undang dibahas dan disetujui oleh

Presiden RI dan DPR RI, Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah harus mendapat persetujuan dari DPR RI.119

Pada era Reformasi yang demokratis, hubungan antara Presiden dengan DPR RI sama-sama kuat dan saling bersinergi. Sebelum era

Reformasi, kekuasaan eksekutif melampaui kekuasaan legislatif dan prinsip check and balances yang selalu jadi acuan negara yang demokratis tidak dapa

118Wawancara Pribadi dengan Rudy Alfonso, Ketua DPP bidang Hukum dan HAM Partai Golkar, pada 15 Agustus 2019. 119Undang-Undang Dasar 1945.

78

berjalan dengan baik. Era Reformasi dalam pemerintahan sistem presidensial adalah bagaimana hubungan antara eksekutif dengan legislatif saling mengoreksi dan mengawasi satu sama lain. Presiden RI dan DPR RI adalah dua lembaga negara yang memiliki tanggung jawab yang sama untuk dapat mensukseskan program-program kerja pemerintah yang dibahas bersama.120

Sejak era Reformasi 1998, hubungan antara Presiden dengan DPR RI mengalami pasang surut ini karena sifat presiden dan kekuatan partai politik di DPR RI. Mulai dari Presiden B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid,

Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.

Selain itu, DPR RI juga terus mengalami perubahan partai politik yang menjadi mayoritas parlemen. Sejak era Reformasi 1998, setiap kali pemilihan umum (pemilu) digelar, partai pemenang di DPR RI selalu berganti-ganti mulai dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di tahun 1999, Partai

Golongan Karya 2004, Partai Demokrat 2009, dan PDIP di tahun 2014.

Pembentukan sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang juga menjadi salah satu proses sistem presidensial berjalan di Indonesia. Proses terbentuknya sebuah undang-undang pada era Reformasi ini tidak semudah yang terjadi di era Orde Baru karena kekuatan eksekutif atau Presiden RI pada saat itu sangat kuat sehingga dapat mengontrol DPR RI. 121

Salah satu undang-undang yang terus menjadi isu hangat di Indonesia pada era Reformasi ini adalah undang-undang terorisme. Latar belakang lahirnya undang-undang terorisme di Indonesia adalah maraknya aksi

120Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, (Jakarta: AIPI), 2018, h. 301-302. 121Sarah Nuraini Siregar, Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi, h. 114.

79

terorisme dan aksi teror terparah adalah Bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menelan korban sebanyak 202 jiwa dan kebanyakan korban berasal dari

Australia.122 Setelah kejadian Bom Bali tersebut, Presiden Megawati

Soekarnoputri langsung membuat tindakan cepat yakni menandatangani

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun

2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan Perppu Nomor 2

Tahun 2002.123 Setelah dijadikan Perppu, pada tahun 2003 disahkan oleh

DPR RI menjadi undang-undang No. 15 Tahun 2003 dan undang-undang No.

16 Tahun 2003.124

Undang-undang terorisme yang sudah berlaku sejak tahun 2003 ternyata belum cukup efektif untuk dapat meredakan aksi teror bom yang masih terjadi di Indonesia. Beberapa aksi teror bom yang memakan banyak korban jiwa terus melanda Indonesia dan beberapa kasus teror bom yang memakan korban jiwa serta menjadi sorotan di antaranya adalah teror bom

Hotel J.W Marriott di tahun 2009, bom Polres Poso, dan bom di Jl. M.H

Thamrin pada 2016. Serangkaian serangan teror bom ini membuat pemerintah meminta kepada DPR RI untuk segera melakukan revisi terhadap undang- undang No.15 Tahun 2003.125 Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly meminta DPR RI untuk

122Bom Bali I, https://www.liputan6.com/global/read/3665175/12-10-2002-jejak-kelam- tragedi-bom-bali-i,, diakses pada tanggal 9 Juli 2019. 123Ahmad Mukri Aji, “Pemberantasan Tindak Terorisme di Indonesia”. Jurnal Cita Hukum, Vol 1, No. 1 Juni 2013, h. 58. 124Perjalanan menuju UU terorisme, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b0531a3c651d/sekelumit-kisah-perjalanan-uu-anti- terorisme/, diakses pada tanggal 10 Juli 2019. 125 Pemerintah memutuskan untuk revisi UU terorisme, https://setkab.go.id/2016/01/page/6/, diakses pada tanggal 29 Juli 2019.

80

melakukan revisi karena dalam undang-undang tersebut aparat tidak dapat menangkap seseorang yang terduga akan melakukan aksi teror.126

Revisi undang-undang No.15 Tahun 2003 dilakukan di pemerintahan

Joko Widodo-Jusuf Kalla. DPR RI periode 2014-2019 terbagi atas dua koalisi yakni Koalisi Indonesia Hebat yang berada di pemerintahan yang terdiri dari gabungan beberapa partai politik seperti Partai Demokrasi Indonesia-

Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional

Demokrat (Nasdem), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Golongan Karya

(Golkar) adalah partai-partai yang baru bergabung pada koalisi pemerintahan pada tahun 2015 dan 2016.127 Koalisi Merah Putih adalah koalisi yang berisi partai-partai oposisi seperti Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai

Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB). Koalisi pemerintahan di DPR RI menguasai 386 kursi dan PDI-P sebagai peraih kursi terbanyak dengan 109 kursi, sedangkan Koalisi Merah Putih di pihak oposisi meraih kursi sebanyak 174 kursi dan Partai Gerindra peraih terbanyak dengan 73 kursi.128

Pada tanggal 21 Januari 2016, revisi UU terorisme masuk dalam

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Pada tanggal 25 Januari

126Tujuan pemerintah untuk revisi UU terorisme, https://nasional.kontan.co.id/news/ini- tujuan-pemerintah-ingin-revisi-uu-terorisme, diakses pada tanggal 15 Juli 2019. 127Golkar resmi keluar dari KMP, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160516233755-32-131163/golkar-resmi-keluar-dari- koalisi-merah-putih, diakses pada tanggal 18 Juli 2019. 128Gia Noor Syah Putra, “Sikap Politik Koalisi Merah Putih Terhadap Kebijakan Politik Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).

81

2016 DPR RI kemudian membentuk Panitia Khusus (Pansus) dari Komisi III

DPR RI dan diketuai oleh Muhammad Syafii yang berasal dari partai oposisi yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Kemudian, DPR RI melayangkan sikap protes terhadap pemerintah karena telah memasukkan pasal yang dianggap melanggar hak asasi manusia yakni mengenai masa penangkapan terduga teroris yang melebihi masa waktu dari 7 hari menjadi

30 hari. Bahkan yang melakukan aksi protes tersebut adalah Arsul Sani yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Akbar Faizal dari

Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

“Ini loncatan yang sangat besar. Ini bukan dalam konteks tawar- menawar. Kalau waktu 7 hari dirasa nggak cukup mencari bukti. Apakah 14 hari nggak cukup?" kata Arsul Sani.“129

Ini berarti bahwa tidak semua partai politik koalisi pemerintah selalu setuju dengan keputusan eksekutif atau presiden dalam membahas rancangan undang-undang. Ini terbukti dari revisi undang-undang terorisme yang berjalan dengan alot dan bahkan mendapat tantangan dari partai koalisi pemerintahan Joko Widodo Jusuf Kalla di DPR RI. Pada tanggal 25 Juli

2016, DPR RI mengadakan rapat bersama dengan Kemenkumham untuk membahas revisi pasal yang diprotes oleh DPR RI. Pada tanggal 14

Desember 2016, Pemerintah dan DPR RI mencapai kata sepakat dalam revisi

UU ini dalam tiga hal yakni pencegahan, penindakan, dan penanganan korban

129DPR protes terhadap pemerintah terkait pasal-pasal yang dinilai melanggar hak asasi manusia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170406073024-32-205317/kontroversi-pasal- guantanamo-di-ruu-terorisme, diakses pada tanggal 17 Juli 2019.

82

terorisme.130 Revisi UU terorisme pada awalnya diharapkan akan segera rampung pada Desember 2017, namun proses revisi UU terorisme ini cukup berlangsung lama dan alot karena masih ada perdebatan baik di pihak pemerintah maupun DPR RI.131

Perdebatan yang berada di DPR RI antara partai koalisi pemerintah dengan partai oposisi adalah mengenai definisi dari terorisme.132 Sepuluh fraksi yang berada di DPR RI terbelah dalam dua definisi terorisme tersebut.

Hanya dua fraksi dari partai koalisi pemerintah yakni PDI-P dan PKB memilih definisi nomor 1, delapan partai lainnya termasuk partai koalisi pemerintahan dan partai oposisi memilih definisi nomor 2. Ada dua definisi terorisme yang diajukan oleh DPR RI dalam rapat pansus ke pemerintah terkait revisi UU No. 15/2003 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana

Terorisme yakni133: a. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,

yang dapat menimbulkan korban, yang bersifat massal, dan atau

menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang

strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

130DPR dan Pemerintah capai kata sepakat dalam revisi UU terorisme. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58493e36b2931/revisi-uu-geser-model-penanganan- terorisme/, diakses pada tanggal 19 Juli 2019. 131Revisi UU terorisme akan kembali molor”, https://nasional.kompas.com/read/2017/02/24/17381941/pembahasan.ruu.anti- terorisme.diprediksi.kembali.molor. Diakses pada tanggal 23 Juli 2019. 132Perdebatan dalam revisi UU terorisme, https://tirto.id/4-poin-dalam-uu-terorisme-baru- yang-berpotensi-jadi-masalah-cLcW, diakses pada tanggal 23 Juli 2019. 133Fraksi-fraksi di DPR RI terbelah dalam definisi terorisme, http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/20862/t/Sepuluh+Fraksi+Terbelah+Sikapi+Definisi+Teroris me, diakses pada tanggal 24 Juli 2019.

83

b. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,

yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau

menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang

strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional

dengan motif ideologi, atau politik, atau gangguan keamanan negara.

Serangan teroris kembali terjadi pada tanggal 14 Mei 2018 yang mengguncang tiga gereja di Kota yang memakan korban sebanyak

28 orang meninggal dunia dan 57 lainnya mengalami luka-luka.134 Hal ini kemudian membuat Presiden Joko Widodo meminta kepada DPR RI untuk segera mengesahkan revisi UU terorisme. Tetapi DPR RI justru malah menganggap bahwa pemerintah yang menunda untuk mengesahkan revisi UU terorisme. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menganggap bahwa ada satu hal yang mengganjal sehingga belum disahkannya revisi UU terorisme yakni mengenai definisi terorisme. Kemudian, Presiden Joko Widodo mengancam akan memgeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perppu) jika revisi UU terorisme tak kunjung disahkan oleh DPR RI. 135

Pada akhirnya Partai-partai koalisi pemerintahan sudah setuju untuk segera mempercepat revisi UU terorisme, tetapi partai koalisi pemerintahan masih berusaha melobi partai-partai oposisi seperti Gerindra, PKS, dan

Demokrat agar segera menyetujui revisi UU terorisme. Kemudian pada 24

134Jumlah Korban dalam serangan teror bom Surabaya, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514194201-12-298164/korban-tewas-teror-bom- surabaya-28-orang-57-luka, diakses pada tanggal 23 Juli 2019. 135Jokowi ancam DPR, https://news.detik.com/berita/4019265/jokowi-jika-juni-dpr-tak- sahkan-ruu-terorisme-saya-keluarkan-perppu, diakses pada tanggal 23 Juli 2019.

84

Mei 2018 DPR RI melanjutkan pembahasan revisi UU terorisme dengan pemerintah dengan menggelar rapat kerja bersama. Perdebatan mengenai definisi terorisme pada akhirnya disepakati oleh pemerintah dan DPR dimasukkan ke dalam frasa politik, ideologi, dan keamanan. Pada tanggal 25

Mei 2018 revisi UU terorisme akhirnya disahkan dalam sidang paripurna dan menjadi undang-undang setelah proses yang cukup panjang dan penuh perdebatan memakan waktu selama dua tahun lebih.

B. Sistem Presidensial di Turki

1. Kekuasaan Presiden Turki

Turki adalah sebuah negara yang secara geogragfis unik karena terletak di antara dua benua yakni Asia dan Eropa. Turki pada dahulunya adalah kekhilafahan Usmaniyah yang berkuasa dalam rentang 1299-1923 dan kemudian menjadi Republik Turki yang berbentuk kesatuan dan republik sejak berdiri pada 29 Oktober 1923 hingga saat ini dan ini tercantum dalam pasal 1 konstitusi Turki.136 Republik Turki adalah negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial yang mana seorang presiden atau eksekutif memegang kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Presiden Republik Turki adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan diatur dalam konstitusi (Anayasa). Konstitusi Turki telah beberapa kali mengalami amandemen konstitusi atau perubahan sejak berdiri pada 29

Oktober 1923 hingga yang terbaru adalah amandemen konstitusi tahun 2017.

136Profil negara Turki, https://www.britannica.com/place/Turkey, diakses pada tanggal 25 Juli 2019.

85

Sebelum referendum 2017, jabatan Presiden Republik Turki hanya sebagai kepala negara dan sekarang Presiden Republik Turki

(Cumhurbaskani) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Kewajiban dan kekuasaan Presiden Republik Turki dalam konstitusi diatur dalam konstitusi undang-undang pasal 8, 101, 103, dan 104. Pasal 8 mengatur bagaimana kekuasaan dan fungsi eksekutif harus dijalankan dan dijalankan oleh Presiden Republik sesuai dengan Konstitusi dan undang-undang. Masa jabatan Presiden Turki adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali melalui pemilihan umum (pemilu) untuk satu kali masa jabatan atau presiden dapat berkuasa hingga 2 periode yang diatur dalam pasal 101. Pasal 103 adalah presiden terpilih harus mengambil untuk dapat dilantik menjadi Presiden

Republik Turki. Beberapa kekuasaan Presiden Turki yang diatur dalam undang-undang pasal 104 di antaranya adalah presiden dapat mengangkat dan memberhentikan menteri, menjadi pemimpin tertinggi militer, menentukan kebijakan keamanan nasional dan mengambil tindakan yang diperlukan, memberikan grasi, amnesti, presiden dapat mengajukan amandemen konstitusi jika memang diperlukan.137

2. Kekuasaan Parlemen Turki

Majelis Agung Nasional Turki (Turkiye Buyuk Millet Meclisi) adalah lembaga legislatif Republik Turki yang berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang. Lembaga negara ini berdiri sebelum lahirnya Republik Turki

137Kekuasaan, dan kewenangan Presiden Republik Turki, https://www.tccb.gov.tr/en/presidency/power/, diakses pada tanggal 25 Juli 2019.

86

yakni pada 19 Maret 1920 oleh Mustafa Kemal Pasya di Ankara. Cikal bakal lahirnya parlemen di Turki sudah ada ketika masih Kekhilafahan Turki

Usmani yakni pada 1 September 1876. Fungsi parlemen pada saat itu adalah membahas undang-undang dan membahas anggaran tetapi harus mendapat izin dari penguasa atau dapat dikatakan penguasa dapat mengontrol parlemen. Setelah berdiri pada 29 Oktober 1923, parlemen berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang dan prinsip check and balances diterapkan.

Parlemen Turki menjalankan tugas dan kekuasaannya berdasarkan konstitusi undang-undang pasal 87. Kekuasaan parlemen di antaranya adalah membahas rancangan undang-undang, memberlakukan undang-undang, mengadopsi RUU anggaran, mengamandemen konstitusi, menyetujui keadaan bahaya negara, mengawasi kinerja pemerintah atau eksekutif. Anggota parlemen atau Majelis Agung Nasional Turki dipilih melalui pemilihan umum yang digelar setiap 5 tahun sekali dan pemilihan umum diatur dalam undang-undang pasal 67. Jumlah anggota Majelis Agung Nasional Turki sebanyak 600 orang yang berasal dari 81 provinsi di Republik Turki.138

Ambang batas partai politik dapat perwakilan di parlemen (parliamentary threshold) adalah 10%. Ambang batas parlemen ini sudah ada sejak era

Mustafa Kemal Ataturk dan bertahan hingga sekarang. Jika partai politik tidak mencapai ambang batas yang telah ditetapkan, partai politik tetap berhak mengikuti pemilu meskipun tidak dapat perwakilan.139

138Kekuasaan dan Kewenangan Majelis Agung Nasional Turki, https://global.tbmm.gov.tr/index.php/EN/yd/icerik/25, diakses pada tanggal 26 Juli 2019. 139Alfan Alfian, “Militer dan Politik di Turki ”, (Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018), h. 79.

87

3. Pemilihan Menteri oleh Presiden

Pemilihan umum (pemilu) pada 24 Juni 2018 dimenangkan oleh Recep

Tayyip Erdogan dan Koalisi Aliansi Rakyat (Cumhur Ittifaki) antara Partai

Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Partai Pergerakan Nasionalis (MHP).

Setelah pemilu selesai, presiden terpilih Recep Tayyip Erdogan sudah memberi sinyal mengenai kabinet baru yang sebagian akan diisi oleh kalangan non-partai dan bahkan mungkin dari anggota parlemen.140

Pemerintahan baru dibawah Presiden Recep Tayyip Erdogan resmi berdiri pada 9 Juli 2018 dan pada 10 Juli 2018, kabinet baru diumumkan oleh

Presiden terpilih Recep Tayyip Erdogan. Ada 16 kementerian yang diumumkan dan Fuat Oktay dipilih sebagai Wakil Presiden Turki. Meskipun

Partai AKP berkoalisi dengan Partai MHP, nyatanya tidak ada satu pun politisi dari Partai MHP yang menjadi menteri pilihan Presiden Recep

Tayyip Erdogan. Kabinet hanya diisi oleh politisi Partai AKP dan orang- orang profesional non-partai.141 Sosok Recep Tayyip Erdogan adalah orang yang sangat kuat dengan pendiriannya dan ini terbukti dia benar-benar bisa memilih para menteri tanpa adanya komunikasi dengan mitra koalisinya. Hak prerogatif yang terdapat di dalam sistem presidensial benar-benar dia gunakan tanpa adanya intervensi dari pihak manapaun dan bahkan dari mitra

140Kandidat menteri pilihan Presiden Recep Tayyip Erdogan, http://www.hurriyetdailynews.com/turkeys-new-cabinet-may-include-ministers-from-parliament- erdogan-134279, diakses pada tanggal 2 Agustus 2019. 141“Recep Tayyip Erdogan umumkan kabinet baru”, https://www.aa.com.tr/id/headline- hari/presiden-erdogan-umumkan-16-menteri-kabinet-baru-turki/1199933, diakses pada tanggal 2 Agustus 2019.

88

koalisinya sendiri yakni Partai MHP. Pengaruh partai politik terhadap presiden dalam menentukan calon menteri tidak berpengaruh.

Enam belas lembaga kementerian yang sudah diumumkan oleh

Presiden Recep Tayyip Erdogan, ada satu nama yang menjadi perhatian publik yakni Berat Albayrak. Berat Albayrak ditunjuk oleh Presiden Recep

Tayyip Erdogan sebagai menteri keuangan Turki yang baru. Berat Albayrak adalah politisi dari Partai AKP yang juga sekaligus adalah menantu dari

Presiden Recep Tayyip Erdogan. Berat Albayrak menikahi putri dari Presiden

Recep Tayyip Erdogan yakni Esra Erdogan pada 2004. Latar belakang pendidikan Berat Albayrak sendiri di dalam bidang ekonomi yakni lulusan

Fakultas Bisnis di Univeritas Pace, New York. Karirnya hanya seorang pengusaha yang memegang sebuah perusahaan yakni Perusahaan Calik. Berat

Albayrak juga pernah ditunjuk sebagai Menteri Energi pada masa pemerintahan Perdana Menteri Ahmet Davutoglu dan Binali Yildirim. 142

4. Hubungan Presiden dengan Majelis Agung Nasional Turki

Sejak Republik Turki berdiri pada 29 Oktober 1923 hingga 16 April

2017 atau sebelum referendum konstitusi, jabatan Presiden Turki hanya sekedar seremonial dan tidak memiliki fungsi sebagai kepala pemerintahan karena kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Republik Turki selama hampir 95 tahun menerapkan sistem parlementer. Sistem pemerintahan parlementer diganti karena dianggap tidak stabil di dalam

142Biografi dari Berat Albayrak, https://www.tccb.gov.tr/en/cabinet/minister-of-treasury- and-finance, diakses pada tanggal 6 Agustus 2019.

89

pemerintahan dan ini terbukti Turki sering mengalami pergantian perdana menteri atau kepala pemerintahan dan ketika ada keputusan penting yang harus segera diambil, maka terlebih dahulu harus dirundingkan di parlemen dan terkadang perundingan di parlemen bisa sukses atau buntu sehingga negara tidak dapat bertindak langsung. Ini adalah beberapa alasan mengapa sistem pemerintahan parlementer diganti menjadi sistem presidensial. 143

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Turki pada saat ini adalah masalah keamanan nasional yakni mengatasi gelombang teror yang masih melanda Turki. Turki memang sudah memiliki undang-undang anti teror sejak lama tetapi penanganan melawan aksi teror belum cukup efektif.

Kelompok teror yang kerap melancarkan aksi teror di Turki di antaranya adalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Partai Pekerja Kurdistan

(PKK), dan Fethullah Terorist Organization (FETO). Aksi percobaan kudeta yang gagal pada 15 Juli 2016 yang diperkirakan memakan korban sebanyak

350 orang meninggal dunia dan 2.185 lainnya luka-luka memaksa Presiden

Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan status keadaan darurat pada 19

Juli 2016.144 Status keadaan darurat sejak Juli 2016 terus beberapa kali diperpanjang dan disetujui oleh parlemen hingga setelah pemilihan umum

143Serdar Gulener, “Constitusional Framework of Executive Presidency In Turkey”, (Istanbul: SETA, 2017), h. 11-12. 144Acep Muhlis, “Dampak Upaya Kudeta Militer Terhadap Lembaga Fethullah Gulen di Jakarta”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h. 51.

90

(pemilu) pada 24 Juni 2018 dan status keadaan darurat pada akhirnya dicabut pada 19 Juli 2018.145

Setelah status keadaan darurat dicabut, pemerintah Turki memutuskan untuk melakukan revisi terhadap undang-undang anti teror. Revisi terhadap undang-undang anti teror ini dilakukan di era sistem pemerintahan yang baru yakni sistem presidensial yang secara resmi mulai berlaku setelah pemilihan umum 2018. Sebelum pemilihan umum digelar, terdapat dua koalisi partai- partai yang mengikuti pemilihan umum yakni Koalisi Aliansi Rakyat

(Cumhur Ittifaki) yang terdiri dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Partai Pergerakan Nasionalis (MHP) dan Partai Rakyat Republik (CHP) berkoalisi dengan Partai IYI membentuk sebuah koalisi yang bernama

Koalisi Nasional (Millet Ittifaki).146 Hasil pemilihan umum eksekutif dengan legislatif dimenangkan oleh Recep Tayyip Erdogan sebagai presiden dengan meraih 52,59% dan Koalisi Aliansi Rakyat meraih 344 kursi dengan rincian

Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) sebagai peraih kursi terbanyak di

Majelis Nasional Agung Turki dengan 293 kursi dan Partai Pergerakan

Nasionalis (MHP) yang meraih 49 kursi. Koalisi Nasional sebagai oposisi meraih kursi sebanyak 189 kursi dengan rincian Partai Rakyat Republik

145“Turki akhiri status Keadaan Darurat”, https://www.france24.com/en/20180719-two- years-after-failed-coup-turkey-ends-state-emergency-erdogan-purges, diakses pada tanggal 27 Juli 2019. 146Kilic Bugra Kanat, Jackson Hannon, Meghan Backer, “Turkey’s Elections 2018”, (Istanbul: SETA, 2018), h. 11.

91

(CHP) meraih 146 kursi dan Partai IYI meraih 43 kursi dan partai di luar kedua koalisi yakni Partai Rakyat Demokrasi Kurdi (HDP).147

Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) selaku partai pemenang dan pengusung Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam pemilu 2018 memutuskan untuk mengajukan revisi terhadap undang-undang anti teror ke parlemen setelah status keadaan darurat dicabut. Partai Keadilan dan Pembangunan

(AKP) hanya mampu meraih 293 kursi dan untuk mayoritas parlemen harus

300 kursi dari total keseluruhan 600 kursi. Karena berkoalisi dengan Partai

Pergerakan Nasionalis (MHP) maka Partai AKP dapat mengajukan revisi UU tersebut ke parlemen.148 Partai AKP mengajukan revisi terhadap undang- undang terorisme ini pada 16 Juli 2018 dan pihak pemerintah diwakili oleh

Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul. Revisi undang-undang terorisme ini membahas beberapa hal yang akan dimasukkan ke dalam revisi undang- undang terorisme seperti pihak berwenang dapat mengatur seseorang untuk dapat keluar masuk Turki selama 15 demi alasan keamanan, pihak berwenang dapat menangkap seorang tersangka tanpa dakwaan selama 48 jam atau hingga empat hari dalam kasus pelanggaran ganda, waktu untuk aksi penyampaian pendapat di ruang publik hanya boleh sampai dan setiap acara yang digelar di dalam ruangan boleh dilakukan sampai tengah malam. 149

147“Recep Tayyip Erdogan dan koalisinya memenangkan pemilu 2018”, https://www.bbc.com/news/world-europe-44596072, diakses pada tanggal 28 Juli 2019. 148Partai AKP mengajukan revisi undang-undang terorisme, http://www.voa- islam.com/read/world-news/2018/07/18/59148/turki-ajukan-undang-undang-anti-teror-baru- setelah-erdogan-memenangkan-pemilu/#sthash.vW44CZty.uPvXVkRS.dpbs, diakses pada tanggal 29 Juli 2019. 149Isi perubahan dari revisi undang-undang terorisme, https://www.trtworld.com/turkey/turkish-parliament-ratifies-anti-terror-law-19153, diakses pada tanggal 29 Juli 2019.

92

Ada 29 pasal yang diajukan oleh koalisi partai pemerintah yakni

Koalisi Aliansi Rakyat dan dibahas di parlemen. Revisi UU terorisme di parlemen dalam prosesnya berlangsung sengit dan perdebatan terutama dari partai-partai oposisi. Anggota parlemen dari Koalisi Nasional seperti dari

Partai Rakyat Republik (CHP) dan Partai IYI mengkritik isi dari revisi UU terorisme tersebut. Anggota Partai Rakyat Republik (CHP) Bulent Tezcan seperti yang dikutip di dalam Hurriyet news menyampaikan kritiknya terhadap revisi UU terorisme ini :

“RUU ini jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. RUU ini secara permanen akan membuat keadaan darurat dengan mengorbankan ketidakadilan dan pelanggaran hukum. RUU terorisme ini harus ditolak karena Turki nantinya tidak akan pernah bisa menciptakan hubungan yang baik dengan dunia kontemporer”.150

Ada juga kritik dari anggota parlemen Partai IYI Feridun Bahsi mengenai revisi RUU terorisme ini yang menganggap bahwa revisi UU terorisme ini berpotensi melanggar hak asasi manusia. Selain koalisi oposisi yang menolak, Partai Rakyat Demokrasi Kurdi (HDP) juga ikut menolak revisi UU terorisme. Salah satu anggota parlemen dari Partai Rakyat

Demokrasi Kurdi (HDP) Ahmet Sik melontarkan kritik keras bahwa revisi

150Debat revisi UU terorisme di parlemen, http://www.hurriyetdailynews.com/parliament- starts-discussing-anti-terror-bill-amid-opposition-criticism-134919, diakses pada tanggal 30 Juli 2019.

93

UU terorisme adalah salah satu cara pemerintah untuk membungkam kebenaran.151

Tetapi partai-partai koalisi pemerintah menganggap bahwa revisi UU terorisme ini bukan untuk memperpanjang keadaan darurat tetapi demi keamanan nasional jangka panjang dan hal ini disampaikan oleh salah satu anggota parlemen dari Partai AKP Bulent Turan152:

“RUU ini ditulis untuk memberikan keamanan berkelanjutan bagi rakyat

Turki. Tidak benar menyebutnya perpanjangan aturan darurat.”

Setelah melalui banyak perdebatan di parlemen, pada tanggal 25 Juli

2019 diadakan pemungutan suara atau voting untuk menentukan revisi UU terorisme apakah diterima atau tidak. Hasil dari pemungutan suara tersebut adalah 284 suara mendukung, 95 suara menolak, dan 1 suara abstain dari total 600 anggota parlemen. Setelah resmi menjadi undang-undang, ditandatangani oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Hubungan antara eksekutif dengan legislatif di Republik Turki berjalan tanpa hambatan dan ini dibuktikan ketika revisi undang-undang terorisme dapat disahkan meskipun terjadi perdebatan. Hubungan baik antara presiden dengan legislatif dikarenakan Presiden Recep Tayyip Erdogan dapat mengendalikan parlemen yang dikuasai oleh partainya sendiri yakni Partai

AKP.

151Para politisi dari kalangan oposisi mengkritik revisi UU terorisme, https://www.reuters.com/article/us-turkey-security/turkish-parliament-to-vote-on-security-law-to- replace-emergency-rule-idUSKBN1KF0P9, diakses pada tanggal 30 Juli 2019. 152Argumen para anggota parlemen mengenai revisi UU terorisme, http://www.hurriyetdailynews.com/parliament-starts-discussing-anti-terror-bill-amid-opposition- criticism-134919, diakses pada tanggal 30 Juli 2019.

94

C. Perbandingan: Persamaan dan Perbedaan Pelaksanaan Sistem

Presidensial di Indonesia dengan Turki.

Pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia pasca era Orde Baru sejak tahun 1998 mulai menunjukkan adanya prinsip keseimbangan atau check and balances antar lembaga tinggi negara. Hubungan antara eksekutif dengan legislatif berfungsi dengan semestinya. Begitu juga dengan pelaksanaan sistem presidensial di Republik Turki yang juga menerapkan prinsip keseimbangan check and balances antar lembaga tinggi negara.

Terdapat persamaan dan perbedaan pelaksanaan sistem presidensial antara

Indonesia dengan Turki mengenai revisi undang-undang terorisme di kedua negara. Persamaan pelaksanaan sistem presidensial yang berada di Indonesia dengan Turki adalah sama-sama sukses dalam meloloskan program kerja pemerintah melalui proses hubungan antara eksekutif dengan legislatif.

Kekuatan partai politik koalisi pemerintah yang mayoritas di legislatif menjadi faktor penentu suksesnya revisi undang-undang terorisme di

Indonesia dan Turki.

Perbedaan di antara Indonesia dengan Turki dalam pelaksanaan sistem presidensial mengenai revisi undang-undang terorisme adalah proses dan waktu pembahasan antara eksekutif dengan legislatif. Pembahasan revisi undang-undang terorisme di Indonesia berlangsung alot dan penuh dengan perdebatan sengit. Kekuatan mayoritas koalisi pemerintah di DPR RI ternyata tidak menjadi jaminan bahwa program pemerintah akan langsung cepat disahkan oleh legislatif. Partai koalisi pemerintah di DPR pun juga ikut

95

menjadi faktor lamanya proses revisi undang-undang terorisme karena sempat tidak setuju terhadap eksekutif. Proses revisi undang-undang terorisme di Turki berlangsung dengan cepat dan tanpa hambatan karena solidaritas partai koalisi pemerintah di parlemen. Jika di Indonesia cara legislatif untuk mensahkan revisi undang-undang terorisme dengan mengajak seluruh partai politik baik koalisi pemerintah maupun koalisi oposisi untuk satu suara, sedangkan di Turki cara parlemen untuk mengesahkan revisi undang-undang terorisme yakni dengan cara pemungutan suara atau voting.

Jika di Indonesia yang mengajukan revisi undang-undang adalah eksekutif, di

Turki yang mengajukan untuk merevisi undang-undang adalah partai mayoritas di parlemen. Sistem presidensial yang berada di Turki dalam kasus hubungan antara eksekutif dengan legislatif adalah proaktif.

Persamaan di antara Indonesia dengan Turki dalam pemilihan menteri oleh eksekutif atau presiden adalah porsi menteri yang ditunjuk oleh presiden terdapat dua komponen yakni ada yang berasal dari partai politik dan dari non partai politik atau kalangan profesional. Perbedaan antara Indonesia dengan Turki dalam pemilihan menteri oleh adalah di Indonesia khsususnya di era Presiden Joko Widodo adalah bahwa presiden tidak dapat menggunakan hak prerogatifnya secara penuh dalam memilih menteri karena adanya kepentingan dari partai-partai koalisi dan untuk kepentingan eksekutif di legislatif. Sedangkan di Turki, presiden benar-benar dapat menggunakan hak prerogatifnya secara penuh dalam memilih menteri dan bahkan sangat mengejutkan karena tidak ada satu pun menteri yang ditunjuk oleh presiden

96

dari mitra koalisi Partai AKP yakni Partai MHP dan bahkan Presiden Turki berani menunjuk menantunya sendiri sebagai menteri.

Tabel Persamaan dan Perbedaan Praktik Sistem Presidensial di Indonesia dan Turki

No Negara Persamaan Perbedaan 1 Indonesia Kasus pemilihan menteri . Komposisi menteri sama- . Presiden Indonesia tidak sama dari partai dan non- dapat menggunakan hak partai prerogatif sepenuhnya. 2 Turki . Komposisi menteri sama- . Presiden Turki dapat sama dari partai dan non- menggunakan hak partai prerogatif sepenuhnya

No Negara Persamaan Perbedaan 1 Indonesia Kasus revisi UU Terorisme . Sama-sama meloloskan . Waktu pembahasan di program pemerintah legislatif di Indonesia . Kekuatan mayoritas partai berlangsung lama. politik di parlemen menjadi faktor kesuksesan. 2 Turki . Sama-sama meloloskan . Waktu pembahasan di program pemerintah Turki berlangsung cepat . Kekuatan mayoritas partai politik di parlemen menjadi faktor kesuksesan. . Indonesia mengajak . Turki menggunakan seluruh fraksi untuk satu voting suara

97

BAB V

PENUTUP

Pada bab yang kelima ini, penulis menjelaskan kesimpulan dan saran dari penelitian mengenai perbandingan sistem presidensial di Indonesia dengan Turki.

A. Kesimpulan

Sistem pemerintahan di Indonesia sejak merdeka pada 1945 mengalami beberapa perubahan mulai dari era Presiden Soekarno yang menerapkan sistem presidensial pada 1945 hingga 1949 meskipun di dalamnya terdapat perdana menteri. Pada rentang 1950-1959 Indonesia menerapkan sistem parlementer yang mana sistem ini tidak sukses karena banyak pergantian pemerintahan dan tidak stabil. Kemudian kembali ke sistem presidensial setelah Dekrit Presiden 1959 akan tetapi di era ini eksekutif atau disini adalah bahwa posisi Presiden Soekarno sangat kuat dan nyaris tidak ada kontrol dari legislatif dan bahkan Presiden Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup. Pada era Presiden

Soeharto, kekuatan eksekutif benar-benar sangat kuat dapat mengontrol legislatif sehingga semua program pemerintah mudah disahkan. Pada era

Reformasi sejak 1998, hubungan antara eksekutif dengan legislatif mulai seimbang dan prinsip check and balances berjalan dengan semestinya mulai dari era Presiden Habibie yang berhubungan baik dengan DPR RI meskipun pada akhirnya pertanggungjawabannya ditolak, kemudian di era Presiden

98

Abdurrahman Wahid yang mana hubungan antara Presiden dengan DPR RI memanas dan bahkan presiden Gus Dur mengancam akan membubarkan DPR

RI hingga pada akhirnya Presiden Gus Dur diberhentikan oleh legislatif. Era

Presiden Megawati hubungan antara eksekutif dengan legislatif kembali membaik dimana prinsip check and balances berjalan dan hubungan baik ini berlanjut pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pelaksanaan dan proses sistem presidensial yang berada di Indonesia dengan Turki khususnya dalam masalah penunjukkan menteri dan hubungan antara eksekutif dengan legislatif dalam kasus revisi undang-undang terorisme berbeda. Sistem presidensial di Indonesia pada era Reformasi khususnya di era Presiden Jokowi membuktikan bahwa pengaruh kekuatan partai politik dalam proses sistem presidensial sangat besar. Sistem presidensial yang identik dengan kekuasaan besar presiden atau hak prerogatif ternyata di Indonesia tidak dapat dilakukan sepenuhnya karena presiden membutuhkan dukungan partai politik untuk dapat memuluskan program pemerintah. Kekuatan partai politik di legislatif juga sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan undang-undang dan bahkan meskipun koalisi sudah mayoritas di legislatif, nyatanya untuk mengesahkan sebuah undang-undang membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena adanya perdebatan di antara eksekutif dengan legislatif.

Turki sejak menjadi negara berbentuk republik pada 1923 adalah negara yang menerapkan sistem parlementer dan partai tunggal hingga tahun

1938. Setelah itu sistem multi partai mulai diterapkan. Hubungan antara

99

eksekutif dengan legislatif pada era sistem parlementer tidak selalu stabil dan bahkan jika terjadi ketidakstabilan pemerintahan dan, militer langsung turun tangan dan mengkudeta pemerintahan. Pada era Perdana Menteri Recep

Tayyip Erdogan, muncul usul agar merubah sistem pemerintahan menjadi sistem presidensial. Usulan untuk merubah sistem pemerintahan baru bisa terlaksana pada April 2017 ketika referendum konstitusi digelar dan mayoritas rakyat Turki mendukung untuk merubah sistem pemerintahan.

Sedangkan di Turki, pelaksanaan dan proses sistem presidensial khususnya dalam masalah penunjukkan menteri dan hubungan antara eksekutif dengan legislatif berlangsung dengan cepat dan tanpa hambatan.

Kekuatan eksekutif dalam memilih menteri atau menggunakan hak prerogatifnya benar-benar digunakan secara penuh oleh presiden dan ini terbukti Presiden Recep Tayyip Erdogan dapat menunjuk menteri tanpa tersandera dengan kepentingan koalisinya dan presiden bahkan dapat menunjuk menantunya menjadi menteri. Proses revisi undang-undang terorisme di legislatif berlangsung dengan mudah dan tanpa hambatan karena mayoritas parlemen solid dalam mengesahkan undang-undang meskipun ada perdebatan antara koalisi pemerintah dengan oposisi dan kekuatan mayoritas partai politik dalam mengesahkan undang-undang adalah faktor yang utama dalam kasus ini.

100

B. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, skripsi ini masih ada kekurangan dan tentunya ada saran dari penulis untuk mahasiswa dan akademisi yakni melanjutkan penelitian mengenai sistem presidensial di Indonesia dengan Turki dengan perspektif yang berbeda.

101

DAFTAR PUSTAKA

Buku Alfian, Alfan. Militer dan Politik di Turki (Dinamika Politik Pasca-AKP hingga Gagalnya Kudeta). Jakarta: Penerbit Penjuru Ilmu, 2018. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Feith, Herbert. The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox, 2007. Dasar, Undang-Undang 1945. Gulener, Serdar. Constitusional Framework of Executive Presidency In Turkey. Istanbul: SETA, 2017. Hanan, Djayadi. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia. Bandung: Mizan, 2014. Iqbal, M, dan Nasution Amin H. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Edisi ke-2. Jakarta, 2013. Johan, Teuku Saiful Bahri. Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara Dalam Tataran Reformasi Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta, 2018. Kahin, George McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press. 1995. Kanat, Kilic Bugra, Jackson Hannon, Meghan Backer. Turkey’s Elections 2018. Istanbul, 2018. Kuncahyono, Trias. Turki : Revolusi Tak Pernah Henti. Jakarta: PT Gramedia, 2018. Landman, Todd. Issue and Methods in Comparative Politics: An Introduction. New York: Routledge, 2008. L.K. Skolastika. “Pendekatan Perbandingan Politik Sebagai Teori dan Metode”, Tugas Teori Perbandingan Politik. Mariana, Dede, Neneng Yani Yuningsih, Caroline Paskarina. Perbandingan Pemerintahan. Jakarta, 2007. Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006.

102

Munthe, Cesar Antonio, Rustam Setting. Undang-Undang Dasar 1945. Neuman, Lawrence. Metode Penelitian Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: PT Indeks. 2013. Siregar, Sarah Nuraini. Sistem Presidensial Indonesia dari Soekarno ke Jokowi. Jakarta, 2018. Sunarso. Perbandingan Sistem Pemerintahan. Jogjakarta: PT Ombak, 2012. Suntoro, Sucipto. Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap. Solo, 2005. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta, 2010.

Disertasi Soekanto, Sitaresmi S. “Studi Perbandingan: Pemenang Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia 1999-2009 dan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) di Turki 2002-2007”. Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012.

Internet “Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sepakat untuk bergabung ke pemerintah”, https://nasional.kompas.com/read/2015/11/01/20452241/Agung.Laksono. Saya.dan.Pak.Ical.Sepakat.Dukung.Pemerintah.Jokowi, diakses pada tanggal 12 Agustus 2019. “Argumen para anggota parlemen mengenai revisi uu terorisme, http://www.hurriyetdailynews.com/parliament-starts-discussing-anti- terror-bill-amid-opposition-criticism-134919, diakses pada tanggal 30 Juli 2019. “Biografi dari Berat Albayrak”, https://www.tccb.gov.tr/en/cabinet/minister-of- treasury-and-finance, diakses pada tanggal 6 Agustus 2019. “Bom Bali I”, https://www.liputan6.com/global/read/3665175/12-10-2002-jejak- kelam-tragedi-bom-bali-i,, diakses pada tanggal 9 Juli 2019. “Debat revisi uu terorisme di parlemen”, http://www.hurriyetdailynews.com/parliament-starts-discussing-anti- terror-bill-amid-opposition-criticism-134919, diakses pada tanggal 30 Juli 2019. “DPR dan Pemerintah capai kata sepakat dalam revisi uu terorisme”. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58493e36b2931/revisi-uu- geser-model-penanganan-terorisme/, diakses pada tanggal 19 Juli 2019.

103

“DPR protes terhadap pemerintah terkait pasal-pasal yang dinilai melanggar hak asasi manusia”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170406073024-32- 205317/kontroversi-pasal-guantanamo-di-ruu-terorisme, diakses pada tanggal 17 Juli 2019. “Fraksi-fraksi di DPR RI terbelah dalam definisi terorisme”, http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/20862/t/Sepuluh+Fraksi+Terbelah+ Sikapi+Definisi+Terorisme, diakses pada tanggal 24 Juli 2019. “Golkar resmi keluar dari KMP”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160516233755-32- 131163/golkar-resmi-keluar-dari-koalisi-merah-putih, diakses pada tanggal 18 Juli 2019. “Hasil resmi Pilpres 2014”, https://nasional.kompas.com/read/2014/07/22/20574751/Ini.Hasil.Resmi. Rekapitulasi.Suara.Pilpres.2014?page=all, diakses pada tanggal 8 Agustus 2019. “Isi perubahan dari revisi undang-undang terorisme, https://www.trtworld.com/turkey/turkish-parliament-ratifies-anti-terror- law-19153, diakses pada tanggal 29 Juli 2019. “Jumlah Korban dalam serangan teror bom Surabaya”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514194201-12- 298164/korban-tewas-teror-bom-surabaya-28-orang-57-luka, diakses pada tanggal 23 Juli 2019. “Jokowi ancam DPR”, https://news.detik.com/berita/4019265/jokowi-jika-juni- dpr-tak-sahkan-ruu-terorisme-saya-keluarkan-perppu, diakses pada tanggal 23 Juli 2019. “Kandidat menteri pilihan Presiden Recep Tayyip Erdogan”, http://www.hurriyetdailynews.com/turkeys-new-cabinet-may-include- ministers-from-parliament-erdogan-134279, diakses pada tanggal 2 Agustus 2019. “Kekuasaan dan Kewenangan Majelis Agung Nasional Turki”, https://global.tbmm.gov.tr/index.php/EN/yd/icerik/25, diakses pada tanggal 26 Juli 2019. “Kekuasaan, dan kewenangan Presiden Republik Turki”, https://www.tccb.gov.tr/en/presidency/power/, diakses pada tanggal 25 Juli 2019.

104

“Komposisi Kabinet Kerja”, https://nasional.kompas.com/read/2014/10/26/18101431/Ini.15.Menteri.J okowi.yang.Berasal.dari.Partai.Politik “MK tolak gugatan Prabowo Hatta”, https://nasional.tempo.co/read/601368/mk- tolak-seluruh-gugatan-prabowo, diakses pada tanggal 1 Agustus 2019. “Nama-nama calon menteri mulai beredar”, https://nasional.tempo.co/read/595361/calon-menteri-kabinet-jokowi-jk- mulai-beredar/full&view=ok, diakses pada tanggal 9 Agustus 2019. “Para politisi dari kalangan oposisi mengkritik revisi uu terorisme”, https://www.reuters.com/article/us-turkey-security/turkish-parliament-to- vote-on-security-law-to-replace-emergency-rule-idUSKBN1KF0P9, diakses pada tanggal 30 Juli 2019. “Partai AKP mengajukan revisi undang-undang terorisme”, http://www.voa- islam.com/read/world-news/2018/07/18/59148/turki-ajukan-undang- undang-anti-teror-baru-setelah-erdogan-memenangkan- pemilu/#sthash.vW44CZty.uPvXVkRS.dpbs, diakses pada tanggal 29 Juli 2019. “Pemerintah memutuskan untuk revisi uu terorisme, https://setkab.go.id/2016/01/page/6/, diakses pada tanggal 29 Juli 2019. “Perdebatan dalam revisi uu terorisme”, https://tirto.id/4-poin-dalam-uu- terorisme-baru-yang-berpotensi-jadi-masalah-cLcW, diakses pada tanggal 23 Juli 2019. “Perjalanan UU Terorisme, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b0531a3c651d/sekelumit- kisah-perjalanan-uu-anti-terorisme/, diakses pada tanggal 10 Juli 2019. “PPP resmi bergabung dengan koalisi pemerintah”, https://nasional.okezone.com/read/2014/10/18/337/1054000/ppp-resmi- gabung-koalisi-jokowi-jk, diakses pada tanggal 8 Agustus 2019. “Profil negara Turki”, https://www.britannica.com/place/Turkey, diakses pada tanggal 25 Juli 2019. “Recep Tayyip Erdogan dan koalisinya memenangkan pemilu 2018, https://www.bbc.com/news/world-europe-44596072, diakses pada tanggal 28 Juli 2019. “Recep Tayyip Erdogan umumkan kabinet baru, https://www.aa.com.tr/id/headline-hari/presiden-erdogan-umumkan-16- menteri-kabinet-baru-turki/1199933”, diakses pada tanggal 2 Agustus 2019.

105

“Revisi uu terorisme akan kembali molor”, https://nasional.kompas.com/read/2017/02/24/17381941/pembahasan.ruu .anti-terorisme.diprediksi.kembali.molor, diakses pada tanggal 23 Juli 2019. “Sejarah dari DPR RI”, http://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr, diakses pada tanggal 3 Juli 2019. "Teks lengkap dari proposal amandemen konstitusi 18-poin", https://en.wikipedia.org/wiki/2017_Turkish_constitutional_referendum. “Tugas dan Wewenang dari DPR RI”, http://www.dpr.go.id/tentang/tugas- wewenang. Diakses pada tanggal 4 Juli 2019. “Tujuan pemerintah untuk revisi uu terorisme”, https://nasional.kontan.co.id/news/ini-tujuan-pemerintah-ingin-revisi-uu- terorisme, diakses pada tanggal 15 Juli 2019. “Turki akhiri status Keadaan Darurat”, https://www.france24.com/en/20180719- two-years-after-failed-coup-turkey-ends-state-emergency-erdogan- purges, diakses pada tanggal 27 Juli 2019.

Jurnal Aji, Ahmad Mukri. 2013. “Pemberantasan Tindak Terorisme di Indonesia”. Jurnal Cita Hukum, Vol 1, No. 1. Anangkota, Muliadi. 2017. “Klasifikasi Sistem Pemerintahan Perspektif Pemerintahan Modern Kekinian”. Vol.3, No.2. Basalamah, Fazrin. 2018. “Pengaruh Partai Politik dalam Sistem Pemerintahan (Presidensial) Menurut Pasal 6A UUD 1945”. Jurnal Lex Administratum Vol. 6 No. 2. Bawazi, Abd. Rahman. 2017. “Dinamika Partai Politik dalam Sistem Presidensil di Indonesia”. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia”. Vol. 6, No. 2. Bukido, Rosdalina. 2012. “Kajian Terhadap Sistem Pemerintahan dan Prakteknya Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol 10, No.1. Hadi, Sofyan. 2013. “Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Presidensil”. Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9, No. 18. Hakiki, Paizon. 2014. “Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1949-1959”. Jurnal Online Mahasiswa Vol 1, No.1” Hanan, Firman. 2017. “Relasi Eksekutif-Legislatif dalam Presidensialisme Multipartai di Indonesia”. Jurnal Wacana Politik Vol. 2, No. 2.

106

Junaidi, Ahmad. “Kebijakan Politik Recep Tayyip Erdogan dan Islamisme Turki Kontemporer”, Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia Vol. 6, No.1. Monteiro, Josef M. 2016. “Perpaduan Presidensial dan Parlementer dalam Sistem Pemerintahan RI”. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol 5, No. 3. Novianti, Cora Elly. 2013. “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan”. Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 2 Prabandani, Hendra Wahyu. 2015. “Batas Konstitusional Kekuasaan Konstitusional Presiden”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12, No. 03. Samkamaria. 2016. Perbandingan Administrasi Publik (Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dengan Inggris). Sandhiyudha, Arya. 2016. “Ijtihad Islamisme Turki ala Erbakan”, Jurnal Politik, Vol. 2, No. 1. Solikhun. 2013. “Negara Turki pada Masa Kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk Tahun (1923-1950)”. Jurnal Ilmiah. . 2004. Kedudukan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Telaah Terhadap Kedudukan dan Hubungan Presiden dengan Lembaga Negara yang Lain dalam Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945)”. Jurnal Hukum. Sulardi. 2012. “Rekonstruksi Sistem Pemerintahan Presidensil Berdasar Undang- Undang Dasar 1945 Menuju Sistem Pemerintahan Presidensil Murni”. Jurnal Konstitusi Vol. 9 No. 3. Wibisono, Yusuf. 2017. “Anomali Praktik Sistem Pemerintahan Presidensial dan Multipartai di Awal Pemerintahan Jokowi Tahun 2014”. Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 40 No. 55. Wijaya, Junior Hendri, Iman Amanda Permatasari. “Capaian Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan Megawati di Indonesia. Jurnal Cakrawala, Vol. 12, No. 2. Yasin al-Arif, M. 2015. “Anomali Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen UUD 1945”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 22, No. 2. Yogia, Moris Adidi. (2009). Indonesia dan Jepang dalam Perspektif Perbandingan Politik. Universitas Islam Riau.

107

Penelitian Marthin Simangunsong. Penelitian : “Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia dengan Amerika Serikat (Suatu Kajian Perbandingan)”. Penelitian Universitas HKBP Nommensen, 2007.

Skripsi Adhiguna, Dandhy. Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 Tentang Pelaksanaan Hak Menyatakan Pendapat. Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Lampung, 2011. Gumilar, Atika. Kepentingan Turki Terhadap Pengungsi Suriah Studi Kasus Tahun 2011-2015. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016. Jazuly, Ahmad Syukron. Sistem Presidensial (Komparasi Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 dan Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran). Skripsi Program Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negari Sunan Kalijaga, 2008. Muhlis, Acep. Dampak Upaya Kudeta Militer Terhadap Lembaga Fethullah Gulen di Jakarta. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. Qudus, Ulfah Mawaddatul. Gerakan Politik dan Otonomi Khusus (Studi Perbandingan Gerakan Suku Kurdi Memperjuangkan Otonomi Khusus di Irak dan Turki). Skripsi Program Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 2018. Permadi, Bambang Singgih. Proses Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Skripsi S1 Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014. Putra, Gia Syah Noor. Sikap Politik Koalisi Merah Putih Terhadap Kebijakan Politik Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Setiyawati, Dwi Arum. Pola Hubungan Eksekutif Dengan Legislatif dalam Proses Pembuatan Peraturan Daerah (Studi pada Perda Pajak Hiburan Tahun 2011 Kabupaten Lampung Selatan). Skripsi Program Ilmu Politik Universitas Lampung. 2012. Vevekanda, Denayu Swami. Perilaku Politik dan Kekuasaan Politik (Studi Perpindahan Partai Politik Basuki Tjahaja Purnama dalam Perpolitikan di Indonesia). Skripsi Program Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 2017.

108

Tesis Lucius, Robert E. A House Divided: The Decline and Fall of Masyumi (1950- 1956). Tesis Naval Postgraduate School, US Navy. 2003.

Wawancara

Wawancara Pribadi dengan Rudy Alfonso, Ketua DPP bidang Hukum dan HAM Partai Golkar, pada 15 Agustus 2019.

109