MARGINALISASI DAN REVITALISASI PARIKAN DI ERA KELISANAN SEKUNDER Marginalization and Revitalization of Parikan in the Secondary Orality Era
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
MARGINALISASI DAN REVITALISASI PARIKAN DI ERA KELISANAN SEKUNDER Marginalization and Revitalization of Parikan in The Secondary Orality Era D. Jupriono Fakultas Sastra, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Pos-el:[email protected] (Makalah diterima tanggal 8 Juli 2010 —Disetujui tanggal 24 Agustus 2010) Abstrak. Sastra lisan parikan termarginalisasikan dari masyarakatnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah karena: makin langkanya habitat tempat munculnya parikan (ludruk, tayub, dll.); melimpahnya acara pop di media elektronik TV; punahnya budaya sindiran; tergusurnya lembah lokalisasi; makin berkurangnya jumlah penjual jamu di pasar tradisional dan para pedagang keliling berlayar tancap; lenyapnya budaya cangkrukan /jagongan . Meskipun demikian, ada dua komunitas yang tetap melestarikan parikan , yaitu komunitas pesantren, yang tetap mempertahankan parikan sebagai produk kelisanan primer, dan masyarakat Jawa pedesaan serta komunitas urban etnis Jawa, yang melestarikan parikan sebagai produk kelisanan sekunder dalam kemasan media elektronik. Di antara parikan yang masih tersisa, terdapat parikan pelesetan, yang hanya main-main oleh dagelan ludruk, dan parikan serius, sebagai media iklan resmi layanan masyarakat oleh kepolisian, parpol, perusahaan, dan media massa, serta sebagai kritik sosial terhadap ketimpangan keadaan dan kesewenangan penguasa, juga oleh dagelan ludruk. Kata-Kata Kunci : sastra lisan, revitalisasi, kelisanan sekunder, kritik sosial, marginalisasi Abstract: Parikan as oral literature is marginalized from its society in East Java and Central Java because the more rarely of habitat it emerges ( ludruk , tayub , etc); the abundance of popular programs in TV electronic media; the vanishing satirical culture; the abolition of prostitution locality; the lesser of the amount of herbs seller in traditional market and vendors on layar tancap ; the diminishing of the culture of cangkrukan /jagongan . Fortunately, yet there are two communities keeping on conserve parikan , they are pesantren community, which keeps parikan as the product of primary orality, and Javanese villagers and also Javanese urban community who conserve parikan as the product of secondary orality in electonic media packaging. Among the rest of parikan , there are plesetan parikan , merely for jokes which come from ludruk comedians, and serious parikan , as the official advertising media of public service by police department, politic parties, companies, and mass media, also as the social critique by ludruk comedians towards social injustice and despotism of public officers. Key Words : oral literature, revitalization, secondary orality, social critique, marginalization PENGANTAR sastra lisan Jawa. Sastra lisan Jawa hidup Isu klasik tetapi tetap aktual-dominan subur berabad-abad di samping tradisi li- bagi komunitas penikmat dan pemerhati san lain, seperti mantra, cangkriman (te- sastra Jawa adalah makin terpinggirkan- ka-teki tradisional), tembang, parikan , nya sastra Jawa dari masyarakat pendu- dongeng, dan nyanyian dolanan anak- kungnya. Di dalam masyarakat Jawa, hi- anak (Hutomo, 1991). Setidaknya dalam dup berdampingan sastra modern Indo- 20 tahun terakhir, sastra Jawa ditinggal- nesia, sastra (tulis) mutakhir Jawa, dan kan penikmatnya; sastra Jawa di ambang 187 kepunahan. Kecemasan para pakar sastra Rita saja, tidak Elvi, ya Rhoma Irama Jawa ini ada benarnya sejauh menyang- Cinta thok, gak dirabi, ya percuma kut sastra tulis (Sudikan, 1996). Cinta saja, tak dinikahi, ya percuma Jika hal itu dikenakan pada sastra li- san, kekhawatiran tersebut hendaknya Sebagai pantun, setiap kuplet parik- ditinjau ulang. Dalam jagat sastra lisan an terbangun dari dua bagian: pertama, sebagai salah satu bentuk tradisi/folklor gatra purwaka atau sampiran di dua la- lisan, parikan tetap bertahan. Masalah rik pertama ([1], [2]) pada parikan rang- yang menjadi fokus penelitian ini adalah kep dan larik pertama [1] pada parikan bagaimana kondisi objektif pantun Jawa lamba dan, kedua, gatra tebusan atau isi parikan ? Apakah ia juga terkikis dan di- di dua larik-kedua ([3], [4]) pada parikan tinggalkan komunitasnya? Jika jawabnya rangkep dan larik-kedua [2] pada parik- “Ya”, faktor apa sajakah yang mendo- an lamba (cf. Junus, 2007). Antara sam- rong terjadinya pergeseran itu? Jika piran dan isi tidak terdapat hubungan arti masih ada yang tersisa, di mana sajakah apa pun; betul-betul keduanya saling in- parikan dapat ditemukan? Golongan ma- dependen makna. Akan tetapi, keduanya nakah yang masih mengekspresikan pa- tidak ada yang lebih penting, harus sa- rikan dan apakah fungsinya? Apakah ter- ling mengisi, dan menimbulkan efek jadi pergeseran komunitas penikmat? bunyi ritmis, sehingga membangun at- Bagaimana perkembangan mutakhirnya? mosfer estetis (cf. Endraswara, 2005). Relasi bunyi (rima, persajakan) kedua- TEORI nya harus jelas (Subagyo, 1992; Hutomo Sebagai pantun, parikan tergolong “seni & Pudentia, 1993). rakyat asli” (Hooykaas, 1951) atau puisi Sebagai pantun Jawa, parikan sa- asli rakyat Nusantara sebagai cikal bakal ngat memperhatikan fungsi puitik (poe- puisi Indonesia. Tidak hanya puisi, lagu, tic function ) dari lapis bunyi (cf. Austin, tembang, pidato, dialog dalam wayang 1994). Diksi dalam parikan wajib me- dan ludruk, dan tutur sehari-hari pun menuhi syarat ritme persajakan antar- banyak mendayagunakan parikan . larik, antara gatra purwaka dan gatra te- Ada dua jenis parikan : pertama, pa- busan . Dalam parikan (1), misalnya, rikan lamba, yakni pantun (Jawa) dua ber-laku pola bunyi ABAB; ireng baris, pantun kilat, atau dalam istilah dengan se-neng , wajik dengan dhisik , sastra Melayu lazim disebut karmina ; sarapane dengan karuane , madumangsa kedua, parikan rangkep , yakni pantun dengan li-ya . Dalam parikan (2) betul- (Jawa) empat baris, yang dalam khaza- betul terjadi rima sempurna total (AA): nah sastra Melayu sering disebut parikan Rita dengan cinta , thok tetap thok , gak saja (Saputra, 2003; cf. Emeis,1949). tetap gak , Elvi dengan dirabi , Rhoma Perhatikan contoh parikan rangkep (1) Irama dengan percuma . Meminjam dan parikan lamba (2) berikut. istilah Hooykass (1951), rima seperti ini disebut ”sadjak lengkap”. Sebagai (1) Ketan ireng digawe wajik [1](A) bandingan, satu pan-tun klasik Melayu Ketan hitam dibuat kue wajik (3) koleksi Hooykaas dikutipkan di sini: Sarapane kok madumangsa [2](B) Sarapannya madumongso (3) Ke-Teluk sudah, ke-Siam sudah Nek gak seneng ngomonga dhisik [3](A) Ke-Mekah sahadja jang belum Kalau tidak cinta, bilang saja Berpeluk sudah, bertjium sudah Karuane tak golek liya [4](B) Bernikah sahadja jang belum Biar aku mencari yang lain (Hooykaas, 1951:21) (2) Rita thok gak Elvi ya Rhoma Irama 188 Sebagai tradisi lisan rakyat jelata, me(re)produksi, mengubah, mengganti, suasana erotis seperti dalam pantun Me- dan memelesetkan larik-larik parikan .2 layu ini wajar dan lumrah . Malahan, da- Sebagai seni kolektif, parikan akrab lam parikan (Jawa), yang paling banyak dengan kehidupan rakyat kecil adalah parikan saru-lekoh ”erotis” yang (Supriyanto, 1992). Parikan hidup subur nakal (Subagyo, 1992). Kalau harus di- di tengah-tengah rakyat jelata (Jupriono bandingkan, parikan yang paling porno et al., 2001). Partisipatori kolektif “wong dan vulgar adalah yang diciptakan dan cilik” dalam ber parikan akan muncul da- beredar di lingkungan lokalisasi lam berbagai ranah. Kelakar sehari-hari (Jupriono et al., 2001). Ini, tentu saja, ti- di sawah, pada muda-mudi yang saling dak sulit dipahami. menggoda, di pasar, di rembug desa, Karena merupakan tradisi lisan rak- para pengunjung dan penghuni lokalisasi yat (folklor), tidak jelas siapa pencipta- (Alfian, 1994), juga di panggung keseni- nya, anonim, pantun dianggap sebagai an rakyat, misalnya kentrung (Hutomo & kekayaan kolektif (cf. Dananjaya,1984; Pudentia, 1993), ludruk (Supriyanto, Stolk & Shannon, 1976). Sebagai keka- 1992), wayang, pengajian, ketoprak, dan yaan kolektif, parikan senantiasa selalu dagelan , baik dalam bungkus dialog dinikmati bersama, bukan dihayati dan maupun lagu (tembang) campursari direnungi secara personal individual. (Jupriono, 2009). Oleh karena itu, parikan selalu bersifat Keniscayaan sejarah mencatat keter- lisan di tengah masyarakat yang masih purukan sastra lisan adalah akibat revo- berbudaya lisan ( oral culture ) (Emeis, lusi kapitalisme cetak ( print capitalism ). 1949; Sweeney, 1987). Dalam hal ini la- Peradaban cetak mampu mengubah hi- yak digarisbawahi tengara Derks (1994; ruk-pikuk komunitas sastra lisan menda- 1998) bahwa pada dasarnya, jangankan dak sontak menjadi komunitas senyap sastra lisan, sastra tertulis pun di Indone- bisu, sastra khalayak menjadi tak ber- sia untuk didengarkan (dilisankan). Fe- suara, dan lahir komunitas imajiner (cf. nomena teaterikalisasi puisi-puisi Emha Anderson, 1990). Walter J. Ong (1982) Ainun Najib, pembacaan puisi-puisi memprediksi bahwa peradaban masyara- Sutardji Calzoum Bachri, pembacaan kat secara teratur berkembang dari “era cerpen-cerpen Danarto dan Putu Wijaya, lisan” (lisan primer), menuju ke “era ce- monolog Butet Kertarajasa, misalnya, tak-mencetak” (kapitalisme cetak), dan memperlihatkan kecenderungan terse- kemudian ke “era lisan dengan media but. 1 modern” (lisan sekunder). Ciri penting Ciri khas lain tradisi lisan adalah Era Kelisanan Sekunder adalah produk mudah berubah (Hutomo & Pudentia, karya seni lisan dikemas dalam media 1993) yang dari perspektif folklor dise- elektronik (radio, televisi, kaset rekam- but interpolasi. Ini terjadi sebagai konse- an, CD, MP3) (Bingham, 1988). Den- kuensi