MARGINALISASI DAN REVITALISASI PARIKAN DI ERA KELISANAN SEKUNDER Marginalization and Revitalization of Parikan in The Secondary Orality Era

D. Jupriono

Fakultas Sastra, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Posel:[email protected]

(Makalah diterima tanggal 8 Juli 2010 —Disetujui tanggal 24 Agustus 2010)

Abstrak. Sastra lisan parikan termarginalisasikan dari masyarakatnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah karena: makin langkanya habitat tempat munculnya parikan (ludruk, tayub, dll.); melimpahnya acara pop di media elektronik TV; punahnya budaya sindiran; tergusurnya lembah lokalisasi; makin berkurangnya jumlah penjual di pasar tradisional dan para pedagang keliling berlayar tancap; lenyapnya budaya cangkrukan /jagongan . Meskipun demikian, ada dua komunitas yang tetap melestarikan parikan , yaitu komunitas pesantren, yang tetap mempertahankan parikan sebagai produk kelisanan primer, dan masyarakat Jawa pedesaan serta komunitas urban etnis Jawa, yang melestarikan parikan sebagai produk kelisanan sekunder dalam kemasan media elektronik. Di antara parikan yang masih tersisa, terdapat parikan pelesetan, yang hanya mainmain oleh dagelan ludruk, dan parikan serius, sebagai media iklan resmi layanan masyarakat oleh kepolisian, parpol, perusahaan, dan media massa, serta sebagai kritik sosial terhadap ketimpangan keadaan dan kesewenangan penguasa, juga oleh dagelan ludruk.

Kata-Kata Kunci : sastra lisan, revitalisasi, kelisanan sekunder, kritik sosial, marginalisasi

Abstract: Parikan as oral literature is marginalized from its society in East and Central Java because the more rarely of habitat it emerges ( ludruk , tayub , etc); the abundance of popular programs in TV electronic media; the vanishing satirical culture; the abolition of prostitution locality; the lesser of the amount of herbs seller in traditional market and vendors on layar tancap ; the diminishing of the culture of cangkrukan /jagongan . Fortunately, yet there are two communities keeping on conserve parikan , they are pesantren community, which keeps parikan as the product of primary orality, and Javanese villagers and also Javanese urban community who conserve parikan as the product of secondary orality in electonic media packaging. Among the rest of parikan , there are plesetan parikan , merely for jokes which come from ludruk comedians, and serious parikan , as the official advertising media of public service by police department, politic parties, companies, and mass media, also as the social critique by ludruk comedians towards social injustice and despotism of public officers.

Key Words : oral literature, revitalization, secondary orality, social critique, marginalization

PENGANTAR sastra lisan Jawa. Sastra lisan Jawa hidup Isu klasik tetapi tetap aktualdominan subur berabadabad di samping tradisi li bagi komunitas penikmat dan pemerhati san lain, seperti mantra, cangkriman (te sastra Jawa adalah makin terpinggirkan kateki tradisional), tembang, parikan , nya sastra Jawa dari masyarakat pendu dongeng, dan nyanyian dolanan anak kungnya. Di dalam masyarakat Jawa, hi anak (Hutomo, 1991). Setidaknya dalam dup berdampingan sastra modern Indo 20 tahun terakhir, sastra Jawa ditinggal nesia, sastra (tulis) mutakhir Jawa, dan kan penikmatnya; sastra Jawa di ambang

187 kepunahan. Kecemasan para pakar sastra Rita saja, tidak Elvi, ya Rhoma Irama Jawa ini ada benarnya sejauh menyang Cinta thok, gak dirabi, ya percuma kut sastra tulis (Sudikan, 1996). Cinta saja, tak dinikahi, ya percuma Jika hal itu dikenakan pada sastra li san, kekhawatiran tersebut hendaknya Sebagai pantun, setiap kuplet parik- ditinjau ulang. Dalam jagat sastra lisan an terbangun dari dua bagian: pertama, sebagai salah satu bentuk tradisi/folklor gatra purwaka atau sampiran di dua la lisan, parikan tetap bertahan. Masalah rik pertama ([1], [2]) pada parikan rang- yang menjadi fokus penelitian ini adalah kep dan larik pertama [1] pada parikan bagaimana kondisi objektif pantun Jawa lamba dan, kedua, gatra tebusan atau isi parikan ? Apakah ia juga terkikis dan di di dua larikkedua ([3], [4]) pada parikan tinggalkan komunitasnya? Jika jawabnya rangkep dan larikkedua [2] pada parik- “Ya”, faktor apa sajakah yang mendo an lamba (cf. Junus, 2007). Antara sam rong terjadinya pergeseran itu? Jika piran dan isi tidak terdapat hubungan arti masih ada yang tersisa, di mana sajakah apa pun; betulbetul keduanya saling in parikan dapat ditemukan? Golongan ma dependen makna. Akan tetapi, keduanya nakah yang masih mengekspresikan pa- tidak ada yang lebih penting, harus sa rikan dan apakah fungsinya? Apakah ter ling mengisi, dan menimbulkan efek jadi pergeseran komunitas penikmat? bunyi ritmis, sehingga membangun at Bagaimana perkembangan mutakhirnya? mosfer estetis (cf. Endraswara, 2005). Relasi bunyi (rima, persajakan) kedua TEORI nya harus jelas (Subagyo, 1992; Hutomo Sebagai pantun, parikan tergolong “seni & Pudentia, 1993). rakyat asli” (Hooykaas, 1951) atau puisi Sebagai pantun Jawa, parikan sa asli rakyat Nusantara sebagai cikal bakal ngat memperhatikan fungsi puitik (poe- puisi . Tidak hanya puisi, lagu, tic function ) dari lapis bunyi (cf. Austin, tembang, pidato, dialog dalam wayang 1994). Diksi dalam parikan wajib me dan ludruk, dan tutur seharihari pun menuhi syarat ritme persajakan antar banyak mendayagunakan parikan . larik, antara gatra purwaka dan gatra te- Ada dua jenis parikan : pertama, pa- busan . Dalam parikan (1), misalnya, rikan lamba, yakni pantun (Jawa) dua berlaku pola bunyi ABAB; ireng baris, pantun kilat, atau dalam istilah dengan se-neng , dengan dhisik , sastra Melayu lazim disebut karmina ; sarapane dengan karuane , madumangsa kedua, parikan rangkep , yakni pantun dengan li-ya . Dalam parikan (2) betul (Jawa) empat baris, yang dalam khaza betul terjadi rima sempurna total (AA): nah sastra Melayu sering disebut parikan Rita dengan cinta , thok tetap thok , gak saja (Saputra, 2003; cf. Emeis,1949). tetap gak , Elvi dengan dirabi , Rhoma Perhatikan contoh parikan rangkep (1) Irama dengan percuma . Meminjam dan parikan lamba (2) berikut. istilah Hooykass (1951), rima seperti ini disebut ”sadjak lengkap”. Sebagai (1) Ketan ireng digawe wajik [1](A) bandingan, satu pantun klasik Melayu Ketan hitam dibuat wajik (3) koleksi Hooykaas dikutipkan di sini: Sarapane kok madumangsa [2](B) Sarapannya madumongso (3) KeTeluk sudah, keSiam sudah Nek gak seneng ngomonga dhisik [3](A) KeMekah sahadja jang belum Kalau tidak cinta, bilang saja Berpeluk sudah, bertjium sudah Karuane tak golek liya [4](B) Bernikah sahadja jang belum Biar aku mencari yang lain (Hooykaas, 1951:21)

(2) Rita thok gak Elvi ya Rhoma Irama

188 Sebagai tradisi lisan rakyat jelata, me(re)produksi, mengubah, mengganti, suasana erotis seperti dalam pantun Me dan memelesetkan lariklarik parikan .2 layu ini wajar dan lumrah . Malahan, da Sebagai seni kolektif, parikan akrab lam parikan (Jawa), yang paling banyak dengan kehidupan rakyat kecil adalah parikan saru-lekoh ”erotis” yang (Supriyanto, 1992). Parikan hidup subur nakal (Subagyo, 1992). Kalau harus di di tengahtengah rakyat jelata (Jupriono bandingkan, parikan yang paling porno et al., 2001). Partisipatori kolektif “wong dan vulgar adalah yang diciptakan dan cilik” dalam ber parikan akan muncul da beredar di lingkungan lokalisasi lam berbagai ranah. Kelakar seharihari (Jupriono et al., 2001). Ini, tentu saja, ti di sawah, pada mudamudi yang saling dak sulit dipahami. menggoda, di pasar, di rembug desa, Karena merupakan tradisi lisan rak para pengunjung dan penghuni lokalisasi yat (folklor), tidak jelas siapa pencipta (Alfian, 1994), juga di panggung keseni nya, anonim, pantun dianggap sebagai an rakyat, misalnya kentrung (Hutomo & kekayaan kolektif (cf. Dananjaya,1984; Pudentia, 1993), ludruk (Supriyanto, Stolk & Shannon, 1976). Sebagai keka 1992), wayang, pengajian, , dan yaan kolektif, parikan senantiasa selalu dagelan , baik dalam bungkus dialog dinikmati bersama, bukan dihayati dan maupun lagu (tembang) campursari direnungi secara personal individual. (Jupriono, 2009). Oleh karena itu, parikan selalu bersifat Keniscayaan sejarah mencatat keter lisan di tengah masyarakat yang masih purukan sastra lisan adalah akibat revo berbudaya lisan ( oral culture ) (Emeis, lusi kapitalisme cetak ( print capitalism ). 1949; Sweeney, 1987). Dalam hal ini la Peradaban cetak mampu mengubah hi yak digarisbawahi tengara Derks (1994; rukpikuk komunitas sastra lisan menda 1998) bahwa pada dasarnya, jangankan dak sontak menjadi komunitas senyap sastra lisan, sastra tertulis pun di Indone bisu, sastra khalayak menjadi tak ber sia untuk didengarkan (dilisankan). Fe suara, dan lahir komunitas imajiner (cf. nomena teaterikalisasi puisipuisi Emha Anderson, 1990). Walter J. Ong (1982) Ainun Najib, pembacaan puisipuisi memprediksi bahwa peradaban masyara Sutardji Calzoum Bachri, pembacaan kat secara teratur berkembang dari “era cerpencerpen Danarto dan Putu Wijaya, lisan” (lisan primer), menuju ke “era ce monolog Butet Kertarajasa, misalnya, takmencetak” (kapitalisme cetak), dan memperlihatkan kecenderungan terse kemudian ke “era lisan dengan media but. 1 modern” (lisan sekunder). Ciri penting Ciri khas lain tradisi lisan adalah Era Kelisanan Sekunder adalah produk mudah berubah (Hutomo & Pudentia, karya seni lisan dikemas dalam media 1993) yang dari perspektif folklor dise elektronik (radio, televisi, kaset rekam but interpolasi. Ini terjadi sebagai konse an, CD, MP3) (Bingham, 1988). Den kuensi logis kekolektifannya yang mela dang parikan jula-juli Kartolo cs., lan hirkan suasana hangat, kebebasan eks tunan parikan dalang kentrung , lagula presi, relatif kurang terikat pada norma gu campursari, misalnya, dapat diputar tradisi sastra, serta senantiasa mencipta ulang dan dinikmati oleh kolektifnya se kan efek puitika partisipatoris (Ong, tiap saat. Jika pandangan Ong diikuti, 1982). Tidak jelas batas demarkatif an dapat disimpulkan bahwa sekarang, tara “pencipta” dan “penikmat”: semua Jawa—juga Indonesia—sudah mema anggota kolektif adalah pencipta seka suki era Kelisanan Sekunder. ligus penikmat. Kondisi cair seperti ini Memang, realitas sejarah tidak seli memungkinkan setiap individu untuk near tesis Ong (1982). Beberapa produk tradisi lisan memperlihatkan ketajaman

189 prediksi Ong (1977), tetapi beberapa mengenai fungsi konkret parikan men produk lain menjalani takdirnya sendiri jadi niscaya. Di dalam ranah yang tersisa (cf. Bingham, 1988). Pentas Ande-ande , tersebut diperlihatkan adanya regenerasi misalnya, tidak mengalami era ketiga. revitalisasi dalam era kelisanan sekunder Ande-ande adalah sejenis drama klasik versi Ong (1977; 1982; Bingham, 1988). rakyat di daerah mataraman 3 Jawa Ti Bersamaan dengan itu dapat pula dite mur yang mengangkat kisah perjalanan mukan fenomena menarik mengenai pa- Raden Panji Asmarabangun mencari ke rikan pelesetan yang beredar populer se kasihnya, hingga berjumpa dengan Dewi bagai budaya massa—dan, dengan begi Sekartaji. Performansi dan antawacana tu, dibahas argumen perlunya ditinjau (dialog) seperti pentas wayang orang ulang status kelisanan parikan dalam ra gagrak (a la ) Solo, tetapi ceritanya me nah tertentu. ngambil lakon ketoprak Jawa Tengah. Kelompok Ande-ande hanya sampai pa HASIL DAN PEMBAHASAN da era pertama dan kedua, lalu punah. Faktor Penyebab Termarginalkannya Hal yang sama juga terjadi pada jaranan Parikan dor Blitar, jaranan jawa Tulungagung, Meskipun tidak hilang, tidak salah bila serta julajuli garingan Cak Markeso 4 dikatakan bahwa parikan terkikis dari (alm.), yang ngamen tanpa instrumen komunitas masyarakat Jawa, apalagi ka gamelan ( accapella ) dengan melantun langan muda. Akan tetapi, harus segera kannya dari rumah ke rumah sepanjang ditambahkan bahwa surutnya parikan jalan di wilayah Jawa Timur. terjadi dalam ranahranah pakai ( habitat ) yang memang turut tersingkir, misalnya METODE pada pentas ludruk, ketoprak, wayang, Data dalam kajian ini berupa parikan kentrung, jemblung , thempling , atau dikumpulkan dengan teknik perekaman thumpling (Latief, 2000; Abdullah, dan observasi (Sudikan, 2001). Sumber 2006; Prakosa, 2006). Parikan lamba data parikan-parikan tersebut adalah ka klasik seperti contoh (4) tinggal ke set rekaman Cak Kartolo cs., CD cam nangan. pursari, dan alunan parikan dalam pentas ludruk di Surabaya, Mojokerto, Jom (4) Sor meja, Dik, gak ana ulane bang, Malang (2008—2010). Penetapan Bawah meja, Dik, tak ada ular data parikan memanfaatkan konsep da Aja gela, iki lak wis dadi carane sar parikan dalam daya hayat penulis se Jangan kecewa, ini sudah adatnya bagai instrumen kreatif ( human instrument ). Bersamasama dengan data Parikan (4) lazim muncul dalam to- yang terkumpul, diberikan pula catatan bong panggung ludruk, terutama adegan sekitar data, misalnya siapa kalangan pe humor dialog antara Pak Bayan (yang nikmat parikan , reaksi penonton, media berstereotipe tipikal Jawa) dan Pak Polo massa yang menyiarkan, dan kaitannya (yang berstereotipe tipikal Madura) saat dengan tradisi serta realitas sosial. menghadap Pak Lurah di balai desa. Ce (Hutomo, 1991:85). rita ludruk “Sarip Tambakasa”, “Sogol Dengan mempertimbangkan catatan Pendekar Sumur Gemoling”, “Maling sekitar data, analisis diawali dari men Caluring”, misalnya, dapat dipastikan deskripsikan semua faktor penyebab ter menghadirkan adegan ini sehingga pa- marginalisasikannya parikan . Setelah rikan (4) pun mengalir. Pak Bayan biasa penyebab ditemukan, tentu selalu ada ra nya dua atau tiga kali menegur cara du nahranah pakai parikan yang masih ter duk, bertutur, gerakan tangan, kaki, dan sisa. Pada titik ini pembicaraan badan Pak Polo saat berbicara kepada Pak Lurah, yang dinilainya kurang

190 santun dan Pak Polo pun setiap saat dikalahkan (Roqib, 2007). Pasemon ber membela diri dengan melontarkan parik- konotasi positif, misalnya, dilontarkan an sor meja gak ana ulane (cf. saat melihat tetangga duduk berdua di Poerbowati, 2007). Dalam cita rasa bu depan rumah, lalu terlontar parikan (5), daya tradisional Jawa Timur, dialog se sedangkan sindiran negatif ditujukan ke perti ini senantiasa berhasil menyentil pada pelajar nakal, misalnya parikan kepekaan sense of humor kolektifnya. lamba (6). Melimpahnya genre baru di media elektronik TV, misalnya sinetron, tele (5) Bayem rine, ketan pulukane novela, film, kuis, talk-show , dangdut, Bayam durinya, ketan suapannya merupakan faktor berikutnya yang turut Ayem atine, ketekan penjaluke menyingkirkan parikan . Parikan tidak Bahagia hatinya, terpenuhi perminta sanggup kalau harus bersaing dengan ke annya senian massa yang “padat modal” (6) Jare bolah, kok ireng (Heryanto, 2000) dan didukung barisan Katanya benang, kok hitam artis mewah dan iklan melimpah. Dari Jare sekolah, kok meteng sudut pandang pemilik modal, acara Katanya sekolah, kok hamil acara semacam ludruk dan seni tari ta- yub —habitat terlontarkannya parikan Pasangan yang dilontari pasemon parikan klasik dan kreatif—kurang ber positif parikan (5) biasanya akan senang, potensi untuk menarik iklan komersial. walaupun juga sedikit malumalu. Parik- Parikan sulit “dijual” karena kurang an ini lazim dilontarkan di antara sebaya, marketable . Padahal, struktur pentas lu- relasi antarpersonalnya sangat akrab, jadi druk —seandainya masih bertahan—mi justru menambah kedekatan hubungan, salnya, memberi banyak peluang bagi sedangkan parikan (6) justru membuat munculnya parikan , baik menjadi bagian pasangan yang disindir malu, bahkan ter dari lariklarik jula-juli yang terlantun singgung, dan barangkali juga marah, te dalam tari remo, adegan tandhak (yang tapi tidak bisa berbuat apaapa. Parikan lazimnya diperankan waria), dan kidung- ini memang untuk ngelokne (mencela) an jula-juli dagelan , maupun terselip di sebagai nasihat atau malahan cacian pe antara dialog saat cerita sudah berjalan das. Kondisi ini hendaknya dipahami se (cf. Supriyanto, 1992). bab sebagai anggota kolektif, individu Faktor lain penyebab kelangkaan Jawa tidak bisa berprinsip “ini urusanku, parikan adalah hilangnya budaya sindir orang lain tak boleh intervensi”. Apa an atau pasemon —baik untuk tujuan me yang dilakukan sebagai individu diang nyindircela secara negatif maupun seka gap berdampak bagi nama baik kolektif dar menggoda secara positif demi kein masyarakat sekitarnya (Roqib, 2007), timan komunikasi—yang terlindas oleh karena itu antaranggota saling mengon budaya baru “bicara terus terang” (hujat trol (cf. Suseno, 1996). Ini juga mem menghujat, unjuk rasa). Budaya sindiran buktikan bahwa bagi masyarakat Jawa, sebetulnya merupakan cara ekspresi dari parikan memang memiliki fungsi sosial norma “jangan bicara blak-blakan ” seba yang jelas. Meskipun demikian, tidak se gai refleksi nilai dasar kultur Jawa tiap peneliti mampu menemukannya; (Mohamad, 1996), sebagai konsekuensi berhasil menghayati fungsi tersebut, kultural menjaga perasaan orang lain de seorang pengamat (terutama nonJawa) mi harmoni sosial (Suseno, 1996). Da harus belajar mempertimbangkan kon lam budaya Jawa menjaga kemapanan teks sosial budaya (Foley, 1986) Jawa. harmoni sosial adalah kewajiban luhur Parikan , bahkan, juga melancarkan setiap orang—kalau perlu hak individu kritik sosial sebagai protes atas

191 ketidakadilan (Endraswara, 2005). Con terbakar / Silakan masuk, kamarnya ko toh klasiknya adalah parikan Cak song’). Parikan saru lainnya lebih vul Durasim yang menyindir penderitaan gar erotis, seperti parikan (8). pribumi Jawa di bawah eksploitasi pen jajah Jepang (7). (8) Jombang, Mas, Boyolali Jombang, Mas, Boyolali (7) Bekupon omahe dara Nek gak goyang, uang kembali Begupon, sarangnya burung dara Kalau tidak goyang, uang kembali Sakjege Melu Nippon tambah sengsara Sejak dijajah Jepang, tambah sengsara Dalam hal ini, parikan (8) adalah sarana pemasaran, media promosi Saat melontarkan parikan (7), Cak dengan menawarkan “garansi” kepada Durasim sedang ber jula-juli di atas lelaki hidung belang yang berkunjung di panggung ludruk , dalam suasana penja lokalisasi. jahan Jepang (1943). Akhirnya, tokoh lu- Karena banyak lokalisasi yang digu druk ini dipenjara hingga wafat. sur—terutama sejak 1999, peluang mun (Supriyanto, 1992; versi lain: Cak culnya parikan-parikan erotis tersebut Durasim ditembak mati di tempat). pun makin mustahil. Setelah lokalisasi Hingga sekarang, Cak Durasim dikenang ditutup, mereka “buka praktik” di ping bukan saja sebagai tokoh legendaris lu- gir jalan. Kuat diduga, dengan kondisi druk , tetapi juga pejuang nasional. yang serba tidak nyaman (ramai kenda Sekarang, habitathabitat yang po raan, relasi antarindividu terbatas, setiap tensial memunculkan parikan seperti ini saat digusur Satpol PP, angin kencang, sudah sulit ditemukan. Ludruk sebagai asap motor, dll.), peluang munculnya habitat potensial bagi lahirnya parikan parikan kreatiferotis tersebut kecil seka makin ditinggalkan penonton sehingga li, bahkan mustahil! banyak yang gulung tikar (Hadiwibowo, Selanjutnya, makin berkurangnya 2001; Abdullah, 2006). Habitat lain, se jumlah dan kesempatan para penjual perti tayub , kuda lumping, lerok , keto- obat (jamu) di pasar tradisional dan para prak , lengger , bernasib serupa (Sutarto, pedagang keliling berlayar tancap juga 2004) sehingga parikan-parikan alamiah turut menyebabkan tergusurnya parikan pun kian sulit didengar dan semakin sebagai media promosi dan komunikasi menjadi barang langka. niaga tradisional. Setiap menawarkan da Faktor lainnya adalah tergusurnya gangan dan mempromosikan produknya, komunitas orangorang yang tersisihkan senantiasa meluncur dari mereka ke dalam lembah hitam lokalisasi parikan-parikan persuasif yang dituju (Jupriono et al., 2001). Kedengarannya kan untuk para calon pembeli yang me lucu, tetapi itu realitas (baca: ”Ludruk ngerumuninya. Misalnya, saat dikeru ’Tobong’ Dekati Kantung Prostitusi”, muni pembeli yang tidak sabar, lewat co Kompas , 22092001). Parikan berkem rong pengeras suara penjual akan me bang subur di kalangan PSK (pekerja neriakkan parikan segar seperti contoh seks komersial), GM (germo), baon (pe (9) dan (10). Akan tetapi, makin meni lindung), gantengan (pacar), dan lelaki pisnya jumlah mereka, tradisi parikan hidung belang pengunjung, pelanggan sebagai media jual beli pun makin tidak kelas bawah 5. Ini dibuktikan dalam terdengar. penelitian Alfian (1994). Salah satu pa- rikan yang lahir di lokalisasi, lalu popu (9) Nyebar godhong kara ler di masyarakat adalah Tanjung Perak Menyebar daun koro kapale kobong / Mangga pinarak, ka- Sabar sauntara mare kosong (’Tanjung Perak, kapalnya Mohon bersabar sebentar saja

192 Seiring dengan derap dinamika re (10) Kenikir dinggo lalapan volusi teknologi, parikan pun terkooptasi Kenikir dipakai lalapan oleh kecanggihan produk teknologi, mi Aja kuwatir nek gak kebagian salnya radio, TV, kaset, CD, dan Jangan khawatir tidak kebagian VCD. Parikan tidak muncul sebagai pa- rikan an sich , tetapi terwadahi dalam Lenyapnya budaya cangkrukan (ja- bungkus lagu langgam dan campursari. gongan ) di gardu, di lorong kampung, Campursari telah menjelma sebagai ikon atau di jembatan, juga turut memberi kultur populer dalam kemasan budaya kontribusi bagi hilangnya parikan seba massa dan budaya urban. Berbeda dari gai tradisi lisan komunitas kampung. Da tembang 6 Jawa, lagulagu campursari lam situasi familiar intim santai seperti hampir selalu mengandung parikan . ini, lazimnya ada satu atau dua orang se Kebangkitan parikan dalam kemas nior yang dikenal sebagai “tukang bikin an kapitalisme teknologi media (radio, parikan ”. Parikan ciptaannya biasanya TV) menunjukkan terjadinya pergeseran lucu, nakal, dan menghibur orangorang sekaligus revitalisasi parikan di tengah sekitar. (cf. Dananjaya, 1984). Isinya orangorang Jawa pedesaan dan kalang biasanya sindiran (11), deskripsi penga an muda, yang merantau di kota sebagai laman “sial” individu (12), atau soalsoal komunitas urban, dalam mengapresiasi keseharian rumah tangga. Problem serius sastra lisan parikan . Komunitas urban et seperti gonjang-ganjing politik, korupsi, nis Jawa lazim bekerja sebagai pekerja pilkada, KKN, terorisme, misalnya, tidak kasar. Selera estetis mereka umumnya menjadi bagian dari pokokpokok perso tetap loyal pada ludruk , keto-prak , alan kehidupan mereka. wayang, musik dangdut, gending , langgam , dan campursari—semuanya (11) Kotang kancinge batok oleh kalangan luar sering dipersepsi se Kutang berkancing batok kelapa bagai selera ndeso , kalangan bawah Bareng ngutang gak tau ngetok Setelah berhutang, tidak pernah muncul (Quinn, 1998). Dalam lagu campursari ”Randha Kempling” ciptaan Manthous (12) Macan tutul mangan trasi (13) dan ”Jambu Alas” ciptaan Didi Macan tutul makan terasi Kempot (14)—yang amat populer di pe Kadung cucul, anake tangi desaan Jawa dan komunitas urban Jawa Terlanjur bugil, anaknya bangun di Malaysia—misalnya, amat jelas dide rasi oleh parikan . Ranah Pakai Parikan yang Masih Ter- sisa (13) Awan-awan lunga blanja nang Pasar Nasib parikan sungguh memilukan. Jika paing memang demikian, di manakah masih Siangsiang pergi belanja ke Pasar dapat didengar gaung sayup tradisi lisan Paing itu sekarang? Parikan dalam kemasan Prawan randha buatku ora pati penting Perawan janda, buatku, tidak jadi media elektronik (TV, radio, CD), akhir masalah nya, harus diakui sebagai penentu eksis Nyang Semarang, Mas, lunga blanja tensi produk tradisi lisan Jawa ini—seti tuku anting-anting daknya hingga hari ini. Adapun komuni Ke Semarang, mas, pergi belanja beli tas yang masih mempertahankan parikan antinganting sebagai tradisi lisan benarbenar seperti Aja sumelang, biar randha dijamin di era Kelisanan Primer adalah komuni kempling tas pesantren (Mun’im, 2000). Jangan khawatir, biarpun janda djamin masih padatseksi

193 (14) Jambu alas kulite ijo ringkat pertama dalam selera estetis me Jambu hutan kulitnya hijau reka. Berkat loyalitas mereka, tradisi li Sing digagas wis duwe bojo san parikan mampu bersaing di tengah Yang ditaksir sudah bersuami tengah massa individualis perkotaan Jambu alas, Nduk, manis rasane yang sudah terkooptasi secara bulat ke Jambu hutan, Nduk, manis rasanya dalam budaya pop modern dan budaya Najan tilas, tak enteni randhane Biarpun bekas, kutunggu jandanya massa—kecuali di radio—yang tentu ti dak pernah memberi ruang bagi kebera Ruang gerak mereka sudah menem daan parikan . Di pundak komunitas Ja bus batasbatas geografis negara. Mereka wa urban inilah obsesi melestarikan pa- tidak hanya merambah Surabaya, Me rikan dapat diharapkan (cf. Syah, 2008). dan, Jakarta, Bali, tetapi juga Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Saudi Arabia (15) Ana tembok pating cloneh Ada tembok berlepotan sebagai TKI ”pendulang devisa” (cf. Jarene kapok kok njaluk maneh Soemantri, 2005). Di kampkamp kerja Katanya jera, kok minta lagi proyek bangunan di Kuala Lumpur, mi salnya, mereka (terutama lelaki) tetap (16) Klambi ireng bolong pas tengah memutar CDVCD campursari dan ki- Baju hitam berlubang pas di tengah dungan jula-juli . Guyonan jula-juli Timbang nginceng, mlebuwa ngomah Kirun, lagulagu campursari Manthous, Ketimbang mengintip, masuklah ke Didik Kempot, Sony Joss, Mat Dikin, rumah misalnya, dengan mudah dapat ditemu kan. Jarak yang relatif jauh dari tanah Radio harus disebut secara khusus kelahiran tidak membuat mereka jauh sebab di forum inilah parikan dalam ke dari selera estetisetnik macam parikan masan kapitalisme media siang malam dalam campursari dan jula-juli . Mereka “melisankan” dirinya. Dalam rubrik pro memang menyukai beberapa lagu pop grama lagulagu dangdut, tembang cam- Malaysia dan Barat yang kebetulan se pursari , dan gendhing Jawa pilihan pen dang hit , tetapi mereka tetap lebih akrab dengar, parikan tidak pernah mati. Bah menikmati jula-juli ludruk , gendhing kan, penyiarnya pun ikutikutan ber pa- tayub , dan lagu campursari . Begitu juga rikan untuk membalas pendengar yang cara berbusana, berbahasa, selera ma memancing dan terpancing ber parikan . kan—pendeknya gaya hidup. Sekalipun Siaran ini langsung sehingga atmosfer perimbangan serapan antarbudaya tidak kelisanan naturalnya benarbenar tera merata, mereka, bagaimanapun, sudah sa—minus kontak langsung. Harus dika larut ke dalam komunitas transkultural takan di sini bahwa kualitas estetis pa- (Ridzi, 2008). rikan rekacipta para pendengar ini tidak Perkembangan dinamis lagulagu merata. Ada yang pola persajakannya ti campursari —tentu saja termasuk parik- dak tepat, ada yang jumlah ketukan suku an —dengan sendirinya mereka ikuti. katanya terlalu berlebihan, ada pula yang Mereka tidak pernah terasing dari akar suasana lucunya hambar, dst. Radiora budaya. Ruparupanya predikat ekspatri dio swasta (FM, MW) di semua kota di at yang mereka sandang tidak dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur mayoritas sendirinya mengubahnya menjadi berse memiliki programa yang didominasi pa- lera global (cf. Heryanto, 2000). Loyali rikan dan mendapat dukungan iklan. tasnya pada parikan terasa lebih kuat. Selanjutnya, seperti disebut di mu Oleh karena itu, parikan (13) dan (14), ka, komunitas yang hingga sekarang te juga parikan jula-juli (15) dan parikan tap loyal pada parikan adalah pesantren. langen tayub (16) tetap menduduki pe Dalam komunitas Nahdhatul ’Ulama

194 (NU) ini parikan muncul dalam kemasan an . Karena parikan muncul tidak alami, pujian , semacam syair pujipujian kepa tidak langsung muncul dalam latar natu da Allah (cf. Muzakka, 2010), yang di ral komunikasi intim seharihari di te lantunkan setelah azan duhur, asar, dan ngah masyarakat desa Jawa, banyak un magrib sebelum salat berjamaah dimulai. sur yang hilang, seperti unsur spontani Bahasanya bahasa Arab bercampur ba tas, interpolasi, keterlibatan rasa (emosi) hasa Jawa ngoko dan krama . Dalam ke dalam interaksi partisipatoris antarpenik masan parikan , pesanpesan pujian tera mat. Oleh karena itu, sebenarnya telah sa lebih menarik, jenaka, dan komuni terjadi pergeseran dan dinamika sebuah katif (Mun’im, 2000), seperti contoh (17, era. Mereka tidak lagi terlibat mesra da 18). lam jaringjaring komunikasi lisan pri mer, tetapi sudah menembus batasbatas (17) Anak kodhok aja dibanting komunikasi lisan sekunder (cf. Ong, Anak katak jangan dibating 1977; Derk, 1998). Parikan sebagai me Malah-malah ingonana dia komunikasi alami lisan sudah lenyap, Malahan berilah makan digantikan oleh parikan dalam kemasan Anak menyang pondhok aja dipenging teknologi media. Anak ke pondok pesantren jangan dilarang Malah-malah sangonana Budaya massa (termasuk di dalam Malahan berilah bekal nya yang dikemas dalam media) tak per nah menerima mitos sebab ia berwatak (18) Maghrib-maghrib dimare mati membongkar mitos dengan logika pang Saat maghrib lampunya padam Lampu- sa pasar dan diversifikasi produk. Ia de lampu sumetana ngan amat yakin bertindak sebagai pem Lampulampu nyalakanlah bentuk selera publik. Biarpun begitu, te Kabeh wong urip bakale mati tap saja, telah terjadi pergeseran serius— Semua orang hidup akan mati Mumpung durung, enggal shalata untuk tidak menyebut revolusi—karena Mumpung belum mati, segera shalatlah sebetulnya dengan munculnya parikan dalam kemasan media elektronik terse Parikan nasihat dalam komunitas but, yang terjadi adalah regenerasi dan pesantren bernuansa religius. Isinya revitalisasi performasi parikan dalam hampir selalu berkenaan dengan ajakan Era Kelisanan Sekunder. Regenerasi pa- meningkatkan ketakwaan kepada Allah rikan seakan bangkit kembali dari masa Swt., lewat berbagai tindakan ibadah lalu yang pernah jaya. Parikan juga me konkret, misalnya mempelajari Alquran ngalami revitalisasi sebab eksistensinya: dan menjalankan salat fardu. (cf. semakin dimantapkan lewat dokumentasi Muzakka, 2010). Dalam komunitas pe media teknologi canggih. santren, masjid, surau, dan langgar , pa- Masih layakkah parikan dalam ke rikan nasihat seperti ini menggema lewat masan VCD disebut tradisi budaya rak pelantunan pujian dolanan dengan baha yat? Karena dikemas luks, diproduksi sa sederhana serta pendayagunaan energi massal, dijual dan diiklankan sebagai ko estetis parikan (Mun’im, 2000). Dalam moditas masyarakat yang berada dalam ceramah agama di pengajian pun, parik- jargon hukum ekonomi kapitalisme (cf. an dimunculkan oleh penceramah seba Heryanto, 2000), parikan lebih tepat di gai penarik perhatian pengunjung. klasifikasikan ke dalam produk budaya massa atau budaya populer. Regenerasi-Revitalisasi dalam Era Ke- Di kota, VCD campursari yang me lisanan Sekunder ngobral parikan mudah ditemukan dan Sekarang di era Kelisanan Sekunder, murah. Siapakah pembelinya? Biasanya tentu saja ada yang berubah pada parik- komunitas urban yang berasal dari da

195 erahdaerah. Di samping itu, banyak ra Parikan (19) dan (20) bertendensi dio swasta yang memiliki programa porno; mereka yang paham bahasa Jawa campursari sehingga parikan lestari. Pa ngoko dapat merasakan aroma jorok ter ra pemirsa yang aktif di acara semacam sebut. Frase kon ... njaba (19) dan tem ... ini pada umumnya juga massa urban dari bak saja (20) sesungguhnya memang di daerahdaerah. Oleh karena itu, selera rancang secara nakal untuk diasosiasikan estetik masa urban sesungguhnya turut pada penis dan vagina (dalam Jawa melestarikan tradisi lisan parikan —wa ngoko memang berawal dengan suku ka lau sudah bergeser ke era kelisanan se ta kon dan tem) , sedangkan parikan (21) kunder, bukan primer lagi. sengaja mengecoh pendengar sebab itu Di Kota Surabaya, misalnya, komu ternyata bukan parikan , melainkan tutur nitas urban tersebut bekerja sebagai kuli an biasa. bangunan, PKL, buruh pabrik, atau pe Kedua, parikan juga sangat serius gawai swasta. Mereka tinggal di kon dimanfaatkan sebagai media iklan resmi trakan yang diisi 2—3 keluarga. Untuk layanan masyarakat (ILM) dan kritik ter komunitas Surabaya, misalnya, radio hadap ketimpangan sosial dan kesewe swasta MTBFM, ElVictor FM, Cakra nangan penguasa. Pada fungsi ini, pa- walaFM, Arumdalu FM, Media FM, rikan hadir sebagai produk kapitalisme RRI Surabaya, dan Kota FM akrab di te cetak ( print capitalism ) (Ong, 1983; cf. linga mereka. Di samping itu, mereka ju Finnegan, 1992). Di Surabaya, misalnya, ga mengoleksi beberapa keping VCD lembaga yang banyak memberdayakan DVD campursari dan menyukai parikan . parikan sebagai media iklan adalah ke polisian, koran, dan partai politik. Jawa Parikan : Pelesetan & Serius Pos dan Radar Surabaya , misalnya, turut Di antara sisasisa parikan yang masih menghidupi tradisi lisan parikan ini. Se terlontar, ada catatan yang layak diberi tiap menjelang Idul Fitri, Jawa Pos se kan. Pertama, fenomena parikan peleset lama tiga hari berturutturut memasang an, yang terkesan tidak serius, sebagai parikan ucapan selamat lebaran dari para penolakan terselubung terhadap kekaku pembaca; Radar Surabaya sejak 2001 ketatan norma tradisi parikan (cf. selalu hadir dengan rubrik pojok ber Roesmiati, 2006). Parikan sengaja dipe nama “ Parikan ”, sedangkan PKS, PKB, lesetkan demi kesopanan dan kelepasbe dan PAN adalah parpol yang cukup jeli basan dari keketatan norma sastra. memanfaatkan parikan sebagai media pemasaran politiknya ( political market- (19) Kayu sakbonggole ing ). Ini mengherankan sebab bukankah Kayu sekalian pangkalnya PKS dan PAN berbasis Islam modern— Simbah turu ketok kon ... njaba.. konstituennya Muhammadiyah, yang se Kakek tidur kelihatan dari ... luar) lama ini “mengharamkan” parikan . (Jupriono et al., 2001) Yang juga ganjil, mengapa PDIP, yang jelasjelas berideologi nasionalisme se (20) Ana pelem dirubung kepik kuler 7, tampak tidak menyentuh parikan Ada mangga dikerumuni kepik (serangga kutu) sebagai media komunikasi politiknya? Klecam-klecem ngrogoh tem ... bak saja Tidak ketinggalan, Polda Jatim dan Pol Cengarcengir merogoh tem ... bak saja res Surabaya, misalnya, pun turut meles tarikan parikan untuk ILM sekaligus (21) Pasa-pasa adan maghrib propaganda institusi, pada spanduk Saat puasa, (terdengar) adzan maghrib spanduk di jalan raya. Perhatikan contoh Ya buka, Rek ... (22) dan (23). Ya buka puasa, Rek ...

196 (22) Tuku jamu nang Saradan Kalau sudah tua, burungnya bengkok Beli jamu ke Saradan (Jupriono, 2009) Patuhi rambu-rambu keselamatan Patuhi ramburambu keselamatan Para penonton serentak bersorak dan beberapa di antaranya bersuit saat (23) Ngejak pacar nang Pasar Turi mendengar kritik dagelan terhadap kese Mengajak pacar ke Pasar Turi wenangan pejabat tersebut. Tepuk Pengin lancar ya kudu gelem antri tangan dan suitan ditafsirkan sebagai Ingin lancar ya harus mau antre “setuju”; pelawak dan penonton sama Di mana peran ludruk ? Ternyata, sama mengekspresikan sikap antinya ter fungsi kritik atas ketimpangan sosial dan hadap pejabat korup. Dalam ranah ini, kesewenangan penguasa dimainkan oleh Era Kelisanan Primer bertahan—atau bi kidungan jula-juli . Dalam kesepiannya sa juga dianggap reinkarnasi (Finnegan, di tengahtengah masyarakat kota, pentas 1992)—di tengahtengah bombardir ludruk juga amat garang melancarkan radio dan televisi swasta. kritik sosial (Roesmiati, 2006) secara lu gas vulgar—sesuatu yang tidak lazim di SIMPULAN masa Orde Baru berkuasa (1966—1998). Sastra lisan parikan termarginalisasikan Meskipun berbeda jauh dengan dahulu dari masyarakatnya di Jawa Timur dan (1970—1990), masih dapat ditemui pen Jawa Tengah karena (a) habitat tempat tas ludruk dalam hajatan di desa (Mojo munculnya parikan tergusur; (b) melim kerto, Jombang, Probolinggo, Malang). pahnya acara pop di media elektronik Beberapa parikan dikutip di sini: (24), TV; (c) hilangnya budaya sindiran; (d) (25), (26). tergusurnya lembah lokalisasi; (e) makin berkurangnya jumlah penjual jamu dan (24) Tuku kupat nang Banyuwangi para pedagang keliling berlayar tancap; Beli ke Banyuwangi (f) lenyapnya budaya cangkrukan/ja- Jelas iku kadohan gongan . Meskipun demikian, ada dua Jelas itu terlalu jauh komunitas yang tetap melestarikan pa- Dadi pejabat kok korupsi rikan , yaitu komunitas pesantren, yang Jadi pejabat kok korupsi tetap mempertahankan parikan sebagai Iku ngono jenenge bajingan produk Kelisanan Primer, dan masyara Kalau Itu namanya penjahat kat Jawa pedesaan serta komunitas urban etnis Jawa, yang melestarikan parikan (25) Kupat aja digawe bubur sebagai produk Kelisanan Sekunder da Ketupat jangan dibuat menjadi bubur lam kemasan media elektronik. Di antara Nek digawe bubur, rasane sepa parikan yang masih tersisa, terdapat pa- Kalau dibuat bubur, rasanya hambar Dadi pejabat kudu sing jujur rikan pelesetan, yang hanya mainmain Menjadi pejabat harus jujur oleh dagelan ludruk , dan parikan serius, Nek gak jujur, dadi intipe neraka sebagai media iklan resmi layanan ma Kalau tak jujur, jadi keraknya neraka syarakat oleh kepolisian, parpol, perusa haan, dan media massa, serta kritik so (26) Kang Parmin gak nggawe katok sial terhadap ketimpangan keadaan dan Kang Parmin tak pakai celana pendek kesewenangan penguasa, juga oleh dage- Katok suwek kecantol pager lan ludruk . Celana robek tersangkut pagar Dadi pemimpin aja senang medok Catatan: Jadi pemimpin jangan suka main 1 Beberapa radio di daerah memasang programa perempuan pembacaan cerita bersambung. Radio RKPD Nek wis tuwek manuke mungker Tulungagung, misalnya, seminggu sekali sejak

197 1977 seminggu sekali pada pukul 21.30— Kartolo cs. (1980an); kasetnya laris. Tokoh 22.30 WIB menyiarkan pembacaan cerita ber ini juga disebutsebut oleh Dukut Imam sambung berbahasa Jawa karya sastrawan Ja Widodo dalam bukunya, Soerabaia Tempo wa, Tamsir A.S. (Tulungagung) atau Esmiet Doeloe (2002:100). Baca juga: Yousri Nur (Banyuwangi) yang terbit di majalah Jaya Raja Agam, “Ludruk dan Asalusulnya”, Baya dan Panjebar Semangat . http://konco-arek.blogspot.com (2009).

2 Contohnya parikan rangkep yang cukup popu 5 Bahwa mereka yang berada di lokalisasi turut ler: suwe ora jamu/ jamu pisan godhonge tela/ berjasa melestarikan parikan , itu bukan hal suwe ora ketemu/ ketemu pisan gawe gela , aneh. Bahkan, sudah terbit kumpulan puisi dan mempunyai beberapa varian interpolasi di geguritan karya para PSK yang berjudul Sete- tengah masyarakat Jawa. Ada yang mengganti tes Air di Lokalisasi (Santosa, 2009). Puisi tanpa mengubah polanya, misalnya: suwe ora dan geguritan dalam buku ini hasil dari Beng jamu/ jamu pisan godhonge kangkung/ suwe kel Sastra Pelatihan BacaTulis Geguritan un ora ketemu/ ketemu pisan njaluk ambung. Ada tuk Perempuan Binaan Lokalisasi Semampir, pula perubahan yang berakibat pada hampir Kediri (2007) dan Pelatihan BacaTulis Gegu- berubahnya status genre nya dari parikan ke ritan dan Puisi untuk Perempuan Binaan Loka syair, misalnya: suwe ora jamu/ jamu pisan lisasi Ngujang, Tulungagung (2008), yang ora suwe/ suwe ora anu/ anu pisan ora suwe . diselenggarakan oleh Balai Bahasa Surabaya. Jan Harold Brunvand ( The Study of American Folklore: An Introduction, 1968:4), misalnya, 6 Terjadi salah kaprah yang menyamakan begitu menulis bahwa salah satu ciri folklor (termasuk saja tembang dengan lagu (nyanyian), padahal tradisi sastra lisan) adalah berwujud dalam jelas lain. Tembang adalah puisi dalam kesu banyak versi ( exists in different versions ). sastraan Jawa (juga Sunda dan Bali) yang ter ikat oleh banyaknya baris dalam 1 bait, 3 Mataraman atau Brang Kulon adalah wilayah banyaknya suku kata dalam 1 baris, pola per kultural Jawa yang berbudaya sinkretis Ke sajakan (rima) yang tetap di akhir baris. Tem jawen (Islam Abangan), meliputi kawasan bang diklasifikasikan ke dalam Tembang Ge- baratselatan Provinsi Jawa Timur (dari Ma dhe, Tembang Tengahan, dan Tembang Cilik diun, Ngawi, ke timur sampai Blitar dan Kedi (Macapat) . Macapat dapat berbentuk Dhan- ri) (Supriyanto, 2002), pengabdi Kasultanan dhanggula , Sinom , Asmaradhana , Pangkur , Mataram di bawah Sultan Agung (1613— Durma , Mijil , Kinanti , Maskumambang , Pu- 1645). Wilayah mataraman merupakan pen cung , Gambuh , dan Megatruh . (Sumardjo, dukung drama tradisional Ande-ande . Hingga 1991). Adapun parikan —yang memang bukan 1980an di Blitar, Kediri, Tulungagung, tembang—berada di luar ketiganya. Jika tem Trenggalek, dan Nganjuk, masih dapat disaksi bangtembang umumnya serius, bukan untuk kan pentas Ande-ande . Tidak seberuntung dra kelakar, ketat dengan norma estetis masing ma klasik lain ( ludruk , ketoprak , wayang masing, kosakatanya pun khusus bahasa Jawa orang), Ande-ande tidak pernah ditulis atau di Baru, penuh metafora, maka parikan lebih lu rekam. Pada 1990an tak tersisa satu pun ke gas dan bebas, bahasanya bahasa Jawa Mo lompok Ande-ande ini. dern, bisa untuk kelakar, mengkritik, sehingga bisa sangat jorok dan vulgar. 4 Bagi pecinta ludruk , nama Cak Markeso cukup melegenda dan memiliki arti khusus—di sam 7 Mayoritas konstituen PDIP di Jawa adalah ping Pak Santik, Pak Kibat, Pak Besut, Cak kalangan jelata abangan (“Islam KTP”). Subur Gondo Durasim. Selama kurun 1949—1991, ia di kalangan ini persepsi ideologis bahwa seba mengamen sendirian di jalanan yang khusus gai wong cilik termasuk golongan “nasional” membawakan kidungan gendhing jula-juli dan ruang ideologispolitis paling cocok untuk yang sarat dengan parikan ciptaan sendiri dari golongan nasional adalah PDIP (cf. Budi, rumah ke rumah, kantorkantor kelurahan, dan 2004). Realitas persepsional ini mestinya su juga kompleks lokalisasi. Ia nggandhang dah dibaca oleh para petinggi PDIP. Dengan (menyanyi) secara garingan , maksudnya tanpa demikian, dalam menjalin komunikasi politis iringan gamelan, atau gamelannya ya mulutnya dengan massa konstituennya, para petinggi sendiri ( acapella ) di selasela syair dan parik- PDIP mestinya mendayagunakan energi tradisi an julajulinya. Wilayah ngamennya sepanjang lisan parikan . jalan di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Kediri, Tu lungagung, Blitar, dan Malang. Cak Markesa pernah diajak masuk dapur rekaman oleh Cak

198 DAFTAR PUSTAKA Hadiwibowo, G. 2001. “Melestarikan Ludruk yang Terpinggirkan”. Sura- Abdullah, M.Z. 2006. “Matinya Lu baya Post, 28092001. druk”. Kompas , 18 Maret 2006: D. Heryanto, A. 2000. “Dari Budaya Pop ke Agam, Yousri Nur Raja. 2009. “Ludruk Kajian Budaya”. Kertas Kerja Se- dan Asalusulnya”, http://konco- minar Nasional Kajian Budaya dan arek.blogspot.com : diunduh: 2 Sastra , Univ. Petra Surabaya, 23 Januari 2010. 112000. Alfian. 1994. “Jargon Pelacur di Lokali Hooykaas, C. 1951. Perintis Sastera . sasi Kalisari Malang”. Laporan Pe- Terj. Raihoel Amar Gl. Datoek nelitian, JPBSI, FPBS, IKIP Ma Besar. Djakarta: J.B. Wolters— lang. Groningen. Anderson, B.R'OG. 1990. ”Sembah Hutomo, S.S. 1991. Mutiara yang Terlu- Sumpah the Politics of Language pakan: Pengantar Studi Sastra Li- and Javanese Culture”. Dalam hal. san . Surabaya: Hiski Jatim. 194—237, Language and Power . Hutomo, S.S. & Pudentia M.P.S.S. 1993. Ithaca: Cornell Univ. Press. Pantun Kentrung . Jakarta: Yayasan Austin, T. 1994. Poetic Voices: Dis- Obor Indonesia. course Linguistics and the Poetic Junus, Umar. 2007. ”Pantun, Ajip, dan Text . London: The University of Kita”. Resensi Buku Pantun Anak Alabama Press. Ayam Karya Ajip Rosidi (2006)”. Brunvand, J.B. 1968. The Study of Ame- Atavisme Vol. 10, Ed. Juli—De rican Folklore: An Introduction . sember 2007: 107—113. New York: W.W. Norton & Co. Jupriono, D., A. Andayani, S. Inc. Mansurudin. 2001. ”Sastra Lisan Budi, Eko S. 2004. “Disparitas Politik Parikan : Analisis Fungsi Parikan Aliran dalam Pilpres”. bagi Setiap Komunitasnya di Jawa www.arsip.net/id/link.php ; diunduh Timur”. FSU in the Limelight 8(1) 4 Januari 2010. Juli 2001: 39—51. Dananjaya, James. 1984. Folklor Indo- Jupriono, D. 2009. “Puisi Parikan pada nesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dll . Ja JulaJuli Ludruk dalam Perspektif karta: PT Grafiti Pers. Marxian Zima”. Parafrase 8(1) Fe Derks, W. 1994. The Feast of Story- bruari 2009: 18—25. http://sastra- telling: On Malay Oral Tradition . bahasa.blogspot.com ; diunduh 3 Ja Leiden: RUL nuari 2010. _____. 1998. ”Pengarang Indonesia se Jupriono, D. 2010. “Revitalization of bagai Tukang Sastra”. Kalam 11, Parikan Oral Tradition in Second 1998: 90—100. ary Orality Era (Revitalisasi Tradisi Emeis, M.G. 1949. Bunga Rampai Mela- Lisan Parikan dalam Era Kelisanan ju Kuno (Bloemlezing Uit Het Klas- Sekunder)”. Makalah The 2 nd Inter- siek Maleis) . Djakarta—JB Wolters: national Symposium on Urban Stu- Groningen. dies: Arts, Culture and History , FIB Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Li- Unair, 23012010. san Jawa. Yogyakarta: Narasi. Latief, A. 2000. “Ludruk Surabaya, Hi Finnegan, R. 1992. Oral Traditions and dup Segan, Mati Pun Enggan”. the Verbal Arts. London: Routledge. Kompas , 8 November 2000. Foley, J.M. 1986. Oral Tradition in Lite- Mohamad, Goenawan. 1996. “Sastra rature: Interpretation in Context . ‘Pasemon’: Pergumulan Bawah Sa London: Cambridge UP. dar Bahasa dan Kuasa”. Hal. 307—

199 317 dlm. Y. Latif & I.S. Ibrahim Saputra, Karsono H. 2003. “Kawruh Ba (ed.), Bahasa dan Kekuasaan . Ban sa: Istilahistilah dalam Sastra dung: Mizan. Jawa”. www.jawapalace. Mun’im D.Z., Abdul. 2000. “Benci Tapi org/kawruh_basa.htm ; diunduh 20 Rindu: Pujian sebagai Sarana Eks Desember 2008. presi Kultural”. Gerbang 7(3) Subagyo. 1992. Parikan Jawa Puisi Mei—Juli 2000: 81—113. Abadi . Jakarta Selatan: Garda Pusta Muzakka, Moh. 2010. “Tradisi Lisan Pe ka. santren dan Pemberdayaan Politik Sudikan, Setya Yuwana 1996. “Sastra Kaum Santri”. Jawa Modern: Siapa Peduli?” Su- http://staff.undip.ac.id/sastra/muzak rabaya Post , 20 Oktober 1996. ka/2010/01/28/tradisi-lisan-pesan- Sumantri,, A.S. 2005. “Fenomena Buda tren ; diunduh 20 April 2010 ya: Produk Transkultural itu Berna Ong, W.J. 1977. Interfaces of the World . ma Buruh Migran”. Kompas , 17 Ithaca, N.Y.: Cornell University September 2005: 13. Press. Sumardjo, J. 1991. “Tembang”. Ensiklo- _____. 1983. Orality and Literacy: The pedi Nasional Indonesia Jilid 16: Technologizing of The Word . New 214—215. Jakarta: PT Cipta Adi York: Methuen. Pustaka. Poerbowati, Endang. 2007. ”Sarip Supriyanto, H. 1992. Lakon Ludruk Ja- Tambakasa: Sebuah Analisis Fungsi wa Timur . Jakarta: PT Gramedia. Folklor”. Parafrase 7(1) Februari _____. 2002. “Wacana Sosial Budaya 2007: 66—77. Masyarakat Jawa Timur: Eksistensi Quinn, G. 1998. “The Case of the Invi Budaya Jawa dalam Keberagaman”. sible Literature: Power, Scholarship, Makalah Seminar Nasional Kebuda- and Contemporary Javanese Wri yaan Jawa , Surabaya, 29 Agustus ting”. Indonesia 35, April 1998: 1— 2002. 36 Suseno, Franz Magnis. 1996. Etika Ja- Ras, J.J. (ed.). 1985. Bunga Rampai Sas- wa . Jakarta: PT Gramedia Pustaka tra Jawa Mutakhir . Jakarta: Grafiti Utama. Press. Sutarto, Ayu. 2004. Menguak Pergumul- Ridzki, Adzwari. 2008. ”Gaya Hidup an Seni, Politik, Islam, dan Indo- Masyarakat Urban”. nesia . Jember: Kompyawisda. www.google.co.id/search?hl=id&so Stolk, Benjamin A. & R.S. Shannon. urce ; diunduh 25 Desember 2009. 1976. Oral Literature . Michigan: Roesmiati, Dian. 2006. “ Parikan dalam The University of Michigan. Ludruk Jawa Timur: Kajian Fungsi Syah, I. 2008. “Sastra Urban dan Pro dan Makna”. Atavisme 1(1): 29— blem Manusia Urban”. 48. http://koran.republika.co.id ; diun Roqib, M. 2007. Harmoni dalam Budaya duh 27 Desember 2009. Jawa . Jogjakarta: Pustaka pelajar. Sweeney, A. 1987. A Full Hearing: Santosa, Anang et al. (ed.). 2009. Setetes Orality and Literacy in the Malay Air di Lokalisasi: Antologi Puisi World . Berkeley, L.A.: University dan Geguritan . Surabaya: Balai Ba of California Press. hasa Surabaya, Pusat Bahasa, Dep Widodo, Dukut Imam. 2002. Soerabaia diknas. Tempo Doeloe . Surabaya: Pemkot Surabaya.

200