AKSI KEKERASAN WESTERLING DI KOTA (1945-1946)

Skripsi Sarjana

Dikerjakan

O

L

E

H

NAMA : YANDI SYAPUTRA HASIBUAN

NIM : 170706007

PROGAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021

i

Universitas Sumatera Utara ii

Universitas Sumatera Utara iii

Universitas Sumatera Utara iv

Universitas Sumatera Utara v

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil Alamin, penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkah dan ridho-Nya segala sesuatu dapat diselesaikan. penulis sebagai calon peneliti dan sejarahwan di masa depan telah menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Sholawat dan Salam kepada ruh junjungan alam Nabi Muhammad

Saw, mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafaat-Nya di hari kemudian nanti.

Skripsi ini penulis ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Sastra di Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera

Utara. Dalam kesempatan ini Saya mengangkat judul skripsi “AKSI KEKERASAN

WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946).”

Skripsi ini masih jauh dari kata “sempurna”, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas segala perhatiannya, semoga tulisan ini dapat diperbaharui lagi dan dapat dibaca oleh berbagai kalangan serta menambah khazanah pengetahuan sejarah kita untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah.

Demikian, semoga rahmat Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai kita semua.

Medan, Februari 2021 Penulis

Yandi Syaputra Hasibuan 170706007

i

Universitas Sumatera Utara UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas motivasi, bantuan, kritik, saran, dan doa dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak. Ucapan terimakasih ini penulis haturkan kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M. S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara, beserta para Wakil Dekan dan seluruh staf atas

bantuan dan fasilitas yang Saya peroleh selama menempuh pendidikan di Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M. Hum, selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing

skripsi penulis. Selama bimbingan skripsi, beliau telah banyak memberikan

waktu, nasihat, kritik, dan saran yang sangat memotivasi penulis untuk

menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Nina Karina, M. SP, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Sejarah,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Junita Setiana Ginting, M. Si, selaku Dosen Penasehat Akademik

penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Beliau tidak kunjung henti dalam

memotivasi penulis untuk tetap serius selama menempuh bangku pendidikan.

ii

Universitas Sumatera Utara 5. Kepada seluruh Dosen Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan sepenuh hati ilmu pengetahuan, wawasan, motivasi, nasihat dan pengalaman selama penulis menempuh bangku pendidikan, serta Pak Ampera selaku pegawai administratif yang telah banyak membantu dalam urusan administrasi, kiranya tanpa beliau penelitian skripsi ini tidak akan berjalan sebagaimana semestinya.

6. Skripsi ini penulis persembahkan kepada orangtua tercinta Bapak Almarhum

H. Bakhtaruddin Hasibuan dan Ibu Hj. Sari Bulan Hasibuan tanpa mereka studi ini tidak akan terselesaikan sebagaimana semestinya.

7. Abang-abang dan Kakak-kakak penulis, Rizal Saqdi Hasibuan, Muhammad

Hanafi Hasibuan, Emil Salim Hasibuan, Armin Iskandar Hasibuan, Siti Arifah

Hasibuan, dan Nur Sakinah Hasibuan. Merekalah anggota keluarga penulis, dalam ranah pendidikan mereka tidak kunjung lelah untuk mendorong supaya tetap serius dan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.

8. Mahasiswa Ilmu Sejarah Angkatan 2017, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara, selama pendidikan berlangsung telah memberikan banyak pengalaman berarti dan semoga kita semua nanti tetap abadi dalam kenangan.

9. Minum Kopi Medan, yang telah memberikan banyak fasilitas selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

10. Abang Syaifuddin Ansori Nasution dan Kakak Rizky Hayati Siregar, selama menempuh pendidikan merekalah yang menjadi wali penulis di rantau orang ini di kala jauh dari orangtua tercinta.

iii

Universitas Sumatera Utara 11. Sahabat Saya Rahmad Yamin Harahap, dialah yang mengarahkan penulis bagaimana menghadapi tantangan di kala jauh dengan orangtua dan untuk terus bersemangat dalam menyelesaikan studi.

Akhir kata penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang terlibat

secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitan dan penulisan skripsi

ini. Semoga kebaikan selalu menyertai kita semua, Amin.

Medan, Februari 2021

Penulis

Yandi Syaputra Hasibuan

170706007

iv

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i

UCAPAN TERIMAKASIH...... ii

DAFTAR ISI ...... v

DAFTAR PETA ...... vii

DAFTAR GAMBAR ...... vii

ABSTRAK ...... viii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 9 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9 1.4 Tinjauan Pustaka ...... 11 1.5 Metode Penelitian ...... 14

BAB II KOTA MEDAN SEBELUM AKSI KEKERASAN WESTERLING (1945-1946) ...... 18

2.1 Masa Pendudukan Jepang ...... 19

2.2 Peralihan Kekuasaan Jepang Kepada Republik Indonesia...... 30

2.3 Kota Medan Awal Kemerdekaan ...... 38

BAB III LATAR BELAKANG AKSI KEKERASAN WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946) ...... 47

3.1 Obsesi Menjadi Seorang Militer ...... 48

3.2 Mengintegrasikan Bekas Jajahan ...... 56

v

Universitas Sumatera Utara 3.3 Dari Kolombo ke Kota Medan ...... 58

3.4 Pembebasan Tawanan Perang ...... 67

BAB IV AKSI-AKSI KEKERASAN WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946) ...... 77

4.1 Dua Tembakan di Jalan Bali ...... 78

4.2 Mencari Tarigan ...... 88

4.3 Kepala di Trotoar Masjid Sultan Deli ...... 94

4.4 Pembentukan Pasukan Teror Pao An Tui (PAT) ...... 100

BAB V DAMPAK AKSI KEKERASAN WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946) ...... `107

5.1 Westerling Meninggalkan Kota Medan ...... 107

5.2 Dampak Aksi Kekerasan Westerling Bagi Republiken dan Belanda .... 113

BAB VI KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan ...... 117

6.2 Saran ...... 119

DAFTAR PUSTAKA ...... 120

vi

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PETA

Kota Medan 1945 ...... 19

DAFTAR GAMBAR

Pasukan Jepang Mendarat di Tanjung Tiram ...... 21

Raymond Paul Piere Westerling ...... 49

Westerling di “usia senja” ...... 50

Lapangan terbang Polonia Kota Medan tempat yang mana Westerling pertama kali menginjakkan kaki-nya di Indonesia ...... 66

Lapangan terbang Polonia di lihat dari foto udara ...... 67

Salah satu koran Belanda yang menceritakan teror Westerling di Kota Medan ...... 70

Bekas Pension Wilhelmina yang diserbu warga Kota Medan pada Peristiwa Jalan Bali ...... 78

vii

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Aksi Kekerasan Westerling di Kota Medan (1945- 1946).” Sebagai sebuah kajian sejarah, kajian ini termasuk kepada Sejarah Lokal yang erat kaitannya dengan Politik dan Mentalitas. Secara politik, aksi kekerasan yang dilakukan Westerling di Kota Medan merupakan salah satu upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia pada awal kemerdekaan. Didukung pula kondisi psikologis Westerling yang terampil dalam melancarkan aksi-aksi kekerasan.

Kota Medan pada awal kemerdekaan sudah diselimuti aneka ragam kekerasan. Westerling selama berlabuhnya di Kota Medan, terhitung dari tahun 1945 sampai 1946 mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban sebelum Sekutu mendarat. Tetapi, tugas yang diembannya berujung pada teror aksi kekerasan yang turut mewarnai sejumlah kekerasan yang terjadi di Kota Medan. Hal semacam ini juga merupakan upaya Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Atas dasar tersebut Westerling melakukan kontra spionase, operasi senyap, sabotase dan lain-lain yang terus berdampak bagi pihak Republiken dan Belanda hingga ia meninggalkan Kota Medan.

Proses penelitian ini menggunakan Metode Sejarah, diawali dengan menentukan topik. Selanjutnya tahap heuristik (pengumpulan sumber), penulis menggunakan sumber-sumber primer berupa koran, artikel, majalah, dan surat kabar yang dapat diakses melalui situs online, seperti Delpher.nl, Gahetna.nl, dan Library University Leiden KITLV. Lalu menggunakan sumber sekunder berupa buku-buku, diktat, dan jurnal. Sumber-sumber itu kemudian diverifikasi (dikritik), melalui kritik eksternal untuk memperoleh keautentikan sumber dan kritik internal untuk menghasilkan kredibilitas fakta-fakta sejarah. Kemudian, hasil verifikasi tersebut diinterpretasi berupa analisis dan sintesis untuk menghasilkan sebuah narasi sejarah. Terakhir historiografi, merekonstruksi fakta-fakta sejarah yang sudah dikumpulkan.

Kata Kunci: kekerasan, Westerling, Medan (1945-1946), politik, psikologis, keamanan dan ketertiban.

viii

Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Raymond Paul Pierre Westerling1 atau yang sering dikenal dengan Westerling adalah salah satu nama yang begitu melekat pada sejarah bangsa Indonesia, khususnya pada masa revolusi. Hal ini disebabkan Westerling telah banyak melakukan aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyat Indonesia di berbagai wilayah di Indonesia.2 Aksi kekerasan yang paling dikenal adalah di Selatan pada periode 1946-1947 yang menelan korban hingga 3.500 orang.3 Bahkan dalam sumber lain dinyatakan menelan korban mencapai 40.000 orang.4

Setelah selesai dari Sulawesi Selatan, Westerling kembali mengulangi aksi kekerasan di Cikampek daerah Jawa Barat yang semula berpenduduk 35.000 jiwa seolah-olah menjadi kota mati.5 Tahun 1950 Westerling juga membentuk APRA

(Angkatan Perang Ratu Adil) yang bertujuan untuk mengkudeta pemerintahan

1 Petrik Matanasi, 2007, Westerling: Kudeta yang Gagal, Yogyakarta: Media Pressindo, hal. 13. Westerling adalah seorang tentara komando yang sudah sangat berpengalaman ketika Perang Dunia ke-II meletus. Kedatangannya ke Indonesia pada masa revolusi sudah dirancang oleh Belanda, yakni untuk melatih pasukan khusus atau Depot Special Troepel yang kemudian terlibat dalam kampanye pasifikasi di Sulawesi Selatan pada 1947-1948. 2 Maarten Hidskes, 2018, Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947, Jakarta: YOI, hal. xvi. 3 Remy Limpach, 2019, Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, Jakarta: YOI, hal. 67. 4 Trouw, 27 November 1987, No. 1. 5 Ibid., hal. 31.

1

Universitas Sumatera Utara Soekarno-Hatta sekaligus mempertahankan Negara Pasundan.6 Kudeta Westerling ini dengan cepat direspon oleh pihak Tentara Indonesia sekaligus menggagalkan rencana kudeta. Dengan gagalnya rencana kudeta Westerling, maka berakhir pula aksi kekerasannya di Indonesia.

Westerling lahir di , Turki, pada 31 Agustus 1919 dari pasangan Paul

Westerling dan Sophia Moutzhou. Ia mempunyai kebiasaan yang terbilang „aneh‟ pada anak se-usianya (lima tahun). Jika anak-anak pada usia lima tahun suka menonton televisi dan bermain boneka, ia lebih memilih memelihara ular, tikus dan beberapa kadal di kamarnya. Menginjak usia enam tahun Westerling sangat tertarik pada cerita detektif, terutama yang paling berdarah-darah. Usia tujuh tahun

Westerling sudah mampu menembak, kemudian seiring bertambah usianya membuatnya terobsesi untuk bergabung dengan militer.7

Meletusnya Perang Dunia Kedua menjadi sebuah kesempatan untuk mewujudkan cita-citanya menjadi militer. Pada tahun 1942, di Skotlandia, Westerling mendapatkan pelatihan komando. Tugas utama komando ini adalah melakukan penyusupan ke pertahanan lawan sebelum pasukan dalam jumlah yang lebih besar tiba. Hal ini juga dipraktikkan Westerling di Kota Medan. Saat Perang Dunia Kedua

6 Het Vrij Vlok: Demoratisch-Sosialitisch Dagblad, 27 November 1987, No. 3. 7 Bonnie Triyana, 2019, “Drama Sebabak Lelaki Stambul” dalam (Ed. Hendri F. Isnaeni) Westerling: Aksi Brutal Sang Jagal, Jakarta: Buku Kompas, hal. 4-6.

2

Universitas Sumatera Utara berakhir Westerling diberangkatkan ke Kolombo (Srilangka), sebagai persiapan pendaratan di Kota Medan.8

Westerling mendarat di Kota Medan 14 September 19459 bersama tim penerjun payung10 sebagai kontra spionase dengan tugas menjaga keamanan dan ketertiban serta mengamankan pasukan sekutu yang akan datang menyusul. Pasukan sekutu tiba di Kota Medan pada bulan Oktober 194511, saat mana Proklamasi

Kemerdekaan di Kota Medan baru terlaksana.12 Pasukan sekutu ini dipimpin oleh

Brigadir T.E.D Kelly yang mendarat di Pelabuhan Belawan.13 Aksi-aksi kekerasan selama bulan-bulan pertama pasca-Proklamasi semakin mencekam dan berada di luar kontrol pemerintah. Kota Medan, saat itu seakan-akan menjadi sebuah kota tanpa pimpinan.14 Derasnya arus revolusi melahirkan sentimen asing. Toko-toko Tionghoa di Kota Medan banyak dijarah. Tidak hanya orang-orang Tionghoa saja yang menjadi sasaran, semua yang dianggap pro-Belanda menjadi sasaran amarah rakyat.15

Kendati tugas Westerling selama kurun tahun 1945-1946 sebagai kontra spionase untuk menjaga keamanan dan ketertiban, tetapi, tugas yang diembannya

8 Matanasi, loc.cit., 9 Anthony Reid, 2012, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, Jakarta: Komunitas Bambu, hal. 213. 10 Raymond Westerling, 2011, Challenge to Terror, London: Readbooks, hal. 36.

11 M.C. Ricklefs, 2017, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: UGM Press, hal. 324. George Mc Turnan Kahin, 2013, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, loc.cit.,

12 Suprayitno, 2001, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta: YUI, hal. 53. 13 Ibid., hal. 56. 14 Mestika Zed, 2010, “Kasus Sumatera Timur”, dalam (Ed. Taufik Abdullah) Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, hal. 281. 15 Anthony Reid, op.cit., hal. 215.

3

Universitas Sumatera Utara berujung pada teror aksi kekerasan di Kota Medan. Ia pernah memenggal kepala seorang pemuda Indonesia yang dianggap ikut membuat kekacauan di Kota Medan, dan meletakkan kepala yang sudah dipenggal tersebut di trotoar Masjid Sultan Deli.16

Aksi lain kekerasan Westerling adalah memotong leher seorang gerilyawan yang bernama Tarigan. Pihak Inggris yang sudah kewalahan dibuat Tarigan memaksa

Westerling harus turun tangan dan menangkapnya, lalu membunuhnya.17

Westerling yang terkenal kejam pada Oktober 1945 sudah mempunyai pasukan berkekuatan hampir 200 orang dengan persenjataan yang lumayan dan cukup terlatih.18 Pasukan ini mulai menyerbu kamp konsentrasi Jepang Siringo-ringo di Deli untuk membebaskan para tawanan yang pro-Belanda. Selain itu, Westerling juga mengkoordinasikan orang-orang Tionghoa untuk membentuk pasukan teror Poh An

Tui (PAT).19

Pasukan Westerling mulai membuat kekacauan di Kota Medan setelah seorang pedagang bernama Abdul Wahid lewat di depan Pension Wilhelmina yang merupakan markas KNIL pasukan Westerling. Pasukan Westerling menyuruh Wahid agar menelan lencana merah putih yang tersemat di dadanya. Wahin menolak menelannya, hingga akhirnya disiksa. Wahid dapat meloloskan diri dan meminta bantuan kepada para pemuda. Kekacauan pun terjadi yang menewaskan enam orang

16 Maarten Hidskes, op.cit., hal. 71. 17 M.F. Mukhti, op.cit., hal. 25. 18 Anthony Reid, loc.cit., 19 Tim Tempo, 2020, Westerling: Ratu Adil dan Tragedi Pembantaian. Jakarta: Tempo Publishing, hal. 20-21

4

Universitas Sumatera Utara Aceh dan dua orang berkebangsaan Swiss. Di pihak Westerling sendiri tujuh serdadu

KNIL tewas.20 Peristiwa ini dikenal dengan “Peristiwa Jalan Bali”. Setelah semua tugas Westerling selesai di Kota Medan, pada 26 Juli 1946 Westerling meninggalkan

Kota Medan, aksi kekerasan-nya ini kemudian juga berdampak pada pihak Republik dan Belanda.21 Beberapa peristiwa besar yang terjadi di Kota Medan tersebut seringkali dituliskan secara berdiri sendiri tanpa ada faktor keterkaitan dengan

Westerling. Faktanya sejumlah peristiwa tersebut turut diinisiasi ole Westerling sendiri, yang ikut memperkeruh suasana Kota Medan pada awal kemerdekaan.

Dari uraian di atas, penelitian diberi judul “AKSI KEKERASAN

WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946).” Dalam perkembangan penulisan sejarah banyak sekali-kalau tidak sebagian besar-karya sejarah yang dapat digolongkan sebagai sejarah naratif, terutama yang dihasilkan oleh penulisan bukan ahli sejarah. Jenis sejarah ini ditulis tanpa memakai teori dan metodologi.

Dalam melakukan analisis pengkaji memerlukan alat-alat yang dibutuhkan untuk memudahkan analisis itu. Lagi pula, alat-alat analisis itu harus memenuhi syarat-syarat sehingga dapat berfungsi secara operasional; jadi, relevan dan cocok dengan objek yang dianalisis itu.

Langkah yang sangat penting dalam melakukan analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup

20 M.F. Mukhti, op.cit., hal. 22-23.

5

Universitas Sumatera Utara pelbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu. Oleh sebab itu, penulis menggunakan beberapa konsep kekerasan yang relevan pada topik penulisan skripsi ini.22

Berikut beberapa konsep kekerasan menurut para ahli yang digunakan oleh penulis, yakni sebagai berikut:

Robert Paul Wolf mendefenisikan kekerasan dibedakan dari konsep-konsep lain yang bertetangga dengannya, yaitu: kekuasaan (power), kekuatan (force), dan wewenang (authority). Kekuasaan adalah “kemampuan untuk membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan mengenai persoalan-persoalan yang penting bagi masyarakat”, sementara wewenang adalah “hak untuk memerintah dan, berhubungan dengan itu juga, hak untuk dipatuhi”, maka wewenang dapat dimengerti juga sebagai hak untuk melaksanakan kekuasaan.23 Secara sederhana teori kekerasan Robert Paul

Wolf dapat dipahami jika kekuasaan, kekuataan dan wewenang digunakan untuk melakukan sesuatu terhadap individu atau masyarakat, sekalipun dampaknya berupa kekerasan, itu tidak bisa dikatakan sebagai kekerasan.

Galtung dalam analisisnya berjudul “Cultural Violence” mengelompokkan kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu: kekerasan langsung (direct violence) dan kekerasan sturuktural (structural violence). Disebut kekerasan langsung karena terjadi

22 Sartono, Kartodirdjo, 2019. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, hal. 2-3. 23 F. Budi Hardiman, 2018, Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari Bangsa Setan-setan, Radikalisme, Agama, sampai Post-Sekularisme. Yogyakarta: Kanisius, hal. 127-128.

6

Universitas Sumatera Utara langsung dari pelaku ke korbannya, sementara kekerasan sturuktural terjadi dengan mediasi organisasi, sistem atau struktur sosial yang berciri impersonal (terlembaga).24

Teori kekerasan terakhir yang digunakan oleh penulis dikemukakan Prancis

George Sorel, menurutnya kekerasan adalah strategi perjuangan hegemonial dari pihak yang mengalami defisit aset-aset kekuasaan.25

Dari ketiga konsep kekerasan menurut para ahli tersebut dapat ditarik benang merah bahwa konsep kekerasan adalah upaya untuk menundukkan individu atau kelompok agar supaya patuh terhadap aturan-aturan kekuasaan yang telah ditetapkan.

Westerling merupakan seorang militer yang terkenal kejam, ia adalah keturunan Yunani dan Belanda sesuai yang telah dideskripsikan sebelumnya.

Kedatangnnya ke Indonesia dengan tugas kontra spionase, sabotase, menjaga keamanan dan ketertiban. Di Medan, ia memburu para pemuda rakyat yang dianggapnya sebagai kaum-kaum ekstremis yang meresahkan masyarakat setempat.

Sebagai militer yang mendapat pelatihan komando, pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan terkesan tidak diketahui banyak orang (pembunuhan senyap) seperti yang dilakukannya kepada Tarigan.

Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia Kedua khususnya di Kota

Medan mengalami ketidakstabilan. Kondisi Kota Medan awal kemerdekaan tidak terkendali, terjadi penjarahan kepada orang-orang Tionghoa yang dianggap pro-

Ibid.,

7

Universitas Sumatera Utara Belanda. Atas dasar semacam inilah, Westerling bertindak “bak pahlawan” untuk menjaga keamanan dan ketertiban lewat jalan kekerasan. Sebenarnya, pada awal kemerdekaan ketidakstabilan rentan terjadi, seperti di Pematang Siantar, Tebing

Tinggi, dan lain-lain.

Selama kurun tahun 1945-1946 Westerling berada di Kota Medan, itulah sebabnya batasan penelitian ini berada pada kurun tahun tersebut. Tetapi, walaupun ia di Kota Medan kurang dari dua tahun, namun ia berhasil memecah belah rakyat, mengintimidasi, dan memperkeruh suasana.

Penulisan skripsi ini dimulai deskripsi Kota Medan sebelum aksi kekerasan

Westerling, yang memuat: masa pendudukan Jepang, peralihan kekuasaan Jepang kepada Republik Indonesia, dan Kota Medan awal kemerdekaan. Selanjutnya penjelasan latar belakang aksi kekerasan Westerling di Kota Medan, terdiri dari : obsesi menjadi seorang militer, dari Kolombo ke Kota Medan, Westerling tiba di

Kota Medan, dan pembebasan tawanan perang. Kemudian, deskripsi jalannya aksi kekerasan Westerling di Kota Medan, yaitu: mencari Tarigan, peristiwa Jalan Bali, kepala di trotoar Masjid Sultan Deli, dan pembentukan pasukan teror Pao An Tui.

Selanjutnya penjelasan dampak aksi kekerasan Westerling di Kota Medan, yakni:

Westerling meninggalkan Kota Medan dan dampak aksi kekerasan Westerling bagi

Republik dan Belanda. Terakhir ditutup kesimpulan dan saran.

8

Universitas Sumatera Utara 1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan bagian kunci dalam penelitian. Masalah tersebut dapat diidentifikasikan dalam wujud rumusan masalah yang disusun secara terstruktur sesuai dengan topik penulisan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini ada empat, sebagaimana dinyatakan dalam pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi Kota Medan sebelum aksi kekerasan Westerling (1945-

1946)?

2. Apa latar belakang aksi kekerasan Westerling di Kota Medan (1945-1946)?

3. Bagaimana aksi-aksi kekerasan Westerling di Kota Medan (1945-1946)?

4. Apa dampak aksi kekerasan Westerling di Kota Medan (1945-1946)?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan kondisi Kota Medan sebelum aksi kekerasan Westerling

(1945-1946).

2. Menjelaskan latar belakang aksi kekerasan Westerling di Kota Medan (1945-

1946).

3. Mendeskripsikan aksi-aksi kekerasan Westerling di Kota Medan (1945-1946).

4. Menjelaskan dampak aksi kekerasan Westerling di Kota Medan (1945-1946).

9

Universitas Sumatera Utara Adapun manfaat penulisan ini adalah :

1. Dalam bidang Ilmu Sejarah, penelitian ini kiranya dapat menambah referensi

tentang kiprah Westerling yang banyak melakukan aksi kekerasan di Indonesia

pada periode Perang Kemerdekaan, termasuk di Kota Medan.

2. Penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi mozaik sejarah Sumatera

Utara, khusunya di Kota Medan, pada awal Perang Kemerdekaan di Sumatera

Utara terutama di tahun 1945 dan 1946.

3. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai refleksi untuk masyarakat

agar dapat dijadikan sebagai pelajaran dan dapat diimplementasikan pada

kehidupan sehari-hari, bahwa kekerasan masih sering terjadi di Kota Medan,

penulis menyadari kata “kekerasan” penelitian ini sendiri mempunyai konteks

zaman yang berbeda. Akan tetapi, bukan berarti kekerasan itu tidak dapat

dihentikan dan bersifat absolut, kecuali dengan mempelajari sejarah supaya

lebih arif dan bijaksana untuk menyongsong masa-masa yang akan datang.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penulisan skripsi ini melakukan studi pustaka menggunakan berbagai buku sebagai sumber informasi seputar aksi kekerasan Westerling di Kota Medan. buku- buku ini telah dikumpulkan oleh penulis, setelah diamati mempunyai keterkaitan satu sama lain, Raymond Westerling dalam “Challenge to Terror” (2011) buku ini merupakan memoar Westerling, digunakan untuk mendeskripsikan tentang pengalaman hidupnya dari kecil hingga dewasa. Dalam deskripsinya, terlihat bahwa

10

Universitas Sumatera Utara obsesi menjadi seorang militer itu telah ada sejak ia kecil dan ia mempunyai kepribadian yang berbeda dengan anak-anak seusianya.

T. Luckman Sinar dalam “Sejarah Medan Tempo Doeloe”(2011) buku ini berisi informasi secara singkat masa pendudukan Jepang di Kota Medan dan bentuk- bentuk administrasi yang dibentuknya. Buku ini digunakan untuk mendeskripsikan

Kota Medan pada masa pendudukan Jepang dan sebagai deskripsi awal sebelum

Westerling mendarat di Kota Medan.

Biro Sejarah Prima dalam “Medan Area Mengisi Proklamasi” 1976, buku ini memaparkan perjuangan rakyat dalam mengawal kemerdekaan di Sumatera Utara umumnya dan Kota Medan khususnya, serta membahas seputar aktivitas Westerling sebelum dan sesudah diterjunkan di Kota Medan. Buku ini digunakan untuk menjelaskan aktivitas Brondgeest di Kolombo dan dalam perkembangannya melakukan kerjasama dengan Westerling dalam menebarkan terror kekerasan di Kota

Medan.

Dominique Venner dalam “Westerling De Eenling” (1987), buku ini merupakan biografi Westerling yang terkesan komprehensif. Kajian ini digunakan untuk menjelaskan aksi kekerasannya di Kota Medan berupa sabotase dengan mengadu domba para laskar. Ia juga mempunyai mata-mata di pihak Republik untuk memberikan sejumlah informasi yang akan menjadi sasaran aksi kekerasannya, seperti yang ia lakukan kepada Tarigan. Analisisnya menunjukkan bahwa Westerling terlibat pada peristiwa revolusi sosial 1946.

11

Universitas Sumatera Utara George McTurnan Kahin dalam “Nasionalisme dan Revolusi Indonesia”

(2013), buku digunakan untuk menjelaskan peralihan kekuasaan dari Jepang kepada

Republik dan benih-benih nasionalisme para pemuda yang ditumpahkakan masa revolusi. Sebagai buku babon, buku ini dipakai untuk mendeskripsikan secara umum masa revolusi di Indonesia sebelum masuk pada ranah Kota Medan.

Petrik Matanasi dalam “Westerling: Kudeta yang Gagal” (2007), buku ini sebenarnya berfokus rencana kudeta Westerling untuk menggulingkan pemerintahan

Soekarno-Hatta. Tetapi, buku ini penting digunakan untuk mendeskripsikan karir

Westerling militer pada Perang Dunia Kedua sampai berakhirnya perang. Demikian halnya kedatangan Westerling di Kota Medan dan melatih bekas tawanan perang yang nantinya memperkuat tentara Belanda sebelum NICA mendarat di Indonesia.

Tim Historia dalam “Westerling: Aksi Brutal Sang Jagal” (2019), merupakan kumpulan tulisan tentang kiprah Westerling yang banyak melakukan pembunuhan di

Indonesia, seperti di Sulawesi Selatan, Medan, dan Jawa Barat. Buku menjadi penting untuk memberikan deskripsi awal aksi kekerasan Westerling terhadap seorang gerilyawan Indonesia yang bernama Tarigan. Selain itu, buku ini juga memberi deskripsi cikal-bakal pembentukan Pao An Tui.

Muhammad TWH dalam “Sumatera Utara Bergelora (Kisah-kisah Nyata

Perang Kemerdekaan RI)” (1999) dan “Belanda Gagal Rebut P. Berandan” (1997).

Berisi perjuangan rakyat Sumatera Utara dalam mempertahankan kemerdekaan

Indonesia yang berupa aksi-aksi heroik, seperti Peristiwa Jalan Bali. Buku digunakan

12

Universitas Sumatera Utara untuk memberikan analisis keterlibatan Westerling pada Peristiwa Jalan Bali yang masih jarang diketahui.

Anthony Reid dalam “Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional” (2012), buku ini analisisnya berfokus pada peristiwa revolusi sosial 1946 yang terjadi di

Sumatera Timur. Buku ini digunakan karena juga menjelaskan tugas-tugas

Westerling di Kota Medan, seperti mengamankan pelabuhan untuk pendaratan sekutu, patroli-patroli rutin di Kota Medan, dan mengamankan instalasi-instalasi penting seperti listrik dan persediaan air bersih, serta melakukan kontra spionae terhadap laskar-laskar.

Kemudian, Maarten Hidkses dalam “Di Belanda Tak Seorang Pun

Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947”

(2018) buku ini sebenarnya sebagian besar berisi pembunuhan Westerling di

Sulawesi Selatan dan semacam pembelaan kepadanya. Bahwa pembunuhan di

Sulawesi Selatan tidak sepenuhnya dibebankan di pundak Westerling. Selain itu, buku ini juga menyinggung sedikit pembunuhannya di Kota Medan. Buku digunakan untuk mendeskripsikan salah satu aksi kekerasan Westerling pada peristiwa pemenggalan kepala seorang pemuda Indonesia dan meletakkannya di trotoar Masjid

Sultan Deli sekaligus proses Westerling meninggalkan Kota Medan.

Veer, A.L. van der. dalam “The Pao An Tui in Medan” (2013) dan

“Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960” (2018) oleh

Nasrul Hamdani. Kedua buku tersebut menjelaskan pasang surut masyarakat

Tionghoa di Kota Medan dari zaman kolonial hingga kemerdekaan. Buku ini

13

Universitas Sumatera Utara digunakan untuk menjelaskan proses terbentuknya Pao An Tui (Tentara Cina) awal kemerdekaan Indonesia yang dikoordinasikan oleh Westerling.

1.5 Metode Penelitian

Kuntowijoyo dalam “Pengantar Ilmu Sejarah” menjelaskan ada lima tahap penelitian sejarah, yaitu: pemilihan topik, heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.26

Pemilihan topik merupakan langkah awal untuk menulis sejarah, dengan menentukan topik berarti kita sudah mengetahui peristiwa sejarah seperti apa yang ingin dikaji.

Heuristik merupakan langkah kedua yang dilakukan penulis berupa penelusuran sumber-sumber yang berhubungan dengan aksi kekerasan Westerling di

Kota Medan (1945-1946). Penulis melakukan studi pustaka dengan mengunjungi beberapa perpustakaan di Kota Medan, yaitu: perpustakaan Universitas Sumatera

Utara di sana penulis mendapatkan buku-buku antara lain: “Sumatera Utara” (1957),

“Sejarah Perkembangan Daerah Propinsi Tingkat 1 Sumatera Utara” (1993), dan

“Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara” (tanpa tahun). Di perpustakaan

Tengku Luckman Sinar penulis mendapatkan buku-buku yang telah dijadikan sebagai referensi, yaitu: “Belanda Gagal Rebut P. Berandan” (1997), “Sumatera Utara

Bergelora: Kisah-kisah Nyata Perang Kemerdekaan RI” (1999), “Perjuangan

Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra” (1987), “Medan Area

Mengisi Proklamasi” (1976), “Sejarah Medan Tempo Doeloe” (2011), dan “Tan

26 Kuntowijoyo, 2013, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 69.

14

Universitas Sumatera Utara Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1” (2018). Di perpustakaan Kota

Medan penulis mendapatkan buku-buku juga sebagai bahan informasi penulisan skripsi ini, yakni: “Jihad Akbar di Medan Area” (1990), “Gyugun: Cikal Bakal

Tentara Nasional Indonesia (2005), “Revolusi, Diplomasi, Diaspora Indonesia

Tiongkok dan Etnik Tionghoa” (2019), “Runtuhnya Hindia Belanda” (1987), dan

“Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan” (2015). Di perpustakaan dan arsip daerah Sumatera Utara buku-buku yang didapatkan penulis, yaitu: “Invasi ke

Sumatra” (2019), “Tragedi Westerling” (2014), dan “Revolusi di Nusa Damai”

(1965). Terakhir beberapa koleksi buku pribadi penulis, yaitu: “Westerling De

Eenling” (1987), “Challenge to Terror” (2011), “Westerling: Ratu Adil dan Tragedi

Pembantaian” (2020), “Westerling: Aksi Brutal Sang Jagal” (2019), “Sejarah

Indonesia Modern” (2017), “Nasionalisme dan Revolusi Indonesia” (2013),

“Westerling Kudeta yang Gagal” (2007), “Sang Komandan” (2011), “Di Belanda

Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan

1946-1947” (2018), “Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang

Kemerdekaan Indonesia 1945-1949” (2019), “Sumatera: Revolusi dan Elite

Tradisional” (2012) dan lain-lain. Buku-buku tersebut sudah lama dikumpulkan oleh penulis, terhitung dari bulan Januari 2020 sampai Oktober 2020.

Penulis juga mengakses situs arsip online seperti Delpher.nl untuk mengakses koran-koran berupa: “De Groot, Kolf & Co” (1950), “Deli Courant” (1952), De

Maasbode” (1955), “De Telegraaf” (1956), “De Tijd” (1969), “Leewarder

15

Universitas Sumatera Utara Courant” (1987) “Nederlansche Dagbladpers” (1947), Nieuwsblad van het Noorden,

(1984 dan 1987), “Nieuwe Courant” (1948), “NRC Handelsblad” (1979 1982, dan

1987), “NV De Volksrant” (1950), “Het Vrij Vlok: Demoratisch-Sosialitisch

Dagblad” (1987), dan “Trouw” (1987). Koran-koran tersebut baru memberikan banyak informasi setelah Westerling kembali ke Belanda. Gahetna.nl untuk mengakses foto Westerling dan Bandara Polonia yang mana pertama kali ia menginjakkan kaki di Kota Medan. Leiden University KITLV untuk mengakses peta

Kota Medan. Sebenarnya penulis juga ingin mengunjungi Arsip Nasional Republik

Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan nasional (Perpusnas) untuk mendapatkan sumber-sumber terkait aksi kekerasan Westerling di Kota Medan (1945-1946), agar supaya penulisan skripsi ini lebih baik. Tetapi, pada saat skripsi ini ditulis dunia masih mengalami pandemi (virus corona) termasuk Indonesia, sehingga untuk mengakses data secara langsung ke ANRI dan Perpusnas belum dapat dilakukan penulis. Karena kendala tersebut, maka penulis baru bisa melakukan studi pustaka di

Kota Medan, mengakses situs online, dan menggunakan koleksi buku-buku pribadi penulis.

Tahap ketiga yang telah dilakukan penulis adalah kritik sumber, yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eskternal adalah menyelidiki keautentikan dari luar sumber dengan memahami jenis kertas, bahan kertas, format dan sebagainya.

Selanjutnya kritik internal dengan melihat dan menyelidiki isi sumber yang akan

16

Universitas Sumatera Utara digunakan. Tujuannya untuk mengetahui keabsahan sumber dengan memahami isi, bahasa yang digunakan, situasi di saat penulisan, style, ide dan sebagainya.27

Tahap keempat yang dilakukan penulis adalah interpretasi, di mana penulis telah melakukan analisis yang tentunya nilai-nilai subjektifitas dikurangi dengan cara diseleksi, disusun, diberi atau dikurangi tekanan, dan ditempatkan di dalam suatu macam urutan-urutan kausal.28 Data yang dituliskan sesuai dengan objek yang diteliti setelah dilakukan interpretasi analisis dan sintesis.

Tahap terakhir yaitu historiografi, aspek kronologis sangat penting dalam penulisan sejarah. Penulis ini dalam bentuk deskriptif-analisis sehingga akan ditemukan gambaran yang jelas mengenai aksi kekerasan Westerling di Kota Medan

(1945-1946).

27 Nasir, 1985, Metode Peneltian, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 59-61. 28 Louis Gottschalk, 2015, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, hal. 169.

17

Universitas Sumatera Utara BAB II KOTA MEDAN SEBELUM AKSI KEKERASAN WESTERLING (1945-1946)

Salah satu ciri khas penulisan sejarah tidak langsung membahas inti permasalahan, terlebih dahulu ditarik ke belakang sesuai kurun waktu yang diinginkan oleh penulis. Hal ini dipraktikkan untuk mendapatkan hubungan kausal sebab-akibat terhadap peristiwa yang dikaji. Penulis sendiri mengambil dari periode pendudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada dua faktor, yaitu: pertama, periode sejarah Indonesia yang paling dekat sebelum kemerdekaan adalah masa Jepang dan kedua, situasi masa pendudukan Jepang terus berkelindan pada awal kemerdekaan

Indonesia, setidaknya di Kota Medan29 yang menjadi ruang penelitian ini. Pada bab dua ini berisi deskripsi Masa Pendudukan Jepang, Peralihan Kekuasaan Jepang

Kepada Republik Indonesia, dan Situasi Kota Medan Awal Kemerdekaan.

Pada bab ini, penulis mendeskripsikan masa pendudukan Jepang, disebabkan masa itu terjadi perubahan drastis di masa pendudukannya. Sehingga pada awal kemerdekaan Indonesia, masa pendudukan Jepang tersebut menjadi modal awal untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

29 Kota Medan yang dimaksud di sini adalah Medan yang dipadukan dengan wilayah kesultanan di masa kolonial Belanda. Pada konteks kemerdekaan, tidak ada lagi wilayah kesultanan secara khusus, semua diintegrasikan kepada wilayah Republik yang disebut “Kota Medan.”

18

Universitas Sumatera Utara Peta 1. Kota Medan 1945

Sumber: Maps D C 54, 9 KITLV, Leiden University Libraries Digital Collections (diakses dari: http://hdl.handle.net/1887.1/item:816358 pada 20 Desember 2020).

2.1 Masa Pendudukan Jepang

Perang Dunia Kedua diawali setelah Jerman menyerang Polandia pada tahun

1939 yang berakibat pada kekuasaan Belanda atas koloni-nya Hindia Belanda. Jika

19

Universitas Sumatera Utara pada Perang Dunia Pertama Belanda masih bisa bertindak netral tanpa memihak pada salah satu blok perang. Namun, pada Perang Dunia Kedua ini (1939-1945) Belanda harus memutuskan pilihan, Belanda kemudian bersekutu dengan blok Inggris,

Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam hal itu, Belanda harus menghadapi keganasan blok poros Jerman, Itali, dan Jepang.30

Hal itu kemudian terjadi, pada tanggal 10 Mei Hitler (Jerman) menyerbu negeri Belanda dan pemerintah Belanda lari ke pengasingan di London.31 Pada hari yang sama di Hindia Belanda diberlakukan undang-undang darurat perang dan segala rapat-rapat politik umum dilarang.32 Ketakutan akan keganasan blok poros semakin menjadi-jadi.

Bagi Jepang sendiri tidak perlu waktu lama untuk melakukan invasi, setelah menyerang Amerika Serikat dalam perang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941.

Jepang kemudian melebarkan sayapnya untuk menginvasi Hindia Belanda. Tepatnya pada 14 Februari 1942, Jepang menyerang Hindia Belanda dan segera menguasai

Sumatera Selatan. Pada 1 Maret 1942 dini hari, mereka mendarat di Jawa dan dalam waktu delapan hari, Letnan Jenderal Hein Ter Poorten, Komandan Tentara Kerajaan

30 Onghokham, 1987, Runtuhnya Hindia Belanda, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal. 89. 31 Ibid., hal. 92. 32 Ricklefs, op.cit., hal. 291-292.

20

Universitas Sumatera Utara Hindia Belanda (KNIL), menyerah atas nama seluruh angkatan perang Sekutu di

Jawa.33

Di Sumatera Timur pada awal tahun 1942 pemerintah Hindia Belanda sibuk mengadakan persiapan untuk membumihanguskan lapangan minyak pangkalan

Berandan/Pangkalan Susu, gedung-gedung penting, jembatan, kereta api dan instalasi-intalasi penting lainnya.

Gambar 1.

Pasukan Jepang mendarat di Tanjung Tiram

Sumber: Diolah dari buku Nino Oktorino: Invasi ke Sumatera (2019).

33 Kahin, op.cit., hal 145. Sumatera Selatan (Palembang) tepatnya di daerah Plaju merupakan penghasil minyak, tidak mengherankan pada masa invasi Jepang ke Hindia Belanda sebagian besarnya berfokus di daerah-daerah penghasil minyak.

21

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal 12 Maret kesatuan-kesatuan tentara Jepang telah mendarat di

Tanjung Tiram, kemudian dengan naik sepeda yang dirampas dari penduduk, sebagian dari mereka menuju Medan yang dimasuki pada tanggal 13 Maret 1942.

Konvoi pasukan-pasukan Belanda dan Stadswacht telah berangkat menuju Tanah

Karo dan terus ke benteng pertahanan Belanda yang terakhir di Kotacane/Blang

Kejeren yang berpusat di Gunung Setan.34

Kekalahan Belanda kepada Jepang bukanlah tanpa perlawanan, di Jawa tentara Belanda melakukan perlawanan. Tetapi, perlawanan itu tidak sanggup untuk menahan laju kekuatan tentara Jepang yang lebih unggul, baik dari segi jumlah maupun persenjataan. Spoor yang merupakan panglima militer Belanda pada waktu itu berpendapat bahwa kebanyakan perwira senior berperan di bawah standar. Secara fisik maupun mental mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi perang.35 Di pihak Indonesia sendiri kebencian terhadap Belanda semakin menggunung, sehingga bersatu-padu untuk mengamini kekalahan Belanda. Di samping itu, kekurangan akan inistiatif dan daya tindak, perintah yang bertentangan, dan perpecahan dalam struktur komando memblokir penanganan yang energik dan ofensif memuluskan kekalahan Belanda pada pihak Jepang.36

34 T. Luckman Sinar, 2011, Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Sinar Budaya, hal. 118. Lihat juga Nino Oktorino, 2019, Invasi ke Sumatera, Kompas Gramedia: Jakarta, hal. 102. 35 J.A., Moor, de, 2015, Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, hal. 133. 36 Ibid., hal. 136.

22

Universitas Sumatera Utara Umumnya setelah Jepang berhasil menancapkan kekuasaanya di Indonesia,

Jepang kemudian membagi Indonesia menjadi tiga wilayah administrasi, Sumatera ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25 yang berpusat di Bukit Tinggi, sedangkan Jawa dan Madura berada di bawah Angkatan Darat Wilayah ke-16; kedua wilayah ini berada di bawah Angkatan Darat ke-7 dengan markas besarnya di

Singapura.37 Jadi, Sumatera Timur yang di dalamnya termasuk Kota Medan berada pada pemerintahan Angkatan Darat ke-25.

Pendudukan Jepang disebut juga sebagai “pemerintahan militer” karena hampir semua aktivitas birokrasi dipegang oleh militer dan berorientasi untuk memenangkan perang yang sedang berlangsung. Pusat pemerintahan militer berada di

Singapura, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Tomoyuki Yamashita yang kemudian dikenal dengan Tomi Group (Tomi Syudan). Struktur pemerintahan untuk kawasan

Sumatera dan Malaya adalah: Panglima Tentara, Kepala Staf, Pemerintahan Militer

(Guseikanbu) yang terdiri dari beberapa departemen, yaitu Departemen Perusahaan dan Industri, Polisi, Kehakiman, Penerangan, Pemindahan dan Pengiriman,

Meteorologi, Dalam Negeri, Pekerjaan Umum, dan Keuangan. Dalam struktur pemerintahan militer (Guisekanbu) pembagian struktur pemerintahan Hindia Belanda masih tetap dipertahankan.

Di Kota Medan sendiri sebagai penguasa diangkatlah Walikota dengan nama

Sico. Adminsitrasi pemerintahan di Sumatera Timur dibagi dalam empat bagian: 1.

37 Ricklefs, op.cit., hal. 297.

23

Universitas Sumatera Utara Bagian Pemerintahan umum (Somubu), 2. Kepolisian (Keimubu), 3. Bagian Ekonomi

(Sangyobu), 4. Bagian Penerangan.38 Empat bagian yang telah disebutkan tidak bisa dijelaskan satu persatu karena memang bukan pembahasan inti dalam penulisan ini dan karena keterbatasan sumber. Tetapi, pada bagian Kepolisian akan dideskripsikan secara singkat dan juga akan mendeskripsikan bagian peradilan sebagai tambahan mengenai pembahasan ini.

Polisi berada di bawah Residen Sumatera Timur (Shuchokan) dan dipimpin oleh Keimu Buncho dengan seksi-seksinya seperti Tokoka (Jawatan Intelijen Politik) dan Hoanka (Jawatan Keamanan). Pangkat Kepala Polisi Distrik di Medan (Keihatsu

Shocho) setingkat dengan Bunshu Cho (Bupati). Otonom dari pasukan polisi biasa ada lagi Tokobetsu Keisatsu Tai, yaitu pasukan semi-militer yang khusus, kira-kira seperti Brigade Mobil kita sekarang, yang langsung dipegang Suchokan. Kemudian barulah datang Kenpetai (Polisi Rahasia) yang ditakuti dan amat berkuasa itu dikepalai oleh Mayor Jenderal Hirano Toyoji yang juga merangkap Kepala Staf

Tentara ke-25 di Bukit Tinggi. Di samping ini ada lagi lembaga yang disebut Tekikan

(Jawatan Rahasia dan Ilntelijen Militer Tertinggi). Kepala Tekikan di Medan adalah

Mayor Jenderal Ue, yang juga merangkap Ketua Pengadilan. Pembantu utamanya adalah Kapten Inouye, yang kemudian terkenal selaku pendiri TALAPETA di

Serdang dan Mokutai (Barisan Harimau Liar).

38 Suprayitno, 1998, Diktat: Sejarah Pergerakan di Sumatera Timur, Medan: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU (Belum diterbitkan), hal. 31-32.

24

Universitas Sumatera Utara Pembantu-pembantu di Mokutai ini adalah Yacob Siregar dan Saleh Umar. Di samping bertugas untuk mencari dan menginfiltrir jaringan kegiatan bawah tanah terhadap Jepang, Tekikan juga mempunyai tugas-tugas lain, yaitu:

1. Mempersiapkan daftar hitam semua kaum cerdik cendekiawan dan orang-

orang terkemuka yang dianggap tidak mendukung Jepang.

2. Mengorganisir jaringan sabotase dan kelompok-kelompok gerilya seandainya

tentara Sekutu mengusai wilayah ini.

3. Membakar perasaan anti barat, anti feodal dan anti kaum bangsawan.

Dalam hal Peradilan sampai tahun 1943 semua tanggung jawab soal-soal pidana di dalam wilayah Kotapraja Medan berada di tangan Polisi Distrik. Begitu juga peradilan berada di dalam satu tangan. Tetapi pada tahun 1944 peraturan baru diumumkan untuk mengorganisir kembali semua lembaga peradilan KU HOIN

(Lanregerecht/Magistraatsrecht) mengenai perkara-perkara perdata yang besar gugatannya tak lebih dari F 1. 100 dan mengenai perkara pidana dimana dendanya tak lebih dari ancaman hukuman 3 bulan kurungan atau maksimum denda F 1. 100.39

Jepang juga membentuk organisasi-organisasi militer, seperti TALAPETA,

Gyugun, dan BOEMPA. TALAPETA (Taman Latihan Pemuda Tani) dibentuk atas dasar untuk mempersiapkan diri dalam perang gerilya jika seandainya musuh mendarat. TALAPETA dinisiasi oleh Kapten Inouye sekaligus mendirikan sekolahnya di Sarangpua (Gunung Rintih-Serdang Hulu) sekolah ini dimulai dalam

39 T. Luckman Sinar, op.cit., hal. 120.

25

Universitas Sumatera Utara tahun 1943. TALAPETA diberi latihan militer dan bercocok tanam serta cara-cara sabotase dan melenyapkan kaki tangan musuh.

Gyugun dibentuk oleh Mayor Jenderal Inada Masazumi, Wakil Kepala Staf dari Bala Tentara Wilayah Selatan dalam bulan Juli 1943, yang dikirimkannya kepada Staf Umum dan Kementerian Angkatan Darat di Tokyo. Ide Gyugun terinspirasi dari Heiho yang diperoleh Inada Masazumi ketika menyaksikannya berdemonstarsi cara-cara perang yang baik di Jawa.40 Pusat-pusat pelatihan Gyugun berada di Kota Medan dan Sibolga.41 Medan dan Sibolga dipilih sebagai pusat pelatihan karena mempunyai tempat yang sesuai untuk melaksanakan pelatihan militer dan jika sewaktu-waktu Sekutu datang menyerang akan lebih mudah mengorganisir para anggota Gyugun.

Ada beberapa karakteristik umum yang sama pada saat setiap pusat pelatihan militer itu. Pertama, program pelatihan Gyugun sejak awal dirancang untuk membantu memperkuat pertahanan dan melindungi daerah-daerah pendudukan

Jepang di Indonesia dari kemungkinan serangan balik Sekutu yang mulai melakukan manuvernya sejak awal 1943. Kedua, Gyugun Sumatera tidak memiliki sentral organisasi yang mengatur seluruh pusat pelatihan di pulau ini, berbeda dengan pusat pelatihan PETA di Jawa yang dipusatkan di Kota Bogor.42

40 Ibid., hal. 125. 41 Mestika Zed, 2005, Gyugun: Cikal-bakal Tentara Nasional di Sumatera, Jakarta: LP3S, hal. 32. 42 Ibid., hal. 35.

26

Universitas Sumatera Utara BOEMPA (Badan Oentoek Membantoe Pertahanan Asia) dibentuk pada tahun

1943 untuk mengantisipasi serangan balasan Sekutu. BOEMPA adalah sebuah badan untuk menyatukan semua kekuatan rakyat di seluruh Sumatera Timur dalam mendukung Pemerintahan Militer Jepang. Tujuan BOEMPA secara resmi menjamin, bahwa semua rakyat Indonesia di Sumatera Timur sebagai anggota bersama Asia

Timur Raya. Mereka diwajibkan untuk mengorbankan jiwa dan hartanya demi mencapai kemenangan akhir dalam perang melawan Sekutu. Ketua BOEMPA yang pertama adalah Soengkoepoen kemudian digantikan oleh Mr. Mohammad Yusuf.

Wakil Yusuf adalah Xarim M.S. dan tokoh-tokoh lainnya adalah Mr. Loeat Siregar,

Dr. Pirngadi, Adnan Nur Lubis.43 Tokoh-tokoh tersebut mempunyai peranan penting pada awal kemerdekaan di Sumatera Timur.

Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang terkhusus di daerah kota tidak banyak mengalami perubahan, karena bagi Jepang sendiri, kota tidak begitu banyak memberikan peran yang berkesinambungan pada Perang Dunia Kedua. Yang menjadi basis ekploitasi Jepang adalah wilayah-wilayah pedesaan yang salah satunya mampu memberikan kebutuhan logistik perang.

Jika berkaca pada wilayah-wilayah pedesaan di Jawa, Jepang memberlakukan

“wajib serah.” Maksud dari wajib serah ini adalah para petani pedesaan di Jawa wajib memberikan hasil panen kepada pemerintahan Jepang, yang dalam hal ini ditangani

43 Suprayitno, Diktat: Sejarah Pergerakan di Sumatera Timur, Medan: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU, op.cit., hal. 37-38.

27

Universitas Sumatera Utara oleh kucho (kepala desa) sesuai dengan kebijakan yang telah diputuskan oleh pemerintahan Jepang. Wajib serah ini sebenarnya sudah diterapkan pada Oktober

1940 di wilayah-wilayah jajahan Jepang. Kemudian praktik wajib serah ini diterapkan juga di Jawa pada April 1943.44

Demikian halnya Kota Medan, banyak penduduk setempat yang meninggalkan-nya untuk pergi ke daerah-daerah rural (pedesaan) untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bergabung dengan organisasi yang telah dibentuk oleh Jepang.

Umumnya penduduk Kota Medan adalah orang-orang kelas pertama (Eropa), kemudian Timur Asing (China dan ) dan Kaum Bangsawan Melayu. Klaster penduduk Kota Medan ini sebenarnya diinisiasi perkebunan di Sumatera Timur yang dimulai abad ke-19. Masuknya Jepang, orang Eropa (Belanda) menjadi tawanan sedangkan Timur Asing dan Bangsawan Melayu mulai pudar kekuasaannya pada masa pemerintahan militer Jepang. Kota Medan hanya dijadikan sebagai pusat administrasi seperti yang telah dideskripsikan di atas sebelumnya.

Salah satu yang paling identik pada masa Pemerintahan Militer Jepang adalah krisis pangan. Untuk menanggulangi hal tersebut di Sumatera Timur Jepang membentuk Badan Pengurus Pertanian pada tahun 1944. Dalam di daerah perkebunan sekitar Kota Medan sebelah utara, barat, dan selatan Langkat diubah menjadi areal persawahan sebagai penghasil padi dan sayur-sayuran.

44 Aiko Kurasawa, 2015, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945, Depok: Komunitas Bambu, hal. 81-82.

28

Universitas Sumatera Utara Kebijaksanaan Jepang ini tentu saja mendapat sambutan hangat buruh-buruh perkebunan, petani Karo, dan Batak Toba. Mereka segera berdatangan ke Sumatera

Timur membuka tanah-tanah kosong dan hutan lebat dijadikan persawahan. Sebagian orang Jawa, Toba, dan Karo serta Cina menduduki tanah-tanah perkebunan itu, dan menganggap sebagai miliknya sendiri.45 Itulah sebabnya pada awal kemerdekaan

Indonesia, di Sumatera Timur termasuk di Kota Medan masyarakat-nya semakin plural.

Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia secara umum hanya berusia tiga setengah tahun, tetapi sangat banyak mengubah perilaku masyarakat Indonesia, dengan cara propaganda dan indoktrinasi lewat organisasi-organisasi yang telah dibentuk Jepang. Hal ini sangat berdampak pada masyarakat Indonesia pada masa awal kemerdekaan, semangat berani mati pun nantinya pada masa kemerdekaan akan nampak, khususnya di kalangan pemuda.

Jepang memang pada tahun 1945 memberikan janji kemerdekaan kepada

Indonesia lewat Menteri Koiso. Tetapi, itu hanyalah janji belaka yang belum jelas kepastiannya. Hal yang pasti adalah wilayah Jepang di Filipina sudah diserang

Amerika pada Oktober 1944 dan dikuasai pada Februari 1945. Kemudian, Inggris melancarkan serangan-nya ke Birma pada Maret 1945 dan dengan mudah dikuasai.46

Sejak saat itu, kekuatan Jepang di kontestasi Perang Dunia Kedua sudah tidaklah

45 Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, op.cit., hal. 46-47. 46 Benedict Anderson, 2018, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Tangerang: Marjin Kiri, hal. 54-55.

29

Universitas Sumatera Utara berdaya. Jepang semakin hancur setelah Kota Hirosima dan Nagasaki di bom atom oleh Sekutu pada bulan Agustus 1945. Ketidakberdayaan Jepang ini kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh pihak Indonesia, tepatnya pada tanggal 17 Agustus

1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

2.2 Peralihan Kekuasaan Jepang Kepada Republik Indonesia

Perang Dunia Kedua berakhir setelah blok poros (Jerman, Itali, dan Jepang) takluk di bawah blok Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet setelah beberapa tahun

(1939-1945) perang terus berkecamuk. Dalam hal ini Indonesia dengan segera memanfaatkan kekalahan Jepang, walaupun pada tahun 1944 Jepang telah menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia. Bagian ini akan menjelaskan secara kronologis bagaimana peralihan kekuasaan Jepang kepada Republik Indonesia.

Sejak Oktober 1944, segera setelah Perdana Menteri Koiso mengumumkan bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan “dalam waktu dekat”, terlihat perkembangan berupa perubahan nyata dalam kebijakan Jepang. Hampir secara tiba- tiba, pengurus Angkatan Bersenjata Jepang di Jawa dan Madura mengurangi pengawasan mereka hingga separuhnya atas Jawa Hokokai, Sukarno, Hatta, dan para juru bicara kaum nasionalis lainnya diberi kesempatan yang lebih besar untuk menjalin hubungan dengan massa dan lebih bebas berbicara tentang kemerdekaan

Indonesia tanpa takut-takut, bahkan tidak perlu menyelipkan nada pro-Jepang secara

30

Universitas Sumatera Utara berlebihan dalam pidato mereka.47 Memang hal semacam ini cukup mengejutkan, jika masa awal pendudukan Jepang di Indonesia pidato-pidato oleh tokoh-tokoh

Indonesia, seperti Sukarno hampir sebagian besar menyelipkan keagungan „saudara tua‟ itu. Kebijakan Jepang dalam hal ini bukan tanpa berdasar, karena pada masa- masa tersebut Jepang sudah mulai banyak mengalami kekalahan, seperti serangan yang dilancarkan Amerika di Filipina.

Pada 1 Maret 1945, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan (BPUPK). Jepang memilih Dr. Radjiman Wediodiningrat sebagai ketuanya. Sebagai wakil ketua ditunjuk Ichibangase (orang Jepang) dan Suroso

(orang Indonesia). Sementara itu, sisa 59 anggota lainnya mencakup perwakilan dari semua kelompok sosial dan etnis di Jawa dan Madura, termasuk Sukarno, Hatta, dan para pemimpin nasionalis lainnya, ditambah tujuh orang Jepang. Dalam BPUPK diangkat pula dua wakil sekretaris, yaitu Abdul Gafar Pringgodigdo dan seorang

Jepang yang tidak dapat berbahasa Indonesia, bahasa umum yang dipakai dalam badan itu.

BPUPK menyelenggarakan dua sidang pleno, yaitu pada 28 Mei-2 Junia, dan

10-17 Juli 1945, dan mencapai kesepakatan dasar mengenai masalah perundang- undangan dan ekonomi. Suatu kepanitiaan yang dibebani tugas kira-kira sama dengan

BPUPK tetapi diawasi secara lebih ketat, dibentuk oleh pemerintah militer Jepang di

Sumatera pada 25 Juli 1945. Kepanitiaan tersebut diketuai oleh Mohammad Sjafei

47 Kahin, op.cit., hal. 163-164.

31

Universitas Sumatera Utara yang sebelumnya menjabat Kepala Badan Penasihat Pusat Sumatera yang lebih dulu dibentuk dan Adinegoro sebagai sekretaris.

Pada Juni 1945, Jepang mengadakan rapat umum yang dihadiri oleh sekitar

4.000 mahasiswa. Tema rapat adalah bahwa kemerdekaan Indonesia akan tercapai melalui perjuangan bersama Jepang dalam melawan Sekutu. Rapat itu disiarkan di seluruh Jawa melalui radio. Salah satu pembicara dari Indonesia yang merupakan anggota Angkatan Muda Surabaya mengamini bahwa Indonesia memang harus berjuang untuk mencapai kemerdekaannya, tetapi sangat menentang dan dengan tegas menolak pendapat Jepang bahwa perjuangan tersebut adalah dalam bentuk melawan

Sekutu. Pernyataan orang tersebut disambut dengan tepuk tangan bergemuruh yang ikut disiarkan bersamaan dengan pidatonya. Rapat itu kemudian berubah menjadi kacau, dan Jepang baru dapat meredakan kekacauan itu dengan cara membunyikan sirene tanda serangan udara.48

Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima.

Pada tanggal 7 Agustus lembaga Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimumkan di Saigon. Kemerdekaan akan berlaku untuk seluruh Indonesia, dan sekarang untuk pertama kalinya pemerintah Jepang mengubah politik pembagian tiga atas Indonesia. Oleh karena itu di dalam Panitia tersebut juga duduk wakil-wakil dari seluruh Indonesia (termasuk dari Sumatera T.M. Hassan, Dr. Amir dan Mr. Abbas).

Pada tanggal 9 Agustus Sukarno, Hatta, Radjiman Wediodiningrat, Ketua Badan

48 Ibid., hal. 170.

32

Universitas Sumatera Utara Penyelidik, Soerharto- dokternya Sukarno- dan dua orang pengantar- orang-orang

Jepang- berangkat ke Saigon melalui Singapura. Pada 11 Agustus oleh Laksmana

Terauchi Sukarno dan Hatta dilantik sebagai ketua dan wakil ketua PPKI di Dalat.

Pada tanggal 13 Agustus perjalanan pulang; dan pada tanggal 14 Agustus penerbangan yang penuh resiko- karena ruang angkasa telah dikuasai Sekutu- berakhir dengan selamat. Kedua pemimpin Indonesia itu mendapat sambutan yang megah, dari para pembesar tertinggi Jepang, antara lain Laksmana Laut Maeda.49

Pada 15 Agustus 1945 tersiar kabar berita menyerahnya Jepang kepada sekutu. Namun, berita ini tidak serta-merta tersebar luas ke seluruh wilayah

Indonesia. Penguasa Jepang di Jakarta yang merupakan pusat kekuasaan Jepang di

Indonesia tidak yakin bagaimana menyikapi perubahan situasi yang tiba-tiba ini dan tidak menyiarkan berita itu kepada khalayak. Informasi akurat tentang menyerahnya

Jepang hanya diketahui Jepang dan orang-orang Indonesia yang memiliki hak istimewa atau mendapatkan akses gelap untuk mendengarkan radio.50 Sementara itu para pembesar pemerintah pendudukan Jepang merasa kaget akan berita itu, begitu juga terhadap semua tokoh Indonesia yang terkait dengan kemerdekaan yang akan datang. Tidak lama setelah pidato radio itu Sukarno, Hatta, dan Soebardjo mendapat

49 Harry A. Poeze, 2019, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid 1: Agustus 1945- Maret 1946) Jakarta: YOI, hal. 3-4. 50 Robert Cribb, 2010, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, Jakarta: Masup, hal. 63.

33

Universitas Sumatera Utara kepastian tentang berita penyerahan itu dari Maeda.51 Berita ini menjadi tanda bahwa

Indonesia harus segera merumuskan kemerdekaannya.

Di sisi lain, pemimpin nasionalis golongan tua seperti Sukarno secara umum memilih bersikap hati-hati. Menurutnya tindakan tergesa-gesa dapat memancing kemarahan Jepang dan Sekutu yang akan berdampak pada hancurnya gerakan nasionalis. Golongan nasionalis muda meyakini perlunya segera menyatakan kemerdekaan, pertentangan ini berbuntut panjang hingga penculikan Sukarno dan

Hatta yang dibawa ke Rengasdengklok.52

Pertentangan masih terus berlanjut, sekalipun Sukarno dan Hatta sudah dibawa kembali pulang ke Jakarta. Juga pada bunyi teks proklamasi masih menjadi ajang pertentangan yang sengit hingga 17 Agustus 1945 dini hari. Golongan muda mengajukan teks proklamasi bernada militan:

“Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Seluruh elemen kepemerintahan akan segera diambilalih dari pihak asing yang mempertahankannya.” Teks tersebut masih terlalu vulgar bagi Sukarno, Hatta dan pemimpin generasi tua lainnya yang hadir pada pertemuan final, termasuk banyak anggota dari PPKI.

Akhirnya, mereka semua sepakat dengan teks yang lebih diplomatis sebagai berikut:

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahaan kekuasaan d.l.l

51 Poeze, loc.cit., 52 Cribb, loc.cit.,

34

Universitas Sumatera Utara diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat- singkatnya.”53

Dengan begitu, kemerdekaan Indonesia sudah diproklamirkan, Indonesia sudah berdiri sebagai nation-state (negara-bangsa) setelah melalui proses yang panjang.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, rapat kilat dilaksanakan

(sidang PPKI pertama). Setelah diskusi singkat, PPKI memutuskan untuk mengadopsi konstitusi negara yang sebelumnya disusun BPUPK dengan beberapa perubahan di dalamnya. Salah satu perubahan yang dimaksud adalah presiden harus beragama Islam dan menjalankan syariah Islam. Hal ini juga menjadi perdebatan yang panjang, tetapi atas kebijaksanaan orang Islam-lah yang ikut pada sidang tersebut dalam hal menjalankan syariah Islam dapat dibuang. Salah satu tokoh yang gigih dalam memperjuangkan hal itu adalah Teuku Hassan wakil dari Sumatera.

Menurut Hassan harus menjaga pentingnya kesatuan nasional. Agar minoritas- minoritas utamanya Kristen (Batak, Manado, Ambon) tidak terdorong masuk ke dalam lingkungan Belanda yang sedang berusaha datang kembali.54 Kelengkapan lain yang dibutuhkan adalah pendirian kantor presiden dan wakilnya, badan legislatif, serta kabinet yang bertanggung jawab kepada presiden. Serangkaian peraturan peralihan mementahkan konstitusi untuk sementara. Salah satunya memberikan kekuasaan absolut selama 6 bulan kepada presiden dan yang lainnya mengatur bahwa

53 Smail, 2011, Bandung Awal Revolusi 1945-1946, Depok: Komunitas Bambu, hal. 31. 54 Anderson, op.cit., hal. 97-98.

35

Universitas Sumatera Utara sampai dengan terbentuknya badan legislatif dan badan-badan yang lain maka fungsi mereka akan dilakukan oleh presiden dengan bantuan komite nasional.

Tidak ada kesulitan dalam menentukan pengisi jabatan kepresidenan. Dalam pertemuan yang sama, Sukarno dipilih sebagai Presiden dan Hatta dipilih sebagai

Wakil Presiden secara aklamasi. Pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menentukan pembagian tugas untuk 12 kementerian dan pembentukan Badan Keamanan Rakyat

(BKR). Sementara itu, kabinet masih belum terbentuk karena urusan menyangkut kontrol pemerintahan secara praktik berkaitan dengan hubungan yang dengan Jepang dan hal ini harus ditangani dengan hati-hati.

Pada sidang PPKI yang terakhir tanggal 22 Agustus 1945, PPKI mendeklarasikan bahwa Komite Nasional harus ada di setiap tingkat dan mendeskripsikan fungsi- fungsinya sebagai berikut:

1. Mengekspresikan keinginan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa

merdeka.

2. Menyatukan rakyat dari seluruh kelas dan pekerjaan demi mencapai kesatuan

nasional yang sempurna.

3. Membantu menenangkan rakyat dan melindungi kesejahteraan umum.

4. Membantu presiden dalam menjalankan aspirasi rakyat Indonesia dan di

tingkat lokal membantu pemerintah lokal unruk menjaga ketertiban umum.55

55 Smail, op.cit., hal. 32-33.

36

Universitas Sumatera Utara Sidang PPKI yang terakhir ini mengindikasikan bahwa tugas-tugas kenegaraan sudah „dirampungkan‟ secara tekstual. Bagi kepala-kepala daerah yang sudah ditunjuk dari hasil sidang tersebut, kiranya kembali ke daerahnya masing- masing untuk menyampaikan hasil sidang ini, termasuk ke Sumatera yang diamanahkan kepada Teuku Hassan.

Tetapi, walaupun proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah dilaksanakan dan sampai pada pembentukan tugas-tugas negara. Hal tersebut belum diketahui oleh seluruh penjuru masyarakat Indonesia dan yang lebih miris, berita proklamasi yang tinggalnya jauh dari Jakarta tidak mempercayainya. Baru-lah pada tanggal 22

Agustus pihak Jepang akhirnya mengeluarkan suatu pengumuman mengenai menyerahnya mereka, tetapi baru pada bulan September 1945 fakta bahwa kemerdekaan telah diproklamirkan diketahui di wilayah-wilayah terpencil, sedangkan di Kota Medan baru terlaksana pada bulan Oktober.56

2.3 Kota Medan Awal Kemerdekaan

Arsip historis menunjukkan bahwa tanggal 14 Agustus 1945 adalah saat bertekut-lututnya Jepang kepada Sekutu. Peristiwa yang demikian pentingnya, dengan segenap daya hendak disembunyikan oleh Tentara Jepang di Sumatera dari pengetahuan rakyat Indonesia. Setidak-tidaknya untuk suatu jangka waktu tertentu.

Mulai pagi hari yang bersejarah itu semua radio umum yang band-nya telah disegel sehingga tidak sembarangan siaran dapat ditangkap (radio-radio perorangan hampir

56 Ricklefs, op.cit., hal. 320.

37

Universitas Sumatera Utara semuanya telah disita Jepang semenjak awak pendudukannya), hanya menyiarkan lagu-lagu belaka, tidak ada lagi menyiarkan warta berita apapun dengan tidak diketahui apa sebab-sebabnya. Para radio-operator Kantor berita Domei di Medan yang berkebangsaan Indonesia, yang sebelumnya bertugas mengirim dan menerita berita-berita pers dalam dan luar negeri, tiba-tiba saja pada pagi hari itu dilarang masuk ke ruang kerja, sedang alat-alat radio telah ditangani oleh operator-operator militer yang berkebangsaan Jepang, sehingga berita apapun tidak dapat diketahui lagi.

Karena itu, surat kabar yang pada waktu itu hanya satu saja yang ada di Kota Medan, yaitu “Soematra Baroe” (mula-mula bernama “Sumatora Shimbun”) tidak dapat mengabarkan apa-apa tentang perkembangan terakhir.

Di sisi lain, Medan sendiri mengalami aksi-aksi kekerasan selama bulan-bulan pertama pasca-Proklamasi yang semakin mencekam dan berada diluar kontrol pemerintah. Kota Medan, saat itu seakan-akan menjadi sebuah kota tanpa pimpinan.57

Toko-toko Tionghoa di Kota Medan banyak dijarah oleh rakyat pada awal kemerdekaan. Tidak hanya orang-orang Tionghoa saja yang menjadi sasaran, semua yang dianggap bekerjasama dengan Belanda menjadi sasaran amarah rakyat.58

Dalam keadaan serba gelap itu, pada tanggal 20 Agustus pagi hari, para komandan tentara yang berkebangsaan Jepang menyampaikan perintah Panglima kekalahan tentara Jepang di Sumatera Jenderal Moritake Tanabe, supaya semua

57 Mestika Zed, 2010, “Kasus Sumatera Timur”, dalam (Ed. Taufik Abdullah) Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, loc.cit., 58 Anthony Reid, loc.cit.

38

Universitas Sumatera Utara pasukan pembantu Jepang yang terdiri dari Gyugun, Heiho59, dan Tokobetsu mengumpulkan semua senjatanya ke dalam gudang, mulanya dengan alasan untuk diganti dengan senjata baru. Tetapi, setelah seluruh senjata berada dalam gudang yang dikawal oleh serdadu-serdadu Jepang yang bersenjata lengkap, tiba-tiba saja para komandan yang berkebangsaan Jepang yang bersenjata lengkap mengumunkan kepada para anggota Gyugun, Heiho dan sebagainya itu yang berkebangsaan

Indonesia, bahwa perang telah usai dan semuanya harus pulang ke kampung halamannya masing-masing, lalu memberi salam perpisahan secara singkat dan kaku.

Lain-lain komentar tidak ada, sesudah itu kepada masing-masing anggota Gyugun,

Heiho, dan Kaigun-Heiho yang telah didemobilisasi dan dilucuti senjatanya, kemudian diberikan tiga bulan gaji pesangon ditambah tiga meter tekstil dan simpanan wajib dikembalikan. Setengah jam setelah pesangon dan lain-lainnya itu diterima oleh prajurit yang telah didemobilisasi itu, mereka pun telah berada di atas truk-truk yang akan membawa mereka ke Medan atau kota-kota lainnya.

Semenjak itu terlihatlah beribu-ribu pemuda bekas anggota Gyugun, Heiho,

Kaigun-Heiho dan lain-lain memenuhi jalan raya kota Medan memakai topi pet dari kain kuning yang runcing berambut pendek bekas dicukur; berbaju seragam kuning lengan pendek yang agak longgar dan di dalamnya ada kemeja putih yang kerahnya dikeluarkan melapisi kerah seragam kuningnya; bercelana seragam kuning yang pipa

59 Sepengetahuan penulis HEIHO hanya ada di Jawa, sedangkan di Sumatera tidak ada sama sekali. Organisasi-organisasi bentukan Jepang di Sumatera, yaitu: GYUGUN, TALAPETA,dan BOEMPA. Jika memang ada HEIHO di Sumatera, ini merupakan informasi baru bagi penulis.

39

Universitas Sumatera Utara kakinya sebesar betis dan agak mengembung di bagian atas; tanpa senjata; tanpa tanda pangkat, mundar-mandir tak tentu arah tujuan dengan sepatu diseret karena sedikit kebesaran sehingga mengeluarkan bunyi yang spesifik, dan walaupun kulit mereka sawomatang, kelihatannya persis seperti serdadu Jepang pulang petang.60

Kota Medan awal kemerdekaan diwarnai bekas para anggota organisasi-organisasi bentukan Jepang yang sedang tidak tahu arah mau kemana.

Sesuai dengan berita pada tanggal 22 Agustus 1945, di lain hal pihak Sekutu yang telah mengadakan rapat di Singapura menghasilkan kesepakatan para panglima

Jepang menerima penaklukan, disiarkan berita lewat radio bahwa “peperangan dihentikan.” Ditekankan bahwa Jepang masih terus bertanggungjawab terhadap pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.61 Demikian halnya, Kota Medan masih dihinggapi orang-orang Jepang yang belum “pulang kampung.” Tugas Jepang adalah memelihara keamanan dan ketertiban umum, sebelum Sekutu datang. Jadi,

Kota Medan awal kemerdekaan sangat sensitif akan sentimen, apalagi mengetahui berita secara jelas bahwa Indonesia sebenarnya telah merdeka.

Memang di Kota Medan pada Agustus 1945 diselimuti konflik politik dan sosial yang jauh lebih serius dibandingkan dengan masa sebelumnya. Baik di Medan

60 Biro Sejarah Prima, 1976, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Badan Musyawarah Pejuang RI, hal. 68-70. 61 Anthony Reid, op.cit., hal. 209.

40

Universitas Sumatera Utara maupun di kota-kota lainnya di Sumatera Timur, tidak terdapat kepemimpinan tunggal yang dapat mempersatukan semua golongan atau faksi yang bertikai.62

Pada tanggal 27 Agustus 1945 Hassan dan Amir sudah kembali ke Medan setelah menghadiri sidang PPKI yang dilaksanakan di Jakarta.63 Dua hari sebelum kedatangan Hassan di Kota Medan, kaum Bangsawan Melayu di Sumatera Timur telah mendirikan Comitee van Onvangst (Panitia Penyambutan) untuk menerima kedatangan Belanda. Tidak terpungkiri juga bahwa ketika Belanda masih menduduki

Sumatera Timur termasuk di Kota Medan, masih banyak aset-aset perkebunan

Belanda yang terlantar saat invasi Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha untuk mengambilalih kembali aset-aset yang pernah ditinggalkan tersebut.64

Hassan yang sudah tunjuk sebagai wakil di Sumatera belum menerapkan kebijakan apa-apa pada bulan tersebut. Hal ini dikarenakan Hassan tidaklah sepopuler dibanding tokoh-tokoh lokal, seperti Xarim M.S, Luat Siregar, Nathar Zainuddin dan sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut juga sedang melakukan perjalanan ke luar kota atau Sumatera.65 Selain itu, Hassan sedang memperhitungkan „dampak‟ yang akan terjadi jika perintah dari pusat langsung diterapkan di Sumatera, mengingat tokoh- tokoh terkemuka ini sedang tidak berada di tempat. Barulah pada tanggal 3

62 Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, op.cit, hal. 53. Faksi atau golongan yang dimaksud adalah pihak Republiken, kaum Bangsawan Melayu, orang-orang Jepang dan nantinya disusul oleh NICA yang memboncengi Belanda. Lihat juga Mestika Zed, 2010, “Kasus Sumatera Timur”, dalam (Ed. Taufik Abdullah) Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, loc.cit., 63 Tim Penulis, Tanpa Tahun, Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara, Jakarta: Kementerian Penerangan, hal. 27. 64 Tim Penulis, 1993, Sejarah Perkembangan Propinsi Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara, Medan: Pemerintah Propinsi Sumut, hal. 182. 65 Ibid., hal. 185.

41

Universitas Sumatera Utara September Hasaan dan Amir mengundang setelah tokoh-tokoh terkemuka kembali untuk membentuk Komite Nasional sesuai dengan perintah dari Jakarta.66

Pertemuan kembali diadakan pada 23 September 1945, pertemuan ini dimulai dengan membicarakan pembentukan suatu organisasi kesejahteraan pemuda yang lain, tetapi kemudian diarahkan kepada tujuan revolusioner yang tegas oleh para pemuda yang lebih “politis”, terutama Abdul Razak dan B.H. Hutadjulu67 dari lingkungan kelompok Xarim di Gyugun/BOEMPA dan pemuda Aminuddin Nazir yang ganas dari pasukan pengawalan pantai Inoue.

Menjelang petang telah terbentuk Badan Pemuda Indonesia (BPI) dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan, dalam perkembangannya lasar-laskar rakyat pun turut dibentuk. Ahmad Tahir dipilih sebagai Ketua I dan seorang guru

Muhamdiyah yang aktivis, Malik Munir, Ketua II. Meskipun, dirasa perlu adanya seorang tokoh pemimpin yang berpengalaman dan pilihan jatuh pada Sugondo

Kartoprodjo.68

Rapat umum BPI yang akhirnya diadakan pada 30 September 1945 menjadi semakin mendesak karena kemunculan surat kabar independen pertama di Medan sehari sebelumnya. Mohammad Said berhasil membujuk seorang penerbit yang

66 Tim Penulis, Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara, loc.cit., 67 Kedua tokoh ini sangat berperan pada masa pendudukan Jepang, itu sebabnya diawal kemerdekaan mereka sangat andil dalam memberikan pengaruh-pengaruhnya khususnya kepada para pemuda. 68 Sugondo Kartoprodjo merupakan seorang tokoh yang sangat berjasa atas berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di tempat dia-lah (Taman Siswa) pertama kali berita proklamasi kemerdekaan Indonesia disampaikan oleh Teuku Moh. Hassan selaku Gubernur Sumatera pada waktu itu.

42

Universitas Sumatera Utara gugup untuk menerbitkan surat kabar di bawah nama terbitan sebelum perang,

Pewarta Deli. Hampir 1.000 orang menghadiri pertemuan itu. Sesudah Ahmad Tahir dan Sugondo menjelaskan tentang BPI, Hassan menguaraikan kekuatan Republik di

Jawa dan menyerukan dukungan bagi Republik di Sumatera.

Tetapi, adalah Xarim yang memberikan arahan kepada para pemuda melalui suatu pidato yang membangkitkan semangat. Pidato itu antara lain membantah cara pandangan legalistik Hassan dalam menilai posisi Sekutu. Sebagai ahli pidato yang mempunyai daya tarik luar biasa di Sumatera Timur, propagandis utama BOMPA dan seorang revolusioner yang paling terkenal dari tahun 20-an, dalam rapat umum itu

Xarim telah memantapkan dirinya sebagai tokoh politik yang berpengaruh di antara tokoh-tokoh politik paling berpengaruh di antara tokoh-tokoh tua lainnya. Ia ditunjuk sebagai mengepalai dewan penasihat BPI.

Dalam beberapa hari sesudah rapat umum itu, cabang-cabang BPI berdiri di

Langkat, Asahan dan Tanah Karo. Di semua kota besar di Sumatera Timur anak-anak muda mulai memasang tanda-tanda merah putih di dadanya dan mempropagandakan apa yang mereka ketahui tentang Republik. Di Medan, proses ini berjalan sangat cepat.69

Secara umum, gerakan pemuda revolusioner muncul dengan cepat di kota- kota di mana kedua elemen tersebut dapat saling bertemu. Mereka mulai menempelkan lambang-lambang merah putih dan poster-poster revolusioner, dan

69 Anthony Reid, loc.cit., Amran Zam-Zami, Jihad Akbar di Medan Area, loc.cit.,

43

Universitas Sumatera Utara mulai menggertak tentara pengawal Jepang dengan menggantikan bendera Jepang dengan bendera Republik di gedung-gedung publik.70

Pada tanggal 2 Oktober 1945 Hassan menerima surat dari Jakarta, berisi keputusan Presiden Negara Republik Indonesia, tertanggal 29 September 1945, mengenai pengangkatan dirinya sebagai Gubernur Sumatera. Surat keputusan itu dibicarakan dalam pertemuan tanggal 3 Oktober dan disetujui semua pihak dengan penuh pengharapan. Pada saat itu juga ditetapkan nama-nama para residen dan walikota diseluruh Sumatera.71 Mohammad Yusuf diangkat sebagai Wali Kota

Medan dan Luat Siregar sebagai Residen Sumatera Timur. Untuk membantu menggerakkan roda pemerintahan Hassan mengangkat delapan orang staf gubernur, yakni: Mangaradja Soeangkoepoen, Dr. Pirngadi, Mr. Teuku Mohamad Hanafiah,

Abu Bakar Djaar, Raden Mohammad Amrin, Tengku Abdul Hamid, Dr. Sahir, dan

Xarim M.S. Hassan kemudian membuka kantor Gubernur Sumatera di Balai

Permohonan Rakyat Jalan Istana No. 15 (sekarang di Jalan. Brigjen. Katamso).72

Di Medan, rapat akbar proklamasi kemerdekaan Indonesia itu berlangsung di

Lapangan Fukuraido (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggal 6 Oktober 1945, dalam suasana yang membara. Seluruh Sumatera dengan gegap gempita menyambut lahirnya pemerintahan Republik Indonesia dan secara terbuka mengadakan rapat- rapat raksasa.

70 Anthony Reid, 2018, Indonesia, Revolusi, dan Sejumlah Isu Penting, Jakarta: Prenada Media, hal. 34-35. 71 Amran, op.cit., hal. 6. 72 Suprayitno, Diktat: Sejarah Pergerakan di Sumatera Utara, op.cit., hal. 59.

44

Universitas Sumatera Utara Segenap lapisan rakyat Sumatera dengan penuh semangat melaksanakan kegiatan-kegiatan sesuai tuntutan situasi. Seluruh penduduk bergelora mengisi proklamasi. Para pemuda giat mengonsolidasi diri melakukan coret-coret dinding.

Pandai-pandai besi membongkar rel kereta api dan menempanya jadi senjata-senjata tajam, parang, pedang, dan melaksanakan pawai-pawai di Kota Medan.73

Dalam pawai itu digelar spanduk-spanduk yang berisi pernyataan mendukung

Republik dan setia berdiri bersama Sukarno-Hatta. Pawai yang dihadiri ribuan orang itu dimaksudkan untuk menunjukkan kepada tentara Sekutu, bahwa kemerdekaan

Indonesia adalah tuntutan seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya kemauan Sukarno-

Hatta dan bukan pula bentukan Jepang.74

Sementara itu, tanggal 10 Oktober tentara Sekutu/Inggris dari Divisi India ke-

26 di bawah pimpinan Brigadir T.E.D. Kelly mendarat di Pelabuhan Belawan.

Pasukan Sekutu menduduki tiga kota penting di Sumatera yaitu Medan, Palembang, dan Padang serta terdiri dari beberapa kontingen, Kontingen Brigade 4 yang menduduki Kota Medan datang secara bergelombang, yakni 10 Oktober 1945, 5

November 1945, dan 5 Januari 1946. Di pulau-pulau di luar Jawa dan Sumatera, pasukan-pasukan Australia bertindak sebagai penjaga keamanan dan ketertiban sementara sebelum posisi mereka dialihkan kepada angkatan bersenjata Inggris pada

Februari 1946.75 Di dalam markas besarnya sejumlah perwira militer Belanda

73 Amran, loc.cit., 74 Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, op.cit., hal. 55. 75 Remy Limpach, op.cit., hal. 31-32.

45

Universitas Sumatera Utara ditugaskan sebagai penghubung antara komandan Inggris dengan bekas pejabat sipil

Belanda. Meraka adalah bagian dari Rehabilitation Allied Prisoners of War and

Interners (RAPWI), yang bertugas mengawasi pembebasan semua tawanan perang yang ada di Sumatera Timur. Suasana ketegangan semakin menyelimuti Kota Medan setelah datangnya tentara Sekutu.76

Lain halnya dengan Westerling, ia sudah mendarat terlebih dahulu di Kota

Medan pada tanggal 14 September 1945, lebih cepat dibandingkan pemberitaan proklamasi kemerdekaan dan pendaratan Sekutu di Kota Medan. Westerling dalam perkembangannya akan melancarkan aksi-aksi kekerasaanya di Kota Medan. Pada bab selanjutnya penulis akan memfokuskan tulisan ini terkait aksi kekerasan

Westerling di Kota Medan.

76 Ibid., hal. 14.

46

Universitas Sumatera Utara BAB III LATAR BELAKANG AKSI KEKERASAN WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946)

Pada bab sebelumnya penulis telah mendeskripsikan kondisi Kota Medan sebelum masuk pada pemaparan aksi kekerasan Westerling di Kota Medan.

Kekalahan Belanda kepada Jepang berakibat suksesi kekuasaan di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang di Medan, tidak banyak sebenarnya yang diubah oleh

Jepang khususnya di bidang administratif. Sebagian besar, hanya melanjutkan apa yang telah diterapkan Belanda sebelumnya.

Pada bab ini penulis akan menguaraikan faktor-faktor aksi kekerasan

Westerling di Kota Medan. Menurut George Sorel kekerasan adalah strategi perjuangan hegemonial dari pihak yang mengalami defisit aset-aset kekuasaan.

Sedangkan Robert Paul Wolf mendefenisikan kekerasan dibedakan dari konsep- konsep lain yang bertetangga dengannya, yaitu: kekuasaan (power), kekuatan (force), dan wewenang (authority). Kekuasaan adalah “kemampuan untuk membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan mengenai persoalan-persoalan yang penting bagi masyarakat”, sementara wewenang adalah “hak untuk memerintah dan, berhubungan dengan itu juga, hak untuk dipatuhi”, maka wewenang dapat dimengerti juga sebagai hak untuk melaksanakan kekuasaan. Galtung dalam analisisnya berjudul “Cultural

Violence” mengelompokkan kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu: kekerasan langsung

(direct violence) dan kekerasan sturuktural (structural violence). Disebut kekerasan

47

Universitas Sumatera Utara langsung karena terjadi langsung dari pelaku ke korbannya, sementara kekerasan sturuktural terjadi dengan mediasi organisasi, sistem atau struktur sosial yang berciri impersonal (terlembaga).77

Dari ketiga konsep yang dikemukakan oleh pakar tersebut, pada bab ini akan menguraikan bagaimana keselarasan antara konsep kekerasan dengan faktor-faktor aksi kekerasan yang dilakukan oleh Westerling di Kota Medan.

3.1 Obsesi Menjadi Seorang Militer

Pada masa Belanda berkuasa di Sumatera Timur, daerah ini merupakan salah satu basis perekonomian di Hindia Belanda yang berfokus pada perusahaan- perusahaan perkebunan, seperti AVROS, London Sumatra, Deli Maatchappij dan sebagainya. Yang di mana Medan menjadi pusat administrasi dari segala aktivitas perusahaan perkebunan.78 Namun, ketika Jepang mulai menginvasi wilayah Sumatera

Timur, aset-aset itu ditinggalkan oleh Belanda, Jepang pun mengambilalih seluruh aset perkebunan, tetapi bukan untuk kepentingan memperkaya diri seperti yang dilakukan Belanda sebelumnya. Jepang justru menelantarkan aset-aset tersebut atau mengolah sebagian wilayah perkebunan untuk kepentingan perang.79

Ketika Indonesia merdeka aset-aset itu belum diolah sepenuhnya oleh

Republik, mengingat kompetensi masyarakat di Kota Medan khususnya belum

77 Hardiman, loc.cit. 78 T. Luckman Sinar, op.cit., hal. 78. 79 Suprayitno, loc.cit.

48

Universitas Sumatera Utara mampu menanganinya. Demikian halnya Belanda sudah mulai menyusun kekuatan untuk mengambilalih kembali aset-aset mereka yang telah terlantar sebelumnya.

Dengan perencanaan yang matang, untuk memastikan hal tersebut, maka Westerling diterjunkan ke Kota Medan, yang sebelumnya Brondgeest selaku pimpinan sudah terlebih dahulu mendarat.80 Sesuai kesepakatan di Kolombo, Westerling dipilih karena sudah mendapat pelatihan komando secara khusus pada Perang Dunia Kedua dan Belanda sangat berharap akan kemampuan yang telah diperolehnya.81

Gambar 2.

Raymond Paul Piere Westerling

Sumber: Gallery collections, Nationalarchief, Netherlands (diakses dari: https://www.nationalarchief.nl./onderzoeken/fotocollectie/sfa%3Acol1%Adat9087 pada 10 Januari 2021).

80 Biro Sejarah Prima, loc.cit. 81 Ibid.,

49

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.

Westerling di “usia senja”

Sumber: Gallery collections, Nationalarchief, Netherlands (diakses dari: https://www.nationalarchief.nl./onderzoeken/fotocollectie/sfa%3Acol1%Adat490116 pada 10 Januari 2021).

Seperti yang telah dijelaskan pada bab satu, Westerling lahir di Istanbul,

Turki,82 pada tanggal 31 Agustus 1919.83 Nama “Westerling” sendiri diadopsi dari nama Ayah-nya yang bernama Paul Westerling keturunan Belanda, sedangkan Ibu- nya bernama Sophia Moutzhou keturunan Yunani dan menetap di Turki selama tiga generasi.84 Westerling adalah anak kedua dari bersaudara, kakak-nya bernama

Palymra. Turki memberikan pengaruh budaya Islam kepada Westerling sekalipun ia

82 De Tijd, 8 Juli 1969, No. 3. 83 Penulis dengan Westerling mempunyai tanggal lahir yang sama, tetapi penulis menganggap ini hanya sebuah kebetulan belaka. Dalam hal motivasi, penulis akan berusaha merampungkan tulisan ini secara cepat dan tepat. 84 De Groot, Kolf & Co, 26 Januari 1950, No. 123.

50

Universitas Sumatera Utara tidak beragama Islam85. Tidak banyak sebenarnya sumber-sumber yang didapatkan mengenai masa kecil Westerling. Di dalam memoar-nya sendiri yang berjudul

“Challennge to Terror”86 hanya terdapat tujuh halaman saja.87

Westerling memang terkesan “aneh” sejak umur lima tahun, seperti yang ia sebutkan dalam memoar-nya berikut ini:

At the age of five I discovered in myself the gifts of animal trainer and snake charmer, and shared my room with several snakes, a troop of mice (who had to dodge the snakes) and a considerable company of lizards. The lizards liked climbing, and as it seemed dull to have them climbing nothing but the walls and the furniture I taught them to climb up my leg. They got around, and one of the first lessons I learned about adults was that gentlemen visitors did not care to have mice running suddenly up inside their trouser legs and that women visitors enjoyed even less the sensation of a lizard scurrying up beneath their skirts. (Pada usia lima tahun, saya menemukan bakat dalam diri saya bakat pelatih hewan dan pawang ular dan di kamar saya ada beberapa ular, beberapa tikus (yang harus menghindari ular) dan beberapa kadal. Kadal suka memanjat, dan sepertinya akan sangat membosankan jika mereka memanjat apapun kecuali dinding dan perabotan, Saya ajari mereka untuk memanjat kaki saya. Mereka berkeliling, dan salah satu pelajaran pertama yang Saya pelajari tentang orang dewasa adalah bahwa pengunjung pria tidak peduli jika tikus berlari tiba-tiba di dalam celana mereka dan pengunjung wanita bahkan tidak menikmati sensasi kadal yang berlarian di bawah rok mereka).88 Dari informasi tersebut, sejak usia lima tahun bakat Westerling sebagai

“pembunuh” yang tidak ada takutnya sama sekali. Westerling mengumpulkan beberapa jenis hewan di kamarnya dan membuat hewan-hewan tersebut menjadi ajang siapa yang akan mampu bertahan (survive) yang pasti akan ada yang hidup dan

85 NV De Volksrant, 14 Januari 1950, No. 3. 86 Penulis juga banyak menggunakan memoar ini sebagai referensi. 87 M.F. Mukhti, op.cit., hal. 4. 88 Westerling, op.cit., hal. 10.

51

Universitas Sumatera Utara yang mati. Seperti tikus dan ular yang dikumpulkan-nya, lambat laun tikus tersebut akan mati dimakan ular, dan Westerling senang akan hal ini.

Pengakuan lain dari Westerling ketika berusia enam tahun sangat tertarik pada cerita detektif, terutama yang paling berdarah-darah. Tidak butuh fakta lain lagi untuk menegaskan bahwa Westerling sudah punya bakat “pembunuh” yang ulung dan mulai terobsesi yang dengan namanya dunia “militer”. Setiap kali mendapakan hal-hal yang menurut-nya tidak masuk akal, hal tersebut banyak termaktub dalam cerita detektif,

Westerling akan langsung bertanya kepada ayah-nya. Sehingga ayah-nya pun seringkali kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh

Westerling. Westerling juga menganggap ayah-nya ahli di bidang pembunuhan atau kejahatan lain dan anggapan ini kemudian menjadi sumber inspirasinya.

Usia tujuh tahun Westerling sudah mampu menembak, senjata diperolehnya dari ayah-nya yang begitu menyayanginya, seiring bertambah usianya membuatnya semakin terobsesi untuk bergabung dengan militer. Selain kekuatan fisik yang dimiliki, Westerling juga mempunyai kecerdasan di bidang bahasa. Bahasa ini diwarisi dari ayah-nya yang menguasai bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia secara fasih. Hal ini tidak mengherankan karena ayah-nya berprofesi sebagai pedagang barang antik dan mebel yang sarat dikunjungi oleh orang-orang asing.89

Dalam ranah pendidikan Westerling pernah dimasukkan ke sekolah berbahasa

Inggris oleh ayah-nya. Ibu-nya berkeinginan Westerling belajar di sekolah Jesuit

89 M.F. Mukhti, loc.cit., Westerling, Challenge to Terror, loc.cit.,

52

Universitas Sumatera Utara Prancis. Sebagai kepala keluarga, Paul Westerling memiliki peran yang lebih dominan dalam pendidikan-nya dan Palymra (kakak-nya), sehingga Westerling akhirnya bersekolah di tempat yang berbahasa Inggris seperti keinginan ayah-nya.

Setelah lulus dari sekolah berbahasa Inggris tadi, Westerling dimasukkan ke Sekolah

Jesuit Santo Michael dan kemudian dilanjutkan ke sekolah berasrama Santo Joseph yang lebih besar. Dengan berbekal pendidikan dasar yang ditempuhnya, Westerling mampu menguasai bahasa Latin dengan baik, walaupun sebenarnya Westerling tergolong murid yang malas di sekolah.

Setelah menamatkan sekolah menengah Westerling sempat bekerja sebagai kasir di sebuah toko besar yang tidak disebutkan nama toko-nya dan apa saja yang dijual di toko tersebut. Menurut Westerling, pekerjaan itu memberikan imbalan yang lumayan, namun pekerjaan tersebut tidak begitu cocok dengan dirirnya. Pekerjaan semacam itu membutuhkan kesabaran yang tidak dilimiki Westerling muda. Sebagai anak muda, Westerling lebih tertarik untuk pergi dan berpetualang ke tempat yang jauh. Saat itu Perang Dunia sedang berkecamuk, bau perang itu akhirnya masuk ke otak Westerling.

Indikasi terjadinya Perang Dunia Kedua setelah Jerman menyerbu Polandia pada tahun 1939. Terjadinya Perang Dunia Kedua ini merupakan kesempatan bagi

Westerling untuk mewujudkan obsesinya menjadi seorang militer. Pada pertengahan tahun 1941, tanpa tedeng aling-aling dan tanpa memberitahu kepada keluarganya ia pergi mengunjungi konsulat Belanda di Istanbul untuk mendaftarkan diri dan

53

Universitas Sumatera Utara bergabung dalam tentara Belanda. Westerling kemudian memperoleh tiket ke Kairo,

Mesir, untuk bergabung dengan pasukan di gurun. 90

Sepulang dari konsulat, Westerling pulang ke rumah dan membicarakan keinginannya kepada keluarga-nya untuk menjadi seorang tentara yang sudah sejak lama diimpikannya. Mendengar pernyataan Westerling tersebut Sophia dan Palymra menangis. Seluruh anggota keluarganya tidak setuju termasuk ayah-nya, Paul

Westerling. Walau begitu Westerling tetap teguh pada pendiriannya untuk menjadi seorang tentara. Sehingga terjadi percakapan Westerling dengan Ayah-nya:

“My son, you are not made for the army “My son,” he said, “you are not made for the army. They will tell you what you’re supposed to do, and if you don’t do it they’ll clap you into the guardhouse. In fact, knowing you as I do, I predict that you will spend most of your army career in the guardhouse.” “Have you ever been in the army, Father?” I asked him. “Certainly not!” “Was your father ever in the army?” “Of course not!” “Was his father ever in the army?” “None of our family has ever been so foolish,” my father answered, “till you.” “Then,” I said crushingly, “how can you tell that I’m not made for the army? You don’t know anything about the army. Nobody in our family” tahu apa-apa tentang tentara. Tidak ada yang pernah menjadi tentara. ". (Anakku, kamu tidak dibesarkan untuk masuk militer, kamu tidak dibuat untuk tentara. Mereka akan memberi tahu Kamu apa yang harus Kamu lakukan, dan jika Kamu tidak melakukannya, mereka akan memasukkan Kamu ke dalam pos jaga. Faktanya, mengenal Kamu seperti Saya, Saya memperkirakan bahwa Anda akan menghabiskan sebagian besar karir militer Anda di pos jaga." “Apakah Kamu pernah menjadi tentara, Ayah?” Saya bertanya kepadanya. "Tentu tidak!" “Apakah ayahmu pernah menjadi tentara?” "Tentu saja tidak!" “Apakah kakek-mu pernah menjadi tentara?” "Tak satu pun dari keluarga kami yang sebodoh ini," jawab ayahku, "sampai kamu." “Lalu,” kataku dengan putus asa, “bagaimana kamu bisa tahu bahwa aku tidak diangkat menjadi tentara? Anda tidak tahu apa-apa tentang tentara. Tak seorang pun di keluarga kami).91

90 Matanasi, op.cit., hal. 14. 91 Westerling, op.cit., hal. 12-13.

54

Universitas Sumatera Utara Ayah-nya sebenarnya ingin Westerling melanjutkan usaha barang antik yang sudah sejak lama dirintis.92 Pendidikan formal yang ditempuh oleh Westerling sendiri semata-mata menurut keinginan ayah-nya untuk melanjutkan usaha tersebut, bukan untuk bergabung dengan militer. Tetapi, setiap orang mempunyai jalan hidup yang berbeda termasuk Westerling. Westerling sudah sejak dini terobsesi dengan dunia militer dan pada kesempatan inilah menurut-nya obsesi itu akan terwujud.

Westerling akhirnya tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh orangtuanya.

Ia tetap berangkat sesuai dengan apa yang telah dicita-citakannya menjadi seorang militer. Westerling berangkat ke Mesir, tetapi sebelum itu ia harus bergabung terlebih dahulu dengan pasukan Australia. Bersama kesatuannya, Westerling ikut angkat senjata di Mesir dan Palestina. Inilah momen pertama Westerling berperang secara nyata dan menurutnya sangat menyenangkan.

Dua bulan kemudian, ia dikirim ke Inggris dengan kapal. Di sinilah sifat pembangkangannya mulai muncul. Di sana, ia menyelinap menuju ke Kanada, melaporkan diri ke Tangsi Ratu Juliana, di Sratford, Ontario. Kemudian, ia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada dan di situlah ia belajar berbahasa

Belanda.93

92 Hal ini kemudian menjadi nyata setelah Westerling selesai berkarir dari militer. Lihat NRC Handelsblad, 18 Desember 1979, No. 2. 93 Agus N. Cahyo, 2014, Tragedi Westerling: Sang Pembantai Rakyat Indonesia, Jakarta: Palapa, hal. 36.

55

Universitas Sumatera Utara Dengan begitu, obsesi yang sudah sejak lama dipupuk oleh Westerling telah terwujud. Menjadi seorang militer adalah sebuah kebanggaan menurut Westerling, dalam perkembangannya Westerling akan mendapatkan pelatihan-pelatihan militer dan dalam hal ini banyak diterapkan pada praktik kekerasannynya di Indonesia, demikian hal di Kota Medan.

3.2 Mengintegrasikan Bekas Jajahan

Sebagaimana yang telah dideskripsikan sebelumnya, kedatangan Belanda ke

Indonesia adalah untuk menguasai kembali, tetapi dalam hal ini tidak seperti sebelumnya sebagai wilayah “jajahan”. Belanda sendiri, mempunyai upaya untuk mengintegrasikan Indonesia ke dalam wilayah Belanda menjadi sebuah Negara bagian, hal ini dikumandangkan oleh Ratu Wilhelmina di Belanda pada tahun 1940 sebelum pasukan Jepang datang ke Indonesia.94 Tetapi hal tersebut tidak tercapai, karena Jepang terlebih dahulu menginvasi Hindia Belanda. Dan pada saat deklarasi kemerdekaan Indonesia, Belanda berupaya kembali untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Namun, Hindia Belanda yang mereka kenal sejak dulu sudah berubah drastis dan tidak segan-segan mengusir mereka dari tanah negeri ini.

Selain itu, Belanda akan sangat rugi, bila Indonesia berdikari. Secara politik,

Belanda lah yang membangun sendi-sendi pemerintahan di Hindia Belanda secara umum yang sudah tersusun rapi. Dalam aspek ekonomi, wilayah Kota Medan yang merupakan basis aksi kekerasan Westerling adalah tanah yang sangat menjanjikan

94 Kahin, op.cit., hal. 81.

56

Universitas Sumatera Utara pada mereka bercokol di sana. Daerah tersebut sudah menjadi penunjang ekonomi

Belanda dalam bentuk perkebunan-perkebunan yang sayang sekali bila dimiliki oleh

Indonesia. Sebagaimana dicatat oleh Anthony Reid dalam “Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka” wilayah Sumatera Timur yang di dalamnya termasuk Kota Medan, sudah menggantikan roda perekonomian Hindia Belanda pada abad ke-19 sampai abad 20, yang sebelumnya bertumpu di Jawa.95

Pasukan Belanda yang pertama kali ke Kota Medan pada awal kemerdekaan adalah Brondgeest, untuk memetakan pasukan Jepang yang akan diserang secara serempak dan memastikan keadaan para tawanan orang Eropa, serta mempertanyakan kembali kesetiaan para swapraja di Sumatera Timur. Sedangkan Westerling akan menyusul beberapa saat kemudian.96

Keadaan di Kota Medan pada saat Westerling tiba sudah kacau, hal ini memberi isyarat, keinginan untuk mengintegrasikan bekas jajahan itu prosesnya akan sangat panjang. Atas inisiatif sendiri, Westerling pun bertindak ala bak pahlawan dengan melancarkan beragam aksi kekerasan, hal ini akan dijelakan pada bab selanjutnya.

Perlu penulis tekankan kembali, secara struktural aksi kekerasan yang dilakukan oleh Westerling di Kota Medan telah sponsori oleh Belanda yang mana telah dipersiapkan di Kolombo dan Australia. Benar bahwa latar belakang aksi

95 Lihat Anthony Reid dalam “Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka.” 96 Biro Sejarah Prima, loc.cit.

57

Universitas Sumatera Utara kekerasan Westerling dilatarbelakangi faktor psikologis, tetapi hal itu tidak akan sampai bila Belanda sendiri tidak memberikan wadah kepada Westerling untuk melancarkan aksi-aksinya. Dengan demikian, bila mengutip konsep kekerasan

Galtung, yakni kekerasan langsung dan tidak langsung (struktural) pada peristiwa kekerasan Westerling di Kota Medan keduanya mempunyai kesesuaian.

3.3 Dari Kolombo ke Kota Medan

Ketika pertama kali terjun ke Mesir, Westerling sebenarnya belum pernah mendapatkan pelatihan militer secara khusus. Ia hanya mengandalkan modal nekad dan keinginan untuk berperang yang sudah sejak lama diimpikannya. Dalam hal itu akhirnya Westerling dikirim ke Inggris untuk mendapatkan pelatihan militer. Willlem

(1984) mengisahkan, pada 27 Desember 1941, Westerling dikirim ke Inggris dan bertugas sekaligus mendapatkan pelatihan, di Brigade Prinses Irene di

Wolverhampton, dekat Birmingham. Westerling termasuk salah satu diantara 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di

Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda.

Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai “it’s hell on earth” (neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain ialah unarmed combat (perkelahian tangan kosong), silent killing (penembakan

58

Universitas Sumatera Utara tersembunyi), deat slide and how to fight and kill without firearms (berkelahi dan membunuh tanpa senjata api), killing sentry (membunuh pengawal), dan sebagainya,

Di Skotlandia, Westerling memperoleh baret hijau. Spesialisasinya adalah sabotase dan peledakan. Ia pun mendapat baret merah dari SAS (The Special Air

Service), pasukan khusus Inggris yang terkenal. Yang paling membanggkannya adalah ia pernah bekerja di dinas rahasia Belanda di London, pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, dan menjadi instruktur untuk bertempur tanpa senjata dan membunuh tanpa bersuara. Meskipun demikian, Westerling pernah ditugaskan di dapur sebagai pengupas kentang untuk keperluan logistik perang. Hal ini membuat hidupnya menjemukan, karena harus terus berada di barak. Ia ingin mencium bau mesiu dan berada dalam keramaian pertempuran yang sebenarnya; bukan hanya latihan seperti yang selama ini ia lakukan.97

Tugas utama pasukan komando dalam perang adalah menyusup ke dalam daerah pertahahan lawan sebelum datang pasukan regular dalam jumlah yang lebih besar. Kedatangan pasukan komando yang lebih awal adalah untuk mempersiapkan jalur pasukan regular yang jumlahnya lebih besar. Jumlah pasukan komando yang menyusup biasanya tidak lebih dari sepuluh orang. Dan biasanya mereka diterjunkan dari pesawat dan mendarat di pantai atau tempat yang sepi secara diam-diam, kemudian ber-kamuflase sebagai penduduk sipil.

97 Matanasi, loc.cit., Westerling, loc.cit.,

59

Universitas Sumatera Utara Keberadaan mereka dalam wilayah lawan biasanya mengumpulkan informasi kekuatan lawan di wilayah tersebut, bahkan melakukan penghancuran bangunan militer musuh (sabotase) dengan berdalih upaya menjaga keamanan dan ketertiban.

Dengan tugas yang semacam itu pasukan komando dituntut memiliki kemampuan menyamar dan menggunakan identitas palsu. Kemampuan lain yang harus dimiliki pasukan komando adalah membangun basis pertahanan di hutan (arson), mencuri dokumen atau senjata lawan (thief), menghancurkan bangunan musuh seperti gedung, jembatan, dan rel kereta api (sabotase).

Selesai pendidikan komando, para prajurit sudah siap untuk diterjunkan ke garis pertahanan musuh. Bulan Oktober 1942 Westerling kembali lagi ke Skotlandia, kali ini sebagai asisten pelatih. Westerling mendapat pangkat kopral dan bertugas sebagai instruktur teknik perkelahian tangan kosong dan teknik membunuh diam-diam. Dia di tempatkan di kesatuan komando 10 sebelum akhirnya menjadi instruktur untuk bidang yang sama.98

Keinginan berada di medan laga pertempuran membuat Westerling mencari cara. Setelah bertugas di Easbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943, Westerling berangkat ke India untuk bertugas di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima South East

Asia Command (Komando Asia Tenggara). Westerling tergabung dalam Troop 2,

98 Matanasi, op.cit., hal. 18-19.

60

Universitas Sumatera Utara sebagai persiapan untuk melakukan tugas operasi-operasi militer di Burma. Tetapi, rencana tersebut dibatalkan, personil Troop 2 mendapat latihan perang hutan.

Pasukan yang batal dikirim ke India tersebut dipecah ke dalam pasukan- pasukan Sekutu yang akan membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman. Sebelum terjun ke Front Eropa, Westerling mendapatkan latihan tambahan sabotase dan kontra-spionase untuk menyusun gerakan bawah tanah di daerah lawan. Beberapa prajurit komando selain Westerling yag mendapatkan pelatihan yaitu: Rokus

Bernadus dan Andi Abdul Aziz (tokoh pemberontak di Sulawesi pada masa kemerdekaan Indonesia).99 Westerling diterjunkan ke Belanda untuk mengorganisir gerakan perlawanan bersenjata terhadap pendudukan Jerman di Belanda.

Westerling bersama pasukan baru tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon. 60 km di Utara Kota Poona. Pada 15 Maret 1944 di

London, Belanda mendirikan Bureau Bijzondere Opdrachten BBO (Biro Tugas

Istimewa), yang bermarkas di Brussel dan dipimpin oleh Pangeran Bernhard yang merupakan suami dari Ratu Juliana, Ratu Belanda. Pada 23 Oktober 1944, Westerling dipanggil bertugas di BBO Brussel, dan pada 1 Desember 1944, pangkatnya naik menjadi Sersan Mayor Menurut Willem (1984), di Belgia itulah Westerling pertama kali merasakan perang yang sesungguhnya.100

99 Matanasi, 2012, Sang Komandan, Jakarta: Terompet Book, hal. 33. 100 Agus, loc.cit. Matanasi, loc.cit.,

61

Universitas Sumatera Utara Tetapi, menurut Westerling sendiri dalam Westerling de Eenling (Westerling si Penyendiri), perkenalan pertamanya dengan perang terjadi di hutan Burma.101

Terlepas dari itu, karir militer Westerling sudah melejit kencang ke permukaan, layaknya roket yang akan lepas landas mengudara. Sebagai prajurit, Westerling juga manusia yang bisa terluka. Terluka dalam perang bagi seorang prajurit merupakan hal yang biasa dan wajar, sekalipun itu seorang prajurit komando. Serangan roket Jerman pada pertengahan Maret 1945 telah melukai-nya dan membuatnya harus beristirahat di rumah sakit.102

Pada tanggal 25 Juni 1945, ia masuk ke dinas KNIL (Koninklijk Nederlands

Indisch Leger) Tentara Kerajaan Hindia Belanda dengan pangkat (reserve) Tweede

Leitnant (Letnan II Cadang) dan ditugaskan di pada Anglo-Dutch Country

Section yang dikalangan Belanda disebut Korps Insulinde (KI).103 KI merupakan sebuah pasukan yang terdiri dari orang-orang Belanda juga orang-orang pribumi

Indonesia yang pernah bergabung dengan militer Hindia Belanda.104 Karir militer

Westerling memang nampak sangat gemilang, tetapi itu semua ditinggalkannya hanya untuk bergabung dengan tentara Belanda. Mungkin Westerling sangat setia kepada tanah leluhurnya tersebut, apalagi dalam hal militer.

101 Baca Dominique Venner dalam “Westerling De Eenling.” 102 Matanasi, op.cit., hal. 20. 103 Agus, op.cit., hal. 38. 104 Matanasi, 2012, Sang Komandan, loc,cit.,

62

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal 17 Juli 1945 Westerling di berangkat ke Kolombo (Sri Lanka).105

Di Australia dan Sri Lanka, Belanda sendiri melakukan persiapan besar-besaran untuk kembali ke Indonesia. Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat maupun udara yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan tentara Repulik Indonesia. Segera setelah diangkat menjadi Panglima

Tertinggi Tentara Hindia Belanda (KNIL), Letnan Jenderal Spoor mengemukakan rencananya untuk membentuk pasukan infanteri, komando serta parasutis yang mendapat pelatihan istimewa.106

Keinginan untuk menguasai Indonesia, khusus Sumatera Timur yang di dalamnya termasuk Kota Medan. Secara kebetulan kehadiran unsur-unsur Belanda di daerah Sumatera Timur khususnya dan Sumatera bagian utara umumnya, telah terjadi beberapa bulan sebelum Jepang menyerah, jadinya paling duluan dibandingkan dengan daerah-daerah manapun lainnya di Sumatera dan Jawa.107 Pada awal tahun

1945 dalam Pasukan Intel 1.3.6. yang merupakan bagian daripada Komando Asia

Tenggara Tentara Sekutu (Southeast Asia Command), telah dibentuk seksi dengan nama “Anglo Dutch Country Section” (ADCS) yang akan ditugaskan ke daerah- daerah bekas jajahan Inggris dan Belanda yang sedang diduduki Jepang.

105 Matanasi, Westerling: Kudeta yang Gagal, loc.cit., 106 Agus, loc.cit., 107 Hal ini memang tidak mengherankan, mengingat banyak sekali asset-aset perkebunan di deerah Sumatera Timur setelah beberapa tahun terlantar akibat invasi Jepang dan Belanda ingin kembali mengambil alih asset-aset perkebunan tersebut.

63

Universitas Sumatera Utara Pada akhir bulan Juni 1945 ADCS telah mendrop lewat udara tiga unit kecil pasukan komando ke daerah Sumatera bagian Utara. Unit pertama diterjunkan dengan parasut di daerah pegunungan Seulimeum (Lam Tebah), unit kedua diterjunkan di daerah Labuhan Batu dan unit ketiga diterjunkan di daerah Riau. Unit keempat yang terdiri dari lima orang anggota pasukan komando di bawah pimpinan Letnan I

(Pelaut) Brondgeest,108 menyusul kemudian, yang diterjunkan dengan parasut tanggal

15 Agustus 1945 di hutan sekitar hulu sungai Besitang, arah hulu Aras Napal, kira- kira 20 kilometer di sebelah barat daya Kota Besitang.

Tugas unit-unit kecil ADCS ini adalah untuk mengumpulkan informasi- informasi serta melakukan kontak-kontak yang berguna bagi pelaksanaan invasi terhadap Malaya yang menurut rencana Laksmana Lord Louis Mountbatten,

Panglima Besar Southeast Asiatic Command (SEAC), akan dilancarkan semenjak tanggal 9 September 1945. Tetapi sebelum proyek invasi Mountbatten itu sempat dilaksanakan, ternyata Jepang telah menyerah kalah.109

Terjadinya perkembangan baru ini, maka pada tanggal 31 Agustus 1945 jam

07.00 pagi, semua unit-unit pasukan komando tersebut, menerima instrukis melalui sandi radio dari pimpinannya di Kolombo.110 Tujuannya untuk meninggalkan persembunyian mereka dan masing-masing menghubungi komando-komando tentara

108 Dalam perkembangannya Westerling akan bekerjasama dengan Brondgeest dalam melancarkan aksi-aksi kekerasan di Kota Medan. 109 Anthony Reid, 2011, Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia, Jakarta: YOI, hal. 302. 110 Kolombo merupakan markas Inggris yang bersekutu dengan Belanda pada masa Perang Dunia Kedua, banyak sekali tentara yang didatangkan dari Kolombo termasuk Westerling sendiri.

64

Universitas Sumatera Utara Jepang di Kutaraja, Medan, Rantau Perapat dan Bagan Siapi-api. Letnan I (L)

Brongeest ditunjuk sebagai komandan Sumatera bagian Utara dan ditugaskan segera memeriksa keadaan para tawanan dan para interniran Sekutu serta sesegera mungkin berusaha meringankan penderitaan mereka. Dengan demikian mereka berfungsi pula sebagai petugas-petugas Rehabilitation Allied Prisoners of War and Internees

(RAPWI). Beberapa waktu kemudian, dalam rangka persiapan bagi kedatangan kontingen pendudukan Sekutu di Kota Medan, Brongeest beserta unitnya ditugaskan pula menjadi wakil Sekutu untuk mempersiapkan.

Setelah menerima instruksi pada jam 07.00 pagi tanggal 31 Agustus untuk meninggalkan persembunyian, Brondgeest beserta unitnya lalu keluar dari tempat persembunyian mereka. Menjelang tengah hari mereka berangkat dari Aras Napal dengan dua buah sampan milik penduduk di kampung itu, menghilir Sungai Besitang dan pada jam 15.00 sampai di Besitang dan didaratkan di tempatkan kediaman Datuk

A. K. Halidi, Kepala Distrik Besitang.

Komandan tentara Jepang menyambut Brondgeest bersama pasukannya secara kaku. Setelah selama tiga jam berada dalam situasi tegang, akhirnya komandan tentara Jepang itu memberikan beberapa buah mobil untuk dikendarai Brondgeest bersama pasukannya ke Kota Medan. Pada malam hari tanggal 31 Agustus menjelang

65

Universitas Sumatera Utara tanggal 1 September, kira-kira jam 02.00 malam, mereka sampai di Medan, lalu menginap di “Hotel de Boer”.111

Sementara itu, Westerling sudah dipersiapkan keberangkatannya untuk menyusul Brondgeest. Pada tanggal 14 September 1945 Westerling sudah tiba di

Kota Medan yang mendarat di lapangan terbang Polonia. Setiba di Medan,

Westerling masih mengikuti instruksi dari Brondgeest untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.

Gambar 4.

Lapangan terbang Polonia Kota Medan tempat yang mana Westerling pertama kali menginjakkan kaki-nya di Indonesia

Sumber: Gallery collections, Nationalarchief, Netherlands (diakses dari: https://www.nationalarchief.nl./onderzoeken/fotocollectie/e8eb73da-a924-71c7-e265- 3afa5d93caa9 pada 10 Januari 2021)

111 Biro Sejarah Prima, op.cit., hal. 77-78.

66

Universitas Sumatera Utara Gambar 5.

Lapangan terbang Polonia dilihat dari foto udara

Sumber: Gallery collections, Nationalarchief, Netherlands (diakses dari: https://www.nationalarchief.nl./onderzoeken/fotocollectie/d2473887-afe4-a022-fa00- 672a1b8c3835 pada 10 Januari 2021).

3.4 Pembebasan Tawanan Perang

Misi Brondgeest dari pihak Sekutu di Kolombo adalah untuk memastikan bagaimana keadaan di Sumatera Timur (menjadi spionase) agar supaya pihak Sekutu lebih mudah untuk melancarkan serangan kepada pihak Jepang dan menyelamatkan para tawanan orang Eropa (Belanda) hingga kedatangan Sekutu yang keadaannya sangat menyengsarakan pada masa pendudukan Jepang. Demikian halnya Westerling ia berkomplotan dengan Brondgeest dalam melaksanakan misi yang diemban tersebut.

Sejak pendudukan Jepang di Kota Medan orang Eropa (Belanda) dijadikan sebagai tawanan, karena meraka tidak sempat melarikan diri ketika Jepang mulai memasuki Kota Medan. Orang-orang Eropa (Belanda) dikumpulkan di kamp tawanan

67

Universitas Sumatera Utara Siringo-ringo dan tugas Westerling adalah untuk membebaskan para tawanan dengan aman dan tertib pada saat ia berada di Medan.112 Baik laki-laki maupun perempuan di kamp Siringo-ringo diberikan Jepang fasilitas yang senonoh dan sama sekali tidak terurus.

Kamp laki-laki bertempat di “hongs”, yang merupakan bekas gudang para pekerja di perkebunan. Kondisi kamp Siringo-ringo ini sangat memperihatinkan, atap kamp sudah lama bocor karena pihak Jepang tidak serius dalam menangani kamp yang dibuat mereka ini. Saluran pembungan air tidak lancar dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Di sekitar daerah kamp juga banyak malaria dan mengeluarkan bau busuk. Ruang kamp yang terbuka membuat sinar matahari masuk secara langsung hingga membakar tubuh. Tidak sedikit para tawanan yang mengalami kelaparan bahkan kematian, akibat perilaku Jepang. Dalam setiap harinya diantara para tawanan ada saja yang dikebumikan.

Setelah Jepang mengalami kekalahan pada Perang Dunia Kedua, tepatnya pada minggu ketiga bulan Agustus 1945. Para tawanan mulai mendapatkan perlakuan baik dari pihak Jepang, seperti para tawanan mulai mendapatkan jatah makanan lebih dari yang biasanya dan keberingasan Jepang semakin melonggar. Pada 1 September

1945 Mayor Lodge (Inggris) dan Letnan Sisselaar (Belanda) tiba di Sumatera Timur.

112 Tim Tempo, Westerling: Ratu Adil dan Tragedi Pembantaian, Jakarta: Tempo Publishing, hal. 20.

68

Universitas Sumatera Utara Kedua deputi tentara pembebasan ini menginstruksikan kepada para tawanan kamp

Siringo-ringo untuk menunggu pendaratan Sekutu.113

Sebagaimana yang telah di deskripsikan pada bab kedua, Medan pada masa awal kemerdekaan mengalami kegoncangan. Penjarahan terjadi dimana-dimana, toko-toko Cina yang pro Belanda selama berkuasa menjadi sasaran rakyat. Bukan penjarahan saja yang terjadi, Kota Medan juga nampak seolah-olah vacuum of power

(kekosongan kekuasaan) tanpa yang ada memimpin kota ini sama sekali. Dalam hal ini Westerling juga ikut mengambil peran dengan menghabisi gerombolan- gerombolan yang dianggapnya sebagai teroris, yang kian menyengsarakan masyarakat setempat.

Medan sendiri pada awal kemerdekaan sangat sensitif terhadap hal-hal yang berbau Belanda yang menjadi salah satu terjadinya kekacauan. Memang hal seperti ini lumrah terjadi, di negeri mana pun saat-saat revolusi meletus yang tampil adalah kekacauan yang tidak terkendali. Dalam lanskap Indonesia umumnya dan Medan khususnya kekacauan itu tidak hanya dikonseptori oleh orang lokal, pihak luar juga terlibat di sana.114

113 Dominique Venner, 1982, Westerling De Eenling, Amsterdam: Uitgeverij Spoor, hal. 43. 114 Pihak luar yang dimaksud adalah Belanda, Jepang, dan Inggris.

69

Universitas Sumatera Utara Gambar 6.

Salah satu Koran Belanda yang menceritakan teror Westerling di Kota Medan

Sumber: Delpher krantens (diakses dari https://www.delpher.nl/nl/kranten/view?query=enquetecommissie+medan+1945+&coll=ddd &identifier=KBNRCO1:0000281:MPEG21:a02228&resultsidentifier=KBNRC01:000028178 :mpeg21:a0228 pada 15 Januari 2021).

Suatu ketika kamp Siringo-ringo diserang oleh rakyat, Jepang yang pada saat itu masih bertindak dalam mengamankan situasi tidak memberikan perlawanan.

Sebaliknya pihak Jepang memberikan ruang kepada rakyat setempat untuk melaksanakan tindakan mereka, seperti melucuti senjata dan melakukan pembunuhan

70

Universitas Sumatera Utara terhadap tawanan.115 Setelah senjata diambil „teroris‟ ini kemudian mereka membuka pintu-pintu sel, lalu melakukan pembunuhan terhadap para tawanan yang sudah tidak berdaya. Dalam hal itu Westerling bersama pasukannya melakukan perlawanan terhadap gerombolan „teroris‟ ini hingga kemudian mereka melarikan diri.116

Karena keadaan di kamp Siringo-ringo yang semakin tidak terkendali akibat serangan-serangan yang dilakukan oleh para pemuda/rakyat setempat.117 Westerling mendesak pihak Jepang dan Inggris untuk mendiskusikan permasalahan yang sedang dihadapi. Tetapi, diskusi yang cukup panjang itu tidak membuahkan hasil sama sekali bagi Westerling. Hingga kemudian Westerling menarik kesimpulan sendiri, yang terdiri dari 4 hal:

1. Konsolidasi harus dilakukan di Medan dan sekitarnya, semua elemen ektremis

harus ditangkap dan dibawa ke penjara Suka Mulia yang saat ini memang

sedang kosong.

2. Evakuasi semua tawanan dan dalam hal mobilisasi harus dikawal oleh pihak

Jepang supaya tetap aman dari gerombolan teroris.

3. Selama evakuasi dilaksanakan pihak Jepang harus memberikan perlindungan,

hal ini dikhawatirkan para teroris datang secara tiba-tiba.

115 Kebencian terhadap Belanda sebenarnya semakin tidak terbendung pada awal revolusi, setelah sekian lama dijajah. Terdengar isu bahwa Belanda akan kembali „menguasai‟ Indonesia, hal ini telah memicu rakyat setempat untuk melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda di kamp Siringo-ringo. Jika Westerling kemudian menyatakan hal ini sebagai aksi „teror‟, merupakan justifikasi-nya atas aksi-aksi kekerasan yang dilakukannya di Kota Medan dan ia menyebutnya sebagai menjaga keamanan dan ketertiban. 116 Westerling, op.cit., hal. 40. 117 Dalam tulisan ini kata “pemuda” dan “rakyat” mempunyai konotasi yang sama, dan kata ini akan silih berganti digunakan oleh penulis.

71

Universitas Sumatera Utara 4. Penambahan gudang senjata harus dilakukan karena pihak Sekutu saat di

Kolombo telah diberikan Jepang “lampu hijau” agar senjata mereka dilucuti

dan tidak lagi diambil oleh para teroris.

Diantara pihak Republiken yang dianggap teroris oleh Westerling adalah PKI dan TKR. Menurut Westerling, mereka mendapatkan senjata dengan mudah dari pihak Jepang untuk melancarkan aksi teror-nya. Dalam hal ini Brondgeest memberikan wewenang kepada Westerling yang sudah “haus darah” untuk melakukan aksi kekerasannya kepada kelompok-kelompok teroris yang ia maksud dan mereka harus mempertanggung jawabkan yang telah diperbuat.118

Tanpa kesulitan yang berarti Westerling membunuh tiga pemuda Indonesia dan beberapa diantara mereka dijebloskan Westerling ke penjara Suka Mulia, yang sebelumnya tidak sempat dibunuh oleh Westerling. Westerling juga mencuri arsip- arsip PKI dan TKR sebagai justifikasi atas tindakan yang ia lakukan. Sejak

Westerling mulai melancarkan aksi-aksi kekerasannya, pihak Jepang malah menghilang dari jalan-jalan di Kota Medan yang sebelumnya rutin dilaksanakan mereka. Tindakan Jepang ini semakin membuat Westerling leluasa dalam melakukan tindakannya. Sebenarnya hal ini dilakukan Jepang karena tidak ingin terlibat dalam proses jangka panjang atas kekacauan yang sedang terjadi dan takut menjadi sasaran antara kedua belah pihak yang sedang berkonforontasi

118 Nieuwsblad van het Noorden, 03 Maret 1984, No. 41.

72

Universitas Sumatera Utara Jepang sejak awal lebih „terbuka‟ terhadap perjuangan kemerdekaan

Indonesia, dibandingkan pihak Sekutu yang akan datang kembali menguasai

Indonesia. Dalam banyak hal, Jepang memang sengaja memberikan ruang kepada pemuda Indonesia agar senjatanya dilucuti. Seperti yang terjadi di Pelabuhan

Belawan dan Bulu Cina. Dengan demikian, dugaan Westerling terhadap pihak pemuda ada benarnya, bahwa Jepang berkolaborasi dengan pihak Indonesia.

Tetapi, Westerling menganggap bahwa Jepang yang berkolaborasi dengan pihak Indonesia adalah mereka yang sering melakukan „teror‟ kepada masyarakat yang dianggap pro-Belanda. Mereka melakukan hal-hal yang tidak senonoh, seperti mencuri, merampok, hingga membunuh. Target mereka adalah orang-orang kaya dan yang bekerjasama dengan Belanda. Westerling memberi contoh, bahwa mereka tergabung dalam organisasi laskar Gagak Hitam dan Banteng Hitam.119

Mereka yang kaya-kaya ini merupakan golongan kelas dua pada masa pemerintahan kolonial Belanda, salah satunya orang-orang Tionghoa. Dalam perkembangannya karena orang-orang Tionghoa sering mengalami penjarahan atau perampokan, maka Westerling menginisiasi organisasi tandingan yang juga menteror masyarakat setempat, yakni Poh An Tui (PAT). Organisasi ini mempunyai tugas untuk menjaga keluarga-keluarga Tionghoa dari gerakan-gerakan yang dilancarkan oleh laskar rakyat.120

119 Dominique Venner, op.cit., hal. 95-96. 120 Tim Tempo, op.cit., hal. 21.

73

Universitas Sumatera Utara Perlu diketahui juga bahwa tidak semua orang-orang Tionghoa di Kota Medan pro-Belanda. Mereka juga banyak yang nasionalis, ikut berjuang bersama masyarakat

Indonesia dan menetap setelah pengakuan kedaulatan. Adapun mereka yang pro-

Belanda adalah orang-orang Tionghoa yang hanya mencari keuntungan semata di bumi Indonesia. Itu sebabnya mereka menjadi salah satu sasaran amarah rakyat pada masa revolusi di Kota Medan.121

Rencana yang dilakukan oleh Westerling untuk membebaskan para tawanan dari kamp Siringo-ringo membuahkan hasil, walaupun sempat mengalami kemacetan akibat gempuran-gempuran yang dilancarkan oleh para pemuda. Mereka dibawa ke daerah Polonia yang merupakan tempat yang paling aman. Di Polonia sendiri banyak orang Eropa, seperti orang-orang Swiss yang sebelumnya telah bertempat tinggal di sana sebelum kedatangan Westerling dan daerah dijaga ketat oleh militer Sekutu.122

Keberhasilan Westerling dalam mengkonsolidasikan para tawanan bukan dari hasil simpulan yang terdiri dari empat rencana seperti yang ia sebutkan sebelumnya.

Malah Westerling menggunakan kekuatan pasukannya yang pada awal pendaratannya di Kota Medan terdiri dari 200 orang lengkap dengan persenjataannya. Westerling sudah tidak percaya lagi kepada pihak Jepang atas tindakan yang telah mereka

121 Silahkan baca buku Taomo Zhou dalam “Revolusi, Diplomasi, Diaspora Indonesia Tiongkok dan Etnik Tionghoa 1945-1967”. 122 Dominique Venner, op.cit., hal. 99.

74

Universitas Sumatera Utara lakukan, yang membuat Westerling harus mencari solusi sendiri sekalipun lewat jalan darah.123

Setelah pendaratan Sekutu yang dipimpin oleh T.E.D Kelly di Pelabuhan

Belawan, Westerling mengira tugasnya telah selesai. Westerling yang dilatih secara komando memang tugasnya melakukan kontra-spionase, mengumpulkan informasi, melakukan teror terhadap pengacau agar supaya keamanan dan ketertiban terjaga.

Tetapi, T.E.D. Kelly tidak setuju apabila Westerling pergi meninggalkan Kota

Medan. Kelly menyuruh Westerling agar tetap di Medan, tetap melakukan tugasnya seperti biasa.124 Westerling yang tidak jadi pergi meninggalkan Kota Medan mengindikasikan bahwa aksi-aksi kekerasannya semakin berlanjut.

Dari uraian sebelumnya, kekerasan yang dilakukan oleh Westerling sudah terencana dengan baik oleh Belanda sebelumnya. Bila mengacu pada konsep kekerasan Sorel bahwa kekerasan terjadi karena penurunan kekuasaan, oleh sebab itu kekuasaan tersebut harus direbut kembali. Tidak berbeda jauh dengan Wolf, kekerasan bisa terjadi didasari oleh kekuasaan, kekuatan, dan wewenang. Kekuasaan pada konteks ini Belanda yang merupakan salah satu negara pemenang Perang Dunia

Kedua mempunyai kekuatan untuk menguasai kembali negara yang pernah dijajahnya dan wewenang tersebut salah satunya diembankan kepada Westerling. Demikian halnya konsep kekerasan oleh Galtung, kekerasan tidak langsung (struktural)

123 Westerling, op.cit., hal. 44. 124 Dominique Venner, op.cit., hal. 109.

75

Universitas Sumatera Utara kekerasan secara langsung. Kekerasan secara tidak langsung (struktural) dapat diilhat bahwa Belanda telah mempersiapkan langkah Westerling untuk mendarat di Kota

Medan dan memastikan bahwa wilayah tersebut bisa dikendalikan sebelum pasukan dalam jumlah besar datang untuk menguasai kembali. Kekerasan secara langsung dapat dilihat ketika Westerling mulai melancarkan aksi kekerasannya yang didasari pada faktor psikologis. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ia mempunyai kebiasaan yang terbilang “aneh” pada usia lima tahun, ia suka membaca buku-buku detektif terutama yang membahas tentang pembunuhan. Dan dalam hal ini dapat ia wujudkan saat menjadi militer, termasuk yang ia lakukan di Kota Medan.

76

Universitas Sumatera Utara BAB IV AKSI-AKSI KEKERASAN WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946)

Kedatangan Westerling di Kota Medan sudah direncanakan dengan matang oleh pihak Belanda. Sebagai yang pernah mendapatkan pelatihan komando, tentu membunuh para ekstremis merupakan hal yang mudah baginya. Tidak mengherankan bila hal semacam ini bagi Westerling bukan persoalan yang sulit baginya.

Ketika sekutu sudah mendarat di Medan, Westerling mengira tugas telah selesai. Namun T.E.D Kelly meminta Westerling supaya tetap berada di Medan untuk membantu tugas yang diembannya, ia pun akhirnya menyetujui permintaan Kelly ini.

Dengan begitu, maka teror kekerasan Westerling masih terus berlanjut dalam tahap yang lebih luas.

Pada Peristiwa Jalan Bali yang sangat terkenal itu, Westerling melepaskan tembakan kepada salah satu pemuda yang berakibat kekacuan di Medan semakin tidak terkendali. Ia juga membunuh seorang pemuda yang bernama Tarigan lewat operasi senyap. Menurutnya Tarigan adalah sosok manusia yang sering membuat kacau Kota Medan.

Tidak tanggung-tanggung, ia juga membunuh seorang pemuda rakyat dan meletakkan kepala korban di trotoar Masjid Sultan Deli, dengan tujuan mengintimidasi masyarakat setempat dan membenamkan kepercayaan masyarakat terhadap pihak Republiken yang terus mengawal kemerdekaan.

77

Universitas Sumatera Utara Warga Tionghoa di Kota Medan yang relatif tidak aman dikoordinir oleh

Westerling supaya membentuk Pao An Tui (PAT). PAT ini tujuan awalnya menjaga keamanan dan ketertiban warga Tionghoa. Tetapi, hal tersebut tidak terwujud sebagaimana tujuan awalnya, malah mereka melakukan teror terhadap warga setempat dan melakukan patrol-patroli yang tidak masuk akal.

4.1 Dua Tembakan di Jalan Bali

Gambar 7.

Bekas Pension Wilhelmina yang diserbu warga Kota Medan pada Peristiwa Jalan Bali

Sumber: Diolah dari, Lila Pelita Hati, dkk. (Jurnal “Pembangunan Perkotaan”, volume 5, No. 2 Juli-Desember 2017).

78

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal 10 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mulai mendarat di Pelabuhan Belawan.125 Ada dua tugas yang diemban mereka di Kota Medan khususnya. Pertama, melucuti bala tentara Jepang di Kota Medan, sekaligus mengirim mereka kembali kenegerinya. Kedua, membebaskan dan merahabilitasi tawanan Perang berbagai negara Sekutu (termasuk Belanda) yang berada dalam kamp-kamp tawanan Jepang di berbagai daerah Indonesia.126 Dalam artian pasukan

Sekutu ini (Inggris) yang merupakan pemenang Perang Dunia Kedua harus menjaga keamanan dan ketertiban di daerah koloni lawan mereka setelah perang berakhir.

Tetapi, tugas yang diemban mereka sebagai penjaga “keamanan dan ketertiban” tidaklah sesuai dengan fakta di lapangan. Tiga hari setelah pendaratan

T.E.D Kelly beserta pasukannya kekacauan pun terjadi di Kota Medan, peristiwa ini dikenang sebagai “Peristiwa Jalan Bali”.

Awal mula terjadinya Peristiwa Jalan Bali (Jalan Veteran sekarang) ketika seorang pemuda bernama Abdul Wahid Marbun127 lewat di Pension Wilhelmina yang merupakan markas bekas tentara KNIL pimpinan Westerling.128 Berita kemerdekaan memang sudah menyebar hampir di seluruh Kota Medan, lantas Wahid yang begitu menjiwai semangat kemerdekaan memakai lencana merah putih sebagai representasi

125 Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, loc.cit., M.C. Riclklefs, loc.cit., George Mc Turnan Kahin, loc.cit., 126 Muhammad TWH, 1999, Sumatera Utara Bergelora (Kisah-kisah Nyata Perang Kemerdekaan RI), Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, hal. 131. 127 Di beberapa literatur dinyatakan bahwa Abdul Wahid Marbun merupakan seorang pedagang pakaian yang tidak sengaja lewat di Pension Wilhelmina dengan menggunakan lencana merah putih. 128 M.F. Mukhti, loc.cit., Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, loc.cit.,

79

Universitas Sumatera Utara bahwa negeri-nya sudah merdeka dari belenggu penjajah.129 Wahid kemudian diberhentikan seorang tentara NICA, yang merupakan seorang pengawal dari suku

Ambon130 menginjak lencana merah putih yang dipakainya.131 Awalnya pasukan

Westerling menyuruh Wahid agar menelan lencana merah putih yang tersemat di dadanya, Wahin menolak menelannya, hingga akhirnya disiksa sehingga terlepaslah lencana merah putih tersebut. Wahin dapat meloloskan diri dan meminta bantuan kepada para pemuda, seperti L.F. Hutapea dan Abdul Manaf Lubis.132

Dalam melihat hal ini, di Medan dan Jakarta mempunyai kesamaan motif peristiwa. Seperti yang dicatat oleh Rosihan Anwar ketika menjadi wartawan di

Jakarta:

“…..Kalau kedapatan “Pemuda Pelopor” atau rakyat biasa membawa lencana Merah putih, maka serdadu-serdadu NICA memaksa mereka menelannya. Karena banyak korban timbul akibat dipaksa menelan lambang merah putih, maka lencana kemudian tiada lagi dibikin dari seng, tetapi dari kain….”133 Jika dianalisis catatan Rosihan Anwar sekitar peristiwa revolusi di Jakarta tentang lencana merah putih. Persis mempunyai kesamaan perilaku tentara NICA terhadap pihak Republiken, menyuruh menelan lencana merah putih. Hal ini menunjukkan bahwa sudah ada perintah dari pihak Sekutu, apabila ada rakyat

129 Tim Penulis, 1957, Sumatera Utara, Medan: Djawatan Penerangan Propinsi Sumatera Utara, hal. 41. 130 Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, op.cit., hal. 224. 131 Muhammad TWH, 1997, Belanda Gagal Rebut P. Berandan, Medan: Yayasan Pelesatarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, hal. 66. 132 M.F. Mukhti, loc.cit., 133 Rosihan Anwar, 2015, Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: Buku Kompas, hal. 129.

80

Universitas Sumatera Utara Indonesia menggunakan lencana yang demikian, maka lakukan tindakan seperti yang telah diinstruksikan.

Tidak berselang lama dan tanpa ada komando pada tanggal 13 Oktober 1945 sekitar jam 10.00 pagi terjadilah penyerbuan terhadap Pension Wilhelmina di Jalan

Bali Medan tempat penampungan bekas KNIL (Koninkelijke Nederlands Indische

Leger) untuk menjadi serdadu NICA dan mereka mulai dipersenjatai. Ratusan pemuda dan pedagang Pusat Pasar serta yang berjualan di kaki lima melakukan penyerbuan. Baku hantam pun terjadi pisau-pisau dihunus untuk menghantam tentara

NICA,134 karena diantara NICA itu ada yang menggunakan senjata api menyebabkan jatuh korban-korban di pihak penyerbu. Di pihak Belanda beberapa orang tewas dan puluhan yang mengalami luka berat dan ringan.135

Saat terjadi penyerbuan pihak Republiken terhadap markas tentara NICA di

Pension Wilhelmina, tiba-tiba dari sebuah mobil jip yang melaju kencang ditumpangi oleh dua orang Belanda melepaskan dua tembakan pistol ke tengah kerumunan dengan membabi buta. Seorang Indonesia tewas akibat tembakan yang dilepaskan oleh kedua orang Belanda itu.136 Ternyata, salah seorang yang melepaskan tembakan dari mobil jip tersebut adalah Westerling.137

134 Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, loc.cit., 135 Muhammad TWH, Belanda Gagal Rebut P. Berandan, loc.cit., 136 Tim Penulis, Sumatera Utara, op.cit., hal. 40. 137 M.F. Mukhti, loc.cit.,

81

Universitas Sumatera Utara Menurut F. Hutapea salah seorang diantara penyerbu itu mengatakan, penyerbuan itu dilakukan secara spontan, menyerbu secara membabi buta. Ketika penyerbuan sudah dilakukan terdengar lagi suara tembakan, seorang pemuda yang tidak jauh dari F. Hutapea terkena tembakan dan roboh. Pemuda itu kemudian diangkat oleh teman-temannya keluar dari lokasi penyerbuan itu, lukanya kelihatan agak parah, tapi F. Hutapea sendiri tidak tahu apakah pemuda itu tewas. Tetapi, yang diketahui pasti benar bahwa pemuda itu adalah pemuda dari suku Karo.

Peristiwa penyerbuan ini segera disampaikan ke Markas BPI (Barisan Pemuda

Indonesia) di Jalan Istana Medan (Jalan Pemuda Sekarang) karena ketua I BPI berkantor di sana. Mengetahui kejadian ini segera Ahmad Tahir memberitahukan ke pos-pos BPI yang tersebar dalam Kota Medan, untuk membantu para penyerbu, kendatipun BPI sebuah organisasi yang baru satu bulan dibentuk praktis tidak punya senjata. Karena Inggris pun dikagetkan dengan kejadian tersebut, juga mencoba menghubungi Ahmad Tahir untuk meredakan suasana. Sementara pihak Jepang yang juga merasa diberi kuasa untuk menjaga keamanan dan ketertiban juga meminta pemimpin pemuda untuk mengambil langkah-langkah meredakan penyerbuan itu.

Menurut Ahmad Tahir ketika ditanyakan penulis buku “Belanda Gagal Rebut

P. Berandan” (Muhammad TWH), apakah pihak Sekutu dan Jepang yang melapor kepada Bapak ketika terjadinya penyerbuan itu. Oleh sesepuh pejuangan Sumatera

Utara ini dikatakan, bahwa ketika keadaan kalut begitu pihak Inggris dan pihak

Jepang serta pihak-pihak lainnya melaporkan itu kepada Pak Tahir (ketua I BPI),

82

Universitas Sumatera Utara waktu itu BPI seolah-olah sudah dianggap Pemerintah Indonesia. kemudian setelah

Belanda-Belanda itu di “kerjai” oleh para pemuda, Pak Tahir datang ke lokasi, dan dilihat korban-korban bergelimpangan, kemudian Jepang yang diberi kuasa oleh

Inggris melakukan tindakan pengamanan dan mengerahkan tank-nya ke tempat itu.

Ketika ditanya oleh penulis (Muhammad TWH), Pak Tahir datang ke lokasi penyerbuan, bapak mengenakan jas panjang seperti Napoleon Bonaparte, Pak Tahir menjawab ya…. sambil tersenyum.138

Meskipun kerusahan itu berhasil diredam, kurang dari dua jam kemudian sejumlah besar kekuatan pemuda kembali menyerang asrama di Jalan Bali itu.139

Dalam jumlah yang lebih besar, datang menyerbu dan dalam ini hal tidak mengenal ampun lagi. Perkelahian sengit berkecamuk di pekarangan gedung dan dilanjutkan langsung ke dalam geudung. Bambu runcing, tombak, parang, lembing dan sebagainya kembali memainkan peranannya. Para serdadu NICA yang bersenjatakan modern kewalahan menghadapi serbuan amuk massa laksana serbuan lebah mengamuk, sehingga kehilangan keseimbangan dan tidak dapat mempergunakan senjatanya secara wajar. Dalam waktu yang relatif singkat, Pension Wilhelmina sebagai kubu di pusat Kota Medan telah diporak-porandakan. Campur tangan tentara

Jepang tidak dapat lagi menghalangi kemarahan rakyat untuk penghancuran kubu

NICA itu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menyelamatkan yang luka-luka ke rumah sakit dan memindahkan yang lain-lain ke daerah Polonia, daerah tempat

138 Muhammad TWH, Belanda Gagal Rebut P. Berandan, op.cit., hal. 70-71. 139 Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, loc.cit.,

83

Universitas Sumatera Utara kedudukan tentara Inggris.140 Peristiwa ini menyebabkan enam orang pasukan NICA

Belanda terbunuh dan sekitar 100 orang Ambon dan Manado mengalami luka-luka.

Sumber lain menyatakan yang tewas dalam peristiwa tersebut enam orang Aceh dan dua orang berkebangsaan Swiss.141 Sedangkan menurut Anthony Reid, dua orang

Belanda yang mengurus asrama itu juga terbunuh, demikian juga satu keluarga Swiss dibunuh juga.

Tidak di Medan saja kerusuhan terjadi, gelombang kekerasan pemuda juga menjalar cepat ke Pematang Siantar. Suatu detasemen yang terdiri dari lima tentara

Brondgeest diinapkan di Hotel Siantar untuk berusaha mengawasi kepergian sejumlah besar tentara Jepang dari pusat tentara di kota itu. Pada 15 Oktober 1945 pertempuran terjadi antara para pemuda dan orang-orang Belanda ini. Hotel itu dikepung dan akhirnya dibakar, sedangkan semua Belanda itu terbunuh kecuali seorang perwira piket yang sedang melapor kejadian tersebut ke Medan.142

Mengenai Peristiwa Jalan Bali ini ada dua versi, yakni sebagai berikut:

Versi pertama, F. Hutapea dan Abdul Wahid yang berada di Jalan Bali sejak pagi dan turut melakukan penyerbuan sekitar jam 10.00 pagi dan penyerbuan serta perkelahian itu berlangsung sekitar 2 jam. Akhirnya para serdadu Belanda (NICA) melarikan diri kea rah Titi Gantung menuju Grand Hotel De Boer untuk meminta perlindungan dari Sekutu. Pension Wilhelmina ditinggalkan korban-korban luka-luka

140 Biro Sejarah Prima, op.cit., hal. 132. 141 M.F. Mukhti, loc.cit., 142 Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, loc.cit.,

84

Universitas Sumatera Utara bergelimpangan di halaman Pension Wilhelmina. Setelah siang sekitar jam 12.00, para penyerbu meninggalkan tempat itu, F. Hutapea dan kawan-kawannya pergi ke

Pasar Central ke toko tempat parang-parang yang berdarah bekas bacokan serdadu

Belanda sejak Pension Wilhelmina itu ditinggalkan gedung tersebut dijaga oleh para pemuda. Pada hari-hari berikutnya menurut pelaku sejarah Kolonel (Purn.) A.S.

Rangkuti gedung ini dijadikan tempat pendaftaran para Kader Berastagi yang akan diberi pendidikan dan latihab militer.

Versi kedua, Peristiwa Jalan Bali ini terjadi dua gelombang, gelombang pertama pagi jam 09.00 perkelahiannya masih terjadi di luar gedung Pension

Wilhelmina kemudian ada penembakan yang datangnya dari dalam Pension

Wilhelmina menyebabkan ada korban yang jatuh. Para pemuda yang sudah marah karena lencana merah putih diinjak-injak segera menyerbu dan terjadilah perkelahian yang sengit. Setelah perkelahian ini pemimpin pemuda Ahmad Tahir datang meredakan suasana. Sekitar jam 15.00 tembakan dilepaskan lagi dari dalam Pension

Wilhelmina ke arah kerumunan orang yang berdiri di tepi jalan dan lapangan di samping Jalan Bali, maka penyerbuan terjadi lagi gelombang kedua.143

Dari dua versi di atas, penulis cenderung menggunakan versi yang pertama. F.

Hutapea dan Abdul Wahid Marbun adalah penyebab dan pelaku sejarah pada peristiwa tersebut. Dalam catatan sejarah, tidak ada penembakan yang datang dari dalam gedung saat perkelahian terjadi. Justru tembakan itu datang dari luar gedung

143 Muhammad TWH, Belanda Gagal Rebut P. Berandan, op.cit., hal. 75.

85

Universitas Sumatera Utara menggunakan mobil jip yang dilakukan oleh Westerling. Jika melihat lagi hasil catatan Rosihan Anwar di Jakarta konflik semacam ini juga didadasari lencana merah putih.

Setelah terjadinya peristiwa itu, maka pada tanggal 18 Oktober keluarlah maklumat T.E.D. Kelly, komandan tentara Inggris di Medan. Menyatakan bahwa, rakyat dilarang bersenjata dan harus menyerahkan senjata tersebut kepada tentara

Sekutu.144 Tetapi, Kelly sendiri mengingkari maklumat tersebut ketika diwawancarai

Muhamma Yusuf, wartawan senior Harian berbahasa Inggris di Jakarta, The

Indonesian Times di Singapura pada tanggal 5 sampai 11 Oktober 1979. Berikut kutipan wawancara singkatnya:

Muhammad Yusuf: Benarkah Anda meminta laskar dan Barisan Pemuda Indonesia untuk menyerahkan seluruh senjata mereka? Kelly: Saya mengundang beberapa tokoh yang Saya ingat, tokoh yang bernama Hasan, Muhammad Yusuf, Xarim M.S dan lain-lain untuk mencari jalan keluar agar jangan terjadi pertumpahan darah. Muhammad Yusuf: Mungkin yang Anda maksud Gubernur Sumatera Mr. M. Hassan dan Wali Kota Medan Mr. Muhammad Yusuf serta pejabat tinggi Xarim M.S. Kelly: Tidak, tidak (sambil tertawa). Saya dan komando Sekutu di Medan tidak pernah mengenal Gubernur Hassan atau Wali Kota M. Yusuf dan sebagainya. Yang kami kenal adalah tokoh masyarakat setempat M. Hassan dan M. Yusuf. 145 T.E.D. Kelly mengingkari apa yang telah dimaklumatkannya pada awal kemerdekaan Indonesia di Kota Medan. Jika memang Kelly bernegosiasi dengan

144 Tim Penulis, Sumatera Utara, loc.cit., 145 Muhammad TWH, Sumatera Utara Bergelora (Kisah-kisah Nyata Perang Kemerdekaan RI), op.cit., hal. 131-132.

86

Universitas Sumatera Utara Gubernur Sumatera (Hassan), Wali Kota Medan (M. Yusuf), Xarim M.S dan sebagainya, maka tidak ada perintah dari Mr. Kasman Singodimedjo untuk memulai mobilisasi umum di Kota Medan dan sekitarnya pada 20 Oktober 1945.146

Kelly juga tidak mengakui keberadaan pemerintah daerah RI di Sumatera dan

Kota Medan hingga tahun 1979 saat ia diwawancarai di Singapura. Menurut penulis,

Kelly masih menganggap bahwa kemerdekaan RI adalah “pemberian” Jepang atau

Kelly masih mempunyai dendam terhadap rakyat Kota Medan yang tidak mengenal takut, sekalipun di depan moncong senjata.

Perwujudan seruan Mr. Kasman Singodimedjo ini menciptakan latihan-latihan kilat kemiliteran dalam tempo dua minggu dijalankan dengan dipimpin oleh opsi

Gyugun dan Heiho. Di bagian-bagian kota, kampung-kampung, dan lorong-lorong pemuda-pemuda giat berlatih untuk kepentingan pertahanan kemerdekaan tanah air.

Kaum-kaum ibu dan anak-anak gadis sibuk bekerja memasak perbekalan-perbekalan untuk pemuda-pemuda yang sedang berlatih. Para pemuda ini kemudian tergabung dalam Nasional Pelopor Indonesia (NAPINDO), BPI, Barisan Hisbullah, barisan

Harimau Liar, Barisan Merah, Barisan B, Pasukan ke-V, dan sebagainya. Mereka sudah untuk menjawab maklumat T.E.D. Kelly.147

146 Tim Penulis, Sumatera Utara, loc.cit., 147 Ibid.,

87

Universitas Sumatera Utara 4.2 Mencari Tarigan

Peristiwa Jalan Bali menjadi titik tolak berkobarnya sejumlah kekerasan fisik yang terjadi di Kota Medan. Inggris yang mendarat dengan tujuan menjaga keamanan dan ketertiban malah tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Justru pasukan

Westerling yang membuat terjadi kekacuan di Kota Medan. Sejak kedatangan Inggris

Westerling sudah bekerja untuk Inggris, tidak lagi dengan Brondgeest.148

Pada pertengahan Oktober 1945 adalah timbulnya banyak gerombolan perjuangan sejenis, yang masing-masing berusaha menguasai bagian Kota Medan yang berbeda, dengan sumber daya apapun yang bisa digunakannya di sana. Pasukan

TKR merupakan bagian dari model ini, meskipun mereka berada pada suatu ekstrem yang berdisiplin, mematuhi perintah-perintah “resmi” Republik dan teratur mendapatkan keperluan-keperluan materialnya. Pada ekstrem lainnya adalah gerombolan-gerombolan perampok yang menarik keuntungan dari label revolusioner dan patahnya semangat para politisi. Mereka menyikat apa saja yang diperlukannya, terutama dari orang-orang Tionghoa atau India.

Kepemimpinan pemuda yang relatif akur yang mulanya telah terbina oleh BPI menjadi berantakan setelah Peristiwa Jalan Bali. Sebagian dari mereka yang pernah mendapatkan pendidikan latihan militer Jepang terlibat dalam kesibukan pengorganisasian TKR. Kepemimpinan tokoh-tokoh “sipil” menjadi macet di bawah tekanan-tekanan tindak kekerasan. Sebagai Ketua Umum BPI, Sugondo berusaha

148 Westerling, loc.cit., Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, loc.cit.,

88

Universitas Sumatera Utara mencegah serangan pemuda pada 13 Oktober petang itu, tetapi sia-sia. Pada suatu berikutnya, dikabarkan ia jatuh pingsan ketika beberapa pemuda militan mengancam akan menembaknya. Peristiwa ini mengakhiri keterlibatan langsung tokoh-tokoh politik yang sudah mapan di dalam gerakan pemuda, Kota Medan pun semakin tidak terkendali.149

Salah seorang yang memanfaatkan keadaan Kota Medan ini untuk kepentingan perjuangan para pemuda adalah Tarigan, yang merupakan orang yang diburu oleh Westerling. Tarigan bersama anggotanya melakukan perdagangan gelap hasil-hasil perkebunan yang dijual ke Singapura untuk kepentingan perjuangan para pemuda di Kota Medan150. Tindakan yang dilakukan oleh Tarigan bersama pasukannya membuat Inggris kewalahan. Inggris sudah berkali-berkali berusaha menangkap Tarigan, tetapi tidak pernah berhasil.151

Tarigan merupakan salah seorang yang berasal dari suku Karo, tetapi

Westerling menyatakan dalam memoar-nya berasal dari Batak dalam pedalaman

Sumatera.152 Hal itu sebenarnya tidak menjadi permasalahan bahwa jika Westerling mempunyai pemahaman bahwa Tarigan berasal dari Batak, mungkin Westerling menerima informasi dari J.H. Neumann dalam “Sejarah Batak Karo” yang ditulis

149 Ibid., 150 Hal yang dilakukan oleh Tarigan merupakan hal yang “lumrah” terjadi di Kota Medan pada masa revolusi, hasil-hasil perkebunan ditukar dengan senjata-senjata yang digunakan untuk sebagai sarana dalam menegakkan Republik., seperti yang dilakukanMahruzar yang merupakan adik dari Sutan Sjahrir (Perdana Menteri Pertama RI). silahkan baca buku Anthony Reid “Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra”. 151 M.F. Mukhti, loc.cit., 152 Westerling, op.cit., hal. 60.

89

Universitas Sumatera Utara kira-kira abad ke-20, lantas ia menyebutnya juga sebagai Batak. Tetapi, penelitian- penelitian mutakhir menunjukkan bahwa Karo dengan Batak (Toba) itu merupakan dua hal yang berbeda.

Pihak Inggris sudah tidak sanggup lagi untuk menangkap Tarigan orang Karo ini. Salah seorang perwira Inggris datang menghampiri Westerling dan menceritakan kejadian yang ia alami. Awalnya perwira Inggris ini tidak serius dalam menyampaikannya kepada Westerling. Sambil menawarkan taruhan, pemuda Inggris itu berkata “jika kau bisa menangkap apa yang kuceritakan tadi, aku akan memberimu sebotol Scotch”.153 Sontak, Westerling menjawab “ beri aku waktu 24 jam, aku akan membawa si brengsek itu kepadamu”. Perwira Inggris itu kemudian tertawa terbahak-bahak “mana mungkin kamu bisa melakukan hal itu”. Westerling, tidak menggubris pernyataan terakhir perwira Inggris itu. Lalu, Westerling menjawab

“aku terima taruhan yang kamu tawarkan”.154

Dengan demikian, nyawa Tarigan sudah ditangan Westerling di atas satu botol minuman Scotch. Sebagai militer yang pernah mendapatkan latihan komando tentu Westerling mempunyai cara tersendiri dalam menjalankan aksi kekerasannya, selain itu Westerling mempunyai mata-mata di pasukannya Tarigan.155 Informasi

153 Scotch merupakan minuman beralkohol yang diproduksi di Negara Skotlandia sejak abad ke-15, proses fermentasi (pembusukan) kira-kira 3 tahun sebelum didistribusikan ke negara-negara lain. 154 Westerling, loc.cit., 155 Westerling mempunyai mata-mata dari pihak Indonesia untuk memberikan seputar informasi mengenai gerak-gerik pihak Republiken dan bahkan ada yang menyusup ke dalam laskar-

90

Universitas Sumatera Utara yang didapatkan Westerling dari mata-matanya, bahwa Tarigan tidak jauh tinggal dari

Kota Medan hanya berkisar 6,5 km. Tidak lama kemudian Westerling pun pergi bergegas dan bersiap-siap untuk melancarkan aksi kekerasan selanjutnya.

Westerling mengenakan pakaian hitam, mulai menghitamkan wajah dan tangan bersama beberapa orang pasukannya. Westerling melakukan hal ini supaya tidak terlihat di tengah pekatnya malam dan membuat orang setempat takut karena dianggap sebagai “roh malam”.156 Westerling mengetahui adat kebiasaan orang

Indonesia yang umumnya takut pada kegelapan. Orang Indonesia meyakini bahwa roh-roh baru keluar pada malam hari157 dan akan menghukum orang-orang yang bersalah, seperti si “teroris” Tarigan.158

Ketika menjelang sampai di tempat Tarigan bermukim, rupanya ada beberapa orang yang sedang berjaga dan membuat Westerling sedikit kesulitan untuk melancarkan aksinya. Westerling bersama pasukannya akhirnya mencari jalan dengan melewati rawa-rawa yang penjagaannya tidak terlaku ketat.159

Ketika mendekati gubuk tempat tinggal Tarigan rupanya ada tiga orang penjaga dan anjing penjaga pun ikut menggong-gong. Westerling mempunyai cara tersendiri untuk membuat anjing-anjing ini takut, dengan membuka mulut selebar- laskar. Seperti Abdul Djalil yang merupakan orang Indonesia, tetapi bekerja untuk Westerling. Lihat juga Dominique Venner, op.cit., hal. 129. 156 Dalam memoarnya-nya Westerling banyak mempelajari kebudayaan Islam dan Hindu- Budha. Kebudayaan Hindu-Budha seperti percaya kepada dewa-dewa atau sinkretis ia pelajari sejak bertugas di India. 157 Deli Courant, 12 Juni 1952, No. 3. 158 Westerling, op.cit., hal. 63. 159 Ibid., hal. 65.

91

Universitas Sumatera Utara lebarnya dan bertingkah seperti anjing, sehingga mereka takut lalu kemudian lari menjauhi Westerling dan pasukannya. Tidak ingin diketahui oleh para penjaga dengan cepat Westerling bersama pasukannya menyergap para penjaga tersebut dan membunuhnya tanpa terdengar bunyi sedikitpun. Membunuh secara diam-diam memang telah dipelajari oleh Westerling ketika mendapatkan pelatihan komando di

Skotlandia.160

Setelah membunuh tiga penjaga tersebut, Westerling masuk ke gubuk Tarigan saat mana ia sedang tidur. Westerling berdiri di hadapan Tarigan memperhatikan seluruh bagian tubuhnya, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Westerling kemudian menyergap dengan menyiramkan kloroform ke kain lap yang sudah dicampur dan menempelkannya ke hidung dan mulut Tarigan, tanpa bersuara sama sekali. Tarigan meronta-ronta untuk melepaskan diri, tetapi Westerling terlampau kuat sehingga Tarigan pun tidak bisa berbuat apa-apa hingga pingsan.161

Westerling kemudian membawa Tarigan ke tempat yang sunyi untuk diinterogasinya, sambil menunggu Tarigan sadar. Ketika Tarigan sadar, Westerling sudah berdiri di hadapannya dengan menyentak Tarigan dan menanyakan seputar aktivitas Tarigan. Tarigan tidak memberikan menjawab sama sekali, atau memang mungkin Tarigan tidak mengerti apa yang ditanyakan oleh Westerling kepadanya atau mungkin juga jiwa patriotik Tarigan “semakin membara”. Tanpa berpanjang

160 Ibid., hal. 67. 161 Ibid., hal. 72.

92

Universitas Sumatera Utara lebar Westerling kemudian “menebas” leher Tarigan dengan rapi.162 Westerling merapikan kepala Tarigan yang sudah ditebas dan memasukkannya ke sebuah tempat untuk ditunjukkan ke perwira Inggris yang mengajaknya bertaruh tadi.

Sampai di Hotel De Boer Westerling kemudian menjumpai perwira Inggris tersebut, lalu menunjukkan bekas penggalan kepala kepadanya. Sambil berkata

Westerling “ini kepala brengsek yang kalian cari”. Perwira Inggris itu terperangah melihat bekas kepala tersebut, yang ia kenal betul bahwa itu adalah Tarigan.

Westerling kemudian bertanya “mana sebotol Scotchku?”. Perwira Inggris itu menjawab “akan kuberikan nanti” sambil mengajak Westerling makan bersama.163

Westerling telah menjalankan tugasnya sebagai kontra spionase untuk menjaga keamanan dan ketertiban sesuai dengan yang ia yakini. Segala pengacau menurutnya harus ditindak dengan cara kekersan tanpa pandang bulu. Demikian halnya dengan Tarigan, hidupnya harus berujung di tangan Westerling.

Pada bagian lain, Westerling juga pernah membunuh salah seorang yang tergabung dalam laskar Hisbullah yang bernama Yahya.164 Lantaran Hisbullah menurut mata-mata Westerling yang bernama Abdul Djalil melakukan kekerasan terhadap orang-orang kaya. Westerling kemudian mencari Yahya, lalu membunuhnya.165 Sayangnya Westerling terlalu cepat menerima informasi dari

162 Ibid., hal. 76. 163 Ibid., hal. 80. 164 Westerling menyebutnya “Hayrullah”. 165 Dominique Venner, op.cit., hal. 129.

93

Universitas Sumatera Utara agennya Abdul Djalil, tanpa mengetahui kejelasan informasi tersebut secara jelas.

Salah seorang pasukan Westerling yang bernama Wattimena (orang Ambon) juga membunuh seorang Aceh yang lewat di depan Hotel De Boer. Wattimena kemudian mengambil jam korbannya, lalu mengenakannya.166

4.3 Kepala di Trotoar Masjid Sultan Deli

Westerling telah menunjukkan aksi-aksi kekerasannya di Kota Medan lewat cara-cara yang rapi seperti yang telah dilakukannya kepada Tarigan yang merupakan seorang gerilyawan Indonesia dari Karo. Standrecht- istilah hukum yang merupakan pelaksanaan aksi kekerasan atau „kewenangan khusus‟ tidak lama sesudah itu disebut dengan standrecht (pengadilan kilat dengan hukuman eksekusi langsumg di tempat) atau noodrecht (hukum darurat) dan di kemudian hari disebut dengan „metode

Westerling‟.167

Dalam perkembangannya Westerling kembali lagi melancarkan aksi kekerasannya. Seperti yang pernah dituliskan oleh seorang opsi Inggris, ketika si opsir sedang menikmati kopi di pemondokannya, lalu Westerling memperlihatkan kepala seorang Indonesia dari dalam keranjang sampah. Dengan santai Westerling menjawab, kepala itu milik seorang teroris Indonesia yang berhasil saya ikuti.

166 Ibid., hal. 153. 167 Hidskes, op.cit., hal. 70.

94

Universitas Sumatera Utara Westerling memburunya dengan menyamar sebagai rakyat biasa.168 Dengan mengenakan topeng, Westerling menyusup masuk ke rumah orang Indonesia tersebut, yang dianggapnya sebagai teroris yang sering membuat kekacauan di Kota Medan. Di sudut kamar, Westerling bersembunyi dan menunggu buronannya pulang. Sampai di rumah dan masuk ke kamar, pemilik rumah membeku ketakutan. Westerling meringkusnya dan menyampaikan bahwa malam itu adalah malam terakhirnya menghirup udara. Sebelum dieksekusi, Westerling sempat memberi makan korbannya dan mengurungnya di kamar mandi.169 Jam empat pagi aku masuk ke kamar mandi dan menyuruh pengacau itu berbalik arah. Sekali penggal dengan pedangku, kepala berpisah dari badannya, demikian penuturan Westerling kepada si opsir Inggris yang menuliskannya dalam surat kabar Singapura, seperti yang termaktub dalam bukunya

K‟tut Tantri “Revolusi di Nusa Damai”.

Di Kota Medan pada akhir Oktober dan November 1945 bentokan-bentrokan antarbarisan sering terjadi perjuangan sering terjadi baik karena perebutan daerah kekuasaan, konflik-konflik pribadi, atau kesukuan. Pertentangan-pertentangan apapun yang terjadi dengan lihai dipertajam oleh Westerling. Tujuan Westerling adalah untuk mengalihkan perhatian pemuda dari gerak muslihat orang-orangnya sendiri dengan jalan mengobarkan perselihan-perselisihan antar kelompok-kelompok pemuda itu.

Westerling mendiktekan beberapa surat yang sifatnya menghina, kemudian

168 Westerling adalah seorang kontra-spionase atau intelijen, itu sebabnya pakaian tidak menuntut dia untuk melancarkan aksi-aksi kekerasannya. Berbeda dengan tentara NICA, harus memakai seragam lengkap, baru “resmi” untuk menjalankan tugas. 169 M.F. Mukhti, loc.cit.,

95

Universitas Sumatera Utara diterjemahkan ke bahasa Indonesia, lalu dikirimkan ke laskar-laskar yang berbeda.

Seolah surat-surat itu dikirim oleh mereka yang sedang bersaing, akibatnya terjadi pertumpahan darah antar sesama170 pemuda Indonesia, bagi Westerling ini merupakan pemandangan yang meriah.

Pada tanggal 10 Desember 1945 juga terjadi pertempuran di Deli Tua antara

TKR dengan Inggris. Westerling memanfaatkan kesempatan ini dengan menyerang pasukan Gagak Hitam-nya Sarwono yang mereka cap sebagai teroris.171 Demikian halnya laskar yang dipimpin oleh Saleh Umar juga menjadi sasaran Westerling.172

Saleh Umar pernah berhasil ditangkap oleh Westerling untuk diinterogasi, tidak diketahui pasti apakah Saleh Umar mengalami penyiksaan. Setelah diinterogasi,

Saleh Umar kemudian dilepaskan dengan selamat. Westerling pun geram, sebenarnya ia tidak setuju pimpinan “ektremis” itu dilepaskan begitu saja. Westerling ingin sekali menghabisi kepala Saleh Umar pimpinan gerombolan ekstremis itu.173

Tidak tanggung-tanggung, Westerling melakukan serangan terhadap organisasi Banteng Hitam, yang menurutnya gerombolan teroris nomor dua setelah

Gagak Hitam. Peristiwa ini terjadi dekat daerah Kota Matsum, tengah-tengah malam

Westerling melancarkan aksinya menangkapi lima petinggi laskar, dan sembilan

170 Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, hal. 229. 171 Suprayitno, Diktat: Sejarah Pergerakan di Sumatera Utara, op.cit., hal. 78. 172 Dominique Venner, op.cit., hal. 110. 173 Ibid., hal. 116.

96

Universitas Sumatera Utara anggota, serta merampas senjatanya. Semua yang ditangkap dijebloskan Westerling ke penjara Suka Mulia.174

Menyisakan satu orang hasil tangkapannya, ia kemudian mengeksekusi kepalanya, lalu ia menaruh kepala itu di trotoar Masjid Sultan Deli.175 Meletakkan kepala di trotoar Masjid Sultan Deli, berarti ia memberi peringatan kepada laskar- laskar agar supaya tidak bertindak macam-macam lagi. Jika sempat dilanggar, maka nasib para anggota yang tergabung dalam laskar-laskar di Kota Medan, akan mengalami nasib yang sama dengan pria yang kepalanya terletak di trotoar Masjid

Sultan Deli.

Pada tanggal 12 Desember 1945 terjadi penganiayaan terhadap tentara Jepang di Statsiun kereta api Tebing Tinggi. Penganiayaan ini kemudian ternyata dengan sengaja dilakukan oleh pihak NICA. Adalah Westerling yang dimaksud pihak NICA tersebut, Westerling mengirimkan surat kepada para pemuda di Tebing Tinggi yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diteruskan oleh anggotanya. Surat

Westerling itu berisi “akan datang pasukan Jepang menyerbu para pemuda di Tebing

Tinggi serta melucuti senjata mereka”. Kemudian para pemuda menangkap informasi itu terlalu “lurus”, langsung menyerbu pasukan Jepang tanpa aba-aba yang menewaskan tiga orang Jepang.176

174 Ibid., hal. 119. 175 Hidskes, loc.cit., 176 Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, op.cit., hal. 237.

97

Universitas Sumatera Utara Besoknya, tanggal 13 Desember 1945 beberapa ribu tentara Jepang bergerak dan melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap siapa saja yang melintas.

Setiap pemuda ditangkap untuk dibunuh pada malam harinya. Mayatnya dihanyutkan di sungai, atau ditanamkan dimana saja.177

Pasukan Westerling pun tidak tinggal diam untuk melancarkan aksi kekerasan. Pada suatu hari dibawa masuk seorang Tionghoa yang dituduh memetakan pertahanan kamp tentara Inggris. Westerling bertanggung jawab atas pelaksanaan interogasi laki-laki Tionghoa itu dan menugaskan pelaksanaan itu ke orang-orang

Inggris bawahannya. Selama tiga hari, orang Tionghoa itu berkali-kali dibuat stress dan dihajar dengan keras, antara lain dengan tendangan di bawah lambungnya.

Menurut pelbagai kesaksian dalam kejadian itu Westerling tidak berada di tempat.

Seorang dokter mendiagnosa luka-luka orang Tionghoa itu dengan hasil severe

(parah). Laki-laki Tionghoa itu dinyatakan harus menjalani pemeriksaan medis.

Orang-orang Inggris yang melakukan interogasi itu dikenakan tahanan rumah dan Westerling selanjutnya dilarang memakai seragam Inggris.178 Westerling kemudian memberi jawaban pembelaan: “Sudah berulang kali saya memerintahkan para anak buah saya untuk tidak menganiaya yang diinterogasi dan yang pasti juga

177 Tim Penulis, Sumatera Utara, op.cit., hal. 51. 178 Seragam sebenarnya tidak terlalu penting bagi Westerling, bila ia ingin melancarkan aksi kekerasannya, pasti ia akan laksanakan sesuka hatinya.

98

Universitas Sumatera Utara tidak memukulnya. Jika perlu dipukul, maka sayalah yang akan melakukannya sendiri”.179

Westerling sangat pandai bersilat lidah, fakta membuktikan Peristiwa Jalan

Bali diinisiasi oleh pasukannya yang terlebih dahulu memukul Abdul Wahid Marbun, bahkan memaksa menelan lencana merah putih yang ia kenakan. Tidaklah mungkin pada proses interogasi tidak terjadi aksi kekerasan, apalagi orang yang diinterogasi sudah diikuti gerak-geriknya terlebih dahulu.

Selanjutnya, kejahatan-kejahatan yang terjadi seperti penculikan, pembunuhan, perampokan, pembakaran, pemerkosaan, dan sebagainya. Merupakan provokasi yang dilakukan oleh NICA/Belanda dengan menyewa orang-orang jahat untuk memusnahkan rakyat, melakukan perampokan, pembunuhan dan penculikan, diprkarsai oleh Westerling dengan pembantunya Van der Plank180 pada waktu itu bertugas untuk NICA/Belanda di Medan Area.181

Walaupun Westerling banyak melakukan aksi kekerasan di Kota Medan baik melalui provokasi, sisa penggalan kepala (intimidasi), adu-domba dan sebagainya.

Hal itu tidak menyurutkan semangat rakyat Kota Medan untuk membasmi segala hal- hal yang berbau kolonial. Dalam perkembangannya kekerasan semakin marak terjadi di Kota Medan, karena Westerling pada bulan Desember membentuk pasukan teror

179 Tim Penulis, Sumatera Utara, loc.cit., 180 Van der Plank merupakan seorang militer Belanda, bersama anggotanya ia melakukan teror terhadap rakyat Karo pada masa revolusi. 181 Tim Penulis, Sumatera Utara, op.cit., hal. 48.

99

Universitas Sumatera Utara Pao An Tui. Dengan begitu, aksi kekerasan Westerling semakin mempunyai ruang yang “lebih besar” daripada sebelumnya.

4.4 Pembentukan Pasukan Teror Pao An Tui

Pada awal kemerdekaan di Kota Medan, terjadi penjarahan terhadap orang- orang Tionghoa. Banyak para pemuda yang memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara-cara yang tidak wajar.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan mereka sendiri. Sebenarnya orang-orang Tionghoa pada awal kemerdekaan di Kota Medan menampilkan sikap diam dan menunggu serta tidak memberikan kepastian. Apakah mereka berdiri kokoh bersama Republik atau hanya ingin berdagang secara terus-menerus mencari keuntungan hingga ajal menjemput, tanpa mempedulikan situasi politik yang sedang berlangsung.182

Sesuai dengan laporan Brondgeest orang-orang Tionghoa sudah mengalami kekhawatiran akan keamanan dan ketertiban sejak Jepang kalah. Hingga kedatangan

Sekutu mereka harus bersembunyi di bawah “ketiak” Inggris agar supaya tetap aman dari segala intrik kekacauan.183

Peristiwa Jalan Bali menjadi salah satu titik tolak terjadinya serangkaian kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa. Dalam hal itu pada 18 Oktober 1945

182 A.L. van der Veer, 2013, The Pao An Tui in Medan, Utrecht: Utrecht University, hal. 19. 183 Ibid., hal. 21.

100

Universitas Sumatera Utara Kelly mengeluarkan maklumat yang secara sederhana berisi agar supaya pihak-pihak yang “tidak resmi”, tidak boleh menggunakan senjata. Isi maklumat ini kemudian memicu amarah para pemuda184 dan salah satunya bermuara kepada orang-orang

Tionghoa.

Akibatnya sekitar bulan November 1945 terjadi beberapa pencurian, perampokan rumah, dan toko-toko Tionghoa di Kota Medan. Pelakunya adalah kelompok preman kampung yang memanfaatkan situasi revolusi. Mereka adalah kelompok preman “Cap Kapak” yang dipimpin oleh Amat Bojan. Pasukan Amat

Bojan seringkali meresahkan masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Hingga akhhirnya

Amat Bojan dieksekusi hukuman mati oleh Barisan Pengawal Pesindo atas tindakan- tindakan yang telah dibuatnya.185

Pada awal Desember 1945 sekelompok pemuda merampas toko-toko

Tionghoa dan gudang-gudang perbekalan di Kota Medan dan kota-kota lainnya di

Sumatera Timur. Pada umumnya mereka merampas barang-barang berharga seperti: emas, pakaian dan bahan makanan. Meledaknya sentimen anti-Tionghoa diduga karena adanya hubungan erat antara tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa dengan

NICA. Para pedagang Tionghoa telah menjalin hubungan dengan bekas pedagang

Belanda di kamp Siringo-ringo, untuk mendapatkan barang-barang seperti jagung,

184 Pemuda yang dimaksud adalah yang berdiri dibelakang Republik untuk kepentingan kemerdekaan dan ada pula para pemuda memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok. 185 Nasrul Hamdani, 2018, Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930- 1960, Jakarta: LIPI, hal. 155.

101

Universitas Sumatera Utara beras, sayuran, dan binatang ternak.186 Muncul juga kabar bahwa pedagang-pedagang

Tionghoa mulai menimbun barang-barang dagang mereka untuk di jual ke pihak

Belanda dengan harga tinggi, apabila Belanda “berkuasa” lagi di Indonesia.187

Dugaan para pemuda ini benar adanya, karena sejak Kelly mendarat bulan

Oktober 1945 dengan membonceng NICA situasi keamanan dan ketertiban diambil alih oleh NICA termasuk menjaga kamp Siringo-ringo. Berbeda dari sebelum NICA mendarat, yang menjaga keamanan dan ketertiban di kamp Siringo-ringo adalah

Brondgeest bersama Westerling188 dan para pasukannya. Demikian halnya orang- orang Tionghoa mulai melakukan aktivitas perdagangan, walaupun terkesan sangat berhati-hati. Tetapi, setidaknya mereka sudah berlindung di bawak “ketiak” NICA.

Aksi-aksi kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa dalam skala yang lebih besar mulai sering terjadi setelah pengumuman TKR, Pesindo beredar luas.

Perumahan dan toko-toko di kota relatif aman dari penggedoran maupun penjarahan.

Tetapi pemukiman Tionghoa yang berdekatan dengan perkampungan dan pasar sangat rentan oleh penggedoran. Oleh sebab itu, pemukiman Tionghoa di sekitar

Sukaramai dan Kampung Baru terlihat kosong ditinggal oleh pemiliknya. Setelah

186 Suprayitno, op.cit., hal. 66. 187 Nasrul, op.cit., hal. 160. 188 Setelah pasukan NICA mendarat di Kota Medan pada Oktober 1945, atas permintaan T.E.D. Kelly pemimpin pasukan NICA meminta agar supaya Westerling bekerjasama dengan mereka dan Westerling-pun menyetujui permintaan tersebut.

102

Universitas Sumatera Utara gencatan senjata antara Inggris dan Republik Indonesia disepakati pada akhir bulan

Desember 1945, rumah-rumah yang ditinggal pemiliknya kembali dihuni.189

Pada 13 Desember 1945 Westerling mengorganisir orang-orang Tionghoa, agar membentuk “polisi khusus” untuk membebaskan orang-orang Tionghoa dari segala kesulitan yang mereka alami. Ide Westerling ini mendapatkan sambutan baik dari mereka yang sedang dilanda kesulitan.190

Ide Westerling ini kemudian direpresentasikan dengan pembentukan Chinese

Security Corps atau yang lebih dikenal sebagai Pao An Tui (PAT),191 pada 1 Januari

1946.192 Pao An Tui ini disahkan oleh T.E.D. Kelly di Kota Medan agar supaya orang-orang Tionghoa lebih leluasa melakukan aktivitasnya dan aman dari gangguan para ekstremis.193 Milisi yang bermarkas di Hotel Wai Yat itu dipimpin oleh Lim

Seng, bekas pengurus Chung Hua Chung Hui di Kota Medan 194. Fungsi PAT lebih sebagai peronda kampung dan hanya beroperasi di dalam garis demarkasi (Fixed

Boundaries Medan Area).195

Sejak pasukan PAT berdiri pada tanggal 1 Januari 1946, para pemuda pejuang di Kota Medan kini mendapat musuh tambahan justru bukan orang yang “asing”

189 Nasrul, loc.cit., 190 Veer, loc.cit., Tim Tempo, loc.cit., 191 Selanjutnya Pao An Tui akan ditulis PAT. 192 M.F. Mukhti, op.cit., hal. 23. 193 Muhammad TWH, Sumatera Utara Bergelora (Kisah-kisah Nyata Perang Kemerdekaan RI, op.cit., hal. 134. 194 Veer, loc.cit., 195 M.F. Mukhti, loc.cit., Fixed Boundaries Medan Area atau Garis Demarkasi Medan Area merupakan garis pembatas yang dibuat oleh Inggris pada saat terjadi kontak senjata antara NICA dengan para pemuda di Kota Medan dan garis tersebut tidak boleh diduduki oleh pihak Republiken.

103

Universitas Sumatera Utara dengan daerah Sumatera, melainkan mereka yang sudah mengenal lorong-lorong kota dengan segala gang-gang tikus termasuk liku-liku persembunyian kaum Republik.

Tidak jarang ketika para pemuda yang sedang terlibat tembak-menembak dengan pihak Belanda atau Inggris di lorong-lorong kota, tiba-tiba sebuah peluru datang menyambar para pemuda dari sisi yang awalnya tidak diketahui layaknya seperti “pecundang”. Peluru itu bukan datang dari senjata Inggris atau Belanda, ternyata datang dari arah belakang. Ketika dilacak siapa penembaknya ternyata sia-sia saja. Agaknya penyerang gelap itu bagaikan tokoh dalam cerita silat Tionghoa, pendekar dengan gerak-gerik gin-kang yang luar biasa kehebatannya. Bedanya, sang pendekar silat Tionghoa bisa berlaku kesatria, tetapi penembak-lari dalam peristiwa di Kota Medan itu adalah pengecut dengan nyali kecil. Buktinya setelah melakukan penembakan mereka malah bersembunyi atau hilang entah kemana, tidak menampak diri secara berani. Itulah cara-cara PAT dalam beraksi. PAT memang benar-benar mengkhianati revolusi Indonesia.

Maka kebencian rakyat pun kian meningkat. Bahkan sampai pada anak-anak dan para remaja sekalipun. Kawula muda itu secara sinis menyanyikan lagu dalam permainan mereka, bergaya populer di Kota Medan, yaitu Mariam Tamong, yang syairnya digubah:

Hadong motor Chipirolet BK na sepuluh dua Hadong tembakan meleset

104

Universitas Sumatera Utara Dari Pao An Tui agennya NICA Oh, marian tamong da inang Oh, mariam tamong…

Lagu-lagu semacam itu ada dan ada beberapa bait lagi, biasanya dinyanyikan oleh para pemuda, laskar di mana pun mereka berada. Tentu saja kalau PAT mendengar ejekan tersebut, segala resiko pun akan timbul.

Bentrokan senjata dan pertempuran antara para pemuda di Kota Medan dengan

PAT sering terjadi. Pertempuran itu tidak hanya berlangsung di dalam kota secara sembunyi atau berhadapan dengan penembak gelap, tetapi juga merembet ke luar

Kota Medan. Di kawasan Front Medan Area, PAT membantu Belanda melalui kaki- tangan dan orang-orang mereka warga Tionghoa yang tinggal di sepanjang daerah pertokoan atau perkebunan, yang mereka miliki, sepanjang lini Medan-Binjai.

Karena ulah kelewatan dari penduduk keturunan Tionghoa yang terang- terangan mengkhianati revolusi itu, mereka yang tidak berpihak kemana-mana dan hanya sibuk mencari nafkah sebagaimana layaknya orang-orang Tionghoa yang tidak ambil pusing, harusnya ikut juga mengambil peran dalam membasmi teror PAT jangan hanya diam dan menunggu.196

Ketika NICA mendominasi dan menggantikan peran Sekutu PAT semakin agresif bahkan melakukan tindakan teror. Bersama-sama serdadu KNIL, milisi

196 Amran, op.cit., hal. 108-109.

105

Universitas Sumatera Utara berkekuatan seribu personil dan didukung Kuomintang terus melakukan patrol dua sampai lima kali dalam sehari untuk mencari para gerilyawan, agaknya sebagai ajang balas dendam. Di setiap sudut penting kota berdiri satu pos yang menempati rumah- rumah warga Tionghoa.

Personil PAT kerap melakukan penggeledahan, termasuk ke toko-toko

Tionghoa sendiri. Tidak semua warga Tionghoa senang dengan keberadaan PAT, khususnya mereka yang memihak pada Republik. PAT juga melakukan penggeledahan kepada kaum Tionghoa kiri yang notabenenya memihak pada

Republik. PAT melakukan penggeledahan ke toko-toko untuk memastikan bahwa tidak gerilyawan yang bersembunyi di tempat itu. Jika kedapatan ada gerilyawan yang bersembunyi diantara toko-toko Tionghoa, mereka akan menyiksa gerilyawan tersebut bersama dengan orang Tionghoa yang menyembunyikan.

Koordinasi dengan pasukan Belanda berlangsung intensif. Pada operasi di

Deli Tua 11 Desember 1946, PAT menggeledah rumah-rumah penduduk sekaligus menjadi interrogator terhadap orang-orang yang ditangkap. Dalam penggeledahan itu, banyak anggota PAT yang merampas barang-barang penduduk setempat. Para gerilyawan yang tertangkap akan dibunuh oleh mereka. Belukar di Jalan Tempel,

Deli, menjadi tempat eksekusi sekaligus kuburan bagi penyusup dan pengacau.197

Pembentukan PAT jarang sekali diungkap secara mendasar bahwa yang memberikan “ide” agar supaya dibentuk “polisi khusus” di kalangan orang-orang

197 M.F. Mukhti, loc.cit.,

106

Universitas Sumatera Utara Tionghoa adalah Westerling. Westerling meninggalkan jejak yang dalam sumbangan idenya PAT menjadi pasukan teror yang ditakuti di Kota Medan lewat serangkaian aksi-aksi kekerasannya. Secara tidak langsung Westerling menebar “teror” di Kota

Medan pada ranah yang lebih “luas” yakni lewat PAT.

PAT semakin menjadi-jadi ketika NICA menggantikan dan mendominasi di

Indonesia, mereka mulai melaksanakan konferensi dari berbagai tempat dan kota-kota besar di Jawa dan luar Jawa, diantaranya berasal dari Bali, Lombok, Malang, Medan,

Padang, Palembang, Makassar, Banjarmasin, Surabaya, Bandung, Semarang, dan

Jakarta sebagai tuan rumah. Dengan begitu PAT sudah menjadi “sistem” yang resmi karena hampir mempunyai cabang di seluruh Indonesia.198

Hal ini kemudian, keberadaan PAT semakin diperkokoh oleh Belanda setelah pihak sekutu pergi dari Indonesia. Walaupun secara de jure, pembentukan PAT diakui oleh pemerintah Belanda dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer

No. 156 tertanggal 6 September 1947 dari Komandan Tentara Belanda Letnan Simon

Hendrik Spoor atas nama pemerintah Belanda.199 Sebelumnya Konsul China di

Yogyakarta turut mendukung PAT dengan dalih menjamin keamanan dan ketertiban warga Tionghoa di Indonesia.200

198 Sulardi, 2015, Pao An Tui: Tentara Cina Jakarta 1947-1949, Depok: Komunitas Bambu, hal. 39. 199 Ibid., hal. 41. 200 Nederlansche Dagbladpers, 28 Agustus 1947, No. 269.

107

Universitas Sumatera Utara PAT bentukan Belanda ini dipimpin oleh sosok misterius bernama Lim Seng, kabarnya ia merupakan salah satu pengurus CHCH Medan. Personil PAT Lim Seng sudah dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan yang memadai. Persenjataan otomatatis berlaras panjang dari jenis tommyguns, owe guns, brenguns serta senjata tangan jenis pistol tiap pemimpin unit atau regu.201

PAT mulai melakukan patrol-patroli rutin di Kota Medan dengan berbekal senjata yang mereka miliki dan membatasi ruang gerak para pemuda dengan mendirikan pos-pos. Mereka juga mempersiapkan “penembak jitu” di loteng-loteng toko-toko dan apabila ada gerilyawan yang bergerak akan terkena sambaran peluru.202

Westerling sendiri sudah meninggkalkan Kota Medan pada bulan Juli 1946, atas permintaan pemerintah Belanda untuk bergabung dengan pasukan KNIL di

Jakarta. Walaupun Westerlig telah meninggalkan Kota Medan, PAT yang merupakan hasil gagasannya terus melancarkan aksi teror hingga 31 Maret 1948.203

201 Nasrul, op.cit., hal. 175. 202 Ibid., hal. 177. 203 Nieuwe Courant, 02 April 1948, No. 2.

108

Universitas Sumatera Utara BAB V DAMPAK AKSI KEKERASAN WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946)

Westerling yang tidak sampai dua tahun di Kota Medan sudah banyak melakukan aksi kekerasan. Pada bulan Juli 1946 ia pergi meninggalkan Kota Medan menuju Jakarta atas perintah yang ia telah terima. Namun, kekerasan yang telah dilancarkannya tidaklah stagnan begitu saja. Sebutnya saja PAT yang terus melakukan aktivitas terornya. Selain itu, friksi-friksi pun terjadi di kalangan para pemuda.

Ketakutan pun terus membayangi warga Kota Medan, keamanan dan kenyamanan yang diharapkan belum kunjung lahir. Di mata internasional, seolah- olah Indonesia belum mampu melindungi segenap rakyatnya dari segala tantangan yang dihadapi.

5.1 Westerling Meninggalkan Kota Medan

Setelah tugas Sekutu Inggris selesai dalam menjaga keamanan dan ketertiban, pihak Belanda mulai diturunkan di Kota Medan pada tahun 1946 dengan misi menciptakan perdamaian dan pembangunan masyarakat.204 Walaupun sebenarnya

204 Gert Oostindie, 2016, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah, Jakarta: YOI, hal. 5. Pasukan Belanda yang diturunkan di berbagai daerah Indonesia termasuk Medan mempunyai tujuan yang “mulia”, yakni menciptakan perdamaian dan membangun masyarakat. Pasukan Belanda ini awalnya mengira bahwa ke Indonesia bukan untuk tujuan berperang, tetapi menciptakan kesetaraan dan bersahabat baik antara Belanda dengan Indonesia, sesuai dengan apa yang mereka terima di negerinya. Tetapi, ketika tiba di Indonesia informasi yang selama ini mereka terima merupakan perbedaan yang sangat kontras.

109

Universitas Sumatera Utara tugas yang diemban tersebut tidak pernah terlaksanakan dengan baik, justru mereka lah yang membuat kekacauan di Kota Medan.

Pada Maret 1946 terjadi revolusi sosial205 di Sumatera Timur, yang menjadi sasaran salah satunya kaum Bangsawan Melayu. Revolusi sosial ini banyak menewaskan orang-orang Melayu yang “dianggap” pro-Belanda. Sejak isu kaum

Bangsawan Melayu di Sumatera Timur mendirikan Comitee van Onvangst (Panitia

Penyambutan) untuk menerima kedatangan Belanda. Rakyat semakin tidak menyukai segala tindak-tanduk mereka. Di tambah lagi dengan “program minimum” Tan

Malaka yang digerakkan lewat organisasi volksfront (persatuan perjuangan). Laskar- laskar, seperti Hisbullah, Gagak Hitam, Banteng Hitam, Napindo, Pesindo, Barisan

Harimau Liar dan segala aneka ragamnya tergabung dalam persatuan perjuangan.

Salah satu program minimum itu membasmi segala hal-hal yang berbau kolonial- feodal, mengingat isu panitia penyambutan itu, maka kaum Bangsawan Melayu dianggap akan ikut menyebarkan virus-virus kolonial. Tanah dinasionaliasi atas nama

Republik Indonesia dan yang bertanggung jawab atas kejadian ini adalah ekstremis

“komunis”.206 Selain tujuan di atas, ekstremis ini juga mempunyai tujuan lain, yakni memegang kendali kekuasaan politik.207 Akibat dari peristiwa ini menurunkan kepercayaan swaparaja kepada Republik, karena mereka yang selamat dari revolusi

205 Istilah “revolusi sosial” di Sumatera Timur pertama kali dinyatakan oleh Dr. Amir. 206 Menurut penulis penggunaan kata ekstemis komunis tersebut masih erat kaitannya dengan perisitiwa pemberontakan PKI di Jawa, Silungkang dan Surakarta pada tahun 1926-1927. Dengan demikian, Belanda masih mengalami trauma atas peristiwa. 207 M. Van Langenberg, Class and Ethnic Conflict In Indonesia’s Decolonization Process: A Study of East Sumatra, hal. 5.

110

Universitas Sumatera Utara sosial meminta kepada Belanda untuk melindungi mereka dari ancaman ekstremis dan bersedia bekerjasama dengan Belanda.208 Maka cita-cita Belanda untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara bagiannya tercapai di Sumatera Timur.209

Banyak orang-orang Melayu yang menjadi korban peristiwa revolusi sosial ini. Tetapi, dalam peristiwa ini banyak juga yang memanfaatkan keadaan, seperti menjarah, merampok, memerkosa dan sebagainya. Sehingga revolusi sosial ini menimbulkan efek trauma jangka panjang, bagi mereka yang menjadi korban.210

Menurut Dominique Venner, Westerling juga ikut terlibat pada peristiwa ini. Dengan cara mengadu domba antar laskar lewat surat-surat yang sedang melaksanakan program minimum tersebut. Yang kemudian membuahkan hasil terjadi bentrokan antar laskar.211

Sebagai kontra spionase agar keamanan dan ketertiban terjaga, cara-cara yang demikian memang pernah dilakukan oleh Westerling, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Agaknya analisis Dominique Venner ada benarnya, mengingat pada masa terjadinya revolusi sosial Westerling masih berada di Kota Medan. Westerling pun tidak akan tinggal diam dan pasti akan mencari panggung pada peristiwa yang sedemikian dahsyatnya.

208 Ibid. 209 Hal ini tidak menjadi fokus perhatian penulis, untuk lebih jelasnya baca buku Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia oleh Suprayitno. 210 Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, op.cit., hal. 321. 211 Silahkan Baca Dominique Venner dalam “Westerling De Eenling.”

111

Universitas Sumatera Utara Bulan Juli 1946 Westerling bergabung dengan KNIL atas keinginan pemerintah Belanda yang telah mendarat di Jakarta.212 Tanggal 23 Juli 1946 secara resmi dia dikeluarkan dari seksi intelijen, tetapi pada waktu ia telah diangkat sebagai komandan Depot Speciale Troepen (DST).213 Tanggal 26 Juli datang pesawat KNIL yang dikemudikan orang Indonesia untuk menjemput Westerling dari Kota Medan menuju Jakarta.214 Dengan begini, secara resmi Westerling telah bergabung dengan

KNIL.215

Dengan demikian, tugas Westerling di Kota Medan telah selesai, ia akan melanjutkan aksi kekerasannya di Sulawesi Selatan yang menewaskan 40.000 ribu orang. Di Jawa Barat, daerah Cikampek dibuatnya seolah-olah menjadi kota mati.

Tahun 1950 ia membentuk Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) untuk mengkudeta pemerintahan Sukarno-Hatta, namun rencana kudeta tersebut dapat digagalkan pihak tentara Republik.

Walaupun Westerling telah meninggalkan Kota Medan pada 26 Juli 1946.

Kota Medan masih terus bergolak, seperti PAT yang dikonseptori-nya pada akhir tahun 1946, masih terus menjalankan aksi teror sampai kepulangannya tahun 1950-

212 Westerling, op.cit., hal. 84. 213 Hidskes, loc.cit., Depot Speciale Troepen yang jika diterjemahkan merupakan Depot Pasukan Khusus (DPK). Komando-komando ini jumlahnya tidak pernah lebih dari seribu orang, tetapi mempunyai arti yang sangat penting bagi Belanda. Lewat cara-cara teror pasukan ini bertujuan untuk memadamkan semangat kemerdekaan rakyat Indonesia. 214 Westerling, lo.cit., M.F. Mukhti, loc.cit., 215 Nieusblad van het Noorden, 27 November 1987, No. 3.

112

Universitas Sumatera Utara an.216 Artinya aksi-aksi kekerasan Westerling di Kota Medan, dampaknya masih terus berkesinambungan walaupun telah ia pergi. Untuk lebih lengkapnya akan dipaparkan pada sub-bab berikutnya.

5.2 Dampak Aksi Kekerasan Westerling Bagi Republik dan Belanda

Aksi kekerasan Westerling di Kota Medan memberikan dampak kedua belah pihak, antara Indonesia dengan Belanda. Sejak kedatangannya di Kota Medan pada bulan September 1945, ia mulai melancarkan aksi-aksi kekerasan, diantaranya: membunuh para gerilyawan Indonesia yang dianggapnya sebagai “teroris” yang sering membuat kekacaun di Kota Medan, melakukan sabotase terhadap laskar-laskar rakyat agar supaya antar laskar saling memusuhi satu sama lain, membentuk pasukan teror Pao An Tui (PAT).

Dalam hal ini penulis menganalisis bahwa ada beberapa dampak aksi kekerasan Westerling di Kota Medan bagi pihak Republik, diantaranya:

1. Menyebar ketakutan, kepala di trotoar Masjid Sultan Deli merupakan sebuah

upaya Westerling untuk membuat trauma masyarakat Kota Medan. Dengan

begitu rakyat yang pro Republik akan mengamini bahwa negara yang baru

lahir ini tidak mampu menangani kekacauan di Kota Medan, akibatnya

kepercayaan terhadap Republik akan mengalami penurunan.

216 De Maasbode, 24 Desember 1955, No. 12. Lihat juga De Telegraaf 1956, 27 Februari, No. 3.

113

Universitas Sumatera Utara 2. Seorang gerilyawan Indonesia yang bernama Tarigan juga merupakan salah

satu korban Westerling. Tarigan mempunyai andil yang cukup penting dalam

mendobrak revolusi Indonesia di Kota Medan, lewat pemenuhan kebutuhan

amunisi. Westerling kemudian memutus mata rantai revolusi itu dengan

membunuh Tarigan. Secara kompleks, hal ini berpengaruh terhadap pemuda

Republik untuk mendegradasi segala hal-hal yang bersifat kolonial.

3. Westerling melakukan sabotase dengan cara mengirim surat yang sudah

diterjemahkan ke bahasa Indonesia kepada laskar-laskar rakyat di Kota Medan

yang isi-nya berupa adu domba, agar supaya antar laskar itu terjadi bentrok.

Padahal, laskar-laskar ini sama-sama dari pihak Republik, akibatnya terjadi

pertumpahan darah antar sesama anak bangsa.

4. Pembentukan pasukan teror Pao An Tui (PAT), Westerling membentuk PAT

yang awalnya mempunyai tujuan sebagai “polisi khusus” melindungi

keamanan dan ketertiban di daerah orang-orang Tionghoa di Kota Medan.

Namun, dalam perkembangannya PAT juga berusaha untuk membenamkan

Republik, berupa teror-teror terhadap rakyat setempat. Dampak yang sangat

nyata bagi Republik adalah bertambahnya musuh baru yang selama berabad-

abad hidup berdampingan dengan Indonesia, tetapi pada zaman revolusi

malah menikam dari belakang.

5. Umumnya aksi kekerasan Westerling, baik di Kota Medan, Sulawesi Selatan

dan Jawa Barat adalah upaya untuk membenamkan Indonesia di mata

internasional. Dengan cara membunuh para pemuda dengan sangat mudah,

114

Universitas Sumatera Utara dalam hal ini akan sangat rendah kepercayaan terhadap pemerintahan yang

baru lahir. Karena sebagai Republik yang baru lahir tidak mampu melindungi

segenap rakyatnya, tidak mengherankan bahwa banyak pihak Republik

kemudian membelot kepada Belanda, atas keyakinan Republik tidak akan

pernah ada lagi.

Sedangkan dampak aksi kekerasan Westerling di Kota Medan bagi pihak

Belanda, meliputi:

1. Belanda semakin percaya diri untuk menguasai kembali Indonesia di kancah

internasional. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh Westerling terhadap

kelompok-kelompok “ekstremis” adalah tindakan yang berpotensi menarik

simpati rakyat Indonesia, bahwa Indonesia “tidak mampu” melindungi

segenap rakyatnya dari segala kekacauan yang terjadi, contohnya Pao An Tui

(PAT).

2. Memuluskan jalan Belanda untuk membasmi segala hal-hal yang berpihak

pada Republik, Westerling lewat aksi kekerasan, adu domba, kontra spionase

yang mampu menyiram semangat “merdeka” bangsa Indonesia yang ber api-

api pada awal kemerdekaan.

3. Medan semakin mengalami kekacauan, hal ini sangat diinginkan oleh

Belanda, pada aspek ekonomi aset-aset perkebunan mereka banyak berada di

kota tersebut. Dengan begitu hal yang menyangkut demikian akan dibicarakan

115

Universitas Sumatera Utara lebih lanjut, terbukti pada masa pengakuan kedaulatan (1949), aset-aset

Belanda masih banyak berada di Kota Medan.

4. Terakhir, dampak yang seharusnya dialami Belanda, yakni aksi kekerasan

Westerling di Kota Medan sepanjang pengetahuan penulis belum pernah

diangkat ke ranah hukum internasional. Jika memang ada yang melaporkan

dan Belanda pun mau mengkonfirmasi, akan ada “kompensasi” yang wajib

dibayar oleh Belanda kepada rakyat Kota Medan yang menjadi korban aksi

kekerasan Westerling.

116

Universitas Sumatera Utara BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam sebuah penelitian ilmiah hal yang wajib dilakukan adalah memberi simpulan apa yang telah diteliti. Pada penutup ini berisi simpulan dan saran.

Simpulan dan saran merupakan babak akhir setelah dirampungkannya penelitian.

Simpulan berisi hal-hal pokok dari keseluruhan bab dalam analisis terpadu.

Sedangkan saran berisi harapan ke depan setelah penelitian selesai.

6.1 Kesimpulan

Aksi kekerasan Westerling di Kota Medan (1945-1946) dilatarbelakangi keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Sumatera Timur yang didalamya termasuk Kota Medan merupakan bagian dari aset-aset perkebunan milik

Belanda yang terlantar saat invasi Jepang, oleh sebab itu Belanda berusaha untuk merebut kembali aset-aset tersebut. Kekerasan ini juga dilatarbelakangi dalam diri

Westerling sendiri, hasrat untuk “membunuh” itu sudah ada sejak ia kecil. Kedua hal ini menjadi terpadu dalam memuluskan tujuan Belanda yang ingin kembali

Indonesia. Tetapi, fakta di lapangan menunjukkan walaupun Westerling telah ditugaskan tujuan Belanda tidak sepenuhnya tercapai. Dalam hal ini Westerling berhasil memperkeruh suasana kemerdekaan di Kota Medan lewat aksi-aksi kekerasannya.

117

Universitas Sumatera Utara Kota Medan pada saat awal kemerdekaan memang relatif tidak stabil dan telah memuat unsur-unsur kekerasan. Hal ini tidak terlepaskan dari zaman Jepang yang terus memupuk kebencian terhadap Belanda beserta kroni-kroninya. Dengan begitu sentimen asing ikut mewarnai jalannya situasi awal kemerdekaan di Kota

Medan.

Westerling yang sejak bulan September 1945 sudah berada di Kota Medan semakin memperkeruh suasana lewat teror aksi kekerasannya, seperti memenggal kepala pemuda rakyat, operasi senyap, sabotase untuk memecah belah rakyat setempat, hingga pembentukan pasukan teror Pan An Tui (PAT).

Bila mengacu kepada konsep kekerasan Robert Paul Wolf, Galtung, Goerge

Sorel bahwa kekerasan merupakan upaya untuk menundukkan individu atau kelompok agar supaya patuh terhadap aturan-aturan kekuasaan yang telah ditetapkan.

Mengingat pada zaman tersebut kekuasaan itu tidak tunggal yakni Jepang, Indonesia dan Belanda. Maka konsep tersebut tidak sepenuhnya benar pada penelitian ini, karena ketiga kekuasaan tersebut saling berebut pengaruh dan terkesan sama-sama kuat, akibatnya yang lahir adalah kekacauan yang terus merajalela. Yang benar pada konsep kekerasan ketiga tokoh tersebut kekerasan secara tidak langsung (struktur) yakni lembaga mediasi, sistem, struktur sosial (terlembaga) dan kekerasan secara langsung yakni atas inisiatif Westerling sendiri.

118

Universitas Sumatera Utara Kota Medan khususnya pada awal kemerdekaan telah menjadi sarang kekerasan, tidak benar juga bahwa Westerling saja yang melakukan aksi kekerasan.

Demikian halnya para pemuda juga melakukan aksi kekerasan berupa penjarahan- penjarahan kepada warga setempat di Kota Medan. Dengan begitu, Medan awal kemerdekaan sebagai kota yang melaksanakan “hukum rimba”, begitulah jalannya revolusi.

6.2 Saran

Penulisan skripsi ini menggunakan sumber-sumber dari buku-buku dan situs online, oleh sebab itu analisis yang disajikan masih kurang mendalam. Kiranya penulis dapat menyempurnakan lagi di masa-masa mendatang dengan data-data yang lebih kaya untuk memperloleh analisis yang mendalam maupun analisis yang baru mengenai topik skripsi ini.

Dalam dunia akademis, skripsi ini dapat dijadikan sebagai referensi dan sebagai bahan komparasi (perbandingan). Selain itu, mozaik sejarah Sumatera Utara khususnya Kota Medan semakin beraneka ragam kajiannya.

Untuk dunia publik harapannya skripsi ini dapat dijadikan sebagai pelajaran sejarah bahwa kekerasan bukanlah jalan yang baik untuk ditempuh dalam menyelesaikan persoalan. Banyak cara lain yang dapat dilaksanakan untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik di masa-masa mendatang.

119

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Koran, Majalah, Artikel, Jurnal dan Surat Kabar:

De Groot, Kolf & Co, 1950, Semarang/ Delpher.nl.

Deli Courant, 1952, Medan/ Delpher.nl.

De Maasbode, 1955, Amsterdam/ Delpher.nl.

De Telegraaf, 1956, Amsterdam/ Delpher.nl.

De Tijd, 1969, Amsterdam/ Delpher.nl.

Leewarder Courant, 1987, Leeuwarden/ Delpher.nl.

Hati, Lila Pelita, dkk. 2017. Penginapan-penginapan di Kota Medan Abad ke 19-20 Jurnal Pembangunan Perkotaan, volume 5, No. 2 Juli-Desember

Langenberg, Michael Van. Class and Conflict in Indonesia’s Decolonization Process: A Study od East Sumatra

Nederlansche Dagbladpers, 1947, Batavia/ Delpher.nl.

Nieuwsblad van het Noorden, 1984, Groningen/ Delpher.nl.

Nieuwsblad van het Noorden, 1987, Groningen/ Delpher.nl.

Nieuwe Courant, 1948, Amsterdam/ Delpher.nl.

NRC Handelsblad, 1979, Rotterdam/ Delpher.nl.

NRC Handelsblad, 1982, Rotterdam / Delpher.nl.

NRC Handelsblad, 1987, Rotterdam / Delpher.nl.

NV De Volksrant, 1950, Amsterdam/ Delpher.nl.

Het Vrij Vlok: Demoratisch-Sosialitisch Dagblad, 1987, Rotterdam/ Delpher.nl.

Trouw, 1987, Meppel/ Delpher.nl.

120

Universitas Sumatera Utara Buku-buku:

Abdullah, Taufik dan Lapian, A (ed.). 2010. Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve Agus N. Cahyo, 2014. Tragedi Westerling: Sang Pembantai Rakyat Indonesia, Jakarta: Palapa Anderson, Benedict. 2018. Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Tangerang: Marjin Kiri Anwar, Rosihan . 2015. Kisah-kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: Buku Kompas Cribb, Robert. 2010. Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949. Masup: Jakarta De, Moor, J .A. 2015. Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia. Jakarta: Buku Kompas Gottchalk. Louis. 2015. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press Hamdani, Nasrul. 2018. Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960. LIPI: Jakarta Hardiman, F. Budi. 2018. Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari Bangsa Setan-setan, Radikalisme Agama, sampai Post-Sekularisme. Yogyakarta: Kanisius.

Hidskes, Maarten. 2018. Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947. Jakarta: YOI Kahin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu Kartodirdjo, Sartono. 2019. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Kurasawa, Aiko. 2015. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Depok: Komunitas Bambu Limpach, Remy. 2019. Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Jakarta: YOI Matanasi, Petrik. 2007. Westerling: Kudeta yang Gagal. Jakarta: Media Pressindo

121

Universitas Sumatera Utara ______. 2012. Sang Komandan. Jakarta: Terompet Book Nasir. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Oktorino, Nino. 2019. Invasi ke Sumatera. Kompas Gramedia: Jakarta Onghokham, 1987. Runtuhnya Hindia Belanda. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Oostindie, Gert. 2016. Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah. Jakarta: YOI Poeze, Harry. 2018. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid 1: Agustus 1945- 1945 Maret). Jakarta: YOI. Prima, Sejarah Biro. 1976. Medan Area: Mengisi Proklamasi. Medan: Badan Musyawarah Pejuang RI Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. Jakarta: Sinar Harapan

______. 2011. Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: YOI

______. 2012. Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional. Jakarta: Komunitas Bambu ______. 2014. Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Depok: Komunitas Bambu ______. 2018. Indonesia, Revolusi, dan Sejumlah Isu Penting. Jakarta: Prenada Media Ricklefs, M.C. 2017. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press Sinar . T. Luckman. 2011. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Sinar Budaya Smail, John. R. W. 2011. Bandung Awal Revolusi 1945-1946. Depok: Komunitas Bambu Sulardi. 2015. Pao An Tui: Tentara Cina Jakarta 1947-1949. Depok: Komunitas Bambu

Suprayitno. 1998. Diktat: Sejarah Pergerakan di Sumatera Timur. Medan: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU (Belum diterbitkan)

______. 2001. Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia. Yogyakarta: YUI Tantri, K‟tut. 1965. Revolusi di Nusa Damai. Jakarta: Gunung Agung

122

Universitas Sumatera Utara Tim Majalah Historia. 2019. Westerling: Aksi Brutal Sang Jagal. Jakarta: Buku Kompas Tim Penulis. 1957. Sumatera Utara. Medan: Djawatan Penerangan Propinsi Sumatera Utara Tim Penulis. 1993. Sejarah Perkembangan Propinsi Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara. Medan: Pemerintah Propinsi Sumut Tim Penulis. Tanpa Tahun. Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara, Jakarta: Kementerian Penerangan Tim Tempo. 2020. Westerling: Ratu Adil dan Tragedi Pembantaian. Jakarta: Tempo Publishing TWH, Muhammad. 1997. Belanda Gagal Rebut P. Berandan, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI ______. 1999. Sumatera Utara Bergelora (Kisah-kisah Nyata Perang Kemerdekaan RI). Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI Veer, A.L. van der. 2013. The Pao An Tui in Medan. Utrecht: Utrecht University Venner, Dominique. 1982. Westerling De Eenling. Amsterdam: Uitgeverij Spoor Westerling, Raymond. 2011. Challenge to Terror. London: Readbooks Zam-Zami, Amran. 1990, Jihad Akbar di Medan Area. Jakarta: Gelora Aksara Pratama Zed, Mestika. 2005. Gyugun: Cikal-bakal Tentara Nasional di Sumatera. LP3S: Jakarta Zhou, Taomo. 2019. “Revolusi, Diplomasi, Diaspora Indonesia Tiongkok dan Etnik Tionghoa 1945-1967”. Jakarta: Buku Kompas

Situs Online: https://www.nationalarchief.nl./onderzoeken/fotocollectie/e8eb73da-a924-71c7-e265- 3afa5d93caa9 pada 10 Januari 2021 https://www.nationalarchief.nl./onderzoeken/fotocollectie/d2473887-afe4-a022-fa00- 672a1b8c3835 pada 10 Januari 2021

123

Universitas Sumatera Utara https://www.delpher.nl/nl/kranten/view?query=enquetecommissie+medan+1945+&c oll=ddd&identifier=KBNRCO1:0000281:MPEG21:a02228&resultsidentifier=KBNR C01:000028178:mpeg21:a0228 pada 15 Januari 2021

Maps D C 54, 9 KITLV, Leiden University Libraries Digital Collections (diakses dari: http://hdl.handle.net/1887.1/item:816358 pada 20 Desember 2020).

124

Universitas Sumatera Utara