PENGINAPAN-PENGINAPAN DI KOTA MEDAN -.:: Pemko Medan

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

PENGINAPAN-PENGINAPAN DI KOTA MEDAN -.:: Pemko Medan Jurnal Pembangunan Perkotaan p-ISSN 2338-6754 Volume 5, Nomor 2, Juli – Desember 2017 e-ISSN 2581-1304 http://ejpp.balitbang.pemkomedan.go.id/index.php/JPP PENGINAPAN-PENGINAPAN DI KOTA MEDAN (ABAD KE 19-20) Lila Pelita Hati1*, SP Dewi Murni2, Fitriaty Harahap3, Nursukma Suri4 1,2,3,4)Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Jl Universitas No 19 Kampus USU Medan (20155) *Penulis Korespondensi : [email protected] Abstrak Pariwisata di Indonesia mulai menunjukkan aktivitasnya sejak tahun 1910 – 1920, yakni keluarnya keputusan Gubernur Jenderal Belanda atas pembentukan Vereneiging Tourism Verker (VTV) suatu badan atau official tourist bureau. Meningkatnya perdagangan antara dunia Eropa dengan Negara- negara di Asia termasuk di Indonesia menjadikan lalu lintas orang-orang yang berpergian dengan motif yang berbeda sesuai dengan keperluannya masing-masing meningkat. Adanya tourist di Indonesia atau di Kota Medan membuatnya membutuhkan dan mendirikan hotel. Sejarah penginapan dimulai pada masa kerajaan Romawi telah dibangun rumah penginapan yang disebut “MANSIONES” yang berlokasi sepanjang jalan raya utama dengan jarak masing-masing sekitar 40 KM. Kemudian selama abad pertengahan, peraturan keagamaan di Eropa memerintahkan agar dibangun tempat-tempat menginap di sepanjang jalan yang dilalui orang (road side inn). Demikian pula dengan Kota Medan mulailah didirikan Hotel Mijn de Boer dan Hotel Astoria. Hotel Mijn de Boer (populer Hotel de Boer, atau bernama Hotel Inna Dharma Deli) adalah sebuah hotel bergaya kolonial yang terletak di Jalan Balai Kota, Medan Petisah, Medan, Indonesia. Hotel dibangun tahun 1898 oleh pengusaha Belanda bernama Aeint Herman de Boer dan pada zaman kolonial pernah dihuni oleh tamu-tamu kehormatan pemerintah Belanda dan artis-artis Barat yang terkenal, di antaranya Raja Léopold II dari Belgia dan Mata Hari, mata-mata yang terkenal. Penelitian ini menggunakan survei atau observasi langsung ke lokasi juga dilakukan studi pustaka mengenai sejarah abad ke 19 hingga 20 tentang penginapan yang ada di Kota Medan. Adanya kajian ini membuat diketahuinya sejarah penginapan yang ada di Kota Medan pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kata Kunci : penginapan, hotel, tourist, travel bureau Pendahuluan Kemudian Kota Medan menjadi daya tarik Kota Medan merupakan ibukota provinsi bagi pendatang, kemudian berdatanganlah berbagai Sumatera Utara dan secara astronomi wilayahnya kelompok etnis dari luar seperti China, Jawa, Banjar, berada di antara 2°29’ - 2° 47’ Lintang Utara dan 98° India, Minang, Aceh dan mereka hidup bersama 35’ - 99° 44’ Bujur Timur dengan Luas Kota Medan dengan etnis asli seperti Melayu, Batak, dan Nias. tidak kurang dari 265 km2, yang pada tahun 2017 ini Kedatangan mereka ini ke Kota Medan tentunya terbagi atas 21 wilayah Kecamatan. membutuhkan penginapan atau tempat singgah bagi Pada tahun 1885 di Kota Medan dimulai mereka untuk bermalam. dengan masa pemerintahan Belanda yang ditandai Lamban laun dibangunlah beberapa dengan dikeluarkannya peraturan dasar penginapan dengan berbagai jenis penginapan di ketatanegaraan pemerintah Hindia Belanda, yaitu Kota Medan dan dibangun pada abad 19 hingga 20, reglement op het Beleid der Regering van Nederlands yaitu berupa hotel; villa; mess, pension, dan losmen. Indie. Hal tersebut termuat dalam Staatblad 1885 Untuk hotel ada Hotel de Boer; Hotel Astoria; Hotel nomor 2. Menurut data tersebut bahwa proses Grand Medan, sedangkan untuk villa ada villa pemerintahan Hindia Belanda dianut menurut azas kembar; villa di jalan Sena; villa di jalan Angsana, sentralisasi. Pulau Sumatera dibagi dalam Daerah villa di jalan Bundar. Jenis losmen juga ada yaitu Administratif Gewest, yang kelak disebut Losmen Wai Yat (sekarang bernama Wai Yat Hotel Karisidenan, dan terbagi lagi menjadi Afdeling & Retaurant) yang terletak di jalan Asia, juga mess (Kabupaten), District (Kawedanan), dan Onder PJKA, juga di Labuhan Deli, serta pension District (Kecamatan). Wilhelmina. 81 begitu jug pada bulan Agustus 1945 juga ada satu Berbagai Penginapan Yang Ada Di Kota Medan unit pasukan komando yang dikirim ke hutan-hutan 1. Hotel de Boer di hulu Sungai Aras Napal kira-kira 20 km dari Hotel Mijn de Boer (populer Hotel de Boer, Besitang (Langkat), dan dipimpin oleh Letnan I kini bernama Hotel Inna Dharma Deli) adalah (Laut) Brondgeest dan empat orang anggota. Letnan I sebuah hotel bergaya kolonial yang terletak di Jalan Brondgeest dan Letnan Westerling sama-sama Balai Kota, Medan Petisah, Kota Medan, Indonesia. bermarkas di Hotel de Boer untuk bekerja Hotel dibangun pada tahun 1898 oleh seorang mempersiapkan kedatangan pasukan sekutu pengusaha Belanda bernama Aeint Herman de Boer. kontingen pertama yang akan datang pada tanggal 9 Pada zaman kolonial, di salah satu kamar tamu di Oktober 1945. Mereka juga merekrut bekas tentara Hotel de Boer pernah dihuni oleh tamu-tamu KNIL (Koninkelijke Nederlands Indische Leger) kehormatan pemerintah Belanda dan artis-artis Barat untuk menjadi sekutu NICA, sebuah badan yang terkenal, di antaranya Raja Léopold II dari pemerintah sipil Hindia Belanda yang dibentuk Belgia dan Matahari (Margaretha Zelle) seorang Letnan Gubernur Jendral Dr. H. J. Van Mook dengan mata-mata yang terkenal di dunia dan juga berprofesi pembantu utamanya Ch.O Van der Plas yang waktu sebagai Eropa. Hotel ini terletak di seberang Kantor itu berkedudukan di Australia. Mereka semua Pos Medan dan Lapangan Merdeka, dan tepatnya ditampung di pension Wilhelmina, ada sekitar 1500 berada di sebelah gedung Bank Indonesia dan Balai tentara. Kota Medan yang juga bergaya kolonial. De Boer sebagai pengusaha Belanda lahir di Workum, Belanda dan pindah ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Awalnya dia menetap di Surabaya dan menjadi salah satu pemilik restoran di sana. Dia lalu pindah ke Medan dan memulai usaha baru. Tahun 1898 de Boer membangun Hotel De Boer yang terdiri dari restoran, bar, dan tujuh kamar. Tahun 1909 ia menambahkan lagi 40 kamar. Lalu pada 1930, Hotel De Boer kembali diperluas dengan menambahkan 120 kamar dan sebuah aula besar. Gambar 1. Hotel de Boer pada tahun 1926 Pada 14 Desember 1957, dalam rangka nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, 2. Hotel Astoria Hotel De Boer diambil alih pemerintah Indonesia. Di Kota Medan juga ada hotel Astoria dan Pada tahun 1965, di area Hotel De Boer didirikan sayang sekali sekarang sudah dirubuhkan dan diganti Hotel Wisma Deli yang fungsinya semacam mes dengan bangunan baru. Foto di bawah ini dengan restoran dan bar. Tiga tahun kemudian, memperlihatkan foto Hotel Astoria pada tahun 1925. Wisma Deli diperluas dengan menambahkan tiga Pada tanggal 9 November 1945, pasukan kamar sehingga total menjadi 15 kamar. Kemudian sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jendral T.E.D. pada tahun 1970, didirikan sebuah bangunan Kelly mendarat di Sumatera Utara diikuti oleh bertingkat empat dengan 24 kamar. Lima tahun pasukan NICA. Pemerintah Republik Indonesia di kemudian kembali dilakukan perluasan dengan Sumatera Utara memperkenankan mereka untuk pembangunan gedung bertingkat dua dengan jumlah menempati beberapa hotel yang terdapat di Kota kamar sebanyak 10 unit sehingga tersedia 49 kamar. Medan, seperti hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Saat ini, Hotel Inna Dharma Deli secara keseluruhan Astoria dan hotel-hotel lainnya. Selanjutnya mereka terdiri dari tiga bagian yaitu sebuah gedung ditempatkan di Binjai, Tanjung Lapangan. Sehari bertingkat delapan, Hotel De Boer (dua tingkat setelah mendarat, Tim RAPWI mendatangi kamp- dan Garden Wing (dahulu Wisma Deli). kamp tawanan yang ada di Medan atas persetujuan Ketut Tantri dalam bukunya yang berjudul Gubernur M. Hasan. Kelompok itu langsung dibentuk Revolusi Nusa Damai di tahun 1964 (1964 : 344) menjadi Medan Batalyon KNIL. menyebutkan bahwa ada perwira Inggris yang menulis dalam catatan harian dari Westerling di Singapura bahwa Westerling pernah ditemui oleh perwira Inggris tersebut di pemondokannya yaitu di Hotel de Boer kamar panggung dan minum kopi (data dari Muhammad TWH). Pada tanggal 14 September 1945 juga ada satu unit kecil pasukan komando sekutu yang diterjunkan ke Polonia dan dipimpin oleh Westerling, Jurnal Pembangunan Perkotaan 5 (2) (2017): 81-90 82 Gambar 2. Hotel Astoria Gambar 4. Tampak bagian depan Grand 3. Grand Medan Hotel Medan Hotel Gambar 3. Grand Medan Hotel Gambar 5. Makan bersama di hotel di tahun 1910 Hotel yang dibangun pada tahun 1887 dan 4. Villa Kembar merupakan hotel tertua di Medan. Pada masa kolonial Di Kota Medan pada tahun 1911 dibangun ada saat hari besar (off day) tibanya tuan kebun yang beberapa bangunan berupa villa-villa yang dapat datang ke kota untuk berplesir dan berpesta. Hotel mendukung perkebunan tembakau Deli yang juga merupakan tempat favorit para tuan kebun untuk merupakan tempat tinggal sementara para kontrolir menginap. Hotel dikenal dengan adanya fasilitas Belanda atau bangunan eks Deli Maatschapij rumah makan bertingkat dan mempunyai 62 buah (Anonim, 2012 : 134). Villa kembar ini yang kamar, dan pemiliknya adalah seorang pengusaha sekarang berada di jalan Diponegoro nomor 6, 8, 10 pekebunan di Medan. Hotel banyak dikunjungi tamu dan 12 itu dahulu terdapat empat buah bangunan, saat tanggal 1 (satu) atau awal bulan dan di tetapi sekarang hanya tinggal sebuah saja dan pertengahan bulan (tanggal 16) saat itulah banyak sekarang ini dalam kondisi yanf sangat pegawai yang baru saja terima gaji. Serta hotel Grand memprihatinkan karena dibiarkan terbengkalai. Medan dikenal sebagai hotel pemasok minuman bir Sekarang di sebelah bangunan villa kembar
Recommended publications
  • Aksi Kekerasan Westerling Di Kota Medan (1945-1946)
    AKSI KEKERASAN WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946) Skripsi Sarjana Dikerjakan O L E H NAMA : YANDI SYAPUTRA HASIBUAN NIM : 170706007 PROGAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2021 i Universitas Sumatera Utara ii Universitas Sumatera Utara iii Universitas Sumatera Utara iv Universitas Sumatera Utara v Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil Alamin, penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkah dan ridho-Nya segala sesuatu dapat diselesaikan. penulis sebagai calon peneliti dan sejarahwan di masa depan telah menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Sholawat dan Salam kepada ruh junjungan alam Nabi Muhammad Saw, mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafaat-Nya di hari kemudian nanti. Skripsi ini penulis ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Dalam kesempatan ini Saya mengangkat judul skripsi “AKSI KEKERASAN WESTERLING DI KOTA MEDAN (1945-1946).” Skripsi ini masih jauh dari kata “sempurna”, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas segala perhatiannya, semoga tulisan ini dapat diperbaharui lagi dan dapat dibaca oleh berbagai kalangan serta menambah khazanah pengetahuan sejarah kita untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah. Demikian, semoga rahmat Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai kita semua. Medan, Februari 2021 Penulis Yandi Syaputra Hasibuan 170706007 i Universitas Sumatera Utara UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas motivasi, bantuan, kritik, saran, dan doa dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak. Ucapan terimakasih ini penulis haturkan kepada: 1. Bapak Dr.
    [Show full text]
  • INDONESIA 1942–1950 Praise For
    WILLIAM J. RUST THE MASK of NEUTRALITY THE UNITED STATES AND D E COL O NIZ ATIO N IN INDONESIA 1942–1950 Praise for The Mask of Neutrality: The United States and Decolonization in Indonesia, 1942–1950 “William Rust once again reminds us that we can find no better guide to the labyrinthine origins of America’s tragic entanglements in Southeast Asia. Deeply researched in a broad spectrum of archives and uncovering a range of hitherto little known or even unknown intelligence activities, The Mask of Neutrality explores the twists and turns of the US posture toward the decolonization of Indonesia with insight, nuance, and historical sensibility. A sobering account, it will remain the go-to history for years to come.” ¾ Richard Immerman, Temple University “William Rust likes to say he prefers origin stories. The Mask of Neutrality is just that¾for the nation of Indonesia, emerging from its centuries as a Dutch colony. In a history eerily similar to that of Vietnam¾and, where the author shows us, Dean Rusk had a ringside seat and ought to have learned the lessons¾nationalists have gained the heart of the nation, but Dutch colonialists negotiate insincerely, then fight, to change that. Rust delivers a deep tale of World War II anxieties, inter-allied intrigues, American doubts and internal squabbles, CIA machinations. Its predecessor agency, the OSS, even resorts to kidnapping in order to recruit agents. This is a splendid account, a detailed diplomatic history, and an eye-opening peek at a significant piece of history. Everyone interested in America’s role in the world should read The Mask of Neutrality.” ¾ John Prados, author of Safe for Democracy: The Secret Wars of the CIA “William Rust has done it again.
    [Show full text]
  • The Indonesian Struggle for Independence 1945 – 1949
    The Indonesian struggle for Independence 1945 – 1949 Excessive violence examined University of Amsterdam Bastiaan van den Akker Student number: 11305061 MA Holocaust and Genocide Studies Date: 28-01-2021 Supervisor: Prof. Dr. Ugur Ümit Üngör Second Reader: Dr. Hinke Piersma Abstract The pursuit of a free Indonesian state was already present during Dutch rule. The Japanese occupation and subsequent years ensured that this pursuit could become a reality. This thesis examines the last 4 years of the Indonesian struggle for independence between 1945 and 1949. Excessive violence prevailed during these years, both the Indonesians and the Dutch refused to relinquish hegemony on the archipelago resulting in around 160,000 casualties. The Dutch tried to forget the war of Indonesian Independence in the following years. However, whistleblowers went public in the 1960’s, resulting in further examination into the excessive violence. Eventually, the Netherlands seems to have come to terms with its own past since the first formal apologies by a Dutch representative have been made in 2005. King Willem-Alexander made a formal apology on behalf of the Crown in 2020. However, high- school education is still lacking in educating students on these sensitive topics. This thesis also discusses the postwar years and the public debate on excessive violence committed by both sides. The goal of this thesis is to inform the public of the excessive violence committed by Dutch and Indonesian soldiers during the Indonesian struggle for Independence. 1 Index Introduction
    [Show full text]
  • The Dutch Strategic and Operational Approach in the Indonesian War of Independence, 1945– 1949
    Scientia Militaria, South African Journal of Military Studies, Vol 46, Nr 2, 2018. doi: 10.5787/46-2-1237 THE DUTCH STRATEGIC AND OPERATIONAL APPROACH IN THE INDONESIAN WAR OF INDEPENDENCE, 1945– 1949 Leopold Scholtz1 North-West University Abstract The Indonesian War of Independence (1945–1949) and the Dutch attempt to combat the insurgency campaign by the Indonesian nationalists provides an excellent case study of how not to conduct a counter-insurgency war. In this article, it is reasoned that the Dutch security strategic objective – a smokescreen of autonomy while keeping hold of political power – was unrealistic. Their military strategic approach was very deficient. They approached the war with a conventional war mind- set, thinking that if they could merely reoccupy the whole archipelago and take the nationalist leaders prisoner, that it would guarantee victory. They also mistreated the indigenous population badly, including several mass murders and other war crimes, and ensured that the population turned against them. There was little coordination between the civilian and military authorities. Two conventional mobile operations, while conducted professionally, actually enlarged the territory to be pacified and weakened the Dutch hold on the country. By early 1949, it was clear that the Dutch had lost the war, mainly because the Dutch made a series of crucial mistakes, such as not attempting to win the hearts and minds of the local population. In addition, the implacable opposition by the United States made their war effort futile. Keywords: Indonesian War of Independence, Netherlands, insurgency, counter- insurgency, police actions, strategy, operations, tactics, Dutch army Introduction Analyses of counter-insurgency operations mostly concentrate on the well- known conflicts – the French and Americans in Vietnam, the British in Malaya and Kenya, the French in Algeria, the Portuguese in Angola and Mozambique, the Ian Smith government in Rhodesia, the South Africans in Namibia, et cetera.
    [Show full text]
  • VU Research Portal
    VU Research Portal -- [Review of: Michael Southon (1996) The Naval of the Perahu; Meaning and Values in the Maritime Trading Economy of a Butonese Village] Schoorl, J.W. published in Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 1996 document version Publisher's PDF, also known as Version of record Link to publication in VU Research Portal citation for published version (APA) Schoorl, J. W. (1996). -- [Review of: Michael Southon (1996) The Naval of the Perahu; Meaning and Values in the Maritime Trading Economy of a Butonese Village]. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, 152 (2), 326- 327. General rights Copyright and moral rights for the publications made accessible in the public portal are retained by the authors and/or other copyright owners and it is a condition of accessing publications that users recognise and abide by the legal requirements associated with these rights. • Users may download and print one copy of any publication from the public portal for the purpose of private study or research. • You may not further distribute the material or use it for any profit-making activity or commercial gain • You may freely distribute the URL identifying the publication in the public portal ? Take down policy If you believe that this document breaches copyright please contact us providing details, and we will remove access to the work immediately and investigate your claim. E-mail address: [email protected] Download date: 01. Oct. 2021 Book Reviews - R. Anderson Sutton, Wim van Zanten, Ethnomusicology in the Netherlands: present situation and traces of the past. Leiden: Centre of Non-Western Studies, Leiden University, 1995, ix + 330 pp.
    [Show full text]
  • “What Do They Know?”
    “What do they know?” A qualitative comparative research into the narratives of Dutch history schoolbooks and of Dutch Indies-veterans on the decolonisation of Indonesia (1945-1949) Victimology and Criminal Justice Master’s thesis Iris Becx ANR: 975007 Supervisors: Prof. Dr. A. Pemberton and Dr. S. B. L. Leferink 13 January 2017 Voorwoord Met gepaste trots presenteer ik u mijn masterscriptie. In veel soortgelijke voorwoorden komen de woorden ‘bloed, zweet en tranen’ voor, maar die duiding zou ik niet willen gebruiken. Natuurlijk was het schrijfproces soms frustrerend, leek er geen eind aan te komen, of zag ik door de bomen het bos niet meer. Ik werd op de proef gesteld doordat er te weinig, of juist te veel literatuur was gepubliceerd, en toen eindelijk de puzzelstukjes van mijn theoretisch kader op hun plek waren gevallen, sloeg ik het bestand verkeerd op en verloor vervolgens alle weldoordachte formuleringen, waardoor ik weer van voor af aan kon beginnen. Toch is hier een ander spreekwoord meer op z’n plek, namelijk ‘zonder wrijving geen glans’, want uiteindelijk kijk ik toch vooral met plezier terug op het schrijven van deze thesis. Na al die maanden raak ik nog steeds onverminderd enthousiast van mijn onderzoek, en ben ik erachter gekomen dat ik onderzoek doen eigenlijk heel erg leuk vind. Omdat dit proces niet hetzelfde was verlopen zonder een aantal personen, wil ik graag van de mogelijkheid gebruik maken om ze hier te bedanken. De groep die ik de grootste dank verschuldigd ben, is de groep respondenten. Hartelijk bedankt voor uw tijd, het graven in uw geheugen, en het mij toevertrouwen van herinneringen.
    [Show full text]
  • SULAWESI and Beyond
    SULAWESI and beyond The FRANtišek Czurda Collection Sulawesi and Beyond. The František Czurda Collection. This publication is a result of the forMuse-project ‘Sharing cultural Memory’ Edited by Sri Kuhnt-Saptodewo, Dagmar Pospíšilová, and funded by the Austrian Federal Ministry for Science and Research. CONTENTS Intan Mardiana Philipp Hesser This publication was issued as part of the scientific research project of the 4 Preface National Museum, Prague No. MK 0002327202 - Personalities of the Czech ISBN 978-3-85497-189-4 science and culture, supported by the Ministry of Culture of the Czech Republic. Sri Kuhnt-Saptodewo / Dagmar Pospíšilová 6 The Aim of the Research project “Sharing Cultural Memory” Published by: © 2010 Kunsthistorisches Museum mit Museum für Völkerkunde Museum für Völkerkunde und Österreichischem Theatermuseum, Wien, Philipp Hesser National Museum Prague Neue Burg, 1010 Wien, Austria 10 The Life of Dr. Franz Czurda Photography: All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted, in any form or by any means, electronic, photocopying or otherwise, without the prior 20 Sources for the Research Project on Dr. Franz Czurda’s collection Christian Mendez permission of the copyright owners. Alexander Rosoli Andreas Uldrich 24 Czurda’s Strategy of Collecting and the Catalogue Front cover: Back cover: Jiří Vaněk Ritual object | simpa Charm | simak Dagmar Pospíšilová South Sulawesi South Sulawesi Photographic Supervisor: 30 The Collection of František Czurda at the Náprstek Museum, Prague MVW 17710 MVW 17741 Stefan Zeisler Bamboo, lontar leaves, cotton. Cotton, paper. Petra Martin L 46 cm, W 25 cm, H 3 cm W 15 cm x H 33 cm Image Editing: 38 The Collection of František Czurda in Dresden Reinhold Mittersakschmöller 507.
    [Show full text]
  • R. Anderson Sutton, Wim Van Zanten, Ethnomusicology in the Netherlands: Present Situation and Traces of the Past
    Book Reviews - R. Anderson Sutton, Wim van Zanten, Ethnomusicology in the Netherlands: present situation and traces of the past. Leiden: Centre of Non-Western Studies, Leiden University, 1995, ix + 330 pp. [Oideion; The performing arts worldwide 2. Special Issue]., Marjolijn van Roon (eds.) - T.E. Behrend, Willem Remmelink, The Chinese War and the collapse of the Javanese state, 1725-1743. Leiden: KITLV Press, 1994, 297 pp. [Verhandelingen 162]. - Erik Brandt, Eric Venbrux, A death in the Tiwi Islands; Conflict, ritual and social life in an Australian Aboriginal Community. Cambridge: Cambridge University Press, 1995, xvii + 269 pp. - Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, Tineke Hellwig, In the shadow of change; Images of women in Indonesian literature. Berkeley: University of California, Centers for South and Southeast Asia Studies, 1994, xiii + 259 pp. [Monograph 35]. - M. Estellie Smith, Peter J.M. Nas, Issues in urban development; Case studies from Indonesia. Leiden: Research School CNWS, 1995, 293 pp. [CNWS Publications 33]. - Uta Gärtner, Jan Becka, Historical dictionary of Myanmar. Metuchen, N.J.: Scarecrow Press, xxii + 328 pp. [Asian Historical Dictionaries 15]. - Beatriz van der Goes, H. Slaats, Wilhelm Middendorp over de Karo Batak, 1914-1919. Deel 1. Nijmegen: Katholieke Universiteit, Faculteit der Rechtsgeleerdheid, 1994, xvii + 313 pp. [Reeks Recht en Samenleving 11]., K. Portier (eds.) - Stephen C. Headley, Janet Carsten, About the house, Lévi-Strauss and beyond. Cambridge: Cambridge University Press, 1995, xiv + 300 pp., Stephen Hugh-Jones (eds.) - Stephen C. Headley, James J. Fox, Inside Austronesian houses; Perspectives on domestic designs for living. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific Studies, The Australian National University, 1993, x + 237 pp.
    [Show full text]
  • Jihadists Assemble: the Rise of Militant Islamism in Southeast Asia
    JIHADISTS ASSEMBLE: THE RISE OF MILITANT ISLAMISM IN SOUTHEAST ASIA Quinton Temby A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy of the Australian National University Department of Political & Social Change Coral Bell School of Asia Pacific Affairs College of Asia & the Pacific Australian National University © Copyright Quinton Temby All Rights Reserved July 2017 I certify that this dissertation is my own original work. To the best of my knowledge, it contains no material that has been accepted for the award of a degree or diploma in any university and contains no material previously published by another person, except where due reference is made in the text of the dissertation. Quinton Temby ii ACKNOWLEDGEMENTS The preparation of this thesis has left me indebted to many people. It would not have been possible at all without the generous support of my primary supervisor, Associate Professor Greg Fealy, who encouraged my curiosity for this topic from the outset and who expertly guided and challenged me throughout the long process of research and writing. On my supervisory panel, I was privileged to have Professor Ed Aspinall and Professor Robert Cribb, whose critical feedback and scholarly example has been an object lesson. For help and guidance in ways impossible to count or measure, much less repay, I am grateful to Sidney Jones. In both Canberra and Jakarta, I enjoyed the support of Associate Professor Marcus Mietzner. For persistently challenging me to think regionally, I owe much of the vision of this thesis to Dr Kit Collier. In Indonesia, above all I would like to thank Sita W.
    [Show full text]
  • A LIFE UNDER THREE FLAGS by Peter Liang Tek
    A LIFE UNDER THREE FLAGS By Peter Liang Tek Sun ii Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in History At the University of Western Sydney, March, 2008 I thank my Heavenly Father in Jesus Christ very much for this great opportunity to study for the Ph.D. degree with the University of Western Sydney; and for His blessing to me that I may remain alive during the dysentery epidemic, the Second World War and during the dangerous accidents which have happened to me. I had to take a break from finishing this thesis between year 2000 and 2003 because of a heart attack after having some hard times in the Indonesian Presbyterian Church, Randwick, Sydney. Praise the Lord that I now have the strength and courage to finish it as I had hoped before. I am grateful to Elizabeth T.H. Tan, Winny, Abrams, Adela, Alvin, Caroline and Amanda for their support. May God bless them forever. iii To the memory of my beloved late parents: Father SUN SENG TJAY Mother KWA ROSE NIO Who have taken good care of me with love and sacrifice, Especially when I was suffering from Dysentery, Typhus and Eye disease. iv To my loving wife Elizabeth T.H.Tan, and my devoted sons and daughters : Abrams H. Dj. Sun Liana H.L. Sun Lucia H.L. Sun Winny H.B. Sun Loeki H.K. Sun Leo H.L. Sun Benjamin H.Tj. Sun Who all have given me moral support and are eagerly awaiting the result of my thesis. v A LIFE UNDER THREE FLAGS Contents Growing up in the Dutch East Indies, 1919-1942 11 Experiencing War and Japanese Occupation, 1942-1945 83 Making a Life in a Time of Revolution, 1945-1949 131 Turbulent National Politics and Personal Business 176 during the Sukarno Era, 1950-1966 Conclusion 243 Abbreviations 246 Bibliography 250 vi BIOGRAPHICAL SUMMARY The author was born on 2 October 1919, in Cilimus, Cirebon, West Java, Indonesia.
    [Show full text]
  • The Position of the Federal Consultative Assembly – ‘Bijeenkomst Voor Federaal Overleg’ (BFO) – During the Dutch-Indonesian Conflict, 1945-1950
    Caught between the Netherlands and the Republic: the position of the Federal Consultative Assembly – ‘Bijeenkomst voor Federaal Overleg’ (BFO) – during the Dutch-Indonesian conflict, 1945-1950. Author: Ruben Barink SID: 1348817 Supervisor: Roel Frakking Date: 25-05-2020 1 Acknowledgements The thesis before you could not have been made possible without the help of others. I am very grateful to my instructor Roel Frakking for his instructions, feedback and patience. Also, I would like to thank Maartje Janse for her initial feedback and functioning as second reader. 2 Table of contents Acknowledgements ................................................................................................................................. 2 Introduction ............................................................................................................................................. 5 Reasons for their virtual absence from the literary debate ................................................................ 6 Filling a complex gap ........................................................................................................................... 8 Research-question and theory .......................................................................................................... 11 Methodology ..................................................................................................................................... 15 Chapters division ..............................................................................................................................
    [Show full text]
  • 1 Cleo's 'Unfinished Business': Coming to Terms with Dutch War Crimes In
    Cleo’s ‘unfinished business’: coming to terms with Dutch war crimes in Indonesia’s war of independence Stef Scagliola Bio details Stef Scagliola is a senior researcher at the Erasmus School for History, Culture and Communication and at the Erasmus Studio for e-research, both based in Rotterdam. Her specializations are military cultures, oral history and e-Humanities. She has published on the way Dutch society has coped with the decolonisation war with Indonesia (1945-1949), and was the curator of a large-scale oral history archive with life stories of Dutch veterans. Contacts Erasmus University Rotterdam Erasmus School for History, Culture and Communication/Erasmus Studio for e-research Room L2-047 Postbus 1738, 3000 DR Rotterdam T: +31 (0)10 - 408 1108 F: +31 (0)10 – 408 91 35 M: +31 (6) 21467752 E: [email protected] / [email protected] Abstract This article discusses how Dutch society has come to terms with war crimes committed by its armed forces during the Indonesian/Dutch decolonisation war (1945-1949). In general, these ‘excesses’ have been legitimated by the community of veterans as the inevitable answer to provocative guerrilla tactics of the Indonesian adversary, who ‘forced’ Dutch troops to respond with 1 harsh counter-insurgency measures. Although considerable evidence exists indicating that these measures led to violations of the laws of war, only a small percentage of these crimes were prosecuted at the time. Public references to them were rare until 1969, when the first disclosure on Dutch war crimes was broadcasted on television. From the late 1960s onwards, such charges would occasionally resurface in the media, causing brief upheaval in the veterans’ community and the press.
    [Show full text]