INTERTEKSTUALITAS DALAM CERPEN “DONGENG SEBELUM BERCINTA” DAN “PETERPAN” KARYA EKA KURNIAWAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

OLEH:

F A I S A L

F11112259

JURUSAN SASTRA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN 2017

ABSTRAK

Faisal. “Intertekstualitas dalam Cerpen ‘Dongeng Sebelum Bercinta’ dan ‘Peterpan’ Karya Eka Kurniawan”.Departemen Sastra Indonesia. Universitas Hasanuddin. Dibimbing oleh Inriati Lewa dan St. Nursa’adah.

Penelitian ini menganalisis hubungan interteks antara cerpen Dongeng Sebelum Bercinta dan Peterpan karya Eka Kurniawan dan teks hipogram yang berupa kisah-kisah klasik. Hubungan interteks antara teks sastra yang baru dengan teks sastra yang mendahuluinya menarik dan penting dikaji untuk melihat bagaimana sebuah teks ditransformasikan serta sejauh apa perubahan struktur dan nilai-nilai dalam proses transformasi tersebut. Analisis hubungan antar teks pada penelitian ini, menggunakan pendekatan Intertekstual Julia Kristeva. Penelitian ini menghasilkan simpulan bahwa teks cerpen Dongeng Sebelum Bercinta dan Peterpan memiliki hubungan interteks dengan kisah klasik seperti The Arabian Night dan Peter Pan. Bentuk interteks yang terjadi ialah pemodifikasian dan pengutipan (ekserp) secara struktur serta nilai-nilai yang terdapat pada teks hipogram.

Kata kunci: Intertekstualitas, Cerpen, Dongeng Sebelum Bercinta, Peterpan

iii KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat peneliti selesaikan sesuai dengan harapan dan waktu yang terbilang sesuai dengan yang direncanakan. Skripsi ini yang berjudul “Intertektstualitas dalam Cerpen Dongeng Sebelum Bercinta dan Peterpan Karya Eka Kurniawan” diajukan sebagai syarat ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Sastra di

Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Skripsi ini selesai berkat bantuan banyak pihak yang membantu peneliti. Tanpa pihak-pihak tersebut, skripsi ini bisa saja tidak dalam wujudnya seperti saat ini.

Oleh karena itu, pertama-tama peneliti ingin berterima kasih kepada kedua orang tua yang selama ini berperan dengan berbagai caranya, dengan doa dan cintanya kepada peneliti. Terima kasih kepada ayah, Oddang Ranreng, dan ibu, Hj.

Mandauleng A. Gani untuk semua kebaikannya. Pada kesempatan ini pula, peneliti sampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. AB. Takko Bandung, M.Hum. selaku ketua Departemen Sastra

Indonesia yang telah memberikan bantuannya berupa arahan maupun

bantuan secara administrasi untuk penelitian ini.

2. Dr. Inriati Lewa, M.Hum. dan Dra. St. Nursa’adah, M.Hum., selaku

pembimbing I dan II yang selama ini memberikan kritik dan saran

sehingga penelitian ini bisa berjalan lancar sebagaimana mestinya.

Terima kasih juga telah banyak meluangkan waktu untuk proses

bimbingan penelitian ini.

iv 3. Dra. Haryeni Tamin, M.Hum., selaku penasihat akademik yang

sangat banyak berjasa bagi peniliti selama kuliah di Departemen

Sastra Indonesia (2012-2017) dalam hal pengarahan rencana

akademik, serta nasihat-nasihat yang tidak terhingga manfaatnya.

4. Seluruh dosen di Departemen Sastra Indonesia, yang telah

memberikan banyak ilmu pengetahuan dan pengalaman serta

terkadang menjadi teman diskusi saat-saat kuliah ataupun di luar

perkuliahan.

5. Ibu Sumartina, SE yang telah banyak membantu urusan administrasi

penelitian ini.

6. Saudara saya, Firdaus Oddang yang telah membuat keputusan terbaik

dalam hidupnya tahun ini dan membuat saya belajar banyak hal

sebagai kakak, saya selalu bersyukur dan berterima kasih.

7. Nur Nasratulhaera Hilal, Nur Adelia, Alfian Dippahatang, dan Muh

Ilyas, empat orang penting dalam hidup saya, terima kasih karena

selama ini saya belajar banyak hal dari kalian.

8. Teman-teman saya di Dialektika 2012, yang memberikan hal-hal baru

dan hal-hal penting selama saling mengenal, terima kasih karena

kebaikan-kebaikan kalian.

9. Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia yang telah menjadi “rumah” bagi

saya, terima kasih.

Pada akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak, termasuk kepada yang tidak sempat peneliti tuliskan di atas.

v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...... i LEMBAR PENGESAHAN ...... ii ABSTRAK ...... iii KATA PENGANTAR ...... iv DAFTAR ISI...... vi BAB I PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Ruang Lingkup Masalah ...... 5 C. Rumusan Masalah ...... 7 D. Tujuan Penelitian ...... 7 E. Manfaat Penelitian ...... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...... 9 A. Landasan Teori...... 9 B. Hasil Penelitian Yang Relevan ...... 20 C. Kerangka Pemikiran...... 23 BAB III METODE PENELITIAN...... 24 A. Metode Pengumpulan Data...... 24 B. Instrumen Penelitian...... 26 C. Prosedur Penelitian...... 27 BAB IV PEMBAHASAN...... 29 A. Pembahasan...... 29 1. Bentuk Transformasi Dongeng Sebelum Bercinta ...... 30 2. Bentuk Transformasi Peter Pan ...... 42 3. Nilai-Nilai dalam Dongeng Sebeulum Bercinta dan Peterpan...... 56 BAB V SIMPULAN DAN SARAN...... 63 1. Simpulan ...... 63 2. Saran...... 64 DAFTAR PUSTAKA ...... 65

vi BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra lahir dari interaksi antara pengarang, gejala sosial, budaya,

dan karya sastra itu sendiri. Karya sastra tidak hadir begitu saja, melainkan

hadir dari berbagai hal yang dibawa pengarang seperti: buku yang dibacanya,

cerita yang didengarnya serta pengalaman hidup secara keseluruhan dari

pengarang itu sendiri. Selain itu, tidak menutup kemungkinan bahwa interaksi

pengarang dengan karya sastra lain yang dibacanya, berdampak pada karya

yang diciptakannya. Keterpengaruhan karya sastra oleh pengarangnya

tersebut, dirumuskan oleh Wellek dan Warren (1995) sebagai hal yang mutlak

mengingat pengarang telah tersusun atas sejumlah teks dalam dirinya.

Cerita pendek (cerpen) merupakan salah satu genre karya sastra.

Menurut Poe (dalam Nurgiyantoro: 2002), cerita pendek adalah sebuah cerita

yang bisa dibaca dengan sekali duduk. Sekali duduk yang dimaksud Poe

diukur dengan rentang waktu pembacaan yang tidak lebih satu jam.

Sebagai bagian dari karya sastra, cerita pendek juga merupakan bagian

dari kebudayaan karena merujuk pernyataan Teeuw (1984: 11-12) bahwa

karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Kelahiran sebuah karya

sastra sebagai respons atas kebudayaan dan gejala sosial tidak bisa pula

dipisahkan dari pengaruh karya sastra lain. Beberapa karya sastra baru, tidak

menutup kemungkinan dipengaruhi oleh karya sastra lama, atau dalam hal

ini, karya sastra yang mendahuluinya.

1 Banua (2004) menulis puisi panjang berjudul Pengakuan Si Malin

Kundang yang mendapat penghargaan Sih Award 2005. Puisi tersebut merespons kisah legendaris Malin Kundang. Respons yang serupa dilakukan oleh Indrian Koto (2017) dalam bukunya Pledoi Malin Kundang. Kedua respons tersebut menguatkan pandangan Teeuw mengenai karya sastra dan kekosongan budaya. Sebuah novel berjudul Calon Arang yang terinspirasi dari cerita rakyat juga pernah ditulis oleh Toer (1951).

Di -Selatan, sebuah karya (epik) besar berjudul I , telah melahirkan banyak karya sastra baru berupa puisi, drama, cerpen dan novel. Karya sastra tersebut, antara lain novel La Galigo karya Abdurahman

(2012) yang merupakan respons atas I La Galigo. Selain itu, terbit pul sebuah kumpulan puisi dwibahasa berjudul The Birth of I La Galigo, yang ditulis oleh Damono dan McGlynn (2005) sebagai respons atas episode Kelahiran I

La Galigo dalam naskah I La Galigo salinan Colliq Pujie.

Bateson (dalam Wellek dan Warren; 1995) mengatakan bahwa sejarah kesusastraan suatu bangsa sejalan dengan sejarah bahasa bangsa tersebut.

Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan tentu tidak dapat dipisahkan dari sejarah bangsa secara kolektif. Hal tersebut berarti bahwa karya sastra bisa berangkat dari kebudayaan yang menyertainya, juga bisa kembali menggali kebudayaan lama yang telah mendahuluinya. Itulah yang dimaksud dengan dan "tidak berangkat dari kekosongan".

2 Hasil kebudayaan berupa karya sastra lama banyak menjadi sumber inspirasi penulisan karya sastra baru. Dongeng, legenda dan cerita rakyat sebagai bagian dari sastra lama, sering memengaruhi karya-karya sastra yang lahir setelahnya. Menarik untuk mengamati pandangan sastrawan tentang dongeng, legenda dan cerita rakyat dalam karyanya. Bagaimana para sastrawan itu mentransformasi, dan bagaimana ia menyesuaikan konteks waktu dalam ceritanya serta perubahan-perubahan apa yang mereka tampilkan dalam hasil transformasi tersebut, merupakan sejumlah pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabannya.

Tidak hanya sampai pada jawaban-jawaban yang akan ditemukan dari pertanyaan pertama tadi, jawaban yang muncul akan menimbulkan pertanyaan baru. Misalnya, jika ada transformasi, mengapa pengarang melakukannya? Apa yang ingin disampaikan pengarang dari transformasi teks cerita rakyat dalam karyanya? Atau jika tidak ada transformasi; mengapa pengarang mempertahankan bentuk awal cerita rakyat tersebut?

Banua di laman website Majalah Surah edisi 8 Mei 2014 (diakses 18

Maret 2017) memandang cerita rakyat sebagai bentuk karya sastra yang perlu ditransformasikan:

"Cerita rakyat sendiri sebenarnya sudah merupakan karya yang 'menjadi'. Hanya saja bentuknya lisan atau tuturan. Maka jika ia hendak diangkat ke dalam teks (karya sastra) modern, tentu saja tidak bisa sekadar memindahkan yang lisan ke dalam tulisan. Jika itu dilakukan, ia berhenti pada bentuk transkrip, adaptasi, atau penceritaan ulang, dan pelakunya buka disebut kreator atau pengarang, melainkan penyusun. Penyusun atau penulis-ulang cerita rakyat sama pentingnya dengan penulis. Hanya saja, dalam konteks sastra modern, upaya penciptaan yang bersumber dari cerita rakyat

3 harus dibarengi dengan proses kreatif yang lebih keras, agar memunculkan cerita klasik yang lebih baru (baca: modern)"

Eka Kurniawan merupakan salah satu pengarang Indonesia yang mentransformasi dongeng, cerita rakyat dan legenda dalam karya-karyanya.

Kurniawan menulis beberapa cerpen yang merupakan hasil transformasi dari kisah-kisah klasik. Sejumlah cerpen yang Kurniawan tulis membuat peneliti teringat pada sejumlah cerita klasik yang sering didengar atau dibaca.

Kurniawan melakukan transformasi dongeng ke dalam bentuk karya sastra yang lebih modern, yaitu cerita pendek. Wellek dan Werren (1995: 109) mengatakan bahwa karya sastra tidak bisa lepas dari institusi sosial. Sebagai bagian dari institusi sosial tersebut, konteks cerpen-cerpen Kurniawan, meskipun berangkat dari dongeng, tetap ia sesuaikan dengan keadaan masyarakat modern.

Pada cerpen-cerpen karyanya, Kurniawan tidak sekadar memperbaharui dan mereproduksi semata, tetapi lebih dari itu. Kurniawan memberi pandangan yang baru, sekaligus mengkritik kehidupan pada masanya. Cerpen-cerpen Kurniawan secara tidak langsung mengkritik kemapanan dongeng yang diangkatnya. Adapun cerpen-cerpen yang dimaksud antara lain; Dongeng Sebelum Bercinta (selanjutnya ditulis DSB) dan Peter Pan (selanjutnya ditulis PP). Cerpen-cerpen Kurniawan tersebut selain menghadirkan kritikan dan mendobrak kemapanan teks lama, juga bertambah menarik karena memberi alternatif bagi pembaca tentang bagaimana seharusnya kisah lama itu ditransformasikan. Kurniawan menghadirkan alternatif tersebut dalam bentuk cerita pendek. Selain hal

4 tersebut, menarik pula untuk dilihat bagaimana nilai-nilai pada teks

sebelumnya berubah ketika ditulis dalam bentuk teks yang baru.

Mengacu pada alasan yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya,

cerpen DSB dan PP menarik untuk dikaji karena tidak hanya menuliskan

kembali cerita yang telah ada, tetapi mentransformasi struktur dan nilai dari

kisah-kisah lama. Hal inilah yang membuat kedua cerpen tersebut menarik

untuk dikaji dengan pendekatan interteks.

Pendekatan interteks adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia

Kristeva dan dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain.

Menurut Kristeva (1980), tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-

kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain.

Suatu teks baru bermakna penuh jika berhubungan dengan teks-teks lain

(Teeuw, 1984: 65). Teks tertentu yang menjadi latar penciptaan teks baru itu

disebut hipogram. Sementara itu, teks yang menyerap (mentransformasi)

hipogram itu disebut teks transformasi. Hubungan antara teks yang terdahulu

dengan teks yang kemudian itu disebut hubungan intertekstual.

B. Ruang Lingkup Masalah

Cerpen DSB dan PP karya Kurniawan, memunculkan berbagai

permasalahan yang menarik dan memiliki hubungan dengan penelitian.

Antara lain hubungan dua teks yang saling mempengaruhi. Demi kemudahan

proses penelitian, peneliti menjabarkan pokok permasalahan tersebut sebagai

berikut:

5 1. Pada cerpen DSB dan PP, terdapat kecenderungan untuk

menghidupkan kisah-kisah lama ke dalam bentuk yang lebih baru.

Terjadinya transformasi cerita saat mengalihkan kisah-kisah lama ke

cerpen menjadi hal yang tidak mudah sehingga menarik untuk

meneliti proses transformasi yang terjadi.

2. Cerpen DSB dan PP menampakkan fenomena sehari-hari

masyarakat modern dalam kemasan dongeng yang didaur ulang.

Kritik sosial yang ditujukan pada fenomena keseharian masyarakat

yang disampaikan tidak secara langsung, sehingga sulit

memahaminya, jika pembaca tidak memiliki pemahaman awal

tentang dari mana cerpen-cerpen tersebut terinspirasi.

3. Perubahan dongeng menjadi cerpen bukan hal yang baru, tetapi

memahami tujuan perubahan yang dilakukan sama sekali bukan

perkara mudah. Hal tersebut secara tidak langsung memunculkan

pertanyaan tentang mengapa dilakukan perubahan, hal apa yang

ingin dicapai dari perubahan tersebut?

4. Perubahan dongeng ke dalam cerpen pada DSB dan PP, tidak

sekadar memengaruhi struktur, tetapi menjadi lebih menarik karena

terjadi perubahan nilai-nilai.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, demi tercapainya penelitian yang efektif, peneliti membatasi ruang lingkup masalah terkait intertekstualitas dongeng ke dalam cerpen DSB dan PP. Selain itu, penting untuk meneliti bagaimana perkembangan zaman memengaruhi transformasi

6 tersebut dan bagaimana nilai-nilai mengalami perubahan setelah proses

trasnformasi.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan ruang lingkup di atas, peneliti merumuskan masalah

penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk transformasi dalam cerpen DSB dan PP?

2. Bagaimana nilai-nilai dalam cerpen DSB dan PP?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memberi gambaran tentang

bagaimana dongeng ditransformasikan dalam bentuk cerpen, serta upaya

penyampaian nilai melalui transformasi tersebut. Adapun tujuan penelitian

secara rinci adalah sebagai berikut:

1. Mengemukakan bentuk-bentuk transformasi yang terjadi antara

teks-teks terdahulu dengan cerpen DSB dan PP.

2. Mengemukakan nilai-nilai dalam cerpen DSB dan PP.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberi andil

untuk perkembangan ilmu kesusastraan, khususnya di bidang

intertekstualitas. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat

memperkaya referensi mengenai kajian intertekstual Julia Kristeva.

7 2. Manfaat Praktis

Selain manfaat teoretis yang disebutkan, diharapkan penelitian

ini bisa menjadi acuan dalam penelitian mengenai intertekstual

selanjutnya. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan

pemahaman kepada pembaca mengenai cerpen DSB dan PP terutama

tentang keterpengaruhan cerpen tersebut oleh karya sastra lama.

Selain itu, penelitian ini dapat menjadi alternatif penerapan teori sastra

secara umum dan teori intertekstual secara khusus di bidang ilmu

pengetahuan sastra, terutama sastra Indonesia.

8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Perkembangan teori intertekstual mulanya diperkenalkan oleh Mikhail

Bakhtin pada masa formalisme Rusia. Gagasan awal intertekstualitas disebut

dengan istilah dialogis. Teori dialogis melihat hubungan antar teks, dan

beranggapan bahwa semua karya sastra yang dilahirkan merupakan hasil

campur tangan teks lain. Hubungan antar teks menurut teori dialogis terjadi

luar dan dalam; hubungan dalam berupa hubungan unsur-unsur karya sastra

yang meliputi tema, plot dan latar. Sedangkan unsur luar yaitu kaitan berbagai

hal dengan pengalam hidup pengarang (Kristeva, 1980).

Pada perkembangannya, teori dialogis dikembangkan oleh seorang

pemikir postsrukturalis Prancis bernama Julia Kristeva dengan konsep yang

disebut interteks.

“Intertekstualitas berasal dari bahasa Perancis yang diperkenalkan oleh Kristeva. Teori ini banyak digunakan orang, sejak pertama kali digunakan di Atlantik. Konsep teori tersebut secara umum telah disalah artikan. Ini tidak ada hubungannya dengan pengaruh oleh satu penulis yang lain atau dengan karya sastra. Dengan kata lain, melihat komponen dari sistem tekstual seperti yang ada di dalam novel. Hal ini didefinisikan di dalam buku La Revolition du Langage Poetique sebagai transposisi antara satu tanda ke tanda yang lain, diikuti dengan pengucapan artikulasi yang baru dan posisi denotatif. Beberapa praktik penanda adalah bidang yang terdapat beberapa penanda melalui transposisi (Kristeva, 1980: 15).”

Kristeva, pada kutipan di atas menegaskan bawa konsep interteks bukan

melihat hubungan antara pengarang yang satu dengan pengarang yang

9 lainnya, melainkan melihat hubungan antara teks satu dengan teks yang lain.

Kristeva menambahkan bahwa pada sebuah teks terdapat beberapa teks yang merupakan transformasi atau resapan dari teks lain, sebagaimana tulisannya di bawah ini :

“Semua teks dibangun atas mozaik dari berbagai kutipan: semua teks adalah penyerapan dan transformasi atas teks lainnya (1980: 15).”

Pengaruh satu teks yang satu terhadap teks lainnya tidak dapat dipisahkan melainkan harus dipandang sebagai kesatuan yang utuh, meski ada proses keterpengaruhan di dalamnya. Dengan kata lain, potongan atau sisipan teks yang terdapat dalam satu teks dimaknai secara keseluruhan

(Kristeva, 1980: 37). Proses interteks yang terjadi sangat dipengaruhi oleh penerimaan pembaca atau dengan kata lain bergantung pada pengalaman pembaca untuk mengetahui makna yang ada dalam teks tersebut. Makna bisa beragam, tidak statis, dan berubah-ubah berdasarkan interpretasi pengarang, hasil pemaknaan tersebutlah yang melahirkan konsep intertekstual. Secara luas, Ratna (2007: 172) menegaskan bahwa intertekstual diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan.

Prinsip dan kaidah penelitian interteks model Kristeva (1980: 60-63) sebagai berikut: interteks memandang bahwa dalam sebuah teks terdapat teks lain karena sebuah teks tercipta berdasarkan teks yang sudah ada sebagai

10 latarnya. Karya sastra yang ditulis terlebih dahulu dapat berlaku sebagai penolakan atau pengukuhan terhadap karya sastra sebelumnya sehingga ketika meneliti suatu teks, penulis harus menghubungkannya dengan teks lain yang mendasari untuk melihat aspek-aspek yang meresap. Hal ini diasumsikan bahwa setiap teks terdahulu mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks terdahulu, kemudian diolah dan diproduksi berdasarkan tanggapan pengarang.

Konsep intertekstual yang dikembangkan Julia Kristeva dilengkapi

oleh Michael Riffaterre. Riffaterre (1984: 5) mengemukakan empat pola

transformasi dalam intertekstual. Pertama, perluasan dan pengembangan

atau ekspansi. Kedua, pemutarbalikan hipogram atau konversi. Ketiga,

perubahan atau modifikasi. Keempat yaitu pengutipan atau ekserp.

Pemahaman terhadap hipogram dapat diperoleh dengan cara

memisahkan dua teks yang berinterteks. Teks pertama, teks awal atau teks

yang diacu merupakan hipogram yang menjadi awal lahirnya teks yang lain,

atau lebih luas, karya sastra yang lain. Hipogram dibedakan menjadi

hipogram potensial dan hipogram aktual (Riffatere, 1984:23).

Hipogram potensial tidak secara langsung ditampilkan di dalam

teks, tetapi merupakan wujud dari interpretasi pembaca. Hipogram potensial

berangkat dari kata "potensi", yang maksudnya potensi tanda, potensi

interteks yang kemungkinan ada dalam sebuah teks. Pada hipogram

potensial, sebuah teks diperlakukan sebagai teks otonom, yang tidak terikat

11 dengan teks awal. Potensi tanda berkembang menjadi tanda yang menunjukkan hubungan interteks dengan teks lain.

Hipogram merupakan teks nyata, bisa berupa kata, frasa, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Penelitian ini menggunakan hipogram aktual dan potensial. Peneliti memadukan hipogram yang hadir sebagai bentuk teks nyata juga alur dongeng yang serupa (aktual) dengan interpretasi terhadap cerpen yang dihasilkan dari teks dongeng tersebut

(potensial).

Cerpen DSB dan PP jika diletiti dengan intertekstual model Julia

Kristeva, secara langsung akan menampakkan keterkaitannya dengan tiga dari empat pola hubungan yang ada. Peneliti mendapatkan pola hubungan tersebut antara cerpen DSB, dan PP dengan hipogram yang berupa cerita- cerita klasik, antara lain; The Arabian Night; Kisah 1001 Malam

(selanjutnya ditulis TAN) dan novel Peterpan.

Hubungan interteks dalam DSB dan PP dapat dilihat bentuk transformasinya dengan pertama-tama membandingkan struktur kedua teks.

Menurut Stanton (2012: 22) struktur cerita, dalam hal ini dongeng dan cerita pendek, dibagi atas; karakter, latar, alur, sudut pandang, tema, dengan penjelasan sebagai berikut terbagi atas fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar) tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone,

12 simbolisme, ironi). Adapun penjabaran untuk dua pembagian menurut

Stanton di atas ialah seperti di bawah ini:

1. Fakta-Fakta Cerita

a. Penokohan

Penokohan merupakan salah satu unsur yang membangun

sebuah cerita. Sedangkan karakter merupakan bagian dari

penokohan. Pada penokohan, pengarang menampilkan karakter

secara psikis maupun secara fisik.

Stanton (2012) berpendapat bahwa karakter biasanya dipakai

dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada

individu-individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada

orang yang bertanya: “Berapa karakter yang ada dalam cerita

itu?”. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari

berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip marah dari

individu-individu tersebut seperti yang tampak implisit pada

pertanyaan: “Menurutmu, bagaimanakah karakter dalam cerita

itu?” Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu ‘karakter

utama’ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang

berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini

menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap

13 kita terhadap karakter tersebut (Stanton, 2012: 33). Karakter berdasarkan dua konteks yang dikemukakan Stanton sama halnya dengan penokohan yang bisa berarti nama tokoh dalam cerita, serta bagaimana tokoh tersebut ditampilkan. b. Latar

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013: 302), latar

menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah

dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa

yang akan diceritakan. Sebagaimana yang dikatakan Stanton

(2012: 35) latar adalah lingkungan yang melingkupi peristiwa

dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-

peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud

dekor dan juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu. c. Alur

Menurut Stanton (2012: 26-28), secara umum, alur Formatted: Indent: Left: 3.5 cm, First line: 1 cm

merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah

cerita yang terhubung secara kausal. Peristiwa kausal

merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi

dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat

diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan

karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang

fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup

perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya,

14 keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variable

pengubah dalam dirinya. (Stanton, 2012: 26).

Alur merupakan tulang punggung

cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat

membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas

panjang lebar dalam sebuah analisis. Sama halnya dengan

elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri;

alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir

yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan

bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri

ketegangan-ketegangan.

2. Tema

Stanton (2012: 36) menguraikan tema sebagai aspek cerita

yang sejajar dengan “makna” dari pengalaman manusia; sesuatu

yang menjadikan pengalaman begitu diingat. Tema bisa mengambil

bentuk yang paling umum dari kehidupan. Tema bisa berwujud satu

fakta dari pengalaman kemanusiaan yang digambarkan atau

dieksplorasi oleh cerita seperti keberanian, ilusi, masa tua. Bahkan

tema juga dapat berupa gambaran kepribadian salah satu tokoh.

Satu-satunya generalisasi yang paling memungkinkan darinya

adalah tema membentuk kebersatuan pada cerita dan membentuk

makna pada setiap peristiwa. Tema merupakan elemen yang relevan

dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Pengarang adalah

15 pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekadar anekdot, cerita rekaannya harus memiliki maksud. Maksud inilah yang dinamakan tema. Sudut Pand Menurut Stanton (2012:53), sudut pandang adalah posisi yang menjadi pusat kesadaran tempat untuk memahami setiap peristiwa dalam cerita. Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam karya sastranya merupakan cara pengarang untuk menceritakan cerita dalam karyanya. Sudut pandang merupakan posisi pengarang dalam cerita. Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Empat tipe utama tersebut, antara lain (1) pada ‘orang pertama-utama’ sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri, (2) pada ‘orang pertama sampingan’ cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan), (3) pada

‘pada orang ketiga-terbatas’, pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja, (4) pada ‘orang ketiga-tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga dan juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat ketika tidak ada satu karakter pun yang hadir (Stanton, 2012: 53-54).

16 3. Sarana-Sarana Sastra Sudut Pand Menurut

Stanton (2012:53), sudut pandang adalah posisi yang menjadi pusat

kesadaran tempat untuk memahami setiap peristiwa dalam cerita.

Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam karya

sastranya merupakan cara pengarang untuk menceritakan cerita

dalam karyanya. Sudut pandang merupakan posisi pengarang dalam

cerita. Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe

utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi

dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Empat tipe

utama tersebut, antara lain (1) pada ‘orang pertama-utama’ sang

karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri, (2) pada

‘orang pertama sampingan’ cerita dituturkan oleh satu karakter

bukan utama (sampingan), (3) pada ‘pada orang ketiga-terbatas’,

pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya

sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat

dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja, (4)

pada ‘orang ketiga-tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap

karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga dan juga dapat

membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau

saat ketika tidak ada satu karakter pun yang hadir (Stanton, 2012:

53-54).

a. Judul Formatted: Indent: Left: 2.25 cm, First line: 0.25 cm, Numbered + Level: 2 + Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 3.02 cm + Tab after: 0.63 cm + Indent at: 2.06 cm, Tab stops: 3 cm, List tab + Not at 3.81 cm

17 Stanton (2012: 51) berpendapat bahwa judul sering dikira Formatted: Indent: Left: 2.5 cm, Tab stops: 0.63 cm, Left + 2.38 cm, Left relevan dengan karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu seperti dalam The Great Gatsby atau Wuthering Heights. b. Sudut Pandang Formatted: Font: Bold Formatted: Indent: Left: 1.25 cm, First line: 1.25 cm, Menurut Stanton (2012: 53), sudut pandang adalah posisi Numbered + Level: 2 + Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 3.02 cm + Tab after: 0.63 cm + Indent at: 2.06 cm, Tab stops: 2.38 cm, Left + yang menjadi pusat kesadaran tempat untuk memahami setiap 3.25 cm, List tab + Not at 3.81 cm Formatted: Indent: Left: 2.5 cm, Tab stops: 0.63 cm, Left + peristiwa dalam cerita. Sudut pandang yang digunakan oleh 2.38 cm, Left pengarang dalam karya sastranya merupakan cara pengarang untuk menceritakan cerita dalam karyanya. Sudut pandang merupakan posisi pengarang dalam cerita. Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Empat tipe utama tersebut, antara lain (1) pada ‘orang pertama-utama’ sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri, (2) pada ‘orang pertama sampingan’ cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan), (3) pada ‘pada orang ketiga- terbatas’, pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja, (4) pada ‘orang ketiga-tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang

18 ketiga dan juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendear, atau berpikir atau saat ketika tidak ada satu karakter pun yang hadir

(Stanton, 2012: 53-54). c. Gaya Formatted: Indent: First line: 0.44 cm, Numbered + Level: 2 + Numbering Style: a, b, c, … + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 3.02 cm + Tab after: 0.63 cm + Indent at: 2.06 Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam cm, Tab stops: 2.38 cm, Left + 3 cm, List tab + Not at 3.81 cm menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang- pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya. (Stanton, 2012: 61) Lebih jauh,

Stanton (2012: 63) menjelaskan hubungan gaya denga tone sebagai satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah tone. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan. Pada porsi tertentu tertentu, tone dimunculkan oleh-oleh fakta-fakta; satu cerita yang mengisahkan seorang pembunuh berkapak, akan memuncul tone gila. d. Simbolisme

Gagasan dan emosi terkadang tampak nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya, kedua hal tersebut tidak dapat dilihat dan

19 sulit sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal tersebut agar tampak nyata adalah melalui ‘simbol’; simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dengan ini, pengarang membuat maknanya jadi tampak.

Simbol dapat berwujud apa saja, dari sebutir telur hingga latar cerita seperti satu objek, beberapa objek bertipe sama, subtansi fisis, bentuk, gerakan, warna, suara atau keharuman.

Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Dua, satu simbol ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita beberapa elemen konstan dalam semesta cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda. (Stanton, 2012: 65). e. Ironi

Ironi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V, memiliki dua Formatted: Indent: Left: 2.5 cm, Tab stops: 0.63 cm, Left + 2.38 cm, Left + 3 cm, Left pengertian. Pengertian pertama, ironi adalah kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir. Sedangkan untuk pengertian kedua, ironi adalah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan makna yang sesungguhnya. Sedangkan menurut Stanton (2012: 71), secara umum, ironi dimaksudkan

20 sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan

apa yang telah diduga sebelumnya.

4. Nilai

Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Idonesia Edisi IV didefenisikan

sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.

Sementara itu, Lewa (2015) menjabarkan nilai melalui kutipan di

bawah ini:

“Nilai adalah salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia (Frondasi, 2007: 1-2). Nilai merupakan bagian yang integral dari struktur kepribadian individu dan bagian hasil interaksi sosial dan kebudayaan lingkungan. Nilai secara relatif bersifat tetap artinya nilai itu tidak berubah dan merupakan komponen dasar dari kesadaran psikologis yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang (Rokeach, 1973). Berbagai macam nilai yang ada dan berlaku pada seseorang atau pun masyarakat tidaklah datang begitu saja. Schimmack, et. al. (2002) menyatakan bahwa nilai bersifat subjektif dan diperoleh atau merupakan hasil belajar. Dengan demikian, nilai yang diperoleh tersebut tentulah sangat sukar dilepaskan dari individu pemiliknya.

Nilai adalah gagasan tentang kehidupan yang dianggap sangat penting oleh suatu masyarakat (Ikram, 1997: 145). Semua nilai yang ada dan diyakini oleh individu dalam masyarakat pendukung nilai tersebut dan digunakan dalam kehidupan keseharian merupakan warisan budaya. Menurut Salim (2002: 20) warisan budaya yang ada pada masyarakat pendukung sebuah budaya terbagi atas kebudayaan material (kebendaan, teknologi) dan kebudayaan immaterial (nonbenda, , norma, dan nilai-nilai) (Lewa, 2015: 41).”

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Upaya peneliti untuk mencari tahu mengenai penelitian sebelumnya

yang mengangkat cerpen DSB dan PP dengan pendekatan intertekstual telah

21 dilakukan. Upaya tersebut dengan cara mencari arsip-arsip hasil penelitian sebelumnya, baik yang online maupun offline dan ternyata belum ada yang meneliti DSB dan PP khususnya dengan pendekatan intertekstual.

Adapun hasil penelitian yang penulis anggap relevan dengan penelitian ini antara lain; Commented [1]: Aspek apa yang releven dari semua penelitian yang Putra (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Reproduksi Teks dari dicantumkan Seni Rupa ke Puisi dalam Kumpulan Puisi Buli-Buli Kaki Lima Karya Nirwan

Dewanto; Kajian Intertekstual”. Skripsi tersebut mengkaji hubungan intertekstual antara puisi-puisi Nirwan Dewanto dalam buku Buli-Buli Kaki

Lima dengan beberapa karya seni rupa. Penelitian yang sedang peneliti lakukan relevan dengan penelitian Esha karena sama-sama menggunakan teori intertekstual. Perbedaan kedua peneltian tersebut ialah objek penelitian

Esha merupakan karya sastra dengan karya seni rupa, sedangkan dalam penelitian ini, kedua objeknya sama-sama karya sastra.

Selain itu, esai Arif Bagus Prasetyo yang berjudul “Tamsil tentang

Zaman Citra; Perihal Segugusan Cerpen Nukila Amal” (pemenang sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007) tentang hubungan interteks cerpen-cerpen dalam buku Laluba (Jakarta, Pustaka Alvabet, 2005) karya Nukila Amal dengan seni rupa M. C. Escher. Relevansi penelitian ini dengan tulisan Prasetyo ialah kesamaan pendekatannya. Selain dari itu, terdapat perbedaan yakni; Prasetyo melihat hubungan teks sastra dan teks seni rupa.

22 Penelitian Effendi (2005) yang berjudul I Tolok: Sebuah Kajian

Hubungan Antarteks, juga sangat relevan dengan penelitian ini. Relevansi yang dimaksud ialah kesamaan pendekatan juga kesamaan objek berupa karya sastra yang lahir dari tradisi suatu daerah. Penelitian ini mengkaji cerpen dan dongeng yang lahir dari tradisi lisan, sedangkan Effendi mengkaji drama dan sinrilik, yang juga merupakan hasil tradisi lisan. Perbedaan kedua penelitian yaitu; penelitian ini meneliti dua jenis karya yang berbeda, sedangkan penelitian Effendi meneliti satu karya yang sama, yaitu kisah I

Tolok, tetapi dalam media yang berbeda, dalam hal ini drama dan sinrilik.

Asjayanti (20016) dalam skripsinya “Analisis Teks Novel Anak

Pulau Karya Abidah El Khaleiqy; Pendekatan Interteks Julia Kristeva” meneliti sebuah novel dengan pedekatan yang relevan dalam penelitian ini.

Asjayanti dalam penelitiannya mengkaji hubungan interteks novel Anak

Pulau bukan dengan membandingkannya dengan teks berupa karya sastra, melainkan dengan teks sosial dan budaya. Kajian serupa itu, membuat penelitian Asjayanti dengan penelitian ini berbeda.

Kurnia (2013), dalam skripsinya “Intertekstual Cerpen Robohnya

Surau Kami karya A. A. Navis dengan Burung Kecil Bersarang di Pohon karya Kuntowijoyo dan Implikasinya Terhadap Pembelarajan Sastra di

Sekolah” membandingkan ketertaikatan antara dua cerita pendek Indonesia karangan Kuntowijoyo dan A. A. Navis. Selain membandingkan hubungan intertekstual keduanya, Kurnia juga meneliti impilikasinya pada proses pembelajaran sastra di sekolah. Hal itulah yang membuat karya Kurnia

23 tersebut berbeda dengan penelitian ini, meskipun tetap memiliki keterkaitan

satu sama lain pada pendekatan yang digunakan.

Annisa (2017), dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Struktur

Cerita Antara Novel Di Bawah Lindungan Kabah Karya Hamka dan Lafaz

Cinta Karya Sinta Yudisia: Suatu Analisis Intertekstual Julia Kristeva”,

meneliti dua teks yang berasal dari satu jenis karya sastra yang sama, yakni

novel. Annisa, menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini.

C. Kerangka Pemikiran

Cerpen DSB dan PP karya Eka Kurniawan

24 Intertekstualitas dalam cerpen DSB dan PP

Bentuk-bentuk transformasi dalam Nilai-nilai yang ada dalam cerpen DSB cerpen DSB dan PP dan PP

Simpulan

BAB III METODE PENELITIAN

25