KABA DAN SISTEM SOSIAL suatu problema sosiologi sastra

TIDAK DIPERJUALBELIKAN Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara Perpustakaan Nasional, 2011

KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKABAU

Suatu Problema Sosiologi Sastra

oleh UMAR JUNUS

Perpustakaan Nasional Balai Pustaka R e p u b l i k I n d o n e s i a Penerbit dan Percetakan PN BALAI PUSTAKA BP No. 3171 Hak pengarang dilindungi undang-undang

Cetakan pertama — 1984

Perancang Kulit: Bodhy Trisyanto KATA PENGANTAR

Kaba sebagai sastra lisan Minangkabau sampai sekarang masih men- dapat tempat dalam masyarakat budaya Minangkabau. Sastra lisan ini pernah berkembang juga dalam bentuk penyampaian tulisan dan terbit dalam bentuk buku. Kajian terhadap sastra lisan kita jelaslah penting untuk menggali ber- bagai hal dan anasir-anasir yang merupakan kekuatan sastra lisan itu layak menjadi ilham bagi para pencipta sastra moderen tidak saja sebagai upaya memperkaya khazanah sastra Indonesia, tetapi juga dalam kaitannya dengan upaya kita bersama dengan proses meng- Indonesia. Kajian terhadap kaba memang cukup langka, apalagi kajian yang mengkaitkannya dengan sistem sosial Minangkabau di mana kaba itu tumbuh dan berkembang. Upaya pengkajian terhadap Kaba dan Sistem Sosial. Minangkabau yang dikerjakan Umar Junus ini layak menjadi bahan studi lebih lanjut oleh para penelaah sastra kita dan para pencipta sastra moderen Indo- nesia. Dengan pertimbangan itulah PN Balai Pustaka dengan gembira me- nerbitkan buku ini.

PN Balai Pustaka

5

DAFTAR ISI

Kata pengantar Prakata Catatan mengenai ejaan 15 Tentang hakikat kaba 17 Fakta dari kaba 32 Sistem sosial Minangkabau 51 "Sastra sebagai cermin masyarakat" 57 Fakta dari Kaba dan sistem sosial Minangkabau: suatu dis- kusi... 66 Karya sastra dan realitas 114 Daftar kaba 130 Rujukan 133

7

PNRI PNRI PRAKATA

Sebenarnya, kata pengantar ini mungkin juga dapat diartikan sebagai pendahuluan, karena di sini juga akan saya kemukakan persoalan yang akan terolah dalam pembicaraan ini. Keinginan saya untuk membicarakan kaba telah bermula sejak lama. Hal itu telah menjadi konkrit pada tahun 1968. Ketika itu, saya ingin menulis sebuah karangan tentang kaba dan. novel Minangkabau yang dilihat dalam rangka latar belakang sosio- budaya Minangkabau. Dan bermula dari saat itu, saya mulai lagi mengumpulkan kaba-kaba — saya tak ingat ke mana perginya kumpulan kaba yang saya punyai ketika mengajar di Malang dulu. Dan dalam rangka pengumpulan kaba ini saya sangat berterima kasih kepada sdr. (Prof. Dr.) Jakub Isman dari IKIP , yang telah bermurah hati mendapatkan kaba-kaba itu bagi saya ketika itu. Kemudian 'kumpulan' ini saya tambah dengan kaba-kaba yang ada di Universitas Leiden, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk manuskrip, yang dapat saya baca ketika cuti saba- tikal di Leiden pada tahun 1972. Koleksi saya juga bertambah ber- kat jasa baik sdr. Drs. Lukman Ali yang mendapatkan salinan bagi saya dari kaba-kaba yang ada dalam perpustakaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Jakarta dan dari koleksi pribadinya. Tapi ini berlaku jauh kemudian, yaitu pada tahun 1980 dan 1981. Tapi keinginan saya itu tak pernah terwujud, atau tak pernah mengambil bentuk konkrit. Pernah saya tuliskan hasil penelitian- nya, tapi saya sendiri tak merasa púas. Ada banyak yang kurang mantap terasa di dalamnya. Yang paling utama ialah tak adanya landasan teori yang cukup dapat dipertanggungjawabkan. Hasil itu lebih terasa sebagai daftar atau register belaka, yang hanya mengurutkan unsur sosio-budaya dalam kaba dan novel. Jadi bu- kan penelitian sosiologi sastra dalam arti yang lebih dapat diper- tanggungjawabkan. Dengan begitu, usaha itu saya tinggalkan be-

9

PNRI gitu saja, dan ketika itu kelihatannya akan saya tinggalkan buat selama-lamanya. Tapi dalam perkembangan masa, dengan pengenalan saya yang makin intens dan mesra dengan teori-teori sosiologi sastra dan sastra, tampaklah kelihatan titik terang untuk mulai mendekati kaba lagi dengan pendekatan yang berbeda dari yang pernah saya fikirkan pada tahun 1968. Dan keinginan ini mendapat dorongan baru dari tantangan yang dikemukakan Navis ketika kami ber- temu pada Seminar Internasional Pengajian Melayu di Universiti Malaya pada bulan September 1978. Dikatakannya, maaf kalau saya salah ingat, bahwa kaba bukan asli Minangkabau, hanya pinjaman, karena sistem sosial yang ada di dalamnya bukan sistem sosial Minangkabau. Ini menimbulkan problematik dalam diri saya. Apakah mungkin sesuatu yang kelihatan begitu Minangka- bau, tapi bukan kepunyaan budaya Minangkabau? Dan saya ingin membuktikan bahwa ucapan Navis itu salah, karena ia telah ber- tolak dari suatu anggapan yang salah. Sejak itu saya mulai lagi "menggumuli" kaba dengan mening- galkan kerangka teori yang pernah saya punyai sebelumnya yang sifatnya positivistik, percaya kepada adanya hubungan langsung antara satu unsur dalam karya sastra dengan satu unsur dalam sosio-budaya. Dalam pergumulan ini saya menemui apa yang ditemui Navis. Ini menimbulkan pertanyaan dalam diri saya, kenapa hal itu di- terima oleh orang Minangkabau, oleh masyarakat Minangkabau yang tak mengenal dunia lain. Dan jawaban untuk ini ternyata tak tersedia dalam teori-teori sosiologi sastra yang pernah saya kenal dan saya pelajari. Hal ini makin menggairahkan saya. Penemuan saya dari kaba mungkin memberikan suatu sumbangan terhadap perkembangan teori sosiologi sastra. Dengan mempertentangkan dunia dalam kaba dengan dunia di luarnya, saya dapati suatu teori, bahwa apa yang positif dalam kaba (dan juga dalam karya sastra umumnya) berhubungan dengan sesuatu yang negatif di luarnya, pada dunia yang dilukiskannya. 'Penulis' dan pembaca akan selalu membandingkan antara keadaan yang disebabkan oleh unsur yang positif dalam kaba yang menim- bulkan akibat dengan keadaan dalam masyarakat bila unsur itu tak ada. Atau dibandingkan mereka bagaimana 'bahagianya' sebu- ah masyarakat dengan adanya unsur tertentu, jadinya positif, da-

10

PNRI lam masyarakat, dan bagaimana tragedi terjadi bila unsur ini tak ada, atau negatif, dalam kaba. Dengan penemuan ini, saya bukan hanya berharap akan dapat memberikan sumbangan teori terhadap perkembangan sosiologi sastra — ini yang mendorong saya untuk menyiapkannya pada mulanya dalam bahasa Inggris — tapi juga dapat menunjukkan bah- wa kita dapat membentuk teori dari bahan yang kita punya, se- hingga kita tidak lagi bekerja hanya melaksanakan teori yang di- kembangkan oleh para saijana barat. Tapi di samping itu, saya terus juga membaca karangan yang berhubungan dengan teori sastra murni — ini mungkin sebagai akibat dari hakikat diri saya yang tak dapat menumpukan perha- tian kepada satu hai saja, apalagi hanya kepada satu teori saja. Dan dalam membaca ini, saya akhirnya menemui suatu konsep yang pernah diucapkan oleh Tzvetan Todorov (1977), yaitu presence dan absence yang dengan mudah dapat digunakan untuk kepentingan 'positif dan 'negatif yang saya kemukakan tadi. Konsep ini belum lagi saya gunakan untuk kertas keija saya (1980) untuk Seminar Internasional mengenai kesusasteraan, masyarakat dan kebudayaan Minangkabau di Bukittinggi pada bulan September 1980, karena pada masa itu saya belum lagi sempat membaca karangan Todorov itu. Begitulah, dengan pembacaan karangan Todorov itu, yang mungkin suatu hai yang tragis, saya terpaksa mesti menggunakan konsep itu, yang bukan saja lebih tepat, tapi telah diucapkan lebih dulu. Tapi terlepas dari itu saya cukup puas, karena saya telah da- pat menemukan sesuatu yang baru bagi sosiologi sastra, karena apa yang diucapkan Todorov hanya diucapkan dalam hubungan teori sastra murni, dan selama ini tak digunakan dalam hubungan penyelidikan sosiologi sastra. Dan ini saya gali dari penelitian saya dari kaba dengan kegagalan untuk menggunakan teori-teori yang ada ketika saya memulainya. Dengan begitu, pembicaraan saya kali ini bukan hanya penting dalam hubungan saya mengungkapkan hakikat kaba yang selama ini tak pernah diberi perhatian yang serius dalam hubungan penyelidikan ilmu yang teoritis, tapi juga penting bagaimana saya dapat mengungkapkan sebuah teori darinya, bagaimana saya dapat menemukan teori itu. Hal yang terakhir ini, saya harap- kan, akan banyak berguna bagi sarjana kita, untuk menggali milik kita sendiri dengan tak banyak tergantung kepada teori

11

PNRI yang dikembangkan di luar. Mudah-mudahan saja harapan ini ter- capai. Dalam pengeijaan penelitian ini saya berhutang budi kepada banyak orang, antara lain telah saya sebutkan tadi. Tapi selain itu ada beberapa orang yang memberikan sumbangan yang tak dapat dilupakan. Pertama kali saya berhutang budi kepada Prof. Dr. Mohd. Taib Osman yang mendorong saya untuk mencempungkan diri dalam dunia sosiologi sastra. Karena itu, ketika kuliah ini pertama kali diperkenalkan di Universiti Malaya dengan nama 'Sastra, Masyarakat dan Budaya' pada tahun 1968, saya telah bersama- sama mengendalikannya dengan Prof. Taib Osman. Juga kepada Prof. Dr. P.E. de Josselin de Jong dari Universitas Leiden dengan adanya pertukaran fikiran antara saya dan beliau. Bahkan dengan usaha Prof, de Josselin de Jong saya dapat me- ngunjungi dan tinggal di Leiden selama sebulan (April/Mei) pada tahun 1981, bersamaan dengan waktu saya menghadiri simposium tentang Minangkabau yang diadakan di Amsterdam pada bulan Aprii 1981. Melalui usaha beliau saya mendapatkan dana ùntuk perjalanan dan menetap di Leiden selama sebulan. Untuk ini saya ucapkan banyak-banyak terima kasih. Saya juga berhutang budi kepada Leidsch Funds yang telah membiayai peijalanan saya ke Leiden pada bulan Aprii 1981 dan kepada Zuiver Wetenschap Onderzoek (ZWO) yang memberi- kan biaya hidup selama saya tinggal di Leiden sebulan dalam tahun 1981. Tanpa bantuan kedua badan ini, saya mungkin tak akan dapat mengadakan diskusi yang berharga dengan sarjana asing yang berkecimpung dalam penyelidikan tentang Minang- kabau. Ucapan terima kasih juga harus saya ucapkan kepada Univer- siti Malaya yang telah memberikan berbagai kemudahan ketika saya menyiapkan penelitian ini. Pengumpulan bahan di Leiden pada tahun 1972 tak mungkin saya lakukan tanpa bantuan Uni- versiti Malaya yang membiayai saya untuk menggunakan cuti sabatikal saya di Leiden. Juga ucapan terima kasih saya kepada perpustakaan Universitas Leiden dan Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde di Leiden yang memberikan begitu banyak kemudahan kepada saya.

12

PNRI Juga ucapan terima kasih kepada mereka yang secara langsung dan tak langsung telah ikut serta menyumbangkan sesuatu bagi penyelidikan. Dan sekali lagi kepada sdr. Navis suatu ucapan terimakasih yang tak berhingga, karena ucapannya yang begitu menantang sehingga menimbulkan kembali kegairahan saya untuk meneliti kaba. Ini disertai dengan suatu harapan, semoga penelitian ini dapat merangsang kita untuk mengadakan penelitian yang lebih orisinal dengan usaha menggali sesuatu dari unsur sosio-budaya kita. Dan bagi orang-orang yang bergerak dalam bidang penelitian sastra, penelitian ini memperlihatkan ketakmungkinan melihat karya sastra sebagai dunia yang berdiri sendiri. Kita mesti men- dekatinya dengan total critic, suatu model kritik yang ketika ini sangat pesat berkembang, terutama dihubungkan dengan pene- litian Roland Barthes.

Kuala Lumpur, 7-7- 1982.

13

PNRI PNRI CATATAN MENGENAI EJAAN

Ejaan yang digunakan di sini untuk data dari bahasa Minang- kabau disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan untuk Bahasa Indonesia. Hanya untuk diftong /ie/ dan /ue sebagai pada ambiek 'ambil' dan burueng 'burung', yang kadang-kadang juga digunakan/ia/dan/ua, maka di sini digunakan /ie/dan/ue. Dengan begitu, bila dalam bacaan nanti ada tabuang, maka ini harus mesti dibaca sebagai tabuwang 'terbuang' dan bukan tabueng 'tabung'.

15

PNRI PNRI TENTANG HAKIKAT KABA

- 1 - Kata kaba sama dengan 'kabar', sehingga boleh juga berarti 'berita'. Tapi sebagai istilah ia menunjuk suatu jenis sastra tra- disional lisan Minangkabau. Ia mungkin diceritakan oleh seorang tukang kaba atau sijobang (of. Nigel Phillips, 1980, 1981) dengan diiringi oleh salueng, rabab atau 'alat musik' lainnya. Atau melalui pertunjukan yang dulunya hanya terdiri dari pemain lelaki. Kaba berbentuk prosa link. Bentuk ini tetap dipertahankan bila ia diterbitkan dalam bentuk buku. Kesatuannya bukan kali- mat dan bukan bans. Kesatuannya ialah pengucapan dengan panjang tertentu yang terdiri dari dua bagian yang berimbang. Keduanya dibatasi oleh caessura 'pemenggalan puisi' (cf. Umar Junus, 1981 : 6). Keadaannya dapat terhhat pada contoh berikut : lamolah maso / antaronyo // bahimpun / urang samonyo // hino mulie / miskin kayo // bahimpun / lareh nan panjang // Karena itu, Bahar Dt. Basa (1965:2) sengaja menurunkan keterangan berikut ini : "Tanda , (koma) dalam buku ini bukanlah berarti , (koma) dalam bacaan yang sebenarnya, tetapi pengganti (garis pembatas)." Ini ditambah dengan prinsip pasangan (= couplet) dengan me- minjam apa yang dikatakan Samuel R. Levin (1962:30-41). Suatu kesatuan akan diikuti oleh kesatuan lain dengan pola yang sama, sehingga terjadi perulangan atau kesejajaran struktur. Ini mungkin akan dikatakan sebagai hakikat sastra Usan (cf. Amin Sweeney, 1980:17, 23ff). Tapi ia juga mungkin dilihat dalam hu- bungan ungkapan nak duo sairieng 'biar dua pantun sei- ring'. Ia hanya pelaksanaan dari prinsip ini.

KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKABAU 2 17

PNRI -2- Sebuah kaba dikatakan menceritakan cerita benar, suatu pe- ristiwa. Kaba Bujang Paman (1963) berhubungan dengan peris- tiwa yang benar-benar teijadi di Koto Anau, Solok. Kaba Siti Mariam (1962) tentang peristiwa yang terjadi antara Bukittinggi dan Medan, seandainya tak ada keterangan lain yang ber- tentangan pada penutup jilid pertama - saya tak punya jilid ke- duanya. Dikatakan sifat cunto fiktif 'sifat cerita fiktif. Ini dapat ditambahkan dengan keterangan Sutan Endah Sjamsuddin dalam Putì Talayang (1964) sebagai berikut : Kaba curito rang dahulu duto urang kito tak sato (Kabar cerita orang dahulu, kalau mereka dusta, maka kita tak ikut (dusta). Jadi, kaba menceritakan suatu peristiwa atau yang dianggap demikian oleh pendengarnya (yang tradisional). Tapi, "pembaca" kini (yang berpendidikan) mungkin menyangsikannya. Kaba bagi mereka mungkin hanya fiksi. Ini yang memungkinkan terjadi- nya penambahan sifat curito fiktif pada Kaba Siti Mariam tadi. Atau mungkin juga berhubungan dengan hakikat kaba curito 'ka- bar cerita'. la menceritakan sebuah kaba 'kabar' tentang suatu pe- ristiwa dalam bentuk fiksi, curito 'cerita'. Jadinya, ia sekaligus mempunyai dua unsur, cerita benar dan fiksi. la jadinya penceri- taan suatu peristiwa yang telah diberi penafsiran, sehingga ia tak berbeda dari fiksi (modem) yang ada. Sesudah membaca beberapa kaba dapat saya lihat pentingnya untuk meyakinkan audiencenya bahwa kaba adalah sebuah cerita benar. Suatu peristiwa tragis yang betul-betul teijadi akan men- cegah audience' untuk mengulang hai yang sama. Kaba bertugas untuk mendidik audiencenya bagaimana hidup bermasyarakat dan berbudaya sebagai juga dirtyatakan Anthony Johns dalam penye- lidikannya (1958). Karena itu, dalam kaba selalu juga ada pengan- tar berikut ini : takarang kaba jo pantun untuek jadi Palajaran guno parintang-rintang hati (Putì Talayang, 3) 18

PNRI (Terkarang kaba dengan pantun untuk jadi Pelajaran guna perintang-rintang hati).

-3 - Ada dua kelompok kaba, yang klasik dan tak-klasik. Kaba kla- sik mempunyai ciri berikut : i. Ceritanya mengenai perebutan kuasa antara dua kelompok, satu darinya adalah orang (yang) luar (bagi suatu kesatuan ke- luarga). ii. Ceritanya dianggap berlaku pada masa lampau yang jauh, tentang anak raja dengan kekuatan supernatural. sedangkan kaba tak-klasik mempunyai ciri yang lain lagi, yaitu: i. Bercerita tentang seorang anak muda yang pada mulanya miskin, tapi karena usahanya dalam perdagangan ia berobah menjadi seorang yang kaya. Ia dapat menyumbangkan keka- yaannya bagi kepentingan keluarga matrilinealnya, sehingga ia berbeda dari mamaknya. ii. Ceritanya dianggap berlaku pada masa lampau yang dekat, akhir abad 19 atau permulaan abad 20. Ia bercerita tentang manusia biasa, tanpa kekuataan supernatural. Kaba klasik mungkin ditemui dalam bentuk naskah atau dalam bentuk tradisi lisan. Tapi tak demikian halnya dengan kaba tak klasik yang ditemui dalam bentuk tercetak. Gndue Mato, Ang- gun nan Tungga, Manjau Ari, Malin Deman, Umbuik Mudo, , Putì Talayang, Manangkerang, BujangPaman, Tuangku Lareh Simawang, Talipeuk Layue adalah kaba-kaba klasik.. Amai Cilako, Siti Nurlela dan Siti Mariam adalah contoh kaba tak- klasik. Klasifìkasi ini hanya garis pegangan. Ada kemungkinan sebuah kaba tertentu mempunyai kedua pasang ciri itu. Misalnya saja Siti Syamsiah dan Gadih Ranti.

19

PNRI Meskipun kaba klasik bercerita tentang masa lampau yang ja- uh, namun ada juga yang bercerita tentang masa lampau yang de- kat. Ini dapat ditemui pada Tuangku Lareh Simawang, Bujang Paman dan Lembak Tuah. Dan mungkin juga bertemu suatu kaba yang sebenarnya tentang masa lampau yang jauh diceritakan kembali sebagai masa lampau yang dekat. Talipuek Layue adalah kaba klasik (lihat MS OR 6078B Leiden). Tapi Sjamsuddin St. Radjo Endah (1964) telah merobahnya. Dengan begitu, kini ada dua versi. Versi asal/lama dengan Talipuek Layue mengikuti Khatib Rajo Bainun ke kapalnya dan menjadi isteri keduanya. Ibu dari Tali- puek Layue sebenarnya tak jahat. la hanya memperolokkan Khatib Rajo Bainun. Tapi versi baru berakhir dengan kematian Talipuek Layue karena perbuatan sihir yang dilakukan Khatib Rajo Bainun yang merasa dipermainkan oleh Talipuek Layue dan ibunya.

— 4 — Kelihatan ada perlunya untuk 'menempatkan' kaba dalam dunia pendengar masa kini. Ini mungkin yang merupakan alasan bagi Radjo Endah untuk merubah ce rita Talipuek Layue, sesuatu yang menarik pula untuk dipelajari dengan menggunakan pende- katan Rezeption-aesthetik dari Hans Robert Jausz dan Wolfgang Iser. Dalam usaha membawa cerita ke dunia yang dikenal oleh pendengar masa kini, seorang tukang cerita mungkin akan mela- kukan 'pelanggaran' sastra, yaitu menggunakan anakronisma. Kaba Siti Nurlela memulai ceritanya pada awal abad 20. Orang menggunakan kapal dari Padang untuk sampai ke Medan. Dan meskipun ia hanya bercerita tentang satu generasi, jadi hanya dalam masa kurang lebih 10 tahun, namun ceritanya seakan ber- akhir dalam tahun 50an. Ini dapat dibuktikan dengan adanya penyebutan eskape ( = SKP = Sekolah Kepandaian Putrì). Ini adalah suatu anakronisma, karena ketika cerita itu dianggap benar-benar terjadi, SKP belum ada.

20

PNRI Sebenarnya memang banyak unsur anakronistik dalam kaba tapi ia bukan tak punya tugas. la bertugas untuk membawa kea- daan masa lampau kepada pengetahuan audience masa kini se- hingga ia mesti disesuaikan dengan sistem pengetahuan mereka (.cf. Junus, 1982a). Untuk ini saya kutipkan kata pengantar pe- nerbit terhadap Kaba In tan Pangirìeng, yaitu : Pada tahun 1960 diterbitkan kembali dengan diperbaiki susunan kata-katanya yang sesuai menurut masa. Karena itu, kalau ada penyebutan 'guru eskape' dalam Kaba Siti Nurlela, misalnya dalam contoh berikut : Lorong kapado Rubaini menjadi guru Sekolah Eskape (Tentang Rubaini, ia guru SKP). maka ia mesti dibaca : Lorong kapado Rubaini, kalau kini dapek dikatokan, inyo guru Sekolah Eskape. (Tentang Rubaini, dibawa ke masa kini, ia dapat dikatakan guru SKP). Anakronisma dalam kaba bertugas untuk penyesuaian dengan sistem pengetahuan audiencenya. Di samping membawa cerita kepada realitas masa kini, 'tukang cerita' mungkin juga membawa audiencenya kepada 'realitas sejarah' yang ditemui pada cerita- cerita dikenal lebih dulu. Untuk keterangan ini saya kemukakan beberapa contoh.i Dalam Kaba Anggun nan Tungga ada rujukan kepada Gunung Ledang. la mungkin menunjuk kepada Gunung Ledang yang memang ada di Pariaman tempat cerita dianggap teijadi. Tapi juga dapat dipertimbangkan, apakah tak mungkin ada semacam 'pengaruh' dari ñama yang sama yang ada dalam Sejarah Melayu dan Hikayat . Dalam hubungan ini mesti diingat bahwa kaba ini juga ada dalam versi bahasa Melayu dengan judul Hikayat Anggun Cik Tunggal. Dan seandainya memang diperhitungkan kemungkinan adanya pengaruh ini, maka penyebutan Gunung Ledang dalamnya mempunyai tugas tertentu, yaitu : Í. Karena ia adalah tempat yang jauh dan audience'tak 'menge- nalinya', maka ia akan memberikan kesan jarak (= sense of distance), sesuatu yang memang penting dalam kaba. Ada ke-'

21

PNRI cenderungan untuk memberikan kesan jarak ruang yang besar antara dua tempat yang sebenarnya berdekatan. ii. Jarak itu, juga jarak waktu yang begitu populer dalam hikayat memberikan kesan misteri. iii. Gunung Ledang juga membawa audience kaba kepada mitos tertentu yang begitu populer dalam beberapa hikayat. Dalam Kaba Sabaì nan Aluih ada ungkapan begini : Duduek- lah kaduo rajo nantun 'Duduklah kedua raja itu' (22). Kedua mereka sebenarnya bukan 'raja' meskipun punya titel/gelar rajo 'raja'. Ini dilakukan karena paksaan gaya'tradisional dengan ce- rita tentang raja dan anak raja. Gaya ini adalah sesuatu yang di- fahami oleh audience' yang memang diam dalam suasana tradisi- onal. Di samping itu, ia juga membawa mereka kepada sejarah masa lampau yang penuh dengan misteri. Anakronisma dalam kaba punya dua fungsi yang bertentang- an. Pada satu fihak ia bertugas membawa realitas masa lampau kepada realitas yang dialami audiencenya. Tapi ia juga bertugas membawa audiencenya ke masa lampau mereka, sesuatu yang mungkin hanya masih tinggal dalam ingatan/kenangan. Kedua fungsi yang bertentangan dari anakronisma dalam kaba ini mung- kin berhubungan dengan kondisi audience' kaba. Mereka sebenar- nya terperangkap dalam reahtas masa kini sedangkan dunia pemi- kiran mereka berhubungan dengan masa lampau. la berhubungan dengan nostalgia yang cukup penting dalam rangka teori yang di- kembangkan oleh Jean Duvignaud (1972). Dan kaba sebenarnya lebih banyak bercerita tentang bagaimana suatu nostalgia dapat dipenuhi, dengan 'mamak kembali bertugas sebagaimana mesti- nya' - ini akan dibicarakan pada bagian lain. Kondisi audience yang terperangkap itu dapat dirumuskan sebagai berikut : i. Mereka memberontak terhadap keadaan kini karena adanya ingatan tentang masa lampau; ii. Keadaan masa kini juga menyadarkan mereka bahwa mereka tak dapat mempertahankan sepenuhnya kehidupan yang di- warisi dari masa dulu. Tapi untuk keperluan pembicaraan kini pengertian kehadiran

22

PNRI anakronisma dalam kaba dibatasi kepada keadaan yang menya- takan bahwa hal itu disesuaikan dengan sistem pengetahuan audi- encenya. Dengan kata lain, sebuah kaba tak mungkin ditafsirkan lepas dari dunia audiencenya, karena keduanya membentuk suatu kesatuan. Keterangan yang tak dapat ditemui dalam kaba mung- kin saja disediakan oleh audiencenya, atau pengetahuan tentang audiencenya. Dalam hubungan ini ingin saya kutipkan apa yang dikatakan M.A.K. Halliday (1978:62) : If the observer can predict the text from the situation, then it is not surprising if the participant, or 'interactant', who has the same information available to him, can derive the situation from the text; in other words, he can supply the relevant infor- mation that is lacking. Dan dapat dikatakan bahwa kaba adalah sebuah karya yang te- rikat kepada audiencenya, berorientasi terhadap audiencenya (= audience oriented). Ia berhubungan dengan sistem penge- tahuan audiencenya.

-5- Dengan mengabakan bagian pengantar sebuah kaba, kaba dapat dianggap terdiri dari tiga bagian, yaitu : A.PEMBUKA : bercerita tentang bagaimana seseorang mengambil inisiatif untuk melakukan sesuatu, biasanya merantau.

B. PENGALAMAN atau PERANTAUAN. Diceritakan tentang keadaan yang pergi merantau, kadang- kdang juga tentang yang ditinggalkan di kampung. Biasa- nya pengalaman pahit karena : a. seseorang harus meninggalkan kampung halaman dan tinggal di rantau yang asing. b. seseorang terpaksa bercerai dari keluarganya, keluarga asal, atau isteri (dan anak-anak). c. seseorang mesti melawan berbagai godaan di perantauan.

23

PNRI C. PENUTUP, bisa bahagia tapi juga mungkin tragis. Keadaannya juga dapat diterangkan dengan istilah-istilah lain. Dengan menggunakan istilah L.M. O'Toole (1975:155) ia dapat dikatakan sebagai berikut : A = Complication B = Peripeteia C = Denouement Dalam hubungan cerita yang berakhir dengan kebahagiaan, maka A dan C dapat dinyatakan dalam hubungan pertentangan berikut : A ( = tragic of disunity) vs = harmony of unity). dengan menggunakan istilah yang diperkenalkan oleh Jurij M. Lotman (1972:64). C akan berupa tragedi bila penyatuan (= unity) tak berlaku. Secara cerita, bagian B sangat penting dalam kaba, merupakan pusat perhatian audience. Mereka sangat ingin untuk mengetahui bagaimana seseorang berjuang untuk kelangsungan hidupnya. Dan kaba lebih ditumpukan kepada bagian B ini, yang merupakan bagian penting dari cerita. Karena itu, bukanlah suatu kebetulan bila yang banyak direkam dan dibincangkan Nigel Phillips (1981) adalah bagian B. Ia berhubungan dengan pusat perhatian audience yang menyebabkan tukang kaba memberikan perhatian pula kepadanya. Kerangka kaba juga dapat dirumuskan dengan menggunakan istilah Equilibrium vs Disequilibrium dari Tzvetan Todorov (1977:111), yang dapat dirumuskan (+E / vs / -E /. Kerangka kaba dapat dilihat sebagai : (E(quilibrium)) — D(isequilibrium) - (E(quilibrium)) atau (E) - D - (E) atau (+E) (+E). Kaba mulai dengan keadaan kacau, tanpa proporsi. Mungkin diterangkan, tapi juga mungkin tidak, bagaimana D atau /—E/ menggantikan keadaan E atau /+E/. Kaba lebih merupakan usaha mendapatkan E atau /+E/, mungkin berhasil tapi juga mungkin tidak. Perbedaan antara kaba klasik dan tak-klasik dapat dilihat juga dalam hubungan E dan D. Kaba klasik mempunyai kerangka E _ D — E, sedangkan yang tak-klasik biasanya berkerangka

24

PNRI D - E. Perbedaan lainnya akan terlihat dalam pembicaraan lebih lanjut ten tang kaba dalam bagian lain nanti. Kita tak mungkin membatasi diri kepada kerangka kaba saja. Kita juga mesti memperhitungkan lukisannya yang mendetail, terutama dalam hubungan /+E/ dan /—E/, atau E dan D. Secara kerangka, Kaba Siti Nurlela bercerita tentang : A.Sebuah keluarga yang miskin, terdiri dari ibu, seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan. Kemiskinan menyebabkan anak lelaki, Malano, merantau. E. Malano merantau ke Medan. Dengan bekerja keras dan hemat ia berhasil dalam perantauan. Ia pulang ke kampung tapi hanya berhasil mengawini Nurlela, seorang janda. Nurlela dibawanya ke Medan. Ia makin kaya dan punya toko besar yang ditinggal- kannya di bawah pengawasan isterinya bila ia pergi mengurus perdagangannya ke tempat lain. Tapi isterinya main curang dengan lelaki lain sehingga dipulangkannya ke kampung dan diceraikannya. C. Malano membawa ibu dan adiknya ke Medan. Adiknya di- kawinkannya dengan kongsi dagangnya. Ia sendiri akhirnya mengawini gadis anak dari seorang perempuan yang pernah ditolongnya dulu bila uangnya dicuri pencopet. Dan dalam kaba ini memang ada pernyataan yang kira-kira ber- arti sebagai berikut : Keluarga itu dulunya keluarga kaya, banyak harta pusaka. Tapi mereka menjadi miskin setelah mamak dari Malano men- jualnya karena kalah berjudi. Secara kerangka, pernyataan ini tak penting. Tapi di luarnya, banyak yang dapat diterangkan1) Ia mengutuk terhadap mamak yang buruk dan harapan untuk seseorang menjadi mamak yang baik. Ia juga menceritakan adanya lembaga mamak. Dan keka- cauan (=D) disebabkan oleh mamak yang jahat ini, yang diarti- kan sebagai kehidupan miskin (penuh kesengsaraan).

1) Ini mungkin bagian persembahan kaba yang dapat ditangkap dengan jelas oleh audience lisan. Bukan tak mungkin audience mengadakan tanya-jawab dengan tukang kaba mengenai hai ini. Atau paling kurang memberikan reaksi tertentu, mengeluaikan suara teitentu atau berbicara dengan orang lain yang sama menonton. Sayang in- formasi mengenai ini tak diberikan oleh Phillips bila ia mempelajari sijobang.

25

PNRI Tapi bagaimanapun juga, fakta-fakta dari kaba yang diberi- kan dalam pembicaraan ini lebih berhubungan dengan kerangka. Informasi yang mendetail tak akan diberi sorotan khusus.

-6 - Kaba menggunakan gaya tradisional yang digariskan oleh kaba klasik (=cK). la misalnya menceritakan kehidupan istana, mi- salnya : a. seorang raja dengan asal usui dan keturunannya. b. putrì yang cantik dan putra yang gagah. c. pemujaan terhadap seorang raja tertentu. Kaba tak-klasik (=nK) hanya melanjutkannya, meskipun tak lagi menceritakan kehidupan istana. Karena itu, kita mesti berhati- hati dalam menentukan kehadiran seorang raja. Raja dalam Kaba Bujang Paman bukan raja dalam arti sebenarnya. la lebih meru- pakan kepala negeri belaka. Siti Risani dan Sutan Nasarudin dalam Kaba Siti Risani dan Sutan Nasarudin bukanlah anak-anak raja, meskipun mereka dilukiskan secara anak raja. Sebenarnya, ada beberapa lukisan yang lebih merupakan gaya dan bukan fakta. Kehadiran mamak dalam kutipan berikut ini : sialah urang / nan tasabuik // iolah si upiek / talipuek layue // etan di ranah / payakumbueh//anak mandeh / camin talayang// kemanakan mamak / nan batigo // anak rang talang / paueh tinggi II di jorong ranah / kampueng dalam // (Kaba Talipuek Layue, 3) (Siapakah orang yang disebutkan itu? la tak lain dari Talipuek Layue dari Payakumbuh, anak dari Camin Talayang, keme- nakan dari mamak yang bertiga. Rumahnya di Talang Paueh Tinggi, di jorong Kampung Dalam.).

tapi samantang / pun bak itu // dilawan mupakaik niniek mamak // iyo mamak / nan batigo // (Kaba Talipuek Layue, 22)

26

PNRI (Bagaimanapun juga, mereka rundingkan hai itu dengan ni- niek mamak, dengan mamak yang bertiga). lebih berhubungan dengan gaya dan bukan dengan fakta. Mamak ternyata tak berperan dalam kaba ini. Malahan mereka mungkin tak berwujud, apalagi akan hadir. Tapi karena kehadiran mamak dan peran yang dilakukannya dalam kehidupan sosial orang Minangkabau dianggap penting, ditambah dengan gaya dalam kaba, maka ada semacam keharusan untuk menyebutkannya. Adanya fenomena ini memaksa kita untuk berhati-hati, dengan tak mengambil sesuatu unsur begitu saja. Dan kita juga tak boleh menyalahkan begitu saja. Kehadiran mamak dalam kutipan tadi memungkinkan kita untuk mengambil langkah berikut : a. Mamak hanya dinyatakan hadir, tapi kehadirannya diragukan. Secara kerangka cerita ternyata ia tak memegang peranan sama sekali, malahan kewujudan mereka dapat disangsikan. Keadaan ini memaksa kita untuk melihat sesuatu unsur dalam hubungan unsur lainnya. Bukan hanya karena disebutkan hadir. Kita mesti melihatnya secara struktural, dan bukan secara formal (of. Junus, 1982b). b. Penyebutan mamak yang sebenarnya tak berwujud memung- kinkan kita melihat adanya dua lapis yang berbeda, yaitu: IDEAL : + mamak MANIFEST (= / -IDEAL) : -mamak Konsep ini akan lebih jelas lagi pada pembicaraan lebih lanjut nanti. c. Kita mesti membedakan dua macam kehadiran, kehadiran di- sebabkan gaya dan kehadiran dalam arti sebenarnya. Kita mesti memperlakukannya sesuai dengan nakilcatnya.

— 7 — Kaba biasanya ^digolongkan kepada folktale, cerita rakyat, yang didasarkan kepada satu peristiwa dalam kehidupan manusia (cf. Walter Benjamin, 1976 : 277-282). la jadinya lebih merupa- kan cerita benar sebagai telah diterangkan tadi. la berbeda jadinya dari novel.

27

PNRI Kaba dianggap tidak atau kurang imajinatif. Ia hanya menceri- takan peristiwa secara kronologi tanpa campur tangan dari dunia imajinasi yang biasanya dianggap dipunyai oleh seorang penulis novel. Kaba dianggap tak punya unsur fiktif meskipun ia mungkin menceritakan sesuatu "yang tak masuk akal", kekuatan dan mahluk supernatural. Kehadiran unsur "yang tak masuk akal" hanya disebabkan oleh tradisi dalam dunia sastra tertentu yang menguasai tradisi kaba. Ia jadinya sesuatu style dan bukan fakta. Kaba bertradisi sama dengan hikayat, tanpa pemisahan yang jelas antara pengalaman manusia biasa dan manusia supernatural, karena keduanya dianggap suatu kesatuan — seandainya kaba dianggap sebagai fiksi, maka di sini ada pencampuran antara FS (= fictional scale) dengan SS (= supernatural scale), hal yang juga saya temui dalam Sejarah Melayu. Karena itu, dengan mengabai- kan unsur supernatural yang ada dalam kaba, akan kita temui 'realitas' yang telanjang, atau peristiwa yang telanjang, tanpa imajinasi. Namun begitu, ada keengganan untuk menerimanya sepenuhnya. Seorang tukang cerita tak akan mungkin menceri- takan suatu peristiwa tanpa menafsirkannya. Peristiwa tergolong kepada 'dunia bukan kata', sedangkan kaba adalah dunia kata. Suatu peristiwa mesti dinyatakan dengan 'urutan kata' yang dis- kursif. Dan tak akan ada penceritaan tanpa interpretasi, pemin- dahan ke dalam bentuk pengucapan bahasa. Kaba juga dinyatakan tanpa (nama) pengarang. Yang ada hanya tukang cerita. Ia dengan mudah dikatakan kepunyaan masya- rakat komunal dan bukan kepunyaan seorang pengarang tertentu secara individu. Dikatakan tak ada sentuhan pribadi dari 'penga- rangnya' atau dari tukang cerita. Mereka hanya mengikuti tradisi tanpa meninggalkan kesan pribadi mereka dalamnya. Mereka tak mungkin mengutarakan pandangan mereka pribadi. Inilah anggapan umum tentang kaba, sesuatu yang saya rasa perlu di- tinjau kembali. Tapi, penyelidikan kembali tentang kaba ternyata menim- bulkan pertanyaan di sekitar hakikat kaba yang selama ini diterima begitu saja. Akan mungkin ada pandangan yang sama sekali ber- beda, bahkan menantang apa yang dianggap ada tadi. Bukan tak mungkin sebuah kaba punya pengarangnya sendiri, terutama kaba tak-klasik. Ia menceritakan suatu peristiwa dengan

28

PNRI menggunakan gaya yang telah mentradisi. Dan dalam mencerita- kannya, ia tak dapat melepaskan diri dari proses interpretasi. Kaba jadinya kepunyaan pengarang tertentu yang diterima oleh audience secara meluas. la berhasil memasukkan pandangannya kepada audience sehingga pandangannya dianggap juga pandangan mereka. Dan ini tentu saja hanya mungkin terjadi bila keduanya tergolong kepada sebuah dunia yang sama, iòta akan bertemu lagi dengan persoalan ini pada bagian lain. Namun begitu, kaba pada dasarnya memang hanya mencerita- kan suatu peristiwa. Kaba tak mungkin dan tak semestinya di- buat-buat - ini membedakannya dengan novel. Kemungkinan untuk manipulasi dibatasi oleh kerangka yang mesti dijaga dan menjaga, hai yang juga dilihat Amin Sweeney (1980) dalam hikayat-hikayat Melayu. Kaba adalah dunia yang lain dari novel, meskipun sukar untuk memisahkan antara keduanya. Dunia novel punya unsur-unsur berikut : (i) la dianggap sebagai mesti imajinatif, karena (ii) Pengarang akan melihat sesuatunya dari sudut pandangan- nya sendiri, tak perlu sama dengan pengarang lainnya. Peris- tiwa tak lagi menampilkan diri sebagai peristiwa bebas berdiri sendiri. (in) Pengarang menghidangkannya secara imajinatif, sehingga akan sampai kepada kita sebagai realitas yang telah dirubah. Bahkan kita mungkin akan menyangsikan hakikatnya se- bagai peristiwa nyata. (iv) Novel ditandai sebagai gerire tanpa bentuk/kerangka ter- tentu (cf. Bernard Bergonzi, 1972 : 20). Dan keadaannya yang ekstrim akan terlihat pada architectonic novéis (cf. Sharon Spencer, 1971: xxii-xxiii; 1—4, 75—78, 158—159), misalnya pada novel-novel Iwan Simatupang (1968, 1969, 1972). la berbeda dari dunia kaba sebagai folktale, cerita rakyat, yang punya unsur berikut : (v) Merupakan dunia peristiwa nyata karena (vi) la dianggap menceritakan sebuah peristiwa dalam kehidupan manusia, dan (vii) Itu tak dikemukakan secara imajinatif, meskipun mungkin simbolik, sehingga ia tak mengganggu hakikat "realitas peris- tiwa" yang dikemukakannya. la diceritakan berdasarkan aspek kronologi dari peristiwa.

29

PNRI (viii) Sebagai genre, kaba terikat kepada suatu kerangka tertentu — ini telah diberikan tadi. Akibatnya, ada "kepercayaan" bahwa sebuah unsur dalam kaba akan berhubungan secara langsung dengan unsur dalam realitas — one-to-one correspondence. la tak memerlukan interpretasi se- bagaimana halnya dengan sebuah unsur dalam sebuah novel. Inilah asumsi yang ada dalam fìkiran saya ketika memulai penye- lidikan ini. Ini adalah sesuatu yang mesti dibuktikan 'benar' atau mungkin mesti dibuktikan 'salah'.

-8 - Penyelidikan ini didasarkan kepada 62 kaba, judulnya dapat terlihat pada rujukan khusus. Ada 12 kaba yang tak dipelajari karena tak saya temui naskahnya. Tapi hai ini taklah merupakan halangan sama sekali. Saya tak menduga bahwa kaba-kaba yang tak dipelajari ini akan berbeda banyak dari kaba-kaba yang sudah saya baca, meskipun mungkin ada yang menyimpang, satu atau dua, dari kecenderungan umum yang diperoleh dari kaba-kaba lain. Sesungguhnya, dari 62 kaba yang saya pelajari, hanya dua yang menyimpang dari kecenderungan umum kaba. Hanya Gadih Ranti dan Siti Baheram yang secara eksplisit menyebut mamak yang betul-betul berusaha untuk bertugas sebagaimana mestinya seorang mamak (yang ideal), tapi toh gagal. Saya juga tak memperkirakan kaba-kaba yang tak saya pelajari itu akan menolak kenadiran situasi yang saya rumuskan di sini. Mereka mungkin memberikan gambaran yang agak berbeda tapi masih tetap dalam kerangka yang diberikan oleh kaba-kaba lain- nya. Mamak dalam Gadih Ranti dan Siti Baheram tak punya ke- kuatan sehingga tak dapat melindungi kemenakannya. la sebe- narnya telah gagal bertugas sebagai seorang mamak. Dan dalam hubungan pembicaraan kali ini, persoalannya dapat diperlihatkan sebagai berikut : (a) Ada fenomena dalam kaba yang dapat dibandingkan atau di- hubungkan dengan suasana dalam sistem sosial Minangkabau.

30

PNRI (b) Jika ada perbedaan, maka tak diusahakan untuk menilainya, mana yang lebih tepat. Kita tak tertarik dengan penilaian. Kita hanya tertarik untuk menerangkannya, menjelaskan ke- mungkinan hubungannya. Dan dalam hubungan pengabaian ke-12 kaba itu, ingin saya kutipkan apa yang dikatakan Todorov (1975:4); But one of the first characteristics of scientific method is that it does not require us to observe every ins- tance of a phenomenon in order to describe it; scientific method proceeds rather by deduction. We actually deal with arelatively limited number of cases sebagaimana ia telah mengutip ucapan Karl Popper (4), yaitu : It is far from obvious, from a logical point of view, that we are justified in inferring universal statements from singular ones, no matter how many instances of white swans we have observed, this does not justify the conclusion that all swans are white. Di samping itu mesti diingat bahwa penyelidikan ini bukan pe- nyelidikan statistik yang kuantitif. Ia lebih merupakan penye- lidikan kualitatif, yang menunjukkan kewujudan suatu situasi dan bagaimana ia dapat diterangkan. Informasi statistik hanya diguna- kan bila memang diperlukan, untuk menguatkan perumusan.

31

PNRI FAKTA DARI KABA - 1 -

Saya mulai dulu dengan sebuah cerita bukan-kaba, yaitu Malin Kundang (A. Samah, 1950). Tapi sebelumnya saya mulai dengan sedikit keterangan mengenai hakikatnya. Meskipun dianggap berhubungan rapat dengan kehidupan sosio-budaya Minangkabau, cerita ini hanya 'dicetak' dalam bahasa Indonesia. Tak termasuk dalam 'daftar' kaba. Ada cerita yang serupa yang saya dengar ketika kecil, diceritakan oleh orang yang lebih tua, tapi dengan judul yang berbeda dan lokasi cerita yang berbeda pula. Ceritanya berlaku di pedalaman Minangkabau dan dikenal sebagai Kudo Bincik atau Nakodo Bincik, atau Bincik saja. Dan ia diceritakan dalam bentuk prosa biasa, bukan dalam bentuk lirik. Ceritanya mungkin terlampau pendek bagi sebuah kaba. Dan juga punya kerangka yang berbeda. Yang penting unsur A dan C, dengan B tak disinggung sama sekali. Ceritanya juga tak punya bumbu romantik, peijuangan kelanjutan hidup, yang demikian penting dalam kaba dan dinyatakan dalam bagian B. Ceritanya juga punya orientasi yang berbeda. la dianggap ber- orientasi kepada pandangan orang tua-tua dengan mengutuk yang muda. Malin Kundarjg yang muda begitu saja dikutuk karena ke- gagalannya mengenali ibunya yang tua dan miskin. Ini berbeda dengan kaba yang berorientasi terhadap anak muda, generasi yang lebih muda, malahan dengan mengutuk orang tua-tua. Namun begitu, cerita Malin Kundang ada gunanya untuk penye- lidikan ini karena ia memberi kita unsur sosio-budaya berikut ini : i. Kewujudan dan kehadiran keluarga dasar (= inti?), terdiri dari ibu dan anak (laki-laki). ii. Kemiskinan memaksa Malin Kundang merantau untuk mem- perbaiki kehidupan mereka dengan cara mengumpulkan harta dan kekayaan. Jadi di sini ada motif merantau.

32

PNRI iii.Malin Kundang menjadi kaya di rantau. la punya keinginan untuk pulang guna memperbaiki prestise sosial mereka (= ia dan ibunya) di antara orang kampungnya. Di sini ada motif kembali pulang dan pentingnya prestise sosial di antara orang kampung. iv. Tapi bila ia pulang, ia gagal untuk mengenali ibunya, karena ibunya telah begitu tua dan begitu sengsara. Ibunya, dalam usahanya untuk membuktikan kepada orang kampungnya bahwa ia juga punya anak yang berhasil dalam kehidupan, meminta kepada Tuhan supaya merobah Malin Kundang men- jadi batu seandainya ia betul anaknya. Dan bila Malin Kundang memang berobah menjadi batu, maka ia telah berhasil mem- buktikan bahwa ia juga punya anak yang berhasil dalam ke- hidupan. Dan ini sekaligus menunjukkan unsur pertentangan antara anak dan ibu. Cerita Malin Kundang ini memberi kita unsur-unsur berikut : a. (sistem) keluarga dasar (atau inti), b. dan keluarga begini hidup dalam kemiskinan, c. keinginan untuk merantau, d. dan bagaimana menjadi kaya di rantau, e. keinginan untuk membawa kekayaan ke kampung, f. pertentangan atau oposisi antara ibu dan anak (lelaki), karena ia tak mengenali ibunya lagi. Dan kalau dihubungkan dengan sistem sosial, cerita ini mem- buktikan adanya tiga hai, yaitu : 1. kewujudan atau kehadiran keluarga desa, 2. kesatuan antara ibu dan anak (lelaki), 3. pertentangan antara ibu dan anak (lelaki). Ceritanya sendiri tak menyebut unsur-unsur sistem sosial yang biasanya dianggap sebagai ciri sistem sosial Minangkabau. la tak menyebutkan kewujudan (4) keluarga besar berdasarkan garis ibu dan (5) mamak. Kaba si Umbuik Mudo (Ch. van Ophuijsen, 1896; Tulis St. Sati, 1930; lijas, 1961) memperlihatkan unsur yang sama dengan Malin Kundang, kecuali unsur no. 3. Ada cerita bukan-kaba yang lain, yaitu Syair si Banso Urai (Aman Dt. Madjo Indo, 1931), dengan unsur cerita berikut ini :

KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKABAU 3 33

PNRI i. suatu keluarga yang miskin yang terdiri dari ibu dan anak perempuan; ii ibu pergi 'merantau' dengan meninggalkan anaknya, Banso Urai, pada Dt. Bandaro, dijadikan anak angkat; iii tapi sang ibu gagal dalam perantauan, sedangkan iv Banso Urai bernasib baik, terutama sesudah kawin dengan Mahmud, kemenakan Dt. Bandaro. Mereka menerima pusaka Dt. Bandaro sesudah Dt. Bandaro meninggal; v. ibu pulang ke kampung, tapi Banso Urai menolak untuk menga- kuinya sebagai ibunya, meskipun ia tahu bahwa perempuan tua itu ibunya; vi ibunya meminta kepada Tuhan untuk menghukum Banso Urai, dan ia ditelan tanah yang rengkah. Syair ini memberikan unsur-unsur berikut : a. kewujudan keluarga dasar; b. dan keluarga ini hidup sengsara (dan miskin); c. keinginan untuk merantau; d. tapi seorang perempuan tak (akan) berhasil dalam merantau, sehingga e. ia terpaksa pulang kampung sebagai jalan terakhir, dan pulang sebagai seorang yang sengsara; f. pertentangan antara ibu dan anak perempuan. Syair ini memberikan informasi yang sama dengan Malin Kun- dang, hanya anak lelaki diganti dengan anak perempuan, dan yang merantau adalah sang ibu. Keduanya menyatakan kewujudan keluarga dasar dan pertentangan antara anak dan ibu. Kaba Talìpuek Layue dapat dianggap sebagai variasi dari Syair si Banso Urai. Ceritanya juga tentang seorang ibu dan anak perem- puan. Tapi tak ada pertentangan yang jelas antara keduanya. Talipuek Layue hanya diam-diam menentang ibunya karena ia tak menyukai sikap dan sifat ibunya. Ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam hubungan sinopsis cerita ini, atau kaba ini, berdasar- kan versi dari Radjo Endah. Karena Talipuek Layue (= TL) begitu cantik, maka Khatib Rajo Bainun (= KRB), seorang saudagar kain di Payakumbuh, jatuh cinta padanya. Dengan mengharapkan ia dapat mengawini TL, ia membiarkan TL dan ibunya (= Camin Talayang = CT)

34

PNRI mengambil seberapa banyak kain yang mereka ingini. Tapi semen- tara itu, TL dilamar oleh kepala negeri. CT lebih suka bermenan- tukan kepala negeri. Karena itu, ia menyangkal bahwa ia dan anak- nya mempunyai hubungan dengan KRB ketika KRB datang untuk mengurus perkawinannya dengan TL—TL tak menyukai sikap ibunya ini, tapi tak dapat berbuat apa-apa. Karena merasa dihina dan ditipu, maka KRB meminta pertolongan . TL tiba-tiba saja mati, sedangkan CT menjadi gila.

- 2 - Kaba Amai Glako (1927) merupakan kaba yang agak lain. Ceritanya tentang seorang ibu, seorang anak lelaki dan (dua) anak perempuan. Dalam beberapa hai ada persamaannya dengan Kaba Talipuek Layue. Rombok punya dua anak perempuan (Upiek dan Aminah) dan seorang anak lelaki (Sutan Babangso). la sangat mementingkan uang dan harta, sehingga ia sampai punya tujuh suami. Setiap anak punya ayah yang berbeda. la dengan mudah 'menceraikan' suaminya bila tak lagi menguntungkannya. Sikap ini juga dilaku- kannya terhadap menantu-menantunya. la tak menyukai suami Aminah yang miskin. Dipaksanya Aminah 'menceraikannya' supaya dapat kawin dengan Sutan Sati, suami dari Upiek yang telah meninggal. Tapi Sutan Sati menolak untuk mengawini Ami- nah setelah ia cerai dari suaminya. Aminah akhirnya hidup seng- sara, malah jadi gila, karena sikap dan perbuatan ibunya. Rombok juga mencoba menceraikan Sutan Babangso dari isterinya, sehingga ia juga terpaksa hidup menderita. Hidupnya baru menjadi baik setelah kembali ke isterinya, karena perdagangan lebih dijalankan oleh isterinya. Sutan Babangso tak dapat bertindak sebagai seorang mamak. Malahan ia terpaksa mengikuti kehendak ibunya. Hai ini disebabkan karena ia tak memberikan sumbangan apa-apa terha- dap kesejahteraan ibu dan adik-adiknya, ia terikat kepada hasil usaha isterinya. Segala keputusan ada di tangan ibunya, juga ten- tang masa depan anak-anaknya.

35

PNRI Kaba ini memperlihatkan sistem sosial berikut : 1. kewujudan keluarga dasar; 2. kesatuan antara ibu dan anak-anaknya; 3. ibu yang dominan sehingga kehidupan anak-anaknya yang telah dewasa juga ditentukannya - ini boleh ditafsirkan sebagai ibu yang jahat, ibu yang celaka, dan pertanda akan kewujudan ke- luarga matrilineal yang besar; anak lelaki yang lemah (dan bodoh) sehingga tak dapat men- cegah menghalangi ibunya dari mencelakakan anak-anaknya karena ia gagal mengumpulkan harta dan kekayaan. Ada persamaan antara Kaba Rambun Jalua dengan Kaba Amai Cilako. Ia juga menyatakan kewujudan keluarga inti dan kesatuan antara ibu dan anak-anaknya - di dalamnya ada bapa tapi hadir sebagai musuh. Dan antara keduanya ada perbedaan dalam hubu- ngan unsur lain. Ada pertentangan antara anak dan ayah dalam Kaba Rambun Jalue. Di sini si anak membunuh bapanya karena ia menganiayanya, ibunya dan saudara perempuannya. Malah beru- saha untuk membunuh mereka. Selanjutnya ada kehidupan kem- kehidupan keluarga yang terdiri dari ibu, anak lelaki dan anak perempuan, sesudah si anak membalas kejahatan bapanya. Untuk memperlihatkan perbedaan dan persamaan selanjutnya, saya berikan sinopsis Kaba Rambun Jalue ini : (i) St. Badewa (= SB) tak lagi menyukai isterinya, Nilam Cayo (=NC). NC melari- kan diri ke hutan, tapi meninggalkan anaknya, Rambun Jalue (=RJ) dengan SB. (ii) NC melahirkan Bujang Pamanai (= BP) di hutan, sedangkan RJ diusir SB dari rumah. (iii) BP bekerja sebagai kuli pada Rambuik Kusuik (= RK), tunangan SB. SB tak suka BP bekeija pada RK. Ia mau membunuh BP. Tapi dalam perkelahian BP berhasil membunuh SB. (iv) BP menggantikan bapanya sebagai kepala negeri. Ibunya dibawanya kembali ke rumah, sedangkan RJ kembali pula ke pangkuan keluarga di bawah pimpinan BP yang kini bertindak sebagai mamak. Kaba Rambun Jalue menunjukkan kesatuan antara ibu dan anak, bapa berada di luar, orangluar. Ini terlihat pada rajah 1 ini :

rajah 1 36

PNRI -3 - Kaba Sabai nan Aluih bercerita tentang keluarga ini : bapa, ibu, kakak perempuan, adik lelaki1). Tanggung jawab keluarga ada di tangan bapa. Sesudah kematiannya di tangan Rajo nan Panjang, pembalasan den dam dilakukan oleh Sabai anak perem- puannya. Mangkutak Alam, adik lelaki Sabai, hanya gila "bermain saja". Kaba ini bercerita tentang (i) kewujudan keluarga inti, (ii) dengan bapa yang bertanggung jawab terhadapnya, dan (iii) anak lelaki yang pasif, gila "bermain", yang bertentangan dengan anak perempuan yang aktif dan bertanggungjawab. Kaba ini seakan menolak kesimpulan sebelumnya yang meng- anggap bapa sebagai orang luar. Kelihatan bahwa bapa merupakan bagian dari kesatuan keluarga, sehingga ada keadaan sebagai dalam rajah berikut ini :

rajah 2.

-4- Kaba Siti Jamilah dengan Tuangku Lareh Simawang juga menyatakan adanya keluarga inti yang terdiri dari bapa, ibu, dan anak-anak mereka. Tapi ia berbeda dari Kaba Sabai nan Aluih karena ada pertentangan antara anak lelaki dan bapa.

1) Kaba ini menyimpang daii kaba lain yang juga punya sepasang anak, lelaki dan pe- rempuan. Pada kaba lain, lelaki lebih tua dari perempuan, suatu pasangan yang ideal karena memungkinkan : (i) lelaki yang lebih tua dengan cepat dapat mempersiapkan dirinya untuk bertanggungjawab terhadap adik perempuannya, dan (ii) tak ada konflik. Dengan lebih tua, ia dengan mudah dapat "memerintah" adiknya. Tapi dengan ia lebih muda, ia akan segan untuk "memerintah" kakak perempuannya yang lebih tua, ada hubungan "segan" (= respect) yang mesti diperhatikannya. Dan pe- nyimpangan kaba ini, menyebabkan ia berakhir lain dari kaba yang punya sepasang anak. Penyimpangan dari sesuatu yang ideal. Dan faktor ini juga saya lihat kenapa kebanyakan novel tentang Minangkabau berakhir dengan tragedi, karena yang ada hanya anak lelaki atau perempuan saja, dan kaba dengan unsur keluarga begini, memang berakhir dengan tragedi.

37

PNRI Anak beranggapan bapanya bertanggungjawab terhadap kematian yang tragis dari ibu dan adik-adiknya. Diperlihatkannya keben- ciannya terhadap bapanya. Kaba Siti Syamsiah mempunyai persamaan dalam beberapa hai. Ceritanya juga tentang keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak lelaki dan anak perempuan. Bapa dan ibu dinyatakan jahat. Mereka menghukum anak mereka dengan kejam hanya karena ada kesalahan yang sebenarnya kecil sekah. Karena takut akan hukuman ini, Buyueng Karuik (= BK) dan Siti Syamsiah (= SS) yang masih kecil-kecil, lari dari rumah. Mereka akhirnya dipungut oleh dua keluarga yang berbeda, sehingga adik terpisah dari abang. Sesudah perpisahan yang lama, mereka akhirnya saling tak me- ngenal. BK tak lagi mengenal SS, apalagi ia telah menukar nama- nya dengan nama Jawa. Mereka akhirnya kawin tanpa menyadari bahwa mereka saudara kandung.

Mereka ternyata berhasil merantau. BK telah jadi orang kaya. Ia memutuskan untuk pulang ke kampung, menemui orang tua. Sesampai di kampung baru SS sadar bahwa ia telah kawin dengan saudara kandungnya sendiri. Mereka terpaksa bercerita lain kepada orang kampung, bahwa BK telah membawa SS pulang ke kampung sesudah kematian suaminya dengan meninggalkan seorang anak lelaki. Masing-masingnya kemudian kawin dengan orang kampung mereka sendiri. Keluarga itu selanjutnya hidup bahagia karena BK membawa pulang harta dan kekayaan.

Kaba ini memberikan unsur berikut : 1. kewujudan keluarga inti.t ; 2. hubungan (yang rapat) antara saudara lelaki dan saudara perem- puan karena (i) mereka sama-sama melarikan diri dari kampung, (ii) abang menyelamatkan adiknya dari kehidupan sengsara, meskipun ia tak mengetahui gadis itu adiknya, dan (iii) abang membawa adiknya pulang dan bersatu dengan keluarga; 3. anak lelaki membawa pulang harta dan kekayaan bagi kepen- tingan keluarga; 4. keinginan untuk merantau disebabkan kemiskinan di kampung dan merantau dianggap sebagai cara untuk mengumpulkan harta dan kekayaan.

38

PNRI Keadaannya dapat dibandingkan dengan yang ada pada Kaba si Ali Amat (1895) dengan ringkasan cerita sebagai berikut : (i) Karena hasutan orang, ibu mengusir anaknya, Ali Amat (= AA), dari rumah — dan juga dari kampung karena ia telah tak punya 'rumah' lagi, ia tak punya rumah induek lagi. (ii) Ali pergi meran- tau bersama adiknya, Puti Kasumbo (= PK). (iii) Mereka baru kembali pulang setelah menjadi kaya, sedangkan ibu dan saudara ibunya hidup sengsara di kampung (iv) Penyatuan kembali ke- luarga, dengan anak-anak memaafkan ibu dan saudara ibu mereka. Kaba Ali Amat berbeda dalam tiga hai dari Kaba Siti Syamsiah. SS dan BK meninggalkan kampung karena kekejaman orangtua mereka, terutama kekejaman bapa mereka. AA dan PK meninggal- kan kampung karena diusir disebabkan fitnah orang lain, orang asing atau orang luar. Puti Lindung Bulan, ibu AA, punya saudara perempuan dan mereka tinggal bersama. Ibu BK tak punya saudara perempuan sama sekali. Dan dalam Kaba Ali Amat juga tak di- sebutkan tentang adanya bapa. Unsur kedua yang disebutkan di atas menunjukkan adanya hu- bungan antara dua saudara perempuan, suatu (bibit) hubungan keluarga yang lebih besar, sebagai terlihat juga pada Kaba si Ta- buang. Unsur ini mempunyai hakikat yang sama dengan hubungan saudara lelaki dan perempuan (= brother-sister relationship). Ada tiga perempuan bersaudara dalam Kaba si Tabuang : Puti Lindueng Bulan (= PLB), Puti Amek Janieh (= PAJ) dan Puti Banang Sanik (PBS). Secara misteri PLB tiba-tiba mengandung padahal ia tak pernah punya hubungan sex dengan laki-laki. la sendiri belum lagi kawin. la hamil setelah memakan buah delima. Saudara-saudaranya mempunyai prasangka buruk tentang kakak- nya dan kemudian memutuskan hubungan kekeluargaan. PLB melahirkan anak lelaki yang punya kekuatan supernatural. Anak itu tak diberinya nama. Dan di bawah pengaruh guna-guna dari musuhnya yang takut anak itu akan lebih kuat dari mereka — mereka meminta pertolongan seorang Yahudi, anak itu hanya memberikan kesusahan kepada PLB. Karena itu, dicobanya untuk membunuh anaknya, tapi gagal karena ia punya kekuatan magis. la tak mau memperlakukannya sebagai anaknya, malah "dibuang- nya". la akhirnya pergi kepada saudara-saudara ibunya. la disusu- kan oleh PBS dan diberi nama si Tabuang (= si terbuang).

39

PNRI Si Tabuang pergi merantau. Tapi karena ia tak pulang-pulang ke rumah bibinya yang telah menganggapnya sebagai anak kan- dung mereka, sama dengan anggapan si Tabuang terhadap mereka, maka Mangganta Bumi (= MB), anak PAJ, pergi mencarinya. Si Tabuang pulang sebagai orang kaya bersama-sama dengan MB. la pulang ke rumah bibinya, bukan ke rumah ibunya. la malah tak menemui ibunya. Hanya MB yang menemui PLB. MB menghukum PLB, membalas perlakuannya terhadap si Ta- buang. Kecuali adanya perselisihan antara saudara perempuan serta antara ibu dan anak lelaki, kaba ini menunjukkan adanya unsur sosial berikut ini : 1. Hubungan antara saudara perempuan yang dapat berkembang menjadi kehidupan keluarga besar (= extended family). 2. Bapa seakan, dilupakan meskipun mungkin ia kadangkala me- nolong anaknya. 3. Karena hubungan yang rapat antara saudara perempuan, maka anak saudara perempuan dianggap anak sendiri - ini juga di- temui dalam Kaba Anggun nan Tungga, dengan nan Tungga dibesarkan oleh bibinya setelah ibunya meninggal. 4. Unsur persaudaraan antara anak lelaki dari dua saudara perem- puan, misalnya antara si Tabuang dan MB. Dengan begitu, mungkin saja ada keluarga besar, sebagai terlihat pada rajah ini :

rajah 3.

Dan dengan tindakan MB, bukan si Tabuang yang menghukum PLB, kesimpulan tadi makin diperkuat. Selanjutnya ada dua unsur lagi, yaitu : 5. MB bertindak sebagai mamak bagi saudara ibunya. 6. Si Tabuang tak dapat melakukannya karena dianggap akan me- lakukan dosa, mendurhakai ibu.

40

PNRI Karena itu, kaba ini berakhlr dengan kebahagiaan, dengan keu- tuhan keluarga, dengan "mamak" menghukum "kemenakan".

-6-

Kaba Bujang Paman (1963) tak menyebutkan adanya mamak, tapi ada menyebutkan saudara-saudara lelaki dari Puti nan Bungsu (= PNB). Juga tak disebutkan tentang orangtua mereka. Ketujuh saudara lelaki mencarikan suami bagi PNB. Mereka me- milih Rajo Aniayo (= RA) meskipun ada bantahan dari saudara yang paling kecil, Malin Duano. Ia tak menyetujui RA karena RA bukan orang baik, orang tak melakukan ibadat. Sesudah perkawinan adik mereka, ketujuh bersaudara itu me- rantau ke Padang. Mereka berhasil dalam perniagaan mereka se- hingga dapat mengirimi adik mereka uang. Ini ternyata tak di- sukai RA. Ia menganggap mereka saingannya, bahkan musuhnya. Ia menyuruh PNB meminta mereka pulang. Dan bila mereka pu- lang, mereka dibunuh RA dengan racun. PNB akhirnya diusirnya ke hutan. PNB melahirkan Bujang Paman (= BP) di hutan. BP akhirnya berhasil membunuh RA dalam suatu perkelahian. Pada mulanya ia tak mau membunuh RA karena BP tahu RA bapanya. Tapi akhirnya, untuk keselamatan dirinya sendiri, ia terpaksa juga membunuh RA. Kaba ini memberikan keterangan berikut : a. Saudara lelaki berusaha untuk menyenangkan saudara perem- puan mereka. Mereka mencarikan suami untuknya dan mem- berinya harta. b. BP tak punya mamak karena semua mamaknya telah dibunuh RA. c. Ada pertentangan antara saudara lelaki dengan suami saudara perempuan mereka, dan antara anak dan bapa, yang dapat di- anggap pertentangan antara orang dalam dan orang luar bagi sebuah keluarga (besar), antara (+F/ dan /-¥/, keluarga dan bukan keluarga. d. keinginan untuk merantau dalam usaha menjadi kaya. Sesungguhnya, kaba ini secara imphsit memang menyarankan kemungkinan adanya mamak dan keluarga matrilineal yang besar.

41

PNRI Dalam Kaba Cindue Mato (Ms. Or. 6085; 6086; 6088 Leiden) disebutkan ada mamak, tapi ia tak menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai mamak. la tinggal di negeri isterinya yang jauh. la hanya memperhatikan dirinya sendiri, diri isterinya dan diri anak-anaknya. Malahan kemenakannya yang menyelamat- kannya dari menyerahkan anaknya, Putì Bungsu, kepada Tuanku Imbang Jaya, seorang orang luar dan raja yang kejam. Kaba Gndua Mato memberikan unsur-unsur berikut : 1. Adanya keluarga matrilineal yang besar dengan memasukkan mamak dan anak lelaki dari dua saudara perempuan. 2.Kehadiran mamak meskipun ia tak menunaikan kewajiban dan tanggungjawab sebagai mamak. 3. Tak ada kelihatan peranan yang dimainkan bapa. Malahan ada semacam implikasi bagaimana terancamnya kehidupan sebuah keluarga tanpa mamak, meskipun ada bapa. Putì Bungsu tak berdaya karena tak ada mamak. Keadaan yang hampir sama juga dinyatakan oleh Kaba Anggun nan Tungga Magek Jabang yang memberikan unsur-unsur berikut : 1. Adanya keluarga matrilineal yang besar dengan memasukkan tiga mamak dan dua orang perempuan bersaudara. Seorang saudara perempuan memelihara anak saudara perempuannya setelah yang kedua ini meninggal dan menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri. 2. Adanya mamak dan mereka tak menjalankan kewajiban serta tanggungjawab mereka karena mereka ditawan musuh. 3. Bapa hanya diperlihatkan sebagai latar belakang belaka.

-8 - Kaba si Manjau Ari (1885) menceritakan hai berikut : i. Sebaliknya dari memberikan perlindungan terhadap kemena- kannya, mamak bergabung dengan bapa dan ibu untuk meng- hukum dan mengusir kemenakannya, Manjau Ari (= MA) dan Murai Randin (= MR).

42

PNRI ii. Saudara lelaki dan perempuan terpaksa merantau bersama. MA melindungi MR karena MR memilih untuk bergabung dengan saudaranya, dan tak mau tinggal bersama orangtua. iii.Sesudah masa yang panjang mereka pulang ke kampung. Me- reka berhasil menyelamatkan bapa, ibu dan mamak mereka dari kehidupan yang hina akibat ditipu orang luar. Dalam Manjau Ari ada unsur sosial berikut : a. adanya keluarga matrilineal yang luas, termasuk mamak; b. tapi mamak tak melindungi kemenakan; c. peranan bapa pen ting sekali, ia memutuskan sesuatu untuk isteri dan anak-anaknya; d. keinginan untuk merantau karena kehidupan kampung yang tak mengizinkan, tak aman; e. pentingnya hubungan saudara lelaki dan perempuan brother- sister relationship); f. adanya pertentangan berikut: anak vs. bapa + ibu; kemenakan vs. mamak. Keadaan ini dapat dibandingkan dengan keterangan dari Kaba Sutan Lanjungan (1965) yang memberikan unsur-unsur berikut : 1. Ada mamak dan ia berunding dengan suami saudara perempuan- nya dalam usaha mendapatkan isteri bagi kemenakannya, Sutan Lanjungan (= SL). 2. Pertentangan antara kemenakan dan mamak karena SL menya- lahkan mamaknya, Datuk Andiko (= DA). Dikatakannya ma- maknya menghabiskan harta pusaka, meskipun ini dilakukan- nya dulu untuk mengawinkan ibu SL. SL menyalahkan DA karena tak berhitung, berbelanja lebih dari kesanggupan. SL juga menentang DA yang melarangnya merantau.

3.SL berhasil dalam merantau. Ia dapat menebus kembali harta keluarga yang hilang, malahan menambahnya. Ia dapat me- ngembalikan kehormatan keluarganya di antara orang kampung. 4. Ia pulang ke kampung membawa isterinya bersamanya. Is- terinya anak mamaknya yang di rantau. Kaba ini dengan jelas menyebutkan tentang mamak dan mem- perlihatkan bagaimana fungsinya atau bagaimana ia telah men- jalankan fungsi dengan salah.

43

PNRI Kaba Mamak si Hetong menceritakan hai yang berhubungan sebagai dapat terlihat pada unsur-unsur yang dikemukakannya, yaitu : a. Ada dua keluarga dengan bentuk berikut ini :

Rajo Hangek Mamak Rawan Kasumbo Hampie si Hetong Pinang Rajah 4.

b. Keluarga X adalah keluarga yang kaya dan berkuasa, sedangkan keluarga Y keluarga miskin dan selalu dihina oleh keluarga X. c. Kasumba Hampie (= KH) dan Mamak si Hetong (= MSH) saling jatuh cinta, tapi karena MSH miskin dan tak mau hidup dari belas kasihan orang, ia belum lagi mau kawin. Ia juga tak mau menolong KH yang jatuh ke jurang. KH ditolong oleh mamaknya, Rajo Hangek (= RH). d. MSH pergi merantau dan akhirnya pulang sebagai orang kaya. Ketika melewati kubur KH yang meninggal ketika ia di rantau, KH dihidupkannya kembali. Ia mengawini KH meskipun di- larang oleh RH. KH tinggal di rumah Rawan Pinang (= RP) dan melahirkan Duano Pakan (= DP). e. DP kemudian membunuh RH, mamak ibunya. KH kembali ke rumah keluarga matrilinealnya, dengan sistem menetap kawin berubah dari virilocal on uxorilocal. Dengan begitu, kaba ini memberikan unsur sistem sosial beri- kut ini : 1. Keluarga tanpa mamak adalah keluarga miskin. 2. Sebuah keluarga dapat mengembalikan kehormatannya setelah seorang anggotanya berhasil mengumpulkan harta dan keka- yaan.

44

PNRI 3. Pertentangan antara mamak dan kemenakan yang boleh ber- kembang kepada anak dari kemenakan perempuan dan mamak dari ibu (= si.da. so vs mo.mo.br). Tapi tak ada pertentangan antara bapa dan anak. 4. Hubungan antara saudara perempuan dan lelaki.

5. Sistem menetap kawin yang uxorilocal lebih disukai dari viri- local. Sistem virilocal dilakukan bila tak mungkin melaksana- kan uxorilocal. ó.Merantau adalah suatu usaha untuk mendapatkan kekayaan guna memperbaiki kehormatan keluarga. 7. Seorang perempuan hanya boleh diselamatkan oleh anggota lelaki keluarga matrilinealnya. KH menunggu sampai anak- nya, DP, dapat mengembalikannya ke rumah keluarga matri- linealnya. Hal yang hampir bersamaan dapat ditemui pada Kaba Magek Manandin (1961), sebagai dapat terlihat pada garis besar cerita yang diberikan berikut ini. i. Rajo Kuaso (= RK) punya saudara perempuan, Puti Lindueng Bulan (= PLB). la telah melaksanakan kewajibannya dengan mengawinkan PLB kepada Datuek Bandaharo (= DB). ii. PLB punya dua anak, lelaki Magek Manandin (= MM), perem- puan Puti nan Bungsu (PNB). RK punya seorang anak perem- puan, Subang Bagelang (= SB). MM ditunangkan dengan SB. iii.MM ditipu dan dihina oleh Rajo Dúo Baleh (= RDB) sehingga RK tak menganggapnya kemenakan lagi karena ia telah men- cemarkan aib kepada keluarga. Malahan RK mau membunuh- nya tapi gagal karena MM sakti. MM akhirnya dilemparkan ke dalam jurang. iv. MM ditolong oleh seekor burung. Akhirnya MM berhasil menye- lamatkan SB dari perkawinannya dengan RDB. la Ikhirnya membunuh RDB dalam suatu perkelahian. v. Cerita diakhiri dengan penutup bahagia, kembalinya keutuhan keluarga. RK meminta maaf kepada MM.

45

PNRI -9- Beberapa dari kaba yang telah disebutkan tadi menyebutkan kehadiran keluarga matriüneal yang lúas dan mamak. Juga ada yang menceritakan bagaimana mamak bertugas dalam kehidupan keluarga. Tapi juga ada keterangan yang bertentangan. Ada kaba yang menyebutkan pertentangan antara mamak dan kemenakan, dan bukan antara bapa dan anak.

Kaba si Gadih Ranti dengan si Bujang Saman (1961) memberi- kan lukisan yang positif tentang tugas seorang mamak, tanpa ada tantangan dari kemenakan. Kaba itu memberikan keterangan be- rikut : 1. Ada unsur keluarga matrilineal besar dengan Gadih Ranti (= GR) tinggal dengan ibunya dan dilindungi oleh mamaknya. Bujang Saman (= BS) punya seorang adik perempuan dan ia memang bertanggungjawab terhadapnya. 2. Mamak mencarikan suami yang tepat bagi kemenakan meskipun ia tak melupakan rundingan dengan bapanya. la melindungi- nya meskipun gagal dan harus menerima siksaan badan. la me- lindunginya dari menjadi isteri seorang kepala negeri yang kejam. 3. Meskipun ada bapa tapi ia tak kelihatan punya kuasa terhadap anaknya. Inisiatif datang dari mamak. Kaba ini dapat dibandingkan dengan Kaba Sutan Lembak Tuah dengan Siti Rabiatun (1960) yang juga memperlihatkan bagai- mana mamak menjalankan tanggungjawabnya dengan baik, me- lindungi kemenakannya, terutama kemenakan perempuannya.

Kaba-kaba tadi memberikan informasi yang bermacam-macam. Mulai dari wujudnya keluarga dasar atau inti sampai kepada ke- luarga matrilineal yang besar dan hal-hal lainnya. Informasi itu dapat dirumuskan sebagai berikut : I. a. Adanya keluarga dasar yang berdiri sendiri karena tak dise- butkan hubungannya dengan keluarga matrilineal yang besar. Juga tak disebutkan adanya unsur dari kehidupan keluarga matrilineal yang besar. Tak ada mamak atau saudara pe- rempuan ibu.

46

PNRI b. Adanya keluarga dasar yang terikat kepada keluarga ma- trilineal yang besar. Ada campurtangan dari unsur lain dari keluarga besar itu. Peranan mamak misalnya menentukan. c. Sebuah kaba mungkin memberikan informasi yang ber- beda dari kaba lainnya. Ada informasi berikut ini mengenai siapa yang mengambil keputusan dan apa implikasinya : keputusan implikasi diambii oleh atau akibat ibu buruk bapa buruk (umumnya) mamak buruk/baik d. Ada pertentangan sebagai berikut: anak vs ibu; anak lelaki vs. bapa; anak vs orangtua; kemenakan vs mamak; saudara lelaki vs suami saudara perempuan; dan antara dua saudara perempuan. Tapi ada hubungan yang erat antara saudara lelaki dan perempuan, meskipun ini mungkin hilang sesu- dah saudara lelaki kawin dan punya anak sendiri. II.a. Merantau dianggap sebagai cara untuk memperbaiki kehi- dupan dan kehormatan keluarga. Tapi itu hanya dapat dilakukan oleh lelaki saja karena implikasi berikut ini : orang yang hasilnya merantau laki—muda berhasil tua gagal perempuan gagal b. Ada macam penyelesaian berdasarkan adanya unsur-unsur tertentu. Ini dapat dilihat pada keterangan di bawah : AWAL AKHIR SYARAT tragedi bahagia adanya anak lelaki yang mengum- pulkan kekayaan untuk kehorma- tan keluarga. Biasanya ia punya saudara perempuan, sehingga ia mau tak mau jadi mamak, maka terjadilah lembaga mamak.

47

PNRI tragedi tragedi (kedua syarat di atas tak ada). o. Dalam hubungan Equilibrium dan Disequilibrium, kaba dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu : i. kaba dengan kerangka E - D - E yang biasanya mengim- plikasikan kehadiran orang luar atau orang asing. ii. kaba dengan kerangka D - E dengan D disebabkan oleh "sifat" seorang anggota keluarga besar. IILAdanya berbagai informasi yang diberikan kaba, diperlukan klasifikasi lain, yaitu : A.Unsur yang tak berobah dalam setiap kaba, yaitu : i. keinginan untuk merantau untuk memperbaiki kedudukan sosial berdasarkan nilai kekayaan yang dipunyai; ii. hubungan antara saudara lelaki dan perempuan (= brother — sister relationship), kecuali kaba itu dengan jelas menye- butkan tak ada saudara lelaki atau perempuan. Malahan keadaan ini memberikan informasi yang menarik sebagai terlihat pada tabel di bawah :

AKHIR MERANTAU ? bahagia tragedi + —

BR+SI 25 - — 23 2 BR/SI 9 12 4 15 10 B. Unsur yang berubah-berubah dari satu kaba ke kaba lain- nya yaitu : KESATUAN SOSIAL : Keluarga Keluarga Keluarga dasar inti besar mo. + eh. fa. + mo. mo. + eh. + + eh. mo.br. + mo.si 2) PERTENTANGAN mo. vs eh.; fa. vs so.; mamak vs kemenakan; si. vs si.; br. vs si.hu.

+) Keteiangan mengenai singkatan lihat bab berikutnya.

48

PNRI Berdasarkan unsur yang berubah-ubah atau bervariasi maka ada beberapa kemungkinan tentang sistem sosial Minangkabau. Kesa- tuannya mungkin keluarga dasar, keluarga inti atau keluarga besar — keluarga dasar ialah keluarga inti tanpa adanya bapa. Kesatuan sistem sosial Minangkabau mungkin saja keluarga inti. Ini mung- kin diluaskan dengan memasukkan mamak atau mo. si. dalam hal- hal tertentu, tergantung kepada hubungan seseorang dengan sau- dara perempuannya. Ini dapat dibuktikan dengan perluasan ke- luarga inti itu terbatas kepada pemasukan mo.br. atau mo.si. Tapi akan ada keberatan terhadap kesimpulan ini berdasarkan adanya unsur berikut ini : i. Pertentangan antara bapa dan anak, dengan masing-masingnya mencoba meniadakan yang lain, terutama bila ada hubungan permusuhan antara bapa dan ibu. Dengan begitu, ada per- tentangan antara : mo. + so. (= +F) vs fa. (= -F). ii. Ada pertentangan antara anak (lelaki) dan ibu tapi tanpa kei- nginan untuk meniadakan yang lain, karena keduanya berada dalam satu keluarga (=+F).. iii Meskipun ada pertentangan antara kemenakan dan mamak, namun sering juga kemenakan menyelamatkan mamak. Se- orang kemenakan betul-betul berusaha untuk menyelamatkan mamaknya karena ia berhubungan dengan kehormatan kelu- arga. Hal seperti ini tak ada antara anak dan bapak. St. Nasuha dalam Kaba Sutan Manangkerang menyelamatkan bapanya dalam usahanya untuk menyelamatkan mamaknya. Atau ada kemungkinan sebaliknya. Kesatuan sosialnya ialah kelu- arga besar. Ini didasarkan kepada tiga argumen di atas yang ditam- bah dengan keterangan berikut : a. Hadirnya mamak atau mo.si. dalam beberapa kaba. Dan ketak- hadiran mereka semata-mata disebabkan karena mereka memang tak pernah dilahirkan. Atau mereka telah meninggal lebih dulu sebagai dalam Kaba Bujang Paman. b. Hubungan yang erat antara saudara lelaki dan perempuan. Sau- dara lelaki mungkin saja bertindak sebagai mamak kepada saudara perempuannya. Dan hubungan ini mungkin saja ber- kembang nantinya menjadi hubungan antara mamak dan ke- menakan. Saudara lelaki adalah bakal mamak bagi anak-anak dari saudara perempuannya.

KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKABAU 4 49

PNRI Begitulah, berdasarkan data dari kaba saja, ada dua kemungkinan sistem sosial Minangkabau. Sukar untuk menentukan mana yang dapat dianggap sebagai betul-betul sistem sosial Minangkabau. Pendekatan positivistic yang mempercayai adanya hubungan langsung antara satu unsur dalam karya sastra dengan satu unsur dalam sistem sosial hanya akan mengatakan adanya dua sistem yang berbeda. Atau fenomena itu mesti diterangkan dengan cara lain, dengan menggunakan pendekatan lain, misalnya : a. Kita mesti menafsirkan fakta itu dan tak mengambilnya se- bagaimana adanya; b. Kita mesti mendapatkan hubungan dialektik antara fakta- fakta itu dengan keadaan yang ada dalam sistem sosial Mi- nangkabau. Kedua hai ini menghendaki kita untuk (1) membicarakan sistem sosial Minangkabau, dan (2) hakikat hubungan antara unsur- unsur dari kaba sebagai karya sastra dan unsur-unsur dari sistem sosial yang dianggap diwakilinya. Ini akan dibicarakan pada bab- bab berikut.

50

PNRI SISTEM SOSIAL MINANGKABAU

-1 - Sistem sosial Minangkabau telah dibicarakan secara luas dan mendalam dalam banyak karangan antropologi. Karena itu, di sini tak perlu diulang lagi, kecuali kalau langsung berhubungan dengan persoalan yang dibicarakan kini. Dalam hai ini ia akan dibicarakan secara ringkas. Daftar rujukan juga tak akan diberikan. Minangkabau adalah masyarakat matrilineal. Kesatuan keluarga didasarkan kepada hubungan dengan ibu dan membentuk kelu- arga besar atau luas. Bapa dan suami berada di luar kesatuan ke- luarga anak dan isteri mereka. Ia merupakan orang luar bagi ke- luarga anak dan isterinya. Suatu keluarga matrilineal yang luas mungkin terdiri dari anggota yang diklasifikasikan berikut ini : horisontal (dari satu generasi yang sama) : br., si., mo.si.ch., mo.mo.si.da.ch., mo.mo.mo.si.da.da.ch., dan yang dapat disamakan dengannya. Vertikal (dari generasi yang berbeda) : atas : mo.si., mo.br., mo.mo.si.ch., mo.mo., mo.mo.br., mo. mo.si., mo.mo.mo.si.ch., dan sebagainya. bawah : (dari seorang lelaki) : si.ch., mo.si.da.ch., si.da.ch., mo.si.da.da.ch., dan sebagainya. dengan keterangan ten tang singkatan sebagai berikut : br. = brother, si = sister, mo. = mother, ch. = child(ren), so. = son, da. = daughter, mo.br. = mother's brother. Karena keluarga dianggap sebagai keluarga besar, sistem ini juga dianggap tak memberikan kemungkinan kepada kehadiran keluarga dasar atau inti sebagai kesatuan yang berdiri sendiri. Ini dapat dianggap sebagai anggapan pertama tentang sistem sosial Minangkabau. Menurut sistem sosial Minangkabáu, mamak yang dianggap bertanggung jawab terhadap keluarga besar matrilinealnya. Ia mes-

51

PNRI ti bertanggung jawab terhadap kesejahteraan kemenakannya, se- hingga ia mempunyai tanggung jawab yang sama dengan seorang bapa dalam masyarakat dengan sistem keluarga inti. Dapat diperkirakan arti asal/utama dari mamak ialah saudara lelaki ibu (= mo.br). Tapi ia dapat diluaskan kepada orang yang se generasi dengannya, misalnya saja mo.mo.si.so., sehingga ia juga bersifat klasifikatori. Selanjutnya ia mungkin saja mendapat arti yang lebih luas. Seorang mamak mempunyai kewajiban sosial, paling kurang se- cara moral, untuk menyejahterakan keluarga besar matrilinealnya. la dianggap, seorang diri atau bersama dengan mamak lainnya, mesti menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi keluarga be- sar itu, baik mengenai seorang anggotanya ataupun keseluruhan keluarga. Akibat tanggungjawab ini, pengertian mamak juga makin meluas, setiap orang yang bertanggung jawab terhadap kesejah- teraan keluarga besar itu. la mungkin saja melingkupi mo.mo.br., saudara lelaki bahkan anak lelaki. Dang Tuangkurdalam Kaba Cin- due Mato dikatakan bertindak sebagai mamak kepada ibunya, Bundo Kandueng. Akibatnya, pengertian mamak lebih berhubung- an dengan suatu ideologi dan tak mesti terikat kepada orang ter- tentu. Dan sebagai ideologi, kata mamak punva dua arti lagi, yaitu : i. seseorang yang menjaga kesejahteraan (material) dari keluarga matrilinealnya; ii. seseorang yang berusaha untuk menjaga tak terjadi pelanggaran . Tapi dalam penyelidikan masyarakat Minangkabau, mungkin ka- rena dikaitkan dengan hukum adat, tekanan lebih diberikan ke- pada arti kedua (cf. Junus, 1974a).. Arti pertama seakan diabai- kan. Secara ekstrim, seorang mamak dianggap bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keluarga besar matrilinealnya. Kewajiban- nya seakan tertumpu kepada keluarga matrilinealnya sehingga boleh dikatakan tak ada untuk anak, isterinya sendiri, bahkan juga mungkin tidak untuk dirinya sendiri. Seorang bapa, sebaliknya, seakan tak punya kewajiban apa-apa terhadap anak dan isterinya. la hanya 'tamu malam' di rumah isterinya, sebagaimana halnya sistem kawin uxorilocal dilaksanakan.

52

PNRI Seorang mamak, secara pribadi atau kelompok, jadinya diang- gap memainkan peranan penting dan menentukan terhadap ke- luarga matrilinealnya. Sebaliknya bapa dianggap tak punya pe- ranan dan tanggungjawab sama sekali terhadap anak dan istri- nya. Itulah tiga keterangan tentang sistem sosial Minangkabau, yaitu suatu keluarga besar matrilineal, dengan mamak yang me- megang peranan penting dan menentukan. Bapa dianggap orang luar (=-F) dan ada kemungkinan bertentangan antara orang dalam dan orang luar, antara suami seorang perempuan dengan saudara lelaki perempuan itu, atau antara anak dan bapa. Ini berbeda de- ngan anggapan mesti adanya hubungan kekeluargaan yang mesra antara anggota suatu keluarga besar matrilineal. Atau tak mungkin ada hubungan permusuhan s es ama mereka.

-2- Tak ada penehtian tentang Minangkabau yang gagal menye- butkan fenomena yang diberikan tadi karena fenomena itu diang- gap membedakan masyarakat Minangkabau dari masyarakat lain- nya. Fenomena itu juga dianggap sangat penting bagi orang Mi- nangkabau yang hidup dalam suasana dan tradisi Minangkabau. la sudah diindoktrinasi sejak dari kecil untuk membedakan antara anggota keluarga besar matrilinealnya dengan yang bukan anggota, yang orang luar. Ini yang membedakan antara /+ F/ dan /— F/, antara mamak dan bapa. la juga diajar bagaimana sifat yang semes- tinya bagi seorang anggota keluarga tertentu. la diajar menghorma- ti mamaknya karena mamaknya adalah orang tempat ia mencari perlindungan/pertolongan. la juga sadar bahwa suatu saat ia juga akan jadi mamak, yaitu bila ia telah cukup dewasa dan telah me- nyumbangkan sesuatu. bagi kepentingan keluarga matrilinealnya. Orang begitu mengharap untuk menjadi mamak, karena ia betul- betul dianggap orang dalam kehidupan keluarga. Seseorang sebe- narnya ingin dengan cepat meninggalkan status anak kecil yang terikat kepada keputusan yang diambil oleh mamak(-mamak) nya.

53

PNRI Untuk menjadi mamak yang dihormati, seseorang mesti me- nyumbangkan sesuatu bagi kesejahteraan keluarga. Seseorang di- harapkan mesti membangkìtkan batang tarandam membangkit- kan batang yang terendam'. Ini biasanya dilakukan dengan meran- tau, guna mengumpulkan harta dan kekayaan. Tinggal di kampung menjadi petani hanya berarti kemiskinan karena ia tak akan sang- gup mengumpulkan harta dan kekayaan1). la jadinya tak akan dapat memberikan sumbangan untuk kesejahteraan material keluarganya 2). Dengan begitu, merantau menjadi lembaga penting dalam sistem sosial Minangkabau, dihubungkan dengan kebaha- giaan dan kekayaan. Sebaliknya, kampung dihubungkan dengan kemiskinan dan kesengsaraan. Dari pengalaman, seseorang menyadari bahwa bapak tak punya suara mengenai masa depan anaknya kecuali bila disetujui oleh mamaknya. Kewajiban seseorang lebih berat kepada kemenakan daripada terhadap anaknya sendiri. Anak-anak baginya orang luar, anggota kesatuan keluarga lainnya. Mereka punya mamak yang akan menjaga mereka. Dan ini juga merupakan bagian dari in- doktrinasi. Karena itu, dapat difahami kenapa tak ada penelitian tentang Minangkabau yang lupa untuk menemui ketiga unsur sistem so- sial yang disebutkan tadi. Dan mereka juga akan mengenai meran- tau sebagai suatu lembaga dalam sistem sosial Minangkabau. Dan merantau mempunyai implikasi tertentu - ini dapat diban- dingkan dengan apa yang dikatakan Mochtar Naim (1979), yaitu :

1) Ada hai-hai yang menyebabkannya. Pertama, ia tak mengusahakan tanah itu untuk keperluan ekonomi, hanya untuk konsumsL Ini mungkin berhubungan dengan ke- luasan tanah atau kondisi ekonomi dan politik sebagai dinyatakan Joel S. Kahn (1976). Kedua, ia masih terikat kepada harta pusaka dan tak punya sumber pen- dapatan lainnya. 2) Dalam masyaxakat Minangkabau ada keadaan sebagai berikut : a) Ada semacam asosiasi antaia miskin dan bodoh. Orang yang miskin dianggap bodoh hanya karena tak pandai mencari uang. Orang yang tak menghiraukan uang dalam cerita Bujang Bingung (Madjo Indo 1935) diberi nama Bujang Bi- ngung 'bujang yang bodoh'. b) Ada semacam anggapan bahwa orang yang menetap di kampung lebih bodoh dari orang yang merantau - ini dapat dihubungkan dengan pepatah banyak berjalan, banyak yang dilihat'.

54

PNRI a. Merantau adalah perpindahan sementara. Ada kecenderungan, terutama sebelum perang, untuk tak membawa isteri ke rantau. Orang jadinya kembali ke kampung kapan-kapan saja, paling kurang sekali setahun, tergantung kepada jauhnya tempat merantau itu dari kampung. b. Seseorang diharapkan tak akan menghabiskan harta dan keka- yaan yang diperoleh dalam merantau di luar kampung. la mesti membawanya pulang untuk menambah harta dan kekayaan keluarga matrilinealnya - meskipun tak dihalangi untuk mem- berikan jumlah tertentu bagi keperluan anak dan isterinya. Merantau jadinya adalah perluasan dari kehidupan kampung kare- na semuanya dinilai berdasarkan sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan kampung. Segalanya digunakan untuk keperluan ke- luarga di kampung,. Kebanyakan pembicaraan tentang sistem sosial Minangkabau cenderung mempunyai ciri berikut : 1)Menolak kemungkinan tak adanya mamak dalam kehidupan nyata sebuah keluarga. Juga menolak kemungkinan ketakha- diran mamak dalam kehidupan sebuah keluarga, meskipun ia ada. Mereka percaya mamak mesti ada dan hadir dalam kesem- patan apapun jua. 2) Tak membedakan an tara mamak sebenaxnya yang bertanggung- jawab terhadap kesejahteraan material suatu keluarga dalam lingkungan suatu keluarga matrilinea! yang besar, dengan mamak karena tugas (adat) yang hanya bertugas untuk menjaga ádat dalam hubungan keluarga matrilineal yang besar. Mereka mengabaikan fikiran yang terkandung dalam bamamak ka mamak urang 'bermamak ke mamak orang (lain)' yang sebe- narnya berarti buruk. Menurut mereka, sistem sosial adalah realitas daii bukan ideologi. Atau mereka mengacaukan kedua arti itu. Pada satu fihak diarti- kan sebagai realitas (yang konkrit) sedangkan pada fihak lain dilihat sebagai ideologi. Kemungkinan tak wujudnya mamak - ibu tak punya saudara lelaki, atau telah meninggal, menyebabkan seorang tak punya mamak. Ini menyebabkan ketakmungkinan adanya mamak. Seorang mamak mungkin ada/wujud, tapi tak 'hadir'. Ia tinggal di tempat jauh dan seakan putus hubungannya dengan keluarga 55

PNRI matrilinealnya. Atau tinggal di negeri yang sama tapi melupakan kesejahteraan keluarga matrilinealnya. Sebagai realitas memang ada mamak, tapi secara ideologi tak ada. Tak ada lembaga mamak, sehingga mamak yang konkrit itu akan dikecam. Mamak atau lembaga mamak tak mungkin diambii sebagai realitas (konkrit). la mesti dilihat sebagai ideologi. Karena itu, jika ada beberapa mamak, maka seorang darinya akan sangat di- hormati karena ia telah menjalankan tugas kemamakan semak- simum mungkin. Hai yang sama juga terjadi dengan hakikat bapak. Seorang ba- pak bukan tak punya kewajiban terhadap anaknya. Tapi dalam melaksanakan kewajiban ini ia tak boleh melupakan tanggung- jawabnya terhadap kemenakannya. Dan tentang ini tak ada garis- aturan yang jelas. Tergantung kepada penafsiran seseorang. Karena itu, ia lebih merupakan ideologi daripada hukum (adat). Dan sebagai ideologi, ia tak mungkin dinyatakan secara konkrit. la hanya difahami oleh orang yang betul-betul ikut serta dalam ke- hidupan kampung. la terikat kepada penafsiran seseorang ber- dasarkan persepsinya terhadap sistem sosial. Ingin saya tekankan di sini, banyak hai tentang Minangkabau yang mesti difahami sebagai ideologi, tergantung kepada penaf- siran seseorang. Kita lebih banyak berbicara tentang fikiran me- ngenai kesatuan Minangkabau, tapi bukan sesuatu yang konkrit. Kita berbicara tentang kesatuan kampung tanpa memberikan perhatian kepada pergeseran di antara anggota-anggotanya. Me- rantau juga suatu ideologi dan bukan hanya tinggal di luar batas negeri. Seseorang yang pergi ke negeri lain dan tinggal menetap di sana, tanpa membawa kembali kekayaan dan harta ke negeri asalnya, tak dapat dianggap merantau. la berpindah negeri. Dan di samping itu mesti diingat, merantau boleh saja dilakukan dalam lingkungan 'alam Minangkabau'. Hakikat sistem sosial sebagai ideologi menyebabkan timbul- nya berbagai penafsiran, beberapa di antaranya dinyatakan dalam kaba.

56

PNRI "SASTRA SEBAGAI CERMIN MAS Y ARARAT"

-1 - Perkembangan sosiologi sastra, meskipun kemudian ada peru- bahan, dimungkinkan oleh adanya konsep berikut ini: 'Sastra ada- lah cermin masyarakat, atau cermin suatu zaman' (Alan Swinge- wood, 1972: 14), 'sastra adalah refleksi atau refraksi sosial' (Swingewood, 16), atau 'sastra merefleksikan kehidupan' (Harry Levin, 1973:66). Meskipun ada beberapa kritik tentang konsep tadi, tapi tak ada orang yang menolaknya secara keseluruhan. Perbedaannya hanya cara penafsiran belaka. Di samping itu, perkembangan aliran sas- tra, realisma atau realisma sosial, makin menguatkan konsep ini. Menurut 'kepercayaan' ini, atau mitos ini, suatu karya sastra akan mengandung unsur sosial yang penting dari realitas (sosial) yang dilukiskannya. Atau dengan kata lain, sebuah unsur penting dalam realitas (sosial) akan terlihat dalam karya sastra yang melukiskan realitas itu. Paling kurang, karya itu akan menolak unsur yang berasal dari realitas lain. Menurut pemikiran ini, sebuah karya mengenai Minangkabau akan memperlihatkan setiap unsur masyarakat Minangkabau. Dan tak akan ada unsur yang bukan Minangkabau. Berdasarkan pembicaraan tentang "Sistem Sosial Minangkabau" diharapkan sebuah karya tentang realitas (sosial) Minangkabau akan menyebutkan unsur berikut: (i) kehidupan keluarga matri- lineal yang besar; (ii) kehadiran mamak dengan tugasnya yang khusus dalam kehidupan suatu keluarga; (iii) bapak yang diabai- kan, dan (iv) keinginan untuk merantau. Tapi 'Fakta dari Kaba' memberikan gambaran lain dengan memberikan informasi berikut ini: (a) kehadiran keluarga dasar atau in ti di samping keluarga yang lebih lúas darinya; (b) ketak- hadiran mamak dalam kebanyakan kaba, sedangkan bapak mungkin memainkan peranan yang penting dan menentukan; (c) pentingnya hubungan saudara lelaki dan perempuan, dan

57

PNRI (d) keinginan untuk merantau. Keterangan lain sengaja diabaikan di sini. Keduanya memperlihatkan informasi yang berbeda, sehingga timbul persoalan bagaimana kita mungkin melihat kaba sebagai mewakili masyarakat Minangkabau. Tapi sebelum masuk ke per- soalan ini - akan dibicarakan pada bab berikutnya, saya ingin membicarakan lebih lanjut tentang konsep 'sastra sebagai cermin masyarakat' atau konsep yang kira-kira bersamaan.

-2- Dalam pelaksanaan konsep 'sastra sebagai cermin masyarakat' ada kecenderungan pendekatan yang positivistik. Setiap unsur dalam karya sastra mewakili sesuatu unsur dalam masyarakat. Dengan begitu, ada situasi sebagai dalam rajah berikut ini : KARYA SASTRA (= R) RE ALITAS (SOSIAL) (= R) m M n N o O rajah 5. dan sekaligus menolak kemungkinan penghubungan sebagai beri- kut : KARYA SASTRA (= R) REALITAS (SOSIAL) (= R) n M P N q O rajah 6. karena sebuah karya tertentu (R dengan npq) tak mewakili rea- litas (sosial) dari R yang berupa MNO. Kita jadinya menyang- sikannya sebagai karya yang betul-betul berhubungan dengan masyarakat R yang MNO. Berdasarkan teori itu, yang didasarkan kepada konsep tadi, ketakhadiran /mo/ menolak kemungkinan adanya /MO/ dalam realitas sosial.

58

PNRI Karena itu, seseorang yang bekerja dari situasi pada rajah 6 akan mempunyai gambaran yang berbeda sekali tentang masya- rakat yang diwakili oleh karya itu. la akan membayangkan masya- rakat dengan unsur NPQ dan bukan MNO, suatu masyarakat yang lain sama sekali. Sesudah membaca kaba, orang mungkin saja akan s am pai kepada kesimpulan bahwa masyarakat Minangkabau tak mengenal mamak karena memang tak ada dalam sistem yang diperlihatkan dalamnya 1),

-3 - Ada beberapa kritik terhadap konsep dan teori ini. Pertama ada usaha untuk menggantikan 'refleksi' dengan 'refraksi'. Sebuah karya lebih merefraksikan (= membiaskan. jadinya ada perubahan) suatu realitas (sosial) dan bukan merefleksikannya karena penulis ie'.ah menafsirkannya sesuai dengan pandangannya atau ideolo- ginya. Seorang ibu dalam novel tak sama lagi dengan ibu dalam realitas sosial. la bukan replika dari ibu dalam realitas. Citranya te- lali dilukiskan melalui kacamata seorang penulis. Dan ini tergan- tung bagaimana ia melihatnya, dari sudut mana atau dari kondisi yang bagaimana. Citranya mungkin sangat baik karena ia dilu- kiskan sebagai ibu yang ideal. Atau mungkin sangat buruk karena ia dilihat sebagai ibu yang jahat. Keadaannya akan terlihat sebagai pada rajah berikut ini : REALITAS (SOSIAL) (= R) KARYA SASTRA (= R) M /M +/ N /N +/ O /O +/

rajah 7.

1) A.A. Navis dalam pembicaraannya dengan saya (lihat juga kata pengantar) menyang- sikan hakikat kaba yang Minangkabau karena adanya situasi yang sama dengan yang diskemakan pada rajah 6. Inüah yang ingin saya buktikan di sini, salah atau benar.

59

PNRI dengan tanda /+/ menunjukkan adanya 'tambahan' dari penulis- nya. Tapi ini bukan perubahan yang radikal terhadap konsep tadi. Masih dipertahankan adanya hubungan langsung antara unsur dalam novel dan realitas, meskipun tak lagi sama betul. Ia tak mungkin menerangkan keadaan yang ada pada rajah 6. Kritik kedua berdasarkan kondisi masyarakat (modern) kini yang tak lagi merupakan masyarakat monolitik. Karya sastra tak lagi mungkin mewakili seluruh masyarakat. Ia hanya menying- gung sektor tertentu. Ia tak menyinggung M, tapi hanya menying- gung Ml atau M2. Ia akan berbeda dengan karya sastra, katakan- lah novel, yang berhubungan dengan masyarakat yang masih ko- hesif, biasanya masyarakat pramodern — ini mungkin dapat di- pertikaikan lagi. Dalam hubungan ini ia mungkin dapat melukis- kan masyarakat dalam keseluruhannya (cf. Swingewood, 17). Lucien Goldmann (1967, 1975) mengajukan teori lain. Menu- rutnya, sosiologi sastra, atau lebih tepat sosiologi novel, tak mesti menghubungkan dirinya dengan situasi pada rajah 5 dan 7. Ia hanya memperhatikan keadaan berikut ini :

PANDANGAN DUNIA < PANDANGAN DUNIA PENULIS

NOVEL PANDANGAN DUNIA SUATU KELOMPOK MASYARAKAT

rajah 8.

Goldmann tak percaya kepada hubungan langsung (= one-to- one-correspondence) antara unsur dalam novel dan unsur dalam realitas sosial. Hubungan yang ada ialah antara pandangan dunia dalam novel dengan pandangan dunia dalam realitas. Dan pandang- an dunia dalam novel hanya dilihat melalui penyelidikan struk- tural yang kuat dan sukar, dan ini dihubungkan secara dialektik dengan pandangan dunia dalam realitas.

60

PNRI la telah berubah banyak dari pengertian asal. Namun begitu, ia masih percaya bahwa kehadiran beberapa unsur tertentu dalam sebuah novel memungkinkannya menghubungkannya dengan suatu realitas sosial. Dengan begitu ada hubungan sebagai berikut :

KARYA SASTRA REALITAS (SOSIAL) /M +/m M /N +/n N /O +/0 O rajah 9. tapi masih tetap menolak situasi dalam rajah 6. Hubungan masih didasarkan kepada hubungan positif antara unsur dalam novel dan realitas. Unsur dalam novel berhubungan dengan unsur dalam realitas. la tak didasarkan hubungan yang négatif yang mungkin disarankan oleh rajah 6. Ada kritik lain, kritik keempat, yang bertolak dari asumsi yang berbeda sekali. Seorang yang 'percaya' pada konsep 'karya sastra adalah refleksi dari realitas' menduga bahwa karya sastra punya akar pada realitas sosial (penulisnya). Kritik keempat, sebaliknya, bertolak dari asumsi yang berbeda. Karya sastra punya akar pada dunia-imajinatif-dan-kreatif dari penulisnya. Semuanya diciptakan dalam dunia ini. Hubungannya dengan suatu realitas sosial terbatas kepada hal-hal berikut ini : i. Suatu realitas sosial bertanggungjawab untuk membentuk suatu dunia-imajinatif-dan-kreatif dari penulisnya, namun begitu, keduanya taklah sama. ii. Realitas sosial begitu saja taklah penting. Yang penting bagai- mana seorang penulis bereaksi terhadapnya, dan ini bertanggung jawab untuk penciptaan suatu 'realitas sosial yang berbeda' dalam karyanya yang tak mudah dikembalikan lagi kepada suatu realitas (konkrit). la telah 'dipisahkan' (= alienated) dari realitas yang ditanggap oleh penulis itu. iii.Sastra punya dunianya sendiri dan punya perkembangannya sendiri. Seorang penulis mesti menciptakan 'style' baru sepan- jang masa (cf. Michael Riffaterre, 1978; Julia Kristeva, 1979; Peter v. Zima 1978; 35; 1981; 31 ). Setiap 'style' mungkin

61

PNRI menyarankan suatu interpretasi tertentu, sebagaimana Gold- mann (1975:132-151) menafsirkan 'style' nouveau roman, meskipun orang mungkin tak setuju dengannya (cf. Swinge- wood, 79) karena ia percaya bahwa itu tak mungkin ditaf- sirkan 'mewakili' suatu realitas tertentu. Kritik ini betul-betul menyarankan bahwa dunia seorang penulis lebih penting dari reahtas sosial itu sendiri. Dan ini menolak ang- gapan sebelumnya. Ini didasarkan kepada kehadiran karya sastra yang begitu individualistik dan imajinatif, misalnya nouveau roman atau novel-novel Iwan Simatupang (1968, 1969, 1972). Tapi, dengan begitu, teori ini hanya dapat dilaksanakan terhadap karya dengan ciri berikut: (a) cenderung untuk mengembangkan 'style' yang berbeda dari yang ada sebelumnya; (b) sangat imaji- natif dan individualistik dan 'kehadiran' penulis betul-betul dapat dirasakan. la jadinya hanya mungkin dilaksanakan terhadap karya modem di Indonesia. Dan tak mungkin dilaksanakan terha- dap genre tradisional, antara lain kaba. Kaba mempunyai ciri yang berbeda, yaitu : a. la mengikuti gaya dan kerangka cerita yang telah 'mapan', sehingga ia tak mungkin bersifat individuahstik. b. la juga tak imajinatif karena selalu ada usaha untuk menghu- bungkan ceritanya dengan suatu peristiwa dalam masyarakat. Kaba tak mungkin dilihat berdasarkan kritik keempat ini.

-4- Kaba mungkin menceritakan suatu peristiwa. Dan dalam hu- bungan ini mesti dijelaskan lebih dulu bagaimana suatu peristiwa berhubungan dengan realitas. Apakah ia realitas sosial sebagai di- fahami dalam sosiologi pengetahuan atau sociology of knowledge (cf Thomas Luckmann & Peter Berger, 1971:13) atau suatu realitas sejarah? Karena peristiwa itu teijadi pada suatu masa tertentu dan pada suatu tempat tertentu pula, ia lebih merupakan rea- litas sejarah. Dan bukan reahtas sosial. Reahtas sosial tak konkrit, ia lebih dibentuk dalam hubungan sosial (Luckmann & Berger, 13) dan merupakan suatu ideologi.

62

PNRI Jika setiap orang mengikuti ideologi sepenuhnya, tanpa pe- nyimpangan, tak ada yang perlu dilaporkan. Sejarah manusia akan berlalu tanpa perlu ada yang dicatat. Tak ada berita yang mesti diberitakan. Tapi, bagaimanapun juga, akan selalu ada penyimpang- an, disengaja atau tidak, dari ideologi. Ini akan menimbulkan kon- flik dan akibatnya akan ada peristiwa karena itu konsep konflik merupakan bagian yang pentingpada teori Jean Duvignaud (1972). Peristiwa jadinya berhubungan dengan penyimpangan.

Jika seorang penulis: memberitakan suatu peristiwa dalam kar- yanya, tanpa interpretasi, ia tak banyak bedanya dari seorang pemberita. Dan ia juga dikuasai oleh aksioma no news is good news. la jadinya memberitakan suatu peristiwa yang buruk dan bukan yang baik yang berhubungan dengan penyimpangan dan konflik. Karena itu, cerita adalah peristiwa dan realitas sejarah, tapi bukan realitas sosial, karena ia berimplikasi penyimpangan dari ideologi. Tapi memang dalam sejarah sosiologi sastra ada penga- cauan antara kedua macam realitas ini. Dan ini berakar pada per- kembangan beberapa cabang ilmu pengetahuan. Ada dasar yang sama bagi perkembangan sosiologi, antropologi dan sejarah. Dulu, mungkin saja seseorang bergerak dalam ketiga cabang ilmu ini, tanpa membedakan pendekatan dari satu cabang dengan pendekatan dari cabang lainnya. Bahkan mungkin juga tak disadari adanya perbedaan antara ketiga cabang ilmu ini. la tak menyadari adanya perbedaan nilai peristiwa bagi setiap cabang ilmu itu. Sebuah peristiwa bagi seorang saijana sejarah adalah sebuah realitas dari mana ia mulai menghubungkannya dengan yang lain dalam rangka penguraiannya. Dan ia belum tentu akan merupakan realitas bagi seorang saijana sosiologi pengetahuan. Kini sampai saatnya untuk membedakan kedua macam realitas ini. Dan bagi sosiologi sastra, yang penting adalah realitas sosial, bukan realitas sejarah. Ini akan lebih jelas bila dilihat pembicara- an selanjutnya yang akan memberikan dasar lain.

-5 - Karya sastra 'melaporkan' kehadiran sesuatu (peristiwa). Keha- dirannya menyebabkan kita berfikir tentang sesuatu yang tak

63

PNRI hadir. Dan ini merupakan hakikat dari karya sastra yang mem- buatnya berbeda dari propaganda. Dalam hubungan ini saya kutip- kan apa yang dikatakan Todorov bila ia berbicara tentang James- sian narrative, yaitu : On one hand there is an absence (of the cause, of the essence, of the truth), but this absence determines everything; on the other hand there is a presence (of the quest) which is only the search for an absence. (1977. 145). Dan ini saya artikan bahwa kehadiran sesuatu dalam karya sastra, dalam cerita, akan menyebabkan orang berfikir tentang sesuatu yang tak hadir. Dan ini dapat dibandingkan dengan kete- rangan David Caute (1971:214) yang mengatakan bahwa Picasso melukis hidung yang bengkok untuk memaksa orang memba- yangkan hidung yang sebenamya. Atau ungkapan dalam bahasa Jawa berikut ini, sing ana ora ana , sing ora ana ana' yang ada tak ada, yang tak ada ada'. Sebenarnya, karya sastra tak berhenti dengan menghadirkan sesuatu. Ia merupakan suatu pencarían kepada yang tak hadir. Yang tak hadir lebih penting daripada yang hadir. Yang hadir hanya alat untuk memikirkan sesuatu yang tak hadir, sehingga ada keadaan berikut : PRESENCE ABSENCE (hadir) (tak hadir) Ini dapat dibandingkan dengan hakikat suatu peristiwa. Suatu peristiwa dalam karya sastra adalah penyimpangan dari ideologi (masyarakatnya). Kehadirannya menyebabkan kita berfikir ten- tang sesuatu yang lain, yang tak hadir, ideologi. Kehadirannya se- bagai realitas sejarah menyebabkan kita berfikir tentang realitas sosial. Tapi sayangnya, ini dilupakan oleh kebanyakan sarjana yang bergerak dalam sosiologi sastra. Mereka begitu saja beranggapan bahwa setiap unsur (yang hadir) dalam karya sastra mewakili rea- litas sosial, terutama bila mereka menggunakan pendekatan posi- tivistik. Berdasarkan kepada dugaan atau asumsi yang dibicarakan pada bagian pertama bab ini, setiap karya sastra mengenai Minang- kabau akan merefleksikan sistem sosial Minangkabau. Setiap

64

PNRI karya tak pernah akan lupa mendaftarkan dan melukiskan empat unsur sistem sosial Minangkabau yang disebutkan pada bab yang lebih dulu. Atau, paling kurang, ia tak semestinya mendaftarkan dan melukiskan beberapa sistem sosial yang tak-Minangkabau. Kegagalan dalam melakukan ini hanya akan menghasilkan karya yang tak—Minangkabau karena ia tak lagi mewakili realitas sosial Minangkabau. Kaba sebagai genre tradisional Minangkabau, malahan dianggap khas Minangkabau, semestinya mewakili sistem sosial Minangka- bau. Atau paling kurang, kaba tak akan melukiskan unsur sistem sosial tak-Minangkabau. Tapi, perbandingan antara 'Fakta dari Kaba' dan sistem sosial Minangkabau memberikan keterangan yang bertentangan. Ter- nyata kaba mengandung unsur tak-Minangkabau. Dan ini me- nolak asumsi yang ada sebelumnya. Perlu ada peronibakan. Sebenarnya, ada beberapa kemungkinan dalam hubungan antara kaba dan sistem sosial Minangkabau, yaitu : Kl. Kaba sebenarnya tak menceritakan peristiwa dalam masya- rakat Minangkabau. Kaba hanya terjemahan atau saduran dari cerita bukan-Minangkabau. K2. Mungkin sekah kita punya anggapan yang salah tentang sistem sosial Minangkabau. Keluarga matrilineal yang luas dan mamak sebenarnya tak penting. K3. Atau kita mesti meninjau kembali penafsiran kita tentang konsep 'karya sastra merefleksikan realitas sosial'. Kita mesti memperhitungkan faktor berikut : a. Peranan dari sesuatu yang tak hadir dalam karya sastra, unsur yang tak disebutkan di dalamnya. b. peranan konvensi sastra dalam membatasi jumlah tokoh dalam sebuah cerita dan kemungkinan penafsirannya. c. peranan konvensi sastra dalam sebuah cerita yang meng- atur bagaimana mengawali dan mengakhiri suatu cerita. d. peranan konvensi sastra dalam hubungan dengan dunia audiencenya. e. kemungkinan perbedaan antara 'realitas' dan 'realitas sosial' atau sistem sosial. f. Kemungkinan hubungan antara idealisma dalam karya sastra dan idealisma dalam sistem sosial.

KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKABAU 5 65

PNRI FAKTA DARI KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKA BAU : SUATU DISKUSI

- 1 -

Karena kaba, klasik atau bukan, menceritakan kehidupan sosial Minangkabau yang tradisional, ia semestinya, berdasarkan pernya- taan Swingewood (17), akan melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan. la bukan lukisan tentang suatu sektor masyarakat sebagai yang mungkin dipunyai oleh novel (modern). Kaba sebagai cerita rakyat, sesuai dengan teori Benjamin, meme- nuhi dua syarat cerita rakyat. la menceritakan suatu peristiwa dan mempunyai audience yang tertentu, yaitu orang Minangkabau yang hidup dalam dunia tradisi. Ceritanya sebenarnya dipolakan kepada cara hidup mereka. Namun begitu, perbandingan antara fakta dari kaba dengan sis- tem sosial Minangkabau yang diberikan pada bab-bab yang terda- hulu memperlihatkan beberapa perbedaan. Banyak kaba memper- lihatkan "sistem sosial" yang dianggap berbeda dari sistem sosial Minangkabau. Beberapa unsur sistem sosial Minangkabau yang penting tak ditemui dalamnya. Malahan sebaliknya yang terjadi, yaitu hadirnya unsur sistem sosial yang tak-Minangkabau.

-2-

Ketakhadiran beberapa unsur sistem sosial Minangkabau dalam Kaba Malin Deman mungkin dihubungkan dengan hakikatnya yang berasal dari Aceh. Tapi saya sendiri ingin mengabaikan hal ini. la telah merupakan bagian dari kebudayaan Minangkabau. Bagi seorang Minangkabau, kaba itu adalah hasil sastra Minangkabau, tanpa menghiraukan dari mana asalnya. Berikutnya, meskipun ia bercerita tentang bukan orang Minangkabau di luar "alam Minang- kabau", ia mungkin saja punya fungsi dalam kehidupan tradisional

66

PNRI Minangkabau - ini saya perluas nanti dalam pembicaraan kaba-kaba lainnya. la akan tunduk kepada konvensi kaba, sama halnya de- ngan cerita "baru" yang dimasukkan ke dalam pertunjukan Melayu sebagai dikatakan Sweeney (47-48). Saya berkesempatan mendengarkan kaba dalam käset, yaitu Kaba Hasan Jamilah, yang saya peroleh dari sebuah toko käset da- lam tahun 1971. Saya berikan garis besar ceritanya.

Karena kesukaran hidup di Surabaya, jadi bukan orang Minang- kabau, dan karena mendengar kabar dari kawannya bahwa setiap orang yang merantauke Singapura menjadi kaya, menyebabkan Hasan merantau ke Singapura. Istrinya Jamilah dan anaknya Yasin ditinggalkannya di Surabaya. Tapi ia mengalami kekecewaan. Ternyata sukar sekali untuk mendapatkan uang.tidak sebagai di- bayangkannya dulu. Tapi untung ia ditolong oleh seorang orang kaya. Mulanya ia hanya dijadikan kuli. Tapi kemudian diberi pekeijaan yang penuh tanggung jawab, jadi tangan kanan majikan- nya. Sementara itu, Leila, anak majikannya jatuh cinta padanya. Hasan berbohong kepada Leila. Dikafakannya ia belum kawin. Leila akhirnya memaksa orangtuanya untuk memutuskan pertu- nangannya dengan Rial supaya ia dapat mengawini Hasan. Karena Yasin selalu bertanya tentang bapanya, Jamilah mem- bawanya ke Singapura. Ia datang pada waktu yang tepat sehingga dapat menghalangi perkawinan Hasan dengan Leila. Hasan mening- galkan mereka karena marahnya. Dengan pertolongan kawan, Jamilah berhasil dalam perdagangan- nya. Ia jadi kaya. Malahan menolong Hasan yang jatuh miskin. Ia bersatu kembali dengan Hasan dan selanjutnya melahirkan seorang anak perempuan. Tapi sayang Jamilah mati muda. Hasan menjadi putus asa karena kematian istrinya, sehingga kekayaan mereka habis. Hasan mencoba berniaga ke Surabaya tapi uangnya hilang kecopetan. Ia akhirnya hidup sebagai kuli sampai ditolong oleh seorang janda kaya, Fatimah, yang memintanya menjadi suaminya. Anak-anaknya juga hidup sengsara di Singapura. Mereka akhir- nya mengikuti bapa mereka ke Jakarta. Mereka akhirnya bertemu kembali dengan bapa mereka dan ibu tiri mereka yang baik budi. Kaba ini mempunyai unsur berikut : (a) Mitos tentang kesengsaraan hidup di kampung dan 'keme- wahan' hidup merantau.

67

PNRI (b) Pentingnya hubungan kekeluargaan. Seorang anak meng- gantungkan kehidupannya pertama kali kepada ibunya. Baru bila ibunya tak ada lagi, ia menggantungkan hidupnya kepada bapanya. la tak dapat menggantungkan hidupnya kepada orang luar atau orang asing, juga tidak dari keluarga jauh. (c) Keterikatan kepada perempuan. Hasan dua kali ditolong perempuan ketika berada dalam kesengsaraan. Dan unsur-unsur itu adalah unsur-unsur yang penting dalam ke- hidupan sosial Minangkabau. Di samping itu juga ada kaba yang dicatat di luar Minangkabau, di Barus atau Singkel, misalnya Kaba Gombang Sari Dewa (MS. OR. 6077B, Leiden), Kaba si Tabuang (MS.OR. 6084, Leiden) dan Hikayat Raja Tuktung (MS.OR. 3205 B, Leiden). Dan ada kemung- kinan adanya unsur bukan Minangkabau di dalamnya, misalnya : (a) beberapa kata bukan Minangkabau, misalnya anak si budak (Hikayat Raja Tuktung), si budak ketek (Kaba Ali 'Amat). (b) daerah yang juga mungkin bukan Minangkabau, atau dipengaruhi dari luar, misalnya "Gunung Ledang" ( Anggun nan Tungga), 'Kuala Banda Muwa' 'Kuala Aie Batu' (Tuan- ku Gombang Patuanan, MS. Or. 6084, Leiden). Kata 'budak' yang berarti 'anak kecil' bukan kata Minangkabau. Begitu juga halnya dengan kata 'kualo', yang biasanya dalam baha- sa Minangkabau ialah 'muaro'. Keduanya adalah kata-kata dalam bahasa Melayu di Semenanjung. Namun begitu, kehadiran kata- kata ini tak berarti kaba itu berasal dari Melayu. Tapi mungkin ada kemungkinan lain. Kehadiran 'anak si budak' dalam Hikayat Raja Tuktung yang syairnya berhubungan dengan penggunaan sebuah peristiwa dalam sebuah cerita Mçlayu, Sejarah Melayu, untuk menerangkan sifat suatu peristiwa tertentu. Keduanya sama betul sebagai peristiwa tapi berbeda dalam fungsi dan pengakhirannya. Ini dapat terlihat pada perbandingan berikut : Kanak-kanak dalam Sejarah Melayu ' i. Dibunuh karena pegawai istana takut ia akan lebih berkuasa dari mereka. Mereka meyakinkan raja tentang perlunya menia- dakan kanak-kanak itu karena ia sangat berbahaya bagi kekua- saan raja itu sendiri. Ini menunjukkan kekuasaan raja makin lemah, bahkan tak dapat mengambil keputusannya sendiri.

68

PNRI ii. Tak ada yang mempertahankannya karena peristiwa itu sendiri menunjukkan kekuasaan raja makin tak ada dan istana dikuasai oleh unsur yang tak bersahabat. sedangkan 'anak budak' dalam Hikayat Raja Tuktung i. Dibunuh raja karena ia takut anak itu akan mengambil alih kekuasaan dari tangannya. ii. Putra raja tak setuju dengan tindakan raja dan menolak untuk pulang ke rumah. Kehadiran 'anak si budak' dalam kaba itu merupakan anakroms- ma dan punya tugas anakronisma yang telah diberikan tadi. Disini, suatu peristiwa yang dikenal digunakan untuk 'memahami' sesuatu peristiwa sebaik mungkin. Ia mungkin sama dengan adanya 'Gunung Ledang' dalam Anggun nan Tunggayang tak dapat diang- gap sebagai adaptasi dari yang ada pada Hikayat Anggun Cik Tung- gal berdasarkan alasan berikut ini : 1. Anggun Cik Tunggal (ACT) mengatakan bahwa cerita itu berla- ku di Pariaman. 2. Penggunaan bahasa dalam ACT tak selancar dalam Anggun Nan Tungga (ANT). 3. Tokoh-tokoh dalam ACT adalah tokoh-tokoh ANT yang dime- layukan dengan mamak digantikan oleh nenek dengan tak mengabaikan adanya kemungkinan salah baca. 4. Cerita ANT 'diperbarui' dalam ACT dengan adanya 'Badurai' (= Belanda) dan 'Anggarai' (- Inggeris), padahal itu adalah raja Cina dalam ANT. Di samping itu, kata 'anggarai' lebih terasa bersifat Minangkabau daripada bersifat Melayu. Dan pada ACT ada beberapa kata yang dipinjam dari bahasa Belanda. 5. Keduanya punya akhir yang berbeda. Dalam ANT, Nan Tungga dan Gondoriah tak jadi kawin tapi mi'raj ke langit, sesuai de- ngan yang ada dalam Kaba Cindue Mato. Dalam ACT keduanya jadi monyet. 6. ACT dengan jelas membuktikan adanya kerajaan. Kehadiran Gunung Ledang, suatu tempat yang jauh, memberi- kan kesan jarak, unsur yang penting dalam kaba. Ada semacam ke- perluan untuk meyakinkan audience bahwa seseorang telah begitu lama mengembara antara dua titik, yang sebenarnya mungkin tak

69

PNRI jauh jaraknyal). Dan dalam peijalanan itu orang akan mengalami banyak persoalan dan menderita banyak kesengsaraan. Ini sesuai dengan bagian B dari kerangka kaba, yang menceritakan 'pengela- na'. Dan sebenarnya, ketiga unsur dari kaba yang telah diberikan tadi dapat disusun dan ditafsirkan kembali sebagai berikut : A, C : dua titik dalam kehidupan seseorang B : pengembaraan antara dua titik tadi Di samping itu, kembali kepada persoalan Gunung Ledang, seba- gai tempat yang jauh, sekaligus memberikan kesan misteri kepada audience kaba. Seorang seakan dibawa ke (dunia) kehidupan lain. la boleh mengasingkan dirinya dari kehidupan keduniaan, menjadi pertapa. Ini ditambah dengan Gunung Ledang yang dihubungakan dengan suatu ideologi. Kehadiran 'budak ketek' dalam Kaba si Ali Amat mungkin di- sebabkan kerena ceritanya teijadi di rantau, yang mungkin saja bukan Minangkabau. Dan dalam kaba memang ada kecenderung- an untuk melukiskan keadaan di rantau. Hai itu mungkin merupa- kan pengenalan terhadap kehidupan yang akan dialami seseorang bila ia memutuskan untuk merantau. Atau keterangan tentang masyarakat lainnya yang dapat digunakan sebagai perban- dingan dengan masyarakatnya sendiri mungkin saja diambii yang buruk saja dari masyarakat lainnya. Orang dengan begitu akan berkesimpulan bahwa kehidupan dalam masyarakatnya jauh lebih baik dari masyarakat lain. Dengan begitu, kehadiran unsur bukan Minangkabau tak meng- izinkan kita untuk mengatakan kaba itu bukan bersifat Minang- kabau, apalagi untuk mengatakan tak berhubungan dengan kehi- dupan sosial Minangkabau.

1) Hal yang menarik di sini ialah perbandingannya dengan jarak usia atau waktu. Seba- liknya dari jarak ruang di sini dapat dirasakan usaha untuk memendekkan. Seorang dengan cepat sekali menjadi dewasa -- ini juga ada dalam cerita-cerita Melayu. Saya sendiri di sini belum berani berbicara apa-apa tentangnya. Ini saya kemukakan se- bagai persoalan yang dapat diolah lebih lanjut.

70

PNRI - 3 -

Cerita Malin Kundang berbeda dari cerita Malin Deman. Ia selalu dihubungkan orang dengan orang Minangkabau, mungkin dengan nama yang berbeda. Malin Kundang juga berbeda dari Nakhoda Tenggang di Semenanjung . Malin Kundang (=MK) (i) dengan sengaja pulang ke kampung untuk membawa kekayaan kepada ibunya, tapi (ii) ia tak mengenal ibunya karena ia begitu tua dan begitu sengsara, berbeda sekali dari ketika di- tinggalkannya—di sini sekali lagi unsur jarak waktu ditiadakan sebagai dinyatakan pada catatan kaki 1. Kecuali merantau dan keinginan pulang untuk membawa keka- yaan bagi ibunya, tak ada unsur dalam Malin Kundang yang dapat dianggap bersifat Minangkabau (khusus). Itu mungkin saja cerita lain dari Nakhoda Tenggang yang berubah karena ceritanya "mengembara" dari suatu budaya ke budaya lainnya. Malin Kun- dang dapat dianggap tak mewakili masyarakat Minangkabau kare- na ada dua unsur sistem sosial yang penting yang tak dijumpai dalamnya, sebagai diterangkan nanti. Pelaksanaan argumentasi yang sama kepada setiap kaba akan memaksa kita untuk menolak kaba sebagai bersifat Minangkabau karena tak berhubungan dengan sistem sosial Minangkabau. Kita mesti menolak Cindue Mato, padahal ia dianggap sebagai legenda orang Minangkabau. Ia ditolak karena tak menyebut keluarga matrilineal yang luas dan mamak tak bertugas sebagaimana mesti- nya. Kita juga mesti menolak kaba-kaba lain yang mengatakan menceritakan kejadian yang benar-benar berlaku dalam daerah budaya Minangkabau. Misalnya Kaba Siti Syamsiah, Kaba Siti Mariam, Kaba Larch Simawang, Kaba Bujang Paman, Kaba Gadih Ranti, Kaba Siti Risani dan Kaba Kapalo Sitolang. Kemungkinan bahwa kaba berasal dari luar Minangkabau memang ada. Naskah tangan dalam tulisan Arab dibuat dalam bahasa Melayu keminangkabauan atau bahasa Minangkabau yang dimelayukan. Mungkin saja, karena tak adanya sesuatu yang khu- sus Minangkabau, kaba itu berasal dari Melayu, diteijemahkan atau disadur ke dalam bahasa Minangkabau. Tapi ada hai lain yang menolaknya. Prosa lirik, unsur yang paling penting dalam kaba, tak ada dalam sastra Melayu, kecuali

71

PNRI dalam cerita yang berhubungan dengan kaba. Ini memungkinkan kita untuk mengatakan bahwa cerita Melayu yang sama dengan ka- ba adalah saduran kaba, dan bukan sebaliknya2). Kaba jadinya betul-betul karya sastra Minangkabau, nieskipun tak disangkal ke- mungkinan adanya pengaruh dari tradisi sastra Melayu. Hikayat yang sama dengan kaba karena kaba mungkin juga disebut hikayat mempunyai unsur berikut ini : i. Mengenai anak raja dengan kesatuan keluarga yang penting ialah keluarga inti. ii. la berhubungan dengan 'pengembaraan' anak raja itu, yang membunuh musuh-musuhnya dan mungkin juga mengawini berbagai putrì. iii.Ia bermula dengan situasi yang tragis tapi berakhir dengan kebahagiaan, iv.Ia diberi nama sesuai dengan nama wira (= hero) atau juga mungkin nama wirawati (=heroin). Dan ini sama dengan kaba klasik. la berbeda dari kaba tak-klasik karena kaba ini mempunyai unsur berikut : i. Tentang orang biasa, bukan anak raja. ii. Tentang bagaimana ia mengumpulkan harta dan bukan pengem- baraan belaka. iii.Bermula dengan kehidupan yang tragis dan berakhir dengan kebahagiaan kecuali ada faktor yang mungkin menghalanginya. iv.Biasanya dinamakan menurut nama wirawati meskipun ia sebenarnya tak penting.

2) Ada kemungkinan lain, yaitu pengaruh Aceh. Tapi pengalaman saya dalam mem- baca naskah Aceh dari transkripsi James Siegel (1979j menyarankan adanya perbeda- an hakikat dalam prinsip prosa liiiknya. Karena itu, saya jadi bertanya, apakah tak mungkin pengaruh Aceh hanya terbatas kepada cerita. hanya cerila, tentang Malin Deman, yang dalam garis besarnya bersamaan dengan Jakatarub di .lawa. Ini ditam- bah dengan pengalaman saya dalam membaca Hikayat Raja-Raja Pasai (A.H. Hill, 1960) yaag menyarankan adanya pengaruh Minang dalamnya. Bagian penutupnya yang cukup panjang adalah tentang kemenangan kerbau Minangkabau melawan ker- bau Majapahit - dibandingkan dengan Aceh yang dengan mudali dikalahkan. De- ngan begitu, persoalannya masih terbuka lebar dan terlalu gegabah untuk mengambil kesimpulan yang mutlak yang terburu-buru.

72

PNRI Kemungkinan pengaruh dari sastra lain tak mungkin melampaui batas kerangka cerita (= narrative structure ). Pengaruh itu tak mengubah sistem sosial - ini akan diterangkan nanti. Namun begitu, kita tak boleh lupa, bahwa ketakhadiran sistem sosial Minangkabau dalam kaba bukanlah persoalan yang sederhana. la menghendaki penjelasan yang ruwet. Dan dengan meminjam cara gaya dari kaba, ingin saya katakan saya akan melupakan buat sementara persoalan kaba. Saya ingin menyinggung dulu persoalan tentang sistem sosial Minangkabau. Kita berpindah tapi masih di situ juga.

- 4-

Meskipun keluarga Minangkabau diberi tanda-pengenal (-label) sebagai keluarga matrilineal yang luas/besar, maka ini sebenarnya tak menolak kemungkinan wujud dan adanya keluarga yang tak besar, keluarga inti atau dasar. la mungkin merupakan suatu sistem dalam sistem lainnya. Suatu keluarga luas/besar terdiri dari beberapa keluarga dasar yang masing-masingnya dapat berdiri sendiri, terlepas dari hubungannya dengan yang lain. Tingkat kebebasannya dapat diperlihatkan dengan adanya hal-hal berikut: i. setiap keluarga inti atau dasar menyiapkan makanan mereka sendiri. ii. sebuah keluarga inti/dasar mungkin pindah ke sebuah rumah baru tanpa memutuskan hubungan kekeluargaan dengan ke- luarga besar yang ditinggalkan. Dan ini dimungkinkan oleh tingkat kekayaan keluarga inti/dasar itu. la boleh memperoleh harta melalui dua saluran, melalui mamak dan saudara lelaki atau melalui bapak dan suarni. Saluran kedua menyebabkan bapak atau suami memainkan peranan pen- ting dalam keluarga itu. la akan dihormati oleh keluarga matrili- neal dari anak atau istrinya. Kadang-kadang keputusannya menge- nai anak dan istrinya lebih menentukan dari keputusan mamak mereka, meskipun ia hendaklah menyalurkannya melalui seorang mamak. Dan mamak mungkin tak dapat berkata lain, kecuali ada unsur pelanggaran. Kedudukannya kini secara tak resmi telah diambii alih oleh bapak/suami.

73

PNRI Ada beberapa hai yang menggalakkan situasi itu. la terlihat pada pasangan pertentangan berikut ini : MAMAK SUAMI/BAPAK miskin kaya "bodoh", pasif pintar, aktif orang biasa orang dengan kedudukan sosial Yaitu bila mamak dihubungkan dengan unsur yang negatif, sedang- kan suami dan bapak dengan unsur positif. Pertentangan ini dapat terlihat dalam Kaba Bujang Paman. Ada pertentangan antara saudara lelaki Puti nan Bungsu dengan suaminya. Saudara- nya pada mulanya miskin tapi menjadi kaya melalui perdagangan mereka. Suaminya merasa dirinya ditantang, malah merasa kekaya- an dan kekuasaan terancam. Karena itu, dibunuhnya ketujuh ber- saudara itu. Keluarga intì atau dasar mungkin berkembang menjadi keluarga yang luas. la mungkin berkembang menjadi keluarga besar, dengan banyak anak, dan setiap anak perempuan kemudian melahirkan sejumlah anak lagi. Atau ia mungkin cabang terakhir dari suatu keluarga besar yang telah punah karena cabang lain telah tiada akibat proses genealogis: ibu tak punya saudara lelaki dan pe- rempuan untuk membentuk keluarga besar. Dengan begitu, kehadiran keluarga inti/dasar sebagai kesatuan bebas tak mungkin dianggap bukan Minangkabau. la memang dimungkinkan (oleh sistem), meskipun tak ideal. Dan di sini mesti diingat bahwa sistem sosial Minangkabau (yang ideal) didasarkan kepada unsur-unsur yang kehadirannya lebih bersifat 'kemung- kinan' dari 'kepastian'. Mamak yang dianggap tonggak sistem itu mungkin ada dan mungkin juga tak ada. Ini berbeda dari bapak yang selalu mesti ada meskipun mungkin tak selalu hadir. Barangkali, fokus pembiearaan kita menyesatkan kita. Kita cenderung memusatkan perhatian kepada keluarga matrilineal yang luas dengan mengabaikan begitu saja (kemungkinan) keha- diran keluarga inti/dasar. Kita mengabaikan kemungkinan tak wujudnya keluarga matrilineal yang luas. Kita begitu saja menolak pentingnya peranan keluarga inti/dasar dalam kehidupan sehari- hari Minangkabau (cf. Junus, 1974a), padahal ia memegang peranan penting. Mamak atau saudara (kandung) akibatnya lebih penting dari mamak atau saudara lelaki yang klasifikasi saja,

74

PNRI sebagai yang mungkin dinyatakan oleh ungkapan ini bamamak ka mamak urang, bacari tampek bakeh mangadu 'bermamak ke mamak orang menyebabkan kita menean tempat mengadu'. Dengan alasan itu, kehadiran keluarga inti/dasar dalam kaba bukan bertentangan dengan sistem sosial Minangkabau. Bagai- manapun, pernyataan itu bukannya menyelesaikan persoalan, malah menimbulkan persoalan lain. Kenapa "penulis" memilih untuk melukiskan keluarga inti dan bukan yang lúas? Ada bebe- rapa kemungkinan jawaban, yaitu : a) la betul-betul ada dalam dunia nyata dan kaba dinyatakan menceritakan 'cerita benar'. b)Itu pengakuan pentingnya keluarga inti dalam sistem sosial Minangkabau karena ia merupakan pusat kegiatan sehari-hari tanpa menolak afiliasinya dengan keluarga besar/luas. c) Itu dimungkinkan oleh 'tradisi sastra' yang menguasai kerangka kaba. Sudah menjadi tradisi dalam kesusastraan Melayu/Mi- nangkabau untuk menceritakan kehidupan seseorang atau kelu- arga dekatnya. d)Itu dimungkinkan oleh 'pembatasan sastra' (= literary limita- tion). Cukup mudah dan sederhana untuk melukiskan jumlah pelaku yang sedikit dibandingkan dengan jumlah pelaku yang besar. Lebih mudah untuk melukiskan keluarga inti dari suatu keluarga besar. Suatu karya, sesuai dengan pembatasannya, cenderung memusatkan perhatian kepada sejumlah kecil orang yang memainkan peranan penting dalam sebuah cerita. Kalau tak demikian, ia akan kehilangan kesatuannya, unitnya. Mamak juga tak selalu hadir. Ia mungkin tak ada karena ibu tak punya saudara lelaki (Junus, 1974a). Atau ia mungkin ada tapi tak hadir. Ia mungkin di kampung isterinya yang mungkin jauh sekali. Atau ia mesti bekerja mencari nafkah ketika siang dan menghabiskan malamnya di rumah istrinya. Ia jadinya tak punya waktu untuk menumpukan seluruh perhatiannya kepada keluar- ga matrilinealnya. Peranannya dalam kehidupan keluarganya (matrilineal), kecil sekali, terbatas kepada hal-hal yang penting sekali, persoalan perkawinan dan kematian dalam keluarga. Kecu- aü ia cukup kaya, ia juga tak mungkin menyumbangkan sesuatu bagi kesejahteraan material keluarga matrilinealnya, kepada keme- nakannya.

75

PNRI Sebenarnya, mungkin tak ada campurtangan mamak dalam kehidupan sehari-hari. Tak ada yang dipusingkannya selagi keluar- ga matrilinealnya dapat mempeijuangkan hidup mereka, selagi mereka tak memberikan citra yang buruk terhadap keluarga. Mamak mungkin tak hadir karena ia merantau - dalam bebe- rapa kaba ia dipenjarakan musuhnya. la mungkin tak berhubungan sama sekali dengan keluarga matrilinealnya karena ia berada di tempat yang jauh. la tak dapat melaksanakan kewajiban dan tang- gungjawab sebagaimana mestinya seorang mamak, meskipun ia mungkin pulang sebagai orang kaya dan menambah kekayaan ke- luarga. Malah mungkin, ia terpaksa "diselamatkan" oleh keme- nakannya. Secara struktur, mamak adalah tonggak sistem sosial Minang- kabau. Seorang merasa menyesal tak punya mamak (kandung). Namun begitu, mamak mungkin tak ada. Dengan begitu, sistem sosial Minangkabau didasarkan kepada sesuatu yang tak pasti, mungkin yang ideal. Yang ada dalam kehidupan sehari-hari mung- kin berbeda, yang menyatakan(= to manifest) sesuatu yang ber- beda dari yang ideal. Dan bukan tak mungkin sistem sosial Minang- kabau tunduk kepada interpretasi pribadi, sebagai yang juga di- katakan Hildred Geertz (1961:4) tentang sistem sosial Jawa. Keadaannya dapat terlihat dengan jelas pada Kaba Sutan Lan- jungan. Kemenakan menyalahkan mamaknya karena ia telah salah menafsirkan 'adat'. Tapi, bagaimanapun juga, interpretasi pribadi terikat kepada (penguasaan dan) pengetahuan orang terhadap sistem itu. Jika ia benar-benar menghidupi sistem itu, ia akan dapat memberikan penafsiran yang tepat. Dan mereka yang tak terbiasa dengan sistem itu tak mungkin akan memberikan penafsiran. Penafsiran mereka mungkin saja menyesatkan. Dan ini memberikan tempat khusus pada orang tua yang telah berpartisipasi dengan sistem itu cukup lama. Mereka dianggap mengenal sistem itu sepenuhnya - ini yang ditantang kemudian oleh generasi yang lebih muda yang mempunyai orientasi yang berbeda3)

3) Kebijaksanaan orang tua ini telah ditolak oleh beberapa anak muda yang mem- peroleh pendidikan, terutama pendidikan barat. Dengan pendidikan ini, yang ketika itu punya makna (= signified) sebagai berikut : a. terbukanya dunia baru yang lebih terbuka kepada dunia luar,

76

PNRI Juga ada cara lain untuk mengawal penafsiran pribadi. Dan kaba mungkin merupakan suatu cara lain ini. Ini akan dapat terlihat pada penjelasan berikut ini. Untuk memahami pentingnya lembaga mamak, kita mesti mem- bedakan antara yang manifest dan yang ideal. Dan sistem sosial Minangkabau lebih mengharapkan adanya sesuatu yang kewujud- annya sendiri adalah suatu kemungkinan. Ia mengharapkan keha- diran sesuatu yang sebenarnya ideal. Sistem itu bertolak dari kea- daan yang ada, yang manifest, kepada sesuatu yang ideal, dengan masing-masingnya punya unsurnya sendiri-sendiri, yaitu : MANIFEST (hanya berhubungan dengan sistem keluarga) : Suatu kesatuan keluarga mungkin terdiri dari (i) mo. + da.; (ii) mo. + so.; (iii) br. + si.; (iv) fa. + mo. + da. + so. IDEAL (hanya berhubungan dengan sistem keluarga) : Sebuah keluarga terdiri dari sistem berikut ini : i. mo. + mo.si. + mo.br. + da. + so. ii. mo.r.b bertanggungjawab terhadap keluarga itu. Berdasarkan unsur pembentuknya, setiap sistem keluarga dalam situasi yang manifest mempunyai kemungkinannya sendiri, sebagai terlihat pada penjelasan berikut ini (nomor berhubungan dengan nomor dalam manifest): i. Tak akan ada orang yang bertanggung jawab terhadap kese- jahteraan keluarga itu, sehingga mungkin saja akan gagal. ii. Anak lelaki diharapkan akan berfungsi sebagai mamak, tapi karena ia tak punya saudara perempuan, maka ia tak mungkin menjadi calon mamak (yang sebenarnya, yang kandung). Ke luarga itu juga mungkin akan berakhir dengan kegagalan. Di samping itu, keluarga itu berada dalam suasana mendekati kepu- nahan karena tak ada orang yang akan melanjutkan garis kelu arga.

b. dan yang juga lebih baik dari dunia lama karena : L orangtua mereka menyekolahkan mereka ke dunia baru ini, ii. dunia ini diasosiasikan dengan Belanda yang telah menundukkan dunia lama, sehingga dunia lama adalah dunia yang telah menyerah ke dunia baru, iii. dunia ini juga diasosiasikan dengan berbagai kemewahan (hidup tanpa me- melas keringat dan berbaju bersih, dihormati orang dan berkuasa dan sebagai- nya) yang berbeda dengan dunia lama (memeras keringat untuk bertani, berbaju buruk dan kotor, mudah ditakuti dan diperintah). maka mereka menolak dunia lama orangtua mereka. Mereka menjadi 'anti-adat'.

77

PNRI iii.Diharapkan saudara lelaki akan berfungsi sebagai mamak nanti- nya, dan ini memang dimungkinkan karena ia memang calon mamak (yang kandung), yaitu mamak dari anak saudara perem- puannya. iv. Di sini diharapkan bahwa anak lelaki/saudara lelaki akan ber- fungsi sebagai mamak kemudiannya. Dan ini menunjukkan bahwa sistem sosial Minangkabau lebih di- dasarkan kepada harapan, harapan bahwa sesuatunya akan ber- wujud dan bertugas nantinya. Dan sementara itu, mesti ada 'penggantinya'. Ketiadaan mamak menyebabkan harus ada sese- orang yang mengisi kekosongan itu. la mungkin saja bapak atau suami. Karena itu dalam pidato ketika pesta kawin ada pernyataan berikut ini : Lah datang ayam birugo, mahambue ka dalam samak, Lah datang urang sumando, kaganti niniek mamak. dengan dua baris terakhir berarti: 'Telah datang orang 'semenda', akan ganti niniek mamak', atau keluarga itu menunggu sampai anak lelaki siap untuk mengambil alih tanggung jawab.Dan dalam keadaan terdesak, mungkin anak perempuan yang menjalankan, sebagaimana halnya dengan Sabai nan Aluih. Bertentangan dengan anggapan yang mungkin ada, yang melihat sesuatunya secara ekstrim, sistem sosial Minangkabau taklah di- laksanakan secara eksklusif. Ayah dan suami tak pernah dilarang untuk bertanggungjawab terhadap anak dan isterinya, untuk me- nyumbangkan sesuatu bagi kesejahteraan anak-anak dan istrinya. Malahan ada dorongan ke arah ini. Adalah merupakan kebanggaan bagi sebuah keluarga bila anggota lelaki keluarga mereka dapat menyumbangkan sesuatu bagi kesejahteraan isteri dan anak-anak- nya, misalnya membangunkan sebuah rumah. Namun begitu, ia juga mungkin "dicela" bila gagal menyumbang bagi kesejahteraan keluarga matrilinealnya, dan hanya menghabiskan hartanya bagi kepenjingan istri dan anak-anaknya saja. la "dicela" karena "tunduk kepada istri" atau "telah dibeli oleh istrinya". Sebenarnya, seorang lelaki Minangkabau terperangkap dalam dua situasi yang bertentangan. la digalakkan untuk menyumbang- kan sesuatu kepada kesejahteraan istri dan anak-anaknya tapi ini

78

PNRI tak mungkin dilakukan dengan mengabaikan kemenakannya. Aki- batnya, konsep idea sangat penting, dan ini menyebabkan ia ter- ikat kepada penafsiran pribadi. Dan kaba diharapkan akan dapat menolong mereka menafsirkan sistem itu secara baik. Selanjutnya perlu untuk meninjau kembali sistem sosial Mi- nangkabau yang diberikan pada bab yang terdahulu karena di dalamnya ada pernyataan yang mungkin mengelirukan, misalnya : a) la hanya merumuskan sistem yang ideal dengan mengabaikan kemungkinan tak hadirnya unsur (-unsur) tertentu. la juga dianggap sebagai sistem yang lengkap dan sempurna tanpa mem- perhitungkan kemungkinan tak hadirnya beberapa unsur di- sebabkan keadaan dalam dunia nyata4) . b)Ia percaya kepada hukum 'penolakan yang ketat' (= exclusi- veness). Jika mamak bertanggungjawab terhadap kemenakanl nya, maka bapak ditolak untuk bertanggungjawab terhadap anak-anak, dianggap bertentangan dengan adat. Dengan menggabungkan kedua kritik ini terhadap sistem yang dinyatakan pada bab terdahulu, penemuan kita dalam kaba tak perlu bertentangan dengan sistem sosial Minangkabau. Ada ruang untuk kehadiran mereka. Namun begitu, kita tak akan dapat mem- bedakannya dan penemuan karya sastra luar Minangkabau karena unsur-unsur itu adalah unsur-unsur yang universal yang dinyatakan dengan menggunakan gaya sastra Minangkabau. Unsur-unsur itu tak ada gunanya bagi penyelidikan masyarakat Minangkabau se- bagai suatu fenomena yang tersendiri dan "unik" karena mereka tak lagi khas Minangkabau. Karena itu diperlukan penjelasan lain.

- 5 - Ada kecenderungan dalam karya sastra untuk membatasi jumlah pelakunya sesedikit mungkin dengan tak menyebutkan orang- orang yang tak memainkan peranan (yang menentukan) meskipun dalam hubungan lain mereka penting sekali. Kalau tak demikian, karya itu akan 'penuh sesak dengan hal-hal yang tak penting'.

4) Kritik yang bersamaan juga pemah dilontarkan oleh P.E. de Josselin de Jong (1975) dan J.S. Kahn (1976).

79

PNRI M m M N O o O P P P rajah 10. (R2 berbeda dari RI yang dianggap diwakilinya). Fenomena ini menunjukkan bahwa karya sastra bergerak de- ngan sistem yang berbeda dari sistem sosial. Unsur yang pen ting dalam sistem sosial mungkin tak pen ting dalam sistem sastra, atau sebaliknya. Sebenarnya, mungkin ada situasi sebagai berikut : PENTING DALAM PENTING DALAM SISTEM SOSIAL SISTEM SASTRA + X -X Situasi ini berhubungan dengan hakikat cerita mengenai suatu peristiwa. Peristiwa itu teijadi karena ia menyimpang dari norma atau kaidah yang diharapkan. Ada dua situasi yang dapat diang- gap menimbulkan peristiwa itu, yaitu : a) Tak adanya beberapa unsur yang dikehendaki oleh norma- norma tertentu, yaitu adanya /-X/. b) Kehadiran unsur yang tak tergolong kepada unsur-unsur yang diharapkan oleh suatu norma, yaitu adanya /Y/. Kehadiran /-X/ dan /Y/ menyebabkan kita berfikir tentang /+• X/. Kehadiran sesuatu menyebabkan kita berfikir tentang suatu yang tak hadir, sesuai dengan yang dikatakan Todorov. Dengan begitu, kita mesti memikirkan tentang fungsi unsur sistem sosial Minangkabau yang tak ada dalam kaba karena ketak- hadirannya menyebabkan teijadinya peristiwa yang tragis. Ini

80

PNRI selanjutnya berimplikasi bahwa tak berjalannya sistem sosial Minangkabau menyebabkan orang terpaksa menjalani hidup yang tragis. Akibatnya, sukar untuk memahami kaba itu tanpa mengetahui sistem sosial Minangkabau. Kita tak mungkin merumuskan sistem sosial Minangkabau dari kaba karena ia tak melukiskan sistem sosialnya, ia melukiskan sistem /-X/ dan /Y/. Diperlukan penaf- siran untuk menghubungkannya dengan sistem sosial Minangkabau. Ini akan dibicarakan pada pembicaraan berikut ini.

-6- Sejauh ini, perhatian kita ditumpukan kepada kerangka kaba, garis besar ceritanya. Malahan dibatasi kepada kesatuan keluarga dari wira (wati) nya.

Keterbatasan kepada garis besar cerita menyebabkan kita melupakan kehadiran keluarga di luar keluarga wira(wati). Kita lupakan bahwa sebuah kaba mungkin menyebutkan dua keluarga, yang utama dan yang kedua. Keluarga utama berhubungan dengan garis besar cerita, sedangkan keluarga kedua dinyatakan secara sambil lalu sehingga mungkin tak kita perhatikan. Tapi bila kedua keluarga ini dipertentangkan sebagaimana yang dilakukan terhadap Kaba Mamak si Hetong (lihat rajah 4) mungkin dapat menerang- kan beberapa hal. Ia juga dapat dihhat dalam hubungan cerita berikut ini: 1. Banso Urai : M N /—mamak/ = Banso Urai /+ mamak/ =j . Dt. Bandaro

miskin, sengsara kaya, senang

KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKABAU 6 81

PNRI 2. Amai Cilako : M N keputusan diambii oleh keputusan diambii oleh ibu, tanpa berunding rapat keluarga besar dengan keluarga besar (St. Sati), /+ mamak/. (Rombok), /- mamak/

menyebabkan tragedi menghasilkan hidup yang bahagia Situasi ini memungkinkan kita untuk menyatakan adanya implikasi berikut : kehidupan keluarga BESAR kehidupan BAHAGIA kehidupan keluarga TAK-BESAR ------> kehidupan TRAGIS Tapi ini tak mesti berhubungan dengan sistem sosial Minang- kabau. Kita tak tahu mana yang mewakili sistem sosial Minang- kabau. Ini baru dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan sistem sosial Minangkabau sebagai yang telah diberikan ta- di — saya rasa, baik saya ulang di sini. Sistem sosial Minangkabau punya dua unsur penting, keluarga matrilineal besar dan peranan mamak dalam kehidupan sehari- hari. Tapi kehadiran kedua unsur ini lebih bersifat kemungkinan dan bukan kepastian, sehingga lebih bersifat ideal dan bukan "praktis". la jadinya selalu mengharapkan yang ideal, sebagai terlihat pada sketsa berikut ini : M' > N' (sistem yang praktis) (sistem yang ideal) Dan ini sama dengan sketsa tentang dua kaba di atas. M sama dengan M' sedangkan N sama dengan N'. Ini dapat dilanjutkan ke kaba-kaba lain dengan N tak dinyatakan secara eksplisit. Keha- diran M difahami sebagai ketakhadiran N, atau sebaliknya. Dengan begitu, ada dua kemungkinan situasi, yaitu : 1) M * *N 2) N * *M 82

PNRI Keterangan di atas hanya dapat diterima bila ia dapat me- menuhi syarat-syarat berikut : a) Pengetahuan seseorang tentang sistem sosial Minangkabau me- mungkinkannya memikirkan tentang unsur yang tak hadir (dalam kaba). b)Orang harus menggunakan pendekatan dialektik dan bukan pendekatan positivistik. Kalau syarat ini tak dipenuhi, unsur N akan dilupakan begitu saja, dan kaba tak berhubungan dengan sistem sosial Minangkabau5). Meskipun ada seurutan arti dari kata 'mamak', orang cenderung untuk menyamakannya dengan saudara lelaki ibu (= mo.br.), dan tak memperhitungkan kemungkinan tak adanya mamak. Mamak selalu diharapkan akan memainkan peranan penting dan menentukan dari awal sampai ke akhir kaba. Hai ini juga menye- babkan adanya kesalahan dalam penafsiran, sehingga perlu ditinjau kembali.

5) Pendekatan positivistik yang tak-struktural, tapi formai, melihat adanya keadaan berikut ini : a. adanya hubungan langsung antara unsur dalam karya sastra dengan unsur dalam masyarakat penghasñnya. b. suatu unsur dilihat secara statik, tanpa menghubungkannya dengan unsur lainnya. Karya sastra jadinya tak dilihat sebagai yang punya sistemnya sendiri, dan sebagai suatu sistem ia terikat kepada sistem lain yang lebih lúas (cf. Jurij M. Lotman, et al 1975:7). Pendekatan positivistik dengan cepat menghubungkan suatu unsur (da- lam kaxya sastra) dengan unsur dari sistem yang lebih besar atau "tinggi" hierarkinya, tanpa mempersoalkan adanya perbedaan hierarki. Jadi ia melihat hanya ada satu sistem, bukan lapisan berbagai sistem. la tak melihat adanya sistem sastra yang merupakan sebagian dari sistem yang lebih luas. la juga tak melihat adanya konsep perkembangan dalam sebuah cerita yang baginya hanya terdiri dari unsur-unsur yang statik, yang tak bergerak atau tak berkembang. Ini jelas berbeda dari pendekat- an yang saya gunakan di sini yang bertolak dari premis berikut : i. sebuah karya sastra mempunyai sistemnya sendiri, dan sebagai sebuah sistem barn ia berhubungan dengan sesuatu yang lain, yang juga merupakan suatu sistem. ii. suatu unsur dalam karya sastra tak dilihat sebagai unsur yang statik, tapi yang bergerak/berkembang. Konsep geraknya ialah : a. ia mungkin berkembang kepada sesuatu yang lain. b. ia selalu berada dalam perbandingan dengan unsur lainnya, hingga tak mungkin berdiri sendiri. c. ia saling berhubungan dengan unsur lainnya. Dengan begitu, karya sastra dilihat sebagai sesuatu yang dinamik, suatu teks, dan bukan suatu yang statik, suatu produk - ini dengan meminjam pengertian dari Ro- land Barthes (1981:36-37). Pendekatan ini juga yang saya laksanakan terhadap Sejarah Melayu, dan ternyata memberikan informasi yang selama ini tak pemah diperhitungkan. Penafsixannya berbeda sama sekali dari penafsiran yang pemah ada yaitu hasil penelitian yang formalistik dan positivistik.

83

PNRI Sejumlah besar kaba bermula dengan tragedi tanpa kehadiran mamak dengan keluarga yang terdiri dari (fa.), mo., so., da. Anak lelaki masih kecil, belum lagi disegani karena belum lagi memberikan sumbangan kepada kesejahteraan keluarga. Tapi kaba itu diakhiri dengan anak lelaki telah menjadi dewasa dan siap untuk menerima tanggungjawab sebagai mamak. Bahkan ia telah mengumpulkan kekayaan dan harta selama ia merantau dan meng- gunakannya bagi kepentingan keluarga sebagai bagian dari harta keluarga matrilinealnya. Ia mungkin juga dapat menyelamatkan anggota keluarga besar matrilinealnya yang hidup sengsara, suatu tragedi yang ada sejak pembukaan kaba. Ia akan jadi mamak bagi anak saudara perempuannya yang masih akan bakal lahir - sebagai lanjutan dari hubungan erat saudara lelaki dan perempuan yang merupakan embryo bagi hubungan mamak - kemenakan. Dan kaba ini berakhir dengan hidup bahagia. Dengan begitu, kaba ini memberikan suatu perkembangan yaitu : AWAL AKHIR tragedi +/—mamak/ bahagia + /+mamak/

M yang praktis N yang ideal rajah 11. Juga diperlihatkan perkembangan dari M ke N, dari tragic disunity ke harmony unity dengan meminjam istilah dari Lotman (1972:64). Dan ini mungkin juga dapat dilihat dari perkembangan wira dalam sebuah kaba, yaitu : AWAL AKHIR anak/kemenakan yang anak/kemenakan yang manja = tak berharga, , bertanggung jawab kepada parewa, pemuda tanpa keluarga = 'jadi orang': masa depan. pedagang yang berhasil dan dihormati. INITIATION RITE (= ini- siasi). rajah 12.

84

PNRI Ini dapat dibandingkan dengan perkembangan Bakhtiar dalam Rusmala Dewi (S. Hardjosumarto & Aman Dt. Madjoindo, 1932). Jika seorang wira tak dapat mengembangkan dirinya menjadi seorang yang berhasil, ia dan kaba itu akan berakhir dengan tragedi, sebagai terlihat pada Kaba si Marantang & Kaba Siti Baheram. Ada kaba yang tak berkembang dari M ke N karena lembaga mamak tak (jadi) wujud. Biasanya kaba itu mulai dengan bentuk keluarga berikut: (a) mo. + da.; (b) mo. + so. Ketakadaan anak lelaki pada (a) menyebabkan keluarga itu tak mungkin punya mamak. Dan ketakadaan anak perempuan pada (b) menyebabkan seorang anak lelaki tak mungkin menjadi mamak (nantinya). Dengan begitu, dapat difahami kenapa Kaba Talipuek Layue, Banso Urai & Malin Kundang berakhir dengan tragedi. Hal yang sama juga mungkin dikatakan terhadap Kaba Cindue Mato & Kaba Anggun nan Tungga, karena Dang Tuangku dan Nan Tungga mi'raj ke langit. Mereka akhirnya "mati". Mungkin juga kaba yang bermula dengan keluarga yang terdiri dari mo. + so. + da. berakhir dengan tragedi. Ini terjadi pada Kaba Amai Glako. Tapi jelas di sini bahwa anak lelaki, Sutan Babangso, tak mengembangkan dirinya. Setelah dewasa, ia tak menyumbangkan apa-apa terhadap keluarga matrilinealnya karena ia hanya turut berniaga dengan istrinya. Ia anak yang "bodoh" yang tak berani menentang keputusan ibunya yang salah. Ia malah membiarkan ibunya yang menentukan sesuatunya dalam kelu- arganya. Dengan begitu, ini bukan pengecualian. Ia teijadi karena anak lelaki tak berkembang dari M ke N. Sebenarnya, ada lagi kesesuaian lain antara kaba dan sistem sosial Minangkabau, sebagai terlihat pada rajah ini : A. KABA -> mencari sesuatu harta yang belum ada +I mamak B. SISTEM •> mencari sesuatu mamak SOSIAL yang ideal i harta

rajah 13.

85

PNRI Perkembangan cerita kaba sama dengan perkembangan dalam organisasi sosial yang menean lembaga mamak. Jadi kaba me- wakili sistem sosial Minangkabau.

-7- Perlu ada peninjauan kembali tentang penafsiran konsep 'karya sastra refleksi dari suatu realitas (sosial)', terutama dilihat dalam hubungan kaba. Dapat dikemukakan dua pertanyaan : a) Aspek apakah dari kaba yang mesti diperhatikan; b) Bagaimana kaba difahami oleh audiencenya. Keterangan yang diberikan dalam 'Fakta dari Kaba' hanya mengenai garis besar cerita, terbatas pula kepada keluarga wira (wati). Ini ternyata tak memuaskan sebagai telah dinyatakan tadi. Perlu pula diperhitungkan bentuk keluarga lain dalamnya. la jadinya memerlukan suatu peninjauan kembali. Ada dua cara untuk menafsirkan pem'ouka Kaba Bujang Paman. Kita boleh mulai dengan ketujuh saudara dari Puti nan Bungsu (=PNB) yang dikawinkannya dengan Rajo Aniayo (= RA). Dengan begitu, ada kerangka berikut ini : A.Wujud/hadirnya "mamak", dan keterangan bagaimana ia men- jadi tidak ada. B. Adanya bakal "mamak" dan bagaimana ia mengalami penga- laman pahit. Ini terlihat pada Bujang Paman (=BP) anak dari PNB. C. Anak yang kemudian bertindak sebagai mamak. Dan di sini juga terlihat adanya dua proses, yaitu: (I) hilangnya 'mamak' dan (II) munculnya 'mamak' yang baru. Berdasarkan Kaba Rambun Jalue, kita boleh mula dengan B, dengan Kaba Bujang Paman itu dianggap hanya punya B dan C ditambah dengan proses II. la dimulai dengan pengusiran PNB oleh RA. Informasi pertama lebih memberikan informasi penuh. Di- jelaskan bagaimana suatu keluarga kehilangan 'mamak', dibunuh orang. Dengan begitu tak ditolak adanya sistem sosial Minangka- bau (yang ideal).

86

PNRI Tapi ada keterangan yang bertentangan. Kaba si Marah Sudin dengan Siti Salamah (1955) memperlihatkan pertentangan atau oposisi antara kemenakan dan mamak. Kemenakan mengutuk mamaknya karena mamaknya menyebabkan keluarga mereka miskin — mamaknya menghabiskan harta pusaka untuk ber- senang-senang. Tapi sayang, informasi ini tak diintegrasikan kepa- da kerangka cerita. Hanya dinyatakan begitu saja. Dan ini menim- bulkan tandatanya, apakah hai tersebut mungkin digunakan untuk menerangkan adanya pertentangan antara kemenakan dan mamak. Sesuai dengan pelaksanaan konsep 'karya sastra sebagai re- fleksi realitas' yang positivistik, informasi itu dapat digunakan. Informasi itu tak perlu terbatas kepada informasi yang berhu- bungan dengan kerangka cerita. Setiap unsur dalam karya sastra, tanpa memperhitungkan peranannya, mesti diperhatikan. Namun begitu, ada hai yang mesti diperhatikan dalam menggunakan in- formasi itu. Tak setiap kaba akan memberikan informasi semacam itu. Akibatnya akan ada kaba yang dikatakan tak mewakili sistem sosial Minangkabau. Dan ini akan menghalangi kita membuat hubungan yang positive antara kaba dengan realitas sosial Mi- nangkabau. Kita juga mesti berhati-hati bahwa ada kemungkinan suatu unsur dalam kaba hanya karena gaya, bukan karena benar-benar ada. Ucapan berikut ini : 1. sarik sutan kajudunyo, antah kok bangso rajo-rajo (Nan Tungga, 143), 'sukar sutan untuk jodohnya, entah kalau ada bangsa raja-raja'. 2. sariklah sutan kajudunyo, antah kok lai pagawai kantue, angku kalerek jo karani atau sudaga toke kayo (Siti Mariamó) 'sukar sutan akan jodohnya, entah kalau ada pegawai kantor, klerek dan kerani atau saudagar toke kaya'. 3. sialah urang nan tasabuik, iolah si Upiek Talipuek Layue nan Dandan, etan di ranah Payakumbueh, anak mandeh Camin Talayang, kamanakan mamak nan batigo (Talipuek Layue, 3) 'siapa orang yang disebutkan, ialah si Upiek Talipuek Layue nan Dandan, yang di sana di ranah Payakumbuh, anak ibu Camin Talayang, kemenakan oleh mamak yang bertiga'.

87

PNRI 4. 7api samantangpun bak itu, dilawan mupakaik niniek mamak, iyo mamak nan batigo (Talipuek Layue, 22) 'Tapi meskipun demikian, dibawa berunding niniek mamak, yaitu mamak yang bertiga'. hanya mengikuti gaya (tradisional) saja, yang tak punya referent dalam pengertian semiotik yang tryadic (c.f. Umberto Eco, 1977; Milton Singer, 1980), karena orangnya ták'ada. Karenaitu, mung- kin saja menggantikan rajo-rajo (no. 1) dengan kalerek (no. 2). Mereka tak berbicara tentang raja yang fungsional. Mereka hanya berbicara tentang seseorang dengan kedudukan sosial yang tinggi. Meskipun Kaba Talipuek Layue menyebutkan tentang 'tiga mamak', namun mereka tak berperan dalam cerita. Kehadiran mereka hanya karena gaya. Atau karena anggapan pentingnya mamak dalam kehidupan Minangkabau. Pelaksanaan teori 'karya sastra sebagai cermin realitas sosial' yang positivistik kepada penafsiran kita hanya akan memberikan informasi berikut : i. daftar unsur sosial dalam kaba dengan adanya pertentangan di antaranya; ii. tanpa mungkin dinilai mana yang betul-betul merupakan sistem sosial Minangkabau. Kita lalu tak mungkin merumuskan sistem sosial Minangkabau. Kita tak dapat mengatakan apakah sebuah kaba tertentu melu- kiskan sistem sosial Minangkabau atau tidak. Barangkali keadaannya diterangkan dengan cara lain, yaitu bagaimana sebuah kaba difahami oleh audiencenya. Ini sangat penting sesuai dengan hakikatnya sebagai cerita-rakyat, dengan audience yang tertentu dan 'pasti'. Kaba juga berorientasi kepada audience sebagai diterangkan tadi. Ini diperkuat dengan pene- muan Phillips (1980: 110-111; 1981:1-17). Audience kaba orang Minangkabau. Kini ia terbatas kepada orang yang berorientasi kepada tradisi dengan keterlibatan yang kuat untuk melanjutkan sistem sosial Minangkabau yang tradi- sional. Orientasi ini menyebabkan mereka berbeda dari kelompok lain, kelompok yang berorientasi kepada agama atau yang ber- pendidikan dan berorientasi 'barat' yang menginginkan suatu perubahan.

88

PNRI Pengalaman masa kecil saya dalam kehidupan kampung menun- jukkan bahwa audience kaba terbatas kelompok parewa yang mempunyai ciri-ciri berikut : a) Mereka anak muda tanpa 'kerja'. Mereka cenderung untuk membenci 'kerja' karena mereka lebih ingin 'menikmati hidup' tanpa tanggung jawab. Mereka seakan homo ludens dalam pe- ngertian terbatas. b) Mereka tak berpartisipasi dalam kehidupan keluarga karena mereka tak menghiraukannya. Mereka belum kawin atau tak memberikan perhatian kepada kehidupan perkawinan. Mereka jadinya punya waktu untuk hidup di luar rumah, di kedai kopi, kapan saja, terutama malam - mereka mungkin tidur siang hari. Mereka adalah audience dalam lopau dalam penyelidikan Phillips. Ini makin diperkuat dengan tak populemya randai/kaba pada daerah yang penduduknya kebanyakan berniaga. Mereka meng- anggap bahwa melihat pertunjukan itu menghabiskan waktu saja, suatu perbuatan mubazir. Mereka tak punya waktu untuknya karena waktu lebih berharga bagi mengurus perniagaan mereka. Ini ditambah dengan konsep-konsep yang mereka fahami dari ajaran agama6). Penyampaian cerita kaba berhubungan dengan kehidupan luar rumah dan "kebudayaan lelaki" dengan pendengar lelaki yang lebih penting dari pada perempuan. Randai dipersembahkan oleh penari lelaki. la menceritakan kepada pendengar kaum lelaki bagaimana mendapatkan seorang isteri yang "baik", bagaimana menjadi orang dan bagaimana bertindak sebagai seorang mamak yang bertanggung jawab. Cerita kaba memang menceritakan bagaimana seorang tokoh mengembangkan kepribadiannya, men- capai kejayaan (= sukses) dan mendapatkan seorang istri yang "baik". Dan bila ia menceritakan seorang tokoh wanita, maka

6) Pengalaman saya yang dibesarkan di desa yang kehidupan utama mereka berniaga, memberikan informasi ini: (a) jumlah upacaia yang kecil, terbatas kepada yang penting saja, perkawinan misalnya; (b) upacaranya tak begitu semarak; (c) kurang perhatian kepada kesenian, malahan kesenian dihubungkan dengan permainan yang mubazir. Ini mungkin disebabkan mereka tak punya waktu kosong, setiap waktu berharga bagi perniagaan mereka.

89

PNRI ia selalu dikaitkan dengan lelaki. Bagaimana ia menjadi seorang isteri yang "baik". Atau ia seorang perempuan yang dikenal buruk hingga tak ada orang yang mau mengawininya 7). Audience mungkin memberikan informasi tentang sistem sosial Minangkabau yang tak ada dalam kaba. Atau mereka dapat mem- bandingkan situasi dalam kaba dengan kehidupan mereka sehari- hari dan implikasi yang ada pada setiap kehidupan itu yang be- rupa : KEHIDUPAN/ STRUKTUR KEHIDUP AN/STRUKTUR BUKAN MINANGKABAU MINANGKABAU (dalam kaba) (dalam kehidupan nyata)

KEHIDUPAN TRAGIS KEHIDUPAN BAHAGIA rajah 14. Kita akan kembali kepada persoalan ini nanti.

Karena kaba mungkin memperlihatkan unsur yang universal, tak khas pada orang Minangkabau saja, seorang luar, mungkin juga seorang saijana, hanya akan menganggapnya sebagai karya sastra dalam bahasa Minangkabau tapi menyatakan sesuatu yang uni- versal. Dan apakah ini juga ada pada pendengarnya? Ini yang mesti diolah. Ketakadaan keluarga matrilinea! yang besar dalam kaba dapat diterangkan dengan hakikat sistem sosial Minangkabau yang bersifat kemungkinan. Atau berhubungan dengan batasan dalam struktur penceritaannya. Keadaan yang sama juga berlaku terha- dap ketakadaan mamak. la dapat dijelaskan lagi dengan keterangan ini. Struktur penceritaan kebanyakan kaba adalah : A.I 1. Kesatuan keluarga terdiri dari pahng kurang seorang ibu

7) Karena itu, ada kaba yang menggunakan judul nama tokoh perempuan, Kaba Siti Kalasun, tapi sebenarnya bercerita tentang seorang tokoh lelaki.

90

PNRI dan seorang anak lelaki atau perempuan. Bapa mungkin ditambahkan ke dalamnya. 2. Mamak tak ada karena memang tak ada atau telah mati, atau tak berfungsi sebagai mamak. la berada jauh di ran- tau. II. Dalam kaba klasik, tragedi dibawa ke dalam keluarga oleh orang luar/asing, mungkin bapa, suami atau orang asing yang menyebarkan fítnah. Dan dalam kaba tak-klasik, tra- gedi disebabkan oleh pekerti anggota keluarga itu sendiri yang menghabiskan harta pusaka untuk kesenangan hidup mereka. Mereka biasanya lelaki yang menetap di negeri tanpa 'melakukan apa-apa'.

B. Keluarga itu tak dapat menolak tragedi itu karena posisi me- reka yang lemah. Mereka tak dapat menantang kekuatan orang luar atau kekuasaan mamak mereka yang menggunakan kekua- saannya dengan cara yang salah untuk membelanjakan harta pusaka sesuka hatinya. Mereka harus menunggu sampai ada tempat bergantung atau sampai ada mamak yang sebenamya. Dalam hubungan ini ada kemungkinan berikut : 1. Karena Mangkutak Alam dalam Kaba Sabai nan Aluih tak punya semangat untuk membalaskan kematian ayahnya di tangan Rajo nan Panjang, maka Sabai yang perempuan ber- tindak untuk menjaga kehormatan keluarga membunuh Rajo nan Panjang. 2. Mereka harus menunggu sampai anak lelaki (dari seorang ibu) atau kemenakan lelaki menjadi besar untuk bertugas sebagai mamak yang bertanggung jawab. la akhirnya akan mem- binasakan orang yang mendatangkan kesengsaraan kepada keluarga matrilinealnya sebagai dalam kaba klasik. Atau dalam kaba tak-klasik, ia akhirnya berhasil mengembalikan kekayaan keluarga melalui perniagaan. la berhasil mem- bangkitkan batang tarandam. la mungkin berlaku sebagai mamak kepada saudara perempuannya karena ia bertang- gungjawab atas kesejahteraan keluarga matrilineahiya. Iajuga mungkin menyelamatkan mamaknya dari keadaan yang menyedihkan. Pendeknya, keluarga itu akan hidup sengsara dan hina karena tak adanya mamak.

91

PNRI C. Kehidupan keluarga diutuhkan kembali dengan ada dan hadir- nya mamak yang sekaligus juga menunjukkan adanya keluarga yang besar (= extended). Jadi, kerangka cerita kaba dapat digambarkan sebagai :

AWAL AKHIR /- keluarga besar/ /+ keluarga besar/ /- mamak/ /+ mamak/ tragic disunity, harmony unity

tragedi dalam keutuhan keluarga keluarga kepada kehidupan yang paling terhormat. rajah 15. dengan melihat suatu keluarga sebagai suatu kesatuan. Keadaannya sama dengan rajah 12 bila kita ambii wira sebagai titik tolak. Ini diperkuat oleh analisa mendetail dati sebuah kaba, sebagai terlihat berikut ini : a) Ada usaha untuk mencari mamak. Cindue Mato dan Nan Tungga terpaksa melakukan pengembaraan yang panjang dan berbahaya untuk menyelamatkan mamak mereka. Sutan Nasuha dalam Hikayat Sutan Manangkerang menyelamatkan mamak dan orang tuanya dari tangan musuh. b) Seorang saudara lelaki bertindak sebagai mamak bagi saudara perempuannya. Manangkerang merasa malu karena adik pe- rempuannya belum juga kawin. la juga mengembara. untuk mencari adiknya yang hilang karena dikhianati temannya, orang luar. c) Hubungan saudara lelaki dan perempuan kelihatan sebagai unsur penting dan dihubungkan dengan akhir cerita yang bahagia bila ia dapat menunaikan kewajibannya sebagai mamak. Kaba cenderung untuk punya sepasang anak yang dinyatakan 'se- pasang sebagai anak balam'. Saudara lelaki akan bertindak sebagai pehndung saudara perempuan dan calón mamak bagi anaknya.

92

PNRI d) Ada usaha untuk 'menjadi orang'. Seorang anak yang manja berubah menjadi anak yang bertanggungjawab' bagi keluarga matrilinealnya. la menjadi kaya dan disegani. Keadaan dalam rajah 15 tak akan terwujud jika kaba berakhir dengan situasi/—keluarga besar/ + /— mamak/ yang telah dinya- takan juga dalam menerangkan rajah 11. Di sini akan diperluas dengan penjelasan lebih lanjut. I. Meskipun Malin Kundang kembali sebagai orang kaya namun ia menerima akhir hidup yang tragis. Cerita itu mungkin akan berakhir lain jika ia punya saudara perempuan yang me- mungkinkannya mengharapkan kehidupan masa depan di kampung. la juga akan jadi calon mamak bagi anak-anak sau- daranya. la akan punya rumah induek di kampung, rumah yang menunjukkan ia orang kampung itu. Tapi karena adik perempuannya tak ada, akhirnya adalah sebagaimana dalam cerita itu. Dan karena Dang Tuangku dan Nan Tungga tak punya saudara perempuan, cerita berakhir dengan keduanya mi'raj, meninggal(kan) dunia dan kampung. Hanya keadaan dalam Kaba Bujang Paman menghendaki penjelasan lain. Mes- kipun BP tak punya saudara perempuan, tapi akhir ceritanya tak tragis. Ada beberapa faktor yang membuatnya berbeda dari kaba lain yang wira berakhir tanpa punya saudara perempuan, yaitu : a. BP mempunyai masa depan dengan "istri"nya karena ia telah meniadakan sumber tragedi. Ini tak ada pada Dang Tuangku dan Nan Tungga. Perkawinan mereka malah menimbulkan persoalan (lebih lanjut). b. BPmasih mengharapkan ibunya memberinya adik perempuan karena ibunya kawin lagi. Dang Tuangku dan Nan Tungga tak punya harapan tersebut.

Di samping itu kita tak boleh melupakan adanya keadaan berikut : Hubungan saudara lelaki dan perempuan akan ménjamin akhir cerita yang bahagia, dan jaminan ini hilang bila hubung- an ini tak ada, tapi tak mesti tak bahagia. Hanya kini kaba mempunyai dua kemungkinan akhir, akhir bahagia dan tak bahagia.

93

PNRI II Banso Urai dan Talipuek Layue menemui ajal yang tragis tanpa ada saudara lelaki yang akan melindunginya. Aminah dalam Kaba Amai Cilako jadi gila karena saudara lelakinya tak bertindak sebagai mamak. la tak punya kekuasaan untuk melawan keputusan ibunya. la hanya membiarkan ibunya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan dan kepentingan Aminah. Kaba Siti Risani dapat dianggap berakhir bahagia, karena Siti Risani hidup berbahagia dengan suaminya di Medan. Tapi juga dapat dianggap berakhir dengan tragedi, perpecahan kesatuan keluarga yang tradisional, karena Siti Risani tak punya saudara lelaki 8). Peran keluarga matrilineal yang besar dan mamak akan lebih penting jika kita bandingkan kerangka cerita kaba dan kesadaran yang ada dalam fikiran audiencenya mengenai sistem sosial Mi- nangkabau. Semua kaba Minangkabau adalah tragedi, bagaimana sebuah keluarga, biasanya keluarga dasar, hidup penuh sengsara. Kemu- dian ada usaha anggotanya untuk merubahnya menjadi hidup yang bahagia, dengan anak lelaki berusaha untuk menjadi orang' (= to be somebody ). la punya kesaktian dalam kaba klasik dan kaya dalam kaba tak-klasik. Itu adalah sistem kaba yang mungkin berbeda dari sistem pengetahuan yang ada pada audiencenya. 9).

Sebenamya, kaba memang mempunyai sistem yang berbeda dari audiencenya, karena kaba punya unsur berikut : 1. Dengan prosa lirik, "bahasa"nya berbeda dari bahasa yang digunakan sehari-hari — ini dapat dibandingkan dengan pem- bicaraan Phillips (1981:102-123). 2. Judul kaba menunjukkan pentingnya tokoh perempuan mes- kipun ia sebenamya tak berkembang dalam ceritanya.

8). Adanya dua akhir yang berbeda pada Kaba Siti Risani disebabkan dilihat dari dua ideologi yang berbeda. Menuiut ideologi "modem" yang mementingkan cinta melihat ia berakhir dengan bahagia. Tapi secara tradisi, akhirnya adalah tragedi. 9) Ini dapat dibandingkan dengan sistem yang ada pada novel dan sistem yang ada pada audiencenya sebagai dirumuskan oleh Kolmogorov (cf. Lotman, 1972:52-54) dengan menggunakan rumus H = HI + H2.

94

PNRI 3. Kaba "diperdengarkan" pada waktu senggang dan berhubungan dengan dunia parewa. 4. Kaba adalah cerita tragedi karena tak adanya sistem sosial Mi- nangkabau. Ini berbeda dari sistem pada audiencenya, yaitu : 1.Mereka menggunakan "bahasa" yang biasa, yang prosaik. 2. Dunia audience lelaki bukan perempuan. 3. Mereka mungkin berhubungan dengan dunia kerja, yang di- putuskan dari dunia parewa. 4. Mereka menghidupi kehidupan sosial Minangkabau dengan adanya keluarga besar dan mamak. Malah mereka mempolakan kehidupan kepada hal-hal yang ideal dalam sistem sosial Mi- nangkabau. Dan setiap orang Minangkabau memang selalu akan berfikir bahwa : a. ia anggota dari suatu keluarga besar dan tak seorang diri di dunia; b. ia puny a mamak dan ia adalah atau akan menjadi mamak bagi orang lain. Dan dalam kehidupan sehari-harinya, ia tak bertemu dengan tragedi itu. Ia mungkin miskin tapi tak hidup dalam kehinaan. Begitulah, setelah 'mendengarkan' kaba, orang akan menyadari tentang adanya dua dunia yang berbeda, dunia kehidupannya sehari-hari dan dunia kaba. Ia mungkin menganggap dirinya ber- nasib baik karena dilindungi oleh suatu keluarga besar. Kalau tak ada keluarga besar, nasibnya akan sama dengan tokoh dalam kaba hidup dengan penuh kesengsaraan dan kehinaan.

Di samping itu, kaba membangun suatu kompleks mitos pada audiencenya, yang berupa: (a) pertentangan antara orang sendiri dan orang luar; (b) kecurigaan terhadap orang luar yang menyebabkan kesadaran ke dalam (= in-group consciousness); (c) bagaimana pentingnya menjadi orang kaya dalam kampung, dan (d) adanya asosiasi berikut: 'kehidupan kampung: miskin', 'merantau: kaya'. Dan ini kelihatannya efektif. Hal-hal tadi akan menjadi bahagian dari sistem pengetahuan dan ideologi orang Minangkabau. Perbandingan antara kondisi dalam kaba dan yang dialami dalam kehidupan nyata juga mungkin menimbulkan kesadaran

95

PNRI tertentu pada fìkiran audience kaba. Ada dua asosiasi lain, yaitu : a. Kehidupan yang bahagia ialah dalam sistem keluarga matri- lineal (yang besar) dengan adanya mamak yang memang men- jalankan kewajiban dan tanggung jawabnya. b. Kehidupan tragis dihubungkan dengan keluarga dasar tanpa mamak. Mereka mesti membangun kehidupan mereka sendiri. Mereka mungkin saja menjadi sasaran 'kejahatan' orang luar —ayah, suami atau orang asing sama sekah. Cara asosiasi ini dapat diterima karena kaba adalah cerita rakyat yang terikat kepada audience tertentu, orang Minangkabau yang hidup dalam dunia tradisi. Sama halnya dengan perkem- bangan kaba, mereka juga mencari perwujudan dan kehadiran keluarga matrilineal yang besar dan 'mamak'. Kaba memang ber- mula dengan ketakhadiran kedua unsur ini. Dalam beberapa kaba, seorang memulai pengembaraannya setelah mendengar mamaknya yang dihina musuh, dan ia harus menyelamatkannya. Dan kaba memang berakhir dengan keutuhan kembali kedua unsur tadi, keluarga matrilineal yang besar dan hadirnya mamak. Kaba juga mungkin bekerja dengan cara lain. la lebih men- dorong audiencenya dan bukan mengkonfrontasikan mereka de- ngan situasi yang berbeda. Ini dapat diterangkan dengan mengam- bil kaba sebagai perkembangan wira yang diperlihatkan pada rajah 12. Bagaimana ia mengembangkan dirinya sampai 'menjadi orang'. Ini akan mendorong audience yang punya latar belakang yang sama, belum lagi 'menjadi orang', sebagai terhhat berikut ini : KABA : /+parewa/ berkembang menjadi /—parewa/ AUDIENCE : /+parewa/ ingin menjadi orang/, /—parewa/. Kaba jadinya menginisiasikan audience yang parewa untuk merubah cara hidup mereka mengikuti perubahan yang dilakukan oleh wiranya, sebagai yang dinyatakan dengan jelas pada Rancak di Labueh & Kaba Sutan Lanjungan. Kaba juga menginisiasikan pembacanya kepada 'ideologi' Minangkabau, bagaimana menjadi seorang Minangkabau yang baik. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan hakikat kaba sebagai cerita-rakyat yang lebih berhubungan dengan ajaran moral, dengan pengertian moral yang jauh lebih luas dari dosa. Kaba juga mem- punyai sifat ini, suatu ajaran moral tentang bagaimana menjadi

96

PNRI seorang Minangkabau yang baik, sesuai dengan yang dikehendaki oleh sistem yang ada di dalamnya. Dan dengan pentingnya ajaran moral ini, maka persoalan sistem itu sendiri tak penting. Mereka tak ingin merubah sistem, malahan menyuruh orang untuk ber- tindak sesuai dengan sistem. Adanya keadaan yang bertentangan dengan sistem, sebagai yang biasanya ada pada bagian awal kaba, dinyatakan hanya mendatangkan kesengsaraan, sehingga ia mesti ditiadakan dan dirubah menjadi keadaan yang berjalan menurut sistem. Karena itu pula, bila keadaan pada penutup kaba tak se- jalan dengan sistem, maka itu berarti kemungkinan teijadinya tragedi. Sesuai dengan itu, kaba dapat juga dikatakan sebagai bero- rientasi kepada suatu moral yang disesuaikan dengan sistem yang ada di dalam masyarakat. Tapi ada pula beberapa kaba yang berakhir dengan penutup yang tragis. Misalnya Kaba Amai Cilako, Kaba Talipuek Layue, Kaba Tuanku Lareh Simawang, Kaba Anggun nan Tungga & Kaba Cindue Mato. Boleh juga dimasukkan cerita Malin Kundang yang bukan kaba. Dan akhir yang tragis ini disebabkan kegagalan mewujudkan kembali lembaga mamak sebagai telah diterangkan tadi. Ini mungkin dapat diterangkan dengan baik dengan menggu- nakan cerita Malin Kundang dengan mengabaikan 'ajaran' moral- nya yang berhubungan dengan dosa. Juga diabaikan hakikatnya yang bukan kaba. Cerita ini ternyata akan dapat memberikan pen- jelasan yang lebih lanjut tentang hakikat kaba. Lembaga mamak tak wujud dalam cerita Malin Kundang karena dua hai. Pertama, kegagalan MK mengenali ibunya menyebabkan ia gagal menjadi 'mamak' bagi ibunya. Kedua, ia juga tak mungkin menjadi mamak karena tak punya saudara perempuan, sehingga tak mungkin punya kemenakan. Sebagai pribadi tanpa pertalian keluarga (melalui garis ibu) ia tak punya tempat dalam sistem di kampungnya, Apalagi ia tak punya isteri di kampung yang menyebabkan ia tak punya rumah tempat bermalam. la mungkin masuk masyarakat surau, tapi hakikat masyarakat ini telah bertentangan- dengan hakikat diri- nya. Sebagai orang kaya ia tak mungkin masuk masyarakat ini lagi. Dan ini dapat dibandingkan dengan alasan Leman dalam Merantau ke Deli (Hamka, 1938) untuk kawin lagi di kampung.

KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKABAU 7 97

PNRI Keadaannya makin menjadi buruk seandainya ia memang memba- wa istri orang luar. Ia tak dapat membawanya ke suatu rumah ter- tentu, padahal ketika itu belum ada sistem hotel. Ia sebenarnya tak tahu ke mana mesti pergi, karena ia tak punya hubungan lagi. Keadaannya dapat diterangkan dengan hakikat hubungan dalam sistem sosial Minangkabau yang dapat disederhanakan sebagai : XI + X2 ( Xn) Kehadiran suatu unsur penghubung akan menghasilkan hubungan dengan unsur lainnya. Tak ada mamak tanpa kemenakan, atau se- baliknya. Ini dapat disketsakan sebagai berikut : MAMAK KEMENAKAN Dan tak ada saudara perempuan tanpa saudara lelaki atau sebalik- nya. Dan hubungan antara saudara lelaki dan perempuan sangat penting sebagai terlihat pada sketsa berikut ini : I. X3 X Xl 2 X5

4

II. X3 X1 x4

dunia luar, termasuk harta III. x2 X1 IV. x2 X1 X5 dengan keterangan tanda-tanda sebagai berikut : XI = br. ; X2 = si.; X3 = rao.; X4 = si.eh.; X5 = si.hu. Sebenarnya ada kecenderungan untuk 'mengikatkan' dua unsur bersama-sama, misalnya 'mamak-kemenakan', 'mande-bapak', 'ni- niek-mamak', 'laki-bini'. Atau penggunaan konsep yang lebih dari satu, misalnya badunsanak 'bersaudara', anak baduo bagai balam

98

PNRI 'anak berdua bagai balam'. Ini juga meninggalkan kesannya pada gaya dengan adanya kecenderungan yang sama : XI > X2 > {.Xn), pengulangan pola yang sama, misalnya : 1 )lah sabanta tangah rumah 'sudah sebentar tengah rumah' lah dua banta tangah rumah 'sudah dua bentar tengah rumah' (Kaba Umbuik Mudo, 16). 2) lah sarantang dua rantang, 'sudah serentang dua rentang' cukuik ka tigo rantang panjang' 'cukup ketiga rentang panjang' (Kaba Umbuik Mudo, 7) 3) lah sapakan inyo sakik 'sudah sepekan ia sakit' lah dúo pakan antaronyo 'sudah dua pekan antaranya' (Kaba Umbuik Mudo, 49) 4. nak dúo pantun sairieng 'biar dua pantun seiring' 5. lubuekaka lautan budi 'lubuk akal lautan budi' (Sabai nan Aluih, 8) Kita tinjau kembali cerita Malin Kundang tadi, yang memberi- kan keadaan sebagai berikut.: X3

XI ? X6 (= istri) Antara ketiganya tak ada unsur penghubung, sehingga tak ada yang mengikat. Masing-masingnya berdiri sendiri-sendiri. Keadaan yang lebih ruwet terlihat pada cerita si Banso Urai, dengan adanya keadaan berikut : 1. la diangkat anak oleh Dt. Bandaro tapi ia bukan anggota ke- luarga matrilineal Dt. Bandaro. Dan ia juga bukan anggota ke- luarga matrilineal istrinya. Ia keluarga lain sama sekali. 2. Penolakan Banso Urai untuk mengakui ibunya menyebabkan tak ada orang yang akan menghubungkannya dengan keluarga matrilineal - ini sama dengan yang ada pada Malin Kundang. Ia tak tergolong kepada salah satu keluarga dalam kampung itu. Dan dengan demikian dapat difahami kenapa ceritanya berakhir dengan tragedi.

99

PNRI Keluarga penting sekali bagi seorang' Minangkabau. Orang tanpa keluarga dalam kampung enggan untuk pulang kampung. Ini akan makin dipersukar bila istrinya bukan orang kampungnya. Ia tak punya rumah untuk bermalam di kampung. Tak ada siapa pun akan memasakkannya makanan. Dan ini sesuai dengan ung- kapan ini: Duduek sorang basampik-sampik, duduek basamo baiapang-lapang 'Duduk seorang diri bersempit-sempit, duduk bersama-sama berlapang-lapang'.

Unsur penting lain dalam kaba yaitu (a) kemenakan menye- lamatkan mamak, dan (b) saudara lelaki, bukan mamak, yang melindungi saudara perempuan. Adalah anggapan yang biasa bahwa mamak akan melindungi kemenakan karena ia lebih tua dan 'berhasil dalam hidup'. Ini dibuktikan dengan keadaan dalam novel-novel tentang Minang- kabau. Mamak mengongkosi sekolah kemenakannya. Tapi tak demikian halnya dengan kaba yang memberikari gambaran lain Tak ada sumbangan mamak untuk masa depan kemenakannya. Malahan mungkin 'menghancurkan' masa depan kemenakannya. Mamak menghabiskan harta pusaka sehingga keluarga jatuh mis- kin. Malah mungkin kemenakan yang akhirnya menyelamatkan mamak yang disiksa musuhnya 10). Cerita kaba dapat difahami jadinya sebagai harapan (= expecta- tion) supaya anak muda memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai (calon) mamak. Itu adalah harapan dari orang yang lebih tua kepada yang lebih muda supaya menyiapkan diri njenerima kewajiban dan tanggung jawab karena potensi mereka

10) Dari perbandingan antara novel dan kaba terlihat keadaan sebagai berikut : NOVEL : /+ sistem sosial Minangkabau/ KABA : /- sistem sosial Minangkabau/ Dan kalau diperhatikan nada keduanya terlihat bahwa : NOVEL: mitos pembebasan dari "adat Minangkabau", sehingga memberikan kritik, malahan celaan, terhadapnya. KABA: bukan mitos pembebasan, malah.mungkin mitos pengukuhan, sehingga tak memberikan kritik terhadap adat Minangkabau. Dengan begitu, terjadi keadaan yang sebenarnya bertentangan. Dan ini lebih menguatkan pentingnya konsep : PRESENCE ABSENCE

100

PNRI untuk jadi mamak. Cerita itu mendidik mereka sehingga mereka siap untuk menjadi mamak. Di samping itu, hal itu juga merupa- kan kutukan kepada mamak, yang lebih tua, yang gagal menjalan- kan kewajiban dan tanggung jawab mereka — lama di rantau, ha- nya tinggal di kampung istri, atau menghabiskan harta pusaka un- tuk kesenangannya, atau membiarkan dirinya ditangkap dan di- hina musuh. Dan ini sekaligus juga digunakan untuk mengingatkan calon mamak untuk tak mengikuti jejak mamaknya karena itu hanya akan menyebabkan kesengsaraan dan kehinaan. Ia jangan mengharapkan kemenakannya nanti akan menyelamatkannya. Dengan begitu, kaba berorientasi terhadap anak muda, yang mesti membangun masa depannya dari tak memiliki apa-apa karena kesalahan mamaknya sebelumnya, atau mamak dari ibunya. Ia harus mengembalikan Equilibrium sesudali Disequilibrium yang dilakukan mamak. Kemungkinan ketiga ialah kontras antara kondisi mamak yang dulu dan mamak kini yang muda. Mamak yang dulu, yang tua, telah kawin dan punya anak, sedangkan yang muda masih bujang. Mamak yang tua telah terperangkap antara dua dunia yang seling 'bermusuhan', dunia keluarga matrilineal dan dunia istri dan anak- anaknya. Sebagai anggota keluarga matrilinealnya ia punya kewa- jiban dan tanggung jawab terhadap mereka tapi ia tak tinggal ber- sama mereka. Ia hanya kadang-kadang saja mengunjungi mereka karena ia tinggal (pada malam hari paling kurang) di rumah istri- nya atau tinggal di rantau. Sebagai suami atau bapak ia bukan anggota keluarga istri dan anak-anaknya. Ia hanya 'tamu' dan orang luar, tanpa kewajiban dan tanggung jawab yang tertentu. Tapi ada tanggung jawab moral yang menyebabkan konflik de- ngan tanggung jawabnya terhadap keluarga matrilinealnya. Mamak yang muda, yang bujang tak menghadapi konflik itu. Ia hidup dengan aman dengan keluarga matrilinealnya. Karena itu, mamak yang tua mungkin gagal memenuhi kewa- jiban dan tanggung jawabnya terhadap keluarga matrilinealnya karena ia mungkin lebih tertumpu kepada tanggung jawabnya terhadap istri dan anak-anaknya. Ia mungkin dicela dan dikutuk. Malahan perlu "diselamatkan". Dengan begitu, ada implikasi, seorang yang telah punya anak dan istri gagal untuk melakukan fungsinya sebagai mamak. Kemu- dian diharapkan mamak yang muda untuk tak gagal. Ia melaksana-

101

PNRI kan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diharapkan. Ada dua kemungkinan lain. Cerita kaba, kemungkinan keempat, membuktikan mitos bahwa seseorang dapat mengharapkan keme- nakannya untuk menyelamatkannya dari keadaan yang menyedih- kan. Sedangkan dari anaknya tak dapat diharapkan. Ini selanjut- nya membuktikan pentingnya hubungan mamak-kemenakan. Hanya dalam Manjau Ari & Sutan Manangkerang anak menye- lamatkan bapaknya, tapi bapaknya ada bersama-sama mamaknya. Sebenarnya ia menyelamatkan seluruh keluarga. Dan dalam Kaba Sabai nan Aluih, anak lelaki 'menolak' untuk membalaskan kematian ayahnya. Dan sebagai kemungkinan kelima, kaba adalah harapan kepada anak muda (= parewa) untuk merubah kehidupan mereka agar menjadi orang yang dihormati. Ia harus membuktikannya dengan menjadi orang yang kaya, mengumpulkan harta bagi keluarganya. Kaba jadinya "mengajari" audiencenya untuk betul-betul memelihara kemenakan, meskipun ia tak dilarang untuk meme- lihara anaknya. Ia dapat mengharapkan kemenakannya akan me- nolongnya dalam keadaan yang diperlukannya. Ia tak mungkin mengharapkannya dari anaknya karena anaknya adalah orang luar. Bahkan mungkin ada "permusuhan" antara anak dan bapak, hai yang tak ada antara mamak dan kemenakan. Permusuhan dalam Kaba Mamak si Hetong hanya antara mamak dan kemenakan perempuan. Begitulah, penafsiran di atas dimungkinkan dengan menganggap kaba mendidik audiencenya. Sifat kaba yang mendidik ini juga terlihat pada pantun pembuka sebuah kaba, misalnya : Si Upiek Siti Risani duo jo Sutan Nasarudin Jaan diupek gadih kini ambiek ajaran ka nan lain (Kaba Siti Risani) Dua baris terakhir berarti 'Jangan disesalkan gadis kini, jadikan ia sebagai ajaran untuk gadis yang lain'. Keterangan tentang mengapa mesti saudara lelaki, bukan orang lain, yang menyelamatkan saudara perempuannya, juga tak banyak bedanya dengan keterangan tentang kemenakan yang menye- lamatkan mamak. Hal itu mungkin merupakan pengutukan ter-

102

PNRI hadap orang yang lebih tua yang gagal mempertahankan keluarga- nya, mungkin karena telah tua atau karena "bodoh". Atau mung- kin berhubungan dengan kondisi sosial di mana yang muda yang melakukan perjuangan. Di samping itu ia juga menunjukkan pentingnya hubungan sau- dara lelaki dan perempuan. Dalam kaba ia ditandai dengan hubungan yang mesra, masing-masing bersedia untuk menolong yang lain. Murai Randin tak ikut diusir bersama saudaranya Manjau Ari, tapi ia memilih untuk ikut saudaranya, sama-sama menderita. Ia tak mau tinggal di rumah bersama orangtua dan mamaknya. Baginya, kehilangan saudara lelaki berarti kehilangan pehndung dan mamak bagi anak-anaknya nanti. Ia hanya meng- harapkan bantuan dari saudaranya, bukan dari orang lain, tidak juga dari orang tua dan mamaknya. Keadaan yang sama juga ter- jadi pada Ah Amat dan saudaranya Puti Kasumbo. Dan ini selan- jutnya dapat ditafsirkan 'harapan kepada mamak yang muda dan penolakan terhadap yang tua'. Karena itu, Kasumbo Hampie dalam Kaba Mamak si Hetong lebih mengharapkan anaknya akan bertindak sebagai mamak, sehingga anaknya membunuh mamak ibunya dalam mengejar harapan ibunya.

Hubungan saudara lelaki dan perempuan sebagai dinyatakan dalam kaba adalah keadaan sebenarnya bagi lembaga mamak, saudara lelaki bertindak sebagai mamak sebagai saudara perempu- an. Manangkerang yang mengingatkan orang tuanya untuk men- carikan suami bagi adiknya Andam Dewi. Dan Manangkerang yang bertindak sebagai mamak dalam kedudukan sebagai pelin- dung yang mencari Andam Dewi sesudah ia mengalami kema- langan karena pengkhianatan kawannya. Dan saudara lelaki ada- lah mamak untuk anak saudara perempuannya (yang akan ada nanti). Dan hanya melalui saudara perempuan seorang akan punya kemenakan.

Garis kewajiban juga melalui prosedur yang sama. Seorang me- menuhi kewajiban dan tanggung jawabnya kepada kemenakannya melalui saudara perempuannya sebagai dinyatakan dalam Kaba Siti Mariam (1960:6) berikut ini :

103

PNRI Bukittinggi tanahnyo tinggi, sanan saudaga babalanjo, kailie jalan nan ka Med an. Sajak mandeh bapak mati, mamaklah malengah sajo, badan diarah parasaian. dengan tiga bans terakhir berarti 'sesudah kematian ibu dan bapak, mamak tak ambii perduli lagi, badan diarak perasaian'. Karena itu, kadang-kadang ada kecurigaan terhadap keputusan mamak sebagai terlihat pada kutipan berikut : Tibo pikiran mamak kandueng, pikiran elok rancak bana, tapi sungguehpun bak itu, mukasuik ado di balakang, nan baudang di baliek batu, nan banasi di baliek karak. (Kaba Siti Mariani, 8). (Tiba fikiran pada mamak kandungnya, fikiran yang elok sekali, tapi meskipun begitu, ada maksud tersembunyi, ada udang di balik batu, ada nasi di balik kerak). Hubungan saudara lelaki dan perempuan, karena mereka sebaya, juga ditandai dengan kasih sayang. Ini berbeda dari hubungan lain. Hubungan mamak dan kemenakan cukup tegang, dihubungkan dengan kekuasaan yang ada pada mamak dan kemenakan yang mesti mematuhinya. Ia juga mungkin berkembang kepada hubung- an mertua dan menantu. (cf. Junus, 1964). Hubungan antara anak lelaki dan ibu juga ditandai oleh ketegangan tertentu. Begitu juga antara anak lelaki dan bapak. Begitulah, hubungan saudara lelaki dan perempuan merupakan satu-satunya hubungan yang ditandai dengan kasih sayang (= affection). Dan ini merupakan hubungan yang paling penting da- lam kaba, dan juga dinyatakan berbeda dari hubungan-hubungan lainnya di dalamnya yang mempunyai sifat sebagai berikut : ibu - anak : persaingan, tegang, pemberontakan terhadap ibu. bapak - anak : persaingan, tegang, pemberontakan terhadap ayah, orang dalam vs orang luar. Hanya hubungan saudara lelaki dan perempuan yang tak di- tandai oleh unsur negatif. Dan pentingnya hubungan ini menye- babkan kaba berorientasi kepada generasi yang lebih muda. Ia

104

PNRI berorientasi terhadap perwujudan hubungan kekeluargaan pada masa depan dan bukan kepada yang telah ada. Di samping itu, tak adanya hubungan ini, atau penolakan ter- hadapnya untuk berfungsi memungkinkan kaba berakhir dengan tragedi. Tadi telah dikatakan cerita Malin Kundang akan berakhir lain seandainya ia punya saudara perempuan. Atau keadaannya dapat terlihat sebagai pada tabel yang diberikan pada bab 2 tadi. Ketakhadiran saudara perempuan seakan bermakna : a. Akhir sebuah mimpi atau harapan. Seseorang tak dapat meng- harapkan akan jadi mamak dan ini adalah sesuatu yang tak menguntungkan di Minangkabau. b. Akhir kehidupan lanjut di kampung. Tak ada yang akan mengi- katnya di kampung. Ia seakan orang luar, tergantung kepada "belas kasihan" isteri dan keluarga jauh. Karena itu, Dang Tuanku 'mi'raj ke langit karena istrinya orang luar. Dan Nan Tungga yang gagal mengawini Gondoriah, karena berlawanan dengan hukum Islam, juga kawin ke langit. Ini berbeda dengan Bujang Paman yang kawin dengan gadis kampungnya. Dan ia masih dapat mengharapkan seorang adik perempuan dari ibu- nya. Dengan begitu, kehadiran adik perempuan mungkin dapat meng- ingatkan Malin Kundang akan ibu dan adiknya. Dengan alasan itu dapat difahami kenapa Bujang Paman dan ibunya selalu ditimpa kesusahan setelah kematian abang-abang ibunya yang berarti hilangnya hubungan saudara lelaki dan perem- puan. Juga dapat difahami kenapa Kaba Talipuek Layue berakhir dengan tragedi karena tak ada saudara lelaki Talipuek Layue yang dapat menghalangi ibunya berbuat jahat. Dan kegagalan abang Aminah untuk melindunginya dari "perbuatan" ibu mereka me- nyebabkan hidupnya berakhir dengan tragedi. Hubungan saudara lelaki dan perempuan tak berjalan sepenuhnya. Sebagai telah dikatakan tadi, hubungan saudara lelaki dan pe- rempuan sangat penting pada sistem sosial Minangkabau, malahan dapat dianggap sebagai embryo bagi hubungan mamak-keme- nakan. Ini dapat dibuktikan lagi dengan analisa lebih lanjut ten- tang kaba. Umumnya kaba mulai dengan tragedi, tapi dapat berakhir de- ngan bahagia atau tragedi. Namun ada juga kaba yang mula dengan

105

PNRI sesuatu netral tapi berakhir dengan tragedi, misalnya saja Kaba Talipuek Layue & Kaba Amai Glako. Kaba dengan penutup yang bahagiabiasanya mempunyai unsur berikut : AWAL AKHIR 1. tak ada mamak; saudara lelaki bertindak se- bagai mamak; 2. keputusan diambil oleh keputusan diambil oleh orang orang luar, AT AU dalam, saudara lelaki DAN 3. 'mudah hancur' karena pe- tak lagi mudah dipengaruhi ngaruh orang luar; oleh unsur luar; 4. keluarga kurang terhormat keluarga terhormat karena karena miskin. kaya. Jadi ada perkembangan, bermula dari M berkembang menjadi N pada akhir cerita. Kaba dengan akhir yang tragis sebaliknya mempunyai kerangka yang berbeda. Tak ada perkembangan dalamnya. M tak berubah menjadi N. Ia hanya berubah menjadi *M sebagai terlihat pada penjelasan berikut ini :

AWAL AKHIR 1. Tak ada mamak; Tak ada mamak.Tak ada sau- dara lelaki atau kalau ada gagal berfungsi sebagai mamak. Atau tak ada saudara perem- puan sehingga seseorang tak mungkin berfungsi sebagai ma- mak. 2. Keputusan dibuat oleh ibu. Keputusan dibuat oleh ibu. 3. Mudah "dihancurkan" oleh Mudah "dihancurkan" oleh pengaruh luar. pengaruh luar. Dan tindakan yang diambil oleh ibu Malin Kundang bukan karena ia ingin menghukum anaknya. Ia hanya ingin membuktikan kepada orang lain bahwa ia juga seorang ibu yang berhasil, mem- punyai anak yang berhasil dalam merantau, hanya gagal untuk

106

PNRI mengenalnya kembali. Dan untuk itu ia mesti membuktikan 'ke- masinan mulutnya', kemanjuran ucapan seorang ibu. Begitulah, pembicaraan tadi membuktikan bagaimana pen- tingnya hubungan saudara lelaki dan perempuan dalam kaba. Kegagalan untuk mewujudkannya menyebabkan kaba berakhir dengan tragedi. Dengan begitu, yang paling penting bagi kaba yang berakhir dengan tragedi ialah bagaimana kaba itu diakhiri.

Orang menganggap mudah untuk mempelajari karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya, hanya mendaftarkan unsur sosio- budaya di dalamnya, dalam kaba atau novel. Dan ia dimulai dengan anggapan ini : a) Sebuah karya sastra adalah cermin masyarakat atau cermin reali tas; b) Sebuah karya sastra akan mengandung setiap unsur dari ma- syarakat yang dilukiskannya, atau dari realitas sosial yang di- wakilinya. Dengan begitu, setiap unsur dalam suatu karya sastra juga dianggap sebagai' unsur dari masyarakat atau realitas sosial yang dilukis- kannya. Tapi berdasarkan kenyataan dalam kaba tadi, anggapan ini salah. Ada beberapa unsur yang (dianggap) bukan unsur Minang- kabau, atau tak adanya beberapa unsur Minangkabau di dalamnya.

Sebenarnya, berdasarkan anggapan tadi, kaba akan memberikan gambaran yang berbeda sekali tentang sistem sosial Minangkabau, sehingga kita mungkin sampai kepada kesimpulan lain, kaba tak melukiskan sistem sosial Minangkabau. Tapi pendekatan atau analisa lain memberikan cerita lain lagi. Kaba memang menceri- takan cerita tentang Minangkabau berdasarkan realitas sosial Minangkabau. Pendekatan ini menggunakan dua pertimbangan, yaitu: a) Fungsi dari unsur yang tak-hadir dalam kaba, padahal ia adalah unsur penting dalam sistem-sosial Minangkabau. b)Ini dapat dibuktikan dengan juga memperhitungkan konvensi sastra. Dan konvensi sastra itu dapat diperinci sebagai berikut : 1. Kerangka pen ceritaan cerita atau genre.

107

PNRI 2. Kontras atau perbedaan an tara sistem sosial dalam kaba dengan sistem sosial sebagai realitas, dan bagaimana yang satu dapat menyarankan yang lain. Kalau dalam kaba ada /—X +Y/ maka ia menyarankan /+X — Y/ dalam realitas soial. Masing-masingnya mungkin menyarankan gambaran yang berbeda dengan makna yang berbeda pula, misalnya : /—X +Y/ > kehidupan tragis. /+X —Y/ > kehidupan bahagia. Dengan begitu, kaba membawa audiencenya ke situasi yang ber- beda dari yang dialaminya sehari-hari, sehingga dapat memban- dingkan antara keduanya. Ia mungkin akan sampai kepada ke- simpulan bahwa hidup akan sengsara bila beberapa unsur penting dalam kehidupannya telah tak ada lagi. Ia akan berupa kehidupan tragis sebagai diperlihatkan oleh kaba. Dengan begitu, mereka akan memberikan penilaian yang lebih simpatik terhadap sistem sosial. Lebih dari yang ada sebelumnya. 3.Kaba jadinya dapat dianggap sebagai usaha untuk mencari (kembali) beberapa unsur yang hilang dan bukan membuktikan berlakunya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Karena ketia- daan keluarga matrilineal yang besar dan lembaga mamak hanya menyebabkan tragedi, maka orang dapat mengharapkan kehidupan bahagia dengan adanya kedua unsur ini. Ini sesuai dengan prinsip sing ana ora ana, sing ora ana ana yang telah disebutkan tadi. 4. Memperhatikan sistem pengetahuan ;audience, dalam usaha kita menafsirkan cerita kaba karena ini mungkin menyedia- kan untuk kita, unsur yang tak kita temui dalam kaba.

-9 - Penemuan tadi membawa kita kepada implikasi lainnya, yaitu perlunya meninjau kembali konsep 'karya sastra sebagai cermin masyarakat atau realitas sosial' atau yang disamakan dengannya. Paling kurang mesti diberikan penafsiran lain. Dalam hubungan ini ada beberapa pertimbangan yang mesti diperhitungkan. Sebuah karya sastra mungkin mempunyai unsur yang berbeda dari realitas sosial. Dengan menyatakan I+YJ, karya itu mungkin

108

PNRI memaksa audience berfikir tentang /—Y/ yang tak ada. Sebuah unsur dalam karya sastra mungkin menunjuk kepada sesuatu yang berbeda dari yang dinyatakannya, mungkin yang berlawanan. Tapi penafsiran hanya mungkin dilakukan oleh penafsir yang mengetahui keadaan yang berten'tangan, situasi dalam realitas sosial. Tanpa mengetahui /—Y/ seseorang tak mungkin memahami l+Y/ dalam hubungan /—Y/. Atau dengan menggunakan kete- rangan Caute (214), tanpa mengetahui hidung yang sebenarnya, orang tak akan mungkin membayangkan hidung yang benar dari lukisan hidung bengkok Picasso. Akibatnya, orang yang tak me- ngetahui sistem dan realitas sosial Minangkabau tak akan mungkin melihat sistem sosial Minangkabau dalam kaba. Tanpa mengetahui sistem sosial Minangkabau, P.E. de Josselin de Jong (1960:73— 84) tak mungkin membuktikan pertentangan antara bukik dan baruh dalam Semasa Kecil di Kampung (M. Radjab, 1950) adalah suatu potlatch, berhubungan dengan sistem dualisma. Karya sastra mungkin melukiskan 'realitas' tapi bukan realitas sosial yang berhubungan dengan sistem sosial. Keduanya tergolong kepada dua dunia yang berbeda karena hakikatnya yang berbeda, sebagai terlihat pada perincian berikut ini : REALITAS/SISTEM SOSIAL REALITAS 1. kecenderungan untuk menolak cenderung untuk berubah ka- perubahan; rena lebih merupakan penye- lesaian yang praktis 11 ) ; 2. abadi; terjadi kadang-kadang saja; 3. ideal penyelesaian yang praktis, yang manifest. Karya sastra berhubungan dengan kejadian, peristiwa, suatu persoalan yang dihadapi suatu masyarakat pada suatu masa ter- tentu. la didasarkan kepada realitas konkrit, tak kepada sistem/ realitas sosial yang abstrak. la adalah lukisan sosial yang konkrit yang memungkinkan kita memikirkan sistem sosial yang ideal.

11) Keadaannya dapat dihubungkan dengan pengertian social structure dan social organization dalam sistematik teori dari A.R. Radoliffe-Brown,. Realitas dapat dihubungkan dengan social organization.

109

PNRI Karya sastra bergerak dengan skala yang berbeda dari sistem sosial. la berorientasi kepada persoalan yang disebabkan oleh penyimpangan dari sistem. la juga terikat kepada peristiwa yang "real", yang boleh diceritakan secara real oleh penulis tertentu sedangkan penuhs lain menceritakannya dengan lebih imajinatif, lebih kreatif dengan memberikan penafsirannya.'Dan keterikatan- nya kepada 'realitas konkrit' menyebabkan ia berhubungan dengan tragedi, yang bisa diceritakan secara komidi atau tragedi. Dan tragedi terjadi bila orang mencoba menyimpang dari sistem. Ka- rena itu, realitas dalam karya sastra lebih merupakan realitas sejarah daripada realitas sosial. Sistem sosial adalah dunia yang berorientasi kepada penyele- saian. Ada penyelesaian untuk setiap persoalan dengan mencoba mengikuti suatu sistem tanpa penyimpangan. la adalah harapan bahwa suatu sistem akan beijalan secara ideal. Dan memang, bila setiap orang mengikuti sistem secara patuh tak akan ada perso- alan yang akan timbul. Semuanya beijalan aman. Tapi ini bukan reahtas kehidupan manusia sepanjang sejarah. Sistem sosial juga terikat kepada generality, ada dan berlaku bagi setiap orang dalam keadaan apa saja. Dan ini selanjutnya ber- hubungan dengan hakikatnya sebagai suatu sistem yang abstrak, yang tak perlu terikat kepada reahtas (yang konkrit). Karena itu, ia juga "menjamin" kehidupan bahagia selagi orang mengikutinya dengan patuh. Dengan begitu, dalam menganalisa karya sastra, kita tak mesti membatasi diri kepada unsur yang hadir saja, kita juga mesti memperhitungkan unsur yang tak hadir. Unsur ini sangat penting tapi kehadirannya hanya mungkin melaiui perbandingan dengan situasi di luar karya. Unsur yang hadir dalam karya adalah harapan untuk unsur yang tak hadir. Kehadiran mamak. yang lemah dalam kaba memaksa kita untuk membandingkannya dengan mamak yang berwibawa yang ada dalam kehidupan nyata. Atau ia menyebabkan orang mengharapkan adanya mamak yang ber- wibawa yang dapat mengembalikan kehormatan keluarga. Di samping itu, dalam berhubungan dengan karya sastra sebagai cermin reahtas, perhatian kita biasanya terbatas pula kepada unsur-unsur yang kognitif, misalnya citra (tentang seorang), unsur sosio-budaya yang dapat diperinci dan sebagainya. Kita hanya mendaftarkannya dengan cara tertentu, misalnya :

110

PNRI jahat > tradisional, materialistik, hingga akhirnya dikutuk. IBU baik > modern, tak materialistik dan ideal dengan mengabaikan konvensi sastra yang mungkin memberi- kan gambaran yang berbeda sama sekali dari 'realitas' tadi. la akan memperlihatkan sistem sosial dan bukan hanya 'realitas' begitu saja. Jadi, dengan menggunakan konvensi sastra, suatu karya dapat ditafsirkan dengan lebih 'tepat'. Kita akan mene- mukan sistem sosial yang tak terlihat pada unsur kognitif yang ada pada karya sastra yang diselidiki. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa lukisan sosio-budaya ber- dasarkan SATU karya saja cenderung untuk keliru. Diperlukan be- berapa karya untuk dapat melukiskan realitas secara lebih kom- prehensif. Tapi untuk melukiskan sistem atau realitas sosial di- perlukan pendekatan lain.

- 10- Pembicaraan sebelum ini menyatakan bahwa karya sastra hanya melukiskan realitas, tapi bukan sistem sosial. Penemuan dalam karya sastra berdasarkan unsur kognitifnya hanya berhubungan dengan realitas dan bukan sistem sosial. Diperlukan penyelidikan sistematik lainnya yang menggunakan pendekatan lain untuk memungkinkan kita menemui sistem sosial karena sistem sastra berbeda dari sistem sosial. Perbedaannya adalah sebagai berikutini Sastra bergerak dengan sistem berikut : 1. Melukiskan suatu peristiwa dalam kehidupan manusia sebagai realitas (konkrit) sebagai yang diperlihatkan oleh kaba yang mengatakan menceritakan cerita yang benar-benar teijadi. 2. la mengenai orang seorang dan bukan mengenai masyarakat, atau yang utama adalah orang seorang. 3.1a berhubungan dengan persoalan yang dihadapi orang dalam masyarakat karena adanya unsur yang "baru" yang berbeda dari sistem sosial yang berlaku selama ini. 4. la menceritakan tragedi. Sistem sosial sebaliknya bergerak dengan asumsi berikut :

111

PNRI 5. la difahami sebagai sistem yang ideal, menolak perubahan dan tak mengenal variasi. 6. la merupakan sistem yang abstrak, suatu generality dan bukan realitas (konkrit). 7. la berhubungan dengan masyarakat dan bukan dengan orang seorang. 8. Cenderung untuk konservatif, memelihara sistem yang tradisi- onal dan 'abadi'. 9. Kehidupan tanpa persoalan karena selalu ada penyelesaian un- tuk setiap persoalan. la berorientasi kepada sistem karena lebih merupakan ideologi, bukan kepada persoalan sebagai pada karya sastra.

- 11 - Untuk menutup pembicaraan bab ini, ingin saya berikan kesim- pulan dati berbagai kesimpulan yang pernah saya sebutkan sebe- lumnya. Bertolak dari berbagai informasi yang boleh diberikan oleh sebuah kaba tentang sistem sosial Minangkabau dapat diberikan keterangan berikut : 1. Meskipun secara kognitif kaba melukiskan masyarakat yang berbeda dari sistem sosial Minangkabau, namun strukturnya memang sejajar dengan sistem sosial Minangkabau. 2. Kaba mungkin melukiskan realitas yang berbeda dari sistem sosial Minangkabau, tapi dengan mengintegrasikan audiencenya ke dalam pembicaraan, ia akan dapat ditafsirkan secara berbeda. Cerita itu akan memaksa audience memikirkan tentang sistem sosial Minangkabau sehingga ia sesuai dengan hakikatnya se- bagai mitos pengukuhan. Dengan begitu, dalam menafsirkan ka- ba sebagai dokumen sosiobudaya, kita tak mungkin memper- lakukannya sebagai fenomena yang berdiri sendiri, dengan me- fupakan audiencenya. 3. Perbedaan antara informasi dari kaba dan sistem sosial Minang- kabau disebabkan karena keduanya tergolong kepada dua sistem yang berbeda. Kaba sebagai karya sastra hanya melaporkan rea- litas (sejarah) yang berbeda dari sistem atau realitas sosial.

112

PNRI Akibatnya kita tak mungkin melukiskan sistem sosial dari satu kaba saja, bahkan tak mungkin juga dari sekelompok kaba kecuali dengan mengikutsertakan sistem pengetahuan dari audience.

KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKABAU 8 113

PNRI KARYA SASTRA DAN REALITAS

-1 - Sebuah karya sastra, lebih tepat sebuah kaba, sebagai telah di- bicarakan pada bab terdahulu, memang menceritakan sebuah pe- ristiwa, real atau fictional. la menyatakan fikirannya tentangnya. Tapi ia tak merefleksikan suatu realitas atau sistem sosial karena peristiwa itu teijadi disebabkan adanya penyimpangan. Untuk mengetahui sistem dan/atau realitas sosial, diperlukan penge- tahuan tentang sistem pengetahuan audience. Karya itu sendiri tak dapat "menyampaikan"nya. Kesimpulan itu menolak kemungkinan penggunaan karya sas- tra sebagai dokumen yang otentik untuk setiap aspek kehidupan sosio budaya dari masyarakat yang dilukiskannya. la jadinya me- nolak konsep yang sampai kini masih dominan dalam sosiologi sastra. Sebuah karya jadinya tak mungkin digunakan sebagai satu-satunya dokumen. la mesti dilihat dalam perspektif dengan karya lainnya. Hubungannya dengan realitas terbatas kepada kehadiran peristiwa tertentu saja. Sebenarnya, ada dua pemikiran yang berbeda. Pertama, me- nyatakan adanya kemungkinan hubungan antara karya sastra dan realitas. Tapi ini ditolak oleh pandangan kedua yang melihat dengan cara lain. Tak ada hubungan antara karya dan realitas atau sistem sosial. Konfrontasi kedua pemikiran menimbulkan beberapa problem, yaitu : 1. Mungkinkah untuk menggunakan sebuah karya sebagai doku- men yang otentik (= sahih) bagi suatu aspek sosio budaya (dari suatu masyarakat) ? 2. Jika itu mungkin, bagaimanakah hakikat hubungan itu ? Apa- kah hanya terbatas kepada peristiwa saja, peristiwa an sich, atau melangkah lebih jauh darinya ? 3. Jika ia melangkah lebih jauh dari peristiwa yang dilukiskan, bagaimana hakikat hubungan selanjutnya? Karena ini bukan

114

PNRI realitas atau sistem sosial, apakah ia hanya berhubungan dengan realitas sejarah dan sistem moral ? 4. Jika jawaban untuk semua pertanyaan di atas positif, bagaimana pula pelaksanaannya? Apakah hanya terbatas kepada cerita-rak- yat sebagai kaba, atau boleh juga dilaksanakan terhadap karya modem? Itulah beberapa pertanyaan yang ingin saya jawab dalam per- bincangan berikut ini .

-2 - Tak disangsikan lagi bahwa sebuah karya sastra adalah dokumen otentik untuk beberapa aspek sosio-budaya karena ia memang memberikan beberapa informasi. la menceritakan adanya suatu peristiwa, pesertanya, sebab dan akibatnya. la juga menceritakan fikiran 'penulis'nya mengenai peristiwa itu dan aspek-aspeknya sebagai terlihat pada usahanya untuk memberikan sorotan kepada ñkiran-fikiran tertentu. Kita ambii Kaba si Gadih Ranti dan Bujang Saman sebagai con toh di sini. Kaba ini memberikan unsur berikut : a. Adanya peristiwa perlawanan terhadap seorang tiran (= tyrant), seorang kepala negeri yang menteror anak buahnya sendiri. Ini terjadi pada bagian pertama abad 20, ketika masa penjaja- han Belanda. b. Partisipan bagi peristiwa ini ialah (i) kepala negeri dan pem- bantunya, (ii) Gadih Ranti, orangtuanya dan mamaknya, (iii) Bujang Saman, adik perempuannya dan ibunya (iv) pegawai Be- landa dan stafnya, dan (v) peserta lain dengan peranan tak pen- ting dalamnya. c. Setiap partisipan utama mempunyai sifat masing-masing. i. Dt. Mangkuto Sati, kepala negeri, adalah seorang tiran, suka beristri, dan menggunakan kekuasaannya untuk me- maksa rakyatnya memenuhi nafsunya. la memaksa mamak Gadih Ranti dengan kekerasan untuk menyerahkan Gadih Ranti sebagai istrinya. ii. Gadih Ranti seorang gadis yang cantik yang telah bertunang- an dengan Bujang Saman;

115

PNRI iii.Bujang Saman seorang saudagar yang berhasil di rantau (= Padang) yang juga seorang pendekar (). la kaya atas usaha sendiri, mulai dari tak punya apa-apa. d. Konflik bermula karena Dt. Mangkuto Sati mau mengambil Gadih Ranti sebagai istrinya. la tak ambil perduli tentang per- tunangannya dengan Bujang Saman. Mamak Gadih Rantih yang menolak lamarannya disiksanya. Bujang Saman dikirimnya kerja rodi (= paksa) ke tempat yang jauh, tapi ia berhasil membalas. Ditolongnya rakyat untuk mendapatkan bukti penggelapan uang yang dilakukan Dt. Mangkuto Sati, sehingga ia diadili dan dihukum Belanaa. e. Cerita berakhir dengan kebahagiaan. Bujang Saman mengawini Gadih Ranti dan dibawanya ke Padang. Negeri aman dari ancaman ketakutan. f. Ada usaha 'penulis'nya untuk menyoroti unsur-unsur tertentu, yaitu : i. Kutukan terhadap seorang tiran yang dilukiskan dengan segala keburukan tanpa ada kebaikannya sama sekali. ii. Ia le'oih menyukai pasangan antara dua anak muda, bujang dan gadis (dan menolak yang berbeda umur banyak sekali). iii.penolakan terhadap perkawinan antara seorang gadis dengan seorang tua yang sekaligus juga berarti penolakan untuk dimadukan atau dijadikan istri kedua dan selanjutnya. iv. Lebih menyukai untuk memilih anak muda yang sedang naik dan jujur (untuk menjadi orang semenda), yang telah mem- perlihatkan kesanggupannya untuk mencari uang, daripada memilih orang tua yang telah lama kaya. v. Seorang mamak yang tua yang gagal untuk menentang teror dari seorang tiran. vi.Anak muda yang perkasa yang berhasil menantang seorang tiran sehingga ia diberhentikan dan dihukum. vii.Persoalan moral dengan mempertentangkan antara tiran yang tua dan jahat dengan pemuda yang masih muda dan jujur, yang selanjutnya punya implikasi berikut : kekuasaan : jahat/korup perdagangan: jujur.

116

PNRI -3 - Sesuai dengan informasi itu, kaba bukan hanya berhubungan dengan peristiwa, ia melangkah ke sebaliknya, karena ia juga memberikan informasi mengenai beberapa aspek sosio-budaya. Ia jadinya adalah dokumen sosio-budaya. Ini akan dapat dilihat dengan mengklasifikasikan informasinya itu kepada klasifikasi berikut: A. Aspek masa Hal ini terjadi pada masa penjajahan Belanda, dengan begitu di sini diwakili oleh seorang konteler, yang merupakan peserta pula bagi peristiwa itu. Sebenarnya ada tiga golongan peserta peris- tiwa itu, yaitu (1) rakyat biasa, (2) pemegang kuasa yang bumi- putra, dan (3) pemegang kuasa yang Belanda. Pemegang kuasa yang bumiputra, atau yang pribumi, adalah seorang yang jahat yang menteror 'rakyat'nya sendiri. Rakyat tak berani menantangnya karena ia berkuasa dan kuat, yang mereka duga didukung oleh kekuasaan penjajah Belanda. Baru kemudian diketahui ia bukan pegawai kerajaan Belanda yang baik karena ia juga menggelapkan uang kepunyaan kerajaan Belanda, sehingga ia dipecat dan dihukum Belanda. Rakyat berterima kasih kepada ke- rajaan Belanda atas tindakan mereka menolong mereka mengha- puskannya. Mereka kini dapat hidup dengan aman.

B. Aspek sosio-budaya. Kaba itu memberikan informasi berikut : 1. Peranan saudara lelaki yang masih muda yang mengembali- kan kehormatan keluarga dengan pengumpulan harta dan kekayaan. Ia dipertentangkan dengan mamak yang tua yang tak dapat mempertahankan keluarganya dari kuasa luar. 2. Keinginan untuk beristri banyak dari seorang tua yang "kaya dan berkuasa". 3. Merantau merupakan suatu cara membentuk masa depan yang bahagia. 4. Konflik antara dua orang karena seorang gadis. 5. Lebih memilih anak muda yang memperlihatkan kemauan untuk membentuk masa depan sehingga berhasil menjadi orang yang kaya daripada memilih seorang tua meskipun ia punya kuasa dan ditakuti dalam masyarakat.

117

PNRI 6. Konflik antara orang yang memegang kuasa dan orang yang tak memegang kuasa.

-4 - Jadi kaba menyediakan informasi tentang keadaan pada satu daerah pada satu masa tertentu. Informasi itu lebih merupakan realitas sejarah dengan kehadiran beberapa pegawai kerajaan Be- landa. Karena itu hubungan antara kaba dan realitas bersifat se- jarah, punya nilai sejarah. Dengan membandingkannya dengan apa yang ditulis Multatuli dalam Max Havelar (1972), didapati persamaan berikut ini : Dt. Mangkuto Sati : bupati tuan Kumandue : Asisten Residen Lebak. dan ini dapat memberikan informasi yang lebih lanjut bagi kita. Cukup mudah untuk menentukan hakikat hubungan antara informasi yang bersifat aspek waktu dengan realitas. Tapi sukar untuk menentukan hakikat hubungan antara informasi yang me- rupakan aspek sosio-budaya dan realitas. Ada dua kemungkinan. Setiap unsurnya mungkin merupakan realitas atau sistem sosial. Atau hanya semata-mata realitas sejarah. Sukar untuk menganggapnya sebagai realitas sosial, karena ada perbedaan hakikat antara keduanya, yaitu : REALITAS/SISTEM INFORMASI DARI SOSIAL KABA suatu yang digeneralisasikan peristiwa yang konkrit unsur yang "kekal" terjadi bila ada keadaan tertentu Informasi tadi jadinya hanya realitas sejarah, meskipun ada informasi mengenai unsur sosial. Selama itu tak dapat dibuktikan sebagai sistem sosial dari masyarakat yang dilukiskan, ia tetap realitas sejarah belaka. la realitas sejarah tentang sistem kekuasaan, organisasi sosial, sistem moral, cara hidup dan sebagainya pada satu masa pada satu daerah tertentu. Dan sukar untuk merubah realitas sejarah menjadi realitas sosial atau sistem sosial. Diperlukan dua langkah. Pertama, adanya kesimpulan berdasarkan sejumlah besar kaba dan bukan hanya

118

PNRI dari satu kaba. Ini akan memberikan begitu banyak informasi, bahkan ada yang mungkin saling bertentangan. Informasi itu dapat dibagi menjadi yang umum dan yang terbatas (kepada se- jumlah kecil kaba). Dan kita dapat menduga (= to assume) bahwa unsur yang umum merupakan realitas sosial, sedangkan yang ter- batas hanya realitas sejarah. Tapi ini bukan penyelesaian karena ada situasi berikut : 1. Ada dua atau lebih pandangan yang bertentangan mengenai satu aspek sistem sosial. Ibu dalam Kaba Amai Cilako jahat sedangkan dalam Kaba Cindue Mato baik. 2. Beberapa unsur sistem sosial mungkin dilupakan atau dike- mukakan kadang-kadang saja. Mamak mungkin dilupakan dalam sebagian besar kaba. Situasi pertama mungkin dapat diselesaikan dengan mendaf- tarkan komponen dari ibu yang jahat dan yang baik, misalnya : IBU YANG JAHAT : protektif, ingin menunjukkan kuasa, materialistik, mementingkan diri sen- diri dan dominan. IBU YANG BAIK : 'liberal' dengan membiarkan anaknya menentukan masa depannya sendiri, dan membatasi perannya sebagai orang yang memberi nasihat kepada anak- anaknya atau memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih tepat dan baik. Ibu yang baik juga dapat dilihat sebagai ibu yang ideal yang mewakili citra seorang ibu berdasarkan realitas sosial Minangka- bau. Namun begitu, kesimpulan itu juga dapat dipersoalkan. Kita sampai kepada kesimpulan itu berdasarkan pertimbangan moral kita dan bukan hasil dari suatu penyelidikan. Di samping itu, perubahan sistem nilai akan menyebabkan adanya kesimpulan lain, yang dapat diperlihatkan pada keterangan berikut ini. Mamak dalam kaba dikutuk karena gagal menjalankan kewa- jibannya, melindungi kemenakannya. Tapi sebaliknya, mamak dalam Rusmala Dewi, sebuah novel, dikutuk karena berusaha untuk melakukan kewajibannya dengan baik melindungi keme- nakannya dengan mengawinkannya dengan anak lelakinya. Dan bukan tak mungkin kita mengambil kesimpulan karena se- seorang mungkin memainkan peran yang ambisius. Saya tak tahu

119

PNRI bagaimana harus mengklasifikasikan ibu dari Malin Kundang. Baik atau jahat? Itu tergantung kepada pertimbangan moral seseorang.

Sebagai telah dikatakan tadi, ia dapat diterangkan dengan cara lain, dengan beranggapan bahwa 'kehadiran suatu unsur ter- tentu dalam suatu karya akan memaksa kita membayangkan unsur lain yang bertentangan yang tak hadir'. Tapi ini mesti dilakukan dengan hati-hati. Kita tak mungkin mengatakan bahwa kita mesti membayangkan unsur yang tak hadir bagi setiap unsur yang hadir dalam sebuah karya, Kita harus memilih (= selective) atau menyaringnya. Untuk ini diperlukan pengetahuan realitas dan sistem sosial dari masyarakat yang dilukiskan karya itu. Penge- tahuan ini juga penting untuk membuat kita sadar tentang unsur apa yang tak disebutkan. Kita tak mungkin tahu bahwa unsur yang hilang adalah mamak kalau kita tak tahu sistem sosial Mi- nangkabau. Dan ini sekali lagi menekankan pentingnya menge- tahui sistem pengetahuan dari pendengar kaba. Tanpa menginte- grasikan pengetahuan kita tentang sistem sosial dari masyara- kat yang dilukiskan dalam sebuah karya dan sistem pengetahuan dari audiencenya, maka informasi dari suatu karya sastra, dalam hai ini kaba, hanya akan menceritakan realitas sejarah, bukan rea- litas sosial yang berhubungan dengan sistem sosial. Kesimpulan ini juga berlaku terhadap situasi kedua, unsur yang tak disebutkan dalam kaba. Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa kaba sebagai do- kumen, tanpa konsultasi dengan sesuatu di luarnya, hanya melu- kiskan realitas sejarah. Hanya dalam mengemukakannya, ia me- langkah lebih jauh, tak terbatas kepada peristiwa saja. la juga menceritakan tentang suasana "politik", nilai moral, cara hidup dan sebagainya. la lebih merupakan realitas sejarah tentang bebe- rapa unsur sosio-budaya pada satu masa pada suatu daerah. Tapi ada pembatasan lainnya. la adalah realitas sejarah sebagai dilihat oleh seorang 'penulis' tertentu. Berdasarkan ini, Sutan Nasarudin dalam Kaba Siti Risani dan Sutan Nasarudin menggunakan per- timbangan nilai yang berbeda. la menyetujui, dan mungkin menya- rankan, perkawinan sepasang anak muda yang tak diatur oleh keluarga — malah mungkin tak disetujui orang tua, karena masing- masingnya meninggalkan tunangan mereka. Namun begjtu, keada- an ini tak memungkinkan kita untuk mengatakan St. Nasarudin

120

PNRI tak menyetujui perkawinan yang diatur oleh keluarga. Sukar un- tuk saya menarik kesimpulan ke arah itu. Sebelum masuk ke persoalan lain, ingin saya ringkaskan lebih dulu apa yang telah kita bicarakan sejauh ini. Sebuah karya sastra, dalam hubungan ini kaba, boleh digunakan sebagai doku- men otentik bagi situasi sosio-budaya masyarakat yang dilukiskan. Tapi ia lebih merupakan realitas sejarah tentang beberapa unsur sosio-budáya pada satu masa, pada suatu daerah sebagai dilihat oleh seorang 'penulis' tertentu. Melaluinya dapat kita lihat ideologi pada satu masa, pada satu daerah sebagai diucapkan oleh seorang 'penulis' tertentu. Saya percaya bahwa kesimpulan sebelum ini bukan hanya ter- batas untuk cerita rakyat sebagai kaba. la juga berlaku untuk karya modem, misalnya novel. Novel sebagai cerita tak berbeda dari kaba. la juga berhubungan dengan suatu peristiwa, mungkin real tapi juga mungkin fictional - sesuatu yang dibayangkan oleh seorang penulis melaluiobservasinya dalam realitas sebagai dinyata- kan oleh Robert Scholes (1975:27-44). Scholesmenyatakanada- nya interdependensi antara realitas dan imajinasi dalam suatu karya sastra. Realitas yang dilukiskan dalam suatu karya adalah realitas yang dilihat dengan imajinasi penulisnya dengan mem- berikan interpretasinya terhadapnya. Dan imajinasi dalam karya sastra, dalam science fiction misalnya, didasarkan kepada realitas yang berupa suatu pemahaman tentang kehidupan manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan Karya sastra modem juga didasarkan kepada realitas. Perbeda- an antara dua karya hanyalah perbedaan dalam memperlakukan realitas itu. Ada yang memperlakukan sebagaimana adanya, de- ngan membatasi interpretasi sesedikit mungkin sehingga hubungan dengan peristiwa nyata dapat dengan mudah dikenal. Tapi ada

1) Dalam hubungan ini mesti dibedakan antara science fiction dan science fantasy. Banyak cerita yang kita tonton, misalnya Ultra Man, adalah scienfe fantasy, khaya- lan. Science fiction lebih matang dan kompleks, disediakan dengan perhitungan ilmu pengetahuan yang matang. Ia kadang-kadang mungkin tak terasa sebagai science fiction sebagaimana halnya dengan The French Lieutenant's Woman (1969) dari John Fowles, yang dikatakan Fowles sendiri (1978) sebagai science fiction. Science fiction baginya bukan hanya perjalanan ke masa depan tapi juga perjalanan ke masa lampau. Namun begitu, memang diakui adanya unsur science fiction dalam science fantasy.

KABA DAN SISTEM SOSIAL MINANGKABAU 9 121

PNRI pula penulis yang memperlakukannya dengan imajinatif sekali sehingga hubungannya dengan peristiwa nyata yang menjadi titik tolak sukar untuk ditemukan lagi, kecuali melalui interpretasi. Dalam membaca Senja di Jakarta, (Mochtar Lubis, 1964), kita dengan mudah menghubungkannya dengan situasi di Jakarta dan Indonesia pada tahun 1954 dan 1955. Tapitak demikian hal- nya dalarfi membaca Ziarah (Iwan Simatupang, 1969). la memang berhubungan dengan situasi di Indonesia, tapi sangat abstrak. Dan ini disebabkan oleh proses penciptaan novel pada Simatupang yang berbeda dari Lubis. Simatupang tak mengambil realitas se- bagaimana adanya. Realitas itu diinterpretasikannya, malah di- hayatinya (=intemalized) secara imajinatif sehingga ia dapat mem- bangun sebuah model lain yang berbeda sama sekali dari peris- tiwa yang menjadi titik tolak penciptaannya. Simatupang hanya mengambil inti atau hakikat dari peristiwa, misalnya kekacauan, tanpa mengambil peristiwa itu sendiri. Dan keadaan yang kacau, yang chaos, dalam karya sastra berhubungan dengan keadaan yang kacau dalam realitasi dan ini merupakan realitas sejarah Indo- nesia pada satu masa tertentu.

-6- Karya sastra mewakili realitas sejarah. la memberikan informasi mengenai aspek sosio-budaya pada satu masa tertentu dan pada suatu daerah tertentu sebagai diinterpretasikan oleh penuhsnya. Karena itu, bahan yang diberikannya dianggap sesuai untuk penye- hdikan yang diberi nama sosiologi sastra. Bahkan ada implikasi yang lebih lanjut. Karya sastra dianggap sebagai dokumen yang otentik, yang memberikan informasi tentang realitas atau sistem sosial. Malah ada orang yang menduga bahwa sistem dalam karya sastra tentu sama dengan sistem dalam masyarakat yang dilukis- kannya. Ini menyebabkan orang sampai kepada kesimpulan yang salah tentang kaba bila ia ternyata tak melukiskan sistem yang sama dengan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau, ma- syarakat yang dianggap diwakilinya. Karena itu, kita terpaksa meninjau kembali penamaan atau label penyelidikan tadi. la adalah sosiologi sastra dalam arti ia memberikan realitas sejarah.

122

PNRI Goldmann dalam The Hidden God (1964) memang berbicara tentang realitas sejarah Perancis pada abad 17. Dilukiskannya ke- hidupan sosio-budaya dan sosio-politik masa itu tanpa mengata- kannya sebagai sistem sosial Perancis. Dan ini memang sesuai de- ngan nama alirannya yaitu genetic-historical-structuralism, yang menghubungkartnya dengan sejarah. Ia hanya berbicara tentang ideologi suatu kelompok masyarakat di Perancis ketika itu. Kita juga dapat menggunakan asumsi yang sama terhadap kaba kalau kita mau memperlakukannya sebagai dokumen yang otentik tanpa menghubungkannya dengan informasi lainnya. Dengan begitu, kita tak mungkin melihat sistem atau realitas sosial dalam- nya. Untuk ini perlu disertakan sistem pengetahuan audiencenya sebagai telah dibicarakan tadi. Kaba jadinya juga memberikan realitas sejarah. Ia bukan hanya dapat dilihat dari informasi yang diberikan sebuah kaba, sebagai- mana diperlihatkan dengan Kaba Gadih Ranti tadi, tapi juga mung- kin dapat dilihat dengan cara yang lebih abstrak. Ini yang pernah saya kemukakan pada Symposium on Socio-Political and Econo- mic Strucutres and Processes in Minangkabau yang diadakan di Amsterdam pada bulan April 1981 dengan kertas kerja yang berjudul 'Political History and Social Change in Minangkabau: Information from Literary Works' (Junus, 1981 b). Karena itu, pada kesempatan ini saya lebih banyak mengutip dari kertas kerja itu. Tadi telah disebutkan tentang adanya dua kelompok kaba, yaitu kaba yang klasik dan tak-klasik. Keterangan yang pernah diberikan tadi (bab 1 bahagian 2) dapat dirumuskan lagi dengan tambahan keterangan yang diperlukan sebagai berikut : KABA KLASIK : 1. Berasal dari masa yang lebih awal, sebelum abad 20, sehingga ia dapat ditemui dalam bentuk manuskrip, transkripsi yang di- kerjakan sarjana-sarjana Belanda dan hidup dalam tradisi Usan — dikenal tukang cerita atau jadi cerita randai atau yang diceritakan tukang kaba 2\

2) Karena itu, penyelidikan tradisi lisan yang dilakukan di Minangkabau (Jamil Bakar, 1981) hanya menghasflkan kaba-kaba klasik. Tapi sayang bahan dari kaba ini tak saya gunakan bagi penyelidikan ini, karena ia tak memperlihatkan adanya fenomena yang memaksa saya untuk merubah kesimpulan yang saya ambii sebelumnya. Kaba4caba ini lebih saya lihat sebagai memperkaya bahan saja tanpa perlu merubah teori yang pernah saya rumuskan.

123

PNRI 2. Ada kerangka Equilibrium — Disequilibrium - Equilibrium atau E - D - E. 3. D disebabkan kehadiran seorang luar, mungkin juga seorang tiran yang mungkin merupakan 4. seorang orang asing (yang dengki), 5. atau seorang bapak. 6. Anak lelaki (dari seorang ibu) (yang tadinya di"usir") kembali ke kampung untuk "membalas" kejahatan orang luar tadi sehingga ia berhasil mengembalikan E yang juga berarti ter- bentuknya kembali lembaga mamak. 7. Jika ada keadaan seperti nomor empat (4), maka biasanya ada reuni keluarga yang terdiri dari ibu, bapak, saudara lelaki, saudara perempuan (+ mamak), sedangkan bila ada keadaan seperti nomor lima (5), maka bapak tak ada. 8. Kaba ini bercerita ten tang perebutan kekuasaan antara dua fi- hak yang bertentangan/bermusuhan.

KABA TAK—KLASIK : 1. Berasal dari masa yang lebih kemudian, awal abad 20. Ia (lebih banyak) ditemui dalam bentuk buku cetakan. Ia bercerita ten- tang masa yang lebih kemudian pula, biasanya dekat dengan masa penerbitannya. Ia diceritakan oleh seorang yang dapat dikatakan sebagai pengarangnya, bukan hanya tukang cerita lagi 2. Kerangka ceritanya ialah (E-) D - E. 3. D disebabkan oleh : a. ketiadaan mamak; b. ketiadaan mamak (mo. br; mo. mo. br.) yang bertanggung jawab karena mamak-mamak itu dengan mudah saja menjual harta pusaka untuk menyenangkan dirinya sendiri dengan melupakan kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap ke- luarga matrilinealnya; c. anak (dari seorang ibu) yang hanya ingin menikmati hidup tanpa berusaha, sehingga makin menghabiskan harta pusaka yang memang telah menyusut, dan dengan berlaku demikian ia juga melupakan kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap keluarga matrilinealnya.

124

PNRI 4. Anak lelaki (dari seorang ibu) akhirnya merubah dirinya menja- di saudagar yang kaya dengan jalan merantau. la dapat menam- bah harta dan kekayaan keluarga di samping memiliki kembali harta yang pernah tergadai sebelumnya. Ini merupakan keu- tuhan kembali lembaga mamak. 5. Persoalan yang menyebabkan D lebih merupakan persoalan penafsiran hak dan kewajiban seorang mamak. Bila ia memberi- kan tekanan kepada haknya, maka ia melupakan kewajibannya. Sebenarnya, bagi seorang mamak kewajiban lebih penting dari hak. la bara dapat melaksanakan haknya setelah lebih dulu memenuhi kewajibannya secara maksimum. Baru dengan ini akan teijadi lagi E. 6. Ceri ta ditutup dengan reuni antara ibu, saudara lelaki, saudara perempuan (+ bapak). Kehadiran saudara perempuan selalu menuju ke arah adanya reuni (of. Junus, 1980). Tapi dalam hubungan ini tak boleh dilupakan adanya kaba yang mungkin memiliki ciri kedua kelompok kaba itu. Ini misal- nya terlihat pada Kaba si Gadih Ranti & Kaba Sutan Lembak Tuah. Dengan adanya perbedaan masa penyusunan dan masa terjadi- nya peristiwa yang dilukiskan, maka ada perkembangan dari kaba klasik ke kaba tak-klasik. Ada perbedaan masyarakat Minangka- bau yang dilukiskan pada kaba klasik, masa I, dengan kaba yang dilukiskan pada kaba tak-klasik, masa II. Keadaannya dapat ter- lihat pada keterangan berikut : Unsur yang kaba klasik kaba tak-klasik (masa I) Masa II) variable : 1. orang luar jahat mamak yang tak bertang- gungjawab yang jahat. 2. perang kuasa interpretasi tentang hak dan kewajiban mamak. 3. mendapatkan mengumpulkan harta dan kesaktian kekayaan. constant : 4. usaha untuk mendapatkan mamak yang bertanggungjawab, yang berorientasi kepada kewajiban.

125

PNRI 5. reuní keluarga (hanya berbeda siapa yang ikut dalam reuni). 6. menentang penyalahgunaan kekuasaan. tabel 2. Begitulah, pada masa I, perbedaan antara keluarga dan bukan keluarga penting sekali, dengan adanya kecurigaan yang luar biasa terhadap orang luar. Segala malapetaka disebabkan oleh perbuatan orang bukan keluarga, orang luar. Ini telah berubah pada masa II. Meskipun tak dinyatakan bahv/a orang luar baik, tapi mereka tak dinyatakan mesti jahat lagi. Bahkan ada kemungkinan seseorang mengawini gadis di luar garis kawin yang "tradisional". Mala- petaka kini lebih disebabkan oleh sifat yang ada dalam diri anggota keluarga itu sendiri. Dan ini jelas suatu perubahan besar dalam sikap. Begitulah, pada masa II terlihat ada keterbukaan, pergaulan de- ngan orang luar (keluarga dan daerah). Di samping menunjukkan masyarakat yang lebih terbuka, ia juga mungkin berhubungan dengan perbedaan sifat perantauan antara kedua kelompok kaba itu. Pada masa I perantauan dilakukan karena terpaksa diusir atau terpaksa mencari orang. la telah dimulai dengan sikap per- musuhan, sehingga setiap orang dicurigai sebagai musuh. Tapi tak demikian halnya pada masa II. Perantauan adalah suatu püihan karena dengan merantau diharapkan dapat mengumpulkan keka- yaan. Dan merantau hanya akan berhasil bila hubungan dengan orang lain dapat dijaga, sehingga segala unsur permusuhan mesti ditiadakan. Dan selanjutnya dapat terlihat makin pentingnya unsur mengumpulkan harta dan kekayaan, Keadaan ini jadinya berhubungan dengan unsur ketiga, perubahan dari mendapatkan kesaktian menjadi pengumpulan harta dan kekayaan pada masa II. Pengumpulan harta dan kekayaan pada masa II mungkin di- sebabkan oleh beberapa faktor. Pertama kali, sebagai dikatakan tadi, ia berhubungan dengan perbedaan suasana. Dulu memang diperlukan kesaktian, tapi hai ini tak perlu lagi pada masa II. Tapi mungkin ia juga dihubungkan dengan perbedaan sistem nilai, karena pada masa II nilai lebih diarahkan kepada pengumpulan kekayaan. Mungkin pula ada hai lain di balik nilai ini.

126

PNRI la mungkin berhubungan dengan hasil dari harta pusaka yang tak lagi mencukupi untuk menghidupi suatu keluarga besar, sehing- ga suatu keluarga dasar mendapat pembagian yang makin kecil. Keluarga besar makin membesar sedangkan tanah pusaka tetap terbatas luasnya. Atau tanah makin menghilang karena 'dijuali' mamak yang memerlukan uang untuk keperluan dirinya, yang sekaligus juga berhubungan dengan interpretasi terhadap hak dan kewajiban mamak. Dengan begitu, di sini ada perkenalan degan aspek budaya baru, dunia uang. Uang memungkinkan kita memperoleh apa saja. Dan pertanian yang menghasilkan padi tak memungkinkan pe- ngumpulan uang yang banyak dengan cepat. Uang akan mungkin terkumpul dengan banyak dan cepat melalui perdagangan yang dilakukan dengan jalan merantau. Dan selanjutnya keperluan orang mungkin makin bertambah, ada banyak barang-barang yang kini dirasa perlu untuk dibeli, padahal sebelumnya tak ada. la mungkin dapat dianggap sebagai embryo terhadap konsumerisma yang kemudian makin menguasai kehidupan kita. Atau mungkin juga ada perubahan sikap yang menyebabkan mamak sampai menjuali atau menggadaikan tanah pusaka. Pada satu fihak ia merasa perlu untuk membelanjakan uang bagi tujuan tertentu, berfoya-foya, menunjukkan kemegahan, atau untuk memberikan kemewahan kepada istri dan anak, tapi pada fihak lain ia tak merasa perlu untuk men cari uang. Dan hai ini jelas me- nunjukkan adanya perubahan sikap disebabkan perkenalan dengan dunia yang punya nilai yang lain.Ini selanjutnya disebabkan oleh penafsiran yang salah tentang hak dan kewajiban seorang mamak, sehingga pada masa II ini persoalan ini mengambil alih persoalan perebutan kekuasaan yang pen ting pada masa I. Begitulah, adanya perbedaan antara kaba klasik dan kaba tak klasik memperhhatkan adanya perubahan sosial antara masa yang menghasilkan kaba klasik kepada masa yang menghasilkan kaba tak klasik. Dengan begitu, kita dapat meühat realitas sejarah dari- nya, yang telah saya berikan dengan cara yang sederhana di atas, la mungkin dapat diberikan penafsiran yang lebih luas, yang tak saya anggap sebagai bagian dari pembicaraan kali ini Unsur constant mungkin dapat dikatakan berhubungan dengan sistem sosial atau realitas sosial. la merupakan unsur-unsur yang menjamin kelangsungan sistem sosial itu, dalam hai ini sistem

127

PNRI sosial Minangkabau. Karena itu, bila pada novel nantinya ada se- macam keinginan untuk merubah atau mungkin lebih tepat me- ninggalkan sistem sosial Minangkabau - dengan begitu sistem itu hanya dipakai oleh mereka yang tinggal di kampung, tidak boleh orang yang berpendidikan yang tinggal di kota — maka ketiga unsur yang Constant dalam kedua kelompok kaba tadi telah tak ada lagi, atau yang mungkin tinggal hanya sesuatu yang "univer- sal", misalnya penentangan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Untuk sekedar perbandingan, saya berikan keterangan singkat tanpa perbincangan. Novel yang awal (= Na), mempunyai ciri berikut ini : (i) Ada- nya kerangka E—D (-E); (ii) D disebabkan oleh kehadiran orang luar, yang mungkin orang yang asing sama sekali, semacam tiran, atau bapak atau kekasih/suami atau isteri (yang bukan keluarga), dan (iii) Ada usaha untuk reuni dengan keluarga, biasanya kelu- arga matrilinea!. Novel yang awal ini tak banyak bedanya dati kaba yang klasik, malah mungkin berasal dari (cf. Junus, 1974: 7-14). Tapi yang lebih menarik, novel yang berkembang lebih kemudi- an, umumnya dalam tahun tigapuluhan. Novel ini mempunyai ciri sebagai berikut: (i) Kerangkanya ialah El—D(-E2) dengan E1 £ E2; (ii) D disebabkan oleh sistem tradisional sebagai yang di- fahami oleh orang-orang dari generasi yang lebih tua yang mene- kankan kewajiban seorang terhadap keluarga matrilinealnya, se- hingga seorang kelihatan tak punya hak; (iii) Renggangnya atau mungkin putusnya hubungan kekeluargaan yang asal karena se- seorang lebih mementingkan kesatuan dengan yang bukan ke- luarga dalam usahanya mewujudkan haknya, sehingga pentingnya hak mengalahkan pentingnya kewajiban. Dan ini jelas bertentang- an dengan hakikat yang ada pada kaba, terutama pada kaba tak- klasik. Keadaannya akan makin jelas dengan mempertentangkan novel sebagai dengan kaba tak-klasik, sebagai terlihat berikut ini.

Unsur yang kaba tak-klasik novel yang kemudian variable : 1. pencarian mamak pengutukan terhadap yang tradisional mamak yang tradisional yang mementing- karena seorang lebih me- kan kewajiban; mentingkan hak;

128

PNRI 2. pengumpulan ke- orang "modern" yang kayaan; lebih mementingkan prestise daripada uang; constant : 3. penentangan terhadap penyalahgunaan keku- asaan

tabel 3. Sebagai realitas sejarah, ia dapat memberikan berbagai kete- rangan yang dapat dilihat lebih lanjut pada kertas keija yang saya sebutkan tadi. Selanjutnya, perbedaan antara novel awal dan yang lebih ke- mudian 3) jUga memperlihatkan hakikat karya sastra yang punya dua ciri yang dikatakan Th. W. Adorno sebagai Doppelcharakter (cf. Zima, 1978:33), sebagai suatu yang otonom dan suatu fait social. Karya sastra sebagai otonom menyebabkan ia punya dunia- nya sendiri, tunduk kepada mekanismanya sendiri. Akibatnya, novel yang awal lebih melanjutkan beberapa unsur yang ada pada kaba yang klasik, misalnya saja kejahatan orang luar. Tapi karya sastra sebagai fait social memperlihatkan unsur lain lagi, ia telah mulai menolak unsur tradisi. Hanafi merasa diberati dengan ada- nya mamak yang bertanggungjawab dalam Salah Asuhan, yang keadaannya bertentangan dengan yang ada pada kaba. Dalam kaba orang berusaha mendapatkan mamak yang bertanggungjawab, sedangkan dalam novel orang menolak adanya mamak yang ber- tanggungjawab.

3) Novel yang awal antaia lain ialah Siti Nurbaya (M. Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdul Muis, 1928), Kalau Tak Untung (Selasih, 1933), Sengsara Membawa Nik- mat (Tulis St. Sati, 1928). Notfel yang kemudian antara lain Pertemuan (Abbas Pamuntjak n.s., 1927, Karma Anak Kandung (M. Enri, 1940), RusmalaDewi (S. Hardjosumarto & Aman Dt. Madjo indo, 1932), Di samping ini ada novel yang dapat digolongkan kepada yang baru, yang juga me- nentang apa yang dikatakan oleh novel yang lebih kemudian. Tapi ini tak akan di- bicarakan di sini.

129

PNRI DAFTAR KABA A. Kaba klasik

SiAliAmat (van Ophuijsen), Leiden, Trap, 1895. Anggun nan Tungga Magek Jabang dengan Putì Gondoriah (Am- bas Mahkota & A. Damhoeri), Bukittinggi, Pustaka Indone- sia, 1966 (edisi kedua). Bujang Paman (St. Pangaduan & Dj. M. St. Perpatih), Bukittinggi, Bejanus, 1963 (edisi ketujuh). Cindue Mato dan Bundo Kandueng (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Pustaka Indonesia 1961?, edisi ketiga. Si Gadih Ranti dengan si Bujang Saman (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Pustaka Indonesia, 1961, edisi kelima. Putì Gondoriah (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Pus- taka Indonesia, 1969, edisi kelima. Intan Pangirìeng dan Buyung Pakue (A.M.A. Mudo & Dj. M. St. Perpatih), Bukittinggi, Tsamaratulichwan, 1962, edisi kelima. Siti Jamilah dengan Tuangku Lareh Simawang (Sjamsuddin St. Radjo Endah & Dj. M. St. Perpatih), Bukittinggi, Bajanus, 1965, edisi ke 13. Kambang Luari (St. Pangaduan, St. Mantari, Ahmad Chatib & Dj. M. St. Perpatih), Bukittinggi, Tsamaratulichwan, 1961, edisi keenam. Sutan Lembak Tuah dengan Siti Rabiatun (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Pustaka Indonesia, 1961, edisi kedua. Malin Deman dengan Putì Bungsu (Dj. M. St. Perpatih), Bukitting- gi, Bajanus, 1965. Mamak si Hetong (van Ophuiisen), Leiden, Trap, 1892. Magek Manandin (St. Pangaduan & Dj. M. St. Perpatih), Bukitting- gi Tsamaratulichwan, 1961, edisi kesebelas. Sutan Manangkerang (J.L. van den Toorn),BKI 10 (nieuw deel), 1885. Manjau Ari (J.L. van den Toorn), VBG XLV, afl. 1. 1891. Murai Batu (van Hasselt) dalam De Talen en Letterkunde van Midden , Leiden, Brill, 1881.

130

PNRI Putì Nilam Cayo dengan Dang Tuangku GombangAlam (Sjamsud- din St. Radjo Endah), Bukittinggi, Pustaka Indonesia, 1961, edisi kedua. Pangulu Rapalo Sitalang (Darwis St. Sinaro, Dt. Basa Tjaniago & Dj. M. St. Perpatih), Bukittinggi, Tsamaratulichwan, 1961. Putì Talayang (Endah Sjamsuddin), Bukittinggi, Indah, 1964. Si Rambun Jalue (Hamerster), Jakarta, Baiai Pustaka, 1920. Rambun Pamenan (St. Mangkudun & Iljas St. Pangaduan), Bukit- tinggi, Tamaratulichwan, 1961. Sabai nan Aluih (M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Panghoeloe), Bukit- tinggi, Arga, 1964. Putì Sari Bunian dengan Tuangku Sutan Duano (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Tsamaratulichwan, 1961, edisi kedelapan. Mara Sudin dengan Siti Salamah (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Pustaka Panorama, 1955. Siti Syamsiah (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Indah 1961, edisi keempat. Manuskrip di Perpustakaan Univ. Leiden : BujangMuhamad Kadin (MS.OR. 5975) Gombang Patuanan :(MS.OR 6084/5972; 6077B) Liwang Duwani (MS.OR. 5973) Sutam Palembang(OR. 12.162, Mal. 6788, Oph. 40) Sarek Mulie (MS.OR. 60744A) si Tabuang (MS.OR. 6084) Talipuek Layue (MS. OR. 6078B).

B. Kaba tak-klasik Amai Cilako (= Ibu Celaka) (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukit- tinggi, Indah, 1961, edisi ketiga. Siti Baheram (Sjamsuddin St. Radjo Endah & Irsda Muljana), Bukittinggi, Arga, 1964. Bujang Parisau (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Indah, 1962. Sutan Jainun (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Indah, 1961.

131

PNRI Siti Kalasun (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Pustaka Indonesia, 1962, edisi kedua. Sutan Lanjungan (Bahar Dt. Nagari Basa), Payakumbuh, Eleonara, 1965 (2 jilid). Siti Marìam (A. St. Diandjung & A.D. Adjung), Bukitttinggi, Indah, 196? (2 jilid). Si Marantang (Sjamsuddin St. Radjo Endah, A. St. Diandjung & A. St. Batuah nan Tinggi), Bukittinggi, Indah, 1966. Siti Nuriyah dengan Sutan Amiruddin (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Pustaka Indonesia, 1961, edisi kedua (dapat dianggap juga kaba klasik). Siti Nurlela (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Indah, 1961, edisi ketiga. Rancak Di Labuh (Dt. Paduko Alam (Di Indonesiakan oleh A.R. Yogi), Bukittinggi, Fa. H.S.M. Sulaiman, 1955. Reno Gadih (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Indah, 1961. Si Sabariah (Dt. Indomo = Hamka), Bukittinggi, Tsamaratulich- wan, 1957, edisi keempat. Talipuek Layue (Sjamsuddin St. Radjo Endah, Bukittinggi, Pus- taka Indonesia, 1962, edisi kedua. Siti Teladan (Sjamsuddin St. Radjo Endah), Bukittinggi, Indah, 1962 Kaba yang tak diteliti berasal dari pengumpulan oleh Jamil Bakar dkk. (1979). BujangPajudi (dicatat di Kabupaten Solok). Gadih Basanif (dicatat di Kabupaten Pesisir Selatan). Jumbang Muhammad (dicatat di Kabupaten Tanah Datar). Lareh Situjuh (dicatat di Kabupatean Agam). Putì Jailan (dicatat di Kabupaten Pasaman). Putì Sari Banilai (dicatat di Kabupaten Limapuluh Kota). Urang Silaieng (dicatat di Kabupaten Padang Pariaman).

132

PNRI RUJUKAN Bakar, Jamil dkk. (1979) Kaba Minangkabau (2 jilid), Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Barthes, Roland (1981) 'Theory of the Text' dalam Robert Young (ed.) Untying the Text, London, RKP. Benjamin, Walter (1976) 'The Storyteller and Artisan1, Cultures' dalam Paul Connerton (ed). Critical Sociology, Harmonds- worth, Penguin. Bergonzi, Bernard (1972) The Situation of the Novel, Harmonds- worth, Penguin. Caute, David (1971) The Illusion, London, Paladin. Duvignaud, Jean (1972) The Sociology of Art, London, Paladin. Eco, Umberto (1977) Zeichen, Einfuehrung in einen Begriff und seine Geschichte, Frankfurt am Main, Suhrkamp. Fowles, John (1969), The French Lieutenant's Woman, London, Panther. (1978) 'Notes on Unfinished Novel' dalam Mal- colm Bradbury (ed.) The Novel Today, London, Fontana. Geertz, Hildred (1961) The Javanese Family, New York, The Free Press of Glencoe. Goldmann, Lucien (1964) The Hidden God, A Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine, London, RKP. (1967) 'The Sociology of Literature: Status and Problem of Method', Int. Soc. Science Journal, 19, 493—516. (1975) Towards a Sociology of the Novel, London, Tavistock Halliday, M.A.K. (1978) Language as Social Semiotics, London, Arnold. Hamka (1938), Merantau keDeli, Medan, ?• Hardjosumarto, S &Madjo Indo, Aman Dt. (1932)Rusmala Dewi, Jakarta^Balai Pustaka. Hill. AH. (1960) 'Hikayat Raja-Raja Pasai', JMBRAS, 33, part 2, 44-107.

133

PNRI Johns, Anthony (1958) The Kaba Rantjak Dilabuah, a specimen of traditional literature of Central Sumatra, Ithaca, Cornell Univ. Press. Josselin de Jong, P.E. de (1960) Minangkabau and Negeri Sembi- lan, Socio-Political Structure in Indonesia, Jakarta, Bhratara. 1975) Minangkabau Social Organization, Leiden, Institute for Cultural Studies, Univ. of Leiden. Junus, Umar (1964) 'Some remarks on Minangkabau social struc- ture', BKI, 120, 293-326. (1974a) 'Review on "Culture and Politics in Indonesia", BKI, 130, 362-372. (1974b) Perkembangan Novel-Novel Indonesia, Kuala Lum- pur, Penerbit Univ. Malaya. (1980) 'Kaba dan Sistem Sosial iMinangkabau;,suatu proble- ma', kertas keija untuk Seminar Internasional mengenai kesusastraan, masyarakat dan kebudayaan Minangkabau, Sept. 1980 (lihat juga Nagari, th. 1 no. 2 (Mei, 1980) (1981a) Perkembangan Puisi Melayu Modern dan Indonesia, Jakarta, Bhratara. (1981b) 'Political History and Social Change in Minangka- bau: Information from literary works', kertas kerja untuk Simposium on Socio-Political and Economic Structures in Minangkabau, Amsterdam, April, 1981. (1982a) 'Anakronisma dan karya sastra', Dewan Bahasa, Feb. (1982b) 'Indak tau jo ampek: analisa formal dan struktural', Dewan Bahasa, Jun. Kahn, Joel S.(1976) "Tradition", matriliny and change among the Minangkabau of Indonesia', BKI, 132, 64-95. Kristeva, Julia (1970) Le Texte du Roman, Approche Sémiolo- gique d'une Structure Discursive Transformationnelle, The Hague, Mouton. Levin, Harry L (1973) 'Literature as an Institution' dalam Eliza- beth & Tom Burns (eds). Sociology of Literature & Drama, Harmondsworth, Penguin. Levin, Samuel R. (1962) Linguistic Structures in Poetry, The Hague, Mouton. Lotman, Jurij M. (1972) Die Struktur literarisher Texte, Muen- chen Fink.

134

PNRI Lotman, Jury M. et al. (1975) Theses on the Semiotic Studies of Culture, Lisse, Peter de Ridder. Lubis, Mochtar (1964) Senja di Jakarta, Kuala Lumpur, Pustaka Antara. Luckmann, Thomas & Berger, Peter (1971) The Social Construc- tion of Reality, Harmondsworth, Penguin. Madjoindo, Aman Dt. (1931) Syair si Banso Urai, Jakarta, Balai Pustaka. (1935) Cerita si Bujang Bingung, Jakarta, Balai Pustaka. Multatuli (1972) Max Havelaar (terj. H.B. Jassin), Jakarta, Djam- batan. Nagari Basa, Bahar Dt. (1965) Kaba Sutan Lanjungan, Payakum- buh, Eleonara (2 jilid). Nairn, Mochtar (1979) Merantau; Minangkabau voluntary migra- tion, Yogyakarta, Univ. Gadjah Mada Press. OToole, L.M. (1975) 'Analytic and Synthetic Approach to Narrative Structure: Sherlock Holmes and "The Sussex Vampire", dalam Roger Fowler (ed.) Style and Structure in Literature, Oxford, Basil Blackwell. Phillips, Nigel (1980) 'The performance of sijobang', Archipel, 20. (1981) Sijobang, sung narrative poetry of , Cambridge, Cambridge Univ.Press. Radjab, M. (1950) Semasa kecil di kampung, Jakarta, Balai Pus- taka. Riffaterre, Michel (1978) Semiotics of Poetry, Bloomington, Indiana Univ. Press. Samah, A (1950) Malin Kundang, Bandung, G.Kolff. Scholes, Robert (1975) Structural Fabulation, an essay on fiction of the future, Notre Dame, Univ. of Notre Dame Press. Siegel, James (1979) Shadow and Sound: The Historical Thought of a Sumatra People, Chicago, Univ. of Chicago Press. Simatupang, Iwan (1968) Merahnya Merah, Jakarta, Gunung Agung. (1969) Ziarah, Jakarta, Djambatan. (1972) Kering, Jakarta, Gunung Agung. Singer, Milton (1980) 'Sign of the Self; an Exploration in Semio- tics Anthropology', American Anthropologist, 82, 485— 507.

135

PNRI Spencer, Sharon (1971) Space, Time and Structure in the Modern Novel, Chicago, Swallow Press. Sweeney, Amin (1980) Authors and Audiences in Traditional Malay Literature, Berkeley, Center for South and Studies. Swingewood, Alan (1972) 'Theory' dalam Diana Laurenson & Swingewood, The Sociology of Literature, London, Paladin. Todorov, Tzvetan (1975) The Fantastic, Ithaca, Cornell Univ. Press. (1977) The Poetic of Prose, Ithaca, Cornell Univ. Press. Zima, Peter V. (1978) Kritik der Literatursoziologie, Frankfurt am Main, Suhrkamp. (1981) Literatuur en Maatschappij, Inleiding in de Litera- tuur- en Tekstsociologie, Assen, Gorcum.

—ooOoo—

136

PNRI PNRI PNRI