PERANAN HAMKA DALAM ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI INDONESIA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh Anas Yusman NIM: 102022024352
PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./2008 M. PERANAN HAMKA DALAM ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI INDONESIA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh Anas Yusman NIM: 102022024352
PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./2008 M.
PERANAN HAMKA DALAM ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI INDONESIA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh Anas Yusman NIM: 102022024352
Pembimbing,
Drs. Tarmizy Idris.
PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERANAN HAMKA DALAM ORGANISASI MUHAMMADIYAH DI INDONESIA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 Nopember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.) pada Program Studi Sejarah Peradaban Islam. Jakarta, 13 Nopember 2008 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. H.M. Ma'ruf Misbah, MA. Usep Abdul Matin, S.Ag., MA., MA. NIP: 150247010 NIP: 150288391
Penguji, Pembimbing,
Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. Drs. Tarmizy Idris. NIP: 150268588 NIP: 150244516
ABSTRAK
Anas Yusman Peranan Hamka dalam Organisasi Muhammadiyah di Indonesia Keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid sampai saat ini mengindikasikan bahwa para pemimpinnya memiliki kemampuan membaca dan memahami situasi dan kondisi dari waktu ke waktu, serta mampu mengelola jalannya roda organisasi tersebut. Keanggotan Hamka dalam Muhammadiyah menjadikannya sebagai inspirasi, guru dan pencetak kader-kader Muhammadiyah. Taufik Abdullah mengatakan bahwa Hamka dan para tokoh segenerasinya bukanlah termasuk "sang pemula" dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan Hamka dilahirkan ketika masyarakat Minangkabau meniti periode baru dalam sejarah sosialnya. Hamka adalah anak zamannya yang dilahirkan dan dibesarkan tokoh-tokoh yang mengukir sejarah Indonesia ketika gerakan reformasi Islam lahir dan menyebar di Indonesia. Hamka sebagai seorang ulama pemikir, muballigh, dan sastrawan bukan saja aktor di atas pentas sejarah tanah air, ia adalah hasil yang otentik dari lingkungan kesejarahan yang mengitari dirinya. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana peranan Hamka bagi perkembangan Muhammadiyah di Indonesia. Melalui studi kepustakaan dan wawancara di ketahui bahwa sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru terjadi perubahan dan perkembangan politik, agama, dan sosial budaya dalam masyarakat. Hamka dan Muhammadiyah tampil sebagai agen perubahan dan pembaharuan Islam di Indonesia dalam tatanan masyarakat maupun konstitisonal. Terdapat tiga hal yang diteliti mengenai peranan Hamka dalam Muhammadiyah. Pertama yaitu sikap intern anggota Muhammadiyah, yang dilakukan sesama anggota persyarikatan Muhammadiyah untuk mengembangkan organisasinya, anggota dan amal usaha yang dimilikinya. Kedua, sikap antar organisasi, yang dilakukan dengan organisasi sosial maupun keagamaan lain yang berlainan mazhab dan juga pemikiran-pemikiran. Ketiga, sikap dengan pemerintah, yang dilakukan dengan konsistensi dan etika dalam aktivitas politik sangat mempengaruhi pemerintahan karena harus ada ketegasan dalam membela kebenaran.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, rasa syukur yang teramat dalam, kehadirat Robbul Izzati,
Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya serta shalawat dan salam tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikut risalah-nya. Maka selesailah penyusunan skripsi dengan judul Peranan Hamka dalam Organisasi Muhammadiyah di
Indonesia, yang sangat dibutuhkan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Meskipun terdapat halangan dan cobaan yang selalu menghampiri di setiap gerak langkah penyusunan skripsi ini, namun berkat pertolongan Allah yang maha pengasih dan penyayang, serta bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dan ini penulis jadikan suatu pelajaran yang sangat berarti, yang tak akan terlupakan dalam sejarah kehidupan pribadi penulis. Dengan segala hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapakan :
ﺟَ ﺰَ ا آُُُُ ﻢُ ا ﷲُ ﺧَ ﻴْ ﺮَ ا تِ وَ ﺳَ ﻌَ ﺎ دَ ا تِ اﻟﺪﱡﻧْﻴَﺎ وَاْﻵﺧِﺮَة . ﺁ ِﻣْﻴﻦ
Khusunya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, para Pembantu Dekan, Ketua dan
Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam beserta seluruh Staf
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan Ikhlas dan ridha membimbing dan mendidik penulis agar berusaha
meningkatkan intelektual Islam pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam.
2. Bpk. Drs. Tarmidzy Idris, beliau Dosen Pembimbing Skripsi saya yang
selalu bersedia memberikan bimbingan, pengarahan, dan kontribusi ide
maupun gagasannya selama proses penulisan skripsi berlangsung hingga
selesai karya tulis terbaik saya.
3. Bpk. Drs. H.M. Ma’ruf Misbah, MA, beliau sebagai Kajur SPI dan Dosen
Pembimbing Akademik saya, beliau terus memotivasi agar segera
menyelesaikan skripsi ini.
4. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Iman Jama’,
Perpustakaan DPRD DKI Jakarta, dan Perpustakaan Umum Daerah DKI
Jakarta, yang telah memberikan pelayanan dan segala fasilitas selama
penulisan skripsi ini.
5. Bpk. H. Rusydi Hamka yang dengan rela memberikan keluangan
waktunya untuk memberikan informasi yang berharga dan bermanfaat
bagi penulisan skripsi ini.
6. Pusat Kajian Hamka Universitas UHAMKA Jakarta dan Pusat Dakwah
Muhammadiyah Jakarta yang telah banyak memberikan penulis data-data
yang sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Ayahanda H. Selamet Kana dan Ibunda Hj. Muhiyah yang tercinta, dengan
penuh kesabarannya senantiasa memotivasi penulis agar tetap bersemangat tanpa kenal lelah selama menuntut ilmu pengetahuan di UIN
Syarif Hidayatullah dan proses penulisan skripsi.
8. Kakanda Zayadi Mufty, Ubay Bahrum, Dian Farsiah, Umar Riza dan
adinda Parid Andy, cinta untuk kalian yang telah memberikan bantuan dan
motivasi yang besar untuk menyelesaikan kuliah.
9. Semua teman-teman penulis khususnya temanku: Ghazali, Sidik,
Fakhrizal, Iqbal, Zulmi, Kholis, Testriono, Bahruddin, Baiquni, Aden,
Diana, Santi, Ifah, Yuni, Ria, Olman, dan teman-temanku yang lainnya,
yang penulis tidak sebutkan namanya satu persatu. Namun memberikan
kenangan indah, mesra nan damai menyejukkan hati, ketika bersama-sama
dengan kalian.
10. Yuta, PTM Six, PTM Perwira, PTM Wiraguna, PTM Sahabat, PTM Pos
Fatmawati, PTM Goro, dan PTM IPDN yang telah memberikan semangat
dan motivasi penulis.
Demikianlah kiranya, segala kritik dan masukan demi perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi diri pribadi penulis dan bagi para pembaca umumnya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Jakarta, 28 Oktober 2008
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK......
.....i
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………….ii
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………...iv
BAB I.
PENDAHULUAN……………………………………………………....1
A. Latar Belakang
Masalah…………………………………………...... 1
B. Pembatasan dan Perumusan
Masalah………………………………..11
C. Tujuan
Penelitian…………………………………………………….12
D. Metode
Penulisan………………………………………………….…12
E. Tinjauan
Pustaka……………………………………………………..13 F. Sistematika
Penulisan………………………………………………..16
BAB II. BIOGRAFI
HAMKA…………………………………………………17
A. Sejarah dan Kepribadian
Hamka…………………………………….17
B. Karya-Karya
Hamka…………………………………………………23
C. Kondisi Sosial
Masyarakat…………………………………………..25
BAB III. KETERLIBATAN HAMKA DALAM ORGANISASI
MUHAMMADIYAH DI
INDONESIA……………………………….32
A. Latar Belakang Berdirinya
Muhammadiyah………………………...32
B. Tujuan dan Perkembangan Muhammadiyah di
Indonesia…………...40
C. Jabatan Politik Hamka
……………………….……………………...43
1. Hamka dalam
Muhammadiyah………………………………….43
2. Hamka dalam Partai
Masyumi…………………………………..46 3. Hamka dalam
MUI………………………………………………49
BAB IV. HAMKA DAN GERAKAN MUHAMMADIYAH
DI
INDONESIA………………………………………………………..56
A. Peranan Hamka dalam Bidang
Politik……………………………….56
B. Peranan Hamka dalam Bidang Agama
……………………………...67
C. Peranan Hamka dalam Bidang Sosial Budaya
………………………74
BAB V.
KESIMPULAN……………………………………………...... 87
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………….....93
LAMPIRAN…………………………………………………………………….….
.98
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah telah mencatat bahwa Islam merupakan suatu kerangka bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban di dunia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban yang telah dibentuk oleh dunia Islam pada abad pertengahan banyak melahirkan tokoh-tokoh ilmuan dari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi setelah abad ke-13 ketika Bagdad dihancurkan oleh Hulagu
Khan pada 1258 M, membawa dampak yang negatif bagi dunia Islam. Peradaban dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan mengalami kemunduran termasuk di bidang keagamaan.1
Di kalangan umat Islam pada saat itu mereka yang menyadari tentang keadaan kaum muslimin dan menilai kenyataan pemahaman dari praktek keagamaan kini yang dianggap telah menyimpang dari ajaran agama Islam yang benar. Mereka berpendapat jika kaum muslimin kembali kepada prinsip-prinsip ajaran Islam dan menggerakkan semangat ijtihad2 dalam setiap proses pemikiran
1 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 21 2 Ijtihad adalah salah satu kelebihan yang dimiliki Islam untuk menyesuaikan masalah dengan kebutuhan-kebutuhan zaman. Islam telah mengaitkan berbagai kebutuhan yang selalu berubah dengan berbagai kebutuhan yang bersifat tetap. Seorang mujtahid yang mendalami agama bertugas menemukan benang merah yang menghubungkan kedua jenis kebutuhan tersebut. Mereka memiliki kewajiban menjelaskan hukum Islam. Makna Ijtihad bukan berarti bahwa seorang duduk dan kemudian berbicara apa saja semaunya. Islam memilki serangkaian undang-undang yang bisa berubah dan tidak tetap. Akan tetapi, karena undang-undang yang bisa berubah-ubah itu dikaitkan dengan undang-undang yang bersifat tetap dan tidak berubah, maka kebebasan sama sekali tidak terlepas dari tangannya. Ijtihad dalam bidang agama menyebabkan manusia bisa melihat masalah dan berpegang teguh pada warisan abad pertengahan yang telah dicapai oleh para ulama Islam terdahulu di bidang pemikiran keagamaan, maka kaum muslimin akan memperoleh kembali kejayaan sebagaimana yang pernah dicapainya pada waktu lampau. Mereka inilah yang dengan gigih memperjuangkan ide-ide Islam ke dalam usaha pembaharuan bagi umat Islam.3
Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya.
Kemunduran Kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga Arab di penggiran imperium itu. Jamaluddin al-Afghani mengajarkan solidaritas Pan
Islam dan pertahanan terhadap Imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah di modernisasi.
Pada saat kedatangan bangsa Eropa khususnya Belanda ke Indonesia banyak orang-orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda dan penetrasi Kristen. Tidak mungkin perjuangan Islam akan maju di Indonesia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara- cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadarai perlunya perubahan-perubahan dengan menggali ajaran-ajaran Islam untuk mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas daerah pengaruh, atau
dengan jelas. Lihat Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), h. 169-171 3 M. Natsir, Disekitar Reformasi dan Modernisasi Mayarakat Islam, (Bandung: Al- Ma’arif, 1972), h. 198 menggunakan metode-metode yang telah di bawa ke Indonesia oleh kekuasaan kolonial seperti pihak missi Kristen.4
Di Pulau Jawa terdapat pertentangan internal masyarakat Jawa, masyarakat di Indonesia terutama yang hidup di pulau Jawa, sejak dahulu telah memiliki keyakinan yang bersifat animistik. Kemudian ditambah dengan keyakinan baru yang datang dari Hindhu-Budha, terbentuk falsafah baru berupa kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang animistik. Islam yang di bawa oleh para pedagang dari Gujarat, masuk ke Nusantara dengan corak tasawwuf yang telah dipengaruhi oleh mistik India dari sistem kepercayaan Hindhu-Budha. Kepercayaan- kepercayaan tradisional tersebut masih melekat pada masyarakat Jawa yang menyebabkan terjadinya sinkretisme.
Agama-agama di Jawa yang menyimpulkan bahwa adanya konsep pemikiran keagamaan orang Jawa yaitu “santri, abangan, dan priyayi”5 hubungan kelompok muslim tersebut memiliki konfrontasi yang keras. Dengan demikian pola hubungan yang dominan adalah kesalahpahaman dan rasa saling tidak percaya antara masing-masing pihak, kerjasama dan persahabatan adalah kasus yang sangat jarang.6
4 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 38 5 Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk; santri yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dan sinkretisme tersebut; pada umumnya berhubungan dengan unsue pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para petani); dan priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindhu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi. Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 6 6 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 135 Belanda juga membawa misi kristenisasi bagi Indonesia. Penetrasi Kristen ini adalah strategi Belanda yang sangat khawatir dengan akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam, sementara dipihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan bangsa yang dijajahnya.7 Penetrasi Kristen ini berasal dari penguasa keraton
Yogyakarta yang atas desakan dari pemerintah Belanda untuk mencabut larangan penginjilan bagi masyarakat Jawa, sejak saat itulah missionaris Kristen mulai melaksanakan penetrasinya di pulau Jawa. Penetrasi yang mulai berjalan sejak
1850-an ke wilayah Jawa tengah itu membangkitkan kesadaran kaum Muslim untuk melawan kegiatan –kegiatan misi ini.8
Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk oraganisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti
Sarekat dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Persayarikatan
Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912),
Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdlatul Ulama (NU) di
Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung,
Bukittinggi (1930), dan partai-partai politik, seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang
7 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 4th ed. (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 9 8 Ibid., h. 141 Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisaasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada Tahun 1938.
Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalakan politik etis atau politik balas budi. Gagasan politik etis Belanda di bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tujuan mengembangkan agama
Kristen dan melemahkan Islam. Hal ini dibuktikan pada usaha kaum zending dan misi mendirikan sekolah-sekolah Kristen disamping memaksakan sistem pendidikan kolonial yang netral agama. 9 Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi kaum bumiputera, terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Jong Java, Taman siswa, Jong
Sumatran Bond, Jong Ambon, Jong Selebes dan lain-lainnya.10
Bangsa Belanda di Indonesia telah membawa pengaruh buruk bagi perkembagan Islam di Indonesia. Ia mendirikan sekolah model barat yang sekuler atau tidak memperhatikan dasar-dasar moral keagamaan. Belanda mengetahui bahwa di Indonesia terdapat pertentangan antara kelompok adat dan Islam, oleh karena itu Belanda ikut campur dalam masalah ini untuk memperkeruh hubungan antar kelompok ini. Belanda mendukung kelompok adat karena Belanda menginginkan untuk menghilangkan atau membatasi pengaruh Islam dan juga
9 Rusydi Hamka, Etos Iman, Ilmu dan Amal dalam Gerakan Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 111-112 10 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 157-158 Belanda ingin mendominasi bagi perkembangan hukum adat agar dapat di gantikkan dengan hukum Belanda.11
Pembaharuan Islam di Indonesia untuk melawan laju penjajahan, sinkretisme dan juga penetrasi agama Kristen. Terdapat perbedaan pergerakan pembaharuan antara di Jawa dengan di Minangkabau Sumatera Barat. Kedua daerah ini memiliki corak yang sangat berlainan, gerakan-gerakan regional di daerah-daerah masing-masing yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang berbeda yang akhirnya membentuk suatu bentuk pembaharuan Islam di Indonesia.
Gerakan pembaharuan Islam di Jawa yang muncul dengan lahirnya
Muhammadiyah di bawah pimpinan KH. Ahmad Dahlan dengan cara-cara organisasi yang kita kenal sekarang, sedangkan di Minangkabau gerakan pembaharuan itu terbentuk dengan adanya percobaan dan usaha-usaha yang terkordinir melalui pendidikan dan tulisan.
Muhammadiyah di Jawa tumbuh bersama perkumpulan-perkumpulan lain seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam. Gerakan pembaharuan di Minangkabau tumbuh melalui yayasan pendidikan di daerah surau yang selanjutnya dikembangkan pada permulaan abad 20 oleh tokoh tokoh agama seperti Haji
Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah, H. Abdullah Ahmad, H. Said Umar, H.
Djamil Djambek.
Perbedaan antara gerakan pembaharuan di Jawa hanya disebabkan adanya perbedaan struktur sosial dan kebudayaan yang telah lama berkembang di masing- masing tempat berbeda. Di Minangkabau munculnya gerakan pembaharuan ini
11 Shihab, Membendung Arus, h. 135 lebih banyak didasarkan pada lokasi-lokasi dimana terdapat beberapa surau di beberapa tempat, dimana tenaga pengajarnya adalah para pemuda yang telah melaksanakan ibadah haji dan menetap beberapa saat di sana untuk mempelajari agama, dan setelah mereka pulang ke kampung halamannya mereka mengajar agama di tempat mereka berasal.12 Sebagaimana visi rantau Minangkabau untuk menuntut ilmu di luar dan kembali untuk mengembangkan daerahnya.
Munculnya organisasi itu seiring dengan tantangan zaman yang mengimpit umat Islam dengan adanya pendidikan umum yang diselenggarakan oleh kolonial
Hindia-Belanda.13 Gerakan Islam yang telah timbul sejak masa kolonial telah tumbuh di Indonesia. Ormas-ormas Islam maupun nasional terus berupaya untuk mencerdaskan bangsa dan organisasi ini mendirikan sekolah yang dapat dijadikan alat untuk mencerdaskan rakyat Indonesia untuk mengimbangi sekolah yang dibangun oleh kolonial Belanda.14
Begitu banyak tokoh-tokoh perjuangan bangsa Indonesia dimulai dari
Minangkabau seperti Syekh Ahmad Khatib, Syekh Taher Jamaluddin, Syekh
Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ia yang mempunyai hubungan erat dengan para pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah, dan ia pula yang mengenalkan Muhammadiyah di
Minangkabau pada tahun 1925,15 dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya.
12 Paricia. C. Brown, “Antara Kauman dan Surau,” Panji Masyarakat, no. 353 (Oktober 1982): h. 47 13 M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000), h. 95 14 A. Syafi’I Ma’arif, Independensi Muhammadiysah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), h. 3 15 Noer, Gerakan Modern, h. 38 Muhammadiyah lahir sebagai organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad
Dahlan ini merupakan organisasi yang memberikan pemikiran-pemikiran yang segar dan menekankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Muhammadiyah bersinggungan dengan bidang-bidang sosial, politik, budaya dan juga bidang- bidang kehidupan lain, oleh karena itu di dalam setiap pergerakan
Muhammadiyah tidak lepas dari watak keislamannya.16Muhammadiyah berusaha untuk melakukan pembaharuan dengan pola pemikiran yang berorientasi kedepan, tetapi tidak beranjak dari keimanan.
Sejak awal, gerakan Muhammadiyah telah berkecimpung dalam bidang sosial, terutama pendidikan. Sekolah yang pertama didirikan oleh KH. A. Dahlan pada tahun 1911 di Yogyakarta diselenggarakan dengan sangat sederhana.
Sekolah ini yang akhirnya menjadi embrio munculnya organisasi formal pada tahun 1912 di bawah pimpinan KH. Ahmad Dahlan sendiri. Oleh karena itu sejak
Muhammadiyah didirikan selalu membangaun sekolah-sekolah, madrasah- madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, dan juga mendirikan majalah-majalah yang berdasarkan Islam.
Setelah resmi menjadi organisasi, Muhammadiyah terus berangsur-angsur mengembangkan sayapnya melalui berbagai aktivitas sosial. Mulai dari pendidikan, pelayanan masyarakat, kesehatan dan lain-lain sehingga pada akhirnya aktivitas dalam bidang sosial ini dapat menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang memperoleh sukses besar.
16 Hery Sucipto dan Najmuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah dari Ahmad Dahlan Hingga A. Syafi’I Ma’arif (Jakarta: Grafindo, 2005), h. 146-147 Berdirinya Muhammadiyah merupakan suatu kemunculan gerakan iman, ilmu, dan amal. Sebagai gerakan iman, Muhammadiyah dapat dilihat kepeloporannya dalam usaha mengembalikan paham agama kepada ajaran tauhid murni tanpa dicampuri oleh unsur-unsur syirik, takhayul, dan khurafat. Dan banyak yang menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi. Sebagai gerakan ilmu dapat dilihat pada komitmen Muhammadiyah terhadap persoalan pendidikan, disamping keberaniannya mendobrak tradisi lama untuk membuka kembali pintu ijtihad. Sebagai gerakan amal, Muhammadiyah berhasil mengubah pola amal individu menjadi amalan kelompok dalam kehidupan masyarakat, terutama dapat dilihat dalam usahanya menyantuni kaum dhu’afa, pelayanan kesehatan masyarakat dan lain-lain17. Muhammadiyah berupaya mengaktualisasikan cita-citanya dengan sistem berorganisasi yang bersifat responsif dan adaptif terhadap perubahan zaman.18
Salah seorang yang penting bagi Muhammadiyah adalah Haji Abdul Malik
Karim Amrullah (HAMKA). Hamka merupakan seorang pembaharu dalam Islam di Indonesia. Sejak ayahnya (Haji Rasul) memelopori “Islam kaum muda
Minangkabau,” Hamka sudah terbiasa dengan pembicaraan mengenai dunia keilmuan sejak kecil. Hamka sejak usia dini sudah banyak belajar dari tokoh- tokoh besar nasional seperti Ki Bagushadikusumo, Haji Oemar Said
Tjokroaminoto, RM. Supyopranoto, dan KH. Fakhruddin.
Hamka sudah mampu untuk mendirikan sebuah Tabligh Muhammadiyah tahun 1925, dalam perjalanan karirnya ia telah memangku beberapa jabatan mulai
17 Sutarmo, Muhammadiyah Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), h. 122-123 18 Abdullah, Dinamika, h. 137 dari tahun 1928 sebagai anggota kongres Muhammadiyah di Solo, kemudian sebagai Ketua Taman Pustaka, Ketua Majlis Tabligh dan sampai akhirnya ia memangku jabatan sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Tahun
1934 ia diangkat menjadi Majlis Konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah.19
Hamka banyak disebut sebagai sejarahwan dengan banyaknya karya-karya
Hamka yang ditulis mengenai dirinya sendiri seperti karyanya tentang Kenang-
Kenangan Hidup, kemudian mengenai orang tuanya seperti Ayahku. Dalam bidang agama ia pun juga menulis tentang Tasawwuf: Perkembangan dan
Pemurniannya, kemudian Tasawwuf Modern. kemudian tentang sejarah, sebagaimana hasil karya Hamka seperti Sejarah Umat Islam. Hamka sebagai seorang sastrawan dengan mengeluarkan beberapa karyanya tentang roman seperti
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1939),
Merantau ke Deli (1940), Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah.
Hamka dalam sejarah kehidupannya berperan sebagai patriot pada masa pra dan masa awal berdirinya republik ini, berdiri pada barisan depan pembendung arus pengaruh kaum komunis zaman Orde Lama dan tampil sebagai figur ulama-demokrat pada masa Orde Baru.20 Hamka pada masa Soekarno pernah di penjara sekitar selama dua tahun empat bulan (1964-1966) karena berbeda pandangan politik dengan Presiden Soekarno, terutama mengenai
Pancasila sebagai dasar/falsafah negara. Hamka dituduh melakukan tindakan subversif terhadap pemerintah.
19 Sucipto dan Ramly, Tajdid Muhammadiyah, h. 140-142 20 Adnan Buyung Nasution, "Hamka: Figur Yang Langka," dalam Nasir Tamara, dkk., Hamka di Mata Hati Umat, 2nd ed. (Jakarta: Sinar harapan, 1984), h. 286-287 Hamka pada zaman pergerakan merupakan salah satu singa podium karena ia fasih berbicara dan lancar menulis dengan mengutamakan rajin menimba ilmu.
Dengan kepiawannya itu ia pernah memimpin sebuah redaksi dwi mingguan
“Panji Masyarakat” di Medan.21 Hamka pernah menjadi tenaga pengajar di beberapa Universitas diantaranya Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di
Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah
Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di
Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan.
Pada tahun 1955 Hamka pernah memberikan ceramah agama di
California, Amerika Serikat sebagai anggota delegasi perwakilan Indonesia.
Hamka juga mendapat kehormatan dalam bidang intelektual yaitu mendapat gelar
Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Kairo, kemudian pada tahun 1974 ia mendapat lagi gelar dari Universitas Kebangsaan Malaysia.22Hamka pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 1975-1981).23
Berbagai karya yang dimiliki Hamka mulai dari karya sastra, politik dan juga agama, kemudian terjadinya pembaharuan dalam bidang politik, sosial keagamaan di Indonesia, khususnya Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi pembaharuan di Indonesia membuat saya ingin mengambil tema peranan Hamka dalam organisasi Muhammadiyah di Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
21 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (Bandung: Mizan, 2001), h. 72 22 Sucipto dan Ramly, Tajdid Muhammadiyah, h. 146-147 23 Ibid., h. 156 Pada penulisan ini, masalah yang diangkat adalah mengenai peranan
Hamka dalam organisasi Muhammadiyah di Indonesia. Oleh karena itu penulis mengidentifikasi mengenai pembaharuan Islam di Indonesia. Muncul dan berkembangnya organisasi-organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan di
Indonesia, khususnya Muhammadiyah. Perkembangan politik, agama dan pendidikan masa pendudukan Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru.
Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi hanya pada peran Hamka di dalam organisasi Muhammadiyah di Indonesia (1925-1981).
b. Perumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran Hamka dalam Muhammadiyah, atau lebih spesifik lagi adalah:
1. Bagaimanakah pandangan Hamka mengenai perkembangan agama,
sosial, dan politik di Indonesia, khususnya Muhammadiyah?
2. Bagaimanakah perjuangan Hamka dalam mengembangkan
Muhammadiyah di Indonesia?
3. Bagaimana citra Muhammadiyah di Indonesia pada masa Hamka
menjadi anggota Muhammadiyah?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai lewat penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui latar belakang keluarga, pendidikan dan karya-
karya Hamka 2. Menambah wawasan mengenai perkembangan agama, sosial dan
politik di Indonesia
3. Agar mengetahui peran Hamka bagi perkembangan
Muhammadiyah di Indonesia
D. Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan pendekatan historis dengan metode Deskriptif-
Analitis. Pendekatan ini di gunakan untuk mendapatkan penjelasan secara deskriptif dan analitis tentang peranan Hamka bagi perkembangan
Muhammadiyah di Indonesia, disamping menjelaskan profil Hamka termasuk juga latar belakang berdirinya Muhammadiyah dan pengaruhnya bagi perkembangan Muhammadiyah di Indonesia dan perkembangan politik, agama,dan sosial budaya di Indonesia sejak penjajahan Belanda, Jepang, Orde
Lama dan Orde Baru. Maka dari itu tahap-tahap penelitian yang dilakukan dengan metode kepustakaan (library research), dan studi kelapangan (field research).
Untuk menganalisa data yang tersedia yaitu dengan menggunakakan pendekatan historis. Pendekatan ini digunakan agar mendapatkan penjelasan dan pemahaman mengenai peranan Hamka dalam organisasi Muhammadiyah di Indonesia. Adapun pedoman yang digunakan dalam teknik penulisan. Penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: (Skripsi, Tesis dan Disertasi), CeQDA. 2007
1. Studi Kepustakaan (Library Research)
Peneliti melakukan penelusuran atas data-data yang berbentuk tulisan.
Oleh karena itu studi kepustakaan (library research) dilakukan dengan penelaahan buku-buku dan tulisan-tulisan sebagai sumber rujukan yang berkaitan kiprah
Hamka bagi perkembangan Muhammadiyah di Indonesia
2. Studi Lapangan (Field Research)
Pendekatan yang digunakan peneliti yaitu melalui observasi terlibat dengan melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan tokoh-tokoh yang bersinggungan langsung atau dengan tokoh yang dianggap penting bagi penelitian ini.
E. Tinjauan Pustaka
Sepanjang penelitian penulis dengan menelusuri beberapa literatur tentang
Hamka ada beberapa penulisan yang berkaitan langsung dengan Hamka. Dari penelitian penulis, ada dua disertasi yang mengkaji tentang Hamka antara lain: Dr.
Sudja’I yang memfokuskan diri pada kajian tafsir. Tetapi ia mengangkat salah satu tema yaitu khilafah yang di tulis oleh Hamka dalam tafsirnya, kemudian membandingkan kata yang sama (khilafah) dalam tafsir yang ditulis Sayyid
Quthb. Disertasi yang kedua adalah karya DR. Tamrin Kamal yang mengkaji tentang peran Hamka dalam purifikasi ajaran Islam pada masyarakat
Minangkabau.
Selain disertasi diatas ada beberapa penelitian diantaranya skripsi Abdul
Azis tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada masa kepemimpinan Prof. Dr.
Hamka (1975-1981). Ia menerangkan tentang perubahan yang terjadi di dalam bidang agama, politik, sosial dan budaya. MUI menjadi kontrol bagi pemerintahan dalam bidang keagamaan di Indonesia. Terdapat buku-buku maupun artikel yang berhubungan dengan Hamka antara lain, buku yang ditulis oleh Yunan Yusuf yang mengkaji tentang corak pemikiran kalam Hamka dalam tafsir Al-Azhar. Kajian ini menulis tentang riwayat hidup Hamka dan proses panjang penulisan karya fenomenal dan monumental Tafsir Al-Azhar karya Hamka, penulis menjelaskan dengan sangat komprehensif dan cermat, mengingat penulis menguraikan dengan cermat dan gamblang akan pemikiran kalam Hamka dalam tafsirnya dengan mengelompokkan ayat-ayat tersebut dengan aliran ilmu kalam.24
Junus Hamzah yang berjudul Hamka Sebagai Pengarang Roman. Kajian
Junus ini menggunakan pendekatan studi sastra yang menampilkan Hamka sebagai sosok sastrawan dengan latar belakang sebagai muslim. Memeang banyak karya-karya satra yang telah dihasilkan oleh Hamka, Ia juga menjelaskan pembicaraan masalah takdir disini dalam konteks perwatakan dari tokoh-tokoh utama roman-roman Hamka dengan latar belakang ajaran takdir.25
Fachry Ali, menulis sebuah artikel, “Hamka dan Masyarakat Islam
Indonesia; Catatan Pendahuluan Riwayat dan Perjuangannya.” Fachry menyimpulkan bahwa Hamka seorang pembaharu Islam di Indonesia, dengan berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya, Hamka memiliki kredibilitas yang tinggi.
Pemahamannya yang luas mengenai agama dan juga pemikran-pemikiran membuat Hamka menjadi seorang yang berpandangan luas. Hamka adalah seorang ulama yang berada dalam posisi terdepan dalam masyarakat Islam
24 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1990), h. 26 25 Junus Amir Hamzah, HAMKA Sebagai Pengarang Roman; Sebuah Studi Sastra (Jakarta: Mega Book Store, 1964), h. 16-27 modern Indonesia yang sedang mengalami proses modernisasi. Ia berani mendobrak tradisi yang menyimpang dari ajaran agama Islam.26
Taufik Abdullah menulis tentang Buya Hamka: Aktor di atas pentas sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ia mengatakan bahwa Hamka dan para tokoh segenerasinya bukanlah termasuk "sang pemula" dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan Hamka dilahirkan ketika masyarakat
Minangkabau meniti periode baru dalam sejarah sosialnya. Hamka adalah anak zamannya yang dilahirkan dan dibesarkan tokoh-tokoh yang mengukir sejarah
Indonesia ketika gerakan reformasi Islam lahir dan menyebar. Hamka sebagai seorang ulama pemikir, muballigh, dan sastrawan bukan saja aktor di atas pentas sejarah tanah air, ia adalah hasil yang otentik dari lingkungan kesejarahan yang mengitari dirinya.27
Yang tidak kalah menariknya, bahwa orang di luar Indonesiapun mengkaji
Hamka yakni James Rush. Studinya tentang Hamka, ia berkesimpulan bahwa
Hamka dalam arti penting sebagai salah satu pelaku sejarah modern Indonesia yang turut berperan membuat formulasi ide-ide dikalangan bangsa
Indonesia.28Paper ini hanya menjelaskan peranan Hamka dalam bidang politik sebagai seorang sufi, yakni orang yang mengutamakan moral diatas segalanya.
Dengan menjelaskan beberapa literatur yang menulis tentang Hamka, maka penulis yakin bahwa judul yang penulis angkat belum ada yang
26 Fachry Ali, “Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia; Catatan Pendahuluan Riwayat dan Perjuamgannya.” Prisma 4, (Februari 1983): h. 49 27 Taufik Abdullah, "Buya Hamka: Aktor di Atas Pentas Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia," dalam Afif Hamka, dkk., Buya Hamka (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 15-16 28 James Rush, “Hamka dan Indonersia Modern,”dalam Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Hamka. Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Panjimas, 1983), h. 449-460 membahasnya, yaitu peranan Hamka dalam organisasi Muhammadiyah di
Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mewujudkan suatu pembahasan yang sistematis, maka penulis menyusun skripsi ini kedalam beberapa bab. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Bab ini merupakan gambaran umum sekitar penelitian yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II. Membahas sejarah dan kepribadian Hamka, sejak ia lahir dan beranjak masa kanak-kanak, masa pencarian ilmu atau pendidikan, karya-karya yang di ciptakan Hamka, dan juga kondisi masyarakat saat itu.
Bab III: Membahas Keterlibatan Hamka di dalam Muhammadiyah. Mulai dari sejarah lahirnya Muhammadiyah, tujuan dan perkembangan Muhammadiyah di Indonesia sejak pertama kali berdirinya sekaligus tokoh-tokoh yang telah berjasa dalam mendirikan dan mengembangkan Muhammadiyah di Indonesia.
Jabatan-jabatan yang di miliki Hamka dan perannya di dalam Muhammadiyah, partai Masyumi, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Bab IV. Membahas Hamka dan gerakan Muhammadiyah di Indonesia, yaitu peran Hamka dalam organisasi Muhammadiyah ini dari beberapa aspek yang melingkupi politik, agama dan juga sosial budaya
Bab V. Berisi kesimpulan dan diteruskan dengan daftar pustaka dan lampir
BAB II
BIOGRAFI HAMKA
A. Sejarah dan Kepribadian Hamka
Luar biasa adalah ungkapan yang tepat bagi seorang Hamka, ia tidak pernah menyelesaikan pendidikan dasarnya, dan ia tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, sehingga ia tidak memiliki ijazah pendidikan apapun, namun berhasil menjadi seorang ulama besar, juru dakwah yang kenamaan, yang memiliki berbagai disiplin ilmu, pintar dalam menulis dan bagus dalam berceramah, dan di depan namanya terdapat predikat keilmuan Prof Dr. “Si
Bujang Jauh” itulah julukan Hamka karena begitu sering dan lamanya ia pergi ke berbagai negeri dan daerah.29 HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di Kampung Molek di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat 16 Februari
1908.30 Ibunya bernama Siti Safiyah31 dan Ayahnya ialah Syekh Abdul Karim
Amrullah yang dikenal dengan sebutan Haji Rasul seorang pelopor Tajdid di
Minangkabau.
Hamka seorang ulama yang multidimensi, hal itu tercermin dari gelar- gelar kehormatan yang disandangnya. Dia bergelar "Datuk Indomo” yang dalam tradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatah
Minang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaris tidak
29 Hery Sucipto dan Najmuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafi’I Ma’arif (Jakarta: Grafindo, 2005), h. 145 30 Ibid, h. 141 31 “Nama Saya Hamka,” dalam Nasir Tamara, dkk., Hamka di Mata Hati Umat, 3rd ed. (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), h. 51 boleh hilang, setitik tidak boleh lupa.” Gelar ini merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek garis keturunan ibunya Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung. Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh,” berarti ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam
Khatib menurut adat Budi Caniago. Sebagai pejuang, Hamka memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI.
Sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar
“Ustadziyyah Fakhriyyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar,
Mesir, pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas
Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun
Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai
Perdana Mentri menyebut ulama kharismatik itu dengan “Promovendus
Professor Doctor Hamka.” Pada tahun 1955 ia dipilih untuk duduk menjadi anggota Konstituante mewakili partai Masyumi Jawa Tengah hingga Masyumi dan Konstituante dibubarkan oleh Soekarno dan kemudian ia juga menjadi Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975.
Terdapat beberapa faktor yang mendukung Hamka menjadi seseorang ulama, pujangga, sastrawan, sejarahwan, pejuang kemerdekaan dan sekaligus sebagai aktivis organisasi diantaranya,
Pertama, Faktor genealogis atau keturunan. Hamka merupakan keturunan dari seorang pejuang dan ulama Islam, Nenek moyang Hamka adalah Tuanku
Pariaman. Tuanku Pariaman adalah seorang panglima perang Tuanku Imam Bonjol di masa perang melawan penjajah Belanda yang dikenal dengan “Perang
Paderi” (1821-1837).32 Kakeknya adalah Syekh Amrullah biasa disebut Tuanku
Kisa-I dan ayahanda Haji Abdul Karim Amrullah yang biasa disebut sebagai Haji
Rasul.
Syekh Amrullah adalah golongan "Kaum Tua" yang merupakan pengikut aliran Naqsabandiyah, Haji Rasul merupakan golongan "Kaum Muda"
Minangkabau yang merupakan pembaharu Islam di Minangkabau.33 Hamka memiliki keunggulan kakeknya dan ayahnya. Hamka menjadi ulama penggerak modernisasi Islam di Indonesia dan ia yang juga memformulasikan tasawwuf ke arah yang positif.
Kedua, membaca, menghafal, menulis dan berbicara. Dalam Usia 6 tahun
(1914) ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Ketika Hamka berumur tujuh tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Qur’an dengan ayahnya. Sejak 1916-1923 dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah
School” dan “Sumatra Thawalib” di Padang Panjang dan Parabek. Guru-gurunya saat itu adalah Syeh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan
Zainuddin Labay.
Pada 1924 ia pergi ke tanah Jawa untuk mempelajari tentang pergerakan,
Ki Bagus Hadikusumo mengajarkan tafsir, HOS Cokroaminoto yang mengajarkan
"Islam dan Sosialisme," RM Suryopranoto untuk belajar Sosiologi, ia belajar
32 Shobahussurur, dkk., Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) (Jakarta: YPI Al-Azhar, 2008), h. 4 33 Murni Jamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20 (Jakarta: INIS, 2002), h. 95 "Agama Islam" dengan KH. Fakhruddin.”34 Ia memperdalam pengetahuannya dengan buku-buku mengenai sejarah, kebudayaan, filsafat, sastra, serta sejumlah karya pengarang-pengarang barat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, seperti Alber Camus, Jean Paul Sarte, Wiliam James, Freud, Toynbee sampai Karl Marx. Pengetahuannya yang luas membuat ia produktif dalam menulis, banyak sekali karya-karya yang telah dilahirkan oleh Hamka, tercatat sekitar 113 buak karya tulis yang telah dibuat, termasuk beberapa majalah.
Kebiasaan mengahafal membuat Hamka memiliki daya ingat yang sangat kuat. Seakan-akan tiap pengalaman yang dialami merupakan sesuatu yang sangat intens, betapapun sebenar-benarnya “biasanya” pengalaman itu. Tingkat intensitas ini seakan tidak memudar walaupun ia menerimanya dari tangan kedua. Tulisan- tulisan Hamka tidak pernah gersang, karena ia terluluh didalam masalah yang ditulisnya. Engage, orang Minangkabau menyebutnya.35walaupun begitu tidak semua bisa diungkapkan oleh Hamka bukan hanya soal ingatan, tetapi yang lebih penting apa yang dilihat, didengar, dan dialaminya yang merupakan sebagian realitas dari peristiwa yang diceritakan. Selain itu Hamka juga seorang pembicara yang handal setelah ia belajar tentang pergerakan di Jawa, hingga ia mendapat julukan singa podium karena kepiawaiannya dalam berorasi.36
Ketiga, merantau. Pergi merantau menurut visi falsafah Minangkabau itu, membuka mata warganya untuk mengenal dunia luar yang luas dimana mereka
34 Rusydi Hamka, "Hamka: Kepribadian, Sejarah, dan Perjuangannya," dalam Afif Hamka, dkk., Buya Hamka (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 71 35 Taufik Abdullah, "Masa Awal Muhammadiyah di Minangkabau: Cuplikan dari Arsip Belanda," dalam Kenang-Kenangan 70 Tahun Hamka (Jakarta: Nurul Islam, 1978), h. 131 36 Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (Bandung: Mizan, 2001), h. 72 akan menemui hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang.37 Kebanyakan orang Minangkabau keluar daerahnya memiliki dua hala yang pertama berdagang, yang kedua menuntut ilmu. Selain berkeliling ke pulau-pulau di
Indonesia, terdapat Perjalanan Buya Hamka ke luar negeri dalam kegiatan
Internasional diantaranya: Tahun 1950 berkunjung ke negara-negara Arab, Saudi
Arabia, Mesir, Syria, Irak, dan Libanon, menemui sejumlah pengarang dan ulama- ulama di negara tersebut. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika memenuhi undangan State Departement (Kementrian Luar Negeri), berkeliling di negara tersebut selama 4 bulan.
Tahun 1953-1954 menjadi Missi Kebudayaan RI ke negara Muangthai dipimpin Ki Mangunsarkoro. Tahun 1954 ke Burma mewakili Departemen
Agama RI dalam perayaan 2000 tahun wafatnya Budha Gauthama. Tahun 1958 menghadiri Konferensi Islam di Lahore, dari sana melanjutkan perjalanan ke
Mekkah untuk Umrah dan ke Kairo untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa
Univesitas Al-Azhar. Tahun 1967 ke Malaysia sebagai tamu Negara (Perdana
Menteri Tengku Abdul Rahman). Tahun 1968 sebagai Anggota Delegasi
Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara Islam di Rabbat, Ketua Delegasi adalah KH. M. Ilyas.
Tahun 1968 ke Aljazair menghadiri Peringatan Masjid Annabah, kemudian melanjutkan perjalanan ke Spanyol, Roma, Turki, London, Saudi
Arabia, India, dan Tahiland. Tahun 1971 menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa paper tentang Muhammadiyah di Indonesia. Tahun 1975
37 William H. Federick dan Soeri Soeroto, ed., Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, 3rd ed. (Jakarta: LP3ES, 2005), h. 333 mengahdiri Muktamar Masjid di Mekkah sebagai Ketua Delegasi Masjid di
Indonesia. Tahun 1976 menghadiri Konferensi Islam di Kucing Ibukota Serawak,
Malaysia Timur. Tahun 1976, seminar 2000 tahun Malaysia di Kuala Lumpur, di prakarsai oleh Yayasan Sabah. Tahun 1976 menghadiri Seminar Islam dan
Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan Kuala Lumpur dengan paper
Pengasuh Islam pada Kesusastraan Melayu. Tahun 1977 menghadiri upacara pengislaman Gubernur Serawak Malaysia Timur. Tahun 1977 menghadiri
Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore Pakistan. Tahun 1977 menghadiri Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah), sebagai Ketua Delegasi
Indonesia di Kairo.38
Keempat, Masjid Al-Azhar dan Tafsir Al-Azhar, kedua peninggalan
Hamka merupakan pusaka peninggalannya yang sangat berharga. Pada 1959
Universitas Al-Azhar memberikan gelar Ustadziyyah fakhriyyah (Doktor Honoris
Causa) kepada Hamka.39 Pada Desember 1960, Syaikh Mahmoud Syaltout disertai Dr. Muhammad Al-Bahay berkunjung ke Indonesia sebagai tamu negara.
Salah satu agendanya adalah menziarahi Masjid Agung Kebayoran Baru. Melihat sendiri perjuangan Hamka di Masjid Agung Kebayoran Baru, Mahmoud Syaltout memberikan nama bagi Masjid Kebayoran Baru itu dengan nama Masjid Al-
Azhar. 40 Sejak saat itu semua orang sepakat melekatkan nama Masjid Agung Al-
Azhar sebagai pengganti nama Masjid Agung Kebayoran baru.
38 Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Hamka. Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Nurul Islam, 1978), h. 285 39 Sucipto dan Ramly, Tajdid Muhammadiyah, h. 146 40 Shobahussurur, Mengenang, h. 31 Setiap kuliah subuh Hamka selalu memberikan pelajaran tafsir di Masjid
Agung Al-Azhar. Pada tahun 1962. Perpustakaan Islam Al-Azhar yang didirikan setahun sebelumnya menerbitkan sebuah majalah bernama Gema Islam ketika
Hamka menjadi pemimpin redaksinya. Rangkaian pelajaran tafsir kuliah subuh yang dimuat dalam “Gema Islam” itu oleh Hamka diberikan nama “Tafsir Al-
Azhar,” merujuk kepada tempat dimana tafsir itu diberikan sekaligus penghargaan pribadi Hamka kepada Al-Azhar (Mesir).
Surat pertama yang dikaji adalah surat Al-Kahfi, juz XV. Tafsir-tafsir yang diuraikannya yang dimulai sejak 1958, kemudian dimuat di majalah Gema Islam pada 1962 hingga Januari 1964. Mulai saat itu Hamka memiliki hasrat untuk menyusun tafsirnya dalam kitab-kitab yang kemudian diberi nama Tafsir Al-
Azhar.41
B. Karya-Karya Hamka
Terdapat sekitar 113 buah karya yang telah dibuat oleh Hamka, beberapa karya Hamka mengenai Filsafat diantaranya: Falsafah Ideologi Islam (1950),
Falsafah Hidup (1970), Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Renungan
Tasawwuf (1985), Tasawwuf, Perkembangan dan Pemurniannya (1980),
Tasawwuf Modern (1981), Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad (1952),
Tafsir Al-Azhar 30 juz
Karya Hamka mengenai Agama diantaranya: Akhlaqul Karimah (1992),
Agama dan Perempuan (1939), Do’a-Do’a Rasulullah SAW (1974), Khatibul
41 Yunan Yusuf, “Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, dan Universitas Al-Azhar Indonesia,” dalam Afif, Buya Hamka, h. 94 Ummah, jilid I ditulis dalam bahasa Arab, Khatibul Ummah, jilid II, Khatibul
Ummah, jilid III, Hikmat Isra’ dan Mi’raj, Bohong di Dunia (1975), Karena
Fitnah, Lembaga Hidup (1962), Lembaga Budi (1980), Lembaga Hikmat (1953),
Pedoman Muballigh Islam (1937), Pandangan Hidup Muslim, Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia (1958), Pelajaran Agama Islam (1956), Studi
Islam (1985), Tanya Jawab I dan II (1975, Tjahaya Baru (1950), Pembela Islam:
Tarikh Sayyidina Abu Bakar Shiddiq (1929), Kepentingan Melakukan Tabligh
(1929), Keadilan Ilahi (1939)
Karya Hamka mengenai Kesusastraan diantaranya: Dari Hati ke Hati
(2002), Dari Lembah Tjita-Tjita (1967), Mengembara li Lembah Nil (1950), Di
Dalam Lembah Kehidupan (1976), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1979), Di Tepi
Sungai Dajlah (1950), Di Jemput Mamaknya (1939), Di Lamun Ombak
Masyarakat, Empat Bulan di Amerika, Jilid I (1953), Empat Bulan di Amerika,
Jilid II (1953), Margaretha Gauthier (1975), Merantau ke Deli (1977), Mandi
Cahaya di Tanah Suci (1950), Menunggu Beduk Berbunyi (1947), Tuanku direktur, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1979), Laila Majnun, Balai Pustaka
(1932)
Karya Hamka mengenai Politik diantaranya: Adat Minangkabau menghadapi Revolusi (1946), Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian (1983), Falsafah Ideologi Islam (1950), Ghirah dan Tantangannya
Terhadap Islam (1982), Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam (1968),
Islam; Revolusi Ideologi Islam, tahun 1950, Islam dan Demokrasi, tahun 1946,
Islam dan Adat Minangkabau (1985), Keadilan Sosial dalam Islam (1950), Merdeka, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Negara Islam (1946), Revolusi
Fikiran (1946), Revolusi Agama, Sesudah Naskah Renville, Semanagat Islam,
Urat Tunggang Pancasila, Ekspansi Ideologi: Alghazwul Fikri (1963)
Karya Hamka mengenai sejarah diantaranya: Ayahku, tahun 1992, Antara
Fakta dan Khayal “Tuanku Rao,”tahun 1970, Dari Perbendaharaan Lama, tahun
1963, Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I ( 1974 (autobiografi sejak lahir 1908 sampai ( 1950), Kenang-Kenangan Hidup, Jilid II, Kenang-Kenangan Hidup, Jilid
III, Kenang-Kenangan Hidup, jilid IV, Sejarah Umat Islam Jilid I, di tulis ( 1938 diangsur hingga 1950, Sejarah Umat Islam Jilid II, Sejarah Umat Islam Jilid III,
Sejarah Umat Islam Jilid IV, Sejarah Hidup Jamaluddin Al- Afghani, Sejarah
Islam di Sumatera, Adat Minangkabau dan Agama Islam, ( 1929, Ringkasan
Tarikh Ummat Islam, ( 1929, Sesudah Naskah Renville, ( 1947
Karya-karya Hamka yang lain diantaranya: Muhammadiyah di
Minangkabau (Dalam Kongres Muhammadiyah di Padang) (1975), Arkanul
Islam, Makassar (1932), Mati Mengandung Malu yang merupakan Salinan al-
Manfaluthi (1934), Dibantingkan Ombak Masyarakat (1946), Pidato Pembelaan
Peristiwa Tiga Maret (1947), Pribadi (1950), 1001 Soal Hidup yaitu kumpulan karangan pada Pedoman Masyarakat (1950), Soal-Jawab yang disalin dari karangan-karangan Majalah “Gema Islam” (1960), Himpunan Khutbah-Khutbah,
Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973), Islam dan Kebathinan (1970), Sayyid
Jamaluddin Al-Afghani (1965), Cita-Cita Kenegaraan dalan Ajaran Agama Islam: makalah Kuliah Umum di University Keristan (1970) Terdapat beberapa majalah yang dipimpin oleh Hamka diantaranya:
Kemauan Zaman (1929), Tentera, 4 nomor terbit di Makassar (1932), Al-Mahdi, 9 nomor terbit di Makassar (1933), Pedoman Masyarakat (1936-1942), Semangat
Islam (1944-1948), Menara (1946-1948), Panji Masyarakat (1959)
C. Kondisi Sosial Masyarakat
Terdapat beberapa fase dalam perjalanan hidup Hamka, pertama yaitu munculnya gerakan nasionalis di Minangkabau. Pertentangan tersebut yaitu antara mayoritas penduduknya yang teguh memeluk Islam dengan adat yang matrilineal dalam stratifikasi masyarakat Minangkabau. Gagasan yang memungkinkan bersatunya masyarakat Minangkabau dengan pepatah “Adat dipimpin oleh penghulu, agama oleh ulama, pemerintah oleh cendikiawan," ketiganya terjalin menjadi satu. Di Minangkabau memang telah memiliki adat yang bertentangan dengan ajaran Islam, terutama mengenai pembagian waris melalui garis keturunan ibu. Permusuhan antara Belanda terhadap kekuasaan Islam yaitu dengan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi untuk melawan Belanda atas dasar agama sebagai alasannya.42
Haji Rasul mendirikan sekolah yang bernama Sumatera Thawalib43.
Sumatera Thawalib ini sangat berbeda dari surau tradisional, karena metode
42 Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 150-151 43 Thawalib School adalah pengembangan pendidikan yang ada di Surau Jembatan Besi. Ini terjadi setelah Syekh Abdul Karim Amrullah kembali dari perjalanannya ke tanah Jawa. Pada awalnya, Thawalib School masih menggunakan cara pengajian di Surau, buku-buku dan kitab yang digunakan masih dengan buku-buku lama, perubahan yang dilihat yaitu terdapatnya pembagian kelas-kelas yang terbagi menjadi tujuh kelas. Lihat Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 54-55 pengajarannya inovatif, memasukkan pelajaran sekuler ke dalam kurikulumnya, dan sesuai dengan ajaran agama mereka, yang memberi tekanan pada pentingnya fikiran dan keputusan pribadi daripada menerima begitu saja ajaran-ajaran Islam tradisional. Sungguhpun kaum modernis angkatan pertama ini membatasi penggunaan prinsip-prinsip ini hanya pada masalah-masalah agama, lalu berkembang pemikiran antara keyakinan Islam dengan nasionalisme anti-kolonial dan fikiran-fikiran sosialisme.44
Pada tahun 1924 sebelum Hamka pergi ke pulau Jawa. Ketika itu Padang
Panjang sudah ada hawa baru. Haji. Dt. Batuah dan kawannnya, Natar Zainuddin, telah kembali dari perlawatannya dari pulau Jawa. Mereka membawa paham baru yaitu komunis. Paham baru itu ditebarkan terutama di kalangan murid-murid
Sumatera Thawalib. Banyak juga murid-murid Sumatera Thawalib yang tertarik ke dalam komunis. Pertengkaran antara modernis generasi pertama dengan anak- anak didik mereka mengenai politisi sekolah telah memecah belah Sumatera
Thawalib pada tahun 1920-an, bahkan pendirinyapun Haji Rasul melepaskan diri dari Sumatera Thawalib yang telah dibangunnya itu, karena telah didominasi oleh faham komunisme yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Komunis yang digembor-gemborkan di sana adalah benci kepada pemerintah Belanda dengan alasan Qur’an dan Hadist, melawan penindasan kaum kafir karena penjajahan kaum kapitalis, Imperialis, yang berlawanan dengan ajaran Islam. Maka dari itulah banyak murid-murid dari Sumatera Thawalib yang ikut dalam pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin komunis, yang pecah di
44 Kahin, Pergolakan, h. 152 Sumatera Barat pada bulan Januari 1927.45 Tetapi ketika pemberontakan- pemberontakan tersebut dipadamkan oleh Belanda, di Sumatera Barat bangkit kembali gerakan kebangsaan yang dipimpin oleh kaum agamawan. Sebagaimana telah terjadi pada tahun 1922 telah terjadi perpecahan dalam Sarekat Islam, yaitu
“SI Merah” dan “SI Putih,” SI Merah menjadi komunis dan yang putih tetap dalam ajaran Islam.
Diantara pemimpin-pemimpin SI Merah ialah H. Misbah di Solo.
Majalahnya "Medan Muslimin" banyak tersebar di Padang Panjang. H. Dt.
Batutah adalah pengikut H. Misbah, sebagaimana menurut Haji Rasul bahwa H.
Misbah telah mempelajari teori ekonomi Karl Marx tidak sampai inti, ia meninggalkan kepercayaannya kepada Tuhan, dan H. Dt. Batutah terus berpegang teguh hingga wafat.
Thawalib mulai dimasuki komunis, Haji Dt. Batutah mengeluarkan satu majalah bernama "Pemandangan Islam." Titik berat penyerangan sebagai kebiasaan kaum komunis yaitu menyerang pemimpin-pemimpin Islam yang berpengaruh. HOS. Cokroaminoto adalah target serangan, penghinaan, cacian. Ia dituduh menghabiskan uang rakyat, menggelapkan atau korupsi yang saat itu disebut “mencokro,” dan dia dituduh sebagai dalang berkembangnya imperialis.
Muhammadiyah dituduh “Sarekat Hijau” yang didirikan oleh Belanda untuk menghisap rakyat dan yang Islam sejati adalah komunis. Inilah propaganda yang terus di lakukan komunis di Padang Panjang.46
45Murni, Jamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau Pada Abad ke-20 (Jakarta: INIS, 2002), h. 47 46 “Hamka Tentang Hamka,” Panjimas, no. 01 (Oktober 2002): h. 49 Pada tahun 1930 dibuat sebuah gerakan baru yang bernama Permi
(Persatuan Muslim Indonesia), sebuah partai politik yang berakar didaerah itu yang didirikan oleh tamatan Sumatera Thawalib dan juga para ulama yang baru pulang dari studi ke Kairo. Pada tahun 1933 Hatta baru pulang dari studi di
Belanda, dan mendirikan cabang partainya di Minangkabau yaitu PNI Baru, dan mengangkat Khatib Sulaiman sebagai pemimpinnya.
Tahun 1933, kolonial Belanda mengambil tindakan keras terhadap aktivitas kaum nasionalis di seluruh Indonesia. Belanda banyak menahan anggota
Permi dan juga pemimpin terkemuka dari partai agama yang radikal yang satunya lagi di Sumatera Barat, yaitu PSII. Padahal orang-orang yang sekuler seperti PNI
Baru tidak ditahan. Tekanan Belanda memaksa Permi bubar.47 Pada tahun-tahun ini guru-guru di sekolah Sumatera Thawalib, perguruan-perguruan Islam dan organisasi-organisasi pemuda tetap mendidik muridnya dengan mengkombinasikan cita-cita nasional dan Islam.
Kini, pihak Jepang mencoba mengembangkan para guru Islam tradisional pedesan sebagai mata rantai utama, akan tetapi banyak menemui kesulitan antara pihak Jepang dengan para pemimpin Islam pada umumnya, khususnya antara mereka dengan kaum Islam modernis. Ayahanda Hamka, Haji Rasul memimpin perlawanan Islam terhadap sikap membungkuk sebagai penghormatan kepada
Kaisar di Tokyo yang bertentangan dengan kewajiban seorang muslim untuk shalat menghadap Mekkah dan tunduk hanya kepada Allah.48
47 Kahin, Pergolakan, h. 152-153 48 Shobahussurur, Mengenang, h. 13 Sejak 1944 Hamka sengaja menjauh dari Nippon. Kalau tidak perlu benar, dia tidak mendekat, sampai Tyokan menanyakan kenapa Hamka tidak datang- datang lagi. Hingga 7 September 1944 ketika Perdana menteri Koiso yang menggantikan PM Tojo, menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia dihari depan.
Ketika berita itu beredar Hamka kedatangan dua orang wartawan Yahya Ya’kub dan Hadely Hasibuan dari Domei (kantor betita Jepang). Janji Kemerdekaan yang akan diberikan Jepang karena mereka terdesak dalam beberapa peperangan dengan kekalahan. akan tetapi Jendral Koiso Kuniaki (1944-1945), ia memiliki kecenderungan untuk memberikan kemerdekaan semu bagi Indonesia. Perdana
Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi “To-Indo” dalam bahasa Jepang untuk “Hindia Timur” yang terus dipakai hinga 1945. Akan tetapi, dia tidak menentukan tanggal kemerdekaan itu. Hingga Indonesia merdeka 17 Agustus
1945.
Kedua, terjadinya pertentangan Internal dalam masyarakat Minangkabau.
"Kaum Tua" dan "Kaum Muda" di Minangkabau sangat berperan bagi perubahan sosial kemasyarakatan di Minangkabau. Haji Rasul juga merupakan tokoh gerakan “Kaun Muda” yang saat itu sangat gencar mempertahankan pendirian dan pandangannya. Tokoh Tiga Serangkai yaitu Haji Abdul Karim Amrullah, Syekh
Muhammad Djamil Djambek,49 dan Haji Abdullah Ahmad. Mereka menentang
49 Syekh Muhammad Djamil Djambek adalah seorang tokoh Kaum Muda. ia di lahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 sebagin anak dari Muhammad Saleh Datuk Malaka, Kepala Nagari Kurai. Ia memperoleh pendidikan di sekolah rendah yang mempersiapkan pelajar-pelajar untuk sekolah guru (Kweekschool). Pada tahun 1896 ayahnya membawa ia ke Mekkah dan bermukim selama 9 tahun untuk mempelajari agama hingga tahun 1903. Pada tahun 1918 ia mendirikan lembaga yang bernama Surau Insyik Djambek, surau ini di gunakan untuk memberikan pelajaran agama dan juga sebagai tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam. Syekh Djamil Djambek adalah seorang yang ahli dalam ilmu falak, ia yang membuat jadwal shalat dan juga waktu puasa bulan Ramadhan, ia membuat ini sejak 1911. Pada tahun 1913 ai mendirikan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang berupa bid’ah, takhayul dan khurafat.
Syekh Ahmad Khatib dengan tegas melarang praktek-praktek agama yang dicemari dengan kaifiyat-kaifiyat yang bid’ah-bid’ah dan ia juga menentang keras pembagian harta waris yang diambil dari garis keturunan Ibu, karena hal itu jelas- jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang telah dibuat dalam faraid. Hal itu yang diajarkan Haji Rasul sepulangnya ia ke Minangkabau, tetapi banyak diantara murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang tetap konsisten mengamalkan thariqat.
Diantara mereka yang terkenal adalah Syekh Khatib Ali bin Abdul Muthalib al-
Khalidi an-Naqsabandi yang menyusun kitab “Miftah ad-Din”, juga ulama Kaum
Tua lain bernama Sulaiman ar-Rusuli. Kuatnya thariqat waktu itu menyebabkan ajaran Haji Rasul banyak mendapat tantangan dari ulama-ulama Minangkabau.
Yang paling keras menentang ialah Syekh Muhammad Sa’ad Mungka.50
Haji Rasul atau Syekh Abdul Karim Amrullah sangat mengecam keras praktek ajaran tarekat yang disebut rabitah dan wasilah, dengan menulis sebuah buku berjudul Qati’u Razbi al Mulhidin (Pemotong Tusukan Orang-Orang Yang
Ilhad). Haji Abdullah Ahmad mendirikan sebuah majalah yang diberi nama “Al-
Munir” tahun 1911, majalah ini merupakan wadah bagi gerakan Kaum Muda yang memuat artikel tentang masalah agama dengan tujuan agar umat Islam memiliki pengetahuan yang berguna dan membersihkan Islam dari tuduhan sebagai
“Tsamarotul Ikhwan,” yaitu organisasi yang bersifat sosial yang menerbitkan artikel dan juga brosur-brosur tentang agama. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 8th ed. (Jakarta: LP3ES. 1996), h. 42-44 50Shobahussurur, Mengenang, h. 8 penghambat kemajuan.51Al Munir memuat artikel-artikel yang berisi kritikan pedas terhadap tradisi keagamaan masyarakat luas, seperti masalah usalli, kenduri di rumah orang kaya yang kematian, berdiri ketika membaca barzanji, mentalqinkan mayat di atas kubur, masalah tasyabbuh, masalah taqlid yang dianggap telah melenceng dari ajaran Islam. 52
Selain itu juga Haji Rasul mengeluarkan fatwa dibolehkannya khutbah dalam bahasa yang difahami oleh umat di tempat itu dan kalaulah memakai bahasa Arab cukuplah saja rukun-rukunya saja, agar khutbah itu memiliki faedah dan petunjuk bagi kaum muslimin.53
Gerakan Kaum Muda ini mendapat reaksi atau tantangan dari kalangan ulama Kaum Tua yang merasa posisi mereka terdesak dan dipersalahkan, sehingga mereka juga mengeluarkan kritik yang pedas bagi Kaum Muda yaitu bahwa mereka telah keluar dari mazhab Ahli Sunnah wal jama’ah, Mu’tazilah,
Wahabi dan, Khawarij.54 Oleh karena itu sejak kecil Hamka sudah akrab dengan dialog-dialog tentang perdebatan antara Kaum Muda dan Kaum Tua mengenai
Agama.
51 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1990), h. 26 52 Ibid., h., 27 53 Hamka, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), h. 7 54 Ibid
BAB III
KETERLIBATAN HAMKA DALAM MUHAMMADIYAH
A. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
Lahir suatu pemikiran baru atau gerakan baru tidak dapat dipisahkan dari kondisi kehidupan sosial dan budaya yang melingkupinya. Boleh jadi, munculnya pemikiran atau gerakan baru itu merupakan respons terhadap kondisi yang ada.
Atau sebaliknya, yaitu sebagai kekuatan yang ditujukan untuk mendukung kemapanan itu sendiri agar menjadi lebih kukuh. Yang jelas, salah satu dari kedua motivasi tersebut selalu ada dalam setiap fenomena yang muncul. Namun untuk menjelaskan proses kemunculan suatu fenomena tentu tidak begitu mudah, karena banyaknya faktor yang saling berpengaruh. Begitu juga dengan Muhammadiyah55 sebagai gerakan Islam bercorak modernis yang berdiri awal abad ke-20 M tentu
55Secara bahasa (etimologis), Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad saw.” yaitu nama Nabi dan Rasul Allah SWT yang terakhir, kemudian mendapat tambahan ‘ya’ nisbah yang artinya menjeniskan atau menisbahkan. Jadi Muhammadiyah itu “umat Muhammad saw” atau ‘pengikut Muhammad saw’, yaitu semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir. Dengan demikian siapapun yang mengaku beragama Islam sesungguhnya ia adalah Muhammadiyah tanpa harus dilihat dan dibatasi oleh adanya perbedaan organisasi, golongan, bangsa, geografis, etnis, dan sebagainya. Secara Istilah (terminologi), Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah ma’ruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Kota Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafaul (berpengharapan baik) dapat mencontoh jejak perjuangan Nabi Muhammas saw dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai cita-cita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagi realita. Lihat Mustafa Kamal Pasya, dkk., Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), h. 43-44 tidak dapat dipisahkan dari situasi serta sejumlah faktor yang melatarbelakangi kemunculannya di Indonesia.56
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal
8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad
Darwis, kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan57 atas saran murid- muridnya dari Budi Utomo untuk mendirikan sebuah lembaga yang permanen.58
Muhammadiyah didirikan dengan maksud untuk menyebarkan ajaran Nabi
Muhammad kepada penduduk Indonesia. Organisasi ini mendirikan lembaga- lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membahas
56 Muhammadiyah yang lahir di Indonesia merupakan respons dari situasi dan kondisi masyarakat yang terpuruk akibat kolonialisme Belanda dan ajaran Islam yang dipandang sudah tidak murni dan bercampur dengan ajaran yang menyimpang. Lihat. Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), h. 18-19
57 Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya. Di samping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha." Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa. Di samping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri dan perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namanya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat. Lihat Y.B. Sudarmanto, Jejak-Jejak Pahlawan: dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf (Jakarta: Rasindo, 1996), h. 64
58 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 84 masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid dan juga membuat buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah.59
Dalam satu muktamarnya, Muhammadiyah mempertegas Landasan geraknya dengan pernyataan berikut. Keberhasilan Muhammadiyah, antara lain dalam pembaharuan pemikiran Islam dengan mengembalikan pada sumbernya yang asli, yakni al-Qur’an dan Sunnah dengan mengembangkan ijtihad, sikap, dan pemikiran yang apresiatif terhadap kemajuan modernisasi pendidikan modernisasi gerakan organisasi modern, dan dalam meningkatkan kualitas hidup ummat dan masyarkat melalui gerakan amal usahanya dibidang pendidikan, kesejahteraan umat, pelayanan sosial, membangun sarana dan prasarana fisik, dan upaya-upaya dakwah lainnya, baik yang bi al-qawl maupun bi al-hal.”60
Faktor-faktor yang mendukung lahirnya Muhammadiyah di Indonesia:
1. Munculnya Gerakan Modern Islam di Indonesia
Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukkan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya.
Kemunduran progressif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah
Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran Imperium itu. Yang terpenting di antaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan ferormis puritanis (Salafiah), gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam abad
59 Noer, Gerakan Modern, h. 86 60 Siti Chamamah Suratno, "Agama dan Dialektika Pemerkayaan Budaya Islam- Nasional," dalam Baidhawy dan Jinan, ed., Agama dan Pluralitas, h. 32 ke-20 yang lebih bersifat intelektual.61 Maka dari itulah tidak ada tempat takut kecuali kepada Allah. Dan Wahabi menentang keras sikap jumud, karena itu membuat agama menjadi beku.62
Akhir-akhir abad 19 gagasan pembaharuan Islam mulai diperkenalkan di
Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Muslim Indonesia yang menyadari terjadinya pembaharuan di dunia Islam, khususnya di Mesir. Seperti pembaharuan yang dikembangkan oleh Jamal Al-Din Al-Afghani,63 Syekh
Muhammad Abduh64 dan penerusnya Muhammad Rasyid Ridha65 mulai mendapat respons dari masyarakat Indonesia.66
61 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, 12nd ed. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 257 62 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Medan: Madju, 1963), h. 179 63 Jamaluddin Al-Afghani lahir di dekat Kabul, Afghanistan pada tahun 1839 M dan Meninggal di Istambul, Turki pada tahun 1897 M. Adapun pokok-pokok pemikirannya dalam masalah keagamaan antara lain: Pertama: Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa pada segala masa. Kedua: Untuk menjawab segala perkembangan dan tantangan zaman yang senantiasa maju karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pendirian bahwa pintu ijtihad tetap terbuka adalah pendirian yang benar, sebab hanya dengan jalan ijtihad tantangan tersebut dapat di jawab. Ketiga: Umat Islam dimana-mana terlihat dalam perpecahan dan kehancuran. Hal ini terjadi karena lemahnya tali persaudaraan, lemahnya rasa ukhuah Islamiyah dan solidaritas Islam. Disamping pemikiran keagamaan seperti diatas, Jamaluddin Al-Afghani juga banyak berbicara dan berbuat dalam bidang politik, antara lain: Pertama: Tidak henti-hentinya mengingatkan kepada dunia Islam terhadap ancaman dan bahaya penjajahan bangsa-bangsa Barat. Kedua: Dunia Nasrani, sekalipun mereka berbeda-beda dalam keturunan dan kebangsaan, manakala mengahadapi Timur, khususnya Islam, mereka bersatu untuk mengahncurkan negara Islam. Ketiga: Perang Salib masih tetap berkobar sepanjang masa, demikian juga semangat fanatik petapa Petrus. Keempat: Harus diciptakan suatu kepastiah hukum dalam penyelenggaraan negara. Di dalamnya juga ditentukan batas-batas kekuasaan dan kewenangan dari para penyelenggara negara agar dengan demikian para penguasa tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang (despotis). Lihat Sutarmo, Muhammadiyah, h. 19-20 64 Muhammad Abduh dilahirkan di suatu desa di Mesir pada tahun 1849 M dan meninggal pada tahun 1905. Sesudah menamatkan studinya di Universitas Al-Azhar dengan predikat “Alim (Cum Laude), kemudian ia diangkat sebagai dosen di Universitas Al-Azhar itu juga. Muhammad Abduh menegaskan bahwa umat Islam hanya bisa bangkit dari kenistaan hidupnya kalau mereka mau membekali jiwa dan semangat berkorban semata-mata karena Allah SWT dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai pedoman hidupnya. Adapun pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh antara lain: Pertama: sebab musabab yang membawa kemunduran umat Islam karena adamya kejumudan atau kebekuan berfikir di kalangan umat Islam, yaitu kebekuan dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Dalam hal ini populer sekali ucapannya yang berhubungan dengan jumudnya umat Islam Al-Islamu mahjubun bil muslimin. Artinya ajaran Islam tertutup kesempurnaannya oleh umat Islam sendiri. Kedua: Ajaran Di antara sekian banyak daerah Muslim di Asia Tenggara, kepulauan
Nusantara merupakan bagian terpenting yang paling tidak sejak awal abad ke-19
M. sebagaimana diakui oleh Alfian (1989), telah muncul bibit-bibit pembaruan yang bercorak Wahabi yang ditandai dengan kepulangan tiga orang haji dari studinya di Mekkah.67Berkembangnya ide-ide pembaruan dari Timur Tengah ke daerah-daerah kepulauan Nusantara itu menjadi sangat mungkin, karena salah satunya adalah semakin meningkatnya Jama’ah haji Indonesia sejak akhir abad ke-19 M hingga awal abad ke-20 M. jama’ah haji tersebut bukan hanya ingin menunaikan ibadah haji semata-mata, akan tetapi hal yang sangat penting adalah semangat untuk belajar agama Islam langsung berasal dari tempat Islam itu muncul. Oleh sebab itu, tidak dapat dielakkan lagi bahwa para pelajar yang berasal dari tanah Jawi itu bersentuhan dengan gagasan pembaruan yang sedang
Islam memberikan kedudukan yang sangat tinggi kepada akal fikiran. Oleh sebab itu, agama Islam adalah agama yang sesuai dengan akal. Ketiga: Ajaran Islam pasti sesuai dengan pengetahuan modern, dan ilmu pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, umat Islam harus sanggup mendalami ilmu pengetahuan modern. Keempat: Satu-satunya usaha yang harus ditempuh untuk memajukan ilmu pengetahuan di lingkungan umat Islam ialah dengan mengadakan pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Lihat Ibid., h. 20-21 65 Rasyid Ridha adalah salah satu murid Muhammad Abduh yang sangat cerdas, dan termasuk murid yang paling disayangi dan paling dekat dengan gurunya. Ia dilahirkan di sebuah desa Libanon pada tahun 1865 dan wafat pada tahun 1935. Pokok-pokok pemikirannya dalam pembahruan Islam dapat dikatakan sama dengan pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, iapun dikenal sebagai politikus yang sangat cermat. Adapun pokok-pokok pikiran pembaharuan Rasyid Ridha antara lain: Pertama: Paham umat Islam tentang agamanya serta tingkah laku mereka banyak yang telah menyeleweng dari ajaran Islam yang suci murni. Untuk itu umat Islam harus dibimbing ke jalan Islam yang sebenarnya, yang bersih dari segala macam bentuk bid’ah, khurafat, serta syirik. Kedua: Agar segera terwujud kesatuan dan pesatuan umat Islam, sekali-kali jangan didasarkan pada kesatuan bahasa atau bangsa, tetapi atas dasar kesatuan iman dan Islam. Di samping itu, dianjurkan kepada umat Islam agar dijaga kerukunan umat Islam atas dasar penuh toleransi atau tengang rasa sekalipun mazhab mereka berbeda-beda. Ketiga: Kaum wanita harus diikutsertakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Keempat: Sebagian paham dan ajaran kaum Sufi dianggapnya memperlemah agama Islam karena mereka melalaikan tugas kewajibannya diatas dunia. Mereka menenemkan paham yang pasif, pasrah pada keadaan tanpa berusaha dan berikhtiar. Padahal yang benar ialah bahwa ajaran Islam adalah agama yang penuh dinamika dan optimisme, yang mendorong umatnya agar aktif mengolah bumi untuk mendapatkan kenikmatan Allah dan mensyukurinya. Lihat Ibid., h. 21-22 66 Shihab, Membendung Arus, h. 128-129 67 Sutarmo, Muhammadiyah, h. 88 berkembang di Timur Tengah saat itu. Hampir dapat dipastikan bahwa dari kelompok inilah yang menjadi penggerak utama pembaruan di kepulauan
Nusantara pada awal abad ke-20.68
2. Sikap Beragama Masyarakat Jawa
Secara historis diakui bahwa masyarakat di Hindia Belanda (Indonesia), terutama yang hidup di pulau Jawa, sejak dahulu telah memiliki keyakinan yang bersifat animistik. Kemudian ditambah dengan keyakinan baru yang datang dari
Hindhu-Budha, terbentuk falsafah baru berupa kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang animistik. Bentuk-bentuk kepercayaan baru tersebut berupa ruh-ruh nenek moyang yang dianggap penjelmaan dari Tuhan. Kepercayaan semacam itu memberikan kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan dalam cara-cara berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika agama Islam datang ke Indonesia, kepercayaan-kepercayaan tradisional tersebut masih melekat. Kedatangan ahli-ahli tasawwuf itu pada masa perkembangan dan penyebaran ahli-ahli tasawwuf dari Persia dan India, tetapi masih berkisar di Pulau Jawa dan Sumatera.69Islam yang di bawa oleh para pedagang dari Gujarat, masuk ke Nusantara dengan corak tasawwuf yang telah dipengaruhi oleh mistik India dari sistem kepercayaan Hindhu-Budha. Dengan demikian Islam dapat masuk ke Nusantara dengan cara damai, karena di antara unsur-unsur terdapat persamaan dengan pola kepercayaan dan pemikiran orang
Jawa khususnya, dan pulau-pulau di Nusantara pada umumnya.
68 Ibid., h. 17-18 69 Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), h. 203 Hal ini memungkinkan terjadinya pembaruan antara keyakinan-keyakinan tradisional dengan ajaran Islam yang bercorak tasawwuf. Muncullah keyakinan baru yang sinkretis, sehingga Harry J. Benda menyimpulkan bahwa Islam di Jawa tidak lebih sebagai suatu stagnasi dan kurang murni jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.70 Paling tidak bahwa untuk jangka waktu yang lama sebagai pemenang agama di Jawa adalah Agama Kejawen, adat-istiadat
Jawa, feodalisme Jawa, dan bukannya peradaban Islam yang urban. Kemenangan
Agama Kejawen atas Islam dalam waktu yang lama itu menjadikan kehidupan umat Islam Jawa dilingkupi oleh kepercayaan kepada ruh-ruh yang dianggap dapat mempengaruhi nasib. Seperti kepercayaan kepada keramat yang dimiliki orang-orang yang disucikan, para dukun, dan sebagainya. Semuanya masih menjadi bagian kehidupan yang tak terpisahkan sampai awal abad ke-20 M71
Dari keyakinan sinkretis ini maka muncullah pengamalan ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang selanjutnya tampil dalam bentuk takhayul, bid’ah, dan khurafat. Keyakinan sinkretis sebagai asimilasi kebudayaan yang lama dengan ajaran Islam itu kemudian melahirkan apa yang disebut dengan “Agama Jawa” atau Kejawen.72 Dari sinilah
Muhammadiyah muncul sebagai gerakan purifikasi.
3. Pendidikan, Kristenisasi dan Politik Islam Hindia Belanda
70 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), h. 31 71 Sutarmo, Muhammadiyah…, h. 21 72 Geertz memakai istilah “Kejawen” dihadapkan dengan kelompok santri. Kelompok kejawen ciri-cirinya adalah tidak menjalankan ibadah formal seperti shalat, puasa, selametan, dll, tetapi tetap mengaku sebagai pemeluk Islam. Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 13 Kedatangan agama Kristen di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan masuknya kolonialisme. Dimulai dari penaklukan dan pendudukan Malaka oleh
Portugis pada tahun 1511,73 Belanda melakukan politik etis mencerminkan peralihan penting dalam strategi pemerintah kolonial ke arah Kristenisasi
Indonesia. Kebijakan netralitas agama yang digemborkan oleh Belanda hanya isu belaka, Belanda mempunyai kewajiban meningkatkan kondisi orang-orang
Kristen pribumi di Indonesia, untuk memberi bantuan lebih banyak lagi kepada kegiatan-kegiatan misi Kristenisasi di Indonesia.74 Umat Islam menganggap agama Kristen apakah mereka Katolik ataupun Protestan adalah agamanya kaum kolonial yang ingin menjajah negeri ini dan menukar agama rakyat, Akibatnya, pemberontakan yang timbul menentang penjajah itu, di Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi, sebagian besar merupakan pemberontakan yang bermotif agama.
Gagasan politik etis Belanda di bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tujuan mengembangkan agama Kristen dan melemahkan Islam. Hal ini dibuktikan pada usaha kaum zending dan misi mendirikan sekolah-sekolah
Kristen disamping memaksakan sistem pendidikan kolonial yang netral agama.
Pemerintah Belandapun memberikan subsidi yang tak sebanding antara sekolah missi dan sekolah Islam, padahal penduduk Hindia Belanda jelas sekali bahwa masyarakatnya mayoritas beragama Islam.75 Terdapat dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan Barat.
73Rusydi Hamka, Etos Iman, Ilmu dan Amal dalam Gerakan Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 111-112 74 Shihab, Membendung Arus, h. 44 75 Rusydi, Etos Iman, h. 111 Lembaga pendidikan pesantren saat itu memiliki masalah dengan proses belajar mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan. Dalam sistem belajar mengajar masih menggunakan sorogan dan weton, guru dianggap sebagai sumber kebenaran yang tidak boleh dikritisi, materi dan kurikulum yang digunakan pesantren masih berkisar pada studi Islam klasik seperti fikih, tasawwuf, ilmu kalam dan ilmu sejenisnya.76 Pendidikan Barat ini mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di dunia Barat. Metode pengajaran sudah menggunakan metode modern.
Ilmu-ilmu yang diajarkan biasa disebut sebagai ilmu umum.
Politik Islam Hindia Belanda ini sebetulnya ingin menerapkan kebijakan netralitas terhadap agama, tidak memihak pada agama sebagai sesuatu yang berbahaya. Kebijakan netralitas itu hanya strategi semata untuk mengelabui umat
Islam agar umat Islam dapat menerima kehadiran Belanda sebagai penjajah.77
Hegemoni secara politik sangat jelas ketika Belanda menerapka sistem dualisme kepemimpinan, pada satu sisi diakuinya otoritas raja-raja kecil yang telah ada dan berkembang di Indonesia, tetapi pada sisi lain, raja-raja kecil itu dipaksa berhenti pada konsensus yang telah ditetapkan oleh Belanda.78 Politik Etis merupakan salah satu langkah untuk tetap menguasai Indonesia dan mengemban misi
Kristenissi Bangsa Indonesia
Snouk Hurgronje menyarankan pertama, agar dalam semua masalah ritual keagamaan, misalnya ibadah rakyat Indonesia harus dibiarkan menjalankan ibadahnya, agar mendapar pandangan dari pribumi bahwa Belanda tidak ikut
76 Sudarmo Shobron, Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi (Surakarta: LPID UMS, 2008), h. 44-45 77 Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, h. 50 78Ansari, "Kolonialisme dan Kristenisasi di Indonesia: Dua Sisi Mata Uang yang tak Terpisahkan (Suatu Tinjauan Sejarah)," Mimbar Agama dan Budaya, vol. 23, no. 3 (2006): h, 203 campur dalam maslah ibadah, Kedua, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam seperti perkawinan, waris, wakaf dan hubungan lain, pemerintah
Belanda harus berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaannya, agar pribumi menyadari bahwa lembaga mereka itu terbelakang dan menggantinya dengan model yang dipergunakan di Barat. Ketiga, Pemerintah tidak boleh mentoleransi kegiatan apapun yang dilakukan oleh kaum muslimin yang dapat menyerukan Pan-Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata untuk melawan Belanda.79
B. Tujuan dan Perkembangan Muhammadiyah di Indonesia
Muhammadiyah didirikan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar benarnya. Sejak didirikannya oleh KH. Ahmad Dahlan telah terjadi beberapa perubahan redaksional, susunan bahasa dan istilah yang dipergunakan. Meski demikian perubahan itu tidak merubah substansi awal berdirinya
Muhammadiyah.80
Muhammadiyah mementingkan pendidikan dan pengajaran yang berdasarkan Islam, baik di sekolah, madarasah atau pendidikan dalam masyarakat.
Muhammadiyah memprakarsai pendidikan modern di Indonesia yang menggabungkan pelajaran agama dan pelajaran umum. Muhammadiyah mendirikan sekolah Umum yang memasukkan pelajaran agama dan mendirikan
79 Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, h. 52-53 80 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983), h. 268-269 sekolah agama yang memasukkan pelajaran umum di dalam kurikulumnya. Oleh karena itu sejak Muhammadiyah didirikan selalu membangun sekolah-sekolah, madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, dan juga mendirikan majalah-majalah yang berdasarkan Islam. Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan besar jasanya bagi perkembangan pendidikan di Indonesia diantaranya:
Kweekschool Muhammadiyah di Yogyakarta, Mu’allimin Muhammadiyah di
Solo dan Jakarta, Mu’alimat Muhammadiyah di Yogyakarta, Zu’ama/Za’imat di
Yogyakarta, Kulliyah Mubhallighin/Muballighat di PadangPanjang, Sumatera
Tengah, Tabligh School di Yogyakarta, H.I.K. Muhammadiyah di Yogyakarta,
H.I.S. Muhammadiyah, Mulo, A.M.S. Muhammadiyah dan Madrasah Lainnya
Muhammadiyah yang didirikan tahun 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam tahun-tahun pertama tidaklah mengadakan pembagian tugas yang jelas di antara anggota-anggota pengurus, hingga tahun 1917 hanya berkisar di daerah
Kauman, Yogyakarta saja. Organisasi Muhammadiyah ini sejak 1917 mulai berangsur berkembang ke beberapa pulau jawa dengan adanya kongres Budi
Utomo yang diselenggarakan di rumah K.H. Ahmad Dahlan dan atas usulan mereka agar Muhammadiyah membuka cabang-cabangnya. Pada tahun 1920 kegiatan Muhammadiyah meliputi daerah pulau Jawa dan pada tahun-tahun berikutnya mulai tersebar ke berbagai wilayah Indonesia.81
Cabang Muhammadiyah yang berada di luar pulau Jawa pertama kali di dirikan di Sumatera Barat yaitu di Minangkabau. Muhammadiyah di sana didirkan oleh H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul. Tahun 1925 ia mulai mendirikan
81 Noer, Gerakan Modern, h. 87 cabang Muhammadiyah di sana setelah ia melakukan kunjungan ke Jawa. Haji
Rasul mengubah sebuah organisasi lokal yang bernama Sendi Aman Tiang
Selamat82 dijadikan sebagai cabang Muhammadiyah di Minangkabau, pada tahun yang sama murid-murinya juga ikut menyebarkan organisasi ini ke seluruh
Minangkabau.
Dalam Tahun 1925 organisasi ini telah memiliki 29 cabang dengan 4000 orang anggota. Dalam bidang pendidikan mendirikan delapan Hollands Inlandse
School, sebuah sekolah guru di yogyakarta, 32 buah sekolah dasar lima tahun, sebuah Schakelschool, 14 madrasah, seluruhnya dengan 119 orang guru dan 4000 murid.
Dalam bidang sosial telah terdapat dua buah klinik di Yogyakarta dan
Surabaya di daerah itu sekitar 12000 pasien memperoleh pengobatan.
Muhammadiyah juga membangaun rumah miskin dan dua buah rumah yatim piatu.83 Tahun 1927 Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di Bengkulu,
Banjarmasin dan Amuntai, sedang tahun 1929 pengaruhnya tersebar ke daerah
Aceh dan makassar.84 Pada tahun 1929 peserta-peserta dari kongres tahunannya berasal dari semua pulau yang ada di Indonesia selain pulau Kalimantan, didalam
82 Sandi Aman didirikan pada bulan oktober 1924, menurut catatan Van Dam organisasi ini adalah organisasi yang beraliran “Ortodox”. Cita-cita dan pandangan dari organisasi ini berdasarkan pada buku yang ditulis oleh Haji Rasul, yaitu “Sandi Aman Tiang Selamat”. Buku “Sandi Aman Tiang Selamat” isinya sangat anti adat dan pemerintah. Yang paling penting adalah seruannya supaya orang lebih mengindahkan perintah Tuhan yang dimengerti oleh para alim ulama. Jikalau perkataan ulama sudak tak di dengar, maka akan terjadi konflik antara hukum manusia dengan hukum Tuhan, dan jikalau ini yang terjadi, lebih baik mati daripada hidup. Buku ini juga mencerca adat Minangkabau dengan mengatakan bahwa pusaka yang turun kepada kemenakan itu adalah pusaka jahiliyyah, yang asalnya dari orang Budha. Lihat Taufik Abdullah, "Masa Awal Muhammadiyah di Minangkabau: Cuplikan dari Arsip Belanda," dalam Kenang- Kenangan, h. 131 83 Noer, Gerakan Modern, h. 95 84 Ibid., h. 89 kongres ini terdapat 19000 anggota Muhammadiyah, pada bagian publikasi dari
Muhammadiyah telah pula menerbitkan sejumlah 700.000 buah buku maupun brosur. Di Solo telah membuat sebuah Klinik mata dan di Malang membuat sebuah klinik yang lain.
Tahun 1930 kongres Muhammadiyah yang diadakan di luar pulau jawa yaitu di Bukittinggi tercatat 112 cabang-cabang dengan 24.000 orang anggota.
Keanggotaan ini bertambah menjadi 43.000 pada tahun 1935, tersebar pada 710 cabang-cabang termasuk 316 di Pulau Jawa, 286 di Sumatera, 79 di Sulawesi dan
29 di Kalimantan. Pada tahun 1938 cabang-cabang serta 898 kelompok yang belum berstatus cabang, seluruhnya dengan 250.000 anggota. Muhammadiyahpun telah memelihara 834 Masjid dan langgar, 31 perpustakaan dan 1774 sekolah.85
C. Jabatan Politik Hamka
1. Hamka dalam Muhammadiyah
Pada tahun 1924 Hamka merantau ke pulau Jawa dan berkenalan dengan
HOS Cokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH
Fakhruddin (ayah dari Adur Razzaq Fachruddin) yang mengadakan kursus-kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama disana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak iparnya,
AR. Sutan Mansur, yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Muhammadiyah
Cabang Pekalongan. Dikota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh
Muhammadiyah setempat. Pada bulan Juli ia kembali ke Padang Panjang dan
85 Ibid., h. 95 turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padang
Panjang86. Pada akhir tahun 1925 itu juga A.R. Sutan Mansur kembali ke
Sumatera Barat dan menjadi Muballigh dan penyebar Muhammadiyah di daerah itu. Sejak tahun 1925 itu Hamka telah menjadi pengiring A.R. Sutan Mansur dalam Muhammadiyah. Pada Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekkah dan Juli
1927 pulang kembali ke Medan. Pada akhir 1927 itu A.R. Sutan Mansur singgah di Medan ketika pulang dari Lhoksumawe dalam membangun Muhammadiyah di
Aceh. Beliau singgah di Medan dan mengajak Hamka untuk pulang ke kampung halaman di Padang Panjang.
Ketika Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo, Hamka hadir dalam kongres tersebut dan setelah pulang dari sana (1928) dia turut membangun
Muhammadiyah di Padang Panjang, beliau memangku jabatan mulai dari bagian
Taman Pustaka dan Ketua Tabligh sampai menjadi Ketua Cabang
Muhammadiyah. Pada 5 April 1929 beliau menikah dengan Siti Raham, ketika itu
Hamka berusia 21 tahun dan isterinya berusia 15 tahun. Kemudian ia pun aktif sebagai Pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang menghadapi Kongres
Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau.
Tahun 1930 Hamka diutus oleh Muhammadiyah Cabang Padang Panjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Dari sana beliau langsung menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta (1930). Akhir tahun
1931 Hamka diutus oleh Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta untuk pergi ke Makassar menjadi Muballigh Muhammadiyah, beliau diutus untuk
86Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 134 menggerakkan semangat menyambut Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar yang akan diadakan pada bulan Mei 1932.87
Tahun 1933 Hamka menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang.
Tahun 1934 kembali ke Padang Panjang bersama-sama dengan ayahnya dan kakak iparnya A.R. Sutan Mansur dan wakil P.B. Haji Mukhtar menghadiri
Konferensi Daerah di Sibolga. Dan sejak itu pula Hamka tetap menjadi Anggota
Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah hingga ia pindah ke Medan. 22
Januari 1936 Hamka pindah ke Medan memimpin majalah Pedoman Masyarakat dan bergabung dalam gerakan Muhammadiyah Sumatera Timur. Kongres
Seperempat Abad yang diadakan di Jakarta turut dihadiri oleh Hamka sebagai perwakilan dari Medan.
Sejak H. Mohammad Said Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur,
Hamkalah yang terpilih menjadi Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur sampai Jepang masuk pada tahun 1942. Ia meletakkan jabatannya pada Desember
1945 dan langsung pindah ke Sumatera Barat. Pada tahun 1946 beliau dipilih oleh
Konferensi Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi Ketua Majelis Pimpinan
Muhammadiyah daerah Sumatera Barat, beliau menggantikan kedudukan S.Y.
Sutan Mangkuto yang telah diangkat menjadi Bupati RI di Solok,88 Pimpinan
Muhammadiyah Sumatera Barat ini dipegangnya sampai penyerahan Kedaulatan
RI pada tahun 1949.
87 Rusydi Hamka, “Kepribadian, Sejarah dan Perjuangannya,” dalam Afif Hamka, dkk., Buya Hamka (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 84 88 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Panjumas, 1990), h. 47 Pada tahun 1950 beliau turut mengadakan penyelesaian dan pembangunan
Muhammadiyah kembali pada Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta dan untuk selanjutnya turut menyusun Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru dan "Kepribadian Muhammadiyah." Maka pada Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto pada tahun 1953, Hamka terpilih menjadi Anggota Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Beliau terus menjadi Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah mulai dari Kongres Muhammadiyah di Purwokerto, Palembang, Yogyakarta,
Makassar dan Padang. Karena Hamka sudah mulai tua dan kesanggupan sudah berkurang, maka pada Kongres Muhammadiyah di Makassar pada tahun 1971,
Hamka memohon agar dirinya tidak lagi dicalonkan dalan Anggota Pimpinan
Pusat Muhammadiyah karena alasan kesehatan beliau sudsah sangat menurun.
Sejak Kongres Muhammadiyah di Makassar 1971 itu beliau ditetapkan menjadi
Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. dan setelah Kongres Muhammadiyah di Padang pada tahun 1975 hingga akhir hayatnya pada 1981 beliau tetap menjadi
Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah89.
2. Hamka dalam Partai Masyumi
Masyumi di bentuk dalam Muktamar Islam di Indonesia di gedung madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945, dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, dan Masyumilah yang akan memperjuangkan nasib politik umat Islam. Para pelopor Partai Politik Islam Indonesia Masyumi adalah
89 Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Hamka, Kenang-Kenangan 70 Tahun Hamka (Jakarta: Nurul Islam, 1978), h.283-284 para pemimpin Islam yang sudah tidak asing lagi dalam dunia pergerakan saat itu, antara lain: Dr. Sukiman Wirjosendjoyo mantan pemimpin Partai Islam Indonesia dan Muhammad Natsir dari Persis. Natsir juga tercatat selaku ketua panitia kongres dengan anggota: Sukiman Wirjosendjoyo (PII), Abikusmo Tjokrosudjoso
(PSII), A. Wahid Hasyim (NU), Wali Al-Fatah (PII), Sri Sultan
Hamengkubuwono IX (non afiliasi), Sri Paku Alam VII (non afiliasi) dan Gafar
Ismail (PII). 90
Tujuan Masyumi dalam Anggaran Dasar 1945 pasal II menyebutkan bahwa Masyumi bertujuan untuk menegakkan kedaulatan RI dan Agama Islam, dan melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Masyumi memiliki tujuh Program perjuangan yaitu kenegaraan yang akan memperjuangkan terbentuknya negara hukum menurut Islam, berbentuk republik, perekonomian, keuangan, sosial, pendidikan dan kebudayaan, politik luar negeri, dan Irian
Barat.91
Tahun 1955 berlangsung Pemilu pertama di Indonesia yang berjalan secara demokratis. Pemilu ini diselenggarakan dibawah naungan UUD Sementara 1950, karena UUD 1945 telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak UUD RIS 1949 diberlakukan. Pemilu 1955 memilih wakil rakyat untuk parlemen (DPR) dan
Majelis Konstituante yang bertugas menyusun suatu UUD yang permanen.
Peserta pemilu ini tak kurang dari 29 partai politik, golongan dan calon perorangan yang terjun ke gelanggang. Dari kalangan Islam tidak kurang dari 5 partai yang ikut Pemilu, yaitu Masyumi, NU, PSII, Perti dan AKUI (Angkatan
90 Abdul Aziz Taba, Islam dan Negara dalam Politik Orde baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 158 91 Yusuf, Ensiklopedi, h. 250 Kesatuan Umat Islam). Total kelima partai meraih suara untuk parlemen
16.518.332 suara, sedangkan untuk Majelis Konstituante mendapat suara sebanyak 16.464.008. dengan itu, kalangan Islam memperoleh kursi 115 dari 257 kursi parlemen dan 28 kursi dari 504 kursi Konstituante.92
Pemilu 1955 menghasilkan empat partai terbesar, yaitu PNI (22,3% dengan 57 kursi), diikuti Masyumi (20,9%, 57 kursi), Nahdatul Ulama (NU,
18,4%, 45 kursi), dan Partai Komunis Indonesia (PKI, 16,4%, 39 kursi). Adapun sisa kursi sebanyak 59 kursi dibagi-bagi diantara partai-partai kecil, seperti PSI
(partai Sosialis Indonesia) dibawah pimpinan Teungku Sjahrir yang hanya memiliki 5 kursi di parlrmen. Dari jumlah itu wakil dari kelompok Islam jika disatukan berjumlah sekitar 44%.93
Bagi Hamka, Masyumi inilah yang terus mendorongnya ke dalam kancah politik. Hamka masuk dalam Masyumi menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme konstitusional. Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante, yaitu dewan pembuat undang-undang hasil pemilihan umum 1955, terjadi suatu perdebatan serius mengenai dasar negara. Ada yang menghendaki dasar negara
Islam, diusung oleh partai-partai Islam, seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama, Perti dan Sarekat Islam. Ada yang menghendaki tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, yang diusung oleh partai-partai Nasionalis, Komunis,
Sosialis, Kristen dan Katolik.
Pancasila sangat gencar dibicarakan dalam sidang-sidang Konstituante pada 1956-1959 sebagai suatu masalah yang menyangkut dasar negara. Ia
92 Taba, Islam dan Negara, h. 172 93 Ibid., h. 54 mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun juga di dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia, sungguhpun ia dapat juga menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini.94 begitupun golongan yang kontra Islam yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara.
Perdebatan itu berujung dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Hamka yang berisi antara lain: kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, Demokrasi
Terpimpin, dan pembubaran Dewan Konstituante.
Jimly Assiddiqie mengatakan bahwa Hamka tidak terjebak dalam dua kutub yaitu menuju negara agama atau negara sekuler. Menurut Hamka sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa kita sebagai umat Islam tunduk dan patuh terhadap ajaran Al-Qur'an dan Hadis, sebagai warga negara Indonesia kita wajib menjujung tinggi prinsip negara hukum dan demokrasi berdasarkan konstitusi sebagai hukum tertinggi di Indonesia.95 Negara Republik Indonesia sama sekali bukan teokrasi, melainkan demokrasi.
3. Hamka dalam MUI
Ketika pemerintah ingin mendirikan Majelis Ulama Indonesia, banyak kalangan Islam menduga lembaga itu akan lebih berfungsi melayani Pemerintah daripada untuk kepentingan umat Islam. Di sini Hamka menunjukkan sikapnya bahwa “Ulama tak bisa di beli,” dan ketika Hamka terpilih menjadi ketua Majelis
94 Hery Sucipto dan Najmuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah dari Ahmad Dahlan Hingga A. Syafi’I Ma’arif, (Jakarta: Grafindo, 2005), h. 74 95 Jimly Assiddiqie, “Keislaman dan Keindonesiaan: Kiprah dan Pemikiran Buya Hamka,” dalam Afif, Buya Hamka, h. 182-183 Ulama Indonesia pada 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juni 1975 ternyata cukup memegang prinsip-prinsip Islam. Pada awalnya banyak orang meragukan Hamka menjadi ketua , karena pada sebelum terbentuknya MUI, ia adalah orang yang meragukan terbentuknya badan fatwa yang diusulkan pemerintah, karena beliau khawatir badan ini akan disalahgunakan oleh pemerintah, ia menerima setelah berkonsultasi dengan pimpinan Muhammadiyah.
Terdapat dua alasan Hamka menerima kedudukan sebagai ketua umum
MUI, Pertama: adanya bahaya ideologi Komunis di Indonesia, untuk menghadapinya orang harus menghadapi ideologi yang lebih kuat, yakni Islam.
Untuk mencapai hal ini, kaum Muslimin seharusnya dapat bekerjasama dengan pemerintah Suharto yang juga bersikap anti Komunis. Kedua: dengan pembentukan MUI ini di harapkan adanya kerjasama yang lebih harmonis dan mengikis adanya saling curiga antara pemerintah dan umat Islam. 96Selain itu pula mengapa Hamka didukung untuk menjadi ketua MUI karena ia merupakan warga
Muhammadiyah yang diterima oleh golongan lain, terutama golongan NU.
Pada 17 September 1975 Hamka beserta beberapa pimpinan MUI lainnya dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto menyampaikan secara langsung bahwa para pemimpin Islam sangat gusar dengan gerakan Kristenisasi di berbagai tempat di Indonesia. Pihak Kristen dengan berbagai akses kegiatan kristenisasi untuk menarik orang Islam masuk Kristen dengan iming-iming pemberian bahan
96 Rusydi, Pribadi, h. 68 makanan dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Presiden Soeharto memberikan sambutan yang positif terhadap pernyataan Hamka yang berani itu.97
Pada tanggal 25 Agustus 1976, MUI diundang Letjen Kartakusumah dari
Dewan Pertahanan keamanan Nasional (Wanhamkamnas) untuk menghadiri dengar pendapat tentang penafsiran Pancasila dan UUD 1945 yang akan dirumuskan dalam sidang umum MPR pada tahun 1978. Beberapa hal pokok yang dibacakan Hamka mengenai “Pembahasan dari intisari UUD 1945” antara lain: pertama, negara berdiri sebagai pertemuan keinginan luhur rakyat Indonesia dengan “Berkat Rahmat Allah.” Kedua, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Sila
Pokok, dan negara Republik Indonesia sama sekali bukan teokrasi, melainkan demokrasi. Ketiga, pemeluk agama Islam adalah pendukung utama Pancasila dan keaktifan umat didalam melaksanakan ibadat dan kewajiban agamanya masing- masing adalah salah satu alat yang ampuh untuk mengukuhkan Pancasila.98
Hamka menambahkan bahwa Indonesia memiliki landasan bernegara Pancasila yang mengindikasikan bahwa Indonesia itu bukanlah negara yang memisahkan urusan negara dan agama dan juga Indonesia bukanlah negara agama, karena di
Indonesia memiliki sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan legitimasi bahwa di Indonesia mempercayai bahwa Indonesia ini bukan negara agama, karena di Indonesia terdapat beberapa agama yang diakui oleh negara.
Pada rapat kerja II, MUI Agustus 1977, Hamka mengutarakan persepsinya mengenai peranan ulama: “Agama dengan kekuasaan akan bertambah kuat,
97 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 280 98 Adnan Buyung Nasution, "Hamka: Figur Yang Langka," dalam Tamara, Hamka di Mata, h. 285 kekuasaan dengan agama akan bertambah kekal.” Hamka menunjukkan bahwa agama adalah komponen pokok yang harus diperhitungkan oleh pemegang kekuasaan manapun.
Pada 1 Juni 1980, MUI menyebarkan fatwa tentang pernikahan antar agama, sebelumnya MUI pada 11 Agustus 1975, MUI DKI Jakarta telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya bagi laki-laki muslim menikahi wanita non-muslim sekalipun dari dari kalangan ahl al-kitab dan larangan bagi kaum wanita muslim untuk menikah dengan laki-laki non-muslim tanpa pandang bulu apakah laki-laki itu ahl al-kitab atau musyrik. Fatwa MUI 1 Juni 1980 itu pada dasarnya adalah mengukuhkan fatwa MUI DKI yang memutuskan: Pertama:
Seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan dengan laki- laki non-muslim, Kedua: Pria muslim tidak boleh (haram) untuk menikahi wanita non-muslim.
Fatwa ini selain di tandatangani Ketua Umum MUI Hamka dan Sekretaris
MUI Kafrawi, juga dibubuhi tanda tangan Menteri Agama yang saat itu dipegang oleh Alamsyah.99
Pada tahun 1981 timbul masalah sekitar fatwa MUI pada 7 Maret 1981 tentang perayaan natal bersama dan dicabut kembali tanggal 30 April 1981, kemudian diikuti oleh pengunduran diri Hamka pada 21 Mei 1981, maka masyarakat menjadi saksi betapa sebenarnya sikap dan pengaruh politis tokoh ini bahwa ukhuah Islamiyah menjadikan persatuan.100
99 Azra, Historiografi, h. 288 100 Nasution, Hamka, h. 285-286 Sebenarnya masalah ini sudah pernah timbul sejak 1968, pada tahun itu hari raya Idul Fitri sampai dua kali, yaitu 1 Januari dan 21 Desember 1968. Maka timbullah inspirasi pada beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, dan keluarlah perintah supaya peringatan halal bi halal Idul Fitri dan hari Natal digabungkan jadi satu. Diadakan pertemuan di jawatan-jawatan dan departemen- departemen; "Lebaran-Natal."
Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Suharto sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamkapun sebagai Ketua MUI pada 21
September 1975 telah menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-
Mumtahinah ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Qur'an orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri101.
Artinya MUI berdiri dia telah menerima anjuran pemerintah tentang kerukunan umat beragama. Dan ini telah berjalan baik, tetapi belum ada patokan dan batas-batas tentang mana yang akan kita rukunkan dan mana yang akan kita damaikan, maka timbullah soal Natal, lebih jelasnya tentang "Natal Bersama".
Pada Munas MUI di Cipayung 1979 utusan MUI dari Ujung Pandang membawa berita bahwa kaum Kristen di sana menjelaskan kepada pengikut- pengikutnya bahwa Peringatan Natal adalah ibadat bagi mereka. Sudah lama hal
101 Shobahussurur, Mengenang, h. 79-80 ini diperbincangkan dalam kalangan kaum muslimin. Meskipun tidak ada pula orang Islam yang menolak anjuran kerukunan hidup beragama, dan orang Kristen pun belum pernah pergi bersama ber-Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha ke tanah lapang atau masjid. Dengan demikian bukanlah berarti bahwa mereka (orang
Kristen) tidak hidup rukun dengan orang Islam.
Disinilah terdapat kesalahpahaman di antara Pimpinan MUI dengan
Menteri Agama. Mengapa fatwa itu telah tersiar luas, padahal mestinya disampaikan kepada Menteri Agama saja. Tetapi MUI pusat menyatakan ini sangat penting, maka disebarkanlah surat edaran ke cabang-cabang di seluruh
Indonesia. Pemerintah melalui Menteri Agama memutuskan untuk mencabut beredarnya fatwa tersebut, fatwa tersebut dicabut kembali tanggal 30 April 1981, kemudian diikuti oleh pengunduran diri Hamka pada 21 Mei 1981
Sikap Hamka dalam pernyataan Mundurnya dari Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia:
Bismillahirrahmanirrahim
1. Menteri Agama H. Alamsyah dalam pertemuan dengan Majelis Ulama
Indonesia tanggal 23 April 1981 yang telah lalu telah menyatakan kecaman
atas tersiarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia. Dalam kesempatan itu H.
Alamsyah telah menunjukkan kemarahannya dan menyatakan ingin
mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai Menteri Agama.
2. Menjawab ucapan-ucapan Menteri, maka saya mengatakan: Bukan beliau,
tapi sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai ketua Majelis
Ulama Indonesia. Dan saya bertanggung jawab atas tersiarnya fatwa yang membuat Menteri Agama mau mengundurkan diri itu. Akan tetapi saya pun
mengatakan pula bahwa Majelis Ulama Indonesia yang telah berdiri selama
enam tahun, perlu dipertahankan siapa pun yang menjadi ketuanya.
3. Karena anggapan bahwa Majelis Ulama Indonesia masih diperlukan adanya
di Indonesia dan demi mengamankan kehidupannya setelah keberhentian
saya, maka saya pun menandatangani surat Keputusan Pencabutan Peredaran
itu dengan pengertian bahwa nilai fatwa itu sendiri tetap sah sebagaimana
yang telah diputuskan oleh Majelis Ulama Komisi Fatwa.
4. Saya merasa perlu menyiarkan pernyataan pribadi atas sahnya isi fatwa
tersebut, sebagaimana telah dimuat oleh sementara surat-surat kabar. Namun
demikian saya berharap pula kerjasama yang lebih baik antara ulama dan
umara untuk masa-masa yang akan datang, terutama melalui Pimpinan
Majelis Ulama setelah saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia.
5. Dengan ini saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia di hadapan rapat ini, karena saudara-saudaralah yang telah
memilih saya melalui MUNAS Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang
lalu. Terima kasih. Jakarta, 18 Mei 1981 (Hamka).102
102 Azra, Historiografi, h. 289-290
BAB IV HAMKA DAN GERAKAN MIUHAMMADIYAH DI INDONESIA
A. Peranan politik Hamka
Politik dalam Islam tidak hanya menyangkut ikhwal tatanan politis, melainkan juga tatanan moral, dan seharusnya merupakan pencerminan kemanusiaan dari polisi manusia sebagai khalifah Tuhan. Sebagai demikian kegiatan, sikap dan perilaku politik Islam, selayaknya diwarnai oleh langkah- langkah untuk mewujudkan tatanan politik dan tatanan moral yang manusiawi.
Islam telah menggariskan suatu paduan strategis, yakni bahwa sebagai gerakan ideologis tidak mungkin terlepas dari realitas dan aspirasi sosial masyarakatnya.
Hamka dalam sejarah kehidupannya di warnai oleh hal itu, ia berperan sebagai patriot pada masa pra dan masa awal berdirinya republik ini, berdiri pada barisan depan pembendung arus pengaruh kaum komunis zaman Orde Lama dan tampil sebagai figur ulama-demokrat pada masa Orde Baru.103 Keberadaan
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid sampai saat ini mengindikasikan bahwa para pemimpinnya memiliki kemampuan membaca dan memahami situasi dan kondisi dari waktu ke waktu, serta mampu mengelola jalannya roda organisasi tersebut. Keanggotan Hamka dalam Muhammadiyah menjadikannya sebagai inspirasi, guru dan pencetak kader-kader Muhammadiyah. Hamka berpandangan bahwa Islam adalah meliputi seluruh kegiatan hidup manusia. Islam tidak saja
103 Adnan Buyung Nasution, "Hamka: Figur Yang Langka," dalam Nasir Tamara, dkk., Hamka di Mata Hati Umat, 2nd ed. (Jakarta: Sinar harapan, 1984), h. 286-287 membahas masalah Ibadah mahluk kepada Tuhannya, tidak pula hanya membahas tentang politik saja, yakni membahas hubungan antara seorang dengan masyarakat, Islam bukan pula hanya urusan ulama atau kepala-kepala agama.
Islam meliputi seluruh aspek kehidupan.104
Perjalanan hidup Hamka melewati masa pemerintahan kolonial Belanda,
Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Pada masa penjajahan Belanda, Hamka berjuang lewat jalur intelektual, spiritual, dan bahkan fisik bersama tokoh-tokoh nasional, terutama dalam organisasi Syarikat Islam dan Muhammadiyah.
Pada masa revolusi melawan Belanda 1945-1949, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil peranan melawan Belanda. Hamka ditunjuk oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta sebagai Sekretaris Front
Pertahanan Nasional yaitu Himpunan partai-partai politik di Sumatera Barat dalam upaya mempertahankan persatuan melawan Belanda.105
Hamka juga ikut mendirikan Badan Pembela Negara dan Kota (BNPK), yaitu pasukan rakyat yang besar sekali perananya dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di Sumatera Barat. Selain itu Hamka juga berjasa memperkenalkan Komisi Tiga Negara (KTN) kepada rakyat ketika KTN berkunjung ke Bukittinggi. KTN mendapat sambutan yang positif dari rakyat setelah Hamka menyampaikan orasi tentang arti pentingnya KTN dalam proses kemerdekaan Indonesia.106
104 Ibid., h. 230 105 Emzita, "Ayah Masih Tetap Sediakala," dalam Nasir Tamara, dkk., h. 301 106 Rusydi Hamka, “Kepribadian, Sejarah dan Perjuangannya,” dalam Afif Hamka, dkk., Buya Hamka (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 75 Pada tahun 1942, Belanda mulai menyadari bahwa kedudukannya sebagai penjajah akan tergantikan oleh Jepang, Belanda dengan segera melakukan konsolidasi dengan mengumpulkan segenap masyarakat di Medan. Hadir dalam pertemuan itu dari Muhammadiyah, al-Jamiatul Wasliyah, Wahidiyah, juga perwakilan dari keturunan Tionghoa dan India, dan tentu saja partai-partai politik yang ada saat itu seperti Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), Parindra (Partai
Indonesia Raya), kemudian raja-raja Sumatera Timur, Deli, Langkat, Serdang, dan
Kualuh.
Pihak Belanda mengajak seluruh lapisan masyarakat agar bersatu dengan
Belanda untuk melawan Jepang, keinginan itu ditanggapi baik oleh perwakilan
Tionghoa dan India, ketika perwakilan ulama diminta untuk memberikan pendapatnya yang intinya agar mendukung Belanda, para ulama tidak ada yang menyetujuinya dan dapat dikatakan bahwa apa yang diinginkan Belanda sangat tidak masuk akal.
Saat itu Hamka mendapat sinyal dari pihak ulama untuk menjadi juru bicara pihak ulama, dalam kapasitasnya mewakili Muhammadiyah diharapkan tampil dalam menjawab dan menanggapi keinginan Belanda. Hamka berterima kasih mengenai maksud Belanda atas himbauan persatuan yang disampaikan pihak Belanda. Kemudian maksud yang diinginkan Belanda untuk bersekutu melawan Jepang, Hamka mengatakan kepada pihak Belanda semoga berhasil.107
Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengat tahun merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia.
107 Shobahussurur, dkk., Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) (Jakarta: YPI Al-Azhar, 2008), h. 66-68 Sebelum serbuan Jepang, tidak ada satupun tantangan yang serius terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia. Pada waktu Belanda menyerah, telah berlangsung begitu banyak perubahan luar biasa yang memungkinkan terjadinya
Revolusi Indonesia. Jepang memberi sumbangan langsung pada perkembangan- perkembangan tersebut. Terutama di Jawa, sampai tingkatan yang lebih kecil di
Sumatera, mereka mengindoktrinasi, melatih, dan mempersenjatai banyak generasi muda serta memberi kesempatan kepada para pemimpin yang lebih tua untuk menjalin hubungan dengan rakyat.108
Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas yaitu menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan mereka dan memobilisasi mereka demi kemenangan Jepang. Pada masa kolonial Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda pada 1942, majalah Pedoman Masyarakat pimpinan
Hamka dilarang terbit.
Pelarangan terbit majalah itu justru membuat Hamka mempunyai banyak waktu lebih untuk melakukan kegiatan dakwahnya, dan tidak lama, Hamka menerbitkan majalah Semangat Islam bersama Yunan Nasution dan Yusuf
Ahmad. Selain itu ia lebih memfokuskan perhatiannya memimpin
Muhammadiyah wilayah Sumatera bagian Timur. Dalam kedudukannya saat itu sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Sumatera Timur.
Di Sumatera bagian Timur (Medan, Riau juga Aceh) seringkali terjadi sengketa kerajaan Melayu, yang kaum ulamanya lebih cenderung kepada aliran lama, berhadapan dengan para ulama pembaruan dari Muhammadiyah. Kejadian
108 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2nd ed. (Jakarta: Serambi, 2005), h. 405-406 ini terus berlangsung terutama dikarenakan peran atau hubungan kerajaan dan para ulama yang beraliran lama ini sangat kental dengan budaya feodal kerajaannya.109
Ketika pendudukan Jepang di Indonesia, Hamka lebih bersikap koperatif terhadap Jepang, Jepang pada 1943 telah menguasai Indonesia dengan semboyan
“Saudara Tua,” yang akan membebaskan Asia dari tangan penjajah. Jepang melantik Hamka sebagai “Penasihat Agama Islam” dan kedudukannya langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Namun Hamka merasa perlu menerima jabatan yang diberikan Jepang, sebagai strateginya dalam perjuangan melalui dakwahnya, dengan terus memberikan semangat perlawanan rakyat terhadap penjajah Jepang melalui pidato, dialog serta tulisannya.
Pada tahun 1944 Hamka menerima pengangkatan dirinya menjadi anggota
Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat), konsekwensinya sangat pahit, Hamka dikucilkan, dibenci dan dipandang sinis oleh masyarakat di Medan dan sekitarnya.
Hal ini membuat Hamka melakukan “lari malam” dari kota Medan ke Padang
Panjang pada tahun 1945,110 Hamka mengatakan bahwa bulan Agustus sampai
Desember adalah masa yang paling pahit selama hidupnya.
Di Jakarta, Soekarno juga bersikap kompromi terhadap pemerintah Jepang,
Soekarno mengangap perlu untuk bersikap begini. Soekarno juga banyak mendapat caci maki dari rakyat kepadanya. Hamka berinisiatif untuk bertemu
109 Shobahussurur, Mengenang, h. 68-69 110 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1990), h. 26 dengan Soekarno dengan tujuan agar segala kebijakan yang akan diambilnya di
Jakarta sejalan dengan kebijakan yang akan Hamka lakukan di Medan.111
Setelah Indonesia merdeka berkembanglah rezim Orde Lama dan
Soekarno menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Pada tahun 1945 sampai dengan 1949 sistem pemerintahan negara yang baru lahir adalah demokrasi (tanpa atribut apa pun). Kemudian dibawah naungan UUDS 1950, demokrasi kita dikenal dengan nama Demokrasi Liberal (1950-4 Juli 1959). Partai politik menentukan hitam putihnya perpolitikan kita ketika itu. Pada rentan waktu sekitar delapan tahun, negara kita sangat labil, pemerintahan tidak berjalan efektif. Maka situasi ini mendorong Soekarno melakukan perubahan menyeluruh dengan mengganti Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin pada 1959112.
Pada tahun 1950 Hamka dan keluarganya pindah ke Jakarta. Pada 1952,
Hamka diangkat oleh pemerintah menjadi Anggota Badan Pertimbangan
Kebudayaan dari Kementrian (PP dan K), selain itu beliau juga diangkat menjadi
Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makassar, dan
Penasehat pada Kementrian Agama.
Setelah terjadinya perlawanan PRRI/Permesta di Sumatera Barat yang melibatkan para pemimpin Masyumi seperti Muhammad Natsir, Syafrudin
Prawinegara dan lain-lain, oleh pemerintah dibawah pimpinan Presiden Soekarno yang pada waktu itu sangat dekat dengan komunis, diputuskan untuk membubarkan partai Masyumi dan setelah itu Hamka tidak lagi menjalani politik
111 "HamkaTentang Hamka," Panjimas, no. 2 (Oktober 2002): h. 70 112 Miftakhul Anam, "Urgensi Implementasi Demokrasi Substantif dalam Keragaman Beragama," dalam Erlangga Husada, dkk., Kajian Islam Kontemporer (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 111 praktis, namun tidak menghentikan kiprah politiknya secara langsung. Setelah
Masyumi bubar Hamka membidani penerbitan majalah “Pedoman Masyarakat,” sebuah majalah yang lebih mengutamakan misi dakwah dan kebudayaaan sama seperti “Pedoman Masyarakat” yang dipimpinnya saat ia tinggal di Medan.
Melalui media ini Hamka terus mengkritisi pemerintahan Soekarno.
Sikap Hamka dengan pemerintah dilakukan dengan penuh konsistensi dan etika dalam aktivitas politik yang sangat mempengaruhi pemerintahan karena harus ada ketegasan dalam membela kebenaran. Pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan memang sangat labil dan masih banyak konflik yang bergejolak di
Indonesia. Perbedaan-perbedaan mengenai bentuk negara juga sering didengungkan masa awal Indonesia merdeka.
Kritik juga disampaikannya dalam berdakwah memimpin jamaah di
Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada edisi pertama majalah Panji Masyarakat itulah, Hamka menuliskan sebuah karangannya yang berjudul “Istiqomah.” Dalam tulisannya itu ia menafsirkan surat 41 al-Fushilat ayat 30. Artikel itu dituliskannya di masa pemerintahan Soekarno yang di dalam menjalankan roda pemerintahannya telah bertindak secara diktator dan sangat dekat dengan komunis yang atheis.113
Surat-surat kabar komunis pada masa itu seperti Harian Rakyat dan
Bintang Timur, ditambah dengan koran-koran Nasionalis pendukung Soekarno, setiap hari menyerang Hamka seperti ”Neo-Masyumi” muncul di masjid Agung
Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Majalah Panji Mayarakat yang di pimpinanya
113 Shobahussurur, Mengenang, h. 69 pun dibredel setelah memuat tulisan dari Mohammad Hatta yang berjudul
“Demokrasi Kita.” Dalam tulisan itu Hatta mengkritik keras konsep Demokrasi
Terpimpin Soekarno. Ia menguraikan secara menyeluruh semua pelanggaran- pelanggaran konstitusional yang dilakukan rezim Soekarno.
Soekarno juga dengan kekuaannya melakukan tindakan penangkapan kepada Hamka dimana pada 27 Agustus 1964 berdasarkan Undang-Undang Anti
Subversif yang dibuat peerintah Soekarno. Masyarakat yang “Kontra Revolusi” harus ditindak. Hamka bersama beberapa pimpinan lainnya di jebloskan ke dalam penjara. Alasannya Hamka dituduh telah mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia atau melakukan makar, yang bertujuan untuk menggulingkan (kudeta) pemerintah serta ingin membunuh Soekarno, dengan mendapatkan bantuan dana dari Tengku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia waktu itu dan Hamka dituduh telah melakukan penghasutan terhadap mahasiswa IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, ketika memberikan kuliah umum Hamka dituduh mengajak
Mahasiswa untuk meneruskan perjuangan Mr. Kasman Singodimejo dan kawan- kawan untuk melawan pemerintahan Sukarno. Hamka terus ditahan hingga tumbangnya masa rezim Orde Lama Soekarno dan di bubarkanhnya Partai
Komunis oleh Pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto.114
Memang pada masa Demokrasi Terpimpin, marhaenisme sebagai simbol nasionalisme sekuler diartikan sebagai marxisme yang diterapkan di Indonesia,
Kemudian, formula nasakom (nasionalisme-agama-komunisme) yang begitu digandrungi Soekarno semakin memperburuk keadaan yang memang sudah
114 Ibid., h. 73 buruk. Kejatuhan presiden Indonesia yang pertama ini karena memaksakan suatu formula ideologi yang secara substansial tidak dapat dan tidak mungkin dipakai.115
Pemerintahan Orde Baru bibawah pimpinan Presiden Soeharto, pada masa ini dakwah-dakwah yang di lakukan Hamka dan juga para muballigh lainnya terus diawasi dengan ketat. Walaupun menaruh curiga tetapi kegiatan-kegiatan Hamka dalam berceramah dan menyempaikan dakwah Islam di biarkan.
Pada 1967 Majalah Panji Masyarakat terbit kembali dan mendapatkan tempat di hati masyarakat dengan 50.000 eksemplar setiap terbitnya. Hamka mendapatkan kebebasannya kembali untuk mengembangkan majalah yang dipimpinnya itu. Pada 1973, Hamka menulis artikel di Harian Kami edisi 23
Agustus 1973, yang isinya berupa penolakan terhadap usulan Perubahan Undang-
Undang Perkawinan dari Pemerintah. Ia menolak usulan itu karena menurutnya itu bertentangan dengan syariat Islam116. Pemerintah Orba pernah memprakarsai
Musyawarah Antar Umat Beragama, yang maksunya mempertemukan para
115 Syafi’I Ma’arif, "Watak Komunisme Indonesia: Membonceng," dalam Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999), h. 34-35 116 Hamka menyuarakan tentang rencana Undang-Undang Perkawinan, Hamka mengatakan bahwa sebelum mereka membuat rencana dan rancangan, terutama mengenai perkawinan, sudah tentu mereka mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan syariat Islam. Dalam pokok ajaran Tasyirul Islamy, bahwa yang dipelihara dengan syariat itu ada lima perkara, 1. Memelihara agama, 2. Memelihara jiwa, 3. Memelihara akal, 4. Memelihara keturunan, 5. Memelihara harta Di dalam bagian 4. "Memelihara keturunan", disebutkan maksudnya: Pertama. Memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan musnah karena kesia- siaan manusia, Kedua, Memelihara agar keturunan itu dibangsakan dengan sah kepada orang tuanya. Lihat. David Bourchier dan Vedi R Hadiz , ed., Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2006), h. 115 pemimpin dan ulama Islam dengan pemimpin Kristen untuk meredakan pertikaian dan perselisihan yang seringkali terjadi pada masa itu.117
Sikap dan perilaku politik Hamka yang memperlihatkan peranan dan citra politiknya di Indonesia bukan hanya pada saat ia duduk di parlemen, atau kegiatan-kegiatan atau tulisan-tulisan Hamka dalam masa Orde Lama ketika pengaruh komunis begitu kuat seperti LEKRA hingga dibentuk MASBI
(Musyawarah Antar Seniman Budaya Islam).
Hamka juga berjuang pada masa pemerintahan Orde Baru. Ketika pada
Pemilihan Umum tahun 1971, pada saat itu terdapat desakan agar para pegawai negeri pada saat itu di haruskan memilih Golongan Karya. Hamka sebagai anggota Muhammadiyah dan juga orang yang duduk di dalam pemerintahan menegaskan bahwa
“Saya sebagai seorang warga negara yang mempunyai kesadaran beragama dan bernegara yang menghormati merah putih. Saya pun menegaskan bahwa dengan pernyataan ini bukanlah saya mesti masuk salah satu partai politik, bukan juga saya harus membantu kampanya Golongan Karya. Bukan berarti jika tidak ikut dalam kampanye Golongan Karya bukan berarti saya keluar dari perjuangan Islam dan juga bukanlah
117 Tersiar berita di masyarakat bahwa musyawarah itu telah gagal. Ada dua gagasan pemerintah yang disampaikan oleh Soeharto dan Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Rakyat sendiri: Pertama, supaya diadakan Badan Kontak Antar Agama. Kedua, supaya diadakan satu Piagam yang ditandatangani bersama, yang isinya menerima anjuran Presiden agar pemeluk suatu agama yang telah ada jangan dijadikan sasaran propaganda oleh agama yang lain. Usulan yang pertama berhasil disetujui bersama yaitu perlunya Badan Kontak Agama yang akan menjadi penyelidik penyelesaian kalau terjadi perselisihan antar agama dibawah kementrian agama. Sedangkan usaha kedua, tentang orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran propaganda suatu agama tidaklah terdapat kata sepakat, sebab itu musyawarah dikatakan gagal. Pihak Islam dapat menerima gagasan tersebut, sedangkan pihak kristen hanya setuju apabila diadakan badan konsultasi antar agama saja. Tetapi mereka tidak dapat menyetujui kemerdekaan mereka menyebarkan agama kristen kepada penduduk Indonesia yang bukan Kristen dibatasi. Tambunan, SH menegaskan bahwasanya bagi orang kristen menyebarkan Perkabaran Injil keoada orang yang belum Kristen adalah “Titah Ilahi” yang wajib dijunjung tinggi. lihat Hamka, Dari Hati ke hati: Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 182- 183 berarti berkurang loyalitas saya kepada Presiden Soeharto, pemilihan umum adalah pilihan demokratik, bukan soal loyalitas-loyalitasan.118
Pada 23 Juli 1975, Hamka terpilih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Pada peresmian MUI di depan Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama sebagai wakil dari pemerintah, Hamka mengatakan bahwa dirinya mau menerima permintaan pemerintah agar para ulama berperan mengisi pembangunan dari segi rohaniah. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa penerimaannya sekaligus untuk selalu membenarkan segala tindakan dan keputusan pemerintah. Hamka merasa tak terhalangi untuk terus menyampaikan kritik pada pemerintah termasuk Presiden Soeharto sekalipun. Antara lain menolak keinginan Soeharto yang menghendaki diakuinya keberadaan golongan kepercayaan, dan dikuatkan dengan pencantumannya dalan GBHN.119
Setelah terpilih menjadi Ketua MUI untuk yang kedua kali periode 1980-
1985, pada pidato pelantikan yang kedua kalinya sebagai ketua umum MUI,
118 Adnan Buyung Nasution, "Hamka Figur yang Langka," dalam Tamara, Hamka di Mata, h. 284-285 119 Dalam pertemuan untuk menonjolkan gerakan Kebathinan, Kepercayaan, dan Kerohania yang telah dihidup-hidupkan sejak beberapa lama. Menteri Agama Prof. Dr. A. Mukti Ali telah menjelaskan bahwa “Gerakan Kebathinan atau Kepercayaan, itu bukan agama.” Gerakan Kebatinan atau yang dinamai dengan Gerakan Kepercayaan atau Gerakan Kerohanian dan sebagainya mempunyai rencana bahwa pada tahun 1978, seluruh agama di Indonesia ini akan dibikin habis, terutama agama Islam. Yang aman tegak hanya agama asli Indonesia, yaitu agama kebatinan yang dipelopori dari Jawa Tengah. Hamka sangat mendukung Menteri Agama, Hamka mengatakan kita umat beragama, terutama kaum muslimin tidak bertanya-tanya lagi dalam hati melihat sikap dan tingkah laku kaum kebatinan, kaum perdukunan, kaum pertenungan dan peramalan minta diakui jadi agama sendiri, dan disamping minta diakui mempunyai program, pula hendak menghapus agama di Indonesia, dan hanya tinggal satu agama saja “asli Indonesia,” padahal yang dimaksud dengan Indonesia itu ialah kepercayaan dari satu golongan kecil saja yaitu “Jawa.” Semua hendak berlindung di belakang UUD ’45, semuanya hendak mempergunakan Pancasila jadi landasan. Karena dalam Pancasila ada “Ketuhanan Yang Maha Esa,” mereka merencanakan mempergunakan Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjadi dasar dalam menegakkan keagungan Majapahit kembali. Lihat Hamka, Dari Hati, h. 188-189 beliau menyinggung Pancasila.120 Tidak lama setelah pengangkatannya itu,
Hamka meletakkan jabatannya karena ada perbedaan pendapat antara Majelis
Ulama Indonesia dengan pemerintah mengenai perayaan Natal Bersama121.
B. Peranan dalam Bidang Agama
Hamka, dari segi tinjauan ilmu agama ia telah berhasil sebagai pembaharu
pemikiran keagamaan di Indonesia. Pertama, Konsentrasi Hamka mengenai
perkembangan tasawwuf di Indonesia. Sebagai ulama yang aktif di Pergerakan
Muhammadiyah, Hamka menolak mitologisasi-mitologisasi dan aspek-aspek
yang tidak rasional, yang hanya melemahkan tauhid. Dalam karyanya Islam dan
Kebatinan, Hamka mengkritik keras praktek-praktek yang menekankan dimensi
mitologis yang tidak masuk akal. Dalam karyanya itu Hamka menekankan aspek-
aspek rasional dan ketauhidan. Umat Islam harus maju. Tasawwuf termasuk di
dalamnya tarekat, kerapkali dijadikan kambing hitam atas kemunduran umat
Islam, ia selalu dianggap telah mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran-
ajaran lain di luar Islam, sehingga gerakan pemurnian Islam yang ingin
120 Pancasila yang saat itu gencar di propagandakan oleh pihak pemerintah sebagai satu- satunya azas kehidupan berbangsa bernegara. Dalam penolakannya iru Hamka mengatakan bahwa Pancasila bukanlah sesuatu yang harus dipropagandakan dengan pidato atau slogan kosong. Namun yang lebih penting adalah bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa harus tetap menjadi landasan awal dalam setiap pola pikir maupun tindakan serta perilaku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan kesehariannya. Sehingga dapat terbukti siapakah yang benar-benar melaksanakan Pancasila dalam kehidupannya itu. 121 Sikap Hamka mengenai Natal dan Idul Fitri bersama ini berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama, yang Hamka sendiri sebagai ketuanya; “Natal dan Idul Fitri bersama haram hukumnya.” Sungguh kita katakan bahwa, ini bukan toleransi, melainkan memaksa kedua belah pihak jadi orang munafik, mengangguk-angguk menerima hal yang tak masuk diakal, dengan sengaja diatur, supaya membuktikan toleransi. Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Muhammadiyah pun menjelaskan bahwasanya do’a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah diperbolehkan dalam ajaran Islam. Pemerintah melalui Menteri Agama, Alamsyah Ratuprawinegara meminta agar fatwa itu dicabut. Hamka kemudian memilih sikap meletakkan jabatannya sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia). Lihat Hamka, Dari Hati, h. 208-211 menyelaraskan Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selalu mengkritik habis-habisan tasawwuf dengan segala variannya. Ajaran
Tasawwuf banyak yang disinyalir hanya melemahkan gairah untuk meraih kemajuan sehingga diangap tidak relevan untuk dipraktikkan pada saat ini. Prinsip hidup zuhud, tawakkal sangat kontroversial dengan paham materialisme dan hedonisme yang datang bersama peradaban Barat, konsep ikhlas dan sabar sebagaimana yang difahami para sufi terdahulu semakin terdesak oleh tuntutan nilai professionalisme dalam kerja, adanya sikap hormat dan ketaatan sangat tersudutkan oleh tuntutan nilai spirit demokrasi yang semakin menglobal.122
Sangat besar jasa Hamka dalam kehidupan warga Muhammadiyah.
Tasawwuf Modern memberikan legitimasi kepada kecenderungan yang memang sebenarnya sudah ada, tetapi masih tersembunyi oleh semangat memperbarui yang mewarnai sikap orang muda Muhammadiyah pada masa-masa permulaan pertumbuhannya.
Dengan sikap warga Muhammadiyah sekarang terhadap kebiasaan yang menurut Gusdur di sebut “tirakatan” dalam peribadatan murni, akan tampak beda yang sangat besar antara keduanya. Hamka memberikan formulasi bagi perkembangan ajaran tasawwuf dengan pemikiran modern Islam. Hamka memiliki darah dari kakeknya Syekh Amrullah seorang sufi dan haji rasul yang merupakan seorang modernis Islam. Pemikiran itu yang menunjukkan kematangan sikap, tidak lain datang dari pengetahuan bahwa tirakatan itu sendiri
122 Syahrul A'dam, "Potret Pemikiran dan Gagasan Tasawuf (Tarekat) di Indonesia Kontemporer," Mimbar Agama dan Budaya, vol. 23, no. 3 (2006): h. 237-238 bukanlah sesuatu yang harus ditolak, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.123
Persepsi Muhammadiyah yang simplistis mengenai tasawwuf dan tarekat, memang sulit dibantah bahwa pada tingkatan massa, tasawwuf dan tarekat sering berubah menjadi semacam “folk religion” (agama rakyat), yang melibatkan praktek-praktek yang berbau khurafat dan syirik, yang tentu saja tidak sesuai dengan paham keagamaan Muhammadiyah. Kita memang bisa melihat dan menemukan orang-orang tertentu yang mengklaim atau dipercayai kalangan masyarakat atau syekh atau mursid tarekat yang misalnya melakukan praktek perdukunan dan ilmu gaib lainnya. Tetapi, dengan hanya melihat sisi negatif ekses ini tanpa melihat sisi positif yang justru lebih banyak, jelas terlalu terburu-buru untuk mengeneralisasikan bahwa tasawwuf dan tarekat secara keseluruhan hanyalah amalgamasi dari kepercayaan dan praktek-praktek keislaman yang menyimpang. Sejarah perkembangan doktrin dan kelembagaan tasawwuf dan tarekat menunjukkan bahwa dimensi Islam yang kaya ini penuh dengan dinamika, perubahan, dan pembaruan. Dan ini tidak urung lagi melibatkan upaya pembaruan dan pemurnian tasawwuf yang lebih dimurnikan, maka dari itu paraktek-praktek tasawwuf yang semula individual kemudian diorganisasikan ke dalam lembaga tarekat, sehingga lebih memungkinkan untuk dikontrol. Dalam perkembangan lebih lanjut, kelembagaan tarekat difungsikan tidak hanya sebagai wahana spiritual, tetapi juga untuk kegiatan Islamisasi, usaha-usaha ekonomi, perlawanan terhadap kolonialisme, dan sebagainya. Dengan demikian, tasawwuf dan tarekat
123 Abdurrahman Wahid, "Benarkah Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar," dalam Tamara, Hamka, h. 30-31 bukannya passivis, seperti diduga banyak orang, melainkan sangat aktivis.124Para sufi mengatakan bahwa orang yang berfikih tetapi tidak bertasawuf, maka ia adalah seorang yang fasik dan orang yang bertasawwuf tetapi tidak berfikih, maka ia kafir dan orang yang berfikih dan bertasawwuflah yang merupakan orang Islam yang sebenarnya.125
Kedua, toleransi dalam beragama. Pada permulaan abad 20 lahir gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori kaum muda di daerah Minangkabau. Gerakan tersebut masih menghadapi tantangan kuatnya tradisi, misalnya dalam soal hukum waris yang sudah diatur dalam faraid, digabung dengan peraturan yang berasal dari kebiasaan masyarakat matrilineal. Selain itu, dalam tarekat banyak dari kalangan kaum tradisionalis yang mengerjakan cara-cara yang dekat dengan perbuatan syirik, seperti menghormati benda-benda keramat, memberikan sesajen kepada arwah si mati, atau mempergunakan ajimat yang pada intinya telah mengaburkan kepercayaan tauhid. Islam mementingkan tajdid atau pembaharuan.
Dan sudah terang pula menjadi pegangan ulama-ulama Islam dari zaman ke zaman, bahkan tajdid itu adalah suatu kemestian. Kalau tidak ada tajdid pokok agama akan membeku. Yang bid’ah akan mengalahkan yang sunnah126.
Sikap Hamka terhadap antar organisasi, yang dilakukan dengan organisasi sosial maupun keagamaan lain yang berlainan mazhab dan juga pemikiran- pemikiran. Hamka sangat mengedepankan toleransi, akan tetapi kita harus mengetahui mana yang kepunyaan kita dan yang kepunyaan orang lain.
124 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani. Gagasan, Fakta, dan Tantangan, (Bandung: ROSDA, 1999), h. 103-104 125 A'dam, Potret Pemikiran, h. 247 126 Hamka, Dari Hati, h. 24 Muhammadiyah, organisai ini memiliki aktifitas pada bidang dakwah dan sosial kemasyarakatan. Kelahirannya dipicu oleh keprihatinan melihat kondisi umat
Islam Indonesia yang dilanda kemusyrikan, bid’ah dan khurafat serta kebodohan dan penindasan dari kolonial Belanda. Hamka tidak hanya menjadi inspirasi kader-kader di internal Muhammadiyah. Menurut Sekretaris Jendral DPP Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah, Siar Anggreta Siagian, sosok Hamka tidak hanya menjadi inspirasi etika politik, intelektual, dan dakwah di Muhammadiyah. Tetapi telah menginspirasi masyarakat Indonesia dengan kepribadian dan karya-karyanya yang monumental.127
Hamka aktif di dalam mensyiarkan agama Islam ke seluruh Indonesia, ia memberikan ceramah agamanya di Radio Republik Indonesia (RRI) dan tampil di
Televisi Republik Indonesia (TVRI), disinilah letak kebijaksanaan Hamka menjawab permasalahan yang diajukan masyarakat dari berbagai golongan.
Hamka adalah anggota Persarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah,
Persis, Al-Irsyad, ketiganya ini dianggap sebagai Kaum Muda. Detil-detil masalah agama ada yang berbeda dengan saudara-saudara dari Nahdatul Ulama. Hamka terlebih dahulu menyelidiki dengan seksama pokok-pokok pendirian masing- masing dalam agama yang dinamai dengan khilafiyah.
Kedekatan dan toleransi Hamka pada kaum Nahdiyin juga menjadi kenangan budayawan Betawi, Alwi Shahab. Shahab menuturkan pada tahun 1970- an Gerakan Pemuda Anshor menggelar peringatan milad. Waktu itu Hamka ikut
127 Samsuri dan Sopidi, “Paradigma Baru Menghadapi Pluralitas," Lektur, vol. X, no. 2 (Juli-Desember 2004): h, 233 hadir dan duduk bersebelahan dengan tokoh NU KH Idham Chalid. Hamka tak segan untuk berdiri dan membacakan asrakal pada Maulud Diba.128
Ketika Hamka memberikan ceramah di RRI atau di TVRI, pada mulanya
Hamka banyak mendapat teguran dari warga Muhammadiyah, Muhammadiyah menginginkan semua dijawab dengan pendirian Muhammadiyah dan paham Al-
Qur’an dan Hadist. Hamka menanggapi bahwa ia memberikan penjelasan di RRI dan TVRI yang didengar dan disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan. Jikalau hanya dari sudut pandang Muhammadiyah maka
Hamka akan mendapat protes keras dari masyarakat, oleh karena itu Hamka sangat cerdas dalam menjawab berbagai permasalahan dan Hamka dapat menghilangkan batas-batas dan jurang yang membedakan antara satu golongan
Islam dengan sesama golongan Islam karena perbedaan memahami amal ibadat masing-masing.129
Hamka seorang pengikut Muhammadiyah yang sangat setia, tetapi ia tidak canggung di kalangan NU, Persis, Al-Washliyah, dan Al-Irsyad. Keluasannya dalam memahami Islam, ia tidak heran melihat orang berbeda paham dalam masalah khilafiyah bahkan kadang-kadang iapun ikut serta bila berada dalam lingkungannya.
Dalam kehidupan berorganisasinya, Hamka yang seorang Muhammadiyah sangat mengutamakan silaturahmi ketimbang meributkan perbedaan tak berprinsip. Misalnya, suatu ketika KH Abdullah Syafi’I jum’atan di Masjid Al-
Azhar. Waktu itu Hamka sudah terjadwal sebagai khatib hari itu. Melihat
128 Shobahussurur, Mengenang, h. 96 129 Titik. WS. "Hamka: Figur Yang Langka," dalam Tamara, Hamka di mata, h. 378 kedatangan KH Abdullah Syafi’I, seketika Hamka memaksa Si Macan Betawi untuk naik mimbar menggantikan dirinya. Hamka juga meminta adzan dikumandangkan dua kali sebagaimana tradisi Nahdiyin yang di anut KH
Abdullah Syafi’i.
Sejak dibukanya Masjid Al-Azhar, Hamka selalu mengedepankan tasamuh
(toleransi). Pada tarawih kali pertama di Masjid Al-Azhar, Hamka menawarkan kepada jamaah untuk shalat tarawih yang 11 atau 23 rakaat termasuk witir. Waktu itu Hamka di minta yang 23 rakaat, tetapi besoknya jamaah meminta delapan rakaat (witir di lakukan dirumah), sampai sekarang tarawih di masjid Al-Azhar menggunakan yang 11 rakaat.
Jika ia mengimami shalat subuh ia juga bertanya kepada jama’ah apakah akan menggunakan qunut atau tidak, dan ketika jama’ah minta qunut, maka tokoh
Muhammadiyah ini mengimami shalat subuh menggunakan qunut. Tetapi kalau berbeda dalam masalah pokok, seperti paham Ahmadiyah yang berbeda dalam masalah ke-Nabian, beliau hadapi dengan gigih mengatakan bahwa ajaran itu sesat.130 Hamka juga sangat merindukan melihat Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama (NU), Al-jamiyatul Washliyah, Persis, Darud Da’wah wal Irsyad bersatu, walaupun mereka masing-masing mempunyai kelemahan akan tetapi mereka juga memiliki kelebihan masing-masing.131
Hamka mengatakan bahwa perbedaan cara sembahyang atau cara ibadah adalah hal lumrah bagi berbagai ragam pemeluk agama, karena syariat berubah sebab perubahan zaman. Tetapi manusia tidak boleh membeku di satu tempat,
130 Wawancara Pribadi dengan Rusydi Hamka, Jakarta 23 Juli 2008 131 E.Z. Muttaqien, "Biarlah Saya Berhenti." dalam Tamara, Hamka di Mata, h. 210 dengan tidak mau menambah penyelidikannya, sehingga bertemu dengan hakikat yang sejati, lalu menyerah kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Menyerah dengan hati puas itulah dia Islam.
Pengaruh lingkungan budaya dalam mengekspresikan keagamaan lebih banyak ditemukan dalam hal-hal yang lebih praktis dan kongkrit. Akhir-akhir ini kerisauan mengenai pertentangan antara NU dan Muhammadiyah mulai pudar karena beberapa hal yang mempengaruhinya: Pertama, terjadinya dialog dan kontak budaya yang intensif antara NU dan Muhammadiyah. Kedua, munculnya kesadaran baru di kalangan generasi muda Islam sekarang akan adanya pluralisme. Ketiga, terjadi pertukaran pendidikan antara NU dan Muhammadiyah untuk menangani permasalahan sosial masyarakat daripada bertikai masalah furu’iyyah (persoalan yang tidak prinsip), Kelima, adanya pengaruh globalisasi yang menghilangkan sekat-sekat geografis dan kebangsaan, disamping juga melampaui batas pemahaman seorang terhadap aliran mazhab tertentu.132
C. Peranan dalam Bidang Sosial Budaya
Islam merupakan agama ilmu dan memotivasi umatnya untuk senantiasa mencari pengetahuan semaksimal mungkin. Dengan ilmu, manusia akan memahami agamanya dengan baik, sehingga mampu mempertimbangkan nilai baik dan nilai buruk, serta menata peradabannya dengan baik sesuai dengan nilai- nilai ajaran agamanya, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
Oleh karena itu, menurut Hamka, tujuan agama memotivasi umatnya mencari
132 Husada, Kajian Islam, h. 99-100 ilmu pengetahuan bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak. Akan tetapi, lebih dari itu dengan ilmu, manusia akan mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah.133
Terdapat dua konsentrasi yang melekat dalam jiwa Hamka. Pertama, modernisasi sistem pendidikan. Pada masa kolonial Belanda, kecintaan kepada
Allah dan Rasul dan kecintaan kepada agama menyebabkan orang-orang tidak takut menempuh maut. Inilah yang disebut oleh penjajah sebagai fanatik, maka dari itulah penjajah berusaha menghilangkan fanatik itu dengan berbagai cara.
Yang terutama sekali ialah jalan pendidikan. Sekolah- sekolah yang didirikan oleh
Belanda adalah berdasarkan kepada “Neutraal” agama. Ia menginginkan menjauhkan segala yang berbau agama, terutama agama Islam, mulai dari pendidikan dasar sampai menengah sampai kepada pendidikan tinggi.
Dalam pelajaran Sekolah Rendah (SD) meskipun dalam buku bacaan umum, sangatlah dijauhkan yang bernama masjid, walaupun masjid itu adalah pusat kehidupan desa dan dusun. Dalam Sekolah Menengah mulailah diajarkan sejarah yang selalu memenangkan pihak Belanda dan mengalahkan serta menyalahkan pihak bumiputera. Dalam Sekolah Tinggi, materi yang penting kalau yang mengenai Islam adalah apa yang disuguhkan oleh kaum orientalis. Buah pikiran Prof. Snouck Hourgronye, Ignaz Golddziher, Prof. Schrieke, dan tentang karangan fikih Islam, ialah karangan Younboll. Meskipun kadang-kadang berlawanan opini penyelidik-penyelidik Barat itu dengan hakikat agama Islam
133 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 263-264 atau pendapat-pendapat dari ulama itu sendiri, namun dalam aliran pendidikan itu tidaklah ada kekuatan membanding, melainkan pendapat orientalis itu jugalah yang di jadikan pedoman.
Lalu disebarkanlah pendapat ilmiah yang lama-lama menjadi panutan anak-anak orang Islam yang mendapat pendidikan kolonial tadi. Yaitu:
1. Agama Islam, hanya cocok untuk orang Arab, bangsa kita sudah
memiliki kebudayaan yang tinggi sebelum Islam.
2. Agama Islam disiarkan dengan pedang. Sedang agama Kristen
disiarkan dengan damai. Kalau raja-raja Islam dan ulama-ulama
menentang penjajahan adalah karena fanatik.
3. Agama Islam menganjurkan poligami, sebab itu dia adalah
agama biadab. Bukan seperti di Barat, karena di sana tidak ada
poligami.
4. Orang Indonesia kalau mau maju harus meninggalkan Islam.
5. Orang Islam menyembah berhala di Mekah, yaitu batu hitam
yang bernama Ka’bah.
6. Nabi Muhammad adalah seorang Nabi yang kuat hawa
nafsunya, sebab itu Istrinya banyak, dan lain-lain134
Di samping memasukkan ilmiah-ilmiah semacam itu ke dalam pendidikan, ditanamkanlah perasaan yang menimbulkan jurang yang sangat dalam pembatas antara rakyat jelata dengan orang yang jadi pegawai pemerintahan. Bertambah maju pendidikan atau bertambah tinggi pangkat, haruslah dipertunjukkan kepada
134 Hamka, Renungan Tasawwuf, 2 nd ed. (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1995), h. 56-58 umum bahwa orang telah mengerti “berchaafd” (peradaban bangsa penjajah).
Harus pandai minum-minuman keras, harus pandai hidup meniru orang Belanda.
Ulama-ulama yang teguh memegang pendirian dituduhkan fanatik, tetapi ulama yang pandai menyesuaikan diri dengan kehendak penjajah, mungkin berkali-kali mendapat bintang dan pujian.135 Orang Islam lebih suka mendirikan pondok, belajar ilmu pengetahuan Islam yang tinggi ke Makkah, sampai di kampung mendidik anak dalam lingkungan Islam, isolasi dan memisahkan diri, sehinga dengan sendirinya terdapat dua kiblat golongan terpelajar di Indonesia yaitu
Amsterdam dan Makkah. Masing-masing memandang dari segi negatifnya.
Mereka tidak dapat menilai mana ajaran Barat yang bermanfaat dan yang buruk.136
Muhammadiyah sangat memperhatikan bidang pendidikan, hal itu dikarenakan pada saat itu lembaga pendidikan yang khas Indonesia (pondok pesantren) belum dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman. Tidak saja isi dan metode pengajarannya, tetapi sampai pada sistem pendidikannya pun harus disempurnakan.
Muhammadiyah merintis jalan dengan mendirikan sekolah yang tidak lagi memisahkan pelajaran yang dianggap agama dan pelajaran yang digolongkan ilmu umum. Dengan sistem seperti Muhammadiyah bermaksud untuk mendidik bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang utuh kepribadiuannya, tidak terbelah menjadi pribadi yang berilmu umum atau berilmu agama saja, maka dari itulah
Muhammadiyah menempuh cara memadukan keduanya dalam bentuk:
135 Ibid 136 Hamka, Dari Hati, h. 307 a. Mendirikan sekolah umum dengan memasukkan ilmu-ilmu agama
ke dalamnya; dan
b. Mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberikan pendidikan
dan pelajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum137
Sekolah-sekolah Muhammadiyah untuk menandingi sekolah-sekolah
Belanda antara lain: Kweekschool Muhammadiyah di Yogyakarta, Mu’allimin
Muhammadiyah di Solo dan Jakarta, Mu’alimat Muhammadiyah di Yogyakarta,
Zu’ama/Za’imat di Yogyakarta, Kulliyah Mubhallighin/Muballighat di Padang
Panjang, Sumatera Tengah, Tabligh School di Yogyakarta, H. I. K.
Muhammadiyah di Yogyakarta, H.I.S. Muhammadiyah, Mulo, A.M.S.
Muhammadiyah, Dan Madrasah Lainnya
Hamka juga menanamkan betapa pentingnya “Pendidikan Budi”yaitu memegang pendirian, berani menyatakannya kepada orang ramai dan sanggup bertanggung jawab, Hamka juga menjelaskan betapa pentingnya “Pendidikan
Akal”, yaitu menambah ilmu pengetahuan dan memperbanyak penyelidikan.138
Hamka sebagai warga Muhammadiyah menjadikannya sebagai inspirasi, guru dan pencetak kader-kader Muhammadiyah. Hamka sangat bangga dengan sikap intern anggota Muhammadiyah, yang dilakukan sesama anggota persyarikatan Muhammadiyah untuk mengembangkan organisasinya, anggota dan amal usaha yang dimilikinya. Upaya Hamka dalam menggagas ide-ide pembaruan pendidikan Islam tidak hanya dilakukan melalui mimbar atau karya-karya tulisannya. Lebih lanjut ia mengapresiasikan ide-idenya itu secara nyata dalam
137 Ibid., h. 62 138 Hamka, Falsafah Hidup, 8th ed. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 301-302 pendidikan formal. Fenomena pada pendidikan formal yang didirikannya maupun pada lembaga pendidikan lain. Pengalaman yang telah dimiliki beberapa tahun menggerakkan Muhammadiyah di seluruh Sumatera Barat. Pengalaman- pengalaman itu yang mendesak pemimpin-pemimpin Muhammdiyah Padang
Panjang untuk membentuk kader-kader baru. Atas usulan Abdullah Kamil agar
Buya AR Sutan Mansur dan pemimpin Muhammmadiyah yang lain memang untuk membuat suatu pembinaan dalam bentuk sekolah untuk mencetak kader.
Usulnya diterima dengan baik hingga resmi berdirnya Tabligh School pada
1929.139
Guru-guru yang mengajar di Tabligh School diantaranya Buya AR. Sutan
Mansur, Hamka, SY. Sutan Mangkuto, Abdullah Kamil dan M. Rasyid Idris Dt.
Sinaro Panjang. Mata pelajaran berkisar tentang kepemimpinan dan semangat penyebaran dakwah Muhammadiyah, serta taktik yang diperlukan dalam berdakwah. Kualifikasi bagi pelajar yang ingin masuk ke dalam Tabligh School adalah minimal kelas 5 sekolah Thawalib atau sederajat. Yaitu mereka telah mengetahui tentang pengetahuan agama yang penting-penting.
Tabligh School ini hanya sampai tahun 1931, ketika menjadi pimpinan
Tabligh School Hamka menulis beberapa karangan diantaranya “Minangkabau dan Agama Islam” buku ini sangat menjadi perhatian saat itu, hingga pada tahun
1933 Belanda melarang peredaran buku itu. Saat itu Hamka terkenal sebagai
Muballigh dan Pemimpin Muhammadiyah, setiap Muktamar Muhammadiyah
Hamka selalu hadir sebagai utusan dari Padang Panjang. Pada kongres ke-19 di
139 Agus Hakim, Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah dan Hamka,” dalam Panitia, Kenangan, h. 56 Minangkabau, kongres ke-20 di Yogyakarta, dan kongres ke-21 di Makassar, pada kongres di Makassar inilah, para pemimpin Muhammadiyah di Makassar meminta kepada Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta agar mengirimkan Hamka ke Makassar sebagai Muballigh dan Guru Muhammadiyah, pada tahun 1931
Hamka pindah ke Makassar, dari sinilah Tabligh School berhenti karena pemimpinnya Hamka pindak ke Makassar.
Hamka di Makassar hanya 3 tahun mulai dari tahun 1931 hingga 1934. di
Makassar Hamka mendirikan Tabligh School. Kehadiran lembaga ini sekaligus mengganti sistem pendidikan sebelumnya yang masih tradisional. Tabligh School yang didirikannya menawarkan pola pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan Barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama (Islam). Mulai saat itu, umat Islam Makassar Sulawesi Selatan mulai mengenal model lembaga pendidikan baru yang menggunakan model kelas, papan tulis dan jam belajar yang teratur.140Pada tahun 1934 lembaga pendikan
Tabligh School ini dirubah menjadi Mu’allimin Muhammadiyah yang pengelolaannya diasuh oleh Cabang Makassar I. Pada awal pendirian Tabligh
School ini, sama seperti yang dilakukan di Minangkabau yaitu menerima murid- murid yang hanya tamatan VVS dan yang sederajat. Disana Hamka sempat mengeluarkan sebuah majalah yang terkenal saat itu yang bernama “Al-Mahdi”.
Pada 1934 Hamka kembali ke Minangkabau. Hamka diserahi untuk memimpin sekaligus membina “Kulliyatul Muballighin.” Pada awal 1935
Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah Padang Panjang itu mulai didirikan.
140 Samsul Nizar, "Pernik Mutiara Pemikiran Hamka (1908-1981) Tentang Pendidikan Islam," dalam Afif Hamka, dkk., Buya Hamka (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 284 Hamka tidak lagi menggunakan Tabligh School dikarenakan isi dan haluan pelajaran didalamnya memang berbeda, walaupun tujuannya memang untuk mencetak kader dan nama Tabligh dengan sebutan Muballighin masih digunakan.
Kitab-kitab yang dipakai untuk tafsir menggunakan Al-Qur’an, Tafsir Al-
Manar, untuk fikiq menggunakan Jawahirul Bukhary, Ishlahul Wa’zhiddiny karangan A. Aziz al-Khauly, Muhadharat Tarikh umamil Islamiyah, Bidayatul
Mujtahid dan lain-lain, untuk ushulul fikih menggunakan Husulul ma’mul, untuk tauhid menggunakan Attawashul wal washilah Ibnu Taimiyah, untuk tauhid dan
Akhlak menggunakan Al Arbain fi Ushuliddin karangan Ghazaly, untuk nahwu menggunakan Baiquni, Idlahul mubham , Syawahid ibnu ‘Uqail, untuk sharaf menggunakan Jami’ Jurusi ‘Arabiyah II, untuk ilmu aradl menggunakan
Jawahirul Balaghah, Ats-tsuraiyal Mudliyah karangan Ghalayaini, untuk
Muthalaah menggunakan Bahrul Adab III. Selain yang disebutkan terdapat satu lagi yang diajarkan Hamka yaitu Thabaqatul Umam (ethnologi), pengetahuan tentang bangsa-bangsa, tetapi pada tahap permulaan Hamka mengajari daerah sekitar Minangkabau.141
Kedua, Seni dan budaya, Hamka adalah ulama yang aktif dalam bidang kebudayaan. Ia satu-satunya perwakilam ulama Muhammadiyah yang ikut dalam seminar Kebudayaan Nasional pada tanggal 26-29 Mei 1960 di Semarang.
Sebagaimana diketahui bahwa Hamka banyak terlibat dalam forum-forum kebudayaan.
141 Hakim, Kulliyatul Muballighin, h. 56-57 Hamka selalu aktif mengikuti berbagai kongres Kebudayaan, antara lain
Kongres Kebudayaan Indonesia di Magelang pada tahun 1948, Konferensi
Kebudayaan di Jakarta tahun 1950, Kongres Kebudayaan Indonesia di Bandung tahun 1952, Kongres Kebudayaan Indonesia di Solo tahun 1954, Kongres
Kebudayaan Indonesia di Denpasar pada tahun 1957142. Selain di Magelang 1948 yang Hamka tidak mengikutinya.
Selain itu Hamka juga masuk ke dalam BMKN Badan Musyawarah
Kesenian Nasional, BMKN dibuat untuk menentukan corak seni budaya
Indonesia. Di Muhammadiyah Hamka adalah pelopor berdirinya HSBI Himpunan
Seni dan Budaya Islam, saat itu ketua pertamanya adalah Rusydi Hamka, Hamka memang sangat memperhatikan perkembangan kebudayaan di Muhammadiyah.143
Sejak kongres pertama di Bandung 1953, Hamka sudah endapat desakan-desakan dari LEKRA144 yang berhaluan komunis, sampai terbentuknya MASBI
(Musyawarah Seniman Budayawan Islam). Hamka dengan kepekaan nasionalisme dan keagamaan yang kuat, pengalamannya dan pengetahuannya mencoba
142 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, 4 th ed. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 265 143 Wawancara pribadi dengan Rusydi Hamka 144 Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Sebelum PKI dapat menampilkan diri setelah pemberontakannya gagal (1948), oleh sejumlah seniman kiri dibentuklah Lekra (17 Agustus 1950). Lekra memiliki Seksi sastra, seni rupa, seni suara, drama, film, filsafat, dan olahraga. Dalam bidang sastra dikembangkan aliran realisme-sosialis yang menekankan fungsi sastra sebagai pengabdi kepada politik partai komunis. Konsep dasarnya adalah: seni untuk rakyat, politik adalah panglima. Meluas di kalangan buruh dan tani serta menaungi antara kreativitas dengan peningkatan ideologi komunis, melakukan gerakan turun ke bawah (turba), melalui organisasi membentuk sastrawan sosialis. Sejak tahun 1959 peran lekra meningkat setelah PKI ikut sebagai pemenang pemilu 1955 dan dimulainya Demokrasi Terpimpin yang merupakan peluang untuk ikut serta dalam pemerintahan. Wadah sastra yang digunakan adalah Harian Rakyat, Sunday Courier, Bintang Timur, dan Majalah Zaman Baru. Lihat Suparnoto Widyosiswoyo. Sejarah Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Universitas Trisakti, 2006), h. 236 membendung arus pengaruh komunis di yang digembor-gemborkan di
Indonesia.145
Buya selaku Penasihat Persarikatan Muhammadiyah ini menunjukkan
Muhammadiyah menjadikan warganya orang-orang bercakrawala luas dan terbuka, bukan sempit dan tertutup. Mereka yang pernah di gembleng oleh lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran persarikatan Muhammadiyah, setelah mereka diberi bekal dan mencapai level kedewasaan yang memadai, pada umumnya mereka ini bertebaran menjalankan tugas dalam rangka syiar agama
Islam. Sesudah lama berkarya sebagai penyebar agama, kembali ke
Muhammadiyah yang ia ikut memprakarsai pendiriannya di tempat ia merantau.
Dengan cara inilah bertebarlah sekolah-sekolah, rumah-rumah penyantunan yatim piatu, kantor-kantor cabang, ranting, dan lain-lain badan amal usaha warga
Muhammadiyah di pelosok-pelosok seluas tanah air Indonesia.146
Ketiga, Harapan kepada angkatan muda Islam. Pada zaman pendudukan
Jepang di Indonesia, Muhammadiyah menapaki Kerajaan Deli, tepatnya di
Rampah, Hamka saat itu sebagai anggota Majelis Konsul Muhammadiyah.
Sultan-sultan di Deli hanya menggunakan satu mazhab saja yaitu “Mazhab
Syafi’I,”di sana sebelumya sudah terdapat sebuah Masjid, akan tetapi dianggap warga Muhammadiyah banyak melakukan amalgamasi yang menyimpang dari ajaran Islam, bahkan menjurus ke perbuatan syirik. Muhammadiyah mendirikan sebuah masjid yang berdekatan dengan masjid yang sudah ada sebelumnya, agar umat Islam dapat menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran Islam.
145 Ali Audah, “Hamka, Kepribadian Seorang Ulama,” dalam Afif, Buya Hamka, h. 45 146 Nasution, "Hamka: Figur Yang Langka," dalam Tamara, h. 252 “Dalam musyawarah syumuhan, Hamka menjelaskan pendiriannya bahwa Majelis hakim kerajaan telah memutuskan bahwa kami melanggar mazhab Syafi’i. untuk menjaga perdamaian, kami kemukakan alasan mazhab syafi’I dan menganggap sah shalat jum’at kami, walupun ada dua masjid yang berdekatan disuatu wilayah. Sekarang karena pemerintah Jepang telah ikut campur dalam masalah ini, untuk menjaga semangat perjuangan dan menjaga persatuan, maka kami mengemukakan pendapat kami yang sebenarnya, “Kami Muhammadiyah tidak terikat dalam Mazhab Syafi’i. Kami tidak terikat dengan mazhab Syafi’I, kami hanya memakai suatu mazhab untuk langkah menuju dasar Islam, yaitu Al- Qur’an dan Hadist. Hamka juga menambahkan bahwa kalau dahulu demikian, maka sekarang harus dirubah, faham-faham baru telah berkembang dan tidak dapat diikat lagi. Kalau kerajaan hendak mendapat banyak dukungan dari rakyat, maka harus dirubah cara berfikirnya, jangan hanya membela satu faham saja, akan tetapi melindungi semua faham asalkan sesuai dengan ajaran Islam.”147
Hamka menghimbau agar umat Islam harus kembali ke ajaran Islam yang murni yang berdasar Al-Qur'an dan Hadis, mengembangkan ijtihad, dan menghindari sikap jumud dan taqlid buta, bukan berarti kita menolak ajaran paa imam tersebut, akan tetapi ajaran mereka yang baik dapat dijadikan sebagai pertimbangan utuk memutuskan sebuah hukum.
Hamka sangat bangga terhadap HMI, pada kongres HMI ke XIII di Solo,
HMI mengakui kesalahanya dan melakukan evaluasi atas perbuatannya mengutuk
Kasman Singodimejo. Saat itu beliau difitnah telah melakukan tindakan subversif terhadap pemerinah dan PKI mempengaruhi hakim agar Kasman dihukum 10 tahun. HMI turut menuntut agar Kasman dihukum. Setelah PKI tumbang dan tuntutan keadilan dan demokrasi semakin lantang digencarkan di Indonesia, HMI mendapat tekanan yang besar karena mereka pernah berbuat kepalsuan karena
147 Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, 3rd ed. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 149-160 didorong oleh tekanan saat itu. Hamka menganggap inilah sikap Islam sejati yang patut dilakukan angkatan muda Islam.148
Hamka juga mengkritik Muhammadiyah. Karena takut dianggap "Kontra
Revolusi" Muhammadiyah menganugerahi Soekarno dengan gelar "Anggota
Setia". Muhammadiyah juga memberi gelar "Pengayom Agung," padahal dalam struktur Muhammadiyah tidak ada jabatan Pengayom Agung. Kemudian
Universitas Muhammadiyah menganugerahi "Doctor Honoris Causa" dalam ilmu tauhid. Dalam promosinya Soekarno menganjurkan supaya orang ziarah ke kubur ibu atau bapaknya, meminta supaya ibu atau bapaknya itu menolong menyampaikan permohonannya kepada Allah, agar memberikan pertolongan kepada yang meminta. Hamka mengatakan bahwa itulah yang diberantas oleh
Muhammadiyah sejak berdirinya, yaitu memberantas kemusyrikan. Buku "At-
Tawassul wal Wasilah" adalah pegangan kaum muballigh dan ulama
Muhammadiyah. Hamka mengatakan bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu susah terlalu tenggelam dalam lautan ketakutan, sehingga lupa prinsip yang telah berpuluhtahun diperjuangkan. IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah),
IPM (Ikatan Pelajar Muslim) dan ISBM (Ikatan Seni dan Budaya
Muhammadiyah) serta Nasyiatul Aisyiyah meminta agar gelar-gelar yang pernah diberikan kepada Soekarno dicabut. Hamka mengatakan pujian terhadap HMI dan anjuran kepada Muhammadiyah yang mengakui kesalahannya itu.149
Hamka mengharapkan di Indonesia ada HMI, IMM, PII, ISBM serta
Pemuda Muhammadiyah untuk melanjutkan perjuangan mempertahankan akidah
148 Hamka, Dari Hati, h. 151-152 149 Ibid., h. 152-154 ini, karena akidah ini terletak diatas bahu angkatan muda Islam. Pengalaman pahit yang telah ditempuh zaman lampau meminta kepada kita tenaga muda yang bersemangat militan, yang didorong oleh rasa cinta dan fanatik agama yang telah dipusakai dari nenek moyang sejak datang dari kampung dan desa. Mereka harus tegak menentang dan membendung propaganda paham materialisme dan segala faham baru yang di impor dari Barat untuk menyebarkan rasa keragu-raguan untuk melemahkan iman dalam Islam. Mereka harus lekas sadar dan tidak membiarkan gerakan itu merembet terus. Sebab itu pemuda-pemuda Islam itu sendiripun harus mempelajari hakikat Islam, mempelajari rahasia apa yang menyebabkan tumbuh dalam tanah air kita ini pribadi-pribadi seperti Imam
Bonjol, Teungku Cik Ditiro, Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan dan berpuluh pemuka Islam yang hidup menjadi kebanggan sejarah tanah air ini.
BAB V
KESIMPULAN
Sebagaimana telah dirumuskan bahwa penelitian dengan judul Peranan
Hamka dalam Organisasi Muhammadiyah di Indonesia menunjukkan bahwa:
Hamka adalah sosok yang fenomenal dalam pemikiran maupun perjuangan keumatan dan kebangsaan sekaligus. Sebagai putra daerah (Minangkabau),
Hamka telah menjadi salah satu putra terbaik Indonesia. Beliau sanggup menghadirkan sesuatu yang sangat monumental dan fenomenal. Contoh yang diberikan Hamka bisa diaplikasikan dalam membangun daerah tanpa harus kehilangan jati diri atau ragu-ragu untuk mengembangkan daerahnya, tetapi tetap memiliki akar ideologi yang kuat. Hamka mengajarkan agar mampu untuk terus mengembangkan diri dan kemudian menghadirkan dinamisasi yang sangat hidup.
Beliau adalah seorang pemimpin yang mempunyai keberanian untuk mengambil resiko dari sikap yang ia yakini, di dalam Muhammadiyah beliau memangku beberapa jabatan mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, Ketua
Tabligh, Ketua Muhammadiyah Cabang Padang Panjang, menjadi Muballigh di
Bengkalis dan Makassar, menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera
Tengah, Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur, Ketua Majelis Pimpinan
Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, sampai terpilih menjadi anggota
Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak 1953 hingga 1971, dan sampai akhir hayatnya ia diangkat sebagai penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebagai tokoh Muhammadiyah, beliau mengilhami para tokoh muda Muhammadiyah, beliau menjadi guru dan juga seorang pencetak kader bagi Muhammadiyah. Yang paling mencolok adalah beliau seorang Muhammadiyah yang bisa diterima kalangan organisasi Islam linnya, terutama di kalangan kaum Nahdiyyin.
Hamka seorang ulama yang sederhana, ilmunya sangat luas. Menurut beliau para muallimin dan muallimat agar piawai menghubungkan resep-resep keagamaan dengan konteks masyarakat yang sedang berjalan pada waktu itu, sehingga agama menjadi sangat relevan, selalu aktual, selalu ada kaitan dengan kehidupan riil. Muhammadiyah sangat beruntung memiliki kader seperti Hamka, selain sebagai guru besar bagi Muhammadiyah, Hamka adalah guru besar bagi guru-guru di Indonesia maupun umat, karena itulah beliau sangat menganjurkan agar memilki kecerdasan intelektual yang memadai, memiliki keterampilan dan kemampuan menyampaikan ilmu-ilmunya dengan berbagai cara, dan memiliki stabilitas emosi yang tinggi.
Sejak tahun 1925 beliau sudah ikut mengembangkan Muhammadiyah di
Sumatera Barat, mendirikan Tabligh School, Kulliyatul Muballighin, beliau banyak mencetak kader-kader Muhammadiyah, ia menjadi guru Muhammadiyah baik di pusat maupu di daerah-daerah, ia sering memberikan pengajian bagi
Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah. Ia selalu mengajarkan agar muridnya memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, kecerdasan emosinal yang kuat, dan kecerdasan sosial yang ditonjolkan, kecerdaan sosial ini dimaksudkan adalah kemampuan untuk bergaul dari pimpinan yang paling atas sampai rakyat yang paling kecil. Hamka menolak pemahaman yang mengatakan bahwa kehidupan ruhani itu membenci dunia, mencari kebahagiaan dunia adalah sesat, tertipu oleh hawa nafsu. Maka dibuat cara-cara (thariqat) yang menghindar dari kehidupan ramai, berkhalwat, menyendiri, menyepi hingga tidak perduli terhadap lingkungan sekitarnya, masa bodoh, tidak teratur pakaian dan rumahnya, dan tersisih dari pergaulan. Hamka mengajarkan bahwa pemahaman yang seperti itu tidak diajarkan oleh agama. Pemahaman itu akan membawa kemunduran. Pemahaman itu menyebabkan umat terpuruk, tertindas, dan kalah. Agama Islam bukan musuh kemajuan. Islam justru menuntun kepada kemajuan, menempuh tujuan untuk perdamaian segala bangsa. Allah tidak mengaharamkan perhiasan, Islam mengajarkan kita agar memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Islam mendorong manusia untuk memperoleh kemajuan dunia dengan banyak anjuran untuk membaca, menuntut ilmu, dan meneliti. Semua ilmu milik Allah untuk dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan.
Spiritualisme menurut Hamka mestinya mendorong manusia untuk bersemangat, tidak malas, guna memperoleh kembali fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh. Dengan spiritualisme, seseorang bangkit memimpin dunia tanpa silau dengan kemajuan yang berujung pada pemajuan dunia. Kemajuan adalah untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kemakmuran menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Gaya hidup modern tidak jarang membawa manusia kepada kehidupan materialis hingga mengesampingkan nilai-nilai spiritual. Ajaran tasawwuf dimaksudkan untuk menarik kehidupan materialis itu untuk dibawa kepada nilai esoteris. Namun ajaran Islam adalah ajaran keseimbangan antara yang eksoteris dan esoteris. Oleh karenannya tasawwuf yang benar adalah sesuai dengan nilai
Islam yang menyeimbangkan antara kedua hal tersebut. Tasawwuf yang benar adalah bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, menjunjung tinggi akhlak mulia, setia kepada syariah, memberi manfaat kepada banyak manusia, dan mendorong semangat kemajuan. Inilah paham spiritualisme yang benar yang di ridhoi oleh
Allah SWT sehingga pengikutnya mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hamka sangat mendukung pemberdayaan perempuan sebagaimana yang telah di lakukan Muhammadiyah sejak dahulu dengan mendirikan Aisiyah, menurut beliau perempuan juga berhak mendapatkan dan menentukan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang disukai. Perempuan berhak menuntut ilmu yang setinggi-tingginya, sebagaimana Rasulullah telah mengajarkan bahwa Menuntut ilmu itu merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan. Banyak tokoh-tokoh perempuan dalam Islam yang memberi andil besar dalam membangun kejayaan umat. Di balik kejayaan suatu bangsa, terdapat keteguhan jiwa dan perjuangan kaum perempuan. Maka ada kata-kata hikmah yang menyebutkan bahwa perempuan adalah tiang negara. Bila perempuannya baik, baiklah negara, bila perempuannya bobrok, maka bobrok pulalah negara.
Menurut Hamka, orang Islam yang memadukan iman dan amal sholeh itulah yang sanggup menjadi penolong Allah, menjadi pembela agama Allah, pembela kebenaran, menegakkan keadilan, menyebarkan kesejahteraan. Menurut
Buya, membela agama Allah mengandung dua hal yaitu mempertahankan agama dari segala gangguan dan memperjuangkan agar Islam maju dan berkembang di segala lini kehidupan. Umat Islam diberi ajaran untuk bersikap toleran, pandai menenggang rasa, memberi kebebasan kepada orang yang berbeda keyakinan untuk menjalankan agamanya.
Hamka menganjurkan untuk memperdalam pengetahuan dan ajaran Islam, diikuti dengan amal, sehingga menjadi pandangan hidup yang sebenarnya dan dapat membandingkan mana yang kita punya dan yang mana kepunyaan orang lain, kemudian mempelajari sejarah umatnya di Indonesia dan diluarnya, sehingga dia insyaf bahwa kebudayaan Islam itu universal sifatnya. Kebudayaan yang universal itulah tujuan terakhir dunia di zaman sekarang. Sementara Nasionalisme sempit tidak akan panjang usianya. Hamka juga menambahkan agar menuntut ilmu pengetahuan, merenung filsafat, mencintai seni. Sebab semua itu anjuran tegas dari agamanya. Sehingga kelak dapat disumbangkan kepada dunia umumnya dan Indonesia khususnya. Untuk membina satu kebudayaan kepunyaan umat manusia, sebagai hasil kecerdasan akal dan keluhuran iman.
Pembaharuan terhadap pendidikan Islam sangat diperlukan. Cara pandang yang serba negatif dan mencoba lari dari Islam harus dihentikan. Anak-anak Islam harus di didik untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Bangga dengan sumber ajaran agamanya, memahami sejarah bangsanya, dan tidak tercerabut dari akar keislamannya. Begitu juga cara pandang yang sempit, mengisolasi diri, tidak mau membuka wawasan, sejatinya telah melenceng dari ajaran hakiki Islam yang menyuruh untuk belajar dan menguasai ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi khalifah di muka bumi.
Hamka menolak pembaharuan atau modernisasi sebagai upaya sekularisasi, yaitu upaya untuk mempreteli Islam itu sendiri, atau meninggalkan pokok-pokok ajaran agama. Hamka mengantisipasi agar jangan sampai umat
Islam bersikap netral kepada agama yang menyebabkan ia menjadi tidak perduli kepada agamanya, kemudian Ghirah beragama tidak ada lagi hingga lantas meeka menganggap agama itu tidak perlu. Benci kepada segala yang berhubungan dengan agama. Orang yang teguh menjalankan agamanya diangap fanatik dan orang yang teguh beragama itu tidak terpelajar. Hamka mengatakan bahwa modernisasi itu bukan westernisasi. Sehingga yang diambil dari Barat itu pembaharuan, itulah modern. Ajaran Islam tidak menonjolkan Barat dan Timur.
Ajaran Islam itu universal dan memandang manusia dari segala universalnya pula.