Nasionalisme Islam: Telaah Pemikiran Dan Kiprah Hadji Agus Salim
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
NASIONALISME ISLAM: TELAAH PEMIKIRAN DAN KIPRAH HADJI AGUS SALIM Novizal Wendry [email protected] Dosen Jurusan Syariah STAIN Padangsidimpuan Abstrak Hadji Agus Salim adalah salah seorang tokoh nasionalis Islam yang hidup dalam tiga zaman, Belanda, Jepang, dan awal kemerdekaan. Pemikiran nasionalisme Islam Salim dipengaruhi oleh pendidikan sekuler Belanda dan interaksinya dengan tokoh pembaharu lintas Negara seperti Jamaluddin al-Afgani dan karya-karya tokoh pembaharu Negara lainnya ketika ia menjadi penerjemah pada konsulat Belanda di Jeddah tahun 1906. Nasionalisme Islam yang digusung oleh Salim berkeinginan untuk memperjuangkan hak-hak kemerdekaan yang telah dirampas oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan asas-asas Islam. Nasionalisme Islam ini berbeda dengan nasionalisme sekuler yang digusung oleh Soekarno dan Hatta, karena memisahkan antara nasionalisme dengan agama. Haji Agus Salim is one of Islamic nationalist leaders who lived in three regimes; the Netherlands, Japan, and early Indonesian independence. Salim’s thought was influenced by the Dutch secular education and his interaction with transnational reformers like Jamaluddin al-Afgani and the works of other reformers when he became a translator at the Dutch consulate in Jeddah in 1906. Islamic Nationalism formulated by Salim wanted to fight the rights of freedom that has been seized by the Dutch government based on Islamic principles. Islamic nationalism was different from secular nationalism formulated by Sukarno and Hatta, when the second separated between nationalism and religion. Kata Kunci: Nasionalis Islam; Nasionalis Liberal; Agus Salim. Pengantar Hadji Agus Salim adalah sosok yang populer bagi masyarakat Indonesia. Nama ini telah dikenalkan kepada seluruh anak bangsa ini semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas sebagai salah seorang Pahlawan Nasional. Ia sering disandingkan dengan dua orang tokoh proklamator, Soekarno-Hatta dan tokoh pahlawan nasional lainnya. Namun, jika ditanya lagi tentang pokok-pokok pikiran serta pengaruhnya dalam pergerakan nasional dan dalam kancah internasional, tentu hanya sedikit yang mengetahuinya. Dilihat rentang waktu kehidupan Hadji Agus Salim diketahui bahwa ia hidup pada tiga zaman; zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan era awal 1 | P a g e kemerdekaan. Tak pelak lagi bahwa Hadji Agus Salim mengecap pahitnya penjajahan dan beratnya perjuangan Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka. Kecerdasan dan gebrakan berharga dilakukan oleh Hadji Agus Salim akan selalu dinikmati selama bangsa ini ada. Hamka antara lain mengatakan bahwa Agus Salim adalah sosok yang cerdas dan jarang dilahirkan Tuhan ke dunia ini. Jauh sebelumnya, Kartini tahun 1904 juga mengakui kecerdasan Agus Salim meski ia belum pernah berjumpa dengannya. Namun kenyataannya saat ini, sosok yang brilian ini seakan-akan tenggelam dalam deretan nama-nama pahlawan Nasional lainnya. Hal tersebut penulis buktikan ketika melacak literatur terkait biografi dan pemikiran Salim di beberapa toko buku terkemuka seperti Gramedia, buku khusus tentang Hadji Agus Salim tidak ditemukan. Penulis menemukan banyak buku tentang biografi dan pemikiran tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, KH Ahmad Dahlan, HOS. Tjokroaminoto, Tan Malaka, dan pahlawan nasional lainnya. Tak salah jika Siti Ruhaini Dzuhayatin memprediksi hal ini disebabkan oleh dua faktor, pertama tradisi penulisan sejarah Indonesia yang kental dengan tradisi politik dan militer daripada sejarah peradaban dan kedua minimnya dokumentasi gagasan tokoh secara utuh.1 Tulisan ini mencoba mengungkap sosok Hadji Agus Salim, serta peran dan pokok-pokok pemikirannya yang berarti bagi bangsa Indonesia. Agus Salim; dari Europesche Lagere School (ELS) hingga Cornell University Agus Salim kecil diberi nama oleh ayahnya sebagai Mashudul Haq, berarti pembela kebenaran. Ia lahir di Koto Gadang2 Bukittinggi Sumatera Barat pada tanggal 8 Oktober 1884 dari pasangan Sutan Muhammad Salim dan Siti Zainab. Ayah Salim, Sutan Muhammad Salim adalah seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda, tepatnya sebagai hoofd’jaksa pada Landraad di Riau en Onderhorigeden (jaksa tinggi pada Pengadilan Negeri Riau).3 Sebagai seorang yang dekat dengan pemerintah ketika itu, ia berkesempatan memasukkan anaknya pada sekolah sekuler Belanda pada tahun 1891. Diakui oleh Salim seperti yang dikutip oleh Deliar Noer, bagi kalangan tradisional atau masyarakat awam di Minangkabau, menyekolahkan anak 1 Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Lebih Maju dari Pandangan Kartini”, dalam St. Sularto (ed.), H. Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 70. 2Koto Gadang pada penghujung abad XIX hingga awal XX merupakan daerah yang maju. Menurut Elizabeth E. Graves, daerah ini tempat berhimpunnya orang pandai. Sampai tahun 1915, sebanyak 165 orang tercatat sebagai pegawai pemerintah, 79 orang bekerja di luar Minangkabau serta 72 orang fasih berbahasa Belanda. Lebih hebat lagi, tahun 1942, sekitar 40 orang putra Koto Gadang lulus sekolah tinggi kedokteran Stovia Belanda. Rohana Kudus dan Agus Salim adalah kelahiran daerah ini. Baca Elizabeth E. Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern, Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, terj. Novi Andri dkk., (Jakarta, Yayasan Obor Jakarta, 2007), hlm. 245. Lihat juga http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/27/the-grand-old-man-jalan-perjuangan-h- agus-salim/, diakses 26 Maret 2012. 3Adreas Yoga Prasetyo, “Menelusuri Jejak Nasionalisme Haji Agus Salim,” dalam St. Sularto (ed.), H. Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 145. 2 | P a g e pada sekolah Barat atau pemerintah Belanda ketika itu sama halnya dengan masuk sekolah kristen. Hal tersebut sangat naif, karena beresiko beralih agama menjadi kristen. Berdasarkan tradisi ketika itu, masyarakat awam menyekolahkan anak- anaknya pada sekolah tradisional yang didirikan oleh pribumi yang mengajarkan pelajaran agama saja. Hal inilah yang menyebabkan ayah Salim mendapatkan tekanan dari familinya karena memasukkan Salim dan adiknya pada sekolah Belanda.4 Salim menyelesaikan jenjang pendidikan dasarnya pada Europesche Lagere School (ELS) tahun 1898 kemudian melanjutkan pendidikannya pada Hogere Burger School (HBS) di Jakarta. Ayah Salim menitipkannya di rumah Prof. TH Kock. Pelayan Prof. TH Kock, memanggil Salim dengan sebutan “Gus”, berarti putera yang bagus. Kemudian orang Belanda memanggilnya dengan August, sehingga akhirnya ia populer dengan sebutan Agus Salim yang dinisbahkan kepada kata terakhir nama ayahnya. Salim berhasil menyelesaikan HBS tahun 1903. Ia memeroleh nilai tertinggi, bahkan tertinggi dari tiga HBS yang ada di pulau Jawa (Jakarta, Semarang, dan Surabaya) ketika itu. Ia menguasai sembilan bahasa asing, antara lain Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, dan Jepang. Atas hasil ini, Salim berkeinginan melanjutkan pada Kedokteran di Belanda. Melihat kemajuan dan keinginan kuat anaknya, ayah Salim mengajukan permohonan beasiswa (gilijkgesteld) bagi anaknya yang bukan keturunan Eropa. Tahun 1904, permohonan penyamaan status tersebut dikabulkan, namun bukan dalam bentuk beasiswa.5 Permohonan ayah Salim ini menguatkan tesis, bahwa ciri masyarakat kolonial Hindia Belanda adalah eksploitatif dalam bidang ekonomi dan serba diskriminatif dalam lapangan sosial seperti pendidikan.6 Pada saat bersamaan, prestasi Salim ini diketahui oleh Kartini. Kartini yang ketika itu mendapat tawaran sekolah ke Belanda “terpaksa” tidak mengambilnya karena alasan adat, ia seorang wanita dan kebetulan telah bertunangan ketika itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang Jawa Tengah. Kemudian Kartini menulis sebuah surat kepada Nyonya Abendanon—isteri pengelola beasiswa pemerintah Belanda ketika itu—agar bantuan sebesar f 4.800 Golden dapat dialihkan kepada orang lain meskipun belum pernah dilihat dan dikenalnya. Kartini menyatakan dalam suratnya: “Kami menaruh perhatian besar kepada seorang anak muda dan ingin melihat dia bahagia. Namanya Salim, seorang anak Sumatera dari Riau. Tahun ini ia lulus ujian HBS sebagai nomor satu dari ketiga HBS. Ia ingin sekali ke Holland…kami akan merasa bahagia, jika dapat membikin orang lain bahagia, 4Keterangan Agus Salim ini berdasarkan seminar yang ia sampaikan pada Cornell University tanggal 20 Februari 1953, lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 9. 5Adreas Yoga Prasetyo, “Menelusuri Jejak Nasionalisme Haji Agus Salim”, h. 146-147. 6M. Masyhur Amin, Saham HOS Tjokroaminoto dalam Kebangunan Islam dan Nasionalisme di Indonesia, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980), h. 8. 3 | P a g e yang mempunyai cita-cita dan perasaan yang sama dengan kami…Salim sendiri tidak tahu mengenai permintaan kami ini…”7 Pemerintah Hindia Belanda menolak permohonan ini, karena pada prinsipnya subsidi tersebut diberikan secara pribadi kepada Kartini dan adiknya Roekmini serta tidak bisa dioperkan kepada orang lain.8 Kemudian Salim mendapat tawaran bekerja sebagai penerjemah pada konsulat Belanda di Jeddah tahun 1906.9 Ayah Salim mendukung tawaran ini. Selain bekerja sebagai penerjemah (dragoman), ia banyak belajar agama kepada Syaikh Ahmad Khatib yang kebetulan saudara sepupu ayahnya.10 Posisi Syaikh Ahmad Khatib di Makah berfungsi sebagai jembatan antara tradisi dan inovasi. Yudi Latif mengibaratkannya sebagai perantara (liminal), sebagai bidan bagi kelahiran generasi ulama dan intelektual reformis modernis masa depan Indonesia seperti halnya Salim.11