<<

NASIONALISME ISLAM: TELAAH PEMIKIRAN DAN KIPRAH HADJI

Novizal Wendry [email protected] Dosen Jurusan Syariah STAIN Padangsidimpuan

Abstrak

Hadji Agus Salim adalah salah seorang tokoh nasionalis Islam yang hidup dalam tiga zaman, Belanda, Jepang, dan awal kemerdekaan. Pemikiran nasionalisme Islam Salim dipengaruhi oleh pendidikan sekuler Belanda dan interaksinya dengan tokoh pembaharu lintas Negara seperti Jamaluddin al-Afgani dan karya-karya tokoh pembaharu Negara lainnya ketika ia menjadi penerjemah pada konsulat Belanda di Jeddah tahun 1906. Nasionalisme Islam yang digusung oleh Salim berkeinginan untuk memperjuangkan hak-hak kemerdekaan yang telah dirampas oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan asas-asas Islam. Nasionalisme Islam ini berbeda dengan nasionalisme sekuler yang digusung oleh Soekarno dan Hatta, karena memisahkan antara nasionalisme dengan agama.

Haji Agus Salim is one of Islamic nationalist leaders who lived in three regimes; the Netherlands, Japan, and early Indonesian independence. Salim’s thought was influenced by the Dutch secular education and his interaction with transnational reformers like Jamaluddin al-Afgani and the works of other reformers when he became a translator at the Dutch consulate in Jeddah in 1906. Islamic Nationalism formulated by Salim wanted to fight the rights of freedom that has been seized by the Dutch government based on Islamic principles. Islamic nationalism was different from secular nationalism formulated by and Hatta, when the second separated between nationalism and religion.

Kata Kunci: Nasionalis Islam; Nasionalis Liberal; Agus Salim.

Pengantar

Hadji Agus Salim adalah sosok yang populer bagi masyarakat . Nama ini telah dikenalkan kepada seluruh anak bangsa ini semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas sebagai salah seorang Pahlawan Nasional. Ia sering disandingkan dengan dua orang tokoh proklamator, Soekarno-Hatta dan tokoh pahlawan nasional lainnya. Namun, jika ditanya lagi tentang pokok-pokok pikiran serta pengaruhnya dalam pergerakan nasional dan dalam kancah internasional, tentu hanya sedikit yang mengetahuinya.

Dilihat rentang waktu kehidupan Hadji Agus Salim diketahui bahwa ia hidup pada tiga zaman; zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan era awal

1 | P a g e kemerdekaan. Tak pelak lagi bahwa Hadji Agus Salim mengecap pahitnya penjajahan dan beratnya perjuangan Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka. Kecerdasan dan gebrakan berharga dilakukan oleh Hadji Agus Salim akan selalu dinikmati selama bangsa ini ada. antara lain mengatakan bahwa Agus Salim adalah sosok yang cerdas dan jarang dilahirkan Tuhan ke dunia ini. Jauh sebelumnya, tahun 1904 juga mengakui kecerdasan Agus Salim meski ia belum pernah berjumpa dengannya.

Namun kenyataannya saat ini, sosok yang brilian ini seakan-akan tenggelam dalam deretan nama-nama pahlawan Nasional lainnya. Hal tersebut penulis buktikan ketika melacak literatur terkait biografi dan pemikiran Salim di beberapa toko buku terkemuka seperti Gramedia, buku khusus tentang Hadji Agus Salim tidak ditemukan. Penulis menemukan banyak buku tentang biografi dan pemikiran tokoh seperti Soekarno, , KH Dahlan, HOS. Tjokroaminoto, , dan pahlawan nasional lainnya. Tak salah jika Siti Ruhaini Dzuhayatin memprediksi hal ini disebabkan oleh dua faktor, pertama tradisi penulisan sejarah Indonesia yang kental dengan tradisi politik dan militer daripada sejarah peradaban dan kedua minimnya dokumentasi gagasan tokoh secara utuh.1 Tulisan ini mencoba mengungkap sosok Hadji Agus Salim, serta peran dan pokok-pokok pemikirannya yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Agus Salim; dari Europesche Lagere School (ELS) hingga Cornell University

Agus Salim kecil diberi nama oleh ayahnya sebagai Mashudul Haq, berarti pembela kebenaran. Ia lahir di Koto Gadang2 Bukittinggi Sumatera Barat pada tanggal 8 Oktober 1884 dari pasangan Sutan Salim dan Siti Zainab. Ayah Salim, Sutan Muhammad Salim adalah seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda, tepatnya sebagai hoofd’jaksa pada Landraad di Riau en Onderhorigeden (jaksa tinggi pada Pengadilan Negeri Riau).3 Sebagai seorang yang dekat dengan pemerintah ketika itu, ia berkesempatan memasukkan anaknya pada sekolah sekuler Belanda pada tahun 1891. Diakui oleh Salim seperti yang dikutip oleh Deliar Noer, bagi kalangan tradisional atau masyarakat awam di Minangkabau, menyekolahkan anak

1 Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Lebih Maju dari Pandangan Kartini”, dalam St. Sularto (ed.), H. Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 70. 2Koto Gadang pada penghujung abad XIX hingga awal XX merupakan daerah yang maju. Menurut Elizabeth E. Graves, daerah ini tempat berhimpunnya orang pandai. Sampai tahun 1915, sebanyak 165 orang tercatat sebagai pegawai pemerintah, 79 orang bekerja di luar Minangkabau serta 72 orang fasih berbahasa Belanda. Lebih hebat lagi, tahun 1942, sekitar 40 orang putra Koto Gadang lulus sekolah tinggi kedokteran Stovia Belanda. Rohana Kudus dan Agus Salim adalah kelahiran daerah ini. Baca Elizabeth E. Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern, Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, terj. Novi Andri dkk., (Jakarta, Yayasan Obor Jakarta, 2007), hlm. 245. Lihat juga http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/27/the-grand-old-man-jalan-perjuangan-h- agus-salim/, diakses 26 Maret 2012. 3Adreas Yoga Prasetyo, “Menelusuri Jejak Nasionalisme Haji Agus Salim,” dalam St. Sularto (ed.), H. Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 145.

2 | P a g e pada sekolah Barat atau pemerintah Belanda ketika itu sama halnya dengan masuk sekolah kristen. Hal tersebut sangat naif, karena beresiko beralih agama menjadi kristen. Berdasarkan tradisi ketika itu, masyarakat awam menyekolahkan anak- anaknya pada sekolah tradisional yang didirikan oleh pribumi yang mengajarkan pelajaran agama saja. Hal inilah yang menyebabkan ayah Salim mendapatkan tekanan dari familinya karena memasukkan Salim dan adiknya pada sekolah Belanda.4

Salim menyelesaikan jenjang pendidikan dasarnya pada Europesche Lagere School (ELS) tahun 1898 kemudian melanjutkan pendidikannya pada Hogere Burger School (HBS) di Jakarta. Ayah Salim menitipkannya di rumah Prof. TH Kock. Pelayan Prof. TH Kock, memanggil Salim dengan sebutan “Gus”, berarti putera yang bagus. Kemudian orang Belanda memanggilnya dengan August, sehingga akhirnya ia populer dengan sebutan Agus Salim yang dinisbahkan kepada kata terakhir nama ayahnya. Salim berhasil menyelesaikan HBS tahun 1903. Ia memeroleh nilai tertinggi, bahkan tertinggi dari tiga HBS yang ada di pulau Jawa (Jakarta, Semarang, dan Surabaya) ketika itu. Ia menguasai sembilan bahasa asing, antara lain Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, dan Jepang. Atas hasil ini, Salim berkeinginan melanjutkan pada Kedokteran di Belanda. Melihat kemajuan dan keinginan kuat anaknya, ayah Salim mengajukan permohonan beasiswa (gilijkgesteld) bagi anaknya yang bukan keturunan Eropa. Tahun 1904, permohonan penyamaan status tersebut dikabulkan, namun bukan dalam bentuk beasiswa.5 Permohonan ayah Salim ini menguatkan tesis, bahwa ciri masyarakat kolonial Hindia Belanda adalah eksploitatif dalam bidang ekonomi dan serba diskriminatif dalam lapangan sosial seperti pendidikan.6

Pada saat bersamaan, prestasi Salim ini diketahui oleh Kartini. Kartini yang ketika itu mendapat tawaran sekolah ke Belanda “terpaksa” tidak mengambilnya karena alasan , ia seorang wanita dan kebetulan telah bertunangan ketika itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang Jawa Tengah. Kemudian Kartini menulis sebuah surat kepada Nyonya Abendanon—isteri pengelola beasiswa pemerintah Belanda ketika itu—agar bantuan sebesar f 4.800 Golden dapat dialihkan kepada orang lain meskipun belum pernah dilihat dan dikenalnya. Kartini menyatakan dalam suratnya:

“Kami menaruh perhatian besar kepada seorang anak muda dan ingin melihat dia bahagia. Namanya Salim, seorang anak Sumatera dari Riau. Tahun ini ia lulus ujian HBS sebagai nomor satu dari ketiga HBS. Ia ingin sekali ke Holland…kami akan merasa bahagia, jika dapat membikin orang lain bahagia,

4Keterangan Agus Salim ini berdasarkan seminar yang ia sampaikan pada Cornell University tanggal 20 Februari 1953, lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 9. 5Adreas Yoga Prasetyo, “Menelusuri Jejak Nasionalisme Haji Agus Salim”, h. 146-147. 6M. Masyhur Amin, Saham HOS Tjokroaminoto dalam Kebangunan Islam dan Nasionalisme di Indonesia, (: Nur Cahaya, 1980), h. 8.

3 | P a g e

yang mempunyai cita-cita dan perasaan yang sama dengan kami…Salim sendiri tidak tahu mengenai permintaan kami ini…”7

Pemerintah Hindia Belanda menolak permohonan ini, karena pada prinsipnya subsidi tersebut diberikan secara pribadi kepada Kartini dan adiknya Roekmini serta tidak bisa dioperkan kepada orang lain.8 Kemudian Salim mendapat tawaran bekerja sebagai penerjemah pada konsulat Belanda di Jeddah tahun 1906.9 Ayah Salim mendukung tawaran ini. Selain bekerja sebagai penerjemah (dragoman), ia banyak belajar agama kepada Syaikh Ahmad Khatib yang kebetulan saudara sepupu ayahnya.10 Posisi Syaikh Ahmad Khatib di Makah berfungsi sebagai jembatan antara tradisi dan inovasi. Yudi Latif mengibaratkannya sebagai perantara (liminal), sebagai bidan bagi kelahiran generasi ulama dan intelektual reformis modernis masa depan Indonesia seperti halnya Salim.11

Salim juga bertemu dengan tokoh lintas negara seperti Jamaluddin al-Afgani, seorang tokoh pembaharu yang berpengaruh di dunia Islam beserta muridnya Muhammad Abduh. Inilah agaknya yang luput dari pengamatan Belanda ketika itu. Tahun 1911, Salim kembali ke kampung halamannya dan menikah dengan Zaunatun Nahar Almatsier tanggal 12 Agustus 1912. Dari Zaunatun, ia dikaruniai 10 orang anak, dua orang meninggal di saat kecil, dan seorang lagi meninggal dalam insiden 25 Januari 1946 saat pengambilalihan senjata Jepang di Serpong Tangerang. Salim mendidik seluruh anaknya di rumah, ia membiasakan mereka berkomunikasi dalam bahasa Belanda.

7Sitisoemandari Soeroto, Kartini Sebuah Biografi, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1983), cet. IV, h. 344. 8Dalam banyak literatur diceritakan bahwa Salim menolak beasiswa tersebut, karena harga diri. Ia tidak mengharapkan belas kasihan orang lain, tetapi ingin dihargai atas prestasi yang telah diperolehnya. Informasi ini bertolak belakang dengan penjelasan Puteri Salim, Nyonya Soejono seperti yang dijelaskan di atas. Ibid, h. 360. 9Penghujung abad XIX, jemaah Haji nusantara meningkat tinggi. Hal ini disebabkan kebijakan Pemerintah Belanda yang mengizinkan pribumi beribadah Haji ke Mekah. Menurut data yang diperoleh Putuhena, jemaah Haji Nusantara dari 1853-1858 rata-rata 2.597 orang pertahun. Jumlah ini meningkat pada awal abad XX. Snouck Hurgronje selaku penasehat Pemerintah Hindia Belanda ketika itu, menyarankan pemerintah agar tidak khawatir terhadap warga muslim yang berhaji, kalau perlu mereka difasilitasi. Yang perlu dikhawatirkan adalah terhadap mereka berhaji dan muqim di sana menuntut ilmu, karena inilah yang akan melahirkan gerakan Pan-Islam. Merespon banyaknya pribumi yang berhaji ini, maka Belanda membuka konsulat di Jedah, dan tahun 1945 ditingkatkan menjadi Kedutaan. Lihat M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 127, Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Jakarta: PSAP, 2007), h, 209-210. 10 Syaikh Ahmad Khatib dikenal sebagai salah seorang pelopor pembaharuan dari Minangkabau. Ia kelahiran Bukittinggi tahun 1855. Ia pergi ke Mekah tahun 1876 dan menetap di sana sebagai dari mazhab Syafii di Masjidil Haram. Meski tidak tinggal di Bukittinggi, namun ia sangat nasionalis dan anti penjajahan Belanda. Melalui murid-muridnya yang kembali ke tanah air, lahir pembaru agama yang berujung kepada gerakan menentang penjajahan belanda ketika itu. Di antara mereka adalah Syaikh Djamil Djambek, Haji , Haji , KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Hasjim Asj’ari. Agus Salim adalah salah seorang di antara mereka. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam…, h. 38-39. 11Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke- 20, (Bandung: Mizan, 2005), h. 125.

4 | P a g e

Salim sempat mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School) di Koto Gadang tahun 1912-1915. Dalam hal jurnalistik, Salim ditunjuk sebagai pemimpin redaksi bahasa Melayu pada Commissie vor de Volkslectur yang kemudian berubah nama menjadi Balai Pustaka dan redaktur surat kabar Bendera Islam, dan surat kabar Belanda Batabiaasch Niewsblad di Jakarta. Selain sebagai wartawan, Salim juga banyak menulis mengenai agama, kebudayaan, dan politik terutama setelah pendudukan Jepang tahun 1942. Umumnya tulisan salim dalam bentuk artikel. Jika diklasifikasi, tulisan Salim sebagai berikut:

1. dalam bidang agama antara lain; Persatuan Islam (1923), Wajib bergerak (1923), Perempuan dalam Islam (1925), De Behoefte aan Gods-dienst (1925), De Sluiering en Afzondering der Vrouw (1926), Islam dan Bahagia tidak Terpisah (1928), Hukum yang Lima (1928), Adat Kontra Islam (1934), Hari Raya Idul Fithri (1934), Rahasia Puasa Menurut Imam al-Gazali (1935), Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir dan Tawakkal (1953), Ketuhanan yang Maha Esa (1953). 2. dalam bidang politik antara lain; Kemajuan diperoleh dengan usaha (1917), Kemajuan perkara harta (1917), Kemajuan perempuan bumiputra (1917), Mana yang harus didulukan (1918), Lahirnya tipis isinya dalam (1917), Benih percederaan (1919), Herziening van het regeringsreglement, algemeene beschowingen (1922), Eerste algemeene aanvullingsbegrooting (1923), (1925), Cinta bangsa dan tanah air (1928), Mohammad Hatta dihinakan (1931), Firman ratu menolak “Petisi Sutarjo” (1938). 3. dalam bidang pendidikan dan kebudayaan antara lain; Tukang Ajar atau guru (1925), Pemerintah, pengajaran, dan rakyat (1931), Agama dan kebudayaan (1953), dan Dardanella (1933).12 4. Pesan-pesan Islam, merupakan kumpulan kuliah Agus Salim selama musim semi di Cornel University tahun 1953, yang baru selesai diterjemahkan dan dicetak oleh Mizan tahun 2011.

Banyak jabatan penting pernah diamanahkan kepada Agus Salim, baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. Di antaranya dalam organisasi Serikat Islam pernah menjadi sekretaris umum tahun 1919. Kemudian dalam kongres PSI tahun 1935 di Malang, Salim terpilih menjadi ketua. Menjelang kemerdekaan ia terlibat dalam kegiatan persiapan kemerdekaan Indonesia, terpilih menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk tanggal 29 April 1945. Dalam PPKI yang diketuai oleh Soekarno, Salim, Husein Djajadiningrat, dan Supomo bertugas memperbaiki segi bahasanya. Pascakemerdekaan RI, ia pernah menjabat sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri (Oktober 1945-Maret 1946), Menteri Muda Luar Negeri kabiner Sjahrir II dan III, Menteri Luar Negeri kabiner Amir Sjarifuddin dan Kabinet Hatta I dan II, dan Penasehat Kementerian Luar Negeri RIS (1950).

12 Cut Aswar, “Tentang Hadji Agus Salim” dalam Pesan-pesan Islam, h. viii-ix.

5 | P a g e

Dalam kancah Internasional, Salim pernah ditunjuk sebagai wakil ketua delegasi RI di Inter-Asian Relation Conference di India (23 Maret 1947), utusan pemerintah menghadiri IITH Conference Institute of Pacific Relations di Luncknow India (3 Oktober 1950), serta Colloquium on Islamic Culture di Princeton AS (Agustus 1953).13 Salim juga punya andil besar dalam mendapatkan pengakuan de jure dan de facto untuk kemerdekaan Indonesia dari negara Timur Tengah; seperti Mesir (10 Maret 1947), Suriah (2 Juli), Irak (16 Juli), Afganistan (23 September), dan Arab Saudi (24 November pada tahun yang sama).14

Pada Agresi Militer Belanda II, ia ditahan di Prapat bersama Soekarno, kemudian dipindahkan ke Bangka tahun 1947. Atas ketangkasan diplomasi Salim di Lake Success, menurut Sjahrir, pandangan dunia yang semulanya dingin terhadap Indonesia menjadi bersimpati untuk membantu perjuangan Indonesia pada sidang Dewan Keamanan PBB Agustus 1947. Kemudian tahun 1953, Salim dan Sri Paku Alam IX ditunjuk mewakili Indonesia dalam penobatan Ratu Elizabeth II di London. Ada diplomatic joke antara salim dan Pangeran Philip (Duke of Edinburgh), suami ratu Elizabeth. Pangeran mempermasalahkan baun rokok kretek yang selalu diisapnya. Salim mengatakan justru bau rokok itulah yang membawa bangsa Eropa pergi ke Indonesia.

Salim diminta memberikan kursus kuliah tentang agama Islam dan seminar tentang Islam di Indonesia pada Universitas Cornell Amerika Serikat pada musim semi, dari bulan januari hingga Juni 1953. Undangan ini merupakan bentuk apresiasi dunia akademik di Amerika terhadap pemikiran keislaman dari seorang Agus Salim. Menurut George McT. Kahin, kuliah yang disampaikan oleh Salim memberikan kesan baik serta menimbulkan minat mahasiswa ketika itu, karena sebelumnya belum ada guru besar muslim yang memimpin kedua program tersebut.

Ide-ide Nasionalis Hadji Agus Salim

Ratu Wilhelmina dalam pidatonya kepada Parlemen Belanda pada tanggal 17 September 1901 menegaskan bahwa pemerintah Belanda punya kewajiban moral dan hutang budi terhadap pribumi Hindia Belanda.15 Kebijakan politik etis ini dirangkum ke dalam tiga program yang terkenal dengan Trias Van Deventer meliputi; irigasi, emigrasi, dan edukasi. Dalam prakteknya, program pertama dan kedua banyak mendapat kritikan, karena mengokohkan tradisi tanam paksa terhadap warga pribumi. Mereka yang dipindahkan (transmigrasi) dipekerjakan pada perkebunan milik Belanda, sedangkan proyek irigasi dan bendungan hanya diutamakan untuk kebun- kebun pemerintah ketika itu. Adapun dalam hal edukasi yaitu perluasan fasilitas

13Adreas Yoga Prasetyo, “Menelusuri Jejak Nasionalisme Haji Agus Salim”, h. 152. 14Ibid., h. 153. 15Pidato Ratu Wilhelmina ini merupakan respon terhadap tulisan-tulisan C.Th. van Deventer yang menyindir tingkah laku Belanda yang menguras negara jajahannya tanpa mengabaikan kesejahteraan penduduk lokal. Banyak kalangan mengaitkan pidato Ratu Wilhelmina ini dengan tulisan Van Deventer sehingga ia (Van Deventer) dianggap sebagai pencetus politik etis. http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis, diakses 01 April 2012.

6 | P a g e pendidikan agaknya berdampak positif bagi masyarakat pribumi. Sehingga, banyak anak pribumi yang disekolahkan baik pada lembaga pendidikan pemerintah Belanda yang ada di Nusantara maupun disekolahkan ke Eropa (Belanda). Pada dasarnya, proyek edukasi ini belum memuaskan semua pihak. Secara praktis, mereka yang disekolahkan adalah anak golongan bangsawan dan pejabat yang bekerja pada pemerintah Belanda sehingga pendidikan belum dapat dinikmati oleh segenap warga ketika itu.16 Sebagai anak salah seorang pegawai pemerintah Belanda, Salim berkesempatan bersekolah pada pendidikan Belanda (ELS Bukittinggi dan HBS Batavia). Ia banyak diajarkan oleh guru-guru Belanda, dan diam-diam rasa nasionalisnya tumbuh. Rasa ini meningkat ketika ia tidak diberikan beasiswa pemerintah untuk melanjutkan ke Kedokteran Belanda. Tidak dapat melanjutkan ke Eropa ini merubah pola pikir Agus Salim. Kemudian ia ditawarkan sebagai penerjemah pada Konsulat Belanda di Jedah. Pada saat di Jedah inilah, ide-ide nasionalisnya berkembang setelah banyak bertemu dengan tokoh pergerakan kaliber internasional lainnya. Di Jedah, ia belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib, ia juga bertemu dengan tokoh pergerakan lintas negara hingga rasa nasionalisme Salim semakin kuat. Salim juga banyak membaca pemikiran pemikiran pembaru Islam dan nasionalis dari negara lainnya. Sebagaimana telah maklum, bahwa Belanda menutup akses karya-karya tokoh pembaru masuk ke Hindia Belanda ketika itu. Kemudian Salim berkeinginan membangun sarana pendidikan di kampung halamannya. Tahun 1903, ia mendirikan HIS di kampung halamannya Koto Gadang. Dengan demikian, warga Koto Gadang tidak perlu lagi pergi ke Bukittinggi untuk bersekolah. Salim mengajarkan ide-ide nasionalisme pada sekolahnya. Ajaran nasionalisme ini dimaksudkan agar menumbuhkan cinta tanah air dan menanamkan kebencian kepada kolonial penjajah Belanda.17 Ide-ide nasionalisme juga kelihatan dalam pidato-pidato serta artikel-artikel Salim ketika masuk dalam dunia pergerakan nasional. Dalam artikelnya “Lahirnya Tipis, Isinya Dalam”, Salim menyerukan kepada generasi muda lulusan sekolah Barat agar mencintai negeri mereka dan bersatu dengan mencopot semua gengsi, status sosial, dan pendapatan mereka. Hal ini juga yang ia terapkan ketika bergabung dengan Sarekat Islam.18 Salim bergabung dengan Sarekat Islam19 tahun 1915. Menurut Salim,

16 Ibid. 17 Erni Haryanti Kahfi, Islam & Nationalism, Agus Salim and Nationalist Movement in Indonesia During the Early Twentieth Century, (Jakarta: Logos, 2001), h. 67 18 Ibid. 19Sarekat Islam didirikan di Solo tanggal 11 November 1912. Ia tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya dengan nama Sarekat Dagang Islam yang berdiri 6 Oktober 1905 oleh KH. Samanhoeddhi, M. Asmodimedjo, M. Kertotaruno, M. Sumowerdojo, dan M. Hadji Abdulradjak. Motivasi awal berdirinya organisasi ini adalah kompetisi perdagangan batik antara orang Cina, bangsawan dan pedagang batik Solo ketika itu. Dalam AD/ART SDI dinyatakan agar semua anggotanya saling bekerjasama, saling rukun dan tolong menolong sebagai kaum muslim dengan cara yang halal mengangkat derajat rakyat sehingga menimbulkan kemakmuran serta kesejahteraan negeri. Kemudian SDI dibekukan karena terjadinya kerusuhan dengan etnis Cina dan pemogokan pekerja di perkebunan Krapyak pada permulaan Agustus 1912. Pembekuan tadi dicabut tanggal 26 Agustus 1912 dengan syarakt AD/ARTnya dirubah. Kemudian, Sarekat Islam dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, h. 115-118.

7 | P a g e awal ia bergabung dengan Sarekat Islam atas permintaan pihak kepolisian agar menelusuri isu yang berkembang bahwa Tjokroaminoto telah menjual pergerakan Sarekat Islam kepada Jerman senilai f 150.000 dengan menyanggupi membangun pemberontakan besar di Jawa. Dengan demikian, Sarekat Islam mendapat senjata kelengkapan perang. Dengan penyelidikan itu, Salim berkenalan dengan Tjokroaminoto dan tertarik untuk masuk Sarekat Islam dan memutus hubungan dengan polisi tadi.20

Sarekat Islam merupakan sarana menegakkan cita-cita nasionalisme dengan menjadikan Islam sebagai dasar ajaran dalam pemikiran tersebut.21 Salim bersama Tjokroaminoto adalah dua sejoli yang mewarnai Sarekat Islam. Salim mengajak generasi muda Indonesia dalam pergerakan nasionalis dan selalu memberi kebebasan dan meluangkan waktu serta perhatian kepada mereka. Ketika Semaun dan kawan- kawan memasukkan paham komunis dalam Sarekat Islam, Salim bersama Abdoel Moeis berusaha membendungnya. Paham komunis pertama kali dibawa ke Indonesia oleh seorang Belanda Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Bagi Salim, paham komunis dalam SI sama halnya dengan memindahkan pertikaian di Eropa ke Indonesia yang berpotensi perpecahan internal bangsa, membagi bangsa ini menjadi “kaum pekerja” dan “kaum bermodal.”22

Salim juga menyambut gembira berdirinya Perhimpunan Indonesia (PI), sebuah perhimpunan yang mengorganisir pemuda Indonesia yang sedang studi dan bekerja di Belanda. Organisasi ini membangun relasi dengan gerakan nasionalis lainnya yang ada di Belanda dan menggunakan komunikasi bahasa Indonesia. Hal ini dilontarkannya dalam koran Hindia Baroe tanggal 14 Mei 1925 dengan judul “Indonesia Merdeka”. Bagi Salim, Perhimpunan Indonesia adalah cita-cita suci, jadi meskipun belajar dan dipasilitasi oleh pemerintah Belanda, tetapi generasi muda Indonesia tetap akan membantu pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, para pelajar Indonesia tersebut memperlihatkan cinta tanah air yang diwujudkan dengan cinta bangsa Indonesia.23

Salim mempunyai andil dalam pembentukan Jong Islamieten Bond. Ia mendorong Sam dan kawan-kawannya untuk membentuk organisasi ini pada malam tahun baru 1925. Salim bersama tokoh nasional lainnya seperti Mirza Ahmad Wali Baig, dan Haji Fachruddin ikut mengawal perkembangan JIB pada masa awal, sehingga ia digelari dengan godfather oleh anak muda Muslim terpelajar dalam JIB tersebut.24 JIB merupakan rekonstruksi sejarah organisasi pemuda Islam yang berpendidikan Barat pada masa akhir penjajahan Belanda di Indonesia. Motivasi pembentukannya

20 Ibid., h. 124. 21 Ibid., h. 126. 22 Ibid., h. 135. 23 Erni Haryanti Kahfi, Islam & Nationalism, h. 67-68. 24Abdurrahman, Jong Islamieten Bond 1942-1942 (Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan), Disertasi Doktor PPs IAIN , 1999, h. 462, 464, Ahmad Syafii Maarif, “Sosok Idealis yang Selalu Mencari”, dalam St. Sularto, Haji Agus Salim, h. 5.

8 | P a g e adalah tumbuh dari kesadaran keagamaan dan keinginan anggota Jong Java yang beragama Islam, untuk menemukan identitas dan memikirkan kelompoknya karena merasa diperlakukan tidak adil dalam organisasi Jong Java.25

Polemik Nasionalis Islam dan Nasionalis Liberal (netral)

Berdirinya Partai Nasional Indonesia tahun 1927 oleh Soekarno memulai babak baru lahirnya partai yang menentang kepemimpinan Islam dalam Sarekat Islam. Menurut Deliar Noer, dengan berdirinya PNI melahirkan pemetaan baru dalam pergerakan kemerdekaan, yaitu nasionalis Islam di satu pihak dan nasionalis netral/liberal di pihak lain.26 Nasionalis Islam dipelopori oleh HOS Tjokroaminoto, Hadji Agus Salim dan beberapa tokoh lain di Serikat Islam. Gerakan ini, menumbuhkan kecintaan kepada Hindia atau Nusantara dan berkeinginan keras untuk memperjuangkan hak- hak kemerdekaan yang telah dirampas oleh pemerintah Hindia Belanda. Kecintaan kepada bangsa ini selalu dikaitkan dengan asas-asas Islam. Sedangkan paham nasionalis netral agama atau yang disebut juga dengan nasionalis liberal dipelopori oleh oleh Soekarno, Hatta, dan beberapa pemuda Indonesia lulusan Eropa (Belanda) yang berpaham kebangsaan. Bagi mereka terdapat pemisahan antara nasionalisme dengan agama.

Soekarno dapat dianggap sebagai pelopor utama mengobarkan semangat nasionalisme. Bagi Bung Karno dan tokoh nasionalis liberal lainnya, perlu menumbuhkan nasionalisme sebagai bagian dari gerakan memerdekakan Indonesia dari cengkeraman penjajah dan bebas dari asas-asas agama. Hal ini sejalan dengan tumbuhnya gerakan nasionalisme di beberapa negara Asia yang terjajah ketika itu.27 Pendapat Soekarno ini mendapat kritikan terutama dari kalangan nasionalis Islam. Bagaimana tidak, kalangan nasionalis Islam merasakan bahwa peran mereka selama ini untuk kepentingan Indonesia tidak dihargai. Terutama langkah Sarekat Islam menggalang umat dan menyadarkan alam pikiran mereka. Tjokroaminoto tahun 1925 menegaskan bahwa Islam sepertujuh rambut pun tak menghalangi dan merintangi kejadian dan kemajuan nasionalisme yang sejati, tetapi memajukannya.28 Pada saat yang sama, salim mengingatkan kalangan Sarekat Islam agar berhati-hati terhadap propaganda nasionalis agama seperti Soekarno. Komentar Salim terhadap pernyataan Soekarno di atas, bahwa cinta tanah air harus dilaksanakan dalam kerangka tujuan perjuangan yang lebih agung dalam rangka pengabdian kepada Tuhan Yang Maha

25 Ibid., h. v-vi. 26 Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 154. 27Menurut Deliar Noer, pada awalnya tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan ini bersatu. Namun setelah Kongres Nasional se-Hindia tahun 1922, yang menetapkan konsep nasionalisme Hindia, berlawanan dengan pemikiran dominan selama ini seperti terformulasikan dalam ideologi Sarikat Islam. Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 267. 28 Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 61.

9 | P a g e

Esa. Karena, nasionalisme dan fanatisme pada negara bisa salah arah dan melahirkan perilaku masyarakat yang mendewakan negaranya seperti halnya Hitler di Jerman.29

Menurut Salim, dalam mencintai tanah air hendaklah seseorang menempatkan cita rohaniahnya di atas tujuan kebendaan. Untuk mewujudkan cita-cita ini harus dalam koridor pengabdian kepada Allah sebagai cermin iman. Salim menyontohkan sikap Nabi Ibrahim yang mencintai tanah airnya dalam rangka pengabdian kepada Allah. Pendapat Salim ini ditolak oleh Soekarno. Baginya, kebangsaan yang diperjuangkan tidak sama dengan yang berkembang di Barat. Nasionalisme ketimuran menurut Soekarno telah memberi inspirasi kepada berbagai pemimpin Asia seperti Mahatma Gandhi, Arabindo Ghose dari India, Mustafa Kamil dari Mesir dan Sun Yat Sen dari Cina. Soekarno menyoalkan cap yang diberikan Salim bahwa nasionalismenya disamakan dengan “agama” yang menghambakan manusia kepada berhala “tanah air” atau “pembudakan kepada benda.” 30

Menanggapi serangan Soekarno tersebut, Salim berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara Sarekat Islam dan PNI dalam hal maksud dan tujuan masing- masing, yang membedakan adalah dasar dan niat masing-masing. Tentang contoh pemimpin Asia yang disebut Soekarno bagi Salim tidak patut dijadikan contoh, karena mereka juga manusia biasa dan berpotensi berbuat salah. Salim menegaskan bahwa ia tidak ingin mengecam pendirian Soekarno, ia hanya ingin memperlihatkan bedanya dengan Sarekat Islam.31

Demikianlah contoh perseteruan ideologi antara Salim dari nasionalis Islam dengan Soekarno dari nasionalis liberal. Sebelum kemerdekaan, baik Salim maupun Soekarno duduk bersama dalam 68 orang BPUPKI (Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). BPUPKI bertugas membahas bentuk negara, batas negara, falsafah negara, dan hal lain menyangkut rancangan Undang-Undang Dasar. Dalam sidang pertama pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945 ini, terjadi perdebatan alot antara kubu nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Nasionalis Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara sedangkan nasionalis liberal menolaknya.32 Walhasil, tim sembilan (Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad Yamin) menyepakai piagam Jakarta dengan tambahan klausul tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya.”33 Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, muncul protes dari minoritas Kristen yang akan memisahkan dari negara RI jika tujuh kata tersebut dimasukkan pada UUD 1945. Soekarno dan Hatta sebelum sidang PPKI 18 Agustus

29 Emil Salim, “Penghayatan Agama dengan Pikiran Rasional,” dalam St. Sularto (ed.), H. Agus Salim, h. 87-88. 30 Deliae Noer, Gerakan Modern, h. 275-276. 31 Ibid., h. 277. 32 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat, h. 223. 33 Ibid., h. 224.

10 | P a g e

1945 mengadakan pertemuan mendadak terbatas sehingga terjadi penghilangan tujuh kata dalam piagam untuk pembukaan UUD 1945. Pertemuan itu dianggap kontroversial, karena melalui lobi politik yang melibatkan kalangan nasionalis netral (Hatta) dan nasionalis Islam (Kasman Singodemedjo & Ki Bagus Hadikusumo). Ki Bagus yang pada awalnya keberatan, akhirnya bersedia mengakomodasi tuntutan minoritas kristen ketika itu.34

Ada hal yang menarik dari sikap Salim ketika terjadi perdebatan antara kubu nasionalis Islam ketika mengusung Islam sebagai asas negara. Isu mendukung negara pendirian negara Islam telah mempengaruhi keinginan sebagian tokoh Islam yang duduk dalam BPUPKI. Dalam hal ini, salim memilih diam tanpa menghalangi para Kiai tampil ke depan sekalipun ia tidak menyetujuinya. Menurut Maarif, Salim dengan ketajaman intelektualnya mampu melihat penciptaan negara Islam di tengah rakyat yang buta huruf ketika itu tidak bakal berjalan baik. Selain itu, ia dapat menerima jalan pikiran pihak nasionalis bahwa deklarasi negara Islam saat kritis tersebut dapat memperlambat proses kemerdekaan.35

Pemikiran Keislaman Hadji Agus Salim

Terkait dengan pemikiran keislaman, Salim melahirkan ide yang melampaui jauh masanya. Ide-ide keislaman yang dilontarkan oleh Salim antara lain tentang wacana gender. Salah satu isu sentral yang menjadi kritikan terhadap Islam ketika itu adalah rendahnya kedudukan wanita dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dapat terlihat dalam praktek perkawinan, perceraian, poligami, maupun pembatasan kegiatan wanita dalam masyarakat. Suatu ketika, Salim menjadi penghulu pernikahan dimana calon mempelai wanita tidak mendapat izin dari walinya. Menurut Salim, pernikahan tersebut sah meskipun tidak ada wali, karena telah terjadi ijab dan qabul serta adanya dua orang saksi sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an. Bagi Salim, wali diperlukan jika calon pengantin belum akil baligh. Apabila ia sudah akil balig, ayah atau paman sudah tidak diperlukan persetujuannya lagi, atau peranannya sebagai wali tidak diperlukan lagi.36

Selain peristiwa tersebut, Salim juga pernah membuka tabir yang memisahkan peserta wanita dan lelaki dalam kongres JIB kedua di Solo. Menurut Salim, ia tidak menemukan alasan untuk pemisahan tersebut. Membuka tabir tersebut merupakan wujud penghargaan dan penempatan wanita sejajar dengan lelaki. Adapun praktek pemisahan, pengucilan, pingitan, atau pemakaian cadar yang dilakukan oleh wanita muslimah saat itu merupakan adat Arab sebelum Islam, yang mungkin dipengaruhi oleh tradisi ajaran Kristen atau Yahudi.37

34Ibid., h. 225. 35Ahmad Syafii Maarif, “Sosok Idealis yang Selalu Mencari”, h. 10-11. 36Abdurrahman, “Jong Islamieten Bond…”, h. 367. 37Ibid., h. 368, Ahmad Syafii Maarif, “Sosok Idealis yang Selalu Mencari”, h. 8.

11 | P a g e

Terkait dengan kedudukan perempuan di tengah masyarakat, salim mengungkap seperti yang dikutip Maarif bahwa meskipun pendapat umum ketika itu jika perempuan sudah besar maka ia bersuami tidak perlu pendidikan dan mencari penghidupan. Namun, hemat Salim, meskipun perempuan tersebut dapat jodoh, akan tetapi dialah yang harus memegang belanja, mengemudikan rumah tangga, mendidik serta mengar anak.38

Dengan demikian, Salim menepis anggapan bahwa kaum wanita harus dijauhkan dari pergaulan dan kewajiban menutup muka sebagaimana realitas yang ada saat itu. Bagi Salim, laki-laki dan wanita mempunyai kedudukan yang sama, karena tidak ada satu ayat pun yang dapat dijadikan dasar bahwa kaum pria dijadikan pelindung kesucian kaum wanita, bahkan sebaliknya, kaum wanita mempengaruhi sikap dan tingkah laku kaum pria.39

Selain itu, Salim tidak setuju dengan poligami. Poligami yang tertera dalam al-Qur’an berlaku khusus untuk orang tertentu dan bukan sembarang pria, untuk menikah dua, tiga atau empat orang isteri sebagaimana yang ada dilazimkan di masyarakat lain.40 Terkait dengan Nabi Muhammad yang menikahi lebih empat orang isteri, Salim beralasan bahwa hal tersebut khusus bagi Nabi. Hingga berumur 51 tahun Nabi hanya beristerikan seorang yaitu Khadijah. Baru kemudian antara umur 51-63 ia menikahi hingga 11 orang isteri. Ini berarti Nabi berpoligami pada usia tua menjelang masa wafatnya. Kemudian Salim mengemukakan sejarah singkat pernikahannya dengan Saudah, Aisyah, anak Umar ibn Khattab, hingga Juariyah binti Haris. Salim berkesimpulan bahwa semua pernikahan tersebut tidak pernah Nabi merayu atau melamar seorang wanita.41 Dengan kata lain, prinsip perkawinan yang diajarkan oleh Rasulullah adalah monogami.

Selain isu gender, Salim juga menanggapi isu pluralisme yang rupanya pada saat itu menjadi sorotan di dunia Barat. Pluralisme merupakan wacana keberagamaan yang telah ada lebih dahulu di kalangan Islam. Sejarah mencatat bagaimana Islam datang membawa ideologi pembebasan yang membuat orang lebih bahagia. Tatkala semua bangsa memaksakan sebuah agama, namun Islam memelihara hidup bersama-sama dengan agama lainnya. Pluralisme dan toleransi beragama dicetuskan oleh Eropa karena pengalaman perang agama antara mereka selama 80-100 tahun. Menurut Salim, perkembangan toleransi sebetulnya berlangsung di Timur Tengah berkaitan dengan penyebaran Islam. Tidak ada usaha para khalifah untuk membuat membuat mereka masuk Islam. Bahkan mereka diberikan kebebasan memeluk agama apa saja.

38Ibid. h., 13-14 39Abdurrahman, “Jong Islamieten Bond..”, h. 368. 40Hadji Agus Salim, Pesan-pesan Islam, Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornel University Amerika Serikat, (Bandung: Mizan, 2011), h. 298-299. 41 Ibid., h. 302.

12 | P a g e

Umat Kristen di sebagian tempat ketika itu lebih memilih tetap Kristen dan membayar dinar dari pada masuk Islam dan ikut berjihad.42

Menurut Salim, pluralisme di Barat lebih karena perang agama. Anti semitisme dan tragedi Nazi adalah puncaknya. Selain itu, orang Eropa pertama kali pindah ke Amerika lebih kepada menghindari penganiayaan agama di Eropa. Menurut Salim, pengakuan peranan Yahudi di Barat itu juga baru, tak lepas dari bagian pertobatan Barat karena selama ini bersalah terhadap Yahudi dalam peristiwa Nazi.43

Salim dalam ceramahnya juga membahas perkara jihad yang selalu diasosiasikan dengan salah. Menurut Salim, jihad tidak hanya berarti perjuangan yang bersifat fisik. Ia bisa dipahami dengan juhd atau kerja keras, yaitu kerja keras membela yang benar yang dalam sejarahnya lebih banyak mengandung kerja keras dalam arti fisik lalu berkembang menjadi perang. Seakar dengan jihad adalah ijtihad, yaitu kesungguhan dari segi intelektualitas. Dengan demikian ijtihad lebih merupakan kerja keras dari segi intelektualitas untuk memecahkan persoalan. Jihad menurut Salim adalah suatu etos yang sangat kuat dalam Islam. Ijtihad yang tulus tanpa resiko. Jihad bisa juga dipahami dengan mujahadah atau spritual exercise, yang merupakan olah rohani yang sunguh-sungguh.44

Kalau boleh disimpulkan, maka defenisi yang tepat untuk jihad adalah kerja keras untuk membela kebenaran, pertahanan diri dan pembelaan diri, bukan untuk agresi atau penyerangan. Dalam beberapa ceramahnya di Cornel University, Salim mengemukakan contoh sejarah Nabi, bagaimana peperangan yang dilakukan oleh Nabi tak lepas dari pembelaan diri. Misalnya ekspedisi Khaibar, karena orang Khaibar yang melakukan pengkhianatan terahdap Nabi. Demikian halnya dengan fath Makkah, lebih disebabkan kepada permusuhan yang sudah lama, dimana penduduk Mekah yang tidak loyal kepada Nabi selalu menyerang Madinah.45

Salim juga pernah melontarkan pandangan agar waktu salat lima kali disesuaikan dnegan jadual pembagian kegiatan sehari-hari. Ia beralasan, bahwa waktu kegiatan tidak banyak berbeda di seluruh dunia, karena berdasarkan jam, bukan menurut kedudukan atau peredaran matahari. Ia mencontohkan, sebelum memulai kegiatan, kita menyisihkan waktu sejenak untuk menyembah Tuhan, kemudian di tengah hari saat beristirahat, juga menyisihkan waktu memusatkan pikiran dan waktu kepada Allah.46

42 Budy Munawar-Rachman, “Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, Komentar atas Pikiran H. Agus Salim” dalam St. Sularto, Haji Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, h. 66. 43 Ibid., h. 68. 44 Ibid., h. 50. 45 Ibid., h. 51. 46Hadji Agus Salim, Pesan-pesan Islam, h. 2-3.

13 | P a g e

Dari contoh-contoh pokok pikiran keislaman Salim ini, nampaknya pemikirannya hidup lebih jauh mendahului masanya. Ia berfikir tidak berkutat dalam perkara halal- haram semata. Bayangkan saja, bagaimana pemikiran seperti itu lahir di saat negara yang belum merdeka. Anggaplah setelah merdeka ketika ia memberikan kuliah di Cornell University, Salim mampu menembus ke depan berdasarkan situasi yang ia hadapi ketika itu. Tak salah jika Maarif mengatakan, “Sekiranya ia sempat menjadi dokter, kuliah Cornell itu tidak akan pernah ada, karena Salim dengan otaknya yang teramat cerdas itu berpotensi besar untuk menjadi pemikir bebas, jika bukan seorang agnostik, ragu terhadap eksistensi Tuhan, yang akan dikutuk oleh lingkungan Koto Gadang dan umat .”47

Penutup

Nasionalisme menurut Hadji Agus Salim berlandaskan pada kerangka ibadah kepada Allah Swt. yang didasarkan dengan rasa tulus ikhlas semata-mata hanya untuk mencari ridho-Nya. Nasionalisme yang dicetuskan Haji Agus Salim berdasarkan ketauhidan bukan fanatisme dan cinta terhadap bangsa dan negara. Nasionalisme ini mengandung unsur perasaan kemanusiaan dan persaudaraan dengan tujuan memperoleh kemerdekaan terhadap penjajah Belanda.

Lahirnya Pemikiran Hadji Agus Salim ini tak dapat dipisahkan dari tradisi pendidikan Belanda yang ia tempuh pada ELS dan BHS yang diperparah lagi dengan gagalnya ia mendapatkan beasiswa studi ke Belanda karena diskriminasi kolonialisme di bidang pendidikan. Ketika bekerja di Jeddah dan banyak belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib, intelektual Salim dicuci dengan ajaran Islam. Salim melihat kondisi Hindia Belanda saat itu sangat memprihatinkan. Hal inilah yang membangkitkan rasa kritiknya terhadap kolonial. Ia memulai kiprahnya dengan mendirikan sekolah yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme, aktif menulis di media masa, dalam Sarekat Islam, dan membina generasi muda terutama dalam organisasi Jong Islamieten Bond. Sepuluh bulan sebelum kematiannya, Salim diminta memberikan seminar Budaya dan Islam di Cornell University AS. Dalam ceramah-ceramahnya, Salim berusaha memperkenalkan Islam sebagai agama kedamaian. Ia juga menyampaikan sejarah Nabi Muhammad dengan banyak merujuk kepada Ibn Hisyam.[]

47 Ahmad Syafii Maarif, “H. A. Salim dan Kuliah Cornell 1953” dalam Pesan-pesan Islam, h. xxviii.

14 | P a g e

Daftar Pustaka

Abdurrahman, “Jong Islamieten Bond 1942-1942 (Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan),” Disertasi Doktor PPs IAIN Sunan Kalijaga, 1999. Amin, M. Masyhur, Saham HOS Tjokroaminoto dalam Kebangunan Islam dan Nasionalisme di Indonesia, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980. Aswar, Cut, “Tentang Hadji Agus Salim” dalam Pesan-pesan Islam, Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornel University Amerika Serikat, Bandung: Mizan, 2011. Dault, Adhyaksa, Islam dan Nasionalisme, Reposisi Wacana Universalis dalam Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004. Dzuhayatin, Siti Ruhaini, “Lebih Maju dari Pandangan Kartini”, dalam St. Sularto (ed.), H. Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Graves, Elizabeth E., Asal Usul Elite Minangkabau Modern, Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, terj. Novi Andri dkk., Jakarta, Yayasan Obor Jakarta, 2007. Kahfi, Erni Haryanti, Islam & Nationalism, Agus Salim and Nationalist Movement in Indonesia During the Early Twentieth Century, Jakarta: Logos, 2001. Latif, Yudi, Inteligensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005. Maarif, Ahmad Syafii, “Sosok Idealis yang Selalu Mencari”, dalam St. Sularto (ed.), H. Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. ______, “H. A. Salim dan Kuliah Cornel 1953," dalam Pesan-pesan Islam, Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornel University Amerika Serikat, Bandung: Mizan, 2011. Nashir, Haedar, Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP, 2007. Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996. Prasetyo, Adreas Yoga, “Menelusuri Jejak Nasionalisme Haji Agus Salim,” dalam St. Sularto (ed.), H. Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Putuhena, M. Shaleh, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2007. Rachman, Budy Munawar, “Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, Komentar atas Pikiran H. Agus Salim” St. Sularto (ed.), H. Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Salim, Emil, “Penghayatan Agama dengan Pikiran Rasional,” St. Sularto (ed.), H. Agus Salim (1884-1954) tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Salim, Hadji Agus, Pesan-pesan Islam, Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornel University Amerika Serikat, Bandung: Mizan, 2011. Soeroto, Sitisoemandari, Kartini Sebuah Biografi, Jakarta: PT Gunung Agung, 1983, cet. IV. http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis, diakses 01 April 2012. http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/27/the-grand-old-man-jalan-perjuangan-h- agus-salim/, diakses 26 Maret 2012.

15 | P a g e

RE Elson, “Islam, Islamism, The Nation, and The Early Indonesian Nasionalist Movement” Journal of Indonesian Islam, PPS Lembaga Studi Agama dan Sosial IAIN Surabaya, vol 01, no. 02, Desember 2007. Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2003.

16 | P a g e