BOYANG TO MANDAR

BOYANG TO MANDAR

Penulis: H. Ahmad Asdy Editor: Dr. Anwar Sewang, M.Ag H. S. Tamzil Alqadri, S.Sos., M.Pd

Pembantu Penulis Hj. Wahdia, S.Pd., M.Pd Sartika Adelia, S.Farm

BOYANG TO MANDAR

H. Ahmad Asdy

ISBN: 978-602-0923-95-6 Copyright © 2018 Penerbit Wineka Media

Anggota IKAPI No.115/JTI/09 Jl. Palmerah XIII N29B, Vila Gunung Buring Malang 65138 Telp./Faks : 0341-711221 Website: http://www.winekamedia.com E-mail: [email protected]

______Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit. ______

SAMBUTAN GUBERNUR BARAT

aya atas nama Pribadi dan Pemerintah Provinsi Sulawesi S Barat menyambut baik atas terbitnya buku yang berjudul: Boyang to Mandar dengan latar belakang tentang tatanan adat istiadat Mandar yang ditulis oleh Sdr H.Ahmad Asdy, karena data dan informasi yang diungkap di dalamnya sungguh- sungguh sangat bermakna penting karena informasi yang di sajikan sudah sangat langkah orang yang mencatat peristiwa akan keunikan dari Boyang To Mandar. Buku ini merupakan catatan yang mengungkapkan akan proses Mapake’de Boyang dengan semua tipe rumah adat yang tersebar di berbagai belahan wilayah Nusantara untuk dijadikan sebagai bahan kajian dan acuan. Tentu disadari oleh penulis bahwa isi buku ini yang Insyah Allah akan dipersembahkan kepada para pembaca yang budiman dengan berpijak diatas segala kekurangan dan kekhilafan yang pasti dimiliki oleh setiap insan anak manusia yang mengaku dirinya selaku hamba Allah. Begitu juga dengan pemaparan dalam tulisan ini, yang diyakini dan disadari bahwa di dalam penyusunan dan penyajian karya ini, akan dipastikan memiliki beberapa kesalahan dan kekurangan yang diakibatkan oleh keterbatasan yang penulis miliki seperti yang dikatakan oleh sebuah ungkapan bahwa:

~ i ~

Tiada gading yang tak retak namun kesempurnaan dari gading itu terletak pada retaknya. Saya juga tak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu baik secara langsung, maupun tidak langsung, baik itu merupakan moril terlebih lagi dengan berupa material, sehingga penulis dapat mewujudkan naskah ini, yang pada akhirnya karena dengan adanya partisipasi dari Bapak, ibu dan Saudara (i) sehingga buku kecil ini dapat disajikan kepada para pembaca yang budiman. Semoga karya yang serba terbatas ini dalam berbagai bentuk dan variasinya dapat membawa manfaat bagi Pembangunan Bangsa, Kemanusiaan dan Agama demi terwujudnya Sulawesi Barat menjadi sebuah Provinsi yang Mawarra, Malino Tammalembong dan Mala’bi. Amin.

Wassalam Mamuju 20 Maret 2018 Gubernur Sulawesi Barat

Drs.H.M Ali Baal Masdar M.Si

~ ii ~

SA’AMMEANG LOA (Seteguk Kata)

asa syukur Alhamdulillah yang tak terhingga atas curahan Rahmat dari:Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas Rahim- R NYA pula maka Boyang to Mandar ini dapat kami terbitkan dengan harapan kiranya para pembaca yang budiman dapat memahaminya dan mengetahui akan proses keberadaan salah satu diantara sekian banyaknya tatanan adat tentang Boyang (rumah) di Mandar, sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu akan menghargai akan budaya sebagai peninggalan leluhur masa lalu. Kami menyadari sepenuhnya bahwa didalam menyusun karya ini tentunya masih sangat jauh dari apa yang diharapkan sesuai dengan makna dari judul penulisan ini dan kami bukan berbangga untuk memberanikan diri dalam mempersembahkan karya tulis ini yaitu dengan mencoba meraih batu dalam kegelapan, akan tetapi sekedar sebagai bukti dari rasa terima kasih dan kecintaan terhadap tanah tumpah darah dimana tempat penulis dilahirkan, oleh karena itu penulis berupaya dari sisa tenaga bahkan berangkali juga sudah sisa dari umur yang telah senja mengetuk pintu malam, dan sudah semakin rapuh pula dilanda zaman untuk sekedar menggoreskan pena menjadi sebuah tulisan sebagai bukti penyembahan dari pernyataan sembah sujud Syukur Kepada-NYA yang tak sama dan tak akan mungkin serupa dengan kita seisi alam semesta ini. Dalam karya ini penulis mengangkat sebuah karya yang hampir terlupakan yaitu Boyang To Mandar beserta makna dan arti serta sejarah keberadaannya untuk dapat dipahami dan

~ iii ~

dijadikan sebagai bahan acuan dan perbandingan bagi generasi selanjutnya. Dan kepada semua pihak tak terkecuali yang telah turut serta berpartisifasi membantu kami memberikan data terutama para keluarga ataupun kerabat dan kawan terdekat dari kami, sehingga kami berhasil menyusun goresan ini sampai pada penerbitannya, maka tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya dengan penuh harap semoga apa yang kita lakukan ini dapat menjadi sebuah Ibadah disisi Tuhan Yang Maha Kuasa, Sangat pula diharapkan bahwa dengan karya yang sangat terbatas ini akan dapat membawa manfaat walaupun hanya sedikit guna dapat mengantar kita lebih mengenal akan kebudayaan lewat Boyang ada’. Akhirnya sekali lagi saya memohon maaf jika sekelumit tulisan yang diperuntukkan khusus melengkapi perbendaharaan dalam memaparkan Boyang ada’ to Mandar sangat subyektif serta cara penulisannya kurang sempurna hal itu disebabkan oleh keterbatasan dan kemampuan yang penulis miliki.

Penulis

~ iv ~

SEPENGGAL CATATAN EDITOR

ilayah Mandar yang dahulu terdiri dari Binanga Karaeng W di Selatan dan Lalombi di utara yang sekarang ini telah menjadi sebuah Provinsi dengan batas hanya terdiri dari Paku Sampai Suremana yang merupakan salah satu Provinsi dalam bingkai NKRI yang letaknya sangat strategis karena berada digaris khatulistiwa. Ditetapkan pada tanggal 22 september 2004 dengan UU no: 26 tahun 2004. Sebelumnya Sulawesi Barat merupakan bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang kemudian dimekarkan dan menjadi jalur lalu lintas ekonomi antara Sulawesi dan yang menjadi urat nadi perokonomian di Tanah air. Jauh sebelum terbentuknya provinsi Sulawesi Barat, nama Mandar telah dikenal luas oleh para pedagang Eropa, sejak kedatangan mereka dipesisir selatan Sulawesi yaitu sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan di Mandar Nama Mandar telah menjadi salah satu mata rantai pelabuhan-pelabuhan penting dalam peta pelayaran pertama Portugis dan Belanda yang melakukan perdagangan rempah-rempah. Sudah sejak lama Mandar merupakan pelabuhan yang penting dan memiliki berbagai jenis perahu niaga dan orang Mandar juga dikenal sebagai perantau dan pelaut ulung yang sangat berani menentang badai karena bermodalkan akan Paissangan mosasi (pengetahuan kelautan) yang didasari dengan kepercayaan dari Ritual dan Mistik yang menjadi semangat untuk pantang menyerah. dan orang Mandar juga terkenal sebagai perantau yang pantang pulang sebelum berhasil karena bermodalkan Siri’ anna lokko.

~ v ~

Dan didalam melakukan intraksi perdagangan mereka maka sering diadakan acara yaitu Mappande Sasi’ (mensyukuri hasil laut) dengan segala macam makanan dan kue-kue khas tradisional Mandar serta menampilkan hiburan sebagai tanda kesyukuran akan hasil keuntungan yang didapatkan dengan puncak acara adalah pergelaran Pakkacaping dan Pakkeke serta alat kesenian lainnya yang akan bereaksi melantungkan syair lagu. Penerbitan buku ini merupakan salah satu langkah dalam upaya memberikan pemahaman tentang Boyang Ada’ to Mandar serta pengertian makna dari kebudayan yang selama ini cenderung masyarakat sebahagian menganggap bahwa kebudayaan bertentangan dengan ajaran Islam sehingga lewat pemahaman melalui tulisan ini maka terjawablah sudah anggapan itu. Semoga dengan diterbitkannya buku kecil ini kita dapat memahami akan manfaat dari tatanan adat istiadat terutama dengan Boyang Ada’ to Mandar, yang bertujuan sebagai bahan informasi dan pembelajaran. Akhirnya kepada penulis saya pribadi menyampaikan penghargaan atas upaya yang dilakukannya sebagai bahan informasi buat generasi kini dan yang akan datang. Sangat pula diharapkan bahwa dengan karya yang sangat terbatas, ini akan dapat membawa manfaat walaupun hanya sedikit, guna dapat mengantar kita lebih mengenal akan latar belakang sejarah dari Boyang ada’ to Mandar sebagai sebuah referensi bagi generasi kedepan sesuai dengan harapan dan cita- cita dari para pahlawan terdahulu dan para pejuang Sulawesi Barat untuk menjadikannya sebuah Provinsi yang damai dan Mala’bi, tetapi bukan damai seperti damainya embun diujung daun yang akan sirna tertimpah sinar matahari, namun sangat diharapkan untuk damai dan Mala’bi seperti damainya seorang ibu yang sedang menyusui anaknya dengan penuh kasih Sayang.

~ vi ~

Akhirnya kami segenap kerabat kerja mengucapkan terimah kasih dan penghargaan yang tinggi kepada semua pihak atas bantuan dan partisipasinya, selamat membaca buku ini, sebagai bahan masukan sekaligus dapat menjadi acuan dan perbandingan untuk kita semua.

Wassalam

~ vii ~

DAFTAR ISI

SAMBUTAN GUBERNUR SULAWESI BARAT --- i SA’AMMEANG LOA (Seteguk Kata) --- iii SEPENGGAL CATATAN EDITOR --- v DAFTAR ISI --- viii 1. PENDAHULUAN --- 1 a. Kesaksian --- 1 b. Keragaman Arsitektur Rumah adat --- 5 c. Pendekatan --- 7 d. Keberadaan Rumah --- 15 e. Arsitektur Boyang Mandar --- 18 f. Keutamaan dan kelemahan rumah kayu --- 26 2. MENDIRIKAN RUMAH --- 30 1. Boyang ada’ to Mandar --- 30 2. Musyawarah --- 33 3. Unsur Mitos --- 36 4. Fungsi tingkat rumah --- 42 5. Mappake’de boyang --- 44 6. Matta’bang --- 48 7. Mattema --- 49 8. Mappae --- 50 9. Arriang Boyang --- 51 10. Aratang --- 55 11. Passollor --- 57 12. Bae --- 59 13. Balimbungan --- 59 14. Su’du --- 60 15. Mattolor --- 60 16. Massanna --- 67

~ viii ~

17. Mambue --- 68 18. Manggala’garri --- 72 19. Ma’atei --- 73 20. Mambung --- 74 21. Mallapar --- 75 22. Marrinding --- 78 23. Matteppang --- 81 24. Mattumba layar --- 82 25. Mappapia Ba’ba --- 84 26. Mappapia Pepattoang --- 86 27. Mappapia Ende’ --- 87 28. Tambing --- 89 29. Bollo --- 90 30. Cigi-cigi atau Cinggi-cinggi --- 92 31. Paceko --- 92 32. Mambatu boyang --- 93 33. Rambang --- 95 34. Massarapo --- 97 35. Ragam hias dan ornamen boyang --- 97 3. RITUAL --- 99 a. Makkuliwa --- 100 b. Matera --- 103 4. MA’AKKE BOYANG --- 106 a. Waktu mengangkat rumah --- 108 b. Kuliner Ule-Ule Bue dan Lemper --- 109 c. Tradisi ma’ake’ boyang hari ini --- 110 5. PAPPAKE’DEANG BOYANG PAPPOGAUANG --- 112 a. Pappakedeang Baruga --- 117 b. Ornamen penghias Baruga --- 120 c. Bala Suyi --- 125 d. Bangunan tambahan --- 129 e. Ritual Patterangan --- 130 f. Paccappuranna Pappogauang --- 130 6. CONTOH RUMAH ADAT DI INDONESIA --- 132 DAFTAR PUSTAKA --- 151

~ ix ~

1

A. Kesaksian encana penerbitan dalam pemaparan buku tentang R keragaman arsitektur Rumah sebagai sebuah hunian, sebenarnya sudah sangat lama jadi impian namun baru kali ini dapat diwujudkan, sesungguhnya impian ini datang adanya aspirasi dari awal mula Pemerintah Kabupaten Polewali Mamasa ketika itu menjanjikan akan membuatkan rumah Ibu Agung H.A.Depu sebagai pertukaran dari ganti lahan bekas rumah milik Ibu Agung H.A.Depu yang berlokasi di Tinambung (sekarang bernama gedung Tammajarra) yang kemudian hingga saat buku ini dalam garapan belum teralisiasi sesuai dengan kesepakatan antara pihak pemerintah yang pada waktu itu Bupati Polewali Mamasa adalah Kolonel Purnawirawan Abd. Madjid dengan Ibu Agung H.A.Depu, sedangkan

Boyang To Mandar 1 pendirian banguan diatas lahan Ibu Agung H.A.Depu sudah selesai dibangun yang sekarang bernama Gedung Tammajarra, untuk selanjutnya melalui APBD Polmas Rumah yang diperuntukkan buat Ibu Agung H.A.Depu selesai pula dibangun yang bertepatan dengan itu pula pemerintahan Abd. Madjid selaku Bupati Polewali Mamasa (Polman) berakhir. Pada masa pemerintahan Kolonel Purnawirawan S.Mengga sebagai pelanjut dari Abd Madjid, Rumah sudah selesai dibangun yang berlokasi disamping kiri Lapangan Tammajarra Tinambung yang menurut Ibu Agung H.A.Depu bahwa bentuk rumah tersebut belum menggambarkan secara memadai dengan tipe Boyang Ada’ to Mandar sesuai kesepakatan awal atas keinginan Ibu Agung H.A.Depu, artinya bangunan rumah tersebut belum memenuhi standar sesuai dengan keinginan dari Ibu Agung H.A.Depu. Demi memenuhi harapan Ibu Agung H.A.Depu sehingga rumah tersebut direnovasi oleh Pemda Polmas (Polewali Mamasa) yang sekarang bernama Polman (Polewali Mandar) dan yang ditunjuk menjadi pelaksana untuk melakukan renovasi adalah H.Ahmad Asdy (penulis) atas keinginan Ibu Agung H.A.Depu. Akan tetapi sebelum rumah tersebut selesai direnovasi, Pemerintah Republik Indonesia yang dalam hal

2 H. Ahmad Asdy ini Presiden Soeharto memberikan bantuan rumah kepada Ibu Agung H.A.Depu dengan surat keputusan Nomor. 8.253/SETMIL/CIX/ 1981 tanggal 9 September 1981 kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan yang saat itu dijabat oleh Prof. A. Amiruddin. Oleh Gubernur Provensi Sulawesi Selatan memerintahkan kepada Pemda Polmas (sebelum terjadi pemekaran) untuk melaksanakan pembangunan bantuan Presiden tersebut, dan oleh Pemda Polmas yang saat itu dijabat oleh S.Mengga untuk dengan segera mewujudkannya maka ditunjuklah Rumah yang sedang direnovasi itu dengan dalih yaitu sudah melaksanakan amanah dari Presidn, yang penyerahannya dilakukan oleh Sekertaris Militer Kardono mewakili Presiden Soeharto dan diterima oleh S.Mengga selaku yang mewakili Ibu Agung H.A.Depu. Dengan demikian maka kesepakatan ganti rumah oleh Pemda Polmas dengan Ibu Agung H.A.Depu belum terealisasi hingga sekarang, yang mengakibatkan lahan Ibu Agung H.A.Depu beserta bangunan yang dijadikan sebagai gedung serba guna diklaim oleh ahli waris Ibu Agung H.A.Depu. Dan sebelum Ibu Agung H.A.Depu meninggal dunia, rumah bantuan Presiden itu diwakafkan kepada salah satu Yayasan di Polewali Mamasa (Tinambung)

Boyang To Mandar 3 bersama dengan mobil Kijang pribadinya No.Polisi DD 45 disumbangkan kepada Mesjid Al-Hurriyyah Tinambung. Adapun Bentuk dan model bangunan rumah yang menjadi kesepakatan antara Pihak Pemda Polmas dengan Ibu Agung H.A.Depu akan dilengkapi dengan semua ornamen budaya Mandar sehingga dapat disebut sebagai Boyang Ada’ to Mandar (Rumah adat orang Mandar) yang semua makna dan simbol-simbol yang terdapat didalamnya dipaparkannya kepada salah seorang abdinya (penulis). Dan dari informasi itulah sehingga penulis banyak mengetahui dan memahaminya tentang prihal Boyang Ada’ to Mandar, kemudian penulis melakukan penelitian dan banyak bertanya lewat wawancara langsung dengan para tukang kayu terutama sekali dengan Sando Boyang (dukun rumah) yang juga merangkap sebagai kepala tukang, yang semuanya tidak jauh berbeda dengan Informasi dari Ibu Agung H.A.Depu dan selanjutnya lahirlah buku ini yang berjudul Boyang Ada’ to Mandar. Semua informasi tersebut diatas bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang keteladanan Ibu Agung H.A.Depu yang peduli dengan segala hal, yang bukan saja selaku pejuang mempertahankan kemerdeaan Indonesia, akan tetapi beliau juga adalah pejuang pendidikan dan pejuang

4 H. Ahmad Asdy kemanusian yang sangat layak menerima anugerah selaku Pahlawan Nasional.

B. Keragaman Arsitektur Rumah adat eragaman arsitektur Rumah sebagai sebuah hunian K berbagai suku di wilayah kepulauan Nusantara pada masa silam merupakan sebuah anugerah khusus dari Tuhan YME yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Anugerah ini tidaklah dimiliki oleh Negara-negara lain di belahan dunia manapun juga, sehingga patutlah kita mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga, yang salah satunya dengan memperkenalkan pada generasi sekarang dan generasi mendatang agar anugerah itu tetap lestari dan tak lekang oleh perputaran dari waktu ke waktu. Keragaman arsitektur rumah atau disebut hunian suku-suku di Indonesia yang beragam dapat kita buktikan dengan banyaknya bentuk dan model rumah adat suku- suku di Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang menurut penelitian bahwa rumah adat yang ada di Indonesia terdiri dari 35 (tiga puluh lima) yang telah terdaftar pada lembaga kebudayaan dan duplikatnya semuanya dibangun di Taman Mini Indonesia Indah, yang salah satunya adalah rumah adat Sulawesi Barat yang jug disebut rumah adat Mandar dengan sebutan Boyang to

Boyang To Mandar 5

Mandar yang memeliki beberapa jenis dan tipe sesuai dengan banyaknya sub kelompok suku di Mandar namun pada dasarnya memiliki kemiripan bentuk antara satu dengan yang lainnya, yang selanjutnya akan menjadi pokus pembicaraan dalam tulisan ini yang mengambil sampel dari tipe Boyang Ada’ kerajaan Balanipa, kerajaan Banggae, kerajaan Pamboang dan kerajaan Sendana serta kerajaan lainnya di Mandar yang semuanya memiliki persamaan. Boyang adalah rumah tradisional yang masih banyak digunakan oleh masyarakat Mandar, yang kini bernama Sulawesi Barat. Boyang biasa juga disebut Sapo oleh orang dari Mandar Mamuju, Banua dari Pitu Ulunna Salu serta Sao, dan Bassuli bagi masyarakat yang ada di pegunungan dan pelosok terpencil. Orang Mandar yang rata-rata membangun Boyang Mekke’de dengan ramuan menggunakan kayu dan tumbuhan alam lainnya, namun sekarang ini sejak Indonesia merdeka maka ada dua jenis boyang yang dibangun oleh masyarakat Mandar, yaitu boyang aju (rumah kayu), boyang batu (rumah batu) dan ada pula yang semi permanen (bahan batu dan kayu) yang keduanya berbentuk Boyang mekke’de (rumah panggung) . Sejak beberapa tahun terakhir ini, boyang aju sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan rumah-rumah dari yang menggunakan batu bata.

6 H. Ahmad Asdy

Menelusuri jejak peninggalan rumah adat Mandar tentu tak akan pernah habis, setelah kita mengetahui bagian-bagian rumah adat, yang masing-masing memiliki fungsi dari bagian-bagian tertentu, dengan nilai filosofinya, lalu bagaimana dahulu orang-orang Mandar menggunakan rumah adat ini. Pertanyaan-pertanyaan yang lahir kemudian akan mendorong kita untuk menggali lebih dalam tentang jejak arsitektur rumah yang ditinggalkan oleh leluhur pendahulu. Rumah atau boyang di daerah Mandar dahulu pada dasarnya memang dibuat dengan nilai filosofi yang sangat dalam dan bermakna, semua punya arti, maksud, dan harapan tertentu dari setiap bahan dan kegunaannya serta cara penempatannya. Bagi masyarakat Mandar, secara turun temurun sejak dahulu kala dikenal dengan rumah Adat yang menjadi simbol peradaban bagi suku yang kini mendiami propinsi Sulawesi Barat yang dimulai dari Paku hingga Suremana dan dari Desa Basokang hingga Pulau Salissingan sebagai sebahagian besar dari batas wilayah Mandar.

C. Pendekatan erbicara tentang Boyang yang artinya adalah Rumah B sebagai sebuah hunian dari kebutuhan yang mutlak harus dimiliki oleh setiap yang namanya insan anak manusia sejak dahulu kala hingga dunia menjelang kiamat,

Boyang To Mandar 7 dan berbicara tentang Boyang (rumah), maka tentunya tidak akan terlepas dengan kata yang disebut Ruang atau Ruangan, yang dalam bahasa lokal Mandar disebut Lottang, karena Ruangan atau Ruang adalah sebagai salah satu tempat untuk ditempati didalam melangsungkan kehidupan setiap yang ada didunia ini terutama sekali dengan kehidupan manusia didalam mengarungi liku-liku dan suka dukanya kehidupan yang silih datang berganti, ruang juga adalah sebagai sumber daya alam yang merupakan salah satu karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa kepada manusia. Namun ruang yang dimaksud didalam hal ini bukanlah Ruangan yang disebut semata hanya sebagai Lottang, akan tetapi ruang yang dimaksudkan disini adalah suatu tatanan yang selalu teratur, rapih, tersusun dan berulang secara otomatis dalam sebuah tatanan budaya yang terjaga, dan ketika kita berbicara tentang kebudayaan secara komprehensif maka arsitektur adalah salah satu wujud hasil karya seni budaya yang terkait dengan ruang atau ruangan, keterkaitan hubungan antara kebudayaan suatu daerah dengan arsitektur akan tergambar pada telaahan masing-masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya akan berpijak pada unsur-unsur konsep, cara membangun dan adanya wujud nyata dari bangunan sebagai suatu lingkungan buatan dalam

8 H. Ahmad Asdy rekayasa lingkungan sekitarnya. Telaahan kebudayaan selalu berpijak pada unsur-unsur dari buah pikiran, perbuatan, sikap dan prilaku serta hasil karya yang memiliki nilai seni. Hasil karya seni yang akan dihasilkan dengan baik tentunya tidak terlepas dari peran arsitektur yang akan merancang dan mendesain sesuatu yang akan dibangun, dan hal ini juga dapat disebut sebagai Kapala Tukang (kepala tukang) yang juga kebanyakan diantaranya sebagai Sando Boyang (dukun rumah) karena hasil dari Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang dapat dijadikan cerminan dari kehidupan manusianya dari masa kemasa. Identitas arsitektur tradisional Mandar tergambar dalam bentuk rumah tradisional yang disebut Boyang yang dikenal dengan sebutan Boyang Ada’ (rumah adat), dan Boyang ada’ di Mandar ini terbagai atas berbagai jenis yaitu:  Boyang ada’ tobeasa (rumah adat orang biasa) yang bangunannya adalah berbentuk rumah panggung yang petaknya disebut lottang atau disebut juga ruangan yang terdiri dari satu sampai dengan tujuh petak/ruangan, dan akan dihuni oleh masing-masing yang terdiri dari: a. Tau masagena atau Tosugi (hartawan atau orang yang kaya) terdiri dari tiga sampai dengan empat petak bahkan bisa sampai dengan lima petak yang jumlah

Boyang To Mandar 9

tiangnya berpareasi sesuai dengan keinginan pemiliknya, dan ende’-nya hanya terdiri dari satu susun saja b. Tau samar (orang kebanyakan atau orang biasa) terdiri dari dua sampai tiga petak tergantung kemampuan seseorang yang jumlah tiangnya berpareasi, dan ende’-nya hanya terdiri dari satu susun saja c. Batua yang juga disebut sio-sioang (budak/hamba) yang hanya terdiri dari satu petak dengan jumlah tiang sebanyak enam lalu ditambah dengan satu petak ruangan yang berbentuknya seperti Bi’ung (cangkul) dengan menggunakan dua tiang yang menempel ketiang induk, dan ende’-nya hanya terdiri dari satu susun saja  Boyang ada’ tomaraya’ (rumah adat orang Bangsawan) yang bangunannya adalah berbentuk rumah panggung yang petaknya terdiri dari tiga sampai dengan tujuh petak bahkan bisa mencapai sembilan petak, dan akan dihuni oleh golongan Todziang laiyyana (bangsawan berdarah biru) yang disapa dengan sebutan Daeng (yang mulia) dan golongan bangsawan Hadat/Adat yang disapa dengan sebutan Puang (yang terhormat) yang terdiri dari:

10 H. Ahmad Asdy a. Golongan bangsawan raja (mara’dia/arayang) terdiri dari empat petak sampai dengan tujuh petak dan memiliki paceko (dapur), serta memiliki tambing tuna (serambi samping) dan bollo (serambi depan), artinya tujuh petak ini hanya dapat dimiliki oleh setiap raja (mara’dia/arayang) dan menggunakan ende’ (tangga) model dua’ susung (dua susun), dan bisa juga menggunakan Ende’ Siapper duassusung (tangga dua jalur dua susun) b. Golongan banngsawan (mara’dia matoa/ mara’dia malolo dan mara’dianna syara) terdiri dari empat petak sampai dengan enam petak dan memiliki paceko, tambing tuna dan bollo, artinya enam petak ini hanya dapat dimiliki oleh setiap yang memangku jabtan mara’dia matoa (wakil raja), mara’dia malolo (panglima perang) dan mara’dianna syara (penghulu Agama) dan menggunakan ende’ (tangga) model dua’ susung (dua susun), dan bisa juga menggunakan Ende’ Siapper Sassusung (tangga dua jalur satu susun) c. Golongan bangsawan biasa (bangsawan yang tidak memiliki jabatan) terdiri dari tiga petak sampai dengan lima petak dan memiliki paceko, tambing tuna dan bollo, lima petak ini hanya dapat dimiliki oleh bangsawan yang memiliki kadar sebagai Ana’ Pattola

Boyang To Mandar 11

payung (putra mahkota yang memiliki kadar minimal Tallupparapa) dan menggunakan ende’ (tangga) model dua’ susung (dua susun), dan bisa juga menggunakan Ende’ Siapper sassusung (tangga dua jalur satu susun namun jika dia diangkat menjadi Arayang maka Ende’nya bisa juga menggunakan Ende’ Siapper duassusung (tangga dua jalur dua susun) d. Golongan Taupia ada’ (Hadat/Adat yang memiliki jabatan) terdiri dari tiga petak sampai dengan empat petak dan memiliki paceko, tambing tuna dan bollo, artinya empat petak ini hanya dapat dimiliki oleh golongan taupia Hadat/Adat yang memiliki jabatan dalam struktur kerajaan, dan dapat menggunakan ende’ (tangga) model dua’ susung (dua susun), dan bisa juga menggunakan Ende’ Siapper Sassusung (tangga dua jalur satu susun) e. Golongan Taupia beasa (Hadat/Adat yang tidak memiliki jabatan) terdiri dari tiga petak dan memiliki paceko, tambing tuna dan bollo, dan ende’nya hanya terdiri dari satu susun, dan tidak diperkenankan menggunakan Ende’ Siapper (tangga dua jalur) Boyang ada’ to Mandar yang terdiri dari beberapa jenis itu yang ruang dan tipenya akan ditentukan oleh strata sosial pemilik rumah pada setiap golongan tertentu, dan

12 H. Ahmad Asdy pada boyang Ada’ to Mandar, golongan tertentu akan diberi pula pertanda sebagai simboloik identitas tertentu pula sesuai dengan tingkat status sosial penghuninya atau pemilik dari Boyang Ada’ tersebut. Kata kebanyakan orang sebagai sebuah kata bijak, bahwa Rumahku adalah Surgaku atau rumahku adalah istanaku oleh karena itu semua orang siaopapun dia pasti berkeinginan untuk memiliki rumah yang seindah mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, hanya saja harus disesuaikan dengan tuntunan adat leluhur yang telah digariskan, rumah yang dalam bahasa Mandar menyebut Boyang dan bahasa Bugis menyatakan Bola serta bahasa menyebut Balla. Boyang juga akan menggambarkan batas dari penilaian kemampuan seseorang, yang jika memiliki rumah yang bagus dan mewah pasti setiap orang yang menyaksikan rumah tersebut, akan berkata bahwa pemilik rumah tersebut adalah orang yang Sugi (kaya) atau disebut to pallambi (orang berkemampuan) atau yang disebut todiang orona (orang yang memiliki jabatan tertentu) atau disebut Tobase Jabanna (orang yang selalu basa pembuangan airnya) artinya orang yang tidak pernah kekurangan akan sandang dan pangan, tetapi juga di Mandar tempo dulu yang selain dari keindahan rumah dan besarnya serta bahan yang digunakan adalah menjadi

Boyang To Mandar 13 ukuran dari strata sosial setiap orang di Mandar, yang didalammnya akan terkandung simbol-simbol penuh dengan makna tersendiri. Selain dari hal tersebut diatas tentang berbagai hal juga dapat diketahui bahwa Boyang To Mandar (rumah orang Mandar) yang berbentuk sebagai Boyang Mekke’de (rumah panggung/rumah berdiri), dan Boyang adalah tempat yang akan digunakan manusia untuk berlindung dari terik terpaan matahari atau siraman dari guyuran hujan maupun dengan hembusan terpaan angin berhembus, tempat untuk beristirahat (tidur), tempat untuk berlindung dari berbagai ancaman yang akan merugikan diri, tempat untuk melanjutkan keturunan yang disebut Pamboyangan (berumah tangga) yang sekaligus sebagai tempat pendidikan bagi seluruh anggota keluarga dan tempat untuk merancang aktivitas yang akan dilakukan selanjutnya yang ada hubungannya dengan keduniaan, dan yang paling terutama adalah tempat untuk melakukan ibadah sebagai wujud dari pengakuan selaku seorang yang mengaku adalah hamba Allah Swt, dan Boyang bagi semua orang termasuk orang Mandar adalah dibuat sedemikian rupa menurut kemampuan seseorang dengan menggunakan unsur-unsur seni yang cukup tinggi dan tidak terlepas dari Simbol-simbol serta makna yang terkandung didalamnya sehingga dapat memenuhi segala kebutuhan yang akan

14 H. Ahmad Asdy diperlukan dengan tidak terlepas dari adanya unsur mitos dalam ritual pemali dan ussul sebagai sebuah kepercayaan yang telah melekat pada diri orang Mandar, dan selain dari unsur seni juga diperlukan, seperti dengan kebutuhan Individu dalam rangka memelihara hubungan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis seimbang dan selaras antar semua anggota keluarga selaku penghini rumah, begitu juga dengan kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.

D. Keberadaan Rumah (umur rumah) Sejak kapan rumah itu mulai ada, dan sejak kapan rumah itu mulai dipergunakan atau dihuni oleh manusia, maka jawabnya bahwa Umur dari kehadiran wujud fisik benda budaya yang bernama Boyang (rumah) dalam kehidupan manusia boleh dikatakan adalah setua atau seumur dengan keberadaan manusia itu sendiri setelah Nabi Adam As dan Sitti Hawa muncul di permukaan bumi, dengan kata lain bahwa keberadaan rumah boleh dikatakan bersamaan dengan kehadiran manusia diatas dunia ini dengan beraneka ragam bentuk dan modelnya, dari bentuk yang paling sederhana tanpa tingkat sampai pada bentuk yang cukup mamadai dengan sejumlah tingkat, bahkan sampai terbilang mewah dengan puluhan jumlah tingkat

Boyang To Mandar 15 menjulang ke udara pada saat sekarang ini, Bentuk rumah atau yang disebut Tokkona boyang akan berperoses sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia pada masing-masing kelompok atau pemilik dari pendukung kebudayaan masing-masing. Rumah dengan manfaat praktisnya sebagai tempat beraktifitas dan lain sebagainya, Arsitektur rumah orang dahulu sejak pada zaman Purbakala adalah menggunakan berbagai bahan apa adanya dengan model bangunan seadanya pula seperti salah satunya contoh yaitu dengan menggunakan rerumputan atau dedaunan sebagai dinding dan atap serta lantainya, bahkan ada yang menjadikan gua sebagai rumah yang menjadi tempat tinggal mereka, yang selanjutnya bekembang mengikuti perputaran zaman, seperti juga halnya dengan rumah orang Mandar dahulu yang ikut pula terbawa arus zaman yang pada akhirnya rumah orang Mandar berupa Boyang mekke’de (rumah panggung) yang mempunyai vareasi beberapa ruangan yang terdiri dari tiga ruang utama yang masing-masing disebut sebagai berikut: 1. Naong boyang (ruang bawah/kolong rumah) yang maknanya disebut Uru lino (dunia bawah) yang akan digunakan berbagai kegiatan keseharian bahkan ada yang menjadikan sebagai tempat pemeliharaan ternak berupa manu’ (ayam) Beke (kambing), ada yang

16 H. Ahmad Asdy

menjadikan sebagai gudang penyimpanan hasil pertanian, dan juga sebagai tempat Sumau (menyusun rangkaian tenunan) bagi wanita sekaligus sebagai tempat Manette (menenun), namun dizaman sekarang ini sudah ada yang menjadikan sebagai tempat berbagai kegiatan bahkan sudah direnovasi menjadi ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu dan tempat beristirahat (kamar tidur) dan lain sebagainya serta pagarnyapun telah diganti menjadi dinding yang terbuat dari semen dan batu dan ini disebut Boyang setangnga batu (rumah setengah batu). 2. Tangnga boyang (ruang tengah) yang maknanya disebut tangnga lino (dunia tengah) yang difungsikan sebagai tempat beristirahat dan kegiatan lainnya oleh pemilik rumah, Tangnga boyang juga disebut Samboyang yang terdiri dari beberapa vareasi petak (lottang) dan Songi atau Bili’ yang keduanya berarti Kamar. 3. Loteng yang juga bernama Tapang yang maknanya disebut lino diwao (dunia atas) yang berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang pusaka (antik) dan juga berfungsi sebagai tempat mengatur hidangan lauk pauk jika ada acara yang akan berlangsung. Dari ketiga konsep tiga ruangan tersebut diatas sejalan dengan konsep pandangan manusia tentang gambaran

Boyang To Mandar 17 kosmologi semesta dalam hal adanya dunia bawah atau disebut Lita’ (tanah/bumi), adanya yang disebut dunia tengah atau yang disebut Nawang (udara), dan adanya yang disebut dunia atas yang juga disebut Langi’ (langit).

E. Arsitektur Boyang Mandar Identitas Arsitektur Tradisional Mandar tergambar dalam bentuk rumah tradisional yang disebut boyang ada’, Boyang ada’. dikenal adanya berbagai jenis yaitu: boyang ada’ tomaraya (rumah adat orang besar) yang terdiri dari berbagai tipe dan lottang yang dimulai dari Tallu lottang (tiga petak) sampai dengan Pitu Lottang (tujuh petak) yang akan disesuaikan dengan strata sosial atau menurut golongan pemiliknya, dan boyang ada’ beasa. yang terdiri dari Sallottang (satu petak) sampai dengan tallu lottang (tiga petak) sesuai dengan kemampuan pemiliknya, Boyang ada’ tomaraya ditempati oleh keturunan Bangsawan yang disebut Todziang laiyyana (berdara biru) dan Bangsawan Hadat/Adat, sedangkan boyang ada’ beasa ditempati oleh orang biasa. Pada boyang ada’ tomaraya diberi penanda sebagai simbolik identitas tertentu sesuai tingkat status sosial penghuninya. Simbolik tersebut, misalnya tumba’ layar yang bersusun antara 3 sampai 7 susun bahkan pernah terjadi sebanyak 9 susun yang diperuntukkan bagi golongan bangsawan yang

18 H. Ahmad Asdy kadarnya disebut Puang Nyonyor, semakin banyak susunan Tumba layar-nya sebuh rumah maka semakin tinggi derajat kebangsawanan pemilik rumah tersebut yang terdiri dari Puang dan Daeng, Sedangkan pada boyang ada’ beasa, tumba’ layar-nya hanya akan terdiri dari tunggal sampai 2 (dua) susun, Simbolik lain dapat dilihat pada struktur keberadaan Ende’ (tangga). Pada boyang ada’ tomaraya, tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri atas 3 (tiga) anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas 9 (sembilan) atau 11 (sebelas) bahkan ada yang mencapai 13 (tiga belas) anak tangga tergantung tingginya sebuah rumah dan ada juga yang bmenggunakan Ende’ Siapper (tangga dua jalur), sedangkan boyang ada’ beasa, tangganya tidak bersusun dan anak tangganya terdiri dari 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas) anak tangga, hal inipun disesuaian dengan tingginya rumah. Tatanan dan aturan rumah adat Mandar bagi orang biasa yang kebanyakan terdiri dari, dua susun dan tiga petak yang disebut Tallullottang menunjukkan makna pada filosofi orang Mandar yang berbunyi: da’dua tassisasara, tallu tammallaesang (dua tak terpisahkan, tiga saling membutuhkan). Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan demokrasi, sedangkan tiga saling

Boyang To Mandar 19 membutuhkan adalah aspek ekonomi, keadilan, dan persatuan. Sedangkan empat sampai dengan tujuh petak yang diperuntukkan bagi kaum Bangsawan dari dua golongan yaitu Puang dan Daeng masing-masing punya makna filosofi tersendiri yang tidak terlepas dari filosofi dan makna yaitu bagi: - Dua’ susung Patallottang (dua susun empat petak) maka akan berbunyi Da’dua tassisara, Appe’ tammallaesang, Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan demokrasi, sedangkan appe’ adalah mencegah untuk tidak melakukan yaitu: 1) Mesanna, napowerei tau tammetappere, pertama, membaringkan orang tanpa tikar pengalas) 2) Da’duana, napapatindoi tau tannapepa’disangngi, (kedua, menidurkan seseorang tanpa diberikan bantal) 3) Tatallunna mepaolai tau tania tangngalalang maroro, ketiga memerintahkan orang untuk berjalan diatas jalan yang tidak lurus 4) Appe’na,manggerei tau tania barona nagere, dan keempat, menyembelih orang bukan pada lehernya atau memperlakukan orang bukan pada tempatnya) - Dua susung Limallottang (dua susun lima petak) maka akan berbunyi Da’dua tassisara, lima tammallaesang

20 H. Ahmad Asdy

Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan demokrasi, sedangkan lima adalah mencegah setiap orang untuk tidak melakukan yaitu: 1) Mesanna, Tomamba makkaya tania rurana anna tania to’o kalowanna, (pertama, orang yang pergi menangkap ikan pada tambak atau empang yang bukan miliknya) 2) Da’duana, marrangngngi na tania okko’na, (kedua, orang yang selalu berburu pada lokasi yang bukan miliknya) 3) Tatallunna, tomappepeondong pura loana, (ketiga, orang yang ingkar dari janji yang telah terucapkan) 4) Appe’na tomarrowai petawung, (keempat orang yang selalu merombak ketetapan) 5) Limanna, tosangga massoppo bassi (kelima adalah, orang yang selalu mengandalkan akan kekuatan pribadinya) - Dua susung Annanglottang (dua susun enam petak) maka berbunyi Da’dua tassisara, annang tammallaesang Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan demokrasi, sedangkan annang adalah mendorong dalam berbut untuk melakukan yaitu: 1) Uru-uruna, disanga assimemangan, (pertama adalah yang disebut kodrat manusia)

Boyang To Mandar 21

2) Maka da’duana awesang disesena apiangan, (kedua adalah kebiasaan berbuat terhadap yang baik) 3) Maka tallunna assipura loang, (ketiga adalah kesepakatan bersama) 4) Makaappe’na pappasanna todziolo, (keempat adalah petuah leluhur 5) Makalimanna pa’annana se’i ada’, (kelima adalah pendapat adat) 6) Annanna paelona pa’banu, (keenam adalah kehendak semua rakyat) - Dua susung Pitu Lottang (dua susun tujuh petak) maka berbunyi Da’dua tassisara, pitu tammallaesang Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah tetap sebagai aspek hukum dan demokrasi, sedangkan pitu adalah pemahaman akan fungsi dan peran setiap pemilik rumah yaitu: Naiyya ada’ anna pangnga’ang ada’ siposangai tu’u, jari ada’ di tu’u napepuang anna napedzaeng to Mandar, anna Iyya rupanna ada’ putumbuangi tu’u, (yang dimaksud dengan adat dan pemanggku adat pada hakekatnya sama, jadi adatlah yang dihormati dengan sapaan yang terhormat dan yang mulia oleh orang Mandar. Pola kekuatan adat atau hukum diasalkan dalam tujuh hal terdiri dari:

22 H. Ahmad Asdy

1) Mesanna disanga parammata tattiwaluannai alang, (pertama permata yang bercahaya yang tak akan pudar oleh benturan alam) 2) Da’duana petawung maroro tandi bwassi’, kedua adalah pematang yang lurus tanpa pelurus) 3) Tatallunna bala tanniondongnginna banua, (ketiga pagar negeri yang tak boleh dilompati) 4) Appe’na pepacu’nai tomagassing, (keempat penjeranya orang kuat) 5) Limanna pettu’galang masse’nai to maranni’, ,(kelima tempat berpegang erat bagi rakyat) 6) Annanna pettuppuannai to mai’di, (keenam tempat bertumpuh bagi rakyat) 7) Pitunna petturundungannai pa’banua, (ketujuh adalah tempat berlindung bagi anak negeri) Struktur bangunan rumah orang Mandar, terdiri dari bagian paling atas, yaitu Balimbungan (bubungan) yang memanjang kebelakang menutupi ujung atap, lalu disusul dengan Ate’ (atap) yang berbentuk prisma dan memanjang ke belakang menutupi seluruh bagian atas rumah lalu atap yang digunakan kebanyakan dari rangkaian daun rumbiah kecuali rumah tertentu seperti Boyang ada’ tomaraya (Bangsawan), Boyang ada’ to Masagena (orang yang berkemampuan) atau pejabat kerajaan yang memiliki kemampuan yang telah menggunakan atap sirap yang

Boyang To Mandar 23 didatangkan dari Kalimantan oleh saudagar pelaut dari Mandar Rumah orang Mandar, baik boyang ada’ tomaraya maupun boyang ada’ tobeasa mengenal tiga petak sampai dengan tujuh petak ruangan yang disebut lottang. Ruangan tersebut terletak di bawah tapang (loteng) dan diatas Naong Boyang (kolom Rumah) yang menggunakan lantai yang terbuat dari papan yang disebut Lapar atau bilah bambu yang disebut Lattang, ada juga yang menggunakan bilahan Ponna Manyang (pohon enau) dan bilahan Ponna Tadzu (pohon pinang) tetapi ini kebanyakan digunakan pada Tambing (serambi) dan Paceko (dapur), dan adapun lottang (ruangan atau petak) tersebut yang terdiri:  Samboyang, yang juga disebut Ruang boyang olo (ruang depan rumah) yaitu petak paling depan yang difungsikan sebagai tempat menerima Toana (tamu) yang akan ditempakan ornamen seperti Tappere (tikar), Latte (tikar anyaman yang terbuat dari rotan) dan Ambal (tikar permaidani) yang dalam perjalanannya kemudian berkembang menggunakan bakko (bangku) untuk selanjutnya di pasang ka’dera (kursi) bahkan diera sekarang sudah ada yang memasang berupa sofa dan lain sebagainya.  Tangnga boyang, petak bagian tengah rumah. Petak ini berfungsi sebagai ruang keluarga, di mana aktivitas

24 H. Ahmad Asdy

keluarga dan hubungan sosial antara sesama anggota rumah tangga di selesaikan dalam ruang ini dengan menempatkan sebuah kamar yang disebut songi (kamar) sebagai tempat beristirahat kepala keluarga.  Lottang selanjutnya akan disesuaikan dengan kebutuhan karena lottang keempat sampai dengan lottang ketujuh, hanya diperuntukkan bagi golongan Bangsawan dan golongan Hadat serta golongan Adat yang fungsinya akan diatur oleh tatanan adat istiadat Mandar  Bui’ boyang, petak paling belakang. Petak ini sering ditempatkan bili (bilik) untuk anak gadis atau para orang tua seperti nenek dan kakek. Penempatan bili’ yang juga dapat disebut songi untuk anak gadis lebih menekankan pada fungsi pengamanan dan perlindungan untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Sesuai kodratnya anak gadis memerlukan perlindungan yang lebih baik dan terjamin keamanannya sebagaimana tradisi dahulu bahwa setiap anak gadis akan dipingit dan juga dimaksudkan untuk lebih dekat dengan Paceko (dapur). Begitu juga dengan ruang Tapang atau disebut Loteng (tingkat atas) yang semua petaknya sama jumlahnya dengan ruang tengah, akan berfungsi hanya sebagai tempat menyimpan barang antik dan tempat mengatur lauk

Boyang To Mandar 25 pauk dalam setiap saat jika ada acara yang berlansung dlam rumah tersebut Sama pula halnya dengan Naong boyang yang akan difungsikan sebagai tempat untuk menyimpan barang- barang kebutuhan teruama dengan kebutuhan dapur seperti kayu bakar, bahkan ada yang menggunakan sebagai gudang untuk menyimpan berbagai hasil bumi seperti kelapa dan jagung serta gabah, dan juga dapat difungsikan sebagai tempat Manette (menenun) dan ini berlaku bagi boyang ada’ tomaraya sedangkan boyang ada’ to beasa selain untuk tempat menyimpan kebutuhan dapur dan tempat Sumau (merakit benang lungsi tenunan) yang sekaligus digunakan sebagai tempat Manette (menenun), juga ada yang menfungsikannya sebagai kandang ternak, khusus Kambing dan ayam yang disebut Bala beke dan Bala manu’ (kandang kambing dan kandang ayam) dan lottang Naong Boyang ini sama jumlahnya dengan Samboyang (ruang Tengah)

F. Keutamaan dan kelemahan rumah kayu Sebagaimana rumah-rumah khususnya di Mandar dan di Indonesia pada umumnya masih menggunakan ramuan kayu sebagai kerangka penopang struktur rumah. Karena dahulu kayu harganya terjangkau hampir oleh semua golongan dalam masyarakat, dan kayu masih

26 H. Ahmad Asdy mudah didapat seluruh wilayah Indonesia. selain itu kayu juga telah terbukti kuat menahan getaran gempa bumi. Sifat yang tahan terhadap gempa bumi inilah yang membuat masyarakat Mandar khususnya tetap menggunakan kayu sebagai material konstruksi untuk rumah mereka. Pada rumah dengan hanya satu lantai, kayu hanya akan dipakai sebagai tiang penahan dinding, tiang pintu, jendela, serta rangka atap. Di daerah-daerah tertentu seperti di , Kalimantan dan Sulawesi di mana kayu masih bisa didapatkan dengan mudah, rumah-rumah dibangun sepenuhnya dari kayu. Tidak dapat disangkal bahwa meskipun kayu sering dianggap sebagai bahan konstruksi rumah tradisional, ternyata sangat ideal untuk daerah tropis yang panas dan lembab. Penghuni rumah kayu selalu merasakan kesejukan di kala suhu udara di luar terasa panas. Sifat-sifat lentur dalam menahan gempa dan insulator suhu itulah yang menjadi penyebab utama mengapa masyarakat Indonesia umunya masih mempercayai kayu sebagai material struktur konstruksi rumah mereka. dan inilah keutamaan dari kayu. Di samping sifat-sifatnya yang bagus tersebut, kayu memiliki beberapa kelemahan. Bila tidak mendapat perlakuan teknis yang baik (proper technical treatment), kayu mudah busuk atau habis dimakan rayap (ane’). Untuk

Boyang To Mandar 27 itu sebelum membeli atau membangun rumah baru, pemilik hendaknya meminta kepastian dari tukang apakah material kayu adalah anti rayap yang dalam bahasa lokal disebut andingi nande ane’, atau untuk mencegah hal-hal tersebut sebaiknya direndam/dilapisi oleh larutan anti-rayap. Hal ini sangatlah penting khususnya pada bagian-bagian kayu yang dekat dengan pondasi atau tanah. Selain direndam dengan larutan anti rayap, bagi yang berdiam dipesisir pantai terlebih dahulu kayu direndam dilaut, karena dengan merendam terlebih dahulu di air asin maka kayu akan terhindar rari rayap, disamping itu kayu hendaknya dicat dengan baik agar tahan terhadap air yang sering menerpanya di kala musim hujan maupun saat cuaca lembab. Untuk wilayah dapur, seandainya sebagian besar dindingnya terbuat dari kayu maka sebagai tindakan perlindungan dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran, dinding tersebut perlu dilapisi dengan semen, keramik atau lembaran logam (umumnya aluminium) yang lebih tahan terhadap api. Bila langkah-langkah perlindungan terhadap komponen kayu telah dilakukan, maka penghuni rumah bisa berdiam di dalamnya tanpa harus terlalu kuatir memikirkan bahaya kebakaran, keropos dimakan rayap maupun gempa bumi yang bisa datang menyerang kapan saja dan di mana saja.

28 H. Ahmad Asdy

Kegiatan masyarakat dalam mengambil hasil bumi yang sekaligus dipergunakan untuk menjual kepasar

Boyang tau samar dengan menggunakan dinding bambu (rinding tatta)

Boyang To Mandar 29

2

1. Boyang ada’ to Mandar Boyang Ada’ to Mandar yang terdiri dari tiga jenis yaitu: pertama adalah Boyang tau samar atau disebut rumah orang biasa atau orang kebanyakan dan kedua adalah Boyang ada’ to Masagena (rumah orang kaya) yang artinya adalah rumah para pembesar di Mandar yang, dan yang ketiga adalah Boyang ada’ to Maraya, semua rumah tersebut diatas proses pendiriannya semua sama, hanya saja Boyang ada’ to Maraya lebih sakral dalam hal Mitos, karena akan lebih besar dari rumah Boyang tau Samar, dan Boyang ada’ to Masagena, karena Boyang ada’ to Maraya ini bisa lebih dari Tallu Lottang (tiga petak) dan bisa lebih dari Tolor Lima, (lima deretan tiang pada rangkaian Arriang dan Pallolor), dan adapun Boyang Ada’ to Mandar masing-masing terdiri dari:

30 H. Ahmad Asdy a. Boyang Ada tau Samar  Boyang Ada’ Batua (hamba) adalah Sallottang dengan Arriang Tolor Da’dua atau Tolor Tallu dan bisa juga Duallottang tetapi menghunakan Tolor Da’dua dan Tolor Tallu dengan memiliki Paceko, model Bi’ung (cangkul) dengan menggunakan tangga biasa satu susun tanpa pegangan.  Boyang Ada’ to Beasa (Masyarakat biasa) adalah Duallottang sampai dengan Tallulottang dengan Arriang Tolor Tallu sampai Tolor Lima dengan memiliki Paceko, Tambing dan Bollo dan menggunakan tangga biasa satu susun dengan satu pegangan. b. Boyang Ada’ to Masagena (orang yang berkemampuan/kaya) adalah Tallulottang sampai dengan Patallottang dengan terdiri dari Arriang Tolor Appe’ sampai dengan Tolor Lima dengan memiliki Paceko, Tambing dan Bollo yang disesuaikan dengan kemampuan pemiliknya, dan menggunakan tangga satu atau dua susun dengan satu atau dua pegangan. c. Boyang ada’ to Maraya  Boyang Todziang laiyyana (bangsawan) yang memiliki kadar dibawah Tallupparapa (tiga perampat) adalah Tallu Lottang atau patallottang dengan Arriang Tolor Lima dengan memiliki Paceko,

Boyang To Mandar 31

Tambing dan Bollo dan menggunakan tangga dua susun dengan satu atau dua pegangan.  Boyang Ada’ dan Boyang Hadat terdiri dari Patallottang (empat petak) dengan Arriang Tolor Lima dengan memiliki Paceko, Tambing dan Bollo, dan menggunakan tangga dua susun dengan satu atau dua pegangan.  Boyang Puang Kaiyyang yang memiliki kadar Bangsawan lebih dari tiga perempat adalah lima lottang tolor lima sampai dengan Tolor pitu dengan memiliki Paceko, Tambing dan Bollo, dan menggunakan tangga dua susun dengan Ende duassuung (tangga dua susun), dan juga boleh menggunakan Ende’ Siapper (tangga dua jalur).  Boyang Mara’dia yang memiliki jabatan selaku Mara’dia Matoa dan Mara’dia Malolo, terdiri dari Lima Lottang dengan menggunakan arriang Tolor Annang dan memiliki Paceko, Tambing dan Bollo, serta menggunakan Ende duassuung (tangga dua susun) dengan dua pegangan, dan juga boleh menggunakan Ende’ Siapper (tangga dua jalur) lengkap dengan pegangan.  Boyang Arayang yang terdiri dari Lima Lottang sampai dengan pitu lottang yang terdiri dari Tolor Pitu. dengan memiliki Paceko, Tambing dan Bollo,

32 H. Ahmad Asdy

serta menggunakan t Ende duassuung (tangga dua susun) dengan dua pegangan, dan juga boleh menggunakan Ende’ Siapper (tangga dua jalur).

2. Musyawarah Untuk dapat membangun sebuah rumah tradisional Mandar memerlukan beberapa rangkaian tahapan kegiatan seperti mengutamakan musyawarah didalam mengambil sesuatu keputusan, terutama dengan pemilihan lokasi atau tempat mendirikan rumah, dan pengadaan bahan baku untuk tiang, lantai, atap dan sebagainya dilakukan dalam sebuah pertemuan antara semua anggota keluarga dengan melibatkan beberapa kerabat dekat. Dalam pertemuan tersebut yang dilakukan secara musyawarah, yang biasanya dipimpin oleh anggota keluarga yang lebih tua dan banyak tahu tentang nilai-nilai dan adat istiadat dalam masyarakat tradisionalnya. Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pelaksanaan musyawarah dihadirkan pula pappapia boyang (tukang ahli rumah). Musyawarah lebih diutamakan pada penilaian status sosial yang akan menempati rumah tersebut. Sebab dari status sosial yang akan menempati rumah tersebut. Dapat diketahui jenis dan bentuk rumah yang akan dibangun. Kalau yang bersangkutan berstatus bangsawan, maka jenis rumah yang akan dibangun adalah boyang ada’

Boyang To Mandar 33 tomaraya, bila yang bersangkutan berasal dari golongan masyarakat biasa, maka rumah yang akan dibangun adalah boyang ada’ tobeasa. Dalam musyawarah tersebut penilaian dan penentuan susunan tumba’ layar dan jumlah ana’ ende serta jumla arriang yang harus ditolor, dalam musyawarah ini arriang juga ikut dibicarakan. teristimewa dengan Posi Arriang (soko tiang) dan Balinna (pasangannya). Pemilihan waktu mendirikan boyang juga sangat penting, karena terkait dengan kepercayaan masyarakat tradisionalnya. Menurut kepercayaan mayoritas orang Mandar, ada waktu yang baik dan ada waktu yang buruk. Waktu yang baik selalu dihubungkan dengan keberuntungan dan keselamatan, Sedangkan waktu yang buruk selalu dihubungkan dengan bala, atau abala (musibah) yaitu berupa bencana dan ketidak mujuran, waktu yang dibanggap baik atau buruk bukan saja hari tetapi juga bulan, karena itu kegiatan awal dalam memulai mengerjakan rumah senantiasa berpedoman pada waktu- waktu baik, hari-hari baik dan hari-hari baik tersebut adalah Senin, Kamis, Jum’at, dan Sabtu sedangkan hari yang dianggap tidak baik adalah Selasa, Rabu dan Minggu, dan bulan-bulan tertentu yang dianggap kurang baik, seperti Muharram, Syafar, Jumadil Awal, dan Dzulkaiddah sedangkan bulan lainnya yang dianggap sangat baik yaitu

34 H. Ahmad Asdy bulan Ramadhan, Jumadil Akhir, Rajab, Sawal, Dzulhijjah, Rabiul Awal dan Rabiul Akhir. Pemilihan tempat mendirikan boyang sangat pula terkait dengan kepercayaan tradisi masyarakat tentang adanya tanah yang baik dan kurang baik untuk dibanguni boyang. Tanah yang baik adalah tanah yang agak keras, tidak lembek. dan tanah yang keras biasanya berada pada daerah yang relatif sedikit tinggi atau bukit. Selain itu, tanah tersebut sebaiknya masarri (berbau wangi) dan tanah yang dianggap masarri adalah yang tanaman tampak subur tumbuhnya. Tanah seperti ini memberi makna keharuman, agar keluarga mereka kelak dapat memperoleh kebahagiaan, keharmonisan dalam rumah tangga. Orientasi rumah boyang yang paling baik adalah berorientasi pada arah yang mengandung makna positif, yaitu arah timur tempat matahari terbit. Arah pergerakan matahari yang menanjak naik mengandung makna kebaikan, yaitu selalu bertambah naik. dalam pengertian ini, yang diharapkan selalu bertambah adalah nasib baik, terutama rezki dan amal kebijakan. Dengan arah rumah ketimur, cahaya matahari pagi dapat menyinari ruang lego- lego hingga kedalam rumah. Setelah agama Islam masuk di daerah Mandar, maka muncullah pandangan baru bahwa arah barat juga baik. karena arah barat dianggap menghadap ke kiblat.

Boyang To Mandar 35

Untuk mendapatkan pancaran sinar matahari pagi yang sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka letak rumah juga diupayakan bila berada dijalan poros ataupun dijalan setapak diantara timur dan barat sebaiknya berada disebelah kanan dan jika jalan poros atau jalan setapak dari selatan ke utara maka sebaiknya rumah berada di sebelah kiri.

3. Unsur Mitos Mitos adalah sebuah pemahaman yang terdiri dari dua unsur yaitu Pemali dan Ussul yang hampir dapat ditemukan disemua aspek kehidupan orang Mandar dalam melakukan aktivitas keseharian, ussul dan pemali ibarat dua sisi mata uang logam yang memiliki persamaan, karena pemali yang artinya adalah pantangan yang juga berarti dilarang dilakukan karena akan berakibat fatal yaitu merugikan diri sendiri, begitu juga dengan ussul yang jika ussul diartikan sebagai bentuk larangan maka larangan tersebut akan menjadi sebuah ungkapan dari kata pemali. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemali atau Pamali adalah bagian dari ussul dan Ussul adalah bagian dari pemali, Yang cenderung membedakannya adalah pemali lebih banyak berkisar pada yang bersifat larangan atau pantangan, sedangkan Ussul dapat mencakup semuanya baik yang bersipat pantangan dan larangan

36 H. Ahmad Asdy maupun peraktek-peraktek yang tidak atau harus dilakukan, jadi pemali dan ussul juga dapat dikatakan simbulu tassimbannang artinya sama tetapi tidak serupa, atau serupa tapi tidak sama. Kehidupan manusia dalam menjalankan aktivitas keseharian biasanya tidak terlepas dari persoalan yang ada hubungannya dengan yang gaib sehingga setiap benda yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan hubungan kepada yang gaib merupakan simbol yang memiliki makna dan nilai tersendiri. Simbol merupakan obyek atau peristiwa apapun yang menunjuk sesuatu. Semua simbol yang menunjuk sesuatu itu dipastikan akan melibatkan oleh tiga unsur yaitu:  Unsur pertama adalah Simbol itu sendiri.  Unsur kedua adalah Simbol itu terjadi atas satu. rujukan atau lebih.  Unsur ketiga adalah hubungan antar simbol dengan rujukan itu sendiri Ketiga unsur tersebut diatas merupakan dasar bagi semua makna simbolik. Dimensi dari makna simbol tersebut tergantung pada penafsiran dan penempatan posisi simbol dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai kegiatan keseharian oleh orang Mandar sangat banyak kita temukan dalam masyarakat

Boyang To Mandar 37 tentang Pemali dan Ussul yang diperaktekkan. Kepercayaan ini sungguhnya diperkuat oleh adanya beberapa legenda yang berkembang dimasyarakat sejak dahulu kala mengenai asal usul sesuatu yang kemudian disebut mitos seperti asal mula adanya manusia pertama yang datang di Mandar yaitu Tomanurung (orang yang tiba-tiba muncul disuatu tempat) atau orang yang turun dari kayangan pada zaman orang Mandar masih menganut paham animisme Budha dan Hindu yang selanjutnya Tomanurung ini menjadi cikal bakal nenek moyang orang Mandar, begitu juga dengan keberadaan sesuatu seperti ikan yang muncul dari adanya penjelmaan dewa, atau dewa yang menitis keberbagai mahluk diatas dunia ini akibat kutukan dari Sang Hiang Widi (Tuhan atau Mahadewa bagi agama Budha) atas perbuatannya melanggar aturan kerajaan diatas langit (kayangan) dan yang paling mendukung kepercayaan dalam hal mitos adalah rezeki yang didapatkan berasal dari usaha adanya pantangan dan larangan dari Pemali dan Ussul itu sendiri. Ussul adalah sebuah pengharapan keberhasilan lewat penggunaan simbol jadi ussul sangat erat hubungannya dengan simbol, baik ia berupa benda maupun prilaku yang dibuatnya. Ussul yang juga sinonim dengan pemali yang merupakan dua sisi yang tak dapat terpisakan walaupun serupa tapi tak sama namun ia

38 H. Ahmad Asdy merupakan ritual dan mistik yang paling penting dalam berbagai kegiatan keseharian masyarakat Mandar. Dalam kaitannya dengan mistik maka Ussul adalah pengetahuan dan peraktek yang dilakukan oleh kebanyakan pedagang dan nelayan di Mandar. - Secara umum pemali adalah bagian dari ussul, seperti yang telah dijelaskan dalam pemali, Ussul juga memiliki dua bentuk yaitu pertama adalah ussul yang bersimbolkan praktek dengan melakukan sesuatu misalnya menggantung pisang ditiang rumah dan yang kedua adalah ussul yang bersimbolkan benda yang mengawasi dan menjaga sesuatu agar tetap berada pada tempatnya. Didalam membuat Boyang (rumah) bagi orang Mandar mereka tentunya akan memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan dengan tidak terlepas dari adanya syarat-syarat tertentu termasuk yang telah tersebut diatas, dan juga tidak terlepas dari unsur tentang pengaruh Mitos yang berkaitan dengan Pemali dan Ussul, karena Pemali dan Ussul adalah sebuah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Mandar sejak dahulu kala sebagai hal yang dianggap sangat sakral, yang diyakini tidak bertentangan dengan kaida agama dan adapun syarat-syarat tersebut yang diantaranya adalah:

Boyang To Mandar 39

- Syarat ekonomis yaitu pemakaian biaya sesuai dengan kemampuan dan akan membudidayakan hasil alam sekitar dengan menggunakan material hasil lokal daerah yang dapat bertahan lama dan awet serta memiliki makna yang tidak terlepas dari adanya unsur Pemali dan Ussul didalamnya, misalnya dengan tidak menggunakan Ayu Sendana (kayu Cendana) sebagai Lapar (lantai papan) karena keberadaan kayu cendana konon kisahnya dipercaya oleh mayoritas masyarakat dahulu adalah Ayu Sendana adalah penjelmaan dari seorang Mara’dia (raja) yang dikutuk menjadi sebatang kayu karena ulah dan perbuatannya telah melanggar tatanan adat, dan setelah menjadi kayu yang disebut Ayu Sendana (kayu Cendana), kemudian menjadi Mara’dianna ayu (rajanya kayu) yang kemudian dalam penggunaannya tidak boleh dinda’i anna dipe’oroi (diinjak-injak maupun diduduki), oleh karena itu jenis kayu cendana ini hanya dapat dipergunakan sebagai Rinding (dinding) dan perabot rumah tangga (moubel) yang sifatnya tidak boleh diduduki artinya tidak boleh dijadikan bangku dan kursi, begitu juga dengan Ayu jati (kayu jati) yang dianggap sebagi Mara’dia towainena ayu (ratunya kayu) namun kayu jati boleh diduduki tetapi tidak boleh dijadikan lapar, ini berarti dipantangkan untuk diinjak akan tetapi diperbolehkan untuk diduduki.

40 H. Ahmad Asdy

- Syarat tekhnis dengan menggunakan ukuran yang bermakna memiliki arti yang tidak terlepas dari adannya unsur Pemali dan Ussul seperti misalnya Ana’ Ende’ (anak tangga) yang tidak boleh berjumlah genap karena yang akan melengkapi dalam jumlah genap adalah Dewata yang bersemayang di Inra loka, kepercayaan ini berlanjut pada masa orang Mandar telah memeluk Agama Islam yang tetap menghendaki perhitungan ganjil karena yang akan melengkapinya adalah kebesaran Tuhan semesta alam, begitu pula dengan yang lainnya seperti jumlah Gala’gar pada setiap petak harus ganjil, Ate’ yang pada pemasangannya juga berakhir dihitungan ganjil. - Dan yang paling utama dalam hal pemali pada semua Boyang ada’ to Mandar adalah pembuatan Ba’ba (pintu) dengan penempatanya yang harus disesuaikan dengan pemilik rumah yang paling tinggi ukuran tubuhnya. - Dahulu dipantangkan menggunakan Ayu Sappu (kayu besi) dimana sebelumnya orang Mandar percaya bahwa dipantangkan memakai Ayu Sappu karena penghasilan yang didapatkan akan segera habis pula seiring dengan nama dari Ayu Sappu yang berasal dari kata Cappu yang artinya adalah Habis, disamping itu juga ada kemungkinannya bahwa Ayu Sappu ini adalah sangat

Boyang To Mandar 41

mahal ketimbang dengan kayu yang lain dan jenis kayu ini tidak ada yang tumbuh didaerah Mandar, dengan kata lain harus didatangkan dari luar pulau (Kalimantan), sehingga mungkin karena hal itulah sehingga ayu sappu dipantangkan (pemali) bagi orang Mandar.

4. Fungsi Tingkat rumah Boyang To Mandar sebagai rumah panggung yang berfareasi pada Lottang (petak), serta Linggao (tinggi) dan Loanna (luasnya) yang terdiri dari tiga tingkat atau disebut tiga lantai yaitu:  Lantai pertama yang umumnya berupa tanah adalah Naong Boyang (kolom rumah) sebagai tempat menyimpan kebutuhan alat-alat dapur seperti kayu bakar dan lain-lain, yang juga digunakan sebagai tempat Sumau (merakit benang lungsi tenunan sarung Lipa’ sa’be atau lipa’ paleka) dan ada juga yang menggunakan sebagai tempat Manette (menenun) dengan memasang Baru-barung (balai-balai) dan kegiatan lainnya, dan jika Naong boyang (kolom rumah) diberikan alat pembatas yang menutupi sekelilingnya maka ini disebut Rambang yang kemudian dapat difungsikan sebagai tempat beristirahat dan lain-lain sebagainya. juga menjadi alat pengaman dari gangguan ternak lepas.

42 H. Ahmad Asdy

 Lantai kedua yang diberi Lapar (lantai papan) atau berupa Lattang (lantai Bambu)dan ini disebut Ruang Boyang yang juga disebut (ruang rumah) yang terdiri dari Sallottang (satu petak) sampai dengan Tallu Lottang (tiga petak) bahkan bagi bangsawan dan anggota Hadat serta Adat ada yang membangun sampai Lima lottang (lima petak) atau Pitu lottang (tujuh petak), Yang dibagi sesuai kebutuhan yaitu Samboyang (petak depan) sebagai tempat menerima Toana (tamu), Tangnga boyang (ruang tengah) yang difungsikan sebagai tempat beristirahat pemilik rumah dengan membuat kamar yang disebut Songi, begitu juga dengan petak yang paling terakhir yang disebut Bui Boyang (ruang belakang) juga dibuatkan berupa Songi (kamar) yang diperuntukan buat anak perempuan dan Songi ini diberi nama yaitu bili’ sedangkan anak laki-laki dan anggota rumah tangga lainnya tidur ditempat lain yang terbuka menurut luas ruangan rumah yang ada, dan jika patallottang (empat petak) maka petak pertama yang berfungsi sebagai ruang tamu dan petak kedua dijadikan sebagai tempat pertemuan atau disebut dalam bahasa Mandar orong sipau-pau dan petak ketiga dijadikan sebagai kamar tidur dari kepala rumah tangga sementara petak keempat dijadikan kamar untuk anak perempuan, sedangkan jika rumah terdiri dari lima lottang maka

Boyang To Mandar 43

fungsinya sama dengan rumah yang empat petak hanya saja bahwa pada petak kelima akan dijadikan sebagai kamar untuk anak laki-laki yang berfungsi ganda yaitu sebahagian dijadikan sebagai ruang makan khusus bagi para tamu.  Lantai tiga yang juga diberi Lapar adalah bernama Tapang yang juga bernama loteng yang digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang berharga yang tidak digunakan sehari-hari dan jika ada acara- acara tertentu yang membutuhkan adanya jamuan makan maka Loteng ini difungsikan sebagai tempat mengatur hidangan lauk pauk sebelum disajikan kepada tamu. dan pemasangan Ende’nya adalah bongkar pasang.

5. Mappake’de boyang (mendirikan rumah) Boyang memiliki ukuran tertentu, baik berupa tinggi, lebar maupun panjangnya yang disesuaikan dengan kemampuan toboyang (pemilik rumah), dan yang paling pertma dipersiapkan adalah ariang (tiang), pada umumnya jumlah tiang rumah di Mandar terdiri dari 6 (paling kecil), 9, 12, 16, 20 dan 25 bahkan ada yang mencapai 40. Ini belum termasuk dapur (paceko) dan teras rumah (Bollo/sondong), serta serambi (ambing). Proses pembangunan dimulai

44 H. Ahmad Asdy dengan pembuatan tiang rumah (ariang) sesuai dengan jumlah tiang rumah yang akan dibuat. Kemudian kepala tukang akan memilih salah satu tiang dengan kuwalitas yang baik untuk dijadikan sebagai Posi Arriang (soko tiang yang juga bernama pusar tiang). dan Balinna Posi Arriang (pasangan soko tiang), Selain tiang rumah (ariang) pada fase ini juga dibuat struktur rangka rumah lainya sehingga kerangka rumah dapat berdiri dengan sempurna. Kerangka rumah yang telah berdiri sempurna, pada Posi Arriang akan dipasangi beberapa sajian seperti pisang yang masih utuh setandang. Posi Arriang yang juga disebut Papposi’ adalah tiang kedua dari tiang depan rumah (tidak termasuk teras) dan tiang kedua dari tiang pe’uluang. Pe’uluang adalah sisi rumah yang nantinya akan menjadi tempat untuk deretan kamar tidur sedangkan tiang lainnya yang berdekatan sisi tambing yang disebut Pelletteang rumah yang nantinya akan digunakan sebagai ruangan tamu. Untuk mendirikan sebuah rumah bagi orang Mandar yang paling pertama dilakukan adalah mencari tempat untuk sebuah bangunan sebagaimana yang telah diuraikan terlebih dahulu, lalu kemudian bahan bangunan dengan mengutamakan Posi Arriang (soko tiang) lalu kemudian Balinna posi Arriang (lawan dari soko tiang) yang bahannya adalah diutamakan Ayu Bagang (kayu binti),

Boyang To Mandar 45

Posi Arriang adalah bagaikan bapaknya tiang rumah, yang akan berpasangan dengan Balinna posi Arriang yang juga disebut Pa’balianna (Istri/ibu), sebab kalau hanya satu yang memakai jenis Ayu Bagang diantara Posi dan Pa’balianna maka hal ini disebut Beong (yatim), sedangkan Arriang lainnya dapat saja menggunakan kayu berpareasi yang diantaranya terdiri dari: - Ayu Camba - Ayu Barru to Mandar - Ayu Ma’dang - Ayu Tippulu - Ayu Bunga-bunga - Ayu Arurung - Ayu Panggalo - Ayu Punaga - Ayu Uru - Ayu Lita’ - Ayu Anjoro yang populer dengan sebutan Arurung Dan dalam perkembangannya kemudian ada yang memakai Ayu Sappu (kayu besi) namun sekarang ini sudah kebanyakan yang menggunakan Ayu Sappu termasuk yang dibangun ditaman Budaya Makassar dan di Taman Mini Indonesia Indah

46 H. Ahmad Asdy

Adapun jenis kayu yang telah tersebut diatas, yang akan digunakan menurut fungsinya yang terdiri dari masing- masing: - Arriang lainnya sesuai dengan jumlah kebutuhan selain dari posi’ dan balinna adalah menggunakan kayu dengan kayu yang telah tersebut diatas - Su’du yang juga bahannya diharuskan terdiri dari ayu bagang - Aratang - Pallollor - Gala’gar - Bae kaiyyang - Bae Lambang - Lello Kaiyyang - Lello Keccu - Pambalimbungan - Patteppang Yang kesemuanya terdiri dari kayu lokal yang tersebut diatas lalu dalam perkembangannya ada yang menggunakan kayu dari luar seperti: kayu miranti, kapur, palapi, bahkan ada yang memakai kayu besi (ayu sappu) dan lain sebagainya. - Lapar (lantai papan) yang terdiri dari ayu bagang, uru, Ku’mil dan Arurung

Boyang To Mandar 47

- Ende’ (tangga) yang bahannya terdiri dari: Tarring Marepe, Pattung (nama dari jenis bambu), Arurung (Bantalan dari pohon kelapa). dan ayu bagang (kayu binti) serta pada perkembangan selanjutnya ada yang menggunakan Ayu Sappu (kayu besi) atau sejenisnya - Ate’ (atap) yang terbuat dari daun rumbiah - Pa’jakka-jakka (penyangga) yang terbuat dari dua batang bambu yang akan digunakan menyangga rangkaian Arriang yang baru didirikan - Lakung (palu besar yang terbuat dari kayu) digunakan untuk memukul Gala’gar dan Pallollor jika agak kesulitan dalam memasukkan pada lobang arriang

6. Matta’bang (menebang) Sebelum pohon kayu yang akan dijadikan ramuan rumah apapun bentuk dan jenisnya, terutama sekali dengan yang akan digunakan untuk Arriang (tiang) teristimewa dengan yang akan digunakan sebagai Posi Arriang dari semua jenis kayu itu dita’bang (ditebang) maka akan dilakukan ritual yang berpareasi pada masing- masing penebang sesuai dengan paham yang dimilikinya dan yang pasti bahwa akan nampak mereka akan membakar Undung (dupa) sebelum melakukan penebangan.

48 H. Ahmad Asdy

 Menurut para penebang kayu pada umumnya di Mandar, yang jika pohon kayu yang ditebang untuk ditumbangkan maka ada unsur mitos yaitu ussul yang mengandung makna dan pantangan yang terdapat didalamnya sehingga penebang kayu akan mengupayakan tumbangnya sama sekali tidak dibolehkan tumbangnya kearah matahari terbenam diharuskan kerah matahari akan terrbit, karena Ussulnya adalah kayu tersebut akan mengakibatkan sang pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut kelak, akan menentang datangnya cahaya dan hal ini sama dengan menentang datangnya rezeki, tetapi setelah mayoritas penduduk Mandar memeluk agama Islam maka jatuhnya kearah barat lebih diutamakan sebab dengan jatuhnya kearah barat maka ussulnya adalah agar penghuni atau pemilik rumah akan senantiasa bertakwa terhadap Tuhan YME seiring dengan terbenamnya matahari. Sebagai petunjuk kearah kiblat untuk menyembah-NYA.

7. Mattema (memproduksi) Mattema adalah kegiatan atau pekerjaan tukang kayu yang akan menjadikan pohon yang telah ditebang itu untuk dibentuk menjadi sebuah bantalan dengan menggunakan parang khusus yang disebut Kowi Pattema

Boyang To Mandar 49

(parang agak besar dan tebal) untuk selanjutnya akan dibentuk menurut apa yang akan dikehendaki oleh Pattema seperti dengan bentuk Arriang, Passollor (Pallolor) dan Aratang serta yang lainnya menurut kebutuhan.

8. Mappae (memahat) Sebagaimana diketahui bahwa setiap rumah panggung orang Mandar dalam Mappasiande (mempertemukan) antara Arrinag denagan Pallolor dan antara Arriang dan Aratang tentu melalui dengan lobang berbentuk segi empat pada Arriang yang akan di Pae (dipahat), dan untuk memahat tiang (mappae arriang) yang dilakukan oleh tukang selain dari Posi arriang (soko tiang/raja tiang) dan Balinna (lawannya/istri soko tiang) dapat saja dilakukan oleh lebih dari satu orang tukang dalam satu tiang tetapi harus selesai sebelum matahari tergelincir kebarat, sedangkan untuk memahat Balinna posi arriang harus dilakukan oleh satu orang saja yang harus selesai sebelum terbenamnya matahari, dan khusus bagi Posi Arriang harus pula dilakukan oleh seorang tukang atau Punggawa tukang (kepala tukang) yang bekerja tersembunyi jauh dari yang lainnya karena selama bekerja dalam memahat Posi Arriang, maka dipantangkan

50 H. Ahmad Asdy

(dipemalikan) untuk berdialok atau berbicara dengan orang lain dan harus pula selesai sebelum matahari terbenam. Adapun jenis kayu dari Posi Arriang ini adalah sudah menjadi sebuah tradisi dari keharusan yang diharuskan dari jenis kayu yang disebut Ayu Bagang (kayu binti) dengan tidak diperkenankan memakai kayu jenis lainnya kecuali bagi yang tidak mampu dengan hanya dapat menggunakan kayu dari jenis Arurung (kayu dari pohon kelapa).

Arriang yang sudah dipahat

9. Arriang Boyang (tiang rumah) Arriang Boyang artinya tiang rumah yang terdiri dari sejumlah yang dikehendaki oleh pemilik rumah sesuai dengan tatanan adat yang telah diatur menurut beberapa

Boyang To Mandar 51 petak yang didalamnya ada tiang utama yang disebut Posi’ Arriang (Soko Tiang) yang dianggap sebagai bapak dari semua tiang lainnya, dan Balinna Posi’ Arriang (lawannya soko tiang) yang dapat dikatakan sebagi ibu dari semua tiang lainnya. Untuk mendapatkan Posi Arriang dan Balinna Posi’Arriang yang baik dan punya makna tersendiri maka diambil dari lingkungan alam sekitar. Penebangan ayu (kayu) dan bambu biasanya disesuaikan dengan waktu baik. Waktu-waktu baik adalah sama halnya pada saat memulai membangun boyang (rumah). Pada saat menebang kayu, yang pertama harus ditebang adalah bahan untuk membuat possi arring (tiang pusat) lalu disusul dengan Balinna Posi’ Arriang (pasangan dari tiang pusat) . Jenis kayu yang diperuntukkan untuk possi arring tidaklah sembarang, biasanya kayu bagang (kayu binti) yang selalu harus berpasangan dengan Balinna Posi’ Arriang yang dominan namun ada juga yang menggunakan sumaguri dan cawe-cawe . keketiga jenis kayu tersebut mengandung makna simbolis. Untuk jenis ayu bagang mengandung makna kekuatan dengan daya tahan yang dapat bertahan lama sedangkan makna dari ayu sumaguri mengandung makna empati kepada seluruh masyarakat. Jadi, jenis kayu tersebut banyak digunakan pada possi arriang rumah ada’. Sedangkan jenis kayu

52 H. Ahmad Asdy cawe-cawe mengandung makna semangat atau mengairahkan. Jenis kayu tersebut pada umumnya digunakan untuk possi arriang rumah biasa. Hal ini dimaksudkan agar penghuninya kelak senangtiasa bersemangat atau bergairah dalam mengarungi kehidupan dunia. Penebangan kayu untuk possi arriang harus dilakukan oleh sando boyang. Sebelum melakukan penebangan, sando boyang melakukan upacara ritual yang dilakukan sendiri dirumahnya. Waktu penebangan diupayakan pada hari-hari baik. Adapun hari baik menebang kayu untuk possi arriang adalah hari ke 14 terbitnya bulan, orang Mandar menyebutnya tarrang bulan (terang bulan), atau pada hari ke delapan sebelum tenggelamnya bulan. Penebangan kayu dilakukan pada pagi hari sekitar jam 09.00. Penebangan kayu dapat dilakukan oleh beberapa orang, tetapi pekerjaannya harus dimulai oleh sando boyang. Ada hal yang penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan pada saat menebangan kayu, yaitu kayu tersebut harus tumbang dan jatuh kearah matahari terbenm. hal ini dimaksudkan agar cahaya dari matahari senantiasa menerangi rumah yang akan dibangun. Dalam pengertian ini terdapat makna simbolis, bahwa diharapkan kelak rumah yang akan dibangun itu senantiasa dalam kondisi yang terang bercahaya. Pembangunan rumah tradisional boyang, dimulai dari

Boyang To Mandar 53 pembuatan tiang arriang. Setiap rumah memiliki tiang minimal 4 batang hingga 40 batang, namun yang dibahas disini adalah diatas dari 6 tiang, Tiang tersebut diatur dan disusun berjejer kesamping dan kebelakang. Setiap jejeran ke samping biasanya terdiri atas lima batang. Sedangkan jejeran ke belakang biasanya empat batang (tidak termasuk tiang paceko). Kelima tiang yang berjejer ke samping diupayakan memiliki lekukan dan bengkok yang sama. Dalam pembuatan arriang, pekerjaan pertama yang harus dibuat adalah posi’ arriang (tiang pusat). Setelah posi’ arriang usai dikerjakan, maka dilanjutkanlah pekerjaan pada seluruh tiang rumah lainnya. Pekerjaan seluruh tiang tersebut harus diperhatikan ujung-pangkalnya. Semua tiang pangkalnya harus berada di bawah, tidak boleh terbalik. Didalam memilih Arriang (tiang) yang akan digunakan sebagai Posi dan Balinna maka sang pemilik calon rumah akan mencari pohon dari Ayu Bagang dengan melakukan ritual jika sang pemilik calon memiliki ilmu tentang ritual, namun jika tidak memilikinya maka akan diwakilkan kepada orang yang memahami tentang hal tersebut jika sang pemilik memiliki pohon kayu, namun jika tidak memiliki maka dia akan membeli langsung kepada pengusaha kayu yang telah diritualkan dan adapun ritual tersebut adalah sebagai berikut:

54 H. Ahmad Asdy

Calon pemilik rumah akan mencari pohon kayu dari jenis Ayu Bagang (kayu Binti) yang tumbuh dengan baik dan telah cukup umur untuk ditebang atau kayu tersebut telah ranum yang dalam bahasa Mandar disebut Mennannas - Pohon kayu tersebut harus yang tegak lurus dan menghadap kearah timur dimana matahari terbit, untuk Posi Arriang, dan untuk Balinna adalah pohon kayu itu harus menghadap kearah utara atau kearah Selatan sedangkan yang menghadap kearah Barat dipantangkan untuk dipakai dalam bentuk Arriang terutama bagi Posi dan Balinna, Ayu Bagang yang tumbuh menghadap ke barat akan digunakan pada fungsi lain yaitu: untuk Gala’gar, Lello, Lapar, Patteppang dan Rinding, adapun arah tumbuhnya pohon kayu dapat diketahui oleh seorang yang memang sudah menekuninya tentang arah kemanah pohon itu menghadap terutma kepada sesorang yang berprofesi sebagai Sando Boyang atau Kepala tukang.

10. Aratang (ringbal bagian atas dari depan kebelakang) Sebagaimana lazimnya semua rumah panggung yang ada dimana-mana pasti memiliki yang disebut Aratang, yang artinya adalah Ringbal yang terdiri dari dua jenis yaitu: Aratang diong (ringbal bagian bawah), dan

Boyang To Mandar 55

Aratang diwao (ringbal bagian atas), adapun penempatan Aratang diong berada diatas Passollor, sedangkan penempatan Aratang diwao berada dibawah Bae, kedua jenis Aratang tersebut dengan fungsi adalah memperkuat berdirinya semua tiang yang rangkainya dimulai dari depan sampai dengan tiang belalakng dan adapun jumlah atau banyaknya Aratang yang digunakan pada setiap rumah adalah sebanyak jumlah tolor arriang, misalnya kalau Tolor Arriang berjumlah tiga maka Aratang Diong adalah juga berjumlah tiga dan Aratang Diwao juga berjumlah tiga dan begitupun seterusnya sesuai dengan jumlah Tolor Arriang. Adapun pemasangan masing-masing Aratang yaitu Lolo ayu Aratang (pucuk Kayu ringbal) akan berada di belakang pososi rumah sedangkan sebaliknya Bui ayu Aratang (pangkal kayu ringbal) akan berada pada posisi bagian depan rumah, untuk dapat membedakan mana lolo ayu dan mana bui ayu, maka ini dapat dilihat dengan cara menimbang beratnya, yaitu kayu diganjal ditengahnya mana yang lebih ringan dan yang lebih berat, kalau dia lebih berat dengan condong kebawah maka itu bui ayu dan kalau lebih ringan yang condong keatas maka itulah lolo ayu.

56 H. Ahmad Asdy

11. Passollor (Slop bagian tengah) Kalau bagi orang lain seperti Bugis dan Makassar yang menempatkan Passollor pada bagian bawah Aratang akan tetapi bagi rumah panggung orang Mandar Passollor ditempatkan diatas Aratang, kanapa demikian karena Passollor yang ditempatkan diatas Aratang dijadikan sebagi pembatas dari ruangn yang satu keruangan yang lain, yang dalam hal ini memiliki makna dan pengertian yang merupakan aturan dalam sebuah tatanan budaya adat Mandar yaitu:  Apa bila ada seseorang hanya duduk atau bertamu pada petak pertama dengan tidak melewati petak kedua tanpa dipersilahkan yang dibatasi oleh Passollor, maka orang tersebut tidak ada hubungan kekerabatan dari pemilik rumah  Apa bila ada seseorang hanya duduk atau bertamu pada petak pertama lalu melewati petak kedua dengan tidak dipersilahkan yaitu melewati dua Passollor, maka orang tersebut menandakan bahwa ada hubungan kekerabatan dari pemilik rumah kepada seseorang itu  Apa bila ada seseorang hanya duduk atau bertamu pada petak pertama lalu melewati petak kedua dengan tidak dipersilahkan, untuk selanjutnya bebas masuk pada petak ketiga yang juga tidak dipersilahkan artinya tiga

Boyang To Mandar 57

Passollor dilewatinya, maka orang tersebut menandakan bahwa ada hubungan kekerabatan sangat dekat dari pemilik rumah kepada sesorang tersebut  Apa bila ada seseorang yang langsung melewati semua petak bahkan dapat langsung masuk kedalam Paceko (dapur) tanpa dipersilahkan pula artrinya melewati semua Passollor. maka orang ini adalah sangat dekat dengan kekerabatan pemilik rumah bahkan seseorang tersebut haram baginya untuk menjalin hubungan rumah tangga (kawin) dengan anggota keluarga tersebut Secara fisolofis Passollor bagi orang Mandar adalah simbol hukum/aturan/adat, karena setiap tamu yang tidak memiliki hubungan dekat seperti yang telah diuraikan diatas maka dilarang keras melewati Passollor yang disebut Mallimbang Passollor tanpa melalui persetujuan pemilik rumah dengan kata lain tidak dipersilahkan dan hal ini tamu tersebut selain telah melanggar hukum juga dianggap kurang ajar dan tidak tahu tatakerama atau akan dituduh bahwa pelanggar aturan tersebut akan melakukan sesuatu kejahatan berupa mencuri tau akan mengganggu kaum wanita penghuni rumah, maka dengan demikian pelanggar aturan adat ini akan mendapat sangsi sebagaimana pesan leluhur yang terulis dalam lontar menyatakan bahwa: Ada’ di tu’u tia napepuang to Mandar artinya sipapun yang melanggar hukum maka dia harus di hukum Maudzi

58 H. Ahmad Asdy nasinrayanna agie mupattutuangi artinya walaupun sebesar satu batang lidi yang dipukulkan kepadanya.

12. Bae (ringbal bagian atas dari samping) Bae yang juga bernama Pattolor adalah bahan yang akan merangkai setiap tiang pada ujung sebelah atas yang berlawanan dengan Aratang dibao yang terdiri dari dua jenis yang masing-masing bernama Bae Kaiyyang dan Bae Keccu adapun jenis kayu digunakan sebagai Bae dominan sama dengan jenis kayu yang digunakan sebagai Posi’ Arriang, namun bukan menjadi keharusan dengan kata lain dapat menggunakan kayu dari jenis lain.

13. Balimbungan (bubungan) Balimbungan adalah rangkaian rumah yang berada paling atas yang ditopang oleh Su’du dan ditutupi dengan Pambung (penutup bubungan) dan juga sebagai tempat bersandar Patteppang, dan jenis kayu yang digunakan tergantung dengan keinginan dari pemilik rumah sesuai dengan kemampuannya.

Boyang To Mandar 59

14. Su’du (tiang penyanggah bubungan) Su’du adalah tiang yang ditempati Pambalimbungan dan berada diatas Bae Kaiyyang serta menjadi landasan dari Lello kaiyyang yang ukuran tingginya lebih tinggi dari jarak antara Aratang dengan Passollor atau lebih tinggi dari antara Passollor dengan Bui Arriang (lantai bawah rumah), kenapa harus demikian hal ini dikarenakan agar bentuk rumah nampak terlihat seimbang, disamping itu juga dimaksudkan agar hujan yang mengguyur jatuhnya akan lebih deras yang menutup kemungkinan untuk air hujan merembes masuk kedalam ruangan rumah.

15. Mattolor (merangkai) Sebelum rumah didirikan terlebih dahulu dirangkai yang disebut Mattolor dilokasi tempat dimana rumah akan didirikan yang dimulai sebelum matahari terbit dan harus selesai sebelum matahari terbenam, dan yang pertama ditolor adalah rangkaian Posi Arriang, untuk selanjutnya adalah rangkaian Balinna Posi Arriang, lalu disusul secara berurut kebelakang dan yang terakhir ditolor adalah rangkaian bagia depan, begitu juga dengan urutan dalam Mappake’de (mendirikan) dan setelah semuanya selesai

60 H. Ahmad Asdy ditolor yang juga disiapkan apa yang disebut Pajakka-jakka (penyangga), setelah selesai ditolor yang tentunya akan didirikan pada esok harinya maka Posi Arriang akan dijaga jangan sampai ada binatang seperti kucing dan anjing serta yang lainnya berkaki empat yang melintas melewati Posi Arriang terutama sekali jangan sampai terjadi dikencingi oleh semua jenis binatang berkaki empat sebelum didirikan dengan kata lain harus Didoyai (dijaga dengan cara begadang) sebab kalau sampai terjadi hal tersebut diatas maka ussulnya adalah pemilik atau penghuni rumah tersebut akan mudah mendapat penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Adapun jarak dari satu tiang ketiang lainnya menurut selera dan kemampuan pemilik rumah namun diharuskan pada jarak dengan menggunakan ukuran pada bilangan ganjil yaitu: pada jarak antara tiang bawah dengan tiang tengah akan lebih luas dari jarak antara tiang tengah dan tiang selanjutnya sedangkan tiang selanjutnya dengan tiang atas sama ukurannya dengan jarak antara tiang bawah dan tiang tengah, dan kalau rangkaian boyang ini menggunakan lima Arriang pada deretan Arriang dan Passollor maka seca ra otomatis akan memeliki dua jarak tiang tengah yang ukuran jaraknya harus pula sama.

Boyang To Mandar 61

Dalam mattolor Arriang sesuai dengan jumlah Arriang minimal tiga dan maksimum tujuh yang masing- masing tolor disebut dengan: - Tolor tallu (tiga rangkaian) - Tolor appe’ (empat rangkaian) - Tolor Lima (lima rangkaian) - Tolor annang (enam rangkaian) - Tolor pitu (tujuh rangkaian) Tentang jarak Lottang (petak rumah) pada deretan tolor Arriang dan Aratang dengan ukuran tidak boleh berada pada hitungan genap yang tediri dari: Lottang olo atau Lottang Samboyang (petak depan) dengan ukuran paling maksimal 15 Lame (jengkal), lottang tangnga (petak kedua) minimal 17 lame, dan Lottang pondo atau juga disebut Lottang bui (petak ketiga) adalah minimal 19 lame (satu lame diperkirakan dua puluh Centi meter), dan ada juga yang menggunak ukuran Si’ung bowo (siku tangan) dengan perhitungan selalu dalam bilangan ganjil dengan ussul bahwa yang akan melengkapai keganjilan itu adalah sifat dari kebesaran Tuhan YME selaku Tuhan yang Maha sempurna tak memiliki kekurangan. Adapun jarak dari Naong boyang (kolom rumah) dan Samboyang (ruang rumah) terdiri dari: antara ujung bawah tiang dengan Pallolor yang disebut Pa’juru diong adalah maksimal 13 lame, antara Pallolor dengan Bae

62 H. Ahmad Asdy kaiyyang yang disebut Pa’juru diaya adalah maksimum 17 lame sedangkan jarak antara Aratang dengan Bae minimal 13 lame dan maksimum 17 lame atau menyesuaikan dengan besarnya rumah agar terjadi keseimangan dalam bentuk yang idial. Boyang yang terdiri Sallottang (satu petak), Dualottang (dua petak) serta Tallulottang (tiga petak) hingga PituLottang yang jejeran tiangnya yang dirangkai dengan Passollor dan Bae Kaiyyang disebut Tolor yang terdiri dari Tolor Da’dua sampai dengan Tolor Lima bahkan ada yang menggunakan tolor pitu dengan rincian yaitu:  Sallottanag (satu petak) terdiri dari Duattolor (dua rangkaian) dengan menggunakan 4 Arraiang (tiang) yang satu tolor terdiri dari 2 Arriang, bisa juga menggunakan Talluttolor (tiga rangkaian) yang satu tolor terdiri dari 3 Arriang dengan menggunakan 6 Arraiang (tiang)  Duallottang (dua petak) terdiri dari Talluttolor (tiga rangkaian) dengan menggunakan 9 Arraiang (tiang) yang satu tolor terdiri dari 3 Arriang, dan bisa juga menggunakan tolor 4 maka Arriang akan berjumlah 12 Arriang  Tallulottang (tiga petak) terdiri dari Patattolor (empat rangkaian) dengan menggunakan 12 Arraiang (tiang)

Boyang To Mandar 63

yang satu tolor terdiri dari 3 Arriang, dan kalau menggunakan Patattolor maka jumlah Arriang-nya terdiri dari 16, sedangkan kalau menggunakan Limattolor maka Arriang-nya akan berjumlah 20  Begitu juga dengan Patallottang, Limallottang, Annang Lottang sampai dengan Pitu lottang yang tolor Arriang-nya terdiri dari Patattolor sampai dengan Pituttolor, sehingga dengan demikian maka ada saja rumah di Mandar yang Arriang-nya mencapai 40 tiang

Rangkaian Arriang yang sudah ditolor

Semua Rumah tersebut diatas setelah berdiri maka dibelakangnya akan didirikan sebuah bangunan yang disebut Paceko (ruang tambahan) yang akan disesuaikan

64 H. Ahmad Asdy dengan jumlah petak Indo Boyang (induk rumah) dengan tiang hanya terdiri dari Tolor Tallu, yang didalamnya terdapat yaitu: Lottang (petak) pertama jika ia searah dengan matahari terbit (timur) maka akan ditempatkan lapurang dan jika searah dengan matahari terbenam (barat) maka akan difungsikan sebagai ruang makan, begitu juga sebaliknya dan jika paceko ini terdiri dari 3 petak maka petak tengah akan difungsikan sebagai tempat untuk memasang Pa’annang Andeangan (lemari) sebagai tempat penyimpan lauk pauk dan lain sebagainya, dan jika Paceko hanya terdiri dari dua petak maka ruang makan akan difungsikan juga sebagai tempat menyimpan lemari, namun jika Paceko ini hanya satu petak maka ruang makan akan ditempatkan di induk rumah, akan tetapi ada juga yang sekaligus memberikan pungsi ganda. Dan adapun fungsi serta peranan Paceko yang didalamnya terdapat yaitu: - Lapurang, (dapur) berbentuk segi empat yang diisi dengan tanah dan diatasnya terdapat Pallu dan Laliang (tungku) sedangkan pada bagian bawah lapurang digunakan sebagai tempat menyimpan kayu bakar dan disampingnya akan terdapat anyaman yang terbuat dari bambu sebagai tempat menyimpan yaitu Sipi (jepitan) yang terbuat dari bambu, Rotta (sendok kayu) yang terbuat dari kayu Pegaru bassi (penggaruk besi) yang

Boyang To Mandar 65

terbuat dari besi, Pesau bong (sendok sayur) yang terbuat dari tempurung kelapa. - Bate-bate (tempat menyimpan piring dan peralatan memasak lainnya), yang ditempatkan diatas searah persis dengan lapurang, penempatan bate-bate ini yang berada persis diatas Lapurang adalah dengan dimaksudkan agar asap dari lapurang senantisa tertuju kepada Panne (piring) Balenga (periuk) Kawali/pamuttu (kuwali) dan Koyokang (cobokan) Dunduang (tempat minum) serta lain sebagainya, yang semuanya terbuat dari tanah liat, hal ini dimaksudkan agar peralatan yang tersebut diatas akan tetap awet dan tahan lama. - Pambaseang Andeang (tempat cuci piring dan lain-lain) yang lantainya terdiri dari Lattang (belahan bambu atau belahan kayu tahan air), yang pada tempat ini akan terdapat dua buah Gusi (guci) dan juga terdapat Pattoeang Bo’bo (tempat menyimpan/mengambil air yang terbuat dari tempurung kelapa. - Tittemeang (toilet khusus untuk buang air kecil) yang lantainya terdiri dari Lattang (belahan bambu), yang pada tempat ini akan ditempatkan satu buah Katoang (baskom yang terbuat dari tanah liat), namun ada juga yang menempatkan sebuah Gusi (Guci).

66 H. Ahmad Asdy

- Dibawah kolom lapurang yang searah dengan Pambaseang andeang dan Tittemeang tanahnya akan dilonggarkan dan akan dipasang beberapa batu sebagai alat penyerap air agar tidak merembes ketempat lain. Pada sebelah kanan rumah akan ditambahkan bangunan sesuai dengan jumlah petak rumah yang disebut Tambing atau Pelletteang (serambi) dan didepan akan dibangun pula sebuah tempat yang disebut Bollo (serambi) yang berpungsi sebagai tempat untuk menyimpan Ende’ (tangga rumah) sekaligus sebagai tempat istirahat.

16. Massanna (mengganjal) Setelah semua rangkaian Arriang dan Pallolor yang pada lobang yang telah di Pae (dipahat) akan diganjal dengan balok kayu yang besarnya sesuai dengan ukuran pada lobang arriang dan ini disebut Passanna, begitu juga dengan Arriang yang ditolor dengan Aratang, namun ada juga jenis rumah yang tidak menggunakan Passanna (pengganjal) jika memang Tukangnya benar-benar telah ahli dalam mengukur lobang yang dipahat sehingga jika aratang atau pallolor dimasukkan kedalam lobang yang dipahat maka akan digunakan pemukul yang terbuat dari batangan kayu yang disebut Lakung, Rumah yang tidak menggunakan Passanna di Mandar itu dapat dihitung

Boyang To Mandar 67 dengan jari karena ukuran diharuskan pas dan ini mermerlukan kejelian tukang kayu dan juga pekerjaannya akan memakan waktu lebih dari jiika akan mewnggunakan Passanna sebab mana kala sedikit saja longgar maka posisi rumah tidak akan stabil.

17. Mambue (mendirikan) Sebelum rangkaian banguan rumah didirikan terlebih dahulu diadakan ritual pemujaan kepada para leluhur sebelum orang Mandar menganut paham agama Islam dan setelah memeluk agama Islam maka diadakan ritual pembacaan Brasanji (riwayat kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW) dengan menghidangkan berupa sesajen, lalu kemudian sebelum dibue (didirikan) maka semua anggota keluarga dari pemilik rumah diharuskan akan berpegang pada tiang Posi Arriang, adapun Prosesi ritual menurut kepercayaan masyarakat tradisional Mandar biasanya dimulai dari possi arriang. Pada possi arriang diikat lipa’ (sarung) dan mukena atau kebaya. Sarung melambangkan jiwa laki-laki (suami) yang bermakna selaku penanggung jawab dalam rumah tangga yang akan mengayomi seluruh anggota keluarga dengan berupaya menyiapkan segala kebutuhan, dan kebaya atau mukena sebagai jiwa perempuan (istri) yang bermakna selaku

68 H. Ahmad Asdy penanggung jawab dalam urusan kesejahteraan dengan memberikan kasih sayang pada semua anggota keluarga yang harus selalu membimbing kearah yang lebih baik,. Kedua jiwa tersebut harus menyatu di dalam possi arriang kemudian tiang Posi arriang disiram dengan air dari dalam cerek. Air yang tersisa di dalam cerek tadi dimasukkan dalam botol lalu kemudian digantung pada possi arriang bersama Sappong Loka (setandang pisang), Sattuyu pare (seikat padi), Sattuyu Bata (seikat jagung) dan sattule Lame (ubi jalar) serta Sambotol Minna anjoro (sebotol minyak kelapa), dan tak ketinggalan dengan dadauanan yang berkhasiat (bangau tuo, riwu-riwu).

Pembacaan Brasanji bersama kuliner ule-ule bue dan Lemper

Boyang To Mandar 69

Adapun makna yang tersirat dari yang tersebut diatas adalah bahwa air mengandung makna sebagai kesejukan, Pisang padi dan jagung serta ubi adalah bermakna sebagai hasil pertanian yang diharapkan untuk tetap subur dan mengalir masuk kedalam rumah, dan adapun minyak maknanya adalah semoga segala sesuatunya akan berjalan mulus tanpa adanya rintangan, sementara dedaunan dimaksudkan agar rumah tangga tetap dalam keharmonisan, makna lain dari hal tersebut diatas pula dimaksudkan adalah untuk dikonsumsi oleh para pekerja jika mereka terlambat dijamu oleh pemilik rumah.

Mambue boyang dengan bantuan beberapa utas tali serta pa’jekka-jekka

70 H. Ahmad Asdy

Setelah berdirinya rangkaian posi arriang yang ditopang oleh Pan’jakka-jakka, lalu kemudian dilanjutkan didirikan (dibue) secara berurut kebelakang yang dimulai dari rangkaian Balinna Posi arriang (pasangan dari soko tiang) dan yang terakhir adalah rangkain di depan yang semuanya akan ditopang oleh Pan’jakka-jakka, lalu kemudian seluruh rangkaian akan ditolor dengan Aratang pada rangkaian Passollor dan akan ditolor Pappudzung pada rangkaian Bae Kaiyyang yang kesemuanya akan diperkuat dengan memasukkan Passanna (pengganjal) pada tiang lobang yang dipahat, untuk kemudian sebelum melanjutkan pekerjaan lainnya, maka semuanya akan beristirahat menikmati sesajen yang telah diritualkan dan ditambahkan dengan Ule-ule bue (bubur kacang hijau) dan Sokkol (lemper) dan lain-lain sebagainya, Hidangan tersebut diatas diperoleh dari adanya konsep di Mandar yang disebut tradisi Sikalu-kalulu (bantu membantu dalam hal gotong royong). Sikalu-kalulu itu merupakan tradisi masyarakat Mandar tempo dulu yang berlaku hingga sekarang dan akan berlaku untuk seterusnya, bentuk sikalu-kalulu itu tidak akan pernah berakhir di Mandar karena orang Mandar sangat tidak menginginkan tetangga atau kerabatnya berada dalam kondisi kesusahan. Sehingga, yang terbangun pada waktu itu adalah prilaku kolektif dalam segala aktifitas sosial, yang salah satunya

Boyang To Mandar 71 adalah, Tomambue’ Boyang (mendirikan sebuah rumah), setiap ada yang melakukan Pambueng Boyang pasti masyarakat disekitarnya bahkan masyarakat diluar dan para keluarga akan datang tanpa diundang dengan satu tujuan bisa membantu proses Mappake’de’ Boyang (mendirikan rumah) sampai selesai dalam tahapan pappke’deang (sebatas mendirikan), sedangkan para wanita itu datang untuk membantu memberikan pelayanan konsumsi dengan membawa sembako mentah maupun yang siap saji, dan mereka akan datang meskipun tidak di minta (diundang) dan ini disebut dalam bahasa Mandar yaitu: Inrang tassisingar artinya utang yang tidak akan ditagi sebab hal ini adalah sebuah kegiatan yang akan dibayar nanti pada saat seseorang akan melakukan mappa’kede boyang (mendirikan rumah) atau kegiatan lainnya yang memerlukan bantuan.

18. Manggala’garri (memasang rangkaian penyangga lantai) Sebelum Boyang diatapi maka lebih dahulu tiap lottang rumah akan dipasangkan yang disebut Gala’gar dengan apa adanya buat sementara yang kemudian akan dilakukan pemasangan Lello kaiyyang sebagai tempat untuk memasang Lello keccu yang akan difungsikan untuk mengikat ate’ Rombiah (atap rumbiah) dan setelah rumah

72 H. Ahmad Asdy sudah rampung diatapi maka kembali dilakukan pengaturan Gala’gar dengan jarak tidak boleh lebih dari Sassiung (satu sikut tangan) dengan jumlah Galagar harus ganjil pada setiap petak, dimana tiap balok yang dipasang pangkalnya (bagian bawah kayu) harus ditempatkan pada bahagian Pelletteang dan bagian atas kayu ditempatkan di Pe’uluang (bahagian atas rumah), lalu kemudian dipasangkan papan sebagai Lapar (lantai papan) dan adapun jenis kayu yang digunakan dalam Gala’gar adalah terdiri dari: - Ayu Bagang - Ayu Panggalo - Ayu Ma’dang - Ayu Tippulu - Ayu Bunga-bunga - Ayu Lita' - Ayu Arurung dan - Ada juga rumah yang menggunakan Gala’gar dari Tarring (bambu) yang laparnya juga menggunakan bambu

19. Ma’atei (mengatapi) Sebelum boyang dipasangkan lapar secara utuh, maka terlebih dahulu dipasangkan atap lengkap dengan

Boyang To Mandar 73

Pambung (bubungan), adapun cara memasang atap jika menggunakan Ate’ Rombiah (atap rumbiah) yaitu dengan mengikat pada Lello keccu, lello keccu ini berada diatas Panjiri-jiring (reng) dan disebut Leteang Balao sedangkan jika menggunakan Atap seng atau yang lainnya dengan cara memasang atap menggunakan paku yang tentunya tidak akan menggunakan Lello Keccu, karena akan langsung di perkuat dengan paku diatas Panji-jiri (reng), pemasangan jumlah atap dengan perhitungan tiap- tiap deretan kebawah harus ditutup dengan jumlah ganjil, jika atap yang digunakan adalah Ate’ Rombiah (atap daun Rumbiah/Nipa). Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya ada yang menggunakan atap sirap yang didatangkan dari pulau Kalimantan, terutama dengan boyang tomasagena (rumah orang mampu) yang juga pada pemesangannya harus berjumlah ganjil untuk selanjutnya ada yang menggunakan berupa seng dan genteng atau sejenisnya dan juga masih menggunakan istilah ganjil dari berapa kaki yang dibutuhkan.

20. Mambung (membuat/menutup bubungan) Semua boyang ada’ di Mandar yang didirikan apapun model dan bentuknya yang sudah di ate’i (diatapi), maka penyelesaian terakhir dari Ma’atei (memansang atap)

74 H. Ahmad Asdy adalah Mambung, dan yang digunakan untuk Mambung disebut Pambung dan adapun bahan yang digunakan dalam menutup bubungan adalah daun rumbiah yang dibuat khusus, atau berupa Bulu Manyang (ijuk enau), yang dirakit sesuai dengan bentuk bubungan, namun ada juga yang menggunakan bahan lain seperti Pattung (bambu besar) yang dibelah dua dengan membersihkan semua bukunya (tulang ruasnya) dan sekarang ini sudah kebanyakan menggunakan penutup bubungan terdiri dari bahan pelastik atau berupa almunium, adapun yang menguatkan Pambung untuk tidak terlepas dari tempatnya oleh terpaan angin karena Pambung yang menggunakan bahan seperti tersebut diatas tidak menggunakan paku besi akan tetapi adalah Dipasso artinya dipaku dengan menggunakan runcingan belahan bambu atau hanya dengan menekan beberapa batu yang diikat dengan tali yang dalam bahasa lokal Mandar disebut Dipatole’i artinya dua buah batu yang diikat yang panjangnya sekitar 30 cm.

21. Mallapar (memasang lantai) Dalam hal Mallapar atau Lapar boyang Mekke’de, maka ada dua ruang yang diberi Lapar yaitu: 1. Lapar Samboyang (lantai ruang utama rumah) yang terdiri dari semua petak, dan sebelum dipasang Lapar

Boyang To Mandar 75

(Lantai yang terbuat dari papan) maka lebih dahulu tiap lottang (petak) rumah akan dipasangkan Gala’gar (penyangga lantai), pengaturan Gala’gar dengan jarak tidak boleh lebih dari Sassiung (satu sikut tangan yang digenggam) dan jumlah Galagar pada setiap petak harus ganjil lalu kemudian dipasangkan papan sebagai Lapar (lantai papan) dan adapun jenis Ayu (kayu) untuk dipakai sebagai lapar yang diantaranya adalah terdiri dari: - Ayu Bagang - Ayu Uru - Ayu Panggalo - Ayu Ma’dang - Ayu Tippulu - Ayu Bunga-bunga - Ayu Lita' - Ayu Ku’mil - Ayu Arurung dan - Ada juga rumah yang menggunakan Gala’gar dari Tarring (bambu) dengan potongan yang diambil pada ujung bambu bagian lolo (ujung atas) yang laparnya juga menggunakan bambu dan kalau menggunakan bambu maka tidak lagi disebut lapar tetapi bernama Lattang dengan belahan-belahan kecil, terutama dengan Boyang Tau Samar (rumah masyarakat biasa/kebanyakan), dan adapun Lattang Yang

76 H. Ahmad Asdy

dipasang tersebut penguatannya tidak menggunakan Paku tetapi menggunakan belahan Rotan yang disebut Dibittang (diikat dalam rangkaiayang). - Untuk merapatkan lapar yang menggunakan Kayu sehingga nampak rata seakan tidak memiliki sambungan maka papan terlebih dahulu dihaluskan secara rata lewat sebuah alat yang disebut Kattang (ketam) yang pemasangannya akan dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut Pa’ganggang yang juga bernapa Paepe (penjepit). 2. Lapar Tapang (lantai ruang atas rumah) yang terdiri dari semua petak, dan sebelum dipasang Lapar (Lantai yang terbuat dari papan) maka lebih dahulu tiap lottang (petak) rumah akan dipasangkan Gala’gar, pengaturan Gala’gar lebih rentang sedikt dengan Gala’gar Samboyang yaitu boleh lebih dari Sassiung (satu sikut tangan terbuka) dan jumlah Galagar pada setiap petak harus tetap ganjil lalu kemudian dipasangkan papan sebagai Lapar (lantai papan) dan adapun jenis kayu yang dipakai boleh sama dengan Lapar Samboyang namun ada juga rumah terutama dengan boyang tobeasa yang menggunakan ayu Landerang dan ayu Beau atau hanya memakai Alisi dengan cara pemasanyannya dibawah Gala’gar yang sekaligus berfungsi sebagai Falpon.

Boyang To Mandar 77

22. Marrinding (membuat dinding) Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding). Pada umumnya, boyang ada tomaraya mempunyai dinding yang terbuat dari papan. Sedangkan boyang ada’ beasa selain berdinding papan, juga ada yang berdinding tatta’ dan alisi, bahkan ada yang memakai lapi- lapi (anyaman yang terbuat dari daun kelapa), rumah yang berdinding tatta’ dan alisi, penghuninya berasal dari golongan tau samar, dan yang memakai dinding Lapi-lapi penghuninya adalah dari golongan batua (budak) atau golongan to Kasi-asi (orang miskin) yang tidak menutup kemungkinan juga memakai dinding dari papan atau alisi. Dinding rumah dirancang dan dibuat sedemikian rupa sesuai tinggi dan panjang setiap sisi rumah dan dilengkapi jendela yang dipasang pada setiap antara tiang atau petak. Hal itu dibuat secara utuh sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang rumah. Pembuatan dinding seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan pasangannya, demikian pula untuk membukanya jika rumah tersebut akan dibongkar atau dipindahkan jika terjadi perluasan dalam sebuah acara. Dinding rumah tradisional Mandar pada umumnya terbuat dari papan, alisi dan tatta. Pada dinding sisi depan rumah, biasanya dilengkapi tiga pepattoang (jendela) dan

78 H. Ahmad Asdy satu ba’ba (pintu). Dinding sisi depan ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah jendela. Pada dinding sisi kanan dan kiri, Pepattoang yang berbentuk segi empat yang rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran sekitar 100 x 40 cm. Daun jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan. namun ada juga yang hanya menggunakan terali dengan tidak menggunakan daun Jendela, Letak pepattoang biasanya berada antara dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattoang ini biasanya diberi ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang jumlahnya selalu ganjil. Terali-terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada yang secara horisontal. Secara vertikal mempunyai makna sebagai hubungan yang harmonis antara semua penghuni rumah dengan Tuhan- nya. Sedangkan secara horisontal mempunyai makna hubungan yang harmonis dari semua penghuni rumah dengan sesama manusia. Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada jendela yang ada di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen berupa ukiran dan terali-terali juga dapat dilihat pada bangunan tambahan di depan rumah, yaitu lego-lego. atau Bollo yang juga bernama Sondong.

Boyang To Mandar 79

Rinding Tatta

Dinding rumah adat yang yang terbuat dari kayutidak memakai penutup jendela

80 H. Ahmad Asdy

23. Matteppang (membuat lisplan) Matteppang atau lisplan yang dilakukan dengan satu susun atau dua dan tiga yang pada ujung atasnya akan diberikan pattinda (tanduk) yang bernama butung-butung ada yang tunggal lurus keatas dan ada pula yang memasan berbentuk V, kalau rumah orang berada atau rumah adat bagi bangsawan dan golongan hadat/adat maka tanduknya (butung-butungnya) akan tunggal berdiri keatas yang kemudian dihiasi disamping kiri kanannya yang disebut Jeppang yang diukir bermotif binatang atau kembang dan bagi golongan bangsawan raja pada jeppang sebelah atas akan bermotif naga sedangkan jeppang pada bagian bawah akan bermotif hiasan bentuk ujung Kecapi.

Salah satu dari model Patteppang beserta Hiasannya

Boyang To Mandar 81

24. Mattumba layar (Membuat Sambung layar) Tumba layar yang juga bernama Sawa-sawang yang keduanya berati Sambung layar, jadi membuat Tumba layar yang disebut Mattumba layar atau Massawa- sawang yaitu membuat penutup diantara dua rangkaiang Patteppang yang terdapat didepan dan di belakang rumah, sebagaimana diketahui bahwa Rumah Panggung orang Mandar atau yang di sebut Boyang Mekke’de’ (rumah berdiri), tidak terlepas dari beberapa argumen sebagai pendukung yang memiliki simboloik dan makna tersendiri yang salah satu diantaranya adalah Tumba’ layar, Sebelum dilakukan pemasangan yang disebut matumba’ layar yaitu menutup rangkaian depan rumah bagian depan dan bagian belakang diantara rangkaian atap yang akan bersandar pada Lello Kaiyyang dibagian atas dan pada bagian bawah akan searah dengan kedua ujung Patteppang bada bagian bawa sehingg nampak kelihatan berdiri miring, atau terlebih dahulu dipasang rangka penyanggah yang berpareasi pada tingkatan jumlah lapis atau tingkat tumba’ layar sebagai penanda simbolik identitas tertentu yang menunjukkan pembagian kedudukan seseorang sesuai tingkat status sosial penghuninya atau disebut strata sosial. Simbolik tersebut, misalnya tumba’ layar yang bersusun antara 3 sampai 7 susun bahkan

82 H. Ahmad Asdy pernah terjadi sebanyak 9 susun yang diperuntukkan bagi golongan bangsawan yang kadarnya disebut Puang Nyonyor, semakin banyak susunan Tumba’ layar maka semakin tinggi pula derajat kebangsawanan seseorang dari pemilik rumah tersebut, yang terdiri dari Puang selaku bangsawan Adat/Hadat, dan Daeng selaku bangsawan yang disebut todziang Laiyyana (berdara biru), Sedangkan pada boyang ada’ beasa, tumba’ layar-nya hanya akan terdiri dari satu hingga dua susun dan adapun pembahagian tumba layar dari rumah adat Mandar adalah sebagai berikut: 1. Puang Nyonyor tediri dari 9 (sembilan) susun dan ini hanya terjadi pada masa pemerintahan Imanyambungi bergelar Todilaling selaku Mara’dia (raja) pertama di Mandar yang memiliki kadar kebangsawanan sebagi Puang Nyonyor dan setelah Imanyambungi mangkat, maka istilah Puang Nyonyor tidak ada lagi yang menyandangnya, hal ini memberi pengertian bahwa hanya beliulah satu-satunya yang paling tinggi kebangsawanannya di Mandar. 2. Puang Mannassa Ressu terdiri dari 7 (tujuh) susun. 3. Puang Ressu, Puang Sangnging, dan Puang Sambuah, terdiri dari masing-masing 6 (enam) susun.

Boyang To Mandar 83

4. Puang Tallupparapa terdiri dari 5 (lima) susun dan dapat mengunakan 6 (enam) susun jika dia diangkat menjadi Mara’dia/Arayang. 5. Puang Sassigi terdiri dari 4 (empat) susun. 6. Puang Separapah, Puang Sallesso dan Puang Dipisupai anna sarombong terdiri dari 3 (tiga) susun. 7. Taupia Mennassa terdiri dari 5 (lima) Susun namun dapat mengunakan 6 (enam) susun jika dia menjabat sebagai Lembaga Hadat. 8. Taupia Tongan terdiri dari 4 (empat) susun namun jika dia menduduki jabatan sebagai Lembaga adat maka dia dapat menggunakan 5 (lima) susun 9. Taupia Beasa terdiri dari (tiga) susun 10. Tau samar terdiri dari 2 (dua) susun 11. Batua dari semua tingkatan hanya menggunakan tumba layar tunggal bahkan ada yang hanya menutupi dengan anyaman daun kelapa yang disebut lapi-lapi

25. Mappapia Ba’ba (Mumbuat pintu) Adapun rumah tradisional Mandar, baik boyang ada’ tomaraya maupun Boyang ada’ to Masagena serta boyang ada’ tobeasa pada umumnya mempunyai dua pintu utama selain pintu kamar, yaitu pintu depan dan pintu belakang. Setiap pintu mempunyai daun pintu yang akan

84 H. Ahmad Asdy dibuka dan ditutup, syarat-syarat pembuatan pintu adalah sebagai berikut.  Tinggi pintu tidak boleh kurang dari tinggi dari semua penghuni rumah yang ada karena unsur pemalinya adalah akan selalu mendapat kecelakaan secara tiba- tiba hal ini dapat dimaklumi karena dengan pendeknya pintu maka kepala setiap orang yang lewat akan muda untuk terbentur dan cara masuknyapun adalah selalu akan merunduk.  Penempatan Pintu antara pintu depan dengan pintu belakang atau pintu petak tidak boleh searah yang disebut Silosa (tembus) atau Tarrus (terus), karena unsur pemali-nya adalah pertama bahwa reseki yang didapat akan segera pula habis tau tudak akan bertahan lama, dan yang kedua adalah bahwa semua penghuni rumah terutama dengan kepala rumah tangga akan berumur pendek minimal akan selalu sakit-sakitan akibat muda terserang penyakit, hal ini dimaknai karena dengan tembusnya pintu tersebut maka resekipun akan tarrus (terus) untuk segera menghilang begitu juga dengan malaikat pencabut nyawa akan terburu-buru datang tanpa memberi waktu.

Boyang To Mandar 85

26. Mappapia Pepattoang (Mumbuat Jendelah) Pepattoang yang berfungsi sebagai jalan masuknya cahaya dan juga digunakan untuk dapat melihat keadaan diluar rumah, Setiap rumah dipastikan akan memiliki yang disebut Pepattoang yang artinya adalah Jendela yang ditempatkan pada semua sisi rumah dengan biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah jendela. Pada dinding sisi kanan dan kiri, Pepattoang yang berbentuk segi empat yang rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran sekitar 100 x 40 cm. Daun jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan. namun ada juga yang menggunakan daun jendela tunggal yang dapat dibuka kekanan ataupun kekiri tetapi ada juga yang hanya membuka bagian bawah saja, serta ada juga yang hanya menggunakan terali dengan tidak menggunakan daun Jendela, Letak pepattoang biasanya berada antara dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattoang ini biasanya diberi ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang yang dipasang pada sebagian tinggi jendela jumlahnya selalu ganjil. Terali-terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada yang secara horisontal, pemasangan secara vertikal mempunyai makna sebagai hubungan yang harmonis antara semua penghuni rumah dengan Tuhan-nya. Sedangkan pemasangan secara

86 H. Ahmad Asdy horisontal mempunyai makna hubungan yang harmonis dari semua penghuni rumah dengan sesama manusia. Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada jendela yang ada di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah sedangkan pemasangan ornamen jendela pada bagian belakang rumah yang teralinya dipasang setinggi jendela, hal ini dimaksudkan sebagai tindakan penyelamatan bagi keselamatan anak-anak yang sulit dipantau karena kebanakan kesibukan berada dibagian depan rumah.

27. Mappapia Ende’ (Mumbuat tangga) Adapun rumah tradisional Mandar, baik boyang ada’tomaraya maupun boyang ada’ tobeasa pada umumnya mempunyai dua tangga, yaitu tangga depan dan tangga belakang. Setiap tangga mempunyai anak tangga yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah anak tangga pada setiap tangga berkisar 7 sampai 13 buah. Jumlah tersebut disesuaikan dengan tinggi rumah. Pada umumnya, boyang ada’ tomaraya memiliki anak tangga yang lebih banyak, yaitu berkisar 11 sampai 13 buah. Sedangkan boyang ada’ tobeasa sekitar 7 sampai 9 buah. Pada boyang ada’ tomaraya, tangga depannya bersusun dua dilengkapi dengan pagangan kirsi kanan dan juga dapat menggunakan tangga kembar yang hanya satu susun. Sedangkan boyang

Boyang To Mandar 87 ada’ tobeasa, tangganya tidak bersusun dan pegangannya hanya terdiri dari satu yang dapat ditempatkan dikiri dan juga dapat ditempatkan dikanan.

Tangga yang dua susun yang dapat dilalui lewat samping kiri dan samping kanan

88 H. Ahmad Asdy

Contoh dari rumah yang memiliki Ende’ Siapper

28. Tambing (teras samping) Tambing adalah ruangan yang berada disamping induk rumah sebagai bangunan tambahan yang ditempatkan pada bagian Pelletteang, namun tidak semua Boyang ada’ to Mandar memiliki yang disebut Tambing, Khusus pada boyang ada’ tomaraya, ruangannya atau lantainya lebih rendah yang disebut, letaknya selalu dipinggir padea bagian Pellettewang dengan jumlah Arriang dengan deretan tiang yang kedua dari pinggir, mulai dsama dengan Tolor Aratang yang dimulai dari pintu depan hungga ke belakang. Ruangan ini merupakan tempat lalu lalang

Boyang To Mandar 89 anggota keluarga. Olehnya itu, pemasangan lantai yang terbuat dari papan agak dijarangkan agar berbagai kotoran, seperti debuh, pasir, dan sebagainya dapat lebih mudah jatuh ke tanah. Selain itu, ruang ini juga berfungsi untuk menerima tamu dari kalangan masyarakat biasa dan batua (budak) sehingga disebut juga tambing tuna dan kalau Lantainya rata dengan lantai induk maka nama nya bukan Tambing tuna dan ini dipakai oleh Boyang ada’ to beasa dan Boyang ada’ to Masagena yang dijadikan sebagai tambahan perluasan ruangan rumah.

29. Bollo Setelah pendirian tiang Tambing, dilanjutkan pula pada pendirian tiang bollo . Untuk boyang ada’ Tomaraya, jumlah tiang Bollonya sebanyak tiga tiang sampai dengan lima tiang bahkan bisa mencacapai sampai tujuh batang tiang,.atau disesuaikan dengan jumlah Tolor Pallollor Sedangkan boyang ada’ tobeasa jumlah tiang Bollonya sebanyak dua batang. Sampai dengan tiga batang dan kegunaan Bolloo ini adalh tempat sandaran Tangga depan, tempat istirahat pada sore hari dan tempat duduk sebelum masuk rumah. Bollo boyang ada’ tomaraya terutama dengan boyang Mara’dia/arayang maka pada bagian bawah tiap

90 H. Ahmad Asdy sudut Bollo akan terdapat hiasan seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.

Ornamen dari Bollo

Setiap boyang ada’ dari semua jenis akan mendapat bangunan tambahan yang ada di depan rumah yang disebut dengan Bollo yang bentuk atapnya sama dengan bentuk induk rumah akan yang jumlah tiangnya sama dengan jumlah Tolor Pallollor tetapi jika Arriangnya kurang dari jumlah Tolor Pallollor maka ini namanya Sondong, begitu juga jika tambahan kedepan rumah yang atapnya memakai bentuk Bi’ung (cangkul) maka ini bernama lego-lego.

Boyang To Mandar 91

30. Cigi-cigi atau Cinggi-cinggi (jalusi) Yang dimaksud dengan Cigi-cigi atau Cinggi- cinggi adalah berupa Jalusi pada Tumbalayar yang tunggal dan ada juga yang memasang pada salah satu tumbalayar yang bersusun, jalusi ini dipasang sebagai jalan masuknya udara maupun jalan keluarnya asap jika ada yang sampai masuk pada ruang Tapang dan ini disebut dalam bahasa Mandar yaitu Cigi-cigi yang juga merupakan ornamen dari setiap boyang ada’ tomaraya dan boyang ada’ tobeasa.

31. Paceko Bilamana Boyang (rumah) semua tingkatan golongan akan diberi tambahan bangunan, seperti paceko dan lego-lego, maka setelah bangunan induk berdiri tegak dilanjutkan pendirian tiang paceko. Tambahan untuk Paceko biasanya terdiri atas satu deretan tiang yang jumlahnya enam batang ditambah satu batang di dekat tangga belakang. Setelah tiang berdiri, dilanjutkan pemasangan aratang dan Pappudzung yang dikuatkan dengan passanna. Seluruh tiang paceko juga diberi batu arriang. Bangunan tambahan yang diletakkan di belakang bangunan induk disebut paceko (dapur). Bangunan tersebut biasanya dibuat secara menyilang dengan

92 H. Ahmad Asdy bangunan induk. Panjangnya minimal sama dengan lebar bangunan induk, dan lebarnya minimal sama dengan satu petak bangunan induk. Bangunan ini disertai ruang yang lapang, sehingga mempunyai banyak fungsi. Pada paceko juga tersedia tempat buang air kecil yang disebut pattitemeangang (toilet dengan fungsi hanya untuk buang air kecil).

32. Mambatu boyang (Mengalas rumah dengan batu) Setiap rumah panggung yang berdiri diatas tanah yang memiliki beberapa tiang (arriang) bahkan ada yang sampai mencapai puluhan tentunya akan dikhawatirkan untuk merosot kebawah akibat beban yang ditanggung sangat berat sehingga tiap tiangnya perlu dialas dengan batu pilihan yang didapatkan dari kali, sungai atau batu gunung yang pada perkembangan selanjutnya dibuat khusus dengan menggunakan bahan berupa semen dengan bentuk dan ukurannya sesuai yang dikehendaki oleh pemilik rumah. Untuk memasukkan batu keujung pangkal tiang bagian bawah, tentunya kalau akan diangkat satu persatu hal itu tidak akan memungkinkan sehingga diperlukan sebuah tehnik dengan menggunakan beberapa alat yang terdiri dari:

Boyang To Mandar 93

1. Beberapa potongan Balok kayu dengan ukuran 5 cm x 10 cm dengan panjang sekitar 15 cm 2. Beberapa potongan bambu yang disesuaikan dengan tinggi rumah antara naong boyang (ruang bawah) dengan tangnga boyang (ruang tengah) 3. Beberapa potong Balok ukuran besar dengan panjang antara 50 cm s/d 75 cm 4. Satu Tiang ukuran sedang (10 x 10 cm) dengan panjang sekitar 3 meter keempat jenis ramuan ini dipergunakan untuk mengangkat rumah yang disebut Mattuas (mengngkat menggunakan alat). Adapun cara menggunakan alat-alat tersebut diatas yaitu Potongan bambu yang pada salah satu ujung dibelah dengan ukuran Aratang atau Passollor lalu ujung bawahnya dimasukkan Balok yang panjangnya sekitar 3 dengan ukuran 10 x 10 cm meter yang pada bagian ujungnya dialas dengan balok ukuran, 5 atau 10 cm yang dijadikan sebagai Pa’disang (bantal) yang berfungsi sebagai landasan, lalu selanjutnya ujung satunya ditunggangi atau diduduki oleh satu sampai dua orang sebagai beban, maka terangkatlah rumah tersebut sekitar lima sampai sepuluh cm pada satu tiang, lalu kemudian berpindah ketiang lainnya yang pelaksanaanya sama dengan pelaksanaan pertama dan begitu seterusnya yang

94 H. Ahmad Asdy pada akhirnya semua tiang sama tingginya lalu kembali lagi diulangi dari satu tiang kelain tiang, begitu seterusnya sehingga mencapai ketinggian sesuai dengan ukuran batu pengalas yang telah disiapkan terlebih dahulu, maka dengan demikian selesailah yang disebut Pattuasan boyang dengan jalan mambatu boyang, kalau dizaman sekarang sudah ada yang menggunkan alat yang disebut dongkrak sehingga tidak terlalu banyak menggunakan bahan.

Rumah yang semua tiangnya menggunakan kayu binti (Ayu bagang)

33. Rambang (pagar kolom rumah) Rambang adalah merupakan pagar bambu (tarring) yang menutupi semua kolom rumah dan ada juga yang

Boyang To Mandar 95 menggunakan batang rumbiah yang disebut Gamo atau berupa alisi (anyaman) yang bahannya terbuat dari gamo dan tarring. Adapun kegunaan Rambang ini adalah untuk menjadi pengaman dari gangguang orang yang usil yaitu Paccoro (maling) serta gangguang binatang liar, terutama untuk mencegah benda-benda berharga dan hasil pertanian dari Nalepa’i Asu (jilatan Anjing), karena selaku orang Mandar yang mayoritas menganut paham Agama Islam meyakini bahwa dengan jilatan anjing adalah sebuah najis.

Rambang

96 H. Ahmad Asdy

34. Massarapo Massarapo artinya menambah luas ruang rumah dan hal ini hanya dilakukan pada saat akan melansungkan sebuah acara seperti perkawinan, (mappalikka) Khitanan (mesunna) dan lain sebagainya yang acaranya akan mengundang orang banyak (mappepissang) sehingga untuk dapat menampung tamu maka rumah diperluas yaitu menambh ruangan pada sebelah kanan rumah (pettambengan) dan dinding yang digunakan adalah papan atau alisi yang tidak dirakit sebagaimana layaknya sebuah dinding cukup hanya diapit yang disebut disippi.

35. Ragam hias dan ornamen boyang Pada umumnya rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun rumah orang biasa di tanah Mandar, dipastikan akan memakai ragam hias ornamen. Pada bagian tertentu seperti: atap, dinding, plafon dan sebagainya. Ornamen selain berfungsi sebagai hiasan juga berfungsi sebagai identitas sosial, dan makna-makna budaya dalam masyarakat. Corak ornamen umumnya bersumber dari alam sekitar manusia seperti flora, fauna, gambaran alam, alat-alat kesenian, matahari dan bulan, agama dan kepercayaan namun tidak semua flora, fauna dan sebagainya dapat dijadikan corak ornamen.

Boyang To Mandar 97

Adapun yang digunakan dalam menghias rumah diantaranya adalah corak ornamen dari duplikat alat kesenian yaitu ukiran dari kecapi yang dipakai pada ujung Patteppang (lispland), begitu juga dengan Bulan yang bebebentuk sabit kebanyakan menghias Tumba’ layar, sedangkan dinding cukup menggunakan ornamen dari ukiran.

Ukiran ornamen yang menghiasi dinding boyang to Mandar

98 H. Ahmad Asdy

3

Ritual adalah sebuah tradisi di Mandar yang hampir tidak pernah absen dalam setiap acara yang diangap sakral maupun yang bersifat sosial yang diantaranya adalah ritual Mappake’de Boyang (mendirikan rumah), Ma’oroi Boyang (menempati rumah) atau disebut Mendai boyang (menaiki rumah), mendapatkan barang yang harganya cukup lumayan seperti Kendaraan berupa apapun bentuknya, perabot rumah dan lain-lain sebagainya, yang dalam hal ini yang akan dibahas adalah ritual Mappa’ke’e Boyang. Tradisi di Mandar sebelum rumah yang telah selesai dibangun untuk ditempati maka terlebih akan dilakukan atau setelah beberapa hari lamanya menempati rumah yaitu melakukan acara berupa ritual yang disebut Makkuliwa,

Boyang To Mandar 99 serta Mattera, dan adapun pelaksanaan dari Makkuliwa dan Mattera itu adalah sebagai berikut: A. Makkuliwa Makkuliwa atau Kuliwa yang merupakan ritual, yang wajib dilakukan bagi kebanyakan masyarakat Mandar sebagai sebuah kesyukuran dari hasil yang diperoleh dengan harapan agar apa yang telah diperoleh itu dapat bertambah atau datang secara beruntun atau terulang kembali dan yang paling utama dari inti Makkuliwa adalah barang tersebut akan dapat bertahan lama dan pemiliknya senantiasa berada dalam keselamatan yang tidak terganggu dari hal-hal yang mengganggu ketenteraman hidup yang sifatnya adalah gaib karena semuanya sudah dikuliwa. Kuliwa yang secara harfiah berarti Sama lewa yang bermakna tidak berat sebelah dan tidak miring kekanan juga tidak miring kekiri, kuliwa juga memberi pengertian yaitu sittotong anna Simbe’i yang keduanya bermakna sama berat atau disebut seimbang, maka dari pengertian tersebut diatas dapat didefenisikan yang dapat disimpulkan bahwa kuliwa adalah sebuah penyeimbangan diantara suatu pengharapan untuk mendapatkan reseki kembali terulang dan dapat bertahan lama. Jika kita telah memakai atau mempergunakan barang apapun jenis dan bentuknya yang telah dikuliwa,

100 H. Ahmad Asdy maka kita harus yakin akan selalu selamat dan terhindar dari bahaya yang akan mengancam keselamatan kita baik secara nyata maupun dengan secara gaib, selain itu juga ada keteguhan hati karena terkait dengan fisiologi sebab sudah ada berkah yang terhimpun didalamnya. Dalam hal Makkuliwa yang didalamnya terkait juga dengan persoalan ussul, yang diantaranya seperti menaiki anak tangga, Sebelum kita menaiki anak tangga dari rumah yang belum dikuliwa untuk dikuliwa maka pada setiap anak tangga akan disimpan masing-masing satu Gogos yang sebentar dalam menaiki anak tangga gogos tersebut akan direbut oleh anak-anak, hal ini dimaksudkan sebagai ussul agar kegembiraan senantiasa menyelimuti kelak bagi sang pemilik rumah dan tetap utuh dalam pendirian serta tahan akan segala godaan sebagaimana sifat dari gogos yang akan tahan dalam panasnya asap api membara, dan disaat kita akan menaiki awal anak tangga terlebih dahulu disiram anak tangga beserta induk tangganya yang dilakukan oleh yang memandu acara makkuliwa, adapun air yang digunakan dalam makkuliwa adalah sebaiknya air yang diambil dari aliran sungai yang paling deras mengalirnya, hal ini menurut ussul akan bemakna bahwa rezeki yang akan didapatkan nanti akan deras pula kedatangannya.

Boyang To Mandar 101

Selain adanya Ussul dalam Makkuliwa juga tidak terlepas dari unsur pemali, yaitu didalam acara makkuliwa ini dipantangkan untuk menghidangkan kuliner yang memakai Golla Mamea (gula merah) dalam bentuk yang cair misalnya dengan menyiapkan Ule-ule bue (bubur kacang hijau) karena ussulnya adalah barang atau sipemilik rumah akan banyak mendapatkan kecelakaan yang berujung pada adanya darah yang akan tercurah, begitu juga sangat dipantangkan untuk melakukan pemotongan hewan misalnya Manggere Manu’ (memotong ayam) terlebih lagi dengan Beke (kambing, ussulnya sama dengan Ule-uke bue, begitu juga sangat dipantangkan menghidangkan berupa Tallo (telur) karena ussulnya barang yang dikuliwa akan mudah pecah (rusak) seperti dari sifat yang dimiliki oleh telur. Ketiga jenis pantangan itu dapat saja disajikan jika pelaksanaan makkuliwa telah selesai misalnya kalau akan disajikan bersantap sebagai pernyataan tanda syukur dengan catatan ketiganya pula tidak boleh terhidang pada saat pembacaan doa, nanti diangkat menemani hidangan lainnya setelah selesai pembacaan doa yang juga biasanya dirangkaikan dengan pembacaan Brasanji.

102 H. Ahmad Asdy

B. Matera Sesudah diadakan upacra Makkuliwa maka dilanjutkan dengan acara mattera’ boyang, sebuah tradisi ritual pula yang dilakukan pemilik rumah, Sesuai dengan namanya, mattera boyang dari kata tera’ atau cera’ yang berati darah. Maka dalam upacara ini dilakukan Panggereang Olo-olo (pemotongan hewan piaraan) yaitu berupa Manu’ (ayam) yang sudah dipotong ini kemudian di panggang secara utuh tanpa diberi bumbu yang dalam bahasa Mandar disebut Dibakaka. dan ada juga yang memotong Saping (sapi) atau Tedzong (kerbau) bagi yang berkemampuan, akan tetapi dagingnya tidak musti Dibakaka, akan tetapi disiapkan khusus yang dipanggang dengan potongan agak besar berbentuk segi empat tanpa diberi bumbu, karena menyantapnya nanti disiapkan yang disebut Pandidilan yang tetrdiri dari Air jeruk ditambah garam dan lombok serta irisan bawang merah, begitu juga dengan Manu’ yang dibakaka Dalam tatacara Mattera ini akan disediakan pula Mesa manu’ maputeh lundara (satu ekor ayam warna putih remaja) yang setelah selesai diadakan ritual maka ayam tersebut akan diambil oleh yang memandu Makkuliwa yaitu sando (dukun) namun sebelum ayam tersebut diambil oleh sang Sando maka ayam tersebut akan dipandu mematuk tepung beras yang disimpan didalam piring, kalau ayam sufdah mematuk maka

Boyang To Mandar 103 ayam tersebut Dilassuang artinya dilepas untuk sementara dan setelah ayam lepas untuk selanjutnya tepung tersebut dico’bokkan kedahi kepada yang mattera (pemilik rumah yang mattera), dan juga akan disiapkan 3 jenis sokkol (nasi ketang hitan, putih dan merah), lalu ketiganya diberi telur ayam kampung yang sudah dimasak pula diatasnya yang disebut dicoppo, juga disiapkan, tujuh jenis kue kering dan basa khas Mandar (buah sappang, ode-ode, tuppi- tuppi, Cucur, Baye, paso, bu’u-bu’us), Menurut kepercayaan masyarakat Mandar, rumah yang tidak di tera’ atau melakasanakan upacara mettera’ boyang, pemilik rumah dan semua penghuninya akan sewaktu-waktu diganggu oleh pakkammi boyang (penjaga rumah), yang oleh masyarakat Mandar meyakini bahwa setiap rumah pasti memiliki yang disebut Pakkammi Boyang dan juga disebut Pa’jaga boyang, oleh karena itu dengan adanya acara Mattera maka ini bermakna bahwa kita telah memberi makan kepada pa’jaganya.

104 H. Ahmad Asdy

Kuliner Ule-ule bue dan sokkol

Boyang To Mandar 105

4

Dahulu sebelum adanya rumah yang parmanen atau konstruksinya terdiri dari batu semen dan besi, dengan kata lain adalah rumah panggung yang konstruksinya terdiri dari bahan kayu, maka tidak menutup kemungkinan bahwa sewaktu-waktu rumah tersebut dapat saja dipindahkan dari satu tempat ketempat yang lain karena sesuatu dan lain hal, oleh sebab itu maka di Mandar ada sebuah tradisi yang disebut memindahkan rumah atau dalam bahasa lokalnya disebut ma’akke’ boyang, salah satu kebiasaan masyarakat Mandar yang sudah jarang terlihat. Ini adalah momen ketika sebuah rumah dipindahkan posisinya dari tempat satu ke tempat yang lainnya dengan diangkat beberapa meter bahkan ada diantaranya yang melewati sebuah jalan lalu ditempatkan pada posisi yang baru. Dapat dibayangkan entah berapa ton berat yang harus dipikul untuk memindahkan rumah panggung yang berukuran cukup besar ini, namun pada apa yang ditangkap mata

106 H. Ahmad Asdy adalah benda sebesar ini bergeser juga dan berpindah ke tempat yang dikehendaki tanpa melalui pembongkaran seutuhnya kecuali hanya menyingkirkan peralatan perabot yang dikhawatirkan akan pecah atau rusak jika bergeser dari tempatnya (jatuh). Potret memindahkan rumah di daerah Mandar dilakukan secara gotong royong bersama- sama dan dalam waktu yang serentak. Biasanya jenis rumah yang diangkat adalah rumah panggung, dengan terlebih dahulu memindahkan isinya dengan tujuan agar beban yang ditanggung saat rumah dipindahkan dapat sedikit berkurang. Saat hanya tertinggal bagian rangkanya saja, lalu kemudian rumah tersebut diangkat secara bersama-sama.Tradisi ini merupakan warisan budaya yang ditinggalkan oleh leluhur di tanah Mandar, sejak zaman dahulu dimana rumah panggung adalah dominasi arsitektur dahulu, potret kebersamaan dalam melihat beban yang berat dan kemudian ringan ketika ia dipikul bersama-sama. Ini tumbuh subur di lingkungan petani dan nelayan. Kedua lingkungan ini adalah yang paling bersentuhan dengan tradisi dimana dari komunitas ini budaya Mandar yang kental masih dapat terlihat jelas. Sebelum rumah diangkat maka seluruh Arriang akan diikatkan bambu yang melintang diantara semua Arriang dengan ketinggian satu meter setengah.

Boyang To Mandar 107

A. Waktu mengangkat rumah Tradisi mengangkat rumah ini biasa dilakukan kebanyakan pada hari Jum’at, tepatnya setelah kaum pria di Mandar menunaikan ibadah shalat Jumat. Bagi kaum nelayan, hari Jumat juga biasanya merupakan hari libur untuk tidak melaut, jadi dapat disimpulkan bahwa jumlah pria yang ada dalam kampung tersebut adalah maksimal di daerah itu dan tentunya menyatu dalam sebuah mesjid, dengan demikian tidak diperlukan pemberitahuan dari rumah-kerumah cukup hanya diadakan pemberitahuan di mesjid baik sesudah maupun selesai melakukan Shalat jum’at, dengan demikian maka mereka yang ikut mengangkat rumah akan mendapatkan pahala dua sekaligus karena setelah selesai melasanakan shalat jum’at lalu dengan ikhlas pula turut membantu dalam memindahkan rumah.

108 H. Ahmad Asdy

Ma’akke boyang yang jaraknya cukup lumayan dengan melewati sebuah jalan

B. Kuliner Ule-Ule Bue dan Lemper Puluhan bahkan ratusan warga akan membantu kegiatan ma’akke’ boyang ini, tanpa kemudian meminta imbalan atau bayaran berupa uang. Hanya saja budaya atau kebiasaan yang telah berlaku di daerah Mandar adalah si empunya rumah yang rumahnya diangkat akan menyediakan jamuan bubur kacang hijau, biasa disebut ule’-ule’ bue satu kuliner khas yang selalu dihubungkan dengan dunia rumah di etnis Mandar. Jika menyinggung soal rumah, mendirikan rumah, dan memindahkan rumah maka ule’-ule’ bue selalu wajib ada.begitu juga dengan kuliner Sokkol (lemper), yang menemani ule-ule bue sebagai pasangan yang serasi dalam bersantap, begitu juga dengan Cendol Katong (cendol yang terbuat dari sagu) atau Cendol la’bu barras (cendol yang terbuat dari

Boyang To Mandar 109 tepung beras) adalah kuliner yang sering ada yang menemani bubur kacang hijau sebagai pelengkap. Tentu saja minuman kopi, teh dan makanan ringan lainnya sering menemani kuliner lainnya yang disajikan. bahkan jika sang pemilik rumah dari orang yang berkemampuan akan menyiapkan pula santapan makan siang.

C. Tradisi ma’ake’ boyang hari ini Lalu bagaimana tradisi ma’ake’ boyang dewasa ini? perlahan seiring dengan masuknya peradaban baru, dan budaya baru di Mandar, dan alasan kemudahan, maka sebagian besar masyarakat Mandar saat ini membangun rumah yang terbuat dari semen dan batu bata yang disebut boyang batu, bukan lagi rumah panggung yang dapat dipindahkan. Alasan lain adalah lebih mudah pembuatannya, serta daya kekuatannya yang tahan lama menjadikannya dasar mengapa rumah jenis ini semakin banyak dan mulai menggeser keberadaan rumah panggung. Dari gambaran tersebut diatas dapat terlihat secara jelas bahwa seiring waktu tradisi ini akan semakin sulit untuk kita temukan lagi di wilayah Mandar. Sejalan dengan makin berkurangnya rumah panggung yang dibangun. Lalu jika kemudian tak ada rumah panggung atau sedikit jenis rumah ini yang dibangun maka akan semakin sedikit pula kemungkinan aktivitas memindahkan rumah

110 H. Ahmad Asdy yang disebut ma’ake’ boyang dilakukan. Karena tidak mungkin juga jika kita memindahkan jenis rumah batu, yang mungkin dipindahkan hanyalah rumah kayu atau rumah panggung. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa dua komunitas yaitu pangumah (petani) dan posasi (nelayan) adalah dua kelompok masyarakat dominan yang masih lebih banyak menggunakan rumah panggung, karena itu tradisi ini kemungkinan besar akan tetap terjaga di dua kelompok masyarakat tersebut.

Rumah panggung yang modifikasi dengan rumah adat jawa dan diperuntukkan kepada transmigrasi yang berasal dari pulau Jawa di wonomulyo pada saat kedatangannya di Mandar sekitar tahun 1908

Boyang To Mandar 111

5

Setiap yang namanya Pappogauang (melangsungkan acara) dahulu di Mandar pada masa kerajaan dipastikan akan membangun sebuah tempat khusus seperti sekarang ini yang populer dengan disebutan Tenda Biru yang terdiri dari Tenda biasa dan Tenda terowongan dengan berbagai petak sesuai dengan kapasitas yang dikehendaki serta ornamen hiasan dari berbagai jenis dan model, dan adapun banguan yang dahulu itu disebut dengan masing-masing yautu: Baruga, Battayang dan Ate’ Laya yang diperuntukkan untuk melaksanakan acara yang sangat sakral di Mandar sesuai dengan strata sosial yang tidak tewrlepas dari segi kemampuan pelakunya yang diantaranya terdiri dari: Mappalikka (perkawinan), Mesunna (mengislamkan), Panggesoang Ringe atau Mattuttu Ringe (meratakan

112 H. Ahmad Asdy gigi), Papparakkang (pengukuhan), Pelattigian (pemberian restu), Peuriang (mengurut orang yang hamil) dan lain-lain sebagainya. dan setiap acara tersebut, disebut dengan DIPA’BARUGANG artinya diacarakan dalam Balairung, sebab tidak semua orang di Mandar dapat melakukan acara yang disebut DIPA’BARUGANG yang pada masa kerajaan di Mandar orang yang DIPA’BARUGANG harus dikehendaki oleh Mara’dia Matoa dan mendapat persetujuan dari salah satu anggota Hadat dengan mendapat restu dari Arayang/Mara’dia, kalau seseorang itu adalah terdiri dari golongan Todziang laiyyana (berdarah biru) dan golongan bangsawan Hadat/Adat yang tidak memangku jabatan, akan tetapi jika yang melaksanakan acara adalah yang memiliki jabatan dalam Struktur kerajaan baik Todziang Laiyyana (berdarah biru) maupun dari golongan Hadat/Adat (bangswan adat) tidak perlu mendapatkan restu dari Mara’dia/Arayang atau persetujuan dari Mara’dia Matoa. Jika Petinggi kerajaan melakukan Pappogauang (acara) seperti Mara’dia/Arayang, Mara’dia Matoa dan Mara’dia Malolo maka pelaksanaan pembanguan Baruga akan di putuskan oleh Mara’dia Matoa dan pembangunannya akan dilaksanakan oleh Lembaga Adat yang dipimpin oleh Ketua Lembaga Adat yang dibantu oleh masing-masing Ana’ Banua-nya serta melibatkan

Boyang To Mandar 113 masyarakat sekitarnya dan dibangun didepan istana atau di Pa’golang (lapangan) jika pekarangan istana tidak memungkinkan, dan jika pappogauang dilaksanakan oleh Lembaga Hadat, maka pelaksanaan pembanguna tetap diputuskan oleh Mara’dia Matoa dan pelaksanaan pembangunannya akan dilaksanakan oleh Appe’ Jannangan dan dibantu oleh semua Ana. Banua serta masyarakat setempat dan pembanguan ini diketuai oleh ketua Appe’ Jannangan dan dibangun didepan rumah masing-masing pelaksana acara. Jika yang melaksanakan Pappogauang adalah Todiang laiyyanya (bangsawan berdarah biru) Taupia (bangsawan Hadat/Adat) maka dalam mendirikan Baruga tidak perlu meminta persetujuan dari Mara’dia Matoa dan pembangunannya atas inisiatif sendiri dengan melibatkan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa ada tiga bentuk bangunan sebagai tempat acara dalam melaksanakan Pappogauang (melangsukan acara) bagi golongan Bangsawan dan Anggota Hadat/Adat di Mandar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya yang masing-masing terdiri dari: 1. Baruga yang artinya Balairung, Baruga adalah bangunan seperti rumah panggung yang tiangnya dari dasar sampai lantai dengan ukuran paling tinggi satu

114 H. Ahmad Asdy

meter yang terdiri dari paling sedikit 7 petak dan paling banyak 9 petak yang semua petak di atapi dan akan ditutupi dengan dinding dari Lapi-lapi (anyaman dari daun kelapa) atau Alisi (anyaman dari batang rumbiah/bambu) atau menggunakan Rinding ayu (dinding papan), jumlah petak dapat juga tergantung berapa lama acara akan berlangsung dan berapa perangkat Adat yang diundang, yang lantainya menggunakan papan atau lattang (belahan bambu) lalu di hamparkan berupa Latte’ (tikar yang terbuat dari anyaman rotan), pada petak satu adalah diperuntukkan untuk para tamu biasa, Pada bagian Posi Arring (Soko Tiang) yaitu petak kedua dikosongkan untuk tempat Pattu’du (penari) melakukan aksinya bila acara telah berlangsung dan pada petak ketiga adalah tempat untuk memasang lamming (pelaminan) yang pada petak ini akan dipagari dengan Balasuyi (ornamen Bambu kuning yang disilang) sedangkan pada petak keempat diperuntukkan pada tamu khusus (petinggi kerajaan) yang biasanya melebar sampai pada petak keenam atau semua petak diatur sesuai dengan kebutuhan dan lamanya acara berlangsung. 2. Battayang adalah bangunan seperti Baruga hanya saja Battayang tidak menggunakan panggung, yang lantainya hanya ditinggikan kira-kira 30 cm yang terdiri

Boyang To Mandar 115

dari paling sedikit 3 petak dan paling banyak 5 petak, semua petak akan ditutupi dengan dinding dari Lapi-lapi (anyaman dari daun kelapa) atau Alisi (anyaman dari batang rumbiah/bambu) atau menggunakan Rinding ayu (dinding papan), yang semuanya di atapi dan jumlah petak tergantung berapa lama acara akan berlangsung dan berapa perangkat Adat yang diundang, yang lantainya menggunakan papan atau lattang (belahan bambu) lalu di hamparkan berupa Latte’, Pada bagian petak pertama diperuntukkan untuk tamu biasa, (umum) dan petak tengah diperuntukkan untuk tempat Pattu’du (penari) melakukan aksinya bila acara telah berlangsung, dan pada petak ketiga akan dipasangkan berupa lamming (pelaminan) yang diperuntukkan untuk misalnya pengantin atau yang diacarakan dan petak ketiga ini dipagari dengan Balasuyi (pagar bambu kuning yang bentuknya disilang dan tingginya paling tinggi satu meter), sedangkan pada petak keempat diperuntukkan pada tamu khusus (petinggi kerajaan) yang biasanya melebar sampai pada petak kelima atau semua petak diatur sesuai dengan kebutuhan dan lamanya acara berlangsung. Banguanan Battayang ini dapoat pula dipergunakan oleh golongan Tau beasa yang Masagena hanya saja

116 H. Ahmad Asdy

tidak tidak harus disertai dengan iringan Pattu’du (penari) 3. Ate’ Laya adalah bangunan yang diatapi dengan kain layar (semacam tenda yang atapnya dari layar), pendirian Ate Laya biasanya dilakukan bila acara yang dilakukan hanya berlangsung satu hari atau sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan bagi yang melaksanakan acara, yang pada bagian yang terlindung dari Ate laya dipagari dengan Lapi-lapi, ruang Ate Laya ini tidak dibatasi dengan petak-petak yang pengaturan posisi dan penggunannya sama dengan di Baruga & Battayang. Khusus banguanan Ate’ laya ini dapoat pula dipergunakan oleh golongan semua golongan dalam masyarakat dengan catatan tidak menggunakan yang disebut Balasuyi serta tidak ada Pattu’du yang mengiringi acara berlangsung. A. Pappakedeang Baruga Pappakedeang Baruga anna Battayang siola Ate’ laya yang artinya mendirikan Baruga dan Battayang serta Ate‘ laya, tidaklah semua atau keiganya tsama proses pendiriannya terutama dalam hal ritual dan adapun proses pendirian Baruga adalah sebagai berikut: Apa bila sesuatu acara telah diputuskan maka didirikanlah Baruga yang pada masa kerajaan akan

Boyang To Mandar 117 dibangun oleh Lembaga Hadat dan di Bantu oleh masing- masing Ana’ Banua, yang diketuai oleh Lembaga ketua Ada’, jika yang melangsungkan acara Pappogauang adalah Mara’dia/Arayang, Mara’dia Matoa dan Mara’dia Malolo, sedangkan apabila yang melangsungkan acara Pappogauang adalah Mara’dianna Syara (penghulu agama) dan Lembaga Hadat maka yang mendirikan Buruga adalah Appe’ Jannangan yang dibantu oleh Ana’ Banua dan diketuai oleh ketua Appe Jannangan. Paling pertama dikerjakan dalam mendirikan Baruga bagi Mara’dia/ Arayang, Mara’dia Matoa dan Mara’dia Malolo adalah Posi Arriang Baruga (soko tiang Baruga) yang ditanam oleh Ketua Lembaga Adat (kalau di kerajaan Balanipa adalah Pappuangan Napo), dan dibantu oleh seorang Ana’ Banua (Kalau dikerajaan Balanipa adalah Pappuangan Jemarang), tempat dimana Posi’ Arriang akan diletakkan terlebih dahulu digali dengan menggunakan Gegeretan Baine (semacam alat yang terbuat dari kayu) dan disisinya terletak masing-masing: 1. Ocowannang tiga warna (dari benang yang tiga warna) masing masing terdiri Tallukkammungan (tiga genggam), 2. Patassei Loka (empat sisr pisang), 3. Sambuah Tallo (sebutir telur)

118 H. Ahmad Asdy

4. Pambe appe’ pole diduallawas (tebu empat yang terdiri dari dua ruas) 5. Anjoro mangura sambuah (kelapa muda satu buah) 6. Pambatu appe’ real (uang sebanyak empat real yang nilainya dahulu adalah Rp.8,-) dan sekarang tentunya akan disesuaikan dengan nilai antara Real dan rupiah Pada sebelah menyebelah Posi’ Arriang terdapat Pitu Lanrang sattatta (tujuh macam kain dengan ukuran masing-masing satu yard), kain digunakan Massippi (mengapit) Posi Arriang tersebut, dan sewaktu Posi Arriang akan di Pake’de (didirikan) maka lanrang tersebut dipegang kedua ujungnya oleh empat orang yang mengelilingi Posi Arriang, terdiri dari anggota keluarga yang melangsungkan acara sedangkan Posi Arriang itu Sendiri akan digantungi dengan bermacam-macam yang diantaranya adalah: 1. Burewe tadzu (mayang pinang) 2. Ribu-ribu, atawang, lambe, barane, banguntuo, (dedaunan berkhasiat) yang semuana dibungkus dengan kain putih 3. Anjoro Tuo (kelapa yang telah bertunas) 4. Loka Sappong ( pisang satu Tandang) Sebelum berdirinya Posi’ Arriang maka dilakukan pembacaan doa oleh oleh Sando Boyang (dukung rumah) lalu setelah menikmati sesajen Ule-ule Bue/ Tarreang

Boyang To Mandar 119

(bubur kacang hijau) dan Sokkol (lemper) maka didirikanlah Posi Arriang tersebut untuk selanjutnya di didirikan Arriang lainnya dan seterusnya sampai Baruga selesai dibangun secara utuh. Sedangkan apabila yang melangsungkan acara Pappogauang adalah Mara’dianna Syara (penghulu agama) dan Lembaga Hadat maka yang mendirikan Posi Arriang Buruga adalah ketua Appe’ Jannangan yang dibantu oleh salah satu Ana’ Banua dan dengan cara seperti tersebut diatas. Jika yang melaksanakan Pappogauang adalah Todiang laiyyanya (bangsawan berdarah biru) Taupia (bangsawan Hadat/Adat) yang tidak memiliki jabatan dalam struktur kerajaan maka yang mendirikan Posi’ Arriang adalah Sando boyang dan didampingi oleh yang melaksanakan acara.

B. Ornamen penghias Baruga Adapun ornamen penghias Baruga adalah sebagai berikut: 1. Pattoeng Paleko (penggantungan selubung) disekeliling Baruga 2. Pemasangan Lamming yang berukuran 2X2 M persegi empat lalu dibungkus Paleko Sa’be (selubung sutra) yang bagian depannya terbuka dan didalamnya pada

120 H. Ahmad Asdy

bagian atas diberi langi’-langi (langi-langit) yang dihiasi dengan emas atau perak yaitu pada pertengahan dihiasi Paleko Bissu (Selubung sutra) berbentuk segi empat yang lebarnya kira-kira 40 samapi 70 cm, ditengahnya digantung berupa Gallang Balle’, Potto dan Tombi diana (perhiasan yang terbuat dari emas/perak), dan boleh serta tidak harus digantungi Sassei Loka Barangan (satu sisir pisang manis) dan semua sudut juga dihiasi emas atau perak sesuai dengan perhiasan apa yang dimiliki oleh yang bersangkutan, atau dapat meminjam kepada keluarga dekat. 3. Diatas Lamming yang dipasangi Kasor (kasur) atau hanya berupa Ambal (permaidani) lalu dialas dengan Tappere diappu (tikar yang pinggirnya dihiasi) lalu dipasang Pa’disang Muane (bantal guling) atau Pa’disang Baine (bantal biasa) yang di Sukki Bulawang (diberi perhiasan emas) pada kedua ujungnya lalu diatasnya diletakkan Kowi Kaiyyang (senjata pusaka) dan ditutupi dengan Ambal keccu, (permaidani kecil) dan diatas ambal keccu dipasangi Dedaunan berkhasiat yang terdiri dari Daung Atawang, daung Lambe, ribu- ribu yang disatukan diikat dengan Bannang puteh untuk selanjutnya ditutupi dengan Pusu’ Daung (setangkai pucuk daun pisang) ornamen ini akan digunakan dalam acara Pelattigian (pemberian restu).

Boyang To Mandar 121

4. Pada Peuluang Lamming (pelaminan bagian kepala) bagian luar ditempatkan Rattiga (pelita dari kuningan yang memakai minyak kelapa sebagai bahan bakarnya yang sumbunya dibuat dari kapas, dan Rattiga ini akan menyala siang malam sampai acara selesai, didekat Rattiga ini dipasang satu Pindang Matoa kaiyyang (piring antik ukuran besar) yang diisi dengan Barras pataccupa (beras yang ukurannya kira-kira 3 1/2 liter beras), dan diatas beras akan ditabur Tallo Manu’ (telur ayam sebanyak Penduangamessa (2x9=18) juga ditempatkan satu Kappar yang berisi masing-masing sassei Lokabarangan, loka manurung, loka Balambang dan loka tira lalu kemudian dipasang satu okang (ambang rotan) yang dialas dengan kappar keccu (baki kecil) untuk ditempati sambuah anjoro ngura (sebuah kelapa muda) yang dikalungi Bannang puteh (benang putih) pada sekelilingnya yang pada bagian atas dilobangi, kalau acara dirangkaikan dengan Panggoccingan belua (pengguntingan rambut) maka anjoro ngura ini digunakan untuk tempat menyimoan potongan rambut yang telah digunting. 5. Setelah Paleko Lamming terpasang semua maka diluarnya pada sekeliling lamming dipasangi Tawe-tawer (semacam hiasan kelambu), dan Tonra jala (semacam manik-manik) dan diatas pe’uluang akan duduk

122 H. Ahmad Asdy

seseorang Joa (hulubalang) untuk menjaga Lamming dari kemungkinan adanya gangguang, dan diatas Lamming akan duduk seorang wanita yang mengenakan bayu pasangan (baju khas orang Mandar) yang akan berfungsi mengantarai kedua pengantin dalam acara Pelattigian, hal ini dimaksudkan agar kedua penganting tidak saling bersentuhan karena belum terjadi akad nikah yang menurut tatanan adat orang Mandar tidak dibolehkan. 6. Pada pelletteang Lamming bagian luar ditempatkan Pasia-sia (pemain kesenian yang menggunakan alat yaitu Jalappa, Bacci dan lae-lae) dengan masing-masing pelaku akan memakai Bayu Pasangan puteh (baju khas orang Mandar warna putih). 7. Pada sudut Lamming bagian Pelletteang akan dipasang yang namya Solung (semacam pelita yang sombunya terbuat dari kemiri yang dililit pada belahan bambu sebanyak tujuh tangkai dan berdiri diatas buah kelapa). 8. Dihadapan Lamming pada samping kasur/ambal akan dipasang Pindang Salatema keccu (piring antik ukuran kecil) atau Pamenangan yaitu berupa kuningan yang isinya adalah Lattigi (daun pacar yang sudah dioles dan dicampur dengan Cilla) bersama Koyokang (cobokang) dan Pallu’lu lima (semacam serbet), hal ini dilakukan

Boyang To Mandar 123

karena biasanya yang bersangkutan dirangkaikan dengan acara Pelattigian (pemberian doa restu). 9. Diluar Lamming akan ditempatkan alat-alat kebesaran kerajaan yaitu Gong dan Ganrang yang akan dibunyikan bila tamu petinggi kerajaan telah tiba dan akan ditalu pada saat Pattu’du beraksi yang bersamaan dengan pelaksanaan akad nikah dan pelattigian (pemberian doa restu) atau pelaksanaan acara yang berlangsung seperti mesunna dan lain-lainnya. Perlu pula dicatat bahwa pendirian Baruga bagi Mara’dia/Arayang, Mara’dia Matoa dan Mara’dia Malolo serta Mara’dianna Syara bersama Lembaga Hadat, dengan ketentuan bahwa siapa yang memasang atap lalu berkewjiban pula untuk membongkar bila acara telah selesai dan jumlah atap yang dipasang dan dibongkar oleh seseorang itu akan menjadi miliknya yang boleh dibawah pulang, begitu juga dengan orang yang senantiasa membangkar dan memadamkan lampu yang terpasang sebagai alat penerangan pada malam hari akan menjadi milik dari yang membakar dan memadamkan (dalam perjalanan selanjutnya sebelum adanya listrik maka orang menggunakan Lampu gas/Strongking) dan juga bagi siapa yang memasang dinding lapi-lapi dan Alisi yang bukan dari papan dan lantai yang terbuat dari Lattang sama pula halnya dengan atap dan lampu penerangan yang bisa

124 H. Ahmad Asdy diambil dan dibawah pulang, kecuali yang berupa balok dan Papan karena biasanya barang tersebut dipinjam buat sementara.

C. Bala Suyi Karena ornamen pada Baruga maupun Battayang serta Ate’ Laya menggunakan Bala suyi yang memagari petak dimana Lamming ditempatkan, maka dirasa perlu kita bahas tentang penggunaan dan makna Balasuyi itu sendiri. Bala Suyi bagi orang Mandar dan Lawa Soji bagi orang Bugis adalah sebutan atau nama dari anyaman bambu khas dari jazirah Sulawesi Bagian Barat dan Sukawesi bagian Selatan, Anyaman bambu yang terdiri dari dua atau tiga bilah yang dianyam secara sejajar dan dibuat dengan berbagai bentuk sesuai dengan peruntukannya, seperti misalnya sebagai wadah hantaran yang disebut Metindor (rombongan iringan calon pengantin pria menuju rumah calon pengantin wanita). yang diisi dengan berbagai macam buah serta beberapa jenis kuliner tradisional Mandar, Bala Suyi juga digunakan dalam acara atau digunakan sebagai pembatas (pagar) antara Mampelai dengan undangan, atau digunakan pada ornamen pintu gerbang dalam ritual adat perkawinan maupun acara ritual lainnya.

Boyang To Mandar 125

Balasuyi juga digunakan oleh beberapa kalangan tertentu sebagai Bulleang (tandu) yang terdiri dari tiga jenis yaitu: Bulleang Tau (tandu tempat jenazah), Bulleang Bunga (tandu tempat kembang) dan Bulleang Koko (tandu tempat air yang disimpang dalam ruas bambu) yang ketiganya diperuntukkan kepada orang yang meninggal untuk diantar kepemakaman yang jumlah dan ornamennya diatur menurur strata sosial dari almarhum/almarhumah, Bala Suyi juga digunakan pada Cakko-cakko (keranda) yang menggunakan khusus satu bilah bambu hanya dari kulit dan dihiasi dengan sulaman Buttang (benang), lalu ada juga yang menggunakan Bala Suyi saat ritual kelahiran seorang bayi, dimana Bala Suyi ditempatkan di Naong boyang (dibawah kolom rumah) yang sejajar dengan tempat sang ibu akan melahirkan. Menurut namanya, yaitu Bala Suyi dalam bahasa lokal Mandar dan Lawa Soji dalam bahas lokal Bugis, yang meski penyebutan yang berbeda namun keduanya memiliki pengertian yang sama yaitu Bala (kandang) dan Lawa (cegah) yang keduanya berarti batas atau pembatas sedangkan Suyi dan Soji yang berarti Suci dan Agung, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa Bala Suyi dan Lawa Suyi adalah sebuah pagar yang dibuat untuk memagari sesuatu yang sifatnya bersih, suci atau agung.

126 H. Ahmad Asdy

Dalam membuat Bala Suyi, bilah-bilah bambu yang telah dipotong-potong kemudian dianyam secara diagonal dengan jarak tertentu hingga terbentuk seperti belah ketupat, sehingga dikatakan bahwa bentuk Bala Suyi tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan Mikrocosmos masyarakat Sulawesi Bagian Barat dan Sulawesi Bagian Selatan tentang Sulapa Appe’ (persegi empat) yang membuat ajaran Sosiokultural dan Spritual. Bala Suyi dari bilah bambu yang tidak terlalu tipis dan juga tidak terlalu kecil yang lebarnya kira-kira paling lebar 1½ senti meter lalu dianyam secara diagonal dengan ukuran jarak tertentu sehingga akan menciptakan lubang simetris diantara anyaman yang berbentuk segi empat model belah ketupat, jumlah bilah bambu pada anyaman Bala Suyi menunjukkan pula strata sosial atau kasta dari yang punya hajatan yaitu: untuk kalangan Bangsawan menggunakan tiga bilah bambu yang dianyam sejajar dengan menempatkan bilah bambu ditengah-tengah yang memiliki kulit lalu diapit dengan bilah bambu yang kulitnya telah dibuang dikedua sisi bilah bambu yang memiliki kulit, sehingga menampakkan warna berbeda yaitu hijau dan Krem jika menggunakan Tarring Mangura (bambu yang masih hijau/muda) sedangkan jika menggunakan Tarring Matoa (bambu yang telah tua) yang berwarna kuning atau krem maka warnanya akan berwarna krem saja atau

Boyang To Mandar 127 kekuning-kuningan dan jika menggunakan Tarring Bulawang (bambu kuning emas) maka warnahnya akan lebih ceriah dan inilah yang kebanyakan digunakan oleh kalangan bangsawan di Mandar. Kenapa dan mengapa dalam pembuatan Bala Suyi menggunakan Tarring (bambu), hal ini disebabkan karena bambu mengandung filosofi tersendiri yang diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Tarring atau Bambu adalah tumbuhan serba guna yang banyak digunakan oleh masyarakat umum, sehingga ini bermakna dengan harapan semoga orang-orang yang mengunakannya bisa menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. 2. Tarring atau Bambu adalah tumbuhan yang berbentuk bulat, yang batang luarnya lebih keras dari pada bagian dalam yang mengandung makna bahwa masing-masing dari keempat sisi harus saling menjaga dan bersatu dalam mufakat pada setiap kegiatan yang akan dilakukan. 3. Batang Tarring atau bambu memiliki sifat liat dan lentur, ini mengandung makna agar yang menggunakan bambu dapat menjadi kuat, ulet dan gigih namun tetap dinamis dalam menghadapi dinamika dan problema hidup. 4. Tunas Tarring atau Bambu muda dapat menjadi bahan makanan yang diolah menjadi sayur, ini bermakna bahwa

128 H. Ahmad Asdy

manusia pada masa kecilnya bisa membawa kebahagian dan keceriahan bagi keluarga dan lingkungannya, namun sekaligus dapat menjadi pelindung kelak setelah dia beranjak dewasa. Menilik makna yang tersirat dalam Bala Suyi yang menggunakan Tarring atau Bambu sehingga filosofi Bala Suyi ini kalau mampu kita terapkan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa moral, etika dan sopan santun manusia zaman sekarang tidak perlu lagi dikhawtirkan menjadi manusia biadab yang miskin akan moral dan etika.

D. Bangunan tambahan Setelah Baruga dan Battayang selesai dibangun maka disamping Baruga atau tidak terlalu jauh dari Baruga dan Battayang akan dibuat sebuah tempat yang dipagari dengan Bambu setinggi setengah meter yang disebut Tanah Bangkala (tempat penyabungan ayam), karena sebelum acara semua selesai maka diadakan Papasilottengan Manu’ (penyabungan ayam) yang akan diikuti oleh para bangsawan dan anggota Hadat/Adat serta tamu yang diundang dari petinggi kerajaan lain, dengan ketentuan bahwa semua ayam yang nantinya kalah dalam penyabungan akan dipotong pada hari penutupan acara dan dagingnya akan dibagikan kepada Pa’banua (rakyat).

Boyang To Mandar 129

E. Ritual Patterangan Sebelum Baruga, Battyang, Ate’ Laya dipergunakan diadakan dulu Pattandaiang Allo (penentuan hari) untuk pemakaiannya, dan setelah penetuan hari sudah ada yang dipilih, maka tiga hari lamanya barulah Baruga dan Battayang dipennaungngi, (dipergunkan awal) sedangkan Ate’ Laya langsung hari itu juga dipennaungi, namun masing-masing bangunan terlebih dahulu diadakan Paccerang (semacam pengresmian) dengan memotong seekor ayam didepan tangga atau pintu Baruga

F. Paccappuranna Pappogauang Adapun berakhirnya acara Papogaung ini adalah setelah diadakan Panggereang Manu’ hasil dari Mappasilotteng (menyabung) maka selesailah semua rangkaian acara lalu Baruga dibongkar atau dirubuhkan setelah genap tiga hari yang ditandai dengan acara syukuran dengan melakukan pembacaan Brasanji, (kisah Perjalanan hidup Nabi Besar Muhammad SAW) yang dalam acara syukuran ini akan disiapkan berbagai kuliner tradisional serta semua jenis pisang yang disebut Barakka dan akan dibagikan kepada semua tamu yang hadir dalam acara syukuran.

130 H. Ahmad Asdy

Proses pembuatan Bala Suyi

Boyang To Mandar 131

6

Dalam Bab ini kita tampilkan Rumah adat yang tersebar diberbagai belahan Nusantara dengan tujuan untuk dapat kita mengenal akan kekakayan keanekaragaman budaya yang tergambar dalam rumah dan juga dimaksudkan untuk dapat menjadi acuan dan perbandingan bagi kita orang Mandar bahwa sudah sampai dimana kejelian orang Mandar dahulu dalam membentuk atau mendirikan rumah sekaligus bertujuan memperkenalkan kepada mereka yang tidak berkesempatan dalam menyaksikan secara langsung. Rumah adat di Nusantara sesunggunya sangat banyak yang tersebar diberbagai wilayah dan daerah di Indonesia, tetapi yang sudah dapat dilihat duplikatnya adalah berjumlah 35 yang duplikatnya serta model

132 H. Ahmad Asdy banguannya di bangun di Taman Mini Indonesia Indah yang masing-masing terdiri dari: 1. Rumah adat Kalimantan Selatan

2. Rumah adat

Boyang To Mandar 133

3. Rumah adat

4. Rumah adat Bangka Belitung

134 H. Ahmad Asdy

5. Rumah adat

6. Rumah adat

Boyang To Mandar 135

7. Rumah adat Jakareta (Batavia)

8. Rumah adat

136 H. Ahmad Asdy

9. Rumah adat

10. Rumah adat Jawa Barat

Boyang To Mandar 137

11. Rumah adat Jawa Tengah

12. Rumah adat Jawa tengah (Jokyakarta)

138 H. Ahmad Asdy

13. Rumah adat Jawa Timur

14. Rumah adat Kalimantan Barat

Boyang To Mandar 139

15. Rumah adat Kalimantan Tengah

16. Rumah adat Kalimantan Timur

140 H. Ahmad Asdy

17. Rumah adat Kalimantan Utara

18. Rumah adat Kepulauan

Boyang To Mandar 141

19. Rumah adat

20. Rumah adat Utara

142 H. Ahmad Asdy

21. Rumah adat Maluku Gapura

22. Rumah adat Nusa tenggara Barat

Boyang To Mandar 143

23. Rumah adat Nusa Tenggara Timur

24. Rumah adat Papua Barat

144 H. Ahmad Asdy

25. Rumah adat Papua Irian

26. Rumah adat Riau

Boyang To Mandar 145

27. Rumah adat Sulawesi Barat (Mandar)

28. Rumah adat Sulawesi Selatan (Toraja)

146 H. Ahmad Asdy

29. Rumah adat Sulawesi Tengah

30. Rumah adat Sulawesi Tenggara

Boyang To Mandar 147

31. Rumah adat Suawesi Utara

32. Rumah adat Sumatera Barat

148 H. Ahmad Asdy

33. Rumah adat Kalimantan Selatan

34. Rumah adat Sumatera Utarau

Boyang To Mandar 149

35. Rumah adat Teluk Cenrawasih

150 H. Ahmad Asdy

Daftar Pustaka

1. Asdy Ahmad Haji …………...... Mandar dalam kenangan tentang Arajang Balanipa tahun 2000. 2. Kanwil Depdigbud Ujung Pandang 1985 ...... peristiwa tahun-tahun bersejarah di Sulawesi Selatan. 3. Asdy Ahmad Haji…………………… Mengenang serikandi dari jasirah Tipalayo tomuanenan Mandar. 4. Foto rumah adat Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah. 5. Sewang Anwar Haji ...... Sosialisasi siri’ di Mandar. 6. Hasil kajian dan penuturan……...... beberapa pelaku dan pewaris pattodzioloang tahun 1960-1972. 7. Hasil wawancara dengan beberapa tukang di Mandar. 8. Asdy Ahmad Haji ...... Jelajah Budaya Mandar tahun 2004. 9. Asdy Ahmad Haji ...... Balanipa Mandar Kemarin hari ini dan esok.

Boyang To Mandar 151