IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini mengangkat topik mengenai ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM . Pada penelitian ini, peneliti akan berfokus pada bagaimana ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya. Selain itu, peneliti juga akan membahas tentang bagaimana pelanggaran regulasi penyiaran terjadi pada radio jaringan, apakah pelanggaran itu termasuk dalam praktik ekonomi politik media, serta bagaimana peran regulator penyiaran dalam menyikapi pelanggaran tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan ekonomi politik media sebagai pisau analisis untuk menjelaskan bagaimana ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya. Melalui sudut pandang ekonomi politik media, peneliti dapat menemukan dan menjelaskan bagaimana ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya sebagai upaya untuk bertahan (survive) dalam industri media saat ini. Topik penelitian mengenai ekonomi politik media dalam radio jaringan ini menjadi menarik untuk dibahas, karena belum mendapat porsi yang memadai dalam penelitian komunikasi. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk meneliti radio Prambors dan GEN FM Surabaya adalah karena kedua radio tersebut merupakan radio jaringan besar yang mengekspansi jangkauan siarannya ke berbagai daerah, salah satunya adalah Surabaya. Penelitian ini masih tergolong jarang, karena penelitian-penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini hanya membahas tentang 1 (satu) radio saja dan bukan merupakan radio yang beroperasi di Surabaya (Bonaventura dan Listiorini, 2012). Penelitian terdahulu juga mayoritas membahas tentang media cetak maupun televisi. Selain itu, penelitian terdahulu juga biasanya hanya berfokus pada salah satu aspek dalam ekonomi politik Vincent Mosco, seperti Komodifikasi (Perdana, 2017), Spasialisasi (Simamora, 2016), maupun Strukturasi (Ashaf, 2006). 1

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Ekonomi politik sendiri sebenarnya sudah berkembang sejak abad 18 yang berakar dari perspektif teori marxisme, sehingga studi ini dikatakan sebagai respons terhadap akselerasi kapitalisme (Sudibyo, 2004). Pada dasarnya, Karl Marx dan Friedrich Engels mengatakan bahwa “history is struggle for social class” yang berarti sejarah yang ada di masyarakat itu sebenarnya perjuangan antar kelas sosial. Marx juga mengatakan bahwa penguasaan atas modal-modal produksi (sumber daya, teknologi) dan relasi dalam produksi tersebut (antara pekerja & pemilik modal) mempengaruhi bagaimana struktur sosial di masyarakat. Struktur sosial yang dimaksud bisa saja berhubungan dengan situasi politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Akan tetapi, di abad 21 ini hasil produksi dari para kapitalis lebih berfokus pada information-based service economy (Ika, 2020). Menurut Yi-Cheng Zang (2017), era information-economy adalah era dimana produktivitas dan daya saing dalam lingkup ekonomi bergantung pada kapasitas mereka untuk menghasilkan, memproses, dan menerapkan informasi berbasis pengetahuan secara efisien. Dalam hal ini, yang membuat informasi menjadi berlimpah dalam konteks perekonomian adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang meluas. Era information-economy ini memiliki 3 karakteristik utama, yaitu pertama, information-economy bersifat global dan didorong oleh percepatan globalisasi. Kedua, information-economy bersifat lebih produktif dan fleksibel. Ketiga, information-economy mampu mengubah cara memperoleh keuntungan dalam suatu bisnis industri. Dalam era information-economy ini, pengaruh IT yang meluas terhadap aktivitas ekonomi didominasi oleh pekerja informasi dan produk informasi. Robert Reich (2020) mengamati bahwa saat ini keuntungan perekonomian datang dari kecepatan inovasi dan kemampuan suatu perusahaan untuk menarik dan mempertahankan pelanggan. Jika sebelumnya perusahaan-perusahaan besar selalu menduduki posisi teratas, kini justru perusahaan-perusahaan kecil yang lebih fleksibel dan selalu melakukan inovasi justru dapat merebut posisi tersebut. Akan tetapi, kemenangan itu bersifat sementara, dan perlombaan tersebut tidak pernah berakhir. 2

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Mereka yang saat ini berada di posisi unggul harus selalu berinovasi agar tidak tertinggal. Ekonomi politik menjelaskan bahwa sebenarnya segala aspek di kehidupan manusia selalu dilatarbelakangi dengan motif politik dan ekonomi, dimana setiap tindakan yang kita ambil selalu berlandaskan pada asas keuntungan dan kemakmuran. Dalam konteks media, ekonomi politik lebih memberi perhatian pada bagaimana mendeskripsikan dan menganalisis kapitalisme, sebuah sistem yang mengubah sumber daya seperti pekerja, bahan mentah, lahan, dan informasi menjadi komoditas yang dapat dipasarkan dan memberikan keuntungan bagi para pemilik modal dalam sistem tersebut (Mosco, 2009: 119). Oleh karena itu, ekonomi politik media menunjukkan adanya relasi yang saling bersinggungan, antara kekuasaan (power), keuangan (finance), sumber daya (resources), serta konten yang diproduksi (output) untuk mempengaruhi dan menciptakan sistem media. Seiring dengan perkembangan zaman, kapitalisme juga telah mengalami pergeseran dari old media menuju new media. Para politik ekonom melihat bagaimana new media memperdalam dan memperluas sistem pasar kapitalis, dimana media dan khalayak menjadi komoditas utama yang layak untuk dijual (Mosco, 2009). Pada akhirnya, new media memunculkan tren baru yang dinamakan “kapitalisme digital”. Kehadiran kapitalisme digital ini juga menciptakan masalah baru, dimana sistem media menjadi lebih rumit dan kompleks daripada sebelumnya. Hal ini terlihat dari bagaimana pola relasi kekuasaan pada industri media di seluruh dunia mengalami perubahan, sehingga memunculkan berbagai fenomena kepemilikan media, seperti konglomerasi, dominasi, konsentrasi atau integrasi, dan lain sebagainya. Mengacu pada sejarah kepemilikan media di Amerika, sebelumnya industri media secara global didominasi oleh keberadaan “the big six” (WebFx, 2017). Adapun 6 perusahaan raksasa yang merupakan “pemain lama” tersebut yaitu Viacom, Disney, Time Warner, Comcast, News Corp, dan Sony. Akan tetapi, seiring dengan semakin besarnya pangsa pasar digital, saat ini situasi tersebut telah mengalami pergeseran, sehingga hanya dikuasai oleh “the big four” atau 4 pemain utama, yaitu Apple, Google, 3

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Amazon dan Facebook (Galloway, 2017). Hal ini sama halnya dengan yang terjadi pada industri media di . Menurut Tapsell (2018), Indonesia sendiri memiliki 8 (delapan) konglomerat digital yang hingga kini masih aktif, antara lain CT Corp milik Chairul Tanjung, Global Mediacom milik Hary Tanoesoedibjo, EMTEK milik Eddy Sariaatmadja, Visi Media Asia milik Bakrie Group, Media Group milik Surya Paloh, Lippo Group milik James Riady, Jawa Pos milik Dahlan Iskan, serta Kompas Gramedia milik Jakob Oetama. Penelitian yang dilakukan oleh Merlyna Lim dan Ignatius Haryanto dalam Adam (2018,) menunjukkan bagaimana para bos media tersebut tidak hanya memiliki pengaruh pada lanskap media, tetapi juga keterlibatannya pada panggung politik dan ekonomi Indonesia. Pada akhirnya, situasi dan kondisi seperti ini memungkinkan perusahaan media besar menjadi semakin subur dan makmur, sementara perusahaan kecil hanya memiliki 2 (dua) pilihan, yaitu berjuang mati-matian untuk bertahan secara independen atau merelakan dirinya ‘dicaplok’ oleh perusahaan-perusahaan besar. Tanpa kita sadari, industri radio saat ini telah kembali menunjukkan eksistensinya. Bahkan, menurut Cridlan (2018) industri radio di negara-negara Barat telah berkembang pesat melangkahi kita. Sebagai contoh, Norwegia telah mencabut izin siaran seluruh stasiun nasional, sehingga negaranya dapat lebih berfokus pada pengembangan stasiun-stasiun lokal yang lebih berpotensi. Kemudian, UK telah memiliki stasiun radio komunitas yang segmentasinya adalah para pedagang & pekerja konstruksi bangunan. Australia juga memiliki stasiun radio khusus balita yang berusia hitungan bulan sampai dengan anak-anak berusia 7 tahun. Di Austria pun muncul stasiun radio yang telah menerapkan cara baru, yaitu audiensnya dapat memilih lagu- lagu maupun program-program apa saja yang ingin didengarkan secara langsung, tanpa harus mendengarkan siaran dari awal sampai akhir. Cilla Benkö dalam wawancaranya dengan Radiodays Europe (2020) mengatakan:

4

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Radio have a great future in front of us, but it doesn’t mean that we can just sit there and be relax and think everything we do is great. We still have to reinvent ourself and find very new format, both for a linear radio but also for digital & social media. And we have to come much closer to our audience, really understand what they need & how to we serve the best - the right content the right time at the right platform for the right people.

Bahkan, menurut Cilla Benkö (2020) di Swedia dan Britain saat ini sedang terjadi “audio boom”, dimana teknologi-teknologi dengan format audio mulai menunjukkan eksistensinya kembali setelah sekian lama redup akibat kemunculan tren digital. Seluruh masyarakat Swedia saat ini tengah membicarakan jaringan radio lokal, smart speakers, voice control, dan podcast, karena mereka telah menyadari the real benefit of audio in “the world of video”. Selain itu, menurut Cilla Benkö (2020), Swedia juga sedang mengalami “a boom of audiobooks”, dimana banyak pembaca yang meminta kepada para penulis untuk tidak hanya menulis buku secara konvensional, melainkan juga mengkonversikannya menjadi audiobooks. Di tahun 2018 lalu, BBC juga diketahui telah mengekspansi marketnya dengan menciptakan BBC Sounds melalui platform digital. BBC Sounds merupakan media streaming dan layanan pengunduhan audio yang mencakup live broadcast, radio on- demand, dan podcast. Bob Shennan dalam Radiodays Europe (2020) mengatakan bahwa meskipun akan banyak perubahan yang terjadi pada industri radio, namun hal tersebut tidak akan membuat radio kehilangan identitas aslinya sebagai radio pada umumnya. Dalam hal ini, peran dan fungsi BBC Sounds tetap sebagai radio, hanya saja ia menambahkan berbagai macam fitur menarik sesuai dengan preferensi pendengar ke dalam bentuk digital, seperti halnya online music streaming. Industri penyiaran radio di Indonesia kerap kali dihadapkan dengan tantangan dan persoalan kompleks, salah satunya yaitu masalah ekonomi. Menurut Erick Thohir dalam Prambadi (2010), jumlah pendengar radio berdampak pada perebutan pasar pendengar yang bersinggungan pula dengan masifnya perkembangan platform digital. Masalah ini juga turut menghadirkan efek domino terhadap persepsi pelaku bisnis

5

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

periklanan, yang tidak lagi memandang radio sebagai marketing tools yang sangat kuat. Dalam hal ini, para praktisi radio harus mencari cara untuk dapat membuktikan bahwa radio masih memiliki tempat di hati pendengar dan pengiklan. Oleh karena itu, menurut Mufid (2005), media-media lokal harus ikut serta dalam memperebutkan kue iklan daerah yang nantinya akan digunakan sebagai penopang operasional serta “bekal” untuk survive. Menurut Nielsen (2020), memasuki kuartal ke-3 di tahun ini pertumbuhan belanja iklan memperlihatkan tren positif. Sebelumnya, belanja iklan pada kuartal pertama dan kedua memang sempat tertekan akibat pandemi Covid-19, namun di bulan Juli 2020 ini para pemilik brand tampaknya lebih percaya diri untuk kembali beriklan. Berdasarkan survey Nielsen Advertising Intelligence (Ad Intel) yang dirilis oleh Nielsen Media Indonesia, titik baliknya terjadi pada bulan Juli 2020 yang mengalami kenaikan sebesar 17%, yaitu mencapai Rp 122 Triliun. Dalam hal ini, belanja iklan TV masih mendominasi 72% dengan angka lebih dari Rp 88 Triliun, disusul dengan belanja iklan digital sebesar 20% dengan angka Rp24,2 Triliun. Sementara itu, belanja media cetak mencapai lebih dari Rp 9,6 triliun dan total belanja iklan radio mencapai Rp 604 miliar. Untuk menyiasati belanja iklan radio yang “kembang kempis” seperti itu, industri radio kini berbondong-bondong untuk menerapkan digitalisasi pada proses produksinya. Dalam hal ini, digitalisasi menjadi isu penting dalam industri media, mengingat mereka harus bersaing dengan online streaming. Perusahaan-perusahaan media tersebut kemudian berbondong-bondong mengkonvergensikan outputnya ke dalam bentuk digital. Digitalisasi juga menyajikan segudang kemudahan bagi para pendengar dan pengiklannya, terutama bagi mereka yang mayoritas merupakan generasi tech-savvy. Digitalisasi tidak hanya berkaitan dengan penggunaan dan pemeliharaan teknologi digital di perusahaan tersebut, melainkan juga biasanya melibatkan standarisasi dan optimalisasi. Menurut Mufid (2005), sistem penyiaran dalam radio tidak bisa disamakan dengan televisi. Secara teknis, radio tidak dapat melakukan siaran nasional, melainkan 6

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

harus dengan menggunakan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Hal itu disebabkan oleh siaran radio yang lebih menyatu dengan kebiasaan (habit) dan budaya (culture) di daerah agar dapat menciptakan keakraban dengan pendengar. Radio jaringan seharusnya lebih menonjolkan kelokalan (local-ness), karena konten-konten maupun materi siaran harus disesuaikan dengan daerah tersebut. Selain itu, radio jaringan juga seharusnya lebih bersifat multikultural, karena ide-ide pemikiran, dan penyampaian bahasa pada saat siaran harus disesuaikan dengan latar belakang masing-masing daerah dan menggunakan perspektif lokal. Sebagai contoh, masyarakat Surabaya yang terbiasa berbicara dengan bahasa Suroboyoan tidak akan cocok dengan karakter penyiar yang dibawakan dengan bahasa Betawi. Sistem Stasiun Jaringan merupakan tata kerja yang mengatur siaran relay secara tetap antar lembaga penyiaran (Kominfo, 2009). Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) juga telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), yaitu dalam P3 Bab 25 tentang “Siaran Lokal dalam Sistem Stasiun Jaringan” dan dalam SPS Bab 25 mengenai “Program Lokal dalam Sistem Stasiun Jaringan” pasal 46. Menurut KPI (n.d.) disebutkan bahwa terdapat 2 (dua) tujuan utama dalam diberlakukannya Sistem Stasiun Jaringan (SSJ), yaitu pertama, untuk mendorong pemerataan ekonomi secara adil antara pengusaha media di pusat dan daerah, dan yang kedua, adalah untuk mendorong kebudayaan lokal dan kearifan lokal. Peraturan mengenai Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) tersebut diharapkan mampu memberikan solusi untuk menciptakan tatanan industri penyiaran di Indonesia yang “sehat” dan positif, karena dasar dari Sistem Stasiun Jaringan tersebut adalah terpenuhinya prinsip Diversity of Ownership dan Diversity of Content. Prinsip Diversity of Ownership sebenarnya bertujuan untuk mengawasi industri penyiaran di Indonesia agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan modal (kapitalisasi), serta mencegah terjadinya monopoli dan oligopoli yang merupakan persoalan klasik perekonomian yang disepakati sebagai penyebab kerugian masyarakat. Selain itu, Diversity of Ownership juga bertujuan untuk menciptakan persaingan yang sehat dalam industri penyiaran dan mendorong adanya pelibatan modal dari masyarakat luas di 7

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Indonesia. Sementara itu, Diversity of Content bertujuan untuk menjaga keberagaman isi siaran bagi publik, baik berdasarkan jenis program maupun isi program, sehingga diharapkan media-media di daerah dapat lebih menonjolkan kelokalannya (local-ness) dengan cara memproduksi dan menyiarkan lebih banyak konten-konten bermuatan lokal. Namun, pada praktiknya industri media saat ini banyak yang mengabaikan prinsip Diversity of Ownership dan Diversity of Content tersebut. Mereka cenderung acuh tak acuh dan lebih berfokus pada bagaimana menghasilkan profit semaksimal mungkin. Menurut Harliantara (2013), konsep radio jaringan di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh (RRI) pada tahun 1945. Pada saat itu, RRI pertama kalinya melakukan siaran relay ke 8 (delapan) stasiun yang tersebar di pulau Jawa, karena masyarakat Indonesia masih kurang mendapat informasi mengenai Indonesia merdeka. Selanjutnya, konsep radio jaringan diadaptasi oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada zaman Orde Baru. Pada saat itu, TVRI juga telah memiliki saluran televisi berskala nasional berskala daerah (lokal). Menurut Saragih (2015), RRI dan TVRI saat ini telah melakukan merger (penggabungan) menjadi RTRI (Radio dan Televisi Republik Indonesia) dan kemudian bertransformasi menjadi media komersial, dengan harapan keduanya dapat meningkatkan penyiaran komersial dengan pesat. Hal tersebut yang kemudian menjadi latar belakang munculnya begitu banyak inisiatif dari para pemilik media penyiaran untuk mendirikan jaringannya ke daerah- daerah (lokal), baik yang bercorak komunitas, publik, maupun komersial (Sudibyo, 2004). Mereka meniru gaya RRI dan TVRI dalam me-relay program-program siarannya ke daerah-daerah yang dianggap potensial secara ekonomi, tetapi banyak yang cenderung tidak peduli dengan prinsip Diversity of Ownership dan Diversity of Content. Pada akhirnya, perseteruan antara nasional dan lokal justru semakin menunjukkan bahwa sesungguhnya keduanya memiliki kepentingan yang sama, yaitu sebagai entitas bisnis. Yang membedakan keduanya hanyalah jangkauan siaran, segmentasi, dan besarnya investasi (Sudibyo, 2004). 8

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Jika melihat mundur pada sejarah industri radio di Indonesia, radio tidak pernah lepas dari campur tangan kepentingan. Sejak zaman penjajahan Belanda, radio siaran swasta yang dikelola warga asing bahkan menyiarkan program untuk kepentingan dagang, sedangkan radio siaran swasta yang dikelola pribumi menyiarkan program untuk memajukan kesenian, kebudayaan, disamping kepentingan pergerakan semangat kebangsaan (Ahmad, 2015). Dalam hal ini, terbukti bahwa ekonomi politik media sudah terjadi di Indonesia sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu dengan cara mendayagunakan sumber daya-sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu (Ali, 2018). Menurut World Radio Map (2020), di Surabaya sendiri saat ini terdapat 46 stasiun radio dengan frekuensi FM yang masih beroperasi. Tujuh diantaranya merupakan radio jaringan yang mengekspansi jangkauannya hingga ke Surabaya. Adapun radio jaringan tersebut, antara lain Prambors, GEN FM, Hardrock FM, Global Radio, Elshinta, Delta FM, dan RRI. Dalam hal ini, Prambors dan GEN FM Surabaya harus merupakan kompetitor dalam industri radio di Surabaya, karena keduanya merupakan radio jaringan yang sama-sama memiliki format musik dan segmentasi anak muda. Oleh karena itu, Prambors dan GEN FM Surabaya bersaing satu sama lain untuk dapat memperebutkan pendengar dan pengiklan di daerah. Berdasarkan kepemilikannya, Prambors merupakan radio jaringan yang berada dibawah naungan Masima Radio Network (MRN) atau PT. Jaringan Delta Female Indonesia (JDFI). Prambors mulai mengekspansi jaringannya dengan mendirikan 7 (tujuh) unit lokal lainnya, yang tersebar di , Makassar, , , Solo, Surabaya, Yogyakarta, dan Manado. Prambors juga berada dalam ‘satu atap’ bersama 3 radio lainnya, yaitu Delta FM, FeMale Radio, dan Bahana FM. Prambors Surabaya sendiri didirikan pada tahun 2006 yang merupakan hasil akuisisi dengan pemilik frekuensi sebelumnya, yaitu PT. Radio Surabaya Pesona Femina. Prambors memiliki format siaran CHR (Contemporary Hits Radio), atau yang sekarang dikenal dengan istilah Top 40. Format tersebut merupakan format yang paling banyak digunakan oleh berbagai stasiun radio di seluruh dunia. Sesuai dengan format 9

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

dan image yang dibangun, Prambors dijuluki sebagai radio yang ‘Amerika-sentris’ karena 80% lagu-lagu yang diputar adalah lagu-lagu pop hits Barat, sementara 20%- nya Prambors baru memutarkan lagu-lagu hits karya musisi Indonesia. Sisi ‘Amerika- sentris’ tersebut juga terlihat dari bagaimana konten-konten siarannya yang mayoritas adalah pemberitaan mengenai artis, musisi, hingga public figure internasional. Prambors juga memiliki segmentasi antara usia 15-29 tahun, sementara core listeners Prambors lebih menyasar pada berusia 18 - 27 tahun. Secara kepemilikan, GEN FM merupakan salah satu anak perusahaan di bawah naungan Mahaka Radio Integra (MARI). GEN FM didirikan pada tahun 2007, kemudian disusurl oleh GEN FM Surabaya yang berdiri pada tahun 2010. Dari keseluruhan stasiun radio milik MARI, hanya GEN FM Surabaya yang terpisah terpisah jauh dari “markas besar”. Meskipun demikian, GEN FM Surabaya dapat membuktikan bahwa dirinya mampu berdiri secara independen tanpa bergantung pada GEN FM Jakarta maupun unit-unit lainnya. Dalam hal ini, secara template memang GEN FM Surabaya sama dengan GEN FM Jakarta, namun keduanya memiliki eksekusi yang berbeda dan memiliki otoritas masing-masing dalam menghasilkan outputnya. GEN FM Surabaya memiliki format CHR/Hot AC. CHR adalah singkatan dari Contemporary Hits Radio, atau yang sekarang disebut dengan Top 40, sedangkan Hot AC adalah singkatan dari Hot Adult Current. Dengan memformulasikan 2 (dua) format seperti itu, GEN FM Surabaya dapat menjangkau audiensnya lebih luas dengan menyasar seluruh kalangan, mulai dari upper, middle, hingga lower class. Sementara itu, segmentasi GEN FM Surabaya terdiri dari core listeners pada usia 20 - 34 tahun serta expansion listeners berusia 15 - 49 tahun yang mayoritas adalah mahasiswa, pekerja kantoran, pekerja lapangan, hingga ibu rumah tangga dengan SES yang berada dalam class B, C, dan D. Dengan segmentasi yang lebih menyasar pada lower middle class tersebut, GEN FM Surabaya dikategorikan sebagai radio yang sifatnya pop- melayu yang cenderung mendengarkan lagu-lagu dangdut. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif dan metode studi kasus, agar peneliti dapat menjelaskan situasi/kondisi yang 10

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

berkaitan dengan penelitian ini secara mendalam dan terperinci dengan alur yang runtut. Peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data in-depth interview dengan 5 narasumber yang merupakan pihak internal Prambors dan GEN FM Surabaya, sehingga peneliti dapat menghasilkan data-data dan informasi yang lebih mendalam mengenai ekonomi politik media pada praktik siaran kedua radio jaringan tersebut. Peneliti juga melakukan in-depth interview dengan salah satu perwakilan dari KPID Jawa Timur untuk mendapatkan pandangan lain dari sisi regulasi penyiaran. Disamping melakukan in-depth interview, peneliti juga mengamati dan mengobservasi bagaimana keseharian Prambors dan GEN FM Surabaya dalam bersiaran. Setelah seluruh informasi dan data terkumpul, peneliti menuangkan ide-ide peneliti ke dalam bentuk analisis, kemudian menarik garis kesimpulan untuk dapat menjawab rumusan masalah penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM di Surabaya?

1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari adanya penelitian ini adalah mengacu pada rumusan masalah, yaitu sebagai berikut: 1. untuk mengetahui bagaimana ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya

1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai penunjang penelitian mengenai ekonomi politik media pada radio jaringan, mengingat penelitian ini merupakan penelitian yang cukup baru dan belum mendapat porsi yang 11

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

memadai dalam penelitian komunikasi. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperluas kajian mengenai ekonomi politik media pada radio jaringan di Surabaya.

1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Industri Radio di Era Digital Tanpa kita sadari, industri radio saat ini telah kembali menunjukkan eksistensinya. Menurut Harliantara (2013), industri radio sempat diprediksi akan “mati” setelah kehadiran industri pertelevisian, namun kenyataannya tidak. Meskipun sempat mengalami pasang surut, hingga saat ini radio tetap dapat bertahan dan menunjukkan eksistensinya. Hal tersebut yang kemudian mendorong industri radio untuk melakukan kreatifitas dan inovasi tiada henti.

Radio was expected to die as an advertising medium when television entered the scene. It did not. Radio revenues did dip drastically, but broadcasters examined the medium for its strength, fed and exercised them, and came up with new programming and commercial health. Today, radio is a potent selling tool for good reason (C. Book, dkk dalam Harliantara, 2013)

Menurut Oxford Business Review (2012), beberapa pengamat media meramalkan kebangkitan radio disebabkan karena faktor kemacetan lalu lintas yang kian menjadi masalah di kota-kota besar, serta dibarengi dengan adanya tren “radio digital” (Tapsell, 2019: 80). Hal ini berarti selama di luar sana masih banyak orang yang beraktivitas dan bepergian menggunakan kendaraan roda empat, maka radio tidak perlu khawatir akan terancam “punah”. Cilla Benkö dalam Radiodays Europe (2020) mengatakan bahwa sebenarnya radio memiliki masa depan yang cerah, dalam arti diluar sana masih banyak orang yang masih membutuhkan “suara”, daripada gambar ataupun video.

12

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Pada masa jayanya, radio memang merupakan media yang dominan dan memiliki otoritas dalam pemutaran musik. Namun, saat ini radio lebih berfungsi sebagai sumber berita, informasi, dan hiburan berbasis audio. Menurut Ahmad (2015), radio bersifat right here right now karena radio tidak mengenal batas dan waktu. Radio bisa didengar dimana saja dan kapan saja tanpa batasan ruang dan waktu. C. Book dkk dalam Harley (2013) mengemukakan setidaknya terdapat 5 (lima) keunggulan dari radio sebagai industri penyiaran, yaitu sebagai berikut. a) Radio is ubiquitous (Radio ada dimana-mana) b) Radio is selective (Radio selektif terhadap konten yang akan disiarkan) c) Radio is economical (Radio bersifat ekonomis atau hemat) d) Radio is fast (Radio adalah media yang cepat dalam penyampaian berita, bahkan lebih cepat daripada televisi dan media cetak) e) Radio is participator (Radio adalah media yang berperan serta)

1.5.2. Radio Jaringan Head dan Sterling (1987) dalam Morissan (2008) mendefinisikan stasiun jaringan sebagai “two or more stations interconnected by some means of relay (wire, cable, terrestrial, satellite) so as to enable simultaneous broadcasting of the same program” yang memiliki arti bahwa stasiun jaringan terdiri dari sejumlah stasiun penyiaran yang saling berhubungan melalui sistem relay agar dapat menyiarkan programnya secara serentak ke berbagai wilayah.

Sistem penyiaran lokal berjaringan yang diperkuat oleh insan-insan penyiaran yang mempunyai etika dan keahlian yang tinggi, secara ekonomis lebih efisien karena tidak tergantung pusat, secara politik lebih demokratis karena sumber dan narasumber berita terdesentralisasi, dan dari sisi budaya lebih multikultural karena diskursus berita diproduksi oleh perspektif tiap radio lokal (Sudibyo, 2004).

13

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Menurut Harliantara (2013), konsep radio jaringan di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) pada tahun 1945. Pada saat itu, RRI pertama kalinya melakukan siaran relay ke 8 (delapan) stasiun yang tersebar di pulau Jawa, karena masyarakat Indonesia masih kurang mendapat informasi mengenai Indonesia merdeka. Selanjutnya, konsep radio jaringan diadaptasi oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada zaman Orde Baru. TVRI kini telah memiliki 3 saluran televisi berskala nasional dan 29 stasiun televisi berskala daerah (lokal). Di Surabaya sendiri saat ini terdapat 46 stasiun radio dengan frekuensi FM yang masih beroperasi. Tujuh diantaranya merupakan radio jaringan yang mengekspansi jangkauannya hingga ke Surabaya. Adapun radio jaringan tersebut, antara lain Prambors, GEN FM, Hardrock FM, Global Radio, Elshinta, Sonora, Delta FM, dan RRI. Menurut Morissan (2008), pada awalnya industri radio tidak terlalu mempersoalkan biaya produksi programnya. Akan tetapi, lama-kelamaan para pemilik media merasa bahwa anggaran untuk produksi program menjadi beban yang semakin berat. Terlebih lagi, porsi belanja iklan radio yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut yang kemudian mencetuskan gagasan untuk membangun industri radio dengan sistem jaringan di Indonesia. Mufid (2005) juga mengatakan bahwa sistem penyiaran dalam radio tidak bisa disamakan dengan televisi. Secara teknis, radio tidak dapat melakukan siaran nasional, melainkan harus dengan menggunakan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Hal tersebut yang kemudian menjadi latar belakang munculnya begitu banyak inisiatif dari para pemilik media penyiaran untuk mendirikan jaringannya ke daerah-daerah (lokal), baik yang bercorak komunitas, publik, maupun komersial (Sudibyo, 2004). Mereka meniru gaya TVRI dan RRI dalam me-relay program-program siarannya ke daerah-daerah yang dianggap potensial secara ekonomi, tetapi banyak yang cenderung tidak peduli dengan 14

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

prinsip Diversity of Ownership dan Diversity of Content. Pada akhirnya, perseteruan antara nasional dan lokal justru semakin menunjukkan bahwa sesungguhnya keduanya memiliki kepentingan yang sama, yaitu sebagai entitas bisnis. Yang membedakan keduanya hanyalah jangkauan siaran, segmentasi, dan besarnya investasi (Sudibyo, 2004).

1.5.3. Regulasi dan Regulator Penyiaran Undang-undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 merupakan ‘kiblat’ atau acuan dasar bagi industri penyiaran di Indonesia. Kemunculan UU tersebut awalnya dilatarbelakangi oleh semangat untuk mewujudkan penyiaran yang demokratis bagi industri penyiaran di Indonesia. Meskipun demikian, ternyata hingga saat ini UU No. 32 Tahun 2002 masih dinilai lemah dalam mengakomodir persoalan-persoalan yang terjadi (Prilani, n.d). Adapun contoh- contoh persoalan seputar penyiaran Indonesia, antara lain menyangkut jual-beli frekuensi, konsentrasi kepemilikan, ketidakadilan alokasi radio komunitas, pelanggaran durasi siaran relay, dan lain sebagainya. Jika mengacu pada industri penyiaran di negara-negara demokrasi, seperti Amerika, Australia, Canada, maupun Inggris, regulator utama penyiaran seharusnya adalah lembaga negara yang terbebas dari campur tangan pemerintah dan kaum kapitalis. Lembaga regulator di Indonesia juga seharusnya memiliki otoritas yang luas dalam mengatur penyelenggaraan penyiaran. Namun, pada kenyataannya peran Kemenkominfo di Indonesia lebih dominan dalam mengurusi perizinan, sementara KPI dan KPID hanya bertugas mengawasi isi/konten siaran. Hal inilah yang membuat KPI dan KPID tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, karena yang seharusnya menjadi kewenangan mereka justru diambil alih pemerintah. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002, terdapat dua regulator utama dalam penyiaran Indonesia, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) selaku pemerintah serta Komisi Penyiaran Indonesia 15

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(KPI). KPI kemudian dipecah lagi menjadi KPID-KPID yang bertugas untuk mengawasi jalannya lembaga penyiaran lokal di setiap daerah. Dalam hal ini, hubungan antara KPI dengan Kominfo adalah mitra dan koordinasi. Hubungan tersebut sama halnya dengan KPI pusat dan KPI daerah yang sifatnya koordinatif, bukan struktural. Hal tersebut memang tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sehingga peran masing-masing lembaga terkesan membingungkan. Adapun persoalan konten siaran merupakan ranah/wewenang dari KPI dan KPID, sedangkan hal-hal yang sifatnya perizinan dan bayar-membayar merupakan ranah/wewenang Kemenkominfo. Menurut UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 8 ayat (1), eksistensi KPI merupakan bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat. Menurut struktur kelembagaan, KPID terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu bidang perizinan dan infrastruktur, bidang isi siaran, dan bidang kelembagaan. Adapun yang menjadi wewenang KPI sebagaimana tertuang dalam pasal 8 ayat (2) UU Penyiaran adalah sebagai berikut: a) menetapkan Standar Program Siaran b) menyusun peraturan dan menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran c) mengawasi pelaksanaan peraturan dan Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran (P3SPS) d) memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran e) melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat

KPI memiliki wewenang untuk menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Menurut P3SPS (2012), Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan ketentuan-ketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sebagai panduan 16

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

tentang batasan perilaku penyelenggaraan penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional, sementara itu Standar Program Siaran merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur konten atau isi siaran yang disiarkan oleh lembaga penyiaran. Secara garis besar, Pedoman Perilaku Penyiaran mengatur tentang proses pembuatan atau produksi program siaran, sedangkan Standar Program Siaran lebih mengatur tentang isi dari program siaran tersebut. P3SPS dirumuskan dan disahkan KPI pada tahun 2004. Sejauh ini, P3SPS terhitung sudah 4 (empat) kali melakukan uji publik dan melakukan revisi terakhir pada tahun 2012 yang masih digunakan hingga saat ini (KPI, 2020). P3SPS berisi 188 pasal yang berisi ketentuan-ketentuang mengenai cakupan siaran, pembatasan kepemilikan, persyaratan izin dan perpanjangan siaran, pedoman peliputan lembaga penyiaran asing, rencana dasar teknik, hingga tata cara dan pemberian sanksi administrasi. Sanksi administrasi yang terdapat dalam P3SPS dapat berupa teguran tertulis, penghentian sementara program acara yang bermasalah, pembekuan kegiatan siaran, denda administratif, pembatasan durasi dan waktu siaran, sampai dengan pencabutan izin siaran. Dalam konteks penelitian ini, P3SPS juga mengatur tentang Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Sistem Stasiun Jaringan merupakan tata kerja yang mengatur siaran relay secara tetap antar lembaga penyiaran (Kominfo, 2009). Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) tersebut telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), yaitu dalam P3 Bab 25 tentang “Siaran Lokal dalam Sistem Stasiun Jaringan” dan dalam SPS Bab 25 mengenai “Program Lokal dalam Sistem Stasiun Jaringan” pasal 46. Menurut KPI (n.d.) disebutkan bahwa terdapat 2 (dua) tujuan utama dalam diberlakukannya Sistem Stasiun Jaringan (SSJ), yaitu pertama, untuk mendorong pemerataan ekonomi secara adil antara pengusaha media di pusat dan daerah, dan yang kedua, adalah untuk mendorong kebudayaan lokal dan kearifan lokal. Peraturan mengenai Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) tersebut 17

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

diharapkan mampu memberikan solusi untuk menciptakan tatanan industri penyiaran di Indonesia yang “sehat” dan positif, karena dasar dari Sistem Stasiun Jaringan tersebut adalah terpenuhinya prinsip Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) dan Diversity of Content prinsip keberagaman isi). Diversity of Content dan Diversity of Ownership merupakan 2 (dua) prinsip utama yang perlu diutamakan dalam industri penyiaran di Indonesia, meskipun tidak tertuang secara tertulis dalam UU Penyiaran maupun P3SPS. Prinsip Diversity of Ownership sebenarnya bertujuan untuk mengawasi industri penyiaran di Indonesia agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan modal (kapitalisasi), serta mencegah terjadinya monopoli dan oligopoli yang merupakan persoalan klasik perekonomian yang disepakati sebagai penyebab kerugian masyarakat. Selain itu, Diversity of Ownership juga bertujuan untuk menciptakan persaingan yang sehat dalam industri penyiaran dan mendorong adanya pelibatan modal dari masyarakat luas di Indonesia. Sementara itu, Diversity of Content bertujuan untuk menjaga keberagaman isi siaran bagi publik, baik berdasarkan jenis program maupun isi program, sehingga diharapkan media-media di daerah dapat lebih menonjolkan kelokalannya (local-ness) dengan cara memproduksi dan menyiarkan lebih banyak konten- konten bermuatan lokal. Namun, pada praktiknya industri media saat ini banyak yang mengabaikan prinsip Diversity of Ownership dan Diversity of Content tersebut. Mereka cenderung acuh tak acuh dan lebih berfokus pada bagaimana menghasilkan profit semaksimal mungkin.

1.5.4. Ekonomi Politik Media Jika melihat mundur pada sejarah industri radio di Indonesia, radio tidak pernah lepas dari campur tangan kepentingan. Sejak zaman penjajahan Belanda, radio siaran swasta yang dikelola warga asing bahkan menyiarkan program untuk kepentingan dagang, sedangkan radio siaran swasta yang dikelola 18

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

pribumi menyiarkan program untuk memajukan kesenian, kebudayaan, disamping kepentingan pergerakan semangat kebangsaan (Ahmad, 2015). Dalam hal ini, terbukti bahwa ekonomi politik media sudah terjadi di Indonesia sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu dengan cara mendayagunakan sumber daya-sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu (Ali, 2018). Ekonomi politik sendiri sebenarnya sudah berkembang sejak abad 18 yang berakar dari perspektif teori marxisme, sehingga studi ini dikatakan sebagai respons terhadap akselerasi kapitalisme (Sudibyo, 2004). Pada dasarnya, Karl Marx dan Friedrich Engels mengatakan bahwa “history is struggle for social class” yang berarti sejarah yang ada di masyarakat itu sebenarnya perjuangan antar kelas sosial. Marx juga mengatakan bahwa penguasaan atas modal-modal produksi (sumber daya, teknologi) dan relasi dalam produksi tersebut (antara pekerja & pemilik modal) mempengaruhi bagaimana struktur sosial di masyarakat. Struktur sosial yang dimaksud bisa saja berhubungan dengan situasi politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Akan tetapi, di abad 21 ini hasil produksi dari para kapitalis lebih berfokus pada information-based service economy (Ika, 2020). Ekonomi politik cenderung memberi perhatian lebih dalam mendeskripsikan dan menganalisis kapitalisme, sebuah sistem yang mengubah sumber daya seperti pekerja, bahan mentah, lahan, dan informasi menjadi komoditas yang dapat dipasarkan dan memberikan keuntungan bagi para pemilik modal dalam sistem tersebut (Mosco, 2009: 119). Oleh karena itu, menurut Maria Kuntz (2019) ekonomi politik menunjukkan adanya relasi yang saling bersinggungan, antara kekuasaan (power), keuangan (finance), sumber daya (resources), serta konten yang diproduksi (output) untuk mempengaruhi dan menciptakan sistem media. Para penggagas ekonomi politik juga mengkritik pemahaman neoklasik yang menyatakan bahwa pasar dapat menyediakan kompetisi yang stabil. Pada 19

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

kenyataannya, justru muncul berbagai ketimpangan dalam pasar, sehingga menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. Hal ini terbukti dari pola relasi kekuasaan dalam industri media yang mengalami perubahan akibat maraknya konglomerasi media. Pemahaman neo-klasik lainnya yang ditentang oleh para penggagas ekonomi politik adalah seharusnya pemerintah dapat berperan sebagai lembaga regulator yang objektif dan independen. Namun pada kenyataannya, pemerintah justru seringkali bertindak secara subjektif dan melakukan intervensi bias pada kepentingan pasar. Tidak heran jika regulasi dan deregulasi seringkali dilakukan untuk mengurangi dan melonggarkan kendala-kendala dalam produksi maupun distribusi media demi kepentingan para kapitalis. Tokoh-tokoh pencetus ekonomi politik, seperti Adam Smith, David Ricardo, dan John Stuart Mill mengajarkan tentang apa yang dinamakan power, yaitu sebuah konsep dimana orang cenderung ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan, tanpa mempertimbangkan orang lain (Mosco, 2009: 3). Disisi lain, Karl Marx berusaha mengkaji secara kritis tentang bagaimana kekuatan dinamis dari sistem kapitalisme bisa berkaitan dengan ekonomi politik. Dalam hal ini, Adam Smith berfokus pada kepentingan pribadi, materialisme, dan kebebasa individu, sedangkan Karl Marx lebih memandang pekerja/buruh (labor) sebagai komoditas yang dapat dipasarkan. Pemikiran Adam Smith dan Karl Marx memang berbeda dalam banyak hal, namun mereka memiliki satu tujuan, yaitu untuk membangun pemahaman ekonomi politik. Secara sederhana, ekonomi politik didefinisikan sebagai “study of the social relation, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources” (Mosco, 2009). Pengertian tersebut berarti bahwa ekonomi politik adalah studi yang mengkaji tentang hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling membentuk proses produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya. Menurut pandangan ekonomi politik Vincent Moskow (2009), terdapat 3 konsep atau 20

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

perspektif dalam praktik ekonomi politik, yaitu Komodifikasi, Spasialisasi, dan Strukturasi. Komodifikasi merupakan ‘pintu masuk’ dalam praktik ekonomi politik. Menurut Mosco (2009: 127), commodification is the process of transforming things valued for their use into marketable products that are valued for what they can bring in exchange. Dengan kata lain, komodifikasi merupakan proses transformasi barang dan jasa yang memiliki nilai guna (use values) menjadi sesuatu yang memiliki nilai jual (exchange values). Menurut Mosco (2009), komodifikasi sering kali disamakan dengan komersialisasi, namun sebenarnya kedua hal sedikit berbeda. Komersialisasi merupakan proses komodifikasi dalam arti yang lebih sempit, yang secara khusus lebih merujuk pada hubungan antara audiens dan pengiklan. Mosco kemudian menguraikan komodifikasi ini ke dalam 3 aspek, yaitu komodifikasi konten, komodifikasi audiens, serta komodifikasi pekerja. Dalam konteks komodifikasi Mosco, konten media merupakan komoditas utama yang dihasilkan oleh industri media. Terlebih, konsep komodifikasi memperlihatkan bagaimana informasi atau pesan tersebut diproduksi dan didistribusikan dalam bentuk konten siaran hingga dapat dikonsumsi oleh audiens menjadi produk yang dapat dipasarkan (marketable product). Dalam hal ini, komodifikasi dalam industri radio melibatkan banyak proses, yaitu mulai dari bagaimana memproduksi konten siaran hingga bagaimana para penyiar mendistribusikan konten tersebut sehingga sampai ke pendengar melalui berbagai platform. Di era digital saat ini, industri media sedang berlomba-lomba untuk memperluas marketnya ke dalam bentuk platform digital sebagai upaya untuk bertahan (survive). Hal ini yang dikatakan sebagai proses digitalisasi, dimana terjadi transformasi konten siaran ke dalam bentuk digital dengan tujuan efisiensi dan optimalisasi. Digitalisasi memang dapat memberi keuntungan yang luar biasa dalam hal kecepatan, fleksibilitas, dan efisiensi bagi industri 21

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

media saat ini. Digitalisasi juga telah memberi banyak kemudahan bagi para penggunanya. Akan tetapi, yang menjadi tantangan tersendiri adalah bagaimana memproduksi dan mengolah konten media menjadi one package, lalu mengkonvergensikannya ke dalam bentuk digital. Dallas Smythe dalam Mosco (2009: 136) beranggapan bahwa audiens- lah yang merupakan komoditas utama dalam industri media. Menurutnya, media justru menjadikan audiens sebagai komoditas yang nantinya akan “dijual” kepada pengiklan. Dalam hal ini, konten media dianalogikan sebagai “free lunch” untuk mengikat pelanggannya agar mau membeli minuman di restoran tersebut. Hal mengandung arti bahwa konten media sebenarnya merupakan “umpan” untuk menarik audiens, karena dengan adanya audiens, media tersebut bisa mendapatkan banyak pengiklan. Smythe dalam Mosco (2009) juga mengatakan bahwa proses komodifikasi yang terjadi tidak hanya dengan cara memproduksi konten media, tetapi juga “memproduksi” audiens sesuai dengan segmentasi untuk kepentingan pengiklan. Smythe dalam Mosco (2009) juga mengatakan bahwa perusahaan media, audiens, dan pengiklan merupakan 3 serangkai yang memiliki hubungan timbal balik. Hubungan itu terlihat dari bagaimana perusahaan media memproduksi konten untuk menarik dan menyediakan audiens bagi pengiklan. Lalu pengiklan membayar media tersebut untuk dapat ‘mengakses’ audiens mereka. Dalam hal ini, audiens diserahkan dan ‘diperjualbelikan’ kepada pengiklan. Menurut Picard dan McQuail dalam Usman (2009), konsep ini juga disebut sebagai pasar produk ganda (dual-product marketplace), dimana perusahaan media memproduksi konten media sekaligus audiens untuk nantinya diserahkan kepada pengiklan. Kehadiran teknologi baru juga memperkuat argumen Smythe dalam Mosco (2009: 137), dimana sistem digital tidak hanya membantu dalam memperluas komodifikasi konten, melainkan juga mampu mengamati dan menghitung berapa banyak audiens yang telah menonton/mendengarkan 22

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

program acara tersebut. Sistem digital juga mampu menyaring dan mengkategorikan audiensnya secara demografis, seperti usia, pekerjaan, jenis kelamin, status sosial dan ekonomi, kesukaan, dan lain-lain. Komodifikasi pekerja memang kerap kali diabaikan oleh para ahli ekonomi politik. Mereka cenderung menaruh perhatian pada komodifikasi konten dan audiens, namun mengabaikan para pekerja media yang berada di “balik layar”. Ekonomi politik kemudian menjelaskan bagaimana pekerja media mengalami proses ganda, dimana secara bersamaan mereka menjalankan proses komodifikasi sekaligus menjadi objek yang dikomodifikasikan. Ekonomi politik juga cenderung mengutamakan pemilik modal dan pemangku kepentingan, daripada para pekerjanya. Hal ini terlihat dari bagaimana tekanan struktural pada birokrasi perusahaan media itu terjadi. Menurut Mosco (2009), pemilik media semestinya juga mempertimbangkan kesejahteraan para pekerja, agar mereka dapat terus menerus menghasilkan output yang maksimal. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara menciptakan ruang kerja yang nyaman dan memberikan sejumlah fasilitas bagi para pekerjanya. Pada akhirnya, Harry Braverman (1974) memberi dorongan pada kaum marginal untuk dapat bangkit dari keterpurukan dengan cara mengubah pola pikir kapitalisme dalam dunia kerja (Mosco, 2009: 138). Menurut Braveman, tenaga dan pikiran para pekerja ‘diperas’ dan dieksploitasi secara berlebihan layaknya buruh. Dalam hal ini, pekerja media juga disebut sebagai alat produksi kapitalisme. Namun setelah itu, Braverman berhasil menjadi penggerak dalam proses transformasi pekerja media. Dengan bantuan teknologi yang semakin canggih, perlahan dapat mengubah proses komodifikasi pekerja dari konvensional menjadi lebih efektif dan fleksibel. Menurut Henri Lefebvre, spasialisasi adalah “The process of overcoming the constraints of space and time in social life” (Mosco 2009: 157). Dengan kata lain, spasialisasi merupakan proses untuk mengatasi keterbatasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dalam pandangan ini, Mosco 23

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

menjelaskan bagaimana industri media mampu menyajikan produknya kepada audiens dengan batasan ruang dan waktu. Ruang dan waktu yang dimaksud dalam konteks spasialisasi ini tidak serta merta mengarah pada kondisi geografis, melainkan juga demografis. Secara umum, konsep spasialisasi menjelaskan bagaimana perusahaan tersebut memperluas atau mengekspansi jangkaun marketnya untuk dapat mendominasi pasar secara geografis maupun struktur kepemilikan. Konsep ini juga akan memperlihatkan berbagai macam bentuk konsentrasi perusahaan yang diukur dari seberapa besar aset, pendapatan (revenues), keuntungan (profit), jumlah karyawan, hingga nilai saham yang mereka miliki. Dalam hal ini, spasialisasi menjelaskan bagaimana kekuatan relasi kekuasaan bekerja dalam industri media. Mosco (2009) kemudian mengelompokkan spasialisasi menjadi 2 bentuk konsentrasi, yaitu integrasi horizontal dan vertikal. Integrasi horizontal merupakan bentuk spasialisasi yang terjadi ketika suatu perusahaan mengambil alih ataupun memiliki saham di perusahaan lain, baik yang berhubungan dengan bisnis utamanya maupun di luar bisnis utamanya. Bentuk konsentrasi ini memungkinkan perusahaan tersebut untuk dapat mengatasi persaingan sejenis dengan melakukan merger (penggabungan), akuisisi (pengambilalihan), maupun konsolidasi (peleburan) pada perusahaan kompetitornya. Integrasi horizontal dapat dilihat dari bagaimana praktik-praktik konglomerasi terjadi dan mengarah kepada praktik monopoli. Sementara itu, integrasi vertikal merupakan bentuk spasialisasi yang terjadi ketika suatu perusahaan media memperluas kekuasaannya, mulai dari proses produksi hingga distribusi. Integrasi vertikal juga memungkinkan perusahaan-perusahaan media dapat memiliki kontrol yang lebih baik terhadap proses produksi hingga distribusi outputnya (Simamora, 2016). Bentuk konsentrasi ini juga dapat dilihat dari bagaimana proses integrasi terjadi antara

24

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

induk perusahaan dengan anak perusahaan yang dilakukan dalam satu hierarki untuk memperoleh kontrol dalam proses produksi media (Nurlatifah, 2010). Spasialisasi ini juga sering dikaitkan dengan bagaimana suatu media melakukan ekspansi atau perluasan lingkup medianya demi menjangkau lebih banyak audiens. Perluasan media ini juga akan berpengaruh pada bagaimana struktur kepemilikan perusahaan tersebut. Melalui sudut pandang ekonomi politik media, nantinya akan menjawab apakah media tersebut bersifat monopoli atau tidak. Sehingga, dibutuhkan tangan lain selain publik untuk menengahi perkara ini, yaitu peran serta pemerintah dan regulator. Dalam hal ini, pemerintah telah menciptakan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran untuk mencegah terjadinya monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran. Dalam konteks strukturasi, kehidupan sosial di masyarakat selalu digambarkan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Giddens (2010) berpendapat bahwa perubahan sosial dalam kehidupan masyakat selalu terbentuk dari adanya 2 (dua) konsep besar, yaitu struktur dan agensi. Dalam hal ini, agensi digambarkan sebagai individu-individu dan struktur digambarkan sebagai tatanan yang membentuk masyarakat. Awalnya, pemahaman mengenai struktur dan agensi selalu dipisahkan karena keduanya memiliki konteks yang berbeda, dimana agensi berada di level mikro dan struktur berada di level makro. Giddens akhirnya mencoba untuk mengintegrasikan kedua kubu tersebut dan menghilangkan sekat-sekat yang ada diantaranya, sehingga struktur dan agensi dapat dilihat sebagai realitas yang menyatu. Dari situlah Giddens kemudian menciptakan suatu konsep yang dinamakan strukturasi. Strukturasi didefinisikan sebagai “A process by which structures are constituted out of human agency, even as they provide the very medium of that constitution” (Mosco, 2009: 185). Pengertian tersebut mengandung arti bahwa kehidupan sosial masyarakat terdiri dari konstitusi 25

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

bersama yang dibentuk oleh struktur dan agensi, dimana para individu maupun society saling menciptakan struktur tersebut. Tanpa disadari, masyarakat adalah hasil/produk dari struktur yang terbentuk dari tindakan sosial tersebut. Menurut Giddens (2010), baik struktur maupun agensi, sama-sama berinteraksi dan berkontribusi dalam menciptakan suatu perubahan sosial yang dapat diterima oleh masyarakat dan menjadi pedoman baru. Oleh karena itu, agen dan struktur tidak dapat dipahami secara terpisah. Menurut Giddens, setiap individu memiliki pengetahuan yang luas dan kemampuan untuk memahami tindakannya sendiri (Mosco, 2009). Selain itu, setiap individu juga memiliki free will, dimana mereka memiliki kebebasan dalam bertindak. Oleh karena itu, perubahan atau tindakan sosial yang terjadi pada kehidupan bermasyarakat biasanya berasal dari pengalaman (experience) dan pengetahuan (knowledge) tiap-tiap individu. Mosco (2009) menambahkan bahwa perubahan sosial tersebut juga tidak serta-merta dihadirkan oleh setiap individu, melainkan terjadi secara terus menerus. Selanjutnya, Giddens memaknai struktur sebagai sesuatu yang ‘mengikat’ dan membatasi dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh individu yang disusun dengan sistem sosial. Struktur yang dimaksud tersebut bukanlah struktur secara fisik, melainkan sebagai ‘sesuatu yang berada diluar’ tindakan manusia. Struktur tersebut berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang ditetapkan sebagai standar dan memberi pengaruh yang sangat dominan dalam kehidupan sosial (Giddens, 2010). Dalam hal ini, perubahan atau tindakan sosial ditentukan oleh bagaimana struktur tersebut bekerja. Menurut Thompson, struktur tersebut dapat berupa aturan norma, moral, etika, tata bahasa, lalu lintas, hingga birokrasi (Mosco, 2009). Giddens (2010) mengatakan bahwa struktur tersebut terdiri dari seperangkat aturan (rules) dan sumber daya (resources) yang terorganisir dengan baik. Selama ini, rules selalu dianggap sebagai sesuatu yang membatasi. Tetapi dalam konsep Giddens, ternyata rules memiliki 2 sisi, yaitu constraining 26

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

rules (membatasi atau mengikat) dan enabling rules (memungkinkan atau membolehkan). Rules ini yang kemudian digunakan masyarakat sebagai pedoman/acuan dalam melakukan segala sesuatu. Selain rules, terdapat pula sumber daya (resources) yang merupakan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk mendukung tindakan sosial tersebut, baik itu teknologi maupun sumber daya manusianya. Hal tersebut kemudian dikatakan sebagai konsep dualitas, dimana aturan (rules) dan sumber daya (resources) dalam struktur dapat menyempurnakan proses perubahan sosial (Ritzer, 2003). Saat terjadi perubahan tersebut, para agen/individu saling membentuk struktur baru yang memungkinkan untuk bisa diterima dan menjadi pedoman baru bagi seluruh aktor yang terlibat.

1.6. Metodologi Penelitian 1.6.1. Pendekatan dan Fokus Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (2016), penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang mengeksplorasi dan memahami makna di sejumlah individu atau sekelompok orang yang berasal dari masalah sosial. Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, konsep atau fenomena, masalah sosial, dan lain-lain. Salah satu alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena metode ini dapat menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang terkadang sulit untuk dipahami. Pendekatan kualitatif juga bertujuan untuk menemukan atau mengembangkan teori yang sudah ada dan berusaha menjelaskan realitas dengan menggunakan penjelasan deskriptif dalam bentuk kalimat (Sugeng. 2016). Fokus penelitian ini adalah bagaimana ekonomi politik media terjadi pada Prambors dan GEN FM Surabaya. Fokus penelitian bertujuan untuk membatasi studi kualitatif sekaligus membatasi penelitian guna memilih mana 27

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

data yang relevan dan mana yang tidak relevan (Moleong, 2010). Menurut Sugiyono (2017: 207), pembatasan dalam penelitian kualitatif lebih didasarkan pada tingkat kepentingan, urgensi dan reabilitas masalah yang akan dipecahkan.

1.6.2. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang akan digunakan yaitu deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan salah satu metodologi yang dipergunakan dalam pemecahan masalah dengan langkah mendeskripsikan, menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis situasi dan kondisi dalam suatu obyek permasalahan dari sudut pandang penulis. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diteliti (Hayati, 2020). Adapun ciri-ciri dari metode ini, yaitu (1) memusatkan perhatian pada permasalahan yang menjadi fokus penelitian, (2) menggambarkan fakta-fakta tentang permasalahan yang akan diteliti, diiringi dengan interpretasi rasional, serta (3) tidak hanya memberi gambaran terhadap suatu fenomena, melainkan juga menjelaskan hubungan, menguji hipotesis, dan mendapatkan implikasi dari masalah tersebut. Penelitian dengan tipe deskriptif juga tidak mengadakan manipulasi atau mengubah pada variabel-variabel bebas, melainkan menggambarkan suatu kondisi apa adanya.

1.6.3. Metode Penelitian Metode yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah berupa studi kasus. Studi kasus adalah suatu proses memahami secara komprehensif dan detail tentang suatu latar alamiah dan peristiwa tertentu (Suwendra, 2018). Metode studi kasus meneliti suatu fenomena tertentu yang ada di dalam masyarakat yang dilakukan secara mendalam untuk mempelajari latar

28

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

belakang, keadaan, dan interaksi yang terjadi untuk memahami kaitan antara variabelnya. Menurut Creswell, terdapat beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu: (1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi; (2) kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan tempat; (3) menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terperinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa, dan (4) peneliti akan menghabiskan waktu dalam menggambarkan konteks atau setting untuk suatu kasus. Dengan metode studi kasus ini, peneliti dapat menjelaskan bagaimana ekonomi politik media pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya sesuai alur yang jelas dan runtut.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah menggunakan in-depth interview dengan sejumlah narasumber yang berkaitan dengan konteks penelitian ini. In-depth interview merupakan teknik wawancara tanpa alternatif pilihan jawaban dan dilakukan untuk mendalami informasi dari informan atau narasumber (Afrizal, 2014). Tujuan dari metode ini adalah agar peneliti dapat menemukan permasalahan secara mendalam dan lebih terbuka dari para narasumber atau informan. Metode in-depth interview pada penelitian ini termasuk dalam wawancara terstruktur, karena sebelumnya peneliti akan menyusun daftar pertanyaan secara sistematis untuk mengetahui informasi apa saja yang hendak digali dari narasumber. Pada penelitian ini, peneliti mewawancarai 5 (lima) narasumber, yaitu 2 (dua) orang merupakan karyawan Prambors Surabaya, 2 (dua) orang merupakan karyawan GEN FM Surabaya, serta 1 (satu) orang yang merupakan perwakilan dari KPID Jawa Timur. Masing-masing narasumber tentunya memiliki peran yang cukup penting dalam menghasilkan temuan data dalam 29

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

penelitian ini. Menurut Sugiyono (2013) syarat seseorang yang menjadi narasumber adalah tergolong sedang berkecimpung atau terlibat dalam penelitian, menguasai dan memahami permasalahan yang diteliti, cenderung menyampaikan informasi secara objektif, serta bersedia meluangkan waktu untuk menjadi narasumber. Peneliti juga menggunakan metode observasi dengan cara mengamati keseharian praktik siaran Prambors dan GEN FM Surabaya. Observasi merupakan metode atau cara pengumpulan data dengan melakukan pengamatan terhadap objek atau fenomena yang diamati (Budi, 2020). Peneliti mengamati praktik siaran tersebut dengan cara mendengarkan program-program acara, fitur-fitur, hingga iklan-iklan yang disiarkan sehari-hari. Peneliti juga mengamati konten-konten sosial media dan official website Prambors maupun GEN FM Surabaya. Hal ini dikarenakan peneliti juga ingin mengetahui keseharian praktik siaran kedua radio tersebut untuk dapat mengetahui ekonomi politik media yang melatarbelakangi Prambors dan GEN FM Surabaya. Selain itu, peneliti juga menggunakan data-data sekunder, seperti dokumentasi dan studi literatur, untuk melengkapi temuan-temuan data dalam penelitian ini. Dokumentasi digunakan sebagai bahan analisis berupa rekaman audio hasil wawancara, dokumen-dokumen regulasi penyiaran, dan lain sebagainya. Sementara itu, studi literatur merupakan referensi teori/akademis yang memiliki relevansi dengan kasus dalam penelitian ini. Studi literatur ini bisa didapatkan dari buku-buku karya pengarang terpercaya, jurnal-jurnal ilmiah terakreditasi, dan penelitian-penelitian terdahulu, artikel di internet, dan lain-lain. Penelitian ini juga menggunakan triangulasi data sebagai. Triangulasi adalah menguji keabsahan data dengan mencocokkan atau membandingkan hasil wawancara dengan objek penelitian. Menurut Sugiyono (2008), triangulasi data merupakan validasi silang dalam penelitian kualitatif, yang menilai kecukupan atau kesesuaian data yang diambil dari berbagai sumber atau prosedur 30

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

pengumpulan data. Triangulasi ini juga digunakan untuk membangun justifikasi tema-tema terkait (Creswell, 2015). Triangulasi perlu dilakukan untuk mempertegas dan memperkuat data yang telah ditemukan.

1.6.5. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis bagaimana ekonomi politik media pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya setelah melakukan pengumpulan data yaitu in-depth interview dengan seluruh narasumber. Disamping itu, peneliti juga selalu mengamati dan mengobservasi bagaimana keseharian Prambors dan GEN FM Surabaya dalam bersiaran. Setelah seluruh informasi dan data terkumpul, peneliti akan mengubahnya menjadi narasi-narasi dengan mentranskrip isi wawancara tersebut, kemudian dianalisis berdasarkan tinjauan pustaka. Selain itu, peneliti juga akan menuangkan ide-ide peneliti ke dalam bentuk analisis dan pembahasan, dan yang terakhir adalah menarik garis kesimpulan untuk dapat menjawab rumusan masalah penelitian ini.

31

SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A.