Ekonomi Politik Media Pada Radio Jaringan Di Surabaya
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini mengangkat topik mengenai ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya. Pada penelitian ini, peneliti akan berfokus pada bagaimana ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya. Selain itu, peneliti juga akan membahas tentang bagaimana pelanggaran regulasi penyiaran terjadi pada radio jaringan, apakah pelanggaran itu termasuk dalam praktik ekonomi politik media, serta bagaimana peran regulator penyiaran dalam menyikapi pelanggaran tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan ekonomi politik media sebagai pisau analisis untuk menjelaskan bagaimana ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya. Melalui sudut pandang ekonomi politik media, peneliti dapat menemukan dan menjelaskan bagaimana ekonomi politik media yang terjadi pada radio jaringan Prambors dan GEN FM Surabaya sebagai upaya untuk bertahan (survive) dalam industri media saat ini. Topik penelitian mengenai ekonomi politik media dalam radio jaringan ini menjadi menarik untuk dibahas, karena belum mendapat porsi yang memadai dalam penelitian komunikasi. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk meneliti radio Prambors dan GEN FM Surabaya adalah karena kedua radio tersebut merupakan radio jaringan besar yang mengekspansi jangkauan siarannya ke berbagai daerah, salah satunya adalah Surabaya. Penelitian ini masih tergolong jarang, karena penelitian-penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini hanya membahas tentang 1 (satu) radio saja dan bukan merupakan radio yang beroperasi di Surabaya (Bonaventura dan Listiorini, 2012). Penelitian terdahulu juga mayoritas membahas tentang media cetak maupun televisi. Selain itu, penelitian terdahulu juga biasanya hanya berfokus pada salah satu aspek dalam ekonomi politik Vincent Mosco, seperti Komodifikasi (Perdana, 2017), Spasialisasi (Simamora, 2016), maupun Strukturasi (Ashaf, 2006). 1 SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Ekonomi politik sendiri sebenarnya sudah berkembang sejak abad 18 yang berakar dari perspektif teori marxisme, sehingga studi ini dikatakan sebagai respons terhadap akselerasi kapitalisme (Sudibyo, 2004). Pada dasarnya, Karl Marx dan Friedrich Engels mengatakan bahwa “history is struggle for social class” yang berarti sejarah yang ada di masyarakat itu sebenarnya perjuangan antar kelas sosial. Marx juga mengatakan bahwa penguasaan atas modal-modal produksi (sumber daya, teknologi) dan relasi dalam produksi tersebut (antara pekerja & pemilik modal) mempengaruhi bagaimana struktur sosial di masyarakat. Struktur sosial yang dimaksud bisa saja berhubungan dengan situasi politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Akan tetapi, di abad 21 ini hasil produksi dari para kapitalis lebih berfokus pada information-based service economy (Ika, 2020). Menurut Yi-Cheng Zang (2017), era information-economy adalah era dimana produktivitas dan daya saing dalam lingkup ekonomi bergantung pada kapasitas mereka untuk menghasilkan, memproses, dan menerapkan informasi berbasis pengetahuan secara efisien. Dalam hal ini, yang membuat informasi menjadi berlimpah dalam konteks perekonomian adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang meluas. Era information-economy ini memiliki 3 karakteristik utama, yaitu pertama, information-economy bersifat global dan didorong oleh percepatan globalisasi. Kedua, information-economy bersifat lebih produktif dan fleksibel. Ketiga, information-economy mampu mengubah cara memperoleh keuntungan dalam suatu bisnis industri. Dalam era information-economy ini, pengaruh IT yang meluas terhadap aktivitas ekonomi didominasi oleh pekerja informasi dan produk informasi. Robert Reich (2020) mengamati bahwa saat ini keuntungan perekonomian datang dari kecepatan inovasi dan kemampuan suatu perusahaan untuk menarik dan mempertahankan pelanggan. Jika sebelumnya perusahaan-perusahaan besar selalu menduduki posisi teratas, kini justru perusahaan-perusahaan kecil yang lebih fleksibel dan selalu melakukan inovasi justru dapat merebut posisi tersebut. Akan tetapi, kemenangan itu bersifat sementara, dan perlombaan tersebut tidak pernah berakhir. 2 SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mereka yang saat ini berada di posisi unggul harus selalu berinovasi agar tidak tertinggal. Ekonomi politik menjelaskan bahwa sebenarnya segala aspek di kehidupan manusia selalu dilatarbelakangi dengan motif politik dan ekonomi, dimana setiap tindakan yang kita ambil selalu berlandaskan pada asas keuntungan dan kemakmuran. Dalam konteks media, ekonomi politik lebih memberi perhatian pada bagaimana mendeskripsikan dan menganalisis kapitalisme, sebuah sistem yang mengubah sumber daya seperti pekerja, bahan mentah, lahan, dan informasi menjadi komoditas yang dapat dipasarkan dan memberikan keuntungan bagi para pemilik modal dalam sistem tersebut (Mosco, 2009: 119). Oleh karena itu, ekonomi politik media menunjukkan adanya relasi yang saling bersinggungan, antara kekuasaan (power), keuangan (finance), sumber daya (resources), serta konten yang diproduksi (output) untuk mempengaruhi dan menciptakan sistem media. Seiring dengan perkembangan zaman, kapitalisme juga telah mengalami pergeseran dari old media menuju new media. Para politik ekonom melihat bagaimana new media memperdalam dan memperluas sistem pasar kapitalis, dimana media dan khalayak menjadi komoditas utama yang layak untuk dijual (Mosco, 2009). Pada akhirnya, new media memunculkan tren baru yang dinamakan “kapitalisme digital”. Kehadiran kapitalisme digital ini juga menciptakan masalah baru, dimana sistem media menjadi lebih rumit dan kompleks daripada sebelumnya. Hal ini terlihat dari bagaimana pola relasi kekuasaan pada industri media di seluruh dunia mengalami perubahan, sehingga memunculkan berbagai fenomena kepemilikan media, seperti konglomerasi, dominasi, konsentrasi atau integrasi, dan lain sebagainya. Mengacu pada sejarah kepemilikan media di Amerika, sebelumnya industri media secara global didominasi oleh keberadaan “the big six” (WebFx, 2017). Adapun 6 perusahaan raksasa yang merupakan “pemain lama” tersebut yaitu Viacom, Disney, Time Warner, Comcast, News Corp, dan Sony. Akan tetapi, seiring dengan semakin besarnya pangsa pasar digital, saat ini situasi tersebut telah mengalami pergeseran, sehingga hanya dikuasai oleh “the big four” atau 4 pemain utama, yaitu Apple, Google, 3 SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Amazon dan Facebook (Galloway, 2017). Hal ini sama halnya dengan yang terjadi pada industri media di Indonesia. Menurut Tapsell (2018), Indonesia sendiri memiliki 8 (delapan) konglomerat digital yang hingga kini masih aktif, antara lain CT Corp milik Chairul Tanjung, Global Mediacom milik Hary Tanoesoedibjo, EMTEK milik Eddy Sariaatmadja, Visi Media Asia milik Bakrie Group, Media Group milik Surya Paloh, Lippo Group milik James Riady, Jawa Pos milik Dahlan Iskan, serta Kompas Gramedia milik Jakob Oetama. Penelitian yang dilakukan oleh Merlyna Lim dan Ignatius Haryanto dalam Adam (2018,) menunjukkan bagaimana para bos media tersebut tidak hanya memiliki pengaruh pada lanskap media, tetapi juga keterlibatannya pada panggung politik dan ekonomi Indonesia. Pada akhirnya, situasi dan kondisi seperti ini memungkinkan perusahaan media besar menjadi semakin subur dan makmur, sementara perusahaan kecil hanya memiliki 2 (dua) pilihan, yaitu berjuang mati-matian untuk bertahan secara independen atau merelakan dirinya ‘dicaplok’ oleh perusahaan-perusahaan besar. Tanpa kita sadari, industri radio saat ini telah kembali menunjukkan eksistensinya. Bahkan, menurut Cridlan (2018) industri radio di negara-negara Barat telah berkembang pesat melangkahi kita. Sebagai contoh, Norwegia telah mencabut izin siaran seluruh stasiun nasional, sehingga negaranya dapat lebih berfokus pada pengembangan stasiun-stasiun lokal yang lebih berpotensi. Kemudian, UK telah memiliki stasiun radio komunitas yang segmentasinya adalah para pedagang & pekerja konstruksi bangunan. Australia juga memiliki stasiun radio khusus balita yang berusia hitungan bulan sampai dengan anak-anak berusia 7 tahun. Di Austria pun muncul stasiun radio yang telah menerapkan cara baru, yaitu audiensnya dapat memilih lagu- lagu maupun program-program apa saja yang ingin didengarkan secara langsung, tanpa harus mendengarkan siaran dari awal sampai akhir. Cilla Benkö dalam wawancaranya dengan Radiodays Europe (2020) mengatakan: 4 SKRIPSI EKONOMI POLITIK MEDIA… RAHMATIKA A. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Radio have a great future in front of us, but it doesn’t mean that we can just sit there and be relax and think everything we do is great. We still have to reinvent ourself and find very new format, both for a linear radio but also for digital & social media. And we have to come much closer to our audience, really understand what they need & how to we serve the best - the right content the right time at the right platform for the right people. Bahkan, menurut Cilla Benkö (2020) di Swedia dan Britain saat ini sedang terjadi “audio boom”, dimana teknologi-teknologi dengan format audio mulai menunjukkan eksistensinya kembali setelah sekian lama redup akibat kemunculan tren digital. Seluruh masyarakat Swedia saat ini tengah membicarakan jaringan radio lokal, smart speakers, voice control, dan podcast, karena mereka telah menyadari the real