PENELITIAN PERMUKIMAN MASA BALI KUNO ABAD IX- XIV DI BALI UTARA: KAJIAN TOPONIMI BERDASARKAN SUMBER PRASASTI Oleh I Gusti Ngurah
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
PENELITIAN PERMUKIMAN MASA BALI KUNO ABAD IX- XIV DI BALI UTARA: KAJIAN TOPONIMI BERDASARKAN SUMBER PRASASTI Oleh I Gusti Ngurah Tara Wiguna, Dkk I Pendahuluan Sejumlah pakar memberikan batasan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan pedesaan maupun perkotaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan mendukung prikehidupan dan penghidupan. Tempat tersebut telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada penghuninya, sehingga terbentuknya suatu permukiman (settlement) merupakan suatu proses aktivtas manusia untuk mencapai dan menetap pada suatu kawasan atau daerah. Menurut WHO permukiman adalah suatu struktur fisik dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung, dimana lingkungan dari struktur tersebut termasuk juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperluhkan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani dan keadaan sosialnya yang baik untuk kelompok dan individu. Selanjutnya dalam Undang-Undang No.1 tahun 2011 dipertegas bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Permukiman merupakan suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia sejak manusia mulai hidup menetap. Awal dibangunnya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan fisik, namun dalam perkebangannya selanjutnya pemilihan dan pemilikan tempat permukiman berkembang fungsinya 1 menjadi kebutuhan psikologis, estetika, menandai status sosial, ekonomi, sehingga menjadi suatu kebutuhan. Dari deretan lima kebutuhan hidup manusia yakni pangan, sandang, permukiman, pendidikan dan kesehatan, nampak bahwa permukiman menempati posisi yang sentral, dengan demikian peningkatan permukiman akan meningkatkan pula kualitas hidup. Berdasarkan uraian tersebu di atas maka dapat dikatakan bahwa masalah permukiman dapat dikaji melalui berbagai disiplin ilmu baik ilmu eksak maupun ilmu sosial, ilmu budaya dan bahkan ilmu perbatasan. Menyadari akan hal tersebut, beberapa arkeolog telah lama tertarik untuk melakukan kajian permukian khususnya permukian masa lampau. Mereka berangkat dari data sisa aktivitas kehidupan manusia masa lampau seperti artefak, fitur, ekofak, situs, dan kawasan tempat data itu ditemukan. Salah satu jenis artefak yang digunakan sebagai data utama dalam penelitian ini yakni prasasti yang dikeluarkan pada masa Bali Kuno. Adapun alasan digunakannya prasasti sebagai data utama karena informasi yang dimuat di dalamnya berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada jaman prasasti itu ditulis. Penelitian terhadap prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa Bali Kuno sudah sering dilakukan, namun secara ekspisit belum banyak yang mengarahkan penelitiannya ke masalah-masalah permukiman. Namun demikian berdasarkan hasil dari sejumlah prasasti Bali Kuno khususnya yang berasal dari abad IX-XIV Masehi dapat diketahui bahwa permukiman pada masa itu telah tersebar di wilayah Pulau Bali. Penataan wilayah kerajaan, dalam arti pembagian wilayah administratif sangat sederhana, hanya ada wilayah tingkat pusat dan wilayah tingkat desa. Wilayah pusat mencakup seluruh wilayah kerajaan disebut kedatwan/kedatuan yang dapat diartikan ‘kerajaan’ dan ‘wilayah kerajaan’disebut ‘mandala’. Sementara wilayah tingkat desa disebut dengan beberapa istilah antara lain banua atau wanua, thani kemudian disebuti desa yang berarti ‘desa’, (Goris 1954, 236) serta batas wilayah desanya disebut parimandala. Banua/wanua,thani, dan desa yang merupakan kesatuan geografis diberikan identitas berupa nama demikian pula kesatuan atau unsur-unsur geografis lainnya, sehingga munculah ‘nama tempat’. Pengetahuan tentang nama tempat itu kemudian disebut 2 ‘toponomi’. Kajian terhadap toponomi khususnya dalam prasasti dapat megetahui sebaran permukiman pada suatu wilayah, yang sudah tentu diawali dengan upaya mengetahui sebaran prasasti dan mengkaji isi dari prasasti yang mempunyai hubungan dengan wilayah tersebut. Dengan mengkaji isi prasasti tersebut maka diupayakan untuk mengetahui nama satuan geografis atau toponim, sebaran permukiman berdasarkan kajian toponim yang sering dimuat dalam sambandha seuatu prasasti. Selanjutnya ditawarkan dalam penelitian ini bagaimana peran wilayah-wilayah yang dimuat dalam prasasti dalam kontek Sejarah Bali Kuno. II Sebaran Prasasti Bali Kuno di Wilayah Kabupaten Buleleng Untuk mengetahui sebaran prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa Bali Kuno diawali studi kepustakaan yang dilanjutkan dengan survey lokasi dan disertai dengan wawancara. Berdasarkan beberapa data kepustakaan, terutama yang disusun olehJ.L.A. Brandes (1885), Van Stein Callenfels (1926), R. Goris (1954), sampai dengan hasil penelitian terbaru termasuk hasil survey dan wawancara, dapat diketahui bahwa di wilayah Kabupaten Buleleng sedikitnya ditemukan 31 kelompok prasasti yang terdiri atas 39 kesatuan. Prasasti tersebut ditemukan di 6 kacamatan yang tersebar di 15 desa adat dan 1 kesatuan lagi merupakan koleksi Gedong Krtya, dengan rincian sebagai berikut. Di Kecamatan Kubutambahan ada 5 desa adat yang menyimpan prasasti, yakni Desa Adat Kelandis menyimpan 1 kelompok prasasti yang terdiri atas 1 kesatuan; Desa Adat Bengkala menyimpan 1 kelompok prasasti yang terdiri atas 1 kesatuan; Desa Adat Bila menyimpan 1 kelompok prasasti yang terdiri atas 2 kesatuan (Bila AI dan AII); Desa Adat Depaha dulunya menyimpan 1 kelompok prasasti yang terdiri atas 1 kesatuan (Depeha/Bet Ngandang), dan 1 kelompok prasasti yang terdiri atas 3 kesatuan, yaitu Prasasti Pura Desa I, II, dan III, yang dulunya tercatat bahwa tersimpan di Desa Gobleg, dan isinya berkaitan dengan Prasasti Depeha/Bet Ngandang, tetapi keberadaannya tidak diketahui; Desa Adat Bulian menyimpan 2 kelompok prasasti yang terdiri atas 2 kesatuan (Bulian A dan B). Secara keseluruhan, Kecamatan Kubutambahan terdapat 7 kelompok prasasti 3 yang terdiri atas 10 kesatuan (termasuk prasasti yang berpindah tempat dan keberadaannya belum diketahui). Di Kecamatan Sawan terdapat 3 desa adat yang menyimpan prasasti, yakni di Desa Adat Bebetin tersimpan 2 kelompok prasasti yang terdiri atas 4 kesatuan (Bebetin AI, AII, AIII, dan Bebetin B); Desa Adat Sawan tersimpan 3 kelompok prasasti yang terdiri atas 3 kesatuan (Sawan A, B, dan C); Desa Adat Jagaraga menyimpan 1 kelompok prasasti yang hanya tinggal 1 lempeng saja. Secara keseluruhan, Kecamatan Sawan terdapat 6 kelompok prasasti yang terdiri atas 8 kesatuan. Di Kecamatan Tejakula keberadaan prasasti tersebar di beberapa desa adat, di antaranya Desa Adat Les-Penuktukan tersimpan 1 kelompok prasasti yang hanya tediri atas 1 lempeng; Desa Adat Tejakula tersimpan 1 kelompok prasasti yang hanya terdiri atas 1 kesatuan; Desa Adat Julah dan Sembiran tersimpan 3 kelompok yang terdiri atas 6 kesatuan (Sembiran AI, AII, AIII, AIV, Sembiran B, dan C). Secara keseluruhan, Kecamatan Tejakula terdapat 5 kelompok prasasti yang terdiri atas 8 kesatuan. Selanjutnya di Kecamatan Banjar, prasasti tersimpan di 2 desa adat, yakni di Desa Adat Gobleg (tersimpan di Puri Gobleg) yang terdapat 8 kelompok prasasti yang terdiri atas 8 kesatuan (Gobleg Pura Batur A, B, C, Tamblingan Pura Endek I, II, III. IV, dan V), dan Desa Adat Banyuseri tersimpan 3 kelompok prasasti yang terdiri atas 3 kesatuan (Banyuseri A, B, C). Secara keseluruhan, Kecamatan Banjar terdapat 11 kelompok prasasti yang terdiri atas 11 kesatuan. Di Kecamatan Bususngbiu, prasasti tersimpan di Desa Adat Sepang yang menyimpan 1 kelompok prasasti yang hanya terdiri atas 1 kesatuan. Adapun, Kecamatan Buleleng terdapat 1 kelompok prasasti yang hanya terdiri atas 1 lempeng saja yang tersimpan di Gedong Krtya. Secara keseluruhan, jumlah prasasti yang teridentifikasi di wilayah Kabupaten Buleleleng sebanyak 31 kelompok yang terdiri atas 39 kesatuan. Wilayah desa-desa tersebut beserta 4 lingkungannya, dan prasasti yang tersimpan di dalamya merupakan objek utama dalam penelitian ini. III Nama Satuan Geografis dalam Prasasti. Istilah geografis seringkali dipadankan dengan ‘rupabumi’, satuan geografi disebut ‘unsur rupabumi’ nama rupabumi dipadankan dengan ‘nama geografis’. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa satuan geografis dapat disinonimkan ‘unsur rupabmi’. Sementara definisi dari unsur rupabumi adalah bagian permukaan bumi yang berada di atas daratan dan permukaan laut serta di bawah permukaan laut yang dapat dikenali identitasnya sebagai unsur alamat dan/atau unsur buatan manusia (Rais et al., 2008, p. 87). Unsur rupabumi tersebut terdiri atas enam kategori yaitu: 1) Unsur bentang alami (natural landscape features), seperti gunung, bukit, jurang, sungai, danau, laut, selat, pulau, termasuk unsur-unsur bawah laut seperti palung, cekungan, gunung bawah laut, dan sebagainya; 2) Tempat-tempat berpenduduk dan unsur lokalitas (populated places and localities). Sebagai contoh unsur-unsur lokal misalnya permukiman, pasar, bangunan suci (pura, mesjid, gereja, kelenteng ), bangunan bersejarah, makam pahlawan, stasiun bis, kereta api, dan sebagainya; 3) Pembagian administratif atau politis dari negara (civil/political subdivisions of a country) seperti Provinsi, Kabupaten, Kota, Kecamatan, distrik pemilu, dan sebagainya: 4) Kawasan administrasi (administrative area) seperti taman nasional, hutan lindung, daerah konservasi, cagar alam, kawasan margasatwa, lahan basah, lahan kering dan sebagainya; 5) Rute