Studi Semiotika Iklan Kampanye Pilgub DKI 2017 Pasangan - di Televisi versi #PerjuanganBelumSelesai

Skripsi

Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya “Almamater Wartawan Surabaya” Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Ilmu Komunikasi

Disusun oleh:

Niahanida Elmina

14.31.0080

SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI

ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA

2017

Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner

ABSTRAK

Bagi para aktor politik, citra sangatlah penting. Citra yang baik akan meningkatkan elektabilitas sehingga kesempatan untuk memenangkan kontestasi politik pun kian terbuka lebar. Iklan di televisi adalah salah satu metode kampanye yang dianggap efektif untuk merekonstruksi realitas yang ada menjadi sebuah realitas sosial baru. Pilgub DKI Jakarta 2017 menarik diteliti mengingat salah satu pasangan yang bertarung dalam status tersangka kasus penistaan agama. Dalam sebuah survei yang dirilis charta politica terhadap Pilgub DKI Jakarta 2017 faktor emosional seperti agama dinilai penting. Iklan kampanye pasangan Basuki Thjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat yang menjadi objek penelitian ini merupakan iklan berdurasi 30 detik dengan format Announcement. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pisau bedah semiotika –ilmu mengenai relasi tanda- milik Roland Barthes yang menggunakan sistem signifikasi dua tahap yaitu denotatif –makna sebenarnya yang berada di permukaan- dan konotatif –makna kiasan yang lahir dari pengalaman kultural atau personal-, dimana pada tahap kedua ini mitos bercokol. Dalam iklan pasangan Ahok-Djarot didapatkan mitos Ahok-Djarot adalah cermin pemimpin politik yang bersih, membawa perubahan bagi masyarakat yang apatis dengan dunia politik yang terkenal kotor.

Kata Kunci: Semiotika Roland Barthes, Mitos.

vi

ABSTRAC

For political actors, image is very important. A good image will increase electability so that the chance to win the election will increasingly wide open. Advertising on television is one of campaign that is considered effective to reconstruct the existing reality into a new social reality. Jakarta Gubernatorial election in 2017 is interesting to study considering that one of the candidate who fought in the in election is become suspect as a religious blasphemy case.While in a survey released by charta politica for the DKI Jakarta gubernatorial election in 2017, emotional factors such as religion are considered important. Ad campaign of Basuki Thjahaja Purnama and Djarot Saiful Hidayat who became the object of this research is a 30-second ad with announcement form. This is a qualitative research with Roland Barthes’s semiotics –study of sign- analysis which use two order signification system that is denotative - the true meaning we can found at the surface - and the connotative - meaningful metaphor born of cultural or personal experience - where at this stage the myth is entrenched. In the Ahok- Djarot campaign ad is found the myth that Ahok-Djarot is a representation of clean political leaders, bringing change to an apathetic society who’s sick of dirty political world.

Key word: Semiotics Roland Barthes, Myth

vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ...... iv

MOTTO ...... v

ABSTRAK ...... vi

ABSTRAC ...... vii

KATA PENGANTAR ...... viii

DAFTAR ISI ...... xi

DAFTAR GAMBAR ...... xiv

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Rumusan Masalah ...... 12

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 12

1.3.1 Tujuan Penelitian ...... 12

1.3.2 Manfaat Penelitian ...... 12

1.3.2.1 Manfaat Teoritis ...... 12

1.3.2.2 Manfaat Praktis ...... 13

1.4 Kajian Pustaka ...... 13

1.4.1 Penelitian Sebelumnya ...... 13

1.4.2 Iklan ...... 14

1.4.2.1 Iklan Kampanye ...... 15

1.4.2.2 Iklan Televisi ...... 17 xi

1.4.3 Analisis Tekstual ...... 19

1.4.3.1 Analisis Tekstual Iklan Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful

Hidayat #Perjuanganbelumselesai ...... 25

1.4.4 Pendekatan Teknik Visualisasi (Komposisi dan Modalitas) ...... 25

1.4.5 Semiotika ...... 31

1.4.5.1 Semiotika Visual ...... 35

1.4.5.2 Semiologi Roland Barthes ...... 36

1.4.5.3 Tanda dan Proses Semiosis ...... 40

1.4.5.4 Kode dalam Semiotik ...... 41

1.5 Kerangka Berpikir ...... 44

1.6 Metodologi Penelitian ...... 45

1.6.1 Metode Penelitian ...... 45

1.6.2 Jenis dan Sumber Data ...... 46

1.6.3 Teknik Pengumpulan dan Pencatatan Data...... 47

1.6.4 Waktu dan Tempat Penelitian ...... 47

1.6.5 Teknis Analisis dan Interpretasi Data ...... 48

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN ...... 49

2.1 Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat ...... 49

2.1.1 Basuki Tjahaja Purnama ...... 49

2.1.1.1 Data Riwayat Hidup Basuki Tjahaja Purnama ...... 52

2.1.2 Djarot Saiful Hidayat ...... 54

2.1.2.1 Data Riwayat Hidup Djarot Saiful Hidayat ...... 56

2.1.3 Pilgub DKI Jakarta 2017-2022 ...... 58

xii

2.1.3.1 Visi dan Misi Ahok-Djarot ...... 59

2.1.3.2 Program Kerja Ahok-Djarot ...... 61

2.2 Alur Cerita Iklan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat Versi

#PerjuanganBelumSelesai...... 62

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA...... 65

3.1 Penyajian Data ...... 65

3.1.1 Setting Iklan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat ...... 66

3.1.1.1 Makna Denotatif pada Sesi Pembukaan (detik 00:00-00:04) ...... 66

3.1.1.2 Makna Konotatif : Identitas Diri ...... 67

3.1.1.3 Makna Denotatif Pada Sesi Isi (detik 00:04-00:24) ...... 75

3.1.1.4 Makna Konotatif : Kerukunan Antar Umat Beragama ...... 77

3.1.1.5 Makna Denotatif Pada Sesi Penutup (detik 00:25-00:27) ...... 82

3.1.1.6 Makna Konotatif : Salam Perdamaian ...... 84

3.1.1.7 Makna Denotatif Pada Sesi Penutup (detik 00:27-00:30) ...... 88

3.1.1.8 Makna Konotatif : No. 2 pasangan yang bersih dan nasionalis ...... 88

3.2 Analisis Makna Mitos dalam Iklan ...... 91

3.3 Interpretasi Data ...... 97

BAB IV SIMPULAN ...... 99

4.1. Simpulan ...... 99

4.2. Saran-saran ...... 100

4.2.1. Saran Praktis ...... 100

4.2.2 Saran Akademik ...... 101

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1. Logika Analisis Tekstual dan Produksi Tekstual (Thwaites, 2009:122) ...... 25 Gambar I.2. Komposisi yang Digunakan pada Konvensi Penulisan dari Kiri ke Kanan ...... 30 Gambar I.3. Skema Model Situasi Tutur Roman Jacobson (dalam Budiman, 2011:5) ...... 34

Gambar I.4. Sistem Semiologi dan Mitologi (Barthes, 2004:161) ...... 38

Gambar II.1. Foto Resmi Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ...... 49

Gambar II.2. Foto Resmi Wakil Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat ...... 54 GambarII.3. Scene Awal Iklan Kampanye Ahok-Djarot #PerjuanganBelumSelesai ...... 64

Gambar II.4. Scene Akhir Iklan Ahok-Djarot #PerjuanganBelumSelesai ...... 64

Gambar III.1. Scene Ahok menyapa warga Jakarta ...... 66

Gambar III.2. Scene Djarot memperkenalkan diri ...... 66

Gambar III.3. Scene Ahok mengucapkan Terimakasih ...... 75

Gambar III.4. Scene Djarot meminta doa restu warga Jakarta ...... 75 Gambar III.5. Scene Ahok dan Djarot Meminta Izin untuk Meneruskan Perjuangan ...... 76

Gambar III.6. Scene Ahok Mengucapkan Terimakasih Kepada Warga Jakarta ... 82

Gambar III.7.Scene Djarot Mengucapkan Salam ...... 83

Gambar III.8. Scene Akhir Iklan Ahok-Djarot ...... 88

xiv

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagi para aktor politik, citra sangatlah penting. Citra yang baik akan

meningkatkan elektabilitas sehingga kesempatan untuk memenangkan kontestasi

politik pun kian terbuka lebar. Karenanya peran komunikasi menjadi penting,

sebab tanpa adanya komunikasi maka tujuan para aktor politik akan sulit bahkan

tidak mungkin tercapai. Kampanye Politik, adalah salah satu bentuk komunikasi

politik yang dilakukan orang atau kelompok (organisasi) dalam waktu tertentu

untuk memperoleh dan memperkuat dukungan politik dari rakyat atau pemilih

(Arifin, 2003: 65).

Dipandang dari segi komunikasi, kampanye merupakan proses kegiatan

komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan

bertujuan menciptakan efek atau dampak tertentu. Rogers dan Storey (1987)

mendefinisikan kampanye sebagai rangkaian tindakan komunikasi yang

terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak

yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu (Venus, 2004:7).

Jika dikaitkan dengan konteks politik khususnya pemilihan kepala daerah

(pilkada), maka kampanye bertujuan mengomunikasikan visi dan misi serta

program kerja calon kepala daerah, membangun citra, dan untuk mendapatkan

dukungan khalayak yang hasil akhirnya memenangkan kontestasi politik.

Berbagai bentuk kampanye dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan

1 dukungan dan memenangkan kontestasi politik, mulai dari kampanye terbuka melalui penyebaran bahan kampanye kepada khalayak, penyampaian visi misi melalui debat publik, dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Sepeti halnya dengan iklan komersial, tujuan iklan kampanye pilkada tak lain adalah mempersuasi dengan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut iklan kampanye pilkada tampil impresif dengan senantiasa mengedepankan informasi tentang siapa kandidat

(menonjolkan nama dan wajah kandidat), apa yang telah kandidat lakukan

(pengalaman dan track record kandidat, bagaimana posisinya terhadap isu-isu tertentu (issues position) dan kandidat mewakili siapa (group ties). Isi (content) iklan kampanye pilkada senantiasa berisi pesan-pesan singkat tentang isu-isu yang diangkat (policy position), kualitas kepemimpinan (character), kinerja

(track record-nya) dan pengalamannya. Iklan kampanye pilkada, sebagaimana dengan iklan produk komersial yang tak hanya memainkan kata-kata (word), tetapi juga, gambar, suara dan musik. Masyarakat industri percaya bahwa iklan adalah cara yang paling tepat untuk memperkenalkan produk kepada masyarakat.

Dalam hal ini pamor televisi sebagai media paling canggih di dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat menjadi minat khusus pengiklan untuk menggunakan televisi sebagai pilihan utama saluran iklan (Bungin, 2008:207).

Jika dibandingkan dengan media lain iklan televisi memiliki kategorisasi yang jauh berbeda karena sifat medianya yang juga berbeda. Kategori besar dari sebuah iklan televisi adalah berdasarkan sifat media ini, dimana iklan televisi

2 dibangun dari visualisasi objek dan kekuatan audio. Simbol-simbol yang divisualisasikan lebih menonjol dibandingkan dengan simbol-simbol verbal.

Umumnya iklan televisi menggunakan cerita-cerita pendek menyerupai karya film pendek dan karena waktu tayangan yang pendek, maka iklan televisi berupaya keras meninggalkan kesan yang mendalam kepada pemirsa dalam waktu beberapa detik. Iklan televisi memiliki sifat dan kecenderungan yang mendekati logika pembohong, namun jarang dapat dibantah karena umumnya masuk akal (Bungin, 2008:115).

Akhmad Danial (2009) dalam buku Iklan Politik TV Modernisasi

Kampanye Politik Pasca Orde Baru menyebutkan bahwa salah satu karakter modernisasi kampanye adalah digunakannya televisi sebagai medium utama kampanye. Menurut Holtz-Bacha dan Kaid (2006), televisi digunakan oleh partai politik melalui dua cara. Pertama, lewat “cara-cara gratis” melalui peliputan regular media terhadap kegiatan partai atau kandidat politik yang mana konten beritanya tidak dapat dikontrol oleh aktor politik tersebut. Kedua, membayar ke media tersebut karena memasang “iklan politik” yang mana isinya dapat dikontrol sesuai kehendak aktor politik tersebut. Jadi, Politisi dan partai bisa mengontrol isi pesan politik yang disampaikan dalam iklan politik, namun tidak mempunyai kontrol terhadap bagaimana mengemas berita-berita politik di televisi. Setelah diperluas, Holtz dan Bacha (1995) mendefinisikan iklan politik sebagai: any programming format under the control of the party or candidate and for which time is given or purchased. Dengan perkembangan baru di bidang teknologi komunikasi, kemudian definisi iklan politik ini diperluas lagi yaitu any

3 controlled message communicated through any channel designed to promote the political interest of individuals, parties, grups, governments, or other organizations. Definisi ini tidak saja menitikberatkan pada aspek kontrol dan promosional dari iklan politik saja, tetapi juga membuka peluang memasukan perbedaan iklan politik dari sisi format dan saluran penyampaian pesan politik

(Danial, 2009:93-94). Danial juga mengutip analisis Joslyn yang terangkum dalam buku Lynda Lee Kaid, “Political Advertising in United States” , dalam

Lynda Lee Kaid & Christina Holtz-Bacha (eds.), the Sage Handbook Of Political

Advertising (2006:41) mengatakan salah satu jenis iklan politik adalah iklan politik yang menjual citra yaitu iklan-iklan politik yang lebih “menjual” karakteristik personal atau kualitas yang ada pada sang kandidat seperti latar belakang, pengalaman, langkah atau prestasi yang dibuat sebelum pencalonan, karakter, dan sebagainya.

“Mayoritas besar manusia puas dengan kesan luar, seolah kesan itu adalah realitas.” ~ Nicollo Machiavelli

Citra yang dibentuk oleh iklan seringkali menggiring khalayak untuk percaya pada objek yang diiklankan. Padahal dalam kenyataan seringkali apa yang digambarkan oleh iklan bertentangan dengan realitas sosial yang ada.

Sehubungan dengan iklan televisi, Fiske dan Hartley mengatakan, dunia televisi adalah jelas-jelas berbeda dengan dunia sosial manusia, terutama yang berhubungan dengan banyak cara, manusia mungkin menjelaskan hubungan ini dengan mengatakan televisi tidak mewakili aktualitas nyata masyarakat manusia,

4 karena televisi mencerminkan simbolisasi nilai-nilai struktural dan hubungan- hubungan dibalik permukaannya (Bungin, 2004:84-85). Kebanyakan dari kita tidak akan terkejut jika pada kenyataannya produk yang kita beli/pilih tidak sesuai dengan apa yang digambarkan di dalam iklan. Karena kita secara tidak sadar „menyadari‟ bahwa apa yang ada di dalam iklan hanyalah simbolisasi yang terstruktur untuk menggambarkan keunggulan suatu produk. Dikutip dari buku

Advertising: The Magic System oleh Raymond William, iklan bagaikan dunia magis yang dapat mengubah komoditas ke dalam kegemerlapan yang memikat dan mempesona. Sebuah sistem yang keluar dari imajinasi dan muncul ke dalam dunia nyata melalui media (Bungin, 2008:107). Iklan televisi dibuat untuk mengkomunikasikan produk kepada masyarakat luas. Namun, agar komunikasi itu efektif untuk mempengaruhi pemirsa terhadap produk yang ditampilkan, maka pencipta iklan mencoba menggunakan simbol yang diterjemahkan sendiri sebagai sesuatu yang berkesan baik. Sebaliknya komunikasi yang bermuatan simbol-simbol itu ditangkap dan dimaknai sendiri pula oleh pemirsa sebagai konsekuensi logis dalam interaksi simbolis. Sehingga tahap berikutnya akan terjadi proses pemaknaan dari berbagai pihak sebagai subjek dalam interaksi simbolis (Bungin, 2008:71-72).

Dalam pandangan Ratna Noviani (2002), mengatakan, ”Ada hubungan yang erat antara citra-citra dalam iklan dan realitas sosial”. Meskipun iklan penuh dengan permainan citra atau tanda, namun tidak berarti citra atau tanda tersebut kehilangan makna atau referensi realitas dan bersifat self-refererential.

Citra-citra dalam iklan tersebut tetap memiliki kaitan dengan konteks sosial

5 historis dimana citra-citra itu diciptakan. Dalam hal ini, iklan menginteraksikan antara citra dengan realitas. Dengan demikian, realitas yang ditampilkan oleh iklan adalah produk dari dialektika antara citra dan realitas. Meskipun dalam kenyataan iklan sering tidak jujur dan memanipulasi realitas obyektif dengan permainan citra-citraan Iklan telah menjelma mirip seperti nenek sihir, dimana ia datang mendadak dan bergegas menyebar mantra. Masyarakat pun terpesona

(dan kebanyakan) terperdaya olehnya tanpa bisa memberontak (Wibowo,

2003:iv).

Wahyu Wibowo pun dalam bukunya yang berjudul, “Sihir Iklan”, tetap dengan pendiriannya, iklan ibarat lagu “Benci Tapi Rindu” iklan yang dibenci dan sekaligus dirindui, iklan tampil tidak saja menjadi media informasi, tapi juga sebagai media hiburan yang sangat diminati dan digemari. Contoh saat masa kampanye pilkada, kehadiran sang tokoh dalam iklan kampanye begitu menarik untuk dinantikan, apalagi kalau Sang Tokoh ditampilkan dalam konstruksi citra yang tepat, sesuai dengan selera rakyat, meski tidak cukup menggambarkan realitas sesungguhnya (back stage) dan bahkan khalayak kadang merasa tidak butuh lagi informasi lain yang tidak sama untuk didialogkan.

Citra sendiri adalah gambaran manusia mengenai sesuatu, atau jika mengacu pada Lippman, citra adalah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang dan citra tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya

(Rakhmat, 2001:223). Jika dikaitkan dengan iklan kampanye pilkada maka di sinilah yang menjadi kelebihan sekaligus menjadi kekurangan daripada iklan kampanye pilkada dalam hal pencitraan. Iklan pasti melalui proses editing,

6 namun akan bahaya jika teknik editing ini digunakan secara berlebihan maka yang terjadi adalah deception atau pembohongan publik. Pakar politik Arbi Sanit misalnya menilai langkah sejumlah tokoh politik yang mengiklankan dirinya di media massa saat ini untuk menghadapi pemilu 2009 merupakan bentuk kecurangan kepada masyarakat. Sebab menurutnya lewat iklan itu masyarakat tak dapat menilai kapasitas seseorang. Sebuah iklan nampak paling sederhana sekalipun, sesungguhnya mengandung makna yang berlapis (Prabasmoro, 2003 :

57). Iklan tidak bebas nilai, sebaliknya dipenuhi berbagai kepentingan dan ideologi yang memberikan keuntungan dan kekuasaan pada pihak-pihak tertentu.

Dengan potensi ini, iklan dapat hadir sebagai sebuah persoalan. Citra yang ditampilkan sebuah iklan bisa tidak melulu sesuai dengan realitas yang ada, dengan harga yang relatif mahal dan durasi iklan di televisi yang singkat maka iklan yang ditampilkan haruslah efektif dan mampu mempersuasi target sasaran.

Jika melihat dari tujuan, maka tujuan utama dari iklan kampanye pilkada sama dengan iklan politik yaitu informatif-persuasif, iklan kampanye pilkada menginformasikan kepada pemilih bahwa dengan memilih kandidat atau partai tertentu maka kualitas hidup mereka bisa berubah. Selain itu juga dapat menciptakan persaingan antar peserta Pemilu.

Kesenjangan antara apa yang digambarkan dalam iklan dengan realitas inilah yang dapat dijembatani melalui studi semiotik. Dalam pandangan Umberto

Eco, semiotik mempunyai dua fungsi ganda, seperti dua sisi mata pedang, yaitu kemampuannya untuk membuktikan “kedustaan” dan “kebenaran” sekaligus.

Selain itu, semiotik pun dapat digunakan untuk membuat “dusta” dan membuat

7 sesuatu yang “benar”(Rusmana, 2014:311). Sebagaimana disebut Eco dalam bukunya Teori Semiotika, “semiotika secara prinsipiil adalah disiplin ilmu yang mengkaji tentang segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong”. Yang mana jika sesuatu tidak dapat dipakai untukmengekspresikan keberbohongan, maka ia juga tidak dapat dipakai untuk mengekspresikan kebenaran (Eco,

2009:7). Misalnya saja iklan rokok, sudah menjadi rahasia umum bahwa rokok jelas menyebabkan problem kesehatan bahkan penyebab kematian namun yang digambarkan dalam iklan-iklan rokok jelas bertentangan. Sehingga dapat disimpulkan apa yang ditawarkan iklan ini adalah informasi yang salah dan merupakan distortion mirror of reality.

Distorsi seperti yang dijelaskan tadi juga terjadi dalam iklan kampanye pilkada. Distorsi-distorsi tersebut bahkan menimbulkan kontroversi di masyarakat. Sebagai contoh adalah Iklan politik partai Demokrat yang menampilkan model iklan yang sekaligus petinggi partai Demokrat dimana iklan tersebut secara tersurat menggambarkan partai demokrat menentang dan akan terus melawan korupsi tanpa pandang bulu. Sekarang, keberadaan iklan politik tersebut seakan menjadi bumerang bagi partai Demokrat. Karena iklan yang mengusung tema antikorupsi justru pengurusnya terjebak dalam kubangan perilaku korupsi. Realitas sosial yang bertentangan dengan pesan yang diusung dalam iklan politik partai Demokrat ini kemudian berakibat pada penilaian masyarakat yang menganggap iklan „selalu‟ tidak jujur (Sumbo: 2015). Pesan verbal dan pesan visual yang dimunculkan dalam visualisasi iklan dicitrakan kurang peka terhadap kondisi sosial budaya masyarakat yang melingkupinya.

8

Namun bisa juga sebaliknya dimana apa yang dicitrakan oleh iklan bisa jadi mendekati realitas sosialnya.

Beberapa waktu lalu pilkada DKI Jakarta mendapat sorotan publik. Hiruk pikuk pesta demokrasi pemilihan gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 ini dikatakan yang paling mendominasi pemberitaan dibanding daerah lain di

Indonesia yang juga melaksanakan pilkada serentak. Pemberitaannya mendominasi di berbagai media massa offline maupun online. Menurut Direktur

Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang mengatakan, banyak faktor yang menjadi alasan mengapa pemberitaan pilkada DKI Jakarta di media online lebih mendominasi dibandingkan 100 daerah lain. Pertama, Jakarta merupakan pusat negara. Kemudian jabatan kepala daerah DKI Jakarta menjadi proyeksi untuk menuju kursi kepresidenan (Fachri, 2016). Tak hanya media lokal saja namun media internasional pun menyoroti pilkada DKI Ini, dalam laporannya The Guardian menuliskan bahwa memenangkan Pemilu Gubernur dilihat sebagai batu loncatan tak resmi untuk menjadi presiden. Presiden saat ini,

Joko Widodo „pindah‟ dari posisis Gubernur Jakarta ke kantor presiden pada

2014 (Khairisa: 2017).

Dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 ini terdapat tiga pasangan calon yang bertarung, pasangan calon dengan nomor urut 1; Agus Harimurti

Yudhoyono-Sylviana Murni, pasangan calon nomor urut 2; petahana Basuki

Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan calon nomor urut 3; Anies

Rasyid Baswedan–Sandiaga Shalahuddin Uno. Ketiga-nya berlomba membangun

9 citra agar calon pemilih yakin untuk menjadikan mereka orang nomor satu di

DKI Jakarta.

Iklan pasangan Basuki Thjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang tayang di televisi dipilih karena pasangan tersebut terbilang fenomenal. Sebagai petahana, sepak terjang Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat memimpin Jakarta sudah dirasakan efeknya bagi warga Jakarta. Beberapa kebijakannya dikenal kontroversial. Jika kurang hati-hati, maka setiap kebijakannya yang kontroversi akan sangat mudah disusupi kepentingan politis untuk menjatuhkannya. Seperti yang terjadi setelahinsiden Al-Maidah 51 yang menerpa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, hasil survey LSI (Tempo: edisi menohok ahok 21-27 November 2017: 34-35) menunjukan elektabilitas pasangan ini anjlok 6,8% dan semakin terjun bebas 14 persen jika ternyata ahok ditetapkan sebagai tersangka.

Kuskridho Ambardi, Direktur Eksekutif LSI dalam artikel yang diterbitkan portal berita BBC pada bulan Desember 2016 menyatakan bahwa sebenanya

Dalam hal kinerja, Ahok unggul karena merupakan petahana. Karena di negara- negara manapun, petahana punya keuntungan. Namun kenyataannya, walau pada pemilihan putaran pertama setelah ditetapkan sebagai tersangka pasangan ini berada di urutan pertama dengan perolehan suara 42,96 persen diikutin pasangan nomer urut 1 anies-sandi 39,97 persen dan Agus-Sylviana Murni 17,06 persen.

Tapi kalah di putaran kedua dengan persentase 42,05 persen untuk Ahok-Djarot serta Anies-Sandi dengan Presentase 57,95 persen.

10

Pada survey yang dirilis Lembaga Survei Indonesia pada Desember 2016 calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama meskipun merupakan sosok yang dikenal pintar, berwawasan luas, perhatian pada rakyat, jujur/bersih dari korupsi, tegas berwibawa dan mampu memimpin DKI Jakarta tapi Basuki

Tjahaja Purnama dianggap kurang ramah/santun serta kalah dalam penampilan fisik jika dibandingkan dengan kedua calon gubernur DKI lainnya. Dalam survei lain yang dirilis Charta Politika periode 7-12 April 2017 didapat temuan bahwa alasan rasional seperti kerja nyata, tegas danprogramnya bagus merupakan alasan-alasan utama yang menjadi dasar pilihan responden terhadap Basuki

Tjahaja Purnama. Sementara pilihan terhadap Anies Rasyid Baswedan didasarkan pada alasan emosional seperti ramah dan sopan, satu agama dan wajah baru.Sebaliknya, alasan responden tidak memilih Anies Rasyid Baswedan terutama dikarenakan alasan rasional belum berpengalaman, sementara alasan responden tidak memilih Basuki Tjahaja Purnama terutama dikarenakan alasan emosional seperti kasar dan arogan. Sebagian besar responden (66,8%) menyatakan “Latar belakang suku" bukan menjadi pertimbangan pemilih didalam menjatuhkan pilihan di Pilkada DKI Jakarta 2017, sementara "Latar belakang agama" relatif dinilai penting (47,4%) sebagai salah satu pertimbangan bagi para pemilih.

Berangkat dari fenomena – fenomena ini dan melihat pada hasil survei yang mengindikasikan bahwa faktor emosional seperti agama dinilai penting, peneliti tertarik meneliti iklan kampanye pilgub DKI Jakarta tahun 2017 milik pasangan calon nomor 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat (Ahok-

11

Djarot) versi #perjuanganbelumselesai yang tayang di beberapa stasiun televisi

swasta. Peneliti tertarik mengidentifikasi tanda, simbol, dan nilai-nilaiyang

muncul dalam iklan tersebut, terkait makna yang terkandung dan pesan apa yang

ingin disampaikan ke publik serta mitos dan citraaan yang terselip dalam iklan

berdurasi 30 detik tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana citra pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat

diartikulasikan dalam iklan kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 di televisi versi

#perjuanganbelumselesai ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi citra yang

ditampilkan pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat

dalam iklan kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 di televisi versi

#perjuanganbelumselesai.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk :

1.3.2.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian studi dan

menjadi bahan pembelajaran ilmu komunikasi tentang pemaknaan

12

iklan kampanye pilkadamelalui televisi dengan model semiotika

Roland Barthes.

1.3.2.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat

menyumbangkan pemikiran terhadap pembuatan iklan

kampanye pemilihan kepala daerah, bagaimana mencitrakan

pasangan calon kepala daerah dalam iklan kampanye-nya di

televisi.

Penelitian ini juga diharapkan agar masyarakat bisa lebih jeli

melihat makna tersembunyi dibalik sebuah iklan sehingga tidak

begitu saja terpengaruh oleh realitas yang disajikan oleh iklan.

1.4 Kajian Pustaka

1.4.1 Penelitian Sebelumnya

Penelitian Semiotika dengan objek iklan kampanye juga sudah pernah

dilakukan oleh Shobihin Amin (skripsi tahun 2005)mengangkat judulImage

Iklan Kampanye Politik Televisi (Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Pemilu Presiden 2004)Shobihin

menangkap fenomena tayangan iklan kampanye pilpres (televisi) yang

banyak menggunakan citra (image) dalam menyampaikan pesan kepada

pemirsa, sehingga informasi penting tentang profil, visi dan misi kandidat

yang sesungguhnya menjadi kabur “terselimuti” oleh kuatnya pencitraan

13

kandidat. Hal inilah yang menyebabkan jalinan alur cerita iklan seolah

“nyambung”, meski sebenarnya jalinan imajinya sama sekali tidak terkait.

Dengan perkataan lain, imaji yang disebarkan dalam iklan (televisi)

disambung-sambungkan dengan dukungan efek audio-visual.

Oleh karenanya, fokus pada penelitian ini menyangkut tanda-

tanda/simbol-simbol yang digunakan dalam iklan. Tujuannya adalah untuk

mengungkap/mengetahui bagaimana image iklan kampanye pilpres di

televisi milik pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada pemilu

presiden 2004. Sebab tayangan iklan Kampanye politik di televisi tidak

hanya sebatas menawarkan profil, visi dan misi Capres.

1.4.2 Iklan

Istilah advertising (periklanan) berasal dari kata latin abad pertengahan

advertere, “mengarahkan perhatian kepada”. Istilah ini menggambarkan tipe

atau bentuk pengumuman publik apa pun yang dimaksudkan untuk

mempromosikan penjualan komoditas atau jasa, atau untuk menyebarkan

sebuah pesan sosial atau politik (Danesi, 2010: 362).

Banyak jenis iklan yang masing-masing memiliki karakter tersendiri.

Sebuah iklan memerlukan ide-ide dan konsepkreatif agar pesan persuasif

tersebut dapat diterima khalayak. Dalam produksi iklan, ada perhatian yang

obsesif dan ada hasrat untuk membuat setiap detail terlihat benar dan riil.

Proses produksi iklan selalu diwarnai dengan tipifikasi-proses menciptakan

standar konstruksi sosial (khas) didasarkan pada asumsi-asumsi standar- dan

14 idealisasi-penyesuaian dengan yang dicita-citakan/yang dikehendaki- sehingga dapat dikatakan iklan „memoles‟ realitas sosial yang ada untuk disesuaikan dengan pesan yang diiklankan. Menurut Marchand, tidak ada iklan yang ingin menangkap kehidupanseperti apa adanya, tapi selalu ada maksud untuk memotret ideal-ideal sosial, dan merepresentasikan sebagai sesuatu yang normatif, seperti kebahagiaan, kepuasan (Noviani, 2002: 58).

Dapat juga dikatakan bahwa iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana promosi untuk menawarkan barang dan jasa saja, tetapi iklan mengalami perluasan fungsi, yaitu menjadi alat untuk menanamkan makna simbolik melalui bahasa dan visualisasi dalam pesan iklan. Sesuai dengan karakternya, iklan merupakan potret realitas yang ada di masyarakat sehingga dapat menyebarkan nilai- nilai sosial, budaya, politik, dan sebagainya.

Di belakang iklan yang baik terdapat sebuah konsep kreatif, sebuah ide besar yang membuat pesannya menjadi berbeda, merebut perhatian, dan mudah diingat (Vera, 2014:43-44).

1.4.2.1 Iklan Kampanye

Dalam Peraturan Komisi Pemilih Umum Republik Indonesia

Nomor 4 Tahun 2017 (PKPU No. 4 Tahun 2017) tentang kampanye

pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati,

dan/atau walikota dan wakil walikota disebutkan apa yang dimaksud

dengan iklan kampanye. Pada bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 24

15 disebutkan, yang dimaksud dengan iklan kampanye adalah penyampaian pesan kampanye melalui media cetak dan elektronik berbentuk tulisan, gambar, animasi, promosi, suara, peragaan, sandiwara, debat, dan bentuk lainnya yang dimaksudkan untuk memperkenalkan pasangan calon atau meyakinkan pemilih memberi dukungan kepada pasangan calon, yang difasilitasi oleh KPU

Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota yang didanai

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Adapun terkait lembaga penyiaran kampanye diatur dalam ayat

25. Dimana pada ayat 25 disebutkan bahwa Pemberitaan dan

Penyiaran Kampanye adalah penyampaian berita atau informasi yang dilakukan oleh media massa cetak, elektronik dan lembaga penyiaran yang berbentuk tulisan, gambar, video atau bentuk lainnya mengenai

Pasangan Calon, dan/atau kegiatan.

Lebih lanjut dalam PKPU No. 4 Tahun 2017 tentang kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota bagian keempat diatur mengenai penayangan iklan kampanye di media massa. Pada bagian keempat pasal 32 disebutkan mengenai media penayangan iklan kampanye yaitu pada media massa cetak, media massa elektronik (televisi dan radio dan/atau media dalam jaringan), dan/atau lembaga penyiaran.

Materi iklan kampanye dapat memuat informasi mengenai nama, nomor, visi, misi, program, foto Pasangan Calon, tanda gambar Partai

16

Politik atau Gabungan Partai Politik dan/atau foto pengurus Partai

Politik atau Gabungan Partai Politik. Adapun materi iklan kampanye

dilarang mencantumkan foto atau nama Presiden dan Wakil Presiden

Republik Indonesia serta harus disesuaikan dengan peraturan

perundang-undangan dan etika periklanan. Materi Iklan Kampanye

dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, dan/atau

suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau

tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima

pesan (Pasal 33 ayat 2-5).

Iklan kampanye hanya boleh ditayangkan selama 14 (empat

belas) hari sebelum dimulainya masa tenang dan setiap pasangan

calon hanya dapat menayangkan paling banyak total 10 (sepuluh) spot

iklan berdurasi 30 detik untuk setiap stasiun televise. Hal ini diatur

pada pasal 34 ayat 1 dan 2 PKPU No. 4 Tahun 2017.

1.4.2.2 Iklan Televisi

Tugas utama iklan televisiadalah menjual barang atau jasa bukan

menghibur. Dikutip Bungin (2008: 121) dari David Ogilvy (1987: 170)

Horace Schrewin melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara rasa

suka kepada iklan-iklan dan termakan oleh iklan tersebut. Kata-kata

Screwin ini tidak lagi dipatuhi oleh para copywriter dan visualizer

iklan televisi karena ternyata menghibur sambil menjual di televisi

menjadi lebih menarik.

17

Para copywriter iklan televisi, kendati mengetahui tidak ada hubungannya antara iklan dengan keterpengaruhan pemirsa terhadap iklan tertentu, namun dorongan kapitalisme untuk menjadikan iklan sebagai medium pencitraan terhadap produk-produk kapitalisme lebih memengaruhi jalan pikiran copywriter di saat mereka memulai pekerjaan mereka. Para copywriter percaya dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar kekuatan memengaruhi pemirsa, apalagi kalau pencitraan itu dilakukan melalui konstruksi realitas sosial, walaupun realitas itu sifatnya semu. Hal ini adalah sebagian contoh dari upaya teknologi menciptakan theatre of mind dalam dunia kognitif masyarakat.

Tanpa disadari citra dalam iklan televisi telah menjadi bagian dari kesadaran palsu yang sengaja dikonstruksi oleh copywriter dan visualizer untuk memberi kesan yang kuat terhadap produk yang diiklankan. Namun, tanpa disadari, mereka telah membawa pemirsa ke dalam dunia yang semakin tidak jelas. Menurut Yong-San, para copywriter dan visualizer sering secara sengaja menciptakan gambaran palsu (pseudo-reality) dalam iklan (Bungin, 2008: 121-127). Dikutip

Bungin dari Ibrahim Suharko (1998; 325) iklan-iklan berisikan manipulasi fotografi, pencahayaan, dan taktik-taktik kombinasi lain yang memunculkan suatu pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri atau yang disebut dengan vicorius experience.

18

Sengaja ataupun tidak, citra dalam iklan televisi telah menjadi

bagian terpenting dari sebuah iklan televisi itu. Citra ini pula adalah

bagian penting yang dikonstruksi iklan televisi. Namun sejauh mana

konstruksi itu berhasil, amat bergantung pada banyak faktor, terutama

adalah faktor konstruksi sosial itu sendiri, yaitu bagaimana upaya

seorang copywriter mengkonstruksi kesadaran individu serta

membentuk pengetahuan tentang realitas baru dan membawanya ke

dalam dunia hiper-realitas, sedangkan pemirsa tetap merasakan bahwa

realitas itu dialami dalam dunia rasionalnya (Bungin, 2008: 127).

Tidak ada iklan kampanye pilkada yang secara vulgar langsung

meminta agar audiens memilih mereka dalam pemilu nanti.

Kesemuanya menggunakan strategi persuasif dan bermain-main

dengan pemaknaan yang sifatnya konotatif. Artinya, mereka tidak

secara sengaja meminta agar komunikan tunduk terhadap pesan-pesan

yang mereka tembakkan melalui bahasa iklan tadi.

Para pasangan calon umumnya memakai simbolisasi guna

membentuk pencitraan bahwa mereka adalah pasangan yang paling

pantas memimpin oleh karenanya layak dipilih dalam pemilu kelak.

1.4.3 Analisis Tekstual

Tradisi analisis tekstual banyak dikembangkan oleh tradisi Cultural

Studies yang dilakukan oleh Stuart Hall (1972) dan koleganya. Analisis

tekstual muncul sebagai salah satu metodologi yang digunakan untuk

19 mengupas, memaknai, sekaligus mendekonstruksi ideologi, nilai-nilai, interes, atau kepentingan yang ada di balik sebuah teks media. Metode analisis tekstual digunakan untuk mencari makna laten (latent meaning) yang tersembunyi di balik teks-teks media massa.

Metode analisis tekstual sebenarnya memberikan perangkat atau tools for analysis teks-teks media agar peneliti mampu mengungkap konstruksi yang tersembunyi dalam bangunan-bangunan teks media dengan pemaknaan yang berbeda-beda. Sehingga masyarakat diharapkan tidak hanya percaya begitu saja dengan realitas yang dibentuk dan diciptakan serta didistribusikan dalam teks-teks media yang mereka konsumsi sehari-hari.

Analisis tekstual juga memberikan pengertian bahwa budaya atau culture yang dikreasi dan kemudian didistribusikan dan dikonsumsi adalah hasil dari konstruksi sosial yang tidak “given” atau “taken for granted”.

Dengan dasar pengetahuan ini, maka analisis tekstual berangkat dari asumsi bahwa makna tidak tunggal tetapi multi atau merujuk istilah Fiske (1981) makna bersifat polisemi (dalam Ida, 2011).

Definisi Analisis Tekstual

Alan McKee (dalam Ida, 2011:41) menjelaskan bahwa analisis tekstual adalah interpretasi-interpretasi yang dihasilkan dari teks. Interpretasi- interpretasi ini adalah proses ketika kita melakukan encoding sekaligus decoding terhadap tanda-tanda di dalam kesatuan sebuah teks yang dihasilkan. Interpretasi peneliti dalam hal ini tidak harus benar. Sebab

20 penelitian dengan menggunakan analisis tekstual tidak untuk mencari intepretasi yang benar. Interpretasi yang dihasilkan oleh peneliti mestilah memberikan kepercayaan yang meyakinkan (convincing) bagi argument- argumen penelitian yang dibangun sebagai tesis penelitian. Berbeda dengan kuantitatif yang menuntut „kebenaran‟ atau keberhasilan statistik dari sebuah penelitian. Dalam analisis tekstual, peneliti tidak dituntut melakukan interpretasi dengan tepat. Artinya dalam melakukan asesmen terhadap penelitian analisis tekstual tidak dapat digunakan standar tertentu.

Tujuan Analisis Tekstual

Analisis tekstual bertujuan menggali lebih dalam (to explore), membuka makna-makna tersembunyi (to unpack), membongkar konsep, nilai, ideologi, budaya, mitos, dan hal-hal lain yang diproduksi dan direproduksi oleh pembuat teks atau penguasa media (to deconstruct), untuk memahami bagaimana sebuah kultur, mitos, kepentingan lain yang ada dalam produksi teks (to understand) dan lain-lain.

Menurut McKee, tujuan dari kajian analisis tekstual meliputi hal-hal berikut:

1. Mengungkap apa dan bagaimana pengetahuan (knowledge)

diproduksi dalam suatu konteks masyarakat;

2. Memahami peran yang dimainkan media dalam kehidupan kita:

bagaimana pesan-pesan media berpartisipasi dalam konstruksi

budaya terhadap pandangan kita tentang dunia.

21

Analisis Tekstual dan Produksi

Menurut Thwaites dkk (2009:122), analisis tekstual bergerak dari menentukan lokasi tanda khusus, sampai memeriksa struktur mitos sosial.

Analisis ini melibatkan asumsi-asumsi sbb.:

1. Premis dasar analisis tekstual adalah bahwa semua penanda

memiliki petanda yang beraneka;

2. Konotasi yang dimiliki tanda selalu berhubungan dengan kode

makna sosial;

3. Tiap-tiap teks merupakan kombinasi sintagmatik dari tanda, dengan

berbagai konotasi berkaitan yang dimiliki tanda tersebut;

4. Konotasi yang mungkin ditekankan oleh para pembaca berbeda itu

beraneka macam sesuai dengan posisi sosialnya: kelas sosial,

gender, usia, dan faktor-faktor lain yang memengaruhi cara berpikir

tentang dan dalam menginterpretasi teks;

5. Konotasi paling stabil, sentral, dan disukai secara sosial menjadi

denotasi, yakni makna yang tampak benar dari tanda dan teks bagi

para pembaca;

6. Denotasi memeroleh stabilitas dan sentralitas dari cara kumpulan

konotasi diurutkan oleh mitos yang mengandung nilai-nilai budaya.

Teks

Teks dalam konteks ini adalah semua yang tertulis, gambar, film, video, foto, desain grafis, lirik lagu, dan lain-lain yang menghasilkan makna

(McKee, 2001). Pengertian teks tidak hanya meliputi hasil produksi media

22 massa atau publikasi. Teks juga bisa diartikan sebagai realita sehari-hari yang memiliki atau menghasilkan makna.

Dalam kajian-kajian wacana atau discourse, seringkali peneliti studi media hanya memahami teks-teks media yang tertulis atau terdokumentasi dan belum memiliki kepekaan untuk mengangkat praktik-praktik kehidupan sosial sebagai sebuah teks yang menarik untuk diamati dan dikaji. Kebiasaan untuk menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai sebuah teks lebih sering dilakukan oleh tradisi Antropologi melalui metode etnografi (Ida, 2011:40).

Menurut Thwaites dkk (2009:112), teks adalah kombinasi dari tanda- tanda atau signs. Tanda-tanda ini yang bermain dan memproduksi makna dalam sebuah teks. Tanda atau sign diartikan sebagai segala sesuatu yang menghasilkan makna. Tanda tidak hanya berupa komentar yang dibuat oleh seseorang yang mengolah tanda menjadi bermakna. Tetapi tanda juga adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini. Tanda atau sign merujuk pada sesuatu.

Dengan kata lain, tanda mewakili atau menjadi referensi terhadap sesuatu sehingga menghasilkan makna. Tanda tidak hanya membawa makna, tetapi juga sekaligus memproduksi makna. Pada kenyataannya tanda sendiri memproduksi banyak makna, tidak hanya satu makna petanda. Inilah yang disebut Fiske sebagai polisemik tanda.

Setiap tanda/sign adalah objek yang merujuk pada sesuatu berdasarkan pada konteks atau pada budaya di mana tanda itu sendiri diproduksi dan direproduksi. Konteks budaya, bahkan historis menjadi penting untuk menghasilkan makna. Salah satu cara dalam kajian analisis tekstual untuk

23 menghasilkan derajat objektivitas penelitian. Maka konteks budaya menjadi sangat signifikan untuk menghasilkan apa yang disebut objektivitas tersebut.

Menurut McKee, ada beberapa aturan yang harus dipahami peneliti studi media dan budaya. Aturan ini berfungsi sebagai pijakan dalam memerlakukan data dan sekaligus fenomena yang diamati termasuk kepekaan sosial dan analisis kritisnya terhadap apa yang terjadi atau apa yang sedang terjadi. Aturan-aturan tersebut adalah:

1. Tidak ada interpretasi terhadap teks yang paling benar atau satu-

satunya yang benar. Ada banyak kemungkinan interpretasi-

interpretasi yang dilakukan oleh peneliti. Bisa juga sebagian mirip

dengan yang lain dalam kondisi tertentu.

2. Tidak ada klaim bahwa sebuah teks adalah representasi yang

“akurat” atau representasi yang “tidak akurat”.

3. Teks bukanlah refleksi realitas.

4. Ketika peneliti memaknai atau menginterpretasi teks, maka hal

yang terpenting untuk diperhatikan adalah konteks, konteks, dan

konteks. KONTEKS.

Teks, selalu diproduksi dalam konteks sosial. Teks selalu dipengaruhi oleh dan mereproduksi nilai budaya dan mitos dari konteks tersebut. Mitos kultural yang berlaku menentukan akan berupa apakah denotasi kunci, kode, konotasi, dan tanda yang dimiliki suatu teks. Bahkan seandainya suatu teks bertentangan dengan nilai-nilai tersebut sekalipun (contohnya prasasti), teks masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tersebut.

24

1.4.3.1 Analisis Tekstual Iklan Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-

Djarot Saiful Hidayat #Perjuanganbelumselesai

Dalam konteks iklan sebagai produksi teks, iklan memiliki tiga

macam sumber produsen, yakni organisasi mula-mula, lembaga

konsultan kreatif yang membuat iklan, dan media yang

memproyeksikan pesan tersebut (Burton, 2008). Iklan dikodekan untuk

media spesifik. Iklan ini mengandung pelbagai pesan yang informatif

dan mengandung nilai tertentu. Pesan-pesan tersebut kemudian

direpresentasikan sehingga menarik bagi audiens. Audiens dalam hal

ini ditargetkan sebagai penerima komunikasi. Dalam hal ini audiens

kemudian berperan sebagai produsen makna. Di mana makna itu

sendiri terbentuk atas pengaruh kebudayaan di mana makna itu

diproduksi. Hal ini digambarkan melalui logika berikut:

Gambar I.1. Logika Analisis Tekstual dan Produksi Tekstual (Thwaites, 2009:122) Dalam konteks iklan kampanye pemilihan kepala daerah, tim

sukses Pasangan calon mula-mula memilikikonsep-konsep tertentu

yang ingin disampaikan kepada audiens (mitos). Konsep ini kemudian

disampaikan kepada lembaga konsultan kreatif yang membuat iklan.

Konsep berupa mitos yang diharapkan akan diterjemahkan oleh

pembuat iklan melalui lapis denotatif. Selanjutnya penanda dan

25

petanda yang dihasilkan dari lapis denotatif menjadi kode dan penanda

maupun petanda bagi lapis konotatif hingga mewujud menjadi

berbagai tanda yang hadir dalam iklan kampanye pasangan calon

dalam hal ini pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot

Syaiful Hidayat.

Durasi iklan televisi yang singkat dan padatnya informasi yang

ingin disampaikan Pasangan calon ( Wajah dan nama kandidat, isu-isu

yang diangkat, kualitas kepemimpinan , kinerja-nya dan hal-hal

lainnya yang dapat menaikan pamor pasangan calon)memacu pembuat

iklan untuk mencari tanda lain yang dapat digunakan untuk

menggantikan kata-kata yaitu dalam objek penelitian ini adalah visual

dan dialog/ narasi yang diucapkan kan dalam iklan.

1.4.4 Pendekatan Teknik Visualisasi (Komposisi dan Modalitas)

Yuliani dalam Shobihin (2005: 50) menyebutkan dalam visualisasi ide-

ide dalam iklan televisi yang digunakan sebagai obyek penelitian berupa

gambar bergerak hasil dari penyutingan langsung maupun dengan hasil

rekaman gabungan antara gambar setting dengan desain komunikasi visual.

Visualisasi dalam iklan merupakan cara untuk dapat menyampaikan pesan

pada bidang yang seminimal mungkin. Pesan seringkali tidak disampaikan

pada tataran verbal, tapi lebih sebagai the hidden value, yang selalu

membawa nilai tersembunyi pada narasi pesan dengan muatan berbagai

representasi.

26

Menurut Barthes (1977:3) dalam Djoko Soebagyo (2001), sebuah foto atau gambar merupakan suatu bentuk an institusional activity yang berkonsekuensi pada aktivitas sosial yang berhubungan dengan realitas dan berada pada kondisi kultural serta mempunyai fungsi integrasi manusia.

Kondisi ini meletakkan gambar pada fungsi korelasi dan definisi terhadap kenyataan sosial sebagai suatu yang melintasi sejarah. Interaksi antara dua hal di atas (kenyataan fotografis dan representasi realisme) terletak pada bagaimana sebuah gambar mewakili realitas sosial, tapi juga bagaimana realitas sosial yang sedang berlangsung di luar gambar akan berinteraksi memunculkan penafsiran yang kontekstual (Shobihin, 2005:50).

Iklan dalam penelitian ini, menggunakan materi gambar, dengan pendekatan komposisi dan modalitas yang terbagi dalam dua karakter yaitu:

1. Gambar sebagai hasil dari penyutingan, sebuah kondisi yang

sengaja diarahkan untuk menghasilkan pesan yang disajikan dengan

senatural mungkin.

2. Gambar yang dipadukan dengan teknik fotografi dengan software

komputer grafis.

Untuk menguak makna yang tersembunyi perlu adanya pemahaman tentang komposisi dan ilustrasi. Komposisi dan ilustrasi merupakan sarana untuk mempermudah pembacaan gambar beserta aliran narasinya.

Komposisi berpengaruh pada proses pembacaan pesan pada tingkat kombinasi dan sering sintaksis dari pada paradigmatik. Dari ini dapat diketahui bagian mana yang harus dibaca terlebih dahulu dan bagian mana

27 yang mendapat penekanan. Ilustrasi merupakan cara yang digunakan oleh produser iklan untuk mengetengahkan kritik, satir dan parodi yang akan mewarnai sebuah visualisasi. Ilustrasi bekerja pada level seleksi yang berpengaruh pada paradigmatik, yang dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana produser membentuk kesan terhadap obyek gambar kepada pembaca. Disini akan dapat diketahui bagaimana image pasangan calon dalam iklan kampanye akan tergambarkan.

Komposisi. Konvensi pada penulisan sangat berpengaruh pada penataan komposisi dan arah pembacaan pesan. Kultur dapat menentukan bahwa penulisan diawali dari kiri lalu mengalir ke kanan dan aliran pembacaan yang berawal dari atas ke bawah. Konvensi ini sangat mempengaruhi bagaimana antartanda visual berelasi dalam gambar dan dioperasikan menjadi pesan. Proses pemaknaan untuk tiap-tiap gambar bisa berbeda. Pada konvensi sosial yang memberlakukan penulisan dari kanan ke kiri (Yuliani dalam Shobihin 2005: 52).

Shobihin (2005: 53) mengutip Kress dan Ven Leeuwen, 1996 yang menyebutkan tiga elemen yang digunakan untuk mencari pesan dan makna dalam gambar. Elemen ini merupakan komposisi secara keseluruhan, cara bagaimana obyek representasi berinteraksi dan berelasi serta cara bagaimana mengintegrasikannya menjadi makna secara keseluruhan. Hal inilah memberikan tekanan bahwa aturan komposisi akan menentukan bagaimana gambar dibaca dan menghasilkan makna. Pada operasionalnya elemen ini menggunakan tiga sistem yang saling berelasi yaitu informative value,

28 salience dan framing.

Informative value merupakan penempatan elemen-elemen yang berdasar pada pola kiri dan kanan, atas dan bawah atau pusat dan tepi.

Penempatan ini menentukan aturan sintaksis dari hubungan antar elemen dengan audiens. Hal ini dipengaruhi oleh konvensi pembacaan dari kiri ke kanan. Informative value memiliki sisi analisa yang merujuk pada komposisi keruangan, yaitu gien dan new, ideal dan real serta center dan margin.

Given dan new merupakan konsep komposisi yang menentukan bagaimana sebuah pesan dibaca pada sisi kiri dan kanan, bagaimana aliran pesan dan bagaimana bagian yang ordinat dan subordinat ditempatkan.

Given menunjuk pada pengertian sesuatu yang pasti, yang meletakkan pesan pada struktur yang jelas dan teridentifikasi bukan problematik. Pada suatu visual iklan, diletakkan pada sisi kiri ruang iklan dan pesan dimulai dari sisi ini. Sedangkan new berada pada sisi kanan sebagai problematik dan isu.

Pada sisi ini tampilan visual belum bisa menjelaskan maksud secara utuh, tapi membutuhkan penerangan dan penjelasan lagi. New biasanya merupakan bagian pesan yang diletakkan pada struktur subordinat dari given.

Ideal dan real adalah pembacaan pesan berdasar pada kesepakatan dari atas ke bawah. Ideal pada bidang atas dan real pada bidang bawah. Ideal merupakan sisi dimana pesan dibaca sebagai sesuatu yang diharapkan, menjadi tujuan dan angan-angan atau berdasar apa yang mungkin akan terjadi. Disini tidak membutuhkan penjelasan atas fenomena. Sedang real

29 merupakan sisi pembacaan pesan sebagai suatu realitas pada pesan yang sebenarnya atau what is. Dalam media periklanan pesan dapat dilihat dan dipahami dalam bentuk-bentuk yang problematik dan faktual yang biasanya diletakkan pada bagian bawah ruang dalam iklan. Sedangkan centerdan margin menunjukkan pada bagian yang penting dan yang kurang penting.

Sisi center adalah bagian yang ditonjolkan atau sebagai fokus utama, sebagai sebab atau akibat yang utama. Centerdiletakkan pada bagian tengah ruang sebuah visualisasi. Margin sebagai pembatas, sebagai tambahan yang mendukung atau mengunsuri center. Margin biasanya diletakkan pada bagian tepi-tepi center.

Margin Margin Ideal Ideal Given New

center

Given New Real Real Margin Margin

Gambar I.2. Komposisi yang Digunakan pada Konvensi Penulisan dari Kiri ke Kanan

Pada iklan kampanye, komposisi tersebut di atas memiliki

kecenderungan dapat diterima dan dipahami untuk memaknai pesan baik

dari segi visual maupun dari teks headline dan teks bodycopy serta

penempatannya dalam ruang sebuah iklan. Sebagaimana disampaikan awal,

sistem ini bekerja berdasar pada konvensi atau kesepakatan sosial atau

30

kultur, sehingga tidak setiap wilayah tertentu memiliki pola komposisi dan

pembacaan pesan yang sama. Komposisi di atas adalah komposisi yang

cenderung digunakan pada konvensi penulisan dari kiri ke kanan.

Modalitas. Pada bentuk-bentuk visual, pesan-pesan disajikan secara

terpilih melalui berbagai seleksi. Ini selalu berlaku pada kondisi kultural

media, karena tema tidak dengan serta merta dipilih tapi melalui proses

pengkodingan sesuai dengan keinginan produser iklan. Pada sisi inilah

modalitas bekerja. Modalitas merupakan konstruksi berupa setting yang

dilakukan produser iklan atau media terhadap status obyek dari kondisi

realitas yang ada. Pembentukan modalitas selalu mengacu pada kondisi real

yang terjadi, yang menyangkut pada penggambaran terhadap obyek iklan

yang akan memunculkan kesan tertentu yang bersifat positif atau negatif.

Modalitas berupa penciptaan konstruksi yang dibuat oleh produser iklan atau

media berdasar pada realitas dan kondisi kultural yang tersusun berdasar

pada konvensi yang disampaikan pada pengamat pada konsep kognisinya

(Noviani, 2002:102).

Dari sini kita akan melihat konstruksi yang dibentuk oleh produser

iklan dan kesan yang timbul atau ingin dimunculkan dari obyek iklan

kampanye milik Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat versi

#perjuanganbelumselesai bagaimana modalitas yang dibentuk oleh produser.

1.4.5 Semiotika

Dalam esai-esai perkuliahannya Saussure telah meramalkan bahwa

31 kajian tentang tanda akan menempati satu posisi tersendiri dalam cabang ilmu pengetahuan. Pemikiran ini didasari oleh keyakinannya bahwa di masa- masa berikutnya kajian akan peranan tanda dalam kehidupan sosial akan kian meningkat. Kajian tentang tanda ini kini kita sebut sebagai Semiologi.

Secara etimologis, kata semiologi berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda.

Semiologi menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut dan hukum yang mengaturnya. Karena ilmu tersebut belum ada, maka tidak ada satupun yang memberikan kepastian ilmu tersebut akan ada.

Tetapi ilmu ini berhak untuk hadir. Lebih tepatnya, tempatnya telah ditentukan sebelum ia hadir (Saussure, 1993:82-83).

Pada perkembangannya, istilah semiologi kerap dipertentangkan dengan semiotika. Kedua istilah tersebut menunjukkan tradisi “ilmu tentang tanda-tanda” yang berkembang di Amerika dan Eropa. Tradisi Saussure,

Hjelmeslev dan Barthes, biasanya didefinisikan sebagai semiologi, sedangkan teori umum tanda dalam tradisi Pierce dan Morris disebut dengan semiotika (Noth, 2006:13). Di antara semiologi dan semiotika sesungguhnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Keduanya juga didefinisikan sebagai ilmu tentang tanda. Hingga pada tahun 1969 para pelopor semiotic yang tergabung dalam International Association of Semiotic Studies, memutuskan untuk mengadopsi istilah semiotic sebagai istilah umum yang meliputi semua bidang penelitian yang berada dalam tradisi semiologi dan semiotika umum (Noth, 2006:14). Sejak saat itu, penggunaan kata

32

“semiotic" untuk menyebut kajian tanda internasional. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti pun menggunakan istilah semiotika meski menggunakan telaah tanda dengan model semiologi Roland Barthes.

Semiotik adalah sebuah ilmu yang dapat diterapkan secara luas karena hampir seluruh hal yang ada di muka bumi ini dapat menjadi sebuah tanda.

Sebagaimana dicanangkan Saussure dan Pierce, semiotik direferensikan menggarap semua tanda yang ada sehingga ruang lingkup kajian semiotik menjadi begitu luas. Keduanya meramalkan bahwa semiotik banyak berguna bagi berbagai disiplin. Ramalan keduanya dari hari ke hari menampakkan kebenaran. Semiotik yang mula-mula diterima dalam lingkaran-lingkaran akademis terbatas, semakin merambah ke dalam relung-relung disiplin lain

(Rusmana, 2014:32). Salah satu penggunaan semiotik yang diulas dalam buku Semiotika Visual karangan Kris Budiman adalah untuk menganalisis teks dan gambar.

Saussure membagi tanda secara dikotomis (dua aspek) sebagai signifier (penanda) dan signifie (petanda). Hubungan di antara keduanya bersifat arbitrer. Menurut Kris Budiman (2011), semiotik bukanlah sekadar studi atau ilmu tentang makna dan atau tanda sebagaimana disalahpahami oleh sebagian besar pembelajar Semiotik. Terlepas dari pembedaan yang mungkin dilakukan oleh semiotisi tertentu atas arti (meaning) dan makna

(significance), semiotika tidak hanya mengkaji makna dan atau tanda. Relasi tanda dan makna-maknanya hanya dipelajari di dalam semantika (semantics) sebagai salah satu dari tiga cabang penyelidikan semiotika. Dua cabang

33 penyelidikan yang lain yakni sintaksis (syntax) dan pragmatika (pragmatics), tidak mempelajari makna, melainkan relasi formal di antara tanda dengan tanda-tanda yang lain serta relasi di antara tanda-tanda dan para penggunanya.

Kedua, semiotika tidak sebatas memelajari simbol, melainkan tanda- tanda pada umumnya yang jauh lebih luas cakupannya. Apa yang sering disebut sebagai simbol sesungguhnya hanyalah salah satu jenis relasi tanda.

Ketiga, semiotika memang mengkaji tanda-tanda, atau lebih tepatnya relasi tanda-tanda. Yang menjadi kata kuncinya di sini adalah relasi, bukan tanda itu sendiri.

Semiotika mengkaji relasi tanda, yakni relasi tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain; relasi tanda-tanda dengan makna-maknanya atau objek-objek yang dirujuknya (designatum) dan relasi tanda-tanda dengan para penggunanya: interpreter-interpreternya.

Posisi Semiotika Sebagai Pendekatan

Roman Jakobson (1975:353) mengemukakan suatu model situasi tutur atau komunikasi verbal. Skema berikut ini menampilkan model tersebut beserta faktor-faktor yang menyusunnya:

Context Message Adresser ------Addressee Contact Code

Gambar I.3. Skema Model Situasi Tutur Roman Jacobson (dalam Budiman, 2011:5)

34

Di dalam setiap situasi tutur, pihak pengirim (addresser) menyampaikan pesan (message) kepada pihak penerima (addressee). Agar dapat beroperasi dengan baik, pesan tersebut membutuhkan konteks

(context) sebagai acuannya beserta kode (code) yang setidak-tidaknya sebagian atau seluruhnya telah dikenal oleh pihak pengirim maupun penerima. Kemudian dengan adanya suatu kontak (contact) yang menghubungkan pihak pengirim dan penerima, baik secara fisik maupun psikologis, maka keduanya dimungkinkan untuk melakukan komunikasi.

1.4.5.1 Semiotika Visual

Semiotika visual, merupakan salah satu bidang studi semiotika

yang secara khusus menaruh minat terhadap segala jenis makna yang

disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual senses). Jika definisi

ini diikuti secara konsisten, maka semiotika visual tidak lagi terbatas

pada kajian seni rupa (seni lukis, patung, arsitektur, dsb. melainkan

juga segala macam tanda visual yang seringkali dianggap bukan karya

seni (Budiman, 2011:9).

Sebagaimana ditulis oleh Kris Budiman (2011), Charles Morris

mengklasifikasikan semiotika visual dalam tiga dimensi: sintaktik,

semantik, dan pragmatik.

1. Sintaktik atau sintaksis merupakan suatu cabang penyelidikan

semiotika yang mengkaji “hubungan formal di antara satu tanda

dengan tanda-tanda yang lain”. Dengan kata lain karena

35

hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang

mengendalikan tuturan dan interpretasi. Secara sederhana,

sintaktik dapat diartikan semacam gramatika.

2. Semantik adalah cabang penyelidikan semiotik yang memelajari

“hubungan antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek

yang diacunya. Istilahdesignata digunakan Morris untuk mengacu

makna tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu.

3. Pragmatik diartikan sebagai cabang penyelidikan semiotika yang

memelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter

atau para pemakainya”. Atau dapat diartikan pragmatik

memelajari pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus

berhubungan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-

fungsi situasional yang melatari tuturan.

1.4.5.2 Semiologi Roland Barthes

Semiologi Saussure menjadi dasar dari kajian-kajian semiotika

Barthes terhadap objek-objek kenyataan atau unsur-unsur kebudayaan

yang sering ditelitinya. Bagi Barthes, semua hal dapat menjadi objek

kajian semiotik.

“The world is full of signs, but these signs do not all have the fine simplicity of the letters os the alphabet, or highway signs. Or of military uniform: they are infinitely more complex”.

36

Dunia ini penuh dengan tanda-tanda, tetapi tanda-tanda ini tidak semua memiliki kesederhanaan baik dari huruf atau alphabet, atau tanda-tanda jalan raya. Atau seragam militer. Mereka jauh lebih kompleks.

Gagasan Barthes mengenai tanda-tanda dan cara memaknanya tertuang dalam bukunya Mythologies (1957). Buku ini berisi kumpulan artikelnya tentang penguraian mitos dalam tanda-tanda.

Dalam Mitologi, Barthes banyak mengupas mitos dan peranan ideologi dalam proses pemaknaan tanda. Barthes, mengajukan pendekatan semiotik terhadap kebudayaan modern yang membatasi mitos bukan sebagai bentuk naratif, melainkan sebagai fenomena kehidupan sehari- hari (Noth, 2006:383).

Pada umumnya, mitos diartikan sebagai ide-ide palsu yang hidup dalam masyarakat. Ia hidup dan menjelma dalam berbagai hal yang kebenarannya diragukan namun keberadaannya diakui oleh masyarakat. Pengertian yang semacam itu, biasanya digunakan oleh orang-orang yang tidak percaya akan nilai-nilai mitos. Sementara

Barthes, menggunakan kata-kata mitos sebagai salah seorang yang menaruh kepercayaan akan keberadaannya (Fiske, 1985:93). Bagi

Barthes, mitos adalah cara budaya menjelaskan dan memahami suatu hal, sebuah cara untuk mengonsetualisasi dan memahaminya. Mitos dipandang sebagai sebuah tipe wicara yang tidak dapat berperan

37 sebagai sebuah objek, konsep maupun ide. Mitos adalah cara pemaknaan. (Barthes, 2004:151).

Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa mitos merupakan bagian dari sistem komunikasi, sekaligus merupakan pesan. Sehingga, kajian tentang mitos dapat dimasukkan pada ranah kajian semiologi

(Barthes, 2004:152-155). Mitos berfungsi untuk menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas. Barthes juga menyebut mitos dengan istilah metabahasa. Karena mitos adalah bahasa kedua. Bahasa pertama, digunakan saat orang berbicara. Ketika seorang ahli semiologi menggambarkan tentang metabahasa, dia tidak lagi harus bertanya kepada dirinya tentang komposisi bahasa-objek. Ia hanya perlu mengetahui istilah total atau tanda global. Dan oleh sebab itu istilah ini selaras dengan mitos (Barthes, 2004: 162).

Tanda, berada pada sistem pertama (sistem linguistik) yang sekaligus menjadi penanda pada sistem kedua. Hal ini terlihat melalui skema berikut:

1. Signifier/Penanda 2. Signified/Petanda

3. Sign/Tanda II.Signified/ I. Signifier/PENANDA PETANDA

III. Sign/TANDA

Gambar I.4. Sistem Semiologi dan Mitologi (Barthes, 2004:161)

38

Di dalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda (I).

Selanjutnya di dalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, tanda-tanda pada tataran pertama tadi menjadi penanda- penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda (II).

Dari penjelasan Barthes (dalam Budiman, 2011:39), proses signifikasi berlapis ganda ini digambarkannya melalui perangkat konseptual yang lebih familiar, yakni denotasi dan konotasi. Pertama,

Barthes membedakan lapis ekspresi (expression = E) dari lapis isi

(content = C). Penggunaan istilah ini merupakan hasil pinjaman dari

Hjelmslev sebagai pengganti konsep-konsep seperti penanda dan petanda yang diusung oleh Saussure.

Kedua lapis ini, ekspresi dan isi, saling berelasi (relation = R) sehingga menghasilkan signifikasi –disingkat ERC. Sistem ERC pada tingkat pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi sebuah unsur saja dari sistem tingkat kedua. Derivasi yang kemudian dihasilkan bergantung kepada titik penyusupan dari sistem pertama ke dalam sistem kedua sehingga kemudian diperoleh dua perangkat yang satu sama lain berbeda.

Yang dimaksud dengan makna denotatif adalah makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda. Yang pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Makna denotatif ini bersifat

39

langsung. Sementara makna konotatif berkaitan dengan kebudayaan

yang tersirat pada segala sesuatu yang ditimbulkan. Makna konotasi

dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau mitos petunjuk

dan menekan makna-makna denotatifnya (Berger, 2000:56).

1.4.5.3 Tanda dan Proses Semiosis

Pierce, mengacu model tandanya sebagai sebuah model yang

terdiri atas tiga (triple) hubungan yakni sign (tanda), thing signified

(sesuatu yang dilambangkan), dan cognition produced in the mind

(kognisi yang dihasilkan dalam pikiran). Suatu tanda atau

representamen, menurut Pierce adalah sesuatu yang mengacu pada

seseorang atas sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda ini

merujuk pada seseorang yakni menciptakan di dalam benak orang itu

suatu tanda (lain) yang setara, atau mungkin yang lebih maju. Tanda

yang diciptakan itu disebut interpretant atas tanda pertama. Tanda itu

mengacu pada sesuatu yakni objeknya. Itu mengacu pada objek itu,

bukan dalam semua sisi, namun mengacu pada semacam ide (Noth,

2006:42).

Salah satu prinsip utama semiotik Pierce adalah relasional tanda.

Tanda bukanlah sejenis objek. Tanda hanya ada di benak interpreter.

Tidak ada sesuatu yang merupakan tanda kecuali diinterpretasikan

sebagai (Noth, 2006:42).

40

Pierce mendefinisikan tindakan tanda triadic ini sebagai proses

dampak kognitif yang ditimbulkan tanda kepada interpreternya. Proses

ini ia sebut semiosis.

1.4.5.4 Kode dalam Semiotik

Umberto Eco mendefinsikan kode sebagai sistem unit-unit

signifikan dengan kaidah-kaidah pengkombinasian dan

pentransformasian. Kode adalah sistem kaidah yang diberikan oleh

kebudayaan. Kode, merupakan aturan yang menjadikan tanda sebagai

tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi (Noth, 2006:210).

Pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotik

menyangkut sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang

entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda, sebagai sesuatu yang

bermakna (Scholes dalam Budiman, 2011:34). Segala sesuatu

bergantung pada kode. Kita bisa memberi makna kepada sesuatu

berkat suatu sistem pikiran, suatu kode yang memungkinkan kita untuk

dapat melakukannya.

Menurut Roland Barthes, di dalam teks setidaknya beroperasi

lima kode pokok (five major codes) yang di dalamnya semua penanda

tekstual (leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing

leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini.

Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan atau topos yang

melaluinya, sebuah teks dapat “menjadi” (Barthes dalam Budiman,

41

2011:34). Kelima jenis kode tersebut meliputi (1) kode hermeneutik

(hermeneutic code). Kode hermeneutik merupakan satuan-satuan yang dengan pelbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasi persoalan tersebut, atau yang justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki

(enigma) dan sekadar memberi isyarat bagi penyelesaiannya (Barthes dalam Budiman, 2011:35). Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode

“penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan atau misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban. (2) Kode semik (code of semes) atau konotasi. Yakni kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau

“kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu.

Pada tataran tertentu, kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut sebagai “tema” atau “struktur tematik”. (3) Kode simbolik

(symbolic code). Yaitu kode yang berkaitan dengan pengelompokan atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui pelbagai cara dan sarana tekstual. Misalnya berupa serangkaian antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur simbolik. (4) Kode proairetik (proairetic code), yaitu kode “tindakan” (action). Kode ini didasarkan atas konsep proairesis yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari

42 suatu tindakan secara rasional, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak, dan masing-masing memiliki nama generik tersendiri semacam judul bagi sekuen yang bersangkutan. (5) Kode kultural (cultural code) atau kode referensial (reference code) yang berwujud sebagai semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif, bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhan sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan

(wisdom) yang terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana (Barthes dalam Budiman, 2011:36)

43

1.5 Kerangka Berpikir

Iklan merekonstruksi realitas sosial melalui simbol-simbol dan nilai-nilai yang dimunculkan di dalam iklan

Iklan kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat di Televisi versi #Perjuanganbelumselesai

ANALISIS TEKSTUAL

Latent meaning Iklan sebagai teks AnalisisSemiotika Roland Barthes

Visual Iklan Televisi

Audio/ Dialog

Komposisi dan Modalitas

Kesimpulan

Sumber: Peneliti, 2017

44

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode yang sekaligus menjadi teori

penelitian yaitu Semiotik. Sebagai sebuah studi atas kode-kode, yakni sistem

apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai

tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna, Semiotika tidak lain

merupakan doktrin formal tentang tanda.

Penelitian studi semiotika iklan kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017

pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat di televisi versi

#PerjuanganBelumSelesai ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif

dengan menggunakan model analisis semiologi milik Roland Barthes.

Peneliti menggunakan model Semiologi Roland Barthes yang membagi

pengkodean atas kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode

proairetik, dan kode kebudayaan. Analisis juga dilakukan dengan melihat

yang melakukan proses dekonstruksi terhadap mitos. Tanda-tanda melalui

pemaknaan dua tingkat, denotasi dan konotasi hingga dapat melihat mitos

dan ideologi yang dihasilkan.Kualitatif digunakan karena beberapa alasan,

pertama, proses induktif sebagai karakteristik penelitian memungkinkan

peneliti menemukan fakta-fakta ganda di lapangan, metode kualitatif

memiliki kelebihan adanya fleksibilitas yang tinggi bagi peneliti ketika

menentukan langkah-langkah penelitian (Chaedar Alwasilah dalam Hikmat,

2011:37). Dengan metode kualitatif maka penelitian akan fleksibel dan dapat

menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi selama penelitian. Kedua,

45

peneliti bisa membuat desain penelitian yang dapat berubah tergantung

proses dan hasil penelitian, antara konsep awal dan hasil akhir penelitian

bisa berubah. Ketiga, penelitian kualitatif tidak memberikan batas antara

peneliti dengan obyek penelitian, memungkinkan adanya berbagai

interpretasi dan pengamatan mendalam, yang melibatkan unsur subjektifitas

peneliti.

Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa peneliti secara bebas

menginterpretasikan data (tanda) dengan tanpa pijakan. Untuk itu, penelitian

ini bermaksud agar lebih dalam lagi menggali dan mengeksplorasi temuan

data-data lainnya dalam mendeskripsikan persoalan yang ada. Namun, hal

ini tidak berarti peneliti sebebas-bebasnya melakukan interpretasi, tetapi

interpretasi tersebut masih terkait dengan obyektivitas. Seperti yang

diungkapkan oleh Earl Babbie (1986:91), ”A major purpose of social

scientific is to describe situation and events. The researcher observers and

then describes what was observed...”. (Kebanyakan maksud dari penelitian

sosial ilmiah adalah untuk mendeskripsikan situasi dan event-event atau

momen-momen. Selanjutnya peneliti mengobservasi dan menggambarkan

apa yang telah diobservasi).

1.6.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data penelitian ini berupa elemen-elemen dalam

iklan baik audio berupa naskah/dialog di dalam iklan dan elemen visual alam

46

iklan milik pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat

versi #PerjuanganBelumSelesai.

1.6.3 Teknik Pengumpulan dan Pencatatan Data

Teknik pengumpulan data adalah dengan mengobservasi iklan

kampanye pilgub DKI Jakarta 2017 pasangan Basuki Tjahaja Purnama -

Djarot Syaiful Hidayat di televisi versi #perjuanganbelumselesai,

pengumpulan data yang dilakukan adalah, pertama, dokumentasi dengan

merekam iklan televisi yang dimaksud dan mentranskrip narasi/dialog serta

visualisasi iklan yang menjalin alur cerita dari iklan kampanye pilgub

Pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat di televisi

sebagai data primer. Visualisasi iklan yang dimaksud berupa gambar dan

grafis yang muncul/digunakan dalam iklan. Kedua, peneliti juga memakai

sumber rujukan dari pelbagai media lainnya/ studi literatur sebatas sebagai

pendukung atau pengayaan semata.

1.6.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2017 pada masa kampanye

Pilgub DKI Jakarta 2017 sampai dengan Desember 2017. Penelitian ini

dilaksanakan di Surabaya dengan mengobservasi tayangan iklan kampanye pilgub

DKI Jakarta 2017 pasangan Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Syaiful

Hidayat yang tayang di televisi versi #perjuanganbelumselesai.

47

1.6.5 Teknis Analisis dan Interpretasi Data

Sebagaimana dalam kerangka berfikir di atas, teknik analisis data

dilakukan dengan langkah-langkah sbb.

1. Mengklasifikasi objek penelitian menurut sistem pengkodean Roland Barthes; kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kebudayaan. 2. Visual image dari objek penelitian kemudian dianalisis dengan model Semiologi Roland Barthes yaitu dengan penandaan dua tingkat pada level denotasi dan konotasi hingga menghasilkan mitos. 3. Meneliti satu persatu visual iklan yang ditampilkan, dan menganalisisnya hingga kemudian menyimpulkan hasilnya.

48

BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

2.1 Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 2.1.1 Basuki Tjahaja Purnama

Gambar II.1. Foto Resmi Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama (diakses tanggal 12 September 2017)

Basuki Tjahaja Purnama atau akrab dipanggil Ahok adalah warga

Indonesia keturunan Tionghoa, ia memiliki nama Tionghoa Zhōng

Wànxué. Ahok lahir dari pasangan Alm. Indra Tjahaja Purnama (Tjoeng

Kiem Nam) dan Buniarti Ningsing (Boen Nen Tjauw). Ahok lahir di

Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966, mungkin biasa di sebut sebagai

Cina bangka. Ia beragama Kristen Protestan dan mulai resmi menjadi

Gubernur DKI pada tanggal 19 November 2014.

Di masa mudanya ayah Ahok yang bernama Indra Tjahaja Purnama

alias Tjung Kim Nam pernah bercita-cita menjadi seorang pejabat agar

bisa membantu masyarakat yang kala itu banyak mengalami kesulitan

ekonomi. Namun cita-cita itu kandas karena ia sendiri secara ekonomi

kurang beruntung. Ia pun bekerja keras untuk mememnuhi ekonomi

49

keluarga dan membesarkan putra-putrinya agar kelak mereka bisa meneruskan cita-citanya.

Nama panggilan “Ahok” berasal dari ayahnya. Mendiang Indra

Tjahja Purnama ingin Basuki menjadi seseorang yang sukses dan memberikan panggilan khusus baginya, yakni “Banhok“. Kata “Ban” berarti Puluhan Ribu, sedangkan “Hok” memiliki arti Belajar. Jadi jika kedua kata tersebut digabungkan, akan memiliki makna “Belajar di

Segala Bidang.” Lama kelamaan, panggilan Banhok tersebut berubah menjadi Ahok.

Karir politik Ahok dimulai tahun 2004, saat Ahok memutuskan untuk masuk ke Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang saat itu dipimpin oleh Dr. Sjahrir. Ahok pun dipercaya menjadi Ketua DPC

Belitung Timur. Awalnya Ahok tidak menargetkan dirinya menjadi pejabat tinggi. Ahok hanya ingin menjadi camat di tempat kelahirannya, yaitu Manggar. Alasan Ahok jika dirinya menjadi camat, maka ia bisa memerintah orang lain utnuk membantu orang-orang miskin yang sakit, memberikan jaminan pendidikan, dan membantu memperbaiki rumah- rumah yang kurang layak (Yuwono,dkk, 2017: 1-8).

Cita-cita mendiang ayah Ahok tercapai, karir politik Ahok kian cemerlang. Dari Belitung ia hijrah ke Jakarta. Hingga 9 Mei 2017 Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta yang menjabat sejak 19 November 2014.

Pada 14 November 2014, ia diumumkan secara resmi menjadi Gubernur

DKI Jakarta pengganti , melalui rapat paripurna istimewa di

Gedung DPRD DKI Jakarta. Basuki resmi dilantik sebagai Gubernur

50

DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo pada 19 November 2014 di

Istana Negara, setelah sebelumnya menjabat sebagai Pelaksana Tugas

Gubernur sejak 16 Oktober hingga 19 November 2014.

Ahok merupakan warga negara Indonesia dari etnis Tionghoa dan pemeluk agama Kristen Protestan pertama yang menjadi Gubernur DKI

Jakarta. Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta pernah dijabat oleh pemeluk agama Katolik, Henk Ngantung (Gubernur DKI Jakarta periode 1964-

1965). Ahok pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI dari 2012-

2014 mendampingi Joko Widodo sebagai Gubernur. Sebelumnya Basuki merupakan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-

2014 dari Partai Golkar namun mengundurkan diri pada 2012 setelah mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI Jakarta untuk Pemilukada

2012. Dia pernah pula menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode

2005-2006. Ia merupakan etnis Tionghoa pertama yang menjadi Bupati

Kabupaten Belitung Timur.

Pada tahun 2012, ia mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI berpasangan dengan Joko Widodo, wali kota Solo. Basuki juga merupakan kakak kandung dari Basuri Tjahaja Purnama, Bupati

Kabupaten Belitung Timur (Beltim) periode 2010-2015. Dalam pemilihan gubernur Jakarta 2012, mereka memenangkan pemilu dengan presentase 53,82% suara. Pasangan ini dicalonkan oleh Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Gerakan Indonesia Raya

(Gerindra). Pada 10 September 2014, Basuki memutuskan keluar dari

Gerindra karena perbedaan pendapat pada RUU Pilkada. Partai Gerindra

51

mendukung RUU Pilkada sedangkan Basuki dan beberapa kepala daerah

lain memilih untuk menolak RUU Pilkada karena terkesan "membunuh"

demokrasi di Indonesia.

Pada tanggal 1 Juni 2014, karena Gubernur DKI Jakarta Joko

Widodo mengambil cuti panjang untuk menjadi calon presiden dalam

Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014, Basuki Tjahaja Purnama

resmi menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta. Setelah terpilih

pada Pilpres 2014, tanggal 16 Oktober 2014 Joko Widodo resmi

mengundurkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Secara otomatis,

Basuki menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta. Basuki

melanjutkan jabatannya sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta

tanpa dukungan partai (independen) hingga pun dirinya dilantik sebagai

Gubernur DKI pada 19 November 2014.

2.1.1.1 Data Riwayat Hidup Basuki Tjahaja Purnama Berikut data riwayat hidup Basuki Tjahaja Purnama yang

diunduh di situs KPUD Jakarta sebagai salah satu kelengkapan

berkas untuk maju di Pilgub DKI Jakarta 2017-2022.

a) Data Diri

Nama Lengkap Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M Tempat Lahir Manggar, 29 Juni 1966

NIP 3172012906660005 Usia 50 Tahun Alamat tempat Pantai Mutiara Blok J No. 39, RT/RW. 006/016, Kelurahan Pluit, Kecamatan tinggal Penjaringan, Jakarta Utara Alamat Email [email protected] Jenis Kelamin Laki-laki Status Kawin Perkawinan Agama Kristen

52

NPWP 06.520.857.1-305.000 Hobi Olahraga Motto Hidup Mati adalah keuntungan dan hidup untuk wujudkan keadilan sosial

b) Riwayat Pendidikan

Pendidikan Formal Jenjang Institusi Tahun (masuk-lulus) SD SDN No. 03, Gantung, Belitung Timur 1971-1977 SMP SMP Negeri 1, Gantung, Belitung Timur 1978-1981 SMA SMA Swasta III PSKD, Jakarta 1981-1984 S-1 Universitas Trisakti, Teknik Geologi, Jakarta 1990 Sekolah Tinggi Prasetiya Mulya, Megister Manajemen, S-2 Jakarta 1994

c) Pengalaman Pekerjaan

Jabatan Institusi Tahun Direktur Eksekutif Center for Democracy and 2007-2009 Transparency (CDT 3.1) Direktur PT. Nurindra Ekapersada 1992-2005 Staf Direksi Bidang Analisa PT. Simaxindo Primadaya 1994-1995 Biaya & Keuangan Anggota DPRD Kab. Belitung Partai Perhimpunan Indonesia 2004-2005 Timur baru (PIB) Bupati Kabupaten Belitung Timur 2005-2006 Anggota DPR RI Partai Golongan Karya (Golkar) 2009-2012 Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta 2012 - 19 Nov 2014 Gubernur Provinsi DKI Jakarta 19 Nov 2014 - Sekarang

d) Pengalaman Organisasi

Jabatan Institusi Tahun Sekretaris Jendral Partai Perhimpunan Indonesia Baru 2007

e) Publikasi

Judul Tahun Terbit Majalah Merubah Indonesia 2008

f) Penghargaan

Penghargaan Institusi Tahun 10 Tokoh yang Mengubah Majalah Tempo 2006 Indonesia PIN Emas Forum Demokrasi (Fordeka 2006 Tokoh Anti Korupsi Koalisi Kebersamaan Tiga Pilar Kemitraan 2007 Anti-Corruption Bung Hatta Anti Corruption Award 2013

53

g) Data Keluarga

Hubungan Keluarga Nama Pekerjaan Istri Veronica Mengurus Rumah Tangga anak 3 orang 1. Nicholas Sean Mahasiswa 2. Nathania Bernlece Zhong Pelajar 3. Daud Albenner Purnama Pelajar

2.1.2 Djarot Saiful Hidayat

Gambar II.2. Foto Resmi Wakil Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Djarot_Saiful_Hidayat (diakses tanggal 12 September 2017)

Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS adalah Gubernur DKI Jakarta

yang menjabat sejak 15 Juni 2017. Sebelumnya, ia menjabat sebagai

Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta sejak 9 Mei 2017 menggantikan

Basuki Tjahaja Purnama yang divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan

Negeri Jakarta Utara terkait kasus penodaan agama.

Djarot adalah politisi PDI Perjuangan yang pernah menjabat

sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019. Selain itu, Djarot juga

pernah menjabat sebagai Wali Kota Blitar sejak 3 Mei 2000 hingga 3

Agustus 2010, anggota DPRD Jawa Timur sejak 1999 hingga 2000, dan

Wakil Gubernur DKI Jakarta sejak 17 Desember 2014 hingga 9 Mei

2017.

54

Djarot Saiful Hidayat pernah menjadi salah satu anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Jawa Timur dari tahun 1999 sampai 2000. Sebelum berkecimpung sebagai aktivis politik, Djarot Saiful Hidayat memiliki mata pencaharian utama sebagai dosen di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya. Tidak hanya sebagai dosen, ia juga merangkap tugas sebagai Pembantu Rektor I di universitas tersebut pada tahun 1997 hingga 1999.

Dalam pengembaraan ilmunya, Djarot Saiful Hidayat, atau akrab disapa dengan nama Djarot, menimba ilmu di Universitas Brawijaya

(UB), Malang, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA). Setelah menamatkan pendidikannya di UB pada tahun 1986, ia mendapat gelar Sarjana (S1).

Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya dengan terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fakultas Ilmu

Politik hingga memperoleh gelar Magister (S2) pada tahun 1991.

Djarot pernah menjabat sebagai Wali Kota Blitar selama 2 periode, yaitu tahun 2000-2005 dan 2005-2010. Sebagai seorang pimpinan di kota

Blitar, Djarot sangat membatasi adanya kehidupan metropolitan yang serba mewah di kotanya, seperti berdirinya pusat perbelanjaan / mall modern dan gedung-gedung pencakar langit. Ia lebih suka menata pedagang kaki lima yang mendominasi roda perekonomian di kotanya.

Dengan konsep matang yang telah ia rencanakan, Djarot berhasil menata ribuan pedagang kaki lima yang dulunya kumuh di kompleks alun-alun kota menjadi tertata rapi. Rencana yang ia terapkan ternyata

55

berhasil mendongkrak perekonomian di Blitar, tanpa adanya mall dan

supermarket layaknya di kota-kota besar. Djarot dikenal warganya

sebagai wali kota yang merakyat, sederhana, dan gemar blusukan untuk

melihat kondisi langsung di lapangan. Bahkan di saat pejabat daerah lain

menggunakan mobil terbaru, ia lebih memilih menggunakan sepeda

untuk melihat kondisi langsung rakyatnya. Kota Blitar di bawah

kepemimpinannya mendapat gelar adipura 3 kali berturut-turut yakni

pada tahun 2006, 2007, dan 2008. Atas kontribusi positif yang telah ia

buat sebagai seorang wali kota, ia mendapat penghargaan Komite

Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah pada tahun 2008. Djarot juga

mendapatkan Penghargaan Terbaik Citizen's Charter Bidang Kesehatan.

2.1.2.1 Data Riwayat Hidup Djarot Saiful Hidayat Berikut data riwayat hidup Djarot Saiful Hidayat yang

diunduh di situs KPUD Jakarta sebagai salah satu kelengkapan

berkas untuk maju di Pilgub DKI Jakarta 2017-2022.

a) Data Diri

Nama Lengkap Drs. Djarot Saiful Hidayat, MS

Tempat Lahir Magelang, 06 Juli 1962 NIP 0357203060762002 Usia 54 Tahun Alamat tempat Jl. Mega Kuningan Barat III / Blok E 35 No. 11, RT/RW. 004/005, tinggal Kelurahan Kuning Timur, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan Alamat Email [email protected] Jenis Kelamin Laki-laki Status Perkawinan Kawin Agama Islam NPWP 09.768.563.0-653.000 Hobi Membaca, Olahraga, Berorganisasi Motto Hidup "Isi Hidupmu dengan Mengabdi Kepada Sesama, Bangsa dan Negara”

56

b) Riwayat Pendidikan

Pendidikan Formal Jenjang Institusi Tahun (masuk-lulus) SD Raden Saleh Surabaya 1968-1974 SMP SMPN 4 Surabaya 1974-1977 SMA SMA TNH- Mojokerto 1977-1981 S-1 Universitas Brawijaya Lulus Tahun 1986 S-2 Universitas Gajah Mada Lulus Tahun 1991

c) Pengalaman Pekerjaan

Jabatan Institusi Tahun Dosen Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 1986 Pembantu Dekan I Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 1989-1991 Dekan FIA Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 1991-1997 Pembantu Rektor I Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 1997-1999 Ketua Komisi DPRD Provinsi Jawa Timur 1999-2000 Wali Kota Kota Blitar 2000-2010 Anggota DPR RI DPR RI 1-10-2014 s/d 12-10-2014 Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta 17 Desember 2014 - Sekarang

d) Pengalaman Organisasi

Jabatan Institusi Tahun Ketua DPC GMNI- Brawijaya 1981-1986 Ketua PA- GMNI Jawa Timur 2010-2015 Ketua Apeksi 2005-2010

e) Penghargaan

Penghargaan Institusi Tahun Penghargaan Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah 2008 Penghargaan Terbaik Citizen,s Charter Bidang Kesehatan, 2006, 2007 dan Anugerah Adipura 2008 Penghargaan atas Terobosan inovasi daerah se-Provinsi Jawa 2008 Timur di dalam Pembangunan daerahnya Penghargaan Upakarti 2007 Peringkat Pertama dalam penerapan E-Government di Jawa Timur 2010

f) Data Keluarga

Hubungan Keluarga Nama Pekerjaan Istri Happy Farida Mengurus Rumah Tangga anak 3 orang 1. Safira Prameswari Pelajar 2. Karunia Dwi Hapsa Pelajar 3. Meisya Rizky Berliana Pelajar

57

2.1.3 Pilgub DKI Jakarta 2017-2022

Dalam sejarah sepak terjang Ahok sebagai politikus ia sering

mengambil kebijakan yang kontroversial, ia yang dikenal garang, tegas,

ceplas-ceplos, dan arogan harus “menjinak”. Setidaknya ia harus mulai

membenahi cara komunikasi politik yang sesuai dengan konteks budaya

ketimuran dan posisinya sebagai pemimpin.

Menarik kebelakang, dipenghujung masa jabatanya sebagai

gubernur DKI, Ahok kembali membuat “lompatan”. Setelah menyatakan

maju lewat jalur independen, ia tiba-tiba berubah haluan dan menempuh

jalur partai politik. Ahok didukung oleh partai Golkar, Hanura, Nasdem,

dan PDI P, Ahok berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat

mendaftarkan diri maju dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 dengan jalur

partai.

Djarot Saiful Hidayat dipilih oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki

Tjahaja Purnama sebagai wakil gubernur yang mendampinginya hingga

2017. Djarot menyingkirkan nama-nama lain yang sempat beredar luas

yaitu Ketua Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan DKI Jakarta

(TGUPP) Sarwo Handayani, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta 2009-2014

Boy Sadikin, serta Wali Kota Surabaya 2002-2010 Bambang Dwi

Hartono. Djarot dilantik sebagai wakil gubernur pada 17 Desember 2014

di Gedung Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta secara langsung oleh

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Ahok memilih Djarot mendampinginya memimpin DKI karena

Djarot berpengalaman memimpin daerah selama 10 tahun. Dengan

58

pengalaman selama itu Ahok yakin bahwa ia dan Djarot akan mampu menjadi pasangan dengan kinerja yang efisien karna sudah sangat memahami bagaimana memimpin daerah. Selain itu, menurut Ahok kejujuran Djarot sudah teruji, karakter itu teruji selama kepemimpinannya di Blitar selama 10 tahun. Disamping itu Ahok memiliki pengalaman pribadi yang membuatnya yakin Djarot adalah sosok yang jujur dan bisa berjalan beriringan dengan Ahok.

Ahok ingat betul bagaimana saat mereka dan beberapa kepala daerah yang diusung oleh PDIP melakukan jalan-jalan ke China pada

2006. Ahok mengatakan dia dan Djarot tidak berbelanja apa-apa karena tidak punya uang, padahal kepala daerah lain sudah membawa uang banyak untuk belanja.

Dalam Pilgub DKI Jakarta Ahok dan Djarot maju dengan nomor urut 2, melawan dua pasangan lain yaitu Agus Harimurti Yudhoyono –

Slyviana Murni dengan nomor urut 1 dan Anies Rasyid Baswedan –

Sandiaga Salahudin Uno dengan nomor urut 3.

2.1.3.1 Visi dan Misi Ahok-Djarot

Dalam proposal berjudul Visi, Misi & Program Kerja 2017-

2022 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang diunduh

dari website kpujakarta.go.id, pasangan Ahok-Djarot memiliki visi

menjadikan Jakarta sebagai etalase kota Indonesia yang modern,

tertata rapi, manusiawi, dan fokus pada pembangunan manusia

59

seutuhnya dengan kepemimpinan yang bersih, transaparan, dan profesional.

Sementara itu, mereka memiliki lima misi, sebagai berikut:

1. Mewujudkan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi,

dan nepotisme (KKN), terbuka, dan melayani warga.

2. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga, yaitu

jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, hunian yang

layak, bahan pangan yang terjangkau, transportasi publik

yang ekonomis, dan lapangan pekerjaan serta usaha agar

seluruh warga berkesempatan memperoleh kehidupan

yang lebih baik sehingga indeks kebahagiaan kota Jakarta

menjadi salah satu yang tertinggi di antara kota-kota di

dunia.

3. Menciptakan sumber daya manusia yang tangguh lahir dan

batin, kompeten, dan berdaya saing global dengan indeks

pembangunan manusia yang setara dengan kota-kota maju

di dunia.

4. Menata kota sesuai perubahan zaman untuk mendukung

kemajuan ekonomi, keberlangsungan lingkungan, dan

kehidupan sosial budaya warga.

5. Membangun kehidupan kota yang berbasis teknologi dan

berinfrastruktur kelas dunia dengan warga yang

60

berketuhanan, berbudaya, bergotong royong, berwawasan,

toleran, partisipatif, dan inovatif.

2.1.3.2 Program Kerja Ahok-Djarot

Masih dari proposal berjudul Visi, Misi & Program Kerja

2017-2022 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang

diunduh dari website kpujakarta.go.id disebutkan Program Kerja

Ahok-Djarot sbb:

1. REFORMASI BIROKRASI: Menjadikan Birokrasi Pemda

Jakarta sebagai Institusi Pelayan Masyarakat yang

semakin professional dan dipercaya.

2. PENDIDIKAN: Menjamin akses pendidikan untuk

seluruh warga dan meningkatkan kualitas pendidikan di

Jakartaagar setara dengan kota-kota Maju di dunia.

3. KESEHATAN: Menjamin akses kesehatan untuk seluruh

warga dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di

Jkarta agar setara dengan kota-kota maju di dunia

4. EKONOMI: Menjadikan Pemda sebagai salah satu actor

ekonomi utama untuk menyelesaikan persoalan ekonomi

5. PENANGGULANGAN BANJIR: Membebaskan Jakarta

dari persoalan banjir menahun yang disebabkan oleh

banjir kiriman, air pasang, dan distribusi aliran air hujan

yang tidak merata.

6. PENATAAN KOTA: Mewujudkan kota yang semakin

nyaman bagi warga

61

7. TRANSPORTASI: Membebaskan Jakarta dari kemacetan

dengan mendorong perbaikan transportasi public dan

pembatasan pengguna kendaraan pribadi.

8. OPTIMALISASI TEKNOLOGI: Memaksimalkan

penggunaan teknologi untuk meningkatkan kualitas

pelayanan Pemda dan kenyamanan hidup warga

9. PARIWISATA & KEBUDAYAAN: Menjadikan Jakarta

sebagai kota destinasi pariwisata utama di Indonesia dan

Asia Tenggara, dan manjadikan pariwisata sebagai salah

satu penggerak utama perekonomian Jakarta

10. SOSIAL: Menjamin keberlangsungan hidup warga yang

berkebutuhan khusus

11. LINGKUNGAN HIDUP: Mewujudkan kota yang

berkesinambungan dan ramah lingkungan.

2.2 Alur Cerita Iklan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat Versi #PerjuanganBelumSelesai

Iklan pasangan Basuki Thjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat

yang menjadi objek penelitian ini merupakan iklan berdurasi 30 detik dengan

format Announcement. Format seperti ini adalah format yang paling klasik

dan sangat populer, jauh sebelum manusia mengenal komputer berbasis grafis

seperti CGI (Computer Generated Imagery). Aktor (talent) berdiri di depan

kamera dan langsung memberi pengumuman atau pemberitahuan di tempat

kejadian atau di lokasi lain yang mendukung cerita iklan. Dahulu dengan

62

format seperti ini set yang digunakan adalah real, namun sekarang dengan hadirnya teknologi CGI maka memungkinkan bermain grafis dengan teknik

Shooting Full Green Screen.

Masuk ke Jalan cerita, dalam iklan ini Basuki Thjahaja Purnama dan

Djarot Saiful Hidayat muncul berdampingan dengan Ahok terlihat mengenakan kemeja kotak-kotak lengan pendek dipadu celana jeans hitam dan Djarot mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang dengan dipadu celana jeans biru. Penampilan casual keduanya dilengkapi dengan kacamata hitam. Keduanya seolah berdiri diatas jalan yang masih dalam tahap pembangunan, tepat di belakang keduanya, di antara Ahok dan Djarot Berdiri tampak ikon kota Jakarta yaitu Tugu Monas. Kemudian perlahan muncul grafis ikon-ikon lain kota Jakarta seperti Patung Pancoran, Masjid Istiqlal,

Gereja Kathedral, Jalur MRT yang masih dalam tahap pembangunan dan bangunan bangunan lainnya. Dalam iklan ini Ahok dan Djarot bergantian memberikan „pengumuman‟.

Berikut transkrip kalimat yang diucapkan Ahok dan Djarot dalam iklan berdurasi 30 detik ini:

Ahok :“Halo warga Jakarta, saya Insinyur Basuki Thjahaja Purnama”

Djarot : “Saya Haji Djarot Saiful Hidayat”

Ahok : “Terimakasih atas kepercayaan yang diberikan kepada kami

dalam periode ini”

Djarot: “Mohon doa restu agar kami dapat menyelesaikan apa yang

sudah kita mulai”

63

Ahok :“Perjuangan kami belum selesai, ijinkan kami

menyelesaikannya”

Gambar II.3. Scene Awal Iklan Kampanye Ahok-Djarot #PerjuanganBelumSelesai Djarot: “Suarakan yang benar menurut anda, dan terbaik untuk kota

ini”

Ahok : “Terimakasih Jakarta”

Djarot: “Wassalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatu”

Gambar II.4. Scene Akhir Iklan Ahok-Djarot #PerjuanganBelumSelesai Kemudian iklan itu ditutup dengan scene munculnya angka 2 berwarna merah diikuti tulisan #PerjuanganBelumSelesai yang juga berwarna merah dengan posisi berada di bawah angka 2.

64

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

3.1 Penyajian Data Seperti dijelaskan sebelumnya format iklan ini adalah berupa

Announcement. Aktor (kandidat) berdiri di depan kamera dan langsung

memberikan pengumuman, dengan backround yang diperkaya dengan teknik

CGI (Computer Generated Imagery). Selama durasi 30 detik, kandidat

meberikan pengumuman tanpa berpindah tempat, hanya framing kamera

yang bergerak semakin mendekat dari wide angle menjadi medium close-up.

Iklan kampanye pasangan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan

Djarot Saiful Hidayat atau Djarot terdiri dari beberapa scene, scene - scene

tersebut kemudian di capture dijadikan data, untuk kemudian dianalisis.

Untuk memudahkan pengidentifikasian maka iklan dibagi menjadi 3 sesi

yaitu sesi pembuka, sesi isi, dan sesi penutup.

65

3.1.1 Setting Iklan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat

3.1.1.1 Makna Denotatif pada Sesi Pembukaan (detik 00:00-00:04) Komposisi Iklan pada Detik 00:00-00:04

Gambar III.1. Scene Ahok menyapa warga Jakarta

Gambar III.2. Scene Djarot memperkenalkan diri

Suara:

Ahok: “Halo Jakarta, saya, Insinyur Basuki Tjahaja Purnama”

Djarot: “Saya, haji Djarot Saiful Hidayat”

66

Setting denotatif visual pada iklan Kampanye Basuki Tjahaja

Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat (Djarot) pada detik

00:00 - 00:04 adalah pada posisi center Ahok dan Djarot berdiri

berdampingan, keduanya memakai atasan kemeja kotak-kotak

dengan paduan celana jeans dan sepatu pantofel. Penampilan

keduanya dilengkapi assesoris berupa kacamata hitam. Dibelakang

keduanya tepat ditengah-tengah antara tempat Ahok dan Djarot

berdiri muncul visual berupa grafis bangunan Monumen Nasional

(Monas). Pada posisi margin real tampak sebuah jalan yang

masih dibangun dimana merupakan tempat Ahok dan Djarot

berdiri, di sisi kanan Ahok (agak jauh dari Ahok) tampak sebuah

alat berat. Perlahan dari sisi kiri dan kanan layar muncul grafis

jalur MRT (di kanan Ahok) dan bangunan semacam rusun (dikiri

Djarot).

Setting denotatif yang berupa dialog bersamaan dengan

munculnya visual iklan, begantian Ahok dan Djarot

memperkenalkan diri. Ahok mengangkat tangan kanannya sejajar

pelipis dengan jari-jari terbuka seolah hormat (gerakan seperti

memotong) dan memperkenalkan diri “Halo Jakarta, saya, Insinyur

Basuki Tjahaja Purnama”, kemudian dilanjutkan Djarot

memperkenalkan diri dengan meletakan tangan kanannya ke

jantung (dada) “Saya, haji Djarot Saiful Hidayat”.

3.1.1.2 Makna Konotatif : Identitas Diri Di dalam visual iklan ini terdapat segugusan leksia dengan

67

variasi kodenya masing-masing, entah berupa kode hermeneutik

(HER), kode semik (SEM), kode simbolik (SYM), kode proairetik

(ACT), maupun kode referensial (REF). Untuk memudahkan pembacaan, peneliti memeriksannya atas leksia-leksia. Leksia dari iklan yang berupa gambar dituliskan dengan tanda baca kurung siku ([….]), sedangkan leksia yang berupa kata-kata ditulis dengan huruf miring.

(1) [Pasangan Kandidat] *Sebagai leksia pertama, pasangan

kandidat menjadi fokus utama dan merupakan elemen penting

dari iklan dilihat dari letaknya yang berada di tengah (center).

Sehingga menimbulkan pertanyaan (a) siapa mereka? (b) apa

yang mereka lakukan? (c) dimana mereka? (HER. Pertanyaan)

(2) [Kemeja dan Jeans sebagai busana kasual] *Leksia yang hadir

bersama dengan leksia (1) merupakan penegasan gaya dari

kandidat. Umumnya iklan politik menggunakan gaya yang

formal dengan kesan kaku, dan birokratis sehingga terasa jauh

dari jangkauan rakyat. Secara konotatif, ikon busana kasual ini

dimaknai peneliti sebagai upaya menghadirkan setting

informal, santai, dan rekreatif dalam visual iklan. Hal ini juga

bermakna pasangan kandidat ini ingin menghadirkan nuansa

baru di ranah politik yang biasanya dimaknai dengan

sekumpulan orang yang serius, kaku, dan birokratis. Nuansa

baru yang dimaksud seperti tersebut diatas yaitu: informal,

santai, rekreatif sehingga dengan hadirnya leksia (2) ini

68

kandidat terasa dekat dengan rakyat. (SEM. Gaya kasual,

mudah didekati).

(3) [Sepatu Pantofel] *Kehadiran leksia ini bersamaan dengan

leksia (2) menjadi sebuah antitesis. Sepatu Pantofel sering

dikaitkan dengan suasana yang formal, dewasa, dan elegan

seiring dengan pemakaiannya yang lekat dengan para pekerja.

Peneliti melihat padu padan ini sebagai usaha menghadirkan

sisi formal dan elegan dari kandidat. (SYM. Antitesis: Formal

vs Kasual)

(4) [Monumen Nasional] *Dengan hadirnya leksia ini maka

pertanyaan 1(c)-dimana mereka?- Langsung terjawab. Leksia

ini menghadirkan makna „Jakarta‟. Dalam kesepakatan sosial

Monumen Nasional sudah melekat sebagai ikon dari kota

Jakarta. Kehadiran leksia ini memperjelas setting tempat iklan

yaitu di Kota Jakarta. (REF. Tempat)

(5) [Jalan Tol, alat berat, jalur MRT] *Sekumpulan leksia ini

menjawab pertanyaan (1b) -apa yang mereka lakukan?-

Jalan Tol yang sedang dalam proses pembangunan, alat berat,

dan jalur MRT merupakan representasi dari proyek yang

sedang berjalan. Kehadiran kedua kandidat ditengah-tengah

sekumpulan leksia (5) memunculkan beberapa pemaknaan

seperti pengawasan langsung terhadap proyek pemerintah

yang berada di Kota Jakarta. Hal ini juga dapat dimaknai

69

sebagai representasi tindakan “Blusukan”. Leksia ini

bersesesuaian dengan Leksia (2) karena blusukan merupakan

upaya untuk lebih mendekat kepada masyarakat. Dari situs

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud

kata blusukan secara etimologi berasal dari bahasa Jawa, dari

kata dasar blusuk „masuk‟ dan akhiran –an (afiks verba) yang

berarti „masuk-masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui

sesuatu‟. Istilah blusukan mulai populer pada era Jokowi saat

masih menjadi Wali Kota Solo. Sejak itu istilah blusukan

memiliki citra positif di benak masyarakat karena memiliki

makna kepedulian dan kedekatan seorang pemimpin dengan

masyarakat. Jika sebelumnya rakyat biasa sangat sulit

menemui seorang pejabat negara maka dengan gaya blusukan

ini masyarakat berkesempatan bertemu langsung dengan para

pejabat penting negara dan mencurahkan keluh kesahnya.

Sejalan dengan ini, dikutip dari seorang kompasioner,

blusukan sebagai gaya kepemimpinan yang prorakyat. (ACT.

Blusukan)

(6) [Gerakan tangan seperti memotong] *Secara umum gerakan

seperti ini dapat diartikan sebagai penekanan dan kewibawaan

namun juga dapat dimaknai sebagai ciri ke-Betawi-an. Gaya

seperti ini dalam kesepakatan sosial lekat dengan gaya

menyapa yang dilakukan orang Betawi. Orang Betawi dikenal

dengan keterbukaannya dan toleransi yang tinggi terhadap

70

suku lain. Suku Betawi merupakan suku kedua terbesar yang

menetap di Jakarta dan merupakan suku yang dikenal sangat

menghargai pluralisme (REF. Pluralisme)

(7) Halo Jakarta, saya, Insinyur Basuki Tjahaja Purnama. *Leksia

yang hadir bersama dengan leksia (5) ini menjawab sebagian

dari rasa ingin tahu pada leksia (1a) -Siapa mereka?- walau

sebenarnya kita sudah mengetahui siapa mereka sebenarnya

namun salah satu tujuan dari iklan adalah membuat kandidat

lebih dikenali oleh masyarakat calon pemilih. Terlebih

penyebutan title „Insinyur‟ membawa makna lain, yaitu

kredibilitas diri. (SEM. kredibilitas). Kandidat yang hadir

dalam leksia ini menyebutkan dirinya sebagai “Insinyur

Basuki Tjahaja Purnama” atau Ahok. Ahok merupakan

seorang beretnis Tionghoa yang memulai karir politiknya

dengan menjadi Anggota DPRD Belitung Timur, kemudian

pada 2005 terpilih menjadi Bupati Belitung Timur, kemudian

pada 2009 bergabung dengan partai Golkar dan menjadi

Anggota DPR RI, lama berkecimpung dalam pusara politik

hingga mengantarnya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta

berpasangan dengan Jokowi. Pada 2014 Ahok diangkat

menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang

terpilih menjadi Presiden RI. Sejak pencalonannya kembali

dalam Pilgub DKI 2017 Ahok sering mendapat serangan dari

ormas islam karna persoalan agama dan dianggap sebagai

71

sosok yang arogan dan sering mengeluarkan kata-kata kasar.

Ucapan „Halo‟ seakan menyebar makna keramah-tamahan

Ahok. Penyebutan gelar „Insinyur‟ mengindikasikan

kecerdasan dan kredibilitas seseorang, kasus yang sedang

menimpa Ahok sedikit banyak mengurangi kredibilitasnya di

mata calon pemilih. Peneliti menangkap fenomena ini sebagai

salah satu usaha membaurkan kesan yang selama ini melekat

pada diri Ahok yaitu arogan dan kasar menjadi cerdas,

kredibel dan ramah

(8) [Gerakan tangan menyentuh Jantung] *Leksia ini

memunculkan beberapa pemaknaan seperti keinginan

seseorang untuk bisa dipercaya atau diterima. Meskipun

dimaksudkan untuk mengkomunikasikan ketulusan, itu tidak

berarti kejujuran. Ini hanya berarti, “Aku ingin kau percaya

padaku”. Maksudnya, “Apa yang saya katakan datang dari

hati”. Selain itu juga leksia ini menyebar makna „santun‟ dan

„njawani‟. Gaya menyapa seperti ini dalam kesepakatan sosial

dianggap sama dengan cara orang Jawa memperkenalkan diri,

santun dan rendah hati. Suku Jawa merupakan suku terbesar

yang mendiami kota Jakarta. Suku Jawa dikenal santun, penuh

tata krama, dan „sungkanan‟. Peneliti memandang leksia ini

juga merupakan salah satu upaya membaur citra Ahok yang

dikenal arogan dan kasar. (REF. Suku Jawa yang Santun)

72

(9) Saya, haji Djarot Saiful Hidayat. *Akhirnya dari leksia ini

menjawab pertanyaan (1a) secara utuh. Kehadiran leksia ini

menjelaskan siapa yang berdiri disamping Ahok yaitu Djarot

Saiful Hidayat yang diketahui merupakan pasangan Ahok

maju dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Dalam leksia ini Djarot

menekankan Identitas dirinya dengan menyebut gelar „haji‟

sebelum namanya. Pelabelan „haji‟ saat memperkenalkan diri

menunjukan identitas keislaman Pak Djarot, dan dapat diamini

sebagai salah satu bentuk ketaatan karna melaksanakan haji

merupakan rukun islam. Haji adalah gelar homonim yang

memiliki dua etimologi yang berbeda. Dalam budaya Islam

Nusantara di Asia Tenggara, gelar haji umumnya digunakan

untuk orang yang sudah melaksanakan haji. Istilah ini berasal

yang merupakan bentuk isim fail (حاج) dari bahasa Arab

pergi haji') atau' ,حج :partisip aktif) dari kata kerja 'hajj' (Arab)

ibadah haji') yang diberi' ,حج :dari kata benda 'hajj' (Arab

Arti lainnya adalah .(حجي :sufiks nisbah menjadi 'hajjiy' (Arab

berasal dari kebudayaan Nusantara pra-Islam era

Hindu-Buddha, yaitu Haji atau Aji yang berarti "Raja". Gelar

haji umum digunakan sebagai tambahan di depan nama dan

sering disingkat dengan "H". Dalam hal ini biasanya para Haji

membubuhkan gelarnya dianggap oleh mayoritas masyarakat

sebagai tauladan maupun contoh di daerah mereka. Bisa

dikatakan sebagai guru atau panutan untuk memberikan

73

contoh sikap secara lahiriah dan batiniah dalam segi Islam

sehari-hari. Peneliti melihat fenomena pelabelan diri ini

(lagi-lagi) sebagai upaya menunjukkan identitas diri Djarot

sebagai seorang Muslim. (REF. Identitas keislaman)

Secara keseluruhan makna konotatif dalam visual iklan bisa dilihat sebagai suatu upaya membaurkan citra pasangan kandidat yang negatif, menjadi sesuatu yang baru, dan lebih positif. Dalam masyarakat kita yang mayoritas muslim, kehadiran pemimpin non-muslim masih sering menjadi perdebatan. Ada ulama yang mengharamkan memilih pemimpin dari kalangan non-muslim namun ada pula yang memperbolehkan karena larangan memilih pemimpin dari kalangan non-muslim itu berlaku apabila mereka menunjukan permusuhan. Jadi dasar utamanya bukan agama.

Apalagi dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila yang didalamnya terdapat nilai-nilai ketuhanan, keadilan, persatuan.

Karenanya scene ini seolah merpresentasikan harmoni antara Ahok dan Djarot, dimana mereka bisa berdiri berdampingan walaupun memiliki perbedaan dari segi identitas etnis/suku dan agama. Ahok yang beretnis Tionghoa dan non-muslim dapat sejalan dengan

Djarot yang bersuku Jawa dan seorang muslim yang dapat digolongkan taat. Harmoni itu ditunjukkan pula dengan hasil berupa kerja nyata keduanya selama periode kepemimpinan sebelumnya yang digambarkan melalui grafis proyek-proyek.

74

3.1.1.3 Makna Denotatif Pada Sesi Isi (detik 00:04-00:24) Komposisi iklan Detik 00:04 – 00: 24

Gambar III.3. Scene Ahok mengucapkan Terimakasih

Gambar III.4. Scene Djarot meminta doa restu warga Jakarta

75

Gambar III.5. Scene Ahok dan Djarot Meminta Izin untuk Meneruskan Perjuangan

Suara : Ahok: “Terimakasih atas kepercayaan yang diberikan kepada kami dalam periode ini.” Djarot: “Mohon do‟a restu agar kami bisa menyelesaikan, apa yang sudah kita mulai.” Ahok: “Perjuangan kami belum selesai, ijinkan kami menyelesaikannya.” Djarot: “Suarakan yang benar menurut anda, dan terbaik untuk kota ini”

Setting denotatif visual pada iklan Kampanye Basuki Tjahaja

Purnama dan Djarot Saiful Hidayat pada detik 00:04-00:24, sepanjang iklan ini setting tempat dan komposisi tidak banyak berubah. Pada posisi center masih ada Ahok dan Djarot dengan framing medium close-up, pada posisi center digambarkan Ahok dan Djarot berdiri di atas jalan yang masih dalam tahap pengecor-an dengan langit biru yang luas diatasnya. Dilatar

76

belakang muncul beberapa bangunan seperti patung selamat

datang bundaran HI Patung Dirgantara, dan beberapa bangunan

seperti rusun. Masjid Istiqlal tepat di belakang Djarot (center-new)

dan grafis bangunan Gereja Kathedral tepat di belakang Ahok

(center-given) kemudian disusul grafis-grafis lain di samping

kanan dan kiri yaitu bangunan beberapa rusun dan Jalur MRT yang

semakin panjang. Pada scene ini bangunan-bangunan sudah

nampak jelas di tambah dengan adanya pewarnaan (gambar

semakin detail). Komposisi Ahok dan Djarot masih sama seperti di

awal scene dan posisi ini tidak berubah hingga akhir scene, hanya

framing kamera yang semakin lama semakin mendekat (bergerak

dari wide angle ke medium close-up) sehingga pandangan audiens

semakin difokuskan dan detil melihat kandidat dan background.

Setting denotatif yang berupa dialog adalah Ahok

mengatakan “Terimakasih atas kepercayaan yang diberikan kepada

kami dalam periode ini.” Kemudian ditimpali oleh Djarot “Mohon

do‟a restu agar kami bisa menyelesaikan, apa yang sudah kita

mulai.” Berganti Ahok “Perjuangan kami belum selesai, ijinkan

kami menyelesaikannya.” Kemudian ditambahkan oleh Djarot

“Suarakan yang benar menurut anda, dan terbaik untuk kota ini”

3.1.1.4 Makna Konotatif : Kerukunan Antar Umat Beragama Seperti pada scene sebelumnya di dalam visual iklan pada

scene ini terdapat pula segugusan leksia dengan variasi kodenya

masing-masing, entah berupa kode hermeneutik (HER), kode

77

semik (SEM), kode simbolik (SYM), kode proairetik (ACT), maupun kode referensial (REF). Leksia dari iklan yang berupa gambar dituliskan dengan tanda baca kurung siku ([….]), sedangkan leksia yang berupa kata-kata ditulis dengan huruf miring.

(1) [Langit luas berwarna biru] *Karakteristik keluasan dan

ketinggian langit komplementer dengan warna biru yang

digunakan. Warna biru pada langit mengesankan ketenangan,

sejuk, kesunyian, kecerdasan, kebenaran, keagungan,

melankolis, tidak liar, ketulusan, kemurahan hati, ketenangan,

harapan, kenyamanan, terkontrol, penekanan pada perasaan,

konstan, penyelesaian, kesetiaan, introspeksi. (SEM. Citra

positif). Warna-warna ini merupakan upaya mengalihkan citra

Ahok yang sudah dianggap negatif di masyarakat. Dengan

kesan-kesan yang ditangkap dari penggunaan warna biru

sebagaimana yang ditulis di atas, mengalihkan perhatian orang

dari citra negatif. Kesan negatif ini digantikan dengan

kesan-kesan positif dari psikologi warna-warna yang

digunakan dalam iklan.

(2) [Jalan dan alat berat] *Leksia ini adalah representasi dari

proyek yang sedang dalam proses . Pada masa kepemimpinan

Ahok-Djarot terdapat 2 proyek jalan yaitu TransJakarta layang

koridor 13 dan Simpang susun Semanggi yang pada saat

kampanye ini berlangsung masih dalam proses pembangunan.

78

Kini proyek tersebut sudah rampung dan sudah diresmikan

Agustus 2017. Peneliti melihat leksia ini sebagai peneguhan

bahwa kinerja pasangan ini sudah terbukti. Ada proses yang

berjalan dan dapat dipertanggungjawabkan. (SEM. Kinerja)

(3) [Patung Selamat Datang di Bundaran HI dan patung

Dirgantara] *Leksia ini mempertegas setting tempat dalam

iklan. Selain itu bundaran HI yang terletak di jalan M.H.

Thamrin dan Patung Dirgantara atau yang akrab disebut

patung Pancoran yang terletak di kawasan Pancoran

merupakan lokasi ramai yang menjadi area proyek

pembangunan jalur MRT serta jalur LRT. Sehingga leksia ini

seolah ingin menunjukkan konsen pasangan ini pada masalah

kemacetan dan pembangunan infrastruktur. (ACT. Perhatian

pada masalah warga)

(4) [Masjid Istiqlal dan Gereja Kathedral] *Jika setting tempat

sudah ditegaskan oleh kehadiran Monas, bundaran HI dan

patung Dirgantara, maka leksia ini hadir untuk menjadi

sindiran terhadap diskriminasi yang diterima pasangan calon

ini setelah insiden Al-Maidah ayat 51. (SEM. Diskriminasi).

Istiqlal berada pada posisi center-new sementara dalam iklan

ini Kathedral digambarkan berada pada sisi center-given, ini

menjadi semacam metafora bagi kasus Ahok dimana kota

dengan mayoritas penduduk muslim sulit menerima

kepemimpinan non-muslim seperti Ahok. Disisi lain, dalam

79

dunia nyata Masjid Istiqlal dan Gereja Kathedral merupakan

bangunan keagaamaan yang lokasinya dekat, bersebrangan.

Selama ini toleransi antara kedua bangunan tersebut sudah

dikenal oleh warga Jakarta sehingga kedua bangunan ini

menjadi simbol kerukunan antar umat beragama.

(5) Terimakasih atas kepercayaan yang diberikan kepada kami

dalam periode ini. *Leksia ini merupakan ungkapan

terimakasih pasangan calon karena sudah dipercaya pada

kepemimpinan sebelumnya, sekaligus sebagai sebuah

pengingat bagi calon pemilih bahwa pasangan ini sudah

pernah memimpin dan mendapat kepercayaan sebelumnya.

(SEM. Pengingat)

(6) Mohon do’a restu agar kami bisa menyelesaikan, apa yang

sudah kita mulai. *Pada leksia terdapat 2 kata ganti

kepunyaan yaitu „kami‟ dan ‘kita’. Kita menandakan

kehadiran orang ketiga, dalam konteks ini maka kita merujuk

pada semua orang kecuali Pembicara (Ahok dan Djarot) atau

orang yang diwakili oleh pembicara. Sedangkan kami merujuk

pada pembicara (Ahok dan Djarot) atau orang yang diwakili

pembicara tanpa melibatkan lawan bicara. Peneliti melihat hal

ini sebagai cara pasangan ini mengambil hati warga Jakarta

dengan menjadikan warga Jakarta bagian dari iklan. ‘apa yang

sudah kita mulai’ mengandung makna sebuah awal yang

dimulai bersama antara Ahok-Djarot dengan warga Jakarta.

80

Leksia ini juga memberikan makna keharmonisan yang pernah

ada saat awal mula Ahok-Djarot memimpin Jakarta. ‘Mohon

doa restu agar kami bisa menyelesaikannya’ kata ‘kami‟

menunjuk pada Ahok-Djarot dan absennya keterlibatan warga

Jakarta. Dengan kata lain, apa yang sudah dimulai bersama

akan Ahok-Djarot selesaikan, tentunya dengan restu warga

Jakarta. (SEM.Restu)

(7) Perjuangan kami belum selesai, ijinkan kami

menyelesaikannya. *Leksia ini dengan kata lain meminta

warga Jakarta mengizinkan Ahok-Djarot untuk memimpin

kembali. Umumnya pada iklan kampanye pasangan calon

menggunakan kata “pilihlah kami” atau “coblos no. Urut …”

dan kalimat semacamnya yang mengandung tendensi yang

cenderung otoriter untuk memilih pasangan calon tersebut.

Istilah „Perjuangan‟ menggambarkan kesulitan-kesulitan yang

harus diselesaikan saat memimpin Kota Jakarta. Diksi „ijinkan‟

dilihat peneliti sebagai ungkapan sebagai tanda kerendahan

hati, membiarkan calon pemilih menentukan sendiri setuju

atau tidak jika pasangan ini memimpin kembali. (SYM.

Arogansi vs rendah hati)

(8) Suarakan yang benar dan terbaik untuk kota ini. *Alih-alih

memakai kata “cobloslah” atau “pilihlah” Sebagai gantinya

diksi yang dipakai adalah “suarakan”. Peneliti melihat

pemakaian diksi ini sebagai upaya menghadirkan unsur

81

demokratis dari pasangan calon ini. „Suarakan yang benar‟,

benar bagi tiap orang adalah relatif. Bisa jadi Ahok-Djarot

adalah pihak yang benar atau sebaliknya. „terbaik bagi kota ini‟

imbuhan ter dipakai untuk member makna „paling‟, memilih

yang paling baik diantara yang lain. Sayangnya sama seperti

benar, kriteria baik bagi tiap orang juga relatif. (SYM.

Antitesis: A/B)

Dari serangkaian leksia 5-8 peneliti menangkap kesan bahwa

pasangan calon ini ingin calon pemilihnya memilih dengan

kerelaan hati, tanpa merasa terpaksa. Pasangan ini juga berusaha

menyampaikan agar calon pemilih melihat kinerja mereka, bukan

sesuatu yang lain diluar itu.

3.1.1.5 Makna Denotatif Pada Sesi Penutup (detik 00:25-00:27) Komposisi iklan Detik 00:25 – 00: 27

Gambar III.6. Scene Ahok Mengucapkan Terimakasih Kepada Warga Jakarta

82

Gambar III.7.Scene Djarot Mengucapkan Salam

Suara: Ahok: “Terimakasih Jakarta” Djarot: “Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Setting denotatif visual pada iklan Kampanye Basuki Tjahaja

Purnama dan Djarot Saiful Hidayat pada detik 00:25 - 00:27 adalah masih dengan komposisi Ahok dan Djarot berdiri berdampingan dengan framing medium close-up dimana object utama hanya terlihat dari kepala hingga pinggang, keduanya masih memakai atasan kemeja kotak-kotak dengan paduan celana jeans yang masih terlihat sedikit, serta assesoris kacamata hitam yang masih bertengger di wajah keduanya. Backround masih berupa grafis bangunan Monas, gereja Kathedral, dan Masjid Istiqlal di tengah-tengah, di sisi kanan, agak jauh dari Ahok tampak sebuah alat berat, kemudin grafis jalur MRT, patung selamat datang bundaran HI dan rusun (di kanan Ahok) kemudian (lagi) bangunan

83

semacam rusun dan patung Dirgantara (dikiri Djarot).

Setting denotatif yang berupa dialog adalah begantian Ahok

dan Djarot mengucapkan salam penutup. Ahok mengangkat tangan

kanannya sejajar pelipis dengan jari-jari terbuka seolah hormat dan

menutup dengan mengucapkan “Terimakasih Jakarta”, kemudian

dilanjutkan Djarot menutup dengan menangkupkan kedua

tangannya sambil berucap “Wassalamualaikum warahmatullahi

wabarakatuh”.

3.1.1.6 Makna Konotatif : Salam Perdamaian (1) [Kandidat yang memakai kacamata hitam] *Leksia ini

memiliki berbagai pemaknaan, selain kacamata hitam dapat

diidentikan dengan kegiatan outdoor sehingga mempertegas

leksia sebelumnya tentang apa yang sedang dilakukan kandidat

dan dimana kandidat berada. Leksia ini juga dapat dimaknai

lebih mendalam sebagai sebuah ketertutupan. Kacamata hitam

adalah salah satu kacamata pelindung untuk melindungi mata

dari sinar matahari. Didalam banyak kasus, kacamata hitam

sering digunakan untuk kegiatan outdoor atau penyakit mata.

Selain itu kacamata hitam juga digunakan dengan tujuan

penyamaran. (SEM. Penyamaran). Hadirnya leksia ini bagi

peneliti memiliki makna lain dari sekedar untuk menunjukan

kesan bahwa kandidat sedang melakukan kegiatan outdoor.

Etnis Tinghoa dan Jawa hampir bisa ditebak hanya dengan

mengidentifikasi dari ciri fisik yaitu mata. Mata etnis Tionghoa

memiliki ciri sipit dan suku Jawa bermata belok. Kacamata

84

hitam ini dapat dimaknai sebagai penyamaran, perlindungan

dari judgement terkait etnis pasangan kandidat ini.

(2) [Gerakan tangan setengah hormat] *Leksia ini merupakan

pengulangan pada leksia (5) pada scene detik 00:00-00:04.

Secara umum gerakan seperti ini dapat diartikan sebagai

penekanan dan kewibawaan namun juga dapat dimaknai

sebagai ciri ke-Betawi-an. Gaya seperti ini dalam kesepakatan

sosial lekat dengan Gaya menyapa yang dilakukan orang

Betawi. Orang Betawi dikenal dengan keterbukaannya dan

toleransi yang tinggi terhadap suku lain. Suku betawi

merupakan etnis kedua terbesar yang menetap di Jakarta, suku

yang dikenal sangat menghargai pluralisme (REF. Toleransi)

(3) Terimakasih Jakarta. *Leksia yang hadir bersama leksia (2) ini

memiliki berbagai pemaknaan yaitu sebagai wujud syukur

kepada Tuhan dan sebagai bentuk menghargai apa yang

diberikan orang lain kepada kita. Ungkapan terimakasih

mencerminkan pribadi yang mengucapkannya adalah seorang

yang sopan dan memiliki akhlakul karimah, menghargai orang

lain. Ini menjadi sebuah antitesis dimana di masyarakat

terutama warga Jakarta, Ahok dikenal kasar dan arogan. Tidak

jarang pernyataannya membuat orang lain tersinggung atau

malah memancing emosi orang lain. (SYM. Antitesis: Sopan vs

Kasar)

85

(4) [Gerakan menangkupkan kedua tangan di tengah dada

membentuk menara] *Dalam artikel pada kompas online

http://lifestyle.kompas.com/read/2010/04/22/07365969/Meng

ungkap.Arti.Bahasa.Tubuh disebutkan gerakan menangkupkan

tangan membentuk menara dapat diartikankan sebagai bahasa

keterbukaan. Dalam kesepakatan sosial juga dapat diartikan

sebagai salam penghormatan. (ACT. Hormat)

(5) Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. *Leksia ini

komplementer dengan leksia (3). Juga sebagai peneguhan

gerakan memberikan salam. Dalam Islam memberikan salam

sama dengan mendoakan keselamatan. Makna tersebut

semakin jelas jika kita melihat dari artinya. Wa dalam bahasa

arab artinya "dan" sedangkan Assalamualaikum

Warahmatullahi Wabarakatuh artinya adalah semoga

keselamatan dan rahmat Allah atasmu dan keberkahan-Nya

terlimpah kepada kalian. (SEM. Doa keselamatan). Jadi,

Waassalamu‟alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh secara

harfiah, artinya : dan semoga diberikan keselamatan atasmu,

dan rahmat Allah serta berkah-Nya juga kepada Kalian”. Salam

memiliki makna yang substansial, esensial dan mendalam bagi

umat Islam. Kalimat salam tidak hanya digunakan sebagai

tradisi menegur sapa saja, tetapi mengandung filosofi bahwa

umat Muslim harus saling mendoakan dan tidak saling

membenci. Cendekiawan jebolan IAIN Walisongo Semarang

(sekarang UIN Walisongo Semarang), Lismanto dalam tulisan

86

ilmiahnya, Teologi Islam Damai yang diterbitkan Jurnal

Justisia Edisi 40 Tahun 2013, mengatakan, assalamualaikum adalah simbol sapaan bagi umat Islam memiliki arti kedamaian atau kesejahteraan. Assalamualaikum yang berarti kedamaian atau kesejahteraan, atau dalam bahasa Ibrani: shalom aleichem yang memiliki arti serupa: kedamaian. Inilah sebenarnya ajaran sederhana yang sangat “tua” yang menjadi inti dari segala inti ajaran agama. Dengan demikian, saya dapat katakan bahwa perdamaian merupakan basis dari teologi Islam, termasuk teologi agama-agama di dunia. (Lismanto, 2013: 79). Senada dengan itu, budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun pernah mengemukakan bahwa kalimat salam memiliki arti dan makna yang mengikat, kita sebagai pengucap salam berjanji tidak akan memusuhi atau melukai baik dalam perkataan maupun perbuatan kepada seseorang yang diberikan salam.

Begitu juga dengan orang yang membalasnya dengan salam.

Dia secara hakiki juga terikat dengan berjanji tidak akan berbuat jahat dalam perkataan atau perbuatan, karena sudah menjawab salam.

87

3.1.1.7 Makna Denotatif Pada Sesi Penutup (detik 00:27-00:30)

Komposisi iklan Detik 00:27 – 00: 30

Gambar III.8. Scene Akhir Iklan Ahok-Djarot

Setting Denotatif scene penutup pada detik 00:27-00:30

adalah layar yang berubah menjadi putih lalu tepat pada posisi

center muncul angka 2 besar berwarna merah dibawah angka 2

muncul tulisan #perjuanganBelumSelesai yang juga berwarna

merah.

3.1.1.8 Makna Konotatif : No. 2 pasangan yang bersih, berintegritas dan nasionalis (1) [Warna putih] *Leksia ini digunakan pada layar penutup scene.

Dari segi warna, warna putih dimaknai sebagai berikut. Warna

putih merepresentasikan kejujuran, kesudian, tidak bersalah

(innocent), kemurnian, keperawanan, kesucian, kesopanan,

kesederhanaan, kerendahan hati, terang, cinta, persahabatan,

kebahagiaan. Kesan-kesan ini dimaksudkan untuk

mengimpresi pembaca akan sifat suci, bersih yang digunakan

untuk mengganti kesan negatif dari isu Ahok sebagai penista

88

agama. (SYM. Antitesis: Kesucian/Kesalahan).

(2) [Angka 2 warna merah] *Angka 2 merupakan representasi

nomor urut pasangan ini maju ke dalam pilgub DKI Jakarta

2017. Bagaimanapun fungsi iklan adalah untuk

meningkatkan awareness penonton. Selain itu bagi kubu

Ahok angka 2 ini seperti sebuah doa yang bermakna

memimpin 2 periode. Selain itu angka 2 juga melambangkan

salam damai. [SEM. Rekognisi]

(3) [#PerjuanganBelumSelesai] *Leksia ini mencerminkan pesan

kandidat untuk dapat melanjutkan perjuangan di periode

selanjutnya, kata „Perjuanganbelumselesai‟ juga memiliki

makna integritas dan rasa tanggung jawab yang dimiliki

pasangan ini. Penggunaan tagar juga dapat dimaknai sebagai

usaha memperluas efek kampanye. Tagar atau hashtag

pertama kali dipopulerkan oleh Twitter untuk menandai suatu

topik atau memberikan kategori tertentu. Sebenarnya tagar

sudah dipakai sejak dahulu kala sebagai bahasa pemrograman

software, juga dipakai di MIRC untuk mengelompokkan topik

yang sama. Sedangkan untuk blog, “tag” sudah dikenal dari

dulu. Namun twitter-lah yang mempopulerkan berkat fitur

trending topic-nya. Dalam sebuah kampanye hashtag atau

tagar ini juga dapat digunakan untuk menghitung kadar

suksesnya suatu kampanye. Belakangan tagar semakin populer

dan digunakan secara luas di berbagai media sosial seperti

89

instagram, youtube, pinterest, flickr dan lain sebagainya

bahkan tren tagar juga mulai merambah pengguna facebook.

Berbagai media sosial tersebut sangat populer, penggunaan

tagar menjadikan iklan ini berkesan “kekinian”. Pengguna

internet didominasi kaum muda hingga dewasa yaitu rentang

usia 10-44 tahun yang merupakan usia produktif. Bila

digunakan dengan benar, hashtag adalah cara yang bagus

untuk individu dan merek untuk membuat posting sosial

mereka lebih terlihat dan meningkatkan keterlibatan. (ACT.

Kampanye)

(4) [Warna Merah] *Warna merah digunakan pada leksia (1) dan

(2). Warna ini melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat,

pencapaian tujuan, perjuangan. Warna merah juga sering

digunakan untuk menandai tulisan atau sesuatu yang dianggap

penting/ digunakan untuk tujuan penekanan. Warna ini juga

kontras dengan layar yang berwarna putih. Secara sepintas

kombinasi warna merah di atas layar putih (leksia(1)) mirip

dengan warna bendera Negara Indonesia yang dapat dimaknai

sebagai sikap nasionalisme. (REF. Nasionalisme)

90

3.2 Analisis Makna Mitos dalam Iklan

Mitos dalam iklan: “Ahok-Djarot Politisi yang bersih : Solusi

Permasalahan Warga Jakarta“

Menurut Barthes (dalam Budiman, 2011:38), bahasa membutuhkan

kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos. Yaitu yang secara semiotis

dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang (disebut sebagai

sistem semiologis tingkat kedua (the second order semiological system).

Penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian

sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya tanda-tanda pada tataran pertama

ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan

pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua.

Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah mitos bercokol. Aspek

material mitos yakni penanda-penanda pada the second order semiological

system tersebut dapat disebut sebagai retorik atau konotator-konotator yang

tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama, sementara

petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi.

Skema penandaan dua tingkat ini digunakan peneliti untuk membaca proses

penggambaran mitos dalam iklan.

Di dalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis

pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian

hingga menghasilkan tanda. Dalam visual iklan Pasangan Basuki Tjahaja

Purnama dan Djarot Saiful Hidayat versi #PerjuanganBelumSelesai peneliti

membaca seperangkat tanda-tanda: Kandidat dengan pakaian kasual berupa

kemeja kotak-kotak dan celana jeans, memakai kacamata hitam, dan

91

bersepatu pantofel yang berada di kota dengan bangunan khas Jakarta dan dikelilingi berbagai proyek disekitarnya. Semua ini membangun seperangkat tanda pada lapis pertama (denotasi) dengan makna literal:

Pasangan calon Gubernur DKI Jakarta.

Bahasa yang timbul sebagai akibat adanya interaksi, menuntut adanya relasi atas segala sesuatu yang ada padanya. Menurut Saussure

(1996:122-125), ada dua jenis relasi yang berhubungan dengan bahasa. Yakni relasi sintagmatik dan relasi paradigmatik. Sintagma merujuk kepada hubungan in praesentia di antara satu kata dengan kata-kata yang lain atau antara suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan gramatikal yang lain, di dalam ujaran atau tindak tutur (speech act) tertentu. Karena tuturan selalu diekspresikan sebagai suatu rangkaian tanda-tanda verbal dalam dimensi waktu, maka relasi-relasi sintagmatik kadang disebut juga sebagai relasi-relasi linear. Sebaliknya, relasi asosiatif setiap tanda berada di dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma. Suatu sistem in absentia yang menghubungkan tanda tersebut dengan tanda-tanda yang lain. Hubungan ini bisa berdasarkan persamaan maupun perbedaannya.

Di dalam bahasa, secara paradigmatik, sebuah kata akan berhubungan dengan sinonim-sinonimnya atau antonim-antonimnya. Bisa juga ia berhubungan dengan kata-kata lain yang memiliki bentuk dasar yang sama atau yang memiliki kesamaan secara fonetik. Di dalam bidang politik yang dikenal birokratif dan kaku, gaya kasual dianggap berbeda atau lebih ekstrim lagi nyeleneh. Secara skematik, peneliti melihat bagaimana kandidat merepresentasikan dirinya yaitu berpenampilan kasual (kemeja kotak-kotak

92

+ memakai celana jeans + berkacamata + bersepatu pantofel) + berada di

Kota Jakarta + dikelilingi proyek infrastruktur secara sintagmatik membangun sebuah relasional yang baru dari kandidat untuk calon Gubernur

DKI Jakarta.

Relasi tanda sebagaimana konsep dikotomis Ferdinand de Saussure yakni relasi sintagmatis & relasi asosiatif (paradigmatis) digambarkan sebagai berikut:

Paradigmatis Sintagmatis

Pasangan Mengenakan Pakaian Resmi Kandidat

Pasangan Memakai Baju Warna gelap Kandidat

Pasangan Menggunakan - Baju - kasual Kandidat - Kacamata - Hitam - Sepatu - Pantofel

Gambar III.6. Skema Paragdimatik dan Sintagmatik Iklan Ahok-Djarot #PerjuanganBelumSelesai

Secara paradigmatik, kandidat calon gubernur pada umumnya berpenampilan serius. dan menggunakan warna-warna netral cenderung gelap hal ini berbeda dari gaya berpakaian yang ditampilkan pasangan

Ahok-Djarot yang memakai Kemeja kotak-kotak+bercelana jeans+berkacamata hitam+bersepatu pantofel.

Menurut Yasraf, di dalam fashion terdapat berbagai sistem yang ia sebut sebagai sistem fashion. Misalnya sistem pakaian resmi, sistem seragam

(militer/kantor/sekolah/dll), termasuk sistem pakaian kasual. Meskipun demikian, sebagai salah satu produk kebudayaan, maka sistem fashion

93

bukanlah sesuatu yang stabil, stagnan. Sebaliknya ia justru sangat dinamis, terbuka terhadap perubahan mulai dari yang moderat hingga radikal.

Perubahan ini mendekonstruksi tanda, bentuk, ekspresi, bahkan kode-kode fashion yang ada sebelumnya. Berbagai kombinasi baru dibuat sebagai padu padan, untuk mendekonstruksi aturan-aturan yang ada sebelumnya (Piliang,

2012:357).

Di tataran pertama, seperangkat tanda-tanda pada lapis pertama yakni kandidat Ahok-Djarot yang memakai Kemeja kotak-kotak+bercelana jeans+berkacamata hitam+bersepatu pantofel membentuk seperangkat penanda yakni pribadi kandidat calon gubernur dan wakil gubernur untuk

DKI Jakarta. Di dalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, tanda-tanda pada tataran pertama menjadi penanda-penanda di tingkat kedua yang berhubungan lagi dengan petanda-petandanya. Tanda yang dihasilkan pada sistem signifikasi lapis pertama yakni “Gaya berpakaian Ahok-Djarot kandidat calon gubernur dan waki gubernur DKI Jakarta” ini menjadi penanda di lapis kedua. Penanda berupa “Gaya berpakaian Ahok-Djarot kandidat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta” ini merujuk pada petanda akan pribadi Ahok-Djarot sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Dikutip dari portal online suara.com disebutkan pakaian tidak hanya sebagai penutup tubuh dan penunjang penampilan tapi juga bisa mencerminkan pribadi pemakai. Gaya pakaian yang digunakan Ahok-Djarot mencerminkan pribadi yang mudah didekati, santai namun juga tetap memiliki sisi serius dari seorang pemimpin namun disisi lain pemakaian

94

kacamata hitam menghadirkan kesan berbeda. Kacamata hitam memberi makna ketertutupan dan penyamaran.

Situasi politik yang dihadapi Ahok-Djarot saat kampanye ini berlangsung bisa dikatakan adalah situasi yang sulit. Dengan status Ahok sebagai tersangka kasus penista agama dan beberapa penolakan dari warga membuat posisi pasangan ini seperti telur diujung tanduk. Iklan adalah salah satu upaya mendistorsi realitas yang ada di masyarakat. Ahok yang beretnis

Tionghoa, non-muslim, kasar dan arogan berdampingan dengan Djarot yang bersuku Jawa, muslim, santun keduanya digambarkan sebagai pribadi yang santai, terbuka, dan namun juga tetap meninggalkan kesan keseriusan.

Sedang kacamata hitam seolah menjadi pembauran perbedaan antara keduanya, sehingga yang kita lihat hanyalah pasangan kandidat yang santun dan menyatu dalam perbedaan.

Hal lain yang dapat kita kenali adalah kemunculan bangunan Gereja

Kathedral dan Masjid Istiqlal di sepanjang iklan. Salah satu contoh kecil keberagaman dan kesatuan di Indonesia adalah Masjid Istiqlal dan Gereja

Catedral yang berseberangan, satu berkubah putih megah, satu menara kembar menjulang ke langit. Dua ikon Jakarta yang melambangkan perbedaan dan persahabatan antar umat. Salah satu contoh sederhana dari persahabatan antar keduanya ialah berbagi lahan parkir.

Kemudian yang juga dapat digarisbawahi adalah salam penutup dalam iklan yang menggunakan salam yang menunjukkan identitas keislaman yaitu

“wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu”. Salam penutup sekaligus pesan damai. Seolah menjadi sindiran bahwa islam itu pada hakikatnya

95

mencintai perdamaian. Sehingga dari tanda-tanda ini peneliti mendapati pasangan Ahok-Djarot digambarkan sebagai pribadi yang menghargai perbedaan, demokratis, dan cinta damai.

Terakhir adalah simbol nasionalisme yang bercokol tepat sebelum iklan benar-benar berakhir yang juga sebagai simbol integritas dan rasa tanggung jawab Ahok-Djarot sekaligus sebagai pengingat kembali dan juga harapan agar Warga Jakarta memilih pasangan nomor urut 2 karna perjuangan mereka belum selesai.

Dalam iklan ini Ahok-Djarot digambarkan bagai pemimpin yang nyaris sempurna, memiliki nilai-nilai kepemimpinan yang diidamkan masyarakat.

Dekat dengan rakyat, memiliki kinerja yang baik, kredibel, bersih, berintegritas, santun, nasionalis, toleran, demokratis, tulus dan cinta damai.

Konsep ini kita sandingkan dengan realita yang terjadi dalam kehidupan nyata, kita akan melihat adanya kesenjangan dan juga persamaan. Dimana pada realitanya Ahok adalah pribadi yang terkenal kerap berkata kasar dan ceplas-ceplos sedang di dalam iklan ia digambarkan sebagai pribadi yang santun melalui kata-katanya dan bahasa tubuhnya. Djarot digambarkan santun layaknya ia pada kehidupan nyata.

Penggambaran sebagai politisi yang bersih, pluralis, nasionalis, dan demokratis fokus pada kinerja yang baik untuk membagun Jakarta, walau sebaliknya kasus yang menimpa Ahok hingga menyeretnya menjadi tersangka penista agama menjadi sebuah representasi politik di Indonesia yang identik dengan pemimpin islam. Namun peneliti menangkap citraan ini tidak cukup kuat melawan isu yang beredar di kehidupan nyata. Pada

96

akhirnya pasangan Ahok-Djarot kalah dalam Pilgub DKI 2017. Dikutip dari

tempo.co seorang Peneliti Universitas Nasional Australia (ANU) Marcus

Mietzner menyatakan penentu pilkada jelas persoalan agama. Apalagi

ditambah Ahok dituding telah menistakan agama. Tanpa kasus itu pun, peta

politik warga Jakarta adalah 40 persen warga adalah orang konservatif yang

memilih pemimpin Muslim dan ada 35 persen pemilih adalah orang

pluralistik. Sisanya, lebih banyak terpengaruh kasus penistaan agama dan

gaya kepemimpinan Ahok. Walau jika ditilik kinerja pasangan ini,, lembaga

survei LSI Denny JA menyatakan tingkat kepuasan warga DKI terhadap

Ahok-Djarot mencapai 73 persen. Yang mana dengan tingkat kepuasan

seperti ini seharusnya petahana bisa terpilih kembali. Jika berkaca pada

pernyataan Marcus Mietzner, peneliti melihat bahwa simbol keagamaan

berupa Gereja Kathedral dan Masjid Istiqlal serta salam yang muncul dalam

iklan adalah upaya membaur isu agama yang santer beredar dan menjadikan

ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama.

3.3 Interpretasi Data Setelah melihat hasil analisis terhadap iklan kampanye pilgub pasangan

calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat versi

#PerjuanganBelumSelesai, ditemukan beberapa hal penting tentang

bagaimana iklan kampanye politik televisi tersebut dibuat, terutama dikaitkan

dengan image iklan kampanye politik di televisi tersebut yang ditayangkan

selama masa kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.

Dalam mengungkap image iklan kampamye politik televisi pada

penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan campuran sesuai

97

dengan jenis tanda yang ada dalam iklan, sekalipun lebih condong menggunakan signifikasi Roland Barthes, dimana proses pemaknaan tandanya melalui tahapan-tahapan. Untuk dapat memberikan pemahaman yang lebih mudah terhadap hasil analisis yang telah dilakukan terhadap iklan kampanye politik Ahok-Djarot versi #PerjuanganBelumSelesai adapun makna yang ditemukan dalam iklan pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot

Saiful Hidayat #perjuanganbelumselesai adalah:

1. Gaya berpakaian Kasual namun tetap melekatkan kesan formal : Gaya

Kepemimpinan Ahok-Djarot yang santai namun tetap serius.

2. Simbol agama berupa ucapan salam, pelabelan Haji yang melekat pada

nama Djarot, dan munculnya grafis bangunan Gereja Kathedral dan

Masjid Istiqlal mewakili citra keduanya yang cinta damai dan

menghargai kerukunan antar umat beragama

3. Warna merah dan putih: mewakili citra pemimpin yang bersih, berani

dan nasionalis.

4. Pilihan kata dan diksi yang mengarahkan penonton untuk memilih

pasangan nomor dua alih-alih mendoktrin, mencerminkan kesantunan,

demokratis, dan elegan.

5. Bahasa tubuh saat menyapa dan memberi salam dengan gaya suku

tertentu untuk mencerminkan sikap pluralis pasangan calon nomor 2.

98

BAB IV

SIMPULAN

4.1. Simpulan

Dari penelitian ini didapat simpulan bahwa ditengah badai isu penista

agama yang menerpa pasangan Cagub Ahok-Djarot, Ahok-Djarot dicitrakan

dalam iklan kampanye Pilgub DKI Jakarta versi #PerjuanganBelumSelesai

sebagai sosok sipil yang toleran, pluralis, nasionalis, demokratis dan bersih. Hal

ini ditandai oleh kemunculan tanda/simbol:

1. Melalui penggunaan simbol-simbol agama dalam iklan yang mencerminkan

sikap toleransi antar umat beragama, dan sebagai cermin islam mencintai

perdamaian.

2. Kehadiran kandidat dengan pakaian kasual di antara grafis jalan yang sedang

dalam proses pembangunan, grafis berupa rusun di kiri dan kanan kandidat

yang muncul secara dominan sebagai representasi proyek pemerintah

menjadi metafor sosok Ahok-Djarot yang ingin dikenal sebagai sosok

cerdas yang berfokus pada kinerja, senang blusukan dan dekat dengan

rakyat.

3. Melalui pilihan diksi dialog yang tidak mendoktrin untuk mencoblos

pasangan nomor urut 2 menampilkan sisi demokratis dan kesantunan Ahok

dan Djarot. Sekaligus menjadi pembaur bagi Ahok yang di dunia nyata

dikenal sebagai sosok kasar dan arogan.

99

4. Melalui bahasa tubuh yang mencirikan Suku Jawa dan Suku Betawi iklan

ini menggambarkan sosok Ahok-Djarot yang pluralis untuk memasuki

realitas psikologi komunal pemilih Jakarta yang multisuku,multietnis.

5. Hamparan langit luas yang menjadi background dominan sepanjang iklan,

merupakan metafor sosok Ahok-Djarot sebagai pembawa perubahan yang

tenang, bersih, cerdas, dan tulus guna memberikan alternatif dan panduan

tersendiri pada pemilih yang jenuh dengan praktek politik kotor dan haus

akan perubahan ke arah yang lebih baik.

6. Sisi nasionalis Ahok-Djarot muncul dalam kombinasi warna merah diatas

layar putih di akhir iklan.

4.2. Saran-saran

4.2.1. Saran Praktis

1. Kepada pihak pengiklan untuk lebih proporsional dan lugas dalam

mengemas image atau citra kandidat yang diiklankan. Karena tidak

semua masyarakat yang melihat tayangan iklan bisa secara gamblang

memahami maksud dari iklan. Sehingga pengemasan yang dibalut

metafora sering tidak dibaca dengan benar sehingga maksud dari

iklan tidak diterima secara maksimal oleh masyarakat.

2. Kepada masyarakat luas untuk lebih teliti dan cermat dalam melihat

tayangan iklan, sebab banyak tayangan iklan yang lebih menonjolkan

image sang kandidat daripada visi misi kandidat itu sendiri. Hal ini

100

penting supaya masyarakat pemilih dan masyarakat luas tidak salah

dalam menentukan pilihannya yang didapatkan dari penayangan iklan

kampanye politik televisi.

4.2.2. Saran Akademik

1. Studi tentang tanda-tanda ataupun teks yang terdapat dalam iklan,

khususnya iklan televisi, dengan pendekatan semiotik/semiologi

perlu mendapatkan perhatian yang lebih dan ditingkatkan dalam

rangka menguak image yang membungkus sosok atau produk-produk

yang ditawarkan melalui tayangan iklan.

2. Dalam menunjang sarana pada poin di atas, maka pengadaan

referensi diperpustakaan tentang semiotika maupun pendekatan

lainnya, perlu diperbanyak sebagai alternatif baru bagi yang

digunakan dalam penulisan-penulisan ilmiah berikutnya.

3. Tak kalah pentingnya, dalam rangka memperkaya kajian disiplin

Ilmu Komunikasi, perlu digalakkan kursus metodologis - salah

satunya dengan mengadakan seminar atau pelatihan metodologi dan

filsafat.

4. Diharapkan penelitian selanjutnya yang memakai pendekatan

semiotik untuk menambah fenomena riil yang terjadi sebagai upaya

penyempurnaan penelitian dan dalam rangka meminimalisir

subyektifitas peneliti.

101

Daftar Pustaka

Amin, Shobihin. 2005. Image Iklan Politik Televisi (Analisis Semiotik Iklan Kampanye Politik Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004). Sidoarjo: Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Antar, Venus. 2004. Manajemen kampanye; Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Arifin, Anwar. 2003. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar Ringkas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Barthes, Roland. 2004. Mitologi (terj). Kreasi Wacana: Jogyakarta.

Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas. Yogyakarta: Jalasutra

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa; Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan televisi dan Keputusan Konsumen serta kritik terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman. Jakarta: Prenadamedia Group.

Babbie, Earl. 1986. The Practice of Social Research, California: Wads Worth Publishing Co, Belmont

Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer (terj). Tiara Wacana: Jogjakarta.

Burton, Graeme. 2008. Yang Tersembunyi Di Balik Media. Jalasutra: Yogyakarta.

Christomy dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: UI Press.

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Danial, Akhmad. 2009. Iklan Politik TV Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang.

Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika: Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi-Tanda (terj.). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Fiske, John. 1985. Introduction to Communication Study. Methuln Publishing: London, New York.

Hikmat, Mahi M. 2011. Metode Penelitian dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ida, Rachmah. 2011. Metode Penelitian: Kajian Media dan Budaya. Surabaya: Airlangga University Press.

Nursal, Adnan. 2004. Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Noth, Winfried. 2006. Semiotik (terj). Airlangga University Press: Surabaya.

Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi Dan Simulasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Piliang, Amir Yasraf. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika:Kode, Gaya, & Matinya Makna. Matahari: Bandung.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2003. Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalisasi dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra.

Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rusmana, Dadan. 2014. Filsafat Semiotika Paradigma, Teori, dan Metode Interpretasi tanda dari Semiotika Struktural hingga Dekonstruksi Praktis. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Saussure, F. de. 1959. Course in General Linguistics. Translated by W. Baskin. New York: McGraw Hill.

Thwaites, Tony, Lloyd Davis & Warwick Mules. 2009. Introducing Cultural and

Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik. Yogyakarta: Jalasutra.

Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan. Jakarta: Gramedia.

Wiraswati Yuliani. 2003. Representasi Partisipasi Politik Perempuan Indonesia dalam Iklan Layanan Masyarakat tentang Pemilu. Yogyakarta: Skripsi, Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta

Yuwono, Ismantoro Dwi, dkk. 2017. Gara-Gara Ahok dari Kegaduhan ke Kegaduhan. Yogyakarta: Media Pressindo.

Sumber Majalah:

Tempo. Menohok Ahok. Edisi: 21-27 November 2017

Sumber Internet:

Charta Politika. 7-21 April 2017. Rilis Survei Charta Politika; Prediksi Hasil Akhir Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua. Dapat didownload di : www.chartapolitika.com

Fachrudin, Fachri. 2016. Ini Alasan Pemberitaan Pilkada DKI Jakarta Mendominasi. Portal Kompas.com : http://nasional.kompas.com/read/2016/12/02/23151391/ini.alasan.pemberitaan .pilkada.dki.jakarta.mendominasi. Diakses tanggal 28 April 2017.

Ferida, Khairisa. 2017. Sebuah ujian untuk indonesia, ini sorotan dunia ke pilkada DKI. Portal Liputan6.com : http://global.liputan6.com/read/2856097/sebuah-ujian-untuk-indonesiaini-soro tan-dunia-ke-pilkada-dki. Diakses tanggal 28 April 2017.

Lembaga Survei Indonesia. 3-11 Desember 2016. Likeability is Electability? Kualitas Pasangan Calon dalam Pilkada DKI Pasca-Insiden Al-Maidah. Dapat didownload di : www.lsi.or.id

______. 16 Desember 2016. Pilkada DKI: Antara Menyukai dan Memilih Calon. Portal BBC: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38325649. Diakses 4 Desember 2017.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum no. 4 Tahun 2017. Didownload di: http://www.kpu-kuduskab.go.id . Diakses tanggal 12 Februari 2018.

Tinarbuko, Sumbo. 2015. Kontroversi Iklan Politik. http://www.kompasiana.com/sumbo_tinarbuko/kontroversi-iklan-politik_550e 8a95813311b52dbc63ce. Diakses tanggal 28 April 2017. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/apa-arti-kata-blusukan- yang-sebenarnya. Diakses tanggal 10 Januari 2017. http://www.kpujakarta.go.id/download/ diakses tanggal : 12 September 2017 http://ahok.org/tentang-ahok/visi-misi-program-kerja-ahok-djarot/ diakses tanggal : 12 September 2017 (Form BB2 Ahok-Djarot) https://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama https://id.wikipedia.org/wiki/Djarot_Saiful_Hidayat https://news.detik.com/berita/d-3381265/ahok-djarot-bukan-titipan-pdip-saya-yan g-pilih-dia

Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner