Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Tamansari Yogyakarta Terhadap Perkembangan Jaman Melalui Soundscape
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 3, A078-086, Oktober 2018 https://doi.org/10.32315/sem.3.a078 Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Tamansari Yogyakarta Terhadap Perkembangan Jaman Melalui Soundscape Patricia P. Noviandri1, Ferdy Sabono2 1 Laboratorium Fisika Bangunan, Arsitektur, Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Kristen Duta Wacana. 2 Laboratorium Perancangan dan Struktur, Arsitektur, Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Kristen Duta Wacana. Korespondensi: [email protected] Abstrak Yogyakarta dikenal dengan banyaknya bangunan-bangunan bersejarah yang dilindungi. Salah satu bangunan bersejarah yang menjadi ikon kota ini yaitu Tamansari. Tamansari termasuk dalam Bangunan Cagar Budaya (BCB) tingkat internasional. Selama ini, konservasi Tamansari hanya memperhatikan aspek fisik yaitu bangunan dan landscape. Namun, konservasi pada aspek non-fisik tidak semua bidang disentuh oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Salah satu aspek non fisik yang perlu diperhatikan yaitu aspek suara. Soundscape pada Tamansari berubah dari waktu ke waktu. Perubahan soundscape ini perlu dipahami sehingga masa lalu bangunan tetap dapat dinikmati pada masa kini. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui perubahan Tamansari dari masa lalu dan masa kini ditinjau dari aspek suara. Metode pengumpulan data masa lalu melalui literatur dan data saat ini melalui observasi lapangan. Analisis data menggunakan analisis Deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini yaitu adaptasi situs Tamansari terhadap perubahan jaman sebatas aspek visual. Tamansari melakukan menyesuaikan dengan perkembangan jaman melalui suara-suara air meskipun belum menciptakan suasana masa lalu dan masih terbatas pada area kolam. Kata-kunci : Adaptasi, Bangunan Cagar Budaya, Tamansari, Suara, Soundscape Pengantar Penetapan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta memiliki kekuatan bagi Kota Yogyakarta untuk mempertahankan eksistensinya sebagai Kota Seni dan Budaya ditengah kemajuan pembangunan yang modern. Konservasi Bangunan Cagar Budaya (BCB) menjadi salah satu tanda eksistensi dari keistimewaan Yogyakarta. Perlindungan pada Bangunan Cagar Budaya tercantum dalam Peraturan Daerah Istimewa DIY No. 01 Tahun 2013 pasal 41. BCB di Yogyakarta memiliki nilai historis dari sebuah kawasan yang merupakan tampilan dari adat budaya jawa yang bersumber dari Kasultanan dan Kadipaten dan masyarakat. Pengalaman visual pada BCB merupakan unsur yang dominan dalam pencapaian persepsi pengamat. BCB memiliki ekspresi visual yang sangat baik yang perlu dipertahankan. Dalam upaya untuk mempertahankan BCB di Yogyakarta, komunitas, praktisi, dan akademisi yang memiliki ilmu mengenai bangunan heritage berusaha mempertahankannya dengan berbagai usaha antara lain konservasi bangunan. Beberapa tahun terakhir, Kota Yogyakarta mulai ditekan oleh pembangunan-pembangunan yang modern. Kota Yogyakarta telah mengalami perubahan dengan pesat, perkembangan pembangunan, mall, pertumbuhan dan arus urbanisasi yang meningkat mengakibatkan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk menyebabkan meningkatnya pengguna kendaraan motor yang memberikan kontribusi bagi kebisingan lingkungan perkotaan. Wilayah yang dulu tenang mulai ramai. Secara Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Prosiding Seminar ArchimaritureI PLBI | A 078 ISBN 978-602-51605-3-0 E-ISBN 978-602-51605-4-7 Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Tamansari Yogyakarta Terhadap Perkembangan Jaman Melalui Soundscape tidak langsung, keadaan seperti ini mengancam keberadaan BCB sebagai kawasan wisata. BCB harus mampu beradaptasi dalam mempertahankan eksistensinya sebagi bangunan bersejarah. Adaptasi berarti penyesuaian terhadap perubahan unsur kebudayaan yang menyebabkan unsur tersebut berkembang ke yang lebih baik lagi (KBBI). Pengamat menikmati BCB tidak hanya secara visual tetapi dengan seluruh panca indera yang dimiliki. Pengalaman meruang pengamat BCB sangat penting dalam wisata BCB. Dengan adanya pengalaman meruang yang tidak tergantikan maka orang akan ingin kembali untuk menikmati pengalaman tersebut. Oleh sebab itu, preservasi BCB hanya lewat aspek fisik dirasa kurang memberikan pengalaman meruang bagi pengunjung. Pengunjung harus diberikan sensasi yang membuat seluruh indera mereka terstimulasi. Stimulasi indera dalam pengalaman meruang seseorang dapat diraih dengan elemen visual untuk indera penglihatan, bau-bauan untuk indera penciuman, tekstur untuk indera peraba, minuman / makanan untuk indera perasa, dan suara untuk indera pendengaran. Pengalaman meruang melalui suara dapat dilakukan menggunakan pendekatan soundscape. Menurut Miller, Soundscape berarti semua suara yang dapat didengar pada lokasi yang spesifik. Soundscape adalah komponen dari lingkungan akustik yang dapat dirasakan oleh manusia. Soundscape menurut Payne, dkk ialah totalitas bunyi-bunyian dalam satu lokasi dengan penekanan akan relasi antara persepsi, pengertian, dan interaksi individu atau masyarakat terhadap lingkungan soniknya. Setiap lokasi selalu memiliki soundscape, permasalahannya adalah apakah soundscape yang seperti apa yang mendominasi lokasi tersebut. Pembangunan umumnya memperhatikan landscape sedangkan soundscape terabaikan. Merancang soundscape merupakan salah satu metode dalam urban design untuk meningkatkan kenyamanan manusia yang hidup diperkotaan. Sumber suara dalam ruang atau wilayah berkontribusi dalam penciptaan soundscape dan peremajaan lingkungan (Kamenicky, 2014). Dalam penelitian ini pembahasan lebih mengenai pemaparan identifikasi suara pada masa lalu dan pada masa kini serta adaptasi dari situs tamansari dalam perkembangan jaman ini ditinjau dari segi audial. Tujuan dalam penelitian ini yaitu memahami kebutuhan dari pelestarian BCB akan aspek audial sebagai cara dalam meningkatkan wisata BCB dengan memberikan pengalaman meruang yang lebih kompleks bagi pengunjung. Metode Penelitian ini menggunakan paradigma rasionalistik. Metode yang digunakan yaitu kualitatif. Pendekatan kualitatif lebih menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu dan lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan grounded theory. Grounded Research berarti membangun teori dari data yang dihimpun melalui studi lapangan. Teori yang didapatkan tidak hanya berasal dari data tetapi juga dari sistem kerja selama berlangsungnya penelitian. Temuan penelitian tidak menghasilkan teori final melainkan teori sementara yang dibangun secara terus menerus. A. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data berupa survei identifikasi suara, wawancara, observasi pada kondisi masa kini (data primer), dan arsip berupa peta, foto, video, buku, jurnal (data sekunder) untuk mencari data pada masa lalu. Lokasi penelitian yaitu lokasi wisata taman yang dianggap mampu memberikan pengalaman auditory yang berbeda dengan objek wisata yang lain. A 079 | Prosiding Seminar Archimariture IPLBI Patricia P. Noviandri Hari yang dipilih pada pengambilan data adalah 3 hari yaitu pada weekends (jumat, sabtu, minggu). Hal ini digunakan untuk mendapatkan data valid pada saat wisatawan berkunjung di Tamansari. Semua sampel tersebut akan diambil pada 10 spot di kawasan Tamansari. Gambar 1. Peta Wilayah Pengamatan Tamansari Sumber : penulis, 2018 B. Metode Analisis Data Analisis penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dalam mencari validitas data masa lalu maka digunakan metode triangulasi data dimana data sekunder tersebut perlu dicek kebenarannya dengan data-data sekunder yang lain. Data-data yang didapat dikelompokkan berdasarkan periodenya kemudian dianalisis. Hasil dan Pembahasan A. Gambaran UmumTamansari Tamansari merupakan situs bekas taman atau kebun istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kebun ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Tamansari dibangun pada tahun 1758 – 1765/9. Pada awalnya taman ini memiliki luas lebih dari 10 Ha dengan bangunan seperti gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, dan danau buatan beserta pulau buatan serta lorong bawah tanah. Tamansari didirikan diatas sebuah umbul atau mata air yang dikenal dengan nama Umbul Pacethokan. Tamansari sebagai kebun kerajaan tetapi beberapa bangunan yang ada di Tamansari memperlihatkan bahwa Tamansari berfungsi sebagai benteng pertahanan akhir apabila istana diserang oleh musuh. Tamansari memiliki beberapa fngsi yaitu tempat rekreasi, pertahanan dan fungsi religi. Fungsi pertahanan terlihat dari tembok keliling yang tebal dan tinggi, gerbang yang dilengkapi tempat penjagaan, dan bastion (tulak bala) sebagai tempat menaruh persenjataan. Di Tamansari terdapat jalan bawah tanah yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain. Posisi bangunan Pulo Kenanga yang tinggi difungsikan sebagai tempat peninjauan apabila musuh datang.Fungsi Religi terlihat dari bangunan Sumur Gumuling dan Pulo Panembung. Sumur Gemuling berbentuk lingkatan yang difungsikan sebagai masjid, sedangkan Pulo Panembung digunakan Sultan sebagai tempat meditasi. Prosiding Seminar Archimariture IPLBI | A 080 Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Tamansari Yogyakarta Terhadap Perkembangan Jaman Melalui Soundscape Gambar 2. Peta Tamansari Sumber : https://www.siswapedia.com/wp-content/uploads/2017/06/tamansari-FILEminimizer.jpg , akses 2018 Pada tahun 1867 di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, terjadi peristiwa gempa besar yang membuat Tamansari mengalami kerusakan yang cukup parah dan menjadi terbengkalai. Hal inilah yang membuat banyak penduduk membangun hunian di antara