PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

“KAMU CACAT MAKA AKU ADA” (Eksistensi Disabilitas Dalam Budaya Normalitas) Kajian 4 Gerakan Disabilitas di Indonesia

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Magister Humaniora di Program Magister Ilmu Religi Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Fx Rudy Gunawan 126322014

Magister Ilmu Religi Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2014

i

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

iii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

iv

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

v

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Motto

JANGAN MENGAKU BERADAB KALAU BELUM MEMAHAMI

DISABILITAS – MAJALAHDIFFA

TIDAK ADA HIDUP NORMAL, YANG ADA HANYA HIDUP – DOC

HOLIDAY

vi

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

KATA PENGANTAR

Lebaran tahun 2012, saya mengajak keluarga yang tengah berlebaran di Banjarnegara untuk ke Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Saya harus menyerahkan semua persyaratan dan mengikuti tes masuk setelah diyakinkan Romo Banar bahwa adalah penting untuk kembali mengecas otak/intelektualitas. Salah satunya dengan kembali belajar di kampus. Awalnya, saya sendiri yang berniat belajar di Ilmu Religi Budaya dan menyampaikan ke Romo Banar tapi kemudian saya ragu dan memutuskan untuk menundanya

(karena alasan waktu, pekerjaan dan juga ongkos Jakarta – Yogya yang tidak murah). Tapi berkat dorongan dan bantuan Romo Banar, akhirnya saya nekat mengikuti tes seleksi dan puji

Tuhan, saya lolos tes masuk tahun 2012.

Sepanjang hidup, saya percaya pada kekuatan keyakinan dan kekuatan positive mind.

Dalam hidup saya yang terbilang akrobatik, ketika logika dan rasionalitas membentur tembok realitas yang tidak rasional, berpuluh kali saya melewati situasi seperti itu hanya bermodal keyakinan dan berhasil menjaga kewarasan pikiran sekaligus menemukan solusinya.

Pengalaman ini saya rasa cocok dengan ilmu Religi dan Budaya, karena dalam konteks pengalaman saya, religi adalah keyakinan dan budaya adalah positive mind. Pemahaman ini ternyata pas gathuk dengan kenekatan saya untuk kuliah di tahun 2012 yang secara rasional sebenarnya situasi finansial dan beban tanggungjawab saya tidak memungkinkan.

Miracle still happen. Ini kata-kata klise yang sebagian besar orang sudah menganggapnya out of date. Sebagian orang menyimpan atau membuangnya dalam gudang kosa kata yang gelap dan berlumut di salah satu bagian otak. Namun dalam kehidupan penyandang disabilitas, kata-kata yang dianggap klise itu sungguh punya ruh yang menyala terang. Inilah salah satu sebab yang membuat saya bertekad belajar, berkawan dan mencoba berbuat sesuatu bersama-sama dengan kawan-kawan penyandang disabilitas. Salah satunya

vii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI adalah dengan menulis tesis bertema kehidupan dan perjuangan para penyandang disabilitas di Indonesia ini.

Tanpa berpretensi menjadi seorang aktivis dalam pergerakan disabilitas di Indonesia, tesis ini saya tulis sebagai upaya untuk memberikan sepercik pemikiran dalam narasi kehidupan para penyandang disabilitas yang termarginalkan dan terdiskriminasi hampir sepanjang hidup mereka di negara Indonesia tercinta ini. Harapan yang saya bebankan pada tesis ini sederhana saja, yaitu agar siapapun yang menemukan dan membaca tesis ini akan memahami eksistensi para penyandang disabilitas secara proporsional dan benar sehingga satu langkah awal menuju kehidupan penyandang disabilitas yang lebih baik bisa dimulai oleh siapapun yang membaca tesis ini.

Setelah dua tahun menempuh proses belajar di IRB bersama para dosen yang saya hormati (Pak Nardi, Romo Baskoro, Romo Moko, Romo Banar, Romo Beni, Mbak Katrin,

Pak Pratik dan Romo Bagus) dan kawan-kawan angkatan 2012 yang saya cintai, persis tiga hari menjelang lebaran tahun 2014, saya kembali datang ke Yogyakarta bersama keluarga.

Kali ini dengan membawa serta tesis ini yang berhasil saya selesaikan berkat dorongan anak istri saya (terimakasih pada istri saya, Utami dan anak-anak saya, Havel, Hasya dan Harka).

Terimakasih sebesar-besarnya juga untuk kawan-kawan disabilitas, Jonna Damanik, Irwan

Dwikustanto, Risnawati Utami, Pak Bambang Basuki, Aria Indrawati, Joni Yulianto, Budi

Tongkat, Sabar Gorki, Nurul dan Miko, Cucu Saidah dan Faisal Rusdi, serta banyak lagi yang tak bisa saya sebut satu per satu.

Tentulah masih banyak hal yang belum dinarasikan, dikaji dan diungkapkan tentang dunia disabilitas dan beragam dinamika kehidupan serta perjuangan mereka dalam tesis ini.

Saya menyadari sepenuhnya hal ini karena luasnya dimensi persoalan yang ada dalam kehidupan para penyandang disabilitas, bahkan pada tingkat persoalan yang mendasar seperti

viii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI soal hak asasi. Tesis saya ini seperti saya sampaikan di atas, hanyalah sepercik pemikiran dalam narasi besar dunia penyandang disabilitas di Indonesia. Saya hanya berharap tesis ini bisa memberi inspirasi bagi para intelektual, aktivis, politisi atau budayawan untuk kemudian tergerak menyumbangkan pemikiran mereka tentang disabilitas.

Pada akhirnya, satu hal yang sangat penting untuk saya garis bawahi selama saya belajar dan bekerja bersama kawan penyandang disabilitas serta belajar ilmu religi budaya adalah bahwa hidup ini sungguh ajaib dan karena itulah saya berterimakasih sebesar yang saya bisa pada sang Pemberi Hidup yang telah memungkinkan semua hal saya lakukan dalam hidup saya.

^^^

Jakarta – Yogyakarta, 25-07-2014, 9.49.

ix

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRAK

Berdasarkan penelitian lapangan langsung selama menggeluti dunia disabilitas sejak tahun 2008, masalah mendasar dalam relasi diskriminatif itu sudah dimulai sejak proses konstruksi persepsi terhadap penyandang disabilitas. Persepsi terhadap penyandang disabilitas dibentuk dalam kerangka budaya normalitas yang meng-hegemoni tatanan masyarakat di berbagai belahan dunia.

Budaya normalitas adalah budaya yang dibentuk berdasarkan kepercayaan pada kebenaran nilai-nilai dalam konsep ‘normal’ yang dilawankan dengan ‘tidak normal’ sebagaimana dikotomi benar-salah, gelap-terang, baik-jahat dan dikotomi lainnya. Budaya normalitas memposisikan penyandang disabilitas menjadi salah satu dasar legitimasi konsep manusia sebagai mahkluk ciptaan paling sempurna yang melekat pada eksistensi manusia secara umum. Dalam konteks ini, eksistensi penyandang disabilitas lalu menjadi semacam sub eksistensi bagi eksistensi ‘manusia normal’ yang dibentuk oleh hegemoni normalitas nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi dan politik. Budaya normalitas lantas menjadi kebenaran universal yang menyingkirkan semua hal di luar konsep dan kriteria ‘kenormalan’ keluar dari sistem.

Penyandang disabilitas secara umum ‘menerima’ perlakuan yang tidak memanusiakan mereka, menyingkirkan mereka dan menindas mereka sebagai ‘takdir’. Namun tetap ada sejumlah kecil penyandang disabilitas terdidik dan sejumlah kecil non disabilitas yang peduli, tergerak melakukan perlawanan terhadap hegemoni budaya normalitas.

Perlawanan yang dilakukan pada umumnya bertujuan untuk mengubah persepsi dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sebagai sesama manusia dengan harkat dan martabat yang sama. Sebagai bagian dari masyarakat yang seharusnya diperlakukan setara meski memiliki kekhususan. Kekhususan ini justru seharusnya

x

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI mendapatkan aksesibilitas dari pemerintah sebagai pemangku kewajiban. Perlawanan ini kemudian terfokus sesuai dengan kekhususan disabilitas para penggerak atau perintisnya.

Tesis ini membatasi objek materialnya pada empat gerakan disabilitas yang signifikan berdasarkan bukti-bukti nyata capaian-capaian keempat gerakan disabilitas itu serta konsistensi perjuangan lembaga yang merintis dan melakukan keempat gerakan tersebut.

Dengan menggunakan metode penelitian action research dan kerangka teori new social movement, keempat gerakan disabilitas itu dikaji untuk mendapatkan gambaran persoalan- persoalan mendasar yang dihadapi gerakan disabilitas di Indonesia. Selain itu, melalui kajian ini juga dilakukan upaya membongkar hegemoni normalitas yang mengakar dalam sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat.

Kata kunci: gerakan disabilitas, hegemoni normalitas, manusia sempurna, kesetaraan.

^^^

xi

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRACT

Base on fields research since 2008, we can saya that the basic problem in term of discriminative relation against people with disability, begins from the construction process of perception about people with disability. This perception constructs in the frame of normality culture which is shape by universal hegemony of normality.

Normality culture is a culture shaped based on believe to the truth of values in what we call as normal concept versus not normal or abnormal similiar with another dicotomy such as right – wrong, dark – light, good – bad, etc. This normality culture, put people with disability position as one of a basic legitimation for human being concept as the most perfect creature in the world which is integrated to the existence of human being. In this context, the existence of people with disability became a kind of sub existence for the existence of

‘normal human’ shaped by normality hegemony through social, cultural, economic and politic values. Normality culture than become universal truth in the whole system of the society and excluded what recognized as not normal out of the system.

Most of people with disability take this condition and behavior (dehumanization, marginalization and subordinat them) as their destiny. But, still, there are a few well educated people with disability and also a few non disability people, moved to fights against normality hegemony culture.

Commonly, those movement goals is to change perception and fights for disability rights as human being with the same dignity. As a parts of the society, they want justice and equality eventhough they have special needs. This special needs should be support by government with accessibility in public space and protect by the law. In their process, each disability movement then classified depend on what disability they have.

xii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Object material of this thesis focus only to four disability movement which are significant according to their objective result already proven by those movements also base on the organization history that shown consistency in their movement. With action research live experience methodology and new social movement theory, I analyzing those object materials, so we have a big picture about basic problems facing by those movements in

Indonesia. Beside that, this studies also try to deconstruct normality hegemony which is have deep roots in social, cultural, economic and political system.

Key words : disability movement, normality hegemony, perfect human being, equality.

^^^

xiii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iii

HALAMAN PERNYATAAN iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v

MOTTO vi

KATA PENGANTAR vii

ABSTRAK x

ABSTRACT xii

DAFTAR ISI xiv

GLOSSARY xvii

Bab I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 10

D. Kajian Pustaka 12

E. Kerangka Konseptual dan Teoritis 28

F. Metode Penelitian 36

G. Sistematika Penulisan 38

xiv

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Bab II. NARASI GERAKAN GELAP, SUNYI DAN TERTATIH

DI INDONESIA 41

A. Dunia dalam Seribu Buku 44

B. Gerakan Komunitas dan Ruang Kehidupan Disabilitas 61

1. Bandung Independent Living Center (BILiC) 63

2. Deaf Art Community (DAC) 74

3. SIGAB dan Perjuangan Aksesibilitas 84

Bab III. GERAKAN DISABILITAS MEREBUT RUANG KEHIDUPAN DAN

AKSESIBILITAS 98

A. Sejarah Kecacatan: Istilah, Cara Pandang dan Fenomena 103

B. Gerakan Disabilitas Merebut Ruang Publik 109

C. Situasi Disabilitas dalam Hegemoni Normalitas 120

D. Gerakan Pendidikan dan Akses Informasi 130

E. Gerakan Advokasi Disabilitas & Hegemoni Normalitas 140

F. Menuju Kesetaraan Masyarakat Plural 152

Bab IV. KESIMPULAN DAN PENUTUP 158

I. Kesimpulan 164

A. Gerakan 1000 Buku 164

B. BILiC & Aksesibilitas Ruang Publik 166

C. Deaf Art Community (DAC) 167

xv

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

II. Penutup 169

A. Batasan Normal dan Tidak Normal 170

B. Mitos dan Konstruksi Identitas 173

DAFTAR PUSTAKA 180

xvi

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

GLOSSARI

BILIC : Bandung Independent Living Center

Bapel : Badan Pelaksana

CIQAL : Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disability

CRPD : Convention on the Rights of People with Disability

DPO : Disable People Organization

Dinsos : Dinas Sosial

Dikbud : Dinas Kebudayaan

Dishub : Dinas Perhubungan

Dinas PU : Dinas Pekerjaan Umum

Dinkes : Dinas Kesehatan

DAC : Deaf Art Community

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DKI : Daerah Khusus Ibukota

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta

Gerkatin : Gerakan Kerukunan Tuli Indonesia

IDCC : Indonesia Disability Care Center

ITMI : Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia

ISI : Institut Seni Indonesia

Jamkesos : Jaminan Kesehatan Sosial

JBFT : Jakarta Barrier Free Tourism

KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah

Kubca Samakta : Kelompok Usaha Bersama Penyandang Cacat Jasa Mitra Karya Utama

PPDI : Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia

xvii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PSLD : Pusat Studi dan Layanan Disabilitas

PPRBM : Pusat Pengembangan dan Latihan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat

Pergub : Peraturan Gubernur

Perda : Peraturan Daerah

Perwali : Peraturan Walikota

Sekda : Sekretaris Daerah

SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah

Sapda : Sentra Advokasi Perempuan, Difable dan Anak

Sigab : Sasana Gabungan Advokasi Difabel

SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional

UIN : Universitas Islam Negeri

WKCP : Wahana Keluarga Cerebral Palsy

WHO : World Health Organization

YPAC : Yayasan Penyandang Anak Cacat

xviii

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Ratu Yogyakarta istri Sultan Hamengkubowono X, menutup matanya dengan sebuah blind fold (penutup mata) di antara puluhan tunanetra, tunadaksa, tunarungu dan penyandang disabilitas lain lalu berjalan seperti seorang perempuan tunanetra. Suasana lapangan lembah Bulaksumur di kawasan kampus Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta, tempat berlangsungnya pasar Sunmor (Sunday Morning) agak berbeda pada suatu minggu pagi di bulan Desember 2013. Biasanya hanya keramaian orang menikmati minggu pagi dengan berolah raga dan rekreasi belanja, tapi pada minggu pagi itu, ratusan penyandang disabilitas membuat masyarakat pengunjung Sunmor tampak menatap heran, bingung, takjub, kasihan atau kombinasi dari semua perasaan itu.

Ditambah pula kehadiran Sang Ratu di antara para penyandang disabilitas itu dalam sebuah acara yang mungkin baru pertama kali mereka saksikan. Acara bertajuk Holding

Hands Movement itu sebenarnya hanya berangkat dari ide sederhana, yaitu mengajak masyarakat non disabilitas merasakan pengalaman menjadi disabilitas dalam rangka membangun persepsi dan pemahaman yang proporsional terhadap disabilitas. GKR Hemas mendukung gagasan itu dan karenanya bersedia hadir untuk merasakan pengalaman menjadi tunanetra karena ia mengetahui bahwa penyandang disabilitas itu adalah bagian yang tidak kecil dalam masyarakat.

Selain itu, Ratu Hemas memang sudah cukup lama memiliki kedekatan dengan sejumlah aktivis disabilitas perempuan di Yogyakarta sehingga wacana disabilitas bukan hal

1

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 2 baru bagi dirinya. Namun meski begitu, tetap saja Ratu Hemas tersentuh oleh keharuan mendalam saat ayah seorang anak tunaganda1 memintanya untuk berfoto bersama anaknya.

Wajah Sang Ratu tampak galau meski ia tetap tersenyum ketika difoto sembari menggendong anak tunaganda itu.

World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah penyandang disabilitas di dunia sekitar 10% sampai 15% dari total populasi penduduk setiap negara atau sekitar 23 juta orang di Indonesia.

About 15% of the world's population lives with some form of disability, of whom 2-4%

experience significant difficulties in functioning. The global disability prevalence is

higher than previous WHO estimates, which date from the 1970s and suggested a

figure of around 10%. This global estimate for disability is on the rise due to

population ageing and the rapid spread of chronic diseases, as well as improvements

in the methodologies used to measure disability.2

Statistik ini mencakup semua macam disabilitas, mulai dari tunadaksa, tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita dan cerebral palsy/CP (gangguan kerusakan syaraf motorik di otak).

Dari angka 15%, 2 sampai 4% adalah disabilitas parah (experience significant difficulties in functioning), selain itu angka ini juga naik dari perkiraan WHO tahun 1970 yang berkisar 10%. Kenaikan estimasi global ini antara lain karena meningkatnya populasi lanjut usia (lansia) dan cepatnya penyebaran penyakit kronis serta pengembangan metode- metode yang digunakan untuk pengukuran disabilitas (improvements in the methodologies used to measure disability).

1 Tunaganda adalah penyandang disabilitas yang memiliki dua macam disabilitas sekaligus, bisa tunanetra sekaligus tunarungu, bisa tunarungu sekaligus dengan tunagrahita. Anak tunaganda secara fisik umumnya juga sangat berbeda dengan anak disabilitas yang tidak ganda. 2WHO, World Report on Disability, www.who.int

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 3

Merujuk pada statistik ini, keberadaan penyandang disabilitas merupakan bagian yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Setiap bayi dalam kandungan memiliki potensi atau kemungkinan terlahir sebagai penyandang disabilitas. Lalu pada usia balita, semua balita juga berpotensi menjadi disabilitas karena berbagai kemungkinan penyebab. Penyakit seperti polio dan tiphus pada usia balita bisa mengakibatkan kelumpuhan sehingga si anak yang terkena kemudian menjadi tunadaksa. Contoh lain adalah penyakit radang otak yang pada banyak kasus mengakibatkan anak yang menderita kehilangan pendengaran dan menjadi tunarungu seumur hidupnya.

Foto di atas adalah foto kegiatan olahraga yang dilakukan anak-anak tunagrahita atau down

syndrom atau disebut juga disabilitas intelektual di Jakarta bersama seorang pengajar di

sekolah mereka.

Demikian halnya pada usia kanak-kanak, remaja dan dewasa, potensi atau kemungkinan seseorang menjadi disabilitas tetap hadir dan membayangi. Lalu pada usia lansia, potensi ini akhirnya menguat sebagai bagian dari proses alamiah berkurangnya berbagai kinerja organ tubuh manusia. Penglihatan yang kabur, pendengaran yang menurun,

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 4 sendi-sendi yang mengeropos dan juga otak yang melemah adalah proses yang terjadi pada manusia lanjut usia. Disabilitas, dalam konteks ini, bisa dianggap sebagai salah satu elemen dalam proses siklus kehidupan setiap manusia sejak dalam kandungan sampai akhir hayatnya.

Elemen ini menjadi bagian penting yang bisa mengubah kehidupan seseorang. Begitu seseorang menjadi tunadaksa, tunanetra atau tunarungu, bisa dipastikan seluruh hidupnya berubah drastis. Ini karena kebudayaan manusia di muka bumi manapun dibangun atas dasar kerja lima panca indra manusia. Artinya, begitu seseorang kehilangan salah satu panca indra, maka ia kehilangan juga salah satu aksesnya pada kebudayaan. Ia tak bisa lagi menonton teater, menikmati lukisan atau menyaksikan pembangunan di daerahnya. Begitu seseorang menjadi tunarungu, mereka tak bisa lagi mendengarkan musik atau orasi para politikus.

Mereka lalu menjadi kaum marginal dalam kebudayaan masyarakat. Ketika seseorang menjadi penyandang disabilitas maka ia otomatis kehilangan sejumlah haknya.

Contoh sederhana: seorang tunanetra kehilangan haknya untuk mendapatkan bacaan yang diinginkannya karena sangat sedikit buku bacaan dalam versi huruf Braille3. Seorang tunarungu kehilangan haknya untuk mendapatkan informasi sosial atau politik karena tidak ada sajian informasi sosial atau politik yang menggunakan bahasa isyarat. Atau seorang tunadaksa otomatis kehilangan haknya untuk menggunakan transportasi/angkutan umum karena tidak tersedia fasilitas pendukung seperti ‗ram‘ (jalan naik/turun yang landai dengan pegangan di kiri-kanannya) untuk kursi rodanya.

Buku versi Braille seharusnya disediakan setidaknya di semua perpustakaan daerah oleh pemerintah. Informasi sosial dan politik berbahasa isyarat untuk tunarungu juga seharusnya disediakan oleh pemerintah. Di ruang tunggu antrian rumah sakit atau bank

3Huruf timbul khusus tunanetra yang diciptakan oleh Louis Braille, seorang tunanetra asal Perancis yang kemudian disebut sesuai namanya, yaitu huruf Braille. Pada bab dua akan dikupas lebih jauh tentang sosok Louis Braille.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 5 seharusnya ada papan informasi yang menjelaskan setiap pengumuman. Aksesibilitas di public space bagi tunadaksa dan penyandang disabilitas lain, jelas seharusnya juga menjadi tanggungjawab negara.4

Di sisi lain, masyarakat pada umumnya masih berada dalam pemahaman dan cara pandang yang tidak tepat terhadap disabilitas. Berbagai sikap terhadap penyandang disabilitas masih dipenuhi bias persepsi bahwa disabilitas itu manusia tidak sempurna.

Untuk merumuskan masalah secara objektif maka perlu diketahui apa yang menjadi dasar realitas keberadaan penyandang disabilitas sebagai sebuah persoalan penting yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat secara umum. Pertama harus dipahami sejumlah fakta mendasar tentang penyandang disabilitas dalam kehidupan masyarakat kita.

Beberapa fakta dan persoalan mendasar itu, antara lain:

 Kendala dan hambatan aksesibilitas yang masih sangat besar, baik itu kendala untuk

mendapatkan hak atas pendidikan, pekerjaan, hak politik, ruang sosial dan budaya,

maupun aksesibilitas fisik sebagai sarana mobilitas.

 Tidak pernah ada pendataan terpadu dan menyeluruh yang dilakukan oleh pemerintah

untuk mengetahui statistik dan demografi penyandang disabilitas. Tidak adanya data

akurat juga menyulitkan upaya-upaya untuk melakukan implementasi berbagai

kebijakan.5

 Sikap masyarakat yang masih tidak memahami dengan baik, benar dan proporsional

penyandang disabilitas karena kurangnya informasi tentang dunia disabilitas.

Dilihat dari fakta mendasar kehidupan penyandang disabilitas dalam tatanan formal

(nilai dan norma) masyarakat yang merupakan hasil penelitan majalah diffa (sebuah majalah

4Risnawati Utami, Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas, www.majalahdiffa.com 5Departeman pemerintah yang melakukan pendataan seperti Departemen Sosial atau Departemen Pendidikan mendata sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan programatik mereka dengan kriteria masing-masing.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 6 disabilitas) tentang implementasi perda disabilitas di empat wilayah (Jakarta, Bandung, Solo dan Jogjakarta), persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas bisa dikatakan sangat mendasar dan kompleks.6

Permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas sangat luas dan kompleks karena mencakup berbagai aspek mendasar kehidupan mulai dari yang eksistensial (identitas, status dan posisi penyandang disabilitas), aspek sosial (relasi dengan masyarakat secara umum, relasi antar penyandang disabilitas, aksesibilitas sosial), aspek politik (menyangkut soal persamaan hak penyandang disabilitas, kesetaraan, pemenuhan hak politik, kesempatan berpartisipasi di dunia politik), aspek budaya (ruang untuk berkebudayaan, untuk menikmati kebudayaan dan untuk berkarya), dan juga aspek ekonomi dengan berbagai persoalan terkait ketenagakerjaan untuk disabilitas sampai pemberdayaan secara luas.

Foto di atas diambil di sebuah ruang kelas sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus di

Jakarta dengan siswa yang terdiri dari beragam disabilitas.

6FX Rudy Gunawan, Acuan Investigasi Perda Disabilitas, www.majalahdiffa.com

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 7

Foto di atas bisa mengisahkan seribu cerita tentang kehidupan anak-anak penyandang disabilitas yang terkait dengan luas dan kompleksnya permasalahan yang mereka hadapi.

Anak yang sedang menulis dengan kakinya adalah penyandang CP7 sementara beberapa anak di meja belakangnya ada yang penyandang tunagrahita dan ada juga tunarungu. Mereka bersama-sama belajar dengan sejumlah guru pendamping. Ini baru satu potret satu aspek, yaitu pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas di tengah sistem pendidikan secara umum yang tak putus dirundung berbagai persoalan.

Dalam kondisi luas dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi disabilitas ada latar belakang yang sama luas dan kompleksnya dalam tatanan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat secara umum yang kemudian memunculkan satu sikap prejudice:

Mengurus yang waras saja susah apalagi mengurus orang cacat. Ini sungguh persoalan mendasar dan substansial dalam relasi antara disabilitas dan non disabilitas.

B. Rumusan Masalah

Dimana posisi dan eksistensi penyandang disabilitas dalam tatanan budaya normalitas masyarakat? Inilah pertanyaan utama yang menjadi tesis. Pertanyaan turunan dari pertanyaan utama yang akan mewarnai tesis ini antara lain: Seperti apa keberadaan penyandang disabilitas dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat? Bagaimana penyandang disabilitas berjuang untuk hidup dalam struktur masyarakat yang mendiskriminasi dan memarginalkan mereka secara sistematis? Bagaimana sikap pemerintah dan aparatnya terhadap isu atau persoalan disabilitas dalam struktur diskriminatif masyarakat? Itulah turunan pertanyaan mendasar yang akan akan dikaji untuk mencari sejumlah alternatif jawaban.

7Penyandang CP atau cerebral palsy biasanya memiliki konstruksi tulang yang berbeda pada bagian tertentu seperti tangan atau kaki yang bengkok dan mengecil sehingga menyulitkan mereka untuk menggunakan bagian tersebut sesuai fungsinya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 8

Luas dan kompleksnya persoalan disabilitas membuat penulis harus memilih dan memfokuskan diri pada fokus persoalan tertentu, yaitu gerakan hak asasi penyandang disabilitas atau disability rights movement. Adapun rumusan permasalahan yang akan menjadi fokus penulis adalah:

a. Gerakan Disabilitas Merebut Ruang Publik

Ruang publik adalah pintu masuk pertama bagi aktualisasi diri manusia sebagai

makhluk sosial dan politik. Bagaimana penyandang disabilitas di Indonesia

membangun gerakan untuk merebut ruang publik yang menjadi hak mereka?

b. Gerakan Merebut Hak Atas Pendidikan dan Informasi

Bagaimana pendidikan berperan untuk mengubah persepsi yang salah terhadap

disabilitas? Bagaimana konstruksi lingkungan, pemerintah dan masyarakat yang tidak

mampu merespon disabilitas didekonstruksi melalui pendidikan?

c. Gerakan Advokasi Policy Terhadap Hegemoni

Bagaimana mewujudkan masyarakat inklusi yang menjunjung harkat dan martabat

penyandang disabilitas melalui gerakan advokasi terhadap policy yang dikuasai

hegemoni normalitas? Bagaimana penyandang disabilitas dapat hidup setara dan

terpenuhi hak-haknya di bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi?

Itulah tiga permasahan yang akan menjadi fokus dari penelitian tesis ini sehingga akan lebih memudahkan penulis dan sekaligus bermanfaat memetakan berbagai persoalan dalam perjuangan penyandang disabilitas di Indonesia, khususnya di tiga wilayah, yaitu:

Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Foto di bawah ini adalah gambaran sebuah kegiatan diskusi dalam rangka mempersiapkan advokasi untuk memberi pemahaman pada para calon

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 9 presiden Indonesia periode 2014 tentang berbagai permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas.

Mereka yang hadir dalam diskusi itu seperti terlihat dalam foto adalah para aktivis disabilitas yang memang penyandang disabilitas, bukan aktivis disabilitas yang non disabilitas. Mereka antara lain adalah aktivis tunanetra muda dari Jakarta, Dimas Prasetyo, pendiri situs yang dikelola tunanetra kartunet.com dan penyandang CP, Habibie Afsyah yang terkenal karena kegigihannya berwirausaha melalui bisnis online dan berhasil mendapat sejumlah penghargaan untuk bidang kewirausahaan. Dimas adalah tunanetra yang berhasil diterima di Universitas Indonesia dan menguasai komputer dengan bantuan software screenreader untuk tunanetra. Dimas kemudian merintis sebuah website www.kartunet.com dan berhasil mendapat bantuan dana dari program Cipta Media.8

8Program cipta media adalah sebuah program yang diadakan oleh Ford Foundation dalam rangka menguatkan peran masyarakat untuk membangun berbagai bentuk jaringan dan penyebaran informasi yang berguna bagi penguatan masyarakat sipil.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 10

Foto di atas ini diambil di masa kampanye Pemilihan Presiden 2014 di Hotel JS Luansa, Jakarta, saat aktivis disabilitas merumuskan persoalan-persoalan yang mereka hadapi untuk diserahkan pada para calon Presiden dan Wakil Presiden.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Cakupan penelitian dengan fokus tema di atas terbagi menjadi dua wilayah penelitan, yaitu penelitian kasuistik dan penelitian konten media. Untuk penelitian kasuistik, penelitian yang akan dilakukan adalah dengan meneliti pengalaman langsung lembaga dan tokoh-tokoh yang melakukan gerakan perjuangan disabilitas. Untuk media massa, penelitiannya adalah analisa konten disabilitas di sejumlah media massa nasional dan media lokal.

Adapun secara lebih rinci, tujuan penelitan ini adalah:

a. Mencari akar permasalahan gerakan disabilitas dan menganalisanya untuk mencari

solusi mengatasi permasalahan tersebut. Apa penyebab kegagalan gerakan disabilitas

pada umumnya? Mengapa kerap satu kali gebrak lalu berhenti? Penyebab kondisi ini

bisa kompleks dan beragam, namun pasti ada satu akar permasalahan di dalamnya.

b. Melakukan kajian (budaya) secara kritis terhadap berbagai dimensi dan aspek dalam

gerakan dari dunia disabilitas memakai metode actional research yang partisipatoris

sehingga bisa memberi wacana model gerakan disabilitas untuk Indonesia

berdasarkan live experiences mereka sendiri.

c. Mengkritisi peran media terkait konten tentang dunia disabilitas dimana media kerap

tidak melakukan fungsi yang seharusnya dilakukan sebuah media massa. Hal ini akan

dilakukan dengan menganalisa sejumlah media, antara lain Kompas, Suara Merdeka,

Suara Pembaruan, Media Indonesia, dan media-media online profesional untuk

melihat kuota berita tentang disabilitas, kapling berita, angle berita, persepsi dan

kategori konten yang muncul di media-media tersebut selama kurun waktu tertentu.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 11

Penelitian ini secara umum akan memberikan kontribusi langsung pada upaya untuk membangun persepsi yang benar dan proporsional terhadap penyandang disabilitas melalui pembongkaran hegemoni normalitas yang membentuk kesadaran kolektif masyarakat.

Kesadaran kolektif yang membentuk persepsi alam bawah sadar setiap anggota masyarakat yang menindas penyandang disabilitas.

Dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kajian terhadap disabilitas di

Indonesia masih sangat terbatas dan pada umumnya hanya menjadi bagian dari kajian disiplin ilmu lain seperti kedokteran atau genetika, karena itu hasil penelitan ini menjadi sesuatu yang bisa memberi manfaat langsung, setidaknya sebagai wacana alternatif. Beberapa manfaat langsung dari hasil penelitan ini adalah:

a. Bagi lembaga pemerintah yang bertanggungjawab langsung maupun tidak langsung

terhadap penyandang disabilitas, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai wacana

akademik untuk memahami kebutuhan penyandang disabilitas, aspirasi serta harapan

mereka. Selama ini, program-program pemerintah terkait nasib disabilitas sangat

jarang yang tepat sasaran dan tepat guna.

b. Penelitian ini bagi komunitas dan organisasi penyandang disabilitas yang melakukan

berbagai upaya perjuangan melalui gerakan sosial maupun budaya akan memberi

manfaat untuk memahami hegemoni normalitas masyarakat dan sikap atau peran

media. Selain itu juga bisa menjadi rujukan dalam menganalisa kekuatan dan

kelemahan gerakan disabilitas yang pernah dilakukan organisasi dan komunitas

disabilitas.

c. Hasil penelitian ini juga merupakan sebuah wacana bagi kemungkinan perubahan

kebijakan redaksional media massa mainstream baik itu media cetak nasional, media

cetak daerah, radio jaringan, televisi dan media online dalam hal isu/tema terkait

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 12

dunia disabilitas. Dengan penelitian ini, diharapkan muncul pemahaman baru di

kalangan media massa yang lebih proporsional.

D. Kajian Pustaka

Ada dua buku penting yang akan menjadi kajian pustaka dalam penelitan ini. Di tengah keterbatasan referensi kajian akademik gerakan disabilitas sebagai bagian dari gerakan kelompok marginal dan tertindas, dua buku ini sangat berharga. Buku pertama berjudul

Meretas Siklus Kecacatan: Realitas yang Terabaikan. Buku yang merupakan hasil penelitian tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas pada disabilitas ini seperti sebuah wilayah terpencil yang tak terekspose di halaman-halaman media massa, baik media cetak atau elektronik. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Talenta bekerja sama dengan Ford Foundation pada tahun 2004 dan disusun oleh seorang aktivis perempuan tunadaksa, Risnawati Utami dan peneliti Yayasan Talenta, Sapto Nugroho.

Bila dibandingkan dengan kajian tentang gerakan buruh atau gerakan perempuan, kajian akademik terhadap gerakan disabilitas seperti dalam buku Meretas Siklus Kecacatan, sungguh berbanding terbalik. Ini sama halnya dengan perbandingan jumlah antara organisasi buruh atau organisasi perempuan dengan jumlah disable people organization (DPO). Hanya ada satu atau dua organisasi disabilitas di antara puluhan organisasi buruh atau perempuan.

Ini tergambar seperti yang dituliskan Sapto dan Risna di bagian pengantar buku:

―Ada cukup banyak lembaga yang mengaku tidak tahu sama sekali tentang isu

difabel, ada pula organisasi yang menganggap isu difabel sebagai isu baru dan cukup

menarik. Sementara ada juga lembaga yang mengaku telah melakukan banyak hal

untuk difabel, sisi lain ada lembaga/organisasi yang merasa diingatkan bahwa selama

ini hampir tak pernah mempedulikan difabel. Dan pada tingkat organisasi difabel

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 13

sendiri, meski mereka paham bahwa problem mereka kompleks tetapi mereka tidak

tahu bagaimana problem besar tersebut akan terurai.‖

Tujuan penelitan yang dilakukan Yayasan Talenta di wilayah Surakarta dan diungkapkan melalui buku ini adalah untuk mengungkapkan problem faktual dari pengalaman disabilitas, khususnya disabilitas perempuan dalam mengaktualisasikan hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dan akses informasi serta pelayanan kesehatan reproduksi dan seksualitas (hal. xiv). Ini bermula dari stigma yang ada di masyarakat bahwa penyandang disabilitas itu adalah mahkluk a sexual. Tentu saja stigma ini sama sekali tidak benar karena disabilitas sama halnya dengan non disabilitas, juga mahkluk seksual yang memiliki hasrat dan organ reproduksi yang tidak terpengaruh oleh ke-disabilitas-an mereka.

Bertolak dari pendekatan social model of disability yang mempelajari hambatan- hambatan sikap masyarakat sebagai lingkungan bagi penyandang disabilitas (society‘s disabling environment and barrier of attitude), persoalan kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan disabilitas dalam buku ini ditempatkan dalam konteks sosial dan bukan hanya dianggap sebagai persoalan individual. Pendekatan sosial sendiri memang menekankan dan berbasis pada upaya penegakan hak asasi manusia untuk mencapai kesetaraan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas dalam berbagai bidang kehidupan (hal. 2 – 3). Dalam konteks inilah masalah kesehatan reproduksi bukan semata- mata masalah kesehatan an sich, tetapi juga berhubungan erat dengan masalah sosial, budaya, politik dan ekonomi.

―Reproductive health problems should be understood from social perspective. It is

because health problems is cause and influence social, political and economic system as

well as gender relatation‖ (hal. 4)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 14

Itulah dasar yang melandasi pilihan objek material kesehatan reproduksi dan seksualitas dalam buku Meretas Siklus Kecacatan ini ditambah dengan fakta berbagai mitos tentang penyandang disabilitas yang bertolak dari persepsi yang salah terhadap mereka dan akhirnya mengakibatkan berbagai bentuk diskriminasi terhadap disabilitas. Metode penelitan yang digunakan dalam penelitian adalah deskripitif kualitatif dengan responden 50 orang penyandang disabilitas (30 perempuan dan 20 laki-laki dengan rentang usia produktif 15 – 49 tahun), terdiri dari tunadaksa (25 orang), tunanetra (12 orang), tunarungu (7 orang) dan 6 orang tunagrahita (hal. 18 – 28).

Dengan deskripsi kualitatif yang berdasarkan hasil wawancara mendalam selama periode penelitian berlangsung, buku ini cukup berhasil menggali kehidupan para responden sampai masuk ke ruang personal responden karena memang kesehatan reproduksi dan seksualitas, bahkan bagi masyarakat non disabilitas pun masih merupakan wilayah personal yang tertutup. Penggambaran atau deskripsi yang cukup rinci berhasil digali oleh tim peneliti dari hampir semua responden yang mereka wawancara seperti terlihat dalam contoh kutipan berikut:

―Lastri (20 tahun) asal Mataram Nusa Tenggara Barat, merupakan anak sulung dari

6 bersaudara, tetapi kelima saudaranya itu saudara tiri karena sewaktu ibu Lastri hamil tua, ibunya bercerai dengan ayah kandungnya. Kemudian ibunya menikah lagi saat Lastri masih kecil. Sebelumnya, Lastri tidak tahu, bahwa ayahnya yang sekarang bukan ayah kandungnya... Sejak lahir Lastri sudah mengalami kecacatan (masih dalam taraf low vision) yang membuatnya kehilangan rasa percaya diri... ― (hal. 45)

Proses bagaimana wawancara dengan setiap karakter kecacatan responden pun diceritakan dengan jelas perbedaan-perbedaan kesulitan dalam wawancara dengan tunanetra, tunadaksa, tunarungu maupun tunagrahita. Bagian ini mampu memberikan pemahaman pada

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 15 pembaca awam yang sebelumnya tak memiliki referensi tentang kekhususan-kekhususan karakter setiap jenis disabilitas. Termasuk bagaimana stigma bahwa penyandang cacat itu adalah suatu aib, dosa atau dalam hal ini mahkluk a sexual memicu tindakan-tindakan keluarga yang mencoba menyembunyikan atau ‗membuang‘ anak mereka yang penyandang disabilitas dengan menempatkan di panti disabilitas atau upaya sejenis lainnya.

Dari hasil penelitian yang dituangkan dalam buku ini pembaca akan mendapat banyak informasi dan pengetahuan tentang kehidupan penyandang disabilitas melalui entry point bagaimana penyandang disabilitas memahami kesehatan reproduksi dan seksualitasnya.

Mulai dari soal bagaimana persepsi mereka terhadap alat kelamin, menstruasi, kehamilan dan persalinan, pengalaman keguguran, alat kontrasepsi, hubungan seks pra nikah sampai kasus- kasus pelecahan seksual yang menimpa sejumlah responden sebagai pengalaman langsung.

Diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas dalam pelayanan kesehatan juga menjadi salah satu hasil penelitian.

―Terdapat 8 responden yang mengalami perlayanan diskriminatif, baik oleh dokter, bidan serta petugas/penyedia layanan kesehatan. Pada umumnya responden mendapat perlakuan tidak ramah. Contoh kasus dialami oleh responden bernama Anggun yang ketika datang untuk periksa tidak dipersilakan masuk dan dianggap hendak minta sumbangan. Hal ini berkaitan dengan image atau persepsi yang telah terbangun di masyarakat bahwa disabilitas itu pekerjaannya ya hanya minta-minta.‖ (hal. 111)

Berbagai bentuk pelecehan seksual yang dialami penyandang disabilitas juga menjadi bagian menarik dan penting sebagai ilustrasi bagaimana sikap masyarakat non disabilitas terhadap penyandang disabilitas. Beberapa kasus yang dialami sejumlah responden dinarasikan secara lugas, antara lain dikisahkan oleh Utomo, responden tunadaksa berusia 45 tahun:

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 16

―... ada teman yang mengatakan bahwa istri saya tidak pernah puas dengan saya karena kecacatan saya. Sehingga timbul gosip istri saya berkencan/selingkuh di sebuah hotel di Solo dengan teman laki-laki sekantornya. Akibat gosip itu istri saya dipanggil pimpinan kantornya, ditanya kebenaran gosip itu. Kejadian lain yang membuat istri saya lebih terpukul adalah saat kelahiran anak kedua, sebagian menuduh anak itu bukan hasil hubungan kami karena mereka menganggap saya tidak bisa memberikan keturunan.‖ (hal. 101)

Lalu ada lagi cerita dari Titi, responden perempuan tunanetra (suaminya juga tunanetra) yang berprofesi sebagai tukang pijat:

―Pada mulanya saya menerima pelanggan perempuan dan laki-laki. Suatu saat, seorang pelanggan laki-laki meminta saya untuk memijatnya dan pemijatan pun berlangung seperti biasa, tetapi di tengah-tengah pemijatan laki-laki itu menggerayangi tubuh saya.

Saya segera menepisnya dan untunglah bisa segera pergi meninggalkan lelaki itu...‖ (hal.

104)

Kasus yang lebih parah lagi menimpa Ayu, responden tunagrahita yang ibunya bekerja sebagai pekerja seks komersial. Tampaknya sang ibu menganggap Ayu tidak akan mampu atau mengerti terhadap perbuatannya karena Ayu seorang tunagrahita yang dianggapnya terbelakang.

―...saya sering melihat ibu melakukan hubungan seks dengan laki-laki yang berbeda.

Suatu saat saya diajak ibu ke Tawangmangu untuk menemani seorang laki-laki, saya berusia

12 tahun waktu itu. Saya disuruh melepas baju saya kemudian dipegang, diciumi dan disuruh memegang alat kelamin laki-laki itu. Peristiwa seperti itu terjadi lebih dari satu kali...‖ (hal.

105)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 17

Cerita atau narasi responden inilah yang membuat buku ini menarik. Cerita Utomo,

Titi dan Ayu jelas memperlihatkan bagaimana konstruksi sosial, budaya dan politik yang ada di masyarakat terhadap disabilitas. Dalam konteks ini, buku Meretas Siklus Kecacatan penting dan relevan bagi tema penelitian saya yang mengkaji empat contoh kasus gerakan disabilitas dalam memperjuangan hak-hak mereka di bidang aksesibilitas ruang publik, akses hak pendidikan dan hak atas informasi serta gerakan advokasi kebijakan melawan hegemoni normalitas. Pada bab III buku ini, juga sedikit dibahas tentang ―ideologi kenormalan‖ dan cara pandang yang dalam terminologi saya adalah persepsi dan hegemoni normalitas.

Risnawati Utami sendiri mengalami kelumpuhan di usia kanak-kanaknya karena folio dan sejak saat itu, ia berjuang untuk tetap bisa sekolah di sekolah umum meski hanya dengan menggunakan tongkat. Harga kursi roda pada saat itu masih tidak bisa dijangkau oleh keuangan orang tuanya. Sejak awal saya mengenal Risna, ia adalah sosok yang bisa membuat orang mengaguminya karena keramahan, kecerdasan dan sikapnya yang percaya diri meski ia seorang tunadaksa berkursi roda. Risna melawan keterbatasannya dengan dukungan dari keluarga dan pengasuhnya di masa kanak-kanak.Ini adalah sebuah kondisi khusus karena pada umumnya masih banyak keluarga yang sulit menerima keberadaan anak mereka yang penyandang disabilitas. Berkat dukungan keluarga, Risna berhasil menyelesaikan S1 di

Universitas Sebelas Maret, Solo, kemudian bekerja di Yayasan Talenta sebelum kemudian berhasil mendapatkan beasiswa S2 dari Ford Foundation untuk belajar di Hawaii University,

Amerika Serikat.

Dalam satu kesempatan berbincang-bincang dengan Risna, ia menegaskan bahwa persoalan mendasar yang dihadapinya sebagai penyandang disabilitas adalah sangat kompleks dan berdampak langsung pada siklus kehidupan pribadinya. Satu pengalaman nyata yang diceritakan pada saya adalah saat ia, seperti umumnya penyandang disabilitas lain, berulang kali menjadi korban dari tatanan budaya normalitas. Budaya normalitas yang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 18 membuat penyandang disabilitas sulit menikah dengan non disabilitas sehingga umumnya harus menikah dengan sesama penyandang disabilitas. Sejumlah penyandang disabilitas yang berhasil mendapat pasangan non disabilitas umumnya berkat perjuangan berat dan nekat dari pasangan itu.

―Setiap kali seorang penyandang disabilitas memiliki hubungan serius dengan seseorang selalu saja terbentur pada kendala pihak keluarga yang tidak menyetujui anaknya mencintai seorang perempuan atau lelaki penyandang disabilitas. Ini adalah bentuk diskriminasi kultural yang mengakar sebagai bagian dari nilai-nilai sosial-budaya masyarakat kita. Padahal apa salahnya seorang lelaki mencintai seorang perempuan disabilitas? Apa salahnya seorang perempuan disabilitas dicintai lelaki non disabilitas? Dalam budaya Jawa, konsep nilai yang mengatur dan menjadi penghambat hubungan ini adalah prinsip yang biasa dikenal sebagai bibit, bobot dan bebet,‖ ujar Risna.9

Buku kedua yang juga penting untuk menjadi kajian pustaka adalah sebuah buku yang ditulis oleh seorang ibu bernama Irma Koswara yang memiliki anak Cerebral Palsy atau biasa disebut CP. Buku itu berjudul Anakku Karunia Tuhan? Kisah Kasih Seorang Ibu Berputra

Difabel, diterbitkan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih (2010). Mengapa buku ini penting adalah karena buku ini mengungkap sebuah narasi antitesa dari konstruksi stigma yang melekat pada penyandang disabilitas, bahwa mereka itu aib, dosa atau sebuah kegagalan.

Mitos dan stigma yang membuat penyandang disabilitas disingkirkan, dimarginalkan dan mengalami begitu banyak diskriminasi sejak mereka dilahirkan, dengan cara sederhana dan personal berhasil didekonstruksi oleh Irma Koswara.

9Dalam obrolan dengan Risna tentang kehidupan personal penyandang disabilitas ini, Risna sendiri merasa beruntung karena ia akhirnya mendapat jodoh lelaki warga Amerika yang dalam urusan memilih jodoh bebas menentukan sikap tanpa campur tangan keluarga.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 19

Proses dekonstruksi yang dilakukan Irma Koswara terhadap stigma dan mitos-mitos yang melekat pada penyandang disabilitas memang bukan merupakan sebuah pemberontakan untuk melawan kodrat, tapi justru sebaliknya, yaitu proses untuk memahami apa itu ‗kodrat‘ dan kemudian dilanjutkan dengan proses untuk menerimanya. Irma melakukan sebuah

‗dekonstruksi‘ melalui refleksinya atas pengalaman langsung dan personal yang menimpa dirinya dengan menempatkannya di wilayah agama dan hubungan personalnya dengan Sang

Pencipta.

Buku ini berisi semua catatan tentang pergulatan batin yang dialami Irma sejak ia melahirkan Armando. Irma tak sedikitpun menyangka Armando akan terlahir sebagai anak

CP. Harapannya sama dengan harapan semua ibu lain, ingin anak yang sehat, ganteng/cantik dan sempurna. Harapan itu punah seketika saat Armando lahir.

―... aku marah pada Tuhan, marah pada dokter yang tidak mampu mencegah kecacatan itu, marah pada ketidakadilan situasi, marah pada diriku sendiri, bahkan marah pada anakku yang telah membuatku kecewa...‖ (hal. 12).

Berbagai gugatan kemarahan terus mengisi hari-hari awal sejak Irma menjadi ibu sampai bertahun-tahun kemudian. Proses antara menggugat, belajar menerima, menggugat lagi, mendapat pencerahan, belajar menerima lagi terus berlangsung dalam kehidupan Irma.

Itulah yang dituangkannya dalam buku kecil yang ditulis sebagai catatan-catatan kritis dan reflektif seorang ibu dari anak CP. Catatan-catatan kritis itu hampir semuanya dikemas dalam cerita berbagai peristiwa keseharian dalam kehidupan Irma dan Armando.

―Ketika Armando masih kecil, aku masih berusaha menyembunyikan kecacatannya.

Bila ke mal atau ke tempat-tempat umum, Armando kubaringkan di kereta dorongnya, tidak ada bedanya dengan anak-anak seumur Armando lainnya yang juga senang menggunakan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 20 kereta dorong. Jarang ada yang bisa melihat Armando menyandang cerebral palsy waktu itu...‖ (hal. 18).

Saat Armando bukan balita lagi, Irma tak bisa lagi menyembunyikan kecacatan anaknya dan ia pun mau tak mau harus membelikan kursi roda bagi anaknya. Tapi dengan membeli kursi roda, berarti ia mendeklarasikan pada publik bahwa anaknya seorang penyandang cacat. Irma pun kembali bergulat dengan berbagai dilema, dengan berbagai gugatan dan pertanyaan yang mau tak mau ia lontarkan pada Tuhan karena tak ada orang yang bisa memberinya jawaban memuaskan. Pada saat yang sama proses refleksi berlangsung dalam dirinya karena Irma memang berasal dari keluarga menengah atas di Jakarta yang berpendidikan tinggi.

Seorang anak CP seperti Armando makan pun harus selalu disuapi karena posisi tangannya yang tidak simetris. Irma berusaha keras mengajari Armando untuk bisa makan sendiri. Proses ini saja bisa membuat semua ibu frustrasi dan mengalami depresi ketika menjalaninya, namun Irma selalu berhasil melewati semua tahapan kritis dengan cara mengikuti parents support group untuk orang tua anak CP, baik yang ada di Jakarta maupun melalui media online. Dan ia selalu bisa memetik pelajaran penting dari setiap proses penuh perjuangan yang dialaminya dalam membesarkan dan mendidik Armando, anak semata wayangnya yang pada saat buku ditulis sudah berusia 12 tahun. Salah satu teman parents support group kemudian memberi solusi yang membuat Armando akhirnya bisa makan sendiri. Teman itu mengiriminya sepasang sendok – garpu yang bengkok.

―Irma, belajarlah dari sendok dan garpu bengkok ini. Bengkok tidak selalu berarti jelek, rusak atau buruk karena kadangkala itu justru akan membantumu dan mungkin orang lain juga.‖ (hal. 74)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 21

Itulah pesan dari teman Irma yang sangat mendalam dan mengena di hati Irma ketika frustrasi mengajari Armando makan sendiri. Pesan yang tertulis dalam selembar kertas surat yang menyertai kiriman sepasang sendok dan garpu bengkok itu berhasil membuat Irma bangkit kembali dari setiap kegagalan, frustrasi dan depresi yang dialaminya. Semua tulisan- tulisan pendek Irma di buku kecil setebal 152 halaman itu adalah jawaban bagi begitu banyak persoalan yang dihadapi orang tua penyandang disabilitas, meskipun secara khusus mungkin jawaban-jawaban itu hanya berlaku untuk orang tua atau ibu dengan latar belakang kurang lebih sama dengan latar belakang Irma: kelas menengah, anak kota, mapan, berpendidikan.

Untuk orang tua disabilitas dari latar belakang yang berbeda bisa jadi harus ada sejumlah proses yang berbeda agar mereka bisa menerima keberadaan anak yang cacat yang berarti harus mampu melawan mitos, persepsi dan konstruksi sosial, budaya, ekonomi dan politik yang berlaku di masyarakat.

―Kini sepertinya kubaru mengerti, bahwa dalam diam-Nya, Tuhan sebenarnya sedang meminta dan mengajakku untuk menunggu: ‗Tunggu dulu... ketahuilah dulu tentang dirimu sendiri, apa yang bisa dan tidak bisa kamu lakukan... Dengan begitu, kamu akan bisa mengerti apa yang kulakukan untukmu...‖ (hal. 100).

Irma memasuki dimensi filosofis disabilitas dari keberadaan Armando yang membuatnya terus berpikir kritis, menggugat dan melakukan refleksi atas setiap hari yang dilaluinya bersama Armando. Dalam bahasanya, disabilitas disebutnya sebagai ―tubuh yang rapuh‖. Tentang ini, Irma menulis:

―Ternyata, dengan ‗tubuh yang rapuh‘, seluruh sendi kehidupan jadi dipertanyakan... dari kemampuan untuk berkarya sampai kemampuan untuk bisa membangun sebuah hubungan dengan orang lain... Kadang kami terjerembab jauh ke bawah, dan kami kehilangan kendali... akan tetapi kami harus tetap mencoba untuk berjalan...‖ (hal. 104).

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 22

Bukankah dengan cara dan bahasa yang berbeda, apa yang dikatakan Irma sebenarnya mirip dengan apa yang diyakini Michel Foucault tentang tubuh? Bahwa tubuh bagi Foucault adalah lokus beroperasinya relasi-relasi kekuasaan dan karenanya menempati peran penting dalam pemikiran yang dituangkannya dalam trilogi Seks dan Kekuasaan. Bahwa tubuh atau badan manusia selalu diadaptasikan dan dikondisikan (secara harafiah sama seperti proses

Irma mengurus Armando) terus-menerus menjadi badan yang menguntungkan ‗kekuasaan‘.

Menurut Foucault, badan manusia sesungguhnya suatu badan yang lunak (mallebiality body), yang seperti lempung mudah dinetralisir oleh kekuasaan untuk memelihara normalisasi.

Sekali ia keluar atau menyimpang dari konsep normal sebagaimana yang terjadi pada

Armando, ia pun dicap sebagai abnormal.

Saya mengenal Armando pada usia ia menginjak remaja, sekitar 14 tahun. Armando saat itu saya minta untuk menjadi model sampul majalah Diffa (edisi cetak) bersama seorang artis yang peduli disabilitas, Happy Salma. Proses pemotretan cover menjadi sebuah proses pergulatan tersendiri yang dimulai dari bagaimana melakukan pendekatan pada Armando agar ia merasa nyaman dengan Happy Salma dan fotografer yang akan memotret mereka,

Adrian Mulya. Beruntunglah, di usia pubertas itu juga Armando memiliki dorongan hormonal yang membuatnya mudah tertarik pada lawan jenis seperti Happy Salma sehingga proses interaksi tidak mengalami banyak kendala. Melihat Armando selalu mencoba tersenyum membuat Irma bahagia.

Armando saat itu termasuk dalam kategori anak Cerebral Palsy atau CP yang survive dan mampu melakukan penyesuaian atau adaptasi saat memasuki masa remaja, suatu hal yang terbilang tidak mudah. Saat saya mengajak Armando berkomunikasi, ia bisa merespon dengan ekspresi dan senyum yang merupakan sebuah bentuk komunikasi dasar bahwa ia senang diajak berkomunikasi. Persoalan yang kemudian muncul justru dari lingkungan yang tidak mendukung perkembangan dan keberadaan Armando. Saat saya menyampaikan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 23 keingingan untuk memotret Armando sebagai model sampul majalah Diffa, Irma Koswara sangat senang dan terharu karena itu adalah bentuk pengakuan dan penghargaan yang luar biasa bagi Armando. Di luar bentuk tubuhnya yang tidak simetris serta tangan dan kaki yang bengkok, wajah Armando masih cukup simetris, hanya bibirnya yang sedikit tertarik ke bawah. Selebihnya, Armando bisa dikatakan seorang remaja berwajah bersih dan ganteng.

Di sisi lain, Happy Salma, selibriti yang menjadi model pendamping Armando, juga mengalami sebuah kekaguman dan ketersentuhan saat berinteraksi dengan Armando dan berkomunikasi sebisanya. Apalagi setelah Irma mengisahkan bagaimana kisahnya menjadi ibu dari Armando. Happy yang sebelumnya tidak mempunyai pengalaman berinteraksi dengan disabilitas secara dekat dan personal, kemudian mengalami proses pembelajaran yang membuatnya melihat disabilitas secara lebih proporsional. Itu adalah sebuah awal dari perubahan persepsi yang menguatkan asumsi bahwa perubahan persepsi bisa dilakukan lebih mudah melalui sebuah interaksi langsung.

Kedua buku di atas adalah seperti barang unik dan terbatas di tengah lautan buku yang ada di setiap perpustakaan atau di setiap toko buku. Sama halnya dengan isu disablitas di negara kita maupun di negara yang lebih maju. Di Amerika, di kalangan aktivis hak asasi sendiri, isu disabilitas menempati urutan dan prioritas yang sangat rendah (lower priority) sebagaimana dikatakan oleh Richard K. Scotch dalam Politics and Policy in the History of

Disability Rights Movement yang diterbitkan oleh University of Texas. Scotch meneliti gerakan disabilitas di Amerika periode 1970an dan 1980an yang menjadi masa awal munculnya isu gerakan disabilitas di kalangan aktivis pergerakan Amerika. Kondisi yang terjadi di Amerika saat itu digambarkan sebagai berikut:

―While American movement activists have been involved to some extent with the

policy debates over disability benefits in the 1970s and 1980s, benefit issues appear to

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 24

have had lower priority than issues about discrimination (including access to

transportation, housing, and public services, accommodation in employment, and

integration in education), the promotion of client control in rehabilitation services,

and the development of independent living programs operated and governed by

disabled people.‖ 10

Diskriminasi terhadap disabilitas mencakup hampir semua aspek kehidupan seperti dikatakan Scotch, mulai dari soal aksesibilitas transportasi, perumahan, layanan publik, ketenagakerjaan, hak untuk mendapat pendidikan (konsep pendidikan yang inklusif), layanan rehabilitasi dan hak untuk mendapat ruang publik secara independen (konsep independen living center). Dalam gerakan disabilitas, persoalan diskriminasi lantas menjadi isu utama dan mendasar karena selama penyandang disabilitas tidak memiliki sarana dan prasarana yang seharusnya disediakan negara, maka mereka akan terus terbelenggu ruang geraknya dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Kedua buku penting yang dikaji di atas mengupas dengan cara berbeda realitas kehidupan penyandang disabilitas. Sama-sama mencoba mengungkapkan hegemoni normalitas yang bekerja melalui wacana tubuh yang rapuh atau tubuh yang cacat. Ini adalah bagian utama dari tema tesis yang saya tulis. Buku Meretas Siklus Kecacatan, meski memakai bidang kesehatan reproduksi dan seksualitas sebagai pintu masuknya tetap berbicara jelas bagaimana hegemoni normalitas menjajah kehidupan penyandang disabilitas sampai ke wilayah ‗kamar tidur‘ mereka. Buku Anakku Karunia Tuhan meski dengan cara sangat personal juga mengupas bagaimana konstruksi persepsi normalitas membuat perjuangan seorang ibu dari anak CP menjadi begitu berat dan nyaris tak tertahankan.

10Scotch, Richard. K, Politics and Policy in The History of Disability Rights Movement, University of Texas, page 12.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 25

Kedua buku itu juga mengupas persoalan aksesibilitas sebagai persoalan mendasar dalam kehidupan penyandang disabilitas maupun keluarganya. Saat ini di negara-negara maju pada umumnya aksesibilitas telah jauh lebih baik dibandingkan di negera-negara berkembang seperti Indonesia. Meski begitu, gerakan disabilitas atau disability movement di negara- negara maju tidak otomatis bisa dianggap lebih baik karena aksesibilitas itu. Beberapa referensi yang langsung mengkaji gerakan disabilitas antara lain tulisan Mike Oliver dan

Collin Barnes tentang gerakan disabilitas di Inggris yang berjudul ―Disability Politics and

The Disability Movement in Britain: Where Did It All Go Wrong?‖

Dalam paper Oliver dan Barnes, gerakan disabilitas di Inggris dianggap gagal dan terus menurun sejak tahun 1990an karena penyandang disabilitas tidak memiliki pengalaman politik yang memadai ketika memasuki arena perjuangan politik dan oleh sebab itu lalu dengan mudah dikooptasi, dipatahkan atau dijadikan gerakan macan ompong belaka. Oliver dan Barnes mengatakan:

―There is another factor in the decline of the disabled peoples‘ movement and this is

the very real toll that impairment takes on both the leadership and other activists

within the movement. Through untimely deaths and burn out, the movement has been

robbed of many important members long before their contributions have been

completed. Of course, all political movements suffer from this but, we would argue,

not to anything like the same extent.‖ 11

Kemunduran gerakan disabilitas yang dikatakan Oliver and Barnes, terkait dengan kondisi ‗impairment‘ dari para pelaku gerakan yang menghambat baik kepemimpinan dalam gerakan itu. Selain itu, pergerakan juga selalu ditinggalkan para anggota yang memegang

11Mike Oliver and Collin Barnes, Disability Politics and Disability Movement in Britain: Where Did It All Go Wrong?, www.strategy.govt.uk, page 8

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 26 peran penting karena mereka ‗dirampok‘ oleh pihak lain, jauh sebelum kontribusi mereka dalam gerakan membuahkan hasil. Meski fenomena semacam ini juga kerap terjadi di berbagai wilayah pergerakan, yaitu aktor gerakan yang ‗dicuri‘, namun di dalam dunia disabilitas keterbatasan ‗aktor‘ gerakan jauh lebih signifikan.

Gerakan disabilitas modern di Inggris telah dimulai sejak tahun 1980an dan mengalami antiklimaks ketika gerakan itu memasuki ajang arena politik. Sementara di

Amerika Serikat, pintu ruang politik bagi penyandang disabilitas sudah tegas-tegas ditutup rapat sejak zaman Presiden Teddy Roosevelt dalam konsepnya tentang good citizent atau warganegara yang baik sebagaimana dikaji dalam paper tulisan Cort E. Schneider dari Ohio

University yang berjudul The Able-Body Hegemony: The Social Construction of Disability.

Schneider antara lain menjelaskan:

―Roosevelt thought a good citizen should be able to pull their weight. The point that

needs to be made here is that under this definition of citizenship someone who is

―disabled‖ is automatically disqualified from being a good citizen. This should

demonstrate that the use of the word ―disabled‖ creates an intellectual barrier for

people with conditions. By virtue of falling into the category of the ―disabled‖ people

with conditions cannot be seen as equal members of society. This language helps to

shape the hegemonic idea that people with conditions are inferior to those people who

are seen as ―normal‖ by society.‖ 12

Apa yang ditegaskan Oliver dan Barnes di Inggris dan dijelaskan Schneider di

Amerika adalah sebuah kenyataan politik yang dihadapi para penyandang disabilitas di negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris dalam era modern dengan ideologi

12Cort E. Schneider, The Able Body Hegemony: The Social Construction of Disability, Ohio University, page 5

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 27 demokrasi yang menjadi landasan politiknya. Demokrasi yang menempatkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dengan menjamin persamaan hak asasi bagi seluruh rakyat tanpa membedakan status dan golongan ternyata tidak cukup memperhitungkan eksistensi para penyandang disabilitas. Konsep warganegara yang baik dari Roosevelt jelas mendiskriminasi dan menyingkirkan penyandang disabilitas sebagai bagian masyarakat Amerika. Penyandang

―cacat‖ otomatis tidak bisa menjadi ―good citizen‖.

Kajian Schneider memakai teori hegemoni Antonio Gramsci dan menerapkannya dalam konteks hegemoni terhadap disabilitas dengan memakai istilah ‗the able-body hegemony‘ yang jika diterjemahkan secara bebas kurang lebih sama dengan hegemoni tubuh sempurna. Tubuh yang tidak sempurna dianggap sebagai tubuh yang tidak berdaya. Tidak mampu berbuat sesuatu. Tanpa memakai teori Gramsci atau Laclau atau Foucault, kedua buku itu juga berhasil menyampaikan persoalan yang sama dengan memunculkan dimensi yang berbeda. Inilah kelebihan kedua buku yang menjadi kajian pustaka tesis ini.

Kekurangannya tentu saja kedua buku tersebut memang tidak membahas tentang gerakan disabilitas di Indonesia. Selain itu, kedua buku tersebut juga tidak mengupas secara teoritis tentang konsep normalitas yang akan saya kaji dalam tesis ini.

E. Kerangka Konseptual dan Teoritis

Persoalan yang menjadi objek material dari penelitian ini adalah perjuangan kelompok penyandang disabilitas di Indonesia dalam bidang aksesibilitas ruang publik, hak atas pendidikan dan informasi serta gerakan advoksi melawan hegemoni normalias untuk membangun masyarakat inklusi dimana mereka mendapat pengakuan atas eksistensi dan perlakuan yang sama dan setara dalam berbagai aspek kehidupan. Ini adalah persoalan mendasar yang dihadapi penyandang disabilitas dalam melakoni hidup mereka sebagai bagian dari masyarakat dimana masyarakat memposisikan mereka sebagai kaum marginal yang terus-menerus mengalami berbagai bentuk diskriminasi.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 28

Objek Material Pendekatan Tujuan Strategi Teori

Perjuangan Perlawanan Membuktikan kelompok Memperlihatkan bentuk- Antonio Kelompok penyandang disabilitas bentuk perlawanan dalam Gramsci: Penyandang yang termarjinalkan gerakan disabilitas di bidang Counter Disabilitas dalam hegemoni struktur sosial-ekonomi-budaya dan hegemony masyarakat (oleh sistem berbagai dinamika yang Gerakan sosial-politik-budaya menyertainya. Laclau- Disabilitas dalam dan ekonomi) Mouffe: Hegemoni sebenarnya tidak Salah satu gerakan di bidang Theory of Normalitas menerima hal itu sebagai pendidikan yang dilakukan articulation. (Struktur takdir atau nasib tunanetra, yaitu ―Gerakan Masyarakat) sepenuhnya. 1000 Buku untuk Tunanetra‖ Teori akan digali sebagai gerakan Pertanyaan utama: Menunjukkan gerakan pengalaman langsung sebuah resistensi: perlawanan dari perlawanan dari kelompok -Bagaimana proses disabilitas yang disabilitas tunanetra dan -melihat gerakan perlawanan dilakukan secara kritis kaitannya dengan gerakan perlawanan disabilitas untuk dan kreatif dengan disabilitas lain. Baik yang kelompok mendapatkan berbagai cara dan dilakukan tunanetra, marginal aksesibilitas ruang pendekatan. tunarungu, maupun dalam publik? tunadaksa. Baik bertema tatanan Membedah sikap pendidikan maupun tema kekuasaan -Bagaimana diskriminatif dan lain. perjuangan untuk persepsi masyarakat -political mendapatkan hak terhadap penyandang Melakukan kajian bagaimana opportunity: atas pendidikan dan disabilitas melalui media memberitakan dunia mengkritik informasi? sumber tulisan-tulisan di disabilitas dan proses pendekatan media massa. redaksional pada umumnya pertama -Seperti apa konsep dalam mekanisme media. yang tidak gerakan advokasi memperhati disabilitas yang kan konteks ideal dalam konteks gerakan sistem sosial- perlawanan politik-budaya Indonesia? -new social movement: Pengalaman narasi Langsung, studi perlawanan kasus yang bersifat Dengan memakai simbolik validitas dialogis; dan hasil sesuai dengan yang tidak perspektif orang melulu yang diteliti. berupa konsistensi

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 29

politik. – Laclau- Mouffe

Skema di atas adalah gambaran konseptual dan perangkat utama yang digunakan sebagai kerangka teoritis dari penelitian ini.

Fondasi konsep tentang disabilitas berawal dari perspektif teori sosial politik yang tak lepas dari pengaruh teori-teori strukturalisme dan sosiologi Marxist. Cara pandang dan pendekatan terhadap disabilitas pada masa sebelum munculnya sosial model adalah melihat disabilitas berdasarkan individual model dan medical model. Ada juga charity model dan moral model yang melihat disabilitas sebagai objek yang harus dikasihani sementara medical model melihat disabilitas sebagai suatu patologi yang harus disembuhkan dan moral model memposisikan disabilitas sebagai manusia dengan kondisi moral yang lemah karena lahir dengan kondisi ‗tidak sempurna‘ atau ‗tidak normal‘.13

Dalam cara pandang social model, disabilitas dilihat sebagai hasil dari sebuah konstruksi sosial yang dibangun oleh sistem nilai dan norma masyarakat. Bukan merupakan akibat dari kekurangan atau keterbatasan kondisi tubuh seseorang. Bagaimana proses konstruksi sosial dan faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya cara pandang terhadap disabilitas merupakan dasar dari teori social model ini. Dalam penelitian ini, akan dikaji bagaimana hegemoni normalitas ternyata berperan besar dalam proses konstruksi sosial sosok penyandang disabilitas. Struktur hegemoni normalitas dalam tatanan kehidupan masyarakat mengakar dalam di alam bawah sadar manusia sebagai landasan dari tata nilai kehidupan yang kemudian disepakati bersama. Kondisi ini membuat disabilitas berada pada situasi dan kondisi totally marginalized.

13Hal ini dijelaskan oleh Mike Oliver, dalam bukunya The Politics of Disablement: A Sociological Approach, New York, St. Martin Press (1990).

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 30

Perlu ditegaskan bahwa masyarakat dalam konteks ini adalah masyarakat politis dimana ada kesadaran akan hubungan kekuasaan antara kelompok dominan dan kelompok- kelompok lainnya termasuk di dalamnya kelompok penyandang disabilitas sebagai kelompok yang termarginalkan. Masyarakat politik muncul dari kesadaran akan pertemuan antara ideologi dan filsafat atau bergabungnya antara massa (terbatas) dengan elit merekas. Tanpa ideologi, suatu kelompok tidak sendirinya bisa disebut masyarakat politik. 14 Menurut

Antonio Gramsci, kandungan etis dari sebuah masyarakat politik adalah apa yang biasa kita sebut sebagai masyarakat sipil.

Perkembangan cara pandang selanjutnya adalah pengembangan dari teori social model yang antara lain memunculkan cara pandang political model dan cultural model.

Namun semua model pendekatan yang muncul dalam melihat sosok disabilitas secara teoritis juga tak lepas dari kondisi hegemoni bawah sadar normalitas. Dalam political model, disabilitas dipandang dalam konteks relasi dan karakter kekuasaan.

―Disability is explained by power differential and polical jockeying for resources.

Because of a capitalist society‘s high regard for economic resources, a primary

position within the political domain holds that individuals who do not participate in

the economy through work or other accepted forms of capital acquisition are

considered politically powerless since they have nothing to exchange for privilege.‖

(Albrecht, Seelman & Bury, 2001)15

Dalam masyarakat modern kini, karakter kekuasaan dengan ideologi kapitalisme membuat kriteria dan ukuran kemampuan manusia dilihat sebagai aset atau komoditas belaka.

14Hal ini disampaikan oleh St. Sunardi dalam satu kuliah kajian budaya yang membahas tentang masyarakat sipil dan masyarakat politik di Ilmu Religi Budaya, Universitas Sanata Dharma, tahun 2013. 15Risnawati Utami (editor) dalam paper Konsorsium Nasional Difabel Indonesia, Shadow Report of The National Consortium for Disability Rights, 2012

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 31

Berapa besar nilainya sebagai aset atau komoditas pulalah cara pandang dalam melihat sosok penyandang disabilitas dalam masyarakat berideologi kapitalis. Jika ukuran aset atau komoditas itu yang diterapkan maka penyandang disabilitas sejak dilahirkan sudah terdiskriminasi dalam masyarakat yang kapitalis. Sementara dalam pendekatan model kebudayaan atau cultural model, sosok disabilitas diteropong melalui lensa kebudayaan yang menciptakan stereotipe sosok disabilitas secara kolektif. Melalui model pendekatan sosial, politik dan budaya ini, teori hegemoni Antonio Gramsci bisa menjadi sebuah kerangka teoritis yang tepat untuk meneliti gerakan disabilitas.

Hal ini karena Gramsci menempatkan masyarakat sipil tidak dalam struktur melainkan dalam supra struktur atau lebih tepatnya antara supra struktur dan struktur.

Masyarakat sipil adalah penghubung antara struktur dan supra struktur. Berbeda dengan Karl

Marx yang mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah hubungan produksi, Gramsci mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah hubungan ideologis. Jika merujuk pada Marx, tentulah akan sulit untuk menempatkan dimana posisi penyandang disabilitas karena mereka nyaris tidak berada dalam ranah hubungan produksi.

Dalam atmosfer hegemoni normalitas masyarakat kapitalis, gerakan penyandang disabilitas bisa menjadi semakin terpuruk jika tidak berhasil merebut hak mereka untuk mendapat kesempatan bekerja sebagaimana halnya anggota masyarakat lain. Namun tetap saja, pekerjaan besar utama dan paling mendasar adalah gerakan untuk mengubah persepsi yang salah melalui pendekatan model sosial seperti telah dijelaskan di atas.

Pertama-tama akan dilakukan pendekatan melalui kerangka pemikiran hegemoni

Antonio Gramsci dalam melihat gerakan disabilitas yang mencoba merebut ruang sosial, budaya dan politik itu. Pendekatan hegemoni Gramsci merupakan sebuah pendekatan yang cocok karena dalam sebuah hegemoni, sesuatu terlihat sempurna alamiah, tidak ada pemaksaan karena semua konflik telah diselesaikan dengan baik dan disalurkan melalui kanal

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 32 idelologis lalu berlabuh dengan aman. Inilah yang terjadi dalam realitas hidup penyandang disabilitas, bahwa ‗nasib sebagai penyandang disabilitas‘ adalah ‗sempurna alamiah‘. Seperti yang terlihat dalam foto di bawah ini, bahwa seorang tunadaksa nasibnya (secara alamiah) adalah sah-sah menjadi seorang pengemis.

Foto ini adalah foto seorang pengemis tunadaksa di Jalan Slamet Riyadi, Solo yang diambil

saat ia meminta-minta pada pengunjung warung lesehan pada suatu malam di tahun 2013.

Begitulah sebuah hegemoni dikelola dan dimapankan dalam suatu proses yang berkelanjutan oleh kelompok dominan dan kelas-kelas yang menegosiasinya untuk membuat konsesi-konsesi dan mensubordinat kelompok dan kelas lainnya. Contoh yang dikemukakan

Gramsci dalam hal ini adalah kasus hegemoni Inggris di Karibia dimana Inggris mengamankan hegemoni kekuasaannya terhadap penduduk asli dengan mengirimkan orang- orang Afrika sebagai budak untuk menegaskan bahwa perbudakan adalah budaya Inggris dan karenanya itu bisa atau sah-sah saja dilakukan Inggris terhadap bangsa manapun. Bagian lain

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 33 dari proses ini dilakukan dengan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi sekaligus bahasa baru bagi penduduk setempat.16

Hegemoni tidak dapat dilihat atau disederhanakan sebagai hasil kekuasaan dari atas karena selalu merupakan hasil negosiasi antara kelompok dominan dan kelompok sub- ordinat. Hegemoni lebih merupakan sebuah proses yang ditandai, baik oleh perlawanan maupun kerjasama (incorporation). Tentu saja ada batasan negosiasi dan konsesi yang diciptakan, yang menurut Gramsci batasan itu adalah fondasi ekonomi dari kelas berkuasa.

Batasan inilah yang tak boleh dilanggar atau dilawan dalam proses negosiasi dan konsesi.

Lalu jika terjadi saat-saat krisis (ekonomi), ketika moral dan kepemimpinan intelektual tak berdaya mengamankan otoritas kekuasaan, proses hegemoni akan berpindah sementara ke pola hegemoni kekuasaan yang kohersif melalui represi aparatus negara: polisi, tentara dan sistem penjara.

Hegemoni menurut Gramsci diorganisir oleh intelektual organik. Kaum intelektual dibedakan Gramsci berdasarkan fungsi sosial mereka. Meski banyak orang memiliki kapasitas intelektual yang memadai, namun hanya beberapa saja yang bisa memiliki fungsi sosial sebagai intelektual. Setiap kelas menciptakan organik intelektual-nya masing-masing; suatu tingkatan intelektual yang mampu menjalankan fungsinya tak hanya dalam ranah ekonomi tapi juga dalam ranah sosial-politik. Enterprener kapitalis misalnya menciptakan tehnisi industrial, spesialis dalam bidang politik-ekonomi, pengelola budaya baru, dan juga pembuat sistem hukum baru. Dalam hal ini, fungsi intelektual organik adalah sebagai pengorganisir kelas dalam pengertian paling luas.

16Proses ini sama dengan yang terjadi pada penyandang disabilitas yang karena konstruksi sosial-politik masyarakat kemudian menerima persepsi diskriminatif yang menimpa diri mereka sebagai suatu kewajaran dan bahkan kebenaran.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 34

Dalam pendekatan model kebudayaan atau cultural model, sosok disabilitas diteropong melalui lensa kebudayaan yang menciptakan stereotipe sosok disabilitas secara kolektif. Dalam bahasa Gramsci, ada suatu konsensus khusus tingkat tinggi yang menciptakan stereotipe kolektif tersebut. Menurut Gramsci, hegemoni melibatkan adanya konsensus khusus karena bertolak dari kepentingan suatu kelompok sosial yang ingin menjadikan kepentingan kelompok mereka sebagai kepentingan seluruh masyarakat.

Dalam hal ini, konsep (kepentingan mereka) digunakan untuk memaksa dan mengeksploitasi masyarakat. Sebuah skala besar stabilitas sosial sehingga seluruh kelompok dan kelas dalam masyarakat menjadi subordinat yang aktif mendukung nilai-nilai ideal, tujuan, makna budaya dan politik yang mengikat semua menjadi satu korporasi dalam struktur kekuasaan yang berlaku.

Apa yang dikatakan Gramsci sangat mengena dengan kondisi nyata yang terjadi dan dialami para penyandang disabilitas. Masyarakat dieksploitasi oleh sebuah konsensus tingkat tinggi sehingga semuanya menjadi sub ordinat yang aktif mendukung konsep cara pandang atau konstruksi persepsi terhadap disabilitas.

Teori new social movement selanjutnya yang digunakan sebagai kerangka penelitian ini adalah pemikiran Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe sebagai kelanjutan teori hegemoni

Gramsci. Teori Laclau dan Mouffe merupakan sebuah kerangka yang tepat untuk melakuan kajian terhadap objek material disabilitas. Dalam buku Laclau dan Mouffe ―Hegemony and

Socialist Strategy Towards a Radical Democratic Politic‖, di bagian pengantar, Laclau dan

Mouffe memperkenalkan istilah antagonisme sosial (social antagonism) untuk sebuah kategori relasi spesifik yang dalam penelitian ini diimplementasikan untuk objek kajian terhadap peran media yang antagonis.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 35

―Antagonisms are not objective relations, but relations which reveal the limits of all

objectivity. Society is constituted around these limits, and they are antagonistic limits.

And the notion of antagonistic limit has to be conceived literally - that is to say, there

is no 'cunning of reason' which would realize itself through antagonistic relations.‖

Relasi antagonisme sosial bukan merupakan sebuah relasi objektif melainkan relasi yang melewati batas dari objektivitas itu sendiri adalah satu jenis relasi yang terjadi di dalam realitas media massa. Dalam penelitian ini, realitas media massa terkait penyandang disabilitas sebagai objek penelitian merupakan bagian penting yang akan dilihat dalam kerangka teoritis pemikiran Laclau dan Mouffe. Relasi antagonisme sosial ini juga merupakan jenis relasi yang terjadi antara penyandang disabilitas dan anggota masyarakat non disabilitas yang disebut sebagai manusia normal dalam berbagai bentuk model cara pandang. Dalam cara pandang moralistik misalnya, penyandang disabilitas menjadi sosok antagonis karena relasi yang terjadi antara mereka dengan masyarakat melewati batas dari objektivitas moral.

Hal ini bisa dijelaskan melalui konsep moralitas yang meski bersifat relatif tapi memiliki nilai-nilai objektif. Namun dalam melihat penyandang disabilitas, relasi yang terjadi justru melewati batas dari objektivitas nilai-nilai moral tersebut. Contoh sederhana: orang (non disabilitas) dinilai tidak bermoral karena perbuatan jahat seperti memperkosa, menganiaya, menipu atau membunuh tapi hal ini tidak terjadi dalam relasi dengan para penyandang disabilitas. Mereka sudah divonis oleh anggapan bahwa mereka lahir atau ada sebagai akibat perbuatan-perbuatan tidak bermoral yang dilakukan oleh orang tua atau leluhur mereka. Jadi meskipun seorang penyandang disabilitas tak pernah melakukan perbuatan tak bermoral mereka tetap menjadi sosok antagonis secara moral.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 36

Demikian beberapa poin penting dalam kerangka teoritis dari penelitian ini yang bisa jadi menghasilkan sebuah wacana alternatif melalui pendekatan teoritis dari pemikiran

Antonio Gramsci serta Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe.

F. Metode Penelitan

Penulis akan meneliti dan menganalisa empat contoh gerakan yang pernah dilakukan oleh sejumlah organisasi penyandang disabilitas, baik itu yang masih terus berlangsung maupun yang sudah berhenti. Empat contoh gerakan itu antara lain gerakan Bandung

Independent Living Center (BILiC), Deaf Arts Community (DAC), Gerakan Seribu Bukuuntuk

Tunanetra dan gerakan advokasi pembuatan Perda (peraturan daerah) untuk pemenuhan hak- hak penyandang disabilitas yang dilakukan oleh SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi

Difabel). Metode penelitan yang digunakan adalah metode action research atau observasi partisipatoris dengan pendekatan live experience para penyandang disabilitas secara langsung.

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data hasil penelitian lapangan terhadap sejumlah lembaga, organisasi dan komunitas disabilitas di wilayah Jakarta,

Jogjakarta dan Bandung. Di Jakarta, objek penelitian utama adalah pelopor dan para aktivis

Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra yang terhimpun di Yayasan Mitra Netra dan jaringan volunteer mereka, lalu para aktivis disabilitas di sejumlah lembaga internasional, antara lain

AIPJ (Australia Indonesia Partnership for Justice) dan organisasi pendukung mereka serta para pengurus majalah Diffa.

Di Jogjakarta, sumber-sumber data yang akan diteliti adalah SIGAB dan Sapda

(Sarana Advokasi Penyandang Disabilitas dan Anak) yang ketiganya bergerak dalam gerakan advokasi untuk aksesibilitas dan pemenuhan kewajiban pemerintah, lalu ditambah juga data langsung dari komunitas seni tunarungu, DAC dan komunitas Diffcom.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 37

Untuk di daerah Bandung, objek penelitian langsung adalah lembaga bernama BILiC

(Bandung Independent Living Center) yang melakukan gerakan mempromosikan kehidupan independen bagi penyandang disabilitas. Kualifikasi narasumber yang akan diwawancarai mulai dari pelopor gerakan lembaga bersangkutan, para pelaksana dan pendukung gerakan tersebut.

Selain data hasil penelitian lapangan di tiga kota besar itu, penelitian ini juga akan mengumpulkan data pendukung dari liputan media massa tentang disabilitas sekaligus untuk meneliti peran media dalam relasi antagonis yang terjadi dengan dunia disabilitas. Media massa yang akan dijadikan sumber data pendukung sekaligus objek penelitian adalah

Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan serta sejumlah media online seperti Okezone,

Detik.com, Kompas.com, Beritasatu.com, dan vhrmedia.com. Data yang dikumpulkan adalah liputan, tulisan dan/artikel tentang disabilitas di media-media tersebut di atas dalam kurun waktu sekitar satu sampai dua tahun.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 38

Foto di atas adalah foto sebuah kantor lembaga advokasi disabilitas di Yogyakarta yang

berupa rumah kontrakan sederhana dengan papan nama hanya berupa banner yang telah

kusam.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini akan mengikuti alur permasalahan yang menjadi objek material, yaitu gerakan disabilitas di Indonesia.

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah yang dihadapi penyandang disabilitas, lalu dilanjutkan dengan perumusan masalah, tujuan dan maksud penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Narasi Gerakan Gelap, Sunyi dan Tertatih

Bab ini mencoba memotret permasalahan dalam gerakan disabilitas di Indonesia melalui Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra, Bandung Independent Living Center (BILiC),

Deaf Art Community (DAC) dan SIGAB yang semuanya akan dinarasikan dalam bab II.

Dalam bab II ini, akan dikupas bagaimana lembaga yang bergerak di bidang pendidikan non formal untuk tunanetra, yaitu Yayasan Mitra Netra, memulai sebuah gerakan kebudayaan yang mereka sebut sebagai ‗Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra‘. Bab II ini juga mencoba memetakan persoalan-persoalan besar yang dihadapi dalam gerakan disabilitas secara umum melalui studi kasus, selain Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra, juga narasi peran dan program komunitas disabilitas seperti DAC dan BILiC serta lembaga advokasi untuk penyandang disabilitas secara khusus dalam konteks perjuangan mewujudkan masyarakat inklusi yang dilakukan SIGAB.

BabIII : Gerakan Disabilitas Merebut Ruang Kehidupan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 39

Bab ini akan mengkaji ketiga gerakan mulai dari penyandang tunadaksa dan cerebral palsy di Bandung yang memperjuangkan independensi bagi mereka dalam berbagai ruang kehidupan (BILiC dan DAC), gerakan advokasi melawan hegemoni normalitas (SIGAB) sampai gerakan memperjuangkan hak pendidikan dan informasi (seribu buku untuk tunanetra). Bab III ini membahas tentang mereka yang berkiprah dalam gerakan mendorong penyandang disabilitas untuk hidup independent di tengah ketiadaan aksesibilitas.

Bab III ini akan membahas kehidupan penyandang disabilitas di Indonesia yang tersegregasi di lingkungan 'abnormal'. Penyandang cacat dianggap aib bagi kesempurnaan manusia. Mereka diposisikan sebagai kelompok marginal yang tidak diakui. Pada banyak kasus, mereka disembunyikan, dibuang dan dipasung. Mereka ada tapi ditiadakan.

Benarkah disabilitas adalah manusia tidak sempurna, tidak utuh atau produk gagal?

Benarkah mereka bukan manusia jika kita melihat ada perempuan tunanetra bernama Rina

Alamsyah yang bekerja di hotel bintang lima Le Meridian dan juga sekretaris jenderal Pertuni

(Perhimpunan Tunanetra Indonesia)?

BabIV : Kesimpulan dan Penutup

Bab ini adalah kesimpulan dari kajian atau analisa yang dilakukan pada bab III. Akan digambarkan juga bagaimana kondisi legal formal di jajaran birokrasi yang sudah memiliki

Peraturan Daerah tentang disabilitas atau Perda Disabilitas, yaitu di kota Solo dan Jogjakarta.

Bab IV ini adalah kesimpulan sekaligus penutup yang bisa menjadi sebuah referensi langsung gambaran nyata persoalan-persoalan besar yang dihadapi disabilitas di Indonesia dalam relasinya dengan peran pemerintah.

Bab terakhir ini sebagaimana umumnya kesimpulan dan penutup akan diperkuat oleh fakta yang menjadi realitas media terkait isu dan liputan tentang disabilitas selama periode

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 40 waktu tertentu. Dalam bab ini penulis melihat gerakan disabilitas dari kacamata tugas intelektual organik untuk membentuk dan mengorganisir reformasi kehidupan moral dan intelektual masyarakatnya.

^^^

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB II

NARASI GERAKAN GELAP, SUNYI DAN TERTATIH DI INDONESIA

Konsep hegemoni awalnya dipakai untuk menunjuk hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara negara-negara. Pembaruan makna konsep hegemoni dilakukan oleh Antonio

Gramsci pertama-tama berdasarkan konsep hegemoni sebagaimana dikembangkan oleh Lenin

(1870 – 1923) yang mengartikan hegemoni sebagai aliansi kelas.17 Lalu Gramsci memusatkan perhatiannya pada konsep perjuangan kemandirian nilai-nilai moral dan intelektual dalam sejarah. Jadi hegemoni dilihat dari perspektif pembaruan moral inilah yang membedakan Gramsci dengan Lenin yang lebih politis.

Dalam pandangan Gramsci, hegemoni menyangkut kohesi sosial atas dasar kerelaan sekelompok masyarakat untuk berbagi pada nilai-nilai (moral dan intelektual) yang kurang lebih sama. Jadi kohesi ini bukan karena di-organisasi atau di-displin-kan melainkan karena kesepahaman atau seperasaan. Dalam konteks yang lebih sempit, gagasan hegemoni ini terkait dengan pembentukan kelompok-kelompok sosial yang menjadikan kelas inti sebagai pusat kohesi moral dan intelektual masyarakat. Unsur terpenting di sini adalah bahwa hegemoni menjadi sebuah teori sosial untuk memperhitungkan aspek kesadaran, kesukarelaan, subjektivitas individu-individu ke dalam kelompok sosial atau kelompok- kelompok sosial ke dalam kelompok sosial yang lebih besar.

Arti penting dari hegemoni bukan hanya terkait dengan cita-cita Gramsci untuk melakukan pembaruan moral melainkan juga untuk menjadi landasan baru dalam melakukan building theory. Gramsci juga terkenal karena gagasannya tentang masyarakat tanpa negara

17Tentang pemikiran Lenin terkait negara, aliansi kelas dan sejarah hidupnya, sumber yang saya jadikan referensi adalah buku karya Edy Hariadi berjudul “Lenin; Pikiran, Tindakan dan Ucapan” diterbitkan Komunitas Studi untuk Perubahan, 2000.

41

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 42 sebagaimana Karl Marx dan Frederich Engels.18 Menurut Marx, masyarakat tanpa negara merupakan tahap akhir dari konflik antagonistis antara kelas-kelas yang berbeda kepentingan yang terjadi pada tingkat struktur dan hubungan produksi. Jadi masyarakat tanpa negara merupakan transendensi atas hubungan antagonistis antar kelas dengan asumsi bahwa negara selama ini dipakai kelas atas untuk menindas kelas pekerja. Berbeda dengan Marx, Gramsci melihat hubungan antagonistis ini pada tingkat super struktur dimana terdapat dua unsur utama, yaitu hegemoni dan dominasi.

Gambaran umum persoalan gerakan disabilitas dalam keterkaitannya dengan soal hegemoni telah dijelaskan pada bagian pendahuluan (bab I) yang jika disimpulkan sementara antara lain menyangkut tiga persoalan utama. Pertama adalah persoalan persepsi masyarakat dan cara pandang terhadap penyandang disabilitas yang dikonstruksi atas dasar sebuah hegemoni normalitas atau hegemoni yang berlandaskan pada konsep tubuh sempurna (the able body hegemony). Akar dari hegemoni ini adalah dogma tentang kesempurnaan yang dimiliki manusia, yaitu dogma bahwa manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi.

Persoalan kedua adalah persoalan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, baik itu aksesibilitas di wilayah sosial, politik, budaya, pendidikan maupun ekonomi yang sampai abad ini masih menjadi persoalan utama yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia.

Dan persoalan ketiga adalah persoalan kebijakan dan sikap pemerintah terhadap penyandang disabilitas sebagai kelompok marginalnya kelompok marginal: Mampukah mempengaruhi kebijakan, merebut ruang sosial, politik, budaya, pendidikan maupun ekonomi? Itulah ketiga persoalan utama yang dihadapi disabilitas.

18Pemikiran Karl Marx dan Frederich Engels juga dikupas dalam buku karya Edy Hariadi sebagai satu rangkaian proses yang membentuk pikiran dan tindakan Lenin.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 43

Foto di atas adalah sebuah kegiatan yang terbilang langka dan sangat jarang dilakukan,

yaitu outbond yang melibatkan penyandang disabilitas dan non disabilitas bersama-sama.

Kegiatan itu bertujuan untuk membangun interaksi antara disabilitas dan non disabilitas

dengan menempatkan mereka bersama-sama dalam situasi-situasi yang memaksa terjadinya

sebuah interaksi.

Berikutnya dalam bab II ini akan dikisahkan Gerakan Seribu Untuk Tunanetra yang dilakukan oleh lembaga yang memperjuangkan pendidikan bagi tunanetra di Indonesia sejak lebih dari 20 tahun lalu, yaitu Yayasan Mitra Netra. Akan dibahas juga sejarah dan berbagai program Yayasan Mitra Netra dan beberapa sosok penting dalam tubuh Yayasan Mitra Netra yang menggagas dan melakukan program-program penting mereka di dunia pendidikan tunanetra. Dua gerakan lain yang tak kalah penting adalah Bandung Independent Living

Center (BILiC) dan Deaf Art Community yang juga akan dinarasikan dalam bab ini.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 44

Seorang perempuan tunanetra, Mimi Mariani, membaca huruf braille di sebuah toilet yang

aksesibel di Jakarta. Mimi adalah tunanetra yang berhasil meraih jenjang pendidikan S3 dan

mendirikan lembaga bernama Mimi Institute.

A. Dunia Dalam Seribu Buku

Penggagas gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra adalah Wakil Direktur Yayasan

Mitra Netra, Irwan Dwikustanto. Dimulai dari program regular Yayasan Mitra untuk menyediakan buku bacaan versi huruf Braille yang dilakukan dengan cara manual, yaitu mengetik ulang sebuah buku dan memindahkannya melalui program Braille converter yang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 45 mereka miliki untuk kemudian dicetak dalam versi Braille.19 Cara manual atau konvensional ini sangat tergantung pada jaringan relawan pengetik buku yang dibina oleh Mitra Netra.

Irwan Dwikustanto kini juga dikenal sebagai satu-satunya penyair tunanetra di

Indonesia. Karya antologi puisi pertamanya berjudul Angin Pun Berbisik berisi puisi-puisinya dan puisi anak sulung, Zeffa Yurihana, serta istrinya, Siti Atmamiah. Melani Budianta,

Profesor Sastra dari Universitas Indonesia yang menjadi pembicara dalam acara peluncuran dan diskusi antologi puisi itu, mengatakan puisi-puisi Irwan memiliki nilai puitis dan keindahan yang tak kan bisa dicapai oleh penyair non tunanetra manapun.

Menurut Melani, pada umumnya hampir semua penyair berkarya terutama dengan mengandalkan indera penglihatan dan sangat sedikit menggunakan kekuatan indera lain seperti pendengaran atau penciuman. Tak hanya penyair Indonesia tapi juga penyair di belahan dunia lain. Inilah yang pertama-tama membuat puisi-puisi Irwan sangat berbeda. Ia berkarya dengan memakai semua indera lain yang dimilikinya kecuali indera penglihatan. 20

Antologi Angin Pun Berbisik kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan

Dorothea Rosa Herliany, penyair perempuan Indonesia, mengatakan dalam edisi bahasa

Inggris antologi Whispering Breeze:

Soul developing poems, as if they are quiet and thunderous at the same time. I felt like

singing along, but filed because of longing for something no address. Those poems

are really beautiful.21

19Program Braille converter ini bisa mengubah langsung file word menjadi file huruf braille yang siap cetak. Program ini didapat Yayasan Mitra Netra dari bantuan mahasiswa Institut Tehnologi Bandung (ITB) yang tergerak membantu mereka. 20Antologi puisi Angin Pun Berbisik terbit pada tahun 2007 dan didiskusikan di Gedung Kesenian Jakarta dengan pembicara Melani Budianta dan FX Rudy Gunawan. Pendapat Melani disampaikan dalam acara diskusi peluncuran buku tersebut. 21Endorsment dari Dorothea Rosa Herliany pada sampul belakang Whispering Breeze (Love Poems Anthology), Spasi Media & Yayasan Mitra Netra, 2008.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 46

Antologi ini juga kemudian menarik perhatian sejumlah penyanyi dan pemusik yang dimotori oleh pasangan penyanyi Endah dan Rhesa. Pasangan ini lantas membuat projek musikalisasi puisi Angin Pun Berbisik dengan mengajak sejumlah penyanyi lain, antara lain

Dewi Lestari.

Irwan mengalami gangguan penglihatan pada usia kanak-kanak karena penyebab yang tidak jelas. Penglihatannya mulai terganggu ketika Irwan masih duduk di kelas 3 SD dan semakin memburuk dari tahun ke tahun sampai akhirnya di saat Irwan memasuki masa

SMA, ia sudah kehilangan hampir seluruh penglihatannya. Berbagai upaya dilakukan kedua orang tua Irwan, mulai dari berobat ke dokter, pengobatan alternatif sampai pengobatan metafisik, tapi tak satupun membuahkan hasil. Gangguan penglihatan yang berawal di masa

SD itu tetap tak bisa teratasi dan terus menjadi cobaan hidup terberat bagi Irwan sampai akhirnya ia melewatinya justru setelah menjadi tunanetra. Irwan mulai beranjak bangkit setelah ia bisa menerima bahwa ia kehilangan penglihatannya. Kesedihan, kemarahan dan kehancuran hidup yang diakibatkan penolakannya terhadap kenyataan pun berangsur sirna saat ia pasrah menerima dirinya sebagai tunanetra.

―Saya bisa mendengar angin yang berbisik justru karena saya tunanetra, sedangkan mereka yang awas pun toh tak bisa melihat angin dan juga tak mendengarkan suara angin yang berbisik itu,‖ tutur Irwan sembari tersenyum.22

Setelah melewati berbagai masa krisis sepanjang masa remajanya, jadilah Irwan sosok tunanetra yang survive dan terdorong untuk memperjuangkan perubahan nasib tunanetra

Indonesia melalui dunia pendidikan, yaitu antara lain melalui penyediaan buku Braille. Di saat Irwan bergabung dengan Mitra Netra, program buku Braille sebenarnya sudah dilakukan

Mitra Netra, tapi selama sekitar 6 tahun program itu berjalan, baru berhasil mem-braille-kan sekitar puluhan buku saja. Irwan kemudian berhitung matematika sederhana: Jika seorang

22Kutipan ini adalah sebuah kesimpulan yang ditulis dengan gaya bahasa bebas dari hasil sejumlah obrolan saya dengan Irwan Dwikustanto.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 47 relawan bisa menyelesaikan satu buku setebal 200 halaman rata-rata selama dua sampai tiga bulan, maka jika Mitra Netra hanya memiliki 20 orang relawan, dalam dua tahun hanya bisa terselesaikansekitar 20 judul buku. Artinya dalam satu tahun hanya ada 10 judul buku yang siap dicetak versi Braille.23

Perhitungan ini pun hanya bisa terwujud jika para relawan konsisten melakukan pengetikan. Namun sebagaimana cara kerja relawan pada umumnya, tak ada unsur paksaan dalam kerja mereka. Mereka tidak mendapat gaji dan hanya tergerak untuk membantu dengan berbagai latar belakang. Bisa karena kepedulian, rasa kasihan atau bisa juga karena hanya iseng mengisi waktu luang tanpa dorongan idealisme tertentu.24 Tak ada unsur pengikat kecuali kemauan personal dari relawan yang bersangkutan.

Katakanlah dari 20 relawan yang membantu Mitra Netra hanya 50% yang konsisten melakukan tugas mereka, maka ini berarti dalam satu bulan hanya ada 4 sampai 5 judul buku yang selesai diketik ulang. Jika satu bulan hanya bisa mencetak 4 judul buku maka untuk mencapai seribu buku waktu yang diperlukan adalah 250 bulan atau sekitar 20 tahun. Jika angka ini dibandingkan dengan jumlah judul buku yang terbit setiap bulan di Indonesia yang bisa mencapai seribu judul, maka bisa dibayangkan betapa tidak adilnya kondisi yang dialami tunanetra di Indonesia. Seribu buku cetak Braille dalam 20 tahun berbanding seribu judul buku cetak biasa setiap bulan.25

Bertolak dari keyakinan bahwa buku adalah sumber pengetahuan penting yang disebut sebagai ‗jendela dunia‘, Irwan mencari solusi untuk meningkatkan jumlah judul buku

23Jumlah relawan tidak pernah bisa pasti karena mereka datang dan pergi tanpa ikatan. Pola kerjanya pun tidak bisa dipastikan, bisa saja seorang relawan tidak melakukan tugasnya selama satu minggu atau satu bulan. Hanya dua orang relawan yang konsisten selama lebih dari lima tahun membantu Mitra Netra untuk program audio book. 24Menurut penjelasan Humas Mitra Netra, Aria Indrawati, membina relawan adalah suatu hal yang membutuhkan kesabaran karena harus menumbuhkan dan menjaga sebuah kepedulian hanya berdasarkan kesadaran. 25Setiap bulan total buku yang terbit dari sebagian penerbit yang ada di Indonesia tidak kurang dari seribu judul buku. Ini merujuk data dari salah satu jaringan distributor buku di Jakarta, yaitu PT.Buku Kita yang membawahi puluhan penerbit di wilayah Jawa.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 48 yang bisa diproduksi versi Braille-nya. Persoalan utama yang dihadapi adalah keterbatasan relawan pengetik dan mengelola relawan agar memiliki komitmen lebih besar sehingga mereka tidak datang dan pergi setiap waktu. Yayasan Mitra Netra sebagai salah satu lokomotif pendidikan inklusi untuk tunanetra, sudah memiliki pengalaman panjang dan berbagai reputasi serta penghargaan, namun itu pun tidak cukup untuk membuat mereka memiliki banyak relawan yang loyal. Beruntung Mitra Netra memiliki sebuah mesin cetak

Braille yang hanya ada beberapa saja di Indonesia.

―Mesin cetak itu kami dapatkan dari salah satu Departemen Pemerintah yang mendapat sumbangan dari pemerintah Swiss kalau tidak salah. Ceritanya, Mitra Netra tahu mesin mahal itu hanya teronggok di kantor departemen itu karena kami beberapa kali bekerja bersama untuk beberapa program. Ada dua atau tiga mesin cetak Braille sumbangan itu.

Kami pun mengajukan permohonan agar salah satu mesin itu bisa kami manfaatkan dan syukurlah akhirnya Mitra Netra mendapat sebuah mesin cetak Braille,‖ tutur Irwan.26

Yayasan Mitra Netra berdiri pada 14 Mei 1991. Kelahiran lembaga ini berawal dari keprihatinan belum adanya lembaga yang memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan tunanetra. Khususnya dalam peningkatan kualitas hidup, terutama dalam bidang pendidikan dan lapangan kerja. Kinerja dan kiprah Mitra Netra yang berawal dari keprihatinan itu menjadi tonggak pencapaian tersendiri dalam memperjuangkan hak tunanetra untuk mendapat pendidikan.

Keprihatinan itulah yang membuat Bambang Basuki, saat itu menjabat Sekjen

Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) dan menjadi guru sekolah luar biasa, merintis pendirian sebuah lembaga baru. Berkat kerja keras Bambang bersama beberapa rekan yang memiliki kepedulian serupa, antara lain Dr. Sidharta Ilyas (Dokter Mata), Nina Sulaiman,

26Obrolan dengan Irwan Dwikustanto, Bambang Basuki serta Aria Indrawati.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 49

Roswita Singgih dan Mimi Mariani, berdirilah kemudian Yayasan Mitra Netra. Bambang terpilih sebagai Direktur Eksekutif. 27

Bambang menjadi tunanetra pada usia remaja karena penyakit glaukoma. Ia pernah dua kali operasi mata namun tak membuahkan hasil yang memadai. Perlahan penglihatannya justru semakin mengabur dan akhirnya ia tak dapat melihat lagi. Kedua bola matanya terlihat lebih besar karena penyakit glaukoma menggerogoti penglihatannya. Namun seperti halnya

Irwan, Bambang berhasil bangkit dari keterpurukan dan keputusasaan yang menghantam dirinya berkat dukungan dan dorongan semangat dari beberapa kawan tunanetra lain yang kemudian menjadi sahabatnya.

Sejak Mitra Netra berdiri, Bambang mengarahkan lembaga ini menciptakan sistem sekaligus memberi pelayanan dalam peningkatan kualitas hidup tunanetra. Ada dua layanan yang disediakan secara sederhana, namun berfungsi strategis dalam membantu para tunanetra belajar lebih mandiri. Pertama, memproduksi buku bicara. Buku dibacakan dan direkam dalam kaset untuk sarana belajar tunanetra. Satu buku bisa sampai 20 kaset. Proses perekamannya hanya menggunakan tape biasa.

Selain buku bicara, juga mengembangkan literasi bahasa tulisan dalam bentuk huruf

Braille. Huruf Braille cocok untuk orang tunanetra yang tipe visual. Sangat berguna untuk pelajaran seperti matematika, fisika, atau kimia. Tanpa buku pelajaran Braille untuk mata pelajaran matematika, fisika dan kimia, seorang siswa tunanetra akan sulit untuk mengikuti dan menangkap pelajaran-pelajaran tersebut. Sedangkan buku bicara atau audio book yang juga diproduksi oleh Mitra Netra, cocok untuk tipe auditori, yakni mata pelajaran sosial yang cukup didengar.

27Nestor Rico Tambunan, Mitra Netra: Lokomotif Kemajuan Tunanetra Indonesia, www.majalahdiffa.com. Dalam susunan para pendiri Mitra Netra, Bambang Basuki dan Mimi Mariani adalah dua orang pendiri yang tunanetra.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 50

Mitra Netra juga membuka program pendampingan tunanetra yang ingin masuk sekolah. Konseling terbaik adalah dari sesama penyandang. Yang paling tahu kebutuhan tunanetra adalah tunanetra sendiri. Mereka bisa saling merasakan satu kesamaan psikologis.

Teknologi literasi dan pendampingan dalam pendidikan ini menjadi embrio sistem baru dalam pelayanan tunanetra di Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan lapangan kerja.

Sistem ini juga kemudian mengantar Mitra Netra menjadi lembaga yang kreatif dan inovatif dalam pengembangan akses literasi untuk tunanetra.

Salah satu contoh, Mitra Netra yang pertama kali mendatangkan teknologi screen reader, software pembaca layar yang membuat komputer menjadi bersuara, di Indonesia.

Dengan bantuan perangkat lunak pembaca layar ini tunanetra bisa mengetik dan membaca teks lewat komputer. Ini merupakan sebuah terobosan penting dalam soal aksesibilitas tunanetra ke dunia tehnologi. Suatu hal yang bisa mengubah ‗nasib‘ tunanetra dari kebutaan informasi dan tehnologi.28

Irwan dan Aria yang merupakan dua tokoh kunci dalam menjalankan berbagai program Yayasan Mitra Netra kemudian sepakat membuat program memperluas jaringan relawan Mitra Netra yang dibutuhkan untuk memproduksi buku Braille.29 Mereka mempunyai pengalaman langsung bagaimana kesulitan bahan bacaan membuat tunanetra semakin terpuruk dalam kegelapan. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan hasil penemuan

Louis Braille yang sangat penting bagi pendidikan tunanetra, yaitu hurus Braille. Huruf

Braille diciptakan oleh Louis Braille (1809 – 1852), anak dari Simon Braille, seorang pembuat pakaian kuda terkenal di Coupvray, sebuah desa di Prancis.30

28Software atau perangkat lunak screen reader ini bekerja dengan membuat suara setiap kali keyboard komputer ditekan. Kini software ini sudah bisa diaplikasikan pada perangkat gadget lain yaitu handphone dan membuat tunanetra bisa berkomunikasi lewat short masage service (sms). 29Ketiga sosok kunci di Yayasan Mitra Netra ini, Bambang, Irwan dan Aria, semuanya adalah tunanetra yang berhasil menembus jenjang pendidikan sarjana dengan berbagai perjuangan mereka. 30Davidson, Margareth, Louis Braille, The Boy Who Invented Books for The Blind, www.majalahdiffa.com

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 51

Sejak menjadi buta di usia tiga tahun akibat kecelakan di bengkel kerja ayahnya, semua menjadi tidak mudah bagi Louis. Kala itu sangat sedikit yang bisa dilakukan orang- orang buta di Prancis. Sebagian besar hanya menjadi pengemis.31 Pada awalnya orang tua

Louis pun sangat kasihan kepada anak mereka yang buta. Mereka cenderung melindungi secara berlebihan, bahkan memanjakan. Namun, kemudian mereka berpikir, Louis harus tumbuh seperti anak-anak lain. Mereka tidak ingin Louis seperti anak-anak buta lain yang takut melakukan apa pun.

Hingga Louis Braille lahir, 4 Januari 1809, bahkan 15 tahun kemudian, tak ada yang bisa membayangkan seorang buta dapat membaca dan menulis buku secara mandiri. Setelah pemuda genius ini menemukan kombinasi enam titik timbul, yang kemudian dikenal sebagai

‗Huruf Braille‘, barulah orang seperti Helen Keller32 dapat menyusun buku.

Pada usia lima belas tahun, Louise Braille, siswa buta dari The Royal Institute of Blind

Youth, mempelajari kode militer dari seorang tentara Perancis yang berkunjung ke sekolahnya, Kapten Charles Barbier. Dengan ketekunan serta kecerdasan yang luar biasa, dalam waktu tiga tahun, Braille berhasil memodifikasi kode militer tersebut menjadi huruf- huruf yang bisa dikenali jari-jari manusia.

Huruf itu merupakan kombinasi dari enam titik-titik timbul, terdiri dari 3 baris dan 2 kolom. Menyerupai titik enam pada salah satu sisi dadu, Louis Braille menemukan 63 kombinasi susunan titik timbul yang kemudian dapat membentuk huruf alfabet, tanda baca, bahkan tanda/simbol dalam disiplin ilmu atau pengetahuan tertentu, seperti musik, matematika, fisika dan kimia. Dan Braille membuktikan. Tahun 1829, ia menerbitkan Method

31Di Indonesia, sampai memasuki abad 20 pun, persepsi terhadap penyandang tunanetra masih dipengaruhi anggapan yang muncul di zaman Louis Braille, yaitu bahwa tunanetra tak bisa berbuat banyak, hanya bisa menjadi pengemis atau paling bagus, tukang pijat. 32Helen Keller adalah tokoh perempuan tunanetra yang dikenal sebagai penggerak, penulis, pembela dan insprirator berbagai kelompok disabilitas di dunia. Ia juga dikenal sebagai penentang Perang Dunia I. Buku otobiografi yang ditulisnya saat ia berusia 21 tahun, The Story of My Life, telah diterjemahkan ke 50 bahasa.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 52 of Writing Words, Music and Plain Song by Means of Dots, for Use by the Blind and

Arranged by Them, buku Braille pertama yang pernah terbit di dunia.33

Enam belas tahun kemudian, 1868, setelah Louis Braille meninggal (1852), tulisan cetak timbul ini menyebar ke seluruh dunia dan resmi menjadi tulisan yang digunakan oleh tunanetra. Adalah Dr. Thomas Armitage, yang memimpin sekelompok orang tunanetra – terdiri atas empat orang– mendirikan lembaga untuk mengembangkan dan menyebarkan sistem temuan Louis Braille. Lembaga itu bernama Royal National Institute of the Blind yang sekarang menjadi percetakan buku Braille terbesar.34

Braille adalah huruf untuk orang buta yang ditemukan oleh orang buta. Namun huruf

Braille kini dapat beradaptasi dengan alfabet Romawi atau Arab. Kini semua tunanetra di dunia dapat mengeja sebuah tulisan dengan akurat seperti tulisan aslinya. Braille, dengan kombinasi enam titiknya, dapat menyesuaikan diri baik dengan alfabet Romawi maupun

Arab. Seorang tunanetra Muslim dapat membaca Al-quran dengan baik dan tepat dalam bahasa aslinya: Arab. Demikian pula buku-buku yang terbit di seluruh dunia dengan menggunakan huruf Latin, akan sangat mudah disalin ke dalam format Braille.

Kini Braille telah distandarisasi ke dalam kode komputer yang dikenal dengan

American Standard Code for Information Interchange (ASCII) oleh American National

Standards Institute (ANSI). Pengguna komputer dapat memilih huruf Braille pada layarnya dengan menggunakan braille font yang dikembangkan oleh The National Federation of the

Blind. Semua kemajuan ini dimulai dari apa yang dirintis oleh Louis Braille, yaitu huruf

Braille.35

33Irwan Dwikustanto, Sejarah Alafabet dan Revolusi Braille, www.majalahdiffa.com 34Di Indonesia belum ada percetakan yang menyediakan jasa pencetakan buku Braille, salah satu lembaga yang memiliki printer Braille adalah Yayasan Mitra Netra, hasil sumbangan dari pemerintah Swedia pada pemerintah Indonesia sekitar tahun 1990an yang kemudian diserahkan pada Mitra Nitra. 35Dalam artikel yang ditulis Irwan Dwikustanto ditegaskan betapa standarisasi huruf Braille ke dalam kode komputer ini sangat penting bagi aksesibilitas tunanetra pada perkembangan tehnologi informasi.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 53

Semangat Louis Braille yang menjadi dasar bagi Gerakan Seribu Buku untuk

Tunanetra yang dirintis Irwan Dwikustanto bersama Aria Indrawati. Kondisi tunanetra di

Indonesia yang terpinggirkan dan terpuruk dalam berbagai bidang kehidupan membuat mereka umumnya tidak memiliki keberanian untuk menggugat nasib. Kondisi ini semakin menguatkan Irwan untuk melakukan sebuah gerakan kebudayaan pada tataran yang paling mendasar, yaitu memberikan bacaan bagi tunanetra. Sebuah upaya menggugat nasib melalui gerakan kebudayaan.

Irwan Dwikustanto dan Aria Indrawati dalam mengkampanyekan gerakan seribu buku untuk tunanetra, menyadari kebutuhan mereka untuk didukung oleh media massa sebanyak mungkin. Dukungan media massa mainstream terhadap program mereka nyaris tidak ada.

Kampanye gerakan seribu buku hanya mengandalkan sosialisasi dari forum ke forum yang kebetulan dihadiri oleh Irwan dan Aria serta sosialisasi lewat bermacam sosial media.

Keterbatasan jaringan yang dimiliki Mitra Netra di luar dunia disabilitas semakin menyulitkan mereka dalam menggaungkan gerakan seribu buku. Gerakan mereka seperti berpusing di dunia sendiri.

Mereka tidak pernah menyerah karena percaya bahwa buku adalah jendela dunia, bahwa pengetahuan adalah kekuatan yang mampu mengubah nasib setiap orang tak terkecuali tunanetra. Pendidikan untuk tunanetra dan penyandang disabilitas pada umumnya sudah terlalu lama terdiskriminasi melalui konsep segregasi yang menjadi kebijakan pemerintah. Sekolah Luar Biasa atau SLB adalah bentuk resmi segregasi pendidikan terhadap penyandang disabilitas. Mitra Netra mencoba membongkarnya dengan berbagai cara sesuai pemikiran, visi dan misi yang melatarbelakangai lembaga tersebut.

Beberapa pemikiran dasar Mitra Netra adalah tentang pendidikan inklusi untuk tunanetra pada khususnya dan penyandang disabilitas pada umumnya. Hal ini terlihat jelas dalam pemikiran pemimpin lembaga itu, Bambang Basuki. Ia sendiri berlatar belakang guru

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 54 sebuah SLB, hal ini membuat pemikiran-pemikirannya sangat berdasar pada pengalaman langsung. Bambang berhasil diterima sebagai mahasiswa IKIP Jakarta dengan perjuangan keras untuk menembus berbagai kendala sampai akhirnya ia bisa membuktikan diri bahwa ia mampu lulus dengan IP 3,7.

Berbekal ijasah IKIP jurusan bahasa Inggris itu, Bambang melanjutkan perjuangan menembus tembok diskriminasi sebagai tunanetra yang ingin menjadi seorang guru.

Akhirnya ia berhasil diterima sebagai guru di SLB Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus.

Pada saat yang sama, Bambang aktif di organisasi Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) hingga ia menjadi Sekretaris Jenderal.

Berikut beberapa pokok pemikiran Bambang Basuki tentang pendidikan inklusif yang saya rangkum dari wawancara langsung dan tulisan-tulisannya yang disampaikan dalam beberapa seminar adalah:

1. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang diselenggarakan pada sekolah reguler dan

terbuka bagi semua calon peserta didik tanpa kecuali, tidak membeda-bedakan

kemampuan intelektual, emosional, fisik dan faktor lain. Pendekatan, strategi, media,

dan program pendidikan dirancang dan dipersiapkan agar dapat mengakomodasi

kebutuhan individual setiap peserta didik, terutama penyandang disabilitas atau

berkebutuhan khusus yang temporer atau permanen. Dengan demikian pendidikan

inklusif menerapkan prinsip pedagogi berpusat pada murid.

2. Dengan kebhinekaan peserta didik ini, sekolah dalam setting inklusif benar-benar

merupakan bentuk mikro masyarakat yang sesungguhnya, yang terdiri atas mereka

yang menyandang disabilitas/berkebutuhan khusus dan yang tidak menyandang

disabilitas. Melalui interaksi selama pendidikan, peserta didik yang biasa dengan yang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 55

berkebutuhan khusus dapat belajar secara alami untuk memahami, menghargai, dan

menyikapi perbedaan secara tepat.

3. Apabila semua sekolah sudah menerapkan pendidikan inklusif, anak berkebutuhan

khusus akan dapat memilih sekolah yang diminati dan terdekat dengan tempat

tinggalnya. Mereka tidak lagi harus tinggal di asrama, terpisah dari keluarga, atau

tercabut dari komunitasnya, sebagaimana jika harus bersekolah di SLB yang sangat

terbatas jumlahnya. Sangat menyakitkan bagi anak, terutama yang berusia dini,

dipisahkan dari keluarga. Hal ini akan berdampak pada perkembangan jiwa.

4. Proses pendidikan di dalam keluarga yang merupakan landasan pengembangan

pribadi yang utuh tak dapat dinikmatinya. Selain itu, bersekolah di tempat yang jauh

dan diasramakan akan lebih membebani anggaran keluarga. Apabila kondisi

lingkungan atau komunitas tempat bersekolah sangat berbeda dari tempat asal, besar

kemungkinan tujuan pengajaran, terutama yang berkaitan dengan muatan lokal, tidak

sesuai dengan kebutuhan sehingga jika kembali ke daerahnya akan menemui kesulitan

dalam beradaptasi atau melakukan fungsinya sebagai anggota masyarakat.

5. Pendidikan inklusif yang mengakomodasi kebutuhan individual setiap siswanya, baik

dengan jalan penyediaan aksesibilitas lingkungan maupun penerapan kurikulum yang

fleksibel atau pengadaptasian kurikulum, penerapan pendekatan, strategi, metode, dan

media yang bervariasi, ternyata lebih adil dan menghilangkan perlakuan diskriminatif

yang sering terjadi pada setting sekolah masa kini.

6. Selain SLB, telah dikembangkan program pendidikan terpadu, yaitu program

pendidikan yang memberi kesempatan anak berkebutuhan khusus memasuki sekolah

reguler. Ada kesamaan filosofis antara pendidikan inklusif dan pendidikan terpadu,

yaitu mainstreaming – memasukkan anak berkebutuhan khusus di dalam komunitas

umum/utama. Perbedaan yang prinsip, pada sekolah terpadu sistem pengajaran

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 56

dirancang untuk anak biasa, sehingga anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan

diri.

7. Sedangkan pada pendidikan inklusif, segala kebutuhan siswa diakomodasi atau

diperhitungkan, atau dengan kata lain menganut prinsip ‗berpusat pada murid‘, bukan

standarisasi yang rigid. Meskipun demikian, pendidikan terpadu untuk tahap awal

masih sangat diperlukan, merupakan jembatan yang efektif menuju pendidikan yang

inklusif. Pada pendidikan inklusif yang baik, peran serta orang tua dan masyarakat

sekitar sangat diutamakan. Selain itu siswa memiliki hak memilih.

8. Mereka yang berkebutuhan khusus harus memperoleh akses ke sekolah-sekolah

reguler yang juga harus mengakomodasi mereka dalam rangka paedagogi yang

berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Mendorong partisipasi orang tua, masyarakat, dan organisasi penyandang disabilitas

dalam perencanaan dan pengambilan keputusan menyangkut masalah program

pendidikan kebutuhan khusus.

Beberapa pokok pemikiran sosok Bambang Basuki itu yang kemudian menginspirasi dan menjadi dasar filosofi program-program Mitra Netra, termasuk program Seribu Buku untuk Tunanetra yang digagas dan dijalankan oleh Irwan Dwikustanto. Dasar filosofis pemikiran Bambang adalah education for all yang mewacana sebagai gerakan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus atau anak penyandang disabilitas sejak tahun 1990an.

Pada tahun 1994 UNESCO menyelenggarakan konferensi tentang pendidikan kebutuhan khusus. Konferensi yang diselenggarakan di Spanyol ini untuk memperluas program Pendidikan untuk Semua (Education for All) dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakkan pendidikan inklusif agar sekolah- sekolah dapat melayani semua anak, terutama yang berkebutuhan pendidikan khusus.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 57

Konferensi ini melahirkan Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement) tentang prinsip, kebijakan, dan praktik-praktik dalam pendidikan kebutuhan khusus.

Salamanca Statement antara lain, menegaskan kembali komitmen terhadap pendidikan untuk semua dan mendesakkan pendidikan bagi anak, remaja, dan orang dewasa berkebutuhan khusus dalam sistem pendidikan reguler. Meyakini dan menyatakan setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memperoleh pendidikan dan harus diberi kesempatan mencapai serta mempertahankan tingkat pengetahuan yang wajar. Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Sistem pendidikan hendaknya dirancang dan program pendidikan dilaksanakan dengan mempertimbangkan keanekaragaman tersebut.

Inilah dasar filosofi dan poin penting gerakan seribu buku untuk tunanetra: mendapat pengetahuan sesuai karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda- beda. Ini pertama-tama hanya bisa dicapai jika sumber pengetahuan itu, yaitu buku, tersedia.

Dan untuk tunanetra, buku itu adalah buku versi huruf Braille yang nyaris sama sekali tidak diproduksi, bahkan oleh pemerintah. Hanya Mitra Netra yang berjuang mencoba memproduksinya. Dan gerakan seribu buku untuk tunanetra adalah sebuah upaya menerobos berbagai tembok penghalang antara tunanetra dengan dunia luar melalui buku.

Gerakan Seribu Buku adalah ibarat sebuah gerakan gelap di tanah terang benderang.

Semua orang bisa melihatnya namun tidak melihatnya. Semua orang menutup mata atau tertutup matanya terhadap gerakan itu. Gerakan yang dimulai sejak tahun 2004 ini hanya bisa menarik perhatian atau membuka mata masyarakat ketika ada aktor lain atau tokoh di luar komunitas tunanetra yang memberikan dukungan nyata dan berbicara kepada media massa.

Melalui tahun pertama dan kedua, gerakan ini masih menjadi gerakan gelap di dunia terang. Persoalan keterbatasan sumber daya manusia dan ketiadaan dukungan pemerintah, swasta maupun komunitas atau individu membuat gerakan seribu buku seakan tenggelam

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 58 dalam kegelapan hidup tunanetra. Pencarian relawan, pengetikan ulang buku, sosialisasi dan kampanye seakan membentur tembok tinggi. Barulah pada pertengahan tahun 2006 terjadi sebuah gebrakan dalam gerakan seribu buku. Irwan dan Aria bertemu dan berkenalan dengan sejumlah penulis yang tertarik pada upaya pencarian relawan untuk gerakan seribu buku yang mereka sosialisasikan melalui berbagai mailing list. Beberapa penulis itu, selain saya sendiri, kebetulan adalah nama-nama popular seperti Fira Basuki dan Dewi Lestari.

Para penulis terkesima mendengar penjelasan Irwan tentang gerakan seribu buku untuk tunanetra. Mereka tidak pernah membayangkan betapa tunanetra sangat membutuhkan bacaan jika mereka bisa membaca huruf Braille. Di sisi lain mereka juga sangat senang jika karya mereka bisa dinikmati oleh tunanetra. Sebagaimana para penulis umumnya, semakin banyak pembaca yang bisa menikmati karya mereka, semakin senanglah mereka. Pertemuan awal Irwan dengan para penulis itu berhasil memicu sebuah kepedulian spontan yang kemudian menggulirkan sejumlah gagasan untuk membantu gerakan seribu buku.36

Gagasan utama yang disetujui untuk dilakukan para penulis adalah menyerahkan soft copy karya mereka pada Mitra Netra untuk dibuatkan versi Braille. Setelah mempelajari kembali kontrak penerbitan karya mereka dengan penerbit masing-masing, bisa dipastikan bahwa kontrak penerbitan itu hanya untuk buku versi cetak biasa.37 Ini berarti pada prinsipnya tidak ada persoalan pelanggaran hak cipta oleh pihak manapun. Dengan adanya soft copy atau file elektronik naskah karya mereka, maka persoalan mencari relawan pengetik atau ketergantungan pada relawan pengetik bisa berkurang secara signifikan. Tak perlu lagi

36Salah satu diskusi para penulis yang peduli itu adalah persoalan mengatasi sulitnya mencari relawan dan mengembangkan jaringannya. Mereka juga sepakat untuk membantu gerakan seribu buku untuk tunanetra. Hasil diskusi para penulis dengan Irwan antara lain kesepakatan memperluas kerjasama dengan penulis untuk membantu gerakan seribu buku. 37Perjanjian penerbitan suatu naskah antara penulis dan penerbit hanya mencakup hak penerbitan buku cetak biasa yang diserahkan oleh penulis pada penerbit untuk jangka waktu tertentu, jadi jika naskah tersebut hendak dibuat versi lainnya seperti versi Braille atau audio book, maka penulis berhak sepenuhnya tanpa harus meminta persetujuan penerbit mereka.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 59 dilakukan pengetikan manual karena file naskah bisa langsung dikonversi menjadi format

Braille untuk kemudian dicetak menjadi buku Braille oleh Mitra Netra. Irwan mengatakan:

―Ini adalah sebuah lompatan besar jika para penulis bersedia menyerahkan file karya

mereka untuk dijadikan buku versi Braille karena akan sangat menghemat waktu,

tenaga dan biaya yang selama ini tidak kami miliki. Kami memang tidak pernah

langsung bertemu dengan penulis yang juga memiliki penerbitan dan memiliki

kepedulian serius. Beruntunglah akhirnya nasib mempertemukan kami dengan para

penulis GagasMedia yang bersedia mengambil langkah terobosan ini.‖ 38

Kelompok penulis yang bersedia menyerahkan file karya mereka terdiri dari sejumlah penulis mulai dari penulis muda sampai penulis senior yang karya-karyanya antara lain diterbitkan penerbit GagasMedia. Setidaknya delapan sampai sepuluh orang penulis yang mendukung gerakan memberikan file karya mereka untuk dijadikan versi Braille oleh Mitra

Netra. Dalam kesempatan itu juga, para penulis sepakat untuk membuat sebuah program yang bisa menarik perhatian media massa sehingga dukungan mereka bisa memiliki gaung ke masyarakat luas.39

Sosok penulis yang juga selebriti seperti Dewi Lestari (Dee) dan Fira Basuki memungkinkan acara peluncuran dukungan penulis untuk gerakan seribu buku mendapat perhatian cukup besar dari media massa. Inilah gebrakan dan terobosan paling besar yang berhasil dilakukan gerakan seribu buku selama tahun 2006-2007 yang berhasil mendobrak tembok penghalang konstruksi sosial dan budaya masyarakat terhadap disabilitas, khususnya tunanetra. Media massa, mulai dari cetak sampai elektronik meliput acara peluncuran tersebut

38Salah satu wawancara atau obrolan saya dengan Irwan Dwikustanto dalam proses melakukan dukungan terhadap gerakan seribu buku pada tahun 2005. 39Menurut Irwan Dwi Kustanto, sampai tahun 2013, gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra secara keseluruhan sudah berhasil mencapai jumlah lebih dari 1000 buku yang dibuat versi Braille dengan total jumlah relawan yang pernah ikut membantu sejak awal program sekitar 1500 orang.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 60 dan memuat beritanya sehingga gerakan seribu buku –untuk sesaat—berhasil keluar dari kegelapan mereka.

Momen itu ternyata juga tidak berlangsung lama. Masyarakat hanya tersedot perhatiannya pada gerakan seribu buku untuk tunanetra selama ada pemberitaan yang melibatkan sosok penulis selebriti. Persepsi masyarakat terhadap tunanetra dan penyandang disabilitas pada umumnya tetap kembali pada konstruksi hegemoni normalitas. Bahwa ada sosok seperti Stevie Wonder, penyanyi tunanetra yang menjadi salah satu idola dunia, dipandang sebagai sebuah kekecualian atau keajaiban yang hanya terjadi pada satu-dua tunanetra saja. Selebihnya, tunanetra tetap dianggap mahkluk tak berdaya yang hanya bisa menjadi pengemis dan/atau tukang pijat.

Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra terus berlanjut sebagai program jangka panjang dari Yayasan Mitra Netra. Dan ketika momen dukungan dari para penulis di tahun

2005-2006 berlalu seiring waktu dan para penulis pun kembali pada kesibukan masing- masing, maka gerakan itu kembali menjadi gerakan gelap di tanah terang nan benderang.

Menjadi gerakan yang meraba-raba dalam kegelapan mencari setitik cahaya. Tak ada lagi media massa yang kemudian memberitakan gerakan seribu buku untuk tunanetra kecuali ketika ada tokoh atau pesohor yang tiba-tiba mendukung dan melakukan sesuatu untuk mewujudkan dukungan mereka.

Perjuangan yang dilakukan Irwan Dwikustanto untuk membangun Gerakan Seribu

Buku untuk Tunanetra berangkat dari pengalaman individualnya sebagai seorang tunanetra yang harus berjuang sendiri untuk menembus tembok-tembok penghalang saat ia menapaki jalan untuk menembus dunia pendidikan. Hambatan yang paling besar dirasakannya adalah saat ia memasuki jenjang perguruan tinggi. Ia diterima di sebuah Universitas Negeri tapi kemudian ditolak begitu pihak kampus mengetahui Irwan seorang tunanetra. Irwan berjuang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 61 lagi mencari kampus, mengikuti tes seleksi di beberapa perguruan tinggi sebelumnya akhirnya diterima di sebuah Universitas Islam.

Dalam proses itu, jika anak-anak non disabilitas bisa dengan leluasa mencari dan mengumpulkan buku-buku latihan tes seleksi masuk perguruan tinggi dari berbagai penerbit yang berserakan di toko buku, maka Irwan dan tunanetra lainnya yang nekat ingin ikut tes, hanya bisa gigit jari. Tak ada buku-buku panduan tes seleksi masuk perguruan tinggi versi

Braille di toko buku manapun di Indonesia. Ini adalah sebuah ketidakadilan yang tidak pernah diprotes sebelumnya. Ini adalah sebuah diskiriminasi yang juga dibiarkan saja selama berabad-abad. Irwan merasakan langsung ketidakadilan dan diskriminasi itu sejak ia menjadi tunanetra dan pengalaman langsung inilah yang membuatnya memiliki semangat pantang menyerah dalam menggulirkan Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra.

Pengalaman langsung sebagai tunanetra juga membentuk Aria Indrawati yang bekerja bahu membahu bersama Irwan dan Bambang Basuki di Yayasan Mitra Netra. Aria adalah

Kepala Bagian Humas Mitra Netra yang juga mengalami gangguan penglihatan sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Berlatar belakang keluarga terpelajar, Aria dididik orang tuanya untuk percaya diri meskipun ia menyandang low vision sejak kecil. Ia diperlakukan sama seolah gangguan itu bukan sebuah persoalan bagi keluarganya. Dengan cara ini, Aria seakan menjalani kehidupan sebagaimana umumnya anak bukan tunanetra.

B. Gerakan Komunitas dan Ruang Kehidupan Disabilitas

Pada bagian ini, saya memasuki dunia disabilitas yang berbeda, yaitu dunia tunadaksa dan CP melalui gerakan sebuah komunitas bernama Bandung Independent Living

Center(BILiC)yang bergerak di tengah kekuasaan yang menghegemoni penyandang disabilitas dari segala arah dan ruang kehidupan. Selain itu akan dipotret juga pergerakan sebuah komunitas tunarungu yang bergerak melalui medium kebudayaan di Jogjakarta, yaitu

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 62

Deaf Art Community atau DAC. Kedua gerakan komunitas disabilitas di atas adalah sebuah upaya kontra-hegemoni terhadap budaya normalitas.

Gerakan komunitas BILiC dan DAC saya kenal sekitar tahun 2012 melalui sejumlah kegiatan yang mereka lakukan. Para penyandang CP dan tunadaksa yang bergabung di BILiC antara lain Deden dan Yuyun. Deden menyandang CP dengan kondisi kedua kaki yang tidak berfungsi karena ukuran dan bentuknya, namun ia adalah sosok yang selalu ceria dan bersemangat. Sedangkan Yuyun adalah tunadaksa yang masih bisa menggunakan tongkat selain kursi roda, ia juga sosok perempuan Sunda yang bersemangat dalam menjalani hidupnya. Keterbatasan fisik sebagai disabilitas sepertinya sudah berhasil diatasi dan dilalui oleh para pengurus BILiC.

Di sisi lain, para tunarungu yang bergabung di DAC kebanyakan adalah tunarungu remaja dari Yogyakarta dan sekitarnya. Mereka berusia antara 15 sampai 20an tahun dengan beragam tingkat kerunguan. Ketika berkumpul lengkap, sekurangnya ada 25 tunarungu yang menjadi anggota dan aktif di DAC. Salah satu kegiatan rutin DAC adalah mengadakan kursus gratis bahasa isyarat untuk masyarakat sekitar yang tertarik. Menurut cerita pendiri DAC,

Broto Wijoyanto, bahasa isyarat sebenarnya mudah dipelajari, namun orang-orang tidak mau belajar karena malas atau menganggap tidak ada perlunya.

―Bahkan orang tua yang memiliki seorang anak tunarungu pun belum tentu menguasai bahasa isyarat. Dan jika mereka tidak bisa, belum tentu juga mereka mau mempelajarinya meski demi anak mereka,‖ ujar Broto Wijoyanto.

Dampak dari sikap orang tua yang tak mau belajar bahasa isyarat itu kerap membuat

Broto mendapat telepon darurat dari para orang tua yang memiliki anak tunarungu ketika anak mereka mengalami suatu masalah sebagaimana umumnya anak remaja.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 63

―Ya, mereka meminta tolong saya untuk berkomunikasi dengan anak meraka. Ini tidak sulit bagi saya kalau anak yang sedang bermasalah itu anggota DAC karena mereka percaya pada saya, tapi jika mereka bukan atau belum menjadi anggota DAC, memang jadi sedikit lebih sulit. Tapi saya tetap senang untuk mencoba menolong karena inilah salah satu tujuan DAC,‖ jelas Broto.40

1. Bandung Independent Living Center (BILiC)

Penyandang disabilitas pada umumnya tidak ingin dikasihani, tidak ingin hidup dari belas kasihan. Meski kehilangan kedua kakinya, Deden memperlihatkan kemampuan untuk mandiri dengan menggunakan motor roda tiga tanpa harus dibantu oleh orang lain, mulai dari naik ke atas motor, menyalakan mesin, mengemudikan dan kemudian turun dari motor setelah sampai di kantor BILiC. Semua ia lakukan sendiri tanpa bantuan orang lain. Bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain adalah bentuk kemandirian, bentuk independent living yang diperjuangkan BILiC.

Dengan motor roda tiga, Deden sangat terbantu mobilitasnya tanpa harus tergantung orang lain. Kedua tangannya yang kekar bisa mengangkat tubuhnya naik ke atas motor dan menahan saat ia turun dari motor. Kruk yang digunakan untuk berjalan diselipkan di motornya di tempat yang telah disediakan seperti juga motor roda tiga yang bisa menjadi tempat memarkir sebuah kursi roda. Desain motor roda tiga memang bisa disesuaikan dengan kondisi dan keinginan tunadaksa yang akan mengendarainya. Motor itulah yang setiap hari dikendarai Deden untuk ke kantor BILiC.

BILiC adalah lembaga swadaya yang bergerak di bidang penguatan kaum disabilitas dengan filosofi independent living. Dalam filosofi independent living ini penyandang

40Obrolan dengan Broto tentang persoalan-persoalan yang dihadapinya sejak ia dikenal sebagai ‘bapak’ anak- anak tunarungu di luar program-program DAC.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 64 disabilitas diajak untuk mengetahui dan memahami kebutuhannya. Mereka diajak menyadari apa yang dibutuhkan, berani mengungkapkan ide, dan mau melakukan ide tersebut. Dengan demikian mereka menjadi percaya diri dan mandiri sesuai kondisi masing-masing. Foto di bawah adalah kantor BILiC di sebuah perumahan rakyat kawasan pinggiran kota Bandung,

Kiaracondong, hanya ditandai dengan sebuah spanduk yang sudah kumal.

Foto rumah tipe 21 yang dijadikan sebagai kantor BILiC di sebuah perumahan pinggiran

kota Bandung dengan sebuah baliho kumal sekaligus penahan terik matahari.

Upaya penguatan dengan mengubah cara pandang ini di lakukan dengan peer counseling atau peer support ke rumah-rumah. Konseling ini dilakukan aktivis dan relawan

BILiC yang juga penyandang disabilitas. Setiap suporter melayani satu atau dua sahabat penyandang disabilitas dalam kurun waktu tertentu, didampingi supervisor. Konsep ini

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 65 penting karena bagi penyandang disabilitas, hal mendasar yang hilang dari kebanyakan diri mereka adalah perasaan berguna. Dengan cara menjadi aktivis dan relawan, para penyandang disabilitas ini bisa memupuk kembali perasaan bahwa meraka adalah manusia yang berguna, yang bisa berbuat sesuatu.

Saat saya datang ke kantor BILiC pada awal tahun 2013, yang tinggal sekaligus menjaga ‗rumah kantor‘ itu adalah seorang perempuan tunadaksa bernama Titin. Ia tinggal sendiri dan mengurus semua kebutuhannya mulai dari mandi, menyapu, mencuci piring dan juga memasak tanpa bantuan orang lain. Barulah ketika para staf BILiC dan para relawan datang, mereka saling membantu dan membagi tugas.

Titin yang menjadi tunadaksa pada usia dewasa, harus berjuang lebih keras untuk menumbuhkan kembali semangat hidupnya sebelum kemudian bisa memunculkan kekuatan untuk bisa hidup independent.

―Saya mengurung diri dan tidak mau keluar rumah selama sekitar dua tahun sejak saya lumpuh dan harus menjadi pengguna kursi roda. Sampai sumpek setiap hari, sampai pengen bunuh diri, frustrasi, depresi dan semua perasaan putus asa menghantam saya.

Untunglah kemudian saya mau iseng-iseng belajar menjahit. Itulah awal saya mulai mencoba berusaha hidup lagi,‖ ujar Titin.

Berawal dari belajar menjahit, cerita hidup seorang tunadaksa pun bisa berubah dari keterpurukan menjadi cerita penuh makna. Hal ini dialami atau terjadi pada kebanyakan tunadaksa yang kehilangan kaki, tangan atau kemampuan bergeraknya pada usia dewasa. Ini berbeda dengan tunadaksa pada usia anak-anak seperti Risnawati Utami atau Nurul Saadah, dua aktivis tunadaksa yang berhasil berkiprah dalam berbagai perjuangan merebut hak penyandang disabilitas. Tunadaksa usia dewasa seperti Titin harus mengalami proses

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 66 keterpurukan yang lebih dalam justru karena mereka sudah pernah lama merasakan sebagai non disabilitas.

Proses setelah kebangkitan semangat hidupnya membuka banyak peluang bagi Titin sampai akhirnya ia bergabung dengan BILiC yang diawali sebagai relawan. Baik relawan, suporter maupun supervisor harus melalui pelatihan yang dilakukan BILiC. Menurut Ketua

BILiC, Yati Suryati, hal ini bukan soal mudah terutama karena menyangkut masalah hati dan kondisi masing-masing penyandang disabilitas dan keluarganya yang berbeda-beda. Dengan dasar gerakan ‗dari sahabat untuk sahabat‘ upaya membangun kemandirian diharapkan lebih efektif. Kesamaan kondisi membuat peer maupun keluarga lebih terbuka. Contohnya, peer support yang kini dilakukan Rinal, seorang anggota aktif BILiC sejak tiga tahun lalu.

Saat ini, pemuda kelahiran 1990 ini sedang menjadi suporter bagi dua sahabat sesama penyandang Cerebral Palsy (CP). Menurut Rinal, kondisi keduanya sangat berbeda. Salah seorang, berusia 25 tahun, keinginannya sangat kuat, ingin maju, tapi dukungan keluarga sangat lemah, bahkan keluar rumah pun hanya sekali setahun. Sangat memprihatinkan.

Sebaliknya, yang satu lagi, seorang pemuda berusia 19 tahun yang didampingi Rinal, berasal dari keluarga mampu, dukungan keluarga sangat kuat, tapi peer sendiri tidak punya motivasi, tidak punya ketertarikan pada apapun.

Menurut Rinal, upaya membangun kemandirian harus dari diri penyandang disabilitas sendiri. Harus dari dalam. Buka diri sendiri. Rinal memang sudah membuktikan itu. Tadinya ia sekolah di SLB, tapi kemudian berkeras masuk sekolah umum dalam program inklusif.

Rinal menunjukkan bahwa ia mampu, bahwa ia bisa. Orang tuanya sangat senang dan memberi dukungan besar. Kemana-mana anak pertama dari dua bersaudara ini diantar mobil, didampingi sopir. Lulus dari SMA, berniat melanjutkan kuliah. Ia sendiri merasa suka

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 67 fotografi tapi kemungkinan Rinal mengambil teknologi informasi karena ia ingin kerja sendiri. Cari uang sendiri agar tak tergantung orang lain.

Rinal memang punya motivasi kuat. Selain jadi suporter di BILiC, ia rajin mengikuti berbagai aktivitas, antara lain bermain teater bersama teman-temannya penyandang disabilitas. Ia juga akrab dengan perangkat teknologi dan informasi. Rasa ingin tahunya sangat besar. Rinal adalah contoh keberhasilan program yang dilakukan BILiC. Program gerakan komunitas untuk mengajarkan hidup mandiri pada penyandang disabilitas. Konsep pergerakan independent living ini bermula dari Amerika, yang kemudian berkembang di berbagai negara, antara lain Jepang. BILiC merupakan pelopor konsep pergerakan ini di

Indonesia.

Awal kiprah BILiC dimulai tahun 2003, saat Cucu Saidah, sarjana lulusan Universitas

Nusa Bangsa yang berprofesi sebagai guru, mendapat kesempatan belajar tentang independent living ke Jepang. Setelah kembali, Cucu, yang berjalan menggunakan kursi roda karena kedua kakinya tidak sempurna, merintis gerakan independent living bersama beberapa teman, antara lain Faisal Rusdi, seorang penyandang CP yang berprofesi sebagai pelukis mulut. Faisal Rusdi hanya memiliki pangkal kaki dan pangkal lengan sehingga ia harus mengandalkan mulutnya untuk melakukan banyak hal.41

Melihat Faisal Rusdi melukis pasti menimbulkan decak kagum siapa saja. Ia melukis dengan posisi badan tengkurap di sebuah bangku panjang yang diletakkan di depan sebuah kanvas. Kepala Faisal tegak menggigit sebuah kuas yang sudah dicelupkan cat minyak yang diletakkan di bawah dagunya sehingga ia terlihat seperti sedang mengangguk ketika mencelupkan kuasnya ke dalam cat minyak atau cat air. Lalu ia mulai mengerakkan

41Faisal Rusdi memupuk bakatnya sebagai pelukis CP dengan menggunakan mulut dan melukis dengan posisi tengkurap. Ia merintis karirnya setapak demi setapak sebagai pelukis sampai menjadi bagian dari Asosiasi Pelukis Mulut Indonesia. Kini sosoknya kerap muncul dalam berbagai acara terkait dunia disabilitas.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 68 kepalanya ke kiri dan kanan, ke atas dan bawah atau menyerong ke samping dengan kuas di mulutnya. Dan perlahan, kanvas kosong itupun mulai dipenuhi berbagai garis dan warna.

Untuk satu lukisan sederhana berukuran 20x30 centimeter, Faisal butuh waktu sekurangnya 3 sampai 4 jam melukis non stop menggunakan mulutnya.

Pertemuan Faisal dan Cucu kemudian menggulirkan ide berdirinya Bandung

Independent living Center (BILiC) dengan Cucu Saidah sebagai Ketua pertama. Mereka melakukan berbagai kegiatan, antara lain melaksanakan seminar tentang independent living, dengan mendatangkan pembicara dari Jepang. Mereka juga melakukan pelatihan peer counseling atau peer support dan mulai secara rutin melaksanakan home peer support. Di masa awal itu masih susah mencari penyandang disabilitas, bahkan mereka sampai bertanya ke kecamatan dan kelurahan, tapi di sana pun informasinya tidak jelas.42

Pihak keluarga umumnya banyak yang masih menyembunyikan anggota keluarga mereka yang penyandang disabilitas. Stigma bahwa disabilitas itu karena dosa, perbuatan jahat atau kutukan masih berpengaruh besar dalam membentuk sikap sebuah keluarga terhadap anak yang disabilitas. Selain itu, kebanyakan keluarga tidak tahu tentang lembaga semacam BILiC dan ini menjadi kendala besar bagi BILiC dalam upaya mensosialisasikan program mereka.

Saat itu, semua kegiatan bermarkas di rumah Cucu, di kawasan Pasirhuni, Bandung.

Setelah dua tahun berjalan, April 2005, BILiC melegalkan status menjadi berbadan hukum lewat akta notaris, di bawah Yayasan Hidup Independent. BILiC menetapkan visi untuk mewujudkan masyarakat sosial yang inklusif di Jawa Barat, dengan misi: Mengembangkan filosofi independent living sebagai pemberdayaan dan penguatan penyandang disabilitas

42Pendataan atau sensus yang dilakukan berbagai lembaga pemerintah pada umumnya tidak pernah memperhitungkan penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga masyarakat. Sementara pihak keluarga sendiri juga masih cenderung menyembunyikan mereka. Hal ini disampaikan oleh Siswadi, mantan Ketua PPCI pada www.majalahdiffa.com

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 69 untuk meningkatkan partisipasi dan memperoleh pengakuan sebagai warga guna mencapai kesetaraan dalam hidup bermasyarakat.

Foto Cucu Saidah di atas dalam sebuah acara diskusi hak politik disabilitas memperlihatkan

sosok perempuan disabilitas yang mampu mengatasi keterbatasannya dan melakukan

perbuatan nyata melalui BILiC.

Selain terus memberikan pemahaman lebih dalam mengenai filosofi independent living dan memberikan bekal pengetahuan peer counseling kepada para penyandang disabilitas, BILiC juga mensosialisasikan filosofi independent living di kalangan pemerintah, non pemerintah, media, dan masyarakat. BILiC juga aktif dalam berbagai kegiatan yang menyangkut penyandang disabilitas bersama organisasi lain yang bergerak di bidang disabilitas, seperti Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia Persatuan (PPDI), Persatuan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 70

Tunanetra Indonesia (Pertuni). Bukan hanya di tingkat Bandung atau Jawa Barat, juga di tingkat nasional, bahkan regional.

Setelah Cucu Saidah, periode 2005 – 2008, Ketua BILiC beralih ke Faisal Rusdi, yang juga anggota Asosiasi Pelukis dengan Kaki dan Mulut (Association of Mouth and Foot

Painting Artist/AMFPA). Akhir November 2008, kedua pendiri dan motor BILiC ini menikah, dan pindah ke Solo karena Cucu Saidah mendapat pekerjaan dari Handicap

International. Cucu dan Faisal adalah pasangan suami-istri CP, keduanya sama-sama tidak memiliki anggota tubuh yang utuh. Pasangan disabilitas CP dan tunadaksa ini menjalani hidup berkeluarga sama seperti keluarga pada umumnya. Bedanya, pasangan ini memiliki pendamping yang selalu mengikuti mereka dalam melakukan pekerjaan dan kegiatan di luar rumah.

Selepas periode Cucu dan Faisal, Yati Suryati kemudian terpilih jadi Ketua BILiC untuk periode 2008 – 2011 dan dilanjutkan periode berikutnya 2011 – 2014. Di tangan kepemimpinan Yati, BILiC terus bergerak menyebarkan filosofi independent living di sekitar kota Bandung. Menularkan semangat hidup mandiri, dari suporter, supervisor, untuk sahabat sesama penyandang disabilitas. Program mereka coba terus jalankan dengan segala keterbatasan. Terutama karena masih tergantung dana dan relawan yang ada. Bagaimana lembaga seperti BILiC yang merupakan gerakan komunitas bekerja dan bertahan dalam badai kesulitan menghadapi begitu banyak tantangan dan kendala, adalah sebuah kisah yang tak kan pernah habis untuk digali. Satu hal yang pasti, mereka bekerja dengan hati-hati untuk mengajarkan independent living.

Berikut adalah gambaran bagaimana mereka bekerja.

Yani, seorang relawan, ketika akan mengunjungi peer-nya mampir di kantor BILiC.

Yati mengingatkan agar menghubungi Yuyun Yuningsih, yang menjadi supervisor Yani

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 71 dalam peer support tersebut. Yati juga berpesan, agar Yuyun membawa kamera dan memotret peer tersebut.

―Merry ini masih baru. BILiC belum punya dokumentasinya,‖ ujar Yani dalam perjalanan menuju rumah peer. Dari markas BILiC di Buah Batu, ibu dua anak balita ini harus naik angkot dua kali, kemudian disambung naik ojek sekitar satu kilometer. ―Biasanya saya jalan kaki aja,‖ tuturnya.

Rumah yang dikunjungi berada dalam gang. Wulan, yang biasa dipanggil Merry, gadis manis berusia 19 tahun. Ia menyandang CP sejak kecil. Wajah Merry langsung cerah begitu melihat Yani muncul di pintu. Ia menjerit dan berusaha bangkit. Marlina, bundanya, membantu memegangi dari belakang. Dengan susah payah tapi senang, ia menyongsong dan mencium tangan Yani. Melihat peristiwa itu, biasanya kebanyakan orang akan jatuh iba, terharu, sedih atau bahkan tak mau melihat. Ini sebenarnya sikap yang juga terbentuk oleh persepsi yang salah terhadap disabilitas. Seharusnya, jika persepsi masyarakat sudah benar, peristiwa itu adalah suatu hal yang mengagumkan.

Apalagi apa yang terjadi selanjutnya adalah mereka kemudian ngobrol sambil bercanda. Mengenakan celana panjang hitam, kaos hitam bercorak putih, dan cardigan warta putih, Merry tampak manis dan trendi layaknya remaja masa kini. Wajah putri pertama dari tiga bersaudara ini selalu tersenyum. Ia hanya bisa sedikit bicara, tapi susah payah menggerakkan kaki dan tangan. Kadang ia tersipu kalau digoda Yani.

Senyum Merry jelas membuat orang tuanya bahagia, jadi sebenarnya Merry berhasil melakukan apa yang biasanya dicita-citakan dan ingin dilakukan semua anak, yaitu membahagiakan orang tua. Bedanya, Merry membahagiakan orang tuanya tidak dengan prestasi hebat di sekolah atau mendapat gelar juara suatu lomba. Ia membahagiakan orang tuanya cukup dengan bisa tersipu malu, tersenyum senang dan tertawa gembira. Namun

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 72 masyarakat yang berada dalam hegemoni normalitas tidak melihat dengan persepsi yang benar sehingga yang timbul dalam reaksi mereka bukan sebuah kekaguman melainkan rasa iba.

Menurut Marlina, Merry bisa mandi sendiri. Ia juga bertugas mengepel rumah setiap

pagi. ―Ya, mengesot sebisa-bisanya. Saya biarkan aja,‖ ujar sang ibunda sambil

tersenyum. Problemnya, setelah menyelesaikan pendidikan di SLB YPAC—Yayasan

Pendidikan Anak Cacat— Merry sering mengeluh bosan dalam nada protes.

―Bete...!‖ ujar Marlina menirukan.

Merry minta kuliah seperti teman-temannya. Tapi Marlina bingung karena Merry

susah membaca dan menulis. Marlina khawatir rasa bosan dan protes itu

menimbulkan akibat yang tidak baik terhadap putrinya. Karena itu, ia memutuskan

berhenti bekerja, setelah 22 tahun bekerja di PT. Pindad. Sepanjang memungkinkan,

Marlina menuruti kemauan putrinya. Mereka naik motor ke mana-mana, jajan di

restoran atau nonton, layaknya remaja.

Yuyun Yuningsih, supervisor Yani dalam peer support terhadap Merry kemudian

datang menyusul. Yuyun, seperti Yani, menyandang polio sejak kecil dan pakai

tongkat kiri kalau berjalan. Tapi ia bisa naik motor ke mana-mana. Sehari-hari,

lulusan Jurusan Biologi UPI ini menjadi guru SD. Selain mengajar dan aktif di

BILiC, anak ke-2 dari 4 bersaudara aktif di beberapa kegiatan sosial.

Merry tampak senang ketika Yuyun mengeluarkan kamera. Ia berpose dengan gaya

malu-malu. Selain ngobrol dan bercanda, Yani dan Yuyun mengajak Merry bertemu

dengan teman-teman di peer group. Merry tampak senang sekali mendengar

beberapa temannya ketika di YPAC akan ikut dalam pertemuan peer group itu.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 73

Dalam kegiatan peer group, para suporter dan supervisor BILiC mengajak peer

masing-masing untuk saling menjalin persahabatan dan sharing. Di masa lalu, dalam

kegiatan grup ini, kadang para peer dibawa menikmati fasilitas umum seperti ke

restoran atau bioskop.

Marlina dan Merry ke mana-mana naik motor skutik. Cara anak-beranak ini naik

motor agak unik. Karena Marlina tidak kuat mengangkat ke boncengan, Merry

merambat naik ke jok motor, kemudian bergeser pelan-pelan ke belakang untuk

memberi tempat pada bundanya.

Ketika meninggalkan rumah itu, Yani mengatakan, kondisi Merry tergolong

melegakan. ―Dukungan dari orangtua dan keluarga sudah bagus. Tinggal membuka

yang lain, anaknya mau apa, dan mengarahkan kemana,‖ ujarnya. Ya, begitulah

upaya membangkitkan semangat Independent living ala BILiC. Dari sahabat untuk

sahabat!43

Itulah gambaran bagaimana BILiC bekerja dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian.

Bekerja dengan hati. Proses pembentukan identitas seorang penyandang disabilitas menjadi dasar penting sebelum mengajarkan dan mendorong mereka untuk keluar dari tembok- tembok penghalang yang mengurung hidup mereka. Tidak mungkin mengajarkan hidup mandiri atau independent living jika penyandang disabilitas tidak punya identitas diri yang jelas. Faisal dan Cucu membuktikan bahwa mereka bisa menjadi sosok yang diakui identitas dan eksistensinya melalui karya nyata. Cucu kini bekerja di sebuah lembaga international yang mempromosikan keadilan bagi disabilitas dan kelompok marginal pada umumnya.

Faisal terus berkarya sebagai pelukis mulut yang berkali-kali mendapat undangan tampil di berbagai acara televisi.

43Nestor Rico Tambunan, Bandung Independent Living Center: Membangun Semangat Hidup Mandiri, www.majalahdiffa.com

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 74

BILiC menjalankan sebuah gerakan untuk membantu individu-individu disabilitas dengan cara pendampingan dan hanya mengandalkan jaringan relasi bersifat relawan seperti halnya program seribu buku untuk tunanetra yang dilakukan oleh Mitra Netra. Selain itu, lembaga ini juga ikut mendorong berbagai gerakan advokasi di wilayah Jawa Barat, termasuk dalam upaya melahirkan Perda Disabilitas di kotamadya Bandung. Sosok seperti Yuyun dan

Deden yang menjadi staf BILiC juga memberikan kontribusi besar pada pembuktian kemampuan mengatasi keterbatasan mereka sehingga ketika mengajarkan independent living, mereka bisa memberi bukti nyata.

Rina, perempuan tunanetra yang bekerja di hotel bintang lima yang juga penyanyi bersama

Cucu Saidah dalam sebuah acara diskusi bersama sejumlah aktivis disabilitas di Jakarta.

2. Deaf Art Community (DAC) : Gerakan Sunyi yang Indah

Seperti apa kehidupan penyandang tunarungu atau tuli yang berada di wilayah sunyi?

Tak ada suara. Tak ada bunyi sehalus desir angin apalagi seramai bising kota di dunia

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 75 tunarungu. Mungkin tak banyak orang mampu membayangkan bagaimana kehidupan tunarungu berjalan dalam dunia tanpa suara. Mungkin tak terbayang bagaimana tunarungu hidup tanpa pernah mendengar bunyi apapun dan hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Apalagi membayangkan mereka bisa menggeluti seni pertunjukan seperti teater, tari dan pantomim seperti yang dilakukan DAC. Selain seni, kegiatan regular DAC adalah kursus bahasa isyarat untuk umum tanpa memungut bayaran.44

Foto seorang tunarungu berdandan sebagai seniman pantomin mengajar bahasa isyarat

dalam acara Hari Disabilitas Internasional di sebuah mal di Jakarta tahun 2013.

Ternyata imajinasi masyarakat awam mungkin tak menyentuh kehidupan tunarungu sehingga tak pernah membayangkan mereka menari dan bermain teater. Nyatanya, itulah yang dilakukan penyandang tunarungu yang bergabung dalam Deaf Art Community (DAC)

44Kursus bahasa isyarat yang diadakan DAC ditujukan untuk masyarakat umum, namun meski gratis tetap sangat sedikit yang berminat mengikutinya, bahkan keluarga yang memiliki anak tunarungu pun tidak selalu berminat belajar bahasa isyarat. Hal ini membuat tunarungu harus belajar membaca gerak bibir jika ingin memahami apa yang dikatakan seseorang.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 76

Yogyakarta. Melalui kegiatan teater, komunitas ini mencoba membangun semangat dan percaya diri lewat ekspresi jiwa seni. Ini juga bisa menjadi gambaran nyata bagaimana para tunarungu juga bisa merayakan kemeriahan dalam kesunyian hidup mereka. Bahwa dunia sunyi tidak berarti semata-mata diam.

Masyarakat mungkin tak cukup tahu bahwa ada festival tunarungu yang diadakan di

Taman Budaya Yogyakarta pada 26 Mei 2013 dalam rangka memperingati hari ulangtahun ke-75 SLB/B Dena-Upakara, Wonosobo, Jawa Tengah. Rangkaian acara festival dimulai dari unjuk karya tunarungu di dunia karya fashion melalui Lomba Cipta Busana Karya

Tunarungu. Lalu disusul dengan unjuk kemampuan di dunia seni tari dalam pentas tari daerah, dan puncaknya adalah pagelaran Sendratari Ramayana dengan bintang tamu salah satu maestro tari, Didik Nini Thowok.

Masyarakat juga mungkin tak cukup tahu bahwa pemenang Lomba Cipta Busana

Karya Tunarungu adalah Rizqi Abdat dari Jakarta dan Ari Iswanto dari Semarang. Mereka adalah alumni SLB/B Don Bosco, Wonosobo, Jawa Tengah. Dalam kesempatan itu juga dua anak tunarungu tampil menarikan Tari Kukila. Tarian itu dibawakan oleh Ara dan Kinkin, murid kelas 1 SLB Dena-Upakara,Wonosobo. Mereka berhasil mementaskan tarian itu dengan baik berkat didikan Ningsih, guru tari Dena Upakara, Wonosobo.45

Mengapa komunitas tunarungu tidak mendapat perhatian masyarakat secara umum?

Pertanyaan ini bisa dijawab dengan mudah, yaitu karena tunarungu adalah disabilitas tersembunyi. Disabilitas yang tak kentara dan tak mudah diketahui secara sekilas. Tunarungu selalu tampak seperti halnya non disabilitas. Mereka tidak mempunyai ciri fisik yang terlihat sebagaimana halnya tunadaksa, tunagrahita atau tunanetra dan CP. Tunarungu di tengah keramaian akan tampak sebagai orang biasa yang non disabilitas. Orang baru akan tahu dan mengerti setelah berinteraksi langsung dengan mereka.

45Havel Hardian, Festival Sunyi yang Meriah, www.majalahdiffa.com

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 77

DAC tidak terlibat dalam penyelenggaraan festival tunarungu yang meriah itu. DAC bergerak di luar wilayah pendidikan formal tunarungu dan tidak beranggotakan siswa sekolah tunarungu atau SLB yang tampil di festival di atas. Kelahiran DAC tak lepas dari sentuhan tangan Broto Wijayanto. Awalnya dunia tunarungu adalah dunia yang asing bagi pria ini.

Ketika itu ia menjadi pendamping saat komunitas ini masih bernama Matahariku Social

Voluntary. Komunitas ini digagas mahasiswa Psikologi Universitas Gadjah Mada, Galuh

Sukmara, yang adalah seorang penyandang tunarungu.

Saat itu Broto diminta mengajari mereka untuk bermain teater.

―Pertama kali masuk dalam komunitas ini, saya seperti seorang tak normal yang

sama sekali tak mampu memahami mereka. Saat itu saya sadar, apa yang saya

rasakan waktu itu adalah apa yang mereka alami ketika bergumul dengan

masyarakat setiap hari dalam kehidupan mereka,‖ jelas Broto yang saat itu masih

mahasiswa Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.46

Niat awal komunitas ini tidak muluk-muluk, yaitu membuat para penyandang disabilitas pendengaran ini memiliki semangat dan percaya diri melalui seni pertunjukan teater. Selain itu, dengan kemampuan berpentas, diharapkan bisa mengubah pandangan negatif masyarakat tentang penyandang disabilitas. Bahwa menyandang disabilitas bukan berarti tidak memiliki kemampuan. Bahwa mereka juga memiliki kemampuan yang sama dengan manusia umumnya. Broto menjelaskan saat pertama kali bertemu mereka, ia blank dan bingung harus bagaimana. Ia sama sekali tak memiliki konsep untuk mengajari mereka teater karena ia juga tak bisa bahasa isyarat.

46Wawancara saya dengan Broto Wijayanto saat melakukan riset tentang komunitas tunarungu di Jogjakarta dan aktivitas mereka.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 78

Kebingungan itu perlahan mulai pupus saat anak-anak penyandang tunarungu tersebut mulai tersenyum dan memperlihatkan kepiawaian bermain pantomim. Broto dan anak-anak asuhannya mulai melakukan latihan teater secara intens. Latihan itu begitu istimewa, karena dilakukan tanpa suara dan musik, hanya melalui gerakan isyarat.Latihan itu membuahkan hasil. Desember 2004 mereka mementaskan produksi pertunjukan teater pertama berjudul

ALetter to God. Anak-anak asuhan Broto begitu gembira dan senang,karena pementasan itu sukses.

Dalam proses ini, Broto semakin jatuh cinta pada anak-anak tunarungu yang dilatihnya. Awalnya, ia merasa bersalah karena seumur hidupnya baru menyadari bahwa ia tak pernah memberi perhatian sekecil apapun pada anak-anak tunarungu. Lalu rasa bersalah itu berkembang memunculkan kemarahan melihat ketidakadilan dan diskiriminasi yang dialami anak-anak tunarungu itu. Broto juga marah pada pemerintah yang sebagai dianggapnya sebagai pihak yang paling bertanggungjawab tapi tak pernah berbuat sesuatu yang berarti untuk anak-anak tunarungu.

Setelah pentas perdana itu, kegiatan menjadi vakum karena Galuh Sukmara yang menggerakkan komunitas ini lulus setelah berjuang keras mengikuti kuliah yang tidak aksesibel selama lebih dari 8 tahun. Galuh tak bisa cepat lulus karena kendala-kendala sepele yang diakibatkan para dosennya tidak menyadari bahwa ada mahasiswa tunarungu di kelas mereka. Terbukti ketika Galuh berhasil mendapat beasiswa S2 di Australia, ia berhasil lulus dalam waktu dua tahun karena para dosennya menyadari keberadaannya dan menciptakan perkuliahan yang bisa diikutinya.

Broto tidak meninggalkan komunitas itu. Ia tetap sering berkumpul bersama kelompok anak muda tunarungu itu dan akhirnya membentuk DAC. Mereka sempat memakai nama Komunitas Pantomim Tunarungu Yogyakarta. Sejak tahun 2006 barulah dipastikan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 79 kelompok ini memakai nama Deaf Art Community. Sejak itu DAC terus bergerak hingga kini dan sudah beberapa kali pentas ke luar kota.

DAC sengaja didesain sebagai komunitas dengan sistem keanggotaan terbuka.

Artinya, masyarakat umum yang bukan penyandang tunarungu pun bisa menjadi anggota.

Hal ini dilakukan agar para tunarungu bebas bersosialisasi baik dengan sesama maupun masyarakat umum. Karena itu pula, komunitas tidak memberlakukan kartu anggota. Anggota juga tidak dibebani kewajiban membayar iuran. Broto ingin menjadikan DAC komunitas yang menggembirakan, tanpa ada beban berat. Yang penting bagi mereka adalah bisa berkumpul, senang, berekspresi melalui seni. Risikonya, tidak bisa dihitung berapa kepastian jumlah anggota. Banyak anggota yang masuk dan keluar tapi jumlah anggota pasti berkisar sekitar 30-40 anak.

Karena tidak ada iuran dan penyandang dana khusus, Broto kerap harus nombok saat ada pentas. Tapi ia melakoninya dengan ikhlas. Berkat mereka, Broto sekarang bisa berprofesi sambilan sebagai penerjemah bahasa isyarat. Ia merasa berutang kepada mereka.

Berkat mereka, ia bisa bahasa isyarat. Jadi Broto merasa harus mengembalikannya sesuatu pada mereka. Profesi tetap Broto adalah seorang guru honorer di SMKI Yogyakarta. Itulah penopang hidupnya. Namun pada anak-anak DAC, Broto mengajarkan juga ketrampilan untuk bertahan hidup selain berkesenian. Salah satunya adalah ketrampilan membuat desain kaos, ketrampilan menyablon, menjahit untuk anak-anak perempuan dan ketrampilan membuat kerajinan cindera mata.

Ketrampilan ini bagi Broto juga sangat penting karena tujuan utamanya adalah ingin mengajarkan kemandirian pada anak-anak didiknya. Tunarungu harus bisa mandiri, terutama secara finansial. Salah satu usaha yang dirintis DAC untuk urusan mengajarkan kemandirian adalah usaha kaos yang kemudian berkembang dan bisa memberi penghasilan pada anak-

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 80 anak tunarungu yang bekerja dalam usaha kaos itu. Kesenian juga mulai memberikan penghasilan pada anak-anak didik Broto sejak kiprah mereka mulai dikenal dan diakui keunikannya oleh masyarakat.

Hingga kini DAC sudah berkali-kali pentas, baik di Yogyakarta, maupun di luar kota seperti Surabaya, Madiun, dan Malang. Rata-rata mereka membawakan lakon yang mengungkapkan kegundahan sebagai penyandang disabilitas yang terpinggirkan. Contohnya lakon Aku Ingin Menjadi Kupu-kupu dan Kami Pun Anak Adam dan Hawa.

Lakon Aku ingin Menjadi Kupu-kupu menceritakan keinginan anak-anak penyandang tunarungu agar tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk seperti halnya kepompong.

Mereka ingin menjelma menjadi sesuatu yang indah seperti halnya kepompomg berubah jadi kupu-kupu yang indah warna-warni. Pementasan DAC umumnya berlangsung sukses. Ketika mereka diminta pentas untuk memberikan semangat hidup kepada para karyawan di

Surabaya, sekitar 1.500 penonton menangis selama pertunjukan berlangsung.

DAC kini cukup dikenal masyarakat Jogjakarta dan komunitas disabilitas di

Indonesia. DAC latihan rutin setiap Minggu sore di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

Mereka memakai ruangan mana saja yang kosong di TBY. Latihan teater para penyandang disabilitas tunarungu ini berlangsung unik. Jika harus memakai iringan musik, suara musik dibunyikan dengan dentuman keras, karena getaran dentuman itulah yang dijadikan anak- anak tunarungu untuk mengikuti irama. Di sisi lain, para penyandang disabilitas ini sangat menguasai bahasa gerak tubuh yang dibutuhkan dalam teater, karena saban hari memang menggunakan bahasa gerak.

Bagaimanapun, hal-hal yang lucu tak terelakkan dalam komunitas ini. Broto menuturkan begitu banyak kesalahpahaman terjadi, cuma tetap dibalut dalam nuansa kegembiraan. Contohnya, Broto meminta membeli gorengan, tapi mereka malah membeli mi

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 81 goreng. Broto menyadari banyak sekali hal yang menyebabkan kesalahpahaman karena memang informasi melalui suara tak ada.

Menurut Broto, kegiatan komunitas ini tidak hanya menumbuhkan kepercayaan diri dan ketegaran bagi para penyandang tunarungu. Tetapi juga jadi bahan pelajaran dan penyadaran bagi masyarakat untuk memahami anak-anak penyandang tunarungu. Lakon- lakon dan pesan yang disampaikan lewat pentas mereka diharapkan menggugah perasaan dan empati penonton. Sebenarnya yang mereka butuhkan hanyalah senyuman. Itulah salah satu kesimpulan Broto. Kini para anggora DAC sudah terampil dalam beberapa macam seni pertunjukan, seperti pantomim, teater, sulap, musik hip hop, dan freestyle. Untuk musik hip hop mereka dibantu kelompok Bejo alias Beatboxing of Jogja. Kelompok musik Bejo ini yang selalu mendampingi anak-anak DAC pentas.

Bagi Broto, bergumul dengan anak-anak DAC sebuah anugerah. Bagi anak-anak

DAC, kegiatan teater dan pertunjukan seni itu tentu saja sangat berarti. Karena jalan kesenian ini membuat mereka jauh dari kesendirian dan keterasingan dari masyarakat. Lebih dari itu, mereka menjadi memiliki obsesi hidup. Obsesi komunitas ini adalah memiliki sebuah usaha produksi yang berkaitan dunia bahasa isyarat dan budaya tunarungu. Obsesi itupun kini sudah mulai terwujud dan dikembangkan oleh DAC.

Itulah sepenggal sejarah DAC yang kini terus berkiprah dan semakin dikenal luas, bahkan sampai ke beberapa negara tetangga. Metode yang digunakan Broto untuk mengajar teater pada tunarungu memang berbeda dengan yang selama ini banyak dilakukan seniman teater lain. Jika seniman teater lain umumnya memakai metode dengan memberi tanda atau clue secara langsung untuk setiap adegan dalam sebuah pentas teater tunarungu, Broto sama sekali tidak melakukan hal itu. Ia memakai sound system untuk membuat tunarungu mengetahui perpindahan dari satu adegan ke adegan lain.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 82

Dari pengalaman berkumpul secara intens dengan anak-anak tunarungu, Broto tahu persis bahwa tunarungu meskipun tak bisa mendengar tapi bisa merasakan getaran langsung di denyut jantung mereka melalui getaran yang dihasilkan oleh sound system dengan menata sound system itu pada posisi tertentu dan volume tertentu sehingga memungkinkan getaran itu dirasakan langsung. Getaran sama halnya dengan suara, memiliki bermacam kekuatan dan jenis gelombang yang bisa dibedakan oleh reaksi detak jantung anak-anak tunarungu. Broto bereksperimen dengan metode ini dan menjajaki kemungkinan perbedaan getaran sebagai tanda perpindahan adegan. Ia menyesuaikan durasi satu adegan dengan durasi sebuah getaran yang paling kuat atau dominan dan ketika kekuatan serta jenis getaran berubah maka adegan baru pun mulai. Metode penemuan Broto ini terbukti berhasil.47

Meskipun metode ini mungkin baru bisa dilakukan (dan hanya bisa dilakukan) oleh

Broto dan belum tentu bisa dilakukan oleh pengajar teater lain yang mengajar anak-anak tunarungu, hal tetap merupakan sebuah terobosan kreatif. Satu hal yang pasti, untuk bisa mempraktikan metode ini diperlukan jam terbang dan pemahaman mendalam yang bersumber dari intensitas interaksi dengan anak-anak tunarungu sebagaimana dilakukan oleh

Broto.

Untuk sekadar berteater bersama anak-anak tunarungu, banyak yang mencoba melakukannya. Antara lain di kota Solo, kegiatan teater seperti yang dilakukan Broto

Wijoyanto juga beberapa kali dilakukan oleh organisasi Gerkatin (Gerakan Kerukunan Tuli

Indonesia).

Gerkatin cabang Solo mengadakan Pentas Teater Kolaborasi pada hari Kamis (4/4)

malam, di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Pertunjukan teater dengan judul

47Metode inilah yang membuat anak-anak DAC bisa tampil sebagai pemain teater kelompok penari tanpa harus didampingi oleh koreografer atau sutradara saat mereka tampil. DAC kini banyak diundang ke berbagai festival teater dan metode Broto dianggap terobosan kreatif oleh banyak seniman mancanegara.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 83

―Sudo Ora Sudo‖ ini, ditampilkan melalui kolaborasi yang harmonis dengan tiga

organisasi yang beranggotakan non-tuli. Oraganisasi yang juga berasal dari Solo itu

adalah DVO (Deaf Volunteering Organization), BKKT (Badan Koordinasi Kesenian

Tradisional) UNS, dan Teater Peron FKIP UNS. Pertunjukan teater kolaborasi ini

adalah yang pertama kali diselenggarakan di Kota Solo.

Sebelumnya pada tahun 2009, Gerkatin Solo juga sudah pernah menampilkan

pertunjukan teater, hanya saja pertunjukan tunggal (tidak berkolaborasi). Dalam

pementasan kali ini, 11 orang tuli atau tunarungu ikut menjadi aktor, 9 diantaranya

adalah siswa sekolah. Sedangkan 3 pemain lainnya dari orang non-tuli.

Pementasan tearter ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa orang tuli

juga mampu berekspresi lewat berbagai media, sebagai contohnya media kesenian

teater. Serta menunjukkan kesamaan hak dalam berkomunikasi, dimana akhirnya

pertunjukan ini bisa berjalan lancar dengan komunikasi antar budaya (budaya tuli

dan non tuli). Pementasan ini berlangsung sukses dan disaksikan oleh sekitar 800

pengunjung.48

Proses menuju pengakuan masyarakat akan adanya budaya tuli memang masih penuh kendala dan tantangan karena hegemoni budaya normalitas masih mengakar kuat dalam struktur atau tatanan masyarakat. DAC sendiri tidak bergerak dengan tujuan-tujuan besar yang muluk sehingga mereka tidak terbebani oleh idealisme atau ideologi apapun seperti telah dijelaskan Broto, yaitu bahwa yang penting tunarungu bisa berkumpul, bersenang- senang dan mengekspresikan diri mereka melalu teater atau tari. Kesederhanaan inilah yang justru menjadikan DAC bisa bertahan untuk terus melakukan gerakan mereka di tengah hegemoni budaya normalitas.

48Rahman, Tuli Solo Tampilkan Pentas Teater Kolaborasi, www.majalahdiffa.com

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 84

Sekelompok tunarungu di sebuah seminar mendengarkan narasumber melalui penerjemah

atau interpreter bahasa isyarat. Mereka hanya sesekali melihat ke meja pembicara.

3. SIGAB dan Perjuangan untuk Aksesibilitas

Berbicara tentang perjuangan merebut aksesibilitas melalui berbagai upaya dan advokasi, salah satunya adalah berbicara tentang sebuah organisasi disabilitas (DPO) di

Yogyakarta yang dikenal dengan nama Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) yang kini dipimpin oleh seorang tunanetra berusia 30an tahun, Joni Yulianto. SIGAB didirikan di

Yogyakarta pada tahun 2003 dengan tujuan untuk membela dan memperjuangkan hak penyandang disabilitas di Indonesia hingga terwujudnya kehidupan yang setara dan inklusif.

SIGAB yang memilih memakai istilah difabel untuk menyebut penyandang disabilitas melihat kehidupan warga disabilitas sampai saat ini dimarjinalkan baik secara struktural maupun kultural. Ini terlihat dari kenyataan bahwa hak-hak penyandang disabilitas, mulai dari hak pendidikan, hak atas pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan hukum,

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 85 akses terhadap informasi dan komunikasi sampai penggunaan fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak.

SIGAB menolak istilah penyandang cacat karena istilah itu dinilai sangat merendahkan derajat manusia dan anti kesetaraan. Mereka memilih penggunaan kata difabel yang diserap dari akronim bahasa Inggris: differently able people yang bermakna ‗orang yang mampu dengan cara berbeda‘. Sementara kata ‗disability‘ yang bermakna ketidakmampuan dipandang sebagai realitas yang terjadi karena kegagalan lingkungan, pemerintah, masyarakat maupun tatanan serta sistem dalam merespon fakta disabilitas. Contoh fakta disabilitas yang tak direspon misalnya seorang tunadaksa yang tak mempunyai kaki sehingga hanya bisa melakukan mobilitas dengan kursi roda menjadi terkungkung tak bisa melakukan mobilitas karena mahalnya harga kursi roda, tidak tersedianya ram di publik area serta transportasi umum yang tidak aksesibel. Dalam hal ini ia telah ditidakmampukan oleh lingkungannya.

Sebagai organisasi yang didirikan atas dasar situasi sosial yang belum menyetarakan penyandang disabilitas, SIGAB bercita-cita menjadi wadah perjuangan advokasi kelompok disabilitas untuk mewujudkan kesetaraan dalam tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, hukum dan politik. Program-program untuk mewujudkan cita-cita ini antara lain:

1. Penelitian dan pemutakhiran data dan informasi disabilitas

2. Kampanye dan pendidikan publik

3. Advokasi kebijakan

4. Aksi kolektif langsung komunitas disabilitas

Program pemutakhiran data dianggap sangat penting dan substansial oleh Joni Yulianto karena data dan informasi adalah faktor penting pendukung inisiasi perubahan. Hingga saat ini (2014), ketersediaan data dan informasi mengenai disabilitas masih sangat sedikit dan sulit diakses publik.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 86

SIGAB meyakini data dan informasi bisa membantu menentukan arah advokasi bagi

DPO dan komunitas disabilitas serta menentukan arah kebijakan dan program bagi pemerintah. Ketersediaan data dan informasi yang lengkap akan membantu melahirkan inisiasi-inisiasi baru yang lebih inovatif dan progresif. Faktanya, memang tidak pernah ada pendataan yang akurat tentang keberadaan penyandang disabilitas di Indonesia. Inilah yang membuat kondisi penyandang disabilitas di Indonesia semakin terpuruk di dunia marginal.

Mereka ada tapi dianggap tidak ada.

SIGAB menyadari betapa masih sedikit organisasi disabilitas yang dikelola secara profesional, karena itu SIGAB menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menjadi sebuah organisasi yang bisa menjadi tempat belajar bagi organisasi lainnya untuk menjadi embrio gerakan inklusi di masyarakat luas.

Foto di atas memperlihatkan Joni Yulianto dengan kemampuannya untuk menggunakan

laptop yang sudah dilengkapi software screen reader dalam sebuah acara seminar dimana ia

menjadi salah satu narasumber.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 87

Di sebelah Joni yang ikut berfoto sekaligus menjadi moderator diskusi adalah

Alamsyah, seorang drummer tunanetra pemecah rekor MURI untuk pemain drum tunanetra yang mampu bermain drum maraton selama belasan jam. Kedua sosok itu adalah fakta keberhasilan mengatasi kegagalan lingkungan, pemerintah, masyarakat maupun tatanan serta sistem dalam merespon disabilitas.

Ruang publik yang aksesibel bagi penyandang disabilitas adalah mimpi besar semua penyandang disabilitas. Masalahnya, untuk mewujudkan mimpi besar ini masih butuh perjuangan besar dan panjang. Dalam investigasi saya di daerah utama Yogyakarta, yaitu

Jalan Malioboro, memang sudah ada beberapa bentuk aksesibilitas, seperti adanya guiding block di trotoar sepanjang Malioboro dan juga ram di fasilitas transportasi publik Trans

Yogya.

Ram seharusnya menjadi satu fasilitas yang diwajibkan dalam peraturan pembangunan gedung atau fasilitas publik yang telah ditetapkan oleh Dinas PU, bahkan jauh sebelum lahirnya perda disabilitas.49

49Peraturan dari Departemen Pekerjaan Umum tentang ram terbukti tidak berjalan dengan baik dalam implementasinya karena lemahnya penegakan hukum atau tiadanya pemberian sanksi dan hukuman bagi yang tidak mematuhinya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 88

Dalam foto di atas yang berlokasi di trotoar Malioboro, tampak seorang pengguna kursi

roda, Maria Muslimatun terhalang jalannya oleh sekat beton yang tak jelas fungsinya.

Namun, aksesibilitas ini tidak dipahami oleh masyarakat sehingga tidak bisa digunakan oleh disabilitas yang membutuhkan. Foto di atas memperlihatkan pengguna kursi roda yang terhalang oleh pembatas beton adalah bukti ketidakpahaman pihak pemerintah dalam aksesibilitas. Guiding block di trotoar Malioboro juga telah beralih fungsi menjadi lahan parkir motor.

Selain itu di masih ditambah pula dengan pedagang maupun tenda-tenda perusahaan besar yang sedang mempromosikan produk mereka. Sedangkan ram yang disediakan di halte- halte trans Yogya, umumnya masih terlalu curam dan tidak memenuhi standar tingkat kemiringan ram yang maksimal dipatok 15 derajat. Para pengguna kursi roda akan kesulitan dan terancam terbalik jika ram terlalu curam. Keberadaan Perda Disabilitas di Daerah

Istimewa Yogjakarta, belum berhasil menciptakan lingkungan yang aksesibel bagi

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 89 penyandang disabilitas sehingga organisasi disabilitas harus terus memperjuangkan implementasi Perda Disabilitas tersebut.

Bagi para penggiat atau aktivis komunitas disabilitas seperti Wahana Keluarga

Cerebral Palsy (WKCP), DAC dan Diffcom, perda disabilitas bukan merupakan suatu hal yang penting atau satu hal yang mereka harapkan bisa memperbaiki keadaan. ―Saya mulai merintis Deaf Art Community justru karena tidak percaya dan marah pada pemerintah yang tidak pernah mau mengurus dan bertanggungjawab terhadap penyandang disabilitas,‖ tutur

Broto Wijoyanto.

Hal senada juga disampaikan oleh Budi Tongkat, perintis dan pendiri komunitas

Diffcom. Budi sendiri adalah seorang tunadaksa (satu tangannya tidak utuh, hanya sampai siku dan begitu juga satu kakinya), selain merasa kecewa terhadap pemerintah bahkan juga kecewa terhadap DPO yang menurutnya tidak membumi. ―Ketika anggota Diffcom ditipu oleh panitia sebuah lomba disabilitas yang mereka ikuti, mereka menang dan hadiahnya tidak mereka terima, saya melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan hak anggota Diffcom yang menang itu, namun tak ada satupun DPO yang tergerak untuk membantu menangangi kasus itu,‖ tutur Budi kecewa.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 90

Tampak dalam foto adalah sosok Budi Tongkat dan Nurul Saadah di pendopo komunitas

Diffkom.

Budi memperjuangkan anggota Diffcom yang tertipu itu sendirian sampai ke

Kementerian Hukum dan Ham. Media massa juga beberapa kali memberitakan apa yang diperjuangkan Budi, namun sampai lebih dari satu tahun kasus itu berjalan, tetap tak ada satupun DPO yang bergerak di bidang advokasi dan pembelaan hak penyandang disabilitas yang kemudian ikut membantu perjuangannya.

Tak kalah pesimisnya dengan Broto dan Budi adalah ayah seorang anak cerebral palsy

(CP) yang menjadi pengurus WKCP, Anshori. ―Perda di negeri kita banyak yang hanya asal ada saja,‖ ujarnya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 91

Anshori dan beberapa anggota WKCP di sekretariat mereka yang hanya berukuran 2x3

meter persegi di daerah Ngampilan, Yogyakarta.

Bagi WKCP, perda disabilitas juga bukan suatu hal yang akan memiliki dampak langsung atau perubahan keadaan yang mereka alami. Perkumpulan keluarga yang memilik anak penyandang CP ini sudah merasa kehabisan tenaga hanya untuk mengurus anak mereka.

WKCP yang belum lama berdiri, muncul atas insiatif para orang tua dari anak CP yang butuh forum atau wadah untuk berbagi karena informasi tentang CP sangat terbatas dan setiap penyandang CP memiliki keunikan sesuai apa yang menjadi gangguan di otak mereka.

―Kami tidak bisa berharap banyak pada pemerintah meski kami ingin bisa berharap banyak di berbagai aspek kehidupan anak-anak kami seperti pendidikan, terapi, bahkan dukungan dan bantuan finansial. Karena mengurus anak kami yang CP benar-benar menghabiskan tenaga dan waktu para orang tua. Perda disabilitas DIY bagusnya sudah memasukkan CP sebagai salah satu kategori disabilitas,‖ ungkap Anshori dengan wajah letih.

Untuk mensukseskan implementasi sebuah peraturan daerah, tahap yang harus dilakukan pertama kali adalah sosialisasi. Sebagai contoh kasus, kita bisa bertanya seperti

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 92 apakah upaya sosialisai perda disabilitas di DIY? Hasil investigasi memperlihatkan bahwa upaya sosialisasi masih kurang dan dilakukan hanya dengan cara-cara konvensional saja.

Karena itu tidak heran jika dari 10 orang yang saya tanya tentang guiding block, hanya satu- dua orang saja yang tahu apa itu guiding block. Selebihnya mereka tidak tahu dan banyak yang menganggap itu sebagai hiasan atau dekorasi trotoar saja.

―Wah, saya baru tahu kalau itu ternyata ada gunanya. Jadi untuk membantu tunanetra berjalan di trotoar ya?‖ ujar Rafli, seorang warga Yogya yang bekerja sebagai sopir.

Gambaran nyata juga bisa didapatkan ketika menginvestigasi gedung Dinas PU

(Pekerjaan Umum) yang meski belum baik dalam aksesibilitas tapi memiliki niat baik untuk membangun aksesibilitas. Salah satunya adalah dengan menyediakan fasilitas toilet yang aksesibel untuk penyandang disabilitas.

Toilet yang aksesibel sebenarnya sama fungsinya dengan toilet pada umumnya, bedanya adalah toilet itu berpintu lebih lebar dan lebih besar ukurannya sehingga pengguna kursi roda bisa masuk dan bergerak leluasa lalu dilengkapi pula dengan pegangan di dinding samping toiletnya. Selain itu fungsinya sama persis dan karenanya bisa digunakan oleh semua orang jika tidak sedang dipakai penyandang disabilitas. Seperti tempat duduk khusus disabilitas di busway atau kereta api listrik yang bisa diduduki oleh siapa saja, begitu pula toilet aksesibel. Di pintu toilet aksesibel juga biasanya diberi tanda gambar kursi roda.

Namun yang terjadi di toilet aksesibel Dinas PU adalah suatu fakta yang memperlihatkan tingkat pemahaman terhadap aksesibilitas yang masih rendah.

Toilet aksesibel di kantor Dinas PU itu dijadikan gudang. Mungkin karena jarang penyandang disabilitas datang ke kantor PU dan mungkin tidak ada pegawai di Dinas PU

Yogyakarta yang tunadaksa. Namun kenyataan ini sungguh ironis dan membuktikan bahwa pemahaman terhadap aksesibilitas di kalangan aparat pemerintah juga masih rendah. Ini tak lepas dari persepsi dan pengaruh mitos-mitos tentang disabilitas seperti dianggap sebagai aib

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 93 atau pembawa sial. Masyarakat menyikapi toilet disabilitas seolah-olah toilet itu ‗membawa bad luck‘ dan semacamnya bagi orang yang memakainya.

Foto di atas adalah foto toilet aksesibel di kantor Dinas PU yang beralih fungsi menjadi

gudang karena kesalahpahaman aparat pemerintah yang bekerja sebagai pegawai PU.

Dalam mindset atau kerangka pikir mereka, toilet yang aksesibel adalah toilet khusus untuk disabilitas yang tak bisa atau tak boleh digunakan oleh non disabilitas. Ini adalah satu kesalahkaprahan atau kesalahan cara berpikir yang juga mengakar di seluruh lapisan masyarakat. Aksesibilitas bukan berarti eksklusivitas. Aksesibilitas justru harus bersemangat inklusif.

Sebagai perbandingan, saya juga melakukan observasi dan investigasi serupa di kota

Solo yang dianggap sebagai kota surganya penyandang disabilitas. Di kota ini, sejarah kepedulian terhadap disabilitas memang jauh lebih panjang dibandingkan dengan di kota-kota

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 94 lain di Indonesia. Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC), pertama kali didirikan di kota ini.

Kehidupan penyandang disabilitas di Solo menurut pengakuan sejumlah penyandang disabilitas yang diwawancarai, berada di garis batas antara kondisi nyaman dan tidak nyaman. ―Saya pindah ke Solo karena Solo dikenal sebagai kota yang menjadi surganya penyandang disabilitas, asal saya dari Temanggung,‖ aku Deni, seorang tunadaksa yang menggeluti dunia atlit sebagai atlit balap kursi roda. Kenyataannya, Solo memang lebih nyaman bagi Deni, namun sebagai atlit balap kursi roda yang cukup berprestasi, ia merasa dukungan pemerintah masih kurang sehingga atlit disabilitas Indonesia sulit bersaing dengan atlit negara lain seperti Thailand yang sangat didukung pemerintah mereka.

Para atlit balap kursi roda asal Solo sebenarnya mungkin bisa mengalahkan atlit negara lain jika kursi roda yang digunakan sama-sama canggih, sama-sama ringan yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Tapi mereka hanya didukung untuk mendapatkan kursi roda balap seharga belasan rupiah saja, itupun harus didapatkan susah payah. Beberapa atlit bahkan memodali sendiri kursi roda mereka. Harga sebuah kursi roda balap yang berkualitas baik seperti yang dimiliki para atlit dari negara lain bisa mencapai seratus juta.

Tentu saja uang sebesar itu tak dimiliki oleh Deni yang berasal dari keluarga sederhana. Juga kebanyakan atlit penyandang disabilitas lainnya di Indonesia.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 95

Dua atlit tunadaksa untuk cabang olahraga balap kursi roda tengah berlatih di lapangan

Manahan, Solo.

Atlit disabiltias lain dari Solo yang sudah meraih prestasi di tingkat internasional adalah pemanjat tebing tunadaksa, Sabar Gorky yang hanya memiliki satu kaki karena kecelakaan terjatuh dari kereta api yang dialaminya saat ia berusia 25an tahun. Namun meski

Sabar Gorky sudah berhasil menaklukan beberapa gunung tertinggi di dunia, dukungan pemerintah juga terbilang kecil. ―Ada Menteri yang pernah mendadak mengunjungi saya di rumah setelah saya berhasil memanjat gunung Elbrust di Rusia, gara-garanya banyak media yang menulis tentang saya. Lalu datanglah Pak Menteri itu membuat heboh kampung saya, dan ia memberi janji-janji dukungan yang tak kunjung dipenuhi,‖ tutur Sabar sambil tertawa.

Di kota Solo, peran stake holder yang menonjol bukan hanya DPO tapi juga pemerintah daerah yang aktif membuat upaya-upaya memberikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Di kantor walikota Solo, hampir semua gedung memiliki aksesibilitas. Kesadaran menyediakan fasilitas bagi disabilitas di kalangan instansi pemerintah kota Solo adalah salah satu wujud peran aktif pemerintah selaku stake holder penting dalam pemenuhan hak asasi penyandang disabilitas.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 96

Stake holder komunitas disabilitas juga memainkan peran aktif untuk berbagai kegiatan pemberdayaan melalui berbagai program sesuai dengan bidang mereka. Komunitas

Sabar Gorky, misalnya, pada saat investigasi saya berlangsung tengah sibuk menyiapkan program lomba panjang dinding untuk tunadaksa dan tunanetra tingkat nasional. Lomba itu untuk pertama kalinya akan diadakan di Indonesia dan rencananya akan digelar di halaman kantor walikota Solo pada bulan september 2013.

Kegiatan komunitas Sabar Gorky memang tak berkaitan langsung dengan perda disabilitas, namun semangatnya adalah semangat memberikan ruang ekspresi bagi penyandang disabilitas sehingga mereka bisa mendapat kesempatan yang sama di berbagai bidang.

Dukungan dari stake holder pemerintah terhadap kegiatan seperti yang dilakukan

Sabar Gorky juga cukup positif. Dalam investigasi ini, saya menemani Sabar Gorky menemui sejumlah pejabat, antara lain anggota DPRD dan Kepala Dinas Pendidikan dan Olah Raga.

Respon mereka menerima proposal Sabar Gorky cukup baik meski tidak menyatakan langsung akan membantu.

Inisiatif komunitas dalam melakukan berbagai program untuk mengenal dan memahami disabilitas juga sering dilakukan tidak hanya oleh DPO dan komunitas disabilitas tapi juga oleh komunitas umum non disabilitas. Ini adalah suatu hal yang jarang didapati di daerah lain. Sedikit banyak, selain reputasi Solo sebagai kota ramah disabilitas tentunya karena masyarakat luas juga telah mengetahui ada perda disabilitas yang sudah disosialisasikan sejak tahun 2008.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 97

Sabar Gorky, bersiap memanjat wall climbing dengan satu kaki yang dimilikinya

dalam sebuah acara di sebuah kampus di Jakarta.

Namun, Solo sebagai kota yang dianggap surganya penyandang disabilitas pun masih memiliki persoalan besar dalam membangun ruang publik dan ruang sosial-budaya maupun politik yang menerima keberadaan penyandang disabilitas dalam sebuah relasi yang berdasarkan kesetaraan. Aksesibilitas yang sudah dibangun dan disediakan pemerintah kota

Solo di sejumlah ruang publik juga masih mengalami kegagalan dalam sosialisasi sehingga sebagian masyarakat belum memahami juga fungsi guiding block atau ram sebagaimana terjadi di Yogyakarta.

^^^

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Bab III

GERAKAN DISABILITAS MEREBUT RUANG KEHIDUPAN DAN AKESIBILITAS

Penyandang disabilitas pada umumnya menerima segala bentuk diskriminasi dan marginalisasi yang menyingkirkan mereka dari ruang kehidupan dengan sikap pasrah karena apapun yang mereka perjuangkan akan kandas membentur tembok-tembok kekuasaaan yang berdasar pada hegemoni normalitas. Wajah kekuasaan di hadapan para penyandang disabilitas bukanlah seperti momen hegemoni yang dilihat Antonio Gramsci dari sisi etisnya.

Dilihat dari segi etis, menurut Gramsci, hegemoni memang mempunyai kedudukan penting karena merupakan saat memilih dan mencari alternatif (bagi berbagai kelompok masyarakat) untuk kemudian menegosiasikannya dengan kekuasaan dominan.

Jelasnya, Gramsci menegaskan bahwa hegemoni harus menunjuk pada suatu wilayah subjektif masyarakat, baik secara kolektif maupun perorangan, seperti misalnya kelompok penyandang disabilitas dalam kajian ini, sehingga kelompok ini bisa mengajukan sebuah alternatif untuk bernegosiasi dengan kekuasaan yang sudah ada. Inilah yang membuat

Gramsci mengatakanbahwa saat hegemonik bisa menjadi ‗saat etis‘ dalam arti sebagai saat dimana sekelompok masyarakat dimungkinkan untuk melakukan hegemoni tandingan.

Namun bagi penyandang disabilitas di Indonesia, ‗saat etis‘ dari hegemoni ini masih tak terlihat dalam gerakan perjuangan mereka merebut ruang kehidupan.

Salah satu syarat untuk mampu melakukan hegemoni tandingan adalah adanya intelektual orgnaik dari kelompok masyarakat yang termarginalkan seperti halnya kelompok disabilitas. Intelektual organik adalah intelektual yang mampu mentransformasikan suatu pandangan hidup menjadi energi atau motor sebuah gerakan nyata untuk mengubah keadaan.

Intelektual organik inilah yang mampu memberi arah perubahan melalui satu kepemimpinan kultural dengan mengkristalisasikan ideologi suatu kelompok masyarakat agar kelompok ini

98

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 99 bisa melakukan hegemoni tandingan untuk kemudian membentuk masyarakat sipil menerima eksistensi mereka.

Adakah sosok disabilitas yang berpotensi menjadi intelektual organik bagi kelompok disabilitas yang diwakilinya? Seperti apakah kenyataan yang terjadi dalam kehidupan penyandang disabilitas di Indonesia sebagai kelompok marginal yang terdiskriminasi? Untuk mencari jawaban kedua pertanyaan di atas, kita harus melihat stake holder utama dalam hegemoni normalitas, yaitu masyarakat dan pemerintah.

Sebuah aksi unjuk rasa damai yang digelar kelompok masyarakat pendukung disabilitas di

Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, bulan Mei 2013.

Perlakuan dan kebijakan yang tidak menempatkan penyandang disabilitas sebagai subjek dalam kehidupan masyarakat akan menjauhkan potensinya untuk memberi kontribusi serta membuat mereka terus menjadi beban bagi banyak pihak. Dalam bab ini akan dilihat juga aspek lain yaitu berbagai kebijakan serta perangkat legal formal yang banyak tak

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 100 berpihak pada penyandang disabilitas karena persepsi yang tidak benar. Akibatnya, pada saat sebuah peraturan berhasil disahkan, tapi dalam implementasinya malah menjadi batu sandungan yang membuat kelompok penyandang disabilitas semakin terpuruk.50

Banyak contoh yang memperlihatkan bahwa ketika sebuah Perda Disabilitas dicoba diimplementasikan malah bisa menjadi sesuatu yang merugikan atau membahayakan penyandang disabilitas. Salah satunya adalah shelter bis Transjogja yang mencoba mengimplementasikan aksesibilitas untuk pengguna kursi roda dengan menyediakan ram atau jalan kursi roda. Tapi ketika ram itu jadi, karena sempit dan terbatasnya lahan yang disediakan, ram itu terlalu curam dan berbahaya untuk pengguna kursi yang akan menggunakannya.

Logika yang membentuk cara pandang atau persepsi terhadap penyandang disabilitas berawal dari konsep manusia sebagai makhluk ciptaan paling sempurna di muka bumi yang diajarkan agama. Inilah sebuah dasar dalam identifikasi dari keberadaan atau eksistensi manusia yang telah terbentuk sejak seorang manusia dilahirkan.51 Definisi ‗makhluk paling sempurna‘ tersebut mencakup semua aspek keunggulan manusia berdasarkan pada dua fondasi utama yaitu: kehebatan otak manusia dan kesempurnaan tubuh.

Kehebatan otak atau daya pikir manusia didukung oleh tubuh manusia yang sangat proporsional, lentur, kuat, atletis dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan beragam lingkungan membuat manusia menjadi mahkluk yang ―sempurna‖. Antara otak dan tubuh juga memiliki koordinasi yang paling sinkron dan jenius dibandingkan mahkluk ciptaan lain

50Dalam foto di awal bab, terlihat sebuah upaya provokatif untuk mengadvokasi masyarakat melalui sebuah spanduk besar yang diusung di tengah keramaian acara car free day di Jakarta bertuliskan: Jangan mengaku beradab kalau belum memahami disabilitas. Kalimat itu diambil dari pernyataan Komisioner Komnas HAM (2005-2010), Yoseph Adi Prasetya ketika diwawancarai majalah diffa. 51Identitas pertama saat seseorang dilahirkan adalah jenis kelaminnya: lelaki atau perempuan. Barulah setelah itu berbagai variabel identitas menyertainya, mulai dari suku, adat, budaya, status sosial dan ekonomi sampai agama. Dasar semua variabel tersebut adalah konsep manusia sebagai mahkluk ciptaan paling sempurna.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 101 yang ada di muka bumi. Koordinasi paling sinkron itu juga, hebatnya, tetap tidak bersifat saling menegasi antara kehebatan kemampuan otak dan kesempurnaan tubuh.

Artinya, seseorang dengan cacat tubuh seperti foto di bawah ini tidak terpengaruh kemampuan dan kehebatan otaknya karena cacat yang dimilikinya. Perempuan berkursi roda dalam foto itu bernama Yusdiana, ia berhasil mendapat beasiswa dari Ford Foundation untuk menempuh jenjang pendidikan S2 di Belanda. Ia kembali ke Indonesia dan bekerja di wilayah advokasi hak-hak penyandang disabilitas bersama sebuah lembaga internasional di Jakarta.

Kemampuan otak Yusdiana yang kini telah meninggal karena sakit kanker (2014) jelas tak terpengaruh oleh keadaan dirinya sebagai tunadaksa. Contoh nyata yang lebih popular adalah sosok fisikawan jenius Stephen Hawking yang memiliki cacat tubuh Cerebral Palsy.

Sosok tunadaksa, almarhumah Yusdiana, dalam sebuah acara olah raga pagi di Taman

Menteng, Jakarta Pusat, dalam rangka membangun interaksi di ruang publik.

Dalam semua bidang kehidupan manusia mencoba membuktikan diri sebagai makhluk paling unggul, tidak hanya atas makhluk lain yang bukan manusia tapi juga keunggulan atas sesamanya sendiri. Adanya perbedaan (baik fisik, sosial, budaya, politik dan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 102 ekonomi) antara satu bangsa manusia dengan bangsa manusia lain, antara satu ras dengan ras lain dan antara satu suku dengan suku lain, semakin mengobarkan iklim dan semangat untuk saling membuktikan siapa di antara bangsa-bangsa manusia yang paling unggul.

Dalam konteks ini, manusia dengan tubuh yang tidak sempurna atau disabilitas lalu menjadi sosok yang dipandang sebagai aib atau cacat yang menohok konsep kesempurnaan itu meski semua manusia tak ingin dilahirkan sebagai penyandang disabilitas. Mereka dipandang sebagai sebuah kegagalan yang diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan jahat orang tuanya atau dosa-dosa yang mereka lakukan. Cara pandang ini terkait dengan konsep kejahatan dan kebaikan yang diajarkan agama-agama secara umum.52

Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra, gerakan BILiC, gerakan DAC dan perjuangan yang dilakukan SIGAB yang dibahas dalam bab II adalah sebuah praksis gerakan penyandang disabilitas untuk merebut ruang kehidupan dalam tatanan masyarakat umum.

Hegemoni yang mengakar dalam struktur ‗masyarakat normal‘ membuat para penyandang disabilitas tak memiliki ruang kehidupan sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Hak untuk mendapatkan informasi adalah sebuah hak dasar anggota suatu masyarakat, namun tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan juga CP, sangat sulit untuk mendapatkan informasi yang menjadi hak mereka. Buku versi Braille, informasi bahasa isyarat, informasi audio- visual untuk tunagrahita, semuanya sangat terbatas dan secara umum, nyaris tidak tersedia.

Lebih jauh lagi adalah hak untuk mendapat pendidikan agar penyandang disabilitas juga bisa berkembang secara intelektual dan memiliki ketrampilan-ketrampilan pendukung hidup. Di wilayah ini, persoalan menjadi lebih kompleks karena menyangkut sistem pendidikan nasional yang dirancang pemerintah. Selama ini, pemerintah mempraktikkan

52Cara pandang ini bersifat sangat diskriminatif karena bersumber dari sikap hegemoni normalitas sehingga melihat secara naif dan hitam-putih sosok penyandang disabilitas sehingga sekalipun seorang tunagrahita memiliki kebaikan di hatinya maka kebaikan itu menjadi tidak berarti.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 103 sistem pendidikan khusus untuk penyandang disabilitas dengan konsep SLB atau Sekolah

Luar Biasa. Di wilayah konseptual, hal ini dinilai tidak benar karena merupakan sebuah tindakan segregasi terhadap disabilitas.Namun, lepas dari perdebatan konsep, kenyataan yang terjadi di SLB-SLB yang ada di berbagai daerah Indonesia, ternyata sangat memprihatinkan, baik dalam hal minimnya fasilitas dan tenaga guru sampai sedikitnya jumlah SLB berbanding dengan jumlah anak penyandang disabilitas.

Relasi dengan kekuasaan yang paling baik di antara keempat gerakan yang dikaji dimiliki oleh Yayasan Mitra Netra (YMN). YMN memiliki hubungan baik dengan sejumlah lembaga pemerintah yang terkait urusan pendidikan disabilitas, antara lain dengan

Departemen Pendidikan, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Biasa (Dirjen PLB).

Saya terlibat dalam beberapa program yang merupakan kolaborasi antara YMN dengan

Dirjen PLB dan lembaga lain, salah satunya adalah program penghargaan untuk para pelaku pendidikan inklusi.53 Dirjen PLB sebagai representasi kekuasaan menggandeng YMN karena kepakaran pada pemimpin YMN dalam upaya memajukan pendidikan bagi tunanetra melalui berbagai program kreatif seperti Gerakan Seribu Buku. Dalam relasi ini, ada pengakuan kekuasaan terhadap eksistensi YMN yang hanya bersifat singkat dan sementara. Setelah program terlaksana, maka YMN akan kembali pada posisi marginalnya.

Apa akar permasalahan sebenarnya? Saya akan mencoba mengurainya mulai dari hal yang mendasar, yaitu istilah dan cara pandang yang ada di masyarakat.

A. Sejarah Kecacatan: Istilah, Cara Pandang dan Fenomena

Istilah penyandang cacat yang kini diganti secara resmi menjadi penyandang disabilitas ternyata harus melalui proses panjang. Sampai kini, sebagian besar masyarakat

53Program Inklusi Award gagasan awalnya berasal dari Helen Keller Indonesia yang kemudian dimatangkan bersama Yayasan Mitra Netra dan majalah Diffa, namun dalam pelaksanaannya pada tahun 2012, Helen Keller Indonesia bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan majalah Diffa hanya menjadi media pendukung program sesuai fungsinya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 104 awam masih belum terlalu mengenal istilah penyandang disabilitas atau difabel (different ability) yang banyak digunakan kalangan aktivis disabilitas di Yogyakarta.54 Dari survei yang dilakukan oleh www.majalahdiffa.com secara acak terhadap masyarakat awam di Jakarta,

Malang, Jogjakarta dan Solo, hanya sekitar 40% masyarakat yang tahu dan memahami makna kata penyandang disabilitas.55

Penggunaan istilah penyandang cacat sampai tahun 2010an bahkan digunakan oleh lembaga-lembaga resmi seperti Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) dan Yayasan

Pendidikan Anak Cacat (YPAC) yang memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Kini

PPCI telah berganti nama menjadi PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia) dan

HWCI (Himpunan Wanita Cacat Indonesia) telah berganti nama menjadi HWDI (Himpunan

Wanita Disabilitas Indonesia). Sedangkan lembaga seperti YPAC masih belum mengubah nama. Perubahan nama ini mulai mewacana sejak Indonesia ikut meratifikasi Undang-

Undang Penyandang Disabilitas Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), yaitu UNCRPD (United

Nation Convention on The Rights of People with Disability) pada tahun 2011.56

UNCRPD memakai istilah penyandang disabilitas atau people with disability untuk menegaskan kondisi khusus tubuh dan menekankan bahwa pertama-tama mereka adalah people atau manusia persis seperti manusia lain. Mereka adalah seseorang. Mereka tidak boleh didiskriminasi karena kondisi khusus tubuhnya tetapi justru harus didukung aksesibilitasnya. Dalam wacana linguistik sendiri ada beberapa istilah seperti special need atau berkebutuhan khusus dan special ability atau berkemampuan khusus. Di Indonesia,

54Istilah difabel adalah istilah khas yang merupakan akronim dari different ability yang banyak digunakan oleh kalangan aktivis organisasi disabilitas di Jogjakarta. Pada awal menguatnya wacana tentang istilah disabilitas di tahun 2010an terjadi perdebatan keras tentang tepat atau tidaknya istilah penyandang disabilitas sehingga muncul alternatif istilah difabel. 55Survey dilakukan dalam bentuk liputan secara random terhadap sekitar 100 orang dari berbagai profesi dan usia, mulai dari tukang parkir, pedagang asongan, mahasiswa sampai karyawan/wati dengan pertanyaan utama: “Apakah Anda tahu apa itu penyandang disabilitas?” 56Setelah ratifikasi UNCRPD barulah pada tahun 2012 nama organisasi resmi yang menjadi organisasi payung penyandang disabilitas diubah dari PPCI menjadi PPDI, lalu disusul oleh HWCI menjadi HWDI. Perubahan nama ini masih belum menyeluruh dan masih menjadi perdebatan beberapa lembaga non pemerintah yang bergerak di wilayah advokasi disabilitas.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 105 secara spesifik juga ada perkembangan dalam penggunaan istilah yang bersifat menghaluskan

(eufimisme), seperti menyebut orang buta menjadi tunanetra, orang tuli menjadi tunarungu dan cacat tubuh (si lumpuh, si pincang) menjadi tunadaksa. Namun istilah penghalusan ini pun masih belum banyak diketahui oleh berbagai lapisan masyarakat.57

Masalah peristilahan yang sebenarnya menjadi dasar yang membentuk ideologi kelompok yang memilih dan menggunakannya, selama beberapa tahun pernah menjadi perdebatan di berbagai komunitas disabilitas. Namun perdebatan ini lebih merupakan perdebatan untuk mencari istilah yang paling tepat, karena semua yang berdebat sebenarnya memiliki tujuan ideologis yang sama, yaitu melawan diskriminasi terhadap disabilitas dan melakukan perjuangan pemenuhan hak asasi penyandang disabilitas. Tidak ada perbedaan ideologi antara mereka. Semua sepakat bahwa penyebutan istilah terhadap mereka harus tidak mengandung unsur diskriminatif. Fokus perdebatan akhirnya menjadi tidak ideologis tetapi semantik.

Istilah different ability yang kemudian diadopsi menjadi difabel mendapat dukungan dari sejumlah komunitas, sementara sejumlah komunitas lainnya cenderung memilih mengikuti istilah resmi yang digunakan dalam konvensi PBB, yaitu penyandang disabilitas atau people with disability. Sejumlah kelompok lain tidak berkeberatan dengan kedua istilah itu karena menganggap keduanya tidak diskriminatif. Istilah penyandang disabilitas jelas memiliki kekuatan hukum internasional yang isinya memperjuangkan persamaan hak bagi disabilitas. Istilah different ability meski bukan istilah hukum formal tapi jelas bersemangat positif dan mengandung makna kesetaraan.

Hasil akhir dari perdebatan istilah yang tidak bersifat ideologis itu akhirnya menyerahkan pada kewenangan dan pilihan masing-masing kelompok untuk memutuskan

57Dalam berbagai kesempatan acara seminar dan diskusi tentang disabilitas dimana saya menjadi narasumber, saya selalu memulai dengan bertanya pada para peserta tentang istilah tunadaksa atau tunagrahita dan hasilnya kebanyakan peserta tidak familiar dengan dua istilah itu.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 106 menggunakan salah satu dari dua istilah itu. Persoalan istilah ini sebenarnya masih terbuka untuk didiskusikan dengan tetap membuka peluang adanya istilah alternatif lain selain kedua istilah di atas.

Apalagi jika kita mempertimbangkan bawah setiap bentuk dan jenis kecacatan memiliki sejarah yang berbeda. Adakah istilah yang bisa mengakomodasi sejarah itu? Ini adalah tantangan tersendiri bagi para ahli bahasa, filsuf, seniman dan budayawan. Seorang tunanetra sejak lahir sangat berbeda dengan seseorang yang menjadi tunanetra di usia remaja.

Demikian juga seorang tunarungu yang masih memiliki sisa pendengaran berbeda dengan seorang tunarungu yang sama sekali tidak bisa mendengar. Tunanetra atau tunarungu sejak lahir terbentuk sebagai manusia disabilitas sejak mereka dilahirkan dan tidak memiliki pengalaman melihat (tunanetra) dan mendengar (tunarungu). Sedangkan tunanetra atau tunarungu pada usia balita sempat memiliki pengalaman melihat dan mendengar.

Rentang waktu pengalaman sebagai ‗manusia normal‘ dalam setiap sejarah bentuk dan jenis kecacatan menjadi faktor penting yang membedakan antara seorang tunanetra dengan tunanetra lain atau antara seorang tunarungu dengan tunarungu lainnya. Selain itu, tingkat ‗ketunaan‘ juga menjadi faktor penting lain yang membedakan disabilitas satu sama lain. Masyarakat awam biasanya tidak cukup mengetahui bahwa setiap tunanetra memiliki tingkat kebutaan yang berbeda-beda. Visual impairment atau kerusakan penglihatan pada tingkat kehilangan penglihatan di atas 60 persen yang biasa disebut low vision sudah termasuk tunanetra. Kehilangan penglihatan 80 persen tentu berbeda dengan seorang yang kehilangan penglihatan 95 persen.58

Demikian halnya dengan tunarungu. Mereka yang masih memiliki kemampuan mendengar suara pada volume tertentu sudah termasuk tunarungu sampai mereka yang sama

58Seperti halnya gangguan penglihatan ringan jarak dekat atau jarak jauh (mines atau plus), low vision juga bisa berbeda ukuran antara mata kiri dan mata kanan seseorang.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 107 sekali tak bisa mendengar. Mereka yang pernah mendengar suara selama masa kanak- kanaknya akan memiliki memori tentang suara seperti tunanetra yang pernah melihat bunga, mobil, laut atau benda lain akan memiliki memori visual yang tak dimiliki oleh tunarungu atau tunanetra sejak lahir. Seorang tunarungu sejak kecil kehilangan semua referensi bunyi sehingga dunianya benar-benar menjadi tanpa suara. Dan jika ia kemudian bisa mendengar suara lagi dengan alat bantu dengar canggih, maka ia harus belajar mengenal suara seperti bayi yang baru dilahirkan.59

Pertanyaannya kemudian adalah: lantas manusia macam apakah sebenarnya penyandang disabilitas itu? Persepsi umum yang dominan adalah bahwa mereka –para penyandang cacat— bukan manusia normal. Mereka tidak normal karena tidak sempurna.

Karena mereka cacat. Lantas jika mereka bukan manusia normal, apakah mereka ‗manusia abnormal‘? Dikotomi ‗normal‘ dan ‗tidak normal‘ ini lah yang menjadi wilayah atau ruang eksistensi penyandang disabilitas. Artinya, penyandang disabilitas hanya memiliki ruang kehidupan yang berada di wilayah tarik-menarik antara konsep ‗normal‘ dan ‗tidak normal‘ atau ‗sempurna‘ dan ‗tidak sempurna‘.

Namun apapun identitas yang melekat pada diri seorang manusia atau suatu suku dan suatu bangsa, hampir semuanya tetap memiliki fondasi dasar pembentukan identitas yang sama, yaitu konsep dasar eksistensi manusia sebagai makhluk paling luhur atau paling sempurna di muka bumi. Manusia sebagai citra sang Pencipta. Manusia sebagai anak Allah.

Berdasarkan asumsi yang telah diterima sebagai kebenaran dogmatik ini, manusia melakukan berbagai interpretasi terhadap makna sempurna dengan objek the other makhluk ciptaan lain dan juga sesama manusia, terutama yang memiliki perbedaan-perbedaan. Salah satu the other atau liyan di antara sesama manusia yang menjadi objek untuk melegitimasi konsep manusia

59Wawancara dengan Galuh Sukmara, seorang perempuan tunarungu yang berhasil menyelesaikan S2 di Australia setelah lulus S1 di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Galuh menjadi tunarungu sejak usia balita.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 108 sebagai makhluk paling sempurna adalah manusia dengan kecacatan fisik atau people with disability.

Penyandang cacat atau difabel atau kelompok disabilitas lalu menjadi sosok manusia yang tidak sempurna hanya untuk melegitimasi seperti apa kesempurnaan manusia.

Gambaran kesempurnaan sosok manusia yang umumnya dipakai pertama-tama adalah keutuhan dan kesempurnaan fisik (tubuh). Setelah semuanya utuh dan lengkap kesempurnaan selanjutnya ditentukan oleh berfungsi atau tidaknya setiap organ tubuh, jika semuanya berfungsi dengan baik, maka sosok manusia itu sudah memenuhi syarat dan ketentuan utama sebagai makhluk ciptaan paling sempurna di muka bumi.

Secara umum, kondisi ini terlihat dari fenomena yang dialami penyandang disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat, antara lain:

 Sikap, perlakuan dan kebijakan pemerintah tidak menempatkan penyandang

disabilitas sebagai subyek dalam berbagai bidang dan ruang kehidupan masyarakat.

Ini menjauhkan potensi penyandang disabilitas untuk terlibat menyelesaikan masalah

serta akan terus menjadi beban bagi berbagai pihak.

 Perangkat hukum (legal formal) tak berpihak pada penyandang disabilitas karena

tidak memandang penyandang disabilitas sebagai subjek hukum. Hal ini membuat

komunitas penyandang disabilitas sebagai bagian masyarakat semakin terpinggirkan

dan terpuruk (termarginalisasi).

 Keterbatasan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di kalangan organisasi

disabilitas atau DPO dan komunitas disabilitas yang memperjuangkan hak

penyandang disabilitas sehingga sulit mendorong terjadinya perubahan persepsi dan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 109

sikap pemerintah serta masyarakat sesuai hak penyandang disabilitas sebagai

warganegara.60

Dari realitas yang kasat mata di atas, bisa disimpulkan betapa sempitnya ruang gerak mereka. Ruang sempit itu ada di pinggiran tatanan sosial-budaya-politik dan ekonomi struktur masyarakat yang berdasarkan pada pemaknaan konsep normalitas. Dan karena berada di ruang pinggiran itu, penyandang disabilitas pun dengan sendirinya menjadi sosok manusia marginal. Padahal mereka sebenarnya sama dengan manusia lain pada umumnya yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Disabilitas adalah bagian dari keunikan mereka.

Accordingly, disability becomes unique for each individual; the disabled person must

make his/her own adjustment to the circumstances of disablement and negotiate a

means of ‗coping‘ as best s/he can.61

B. Gerakan Disabilitas Merebut Ruang Publik

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ketika seseorang menjadi penyandang disabilitas maka ia kehilangan salah satu aksesnya terhadap kebudayaan karena meskipun kebudayaan merupakan hasil kerja pengolahan akal budi, tapi alat kerja yang digunakan untuk memproduksi dan juga menikmatinya adalah panca indera. Dengan kondisi ini, ruang marginal penyandang disabilitas bisa dikatakan semacam ‗ruang marginalnya ruang marginal‘. Gerakan kebudayaan yang dilakukan oleh DAC atau Diffcom selain sebagai gerakan berbasis komunitas untuk memperjuangkan pengakuan eksistensi disabilitas di ruang publik adalah gerakan langsung melalui medium seni.

60Ketiga poin ini adalah salah satu kesimpulan hasil investigasi Perda Disabilitas di empat wilayah, yaitu Jogjakarta, DKI Jakarta, Solo dan Bandung yang dilakukan selama dua bulan (Februari sampai April 2013) oeh www.majalahdiffa.com 61Dikutip dari paper Gillian Daley berjudul Disability and Social Policy yang membahas tentang kebijakan sosial terhadap disabilitas yang diskriminatif. Gillian Daley adalah research fellow untuk Policy Studies Institute.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 110

Penyandang disabilitas menjadi kelompok masyarakat marginal yang paling marginal.

Berbeda dengan kelompok marginal lain seperti kaum miskin kota, kaum buruh atau nelayan dan petani yang masih bisa memiliki akses pada ruang sosial, budaya, ekonomi dan politik, penyandang disabilitas kehilangan aksesibilitasnya secara lebih permanen. Mereka mengalami diskriminasi atas dasar stereotipe ‗cacat‘ yang melekat pada diri mereka itu. Cara pandang terhadap kelompok disabilitas ini terbentuk melalui sistem sosial, politik, budaya, ekonomi (bersumber pada dogma agama) yang kemudian diterima sebagai kebenaran

(melalui proses hegemoni normalitas). Persepsi inilah yang membuat Irwan Dwi Kustanto menggulirkan gerakan seribu buku untuk tunanetra dengan tujuan merebut hak tunanetra untuk mendapatkan bacaan.

Cara pandang terhadap penyandang disabilitas menjadi diskriminatif, antara lain karena berakar pada dogma ‗manusia adalah mahluk ciptaan paling sempurna di atas muka bumi‘. Logikanya: ‗sempurna‘ itu berarti ‗normal‘ dan karenanya ‗tidak sempurna‘ berarti

‗tidak normal‘. Ini adalah akar dari logika hegemoni normalitas. Dalam contoh kasus tunanetra, pandangan masyarakat secara umum antara lain: tunanetra itu hanya bisa (dan hanya pantas) jadi tukang pijat dan pengemis saja. Sebuah contoh faktual tentang konstruksi persepsi ini adalah pengalaman Rina, perempuan tunanetra yang selalu memakai kacamata hitam yang modis dan tampil tidak kentara sebagai tunanetra.

Setiap kali naik taksi, Rina selalu punya pengalaman menarik yang intinya sopir taksi itu tidak percaya ia seorang tunanetra. Salah seorang sopir taksi sampai tersentak sangat kaget, begitu Rina turun dari taksinya dan mengeluarkan tongkat penuntun.

―Astaga, mba??!!‖

―Ya, saya tunanetra, mas.‖

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 111

―Aduuhh, mohon maaf, maafff, saya tidak tahu. Saya tidak ngeh sama sekali. Saya tidak, maaf, saya belum percaya. Bagaimana bisa Mbak pergi-pergi sendiri?‖

Dialog itu sudah berpuluh kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari Rina dan juga tunanetra lain yang memiliki penampilan dan pekerjaan aktif serta tampil tidak kentara sebagai tunanetra. Sikap dan reaksi sang sopir taksi mewakili cara pandang dan persepsi masyarakat umum terhadap tunanetra yang dianggapnya tak berdaya, tak mungkin bepergian sendiri, apalagi bekerja di tempat kelas atas. Di mata sopir yang mewakili persepsi dan cara pandang masyarakat itu, tunanetra hanya bisa menjadi tukang pijat atau pengemis. Tak mungkin menjadi seperti Rina.

Rina bekerja sebagai staf di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, dan ia tampil modis karena pekerjaannya. Rina juga berhasil menyelesaikan pendidikan S2 dan dalam pekerjaannya ia kerap harus berbahasa Inggris. Rina adalah sosok tunanetra yang berhasil merebut ruang publik melalui kiprah perjuangan pribadinya karena ia didukung oleh keluarganya yang adalah kalangan menengah terdidik dan mapan. Rina juga aktif berorganisasi sampai pada tingkat regional. Sehari-hari ia selalu tampil ceria dengan kacamata hitam modis yang membuatnya tak terlihat seperti tunanetra. Seperti tunanetra lainnya, Rina tak selalu harus menggunakan tongkatnya ketika berjalan di tempat-tempat yang sudah dikenalnya. Inilah yang tidak banyak diketahui masyarakat luas, bahwa tunanetra memiliki kemampuan orientasi medan yang akurat dan sekali medan itu telah dikuasainya, mereka bisa berjalan tanpa tongkat atau orang yang menuntun.

Sopir taksi yang sangat terkejut tidak mengetahui tunanetra memiliki kemampuan itu

(terutama tunanetra sejak kecil yang semua indera lain selain penglihatan menjadi ekstra tajam) dan tak sedikitpun mengira Rina yang naik taksinya dari pintu hotel tempat Rina bekerja adalah perempuan tunanetra. Inilah kenyataan dan bukti bagaimana persepsi yang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 112 terbentuk dari hegemoni normalitas memarginalkan dan mendiskriminasi para penyandang disabilitas dalam berbagai bentuk dan cara sepanjang hidup mereka.

Betapa tidak adilnya dunia bagi tunanetra ketika mereka selalu mengalami diskriminasi sejak mereka kecil sampai dewasa dan bahkan di saat mereka memiliki prestasi atau karir yang cemerlang. Rina adalah sosok tunanetra yang selain cerdas dan intelektual juga multi talenta. Ia juga seorang penyanyi utama sebuah group band yang khusus beranggotakan penyandang disabilitas.

Dari sisi penyandang disabilitas, diskriminasi karena kecacatan mereka pada umumnya kemudian diterima sebagai keharusan nasib. Eksistensi mereka sebagai manusia marginal, baik itu dilihat dari eksistensi manusia sebagai mahluk budaya, mahluk sosial, mahluk politik, ataupun mahluk ekonomi, menjadi semacam ‗keharusan nasib‘ atau ‗suratan takdir‘. Upaya menggugat nasib tentu saja menjadi suatu bagian pasti dalam sejarah hidup para penyandang disabilitas tergantung pada konteks ke-disabilitas-an masing-masing individu yang mengalaminya.

Rina tidak lagi berada dalam proses menggugat nasibnya, ia bahkan sudah lama berada dalam tahap menertawakan dunia melalui kacamatanya sebagai seorang tunanetra. Ini karena ia sudah menjadi tunanetra sejak kanak-kanak dan dalam keluarganya, ia tidak seorang diri. Adiknya, Jaka, yang tengah menempuh studi S2 di Australia juga seorang tunanetra sejak kecil yang aktif mengkampanyekan aksesibilitas transportasi bagi penyandang disabilitas di Jakarta melalui program yang dinamakan Jakarta Barrier Free

Tourism (JBFT).

Program JBFT adalah sebuah program sederhana yang intinya mencoba menempatkan berbagai penyandang disabilitas dalam berbagai ruang publik, mulai dari taman kota, gedung publik milik pemerintah dan swasta sampai ke transportasi publik. Publik

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 113 space dengan sarana-sarananya itulah yang menjadi sasaran JBFT yang melakukan program mereka dengan pendekatan rekreasional seakan mereka adalah sekelompok disabilitas yang sedang jalan-jalan di hari Minggu.

JBFT tidak sekadar jalan-jalan. Mereka menggugat pemerintah dengan cara kreatif dan mengikuti gaya hidup masyarakat perkotaan yang gemar jalan-jalan pagi sambil berolah raga di hari libur mereka. Namun pada inti dari program JBFT tetap berisi gugatan terkait aksesibilitas publik untuk penyandang disabilitas. Mereka menyadari bahwa nasib penyandang disabilitas bisa jauh lebih baik jika pemerintah memenuhi tanggungjawabnya untuk menyediakan aksesibilitas di ruang publik. Ini adalah sebuah upaya kreatif menggugat nasib.

Gugatan terhadap nasib adalah embrio setiap gerakan (movement), entah itu gerakan politik, sosial, budaya maupun ekonomi. Gerakan perempuan, gerakan petani, gerakan buruh, gerakan mahasiswa dan gerakan kelompok masyarakat apapun, selalu bermula dari sebuah gugatan terhadap ‗nasib‘. Dalam hal gerakan penyandang disabilitas terdapat perbedaan mendasar tentang makna dan pemahaman konsep nasib. Nasib bagi mereka ‗melekat sebagai bagian dari eksistensi‘ sementara nasib bagi kaum petani, buruh atau kaum perempuan adalah ‗sesuatu yang dilekatkan pada diri mereka‘.

Melekat dan dilekatkan memiliki perbedaan substansial yang membuat gerakan disabilitas seperti Seribu untuk Tunanetra, gerakan indipendent living dari BILiC atau gerakan kebudayaan DAC seakan berada di luar arus utama berbagai gerakan perlawanan sosial-politik-ekonomi dan budaya dari berbagai kelompok marginal yang terdiskriminasi dan tertindas. Meskipun memperjuangkan hal yang sama seperti keadilan atau perlawanan terhadap penindasan dan diskriminasi, persepsi terhadap penyandang disabilitas yang terbentuk oleh hegemoni normalitas, membuat gerakan penyandang disabilitas dianggap

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 114 berbeda dan bahkan dianggap bukan sebuah gerakan perjuangan. Hegemoni normalitas lah yang membuat konsep ‗melekat‘ dalam makna dan pengertian ‗nasib‘ para penyandang disabilitas.

‗Melekat‘ secara semiotik adalah ‗inherent dan given‘ sedangkan ‗dilekatkan‘ bermakna ‗artificial‘ dan ‗by design‘. Dalam konteks perjuangan, perbedaan makna ini menjadi signifikan karena sesuatu yang inherent dan given adalah suatu kondisi yang dianggap sebagai tak perlu dan tak bisa dilawan. Sementara ‗dilekatkan‘ adalah kondisi yang melegitimasi posisi sebagai korban pada pihak yang ‗dilekati‘, yaitu korban kekuasaan yang otoriter, tidak adil dan semena-mena. Konsep pemahaman ini juga berdampak pada DPO.

SIGAB sebagai salah satu DPO yang fokus pada berbagai upaya memperjuangkan terwujudnya masyarakat inklusi, merasakan sulitnya membangun kesadaran perjuangan bersama di kalangan DPO, antara lain karena sebagian besar DPO juga masih dalam pengaruh pemahaman konsep ‗melekat dan dilekatkan‘. Hal ini kemudian mengakibatkan pemahaman bahwa nasib yang ‗melekat‘ pada masing-masing disabilitas adalah berbeda- beda dan karenanya satu sama lain kemudian merasa tak saling terkait. Bahwa perjuangan tunanetra tak ada hubungannya dengan perjuangan tunarungu. Bahwa perjuangan tunadaksa tak punya keterkaitan dengan perjuangan tunagrahita.

Gagasan memperjuangkan masyarakat inklusi sudah dimulai antara lain oleh Pertuni

(Persatuan Tunanetra Indonesia), DAC, YMN, SIGAB, BILiC dan sejumlah DPO (Disable

People Organization) di berbagai wilayah di Indonesia. Fokus perjuangan masing-masing lembaga berbeda sesuai karakter dan visi misi lembaga yang bersangkutan. Masyarakat inklusi yang dicita-citakan sebagai kontra hegemoni terhadap hegemoni normalitas adalah sebuah masyarakat yang menerima keberadaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 115 keberagaman seperti halnya bentuk keberagaman warna kulit, gender, ras, agama, suku dan lain sebagainya.

Di bidang pendidikan, gerakan pendidikan inklusi untuk tunanetra antara lain dimotori oleh YMN dan juga Pertuni sejak satu dasawarsa yang lalu. Sedangkan komunitas tunarungu yang bergabung di DAC membuat program yang unik dan sederhana untuk membangun interaksi antara anak tunarungu dan siswa sekolah regular sebagai bagian dari upaya mewujudkan masyarakat inklusi. DAC membuat program bernama DAC Goes to

School. Melalui DAC Goes to School, DAC akan membawa anak-anak tunarungu mengunjungi sekolah-sekolah regular untuk menampilkan pantomim, puisi visual dan sulap.

Setelah tampil akan dilanjutkan sesi diskusi anak-anak tunarungu dan siswa sekolah yang dikunjungi.

Program ini didasari oleh pemikiran untuk berbagi atau sharing sebagai bagian dari proses menuju masyarakat inklusi. Menurut Broto, konsep berbagi antara anak tunarungu dan anak non disabilitas juga akan berdampak positif, yaitu saling menumbuhkan dan memberi motivasi. Bagi siswa sekolah yang dikunjungi, hal mendasar yang bisa diperoleh sekaligus sebagai fondasi untuk membangun masyarakat inklusi adalah mereka bisa mengenal, berinteraksi dan dalam jangka panjang berteman dengan anak-anak tunarungu sebagaimana mereka berteman dengan anak-anak non disabilitas. Ini sekaligus merupakan upaya membangun persepsi yang benar terhadap tunarungu di kalangan generasi muda.

Melalui gagasan sederhana yang mengena dari DAC ini, sosok masyarakat inklusi menjadi lebih jelas dan bukan merupakan suatu konsep yang abstrak dan sulit dibayangkan.

Masyarakat inklusi dalam pikiran saya adalah masyarakat yang memberi ruang gerak pada penyandang disabilitas sebagai bagian dari masyarakat untuk berinteraksi, berkomunikasi dan berkompetisi di setiap bidang kehidupan tanpa hambatan aksesibilitas dan mobilitas. Suatu

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 116 masyarakat yang memberi keluasaan pada semua anggotanya tanpa stigma terhadap kelompok tertentu. Bahwa dalam masyarakat inklusi ini kehidupan tetap berlangsung dalam hegemoni kelompok dominan yang berkuasa, namun hegemoni yang berlangsung adalah sebuah hegemoni yang memberi ruang pada kelompok penyandang disabilitas untuk terus menciptakan kontra hegemoni.

Hal ini sejalan dengan pandangan Laclau – Mouffe yang meletakkan hegemoni sebagai struktur dasar politik yang mutlak karena dalam setiap hubungan politik selalu ada kemungkinan untuk menciptakan hegemoni. Artinya, menurut kedua pemikir ini, hegemoni selalu hadir dalam setiap bentuk relasi sosial yang berdampak pada relasi politik. Hegemoni dalam konteks hubungan antara kekuatan sosial yang partikular (antara lain misalnya kelompok penyandang disabilitas) dalam masyarakat dan kekuatan sosial yang merupakan wujud dari totalitas (totality). Dalam konteks relasi ini, menurut Laclau – Mouffe, kelompok partikular akan memandang kelompok yang mewakili totalitas sebagai kekuatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan lainnya karena itu kekuatan partikular selalu memandang dirinya lebih lemah.

Bagi Laclau – Mouffe, realitas sosial adalah ruang diskursif, tempat dimana terjadi hegemonisasi antar wacana, baik itu hegemoni sebagai penanda ataupun hegemoni sebagai petanda secara total. Dalam hal ini, tendensi pemikiran Laclau – Mouffe adalah mengarah pada terciptanya sebuah hegemoni nilai-nilai demokrasi dalam setiap bentuk kehidupan manusia. Dalam hegemoni nilai-nilai demokrasi inilah, kontra hegemoni dari diskursus disabilitas menjadi sebuah potensi yang mungkin terwujud sehingga cita-cita masyarakat inklusi pun menjadi perjuangan yang nyata dan masuk akal.

Persoalan yang mengganjal dan menjadi hambatan untuk membangun masyarakat inklusi masih tercerai berai baik secara internal gerakan disabilitas maupun dalam hambatan

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 117 dalam struktur masyarakat dengan fondasi budaya normalitas. Persoalan internal dalam wilayah DPO adalah tidak adanya sebuah platform bersama tentang perjuangan mewujudkan cita-cita masyarakat inklusi.

―Sulit sekali mengkondisikan sebuah gerakan bersama ketika masing-masing DPO masih terbelenggu oleh pemahaman yang kemudian memperkuat ego sektoral masing- masing. Padahal seharusnya semua DPO bersatu untuk gerakan mewujudkan masyarakat inklusi bagi semua jenis penyandang disabilitas,‖ tutur Joni Yulianto.62

Masalah ego sektoral ini bertabrakan langsung dengan masalah keterbatasan sumber daya manusia dalam kebanyakan DPO yang berjuang dan memunculkan situasi seperti yang dialami Budi Tongkat dari Diffcom ketika memperjuangkan anggotanya yang tertipu dan tak ada DPO membantu kasusnya. DPO seperti SIGAB atau SAPDA seharusnya bisa dan mau membantu kasus yang terjadi pada anggota Diffcom, namun mereka tak memiliki cukup human resources untuk memonitor adanya kasus itu dan kemudian bergerak membantu.63

Sama halnya dengan Broto Wijoyanto yang cenderung bersikap skeptis melihat perjuangan DPO dalam mengawal lahirnya Perda Disabilitas DIY. Bagi Broto yang penting adalah DAC bisa terus melakukan program-program sekecil apapun di dunia seni untuk penyandang tunarungu. Ia berharap ada orang lain non disabilitas yang terinspirasi dan melakukan sesuatu sesuai minat, potensi dan kemampuan masing-masing ketika mereka mengetahui kiprah dan program DAC.

―Saya tidak pernah berharap banyak pada pemerintah dari dulu sampai saat ini. Ada atau tidak ada Perda Disabilitas, pemerintah ya akan sama saja. Tidak akan berbuat banyak

62Wawancara dengan Joni Yulianto tentang kasus memperjuangkan lahirnya Perda Disabilitas DIY yang kemudian memunculkan wacana pentingnya satu platform perjuangan bersama di antara DPO yang ada di DIY. 63Pada saat wawancara saya dengan Budi Tongkat, Nurul Saadah, Ketua dari organisasi advokasi disabilitas SAPDA juga hadir dan mengatakan bahwa mereka seharusnya tahu kasus anggota Diffcom dan membantunya, namun hal itu tidak terjadi karena tidak ada komunikasi antara diffcom dan SAPDA. Nurul mengakui kesalahan dan kekurangan itu langsung pada Budi Tongkat.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 118 untuk disabilitas. Terus terang, apa yang membuat saya serius mendirikan dan terus memperjuangkan DAC antara lain adalah ketidakpercayaan saya pada pemerintah itu. jadi bagi saya, kawan-kawan DPO yang berjuang untuk melahirkan perda itu harus memikirkan juga antisipasinya,‖ jelas Broto.64

Tentang hubungan DPO dengan pemerintah ini, masalahnya masih menjadi pro dan kontra. Broto dan DAC memilih untuk tidak mau peduli atau tidak mau berurusan sementara sejumlah DPO tetap menganggap harus menjalin hubungan dengan pemerintah sebagai stakeholder utama yang memegang kekuatan hegemonik terbesar. Untuk membangun kontra hegemoni, sejumlah DPO berpendapat harus merangkul pemerintah agar kebijakan mereka memberi ruang bagi diskursus disabilitas.

Tentang hal ini, Barnes dan Colin mengatakan:

In one article we warned that even at the high point of this development the movement

faced a number of dilemmas ‗To get too close to the Government is to risk

incorporation and end up carrying out their proposals rather than ours. To move too

far away is torisk marginalization and eventual demise. To collaborate too eagerly

with the organizations for disabled people risks having our agendas taken over by

them, and having them presented both to us and topoliticians as theirs. To remain

aloof risks appearing unrealistic and/or unreasonable, and denies possibleaccess to

much needed resources‘.65

64Secara lugas Broto menegaskan bahwa ada ratusan Perda tentang bermacam-macam hal yang merupakan hasil perjuangan banyak organisasi atau lembaga apa pun dan akhirnya hanya sekadar menjadi peraturan yang dilupakan begitu saja, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. 65Dikutip dari tulisan Mike Oliver dan Colin Barnes tentang gerakan disabilitas di Inggris sejak era 1990an yang bergerak dalam suatu dinamika dalam hubungannya dengan pemerintah, berjudul: Disabliity Politics and Disability Movement in Britain, 2006.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 119

BILiC dan DAC memiliki persamaan sikap dalam memandang pemerintah, mereka mengambil sikap sebagai oposisi. Dalam metode pelaksanaan program keduanya juga memiliki persamaan, yaitu pendampingan langsung. Dan kedua lembaga ini, meski berbeda program dan karakternya, berhasil terus melakukan program yang mereka buat dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Perbedaan dan persamaan ini sebenarnya bisa saling melengkapi bila ada sebuah platform bersama antara beragam DPO yang selama ini dibentuk atas dasar jenis disabilitas tertentu. DAC jelas berjuang untuk tunarungu dan BILiC berjuang terutama untuk tunadaksa dan CP. Sedangkan Mitra Netra berjuang untuk memajukan pendidikan tunanetra.

Untuk gerakan merebut ruang publik berbasis komunitas seperti DAC, Diffcom atau

BILiC, fokus mereka pada umumnya adalah membangun interaksi langsung dengan masyarakat melalui berbagai program sederhana seperti kursus bahasa isyarat (DAC), pengenalan kehidupan dunia disabilitas pada masyarakat (Diffcom) atau pendampingan peer group seperti yang dilakukan BILiC. Lembaga baru seperti WKCP belum membuat program secara regular karena fokus mereka masih dalam tataran konsolidasi keluarga yang memiliki anggota penyandang CP. WKCP masih merupakan forum untuk saling berbagi, baik berbagi beban maupun informasi antar keluarga CP. Namun ini pun sudah menjadi sebuah langkah awal gerakan merebut ruang publik bagi para penyandang CP di Yogyakarta.

Program berbasis interaksi langsung dianggap efektif untuk tujuan mengubah persepsi terhadap disabilitas. Ini adalah bentuk implementasi dari pendekatan sosial model dalam gerakan disabilitas yang menjadi sebuah pendekatan baru dalam gerakan disabilitas di berbagai negara.

However, during the past 20 years,throughout western-democratic societies, there has

been a shift in government policytowards ensuring that disabled people live in

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 120

community settings,where the package of―care‖ is bespoked to the individual needs.

Within theUK context, this is referred to asthe ―care in the community programme‖,

(Priestley, 1999).66

Care in the community programme yang banyak dilakukan oleh DPO di Inggris seperti dikatakan Raymond Lang, juga dilakukan secara kreatif oleh komunitas dan DPO di

Indonesia, antara lain oleh DAC melalui program DAC goes to School. Apa yang dilakukan komunitas BILiC juga merupakan sebuah program kepedulian komunitas yang bersifat langsung dan interaktif dengan metode pendampingan sebagai upaya mendobrak hambatan dan kendala sosial yang dihadapi disabilitas.

Sebagai implementasi pendekatan model sosial, sebuah program memang harus berlandaskan pada makna dari kata sosial itu sendiri, yaitu hubungan antar anggota suatu masyarakat. Baik sebagai individu maupun sebagai kelompok atau komunitas tertentu seperti halnya komunitas disabilitas.Inilah yang harus menjadi landasan dalam situasi ketika negara tidak memenuhi kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap sekelompok anggota masyarakat yang terus-menerus ditindas dan didiskriminasi seperti yang dialami penyandang disabilitas.

Negara, sampai kini, memang tidak sepenuhnya hadir dalam urusan yang menyangkut pemenuhan hak penyandang disabilitas.

C. Situasi Disabilitas dalam Hegemoni Normalitas

Ketidakmampuan pada satu hal tertentu yang merupakan suatu kondisi umum bagi semua manusia menjadi kondisi yang bermakna aib dan cela ketika ditempelkan pada istilah atau terminologi ‗penyandang cacat‘. Setiap manusia –disabilitas atau non disabilitas—pasti memiliki kondisi ketidakmampuan masing-masing, namun ketika kondisi ini diterapkan pada

66Dikutip dari paper Dr. Raymond Lang, senior research associate dari Universitas East Anglia yang berjudul The Development and Critique of the Social Model of Disability, 2001.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 121 manusia penyandang disabilitas, ketidakmampuan itu lantas bertransformasi menjadi suatu

‗aib‘ sementara pada manusia non disabilitas tidak terjadi transformasi makna itu.

Gerakan disabilitas di Indonesia tentu saja berbeda dengan kondisi di negara lain. Di setiap negara meskipun gerakan disabilitas menghadapi kendala-kendala umum yang universal akibat hegemoni normalitas, namun tetap bersifat spesifik sesuai latar belakang dan keunikan masyarakat negara yang bersangkutan. Di negara-negara maju, seperti Inggris dan

Amerika, maraknya organisasi gerakan disabilitas sudah dimulai sejak pertengahan tahun

1990an.

By the middle of the 1990s, we saw the rise of many organisations controlled and run

by disabled people at local, national and international levels to the point where we

were able to suggest that these organisations constituted the disabled peoples‘

movement with the potential to exert a powerful influence on political and social

change.67

Dalam tiga dekade terakhir, kata telah disabilitas mengalami proses perubahan dan pergeseran makna yang kemudian memberikan dampak signifikan terhadap arah dan agenda gerakan disabilitas baik di tingkat lokal maupun internasional, serta kajian akademis terhadap disabilitas. Paradigma lama yang merupakan pendekatan individual (bersifat negatif: memandang disabilitas sebagai hukuman dari Tuhan) bergeser pada medical model yang melihat disabilitas sebagai problem medis akibat kerusakan/kekurangan, baik fisik maupun mental. Dalam pandangan ini, penyandang disabilitas dianggap sebagai individu yang harus disembuhkan. Pandangan seperti individual model atau medical model ini, melihat disabilitas sebagai problem individu yang memiliki kekurangan atau keterbatasan fisik atau mental

67Apa yang dikatakan Mike Oliver dan Collin Barnes dalam makalah mereka tahun 2006 yang berjudul Disability Politics and Disability Movement in Britain: Where Did All Go Wrong? belum terjadi di Indonesia karena DPO Indonesia masih belum memiliki pengaruh sosial politik yang kuat.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 122 sehingga hanya dokter atau psikolog dan psikiatris yang dianggap sebagai solusinya (Oliver,

1990; Barnes and Mercer 2003).

Protes dan gugatan terhadap model pendekatan individual sampai medis ini dimulai di Inggris oleh sebuah organisasi disabilitas bernama UPIAS (Union of the Physically

Impaired Against Segregation) melalui manifesto mereka pada tahun 1976, The Fundamental

Principle of Disability yang menegaskan bahwa disabilitas adalah problem yang diakibatkan oleh hambatan-hambatan lingkungan dan sosial (social barriers):

Disability is restriction of activity caused by contemporary social organization which

takes no or little account of people who haves physical impairment and this excludes

them from participation in the mainstream of social activities (UPIAS, 1976: 3 – 4).68

Manifesto UPIAS itu kemudian dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan disabilitas

Inggris seperti Finkelstein (1993), Michael Oliver (1990) dan Colin Barnes (2003) menjadi model pendekatan baru yang dikenal luas sebagai social model of disability yang merupakan sebuah dekonstruksi terhadap konstuksi sosial disabilitas yang terjadi di masyarakat. Dalam individual model, disabilitas dilekatkan dengan kekurangan fisik/mental individu sementara dalam social model, disabilitas dipandang sebagai akibat dari hambatan sosial dan relasi kuasa.

Bagi social model, disabilitas bukanlah soal hilangnya penglihatan pada tunanetra, melainkan tidak tersedianya literatur atau informasi dalam format yang bisa diakses (Irwan

Dwi Kustanto dalam gerakan seribu buku mempraktikan social model untuk mendekonstruksi tatanan sosial yang mendiskriminasi tunanetra). Demikian juga halnya bagi seorang tunadaksa yang tak memiliki kaki, disabilitas bukanlah karena kakinya tidak ada tetapi karena

68Manifesto tentang kebebasan mendasar bagi penyandang disabilitas yang tertulis dalam The Fundamental Principle of Disability, yang dideklarasikan UPIAS pada tahun 1976.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 123 tidak tersedia akses di gedung-gedung atau ruang publik yang memungkinkannya bergerak menggunakan kursi roda.

The social model arose in response to the critique of the medicalmodel of disability.

Ithas generated a caucus of academic writing, predominantly written by academics

andactivists who themselves have disabilities and is the total antithesis to the medical

model. It is not intended to provide a comprehensive review of the medical model

within this paper, but to refer to it in relates to the social model.

The primary focus of analysis is the manner in which the social model shifts away

from consideration of the deficits of the functional, physiological and cognitive

abilities of the impaired individual, to the ability of society to systematically oppress

and discriminate against disabled people, and the negative social attitudes

encountered by disabled people throughout their everyday lives.69

Social model ini kemudian berperan besar dalam perkembangan gerakan disabilitas hingga saat ini. Berdasarkan situasi faktual yang terjadi saat ini maka gerakan disabilitas – seperti gerakan sosial dan politik lain—terbelah menjadi dua kubu utama, yaitu kubu reformis dan kubu radikal. Namun dalam konteks Indonesia, seperti apakah sosok kubu reformis dan sosok kubu radikal? Apakah sudah ada gerakan disabilitas radikal di Indonesia?

Dari keempat gerakan yang menjadi objek kajian, BILiC memiliki reputasi sebagai organisasi disabilitas di Bandung yang dianggap radikal karena mereka selain melakukan program utama pendampingan juga kerap melakukan aksi unjuk rasa terhadap berbagai kebijakan yang semakin memperparah diskriminasi terhadap disabilitas.

69Lang, Raymond, The Development and Critique of The Social Model of Disability, University of East Anglia, UK, 2001, page. 3.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 124

BILiC banyak mengkritisi pemerintah dan lembaga lain dengan cara langsung maupun membangun opini tandingan melalui media massa lokal sehingga dianggap berani berhadapan dengan pemerintah. Dalam proses melahirkan Perda Disabilitas, berbagai kritik dan koreksi yang dilakukan BILiC semakin memunculkan stigma bahwa mereka radikal.70

Sementara organisasi disabilitas di DIY seperti SIGAB atau SAPDA, melakukan pendekatan kooperatif dan persuasif dengan birokrasi dan lembaga pemerintah yang berkaitan dengan urusan disabilitas.

Yayasan Mitra Netra juga lebih banyak mencoba mendorong agar pemerintah melakukan kewajibannya terkait pemenuhan hak tunanetra untuk mendapatkan pendidikan.

Namun jika terjadi kasus pelanggaran hak tunanetra dalam mendapatkan pendidikan, Mitra

Netra juga melakukan advokasi langsung baik terhadap lembaga pendidikan yang melakukan pelanggaran hak itu maupun kepada pemerintah sebagai pemangku kewajiban. Sementara untuk program-program yang dilakukan pemerintah seperti program pendidikan luar biasa

(PLB) di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Mitra Netra memberi banyak dukungan untuk keberhasilan program yang dilakukan Dinas PLB.

Strategi perjuangan Mitra Netra tentu tak lepas dari pengalaman dan pemikiran sosok

Bambang Basuki yang memiliki sejarah panjang dalam menggeluti perjuangan tunanetra, baik sebagai pengalaman personal maupun dari pengalaman organisasi yang digelutinya. Ini berbeda dengan SIGAB yang meski jauh lebih muda dibanding Mitra Netra juga memiliki konsep strategi perjuangan yang kuat. Untuk program advokasi misalnya, SIGAB mempunyai konsep scaling up for change yaitu gerakan advokasi dan perluasan kelompok penekan yang progresif. SIGAB membedakan dua level advokasi yang dilakukan. Level pertama adalah advokasi yang bersifat responsif sebagai reaksi atas kasus-kasus ketidakadilan

70Sikap kritis dan vokal yang dilakukan BILiC sampai membuat mereka seperti dianggap musuh oleh dinas pemerintah terkait urusan disabilitas. Strategi BILiC dalam menyuarakan sikap mereka adalah dengan memanfaatkan media massa lokal, baik itu dengan cara menulis, menyebar pers release ataupun jumpa pers.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 125 yang menimpa penyandang disabilitas dan level kedua adalah advokasi yang lebih sistemik yang diharapkan mempunyai dampak yang lebih terstruktur hingga ke level kebijakan.

Gerakan disabilitas di Indonesia, dalam kritieria dan cara yang paling sederhana juga bisa dikatakan memiliki kelompok reformis dan radikal. Reformis adalah yang menganggap peran pemerintah masih bisa diharapkan (YMN, SIGAB) dan yang radikal adalah gerakan komunitas seperti DAC dan BILiC yang cenderung tidak percaya pada pemerintah.

Namun yang lebih substansial sebenarnya bukanlah persoalan macam apakah karakter gerakan disabilitas itu. apa yang lebih substansial adalah bagaimana gerakan yang ada mampu melakukan upaya-upaya dekonstruksi terhadap konstruksi persepsi yang menindas penyandang disabilitas dan kemudian membangun sebuah kontra hegemoni terhadap hegemoni budaya normalitas yang menyingkirkan keberadaan atau eksistensi penyandang disabilitas. Dan semua gerakan yang disebutkan dalam tulisan ini secara signifikan telah melakukan upaya-upaya dekonstruksi sekaligus membangun kontra hegemoni. Bahwa hasil yang dicapai masih belum signifikan juga tidak harus menjadi ukuran keberhasilan gerakan tersebut. Ukurannya adalah proses, yaitu konsistensi gerakan, ketahanan organisasi dan pengelolaan serta perluasan skala gerakan melalui perluasan jaringan kerjasama.

Dalam relasi kekuasan, penyandang disabilitas adalah kelompok yang mengalami diskriminasi dari para pemegang kekuasaan (baik kekuasaan sosial, politik, ekonomi, kultural maupun moral) melalui sebuah hegemoni berbasis konsep dogmatik tentang kesempurnaan manusia. Konsep ini terfokus pada wacana hegemoni normalitas karena implementasi konsep

‗sempurna‘ dalam kehidupan nyata, turunannya adalah konsep ‗normalitas‘. Konsep

‗normalitas‘ merupakan bentuk hegemoni kekuasaan yang paling berhasil mengkonstruksi cara pandang atau persepsi manusia dan menjadi alat kontrol kekuasaan terhadap semua konsep lain yang muncul, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 126

Mike Oliver dalam paper berjudul The Politics of Disablement (Oliver, M. 1990), membahas tentang pendekatan sosial model terhadap disabilitas dan hegemoni kekuasaan dalam kaitannya dengan kapitalisme. Oliver meminjam pemikiran Karl Marx tentang struktur dan suprastruktur untuk menjelaskan bahwa kehidupan penyandang disabilitas adalah akibat dari determinasi struktur dan ideologi masyarakatnya yang mengkonstruksi identitas dan eksistensi mereka. Analisa Oliver adalah tentang struktur sosial penyandang disabilitas yang berangkat dari konsep ‗mode of production‘dan nilai sentral atau ideologi masyarakat. Kedua hal itu menurut Oliver saling berhubungan erat dan kemudian menentukan persepsi masyarakat terhadap penyandang disabilitas.

Menurut Oliver, struktur ekonomi (kapitalis) dan hegemoni idelogi masyarakat Barat modern mempunyai dampak besar atas terjadinya marginalisasi dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Bangkitnya sistem industri pabrik dan upah individual buruh telah mentransformasikan ‗makna produksi‘ yang menghasilkan separasi antara rumah dan tempat kerja. Tuntutan masyarakat kapitalis modern ini jelas tak bisa dipenuhi oleh penyandang disabilitas yang sebelumnya telah termarginalkan dan tak didukung oleh struktur dan ideologi yang memberikan mereka aksesibilitas.

Mengikuti pembagian jenis ideologi yang ‗organik‘ dan yang ‗arbiter‘ seperti dilakukan Gramsci, Oliver juga melakukan hal serupa dengan membedakan ideologi menjadi apa disebutnya sebagai ‗core‘ dan ‗peripheral‘ dengan pengertian yang merujuk pada makna

‗organik‘ dan ‗arbiter‘ dari Gramsci. Organik adalah ideologi hasil dari sebuah kepemimpinan kultural dari kristalisasi pemikiran intelektual organik yang bertugas melakukan kritik atas ‗senso commune‘ atau pandangan hidup yang pasif dan mengubahnya menjadi aktif (‗buan senso‘).

Raymond Lang kemudian mengatakan:

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 127

Oliver continued his analysis by arguing that the economic and social structures of

society, in combination with the dominant ideological hegemony, have resulted in

disabled people being perceived as ―dependent‖. Consequently a great deal of the

social welfare legislation enacted during the post-war period has compounded this

notion. The term ―dependency‖ is used in a two-fold manner. Firstly, welfare states

have categorised entire groups of people, of which disabled people are but one, who

have become dependent upon the state for the provision of education, health care, as

well as financial support. Secondly, in specific relation to disability, attention has

focussed upon the functional limitations of disabled people who are perceived to be

unable to care for themselves.71

Seperti dikatakan Oliver Barnes, pada dasarnya, konstruksi budaya masyarakat sejak masa pra kolonial, kolonial sampai pasca kolonial memang dibangun atas dasar hegemoni normalitas sebagai dasar tatanan, keteraturan, dan norma-norma kehidupan bersama.

Hegemoni normalitas (yang dilegitimasi oleh keberadaan penyandang disabilitas) dari sisi kekuasaan memiliki potensi lebih besar, lebih mengakar dan lebih universal untuk mengontrol dan menguasai dibandingkan rasisme yang hanya didasarkan pada perbedaan warna kulit.

Rasisme merupakan sebuah ilustrasi bagaimana tubuh (dalam hal ini warna kulit) menjadi dasar sekaligus alat untuk melegitimasi sebuah konstruksi persepsi yang sangat tidak adil dan diskriminatif terhadap sekelompok manusia. Praktik rasisme yang antara lain bersumber pada keyakinan (dogmatik) suatu ras bahwa ras mereka adalah ras paling unggul juga merupakan bentuk turunan dari konsep pencitraan manusia sebagai ‗mahkluk paling

71Kajian terhadap paper Oliver Barnes merupakan sebuah upaya Raymond Lang untuk mengkritik berbagai dinamika gerakan disabilitas yang menurutnya masih banyak melakukan kesalahan.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 128 sempurna‘ di atas muka bumi. Hal serupa terjadi dalam sikap dan cara pandang terhadap disabilitas meski tidak dalam praktik langsung sebuah relasi kekuasaan.

Dalam relasi kekuasaan politik, para penyandang disabilitas sepenuhnya terjajah secara sistematik oleh kekuasaan yang tak memberi mereka akses untuk menggunakan hak politik dari segala aspek. Posisi para penyandang disabilitas dalam relasi kekuasaan politik berbeda dengan para budak kulit hitam atau kulit berwarna dalam era kolonialisme. Mereka dipandang sebagai manusia lemah dan tak berdaya yang tak memiliki potensi perlawanan.

Sebagai subaltern, mereka tak bisa menyuarakan aspirasi politik.

Mereka dianggap tak memiliki kapasitas untuk menjadi political being. Karena mereka bukan political being, maka kembali mereka dianggap sebagai sosok yang tidak normal. Sosok yang tidak utuh sebagai manusia. Mereka dikonstruksi oleh kekuasaan politik sebagai mahkluk apolitik. Inilah yang membuat munculnya dua sikap berlawanan dalam gerakan disabilitas secara umum, yaitu yang tidak peduli pada konstelasi kekuasaan dan berbagai kebijakan sebagai implementasinya, misalnya DAC dan Diffcom sementara yang satu justru mencoba mengubah keadaan melalui upaya di jalur kekuasaan seperti SIGAB dan

SAPDA.

Di antara kedua kubu ini tidak ada pemisah yang bersifat fixed karena dalam berbagai kesempatan bisa terjadi peleburan antara keduanya. Contoh, dalam program baru (tahun

2014) yang dirancang oleh SIGAB, ada strategi program berbasis komunitas seperti yang dilakukan oleh DAC atau Diffcom, yaitu strategi mengembangkan prototipe masyarakat inklusi dari desa (begin from village). Berangkat dari pemahaman desa sebagai tatanan pemerintahan di akar rumput yang diyakini dapat menjadi kekuatan sekaligus bukti perubahan yang meyakinkan, SIGAB berencana mengembangkan praktik-praktik terbaik

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 129 untuk bekerja di level desa dalam rangka mendorong terbentuknya desa-desa inklusi yang kemudian diharapkan akan mempengaruhi perubahan di level pemerintah yang lebih tinggi.

Sementara Mitra Netra sudah sejak lama mengembangkan berbagai program berbasis seni dan budaya sebagai bagian dari program utama memperjuangkan pendidikan inklusi bagi tunanetra. Mitra Netra memiliki group band tunanetra yang bernama Saung Netra dan berhasil menjadi gruop band tunanetra yang banyak mendapat pengakuan. Saung Netra adalah wujud strategi Mitra Netra seperti yang dilakukan oleh DAC dengan mengajarkan teater dan tari pada tunarungu. Dan meskipun tidak seintens DAC dalam berteater, Mitra

Netra juga mempunyai sebuah group teater tunanetra yang bernama Meldic. Dalam bentuk- bentuk seperti itulah kelompok DPO yang lebih formal dan bergerak di wilayah advokasi menjadi lebur dengan gerakan berbasis komunitas yang dilakukan oleh DAC atau Diffcom.

Pada kelompok gerakan berbasis komunitas, peleburan ini terjadi hanya pada momen tertentu seperti misalnya perayaan Hari Disabilitas setiap tanggal 3 Desember. Dalam perayaan ini, banyak kegiatan yang akhirnya melibatkan kelompok gerakan berbasis komunitas. Meski bagi mereka peran yang diambil hanya sebagai pengisi acara kesenian dalam perayaan itu, sama halnya dengan mereka tampil di berbagai acara lain, namun tetap saja dalam konteks ini terjadi peleburan antara kelompok gerakan yang bersikap tidak peduli pada kekuasaan dan kebijakan pemerintah dengan kelompok gerakan advokasi melawan kekuasaan yang dikuasi hegemoni normalitas.

Hegemoni normalitas dengan legitimasi eksistensi penyandang disabilitas ini juga diperkuat oleh peran media massa. Media massa di Indonesia sampai dengan dasawarsa pertama tahun 2000an, dalam isu atau tema atau persoalan disabilitas turut berperan

(antagonis terhadap substansi fungsi dan peran media) memperkuat hegemoni normalitas dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Fungsi dan peran media sebagai alat kontrol

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 130 kekuasaan, pembentuk opini publik, aksesibilitas informasi, fungsi edukasi, dan penyedia ruang publik untuk berbagai wacana, kerap tidak dilakukan oleh media dalam isu/persoalan dunia disabilitas. Dalam isu kelompok marginal yang tertindas dan terdiskriminasi lainnya, beberapa media massa Indonesia masih melakukan fungsi dan peran tersebut di atas.

Peran yang dimainkan media massa dalam isu atau persoalan disabilitas juga bersumber dari kerangka pikir (mindset) yang dikuasai oleh hegemoni normalitas. Kerangka pikir yang dipakai oleh media massa umumnya adalah ‗normal‘ dan ‗tidak normal‘.

Disabilitas dipandang media massa sebagai ‗tidak normal‘. Cara pandang media dalam hal ini mewakili cara pandang masyarakat terhadap disabilitas yang terbentuk melalui hegemoni normalitas yang menindas dan mendiskriminasi penyandang disabilitas. Namun pada saat yang sama, berbagai gerakan komunitas disabilitas juga harus mengakui pentingnya peran media untuk menggaungkan berbagai program atau kegiatan yang mereka jalankan.

D. Gerakan Pendidikan dan Akses Informasi

Marginalisasi dan diskriminasi terhadap disabilitas dalam pendidikan adalah fenomena yang tidak dianggap sebagai suatu persoalan oleh banyak pihak dalam masyarakat yang dikuasai hegemoni normalitas. Sementara di dunia internasional sudah banyak kebijakan yang ditetapkan seperti UNCRPD (2007) dan kebijakan internasional education for all serta Salamanca Statement yang melahirkan konsep pendidikan inklusi untuk menjamin semua anak –termasuk disabilitas—mendapatkan haknya atas pendidikan dasar. Hasil dari kebijakan internasional di bidang pendidikan itu sampai kini belum menjangkau tingkat pendidikan tinggi, khususnya di Indonesia dan juga negara lain.

Sampai kini, akses pendidikan tinggi bagi disabilitas di banyak negara masih menjadi problem, terlepas dari tingkat kemajuan yang dicapai negara bersangkutan di bidang lain

(Powel & Hollenweger, 2008). Data yang dirilis the World Declaration of Higher Education

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 131 memperlihatkan bahwa bahkan di negara-negara maju yang memiliki undang-undang anti diskriminasi dan tradisi pendidikan khusus yang kuat, tingkat partisipasi disabilitas pada pendidikan tinggi masih rendah. Karena itu, deklarasi ini menghimbau semua negara untuk menyediakan akses yang sama (equity of access) bagi disabilitas untuk pendidikan tinggi.

Akses pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas adalah sebuah hak yang sangat terkait dengan kemandirian ekonomi dan kemampuan mengakses lapangan kerja. Task force yang dibentuk PBB pada tahun 2000 mendefinisikan pendidikan tinggi sebagai aspek kunci

(key aspect) bagi pembangunan suatu bangsa (Gabel & Danforth, 2008). Dalam konteks inilah pendidikan tinggi bagi disabilitas harus dilihat sebagai proses dimana disabilitas mendapatkan pengetahuan dan skill untuk hidup di masyarakat sebagai individu bertanggungjawab dan mampu menentukan hidupnya secara mandiri.

Tanpa pendidikan tinggi disabilitas akan kehilangan haknya itu. Ini juga berarti hilangnya ruang kehidupan penyandang disabilitas dalam tatanan kehidupan masyarakat secara menyeluruh membuat kita harus mempertanyakan dan menggugat dimana posisi disabilitas sebenarnya. Bila merujuk pada pembagian yang dilakukan Edward W Said, maka harus dipertanyakan posisi disabilitas setidaknya dalam 4 relasi kekuasaan yang berlangsung dalam sebuah masyarakat: kekuasaan politis, kekuasaan intelektual, kekuasaan kultural dan kekuasaan moral. Dalam konteks orientalisme, Said menjelaskan kekuasaan politik sebagai kekuasaan yang membentuk kolonialisme dan imperialisme. Lalu kekuasaan intelektual adalah kekuasaan kolonialisme Barat dalam mendidik Timur sebagai jajahan dalam bidang sains, linguistik dan pengetahuan lain yang diperlukan.

Kekuasaan kultural adalah kanonisasi selera, teks dan nilai-nilai. Ini bisa ditemukan pada fenomena selera bangsa-bangsa bekas koloni seperti India, Mesir, Malaysia, dan negara-

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 132 negara bekas koloni lain. Sedangkan kekuasaan moral adalah kekuasaan yang mengatur apa yang baik dan yang tidak baik. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Timur. 72

Posisi penyandang disabilitas adalah subaltern yang termarjinalkan dan sangat sulit menyuarakan pikiran mereka. Ruang untuk kehidupan mereka ter-alienasi dalam ruang hampa (tunagrahita), ruang sunyi (tunarungu), ruang gelap (tunanetra), ruang sempit

(tunadaksa) dan ruang pengap yang bising (tunawicara). Dalam setiap relasi kekuasaan, ruang-ruang semacam itu selalu ada di pojok-pojok kehidupan yang sulit ditemukan dan dijangkau. Hanya pendidikan yang bisa membebaskan mereka dari penjara akibat ke- disabilitas-an yang menimpa seseorang.

Para tahanan politik, kriminal, koruptor, penjahat kemanusiaan, mantan diktator, seharusnya dibuang dan diasingkan di ruang-ruang seperti itu. Namun yang berada di ruang- ruang itu justru para penyandang disabilitas. Pikiran mereka, perasaan mereka terasing sepenuhnya dalam hiruk-pikuk kehidupan yang tak mereka dengar (tunarungu), tak mereka lihat (tunanetra), tak mereka pahami (tunagrahita), tak mereka bicarakan (tunawicara) dan tak bisa mereka kejar (tunadaksa dan celebral palsy). Sarana aksesibilitas yang tak tersedia dengan baik bagi mereka memperparah kegagalan pemenuhan hak pendidikan yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi oleh negara.

Perlu digarisbawahi bahwa aksesibilitas dan partisipasi penyandang disabilitas pada pendidikan tinggi dipengaruhi oleh antara lain kualitas pendidikan sebelumnya (dasar dan menengah) yang memungkinkan siswa mampu berkompetisi untuk masuk jenjang perguruan tinggi. Lebih penting lagi, kesamaan akses bagi penyandang disabilitas hanya bisa terwujud dengan tersedianya kebijakan, layanan institusi terhadap mahasiswa disabilitas serta modifikasi lingkungan belajar. Contoh sederhana: seorang mahasiswa tunanetra tidak

72Said, Edward W, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Subjek, Pustaka Pelajar.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 133 mungkin bisa mengikuti kuliah bila tidak tersedia buku teks versi Braille atau soft file materi/buku yang digunakan pengajar. Atau: seorang mahasiswa tunarungu tidak mungkin lulus ujian satu mata kuliah bila dosennya saat mengajar terus bergerak atau bicara sambil membelakangi sehingga mahasiswa tunarungu itu tak bisa membaca gerak bibirnya.

Pada prinsipnya, akses disabilitas pada perguruan tinggi memang menuntut adanya perubahan sistem berupa modifikasi berbagai aspek pendidikan seperti kurikulum, proses pembelajaran, evaluasi serta sarana dan prasarana aksesibilitas. Jika di sebuah kampus yang merupakan bangunan tiga lantai dan hanya tersedia anak tangga untuk naik, maka seorang mahasiswa tunadaksa mustahil bisa mengikuti kuliah yang diadakan di lantai tiga kampus itu.

Satu contoh tentang perilaku yang benar adalah cerita dari pengalaman Tolhas Damanik, mahasiswa tunanetra Indonesia yang mendapat beasiswa S2 di Ohio University, Amerika

Serikat untuk belajar tentang konseling.

Tolhas yang sebelumnya bekerja di Yayasan Mitra Netra mendapat beasiswa tersebut melalui proses seleksi umum, yaitu berkompetisi dengan pelamar non disabilitas. Tolhas lolos dan berangkat ke Ohio. Lalu beberapa waktu setelah ia tiba di Ohio sebelum masa perkuliahan dimulai, para dosen mengunjunginya di asrama dan menanyakan:

―Saudara Damanik, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda agar mempermudah proses belajar-mengajar di mata kuliah saya?‖

Sebuah sikap sederhana tapi sangat mendukung keberhasilan Tolhas mengikuti proses belajar di kampus itu. Tolhas yang memang berkecimpung di dunia pendidikan dan memperjuangkan aksesibilitas melalui Mitra Netra, tentu saja sangat tersentuh oleh sikap para

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 134 pengajarnya di Ohio University. Ia lulus dalam waktu dua tahun menyelesaikan S2 nya dengan cum laude.73

Di negara-negara maju, undang-undang anti diskriminasi terhadap disabilitas mengharuskan perguruan tinggi untuk menyediakan layanan bagi mahasiswa penyandang disabilitas agar bisa berpartisipasi penuh dalam aktivitas akademik dan sosialnya. Fenomena ini belum terjadi di Indonesia. Undang-undang Penyandang Cacat no 4 tahun 1997, belum mempunyai dampak dan pengaruh signifikan terhadap penjaminan hak disabilitas menempuh jenjang pendidikan tinggi. Bahkan, masih banyak perguruan tinggi yang justru menutup pintu bagi mahasiswa penyandang disabilitas dengan berbagai alasan yang sebenarnya jelas merupakan sebuah tindakan diskriminatif, misalnya alasan sehat jasmani dan rohani.

Di Indonesia, perguruan tinggi yang memiliki pusat layanan (dan studi) disabilitas, di antaranya yang memelopori adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Yogjakarta. Setelah UIN, perguruan tinggi negeri yang baru mendirikan pusat studi dan layanan adalah Universitas Brawijaya, Malang dan Universitas Indonesia, Jakarta. Lalu juga

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta sudah merintis layanan disabilitas yang lebih terfokus pada tunarungu. Para penyandang disabilitas seperti Irwan Dwi Kustanto, Bambang

Basuki, Yusdiana, Risnawati Utami, Tolhas Damanik, Aria Indrawati, Cucu Saidah atau

Syafrina yang berhasil menembus diskriminasi pendidikan tinggi di Indonesia adalah para pejuang yang tidak menyerah ketika kampus menolak mereka meski sudah lolos ujian seleksi.

Dalam relasi kekuasaan politik, para penyandang disabilitas sepenuhnya terjajah oleh sistem politik yang tak memberi mereka akses untuk menggunakan hak politik dari segala

73Wawancara penulis dengan Tolhas Damanik setelah ia pulang kembali ke Indonesia dan kemudian bekerja sebagai tenaga ahli sekaligus konsultan di lembaga international, antara lain Hellen Keller Indonesia (HKI). Kini ia bekerja sebagai konsultan di International Labour Organization (ILO) untuk urusan tenaga kerja disabilitas.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 135 aspek. Posisi para penyandang disabilitas dalam relasi kekuasaan politik tak ada bedanya dengan para budak dalam era kolonialisme. Sebagai subaltern, mereka tak bisa menyuarakan aspirasi politik apapun karena kendala-kendala komunikasi awal yang dibiarkan tak tertangani. Kekuasaan politik tidak menganggap mereka ada. Kalaupun ada mereka tak dianggap sebagai zoon politicon atau political being. Mereka dianggap tak becus, tak memiliki kapasitas untuk menjadi political being. Posisi mereka adalah pelengkap penderita.

Penyandang disabilitas secara nyata teralienasi sejak ia dilahirkan dalam wujud alienasi fisik yang membuatnya selalu menjadi liyan atau the others dalam proses pembentukan dirinya. Dalam bahasa Lacan: ―Saya tidak bisa bergantung pada pikiran saya untuk menemukan diri saya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa jika ‗saya berpikir maka saya ada‘ atau ‗cogito ergo sum‘ (Rene Descartes, red.).‖ Kritik Lacan atas rasionalisme Descartes menegaskan bahwa kita ada bukan pada saat kita berpikir namun pada saat kita mengaitkan diri dengan id lah kita ada.

The id is the most primitive part of our being. It is the part of ‗our nature [which] is

impersonal, and, so to speak, subject to natural law‘ (Freud, 1984: 362); it ‗is the

dark, inaccessible part of our personality . . . a chaos, a cauldron full of seething

excitations..

. . It is filled with energy reaching it from the instincts, but it has no organization,

produces no collective will, but only a striving to bring about the satisfaction of the

instinctual needs subject to the observance of the pleasure principle‘ (Freud, 1973b:

106).74

74Definisi Id dari Sigmund Freud ini dikutip oleh John Storey dalam bukunya Cultural Theory and Popular Culture, An Introduction, London, Pearson Education (2009), page. 92

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 136

Lacan kemudian meminjam dialektika Hegelian (tesa-antitesa-sintesa) sebagai logika untuk menjelaskan bagaimana terjadinya proses penemuan identitas diri seseorang. Namun dalam kasus penyandang disabilitas, dialektika hanya sampai pada antitesa saja dan tak bisa mencapai sebuah sintesa.75

Proses penemuan identitas disabilitas hanya mencapai ‗antitesa‘ karena persepsi masyarakat terhadap keberadaan mereka sudah terkonstruksi untuk hanya menjadi sebuah antitesa yang tak kan pernah bisa sampai pada sebuah sintesa. Penyandang disabilitas adalah

‗manusia produk gagal‘, itulah konstruksi yang dibentuk oleh hegemoni atas nama

‗normalitas‘. Sebagai ‗produk gagal‘, maka mereka adalah murni sebuah antitesa yang tak bisa berproses dan bertransformasi untuk menjadi sebuah sintesa. Konsep manusia sempurna adalah sebuah sintesa yang melekat pada eksistensi manusia yang kemudian melegimasi kegagalan-kegagalan manusia dalam proses menuju kesempurnaan sejauh tidak ada disabilitas (fisik) pada diri mereka. Artinya, selama manusia itu bukan manusia cacat

(disabilitas) maka ia tetap manusia yang sempurna meski sebenarnya ia tak pernah menjadi

‗sempurna‘.

Untuk memahami psikologi seorang penyandang disabilitas, bisa dengan psikoanalisa

Jaques Lacan.

According to Lacan, we are born into a condition of ‗lack‘, and subsequently spend

the rest of our lives trying to overcome this condition. ‗Lack‘ is experienced in

different ways and as different things, but it is always a non-representable expression

of the fundamental condition of being human. (Storey, 2009: 101)

75Disabilitas adalah sebuah antitesa terhadap konsep manusia sempurna sehingga tidak dimungkinkan terjadi sebuah sintesa: penyandang disabilitas yang sempurna. Posisi ini membuat keadaan penyandang disabilitas selalu tersingkirkan dalam tatanan kehidupan yang berdasarkan hegemoni normalitas.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 137

Setelah penemuan ego pada fase cermin yang membuat subjek ‗teralienasi‘, orang mulai memasuki fase pasca cermin, yaitu fase bahasa. Fase bahasa adalah fase dimana seorang anak mulai belajar dan mengenal aturan-aturan. Pada fase cermin, seorang anak masih merasa menjadi object of desire dari sang ibu maka ketika memasuki fase bahasa dia harus menormalisasi dorongan libidinal yang terjadi selama fase cermin yang disebut sebagai

‗phallus maternal‘. Pada subjek disabilitas, bahkan dalam fase cermin saja, seorang anak belum tentu bisa merasa sebagai object of desire dari sang ibu. Seorang anak tunagrahita atau

CP yang secara fisik jauh dari konsep sempurna atau ‗normal‘ akan membuat ibu yang melahirkannya mengalami dilema dan kesulitan untuk menjadikan sang anak sebagai object of desire.

Persepsi terhadap mereka yang dikonstruksi sebagai ‗produk gagal‘, entah itu akibat dosa leluhur atau perbuatan jahat yang dilakukan orang tua semasa anak dalam kandungan, membuat mereka disembunyikan, disingkirkan atau dipasung dari keluarganya. Seharusnya, di fase cermin seseorang meskipun teralienasi tapi memiliki kepastian hubungan dengan sang ibu. Jika hubungan itu tidak berjalan sebagaimana seharusnya, maka dampak pastinya adalah kegagalan proses penemuan ‗ego‘. Jika ia gagal menemukan ‗ego‘ maka ia dengan sendirinya bisa dianggap ‗tidak memiliki ego‘. Dan inilah yang juga dijadikan sebagai fondasi yang mengkonstruksi persepsi masyarakat terhadap disabilitas.

Selanjutnya, saat mulai mengenal bahasa (fase bahasa), manusia harus menormalisasi dorongan libidinalnya. Di dalam proses ini mulai terjadi perpindahan dari pemuasan kenikmatan dalam hubungan dengan sang ibu (yang juga dipandang sebagai liyan atau others dalam fase cermin) ke pemuasan kenikmatan dalam sebuah hubungan sosial. Kepuasan itu didapat jika si anak mampu memenuhi dan mematuhi aturan-aturan masyarakat.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 138

According to Lacan, ‗The mirror stage is a drama whose internal thrust is

precipitated from insufficiency to anticipation – and which manufactures for the

subject, caught up in the lure of spatial identification, the succession of phantasies

that extends from a fragmented body-image to a form of its totality‘. (Storey, 2009:

102)

Bagi penyandang disabilitas, memasuki hubungan sosial adalah sama dengan memasuki sarang penyamun dimana mereka menjadi mangsa segala macam kekejaman dan kebejatan para penyamun. Mereka tidak hanya termarginalkan dan terdiskriminasi, tapi juga menjadi objek pemuasan sisi-sisi bejat dan gelap dari manusia dan masyarakatnya. Dalam perkembangan pendekatan terhadap disabilitas, yang bisa dianggap sebagai satu perubahan adalah cara pandang yang melihat disabilitas sebagai objek rasa kasihan atau object of charity. Model pendekatan ini menempatkan disabilitas sebagai objek dari kebaikan (sifat- sifat baik) yang dipercaya melekat pada diri manusia sebagaimana kejahatan (sifat-sifat jahat) juga melekat pada sisi lain manusia.

Skema proses penemuan identitas manusia dalam teori psikoanalisa Lacan ini mungkin tidak persis terjadi dalam kehidupan penyandang disabilitas karena persepsi sebagai sosok yang dianggap ‗aib, kutukan, tabu dan dosa‘ leluhur itu. Persepsi ini, di sisi lain merupakan legitimasi belaka dari konsep hegemoni normalitas manusia sebagai mahkluk paling sempurna. Penyandang disabilitas adalah sebuah kenyataan yang mirip apa yang dikatakan pepatah lama sebagai semacam ‗duri dalam daging‘. Ia nyata ada dan tak terlihat karena disembunyikan dalam daging. Ketika masyarakat melihat mereka sebagai object of charity, maka dalam hubungan atau relasi sosial, penyandang disabilitas kembali ditempatkan sebagai kelompok yang tak berdaya, yang berbeda dan secara hakiki sebagai bukan manusia normal.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 139

Setelah fase cermin dan penemuan ego, manusia berkembang berdasarkan dialektika antara bahasa dan dorongan libidinal (manusia menurut Lacan memiliki dua dimensi dalam dirinya; sebagai speaking being dan manusia sebagai libidinal being) dimana di dalam fase bahasa, manusia juga tetap harus mengalami fase alienasi seperti dalam fase cermin.

Alinenasi di dalam fase bahasa disebut sebagai alienasi simbolik, yaitu proses yang terjadi ketika manusia menyadari bahwa ternyata ‗saya‘ hanyalah ‗bahasa yang saya pakai‘.

Ini terjadi karena dalam fase bahasa, liyan (others) menafsirkan kebutuhan kita (need) dan mengajarkan kita meminta kebutuhan yang ditafsirkan oleh liyan itu. Jadi kebutuhan kita sebenarnya adalah kebutuhan liyan. Maka terjadilah kemudian alienasi seperti dalam fase cermin. Proses penemuan ego menurut psikoanalisa Lacan ini bisa kita gunakan untuk membedah identitas penyandang disabilitas dan menjelaskan terjadinya missing ego dalam identitas mereka. Kasus-kasus penolakan terhadap mahasiswa disabilitas yang terjadi di

Indonesia adalah bentuk nyata alienasi itu.76

All our acts of identification are always acts of misidentification; it is never our selves

that we recognize but only ever another potential image of our selves. (Storey, 2009:

102).

Dilihat dari kacamata social model, kasus-kasus penolakan itu disebabkan karena model perguruan tinggi yang ada di Indonesia saat ini masih merupakan sistem yang

‗disabling‘ atau ‗mencacatkan‘: sebuah sistem dan institusi yang disusun sedemikian rupa tanpa mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas, dan karenanya menjadi tidak aksesibel bagi mereka. Sistem ini masih jauh dari konsep pendidikan tinggi yang inklusi.

Seperti apakah realitas yang terjadi pada perguruan tinggi di Indonesia? Menurut data dari

PSLD UIN Sunan Kalijaga, pada tahun 2010, kampus ini memiliki 32 mahasiswa tunanetra

76Storey, ibid, page 103-105.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 140 yang tersebar di 5 fakultas: Syariah (3 mahasiswa), Adab (3 mahasiswa), Dakwah (8 mahasiswa), Tarbiyah (17 mahasiswa) dan Fishum (1 mahasiswa). Jumlah ini jelas sangat kecil dibandingkan dengan jumlah mahasiswa keseluruhan di UIN Kalijaga.

PSLD UIN Kalijaga juga melakukan riset pada tahun 2010 terhadap 75 mahasiswa penyandang disabilitas di Yogyakarta yang hasilnya antara lain:

1. Kesadaran masyarakat kampus terhadap kebutuhan mahasiswa disabilitas masih

sangat rendah. Ini tercermin mulai dari kebijakan-kebijakan kampus yang ada, proses

pembelajaran, layanan di setiap unit kampus maupun interaksi sosial antara

mahasiswa disabilitas dengan pimpinan kampus, dosen, staf dan sesama mahasiswa

(non disabilitas).

2. Dalam proses pembelajaran tidak ada modifikasi berbagai aspek akademis untuk

mendukung proses pembelajaran mahasiswa disabilitas, mulai dari kurikulum, metode

pengajaran, materi kuliah sampai tehnologi pendukung.

3. Tidak ada layanan kampus yang adaptif di hampir semua unit layanan kampus seperti

perpustakaan, laboratorium, bagian akademik, kemahasiswaan sampai program KKN

atau PKL.

4. Tidak ada modifikasi fisik bangunan kampus yang membuat kampus menjadi tempat

yang tidak aman dan tidak nyaman bagi mahasiswa disabilitas.77

Solusi yang harus dilakukan adalah mengubah perguruan tinggi menjadi sebuah sistem/lingkungan yang mampu meniadakan hambatan-hambatan fisik dan sosial bagi disabilitas. Sebuah sistem yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu penyandang disabilitas.

77Hasil riset ini dimuat dalam buku saku Inklusi Pada Perguruan Tinggi: Best Practicies Pembelajaran dan Pelayanan Adaptif Bagi Mahasiswa Disabel Netra, yang disusun oleh para pengurus PSLD UIN Sunan Kalijaga (Ro’fah, Andayani dan Muhrisun Afandi.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 141

E. Gerakan Advokasi Disabilitas dan Hegemoni Normalitas

Masyarakat adalah praktik wacana, demikian ditegaskan Laclau dan Mouffe, yang merupakan hasil artikulasi dalam satu totalitas terstruktur. Persis kondisi seperti itulah yang dialami penyandang disabilitas dalam masyarakat. Aspek artikulasi dari konsep linguistik

Ferdinand de Saussure yang dipinjam Laclau-Mouffe dipakai untuk meneliti pembentukan masyarakat, bukan struktur sosial atau realitas objektif suatu kelompok masyarakat. 78

Dalam Hegemony and Socialist Strategy, Laclau-Mouffe mempertanyakan posisi isu- isu partikular seperti isu homoseksual, hak minoritas, lingkungan, kemiskinan dan isu-isu marginal lain di tengah mainstream demokrasi liberal. Meski tidak menyebut isu hak penyandang disabilitas, namun bisa dipastikan isu ini termasuk dalam apa yang disebut isu partikular oleh Laclau-Mouffe. Sebagai pemikir diskursus, Laclau-Mouffe bersikap skeptis terhadap demokrasi liberal sebagai narasi besar (grand narrative) yang dianggapnya naif

78Hargens, Boni, Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam Perspektif Postmarxis – Postmodern Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, jakarta, Parrhesia (2006), hal. 27.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 142 karena pretensi universalitas yang menjelma menjadi hegemoni dan pada gilirannya menutup ruang bagi artikulasi nilai-nilai lain.

St. Sunardi, dalam Logika Demokrasi Plural Radikal yang dimuat di jurnal Retorik edisi Desember 2012 menjelaskan tentang artikulasi sebagai berikut:

―Praktik artikulasi menurut Saussure tidak lain adalah praktik menghadirkan

tanda-tanda serta mempersatukannya ke dalam sebuah struktur. Begitu masuk ke

dalam sebuah struktur, identitas setiap tanda itu berubah sesuai hubungannya

dengan tanda-tanda lainnya. Keseluruhan peristiwa proses artikulasi itu disebut

wacana. Laclau-Mouffe memberi nama ‗momen‘ untuk tanda-tanda yang masuk

dalam praktik artikulasi dan ‗unsur‘ untuk tanda-tanda yang belum diartikulasikan

namun ada.

Berbeda dengan Saussure, Laclau-Mouffe berpandangan bahwa fiksasi makna itu

senantiasa belum selesai, gagal untuk mencapai fiksasi sempuran dan total. Pada titik

inilah gagasan Laclau-Mouffe lebih dekat dengan gagasan para poststrukturalis dan

meninggalkan strukturalis. Pandangan ini dipakai sebagai dasar bagi diktum bahwa

masyarakat selalu belum selesai.‖ (p. 6-7)

Jadi, masyarakat jika dilihat dari logika artikulasi, terdiri dari identitas-identitas yang tak pernah selesai diartikulasikan dan senantiasa meninggalkan residu-residu. Masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak hanya meliputi apa yang bisa diwacanakan melainkan juga apa yang tidak terwacanakan. Identitas sosial lalu disebut terbuka karena tak pernah bisa menuntaskan praktik artikulatoris. Penyandang disabilitas adalah bagian dari praktik artikulatoris yang tidak terwacanakan atau diwacanakan dalam suatu hegemoni yang terstruktur di wilayah bawah sadar manusia sebagai akar yang menjangkar. Merekalah residu- residu yang tertinggal di setiap jejak peradaban manusia. Gerakan disabilitas atau disability

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 143 rights movement di Indonesia adalah sebuah contoh bagaimana gerakan itu selalu hanya menjadi sebuah ‗unsur‘ yang tak pernah diartikulasikan.

Universalisasi mengakibatkan demokrasi liberal gagal memahami realitas sosial politik yang plural dalam masyarakat kontemporer. Dalam konteks ini, Laclau-Mouffe melihat adanya paradoks demokrasi liberal: di satu sisi memperjuangkan persamaan dan keadilan di sisi lain mengeksklusi nilai-nilai plural dalam artikulasi politik. Dari paradoks ini,

Laclau-Mouffe menempatkan konsep hubungan antagonisme sebagai faktor penting dalam gagasan tentang hegemoni, yaitu hegemoni sebagai proses pembentukan identitas kelompok.

Menurut mereka, hubungan antagonistik selalu terjadi dalam suatu hegemoni yang sudah mencapai totalitas sekalipun karena relasi dalam suatu hegemoni memang secara inheren meliputi adanya hubungan antagonistik. Posisi disabilitas yang dipandang sebagai sesuatu yang negatif dalam sistem dan hubungan-hubungan sosial adalah karena dalam proses pembentukan identitas kelompok, penyandang disabilitas tidak dilihat sebagai anggota masyarakat yang sama dan karenanya diperlakukan bukan sebagai anggota masyarakat atau tidak sepenuhnya anggota.

Untuk mendapatkan sebuah identitas dan pengakuan, penyandang disabilitas harus memperjuangkan wacana tandingan yang pada dasarnya harus merupakan sebuah dekonstruksi terhadap konstruksi sosial dari budaya normalitas yang membelenggu mereka.

Jalan untuk membangun wacana tandingan tetap harus melalui gerakan politik dan gerakan kultural seperti yang dilakukan YMN, DAC dan BILiC.Gerakan politik bisa dengan memasuki jalur kekuasaan seperti pernah dilakukan seorang tunanetra bernama Saharuddin

Daming yang berhasil menjadi komisioner Komnas HAM selama satu periode.

Namun keberhasilan ini terlalu singkat karena ia tidak terpilih lagi ketika kembali mengajukan diri untuk periode berikutnya. Selain Saharuddin Daming masih sangat sedikit

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 144 penyandang disabilitas yang berhasil merebut tempat di jalur kekuasaan, baik itu di kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Hal ini karena dibutuhkan ‗modal besar‘ yang tidak dimiliki oleh kebanyakan penyandang disabilitas untuk memasuki jalur kekuasaan, baik itu modal ekonomi, modal sosial maupun modal politik seperti yang terjadi dalam pemilihan legislatif maupun eksekutif.

Dengan merebut tempat di jalur kekuasaan, penyandang disabilitas akan memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk membangun wacana tandingan. Sayangnya, selain persoalan ‗modal besar‘, hal ini juga masih menghadapi kendala besar dan mendasar dengan adanya peraturan perundangan yang mengharuskan syarat sehat jasmani dan rohani bagi setiap calon pejabat pemerintah daerah sampai pusat. Sosok disabilitas yang berhasil menjadi pejabat pemerintah seperti Saharuddin Daming dan Presiden Abdurrahman Wahid masih merupakan sebuah kekecualian. Perdebatan tentang persyaratan sehat jasmani dan rohani masih terus berlangsung di banyak departemen pemerintah. Apakah pengertian sehat jasmani rohani tidak bisa diterapkan pada penyandang disabilitas? Bukankah di luar kondisi disabilitas atau impairment, mereka sehat jasmani dan rohani dalam arti tidak mengidap suatu penyakit?

Persyaratan sehat jasmani rohani bagi para penyandang disabilitas adalah sebuah bentuk diskriminasi langsung yang tidak adil dan kejam. Upaya menolak persyaratan ini terus diperjuangkan para aktivis gerakan disabilitas karena ini adalah pintu masuk pertama untuk mendapat tempat di wilayah para pemegang kekuasaan.

Dalam konteks ini, seperti yang dikatakan Gramsci, hegemoni melibatkan adanya konsensus khusus karena bertolak dari kepentingan suatu kelompok sosial yang ingin menjadikan kepentingan kelompok mereka sebagai kepentingan seluruh masyarakat. Gerakan advokasi penyandang disabilitas adalah upaya memperjuangkan kepentingan kelompok tanpa

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 145 suatu konsensus khusus karena adanya perbedaan identitas eksistensial dalam posisi mereka sebagai anggota masyarakat. Dalam hal ini, konsep (kepentingan mereka) tidak bisa digunakan untuk memaksa dan mengeksploitasi masyarakat melalui sebuah konsensus tingkat tinggi yang tidak mereka miliki.

Apa yang dikatakan Gramsci sangat mengena dengan kondisi nyata yang terjadi dan dialami para penyandang disabilitas.

Hegemony is for Gramsci a political concept developed to explain (given the

exploitative and oppressive nature of capitalism) the absence of socialist revolutions

in the Western capitalist democracies. The concept of hegemony is used by Gramsci

(2009) to refer to a condition in process in which a dominant class (in alliance with

other classes or class fractions) does not merely rule a society but leads it through the

exercise of intelectual and moral leadership. (Storey, 2009: 79)

Fungsi dan peran aktivis disabilitas yang memasuki gerakan politik, menurut teori hegemoni Gramsci kurang lebih menyerupai fungsi intelektual organik. Seperti kita ketahui, kaum intelektual dibedakan Gramsci berdasarkan fungsi sosial mereka. Meski banyak orang memiliki kapasitas intelektual yang memadai, namun hanya beberapa saja yang bisa memiliki fungsi sosial sebagai intelektual.

Setiap kelas menciptakan organik intelektualnya masing-masing: suatu tingkatan intelektual yang mampu menjalankan fungsinya tak hanya dalam ranah ekonomi tapi juga dalam ranah sosial-politik. Enterprener kapitalis misalnya menciptakan tehnisi industrial, spesialis dalam bidang politik-ekonomi, pengelola budaya baru, dan juga pembuat sistem hukum baru. Dalam hal ini, fungsi intelektual organik adalah sebagai pengorganisir kelas dalam pengertian paling luas. Di luar jalur gerakan politik, orang-orang seperti Joni Yulianto

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 146 yang memimpin SIGAB juga termasuk dalam kategori intelektual organik disabilitas.

Kemampuannya menggerakkan advokasi melalui berbagai strategi perjuangan yang berhasil mempengaruhi arah kebijakan pemerintah adalah bukti nyata sosok Joni sebagai intelektual organik.

Sosok lain seperti Bambang Basuki, Irwan Dwikustanto, Aria Indrawati, Cucu Saidah,

Risnawati Utami, Nurul dan Yusdiana serta sejumlah sosok aktivis disabilitas lain yang sudah terbukti mampu menciptakan sebuah kontra hegemoni dan menggerakan perubahan dalam skala kecil sekalipun, juga termasuk sebagai intelektual organik. Sedangkan sosok non disabilitas yang mendedikasikan diri dalam sebuah gerakan disabilitas seperti Broto

Wijoyanto (DAC) juga termasuk dalam kategori intelektual organik bagi komunitas disabilitas tertentu.

Adalah tugas intelektual organik untuk membentuk dan mengorganisir reformasi kehidupan moral dan intelektual masyarakatnya. John Storey mengatakan: ―I have argued elsewhere that Matthew Arnold is best understood as an organic intelectual, what Gramsci identifies as one of ‗an elite of men of culture, who have the function of providing leadership of a cultural and general ideological nature‘‖ (Storey, 2009: 81). Gramsci memang lebih cenderung berbicara tentang organik intelektual sebagai individu, namun konsep ini telah dimobilisasi dalam kajian budaya, antara lain dilakukan oleh Louis Althusser yang mengadopsi langsung konsep organik intelektual Gramsci menjadi ‗collective organic intelectual‘ dan juga konsep ‗ideological state aparatus‘ yang diperluas Althusser menjadi: keluarga, televisi, press, pendidikan, lembaga agama (organized religion), dan industri budaya.

Di dunia disabilitas, gerakan advokasi terhadap semua kebijakan diskriminatif mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri sampai peraturan daerah yang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 147 tak memberi ruang gerak bagi pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, kebanyakan hanya bisa dilakukan bila ada dukungan dari lembaga-lembaga dunia. Ini karena gerakan advokasi memang berada di wilayah elit kekuasaan sehingga memerlukan penetrasi khusus yang dimiliki oleh badan atau lembaga-lembaga dunia. Satu contoh aktual adalah gerakan advokasi memperjuangkan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang baru bisa berjalan secara intens ketika didukung oleh ILO (International Labor Organization).

Ini memperihatinkan karena sebenarnya pemerintah sudah lama memiliki undang-undang yang mengatur hak bekerja disabilitas itu.

―Undang-undang yang mengharuskan kuota 1% tenaga kerja disabilitas itu kini sudah berumur lebih dari 20 tahun tapi masih sangat sedikit perusahaan yang mau mematuhinya.

Dalam perundang-undangan itu juga disebutkan denda sebesar 20.000 USD jika perusahaan tidak mematuhinya. Tapi apakah kita pernah mendengar ada perusahaan yang mendapat denda itu?‖ ujar Yohanis Pakering, Program Manager ILO untuk program itu.79

Dengan dukungan ILO, barulah kampanye dan advokasi para perusahaan-perusahaan di beberapa daerah Indonesia bisa dijalankan secara lebih sistematis dan intens. ILO merancang program dengan menggandeng media untuk menginformasikan dan mengkampanyekan hak bekerja penyandang disabilitas.

Gerakan advokasi disabilitas berbasis komunitas masih menghadapi kendala besar dari berbagai aspek seperti yang telah dirumuskan di bab terdahulu, yaitu aksesibilitas ruang publik, aksesibilitas pendidikan dan informasi, serta sarana prasarana pendukung mobilitas bagi penyandang disabilitas termasuk untuk berbagai ruang budaya, ruang rekreatif dan tak kalah penting adalah ruang untuk kesehatan dan berolah raga. Gerakan advokasi berbasis komunitas juga tetap membutuhkan dukungan dari lembaga internasional seperti halnya ILO

79Wawancara saya dengan Yohanis Pakering dalam acara workshop guidelines media to cover disability issues.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 148 mendukung advokasi hak bekerja. Namun tidak semua komunitas berpikir seperti ini, ada bahkan tegas-tegas menolak untuk mencari bantuan dari pihak ‗asing‘ atau lembaga internasional.

Sebuah komunitas disabilitas di Semarang bernama School of Life adalah contoh sikap gerakan komunitas yang percaya bahwa mereka bisa berjalan tanpa sikap meminta- minta bantuan lembaga donor. Prisilla, tunanetra perempuan yang mendirikan dan memimpin

School of Life, mengatakan:

―Saya tidak mau meminta-minta bantuan pada siapapun, tapi jika ada orang yang mau membantu dengan kemauan sendiri tanpa saya memintanya, saya juga tidak akan menolaknya. Saya hanya tidak mau orang menganggap saya memanfaatkan disabilitas untuk mencari uang. Lebih baik saya kerja mengiris bawang di restoran dan menyanyi di acara- acara pernikahan dan menjalankan komunitas ini dengan uang hasil jerih payah saya sendiri,‖ tutur Prisilla.80

Dan itulah memang yang dilakukan Prisilla secara konsisten. Ia hanya mau menerima bantuan jika ia tak harus memintanya.

80Wawancara dengan Prisilla, pendiri School of Life, sebuah lembaga yang menampung bermacam penyandang disabilitas yang terlantar dan diurus oleh sesama disabilitas.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 149

Foto tunadaksa bermain tennis menggunakan kursi rodanya ini diambil dalam acara

persiapan atlit disabilitas mengikuti Special Olympic.

Dalam kasus Prisilla, sebuah peristiwa menarik terkait peran media massa terjadi dan membuktikan pentingnya peran dan kekuatan media massa meski media massa juga berada dalam cengkraman hegemoni normalitas yang menguasai disabilitas. Peristiwa menarik itu terjadi ketika School of Life muncul sebagai liputan utama majalah Diffa dan kemudian dibaca oleh sebuah perusahaan jamu di Semarang yang langsung tergerak mendatangi dan memberi bantuan 100 juta rupiah pada Prisilla. Bantuan itu diterima Prisilla karena ia tak pernah datang meminta pada perusahaan jamu itu.

―Itu adalah rejeki dari Tuhan, dan saya tentu tidak akan menolak apa yang Tuhan berikan,‖ katanya.

Sikap media massa terhadap penyandang disabilitas memang masih beragam. Masih banyak yang negatif, yaitu memposisikan disabilitas sebagai satu objek hiburan seperti yang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 150 terjadi dalam sebuah sirkus dimana ‗manusia aneh‘ (cebol, berbulu lebat, berkaki pengkor, dan lain-lain) disatukan dengan binatang seolah mereka bukan bagian dari species manusia.

Pernah dalam sebuah acara televisi berjudul ‗Unik‘ seorang tunanetra berprestasi yang berhasil memperoleh beasiswa untuk studi ke Amerika, dijadikan satu dengan keunikan seekor sapi berkaki tiga.

Sikap ini bisa dijelaskan melalui konsep moralitas yang meski relatif tapi memiliki nilai-nilai objektif. Dalam hal melihat penyandang disabilitas, sikap yang terjadi justru kerap melewati batas dari objektivitas nilai-nilai moral tersebut. Contoh sederhana: orang (non disabilitas) dinilai tidak bermoral karena perbuatan jahat seperti memperkosa, menganiaya, menipu atau membunuh tapi hal ini tidak terjadi dalam kehidupan para penyandang disabilitas. Mereka sudah divonis oleh anggapan bahwa mereka lahir atau ada sebagai akibat perbuatan-perbuatan tidak bermoral yang dilakukan oleh orang tua atau leluhur mereka. Jadi meskipun seorang penyandang disabilitas tak pernah melakukan perbuatan tak bermoral mereka tetap menjadi sosok antagonis secara moral.

Cacat berarti aib. Cacat lekat dengan konotasi dosa. Inilah salah satu konstruksi yang mengakar dalam struktur masyarakat. Struktur ‗hegemoni tubuh sempurna‘ dalam tatanan kehidupan masyarakat mengakar dalam di alam bawah sadar manusia sebagai landasan dari tata nilai kehidupan yang kemudian disepakati bersama. Kondisi ini membuat disabilitas berada pada situasi dan kondisi yang totally out of the system atau totally marginalized.

Pada jenis disabilitas tertentu seperti tunagrahita atau down syndrome dan celebral palsy, keganjilan atau abnormalitas fisik itu bahkan dijadikan stigma ‗dosa‘ dan ‗kutukan‘.

Persepsi yang mengkonstruksi stereotipe disabilitas juga memproduksi mitos-mitos tentang disabilitas di setiap kebudayaan.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 151

Sosok seperti Prisilla juga berhasil menciptakan kontra hegemoni terhadap hegemoni normalitas melalui sikap dan tindakan yang sederhana saja. Persepsi bahwa disabilitas itu tak berdaya dan harus dikasihani, didekonstruksi oleh tindakan sederhana Prisilla menolak untuk minta bantuan dari pihak manapun. Dekonstruksi ini tidak berhenti sampai disini, Prisilla melanjutkan tindakannya membongkar mitos ketakberdayaan disabilitas itu dengan bukti ia mampu menghidupi lembaga School of Life yang didirikannya hanya dengan uang hasil jerih payah sendiri.

Ini adalah sebuah tindakan membangun wacana tandingan terhadap hegemoni normalitas yang begitu sederhana tapi sekaligus sangat kuat. Tindakan ini sekaligus berhasil membongkar sejumlah mitos yang melekat pada sosok disabilitas.

Foto di atas adalah sebuah tindakan sederhana untuk membongkar mitos-mitos penyandang

disabilitas yang dilakukan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 152

Mitos, yang menurut Mouffe dalam Deconstruction and Pragmatism, bersifat hegemonik berhasil dihancurkan oleh Prisilla. Ini karena mitos, seperti dikatakan Laclau –

Mouffe, hanyalah semacam wujud dari elemen-elemen yang tidak ada dalam realitas. Mitos adalah metafor untuk menggambarkan keutuhan (fullness) dari masyarakat yang ‗apa adanya‘

(an achieves community) yang sesungguhnya sulit direalisasikan. Menurut Mouffe, realitas kongkrit dari mitos bersifat utopis sehingga mitos seringkali ditransformasi dalam bentuk

‗imajinasi sosial‘ (social imaginary).

F. Menuju Kesetaraan Disabilitas dalam Masyarakat Plural

Realitas yang dialami penyandang disabilitas dalam kehidupan masyarakat adalah menjadi kelompok marginal yang tidak dihargai eksistensinya sebagai bagian masyarakat.

Namun saat ini, pergeseran makna disabilitas sebagaimana telah dipaparkan di bagian terdahulu, mempunyai dampak besar di wilayah kebijakan pemerintah (khususnya di negara- negara maju), wacana akademik dan juga gerakan disabilitas. Pada wilayah kebijakan, definisi disabilitas yang digaungkan social model telah mendorong WHO mengubah definisi formal disabilitas melalui konsep baru yang dinamakan ICF (International Classification of

Functioning), yang mengatakan bahwa disabilitas bukan karakteristik yang inheren bagi individual, melainkan hasil sebuah proses interaksi antara karakteristik individu dengan batasan-batasan atau hambatan-hambatan yang dibangun lingkungannya.

Paradigma baru disabilitas telah mendorong sejumlah negara untuk menetapkan undang-undang anti diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang kemudian memunculkan sejumlah konsekuensi. Salah satu konsekuensinya adalah keharusan bagi perguruan tinggi untuk menyediakan akses dan akomodasi bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Itu untuk bidang pendidikan. Untuk ruang publik, maka undang-undang anti

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 153 diskriminasi itu mengharuskan pemerintah untuk menyediakan aksesibilitas publik berupa guiding block, ram atau toilet aksesibel di setiap ruang publik.

Masyarakat yang inklusif adalah masyarakat yang memiliki aksesibilitas bagi penyandang disabilitas untuk membentuk kehidupan bersama dalam suatu tatanan yang menjamin kesetaraan. Ini semua harus dimulai dengan sistem pendidikan inklusi mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Namun hal ini hanya mungkin jika persepsi terhadap disabilitas dari semua stake holder pendidikan, sudah proporsional dan benar dalam konteks pendekatan sosial model.

Di Swedia, setiap perguruan tinggi diwajibkan untuk mengalokasikan 0,15% dana tahunan yang diterima dari pemerintah untuk memberikan dan meningkatkan aksesibilitas kampus bagi penyandang disabilitas. Di Amerika, melalui American Disability Act (ADA), universitas diwajibkan untuk memberikan akomodasi yang memadai (reasonable accommodation), memastikan aksesibilitas kampus untuk mahasiswa disabilitas tanpa adanya pungutan biaya apapun. Di Ontario, Kanada, setiap kampus setempat diharuskan membuat rencana tahunan tentang aksesibilitas bagi mahasiswa penyandang disabilitas dan bagaimana pelaksanaannya (Powel, 2004).

Di dunia industri dan ketenagakerjaan, sebenarnya juga sudah ada undang-undang yang mewajibkan setiap perusahaan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dengan kuota sebesar 1% dari total jumlah tenaga kerja yang ada di satu perusahaan. Namun dalam pelaksanaannya di Indonesia, masih jauh panggang dari api. Segelintir perusahaan yang memiliki persepsi yang benar terhadap disabilitas umumnya adalah perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia sedangkan perusahaan nasional jauh lebih sedikit lagi. Sebut saja

Standart Chartered Bank atau Hotel Shangrila, itulah dua perusahaan asing yang sudah mempekerjakan disabilitas. Lalu ketika Standart Chartered Bank membeli saham Bank

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 154

Permata, sebuah perusahaan nasional, barulah Bank Permata mulai mempekerjakan disabilitas.

Perusahaan nasional yang sudah memiliki kesadaran mempekerjakan disabilitas antara lain adalah PT. Omega Plastic di Sidoarjo dan PT. Maspion di Surabaya yang selama ini sudah mempekerjakan puluhan tunarungu di pabrik plastik mereka. Namun langkah ini tidak diikuti oleh perusahaan lain. Selain itu, Maspion juga hanya mau mempekerjakan tunarungu karena tunarungu termasuk dalam kategori hidden disability atau disabilitas yang tak kelihatan. Artinya, secara tersirat, kebijakan PT. Maspion masih berada dalam konstruksi hegemoni normalitas juga.

Sementara apa yang terus dilakukan Mitra Netra untuk mencerdaskan tunanetra melalui gerakan seribu buku juga merupakan langkah penting menuju kesetaraan dalam masyarakat plural yang inklusif. Demikian juga sama pentingnya semua program atau kegiatan yang dilakukan DAC, BILiC, WKCP, SIGAB, Diffcom atau SAPDA, dalam melangkah menuju kesetaraan bagi penyandang disabilitas di setiap ruang kehidupan masyarakat. Namun semua itu masih merupakan langkah awal jika dibandingkan dengan kondisi kesetaraan di negara-negara maju seperti dicontohkan di atas.Dalam tatanan masyarakat modern yang demokratis seperti negara-negara yang disebut di atas, prinsip menjunjung tinggi kesetaraan kehidupan adalah salah satu nilai utama.

Indonesia, dalam hal ini adalah bagian dari masyarakat modern yang juga menganut prinsip demokrasi. Batasan yang saya rujuk tentang konsep masyarakat di sini adalah seperti yang dikatakan Laclau dalam tulisan, Politics and The Limits of Modernity, bahwa modernitas (masyarakat modern) adalah diskursus yang berpretensi menguasai fondasi sosial, ingin memberikan konteks rasional terhadap konsep totalitas sejarah dan ingin menjadi dasar dari projek kemanusiaan global. Sedangkan postmodernitas menurut Laclau bukanlah untuk

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 155 menegasi modernitas melainkan ingin membenahi logika modernitas yang telah mengabaikan realitas pluralisme dalam masyarakat kontemporer. Jadi, masyarakat Indonesia adalah bagian dari apa yang disebut sebagai masyarakat kontemporer oleh Laclau.

Definisi Laclau dipengaruhi oleh konsep Jean Francies Lyotard tentang modernisme dan posmodernisme. Menurut Lyotard, masyarakat modern adalah masyarakat yang individualistik dan terfragmentasi dalam berbagai aspek, termasuk di dalam fragmentasi ini adalah kecenderungan untuk tetap menjaga dan menghidupkan kembali tradisi atau kondisi pra modern dimana narasi, mitos dan legenda mendapat peran penting dalam menjaga keutuhan masyarakat.

Apa yang dikatakan Lyotard sangat mengena dengan kondisi masyarakat Indonesia yang selalu berusaha menjaga dan melindungi nilai-nilai kearifan lokal atau tradisi masa lalu di tengah gelombang modernisasi yang dihembuskan arus globalisasi dunia modern. Dalam relasinya dengan dunia dan persoalan penyandang disabilitas, sikap masyarakat modern

(kontemporer) ini memunculkan dilema antara konstruksi persepsi lama tentang disabilitas dan semangat untuk mendekonstruksi persepsi lama tersebut. Dilema semacam ini perlu disikapi dengan apa yang dilakukan Lyotard, yaitu membedakan antara pengetahuan narasi dan pengetahuan ilmiah.

Menurut Lyotard, pengetahuan ilmiah mendasarkan kebenarannya pada sekumpulan bukti melalui proses yang disebut verifikasi (abad 19) dan kemudian falsifikasi (abad 20).

Sebaliknya, narasi tidak berkaitan dengan bukti empiris dan kaidah rasional tertentu namun meski demikian pengetahuan ilmiah tidak mungkin bisa membuktikan dirinya benar dan valid jika tidak mengacu pada pengetahuan narasi. Bertolak dari hal ini, Lyotard menolak

Marxisme dengan segala perjuangan kemanusiaan universalnya. Tidak ada yang universal.

Metanarasi telah mati. Jika kita masuk ke dalam dunia gerakan disabilitas, maka apa yang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 156 dikatakan Lyotard akan tergambar jelas bahwa gerakan disabilitas sangat spesifik dan terfragmentasi seperti telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu.

Lyotard mengatakan, ‗masyarakat konsensus‘ yang diperjuangkan Jurgen Habermas hanyalah mimpi lama yang terbukti sudah tidak laku dan ketinggalan zaman. Habermas sendiri menganggap sejarah modernitas belum selesai dan karenanya harus diselesaikan dengan membentuk apa yang disebutnya sebagai ‗masyarakat konsensus‘ sebagai upaya menyatukan keterpecahan berbagai aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat modern.

Haberman menginginkan masyarakat yang bersatu dalam satu tatanan dunia yang harmonis, konsensual dan dibangun atas dasar nilai universal yang berlaku umum.

Sedangkan bagi Lyotard, modernitas sudah digusur dari sejarah ketika kamp konsentrasi Nazi menghancurkan seluruh mimpi dan cita-cita luhur modernisme tentang humanisme yang universal. Sejarah telah menguburkan modernitas dengan segala metanarasi-nya yang membelenggu kebebasan dalam satu permainan bahasa yang tunggal atau ‗hegemonik‘ menurut Laclau dan Mouffe. Masyarakat modern adalah masyarakat yang terfragmentasi dalam situasi sosial yang dipenuhi berbagai permainan bahasa dan narasi- narasi kecil yang tidak saling meniadakan tetapi justru saling menjaga dan menghargai eksistensi masing-masing. Itulah yang diyakini Lyotard dalam perdebatannya dengan

Habermas.

^^^

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 157

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Bab IV

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Gerakan disabilitas di Indonesia pada dasarnya merupakan sebuah gerakan menggugat nasib atau dalam terminologi Jaques Derrida, merupakan sebuah upaya melakukan dekonstruksi terhadap tatanan yang menkonstruksi nasib (dan kehidupan) yang dialami para penyandang disabilitas di Indonesia. Setelah sejumlah aspek dalam empat contoh gerakan disabilitas dianalisa yang dalam bab III, bab ini akan menyimpulkan sejumlah hal penting terkait objek material yang dikaji. Namun sebelum sampai pada kesimpulan, saya akan memberi gambaran kondisi disabilitas dalam berbagai relasi di masyarakat yang terlihat dalam analisa konten terhadap sejumlah media massa. Media massa dalam hal ini adalah cerminan sikap masyarakat.

158

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 159

Foto tunadaksa Maria Muslimatun tengah diangkat untuk melewati penghalang pagar beton

di trotoar Malioboro, Yogyakarta, yang sebenarnya sudah aksesibel bagi tunadaksa.

Berikut beberapa poin penting hasil analisa saya terhadap sejumlah media massa selama periode waktu dua tahun, yaitu Juni 2010 sampai Desember 2011 lalu dilanjutkan dari

Januari 2012 sampai Juli 2012.

1. Kapling/jatah ruang

Terkait konten tentang disabilitas, media cetak mainstream seperti harian Kompas,

Suara Pembaruan, Media Indonesia, maupun koran daerah yang juga masuk dalam kategori media mainstream seperti harian Suara Merdeka (Semarang), Pikiran Rakyat (Bandung),

Jawa Pos (Surabaya), atau harian Kedaulatan Rakyat (Jogjakarta) dan koran-koran daerah lainnya di luar Jawa (yang tidak masuk dalam pengumpulan data base line study ini), pada umumnya tidak memiliki kapling untuk konten disabilitas. Kapling untuk liputan tentang disabilitas bersifat tidak tetap, insidental dan/atau situasional yang dilekatkan atau dimasukkan dalam kapling halaman dalam pada rubrik apa saja yang dianggap sesuai atau memungkinkan. Contoh: konten disabilitas bisa saja dimasukkan dalam kapling rubrik pendidikan jika yang diliput adalah kondisi Sekolah Luar Biasa (SLB) atau anak penyandang disabilitas yang menjadi siswa di sekolah umum.

Konten disabilitas juga bisa masuk dalam kapling rubrik pendidikan jika liputannya terkait dengan persoalan pendidikan anak berkebutuhan khusus, misalnya liputan sekolah- sekolah atau pusat therapi autis. Atau jika sedang berlangsung pesta olah raga Special

Olypmpic, pesta olah raga bagi penyandang disabilitas, maka liputan tema disabilitas bisa masuk rubrik olah raga. Bisa juga liputan disabilitas masuk dalam rubrik lain semacam Sosok di Harian Kompas, jika liputannya tentang sosok yang kebetulan penyandang disabilitas atau sosok yang melakukan upaya-upaya pemberdayaan disabilitas.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 160

Tiadanya kapling atau rubrik khusus tentang persoalan-persoalan atau tema disabilitas di media mainstream membuat liputan tentang disabilitas bersifat tidak tetap dan bukan merupakan policy atau kebijakan redaksional media mainstream secara umum. Dalam data base line bisa kita cermati betapa kecilnya porsi tema atau isu disabilitas di media mainstream. Harian Kompas dalam periode enam bulan di tahun 2012 hanya ada 5 berita pendek tentang disabilitas dan 5 berita panjang. Penyandang disabilitas sebagai kelompok yang termarginalkan juga dimarginalkan di ruang pemberitaan media mainstream.

2. Posisi Isu Disabilitas

Terkait fakta ketiadaan kapling bagi isu-isu disabilitas di media mainstream, adalah soal pemahaman media terhadap dunia disabilitas dan kehidupan penyandang disabilitas yang kemudian menentukan dimana posisi isu disabilitas dalam kebijakan media mainstream.

Posisi isu disabilitas dilihat dari fakta ketiadaan kapling adalah berada di peringkat paling bawah dalam daftar isu di meja redaksi media mainstream. Harian Suara Pembaruan selama

Januari sampai Juni 2012 hanya memuat dua tulisan tentang disabilitas dan selama tahun

2011 hanya satu tulisan. Suara Merdeka (Semarang) hanya memuat satu tulisan di semester pertama 2012 dan satu lagi di tahun 2011.

Posisi isu disabilitas juga menempati urutan terbawah di media mainstream lainnya, baik cetak maupun online media seperti Beritasatu.com, Okezone, KapanLagi dan online media yang bukan mainstream seperti DuniaYogya.com, Solopos.com, Vhrmedia.com dan

Wartapedia. Bahkan media online yang mengusung isu-isu hak asasi manusia seperti vhrmedia.com pun masih memposisikan isu disabilitas di urutan paling bawah dibanding isu- isu hak asasi lainnya.

Vhrmedia.com selama 2011 hanya menurunkan satu tulisan tentang disabilitas. Dalam wacana pelanggaran hak asasi manusia, penyandang disabilitas menempati urutan atas daftar

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 161 korban pelanggaran hak asasi. Hak-hak mereka secara sistematis terdiskriminasi bahkan sejak seseorang dilahirkan sebagai penyandang disabilitas. Artinya, mereka adalah korban pelanggaran hak asasi yang dilakukan secara terbuka oleh sistem sosial-politik-ekonomi dan budaya seolah pelanggaran itu adalah bukan pelanggaran atau pelanggaran yang sah-sah saja.

Dalam urutan daftar isu yang merupakan policy redaksional suatu media, isu disabilitas umumnya dianggap tidak sexy, tidak menjual, atau bukan tema yang pantas untuk di-ekspose. Ini membuktikan media berada dalam frame hegemoni normalitas. Di sisi lain, media adalah institusi bisnis yang berpegang pada prinsip-prinsip bisnis dengan tujuan utama mencari profit besar.

Foto workshop jurnalisme tentang panduan meliput isu disabilitas bersama jurnalis senior

berbagai media dan aktivis disabilitas Indonesia, termasuk penulis.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 162

Dalam perspektif bisnis media, isu disabilitas juga mungkin memang dikategorikan sebagai isu yang tidak menjual. Lalu dalam konteks kepantasan atau kepatutan, isu disabilitas juga mungkin memang dianggap bukan isu yang pantas/patut untuk di-ekspose. Soal kepantasan atau kepatutan ini tak bisa dilepaskan dari konstruksi sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Konstruksi itu antara lain masih melihat penyandang disabilias sebagai aib, tabu, dosa dan bahkan kutukan.

3. Perspektif Tulisan

Dalam tulisan lain di Kompas.com yang berjudul Peluang Kerja Penyandang

Disabilitas, pada alinea pertama tertulis:

―Untuk membantu mereka yang mengalami keterbatasan fisik (penyandang

disabilitas) khususnya tuna rungu, tuna daksa, dan tuna netra, akan digelar bursa

kerja di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto Jakarta. Kegiatan ini akan berlangsung

23-25 September pukul 10.00-18.00.‖

Pilihan kata (diksi) ―untuk membantu‖ menggambarkan persepsi wartawan yang meliput maupun redaksi yang mengedit tulisan tersebut, sekaligus juga bisa dianggap mewakili persepsi media mereka. Pilihan kata ―untuk membantu penyandang disabilitas‖ berakar dari perspektif umum terhadap penyandang disabilitas sebagai kelompok atau kaum yang lemah, tak berdaya, tidak memiliki kemampuan, orang yang malang dan bahkan ―tidak normal‖.

Bila perspektifnya berdasar pada asas hak asasi, bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan di berbagai bidang sejauh mereka mampu, maka pilihan kata ―untuk membantu‖ jelas tidak tepat. Dalam perspektif yang rights

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 163 based, kata itu akan berubah menjadi: ―Untuk memenuhi hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan ....‖

Perspektif pasti akan tercermin dan terekspresikan dalam tulisan yang dibuat oleh seorang wartawan. Dengan mencermati diksi, kalimat, gaya bahasa dan sudut pandangnya, akan terlihat seperti apa persepsi yang mendasari sebuah tulisan. Sebuah berita lain di

Beritasatu.com bisa menjadi contoh persepsi yang proporsional terhadap penyandang disabilitas. Berita itu berjudul Penyandang Disabilitas Sulit Mencoblos. Dalam liputan itu, tertulis antara lain:

Ariani mengatakan bahwa selain menjamin hak penyandang disabilitas, pemerintah

juga harus menyediakan dana untuk mengadakan akses bagi penyandang disabilitas

agar bisa memilih, seperti mengadakan pelatihan bagi petugas TPS dan pendaftaran

pemilu untuk mengakomodasi pemilih dengan keperluan khusus.

"Walau aturannya sudah ada, hal ini lemah saat implementasinya karena

petugasnya tidak paham," ujar Ariyani, sambil memberikan contoh bahwa ada ada

calon pemilih pria yang tidak bisa mendaftar dan memilih karena menyandang

tunanetra, sementara istrinya yang sehat secara fisik dapat memilih.

Dalam penggalan berita di atas, persoalan dalam upaya pemenuhan hak politik penyandang disabilitas tergambar jelas dengan perspektif proporsional tanpa membuat penyandang disabilitas menjadi manusia yang malang, tak berdaya dan hanya bisa mengandalkan belas kasihan belaka. Alinea pertama perspektifnya proporsional karena memang merupakan tugas dan tanggungjawab pemerintah untuk menjamin hak seluruh warganegara termasuk di dalamnya para penyandang disabilitas. Dan dalam konteks hak politik maka pemerintahlah yang harus bertanggungjawab menjamin para penyandang

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 164 disabilitas bisa menggunakan hak pilihnya. Konsekuensi logisnya berupa implementasi penyediaan dan pembuatan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas agar bisa memilih.

Pada alinea kedua, perpektifnya juga proporsional karena berdasar pada fakta lapangan yang objektif. Contoh yang diberikan adalah fakta lapangan yang terjadi di lokasi tempat pemungutan suara (TPS) yang membuktikan satu persoalan mendasar tentang ketidaktahuan dan ketidakpahaman petugas TPS terhadap hak penyandang disabilitas untuk memberikan suaranya. Petugas TPS tidak memahami bahwa para penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk mencoblos dengan semua warga negara lain yang sudah berusia 17 tahun. Dan dalam hal implementasi peraturan yang menjamin hak-hak penyandang disabilitas, ketidaktahuan dan ketidakpahaman petugas memang selalu menjadi salah satu kendala utama.

Dari hasil analisa konten media ini kita bisa mendapatkan gambaran kecil tentang bagaimana artikulasi media terhadap penyandang disabilitas. Terlihat betapa media massa bekerja sebagai bagian dari hegemoni normalitas dalam meliput, menulis, menampilkan dan mengekspose penyandang disabilitas.

A. Kesimpulan

1. Gerakan 1000 Buku

Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari kajian terhadap gerakan seribu buku adalah:

1. Masyarakat tidak memahami hak tunanetra untuk berkembang melalui pendidikan

dan bahan bacaan.

2. Masyarakat tidak memahami bahwa kebutuhan mendasar tunanetra sebagai

mahkluk berbudaya adalah sama persis dengan kebutuhan manusia non disabilitas.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 165

3. Persepsi terhadap penyandang disabilitas masih sangat dipengaruhi oleh

konstruksi hegemoni budaya normalitas, bahkan di kelompok yang termasuk

dalam kalangan intelektual publik.

4. Gerakan seribu buku untuk tunanetra hanya bisa menjadi semacam ‗gerakan

bawah tanah‘ yang tidak memiliki basis massa atau jaringan relasi dengan

kelompok lain karena berada dalam wilayah kekuasaan hegemoni budaya

normalitas.

5. Gerakan seribu buku untuk tunanetra merupakan upaya yang seharusnya didukung

oleh kekuasaan dalam konteks pemenuhan hak asasi tunanetra untuk mendapat

pendidikan dan berkembang sebagai warga masyarakat sebagaimana warga

lainnya.

Kesimpulan ini menegaskan satu hal yang bisa disimpulkan dari fenomena gerakan seribu buku untuk tunanetra, yakni bahwa gerakan perjuangan disabilitas untuk merebut hak mereka hanya bisa dilakukan dalam suatu hubungan atau relasi (meskipun antagonistik) dengan kelompok masyarakat non disabilitas. Relasi ini saya katakan antagonis sebagaimana konsep Laclau dan Mouffe, yaitu suatu kondisi yang tidak bisa dijelaskan dalam sebuah hubungan yang tidak akan pernah final.

Dalam hal gerakan seribu untuk tunanetra, relasi dengan sejumlah penulis dan dengan media massa adalah ilustrasi yang tepat untuk menjelaskan relasi ini. Fakta bahwa para penulis terkesima dan kemudian tersentuh saat mengetahui kondisi tunanetra yang membutuhkan bacaan tak bisa lepas dari kepentingan dan keinginan karya mereka dibuatkan versi huruf Braille-nya.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 166

2. BILiC & Aksesibilitas Ruang Publik

1. Sempitnya ruang kehidupan penyandang disabilitas dalam tatanan kehidupan

masyarakat secara menyeluruh membuat kita harus mempertanyakan dan

menggugat dimana posisi disabilitas sebenarnya.

2. Di kalangan perguruan tinggi, kampus pertama yang merintis dan kemudian

mengembangkan pusat studi dan layanan disabilitas adalah Universitas Islam

Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Di dalam kampus UIN Sunan Kalijaga banyak

rambu-rambu yang menegaskan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Mulai

dari tempat parkir, ram, sampai perpustakaan yang memiliki fasilitas komputer

bicara untuk aksesibilitas mahasiswa tunanetra. Ini adalah suatu hal yang

seharusnya dilakukan semua kampus di Indonesia.

3. Di Jakarta, ada Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT) sebuah komunitas

disabilitas yang memperjuangkan aksessibilitas publik di Jakarta. Komunitas

yang dikelola tunadaksa Ridwan Sumantri ini intens berkomunikasi dan

berkordinasi dengan instasi terkait di Pemda DKI Jakarta. Mereka berhasil

mengadakan serta memfasilitasi audiensi serta dilanjutkan dengan blusukan

komunitas disabilitas bersama Gubernur DKI Jakarta. Sebelum Ridwan, yang

aktif mengelola JBFT adalah seorang aktivis tunanetra bernama Jaka Ahmad yang

kini mendapat beasiswa S2 di Australia.

4. BILiC bisa berperan menjadi semacam ‗oposisi‘ bagi pemerintah Bandung.

Mereka pernah mempublikasikan hasil monitoring mereka terkait kinerja

pemerintah daerah Bandung dalam urusan disabilitas berjudul ‗Rapor Merah

Pemda Bandung‘. Tentu saja hal itu membuat aparat pemerintah beserta jajaran

birokrasi pemda Bandung jengah dan kemudian lebih berhati-hati.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 167

5. Aksesibilitas dimulai dari keberadaan perda disabilitas. Peran DPO dan komunitas

disabilitas di Jakarta dalam proses lahirnya perda disabilitas terbilang tidak

banyak karena perda ini dianggap ditunggangi muatan politik. Hanya komunitas

seperti Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT) yang kemudian aktif berperan

menguji aksesibilitas.

Foto pelatihan melukis untuk anak-anak penyandang disabilitas bersama sejumlah seniman

yang peduli.

3. Deaf Art Community (DAC)

Memperjuangkan bahasa isyarat sebagai bahasa tersendiri adalah hal mendasar bagi tunarungu. Agar bisa menjadi kelompok yang berbeda secara kultural. Jika tidak, mereka akan terhempas oleh dominannya bahasa oral, tidak hanya datang dari orang-orang tidak cacat tapi juga dari kalangan penyandang cacat sendiri. Bagi orang-orang tuli, perbedaan itu hanya mereka dapatkan bila mereka memperoleh kebebasan untuk memakai bahasa isyarat,

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 168 termasuk untuk tidak menggunakan bahasa oral. Untuk itu, orang-orang tuli mesti mengenali dirinya sebagai komunitas kultural dengan bahasa isyarat sebagai pusatnya.

Di belahan dunia lain, seperti di Amerika dan Inggris, bahasa isyarat menjadi identitas dari sebuah kultur yang disebut Deaf culture (dengan huruf ‗D‘ kapital). Istilah Deaf digunakan secara kultural dan politis untuk menunjukkan kelompok linguistik minoritas, yaitu, orang-orang yang menggunakan bahasa isyarat. Untuk membayangkannya, Deaf culture paralel dengan, katakanlah, komunitas Tionghoa di Indonesia.

Sedangkan deaf (dengan ‗d‘ kecil) adalah kategori kecacatan dalam perspektif medical/audiological/pathological. Orang-orang deaf yang menggunakan alat bantu dengar atau yang ditanam, dan berkomunikasi oral, tidak termasuk dalam komunitas Deaf. Tapi orang-orang yang tidak deaf seperti Broto Wijayanto, yang menggunakan bahasa isyarat, berhubungan dengan komunitas Deaf dan menghargai norma-norma Deaf culture, dapat menjadi anggota komunitas.

Komunitas Deaf merupakan sebuah kultur karena masing-masing anggotanya mempunyai bahasa, pengalaman hidup, sikap, sastra, dan kesenian yang sama, bahkan termasuk humor yang akan sulit dipahami oleh orang-orang yang menganggap ‗suara‘ sebagai hal yang ‗natural‘.

Di Amerika, Deaf culture mulai mendapat penghargaan dan perhatian luas setelah siswa Universitas Gallaudet (universitas khusus untuk pendidikan deaf) pada bulan Maret

1988 menuntut digantinya presiden universitas oleh orang yang kompeten, yang mempunyai pengalaman dengan Deaf culture. Tuntutan mereka akhirnya dipenuhi dengan terpilihnya presiden baru yang deaf. 81

81Ilustrasi untuk di Indonesia tentang penghargaan terhadap tunarungu atau orang tuli pernah dilakukan oleh TVRI ketika pada pertengahan tahun 1980an menayangkan acara Dunia Dalam Berita dengan insert bahasa

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 169

DAC adalah sebuah upaya membangun gerakan komunitas untuk membuktikan bahwa tunarungu adalah sebuah komunitas tersendiri yang menjadi bagian dari masyarakat dengan kekhasan budaya seperti halnya setiap komunitas memiliki kekhasan budayanya masing-masing. Persepsi masyarakat terhadap tunarungu yang dikonstruksi oleh budaya normalitas membuat budaya tuli atau deaf culture menjadi sebuah anomali kebudayaan.

Apa yang dilakukan DAC dengan memperkenalkan pada masyarakat bahwa tunarungu bisa berkesenian seperti halnya semua manusia lain merupakan langkah yang sangat mendasar untuk mengubah persepsi masyarakat dalam hegemoni normalitas.

B. Penutup

Faktor ketidaksiapan penyandang disabilitas di arena politik yang menjadi penyebab kegagalan gerakan disabilitas di sejumlah negara maju adalah catatan penting bagi gerakan disabilitas di Indonesia yang masih berjuang keras memasuki arena politik. Meski Indonesia bisa dianggap telah memelopori dengan pernah memiliki presiden penyandang disabilitas,

Abdurrahman Wahid yang tunanetra, namun secara nyata tidak ada kekuatan politik komunitas disabilitas yang muncul dalam panggung politik Indonesia. Ini karena Gus Dur sendiri bukan merupakan representasi komunitas disabilitas dalam peta kekuatan politik. Ia adalah representasi kekuatan Islam melalui Nahdatul Ulama (NU) yang dipimpinnya.

Sebagai penutup, saya akan menggarisbawahi dua hal mendasar yang menjadi akar dari berbagai persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia, yaitu soal batasan normal dan tidak normal dan yang kedua soal mitos yang mengkonstruksi persepsi terhadap disabilitas.

isyarat dalam acara itu. Namun program itu hanya berlangsung beberapa tahun dan kemudian tak ada lagi acara dengan insert bahasa isyarat.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 170

1. Batasan Normal dan Tidak Normal

Benarkah penyandang disabilitas tak bisa ‗sembuh‘ dan jadi ‗normal‘ sementara orang gila bisa ‗sembuh‘ dan jadi ‗normal‘ kembali? Faktanya, seorang tunadaksa meskipun memiliki kaki palsu yang mahal tetap saja disebut tunadaksa sedangkan orang gila yang keluar dari rumah sakit jiwa dan berperilaku ‗normal‘ akan dianggap sembuh dan normal.

Kriteria normal dan tidak normal atau batas pengertian normal dan tidak normal juga bisa kita perdebatkan melalui ilustrasi foto di bawah ini yang memperlihatkan sekelompok anak tunagrahita (down syndrome) tampak selesai tampil dalam sebuah pertunjukan budaya.

Mereka menampilkan sejumlah tarian dari berbagai daerah Indonesia sama seperti anak-anak non disabilitas tampil menari dalam sebuah acara. Apakah hanya karena mereka tampak berbeda wajah dan ekspresinya lantas mereka menjadi tidak normal?

Foto anak-anak tunagrahita dalam sebuah pentas seni di Jakarta pada acara konferensi hak

politik disabilitas tahun 2011.

Apapun identitas yang melekat pada diri seorang manusia, semuanya tetap memiliki fondasi dasar pembentukan identitas yang sama, yaitu konsep dasar eksistensi manusia

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 171 sebagai makhluk paling luhur atau paling sempurna di muka bumi. Manusia sebagai citra sang Pencipta. Manusia sebagai gambaran sang Khalik. Manusia sebagai anak Allah.

Berdasarkan asumsi yang telah diterima sebagai kebenaran mutlak ini, manusia melakukan berbagai interpretasi terhadap makna sempurna dengan object the other makhluk ciptaan lain dan juga sesama manusia, terutama yang memiliki perbedaan-perbedaan. Salah satu the other atau liyan di antara sesama manusia yang menjadi objek untuk melegitimasi konsep manusia sebagai makhluk paling sempurna adalah manusia dengan kecacatan fisik atau people with disabilities. 82

Penyandang cacat atau difabel atau kelompok disabilitas lalu menjadi sosok manusia yang tidak sempurna sebagai legitimasi kesempurnaan manusia. Gambaran kesempurnaan sosok manusia yang umumnya dipakai pertama-tama adalah keutuhan dan kesempurnaan fisik (tubuh). Setelah semuanya utuh dan lengkap kesempurnaan selanjutnya ditentukan oleh berfungsi atau tidaknya setiap organ tubuh, jika semuanya berfungsi dengan baik, maka sosok manusia itu sudah memenuhi syarat dan ketentuan utama sebagai makhluk ciptaan paling sempurna di muka bumi.

Sebaliknya, ketika ada salah satu organ tubuh –terutama indra—yang tidak berfungsi, maka manusia tersebut didefinisikan sebagai ‗tidak normal‘ atau cacat. Hal serupa juga terjadi ketika salah satu bagian tubuh tidak utuh atau terbentuk secara tidak sempurna, maka manusia seperti itu juga akan dicap sebagai manusia tidak normal. Seseorang yang salah satu tangan atau kakinya bengkok dan lebih kecil, bahkan meskipun tangan atau kaki itu masih sedikit berfungsi, tetap akan dianggap tidak sempurna atau tidak normal.

82Identitas penyandang disabilitas merupakan hasil konstruksi dari konsep identitas manusia sebagai mahkluk paling sempurna yang membuat manusia ‘normal’ sulit menerima ketidaksempurnaan mereka sebagai the other atau liyan.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 172

Foto seorang gadis tunarungu yang pernah menjadi model sampul majalah diffa edisi cetak

tahun 2013.

Apakah jika gadis cantik dalam foto di atas tidak sedang berbicara bahasa isyarat

(sign language), kita bisa melihatnya sebagai seorang tunarungu? Saya yakin siapapun yang hanya sekilas melihatnya atau hanya berpapasan di sebuah tempat umum, maka tak akan ada yang mengetahui bahwa gadis cantik itu seorang tunarungu. Dan memang tunarungu biasa dikenal atau dianggap sebagai hidden disability atau disabilitas tersembunyi.

Pengertian sehat dalam konsep normal mencakup tidak hanya dimensi fisik tapi juga psikis atau kejiwaan. Berbagai gangguan kejiwaan mulai dari gangguan ringan sampai berat menjadi faktor yang sangat penting dalam memvonis apakah seseorang normal atau tidak normal. Orang yang tidak sehat secara kejiwaan langsung dicap ‗gila‘ atau ‗tidak normal‘.

Namun kegilaan dalam hal ini adalah sebuah kategori tersendiri yang berbeda dengan cacat

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 173 fisik atau disabilitas meski sama-sama merupakan tolak ukur untuk menentukan normal tidaknya seseorang. Kegilaan juga dianggap aib bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga gila. Manusia yang divonis gila lalu disembunyikan, dibuang jauh-jauh ke rumah sakit jiwa atau pada kelompok masyarakat miskin bahkan dipasung di belakang rumah agar tak mengganggu.

Batasan normal dan tidak normal yang menjadi dasar dari pembentukan persepsi dan konstruksi identitas kelompok penyandang disabilitas, kurang lebih sama dengan batasan normal dan tidak normal yang juga diberlakukan untuk memvonis gila atau tidaknya seseorang. Bedanya adalah indikator-indikator yang dipakai untuk vonis gila lebih pada perilaku (behavior) sedangkan pada penyandang disabilitas pada kondisi fisik. Konstruksi budaya masyarakat sejak masa pra kolonial, kolonial sampai pasca kolonial dibangun atas dasar hegemoni normalitas sebagai dasar tatanan, keteraturan, dan norma-norma kehidupan bersama.

2. Mitos dan Konstruksi Identitas

Penyandang disabilitas adalah kelompok masyarakat yang mengalami diskriminasi atas dasar stereotipe yang melekat pada diri mereka. Cara pandang masyarakat terhadap kelompok disabilitas terbentuk melalui sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik yang berawal dari ‗dogma‘ manusia adalah makhluk ciptaan paling sempurna di atas muka bumi.

Penjelasan tentang sebab kecacatan yang bersifat ilmiah sebagai bagian dari sebuah sejarah kecacatan tidak mempengaruhi persepsi yang terbentuk karena sebagaimana laiknya sebuah dogma, ia bersifat mutlak. Dari sisi penyandang disabilitas, kecacatan mereka juga bersifat mutlak dan akhirnya harus diterima saja.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 174

Setyo, seorang tunanetra di Yogyakarta yang buta di usia dewasa (sudah berkeluarga saat kecelakaan dan menjadi buta), sempat bertahun-tahun menggugat dan menolak nasib yang menimpa dirinya. Tapi seberapa hebat pun ia menggugat semuanya, tetap saja ia buta.

Setyo kemudian berusaha berdamai dengan kenyataan yang tak bisa ditawar itu dan mulai menjalani hidup sebagai seorang tunanetra.

Itu sepenggal sejarah disabilitas dari Setyo dimana didalamnya penuh dengan berbagai narasi tentang persepsi, konstruksi dan identitas seorang disabilitas dalam konteks upaya memahami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi manusia dan makna kehidupan. Narasi yang berbeda akan kita dapatkan bila subjek yang berbicara adalah penyandang disabilitas bawaan lahir yang tak pernah menjadi bagian dari

‗masyarakat manusia normal‘.83

Hari Pamudji, lumpuh dan menjadi tunadaksa di kota Solo pada usia sekitar 30 tahun karena sebuah kerusahan politik pada masa kampanye zaman Orde Baru. Hari sebagai pemimpin massa salah satu partai bentrok dengan partai lain dan ia dikeroyok. Dihajar oleh puluhan massa sampai tak sadarkan diri dan akhirnya kedua kakinya tak bisa digerakkan lagi.

Hari mengalami krisis seperti halnya Setyo selama lebih dari dua tahun. Ia marah pada dunia, marah pada Tuhan, serta pada dirinya sendiri dan kehidupan. Ketika akhirnya Hari berhasil bangkit dari kehancuran dirinya, ia pun bisa menjalani kehidupan sebagai tunadaksa dan akhirnya aktif mengorganisir tunadaksa di kota Solo sampai ia menjadi Ketua Perhimpunan

Motor Roda Tiga untuk wilayah Solo.84

83Wawancara dengan Setyo saya lakukan sekitar tahun 2008 di rumahnya saat saya bertamu bersama penyair tunanetra Irwan Dwikustanto. Pembicaraan saya dengan Setyo banyak membahas hal-hal filosofis dan relijius dalam kehidupan manusia terutama dalam kaitannya dengan eksistensi penyandang disabilitas. 84Hari Pamudji terpilih sebagai Ketua Perkumpulan Motor Roda Tiga daerah Kartosuro selama dua periode. Wawancara saya dengan Hari Pamudji dimuat di www.majalahdiffa.com.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 175

Foto Hari Pamudji, Ketua Persatuan Motor Roda Tiga, Solo tengah beratraksi dengan kursi

rodanya.

Persepsi terhadap penyandang disabilitas yang tidak tepat, tidak adil dan sepihak adalah sebuah persoalan besar yang dihadapi tunanetra pada usia dewasa seperti Setyo dan

Hari. Pada kasus Setyo dan Hari yang pernah menjadi ‗manusia normal‘ sejak mereka dilahirkan sampai dewasa, keadaan jauh lebih berat. Mereka pernah menjadi bagian yang membentuk persepsi ‗masyarakat normal‘ terhadap penyandang disabilitas. Ketika kemudian dari posisi ‗subjek yang mempersepsi‘ menjadi ‗objek yang dipersepsi‘, terjadi perubahan radikal dan drastik yang mendekonstruksi seluruh diri dan hidup mereka. Hari pernah sangat terpukul ketika ia tengah duduk santai di kursi rodanya di pinggir jalan, tiba-tiba orang memberinya uang karena menganggapnya sebagai pengemis.

Pada kasus disabilitas bawaan lahir, posisi sebagai victim atau korban yang dijajah oleh kelompok superior adalah bagian dari bawaan lahir yang kemudian dipahami dan diterima tanpa pernah ada wacana pembanding sebagai manusia normal. Persepsi yang dikonstruksi untuk membangun stereotipe disabilitas sebagai manusia tidak sempurna,

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 176 manusia tidak normal mereka rasakan sejak lahir dengan segala diskriminasi terhadap mereka sebagai kelompok subaltern. Mereka tidak mempunyai pengalaman sebagai ‗subjek‘ yang mempersepsi, tak punya pengalaman menjadi bagian dari ‗masyarakat berbudaya normal‘.

Berbagai macam persepsi terhadap disabilitas dalam masyarakat kita umumnya bersifat negatif dan biasanya dikaitkan dengan konsep ‗dosa‘, ‗kutukan‘, ‗aib‘, ‗cobaan‘,

‗kekuatan jahat/setan‘, ‗hukuman‘, dan konsep lain dalam agama yang bermakna buruk atau jahat. Hari Pamudji, Setyo dan semua penyandang disabilitas hidup dalam persepsi ini.

Pernah satu kali, Hari menunggu angkutan dari Boyolali untuk kembali ke Solo di pinggir jalan. Waktu sudah lewat senja dan Hari sudah hampir satu jam mencoba menghentikan bus namun dari semua bus yang lewat tak satupun berhenti untuk mengangkut Hari yang berkursi roda.85

Apa yang dialami Hari adalah sebuah pengalaman akibat persepsi dan mitos bahwa penyandang disabilitas itu membawa sial bagi sopir dan sejumlah profesi atau usaha lain. Jika mengangkut penyandang disabilitas maka mereka akan sial. Persepsi dan mitos semacam ini kemudian menjadi dasar pengkonstruksian identitas dan eksistensi para penyandang disabilitas yang kemudian membentuk stereotipe umum terhadap semua penyandang disabilitas. Pada jenis disabilitas tertentu seperti tunagrahita atau down syndrome dan celebral palsy, stigma ‗dosa‘ dan ‗kutukan‘ lebih kental dan kuat karena ketidaksempurnaan fisik mereka mewujud dalam bentuk-bentuk yang lebih menonjol.

Persepsi yang mengkonstruksi stereotipe disabilitas juga memproduksi mitos-mitos tentang disabilitas di setiap kebudayaan. Dalam sejumlah kebudayaan, jika ada bayi terlahir sebagai penyandang disabilitas, mitos yang cukup umum antara lain adalah mitos bahwa

85Hari akhirnya mengayuh kursi rodanya mencari pos polisi terdekat dan barulah setelah meminta tolong polisi yang bertugas untuk menghentikan bis, Hari bisa mendapatkan angkutan umum untuk pulang ke rumahnya. Pengalaman semacam ini awalnya sangat menyakitkan bagi Hari namun perlahan ia pun semakin terbiasa.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 177 disabilitas bayi itu disebabkan perilaku buruk sang ayah atau ibu pada binatang semasa kehamilan. Misalnya si ayah membunuh seekor katak atau seekor ular atau menyiksa binatang lain maka ia terkena semacam tulah atau kutukan dari binatang yang dibunuh atau disiksa itu dan anaknyalah yang harus menanggung kutukan itu. Maka jadilah si jabang bayi terlahir cacat.

Atau ada juga mitos tentang perilaku tertentu yang terkait dunia gaib atau supranatural. Misalnya seorang calon ayah berada di tempat angker lalu meludah atau kencing sembarangan di kawasan itu tanpa permisi sehingga mengenai ‗penghuni‘ dari dunia gaib. Sang penghuni dunia gaib pun marah dan dikutuklah bayi dalam kandungan istri si calon ayah itu. Di sejumlah daerah di Jawa, ibu hamil biasanya diharuskan menyematkan gunting kecil di pakaian mereka untuk menjaga jabang bayinya dari gangguan-gangguan makhluk gaib.

Jenis mitos kedua ini intinya adalah perilaku sang ayah atau ibu yang kurang ajar di wilayah makhluk halus atau makhluk dari dunia gaib sehingga menerima balasannya mendapatkan anak cacat. Lalu dalam relasinya dengan dosa, mitos-mitos disabilitas juga dikaitkan dengan perbuatan jahat dan dosa-dosa yang dilakukan para leluhur. Mitos jenis ketiga ini identik dengan konsep dosa turunan, yakni bahwa jika leluhur melakukan perbuatan dosa besar maka seluruh keturunannya –entah sampai generasi ke berapa—harus ikut menanggung dosa itu.

Makin besar dosa itu makin sahih mitos ini jika kebetulan dalam garis keturunan si leluhur banyak anak-anak yang terlahir sebagai penyandang cacat. Jika tidak ada dalam garis keturuan leluhur pendosa ini yang cacat maka masyarakat pun tak peduli. Tak mencari tahu dan menganggap tak ada persoalan apapun. Satu hal yang paling menyedihkan terkait keberadaan mitos-mitos tersebut adalah adanya mitos tambahan para ibu hamil yang sangat

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 178 melecehkan penyandang disabilitas, yaitu mitos agar mereka mengucapkan ‗amit-amit jabang bayi‘ ketika melihat, bertemu atau berpapasan dengan disabilitas.86

Akibat langsung dari stereotipe negatif disabilitas yang berdasarkan ‗dogma‘ manusia adalah makhluk paling sempurna antara lain berupa dehumanisasi terhadap para penyandang disabilitas. Karena disabilitas bukan manusia sempurna maka mereka tidak bisa diakui dan diterima sepenuhnya sebagai manusia. Mereka tidak dipandang sebagai manusia seutuhnya meskipun seutuh-utuhnya mereka adalah manusia. Tak berbeda secara substansial dengan manusia manapun yang tidak memiliki kecacatan. Karena mereka dipandang sebagai bukan manusia seutuhnya, konsekuensi selanjutnya adalah hilangnya ruang kehidupan yang menjadi hak mereka untuk hidup bersama sesamanya dengan hak dan kewajiban yang sama.

Dehumanisasi terhadap penyandang disabilitas berlangsung secara sistematis dalam keseluruhan lingkaran kehidupan sejak seorang penyandang disabilitas dilahirkan.

Dehumanisasi inilah yang membuat saya memberi judul tesis ini ―Kamu Cacat Maka Aku

Ada‖.

^^^

86Mitos ini banyak berlaku di sebagian besar budaya masyarakat Indonesia, maksudnya agar jabang bayi dalam kandungan tidak menjadi disabilitas, namun ini sangat menghina dan melecehkan penyandang disabilitas karena mereka bukan penyebab apakah sesosok jabang bayi akan menjadi disabilitas atau tidak.

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 179

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Althusser, L, Ideology and Ideological State Aparatus, dalam Lenin and Philosophy and

Other Essays, New Left Books, London (1971)

Barnes, C. & Mercer, G, Disability, Cambridge, UK, Polity Press (2003), Chapter 1:

Disability and Choices of Model.

Bhabha, Hommi, K., The other question: Stereotype, Discrimination and The Discourse of

Colonialism, Routlegde, London (1994)

Foucault, Michel, Kekuasaan/Pengetahuan, terjemahan LP3ES, Jakarta (2000)

Foucault, Michel, Seks & Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

(1997), terjemahan Rahayu S Hidayat

Gabel, S & Danforth, S, Disability and the Politics of Education: An International Reader,

New York (2008)

Gunawan, Rudy, FX, Mendobrak Tabu: Seks, Kekuasaan & Kebejatan Manusia, Galang

Press, Yogyakarta (1996)

Gunawan, Rudy, FX, Mengebor Kemunafikan: Inul, Seks & Kekuasaan, Galang Press,

Yogyakarta (2003)

Gunawan, Rudy, FX, Pelacur & Politikus, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta (1997)

Gunawan, Rudy, FX & Suyono, Seno Joko, Wild Reality: Refleksi Kelamin & Sejarah

Pornografi, IndonesiaTera & GagasMedia, Jakarta (2003)

180

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 181

Hargens, Boni, Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam

Perspektif Postmarxis – Postmodernis Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Parrhesia, Jakarta

(2006)

Hahn, H, The Political Implication of Disability Definition and Data, Disability Policy

Studies, New York (1993)

Haryatmoko, Demokrasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta (2010)

Ives, Peter, Language and Hegemony in Gramsci, London (2004)

Kellner, Douglas, Media Culture; Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Post Modern, London (1995)

Koswara, Irma, Anakku Karunia Tuhan? Kisah Kasih Seorang Ibu Berputra Difabel,

Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta (2010)

Laclau, Ernesto, Politics and the Limits of Moderntity, dalam Docherty, Thomas (ed.).

Postmodernisme: A Reader, Harvester, New York (1993)

Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical

Democratic Politics, Verso, New York and London (1985)

Mouffe, Chantal, Gramsci and Marxis Theory, Routledge & Kegan Paul, London & Boston

(1979)

Nugroho, Sapto & Risnawati Utami, Meretas Siklus Kecacatan: Realitas yang Terabaikan,

Yayasan Talenta & Ford Foundation, Surakarta (2004)

Oliver, M, The Politics of Disablement: A Sociological Approach, St. Martin Press, New

York (1990)

PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 182

Oliver, M, Understanding Disability: From Theory to Practice, Palgrave, London (1996)

Ro‘fah & Andayani, Membangun Kampus Inklusif: Best Practices Pengorganisasian Unit

Layanan Difabel, PSLD UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (2010)

Said, Edward W, Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur

Sebagai Subjek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta (2010)

Saukko, P, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New

Methodological Approaches, Sage Publication, London (2003)

Storey, J, Cultural Theory and Popular Culture; An Introduction, Pearson Education, London

(2009)

Spivak, Gayatri Chakravorty, ―Can the Subaltern Speak?‖, Patrick William/Laura Chrisman

(ed.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, Harvester, New York.

Sunardi, St., Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta (2002)