Representasi Maskulinitas dalam Ritual Etu… (Adinda Sanita dkk.) 119

REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM RITUAL ETU DI KAMPUNG ADAT TUTUBHADA KABUPATEN NAGEKEO, NUSA TENGGARA TIMUR

THE REPRESENTATION OF THE MASCULINITY IN THE RITUALS OF ‘ETU’ IN KAMPUNG ADAT TUTUBHADA IN NAGEKEO ,

Adinda Sanita Putri Khinari1, Ni Made Yuni Sugiantari2, Dania Nabila Lubis3, Ni Kadek Ari Marlina4, Ni Putu Indah Juliyanti5, A. A. Ayu Isna Surya Dewi6, Rochtri Agung Bawono7 1,2,3,4,5,6 Mahasiswa Pecinta Alam “Wanaprastha Dharma” Universitas Udayana Jalan Doktor Goris Nomor 7A Denpasar 80234 7 Universitas Udayana Jalan Pulau Nias Nomor 13 Denpasar 80114 e-mail : [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

Naskah Diterima: 29 September 2020 Naskah Direvisi: 15 Maret 2021 Naskah Disetujui :30 April 2021

DOI: 10.30959/patanjala.v13i1.677

Abstrak Etu atau tinju tradisional yang dilaksanakan di Kabupaten Nagekeo merupakan salah satu tahapan dari ritual pasca panen (Gua Meze). Etu dipercaya sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat lokal atas berkah dalam panen musim panas dan wujud bagi kaum laki-laki untuk mempresentasikan kembali maskulinitas dirinya melalui Etu. Penelitian di Kampung Adat Tutubhada Desa Rendu Tutubhada Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana representasi maskulinitas seorang laki-laki pada ritual Etu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sumber data disusun berdasarkan studi pustaka penelitian terdahulu, pengamatan di lapangan, wawancara, dan dokumen. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah penjelasan mengenai rangkaian, pelaku, perlengkapan, dan aturan dari Etu di Kampung Adat Tutubhada, eksistensi Etu di masa kini, serta bagaimana Etu dapat merepresentasikan maskulinitas laki-laki selaku pelaku ritual. Kata kunci: tinju trasidisional, representasi, maskulinitas, laki-laki, syukur panen

Abstract ‘Etu’, which is a traditional form of ceremonial boxing practiced in Nagekeo Regency, is one stage of the post-harvest rituals Gua Meze. ‘Etu’ is believed to be a form of expression of gratitude offered by the local community for the blessings that have been received in the harvest and at the same time also serves as a form to represent the masculinity. The research which has been conducted in Kampung Adat Tutubhada - which is situated in the village of Rendu Tutubhada in South Aesesa District, Nagekeo Regency - aims to reveal how the masculinity is represented in ‘Etu’. The research used the descriptive qualitative method. Sources of data in the research were compiled based on the literature study of previous research, field observations, interviews, and documents. The results achieved in this study explain in detail 'Etu' in Kampung Adat Tutubhada

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online) 120 Patanjala Vol. 13 No. 1 April 2021: 119 -136 that includes a sequence of activities, performers, equipment, and rules, the current existence of ‘Etu’ as well as to draw how ‘Etu’ can represent the masculinity of men as the ritual performers. Keywords: traditional boxing, men, identity, existence, harvest festival

A. PENDAHULUAN Ritual Etu merupakan salah satu bagian merupakan negara yang dari kebudayaan tersebut. Melihat bahwa memiliki keberagaman budaya. Indonesia ritual ini hanya dapat diperankan oleh laki- memiliki total 1.340 suku bangsa yang laki, peneliti tertarik untuk meneliti tersebar dari Sabang sampai Merauke. bagaimana representasi maskulinitas Salah satu suku bangsa tersebut yaitu suku seorang laki-laki pada ritual Etu. Rendu yang berada di Nusa Tenggara Etu di Kampung Adat Tutubhada ini Timur (BPS Indonesia, 2010). Nusa dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli Tenggara Timur memiliki 22 yang dipercaya sebagai ungkapan rasa kabupaten/kota yang tersebar di berbagai syukur masyarakat lokal kepada leluhur pulau dengan tiga pulau besar di antaranya atas berkah dalam panen musin panas. Etu yaitu Pulau Sumba, Pulau Timor, dan juga ditujukan bagi kaum laki-laki untuk Pulau . Di Pulau Flores terdapat melakukan baku hantam di dalam arena salah satu kabupaten yang masih yang telah dipersiapkan sebelumnya. Baku memegang erat kebudayaan dan hantam tersebut merupakan salah satu kepercayaannya yaitu Kabupaten Nagekeo. bentuk olahraga tradisional di Indonesia Kepercayaan masyarakat mengenai yang termasuk dalam objek kebudayaan keberadaan leluhur terdahulu di Kabupaten menurut UU RI No. 5 Tahun 2017 tentang Nagekeo masih sangat kental. Kabupaten Pemajuan Kebudayaan. Menurut Laksono Nagekeo juga memiliki ragam budaya sebagaimana dikutip oleh Dewi Primawati berupa benda maupun takbenda yang Susanti (2014) dijelaskan bahwa olahraga masih diterapkan oleh masyarakat lokal di tradisional harus memenuhi dua zaman modern ini. Banyak kebudayaan di persyaratan yaitu berupa olahraga dan Kabupaten Nagekeo yang belum terekspos bagian dari aktivitas budaya, baik berupa secara luas dan apabila dikembangkan tradisi, maupun ritual adat yang dapat menjadi sesuatu yang dapat berkembang selama beberapa generasi, mendukung kesejahteraaan masyarakatnya. atau sesuatu yang terkait dengan tradisi Namun, dokumentasi berupa gambar budaya suatu bangsa secara lebih luas. maupun tulisan mengenai aktivitas budaya Ritual Etu termasuk ke dalam nilai ini, masih sangat minim. Hal inilah yang budaya yang merupakan bagian dari sistem membuat peneliti melakukan penelitian budaya. Dalam kaitan itu, sistem nilai lebih dalam mengenai Etu atau tinju budaya adalah sejumlah pandangan tradisional yang menjadi salah satu ritual mengenai soal-soal yang paling berharga kebanggaan masyarakat, sehingga dapat dan bernilai dalam hidup. Sistem nilai memperkuat keberadaan Etu sebagai salah budaya menjiwai semua pedoman yang satu warisan budaya takbenda yang telah mengatur tingkah laku warga pendukung ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman dan Kebudayaan pada tahun 2015 dengan tingkah laku itu adalah adat-istiadatnya, nomor registrasi 201500253 (Sada, 2019). pandangan hidup dan ideologi pribadi Menurut ilmu antropologi, (Budiman, 2013). Kaitannya dengan Etu, kebudayaan adalah keseluruhan sistem yaitu olahraga yang memperlihatkan baku gagasan, tindakan dan hasil karya manusia hantam di arena tinju ini tetap memiliki dalam kehidupan masyarakat yang aturan-aturan yang mengedepankan nilai dijadikan milik diri manusia dengan kebudayaan demi terlaksananya ritual belajar (Koentjaraningrat, 2009: 153). syukur panen di Kampung Adat

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

Representasi Maskulinitas dalam Ritual Etu… (Adinda Sanita dkk.) 121

Tutubhada. pelaksanaan Etu dan lokasi penelitian yang Etu tidak hanya dimainkan oleh laki- hanya berfokus di Kampung Adat laki dewasa saja, namun anak laki-laki Tutubhada. juga melakukan olahraga tinju ini. Dalam Sesuai dengan judul penelitian dapat melakukan olahraga ini, tidak ada dijelaskan bahwa representasi menurut keseriusan yang terjadi, sehingga dapat Chris Barker adalah kajian utama dalam dikatakan permainan yang bertujuan untuk cultural studies yang mengartikan sebagai melatih keberanian dari anak laki-laki saat langkah dalam mengkonstruksikan secara sudah dewasa nanti. Berdasarkan sosial tentang penyajian makna kepada perbedaan sifat permainan, Roberts, Arts, masyarakat dan oleh masyarakat di dalam dan Bush sebagaimana dikutip oleh pemaknaan yang berbeda. Dalam kajian Danandjaja (2002) mengungkapkan bahwa kebudayaan ini tentu saja akan lebih fokus permainan rakyat (folk games) dapat dibagi pada individu tentang bagaimana proses menjadi dua golongan besar, yaitu pemaknaan sebuah arti masalah permainan untuk bermain (play) dan sosial/fakta sosial terhadap representasi permainan untuk bertanding (game). (pemaknaan setiap individu-individu). Melihat hal tersebut, Etu yang melibatkan Kemudian, maskulinitas dapat dijelaskan anak-anak ini termasuk ke dalam golongan sebagai peran sosial, perilaku dan makna- bermain karena Rusmana (2010) makna tertentu yang dilekatkan pada laki- mengatakan bahwa sebelum permainan laki. Menurut Barker (2001) maskulin berkembang menjadi sebuah perilaku yang merupakan sebuah bentuk konstruksi bermakna, bermain merupakan bagian dari kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki sebuah ritual budaya dan agama sehingga tidak dilahirkan begitu saja dengan sifat anak-anak yang terlibat menunjukkan maskulinnya secara alami, maskulinitas bentuk ekspresi dan kelebihan energi dibentuk oleh kebudayaan. Hal yang sekaligus mengikuti sebuah rangkaian menentukan sifat perempuan dan laki-laki budaya. adalah kebudayaan. Secara umum, Etu di Kampung Adat Tutubhada maskulinitas tradisional menganggap menjadi ritual tahunan yang dilaksanakan tinggi nilai-nilai antara kekuatan, karena masyarakat lokal menganggap kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, ritual ini sakral dan harus dilaksanakan. kemandirian, kepuasan diri, Masyarakat setempat percaya bahwa kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. apabila ritual tidak terlaksana, dapat Penelitian pertama yang menjadi menimbulkan malapetaka yang akan rujukan adalah penelitian oleh Kalvaristo menimpa daerah tersebut, (Kalvaristo, pada tahun 2007 yang berjudul Ritual Etu 2007). Hal ini menandakan bahwa Masyarakat Kampung Olaewa Flores masyarakat lokal masih menjunjung tinggi 1978-1981. Dalam penelitian tersebut unsur-unsur kebudayaan. peneliti berfokus pada sejarah Berdasarkan latar belakang tersebut, perkembangan Etu pada kurun waktu 1978 rumusan masalah yang diangkat dalam hingga 1981, peran Etu dalam masyarakat penelitian ini yaitu bagaimana representasi maskulinitas dalam ritual Etu. Penelitian pada masa itu, serta dampak ritual terhadap ini bertujuan untuk menjelaskan secara kehidupan bermasyarakat di Kampung deskriptif mengenai peran laki-laki yang Olaewa seiring dengan adanya dipresentasikan kembali berdasarkan ritual modernisasi. Perbedaan penelitan milik ini. Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai Kalvaristo dengan penelitian ini terletak bahan komparasi untuk penelitian serupa pada variabel penelitian dan lokasi dan pengembangan selanjutnya pada Etu. penelitian. Penelitian ini berfokus pada Batasan permasalahan pada penelitian ini representasi maskulinitas pada pelaksanaan adalah peran laki-laki di dalam proses ritual Etu yang berlokasi di Kampung Adat

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

122 Patanjala Vol. 13 No. 1 April 2021: 119 -136

Tutubhada, Kecamatan Aesesa Selatan, juga dilakukan untuk memperoleh data Kabupaten Nagekeo NTT. Sementara itu, primer. Pencarian data tersebut didukung persamaan penelitian ini dengan penelitian dengan studi dokumentasi sebagai penguat terdahulu terletak pada objek penelitian perolehan data baik saat wawancara yaitu rangkaian ritual Etu serta metode maupun observasi. Analisis data yang penelitian. digunakan yaitu deskriptif kualitatif dengan cara interpretatif data yang berarti Penelitian lain mengenai Etu ditulis merangkum, memilah dan menguraikan oleh Silvester Teda Sada selaku sekretaris segala informasi yang diperoleh selama di Dinas Pariwisata Kabupaten Nagekeo pada lapangan sesuai dengan rumusan dan tahun 2019. Silvester Teda Sada (2019) tujuan penelitian. menjelaskan mengenai proses dan Lokasi penelitian ini dilaksanakan perlengkapan Etu di Kampung Nataia di Kampung Adat Tutubhada (Dusun Kecamatan Aesesa, sementara artikel ini Tutubhada), Desa Rendu Tutubhada menjelaskan mengenai proses dan Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten perlengkapan Etu di Kampung Adat Nagekeo Pulau Flores Provinsi Nusa Tutubhada Kecamatan Aesesa Selatan. Tenggara Timur dengan titik koordinat 8o

37’ 36,6” S dan 121o13’38,3” E. Peta B. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar ini adalah metode penelitian kualitatif 1 di bawah ini. deskriptif. Pada penelitian ini peneliti mendeskripsikan atau memaparkan hasil- hasil wawancara mendalam terhadap subjek penelitian sebagaimana adanya sesuai dengan situasi dan kondisi ketika penelitian. Tujuan dari metode ini adalah untuk memahami secara luas dan mendalam terhadap suatu masalah secara detail pada suatu permasalahan yang sedang dikaji. Pengumpulan data dimulai dengan studi pustaka yang dilakukan sebelum dan sesudah penelitian lapangan berlangsung. Studi pustaka ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder baik sebelum menuju ke lokasi penelitian maupun saat penyusunan laporan (Angelita, Sugiantari, Khinari, dan Manurung, 2018). Saat di lokasi, pengamatan atau observasi dilakukan untuk memperoleh data terkini terkait Etu. Kemudian, wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi Gambar 1. Lokasi Penelitian secara langsung guna menjelaskan suatu Sumber: Google Maps, 2019. hal atau situasi dan kondisi tertentu, (Arifin, 2011). Narasumber dari wawancara yang dilakukan meliputi tokoh masyarakat, pemerintah desa, masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat dalam Etu

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

Representasi Maskulinitas dalam Ritual Etu… (Adinda Sanita dkk.) 123

C. HASIL DAN BAHASAN sedang dengan 62 hari hujan per tahunnya. 1. Gambaran Umum Desa Rendu (BPS Kabupaten Nagekeo, 2018). Tutubhada Desa Rendu Tutubhada terletak di 3. Data Kependudukan dan Mata Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Pencaharian Masyarakat Desa Rendu Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tutubhada Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Desa Rendu Tutubhada terdiri atas 161 KK Negeri Nomor 12 Tahun 2007 Tanggal 12 dengan 401 orang laki-laki dan 421 orang Maret 2007 mengenai Daftar Isian Potensi perempuan. Pekerjaan masyarakat Desa Desa dan Kelurahan, Desa Rendu Rendu Tutubhada yaitu mayoritas petani Tutubhada berbatasan langsung dengan dengan 297 orang laki-laki dan 291 orang Langedhawe di sebelah utara, dan perempuan, sedangkan lainnya bekerja Tengatiba, Rendu Teno, serta Wajomara di sebagai pegawai negeri sipil dan bidan. sebelah selatan. Sebelah timur Desa Rendu Keseluruhan penduduk Desa Rendu Tutubhada berbatasan langsung dengan Tutubhada beragama Khatolik. Adapun Ngegedhawe dan Wajomara, serta Rendu jumlah masyarakat Desa Rendu Tutubhada Teno dan Langedhawe di sebelah barat. berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 1. Desa Rendu Tutubhada memiliki empat Pembagian usia tersebut berdasarkan dusun yang meliputi Dusun Tutubhada, petarung ritual Etu yaitu Etu co’o Tasikapa, Paupada, dan Denanunu (BPS dilakukan oleh anak yang memasuki Kabupaten Nagekeo, 2018). sekolah taman kanak-kanak hingga SMP, sedangkan Etu meze dilakukan oleh anak 2. Kondisi Geografis Desa Rendu SMA hingga usia yang tidak ditentukan, Tutubhada (Watu, wawancara, 18 Juli 2019). Secara topografi, bentang wilayah yang dimiliki oleh Desa Rendu Tutubhada yaitu Tabel 1. Usia masyarakat dataran tinggi. Jarak Desa Rendu Desa Rendu Tutubhada Tutubhada dengan Kota Mbay yang Usia Laki-Laki Perempuan merupakan Ibukota Kabupaten Nagekeo (tahun) yaitu ±10 kilometer. Perjalanan tersebut 0-5 30 32 dapat ditempuh menggunakan kendaraan 6-12 43 41 bermotor baik sepeda motor maupun mobil 13-15 19 22 dengan aksesbilitas lancar dan mudah. 16-18 24 18 Desa Rendu Tutubhada memiliki 19-25 24 24 total luas wilayah sebesar 513 ha dengan 26-35 53 55 78 ha dipergunakan sebagai permukiman, 36-50 69 88 100 ha untuk perkebunan yang rata-rata >50 120 139 ditanami jagung, 40 ha untuk pekarangan, 10 ha merupakan lahan kritis, 3 ha untuk Sumber: Isian profil Desa Rendu Tutubhada, sarana dan prasarana, kuburan 1 ha dan 2018. perkantoran 1 ha, serta 280 ha sisanya merupakan lahan terlantar. Luas wilayah 4. Temuan Penelitian yang ditanami oleh jagung menghasilkan Pada tahun 2019 Ritual Etu dilaksanakan 70 ton di tiap hektarnya sekali panen. Hasil di Bulan Juli dan peneliti dapat panen tersebut merupakan pencapaian memberikan informasi mengenai yang didapat oleh masyarakat Rendu, rangkaian Etu, pelaku Etu yang terlibat, sehingga melakukan ritual Gua Meze pada perlengkapan yang digunakan saat Etu, Juni-Juli. Menurut BPS (2016), Kecamatan aturan pada saat Etu berlangsung, dan Aesesa Selatan memiliki curah hujan 1207 eksistensi Etu yang masih bertahan hingga mm yang memiliki tingkat kelembapan kini.

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

124 Patanjala Vol. 13 No. 1 April 2021: 119 -136 a. Rangkaian Etu sebagai hulu dan hilir kampung adat, Ritual Etu merupakan salah satu tahapan (Zakarias Isa Laja, wawancara, 13 Juli dari ritual Gua Meze atau ritual syukur 2019). Pembagian kelompok bergantung panen. Sebelum Ritual Etu dilaksanakan, pada letak rumah adat. Bagian hulu atau terdapat beberapa ritual yang dilakukan selatan akan mengikuti kelompok di rumah untuk menyambut pagelaran tinju Opa Zakarias, sementara rumah adat yang tradisional ini yang meliputi: berada di bagian hilir atau utara mengikuti ritual di rumah Opa Alo. 1) Maki Ritual Maki biasa dilaksanakan pada malam hari yang diawali dengan berkumpulnya kaum laki-laku di tengah lapangan Kampung Adat Tutubhada yang kemudian bersama-sama menuju bagian hulu atau sebelah selatan kampung adat melalui wesa. Gambar 3. Denah Kampung Adat Tutubhada Wesa yaitu dua kayu sebagai pintu gerbang Sumber: Google earth project, 2020. masuk Kampung Adat Tutubhada. Kaum laki-laki berjalan menuju wesa diikuti Ritual ini dilakukan oleh kaum laki-laki. dengan nyanyian yang bernama “Diyo”. Kaum laki-laki yang menumbuk padi tidak memiliki syarat khusus, siapa saja boleh mengikuti Gedho Peko ini. Padi yang ditumbuk merupakan padi yang digunakan saat ritual pembuka dari Gua Meze. Padi yang telah ditumbuk kemudian ditapis dengan dibantu kaum wanita.

Gambar 2. Wesa Sumber : Dokumentasi penulis, 2019.

Ritual dilanjutkan oleh para tetua adat Gambar 4. Menumbuk Padi yang menanyakan siapa saja bagian Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. keluarga yang tidak ikut dalam kegiatan ritual Gua Meze. Orang yang tidak mengikuti ritual tersebut akan mendapatkan makian dari siapa saja yang hadir dalam kegiatan tersebut.

2) Gedho Peko/Peko Ritual Gedho Peko merupakan kegiatan menumbuk padi. Ritual Gedho Peko Gambar 5. Menapis Padi dilakukan di dua tempat dengan membagi Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. masyarakat Kampung adat Tutubhada menjadi dua kelompok yang dianggap

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

Representasi Maskulinitas dalam Ritual Etu… (Adinda Sanita dkk.) 125

Ritual Gedho Peko tidak dipimpin oleh tetua adat, kegiatan langsung dilanjutkan untuk menyiapkan beras guna dimasak di ritual selanjutnya.

3) Naka api Ritual Naka Api atau curi api dilakukan oleh salah satu perwakilan anak laki-laki dari masing-masing kelompok untuk mengambil api. Ritual diawali dengan Gambar 6. Memasak Nasi dibawa turunnya bara api dari rumah Opa Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. Zakarias dan Opa Alo, kemudian Nasi yang telah masak kemudian dilanjutkan oleh perwakilan kelompok hilir ditutup rapat, disimpan, dan dijaga oleh yang pergi menuju kelompok hulu untuk salah satu tetua rumah adat dari masing- mengambil kayu yang berisi api untuk masing kelompok. Nasi di dalam periuk ini dibawa ke rumah adatnya dengan berlari. akan diberikan kepada anak laki-laki yang Saat perwakilan anak dari kelompok hilir akan mengikuti ritual Etu Co’o keesokan berlari membawa api, perwakilan anak dari harinya, (Zakarias Isa Laja, wawancara, 13 kelompok hulu mengikuti untuk Juli 2019). menangkap atau menggagalkan aksi curi api yang dilakukan kelompok hilir dan 5) Sagu Alu begitulah sebaliknya. Sagu Alu adalah sebuah tarian yang Jika api yang berhasil dicuri di menggunakan media bambu. Tarian ini tengah perjalanan, maka menandakan menjadi salah satu pertanda dari kelompok tersebut akan mengeluarkan banyaknya darah yang keluar saat Etu banyak darah saat Etu berlangsung, berlangsung. (Zakarias Isa Laja, wawancara, 13 Juli Apabila semakin banyak kaki penari yang 2019). Dalam ritual ini, perwakilan dari terjepit oleh bambu, maka semakin banyak masing-masing kelompok bertugas untuk darah yang akan keluar. Penari tidak boleh menjaga api yang dibawanya dan berusaha terjatuh saat menari di atas bambu, jika merebut api milik kelompok lawan. terjatuh penari harus melakukan upacara pemulihan bagi dirinya setelah kegiatan 4) Pedhe Pene tersebut dilaksanakan. Nama penari Sagu Ritual Pedhe Pene merupakan kegiatan Alu yaitu “Jai Sagu Alu” dan bagi memasak nasi di halaman depan rumah pemegang atau pemain bambunya disebut adat pada kelompok hulu dan hilir. Beras “Dhego”. Tidak ada kriteria khusus untuk yang telah ditapis akan dimasukkan ke menjadi Jai Sagu Alu maupun Dhego, dalam periuk kecil dan dimasak semua masyarakat Kampung Adat menggunakan kayu bakar dari masing- Tutubhada dapat melakukan tarian ini. masing rumah perwakilan kelompok Menarikan Sagu Alu membutuhkan tersebut. Ritual Pedhe Pene dilakukan kelincahan para penari. Terdapat irama dengan teliti dan hati-hati agar air tidak khusus untuk memainkan bambu Sagu Alu, tumpah dari periuk nasi, karena jika air yang iramanya itu disesuaikan dengan meluap menandakan kelompok tersebut gerakan kaki para penari. akan banyak mengeluarkan darah saat Etu berlangsung.

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

126 Patanjala Vol. 13 No. 1 April 2021: 119 -136

Nasi di periuk tersebut dibagikan ke anak laki-laki di masing-masing kelompok dengan cara diambilkan oleh perwakilan tetua masing-masing kelompok kemudian diletakkan di wadah kecil. Nasi yang telah diletakkan di wadah kecil kemudian dimakan oleh anak laki-laki di kelompok tersebut. Kegiatan makan nasi ini bertujuan Gambar 7. Tarian Sagu Alu untuk membuat anak laki-laki kuat pada Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. saat tinju tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan di dalam arena tinju yaitu di Tarian ini dilakukan hanya di satu tempat lapangan terbuka dan dibagi menjadi dua sebagai pertanda semua lingkaran tempat yaitu hulu dan hilir. Tidak ada kampung adat dari hulu dan hilir akan pembagian khusus bagi anak-anak untuk bermuara di tempat itu. Bambu yang memakan nasi tersebut (Seda, wawancara, digunakan untuk Sagu Alu merupakan 19 Juli 2019). bambu khusus yang disimpan di rumah Opa Zakarias (salah satu rumah tetua adat) yang akan diganti hanya ketika bambu tersebut sudah rusak. Sagu Alu menjadi pertanda bahwa Etu akan segera dilaksanakan dan juga menjadi tanda untuk tarian lainnya dan gong sudah dapat dimainkan. Tarian Sagu Alu dimulai dari pukul 05.00 WITA dan berakhir sampai matahari terbit, (Ngada, wawancara, 13 Juli 2020). Gambar 8. Melemparkan kepalan nasi. Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. 6) Lo Pene Ritual Lo Pene adalah kegiatan menurunkan periuk nasi yang dilakukan 7) Etu sore hari sekitar pukul 15.00 WITA. Periuk Etu yang merupakan tinju tradisional ini nasi yang telah diturunkan akan diambil dilakukan oleh kaum laki-laki baik anak- nasinya sedikit dan dikepalkan oleh salah anak (Etu Co’o) maupun dewasa (Etu satu tetua adat dari masing-masing Meze). Saat Etu berlangsung, petarung kelompok kemudian dilemparkan ke arah akan saling baku hantam di dalam arena kelompok lawan. pertarungan yang terletak di tengah Pelemparan nasi tersebut diikuti lapangan Kampung Adat Tutubhada. Etu dengan ucapan “Boka woka lau” yang dilaksanakan di berbagai daerah di artinya “sekalipun kau berdarah, kau akan Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ngada selamat dan sembuh”. dengan perbedaan yang terletak pada alat yang digunakan maupun istilahnya. Salah satu daerah yang mengadakan Etu yaitu Kampung adat Tutubhada. Etu di Kampung adat Tutubhada memiliki persamaan dengan Etu di

Kampung Rendu Ola Desa Rendu

Tutubhada karena merupakan satu suku

yang sama yaitu Suku Rendu. Kampung

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

Representasi Maskulinitas dalam Ritual Etu… (Adinda Sanita dkk.) 127 adat Tutubhada menjadi anak kampung atau hilir dari suku Rendu, sementara induknya berada di Kampung Rendu Ola yang menjadi hulu suku. Persamaan Etu pada kedua kampung tersebut meliputi penyebutan nama Etu, pelaku Etu, peralatan Etu, dan aturan Etu. Perbedaannya hanya terletak pada waktu pelaksanaan yang berbeda satu hari dan Gambar 9. Etu Co’o lokasi pelaksanaan yang berada pada Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. kampung masing-masing tersebut, (Alosius Lepa, wawancara, 13 Juli 2019). b) Etu Meze Petarung Etu Meze merupakan sepasang b. Pelaku Etu laki-laki dewasa dengan kisaran umur 15 Pelaku Etu merupakan orang-orang yang tahun ke atas atau anak laki-laki yang terlibat dalam pelaksanaan Etu yang sudah memasuki jenjang sekolah meliputi petarung, seka, sike, dan pai. menengah atas (SMA). Petarung Etu Meze juga tidak memiliki persyaratan khusus, 1) Petarung asalkan lawan yang dihadapi memiliki Seperti pertarungan tinju pada umumnya, kesamaan ukuran fisik, (Seda, wawancara, Etu juga melibatkan dua laki-laki untuk 20 Juli 2019). bertarung dalam satu arena. Petarung Etu terbagi menjadi dua macam yang dibedakan berdasarkan usia petarung yaitu: a) Etu Co’o Etu co’o merupakan sebuah ritual tinju dimana petarung dari tinju tersebut merupakan sepasang anak-anak. Etu co’o dilakukan setelah Lo Pene atau sehari sebelum Etu Meze dilakukan. Anak-anak Gambar 10. laki-laki yang sedang bertarung. yang menjadi petarung Etu Co’o Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. merupakan anak berusia sekitar 5-15 tahun. Anak laki-laki yang akan bertarung 2) Seka tidak ditentukan darimana asalnya, namun Seka atau wasit merupakan penengah pada dalam praktiknya petarung yang datang saat Etu berlangsung. Seka akan dipilih dari sebelah utara Desa Rendu Tutubhada berdasarkan kesepakatan forum pada hari akan menjadi petarung kelompok hilir dan sebelum Etu berlangsung. Seseorang akan yang datang dari sebelah selatan desa akan dipilih menjadi seka karena dianggap menjadi petarung kelompok hulu. Lawan mampu serta memiliki sifat adil dan petarung tidak memiliki aturan khusus sportif. Pemilihan seka tidak ditentukan hanya saja harus sepadan yang berarti berdasarkan latar belakang tertentu. Seka kisaran umurnya tidak terlalu jauh dan yang terpilih juga tidak ada upacara khusus ukuran fisik yang sama. Etu Co’o yang dilakukan sesudah maupun sebelum dilakukan dengan harapan anak-anak Etu berlangsung. sudah terbiasa dengan Etu saat dewasa Seorang seka harus melerai petarung nanti, (Seda, wawancara, 20 Juli 2019). ketika emosi salah satu atau kedua petarung tidak terkontrol. Seka akan melerai saat petarung memeluk satu sama lain, salah

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

128 Patanjala Vol. 13 No. 1 April 2021: 119 -136 satu petinju dalam bahaya, dan suasana 4) Pai dalam pertandingan sudah tidak kondusif. Seseorang yang menjadi komunikator Apabila seorang seka tidak mampu antara hulu dan hilir disebut dengan pai. bersikap adil dan menimbulkan kekacauan Pai bertugas menjadi komunikator yang antarkedua pihak, seka tersebut harus menghubungkan dua kelompok petarung langsung diganti dan dikenakan sanksi untuk mencari lawan seimbang dengan setelah ritual selesai. Sanksi adat tersebut persetujuan kedua petarung yang akan berupa beras dan daging babi untuk bertarung. Pai juga ditentukan oleh forum diberikan kepada masyarakat Rendu untuk sebelum Etu berlangsung dan tidak ada dimakan bersama. Saat pertandingan telah pantangan atau upacara khusus sebelum usai, seka bertugas untuk mendamaikan maupun sesudah Etu berlangsung, (Ngada, petarung. wawancara, 22 Juli 2019).

3) Sike c. Perlengkapan Etu Sike merupakan seseorang yang memegang Etu memiliki berbagai macam atau mengontrol petarung dengan cara perlengkapan yang digunakan oleh memegang kain yang digunakan petarung petarung maupun masyarakat Rendu untuk (ngeu) dari belakang. Ngeu harus dipegang memberikan semangat saat pertarungan dari bawah agar pegangan kuat dan tidak berlangsung. Perlengkapan tersebut mudah terlepas. Sike harus memahami meliputi: teknik Etu, sehingga sike tidak menjadi penghalang atau membatasi gerak 1) Kepo petarung. Seorang sike boleh mendorong Kepo merupakan sarung tinju yang petarung untuk mendukung serangan tinju digunakan saat Etu. Masyarakat Desa ke lawan, dan tidak boleh menarik atau Rendu Tutubhada biasa membuat kepo menahan petarung sehingga pergerakannya baru jika Etu akan dilaksanakan. Kepo tidak leluasa. Sike boleh melepaskan kain terbuat dari beberapa bahan yaitu serabut petarung ketika arus dari petarung lawan kelapa (robanio), tulang lontar (tokokoli), sangat kuat dengan tujuan menyelamatkan dan kulit pohon (nuka) yang sudah dipintal diri atau menghindari serangan lawan. Sike untuk nantinya digunakan sebagai tali saat harus mampu memberikan semangat mengikat kepo, serta tali rafia sebagai kepada petarung baik dengan kata-kata pengikat tambahan. Cara pembuatannya maupun tarian. Sike dipilih berdasarkan yaitu dengan memilin kecil tulang lontar kesepakatan forum dan tidak ada dan digumpal hingga sesuai dengan pantangan maupun upacara khusus sesudah genggaman tangan laki-laki. Tulang lontar dan sebelum Etu dilaksanakan, (Ngada, yang sudah digumpal, selanjutnya wawancara, 22 Juli 2019). dibungkus dengan serabut kelapa hingga menutupi seluruh bagiannya dan hanya menyisakan rongga di bagian ujung tulang lontar. Rongga inilah yang nantinya akan digunakan untuk melukai lawan. Kepo yang sudah setengah jadi tersebut lalu diikat di bagian ujungnya dengan menggunakan tali rafia, serta nuka yang diikatkan pada bagian akhir dari kepo sebagai pengikat di tangan petarung yang akan melakukan tinju, (Ngada, wawancara, Gambar 11. Sike sedang menahan petarung. 22 Juli 2019). Sumber: Dokumentasi penulis, 2019.

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

Representasi Maskulinitas dalam Ritual Etu… (Adinda Sanita dkk.) 129

3) Ngeu Ngeu adalah selendang yang digunakan petarung saat melakukan Etu. Ngeu akan diikatkan di pinggang petarung setelah memakai sada. Ngeu tersebut akan dipegang oleh sike yang ada di arena, agar nantinya bisa ditarik jika ada petarung yang emosinya tidak terkendali, (Ngada, wawancara, 21 Juli 2019).

Gambar 12. Kepo Sumber: Dokumentasi penulis, 2019.

2) Sada Etu Sada Etu merupakan kain tradisional seperti sarung yang digunakan oleh pelaku Etu selama pertandingan berlangsung dan orang lain yang tidak menggunakan sada tidak diperolehkan masuk ke dalam arena Etu. Sada merupakan salah satu busana khas masyarakat Rendu. Petarung menggunakan kain ini sebagai bawahan dan tidak memakai baju. Sada Etu yang digunakan tidak ada yang khusus, pelaku Etu dapat menggunakan kain yang Gambar 14. Petarung menggunakan ngeu. dimilikinya masing-masing, (Ngada, Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. wawancara, 21 Juli 2019). 4) Gong dan Kendang Saat Etu berlangsung, terdapat gong dan kendang yang digunakan untuk mengiringi kegiatan ritual. Gong dan kendang yang digunakan yaitu berupa 1 buah kendang dan 5 buah gong berukuran kecil. Jumlah gong tersebut tidak dapat ditambah maupun dikurangi karena bunyi yang ditimbulkan dari keenam alat musik tersebut sudah sesuai dengan nada yang diinginkan dan hal tersebut sudah berlangsung sejak dari nenek moyang di Desa Rendu Tutubhada, (Ngada, wawancara, 21 Juli 2019). Gong dan kendang yang digunakan dalam kegiatan Etu berasal dari rumah Opa Zakarias. Gong dan Gambar 13. Sada Etu kendang tersebut Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. bukan kendang asli yang diwariskan secara turun-temurun melainkan hanya kendang biasa yang selalu digunakan dalam setiap kegiatan yang ada di desa, sedangkan kendang asli disimpan di

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

130 Patanjala Vol. 13 No. 1 April 2021: 119 -136 rumah Opa Alo, yaitu wakil ketua suku di secara medis karena kepercayaan Desa Rendu dan hanya boleh digunakan masyarakat bahwa luka yang ada akan saat upacara pembedahan rumah adat dan sembuh dalam tiga hari. Darah yang keluar dibutuhkan upacara khusus sebelum saat Etu dianggap sebagai ajakan bagi diturunkan dari rumah adat. setiap generasi berikutnya untuk memahami Pemukulan gong dan kendang dan mau belajar mengenai sikap tersebut tidak ada aturan, hal tersebut kebersamaan, sikap konsisten, serta saling tergantung pada bakat seseorang yang menghargai, (Ngada, wawancara, 22 Juli memainkannya. Gong dan kendang ini 2019). biasa dimainkan saat petarung telah memasuki arena dan saat petarung telah e. Eksistensi Etu di Masa Kini memulai pertarungannya, gong akan Etu di Kampung adat Tutubhada telah berhenti dimainkan. Saat petarung sudah menjadi tradisi masyarakat Rendu sejak kembali berdamai, akan diikuti dengan kurang lebih 150 tahun yang lalu apabila teriakan “haiyayahaiyaya” dan barulah dilihat dari jumlah tanduk kerbau yang gong kendang kembali dibunyikan, ada di dalam rumah adat. Menurut (Ngada, wawancara, 21 Juli 2019). kepercayaan tokoh masyarakat, satu tanduk kerbau melambangkan 30 tahun usia rumah adat dan rumah adat tertua memiliki lima buah tanduk kerbau. Etu yang telah berusia 150 tahun masih dilaksanakan oleh masyarakat Rendu saat ini karena beberapa faktor, yang meliputi:

1) Kepercayaan Terhadap Pantangan Nenek Moyang Salah satu unsur penting di dalam

melestarikan nilai-nilai budaya dalam Gambar 15. Gong dan Kendang masyarakat adalah upacara-upacara yang Sumber: Dokumentasi penulis, 2019. berkaitan dengan kepercayaan dan religi yang mereka anut (Rusnandar, 2013). Di d. Aturan Etu balik modernisasi akibat globalisasi, ritual Saat bertarung, petarung Etu hanya Etu menjadi salah satu tradisi budaya yang diperbolehkan menggunakan kedua tangan masih kental dengan ketradisionalannya. yang mana salah satu tangannya memukul Masyarakat Rendu yang tetap dengan menggunakan kepo dan satu lagi menghadirkan ritual Etu sebagai bentuk berfungsi untuk menangkis serangan dari syukur panen menjadi salah satu contoh lawan. Petarung Etu dilarang menyerang bahwa masih adanya kepercayaan terhadap lawan dengan menggunakan kaki dan pantangan nenek moyang yang jika tidak memeluk lawan. Jika ronde pertama telah dilaksanakan maka roh-roh nenek moyang diselesaikan oleh seka, petarung dapat akan murka yang dapat menyebabkan meminta ronde bertarung berikutnya gagal panen, (Ilwan, Dirman, dan Wardani, dengan memberi isyarat kepada sike yang 2019). Selain itu, Orang yang berada di memegang mereka atau memberi isyarat arena diusahakan agar tidak terjatuh karena langsung kepada seka. Pertarungan ini dianggap ada hal buruk di dalam diri orang dilakukan bukan untuk mencari pemenang, yang terjatuh tersebut. Kepercayaan sehingga Etu akan diakhiri oleh seka ketika masyarakat Rendu Tutubhada mengenai salah satu dari petarung sudah menyerah keberadaan nenek moyang masih sangat atau mulai mengeluarkan darah. Petarung kental, sehingga Ritual Etu dapat terjaga yang mengeluarkan darah tidak ditangani hingga kini, (Alosius Lepa, wawancara, 14

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

Representasi Maskulinitas dalam Ritual Etu… (Adinda Sanita dkk.) 131

Juli 2020). Sesuai skema budaya banyak mengalami perubahan dari generasi masyarakat Tuhan, roh leluhur dan roh ke generasi. Namun, untuk ritual-ritual alam adalah sumber kekuatan spiritual dan yang dianggap sakral dan melibatkan moral utama yang sangat menentukan komunikasi langsung dengan nenek keberadaan, kebertahanan, dan moyang masih dilakukan oleh tetua adat, keberlanjutan hidup masyarakat sebagai seperti ritual pembukaan Gua Meze. manusia dan masyarakat untuk kehidupan di dunia menuju kehidupan akhirat yang 4) Adanya Pendidikan Sejak Dini kekal dan abadi (Labur, 2019). Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses 2) Mata Pencaharian Masyarakat Rendu perkembangan dengan pesat serta memiliki Sebagai Petani karakteristik dan potensi yang harus Menurut data kependudukan dan mata dikembangkan dengan memberikan pencaharian masyarakat Desa Rendu kesempatan pada anak untuk Tutubhada, sekitar 70% masyarakatnya mengeksplorasi berbagai pengalaman yang hidup dari sektor pertanian. Lahan yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan dimilikipun tidak hanya di area Desa anak sehingga pendidikan pada anak usia Rendu Tutubhada, namun juga tersebar dini digunakan sebagai tempat untuk hingga Kota Mbay. Hasil panen yang menstimulasi setiap perkembangan dan didapat setiap tahun menjadi persediaan kebutuhan anak. Anak usia dini pada pangan serta modal untuk dijual oleh para dasarnya sedang mengalami pertumbuhan petani Rendu. Hal itulah yang menjadi dan perkembangan. salah satu faktor ritual syukur panen masih Pengenalan ritual Etu di Desa dilaksanakan hingga kini karena Gua Meze Rendu, Tutubhada sudah dilakukan pada merupakan cara masyarakat Rendu untuk anak usia dini, anak laki - laki yang masih bersyukur atas hasil panen di musim berusia 5 tahun ke atas sudah sebelumnya dan memohon kesuburan dari diperbolehkan mengikuti pertandingan Etu, nenek moyang untuk musim selanjutnya, sedangkan anak perempuan meramaikan (Watu, wawancara, 18 Juli 2020). dengan menari pada saat ritual Etu berlangsung. Pembelajaran tersebut 3) Masih Adanya Pelaku Ritual diterapkan dari pra ritual Etu hingga pasca Hingga kini, pelaku ritual yang merupakan ritual Etu. Anak-anak terlihat gembira dan tetua adat masih ada dan turut andil dalam bersemangat saat melaksanakan sejumlah pelaksanaan ritual. Tetua adat yang rangkaian ritual Etu yang disimulasikan. dimaksud adalah mereka yang menerima Orang tua anak-anak Desa Rendu, nilai-nilai mengenai Etu dari generasi Tutubhada mengatakan, kegiatan sebelumnya dan paham mengenai segala keagamaan seperti ritual Etu yang hal yang berkaitan dengan Etu dimulai dari dilakukan sejak dini sangat bermanfaat rangkaian, perlengkapan, nyanyian, serta dalam membantu membentuk karakter aturannya. Tetua-tetua adat tersebut hingga anak-anak mereka, (Seda, wawancara, 20 saat ini mewariskan nilai-nilai mengenai Juli 2019). Salah satu orang tua yang Etu kepada generasi selanjutnya. memiliki anak sebagai petarung di Etu Tetua di setiap rumah adat Co’o mengatakan bahwa tidak takut Tutubhada akan mengajarkan kepada ataupun khawatir saat melihat anaknya generasi selanjutnya dengan berlatih melakukan tinju saat ritual karena nyanyian, doa-doa, maupun memahami kepercayaan akan luka yang ada dapat makna dari setiap tahapan ritual sehingga sembuh dalam tiga hari tanpa bantuan dapat memimpin beberapa kegiatan di medis. Selain itu, anak yang mengikuti Etu ritual. Hal itu yang tetap menjaga nilai- Co’o akan berlatih dan belajar berani serta nilai dan tatanan ritual, sehingga tidak

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

132 Patanjala Vol. 13 No. 1 April 2021: 119 -136 ikut melestarikan budaya, (Duka, Tutubhada percaya akan terjadi petaka, wawancara, 22 Juli 2019). (Laja, wawancara, 13 Juli 2019).

5) Adaptif 7) Adanya Dukungan dari Pemerintah Dalam perkembangannya, Etu mengalami Ritual Etu menjadi salah satu daya tarik beberapa perubahan dalam masyarakat luar untuk mengunjungi Desa pelaksanaannya. Hal ini dilihat dari Rendu Tutubhada. Selain dapat beberapa benda yang saat ini tidak banyak mempertahankan eksistensi Etu di masa tersedia di alam, sehingga harus dicarikan kini, ritual ini juga memiliki potensi untuk penggantinya. Adaptif yang terjadi dalam menyejahterakan masyarakat Rendu. pelaksanaan Etu yaitu: Potensi pengembangan daya tarik tersebut didukung oleh pemerintah Desa Rendu a) Sagu alu Tutubhada dengan bentuk pengadaan Penari dalam ritual sagu alu ini seharusnya amenitas untuk menunjang aktivitas dilakukan oleh anak-anak muda yang pariwisata baik dalam bentuk fasilitas penuh energi, tetapi karena kurangnya pendukung seperti lahan parkir, rumah antusias dan banyaknya anak yang takut singgah, dan toilet. Dinas Kebudayaan dan dengan pamali maka mereka tidak ingin Pariwisata Kabupaten Nagekeo juga telah memainkan tarian tersebut. Hal ini mengadakan pelatihan pemandu wisata membuat sagu alu hanya dilakukan oleh bagi masyarakat Desa Rendu Tutubhada tetua adat di Kampung adat Tutubhada. untuk mendampingi wisatawan yang datang dan ingin mempelajari budaya di b) Loka bue roga Kampung Adat Tutubhada. Ritual Etu Loka bue roga merupakan salah satu yang telah masuk ke dalam daftar warisan kegiatan berbalas pantun yang dilakukan tak benda pada tahun 2015 juga merupakan setelah Etu Meze. Loka bue roga yang salah satu bentuk dukungan pemerintah dilakukan oleh kaum muda untuk mencari untuk mempertahankan eksistensi Etu pasangan sudah tidak dilakukan di masa hingga kini. kini karena perkembangan teknologi yang pesat sehingga mencari jodoh melalui 8) Atraktif balas pantun tidak lagi memiliki esensi Etu merupakan ritual yang menarik, bagi kaum muda. sehingga dapat digunakan untuk menarik wisatawan ke Kampung Adat Tutubhada c) Kepo ini. Indonesia memiliki potensi yang besar Salah satu bahan pembuatan kepo yaitu tali dalam pengembangan pariwisata, karena yang terbuat dari kulit pohon, namun selain memiliki alam yang indah juga karena tali tersebut sudah jarang aneka ragam budaya dan adat istiadat. ditemukan dan terdapat bahan alternatif Setiap dilaksanakannya Etu, Kampung lain, maka untuk mengikat kepo tersebut Adat Tutubhada didatangi oleh pengunjung diganti dengan tali rafia. dari berbagai daerah di Pulau Flores. Namun, kedatangan pengunjung yang 6) Ketersediaan Lokasi sangat tinggi belum dikelola dengan baik Etu di Kampung Adat Tutubhada yang oleh masyarakat Rendu, sehingga potensi merupakan hilir kampung akan terus yang belum tergarap secara optimal. Hal dilaksanakan di lapangan kampung adat itu mungkin dikarenakan alasan dana karena apabila akan ke tempat lain tokoh maupun sumber daya manusia yang belum masyarakat akan meminta persetujuan siap (Rostiyati, 2013). Meskipun demikian, nenek moyang dengan bacaan-bacaan doa eksistensi Etu masih terjaga sampai tertentu dan apabila dilakukan di tempat sekarang karena mempunyai daya tarik lain maka masyarakat Kampung adat yang meliputi motif tinju tradisional ini

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

Representasi Maskulinitas dalam Ritual Etu… (Adinda Sanita dkk.) 133 adalah murni bagian dari adat tanpa karakter laki-laki yang berjiwa keras dan melihat darimana asal petarung, kuat dihadirkan melalui kegiatan dilaksanakan satu tahun sekali di waktu menumbuk padi yang tidak boleh diambil tertentu, dan tidak dipungut biaya untuk alih oleh kaum perempuan. Kaum menontonnya. perempuan hanya dapat membantu pada saat menapis padi. Pada Ritual naka api 5. Representasi Maskulinitas dalam Etu juga menampakkan maskulinitas laki-laki Ritual Gua Meze menjadi ritual tahunan yaitu peran tanggungjawab dalam menjaga bagi masyarakat Rendu sebagai tanda api supaya tidak dicuri menandakan bahwa syukur atas hasil panen yang berhasil laki-laki diberikan kepercayaan untuk dilakukan. Dalam Ritual Gua Meze mencapai tujuan yang telah diamanahkan. memiliki beberapa rangkaian ritual yang Ritual Etu yang dilakukan bukan dilakukan dan ritual Etu menjadi salah satu hanya pertarungan yang digunakan sebagai ritual inti perayaannya. Ritual Etu pelampiasan amarah dengan saling dilaksanakan sebagai tanda sorak gembira memukul, tetapi memiliki makna masyarakat yang diwujudkan dengan kebersamaan dan saling menghargai yang pertarungan di arena tinju. Namun dalam tercermin pada pelaku Etu. Makna pelaksanaannya, yang dapat terlibat dalam kebersamaan dan saling menghargai dilihat seluruh rangkaian ritual Etu hanyalah dari seluruh rangkaian yang direncanakan kaum laki-laki karena dianggap sebagai dan diwujudkan melalui musyawarah makhluk yang keras dan berani (Alosius untuk mufakat antarkaum laki-laki sebagai Lepa, wawancara, 13 Juli 2019). Dari kepala rumah tangga, sehingga diharapkan seluruh rangkaian Ritual Etu yang hanya dapat memberikan keputusan-keputusan dapat melibatkan kaum laki-laki tersebut yang mewakili seluruh keluarga di menunjukkan adanya representasi Kampung Adat Tutubhada. Musyawarah maskulinitas melalui ritual ini. tersebut dilakukan untuk menetapkan Pada Ritual maki, wanita tidak dapat waktu serta menentukan pelaku-pelaku Etu mengikuti ritual ini karena adanya pamali yang akan terlibat. yaitu tentang kepercayaan nenek moyang Etu yang dilakukan oleh laki-laki bahwa kaum wanita merupakan kaum yang menunjukkan kewibawaan dan kekuatan terkenal halus kata dan perilaku, sehingga yang diwariskan oleh nenek moyang saat tidak sesuai dengan Ritual maki yang harus perang, sehingga hari ini Etu menjadi bukti mengeluarkan kata-kata kasar. Dalam kewibawaan dan harga diri laki-laki ritual ini hanya dapat diikuti oleh kaum (Mammilianus, 2010). Meskipun makna laki-laki karena laki-laki memiliki watak tersebut dipegang erat oleh masyarakat kasar dan keras, (Ngada, wawancara, 17 Rendu, tidak ada paksaan bagi kaum laki- Juli 2019). Representasi maskulinitas pada laki untuk menjadi pelaku Etu baik kaum laki-laki terlihat dalam pengambilan petarung maupun peran pendukung Etu. peran untuk meluapkan emosi kepada Hal tersebut juga menjadi wujud dari penduduk kampung adat yang tidak makna saling menghargai yang dipegang megikuti ritual sebelumnya. Hal tersebut erat oleh masyarakat Rendu, (Ngada, dapat menjelaskan bahwa laki-laki wawancara, 22 Juli 2019). memiliki kemampuan mengontrol dan Tinju tradisional yang dilakukan ucapannya mampu memengaruhi dalam oleh dua orang laki-laki yang saling pengambilan keputusan. Maskulinitas hantam ini menunjukkan bahwa terdapat kembali dipresentasikan dalam Ritual penanda maskulinitas seperti kekuatan, gedho peko. Kegiatan menumbuk padi ini ketabahan, pengendalian diri, kepuasan dilakukan oleh laki-laki yang menunjukkan diri, dan kesetiakawanan di dalamnya. kuasa maskulinitasnya dalam mengambil Kekuatan ditunjukkan dengan aksi tinju pekerjaan yang berat. Dalam ritual ini, atau saling memukul satu sama lain.

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

134 Patanjala Vol. 13 No. 1 April 2021: 119 -136

Ketabahan ditunjukkan dengan meliputi kepo, sada Etu, ngeu, serta kemampuan petarung saat menerima gong dan kendang. kekalahan dalam pertarungan. - Aturan Etu meliputi tindakan yang Pengendalian diri dapat terlihat dari boleh dan tidak boleh dilakukan oleh kemampuan petarung mengontrol emosi petarung, serta batasan pertandingan agar Etu atau tinju tidak melewati batas yang dapat dilakukan. dan melenceng dari maksud ritual. - Eksistensi Etu di masa kini tetap terjaga Kepuasan diri ditunjukkan dengan gerakan karena adanya beberapa faktor yang meninju sekuat tenga dan meluapkan meliputi kepercayaan terhadap emosi, tetapi masih di bawah kendali. pantangan nenek moyang, mata Kemudian kesetiakawanan laki-laki dapat pencaharian masyarakat Rendu sebagai dilihat pada aksi berpelukan seusai tinju petani, masih adanya pelaku ritual, dilaksanakan yang menandakan bahwa adanya pendidikan sejak dini, adaptif, persahabatan masih tetap terjalin dan adanya dukungan dari pemerintah, dan pertarungan tidak akan terjadi di luar ritual atraktif. Etu. - Etu hanya dapat dilakukan oleh kaum Ritual Etu tidak memperbolehkan laki-laki sebagai sosok yang keras dan wanita terlibat langsung dan menjadi berani, sehingga maskulinitas kaum pelaku Etu karena dianggap sebagai sosok laki-laki yang dipresentasikan kembali yang suci, berwatak halus, dan dalam Etu dalam bentuk kekuatan, memelihara. Bahkan, kaum wanita tidak ketabahan, pengendalian diri, kepuasan diperbolehkan memasuki arena tinju dan diri, dan kesetiakawanan. Kaum wanita melintasi jalur keluar masuknya petarung tidak diperbolehkan terlibat dalam menuju arena. Hal ini dipercayai dapat Ritual Etu karena dianggap sebagai mengakibatkan banyaknya pertumpahan kaum yang suci dan memelihara, darah yang terjadi saat Etu berlangsung sehingga tidak sesuai dengan dan memperparah luka yang diderita karakteristik pertarungan yang bersifat petarung. Meskipun darah yang keluar dari keras dan mengeluarkan darah. petarung merupakan lambang keberkahan - Melalui rangkaian Ritual Etu yang yang melimpah selama satu tahun, tetapi dilaksanakan, kaum wanita hanya petarung tidak akan melanjutkan berperan sebagai pendukung dari pertarungan jika salah satu dari petarung kegiatan yang dilakukan oleh kaum sudah terluka. Kepercayaan ini masih laki-laki dan kaum laki-laki menjadi dipegang oleh masyarakat Rendu sehingga pelaku utama dari seluruh rangaian kaum wanita hanya dapat berdiam di Ritual Etu. pinggir arena sambil bernyanyi dan Saran yang dapat peneliti sampaikan menarikan lagu “diyo” untuk meramaikan kepada pemerintah berkaitan dengan Etu di dan memberi semangat kepada petarung. Kampung Adat Tutubhada ini yaitu meningkatkan upaya pelestarian dengan D. PENUTUP memperkenalkan Etu kepada masyarakat Dari beberapa pembahasan mengenai Etu luas. Salah satu cara yang bisa disarankan di Kampung Adat Tutubhada di atas dapat yaitu dengan menjadikan Kampung Adat ditarik simpulan sebagai berikut: Tutubhada menjadi desa wisata budaya - Kegiatan yang dilakukan sebelum ritual yang didukung dengan berbagai kegiatan Etu dilangsungkan meliputi ritual maki, pameran, event, pertunjukan dan juga gedho peko, naka api, pedhe pene, sagu publikasi yang baik kepada masyarakat alu, dan lo pene. luas. Namun tidak hanya itu, pelatihan- - Pelaku Etu meliputi petarung, sike, pelatihan sumber daya manusia juga sangat seka, dan pai. diperlukan sehingga masyarakat siap - Perlengkapan Etu yang digunakan menerima kedatangan tamu untuk

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

Representasi Maskulinitas dalam Ritual Etu… (Adinda Sanita dkk.) 135 menyaksikan Etu sebagai ritual DAFTAR SUMBER kebanggaan masyarakat Kampung Adat Angelita, C., Sugiantari, N. M. Y., Khinari, A. Tutubhada. S. P., dan Manurung, R. F. (2018). Saran untuk masyarakat setempat Laporan penelitian: Udayana Scientific adalah masyarakat harus lebih Excursion Divisi Studi Budaya pada meningkatkan dan mempererat kerukunan, Bangunan Uma Lengge Desa Maria gotong-royong, dan persatuan sehingga Kabupaten Bima NTB. Denpasar: Mapala Etu bisa berkembang. Kesadaran akan Wanaprastha Dharma Universitas pentingnya pendidikan harus lebih Udayana. ditanamkan, sehingga masyarakat lokal Arifin, Z. (2011). Penelitian Pendidikan. mendapatkan ilmu pengetahuan dan Bandung: PT Remaja Rosdakarya. informasi yang luas dan menyadari penuh BPS Kabupaten Nagekeo (2018). Kabupaten akan tradisi yang dimilikinya harus dijaga Nagekeo Dalam Angka 2018. Nagekeo: dan dilestarikan. Masyarakat juga Badan Pusat Statistik Kabupaten diharapkan lebih kreatif dan inovatif dalam Nagekeo. mengembangkan Etu yang menjadi salah satu daya tarik wisatanya, sehingga dapat Budiman, H. G. (2013). Makna dan Nilai Budaya Tapis Inuh pada Masyarakat meningkatkan kunjungan wisatawan. Pesisir di Lampung Selatan. Patanjala, 5 Kelompok sadar wisata (pokdarwis) (3), 522. Desa Rendu Tutubhada harus lebih meningkatkan pelayanan terhadap Danandjaja, J. (2002). Folklor Indonesia. wisatawan sehingga dapat mencapai Jakarta: Grafiti. standar nasional maupun internasional dan Duka, F. (22 Juli 2019). Wawancara. lebih berkonsentrasi dalam Ilwan, I., & Wardani, A. K. (2019). Ritual mempromosikan potensi wisata. Saran Mewuhiha Limano Bhisa dalam untuk tokoh adat agar mewariskan ilmu Menyambut Pesta Panen pada Masyarakat pengetahuan mereka mengenai Etu dan Desa Morindino Kecamatan Kambowa tradisi di Kampung Adat Tutubhada Kabupaten Buton Utara. Jurnal Kelisanan kepada generasi muda untuk melanjutkan Sastra dan Budaya, 2 (2), 37-38. tradisi di masa yang akan datang. Kalvaristo, K. Y. (2007). Etu Masyarakat Kampung Olaewa Flores 1978 – 1981. UCAPAN TERIMA KASIH Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Terselesaikannya penelitian ini tidak lepas Sanata Dharma Yogyakarta. dari dukungan dan doa dari berbagai pihak, Khinari, A. S. P., Dewi, A. A. A. I. S., Lubis, sehingga dengan segenap hati penulis ingin D. N., Juliyanti, N. P. I., Sugiantari, N. M. mengucapkan terima kasih kepada: Y., Marlina, N. K. A. (2019). Laporan - Desa Rendu Tutubhada, tokoh penelitian: Udayana Scientific Excursion masyarakat serta masyarakat Kampung Divisi Studi Budaya mengenai Ritual Etu Adat Tutubhada atas informasi, fasilitas, di Kampung Adat Tutubhada Desa Rendu dan dukungannya. Tutubhada Kecamatan Aesesa Selatan - Sponsor Udayana Scientific Excursion Kabupaten Nagekeo Provinsi Nusa (USE) 2019 meliputi BPD, Serenity, Tenggara Timur. Denpasar: Mapala dan BPR Lestari. “Wanaprastha Dharma” Universitas Udayana. - Seluruh anggota Mapala “Wanaprastha Dharma” Universitas Udayana yang Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu telah memberikan dukungan, sehingga Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. USE 2019 dapat terlaksana dengan Labur, B. H. K. (2019). Nilai-Nilai Religius baik. dalam Ritual Tudak Penti di Kampung Teber-Manggarai Timur (Telaah Atas Upacara Syukuran Hasil Panen dalam

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)

136 Patanjala Vol. 13 No. 1 April 2021: 119 -136

Etnis Budaya Manggarai). Diploma thesis Universiras Katolik Widya Mandira.

Laja, Z. I. (13 Juli 2019). Wawancara.

Lepa, A. (13 Juli 2019). Wawancara.

Lepa, A. (14 Juli 2019). Wawancara.

Mammilianus, S. (2010). Tinju Adat Nagekeo:

Kewibawaan dan Harga Diri. Diakses 13 Maret 2021 dari tribunnews.com/tribunners/2010/08/02/ke wibawaan-dan-harga-diri Ngada, B. (13 Juli 2019). Wawancara. Ngada, B. (17 Juli 2019). Wawancara.

Ngada, B. (21 Juli 2019). Wawancara. Ngada, B. (22 Juli 2019). Wawancara. Republik Indonesia. (2003). Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 4301. Jakarta: Sekretariat Negara. Republik Indonesia. (2017). Undang Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017, Nomor 104. Jakarta: Sekretariat Negara.

Rostiyati, A. (2013). Potensi Wisata di Lampung dan Pengembangannya. Patanjala, 5 (1), 148-162. Rusmana. D. D. A. (2010). Permainan Congklak: Nilai dan Potensinya bagi perkembangan Kognitif Anak. Patanjala, 2 (3), 538. Rusnandar, N. 2013. Seba: Puncak Ritual Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Patanjala, 5 (1), 84. Sada, S. T. (2019). Ritual Etu Nataia. Artikel milik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nagekeo.

Seda, T. (19 Juli 2019). Wawancara.

Seda, T. (20 Juli 2019). Wawancara.

Susanti, D. P. 2014. Dampak Permainan Tradisional Kelompok terhadap Perilaku Sosial Siswa Tunarungu. Diakses dari: repository.upi.edu Watu, A. (18 Juli 2019). Wawancara.

Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242 (online)