BAB 2

KAJIAN TEORI

2.1. Pengertian Arsitektur

Arsitektur dari Bahasa Yunani, yaitu arche yang artinya asli, awal, utama, otentik serta tektoon yang artinya berdiri stabil, kokoh, stabil statis.

Jadi arsitektur merupakan sesuatu yang mengutamakan kekokohan.

Arsitektur adalah proses estetika total, yaitu dampak dari pengalaman budaya total terhadap kehidupan organis, psikologi dan sosial dan merupakan sarana serta cara berekspresi yang fungsi utamanya adalah intervensi untuk kepentingan manusia, tanpa menghilangkan identitasnya

(Budihardjo, 1983).

Arsitektur adalah pembangunan utama, dalam arti terbatas dalam arti total norma. Tata bangunan, tata ruang, tata seluruh pengejawantahan yang selalu datang dari dalam, dari inti, galih, jati diri, pandangan semesta, sikap didup serta kebudayaan bangsa ; dari galaksi keyakinan dasar suatu komunitas, konkrit, histories, tidak abstrak, tidak seragam untuk segala bangsa maupun kurun jaman (Mangunwijaya, 1983).

Karya arsitektur merupakan salah satu refleksi dan perwujudan kebudayaan dasar masyarakat serta memuat sejumlah makna yang dapat dikomunikasikan (Rapoport,1969). Karya arsitektur sebagai salah satu wujud paling konkret dari kebudayaan, sebagai bagian dari kebudayaan fisik yang sifatnya nyata (Koentjaraningrat,1974).

Arsitektur dilihat berdasarkan dari unsur bentuk dan ruang secara menyeluruh akan menentukan bagaimana arsitektur dapat meninggalkan

18 suatu karya memperoleh tangapan dan mengungkapakan suatu makna.

Oleh karena itu penyajian unsur-unsur bentuk dan ruang adalah sebagai sarana untuk memecahkan suatu masalah sebagai tanggapan atas kondisi-kondisi dari fungsi, tujuan, dan ruang lingkungan, yakni secara arsitektural (Ching ,1996). Sistem bentuk dan ruang terbagi menjadi empat (Ching, 1996), yaitu :

1. Sistem ruang: sistem ruang meliputi organasasi ruang, bentuk ruang

dan hubungan-hubungan ruang.Organisasi ruang merupakan kumpulan

ruang-ruang yang terhubung menjadi sebuah kesatuan bangunan yang

bentuk dan ukurannya dipengaruhi oleh fungsi.

2. Sistem struktur: sistem struktur meliputi konstruksi bangunan dan

material bangunan.

3. Sistem enclosure (sifat ketertutupan): berupa wujud, permukaan, sisi-

sisi (edges), dimensi, konfigurasi, dan bukaan.

4. Sistem sirkulasi: sistem pencapaian ke bangunan, pintu masuk gedung,

konfigurasi lorong, hubungan jalan dengan ruang, bentuk ruang

sirkulasi.

Menurut Ching (1996), beberapa ciri-ciri visual dari bentuk adalah wujud, dimensi, warna, tekstur, posisi, dan oreintasi, yaitu :

1. Wujud adalah sisi luar karakteristik atau konfigurasi permukaan suatu

bentuk tertentu. Wujud juga merupakan aspek utama di mana bentuk -

bentuk dapat diidentifikasi dan dikategorikan.

2. Dimensi adalah dimensi fisik suatu bentuk berupa panjang, lebar dan

tebal. Dimensi-dimensi ini menentukan proporsi dari bentuk.

19

3. Warna adalah Warna adalah atribut yang paling menyolok

membedakan suatu bentuk dari lingkungannya. Warna juga

mempengaruhi bobot visual suatu bentuk.

4. Tekstur adalah kualitas yang dapat diraba dan dapat dilihat yang

diberikan ke permukaan oleh ukuran, bentuk, pengaturan dan proporsi

bagian benda.

5. Posisi adalah letak relatif suatu bentuk terhadap suatu lingkungan atau

medan visual

6. Orientasi adalah posisi relatif suatu bentuk terhadap bidang dasar, arah

mata angin, atau terhadap pandangn seseorang yang melihatnya.

Pemaknaan arsitektur secara keseluruhan adalah seni dalam mendirikan suatu bangunan yang meliputi perencanaan bangunan, proses pekerjaan membangun, penyelesaian dekorasinya (interior) dan hasil karya arsitektur merupakan wujud dari kondisi sosial budaya masyarakat yang berkembang pada saat itu. Jadi arsitektur yang dimaksud pada penelitian ini merupakan suatu objek bagian dari hasil kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pada waktu itu yang berwujud bangunan

Masjid dengan bentuk yang unik. Dari beberapa teori arsitektur dan bentuk di atas dapat digunakan sebagai acuan menganalisa objek arsitektur untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk elemen arsitektur dalam bangunan berdasarkan wujud, dimensi dan orientasinya.

2.2. Pengertian Masjid

Masjid berasal dari kata pokok/dasar sujud (bahasa Arab) yang berubah bentuk menjadi Masjid. Pengertian sujud di dalam Islam adalah

20 kepatuhan ketundukan yang dilakukan dengan penuh kekhimatan sebagai pengakuan muslim sebagai insan hamba Tuhan, kepada Tuhan Yang

Maha Esa sebagai Khaliknya, dan tidak kepada yang lain-lain di alam semesta ini. Jadi sesungguhnya tempat di muka bumi ini adalah tempat sujud atau masjid (Wiryoprawiryo, 1986).

Masjid berdasar akar katanya mengandung arti tunduk dan patuh, maka masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah semata. Masjid dibangun untuk memenuhi keperluan ibadah Islam, fungsi dan perannya ditentukan oleh lingkungan, tempat dan jaman dimana masjid tersebut didirikan. Secara prinsip adalah tempat untuk membina umat, untuk itu dilengkapi dengan fasilitas sesuai dengan keperluan pada jaman, siap yang mendirikan, dan lingkungan tempat masjid dibangun. Dalam pustaka ini juga diberikan beberapa contoh tentang bentuk arsitektur masjid di dunia, tetapi lebih bersifat pada pengungkapan fakta berdasarkan sejarah (sumalyo,2000).

Menurut Shihab ( dalam Sumalyo, 2000), kata masjid berasal dari kata sajada – sujud yang berarti patuh, taat serta tunduk, penuh hormat dan takdzim. Sujud dalam syariat yaitu berlutut, meletakkan dahi, kedua tangan ke tanah adalah bentuk nyata dari kata tersebut di atas. Berdasarkan akar katanya yang mengandung arti tunduk dan patuh

, maka hakekat dari masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah semata.

Berdasarkan dari pengertian masjid di atas dapat disimpulkan masjid merupakan perpaduan dari fungsi bangunan sebagai unsur

21 arsitektur Islam yang berpedoman pada ketentuan Allah SWT sebagai tempat beribadah.

2.2.1. Arsitektur Masjid Dalam Islam

Arsitektur Islam pada dasarnya identik dengan bangunan masjid.

Masjid sebagai tempat ibadah, sebagai rumah bahkan dapat digunakan untuk kegiatan sosial. Masjid sebagai Islamic Centre sebagai perwujudan yang seharusnya dapat diterapkan di masyarakat. Pada perkembangan masjid sering didefinisikan dan diidentikan bahwa masjid itu berkubah.

Atap kubah sering berbentuk persegi delapan (octagonal). Integrasi yang bentuk antara dome, lingkaran, kotak dan octagonal memberi tampilan

Islam yang sacral. Akan tetapi pada penerapannya arsitektur Islam yang ada di merupakan dasar untuk arsitektur bangunan masjid yang dihubungkan bentuk dengan arsitektur setempat dan lebih menonjolkan fungsi ruang yang ada. Bentuk arsitekturnya merupakan variasi bentuk tradisi setempat termasuk bahan bangunannya (Sayed, 1983).

Bentuk-bentuk yang melambangkan Arsitektur Islam lebih merupakan pembentuk image dan simbol-simbol yang membawa misi tersendiri. Hal yang salah bila mendefinisikan arsitektur Islam yang melihat produk dari masyarakat ketika itu tanpa melihat hakikat dasar dari ajaran islam itu sendiri Itulah sebabnya mereka melihat zaman ketika Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin sebagai suatu jaman buta arsitektur karena sederhananya bangunan ketika itu. Padahal hakikat dasar dari arsitektur adalah produk dari kondisi dan situasi, apapun

22 bentuk arsitektur dari suatu masa dan tempat mencerminkan tatanan nilai pada masyarakat saat itu (Utaberta, 2004).

2.2.2. Fungsi Bangunan Masjid

Fungsi masjid pada zaman Nabi Muhammad ditunjukan melalui pencerminan konsep masjid yaitu sebagai suatu pusat pengembangan total masyarakat muslim dalam semua aspek kehidupan, tidak hanya merupakan bangunan untuk pelaksanaan ibadah keagamaan (Tajuddin,

1995).

Fungsi utama masjid adalah sebagai tempat ibadah sholat, terutama shalat wajib lima waktu. Seiring dengan berkembangnya Islam di

Indonesia khususnya di pulau Jawa, masjid dalam perkembangannya tidak saja digunakan sebagai tempat ibadah dalam arti sujud, namun juga sebagai tempat pembinaan, pengajaran, praktek sosial,pengamanan dan benteng pertahanan umat Islam. Karena itu fungsi masjid mencakup pengertian sosial, budaya dan politik (Humairah.S & Mastutie.F, 2013).

2.2.3. Bagian-bagian Pada Bangunan Masjid

Elemen-elemen utama dari masjid adalah tempat sholat, mighrab, mimbar dan tempat wudhu. Minaret dan dikka adalah elemene pelengkap yang tidak selalu ada pada bangunan masjid (Sumalyo, 2000).

Susanta, Amin, & Kautsar (2007), menyebutkan bahwa dalam masjid terdapat ruang-ruang inti yang merupakan ruang utama pada sebuah masjid, yaitu ruang sholat, ruang untuk bersuci dan beranda.

Terlepas dari kategori masjid yang bersangkutan, sebab masjid diharuskan memiliki ruang-ruang inti tersebut. Ruang sholat merupakan

23 ruang utama pada masjid yang terdiri dari mihrab dan ruang jemaah.

Ruang bersuci (wudhu) merupakan tempat yang tidak terpisahkan dari keberadaan suatu masjid. Teras atau beranda berfungsi untuk menjaga kebersihan dan kesucian ruang sholat.

Menurut Frisman (1977), menjelaskan bagian-bagian bangunan masjid terdiri :

1. Kubah

Kubah banyak dipakai oleh rumah ibadah dari berbagai agama. Akan

tetapi penggunaan kubah lebih dominan digunakan pada masjid dan

gereja. Ada dua pengertian dasar dari Kubah. Pertama, kubah

sebagai lengkung atap yang melengkung merupakan setengah

bulatan. Kedua, kubah sebagai konstruksi langit- langit melengkung

yang digunakan sebagai media atap.

2. Menara

Menara diartikan sebagai struktur arsitektur yang ketinggiannya jauh

lebih besar jika dibanding dengan ketebalannya. Dapat berdiri sendiri

atau menempel pada bangunan lain. Menara pertama kali didirikan

untuk kepentingan militer atau agama.

Menara biasanya lebih tinggi dari bangunan sekitarnya. Ia dapat

berdiri sendiri atau menempel pada bangunan lain. Menara Masjid

tempat penyeru adzan tanda pemanggil umat muslim untuk beribadah

pada masjid. Sebuah masjid memiliki menara yang biasa digunakan

oleh seorang muadzim untuk mengumandangkan adzan tanda waktu

shalat.

24

3. Aula Utama Tempat Shalat

Ruang utama pada bangunan masjid yang berupa ruangan yang luas

digunakan untuk shalat dan melakukan aktifitas keagamaan lainnya

seperti pengajian atau penyampaian dakwah Islam dalam majelis.

Sebagai ruang shalat berjamaah, biasanya ruangan dibagi menjadi

dua bagian baik dengn pembatas berupa tabir maupun hanya berupa

batas-batas semu, dengan pembagian daerah untuk pria dan wanita.

4. Mihrab

Merupakan tempat berdirinya imam saat melaksanakan shalat, yaitu

sebuah bidang dinding yang mencekung kedalam sehingga seperti

membentuk ruangan tanpa pintu. Dinding ini berada pada arah kiblat

yang merupakan arah orientasi saat shalat.

5. Kiblat

Arah kiblat dianggap sebagai arah orientasi surgawi (Hablumminallah)

yang didasarkan pada arah Ka’bah di Masjidil Haram, dimana umat

Islam di seluruh penjuru dunia menghadap kea rah tersebut dapat

melaksanakan salat.

6. Mimbar

Mimbar merupakan podium atau tempat duduk bagi khotib

(penyampai khutbah). Pada umumnya berada di sisi kanan mihrab.

Kedudukannya lebih tinggi dari seluruh ruangan dengan tujuan agar

khotib yang menyampaikan khutbah dapat dilihat oleh seluruh jamaah.

Arah hadap mimbar bertentangan dengan arah kiblat, karena khotib

saat menyampaikan khutbah harus menghadap kearah jama’ah.

25

2.3. Tipologi dan Morfologi

Menurut Faqih (1992), tipologi adalah klasifikasi dari objek-objek.

Tipe adalah suatu objek abstrak yang dibuat seseorang yang melakukan klasifikasi tersebut. Tipe mendapatkan ciri lewat sejumlah objek dengan sifat permanen dan sama tergantung alat ukurnya. Tipe diartikan sebagai gaya arsitektur pada masa tertentu dan yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu, tipe sebagai konfigurasi formal atau bentuk geometri, tipe dianggap suatu fungsi atau karakteristik institusional yang dimiliki oleh suatu objek.

Tipologi adalah kajian tentang tipe. Tipe berasal dari kata

Typos (bahasa Yunani), yang bermakna impresi, gambaran (imej), atau figur dari sesuatu. Secara umum, tipe sering digunakan untuk menjelaskan bentuk keseluruhan, struktur, atau karakter dari suatu bentuk atau objek tertentu. Bila ditinjau dari objek bangunan, tipologi terbagi atas tiga hal pokok, yaitu site (tapak) bangunan, form (bentuk) bangunan, dan organisasi bagian-bagian bangunan tersebut

(Johnson,1994).

Secara etimologis tipologi berasal dari kata typos yang berarti akar dari (the root of) dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu.

Sehingga tipologi berarti suatu cabang ilmu atau pengetahuan tentang asal usul atau karakteristik dasar dari suatu objek (Budihardjo, 1997).

Pengertian tipologi dikaitkan langsung dengan objek arsitektural, karena pada dasarnya arsitektur adalah aktifitas yang menghasilkan objek tertentu, Budihardjo (1997), tipologi adalah kajian yang berusaha

26 menelusuri asal-usul atau awal mula terbentuknya objek-objek arsitektural. Ada beberapa tahap yang harus ditempuh, yaitu menentukan bentuk-bentuk dasar (formal structure) yang ada dalam tiap objek arsitektural, menentukan sifat-sifat dasar (properties) yang dimiliki oleh setiap objek berdasarkan bentuk dasar yang ada,mempelajari proses perkembangan bentuk dasar tersebut sampai pada perwujudannya saat ini.

Menurut Faqih (1992), pengenalan tipologi akan mengarah pada upaya untuk mengkelaskan, mengelompokan atau mengklasifikasikan berdasarkan aspek atau kaidah tertentu. Aspek tersebut antara lain:

 Fungsi (meliputi penggunaan ruang, struktural, simbolis)

 Geometrik (meliputi bentuk, prinsip, tatanan)

 Langgam (meliputi periode, lokasi atau geografi, politik, kekuasaan,

etnik dan budaya)

Berdasarkan beberapa pengertian tipologi yang diungkapkan di atas maka dapat disimpulkan secara arsitektural, tipologi adalah suatu kegiatan untuk mempelajari tipe dari objek-objek arsitektural, dan mengelompokannya dalam suatu klasifikasi tipe berdasarkan kesamaan/keserupaan dalam hal-hal tertentu yang dimiliki objek arsitektural tersebut. Penggunaan teori tipologi dalam penelitian ini digunakan sebagai alat analisis objek. Dengan tipologi, suatu objek arsitektur dianalisa asal usul /perkembangan objek, penggunaan fungsi ruang dan bentuk bangunan yang bertujuan untuk mengklasifikasikan bentuk dalam elemen-elemen arsitektural bangunan masjid.

27

Morfologi berasal dari kata morphology yang berarti ilmu bentuk.

Menurut Schulz (1979), morfologi menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud pembentuk ruang yang dapat terbagi melalui pola, hirarki dan hubungan ruang satu dengan lainnya. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometris sehingga untuk memberikan makna pada ungkapan ruangnya harus dikaitkan dengan nilai ruang dimana nilai ruang sangat berkaitan dengan bentuk, hubungan dan organisasi ruang yang ada. Morfologi juga memperhatikan artikulasi dan batas-batas yang memberikan perbedaan karakter lingkungan.

Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometrik, sehingga untuk memberi makna pada ungkapan ruangnya harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu. Dengan melihat kaitan ini akan bisa dirasakan adanya kaitan yang erat antara organisasi ruang, hubungan ruang, bentuk ruang dan nilai ruang. Menyangkut kualitas figural dalam konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarkhi dan hubungan- hubungan satu dengan lainnya. Hal ini menunjukkan pada cara mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang diwujudkan melalui bentuk bangunan (Agus,1999).

Menurut Schulz (1979), terdapat perbedaan antara tipologi dengan morfologi.Jika tipologi merupakan suatu klasifikasi untuk pengelompokkan bangunan (berarti lebih dari satu bangunan) berdasarkan tipe-tipe tertentu, sedangkan morfologi menyangkut perubahan bentuk pada satu bangunan. Perubahan bentuk ini, menurut Schulz, menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari pembatas ruang. Sistem figurasi ruang

28 dihubungkan melalui pola hirarki ruang maupun hubungan ruang. Oleh sebab itu, kedua terminologi itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain, baik secara metode maupun substansinya, sehingga sering disebut dalam satu rangkaian tipomorfologi. Moudon (1994), tipologi adalah gabungan antara studi tipologi dan morfologi, yaitu suatu pendekatan untuk mengungkapkan struktur fisik dan keruangan. Secara metodologi, untuk bisa merumuskan suatu tipologi arsitektur dalam arti klasifikasi dan pengelompokkan bangunan berdasarkan tipe-tipe tertentu, maka harus dilakukan terlebih dulu kajian morfologis pada satuan bangunan. Untuk kedua hal itu biasanya dipakai metode yang biasa dilakukan dalam sejarah, yang secara substansi mengikutsertakan aspek-aspek kebudayaan manusia.

2.3.1. Tipologi Dasar Masjid di Dunia

Menurut Frishman dalam Fanani (2009), ditemukan terdapat tujuh tipologi dasar masjid di dunia sebagai pencerminan dasar berfikir Islam dan pembauran dengan budaya dan alam dimana Masjid tersebut berada.

Tujuh tipologi dasar masjid di dunia tersebut meliputi, Semenanjung Arab,

Spanyol dan Afrika Utara dengan hypostyle hall dan ruang terbuka didalam masjid. Kedua Sub-Saharan Afrika Barat berkarakter hypostyle hall dengan menggunakaghn batu-bata dari lumpur. Ketiga Iran dan Asia

Tengah dengan penggunaan gerbang besar dan ruang terbuka ditengah dikelilingi massa bangunan. Keempat Indian Subcontinent dengan karakter tiga kubah yang berdekatan dengan halaman terbuka yang luas.

Tipologi yang kelima adalah bergaya Turki dengan sentral dome yang

29 masif dengan beberapa menara yang menjulang yang dipengaruhi

Arsitektur Byzantium. Ke enam adalah Bergaya Cina dimana terdapat ruang terbuka didalam pekarangan yang berisikan tamantaman dan beberapa massa bangunan. Bentuk yang terakhir adalah tipologi Masjid di

Asia Tenggara dengan atap yang berbentuk piramid memusat bertingkat dua, tiga atau lebih yang menyerupai .

Gambar 2.1 Tipologi Bentuk Masjid di Dunia (dari kiri ke kanan),Tipologi masjid tanah Arab, masjid Afrika, masjid Turki masjid Iran, masjid India, masjid Cina dan masjid di Asia Tenggara Sumber: Fanani (2009)

Tipologi dasar masjid tersebut terdapat ciri khas yang mencerminkan karakter arsitektur islam, hal ini disebabkan ada simbol- simbol islam tertentu yang terlihat dan menjadi elemen-elemen penting didalam masjid seperti lambang bulan sabit dan bintang, bentuk atap kubah, menara dan sebagainya. Elemen masjid tersebut berasal dan berkembang di timur tengah yang menyebar sejalan dengan perluasan wilayah pengaruh islam.

2.3.2. Tipologi dan Morfologi Masjid di Indonesia

Menurut Frisman (1977), masjid di Indonesia tergolong dalam tipologi masjid di Asia Tenggara dimana memiliki ciri bentuk atap yang

30 bertumpang. Perkembangan arsitektur masjid di Indonesia awalnya dipengaruhi arsitektur tradisional akan tetapi seiring perkembanganya secara umum mulai dipengaruhi arsitektur masjid timur tengah dan

Arsitektur Modern. Menurut Setiabudi (2006), bahwa tipologi masjid atap tumpang dengan soko guru ditengahnya mencerminkan simbol masjid di

Indonesia dan Asia Tenggara.

Menurut Pijper (1992), tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari masjid Jawa bukan dari pengaruh luar. Menurutnya ada 12 enam karakter umum tipe masjid Jawa yaitu;

1. Dasar lantai bangunan berbentuk persegi empat dan pejal yang agak

tinggi dari permukaan tanah

2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti sebagian besar rumah

warisan Indonesia

3. Masjid umumnya memiliki bumbungan yang meruncing ke atas, terdiri

dari dua atau lima tingkat yang semakin ke atas semakin kecil

4. Masjid memiliki ruang tambahan di sebelah barat atau barat laut

(mihrab)

5. Masjid umumnya memiliki serambi di depan dan di kedua sisinya

6. Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok atau pagar batu

bata dengan satu pintu masuk di hadapan yang disebut gapura

7. berdenah bujur sangkar

8. Dibangun di sebelah barat laut

9. Arah mihrab tidak tepat ke kiblat

10. Dibangun dari bahan yang mudah rusak

31

11. Terdapat parit di sekelilingnya atau di depan masjid

12. Bangunan awalnya dibangun tanpa serambi, namun hanya ruang

sembahyang utama saja

Menurut Tjandrasasmita (2009), masjid-masjid kuno yang ada di

Indonesia mempunyai corak atau bentuk yang berbeda dengan masjid yang ada di negeri lain. Kekhasan masjid-masjid kuno tersebut antara lain:

1. denahnya persegi empat atau bujur sangkar

2. atapnya bertumpang atau bertingkat terdiri dari dua atau lebih

3. mempunyai serambi di depan atau disamping ruangan utama masjid

4. di bagian depan atau samping masjid biasanya terdapat kolam

5. disekitar masjid diberi pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga

gerbang.

Menurut Setiabudi (2006), memperkuat penelitian sebelumnya bahwa masjid di Indonesia tidak terpengaruh oleh arsitektur dari luar.

Sejarah perkembangan morfologi masjid dijawa diawali dengan masa awal berdirinya masjid meniru bentuk bangunan lokal yang tergambar di dinding candi menyerupai bentuk meru dan pendopo atau wantilan di . dimana terus berkembang dengan memiliki karakter empat pilar ditengah ruang shalat yang dikenal dengan soko guru dimana atribut tambahan seperti minaret sebenarnya tidak terdapat pada masjid di Jawa. Dengan menelaah tipologi bentuk dasar dan sifat dasar tersebut, maka dapat disimpulkan pula bahwa tradisionalitas langgam arsitektur masjid banyak ditampilkan oleh sinkretisme, eklektisisme, dan simbolisme bentuk. Ini melahirkan masjid-masjid tipikal tradisional di Jawa yang memiliki ciri

32 umum sebagai berikut: memakai material kayu, beratap tumpang, terdapat memolo (hiasan dari puncak atap yang diadaptasikan dari tradisi Hindu), memiliki tempat wudlu berupa kolam atau gentong, beduk atau kentongan, serambi atau pendopo, pawestren (ruang shalat wanita), pagar dan gerbang, makam, dan sebagian memiliki istiwa (jam matahari), dan tidak bermenara (kecuali pada perkembangan kemudian).

Utaberta dkk (2009), ciri khas yang dapat dilihat pada kebanyakan masjid di Indonesia adalah bentuk asas rata atas tanah yang digunakan.

Asas rata yang biasa digunakan berbentuk segi empat sama dan biasa digunakan pada berbagai jenis candi di Pulau Jawa. Pada beberapa masjid yang masih terdapat di Pulau Jawa, pengaruh asas rata candi masih boleh dilihat sehingga kini. Pada bangunan-bangunan yang juga memiliki fungsi seperti masjid seperti langgar, dan bale, biasanya dibangun di atas tiang sebagaimana bentuk bangunan tradisional

Indonesia yang lain.

Selain dari asas rata, tembok atau pagar bangunan juga merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi pembangunan masjid tradisional Indonesia. Hanya di kota-kota atau dalam bandar yang tidak mempunyai halaman yang luas saja dasar pembinaan tembok tersebut tidak dilakukan. Tetapi pada masjid bentuk Jawa yang asli, tembok adalah suatu yang penting bagi memisahkan antara „kawasan suci‟ dan „kawasan kotor‟. Pada bagian hadapan dari tembok biasanya dibangunkan gerbang yang mempunyai bermacam-macam bentuk dan gaya. Gerbang yang tidak berbumbung biasanya disebut Gerbang Bentar

33 sedangkan gerbang yang berbumbung biasanya disebut Gapura (Bahasa

Jawa) atau dalam Bahasa Sanskrit disebut Gopura. Tembok yang mengelilingi sebuah masjid ini sebenarnya bukanlah ciri khas seni bina

Muslim, tetapi merupakan salah satu bentuk seni bina peninggalan bangunan Candi desa yang disebut Pura Desa dan masih banyak dijumpai di Bali. Biasanya Pura Desa di Bali terdiri dari tiga halaman yang bertingkat-tingkat kesuciannya dan tiap halamannya dikelilingi oleh tembok. Pembahagian kawasan suci ini boleh dilihat pada bangunan- bangunan permakaman yang dibuat berdekatan dengan bangunan masjid seperti makam suci Sunan Ampel (Ampel Rahmat) di Surabaya, makam

Sunan Giri di Gresik, makam suci Tembayat atau Bayat di Klaten atau makam suci keluarga Raja Demak yang terdapat di persekitaran Masjid

Demak.

Morfologi bentuk masjid Jawa kuno dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengaruh transformasi budaya, pengaruh bentuk candi, pengaruh bentuk pendapa dan pengaruh bentuk masjid di Cina Selatan.

a. Pengaruh Transformasi Budaya

Keberadaan masjid gaya lama dari Indonesia didukung oleh

keadaan alam Indonesia dan hasil transformasi budaya. Ciri-ciri

seperti bangunan konstruksi kayu dengan atap tumpang berbentuk

limas, keberadaan tembok keliling halaman masjid dengan struktur

gerbang seperti candi , citra masjid lama ini adalah contoh

dari interaksi ilham agama dengan tradisi arsitektur pra-islam di

Indonesia. Masjid semacam ini adalah masjid kerajaan (Masjid

34

Agung), seperti yang terdapat di Demak, Kudus, , ,

sebagai cikal bakal masjid di Jawa (Yudoseputro, 1993).

Dapat disimpulkan bahwa bentuk dan tata ruang Masjid jawa

kuno memiliki karakteristik dari bentuk atap tumpang (tajug) dengan

tembok yang mengelilinginya dan terdapat gerbang yang bercorak

bangunan arsitektur hindu (candi). Hal ini didapati pada Masjid-Masjid

awal di Jawa dikarenakan dibangun pada masa peralihan kebudayaan

Hindu Budha menuju masa masuknya agama Islam di Jawa. Jadi

bentuk arsitektur Masjid yang berkembang pada saat itu tetap

mengapdosi bentuk dari budaya yang berkembang pada masyarakat

pada waktu itu sebagai media syiar agama Islam. b. Pengaruh Bentuk Candi

Masjid-masjid kuno di Indonesia tidak menunujukan bentuk

asing yang dibawa oleh misi-misi Islam dari luar negeri tetapi

merupakan tradisi asli yang diterima untuk keperluan-keperluan

tempat peribadatan muslim. Corak denahnya persegi serta pejal

menunjukan bentuk denah candi. Atapnya yang bertingkat-tingkat

berhubngan dengan tradisi meru (Tjandrasasmita, 2000).

Jadi arsitektur Masjid kuno di Indonesia sangatlah dipengaruhi

oleh arsitektur Hindu yang telah berkembang sebelumnya di

Indonesia. Awalnya berkembangnya budaya Hindu di Indonesia

adalah dengan masyarakat mulai membangun tempat-tempat ibadah

dengan karakteristik arsitektur hindu yang telah berkembang

sebelumnya. Dengan seiringnnya waktu bentuk-bentuk candi inipun

35

diadopsi oleh masyarakat dalam pembangunan Masjid, hal ini terjadi

karena proses peralihan pra-Islam dengan kondisi masyarakatnya

yang tetap mempertahankan budaya atau tradisi-tradisi sebelumnya. c. Pengaruh Bentuk Pendapa

model masjid tradisional di Indonesia berasal dari bangunan

tradisional Jawa yang dipanggil Pendopo (pendapa). Istilah pendopo

berasal dari kata mendapa di mana dalam Bahasa Sanskrit merujuk

pada suatu bahagian dari kuil Hindu di India yang berbentuk persegi

dan dibangun secara terus di atas tanah. Pada bangunan tradisional

Jawa, seni bina mendapa ini kemudian diubah suai menjadi sebuah

ruang terbuka dan besar yang sering digunakan untuk menerima tamu

yang kemudian dinamakan pendopo. Pelan pendopo yang berbentuk

bujur sangkar inilah yang menurut Wirjosuparto (1962) telah menjadi

model kepada masjid-masjid tua di Indonesia.

Masjid-masjid kuno di Indonesia mungkin asalnya berdasarkan

bentuk pendapa atau mandapa. Mandapa mempunyai denah yang

kurang lebih berbentuk persegi dan di bangun di atas tanah.

Bangunan mendapa yang asalnya dari kebudyaan India telah

dilupakan asal-usulnya karena pada waktu agama Islam mulai

berkembang di Indonesia, memerlukan bangunan yang praktis untuk

dijadikan masjid dan bentuk inilah yang memenuhi kebutuhan

(Tjandrasasmita, 2000).

Jadi seperti pembahasan-pembahasan sebelumnya mengenai

beberapa pengaruh dalam pembentukan bentuk dan tata ruang masjid

36

awal di Jawa intinya tidak akan pernah terlepas dari beberapa

pengaruh dari arsitektur Hindu yang telah berkembang di masyarakat

pada era sebelumnya. Bangunan-banguan Masjid jawa kuno masih

sangat kental akan unsur tradisi Hindunya, walaupun tidak

sepenuhnya seperti bangunan arsitektur Hindu (candi) tetapi ada

beberapa poin yang terlihat cukup jelas yaitu dari bentuk denahnya

dan gerbang yang memunculkan bentuk candi. d. Pengaruh Bentuk Pertukangan Cina

Bangunan masjid lama atau yang disebut sebagai atap

tumpang merupakan pengaruh dari masjid-masjid di Cina Selatan

yang bersumber pada klenteng atau kuil budha (Mulyana, 1981).

Adanya pengaruh arsitektur Cina (atap pagoda) yang kuat pada

masjid-masjid kuno Jawa, mengingat pada abad ke 15 dan 16 adalah

zaman di mana para pedagang Cina Islam merupakan pedagang

yang dominan dan banyak yang menetap di pantai utara Jawa sambil

menyebarkan keagamaannya.

Menurut Qurtuby (2003), terdapat kesamaan bahan bangunan

yang digunakan pada klenteng Talang (1428) di Cirebon, dengan

bahan bangunan yang digunakan pada masjid Demak. Bahan-bahan

tersebut antara lain tegel bata kuno, batu bata merah kuno dn paku

kuno segi empat, selain itu juga cara penyelesaian hubungan antara

kolom-kolom struktur utama masjid dengan tanah dipakai batu alam

sebagai perantara. Batu tersebut dipakai sebagai umpak,

penyelesaian tersebut menurut Stutterheim (1948) mengingatkan batu

37

umpak yang ada di klenteng-klenteng sepanjang pantai utara Jawa,

serta masjid-masjid Cina di Kanton tempat asal sebagian orang Cina

menetap di Jawa.

Minaret atau menara tidak dikenal dalam arsitektur masjid kuno

Jawa. Sebagai gantinya untuk memanggil jamaah untuk sholat

dipergunakan . Jadi bedug merupakan ciri khas masjid Jawa

kuno. Menurut Budiman (1979), mengatakan asal usul dari bedug

yang diletakan di serambi-serambi masjid di Jawa, merupakan

pengaruh dari arsitektur Cina, di mana bedug diletakkan tergantung di

serambi kelenteng.

Morfologi masjid-masjid kuno di Indonesia berdasarkan beberapa penelitian memiliki denah persegi empat atau bujur sangkar, atapnya bertumpang atau bertingkat terdiri dari dua atau lebih dan semakin keatas semakin runcing, mempunyai serambi di depan atau di samping ruangan utama masjid, dibagian depan atau samping masjid biasanya terdapat kolam yang digunakan untuk wudhu (menyucikan diri), disekitar masjid diberi pagar tembok dengan satu, dua, atau tiga gerbang.

2.4 Arsitektur Islam

Arsitektur Islam adalah hasil perancangan ruang dan sistem binaan yang berasaskan pada corak hidup umat islam yang berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar Islam. Salah satu masalah dalam arsitektur Islam adalah terletak pada proses bagaimana kerangka intelektual dalam memahami apa yang dipahami sebagai arsitektur Islam. Masalah yang mendasar dari proses berfikir dan kerangka intelektual tadi terletak pada

38 pendekatan yang dipakai. Pendekatan yang umumnya dilakukan oleh banyak orang ketika berbicara tentang arsitektur islam adalah pendekatan yang berorientasi kepada obyek atau pendekatan yang melihat produk dari suatu peradaban atau masyarakat Islam sebagai suatu produk yang

Islami pendekatan yang berorientasi kepada obyek mengidentikkan arsitektur Islam dengan bangunan dan elemen fisik dari masjid. Bentuk- bentuk yang melambangkan arsitektur Islam tadi lebih merupakan pembentuk image dan simbol-simbol yang membawa misi tersendiri. Hal yang salah bila mendefinisikan arsitektur Islam yang melihat produk dari masyarakat ketika itu tanpa melihat hakikat dasar dari ajaran islam itu sendiri Itulah sebabnya mereka melihat zaman ketika Rasulullah dan

Khulafaur Rasyidin sebagai suatu jaman buta arsitektur karena sederhananya bangunan ketika itu . Padahal hakikat dasar dari arsitektur adalah produk dari kondisi dan situasi , apapun bentuk arsitektur dari suatu masa dan tempat mencerminkan tatanan nilai pada masyarakat saat itu (Utaberta,2004).

Haider (2002), mengemukakan bahwa arsitektur dapat dikatakan islami jika melingkupi empat hal. Pertama, kosmologi arsitektur tersebut mengandung nilai bahwa alam dan manusia mempunyai misi untuk menyembah Allah SWT. Manusia dianggap sebagai makhluk yang berakal dan berkemauan bebas namun bertanggung jawab kepada sesama manusia dan alam dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Kedua,

Arsitektur yang merepresentasi nilai-nilai sejarah Islam yang terlihat dari dinasti-dinasti Islam, politik dan kota-kota Islam. Ketiga, Arsitektur yang

39 menghormati konsep halal-haram sebagaiman yang terdapat dalam hukum islam. Keempat, arsitektur melambangkan spiritualitas Islam seperti penggunaan hiasan kaligrafi dan arabesques.

Arsitektur Islam pada dasarnya identik dengan bangunan masjid.

Masjid dapat menjadi tempat ibadah, sebagai rumah bahkan digunakan sebagai tempat melakukan kegiatan sosial. Pada perkembangan masjid sering didefinisikan dan diidentikan bahwa masjid itu berkubah. Akan tetapi pada penerapannya, arsitektur Islam yang ada di Indonesia merupakan dasar untuk arsitektur bangunan masjid yang dihubungkan bentuk dengan arsitektur setempat dan lebih menonjolkan fungsi ruang yang ada. Dalam proses perancangan masjid ada tiga tahap yaitu asas objek fisik, identitas dan estetika. Pada arsitektur masjid mempunyai prinsip dalam mendesain yaitu berupa Shan (ruang sholat), mihrab

(orientasi Mekah), mimbar (tempat khotbah) dan menara. Bentuk arsitekturalnya merupakan variasi bentuk tradisi setempat termasuk bahan bangunannya (Sayed, 1983).

Maka dapat disimpulkan bahwa arsitektur bangunan masjid sebagai sebuah hasil budaya masyarakat muslim yang terkait dengan sistem ide, sistem sosial yang berkembang dalam masyarakat tersebut terhadap

Islam.

2.5. Arsitektur Jawa

Dalam dunia arsitektur khususnya arsitektur tradisional Jawa tidak lepas dari kebudayaan. Soegiyarto (1981), mengemukakan kebudayaan dibagi menjadi 3 wujud :

40

1. Wujud ideal dari kebudayaan yang sifatnya abstrak, disebut sistem

budaya atau Cultural System. Di dalamnya terkandung sistem

gagasan yang mendasari nilai-nilai budaya.

2. Tindakan yang berpola, berupa aktifitas-aktifitas manusia berintegrasi,

bergaul serta berhubungan satu dengan yang lain. Pola ini dilakukan

secra berturut-turut menurut pola tertentu berdasarkan adat kelakuan

manusia, oleh karena itu disebut Social System.

3. Kebudayaan fisik, yaitu berupa benda-benda kebudayaan sebagai

hasil budi daya manusia.

Dalam dunia arsitektur, kebudayaan fisik dapat diartikan dengan bangunan. Sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur tradisional Jawa adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan setiap potensi sumber daya setempat baik kultur budaya, social dan bentuk fisik.

2.5.1. Bentuk-Bentuk Bangunan Tradisional Jawa

Prijotomo (1995), arsitektur tradisional Jawa dapat dikenali dari bentuk tampaknya. Ada 5 macam bentuk dasar bangunan tradisional

Jawa.

1. Panggang-Pe

Merupakan bentuk dasar dari semua bangunan Jawa. Gaya ini

terdiri dari empat atau enam buah tiang dengan atapnya miring ke satu

arah. Tiang tersebut bertumpu pada batu landasan ( umpak ) atau

dijepitkan pada permukaan tanah ( ceblokan ).

41

Panggang-Pe mempunyai varian bentuk antara lain Pokok,

Trajumas, Gedang Selirang, Empyak Setangkep, Kios, Kodhokan, Cere

Gancet, Gedang Setangkep dan Barengan.

Gambar 2.2 Panggang-Pe Sumber : Prijotomo, Petungan Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa

2. Kampung

Merupakan penyempurnaan dari Panggang-Pe, dengan cirri-ciri

bertumpu pada umpak dengan tiang berjumlah 4, 6 atau 8. Atap

cenderung datar dan mirin g kedua arah.

Kampung dapat dibedakan menjadi antara lain Pokok, Pacul

Gowang, Srotongan, Dara Gepak, Klabang Nyander, Lambang Teplok,

Lambang Teplok Semar Tinandhu, Gajah Njerum, Cere Gancet, Semar

Pinondhong.

Gambar 2.3 Kampung Sumber : Prijotomo, Petungan Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa

42

3. Limasan

Merupakan bentuk perkembangan dari kampung. Bangunan ini

bertumpu pada landasan umpak dan berdiri dengan tiang berjumlah

empat buah. Atapnya datar dan miring ke empat arah.

Limasan dapat dibedakan menjadi antara lain Lawakan, Gajah

Ngombe, Gajah Njerum, Apitan Klabang Nyander, Pacul Gowang,

Gajah Mungkur, Apitan Pengapit, Lambang Teplok, Semar Tinandhu,

Trajumas lambang gantung, Trajumas lawakan, Lambang Sari, Sinom

Lambang gantung Rangka Kutuk Ngambang.

Gambar 2.4 Limasan Sumber : Prijotomo, Petungan Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa

4.

Dianggap merupakan bentuk yang paling sempurna dan

merupakan bangunan dengan ukuran paling besar. Biasanya hanya

dimiliki oleh orang-orang tertentu dalam masyarakat Jawa tradisional.

Ciri khusus bangunan ini adalah blandar bersistem tumpang sari

(bersusun), lengkap dengan (empat tiang pokok) dan atap

datar miring ke empat arah dan denah pokok berbentuk bujur sangkar.

43

Bentuk joglo ini dibedakan anatara lain Kepuhan Lawakan,

Sinom Apitan, Jompongan, Pengrawit, Mangkurat, Hageng dan Semar

Tinandhu.

Gambar 2.5 Joglo Sumber : Prijotomo, Petungan Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa

5. Tajug

Ciri utama bangunan ini adalah lantainya tinggi, antara ½ - 2 m

dari permukaan tanah (ada trap), bentuk atap meruncing

(melambangkan kesakralan), tanpa mennggunakan wuwung (garis

horosontal dari ujung atas atap yang satu ke atap yang lain). Serta

terdapat soko guru . Bentuk ini biasanya untuk bangunan Ibadah yaitu

Masjid.

Tajug dibedakan antar lain Lawakan Lambang Teplok, Semar

Tinandhu, Lambang gantung, Semar Sinongsong Lambang Gantung,

Mangkurat dan Ceblokan.

Gambar 2.6 Tajug Sumber : Prijotomo, Petungan Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa

44

2.5.2. Bangunan Ibadah Dalam Arsitektur Tradisional Jawa

Hamzuri (1998), Masjid adalah rumah tempat beribadat bagi orang beragama Islam. Tajug atau tajub berfungsi sama dengan masjid dan untuk mengajarkan Agama Islam.

Bentuk masjid yang terdapat di Jawa khususnya dan Indonesia umumnya adalah berbeda dengan bentuk masjid di negara lain, hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan terutama tradisi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini membuktikan, bahwa tradisi bangsa kita adalah kuat menghadapi pengaruh dari luar. Bentuk masjid di Indonesia, khususnya di

Jawa menyerupai bentuk candi sedangkan candi lebih tua dari pada masjid yang timbul setelah Agama Islam masuk ke Jawa. Tetapi harus diketahui bahwa bentuk candi di Indonesia (Jawa) terdapat banyak perbedaan dengan candi-candi di India, Burma, Thailan dan sebagainya.

Perbedaan ini tentu disebabkan adanya tradisi masyarakat setempat yang lebih kuat (Hamzuri, 1998).

Rumah bentuk masjid dan tajug atau tajub mempunyai denah bujur sangkar dan bentuk inilah yang masih mempertahankan bentuk denah aslinya sampai sekarang. Jika terdapat variasi , maka variasi tadi tidak akan mengubah bentuk denah bujur sangkar tersebut. Bentuk bangunan tajug mempunyai 4 soko guru, memiliki tipologi bujur sangkar. Susunan ruang pada masjid menurut Hamzuri (1998), adalah :

1. Mihrab : juga disebut pengimaman, terletak di sebelah barat

bangunan utama, bentuknya menonjol (sebagai penunjuk arah kiblat).

45

2. Liwan : ruang besar mendominasi bangunan, sebagai bangunan

utama.

3. Serambi/pawastren : emper, yang terletak dibagian depan dan

samping kiri kanan bangunan utama. Bentuk atapnya kampung atau

limasan.

4. Ruang wudhu : ruangan air bersih untuk wudhu, terletak di sisi kanan

emper.

Rumah bentuk masjid dan tajug atau tajub dapat dibedakan menjadi 14 bentuk, sebagai berikut (Hamzuri, 1998) :

a b c

d e f

46

g h i

j k l

m n

Gambar 2.7 Bentuk Tajug Sumber : Hamzuri, 1998

47

a. Tajuk Masjidan atau cungkup

Cungkup adalah rumah untuk memberi perlindungan makam. Tajuk

model ini biasanya kecil. b. Tajuk Semar Sinongsong

Sinongsong dari kata songsong yang berarti payung. Pada dasarnya

bentuk ini bertiang satu seperti payung. c. Tajuk Tawon Boni

Tajuk yang mempunyai denah bujur sangkar, memakai kepala gada,

tanpa ander penyangga puncak. d. Tajuk Tiang Satu Lambang Teplok

Tajuk ini sama dengan Tajuk Semar Sinongsong, perbedaannya pada

brunjung yang diangkat ke atas dan atap penangap perenggang

dengan atap brunjung. e. Tajuk Semar Tinandu

Semar Tinandu (dipikul). Brunjung tidak ditopang langsung oleh satu

tiang. Tiang-tiang penyangga balok-balok dan balok tersebut

mengangkat brunjung, tiang-tiang tersebut seperti orang memikul. f. Tajuk Lawakan Lambang Teplok

Bentuk tajuk ini adalah brunjung secara langsung disangga oleh tiang

utama. Tajuk ini lebih memungkinkan dibangun dalam ukuran besar. g. Tajuk Payung Agung

Tajuk ini sering bertingkat lebih dari 3 atau 5, ada yang menyebut

bentuk Meru. Bentuk ini tingkat kedua masih disangga oleh tiang

48

utama. Masjidan payung agung banyak berbentuk bundar, banyak

terdapat di Bali. h. Tajuk Lambang Sari

Perbedaan dengan bentuk yang lain adalah pada atap penanggap yang

bersifat memanjang dari atas sampai ke bawah meskipun disangga

oleh dua deret tiang sesudah tiang utama (soko guru). i. Tajuk Lambang Teplok

Berbeda dengan Masjidan payung agung. Pada Masjidan ini tiang

utama (soko guru) langsung ke atas menyangga brunjung atap paling

atas. j. Tajuk Lawakan

Banyak digunakan untuk langgar (). k. Tajuk Semar Sinongsong Lambang Gantung

Bentuk ini merupakan ciptaan baru dari campuran Pajajaran dan Sulan

Agungan. Terdapat di Taman Yogyakarta. l. Tajuk Lambang Gantung

Memakai soko bentung (tiang bentung) sebagai penggantung atap

penanggap pada atap brunjung. Memakai tumpang sari dan uleng

ganda dan masih memakai ander. Terdapat pada bangunan Bangsal

Kraton Yogyakarta. m. Tajuk Mangkurat

Terdapat pada rumah joglo Pangrawit, Bangsal Witana Kraton

Yogyakarta.

49 n. Tajuk Sinom Semar Tinandhu

Tembok yang membujur di tengah sebagai benteng dan pintu gapura

ikut memperkuat penyangga balok blanda. Terdapat pada Sanga-sanga

Kraton Cirebon.

Hubungan fungsi dan tata ruang dalam arsitektur rumah tradisional jawa dengan arsitektur bangunan ibadah (masjid), menurut Atmadi (1987) bentuk ruang yang ada pada ruang utama sholat masjid serupa dengan ruang dalam rumah tradisional Jawa, sedangkan serambi dari masjid serupa dengan pendoponya. Terdapat sedikit perubahan dan modifikasi antara lain pada bagian mihrab dan atap tajug tumpang tiga dan perubahan dalam orientasi bangunan.

Gambar 2.8 Perbandingan Rumah Tradisional Jawa dengan Masjid Sumber : Adinugroho, 2003

2.5.3. Elemen Dekoratif Arsitektur Tradisional Jawa

Menurut Ismunandar (1993), elemen dekoratif yaitu semua bentuk dekorasi yang digunakan sebagai elemen tambahan bagi suatu bangunan agar bangunan tersebut tampak lebih indah.

50

Ragam hias menurut Ismunandar (1993) dapat digolongkan sebgai berikut :

1. Motif Alam

Seperti matahari, bintang, bulan, awan (pinggir awan sebagai

meander), lidah api atau himpunan bintang tertentu dari masa Hindu

yang biasanya dipakai sebagai hiasan. Dalam golongan ini terdapat

juga cangramanggilingan ( roda waktu ).

2. Motif Binatang

Seperti kerbau yang dipakai sebagi lambing kesuburan,

sedangkan gajah pada umumnya melambangkan kendaraan roh nenek

moyang yang sedang menuju ke surge. Motif berbagai macam burung

juga sering diartikan sebagai lambing roh nenek moyang tersebut.

Demikian pula dengan dualism, yaitu dunia penjahat ( dilambangkan

Naga ) atau tanah subur pada permukaan bumi (dilambangkan oleh

Dewi Sri sebagai dewi kesuburan tanah ) serta pihak lawannyaburung

garuda ( sayapnya mengandung arti keramat ). Pemakaian motif

binatang dapat melambangkan keselarasan alam, misalnya garuda

sebagai genting nok dan naga sebagai pembuang air pada cucuran.

3. Motif Tanaman

Motif tanaman sudah muncul pada jaman prasejarah. Sejak

jaman Hindu, motif terkenal adalah teratai, Padma, Uthpala dan

Kumala, yang artinya keramat dan melambang peralihan ( dunia

tertinggi yang meliputi dunia bawah dan atas ) sebagai seni ukir, motif

ini terdapat pada soko guru dan sebagainya.

51

4. Motif Kuno

Hasil kecerdasan manusia yaitu motif ilmu ukur paling kuno dan

terkenal sejak jaman neolitik. Motif tersebut berupa titik-titik, garis-garis

sejajar, lengkung, garis-garis potong, lingkaran, spiral, dan sebagainya

dalam bentuk meander, symbol beruah atau diagram kosmogonis yang

melambangkan hubungan manusia dengan alam semesta. Motif

lainnya misalnya mahkota yang dibuat dari seng dan diletakkan pada

hubungan rumah joglo. Juga dikenal ragam hias kaligrafi sebagai seni

ukir yang menghiasi umpak dan saka guru.

Gambar 2.9 ragam hias jawa Sumber : Ismunandar, Joglo Arsitektur Rumah Tradisioanal Jawa

52

2.6. Arsitektur Hindu

Menurut Soekmono (1981), perkembangan arsitektur di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masa Hindu-Budha. Arsitektur era hindu dan budha berkembang pada abad ke 13. Desain arsitektur candi di Indonesia menunjukkan adanya kekhasan tertentu. Hal ini menunjukkan adanya local genius yang berperan aktif di dalamnya. Pengaruh arsitektur Hindu atau India pada arsitektur Indonesia terutama disebabkan oleh penyebaran agama Hindu dan Budha oleh para pedagang India. Para pedagang masuk ke Indonesia pada abad 200-600 M. Hal ini ditandai dengan ditemukan patung Budha dari perunggu di Sulawesi , Jawa Timur,

Jawa Barat sebagai tanda kebangkitan agama Hindu. Pengaruh ini didapat dari penyebaran agama Hindu dan Budha oleh para pedagang ini.

Masyarakat mulai membangun tempat-tempat ibadah yang mirip dengan yang ada di India. Pada awal proses berinteraksi dengan para pedagang dari India dengan masyarakat nusantara.Tempat ibadah yang dibangun belum lengkap dan utuh, hanya merupakan arca-arca dan patung. Arca dan patung tersebut hanya dilindungi oleh atap dari ijuk. Pada perkembangan selanjutnya baru kemudian berkembang candi-candi yang dibangun secara utuh. Candi-candi yang dibangun pada awalnya sangat mirip dengan candi-candi yang ada di India. Tetapi pada perkembangannya arsitektur candi berkembang dan memiliki karakternya tersendiri yang tidak mirip dengan arsitektur di India karena sudah disesuaikan dengan elemen elemen dan budaya yang ada di Indonesia.

Kemiripannya hanya ditemukan pada ornament, arca dan patung-patung.

53

Menurut Soekmono (1974), arsitektur bangunan pada masa Hindu masih bertahan sampai saat ini. Tetapi wujud bentuknya tidak lagi sama benar dengan bangunan Hindu-Budha (candi), tetapi pengaruh Hindu-

Budha membuat arsitektur bangunan yang ada di Indonesia menjadi khas.

Karena agama Hindu-Budha berasal dari India, maka bangunan- bangunan candi yang ada di Indonesia mendapat pengaruh dari India, khususnya pada konstruksi bangunan, gaya arsitektur dan hiasan. Namun asimilasi antara budaya India dan Indonesia tidak menghilangkan kekhasan budaya Indonesia, dan menjadikan candi-candi salah satu ciri bangunan Hindu adalah “berundak”. Sejumlah undakan umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di Indonesia.

Menurut kitab Manasara Silpasastra (Kitab agama Hindu yang menjelaskan mengenai seni dan tata cara pembuatannya), bahwa bentuk sebuah candi adalah pengetahuan dasar dari sebuah seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Namun yang membedakan antara gapura dan candi adalah pada ruangnya, yaitu candi mempunyai ruang tertutup sedangkan gapura mempunyai lorong-lorong sebagai jalan keluar masuk (Soekmono, 1974).

2.6.1. Arsitektur Candi

Candi merupakan salah satu benda peninggalan sejarah kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia yang memiliki nilai seni agama.

Struktur bangunan candi tidak hanya berdiri dengan konsep rasional saja, tapi nilai itu mempunyai arti spiritual yang hadir dalam perlambangan seni

54 sesuai dengan tugas keagamaannya. Secara bahasa, kata candi berasal dari bahasa Sansekerta Chandika yang berarti salah satu dari nama dewa kematian dalam panteon (bangunan makam yg di dalamnya terdapat tanda peringatan mengenang orang kenamaan atau raja yang telah meninggal) agama Hindu (Yudoseputro 1993). Pendapat mengenai candi sebagai makam, semula didasarkan pada etimologi bahwa kata candi berasal dari kata candi karga yang artinya rumah candika. Candika adalah nama dewi Durga. Dewi Durga adalah dewi penguasa jiwa, Dewi Maut atau dewi kematian. Dengan demikian pengertian candi adalah bangunan yang berhubungan dengan dewi Durga. Yang dikuburkan dalam bahasa

Kawi disebut cinandi (Soekmono 1981).

Soekmono (1974), menegaskan bahwa candi bukanlah makam, tetapi candi adalah bangunan kuil. Setelah diadakan uji laboratorium, berdasarkan temuan Soekmono, abu yang terdapat dalam peripih di dasar candi adalah abu binatang korban, bukan abu manusia (raja). Memang candi itu sebenarnya adalah bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat, khusus untuk para raja atau orang terkemuka.

Sebutan candi sebagai bangunan suci di India sendiri tidak dipakai.

Sebagai bangunan kuil tempat menyelenggarakan upacara agama Hindu di India dikenal dengan sebutan Vimanna yang berarti rumah dewa atau ratha yang berarti kendaraan dewa. Sedangkan untuk keperluan ibadah agama Budha di India dikenal dengan sebutan stupa atau çaitya,

çaityagraha dan vihara. Di Indonesia bangunan suci Budha juga disebut candi. Itulah sebabnya mengapa sebutan candi di Indonesia menunjuk

55 bangunan yang memiliki bermacam-macam fungsi. Ada candi yang berfungsi sebagai kuil Hindu, candi sebagai stupa dan bihara Budha, candi sebagai pintu gerbang, candi sebagai bale kambang (Yudoseputro,

1993). Arsitektur candi sering dilambangkan dengan perumpamaan gunung Meru dikarenakan terdapat unsur Triloka yang menjelaskan mengenai dunia manusia (bhurloka), dunia tengah untuk orangyang disucikan (bhuvarloka) dan dunia untuk para dewa (svarloka) (kroom &

Stutterheim).

2.6.1.1. Seni dan Tata Cara Pembuatan Candi

Menurut Acharya (1980), berdasarkan dari kitab Manasara

Silpasastra (Kitab agama Hindu yang menjelaskan mengenai seni dan tata cara pembuatan bangunan Hindu), tata cara pembuatan candi terdiri dari beberapa tahapan. Tanah untuk candi dipilih jenis tanah yang baik berdasarkan warna, bau, kelandaian, jenis tanaman, kandungan tanah yang subur. Pendirian bangunan suci sebaiknya dekat dengan air (tirtha) baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua sungai, danau, laut dan walaupu tidak ada harus dibuatkan kolam buatan halaman kuil, atau diletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut.Lokasi bangunan suci (candi) didirikan di puncak bukit, lereng bukit, lembah atau hutan.

Tindakan selanjutnya adalah mencari titik pusat halaman dengan menggunakan sebatang sangkhu yaitu sebatang kayu yang dibuat khusus. Setelah itu dicari keempat mata angin serta arah keempat penjuru lainnya (Santiko,1995),keempat arah mata angin ini terkait dengan

56 kedudukan Brahman sebagai purusa dan membentuk diagram. Kemudian menggambar diagram tersebut di atas tanah. Diagram yang terkenal adalah Vastu-purusamandala, diagram Vastu-purusamandala berbentuk bujursangkar dan dibagi menjadi kotak-kotak kecil. Jumlah kotak-kotak kecil berbeda-beda tergantung jenis bangunan suci yang akan didirikan

(Santiko,1995).

Menurut Acharya (1981), Bentuk rumah yang terbaik untuk dewa dan para brahmana adalah bujur sangkar, yaitu bentuk dasar dalam arsitektur India. Disebutkan pula bahwa bentuk terbaik berikutnya adalah persegi panjang dengan catatan,panjangnya tidak boleh melebihi dua kali lebarnya. Bentuk ini mengacu pada figur Vastu Purusha dan menjadi bentuk umum untuk candi. Bangunan candi sendiri harus menghadap ke timur, yang merupakan arah yang paling menguntungkan karena merupakan arah datangnya cahaya matahari. Dari timur matahari muncul menghalau kegelapan, memberi kehidupan, pembawa kebahagiaan. Vastu shastra menyatakan bahwa bangunan yang proporsi dan orientasinya salah akan menciptakan suasana yang kondusif untuk datangnya penyakit, kerusakan dan kematian.

Titik pusat bangunan yang tertutup diterapkan pada kuil-kuil dan candi Hindu, dimana di atas titik pusat (titik suci) terdapat bentuk atap berbentuk meru (yang disebut Wimana untuk puncak candi atau kuil).

Dari puncak berbentuk meru yang disebut Wimana itulah cahaya dewata masuk ke dalam bangunan.

57

2.6.1.2. Bagian-Bagian Bangunan Candi

Umumnya folosofi sebuah bangunan candi mengikuti pola pemikiran bahwa bangunan merupakan replika dari alam semesta.

Menurut Atmadi (1979), candi dibangun dengan konsep ajaran Hindu yaitu Mandala (Mikrokosmos alam semesta), yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Bhurloka (Kamadhatu)/ kaki candi :

Bagian terbawah dari sebuah candi beserta lapangan sekeliling candi

dimana candi tersebut berdiri, yang melambangkan dunia keinginan

atau hasrat tempat dimana terdapat makhluk hidup yang biasa kita

temui.

2. Bhuvarloka (Rupadhatu)/ badan candi :

Bagian tengah dari susunan bangunan candi, yaitu dunia tengah yang

ditempati oleh orang-orang suci seperto Resi (seseorang suci yang

mendapatkan wahyu dari agama Hindu).

3. Svarloka (Arupadhatu)/ atap candi :

Bagian atas atau atap candi yang melambangkan tempat tertinggi dan

tersuci yang didiami oleh dewa-dewi dengan kedudukan teratas.

58

Gambar 2.10 Struktur Candi Tampak Samping Sumber : Djoko, 1983

2.6.1.3. Arsitektur Candi Hindu di Jawa

Soetarno (1986), seorang ahli percandian Indonesia pernah mengadakan tinjauan ringkas terhadap bangunan candi di Jawa, dinyatakan bahwa bangunan candi di Jawa mempunyai dua langgam, yaitu Langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, tetapi berdasarkan ciri-cirinya candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan.

Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan

59 beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya:

Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya: Candi

Prambanan, Candi , Candi , Candi , dan Candi

Borobudur.

Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari,

Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa

Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa

Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha.

Menurut Soetarno (1986), ciri-ciri candi langgam Jawa Tengah adalah bentuk bangunanny tambun, atapnya berundak-undak, puncaknya berbentuk stupa, gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara,

60 reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis, letak candi di tengah halaman, kebanyakan menghadap ke timur dan terbuat dari batu andesit.

Candi langgam Jawa Timur memiliki ciri-ciri bentuk bangunannya ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus, makara tidak ada dan pintu relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala, reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di bagian belakang halaman, kebanyakan menghadap ke barat dan terbuat dari bata.

2.6.1.4. Arsitektur Gapura Hindu di Jawa

Menurut Suwarna (1987), gapura bila dilihat dari asal katanya, dari bahasa Sanskerta "Go" berarti lembu dan "pura" berarti depan, dalam hal ini berarti area lembu yang dipasang di depan kraton atau tempat suci agamaHindu. Lembu merupakan kendaraan dewa Syiwa. Tetapi ada pula yang mengartikan kata gapura dari bahasa Arab "Ghafuru", yang berarti pengampunan (Jawa: Pangapura). Yang dimaksud pengampunan adalah: barang siapa memasuki gapura tersebut berarti telah diberi izin untuk menghadap, oleh penjaga bangunan atau penjaga wilayah tertentu.

Gapura (pintu gerbang) merupakan jalur pemeriksaan untuk meneliti para pengunjung dari luar daerah, guna menjaga keselamatan negara atau kerajaan. Gapura juga disebut pintu gerbang atau regol.

Sejak zaman purba (pengaruh kebudayaan Hindu) dan madya

(pengaruh kebudayaan Islam), gapura telah menunjukkan keberadaannya secara tegar. Hal ini dapat dilihat pada gapura Kraton Ratu Baka di bukit sebelah selatan candi Prambanan Yogyakarta. Di Jawa Timur juga

61 terdapat gapura yang megah ialah candi Waringin di Lawang, bekas pintu gerbang kediaman Mahapatih Majapahit, Gajah Mada; candi Bajang Ratu, bekas pintu gerbang menuju pemandian Majapahit (candi Tikus); dan gapura-gapura pada candi yang lain. Di Bali banyak terdapat gapura, seperti yang terdapat pada pura-pura (kuil), pagar-pagar halaman penduduk maupun instansi pemerintah. Pada zaman madya juga terdapat gapura-gapura, antara lain gapura masjid Menara Kudus, disebut gapura kembar, karena dua sama bentuk maupun ukurannya.

Gapura sebagai bagian dari suatu bangunan biasanya menunjukkan adanya kesatuan dengan bangunan intinya. Tetapi ada pula gapura yang berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari suatu bangunan.

Gapura-gapura tersebut merupakan cerminan hati nurani manusia pendukungnya, sehingga tidak lepas dari keadaan sosial,ekonomi, budaya setempat. Menurut Suwarna (1987), jenis gaapura arsitektur Hindu, yaitu : a. Gapura Belah Bentar

Gapura belah bentar merupakan gapura yang mempunyai pintu

(jalan) masuk yang cukup lebar bila dibanding dengan jenis gapura

Paduraksa. Gapura ini berbentuk belah sehingga memungkinkan untuk

membuat jalan yang lebar sesuai dengan kebutuhan, tetapi harus tetap

sebanding dengan bentuk fisiknya. Bagian dalam gapura rata keduanya

bagaikan bekas irisan/belahan dari suatu bentuk yang utuh (Bentar),

sehingga andaikan dirapatkan akan terjadi bentuk yang utuh satu.

Gapura belah bentar sering juga disebut Candi Bentar.

62

Gambar 2.11 Candi Bentar di Masjid Menara Kudus http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM

Gambar 2.12 Candi Bentar di Keraton Gambar 2.13 Candi Bentar di Kasepuhan Cirebon Pemakaman http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:COLLE http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:CO CTIE_TROPENMUSE LLECTIE_TROPENMUSEUM b. Gapura

Gapura Paduraksa merupakan gapura yang utuh, mempunyai

pintu dan atap yang bersusun meninggi (langsing). Di kanan kirinya

disambung dengan benteng (pagar) yang sesuai dengan corak gapura

Paduraksa tersebut. Bila dibanding dengan gapura Belah Bentar

biasanya relatif lebih kecil, karena terikat lebih lebar atau besar kecil

pintunya. Jenis pintunya ada yang berdaun pintu, tetapi ada pula yang

terbuka tanpa daun pintu. Bahan bangunan juga mempengaruhi besar

kecilnya gapura, begitu pula teknik konstruksinya.

63

Gambar 2.14 Gapura Paduraksa di Kraton Mataran Kota Gede Jogjakarta Sumber :Suwarna, 1987

Bentuk gapura candi bentar dan gapura paduraksa yang terbuat dari batu bata merah di Jawa didirikan pula pada zaman sesudah keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia yaitu pada zaman perkembangan pengaruh-pengaruh Islam yang lazim dinamakan pula zaman peralihan (Tjadrasasmita, 2000).

2.6.2. Ornamentasi Arsitektur Hindu

Menurut Sukarman (1983), Ornamen dibuat untuk tujuan menghias, suatu ornamen setidaknya ternilai sebagai sebuah bentuk pembuatnya untuk mengekplorasi kenyataan dalam bentuk abstrak dan geometris, seperti lekukan sederhana berbentuk meander, atau abstraksi pohon-pohon, juga binatang, yang banyak ditemui dalam karya seni atau produk lainnya.

Menurut Karuni (2013), Ornamen arsitektur hindu (arsitektur bali) dapat dikelompokan menjadi 3, yaitu :

1. Keketusan

Keketusan adalah motif hias tradisional Bali yang paling

sederhana, sesuai dengan namanya “Ketus” yang artinya lepas atau

64

pisah dari cabangnya seperti daun, bunga, buah, atau yang lainnya.

Motif hias ini juga banyak diangkat dari penyetiliran benda mati seperti

batu, awan, air, atau garis geometris lainnya.

Gambar 2.15 Motif Hias Keketusan Sumber : http://balipersonaldrivers.blogspot.com/ 2. Pepatran

Pepatran adalah motif hias tradisional Bali yang merupakan

stilirisasi dari bentuk tumbuh-tumbuhan. Patra berasal dari bahasa

Sansekerta yang berarti daun atau urat. Tumbuhan yang

disterilisasi menjadi pepatran diambil ada yang diambil secara utuh

maupun beberapa bagian saja yang dianggap menarik untuk dijadikan

motif hias.

Gambar 2.16 Motif Hias Pepatran Sumber : http://balipersonaldrivers.blogspot.com/ 3. Kekarangan

Kekarangan adalah motif hias tradisional Bali yang sebagian

besar merupakan stilirisasi dari bentuk binatang, namun ada juga

kekarangan yang merupakan gubahan dari bentuk tumbuhan dan

manusia.

65

Gambar 2.17 Motif Hias Kekarang Sumber : http://balipersonaldrivers.blogspot.com/

Hiasan floral-geometrik merupakan perpanjangan dari gaya seni hias pra Islam, baik yang bersumber pada seni hias prasejarah maupun zaman Hindu (Yudoseputro, 1993). Hasil-hasil seni Islam dalam masjid dari masa perkembangan Islam di Indonesia, mengandung tradisi seni rupa masa-masa sebelumnya: Prasejarah dan Indonesia Hindu-Budha.

(Tjandrasasrnita, 2000). Dengan adanya pandangan yang melarang pembuatan gambar mahluk hidup, maka kemampuan artistik seniman

Muslim beralih pada seni hias dengan batas penggunaan motif hias tumbuh-tumbuhan (Floral) dan motif geometri (Yudoseputro,1993).

66